issn - POLTEKKES Majapahit Mojokerto

advertisement
ISSN : 2085 - 0204
JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT
TRI PENI
Kekerasan Pada Anak (Child Abuse) Di Pendidikan Anak Usia Dini Mojokerto
EKA DIAH KARTININGRUM
Kondisi Rumah Sehat Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
FARIDA YULIANI
Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum Di Desa Sooko
Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto
MARIA RATNAWATI
Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui
Pada Ibu Bekerja Di Instansi Pemerintah (Studi Di SKPD Propinsi Jawa Timur)
NIKEN KUSUMAWARDHANI, WINDHU PURNOMO,
RACHMAT HARGONO,SITI NURUL HIDAYATI,
MARTONO TRI UTOMO, SRI ANDARI
Determinan “Picky Eater” (Pilih-Pilih Makanan) Pada Anak Usia 1-3 Tahun (Studi
Di Wilayah Kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo)
DIAN IRAWATI
Faktor-Faktor Karakteristik Yang Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Perilaku
Hidup Bersih Dan Sehat Di Desa Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto
DYAH PERMATA SARI
Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III
Di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun
SARI PRIYANTI
Konsumsi Pil KB Di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo
HOSPITAL
MAJAPAHIT
VOL 5
NO. 2
Hlm.
1 - 157
Mojokerto
Nopember 2013
ISSN
2085 - 0204
JURNAL ILMIAH KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO
HOSPITAL MAJAPAHIT
Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan
yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
Pembina
Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit
Nurwidji
Pelindung
Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit
dr. Rahmi, S.A.
Ketua Penyunting
Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes.
Wakil Ketua Penyunting
Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep.
Penyunting Pelaksana
Widya Puspitasari, Amd
Anwar Holil, M.Pd.
Penyunting Ahli
Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc.
Nursaidah, M.Kes
Rifa’atul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin
Distribusi
Indriyanti. T.W, Amd.Akt
dr Achmad Husein
Alamat Redaksi :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736
Email : [email protected]
BIAYA BERLANGGANAN
Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5. No. 2, Nopember 2013
ISSN : 2085 - 0204
Pengantar Redaksi,
Untuk mewujudkan kesejahteraan dan pertumbuhan generasi bangsa yang optimal dan berdaya
saing tinggi serta mampu membawa nama bangsa ke kancah internasional maka dilaksanakan
berbagai penelitian yang mampu memberikan efek baik secara langsung maupun tidak
langsung. Jurnal Hospital Majapahit vol 5 no 2 membahas tentang laporan penelitian yang
dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa baik internal maupun eksternal Poltekkes Majapahit.
Artikel pertama ditulis oleh Tri Peni dengan judul Kekerasan Pada Anak (Child Abuse) Di
Pendidikan Anak Usia Dini Mojokerto. Penelitian yang dilakukan secara dengan jenis
deskriptif tersebut dilakukan pada 51 responden dan menunjukkan bahwa status ekonomi yang
rendah cenderung melakukan kekerasan pada anak sedangkan status ekonomi rendah
cenderung tidak melakukan kekerasan pada anak.
Artikel yang kedua ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dengan judul Kondisi Rumah Sehat
pemukiman di desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa
sebagian besar perumahan terkategorikan tidak sehat. Rumah pada dasarnya merupakan
tempat hunian yang sangat penting bagi setiap orang. namun didalamnya terkandung arti yang
penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera.
Artikel yang ketiga ditulis oleh Farida Yuliani dengan judul Pelaksanaan Inisiasi Menyusu
Dini Pada Ibu Post Partum Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto. Di
Indonesia menunjukkan 95% anak dibawah umur 5 tahun pernah mendapat ASI. Namun,
hanya 44% yang mendapat ASI 1 jam pertama setelah lahir dan hanya 62% yang mendapat
ASI dalam hari pertama setelah lahir. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan dukungan keluarga dengan pelaksanaan inisasi menyusu dini pada ibu post partum
di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto yang dilakukan pada tanggal 6 Mei6Juni 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mendapat dukungan
keluarga dengan melaksanakan inisasi menyusu dini sebanyak 5 responden (35,8%). Ibu
menyusui memerlukan dukungan baik secara informasional, emosional, instrumental, dan
penilaian dari keluarganya dalam melaksanakan inisiasi menyusu dini. Keluarga berperan
dalam menentukan kelancaran reflex pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan
emosi atau perasaan ibu.
Artikel yang keempat ditulis oleh Maria Ratnawati dengan judul Pengaruh Pendidikan, Paritas,
Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui Pada Ibu Bekerja Di Instansi Pemerintah
(Studi Di SKPD Propinsi Jawa Timur). World Health Organization (2002) merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif atau hanya ASI saja sesaat setelah lahir sampai bayi usia 6 bulan.
Kemudian dilanjutkan dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan tetap
melanjutkan pemberian ASI sampai 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan
berpengaruh terhadap sikap sedangkan pendidikan, paritas dan persepsi tidak mempengaruhi
sikap. Variabel yang mempengengaruhi norma subyektif adalah paritas sedangkan yang tidak
berpengaruh adalah pendidikan, pengetahuan dan persepsi.
Artikel yang kelima ditulis bersama oleh Niken, Windhu, Rachmat, Siti Nurul, Martono dan
Sri Andari dengan judul Determinan “Picky Eater” (Pilih-Pilih Makanan) Pada Anak Usia 1-3
Tahun (Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo). Memilih makanan (picky eater)
merupakan masalah pada anak yang perlu diperhatikan baik oleh orang tua maupun praktisi
kesehatan, karena picky eater pada anak memiliki efek yang merugikan, baik bagi pengasuh
ataupun anak. Efek merugikan dapat berupa penambahan berat badan yang tidak sesuai,
defisiensi nutrisi yang penting, serta pengurangan variasi asupan makan. Jika tidak ditangani
HOSPITAL MAJAPAHIT
dengan benar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kegagalan tumbuh serta
keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyakit yang diderita anak 3 bulan terakhir, interaksi antara ibu dan anak yang kurang baik,
perilaku makan orang tua yang suka memilih-milih makan, tidak diberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan, pemberian MP-ASI kurang dari atau lebih dari 6 bulan, anak yang diasuh oleh
orang lain selain oran tuanya, terdapat pantangan makan pada sosial budaya, frekuensi makan
yang tidak sesuai umur, waktu makan yang kurang tepat,dan cara pemberian makan yang
kurang baik berpengaruh terhadap picky eater pada anak umur 1-3 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Jabon Sidoarjo pada tahun 2013.
Artikel yang keenam ditulis oleh Dian Irawati dengan judul Faktor-Faktor Karakteristik Yang
Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Di Desa Tangunan
Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Ada pengaruh
umur, pendidikan, dan pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di
Desa Tangunan Puri Mojokerto. PHBS merupakan perilaku yang murah dan bermanfaat jadi
tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak melaksanakan kebiasaan ini, sebab selain
banyak manfaatnya, PHBS merupakan salah satu bentuk investasi jangka panjang pada
perkembangan generasi penerus bangsa.
Artikel yang ketujuh ditulis oleh Dyah Permata Sari dengan judul Hubungan Status Gizi
Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III Di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Anemia adalah nama yang umumnya
diberikan untuk serangkaian defisiensi dalam kualitas dan kuantitas sel darah merah (Linda,
2010). Anemia kehamilan disebut “potential danger to mother and child” (potensial
membahayakan ibu dan anak), karena itulah anemia memerlukan perhatian serius dari semua
pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada lini terdepan. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa status gizi ibu hamil pada penelitian ini terbanyak adalah status gizi baik yaitu sebanyak
19 orang dari 32 responden. Ibu hamil trimester III pada penelitian ini terbanyak adalah tidak
mengalami anemia yaitu sebanyak 15 orang dari 32 responden dan disimpulkan ada hubungan
status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III.
Artikel yang kedelapan ditulis oleh Sari Priyanti dengan judul Konsumsi Pil Kb Di Polindes
Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo. Banyak perempuan mengalami
kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya
metode yang tersedia tetapi juga oleh ketidak tahuan mereka tentang persyaratan dan
keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai potensi, konsekuensi kegagalan atau
kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB
di Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo adalah sebagian besar tidak patuh
dalam mengkonsumsi Pil KB yaitu sebanyak 29 responden (58.0%). Semua artikel yang ditulis
dan diterbitkan dalam jurnal volume 5 no 2 merupakan wujud perhatian civitas akademik di
Poltekkes Majapahit baik dari dosen maupun mahasiswa untuk senantiasa memikirkan
perkembangan status kesehatan bangsa.
Redaksi,
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5. No. 2, Nopember 2013
ISSN : 2085 - 0204
Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel
Kebijakan Editorial
Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara
berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian,
artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian
terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel
yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan
oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto.
Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan
melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan
dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal
ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap
perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim
ke Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah
lainnya.
Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan
dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada
penulis. Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya
mengikuti pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor
Jurnal Hospital Majapahit dengan alamat :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : [email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5. No. 2, Nopember 2013
ISSN : 2085 - 0204
Pedoman Penulisan Artikel.
Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi
pertimbangan penulis.
Format.
1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm).
2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 –
12 atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman.
3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi.
4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut.
5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau
gambar serta sumber kutipan.
6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor
halaman jika dipandang perlu. Contoh :
a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan
halaman (Rahman, 2003:36).
b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989).
c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989).
d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun
publikasi sama (David, 1989a, 1989b).
e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim
yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006).
Isi Tulisan.
Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut :
Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi
masalah penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan
diawal teks dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa
inggris). Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel.
Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian.
Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian.
Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi dan
pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan.
Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik
analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel.
Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori
yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian.
Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang
diacu saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
Jurnal :
Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”.
Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245.
HOSPITAL MAJAPAHIT
Buku :
Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan
Kontrol. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Artikel dari Publikasi Elekronik :
Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce turnover”. Canadian HR Reporter. 15, 18,
ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].
Majalah :
Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk
Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Pedoman :
Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International.
Simposium :
Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia,
in Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual
Malaysian Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.
Paper :
Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand
Image”. Working Paper. UK : The University of Birmingham.
Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :
Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk
Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Skripsi, Thesis, Disertasi :
Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori
Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three
Stage Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan
Informatika Indonesia.
Surat Kabar :
Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom
4-5).
Penyerahan Artikel :
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : [email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5. No. 2, Nopember 2013
ISSN : 2085 - 0204
DAFTAR ISI
KEKERASAN PADA ANAK (CHILD ABUSE) DI PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI MOJOKERTO...........................................................................................................
Tri Peni
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
KONDISI RUMAH SEHAT DESA GAYAMAN KECAMATAN MOJOANYAR
KABUPATEN MOJOKERTO ..........................................................................................
Eka Diah Kartiningrum
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI PADA IBU POST PARTUM DI
DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO KABUPATEN MOJOKERTO ....................
Farida Yuliani
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
PENGARUH
PENDIDIKAN,
PARITAS,
PENGETAHUAN,
PERSEPSI
TERHADAP SIKAP MENYUSUI PADA IBU BEKERJA DI INSTANSI
PEMERINTAH (STUDI DI SKPD PROPINSI JAWA TIMUR) ...................................
Maria Ratnawati
Mahasiswa Program Magister Prodi IKM FKM Unair
1
19
47
60
DETERMINAN “PICKY EATER” (PILIH-PILIH MAKANAN) PADA ANAK
USIA 1-3 TAHUN (STUDI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JABON
SIDOARJO) ........................................................................................................................ 91
Niken Kusumawardhani, Windhu Purnomo, Rachmat Hargono,Siti Nurul Hidayati, Martono
Tri Utomo, Sri Andari
Mahasiswa Program Magister Prodi IKM FKM Unair
Dosen dan Peneliti FKM Unair
Staf Pengajar dan Peneliti SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya,
Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo
FAKTOR-FAKTOR KARAKTERISTIK YANG BERPENGARUH TERHADAP
PELAKSANAAN PERILAKU HIDUP
BERSIH DAN SEHAT DI DESA
TANGUNAN KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO ............................ 120
Dian Irawati
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL
TRIMESTER III
DI BPS HJ SRI SULASMIATI, S.ST DESA WONOAYU KEC.
PILANGKENCENG KAB. MADIUN............................................................................... 135
Dyah Permatasari
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
HOSPITAL MAJAPAHIT
KONSUMSI PIL KB DI POLINDES DESA KEMBANGSARI KECAMATAN
JATIBANTENG SITUBONDO ......................................................................................... 149
Sari Priyanti
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : [email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
KEKERASAN PADA ANAK (child abuse) DI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
MOJOKERTO
Tri Peni
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Child abuse is a repeating violence assault both phisically or emosionally, through
urges, uncontrolled corporal punishment, obvious degradation and permanent ridicule and
sexual violence. The purpose of this study was to determine child abuse in Early Childhood
Education Tarbiyatush Shibyan Mojokerto.The research used the survey. Sample of this study
were 51 respondents, variables studied were, number of children, maternal age, occupation,
education, family economics and child abuse. The sampling technique used was simple
random sampling is random sampling is lacking.The results showed that families with higher
economic status 6 (11.6%) experienced violence, while families with low economic status 21
(15.4%) experienced violence.Thus expected to promote other forms of child abuse. Parents
are not expected to do violence on children, because it can effect their development. Hence, it
is vital to be able to approach the victims privatelly or through sosial approach. As also it is
important that society participates by reporting any child abuse case and be aware of the act
of violence.
Keywords: Child, abuse.
A. PENDAHULUAN
Kekerasan pada anak sering terjadi di sekeliling kita baik di kalangan bawah
kalangan menengah bahkan di kalangan atas sering kita jumpai. Perlakuan buruk pada
anak telah menjadi masalah yang penting dalam bidang sosial dan medis (Kusumayati,
2002). Sejak berabad-abad lamanya anak sering dipukul khususnya oleh orang tua,
terutama sebagai hukuman. Pencetus kekerasan terhadap anak terjadi akibat stres dalam
keluarga yang berasal dari berbagai permasalahan, kekerasan terhadap anak juga
dipengaruhi oleh rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan watak orang tua. Bentukbentuk kekerasan pada anak antara lain berupa tindakan kekerasan fisik yang bertujuan
melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain dengan menggunakan anggota tubuh
pelaku (seperti tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya sedangkan tindakan kekerasan
non-fisik merupakan tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri
seorang perempuan baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai
atau dikehendaki korbannya.
Data yang dihimpun dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat jumlah
kasus kekerasan pada anak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kasus
kekerasan anak pada 2009 tercatat sebanyak 1.552, kemudian meningkat menjadi 2.335
kasus pada 2010 dan 2.508 kasus pada 2011. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) pada Januari-Agustus 2012 mencatat bahwa terdapat 3.332 kasus kekerasan
terhadap anak di Indonesia. Sementara itu data tahun 2011 menunjukkan, kekerasan
terhadap anak paling banyak dilakukan oleh orang tua kandung (44,32 persen), teman
(25,9 persen), tetangga (10,9 persen), orang tua tiri (9,8 persen), guru (6,7 persen) dan
saudara (2 persen). Pada Januari-Agustus 2012 mencatat terdapat 3.332 kasus kekerasan
terhadap anak di indonesia. Dari data tersebut, keluarga menjadi tempat terbanyak
terjadinya kekerasan pada anak, yakni 496 kasus, menyusul dalam bidang pendidikan,
yakni mencapai 470 kasus. Lalu pada urutan ketiga kasus kekerasan terhadap anak
1
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
dibidang agama, yakni 195 (Anonim, 2012). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti pada tanggal 07 maret 2013 di Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan
Mojokerto dengan menggunakan tekhnik wawancara terstruktur di dapatkan dari 10 anak
sebesar 60% mengalami child abuse yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri.
Anak adalah mahluk yang tidak berdaya, karena ketidak berdayaannya anak
menjadi rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk orang
tuanya sendiri. Keadaan ini diperparah dengan persepsi orang tua yang menyesatkan
dalam menganggap anak sebagai hak paten yang dapat digunakan sesukanya, pada
akhirnya orang tua akan bebas memperlakukan anaknya sesuai dengan keinginannya.
Para pelaku child abuse ini berangapan bahwa merekalah yang melahirkan, mendidik,
membesarkan anak. Pada saat yang sama wewenang untuk melakukan apapun pada anak
itu tidak masalah, termasuk melakukan tindak kekerasan. Dari pada melakukan kekerasan
pada orang lain lebih baik dilakukan kepada keluarganya saja. Implikasi, tingginya angka
TKTK (Tingkat Kekerasan Terhadap Anak) akan sulit diminimalisir..
Hasil pengaduan yang diterima oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu
kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga,
yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan pihak ayah dan ibu, serta saudara
lainnya. Kondisi ini yang kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak.
Anak sering kali menjadi sasaran kekerasan orangtua. Disfungsi keluarga yaitu peran
orangtua tidak berjalan sebagaimana mestinya, adanya disfungsi peran ayah sebagai
kepala keluarga, serta peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
Faktor ekonomi dianggap sebagai penyebab kekerasan pada anak. Pandangan yang keliru
tentang posisi anak dalam keluarga, orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang
yang tidak tahu, dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orangtua.
Faktor penyebab Kekerasan pada Anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi
maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat
mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun
dan menciptakan perilaku kekerasan. Kekerasan pada anak dapat dicegah dan dikurangi
dengan beberapa pendekatan diantaranya adalah pendekatan individu, yaitu dengan cara
menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman
agama yang kuat akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi faktor
terjadinya kekerasan, menghimbau partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan
waspada dalam setiap tindakan kejahatan, terutama hukuman trafficking. Pendekatan
medis untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara fisik atau kejiwaan, juga
memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan
baik dan benar, dan terahir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab
masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap
terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan
menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku ( Lianny, 2013). Oleh sebab itu
penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kekerasan pada anak yang dialami siswa
PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Kekerasan pada anak (child abuse)
a. Pengertian
Suyanto (Tursilarini, 2005) mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai
peristiwa perlukaan fisik, mental dan seksual yang umumnya dilakukan oleh orangorang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang semua ini
diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan serta kesejahteraan
anak. Sedangkan Sa‟abah mendefinisikan kekerasan anak (child abuse) merupakan
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
suatu tindakan orang dewasa terhadap anak dengan cara yang disadari ataupun tidak
yang berakibat menggangu proses pada anak. Menurut WHO ( dalam Suharto, 2007 )
kekerasan pada anak adalah tindakan yang melukai secara berulang- ulang baik fisik,
emosinal pada anak, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali,
degrasi dan cemoohan permanen dan kekerasan seksual biasanya dilakukan oleh para
orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Menurut Barker (Tursilarini, 2006) kekerasan adalah perilaku tidak layak yang
mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik
yang dialami individu maupun kelompok. Masih menurut Barker kekerasan
terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan
emosional terhadap yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan
yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual,
biasanya dilakukan orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Sedangkan menurut Gellas dalam encyclopedia article from (Huraerah, 2006)
mengartikan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan
kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah
kekerasan terhadap anak (child abuse) meliputi berbagai macam bentuk tingkahlaku, dari tindakan ancaman fisik langsung orang tua atau orang dewasa lainnya
sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Menurut Pope
(Patnani, Ekowarni & Bhinnety, 2002) kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk
dari apa yang disebut child maltreatment, yaitu memperlakukan anak dengan cara
yang salah. Selain kekerasan fisik, child maltreatment mencakup kekerasan seksual
(sexual abuse), penelantaran atau penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau
psikologis.
Bentuk-bentuk child abuse
(Santoso, 2002) Mengatakan istilah kekerasan digunakan untuk
menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik
yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai
penggunaan kekuatan pada orang lain, oleh karena itu ada 4 jenis kekerasan yang
dapat diidentifikasi yaitu :
a. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian.
b. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti
mengancam.
c. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi
untuk mendapatkan sesuatu.
d. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan
diri.
Menurut Terry E lowson ( Huraerah , 2007), seorang psikiatri internasional
yang menyebutkan ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal
abuse,physical abuse, dan sexual abuse.
a. Emotional abuse
Perlakuan yang dilakukan dengan mengganggu emosional anak misalnya
ialah dengan meneror, tidak memberikan kasih sayang, menolak anak,
mengisolasi anak, dan perlakuan lainnya yang dapat dikatakan kekerasan
emosional.
b. Verbal abuse
Verbal abuse ialah dengan memberikan kekerasan kepada anak lewat katakata menyakitkan,memojokkan, menghina,mengancam seperti” kamu bodoh”, “
kamu jelek “ , “ kamu tidak bias apa-apa “.Kata-kata negative yang dilontarkan
3
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
masuk ke dalam alam bawa sadar anakdan akan membangun gambar diri anak
tersebut.
c. Physical abuse
Kekerasan terhadap tubuh/fisik anak, yaitu dengan sengaja memberikan
pukulan, dengan menyiram air panas/minyak dan tindakan-tindakan lainnya
yang membuat anak cedera, bahkan dengan menggunakan alat/ benda.
d. Sexual abuse
ialah kekerasan dengan menggunakan anak- anak sebagai objek pemuas
nafsu dari orang dewasa. Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori
incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori
pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi
noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang
berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual
assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi,
fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris).
Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara
paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi
sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori
terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korbankorban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat
trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor
mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami perkosaan
mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa secara
paksa. Macam kekerasan pada anak Menurut Cavett (dalam Wicaksono, 2007)
yaitu :
1) Kekerasan seksual, dengan sasaran daerah organ sexual dan menggunakan
organ kelamin pelaku sebagai alat kekerasan.
2) Kekerasan fisik, meliputi penganiayaan kepada fisik badan korban.
3) Kekerasan emosi, meliputi bentakan, ancamanm hinaan, ejekan, sindirian,
dan penganiayaan lain kepada psikis korban.
Child abuse dapat diartikan sebagai penganiayaan mental atau fisik,
penganiayaan seksual atau penelantaran terhadap anak serta perampasan hak dalam
mendapatkan dukungan fisik dan moral yang layak untuk perkembangan anak di
bawah usia 18 tahun, yang dilakukan oleh individu yang seharusnya bertanggung
jawab atas kesejahteraan anak tersebut. Menurut U. S. Departement of Health,
Education and Welfare, perlakuan salah terhadap anak (child abuse) adalah
kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual, dan penelantaran terhadap seorang
anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga kesehatan atau
kesejahteraan anak tersebut terancam (Sukamto, 2000). Dengan demikian kekerasan
terhadap anak merupakan perbuatan melukai, baik yang dilakukan secara sengaja
atau pun tidak sengaja, baik secara fisik maupun psikis, dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan negatif berupa
tindakan melukai, penganiyaan, penghinaan, pemberian hukuman, pelanggaran
seksual yang dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik dan psikologis
sang anak.
Penyebab munculnya kekerasan
Menurut KOMNAS perlindungan Anak menyebutkan pemicu kekerasan
terhadap anak yang terjadi dilatarbelakangi karena:
4
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
a.
Kekerasan dalam rumah tangga yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang
melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi
menyebabkan tidak terelak nya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak
seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua.
b. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran
ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
c. Faktor ekonomi ,yaitu kekerasan timbul karena ekonomi. Tertekannya kondisi
keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah factor yang banyak terjadi.
d. Pandangan keliru terhadap posisi anak dalam keluarga. Latar belakang
terjadinya child abuse dalam suatu keluarga sangat beragam, misalnya ialah
karena kondisi perekonomian keluarga yang sulit , yang membuat tingkat stress
yang tinggi dalam keluarga, sehingga anak menjadi tempat pelampiasan, atau
dengan membiarkan anak dan tidak memenuhi kebutuhannya.
e. Latar belakang budaya juga dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam
keluarga terhadap anak. Kekerasan yang dilakukan bertujuan agar anak
menghormati orang tua dan melakukan seluruh perkataan yang dikatakan orang
tua. Dalam lingkungan budaya tersebut, kekerasan yang dilakukan untuk
mendidik anak dianggap sebagai hal yang wajar.
Menurut Kusumayati (2002), ada 3 faktor yang berperan dalam terjadinya
kekerasan fisik pada anak, yaitu:
a. Karakteristik Orang Tua Dan Keluarga
Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga antara lain :
1) Para orang tua juga penderita kekerasan fisik pada masa kanak-kanak.
2) Orang tua yang agresif dan impulsive.
3) Keluarga dengan hanya satu orang tua.
4) Orang tua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara
emosional dan ekonomi.
5) Perkawinan yang saling menciderai pasangan dan perselisihan.
6) Tidak mempunyai pekerjaan (status ekonomi rendah).
7) Jumlah anak yang banyak.
8) Adanya konflik dengan hukum.
9) Kondisi lingkungan yang terlalu padat.
10) Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa.
11) Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat
dukungan dari sanak keluarga serta kawan-kawan.
12) Pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak sangat terbatas.
b. Karakteristik anak yang beresiko tinggi Perlakuan Salah (child abuse)
Beberapa factor anak yang berisiko tinggi untuk kekerasan fisik adalah:
1) Anak yang tidak diinginkan.
2) Anak yang lahir premature, terutama yang mengalami konflik neonatal,
berakibat adanya keterikatan bayi dan orang tua yang membutuhkan
perawatan yang berkepanjangan.
3) Anak dengan retardasi mental, orang tua merasa malu.
4) Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlalu nakal.
5) Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orang tua bekerja.
c. Beban Dari Lingkungan
Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap lingkungan perawatan
anak.
5
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
4. Faktor Resiko kekerasan
Faktor – faktor resiko terhadap kejadian kekerasan pada anak dapat ditinjau
dari Karakteristik sosial orang tua yaitu :
a. Usia
Usia dapat mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia orang,
semakin baik pula tingkat kematangan emosi seseorang dan kemampuannya
menghadapi berbagi persoalan (Keliat, 2005) , menyatakan dalam menuju
maturasi psikososial manusia menjalankan delapan tugas perkembangan sesuai
dengan proses perkembangan usia. Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak
dijalankan dengan baik memberikan dampak sosial dikemudian hari. Menurut
(Keliat, 2005) seseorang yang mempunyai usia dewasa lebih mudah mengalami
emosi atau berprilaku emosional tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Orang tua dengan usia muda, belum matang untuk mengasuh anak. Terutama
orang tua yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun. Kebanyakan orang
tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan beranggapan
bahwa anak hanya untuk memenuhi kebahagiaan orang tua saja (Irwanto et al.,
2004). Menurut Hardiwinoto dalam (Depkes.RI, 2012) Usia dikategorikan
menjadi, usia remaja (21-25 tahun). Dewasa(26-45 tahun). Lansia (46-65 tahun).
b. Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan Miller (2004) menunjukkan bahwa pria lebih
memungkinkan melakukan gejala negatife dibandingkan dengan wanita, dan
wanita memiliki fungsi sosial dan pengambilan keputusan dalam hal
pengendalian emosi lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan
menurut Miller (2004) kondisi perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan
perempuan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menghadapi suatu masalah
(Hidayati, 2011).
c. Pendidikan
Sertiap orang mempunyai pemaknaan yang berbeda tentang pendidikan,
pendidikan pada umumnya merubah pola pikir, pola tingkah laku, serta pola
pengambilan keputusan (Notoadjmojo, 2003). Tingkat pendidikan yang cukup
diharapkan seseorang akan lebih mudah mengidentifikasi stressor atau masalah
kekerasan baik dari diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kesadaran dan terhadap stimulus
kognitif. Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan dapat menyebakan
cara berfikir rasioanal, menangkap informasi yang baru, serta kemampuan
menguraikan masalah menjadi rendah (Hidayati, 2010). Menurut Stuard &
Laraia (2005) pendidikan dapat dijadikan sebagai tolak ukur kemampuan
seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif, faktor pendidikan
mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Faktor terjadinya kekerasan atau pelanggaran pada hak – hak anak lebih minimal
kejadiannya pada orang tua yang berpendidikan dan pengetahuan yang
memadai. Dengan pertimbangan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan
tentang pengasuhan anak. Pendidikan adalah suatu usaha yang menyediakan
kondisi psikologis dari sasaran agar mereka berprilaku sesuai tuntutan nilai.
Dengan nilai yang dapat menghasilkan perubahan – perubahan. Kurangnya
pengetahuan mengenai perkembangan anak, menyebabkan orang tua tidak
mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak seusianya, sehingga dapat
memperlakukan anak secara salah. Orang tua yang tidak mengetahui cara yang
6
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
baik dan benar dalam mengasuh dan mendidik anak, akan cenderung
memperlakukan anak secara salah (Depkes, 2003)
d. Pekerjaan
Orang tua yang tidak mempunyai pekerjaan akan mengakibatkan tekanan
secara financial, kemiskinan, beban hutang, sehingga kurang dapat mengontrol
rasa marah, kemungkinan akan melakukan kekerasan pada anak. Orang tua yang
bekerja berlarut-larut, pergi pagi dan pulang sore hari dengan menyisakan sedikit
waktu dan tenaga untuk melakukan tugas domestik dan mengurus anak,
sehingga anak menjadi terlantar dan terlupakan. Karena kelelahan, kesabaran
dalam mengasuh anak menjadi kurang, kondisi ini mengakibatkan orang tua
cenderung kurang bersahabat, kasar, dan menuntut kepatuhan anak. Seolah –
olah anak menjadi beban orang tua, situasi seperti ini hak anak dalam
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, akan terabaikan kerena
orang tua lebih mementingkan pekerjaannya (Huraerah, 2006). Menurut
Brockopp (2003) seseorang yang memiliki pekerjaan dapat meningkatkan
stimulus yang bersifat menantang individu serta yang besar untuk menghadapi
suatu masalah dalam mengatasi keadaan prilaku dalam kehidupannya.
e. Penghasilan
Orang tua dengan penghasilan terbatas besar kemungkinan kurang mampu
memenuhi kebutuhan – kebutuhan keluarga termasuk anak – anaknya. Keadaan
ini berpotensi melakukan penelantaran pada anak sehingga anak – anak tidak
dapat tumbuh dan berkembang optimal. Golongan orang tua ini juga akan
merasa tertekan, mudah marah karena beranggapan tidak mampu memenuhi
kenutuhan anak- anaknya (Depkes, 2003).
f. Status Orang Tua
Karakteristik orang tua yang potensial melakukan kekerasan kepada anak
– anaknya, salah satu adalah terjadi masalah perkawinan seperti perceraian,
orang tua tunggal, anak yang dirawat oleh ibu atau ayah tiri. Perceraian dapat
menimbulkan problematika dalam rumah tangga seperti persoalan hak
pemeliharaan anak, pemberian kasih saying, pemberian nafkah dan sebagainya.
Banyak kasus tindak kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu
tiri ( Irwanto et al, 2004).
g. Kebiasaan
Orang tua yang mempunyai kebiasaan minum alkohol, pecandu narkotika
dan zat adiktif lainnya, berisiko melakukan tindakan kekerasan pada anak –
anaknya. Akibat pengaruh minuman dan zat adiktif tersebut, secara tidak sadar
orang tua akan melakukan tindakan kekerasan pada anak. Orang tua yang
kecanduan narkotik/ zat adiktif lainnya, serta menderita gangguan mental
seringkali tidak dapat berfikir dan bertindak wajar dalam banyak hal, termasuk
masalah mengasuh dan mendidik anak. Mereka cenderung melakukan tindakan
kekerasan pada anak atau menelantarkan anak (Depkes RI, 2003).
5. Dampak kekerasan pada anak.
Menurut Richard J.Gelles (2004) menjelaskan bahwa konsekuensi dari
tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat
yang lebih luas (far-reaching). Luka-luka fisik, seperti: memar-memar (bruises),
goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain
damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian (death). Efek
psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti:
rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth), ketidakmampuan berhubungan
dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi
7
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
(reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorders). Dalam beberapa
kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric
disorder), seperti; depresi (deerpression), kecemasan berlebihan (excessive anxiety),
atau gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga
bertambahnya risiko bunuh diri (suicide). Menurunnya kecerdasan mental dan
intelektual. Anak yang mengalami penganiayaan cenderung mengalami kesulitan
belajar serta skor IQ, nilai pendidikan, dan performa di sekolah yang lebih rendah
dibanding anak yang tidak mengalami penganiayaan (Olson & Defrain, 2006). Hal
ini dapat disebabkan kecemasan dan ketidakamanan yang dirasakan anak, sehingga
sulit baginya berkonsentrasi pada pendidikan. Penemuan lain menunjukkan bahwa
akibat jangka panjang child abuse (secara fisik, seksual, atau menyaksikan
kekerasan) membuat anak memiliki skor kesehatan mental yang lebih rendah
dibanding anak yang tidak mengalami kekerasan (Edwards, Holden, & Felitti, 2003).
Hal ini dapat disebabkan rasa depresi dan putus asa berkepanjangan ketika berada
dalam lingkungan keluarga abusive, menciptakan self-esteem yang rendah sehingga
toleransi terhadap tekanan menjadi rendah dan berdampak negatif terhadap kesehatan
mental anak.
6. Tanda- tanda kemungkinan terjadi penganiayaan
Menurut (Stuart & Laraia, 2005) repon kognitif, pskomotor, sosial, dan
kekerasan fisik yaitu :
a. Kognitif
Tanda kognitif ditemui adanya bingung, tidak dapat memecahkan masalah. Stres
pikiran.
b. Perilaku
Perilaku yang ditampilkan adalah agitasi, bingung, memerintahkan, suara keras,
tidak mampu duduk tengan.
c. Sosial
Tanda sosial dari kekerasan dalah pengasingan, penolakan, bentakan, kekerasan,
ejekan, serta sindiran (Yosep, 2010).
Tanda- tanda kemungkinan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak antara
lain terdapat cedera fisik atau bekas fisik atau bekas cedera fisik seperti : jejak
telapak tangan akibat tamparan, akibat lecutan ikat pinggang, luka bakar akibat
sudutan rokok, patah tulang atau perdarahan pada retina akibat guncangan. Anak
yang mengalami penganiayaan fisik umumnya juga mengalami penganiayaan
emosional. Sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan prilaku dan
kepribadiannya. Anak dapat terlihat menjadi pencemas, depresi rendah diri atau
sebaliknya menjadi agresif atau berperilaku antisosial (Hidayat, 2005).
Anak yang mengalami penganiayaan emosional sering memperlihatkan
gangguan fisik dan intelektual terhambat. Anak dapat menunjukkan bahwa dirinya
telah dianiaya atau menyangkal cerita yang telah diungkapkan sebelumnya. Selain itu
anak memperlihatkan ketakutan yang berlebih terhadap orang tua, tidak lari ke orang
tua untuk meminta dukungan, memperlihatkan tingkah laku agresif, menarik diri
secara ekstrem. Selain itu umumnya mereka juga sulit membaur dengan teman
sebaya (bersosialisasi), terlalu penurut atau pasif, agresif, menderita gangguan tidur,
anak sering terbangun pada malam hari,menghindari kontak mata, sampai prilaku
mencederai diri sendiri (Hidayat, 2005).
7. Resiko Kekekerasan pada anak
a. Berpotensi menjadi pelaku kekerasan.
Orangtua yang menjadi pelaku kasus child abuse banyak yang mengaku
juga mengalami kekerasan pada masa kecilnya. Hal yang dipelajari saat masa
8
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
kecilnya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan berkeluarganya. Penelitian
lain juga menemukan adanya hubungan positif antara pemberian hukuman fisik
pada anak dengan tindak agresif. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang
ditunjukkan pada anak dapat membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kejam
atau keras. Anak yang tumbuh dewasa dalam keadaan demikian akan sangat
rentan menunjukkan sikap kejam pula pada rumah tangga yang dimilikinya
kelak.
b. Menyimpan anger yang mendalam pada pelaku kekerasan.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang abusive terbiasa
melihat orangtuanya mengekspresikan anger dengan cara tertentu, yang akan
mempengaruhi mereka dalam mengekspresikan anger. Tiap dari mereka akan
menyalurkan anger tersebut dalam cara yang berbeda. Engel (2004), yang
pernah disebutkan sebelumnya, mengekspresikan anger pada pelaku yang
melakukan kekerasan padanya dengan tidak sengaja bersikap mirip dengan cara
si pelaku mengekspresikan anger. Berbeda dengan Engel, Carrie, salah seorang
klien Engel yang diceritakan dalam bukunya Honor Your Anger, menunjukkan
amarah pada ayahnya yang sering lepas kontrol dalam mengekspresikan rasa
marah dan menyakiti dirinya membuat ia menghindari rasa marah dengan
sekuat tenaga karena tidak ingin terlihat lepas kontrol seperti ayahnya.
8. Akibat kekerasan pada anak
Menurut Yuwono (dalam wicaksono, 2007). Munculnya kekerasan
menimbulkan efek psikologis yang sangat berat bagi korban. Kondisi emosi dan
kepribadian secara umum mengalami guncangan berat, sehingga muncul kondisi
tidak seimbang. Ketidak seimbangan terjadi karena informasi/ pengalaman yang
diterima tidak sesuai dengan sekema yang dimiliki, misalnya tentang figure ayah
yang mestinya melindungi ternyata yang diterima adalah sebagai sosok yang sering
memukul. Jika skema ini dipertahankan tentu tidak akan membawa kebaikan pada
adaptasinya kelak dengan lingkungan. Akibat yang muncul pada korban kekerasan
adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Tanda dan gejala dalam Evidence Based Models of Reporting
Kekerasan seksual
Permisif terhadap pakaian
Withdrawl
Perilaku menyimpang seksual
Hubungan sebaya lemah
Menjauhi orang dewasa
Berbohong
Menyiksa diri
Problem dengan peraturan
Gangguan makan
Obsesi terhadap kesucian
Prilaku nakal
Menggunakan alcohol dan
narkoba
Upaya bunuh diri
Kekanak-kanakan
Menghindari olah raga
Kekerasan fisik
Agresi ekstrem
Withdrawl ekstrem
Mengalami ketergantungan
Tidak senang dengan kesedihan
orang lain
Berbohong
Konsep diri lemah
Perilaku nakal
Menggunakan alcohol dan
narkoba
Upaya bunuh diri
Problem belajar
Kekerasan emosi
Depresi
Ketergantungan
Tertutup
Tertutup
Agresif
Withdrawl
Apatis dan pasif
Lari dari rumah
Prilaku berbeda dirumah dan
sekolah
Upaya bunuh diri
Harga diri rendah
Sulit menjalin hubungan social
Tidak sabaran
Kurang percya diri
Cita- cita yang tidak realistis
Menurut Yuwono (dalam wicaksono, 2007) Tanda dan gajala tersebut adalah
hasil yang dilaporkan oleh beberapa psikolog yang mengenai korban kekerasan.
9
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Intensitas masing- masing tanda dan gejala bevariasi, namun sebagian besar korban
memiliki tanda dan gejala tersebut.
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Dalam penelitian ini desain yang digunakan adalah desain penelitian diskriptif
yang bertujuan untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara obyektif
dengan pendekatan public opinion survey yaitu survey yang bertujuan untuk
mengetahui pendapat umum tentang sesuatu hal yang dilakukan terhadap
sekumpulan obyek yang biasanya cukup banyak dalam jangka waktu tertentu
(Notoatmodjo, 2010).
Kerangka Kerja
A. Karateristik Orang Tua Dan Keluarga
Para orang tua juga penderita kekerasan
fisik.
Orang tua yang agresif dan impulsive.
Keluarga dengan hanya satu orang tua
(single parent).
Perkawinan yang saling menciderai
pasangan dan perselisihan.
Jumlah anak yang banyak.
Ketergantungan obat, alcohol, atau sakit
jiwa.
Pengetahuan tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak sangat terbatas.
Adanya konflik dengan hokum
Child Abuse
a. Emosinal abuse
(kekerasan emosi)
b. Verbal abuse
c. (kekerasan kata-kata )
d. Psycal abuse
(kekerasan fisik)
e. Sexsual abuse (kekerasan
organ kelamin)
Ekonomi Rendah
B. Karateristik Anak
Anak yang tidak diinginkan
Anak lahir dengan prematur
Anak dengan retardasi mental
Anak dengan kelainan tingkah laku
Anak normal tapi diasuh orang lain
C. Beban Dari Lingkungan
Lingkungan hidup dapat meningkatkan
beban pikiran.
Sumber : Kusumayati (2002), Nataliani, (2004),
(2006).
Keterangan
: Diteliti
: Tidak Diteliti
Gambar 1
Dampak
a.
b.
c.
d.
Fisik
Psikis
Seksual
Penelantaran anak
Wicaksono, (2007),
Kartono,
Kerangka Konseptual Kejadian Kekerasan pada anak (Child
Abuse) di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto .
10
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis Variabel Penelitian.
Variabel adalah suatu karakteristik subjek penelitian yang berubah dari
satu subjek ke subjek lainnya (Hidayat, 2007).Variabel penelitian ini adalah
kekerasan pada anak (child abuse).
b. Definisi Operasional.
Tabel 2. Definisi Operasional Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
ChildAbuse
3.
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Tindakan penganiayaan 1. Child abuse
Nominal
atau perlakuan salah
jika T hitung
pada anak dalam bentuk
> T mean atau
menyakiti,
fisik,
> 50
emosional,
seksual, 2. Tidak Child
melalaikan pengasuhan
abuse jika T
dan eksploitasi untuk
hitung < T
kepentingan komersial
mean atau <
yang
secara
nyata
50
ataupun tidak dapat (Azwar, 2007)
membahayakan
kesehatan,
kelangsungan
hidup,
martabat
dan
perkembangan
anak
(WHO, dalam Lidya
2009).
Alat ukur : checklist
Parameter :
a. Kekerasan
emosional
b. Kekerasan verbal
c. Kekerasan fisik
d. Kekerasan seksual
Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang sekolah di
Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan Mojokert Desa Gayaman Kecatan
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Jumlah populasi adalah 113 orang. Sampel dalam
penelitian ini adalah sebagian ibu yang mempunyai anak sekolah di Pendidikan Anak
Usia Dini Tarbiyatush Shibyan yang dihitung dengan menggunakan rumus menurut
Bisma Mukti (2003) diperoleh sebesar 51 sampel. Teknik atau cara mengambil
sampel penelitian sehingga sampel tersebut sedapat mungkin mewakili populasinya
(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilakukan secara Probability Sampling dengan
tipe Simple Random Sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara
mengambil sampel secara acak dengan menggunakan nomer absen siswa
keseluruhan yang kemudian di acak (Notoatmodjo, 2010). Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini dengan menggunakan metode wawancara pada anak tentang data
khusus yaitu kekerasan yang dialami anak (child abuse) dan metode kuesioner
tertutup pada ibu tentang data umum meliputi (jumlah anak, pekerjaan, pendidikan,
usia serta ekonomi) dimana pada kuesioner tersebut sudah ada jawaban sehingga
11
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
responden tinggal memilih jawaban. Kepada responden yang memenuhi kriteria yang
diteliti diberi surat persetujuan bersedia untuk diteliti dan menandatangani apabila
bersedia diteliti, dan peneliti tidak memaksa bila tidak bersedia untuk diteliti. Bagi
responden yang bersedia diteliti diberi lembar kuesioner dan peneliti menjelaskan
cara pengisiannya. Setelah kuesioner tersebut diisi oleh responden dengan cara
checklist, selanjutnya dilakukan wawancara untuk mengetahui tentang sejauh mana
status ekonomi keluarga dengan kekerasan pada anak (child abuse). Setelah data
terkumpul, maka dilakukan penghitungan data.
4.
Prosedur Pengolahan Data dan Analisa Data.
Teknik Pengolahan Data
1) Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau
setelah data terkumpul (Hidayat, 2007).
2) Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori.(Hidayat, 2007)
1) Data umum
a) Jumlah anak
Jumlah anak 1
: kode 1
Jumlah anak 2
: kode 2
Jumlah anak > 2
: kode 3
b) Status perkawinan
Belum kawin
: kode 1
Kawin
: kode 2
Janda
: kode 3
c) Pendidikan
Tinggi (Perguruan tinggi)
: kode 1
Sedang (SMA, SMP)
: kode 2
Rendah (SD, SMP, TS)
: kode 3
d) Usia Ibu
Remaja (12-25 tahun)
: kode 1
Dewasa (26-45 tahun)
: kode 2
Lansia (46-65 tahun)
: kode 3
(Sumber : Depkes.RI)
e) Status Ekonomi
Tinggi(> 1.800.000,00)
: kode 1
Rendah (< 1.800.000,00)
: kode 2
(Sumber : Susenas, 2004)
f) Status Pekerjaan :
Bekerja
: kode 1
Tidak bekerja
: kode 2
2) Data khusus
a) Child abuse
: kode 1
b) Tidak child abuse
: kode 2
(Sumber : Azwar, 2007).
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
3) Scoring
Bertujuan untuk menentukan dan menghitung score yang diperoleh dari setiap
jawaban responden. Dimana masing – masing jawaban diberi skor atau bobot
yaitu banyaknya skor antara 1-4, dengan rincian :
1) Jawaban tidak pernah : skor 0
2) Jawaban pernah minimal 1 kali : skor 1
3) Jawaban kadang- kadang lebih dari 1 kali : skor 2
4) Jawaban sering hampir setiap hari: skor 3
5) Jawaban amat sering setiap saat selalu terjadi: skor 4
Kemudian dari jawaban responden masing – masing item pertanyaan di hitung
tabulasi. Untuk child abuse dikategorikan menjadi child abuse dan tidak child
abuse (Azwar, 2007).
4) Entry data
Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam
master tabel atau data base komputer kemudian membuat distribusi frekuensi
sederhana atau dengan membuat tabel kontingensi (Hidayat, 2007).
5) Cleaning (Pembersihan Data)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan,
perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan kode, kelengkapan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
6) Tabulating
Tabulating adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam
master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi
sederhana atau dengan membuat tabel kontingensi (Hidayat, 2007).
7) Penyajian Data
Hasil pengolahan data dibuat dalam bentuk presentase kemudian
diinterpretasikan dengan menggunakan skala berdasarkan kriteria pembacaan
tabel menurut Setiadi ( 2007 : 89-90 ) sebagai berikut :
1) Jika nilai penelitian <56
: Sebagian kecil
2) Jika nilai penelitian 56% - 78%
: Rata – rata
3) Jika nilai penelitian 79% - 100% : Sebagian besar
Analisis Data.
Untuk mencari T- skor menggunakan rumus (Azwar, 2008).
X X
T 50 10
S
(Azwar, 2010)
Keterangan:
X = total skor responden yang hendak diubah menjadi skor T
X
X=
= skor rata-rata responden dalam kelompok (mean)
n
S
X
X
2
= standar deviasi skor kelompok
n
n = jumlah responden (Budiarto, 2002).
Skor mean T =
Skor T responden
Jumlah responden
a) Child abuse jika T hitung > T mean atau > 50
b) Tidak child abuse jika T hitung < T mean atau < 50 (Azwar, 2007).
13
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan merupakan PAUD
Islam swasta yang mempunyai izin operasional dari sejak tahun 1990. Terletak di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Pendidikan Anak Usia Dini
Tarbiyatush Shibyan mempunyai luas tanah 623 m2, dengan fasilitas ruang kelas
sebanyak empat kelas dengan kondisi baik, tempat bermain yang menujang, fasilitas
kantin, UKS dan mushola. Jumlah seluruh siswa tahun ajaran 2012/2013 adalah 113
siswa terdiri dari 28 siswa dikelas Playgroup, 42 di PAUD kelas B siswa di PAUD kelas
A 71 siswa. Jumlah siswa laki-laki sebanyak 49 orang dan siswa perempuan sebanyak
64 siswa. Jumlah guru yang mengajar di taman tumbuh kembang anak Tarbiyatush
Shibyan sebanyak lima orang dan satu orang tata usaha. PAUD Tarbiyatush Shibyan
Mojokerto mempunyai batasan wilayah:
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Desa Gebangmalang
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Desa Pacing
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Desa Tambakagung
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Desa Jabon
Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan desa Gayaman Kabupaten
Mojokerto didirikan dengan visi dan misi tertentu yaitu :
Visi : Mencerdaskan generasi Islam yang mempunyai dasar-dasar kecakapan,
keterampilan, cerdas dan berakhlaqul karimah.
Misi :
1) Menanamkan dasar-dasar perilaku budi pekerti dan berakhlak mulia.
2) Menumbuhkan dasar-dasar kemahiran membaca, menulis dan berhitung.
3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berfikir logis,
kritis dan kreatif.
4) Menumbuhkan sikap toleran, tanggung jawab.
5) Kemandirian dan kecakapan emosional.
2. Data Umum.
Pada data ini menggambarkan karakteristik responden berdasarkan jumlah anak, usia
ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu..
a. Karakteristik ibu berdasarkan jumlah anak
Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan jumlah
anak di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto.
Tabel 3 Distribusi frekuensi berdasarkan jumlah anak di PAUD Tarbiyatush
Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013.
No Jumlah Anak
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1
1 Anak
21
41,2
2
2 Anak
20
39,2
3
>2 Anak
10
19,6
Total
51
100
Berdasarkan tabel 3 di atas menunjukkan bahwa hampir setengah dari
responden mempunyai satu anak yaitu sebanyak 21 responden (41,2%)
b. Karakteristik ibu berdasarkan status perkawinan
Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan status
perkawinan di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto.
14
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Tabel 4 Distribusi frekuensi berdasarkan perkawinan ibu di PAUD Tarbiyatush
Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013.
No
Status Perkawinan
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1
Kawin
51
100
2
Belum Kawin
0
0
3
Janda
0
0
Total
51
100
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa seluruh ibu kawin yaitu sebanyak 51 ibu
(100%).
c. Karakteristik ibu berdasarkan usia
Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan usia di
PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Dimana
karakteristik usia menurut Depkes.RI, 2004.
Tabel 5 Distribusi frekuensi berdasarkan usia ibu di PAUD Tarbiyatush
Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013.
No
Usia Ibu
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1
12-25 tahun
26
51,0
2
26-45 tahun
20
39,2
3
46-64 tahun
5
9,8
Total
51
100
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar usia ibu yaitu 12-25 tahun
sebanyak 26 responden (51,0%).
d. Karakteristik ibu berdasarkan pekerjaan
Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan pekerjaan di
PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto.
Tabel 6 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan ibu di PAUD Tarbiyatush
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013.
No Pekerjaan ibu
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1
Bekerja
15
29,4
2
Tidak Bekerja
36
70,6
Total
51
100
Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bekerja yaitu sebanyak
36 responden (70,6%).
e. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan pendidikan di
PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto.
Tabel 7 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan ibu di PAUD Tarbiyatush
Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013.
No
Pendidikan ibu
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1
Tinggi (PT)
6
11,8
2
Sedang (SMA, SMK)
22
43,1
3
Rendah (SD, SMP. TS)
23
45,1
Total
51
100
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan ibu adalah
rendah yaitu sebanyak 23 responden (45,1%).
15
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
3. Data Khusus.
Tabel 8 Distribusi frekuensi kekerasan pada anak (child abuse) di PAUD
Tarbiyatush Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013.
No Kekerasan pada Anak (Child Abuse)
Frekuensi (f) Persentase (%)
1
Child Abuse
27
52,9
2
Tidak Child Abuse
24
47,1
Total
51
100
Berdasarkan tabel 8 di atas bahwa sebagian besar responden mengalami
kekerasan pada anak (child abuse) yaitu sebanyak 27 responden (52,9%).
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 51 responden, (sebanyak 27 responden
52,9%) sebagian besar mengalami kekerasan. Menurut teori bahwa kekerasan adalah
semua bentuk perlakuan salah secara fisik maupun emosional, penganiayaan seksual,
penelantaran, ekploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan
nyata maupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak
maupun terhadap martabatnya dalam kontek hubungan yang bertanggung jawab,
kepercayaan, ampunan kekuasaan (UU Perlindungan Anak, 2003). Bentuk kekerasan
sendiri bermacam-macam, kekerasan emosi, kekerasan kata-kata, kekerasan kekerasan
fisik, kekerasan seksual. Dimana kekerasan tersebut akan berdampak pada fisik, psikis,
seksual, dan penelantaran serta tumbuh kembang anak itu sendiri (Huraerah, 2006).
Berdasarkan fakta dan teori di atas , didapatkan hal yang sama. Kekerasan yang lebih
dominan yang sering dialami oleh anak yaitu dengan dicubit.
Kondisi tersebut sesuai dengan teori status ekonomi dengan kekerasan pada anak
(child abuse). Dimana orang tua yang berstatus ekonomi rendah lebih banyak melakukan
kekerasan pada anak dibandingkan dengan orang tua yang berstatus ekonomi tinggi. Para
pelaku dan korban kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi
rendah, kemiskinan yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena
struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur kekerasan.
Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi
sangat sensitif, mudah marah, (Atmajda, 2005). Masalah ekonomi yang begitu pelik
membuat orang tua bingung harus berbuat apa Faktor ekonomi pun menjadi alasan
utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak. Ini menyebabkan stress pada
orang tua sehingga anak menjadi pelampiasan amarah orang tua (Windi, 2011).
Berdasarkan dari fakta dan teori di atas, didapatkan hal yang sesuai. Dimana status
ekonomi keluarga ada hubungan dengan kekerasan pada anak. Keluarga adalah tempat
pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan
kesalahan. Sayangnya bagi kebanyakan orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu
dikontrol dan dihukum. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Karena
sesungguhnya dalam mendidik anak dengan menggunakan kekerasan bisa membahayakn
fisik jiwa, akal, akhlak dan juga kehidupan sosial anak. Untuk itu pada seluruh keluarga,
saatnya menghentikan budaya kekerasan dalam rumah tangga khususnya kepada anakanak. Mendidik anak dengan menggunakan kekerasan hanya akan menjadikan anak
tumbuh menjadi pribadi yang destruktif, nakal, pemberontak, dan lebih memprihatinkan
lagi bisa membuatnya terbiasa dengan kemunafikan. Menjadi impian dan harapan kita
16
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
bersama, bahwa bangsa yang besar dan memiliki akhlak dan budi pekerti mulia, hanya
akan terwujud jika kita mulai menghilangkan budaya kekerasan.
Hal ini juga di buktikan dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar pendidikan
responden rendah 6 responden (11,8%) karena semakin rendah tingkat pendidikan
seseorang, semakin rendah juga orang tersebut menyelesaikan masalah. pendidikan pada
umumnya merubah pola pikir, pola tingkah laku, serta pola pengambilan keputusan
(Notoadjmojo, 2003). Kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan anak,
menyebabkan orang tua tidak mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak seusianya,
sehingga dapat memperlakukan anak secara salah. Orang tua yang tidak mengetahui cara
yang baik dan benar dalam mengasuh dan mendidik anak, akan cenderung
memperlakukan anak secara salah (Depkes RI, 2003).
Pada penelitian ini juga menunjukkan, bahwa hampir 50% usia ibu ada 12-25
tahun. Usia dapat mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia semakin baik
tingkat kematangan emosi seseorang dan kemampuannya dalam mengahadapi berbagai
masalah persoalan (Keliat, 2005). Selaian itu, seseorang yang mempunyai usia dewasa
lebih mudah mengalami emosi atau berprilaku emosional tetapi ada juga yang
berpendapat sebaliknya. Orang tua dengan usia muda, belum matang untuk mengasuh
anak. Terutama orang tua yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun. Kebanyakan
orang tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan beranggapan bahwa
anak hanya untuk memenuhi kebahagiaan orang tua saja (Keliat, 2005).
Faktor usia, pendidikan, pekerjaan dan kurangnya informasi dari media massa
maupun elektronik inilah membuat pengetahuan dan wawasan ibu kurang tentang
kekerasan pada anak. Mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan
penyuluhan tenaga kesehatan untuk memberikan pengetahuan baik terhadap keluarga dan
masyarakat luas. Akan tetapi dalam penelitian ini kontek usia dan pendidikan pada ibu
tidak diteliti.
F. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di PAUD Tarbiyatush
Shibyan Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada tanggal
20-24 Mei 2013 dapat disimpulkan sebagai berikut: sebagian besar responden
mengalami kekerasan (child abuse).
B. Saran
1. Bagi Orang Tua
Bagi para orang tua sebaiknya tidak melakukan kekerasan pada anak (child
abuse), karena hal tersebut dapat mengganggu perkembangan fisik dan psikis
anak.
2. Bagi Peneliti selanjutnya
Mengidentifikasi tindak kekerasan pada anak dalam kontek besar, serta
memotifasi keluarga tentang pentingnya mendidik anak yang benar
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 2012. (http://www.duniapsikologi.com/bentuk-bentuk-kekerasan-anak-child-abuse/).di
akses tanggal 22 februari 2013
Azwar, MA.(2007).Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Edwards, Holden, & Felitti.2003Michael Noble, David McLennan and Kate Wilkinson.
2009. Local Index of Child Well-Being Summary Report. London: Communities and
Local Government.
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Edwards, Holden, & Felitti,2003. child Abuse and It’s Relationship to Conduct Disorder
psych abuse, (http://priory.com) diakses pada tanggal 03 April 2013
Hidayat. 2005. Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada
Era Otonomi Daerah. Surakarta. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah.
HidayatA. Azis Alimul. 2007.Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta :
Salemba Medika
Huraerah 2006. "Child Sexual Abuse and Revictimization in the Form of Adult Sexual Abuse,
Adult Physical Abuse, and Adult Psychological Maltreatment
Hardiwinoto dalam (Depkes.ri 2012). Pemberdayaan Perempuan dengan Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2000. Penyusunan Indikator Kesetaraan dan
Keadilan Jender. Jakarta
Kusumayati (2002) Perlakuan Salah pada Anak. (http://www.dokter psikolog.com)di akses
tanggal 24 februari 2013
Lianny Solihin, “Tindakan Kekerasan Pada Anak dalam Keluarga”, Jurnal Pendidikan.
Diakses pada tanggal 30 maret 2013
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Medika.
Richard J.Gelles (2004) Dampak C.A Sexual Abuse: A Journal of Research and Treatment
Santoso, 2002) Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2010,
hal. 218 4
Suyanto (Tursilarini, 2005). The Child Development Index Holding Governments to Account
for Children’s Wellbeing. London: The Save the Children Fund.
Suharto, Edi. 2007. “Social Protection For Children in Difficult Situations Lessons from
Indonesia and ASEAN (Perlindungan Sosial bagi Anak dalam Situasi Sulit: Pelajaran dari
Indonesia dan ASEAN)”. To be presented at the International Seminar on Asian Families
in Transition: Challenges For Social Work Intervention, Ciloto, West Java, 17 and 18
December 2007. West Java: Board of Education and Research, Ministry of Social Affairs,
Republic of Indonesia.
Sukamto, 2000. U. S. Departement of Health, Education and Welfare,
Wicaksono,2007. Status Ekonomi Dengan Pemilihan Bahan Makanan. (http://www.denias)
ket yaho mail diakses pada tanggal 10 Maret 2013
18
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
KONDISI RUMAH SEHAT DESA GAYAMAN KECAMATAN MOJOANYAR
KABUPATEN MOJOKERTO
Eka Diah Kartiningrum
Dosen Politeknik Kesehatan Malang
ABSTRACT
House is a very important shelter basically for every people. but it contains of important
meaning as a place to build a healthy and prosperous family life. The data of housing in
Indonesia showed that 75.1% of the houses belonging to the Indonesian population are not
healthy. Therefore, the aim of this study was to determine healthy housing in the Desa
Gayaman Mojoanyar Mojokerto regency. Design of this study was descriptive, the variable is
healthy house. Population in this study were 12 921 houses, and 30 samples were selected
using quota sampling technique. This study had been conducted in Desa Gayaman Kec.
Mojoanyar Kab. Mojokerto on June 5 to 10 June 2013 using check list sheets. The data were
processed with editing, coding, scoring, tabulation and presented in frequency distribution
tables Based on the results of the study showed that most of the respondents had an unhealthy
houses as many as 30 respondents (100%). The components in unhealthy house, sanitation
and residents can cause family status. So the healthy house should facilitate residents
activities in order to dismiss unhealthy factors. The conclusions in this study is the majority of
respondents in Desa Gayaman Kec. Mojoanyar Kab. Mojokerto have an unhealthy house.
Therefore health workers should provide information to the public owning healthy house
category, but they are expected to in the community to seek information about healthy living
more activity and healthy house empowerment.
Keywords: Family, Healthy Housing
A. PENDAHULUAN
Rumah merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi setiap orang karena
sebagai tempat untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya
terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat
dan sejahtera. Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi
seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat
berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor yang
dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007). Kualitas bangunan, pemanfaatan bangunan,
pemeliharaan bangunan faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Mukono,
2008).
Data tentang perumahan di Indonesia bahwa 75.1% rumah penduduk Indonesia
tergolong rumah kurang atau tidak sehat. Tiga provinsi dengan persentase rumah sehat
yang terendah adalah Nusa Tenggara timur (75.1%), Lampung (14,1%) dan Sulawesi
Tengah (16,1%). Persentase rumah tertinggi ternyata bukan di jawa atau di bali melainkan
di propinsi Kalimantan Timur yakni sebesar 43,6%. Keberadaan rumah sebagai tempat
tinggal di wilayah pekotaan di jawa memiliki persentase lebih tunggu yakni 32,5% di
bandingkan pedesaan yaitu sebesar 16,7% (Health advocasy, 2012). Persentase keluarga
yang menghuni rumah sehat merupakan salah satu indikator Indonesia. Sehat 2010 dan
target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015. Target rumah sehat yang akan
dicapai dalam Indonesia Sehat 2010 telah ditentukan sebesar 80% (Depkes RI, 2003).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2007, persentase rumah sehat Indonesia
pada tahun 2007 adalah 50,79%. Jumlah ini masih dibawah target yang ditetapkan untuk
dicapai pada tahun 2007 yaitu 75% (Depkes RI, 2008). Hasil laporan Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa terdapat 15116 (45,12%) rumah penduduk di
Desa Gayaman yang dikategorikan rumah sehat pada tahun 2011.
19
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Rumah Sehat adalah tempat berlindung/bernaung dan tempat untuk beristirahat
sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik,rohani dan sosial.
Perumahan harus menjamin kesehatan penghuninya. Oleh sebab itu, diperlukan syarat
perumahan sebagai berikut: Memenuhi kebutuhan fisiologis, Memenuhi kebutuhan
psikologis. Perlindungan terhadap penularan penyakit. Menurut sastra (2005), salah satu
kendala dalam pembangunan perumahan dan pemukiman yang terjadi di Indonesia antara
lain berupa, kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.
Kondisi ini diperparah lagi dengan kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya
pemeliharaan lingkungan yang bersih bagi kesehatan mereka. Keadaan perumahan di
Indonesia masih jauh dari cukup, dilihat dari jumlah maupun kualitas / perumahan
sebagian besar belum memenuhi persyaratan layak. pencegahan terhadap bahaya
kecelakaan dalam rumah (Mukono, 2008).
Peran tenaga kesehatan untuk mewujudkan terciptanya rumah sehat adalah dengan
memberikan pendidikan melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya hidup
sehat yang dimulai dari lingkungan sendiri dan memberikan informasi pada masyarakat
tentang dampak negatif dan positif dari rumah sehat. Berdasarkan latar belakang diatas
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran rumah sehat di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Rumah Sehat
a. Definisi Rumah Sehat
Menurut Wicaksono dalam undang-undang nomor 4 tahun 1992, rumah adalah
sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari
cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan
tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup
manusia (Tarigan, 2010).
Menurut (Gunawan, 2009) Pembangunan gedung-gedung dan perumahan selain
memerlukan perencanaan ynag memenuhi persyaratan teknis kontruksi, juga harus
memperhatikan persyaratan kesehatan. persyaratan kedua ini secara teknis disebut
higiene bangunan. Tujuannya, agar gedung atau perumahan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan akan kondisi tempat tinggal yang sehat (healthy) dan menyenangkan
(comfortable), yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai rumah sehat.
Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi
seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat
berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor
yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007).
b. Persyaratan Rumah Sehat
Persyaratan rumah sehat menurut Mukono (2008) sebagai berikut:
1) Memenuhi kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu dalam ruangan yang optimal,
pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap kebisingan, ventilasi memenuhi
persyaratan, dan tersedianya ruang yang optimal untuk bermain anak. Suhu
ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18 - 20˚C , suhu tersebut
dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, dan kelembaban udara
ruangan. Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Pada
malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik. Pada waktu pagi
hari diharapkan semua ruangan mendapatkan sinar matahari. Intensitas cahaya
pada suatu ruangan pada jarak 85 cm di atas lantai maka intensitas penerangan
minimal tidak boleh kurang dari 5 foot-candle. Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu
20
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah /
mekanisme harus cukup. Berdasarkan peraturan bangunan nasional, lubang hawa
suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut:
1) Lantai bersih dari jendela / lubang hawa sekurang – kurangnya 1/10 dari luas
lantai ruangan.
2) Jendela / lubang harus meluas ke arah atas sampai setinggi minimal 1,95 m
dari permukaan lantai.
3) Adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit – langit sejurang –
kurangnya 0,35% luas lantai ruang yang bersangkutan.
Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan
jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Berdasarkan Dir. Hiegene dan Sanitasi
Depkes RI (1993) maka kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi
standar (2 orang per m2) dan kepadatan tinggi (lebih 2 orang per 8m2 dengan
ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1 – 10 tahun dihitung
setengah). Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar
oksigen, bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu ruangan naik,
dan kelembaban udara ruangan bertambah. Kecepatan aliran udara penting untuk
mempercepat pembersihan udara ruangan. Kecepatan udara dikatakan sedang jika
gerak udara 5 – 20 cm per detik atau volume pertukaran udara bersihh antara 25 –
30 cfm(cubic feet per minute) untuk setiap orang yang berada di dalam ruangan.
2) Memenuhi Kebutuhan Psikologis
Kebutuhan pskilogis berfungsi untuk menjamin privacy bagi penghuni
perumahan. Perlu adanya kebebasan untuk kehidupan keluarga yang tinggal di
rumah tersebut secara normal. Keadaan rumah dan sekitarnya diatur agar
memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan
rumah tangga dan memungkinkan hubungan yang serasi antara orang tua dan
anak. Adanya ruangan tersendiri bagi remaja dan ruangan untuk berkumpulnya
anggota keluarga serta ruang tamu. Selain itu dibutuhkan kondisi untuk
terpenuhinya sopan santun dalam pergaulan di lingkungan perumahan.
3) Perlindungan terhadap Penularan Penyakit
Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas
pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari adanya
intervensi dari serangga dan hama / hewan lain yang dapat menularkan penyakit.
Agar dalam keadaan tidur tetap sehat diperlukan luas kamar tidur sekitar 5 meter
persegi per kapita per luas lantai.
4) Perlindungan / Pencegahan terhadap Bahaya Kecelakaan dalam Rumah
Agar terhindar dari kecelakaan maka kontruksi rumah harus kuat dan
memenuhi syarat bangunan, desain pencegahan terjadinya kebakaran dan
tersedianya alat pemadam kebakaran, pencegahan kecelakaan jatuh, dan
kecelakaan mekanis lainnya.
Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health
Asociation (APHA), yaitu:
a. Memenuhi kebutuhan dasar fisik
Sebuah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan dasar fisik, seperti:
1) Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara
atau dipertahankan temperatur lingkungan yang penting untuk mencegah
bertambahnya panas atau kehilangan panas secara berlebihan. Sebaiknya
temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari
temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 22°C 30°C sudah cukup segar.
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2) Rumah tersebut harus terjamin pencahayaannya yang dibedakan atas cahaya
matahari (penerangan alamiah) serta penerangan dari nyala api lainnya
(penerangan buatan). Semua penerangan ini harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak terlalu gelap atau tidak menimbulkan rasa silau.
3) Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran
udara segar d7apat terpelihara. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari
luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup) minimum 5% luas lantai sehingga jumlah keduanya menjadi 10%
dari luas lantai Universitas majapahit ruangan. Ini diatur sedemikian rupa agar
udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.
4) Rumah tersebut harus dapat melindungi penghuni dari gangguan bising yang
berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik langsung
maupun dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan yang dapat muncul
antara lain gangguan fisik seperti kerusakan alat pendengaran dan gangguan
mental seperti mudah marah dan apatis.
5) Rumah tersebut harus memiliki luas yang cukup untuk aktivitas dan untuk
anak-anak dapat bermain. Hal ini penting agar anak mempunyai kesempatan
bergerak, bermain dengan leluasa di rumah agar pertumbuhan badannya akan
lebih baik, juga agar anak tidak bermain di rumah tetangganya, di jalan atau
tempat lain yang membahayakan.
b. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis
Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat
terpenuhi
kebutuhan dasar psikologis penghuninya, seperti:
1) Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni
Adanya ruangan khusus untuk istirahat bagi masing-masing penghuni,
seperti kamar tidur untuk ayah dan ibu. Anak-anak berumur di bawah 2 tahun
masih diperbolehkan satu kamar tidur dengan ayah dan ibu. Anak-anak di atas
10 tahun laki-laki dan perempuan tidak boleh dalam satu kamar tidur. Anakanak di atas 17 tahun mempunyai kamar tidur sendiri.
2) Ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dimana
anak-anak sambil makan dapat berdialog langsung dengan orang tuanya.
3) Dalam memilih letak tempat tinggal, sebaiknya di sekitar tetangga yang
memiliki tingkat ekonomi yang relatif sama, sebab bila bertetangga dengan
orang yang lebih kaya atau lebih miskin akan menimbulkan tekanan batin.
4) Dalam meletakkan kursi dan meja di ruangan jangan sampai menghalangi lalu
lintas dalam ruangan
5) W.C. (Water Closet) dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan
terpelihara kebersihannya. Biasanya orang tidak senang atau gelisah bila terasa
ingin buang air besar tapi tidak mempunyai W.C. sendiri karena harus antri di
W.C. orang lain atau harus buang air besar di tempat terbuka seperti sungai
atau kebun.
6) Untuk memperindah pemandangan, perlu ditanami tanaman hias, tanaman
bunga yang kesemuanya diatur, ditata, dan dipelihara secara rapi dan bersih,
sehingga menyenangkan bila dipandang.
c. Melindungi dari penyakit
1) Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi
penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang
membahayakan kesehatan. Dari segi ini, maka rumah yang sehat adalah rumah
yang di dalamnya tersedia air bersih yang cukup dengan sistem perpipaan
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
seperti sambungan atau pipa dijaga jangan sampai sampai bocor sehingga tidak
tercemar oleh air dari tempat lain.
2) Rumah juga harus terbebas dari kehidupan serangga dan tikus, memiliki
tempat pembuangan sampah, pembuangan air limbah serta pembuangan tinja
yang memenuhi syarat kesehatan.
d. Melindungi dari kemungkinan kecelakaan
Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi
penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Termasuk dalam
persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, tangga yang tidak terlalu curam
dan licin, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindung, tidak
menyebabkan keracunan gas bagi penghuni, terlindung dari kecelakaan lalu lintas,
dan lain sebagainya (Azwar, 1990; CDC, 2006; Sanropie, 1989 dalam Tarigan
2010)
2. Parameter dan Indikator Penilaian Rumah Sehat
Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002) dalam Tarigan
2010, lingkup penilaian rumah sehat dilakukan terhadap kelompok komponen rumah,
sarana sanitasi dan perilaku penghuni.
a. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar
tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap
dapur dan pencahayaan.
b. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran,
saluran pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah.
c. Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela kamar tidur, membuka
jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja bayi
dan balita ke jamban, membuang sampah pada tempat sampah.
Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Kepmenkes Nomor 829 / Menkes / SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
a. Bahan bangunan
Syarat bahan bangunan yang diperbolehkan antara lain:
1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan, seperti debu total tidak lebih dari 150 μg/m3, asbes
bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam, dan timah hitam tidak melebihi 300
mg/kg.
2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat memungkinkan tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
b. Komponen dan penataan ruang rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis seperti
berikut:
1) Lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Menurut Sanropie (1989) dalam
Tarigan 2010, lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila
musim hujan akan lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit
terhadap penghuninya. Oleh karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang
kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Untuk
mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira
20 cm dari permukaan tanah.
2) Dinding, dengan pembagian: (i) Untuk di ruang tidur dan ruang keluarga
dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara; (ii) Untuk
di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan.
Berdasarkan Sanropie (1989) dalam Tarigan 2010, fungsi dinding selain
23
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
sebagai pendukung atau penyangga atap, dinding juga berfungsi untuk
melindungi ruangan rumah dari gangguan, serangga, hujan dan angin, juga
melindungi dari pengaruh panas dan angin dari luar. Bahan dinding yang
paling baik adalah bahan yang tahan api, yaitu dinding dari batu.
3) Jumlah penghuni
Tabel 1
Kebutuhuan Minimum Bangunan dan Lahan Untuk Rumah
Sederhana Sehat (Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat,
2002 dalam Adriyani, 2010)
Standar per
Jiwa (m2)
Ambang
Batas
7.2
Indonesia
9.0
Internasional
12.0
Luas (m2) untuk 3 jiwa
Unit
Lahan (L)
Rumah Minimal Efektif Ideal
21.6
60.0
72-90
200
Luas (m2) Untuk 4 Jiwa
Unit
Lahan (L)
Rumah Minimal Efektif Ideal
28.8
60.0
72-90
200
27.0
60.0
72-90
200
36.0
60.0
72-90
200
36.0
60.0
…
…
48.0
60.0
…
…
4) Langit-langit
Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
Bubungan rumah yang memiliki tinggi 10 m atau lebih harus dilengkapi
dengan penangkal petir. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi
sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur,
ruang mandi, dan ruang bermain anak. Banyaknya ruangan di dalam rumah
biasanya tergantung kepada jumlah penghuni. Banyaknya penghuni dalam
suatu rumah akan menuntut jumlah ruangan yang banyak terutama ruang tidur.
Tetapi pada umumnya jumlah ruangan dalam suatu rumah disesuaikan dengan
fungsi ruangan tersebut, seperti:
a) Ruang untuk istirahat/tidur (ruang tidur)
Rumah yang sehat harus mempunyai ruang khusus untuk tidur.
Ruang tidur ini biasanya digunakan sekaligus untuk ruang ganti pakaian,
dan ditempatkan di tempat yang cukup tenang, tidak gaduh, jauh dari
tempat bermain anak-anak. Diusahakan agar ruang tidur mendapat cukup
sinar matahari. Agar terhindar dari penyakit saluran pernafasan, maka luas
ruang tidur minimal 9 m2 untuk setiap orang yang berumur diatas 5 tahun
atau untuk orang dewasa dan 4 ½ m2 untuk anak-anak berumur dibawah 5
tahun. Luas lantai minimal 3 ½ m2 untuk setiap orang, dengan tinggi
langit-langit tidak kurang dari 2 ¾ m.
b) Ruang tamu
Ruang tamu yaitu suatu ruangan khusus untuk menerima tamu,
biasanya diletakkan di bagian depan rumah. Ruang tamu sebaiknya
terpisah dengan ruang duduk yang dapat dibuka/ditutup atau dengan
gorden, sehingga tamu tidak dapat melihat kegiatan orang-orang yang ada
di ruang duduk.
c) Ruang duduk (ruang keluarga)
Ruang duduk harus dilengkapi jendela yang cukup, ventilasi yang
memenuhi syarat, dan cukup mendapat sinar matahari pagi. Ruang duduk
ini sebaiknya lebih luas dari ruang-ruang lainnya seperti ruang tidur atau
ruang tamu karena ruang duduk sering digunakan pula untuk berbagai
kegiatan seperti tempat berbincang-bincang anggota keluarga, tempat
menonoton TV, kadang-kadang digunakan untuk tempat membaca/belajar
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
d)
e)
f)
g)
h)
i)
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
dan bermain anak-anak. Selain itu ruangan ini juga sering digunakan
sekaligus sebagai ruang makan keluarga.
Ruang makan
Ruang makan sebaiknya mempunyai ruangan yang khusus, ruangan
tersendiri, sehingga bila ada anggota keluarga sedang makan tidak akan
terganggu oleh kegiatan anggota keluarga lainnya. Tetapi untuk suatu
rumah yang kecil/sempit, ruang makan ini boleh jadi satu dengan ruang
duduk.
Ruang dapur
Dapur harus mempunyai ruangan tersendiri, karena asap dari hasil
pembakaran dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan. Ruang
dapur harus memiliki ventilasi yang baik agar udara/asap dari dapur dapat
teralirkan keluar (ke udara bebas). Luas dapur minimal 4 m2 dan lebar
minimal 1,5 m. Di dapur harus tersedia alat-alat pengolahan makanan, alatalat memasak, tempat cuci peralatan serta tempat penyimpanannya.
Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kesehatan dan mempunyai
sisitem pembuangan air kotor yang baik, serta mempunyai tempat
pembuangan sampah sementara yang baik / tertutup. Selain itu dapur harus
tersedia tempat penyimpanan bahan makanan atau makanan yang siap
disajikan. Tempat ini harus terhindar dari gangguan serangga (lalat) dan
tikus. Oleh karena itu ruangan harus bebas serangga dan tikus.
Kamar mandi/W.C
Lantai kamar mandi dan jamban harus kedap air dan selalu
terpelihara kebersihannya agar tidak licin. Dinding minimal setinggi 1 ½ m
dari lantai. Setiap kamar mandi dan jamban yang letaknya di dalam rumah,
diusahakan salah satu dindingnya yang berlubang ventilasi harus
berhubungan langsung dengan bagian luar rumah. Bila tidak, ruang/kamar
mandi dan jamban ini harus dilengkapi dengan alat penyedot udara untuk
mengeluarkan udara dari kamar mandi dan jamban tersebut keluar,
sehingga tidak mencemari ruangan lain (bau dari kamar mandi dan W.C.)
Jumlah kamar mandi harus cukup sesuai dengan jumlah penghuni rumah.
Selain itu kebersihannya harus selalu terjaga. Jamban harus berleher angsa
dan 1 jamban tidak boleh dipergunakan untuk lebih dari 7 orang.
Gudang
Gudang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat atau bahanbahan lainnya yang tidak dapat ditampung di ruangan lain, seperti alat-alat
untuk memperbaiki rumah (tangga, dan lain–lain). Ruang dapur harus
dilengkapi sarana pembuangan asap.
Pencahayaan
Pencahayaan dalam ruangan dapat berupa pencahayaan alami dan
atau buatan, yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat menerangi
seluruh ruangan. Intensitas minimal pencahayaan dalam ruangan adalah 60
lux dan tidak menyilaukan. Untuk penerangan didalam rumah (perumahan)
sederhana paling sedikit adalah 200 watt (Machfoedz, 2008)
Kualitas udara
Kualitas udara dalam ruangan tidak boleh melebihi ketentuan sebagai
berikut:
(1) Suhu udara nyaman berkisar 18° sampai 30° C
(2) Kelembapan udara berkisar antara 40% sampai 70%
(3) Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
(4) Pertukaran udara (air exchange rate) = 5 kaki kubik per menit per
penghuni
(5) Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam
(6) Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3
j) Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal
10% dari luas lantai. Menurut Sanropie (1989) dalam Tarigan 2010,
ventilasi sangat penting untuk suatu rumah tinggal. Hal ini karena ventilasi
mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk udara
yang bersih dan segar dari luar ke dalam ruangan dan keluarnya udara
kotor dari dalam keluar (cross ventilation). Dengan adanya ventilasi silang
(cross ventilation) akan terjamin adanya gerak udara yang lancar dalam
ruangan. Fungsi kedua dari ventilasi adalah sebagai lubang masuknya
cahaya dari luar seperti cahaya matahari, sehingga didalam rumah tidak
gelap pada waktu pagi, siang hari maupun sore hari. Oleh karena itu untuk
suatu rumah yang memenuhi syarat kesehatan, ventilasi mutlak harus ada.
Suatu ruangan yang tidak memiliki sistem ventilasi yang baik akan
menimbulkan keadaan yang merugikan kesehatan, antara lain:
(1) Kadar oksigen akan berkurang, padahal manusia tidak mungkin dapat
hidup tanpa oksigen dalam udara.
(2) Kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi manusia, akan
meningkat.
(3) Ruangan akan berbau, disebabkan oleh bau tubuh, pakaian, pernafasan,
dan mulut.
(4) Kelembapan udara dalam ruangan akan meningkat disebabkan oleh
penguapan cairan oleh kulit dan pernafasan (Azwar,1990 dalam
Tarigan 2010). Umumnya dipakai Peraturan Bangunan Nasional
(1968), yakni:
(a) Luas jendela / lubang udara paling sedikit 1 / 10 dari luas lantai
ruangan dan 1 / 2 dari luas jendela atau lubang udara harus dapat
dibuka.
(b) Jendela atau lubang harus meluas kearah atas sampai setinggi
paling sedikit 1,95 meter diatas permukaan lantai.
(c) Diberi lubang hawa atau saluran angin dekat atau pada langit langit,
luasnya paling sedikit 0,35%, dari luas lantai ruangan yang
bersangkutan. Lubang ini berguna untuk mengeluarkan udara panas
didalam ruangan tersebut.
(5) Binatang penular penyakit
Di dalam rumah tidak boleh ada tikus yang bersarang.
k) Air
(1) Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/hari/orang.
(2) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan atau
air minum sesuai perundang-undangan yang berlaku.
(3) Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman.
l) Limbah
Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air,
tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. Limbah
padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap
permukaan tanah, serta air tanah.
26
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
m) Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 9 meter, dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah
umur 5 tahun.
n) Atap
Fungsi atap adalah untuk melindungi isi ruangan rumah dari
gangguan angin, panas dan hujan, juga melindungi isi rumah dari
pencemaran udara seperti: debu, asap, dan lain-lain. Atap yang paling baik
adalah atap dari genteng karena bersifat isolator, sejuk dimusim panas dan
hangat di musim hujan (Sanropie, 1989 dalam Tarigan 2010).
c. Sarana Sanitasi Rumah
Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan
dengan perumahan sehat adalah sebagai berikut:
1) Sarana air bersih dan air minum
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah
dimasak sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.416 / MENKES / PER / IX /
1990 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990). Air minum adalah
air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum dan berasal
dari penyediaan air minum sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 /
MENKES / SK / VII / 2002 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2002).
Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air
bagi penghuni rumah yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Hal yang
perlu diperhatikan dalam pembuatan sarana air bersih antara lain (a) jarak
antara sumber air dengan sumber pengotoran (seperti septik tank, tempat
pembuangan sampah, air limbah) minimal 10 meter, (b) pada sumur gali
sedalam 10 meter dari permukaan tanah dibuat kedap air dengan pembuatan
cincin dan bibir sumur, (c) penampungan air hujan pelindung air, sumur artesis
atau terminal air atau perpipaan/kran atau sumur gali terjaga kebersihannya
dan dipelihara rutin.
Ada 3 syarat utama yang harus dipenuhi agar air layak dikonsumsi
sebagai air minum, antara lain:
a) Syarat fisik air minum
Yaitu air yang tidak berwarna, tidak berbau, jernih dengan suhu
sebaiknya di bawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman.
b) Syarat kimia
Air minum yang baik adalah air yang tidak tercemar secara
berlebihan oleh zat-zat kimia ataupun mineral, terutama yang berbahaya
bagi kesehatan.
c) Syarat bakteriologis
Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme. Sebagai
petunjuk bahwa air telah dicemari oleh faeces manusia adalah adanya
E.coli karena bakteri ini selalu terdapat dalam faeces manusia baik yang
sakit, maupun orang sehat serta relatif lebih sukar dimatikan dengan
pemanasan air (Entjang, 1997) dalam Tarigan 2010.
2) Saluran Pembuangan Air Limbah
Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang tidak bersih dan
mengandung pelbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia,
27
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia. Pada dasarnya
pengolahan air limbah bertujuan untuk:
a) Melindungi kesehatan anggota masyarakat dari ancaman berbagai
penyakit. Ini disebabkan karena limbah sering dipakai sebagai tempat
berkembang-biaknya berbagai macam bibit penyakit.
b) Melindungi timbulnya kerusakan tanaman, terutama jika air limbah
tersebut mengandung zat organik yang membahayakan kelangsungan
hidup.
c) Menyediakan air bersih yang dapat dipakai untuk keperluan hidup seharihari, terutama jika sulit ditemukan air bersih.
3) Jamban/kakus stikes
Kakus atau jamban adalah tempat yang dipakai manusia untuk
melepaskan hajatnya. Adapun syarat-syarat dalam mendirikan kakus atau
jamban menurut Azwar (1990) dalam Tarigan 2010 ialah:
a) Harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindung dari pandangan
dalam orang lain, terlindung dari panas atau hujan, serta terjamin privacynya. Dalam kehidupan sehari-hari, syarat ini dipenuhi dalam bentuk
mengadakan ruangan sendiri untuk kakus di rumah ataupun mendirikan
rumah kakus di pekarangan.
b) Bangunan kakus ditempatkan pada lokasi yang tidak sampai mengganggu
pandangan, tidak menimbulkan bau, serta tidak menjadi tempat hidupnya
perbagai binatang.
c) Bangunan kakus memiliki lantai yang kuat, mempunyai tempat berpijak
yang kuat, syarat ini yang terutama harus dipenuhi jika mendirikan kakus
model cemplung.
d) Mempunyai lobang kloset yang kemudian melalui saluran tertentu
dialirkan pada sumur penampungan atau sumur rembesan.
e) Menyediakan alat pembersih seperti air atau kertas yang cukup, sehingga
dapat segera dipakai setelah membuang kotoran.
Berdasarkan Azwar (1990) dalam Tarigan 2010 jenis-jenis kakus atau
jamban dilihat dari bangunan jamban yang didirikan, tempat penampungan,
pemusnahan kotoran dan penyaluran air kotor, seperti:
a) Kakus cubluk (pit privy), ialah kakus yang tempat penampungan tinjanya
dibangun dekat dibawah tempat injakan atau dibawah bangunan kakus.
Menurut Entjang (1997), kakus ini dibuat dengan menggali lubang ke
dalam tanah dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Lama
pemakaiannya antara 5-15 tahun. Pada kakus ini harus diperhatikan (i)
jangan diberi desinfektan karena mengganggu proses pembusukan
sehingga cubluk cepat penuh, (ii) untuk mencegah bertelurnya nyamuk,
tiap minggu diberi minyak tanah, (iii) agar tidak terlalu bau diberi kapur
barus.
b) Kakus empang (overhung latrine), ialah kakus yang dibangun di atas
empang, sungai atau rawa. Kakus model ini kotorannya tersebar begitu
saja, yang biasanya kotoran tersebut langsung dimakan ikan, atau ada yang
dikumpul memakai saluran khusus yang kemudian diberi pembatas seperti
bambu, kayu dan lain sebagainya yang ditanam melingkar ditengah
empang, sungai atau rawa.
c) Kakus kimia (chemical toilet), kakus model ini biasanya dibangun pada
tempat- tempat rekreasi, pada alat transportasi dan lain sebagainya. Di
tempat ini, tinja didisenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda, dan
28
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
sebagai pembersihnya dipakai kertas (toilet paper). Kakus kimia sifatnya
sementara, oleh karena itu kotoran yang telah terkumpul perlu dibuang
lagi. Ada dua macam kakus kimia, yaitu (i) tipe lemari (commode type)
dan (ii) tipe tanki (tank type).
d) Kakus dengan “angsa trine” ialah, kakus dimana leher lubang kloset
berbentuk lengkungan, dengan demikian akan selalu terisi air yang penting
untuk mencegah bau serta masuknya binatang-binatang kecil. Kakus model
ini biasanya dilengkapi dengan lubang atau sumur penampung/sumur
resapan yang disebut septi tank. Kakus model ini adalah yang terbaik dan
dianjurkan dalam kesehatan lingkungan
4) Tempat Sampah
Usaha yang diperlukan agar sampah tidak membahayakan kesehatan
manusia adalah perlunya dilakukan pengelolaan terhadap sampah, seperti
penyimpanan (storage), pengumpulan (collection), dan pembuangan (disposal).
Tempat sampah tiap-tiap rumah, isinya cukup 1 meter kubik. Tempat sampah
sebaiknya tidak ditempatkan di dalam rumah atau di pojok dapur, karena akan
menjadi gudang makanan bagi tikus-tikus dan rumah menjadi banyak tikusnya.
Tempat sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a)
terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus
mempunyai tutup sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang
lainnya, dan sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup
tanpa mengotori tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya
dilakukan oleh pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa
sehingga karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya (Entjang, 1997).
d. Perilaku penghuni
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah
suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi, perilaku manusia
pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku dan
gejala yang tampak pada organisme tersebut dipengaruhi baik okeh faktor genetik
(keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan faktor genetik dan
lingkungan merupakan penentu dari perilaku mahluk hidup termasuk dari manusia.
Hereditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar atau modal
untuk perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan
faktor lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk
perkembangan perilaku tersebut.
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini
bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003).
1) Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respon ini
dibedakan menjadi 2 (dua):
a) Perilaku tertutup (covert bahavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas
pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi
pada orang yang memerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
29
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
b) Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata
atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam tindakan
atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang
lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek
(practice) misal, seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa
anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku
kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan,
minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.Perilaku pemeliharaan kesehatan
(health maintanance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan
kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
(1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit,
serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
(2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan
sehat. Perlu dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan
relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya
mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
(3) Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya
makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan
seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat
tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman
tersebut.
(4) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan atau disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking
behavior).
(5) Perilaku kesehatan lingkungan.
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan
fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut
tidak mempengaruhi kesehatannya. Misalnya: bagaimana mengelola
pembuangan tinja, air minum, tempat sampah, pembuangan limbah, dan
sebagainya (Tarigan, 2010)
Menurut Adriyani (2010) perilaku yang dinilai dalam rumah sehat
antara lain: membuka jendela kamar tidur, membuka jendela ruang
keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja balita ke
jamban, membuang sampah pada tempat sampah, kebiasaan merokok,
penggunaan obat nyamuk.
2. Faktor dari rumah yang berpengaruh terhadap kesehatan
Faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia adalah
a. Kualitas bangunan rumah meliputi kualitas bahan dan konstruksinya serta denah
rumah
b. Pemanfaatan bangunan rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan,
tetapi apabila peruntukannya tidak sesuai maka akan menganggu kesehatan
c. Pemeliharaan bangunan akan mempengaruhi terjadinya penyakit
30
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
3. Karakteristik Masyarakat yang berpengaruh terhadap kesehatan rumah
Karakteristik individu adalah keseluruhan dari ciri-ciri yang terdapat ada
masyarakat baik cirri individu seperti umur, dan jenis kelamin maupun ciri sosial
seperti pendidikan, pekerjaan, besar keluarga. Karakteristik masyarakat mempunyai
kaitan dengan kepemilikan rumah sehat.
a. Pendidikan
Menurut Azwar (2007) dalam Faisal 2010, mengemukakan bahwa
pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah
suatu pembentukan watak yaitu sikap disertai kemampuan dalam bentuk
kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan. Seperti diketahui bahwa pendidikan
formal yang ada di Indonesia adalah tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat
pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, dan tingkat akademik/perguruan tinggi.
Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik,
sehingga memungkinkan menyerap informasi juga dapat berpikir secara rasional
dalam menanggapi informasi atau setiap masalah yang dihadapi.
Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan
mengembangkan kemampuan manusia Indonesia jasmani dan rohani yang
berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luat sekolah dalam rangka
pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila (Hasibuan, 2005) dalam Faisal 2010.
b. Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan atau pencaharian yang dijadikan
pokok penghidupan seseorang yang dilakukan untuk mendapatkan hasil. Pekerjaan
lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat
keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan juga akan
berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada
pekerjaan tertentu (Notoatmodjo, 2003).
c. Pendapatan
Pendapatan adalah tingkat penghasilan penduduk, semakin tinggi
penghasilan semakin tinggi pula persentase pengeluaran yang dibelanjakan untuk
barang, makanan, juga semakin tinggi penghasilan keluarga semakin baik pula
status gizi masyarakat menurut BPS (2006). Tingkat pendapatan yang baik
memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh yang lebih baik, misalnya di
bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan karir dan sebagainya. Demikian
pula sebaliknya jika pendapatan lemah akan maka hambatan dalam pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keadaan ekonomi atau penghasilan memegang
peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Jenis pekerjaan
orangtua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana
bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan
penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah akan
berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal
pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam
mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo,2004).
d. Perilaku Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah
suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia
pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Menurut
Sarwono (2004), perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
31
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan
respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari
dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif
(disertai tindakan). Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon
organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek
(Notoatmodjo, 2003).
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu
penelitian yang digunakan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang
suatu keadaan secara obyektif. Metode deskripsi digunakan untuk memecahkan atau
menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Notoatmodjo,
2002).
Kerangka Konseptual
Merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang
peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang
dianggap penting untuk masalah ( Hidayat, 2010).
Karakteristik
Masyarakat yang
mempengaruhi
terhadap kesehatan
rumah:
1. Pendidikan
2. Pekerjaan
3. Pendapatan
4. Perilaku
Kesehatan
a. Pengetahuan
b. Sikap
c. Tindakan
/Praktek
Kondisi rumah:
1. Memenuhi kebutuhan dasar fisik
Komponen rumah
1. Memenuhi kebutuhan dasar
psikologis
2. Perlindungan penularan penyakit
a. Sarana sanitasi
b. Perilaku penghuni
3. Perlindungan / Pencegahan
terhadap Bahaya Kecelakaan.
Rumah Sehat
Skor: 1068 - 2000
Rumah tidak Sehat
Skor <1068
Gambar 1 Kerangka Konseptual Kondisi Rumah Sehat Desa Gayaman
Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
2. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
1. Identifikasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah kondisi rumah sehat.
2. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti untuk
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena (Hidayat, 2010).
Tabel 2 Kondisi Rumah Sehat Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto.
Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
Kondisi
Kondisi
permumahan 1. Rumah sehat jika skor Nominal
Rumah
yang ditempati penduduk
1068-2000.
Sakit
yang dinilai berdasarkan 2. Rumah tidak sehat jika
skornya < 1068.
parameter:
(Depkes, 2002)
1. Komponen rumah
2. Sarana sanitasi rumah
3. Perilaku penghuni
Yang
diukur
menggunakan kuesioner
3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
Populasi penelitian adalah rumah tangga di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Mojokerto Sebanyak 12.921 keluarga. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari
rumah tangga yang ada di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Mojokerto sebanyak 30
keluarga. Menurut Sugiono (2010). besar sampel dalam penelitian kesehatan minimal
sebesar 30 responden yang memenuhi kriteria penelitian. Menurut Hidayat (2007) kriteria
sampel terdiri dari inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek
penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagian sampel.
Pertimbangan ilmiah harus menjadi pedoman dalam menentukan kriteria (Nursalam,
2003). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepala keluarga yang bersedia menjadi responden
b. Keluarga yang anggotanya lengkap
c. Keluarga yang bisa baca tulis
Sedangkan kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian tidk dapat
mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. kriteria
eksklusi dalam penelitian ini adalah: keluarga yang masih kontrak, dan keluarga yang
tinggal dengan keluarga inti yang lain.
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik sampling dengan tipe kuota sampling.
Kuota sampling yaitu cara pengambilan sampel dengan menentukan ciri-ciri tertentu
sampai jumlah kuota yang telah ditentukan (Hidayat, 2007).
4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Pada teknik pengumpulan data ini, peneliti terlebih dahulu minta izin ke
Kepala Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Mojokerto untuk pengambilan data
dan penyebaran kuesioner. Peneliti juga menggunakan informed consent yang
diberikan pada responden untuk menjaga kerahasiaan/privasi sampel.
Kuesioner ini disebarkan/diberikan pada sampel yang telah ditentukan,
sebelumnya dijelaskan tentang maksud dan tujuan pertanyaan yang telah dibuat.
Selama pemberian kuisioner peneliti mendampingi responden untuk mengisi
kuesioner.
33
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Instrumen Penelitian
Untuk melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan alat pengumpul
data berupa kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner rumah sehat milik
Depkes RI tahun 2002.
5. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul dari check list yang telah diisi kemudian diolah
dengan tahap sebagai berikut:
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah
data terkumpul (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini dilakukan langkah editing untuk
melihat terjadi kesalahan-kesalahan dari data yang telah dikumpulkan serta adanya
jawaban yang kosong.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan
dana analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat
juga daftar kode (Hidayat, 2007). Pemberian coding pada data demografi atau data
umum adalah untuk kriteria tingkat pendidikan tidak tamat SD diberi kode 1, SD
diberi kode 2, SMP diberi kode 3, SMA diberi kode 4, Sarjana diberi kode 5. Kriteria
jenis pekerjaan tidak bekerja diberi kode 1, wiraswasta diberi kode 2, swasta diberi
kode 3, dan PNS diberi kode 4. Penghasilan diberi kode 1 untuk < Rp. 1700000, diberi
kode 2 untuk penghasilan Rp. 1700000-20000000 dan diberi kode 3 untuk > Rp.
2000000. Diberi kode 1 untuk rumah sehat dan 2 untuk rumah tidak sehat.
3. Scoring
Menurut Arikunto memberi score terhadap item-item yang diberi score, apabila
score benar nilainya 1 dan apabila salah diberi nilai 0 (Arikunto, 2006). Diberi skor 0
untuk jawaban a, 1 untuk jawaban b dan 2 untuk jawaban c, serta 3 untuk jawaban d.
Pada penelitian ini dilakukan scoring untuk menentukan hasil dari kuesioner yang
telah diberikan kepada responden.
Rumus :
Skor= nilaixbobot
Kemudian hasilnya dimasukkan dalam kriteria standar penilaian meliputi :
a. Rumah sehat jika skornya 1068-2000
b. Rumah tidak sehat jika skornya < 1068
(Depkes RI, 2002).
4. Tabulasi
Tabulasi adalah pengelompokan dengan membuat analisis yang dibutuhkan
(Nazir, 2005). Untuk mengetahui pengetahuan dihitung dengan manggunakan tabel
distribusi frekuensi. Menurut Nursalam (2002) persentase dalam tabel distribusi
frekuensi biasanya dikelompokkan menjadi 4, apabila hasil menunjukkan :
a. 0%
: Tidak satupun
b. 1-25%
: Sebagian kecil
c. 26-49% : Kurang dari setengah
d. 50%
: Setengahnya
e. 51-75% : Sebagian besar
f. 76-99% : Hampir seluruhnya
g. 100%
: Seluruhnya
34
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto
Desa Gayaman merupakan bagian dari kecamatan Mojoanyar yang terdiri dari 2
dusun yaitu Dusun Gayaman dan Dusun Tambak Rejo. Dengan luas wilayah 201.635
Ha. Wilayah Desa Gayaman memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut
a. Sebelah Utara
: Desa Gebang Malang Kecamatan Mojoanyar
b. Sebelah Timur
: Desa Pacing Kecamatan Bangsal
c. Sebelah Selatan : Desa Tambak Agung Kecamatan Puri
d. Sebelah Barat
: Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar
Dengan Jumlah penduduk Desa Gayaman pada tahun 2013 yaitu 4822 jiwa.
Yang terdiri dari laki-laki 2424 jiwa dan perempuan 2398 jiwa. Jumlah Kepala
Keluarga (KK) di desa Gayaman adalah 1379 jiwa, jumlah dari pasangan subur (PUS)
sebanyak 876 jiwa dan jumlah dari wanita usia subur (WUS) sebanyak 644 jiwa.
2. Data Umum
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pendidikan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Pendidikan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Tidak Tamat SD
5
16.7
2
SD
3
10
3
SMP
13
43.3
4
SMA
9
30
5
PT / Akademi
0
0
Total
30
100
Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa sebagian kecil responden
berpendidikan SMP yaitu sebanyak 13 responden (43.3%)
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 4
Distribusi frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pekerjaan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Pekerjaan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Tidak Bekerja
9
30
2
Wiraswasta
6
20
3
Swasta
15
50
4
PNS
0
0
Total
30
100
Berdasarkan tabel 4 didapatkan bahwa sebagian kecil responden bekerja
swasta yaitu sebanyak 15 responden (50%)
3. Data Khusus
a. Rumah Sehat
Tabel 5
Distribusi frekuensi Berdasarkan Rumah Sehat di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada
Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Rumah Sehat
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Sehat
0
0
2
Tidak Sehat
30
100
Total
30
100
Berdasarkan tabel 5 didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki
rumah yang tidak sehat yaitu sebanyak 30 responden (100%)
35
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
b. Komponen Rumah Sehat
1) Langit-Langit
Tabel 6
Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Langitlangit di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Langit-langit
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1
Tidak ada
14
56.6
2
Ada (kotor sulit dibersihkan dan
6
20.1
rawan kecelakaan)
3
Ada (bersih dan tidak rawan
10
33.3
kecelakaan)
Total
30
100
Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa sebagian besar rumah tidak ada
langi-langit yaitu sebanyak 14 rumah (56.6)
2) Dinding
Tabel 7
Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Dinding
di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Dinding
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Bukan tembok (terbuat dari
2
18,1
anyaman bambu / ilalang)
2
Semi permanen / setengah
11
3.3
tembok/pasangan bata atau batu
yang tidak di plester papan
tidak kedap air
3
Permanen tembok / pasangan
14
56.6
batu bata yang diplester, papan
kedap air
Total
30
100
Berdasarkan tabel 7 didapatkan bahwa sebagian besar rumah memiliki
dinding permanan tembok / pasangan batu bata yang diplester, papan kedap air
yaitu sebanyak 14 rumah (56.6)
3) Lantai
Tabel 8
Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Lantai
di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Lantai
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tanah
3
10
2
Papan / anyaman bamboo dekat
8
26.6
dengan tanah / plester yang
cetak dan berdebu
3
Diplester / ubin keramik / papan
19
63.4
(rumah panggung)
Total
30
100
Berdasarkan tabel 8 didapatkan bahwa sebagian besar rumah memiliki
lantai diplester / ubin keramik / papan (rumah panggung) yaitu sebanyak 19
rumah (63.4%).
36
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
4) Jendela Kamar Tidur
Tabel 9
Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Jendela
Kamar Tidur di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Jendela Kamar Tidur
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak ada
6
20
2
Ada
24
80
Total
30
100
Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada jendela
kamar tidur yaitu sebanyak 24 rumah (80%).
5) Jendela Ruang Keluarga
Tabel 10 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Jendela
Ruang Keluarga di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Jendela Ruang Keluarga
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak ada
7
23.3
2
Ada
23
76.6
Total
30
100
Berdasarkan tabel 10 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada
jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 23 rumah (76.6%).
6) Ventilasi
Tabel 11 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan
Ventilasi di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Ventilasi
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak ada
2
6.6
2
Ada, luas ventilasi permanen
9
30.1
<10% dari luas lantai
3
Ada, luas ventilasi permanen
19
63.3
>10% dari luas lantai
Total
30
100
Berdasarkan tabel 11 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada
ventilasi, luas ventilasi permanen >10% dari luas lantai yaitu sebanyak 19
rumah (63.3%)
7) Lubang Asap Dapur
Tabel 12
Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Lubang
Asap Dapur di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Lubang Asap Dapur
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak ada
11
36.7
2
Ada, lubang ventilasi dapur >10%
17
56.7
dari luas lantai dapur
3
Ada, lubang ventilasi dapur >10%
2
6.6
dari luas lantai dapur (asap keluar
dengan sempurna) atau ada
exhaust fan / ada peralatan lain
yang sejenis
Total
30
100
37
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Berdasarkan tabel 11 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada,
lubang ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur yaitu sebanyak 17 rumah
(56.7%)
8) Pencahayaan
Tabel 12
Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan
Pencahayaan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar
Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No
Pencahayaan
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak terang (tidak dapat
4
13.4
digunakan untuk membaca)
2
Kurang terang, sehingga kurang
13
43.3
jelas untuk dipergunakan
membaca dnegan normal
3
Terang dan tidak silau sehingga
13
43.3
dapat dipergunakan untuk
membaca dengan normal
Total
30
1000
Berdasarkan tabel 12 didapatkan bahwa kurang dari setengah rumah
memiliki pencahayaan kurang terang, sehingga kurang jelas untuk
dipergunakan membaca dengan normal yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%).
c. Sarana Sanitasi Rumah Sehat
1) Sarana Air Bersih
Tabel 13
Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Sumber Air Bersih di Desa Gayaman
Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal
05-10 Juni 2013
No
Sumber Air Bersih
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak ada
2
6.7
2 Ada, bukan milik sendiri dan tidak
7
23.3
memenuhi syarat
3
Ada, milik sendiri dan tidak
18
60
memenuhi syarat kesehatan
4
Ada, bukan milik sendiri dan
0
0
memenuhi syarat kesehatan
5
Ada, milik sendiri dan memenuhi
3
10
syarat kesehatan
Total
30
100
Berdasarkan tabel 13 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada, milik
sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 18 rumah (60%).
2) Jamban (Pembuangan Kotoran)
Tabel 14
Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Jamban (Pembuangan Kotoran) di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
No Jamban (Pembuangan Kotoran) Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak ada
6
20.1
2
Ada, bukan leher angsa, tidak ada
7
23.3
tutup, disalurkan ke sungai /
kolam
3
Ada, bukan leher angsa ada di
3
10
38
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
No
Jamban (Pembuangan Kotoran) Frekuensi (f) Prosentase (%)
tutup (leher angsa), disalurkan ke
sungai / kolam
4
Ada, bukan leher angsa ada tutup
1
3.3
septic tank
5
Ada, leher angsa, septic tank
13
43.3
Total
30
100
Berdasarkan tabel 14 didapatkan bahwa kurang dari setengah responden
ada, leher angsa, septic tank yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%).
3) Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Tabel 15
Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) di
Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
Sarana Pembuangan Air
No
Frekuensi (f) Prosentase (%)
Limbah (SPAL)
1
Tidak ada, sehingga tergenang
5
16.7
tidak teratur di halaman rumah
2
Ada, diresapkan tetapi mencemari
7
23.3
sumber air (jarak dengan sumber
56.7air 10 m)
3
Ada, dialirkan ke selokan terbuka
17
56.7
4
Ada, di resapkan dan tidak
1
3.3
mencemari sumber air (jarak
dengan sumur air >10 m)
5
Ada, disalurkan ke selokan
0
0
tertutup (saluran kota) untuk
diolah lebih lanjut
Total
30
100
Berdasarkan tabel 15 didapatkan bahwa sebagian besar responden ada
sarana air bersih, dialirkan ke selokan terbuka ada yaitu sebanyak 17 rumah
(56.7%).
4) Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah)
Tabel 16 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah)
di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
Sarana Pembuangan Sampah
No
Frekuensi (f) Prosentase (%)
(Tempat Sampah)
1
Tidak ada
6
20
2
Ada, tapi kedap air dan tidak ada
11
36.7
tutup
3
Ada, kedap air dan tidak bertutup
12
40
4
Ada, kedap air dan bertutup
1
3.3
Total
30
100
Berdasarkan tabel 16 didapatkan bahwa kurang dari setengah rumah ada
sarana pembuangan sampah (tempat sampah) kedap air dan tidak bertutup
yaitu sebanyak 12 rumah (40%).
39
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
5) Membersihkan Halaman Rumah
Tabel 17 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Membersihkan Halaman Rumah di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
Membersihkan Halaman
No
Frekuensi (f) Prosentase (%)
Rumah
1
Tidak pernah
0
0
2
Kadang-kadang
11
36.7
3
Setiap hari
19
63.3
Total
30
100
Berdasarkan tabel 17 didapatkan bahwa sebagian besar rumah setiap hari
membersihkan halaman rumah yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%).
6) Membuang Tinja Bayi Dan Balita Ke Jamban
Tabel 18 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Membuang Tinja Bayi Dan Balita Ke Jamban
di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
Membuang Tinja Bayi dan
No
Frekuensi (f) Prosentase (%)
Balita ke Jamban
1
Dibuang ke sungai kebun / kolam
12
40
/ sembarangan
2
Kadnag-kadang ke jamban
17
56.7
3
Setiap hari ke jamban
1
3.3
Total
30
100
Berdasarkan tabel 18 didapatkan bahwa sebagian besar rumah kadnagkadang membuang tinja bayi dan balita ke jamban yaitu sebanyak 17 rumah
(56.7%).
7) Membuang Sampah Ke Tempat Sampah
Tabel 19
Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat
Berdasarkan Membuang Sampah Ke Tempat Sampah di
Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
Membuang Sampah Ke Tempat
No
Frekuensi (f) Prosentase (%)
Sampah
1
Dibuang ke sungai kebun / kolam
10
33.3
sembarang
2 Kadang-kadang dibuang ke tempat
16
53.3
sampah
3
Setiap hari dibuang ke tempat
4
13.4
sampah
Total
30
100
Berdasarkan tabel 19 didapatkan bahwa sebagian besar rumah kadangkadang membuang sampah ke tempat sampah yaitu sebanyak 16 rumah
(53.3%).
40
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
d. Perilaku Penghuni Rumah Sehat
1) Membuka Jendela Kamar
Tabel 20 Distribusi frekuensi Perilaku Penghuni Rumah Sehat
Berdasarkan Membuka Jendela Kamar di Desa Gayaman
Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal
05-10 Juni 2013
No
Membuka Jendela Kamar
Frekuensi (f) Prosentase (%)
1
Tidak Pernah Dibuka
5
16.7
2
Kadang-kadang
11
36.7
3
Setiap Hari Dibuka
14
46.6
Total
30
100
Berdasarkan tabel 20 didapatkan bahwa kurang dari setengah rumah
setiap hari membuka jendela kamar yaitu sebanyak 14 rumah (46.6%).
2) Membuka Jendela Ruang Keluarga
Tabel 21
Distribusi frekuensi Perilaku Penghuni Rumah Sehat
Berdasarkan Membuka Jendela Ruang Keluarga di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto
Pada Tanggal 05-10 Juni 2013
Membuka Jendela Ruang
No
Frekuensi (f) Prosentase (%)
Keluarga
1
Tidak Pernah Dibuka
6
20
2
Kadang-kadang
19
63.3
3
Setiap Hari Dibuka
5
16.7
Total
30
100
Berdasarkan tabel 21 didapatkan bahwa sebagian besar rumah kadangkadang membuka jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%).
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden memiliki rumah yang
tidak sehat yaitu sebanyak 30 responden (100%). Menurut Wicaksono dalam undangundang nomor 4 tahun 1992, rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia.
Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan
sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi
bagian dari gaya hidup manusia (Tarigan, 2010). Menurut (Gunawan, 2009).
Pembangunan gedung-gedung dan perumahan selain memerlukan perencanaan ynag
memenuhi persyaratan teknis kontruksi, juga harus memperhatikan persyaratan kesehatan.
persyaratan kedua ini secara teknis disebut higiene bangunan. Tujuannya, agar gedung
atau perumahan tersebut dapat memenuhi kebutuhan akan kondisi tempat tinggal yang
sehat (healthy) dan menyenangkan (comfortable), yang dikenal oleh masyarakat umum
sebagai rumah sehat. Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas
bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya
dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor
yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007).
Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar,
menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia,
dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki rumah yang tidak sehat, keluarga yang mempunyai
kriteria rumah yang tidak sehat juga dapat memungkinkan merugikan kesehatan keluarga.
Dimana hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan dan status pekerjaan keluarga.
41
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tidak ada langit-langit
yaitu sebanyak 14 rumah (56.6%). Menurut Sanropie, banyaknya ruangan di dalam rumah
biasanya tergantung kepada jumlah penghuni. Banyaknya penghuni dalam suatu rumah
akan menuntut jumlah ruangan yang banyak terutama ruang tidur (Tarigan, 2010). Hasil
penelitian menunjukkan sebagian besar rumah tidak memiliki langit-langit. Rumah yang
tidak memiliki langit-langit akan sulit untuk dibersihkan dan rawan akan kecelakaan.
Sebagian besar rumah memiliki dinding permanan tembok / pasangan batu bata
yang diplester, papan kedap air yaitu sebanyak 14 rumah (56.6%). Menurut Sanropie,
fungsi dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap, dinding juga berfungsi
untuk melindungi ruangan rumah dari gangguan, serangga, hujan dan angin, juga
melindungi dari pengaruh panas dan angin dari luar. Bahan dinding yang paling baik
adalah bahan yang tahan api, yaitu dinding dari batu (Tarigan 2010). Sebagian besar
rumah memiliki dinding tembok atau pasangan batu bata, dimana rumah dengan dinding
tembok atau pasangan batu bata lebih memiliki peranan untuk melingungi keluarga dari
panas, angin dan hujan serta tidak mudah terbakar.
Sebagian besar rumah memiliki lantai diplester / ubin keramik / papan (rumah
panggung) yaitu sebanyak 19 rumah (63.4%). Menurut Sanropie, lantai yang kedap air
dan mudah dibersihkan. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila
musim hujan akan lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap
penghuninya. Oleh karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti
disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Untuk mencegah masuknya air ke
dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah (Tarigan,
2010). Sebagian besar rumah memiliki lantai ubin / keramik, dimana rumah dengan lantai
yang diplester / ubin dikaremik dapat menghindarkan penghuni rumah dari gangguan
penyakit, selain hal tersebut rumah dengan lantai keramik lebih mudah untuk dibersihkan
dan tidak dapat menyebabkan kelembaban lantai akibat hujan.
Sebagian besar rumah ada jendela kamar tidur yaitu sebanyak 24 rumah (80%).
Kelembapan udara dalam ruangan akan meningkat disebabkan oleh penguapan cairan oleh
kulit dan pernafasan. Umumnya dipakai Peraturan Bangunan Nasional, yakni: Luas
jendela / lubang udara paling sedikit 1 / 10 dari luas lantai ruangan dan 1 / 2 dari luas
jendela atau lubang udara harus dapat dibuka (Tarigan, 2010). Sebagian besar rumah
memiliki jendela pada kamar tidurnya, hal tersebut dapat menghindari penguapan pada
daerah kamar, oleh karena itu diharapkan setiap rumah dapat memberikan jendela pada
daerah kamar tidurnya.
Sebagian besar rumah ada jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 23 rumah (76.6%).
Jendela atau lubang harus meluas kearah atas sampai setinggi paling sedikit 1,95 meter
diatas permukaan lantai (Tarigan, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar rumah memiliki jendela ruang keluarga, jendela merupakan sarana terpenting untuk
ruang keluarga, dimana rumah yang memiliki jendela di ruang keluarga akan cukup
mendapatkan sinar matahari pagi yang sangat mendukung terhadap kesehatan keluarga.
Sebagian besar rumah ada ventilasi, luas ventilasi permanen >10% dari luas lantai
yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%). Menurut Sanropie, ventilasi sangat penting untuk suatu
rumah tinggal. Hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai
lubang masuk udara yang bersih dan segar dari luar ke dalam ruangan dan keluarnya
udara kotor dari dalam keluar (cross ventilation). Dengan adanya ventilasi silang (cross
ventilation) akan terjamin adanya gerak udara yang lancar dalam ruangan. Fungsi kedua
dari ventilasi adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar seperti cahaya matahari,
sehingga didalam rumah tidak gelap pada waktu pagi, siang hari maupun sore hari. Oleh
karena itu untuk suatu rumah yang memenuhi syarat kesehatan, ventilasi mutlak harus ada
(Tarigan, 2010). Ventilasi merupakan hal terpenting untuk setiap rumah dimana rumah
42
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
yang memiliki ventilasi yang cukup akan memiliki udara yang bersih dan segar dari luar
ke dalam ruangan, oleh karena itu setiap rumah diharapkan mempunyai ventilasi yang
cukup untuk pertukaran udara ataupun pemberian cahaya dari luar ke dalam rumah.
Sebagian besar rumah ada, lubang ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur yaitu
sebanyak 17 rumah (56.7%). Menurut Sanropie, lubang hawa atau saluran angin dekat
atau pada langit langit, luasnya paling sedikit 0,35%, dari luas lantai ruangan yang
bersangkutan. Lubang ini berguna untuk mengeluarkan udara panas didalam ruangan
tersebut (Tarigan, 2010). Sebagian besar rumah memiliki lubang ventilasi di daerah dapur,
dimana dapur yang diberikan ventilasi akan dapat mengeluarkan udara panas yang ada di
dalam dapur, atau cukup mendapatkan pertukaran udara segar dari luar.
Kurang dari setengah rumah memiliki pencahayaan kurang terang, sehingga kurang
jelas untuk dipergunakan membaca dengan normal yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%).
Pencahayaan dalam ruangan dapat berupa pencahayaan alami dan atau buatan, yang
secara langsung ataupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan. Intensitas
minimal pencahayaan dalam ruangan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan. Untuk
penerangan didalam rumah (perumahan) sederhana paling sedikit adalah 200 watt
(Machfoedz, 2008). Rumah yang memiliki pencahayaan kurang akan kesulitan bagi
penghuni rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti halnya proses belajar atau
pun membaca. Oleh karena itu diharapkan setiap rumah dapat memberikan pencahayaan
yang cukup untuk mendukung kebutuhan proses belajar atau membaca.
Sebagian besar rumah ada sarana air bersih, milik sendiri dan tidak memenuhi syarat
kesehatan yaitu sebanyak 18 rumah (60%). Air bersih adalah air yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum
apabila telah dimasak sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.416 / MENKES / PER / IX
/ 1990 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990). Air minum adalah air yang
memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum dan berasal dari penyediaan air
minum sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar rumah memiliki sarana air bersih, dimana rumah yang memiliki sarana air
bersih dapat terhindar penyakit, serta dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan hidup
yang digunakan untuk minum ataupun keperluan lainnya.
Kurang dari setengah responden ada, leher angsa, septic tank yaitu sebanyak 13
rumah (43.3%). Menurut Azwar, Kakus atau jamban adalah tempat yang dipakai manusia
untuk melepaskan hajatnya. Adapun syarat-syarat dalam mendirikan kakus atau jamban
yaitu harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindung dari pandangan dalam orang
lain, terlindung dari panas atau hujan, serta terjamin privacy-nya. Dalam kehidupan
sehari-hari, syarat ini dipenuhi dalam bentuk mengadakan ruangan sendiri untuk kakus di
rumah ataupun mendirikan rumah kakus di pekarangan, bangunan kakus ditempatkan
pada lokasi yang tidak sampai mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, serta
tidak menjadi tempat hidupnya perbagai binatang (Tarigan, 2010). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurang dari setengah responden memiliki septic tank, hal tersebut
merupakan salah satu upaya pencegahan penyemaran udara.
Sebagian besar responden ada sarana air bersih, dialirkan ke selokan terbuka ada
yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang
tidak bersih dan mengandung pelbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan
manusia, hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia. Pada dasarnya
pengolahan air limbah bertujuan untuk melindungi kesehatan anggota masyarakat dari
ancaman berbagai penyakit. Ini disebabkan karena limbah sering dipakai sebagai tempat
berkembang-biaknya berbagai macam bibit penyakit (Tarigan, 2010). Sebagian besar
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
rumah membuang air limbah ke selokan, hal tersebut dapat menyebabkan mudahnya
anggota keluarga terserang penyakit pencemaran udara dari dalam selokan.
Kurang dari setengah rumah ada sarana pembuangan sampah (tempat sampah)
kedap air dan tidak bertutup yaitu sebanyak 12 rumah (40%). Menurut Entjang, tempat
sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a) terbuat dari bahan yang mudah
dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup sehingga tidak menarik
serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat dianjurkan agar tutup sampah ini
dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila
pengumpulannya dilakukan oleh pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan
sedemikian rupa sehingga karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya (Tarigan,
2010). Sebagian besar rumah yang memiliki tempat sampah yang kedap air dapat
menyebabkan mudahnya anggota keluarga terserang penyakit DBD akibat penumpukan
sampah yang kedap air.
Sebagian besar rumah setiap hari membersihkan halaman rumah yaitu sebanyak 19
rumah (63.3%). Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas
pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari adanya intervensi
dari serangga dan hama / hewan lain yang dapat menularkan penyakit. Agar dalam
keadaan tidur tetap sehat diperlukan luas kamar tidur sekitar 5 meter persegi per kapita per
luas lantai (Tarigan, 2010). Sebagian besar penghuni rumah setiap hari membersihkan
rumah dengan menyapu halaman maupun di dalam rumah, karena dengan membersihkan
rumah dapat menghindarkan penghuni rumah dari penyakit yang diakibatkan kurangnya
kebersihan rumah.
Sebagian besar rumah kadang-kadang membuang tinja bayi dan balita ke jamban
yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang
tidak bersih dan mengandung berbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan
manusia, hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia (Tarigan, 2010).
Hal tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia karena air yang tidak bersih dan
mengandung berbagai zat. Oleh karena itu diharapkan penghuni rumah dapat membuang
tinja bayi di tempat pembuangan tinja.
Sebagian besar rumah kadang-kadang membuang sampah ke tempat sampah yaitu
sebanyak 16 rumah (53.3%). Usaha yang diperlukan agar sampah tidak membahayakan
kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pengelolaan terhadap sampah, seperti
penyimpanan (storage), pengumpulan (collection), dan pembuangan (disposal). Tempat
sampah tiap-tiap rumah, isinya cukup 1 meter kubik. Tempat sampah sebaiknya tidak
ditempatkan di dalam rumah atau di pojok dapur, karena akan menjadi gudang makanan
bagi tikus-tikus dan rumah menjadi banyak tikusnya (Tarigan, 2010). Hal tersebut
menyebabkan rumah dengan mudah untuk dihuni tikus-tikus karena sampah yang tidak
dibuang ke tempat sampah merupakan salah satu gudang makanan bagi tikus-tikus,
sehingga rumah menjadi sarang tikus.
Kurang dari setengah rumah setiap hari membuka jendela kamar yaitu sebanyak 14
rumah (46.6%). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap
dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang
berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan)
maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar penghuni rumah setiap hari membuka jendela kamar, dimana keluarga
yang memiliki kebiasaan untuk membuka jendela kamar dapat menghindarkan anggota
keluarga terhadap penyakit yang disebabkan karena respirasi udara yang kebiasaan
keluarga merokok dalam rumah.
44
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Sebagian besar rumah kadang-kadang membuka jendela ruang keluarga yaitu
sebanyak 19 rumah (63.3%). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon
ini bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penghuni rumah setiap hari
membuka jendela kamar, dimana keluarga yang memiliki kebiasaan untuk membuka
jendela kamar dapat menghindarkan anggota keluarga terhadap penyakit yang
disebabkan karena respirasi udara yang kebiasaan keluarga merokok dalam rumah
atau obat pembasmi nyamuk dan lain-lain.
F. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Gayaman dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar responden memiliki rumah yang tidak sehat yaitu sebanyak 30
responden (100%).
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat lebih aktif mencari sumber informasi tentang
hidup sehat serta dapat tinggal di rumah sehat dan bisa dilakukan pemberdayaan
rumah sehat.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kinerja tenaga dan
mensosialisasikan tentang pentingnya pemberdayaan rumah sehat.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk menambah kajian pustaka
terkait dengan pemberdayaan rumah sehat.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini khususnya pada
faktor-faktor yang mempengaruhi rumah sehat secara analitik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Adriyani, Retno. (2010). Penilaian Sanitasi Rumah. http://eprints.undip.ac.id/ 18058/1,
diakses pada tanggal 17 Mei 2013 jam 09.45 WIB
BPS, (2006). Karakteristik Masyarakat Yang Berpengaruh Terhadap Kesehatan.
http://lontar.ui.ac.id, diakses pada tanggal 16 Mei 2013 jam 09.15 WIB.
Depkes RI (2002). Profil Kesehatan Indonesiat. Jakarta : Depkes RI
Depkes RI (2003). Profil Kesehatan Indonesiat. Jakarta : Depkes RI
Depkes RI (2008). Profil Kesehatan Indonesiat. Jakarta : Depkes RI
Faisal. (2010). Tesis Pengaruh Karakteristik Masyarakat terhadap Penerapan Rumah Sehat
pada Wilayah Pesisir di Desa Pusong Lama Kota Lhokseumawe. http://lontar.ui.ac.id,
diakses pada tanggal 16 Mei 2013 jam 09.15 WIB.
Gunawan, Rudy (2009). Rencana Rumah Sehat. Yogyakarta : Yayasan Sarana Cipta.
Hidayat, A. Aziz Alimul (2007). Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika
Hindarto, Probo (2007). Inspirasi Desain Rumah Indah. Jakarta : Andi Publisher
45
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Health Advcasy,( 2012). 75,1% Rumah Penduduk di Indonesia Tidak Sehat dalam
http://healthadvocasy1.blogspot.com tanggal 16 april 2012 Disitasi tanggal 16 mei 2013
jam 07.57 WIB
Mukono (2008). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. : Surabaya : Airlangga University
Press.
Machfoedz, Ircham. (2008). Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit Bagian dari
Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Sanitasi Pedesaan & Perkotaan.
Yogyakarta: Fitramaya
Nursalam (2002). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Notoatmodjo (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo (2003). Promosi Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo (2004). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nazir (2005). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Sarwono, Sarlito W. (2003). Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Refika Aditama.
Sastra (2005). Kendala Dalam Pembangunan Perumahan. http://docs.google.
com/viewer?azv&qchace:zqu.moif.bkl:repository.usu.ac.id/bitstrem/123456789, diakses
pada tanggal 16 Mei 2013 jam 07.15 WIB.
Sugiyono (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
Tarigan, Roy A.( 2010). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Kepala Keluarga
dengan Kepemilikan Rumah Sehat di Kabupaten Langkat pdf.
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Pemukiman. Departemen
Kesehatan R.I. Jakarta
WHO, 2004. 7 Kriteria Rumah Sehat. http://sehat.dazzle.co.id/7-kriteria-rumah-sehat/, disitasi
tanggal 16 mei 2013 jam 07.57 WIB
46
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI PADA IBU POST PARTUM DI DESA
SOOKO KECAMATAN SOOKO KABUPATEN
MOJOKERTO
Farida Yuliani
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
In Indonesia showed 95% of children under 5 years old ever got breastfed. However,
only 44% who got breastfed in the first hour after birth and only 62% who got breastfed in
the first days after birth. The purpose of this research was conducted to determine the early
initiation of suckling, in the village of Sooko Mojokerto district of Sooko conducted on May 6
to 6 June 2013. The research used descriptive research. The variables examined is early
initiation of suckling's implementation. The population in this study as many as 14
respondents, how to capture sample using a nonprobability sampling in the form of
saturated/total sampling. The data is then processed with the editting, coding, data entry,
scoring, cleaning, release information, and tabulating. Data is analyzed using fisher's exact
probability test. Results showed that respondents who got family support with implementing
early initiation of suckling as many as 5 respondents (35,8%) and respondents who did not
support the family by not implementing the early initiation of suckling as many as 7
respondents (50%). Breastfeeding mothers need support
informational, emotional,
instrumental, and the assessment of the family in the performance of early initiation of
suckling. Families play a role in determining fluency reflex spending ASI which strongly
influenced by emotional state or feeling of mother. Improvement of services to provide
information and counseling especially in the elderly and the husband in providing motivation,
perception, and attitudes to the mother about the importance of early breastfeeding initiation.
Keywords: early, initiation, suckling.
A. PENDAHULUAN
Kematian bayi salah satunya disebabkan karena bayi mengalami hypothermia
(kedinginan), dengan proses inisiasi menyusu dini diharapkan mampu mencegah bayi
mengalami kedinginan sehingga bisa mengurangi angka kematian bayi. Skin to skin
contact/ sentuhan kulit ibu dan bayi juga memberikan efek psikologis yang kuat antara
ibu dan bayi akan merasa lebih tenang, pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil.
Saat bayi merangkak mencari payudara ibu maka bayi akan menjilat-jilat kulit dada ibu
dan menelan bakteri baik dari kulit ibu. Bakteri baik ini akan berkembangbiak di kulit
dan usus bayi dan bertugas melindungi bayi dari bakteri yang lebih ganas dari
lingkungan. Bayi mendapatkan kolostrum (ASI pertama) yang kaya akan antibodi (zat
kekebalan tubuh), antibodi dalam ASI penting demi ketahanan terhadap infeksi
sehingga menjamin kelangsungan hidup bayi. Sentuhan, dan jilatan bayi pada putting
ibu akan merangsang keluarnya hormon oksitosin di otak, yaitu menyebabkan rahim ibu
berkontraksi sehingga membantu mengeluarkan plasenta dan mengurangi perdarahan,
merangsang hormon lain yang membuat ibu menjadi tenang, rileks, dan mencintai bayi
sehingga membuat lebih kuat menahan sakit/nyeri, serta menimbulkan rasa bahagia,
merangsang pengaliran ASI dari payudara sehingga ASI matang (yang berwarna putih)
dapat lebih cepat keluar (Khasanah, 2011:74-79).
Angka kematian bayi di seluruh dunia saat ini setiap tahunnya mencapai 4 juta
jiwa. Pada data yang dirilis oleh United Nation of Children’s Fund (UNICEF) tahun
47
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2010, di Indonesia tercatat angka kematian bayi masih sangat tinggi yaitu 2% dari
kematian bayi diseluruh dunia dan jumlah bayi yang meninggal adalah 17 tiap 1000
kelahiran hidup (Hidayat, 2012:5). Data di Dinas Kesehatan Jatim mencatat pada tahun
2010 AKB sebesar 28 per 1000 kelahiran hidup (Siska, 2011). Berdasarkan data yang
dilaporkan pada Dinas Kesehatan Kota Mojokerto, kondisi AKB Kota Mojokerto
menunjukkan kenaikan dari 7,7 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 menjadi 11,6
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Meskipun demikian, AKB Kota Mojokerto
tahun 2010 masih lebih rendah jika dibandingkan dengan angka nasional yaitu 25,7 per
1.000 kelahiran hidup dan sudah memenuhi target MDG‟s untuk penurunan AKB
sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Profil Dinkes Mojokerto,
2010:9). Penelitian Sose et al CIBA Foundation menunjukkan bahwa pada usia 6 bulan
dan 1 tahun, bayi yang diberi kesempatan IMD hasilnya 59% dan 38% yang masih
disusui. Bayi yang tidak diberi kesempatan IMD 29% dan 8% yang masih disusui
(Roesli, 2012:6). Di Indonesia menunjukkan 95% anak dibawah umur 5 tahun pernah
mendapat ASI. Namun, hanya 44% yang mendapat ASI 1 jam pertama setelah lahir dan
hanya 62% yang mendapat ASI dalam hari pertama setelah lahir (Hidayat, 2012:5).
Riset Kesehatan Dasar (2010) menyebut, bayi yang mendapat ASI eksklusif
hingga umur 6 bulan baru 15,3 persen. Inisiasi menyusui dini yang dilakukan kurang
dari 1 jam setelah bayi lahir hanya 29,3 persen. Menyusui dini kurang dari 1 jam lebih
banyak dilakukan ibu di pedesaan dengan tingkat ekonomi rendah. Bahkan, 11,1 persen
ibu baru menyusui setelah bayi berumur lebih dari 48 jam (Ivanitha, 2012). Studi
Pendahuluan yang di lakukan tanggal 26 Februari 2013 di Desa Sooko Kecamatan
Sooko Kabupaten Mojokerto yang mendapat dukungan keluarga 3 orang dan yang tidak
mendapat dukungan 7 orang, sedangkan yang melakukan inisiasi menyusu dini 3 orang
dan yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini 7 orang.
Menyusui dini pada bayi akan mengakibatkan proses lekat (early infant-mother
bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perkembangan psikologis bayi selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu
merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi sehingga bayi akan merasa
aman dan terlindung. Menyusui dini merupakan dasar terbentuknya rasa percaya diri pada
anak, sedangkan ibu akan merasa bangga dan percaya diri karena dapat menyusui dan
merawat bayinya sendiri. Kegagalan menyusui sering disebabkan karena tidak menyusui
dini pada satu jam pertama kelahiran. Bidan maupun perawat sebagai tenaga medis
terdepan di tengah masyarakat dapat meningkatkan usaha preventif dan promotif
payudara dengan jalan mengajarkan pemeliharaan payudara, cara memberikan ASI yang
benar, memberikan ASI jangan pilih kasih kiri dan kanan harus sama perlakuannya dan
diberikan sampai payudara kempes. Beberapa faktor penyebab yang diduga
mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu bayi yang kurang, sikap dan
dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta tenaga kesehatan yang
kurang menyampaikan mengenai pentingnya IMD setelah dilakukan persalinan baik
secara langsung (penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang poster dan
membagikan leaflet), karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat
pelayanan ibu bersalin, rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan,
perawat dan dokter (Ryan, 2012). Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengkaji tentang
pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada ibu post partum di Desa Sooko Kecamatan
Sooko Kabupaten Mojokerto.
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Inisiasi Menyusu Dini
a. Pengertian
Inisiasi menyusu dini adalah permulaan yang awal bayi yang baru keluar dari
rahim ibunya, kemudian merangkak di dada sang ibu dengan susah payah untuk
mencari air susu dari putting ibu (Khasanah, 2011:70). Inisiasi menyusu dini
(early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu
sendiri segera setelah lahir (Roesli, 2012:3).
b. Tahap-Tahap dalam Inisiasi Menyusu Dini
1) Dalam proses melahirkan, ibu disarankan untuk mengurangi atau tidak
menggunakan obat kimiawi. Jika ia menggunakan obat kimiawi terlalu
banyak dikhawatirkan akan mencemari ASI kepada bayi yang akan
menyusu dalam proses inisiasi menyusu dini.
2) Para petugas kesehatan yang membantu ibu dalam menjalani proses
melahirkan akan melakukan kegiatan penanganan kelahiran seperti
biasanya. Begitupula jika ia harus menjalani operasi Caesar.
3) Setelah lahir, bayi tidak perlu dimandikan dan ditimbang terlebih dahulu.
Bayi secepatnya dikeringkan seperlunya, terutama kepala kecuali
tangannya tanpa menghilangkan vernix (kulit putih) pada mulut dan hidung
bayi dibersihkan, karena vernix membuat nyaman kulit bayi, serta tali pusat
diikat.
4) Kemudian, bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu dengan kulit bayi
melekat pada kulitnya, dan mata bayi setinggi puting payudara. Jika perlu
bayi dan ibu diselimuti.
5) Bayi yang ditengkurapkan di dada atau perut ibu dibiarkan untuk mencari
sendiri puting payudara ibunya. Bayi tidak dipaksakan untuk mendapatkan
putting payudara karena pada dasarnya, bayi memiliki naluri yang kuat
untuk mencari puting payudaranya.
6) Saat bayi dibiarkan untuk mencari puting payudara ibunya, ibu perlu
didukung dan dibantu untuk mengenali perilaku bayi sebelum menyusu.
Posisi ibu yang berbaring mungkin tidak dapat mengamati dengan jelas apa
saja yang dilakukan oleh bayi. Oleh karena itu, sebaiknya di tambahkan
bantal yang cukup tinggi di bagian kepala ibu.
7) Bayi dibiarkan tetap dalam posisi kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu
selama paling tidak 1 jam, bila menyusu awal terjadi sebelum 1 jam dan
tetap biarkan kulit ibu dan bayi bersentuhan sampai setidaknya 1 jam. Jika
dalam 1 jam menyusu awal belum terjadi, bantu ibu dengan mendekatkan
bayi ke puting, tetapi jangan memasukkan puting ke mulut bayi. Beri
waktu 30 menit atau 1 jam lagi kepada bayi untuk mencari puting payudara
ibunya.
8) Setelah selesai menyusu awal, bayi baru dipisahkan untuk dimandikan,
ditimbang, diukur, diberi vitamin K, dan tetes mata.
9) Ibu dan bayi tetap bersama dan dirawat gabung. Rawat gabung
memungkinkan ibu menyusui bayinya kapan saja si bayi menginginkannya
karena kegiatan menyusu tidak boleh dijadwal. Rawat gabung juga akan
meningkatkan ikatan batin antara ibu dan bayinya sehingga bayi jarang
menangis karena selalu dekat dengan ibunya. Selain itu, rawat gabung juga
dapat memudahkan ibu untuk beristirahat dan menyusui.
(Khasanah, 2011:70-72)
49
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
c. Manfaat Inisiasi Menyusu Dini
1) Bagi Ibu
a) Hentakkan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di putting
susu dan sekitarnya, emutan, dan jilatan bayi pada putting ibu
merangsang pengeluaran hormon oksitosin. Pentingnya hormon
oksitosin, yaitu : Membantu rahim berkontraksi sehingga membantu
pengeluaran ari-ari (plasenta) dan mengurangi perdarahan ibu.
Merangsang produksi hormon lain yang membuat ibu menjadi lebih
rileks, lebih mencintai bayinya, meningkatkan ambang nyeri, dan
perasaan sangat bahagia. Merangsang pengaliran ASI dari payudara.
b) Bonding (ikatan kasih sayang) antara ibu dan bayi akan lebih baik
karena pada 1-2 jam pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu,
biasanya bayi tidur dalam waktu yang lama.
c) Ibu dan ayah akan merasa sangat bahagia bertemu dengan bayinya
untuk pertama kali dalam kondisi seperti ini. Bahkan, ayah mendapat
kesempatan mengadzankan anaknya di dada ibunya.
d) Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernafasan dan detak jantung bayi
lebih stabil.
2) Bagi Bayi
a) Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak
mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan
(hypothermia).
b) Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari
kulit ibunya dan ia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri baik di
kulit ibu. Bakteri baik ini akan berkembang biak membentuk koloni di
kulit dan usus bayi, menyaingi bakteri jahat dari lingkungan.
c) Makanan awal non-ASI mengandung zat putih telor yang bukan berasal
dari susu manusia, misalnya susu hewan. Hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal.
d) Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusui
eksklusif dan akan lebih lama disusui.
e) Bayi mendapatkan ASI dari kolostrum (ASI yang pertama kali keluar).
Kolostrum ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, penting untuk
ketahanan terhadap infeksi, penting untuk pertumbuhan usus, bahkan
kelangsungan hidup bayi. Kolostrum akan membuat lapisan yang
melindungi dinding usus bayi yang masih belum matang sekaligus
untuk mematangkan dinding usus bayi.
(Roesli, 2012:13-14)
d. Persiapan Melakukan Inisiasi Menyusu Dini
1) Pertemuan pimpinan rumah sakit, dokter kebidanan, dokter anak, dokter
anatesi, bidan, tenaga kesehatan yang bertugas di kamar bersalin, kamar
operasi, kamar perawatan ibu melahirkan untuk menyosialisasikan Rumah
Sakit Sayang Bayi yang direvisi 2006.
2) Melatih tenaga kesehatan terkait yang dapat menolong, mendukung ibu
menyusui, termasuk menolong inisiasi menyusu dini yang benar.
3) Setidaknya antenatal (ibu hamil), dua kali pertemuan tenaga kesehatan
bersama orang tua, membahas keuntungan ASI dan menyusui, tatalaksana
menyusui yang benar, inisiasi menyusu dini termasuk inisiasi dini pada
kelahiran dengan obat-obatan atau tindakan.
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
4) Di Rumah Sakit Ibu Sayang Bayi, inisiasi menyusu dini termasuk langkah
ke-4 dari 10 langkah keberhasilan menyusui.
(Roesli, 2012:15-16)
e. Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini
1) Tatalaksana inisiasi menyusu dini secara umum
a) Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan.
b) Disarankan untuk tidak atau mengurangi penggunaan obat kimiawi saat
persalinan. Dapat diganti dengan cara non-kimiawi, misalnya pijat,
aromaterapi, gerakan, atau hypnobirthing.
c) Biarkan ibu menentukan cara melahirkan yang diinginkan, misalnya
melahirkan normal, di dalam air, atau dengan jongkok.
d) Seluruh badan dan kepala bayi di keringkan secepatnya, kecuali kedua
tangannya. Lemak putih (vernix) yang menyamankan kulit bayi
sebaiknya dibiarkan.
e) Bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu. Biarkan kulit bayi melekat
dengan kulit ibu. Posisi kontak kulit dengan kulit ini dipertahankan
minimum satu jam atau setelah menyusu awal selesai, keduanya
diselimuti dan jika perlu gunakan topi.
f) Bayi dibiarkan mencari puting susu ibu. Ibu dapat merangsang bayi
dengan sentuhan lembut, tetapi tidak memaksakan bayi ke puting susu.
g) Ayah didukung agar membantu ibu untuk mengenali tanda-tanda atau
prilaku bayi sebelum menyusu.
h) Dianjurkan untuk memberi kesempatan kontak kulit dengan kulit pada
ibu yang melahirkan dengan tindakan, misalnya operasi Caesar.
i) Bayi dipisahkan dari ibu untuk ditimbang, diukur, dan dicap setelah satu
jam atau setelah menyusu awal selesai. Prosedur invasive, misalnya
suntikan vitamin K dan tetesan mata bayi dapat ditunda.
j) Rawat Gabung (ibu dan bayi dirawat dalam satu kamar). Selama 24 jam
ibu dan bayi tetap tidak dipisahkan dan bayi selalu dalam jangkauan ibu.
2) Tatalaksana inisiasi menyusu dini pada operasi Caesar
a) Tenaga dan pelayanan kesehatan yang suportif.
b) Jika mungkin, diusahakan suhu ruangan 20°-25° C. Disediakan selimut
untuk menutupi punggung bayi dan badan ibu. Disiapkan juga topi bayi
untuk mengurangi hilangnya panas dari kepala bayi.
c) Jika inisiasi dini belum terjadi di kamar bersalin, kamar operasi, atau bayi
harus dipindah sebelum satu jam maka bayi tetap diletakkan di dada ibu
ketika dipindahkan kekamar perawatan atau pemulihan. Menyusu dini
dilanjutkan di kamar perawatan ibu atau kamar pulih.
(Roesli, 2012:22)
f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inisiasi Menyusu Dini
Faktor penyebab yang diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah
pengetahuan ibu bayi yang kurang, sikap dan dukungan dari keluarga terhadap
pelaksanaan tersebut serta tenaga kesehatan yang kurang menyampaikan
mengenai pentingnya IMD setelah dilakukan persalinan baik secara langsung
(penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang poster dan membagikan leaflet),
karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin,
rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan dokter
(Ryan, 2012).
51
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu
penelitian yang digunakan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang
suatu keadaan secara obyektif. Metode deskripsi digunakan untuk memecahkan atau
menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Notoatmodjo,
2002).
2. Kerangka Konseptual.
Faktor–faktor yang
mempengaruhi
inisiasi
menyusu
dini:
1. Pengetahuan ibu
2. Sikap keluarga
3. Dukungan
keluarga
4. Tenaga
kesehatan
5. Tempat
pelayanan
Jenis Dukungan
Keluarga :
Ibu Post Partum
1. Dukungan
instrumental
2. Dukungan
informasional
3. Dukungan
penilaian
4. Dukungan
emosional
Pelaksanaan
Inisiasi
Menyusu
Dini
Ya
Tidak
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 1
Kerangka Konseptual Inisiasi Menyusu Dini Pada ibu post partum
di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto.
3. Variabel, Definisi Operasional
Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen (bebas)
serta variabel dependen (terkait).
Tabel 1 Definisi Operasional Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum di
Desa Sooko Kecamatan SookoKabupaten Mojokerto
Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
Pelaksanaan
Inisiasi menyusu dini 1) Melakukan: jika dalam 30 Nominal
inisiasi
(early initiation) atau
menit-1 jam
menyusu dini permulaan menyusu 2) Tidak melakukan: jika > 1
pada ibu post dini adalah bayi
jam
partum
mulai
menyusu (Khasanah, 2011:72)
sendiri segera setelah
lahir.
Alat ukur lembar
observasi.
4. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu post partum di Desa Sooko
Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto sebanyak 42 responden yang didapat dari
bulan November 2012-Januari 2013 dan rata-rata tiap bulannya sebanyak 14
52
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
responden. Jumlah sampel sebanyak 14 responden. Sampling merupakan suatu proses
seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga
jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2010:81).
Dalam penelitian ini cara pengambilan sampel menggunakan non probability sampling
dalam bentuk sampling jenuh/total sampling yaitu pengambilan sampel dengan
mengambil semua anggota populasi menjadi sampel.
5. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
questionaire. Instrumen pengukuran variabel pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada
ibu post partum menggunakan lembar observasi.
6. Teknik Pengolahan Data
Data kemudian diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut :
a. Editing
Adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para
pengumpul data.
b. Coding
Adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden
kedalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi
tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban.
1) Data umum
a) Kode umur ibu
1 = Kurang dari 20 tahun
2 = 20 – 35 tahun
3 = Lebih dari 35 tahun
b) Kode pendidikan ibu
1 = SD
2 = SMP
3 = SMA
4 = Akademi/PT
c) Kode pekerjaan ibu
1 = Bekerja
2 = Tidak bekerja
d) Kode paritas
1 = Primipara
2 = Multipara
2) Data khusus
a) Kode dukungan keluarga
1 = Mendukung
0 = Tidak mendukung
b) Kode pelaksanaan inisiasi menyusu dini
1 = Ya
0 = Tidak
c. Scoring
Yakni mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode atau kartu
kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.
d. Entry Data
Adalah jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian
dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Memasukkan
53
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
data boleh dengan cara manual atau melalui pengolahan komputer (program
SPSS for windows).
e. Cleaning
Pembersihan data, lihat variabel apakah data sudah benar atau belum.
f. Mengeluarkan informasi
Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan.
g. Tabulating
Memasukkan data kedalam tabel-tabel dan mengatur angka-angka
sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori (Nursalam, 2008).
Menurut Setiadi (2007:89-90) dalam membaca bab kesimpulan atau tabel
menggunakan skala sebagai berikut :
79% - 100%, maka dikatakan baik (sebagian besar)
56% - 78%, maka dikatakan cukup (rata-rata)
< 56%, maka dikatakan kurang (sebagian kecil)
Pada variabel pelaksanaan inisiasi menyusu dini yang dinilai yaitu,
definisi, manfaat dan tatalaksana inisiasi menyusu dini dengan menggunakan alat
ukur questionare. Jumlah nilai yang diperoleh subjek dimasukkan dalam rumus:
p=
X 100 %
Keterangan :
p
: presentase (%)
n
: jumlah skor maximal
f
: jumlah jawaban yang benar
(Setiadi, 2007:80)
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Desa Sooko
Desa Sooko merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Sooko Kabupaten
Mojokerto dengan ketinggian geografi tepat dari permukaan laut 35 mdl, curah hujan
rata-rata per tahun 1100 mm/thn dengan suhu rata-rata 370 C. Batas Desa Sooko antara
lain sebelah utara dibatasi dengan Desa Jampirogo, sebelah selatan dibatasi dengan
Desa Blimbing Sari, sebelah barat dibatasi dengan Desa Kedung Maling, dan sebelah
Timur dibatasi dengan Desa Puri. Jumlah penduduk sebanyak 18.328 jiwa yang terdiri
dari laki-laki sebanyak 33.112 orang dan perempuan sebanyak 32.585 orang dengan
jumlah KK sebanyak 2913 KK. Sarana kesehatan yang dimiliki antara lain 3 buah
poliklinik atau BPS, 14 buah posyandu dan 5 dokter praktek. Berdasarkan data yang
diperoleh dari data sekunder mulai dari November 2012-Januari 2013 jumlah ibu
hamil di Desa Sooko sebanyak 22 ibu hamil, 14 ibu nifas dan 35 balita.
2. Data Hasil Penelitian
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Responden
Tabel 2
No.
1.
2.
3.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Responden
Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto Pada
Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013.
Usia
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
< 20 tahun
1
7,1
20-35 tahun
12
85,8
>35 tahun
1
7,1
Jumlah
14
100
54
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa sebagian besar responden
berumur 20-35 tahun sebanyak 12 responden (85,8%).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Responden
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan
Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013.
No.
Pendidikan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
SD
0
0
2.
SMP
2
14,3
3.
SMA
9
64,3
4.
Akademi / PT
3
21,4
Jumlah
14
100
Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa rata-rata responden berpendidikan
SMA sebanyak 9 responden (64,3%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden
Tabel 4
No.
1.
2.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013.
Pekerjaan
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
Bekerja
Tidak bekerja
8
6
57,1
42,9
Jumlah
14
100
Berdasarkan tabel 4 didapatkan bahwa rata-rata dari responden yang
bekerja sebanyak 8 responden (57,1%).
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas Responden
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas
Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten
Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013.
No.
Paritas
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Primipara
5
35,7
2.
Multipara
9
64,3
Jumlah
14
100
Berdasarkan tabel 5 didapatkan bahwa rata-rata dari responden dengan
paritas multipara sebanyak 9 responden (64,3%).
e. Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini
Tabel 6
No.
1.
2.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelaksanaan
Inisiasi Menyusu Dini Di Desa Sooko Kecamatan Sooko
Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013.
Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini
Frekuensi (f) Prosentase (%)
Ya
6
42,9
Tidak
8
57,1
Jumlah
14
100
55
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa rata-rata responden yang tidak
melaksanakan inisiasi menyusu dini sebanyak 8 responden (57,1%).
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menjelaskan bahwa rata-rata responden yang tidak melakukan
inisiasi menyusu dini di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto
sebanyak 8 responden (57,1%). Menyusui dini merupakan dasar terbentuknya rasa
percaya diri pada anak, sedangkan ibu akan merasa bangga dan percaya diri karena dapat
menyusui dan merawat bayinya sendiri. Kegagalan menyusui sering disebabkan karena
tidak menyusui dini pada satu jam pertama kelahiran. Beberapa faktor penyebab yang
diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu bayi yang kurang,
sikap dan dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta tenaga
kesehatan yang kurang menyampaikan mengenai pentingnya IMD, karena berhasil
atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit, sangat
tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan dokter (Ryan, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak melakukan
inisiasi menyusu dini karena responden tidak melakukan inisiasi menyusu dini karena
kolostrum basi dan merasa takut bayinya akan kedinginan. Gencarnya promosi susu
formula dengan berbagai merk dan keunggulan sehingga ibu bisa memilih susu yang
terbaik buat bayinya karena ibu menginginkan bayinya tumbuh dengan sehat dan
gemuk. Ibu yang merasa risih karena badannya terkena darah dan cairan ketuban
sehingga ibu tidak melakukan inisiasi menyusu dini. Keberadaan keluarga di dalam
ruang bersalin sebagian besar karena ingin memberikan dukungan emosional kepada
ibu atau karena mereka ingin ada secara fisik sehingga dapat memberikan
persetujuannya sewaktu-waktu jika pada saat persalinan diperlukan tindakan lebih
jauh oleh penolong persalinan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bahwa responden tidak
dapat mendapat dukungan dari keluarga, baik seara informasional maupun emosional
salah satunya, yaitu keluarga yang tidak pernah menceritakan pengalaman inisiasi
menyusu dininya pada ibu, serta tidak adanya dukungan dalam hal perhatian dan
simpati dari keluarganya saat melakukan inisiasi menyusu dini disebabkan karena
keluarga responden masih percaya dengan mitos-mitos yang beredar seperti bayi
akan kedinginan, ibu akan kelelahan setelah proses melahirkan, ibu harus dijahit,
bayi kurang siaga dan kolostrum tidak baik. Suami yang lebih menyarankan untuk
memberikan susu formula karena takut kurang dan tidak kenyang jika ASI saja yang
diberikan pada bayinya.
Sebagian besar responden berumur 20-35 tahun sebanyak 12 responden
(85,8%). Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik (Subagio,
2012). Sebagian besar ibu tergolong usia reproduktif pada usia ini ibu bisa
menentukan dan mengambil keputusan yang terbaik terhadap dirinya, tetapi ibu
cenderung untuk tidak melakukan inisiasi menyusu dini dikarenakan ibu
mempercayai bahwa orang yang lebih dewasa memiliki pengalaman yang banyak,
misalnya mereka menganggap kalau kolostrum itu basi dan harus dibuang. Ibu yang
terlalu sibuk mengurusi keperluan persiapan bayi dan persalinannya sehingga ibu
kurang berpikir panjang dan matang dalam mengambil keputusan untuk melakukan
inisiasi menyusu dini. Ibu menganggap bahwa air susunya tidak akan keluar dengan
lancar karena usianya yang sudah tergolong tua.
56
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Rata-rata responden berpendidikan SMA sebanyak 9 responden (64,3%).
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin
mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka
seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain
maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak
pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan (Subagio, 2012). Ibu yang
berpendidikan tinggi lebih menyadari keuntungan pelaksanaan inisiasi menyusu dini
dan termotivasi memiliki kesempatan untuk mendapat informasi tentang pelaksanaan
inisiasi menyusu dini lebih banyak dari keluarganya baik dari suami, orang tua,
maupun kerabat dekat sehingga lebih memudahkan untuk melakukan inisiasi
menyusu dini. Promosi susu formula menyebabkan ibu tersebut tidak melakukan
inisiasi menyusu dini karena ibu menganggap susu formula memiliki zat gizi yang
lebih baik, selain itu ibu menginginkan yang terbaik buat anaknya.
Rata-rata dari responden yang bekerja sebanyak 8 responden (57,1%). Menurut
Thomas dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah kebutuhan yang harus
dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari
nafkah yang menbosankan, berulang dan banyak tantangan, sedangkan bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Wawan, Dewi 2011:17).
Ibu yang tidak bekerja akan memiliki waktu lebih banyak untuk mendapat
informasi inisiasi menyusu dini karena ibu sering berkomunikasi dengan
keluarganya. Ibu yang tidak bekerja cenderung kurang mendapat informasi inisiasi
menyusu dini karena ibu memiliki keterbatasan waktu, dan lebih efisien bila
diberikan PASI sebab ibu menganggap tidak perlu repot-repot untuk memompa air
susunya dan ibu bisa lebih fokus dengan pekerjaannya. Ibu merasa mempunyai uang
sendiri dari hasil bekerjanya sehingga ibu bisa membeli susu yang terbaik buat
anaknya supaya bisa tumbuh dan berkembang dengan sehat seperti yang ibu
inginkan.
Rata-rata dari responden dengan paritas mulitipara sebanyak 9 responden
(64,3%). Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin hidup, bukan
jumlah janin yang dilahirkan. Janin yang lahir hidup atau mati setelah viabilitas
(kapasitas untuk hidup di luar uterus) dicapai, tidak mempengaruhi paritas (Bobak,
2005:104). Rata-rata dari responden dengan paritas multipara yang tidak melakukan
inisiasi menyusu dini dikarenakan dari pengalaman inisiasi menyusu dini ibu
sebelumnya yang tidak
berhasil, tidak adanya kebiasaan menyusui dalam
keluarganya, tenaga medis yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini karena bayi
tidak bisa menangis sehingga harus diberikan rangsangan taktil, dan suami lebih
menganjurkan memberikan PASI. Puting susu ibu yang tidak menonjol dan ASI yang
tidak keluar dengan lancar karena ibu menganggap terlalu sering menyusui pada anak
sebelumnya.
F. PENUTUP
A. Simpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten
Mojokerto yang dilaksanakan tanggal 6 Mei-6 Juni 2013 pada 14 responden dapat
disimpulkan bahwa Rata-rata responden yang tidak melaksanakan inisiasi menyusu
dini di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto adalah sebanyak 8
responden (57,1%).
57
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
B. Saran
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan agar lebih mengembangkan lagi penelitian ini dengan meneliti
faktor-faktor lain yang berhubungan, misalnya sikap, pengetahuan, dukungan tenaga
kesehatan dan tempat pelayanan dengan inisiasi menyusu dini agar hasil penelitian
bisa lebih baik lagi.
2. Bagi Teoritis
a. Bagi Institusi (Pendidikan)
Diharapkan dapat lebih mengembangkan materi tentang inisiasi menyusu
dini dengan cara mengadakan seminar di kampus agar mahasiswa dapat
memperoleh informasi yang lebih tentang inisiasi menyusu dini atau menambah
literatur kepustakaan yang dilengkapi dengan stimulasi/tata cara inisiasi
menyusu dini sehingga lebih mudah untuk dipelajari oleh mahasiswa.
b. Bagi Keilmuan (Responden)
Diharapkan pada responden agar lebih meningkatkan informasi yang
diterima dari penyuluhan maupun diskusi dengan tenaga kesehatan sehingga
responden bisa mengaplikasikan pada dirinya sendiri.
3. Bagi Praktisi
a. Bagi Institusi (Tempat Penelitian)
Diharapkan pada tempat penelitian untuk melakukan pelayanannya sesuai
dengan protap, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan inisiasi menyusu
dini pada ibu post partum.
b. Bagi Keilmuan (Tenaga kesehatan)
Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan terutama pada pemberian
informasi dan konseling dengan cara penyuluhan dan membagikan
brosur/leaflet, khususnya tentang dukungan keluarga dengan pelaksanaan inisiasi
menyusu dini.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC.
Dewi, Wawan, 2011. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia.
Yogyakarta: Nuha Medika.
DinKes Mojokerto, 2010. Profil Kesehatan Kota Mojokerto.
(http://profildinkesmojokerto2010.com di akses tanggal 15 Februari 2013).
Fajar, Ibnu, dkk, 2009. Statistika untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ginting, 2012. “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Optimisme Pada Penderita
Kanker Serviks”. (http://repository.upi.edu di akses tanggal 1 Maret 2013).
Hidayat, 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Hidayat, 2012. “Perbandingan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Berdasar Tingkat
Pengetahuan Ibu Hamil”. Jurnal Media Medika Muda.Universitas Diponegoro
Semarang.
Inayati, 2009. Inisiasi Menyusu Dini. (http://innanoorinayati.blogspot.com di akses tanggal
23 April 2013).
Ivanitha, 2012. Pentingnya ASI Eksklusif. (http://ivanitha-kesehatan.blogspot.com di akses
tanggal 15 Februari 2013).
JNPK-KR, 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta: JNPK-KR.
Khasanah, 2011. ASI atau Susu Formula Ya?. Yogyakarta: FlashBooks.
Maritalia Dewi, 2012. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
58
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Muhlisin, 2012. Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Notoadmodjo, 2010. Metode Penelitian Kesehatan . Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Ilmu Keperawatan . Jakarta: Salemba Medhika.
Rahayu, 2012. Dukungan Keluarga dalam Menurunkan Kecemasan Pasien Pra Pemasangan
Water-Sealed. (http://repository.library.uksw.edu, di akses tanggal 5 Juli 2013).
Roesli, 2012. Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda.
Ryan, 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Inisiasi Menyusu Dini pada
Ibu Post Partum . (http://ryan75800‟sProfileonPing.sg, di akses tanggal 15 Februari
2013).
Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan . Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setiadi, 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siska, 2011. Dinkes Jatim Akomodir Bidan Praktik Swasta untuk Jampersal.
(http://mediabidan.com di akses tanggal 15 Februari 2013).
Subagio, 2012. Konsep Dasar Dukungan Keluarga. (http://adivancha.blogspot.com di akses
tanggal 22 Februari 2013).
Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sulistyawati, 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas, Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Sunarsih, Dewi, 2011. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
Wulandari, 2013. Pentingnya IMD. (http://pentingnyaimd.blogspot.com, di akses Tanggal 30
Januari 2013).
.
59
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
PENGARUH PENDIDIKAN, PARITAS, PENGETAHUAN, PERSEPSI TERHADAP
SIKAP MENYUSUI PADA IBU BEKERJA DI INSTANSI PEMERINTAH
(STUDI DI SKPD PROPINSI JAWA TIMUR)
Maria Ratnawati
Mahasiswa Program Magister Prodi IKM FKM Unair
ABSTRACT
One of the determinant discontinued of exclusive breastfeeding practices is working
mother. Factors of working mothers are initiation, workplace factor and social support. The
study analyzed determinant of exclusive breastfeeding practice among working mothers such
as mother’s behavior; facilities and workplace factors; and social supports.This cross
sectional study collected using self-administered questionnaires by respondents. The number
of samples was 56 working mothers who have 6-24 month children. The result was analyzed
using logistic regression. Results showed that knowledge affect attitude; parity affect
subjective norm, but none of them significantly affecting self efficacy. self-efficacy affect
initiation. Result of multivariate analysis determined exclusive breastfeeding among working
mothers were employee and co-worker support, maternity leave, and chances given to breast
pump. The East Java Government was recommended to implementation of the government
role such as allow mother flexible time to express breast milk, supporting lactation room in
the workplace and a refrigerator and giving maternity leave until 3 month after postpartum.
Keyword : exclusive breastfeeding, working mother, workplace factor
A. PENDAHULUAN
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi anak usia dini (usia 0-24 bulan).
World Health Organization (2002) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif atau hanya
ASI saja sesaat setelah lahir sampai bayi usia 6 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan
pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan tetap melanjutkan pemberian ASI sampai
2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan (Depkes, 2012). Manfaat ASI sudah diakui
secara luas penting bagi anak, ibu dan masyarakat. Serangkaian penelitian yang telah
dilakukan di Negara maju telah menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak disusui minimal 6
bulan akan mengalami lebih dari 3,5 kali resiko dirawat di Rumah Sakit karena infeksi
pernafasan seperti pneumonia atau asma, resiko terserang diare 2 kali, resiko terserang infeksi
telinga 1,6 kali dan 1,5 kali akan mengalami obesitas saat anak-anak (Li, 2008).
Cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat kecil, hasil Riskesdas
Tahun 2010 persentase menyusui eksklusif di Indonesia semakin menurun berdasarkan
tingkatan usia bayi, pada usia 0 bulan 39,8% dan pada usia 5 bulan menurun menjadi 15,3%.
Hal itu dikarenakan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini dan pemberian
susu formula, sedangkan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur lebih tinggi dari cakupan ASI
eksklusif di Indonesia, namun masih jauh dari target Pemberian ASI eksklusif Depkes RI
sebesar 80%. Angka cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur mulai Tahun 2008 (44,52%) turun
menjadi 30,72% pada tahun 2009 dan 31,21% pada tahun 2010. (Depkes, 2010; Dinkes Prov
Jatim, 2010)
Banyak penelitian tentang faktor kegagalan pemberian ASI eksklusif, diantaranya
penelitian oleh Hikmawati (2008) bahwa probabilitas ibu melahirkan yang gagal memberikan
ASI sebesar 80% apabila ibu tersebut bekerja. Beberapa faktor penyebab kegagalan
pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja adalah tidak adanya pusat informasi program ASI
eksklusif dan manajemen laktasi yang benar, terlalu gencarnya promosi susu formula dan
60
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
pendeknya sistem cuti bersalin yang hanya 3 bulan yang diberlakukan dengan sistem 1,5
bulan diambil sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, kurangnya dukungan tempat kerja,
pendeknya waktu istirahat saat bekerja (tidak cukup waktu memerah ASI), tidak adanya
ruangan untuk memerah ASI, pertentangan keinginan ibu antara mempertahankan prestasi
kerja dan produksi ASI (Roesli, 2000; Wilar, 2010).
Kegagalan pemberian ASI eksklusif selain disebabkan oleh faktor pekerjaan juga bisa
disebabkan karena faktor individu ibu. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of
Planned Behavior yang dikemukakan Ajzen (1991) dalam Montano & Kasprzyk (2008)
mengasumsikan bahwa determinan langsung yang paling penting dari perilaku adalah niat.
TRA dan TPB menganggap sebab akibat yang menghubungkan niat perilaku adalah sikap,
norma subyektif dan kontrol yang dirasakan. Menurut The World Alliance for Breastfeeding
Action (WABA) (2013), untuk keberhasilan menyusui seorang ibu perlu dukungan dari
berbagai pihak, yaitu dari keluarga, teman, masyarakat dan pemerintah. Adanya dukungan
dari berbagai pihak tersebut diharapkan dapat mengurangi berbagai tantangan yang dihadapi
ibu menyusui, seperti mengatasi kurangnya informasi dan yang paling penting adalah
mengatasi keraguan atas kemampuan menyusui bayinya. Penelitian tentang ibu bekerja dan
menyusui telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Salah satunya
penelitian dari Kimboro (2006) menyebutkan bahwa ibu yang memutuskan kembali bekerja
setelah melahirkan akan mengurangi inisiasi untuk menyusui, waktu berhenti menyusui
bertepatan dengan waktu kembali bekerja. Penelitian Ogbuanu (2011) menyatakan bahwa ada
hubungan yang positif antara waktu kembali bekerja dengan insiasi menyusui pada ibu
bekerja. Ibu yang kembali bekerja setelah 13 minggu pasca melahirkan mempunyai
kemungkinan menyusui predominan lebih dari 3 bulan. Beberapa ibu yang bekerja dan
memiliki bayi dihadapkan pada konflik antara kerja dan peran keluarga. Kerangka teoritis
klasik Greenhaus dan Beutell‟s dalam Arno (2010) menyatakan tiga jenis konflik utama
pekerjaan-keluarga. Jenis pertama yaitu konflik berbasis waktu, dimana seorang ibu yang
bekerja terlalu banyak mencurahkan waktunya untuk tugas pekerjaannya sehingga mengambil
waktu sebagai tugasnya di dalam keluarga. Jenis kedua yaitu konflik yang terjadi karena
ketegangan, kegelisahan atau kelelahan sehingga ibu sulit untuk memenuhi tuntutan dari
kedua domain. Jenis ketiga yaitu konflik berbasis perilaku, hal ini terjadi ketika perilaku yang
dikembangkan dalam satu domain tidak sesuai dengan tuntan perannya sehingga ibu tidak
dapat menyesuaikan perilakunya saat bergerak di kedua domain.
Hasil penelitian Amin et al. (2011) bahwa tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas
menyusui yang tidak adekuat merupakan faktor resiko terjadinya kegagalan menyusui pada
ibu bekerja. Pojok laktasi sangat penting keberadaannya untuk suksesnya pemberian ASI. Di
SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dengan berbagai macam bidang pekerjaan,
kebijakan dan fasilitas yang berbeda-beda, ada yang sudah mendukung program ASI eksklusif
dan ada juga yang belum. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang
Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui pada Ibu
Bekerja Di Instansi Pemerintah.
B. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air Susu Ibu (ASI)
2.1.1 Pengertian
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI adalah cairan sekresi kelenjar
payudara ibu. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang diberikan hingga usia 4-6
bulan. Selain dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, ASI juga memiliki sejumlah keunggulan
yakni memiliki zat kekebalan untuk melindungi tubuh dari bahaya penyakit, infeksi dan
higienis. Cow’s milk best for calves, mother’s milk is best for babies. Bahwa ASI merupakan
susu terbaik untuk bayi manusia. Keuntungan dari pemberian ASI yaitu :
61
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
1)
2)
3)
4)
steril, aman dari pencemaran
selalu tersedia dengan suhu optimal
produksi disesuaikan dengan kebutuhan bayi
mengandung antibodi yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh kuman atau
virus
5) bahaya alergi tidak ada (Suraatmaja, 2012).
2.1.2. Manfaat ASI
Ada 4 manfaat pemberian ASI, di antaranya:
1) Manfaat bagi bayi
(1) Sebagai nutrisi
Setiap mamalia secara alamiah dipersiapkan untuk memproduksi air susu khusus untuk
makanan bayinya. Nutrisi ASI mengandung komposisi nutrien (zat gizi) yang sangat
tepat dan ideal untuk tumbuh kembang anak. (Roesli, 2007; Hendarto&Pringgadini,
2008)
(2) Meningkatkan daya tahan tubuh bayi
Zat kekebalan yang terdapat pada ASI akan melindungi bayi dari penyakit diare.
Karena bayi yang mendapat ASI eksklusif saluran cernanya didominasi oleh
Bifidobacteria. ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi
telinga, pilek dan penyakit alergi. Bayi dengan ASI eksklusif ternyata jarang sakit
dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. (Roesli, 2007;
Hegar&Sahetapy, 2008)
(3) Meningkatkan kecerdasan
Kecerdasan anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan tidak ada faktor penentu mutlak
kecerdasan anak di kemudian hari. Namun ASI merupakan sumber utama asam lemak
esensial terutama AA dan DHA yang sangat diperlukan dalam perkembangan otak.
Pada tahun 1999 analisis dari 11 penelitian menunjukkan bahwa bayi yang menyusu
mempunyai IQ 3,2 poin lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat susu formula
(Pusponegoro&Handryastuti, 2008)
(4) Meningkatkan jalinan kasih sayang
Bayi yang mendapatkan ASI dari ibunya akan sering merasakan sentuhan, kata-kata
dan tatapan kasih sayang dari ibunya, serta mendapatkan kehangatan yang penting
untuk tumbuh kembangnya (Soetjiningsih, 1995)
2) Manfaat bagi ibu
(1) Mengurangi perdarahan setelah melahirkan
Apabila bayi disusui segera setelah dilahirkan maka kemungkinan terjadinya
perdarahan setelah melahirkan akan berkurang. Hal ini terjadi karena peningkatan
kadar oxytocin yang berguna untuk penutupan pembuluh darah sehingga perdarahan
akan lebih cepat berhenti. Hal ini akan menurunkan angka kematian ibu melahirkan
(Soetjiningsih, 1995).
(2) Menjarangkan kehamilan
Menyusui merupakan cara kontrasepsi yang aman karena hormon prolaktin akan
mencegah terjadinya ovulasi sehingga menjarangkan kehamilan (Soetjiningsih, 1995).
(3) Mengecilkan rahim
Kadar oxytocin ibu menyusui yang meningkat akan sangat membantu rahim ke ukuran
sebelum hamil. Proses pengecilan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui.
(4) Lebih cepat langsing kembali
62
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Oleh karena menyusui memerlukan energi, maka tubuh akan mengambilnya dari lemak
yang tertimbun selama hamil. Dengan demikian berat badan ibu akan menyusut atau
lebih cepat kembali ke berat badan sebelum hamil.
(5) Mengurangi kemungkinan menderita kanker
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menyusui akan melindungi ibu dari penyakit
kanker payudara. Pada umumnya bila semua wanita dapat melanjutkan menyusui
sampai bayi usia 2 tahun, diduga kejadian kanker payudara akan berkurang sampai
25%. Menyusui juga akan melindungi ibu dari penyakit kanker indung telur. Risiko
terkena kanker indung telur pada ibu yang menyusui berkurang sampai 20-25%.
(6) Lebih ekonomis/murah
Pemberian ASI akan menghemat pengeluaran untuk berobat bayi, pengeluaran untuk
susu formula, perlengkapan bayi, dan biaya perawatan bayi selama di rumah sakit.
(7) Tidak merepotkan dan hemat waktu
ASI dapat segera diberikan pada bayi tanpa harus memasak atau menyiapkan air, tanpa
harus mencuci botol dan tanpa menunggu agar susu tidak terlalu panas, tidak
merepotkan terutama pada malam hari. Apalagi kalau persediaan susu habis pada
malam hari maka kita akan repot mencarinya.
(8) Portable/praktis
Mudah dibawa kemana-mana (portable) sehingga saat berpergian tidak perlu
membawa berbagai alat untuk minum susu formula. ASI terutama ASI eksklusif dapat
diberikan di mana saja dan kapan saja dalam keadaan siap untuk diminum serta dalam
suhu yang selalu tepat.
(9) Memberi kepuasan bagi ibu
Ibu yang berhasil memberikan ASI terutama ASI eksklusif akan merasakan kepuasan,
kebanggaan dan kebahagiaan yang mendalam.
3) Manfaat bagi Negara
(1) Penghematan devisa untuk pembelian susu formula, perlengkapan menyusui, serta
biaya untuk menyiapkan susu.
(2) Penghematan untuk biaya sakit terutama sakit diare dan sakit saluran nafas
(3) Penghematan obat-obatan, tenaga dan sarana kesehatan.
(4) Menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berkualitas untuk membangun bangsa.
(5) Langkah awal untuk mengurangi bahkan menghindari kemungkinan terjadinya generasi
yang hilang khususnya bagi Indonesia.
4) Manfaat bagi lingkungan
Air susu akan mengurangi bertambahnya sampah dan polusi di dunia. Dengan hanya
memberikan ASI eksklusif dan dilanjutkan dengan ASI sampai usia 2 tahun manusia tidak
akan memerlukan kaleng susu, karton, kertas pembungkus, botol plastik dan dot karet. Air
susu tidak menambah polusi udara karena untuk membuatnya tidak memerlukan pabrik
yang mengeluarkan asap, tidak memerlukan alat transportasi yang juga mengeluarkan asap,
juga tidak menebang hutan untuk membangun pabrik susu yang besar.
2.1.3 ASI Eksklusif
ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi
sejak lahir sampai usia 6 bulan (Depkes RI, 2003). Pada tahun 2002 World Health
Organization menyatakan bahwa ASI eksklusif selama 6 bulan pertama hidup bayi adalah
yang terbaik. Dengan demikian ketentuan sebelumnya (bahwa ASI eksklusif itu cukup 4
bulan) sudah tidak berlaku lagi. Menyusui eksklusif adalah memberikan hanya ASI segera
setelah lahir sampai bayi berusia 6 bulan dan memberikan kolostrum (Depkes RI,2005).
Mengapa eksklusif sampai usia 6 bulan, karena pemberian makanan padat/tambahan
yang terlalu dini akan mengganggu kesehatan usus bayi Bayi pada saat berumur 6 bulan
63
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
sistem pencernaanya mulai matur. Jaringan pada usus halus bayi pada umumnya seperti
saringan pasir. Pori-porinya berongga sehingga memungkinkan bentuk protein ataupun
kuman akan langsung masuk dalam system peredaran darah dan dapat menimbulkan alergi.
Pori-pori dalam usus bayi ini akan tertutup rapat setelah bayi berumur 6 bulan. Dengan
demikian, usus bayi setelah berumur 6 bulan mampu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah komposisi ASI masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi apabila ASI
diberikan secara tepat dan benar sampai bayi berumur 6 bulan. menolak faktor alergi ataupun
kuman yang masuk ((Roesli, 2000; Purwanti, 2002).
2.1.4 Pola Pemberian ASI
Menyusui dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu menyusui eksklusif, menyusui
predominan, dan menyusui parsial sesuai definisi World Health Organization (WHO)
1. Menyusui eksklusif adalah tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk air
putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah
juga diperbolehkan).
2. Menyusui predominan adalah menyusui bayi tetapi pernah, memberikan sedikit air atau
minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI
keluar.
3. Menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik
susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur enam bulan, baik
diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal.
2.2 Menyusui bagi Ibu bekerja
Menyusui merupakan hak setiap ibu, termasuk ibu bekerja. Dalam Konvensi Organisasi
Pekerja Internasional tercantum bahwa cuti melahirkan sampai 14 minggu dan penyediaan
sarana pendukung ibu menyusui di tempat kerja wajib diadakan. Undang-undang No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan cuti melahirkan selama 1,5 bulan sebelum
dan 1,5 bulan setelah melahirkan dan memberikan kesempatan sepatutnya untuk menyusui
anaknya jika dilakukan sewaktu kerja (UU RI, 2003; Wilar, 2010).
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan bahwa 57% tenaga
kerja di Indonesia adalah wanita. Faktor-faktor yang menghambat keberhasilan menyusui
pada ibu bekerja adalah pendeknya waktu cuti kerja, kurangnya dukungan tempat kerja,
pendeknya waktu istirahat saat bekerja (tidak cukup waktu memerah ASI), tidak adanya
ruangan untuk memerah ASI, pertentangan keinginan ibu antara mempertahankan prestasi
kerja dan produksi ASI (Wilar, 2010)
Bagi ibu yang bekerja, keputusan untuk kembali bekerja dan keputusan untuk menyusui
saling berhubungan satu sama lain. Ibu yang bekerja full-time pasca melahirkan lebih rendah
keinginan untuk menyusui, dibanding dengan ibu yang tidak bekerja maupun ibu yang bekerja
paruh waktu. Ibu yang memutuskan kembali bekerja setelah melahirkan akan mengurangi
inisiasi untuk menyusui, waktu berhenti menyusui bertepatan dengan waktu kembali bekerja,
ibu yang bekerja sebagai professional dan ibu rumah tangga (IRT) akan menyusui anaknya
lebih lama dan ibu yang bekerja di bagian administrasi lebih cepat berhenti menyusui
daripada yang lain (Kimbro, 2006).
Data dari Ross Laboratories Mother Survey di Amerika Serikat tahun 2002 menyebutkan
bahwa 69% ibu bekerja penuh (full time), 72,9% ibu bekerja paruh waktu (part-time) dan 69
% ibu tidak bekerja pernah melakukan inisiasi menyusui. namun saat bayi usia 5-6 bulan,
hanya 27,1% ibu bekerja penuh, 36,8% dari ibu bekerja paruh waktu dan 35,2% ibu tidak
bekerja yang masih menyusui anaknya. Tingginya tingkat pendidikan ibu, lama bekerja
kurang dari 20 jam sehari, adanya dukungan keluarga, adanya dukungan perusahaan dalam
hal penyediaan tempat penitipan anak di tempat kerja, ruangan khusus untuk memerah ASI,
64
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
adanya waktu istirahat yang cukup untuk memerah ASI serta ibu lebih sering menyusui saat
tidak bekerja merupakan faktor pendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif (Wilar,
2010).
2.2.1 Persiapan Menyusui Ibu Bekerja
Persiapan menyusui bagi Ibu bekerja perlu dilakukan sejak masa kehamilan, berikut
persiapan yang bisa dilakukan oleh seorang Ibu yang bekerja terkait dengan kesuksesan
proses menyusui (Wilar, 2010):
1) Selama Kehamilan
Ada beberapa hal lain yang perlu didiskusikan di tempat kerja selama kehamilan :
(1) Mendiskusikan dengan atasan atau rekan kerja mengenai keputusan ibu untuk terus
menyusui dan bekerja.
(2) Mendiskusikan manfaat bagi perusahaan bila pekerja perempuannya terus menyusui.
(3) Mendiskusikan dengan atasan mengenai waktu cuti melahirkan dan menyusui.
(4) Mendiskusikan dengan atasan kapan rencana kembali bekerja, apakah akan kerja penuh
atau paruh waktu.
(5) Mendiskusikan dengan atasan apakah diperbolehkan untuk pulang menyusui atau
menyusui bayi di tempat kerja. Menyusui langsung pada saat bekerja dapat
memperpanjang masa menyusui.
(6) Mendiskusikan dengan atasan mengenai waktu istirahat pada jam kerja untuk memerah
ASI bila tidak memungkinkan untuk menyusui langsung.
(7) Mencari tempat yang nyaman untuk memerah ASI. Sedapat mungkin tempat memerah
ASI memang tersedia khusus untuk tujuan tersebut, dan tidak di toilet.
(8) Mencari tahu apakah ada tempat penitipan anak di dalam lingkungan kerja dan fasilitas
apa yang disediakan oleh tempat penitipan anak tersebut
(9) Bertukar pengalaman dengan ibu-ibu bekerja lainnya.
(10) Mendiskusikan dengan pasangan (suami) dan keluarga dekat mengenai waktu akan
masuk bekerja kembali, yang mengasuh bayi saat bekerja, perlukah pasangan juga
mengambil cuti, pembagian pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak-anak yang
lain
2) Menjelang Ibu bekerja
Pada masa nifas sampai 2 minggu menjelang ibu bekerja, ada beberapa hal yang sebaiknya
dilakukan antara lain :
(1) Menyusui bayi langsung dari payudara. Hindari penggunaan empeng/dot, botol susu
dan minuman selain ASI
(2) Mengkonsumsi cairan cukup, makanan yang bergizi dan hindari stres agar produksi
ASI tidak terganggu.
(3) Relaksasi selama 20 menit setiap hari di luar waktu memerah ASI
(4) Memakai pakaian yang memudahkan Ibu untuk memerah ASI
(5) Berlatih cara memerah ASI. Latihan memerah ASI dapat dimulai sejak saat ASI
Pertama keluar.
(6) Menetapkan jadwal memerah ASI, biasanya setiap 3-4 jam.
(7) ASI yang diperah dapat dibekukan untuk persediaan atau tambahan saat ibu mulai
bekerja.
(8) Berlatih memberikan ASI perah melaui cangkir, sendok atau pipet pada jam kerja.
(9) Mencari pengasuh (nenek, kakek, anggota keluarga lain, pembantu, babysitter) yang
dapat memberikan ASI dan menjaga bayi selama ibu bekerja.
(10) Bila tidak ada pengasuh, sebaiknya mencari penitipan anak.
3) Selama ibu bekerja
Hal-hal yang yang bisa dilakukan saat ibu kembali bekerja sebagai berikut :
65
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
(1) Berusaha agar pertama kali kembali bekerja pada akhir pekan sehingga hari kerja ibu
pendek dan ibu dapat lebih menyesuaikan diri.
(2) Berusaha agar tidak menumpuk pekerjaan sehingga ibu tidak stress
(3) Berusaha untuk istirahat cukup, minum cukup serta mengkonsumsi makanan bergizi.
(4) Menyusui bayi di pagi hari sebelum meninggalkan bayi ke tempat kerja dan pada saat
pulang kerja.
(5) Menyusui bayi lebih sering sore/malam hari dan pada hari libur agar produksi ASI
lebih lancar.
(6) Mempersiapkan persediaan ASI perah di lemari es selama ibu bekerja
(7) Berusaha agar dapat memerah ASI setiap 3 jam selama ibu bekerja
(8) Siapkan pompa/pemeras ASI, wadah penyimpanan ASI dan pendinginnya sebelum
pergi bekerja.
(9) Memerah ASI di ruangan yang nyaman sambil memandang foto bayi atau mendengar
rekaman tangis bayi.
(10) Mendiskusikaan masalah yang dialami dengan ibu bekerja lainnya atau dengan atasan
agar dapat mencari jalan keluar.
2.3 Faktor yang mempengaruhi Pemberian ASI pada Ibu Bekerja
2.3.1 Karakteristik Ibu
1. Usia
Konsep reproduksi sehat yang dikembangkan oleh BKKBN adalah menunda perkawinan
atau kehamilan pertama sampai umur 20 tahun, mengatur jarak kelahiran pada usia 20-30
tahun dengan cara menggunakan kontrasepsi dan mengatur jarak kelahiran anak, serta cukup
mempunyai anak 2 orang saja, dan yang terakhir adalah tidak hamil lagi setelah berumur 30
tahun (BKKBN, 2012).
Usia 20-30 tahun merupakan rentang usia aman bereproduksi dan pada umumnya pada
usia tersebut kemampuan laktasi ibu lebih baik daripada yang berumur lebih dari 30 tahun,
dengan demikian ibu yang berusia 20-30 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk
memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya (Roesli, 2000).
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan pengembangan diri dari individu dan kepribadian yang
dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, sikap
dan ketrampilan serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di
dalam beberapa faktor pendidikan sering kali memegang syarat paling pokok untuk
memegang fungsi-fungsi tertentu. Semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan juga
semakin banyak pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh (Dessler, 1998).
Penelitian Hikmawati (2008) tentang faktor kegagalan pemberian ASI menyatakan bahwa
ada hubungan bermakna antara pendidikan dengan pemberian ASI, dan pendidikan
merupakan faktor kegagalan pemberian ASI.
3. Paritas
Paritas/ para adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar
rahim (28 minggu). Pengelompokkan jenis paritas sebagai berikut :
1. Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi hidup.
2. Primipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup satu kali.
3. Multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup sebanyak dua kali
atau lebih.
4. Grande Multipara adalah seorang wanita yang melahirkan bayi hidup lebih dari atau
sama dengan empat kali (James, 2001).
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Penelitian Sittlington (2007) mengatakan bahwa paritas dari ibu tidak mempengaruhi
perilaku ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif ( p = 0,105; mean 56,34 [8,37]). Paritas
saat ini tidaklah menjadi masalah bagi seorang ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
Meskipun proses menyusui pada primipara merupakan pengalaman pertama, dan sering
mengalami masalah pada saat menyusui seperti puting susu yang lecet, dan hal ini berdampak
pada terhentinya pemberian ASI eksklusif. Namun hal ini bisa diatasi dengan dukungan dari
petugas kesehatan, dukungan keluarga dan persiapan pada saat kehamilan.
2.2.3.2 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni : indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior). Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmojo (2007)
mengungkapkan bahwa sebelum orang berperilaku baru, dalam dirinya tersebut terjadi proses
yang berurutan, yaitu :
1) Awarness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah
mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku
tersebut bersifat langgeng (long lasting). Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu :
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumya. Termasuk
ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sutau yang spesifik
dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Tahu merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan dan sebagianya.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
67
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.
2.3.3 Persepsi
Menurut Scheer (1954) dalam Sarwono (2011) menyatakan bahwa persepsi adalah
representatif fenomenal tentang objek distal sebagai hasil pengorganisasian objek distal itu
sendiri, medium dan rangsangan proksimal. Sedangkan menurut Bruner (1957) dalam
Sarwono (2011) menyatakan persepsi merupakan proses kategorisasi. Organisme dirangsang
oleh masukan tertentu (objek, peristiwa, dll) kemudian organisme itu berespon dengan
menghubungan masukan tersebut dengan salah satu kategori (golongan) objek dan peristiwa,
sehingga ia dapat memberi arti kepada masukan tersebut atau bisa disebut berifat inferensial
(menarik kesimpulan).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi menurut Krech & Crutchfield (1948) dalam
Sarwono (2011) menyatakan bahwa ada dua golongan variabel yang mempengaruhi persepsi,
yaitu :
1) variabel struktural, yaitu faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik dan proses
neurofisiologik;
2) variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, seperti
kebutuhan (needs), suasana hati (moods), pengalaman masa lampau, dan sifat-sifat
individual lainnya.
2.4 Faktor Pekerjaan dan Fasilitas
2.4.1 Work-Family Conflict
Work-Family Conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau
ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran didalam keluarga
(Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan
pertanda langsung akan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga (Work-Family Conflict ),
dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan
kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas
keluarga (Frone, 2003).Sedangkan menurut Dahrendorf salah satu jenis dari konflik adalah
konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan - peranan dalam
keluarga atau profesi atau disebut juga dengan konflik peran ( Role Conflict ).
Menurut Frone (2003) kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan
kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (keluarga), dimana harapan orang lain
terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Konflik
terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk
melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.
Jadi Work Familly Conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara
umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran. Kehadiran
salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain.
Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah
satu peran karena hadirnya peran yang lain.
Greenhaus dan Beutell (dalam Triaryati 2003) mengidentifikasikan tiga jenis WorkFamily
Conflict, yaitu:
1. Time Based Conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan
keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang
lainnya (pekerjaan atau keluarga).
2. Strain Based Conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi
kinerja peran yang lainnya.
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
3. Behavior-Based Conflict. Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku
dengan yang diinginkan oleh kedua bagian yaitu pekerjaan atau keluarga.
Work Family Conflict terdiri dari dua aspek yaitu Work interfering with family dan
Family Interfering With Work (Frone 2003; Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun asumsi dari
Work interfering with family lebih dikarenakan akibat tuntutan waktu yang terlalu berlebihan
atau Time-based conflict dalam satu hal (contoh: saat bekerja) akan mencegah pelaksanaan
kegiatan dalam hal lain (contoh: di rumah), yang terjadi pada akhirnya adalah ketegangan dan
tekanan atau Strain-Based Conflict pada satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang
ke rumah dengan suasana hati yang buruk setelah bekerja, atau contoh lainnya misal individu
sebagai orangtua akan mengalami konflik ketika perlu untuk mengambil waktu cuti dari
pekerjaannya untuk tinggal di rumah menjaga anaknya yang sakit. Sementara Family
Interfering With Work lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau
bagian (pekerjaan atau keluarga) Behavior-based conflict (Frone, 2003).
Work interfering with family dan Family interfering With Work dapat dilihat dari tiga hal
yaitu, tanggung jawab dan harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan dan kegiatan
organisasi (misalnya dukungan sosial). Greenhaus & Beutell (1985) menyatakan bahwa
Work-Family Conflict yang terjadi akan menimbulkan konsekuensi yang negatif. Contohnya,
konflik antara pekejaan dengan keluarga dapat mengurangi durasi menyusui pada ibu bekerja
(Cardenas, 2005)
2.4.1 Pojok Laktasi
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif pasal 30 disebutkan sebagai berikut :
1) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung
program ASI Eksklusif.
2) Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di Tempat Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan antara
pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
3) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan
fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi
kemampuan perusahaan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau
memerah ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Peraturan mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah
ASI belum diterbitkan sampai dengan sekarang. Namun untuk persyaratan minimal
sebuah pojok laktasi di tempat kerja adalah sebagai berikut : (setting up of Lactation
Room, 2013)
1. Merupakan ruangan khusus untuk kepentingan laktasi
2. Memiliki sebuah pintu yang terkunci
3. Sebuah kursi yang nyaman dan dipastikan kaki ukuran wanita rata-rata dapat
menyentuh lantai.
4. Stopkontak linstrik untuk menghubungkan dengan pompa ASI
5. Sebuah meja untuk meletakkan pompa ASI, botol ASI dan perlengkapan lain yang
terletak di depan kursi
6. Dapat dipastika ruangan selalu bersih dan nyaman
Selain fitur di atas, pojok laktasi juga bisa diberikan tambahan fasilitas sebagai berikut :
1. Sebuah wastafel terletak di dalam ruangan, lengkap dengan sabun serta handuk/tisu
pengering tangan
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Lemari Es untuk menimpan ASI
3. Cahaya yang cukup, gambar dan dekorasi yang mendorong relaksasi.
Hasil penelitian Amin et al. (2011) di Malaysia menyatakan bahwa kebutuhan utama yang
dibutuhkan para ibu yang masih memberikan ASI kepada bayinya adalah refrigerator untuk
menyimpan ASI perah, sedangkan pengaruh penyediaan pojok laktasi tidak memberikan hasil
yang signifikan.
2.4.3 Kesempatan memerah/menyusui di tempat kerja
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Ekslusif pasal 34 Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang
bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja
di Tempat Kerja.
Berapa kali waktu untuk memerah ASI selama ibu bekerja tergantung dari usia bayi, jika
usia bayi kurang dari 6 bulan atau masih dalam periode ASI Eksklusif dimana sumber
makanan hanya dari ASI maka sebaiknya ibu memerah maksimal 3 jam sekali agar produksi
ASI bisa dipertahankan. Namun jika usia bayi sudah lebih dari 6 bulan dan sudah mendapat
makanan pendamping ASI (MPASI) maka ASI bisa diperah cukup sekali selama ditinggal
kerja untuk mengurangi bedungan ASI. Sebagian ibu bekerja memerah ASI sebelum mereka
berangkat kerja karena produksi ASI pada pagi hari lebih banyak dari pada waku-waktu yang
lain (Walters, 2007)
2.4.4 Cuti Bersalin
Peraturan mengenai cuti hamil PNS yang berlaku saat ini masih mengacu pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil
pasal 19 sebagai berikut :
1) Untuk persalinan anaknya yang pertama, kedua, dan ketiga, Pegawai Negeri Sipil wanita
berhak atas cuti bersalin.
2) Untuk persalinan anaknya yang keempat dan seterusnya, kepada Pegawai Negeri Sipil
wanita diberikan cuti diluar tanggungan Negara.
3) Lamanya cuti-cuti bersalin tersebut dalam ayat (1) dan (2) adalah 1 (satu) bulan sebelum
dan 2 (dua) bulan sesudah persalinan.
Pada pasal 20 ayat disebutkan bahwa untuk mendapatkan cuti bersalin, Pegawai Negeri
Sipil wanita yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang
berwenang memberikan cuti. Cuti bersalin diberikan secara tertulis oleh pejabat yang
berwenang memberikan cuti. Dan di pasal 21 disebutkan bahwa Serlama menjalankan cuti
bersalin Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan menerima penghasilan penuh
2.5 Teori Dukungan sosial
2.5.1 Pengertian Social support (dukungan sosial)
Uchino (2004) dalam Sarafino (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu
pada memberikan kenyamanan, peduli, penghargaan dan bantuan untuk sesorang dari orang
lain atau kelompok.
Menurut Heaney & Israel (2008) yang bisa memberikan dukungan sosial adalah :
(1) Informal network seperti : keluarga, teman, rekan kerja dan atasan
(2) Formal network : petugas kesehatan dan human service workers.
2.5.2 Jenis Dukungan Sosial
Jenis dukungan sosial menurut (Cutrona & Gardner, 2004 ; Uchino, 2004) dalam
Sarafino (2011), yaitu :
1) Dukungan Emosional
70
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Dukungan emosional atau dukungan esteem adalah dukungan berupa empati, peduli,
perhatian, hal positif dan dorongan terhadap orang tersebut, sehingga memberikan
kenyamanan dan kepastian dengan rasa dimiliki dan dicintai.
2) Dukungan instrumental
Dukungan instrumental adalah dukungan nyata dengan memberikan bantuan secara
langsung. Misalnya dengan memberikan bantuan meringankan tugas/beban kerja sehingga
ibu bisa mempunyai waktu untuk memerah ASInya.
3) Dukungan informasi
Termasuk memberikan nasehat, arahan atau umpan balik mengenai permasalahan yang
dihadapi. Misalnya untuk kasus ibu yang kesulitan menyusui maka dukungan informasi
bisa berupa informasi mengenai cara-cara mengatasi dalam hal kesulitan menyusui.
4) Dukungan Persahabatan
Dukungan persahabatan mengacu pada kesediaan orang lain untuk menemani seseorang
yang ada masalah sehingga dapat menimbulkan perasaan solidaritas.
2.6.3 Hubungan Dukungan sosial dan Jaringan sosial Terhadap Kesehatan
Mekanisme hubungan jaringan sosial dan dukungan sosial pada kesehatan fisik, mental dan
sosial seperti ditunjukkan dalam gambar 2.3 dibawah ini :
Sumber : Heaney & Israel (2008)
Gambar Conceptual Model for the Relationship of Social Networks and Social Support to
Health
Pada gambar di atas menggambarkan jaringan sosial dan dukungan sosial sebagai titik
awal atau inisiator penyebab masalah kesehatan. Pada kenyataannya pada gambar di atas
banyak hubungan yang memerlukan pengaruh timbal balik, misalnya status kesehatan akan
mempengaruhi sejauh mana sesorang mampu memelihara dan memobilisasi jaringan sosial.
Garis 1 merupakan efek langsung dari hipotesis jaringan sosial dan dukungan sosial terhadap
kesehatan. Dengan memnuhi kebutuhan dasar manusia dalam hal persahabatan, kedekatan,
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
rasa memiliki dan kepastian dari orang lain, dukungan dapat meningkatkan kesehatan
sesorang dan menjauhkan dari stres (Berkman dan Glass, 2000 dalam Heaney dan Israel,
2008).
Garis 2 dan 4 merupkan efek hipotesis jaringan sosial dan dukungan sosial terhadap
usaha individu untuk mengatasi masalah dan sumberdaya organisasi dan komunitas dalam
mengatasi masalah. Contohnya, jaringan sosial dan dukungan sosial dapat meningkatkan
kemampuan indivdiu untuk mengakses informasi baru untuk mengidentifikasi dan
memecahkan masalah. Sedangkan jika dukungan yang diberikan membantu untuk
mengurangi ketidakpastian atau membantu mendapatkan hasil yang diinginkan, maka
individu tersebut akan meningkatkan kontrol pribadi atas situasi tertentu. Efek potensi
jaringan sosial dan dukungan sosial terhadao organisasi dan kompetensi masyarakat kurang
dipelajari. Namun, penguatan jaringan sosial akan meningkatkan pertukaran dukungan sosial
dan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengumpulkan kekuatan dan
memecahkan masalah.
Sumber daya di tingkat individu dan masyarakat mungkin memiliki efek langsung
terhadap kesehatan dan juga dapat mengurangi efek negatif pada kesehatan akibat pemaparan
sttresor. Ketika orang mengalami stres, peningkatan kemampuan individu daan masyarakat
memungkinkan bahwa stres akan dapat diatasi atau ditangani, dengan cara mengurangi
konsekuensi kesehatan yang merugikan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Efek ini
disebut “efek penyangga” dan hal ini tercermin pada garis 2a dan 4a. Beberapa penelitian
yang melibatkan orang-orang pada masa transisi dalam hidup (seperti kehilangan pekerjaan
atau kelahiran seorang anak) telah menunjukkan bagaimana pengaruh jaringan sosial dan
dukungan sosial mengatasi dampak stressor terhadap kesehatan.
Garis 3 menunjukkan bahwa jaringan sosial dan dukungan sosial dapat mempengaruhi
frekuensi dan durasi paparan stres. Sebagai contoh, seorang atasan mendukung dalam
program pemberian ASI eksklusif di tempat kerja akan meningkatkan kepercayaan diri
seorang ibu untuk bisa memberikan ASInya secara eksklusif sehingga resiko kegagalan
pemberian ASI eksklusif dapat berkurang. Garis 5 mencerminkan potensi dampak jaringan
sosial dan dukungan sosial terhadap kesehatan perilaku. Melalui pertukaran antar personal
dalam jaringan sosial, individu dipengaruhi dan didukung dalam perilaku kesehatan seperti
kepatuhan dalam memerah ASI di tempat kerja.
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analitik karena bertujuan menganalisa,
menjelaskan suatu hubungan, menguji berdasarkan teori yang ada dan menggunakan
suatu hubungan, menguji berdasarkan teori yang ada dan menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau
observasi data variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu
saat itu dan tidak ada tindak lanjut (Notoatmojo, 2009).
72
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Kerangka Konseptual.
Fasilitas
Work-family
conflict
Dukungan
atasan dan
teman kerja
Paritas
Ibu
bekerja
sikap
Norma
subyektif
Pengetahuan
Persepsi terhadap
kesehatan bayi
niat
Self
efficacy
Dukungan
suami dan
keluarga
Sumber :
: Tidak Diteliti
: Diteliti
Gambar 1
Pemberian
ASI
eksklusif
pada ibu
bekerja
Pendidikan
Umur
Kerangka Konseptual faktor niat, pekerjaan dan fasilitas serta
dukungan suami dan keluarga terhadap Pemberian ASI eksklusif
pada ibu bekerja.
3. Hipotesis Penelitian
1) Ada pengaruh karakteristik, pengetahuan dan persepsi ibu terhadap sikap, norma
subyektif, dan efikasi diri pemberian ASI pada ibu yang bekerja di SKPD
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur
2) Ada pengaruh sikap, norma subyektif, dan efikasi diri terhadap niat ibu dalam
pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di SKPD Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur
3) Ada pengaruh niat, efikasi diri, karakteristik ibu, faktor pekerjaan dan fasilitas
serta dukungan suami dan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif pada ibu
bekerja di SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur
.
4) Variabel, Definisi Operasional
Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen (bebas)
serta variabel dependen (terkait).
Tabel 1
Definisi Operasional Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan,
Persepsi Terhadap Sikap Menyusui pada Ibu Bekerja Di Instansi
Pemerintah (Studi Di SKPD Propinsi Jawa Timur )
Variabel
Paritas
Definisi Operasional
Jumlah anak yang dilahirkan
oleh Ibu
Pendidikan ibu
Pendidikan formal yang telah
ditamatkan responden
Kriteria
1. 1
2. ≥2
1. SLTA/ Diploma
2. Sarjana
Pengetahuan
Respon atau kemampuan untuk
menjawab pertanyaan yang
1.
2.
73
Baik (jika skor ≥50%)
Tidak baik (jika skor <50%)
Skala
Nominal
Nominal
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
berhubungan dengan pemberian
ASI, ASI Eksklusif manajemen
ASI perah yang dituangkan
dalam bentuk kuesioner berisi
16 pertanyaan. Nilai 1 untuk
jawaban benar dan 0 untuk
jawaban salah.
Persepsi tentang Pandangan ibu tentang anak 1. Baik jika jawaban benar
konsep
bayi sehat
dan
anak
sakit,
semua
sehat
dituangkan dalam bentuk 2 2. Tidak baik jika ada salah
pertanyaan tertutup. Nilai 1
satu jawaban yang salah
untuk jawaban benar dan 0
untuk jawaban salah. Dan 1
pertanyaan terbuka yang hasil
jawaban
responden
akan
dikategorikan
Work-Family
Pertentangan
peran
yang Interpretasi
terhadap
skor
Conflict
dialami oleh ibu bekerja karena individual dalam skala rating
ada perbedaan peran pada yang dijumlahkan, setelah itu di
pekerjaan dan keluarga. Work cari skor total minimun dan skor
family conflict mencakup 3 total maksimum. Skor antara
jenis yaitu :
skor
total
minimun
dan
1. time
based
conflict,: maksimum dibagi 2 untuk
menentukan kategori nilai.
konflik berdasarkan waktu
2. strain based conflict :
Work Family Conflict dikatakan
konflik
berdasarkan
rendah jika nilai skor > nilai
ketegangan
dan median
kegelisahan
3. behavior based conflict :
konflik
berdasarkan
tingkah laku
yang dituangkan dalam bentuk
ceklist berisi 12 pernyataan,
dengan
alternatif
jawaban
menggunakan skala Likert.
Untuk pernyataan positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Fasilitas pojok Tempat yang dikriteriakan di 1. Lengkap jika skor ≥3
laktasi
tempat kerja yang mendukung 2. Tidak lengkap: jika skor <3
ibu untuk memerah ASInya
ketika berada di tempat kerja,
yang terdiri dari 5 pertanyaan
antara lain tentang ruangan
untuk memerah, pemanfaatan
pojok laktasi, adanya fasilitas
meja dan kursi, tempat yang
nyaman
dan
fasilitas
refrigerator/ kulkas
74
Skala
Nominal
Nominal
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel
Cuti bersalin
Kesempatan
memerah/meny
usui
Dukungan
atasan
dan
rekan kerja
Dukungan
suami
Dukungan
keluarga
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Definisi Operasional
Libur atau bebas kerja yang
diberikan pada ibu yang akan
bersalin dimulai sejak masa
hamil sampai setelah meahirkan
dan masih mendapat gaji,
sesuai dengan peraturan
Ada waktu yang cukup untuk
memerah/menyusui sefleksibel
mungkin
sesuai
dengan
kebutuhan ibu dan bayinya
Tindakan atau kebijakan yang
mendukung yang diberikan
oleh atasan dan rekan kerja baik
berupa tenaga, pikiran dan
materi yang dituangkan dalam
bentuk ceklist berisi 14
pernyataan, dengan alternatif
jawaban menggunakan sekala
Likert.
Untuk
pernyataan
positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Tindakan
yang
mengekspresikan
kepedulian
dari suami pada saat istri
sesudah melahirkan baik berupa
tenaga, pikiran, perhatian dan
materi yang dituangkan dalam
bentuk ceklist berisi 14
pernyataan, dengan alternatif
jawaban menggunakan sekala
Likert.
Untuk
pernyataan
positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Tindakan
yang
mengekspresikan
kepedulian
dari keluarga pada saat ibu
sudah melahirkan baik berupa
tenaga, pikiran, perhatian dan
materi yang dituangkan bentuk
ceklist berisi 14 pernyataan,
dengan
alternatif
jawaban
75
Kriteria
1. < 3 bulan penuh setelah
melahirkan
2. 3 bulan penuh setelah
melahirkan
Skala
Nominal
1.
Nominal
Cukup bila ada kesempatan
memerah ≥ 2 kali
2. Tidak ada ,bila kesempatan
memerah < 2 kali
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
Nominal
Dukungan atasan dan rekan
kerja
dikatakan
tidak
mendukung jika nilai skor ≤
nilai median
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
Nominal
Dukungan suami dikatakan tidak
mendukung jika nilai skor ≤
nilai median
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
Variabel
Variabel antara
Variabel
Sikap
Norma subjektif
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Definisi Operasional
menggunakan sekala Likert.
Untuk pernyataan positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Kriteria
Definisi Operasional
Tanggapan ibu dalam bentuk
pernyataan setuju atau tidak
terhadap pola pemberian ASI
yang dituangkan dalam bentuk
ceklist berisi 8 pernyataan,
dengan
alternatif
jawaban
menggunakan sekala Likert.
Untuk pernyataan positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Kriteria
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
Kekuatan pengaruh aturan tidak
tertulis dari orang-orang sekitar
terhadap kekuatan subyektif ibu
tentang perilaku
menyusui,
yang dituangkan dalam bentuk
ceklist berisi 7 pernyataan,
dengan
alternatif
jawaban
menggunakan sekala Likert.
Untuk pernyataan positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
76
Skala
Dukungan keluarga dikatakan
tidak mendukung jika nilai skor
≤ nilai median
Skala
Nominal
Sikap dikatakan negatif jika nilai
skor ≤ nilai median
Norma subyektif dikatakan
negatif jika nilai skor ≤ nilai
median
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
Efikasi diri
Niat
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Ukuran
kemampuan
atau
keyakinan seorang ibu sejak
hamil pada kemampuannya
untuk menyusui bayinya, yang
dituangkan
dalam
bentuk
ceklist berisi 12 pernyataan,
dengan
alternatif
jawaban
menggunakan sekala Likert.
Untuk pernyataan positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
Kecenderungan atau keputusan
ibu sejak hamil untuk menyusui
bayinya dengan menyiapkan
segala sesuatu demi kesuksesan
pemberian
ASI
secara
eksklusif, yang dituangkan
dalam bentuk bentuk ceklist
berisi 2 pernyataan, dengan
alternatif
jawaban
menggunakan sekala Likert.
Untuk pernyataan positif yaitu
4= sangat setuju
3= setuju
2=Tidak setuju
1=Sangat tidak setuju
Untuk pernyataan negatif yaitu
:
1=sangat setuju
2=setuju
3=Tidak setuju
4=Sangat tidak setuju
Interpretasi
terhadap
skor
individual dalam skala rating
yang dijumlahkan, setelah itu di
cari skor total minimun dan skor
total maksimum. Kemudian
dicari nilai median antara skor
total minimun dan skor total
maksimum.
Variabel Tergantung
Variabel
Definisi Operasional
Pemberian ASI
Pola Ibu memberikan ASI
kepada bayinya
77
Nominal
Efikasi diri dikatakan tidak kuat
jika nilai skor ≤ nilai median
Nominal
Niat dikatakan tidak kuat jika
nilai skor ≤ nilai median
Kriteria
1. ASI Eksklusif, apabila ibu
hanya memberikan ASI saja
tanpa member bayi makanan
atau minuman lain sejak usia
0-6 bulan, termasuk air putih
(kecuali obat-obatan dan
vitamin atau mineral tetes)
2. Tidak `Eksklusif, apabila ibu
tidak memberikan ASI saja
sampai bayi berusia 6 bulan
termasuk pemberian ASI
predominan, pemberian ASI
parsial dan tidak menyusui.
Skala
Nominal
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
5) Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja di 12 Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Provinsi Jawa Timur yang mempunyai anak usia 6-24 bulan yaitu;
Sekretariat daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan
& Lalu Lintas Angkatan Jalan, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan,
Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM), Dinas Pekerjaan Umum
dan Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan &
Kelautan dan Dinas perndustrian & Perdagangan. Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian ibu yang bekerja di 12 SKPD Provinsi Jawa Timur yang mempunyai bayi usia 624 bulan. Untuk mengurangi bias, maka ditentukan kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Ibu yang dapat memproduksi ASI
2. Ibu yang bekerja di Kantor Dinas Daerah Provinsi Jawa Timur baik PNS maupun
honorer.
3. Ibu yang tidak mempunyai anak dengan kelainan congenital dan menolak menyusu
4. Ibu yang tidak mempunyai masalah pada anatomi payudara maupun kesehatan
sehingga tidak memungkinkan untuk memberikan ASI kepada anaknya
Perhitungan besar sampel penelitian dengan nilai proporsi ASI Eksklusif di populasi
berdasarkan proporsi ASI Eksklusif Provinsi Jawa Timur sebesar 31,2%1 (Profil Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010). Hasil perhitungan didapatkan sehingga besar
sampel penelitian ini sebesar 56 orang. Cara pengambilan sampel mengunakan cara
simple random sampling. Penentuan besar sampel ibu bekerja yang mempunyai bayi usia
6-24 bulan secara proporsional menurut jumlah populasi dijelaskan pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2 Hasil perhitungan besar sampel berdasarkan proporsional besar populasi
ibu yang mempunyai anak usia 6-24 bulan di SKPD Provinsi Jawa Timur
Tahun 2013
No
Nama SKPD
1
2
3
4
5
Sekertariat Daerah
Dinas Kesehatan
Dinas Sosial
Dinas Pendidikan
Dinas Perhubungan & Lalu
lintas Angkatan Jalan
Dinas
Tenaga
Kerja,
Transmigrasi
dan
Kependudukan
Dinas Koperasi dan Usaha
Mikro Kecil & Menengah
(UMKM)
Dinas Pekerjaan Umum &
Bina Marga
Dinas Pekerjaan Umum
Pengairan
Dinas Pertanian
Dinas
Perikanan
&
Kelautan
Dinas
Perindustrian
&
Perdagangan
6
7
8
9
10
11
12
Besar populasi Ibu yang mempunyai anak
usia 6-24 bulan
11
19
1
0
5
Besar sampel
penelitian
9
16
1
0
4
5
4
7
6
3
3
7
6
2
5
2
4
1
1
Total
66
Sumber : 12 SKPD Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013
56
Berdasarkan perhitungan besar sampel penelitian maka didapatkan proporsi besar sampel
pada masing-masing SKPD seperti pada tabel 2. Penentuan sampel dilakukan dengan cara
78
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
simple random sampling. Apabila sampel yang terpilih menolak dijadikan responden, maka
dilakukan pengundian untuk menentukan sampel pengganti.
6) Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh
responden. Saat mengisi kuesioner, peneliti mendampingi untuk mengantisipasi bila ada
pertanyaan yang tidak dipahami. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner.
7) Teknik Pengolahan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara mendokumentasikan hasil jawaban
kuesioner responden, setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Periksa Ulang / Editing
Editing adalah meneliti kembali data, hal ini berarti bahwa semua kuesioner harus
diteliti satu persatu tentang kelengkapan pengisian dan kejelasan penelitian.
2. Pemberian Kode / Coding
Coding adalah tahap kedua setelah editing yaitu penelitian memberi kode pada setiap
kategori yang ada pada setiap variabel.
3 . Tabulasi / Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan dengan membuat tabel-tabel sesuai dengan
analisis yang dibutuhkan. Hasil pengisian kuesioner dikumpulkan dan di tabulasi secara
manual. Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik dengan menghitung proporsi
dengan menyajikan dalam bentuk tabel. Data akan dianalisis menggunakan uji logistik
berganda dengan tingkat kemaknaan 5% (0,05).
8) Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik dengan menghitung proporsi dan
disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui hubungan antara variabel digunakan uji
regresi logistik ganda dengan nilai kemaknaan p≤0,05 dengan menggunakan komputer,
apabila uji statistik didapatkan p≤0,05 maka berarti ada pengaruh faktor-faktor bebas dan
antara terhadap Pemberian ASI eksklusif pada Ibu bekerja di Instansi Pemerintah.
D. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Sosiodemografi Responden
Penelitian dilakukan pada ibu bekerja yang mempunyai anak usia 6-24 bulan,
di 12 SKPD Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Besar Sampel yang diambil sebanyak
56 responden. Gambaran secara umum karakteristik sosiodemografi responden seperti
terlihat dalam tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Distribusi sosiodemografi responden
Variabel
Umur (tahun)
≤30
>30
Pendidikan
SMA/Diploma
Sarjana
Paritas
1
≥2
79
Jumlah
Persentase (%)
22
34
39,3
60,7
13
43
23,2
76,8
20
36
35,7
64,3
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur >30 tahun
sebanyak 34 orang (60,7%), berpendidikan sarjana sebanyak 43 orang (76,8%) dan
paritas ≥2 sebanyak 36 orang (64,3%).
2. Perilaku Responden
Gambaran perilaku menyusui responden yang meliputi pengetahuan, persepsi,
sikap, norma subyektif, efikasi diri dan niat tertera dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4 Distribusi perilaku responden
Variabel
Pengetahuan
Tidak Baik
Baik
Persepsi
Tidak Baik
Baik
Sikap
Negatif
Positif
Norma Subyektif
Negatif
Positif
Efikasi Diri
Tidak Kuat
Kuat
Niat
Tidak Kuat
Kuat
Jumlah
Persentase (%)
16
40
28,6
71,4
2
54
3,6
96,4
27
29
48,2
51,8
30
53,6
26
46,4
21
35
37,5
62,5
23
41,1
33
58,9
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan baik
sebanyak 40 orang (71,4%), memiliki persepsi baik sebanyak 54 orang (96,4%), sikap
positif sebanyak 29 orang (51,8%). Norma subyektif responden sebagian besar negatif
sebanyak 30 orang (53,6%), efikasi diri responden sebagian besar kuat yaitu sebanyak
kuat 35 orang (62,5%), sedangkan niat menyusui responden sebagian besar kuat yaitu
sebanyak 33 orang (58,9%).
b. Faktor Pekerjaan dan Fasilitas
Gambaran faktor-faktor yang ada di tempat kerja dan fasilitas dari tempat kerja dalam
rangka program pemberian ASI Eksklusif bagi Ibu bekerja seperti yang ditampilkan pada
tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Distribusi faktor pekerjaan dan fasilitas
Variabel
Work family conflict
Tinggi
Rendah
Time-based conflict
Tinggi
Rendah
Strain-based conflict
Tinggi
Rendah
Behavior-based conflict
Tinggi
Rendah
80
Jumlah
Persentase (%)
32
24
57,1
42,9
29
27
51,8
48,2
30
26
53,6
46,4
20
36
35,7
64,3
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Variabel
Pojok Laktasi
Tidak lengkap
Lengkap
Kesempatan
Tidak Ada
Ada
Cuti
<3 bulan setelah melahirkan
3 bulan setelah melahirkan
Dukungan atasan dan rekan kerja
Tidak mendukung
Mendukung
Jumlah
Persentase (%)
49
7
87,5
12,5
25
31
44,6
55,4
30
26
53,6
46,4
37
19
66,1
33,9
Pada tabel 5 menunjukkan gambaran faktor pekerjaan dan dukungan sebagai berikut,
sebagian besar responden memiliki work family conflict yang tinggi 32 orang (57,1%),
apabila diuraikan berdasarkan jenis konfliknya maka sebagian besar time based conflict
tinggi (51,8%), strain based conflict tinggi (53,6%) dan behavior based conflict rendah
(64,3%). Tersedianya sarana pojok laktasi sebagian besar tidak lengkap yaitu sebesar 49
orang (87,5%) dan sebagian besar responden merasa ada kesempatan memerah sebanyak
31 orang (55,4%). Sebagian besar responden mendapatkan cuti melahirkan kurang dari 3
bulan setelah melahirkan sebanyak 30 orang (53,6%). Untuk dukungan atasan dan rekan
kerja sebagian besar responden merasa mereka tidak mendukung ibu bekerja untuk bisa
tetap menyusui secara eksklusif sebanyak 37 orang (66,1%).
c. Dukungan Suami dan Keluarga
Gambaran dukungan suami dan keluarga responden dalam pemberian ASI seperti
pada tabel di bawah ini.
Tabel 6 Distribusi dukungan suami dan keluarga responden
Variabel
Dukungan Suami
Tidak mendukung
Jumlah
Persentase (%)
30
53,6
26
46,4
31
25
55,4
44,6
Mendukung
Dukungan keluarga
Tidak mendukung
Mendukung
Tentang gambaran dukungan suami dan keluarga, pada tabel 6 menunjukkan bahwa
sebagian besar responden merasa tidak didukung, berturut-turut dari dukungan suami dan
keluarga sebanyak 30 orang (55,4%) dan 31 orang (55,4%).
d. Pemberian ASI Eksklusif Responden
Gambaran tentang pola pemberian ASI responden dan pelaksanaan IMD seperti yang
terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 7 Distribusi pemberian ASI Responden
Variabel
Jumlah
Persentase (%)
16
28,6
40
5
23
12
71,4
8,9
41,1
21,4
Pola Menyusui
Eksklusif
Tidak Eksklusif
Predominan
Parsial
Tidak menyusui
81
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Tabel 7 menunjukkan bahwa pola menyusui responden sebagian besar adalah parsial tidak
eksklusif sebanyak 40 orang (71,4%), sebagian besar yang tidak eksklusif adalah
menyusui parsial sebanyak 23 orang (41,1%). Responden yang menyusui eksklusif hanya
sebanyak 16 orang (28,6%).
e. Hubungan Antar Variabel
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh antar variabel yang diuji sendirisendiri dengan menggunakan uji regresi logistik, yaitu antara variabel independen dengan
variabel antara, variabel antara dengan variabel dependen dan variabel independen dengan
variabel dependen. Tahap ini merupakan tahapan penyaringan agar variabel bisa masuk ke
tahapan uji multivariat. Hasil sig (p) dibandingkan dengan α = 0,25 apabila p < α maka
akan masuk ke tahap uji multivariat. Pada tahap ini juga ditentukan nilai PR (Prevalence
Ratio). Untuk mengetahui analisis pengaruh karakteristik ibu pengetahuan terhadap sikap
menyusui dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik, sedangkan untuk
mengetahui pengaruh persepsi terhadap sikap dilakukan dengan uji fisher’s exact test
seperti terlihat pada tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan karakteristik, pengetahuan dan persepsi
dengan sikap pemberian ASI pada ibu bekerja di SKPD Provinsi Jawa
Timur
Variabel
Sikap
Negatif
Positif
n
%
n
%
Jumlah
n
%
12
15
27
60
41,7
48,2
8
21
29
40
58,3
51,8
20
36
56
100
100
100
7
20
27
58,8
46,5
48,2
6
23
29
46,2
53,5
51,8
13
43
56
100
100
100
12
15
27
75
37,5
48,2
4
25
29
25
62,5
51,8
16
40
56
100
100
100
2
25
27
100
46,3
48,2
0
29
29
0
53,7
51,8
2
54
56
100
100
100
Paritas
1
≥2
Jumlah
Pendidikan
SMA/Diploma
Sarjana
Jumlah
Pengetahuan
Tidak Baik
Baik
Jumlah
Persepsi
Tidak Baik
Baik
Jumlah
p
0,191*
Nilai
PR
95%CI
Ref
1,44
0,850-2,433
Ref
1,158
0.637-2,102
Ref
2,5
1,225-3,265
0,643*
0,015*
1,621-2,879
0,228
**
Ref
~
*) hasil uji Regresi Logistik
**) hasil uji fisher’s exact test
Tabel 8 menjelaskan bahwa dari masing-masing variabel yang menunjukkan hasil
persentase tertinggi terjadinya sikap positif berturut-turut adalah paritas ≥2 sebanyak 21 orang
(58,3%), pendidikan sarjana sebanyak 23 orang (53,5%), pengetahuan baik sebanyak 25 orang
(62,5%) dan persepsi baik sebanyak 29 orang (53,7%). Hasil uji regresi logistik untuk
variabel-variabel yang mempengaruhi sikap di dapatkan hasil variabel yang berpengaruh
terhadap sikap adalah pengetahuan (p=0,015), dengan nilai PR=2,5 artinya responden dengan
pengetahuan baik kemungkinan mempunyai sikap positif sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan
dengan responden yang tidak berpengetahuan baik, dengan nilai PR bermakna karena nilai
95% CI tidak melewati angka 1. Paritas, pendidikan dan persepsi tdak mempengaruhi sikap.
Beberapa alasan yang menyebabkan paritas tidak mempengaruhi sikap adalah karena
beberapa responden tidak mempunyai pengalaman menyusui eksklusif pada kehamilan yang
lalu sehingga sikap responden masih ada yang negatif meskupin berparitas multipara. Selain
itu ada beberapa alasan karena faktor usia lebih >35 tahun sehingga produksi ASI tidak
selancar pada kehamilan pertama. Pendidikan tidak mempengaruhi sikap menyusui karena
82
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
meskipun sebagian besar responden berpendidikan sarjana tetapi karena latar belakang
pendidikan yang bukan dari kesehatan sehingga masih cukup besar responden berpendidikan
sarjana yang mempunyai sikap negatif.
Persepsi tidak mempengaruhi sikap karena persentase yang memiliki persepsi baik dan
sikap negatif hampir sama dengan persentase responden yang memiliki persepsi baik dan
sikap positif. Artinya sebagian besar responden sudah memiliki persepsi konsep anak sehat
yang baik tetapi belum tentu memiliki sikap pemberian ASI eksklusif positif.
E. PEMBAHASAN
Konsep reproduksi sehat yang dikembangkan oleh BKKBN adalah menunda
perkawinan atau kehamilan pertama sampai umur 20 tahun, mengatur jarak kelahiran pada
usia 20-30 tahun dengan cara menggunakan kontrasepsi dan mengatur jarak kelahiran anak,
serta cukup mempunyai anak 2 orang saja, dan yang terakhir adalah tidak hamil lagi setelah
berumur 30 tahun. (BKKBN, 2012).
Usia 20-30 tahun merupakan rentang usia aman bereproduksi dan pada umumnya pada
usia tersebut kemampuan laktasi ibu lebih baik daripada yang berumur lebih dari 30 tahun,
dengan demikian ibu yang berusia 20-30 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Roesli, 2000).
Pengelompokan umur pada penelitian ini menjadi 2 kategori ≤ 30 tahun dan > 30
disesuaikan dengan konsep sehat yang dikembangkan BKKBN, namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur >30 tahun (60,7%) sehingga peluang
memberikan ASI eksklusif lebih sedikit.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pendidikan responden sebagian besar adalah
sarjana, hal itu wajar karena responden penelitian ini adalah ibu yang bekerja di instansi
pemerintah sehingga tingkat pendidikannya cukup tinggi. Menurut penelitian di Irlandia
Selatan, ibu dengan tingkat pendidikan tinggi kemungkinan memiliki sikap yang positif
(Sittlington, et al., 2006) .
Pada penelitian ini jenis paritas dibedakan menjadi 2 yaitu primipara dan multipara.
Menurut James (2011) primipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup
satu kali sedangkan multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup
sebanyak dua kali atau lebih. Ibu dengan paritas multipara kemungkinan mempunyai perilaku
menyusui eksklusif yang positif lebih besar dibanding ibu dengan paritas primipara.
Kemungkinan mempunyai perilaku yang positif pada paritas multipara karena ada faktor
pengalaman proses menyusui pada anak sebelumnya. Hasil review beberapa penelitian yang
dilakukan oleh Rodrigues, et al. (2013) menyatakan bahwa mulitipara adalah faktor positif
atau faktor penguat terjadinya efikasi diri yang kuat. Ilmu psikologi memandang perilaku
manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks.
Kurt Lewin (1951) dalam Brigham (1991) merumuskan suatu model hubungan perilaku yang
menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan.
Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian
dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan
faktor-faktor lingkungan yang menetukan perilaku.
Menurut Ajzen (1991) dalam Montano & Kasprzky (2008) memahami dan
memprediksi perilaku dengan memodifikasi theory of reasoned action menjadi theory
planned behavior (TPB), dalam TPB keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku
tertentu, pada norma subyektif dan kontrol perilaku. Ketiga komponen ini berinteraksi dan
menjadi determinan bagi niat yang pada gilirannya akan menetukan apakah perilaku yang
bersangkutan akan dilakukan atau tidak.
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden berpengetahuan baik, hal ini
karena populasi penelitian ini adalah ibu bekerja yang berpendidikan tinggi sehingga
83
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
pengetahuannyapun termasuk kategori baik. Apalagi masalah ASI eksklusif belakangan ini
sosialisasinya gencar sekali sehingga akses untuk mendapatkan informasi mengenai ASI
sangat mudah.
Persepsi tentang konsep anak sehat termasuk baik bahkan hampir semua responden
mempunyai persepsi yang baik (96,4%). Konsep anak sehat kategori baik jika responden
menjawab bahwa anak sehat itu yang perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan
umur anak. Jadi paradigma bayi gemuk itu sehat sudah mulai banyak bergeser. Bahkan ada
beberapa responden yang berhasil memberikan ASI eksklusif kepada anaknya mengatakan
bahwa kalau bayi ASI cenderung tidak bisa gemuk, tetapi anak lincah dan perkembangan
motoriknya juga bagus.
Sebagian besar responden mempunyai sikap positif (51,8%) meskipun persentasenya
tidak jauh beda dengan yang memiliki sikap negatif. Hal ini sejalan dengan penelitian
Sittlington (2006) yang menyatakan bahwa sikap menyusui yang baik itu dipengaruhi oleh
pendidikan, pekerjaan dan sosial ekonomi. semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin
positif sikap menyusui, begitu juga status pekerjaan pada ibu yang bekerja memiliki sikap
positif dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Sosial ekonomi tinggi juga mempengaruhi
sikap menyusui positif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa norma subyektif responden sebagian besar negatif
(53,6%) meskipun persentase ini tidak jauh beda dengan responden yang memiliki norma
subyektif positif. Norma subyektif adalah persepsi responden terhadap kepercayaan atau
pandangan-pandangan tentang menyusui dari orang-orang terdekat maupun masyarakat yang
umum terjadi. Norma subyektif negatif juga bisa dipengaruh oleh pengetahuan yang kurang
sehingga percaya terhadap norma menyusui yang salah. Bisa juga dipengaruhi oleh adat atau
budaya patuh terhadap orang tua atau orang yang lebih tua sehingga apa yang menurut
mereka benar maka kita harus mengikuti pandangan mereka.
Efikasi diri pemberian ASI dalam penelitian ini sebagian besar adalah kuat (62,5%).
Efikasi diri pemberian ASI yang kuat adalah keyakinan untuk mampu bisa menyusui secara
eksklusif pada bayinya. Efikasi diri bisa dipengaruhi oleh pengalaman terdahulu, hal ini
sesuai dengan paritas responden yang sebagian besar multipara sehingga mereka memiliki
keyakinan yang kuat untuk bisa menyusui eksklusif meskipun mereka bekerja. Efikasi diri
juga bisa dipengaruhi karena melihat perilaku orang lain yang sukses dalam memberikan ASI
eksklusif, banyaknya komunitas (peer group) ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif bisa
memberikan motivasi dan menambah efikasi diri ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki niat yang kuat untuk memberikan ASI eksklusif (58,9%). Menurut Teori Planned
Behavior (TPB), niat dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif dan efikasi diri. Sebagian besar
responden dalam penelitian ini mempunyai sikap positif dan efikasi diri yang kuat sehingga
niat responden untuk memberikan ASI eksklusif juga kuat.
Penelitian ini dilakukan di 12 SKPD Provinsi Jawa Timur, dengan berbagai macam
latar belakang bidang pekerjaan dan pendidikan. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa
responden yang berasal dari instansi kesehatan sebesar 28,57%, dengan berbagai macam latar
belakang ini maka pengetahuan mengenai kesehatan dan ASI eksklusif juga berbeda. Padahal
pemberian ASI eksklusif adalah hak semua bayi tidak memandang dari latar belakang
pekerjaan maupun pendidikan ibu.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa work family conflict responden
sebagian besar tinggi (57,1%), hal ini karena penelitian ini dilakukan di pemerintah daerah
tingkat provinsi sehingga beban kerja maupun tingkat kesibukan juga tergolong tinggi.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur mempunyai 38 Kabupaten/Kota, jadi para pegawai memiliki
kemungkinan akan melakukan tugas dinas luar kota ke 38 Kabupaten/Kota termasuk ibu yang
84
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
masih memiliki bayi. Ketika ibu meninggalkan bayinya pasti ada rasa bersalah telah
meninggalkan bayinya, hal ini salah satu sebab sehingga work family conflict menjadi tinggi.
Dari ke 12 SKPD yang menyediakan fasilitas pojok laktasi hanya 3 SKPD yaitu Dinas
Kesehatan, Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Perhubungan. Namun tidak semua
responden di 3 SKPD tersebut menggunakan fasilitas pojok laktasi, dengan alasan lokasi yang
terlalu jauh dengan ruangan kerja dan tempat yang kurang nyaman. Berdasarakan penelitian
responden yang menjawab fasilitas pojok laktasi lengkap hanya 12,5%. Sebagian besar
responden lebih memilih memanfaatkan fasilitas ruang kosong atau ruangan rapat untuk
memerah ASI. Berdasarkan hasil penelitian Amin et al. (2011) di Malaysia menyatakan
bahwa kebutuhan utama yang dibutuhkan para ibu yang masih memberikan ASI kepada
bayinya adalah refigerator untuk menyimpan ASI perah, sedangkan pengaruh penyediaan
pojok laktasi tidak memberikan hasil yang signifikan.
Hasil penelitian menujukkan bahwa sebagian besar responden mengaku mempunyai
kesempatan memerah yang cukup. Menurut Walter (2007) apabila ibu meninggalkan bayinya
dalam jangka waktu yang cukup lama maka ibu perlu memerah ASInya maksimal 3 jam
sekali untuk menjaga produksi ASInya. Rata-rata jam kerja PNS adalah 8 jam sehari,
sehingga ibu memerah dikantor minimal sebanyak 2 kali.
Cuti bersalin bagi PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 1976 tentang cuti pegawai Negeri sipil. Pada pasal 19 disebutkan bahwa lamanya
cuti bersalin adalah 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan sesudah. Namun pada
kenyataannya, pemberin cuti bersalin pada PNS tergantung kebijakan atasan masing-masing.
Ada yang 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah, 1 bulan sebelum dan 2 bulan sesudah, 3
bulan dihitung sejak cuti berlaku sebelum melahirkan dan ada yang 3 bulan setelah
melahirkan. Sebagian besar responden mendapatkan cuti bersalin <3 bulan penuh setelah
melahirkan (53,6%). Menurut penelitian Chatterji (2005) menyatakan bahwa cuti bersalin <3
bulan melahirkan berhubungan dengan kemungkinan gagalnya pemberian ASI Eksklusif.
Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak
mendapat dukungan atasan dan rekan kerja (66,1%). Menurut Killiath (2004) mengatakan
bahwa, adanya dukungan sosial pada ibu bekerja akan memberikan efek yang positif pada
kesejahteraan ibu. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Govern et al. (2007) juga menyatakan
bahwa dukungan sosial di tempat kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kesehatan ibu pasca melahirkan.
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden tidak mendapat dukungan suami
(53,6%) dan keluarga (55,4%). Menurut Kirrane & Buckley (2004) dukungan sosial terutama
dari suami dan keluarga adalah faktor penting untuk mengurangi konflik antara pekerjaan dan
keluarga.
Penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Sika (2010) menyatakan bahwa mayoritas
ibu yang berhasil memberikan ASI Ekslusif adalah mereka yang didukung oleh orangtuanya.
Karena di Ghana tidak ada budaya penggunaan ART (asisten Rumah Tangga) untuk menjaga
anaknya sehingga, bagi ibu bekerja di sana dukungan sosial khusunya dari orang tua sangat
menentukan keberhasian dalam pemberian ASi eksklusif.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pemberian ASI responden
sebagian besar adalah parsial (41,1%) sedangkan yang memberikan ASI eksklusif sebesar
28,6%. Persentase pemberian ASI eksklusif pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan
dengan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur pada tahun 2010 (31,21%) dan juga jauh lebih
rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2012) pada ibu bekerja di
Kementerian Kesehatan sebesar 62,58%. Menurut Wilar (2010) faktor-faktor yang
menghambat keberhasilan menyusui pada ibu bekerja adalah pendeknya waktu cuti kerja,
kurangnya dukungan tempat kerja, pendeknya waktu istirahat saat bekerja (tidak cukup waktu
85
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
memerah ASI), tidak adanya ruangan untuk memerah ASI, pertentangan keinginan ibu antara
mempertahankan prestasi kerja dan produksi ASI.
Data dan hasil uraian di atas dapat dianalisis, bahwa sebagian besar ibu bekerja di
Instansi Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyusui partial. Sesuai definisi dari WHO
menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik susu
formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur enam bulan, baik diberika secara
kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal. Padahal apabila dilihat dari perilaku
ibu tentang menyusui cukup baik, namun karena populasi penelitian ini adalah ibu bekerja
sehingga faktor pekerjaan juga menentukan keberhasilan pemberian ASI eksklusif.
Sikap secara sederhana dapat diartikan sebagai cara seseorang melihat „sesuatu‟ secara
mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada orang lain, ide,
objek, maupun kelompok tertentu. Sikap didasarkan pada informasi afektif, behavioral dan
kognitif. Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan seseorang terhadap suatu stimulus.
Komponen behavioral adalah cara orang bertindak dalam merespon stimulus (Hutagalung,
2007; Crites et al. 1994 dalam Taylor, 2009).
Pembentukan sikap bisa berdasarkan pengalaman pribadi menurut Middlebrook
(1974) dalam Azwar (2011) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan
suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut.
Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana ibu bekerja dengan paritas ≥2
(multipara) sebagian besar memiliki sikap yang positif jika dibanding ibu dengan paritas 1
(primipara).
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan paritas yang signifikan antara ibu yang
mempunyai sikap pemberian ASI positif dan sikap pemberian ASI negatif.
Hasil ini
didukung oleh penelitian Sittlington (2007) yang mengatakan bahwa paritas dari ibu tidak
mempengaruhi sikap ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif (p = 0,105).
Paritas dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan karena
pembentukan sikap tidak hanya didasarkan dari pengalaman pribadi tetapi juga bisa
dipengaruhi berbagai faktor salah satunya adalah interaksi sosial. Di dalam interaksi sosial
terjadi hubungan yang saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain.
Adanya informasi maupun kelas edukasi menyusui yang sekarang sudah banyak dan mudah
diakses masyarakat, memberikan dampak terbentuknya sikap positif pada kelompok paritas
primipara.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerja yang pendidikannya
sarjana sebagian besar memiliki sikap positif jika dibandingkan dengan ibu bekerja yang
pendidikannnya SMA/Diploma. Sesuai dengan penelitian Sittlington, et al. (2007) di Irlandia
Utara yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi sikap menyusui secara
eksklusif (p<0,001). Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan pendidikan yang signifikan
antara ibu yang pendidikannya SMA/Diploma dengan ibu berpendidikan sarjana terhadap
sikap pemberian ASI. Hal tersebut bisa disebabkan karena responden dalam penelitian ini
adalah berstatus sebagai pegawai pemerintah yang rata-rata tingkat pendidikannya sama
sehingga dalam uji statistik tidak menghasilkan hasil yang signifikan terhadap sikap
pemberian ASI.
Penelitian yang tidak sejalan dengan pendapat di atas adalah penelitian yang dilakukan
oleh Khatum et al. (2010) di India, menyatakan bahwa sebagian besar ibu dengan tingkat
pendidikan rendah memiliki sikap yang positif (85,11%). Penelitian lain di Amerika yang
dilakukan oleh Hill et al. (2008) menyatakan bahwa apabila rata-rata populasi berpendidkan
tinggi maka tidak menghasilkan pengaruh kepada sikap yang positif karena tingkat
pendidikan mendekati homogen yaitu berpendidikan tinggi sehingga tidak ada pengaruh
signifikan.
86
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Menurut Crites, Fabrigar & Petty (1994) dalam Taylor, Peplau & Sears, (2009) bahwa
sikap (attitude) merupakan evaluasi terhadap objek yang didasarkan pada informasi afektif,
behavioral dan kognitif. Cognitif component (komponen kognitif) terdiri dari pemikiran
seseorang tentang objek tertentu, seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan. Jadi menurut
Crites, Fabrigar & Petty sikap seseorang terhadap objek dipengaruhi oleh pengetahuan
seseorang.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerja yang pengetahuannya
baik memiliki sikap yang positif lebih besar dibanding dengan ibu bekerja yang
pengetahuannya tidak baik. Pada penelitian ini pengetahuan mempengaruhi sikap. Hal ini
sejalan dengan penelitian Ariyani (2009) tentang hubungan pengetahuan terhadap sikap
mendukung penerapan program patient safety, yang menyatakan bahwa ada hubungan
bermakna antara pengetahuan dengan sikap.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerja yang persepsi tentang
konsep anak sehat baik memiliki sikap baik lebih besar dibanding ibu bekerja yang persepsi
tentang kosep anak sehat tidak baik. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara ibu yang mempunyai persepsi tentang konsep anak sehat baik dan tidak baik
terhadap sikap pemberian ASI. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Sharp, et al. (2003)
menyatakan bahwa sikap menyusui orang tua dipengaruhi oleh persepsi tentang kesehatan
anak dan keyakinan yang tinggi tentang perawatan anak yang baik untuk mencegah anak
sakit.
Pengaruh persepsi tentang konsep anak sehat terhadap sikap menyusui tidak signifikan
pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena persepsi tentang konsep anak sehat
sebagian besar responden adalah baik (96,4%), dan yang mempunyai persepsi tidak baik
semuanya memiliki sikap yang negatif. Artinya ibu bekerja yang mempunyai konsep anak
sehat tidak baik seperti anak sehat itu yang badanya gemuk dan harus diberikan susu
tambahan selain ASI mempunyai sikap menyusui yang negatif, karena mereka menganggap
bahwa dengan memberikan ASI badan bayi tidak dapat gemuk, karena bayi ASI cenderung
berbadan kecil.
Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis, yang mempengaruhi sikap menyusui
positif adalah paritas multipara, pendidikan tinggi, pengetahuan baik dan persepsi baik. Ibu
dengan paritas multipara seharusnya sudah mempunyai pengalaman dalam menyusui pada
anak sebelumnya sehingga diharapkan dengan adanya pengalaman maka sikap menyusui
eksklusifnya positif. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada pengaruh
signifikan antara paritas dengan sikap menyusui. Hal ini dapat disebabkan karena angka
cakupan menyusui eksklusif masih sangat kecil di Indonesia, sehingga pengalaman menyusui
sebelumnya para ibu bekerja cenderung tidak baik sehingga meskipun dengan paritas
multipara persentase yang memiliki sikap negatif (41,7%) tidak jauh beda dengan persentase
sikap positif (58,3%).
Idealnya semakin tinggi pendidikan ibu semakin positif sikap menyusuinya, namun
kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan antara pendidikan dengan
sikap menyusui positif. Hal ini disebabkan karena menyusui eksklusif masih merupakan hal
yang sulit dilakukan apalagi dengan status ibu bekerja. Kurangnya informasi maupun
pengetahuan mempengaruhi sikap menyusui meskipun pendidikan ibu tinggi. Pendidikan
tinggi tidak menjamin ibu bekerja mempunyai pengetahuan dan informasi yang cukup tentang
ASI eksklusif dikarenakan tidak ada waktu atau kesempatan untuk mengakses informasi
tentang ASI eksklusif dan latar belakang bidang pendidikan yang berbeda-beda.
Pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap sikap menyusui, karena semakin tinggi
pengetahuan menyusui eksklusif akan memberi dampak sikap yang positif tentang menyusui
eksklusif. Pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kepercayaan diri menyusui, kesiapan
diri untuk bisa menyusui eksklusif serta sikap menyusui eksklusif yang positif.
87
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Persepsi seharusnya mempengaruhi sikap menyusui, namun dalam penelitian ini
menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan, sebagian besar
responden (96,4%) mempunyai persepsi yang baik tentang konsep anak sehat sehingga tidak
ada pengaruh signifikan persepsi terhada sikap. Seluruh responden yang mempunyai persepsi
tidak baik juga mempunyai sikap yang negatif. Hal ini membuktikan bahwa persepsi tentang
anak sehat yang tidak baik juga memberi dampak sikap negatif menyusui karena responden
yang mempunyai persepsi tidak baik berpendapat bahwa dengan hanya diberi ASI bayi akan
kekurangan nutrisi.
F. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan penelitian ini maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sebagian
besar ibu bekerja berpendidikan sarjana, berusia >30 tahun dengan paritas ≥2 dan tidak
memberikan ASI eksklusif. Sebagian besar ibu bekerja mendapatkan cuti bersalin <3
bulan penuh setelah melahirkan dan memiliki work family conflict yang tinggi namun
memiliki kesempatan memerah ASI yang cukup saat bekerja walaupun fasilitas pojok
laktasi tidak lengkap. Dalam hal dukungan ibu bekerja tidak mendapatkan dukungan dari
suami, keluarga maupun atasan dan rekan kerja. Pengetahuan berpengaruh terhadap sikap
sedangkan pendidikan, paritas dan persepsi tidak mempengaruhi sikap. Variabel yang
mempengengaruhi norma subyektif adalah paritas sedangkan yang tidak berpengaruh
adalah pendidikan, pengetahuan dan persepsi. Untuk efikasi diri variabel pendidikan,
paritas, pengetahuan dan persepsi tidak ada yang berpengaruh signifikan.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar ibu bekerja yang masih menyusui
memiliki work family conflict yang tinggi, dan mendapatkan cuti bersalin kurang dari 3
bulan penuh setelah melahirkan serta tidak mendapat dukungan dari atasan dan rekan
kerja. Faktor dari pekerjaan dan fasilitas yang dapat menghambat ibu bekerja dalam
pemberian ASI eksklusif ditambah tidak tersedianya fasilitas pojok laktasi, oleh karena itu
saran penelitian ini antara lain, untuk :
a) Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur agar menghimbau kepada Kepala Dinas
untuk memberikan cuti tambahan untuk ibu bersalin, memberi kesempatan pada ibu
yang masih menyusui untuk menyusui atau memerah, menyediakan ruangan laktasi,
dan mendukung program ASI ekslusif bagi ibu bekerja.
b) Dinas Kesehatan Jawa Timur, melakukan sosialisai PP No. 33 tahun 2012 ke semua
SKPD Provinsi Jawa Timur agar semua SKPD menindaklanjuti dengan membuat
peraturan tentang pemberian ASI eksklusif di masing-masing SKPD. Serta
memberikan KIE kepada masyarakat agar terbentuk social support yang bisa
meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif
c) SKPD Provinsi Jawa Timur seyogyanya memberi dukungan kepada Ibu menyusui
untuk bisa memberikan ASI eksklusif serta menyediakan fasilitas ruang laktasi yang
nyaman dan memberi kesempatan memerah atau menyusui. menyusun peraturan
tertulis tentang pemberian ASI eksklusif sebagai tindak lanjut PP RI No. 33 Tahun
2012.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Giri Inayah, 2012, Determinan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di
Kementerian Kesehatan RI, Tesis, Universitas Indonesia.
88
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Arno J, Broermann D, Gleason E, Ward AM. 2010, Changes to support breastfeeding in the
workplace. Amerika: NAEYC]. Tersedia di: http://www.naeyc.org diakses tanggal 24
Mei 2013
Azriani D., 2012, Metode Skoring Untuk Menilai Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif Di
Kabupaten Bekasi, Jurnal Health Quality Vol. 2 No. 4, tersedia di www.undip.ac.id
diakses tanggal 15 Juli 2013
Azwar Saifuddin, 2011, Sikap Manusia Teori dan pengukurannya Edisi ke-2, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar Offset
BAPPENAS, 2012, Report on The Achivement Of Millenium Development Goals in Indonesia
2011, BAPPENAS, Jakarta tersedia di www.undp.or.id diakses pada tanggal 15 Januari
2013
BKKBN, 2012, Reproduksi Sehat Dalam Gerakan KB Nasional tersedia di www.bkkbn.go.id
diakses tanggal 30 Juli 2013
BPS Provinsi Jawa Timur, 2011, Laporan Eksekutif Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2011.
tersedia di www.jatim.bps.go.id diakses pada tanggal 7 Nopember 2012
BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur 2011 tersedia di
www.jatim.bps.go.id (diakses pada tanggal 12 Oktober 2012)
Cardenas A Rebekah and Debra A Major. 2005. Combining Employment and Breastfeeding :
Utilizing a Work-Family Conflict Framework to Understand obstacles and solution.
Journal of Business and Psycology, vol 20, No.1 page 31-51. Tersedia di
http://proquest.com diakses tanggal 19 Pebruari 2013
Cervone Daniel & Pervin LA, 2012, Kepribadian : Teori dan Penelitian, Edisi 10, Buku 2,
Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.
Dennis Cindy-Lee, 2010, Breastfeeding Self-Efficacy, tersedia di www.cindyleedennis.ca
diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
Faught L., 1994, Lactation Program Benefit The Family and The Corporation. Journal of
Compensation and Benefit, tersedia di http://proquest.com diakses tanggal 19 Pebruari
2013
Forster D., McLachlan H., & Lumley J., 2006. Factors Assosiated with Breastfeeding at Six
Months Postpartum in a Group of Australia Women, International Breastfeeding
Journal 1 (18), 1-18
Friedman HS & Schustack, MW, 2008, Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern, Edisi
Ketiga, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta
Glenn JS, 2008, Knowledge, perceptions, and attitudes of managers, coworkers, and
employed
breastfeeding
mothers.
AAOHN
journal.
Tersedia
di
http://www.ebscohost.com, diakses tanggal 21 Mei 2013.
Guendelman Sylvia, Kosa Jessica Lang, Graham Steve, Goodman Julia and Kharrazi Martin,
2012, Juggling Work and Breastfeeding: Effect of Maternity Leave and Occupational
Characteristic,
American
Academic
of
pediatric,
tersedia
di
http://pediatricaapublications.org diakses tanggal 25 November 2012.
Heaney Catherine A. and Israel Barbara A., 2008, Social Network and Social Support, Glanz
Karen, Rimer BK, Viswanath (Editor), in Health Behavior and Health Education, San
Fransisco: Jossey-Bass
Hill Patricia Ann Woch. 2010. The Relationship Between Breastfeeding and Child Care for
Working Mothers in United State. Lincoln : Digital Commons @University of
Nebrasca-Lincoln
Hikmawati Isna, 2008, ‘Faktor-Faktor Risiko Kegagalan Pemberian ASI Selama Dua Bulan‟
(Studi Kasus pada bayi umur 3-6 bulan di Kabupaten Banyumas), Tesis, Universitas
Diponegoro, Semarang.
89
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Hutagalung Inge, 2007, Pengembangan Kepribadaian : Tinjauan Praktis Menuju Pribadi
Positif, PT. Indeks, Jakarta.
Kemenkes RI. 2010. Riskesdas 2010 tersedia di www.litbang.depkes.go.id (diakses tanggal 13
Oktober 2011)
Khatun Shanzida, Punthmatharith Buskaron & Orapiriyakul Racthwon, 2010, The Influence
of Breastfeeding Attitude and Subjective norm on Intention to Exclusive Breastfeeding
of Mothers in Dhaka, Bangladesh, The 2nd International Conference on Humanities and
Social Science, tersedia di www.sv.libarts.psu.ac.th diakses tanggal 19 Juli 2013
Kimbro Rachel Tolbert, 2006, On-the-Job Moms : Work and Breastfeeding Initiation and
Duration for Sample of Low-Income Women, Maternal and Child Health Journal, Vol.
10, No. 1, January 2006
Kirrane M & Buckley, F, 2004, The Influence of Support Relationship ob Work-Family
Conflict : Differentiating emotional from instrumental support. Equal Opportunities
International, 23
Legawati, 2010, Pegaruh Inisiasi Menyusu Dini terhadap Paraktik Menyusu 1 Bulan Pertama,
Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 8, No. 2, Oktober 2011 : 60-68
90
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
DETERMINAN “PICKY EATER” (PILIH-PILIH MAKANAN) PADA ANAK USIA 13 TAHUN (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo)
Niken Kusumawardhani1, Windhu Purnomo2, Rachmat Hargono2,
Siti Nurul Hidayati3, Martono Tri Utomo3, Sri Andari 4
1
) Mahasiswa S2 FKM Unair
2
) Staf Pengajar dan Peneliti FKM Unair Surabaya,
3
) Staf Pengajar dan Peneliti SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya,
4
) Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo
ABSTRACT
Picky eater is one of the important issues in child growth that have to be concerned by
parents and health practitioners, due to the negative effect of imbalance increasing of weight,
important nutrition defeciency, also lack of variation of food consumptions. If this issue does
not immediately treated it can cause a long term effect of an unhealthy or slow development
and growth in children. Sample of population used in this research are all children aged 1-3
years old in Posyandu of Puskesmas Jabon in March until May 2013. The type of this study
was an analytic with case control design study. The total of sample was 106 children devided
in case (n=53) and control groups (n=53) and using Multiple Logistic Regression Test. The
outcome of this research are showing all illness that have been suffered by all children in last
3 months, lack of interaction between mother and children, parents selective food behavior,
not given enough exclusive breastfed for 6 months, given weaning food less than or more than
6 months, children is raised by people other than parents, socio-cultural dietetic view,
unmatching frequencies between consumption and age, improper mealtimes, and improper
feeding techniques are all crucial in affeting selective eating disorder in children aged 1-3
years in area of work of Puskesmas Jabon Sidoarjo in 2013.
Key words: Picky eater disorder
A. PENDAHULUAN
Memilih-milih makanan (picky eater) merupakan masalah pada anak yang perlu
diperhatikan baik oleh orang tua maupun praktisi kesehatan, karena picky eater pada anak
memiliki efek yang merugikan, baik bagi pengasuh ataupun anak itu sendiri. Picky eater
banyak terjadi pada umur 1 sampai 3 tahun dan berisiko dua kali lebih besar untuk
mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang bukan picky
eater (Dubois, 2007; Wright, 2008; Judarwanto, 2006). Masalahan makan merupakan hal
yang umum di kalangan anak-anak, sekitar 25%-40% balita dan anak yang baru masuk
sekolah merupakan picky eater (Mayes dan Volkmar, 1993). Efek merugikan dapat berupa
penambahan berat badan yang tidak sesuai, defisiensi nutrisi yang penting, serta pengurangan
variasi asupan makan. Picky eater yang tidak ditangani dengan benar dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan kegagalan tumbuh serta keterlambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan.
Kejadian kasus anak dengan gizi buruk di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini tidak saja dialami oleh masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah namun
juga dialami oleh masyarakat ekonomi atas. Kasus gizi buruk yang semakin meningkat ini
dapat disebabkan dari perilaku anak dalam memilih-milih makanan, dimana anak-anak tidak
mengetahui kandungan gizi yang terdapat di dalam makanan yang dipilihnya itu dapat
memenuhi kebutuhan gizinya atau tidak. Studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Jabon tepatnya di desa Balong Tani, perilaku picky eater yang dialami oleh anak
berusia 12-36 bulan yang terdaftar di buku register posyandu sebanyak 33,3%.
91
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Penyebab utama picky eater pada anak yaitu hilangnya nafsu makan, gangguan proses
makan di mulut, dan pengaruh psikologis yaitu kondisi kecemasan, ketakutan, sedih, depresi
atau trauma, kondisi fisik karena adanya keterbatasan pada anak terutama organ-organ
pencernaan (Dorfmann, 2008; Judarwanto, 2006). Faktor interaksi ibu dan anak, perilaku ibu
yang mempunyai variasi asupan sayur yang rendah, kualitas makanan yang rendah, perilaku
makan pengasuh dan orang tua, serta suasana keluarga juga dapat menjadi penyebab picky
eater (Claude dan Bernard Bonning, 2006; Galloway, et al., 2003; Dubois, 2007; Alarcon et
al., 2003). Ditemukan pula bahwa ibu yang anaknya picky eater mempunyai pendapatan
rendah dan pendidikan rendah, serta tidak memberikan ASI eksklusif dan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) diberikan terlalu dini (<6 bulan) atau bahkan terlambat dalam
memberikan MP-ASI (>6 bulan) (Dubois, 2007; Chatoor, Jaclyn Surles, Jodi Ganiban et al,
2004; Galloway et al, 2003).
Orang tua di Indonesia masih mempunyai anggapan bahwa anak yang sehat adalah
anak yang gemuk, sehingga banyak orang tua salah dalam mengambil langkah, seperti
memberikan susu formula di samping ASI bahkan memberikan makanan pada anak yang
masih berumur dibawah 3 bulan (Einsenberg et al, 2002). Selain itu pola asuh makan terhadap
anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu
kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh
anggota keluarganya padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan
prinsip-prinsip ilmu gizi (Suhardjo, 2003).Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis determinan picky eater pada anak umur 1-3 tahun yang bertempat di wilayah
kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo.
B. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Picky Eater
Istilah picky eater memang belum begitu dikenal, namun terdapat beberapa definisi
yang menjelaskan tentang picky eater dalam Chatoor (2009), sebagai berikut:
1) Marchi dan Cohen (1990) mendefinisikan pilih-pilih makan ditandai dengan tiga dari
perilaku anak sebagai berikut: tidak cukup makan, sering atau sangat sering pemilih
makanan, biasanya makan perlahan, atau tidak tertarik pada makanan.
2) Dovey, Staples, Gibson, dan Halford (2007) menyatakan bahwa "picky/rewel" makan
biasanya didefinisikan sebagai anak-anak yang mengkonsumsi berbagai makanan yang
tidak memadai, melalui penolakan sejumlah besar makanan yang akrab serta asing.
3) Timimi, Dauglas, dan Triftsopoulou (1997) mendefinisikan picky eater sebagai pola
perilaku yang spesifik dan gigih yang terdiri dari penolakan untuk makan apapun
makanan di luar makanan yang disukai, dan mereka menggambarkan perilaku yang
disertai upaya perlawanan untuk makan, tersedak, menyemburkan makanan, bermain
dengan makanan di waktu makan, makan secara lambat, dan kesulitan menelan atau
mengunyah makanan.
4) Rydel, Dahl, dan Sundelin (1995) menjelaskan "picky eater" sebagai anak-anak yang
pemilih, diwujudkan dalam penolakan makanan, makan sedikit, dan tidak tertarik pada
makanan.
5) Kesulitan makan (picky eater) adalah perilaku anak tidak mau atau menolak untuk
makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis
dan jumlah sesuai umur secara fisiologis (alamiah dan wajar) yaitu mulai dari
membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan, hingga sampai terserap di
pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu
(Judarwanto, 2006).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa picky eater merupakan kesulitan makan pada anak
yang ditandai dengan menolak makan dan memilih makanan yang sangat disukai.
92
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2.2 Epidemiologi Picky Eater
Sekitar 25% anak normal dan 80% anak yang memiliki gangguan perkembangan
mengalami kesulitan makan, serta terdapat 1-2% bayi dengan kesulitan makan serius yang
dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan (Chatoor, 2009). Penelitian di Amerika Serikat
menemukan bahwa 20% sampai 50% dari anak-anak dijelaskan oleh orang tua mereka
sebagai picky eater (Piazza, Carroll-Hernandez, 2004; Lubis, 2005).
Sebuah studi populasi di London menggambarkan 17% anak berumur 3 tahun
memiliki nafsu makan yang buruk dan 12% picky eater (Shore, Piazza, 1997). Sedangkan di
Indonesia prevalensi picky eater terjadi pada anak berusia 1-3 tahun sekitar 20%, dari anak
picky eater 44,5% mengalami malnutrisi ringan sampai sedang, dan 79,2% dari subjek
penelitian telah mengalami picky eater lebih dari 3 bulan (Dewanti, 2012; Lubis, 2005).
2.3 Etiologi Picky Eater
Komponen gangguan perilaku makan anak berhubungan dengan pengalaman dan
rangsang oral di masa lalu. Anak yang pernah memiliki pengalaman makan yang tidak
menyenangkan akan takut untuk belajar makan dan menghindari makanan. Anak yang pernah
mengalami refluks gastroesofagus dan esofagitis akan merasakan nyeri yang berulang-ulang
ketika makan/minum atau anak yang peka terhadap rasa, tekstur, dan bau memberikan anak
pengalaman makan tidak menyenangkan sehingga anak akan menghindari makanan.
Penolakan makan ini bisa saja menetap meskipun masalah organik yang mendasarinya telah
hilang. Dibutuhkan rasa percaya diri dengan merasakan pengalaman menyenangkan yang
berulang ketika makan untuk mengatasi hal ini.
Orang tua yang mengalami depresi dan kelelahan dapat menjadi mudah marah dan
menjadi tidak memiliki ketertarikan pada makan anaknya. Rangsangan makan dari orang tua,
tingkat kekacauan, adanya jarak emosional orang tua anak/interaksi antara ibu dan anak yang
kurang baik, serta kurangnya keterlibatan orang tua dalam mempersiapkan dan menyajikan
makanan dapat membuat anak makan dengan perasaan tidak senang atau bahkan menjadi
tidak tertarik makan apapun (Douglas, 1995; Chatoor, 2009).
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan pilih-pilih makan pada anak. Faktorfaktor ini memiliki interaksi yang dinamis satu sama lainnya (Winters, 2003).
2.3.1 Penyakit pada anak
Penyakit yang diderita anak seperti gangguan saluran pencernaan yang bisa dialami
yaitu alergi makanan, celiac, reflux, kolik, pancreatic insufficiency, diare, hepatitis, sirosis,
sariawan, bibir sumbing dan sebagainya merupakan faktor penyebab terpenting dalam
gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori ”Gut Brain Axis”.
Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat gangguan saluran cerna maka mempengaruhi
fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan fungsi susunan saraf pusat tersebut berupa
gangguan neuroanatomis dan neurofungsional. Salah satu manifestasi klinis yang terjadi
adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut. Gangguan pencernaan tersebut kadang
tampak ringan seperti tidak ada gangguan. Tampak anak sering mudah mual atau muntah
bila batuk, menangis atau berlari. Sering nyeri perut sesaat dan bersifat hilang timbul, bila
tidur sering dalam posisi ”nungging” atau perut diganjal bantal.
Sulit buang air besar (bila buang air besar mengejan, tidak setiap hari buang air
besar, atau sebaliknya buang air besar sering (>2 kali/perhari). Kotoran tinja berwarna
hitam atau hijau dan baunya sangat menyengat, berbentuk keras, bulat (seperti kotoran
kambing), pernah ada riwayat berak darah. Lidah tampak kotor, berwarna putih serta air
liur bertambah banyak atau mulut berbau. Keadaan ini sering disertai gangguan tidur
malam seperti sering rewel, kolik, tiba-tiba terbangun, mengigau atau menjerit, tidur bolak
balik dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Saat tidur malam timbul gerakan brushing atau
beradu gigi sehingga menimbulkan bunyi gemeretak.
93
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Biasanya disertai gangguan kulit: timbul bintik-bintik kemerahan seperti digigit
nyamuk atau serangga, biang keringat, kulit berwarna putih (seperti panu) di wajah atau di
bagian badan lainnya dan sebagainya. Kulit di bagian tangan dan kaki tampak kering dan
kusam. Tanda dan gejala tersebut di atas sering dianggap biasa oleh orang tua bahkan
banyak dokter atau klinisi karena sering terjadi pada anak. Bila diamati secara cermat tanda
dan gejala tersebut merupakan manifestasi adanya gangguan pencernaan, yang berkaitan
dengan kesulitan makan pada anak. Hal tersebut dapat menyebabkan anak merasa tidak
nyaman dan cenderung menolak makan sehingga menyebabkan risiko tinggi untuk gizi
buruk. Keterbatasan fisik, terutama organ-organ pencernaanya merupakan penyebab anak
menjadi picky eater (Judarwanto, 2006; Dorfmann, 2008).
Penelitian Alarcon et al (2003) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara anak
yang sakit dan anak yang tidak sakit dengan picky eater. Penelitian Daniel dan Jacob
(2012) menyatakan bahwa picky eater pada anak dapat dikaitkan dengan persepsi orang tua
terhadap penurunan tingkat kesehatan dan aktivitas anak.
Penyakit infeksi dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai
akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan
atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit. Anak yang sering menderita
sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang. Ada beberapa
penyebab seorang anak mudah terserang penyakit, adalah (Lubis, 2008) :
1)
Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan
menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan
terhadap penyakit;
2)
Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan
perilaku yang sehat;
3)
Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh
karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara
teratur sesuai dnegan tahapan usianya dan segera memeriksakan ke dokter jika anak
menderita sakit.
Gangguan malabsorbsi yang disebabkan oleh adanya gangguan enzim dapat pula
menyebabkan anak menjadi picky eater, tingginya konsentrasi asam lambung dapat
menyebabkan menurunnya kadar keasaman (pH) pada saluran cerna di bagian atas, hal ini
dapat mengakibatkan anak menjadi sulit makan dan cenderung picky eater. Percepatan
waktu transit makanan dalam usus yang mengakibatkan proses absorbsi berkurang dan
dapat menimbulkan diare dipicu dari hipersekresi asam lambung (Cathey dan Gaylord,
2004).
2.3.2 Faktor psikologis
Kebanyakan orang pada umumnya berasumsi jika anak balita terlalu kecil untuk
merasa sedih. Berdasarkan penelitian terbaru menyatakan bahwa depresi klinis ternyata
tidak mengenal umur. Faktor psikologis/perilaku pada anak dengan kesulitan makan
meliputi: kecemasan, perhatian yang mudah teralihkan, memiliki keinginan yang kuat,
serta gangguan mengendalikan diri. Riwayat tersedak, dipaksa ataupun dimarahi saat
makan dapat menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak (Adriani dan
Wirjatmadi, 2012).
Terdapat banyak faktor psikologis yang menpengaruhi nafsu makan anak yang
sedang merasa tidak bahagia, sedih depresi atau merasa tidak nyaman dapat mengalami
gangguan nafsu makan, selain itu mood ketika stress berperan pada rendahnya variasi
makanan dan kecenderungan terhadap rasa manis (Greeno dan Wing, 1994).
Orang tua yang membiarkan anaknya menangis berlama-lama dan sepuas-puasnya
adalah sikap yang buruk dalam mendidik, karena menangis seperti itu membuat anak
merasakan kepedihan yang hebat dan merasa kesepian. Anak seolah-olah dibiarkan
94
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
sendirian dan tidak diperdulikan, tidak di bantu dalam mengembangkan fungsi psikis yang
paling dibutuhkan yaitu: kemampuan untuk berhubungan dan menerima kehangatan dan
keramahan orang lain. Akibat dari situasi tersebut anak dapat mengalami depresi (Gunarsa,
2010).
Anak yang menderita depresi secara persisten selalu terganggu, menarik diri dan
lethargic. Anak yang depresi juga kehilangan minat untuk melakukan kegiatan yang
sebelumnya sangat mereka sukai termasuk perubahan kebiasaan makan (Adriani dan
Wirjatmadi, 2012). Hilangnya nafsu makan akan menyebabkan anak menjadi picky eater
yang biasanya dimulai dari kehilangan nafsu makan dari yang ringgan hingga berat
(Judarwanto, 2006).
2.3.3 Nafsu makan
Sebagian besar bayi mengalami kenaikan berat tubuh tiga kali berat lahirnya ketika
ia berumur satu tahun, pada tahun ke dua ia hanya bertambah kira-kira seperempat dari
beratnya. Menurunnya selera makan pada saat ini adalah cara tubuh bayi untuk menjamin
adanya penurunan dari kenaikan berat tubuh ini. Ada juga faktor lain yang dapat
mempengaruhi kebiasaan makan bayi pada saat ini. Salah satunya adalah bertambahnya
minat bayi terhadap dunia sekitarnya. Selama hampir seluruh tahun pertamanya waktu
makan adalah saat-saat yang menonjol dalam kehidupannya (Judarwanto, 2006).
Penelitian Alarcon et al (2003) menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara nafsu makan anak dengan picky eater. Sedangkan penelitian Johnson (2003) yang
menyatakan bahwa picky eater merupakan bagian normal dari perkembangan anak yang
mengarah pada frustasi, kecemasan dan perebutan kekuasaan antara anak dan orang tua.
Menurut Sigmund Freud (1956-1939) pada satu tahun awal kehidupannya anak
berada pada masa oral. Di dalam masa ini fokus kepuasan baik fisik maupun emosional
berada pada sekitar mulut (oral). Kebutuhan untuk makan, minum sifatnya harus segera
dipenuhi. Bayi menangis karena lapar, jika segera disusui dan kenyang bayi akan berhenti
menangis dan tidur. Pada masa ini segala sesuatunya selalu dimasukkan ke dalam
mulutnya. Demikian juga apa bila ada gangguan fisik tidak nyaman anak menangis dan
setelah gangguan fisiknya hilang akan segera diam (Siswanto, 2009).
Pada tahun kedua anak memasuki masa anal. Pada fase ini kepuasan atau kesenangan
berpusat disekitar anus dan segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Pada fase ini
waktu makan hanya tampak seperti hal yang mengganggu bagi bayi yang sedang ingin
terus bergerak. Bertambahnya kemandirian juga dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap
makanan. Bayi yang sedang dalam proses berkembang menjadi anak balita, bisa saja bayi
sangat menyukai makanan tertentu namun menolak beberapa jenis makanan (Siswanto,
2009; Eisenberg, 2002).
Picky eater pada anak yang disebabkan oleh hilangnya nafsu makan dapat terjadi
mulai dan tingkat yang ringan hingga yang berat. Gejala ringan dapat berupa kurangnya
nafsu makan, pada anak terlihat dari minum susu botol yang sering sisa, mengeluarkan
atau menyembur-nyemburkan makanan dan waktu minum ASI yang singkat, sedangkan
gejala berat tampak dalam bentuk anak menutup mulutnya rapat-rapat atau menolak makan
dan minum susu sama sekali. Hilangnya nafsu makan pada anak dapat terjadi karena
gangguan saluran cerna, penyakit infeksi akut atau kronis, seperti TBC, cacingan, alergi
makanan dan sebagainya (Judarwanto, 2006).
2.3.4 Umur anak
Biasanya anggota keluarga pria yang lebih tua (senior) mendapat jumlah dan mutu
susunan makanan yang lebih baik daripada anak kecil dan wanita muda. Padahal anakanak membutuhkan banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Keadaan tersebut akan mengakibatkan buruknya keadaan gizi pada anak. Pada anak-anak,
95
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
energi yang dibutuhkan lebih banyak dari pada kelompok umur lainnya karena pada umur
ini tubuh memerlukan energi untuk pertumbuhan badan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
Kejadian picky eater terbanyak pada umur 1-3 tahun. Berdasarkan hasil penelitian
Antolis (2012) yang dilakukan di Semarang, mayoritas anak yang mengalami kesulitan
makan (picky eater) adalah berumur 6-24 bulan. Anak usia 1-3 tahun mempunyai perilaku
makan yang rewel, suka memasukkan makanan ke dalam mulut tanpa menelannya, makan
makanan yang sama berkali-kali dan menutup mulut yang biasa dikenal dengan istilah
gerakan tutup mulut (GTM) (Judarwanto, 2006). Penelitian Lubis (2005) menjelaskan,
picky eater banyak terjadi pada umur 1 sampai 3 tahun dan berisiko dua kali lebih besar
untuk mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang bukan
picky eater. Studi populasi di London-Inggris, pada anak berumur 3 tahun sebanyak 17%
digambarkan memiliki nafsu makan yang buruk dan 12% picky eater (Shore, Piazza,
1997). Sedangkan di Indonesia prevalensi picky eater terjadi pada anak berusia 1-3 tahun
sekitar 20%, dari anak picky eater 44,5% mengalami malnutrisi ringan sampai sedang, dan
79,2% dari subjek penelitian telah mengalami picky eater lebih dari 3 bulan (Dewanti,
2012).
2.3.5 Jenis kelamin anak
Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Keadaan ini dapat mengakibatkan angka kematian bayi dan
malnutrisi masih tinggi pada wanita (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
Berdasarkan penelitian Antolis (2012) yang dilakukan di Semarang, mayoritas anak
yang mengalami kesulitan makan (picky eater) adalah anak wanita sebesar (58%).
Sedangkan menurut Carruth, Ziegler, Gordon, dan Barr (2004) prevalensi picky eater
secara konsisten meningkat untuk kedua jenis kelamin antara 4 dan 24 bulan, mulai dari
17% menjadi 47% untuk pria dan 23% sampai 54% untuk perempuan.
2.3.6 Interaksi ibu dan anak
Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat adanya hubungan yang terus menerus
antara ibu atau pengganti ibu dengan bayi. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan
hubungan timbal balik, yang secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan kasih
sayang antara kedua pihak. Pada fase awal interaksi dapat berupa saling tatap atau kontak
mata. Sifat hubungan antara ibu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
anak di kemudian hari. Hubungan yang kaku dan dingin, penuh rasa permusuhan, akan
memupuk kelak sifat suka melawan pada anak. Hubungan yang demikian juga merupakan
sebab terbentuknya individu-individu yang bertipe anti sosial. Interaksi antara ibu atau
pengasuh dengan anak dapat juga dipandang sebagai interaksi yang memberi rangsangan.
Anak dirangsang untuk berkembang dan belajar banyak hal. Terutama dalam memberikan
respon-respon tingkah laku yang bervariasi (Santrock, 2007; Gunarsa, 2010).
Tanda-tanda sebuah hubungan ibu dan anak yang baik adalah: (1) anak akan
meminta untuk selalu berdekatan dengan ibu atau pengasuh; (2) anak akan berbagi rasa
atas perasaan yang dialaminya dengan ibu atau pengasuh; (3) anak akan mengatakan
sesuatu yang menunjukkan dia tahu bagaimana perasaan ibu atau pengasuh; (4) anak akan
membantu ibu atau pengasuh tanpa diminta; (5) anak ingin berbicara dengan ibu atau
pengasuh (Fung dan Yi-Ming, 2003). E, Erikson menanamkan tahap pertama dari
kehidupan bayi itu sebagai pengalaman untuk memperoleh “dasar kepercayaan“ atau
“dasar ketidak percayaan” dalam tahap ini bayi membutuhkan perasaan yang
menyenangkan secara fisik dan sesedikit mungkin pengalaman rasa takut atau tidak pasti.
Keterikatan bayi pada ibunya menurut Freud dimulai dari situasi memberi makan dan
menurut Erikson bermula pada pergaulan yang terjadi terus menerus antar ibu dan bayi
sedangkan cara ibu memberikan makan bayi akan memperkuat keterikatanya (Gunarsa,
2010).
96
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Proses makan pada anak memerlukan suatu interaksi ibu dan anak yang baik, hal
tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Ineteraksi yang positif
seperti kontak mata, komunikasi dua arah, pujian dan sentuhan dan interaksi yang negatif
seperti memaksa makan, membujuk, mengancam dan melemparkan makanan dapat
mempengaruhi psikologis anak yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap nafsu makan
anak (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006).
Perilaku pilih-pilih makanan secara signifikan terkait dengan keadaan
psikologis/stress ibu ketika memberi makan, hal ini dapat berdampak negatif pada
hubungan antara ibu dan anak (Daniel dan Jacob, 2012). Masalah makan bisa menjadi
indikator kesulitan emosi antara anak dan orang tua khususnya ibu karena makan
merupakan proses yang kompleks, dinamis, dan merupakan interaksi yang efektif antara
pengasuh, anak dan lingkungan (Louise, 1999; Wardlan, 1999). Interaksi ibu dan anak
mempunyai hubungan yang kuat pada perilaku makan dan berat badan anak (Oliveria,
2008).
Pemberian makan merupakan salah satu hal yang penting dari pengasuhan orang tua
terhadap anak. Perilaku anak di waktu makan, jadwal makan yang teratur, kualitas dan
kuantitas makan serta variasi makanan dapat perhatian dari orang tua. Contoh dalam
perilaku makan dapat dilakukan oleh orang tua. Kebiasaan dan perilaku makan orang tua
dapat direfleksikan kepada anaknya (Cooke, L. J et al, 2007).
Kecemasan orang tua dapat terjadi saat anak mengalami kesulitan dalam hal makan,
hal itu dapat mengganggu hubungan dalam keluarga dan semakin memperburuk perilaku
makan anak. Hubungan interaksi yang dilakukan dengan penuh rasa sayang dan kecintaan
antara pemberi makan/pengasuh dengan anak, terutama ibu/orang tua dan seluruh anggota
keluarga lain sangat penting dalam upaya pembinaan makan/pola asuh makan yang benar
dan baik dalam keluarga, sehingga sangat bermanfaat sebagai salah satu upaya pencegahan
kesulitan makan (Samsudin,1992).
Interaksi ibu dan anak berhubungan dengan perkermbangan mental anak. Studi klinis
menunjukkan perbedaan dalam nilai indeks perkembangan mental dan pertumbuhan antara
anak-anak picky eaters dengan anak-anak non-picky eater. Nilai Mental Development
Index (MDI) dari anak picky eater yang berumur 1-3 tahun adalah 14 poin lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang non-picky eater (Chatoor, 2004).
2.3.7 Perilaku makan orang tua
Anak picky eater merupakan hasil dari meniru pola makan orang tuannya. Hal
tersebut dapat dimulai dari meniru pola makan lingkungan terdekatnya yang juga pilihpilih makanan. Pada anak sulit makan mengalami gangguan oral motor yang
mengakibatkan gangguan mengunyah dan menelan sehingga mereka akan pilih-pilih atau
menolak makanan dengan tekstur tertentu terutama yang berserat seperti sayur, daging sapi
atau nasi. Anak seperti ini hanya mau makanan yang tidak berserat dan yang crispy seperti
telor, mie, nugget, biskuit, kerupuk dan sejenisnya. Gangguan oral motor biasanya sering
disebabkan karena gangguan fungsi saluran cerna seperti alergi atau intoleransi makanan
lainnya. Alergi atau gangguan genetik lainnya seringkali diturunkan oleh salah satu orang
tuanya. Jadi bila salah satu orang tua mempunyai masalah kesulitan makan maka hal
tersebut dapat diturunkan pada anak bukan karena anak meniru pola makan orang tua
tetapi karena masalah itu diturunkan secara genetik (Judarwanto, 2006).
Perilaku dan kebiasaan orang tua dalam hal makan yang dipengaruhi oleh faktor
budaya akan mempengaruhi sikap suka dan tidak suka seorang anak terhadap makanan.
Orang tua memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku anak yang berhubungan
dengan makanan dan pilihan makanan pada anak. Orang tua masih tetap memegang
peranan penting sebagai model atau contoh bagi anak-anaknya dalam hal perilaku makan
yang sehat. Orang tua bertanggungjawab terhadap masalah makanan di rumah, jenis-jenis
97
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
makanan yang tersedia dan kapan makanan tersebut disajikan juga harus memberikan
petunjuk mengenai hal-hal yang penting kepada anak-anak sehingga mereka mampu
menentukan makanan yang sehat di saat mereka jauh dari rumah. Anak yang tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang malas makan (diet), akan mengembangkan perilaku malas
makan juga (Sulistyoningsih, 2012). Penelitian Dubois et al (2007) yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara perilaku makan orang tua dengan picky eater.
Lingkungan keluarga adalah pengaruh utama pada perilaku makan anak. Orang tua
memainkan peran penting dalam konsumsi pola makan anak mereka, karena mereka juga
mengontrol makanan yang dibeli untuk anak (Golan et al, 1998; Birch dan Davison, 2001;
Epstein et al, 2001).
Banyak penelitian mengenai pola makan dan pilih-pilih makanan pada anak-anak
membahas pengaruh keluarga, khususnya orang tua. Konsep orang tua sebagai model
peran tidak dapat diabaikan dalam diskusi fenomena pilih-pilih makanan. Sebuah
kuantitatif meta-analisis yang mengamati temuan penelitian awal menemukan bahwa
perilaku makanan orang tua berkorelasi positif dengan perilaku makanan anak-anak
(Carruth dan Skinner, 2000).
Ibu yang memilih-milih makanan mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anakanak mereka. Seorang anak mungkin akan kurang bersedia untuk mencoba makanan baru
yang ibunya nya belum pernah merasakannya. Anak-anak akan kurang menerima makanan
asing jika mereka mengamati perilaku orang tua mereka juga memilih-milih makan.
Perilaku ibu akan terus mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak (Carruth dan
Skinner, 2000). Daniel dan Jacob (2012) menyatakan anak-anak dengan riwayat keluarga
pilih-pilih makanan secara signifikan lebih cenderung menjadi picky eater.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi balita masih bergantung pada orang lain khususnya ibu
atau pengasuhnya, karena balita merupakan golongan konsumer semipasif/semiaktif
(Soedibyo, 2008). Asupan gizi secara kuat berhubungan dengan ibu dan anak daripada
antara ayah dan anak, selain itu, kebiasaan makan orang tua mempunyai dampak pada
asupan gizi pada anak prasekolah (Oliveria, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa anak
perempuan yang picky eater mempunyai ibu dengan variasi asupan sayuran yang rendah
(Galloway, 2003). Orang tua dari anak picky eater menyatakan ketidakmampuan memakan
berbagai makanan (Chatoor, 2009).
Studi kuantitatif yang dipublikasikan tahun 1998 menguji, pemilihan makan pada
balita berhubungan dengan pemilihan makan anggota keluarganya (Skinner et al, 1998).
Pengasuh anak dengan karakterstik tertentu mempunyai dampak positif pada keadaan gizi
anak. Anak-anak yang bergizi baik mempunyai ibu yang terampil dalam mengurus anak
(UNICEF-Indonesia, 2012).
2.3.8 Riwayat pemberian ASI eksklusif
Tidak banyak diketahui bahwa rasa ASI berubah sesuai dengan makanan yang
dikonsumsi ibu. Rasa yang berubah-ubah pada ASI ini merupakan stimulasi bagi indera
pengecapan bayi (Hendarto, Aryono dan Pringgadini, Keumala, 2008). Bayi mengalami
pengalaman pertama tentang rasa makanan sejak masih dalam kandungan. Rasa cairan
ketuban berubah-ubah bergantung jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu. Rasa dari
makanan yang dikonsumsi oleh ibu selama kehamilan disalurkan ke cairan ketuban yang
tidak hanya dirasakan oleh janin tetapi juga meningkatkan penerimaan dan kenikmatan
bayi pada saat masa penyapihan ASI (Nasar, 2010).
Kemampuan bayi untuk mengetahui dan menerima rasa dan selera berkembang
setelah lahir. Oleh karena itu pengalaman pertama terhadap rasa dan selera mempunyai
dampak terhadap penerimaan rasa dan selera pada masa bayi dan anak. Telah diketahui
sejak lama bahwa bayi yang terpapar dengan rasa dalam ASI akan meningkatkan
penerimaan rasa tersebut sehingga mempercepat keberhasilan penyapihan. Beberapa bayi
98
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
yang mendapat ASI lebih dapat menerima sayur-sayuran pada pemberian pertama
dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula. Anak yang diberikan ASI paling
sedikit 6 bulan juga lebih jarang mengalami kesulitan makan (picky eater), sepanjang cara
pemberian ASI-nya benar (Nasar , 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Abbas dan Haryati (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian penyakit infeksi pada anak usia 12 bulan denga
keeratan hubungan yang kuat dan anak yang diberi ASI eksklusif lebih jarang terkena
penyakit infeksi dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif.
Anak yang mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau
selama 6 bulan. Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini
dikenalkan makanan, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan
cenderung tidak mengalami picky eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai
variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anak-anak dapat membangun pola interaksi ibu dan
anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya daripada anak yang minum susu
formula (Galloway, 2003).
Semakin lama seorang ibu menyusui bayinya maka semakin rendah ibu-ibu
memaksa makan pada saat anak berumur satu tahun. Menyusui secara eksklusif dan tidak
memaksakan anak makan dapat mengurangi terjadinya picky eater pada anak (Taveras,
2004). Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau
terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan
dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006).
Penelitian Dubois et al (2007) yang menyatakan bahwa ASI eksklusif menyebabkan
penurunan 78% picky eater pada anak. Anak yang diberi ASI secara eksklusif
kemungkinan 81% lebih sedikit menolak makanan.
Cathey dan Gaylord (2004) yang menyatakan bayi yang mulai makan makanan padat
sebelum berusia 4 bulan berisiko empat kali lebih besar untuk mengalami picky eater. Bayi
yang mulai makan makanan padat sebelum berusia 6 bulan dari dua kali lebih berisiko
untuk menolak makanan baru pada saat pra sekolah. Hal tersebut karena memperkenalkan
makanan padat terlalu dini dapat mengganggu sistem pencernaan bayi yang belum siap
untuk diberikan makanan padat.
2.3.9 Riwayat pemberian MP-ASI
Pemberian MP-ASI pada saat yang tepat sangat bermanfaat bagi pemenuhan
kebutuhan nutrisi dan tumbuh kembang bayi serta merupakan periode peralihan dari ASI
eksklusif ke makanan keluarga yang merupakan suatu proses dimulainya pemberian makan
khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun struktur dan
konsistensinya sampai seluruh kebutuhan nutrisi anak dipenuhi oleh makanan keluarga
(Nasar, 2010).
Syarat pemberian MP-ASI menurut Nasar (2010) yaitu: Tepat waktu (Timely): MPASI mulai diberikan saat kebutuhan energi dan nutrien melebihi yang didapat dari ASI;
Adekuat (Adequate): MP-ASI harus mengandung cukup energi, protein dan mikronutrien;
Aman (Safe): penyimpanan, penyiapan dan sewaktu diberikan, MP-ASI harus higienis;
Tepat cara pemberian (Properly): MP-ASI diberikan sejalan dengan tanda lapar dan nafsu
makan yang ditunjukkan bayi serta frekuensi dan cara pemberiannya sesuai dengan umur
bayi.
Masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga yang berlangsung antara 6 bulan
sampai 23 bulan merupakan masa rawan pertumbuhan anak karena pada masa ini awal
terjadinya malnutrisi yang berlanjut dan berkontribusi pada tingginya prevalensi malnutrisi
anak balita. Selain itu dikatakan bahwa 2/3 dari kematian yang terkait malnutrisi
disebabkan tidak tepatnya cara pemberian makan pada bayi dan anak (Nasar, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlia di Jakarta Timur (2001) didapatkan
99
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
hasil bahwa tingginya pemberian MP-ASI dini pada bayi turut berkontribusi akan
terjadinya penyakit infeksi dan kurang gizi terutama pada bayi usia 0-6 bulan pertama
kehidupan, juga berperan untuk memperpendek jarak kelahiran serta dapat menimbulkan
penyakit degeneratif seperti Diabetes mellitus, Hipertensi, penyakit sirkulasi dan kanker
pada usia dewasa akibat terjadinya obesitas yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI
dini pada masa bayi.
Anak yang mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau
selama 6 bulan. Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini
dikenalkan makanan, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan
cenderung tidak mengalami picky eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai
variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anak-anak dapat membangun pola interaksi ibu dan
anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya daripada anak yang minum susu
formula (Galloway, 2003).
Semakin lama seorang ibu menyusui bayinya maka semakin rendah ibu-ibu
memaksa makan pada saat anak berumur satu tahun. Menyusui secara eksklusif dan tidak
memaksakan anak makan dapat mengurangi terjadinya picky eater pada anak (Taveras,
2004). Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau
terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan
dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006).
Daniel dan Jacob (2012) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kemungkinan
pada anak yang dipengenalkan makanan padat (MP-ASI) pada saat anak berusia <6 bulan
berisiko 2,5 kali lebih besar untuk mengalami picky eater dari pada anak yang
diperkenalkan makanan padat (MP-ASI) saat berumur 6 bulan.
2.3.10 Konsep sehat sakit orang tua
Anggapan bayi sehat adalah bayi yang gemuk sering kali menjadi tolok ukur banyak
orang tua dalam menilai kesehatan seorang anak. Padahal anggapan ini belum tentu benar.
Bayi yang gemuk mungkin saja sehat, tapi belum tentu bayi yang tidak gemuk itu tidak
sehat. Bayi yang gemuk akan sulit bergerak sehingga anak menjadi tidak aktif dan berat
tubuhnya akan semakin bertambah. Semakin sedikit anak bergerak maka semakin ia
gemuk. Ketidakmampuan untuk bergerak membuat ia frustasi dan rewel.
Begitu juga anggapan ibu tentang bayi yang kurus merupakan bayi yang kurang
sehat. Akibat anggapan ini, banyak orang tua yang salah dalam mengambil langkah.
Misalnya, karena merasa anaknya tidak gemuk, maka ibu menambahkan susu formula di
samping ASI, bahkan makanan pada anaknya yang masih berumur 3 bulan, dengan
anggapan supaya lebih sehat. ASI ekslusif selama 6 bulan pertama pada bayi sangat baik
untuk menghasilkan anak sehat dan cerdas daripada susu formula apapun (Eisenberg et al,
2002).
Bedasarkan penelitian diketahui bahwa anak picky eater diberi ASI kurang dari 6
bulan. Perilaku picky eater dibentuk karena anak terlau dini mengenal makanan, anak yang
menyusu ASI cenderung tidak picky eater karena anak sudah dipanjakan dengan variasi
rasa melalui ASI (Galloway, 2003).
Selain memberikan MP-ASI secara dini orang tua biasanya juga memaksa anak
makan banyak supaya anak dapat terlihat gemuk dan sehat sesuai dengan anggapan orang
tua bahwa bayi yang sehat merupakan bayi yang gemuk. Dipaksa ataupun dimarahi saat
makan dapat menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak. Psikologis yang
menpengaruhi nafsu makan anak yang sedang merasa tidak bahagia, sedih depresi atau
merasa tidak nyaman dapat mengalami gangguan nafsu makan, selain itu penelitian
menunjukan bahwa mood ketika stress berperan pada rendahnya variasi makanan dan
kecenderungan terhadap rasa manis (Greeno dan Wing, 1994). Hilangnya nafsu makan
100
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
akan menyebabkan anak menjadi picky eater yang biasanya dimulai dari kehilangan nafsu
makan dari yang ringgan hingga berat (Judarwanto, 2006).
Seorang individu akan memperoleh suatu konsep atau pandangan megenai makanan
ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan
yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi sejak bayi tersebut boleh jadi
merupakan pengetahuan lokal sebagai himpunan yang disalurkan melalui informasi dari
satu generasi ke generasi berikutnya (Cathey dan Gaylord, 2004).
Seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun makanan yang
memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat
informasi tentang gizi (Kusharisupeni, 2007). Dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial
budaya dengan permasalahan gizi masyarakat, hal ini sesuai dengan teori dari Pelto et al
(1980) yang menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan
untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pandangan, pengetahuan yang terjadi dalam
berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya
perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi
langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, cara berfikir, budaya dan ekonomi
masyarakat. Perubahan ini akan memengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas
maupun kuantitas.
2.3.11 Umur ibu
Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makanan yang sesuai bagi
anak karena semakin bertambahnya umur ibu maka makin bertambah pula pengalaman dan
kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak. Saat ini banyak
perempuan yang menikah pada umur dibawah 20 tahun. Secara fisik dan mental mereka
belum siap untuk hamil dan melahirkan. Rahim belum siap menerima kehamilan dan ibu
muda tersebut belum siap untuk merawat, mengasuh serta membesarkan bayinya. Hal ini
juga mempengaruhi kesiapan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak (Manuaba, 2010).
Orang tua yang sudah siap dalam mendidik anak serta mengalami pengalaman yang
baik akan mempunyai banyak cara dalam menghadapi anak-anak yang susah makan dan
mempunyai beragam variasi makanan yang dapat disajikan untuk anak sehingga anak
dapat terhindar dari kebiasaan pilih-pilih makan yang disebabkan rasa bosan karena menu
yang kurang bervariatif. Akan tetapi keluhan anoreksia tanpa penyakit organis yang nyata
lebih sering ditemukan orang tua yang berusia lanjut (Markum, 2007).
2.3.12 Pendidikan ibu
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh
kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima
segala informasi dari luar terutama tentang cara pengurusan anak yang baik. Pendidikan
formal maupun informal diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu. Pendidikan
formal sangat diperlukan oleh ibu rumah tangga dalam meningkatkan pengetahuan dalam
upaya mengatur dan mengetahui hubungan antara makanan dan kesehatan atau kebutuhan
tubuh termasuk kebutuhan zat gizi bagi anggota keluarganya.
Pendidikan merupakan suatu proses yang menumbuhkan sikap lebih tanggap
terhadap perubahan-perubahan atau ide-ide baru. Pada satu sisi pendidikan seorang ibu
penting, artinya untuk kesejahteraan anak, namun pada sisi lain tidak dapat diingkari
bahwa di beberapa bagian dunia ini wanita tertinggal jauh dalam hal pendidikan. Padahal
bekal pendidikan bagi wanita sebagai seorang ibu sangat besar artinya bagi kesejahteraan
suatu bangsa. Pendidikan sangat diperlukan agar seorang ibu lebih tanggap terhadap
adanya masalah gizi dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan cepat (Sudiyanto dan
Sekartini, 2005).
Pendidikan dapat dikaitkan dengan pengetahuan, berpengaruh terhadap pemilihan
bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Seorang yang berpendidikan rendah
101
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
biasanya akan berprinsip „yang penting mengenyangkan‟, sehingga porsi bahan makanan
sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lainnya.
Sebaliknya kelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih
bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan
gizi lain. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan dapat merencanakan menu
makanan yang sehat, bergizi dan bervariasi bagi dirinya dan keluarganya sehingga dapat
terhindar dari rasa bosan dan dapat mengurangi perilaku terlalu memilih-milih makanan
pada anak. Diketahui ibu dari anak picky eater ditemukan mempunyai pendidikan yang
rendah (Adriani dan Wirjatmadi, 2012; Chatoor, 2009).
2.3.13 Tingkat pendapatan keluarga
Tingkat pendapatan keluarga cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi
pangan. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan
menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas. Tidak
dapat dipungkiri dalam kenyataan, motif ekonomi berperan dalam menentukan perilaku
individu. Terpenuhinya kebutuhan ekonomi seseorang atau keluarga akan mempengaruhi
pengembangan potensinya, oleh karena itu kebutuhan fisiologis menempati posisi pertama
dalam memandang aktualisasi perilaku manusia (Sulistyoningsih, 2012; Dariyo, 2007).
Golongan ekonomi miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang
sekitar dua per tiganya. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang
primer seperti makanan maupun yang sekunder (Suhardjo, 1989).
Tingkat penghasilan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan
adanya tambahan penghasilan. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas
dan kualitas makanan. Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang
menguntungkan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Pendapatan yang tinggi diimbangi
pengetahuan gizi yang cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif
dalam pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih
didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi (Sulistyoningsih, 2012).
Penghasilan keluarga dapat mempengaruhi perencanaan menu makanan yang sehat, bergizi
dan bervariasi sehingga dapat terhindar dari rasa bosan dan dapat mengurangi perilaku
terlalu memilih-milih makanan pada anak. Ditemukan bahwa ibu yang anaknya picky eater
mempunyai pendapatan keluarga yang rendah (Chatoor, 2009).
2.3.14 Pengasuh anak
Pengasuh anak merupakan termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan
dilakukan. Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering
berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak termasuk
dalam hal makan. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak,
disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara
berkesinambungan.
Ketika anak makan dan rewel, lalu orang tua/pengasuh merespon dengan tidak sabar
dan memaksa anak makan maka anak akan menganggap peristiwa makan menjadi hal yang
tidak menyenangkan dan nafsu makan anak pun menjadi menurun. Akibatnya, anak pun
jadi susah makan. Dalam hal pola asuh, orang tua yang tidak mengajari anak untuk
mengonsumsi makanan yang bervariasi atau hanya menyediakan makanan yang tetap dapat
membuat anak tidak belajar mengenal rasa dan jenis makanan yang beragam. Akibatnya,
anak menjadi pilih-pilih makanan (picky eater) (Judarwanto, 2006).
102
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Masalah makan bisa menjadi indikator kesulitan emosi antara anak dan orang tua
khususnya ibu karena makan merupakan proses yang kompleks, dinamis, dan merupakan
interaksi yang efektif antara pengasuh, anak dan lingkungan (Louise, 1999; Wardlan,
1999). Pemberian makan merupakan salah satu hal yang penting dari pengasuhan orang tua
terhadap anak. Perilaku anak di waktu makan, jadwal makan yang teratur, kualitas dan
kuantitas makan serta variasi makanan dapat perhatian dari orang tua. Contoh dalam
perilaku makan dapat dilakukan oleh orang tua. Kebiasaan dan perilaku makan orang tua
dapat direfleksikan kepada anaknya (Cooke et al, 2007).
Kecemasan orang tua dapat terjadi saat anak mengalami kesulitan dalam hal makan,
hal itu dapat mengganggu hubungan dalam keluarga dan semakin memperburuk perilaku
makan anak. Hubungan interaksi yang dilakukan dengan penuh rasa sayang dan kecintaan
antara pemberi makan/pengasuh dengan anak, terutama ibu/orang tua dan seluruh anggota
keluarga lain sangat penting dalam upaya pembinaan makan/pola asuh makan yang benar
dan baik dalam keluarga, sehingga sangat bermanfaat sebagai salah satu upaya pencegahan
kesulitan makan (Samsudin,1992). Penelitian Daniel dan Jacob (2012) yang meyatakan
bahwa picky eater secara signifikan terkait dengan pengasuh anak.
Semakin emosional orang tua/pengasuh dalam menghadapi anak yang susah makan
maka suasana makan semakin terasa tidak menyenangkan bagi anak dan akhirnya anak
akan semakin sulit untuk makan. Anak semakin antipati terhadap makanan karena
mengingatkannya pada suasana yang tidak menyenangkan (Hidayati, 2011).
2.3.15 Sosial budaya
Penemuan para peneliti banyak sekali yang menyatakan bahwa faktor budaya sangat
berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsurunsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan/pola makan penduduk yang
kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya
memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan.
Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap
taboo untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang
dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial karena mempunyai peranan
yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan agama
atau kepercayaan.
Dalam hal pangan ada budaya yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk
mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu umumnya keluarga. Anggota
keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya, dan yang paling umum
mendapatkan prioritas terbawah adalah golongan ibu rumah tangga. Apabila hal yang
demikian ini masih dianut dengan kuat oleh suatu budaya, sedangkan dilain pihak
pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang bersangkutan, maka dapat saja timbul
distribusi konsumsi pangan yang tidak baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).
Budaya cukup menentukan jenis dan variasi makanan yang sering dikonsumsi.
Makanan yang bervariasi ini dapat menghindarkan terhadap rasa bosan. Pengaturan siklus
makan juga sangat penting untuk diperhatikan sehingga berbagai kebutuhan gizi dapat
terpenuhi. Pengulangan makanan yang terlalu sering dalam rentan waktu yang pendek
dapat menimbulkan rasa bosan dan anak cenderung memilih makanan-makanan tertentu
yang disukainya. Hal ini karena pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat
yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi
lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan dan
bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang
(Sediaoetama, 2006).
Depkes (2005) menyatakan bahwa ibu adalah orang yang menentukan dalam
pengaturan pemberian makanan untuk keluarganya. Jika ibu memiliki pendidikan dan
103
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
pengetahuan yang baik maka ia akan memberikan makanan yang sama untuk seluruh
anggota keluarganya tanpa mengesampingkan anaknya. Pendidikan yang baik tidak akan
memengaruhi seorang ibu terhadap budaya pendistribusian makanan yaitu dengan
mendahulukan kepala rumah tangga dan membelakangkan anaknya. Sehingga dengan
demikian pola konsumsi makan untuk anaknya dapat terkontrol dengan baik dan semua
keluarga mendapat kebutuhan gizi yang sama. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan,
keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin
baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya.
Hasil penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara budaya makan dengan picky eater. Menurut Kusharisupeni (2007),
bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan mampu menyusun makanan yang
memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat
informasi tentang gizi. Selanjutnya bila dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial budaya
dengan permasalahan gizi masyarakat, perlu dipertimbangkan pendapat Pelto (1980) yang
menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk melihat
berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial,
budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya
hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung ataupun tidak langsung
dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada
gilirannya akan memengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
2.4 Gejala Picky Eater
Permasalahan makan pada anak merupakan masalah yang cukup bervariasi mulai dari
inappropriate texture of food for age (tekstur makanan yang tidak bisa diterima), food refusal
(menolak makan), restrictive eating (membatasi makan), selective eating (terlalu pilih-pilih
makan), food phobia (takut terhadap makanan tertentu), food avoidance emotional disorder,
pervasive refusal syndrome, childhood-onset bulimia nervosa dan childhood-onset anorexia
nervosa (Chatoor, 2009).
Gejala pada anak yang mengalami picky eater sebagai berikut:
(1) Anak mengalami kesulitan dalam mengunyah, menghisap, menelan makanan atau
makanan yang dimakan anak hanya makanan lunak atau cair;
(2) Makanan yang sudah masuk ke dalam mulut anak akan dimuntahkan atau disembursemburkan;
(3) Anak akan makan berlama-lama dan memainkan makanan;
(4) Anak tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapatrapat, biasanya dikenal dengan istilah gerakan tutup mulut (GTM);
(5) Semua asupan makanan dari orang tua dimuntahkan atau ditumpahkan;
(6) Anak tidak menyukai banyak variasi makanan (Judarwanto, 2006).
2.5 Kriteria Diagnosis Picky Eater
(1) Penolakan makan ini ditandai dengan penolakan yang konsisten terhadap makanan
dengan rasa, tekstur, suhu atau bau tertentu selama paling tidak 1 bulan.
(2) Makanan yang ditolak biasanya makanan yang baru diperkenalkan, atau makanan
yang pernah dikenal tetapi dengan tipe lain, namun anak tidak kesulitan makan jenis
makanan yang disukai.
(3) Dijumpai adanya reaksi penolakan yang ditunjukkan dengan raut muka yang tidak
menyenangkan, menutup mulut, hingga memuntahkan makanan. Setelah penolakan
terhadap makanan tertentu biasanya anak tidak melanjutkan makan dan juga akan
menolak makanan lain yang mempunyai warna atau tampilan atau bau yang serupa.
Anak juga akan menolak seluruh kelompok makanan tersebut.
104
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
(4) Anak akan mengalami defisiensi mikronutrien tertentu seperti vitamin, Fe, Zinc atau
protein, jika tidak diberikan suplementasi. Tetapi pada umumnya anak tidak
mengalami perlambatan pertumbuhan dan bermasalah dalam perkembangan bicara.
Pada umur sekolah, anak menjadi cemas ketika “jam makan di sekolah” atau kegiatan
lain yang berkaitan dengan makan.
(5) Tidak ada riwayat traumatik pada saluran pencernaan.
(6) Tidak ditemukan riwayat alergi terhadap makanan atau penyakit fisik (Chatoor, 2009).
2.6 Dampak Picky Eater
Pada anak, perilaku picky eater merupakan fase yang umum pada perkembangan anak
yang tidak selalu menyebabkan masalah kesehatan atau sosial, namun picky eater yang
ekstrem dapat berakibat buruk bagi anak, seperti gagal tumbuh, penyakit kronis dan kematian
jika tidak ditangani (Manikam dan Perman, 2000).
Kekurangan mikro dan makronutrien juga dapat dialami oleh anak picky eater yang
pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan fisik yang ditandai dengan berat badan dan
tinggi badan kurang atau berat badan sulit untuk ditingkatkan dan juga gangguan
pertumbuhan kognitif (Lewinshon, et al, 2005; Daniel, 2008; Dubois, 2007; Wright, 2008;
Judarwanto, 2006).
2.7 Penanganan Picky Eater
Permasalahan makan merupakan hal yang kompleks dan harus ditangani secara tepat.
Dibutuhkan keahlian dalam menawarkan makanan kepada anak, untuk meningkatkan
penerimaan anak terhadap makanan diperlukan pajanan yang sering terhadap makanan
tersebut, biasanya delapan sampai lima belas kali pajanan (Carruth, Ziegler, Gordon dan
Barr, 2004). Selain itu, makanan baru sebaiknya diperkenalkan tanpa makanan lain dan tidak
pada saat anak sakit, seperti demam atau diare (Claude dan Bernard Bonning, 2006).
Perilaku makan picky eater membuat orang tua akan memaksa anaknya untuk makan
karena kekhawatiran yang berlebihan akan memiliki berat badan rendah padahal perilaku
tersebut dapat berakibat negatif pada anak (Dubois et al, 2007; Claude dan Bernard Bonning,
2006). Selain itu orang tua sebaiknya membangun interaksi makan yang positif, seperti
kontak mata, komunikasi dua arah pujian dan sentuhan dan menghindari interaksi negatif
seperti memaksa makan, membujuk, mengancam, dan perilaku yang mengganggu anak
seperti melempar makanan (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006).
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan jika menghadapi anak yang pilih-pilih
makan sebagai berikut:
(1) Jika anak menunjukkan reaksi tidak suka yang kuat akan suatu makanan seperti
meludahkan makanan, tersedak, atau muntah orang tua disarankan untuk
menghentikan pemberian makanan tersebut, pemberian makanan berulang cenderung
meningkatkan rasa takut anak dan penolakan makanan. Di sisi lain, jika anak hanya
meringis, orang tua dapat memberi anak makanan baru di lain waktu dan
mencampurkan sedikit makanan yang tidak disukai anak dengan makanan yang
disukai, kemudian ditingkatkan secara bertahap makanan yang tidak disukainya
selama beberapa waktu, hal ini dapat memungkinkan anak untuk membiasakan diri
dengan makanan baru tersebut. Ulangi pemberian makanan 15 sampai 25 kali atau
bahkan sampai lebih dari 50 kali sampai anak benar-benar merasa nyaman dengan
makanan baru tersebut;
(2) Jika anak takut sekali mencoba makanan baru maka diet anak menjadi lebih terbatas,
karena anak hanya makan dalam jumlah yang sedikit dan cenderung bosan setelah
beberapa saat jika mereka makan setiap hari dengan menu yang sama, maka hal yang
dapat dilakukan orang tua adalah dengan membuat siklus makan/memutar makanan
dari makanan satu ke yang lain atau dari hari ke hari;
105
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
(3) Tidak memberikan permen atau makanan ringan yang manis di luar jadwal makanan
tambahan;
(4) Membiasakan makan bersama di meja makan;
(5) Jangan memaksa anak untuk makan;
(6) Biarkan anak memilih makanannya sendiri dari daftar makanan yang ditawarkan
orang tua dan mengajak anak untuk membeli dan menyiapkan makanannya sendiri;
(7) Orang tua hedaknya tidak mengikuti keinginan anak dengan mengganti menu sesuai
keinginannya, kerena mungkin saja ketidaksukaan anak terhadap makanan disebabkan
karena keinginan menentang dominasi orang tua (Chatoor, 2009).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional yang bersifat analitik.
Desain penelitian menggunakan pendekatan Case Control (kasus kontrol). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh anak berumur 1-3 tahun di posyandu yang terdapat
di wilayah kerja Puskesmas Jabon. Sampel diambil menggunakan simple random
sampling dan berjumlah 106 anak, yang terdiri dari kelompok kasus dan kontrol.
Kelompok kasus adalah anak berumur 1-3 tahun yang mengalami picky eater,
sedangkan kelompok kontrol yang tidak mengalami picky eater, dengan jumlah masingmasing sebanyak 53 anak.
D. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Anak dan orang tua
Sebagian besar anak berada pada rentang usia >24-36 bulan. Sementara umur ibu
sebagian besar berusia ≥20 tahun. Untuk pendidikan, sebagian besar ibu berpendidikan
terakhir tamat SMA. Untuk pendapatan keluarga, sebagian besar berpenghasilan
≥Rp.1.720.000 juta per bulan.
2. Analisis Bivariabel
Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh antara dua variabel yaitu antara
variabel bebas (determinan picky eater) dan variabel terikat (picky eater) dengan
menggunakan uji Regresi Logistik Ganda. Jika hasil uji bivariabel mempunyai nilai p <
0,25 maka variabel tersebut dapat diikutkan ke dalam kandidat uji multivariabel. Hasil tahap
seleksi bivariabel dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Hasil tahap seleksi bivariabel untuk analisis Regresi Logistik Ganda
Variabel
Penyakit pada anak
Nafsu makan anak
Interaksi ibu dan anak
Perilaku makan orang tua
Riwayat pemberian ASI eksklusif
Riwayat pemberian MP-ASI
Konsep sehat sakit orang tua
Pengasuh anak
Sosial budaya
Jenis makan
Frekuensi makan
Waktu makan
Cara pemberian makan
P value
0,010*
0,007*
0,175*
0,005*
0,000*
0,030*
0,560
0,034*
0,001*
0,039*
0,052*
0,000*
0,000*
*) variabel yang lolos seleksi bivariabel dengan p=0,25
3. Analisis Multivariabel
Analisis multivariabel dilakukan untuk menindaklanjuti analisis bivariabel yang telah
dilakukan sebelumnya. Analisis multivariabel adalah analisis yang dilakukan terhadap
variabel bebas dengan variabel terikat untuk mengetahui variabel yang paling dominan
terhadap picky eater dan hasilnya dibandingkan dengan 0,05. Jika p value 0,05, maka
106
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
variabel independent harus dikeluarkan dari tahap berikutnya. Uji statistik yang digunakan
adalah Regresi Logistik Ganda. Secara lengkap hasil analisis tahap kedua tersaji dalam tabel
2 berikut:
Tabel 2. Hasil analisis multivariabel untuk analisis Regresi Logistik Ganda
Variabel
Cara pemberian makan kurang baik
Riwayat pemberian MP-ASI </>6 bulan
Riwayat tidak diberi ASI eksklusif
Interaksi ibu dan anak kurang baik
Perilaku makan orang tua pilih-pilih makan
Sosial budayaterdapat makanan pantangan pada anak
Waktu makan kurang tepat
Pengasuh anak selain orang tua
Frekuensi makan tidak sesuai umur anak
Anak yang sakit dalam 3 bulan terakhir
Anak yang terdapat gangguan nafsu makan
Jenis makan tidak sesuai umur anak
P value
0,003*
0,004*
0,005*
0,007*
0,008*
0,020*
0,022*
0,023*
0,024*
0,027*
0,249
0,600
OR
13,035
15,851
14,402
17,605
10,084
9,929
5,979
10,992
7,010
6,956
2,505
0,429
*) hasil analisis multivariabel dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda dengan
p=0,05
4. Pengaruh Penyakit Pada Anak terhadap Picky Eater
Tabel 3. Distribusi penyakit pada anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013
Picky eater
Penyakit
n
26
27
53
Ada penyakit
Tidak ada penyakit
Jumlah
(%)
49,1
50,9
100
n
13
40
53
Non picky eater
(%)
24,5
75,5
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,027 < 0,05
sehingga ada pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater, dengan OR= 6,9 (CI 95% =
1,251-38,679) yang berarti kemungkinan pada anak yang sakit dalam tiga bulan terakhir
berisiko mengalami picky eater 6,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak
sakit dalam tiga bulan terakhir.
5. Pengaruh Nafsu Makan Anak terhadap Picky Eater
Tabel 4. Distribusi nafsu makan pada anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun
2013
Picky eater
Nafsu makan
Ada gangguan nafsu makan
Tidak ada gangguan nafsu makan
Jumlah
Non picky eater
(%)
n
(%)
n
31
22
53
58,5
41,5
100
17
36
53
32,1
67,9
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,525 < 0,05
sehingga tidak ada pengaruh gangguan nafsu makan pada anak terhadap picky eater.
6. Pengaruh Interaksi Ibu dan Anak terhadap Picky Eater
Tabel 5. Distribusi interaksi ibu dan anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun
2013
Interaksi ibu dan anak
Kurang baik
Baik
Jumlah
Picky eater
n
(%)
29
24
53
54,7
45,3
100
n
22
31
53
Non picky eater
(%)
41,5
58,5
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,007 < 0,05
sehingga ada pengaruh interaksi ibu dan anak terhadap picky eater, dengan OR = 17,6 (CI
95% = 2,187-141,691) yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai interaksi yang
107
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
kurang baik antara ibu dan anak berisiko mengalami picky eater 17,6 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang mempunyai interaksi antara ibu dan anak baik.
7. Pengaruh Perilaku Makan Orang Tua terhadap Picky Eater
Tabel 6. Distribusi perilaku makan orang tua di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo
tahun 2013
Picky eater
Perilaku makan orang tua
N
Memilih-milih makan
Tidak memilih-milih makan
20
33
53
Jumlah
(%)
Non picky eater
n
(%)
37,7
62,3
100
46
53
7
13,2
86,8
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,008 < 0,05
sehingga ada pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater, dengan OR= 10,1 (CI
95% = 1,838-55,330) yang berarti kemungkinan pada anak yang perilaku makan orang tuanya
memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang mempunyai orang tua yang tidak memilih-milih makanan.
8. Pengaruh Riwayat Pemberian ASI Eksklusif terhadap Picky Eater
Tabel 7. Distribusi pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun
2013
Picky eater
Riwayat pemberian ASI
n
Tidak ASI eksklusif
ASI eksklusif
(%)
83,0
17,0
100
44
9
53
Jumlah
Non picky eater
n
(%)
23
43,4
30
56,6
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,017 < 0,05
sehingga ada pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater, dengan OR= 14,4 (CI
95% = 2,210-93,859) yang berarti kemungkinan pada anak yang tidak diberi ASI eksklusif
berisiko mengalami picky eater 14,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
mendapatkan ASI eksklusif.
9. Pengaruh Pemberian MP-ASI terhadap Picky Eater
Tabel 8. Distribusi pemberian MP-ASI di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun
2013
Riwayat pemberian MP-ASI
</>6 bulan
6 bulan
Jumlah
Picky eater
n
26
27
53
(%)
49,1
50,9
100
Non picky eater
n
(%)
15
28,3
38
71,7
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,004 < 0,05
sehingga ada pengaruh riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater, dengan OR= 15,8
(CI 95% = 2,395-104,904) yang berarti kemungkinan pada anak yang diberi MP-ASI kurang
atau lebih dari 6 bulan berisiko mengalami picky eater 15,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang mendapatkan MP-ASI saat berusia 6 bulan.
10. Pengaruh Konsep Sehat Sakit Orang Tua terhadap Picky Eater
Tabel 9. Distribusi konsep sehat sakit orang tua di wilayah kerja Puskesmas Jabon
Sidoarjo tahun 2013
Konsep sehat sakit orang tua
Kurang
Baik
Jumlah
n
28
25
53
Picky eater
(%)
52,8
47,2
100
Non picky eater
n
(%)
25
47,2
28
52,8
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Sederhana dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,560 > 0,25
sehingga tidak ada pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater.
108
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
11. Pengaruh Pengasuh Anak terhadap Picky Eater
Tabel 10. Distribusi pengasuh anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013
Pengasuh anak
Orang lain selain ayah dan ibu
Ayah dan ibu sendiri
Jumlah
Picky eater
n
(%)
20
37,7
33
62,3
53
100
Non picky eater
n
(%)
10
18,9
43
81,1
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,023 < 0,05
sehingga ada pengaruh pengasuh anak terhadap picky eater dengan OR= 10,9 (CI 95% =
1,386-87,203) yang berarti kemungkinan pada anak yang diasuh oleh orang lain selain ayah
dan ibunya sendiri berisiko mengalami picky eater 10,9 kali lebih besar dibandingkan dengan
anak yang diasuh oleh ayah dan ibunya sendiri.
12. Pengaruh Sosial Budaya terhadap Picky Eater
Tabel 11. Distribusi sosial budaya di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013
Picky eater
(%)
23
43,4
30
56,6
53
100
Sosial budaya
n
Terdapat makanan pantangan
Tidak terdapat makanan pantangan
Jumlah
Non picky eater
n
(%)
7
13,2
46
86,8
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,020 < 0,05
sehingga ada pengaruh sosial budaya terhadap picky eater dengan OR = 9,9 (CI 95% = 1,42869,053) yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai makanan pantangan berisiko
mengalami picky eater 9,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai
makanan pantangan.
13. Pengaruh Jenis Makanan terhadap Picky Eater
Tabel 12. Distribusi jenis makanan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013
Jenis makanan
Tidak sesuai umur
Sesuai umur
Jumlah
Picky eater
n
8
45
53
(%)
15,1
84,9
100
Non picky eater
n
(%)
1
1,9
52
98,1
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,600 > 0,05
sehingga tidak ada pengaruh jenis makanan pada anak terhadap picky eater.
14. Pengaruh Frekuensi Makan terhadap Picky Eater
Tabel 13. Distribusi frekuensi makan anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun
2013
Frekuensi makanan
Tidak sesuai umur
Sesuai umur
Jumlah
Picky eater
n
28
25
53
(%)
52,8
47,2
100
Non picky eater
n
(%)
18
34,0
35
66,0
53
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,024 < 0,05
sehingga ada pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater, dengan OR= 7 (CI 95% =
1,285-38,223) yang berarti kemungkinan pada anak yang frekuensi pemberian makannya
tidak sesuai dengan umur anak berisiko mengalami picky eater 7 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang frekuensi pemberian makannya sesuai dengan umur.
109
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
15. Pengaruh Waktu Makan terhadap Picky Eater
Tabel 14. Distribusi waktu makan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013
Picky eater
Waktu makan
n
36
17
53
Kurang tepat
Tepat
Jumlah
Non picky eater
n
(%)
13
24,5
40
75,5
53
100
(%)
67,9
32,1
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,022 < 0,05
sehingga ada pengaruh waktu makan pada anak terhadap picky eater, dengan OR= 5,9 (CI
95% = 1,289-27,741) yang berarti kemungkinan pada anak yang waktu makannya kurang
tepat berisiko mengalami picky eater 5,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
mempunyai waktu makan yang tepat.
16. Pengaruh Cara Pemberian Makan terhadap Picky Eater
Tabel 15. Distribusi cara pemberian makan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun
2013
Cara pemberian makan
Kurang
Baik
Jumlah
n
33
20
53
Picky eater
(%)
62,3
37,7
100
n
5
48
53
Non picky eater
(%)
9,4
90,6
100
Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,003 < 0,05
sehingga ada pengaruh cara pemberian makan terhadap picky eater, dengan OR= 13 (CI 95%
= 2,349-72,324) yang berarti kemungkinan pada anak yang cara pemberian makannya kurang
baik berisiko mengalami picky eater 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang cara
pemberian makannya baik
E. PEMBAHASAN
1. Pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater
menunjukkan bahwa ada pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater, dan didapatkan
nilai OR = 6,9 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai penyakit berisiko
mengalami picky eater 6,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai
penyakit.
Penyakit yang diderita anak seperti gangguan saluran pencernaan yang bisa dialami
merupakan faktor penyebab terpenting dalam gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat
dijelaskan dengan teori ”Gut Brain Axis”. Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat
gangguan saluran cerna maka mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan
fungsi susunan saraf pusat tersebut berupa gangguan neuroanatomis dan neurofungsional.
Salah satu manifestasi klinis yang terjadi adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut
(Judarwanto, 2006; Dorfmann, 2008).
Hal ini mendukung pernyataan Judarwanto (2006) dan Dorfmann (2008), bahwa
keterbatasan fisik, terutama organ-organ pencernaanya merupakan penyebab anak menjadi
picky eater. Picky eater terparah dapat dialami oleh anak yang mempunyai kelainan organ
pencernaan.
Hal ini juga mendukung penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan bahwa
terdapat perbedaan antara anak yang sakit dan anak yang tidak sakit dengan picky eater. Hal
ini juga mendukung penelitian dari Daniel dan Jacob (2012) bahwa picky eater pada anak
dapat dikaitkan dengan persepsi orang tua terhadap penurunan tingkat kesehatan dan aktivitas
anak.
Gangguan malabsorbsi yang disebabkan oleh adanya gangguan enzim dapat pula
menyebabkan anak menjadi picky eater, tingginya konsentrasi asam lambung dapat
110
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
menyebabkan menurunnya kadar keasaman (pH) pada saluran cerna di bagian atas, hal ini
dapat mengakibatkan anak menjadi sulit makan dan cenderung picky eater. Percepatan waktu
transit makanan dalam usus yang mengakibatkan proses absorbsi berkurang dan dapat
menimbulkan diare dipicu dari hipersekresi asam lambung (Cathey dan Gaylord, 2004).
2. Pengaruh nafsu makan anak terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh nafsu makan anak terhadap picky eater
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh gangguan nafsu makan pada anak terhadap picky
eater. Sebagian besar bayi mengalami kenaikan berat tubuh tiga kali berat lahirnya ketika ia
berumur satu tahun, pada tahun ke dua ia hanya bertambah kira-kira seperempat dari beratnya.
Menurunnya selera makan pada saat ini adalah cara tubuh bayi untuk menjamin adanya
penurunan dari kenaikan berat tubuh ini. Ada juga faktor lain yang dapat mempengaruhi
kebiasaan makan bayi pada saat ini. Salah satunya adalah bertambahnya minat bayi terhadap
dunia sekitarnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Siswanto (2009) disebabkan pada anak usia 1-3
tahun adalah anak memasuki masa anal. Pada fase ini kepuasan atau kesenangan berpusat
disekitar anus dan segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Anak pada fase ini
diperkenalkan dengan toilet traning, yaitu anak mulai diperkenalkan tentang rasa ingin buang
air besar atau buang air kecil.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara nafsu makan anak dengan picky eater. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Johnson (2003) yang menyatakan bahwa picky eater merupakan bagian
normal dari perkembangan anak yang mengarah pada frustasi, kecemasan dan perebutan
kekuasaan antara anak dan orang tua.
Pada fase ini waktu makan hanya tampak seperti hal yang mengganggu bagi anak
yang sedang ingin terus bergerak. Bertambahnya kemandirian juga dapat mempengaruhi
reaksi anak terhadap makanan. Bayi yang sedang dalam proses berkembang menjadi anak
balita, bisa saja sangat menyukai makanan tertentu namun menolak beberapa jenis makanan,
namun pada masa ini anak sudah bisa diarahkan mana saja makanan yang baik untuk
kesehatan dan makanan yang kurang baik (Siswanto, 2009; Eisenberg, 2002). Sehingga wajar
jika pada usia 1-3 tahun ini anak mengalami hal tersebut karena pada masa ini kepuasan anak
bukan lagi berada di mulut.
3. Pengaruh interaksi ibu dan anak terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis interaksi ibu dan anak terhadap picky eater menunjukkan
bahwa menunjukkan bahwa interaksi ibu dan anak berpengaruh terhadap picky eater dan
didapatkan nilai OR= 17,6 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai interaksi
ibu dan anak kurang berisiko mengalami picky eater 17,6 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang mempunyai interaksi yang baik antara ibu dan anak.
Dilapangan ibu menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja walaupun ibu
menyempatkan untuk berinteraksi bersama anak dengan bermain dan memberi makan, namun
waktu ibu bersama dengan anak tidak sebanyak ibu yang tidak bekerja yang lebih leluasa
dalam meluangkan waktunya untuk anak. Keadaan ini akan berdampak pada kedekatan
anatara ibu dan anak.
Hal ini sesuai menurut Claude, Anne dan Bernard Bonning (2006) bahwa proses
makan pada anak memerlukan suatu interaksi ibu dan anak yang baik, hal tersebut merupakan
hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Ineteraksi yang positif seperti kontak mata,
komunikasi dua arah, pujian dan sentuhan dan interaksi yang negatif seperti memaksa makan,
membujuk, mengancam dan melemparkan makanan dapat mempengaruhi psikologis anak
yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap nafsu makan anak.
Hal ini juga mendukung penelitian Chatoor dkk (2004), bahwa interaksi ibu dan anak
berhubungan dengan perkermbangan mental anak. Studi klinis menunjukkan perbedaan dalam
111
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
nilai indeks perkembangan mental dan pertumbuhan antara anak-anak picky eater dengan
anak-anak non-picky eater. Nilai Mental Development Index (MDI) dari anak picky eater
yang berumur 1-3 tahun adalah 14 poin lebih rendah dibandingkan dengan anak yang nonpicky eater.
4. Pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis perilaku makan orang tua terhadap picky eater
menunjukkan bahwa perilaku makan orang tua berpengaruh terhadap picky eater dan
didapatkan nilai OR= 10,1 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai orang tua
berperilaku memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua tidak memilih-milih makanan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Judarwanto (2006), bahwa anak picky eater
merupakan hasil dari meniru pola makan orang tuannya. Hal tersebut dapat dimulai dari
meniru pola makan lingkungan terdekatnya yang juga pilih-pilih makanan. Jadi bila salah satu
orang tua mempunyai masalah kesulitan makan maka hal tersebut dapat diturunkan pada anak
bukan karena anak meniru pola makan orang tua tetapi karena masalah itu diturunkan secara
genetik.
Carruth dan Skinner (2000) melaporkan bahwa ibu yang memilih-milih makanan
mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak-anak mereka. Seorang anak mungkin akan
kurang bersedia untuk mencoba makanan baru yang ibunya nya belum pernah merasakannya.
Anak-anak akan kurang menerima makanan asing jika mereka mengamati perilaku orang tua
mereka juga memilih-milih makan. Perilaku ibu akan terus mempengaruhi perilaku pilih-pilih
makan anak. Sedangkan Daniel dan Jacob (2012) menyatakan anak-anak dengan riwayat
keluarga pilih-pilih makanan secara signifikan lebih cenderung menjadi picky eater.
Hal ini juga mendukung hasil penelitian Galloway (2003) yang menunjukkan bahwa
anak perempuan yang picky eater mempunyai ibu dengan variasi asupan sayuran yang rendah.
Serta mendukung penelitian dari Chatoor (2009), bahwa orang tua dari anak picky eater
menyatakan ketidakmampuan memakan berbagai makanan.
5. Pengaruh riwayat pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis riwayat pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater
menunjukkan bahwa ada pengaruh riwayat pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater dan
didapatkan nilai OR= 14,4 yang berarti kemungkinan pada anak yang tidak diberi ASI
eksklusif berisiko mengalami picky eater 14,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak
yang mendapatkan ASI eksklusif.
Hal ini mendukung pernyataan dari IDAI (2010), bahwa kemampuan bayi untuk
mengetahui dan menerima rasa dan selera berkembang setelah lahir. Oleh karena itu
pengalaman pertama terhadap rasa dan selera mempunyai dampak terhadap penerimaan rasa
dan selera pada masa bayi dan anak. Telah diketahui sejak lama bahwa bayi yang terpapar
dengan rasa dalam ASI akan meningkatkan penerimaan rasa tersebut sehingga mempercepat
keberhasilan penyapihan. Beberapa bayi yang mendapat ASI lebih dapat menerima sayursayuran pada pemberian pertama dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula.
Anak yang diberikan ASI paling sedikit 6 bulan juga lebih jarang mengalami kesulitan makan
(picky eater), sepanjang cara pemberian ASI-nya benar.
Penelitian ini juga mendukung pernyataan dari Galloway (2003), anak yang
mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau selama 6 bulan.
Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini dikenalkan makanan,
anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan cenderung tidak mengalami picky
eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anakanak dapat membangun pola interaksi ibu dan anak secara beragam selama anak menyusu
kepada ibunya daripada anak yang minum susu formula. Semakin lama seorang ibu menyusui
bayinya maka semakin rendah ibu-ibu memaksa makan pada saat anak berumur satu tahun.
112
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Penelitian ini juga mendukung penelitian Taveras (2004) yang menyatakan bahwa
menyusui secara eksklusif dan tidak memaksakan anak makan dapat mengurangi terjadinya
picky eater pada anak (Taveras, 2004). Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang
tepat, terlalu dini atau terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak
yang dihubungkan dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006).
6. Pengaruh riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater
menunjukkan bahwa ada pengaruh riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater dan
didapatkan nilai OR= 15,8 yang berarti kemungkinan pada anak yang diberi MP-ASI kurang
atau lebih dari 6 bulan berisiko mengalami picky eater 15,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang mendapatkan MP-ASI saat berusia 6 bulan.
Hal ini mendukung pernyataan dari Galloway (2003), bahwa anak yang mengalami
picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau selama 6 bulan. Perilaku anak
menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini dikenalkan makanan, anak-anak yang
mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan cenderung tidak mengalami picky eater karena
anak sudah terpajan dengan berbagai variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anak-anak dapat
membangun pola interaksi ibu dan anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya
daripada anak yang minum susu formula
Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat
dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan dengan
keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006).
Hal ini mendukung penelitian Daniel dan Jacob (2012) bahwa kemungkinan pada
anak yang dipengenalkan makanan padat (MP-ASI) pada saat anak berusia <6 bulan berisiko
2,5 kali lebih besar untuk mengalami picky eater dari pada anak yang diperkenalkan makanan
padat (MP-ASI) saat berumur 6 bulan.
7. Pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater.
Seorang individu akan memperoleh suatu konsep atau pandangan megenai makanan
ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang
melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan
pengetahuan lokal sebagai himpunan yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Cathey dan Gaylord, 2004).
Dilapangan ditemukan orang tua beranggapan bayi sehat adalah bayi yang gemuk
sering kali menjadi tolok ukur banyak orang tua dalam menilai kesehatan seorang anak.
Padahal anggapan ini belum tentu benar. Bayi yang gemuk mungkin saja sehat, tapi belum
tentu bayi yang tidak gemuk itu tidak sehat, tetapi tidak semua anak dari orang tua yang
mempunyai anggapan demikian menjadi tidak picky eater, hal ini disebabkan karena makin
tingginya pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan ibu kemungkinan makin baik tingkat
ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kusharisupeni (2007), bahwa seseorang dengan
pendidikan rendah pun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi,
kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi.
8. Pengaruh pengasuh anak terhadap perilaku picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh pengasuh anak terhadap picky eater menunjukkan
bahwa ada pengaruh pengasuh anak terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 10,9 yang
berarti kemungkinan pada anak yang diasuh oleh orang lain selain ayah dan ibunya berisiko
mengalami picky eater 10,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ayah
dan ibunya sendiri.
113
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Pengasuh anak merupakan termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan dilakukan.
Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan
dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak termasuk dalam hal makan.
Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh
anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan.
Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Judarwanto (2006) yakni dalam hal pola asuh,
orang tua yang tidak mengasuh dan mengajari anak untuk mengonsumsi makanan yang
bervariasi atau hanya menyediakan makanan yang tetap dapat membuat anak tidak belajar
mengenal rasa dan jenis makanan yang beragam. Akibatnya, anak menjadi pilih-pilih
makanan (picky eater) (Judarwanto, 2006).
Masalah makan bisa menjadi indikator kesulitan emosi antara anak dan orang tua
khususnya ibu karena makan merupakan proses yang kompleks, dinamis, dan merupakan
interaksi yang efektif antara pengasuh, anak dan lingkungan (Louise, 1999; Wardlan, 1999).
Pemberian makan merupakan salah satu hal yang penting dari pengasuhan orang tua terhadap
anak. Perilaku anak di waktu makan, jadwal makan yang teratur, kualitas dan kuantitas makan
serta variasi makanan dapat perhatian dari orang tua. Contoh dalam perilaku makan dapat
dilakukan oleh orang tua. Kebiasaan dan perilaku makan orang tua dapat direfleksikan kepada
anaknya (Cooke et al, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian Daniel dan Jacob (2012) yang
meyatakan bahwa picky eater secara signifikan terkait dengan pengasuh anak.
9. Pengaruh sosial budaya terhadap perilaku picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh sosial budaya terhadap picky eater menunjukkan
bahwa bahwa ada pengaruh sosial budaya terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 9,9
yang berarti kemungkinan pada anak yang terdapat makanan pantangan yang dipengaruhi
oleh sosial budaya berisiko mengalami picky eater 9,9 kali lebih besar dibandingkan dengan
anak yang tidak terdapat makanan pantangan yang dipengaruhi oleh sosial budaya.
Hal ini sesuai dengan penemuan para peneliti yang banyak sekali menyatakan bahwa
faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat
dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan/pola makan
penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai
budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan
(Suhardjo, 1989).
Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa budaya cukup menentukan jenis dan variasi
makanan yang sering dikonsumsi. Makanan yang bervariasi ini dapat menghindarkan
terhadap rasa bosan. Pengaturan siklus makan juga sangat penting untuk diperhatikan
sehingga berbagai kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Pengulangan makanan yang terlalu sering
dalam rentan waktu yang pendek dapat menimbulkan rasa bosan dan anak cenderung memilih
makanan-makanan tertentu yang disukainya. Hal ini karena pola konsumsi makan merupakan
hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus sesuai
dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini
diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi
mendatang (Sediaoetama, 2006).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Alarcon et al (2003) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya makan dengan picky
eater. Menurut Kusharisupeni (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan
mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin
mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi.
10. Pengaruh jenis makanan terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh jenis makanan terhadap picky eater menunjukkan
bahwa tidak ada pengaruh jenis makanan pada anak terhadap picky eater.
114
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Pemberian jenis makanan sesuai umur anak akan memudahkan makanan tersebut
dicerna oleh saluran cerna dan diserap dengan sempurna sehingga akhirnya dapat
didistribusikan ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak guna pertumbuhan dan
perkembangannya. Dilapangan ditemukan anak anak diberikan makanan sesuai dengan
usianya, tetapi tidak semua anak menjadi tidak picky eater, hal ini disebabkan karena
walaupun saat ini anak diberikan makanan sesuai dengan usianya tetapi banyak anak yang
diberi MP-ASI pada saat anak berusia kurang dari 6 bulan. Selain itu cara pemberian makan
orang tua/pengasuh yang dapat mempengaruhi situasi saat pemberian makan. Pemberian
makan dengan cara yang sabar dan tidak terburu-buru dapat menghindarkan anak dari susah
makan atau bahkan memilih-milih makan.
Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Surbakti (2005) yang menyatakan kesulitan
makan pada anak tidak dipengaruhi oleh jenis makanan yang diberikan orang tua kepada
anaknya tetapi lebih ditekankan bagaimana cara orang tua dalam memberi makanan kepada
anaknya sehingga anaknya mau makan.
11. Pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater
menunjukkan bahwa ada pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater dan didapatkan nilai
OR= 7 yang berarti kemungkinan pada anak yang frekuensi makannya tidak sesuai dengan
umur berisiko mengalami picky eater 7 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
frekuensi makannya sesuai dengan umur.
Hal ini sesuai dengan teori Engle et al (1997) yang menyatakan bahwa frekuensi
makanan adalah salah satu faktor yang diperhatikan dalam pola asuh makan anak. Frekuensi
makan anak dalam sehari menurut Depkes RI (2005) disesuaikan dengan umur anak sehingga
asupan makanan tersebut dapat mencukupi kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan
anak. Begitu juga sebaliknya, anak dengan frekuensi makan tidak sesuai umur, maka asupan
zat gizinya kurang sehingga anak tersebut lebih besar kemungkinan untuk menderita
malnutrisi. Frekuensi makan harus disesuaikan dengan umur anak.
Hal ini mendukung pernyataan dari Chatoor (2009), bahwa pemberian makan dengan
waktu berdekatan/sering dan dengan menghidangkan makanan yang sama dapat membuat
anak memilih-milih dan menolak makanan meskipun anak sangat menyukainya. Selain anak
merasa bosan dengan makanan yang kurang bervariatif orang tua sebaiknya mengetahui
waktu diamana anak merasa lapar. Orang tua hendaknya membuat siklus menu agar bervariasi
sehingga anak tidak bosan. Anak akan mendapatkan asupan gizi yang lebih lengkap bila
orang tua menghidangkan menu yang bervariasi sehingga anak dapat terhindar dari kebiasaan
menolak makanan dan memilih-milih makan.
12. Pengaruh waktu makan terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh waktu makan terhadap picky eater menunjukkan
bahwa ada pengaruh waktu pemberian makan terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR=
5,9 yang berarti kemungkinan pada anak yang waktu pemberian makannya kurang tepat
berisiko mengalami picky eater OR= 5,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
waktu pemberian makannya tepat.
Pemberian makanan pada anak sebaiknya pada saat anak lapar sehingga ia dapat
menikmatinya, tidak perlu dengan membuat jadwal makan yang terlalu kaku (terlalu disiplin
waktu), karena mungkin saja bila kita memaksakan anak makan pada jam yang telah
ditentukan, anak belum merasa lapar sehingga ia tidak mempunyai nafsu makan (Pudjiadi,
2005).
Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Judarwanto (2006), bahwa ketidaktepatan dalam
memberikan makan saat anak merasa lelah akan menyebabkan anak akan menjadi picky eater
yang biasanya dimulai dari kehilangan nafsu makan dari yang ringgan hingga berat
(Judarwanto, 2006). Kemungkinan pada saat jam makan yang ditentukan anak masih merasa
115
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
lelah telah bermain, sebaiknya membiarkan anak beristirahat terlebih dahulu (Pudjiadi, 2005).
Memaksa anak makan pada saat anak tidak merasa lapar dapat membuat anak menjadi picky
eater (Daniel dan Jacob, 2012).
13. Pengaruh cara pemberian makan terhadap picky eater
Berdasarkan hasil analisis pengaruh cara pemberian makan terhadap picky eater
menunjukkan bahwa ada pengaruh cara dan situasi pemberian makan terhadap picky eater,
dan didapatkan nilai OR= 13 yang berarti kemungkinan pada anak yang cara pemberian
makannya kurang baik berisiko mengalami picky eater 13 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang cara pemberian makannya baik.
Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya
menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa anak bila
dipaksa akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan
(Pudjiadi, 2005). Dipaksa ataupun dimarahi saat makan dapat menjadi penyebab psikologis
kesulitan makan pada anak. Interaksi yang negatif seperti memaksa makan, membujuk,
mengancam dan perilaku yang menggangu anak (melemparkan makanan) dapat berpengaruh
terhadap nafsu makan anak (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006).
Memaksa anak makan akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi
kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005). Dipaksa ataupun dimarahi saat makan dapat
menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak. Interaksi yang negatif seperti
memaksa makan, membujuk, mengancam dan perilaku yang menggangu anak (melemparkan
makanan) dapat berpengaruh terhadap nafsu makan anak (Claude, Anne dan Bernard
Bonning, 2006).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Daniel dan Jacob (2012) bahwa cara orang tua
dalam pemberian makan seperti melempar makanan pada waktu makan secara signifikan
terkait dengan perilaku anak memiih-milih makanan. Tekanan untuk makan seperti
meninggikan suara agar anak mau makan dan mengancam anak dapat berpengaruh terhadap
picky eater.
Hal ini juga mendukung penelitian Cathey dan Gaylord (2004) yang menyatakan
bahwa orang tua yang memberi makan anaknya dengan cara membentak, marah, dan
memberikan hukuman jika anak tidak menghabiskan makanan yang disediakan dapat
membuat anak menjadi picky eater.
Sikap ibu/pengasuh yang hangat, ramah, menciptakan suasana yang nyaman, tenang,
mengungkapkan kasih sayang dengan senyuman dan pelukan, dapat menimbulkan nafsu
makan pada anak (Hurlock, 1991). Pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu
yang dapat membimbing anak tentang cara makan sehat dan bergizi akan meningkatkan gizi
anak (Anwar, 2004). Sebaliknya pola asuh makan yang tidak memadai dapat menyebabkan
terjadinya malnutrisi pada anak (Kurniawan et al, 2001).
F. PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Jabon Sidoarjo tepatnya di
dusun Balong Tani dan Dukuh Sari pada tahun 2013 diperoleh simpulan sebagai
berikut:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang diderita anak 3 bulan terakhir,
interaksi antara ibu dan anak yang kurang baik, perilaku makan orang tua yang suka
memilih-milih makan, tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian MPASI kurang dari atau lebih dari 6 bulan, anak yang diasuh oleh orang lain selain oran
tuanya, terdapat pantangan makan pada sosial budaya, frekuensi makan yang tidak
sesuai umur, waktu makan yang kurang tepat,dan cara pemberian makan yang kurang
baik berpengaruh terhadap picky eater pada anak umur 1-3 tahun di wilayah kerja
116
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Puskesmas Jabon Sidoarjo pada tahun 2013. Sedangkan konsep sehat sakit orang tua,
nafsu makan anakdan jenis makanan tidak berpengaruh terhadap picky eater.
B. Saran
Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo agar mengadakan program revitalisasi
posyandu sebagai lembaga yang akan mengevaluasi perkembangan anak dan
memberikan konseling serta fasilitas kesehatan lainnya. Dan untuk orang tua supaya
meningkatkan kualitas gizi anak dengan memberikan ASI eksklusif setelah anak lahir
hingga berusia 6 bulan dan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun, menunda
memperkenalkan makanan padat hingga anak berusia 6 bulan serta menyiapkan
makanan yang memadai bagi anak. Selanjutnya ibu dianjurkan membawa anak ke
pelayanan kesehatan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak
DAFTAR PUSTAKA
Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.Jakarta: Kencana.
Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana.
Alarcon, P.A., Lung-Huang, L., Noche, M., Hernandez, V. C. 2003. Effect of oral
supplementation on catch-up growth in picky eaters. Clinical Pediatrics, 42(3), 209.
Retrieved from http://search.proquest.com/docview/200089469?accountid=25704.
Carrruth BR, Ziegler PJ. Gordon A, Barr SI. 2004. Prevalence of picky eaters among infant
and their caregivers‟ decision about offering a new food. J Am Diet Assoc 104, S57S64. Available from http://www.jada.org (sitasi 31 Januari 2013).
Carrruth BR and Skinner JD. 2000. Revisiting the picky eater phenomenon: Neophobic
behaviors of young children. Journal of the American College of Nutrition, 19, 771780.
Chatoor, Irene. 2009. Diagnosis and Treatment of Feeding Disorders in Infants, Toddlers,
and Young Children. Washington DC: Zero To Three.
Chatoor, Irene. 2009. Sensory food aversions in infant and toddler. Washington DC. Zero To
Three, p.44-50. Available from http://www. Zerotothree.org/reprints (sitasi 31 Januari
2013).
Chatoor, Irene, Jaclyn surles, Jodi, Gniban. 2004. Failure to thrive and cognitiv development
in toddler with infantile anorexia. Pediatrics, Vol. 113, No. 5, p. 440-446. Available
from http://www. Zerotothree.org/reprints (sitasi 31 Januari 2013).
Claude, Anne & Bernard Bonning. 2006. Fedding problem of infats and toddlers. Canadian
Family Physician, Vol. 52, No. 6, p. 1247-1251.
Depkes RI. 2005. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Bandung: PT. Enka Parahiyangan.
Dewanti. 2012. Dalam seminar “Solutions for Toddler Feeding Problems”. Malang:
Brawijaya University.
Dorfmann, Kelly. The Picky Eater. http://www.autism.org/pickyeater.html (sitasi 24 Januari
2013).
Dubois, Lise. Anna Farmer, Manon Girad, Kelly Peterson. 2007. Preschool children‟s eating
behaviours are related to dietary adequacy and body weight. Available from
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1855064 (sitasi 2 Juli
2013)
Eisenberg. 2002. Bayi Pada Tahun Pertama: Apa yang Ibu/pengasuh Hadapi per Bulan.
Jakarta: Arcan.
Galloway, Amy T, Yoona Lee & Leann L Birch. 2003. Predictor and consequences of food
neophobia and pickiness in young girls. Journal of the American Dietetic Association,
Vol. 10, No. 6, p. 692-701.
IDAI. 2010. Indonesia Menyusui. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
117
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Judarwanto, Widodo. Alergi makanan dan autisme. Children allergy Center Rumah Sakit
Bunda Jakarta. Available from http://www.pdpersi.coi.id (sitasi 09 Feb 2013).
Kurniasih, Dedeh. 2010. Sehat dan Bugar Berkat gizi Seimbang. Jakarta: Kompas Gramedia.
Kurniawan. 2001. Chilhood Malnutrition in Indonesia, it‟s Current Situation, Joint
Symposium Between Departement of Nutrition. Departement of Pediatrics. Surakarta:
Sebelas Maret University, February, 19-21th, 2001.
Lubis G. 2005. Masalah makan pada anak. Majalah Kedokteran Andalas, Vol.29.
Mayes, L.C & Volkmar, F.R. 1993. Nosology of eating growth disorder in early childhood.
Child and adolecent psychiatric clinics of north America, Vol. 1, No. 2, p.15-35.
Pudjiadi, S. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Shore, B., & Piazza, C. 1997. Pediatric feeding disorders. Manual for the Assessment and
Treatment of the Behavior Disorder of People with Mental Retardation p.65-89.
Sulistyoningsih. 2012. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siswanto, Hadi. 2009. Pendidikan Kesehatan Anak Umur Dini. Jakarta: Pustaka Rihama.
Taveras, Elsie M. 2004. Association of brestfeeding with maternal control of infant feeding at
age 1 years. Pediatrics. Vol. 114, No. 5.
Wright, Charlotte M., et al January 30, 2008. How do Toddler eating problems relate to their
eating behavior, food preference, and growth?. American acadeny of pediatric. E1069e1075 pp. www.pediatrics.org Viewed on Feb 10, 2013
118
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
.
119
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
FAKTOR-FAKTOR KARAKTERISTIK YANG BERPENGARUH TERHADAP
PELAKSANAAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA TANGUNAN
KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO
Dian Irawati
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Applying healthy lifestyle (PHBS) are powerful steps to ward off diseases. However, in
practice, a simple application of PHBS that impression is not always easy to do. Especially
for those who are not accustomed to. In this case, the education of the family is needed
(Angels, 2010). In addition, the number of individual activities undertaken to make them
forget about health (Ababar, 2008). This study is to determine the characteristics of the
factors that influence the execution behavior of clean and healthy household in the village
Tangunan Puri Mojokerto. The population in this study were heads of household in the
village Tangunan Puri Mojokerto, as many as 676 households. The sample in this study was
taken from the head of the family in the village of Puri Mojokerto Tangunan who met the
inclusion criteria were as many as 88 heads of families collected by cluster sampling. Data
were collected using an instrument check list and analyzed by chi square test .The results
showed that most respondents implementing PHBS in the classification of household 2 and 4
as many as 24 people ( 27.3 % ). The results of the chi square test shows that there were effect
of age, education, occupation, and income on household PHBS. According to these results
should continue to monitor the implementation of PHBS and icrease PHBS competition as
part of efforts to improve the evaluation of people's motivation.
Keyword: factors, healthy lifestyle (PHBS)
A. PENDAHULUAN
Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat,
perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu, adil dan merata. Untuk mendukung
pencapaian visi Indonesia Sehat 2010 telah ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
dengan keputusan Menteri Kesehatan No. 131/ Menkes/ 11/ 2004 dan salah satu subsistem
dari SKN adalah subsistem pemberdayaan masyarakat (Kamisah, 2009). Banyak penyakit
dapat dihindari dengan PHBS, mulai dari Diare, DBD, Flu burung, ataupun Flu babi yang
akhir-akhir ini marak. Namun masyarakat masih sulit untuk menerapkan PHBS itu sendiri
(Angels, 2010).
Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 diketahui bahwa pencapaian
angka Rumah Tangga Ber-PHBS adalah sebesar 37,8 %, target yang ingin dicapai pada tahun
2007 adalah 44 %, sedangkan target pada tahun 2010 adalah 65% Rumah Tangga Ber-PHBS
(Almaida, 2009). Jawa timur merupakan daerah yang rawan dengan berbagai jenis bencana
baik bencana karena alam (banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, luapan lumpur
panas, dan lain - lain) maupun bencana yang ditimbulkan karena manusia (kecelakaan lalu
lintas, kebakaran, ledakan pabrik, dan lain - lain). Masalah kesehatan lingkungan yang sangat
mendasar antara lain pada tahun 2005 pemanfaatan air bersih yang sehat masih berkisar
87,5% dan penggunaan jamban masih sekitar 59,5%, sedangkan pencemaran udara dan
kebisingan di permukiman cenderung meningkat (Boyskorean, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 10 Mei 2011 di Desa
Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto yang memiliki 676 kepala keluarga yang
terdiri dari 7 RW dan 15 RT terhadap 15 kepala keluarga yang diwawancarai di tiap-tiap RW
ternyata sebanyak 12 kepala keluarga (80%) kepala keluarga masih belum mengetahui dan
120
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat karena masih banyak masyarakat yang
merokok dalam rumah, jarang memberantas jentik nyamuk di rumah, jarang mencuci tangan
dengan sabun, dan jarang memberi ASI eksklusif karena ibu harus bekerja.
Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan langkah ampuh
untuk menangkal penyakit. Namun dalam praktiknya, penerapan PHBS yang kesannya
sederhana tidak selalu mudah dilakukan. Terutama bagi mereka yang tidak terbiasa. Dalam
hal ini, pendidikan dari keluarga sangat dibutuhkan (Angels, 2010). Selain itu, banyaknya
kegiatan yang dilakukan individu membuat mereka lupa akan kesehatan (Ababar, 2008).
Umumnya penyebab masyarakat tidak melaksanakan PHBS adalah karena kebiasaan,
ketidaktahuan ataupun kurangnya informasi (Esty, 2009). Sehingga banyak dampak yang
diakibatkan dari tidak melaksanakan PHBS itu sendiri misalnya saja, sakit perut karena
minum air yang tidak dimasak, cacingan karena makan dengan tangan yang kotor dan
mungkin ada telur cacing (Angels, 2010).
Banyak upaya yang dilaksanakan agar masyarakat mau melaksanakan PHBS
diantaranya dilaksanakan promosi kesehatan dengan menetapkan tiga strategi dasar yaitu
gerakan pemberdayaan yaitu proses pemberian informasi secara terus-menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran agar
sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu
menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek practice). Bina suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial
yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang
diperkenalkan, serta Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders) (Kamisah,
2009).
Fenomena di atas sangat menaruh minat peneliti untuk melaksanakan penelitian
dengan judul Faktor-faktor karakteristik yang berpengaruh terhadap pelaksanaan perilaku
hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Perilaku
Perilaku dari segi biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan, baik yang dapat diamati langsung,
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan
(respons). Secara lebih operasional perilaku adalah suatu respons organisme atau
seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku juga bisa dari individu tersebut dan dapat pula dipengaruhi dari luar misalnya
pengaruhi dari luar misalnya dari budaya, nilai-nilai, ataupun keyakinan yang ada dalam
masyarakat (Suliha, 2001).
2. Klasifikasi Perilaku
Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit,
sistim pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini,
perilaku kesehatan dapat di klasifikasikan menjadi 3 kelompok:
1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usahausaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan
usaha untuk penyembuhan bilamana sakit
2) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau sering disebut
perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah
121
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau
kecelakaan.
3) Perilaku kesehatan lingkungan adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya.
3. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Benyamin Bloom (1908) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) seorang ahli
psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 domain, yakni : a)
kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku
Faktor internal mencakup : pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi
dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar
Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar seperti : iklim, manusia, sosialekonomi, kebudayaan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
5. Konsep Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai pembelajaran yang menjadikan seseorang atau
keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Pusat Promkes Depkes RI, 2006)
Sasaran PHBS tidak hanya terbatas tentang hygiene, namun harus lebih
komprehensif dan luas, mencakup perubahan lingkungan fisik, lingkungan biologi dan
lingkungan sosial-budaya masyarakat sehingga tercipta lingkungan yang berwawasan
kesehatan dan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Lingkungan fisik seperti
sanitasi dan hygiene perorangan, keluarga dan masyarakat, tersedianya air bersih,
lingkungan perumahan, fasilitas mandi, cuci dan kakus (MCK) dan pembuangan sampah
serta limbah.
Lingkungan biologi adalah flora dan fauna. Lingkungan sosial-budaya seperti
pengetahuan, sikap perilaku dan budaya setempat yang berhubungan dengan PHBS
(Depkes RI, 2003).
6. Konsep PHBS Rumah Tangga
PHBS Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga
agar memahami dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan
aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat (Pusat Promkes Depkes RI, 2009).
Tatanan Rumah Tangga Sasaran PHBS di rumah tangga adalah seluruh anggota
keluarga secara keseluruhan dan terbagi dalam :
1) Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga yang akan dirubah
perilakunya atau anggota keluarga yang bermasalah (individu dalam keluarga yang
bermasalah)
2) Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi individu dalam keluarga
yang bermasalah misalnya, kepala keluarga, ibu, orang tua, tokoh keluarga, kader
tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan lintas sektor terkait, PKK
3) Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi unsur pembantu dalam
menunjang atau mendukung pendanaan, kebijakan, dan kegiatan untuk tercapainya
122
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
pelaksanaan PHBS misalnya, kepala desa, lurah, camat, kepala Puskesmas, guru,
tokoh masyarakat dll.
(Promkes Depkes RI, 2004)
7. Indikator PHBS Rumah Tangga
1) Persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan adalah persalinan yang di tolong oleh
tenaga kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya). Dengan menggunakan
peralatan yang aman, bersih dan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan
bahaya kesehatan lainnya.
2) Memberi ASI eksklusif adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa
memberikan tambahan makanan atau minuman lain.
3) Menimbang bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhannya setiap
bulan.
4) Menggunakan air bersih, air adalah kebutuhan dasar yang diperlukan sehari-hari
untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alatalat dapur dan sebagainya agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari
sakit.
5) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, manfaat mencuci tangan dengan
sabun adalah membunuh kuman penyakit yang ada di tangan, mencegah
penularan penyakit diare, kolera, disentri dan lain-lain serta tangan menjadi bersih
dan bebas dari kuman.
6) Menggunakan jamban sehat, jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai
fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok/ tempat
duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi
dengan unit pembuangan kotoran dan air untuk membersihkannya.
7) Memberantas jentik di rumah, rumah bebas jentik adalah rumah tangga yang
setelah dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala adalah pemeriksaan tempattempat perkembangbiakan nyamuk yang ada dalam rumah seperti bak mandi/ wc,
vas bunga dan lain-lain.
8) Makan buah dan sayur setiap hari, sangat penting karena sayur dan buah
mengandung vitamin dan mineral yang mengatur pertumbuhan dan pemeliharaan
tubuh serta mengandung serat yang tinggi.
9) Melakukan aktivitas fisik setiap hari, aktivitas fisik adalah melakukan pergerakan
anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi
pemeliharaan kesehatan fisik.
10) Tidak merokok di dalam rumah, tidak merokok adalah penduduk 10 tahun ke atas
yang tidak merokok selama 1 bulan terakhir.
(Angels, 2010)
Kategori pelaksanaan PHBS rumah tangga antara lain:
Klasifikasi 1 : Jika jawaban iya banyaknya antara 1-3 (warna merah).
Klasifikasi 2 : Jika jawaban iya banyaknya antara 4-6 (warna kuning).
Klasifikasi 3 : Jika jawaban iya banyaknya antara 7-9 (warna hjau).
Klasifikasi 4 : klasifikasi 3 + ikut dana sehat (warna biru).
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional (assosiasi) yaitu
penelitian yang mengkaji hubungan antara variabel, peneliti dapat mencari, menjelaskan
sustu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teoro yang ada (Nursalam, 2003).
Sedangkan jenis penelitiannya menggunakan cross sectional yaitu jenis penelitian yang
123
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali, pada saat itu. Pada jenis ini variabel independen dan dependen
dinilai secara berkesinambungan pada satu saat, jadi tidak ada follow up (Nursalam, 2003).
Variabel Independen
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Variabel Dependen
Perilaku hidup bersih dan
sehat
Variabel Confounding
Lingkungan fisik
Motivasi PHBS
Pengetahuan PHBS
Gambar 1: Frame work penelitian
2. Populasi, Sampel, Variabel, dan Instrumen
Populasi dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang terdapat di desa
Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto yang berjumlah 676 KK. Sedangkan
sampel pada penelitian ini diambil dari kepala keluarga di desa Tangunan Puri Mojokerto
yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 88 kepala keluarga yang dihitung dengan rumus:
Keterangan:
N = Besar populasi
n = Besar sampel
d = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (10%)
(Notoatmodjo, 2005).
Dari jumlah populasi kepala keluarga desa Tangunan Puri Mojokerto sebanyak 676 kepala
keluarga, maka sampel yang diambil adalah 88 KK.
a. Kriteria sampel
Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1) Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi
target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003) yang menjadi kriteria
inklusi yaitu :
a) Responden yang bersedia menjadi responden dan menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden.
b) Responden yang bisa menulis dan membaca.
c) Responden yang memiliki rumah dan sarana sanitasi sendiri.
2). Kriteria eksklusi adalah mengeluarkan atau menghilangkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena sebab (Nursalam, 2008). Kriteria
eksklusi penelitian ini adalah :
a) Responden dengan kelainan penglihatan.
b) Responden yang buta huruf.
Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster
sampling yaitu suatu cara pengambilan sampel bila objek yang diteliti atau sumber data
Sangat luas atau besar, yakni populasinya heterogen maka caranya adalah berdasarkan
124
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
daerah dari populasi yang telah ditetapkan (Hidayat, 2007). Setelah itu pengambilan
sampel dilakukan secara acak.
Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang nilainya menentukan
variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel independen (variabel bebas ) dalam penelitian
ini adalah umur, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Sedangkan variabel dependen
(terikat) adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2008).
Variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah perilaku hidup bersih dan sehat.
Penelitian ini menggunakan alat bantu checklist yang diartikan sebagai daftar
pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden tinggal
memberikan jawaban/ dengan memberi tanda-tanda tersebut (Notoatmodjo, 2002).
3. Teknik Analisa Data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan uji statistik chisquare digunakan untuk menguji variabel yang dikorelasikan berbentuk ordinal
Keterangan :
X2 : Chi kuadrat
fo
: Frekuensi yang diobservasi
fh
: Frekuensi yang diharapkan
Jika X2hitung > X2 tabel maka Ho ditolak dan H1 diterima.
Atau jika menggunakan tabel 2 x 2 maka digunakan rumus dengan yates correction
yaitu:
X2 = (Iad–bcI - ½ N)2.N
(a+b) (c+d) (a+c) (b+d)
Dan bila terdapat frekuensi harapan kurang dari 5 pada sel tabel silang maka
digunakan rumus fisher exact probability test dibawah ini:
P = (a+b)! (c+d)!(a+c)!(b+d)!
N! a! b! c! d!
Kesimpulannya: Ho ditolak jika 0,01 <p< 0,05, dan diterima jika pvalue > 0,05.
D. HASIL PENELITIAN
1. Data Umum
a. Karakteristik responden berdasarkan umur
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Desa Tangunan
Puri Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 17-24 Juni 2011
Usia
20-29 Tahun
30-39 Tahun
40-49 Tahun
50-59 Tahun
>=60 Tahun
Frequency
19
23
17
14
15
Percent
21,6
26,1
19,3
15,9
17,0
Valid Percent
21,6
26,1
19,3
15,9
17,0
88
100,0
100,0
Total
Cumulative
Percent
21,6
47,7
67,0
83,0
100,0
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa paling banyak responden berumur 30-39
tahun yaitu sebanyak 23 orang (26,1%) sedangkan responden yang berumur 50-59
tahun mempunyai proposi yang terkecil yaitu 14 orang (15,9 %).
125
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
b. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 17-24 Juni 2011
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Total
Frequency
18
54
13
3
88
Percent
20,5
61,4
14,8
3,4
100,0
Valid Percent
20,5
61,4
14,8
3,4
100,0
Cumulative
Percent
20,5
81,8
96,6
100,0
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50 % responden
berpendidikan SMP yaitu sebanyak 54 orang (61,4%) sedangkan yang berpendidikan
PT mempunyai proporsi yang paling kecil yaitu sebanyak 3 orang (3,4%).
c. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan pekerjaan di Desa
Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 17-24 Juni 2011
Pekerjaan
BEKERJA
TIDAK BEKERJA
Total
Frequency
71
17
88
Percent
80,7
19,3
100,0
Valid Percent
80,7
19,3
100,0
Cumulative
Percent
80,7
100,0
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah
bekerja yaitu sebanyak 71 orang (80,7%) dan yang tidak bekerja sebanyak 17 (19,3%).
d. Karakteristik responden berdasarkan penghasilan
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penghasilan di Desa
Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada tanggal 17-24 Juni 2011
Penghasilan
<Rp. 1.009.150
>Rp. 1.009.150
Total
Frequency
41
47
88
Percent
46,6
53,4
100,0
Valid Percent
46,6
53,4
100,0
Cumulative
Percent
46,6
100,0
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden
mempunyai penghasilan > Rp. 1.009.150 atau lebih dari UMR yaitu sebanyak 47
orang (53,4 %).
2. Data Khusus
a. Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri
Mojokerto
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat
rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto pada tanggal 17 - 24
Juni 2011
PHBS
Klasifikasi 1
klasifikasi 2
klasifikasi 3
klasifikasi 4
Total
Frequency
19
24
21
24
88
126
Percent
21,6
27,3
23,9
27,3
100,0
Valid Percent
21,6
27,3
23,9
27,3
100,0
Cumulative
Percent
21,6
48,9
72,7
100,0
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Berdasarkan tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa paling banyak responden
melaksanakan PHBS rumah tangga pada klasifikasi 2 dan 4 yaitu sebanyak 24 orang
(27,3%).
b. Pengaruh umur terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Tabel 6
Tabel Silang Pengaruh Umur Terhadap Pelaksanaan perilaku
hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri
Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011
PHBS
USIA
20-29
30-39
40-49
50-59
>=60
Total
Count
%
of
Total
Count
%
of
Total
Count
%
of
Total
Count
%
of
Total
Count
%
of
Total
Count
%
of
Total
Klasifikasi 1
5
klasifikasi 2
8
klasifikasi 3
4
klasifikasi 4
2
Total
19
5,7%
9,1%
4,5%
2,3%
21,6%
3
7
2
11
23
3,4%
8,0%
2,3%
12,5%
26,1%
2
4
4
7
17
2,3%
4,5%
4,5%
8,0%
19,3%
5
2
3
4
14
5,7%
2,3%
3,4%
4,5%
15,9%
4
3
8
0
15
4,5%
3,4%
9,1%
,0%
17,0%
19
24
21
24
88
21,6%
27,3%
23,9%
27,3%
100,0%
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa hampir 50 % responden yang
berumur 20-29 tahun melaksanakan PHBS pada klasifikasi 2 sedangkan responden yang
berumur 40-49 tahun hampir 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Hasil analisa
menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut:
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
24,664 a
27,861
12
12
Asymp. Sig.
(2-sided)
,016
,006
1
,818
df
,053
88
a. 4 cells (20,0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 3,02.
Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (24,664) > X2tabel (21,03)
maka Ho ditolak dan H1 diterima jadi ada pengaruh umur terhadap pelaksanaan PHBS
rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto
127
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
c. Pengaruh pendidikan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Tabel 7
Tabel Silang Pengaruh PendidikanTerhadap Pelaksanaan perilaku
hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri
Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011
PENDIDIKAN
SD
SMP
SMA
PT
Total
Count
% of Total
Count
% of Total
Count
% of Total
Count
% of Total
Count
% of Total
Klasifikasi 1
10
11,4%
8
9,1%
1
1,1%
0
,0%
19
21,6%
KRITERIA
klasifikasi 2 klasifikasi 3
0
5
,0%
5,7%
19
9
21,6%
10,2%
4
7
4,5%
8,0%
1
0
1,1%
,0%
24
21
27,3%
23,9%
klasifikasi 4
3
3,4%
18
20,5%
1
1,1%
2
2,3%
24
27,3%
Total
18
20,5%
54
61,4%
13
14,8%
3
3,4%
88
100,0%
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa lebih dari 50 % responden yang
berpendidikan SD melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1 sedangkan responden yang
berpendidikan PT lebih dari 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4.
Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut:
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
30,729 a
33,622
9
9
Asymp. Sig.
(2-sided)
,000
,000
1
,048
df
3,918
88
a. 2 cells (12,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is ,65.
Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (30,729) > X2tabel (16,92)
maka Ho ditolak dan H1 diterima jadi ada pengaruh pendidikan terhadap pelaksanaan
PHBS rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto.
d. Pengaruh pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Tabel 8
Tabel Silang Pengaruh Pekerjaan Terhadap Pelaksanaan perilaku
hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri
Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011
PEKERJAAN
BEKERJA
Count
% of Total
TIDAK BEKERJA Count
% of Total
Total
Count
% of Total
KRITERIA
Klasifikasi 1 klasifikasi 2 klasifikasi 3
11
23
16
12,5%
26,1%
18,2%
8
1
5
9,1%
1,1%
5,7%
19
24
21
21,6%
27,3%
23,9%
128
klasifikasi 4
21
23,9%
3
3,4%
24
27,3%
Total
71
80,7%
17
19,3%
88
100,0%
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang
bekerja melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4 sedangkan responden yang tidak bekerja
paling banyak melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1. Hasil analisa menggunakan uji
chi square diperoleh hasil sebagai berikut:
Chi-Square Tests
Value
10,852 a
11,066
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
3
3
Asymp. Sig.
(2-sided)
,013
,011
1
,106
df
2,614
88
a. 1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 3,67.
Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (10,852) > X2tabel (7,81) maka
Ho ditolak dan H1 diterima jadi ada pengaruh pekerjaan terhadap pelaksanaan PHBS
rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto.
e. Pengaruh penghasilan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Tabel 9 Tabel Silang Pengaruh Penghasilan Terhadap Pelaksanaan perilaku
hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto
pada tanggal 17 - 24 Juni 2011
Penghasilan
<Rp. 1.009.150 Count
% of Total
>Rp. 1.009.150 Count
% of Total
Total
Count
% of Total
KRITERIA
Klasifikasi 1
7
8,0%
12
13,6%
19
klasifikasi 2
16
18,2%
8
9,1%
24
klasifikasi 3
7
8,0%
14
15,9%
21
klasifikasi 4
11
12,5%
13
14,8%
24
21,6%
27,3%
23,9%
27,3%
Total
41
46,6%
47
53,4%
88
100,0
%
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang
mempunyai penghasilan < Rp. 1.009.150 dan > Rp. 1.009.150 melaksanakan PHBS
pada tingkat klasifikasi 4.
Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut:
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
6,102a
6,186
3
3
Asymp. Sig.
(2-sided)
,107
,103
1
,803
df
,062
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 8,85.
129
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (6,102) < X2tabel (7,81) maka
Ho diterima dan H1 ditolak jadi tidak ada pengaruh pekerjaan terhadap pelaksanaan
PHBS rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto.
E. PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri
Mojokerto Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Berdasarkan tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa paling banyak responden
melaksanakan PHBS rumah tangga pada klasifikasi 2 dan 4 yaitu sebanyak 24 orang
(27,3%). Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Mubarak (2009) dimana ciri-ciri dari
masyarakat sehat adalah adanya peningkatan kemampuan dari masyarakat untuk hidup
sehat, mampu mengatasi masalah kesehatan sederhana, berupaya untuk meningkatkan
kesehatn lingkungan, meningkatkan status gizi masyarakat, dan berupaya selalu
menurunkan angka kesakitan dan kematian sehingga masyarakat dapat menerapkan
perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga dengan baik. Berdasarkan fakta dan teori di
atas maka peneliti beropini bahwa masyarakat di desa tersebut berperilaku tidak sehat
karena tidak terbiasa berperilaku sehat atau kurangnya informasi yang didapat mengenai
PHBS rumah tangga.
Pelaksanaan PHBS terletak pada diri individu sendiri (intern) namun juga
ditentukan oleh factor dari luar individu (ekstern) (Kamisah, 2009). Jadi dilaksanakan atau
tidaknya PHBS sangat ditentukan oleh individu sendiri dan juga dipengaruhi oleh factor
lingkungan. Seorang individu bisa saja rutin melaksanakan PHBS dengan baik karena dari
dalam dirinya sudah mengetahui dengan baik manfaat PHBS bagi kesehatannya, serta
lingkungan keluarganya juga terbiasa melaksanakan PHBS maka secara otomatis individu
tersebut akan melaksanakan PHBS dalam kesehariannya.
2. Pengaruh umur terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Berdasarkan tabulasi silang dapat diketahui bahwa hampir 50 % responden yang
berumur 20-29 tahun melaksanakan PHBS pada klasifikasi 2 sedangkan responden yang
berumur 40-49 tahun hampir 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Dari hasil uji
chi square juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan PHBS rumah
tangga. Semestinya semakin cukup tingkat usia maka tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat
yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi
kematangan jiwanya (Notoatmodjo, 2003).
Jadi menurut opini peneliti, semakin matang usia responden akan membuat
responden mampu memikirkan secara matang bahwa PHBS merupakan upaya preventif
yang paling murah dan manfaatnya sangat besar dari pada kuratif. Jadi lebih baik
seseorang melaksanakan PHBS dalam kehidupannya sehari-hari daripada melakukan
pengobatan jika sudah sakit. Sebab biaya pengobatan jauh lebih mahal dibandingkan
pencegahan. Selain itu juga semakin tua umur seseorang juga semakin banyak pengalaman
yang didapatkan. Sehingga jika seseorang sudah lama merasakan manfaat PHBS maka dia
akan terbiasa melaksanakan PHBS.
3. Pengaruh pendidikan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Berdasarkan tabel silang dapat diketahui bahwa lebih dari 50 % responden yang
berpendidikan SD melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1 sedangkan responden yang
berpendidikan PT lebih dari 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Hasil uji chi
130
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
square juga menunjukkan bahwa ada pengaruh pendidikan terhadap pelaksanaan PHBS
rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2005) bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka makin luas wawasan sehingga semakin mudah
menerima informasi yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sehingga untuk
meningkatkan pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga seharusnya
masyarakat di desa tersebut mencari informasi tentang PHBS rumah tangga, membisakan
diri untuk hidup bersih.
Responden yang berpendidikan tinggi akan mudah menyerap informasi, sehingga
ilmu pengetahuan yang dimiliki lebih tinggi namun sebaliknya orang tua yang
berpendidikan rendah akan mengalami hambatan dalan penyerapan informasi sehingga
ilmu yang dimiliki juga lebih rendah yang berdampak pada kehidupannya. Semakin tinggi
tingkat pendidikan responden maka akan semakin terbuka pikiran responden terhadap halhal baru dan bermanfaat bagi kesehatan. Sehingga tidak menganggap pelaksanaan PHBS
sebagai suatu beban melainkan sebagai kebiasaan sehari-hari yang ringan dan mudah
dilaksanakan serta banyak manfaatnya untuk kesehatan.
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap
sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya
makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat
pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap
penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarok, 2007). Dengan
demikian tingkat pendidikan yang rendah tentu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
yang dimilikinya. Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pendidikan mempengaruhi sikap
seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi
untuk ikut berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, maka semakin bertambah pula kecakapan baik secara intelektual dan
emosionalnya. Jadi dengan tingkat pendidikan yang rendah maka juga akan mempengaruhi
pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang rendah akan mempengaruhi perilaku
seseorang.
4. Pengaruh pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto.
Berdasarkan tabel silang dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang
bekerja melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4 sedangkan responden yang tidak bekerja
paling banyak melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1. Hasil analisa menggunakan uji chi
square diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh pekerjaan terhadap PHBS rumah tangga.
Hal ini berlawanan dengan pendapat Nursalam (2002:134) yang menyebutkan bahwa ibu
rumah tangga akan mempunyai waktu yang cukup untuk mendapatkan informasi dan
pengetahuan yang benar. Seseorang yang bekerja akan lebih terbuka dengan dunia luar
sehingga akan lebih banyak pengetahuan yang diperoleh dari sesama rekan kerja maupun
dari rekan di luar pekerjaan.
Sehingga apabila responden bekerja dan lingkungan kerja juga membiasakan PHBS
dalam tata laksana aktivitas kerja maka responden juga akan membiasakan diri untuk
melaksanakan PHBS dalam rumah tangganya akibat dari kebiasaan di tempat kerja.
Sedangkan responden yang tidak bekerja cenderung tertutup terhadap perubahan, apalagi
jika gaya hidupnya sejak kecil tidak sehat, maka kebiasaan itu akan terbawa dalam
kesehariannya.
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung (Mubarok, 2007).
131
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang
dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat
kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan
berpengaruh pada pada cara berfikir seseorang dengan pekerjaan sebagai buruh/petani akan
memberikan lingkungan yang kurang memadai bagi responden untuk membentuk tingkat
pengetahuan yang baik. Sehingga pekerjaan juga dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan
yang dimiliki oleh responden yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku hidup
responden.
5. Pengaruh penghasilan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa
Tangunan Puri Mojokerto
Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang
mempunyai penghasilan < Rp. 1.009.150 dan > Rp. 1.009.150 melaksanakan PHBS pada
tingkat klasifikasi 4. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh kesimpulan
bahwa tidak ada pengaruh antara penghasilan terhadap pelaksanaan PHBS di tingkat
rumah tangga.Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena memiliki pengahasilan yang tidak cukup
untuk membeli obat atau untuk membayar transportasi (Notoadmodjo, 2007).
Namun Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai pembelajaran yang menjadikan seseorang atau
keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Pusat Promkes Depkes RI, 2006). Sedangkan
PHBS Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar
tahu, mau dan mampu mempraktikkan hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif dalam
gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS tatanan rumah tangga penting dilakukan untuk meningkatkan kesehatan
keluarga. Ini bertujuan agar anak dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas. Di samping itu,
kemampuan bekerja setiap anggota keluarga meningkat, serta pengeluaran biaya rumah
tangga dapat digunakan untuk pemenuhan gizi keluarga, pendidikan, dan peningkatan
pendapatan. Bagi masyarakat, akan tercipta lingkungan yang sehat dan mampu mencegah
serta menanggulangi masalah-masalah kesehatan. Rumah tangga sehat merupakan aset dan
modal utama pembangunan di masa depan. Kesakitan dan kematian karena penyakit
infeksi dan non infeksi dapat dicegah dengan berperilaku hidup bersih dan sehat (Kamisah,
2010). Sedangkan menurut Kamisah (2009), PHBS rumah tangga meliputi persalinan di
tolong oleh tenaga kesehatan adalah persalinan yang di tolong oleh tenaga kesehatan
(dokter, bidan dan tenaga medis lainnya). Dengan menggunakan peralatan yang aman,
bersih dan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya, saat
ini persalinan oleh tenaga kesehatan sudah sangat murah bahkan ada jamkesda yang
mampu membantu persalinan anggota rumah tangga yang tidak mampu jadi bukan alasan
bagi ibu untuk melakukan persalinan pada bukan tenaga kesehatan, indikator selanjutnya
adalah memberi ASI eksklusif adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa
memberikan tambahan makanan atau minuman lain. Upaya memberikan ASI saja jauh
lebih murah dibandingkan memberikan susu formula yang lebih mahal. Sehingga ibu yang
tidak mempunyai penghasilan sekalipun bisa memberikan makanan pada bayinya melalui
ASI eksklusif.
Indikator yang ketiga adalah menimbang bayi dan balita dimaksudkan untuk
memantau pertumbuhannya setiap bulan. Upaya penimbangan bayi dan balita dapat
dilakukan di posyandu yang gratis dan tidak dipungut biaya sedikitpun. Indikator keempat
132
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
adalah menggunakan air bersih. Air adalah kebutuhan dasar yang diperlukan sehari-hari
untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur
dan sebagainya agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari sakit. Air bersih sangat
mudah didapat didaerah Tangunan Puri, sebab wilayah ini masih merupakan wilayah
pedesaan yang jauh dari area perindustrian dan bebas pencemaran. Sehingga bukan alasan
bagi warga untuk memanfaatkan air sungai yang kotor untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Indikator yang kelima adalah mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Manfaat
mencuci tangan dengan sabun adalah membunuh kuman penyakit yang ada di tangan,
mencegah penularan penyakit diare, kolera, disentri dan lain-lain serta tangan menjadi
bersih dan bebas dari kuman. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun bukan
merupakan kegiatan yang membutuhkan biaya yang besar. Apalagi sabun yang digunakan
tidak harus mahal.
Indikator yang selanjutnya adalah menggunakan jamban sehat. Jamban adalah suatu
ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat
jongkok/ tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang
dilengkapi dengan unit pembuangan kotoran dan air untuk membersihkannya. Jamban
bukan menjadi suatu hal yang sulit dan mahal bagi masyarakat desa Tangunan sebab lahan
masih sangat luas untuk membangun jamban sehat di rumahnya.
Indikator selanjutnya adalah memberantas jentik di rumah. Rumah bebas jentik
adalah rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala adalah
pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk yang ada dalam rumah seperti bak
mandi/ wc, vas bunga dan lain-lain. Rumah bebas jentik tidak harus mewah dan megah.
Namun justru dengan rajin membersihkan dan tidak menyimpan benda-benda yang
merupakan sampah maka akan terbebas dari jentik.
Indikator selanjutnya adalah makan buah dan sayur setiap hari. Hal ini sangat
penting karena sayur dan buah mengandung vitamin dan mineral yang mengatur
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mengandung serat yang tinggi. Desa Tangunan
adalah desa penghasil sayur dan buah-buahan jadi untuk membeli sayur dan buah-buahan
tidak mahal.
Indikator selanjutnya adalah melakukan aktivitas fisik setiap hari, aktivitas fisik
adalah melakukan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang
sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik. Aktivitas fisik yang dilakukan juga tidak
harus mahal. Jalan kaki tiap pagi merupakan salah satu contoh aktivitas fisik yang tidak
memerlukan biaya. Indikator yang terakhir adalah tidak merokok di dalam rumah.
Penduduk 10 tahun ke atas yang tidak merokok selama 1 bulan terakhir. Kebiasaan ini
justru akan meningkatkan pendapatan keluarga karena akan menghemat pengeluaran pada
pos kebutuhan rokok.
PHBS merupakan perilaku yang murah dan bermanfaat jadi tidak ada alasan bagi
masyarakat untuk menolak melaksanakan kebiasaan ini, sebab selain banyak manfaatnya,
PHBS merupakan salah satu bentuk investasi jangka panjang pada perkembangan generasi
penerus bangsa.
F. PENUTUP
Ada pengaruh umur, pendidikan, dan pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan
sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Hendaknya tenaga kesehatan
setempat senantiasa memonitoring PHBS yang dilaksanakan masyarakat melalui kader
setempat dan aktif mengadakan lomba PHBS sebagai salah satu upaya evaluasi yang dapat
meningkatkan motivasi masyarakat dalam melaksanakan PHBS.
133
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
DAFTAR PUSTAKA
Angels, W. (2010). PHBS. (http : // bewinglessangel.blogspot.com, diakses 17 April 2010).
Ababar. (2008). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // ababar.blogspot.com, diakses 17
April 2010).
Almaida. (2009). Pramuka Pelopor dalam Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : //
almaidascout.wordpress.com, diakses 25 April 2010)
Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta
Boyskorean. (2010). Sistem Kesehatan Jawa Timur. (http://boyskorean.blogspot.com, diakses
8 Mei 2010).
Budiarto, Didik (2004). Dasar-dasar metodologi Penelitian
Esty. (2009). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // www.surabayaehealth.org/dkksurabaya/berita/perilaku-hidup-bersih-dan sehat-phbs, diakses 29 April
2010).
Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta : Salemba Medika
Kamisah. (2009). PHBS Tatanan Rumah Tangga. (http://kamisah.blogspot.com, diakses 25
April 2010).
Kesmas. (2010). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http:// belajar90.blogspot.com, diakses 27
April 2010).
Mubarak, wahidlqbal. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat
Notoatmodjo, S. (2000). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Nursalam dan Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodelogi Riset Keperawatan.
Jakarta : Seagung Seto
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, 2004
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, 2006
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, 2009
Suliha. (2001). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC
Sumantri, Ating. (2006). Aplikasi Statistika dalam Penelitian. Bandung : Pustaka Setia
___. (2009). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // kesmas.pusat.jakarta.go.id, diakses 1
Mei 2010)
134
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU
HAMIL TRIMESTER III DI BPS Hj SRI SULASMIATI, S.ST
DESA WONOAYU
KEC. PILANGKENCENG KAB. MADIUN
DYAH PERMATA SARI
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit.
ABSTRACK
Anaemia instance really been regarded by pregnant mother nutrient state that alone.
Nutrient on useful pregnant mother to get intrauterine aught fetus growth to keep health and
alone mother body force, so don't ensue fatal on pregnant mother and newborn baby. This
research intent to study relationship among nutrient state with anaemia instance on trimester's
pregnant mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu‟s Kec's Village Pilangkenceng
Madiun‟s.
Design observationaling to utilize analytic observasional with approaching cross
sectional. Independent's variable which is nutrient state, dependent's variable which is
anaemia instance. Its population is exhaustive trimester's pregnant mother III. at BPS Hj Sri
Sulasmiati, S.ST Wonoayu Village. Mojosari Kab. Madiun as much 32 pregnant mothers.
Sample 32 respondent that took by tekhnik sampling Non Probability sampling type
Accidental is sampling. Date downloading May 15 15th June checklist's research instrument
and Hb Sahli Set. Quiz statisticaling to utilize quiz spearman rank with a = 0,05.
Observational result to be gotten that largely respondent good nutrient state which is 19
respondents (59,4 %) and 15 respondents (46,9 %) don't experience anaemia..
Morphological result by tests spearman rank with a = 0,05 are gotten that rs =
0,666789 rs's matters computing > 0,364, therefore Ho is refused and Hi is accepted therefore
there is relationship among nutrient state with anaemia instance on trimester's pregnant
mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu's Village Pilangkenceng Madiun‟s
district Year 2013.
Conclusion this research is available subjective among nutrient state with anaemia
instance on trimester's pregnant mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu's Village
Pilangkenceng Madiun's. We as officer of health moring to increase service to mother nutrient
state pregnant trimester III.ING to anticipate its happening anaemia.
Keyword: Nutrient state, anaemia, pregnancy
A. PENDAHULUAN
Anemia adalah nama yang umumnya diberikan untuk serangkaian defisiensi dalam
kualitas dan kuantitas sel darah merah (Linda, 2010). Anemia kehamilan disebut
“potential danger to mother and child” (potensial membahayakan ibu dan anak), karena
itulah anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam
pelayanan kesehatan pada lini terdepan (Manuaba, 2010:237).
Menurut WHO, kejadian anemia kehamilan berkisar antara 20 dan 89% dengan
menetapkan Hb 11gr% (Manuaba, 2010:237). Secara global, 40% dari seluruh kematian
maternal di akibatkan dengan anemia (WHO, 2001). Anemia defisiensi zat besi terjadi
pada 23% ibu hamil di negara maju dan pada 52% terjadi di negara berkembang (WHO et
al., 2001). Angka anemia kehamilan di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi,
Hoo Swie Tjiong menemukan angka anemia kehamilan 3,8% pada trimester I, 13,6%
pada trimester II dan 24,8% pada trimester III (Manuaba, 2010:237). Hasil persalinan
pada wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 12-28% angka kematian
janin, 30% kematian perinatal dan 7-10% angka kematian neonatal (Atikah, 2010:131).
135
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Study pendahuluan yang sudah saya lakukan di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu ibu hamil trimester III yang menderita anemia mencapai 4 ibu hamil atau 40%
dari 10 ibu hamil trimester III yang ada di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu
Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun.
Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami
hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya
pada kehamilan 32 sampai 34 minggu (Manuaba, 2010:238). Peningkatan volume
plasma menyebabkan terjadinya hidremia kehamilan atau hemodilusi yang menyebabkan
terjadinya penurunan hematokrit (20-30%), sehingga hemoglobin dari hematokrit lebih
rendah secara nyata dari pada keadaan tidak hamil (Atikah, 2010:132). Anemia pada ibu
hamil dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan postpartum apabila terjadi sejak
awal dapat menyebabkan terjadinya persalinan prematur, sedangkan faktor terbesar
terjadinya anemia adalah status gizi yang buruk dengan defisiensi multivitamin termasuk
di negara-negara berkembang seperti indonesia (Atikah, 2009:76). Pada kebanyakan
negara berkembang, perubahan ini dapat diperburuk oleh kekurangan nutrisi dalam
kehamilan yang berdampak pada defisiensi nutrisi mikro seperti anemia yang dapat
berakibat fatal pada ibu hamil dan bayi baru lahir (Ellya, 2010:167). Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas peneliti ingin meneliti hubungan status gizi dengan
kejadian anemia pada ibu hamil trimerter III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec Pilangkenceng Kab Madiun.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Gizi.
a. Definisi Gizi.
Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara
normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertunbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi (Atikah, 2009:1).
Status Gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan nutrisi (Mary, 2011:1).
Status Gizi (Nutrition Status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
dalam dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam
bentuk variabel tertentu (Ellya, 2010:1).
b. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil
Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari pada kebutuhan untuk
wanita tidak hamil. Salah satu parameter untuk mengetahui status gizi ini adalah
dengan melihat peningkatan berat badan selama kehamilan. Idealnya, dalam 5
bulan pertama terdapat peningkatan 1 kg berat badan ibu per bulan. Dalam
bulan-bulan berikutnya diharapkan peningkatan sebesar 2 kg per bulannya.
Selama kehamilan, diharapkan adanya berat badan ibu sebesar :
a. 7 – 11,5 kg bagi mereka dengan berat badan > 65 kg saat mulai hamil.
b. 12 – 15 kg bagi mereka dengan berat badan 45 – 65 kg saat mulai hamil.
c. 12,5 - 18 kg bagi mereka dengan berat badan < 45 kg saat mulai hamil
(Atikah, 2010:82).
Wanita hamil membutuhkan sekitar 2485 kalori per hari yang terdiri dari
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral
c. 3 Zat Gizi Penting Bagi Ibu Hamil
a. Asam Folat
Asam folat termasuk kelompok vitamin B yang bermanfaat mengurangi
NTD (Neural Tubes Defects) atau kelainan susunan saraf pusat. Sumber
136
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
asam folat antara lain brokoli,gandum, kacang-kacangan, jeruk, stroberi dan
bayam.
b. Kalsium
Kalsium semakin dibutuhkan ibu hamil memasuki trimester kedua dan
ketiga kehamilan. Pada masa inilah janin mulai tumbuh pesat terutama pada
pembentukan tulang dan giginya. Sumber kalsium diantaranya telur, susu,
ikan teri, ikan salmon, sarden, sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan
dan wijen.
c. Zat Besi
Kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat mengganggu metabolisme
energi sehingga dapat menyebabkan menurunnya kemampuan kerja organorgan tubuh. Sumber makanan yang mengandung zat besi antara lain
daging, hati, telur, kacang-kacangan dan sayuran hijau (Atikah, 2010:86
d. Faktor yang mempengaruhi Gizi Ibu Hamil
a. Umur
Lebih muda umur seorang wanita yang hamil, lebih banyak energi yang
diperlukan (Purwitasari, 2009:36). Umur yang tua perlu energi yang besar
karena fungsi organ yang makin melemah dan diharuskan untuk bekerja
maksimal maka memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung
kehamilan yang sedang berlangsung (Atikah, 2009:53)
b. Berat Badan
Berat badan yang lebih ataupun kurang dari pada berat badan rata-rata
untuk umur tertentu merupakan faktor untuk menentukan jumlah zat
makanan yang harus diberikan agar kehamilannya berjalan lancar.
c. Suhu Lingkungan
Suhu tubuh dipertahankan pada 36,5-37o C untuk metabolisme yang
optimum.
d. Aktifitas
Setiap aktifitas memerlukan energi, makin banyak aktifitas yang
dilakukan makin banyak energi yang diperlukan tubuh (Purwitasari,
2009:36).
e. Status Kesehatan
Ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi tablet yang mengandung zat besi
atau makanan yang mengandung zat besi seperti hati, bayam.
f. Kebiasaan dan Pandangan Wanita Terhadap Makanan
Pada umumnya kaum wanita lebih memberikan perhatian khusus pada
kepala keluarga dan anak-anaknya.
g. Pengetahuan Zat Gizi Dalam Makanan
Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain kemampuan keluarga
untuk membeli makanan atau pengetahuan tentang zat gizi. Ngidam adalah
pertanda bahwa didalam tubuh ibu hamil ada perubahan besar yang
menyangkut susunan enzim dan hormon (Purwitasari, 2009:36).
h. Status Ekonomi
Baik status ekonomi maupun status Sosial Sangat mempengaruhi
seorang wanita dalam memilih makanannya.
i. Diit pada masa sebelum hamil dan selama hamil.
j. Psikologi (Purwitasari, 2009:36)
e. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kehamilan
a) Ibu hamil : Anemia, Produksi ASI kurang.
137
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
b) Janin : Kegagalan pertumbuhan, BBLR, Prematur, Lahir mati, Cacat
bawaan dan Keguguran.
c) Persalinan : Sektio Sesario, Pendarahan, Persalinan lama (Purwitasari,
2009:37)
f. Metode Pengukuran Body Mass Index (BMI)
Faktor yang mempengaruhi besarnya kebutuhan berat badan ditentukan oleh
tinggi badan dan berat badan, apakah wanita tersebut memiliki berat badan
normal, kurang atau lebih sebelum kehamilan. Metode yang biasa digunakan
dalam menentukan kondisi berat badan dan tinggi badan adalah body mass index
(BMI). Formula ini digunakan untuk menghitung BMI adalah :
BMI = Berat/Tinggi2
BMI dapat di intepretasikan dalam kategori sebagai berikut :
a) Kurang dari 19,8 adalah berat kurang atau rendah
b) 19,8 sampai dengan 26,0 normal
c) 26,0 sampai dengan 29 adalah berat lebih atau tinggi
d) Lebih dari 29 obesitas
2. Konsep Dasar Anemia
a. Pengertian Dasar Anemia
Anemia adalah kondisi dimana kadar Hb kurang dari normal (< 11 gr%)
(Purwitasari, 2009:80). Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin
dibawah 11g% pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5g% pada trimester 2.
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi dan
merupakan jenis anemia yang pengobatannya relatif mudah bahkan murah
(Manuaba, 2010:237).
Anemia dalam kehamilan merupakan satu penyebab potensial morbiditas
dan mortalitas ibu dan anak (Purwitasari, 2009:80).
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan
yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang
(Atikah, 2010:131).
b. Penyebab Terjadinya Anemia
1) Kurang intake makanan sumber pembentukan sumber darah merah
dikarenakan muntah, pantangan, tidak suka pada suatu jenis makanan dan
faktor alergi terhadap makanan.
2) Kehamilan dan persalinan yang terlalu sering sehingga simpanan Fe rendah.
3) Kebutuhan Fe yang meningkat.
4) Gangguan penyerapan Fe (Purwitasari, 2009:81).
c. Tanda dan Gejala Anemia
Gejalanya : Kelelahan, keletihan, iritabilitas, dan sesak nafas saat
melakukan aktifitas merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Stomatitis
angular dapat juga terjadi yaitu robekan yang terasa nyeri pada sudut mulut yang
menyebabkan kehilangan nafsu makan.
Tandanya : Pucat pada kulit dan membran mukosa dapat dilihat dan
mungkin tampak pada telapak tangan dan konjungtiva, meskipun tanda ini
bersifat subjektif dan tidak dapat diandalkan. Pada anemia berat tanda dan gejala
klinis yang tampak secara langsung dihubungkan dengan ketidakadekuatan
suplai oksigen dan mencakup takikardia dan palpitasi, angina dan klaudikasi
intermiten/berjalan pincang-red (Linda, 2010:87).
d. Pencengahan Anemia Dalam Kehamilan
a. Mengkonsumsi dan Fungsi Zat Besi
1) Pembentukan sel darah merah, cadangan Fe pada bayi yang baru lahir.
138
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2) Sel darah merah bertugas mengangkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan dan mengangkut nutrisi dari ibu ke janin.
3) Ikatan Fe dan protein dalam otot menyimpan oksigen yang sewaktuwaktu digunakan oleh sel.
4) Reaksi enzim diberbagai jaringan tubuh (Purwitasari, 2009:81).
b. Tujuan Diit pada Ibu Hamil Dengan Anemia
Memberikan makanan yang dapat mencengah dan memperbaiki keadaan
anemia (Purwitasari, 2009:83).
c. Syarat Diit pada Ibu Hamil Dengan Anemia
Energi sesuai kebutuhan secara bertahap sejumlah 2200 kalori + 300 – 500
kalori/hari, lemak cukup, 53 gram/hari, protein tinggi, 75 gram/hari + 8 – 12
gr/hari, diutamakan protein bermutu tinggi, meningkatkan konsumsi
makanan sumber pembentukan sel darah merah, bentuk makanan dan porsi
disesuaikan dengan keadaan kesehatan ibu hamil (Purwitasari, 2009:82).
d. Cara Meningkatkan Asupan Fe dan Asam Folat
1) Konsumsi protein hewani (daging, unggas, seafoods, telur, susu, dan
hasil olahannya), konsumsi makanan sumber asam folat (Asparagus,
bayam, buncis, hati sapi, kapri, kacang tanah, orange juice, almond,
beras merah/tumbuk, kembang kol, telur, selada, sereal instant),
meningkatkan asupan buah berwarna jingga dan merah segar (jeruk,
pisang, kiwi, semangka, nanas).
2) Mengkonsumsi makanan fortifikasi (susu, keju, es krim, makanan
berbasis tepung), vitamin C untuk meningkatkan absorbsi Fe dalam
usus, konsumsi makanan sumber vitamin B12 (daging, hati, ikan,
makanan fermentasi, yogurth, udang, susu).
3) Jika perlu ditambahkan suplemen vitamin B12, Fe dan vitamin C.
4) Konsumsi sayuran hijau paling tidak 3 porsi/hari.
3. Konsep dasar Kehamilan.
1. Pengertian dasar Kehamilan
Kehamilan adalah suatu keadaan yang istimewa bagi seorang wanita sebagai
calon ibu, karena pada masa kehamilan akan terjadi perubahan fisik yang
mempengaruhi kehidupannya (Atikah, 2009:47).
2. Tanda Dugaan Kehamilan
Berikut ini adalah tanda-tanda dugaan adanya kehamilan :
a. Amenorea (terlambat datang bulan). Konsepsi dan nidasi menyebabkan tidak
terjadinya pembentukan folikel de Graaf dan ovulasi.
b. Mual dan muntah (emesis). Pengaruh estrogen dan progesteron menyebabkan
pengeluaran asam lambung yang berlebihan.
c. Ngidam. Wanita hamil sering menginginkan makanan tertentu, keinginan yang
demikian disebut ngidam.
d. Sinkope atau pingsan. Terjadinya gangguan sirkulasi ke daerah kepala (sentral)
menyebabkan iskemia susunan saraf pusat dan menimbulkan sinkop atau
pingsan. Keadaan ini menghilang setelah usia kehamilan 16 minggu.
Payudara sedang. Pengaruh estrogen progesteron dan somatomamotrofin
menimbulkan deposit lemak, air dan garam pada payudara (Manuaba,
2010:107
3. Ibu Hamil Golongan Risiko Tinggi
a. Ibu hamil terlalu muda yaitu kurang dari 16 tahun dimana organ reproduksi
belum siap untuk terjadinya pembuahan.
139
HOSPITAL MAJAPAHIT
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Ibu hamil diatas 35 tahun. Faktor ini juga menjadi masalah karena dengan
bertambahnya umur maka akan terjadi penurunan fungsi dari organ yaitu
melalui proses penuaan.
Ibu baru hamil setelah perkawinan selama 4 tahun.
Jarak dengan anak terkecil dengan anak lebih dari 10 tahun.
Jarak kehamilan terlalu dekat yaitu kurang dari 2 tahun. Menjadi berisiko
karena sistem reproduksi belum kembali seperti semula, serta ibu masih
menyusui, terlalu banyak anak yaitu lebih dari 4, Tinggi badan terlalu pendek
dan kurang dari 145 cm, terlalu gemuk atau terlalu kurus, ini akan
berpengaruh pada gizi keduanya.
Riwayat persalinan yang jelek, riwayat adanya cacat bawaan yang dibawa
oleh keluarga atau kehamilan yang lalu.
Ibu seorang pokok berat, kecanduan obat dan memilih hobi minum-minuman
keras
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian.
Rancang bangun dalam penelitian ini adalah observasional analitik yang dilakukan
secara cross sectional dimana penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara status
gizi dengan kejadian anemia, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat.
Kerangka Kerja
Faktor yang
mempengaruhi
Status gizi ibu hamil :
1. Umur
2. Berat badan
3. Suhu lingkungan
4. Aktifitas
5. Status kesehatan
6. Kebiasaan
7. Pengetahuan
8. Status ekonomi
9. Diit
10. Psikologi
Faktor yang mempengaruhi
anemia pada kehamilan :
1. Hemodilusi
2. Pola makan
3. Paritas
4. Kepatuhan konsumsi tablet
Fe
Anemia pada ibu
hamil trimester III
Status Gizi Ibu Hamil
Kurang :
< 19,8
Normal :
19,8 – 26,0
Lebih :
26,0 – 29,0
Obesitas :
>29,0
Tidak
Anemia :
Hb 11g%
Anemia
Ringan :
Hb 9-10 g%
Anemia
Sedang :
Hb 7-8 g%
Anemia
Berat :
Hb < 7g%
Sumber : Purwitasari, 2009. Manuaba, 2010.
Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti
Gambar 1 : Kerangka konseptual Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia
Pada Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec Pilangkenceng Kab Madiun Tahun 2012.
140
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Variabel dan Definisi Operasional.
a. Jenis Variabel Penelitian.
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat karena variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
kejadian anemia pada ibu hamil trimester III.
b. Definisi Operasional.
Tabel 1 : Definisi Operasional Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian
Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST
Desa Wonoayu Kec Pilangkenceng Kab Madiun
Variabel
Independen
Status gizi pada
ibu hamil
Dependen
Anemia pada
ibu hamil
trimester III
Definisi
Status Gizi adalah status kesehatan
yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan
nutrisi dengan diukur dengan BMI
Suatu keadaan kadar hemoglobin
ibu dibawah batas normal yang
diukur dengan metode Hb sahli
Kriteria
Kurang :
< 19,8
Normal :
19,8 – 26,0
Lebih :
26,0 – 29,0
Obesitas :
>29,0
(Gisajel, 2011)
Tidak Anemia :
Hb 11g%
Anemia Ringan:
Hb 9-10 g%
Anemia Sedang:
Hb 7-8 g%
Anemia Berat :
Hb <7g%
(Atikah, 2009)
Skala
Ordinal
Ordinal
3. Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian.
Dalam penelitian ini Populasinya adalah seluruh ibu hamil trimester III yang
periksa di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kecamatan Pilangkenceng
Kabupaten Madiun yaitu sebanyak 32 orang pada bulan Mei 2013, sedangkan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil trimester III
yang periksa di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kecamatan
Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian
ini adalah Non Probability sampling dimana teknik pengambilan sampelnya
menggunakan Accidental Sampling. Dalam Melakukan observasi, pada sampel yang
telah ditentukan dan dilakukan pengukuran BMI untuk mengetahui status gizi dan
dilakukan pengukuran kadar Hb untuk mengetahui status anemia pada ibu hamil
trimester III. Instrumen untuk status gizi ibu hamil menggunakan cara BMI yaitu
mengukur berat badan dan tinggi badan dan untuk mengetahui anemia pada ibu
hamil dilakukan pemeriksaan Hb Sahli
4. Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data.
Teknik Pengumpulan Data
1. Editing
Editing adalah memeriksa daftar cheklist dengan tujuan untuk mengurangi
kesalahan atau kekurangan yang ada dalam daftar cheklist yang sudah diselesaikan
(Hidayat, 2010 : 121).
141
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Coding
Coding adalah kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori. Pada penelitian ini coding diberikan pada data
umum dan data khusus
a. Data umumnya terdiri dari :
1) Usia
1 : < 20 tahun
2 : 20-35 tahun
3 : > 35 tahun
2) Pendidikan
1 : SD/Sederajat
2 : SMP/Sederajat
3 : SMA/Sederajat
4 : Akademi
3) Pekerjaan
1 : Bekerja
2 : Tidak Bekerja
4) Paritas
1 : Primigravida
2 : Multigravida
3 : Grandemultigravida
b. Data khususnya terdiri dari :
1) Status Gizi
1 : BMI Kurang < 19,8
2 : BMI Normal 19,8 - 26,0
3 : BMI Lebih 26,0 – 29,0
4 : BMI Obesitas > 29,0
2) Anemia Bumil TM III
1 : Hb 11 g% Tidak Anemia
2 : Hb 9-10 g% Anemia Ringan
3 : Hb 7-8 g% Anemia Sedang
4 : Hb < 7 g% Anemia Berat
3. Scoring
Memberi skor untuk menetapkan kategori dari masing-masing variabel yang
terdapat pada daftar cheklist.
4. Entry data
Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam
master tabel atau data base komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi
sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi (Hidayat, 2010:121).
5. Tabulating
Tabulasi adalah mentabulasi hasil data yang diperoleh sesuai dengan daftar
cheklist.
5. Analisis Data.
Data dalam variabel ini adalah data ordinal. Setelah data diperoleh dari hasil
pengukuran berat badan dan tinggi badan, kemudian dimasukan ke dalam rumus
BMI lalu ke dalam daftar cheklist.
Rumus BMI = Berat/Tinggi2
Kriteri status gizi sebagai berikut :
1) Kurang
: < 19,8
2) Normal
: 19,8 – 26,0
142
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
3) Lebih : 26,0 – 29,0
4) Obesitas
: >29,0 kemudian data ditabulasikan.
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian ini adalah di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
Jumlah penduduk Desa Wonoayu secara keseluruhan berjumlah 5.569 jiwa,
dengan perincian 2.830 orang perempuan dan 2.667 orang laki-laki sedangkan
jumlah ibu hamil trimester III sebanyak 32 orang. BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST dari 1
ruang untuk persalinan, 1 ruang untuk ibu nifas, 1 ruang pemeriksaan kehamilan dan
akseptor KB serta ruang tunggu
2. Data Umum.
a. Karakteristik Umur Responden.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Menurut Umur Ibu Hamil Trimester III di
BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng
Kab. Madiun
No
1
2
3
Umur (tahun)
<20
20-35
>35
Jumlah
Frekuensi
4
25
3
32
Prosentase (%)
12,5
78,1
9,4
100
Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa hampir seluruh responden berumur 20-35
tahun yaitu 25 responden (78,1%) dan sebagian kecil responden berumur >35
tahun yaitu 3 responden (9,4%)
b. Karakteristik Pendidikan Responden.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan Ibu Hamil
Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu
Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun
c.
No
Pendidikan
Frekuensi
Prosentase (%)
1
2
3
4
SD
SMP
SMA
Akademi /PT
Jumlah
1
8
19
4
32
3,1
25
59,4
12,5
100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai
latar belakang pendidikan SMA yaitu 19 responden (59,4%) dan sebagian kecil
responden berpendidikan SD yaitu 1 responden (3,1%).
Karakteristik Pekerjaan Responden
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan Ibu
Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun
No
1
2
Pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
Jumlah
Frekuensi
22
10
32
Prosentase (%)
68,75
31,25
100
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden bekerja yaitu
22 responden (68,75%) dan hampir setengah dari responden tidak bekerja yaitu
10 responden (31,25%).
143
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
d. Karakteristik Paritas Responden.
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Menurut Paritas Ibu Hamil Trimester III
di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec.
Pilangkenceng Kab. Madiun
No
1
2
3
Paritas
Primigravida
Multigravida
Grandemultigravida
Jumlah
Frekuensi
17
11
4
32
Prosentase (%)
53,1
34,4
12,5
100
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah
primigravida 17 responden (53,1%) dan sebagian kecil responden adalah
grandemultigravida 4 responden (12,5%).
3. Data khusus
a. Status Gizi
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Responden menurut status gizi pada Ibu
hamil trimester III di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun
No
1
2
3
4
Status Gizi
Kurang
Normal
Lebih
Obesitas
Jumlah
Frekuensi
5
19
5
3
32
Prosentase (%)
15,6
59,4
15,6
9,4
100
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden status
gizinya normal yaitu 19 responden (59,4%) dan sebagian kecil responden status
gizinya obesitas yaitu 3 responden (9,4%).
b. Anemia
Tabel 7
Distribusi Frekuensi Responden menurut Anemiapada Ibu
hamil trimester III di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun
No
1
2
3
4
c.
Anemia
Tidak Anemia
Anemia Ringan
Anemia Sedang
Anemia Berat
Jumlah
Frekuensi
15
9
6
2
32
Prosentase (%)
46,9
28,1
18,75
6,25
100
Berdasarkan tabel 7 didapatkan bahwa hampir setengah dari responden
tidak mengalami anemia yaitu 15 responden (46,9%) dan sebagian kecil
responden mengalami anemia berat yaitu 2 responden (6,25%).
Analisis Hasil Penelitian
Tabel 8
Tabulasi Silang Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian
Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III di di BPS Hj Sri
Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab.
Madiun
Status Gizi
Tidak Anemia
Kurus
Σ
0
%
0
Normal
11
34,4
Anemia
Anemia
Ringan
Σ
%
1
3,1
Anemia
Sedang
Σ
%
3
9,4
Anemia
Berat
Σ
%
1
3,1
Σ
5
%
15,6
8
0
0
19
59,4
25,0
144
0
0
Total
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Status Gizi
Lebih
Σ
1
%
3,1
Anemia
Anemia
Ringan
Σ
%
1
3,1
Obesitas
1
3,1
0
0
1
3,1
1
3,1
3
9,4
Total
13
40,6
10
31,3
7
21,
9
2
6,3
32
100
Tidak Anemia
Total
Anemia
Sedang
Σ
%
3
9,4
Anemia
Berat
Σ
%
0
0
Σ
5
%
15,6
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden
status gizi normal sebanyak 19 responden (59,4%) dan 11 responden (34,4%)
tidak mengalami anemia, sedangkan sebagian kecil responden status gizinya
kurus sebanyak 5 responden (15,6%) dan semuanya mengalami anemia ringan,
sedang dan berat.
Hasil uji spearman rank dengan a = 0,05 didapatkan bahwa rs =
0,666789 berarti rs hitung> 0,364 , sehingga H1 diterima yang artinya ada
hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III.
E. PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 4.5 hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden sebagian
besar responden memiliki status gizi normal yaitu 19 responden (59,3%) dan sebagian
kecil responden memiliki status gizi obesitas yaitu 3 responden (9,4%).
Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara
kebutuhan dan masukan nutrisi (Mary, 2011:1). Ada 3 zat gizi penting bagi ibu hamil
yaitu : a. Asam Folat sumber asam folat antara lain brokoli,gandum, kacang-kacangan,
jeruk, stroberi dan bayam. b. Kalsium sumber kalsium diantaranya telur, susu, ikan teri,
ikan salmon, sarden, sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan dan wijen. c. Zat Besi
sumber makanan yang mengandung zat besi antara lain daging, hati, telur, kacangkacangan dan sayuran hijau (Atikah, 2010:86). Faktor yang mempengaruhi gizi ibu hamil
meliputi umur, berat badan, suhu lingkungan, aktifitas, status kesehatan, kebiasaan dan
pandangan wanita terhadap makanan, pengetahuan zat gizi dalam makanan, status
ekonomi, diit pada masa sebelum hamil dan selama hamil dan psikologi (Purwitasari,
2009:36).
Sebagian besar ibu hamil trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST mempunyai
status gizi yang baik. Status gizi yang baik dipengaruhi oleh umur ibu yang matang,
pendidikan yang cukup tinggi, jumlah paritas yang masih rendah dan pekerjaan.
Berdasarkan tabulasi silang antara umur dengan status gizi dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa hampir seluruh responden berusia 20 – 35 tahun sebanyak 25
responden (78,1%) dan 15 responden (46,9%) mempunyai status gizi normal, sedangkan
sebagian kecil responden berusia > 35 tahun sebanyak 3 responden (9,4%) dan semuanya
mempunyai status gizi normal.
Berdasarkan tabulasi silang antara pendidikan dengan status gizi dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden berpendidikan SMA sebanyak 19
responden (59,4%) dan 9 reponden (28,1%) mempunyai status gizi normal, sedangkan
sebagian kecil responden berpendidikan SD sebanyak 1 responden (3,1%) dan semuanya
tidak mempunyai status gizi normal.
Berdasarkan tabulasi silang antara pekerjaan dengan status gizi dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden bekerja sebanyak 22 responden
(68,8%) dan 9 responden (28,1%) mempunyai status gizi normal, sedangkan hampir
145
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
setengah dari responden tidak bekerja sebanyak 10 responden (31,3%) dan semuanya
mempunyai status gizi normal.
Ibu yang bekerja kurang mempunyai waktu yang lebih untuk memperhatikan status
gizi yang dikonsumsinya sehingga status gizi dari ibu tersebut kurang, sedangkan ibu
yang tidak bekerja mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan status gizi yang
dikonsumsi sehingga status gizinya normal.
Berdasarkan tabulasi silang antara paritas dengan status gizi dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden multigravida sebanyak 19 responden
(59,4%) dan 11 responden (34,4%) mempunyai status gizi normal, sebagian kecil
responden grandemultigravida sebanyak 4 responden (12,5%) dan semuanya mempunyai
status gizi normal.
Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa hampir setengah dari responden tidak
mengalami anemia yaitu 15 responden (46,9%) dan sebagian kecil responden mengalami
anemia berat yaitu 2 responden (6,25%).
Hampir seluruh responden tidak mengalami anemia. Kejadian anemia ini
dipengaruhi oleh faktor umur, paritas, jarak kehamilan dan pendidikan yang cukup.
Berdasarkan tabulasi silang antara umur dengan anemia dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa hampir seluruh responden berumur 20 – 35 tahun sebanyak 25
responden (78,1%) dan 9 responden (28,1%) tidak mengalami anemia, sedangkan
sebagian kecil responden berumur > 35 tahun sebanyak 3 responden (9,4%) dan 1
responden (3,1%) mengalami anemia ringan.
Pada wanita hamil usia terlalu muda < 20 tahun, secara fisikalat reproduksinya
belum siap untuk menerima hasil konsepsi dan secara psikiogis belum cukup dewasa dan
matang untuk menjadi seorang ibu, sedangkan wanita hamil pada usia lanjut yaitu >
35tahun, proses faal tubuhnya sudah mengalami kemunduran berupa elastisitas otot-otot
panggul di sekitar organ-organ reproduksi lainnya, keseimbangan hormonnya mulai
terganggu sehingga kemungkinan terjadi berbagai resiko kehamilan (Wiknjosastro,
2000).
Menurut fakta diatas umur ibu > 35 tahun dan hanya 1 yang mengalami anemia
ringan, sedangkan menurut Wiknjosastro, umur > 35 tahun berisiko tinggi mengalami
anemia sehingga ada kesenjangan antara fakta dengan teori dan ini bisa dipengaruhi oleh
pola makan yang baik dan kepatuhan dalam mengkonsumsi tablet Fe.
Berdasarkan tabulasi silang antara pendidikan dengan anemia dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden berpendidikan SMA sebanyak 19
responden (59,4%) dan 7 responden (21,9%) tidak mengalami anemia, sedangkan
sebagian kecil responden berpendidikan SD sebanyak 1 responden (3,1%) dan semuanya
tidak mengalami anemia.
Menurut fakta diatas responden yang berpendidikan SD tidak ada yang mengalami
anemia, sedangkan menurut Herlina, semakin rendah pengetahuan kesehatan reproduksi,
maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia sehingga ada kesenjangan antara fakta
dengan teori dan ini bisa dipengaruhi oleh pola makan yang baik dan kepatuhan dalam
mengkonsumsi tablet Fe.
Berdasarkan tabulasi silang antara pekerjaan dengan anemia dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden bekerja sebanyak 22 responden (68,8%)
dan 9 responden (28,1%) tidak mengalami anemia, sedangkan hampir setengah dari
responden tidak bekerja sebanyak 10 responden (31,3%) dan 6 responden (18,8%)
mengalami anemia ringan.
Setiap pekerjaan atau aktifitas memerlukan energi, maka apabila semakin banyak
aktifitas yang dilakukan, energi yang dibutuhkan akan semakin banyak (Atikah,
2009:52).
146
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Berdasarkan tabulasi silang antara paritas dengan anemia dari 32 responden
diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden primigravida sebanyak 17
responden (53,1%) dan 6 responden (18,8%) tidak mengalami anemia, sedangkan
sebagian kecil responden grandemultigravida sebanyak 4 responden (12,5%) dan 1
responden (3,1%) mengalami anemia ringan.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden status
gizi normal sebanyak 19 responden (59,4%) dan 11 responden (34,4%) tidak mengalami
anemia, sedangkan sebagian kecil responden status gizinya kurus sebanyak 5 responden
(15,6%) dan semuanya mengalami anemia ringan, sedang dan berat.
Hasil uji spearman rank dengan a = 0,05 didapatkan bahwa rs = 0,666789 berarti
rs hitung> 0,364, sehingga H1 diterima yang artinya ada hubungan status gizi dengan
kejadian anemia pada ibu hamil trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun.
Berbagai faktor yang mempengaruhi gizi ibu hamil adalah umur, berat badan, suhu
lingkungan, aktifitas, status kesehatan, kebiasaan dan pandangan wanita terhadap
makanan, pengetahuan zat gizi dalam makanan, status ekonomi, diit pada masa sebelum
hamil dan selama hamil dan psikologi (Purwitasari, 2009:36). Status gizi yang buruk
merupakan faktor predisposisi terbesar terjadinya anemia (Atikah, 2009:77). Pengaruh
status gizi pada ibu hamil akan terjadi anemia dan pada janin terjadi kegagalan
pertumbuhan, BBLR, prematur lahir mati, cacat bawaan dan keguguran, sedangkan
pengaruh anemia pada ibu hamil, baik dalam masa kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan akan terjadi abortus, partus prematur, partus lama, pendarahan post partum,
infeksi dan anemia dan pada janin akan terjadi kematian janin, kematian perinatal,
prematur, cacat bawaan, cadangan Fe bayi kurang (Purwitasari, 2009:82).
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa ada kesenjangan yaitu sebagian besar
dari responden status gizi normal sebanyak 19 responden (59,4%) dan 8 responden
(25,0%) mengalami anemia ringan, sedangkan sebagian kecil responden status gizi lebih
sebanyak 5 responden (15,6%) dan 3 responden (9,4%) mengalami anemia sedang.
Penyerapan zat besi terjadi dalam lambung dan usus bagian atas yang masih
bersuasana asam, banyaknya zat besi dalam makanan yang dapat dimanfaatkan oleh
tubuh tergantung pada tingkat absorbsinya. Tingkat absorbsi zat besi dapat dipengaruhi
oleh pola menu makanan atau jenis makanan yang menjadi sumber zat besi. Misalnya zat
besi yang berasal dari bahan makanan hewani dapat diabsorbsi sebanyak 20 -30%
sedangkan zat besi yang berasal dari bahan makanan tumbuh-tumbuhan hanya sekitar 5
% (Anon, 2008). Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi oleh kombinasi makanan yang
disantap pada waktu makan.
Berdasarkan teori dan fakta yang ada bahwa ada Hubungan Status Gizi Dengan
Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III Di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa
Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun.
F. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan status gizi ibu hamil pada penelitian ini terbanyak adalah status
gizi baik yaitu sebanyak 19 orang dari 32 responden. Ibu hamil trimester III pada
penelitian ini terbanyak adalah tidak mengalami anemia yaitu sebanyak 15 orang dari
32 responden.
Hasil spearman rank dengan a = 0,05 didapatkan bahwa rs = 0,666789 berarti
rs hitung> 0,364, sehingga H1 diterima yang artinya ada hubungan status gizi dengan
kejadian anemia pada ibu hamil trimester III.
147
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Saran
Kader Memberikan informasi pada ibu tentang status gizi dengan kejadian
anemia pada ibu hamil trimester III dengan jelas dan menarik sehingga bisa menjadi
strategi tenaga kesehatan dalam memberikan penyuluhan dan informasi untuk
meningkatkan status gizi terutama pada ibu hamil.
Penelitian ini lebih disempurnakan lagi bagi peneliti selanjutnya karna penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dengan mengetahui lebih dalam lagi
mengenai hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 2012.Penyebab dan Penanganan Anemia / Mengganti Dengan Obat Lain Yang Sesuai.
(http://majalahkesehatan.com), diakses 9 mei 2013
Anon.
2011.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penyerapan
zat
besi.
(http://blogkesmas.blogspot.com), diakses 16 juli 2013
Anon. 2008. Absorbsi zat besi. (http://fransis.wordpress.com), diakses 16 juli 2013
Beck, Mary E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet.Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
Ellya, Eva. 2010. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : TIM
Hidayat, A.A. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba
Medika
Manuaba. 2010.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta : EGC
Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Proverawati, Atikah. 2009. Buku Ajar Gizi Untuk Kebidanan. Yogyakarta : Nuha MedikaJa
Proverawati, Atikah. 2010. Nutrisi Janin dan Ibu Hamil. Yogyakarta : Nuha Medika
Purwitasari, Desi. 2009. Buku Ajar Yang Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta :
Nuha Medika
Wylie, Linda. 2010. Manajemen Kebidanan. Jakarta : EGC
.
148
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
KONSUMSI PIL KB DI POLINDES DESA KEMBANGSARI KECAMATAN
JATIBANTENG SITUBONDO
Sari Priyanti
Dosen DIII Kebidanan Poltekkes Majapahit
ABSTRAK
Women have difficulty in determining the contraceptivedevices. This is not only
caused by unknown the limititation of available methods but also their unknown about
requirement and safety of contraceptives methods.if contraceptives program are not
successful,they
will
impact
negatively
towards
other
sectors.they
are
education,health,economic,adn etc.the aim of this study is to determine the obedient acceptors
consuming pill contraceptives. Design of this study is a descriptive with survey.the variabel
in this study is the obediens acceptors toward pill contraceptives.the Population in this study
is 55 acceptors with a sample as many as 50 respondents. Sampling techniques used is the
type of random probability sampling the study had been conducted in Kembangsari
Jatibanteng Situbondo On July 12-18 years 2013.the data are collected by questionnaire
sheets and processed by editing,coding, scoring, and tabulating.The results show that most
respondents disobey consuming pill contraceptives as many as 29 respondents (58.0%) and a
minority of respondents obey consuming pill contraceptives as many as 21 respondents
(42.0%). In this study, many respondents disobey consuming pill contraceptives,so that they
happen in conception due to disobey consuming pill contraceptives, and can cause them
difficulty consuming 2 pills directly. Most of the obedient acceptors consuming pill
contraceptives in Polindes Kembangsari, Jatibanteng Situbondo disobey consuming it. the
health workers or midwives should provide counseling about the importance of consuming it
regularly and the respondents are expected to add knowledge about the obedient acceptors
consuming pill contraceptives by counselling heath about their obedient.
Keywords: Acceptor, kb, pill
A. PENDAHULUAN
Banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis
kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia tetapi juga oleh
ketidak tahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut.
Berbagai potensi, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar
keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan (Saroha Pinem,2009). Program KB
sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kependudukan, memiliki implikasi
yang tinggi dalam pembangunan kesehatan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif oleh
karena itu, program KB memiliki posisi strategis dalam upaya pengendalian laju
pertumbuhan penduduk melalui kelahiran pendewasaan usia perkawinan (secara
kuantitatif), maupun pembinaan ketahanan dan peningkatan kesejahteraan keluarga
(secara kualitatif) dalam mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera, sehingga
memungkinkan program dan gerakan KB diposisikan sebagai bagian penting dari strategi
pembangunan ekonomi. Apabila program KB tidak berhasil akan berimplikasi negatif
terhadap sector pembangunan lain seperti: pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sector
lainnya (Suratun ,2008 )
Program pembangunan nasional, Keluarga Berencana (KB) mempunyai arti yang
sangat penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia sejahtera, disamping
program pendidikan dan kesehatan.Data BKKBN terkini (2007) menyebutkan, penduduk
Indonesia berjumlah sekitar 224,9 juta dan merupakan keempat terbanyak di dunia.
Berdasarkan kuantitasnya, penduduk Indonesia tergolong sangat besar. Namun dari segi
149
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
kualitasnya, masih memprihatinkan dan tertinggal dibandingkan negara ASEAN
lainnya.Di dunia ini, kira-kira 85 dari 100 wanita yang aktif secara seksual tidak
menggunakan metode kontrasepsi apapun, sehingga terjadi kehamilan dalam waktu satu
tahun 1 dan lebih dari seperempat wanita yang hamil melakukan aborsi atau melakukan
pengguguran. Penting untuk dicatat, bahwa dari sekitar 123 juta wanita dunia yang tidak
menggunakan kontrasepsi terutama berasal dari negara berkembang.
Indonesia, pada tahun 2012 tercatat jumlah peserta KB aktif dari 64.133.347 juta
jiwa, dengan jumlah PUS 161.750.743 juta jiwa dan WUS 51.472.069 juta jiwa
(Kemenkes RI, 2010). Dari 64.133.347 peserta KB aktif, peserta KB Pil. Program KB di
Jawa Timur sudah tercapai baik, tercatat tahun 2010, peserta KB 1.171.619 orang
(109,86%), dari PPM (Prakiraan Permintaan Masyarakat) 1.066.462 orang. Tahun 2011,
jumlah peserta KB baru naik menjadi 1.317.768 orang (110,42%). Berdasarkan laporan
total KB aktif hingga Desember 2011, di Jawa Timur sebanyak 6.150.153 orang 126,46%
dengan prevalensi terhadap peserta KB Pil 21,01%.(BKKBN 2012).
Mengacu data yang di dapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo tahun
2006, paserta KB baru 10.959 orang (3.11%) dan jumlah peserta KB aktif 220.440 orang
(62.51%).Dari 352,641peserta KB aktif pengguna aktif KB suntik (41.28%),peserta KB
pil (31.13%),peserta KB implant(17.28%%),peserta KB IUD (4.87%),peserta KB MOW
(2.59%),peserta KB kondom (1.01%),peserta KB MOP(0.84%). (Dinkes situbondo
2006).Data tersebut menunjukan bahwa kebanyakan masyarakat Situbondo mengunakan
alat kontrasepsi suntik dan Pil. Data yang di dapat dari polindes desa kembangsari
kecamatan jatibanteng kabupaten situbondo.di dapatkan jumlah akseptor KB Pil pada
tanggal 19 juni 2013 dengan tehnik wawancara pada 5 responden di dapatkan 3 orang
yang patuh( %),2 orang yang tidak patuh( %).
Kelebihan Pil kombinasi, antara lain: efektifitasnya tinggi, frekuensi koitus tidak
perlu diatur, siklus haid menjadi teratur, dan keluhan-keluhan disminore yang primer
menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Sedangkan, kekurangan dari Pil kombinasi
antara lain: Pil harus diminum setiap hari, motivasi harus kuat, dan adanya efek samping
walaupun sifatnya sementara, misalkan mual, sakit kepala, muntah, buah dada nyeri, dan
lain-lain,Walaupun banyaknya efek samping yang ditimbulkan oleh kontrasepsi Pil
ternyata masih banyak akseptor KB yang memilih kontrasepsi Pil
(Prawihardjo,2006).Dalam mencapai keberhasilan ketepatan cara penggunaan Pil KB
oleh akseptor,yang meliputi cara memilih Pil KB yang sesuai waktu memulai minum Pil
KB,cara mulai minum,dan cara bilaterjadi lupa minum Pil.Dimana hal tersebut sangat
menentukan berhasil tidaknya kontrasepsi ini mencegah kehamilan.
Solusi dari kegagalan adalah informasi yang efektif hal ini sebagai satu cara
untuk memperbaiki kepatuhan akseptor,sebaiknya diberikan dalam satu paket dengan
pendidikan kesehatan reproduksi remaja untuk mencegah kehamilan sebelum mereka siap
merubah
perilakunya
dan
siap
membentuk
sebuah
keluarga.(Saroha
Pinem,2009)Dilakukan pemahaman yang baik tentang pentingnya kepatuhan
mengkonsumsi Pil KB bagi akseptor dalam bentuk komunikasi,informasi,dan edukasi
yang intensif seperti menyebarkan leaflet, radio interaktif, penyuluhan di posyandu,dan
pengajian,dll. Berdasarkan penjelasan dari data di atas maka peneliti tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut mengenai tingkat kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam
Mengkonsumsi Pil KB.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep KB Pil
a. Pengertian
Pil KB adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk Pil
atau tablet di dalam strip yang berisi gabungan hormon estrogen dan progesteron
150
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
atau yang hanya terdiri dari progesterone saja.(Suratun,2008) di bawah ini
merupakan Jenis -Jenis KB Pil kombinasi, terdapat kombinasi komponen
progesteron dan estrogen.
1) Pil Monofasik : Dalam kemasan 21 tablet, mengandung hormon
esrogen/progestin (E/P) dalam dosis sama, dengan 7 tablet tanpa hormon
aktif.
2) Bifasik : Pil yang tersedia dalam 21 tablet mengandung (E/P), dengan dua
dosis yang berbeda,dengan 7 tablet tanpa hormone aktif.
3) Trifasik: Pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung hormon
aktif (E/P) dengan tiga dosis yang berbeda,dengan 7 tablet tanpa hormon
aktif.
b. Cara Kerja
1) Menekan ovulasi
2) Mencegah implantasi
3) Lendir servik mengental sehingga sulit di lalui sperma
4) Pergerakan tuba terganggu sehingga transplantasi telurtergang
c. Manfaat Kontrasepsi
1) Memiliki efektifitas sangat tinggi bila di gunakan setiap hari.
2) Resiko terhadap kesehatan sangat kecil
3) Tidak menggangu hubungan seksual
4) Siklus haid teratur, banyaknya darah berkurang, tidak terjadi
5) nyeri haid.
6) Dapat digunakan sejak usia remaja sampai manepause
7) Mudah dihentikan
8) Kesuburan segera kembali
9) Dapat digunakan sebagai kontrasepsi darurat
10) Membantu mencegah : KET, kanker , ovarium, dll
d. Efek samping
1) Mual ,3 bulan pertama
2) Perdarahan bercak,pada 3 bulan pertama
3) Pusing
4) Kenaikan berat badan
5) Nyeri payudara
6) Pusing
7) Tidak mencegah PMS
8) Tidak boleh umtuk ibu menyusui
9) Dapat meningkatkan tekanan darah sehingga resiko stroke
e. Indikkasi
1) Usia reproduksi
2) Telah memiliki anak ataupun belum
3) Gemuk atau kurus
4) Setelah melahirkan dan tidak menyusui
5) Pasca keguguran
6) Anemia karena haid berlebihan
7) Riwayat kehamilan ektopik
8) Siklus haid tidak teratur
9) Kelainan payudara jinak
10) Kencing manis tanpa komplikasi pada ginjal,pembuluh darah,
11) mata dan syaraf.
f. Kontra indikasi
151
HOSPITAL MAJAPAHIT
g.
h.
i.
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
1) Absolut
a) Tromophlebitis / serebro vaskuler ( pernah & sedang)
b) Jantung iskemik/arteri koroner
c) Karsioma payudara
d) Kehamilan
e) Tumor hepar
f) Perdarahan abnormal
g) Neoplasma, hiperlipidemia ( kongenetal / familial )
2) Relatif
a) Sakit kepala hebat
b) Hipertensi
c) Diabetes mellitus
d) Penyakit kantung empedu yang aktif
e) Myoma uteri
f) Epilepsy
g) Umur >40 disertai riwayat kardiovaskuler
Cara memulai minum KB Pil
1) Sebaiknya Pil diminum setiap hari,lebih baik dalam waktu yang sama
2) Pil pertama dimulai hari pertama siklus haid ini sangat dianjurkan
3) Bila Pil habis mulai minum dari paket yang baru.paket 21 Pil habis
sebaiknya tunggu 1 minggu baru minum Pil dari paket yang baru
4) Bila muntah dalam waktu 2 jam, minum Pil lain.atau gunakan kontrasepsi
lain
5) Bila lupa minum 1 Pil setelah ingat segera minum Pil yang lupa dan
minumlah Pil untuk hari ini seperti biasa
6) Bila lupa 2 Pil setelah ingat segera minum Pil 2, Pil hari itu dan 2 Pil lagi
hari berikutnya
7) Lupa minum 3 Pil berturut-turut / lebih baik hentikan pemakain, gunakan
metode lain bila ingin menggunakan Pil lagi tunggu menstruasi dan gunakan
dari kemasan yang baru.
Waktu mulai minum Pil :
1) Setiap saat asalkan ibu tidak hamil
2) Hari pertama – hari ke7 siklus haid
3) Boleh menggunakan pada hari ke 8, perlu menggunakan metode kontrasepsi
yang lain sampai hari ke 14 atau tidak melakukan hubungan seksual
4) Setelah malahirkan : setelah 6 bulan pemberian ASI eklusif,setelah 3 bulan
dan tidak menyusui,pasca keguguran.
Cara memilih KB Pil yang sesuai
Cara memilih KB Pil yang cocok untuk wanita yang sesuai yaitu dengan
mengenali 3 tipe utama wanita dan mengetahui isi KB Pil yang
diberikan.Munfordmenggolongkan 3 tipe utama wanita :
1) Estrogenik
Adalah wanita – wanita yang sangat buruk reaksinya terhadap
pemberian estrogen, mereka pekaterhadap estrogen dan wanita tipe ini
cenderung mempunyai siklus haid yang pendek, biasanya kurang dari 26
hari, lamanya haid lebih dari 6 hari dan perdarahan lebih banyak.
Pertumbuhan rambut dan penyebaran lemak tubuh yang feminim, payudara
besar, sekret vagina banyak, pinggul besar.Pada wanita ini dapat diberikan
jenisKB pil yang lebih Progestogenik.
152
HOSPITAL MAJAPAHIT
j.
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2) Balance ( seimbang )
Adalah wanita yang bersifat seimbang antara estrogenik dan
progestonik, siklus haid 28 hari dan lamanya 5 - 6 hari, sedangkan jumlah
perdarahannya sedang.
3) Progestogenik
Adalah wanita-wanita yang bereaksi terhadap progesteron( peka
terhadap progesteron), dimana wanita jenis ini mempunyai siklus haid 30
hari atau lebih, lamanya 4 hari atau kurang dengan jumlah perdarahan
sedikit. Pertumbuhan rambut dan penyebaran lemak maskulin, payudara
kecil, kurus, mempunyai riwayat sering tumbuh jerawat, pinggul
kecil.Wanita jenis ini diberikan jenis yang lebih estrogenik.
Hal-hal penting yang harus diketahui oleh akseptor KB Pil :
1) Minum pil pada waktu yang sama setiap hari ( sore atau malam hari ).
2) Gunakan kontrasepsi cadangan lain, seperti kondom bila baru mulai dengan
bungkus pertama pil.
3) Akseptor harus membaca brosurmengenai pil yang terdapat di
4) dalam bungkus pilnya.
5) Para pemakai pil sangat dianjurkan melakuan pemeriksaan sitologi
(papanicolau smear) dan pemeriksaan payudara 1 tahun sekali.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.penelitian deskriptif adalah
suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah
penelitian yang terjadi berdasarkan kepatuhan,usia, jenis kelamin, ekonomi, pendidikan,
sikap, keyakinan, cara hidup(pola hidup,dan lain-lain). Rancang bangun penelitian dalam
penelitian ini survei yaitu mengumpulkan data sebanyak-sebanyaknya mengenai faktorfaktor yang merupakan pendukung terhadap kualitas variable penelitian,kemudian
menganalisis faktor-faktor tersebut untuk dicari perannya terhadap variable penelitian
(Arikunto,2010). Pada penelitian ini populasinya adalah semua Akseptor KB Pil di
Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo.Berdasarkan
hasil survey pendahuluan didapatkan populasi akseptor KB Pil pada bulan Juni 2013
sebanyak 55 orang. Jadi besarnya sampel dalam penelitian berjumlah 50 akseptor KB Pil
di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo. Sampling
adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam,
2008). Dalam penelitian ini menggunakan probability sampling tipe simple random
sampling atau dipilih secara acak dari jumlah akseptor KB Pil di Desa Kembangsari
Kec.Jatibanteng Situbondo.
D. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran umum Polindes Desa Kembangsari
Polindes Desa kembangsari berlokasi di dusun krajan desa kembangsari
kecamatan jatibanteng situbondo memiliki luas wilayah ± 205.635 m².desa
kembangsari memilki 3 dusun,yakni dusun krajan,dusun sumber pinang, dan dusun
tampelan Batas Polindes Desa Kembangsari sebagai berikut :
- Sebelah utara : rumah warga
- Sebelah selatan : rumah kepala desa
- Sebelah barat : masjid
- Sebelah timur : jalan raya kembangsari
Dalam pemberian pelayana kesehatandibagi menjadi 3 ruang , yaitu 1 ruang
periksa, 1 kamar mandi, 1 ruang tunggu. Pelayan kesehatan yang dilakukan di
Polindes desa kembangsari meliputi : KIA (KB,ANC,PNC,BBL,konsul kespro).
153
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
2. Data Umum
a. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan responden
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan di Polindes Desa
Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo Pada Tanggal
12-18 juli 2013.
Pekerjaan
PNS / Pegawai negri
Swasta
Tani
IRT
Frekuensi (f)
0
0
28
22
Total
50
Persentase (%)
0
0
56.0
44.0
100.0
Dari tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang tani
sebanyak 28 responden
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan umur di Polindes
Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo pada
tanggal 12 –18 juli 2013.
Umur responden
Frekuensi (f)
Persentase (%)
5
28
17
50
10.0
56.0
34.0
100.0
<20 tahun
20-35 tahun
>35 tahun
Total
c.
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa reponden paling banyak berumur 20-35
tahun sebanyak 28 responden
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan.
Tabel 3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan di Polindes Desa
Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo Pada Tanggal
12-18 juli 2013.
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Akademi / PT
Total
Frekuensi (f)
Persentase (%)
29
15
6
0
50
58.0
30.0
12.0
0
100.0
Dari tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
berpendidikan SD sebanyak 29 responden.
3. Data khusus
a. Kepatuhan Akseptor KB Pil
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam
Mengkonsumsi Pil KB Pada Tanggal 12-18 juli 2013.
Kepatuhan
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Patuh
Tidak Patuh
21
29
42.0
58.0
Total
50
100.0
Dari tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang tidak
patuh sebanyak 29.
154
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
E. PEMBAHASAN
1. Pekerjaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang bekerja
tani sebanyak 28 responden (56.0%). Pekerjaan merupakan pencarian barang yang
terjadi untuk sesuatu pokok penghidupan yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah
(BKKBN,2005). Pekerjaan dalam arti luas merupakan aktifitas utama yang dilakukan
oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan di gunakan untuk suatu tugas atau
kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari hari istilah
ini sering dianggap dengan profesi. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang
menyita waktu, bekerja bagi ibu – ibu akan mempunyai pengaruh terhadap keluarga.
(Markum, AH, 2007). Pekerjaan dari peserta KB dan suami akan mempengaruhi
pendapatan dan status ekonomi keluarga. Suatu keluarga dengan status ekonomi atas
terdapat perilaku fertilitas yang mendorong terbentuknya keluarga besar, sedangkan
keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung menunda kehamilan (Singarimbun,
2005). Dalam penelitian ini banyak diantara responden yang bekerja tani yang tidak
patuh dalam mengkonsumsi Pil KB,sehingga dapat mempengaruhi terhadap ke ikut
sertaan dalam KB,karena faktor pengaruh lingkungan pekerjaan yang menyebabkan
status dalam pemakaian kontrasepsi.
2. Umur akseptor
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35
tahun yaitu sebanyak 28 responden (56.0%). Umur merupakan periode terhadap polapola kehidupan yang baru semakin bertambahnya umur maka individu akan mencapai
usia reproduksi, termasuk di antaranya pertumbuhan dan perkembangan. pada umur
tertentu dan akan sangat berkurang sejalan dengan bertambahnya grafik umur
kita (Suparyanto,2010).
Responden yang berumur 20-35 tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB
disebabkan karna pada umur ini responden cenderung bertahan dengan pemikiran atau
pendapatnya sendiri sehingga akan sulit menerima informasi dari luar tentang
kepatuhan akseptor KB Pil sehingga mempengaruhi akseptor dalam mengkonsumsi Pil
KB.
3. Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
berpendidikan SD sebanyak 29 responden (58.0 %). Pendidikan merupakan suatu
proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa dan lebih matang pada diri
individu, kelompok, atau masyarakat. Semakin tinggi pendidikan maka semakin
mudah menerima informasi sehingga makin banyak pengetahuan yang di miliki.
Sebaiknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadap nilai baru yang di perkenalkan (Rianti,2012).
Dalam penelitian ini banyak diantara ibu yang masih berpendidikan dasar atau
SD dan SMP, ini menyebabkan pengetahuan yang masih kurang tentang kepatuhan
akseptor karena kurangnya informasi tentang pentingnya mengkonsumsi Pil KB,
sehingga dapat mempengaruhi persepsi akseptor dalam mengkonsumsi Pil KB.Dengan
mempunyai cukup bekal ilmu maka mereka dapat menimbulkan persepsi positif
sehingga akseptor patuh dalam mengkonsumsi Pil KB.
4. Kepatuhan Akseptor KB Pil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak patuh
dalam mengkonsumsi Pil KB yaitu sebanyak 29 responden (58.0%). Kepatuhan
akseptor adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses serangkaian
prilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan,kepatuhan ,kesetian,keteraturan &
155
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
ketertiban sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak
dirasakan sebagai beban,bahkan,sebaiknya akan membebani dirinya bila mana ia tidak
dapat berbuat sebagai mana lazimnya (Prijadarminto,2003)
Pada penelitian ini banyak responden yang tidak patuh dalam mengkonsumsi
Pil KB sehingga dapat terjadi konsepsi, yang disebabkan ketidak teraturan akseptor
dalam mengkonsumsi Pil KB,dan dapat menyebabkan akseptor sukar mengkonsumsi
2 Pil KB secara langsung.
F. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di simpulkan bahwa Kepatuhan Akseptor KB Pil
Dalam Mengkonsumsi Pil KB di Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo
adalah sebagian besar tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB yaitu sebanyak 29
responden (58.0%) .
2. Saran
a) Bagi Peneliti selanjutnya
Peneliti dapat menggunakan data referensi penelitian ini sehingga peneliti
selanjutnya dapat mengembangkan konsep atau melakukan penelitian tentang
Kepatuhan Akseptor KB Pil dengan jumlah yang lebih banyak,sehingga didapatkan
hasil penelitian yang lebih lengkap.
b) Bagi praktis
a) Bagi lahan penelitian
Peneliti dapat menggunakan data referensi penelitian ini sehingga peneliti
selanjutnya dapat mengembangkan konsep atau melakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Akseptor KB Pil dengan jumlah
yang lebih banyak,sehingga didatkan hasil penelitian yang lebih lengkap.
b) Bagi responden
Untuk menambah pengalaman responden tentang Kepatuhan Akseptor KB
Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB.dengan cara mengikuti penyuluhan-penyuluhan
kesehatan khususnya tentang cara Mengkonsumsi Pil KB dengan benar.
c) Bagi institusi spendidikan
Untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam mempelajari
Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB dan diharapkan
menjadi bahan wacana perpustakaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto.(2010) Metode penelitian kebidanan tehnik analisis data. Jakarta:PT.Renika Cipta
dr.Sugiri syarie(2011) kontrasepsi dan fenomina keluarga bahagia.hhtp://indosiar
.com(diakses pada 12 juni 2013)
Depkes .(2006) macam-macam akseptor.http://id.shyoong.com (diakses pada 12 juni 2013)
Hartanto (2003) Keluarga berencana dan kontrasepsi.http://.mitrariset,com/akseptor (diakses
pada 12 juni2013)
Gio akram (2013) Pengertian konsumsi .http://blogspot.com/2013(diakses pada 16 juni 2013)
Notoatmodjo (2010) Metode penelitian kesehatan.Jakarta :PT.Rineka cipta
Nursalam (2008) Konsep dan penerapan Metodologi penelitian ilmu kesehatan
Jakarta:Salemba Medika
Prawirohardjo (2006) buku panduan pelayanan kontrasepsi .Jakarta: tridasma printer
Pridajarminto
(2003)
definisi
kepatuhan.
www.psikologymania
http://www.psikologymania.com/ (diakses pada 20 juni 2013)
156
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 5 No. 2 Nopember 2013
Suratun,SKM,M.Kes(2008)Pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kontrasepsi
.Jakarta : Trans Info Media
Sri Handayani,S.Si.T(2011) Pelyanan Keluarga Berencana. Pustaka Rehama: Sewon,
Bantul, Yogyakarta
syakira-blog-blogspot.com (2009) Konsep kepatuhan.www.blogspot.com(di akses pada12
juni 2013)
Setiadi (2007) Konsep dan penulisan riset keperawatan .Yokyakarta : graham ilmu
suparyanto.http// blogspot. com/2010/12/pengaruh-kb-terhada perubahan.html
(di akses pada 29 juni 2013)
157
Download