ISSN : 2085 - 0204 JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT TRI PENI Kekerasan Pada Anak (Child Abuse) Di Pendidikan Anak Usia Dini Mojokerto EKA DIAH KARTININGRUM Kondisi Rumah Sehat Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto FARIDA YULIANI Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto MARIA RATNAWATI Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui Pada Ibu Bekerja Di Instansi Pemerintah (Studi Di SKPD Propinsi Jawa Timur) NIKEN KUSUMAWARDHANI, WINDHU PURNOMO, RACHMAT HARGONO,SITI NURUL HIDAYATI, MARTONO TRI UTOMO, SRI ANDARI Determinan “Picky Eater” (Pilih-Pilih Makanan) Pada Anak Usia 1-3 Tahun (Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo) DIAN IRAWATI Faktor-Faktor Karakteristik Yang Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Di Desa Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto DYAH PERMATA SARI Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III Di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun SARI PRIYANTI Konsumsi Pil KB Di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo HOSPITAL MAJAPAHIT VOL 5 NO. 2 Hlm. 1 - 157 Mojokerto Nopember 2013 ISSN 2085 - 0204 JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO HOSPITAL MAJAPAHIT Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris Pembina Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit Nurwidji Pelindung Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit dr. Rahmi, S.A. Ketua Penyunting Eka Diah Kartiningrum, SKM., M.Kes. Wakil Ketua Penyunting Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. M.Kep. Penyunting Pelaksana Widya Puspitasari, Amd Anwar Holil, M.Pd. Penyunting Ahli Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc. Nursaidah, M.Kes Rifa’atul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin Distribusi Indriyanti. T.W, Amd.Akt dr Achmad Husein Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736 Email : [email protected] BIAYA BERLANGGANAN Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5. No. 2, Nopember 2013 ISSN : 2085 - 0204 Pengantar Redaksi, Untuk mewujudkan kesejahteraan dan pertumbuhan generasi bangsa yang optimal dan berdaya saing tinggi serta mampu membawa nama bangsa ke kancah internasional maka dilaksanakan berbagai penelitian yang mampu memberikan efek baik secara langsung maupun tidak langsung. Jurnal Hospital Majapahit vol 5 no 2 membahas tentang laporan penelitian yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa baik internal maupun eksternal Poltekkes Majapahit. Artikel pertama ditulis oleh Tri Peni dengan judul Kekerasan Pada Anak (Child Abuse) Di Pendidikan Anak Usia Dini Mojokerto. Penelitian yang dilakukan secara dengan jenis deskriptif tersebut dilakukan pada 51 responden dan menunjukkan bahwa status ekonomi yang rendah cenderung melakukan kekerasan pada anak sedangkan status ekonomi rendah cenderung tidak melakukan kekerasan pada anak. Artikel yang kedua ditulis oleh Eka Diah Kartiningrum dengan judul Kondisi Rumah Sehat pemukiman di desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar perumahan terkategorikan tidak sehat. Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi setiap orang. namun didalamnya terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Artikel yang ketiga ditulis oleh Farida Yuliani dengan judul Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto. Di Indonesia menunjukkan 95% anak dibawah umur 5 tahun pernah mendapat ASI. Namun, hanya 44% yang mendapat ASI 1 jam pertama setelah lahir dan hanya 62% yang mendapat ASI dalam hari pertama setelah lahir. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan pelaksanaan inisasi menyusu dini pada ibu post partum di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto yang dilakukan pada tanggal 6 Mei6Juni 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mendapat dukungan keluarga dengan melaksanakan inisasi menyusu dini sebanyak 5 responden (35,8%). Ibu menyusui memerlukan dukungan baik secara informasional, emosional, instrumental, dan penilaian dari keluarganya dalam melaksanakan inisiasi menyusu dini. Keluarga berperan dalam menentukan kelancaran reflex pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu. Artikel yang keempat ditulis oleh Maria Ratnawati dengan judul Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui Pada Ibu Bekerja Di Instansi Pemerintah (Studi Di SKPD Propinsi Jawa Timur). World Health Organization (2002) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif atau hanya ASI saja sesaat setelah lahir sampai bayi usia 6 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan tetap melanjutkan pemberian ASI sampai 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap sikap sedangkan pendidikan, paritas dan persepsi tidak mempengaruhi sikap. Variabel yang mempengengaruhi norma subyektif adalah paritas sedangkan yang tidak berpengaruh adalah pendidikan, pengetahuan dan persepsi. Artikel yang kelima ditulis bersama oleh Niken, Windhu, Rachmat, Siti Nurul, Martono dan Sri Andari dengan judul Determinan “Picky Eater” (Pilih-Pilih Makanan) Pada Anak Usia 1-3 Tahun (Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo). Memilih makanan (picky eater) merupakan masalah pada anak yang perlu diperhatikan baik oleh orang tua maupun praktisi kesehatan, karena picky eater pada anak memiliki efek yang merugikan, baik bagi pengasuh ataupun anak. Efek merugikan dapat berupa penambahan berat badan yang tidak sesuai, defisiensi nutrisi yang penting, serta pengurangan variasi asupan makan. Jika tidak ditangani HOSPITAL MAJAPAHIT dengan benar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kegagalan tumbuh serta keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang diderita anak 3 bulan terakhir, interaksi antara ibu dan anak yang kurang baik, perilaku makan orang tua yang suka memilih-milih makan, tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian MP-ASI kurang dari atau lebih dari 6 bulan, anak yang diasuh oleh orang lain selain oran tuanya, terdapat pantangan makan pada sosial budaya, frekuensi makan yang tidak sesuai umur, waktu makan yang kurang tepat,dan cara pemberian makan yang kurang baik berpengaruh terhadap picky eater pada anak umur 1-3 tahun di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo pada tahun 2013. Artikel yang keenam ditulis oleh Dian Irawati dengan judul Faktor-Faktor Karakteristik Yang Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Di Desa Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Ada pengaruh umur, pendidikan, dan pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. PHBS merupakan perilaku yang murah dan bermanfaat jadi tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak melaksanakan kebiasaan ini, sebab selain banyak manfaatnya, PHBS merupakan salah satu bentuk investasi jangka panjang pada perkembangan generasi penerus bangsa. Artikel yang ketujuh ditulis oleh Dyah Permata Sari dengan judul Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III Di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Anemia adalah nama yang umumnya diberikan untuk serangkaian defisiensi dalam kualitas dan kuantitas sel darah merah (Linda, 2010). Anemia kehamilan disebut “potential danger to mother and child” (potensial membahayakan ibu dan anak), karena itulah anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada lini terdepan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa status gizi ibu hamil pada penelitian ini terbanyak adalah status gizi baik yaitu sebanyak 19 orang dari 32 responden. Ibu hamil trimester III pada penelitian ini terbanyak adalah tidak mengalami anemia yaitu sebanyak 15 orang dari 32 responden dan disimpulkan ada hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III. Artikel yang kedelapan ditulis oleh Sari Priyanti dengan judul Konsumsi Pil Kb Di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo. Banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia tetapi juga oleh ketidak tahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai potensi, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB di Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo adalah sebagian besar tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB yaitu sebanyak 29 responden (58.0%). Semua artikel yang ditulis dan diterbitkan dalam jurnal volume 5 no 2 merupakan wujud perhatian civitas akademik di Poltekkes Majapahit baik dari dosen maupun mahasiswa untuk senantiasa memikirkan perkembangan status kesehatan bangsa. Redaksi, HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5. No. 2, Nopember 2013 ISSN : 2085 - 0204 Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel Kebijakan Editorial Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian, artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto. Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya. Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis. Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal Hospital Majapahit dengan alamat : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email : [email protected] HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5. No. 2, Nopember 2013 ISSN : 2085 - 0204 Pedoman Penulisan Artikel. Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi pertimbangan penulis. Format. 1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 – 12 atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut. 5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu. Contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan halaman (Rahman, 2003:36). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun publikasi sama (David, 1989a, 1989b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006). Isi Tulisan. Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut : Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris). Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel. Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian. Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian. Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan. Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel. Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian. Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka. Jurnal : Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”. Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245. HOSPITAL MAJAPAHIT Buku : Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol. Yogyakarta : Graha Ilmu. Artikel dari Publikasi Elekronik : Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce turnover”. Canadian HR Reporter. 15, 18, ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04]. Majalah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Pedoman : Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International. Simposium : Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia. Paper : Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand Image”. Working Paper. UK : The University of Birmingham. Undang-Undang & Peraturan Pemerintah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Skripsi, Thesis, Disertasi : Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia. Surat Kabar : Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5). Penyerahan Artikel : Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email : [email protected] HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5. No. 2, Nopember 2013 ISSN : 2085 - 0204 DAFTAR ISI KEKERASAN PADA ANAK (CHILD ABUSE) DI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI MOJOKERTO........................................................................................................... Tri Peni Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto KONDISI RUMAH SEHAT DESA GAYAMAN KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO .......................................................................................... Eka Diah Kartiningrum Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI PADA IBU POST PARTUM DI DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO KABUPATEN MOJOKERTO .................... Farida Yuliani Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto PENGARUH PENDIDIKAN, PARITAS, PENGETAHUAN, PERSEPSI TERHADAP SIKAP MENYUSUI PADA IBU BEKERJA DI INSTANSI PEMERINTAH (STUDI DI SKPD PROPINSI JAWA TIMUR) ................................... Maria Ratnawati Mahasiswa Program Magister Prodi IKM FKM Unair 1 19 47 60 DETERMINAN “PICKY EATER” (PILIH-PILIH MAKANAN) PADA ANAK USIA 1-3 TAHUN (STUDI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JABON SIDOARJO) ........................................................................................................................ 91 Niken Kusumawardhani, Windhu Purnomo, Rachmat Hargono,Siti Nurul Hidayati, Martono Tri Utomo, Sri Andari Mahasiswa Program Magister Prodi IKM FKM Unair Dosen dan Peneliti FKM Unair Staf Pengajar dan Peneliti SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya, Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo FAKTOR-FAKTOR KARAKTERISTIK YANG BERPENGARUH TERHADAP PELAKSANAAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA TANGUNAN KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO ............................ 120 Dian Irawati Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI BPS HJ SRI SULASMIATI, S.ST DESA WONOAYU KEC. PILANGKENCENG KAB. MADIUN............................................................................... 135 Dyah Permatasari Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto HOSPITAL MAJAPAHIT KONSUMSI PIL KB DI POLINDES DESA KEMBANGSARI KECAMATAN JATIBANTENG SITUBONDO ......................................................................................... 149 Sari Priyanti Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email : [email protected] HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 KEKERASAN PADA ANAK (child abuse) DI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI MOJOKERTO Tri Peni Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Child abuse is a repeating violence assault both phisically or emosionally, through urges, uncontrolled corporal punishment, obvious degradation and permanent ridicule and sexual violence. The purpose of this study was to determine child abuse in Early Childhood Education Tarbiyatush Shibyan Mojokerto.The research used the survey. Sample of this study were 51 respondents, variables studied were, number of children, maternal age, occupation, education, family economics and child abuse. The sampling technique used was simple random sampling is random sampling is lacking.The results showed that families with higher economic status 6 (11.6%) experienced violence, while families with low economic status 21 (15.4%) experienced violence.Thus expected to promote other forms of child abuse. Parents are not expected to do violence on children, because it can effect their development. Hence, it is vital to be able to approach the victims privatelly or through sosial approach. As also it is important that society participates by reporting any child abuse case and be aware of the act of violence. Keywords: Child, abuse. A. PENDAHULUAN Kekerasan pada anak sering terjadi di sekeliling kita baik di kalangan bawah kalangan menengah bahkan di kalangan atas sering kita jumpai. Perlakuan buruk pada anak telah menjadi masalah yang penting dalam bidang sosial dan medis (Kusumayati, 2002). Sejak berabad-abad lamanya anak sering dipukul khususnya oleh orang tua, terutama sebagai hukuman. Pencetus kekerasan terhadap anak terjadi akibat stres dalam keluarga yang berasal dari berbagai permasalahan, kekerasan terhadap anak juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan watak orang tua. Bentukbentuk kekerasan pada anak antara lain berupa tindakan kekerasan fisik yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (seperti tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya sedangkan tindakan kekerasan non-fisik merupakan tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri seorang perempuan baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki korbannya. Data yang dihimpun dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat jumlah kasus kekerasan pada anak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kasus kekerasan anak pada 2009 tercatat sebanyak 1.552, kemudian meningkat menjadi 2.335 kasus pada 2010 dan 2.508 kasus pada 2011. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Januari-Agustus 2012 mencatat bahwa terdapat 3.332 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Sementara itu data tahun 2011 menunjukkan, kekerasan terhadap anak paling banyak dilakukan oleh orang tua kandung (44,32 persen), teman (25,9 persen), tetangga (10,9 persen), orang tua tiri (9,8 persen), guru (6,7 persen) dan saudara (2 persen). Pada Januari-Agustus 2012 mencatat terdapat 3.332 kasus kekerasan terhadap anak di indonesia. Dari data tersebut, keluarga menjadi tempat terbanyak terjadinya kekerasan pada anak, yakni 496 kasus, menyusul dalam bidang pendidikan, yakni mencapai 470 kasus. Lalu pada urutan ketiga kasus kekerasan terhadap anak 1 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 dibidang agama, yakni 195 (Anonim, 2012). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 07 maret 2013 di Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan Mojokerto dengan menggunakan tekhnik wawancara terstruktur di dapatkan dari 10 anak sebesar 60% mengalami child abuse yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Anak adalah mahluk yang tidak berdaya, karena ketidak berdayaannya anak menjadi rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk orang tuanya sendiri. Keadaan ini diperparah dengan persepsi orang tua yang menyesatkan dalam menganggap anak sebagai hak paten yang dapat digunakan sesukanya, pada akhirnya orang tua akan bebas memperlakukan anaknya sesuai dengan keinginannya. Para pelaku child abuse ini berangapan bahwa merekalah yang melahirkan, mendidik, membesarkan anak. Pada saat yang sama wewenang untuk melakukan apapun pada anak itu tidak masalah, termasuk melakukan tindak kekerasan. Dari pada melakukan kekerasan pada orang lain lebih baik dilakukan kepada keluarganya saja. Implikasi, tingginya angka TKTK (Tingkat Kekerasan Terhadap Anak) akan sulit diminimalisir.. Hasil pengaduan yang diterima oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan pihak ayah dan ibu, serta saudara lainnya. Kondisi ini yang kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak sering kali menjadi sasaran kekerasan orangtua. Disfungsi keluarga yaitu peran orangtua tidak berjalan sebagaimana mestinya, adanya disfungsi peran ayah sebagai kepala keluarga, serta peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi. Faktor ekonomi dianggap sebagai penyebab kekerasan pada anak. Pandangan yang keliru tentang posisi anak dalam keluarga, orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu, dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orangtua. Faktor penyebab Kekerasan pada Anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan. Kekerasan pada anak dapat dicegah dan dikurangi dengan beberapa pendekatan diantaranya adalah pendekatan individu, yaitu dengan cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan, menghimbau partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada dalam setiap tindakan kejahatan, terutama hukuman trafficking. Pendekatan medis untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara fisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar, dan terahir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku ( Lianny, 2013). Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kekerasan pada anak yang dialami siswa PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Kekerasan pada anak (child abuse) a. Pengertian Suyanto (Tursilarini, 2005) mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental dan seksual yang umumnya dilakukan oleh orangorang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang semua ini diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan serta kesejahteraan anak. Sedangkan Sa‟abah mendefinisikan kekerasan anak (child abuse) merupakan 2 HOSPITAL MAJAPAHIT 2. Vol 5 No. 2 Nopember 2013 suatu tindakan orang dewasa terhadap anak dengan cara yang disadari ataupun tidak yang berakibat menggangu proses pada anak. Menurut WHO ( dalam Suharto, 2007 ) kekerasan pada anak adalah tindakan yang melukai secara berulang- ulang baik fisik, emosinal pada anak, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali, degrasi dan cemoohan permanen dan kekerasan seksual biasanya dilakukan oleh para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak. Menurut Barker (Tursilarini, 2006) kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok. Masih menurut Barker kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak. Sedangkan menurut Gellas dalam encyclopedia article from (Huraerah, 2006) mengartikan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah kekerasan terhadap anak (child abuse) meliputi berbagai macam bentuk tingkahlaku, dari tindakan ancaman fisik langsung orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Menurut Pope (Patnani, Ekowarni & Bhinnety, 2002) kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut child maltreatment, yaitu memperlakukan anak dengan cara yang salah. Selain kekerasan fisik, child maltreatment mencakup kekerasan seksual (sexual abuse), penelantaran atau penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau psikologis. Bentuk-bentuk child abuse (Santoso, 2002) Mengatakan istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan pada orang lain, oleh karena itu ada 4 jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi yaitu : a. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian. b. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti mengancam. c. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu. d. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Menurut Terry E lowson ( Huraerah , 2007), seorang psikiatri internasional yang menyebutkan ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse,physical abuse, dan sexual abuse. a. Emotional abuse Perlakuan yang dilakukan dengan mengganggu emosional anak misalnya ialah dengan meneror, tidak memberikan kasih sayang, menolak anak, mengisolasi anak, dan perlakuan lainnya yang dapat dikatakan kekerasan emosional. b. Verbal abuse Verbal abuse ialah dengan memberikan kekerasan kepada anak lewat katakata menyakitkan,memojokkan, menghina,mengancam seperti” kamu bodoh”, “ kamu jelek “ , “ kamu tidak bias apa-apa “.Kata-kata negative yang dilontarkan 3 HOSPITAL MAJAPAHIT 3. Vol 5 No. 2 Nopember 2013 masuk ke dalam alam bawa sadar anakdan akan membangun gambar diri anak tersebut. c. Physical abuse Kekerasan terhadap tubuh/fisik anak, yaitu dengan sengaja memberikan pukulan, dengan menyiram air panas/minyak dan tindakan-tindakan lainnya yang membuat anak cedera, bahkan dengan menggunakan alat/ benda. d. Sexual abuse ialah kekerasan dengan menggunakan anak- anak sebagai objek pemuas nafsu dari orang dewasa. Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korbankorban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa secara paksa. Macam kekerasan pada anak Menurut Cavett (dalam Wicaksono, 2007) yaitu : 1) Kekerasan seksual, dengan sasaran daerah organ sexual dan menggunakan organ kelamin pelaku sebagai alat kekerasan. 2) Kekerasan fisik, meliputi penganiayaan kepada fisik badan korban. 3) Kekerasan emosi, meliputi bentakan, ancamanm hinaan, ejekan, sindirian, dan penganiayaan lain kepada psikis korban. Child abuse dapat diartikan sebagai penganiayaan mental atau fisik, penganiayaan seksual atau penelantaran terhadap anak serta perampasan hak dalam mendapatkan dukungan fisik dan moral yang layak untuk perkembangan anak di bawah usia 18 tahun, yang dilakukan oleh individu yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak tersebut. Menurut U. S. Departement of Health, Education and Welfare, perlakuan salah terhadap anak (child abuse) adalah kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual, dan penelantaran terhadap seorang anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga kesehatan atau kesejahteraan anak tersebut terancam (Sukamto, 2000). Dengan demikian kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan melukai, baik yang dilakukan secara sengaja atau pun tidak sengaja, baik secara fisik maupun psikis, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan negatif berupa tindakan melukai, penganiyaan, penghinaan, pemberian hukuman, pelanggaran seksual yang dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik dan psikologis sang anak. Penyebab munculnya kekerasan Menurut KOMNAS perlindungan Anak menyebutkan pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi dilatarbelakangi karena: 4 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 a. Kekerasan dalam rumah tangga yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi menyebabkan tidak terelak nya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. b. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi. c. Faktor ekonomi ,yaitu kekerasan timbul karena ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah factor yang banyak terjadi. d. Pandangan keliru terhadap posisi anak dalam keluarga. Latar belakang terjadinya child abuse dalam suatu keluarga sangat beragam, misalnya ialah karena kondisi perekonomian keluarga yang sulit , yang membuat tingkat stress yang tinggi dalam keluarga, sehingga anak menjadi tempat pelampiasan, atau dengan membiarkan anak dan tidak memenuhi kebutuhannya. e. Latar belakang budaya juga dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam keluarga terhadap anak. Kekerasan yang dilakukan bertujuan agar anak menghormati orang tua dan melakukan seluruh perkataan yang dikatakan orang tua. Dalam lingkungan budaya tersebut, kekerasan yang dilakukan untuk mendidik anak dianggap sebagai hal yang wajar. Menurut Kusumayati (2002), ada 3 faktor yang berperan dalam terjadinya kekerasan fisik pada anak, yaitu: a. Karakteristik Orang Tua Dan Keluarga Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga antara lain : 1) Para orang tua juga penderita kekerasan fisik pada masa kanak-kanak. 2) Orang tua yang agresif dan impulsive. 3) Keluarga dengan hanya satu orang tua. 4) Orang tua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara emosional dan ekonomi. 5) Perkawinan yang saling menciderai pasangan dan perselisihan. 6) Tidak mempunyai pekerjaan (status ekonomi rendah). 7) Jumlah anak yang banyak. 8) Adanya konflik dengan hukum. 9) Kondisi lingkungan yang terlalu padat. 10) Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa. 11) Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat dukungan dari sanak keluarga serta kawan-kawan. 12) Pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak sangat terbatas. b. Karakteristik anak yang beresiko tinggi Perlakuan Salah (child abuse) Beberapa factor anak yang berisiko tinggi untuk kekerasan fisik adalah: 1) Anak yang tidak diinginkan. 2) Anak yang lahir premature, terutama yang mengalami konflik neonatal, berakibat adanya keterikatan bayi dan orang tua yang membutuhkan perawatan yang berkepanjangan. 3) Anak dengan retardasi mental, orang tua merasa malu. 4) Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlalu nakal. 5) Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orang tua bekerja. c. Beban Dari Lingkungan Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap lingkungan perawatan anak. 5 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 4. Faktor Resiko kekerasan Faktor – faktor resiko terhadap kejadian kekerasan pada anak dapat ditinjau dari Karakteristik sosial orang tua yaitu : a. Usia Usia dapat mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia orang, semakin baik pula tingkat kematangan emosi seseorang dan kemampuannya menghadapi berbagi persoalan (Keliat, 2005) , menyatakan dalam menuju maturasi psikososial manusia menjalankan delapan tugas perkembangan sesuai dengan proses perkembangan usia. Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik memberikan dampak sosial dikemudian hari. Menurut (Keliat, 2005) seseorang yang mempunyai usia dewasa lebih mudah mengalami emosi atau berprilaku emosional tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. Orang tua dengan usia muda, belum matang untuk mengasuh anak. Terutama orang tua yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun. Kebanyakan orang tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan beranggapan bahwa anak hanya untuk memenuhi kebahagiaan orang tua saja (Irwanto et al., 2004). Menurut Hardiwinoto dalam (Depkes.RI, 2012) Usia dikategorikan menjadi, usia remaja (21-25 tahun). Dewasa(26-45 tahun). Lansia (46-65 tahun). b. Jenis Kelamin Penelitian yang dilakukan Miller (2004) menunjukkan bahwa pria lebih memungkinkan melakukan gejala negatife dibandingkan dengan wanita, dan wanita memiliki fungsi sosial dan pengambilan keputusan dalam hal pengendalian emosi lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan menurut Miller (2004) kondisi perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menghadapi suatu masalah (Hidayati, 2011). c. Pendidikan Sertiap orang mempunyai pemaknaan yang berbeda tentang pendidikan, pendidikan pada umumnya merubah pola pikir, pola tingkah laku, serta pola pengambilan keputusan (Notoadjmojo, 2003). Tingkat pendidikan yang cukup diharapkan seseorang akan lebih mudah mengidentifikasi stressor atau masalah kekerasan baik dari diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kesadaran dan terhadap stimulus kognitif. Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan dapat menyebakan cara berfikir rasioanal, menangkap informasi yang baru, serta kemampuan menguraikan masalah menjadi rendah (Hidayati, 2010). Menurut Stuard & Laraia (2005) pendidikan dapat dijadikan sebagai tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif, faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi. Faktor terjadinya kekerasan atau pelanggaran pada hak – hak anak lebih minimal kejadiannya pada orang tua yang berpendidikan dan pengetahuan yang memadai. Dengan pertimbangan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan tentang pengasuhan anak. Pendidikan adalah suatu usaha yang menyediakan kondisi psikologis dari sasaran agar mereka berprilaku sesuai tuntutan nilai. Dengan nilai yang dapat menghasilkan perubahan – perubahan. Kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan anak, menyebabkan orang tua tidak mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak seusianya, sehingga dapat memperlakukan anak secara salah. Orang tua yang tidak mengetahui cara yang 6 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 baik dan benar dalam mengasuh dan mendidik anak, akan cenderung memperlakukan anak secara salah (Depkes, 2003) d. Pekerjaan Orang tua yang tidak mempunyai pekerjaan akan mengakibatkan tekanan secara financial, kemiskinan, beban hutang, sehingga kurang dapat mengontrol rasa marah, kemungkinan akan melakukan kekerasan pada anak. Orang tua yang bekerja berlarut-larut, pergi pagi dan pulang sore hari dengan menyisakan sedikit waktu dan tenaga untuk melakukan tugas domestik dan mengurus anak, sehingga anak menjadi terlantar dan terlupakan. Karena kelelahan, kesabaran dalam mengasuh anak menjadi kurang, kondisi ini mengakibatkan orang tua cenderung kurang bersahabat, kasar, dan menuntut kepatuhan anak. Seolah – olah anak menjadi beban orang tua, situasi seperti ini hak anak dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, akan terabaikan kerena orang tua lebih mementingkan pekerjaannya (Huraerah, 2006). Menurut Brockopp (2003) seseorang yang memiliki pekerjaan dapat meningkatkan stimulus yang bersifat menantang individu serta yang besar untuk menghadapi suatu masalah dalam mengatasi keadaan prilaku dalam kehidupannya. e. Penghasilan Orang tua dengan penghasilan terbatas besar kemungkinan kurang mampu memenuhi kebutuhan – kebutuhan keluarga termasuk anak – anaknya. Keadaan ini berpotensi melakukan penelantaran pada anak sehingga anak – anak tidak dapat tumbuh dan berkembang optimal. Golongan orang tua ini juga akan merasa tertekan, mudah marah karena beranggapan tidak mampu memenuhi kenutuhan anak- anaknya (Depkes, 2003). f. Status Orang Tua Karakteristik orang tua yang potensial melakukan kekerasan kepada anak – anaknya, salah satu adalah terjadi masalah perkawinan seperti perceraian, orang tua tunggal, anak yang dirawat oleh ibu atau ayah tiri. Perceraian dapat menimbulkan problematika dalam rumah tangga seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih saying, pemberian nafkah dan sebagainya. Banyak kasus tindak kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri ( Irwanto et al, 2004). g. Kebiasaan Orang tua yang mempunyai kebiasaan minum alkohol, pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya, berisiko melakukan tindakan kekerasan pada anak – anaknya. Akibat pengaruh minuman dan zat adiktif tersebut, secara tidak sadar orang tua akan melakukan tindakan kekerasan pada anak. Orang tua yang kecanduan narkotik/ zat adiktif lainnya, serta menderita gangguan mental seringkali tidak dapat berfikir dan bertindak wajar dalam banyak hal, termasuk masalah mengasuh dan mendidik anak. Mereka cenderung melakukan tindakan kekerasan pada anak atau menelantarkan anak (Depkes RI, 2003). 5. Dampak kekerasan pada anak. Menurut Richard J.Gelles (2004) menjelaskan bahwa konsekuensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang lebih luas (far-reaching). Luka-luka fisik, seperti: memar-memar (bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian (death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti: rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi 7 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 (reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorder), seperti; depresi (deerpression), kecemasan berlebihan (excessive anxiety), atau gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya risiko bunuh diri (suicide). Menurunnya kecerdasan mental dan intelektual. Anak yang mengalami penganiayaan cenderung mengalami kesulitan belajar serta skor IQ, nilai pendidikan, dan performa di sekolah yang lebih rendah dibanding anak yang tidak mengalami penganiayaan (Olson & Defrain, 2006). Hal ini dapat disebabkan kecemasan dan ketidakamanan yang dirasakan anak, sehingga sulit baginya berkonsentrasi pada pendidikan. Penemuan lain menunjukkan bahwa akibat jangka panjang child abuse (secara fisik, seksual, atau menyaksikan kekerasan) membuat anak memiliki skor kesehatan mental yang lebih rendah dibanding anak yang tidak mengalami kekerasan (Edwards, Holden, & Felitti, 2003). Hal ini dapat disebabkan rasa depresi dan putus asa berkepanjangan ketika berada dalam lingkungan keluarga abusive, menciptakan self-esteem yang rendah sehingga toleransi terhadap tekanan menjadi rendah dan berdampak negatif terhadap kesehatan mental anak. 6. Tanda- tanda kemungkinan terjadi penganiayaan Menurut (Stuart & Laraia, 2005) repon kognitif, pskomotor, sosial, dan kekerasan fisik yaitu : a. Kognitif Tanda kognitif ditemui adanya bingung, tidak dapat memecahkan masalah. Stres pikiran. b. Perilaku Perilaku yang ditampilkan adalah agitasi, bingung, memerintahkan, suara keras, tidak mampu duduk tengan. c. Sosial Tanda sosial dari kekerasan dalah pengasingan, penolakan, bentakan, kekerasan, ejekan, serta sindiran (Yosep, 2010). Tanda- tanda kemungkinan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak antara lain terdapat cedera fisik atau bekas fisik atau bekas cedera fisik seperti : jejak telapak tangan akibat tamparan, akibat lecutan ikat pinggang, luka bakar akibat sudutan rokok, patah tulang atau perdarahan pada retina akibat guncangan. Anak yang mengalami penganiayaan fisik umumnya juga mengalami penganiayaan emosional. Sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan prilaku dan kepribadiannya. Anak dapat terlihat menjadi pencemas, depresi rendah diri atau sebaliknya menjadi agresif atau berperilaku antisosial (Hidayat, 2005). Anak yang mengalami penganiayaan emosional sering memperlihatkan gangguan fisik dan intelektual terhambat. Anak dapat menunjukkan bahwa dirinya telah dianiaya atau menyangkal cerita yang telah diungkapkan sebelumnya. Selain itu anak memperlihatkan ketakutan yang berlebih terhadap orang tua, tidak lari ke orang tua untuk meminta dukungan, memperlihatkan tingkah laku agresif, menarik diri secara ekstrem. Selain itu umumnya mereka juga sulit membaur dengan teman sebaya (bersosialisasi), terlalu penurut atau pasif, agresif, menderita gangguan tidur, anak sering terbangun pada malam hari,menghindari kontak mata, sampai prilaku mencederai diri sendiri (Hidayat, 2005). 7. Resiko Kekekerasan pada anak a. Berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Orangtua yang menjadi pelaku kasus child abuse banyak yang mengaku juga mengalami kekerasan pada masa kecilnya. Hal yang dipelajari saat masa 8 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 kecilnya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan berkeluarganya. Penelitian lain juga menemukan adanya hubungan positif antara pemberian hukuman fisik pada anak dengan tindak agresif. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang ditunjukkan pada anak dapat membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kejam atau keras. Anak yang tumbuh dewasa dalam keadaan demikian akan sangat rentan menunjukkan sikap kejam pula pada rumah tangga yang dimilikinya kelak. b. Menyimpan anger yang mendalam pada pelaku kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang abusive terbiasa melihat orangtuanya mengekspresikan anger dengan cara tertentu, yang akan mempengaruhi mereka dalam mengekspresikan anger. Tiap dari mereka akan menyalurkan anger tersebut dalam cara yang berbeda. Engel (2004), yang pernah disebutkan sebelumnya, mengekspresikan anger pada pelaku yang melakukan kekerasan padanya dengan tidak sengaja bersikap mirip dengan cara si pelaku mengekspresikan anger. Berbeda dengan Engel, Carrie, salah seorang klien Engel yang diceritakan dalam bukunya Honor Your Anger, menunjukkan amarah pada ayahnya yang sering lepas kontrol dalam mengekspresikan rasa marah dan menyakiti dirinya membuat ia menghindari rasa marah dengan sekuat tenaga karena tidak ingin terlihat lepas kontrol seperti ayahnya. 8. Akibat kekerasan pada anak Menurut Yuwono (dalam wicaksono, 2007). Munculnya kekerasan menimbulkan efek psikologis yang sangat berat bagi korban. Kondisi emosi dan kepribadian secara umum mengalami guncangan berat, sehingga muncul kondisi tidak seimbang. Ketidak seimbangan terjadi karena informasi/ pengalaman yang diterima tidak sesuai dengan sekema yang dimiliki, misalnya tentang figure ayah yang mestinya melindungi ternyata yang diterima adalah sebagai sosok yang sering memukul. Jika skema ini dipertahankan tentu tidak akan membawa kebaikan pada adaptasinya kelak dengan lingkungan. Akibat yang muncul pada korban kekerasan adalah sebagai berikut : Tabel 1 Tanda dan gejala dalam Evidence Based Models of Reporting Kekerasan seksual Permisif terhadap pakaian Withdrawl Perilaku menyimpang seksual Hubungan sebaya lemah Menjauhi orang dewasa Berbohong Menyiksa diri Problem dengan peraturan Gangguan makan Obsesi terhadap kesucian Prilaku nakal Menggunakan alcohol dan narkoba Upaya bunuh diri Kekanak-kanakan Menghindari olah raga Kekerasan fisik Agresi ekstrem Withdrawl ekstrem Mengalami ketergantungan Tidak senang dengan kesedihan orang lain Berbohong Konsep diri lemah Perilaku nakal Menggunakan alcohol dan narkoba Upaya bunuh diri Problem belajar Kekerasan emosi Depresi Ketergantungan Tertutup Tertutup Agresif Withdrawl Apatis dan pasif Lari dari rumah Prilaku berbeda dirumah dan sekolah Upaya bunuh diri Harga diri rendah Sulit menjalin hubungan social Tidak sabaran Kurang percya diri Cita- cita yang tidak realistis Menurut Yuwono (dalam wicaksono, 2007) Tanda dan gajala tersebut adalah hasil yang dilaporkan oleh beberapa psikolog yang mengenai korban kekerasan. 9 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Intensitas masing- masing tanda dan gejala bevariasi, namun sebagian besar korban memiliki tanda dan gejala tersebut. C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian. Dalam penelitian ini desain yang digunakan adalah desain penelitian diskriptif yang bertujuan untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dengan pendekatan public opinion survey yaitu survey yang bertujuan untuk mengetahui pendapat umum tentang sesuatu hal yang dilakukan terhadap sekumpulan obyek yang biasanya cukup banyak dalam jangka waktu tertentu (Notoatmodjo, 2010). Kerangka Kerja A. Karateristik Orang Tua Dan Keluarga Para orang tua juga penderita kekerasan fisik. Orang tua yang agresif dan impulsive. Keluarga dengan hanya satu orang tua (single parent). Perkawinan yang saling menciderai pasangan dan perselisihan. Jumlah anak yang banyak. Ketergantungan obat, alcohol, atau sakit jiwa. Pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan anak sangat terbatas. Adanya konflik dengan hokum Child Abuse a. Emosinal abuse (kekerasan emosi) b. Verbal abuse c. (kekerasan kata-kata ) d. Psycal abuse (kekerasan fisik) e. Sexsual abuse (kekerasan organ kelamin) Ekonomi Rendah B. Karateristik Anak Anak yang tidak diinginkan Anak lahir dengan prematur Anak dengan retardasi mental Anak dengan kelainan tingkah laku Anak normal tapi diasuh orang lain C. Beban Dari Lingkungan Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban pikiran. Sumber : Kusumayati (2002), Nataliani, (2004), (2006). Keterangan : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 1 Dampak a. b. c. d. Fisik Psikis Seksual Penelantaran anak Wicaksono, (2007), Kartono, Kerangka Konseptual Kejadian Kekerasan pada anak (Child Abuse) di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto . 10 HOSPITAL MAJAPAHIT 2. Variabel dan Definisi Operasional. a. Jenis Variabel Penelitian. Variabel adalah suatu karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu subjek ke subjek lainnya (Hidayat, 2007).Variabel penelitian ini adalah kekerasan pada anak (child abuse). b. Definisi Operasional. Tabel 2. Definisi Operasional Kekerasan Pada Anak (Child Abuse) Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala ChildAbuse 3. Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Tindakan penganiayaan 1. Child abuse Nominal atau perlakuan salah jika T hitung pada anak dalam bentuk > T mean atau menyakiti, fisik, > 50 emosional, seksual, 2. Tidak Child melalaikan pengasuhan abuse jika T dan eksploitasi untuk hitung < T kepentingan komersial mean atau < yang secara nyata 50 ataupun tidak dapat (Azwar, 2007) membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat dan perkembangan anak (WHO, dalam Lidya 2009). Alat ukur : checklist Parameter : a. Kekerasan emosional b. Kekerasan verbal c. Kekerasan fisik d. Kekerasan seksual Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang sekolah di Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan Mojokert Desa Gayaman Kecatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Jumlah populasi adalah 113 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu yang mempunyai anak sekolah di Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan yang dihitung dengan menggunakan rumus menurut Bisma Mukti (2003) diperoleh sebesar 51 sampel. Teknik atau cara mengambil sampel penelitian sehingga sampel tersebut sedapat mungkin mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilakukan secara Probability Sampling dengan tipe Simple Random Sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara mengambil sampel secara acak dengan menggunakan nomer absen siswa keseluruhan yang kemudian di acak (Notoatmodjo, 2010). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan metode wawancara pada anak tentang data khusus yaitu kekerasan yang dialami anak (child abuse) dan metode kuesioner tertutup pada ibu tentang data umum meliputi (jumlah anak, pekerjaan, pendidikan, usia serta ekonomi) dimana pada kuesioner tersebut sudah ada jawaban sehingga 11 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 responden tinggal memilih jawaban. Kepada responden yang memenuhi kriteria yang diteliti diberi surat persetujuan bersedia untuk diteliti dan menandatangani apabila bersedia diteliti, dan peneliti tidak memaksa bila tidak bersedia untuk diteliti. Bagi responden yang bersedia diteliti diberi lembar kuesioner dan peneliti menjelaskan cara pengisiannya. Setelah kuesioner tersebut diisi oleh responden dengan cara checklist, selanjutnya dilakukan wawancara untuk mengetahui tentang sejauh mana status ekonomi keluarga dengan kekerasan pada anak (child abuse). Setelah data terkumpul, maka dilakukan penghitungan data. 4. Prosedur Pengolahan Data dan Analisa Data. Teknik Pengolahan Data 1) Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007). 2) Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.(Hidayat, 2007) 1) Data umum a) Jumlah anak Jumlah anak 1 : kode 1 Jumlah anak 2 : kode 2 Jumlah anak > 2 : kode 3 b) Status perkawinan Belum kawin : kode 1 Kawin : kode 2 Janda : kode 3 c) Pendidikan Tinggi (Perguruan tinggi) : kode 1 Sedang (SMA, SMP) : kode 2 Rendah (SD, SMP, TS) : kode 3 d) Usia Ibu Remaja (12-25 tahun) : kode 1 Dewasa (26-45 tahun) : kode 2 Lansia (46-65 tahun) : kode 3 (Sumber : Depkes.RI) e) Status Ekonomi Tinggi(> 1.800.000,00) : kode 1 Rendah (< 1.800.000,00) : kode 2 (Sumber : Susenas, 2004) f) Status Pekerjaan : Bekerja : kode 1 Tidak bekerja : kode 2 2) Data khusus a) Child abuse : kode 1 b) Tidak child abuse : kode 2 (Sumber : Azwar, 2007). 12 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 3) Scoring Bertujuan untuk menentukan dan menghitung score yang diperoleh dari setiap jawaban responden. Dimana masing – masing jawaban diberi skor atau bobot yaitu banyaknya skor antara 1-4, dengan rincian : 1) Jawaban tidak pernah : skor 0 2) Jawaban pernah minimal 1 kali : skor 1 3) Jawaban kadang- kadang lebih dari 1 kali : skor 2 4) Jawaban sering hampir setiap hari: skor 3 5) Jawaban amat sering setiap saat selalu terjadi: skor 4 Kemudian dari jawaban responden masing – masing item pertanyaan di hitung tabulasi. Untuk child abuse dikategorikan menjadi child abuse dan tidak child abuse (Azwar, 2007). 4) Entry data Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau data base komputer kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontingensi (Hidayat, 2007). 5) Cleaning (Pembersihan Data) Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, kelengkapan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). 6) Tabulating Tabulating adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontingensi (Hidayat, 2007). 7) Penyajian Data Hasil pengolahan data dibuat dalam bentuk presentase kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan skala berdasarkan kriteria pembacaan tabel menurut Setiadi ( 2007 : 89-90 ) sebagai berikut : 1) Jika nilai penelitian <56 : Sebagian kecil 2) Jika nilai penelitian 56% - 78% : Rata – rata 3) Jika nilai penelitian 79% - 100% : Sebagian besar Analisis Data. Untuk mencari T- skor menggunakan rumus (Azwar, 2008). X X T 50 10 S (Azwar, 2010) Keterangan: X = total skor responden yang hendak diubah menjadi skor T X X= = skor rata-rata responden dalam kelompok (mean) n S X X 2 = standar deviasi skor kelompok n n = jumlah responden (Budiarto, 2002). Skor mean T = Skor T responden Jumlah responden a) Child abuse jika T hitung > T mean atau > 50 b) Tidak child abuse jika T hitung < T mean atau < 50 (Azwar, 2007). 13 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan merupakan PAUD Islam swasta yang mempunyai izin operasional dari sejak tahun 1990. Terletak di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan mempunyai luas tanah 623 m2, dengan fasilitas ruang kelas sebanyak empat kelas dengan kondisi baik, tempat bermain yang menujang, fasilitas kantin, UKS dan mushola. Jumlah seluruh siswa tahun ajaran 2012/2013 adalah 113 siswa terdiri dari 28 siswa dikelas Playgroup, 42 di PAUD kelas B siswa di PAUD kelas A 71 siswa. Jumlah siswa laki-laki sebanyak 49 orang dan siswa perempuan sebanyak 64 siswa. Jumlah guru yang mengajar di taman tumbuh kembang anak Tarbiyatush Shibyan sebanyak lima orang dan satu orang tata usaha. PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto mempunyai batasan wilayah: Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Gebangmalang Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Pacing Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Tambakagung Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Jabon Pendidikan Anak Usia Dini Tarbiyatush Shibyan desa Gayaman Kabupaten Mojokerto didirikan dengan visi dan misi tertentu yaitu : Visi : Mencerdaskan generasi Islam yang mempunyai dasar-dasar kecakapan, keterampilan, cerdas dan berakhlaqul karimah. Misi : 1) Menanamkan dasar-dasar perilaku budi pekerti dan berakhlak mulia. 2) Menumbuhkan dasar-dasar kemahiran membaca, menulis dan berhitung. 3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berfikir logis, kritis dan kreatif. 4) Menumbuhkan sikap toleran, tanggung jawab. 5) Kemandirian dan kecakapan emosional. 2. Data Umum. Pada data ini menggambarkan karakteristik responden berdasarkan jumlah anak, usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu.. a. Karakteristik ibu berdasarkan jumlah anak Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan jumlah anak di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Tabel 3 Distribusi frekuensi berdasarkan jumlah anak di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013. No Jumlah Anak Frekuensi (f) Persentase (%) 1 1 Anak 21 41,2 2 2 Anak 20 39,2 3 >2 Anak 10 19,6 Total 51 100 Berdasarkan tabel 3 di atas menunjukkan bahwa hampir setengah dari responden mempunyai satu anak yaitu sebanyak 21 responden (41,2%) b. Karakteristik ibu berdasarkan status perkawinan Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan status perkawinan di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. 14 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Tabel 4 Distribusi frekuensi berdasarkan perkawinan ibu di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013. No Status Perkawinan Frekuensi (f) Persentase (%) 1 Kawin 51 100 2 Belum Kawin 0 0 3 Janda 0 0 Total 51 100 Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa seluruh ibu kawin yaitu sebanyak 51 ibu (100%). c. Karakteristik ibu berdasarkan usia Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan usia di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Dimana karakteristik usia menurut Depkes.RI, 2004. Tabel 5 Distribusi frekuensi berdasarkan usia ibu di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013. No Usia Ibu Frekuensi (f) Persentase (%) 1 12-25 tahun 26 51,0 2 26-45 tahun 20 39,2 3 46-64 tahun 5 9,8 Total 51 100 Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar usia ibu yaitu 12-25 tahun sebanyak 26 responden (51,0%). d. Karakteristik ibu berdasarkan pekerjaan Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan pekerjaan di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Tabel 6 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan ibu di PAUD Tarbiyatush Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013. No Pekerjaan ibu Frekuensi (f) Persentase (%) 1 Bekerja 15 29,4 2 Tidak Bekerja 36 70,6 Total 51 100 Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bekerja yaitu sebanyak 36 responden (70,6%). e. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Di bawah ini merupakan data tentang karakteristik ibu berdasarkan pendidikan di PAUD Tabiyatush Shibyan Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto. Tabel 7 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan ibu di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013. No Pendidikan ibu Frekuensi (f) Persentase (%) 1 Tinggi (PT) 6 11,8 2 Sedang (SMA, SMK) 22 43,1 3 Rendah (SD, SMP. TS) 23 45,1 Total 51 100 Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan ibu adalah rendah yaitu sebanyak 23 responden (45,1%). 15 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 3. Data Khusus. Tabel 8 Distribusi frekuensi kekerasan pada anak (child abuse) di PAUD Tarbiyatush Shibyan Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013. No Kekerasan pada Anak (Child Abuse) Frekuensi (f) Persentase (%) 1 Child Abuse 27 52,9 2 Tidak Child Abuse 24 47,1 Total 51 100 Berdasarkan tabel 8 di atas bahwa sebagian besar responden mengalami kekerasan pada anak (child abuse) yaitu sebanyak 27 responden (52,9%). E. PEMBAHASAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 51 responden, (sebanyak 27 responden 52,9%) sebagian besar mengalami kekerasan. Menurut teori bahwa kekerasan adalah semua bentuk perlakuan salah secara fisik maupun emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, ekploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata maupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak maupun terhadap martabatnya dalam kontek hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, ampunan kekuasaan (UU Perlindungan Anak, 2003). Bentuk kekerasan sendiri bermacam-macam, kekerasan emosi, kekerasan kata-kata, kekerasan kekerasan fisik, kekerasan seksual. Dimana kekerasan tersebut akan berdampak pada fisik, psikis, seksual, dan penelantaran serta tumbuh kembang anak itu sendiri (Huraerah, 2006). Berdasarkan fakta dan teori di atas , didapatkan hal yang sama. Kekerasan yang lebih dominan yang sering dialami oleh anak yaitu dengan dicubit. Kondisi tersebut sesuai dengan teori status ekonomi dengan kekerasan pada anak (child abuse). Dimana orang tua yang berstatus ekonomi rendah lebih banyak melakukan kekerasan pada anak dibandingkan dengan orang tua yang berstatus ekonomi tinggi. Para pelaku dan korban kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah, kemiskinan yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif, mudah marah, (Atmajda, 2005). Masalah ekonomi yang begitu pelik membuat orang tua bingung harus berbuat apa Faktor ekonomi pun menjadi alasan utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak. Ini menyebabkan stress pada orang tua sehingga anak menjadi pelampiasan amarah orang tua (Windi, 2011). Berdasarkan dari fakta dan teori di atas, didapatkan hal yang sesuai. Dimana status ekonomi keluarga ada hubungan dengan kekerasan pada anak. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Sayangnya bagi kebanyakan orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Karena sesungguhnya dalam mendidik anak dengan menggunakan kekerasan bisa membahayakn fisik jiwa, akal, akhlak dan juga kehidupan sosial anak. Untuk itu pada seluruh keluarga, saatnya menghentikan budaya kekerasan dalam rumah tangga khususnya kepada anakanak. Mendidik anak dengan menggunakan kekerasan hanya akan menjadikan anak tumbuh menjadi pribadi yang destruktif, nakal, pemberontak, dan lebih memprihatinkan lagi bisa membuatnya terbiasa dengan kemunafikan. Menjadi impian dan harapan kita 16 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 bersama, bahwa bangsa yang besar dan memiliki akhlak dan budi pekerti mulia, hanya akan terwujud jika kita mulai menghilangkan budaya kekerasan. Hal ini juga di buktikan dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar pendidikan responden rendah 6 responden (11,8%) karena semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin rendah juga orang tersebut menyelesaikan masalah. pendidikan pada umumnya merubah pola pikir, pola tingkah laku, serta pola pengambilan keputusan (Notoadjmojo, 2003). Kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan anak, menyebabkan orang tua tidak mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak seusianya, sehingga dapat memperlakukan anak secara salah. Orang tua yang tidak mengetahui cara yang baik dan benar dalam mengasuh dan mendidik anak, akan cenderung memperlakukan anak secara salah (Depkes RI, 2003). Pada penelitian ini juga menunjukkan, bahwa hampir 50% usia ibu ada 12-25 tahun. Usia dapat mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia semakin baik tingkat kematangan emosi seseorang dan kemampuannya dalam mengahadapi berbagai masalah persoalan (Keliat, 2005). Selaian itu, seseorang yang mempunyai usia dewasa lebih mudah mengalami emosi atau berprilaku emosional tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. Orang tua dengan usia muda, belum matang untuk mengasuh anak. Terutama orang tua yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun. Kebanyakan orang tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan beranggapan bahwa anak hanya untuk memenuhi kebahagiaan orang tua saja (Keliat, 2005). Faktor usia, pendidikan, pekerjaan dan kurangnya informasi dari media massa maupun elektronik inilah membuat pengetahuan dan wawasan ibu kurang tentang kekerasan pada anak. Mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan penyuluhan tenaga kesehatan untuk memberikan pengetahuan baik terhadap keluarga dan masyarakat luas. Akan tetapi dalam penelitian ini kontek usia dan pendidikan pada ibu tidak diteliti. F. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di PAUD Tarbiyatush Shibyan Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto pada tanggal 20-24 Mei 2013 dapat disimpulkan sebagai berikut: sebagian besar responden mengalami kekerasan (child abuse). B. Saran 1. Bagi Orang Tua Bagi para orang tua sebaiknya tidak melakukan kekerasan pada anak (child abuse), karena hal tersebut dapat mengganggu perkembangan fisik dan psikis anak. 2. Bagi Peneliti selanjutnya Mengidentifikasi tindak kekerasan pada anak dalam kontek besar, serta memotifasi keluarga tentang pentingnya mendidik anak yang benar DAFTAR PUSTAKA Anon. 2012. (http://www.duniapsikologi.com/bentuk-bentuk-kekerasan-anak-child-abuse/).di akses tanggal 22 februari 2013 Azwar, MA.(2007).Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Edwards, Holden, & Felitti.2003Michael Noble, David McLennan and Kate Wilkinson. 2009. Local Index of Child Well-Being Summary Report. London: Communities and Local Government. 17 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Edwards, Holden, & Felitti,2003. child Abuse and It’s Relationship to Conduct Disorder psych abuse, (http://priory.com) diakses pada tanggal 03 April 2013 Hidayat. 2005. Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah. Surakarta. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah. HidayatA. Azis Alimul. 2007.Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika Huraerah 2006. "Child Sexual Abuse and Revictimization in the Form of Adult Sexual Abuse, Adult Physical Abuse, and Adult Psychological Maltreatment Hardiwinoto dalam (Depkes.ri 2012). Pemberdayaan Perempuan dengan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2000. Penyusunan Indikator Kesetaraan dan Keadilan Jender. Jakarta Kusumayati (2002) Perlakuan Salah pada Anak. (http://www.dokter psikolog.com)di akses tanggal 24 februari 2013 Lianny Solihin, “Tindakan Kekerasan Pada Anak dalam Keluarga”, Jurnal Pendidikan. Diakses pada tanggal 30 maret 2013 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Medika. Richard J.Gelles (2004) Dampak C.A Sexual Abuse: A Journal of Research and Treatment Santoso, 2002) Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2010, hal. 218 4 Suyanto (Tursilarini, 2005). The Child Development Index Holding Governments to Account for Children’s Wellbeing. London: The Save the Children Fund. Suharto, Edi. 2007. “Social Protection For Children in Difficult Situations Lessons from Indonesia and ASEAN (Perlindungan Sosial bagi Anak dalam Situasi Sulit: Pelajaran dari Indonesia dan ASEAN)”. To be presented at the International Seminar on Asian Families in Transition: Challenges For Social Work Intervention, Ciloto, West Java, 17 and 18 December 2007. West Java: Board of Education and Research, Ministry of Social Affairs, Republic of Indonesia. Sukamto, 2000. U. S. Departement of Health, Education and Welfare, Wicaksono,2007. Status Ekonomi Dengan Pemilihan Bahan Makanan. (http://www.denias) ket yaho mail diakses pada tanggal 10 Maret 2013 18 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 KONDISI RUMAH SEHAT DESA GAYAMAN KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO Eka Diah Kartiningrum Dosen Politeknik Kesehatan Malang ABSTRACT House is a very important shelter basically for every people. but it contains of important meaning as a place to build a healthy and prosperous family life. The data of housing in Indonesia showed that 75.1% of the houses belonging to the Indonesian population are not healthy. Therefore, the aim of this study was to determine healthy housing in the Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto regency. Design of this study was descriptive, the variable is healthy house. Population in this study were 12 921 houses, and 30 samples were selected using quota sampling technique. This study had been conducted in Desa Gayaman Kec. Mojoanyar Kab. Mojokerto on June 5 to 10 June 2013 using check list sheets. The data were processed with editing, coding, scoring, tabulation and presented in frequency distribution tables Based on the results of the study showed that most of the respondents had an unhealthy houses as many as 30 respondents (100%). The components in unhealthy house, sanitation and residents can cause family status. So the healthy house should facilitate residents activities in order to dismiss unhealthy factors. The conclusions in this study is the majority of respondents in Desa Gayaman Kec. Mojoanyar Kab. Mojokerto have an unhealthy house. Therefore health workers should provide information to the public owning healthy house category, but they are expected to in the community to seek information about healthy living more activity and healthy house empowerment. Keywords: Family, Healthy Housing A. PENDAHULUAN Rumah merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi setiap orang karena sebagai tempat untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007). Kualitas bangunan, pemanfaatan bangunan, pemeliharaan bangunan faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Mukono, 2008). Data tentang perumahan di Indonesia bahwa 75.1% rumah penduduk Indonesia tergolong rumah kurang atau tidak sehat. Tiga provinsi dengan persentase rumah sehat yang terendah adalah Nusa Tenggara timur (75.1%), Lampung (14,1%) dan Sulawesi Tengah (16,1%). Persentase rumah tertinggi ternyata bukan di jawa atau di bali melainkan di propinsi Kalimantan Timur yakni sebesar 43,6%. Keberadaan rumah sebagai tempat tinggal di wilayah pekotaan di jawa memiliki persentase lebih tunggu yakni 32,5% di bandingkan pedesaan yaitu sebesar 16,7% (Health advocasy, 2012). Persentase keluarga yang menghuni rumah sehat merupakan salah satu indikator Indonesia. Sehat 2010 dan target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015. Target rumah sehat yang akan dicapai dalam Indonesia Sehat 2010 telah ditentukan sebesar 80% (Depkes RI, 2003). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2007, persentase rumah sehat Indonesia pada tahun 2007 adalah 50,79%. Jumlah ini masih dibawah target yang ditetapkan untuk dicapai pada tahun 2007 yaitu 75% (Depkes RI, 2008). Hasil laporan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa terdapat 15116 (45,12%) rumah penduduk di Desa Gayaman yang dikategorikan rumah sehat pada tahun 2011. 19 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Rumah Sehat adalah tempat berlindung/bernaung dan tempat untuk beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik,rohani dan sosial. Perumahan harus menjamin kesehatan penghuninya. Oleh sebab itu, diperlukan syarat perumahan sebagai berikut: Memenuhi kebutuhan fisiologis, Memenuhi kebutuhan psikologis. Perlindungan terhadap penularan penyakit. Menurut sastra (2005), salah satu kendala dalam pembangunan perumahan dan pemukiman yang terjadi di Indonesia antara lain berupa, kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Kondisi ini diperparah lagi dengan kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya pemeliharaan lingkungan yang bersih bagi kesehatan mereka. Keadaan perumahan di Indonesia masih jauh dari cukup, dilihat dari jumlah maupun kualitas / perumahan sebagian besar belum memenuhi persyaratan layak. pencegahan terhadap bahaya kecelakaan dalam rumah (Mukono, 2008). Peran tenaga kesehatan untuk mewujudkan terciptanya rumah sehat adalah dengan memberikan pendidikan melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya hidup sehat yang dimulai dari lingkungan sendiri dan memberikan informasi pada masyarakat tentang dampak negatif dan positif dari rumah sehat. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran rumah sehat di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Rumah Sehat a. Definisi Rumah Sehat Menurut Wicaksono dalam undang-undang nomor 4 tahun 1992, rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia (Tarigan, 2010). Menurut (Gunawan, 2009) Pembangunan gedung-gedung dan perumahan selain memerlukan perencanaan ynag memenuhi persyaratan teknis kontruksi, juga harus memperhatikan persyaratan kesehatan. persyaratan kedua ini secara teknis disebut higiene bangunan. Tujuannya, agar gedung atau perumahan tersebut dapat memenuhi kebutuhan akan kondisi tempat tinggal yang sehat (healthy) dan menyenangkan (comfortable), yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai rumah sehat. Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007). b. Persyaratan Rumah Sehat Persyaratan rumah sehat menurut Mukono (2008) sebagai berikut: 1) Memenuhi kebutuhan fisiologis Kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu dalam ruangan yang optimal, pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap kebisingan, ventilasi memenuhi persyaratan, dan tersedianya ruang yang optimal untuk bermain anak. Suhu ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18 - 20˚C , suhu tersebut dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, dan kelembaban udara ruangan. Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Pada malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik. Pada waktu pagi hari diharapkan semua ruangan mendapatkan sinar matahari. Intensitas cahaya pada suatu ruangan pada jarak 85 cm di atas lantai maka intensitas penerangan minimal tidak boleh kurang dari 5 foot-candle. Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu 20 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah / mekanisme harus cukup. Berdasarkan peraturan bangunan nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut: 1) Lantai bersih dari jendela / lubang hawa sekurang – kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan. 2) Jendela / lubang harus meluas ke arah atas sampai setinggi minimal 1,95 m dari permukaan lantai. 3) Adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit – langit sejurang – kurangnya 0,35% luas lantai ruang yang bersangkutan. Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Berdasarkan Dir. Hiegene dan Sanitasi Depkes RI (1993) maka kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per m2) dan kepadatan tinggi (lebih 2 orang per 8m2 dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1 – 10 tahun dihitung setengah). Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu ruangan naik, dan kelembaban udara ruangan bertambah. Kecepatan aliran udara penting untuk mempercepat pembersihan udara ruangan. Kecepatan udara dikatakan sedang jika gerak udara 5 – 20 cm per detik atau volume pertukaran udara bersihh antara 25 – 30 cfm(cubic feet per minute) untuk setiap orang yang berada di dalam ruangan. 2) Memenuhi Kebutuhan Psikologis Kebutuhan pskilogis berfungsi untuk menjamin privacy bagi penghuni perumahan. Perlu adanya kebebasan untuk kehidupan keluarga yang tinggal di rumah tersebut secara normal. Keadaan rumah dan sekitarnya diatur agar memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga dan memungkinkan hubungan yang serasi antara orang tua dan anak. Adanya ruangan tersendiri bagi remaja dan ruangan untuk berkumpulnya anggota keluarga serta ruang tamu. Selain itu dibutuhkan kondisi untuk terpenuhinya sopan santun dalam pergaulan di lingkungan perumahan. 3) Perlindungan terhadap Penularan Penyakit Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari adanya intervensi dari serangga dan hama / hewan lain yang dapat menularkan penyakit. Agar dalam keadaan tidur tetap sehat diperlukan luas kamar tidur sekitar 5 meter persegi per kapita per luas lantai. 4) Perlindungan / Pencegahan terhadap Bahaya Kecelakaan dalam Rumah Agar terhindar dari kecelakaan maka kontruksi rumah harus kuat dan memenuhi syarat bangunan, desain pencegahan terjadinya kebakaran dan tersedianya alat pemadam kebakaran, pencegahan kecelakaan jatuh, dan kecelakaan mekanis lainnya. Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health Asociation (APHA), yaitu: a. Memenuhi kebutuhan dasar fisik Sebuah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan dasar fisik, seperti: 1) Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara atau dipertahankan temperatur lingkungan yang penting untuk mencegah bertambahnya panas atau kehilangan panas secara berlebihan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 22°C 30°C sudah cukup segar. 21 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2) Rumah tersebut harus terjamin pencahayaannya yang dibedakan atas cahaya matahari (penerangan alamiah) serta penerangan dari nyala api lainnya (penerangan buatan). Semua penerangan ini harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu gelap atau tidak menimbulkan rasa silau. 3) Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar d7apat terpelihara. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% luas lantai sehingga jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai Universitas majapahit ruangan. Ini diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit. 4) Rumah tersebut harus dapat melindungi penghuni dari gangguan bising yang berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik langsung maupun dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan yang dapat muncul antara lain gangguan fisik seperti kerusakan alat pendengaran dan gangguan mental seperti mudah marah dan apatis. 5) Rumah tersebut harus memiliki luas yang cukup untuk aktivitas dan untuk anak-anak dapat bermain. Hal ini penting agar anak mempunyai kesempatan bergerak, bermain dengan leluasa di rumah agar pertumbuhan badannya akan lebih baik, juga agar anak tidak bermain di rumah tetangganya, di jalan atau tempat lain yang membahayakan. b. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dasar psikologis penghuninya, seperti: 1) Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni Adanya ruangan khusus untuk istirahat bagi masing-masing penghuni, seperti kamar tidur untuk ayah dan ibu. Anak-anak berumur di bawah 2 tahun masih diperbolehkan satu kamar tidur dengan ayah dan ibu. Anak-anak di atas 10 tahun laki-laki dan perempuan tidak boleh dalam satu kamar tidur. Anakanak di atas 17 tahun mempunyai kamar tidur sendiri. 2) Ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dimana anak-anak sambil makan dapat berdialog langsung dengan orang tuanya. 3) Dalam memilih letak tempat tinggal, sebaiknya di sekitar tetangga yang memiliki tingkat ekonomi yang relatif sama, sebab bila bertetangga dengan orang yang lebih kaya atau lebih miskin akan menimbulkan tekanan batin. 4) Dalam meletakkan kursi dan meja di ruangan jangan sampai menghalangi lalu lintas dalam ruangan 5) W.C. (Water Closet) dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan terpelihara kebersihannya. Biasanya orang tidak senang atau gelisah bila terasa ingin buang air besar tapi tidak mempunyai W.C. sendiri karena harus antri di W.C. orang lain atau harus buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun. 6) Untuk memperindah pemandangan, perlu ditanami tanaman hias, tanaman bunga yang kesemuanya diatur, ditata, dan dipelihara secara rapi dan bersih, sehingga menyenangkan bila dipandang. c. Melindungi dari penyakit 1) Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang membahayakan kesehatan. Dari segi ini, maka rumah yang sehat adalah rumah yang di dalamnya tersedia air bersih yang cukup dengan sistem perpipaan 22 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 seperti sambungan atau pipa dijaga jangan sampai sampai bocor sehingga tidak tercemar oleh air dari tempat lain. 2) Rumah juga harus terbebas dari kehidupan serangga dan tikus, memiliki tempat pembuangan sampah, pembuangan air limbah serta pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan. d. Melindungi dari kemungkinan kecelakaan Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Termasuk dalam persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, tangga yang tidak terlalu curam dan licin, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindung, tidak menyebabkan keracunan gas bagi penghuni, terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya (Azwar, 1990; CDC, 2006; Sanropie, 1989 dalam Tarigan 2010) 2. Parameter dan Indikator Penilaian Rumah Sehat Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002) dalam Tarigan 2010, lingkup penilaian rumah sehat dilakukan terhadap kelompok komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni. a. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan. b. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, saluran pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah. c. Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela kamar tidur, membuka jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja bayi dan balita ke jamban, membuang sampah pada tempat sampah. Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah sebagaimana yang tercantum dalam Kepmenkes Nomor 829 / Menkes / SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. a. Bahan bangunan Syarat bahan bangunan yang diperbolehkan antara lain: 1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, seperti debu total tidak lebih dari 150 μg/m3, asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam, dan timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg. 2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. b. Komponen dan penataan ruang rumah Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis seperti berikut: 1) Lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Menurut Sanropie (1989) dalam Tarigan 2010, lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap penghuninya. Oleh karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah. 2) Dinding, dengan pembagian: (i) Untuk di ruang tidur dan ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara; (ii) Untuk di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan. Berdasarkan Sanropie (1989) dalam Tarigan 2010, fungsi dinding selain 23 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 sebagai pendukung atau penyangga atap, dinding juga berfungsi untuk melindungi ruangan rumah dari gangguan, serangga, hujan dan angin, juga melindungi dari pengaruh panas dan angin dari luar. Bahan dinding yang paling baik adalah bahan yang tahan api, yaitu dinding dari batu. 3) Jumlah penghuni Tabel 1 Kebutuhuan Minimum Bangunan dan Lahan Untuk Rumah Sederhana Sehat (Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat, 2002 dalam Adriyani, 2010) Standar per Jiwa (m2) Ambang Batas 7.2 Indonesia 9.0 Internasional 12.0 Luas (m2) untuk 3 jiwa Unit Lahan (L) Rumah Minimal Efektif Ideal 21.6 60.0 72-90 200 Luas (m2) Untuk 4 Jiwa Unit Lahan (L) Rumah Minimal Efektif Ideal 28.8 60.0 72-90 200 27.0 60.0 72-90 200 36.0 60.0 72-90 200 36.0 60.0 … … 48.0 60.0 … … 4) Langit-langit Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Bubungan rumah yang memiliki tinggi 10 m atau lebih harus dilengkapi dengan penangkal petir. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, dan ruang bermain anak. Banyaknya ruangan di dalam rumah biasanya tergantung kepada jumlah penghuni. Banyaknya penghuni dalam suatu rumah akan menuntut jumlah ruangan yang banyak terutama ruang tidur. Tetapi pada umumnya jumlah ruangan dalam suatu rumah disesuaikan dengan fungsi ruangan tersebut, seperti: a) Ruang untuk istirahat/tidur (ruang tidur) Rumah yang sehat harus mempunyai ruang khusus untuk tidur. Ruang tidur ini biasanya digunakan sekaligus untuk ruang ganti pakaian, dan ditempatkan di tempat yang cukup tenang, tidak gaduh, jauh dari tempat bermain anak-anak. Diusahakan agar ruang tidur mendapat cukup sinar matahari. Agar terhindar dari penyakit saluran pernafasan, maka luas ruang tidur minimal 9 m2 untuk setiap orang yang berumur diatas 5 tahun atau untuk orang dewasa dan 4 ½ m2 untuk anak-anak berumur dibawah 5 tahun. Luas lantai minimal 3 ½ m2 untuk setiap orang, dengan tinggi langit-langit tidak kurang dari 2 ¾ m. b) Ruang tamu Ruang tamu yaitu suatu ruangan khusus untuk menerima tamu, biasanya diletakkan di bagian depan rumah. Ruang tamu sebaiknya terpisah dengan ruang duduk yang dapat dibuka/ditutup atau dengan gorden, sehingga tamu tidak dapat melihat kegiatan orang-orang yang ada di ruang duduk. c) Ruang duduk (ruang keluarga) Ruang duduk harus dilengkapi jendela yang cukup, ventilasi yang memenuhi syarat, dan cukup mendapat sinar matahari pagi. Ruang duduk ini sebaiknya lebih luas dari ruang-ruang lainnya seperti ruang tidur atau ruang tamu karena ruang duduk sering digunakan pula untuk berbagai kegiatan seperti tempat berbincang-bincang anggota keluarga, tempat menonoton TV, kadang-kadang digunakan untuk tempat membaca/belajar 24 HOSPITAL MAJAPAHIT d) e) f) g) h) i) Vol 5 No. 2 Nopember 2013 dan bermain anak-anak. Selain itu ruangan ini juga sering digunakan sekaligus sebagai ruang makan keluarga. Ruang makan Ruang makan sebaiknya mempunyai ruangan yang khusus, ruangan tersendiri, sehingga bila ada anggota keluarga sedang makan tidak akan terganggu oleh kegiatan anggota keluarga lainnya. Tetapi untuk suatu rumah yang kecil/sempit, ruang makan ini boleh jadi satu dengan ruang duduk. Ruang dapur Dapur harus mempunyai ruangan tersendiri, karena asap dari hasil pembakaran dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan. Ruang dapur harus memiliki ventilasi yang baik agar udara/asap dari dapur dapat teralirkan keluar (ke udara bebas). Luas dapur minimal 4 m2 dan lebar minimal 1,5 m. Di dapur harus tersedia alat-alat pengolahan makanan, alatalat memasak, tempat cuci peralatan serta tempat penyimpanannya. Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kesehatan dan mempunyai sisitem pembuangan air kotor yang baik, serta mempunyai tempat pembuangan sampah sementara yang baik / tertutup. Selain itu dapur harus tersedia tempat penyimpanan bahan makanan atau makanan yang siap disajikan. Tempat ini harus terhindar dari gangguan serangga (lalat) dan tikus. Oleh karena itu ruangan harus bebas serangga dan tikus. Kamar mandi/W.C Lantai kamar mandi dan jamban harus kedap air dan selalu terpelihara kebersihannya agar tidak licin. Dinding minimal setinggi 1 ½ m dari lantai. Setiap kamar mandi dan jamban yang letaknya di dalam rumah, diusahakan salah satu dindingnya yang berlubang ventilasi harus berhubungan langsung dengan bagian luar rumah. Bila tidak, ruang/kamar mandi dan jamban ini harus dilengkapi dengan alat penyedot udara untuk mengeluarkan udara dari kamar mandi dan jamban tersebut keluar, sehingga tidak mencemari ruangan lain (bau dari kamar mandi dan W.C.) Jumlah kamar mandi harus cukup sesuai dengan jumlah penghuni rumah. Selain itu kebersihannya harus selalu terjaga. Jamban harus berleher angsa dan 1 jamban tidak boleh dipergunakan untuk lebih dari 7 orang. Gudang Gudang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat atau bahanbahan lainnya yang tidak dapat ditampung di ruangan lain, seperti alat-alat untuk memperbaiki rumah (tangga, dan lain–lain). Ruang dapur harus dilengkapi sarana pembuangan asap. Pencahayaan Pencahayaan dalam ruangan dapat berupa pencahayaan alami dan atau buatan, yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan. Intensitas minimal pencahayaan dalam ruangan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan. Untuk penerangan didalam rumah (perumahan) sederhana paling sedikit adalah 200 watt (Machfoedz, 2008) Kualitas udara Kualitas udara dalam ruangan tidak boleh melebihi ketentuan sebagai berikut: (1) Suhu udara nyaman berkisar 18° sampai 30° C (2) Kelembapan udara berkisar antara 40% sampai 70% (3) Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam 25 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 (4) Pertukaran udara (air exchange rate) = 5 kaki kubik per menit per penghuni (5) Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam (6) Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3 j) Ventilasi Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Menurut Sanropie (1989) dalam Tarigan 2010, ventilasi sangat penting untuk suatu rumah tinggal. Hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk udara yang bersih dan segar dari luar ke dalam ruangan dan keluarnya udara kotor dari dalam keluar (cross ventilation). Dengan adanya ventilasi silang (cross ventilation) akan terjamin adanya gerak udara yang lancar dalam ruangan. Fungsi kedua dari ventilasi adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar seperti cahaya matahari, sehingga didalam rumah tidak gelap pada waktu pagi, siang hari maupun sore hari. Oleh karena itu untuk suatu rumah yang memenuhi syarat kesehatan, ventilasi mutlak harus ada. Suatu ruangan yang tidak memiliki sistem ventilasi yang baik akan menimbulkan keadaan yang merugikan kesehatan, antara lain: (1) Kadar oksigen akan berkurang, padahal manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa oksigen dalam udara. (2) Kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi manusia, akan meningkat. (3) Ruangan akan berbau, disebabkan oleh bau tubuh, pakaian, pernafasan, dan mulut. (4) Kelembapan udara dalam ruangan akan meningkat disebabkan oleh penguapan cairan oleh kulit dan pernafasan (Azwar,1990 dalam Tarigan 2010). Umumnya dipakai Peraturan Bangunan Nasional (1968), yakni: (a) Luas jendela / lubang udara paling sedikit 1 / 10 dari luas lantai ruangan dan 1 / 2 dari luas jendela atau lubang udara harus dapat dibuka. (b) Jendela atau lubang harus meluas kearah atas sampai setinggi paling sedikit 1,95 meter diatas permukaan lantai. (c) Diberi lubang hawa atau saluran angin dekat atau pada langit langit, luasnya paling sedikit 0,35%, dari luas lantai ruangan yang bersangkutan. Lubang ini berguna untuk mengeluarkan udara panas didalam ruangan tersebut. (5) Binatang penular penyakit Di dalam rumah tidak boleh ada tikus yang bersarang. k) Air (1) Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/hari/orang. (2) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan atau air minum sesuai perundang-undangan yang berlaku. (3) Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman. l) Limbah Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap permukaan tanah, serta air tanah. 26 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 m) Kepadatan hunian ruang tidur Luas ruang tidur minimal 9 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. n) Atap Fungsi atap adalah untuk melindungi isi ruangan rumah dari gangguan angin, panas dan hujan, juga melindungi isi rumah dari pencemaran udara seperti: debu, asap, dan lain-lain. Atap yang paling baik adalah atap dari genteng karena bersifat isolator, sejuk dimusim panas dan hangat di musim hujan (Sanropie, 1989 dalam Tarigan 2010). c. Sarana Sanitasi Rumah Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan dengan perumahan sehat adalah sebagai berikut: 1) Sarana air bersih dan air minum Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.416 / MENKES / PER / IX / 1990 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990). Air minum adalah air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum dan berasal dari penyediaan air minum sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air bagi penghuni rumah yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sarana air bersih antara lain (a) jarak antara sumber air dengan sumber pengotoran (seperti septik tank, tempat pembuangan sampah, air limbah) minimal 10 meter, (b) pada sumur gali sedalam 10 meter dari permukaan tanah dibuat kedap air dengan pembuatan cincin dan bibir sumur, (c) penampungan air hujan pelindung air, sumur artesis atau terminal air atau perpipaan/kran atau sumur gali terjaga kebersihannya dan dipelihara rutin. Ada 3 syarat utama yang harus dipenuhi agar air layak dikonsumsi sebagai air minum, antara lain: a) Syarat fisik air minum Yaitu air yang tidak berwarna, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman. b) Syarat kimia Air minum yang baik adalah air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia ataupun mineral, terutama yang berbahaya bagi kesehatan. c) Syarat bakteriologis Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme. Sebagai petunjuk bahwa air telah dicemari oleh faeces manusia adalah adanya E.coli karena bakteri ini selalu terdapat dalam faeces manusia baik yang sakit, maupun orang sehat serta relatif lebih sukar dimatikan dengan pemanasan air (Entjang, 1997) dalam Tarigan 2010. 2) Saluran Pembuangan Air Limbah Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang tidak bersih dan mengandung pelbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia, 27 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia. Pada dasarnya pengolahan air limbah bertujuan untuk: a) Melindungi kesehatan anggota masyarakat dari ancaman berbagai penyakit. Ini disebabkan karena limbah sering dipakai sebagai tempat berkembang-biaknya berbagai macam bibit penyakit. b) Melindungi timbulnya kerusakan tanaman, terutama jika air limbah tersebut mengandung zat organik yang membahayakan kelangsungan hidup. c) Menyediakan air bersih yang dapat dipakai untuk keperluan hidup seharihari, terutama jika sulit ditemukan air bersih. 3) Jamban/kakus stikes Kakus atau jamban adalah tempat yang dipakai manusia untuk melepaskan hajatnya. Adapun syarat-syarat dalam mendirikan kakus atau jamban menurut Azwar (1990) dalam Tarigan 2010 ialah: a) Harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindung dari pandangan dalam orang lain, terlindung dari panas atau hujan, serta terjamin privacynya. Dalam kehidupan sehari-hari, syarat ini dipenuhi dalam bentuk mengadakan ruangan sendiri untuk kakus di rumah ataupun mendirikan rumah kakus di pekarangan. b) Bangunan kakus ditempatkan pada lokasi yang tidak sampai mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, serta tidak menjadi tempat hidupnya perbagai binatang. c) Bangunan kakus memiliki lantai yang kuat, mempunyai tempat berpijak yang kuat, syarat ini yang terutama harus dipenuhi jika mendirikan kakus model cemplung. d) Mempunyai lobang kloset yang kemudian melalui saluran tertentu dialirkan pada sumur penampungan atau sumur rembesan. e) Menyediakan alat pembersih seperti air atau kertas yang cukup, sehingga dapat segera dipakai setelah membuang kotoran. Berdasarkan Azwar (1990) dalam Tarigan 2010 jenis-jenis kakus atau jamban dilihat dari bangunan jamban yang didirikan, tempat penampungan, pemusnahan kotoran dan penyaluran air kotor, seperti: a) Kakus cubluk (pit privy), ialah kakus yang tempat penampungan tinjanya dibangun dekat dibawah tempat injakan atau dibawah bangunan kakus. Menurut Entjang (1997), kakus ini dibuat dengan menggali lubang ke dalam tanah dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Lama pemakaiannya antara 5-15 tahun. Pada kakus ini harus diperhatikan (i) jangan diberi desinfektan karena mengganggu proses pembusukan sehingga cubluk cepat penuh, (ii) untuk mencegah bertelurnya nyamuk, tiap minggu diberi minyak tanah, (iii) agar tidak terlalu bau diberi kapur barus. b) Kakus empang (overhung latrine), ialah kakus yang dibangun di atas empang, sungai atau rawa. Kakus model ini kotorannya tersebar begitu saja, yang biasanya kotoran tersebut langsung dimakan ikan, atau ada yang dikumpul memakai saluran khusus yang kemudian diberi pembatas seperti bambu, kayu dan lain sebagainya yang ditanam melingkar ditengah empang, sungai atau rawa. c) Kakus kimia (chemical toilet), kakus model ini biasanya dibangun pada tempat- tempat rekreasi, pada alat transportasi dan lain sebagainya. Di tempat ini, tinja didisenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda, dan 28 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 sebagai pembersihnya dipakai kertas (toilet paper). Kakus kimia sifatnya sementara, oleh karena itu kotoran yang telah terkumpul perlu dibuang lagi. Ada dua macam kakus kimia, yaitu (i) tipe lemari (commode type) dan (ii) tipe tanki (tank type). d) Kakus dengan “angsa trine” ialah, kakus dimana leher lubang kloset berbentuk lengkungan, dengan demikian akan selalu terisi air yang penting untuk mencegah bau serta masuknya binatang-binatang kecil. Kakus model ini biasanya dilengkapi dengan lubang atau sumur penampung/sumur resapan yang disebut septi tank. Kakus model ini adalah yang terbaik dan dianjurkan dalam kesehatan lingkungan 4) Tempat Sampah Usaha yang diperlukan agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pengelolaan terhadap sampah, seperti penyimpanan (storage), pengumpulan (collection), dan pembuangan (disposal). Tempat sampah tiap-tiap rumah, isinya cukup 1 meter kubik. Tempat sampah sebaiknya tidak ditempatkan di dalam rumah atau di pojok dapur, karena akan menjadi gudang makanan bagi tikus-tikus dan rumah menjadi banyak tikusnya. Tempat sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a) terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya (Entjang, 1997). d. Perilaku penghuni Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi, perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku dan gejala yang tampak pada organisme tersebut dipengaruhi baik okeh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan faktor genetik dan lingkungan merupakan penentu dari perilaku mahluk hidup termasuk dari manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan faktor lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003). 1) Bentuk Perilaku Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respon ini dibedakan menjadi 2 (dua): a) Perilaku tertutup (covert bahavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang memerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 29 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 b) Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice) misal, seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi. Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek. (1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. (2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. (3) Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. (4) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). (5) Perilaku kesehatan lingkungan. Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Misalnya: bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya (Tarigan, 2010) Menurut Adriyani (2010) perilaku yang dinilai dalam rumah sehat antara lain: membuka jendela kamar tidur, membuka jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja balita ke jamban, membuang sampah pada tempat sampah, kebiasaan merokok, penggunaan obat nyamuk. 2. Faktor dari rumah yang berpengaruh terhadap kesehatan Faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia adalah a. Kualitas bangunan rumah meliputi kualitas bahan dan konstruksinya serta denah rumah b. Pemanfaatan bangunan rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila peruntukannya tidak sesuai maka akan menganggu kesehatan c. Pemeliharaan bangunan akan mempengaruhi terjadinya penyakit 30 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 3. Karakteristik Masyarakat yang berpengaruh terhadap kesehatan rumah Karakteristik individu adalah keseluruhan dari ciri-ciri yang terdapat ada masyarakat baik cirri individu seperti umur, dan jenis kelamin maupun ciri sosial seperti pendidikan, pekerjaan, besar keluarga. Karakteristik masyarakat mempunyai kaitan dengan kepemilikan rumah sehat. a. Pendidikan Menurut Azwar (2007) dalam Faisal 2010, mengemukakan bahwa pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan watak yaitu sikap disertai kemampuan dalam bentuk kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan. Seperti diketahui bahwa pendidikan formal yang ada di Indonesia adalah tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, dan tingkat akademik/perguruan tinggi. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik, sehingga memungkinkan menyerap informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi informasi atau setiap masalah yang dihadapi. Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan mengembangkan kemampuan manusia Indonesia jasmani dan rohani yang berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luat sekolah dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Hasibuan, 2005) dalam Faisal 2010. b. Pekerjaan Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan atau pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan seseorang yang dilakukan untuk mendapatkan hasil. Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan juga akan berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu (Notoatmodjo, 2003). c. Pendapatan Pendapatan adalah tingkat penghasilan penduduk, semakin tinggi penghasilan semakin tinggi pula persentase pengeluaran yang dibelanjakan untuk barang, makanan, juga semakin tinggi penghasilan keluarga semakin baik pula status gizi masyarakat menurut BPS (2006). Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh yang lebih baik, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan karir dan sebagainya. Demikian pula sebaliknya jika pendapatan lemah akan maka hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keadaan ekonomi atau penghasilan memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Jenis pekerjaan orangtua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo,2004). d. Perilaku Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Menurut Sarwono (2004), perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam 31 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan). Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek (Notoatmodjo, 2003). C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu penelitian yang digunakan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode deskripsi digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Notoatmodjo, 2002). Kerangka Konseptual Merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah ( Hidayat, 2010). Karakteristik Masyarakat yang mempengaruhi terhadap kesehatan rumah: 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Pendapatan 4. Perilaku Kesehatan a. Pengetahuan b. Sikap c. Tindakan /Praktek Kondisi rumah: 1. Memenuhi kebutuhan dasar fisik Komponen rumah 1. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis 2. Perlindungan penularan penyakit a. Sarana sanitasi b. Perilaku penghuni 3. Perlindungan / Pencegahan terhadap Bahaya Kecelakaan. Rumah Sehat Skor: 1068 - 2000 Rumah tidak Sehat Skor <1068 Gambar 1 Kerangka Konseptual Kondisi Rumah Sehat Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto 2. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah kondisi rumah sehat. 2. Definisi Operasional Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti untuk 32 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2010). Tabel 2 Kondisi Rumah Sehat Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala Kondisi Kondisi permumahan 1. Rumah sehat jika skor Nominal Rumah yang ditempati penduduk 1068-2000. Sakit yang dinilai berdasarkan 2. Rumah tidak sehat jika skornya < 1068. parameter: (Depkes, 2002) 1. Komponen rumah 2. Sarana sanitasi rumah 3. Perilaku penghuni Yang diukur menggunakan kuesioner 3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Populasi penelitian adalah rumah tangga di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Mojokerto Sebanyak 12.921 keluarga. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari rumah tangga yang ada di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Mojokerto sebanyak 30 keluarga. Menurut Sugiono (2010). besar sampel dalam penelitian kesehatan minimal sebesar 30 responden yang memenuhi kriteria penelitian. Menurut Hidayat (2007) kriteria sampel terdiri dari inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagian sampel. Pertimbangan ilmiah harus menjadi pedoman dalam menentukan kriteria (Nursalam, 2003). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kepala keluarga yang bersedia menjadi responden b. Keluarga yang anggotanya lengkap c. Keluarga yang bisa baca tulis Sedangkan kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian tidk dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: keluarga yang masih kontrak, dan keluarga yang tinggal dengan keluarga inti yang lain. Sampel dipilih dengan menggunakan teknik sampling dengan tipe kuota sampling. Kuota sampling yaitu cara pengambilan sampel dengan menentukan ciri-ciri tertentu sampai jumlah kuota yang telah ditentukan (Hidayat, 2007). 4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data Pada teknik pengumpulan data ini, peneliti terlebih dahulu minta izin ke Kepala Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Mojokerto untuk pengambilan data dan penyebaran kuesioner. Peneliti juga menggunakan informed consent yang diberikan pada responden untuk menjaga kerahasiaan/privasi sampel. Kuesioner ini disebarkan/diberikan pada sampel yang telah ditentukan, sebelumnya dijelaskan tentang maksud dan tujuan pertanyaan yang telah dibuat. Selama pemberian kuisioner peneliti mendampingi responden untuk mengisi kuesioner. 33 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Instrumen Penelitian Untuk melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner rumah sehat milik Depkes RI tahun 2002. 5. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul dari check list yang telah diisi kemudian diolah dengan tahap sebagai berikut: 1. Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini dilakukan langkah editing untuk melihat terjadi kesalahan-kesalahan dari data yang telah dikumpulkan serta adanya jawaban yang kosong. 2. Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dana analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode (Hidayat, 2007). Pemberian coding pada data demografi atau data umum adalah untuk kriteria tingkat pendidikan tidak tamat SD diberi kode 1, SD diberi kode 2, SMP diberi kode 3, SMA diberi kode 4, Sarjana diberi kode 5. Kriteria jenis pekerjaan tidak bekerja diberi kode 1, wiraswasta diberi kode 2, swasta diberi kode 3, dan PNS diberi kode 4. Penghasilan diberi kode 1 untuk < Rp. 1700000, diberi kode 2 untuk penghasilan Rp. 1700000-20000000 dan diberi kode 3 untuk > Rp. 2000000. Diberi kode 1 untuk rumah sehat dan 2 untuk rumah tidak sehat. 3. Scoring Menurut Arikunto memberi score terhadap item-item yang diberi score, apabila score benar nilainya 1 dan apabila salah diberi nilai 0 (Arikunto, 2006). Diberi skor 0 untuk jawaban a, 1 untuk jawaban b dan 2 untuk jawaban c, serta 3 untuk jawaban d. Pada penelitian ini dilakukan scoring untuk menentukan hasil dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Rumus : Skor= nilaixbobot Kemudian hasilnya dimasukkan dalam kriteria standar penilaian meliputi : a. Rumah sehat jika skornya 1068-2000 b. Rumah tidak sehat jika skornya < 1068 (Depkes RI, 2002). 4. Tabulasi Tabulasi adalah pengelompokan dengan membuat analisis yang dibutuhkan (Nazir, 2005). Untuk mengetahui pengetahuan dihitung dengan manggunakan tabel distribusi frekuensi. Menurut Nursalam (2002) persentase dalam tabel distribusi frekuensi biasanya dikelompokkan menjadi 4, apabila hasil menunjukkan : a. 0% : Tidak satupun b. 1-25% : Sebagian kecil c. 26-49% : Kurang dari setengah d. 50% : Setengahnya e. 51-75% : Sebagian besar f. 76-99% : Hampir seluruhnya g. 100% : Seluruhnya 34 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Desa Gayaman Mojoanyar Mojokerto Desa Gayaman merupakan bagian dari kecamatan Mojoanyar yang terdiri dari 2 dusun yaitu Dusun Gayaman dan Dusun Tambak Rejo. Dengan luas wilayah 201.635 Ha. Wilayah Desa Gayaman memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut a. Sebelah Utara : Desa Gebang Malang Kecamatan Mojoanyar b. Sebelah Timur : Desa Pacing Kecamatan Bangsal c. Sebelah Selatan : Desa Tambak Agung Kecamatan Puri d. Sebelah Barat : Desa Jabon Kecamatan Mojoanyar Dengan Jumlah penduduk Desa Gayaman pada tahun 2013 yaitu 4822 jiwa. Yang terdiri dari laki-laki 2424 jiwa dan perempuan 2398 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di desa Gayaman adalah 1379 jiwa, jumlah dari pasangan subur (PUS) sebanyak 876 jiwa dan jumlah dari wanita usia subur (WUS) sebanyak 644 jiwa. 2. Data Umum a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Tabel 3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Pendidikan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak Tamat SD 5 16.7 2 SD 3 10 3 SMP 13 43.3 4 SMA 9 30 5 PT / Akademi 0 0 Total 30 100 Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa sebagian kecil responden berpendidikan SMP yaitu sebanyak 13 responden (43.3%) b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Tabel 4 Distribusi frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Pekerjaan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak Bekerja 9 30 2 Wiraswasta 6 20 3 Swasta 15 50 4 PNS 0 0 Total 30 100 Berdasarkan tabel 4 didapatkan bahwa sebagian kecil responden bekerja swasta yaitu sebanyak 15 responden (50%) 3. Data Khusus a. Rumah Sehat Tabel 5 Distribusi frekuensi Berdasarkan Rumah Sehat di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Rumah Sehat Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Sehat 0 0 2 Tidak Sehat 30 100 Total 30 100 Berdasarkan tabel 5 didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki rumah yang tidak sehat yaitu sebanyak 30 responden (100%) 35 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 b. Komponen Rumah Sehat 1) Langit-Langit Tabel 6 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Langitlangit di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Langit-langit Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 14 56.6 2 Ada (kotor sulit dibersihkan dan 6 20.1 rawan kecelakaan) 3 Ada (bersih dan tidak rawan 10 33.3 kecelakaan) Total 30 100 Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa sebagian besar rumah tidak ada langi-langit yaitu sebanyak 14 rumah (56.6) 2) Dinding Tabel 7 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Dinding di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Dinding Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Bukan tembok (terbuat dari 2 18,1 anyaman bambu / ilalang) 2 Semi permanen / setengah 11 3.3 tembok/pasangan bata atau batu yang tidak di plester papan tidak kedap air 3 Permanen tembok / pasangan 14 56.6 batu bata yang diplester, papan kedap air Total 30 100 Berdasarkan tabel 7 didapatkan bahwa sebagian besar rumah memiliki dinding permanan tembok / pasangan batu bata yang diplester, papan kedap air yaitu sebanyak 14 rumah (56.6) 3) Lantai Tabel 8 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Lantai di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Lantai Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tanah 3 10 2 Papan / anyaman bamboo dekat 8 26.6 dengan tanah / plester yang cetak dan berdebu 3 Diplester / ubin keramik / papan 19 63.4 (rumah panggung) Total 30 100 Berdasarkan tabel 8 didapatkan bahwa sebagian besar rumah memiliki lantai diplester / ubin keramik / papan (rumah panggung) yaitu sebanyak 19 rumah (63.4%). 36 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 4) Jendela Kamar Tidur Tabel 9 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Jendela Kamar Tidur di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Jendela Kamar Tidur Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 6 20 2 Ada 24 80 Total 30 100 Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada jendela kamar tidur yaitu sebanyak 24 rumah (80%). 5) Jendela Ruang Keluarga Tabel 10 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Jendela Ruang Keluarga di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Jendela Ruang Keluarga Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 7 23.3 2 Ada 23 76.6 Total 30 100 Berdasarkan tabel 10 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 23 rumah (76.6%). 6) Ventilasi Tabel 11 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Ventilasi di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Ventilasi Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 2 6.6 2 Ada, luas ventilasi permanen 9 30.1 <10% dari luas lantai 3 Ada, luas ventilasi permanen 19 63.3 >10% dari luas lantai Total 30 100 Berdasarkan tabel 11 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada ventilasi, luas ventilasi permanen >10% dari luas lantai yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%) 7) Lubang Asap Dapur Tabel 12 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Lubang Asap Dapur di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Lubang Asap Dapur Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 11 36.7 2 Ada, lubang ventilasi dapur >10% 17 56.7 dari luas lantai dapur 3 Ada, lubang ventilasi dapur >10% 2 6.6 dari luas lantai dapur (asap keluar dengan sempurna) atau ada exhaust fan / ada peralatan lain yang sejenis Total 30 100 37 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Berdasarkan tabel 11 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada, lubang ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%) 8) Pencahayaan Tabel 12 Distribusi frekuensi Komponen Rumah Berdasarkan Pencahayaan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Pencahayaan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak terang (tidak dapat 4 13.4 digunakan untuk membaca) 2 Kurang terang, sehingga kurang 13 43.3 jelas untuk dipergunakan membaca dnegan normal 3 Terang dan tidak silau sehingga 13 43.3 dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal Total 30 1000 Berdasarkan tabel 12 didapatkan bahwa kurang dari setengah rumah memiliki pencahayaan kurang terang, sehingga kurang jelas untuk dipergunakan membaca dengan normal yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%). c. Sarana Sanitasi Rumah Sehat 1) Sarana Air Bersih Tabel 13 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Sumber Air Bersih di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Sumber Air Bersih Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 2 6.7 2 Ada, bukan milik sendiri dan tidak 7 23.3 memenuhi syarat 3 Ada, milik sendiri dan tidak 18 60 memenuhi syarat kesehatan 4 Ada, bukan milik sendiri dan 0 0 memenuhi syarat kesehatan 5 Ada, milik sendiri dan memenuhi 3 10 syarat kesehatan Total 30 100 Berdasarkan tabel 13 didapatkan bahwa sebagian besar rumah ada, milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 18 rumah (60%). 2) Jamban (Pembuangan Kotoran) Tabel 14 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Jamban (Pembuangan Kotoran) di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Jamban (Pembuangan Kotoran) Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak ada 6 20.1 2 Ada, bukan leher angsa, tidak ada 7 23.3 tutup, disalurkan ke sungai / kolam 3 Ada, bukan leher angsa ada di 3 10 38 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 No Jamban (Pembuangan Kotoran) Frekuensi (f) Prosentase (%) tutup (leher angsa), disalurkan ke sungai / kolam 4 Ada, bukan leher angsa ada tutup 1 3.3 septic tank 5 Ada, leher angsa, septic tank 13 43.3 Total 30 100 Berdasarkan tabel 14 didapatkan bahwa kurang dari setengah responden ada, leher angsa, septic tank yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%). 3) Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) Tabel 15 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 Sarana Pembuangan Air No Frekuensi (f) Prosentase (%) Limbah (SPAL) 1 Tidak ada, sehingga tergenang 5 16.7 tidak teratur di halaman rumah 2 Ada, diresapkan tetapi mencemari 7 23.3 sumber air (jarak dengan sumber 56.7air 10 m) 3 Ada, dialirkan ke selokan terbuka 17 56.7 4 Ada, di resapkan dan tidak 1 3.3 mencemari sumber air (jarak dengan sumur air >10 m) 5 Ada, disalurkan ke selokan 0 0 tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih lanjut Total 30 100 Berdasarkan tabel 15 didapatkan bahwa sebagian besar responden ada sarana air bersih, dialirkan ke selokan terbuka ada yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). 4) Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah) Tabel 16 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah) di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 Sarana Pembuangan Sampah No Frekuensi (f) Prosentase (%) (Tempat Sampah) 1 Tidak ada 6 20 2 Ada, tapi kedap air dan tidak ada 11 36.7 tutup 3 Ada, kedap air dan tidak bertutup 12 40 4 Ada, kedap air dan bertutup 1 3.3 Total 30 100 Berdasarkan tabel 16 didapatkan bahwa kurang dari setengah rumah ada sarana pembuangan sampah (tempat sampah) kedap air dan tidak bertutup yaitu sebanyak 12 rumah (40%). 39 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 5) Membersihkan Halaman Rumah Tabel 17 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Membersihkan Halaman Rumah di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 Membersihkan Halaman No Frekuensi (f) Prosentase (%) Rumah 1 Tidak pernah 0 0 2 Kadang-kadang 11 36.7 3 Setiap hari 19 63.3 Total 30 100 Berdasarkan tabel 17 didapatkan bahwa sebagian besar rumah setiap hari membersihkan halaman rumah yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%). 6) Membuang Tinja Bayi Dan Balita Ke Jamban Tabel 18 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Membuang Tinja Bayi Dan Balita Ke Jamban di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 Membuang Tinja Bayi dan No Frekuensi (f) Prosentase (%) Balita ke Jamban 1 Dibuang ke sungai kebun / kolam 12 40 / sembarangan 2 Kadnag-kadang ke jamban 17 56.7 3 Setiap hari ke jamban 1 3.3 Total 30 100 Berdasarkan tabel 18 didapatkan bahwa sebagian besar rumah kadnagkadang membuang tinja bayi dan balita ke jamban yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). 7) Membuang Sampah Ke Tempat Sampah Tabel 19 Distribusi frekuensi Sarana Sanitasi Rumah Sehat Berdasarkan Membuang Sampah Ke Tempat Sampah di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 Membuang Sampah Ke Tempat No Frekuensi (f) Prosentase (%) Sampah 1 Dibuang ke sungai kebun / kolam 10 33.3 sembarang 2 Kadang-kadang dibuang ke tempat 16 53.3 sampah 3 Setiap hari dibuang ke tempat 4 13.4 sampah Total 30 100 Berdasarkan tabel 19 didapatkan bahwa sebagian besar rumah kadangkadang membuang sampah ke tempat sampah yaitu sebanyak 16 rumah (53.3%). 40 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 d. Perilaku Penghuni Rumah Sehat 1) Membuka Jendela Kamar Tabel 20 Distribusi frekuensi Perilaku Penghuni Rumah Sehat Berdasarkan Membuka Jendela Kamar di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 No Membuka Jendela Kamar Frekuensi (f) Prosentase (%) 1 Tidak Pernah Dibuka 5 16.7 2 Kadang-kadang 11 36.7 3 Setiap Hari Dibuka 14 46.6 Total 30 100 Berdasarkan tabel 20 didapatkan bahwa kurang dari setengah rumah setiap hari membuka jendela kamar yaitu sebanyak 14 rumah (46.6%). 2) Membuka Jendela Ruang Keluarga Tabel 21 Distribusi frekuensi Perilaku Penghuni Rumah Sehat Berdasarkan Membuka Jendela Ruang Keluarga di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 05-10 Juni 2013 Membuka Jendela Ruang No Frekuensi (f) Prosentase (%) Keluarga 1 Tidak Pernah Dibuka 6 20 2 Kadang-kadang 19 63.3 3 Setiap Hari Dibuka 5 16.7 Total 30 100 Berdasarkan tabel 21 didapatkan bahwa sebagian besar rumah kadangkadang membuka jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%). E. PEMBAHASAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden memiliki rumah yang tidak sehat yaitu sebanyak 30 responden (100%). Menurut Wicaksono dalam undangundang nomor 4 tahun 1992, rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia (Tarigan, 2010). Menurut (Gunawan, 2009). Pembangunan gedung-gedung dan perumahan selain memerlukan perencanaan ynag memenuhi persyaratan teknis kontruksi, juga harus memperhatikan persyaratan kesehatan. persyaratan kedua ini secara teknis disebut higiene bangunan. Tujuannya, agar gedung atau perumahan tersebut dapat memenuhi kebutuhan akan kondisi tempat tinggal yang sehat (healthy) dan menyenangkan (comfortable), yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai rumah sehat. Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007). Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki rumah yang tidak sehat, keluarga yang mempunyai kriteria rumah yang tidak sehat juga dapat memungkinkan merugikan kesehatan keluarga. Dimana hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan dan status pekerjaan keluarga. 41 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tidak ada langit-langit yaitu sebanyak 14 rumah (56.6%). Menurut Sanropie, banyaknya ruangan di dalam rumah biasanya tergantung kepada jumlah penghuni. Banyaknya penghuni dalam suatu rumah akan menuntut jumlah ruangan yang banyak terutama ruang tidur (Tarigan, 2010). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar rumah tidak memiliki langit-langit. Rumah yang tidak memiliki langit-langit akan sulit untuk dibersihkan dan rawan akan kecelakaan. Sebagian besar rumah memiliki dinding permanan tembok / pasangan batu bata yang diplester, papan kedap air yaitu sebanyak 14 rumah (56.6%). Menurut Sanropie, fungsi dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap, dinding juga berfungsi untuk melindungi ruangan rumah dari gangguan, serangga, hujan dan angin, juga melindungi dari pengaruh panas dan angin dari luar. Bahan dinding yang paling baik adalah bahan yang tahan api, yaitu dinding dari batu (Tarigan 2010). Sebagian besar rumah memiliki dinding tembok atau pasangan batu bata, dimana rumah dengan dinding tembok atau pasangan batu bata lebih memiliki peranan untuk melingungi keluarga dari panas, angin dan hujan serta tidak mudah terbakar. Sebagian besar rumah memiliki lantai diplester / ubin keramik / papan (rumah panggung) yaitu sebanyak 19 rumah (63.4%). Menurut Sanropie, lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap penghuninya. Oleh karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah (Tarigan, 2010). Sebagian besar rumah memiliki lantai ubin / keramik, dimana rumah dengan lantai yang diplester / ubin dikaremik dapat menghindarkan penghuni rumah dari gangguan penyakit, selain hal tersebut rumah dengan lantai keramik lebih mudah untuk dibersihkan dan tidak dapat menyebabkan kelembaban lantai akibat hujan. Sebagian besar rumah ada jendela kamar tidur yaitu sebanyak 24 rumah (80%). Kelembapan udara dalam ruangan akan meningkat disebabkan oleh penguapan cairan oleh kulit dan pernafasan. Umumnya dipakai Peraturan Bangunan Nasional, yakni: Luas jendela / lubang udara paling sedikit 1 / 10 dari luas lantai ruangan dan 1 / 2 dari luas jendela atau lubang udara harus dapat dibuka (Tarigan, 2010). Sebagian besar rumah memiliki jendela pada kamar tidurnya, hal tersebut dapat menghindari penguapan pada daerah kamar, oleh karena itu diharapkan setiap rumah dapat memberikan jendela pada daerah kamar tidurnya. Sebagian besar rumah ada jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 23 rumah (76.6%). Jendela atau lubang harus meluas kearah atas sampai setinggi paling sedikit 1,95 meter diatas permukaan lantai (Tarigan, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar rumah memiliki jendela ruang keluarga, jendela merupakan sarana terpenting untuk ruang keluarga, dimana rumah yang memiliki jendela di ruang keluarga akan cukup mendapatkan sinar matahari pagi yang sangat mendukung terhadap kesehatan keluarga. Sebagian besar rumah ada ventilasi, luas ventilasi permanen >10% dari luas lantai yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%). Menurut Sanropie, ventilasi sangat penting untuk suatu rumah tinggal. Hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk udara yang bersih dan segar dari luar ke dalam ruangan dan keluarnya udara kotor dari dalam keluar (cross ventilation). Dengan adanya ventilasi silang (cross ventilation) akan terjamin adanya gerak udara yang lancar dalam ruangan. Fungsi kedua dari ventilasi adalah sebagai lubang masuknya cahaya dari luar seperti cahaya matahari, sehingga didalam rumah tidak gelap pada waktu pagi, siang hari maupun sore hari. Oleh karena itu untuk suatu rumah yang memenuhi syarat kesehatan, ventilasi mutlak harus ada (Tarigan, 2010). Ventilasi merupakan hal terpenting untuk setiap rumah dimana rumah 42 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 yang memiliki ventilasi yang cukup akan memiliki udara yang bersih dan segar dari luar ke dalam ruangan, oleh karena itu setiap rumah diharapkan mempunyai ventilasi yang cukup untuk pertukaran udara ataupun pemberian cahaya dari luar ke dalam rumah. Sebagian besar rumah ada, lubang ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). Menurut Sanropie, lubang hawa atau saluran angin dekat atau pada langit langit, luasnya paling sedikit 0,35%, dari luas lantai ruangan yang bersangkutan. Lubang ini berguna untuk mengeluarkan udara panas didalam ruangan tersebut (Tarigan, 2010). Sebagian besar rumah memiliki lubang ventilasi di daerah dapur, dimana dapur yang diberikan ventilasi akan dapat mengeluarkan udara panas yang ada di dalam dapur, atau cukup mendapatkan pertukaran udara segar dari luar. Kurang dari setengah rumah memiliki pencahayaan kurang terang, sehingga kurang jelas untuk dipergunakan membaca dengan normal yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%). Pencahayaan dalam ruangan dapat berupa pencahayaan alami dan atau buatan, yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan. Intensitas minimal pencahayaan dalam ruangan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan. Untuk penerangan didalam rumah (perumahan) sederhana paling sedikit adalah 200 watt (Machfoedz, 2008). Rumah yang memiliki pencahayaan kurang akan kesulitan bagi penghuni rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti halnya proses belajar atau pun membaca. Oleh karena itu diharapkan setiap rumah dapat memberikan pencahayaan yang cukup untuk mendukung kebutuhan proses belajar atau membaca. Sebagian besar rumah ada sarana air bersih, milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 18 rumah (60%). Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.416 / MENKES / PER / IX / 1990 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990). Air minum adalah air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum dan berasal dari penyediaan air minum sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar rumah memiliki sarana air bersih, dimana rumah yang memiliki sarana air bersih dapat terhindar penyakit, serta dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan hidup yang digunakan untuk minum ataupun keperluan lainnya. Kurang dari setengah responden ada, leher angsa, septic tank yaitu sebanyak 13 rumah (43.3%). Menurut Azwar, Kakus atau jamban adalah tempat yang dipakai manusia untuk melepaskan hajatnya. Adapun syarat-syarat dalam mendirikan kakus atau jamban yaitu harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindung dari pandangan dalam orang lain, terlindung dari panas atau hujan, serta terjamin privacy-nya. Dalam kehidupan sehari-hari, syarat ini dipenuhi dalam bentuk mengadakan ruangan sendiri untuk kakus di rumah ataupun mendirikan rumah kakus di pekarangan, bangunan kakus ditempatkan pada lokasi yang tidak sampai mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, serta tidak menjadi tempat hidupnya perbagai binatang (Tarigan, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengah responden memiliki septic tank, hal tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan penyemaran udara. Sebagian besar responden ada sarana air bersih, dialirkan ke selokan terbuka ada yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang tidak bersih dan mengandung pelbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia, hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia. Pada dasarnya pengolahan air limbah bertujuan untuk melindungi kesehatan anggota masyarakat dari ancaman berbagai penyakit. Ini disebabkan karena limbah sering dipakai sebagai tempat berkembang-biaknya berbagai macam bibit penyakit (Tarigan, 2010). Sebagian besar 43 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 rumah membuang air limbah ke selokan, hal tersebut dapat menyebabkan mudahnya anggota keluarga terserang penyakit pencemaran udara dari dalam selokan. Kurang dari setengah rumah ada sarana pembuangan sampah (tempat sampah) kedap air dan tidak bertutup yaitu sebanyak 12 rumah (40%). Menurut Entjang, tempat sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a) terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya (Tarigan, 2010). Sebagian besar rumah yang memiliki tempat sampah yang kedap air dapat menyebabkan mudahnya anggota keluarga terserang penyakit DBD akibat penumpukan sampah yang kedap air. Sebagian besar rumah setiap hari membersihkan halaman rumah yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%). Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari adanya intervensi dari serangga dan hama / hewan lain yang dapat menularkan penyakit. Agar dalam keadaan tidur tetap sehat diperlukan luas kamar tidur sekitar 5 meter persegi per kapita per luas lantai (Tarigan, 2010). Sebagian besar penghuni rumah setiap hari membersihkan rumah dengan menyapu halaman maupun di dalam rumah, karena dengan membersihkan rumah dapat menghindarkan penghuni rumah dari penyakit yang diakibatkan kurangnya kebersihan rumah. Sebagian besar rumah kadang-kadang membuang tinja bayi dan balita ke jamban yaitu sebanyak 17 rumah (56.7%). Air limbah atau air kotor atau air bekas ialah air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia, hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia (Tarigan, 2010). Hal tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia karena air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat. Oleh karena itu diharapkan penghuni rumah dapat membuang tinja bayi di tempat pembuangan tinja. Sebagian besar rumah kadang-kadang membuang sampah ke tempat sampah yaitu sebanyak 16 rumah (53.3%). Usaha yang diperlukan agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pengelolaan terhadap sampah, seperti penyimpanan (storage), pengumpulan (collection), dan pembuangan (disposal). Tempat sampah tiap-tiap rumah, isinya cukup 1 meter kubik. Tempat sampah sebaiknya tidak ditempatkan di dalam rumah atau di pojok dapur, karena akan menjadi gudang makanan bagi tikus-tikus dan rumah menjadi banyak tikusnya (Tarigan, 2010). Hal tersebut menyebabkan rumah dengan mudah untuk dihuni tikus-tikus karena sampah yang tidak dibuang ke tempat sampah merupakan salah satu gudang makanan bagi tikus-tikus, sehingga rumah menjadi sarang tikus. Kurang dari setengah rumah setiap hari membuka jendela kamar yaitu sebanyak 14 rumah (46.6%). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penghuni rumah setiap hari membuka jendela kamar, dimana keluarga yang memiliki kebiasaan untuk membuka jendela kamar dapat menghindarkan anggota keluarga terhadap penyakit yang disebabkan karena respirasi udara yang kebiasaan keluarga merokok dalam rumah. 44 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Sebagian besar rumah kadang-kadang membuka jendela ruang keluarga yaitu sebanyak 19 rumah (63.3%). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penghuni rumah setiap hari membuka jendela kamar, dimana keluarga yang memiliki kebiasaan untuk membuka jendela kamar dapat menghindarkan anggota keluarga terhadap penyakit yang disebabkan karena respirasi udara yang kebiasaan keluarga merokok dalam rumah atau obat pembasmi nyamuk dan lain-lain. F. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Gayaman dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki rumah yang tidak sehat yaitu sebanyak 30 responden (100%). B. Saran 1. Bagi Masyarakat Masyarakat diharapkan dapat lebih aktif mencari sumber informasi tentang hidup sehat serta dapat tinggal di rumah sehat dan bisa dilakukan pemberdayaan rumah sehat. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kinerja tenaga dan mensosialisasikan tentang pentingnya pemberdayaan rumah sehat. 3. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk menambah kajian pustaka terkait dengan pemberdayaan rumah sehat. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini khususnya pada faktor-faktor yang mempengaruhi rumah sehat secara analitik. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Adriyani, Retno. (2010). Penilaian Sanitasi Rumah. http://eprints.undip.ac.id/ 18058/1, diakses pada tanggal 17 Mei 2013 jam 09.45 WIB BPS, (2006). Karakteristik Masyarakat Yang Berpengaruh Terhadap Kesehatan. http://lontar.ui.ac.id, diakses pada tanggal 16 Mei 2013 jam 09.15 WIB. Depkes RI (2002). Profil Kesehatan Indonesiat. Jakarta : Depkes RI Depkes RI (2003). Profil Kesehatan Indonesiat. Jakarta : Depkes RI Depkes RI (2008). Profil Kesehatan Indonesiat. Jakarta : Depkes RI Faisal. (2010). Tesis Pengaruh Karakteristik Masyarakat terhadap Penerapan Rumah Sehat pada Wilayah Pesisir di Desa Pusong Lama Kota Lhokseumawe. http://lontar.ui.ac.id, diakses pada tanggal 16 Mei 2013 jam 09.15 WIB. Gunawan, Rudy (2009). Rencana Rumah Sehat. Yogyakarta : Yayasan Sarana Cipta. Hidayat, A. Aziz Alimul (2007). Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Hindarto, Probo (2007). Inspirasi Desain Rumah Indah. Jakarta : Andi Publisher 45 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Health Advcasy,( 2012). 75,1% Rumah Penduduk di Indonesia Tidak Sehat dalam http://healthadvocasy1.blogspot.com tanggal 16 april 2012 Disitasi tanggal 16 mei 2013 jam 07.57 WIB Mukono (2008). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. : Surabaya : Airlangga University Press. Machfoedz, Ircham. (2008). Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit Bagian dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Sanitasi Pedesaan & Perkotaan. Yogyakarta: Fitramaya Nursalam (2002). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Notoatmodjo (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo (2003). Promosi Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo (2004). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nazir (2005). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia Sarwono, Sarlito W. (2003). Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Refika Aditama. Sastra (2005). Kendala Dalam Pembangunan Perumahan. http://docs.google. com/viewer?azv&qchace:zqu.moif.bkl:repository.usu.ac.id/bitstrem/123456789, diakses pada tanggal 16 Mei 2013 jam 07.15 WIB. Sugiyono (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Tarigan, Roy A.( 2010). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Kepala Keluarga dengan Kepemilikan Rumah Sehat di Kabupaten Langkat pdf. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Pemukiman. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta WHO, 2004. 7 Kriteria Rumah Sehat. http://sehat.dazzle.co.id/7-kriteria-rumah-sehat/, disitasi tanggal 16 mei 2013 jam 07.57 WIB 46 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI PADA IBU POST PARTUM DI DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO KABUPATEN MOJOKERTO Farida Yuliani Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT In Indonesia showed 95% of children under 5 years old ever got breastfed. However, only 44% who got breastfed in the first hour after birth and only 62% who got breastfed in the first days after birth. The purpose of this research was conducted to determine the early initiation of suckling, in the village of Sooko Mojokerto district of Sooko conducted on May 6 to 6 June 2013. The research used descriptive research. The variables examined is early initiation of suckling's implementation. The population in this study as many as 14 respondents, how to capture sample using a nonprobability sampling in the form of saturated/total sampling. The data is then processed with the editting, coding, data entry, scoring, cleaning, release information, and tabulating. Data is analyzed using fisher's exact probability test. Results showed that respondents who got family support with implementing early initiation of suckling as many as 5 respondents (35,8%) and respondents who did not support the family by not implementing the early initiation of suckling as many as 7 respondents (50%). Breastfeeding mothers need support informational, emotional, instrumental, and the assessment of the family in the performance of early initiation of suckling. Families play a role in determining fluency reflex spending ASI which strongly influenced by emotional state or feeling of mother. Improvement of services to provide information and counseling especially in the elderly and the husband in providing motivation, perception, and attitudes to the mother about the importance of early breastfeeding initiation. Keywords: early, initiation, suckling. A. PENDAHULUAN Kematian bayi salah satunya disebabkan karena bayi mengalami hypothermia (kedinginan), dengan proses inisiasi menyusu dini diharapkan mampu mencegah bayi mengalami kedinginan sehingga bisa mengurangi angka kematian bayi. Skin to skin contact/ sentuhan kulit ibu dan bayi juga memberikan efek psikologis yang kuat antara ibu dan bayi akan merasa lebih tenang, pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil. Saat bayi merangkak mencari payudara ibu maka bayi akan menjilat-jilat kulit dada ibu dan menelan bakteri baik dari kulit ibu. Bakteri baik ini akan berkembangbiak di kulit dan usus bayi dan bertugas melindungi bayi dari bakteri yang lebih ganas dari lingkungan. Bayi mendapatkan kolostrum (ASI pertama) yang kaya akan antibodi (zat kekebalan tubuh), antibodi dalam ASI penting demi ketahanan terhadap infeksi sehingga menjamin kelangsungan hidup bayi. Sentuhan, dan jilatan bayi pada putting ibu akan merangsang keluarnya hormon oksitosin di otak, yaitu menyebabkan rahim ibu berkontraksi sehingga membantu mengeluarkan plasenta dan mengurangi perdarahan, merangsang hormon lain yang membuat ibu menjadi tenang, rileks, dan mencintai bayi sehingga membuat lebih kuat menahan sakit/nyeri, serta menimbulkan rasa bahagia, merangsang pengaliran ASI dari payudara sehingga ASI matang (yang berwarna putih) dapat lebih cepat keluar (Khasanah, 2011:74-79). Angka kematian bayi di seluruh dunia saat ini setiap tahunnya mencapai 4 juta jiwa. Pada data yang dirilis oleh United Nation of Children’s Fund (UNICEF) tahun 47 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2010, di Indonesia tercatat angka kematian bayi masih sangat tinggi yaitu 2% dari kematian bayi diseluruh dunia dan jumlah bayi yang meninggal adalah 17 tiap 1000 kelahiran hidup (Hidayat, 2012:5). Data di Dinas Kesehatan Jatim mencatat pada tahun 2010 AKB sebesar 28 per 1000 kelahiran hidup (Siska, 2011). Berdasarkan data yang dilaporkan pada Dinas Kesehatan Kota Mojokerto, kondisi AKB Kota Mojokerto menunjukkan kenaikan dari 7,7 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 menjadi 11,6 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Meskipun demikian, AKB Kota Mojokerto tahun 2010 masih lebih rendah jika dibandingkan dengan angka nasional yaitu 25,7 per 1.000 kelahiran hidup dan sudah memenuhi target MDG‟s untuk penurunan AKB sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Profil Dinkes Mojokerto, 2010:9). Penelitian Sose et al CIBA Foundation menunjukkan bahwa pada usia 6 bulan dan 1 tahun, bayi yang diberi kesempatan IMD hasilnya 59% dan 38% yang masih disusui. Bayi yang tidak diberi kesempatan IMD 29% dan 8% yang masih disusui (Roesli, 2012:6). Di Indonesia menunjukkan 95% anak dibawah umur 5 tahun pernah mendapat ASI. Namun, hanya 44% yang mendapat ASI 1 jam pertama setelah lahir dan hanya 62% yang mendapat ASI dalam hari pertama setelah lahir (Hidayat, 2012:5). Riset Kesehatan Dasar (2010) menyebut, bayi yang mendapat ASI eksklusif hingga umur 6 bulan baru 15,3 persen. Inisiasi menyusui dini yang dilakukan kurang dari 1 jam setelah bayi lahir hanya 29,3 persen. Menyusui dini kurang dari 1 jam lebih banyak dilakukan ibu di pedesaan dengan tingkat ekonomi rendah. Bahkan, 11,1 persen ibu baru menyusui setelah bayi berumur lebih dari 48 jam (Ivanitha, 2012). Studi Pendahuluan yang di lakukan tanggal 26 Februari 2013 di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto yang mendapat dukungan keluarga 3 orang dan yang tidak mendapat dukungan 7 orang, sedangkan yang melakukan inisiasi menyusu dini 3 orang dan yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini 7 orang. Menyusui dini pada bayi akan mengakibatkan proses lekat (early infant-mother bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi sehingga bayi akan merasa aman dan terlindung. Menyusui dini merupakan dasar terbentuknya rasa percaya diri pada anak, sedangkan ibu akan merasa bangga dan percaya diri karena dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri. Kegagalan menyusui sering disebabkan karena tidak menyusui dini pada satu jam pertama kelahiran. Bidan maupun perawat sebagai tenaga medis terdepan di tengah masyarakat dapat meningkatkan usaha preventif dan promotif payudara dengan jalan mengajarkan pemeliharaan payudara, cara memberikan ASI yang benar, memberikan ASI jangan pilih kasih kiri dan kanan harus sama perlakuannya dan diberikan sampai payudara kempes. Beberapa faktor penyebab yang diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu bayi yang kurang, sikap dan dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta tenaga kesehatan yang kurang menyampaikan mengenai pentingnya IMD setelah dilakukan persalinan baik secara langsung (penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang poster dan membagikan leaflet), karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan dokter (Ryan, 2012). Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengkaji tentang pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada ibu post partum di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto. 48 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Inisiasi Menyusu Dini a. Pengertian Inisiasi menyusu dini adalah permulaan yang awal bayi yang baru keluar dari rahim ibunya, kemudian merangkak di dada sang ibu dengan susah payah untuk mencari air susu dari putting ibu (Khasanah, 2011:70). Inisiasi menyusu dini (early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir (Roesli, 2012:3). b. Tahap-Tahap dalam Inisiasi Menyusu Dini 1) Dalam proses melahirkan, ibu disarankan untuk mengurangi atau tidak menggunakan obat kimiawi. Jika ia menggunakan obat kimiawi terlalu banyak dikhawatirkan akan mencemari ASI kepada bayi yang akan menyusu dalam proses inisiasi menyusu dini. 2) Para petugas kesehatan yang membantu ibu dalam menjalani proses melahirkan akan melakukan kegiatan penanganan kelahiran seperti biasanya. Begitupula jika ia harus menjalani operasi Caesar. 3) Setelah lahir, bayi tidak perlu dimandikan dan ditimbang terlebih dahulu. Bayi secepatnya dikeringkan seperlunya, terutama kepala kecuali tangannya tanpa menghilangkan vernix (kulit putih) pada mulut dan hidung bayi dibersihkan, karena vernix membuat nyaman kulit bayi, serta tali pusat diikat. 4) Kemudian, bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu dengan kulit bayi melekat pada kulitnya, dan mata bayi setinggi puting payudara. Jika perlu bayi dan ibu diselimuti. 5) Bayi yang ditengkurapkan di dada atau perut ibu dibiarkan untuk mencari sendiri puting payudara ibunya. Bayi tidak dipaksakan untuk mendapatkan putting payudara karena pada dasarnya, bayi memiliki naluri yang kuat untuk mencari puting payudaranya. 6) Saat bayi dibiarkan untuk mencari puting payudara ibunya, ibu perlu didukung dan dibantu untuk mengenali perilaku bayi sebelum menyusu. Posisi ibu yang berbaring mungkin tidak dapat mengamati dengan jelas apa saja yang dilakukan oleh bayi. Oleh karena itu, sebaiknya di tambahkan bantal yang cukup tinggi di bagian kepala ibu. 7) Bayi dibiarkan tetap dalam posisi kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu selama paling tidak 1 jam, bila menyusu awal terjadi sebelum 1 jam dan tetap biarkan kulit ibu dan bayi bersentuhan sampai setidaknya 1 jam. Jika dalam 1 jam menyusu awal belum terjadi, bantu ibu dengan mendekatkan bayi ke puting, tetapi jangan memasukkan puting ke mulut bayi. Beri waktu 30 menit atau 1 jam lagi kepada bayi untuk mencari puting payudara ibunya. 8) Setelah selesai menyusu awal, bayi baru dipisahkan untuk dimandikan, ditimbang, diukur, diberi vitamin K, dan tetes mata. 9) Ibu dan bayi tetap bersama dan dirawat gabung. Rawat gabung memungkinkan ibu menyusui bayinya kapan saja si bayi menginginkannya karena kegiatan menyusu tidak boleh dijadwal. Rawat gabung juga akan meningkatkan ikatan batin antara ibu dan bayinya sehingga bayi jarang menangis karena selalu dekat dengan ibunya. Selain itu, rawat gabung juga dapat memudahkan ibu untuk beristirahat dan menyusui. (Khasanah, 2011:70-72) 49 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 c. Manfaat Inisiasi Menyusu Dini 1) Bagi Ibu a) Hentakkan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di putting susu dan sekitarnya, emutan, dan jilatan bayi pada putting ibu merangsang pengeluaran hormon oksitosin. Pentingnya hormon oksitosin, yaitu : Membantu rahim berkontraksi sehingga membantu pengeluaran ari-ari (plasenta) dan mengurangi perdarahan ibu. Merangsang produksi hormon lain yang membuat ibu menjadi lebih rileks, lebih mencintai bayinya, meningkatkan ambang nyeri, dan perasaan sangat bahagia. Merangsang pengaliran ASI dari payudara. b) Bonding (ikatan kasih sayang) antara ibu dan bayi akan lebih baik karena pada 1-2 jam pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu, biasanya bayi tidur dalam waktu yang lama. c) Ibu dan ayah akan merasa sangat bahagia bertemu dengan bayinya untuk pertama kali dalam kondisi seperti ini. Bahkan, ayah mendapat kesempatan mengadzankan anaknya di dada ibunya. d) Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernafasan dan detak jantung bayi lebih stabil. 2) Bagi Bayi a) Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan (hypothermia). b) Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit ibunya dan ia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri baik di kulit ibu. Bakteri baik ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit dan usus bayi, menyaingi bakteri jahat dari lingkungan. c) Makanan awal non-ASI mengandung zat putih telor yang bukan berasal dari susu manusia, misalnya susu hewan. Hal ini dapat mengganggu pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal. d) Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusui eksklusif dan akan lebih lama disusui. e) Bayi mendapatkan ASI dari kolostrum (ASI yang pertama kali keluar). Kolostrum ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, penting untuk ketahanan terhadap infeksi, penting untuk pertumbuhan usus, bahkan kelangsungan hidup bayi. Kolostrum akan membuat lapisan yang melindungi dinding usus bayi yang masih belum matang sekaligus untuk mematangkan dinding usus bayi. (Roesli, 2012:13-14) d. Persiapan Melakukan Inisiasi Menyusu Dini 1) Pertemuan pimpinan rumah sakit, dokter kebidanan, dokter anak, dokter anatesi, bidan, tenaga kesehatan yang bertugas di kamar bersalin, kamar operasi, kamar perawatan ibu melahirkan untuk menyosialisasikan Rumah Sakit Sayang Bayi yang direvisi 2006. 2) Melatih tenaga kesehatan terkait yang dapat menolong, mendukung ibu menyusui, termasuk menolong inisiasi menyusu dini yang benar. 3) Setidaknya antenatal (ibu hamil), dua kali pertemuan tenaga kesehatan bersama orang tua, membahas keuntungan ASI dan menyusui, tatalaksana menyusui yang benar, inisiasi menyusu dini termasuk inisiasi dini pada kelahiran dengan obat-obatan atau tindakan. 50 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 4) Di Rumah Sakit Ibu Sayang Bayi, inisiasi menyusu dini termasuk langkah ke-4 dari 10 langkah keberhasilan menyusui. (Roesli, 2012:15-16) e. Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini 1) Tatalaksana inisiasi menyusu dini secara umum a) Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan. b) Disarankan untuk tidak atau mengurangi penggunaan obat kimiawi saat persalinan. Dapat diganti dengan cara non-kimiawi, misalnya pijat, aromaterapi, gerakan, atau hypnobirthing. c) Biarkan ibu menentukan cara melahirkan yang diinginkan, misalnya melahirkan normal, di dalam air, atau dengan jongkok. d) Seluruh badan dan kepala bayi di keringkan secepatnya, kecuali kedua tangannya. Lemak putih (vernix) yang menyamankan kulit bayi sebaiknya dibiarkan. e) Bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu. Biarkan kulit bayi melekat dengan kulit ibu. Posisi kontak kulit dengan kulit ini dipertahankan minimum satu jam atau setelah menyusu awal selesai, keduanya diselimuti dan jika perlu gunakan topi. f) Bayi dibiarkan mencari puting susu ibu. Ibu dapat merangsang bayi dengan sentuhan lembut, tetapi tidak memaksakan bayi ke puting susu. g) Ayah didukung agar membantu ibu untuk mengenali tanda-tanda atau prilaku bayi sebelum menyusu. h) Dianjurkan untuk memberi kesempatan kontak kulit dengan kulit pada ibu yang melahirkan dengan tindakan, misalnya operasi Caesar. i) Bayi dipisahkan dari ibu untuk ditimbang, diukur, dan dicap setelah satu jam atau setelah menyusu awal selesai. Prosedur invasive, misalnya suntikan vitamin K dan tetesan mata bayi dapat ditunda. j) Rawat Gabung (ibu dan bayi dirawat dalam satu kamar). Selama 24 jam ibu dan bayi tetap tidak dipisahkan dan bayi selalu dalam jangkauan ibu. 2) Tatalaksana inisiasi menyusu dini pada operasi Caesar a) Tenaga dan pelayanan kesehatan yang suportif. b) Jika mungkin, diusahakan suhu ruangan 20°-25° C. Disediakan selimut untuk menutupi punggung bayi dan badan ibu. Disiapkan juga topi bayi untuk mengurangi hilangnya panas dari kepala bayi. c) Jika inisiasi dini belum terjadi di kamar bersalin, kamar operasi, atau bayi harus dipindah sebelum satu jam maka bayi tetap diletakkan di dada ibu ketika dipindahkan kekamar perawatan atau pemulihan. Menyusu dini dilanjutkan di kamar perawatan ibu atau kamar pulih. (Roesli, 2012:22) f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inisiasi Menyusu Dini Faktor penyebab yang diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu bayi yang kurang, sikap dan dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta tenaga kesehatan yang kurang menyampaikan mengenai pentingnya IMD setelah dilakukan persalinan baik secara langsung (penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang poster dan membagikan leaflet), karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan dokter (Ryan, 2012). 51 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu penelitian yang digunakan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode deskripsi digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Notoatmodjo, 2002). 2. Kerangka Konseptual. Faktor–faktor yang mempengaruhi inisiasi menyusu dini: 1. Pengetahuan ibu 2. Sikap keluarga 3. Dukungan keluarga 4. Tenaga kesehatan 5. Tempat pelayanan Jenis Dukungan Keluarga : Ibu Post Partum 1. Dukungan instrumental 2. Dukungan informasional 3. Dukungan penilaian 4. Dukungan emosional Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Ya Tidak Keterangan : : diteliti : tidak diteliti Gambar 1 Kerangka Konseptual Inisiasi Menyusu Dini Pada ibu post partum di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto. 3. Variabel, Definisi Operasional Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen (bebas) serta variabel dependen (terkait). Tabel 1 Definisi Operasional Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum di Desa Sooko Kecamatan SookoKabupaten Mojokerto Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala Pelaksanaan Inisiasi menyusu dini 1) Melakukan: jika dalam 30 Nominal inisiasi (early initiation) atau menit-1 jam menyusu dini permulaan menyusu 2) Tidak melakukan: jika > 1 pada ibu post dini adalah bayi jam partum mulai menyusu (Khasanah, 2011:72) sendiri segera setelah lahir. Alat ukur lembar observasi. 4. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu post partum di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto sebanyak 42 responden yang didapat dari bulan November 2012-Januari 2013 dan rata-rata tiap bulannya sebanyak 14 52 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 responden. Jumlah sampel sebanyak 14 responden. Sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2010:81). Dalam penelitian ini cara pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dalam bentuk sampling jenuh/total sampling yaitu pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel. 5. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan questionaire. Instrumen pengukuran variabel pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada ibu post partum menggunakan lembar observasi. 6. Teknik Pengolahan Data Data kemudian diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut : a. Editing Adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data. b. Coding Adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden kedalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban. 1) Data umum a) Kode umur ibu 1 = Kurang dari 20 tahun 2 = 20 – 35 tahun 3 = Lebih dari 35 tahun b) Kode pendidikan ibu 1 = SD 2 = SMP 3 = SMA 4 = Akademi/PT c) Kode pekerjaan ibu 1 = Bekerja 2 = Tidak bekerja d) Kode paritas 1 = Primipara 2 = Multipara 2) Data khusus a) Kode dukungan keluarga 1 = Mendukung 0 = Tidak mendukung b) Kode pelaksanaan inisiasi menyusu dini 1 = Ya 0 = Tidak c. Scoring Yakni mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode atau kartu kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan. d. Entry Data Adalah jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Memasukkan 53 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 data boleh dengan cara manual atau melalui pengolahan komputer (program SPSS for windows). e. Cleaning Pembersihan data, lihat variabel apakah data sudah benar atau belum. f. Mengeluarkan informasi Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan. g. Tabulating Memasukkan data kedalam tabel-tabel dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori (Nursalam, 2008). Menurut Setiadi (2007:89-90) dalam membaca bab kesimpulan atau tabel menggunakan skala sebagai berikut : 79% - 100%, maka dikatakan baik (sebagian besar) 56% - 78%, maka dikatakan cukup (rata-rata) < 56%, maka dikatakan kurang (sebagian kecil) Pada variabel pelaksanaan inisiasi menyusu dini yang dinilai yaitu, definisi, manfaat dan tatalaksana inisiasi menyusu dini dengan menggunakan alat ukur questionare. Jumlah nilai yang diperoleh subjek dimasukkan dalam rumus: p= X 100 % Keterangan : p : presentase (%) n : jumlah skor maximal f : jumlah jawaban yang benar (Setiadi, 2007:80) D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Desa Sooko Desa Sooko merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto dengan ketinggian geografi tepat dari permukaan laut 35 mdl, curah hujan rata-rata per tahun 1100 mm/thn dengan suhu rata-rata 370 C. Batas Desa Sooko antara lain sebelah utara dibatasi dengan Desa Jampirogo, sebelah selatan dibatasi dengan Desa Blimbing Sari, sebelah barat dibatasi dengan Desa Kedung Maling, dan sebelah Timur dibatasi dengan Desa Puri. Jumlah penduduk sebanyak 18.328 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 33.112 orang dan perempuan sebanyak 32.585 orang dengan jumlah KK sebanyak 2913 KK. Sarana kesehatan yang dimiliki antara lain 3 buah poliklinik atau BPS, 14 buah posyandu dan 5 dokter praktek. Berdasarkan data yang diperoleh dari data sekunder mulai dari November 2012-Januari 2013 jumlah ibu hamil di Desa Sooko sebanyak 22 ibu hamil, 14 ibu nifas dan 35 balita. 2. Data Hasil Penelitian a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Responden Tabel 2 No. 1. 2. 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013. Usia Frekuensi (f) Prosentase (%) < 20 tahun 1 7,1 20-35 tahun 12 85,8 >35 tahun 1 7,1 Jumlah 14 100 54 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun sebanyak 12 responden (85,8%). b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Responden Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013. No. Pendidikan Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. SD 0 0 2. SMP 2 14,3 3. SMA 9 64,3 4. Akademi / PT 3 21,4 Jumlah 14 100 Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa rata-rata responden berpendidikan SMA sebanyak 9 responden (64,3%). c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden Tabel 4 No. 1. 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013. Pekerjaan Frekuensi (f) Prosentase (%) Bekerja Tidak bekerja 8 6 57,1 42,9 Jumlah 14 100 Berdasarkan tabel 4 didapatkan bahwa rata-rata dari responden yang bekerja sebanyak 8 responden (57,1%). d. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas Responden Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas Responden Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013. No. Paritas Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Primipara 5 35,7 2. Multipara 9 64,3 Jumlah 14 100 Berdasarkan tabel 5 didapatkan bahwa rata-rata dari responden dengan paritas multipara sebanyak 9 responden (64,3%). e. Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Tabel 6 No. 1. 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto Pada Tanggal 06 Mei – 06 Juni 2013. Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Frekuensi (f) Prosentase (%) Ya 6 42,9 Tidak 8 57,1 Jumlah 14 100 55 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa rata-rata responden yang tidak melaksanakan inisiasi menyusu dini sebanyak 8 responden (57,1%). E. PEMBAHASAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa rata-rata responden yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto sebanyak 8 responden (57,1%). Menyusui dini merupakan dasar terbentuknya rasa percaya diri pada anak, sedangkan ibu akan merasa bangga dan percaya diri karena dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri. Kegagalan menyusui sering disebabkan karena tidak menyusui dini pada satu jam pertama kelahiran. Beberapa faktor penyebab yang diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu bayi yang kurang, sikap dan dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta tenaga kesehatan yang kurang menyampaikan mengenai pentingnya IMD, karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan dokter (Ryan, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak melakukan inisiasi menyusu dini karena responden tidak melakukan inisiasi menyusu dini karena kolostrum basi dan merasa takut bayinya akan kedinginan. Gencarnya promosi susu formula dengan berbagai merk dan keunggulan sehingga ibu bisa memilih susu yang terbaik buat bayinya karena ibu menginginkan bayinya tumbuh dengan sehat dan gemuk. Ibu yang merasa risih karena badannya terkena darah dan cairan ketuban sehingga ibu tidak melakukan inisiasi menyusu dini. Keberadaan keluarga di dalam ruang bersalin sebagian besar karena ingin memberikan dukungan emosional kepada ibu atau karena mereka ingin ada secara fisik sehingga dapat memberikan persetujuannya sewaktu-waktu jika pada saat persalinan diperlukan tindakan lebih jauh oleh penolong persalinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bahwa responden tidak dapat mendapat dukungan dari keluarga, baik seara informasional maupun emosional salah satunya, yaitu keluarga yang tidak pernah menceritakan pengalaman inisiasi menyusu dininya pada ibu, serta tidak adanya dukungan dalam hal perhatian dan simpati dari keluarganya saat melakukan inisiasi menyusu dini disebabkan karena keluarga responden masih percaya dengan mitos-mitos yang beredar seperti bayi akan kedinginan, ibu akan kelelahan setelah proses melahirkan, ibu harus dijahit, bayi kurang siaga dan kolostrum tidak baik. Suami yang lebih menyarankan untuk memberikan susu formula karena takut kurang dan tidak kenyang jika ASI saja yang diberikan pada bayinya. Sebagian besar responden berumur 20-35 tahun sebanyak 12 responden (85,8%). Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik (Subagio, 2012). Sebagian besar ibu tergolong usia reproduktif pada usia ini ibu bisa menentukan dan mengambil keputusan yang terbaik terhadap dirinya, tetapi ibu cenderung untuk tidak melakukan inisiasi menyusu dini dikarenakan ibu mempercayai bahwa orang yang lebih dewasa memiliki pengalaman yang banyak, misalnya mereka menganggap kalau kolostrum itu basi dan harus dibuang. Ibu yang terlalu sibuk mengurusi keperluan persiapan bayi dan persalinannya sehingga ibu kurang berpikir panjang dan matang dalam mengambil keputusan untuk melakukan inisiasi menyusu dini. Ibu menganggap bahwa air susunya tidak akan keluar dengan lancar karena usianya yang sudah tergolong tua. 56 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Rata-rata responden berpendidikan SMA sebanyak 9 responden (64,3%). Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan (Subagio, 2012). Ibu yang berpendidikan tinggi lebih menyadari keuntungan pelaksanaan inisiasi menyusu dini dan termotivasi memiliki kesempatan untuk mendapat informasi tentang pelaksanaan inisiasi menyusu dini lebih banyak dari keluarganya baik dari suami, orang tua, maupun kerabat dekat sehingga lebih memudahkan untuk melakukan inisiasi menyusu dini. Promosi susu formula menyebabkan ibu tersebut tidak melakukan inisiasi menyusu dini karena ibu menganggap susu formula memiliki zat gizi yang lebih baik, selain itu ibu menginginkan yang terbaik buat anaknya. Rata-rata dari responden yang bekerja sebanyak 8 responden (57,1%). Menurut Thomas dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang menbosankan, berulang dan banyak tantangan, sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Wawan, Dewi 2011:17). Ibu yang tidak bekerja akan memiliki waktu lebih banyak untuk mendapat informasi inisiasi menyusu dini karena ibu sering berkomunikasi dengan keluarganya. Ibu yang tidak bekerja cenderung kurang mendapat informasi inisiasi menyusu dini karena ibu memiliki keterbatasan waktu, dan lebih efisien bila diberikan PASI sebab ibu menganggap tidak perlu repot-repot untuk memompa air susunya dan ibu bisa lebih fokus dengan pekerjaannya. Ibu merasa mempunyai uang sendiri dari hasil bekerjanya sehingga ibu bisa membeli susu yang terbaik buat anaknya supaya bisa tumbuh dan berkembang dengan sehat seperti yang ibu inginkan. Rata-rata dari responden dengan paritas mulitipara sebanyak 9 responden (64,3%). Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin hidup, bukan jumlah janin yang dilahirkan. Janin yang lahir hidup atau mati setelah viabilitas (kapasitas untuk hidup di luar uterus) dicapai, tidak mempengaruhi paritas (Bobak, 2005:104). Rata-rata dari responden dengan paritas multipara yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini dikarenakan dari pengalaman inisiasi menyusu dini ibu sebelumnya yang tidak berhasil, tidak adanya kebiasaan menyusui dalam keluarganya, tenaga medis yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini karena bayi tidak bisa menangis sehingga harus diberikan rangsangan taktil, dan suami lebih menganjurkan memberikan PASI. Puting susu ibu yang tidak menonjol dan ASI yang tidak keluar dengan lancar karena ibu menganggap terlalu sering menyusui pada anak sebelumnya. F. PENUTUP A. Simpulan Hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto yang dilaksanakan tanggal 6 Mei-6 Juni 2013 pada 14 responden dapat disimpulkan bahwa Rata-rata responden yang tidak melaksanakan inisiasi menyusu dini di Desa Sooko Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto adalah sebanyak 8 responden (57,1%). 57 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 B. Saran 1. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan agar lebih mengembangkan lagi penelitian ini dengan meneliti faktor-faktor lain yang berhubungan, misalnya sikap, pengetahuan, dukungan tenaga kesehatan dan tempat pelayanan dengan inisiasi menyusu dini agar hasil penelitian bisa lebih baik lagi. 2. Bagi Teoritis a. Bagi Institusi (Pendidikan) Diharapkan dapat lebih mengembangkan materi tentang inisiasi menyusu dini dengan cara mengadakan seminar di kampus agar mahasiswa dapat memperoleh informasi yang lebih tentang inisiasi menyusu dini atau menambah literatur kepustakaan yang dilengkapi dengan stimulasi/tata cara inisiasi menyusu dini sehingga lebih mudah untuk dipelajari oleh mahasiswa. b. Bagi Keilmuan (Responden) Diharapkan pada responden agar lebih meningkatkan informasi yang diterima dari penyuluhan maupun diskusi dengan tenaga kesehatan sehingga responden bisa mengaplikasikan pada dirinya sendiri. 3. Bagi Praktisi a. Bagi Institusi (Tempat Penelitian) Diharapkan pada tempat penelitian untuk melakukan pelayanannya sesuai dengan protap, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada ibu post partum. b. Bagi Keilmuan (Tenaga kesehatan) Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan terutama pada pemberian informasi dan konseling dengan cara penyuluhan dan membagikan brosur/leaflet, khususnya tentang dukungan keluarga dengan pelaksanaan inisiasi menyusu dini. DAFTAR PUSTAKA Bobak, 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC. Dewi, Wawan, 2011. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. DinKes Mojokerto, 2010. Profil Kesehatan Kota Mojokerto. (http://profildinkesmojokerto2010.com di akses tanggal 15 Februari 2013). Fajar, Ibnu, dkk, 2009. Statistika untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Ginting, 2012. “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Optimisme Pada Penderita Kanker Serviks”. (http://repository.upi.edu di akses tanggal 1 Maret 2013). Hidayat, 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hidayat, 2012. “Perbandingan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Berdasar Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil”. Jurnal Media Medika Muda.Universitas Diponegoro Semarang. Inayati, 2009. Inisiasi Menyusu Dini. (http://innanoorinayati.blogspot.com di akses tanggal 23 April 2013). Ivanitha, 2012. Pentingnya ASI Eksklusif. (http://ivanitha-kesehatan.blogspot.com di akses tanggal 15 Februari 2013). JNPK-KR, 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta: JNPK-KR. Khasanah, 2011. ASI atau Susu Formula Ya?. Yogyakarta: FlashBooks. Maritalia Dewi, 2012. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 58 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Muhlisin, 2012. Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Notoadmodjo, 2010. Metode Penelitian Kesehatan . Jakarta : Rineka Cipta. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Ilmu Keperawatan . Jakarta: Salemba Medhika. Rahayu, 2012. Dukungan Keluarga dalam Menurunkan Kecemasan Pasien Pra Pemasangan Water-Sealed. (http://repository.library.uksw.edu, di akses tanggal 5 Juli 2013). Roesli, 2012. Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. Ryan, 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Inisiasi Menyusu Dini pada Ibu Post Partum . (http://ryan75800‟sProfileonPing.sg, di akses tanggal 15 Februari 2013). Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan . Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiadi, 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu. Siska, 2011. Dinkes Jatim Akomodir Bidan Praktik Swasta untuk Jampersal. (http://mediabidan.com di akses tanggal 15 Februari 2013). Subagio, 2012. Konsep Dasar Dukungan Keluarga. (http://adivancha.blogspot.com di akses tanggal 22 Februari 2013). Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sulistyawati, 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas, Yogyakarta: CV Andi Offset. Sunarsih, Dewi, 2011. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba Medika. Wulandari, 2013. Pentingnya IMD. (http://pentingnyaimd.blogspot.com, di akses Tanggal 30 Januari 2013). . 59 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 PENGARUH PENDIDIKAN, PARITAS, PENGETAHUAN, PERSEPSI TERHADAP SIKAP MENYUSUI PADA IBU BEKERJA DI INSTANSI PEMERINTAH (STUDI DI SKPD PROPINSI JAWA TIMUR) Maria Ratnawati Mahasiswa Program Magister Prodi IKM FKM Unair ABSTRACT One of the determinant discontinued of exclusive breastfeeding practices is working mother. Factors of working mothers are initiation, workplace factor and social support. The study analyzed determinant of exclusive breastfeeding practice among working mothers such as mother’s behavior; facilities and workplace factors; and social supports.This cross sectional study collected using self-administered questionnaires by respondents. The number of samples was 56 working mothers who have 6-24 month children. The result was analyzed using logistic regression. Results showed that knowledge affect attitude; parity affect subjective norm, but none of them significantly affecting self efficacy. self-efficacy affect initiation. Result of multivariate analysis determined exclusive breastfeeding among working mothers were employee and co-worker support, maternity leave, and chances given to breast pump. The East Java Government was recommended to implementation of the government role such as allow mother flexible time to express breast milk, supporting lactation room in the workplace and a refrigerator and giving maternity leave until 3 month after postpartum. Keyword : exclusive breastfeeding, working mother, workplace factor A. PENDAHULUAN Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi anak usia dini (usia 0-24 bulan). World Health Organization (2002) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif atau hanya ASI saja sesaat setelah lahir sampai bayi usia 6 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan tetap melanjutkan pemberian ASI sampai 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan (Depkes, 2012). Manfaat ASI sudah diakui secara luas penting bagi anak, ibu dan masyarakat. Serangkaian penelitian yang telah dilakukan di Negara maju telah menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak disusui minimal 6 bulan akan mengalami lebih dari 3,5 kali resiko dirawat di Rumah Sakit karena infeksi pernafasan seperti pneumonia atau asma, resiko terserang diare 2 kali, resiko terserang infeksi telinga 1,6 kali dan 1,5 kali akan mengalami obesitas saat anak-anak (Li, 2008). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat kecil, hasil Riskesdas Tahun 2010 persentase menyusui eksklusif di Indonesia semakin menurun berdasarkan tingkatan usia bayi, pada usia 0 bulan 39,8% dan pada usia 5 bulan menurun menjadi 15,3%. Hal itu dikarenakan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini dan pemberian susu formula, sedangkan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur lebih tinggi dari cakupan ASI eksklusif di Indonesia, namun masih jauh dari target Pemberian ASI eksklusif Depkes RI sebesar 80%. Angka cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur mulai Tahun 2008 (44,52%) turun menjadi 30,72% pada tahun 2009 dan 31,21% pada tahun 2010. (Depkes, 2010; Dinkes Prov Jatim, 2010) Banyak penelitian tentang faktor kegagalan pemberian ASI eksklusif, diantaranya penelitian oleh Hikmawati (2008) bahwa probabilitas ibu melahirkan yang gagal memberikan ASI sebesar 80% apabila ibu tersebut bekerja. Beberapa faktor penyebab kegagalan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja adalah tidak adanya pusat informasi program ASI eksklusif dan manajemen laktasi yang benar, terlalu gencarnya promosi susu formula dan 60 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 pendeknya sistem cuti bersalin yang hanya 3 bulan yang diberlakukan dengan sistem 1,5 bulan diambil sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, kurangnya dukungan tempat kerja, pendeknya waktu istirahat saat bekerja (tidak cukup waktu memerah ASI), tidak adanya ruangan untuk memerah ASI, pertentangan keinginan ibu antara mempertahankan prestasi kerja dan produksi ASI (Roesli, 2000; Wilar, 2010). Kegagalan pemberian ASI eksklusif selain disebabkan oleh faktor pekerjaan juga bisa disebabkan karena faktor individu ibu. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior yang dikemukakan Ajzen (1991) dalam Montano & Kasprzyk (2008) mengasumsikan bahwa determinan langsung yang paling penting dari perilaku adalah niat. TRA dan TPB menganggap sebab akibat yang menghubungkan niat perilaku adalah sikap, norma subyektif dan kontrol yang dirasakan. Menurut The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) (2013), untuk keberhasilan menyusui seorang ibu perlu dukungan dari berbagai pihak, yaitu dari keluarga, teman, masyarakat dan pemerintah. Adanya dukungan dari berbagai pihak tersebut diharapkan dapat mengurangi berbagai tantangan yang dihadapi ibu menyusui, seperti mengatasi kurangnya informasi dan yang paling penting adalah mengatasi keraguan atas kemampuan menyusui bayinya. Penelitian tentang ibu bekerja dan menyusui telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Salah satunya penelitian dari Kimboro (2006) menyebutkan bahwa ibu yang memutuskan kembali bekerja setelah melahirkan akan mengurangi inisiasi untuk menyusui, waktu berhenti menyusui bertepatan dengan waktu kembali bekerja. Penelitian Ogbuanu (2011) menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara waktu kembali bekerja dengan insiasi menyusui pada ibu bekerja. Ibu yang kembali bekerja setelah 13 minggu pasca melahirkan mempunyai kemungkinan menyusui predominan lebih dari 3 bulan. Beberapa ibu yang bekerja dan memiliki bayi dihadapkan pada konflik antara kerja dan peran keluarga. Kerangka teoritis klasik Greenhaus dan Beutell‟s dalam Arno (2010) menyatakan tiga jenis konflik utama pekerjaan-keluarga. Jenis pertama yaitu konflik berbasis waktu, dimana seorang ibu yang bekerja terlalu banyak mencurahkan waktunya untuk tugas pekerjaannya sehingga mengambil waktu sebagai tugasnya di dalam keluarga. Jenis kedua yaitu konflik yang terjadi karena ketegangan, kegelisahan atau kelelahan sehingga ibu sulit untuk memenuhi tuntutan dari kedua domain. Jenis ketiga yaitu konflik berbasis perilaku, hal ini terjadi ketika perilaku yang dikembangkan dalam satu domain tidak sesuai dengan tuntan perannya sehingga ibu tidak dapat menyesuaikan perilakunya saat bergerak di kedua domain. Hasil penelitian Amin et al. (2011) bahwa tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas menyusui yang tidak adekuat merupakan faktor resiko terjadinya kegagalan menyusui pada ibu bekerja. Pojok laktasi sangat penting keberadaannya untuk suksesnya pemberian ASI. Di SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dengan berbagai macam bidang pekerjaan, kebijakan dan fasilitas yang berbeda-beda, ada yang sudah mendukung program ASI eksklusif dan ada juga yang belum. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui pada Ibu Bekerja Di Instansi Pemerintah. B. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Susu Ibu (ASI) 2.1.1 Pengertian Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI adalah cairan sekresi kelenjar payudara ibu. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang diberikan hingga usia 4-6 bulan. Selain dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, ASI juga memiliki sejumlah keunggulan yakni memiliki zat kekebalan untuk melindungi tubuh dari bahaya penyakit, infeksi dan higienis. Cow’s milk best for calves, mother’s milk is best for babies. Bahwa ASI merupakan susu terbaik untuk bayi manusia. Keuntungan dari pemberian ASI yaitu : 61 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 1) 2) 3) 4) steril, aman dari pencemaran selalu tersedia dengan suhu optimal produksi disesuaikan dengan kebutuhan bayi mengandung antibodi yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh kuman atau virus 5) bahaya alergi tidak ada (Suraatmaja, 2012). 2.1.2. Manfaat ASI Ada 4 manfaat pemberian ASI, di antaranya: 1) Manfaat bagi bayi (1) Sebagai nutrisi Setiap mamalia secara alamiah dipersiapkan untuk memproduksi air susu khusus untuk makanan bayinya. Nutrisi ASI mengandung komposisi nutrien (zat gizi) yang sangat tepat dan ideal untuk tumbuh kembang anak. (Roesli, 2007; Hendarto&Pringgadini, 2008) (2) Meningkatkan daya tahan tubuh bayi Zat kekebalan yang terdapat pada ASI akan melindungi bayi dari penyakit diare. Karena bayi yang mendapat ASI eksklusif saluran cernanya didominasi oleh Bifidobacteria. ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, pilek dan penyakit alergi. Bayi dengan ASI eksklusif ternyata jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. (Roesli, 2007; Hegar&Sahetapy, 2008) (3) Meningkatkan kecerdasan Kecerdasan anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan tidak ada faktor penentu mutlak kecerdasan anak di kemudian hari. Namun ASI merupakan sumber utama asam lemak esensial terutama AA dan DHA yang sangat diperlukan dalam perkembangan otak. Pada tahun 1999 analisis dari 11 penelitian menunjukkan bahwa bayi yang menyusu mempunyai IQ 3,2 poin lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat susu formula (Pusponegoro&Handryastuti, 2008) (4) Meningkatkan jalinan kasih sayang Bayi yang mendapatkan ASI dari ibunya akan sering merasakan sentuhan, kata-kata dan tatapan kasih sayang dari ibunya, serta mendapatkan kehangatan yang penting untuk tumbuh kembangnya (Soetjiningsih, 1995) 2) Manfaat bagi ibu (1) Mengurangi perdarahan setelah melahirkan Apabila bayi disusui segera setelah dilahirkan maka kemungkinan terjadinya perdarahan setelah melahirkan akan berkurang. Hal ini terjadi karena peningkatan kadar oxytocin yang berguna untuk penutupan pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat berhenti. Hal ini akan menurunkan angka kematian ibu melahirkan (Soetjiningsih, 1995). (2) Menjarangkan kehamilan Menyusui merupakan cara kontrasepsi yang aman karena hormon prolaktin akan mencegah terjadinya ovulasi sehingga menjarangkan kehamilan (Soetjiningsih, 1995). (3) Mengecilkan rahim Kadar oxytocin ibu menyusui yang meningkat akan sangat membantu rahim ke ukuran sebelum hamil. Proses pengecilan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. (4) Lebih cepat langsing kembali 62 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Oleh karena menyusui memerlukan energi, maka tubuh akan mengambilnya dari lemak yang tertimbun selama hamil. Dengan demikian berat badan ibu akan menyusut atau lebih cepat kembali ke berat badan sebelum hamil. (5) Mengurangi kemungkinan menderita kanker Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menyusui akan melindungi ibu dari penyakit kanker payudara. Pada umumnya bila semua wanita dapat melanjutkan menyusui sampai bayi usia 2 tahun, diduga kejadian kanker payudara akan berkurang sampai 25%. Menyusui juga akan melindungi ibu dari penyakit kanker indung telur. Risiko terkena kanker indung telur pada ibu yang menyusui berkurang sampai 20-25%. (6) Lebih ekonomis/murah Pemberian ASI akan menghemat pengeluaran untuk berobat bayi, pengeluaran untuk susu formula, perlengkapan bayi, dan biaya perawatan bayi selama di rumah sakit. (7) Tidak merepotkan dan hemat waktu ASI dapat segera diberikan pada bayi tanpa harus memasak atau menyiapkan air, tanpa harus mencuci botol dan tanpa menunggu agar susu tidak terlalu panas, tidak merepotkan terutama pada malam hari. Apalagi kalau persediaan susu habis pada malam hari maka kita akan repot mencarinya. (8) Portable/praktis Mudah dibawa kemana-mana (portable) sehingga saat berpergian tidak perlu membawa berbagai alat untuk minum susu formula. ASI terutama ASI eksklusif dapat diberikan di mana saja dan kapan saja dalam keadaan siap untuk diminum serta dalam suhu yang selalu tepat. (9) Memberi kepuasan bagi ibu Ibu yang berhasil memberikan ASI terutama ASI eksklusif akan merasakan kepuasan, kebanggaan dan kebahagiaan yang mendalam. 3) Manfaat bagi Negara (1) Penghematan devisa untuk pembelian susu formula, perlengkapan menyusui, serta biaya untuk menyiapkan susu. (2) Penghematan untuk biaya sakit terutama sakit diare dan sakit saluran nafas (3) Penghematan obat-obatan, tenaga dan sarana kesehatan. (4) Menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berkualitas untuk membangun bangsa. (5) Langkah awal untuk mengurangi bahkan menghindari kemungkinan terjadinya generasi yang hilang khususnya bagi Indonesia. 4) Manfaat bagi lingkungan Air susu akan mengurangi bertambahnya sampah dan polusi di dunia. Dengan hanya memberikan ASI eksklusif dan dilanjutkan dengan ASI sampai usia 2 tahun manusia tidak akan memerlukan kaleng susu, karton, kertas pembungkus, botol plastik dan dot karet. Air susu tidak menambah polusi udara karena untuk membuatnya tidak memerlukan pabrik yang mengeluarkan asap, tidak memerlukan alat transportasi yang juga mengeluarkan asap, juga tidak menebang hutan untuk membangun pabrik susu yang besar. 2.1.3 ASI Eksklusif ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Depkes RI, 2003). Pada tahun 2002 World Health Organization menyatakan bahwa ASI eksklusif selama 6 bulan pertama hidup bayi adalah yang terbaik. Dengan demikian ketentuan sebelumnya (bahwa ASI eksklusif itu cukup 4 bulan) sudah tidak berlaku lagi. Menyusui eksklusif adalah memberikan hanya ASI segera setelah lahir sampai bayi berusia 6 bulan dan memberikan kolostrum (Depkes RI,2005). Mengapa eksklusif sampai usia 6 bulan, karena pemberian makanan padat/tambahan yang terlalu dini akan mengganggu kesehatan usus bayi Bayi pada saat berumur 6 bulan 63 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 sistem pencernaanya mulai matur. Jaringan pada usus halus bayi pada umumnya seperti saringan pasir. Pori-porinya berongga sehingga memungkinkan bentuk protein ataupun kuman akan langsung masuk dalam system peredaran darah dan dapat menimbulkan alergi. Pori-pori dalam usus bayi ini akan tertutup rapat setelah bayi berumur 6 bulan. Dengan demikian, usus bayi setelah berumur 6 bulan mampu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah komposisi ASI masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi apabila ASI diberikan secara tepat dan benar sampai bayi berumur 6 bulan. menolak faktor alergi ataupun kuman yang masuk ((Roesli, 2000; Purwanti, 2002). 2.1.4 Pola Pemberian ASI Menyusui dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu menyusui eksklusif, menyusui predominan, dan menyusui parsial sesuai definisi World Health Organization (WHO) 1. Menyusui eksklusif adalah tidak memberi bayi makanan atau minuman lain, termasuk air putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan). 2. Menyusui predominan adalah menyusui bayi tetapi pernah, memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar. 3. Menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur enam bulan, baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal. 2.2 Menyusui bagi Ibu bekerja Menyusui merupakan hak setiap ibu, termasuk ibu bekerja. Dalam Konvensi Organisasi Pekerja Internasional tercantum bahwa cuti melahirkan sampai 14 minggu dan penyediaan sarana pendukung ibu menyusui di tempat kerja wajib diadakan. Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan cuti melahirkan selama 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan dan memberikan kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika dilakukan sewaktu kerja (UU RI, 2003; Wilar, 2010). Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan bahwa 57% tenaga kerja di Indonesia adalah wanita. Faktor-faktor yang menghambat keberhasilan menyusui pada ibu bekerja adalah pendeknya waktu cuti kerja, kurangnya dukungan tempat kerja, pendeknya waktu istirahat saat bekerja (tidak cukup waktu memerah ASI), tidak adanya ruangan untuk memerah ASI, pertentangan keinginan ibu antara mempertahankan prestasi kerja dan produksi ASI (Wilar, 2010) Bagi ibu yang bekerja, keputusan untuk kembali bekerja dan keputusan untuk menyusui saling berhubungan satu sama lain. Ibu yang bekerja full-time pasca melahirkan lebih rendah keinginan untuk menyusui, dibanding dengan ibu yang tidak bekerja maupun ibu yang bekerja paruh waktu. Ibu yang memutuskan kembali bekerja setelah melahirkan akan mengurangi inisiasi untuk menyusui, waktu berhenti menyusui bertepatan dengan waktu kembali bekerja, ibu yang bekerja sebagai professional dan ibu rumah tangga (IRT) akan menyusui anaknya lebih lama dan ibu yang bekerja di bagian administrasi lebih cepat berhenti menyusui daripada yang lain (Kimbro, 2006). Data dari Ross Laboratories Mother Survey di Amerika Serikat tahun 2002 menyebutkan bahwa 69% ibu bekerja penuh (full time), 72,9% ibu bekerja paruh waktu (part-time) dan 69 % ibu tidak bekerja pernah melakukan inisiasi menyusui. namun saat bayi usia 5-6 bulan, hanya 27,1% ibu bekerja penuh, 36,8% dari ibu bekerja paruh waktu dan 35,2% ibu tidak bekerja yang masih menyusui anaknya. Tingginya tingkat pendidikan ibu, lama bekerja kurang dari 20 jam sehari, adanya dukungan keluarga, adanya dukungan perusahaan dalam hal penyediaan tempat penitipan anak di tempat kerja, ruangan khusus untuk memerah ASI, 64 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 adanya waktu istirahat yang cukup untuk memerah ASI serta ibu lebih sering menyusui saat tidak bekerja merupakan faktor pendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif (Wilar, 2010). 2.2.1 Persiapan Menyusui Ibu Bekerja Persiapan menyusui bagi Ibu bekerja perlu dilakukan sejak masa kehamilan, berikut persiapan yang bisa dilakukan oleh seorang Ibu yang bekerja terkait dengan kesuksesan proses menyusui (Wilar, 2010): 1) Selama Kehamilan Ada beberapa hal lain yang perlu didiskusikan di tempat kerja selama kehamilan : (1) Mendiskusikan dengan atasan atau rekan kerja mengenai keputusan ibu untuk terus menyusui dan bekerja. (2) Mendiskusikan manfaat bagi perusahaan bila pekerja perempuannya terus menyusui. (3) Mendiskusikan dengan atasan mengenai waktu cuti melahirkan dan menyusui. (4) Mendiskusikan dengan atasan kapan rencana kembali bekerja, apakah akan kerja penuh atau paruh waktu. (5) Mendiskusikan dengan atasan apakah diperbolehkan untuk pulang menyusui atau menyusui bayi di tempat kerja. Menyusui langsung pada saat bekerja dapat memperpanjang masa menyusui. (6) Mendiskusikan dengan atasan mengenai waktu istirahat pada jam kerja untuk memerah ASI bila tidak memungkinkan untuk menyusui langsung. (7) Mencari tempat yang nyaman untuk memerah ASI. Sedapat mungkin tempat memerah ASI memang tersedia khusus untuk tujuan tersebut, dan tidak di toilet. (8) Mencari tahu apakah ada tempat penitipan anak di dalam lingkungan kerja dan fasilitas apa yang disediakan oleh tempat penitipan anak tersebut (9) Bertukar pengalaman dengan ibu-ibu bekerja lainnya. (10) Mendiskusikan dengan pasangan (suami) dan keluarga dekat mengenai waktu akan masuk bekerja kembali, yang mengasuh bayi saat bekerja, perlukah pasangan juga mengambil cuti, pembagian pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak-anak yang lain 2) Menjelang Ibu bekerja Pada masa nifas sampai 2 minggu menjelang ibu bekerja, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan antara lain : (1) Menyusui bayi langsung dari payudara. Hindari penggunaan empeng/dot, botol susu dan minuman selain ASI (2) Mengkonsumsi cairan cukup, makanan yang bergizi dan hindari stres agar produksi ASI tidak terganggu. (3) Relaksasi selama 20 menit setiap hari di luar waktu memerah ASI (4) Memakai pakaian yang memudahkan Ibu untuk memerah ASI (5) Berlatih cara memerah ASI. Latihan memerah ASI dapat dimulai sejak saat ASI Pertama keluar. (6) Menetapkan jadwal memerah ASI, biasanya setiap 3-4 jam. (7) ASI yang diperah dapat dibekukan untuk persediaan atau tambahan saat ibu mulai bekerja. (8) Berlatih memberikan ASI perah melaui cangkir, sendok atau pipet pada jam kerja. (9) Mencari pengasuh (nenek, kakek, anggota keluarga lain, pembantu, babysitter) yang dapat memberikan ASI dan menjaga bayi selama ibu bekerja. (10) Bila tidak ada pengasuh, sebaiknya mencari penitipan anak. 3) Selama ibu bekerja Hal-hal yang yang bisa dilakukan saat ibu kembali bekerja sebagai berikut : 65 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 (1) Berusaha agar pertama kali kembali bekerja pada akhir pekan sehingga hari kerja ibu pendek dan ibu dapat lebih menyesuaikan diri. (2) Berusaha agar tidak menumpuk pekerjaan sehingga ibu tidak stress (3) Berusaha untuk istirahat cukup, minum cukup serta mengkonsumsi makanan bergizi. (4) Menyusui bayi di pagi hari sebelum meninggalkan bayi ke tempat kerja dan pada saat pulang kerja. (5) Menyusui bayi lebih sering sore/malam hari dan pada hari libur agar produksi ASI lebih lancar. (6) Mempersiapkan persediaan ASI perah di lemari es selama ibu bekerja (7) Berusaha agar dapat memerah ASI setiap 3 jam selama ibu bekerja (8) Siapkan pompa/pemeras ASI, wadah penyimpanan ASI dan pendinginnya sebelum pergi bekerja. (9) Memerah ASI di ruangan yang nyaman sambil memandang foto bayi atau mendengar rekaman tangis bayi. (10) Mendiskusikaan masalah yang dialami dengan ibu bekerja lainnya atau dengan atasan agar dapat mencari jalan keluar. 2.3 Faktor yang mempengaruhi Pemberian ASI pada Ibu Bekerja 2.3.1 Karakteristik Ibu 1. Usia Konsep reproduksi sehat yang dikembangkan oleh BKKBN adalah menunda perkawinan atau kehamilan pertama sampai umur 20 tahun, mengatur jarak kelahiran pada usia 20-30 tahun dengan cara menggunakan kontrasepsi dan mengatur jarak kelahiran anak, serta cukup mempunyai anak 2 orang saja, dan yang terakhir adalah tidak hamil lagi setelah berumur 30 tahun (BKKBN, 2012). Usia 20-30 tahun merupakan rentang usia aman bereproduksi dan pada umumnya pada usia tersebut kemampuan laktasi ibu lebih baik daripada yang berumur lebih dari 30 tahun, dengan demikian ibu yang berusia 20-30 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya (Roesli, 2000). 2. Pendidikan Pendidikan merupakan pengembangan diri dari individu dan kepribadian yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di dalam beberapa faktor pendidikan sering kali memegang syarat paling pokok untuk memegang fungsi-fungsi tertentu. Semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan juga semakin banyak pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh (Dessler, 1998). Penelitian Hikmawati (2008) tentang faktor kegagalan pemberian ASI menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pendidikan dengan pemberian ASI, dan pendidikan merupakan faktor kegagalan pemberian ASI. 3. Paritas Paritas/ para adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu). Pengelompokkan jenis paritas sebagai berikut : 1. Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi hidup. 2. Primipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup satu kali. 3. Multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup sebanyak dua kali atau lebih. 4. Grande Multipara adalah seorang wanita yang melahirkan bayi hidup lebih dari atau sama dengan empat kali (James, 2001). 66 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Penelitian Sittlington (2007) mengatakan bahwa paritas dari ibu tidak mempengaruhi perilaku ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif ( p = 0,105; mean 56,34 [8,37]). Paritas saat ini tidaklah menjadi masalah bagi seorang ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Meskipun proses menyusui pada primipara merupakan pengalaman pertama, dan sering mengalami masalah pada saat menyusui seperti puting susu yang lecet, dan hal ini berdampak pada terhentinya pemberian ASI eksklusif. Namun hal ini bisa diatasi dengan dukungan dari petugas kesehatan, dukungan keluarga dan persiapan pada saat kehamilan. 2.2.3.2 Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmojo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang berperilaku baru, dalam dirinya tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu : 1) Awarness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul. 3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut bersifat langgeng (long lasting). Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu : 1) Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sutau yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagianya. 2) Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. 3) Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). 4) Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5) Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6) Evaluasi (Evaluation) 67 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. 2.3.3 Persepsi Menurut Scheer (1954) dalam Sarwono (2011) menyatakan bahwa persepsi adalah representatif fenomenal tentang objek distal sebagai hasil pengorganisasian objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan proksimal. Sedangkan menurut Bruner (1957) dalam Sarwono (2011) menyatakan persepsi merupakan proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh masukan tertentu (objek, peristiwa, dll) kemudian organisme itu berespon dengan menghubungan masukan tersebut dengan salah satu kategori (golongan) objek dan peristiwa, sehingga ia dapat memberi arti kepada masukan tersebut atau bisa disebut berifat inferensial (menarik kesimpulan). Faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi menurut Krech & Crutchfield (1948) dalam Sarwono (2011) menyatakan bahwa ada dua golongan variabel yang mempengaruhi persepsi, yaitu : 1) variabel struktural, yaitu faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik dan proses neurofisiologik; 2) variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, seperti kebutuhan (needs), suasana hati (moods), pengalaman masa lampau, dan sifat-sifat individual lainnya. 2.4 Faktor Pekerjaan dan Fasilitas 2.4.1 Work-Family Conflict Work-Family Conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga (Work-Family Conflict ), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003).Sedangkan menurut Dahrendorf salah satu jenis dari konflik adalah konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan - peranan dalam keluarga atau profesi atau disebut juga dengan konflik peran ( Role Conflict ). Menurut Frone (2003) kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (keluarga), dimana harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain. Jadi Work Familly Conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran. Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain. Greenhaus dan Beutell (dalam Triaryati 2003) mengidentifikasikan tiga jenis WorkFamily Conflict, yaitu: 1. Time Based Conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). 2. Strain Based Conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lainnya. 68 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 3. Behavior-Based Conflict. Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian yaitu pekerjaan atau keluarga. Work Family Conflict terdiri dari dua aspek yaitu Work interfering with family dan Family Interfering With Work (Frone 2003; Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun asumsi dari Work interfering with family lebih dikarenakan akibat tuntutan waktu yang terlalu berlebihan atau Time-based conflict dalam satu hal (contoh: saat bekerja) akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain (contoh: di rumah), yang terjadi pada akhirnya adalah ketegangan dan tekanan atau Strain-Based Conflict pada satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang ke rumah dengan suasana hati yang buruk setelah bekerja, atau contoh lainnya misal individu sebagai orangtua akan mengalami konflik ketika perlu untuk mengambil waktu cuti dari pekerjaannya untuk tinggal di rumah menjaga anaknya yang sakit. Sementara Family Interfering With Work lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau bagian (pekerjaan atau keluarga) Behavior-based conflict (Frone, 2003). Work interfering with family dan Family interfering With Work dapat dilihat dari tiga hal yaitu, tanggung jawab dan harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan dan kegiatan organisasi (misalnya dukungan sosial). Greenhaus & Beutell (1985) menyatakan bahwa Work-Family Conflict yang terjadi akan menimbulkan konsekuensi yang negatif. Contohnya, konflik antara pekejaan dengan keluarga dapat mengurangi durasi menyusui pada ibu bekerja (Cardenas, 2005) 2.4.1 Pojok Laktasi Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pasal 30 disebutkan sebagai berikut : 1) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung program ASI Eksklusif. 2) Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan antara pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha. 3) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Peraturan mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI belum diterbitkan sampai dengan sekarang. Namun untuk persyaratan minimal sebuah pojok laktasi di tempat kerja adalah sebagai berikut : (setting up of Lactation Room, 2013) 1. Merupakan ruangan khusus untuk kepentingan laktasi 2. Memiliki sebuah pintu yang terkunci 3. Sebuah kursi yang nyaman dan dipastikan kaki ukuran wanita rata-rata dapat menyentuh lantai. 4. Stopkontak linstrik untuk menghubungkan dengan pompa ASI 5. Sebuah meja untuk meletakkan pompa ASI, botol ASI dan perlengkapan lain yang terletak di depan kursi 6. Dapat dipastika ruangan selalu bersih dan nyaman Selain fitur di atas, pojok laktasi juga bisa diberikan tambahan fasilitas sebagai berikut : 1. Sebuah wastafel terletak di dalam ruangan, lengkap dengan sabun serta handuk/tisu pengering tangan 69 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Lemari Es untuk menimpan ASI 3. Cahaya yang cukup, gambar dan dekorasi yang mendorong relaksasi. Hasil penelitian Amin et al. (2011) di Malaysia menyatakan bahwa kebutuhan utama yang dibutuhkan para ibu yang masih memberikan ASI kepada bayinya adalah refrigerator untuk menyimpan ASI perah, sedangkan pengaruh penyediaan pojok laktasi tidak memberikan hasil yang signifikan. 2.4.3 Kesempatan memerah/menyusui di tempat kerja Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif pasal 34 Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja. Berapa kali waktu untuk memerah ASI selama ibu bekerja tergantung dari usia bayi, jika usia bayi kurang dari 6 bulan atau masih dalam periode ASI Eksklusif dimana sumber makanan hanya dari ASI maka sebaiknya ibu memerah maksimal 3 jam sekali agar produksi ASI bisa dipertahankan. Namun jika usia bayi sudah lebih dari 6 bulan dan sudah mendapat makanan pendamping ASI (MPASI) maka ASI bisa diperah cukup sekali selama ditinggal kerja untuk mengurangi bedungan ASI. Sebagian ibu bekerja memerah ASI sebelum mereka berangkat kerja karena produksi ASI pada pagi hari lebih banyak dari pada waku-waktu yang lain (Walters, 2007) 2.4.4 Cuti Bersalin Peraturan mengenai cuti hamil PNS yang berlaku saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil pasal 19 sebagai berikut : 1) Untuk persalinan anaknya yang pertama, kedua, dan ketiga, Pegawai Negeri Sipil wanita berhak atas cuti bersalin. 2) Untuk persalinan anaknya yang keempat dan seterusnya, kepada Pegawai Negeri Sipil wanita diberikan cuti diluar tanggungan Negara. 3) Lamanya cuti-cuti bersalin tersebut dalam ayat (1) dan (2) adalah 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan sesudah persalinan. Pada pasal 20 ayat disebutkan bahwa untuk mendapatkan cuti bersalin, Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang memberikan cuti. Cuti bersalin diberikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang memberikan cuti. Dan di pasal 21 disebutkan bahwa Serlama menjalankan cuti bersalin Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan menerima penghasilan penuh 2.5 Teori Dukungan sosial 2.5.1 Pengertian Social support (dukungan sosial) Uchino (2004) dalam Sarafino (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan, peduli, penghargaan dan bantuan untuk sesorang dari orang lain atau kelompok. Menurut Heaney & Israel (2008) yang bisa memberikan dukungan sosial adalah : (1) Informal network seperti : keluarga, teman, rekan kerja dan atasan (2) Formal network : petugas kesehatan dan human service workers. 2.5.2 Jenis Dukungan Sosial Jenis dukungan sosial menurut (Cutrona & Gardner, 2004 ; Uchino, 2004) dalam Sarafino (2011), yaitu : 1) Dukungan Emosional 70 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Dukungan emosional atau dukungan esteem adalah dukungan berupa empati, peduli, perhatian, hal positif dan dorongan terhadap orang tersebut, sehingga memberikan kenyamanan dan kepastian dengan rasa dimiliki dan dicintai. 2) Dukungan instrumental Dukungan instrumental adalah dukungan nyata dengan memberikan bantuan secara langsung. Misalnya dengan memberikan bantuan meringankan tugas/beban kerja sehingga ibu bisa mempunyai waktu untuk memerah ASInya. 3) Dukungan informasi Termasuk memberikan nasehat, arahan atau umpan balik mengenai permasalahan yang dihadapi. Misalnya untuk kasus ibu yang kesulitan menyusui maka dukungan informasi bisa berupa informasi mengenai cara-cara mengatasi dalam hal kesulitan menyusui. 4) Dukungan Persahabatan Dukungan persahabatan mengacu pada kesediaan orang lain untuk menemani seseorang yang ada masalah sehingga dapat menimbulkan perasaan solidaritas. 2.6.3 Hubungan Dukungan sosial dan Jaringan sosial Terhadap Kesehatan Mekanisme hubungan jaringan sosial dan dukungan sosial pada kesehatan fisik, mental dan sosial seperti ditunjukkan dalam gambar 2.3 dibawah ini : Sumber : Heaney & Israel (2008) Gambar Conceptual Model for the Relationship of Social Networks and Social Support to Health Pada gambar di atas menggambarkan jaringan sosial dan dukungan sosial sebagai titik awal atau inisiator penyebab masalah kesehatan. Pada kenyataannya pada gambar di atas banyak hubungan yang memerlukan pengaruh timbal balik, misalnya status kesehatan akan mempengaruhi sejauh mana sesorang mampu memelihara dan memobilisasi jaringan sosial. Garis 1 merupakan efek langsung dari hipotesis jaringan sosial dan dukungan sosial terhadap kesehatan. Dengan memnuhi kebutuhan dasar manusia dalam hal persahabatan, kedekatan, 71 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 rasa memiliki dan kepastian dari orang lain, dukungan dapat meningkatkan kesehatan sesorang dan menjauhkan dari stres (Berkman dan Glass, 2000 dalam Heaney dan Israel, 2008). Garis 2 dan 4 merupkan efek hipotesis jaringan sosial dan dukungan sosial terhadap usaha individu untuk mengatasi masalah dan sumberdaya organisasi dan komunitas dalam mengatasi masalah. Contohnya, jaringan sosial dan dukungan sosial dapat meningkatkan kemampuan indivdiu untuk mengakses informasi baru untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Sedangkan jika dukungan yang diberikan membantu untuk mengurangi ketidakpastian atau membantu mendapatkan hasil yang diinginkan, maka individu tersebut akan meningkatkan kontrol pribadi atas situasi tertentu. Efek potensi jaringan sosial dan dukungan sosial terhadao organisasi dan kompetensi masyarakat kurang dipelajari. Namun, penguatan jaringan sosial akan meningkatkan pertukaran dukungan sosial dan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengumpulkan kekuatan dan memecahkan masalah. Sumber daya di tingkat individu dan masyarakat mungkin memiliki efek langsung terhadap kesehatan dan juga dapat mengurangi efek negatif pada kesehatan akibat pemaparan sttresor. Ketika orang mengalami stres, peningkatan kemampuan individu daan masyarakat memungkinkan bahwa stres akan dapat diatasi atau ditangani, dengan cara mengurangi konsekuensi kesehatan yang merugikan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Efek ini disebut “efek penyangga” dan hal ini tercermin pada garis 2a dan 4a. Beberapa penelitian yang melibatkan orang-orang pada masa transisi dalam hidup (seperti kehilangan pekerjaan atau kelahiran seorang anak) telah menunjukkan bagaimana pengaruh jaringan sosial dan dukungan sosial mengatasi dampak stressor terhadap kesehatan. Garis 3 menunjukkan bahwa jaringan sosial dan dukungan sosial dapat mempengaruhi frekuensi dan durasi paparan stres. Sebagai contoh, seorang atasan mendukung dalam program pemberian ASI eksklusif di tempat kerja akan meningkatkan kepercayaan diri seorang ibu untuk bisa memberikan ASInya secara eksklusif sehingga resiko kegagalan pemberian ASI eksklusif dapat berkurang. Garis 5 mencerminkan potensi dampak jaringan sosial dan dukungan sosial terhadap kesehatan perilaku. Melalui pertukaran antar personal dalam jaringan sosial, individu dipengaruhi dan didukung dalam perilaku kesehatan seperti kepatuhan dalam memerah ASI di tempat kerja. C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analitik karena bertujuan menganalisa, menjelaskan suatu hubungan, menguji berdasarkan teori yang ada dan menggunakan suatu hubungan, menguji berdasarkan teori yang ada dan menggunakan pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat itu dan tidak ada tindak lanjut (Notoatmojo, 2009). 72 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Kerangka Konseptual. Fasilitas Work-family conflict Dukungan atasan dan teman kerja Paritas Ibu bekerja sikap Norma subyektif Pengetahuan Persepsi terhadap kesehatan bayi niat Self efficacy Dukungan suami dan keluarga Sumber : : Tidak Diteliti : Diteliti Gambar 1 Pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja Pendidikan Umur Kerangka Konseptual faktor niat, pekerjaan dan fasilitas serta dukungan suami dan keluarga terhadap Pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja. 3. Hipotesis Penelitian 1) Ada pengaruh karakteristik, pengetahuan dan persepsi ibu terhadap sikap, norma subyektif, dan efikasi diri pemberian ASI pada ibu yang bekerja di SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur 2) Ada pengaruh sikap, norma subyektif, dan efikasi diri terhadap niat ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur 3) Ada pengaruh niat, efikasi diri, karakteristik ibu, faktor pekerjaan dan fasilitas serta dukungan suami dan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di SKPD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur . 4) Variabel, Definisi Operasional Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel independen (bebas) serta variabel dependen (terkait). Tabel 1 Definisi Operasional Pengaruh Pendidikan, Paritas, Pengetahuan, Persepsi Terhadap Sikap Menyusui pada Ibu Bekerja Di Instansi Pemerintah (Studi Di SKPD Propinsi Jawa Timur ) Variabel Paritas Definisi Operasional Jumlah anak yang dilahirkan oleh Ibu Pendidikan ibu Pendidikan formal yang telah ditamatkan responden Kriteria 1. 1 2. ≥2 1. SLTA/ Diploma 2. Sarjana Pengetahuan Respon atau kemampuan untuk menjawab pertanyaan yang 1. 2. 73 Baik (jika skor ≥50%) Tidak baik (jika skor <50%) Skala Nominal Nominal Nominal HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Variabel Definisi Operasional Kriteria berhubungan dengan pemberian ASI, ASI Eksklusif manajemen ASI perah yang dituangkan dalam bentuk kuesioner berisi 16 pertanyaan. Nilai 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Persepsi tentang Pandangan ibu tentang anak 1. Baik jika jawaban benar konsep bayi sehat dan anak sakit, semua sehat dituangkan dalam bentuk 2 2. Tidak baik jika ada salah pertanyaan tertutup. Nilai 1 satu jawaban yang salah untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Dan 1 pertanyaan terbuka yang hasil jawaban responden akan dikategorikan Work-Family Pertentangan peran yang Interpretasi terhadap skor Conflict dialami oleh ibu bekerja karena individual dalam skala rating ada perbedaan peran pada yang dijumlahkan, setelah itu di pekerjaan dan keluarga. Work cari skor total minimun dan skor family conflict mencakup 3 total maksimum. Skor antara jenis yaitu : skor total minimun dan 1. time based conflict,: maksimum dibagi 2 untuk menentukan kategori nilai. konflik berdasarkan waktu 2. strain based conflict : Work Family Conflict dikatakan konflik berdasarkan rendah jika nilai skor > nilai ketegangan dan median kegelisahan 3. behavior based conflict : konflik berdasarkan tingkah laku yang dituangkan dalam bentuk ceklist berisi 12 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan skala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Fasilitas pojok Tempat yang dikriteriakan di 1. Lengkap jika skor ≥3 laktasi tempat kerja yang mendukung 2. Tidak lengkap: jika skor <3 ibu untuk memerah ASInya ketika berada di tempat kerja, yang terdiri dari 5 pertanyaan antara lain tentang ruangan untuk memerah, pemanfaatan pojok laktasi, adanya fasilitas meja dan kursi, tempat yang nyaman dan fasilitas refrigerator/ kulkas 74 Skala Nominal Nominal Nominal HOSPITAL MAJAPAHIT Variabel Cuti bersalin Kesempatan memerah/meny usui Dukungan atasan dan rekan kerja Dukungan suami Dukungan keluarga Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Definisi Operasional Libur atau bebas kerja yang diberikan pada ibu yang akan bersalin dimulai sejak masa hamil sampai setelah meahirkan dan masih mendapat gaji, sesuai dengan peraturan Ada waktu yang cukup untuk memerah/menyusui sefleksibel mungkin sesuai dengan kebutuhan ibu dan bayinya Tindakan atau kebijakan yang mendukung yang diberikan oleh atasan dan rekan kerja baik berupa tenaga, pikiran dan materi yang dituangkan dalam bentuk ceklist berisi 14 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Tindakan yang mengekspresikan kepedulian dari suami pada saat istri sesudah melahirkan baik berupa tenaga, pikiran, perhatian dan materi yang dituangkan dalam bentuk ceklist berisi 14 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Tindakan yang mengekspresikan kepedulian dari keluarga pada saat ibu sudah melahirkan baik berupa tenaga, pikiran, perhatian dan materi yang dituangkan bentuk ceklist berisi 14 pernyataan, dengan alternatif jawaban 75 Kriteria 1. < 3 bulan penuh setelah melahirkan 2. 3 bulan penuh setelah melahirkan Skala Nominal 1. Nominal Cukup bila ada kesempatan memerah ≥ 2 kali 2. Tidak ada ,bila kesempatan memerah < 2 kali Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. Nominal Dukungan atasan dan rekan kerja dikatakan tidak mendukung jika nilai skor ≤ nilai median Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. Nominal Dukungan suami dikatakan tidak mendukung jika nilai skor ≤ nilai median Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. Nominal HOSPITAL MAJAPAHIT Variabel Variabel antara Variabel Sikap Norma subjektif Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Definisi Operasional menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Kriteria Definisi Operasional Tanggapan ibu dalam bentuk pernyataan setuju atau tidak terhadap pola pemberian ASI yang dituangkan dalam bentuk ceklist berisi 8 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Kriteria Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. Kekuatan pengaruh aturan tidak tertulis dari orang-orang sekitar terhadap kekuatan subyektif ibu tentang perilaku menyusui, yang dituangkan dalam bentuk ceklist berisi 7 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. 76 Skala Dukungan keluarga dikatakan tidak mendukung jika nilai skor ≤ nilai median Skala Nominal Sikap dikatakan negatif jika nilai skor ≤ nilai median Norma subyektif dikatakan negatif jika nilai skor ≤ nilai median Nominal HOSPITAL MAJAPAHIT Efikasi diri Niat Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Ukuran kemampuan atau keyakinan seorang ibu sejak hamil pada kemampuannya untuk menyusui bayinya, yang dituangkan dalam bentuk ceklist berisi 12 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. Kecenderungan atau keputusan ibu sejak hamil untuk menyusui bayinya dengan menyiapkan segala sesuatu demi kesuksesan pemberian ASI secara eksklusif, yang dituangkan dalam bentuk bentuk ceklist berisi 2 pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan sekala Likert. Untuk pernyataan positif yaitu 4= sangat setuju 3= setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju Untuk pernyataan negatif yaitu : 1=sangat setuju 2=setuju 3=Tidak setuju 4=Sangat tidak setuju Interpretasi terhadap skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan, setelah itu di cari skor total minimun dan skor total maksimum. Kemudian dicari nilai median antara skor total minimun dan skor total maksimum. Variabel Tergantung Variabel Definisi Operasional Pemberian ASI Pola Ibu memberikan ASI kepada bayinya 77 Nominal Efikasi diri dikatakan tidak kuat jika nilai skor ≤ nilai median Nominal Niat dikatakan tidak kuat jika nilai skor ≤ nilai median Kriteria 1. ASI Eksklusif, apabila ibu hanya memberikan ASI saja tanpa member bayi makanan atau minuman lain sejak usia 0-6 bulan, termasuk air putih (kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes) 2. Tidak `Eksklusif, apabila ibu tidak memberikan ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan termasuk pemberian ASI predominan, pemberian ASI parsial dan tidak menyusui. Skala Nominal HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 5) Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja di 12 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Jawa Timur yang mempunyai anak usia 6-24 bulan yaitu; Sekretariat daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan & Lalu Lintas Angkatan Jalan, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan, Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM), Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan & Kelautan dan Dinas perndustrian & Perdagangan. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu yang bekerja di 12 SKPD Provinsi Jawa Timur yang mempunyai bayi usia 624 bulan. Untuk mengurangi bias, maka ditentukan kriteria inklusi sebagai berikut : 1. Ibu yang dapat memproduksi ASI 2. Ibu yang bekerja di Kantor Dinas Daerah Provinsi Jawa Timur baik PNS maupun honorer. 3. Ibu yang tidak mempunyai anak dengan kelainan congenital dan menolak menyusu 4. Ibu yang tidak mempunyai masalah pada anatomi payudara maupun kesehatan sehingga tidak memungkinkan untuk memberikan ASI kepada anaknya Perhitungan besar sampel penelitian dengan nilai proporsi ASI Eksklusif di populasi berdasarkan proporsi ASI Eksklusif Provinsi Jawa Timur sebesar 31,2%1 (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010). Hasil perhitungan didapatkan sehingga besar sampel penelitian ini sebesar 56 orang. Cara pengambilan sampel mengunakan cara simple random sampling. Penentuan besar sampel ibu bekerja yang mempunyai bayi usia 6-24 bulan secara proporsional menurut jumlah populasi dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 2 Hasil perhitungan besar sampel berdasarkan proporsional besar populasi ibu yang mempunyai anak usia 6-24 bulan di SKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 No Nama SKPD 1 2 3 4 5 Sekertariat Daerah Dinas Kesehatan Dinas Sosial Dinas Pendidikan Dinas Perhubungan & Lalu lintas Angkatan Jalan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM) Dinas Pekerjaan Umum & Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Dinas Pertanian Dinas Perikanan & Kelautan Dinas Perindustrian & Perdagangan 6 7 8 9 10 11 12 Besar populasi Ibu yang mempunyai anak usia 6-24 bulan 11 19 1 0 5 Besar sampel penelitian 9 16 1 0 4 5 4 7 6 3 3 7 6 2 5 2 4 1 1 Total 66 Sumber : 12 SKPD Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 56 Berdasarkan perhitungan besar sampel penelitian maka didapatkan proporsi besar sampel pada masing-masing SKPD seperti pada tabel 2. Penentuan sampel dilakukan dengan cara 78 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 simple random sampling. Apabila sampel yang terpilih menolak dijadikan responden, maka dilakukan pengundian untuk menentukan sampel pengganti. 6) Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Saat mengisi kuesioner, peneliti mendampingi untuk mengantisipasi bila ada pertanyaan yang tidak dipahami. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. 7) Teknik Pengolahan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara mendokumentasikan hasil jawaban kuesioner responden, setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Periksa Ulang / Editing Editing adalah meneliti kembali data, hal ini berarti bahwa semua kuesioner harus diteliti satu persatu tentang kelengkapan pengisian dan kejelasan penelitian. 2. Pemberian Kode / Coding Coding adalah tahap kedua setelah editing yaitu penelitian memberi kode pada setiap kategori yang ada pada setiap variabel. 3 . Tabulasi / Tabulating Tabulating adalah mengelompokkan dengan membuat tabel-tabel sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. Hasil pengisian kuesioner dikumpulkan dan di tabulasi secara manual. Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik dengan menghitung proporsi dengan menyajikan dalam bentuk tabel. Data akan dianalisis menggunakan uji logistik berganda dengan tingkat kemaknaan 5% (0,05). 8) Teknik Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik dengan menghitung proporsi dan disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui hubungan antara variabel digunakan uji regresi logistik ganda dengan nilai kemaknaan p≤0,05 dengan menggunakan komputer, apabila uji statistik didapatkan p≤0,05 maka berarti ada pengaruh faktor-faktor bebas dan antara terhadap Pemberian ASI eksklusif pada Ibu bekerja di Instansi Pemerintah. D. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Sosiodemografi Responden Penelitian dilakukan pada ibu bekerja yang mempunyai anak usia 6-24 bulan, di 12 SKPD Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Besar Sampel yang diambil sebanyak 56 responden. Gambaran secara umum karakteristik sosiodemografi responden seperti terlihat dalam tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Distribusi sosiodemografi responden Variabel Umur (tahun) ≤30 >30 Pendidikan SMA/Diploma Sarjana Paritas 1 ≥2 79 Jumlah Persentase (%) 22 34 39,3 60,7 13 43 23,2 76,8 20 36 35,7 64,3 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur >30 tahun sebanyak 34 orang (60,7%), berpendidikan sarjana sebanyak 43 orang (76,8%) dan paritas ≥2 sebanyak 36 orang (64,3%). 2. Perilaku Responden Gambaran perilaku menyusui responden yang meliputi pengetahuan, persepsi, sikap, norma subyektif, efikasi diri dan niat tertera dalam tabel di bawah ini. Tabel 4 Distribusi perilaku responden Variabel Pengetahuan Tidak Baik Baik Persepsi Tidak Baik Baik Sikap Negatif Positif Norma Subyektif Negatif Positif Efikasi Diri Tidak Kuat Kuat Niat Tidak Kuat Kuat Jumlah Persentase (%) 16 40 28,6 71,4 2 54 3,6 96,4 27 29 48,2 51,8 30 53,6 26 46,4 21 35 37,5 62,5 23 41,1 33 58,9 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan baik sebanyak 40 orang (71,4%), memiliki persepsi baik sebanyak 54 orang (96,4%), sikap positif sebanyak 29 orang (51,8%). Norma subyektif responden sebagian besar negatif sebanyak 30 orang (53,6%), efikasi diri responden sebagian besar kuat yaitu sebanyak kuat 35 orang (62,5%), sedangkan niat menyusui responden sebagian besar kuat yaitu sebanyak 33 orang (58,9%). b. Faktor Pekerjaan dan Fasilitas Gambaran faktor-faktor yang ada di tempat kerja dan fasilitas dari tempat kerja dalam rangka program pemberian ASI Eksklusif bagi Ibu bekerja seperti yang ditampilkan pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Distribusi faktor pekerjaan dan fasilitas Variabel Work family conflict Tinggi Rendah Time-based conflict Tinggi Rendah Strain-based conflict Tinggi Rendah Behavior-based conflict Tinggi Rendah 80 Jumlah Persentase (%) 32 24 57,1 42,9 29 27 51,8 48,2 30 26 53,6 46,4 20 36 35,7 64,3 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Variabel Pojok Laktasi Tidak lengkap Lengkap Kesempatan Tidak Ada Ada Cuti <3 bulan setelah melahirkan 3 bulan setelah melahirkan Dukungan atasan dan rekan kerja Tidak mendukung Mendukung Jumlah Persentase (%) 49 7 87,5 12,5 25 31 44,6 55,4 30 26 53,6 46,4 37 19 66,1 33,9 Pada tabel 5 menunjukkan gambaran faktor pekerjaan dan dukungan sebagai berikut, sebagian besar responden memiliki work family conflict yang tinggi 32 orang (57,1%), apabila diuraikan berdasarkan jenis konfliknya maka sebagian besar time based conflict tinggi (51,8%), strain based conflict tinggi (53,6%) dan behavior based conflict rendah (64,3%). Tersedianya sarana pojok laktasi sebagian besar tidak lengkap yaitu sebesar 49 orang (87,5%) dan sebagian besar responden merasa ada kesempatan memerah sebanyak 31 orang (55,4%). Sebagian besar responden mendapatkan cuti melahirkan kurang dari 3 bulan setelah melahirkan sebanyak 30 orang (53,6%). Untuk dukungan atasan dan rekan kerja sebagian besar responden merasa mereka tidak mendukung ibu bekerja untuk bisa tetap menyusui secara eksklusif sebanyak 37 orang (66,1%). c. Dukungan Suami dan Keluarga Gambaran dukungan suami dan keluarga responden dalam pemberian ASI seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 6 Distribusi dukungan suami dan keluarga responden Variabel Dukungan Suami Tidak mendukung Jumlah Persentase (%) 30 53,6 26 46,4 31 25 55,4 44,6 Mendukung Dukungan keluarga Tidak mendukung Mendukung Tentang gambaran dukungan suami dan keluarga, pada tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa tidak didukung, berturut-turut dari dukungan suami dan keluarga sebanyak 30 orang (55,4%) dan 31 orang (55,4%). d. Pemberian ASI Eksklusif Responden Gambaran tentang pola pemberian ASI responden dan pelaksanaan IMD seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 7 Distribusi pemberian ASI Responden Variabel Jumlah Persentase (%) 16 28,6 40 5 23 12 71,4 8,9 41,1 21,4 Pola Menyusui Eksklusif Tidak Eksklusif Predominan Parsial Tidak menyusui 81 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Tabel 7 menunjukkan bahwa pola menyusui responden sebagian besar adalah parsial tidak eksklusif sebanyak 40 orang (71,4%), sebagian besar yang tidak eksklusif adalah menyusui parsial sebanyak 23 orang (41,1%). Responden yang menyusui eksklusif hanya sebanyak 16 orang (28,6%). e. Hubungan Antar Variabel Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh antar variabel yang diuji sendirisendiri dengan menggunakan uji regresi logistik, yaitu antara variabel independen dengan variabel antara, variabel antara dengan variabel dependen dan variabel independen dengan variabel dependen. Tahap ini merupakan tahapan penyaringan agar variabel bisa masuk ke tahapan uji multivariat. Hasil sig (p) dibandingkan dengan α = 0,25 apabila p < α maka akan masuk ke tahap uji multivariat. Pada tahap ini juga ditentukan nilai PR (Prevalence Ratio). Untuk mengetahui analisis pengaruh karakteristik ibu pengetahuan terhadap sikap menyusui dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik, sedangkan untuk mengetahui pengaruh persepsi terhadap sikap dilakukan dengan uji fisher’s exact test seperti terlihat pada tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan karakteristik, pengetahuan dan persepsi dengan sikap pemberian ASI pada ibu bekerja di SKPD Provinsi Jawa Timur Variabel Sikap Negatif Positif n % n % Jumlah n % 12 15 27 60 41,7 48,2 8 21 29 40 58,3 51,8 20 36 56 100 100 100 7 20 27 58,8 46,5 48,2 6 23 29 46,2 53,5 51,8 13 43 56 100 100 100 12 15 27 75 37,5 48,2 4 25 29 25 62,5 51,8 16 40 56 100 100 100 2 25 27 100 46,3 48,2 0 29 29 0 53,7 51,8 2 54 56 100 100 100 Paritas 1 ≥2 Jumlah Pendidikan SMA/Diploma Sarjana Jumlah Pengetahuan Tidak Baik Baik Jumlah Persepsi Tidak Baik Baik Jumlah p 0,191* Nilai PR 95%CI Ref 1,44 0,850-2,433 Ref 1,158 0.637-2,102 Ref 2,5 1,225-3,265 0,643* 0,015* 1,621-2,879 0,228 ** Ref ~ *) hasil uji Regresi Logistik **) hasil uji fisher’s exact test Tabel 8 menjelaskan bahwa dari masing-masing variabel yang menunjukkan hasil persentase tertinggi terjadinya sikap positif berturut-turut adalah paritas ≥2 sebanyak 21 orang (58,3%), pendidikan sarjana sebanyak 23 orang (53,5%), pengetahuan baik sebanyak 25 orang (62,5%) dan persepsi baik sebanyak 29 orang (53,7%). Hasil uji regresi logistik untuk variabel-variabel yang mempengaruhi sikap di dapatkan hasil variabel yang berpengaruh terhadap sikap adalah pengetahuan (p=0,015), dengan nilai PR=2,5 artinya responden dengan pengetahuan baik kemungkinan mempunyai sikap positif sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan dengan responden yang tidak berpengetahuan baik, dengan nilai PR bermakna karena nilai 95% CI tidak melewati angka 1. Paritas, pendidikan dan persepsi tdak mempengaruhi sikap. Beberapa alasan yang menyebabkan paritas tidak mempengaruhi sikap adalah karena beberapa responden tidak mempunyai pengalaman menyusui eksklusif pada kehamilan yang lalu sehingga sikap responden masih ada yang negatif meskupin berparitas multipara. Selain itu ada beberapa alasan karena faktor usia lebih >35 tahun sehingga produksi ASI tidak selancar pada kehamilan pertama. Pendidikan tidak mempengaruhi sikap menyusui karena 82 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 meskipun sebagian besar responden berpendidikan sarjana tetapi karena latar belakang pendidikan yang bukan dari kesehatan sehingga masih cukup besar responden berpendidikan sarjana yang mempunyai sikap negatif. Persepsi tidak mempengaruhi sikap karena persentase yang memiliki persepsi baik dan sikap negatif hampir sama dengan persentase responden yang memiliki persepsi baik dan sikap positif. Artinya sebagian besar responden sudah memiliki persepsi konsep anak sehat yang baik tetapi belum tentu memiliki sikap pemberian ASI eksklusif positif. E. PEMBAHASAN Konsep reproduksi sehat yang dikembangkan oleh BKKBN adalah menunda perkawinan atau kehamilan pertama sampai umur 20 tahun, mengatur jarak kelahiran pada usia 20-30 tahun dengan cara menggunakan kontrasepsi dan mengatur jarak kelahiran anak, serta cukup mempunyai anak 2 orang saja, dan yang terakhir adalah tidak hamil lagi setelah berumur 30 tahun. (BKKBN, 2012). Usia 20-30 tahun merupakan rentang usia aman bereproduksi dan pada umumnya pada usia tersebut kemampuan laktasi ibu lebih baik daripada yang berumur lebih dari 30 tahun, dengan demikian ibu yang berusia 20-30 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Roesli, 2000). Pengelompokan umur pada penelitian ini menjadi 2 kategori ≤ 30 tahun dan > 30 disesuaikan dengan konsep sehat yang dikembangkan BKKBN, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur >30 tahun (60,7%) sehingga peluang memberikan ASI eksklusif lebih sedikit. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pendidikan responden sebagian besar adalah sarjana, hal itu wajar karena responden penelitian ini adalah ibu yang bekerja di instansi pemerintah sehingga tingkat pendidikannya cukup tinggi. Menurut penelitian di Irlandia Selatan, ibu dengan tingkat pendidikan tinggi kemungkinan memiliki sikap yang positif (Sittlington, et al., 2006) . Pada penelitian ini jenis paritas dibedakan menjadi 2 yaitu primipara dan multipara. Menurut James (2011) primipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup satu kali sedangkan multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup sebanyak dua kali atau lebih. Ibu dengan paritas multipara kemungkinan mempunyai perilaku menyusui eksklusif yang positif lebih besar dibanding ibu dengan paritas primipara. Kemungkinan mempunyai perilaku yang positif pada paritas multipara karena ada faktor pengalaman proses menyusui pada anak sebelumnya. Hasil review beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rodrigues, et al. (2013) menyatakan bahwa mulitipara adalah faktor positif atau faktor penguat terjadinya efikasi diri yang kuat. Ilmu psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Kurt Lewin (1951) dalam Brigham (1991) merumuskan suatu model hubungan perilaku yang menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan yang menetukan perilaku. Menurut Ajzen (1991) dalam Montano & Kasprzky (2008) memahami dan memprediksi perilaku dengan memodifikasi theory of reasoned action menjadi theory planned behavior (TPB), dalam TPB keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma subyektif dan kontrol perilaku. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi niat yang pada gilirannya akan menetukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden berpengetahuan baik, hal ini karena populasi penelitian ini adalah ibu bekerja yang berpendidikan tinggi sehingga 83 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 pengetahuannyapun termasuk kategori baik. Apalagi masalah ASI eksklusif belakangan ini sosialisasinya gencar sekali sehingga akses untuk mendapatkan informasi mengenai ASI sangat mudah. Persepsi tentang konsep anak sehat termasuk baik bahkan hampir semua responden mempunyai persepsi yang baik (96,4%). Konsep anak sehat kategori baik jika responden menjawab bahwa anak sehat itu yang perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan umur anak. Jadi paradigma bayi gemuk itu sehat sudah mulai banyak bergeser. Bahkan ada beberapa responden yang berhasil memberikan ASI eksklusif kepada anaknya mengatakan bahwa kalau bayi ASI cenderung tidak bisa gemuk, tetapi anak lincah dan perkembangan motoriknya juga bagus. Sebagian besar responden mempunyai sikap positif (51,8%) meskipun persentasenya tidak jauh beda dengan yang memiliki sikap negatif. Hal ini sejalan dengan penelitian Sittlington (2006) yang menyatakan bahwa sikap menyusui yang baik itu dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan dan sosial ekonomi. semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin positif sikap menyusui, begitu juga status pekerjaan pada ibu yang bekerja memiliki sikap positif dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Sosial ekonomi tinggi juga mempengaruhi sikap menyusui positif. Penelitian ini menunjukkan bahwa norma subyektif responden sebagian besar negatif (53,6%) meskipun persentase ini tidak jauh beda dengan responden yang memiliki norma subyektif positif. Norma subyektif adalah persepsi responden terhadap kepercayaan atau pandangan-pandangan tentang menyusui dari orang-orang terdekat maupun masyarakat yang umum terjadi. Norma subyektif negatif juga bisa dipengaruh oleh pengetahuan yang kurang sehingga percaya terhadap norma menyusui yang salah. Bisa juga dipengaruhi oleh adat atau budaya patuh terhadap orang tua atau orang yang lebih tua sehingga apa yang menurut mereka benar maka kita harus mengikuti pandangan mereka. Efikasi diri pemberian ASI dalam penelitian ini sebagian besar adalah kuat (62,5%). Efikasi diri pemberian ASI yang kuat adalah keyakinan untuk mampu bisa menyusui secara eksklusif pada bayinya. Efikasi diri bisa dipengaruhi oleh pengalaman terdahulu, hal ini sesuai dengan paritas responden yang sebagian besar multipara sehingga mereka memiliki keyakinan yang kuat untuk bisa menyusui eksklusif meskipun mereka bekerja. Efikasi diri juga bisa dipengaruhi karena melihat perilaku orang lain yang sukses dalam memberikan ASI eksklusif, banyaknya komunitas (peer group) ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif bisa memberikan motivasi dan menambah efikasi diri ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki niat yang kuat untuk memberikan ASI eksklusif (58,9%). Menurut Teori Planned Behavior (TPB), niat dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif dan efikasi diri. Sebagian besar responden dalam penelitian ini mempunyai sikap positif dan efikasi diri yang kuat sehingga niat responden untuk memberikan ASI eksklusif juga kuat. Penelitian ini dilakukan di 12 SKPD Provinsi Jawa Timur, dengan berbagai macam latar belakang bidang pekerjaan dan pendidikan. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa responden yang berasal dari instansi kesehatan sebesar 28,57%, dengan berbagai macam latar belakang ini maka pengetahuan mengenai kesehatan dan ASI eksklusif juga berbeda. Padahal pemberian ASI eksklusif adalah hak semua bayi tidak memandang dari latar belakang pekerjaan maupun pendidikan ibu. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa work family conflict responden sebagian besar tinggi (57,1%), hal ini karena penelitian ini dilakukan di pemerintah daerah tingkat provinsi sehingga beban kerja maupun tingkat kesibukan juga tergolong tinggi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur mempunyai 38 Kabupaten/Kota, jadi para pegawai memiliki kemungkinan akan melakukan tugas dinas luar kota ke 38 Kabupaten/Kota termasuk ibu yang 84 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 masih memiliki bayi. Ketika ibu meninggalkan bayinya pasti ada rasa bersalah telah meninggalkan bayinya, hal ini salah satu sebab sehingga work family conflict menjadi tinggi. Dari ke 12 SKPD yang menyediakan fasilitas pojok laktasi hanya 3 SKPD yaitu Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Perhubungan. Namun tidak semua responden di 3 SKPD tersebut menggunakan fasilitas pojok laktasi, dengan alasan lokasi yang terlalu jauh dengan ruangan kerja dan tempat yang kurang nyaman. Berdasarakan penelitian responden yang menjawab fasilitas pojok laktasi lengkap hanya 12,5%. Sebagian besar responden lebih memilih memanfaatkan fasilitas ruang kosong atau ruangan rapat untuk memerah ASI. Berdasarkan hasil penelitian Amin et al. (2011) di Malaysia menyatakan bahwa kebutuhan utama yang dibutuhkan para ibu yang masih memberikan ASI kepada bayinya adalah refigerator untuk menyimpan ASI perah, sedangkan pengaruh penyediaan pojok laktasi tidak memberikan hasil yang signifikan. Hasil penelitian menujukkan bahwa sebagian besar responden mengaku mempunyai kesempatan memerah yang cukup. Menurut Walter (2007) apabila ibu meninggalkan bayinya dalam jangka waktu yang cukup lama maka ibu perlu memerah ASInya maksimal 3 jam sekali untuk menjaga produksi ASInya. Rata-rata jam kerja PNS adalah 8 jam sehari, sehingga ibu memerah dikantor minimal sebanyak 2 kali. Cuti bersalin bagi PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1976 tentang cuti pegawai Negeri sipil. Pada pasal 19 disebutkan bahwa lamanya cuti bersalin adalah 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan sesudah. Namun pada kenyataannya, pemberin cuti bersalin pada PNS tergantung kebijakan atasan masing-masing. Ada yang 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah, 1 bulan sebelum dan 2 bulan sesudah, 3 bulan dihitung sejak cuti berlaku sebelum melahirkan dan ada yang 3 bulan setelah melahirkan. Sebagian besar responden mendapatkan cuti bersalin <3 bulan penuh setelah melahirkan (53,6%). Menurut penelitian Chatterji (2005) menyatakan bahwa cuti bersalin <3 bulan melahirkan berhubungan dengan kemungkinan gagalnya pemberian ASI Eksklusif. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mendapat dukungan atasan dan rekan kerja (66,1%). Menurut Killiath (2004) mengatakan bahwa, adanya dukungan sosial pada ibu bekerja akan memberikan efek yang positif pada kesejahteraan ibu. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Govern et al. (2007) juga menyatakan bahwa dukungan sosial di tempat kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan ibu pasca melahirkan. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden tidak mendapat dukungan suami (53,6%) dan keluarga (55,4%). Menurut Kirrane & Buckley (2004) dukungan sosial terutama dari suami dan keluarga adalah faktor penting untuk mengurangi konflik antara pekerjaan dan keluarga. Penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Sika (2010) menyatakan bahwa mayoritas ibu yang berhasil memberikan ASI Ekslusif adalah mereka yang didukung oleh orangtuanya. Karena di Ghana tidak ada budaya penggunaan ART (asisten Rumah Tangga) untuk menjaga anaknya sehingga, bagi ibu bekerja di sana dukungan sosial khusunya dari orang tua sangat menentukan keberhasian dalam pemberian ASi eksklusif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pemberian ASI responden sebagian besar adalah parsial (41,1%) sedangkan yang memberikan ASI eksklusif sebesar 28,6%. Persentase pemberian ASI eksklusif pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur pada tahun 2010 (31,21%) dan juga jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2012) pada ibu bekerja di Kementerian Kesehatan sebesar 62,58%. Menurut Wilar (2010) faktor-faktor yang menghambat keberhasilan menyusui pada ibu bekerja adalah pendeknya waktu cuti kerja, kurangnya dukungan tempat kerja, pendeknya waktu istirahat saat bekerja (tidak cukup waktu 85 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 memerah ASI), tidak adanya ruangan untuk memerah ASI, pertentangan keinginan ibu antara mempertahankan prestasi kerja dan produksi ASI. Data dan hasil uraian di atas dapat dianalisis, bahwa sebagian besar ibu bekerja di Instansi Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyusui partial. Sesuai definisi dari WHO menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur enam bulan, baik diberika secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal. Padahal apabila dilihat dari perilaku ibu tentang menyusui cukup baik, namun karena populasi penelitian ini adalah ibu bekerja sehingga faktor pekerjaan juga menentukan keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Sikap secara sederhana dapat diartikan sebagai cara seseorang melihat „sesuatu‟ secara mental (dari dalam diri) yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada orang lain, ide, objek, maupun kelompok tertentu. Sikap didasarkan pada informasi afektif, behavioral dan kognitif. Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan seseorang terhadap suatu stimulus. Komponen behavioral adalah cara orang bertindak dalam merespon stimulus (Hutagalung, 2007; Crites et al. 1994 dalam Taylor, 2009). Pembentukan sikap bisa berdasarkan pengalaman pribadi menurut Middlebrook (1974) dalam Azwar (2011) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana ibu bekerja dengan paritas ≥2 (multipara) sebagian besar memiliki sikap yang positif jika dibanding ibu dengan paritas 1 (primipara). Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan paritas yang signifikan antara ibu yang mempunyai sikap pemberian ASI positif dan sikap pemberian ASI negatif. Hasil ini didukung oleh penelitian Sittlington (2007) yang mengatakan bahwa paritas dari ibu tidak mempengaruhi sikap ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif (p = 0,105). Paritas dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan karena pembentukan sikap tidak hanya didasarkan dari pengalaman pribadi tetapi juga bisa dipengaruhi berbagai faktor salah satunya adalah interaksi sosial. Di dalam interaksi sosial terjadi hubungan yang saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Adanya informasi maupun kelas edukasi menyusui yang sekarang sudah banyak dan mudah diakses masyarakat, memberikan dampak terbentuknya sikap positif pada kelompok paritas primipara. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerja yang pendidikannya sarjana sebagian besar memiliki sikap positif jika dibandingkan dengan ibu bekerja yang pendidikannnya SMA/Diploma. Sesuai dengan penelitian Sittlington, et al. (2007) di Irlandia Utara yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi sikap menyusui secara eksklusif (p<0,001). Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan pendidikan yang signifikan antara ibu yang pendidikannya SMA/Diploma dengan ibu berpendidikan sarjana terhadap sikap pemberian ASI. Hal tersebut bisa disebabkan karena responden dalam penelitian ini adalah berstatus sebagai pegawai pemerintah yang rata-rata tingkat pendidikannya sama sehingga dalam uji statistik tidak menghasilkan hasil yang signifikan terhadap sikap pemberian ASI. Penelitian yang tidak sejalan dengan pendapat di atas adalah penelitian yang dilakukan oleh Khatum et al. (2010) di India, menyatakan bahwa sebagian besar ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki sikap yang positif (85,11%). Penelitian lain di Amerika yang dilakukan oleh Hill et al. (2008) menyatakan bahwa apabila rata-rata populasi berpendidkan tinggi maka tidak menghasilkan pengaruh kepada sikap yang positif karena tingkat pendidikan mendekati homogen yaitu berpendidikan tinggi sehingga tidak ada pengaruh signifikan. 86 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Menurut Crites, Fabrigar & Petty (1994) dalam Taylor, Peplau & Sears, (2009) bahwa sikap (attitude) merupakan evaluasi terhadap objek yang didasarkan pada informasi afektif, behavioral dan kognitif. Cognitif component (komponen kognitif) terdiri dari pemikiran seseorang tentang objek tertentu, seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan. Jadi menurut Crites, Fabrigar & Petty sikap seseorang terhadap objek dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerja yang pengetahuannya baik memiliki sikap yang positif lebih besar dibanding dengan ibu bekerja yang pengetahuannya tidak baik. Pada penelitian ini pengetahuan mempengaruhi sikap. Hal ini sejalan dengan penelitian Ariyani (2009) tentang hubungan pengetahuan terhadap sikap mendukung penerapan program patient safety, yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan sikap. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerja yang persepsi tentang konsep anak sehat baik memiliki sikap baik lebih besar dibanding ibu bekerja yang persepsi tentang kosep anak sehat tidak baik. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ibu yang mempunyai persepsi tentang konsep anak sehat baik dan tidak baik terhadap sikap pemberian ASI. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Sharp, et al. (2003) menyatakan bahwa sikap menyusui orang tua dipengaruhi oleh persepsi tentang kesehatan anak dan keyakinan yang tinggi tentang perawatan anak yang baik untuk mencegah anak sakit. Pengaruh persepsi tentang konsep anak sehat terhadap sikap menyusui tidak signifikan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena persepsi tentang konsep anak sehat sebagian besar responden adalah baik (96,4%), dan yang mempunyai persepsi tidak baik semuanya memiliki sikap yang negatif. Artinya ibu bekerja yang mempunyai konsep anak sehat tidak baik seperti anak sehat itu yang badanya gemuk dan harus diberikan susu tambahan selain ASI mempunyai sikap menyusui yang negatif, karena mereka menganggap bahwa dengan memberikan ASI badan bayi tidak dapat gemuk, karena bayi ASI cenderung berbadan kecil. Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis, yang mempengaruhi sikap menyusui positif adalah paritas multipara, pendidikan tinggi, pengetahuan baik dan persepsi baik. Ibu dengan paritas multipara seharusnya sudah mempunyai pengalaman dalam menyusui pada anak sebelumnya sehingga diharapkan dengan adanya pengalaman maka sikap menyusui eksklusifnya positif. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan antara paritas dengan sikap menyusui. Hal ini dapat disebabkan karena angka cakupan menyusui eksklusif masih sangat kecil di Indonesia, sehingga pengalaman menyusui sebelumnya para ibu bekerja cenderung tidak baik sehingga meskipun dengan paritas multipara persentase yang memiliki sikap negatif (41,7%) tidak jauh beda dengan persentase sikap positif (58,3%). Idealnya semakin tinggi pendidikan ibu semakin positif sikap menyusuinya, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan antara pendidikan dengan sikap menyusui positif. Hal ini disebabkan karena menyusui eksklusif masih merupakan hal yang sulit dilakukan apalagi dengan status ibu bekerja. Kurangnya informasi maupun pengetahuan mempengaruhi sikap menyusui meskipun pendidikan ibu tinggi. Pendidikan tinggi tidak menjamin ibu bekerja mempunyai pengetahuan dan informasi yang cukup tentang ASI eksklusif dikarenakan tidak ada waktu atau kesempatan untuk mengakses informasi tentang ASI eksklusif dan latar belakang bidang pendidikan yang berbeda-beda. Pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap sikap menyusui, karena semakin tinggi pengetahuan menyusui eksklusif akan memberi dampak sikap yang positif tentang menyusui eksklusif. Pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kepercayaan diri menyusui, kesiapan diri untuk bisa menyusui eksklusif serta sikap menyusui eksklusif yang positif. 87 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Persepsi seharusnya mempengaruhi sikap menyusui, namun dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan, sebagian besar responden (96,4%) mempunyai persepsi yang baik tentang konsep anak sehat sehingga tidak ada pengaruh signifikan persepsi terhada sikap. Seluruh responden yang mempunyai persepsi tidak baik juga mempunyai sikap yang negatif. Hal ini membuktikan bahwa persepsi tentang anak sehat yang tidak baik juga memberi dampak sikap negatif menyusui karena responden yang mempunyai persepsi tidak baik berpendapat bahwa dengan hanya diberi ASI bayi akan kekurangan nutrisi. F. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan penelitian ini maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sebagian besar ibu bekerja berpendidikan sarjana, berusia >30 tahun dengan paritas ≥2 dan tidak memberikan ASI eksklusif. Sebagian besar ibu bekerja mendapatkan cuti bersalin <3 bulan penuh setelah melahirkan dan memiliki work family conflict yang tinggi namun memiliki kesempatan memerah ASI yang cukup saat bekerja walaupun fasilitas pojok laktasi tidak lengkap. Dalam hal dukungan ibu bekerja tidak mendapatkan dukungan dari suami, keluarga maupun atasan dan rekan kerja. Pengetahuan berpengaruh terhadap sikap sedangkan pendidikan, paritas dan persepsi tidak mempengaruhi sikap. Variabel yang mempengengaruhi norma subyektif adalah paritas sedangkan yang tidak berpengaruh adalah pendidikan, pengetahuan dan persepsi. Untuk efikasi diri variabel pendidikan, paritas, pengetahuan dan persepsi tidak ada yang berpengaruh signifikan. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar ibu bekerja yang masih menyusui memiliki work family conflict yang tinggi, dan mendapatkan cuti bersalin kurang dari 3 bulan penuh setelah melahirkan serta tidak mendapat dukungan dari atasan dan rekan kerja. Faktor dari pekerjaan dan fasilitas yang dapat menghambat ibu bekerja dalam pemberian ASI eksklusif ditambah tidak tersedianya fasilitas pojok laktasi, oleh karena itu saran penelitian ini antara lain, untuk : a) Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur agar menghimbau kepada Kepala Dinas untuk memberikan cuti tambahan untuk ibu bersalin, memberi kesempatan pada ibu yang masih menyusui untuk menyusui atau memerah, menyediakan ruangan laktasi, dan mendukung program ASI ekslusif bagi ibu bekerja. b) Dinas Kesehatan Jawa Timur, melakukan sosialisai PP No. 33 tahun 2012 ke semua SKPD Provinsi Jawa Timur agar semua SKPD menindaklanjuti dengan membuat peraturan tentang pemberian ASI eksklusif di masing-masing SKPD. Serta memberikan KIE kepada masyarakat agar terbentuk social support yang bisa meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif c) SKPD Provinsi Jawa Timur seyogyanya memberi dukungan kepada Ibu menyusui untuk bisa memberikan ASI eksklusif serta menyediakan fasilitas ruang laktasi yang nyaman dan memberi kesempatan memerah atau menyusui. menyusun peraturan tertulis tentang pemberian ASI eksklusif sebagai tindak lanjut PP RI No. 33 Tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Giri Inayah, 2012, Determinan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di Kementerian Kesehatan RI, Tesis, Universitas Indonesia. 88 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Arno J, Broermann D, Gleason E, Ward AM. 2010, Changes to support breastfeeding in the workplace. Amerika: NAEYC]. Tersedia di: http://www.naeyc.org diakses tanggal 24 Mei 2013 Azriani D., 2012, Metode Skoring Untuk Menilai Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif Di Kabupaten Bekasi, Jurnal Health Quality Vol. 2 No. 4, tersedia di www.undip.ac.id diakses tanggal 15 Juli 2013 Azwar Saifuddin, 2011, Sikap Manusia Teori dan pengukurannya Edisi ke-2, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset BAPPENAS, 2012, Report on The Achivement Of Millenium Development Goals in Indonesia 2011, BAPPENAS, Jakarta tersedia di www.undp.or.id diakses pada tanggal 15 Januari 2013 BKKBN, 2012, Reproduksi Sehat Dalam Gerakan KB Nasional tersedia di www.bkkbn.go.id diakses tanggal 30 Juli 2013 BPS Provinsi Jawa Timur, 2011, Laporan Eksekutif Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2011. tersedia di www.jatim.bps.go.id diakses pada tanggal 7 Nopember 2012 BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur 2011 tersedia di www.jatim.bps.go.id (diakses pada tanggal 12 Oktober 2012) Cardenas A Rebekah and Debra A Major. 2005. Combining Employment and Breastfeeding : Utilizing a Work-Family Conflict Framework to Understand obstacles and solution. Journal of Business and Psycology, vol 20, No.1 page 31-51. Tersedia di http://proquest.com diakses tanggal 19 Pebruari 2013 Cervone Daniel & Pervin LA, 2012, Kepribadian : Teori dan Penelitian, Edisi 10, Buku 2, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta. Dennis Cindy-Lee, 2010, Breastfeeding Self-Efficacy, tersedia di www.cindyleedennis.ca diakses pada tanggal 1 Maret 2013. Faught L., 1994, Lactation Program Benefit The Family and The Corporation. Journal of Compensation and Benefit, tersedia di http://proquest.com diakses tanggal 19 Pebruari 2013 Forster D., McLachlan H., & Lumley J., 2006. Factors Assosiated with Breastfeeding at Six Months Postpartum in a Group of Australia Women, International Breastfeeding Journal 1 (18), 1-18 Friedman HS & Schustack, MW, 2008, Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern, Edisi Ketiga, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta Glenn JS, 2008, Knowledge, perceptions, and attitudes of managers, coworkers, and employed breastfeeding mothers. AAOHN journal. Tersedia di http://www.ebscohost.com, diakses tanggal 21 Mei 2013. Guendelman Sylvia, Kosa Jessica Lang, Graham Steve, Goodman Julia and Kharrazi Martin, 2012, Juggling Work and Breastfeeding: Effect of Maternity Leave and Occupational Characteristic, American Academic of pediatric, tersedia di http://pediatricaapublications.org diakses tanggal 25 November 2012. Heaney Catherine A. and Israel Barbara A., 2008, Social Network and Social Support, Glanz Karen, Rimer BK, Viswanath (Editor), in Health Behavior and Health Education, San Fransisco: Jossey-Bass Hill Patricia Ann Woch. 2010. The Relationship Between Breastfeeding and Child Care for Working Mothers in United State. Lincoln : Digital Commons @University of Nebrasca-Lincoln Hikmawati Isna, 2008, ‘Faktor-Faktor Risiko Kegagalan Pemberian ASI Selama Dua Bulan‟ (Studi Kasus pada bayi umur 3-6 bulan di Kabupaten Banyumas), Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. 89 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Hutagalung Inge, 2007, Pengembangan Kepribadaian : Tinjauan Praktis Menuju Pribadi Positif, PT. Indeks, Jakarta. Kemenkes RI. 2010. Riskesdas 2010 tersedia di www.litbang.depkes.go.id (diakses tanggal 13 Oktober 2011) Khatun Shanzida, Punthmatharith Buskaron & Orapiriyakul Racthwon, 2010, The Influence of Breastfeeding Attitude and Subjective norm on Intention to Exclusive Breastfeeding of Mothers in Dhaka, Bangladesh, The 2nd International Conference on Humanities and Social Science, tersedia di www.sv.libarts.psu.ac.th diakses tanggal 19 Juli 2013 Kimbro Rachel Tolbert, 2006, On-the-Job Moms : Work and Breastfeeding Initiation and Duration for Sample of Low-Income Women, Maternal and Child Health Journal, Vol. 10, No. 1, January 2006 Kirrane M & Buckley, F, 2004, The Influence of Support Relationship ob Work-Family Conflict : Differentiating emotional from instrumental support. Equal Opportunities International, 23 Legawati, 2010, Pegaruh Inisiasi Menyusu Dini terhadap Paraktik Menyusu 1 Bulan Pertama, Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 8, No. 2, Oktober 2011 : 60-68 90 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 DETERMINAN “PICKY EATER” (PILIH-PILIH MAKANAN) PADA ANAK USIA 13 TAHUN (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo) Niken Kusumawardhani1, Windhu Purnomo2, Rachmat Hargono2, Siti Nurul Hidayati3, Martono Tri Utomo3, Sri Andari 4 1 ) Mahasiswa S2 FKM Unair 2 ) Staf Pengajar dan Peneliti FKM Unair Surabaya, 3 ) Staf Pengajar dan Peneliti SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya, 4 ) Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo ABSTRACT Picky eater is one of the important issues in child growth that have to be concerned by parents and health practitioners, due to the negative effect of imbalance increasing of weight, important nutrition defeciency, also lack of variation of food consumptions. If this issue does not immediately treated it can cause a long term effect of an unhealthy or slow development and growth in children. Sample of population used in this research are all children aged 1-3 years old in Posyandu of Puskesmas Jabon in March until May 2013. The type of this study was an analytic with case control design study. The total of sample was 106 children devided in case (n=53) and control groups (n=53) and using Multiple Logistic Regression Test. The outcome of this research are showing all illness that have been suffered by all children in last 3 months, lack of interaction between mother and children, parents selective food behavior, not given enough exclusive breastfed for 6 months, given weaning food less than or more than 6 months, children is raised by people other than parents, socio-cultural dietetic view, unmatching frequencies between consumption and age, improper mealtimes, and improper feeding techniques are all crucial in affeting selective eating disorder in children aged 1-3 years in area of work of Puskesmas Jabon Sidoarjo in 2013. Key words: Picky eater disorder A. PENDAHULUAN Memilih-milih makanan (picky eater) merupakan masalah pada anak yang perlu diperhatikan baik oleh orang tua maupun praktisi kesehatan, karena picky eater pada anak memiliki efek yang merugikan, baik bagi pengasuh ataupun anak itu sendiri. Picky eater banyak terjadi pada umur 1 sampai 3 tahun dan berisiko dua kali lebih besar untuk mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang bukan picky eater (Dubois, 2007; Wright, 2008; Judarwanto, 2006). Masalahan makan merupakan hal yang umum di kalangan anak-anak, sekitar 25%-40% balita dan anak yang baru masuk sekolah merupakan picky eater (Mayes dan Volkmar, 1993). Efek merugikan dapat berupa penambahan berat badan yang tidak sesuai, defisiensi nutrisi yang penting, serta pengurangan variasi asupan makan. Picky eater yang tidak ditangani dengan benar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kegagalan tumbuh serta keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Kejadian kasus anak dengan gizi buruk di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini tidak saja dialami oleh masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah namun juga dialami oleh masyarakat ekonomi atas. Kasus gizi buruk yang semakin meningkat ini dapat disebabkan dari perilaku anak dalam memilih-milih makanan, dimana anak-anak tidak mengetahui kandungan gizi yang terdapat di dalam makanan yang dipilihnya itu dapat memenuhi kebutuhan gizinya atau tidak. Studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jabon tepatnya di desa Balong Tani, perilaku picky eater yang dialami oleh anak berusia 12-36 bulan yang terdaftar di buku register posyandu sebanyak 33,3%. 91 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Penyebab utama picky eater pada anak yaitu hilangnya nafsu makan, gangguan proses makan di mulut, dan pengaruh psikologis yaitu kondisi kecemasan, ketakutan, sedih, depresi atau trauma, kondisi fisik karena adanya keterbatasan pada anak terutama organ-organ pencernaan (Dorfmann, 2008; Judarwanto, 2006). Faktor interaksi ibu dan anak, perilaku ibu yang mempunyai variasi asupan sayur yang rendah, kualitas makanan yang rendah, perilaku makan pengasuh dan orang tua, serta suasana keluarga juga dapat menjadi penyebab picky eater (Claude dan Bernard Bonning, 2006; Galloway, et al., 2003; Dubois, 2007; Alarcon et al., 2003). Ditemukan pula bahwa ibu yang anaknya picky eater mempunyai pendapatan rendah dan pendidikan rendah, serta tidak memberikan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) diberikan terlalu dini (<6 bulan) atau bahkan terlambat dalam memberikan MP-ASI (>6 bulan) (Dubois, 2007; Chatoor, Jaclyn Surles, Jodi Ganiban et al, 2004; Galloway et al, 2003). Orang tua di Indonesia masih mempunyai anggapan bahwa anak yang sehat adalah anak yang gemuk, sehingga banyak orang tua salah dalam mengambil langkah, seperti memberikan susu formula di samping ASI bahkan memberikan makanan pada anak yang masih berumur dibawah 3 bulan (Einsenberg et al, 2002). Selain itu pola asuh makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Suhardjo, 2003).Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan picky eater pada anak umur 1-3 tahun yang bertempat di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo. B. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Picky Eater Istilah picky eater memang belum begitu dikenal, namun terdapat beberapa definisi yang menjelaskan tentang picky eater dalam Chatoor (2009), sebagai berikut: 1) Marchi dan Cohen (1990) mendefinisikan pilih-pilih makan ditandai dengan tiga dari perilaku anak sebagai berikut: tidak cukup makan, sering atau sangat sering pemilih makanan, biasanya makan perlahan, atau tidak tertarik pada makanan. 2) Dovey, Staples, Gibson, dan Halford (2007) menyatakan bahwa "picky/rewel" makan biasanya didefinisikan sebagai anak-anak yang mengkonsumsi berbagai makanan yang tidak memadai, melalui penolakan sejumlah besar makanan yang akrab serta asing. 3) Timimi, Dauglas, dan Triftsopoulou (1997) mendefinisikan picky eater sebagai pola perilaku yang spesifik dan gigih yang terdiri dari penolakan untuk makan apapun makanan di luar makanan yang disukai, dan mereka menggambarkan perilaku yang disertai upaya perlawanan untuk makan, tersedak, menyemburkan makanan, bermain dengan makanan di waktu makan, makan secara lambat, dan kesulitan menelan atau mengunyah makanan. 4) Rydel, Dahl, dan Sundelin (1995) menjelaskan "picky eater" sebagai anak-anak yang pemilih, diwujudkan dalam penolakan makanan, makan sedikit, dan tidak tertarik pada makanan. 5) Kesulitan makan (picky eater) adalah perilaku anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai umur secara fisiologis (alamiah dan wajar) yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan, hingga sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu (Judarwanto, 2006). Sehingga dapat disimpulkan bahwa picky eater merupakan kesulitan makan pada anak yang ditandai dengan menolak makan dan memilih makanan yang sangat disukai. 92 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2.2 Epidemiologi Picky Eater Sekitar 25% anak normal dan 80% anak yang memiliki gangguan perkembangan mengalami kesulitan makan, serta terdapat 1-2% bayi dengan kesulitan makan serius yang dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan (Chatoor, 2009). Penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa 20% sampai 50% dari anak-anak dijelaskan oleh orang tua mereka sebagai picky eater (Piazza, Carroll-Hernandez, 2004; Lubis, 2005). Sebuah studi populasi di London menggambarkan 17% anak berumur 3 tahun memiliki nafsu makan yang buruk dan 12% picky eater (Shore, Piazza, 1997). Sedangkan di Indonesia prevalensi picky eater terjadi pada anak berusia 1-3 tahun sekitar 20%, dari anak picky eater 44,5% mengalami malnutrisi ringan sampai sedang, dan 79,2% dari subjek penelitian telah mengalami picky eater lebih dari 3 bulan (Dewanti, 2012; Lubis, 2005). 2.3 Etiologi Picky Eater Komponen gangguan perilaku makan anak berhubungan dengan pengalaman dan rangsang oral di masa lalu. Anak yang pernah memiliki pengalaman makan yang tidak menyenangkan akan takut untuk belajar makan dan menghindari makanan. Anak yang pernah mengalami refluks gastroesofagus dan esofagitis akan merasakan nyeri yang berulang-ulang ketika makan/minum atau anak yang peka terhadap rasa, tekstur, dan bau memberikan anak pengalaman makan tidak menyenangkan sehingga anak akan menghindari makanan. Penolakan makan ini bisa saja menetap meskipun masalah organik yang mendasarinya telah hilang. Dibutuhkan rasa percaya diri dengan merasakan pengalaman menyenangkan yang berulang ketika makan untuk mengatasi hal ini. Orang tua yang mengalami depresi dan kelelahan dapat menjadi mudah marah dan menjadi tidak memiliki ketertarikan pada makan anaknya. Rangsangan makan dari orang tua, tingkat kekacauan, adanya jarak emosional orang tua anak/interaksi antara ibu dan anak yang kurang baik, serta kurangnya keterlibatan orang tua dalam mempersiapkan dan menyajikan makanan dapat membuat anak makan dengan perasaan tidak senang atau bahkan menjadi tidak tertarik makan apapun (Douglas, 1995; Chatoor, 2009). Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan pilih-pilih makan pada anak. Faktorfaktor ini memiliki interaksi yang dinamis satu sama lainnya (Winters, 2003). 2.3.1 Penyakit pada anak Penyakit yang diderita anak seperti gangguan saluran pencernaan yang bisa dialami yaitu alergi makanan, celiac, reflux, kolik, pancreatic insufficiency, diare, hepatitis, sirosis, sariawan, bibir sumbing dan sebagainya merupakan faktor penyebab terpenting dalam gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori ”Gut Brain Axis”. Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat gangguan saluran cerna maka mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan fungsi susunan saraf pusat tersebut berupa gangguan neuroanatomis dan neurofungsional. Salah satu manifestasi klinis yang terjadi adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut. Gangguan pencernaan tersebut kadang tampak ringan seperti tidak ada gangguan. Tampak anak sering mudah mual atau muntah bila batuk, menangis atau berlari. Sering nyeri perut sesaat dan bersifat hilang timbul, bila tidur sering dalam posisi ”nungging” atau perut diganjal bantal. Sulit buang air besar (bila buang air besar mengejan, tidak setiap hari buang air besar, atau sebaliknya buang air besar sering (>2 kali/perhari). Kotoran tinja berwarna hitam atau hijau dan baunya sangat menyengat, berbentuk keras, bulat (seperti kotoran kambing), pernah ada riwayat berak darah. Lidah tampak kotor, berwarna putih serta air liur bertambah banyak atau mulut berbau. Keadaan ini sering disertai gangguan tidur malam seperti sering rewel, kolik, tiba-tiba terbangun, mengigau atau menjerit, tidur bolak balik dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Saat tidur malam timbul gerakan brushing atau beradu gigi sehingga menimbulkan bunyi gemeretak. 93 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Biasanya disertai gangguan kulit: timbul bintik-bintik kemerahan seperti digigit nyamuk atau serangga, biang keringat, kulit berwarna putih (seperti panu) di wajah atau di bagian badan lainnya dan sebagainya. Kulit di bagian tangan dan kaki tampak kering dan kusam. Tanda dan gejala tersebut di atas sering dianggap biasa oleh orang tua bahkan banyak dokter atau klinisi karena sering terjadi pada anak. Bila diamati secara cermat tanda dan gejala tersebut merupakan manifestasi adanya gangguan pencernaan, yang berkaitan dengan kesulitan makan pada anak. Hal tersebut dapat menyebabkan anak merasa tidak nyaman dan cenderung menolak makan sehingga menyebabkan risiko tinggi untuk gizi buruk. Keterbatasan fisik, terutama organ-organ pencernaanya merupakan penyebab anak menjadi picky eater (Judarwanto, 2006; Dorfmann, 2008). Penelitian Alarcon et al (2003) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara anak yang sakit dan anak yang tidak sakit dengan picky eater. Penelitian Daniel dan Jacob (2012) menyatakan bahwa picky eater pada anak dapat dikaitkan dengan persepsi orang tua terhadap penurunan tingkat kesehatan dan aktivitas anak. Penyakit infeksi dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit. Anak yang sering menderita sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit, adalah (Lubis, 2008) : 1) Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan terhadap penyakit; 2) Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat; 3) Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dnegan tahapan usianya dan segera memeriksakan ke dokter jika anak menderita sakit. Gangguan malabsorbsi yang disebabkan oleh adanya gangguan enzim dapat pula menyebabkan anak menjadi picky eater, tingginya konsentrasi asam lambung dapat menyebabkan menurunnya kadar keasaman (pH) pada saluran cerna di bagian atas, hal ini dapat mengakibatkan anak menjadi sulit makan dan cenderung picky eater. Percepatan waktu transit makanan dalam usus yang mengakibatkan proses absorbsi berkurang dan dapat menimbulkan diare dipicu dari hipersekresi asam lambung (Cathey dan Gaylord, 2004). 2.3.2 Faktor psikologis Kebanyakan orang pada umumnya berasumsi jika anak balita terlalu kecil untuk merasa sedih. Berdasarkan penelitian terbaru menyatakan bahwa depresi klinis ternyata tidak mengenal umur. Faktor psikologis/perilaku pada anak dengan kesulitan makan meliputi: kecemasan, perhatian yang mudah teralihkan, memiliki keinginan yang kuat, serta gangguan mengendalikan diri. Riwayat tersedak, dipaksa ataupun dimarahi saat makan dapat menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Terdapat banyak faktor psikologis yang menpengaruhi nafsu makan anak yang sedang merasa tidak bahagia, sedih depresi atau merasa tidak nyaman dapat mengalami gangguan nafsu makan, selain itu mood ketika stress berperan pada rendahnya variasi makanan dan kecenderungan terhadap rasa manis (Greeno dan Wing, 1994). Orang tua yang membiarkan anaknya menangis berlama-lama dan sepuas-puasnya adalah sikap yang buruk dalam mendidik, karena menangis seperti itu membuat anak merasakan kepedihan yang hebat dan merasa kesepian. Anak seolah-olah dibiarkan 94 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 sendirian dan tidak diperdulikan, tidak di bantu dalam mengembangkan fungsi psikis yang paling dibutuhkan yaitu: kemampuan untuk berhubungan dan menerima kehangatan dan keramahan orang lain. Akibat dari situasi tersebut anak dapat mengalami depresi (Gunarsa, 2010). Anak yang menderita depresi secara persisten selalu terganggu, menarik diri dan lethargic. Anak yang depresi juga kehilangan minat untuk melakukan kegiatan yang sebelumnya sangat mereka sukai termasuk perubahan kebiasaan makan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Hilangnya nafsu makan akan menyebabkan anak menjadi picky eater yang biasanya dimulai dari kehilangan nafsu makan dari yang ringgan hingga berat (Judarwanto, 2006). 2.3.3 Nafsu makan Sebagian besar bayi mengalami kenaikan berat tubuh tiga kali berat lahirnya ketika ia berumur satu tahun, pada tahun ke dua ia hanya bertambah kira-kira seperempat dari beratnya. Menurunnya selera makan pada saat ini adalah cara tubuh bayi untuk menjamin adanya penurunan dari kenaikan berat tubuh ini. Ada juga faktor lain yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan bayi pada saat ini. Salah satunya adalah bertambahnya minat bayi terhadap dunia sekitarnya. Selama hampir seluruh tahun pertamanya waktu makan adalah saat-saat yang menonjol dalam kehidupannya (Judarwanto, 2006). Penelitian Alarcon et al (2003) menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara nafsu makan anak dengan picky eater. Sedangkan penelitian Johnson (2003) yang menyatakan bahwa picky eater merupakan bagian normal dari perkembangan anak yang mengarah pada frustasi, kecemasan dan perebutan kekuasaan antara anak dan orang tua. Menurut Sigmund Freud (1956-1939) pada satu tahun awal kehidupannya anak berada pada masa oral. Di dalam masa ini fokus kepuasan baik fisik maupun emosional berada pada sekitar mulut (oral). Kebutuhan untuk makan, minum sifatnya harus segera dipenuhi. Bayi menangis karena lapar, jika segera disusui dan kenyang bayi akan berhenti menangis dan tidur. Pada masa ini segala sesuatunya selalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Demikian juga apa bila ada gangguan fisik tidak nyaman anak menangis dan setelah gangguan fisiknya hilang akan segera diam (Siswanto, 2009). Pada tahun kedua anak memasuki masa anal. Pada fase ini kepuasan atau kesenangan berpusat disekitar anus dan segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Pada fase ini waktu makan hanya tampak seperti hal yang mengganggu bagi bayi yang sedang ingin terus bergerak. Bertambahnya kemandirian juga dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap makanan. Bayi yang sedang dalam proses berkembang menjadi anak balita, bisa saja bayi sangat menyukai makanan tertentu namun menolak beberapa jenis makanan (Siswanto, 2009; Eisenberg, 2002). Picky eater pada anak yang disebabkan oleh hilangnya nafsu makan dapat terjadi mulai dan tingkat yang ringan hingga yang berat. Gejala ringan dapat berupa kurangnya nafsu makan, pada anak terlihat dari minum susu botol yang sering sisa, mengeluarkan atau menyembur-nyemburkan makanan dan waktu minum ASI yang singkat, sedangkan gejala berat tampak dalam bentuk anak menutup mulutnya rapat-rapat atau menolak makan dan minum susu sama sekali. Hilangnya nafsu makan pada anak dapat terjadi karena gangguan saluran cerna, penyakit infeksi akut atau kronis, seperti TBC, cacingan, alergi makanan dan sebagainya (Judarwanto, 2006). 2.3.4 Umur anak Biasanya anggota keluarga pria yang lebih tua (senior) mendapat jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik daripada anak kecil dan wanita muda. Padahal anakanak membutuhkan banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Keadaan tersebut akan mengakibatkan buruknya keadaan gizi pada anak. Pada anak-anak, 95 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 energi yang dibutuhkan lebih banyak dari pada kelompok umur lainnya karena pada umur ini tubuh memerlukan energi untuk pertumbuhan badan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Kejadian picky eater terbanyak pada umur 1-3 tahun. Berdasarkan hasil penelitian Antolis (2012) yang dilakukan di Semarang, mayoritas anak yang mengalami kesulitan makan (picky eater) adalah berumur 6-24 bulan. Anak usia 1-3 tahun mempunyai perilaku makan yang rewel, suka memasukkan makanan ke dalam mulut tanpa menelannya, makan makanan yang sama berkali-kali dan menutup mulut yang biasa dikenal dengan istilah gerakan tutup mulut (GTM) (Judarwanto, 2006). Penelitian Lubis (2005) menjelaskan, picky eater banyak terjadi pada umur 1 sampai 3 tahun dan berisiko dua kali lebih besar untuk mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang bukan picky eater. Studi populasi di London-Inggris, pada anak berumur 3 tahun sebanyak 17% digambarkan memiliki nafsu makan yang buruk dan 12% picky eater (Shore, Piazza, 1997). Sedangkan di Indonesia prevalensi picky eater terjadi pada anak berusia 1-3 tahun sekitar 20%, dari anak picky eater 44,5% mengalami malnutrisi ringan sampai sedang, dan 79,2% dari subjek penelitian telah mengalami picky eater lebih dari 3 bulan (Dewanti, 2012). 2.3.5 Jenis kelamin anak Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Keadaan ini dapat mengakibatkan angka kematian bayi dan malnutrisi masih tinggi pada wanita (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Berdasarkan penelitian Antolis (2012) yang dilakukan di Semarang, mayoritas anak yang mengalami kesulitan makan (picky eater) adalah anak wanita sebesar (58%). Sedangkan menurut Carruth, Ziegler, Gordon, dan Barr (2004) prevalensi picky eater secara konsisten meningkat untuk kedua jenis kelamin antara 4 dan 24 bulan, mulai dari 17% menjadi 47% untuk pria dan 23% sampai 54% untuk perempuan. 2.3.6 Interaksi ibu dan anak Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat adanya hubungan yang terus menerus antara ibu atau pengganti ibu dengan bayi. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan hubungan timbal balik, yang secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan kasih sayang antara kedua pihak. Pada fase awal interaksi dapat berupa saling tatap atau kontak mata. Sifat hubungan antara ibu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari. Hubungan yang kaku dan dingin, penuh rasa permusuhan, akan memupuk kelak sifat suka melawan pada anak. Hubungan yang demikian juga merupakan sebab terbentuknya individu-individu yang bertipe anti sosial. Interaksi antara ibu atau pengasuh dengan anak dapat juga dipandang sebagai interaksi yang memberi rangsangan. Anak dirangsang untuk berkembang dan belajar banyak hal. Terutama dalam memberikan respon-respon tingkah laku yang bervariasi (Santrock, 2007; Gunarsa, 2010). Tanda-tanda sebuah hubungan ibu dan anak yang baik adalah: (1) anak akan meminta untuk selalu berdekatan dengan ibu atau pengasuh; (2) anak akan berbagi rasa atas perasaan yang dialaminya dengan ibu atau pengasuh; (3) anak akan mengatakan sesuatu yang menunjukkan dia tahu bagaimana perasaan ibu atau pengasuh; (4) anak akan membantu ibu atau pengasuh tanpa diminta; (5) anak ingin berbicara dengan ibu atau pengasuh (Fung dan Yi-Ming, 2003). E, Erikson menanamkan tahap pertama dari kehidupan bayi itu sebagai pengalaman untuk memperoleh “dasar kepercayaan“ atau “dasar ketidak percayaan” dalam tahap ini bayi membutuhkan perasaan yang menyenangkan secara fisik dan sesedikit mungkin pengalaman rasa takut atau tidak pasti. Keterikatan bayi pada ibunya menurut Freud dimulai dari situasi memberi makan dan menurut Erikson bermula pada pergaulan yang terjadi terus menerus antar ibu dan bayi sedangkan cara ibu memberikan makan bayi akan memperkuat keterikatanya (Gunarsa, 2010). 96 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Proses makan pada anak memerlukan suatu interaksi ibu dan anak yang baik, hal tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Ineteraksi yang positif seperti kontak mata, komunikasi dua arah, pujian dan sentuhan dan interaksi yang negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam dan melemparkan makanan dapat mempengaruhi psikologis anak yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap nafsu makan anak (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006). Perilaku pilih-pilih makanan secara signifikan terkait dengan keadaan psikologis/stress ibu ketika memberi makan, hal ini dapat berdampak negatif pada hubungan antara ibu dan anak (Daniel dan Jacob, 2012). Masalah makan bisa menjadi indikator kesulitan emosi antara anak dan orang tua khususnya ibu karena makan merupakan proses yang kompleks, dinamis, dan merupakan interaksi yang efektif antara pengasuh, anak dan lingkungan (Louise, 1999; Wardlan, 1999). Interaksi ibu dan anak mempunyai hubungan yang kuat pada perilaku makan dan berat badan anak (Oliveria, 2008). Pemberian makan merupakan salah satu hal yang penting dari pengasuhan orang tua terhadap anak. Perilaku anak di waktu makan, jadwal makan yang teratur, kualitas dan kuantitas makan serta variasi makanan dapat perhatian dari orang tua. Contoh dalam perilaku makan dapat dilakukan oleh orang tua. Kebiasaan dan perilaku makan orang tua dapat direfleksikan kepada anaknya (Cooke, L. J et al, 2007). Kecemasan orang tua dapat terjadi saat anak mengalami kesulitan dalam hal makan, hal itu dapat mengganggu hubungan dalam keluarga dan semakin memperburuk perilaku makan anak. Hubungan interaksi yang dilakukan dengan penuh rasa sayang dan kecintaan antara pemberi makan/pengasuh dengan anak, terutama ibu/orang tua dan seluruh anggota keluarga lain sangat penting dalam upaya pembinaan makan/pola asuh makan yang benar dan baik dalam keluarga, sehingga sangat bermanfaat sebagai salah satu upaya pencegahan kesulitan makan (Samsudin,1992). Interaksi ibu dan anak berhubungan dengan perkermbangan mental anak. Studi klinis menunjukkan perbedaan dalam nilai indeks perkembangan mental dan pertumbuhan antara anak-anak picky eaters dengan anak-anak non-picky eater. Nilai Mental Development Index (MDI) dari anak picky eater yang berumur 1-3 tahun adalah 14 poin lebih rendah dibandingkan dengan anak yang non-picky eater (Chatoor, 2004). 2.3.7 Perilaku makan orang tua Anak picky eater merupakan hasil dari meniru pola makan orang tuannya. Hal tersebut dapat dimulai dari meniru pola makan lingkungan terdekatnya yang juga pilihpilih makanan. Pada anak sulit makan mengalami gangguan oral motor yang mengakibatkan gangguan mengunyah dan menelan sehingga mereka akan pilih-pilih atau menolak makanan dengan tekstur tertentu terutama yang berserat seperti sayur, daging sapi atau nasi. Anak seperti ini hanya mau makanan yang tidak berserat dan yang crispy seperti telor, mie, nugget, biskuit, kerupuk dan sejenisnya. Gangguan oral motor biasanya sering disebabkan karena gangguan fungsi saluran cerna seperti alergi atau intoleransi makanan lainnya. Alergi atau gangguan genetik lainnya seringkali diturunkan oleh salah satu orang tuanya. Jadi bila salah satu orang tua mempunyai masalah kesulitan makan maka hal tersebut dapat diturunkan pada anak bukan karena anak meniru pola makan orang tua tetapi karena masalah itu diturunkan secara genetik (Judarwanto, 2006). Perilaku dan kebiasaan orang tua dalam hal makan yang dipengaruhi oleh faktor budaya akan mempengaruhi sikap suka dan tidak suka seorang anak terhadap makanan. Orang tua memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku anak yang berhubungan dengan makanan dan pilihan makanan pada anak. Orang tua masih tetap memegang peranan penting sebagai model atau contoh bagi anak-anaknya dalam hal perilaku makan yang sehat. Orang tua bertanggungjawab terhadap masalah makanan di rumah, jenis-jenis 97 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 makanan yang tersedia dan kapan makanan tersebut disajikan juga harus memberikan petunjuk mengenai hal-hal yang penting kepada anak-anak sehingga mereka mampu menentukan makanan yang sehat di saat mereka jauh dari rumah. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang malas makan (diet), akan mengembangkan perilaku malas makan juga (Sulistyoningsih, 2012). Penelitian Dubois et al (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara perilaku makan orang tua dengan picky eater. Lingkungan keluarga adalah pengaruh utama pada perilaku makan anak. Orang tua memainkan peran penting dalam konsumsi pola makan anak mereka, karena mereka juga mengontrol makanan yang dibeli untuk anak (Golan et al, 1998; Birch dan Davison, 2001; Epstein et al, 2001). Banyak penelitian mengenai pola makan dan pilih-pilih makanan pada anak-anak membahas pengaruh keluarga, khususnya orang tua. Konsep orang tua sebagai model peran tidak dapat diabaikan dalam diskusi fenomena pilih-pilih makanan. Sebuah kuantitatif meta-analisis yang mengamati temuan penelitian awal menemukan bahwa perilaku makanan orang tua berkorelasi positif dengan perilaku makanan anak-anak (Carruth dan Skinner, 2000). Ibu yang memilih-milih makanan mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anakanak mereka. Seorang anak mungkin akan kurang bersedia untuk mencoba makanan baru yang ibunya nya belum pernah merasakannya. Anak-anak akan kurang menerima makanan asing jika mereka mengamati perilaku orang tua mereka juga memilih-milih makan. Perilaku ibu akan terus mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak (Carruth dan Skinner, 2000). Daniel dan Jacob (2012) menyatakan anak-anak dengan riwayat keluarga pilih-pilih makanan secara signifikan lebih cenderung menjadi picky eater. Pemenuhan kebutuhan nutrisi balita masih bergantung pada orang lain khususnya ibu atau pengasuhnya, karena balita merupakan golongan konsumer semipasif/semiaktif (Soedibyo, 2008). Asupan gizi secara kuat berhubungan dengan ibu dan anak daripada antara ayah dan anak, selain itu, kebiasaan makan orang tua mempunyai dampak pada asupan gizi pada anak prasekolah (Oliveria, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan yang picky eater mempunyai ibu dengan variasi asupan sayuran yang rendah (Galloway, 2003). Orang tua dari anak picky eater menyatakan ketidakmampuan memakan berbagai makanan (Chatoor, 2009). Studi kuantitatif yang dipublikasikan tahun 1998 menguji, pemilihan makan pada balita berhubungan dengan pemilihan makan anggota keluarganya (Skinner et al, 1998). Pengasuh anak dengan karakterstik tertentu mempunyai dampak positif pada keadaan gizi anak. Anak-anak yang bergizi baik mempunyai ibu yang terampil dalam mengurus anak (UNICEF-Indonesia, 2012). 2.3.8 Riwayat pemberian ASI eksklusif Tidak banyak diketahui bahwa rasa ASI berubah sesuai dengan makanan yang dikonsumsi ibu. Rasa yang berubah-ubah pada ASI ini merupakan stimulasi bagi indera pengecapan bayi (Hendarto, Aryono dan Pringgadini, Keumala, 2008). Bayi mengalami pengalaman pertama tentang rasa makanan sejak masih dalam kandungan. Rasa cairan ketuban berubah-ubah bergantung jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibu. Rasa dari makanan yang dikonsumsi oleh ibu selama kehamilan disalurkan ke cairan ketuban yang tidak hanya dirasakan oleh janin tetapi juga meningkatkan penerimaan dan kenikmatan bayi pada saat masa penyapihan ASI (Nasar, 2010). Kemampuan bayi untuk mengetahui dan menerima rasa dan selera berkembang setelah lahir. Oleh karena itu pengalaman pertama terhadap rasa dan selera mempunyai dampak terhadap penerimaan rasa dan selera pada masa bayi dan anak. Telah diketahui sejak lama bahwa bayi yang terpapar dengan rasa dalam ASI akan meningkatkan penerimaan rasa tersebut sehingga mempercepat keberhasilan penyapihan. Beberapa bayi 98 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 yang mendapat ASI lebih dapat menerima sayur-sayuran pada pemberian pertama dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula. Anak yang diberikan ASI paling sedikit 6 bulan juga lebih jarang mengalami kesulitan makan (picky eater), sepanjang cara pemberian ASI-nya benar (Nasar , 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abbas dan Haryati (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian penyakit infeksi pada anak usia 12 bulan denga keeratan hubungan yang kuat dan anak yang diberi ASI eksklusif lebih jarang terkena penyakit infeksi dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif. Anak yang mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau selama 6 bulan. Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini dikenalkan makanan, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan cenderung tidak mengalami picky eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anak-anak dapat membangun pola interaksi ibu dan anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya daripada anak yang minum susu formula (Galloway, 2003). Semakin lama seorang ibu menyusui bayinya maka semakin rendah ibu-ibu memaksa makan pada saat anak berumur satu tahun. Menyusui secara eksklusif dan tidak memaksakan anak makan dapat mengurangi terjadinya picky eater pada anak (Taveras, 2004). Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006). Penelitian Dubois et al (2007) yang menyatakan bahwa ASI eksklusif menyebabkan penurunan 78% picky eater pada anak. Anak yang diberi ASI secara eksklusif kemungkinan 81% lebih sedikit menolak makanan. Cathey dan Gaylord (2004) yang menyatakan bayi yang mulai makan makanan padat sebelum berusia 4 bulan berisiko empat kali lebih besar untuk mengalami picky eater. Bayi yang mulai makan makanan padat sebelum berusia 6 bulan dari dua kali lebih berisiko untuk menolak makanan baru pada saat pra sekolah. Hal tersebut karena memperkenalkan makanan padat terlalu dini dapat mengganggu sistem pencernaan bayi yang belum siap untuk diberikan makanan padat. 2.3.9 Riwayat pemberian MP-ASI Pemberian MP-ASI pada saat yang tepat sangat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi dan tumbuh kembang bayi serta merupakan periode peralihan dari ASI eksklusif ke makanan keluarga yang merupakan suatu proses dimulainya pemberian makan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun struktur dan konsistensinya sampai seluruh kebutuhan nutrisi anak dipenuhi oleh makanan keluarga (Nasar, 2010). Syarat pemberian MP-ASI menurut Nasar (2010) yaitu: Tepat waktu (Timely): MPASI mulai diberikan saat kebutuhan energi dan nutrien melebihi yang didapat dari ASI; Adekuat (Adequate): MP-ASI harus mengandung cukup energi, protein dan mikronutrien; Aman (Safe): penyimpanan, penyiapan dan sewaktu diberikan, MP-ASI harus higienis; Tepat cara pemberian (Properly): MP-ASI diberikan sejalan dengan tanda lapar dan nafsu makan yang ditunjukkan bayi serta frekuensi dan cara pemberiannya sesuai dengan umur bayi. Masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga yang berlangsung antara 6 bulan sampai 23 bulan merupakan masa rawan pertumbuhan anak karena pada masa ini awal terjadinya malnutrisi yang berlanjut dan berkontribusi pada tingginya prevalensi malnutrisi anak balita. Selain itu dikatakan bahwa 2/3 dari kematian yang terkait malnutrisi disebabkan tidak tepatnya cara pemberian makan pada bayi dan anak (Nasar, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlia di Jakarta Timur (2001) didapatkan 99 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 hasil bahwa tingginya pemberian MP-ASI dini pada bayi turut berkontribusi akan terjadinya penyakit infeksi dan kurang gizi terutama pada bayi usia 0-6 bulan pertama kehidupan, juga berperan untuk memperpendek jarak kelahiran serta dapat menimbulkan penyakit degeneratif seperti Diabetes mellitus, Hipertensi, penyakit sirkulasi dan kanker pada usia dewasa akibat terjadinya obesitas yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI dini pada masa bayi. Anak yang mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau selama 6 bulan. Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini dikenalkan makanan, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan cenderung tidak mengalami picky eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anak-anak dapat membangun pola interaksi ibu dan anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya daripada anak yang minum susu formula (Galloway, 2003). Semakin lama seorang ibu menyusui bayinya maka semakin rendah ibu-ibu memaksa makan pada saat anak berumur satu tahun. Menyusui secara eksklusif dan tidak memaksakan anak makan dapat mengurangi terjadinya picky eater pada anak (Taveras, 2004). Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006). Daniel dan Jacob (2012) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kemungkinan pada anak yang dipengenalkan makanan padat (MP-ASI) pada saat anak berusia <6 bulan berisiko 2,5 kali lebih besar untuk mengalami picky eater dari pada anak yang diperkenalkan makanan padat (MP-ASI) saat berumur 6 bulan. 2.3.10 Konsep sehat sakit orang tua Anggapan bayi sehat adalah bayi yang gemuk sering kali menjadi tolok ukur banyak orang tua dalam menilai kesehatan seorang anak. Padahal anggapan ini belum tentu benar. Bayi yang gemuk mungkin saja sehat, tapi belum tentu bayi yang tidak gemuk itu tidak sehat. Bayi yang gemuk akan sulit bergerak sehingga anak menjadi tidak aktif dan berat tubuhnya akan semakin bertambah. Semakin sedikit anak bergerak maka semakin ia gemuk. Ketidakmampuan untuk bergerak membuat ia frustasi dan rewel. Begitu juga anggapan ibu tentang bayi yang kurus merupakan bayi yang kurang sehat. Akibat anggapan ini, banyak orang tua yang salah dalam mengambil langkah. Misalnya, karena merasa anaknya tidak gemuk, maka ibu menambahkan susu formula di samping ASI, bahkan makanan pada anaknya yang masih berumur 3 bulan, dengan anggapan supaya lebih sehat. ASI ekslusif selama 6 bulan pertama pada bayi sangat baik untuk menghasilkan anak sehat dan cerdas daripada susu formula apapun (Eisenberg et al, 2002). Bedasarkan penelitian diketahui bahwa anak picky eater diberi ASI kurang dari 6 bulan. Perilaku picky eater dibentuk karena anak terlau dini mengenal makanan, anak yang menyusu ASI cenderung tidak picky eater karena anak sudah dipanjakan dengan variasi rasa melalui ASI (Galloway, 2003). Selain memberikan MP-ASI secara dini orang tua biasanya juga memaksa anak makan banyak supaya anak dapat terlihat gemuk dan sehat sesuai dengan anggapan orang tua bahwa bayi yang sehat merupakan bayi yang gemuk. Dipaksa ataupun dimarahi saat makan dapat menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak. Psikologis yang menpengaruhi nafsu makan anak yang sedang merasa tidak bahagia, sedih depresi atau merasa tidak nyaman dapat mengalami gangguan nafsu makan, selain itu penelitian menunjukan bahwa mood ketika stress berperan pada rendahnya variasi makanan dan kecenderungan terhadap rasa manis (Greeno dan Wing, 1994). Hilangnya nafsu makan 100 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 akan menyebabkan anak menjadi picky eater yang biasanya dimulai dari kehilangan nafsu makan dari yang ringgan hingga berat (Judarwanto, 2006). Seorang individu akan memperoleh suatu konsep atau pandangan megenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pengetahuan lokal sebagai himpunan yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Cathey dan Gaylord, 2004). Seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi (Kusharisupeni, 2007). Dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial budaya dengan permasalahan gizi masyarakat, hal ini sesuai dengan teori dari Pelto et al (1980) yang menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pandangan, pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, cara berfikir, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan ini akan memengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas. 2.3.11 Umur ibu Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makanan yang sesuai bagi anak karena semakin bertambahnya umur ibu maka makin bertambah pula pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak. Saat ini banyak perempuan yang menikah pada umur dibawah 20 tahun. Secara fisik dan mental mereka belum siap untuk hamil dan melahirkan. Rahim belum siap menerima kehamilan dan ibu muda tersebut belum siap untuk merawat, mengasuh serta membesarkan bayinya. Hal ini juga mempengaruhi kesiapan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak (Manuaba, 2010). Orang tua yang sudah siap dalam mendidik anak serta mengalami pengalaman yang baik akan mempunyai banyak cara dalam menghadapi anak-anak yang susah makan dan mempunyai beragam variasi makanan yang dapat disajikan untuk anak sehingga anak dapat terhindar dari kebiasaan pilih-pilih makan yang disebabkan rasa bosan karena menu yang kurang bervariatif. Akan tetapi keluhan anoreksia tanpa penyakit organis yang nyata lebih sering ditemukan orang tua yang berusia lanjut (Markum, 2007). 2.3.12 Pendidikan ibu Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengurusan anak yang baik. Pendidikan formal maupun informal diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu. Pendidikan formal sangat diperlukan oleh ibu rumah tangga dalam meningkatkan pengetahuan dalam upaya mengatur dan mengetahui hubungan antara makanan dan kesehatan atau kebutuhan tubuh termasuk kebutuhan zat gizi bagi anggota keluarganya. Pendidikan merupakan suatu proses yang menumbuhkan sikap lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan atau ide-ide baru. Pada satu sisi pendidikan seorang ibu penting, artinya untuk kesejahteraan anak, namun pada sisi lain tidak dapat diingkari bahwa di beberapa bagian dunia ini wanita tertinggal jauh dalam hal pendidikan. Padahal bekal pendidikan bagi wanita sebagai seorang ibu sangat besar artinya bagi kesejahteraan suatu bangsa. Pendidikan sangat diperlukan agar seorang ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan cepat (Sudiyanto dan Sekartini, 2005). Pendidikan dapat dikaitkan dengan pengetahuan, berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Seorang yang berpendidikan rendah 101 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 biasanya akan berprinsip „yang penting mengenyangkan‟, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lainnya. Sebaliknya kelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan dapat merencanakan menu makanan yang sehat, bergizi dan bervariasi bagi dirinya dan keluarganya sehingga dapat terhindar dari rasa bosan dan dapat mengurangi perilaku terlalu memilih-milih makanan pada anak. Diketahui ibu dari anak picky eater ditemukan mempunyai pendidikan yang rendah (Adriani dan Wirjatmadi, 2012; Chatoor, 2009). 2.3.13 Tingkat pendapatan keluarga Tingkat pendapatan keluarga cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi pangan. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas. Tidak dapat dipungkiri dalam kenyataan, motif ekonomi berperan dalam menentukan perilaku individu. Terpenuhinya kebutuhan ekonomi seseorang atau keluarga akan mempengaruhi pengembangan potensinya, oleh karena itu kebutuhan fisiologis menempati posisi pertama dalam memandang aktualisasi perilaku manusia (Sulistyoningsih, 2012; Dariyo, 2007). Golongan ekonomi miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua per tiganya. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer seperti makanan maupun yang sekunder (Suhardjo, 1989). Tingkat penghasilan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan adanya tambahan penghasilan. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang menguntungkan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Pendapatan yang tinggi diimbangi pengetahuan gizi yang cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi (Sulistyoningsih, 2012). Penghasilan keluarga dapat mempengaruhi perencanaan menu makanan yang sehat, bergizi dan bervariasi sehingga dapat terhindar dari rasa bosan dan dapat mengurangi perilaku terlalu memilih-milih makanan pada anak. Ditemukan bahwa ibu yang anaknya picky eater mempunyai pendapatan keluarga yang rendah (Chatoor, 2009). 2.3.14 Pengasuh anak Pengasuh anak merupakan termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan dilakukan. Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak termasuk dalam hal makan. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan. Ketika anak makan dan rewel, lalu orang tua/pengasuh merespon dengan tidak sabar dan memaksa anak makan maka anak akan menganggap peristiwa makan menjadi hal yang tidak menyenangkan dan nafsu makan anak pun menjadi menurun. Akibatnya, anak pun jadi susah makan. Dalam hal pola asuh, orang tua yang tidak mengajari anak untuk mengonsumsi makanan yang bervariasi atau hanya menyediakan makanan yang tetap dapat membuat anak tidak belajar mengenal rasa dan jenis makanan yang beragam. Akibatnya, anak menjadi pilih-pilih makanan (picky eater) (Judarwanto, 2006). 102 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Masalah makan bisa menjadi indikator kesulitan emosi antara anak dan orang tua khususnya ibu karena makan merupakan proses yang kompleks, dinamis, dan merupakan interaksi yang efektif antara pengasuh, anak dan lingkungan (Louise, 1999; Wardlan, 1999). Pemberian makan merupakan salah satu hal yang penting dari pengasuhan orang tua terhadap anak. Perilaku anak di waktu makan, jadwal makan yang teratur, kualitas dan kuantitas makan serta variasi makanan dapat perhatian dari orang tua. Contoh dalam perilaku makan dapat dilakukan oleh orang tua. Kebiasaan dan perilaku makan orang tua dapat direfleksikan kepada anaknya (Cooke et al, 2007). Kecemasan orang tua dapat terjadi saat anak mengalami kesulitan dalam hal makan, hal itu dapat mengganggu hubungan dalam keluarga dan semakin memperburuk perilaku makan anak. Hubungan interaksi yang dilakukan dengan penuh rasa sayang dan kecintaan antara pemberi makan/pengasuh dengan anak, terutama ibu/orang tua dan seluruh anggota keluarga lain sangat penting dalam upaya pembinaan makan/pola asuh makan yang benar dan baik dalam keluarga, sehingga sangat bermanfaat sebagai salah satu upaya pencegahan kesulitan makan (Samsudin,1992). Penelitian Daniel dan Jacob (2012) yang meyatakan bahwa picky eater secara signifikan terkait dengan pengasuh anak. Semakin emosional orang tua/pengasuh dalam menghadapi anak yang susah makan maka suasana makan semakin terasa tidak menyenangkan bagi anak dan akhirnya anak akan semakin sulit untuk makan. Anak semakin antipati terhadap makanan karena mengingatkannya pada suasana yang tidak menyenangkan (Hidayati, 2011). 2.3.15 Sosial budaya Penemuan para peneliti banyak sekali yang menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsurunsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan/pola makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap taboo untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan. Dalam hal pangan ada budaya yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu umumnya keluarga. Anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya, dan yang paling umum mendapatkan prioritas terbawah adalah golongan ibu rumah tangga. Apabila hal yang demikian ini masih dianut dengan kuat oleh suatu budaya, sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989). Budaya cukup menentukan jenis dan variasi makanan yang sering dikonsumsi. Makanan yang bervariasi ini dapat menghindarkan terhadap rasa bosan. Pengaturan siklus makan juga sangat penting untuk diperhatikan sehingga berbagai kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Pengulangan makanan yang terlalu sering dalam rentan waktu yang pendek dapat menimbulkan rasa bosan dan anak cenderung memilih makanan-makanan tertentu yang disukainya. Hal ini karena pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Sediaoetama, 2006). Depkes (2005) menyatakan bahwa ibu adalah orang yang menentukan dalam pengaturan pemberian makanan untuk keluarganya. Jika ibu memiliki pendidikan dan 103 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 pengetahuan yang baik maka ia akan memberikan makanan yang sama untuk seluruh anggota keluarganya tanpa mengesampingkan anaknya. Pendidikan yang baik tidak akan memengaruhi seorang ibu terhadap budaya pendistribusian makanan yaitu dengan mendahulukan kepala rumah tangga dan membelakangkan anaknya. Sehingga dengan demikian pola konsumsi makan untuk anaknya dapat terkontrol dengan baik dan semua keluarga mendapat kebutuhan gizi yang sama. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya. Hasil penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya makan dengan picky eater. Menurut Kusharisupeni (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. Selanjutnya bila dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial budaya dengan permasalahan gizi masyarakat, perlu dipertimbangkan pendapat Pelto (1980) yang menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan memengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas. 2.4 Gejala Picky Eater Permasalahan makan pada anak merupakan masalah yang cukup bervariasi mulai dari inappropriate texture of food for age (tekstur makanan yang tidak bisa diterima), food refusal (menolak makan), restrictive eating (membatasi makan), selective eating (terlalu pilih-pilih makan), food phobia (takut terhadap makanan tertentu), food avoidance emotional disorder, pervasive refusal syndrome, childhood-onset bulimia nervosa dan childhood-onset anorexia nervosa (Chatoor, 2009). Gejala pada anak yang mengalami picky eater sebagai berikut: (1) Anak mengalami kesulitan dalam mengunyah, menghisap, menelan makanan atau makanan yang dimakan anak hanya makanan lunak atau cair; (2) Makanan yang sudah masuk ke dalam mulut anak akan dimuntahkan atau disembursemburkan; (3) Anak akan makan berlama-lama dan memainkan makanan; (4) Anak tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapatrapat, biasanya dikenal dengan istilah gerakan tutup mulut (GTM); (5) Semua asupan makanan dari orang tua dimuntahkan atau ditumpahkan; (6) Anak tidak menyukai banyak variasi makanan (Judarwanto, 2006). 2.5 Kriteria Diagnosis Picky Eater (1) Penolakan makan ini ditandai dengan penolakan yang konsisten terhadap makanan dengan rasa, tekstur, suhu atau bau tertentu selama paling tidak 1 bulan. (2) Makanan yang ditolak biasanya makanan yang baru diperkenalkan, atau makanan yang pernah dikenal tetapi dengan tipe lain, namun anak tidak kesulitan makan jenis makanan yang disukai. (3) Dijumpai adanya reaksi penolakan yang ditunjukkan dengan raut muka yang tidak menyenangkan, menutup mulut, hingga memuntahkan makanan. Setelah penolakan terhadap makanan tertentu biasanya anak tidak melanjutkan makan dan juga akan menolak makanan lain yang mempunyai warna atau tampilan atau bau yang serupa. Anak juga akan menolak seluruh kelompok makanan tersebut. 104 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 (4) Anak akan mengalami defisiensi mikronutrien tertentu seperti vitamin, Fe, Zinc atau protein, jika tidak diberikan suplementasi. Tetapi pada umumnya anak tidak mengalami perlambatan pertumbuhan dan bermasalah dalam perkembangan bicara. Pada umur sekolah, anak menjadi cemas ketika “jam makan di sekolah” atau kegiatan lain yang berkaitan dengan makan. (5) Tidak ada riwayat traumatik pada saluran pencernaan. (6) Tidak ditemukan riwayat alergi terhadap makanan atau penyakit fisik (Chatoor, 2009). 2.6 Dampak Picky Eater Pada anak, perilaku picky eater merupakan fase yang umum pada perkembangan anak yang tidak selalu menyebabkan masalah kesehatan atau sosial, namun picky eater yang ekstrem dapat berakibat buruk bagi anak, seperti gagal tumbuh, penyakit kronis dan kematian jika tidak ditangani (Manikam dan Perman, 2000). Kekurangan mikro dan makronutrien juga dapat dialami oleh anak picky eater yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan fisik yang ditandai dengan berat badan dan tinggi badan kurang atau berat badan sulit untuk ditingkatkan dan juga gangguan pertumbuhan kognitif (Lewinshon, et al, 2005; Daniel, 2008; Dubois, 2007; Wright, 2008; Judarwanto, 2006). 2.7 Penanganan Picky Eater Permasalahan makan merupakan hal yang kompleks dan harus ditangani secara tepat. Dibutuhkan keahlian dalam menawarkan makanan kepada anak, untuk meningkatkan penerimaan anak terhadap makanan diperlukan pajanan yang sering terhadap makanan tersebut, biasanya delapan sampai lima belas kali pajanan (Carruth, Ziegler, Gordon dan Barr, 2004). Selain itu, makanan baru sebaiknya diperkenalkan tanpa makanan lain dan tidak pada saat anak sakit, seperti demam atau diare (Claude dan Bernard Bonning, 2006). Perilaku makan picky eater membuat orang tua akan memaksa anaknya untuk makan karena kekhawatiran yang berlebihan akan memiliki berat badan rendah padahal perilaku tersebut dapat berakibat negatif pada anak (Dubois et al, 2007; Claude dan Bernard Bonning, 2006). Selain itu orang tua sebaiknya membangun interaksi makan yang positif, seperti kontak mata, komunikasi dua arah pujian dan sentuhan dan menghindari interaksi negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam, dan perilaku yang mengganggu anak seperti melempar makanan (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006). Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan jika menghadapi anak yang pilih-pilih makan sebagai berikut: (1) Jika anak menunjukkan reaksi tidak suka yang kuat akan suatu makanan seperti meludahkan makanan, tersedak, atau muntah orang tua disarankan untuk menghentikan pemberian makanan tersebut, pemberian makanan berulang cenderung meningkatkan rasa takut anak dan penolakan makanan. Di sisi lain, jika anak hanya meringis, orang tua dapat memberi anak makanan baru di lain waktu dan mencampurkan sedikit makanan yang tidak disukai anak dengan makanan yang disukai, kemudian ditingkatkan secara bertahap makanan yang tidak disukainya selama beberapa waktu, hal ini dapat memungkinkan anak untuk membiasakan diri dengan makanan baru tersebut. Ulangi pemberian makanan 15 sampai 25 kali atau bahkan sampai lebih dari 50 kali sampai anak benar-benar merasa nyaman dengan makanan baru tersebut; (2) Jika anak takut sekali mencoba makanan baru maka diet anak menjadi lebih terbatas, karena anak hanya makan dalam jumlah yang sedikit dan cenderung bosan setelah beberapa saat jika mereka makan setiap hari dengan menu yang sama, maka hal yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan membuat siklus makan/memutar makanan dari makanan satu ke yang lain atau dari hari ke hari; 105 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 (3) Tidak memberikan permen atau makanan ringan yang manis di luar jadwal makanan tambahan; (4) Membiasakan makan bersama di meja makan; (5) Jangan memaksa anak untuk makan; (6) Biarkan anak memilih makanannya sendiri dari daftar makanan yang ditawarkan orang tua dan mengajak anak untuk membeli dan menyiapkan makanannya sendiri; (7) Orang tua hedaknya tidak mengikuti keinginan anak dengan mengganti menu sesuai keinginannya, kerena mungkin saja ketidaksukaan anak terhadap makanan disebabkan karena keinginan menentang dominasi orang tua (Chatoor, 2009). C. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional yang bersifat analitik. Desain penelitian menggunakan pendekatan Case Control (kasus kontrol). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak berumur 1-3 tahun di posyandu yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Jabon. Sampel diambil menggunakan simple random sampling dan berjumlah 106 anak, yang terdiri dari kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah anak berumur 1-3 tahun yang mengalami picky eater, sedangkan kelompok kontrol yang tidak mengalami picky eater, dengan jumlah masingmasing sebanyak 53 anak. D. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Anak dan orang tua Sebagian besar anak berada pada rentang usia >24-36 bulan. Sementara umur ibu sebagian besar berusia ≥20 tahun. Untuk pendidikan, sebagian besar ibu berpendidikan terakhir tamat SMA. Untuk pendapatan keluarga, sebagian besar berpenghasilan ≥Rp.1.720.000 juta per bulan. 2. Analisis Bivariabel Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh antara dua variabel yaitu antara variabel bebas (determinan picky eater) dan variabel terikat (picky eater) dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda. Jika hasil uji bivariabel mempunyai nilai p < 0,25 maka variabel tersebut dapat diikutkan ke dalam kandidat uji multivariabel. Hasil tahap seleksi bivariabel dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Hasil tahap seleksi bivariabel untuk analisis Regresi Logistik Ganda Variabel Penyakit pada anak Nafsu makan anak Interaksi ibu dan anak Perilaku makan orang tua Riwayat pemberian ASI eksklusif Riwayat pemberian MP-ASI Konsep sehat sakit orang tua Pengasuh anak Sosial budaya Jenis makan Frekuensi makan Waktu makan Cara pemberian makan P value 0,010* 0,007* 0,175* 0,005* 0,000* 0,030* 0,560 0,034* 0,001* 0,039* 0,052* 0,000* 0,000* *) variabel yang lolos seleksi bivariabel dengan p=0,25 3. Analisis Multivariabel Analisis multivariabel dilakukan untuk menindaklanjuti analisis bivariabel yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis multivariabel adalah analisis yang dilakukan terhadap variabel bebas dengan variabel terikat untuk mengetahui variabel yang paling dominan terhadap picky eater dan hasilnya dibandingkan dengan 0,05. Jika p value 0,05, maka 106 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 variabel independent harus dikeluarkan dari tahap berikutnya. Uji statistik yang digunakan adalah Regresi Logistik Ganda. Secara lengkap hasil analisis tahap kedua tersaji dalam tabel 2 berikut: Tabel 2. Hasil analisis multivariabel untuk analisis Regresi Logistik Ganda Variabel Cara pemberian makan kurang baik Riwayat pemberian MP-ASI </>6 bulan Riwayat tidak diberi ASI eksklusif Interaksi ibu dan anak kurang baik Perilaku makan orang tua pilih-pilih makan Sosial budayaterdapat makanan pantangan pada anak Waktu makan kurang tepat Pengasuh anak selain orang tua Frekuensi makan tidak sesuai umur anak Anak yang sakit dalam 3 bulan terakhir Anak yang terdapat gangguan nafsu makan Jenis makan tidak sesuai umur anak P value 0,003* 0,004* 0,005* 0,007* 0,008* 0,020* 0,022* 0,023* 0,024* 0,027* 0,249 0,600 OR 13,035 15,851 14,402 17,605 10,084 9,929 5,979 10,992 7,010 6,956 2,505 0,429 *) hasil analisis multivariabel dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda dengan p=0,05 4. Pengaruh Penyakit Pada Anak terhadap Picky Eater Tabel 3. Distribusi penyakit pada anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Picky eater Penyakit n 26 27 53 Ada penyakit Tidak ada penyakit Jumlah (%) 49,1 50,9 100 n 13 40 53 Non picky eater (%) 24,5 75,5 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,027 < 0,05 sehingga ada pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater, dengan OR= 6,9 (CI 95% = 1,251-38,679) yang berarti kemungkinan pada anak yang sakit dalam tiga bulan terakhir berisiko mengalami picky eater 6,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak sakit dalam tiga bulan terakhir. 5. Pengaruh Nafsu Makan Anak terhadap Picky Eater Tabel 4. Distribusi nafsu makan pada anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Picky eater Nafsu makan Ada gangguan nafsu makan Tidak ada gangguan nafsu makan Jumlah Non picky eater (%) n (%) n 31 22 53 58,5 41,5 100 17 36 53 32,1 67,9 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,525 < 0,05 sehingga tidak ada pengaruh gangguan nafsu makan pada anak terhadap picky eater. 6. Pengaruh Interaksi Ibu dan Anak terhadap Picky Eater Tabel 5. Distribusi interaksi ibu dan anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Interaksi ibu dan anak Kurang baik Baik Jumlah Picky eater n (%) 29 24 53 54,7 45,3 100 n 22 31 53 Non picky eater (%) 41,5 58,5 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,007 < 0,05 sehingga ada pengaruh interaksi ibu dan anak terhadap picky eater, dengan OR = 17,6 (CI 95% = 2,187-141,691) yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai interaksi yang 107 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 kurang baik antara ibu dan anak berisiko mengalami picky eater 17,6 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai interaksi antara ibu dan anak baik. 7. Pengaruh Perilaku Makan Orang Tua terhadap Picky Eater Tabel 6. Distribusi perilaku makan orang tua di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Picky eater Perilaku makan orang tua N Memilih-milih makan Tidak memilih-milih makan 20 33 53 Jumlah (%) Non picky eater n (%) 37,7 62,3 100 46 53 7 13,2 86,8 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,008 < 0,05 sehingga ada pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater, dengan OR= 10,1 (CI 95% = 1,838-55,330) yang berarti kemungkinan pada anak yang perilaku makan orang tuanya memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua yang tidak memilih-milih makanan. 8. Pengaruh Riwayat Pemberian ASI Eksklusif terhadap Picky Eater Tabel 7. Distribusi pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Picky eater Riwayat pemberian ASI n Tidak ASI eksklusif ASI eksklusif (%) 83,0 17,0 100 44 9 53 Jumlah Non picky eater n (%) 23 43,4 30 56,6 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,017 < 0,05 sehingga ada pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater, dengan OR= 14,4 (CI 95% = 2,210-93,859) yang berarti kemungkinan pada anak yang tidak diberi ASI eksklusif berisiko mengalami picky eater 14,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI eksklusif. 9. Pengaruh Pemberian MP-ASI terhadap Picky Eater Tabel 8. Distribusi pemberian MP-ASI di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Riwayat pemberian MP-ASI </>6 bulan 6 bulan Jumlah Picky eater n 26 27 53 (%) 49,1 50,9 100 Non picky eater n (%) 15 28,3 38 71,7 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,004 < 0,05 sehingga ada pengaruh riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater, dengan OR= 15,8 (CI 95% = 2,395-104,904) yang berarti kemungkinan pada anak yang diberi MP-ASI kurang atau lebih dari 6 bulan berisiko mengalami picky eater 15,8 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mendapatkan MP-ASI saat berusia 6 bulan. 10. Pengaruh Konsep Sehat Sakit Orang Tua terhadap Picky Eater Tabel 9. Distribusi konsep sehat sakit orang tua di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Konsep sehat sakit orang tua Kurang Baik Jumlah n 28 25 53 Picky eater (%) 52,8 47,2 100 Non picky eater n (%) 25 47,2 28 52,8 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Sederhana dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,560 > 0,25 sehingga tidak ada pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater. 108 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 11. Pengaruh Pengasuh Anak terhadap Picky Eater Tabel 10. Distribusi pengasuh anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Pengasuh anak Orang lain selain ayah dan ibu Ayah dan ibu sendiri Jumlah Picky eater n (%) 20 37,7 33 62,3 53 100 Non picky eater n (%) 10 18,9 43 81,1 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,023 < 0,05 sehingga ada pengaruh pengasuh anak terhadap picky eater dengan OR= 10,9 (CI 95% = 1,386-87,203) yang berarti kemungkinan pada anak yang diasuh oleh orang lain selain ayah dan ibunya sendiri berisiko mengalami picky eater 10,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ayah dan ibunya sendiri. 12. Pengaruh Sosial Budaya terhadap Picky Eater Tabel 11. Distribusi sosial budaya di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Picky eater (%) 23 43,4 30 56,6 53 100 Sosial budaya n Terdapat makanan pantangan Tidak terdapat makanan pantangan Jumlah Non picky eater n (%) 7 13,2 46 86,8 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,020 < 0,05 sehingga ada pengaruh sosial budaya terhadap picky eater dengan OR = 9,9 (CI 95% = 1,42869,053) yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai makanan pantangan berisiko mengalami picky eater 9,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai makanan pantangan. 13. Pengaruh Jenis Makanan terhadap Picky Eater Tabel 12. Distribusi jenis makanan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Jenis makanan Tidak sesuai umur Sesuai umur Jumlah Picky eater n 8 45 53 (%) 15,1 84,9 100 Non picky eater n (%) 1 1,9 52 98,1 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,600 > 0,05 sehingga tidak ada pengaruh jenis makanan pada anak terhadap picky eater. 14. Pengaruh Frekuensi Makan terhadap Picky Eater Tabel 13. Distribusi frekuensi makan anak di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Frekuensi makanan Tidak sesuai umur Sesuai umur Jumlah Picky eater n 28 25 53 (%) 52,8 47,2 100 Non picky eater n (%) 18 34,0 35 66,0 53 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,024 < 0,05 sehingga ada pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater, dengan OR= 7 (CI 95% = 1,285-38,223) yang berarti kemungkinan pada anak yang frekuensi pemberian makannya tidak sesuai dengan umur anak berisiko mengalami picky eater 7 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang frekuensi pemberian makannya sesuai dengan umur. 109 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 15. Pengaruh Waktu Makan terhadap Picky Eater Tabel 14. Distribusi waktu makan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Picky eater Waktu makan n 36 17 53 Kurang tepat Tepat Jumlah Non picky eater n (%) 13 24,5 40 75,5 53 100 (%) 67,9 32,1 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,022 < 0,05 sehingga ada pengaruh waktu makan pada anak terhadap picky eater, dengan OR= 5,9 (CI 95% = 1,289-27,741) yang berarti kemungkinan pada anak yang waktu makannya kurang tepat berisiko mengalami picky eater 5,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai waktu makan yang tepat. 16. Pengaruh Cara Pemberian Makan terhadap Picky Eater Tabel 15. Distribusi cara pemberian makan di wilayah kerja Puskesmas Jabon Sidoarjo tahun 2013 Cara pemberian makan Kurang Baik Jumlah n 33 20 53 Picky eater (%) 62,3 37,7 100 n 5 48 53 Non picky eater (%) 9,4 90,6 100 Hasil uji Regresi Logistik Ganda dengan = 0,05 menunjukkan p = 0,003 < 0,05 sehingga ada pengaruh cara pemberian makan terhadap picky eater, dengan OR= 13 (CI 95% = 2,349-72,324) yang berarti kemungkinan pada anak yang cara pemberian makannya kurang baik berisiko mengalami picky eater 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang cara pemberian makannya baik E. PEMBAHASAN 1. Pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh penyakit pada anak terhadap picky eater, dan didapatkan nilai OR = 6,9 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai penyakit berisiko mengalami picky eater 6,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai penyakit. Penyakit yang diderita anak seperti gangguan saluran pencernaan yang bisa dialami merupakan faktor penyebab terpenting dalam gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori ”Gut Brain Axis”. Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat gangguan saluran cerna maka mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan fungsi susunan saraf pusat tersebut berupa gangguan neuroanatomis dan neurofungsional. Salah satu manifestasi klinis yang terjadi adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut (Judarwanto, 2006; Dorfmann, 2008). Hal ini mendukung pernyataan Judarwanto (2006) dan Dorfmann (2008), bahwa keterbatasan fisik, terutama organ-organ pencernaanya merupakan penyebab anak menjadi picky eater. Picky eater terparah dapat dialami oleh anak yang mempunyai kelainan organ pencernaan. Hal ini juga mendukung penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara anak yang sakit dan anak yang tidak sakit dengan picky eater. Hal ini juga mendukung penelitian dari Daniel dan Jacob (2012) bahwa picky eater pada anak dapat dikaitkan dengan persepsi orang tua terhadap penurunan tingkat kesehatan dan aktivitas anak. Gangguan malabsorbsi yang disebabkan oleh adanya gangguan enzim dapat pula menyebabkan anak menjadi picky eater, tingginya konsentrasi asam lambung dapat 110 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 menyebabkan menurunnya kadar keasaman (pH) pada saluran cerna di bagian atas, hal ini dapat mengakibatkan anak menjadi sulit makan dan cenderung picky eater. Percepatan waktu transit makanan dalam usus yang mengakibatkan proses absorbsi berkurang dan dapat menimbulkan diare dipicu dari hipersekresi asam lambung (Cathey dan Gaylord, 2004). 2. Pengaruh nafsu makan anak terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh nafsu makan anak terhadap picky eater menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh gangguan nafsu makan pada anak terhadap picky eater. Sebagian besar bayi mengalami kenaikan berat tubuh tiga kali berat lahirnya ketika ia berumur satu tahun, pada tahun ke dua ia hanya bertambah kira-kira seperempat dari beratnya. Menurunnya selera makan pada saat ini adalah cara tubuh bayi untuk menjamin adanya penurunan dari kenaikan berat tubuh ini. Ada juga faktor lain yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan bayi pada saat ini. Salah satunya adalah bertambahnya minat bayi terhadap dunia sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siswanto (2009) disebabkan pada anak usia 1-3 tahun adalah anak memasuki masa anal. Pada fase ini kepuasan atau kesenangan berpusat disekitar anus dan segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Anak pada fase ini diperkenalkan dengan toilet traning, yaitu anak mulai diperkenalkan tentang rasa ingin buang air besar atau buang air kecil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara nafsu makan anak dengan picky eater. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Johnson (2003) yang menyatakan bahwa picky eater merupakan bagian normal dari perkembangan anak yang mengarah pada frustasi, kecemasan dan perebutan kekuasaan antara anak dan orang tua. Pada fase ini waktu makan hanya tampak seperti hal yang mengganggu bagi anak yang sedang ingin terus bergerak. Bertambahnya kemandirian juga dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap makanan. Bayi yang sedang dalam proses berkembang menjadi anak balita, bisa saja sangat menyukai makanan tertentu namun menolak beberapa jenis makanan, namun pada masa ini anak sudah bisa diarahkan mana saja makanan yang baik untuk kesehatan dan makanan yang kurang baik (Siswanto, 2009; Eisenberg, 2002). Sehingga wajar jika pada usia 1-3 tahun ini anak mengalami hal tersebut karena pada masa ini kepuasan anak bukan lagi berada di mulut. 3. Pengaruh interaksi ibu dan anak terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis interaksi ibu dan anak terhadap picky eater menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa interaksi ibu dan anak berpengaruh terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 17,6 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai interaksi ibu dan anak kurang berisiko mengalami picky eater 17,6 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai interaksi yang baik antara ibu dan anak. Dilapangan ibu menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja walaupun ibu menyempatkan untuk berinteraksi bersama anak dengan bermain dan memberi makan, namun waktu ibu bersama dengan anak tidak sebanyak ibu yang tidak bekerja yang lebih leluasa dalam meluangkan waktunya untuk anak. Keadaan ini akan berdampak pada kedekatan anatara ibu dan anak. Hal ini sesuai menurut Claude, Anne dan Bernard Bonning (2006) bahwa proses makan pada anak memerlukan suatu interaksi ibu dan anak yang baik, hal tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Ineteraksi yang positif seperti kontak mata, komunikasi dua arah, pujian dan sentuhan dan interaksi yang negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam dan melemparkan makanan dapat mempengaruhi psikologis anak yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap nafsu makan anak. Hal ini juga mendukung penelitian Chatoor dkk (2004), bahwa interaksi ibu dan anak berhubungan dengan perkermbangan mental anak. Studi klinis menunjukkan perbedaan dalam 111 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 nilai indeks perkembangan mental dan pertumbuhan antara anak-anak picky eater dengan anak-anak non-picky eater. Nilai Mental Development Index (MDI) dari anak picky eater yang berumur 1-3 tahun adalah 14 poin lebih rendah dibandingkan dengan anak yang nonpicky eater. 4. Pengaruh perilaku makan orang tua terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis perilaku makan orang tua terhadap picky eater menunjukkan bahwa perilaku makan orang tua berpengaruh terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 10,1 yang berarti kemungkinan pada anak yang mempunyai orang tua berperilaku memilih-milih makanan berisiko mengalami picky eater 10,1 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mempunyai orang tua tidak memilih-milih makanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Judarwanto (2006), bahwa anak picky eater merupakan hasil dari meniru pola makan orang tuannya. Hal tersebut dapat dimulai dari meniru pola makan lingkungan terdekatnya yang juga pilih-pilih makanan. Jadi bila salah satu orang tua mempunyai masalah kesulitan makan maka hal tersebut dapat diturunkan pada anak bukan karena anak meniru pola makan orang tua tetapi karena masalah itu diturunkan secara genetik. Carruth dan Skinner (2000) melaporkan bahwa ibu yang memilih-milih makanan mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak-anak mereka. Seorang anak mungkin akan kurang bersedia untuk mencoba makanan baru yang ibunya nya belum pernah merasakannya. Anak-anak akan kurang menerima makanan asing jika mereka mengamati perilaku orang tua mereka juga memilih-milih makan. Perilaku ibu akan terus mempengaruhi perilaku pilih-pilih makan anak. Sedangkan Daniel dan Jacob (2012) menyatakan anak-anak dengan riwayat keluarga pilih-pilih makanan secara signifikan lebih cenderung menjadi picky eater. Hal ini juga mendukung hasil penelitian Galloway (2003) yang menunjukkan bahwa anak perempuan yang picky eater mempunyai ibu dengan variasi asupan sayuran yang rendah. Serta mendukung penelitian dari Chatoor (2009), bahwa orang tua dari anak picky eater menyatakan ketidakmampuan memakan berbagai makanan. 5. Pengaruh riwayat pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis riwayat pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh riwayat pemberian ASI eksklusif terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 14,4 yang berarti kemungkinan pada anak yang tidak diberi ASI eksklusif berisiko mengalami picky eater 14,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini mendukung pernyataan dari IDAI (2010), bahwa kemampuan bayi untuk mengetahui dan menerima rasa dan selera berkembang setelah lahir. Oleh karena itu pengalaman pertama terhadap rasa dan selera mempunyai dampak terhadap penerimaan rasa dan selera pada masa bayi dan anak. Telah diketahui sejak lama bahwa bayi yang terpapar dengan rasa dalam ASI akan meningkatkan penerimaan rasa tersebut sehingga mempercepat keberhasilan penyapihan. Beberapa bayi yang mendapat ASI lebih dapat menerima sayursayuran pada pemberian pertama dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula. Anak yang diberikan ASI paling sedikit 6 bulan juga lebih jarang mengalami kesulitan makan (picky eater), sepanjang cara pemberian ASI-nya benar. Penelitian ini juga mendukung pernyataan dari Galloway (2003), anak yang mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau selama 6 bulan. Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini dikenalkan makanan, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan cenderung tidak mengalami picky eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anakanak dapat membangun pola interaksi ibu dan anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya daripada anak yang minum susu formula. Semakin lama seorang ibu menyusui bayinya maka semakin rendah ibu-ibu memaksa makan pada saat anak berumur satu tahun. 112 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Penelitian ini juga mendukung penelitian Taveras (2004) yang menyatakan bahwa menyusui secara eksklusif dan tidak memaksakan anak makan dapat mengurangi terjadinya picky eater pada anak (Taveras, 2004). Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006). 6. Pengaruh riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh riwayat pemberian MP-ASI terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 15,8 yang berarti kemungkinan pada anak yang diberi MP-ASI kurang atau lebih dari 6 bulan berisiko mengalami picky eater 15,8 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mendapatkan MP-ASI saat berusia 6 bulan. Hal ini mendukung pernyataan dari Galloway (2003), bahwa anak yang mengalami picky eater diketahui tidak diberi ASI secara eksklusif atau selama 6 bulan. Perilaku anak menjadi picky eater dikarenakan anak terlau cepat/dini dikenalkan makanan, anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan cenderung tidak mengalami picky eater karena anak sudah terpajan dengan berbagai variasi rasa melalui ASI. Selain itu, anak-anak dapat membangun pola interaksi ibu dan anak secara beragam selama anak menyusu kepada ibunya daripada anak yang minum susu formula Umur saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau terlambat dapat berpengaruh terhadap kejadian picky eater pada anak yang dihubungkan dengan keterampilan makan anak (Sunarjo, 2006). Hal ini mendukung penelitian Daniel dan Jacob (2012) bahwa kemungkinan pada anak yang dipengenalkan makanan padat (MP-ASI) pada saat anak berusia <6 bulan berisiko 2,5 kali lebih besar untuk mengalami picky eater dari pada anak yang diperkenalkan makanan padat (MP-ASI) saat berumur 6 bulan. 7. Pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh konsep sehat sakit orang tua terhadap picky eater. Seorang individu akan memperoleh suatu konsep atau pandangan megenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pengetahuan lokal sebagai himpunan yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Cathey dan Gaylord, 2004). Dilapangan ditemukan orang tua beranggapan bayi sehat adalah bayi yang gemuk sering kali menjadi tolok ukur banyak orang tua dalam menilai kesehatan seorang anak. Padahal anggapan ini belum tentu benar. Bayi yang gemuk mungkin saja sehat, tapi belum tentu bayi yang tidak gemuk itu tidak sehat, tetapi tidak semua anak dari orang tua yang mempunyai anggapan demikian menjadi tidak picky eater, hal ini disebabkan karena makin tingginya pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan ibu kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kusharisupeni (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. 8. Pengaruh pengasuh anak terhadap perilaku picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh pengasuh anak terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh pengasuh anak terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 10,9 yang berarti kemungkinan pada anak yang diasuh oleh orang lain selain ayah dan ibunya berisiko mengalami picky eater 10,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ayah dan ibunya sendiri. 113 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Pengasuh anak merupakan termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan dilakukan. Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak termasuk dalam hal makan. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Judarwanto (2006) yakni dalam hal pola asuh, orang tua yang tidak mengasuh dan mengajari anak untuk mengonsumsi makanan yang bervariasi atau hanya menyediakan makanan yang tetap dapat membuat anak tidak belajar mengenal rasa dan jenis makanan yang beragam. Akibatnya, anak menjadi pilih-pilih makanan (picky eater) (Judarwanto, 2006). Masalah makan bisa menjadi indikator kesulitan emosi antara anak dan orang tua khususnya ibu karena makan merupakan proses yang kompleks, dinamis, dan merupakan interaksi yang efektif antara pengasuh, anak dan lingkungan (Louise, 1999; Wardlan, 1999). Pemberian makan merupakan salah satu hal yang penting dari pengasuhan orang tua terhadap anak. Perilaku anak di waktu makan, jadwal makan yang teratur, kualitas dan kuantitas makan serta variasi makanan dapat perhatian dari orang tua. Contoh dalam perilaku makan dapat dilakukan oleh orang tua. Kebiasaan dan perilaku makan orang tua dapat direfleksikan kepada anaknya (Cooke et al, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian Daniel dan Jacob (2012) yang meyatakan bahwa picky eater secara signifikan terkait dengan pengasuh anak. 9. Pengaruh sosial budaya terhadap perilaku picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh sosial budaya terhadap picky eater menunjukkan bahwa bahwa ada pengaruh sosial budaya terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 9,9 yang berarti kemungkinan pada anak yang terdapat makanan pantangan yang dipengaruhi oleh sosial budaya berisiko mengalami picky eater 9,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak terdapat makanan pantangan yang dipengaruhi oleh sosial budaya. Hal ini sesuai dengan penemuan para peneliti yang banyak sekali menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan/pola makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan (Suhardjo, 1989). Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa budaya cukup menentukan jenis dan variasi makanan yang sering dikonsumsi. Makanan yang bervariasi ini dapat menghindarkan terhadap rasa bosan. Pengaturan siklus makan juga sangat penting untuk diperhatikan sehingga berbagai kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Pengulangan makanan yang terlalu sering dalam rentan waktu yang pendek dapat menimbulkan rasa bosan dan anak cenderung memilih makanan-makanan tertentu yang disukainya. Hal ini karena pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Sediaoetama, 2006). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Alarcon et al (2003) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya makan dengan picky eater. Menurut Kusharisupeni (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. 10. Pengaruh jenis makanan terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh jenis makanan terhadap picky eater menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jenis makanan pada anak terhadap picky eater. 114 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Pemberian jenis makanan sesuai umur anak akan memudahkan makanan tersebut dicerna oleh saluran cerna dan diserap dengan sempurna sehingga akhirnya dapat didistribusikan ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak guna pertumbuhan dan perkembangannya. Dilapangan ditemukan anak anak diberikan makanan sesuai dengan usianya, tetapi tidak semua anak menjadi tidak picky eater, hal ini disebabkan karena walaupun saat ini anak diberikan makanan sesuai dengan usianya tetapi banyak anak yang diberi MP-ASI pada saat anak berusia kurang dari 6 bulan. Selain itu cara pemberian makan orang tua/pengasuh yang dapat mempengaruhi situasi saat pemberian makan. Pemberian makan dengan cara yang sabar dan tidak terburu-buru dapat menghindarkan anak dari susah makan atau bahkan memilih-milih makan. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Surbakti (2005) yang menyatakan kesulitan makan pada anak tidak dipengaruhi oleh jenis makanan yang diberikan orang tua kepada anaknya tetapi lebih ditekankan bagaimana cara orang tua dalam memberi makanan kepada anaknya sehingga anaknya mau makan. 11. Pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh frekuensi makan terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 7 yang berarti kemungkinan pada anak yang frekuensi makannya tidak sesuai dengan umur berisiko mengalami picky eater 7 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang frekuensi makannya sesuai dengan umur. Hal ini sesuai dengan teori Engle et al (1997) yang menyatakan bahwa frekuensi makanan adalah salah satu faktor yang diperhatikan dalam pola asuh makan anak. Frekuensi makan anak dalam sehari menurut Depkes RI (2005) disesuaikan dengan umur anak sehingga asupan makanan tersebut dapat mencukupi kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Begitu juga sebaliknya, anak dengan frekuensi makan tidak sesuai umur, maka asupan zat gizinya kurang sehingga anak tersebut lebih besar kemungkinan untuk menderita malnutrisi. Frekuensi makan harus disesuaikan dengan umur anak. Hal ini mendukung pernyataan dari Chatoor (2009), bahwa pemberian makan dengan waktu berdekatan/sering dan dengan menghidangkan makanan yang sama dapat membuat anak memilih-milih dan menolak makanan meskipun anak sangat menyukainya. Selain anak merasa bosan dengan makanan yang kurang bervariatif orang tua sebaiknya mengetahui waktu diamana anak merasa lapar. Orang tua hendaknya membuat siklus menu agar bervariasi sehingga anak tidak bosan. Anak akan mendapatkan asupan gizi yang lebih lengkap bila orang tua menghidangkan menu yang bervariasi sehingga anak dapat terhindar dari kebiasaan menolak makanan dan memilih-milih makan. 12. Pengaruh waktu makan terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh waktu makan terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh waktu pemberian makan terhadap picky eater dan didapatkan nilai OR= 5,9 yang berarti kemungkinan pada anak yang waktu pemberian makannya kurang tepat berisiko mengalami picky eater OR= 5,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang waktu pemberian makannya tepat. Pemberian makanan pada anak sebaiknya pada saat anak lapar sehingga ia dapat menikmatinya, tidak perlu dengan membuat jadwal makan yang terlalu kaku (terlalu disiplin waktu), karena mungkin saja bila kita memaksakan anak makan pada jam yang telah ditentukan, anak belum merasa lapar sehingga ia tidak mempunyai nafsu makan (Pudjiadi, 2005). Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Judarwanto (2006), bahwa ketidaktepatan dalam memberikan makan saat anak merasa lelah akan menyebabkan anak akan menjadi picky eater yang biasanya dimulai dari kehilangan nafsu makan dari yang ringgan hingga berat (Judarwanto, 2006). Kemungkinan pada saat jam makan yang ditentukan anak masih merasa 115 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 lelah telah bermain, sebaiknya membiarkan anak beristirahat terlebih dahulu (Pudjiadi, 2005). Memaksa anak makan pada saat anak tidak merasa lapar dapat membuat anak menjadi picky eater (Daniel dan Jacob, 2012). 13. Pengaruh cara pemberian makan terhadap picky eater Berdasarkan hasil analisis pengaruh cara pemberian makan terhadap picky eater menunjukkan bahwa ada pengaruh cara dan situasi pemberian makan terhadap picky eater, dan didapatkan nilai OR= 13 yang berarti kemungkinan pada anak yang cara pemberian makannya kurang baik berisiko mengalami picky eater 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang cara pemberian makannya baik. Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa anak bila dipaksa akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005). Dipaksa ataupun dimarahi saat makan dapat menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak. Interaksi yang negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam dan perilaku yang menggangu anak (melemparkan makanan) dapat berpengaruh terhadap nafsu makan anak (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006). Memaksa anak makan akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005). Dipaksa ataupun dimarahi saat makan dapat menjadi penyebab psikologis kesulitan makan pada anak. Interaksi yang negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam dan perilaku yang menggangu anak (melemparkan makanan) dapat berpengaruh terhadap nafsu makan anak (Claude, Anne dan Bernard Bonning, 2006). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Daniel dan Jacob (2012) bahwa cara orang tua dalam pemberian makan seperti melempar makanan pada waktu makan secara signifikan terkait dengan perilaku anak memiih-milih makanan. Tekanan untuk makan seperti meninggikan suara agar anak mau makan dan mengancam anak dapat berpengaruh terhadap picky eater. Hal ini juga mendukung penelitian Cathey dan Gaylord (2004) yang menyatakan bahwa orang tua yang memberi makan anaknya dengan cara membentak, marah, dan memberikan hukuman jika anak tidak menghabiskan makanan yang disediakan dapat membuat anak menjadi picky eater. Sikap ibu/pengasuh yang hangat, ramah, menciptakan suasana yang nyaman, tenang, mengungkapkan kasih sayang dengan senyuman dan pelukan, dapat menimbulkan nafsu makan pada anak (Hurlock, 1991). Pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu yang dapat membimbing anak tentang cara makan sehat dan bergizi akan meningkatkan gizi anak (Anwar, 2004). Sebaliknya pola asuh makan yang tidak memadai dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi pada anak (Kurniawan et al, 2001). F. PENUTUP A. Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Jabon Sidoarjo tepatnya di dusun Balong Tani dan Dukuh Sari pada tahun 2013 diperoleh simpulan sebagai berikut: Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang diderita anak 3 bulan terakhir, interaksi antara ibu dan anak yang kurang baik, perilaku makan orang tua yang suka memilih-milih makan, tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian MPASI kurang dari atau lebih dari 6 bulan, anak yang diasuh oleh orang lain selain oran tuanya, terdapat pantangan makan pada sosial budaya, frekuensi makan yang tidak sesuai umur, waktu makan yang kurang tepat,dan cara pemberian makan yang kurang baik berpengaruh terhadap picky eater pada anak umur 1-3 tahun di wilayah kerja 116 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Puskesmas Jabon Sidoarjo pada tahun 2013. Sedangkan konsep sehat sakit orang tua, nafsu makan anakdan jenis makanan tidak berpengaruh terhadap picky eater. B. Saran Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo agar mengadakan program revitalisasi posyandu sebagai lembaga yang akan mengevaluasi perkembangan anak dan memberikan konseling serta fasilitas kesehatan lainnya. Dan untuk orang tua supaya meningkatkan kualitas gizi anak dengan memberikan ASI eksklusif setelah anak lahir hingga berusia 6 bulan dan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun, menunda memperkenalkan makanan padat hingga anak berusia 6 bulan serta menyiapkan makanan yang memadai bagi anak. Selanjutnya ibu dianjurkan membawa anak ke pelayanan kesehatan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak DAFTAR PUSTAKA Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat.Jakarta: Kencana. Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana. Alarcon, P.A., Lung-Huang, L., Noche, M., Hernandez, V. C. 2003. Effect of oral supplementation on catch-up growth in picky eaters. Clinical Pediatrics, 42(3), 209. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/200089469?accountid=25704. Carrruth BR, Ziegler PJ. Gordon A, Barr SI. 2004. Prevalence of picky eaters among infant and their caregivers‟ decision about offering a new food. J Am Diet Assoc 104, S57S64. Available from http://www.jada.org (sitasi 31 Januari 2013). Carrruth BR and Skinner JD. 2000. Revisiting the picky eater phenomenon: Neophobic behaviors of young children. Journal of the American College of Nutrition, 19, 771780. Chatoor, Irene. 2009. Diagnosis and Treatment of Feeding Disorders in Infants, Toddlers, and Young Children. Washington DC: Zero To Three. Chatoor, Irene. 2009. Sensory food aversions in infant and toddler. Washington DC. Zero To Three, p.44-50. Available from http://www. Zerotothree.org/reprints (sitasi 31 Januari 2013). Chatoor, Irene, Jaclyn surles, Jodi, Gniban. 2004. Failure to thrive and cognitiv development in toddler with infantile anorexia. Pediatrics, Vol. 113, No. 5, p. 440-446. Available from http://www. Zerotothree.org/reprints (sitasi 31 Januari 2013). Claude, Anne & Bernard Bonning. 2006. Fedding problem of infats and toddlers. Canadian Family Physician, Vol. 52, No. 6, p. 1247-1251. Depkes RI. 2005. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Bandung: PT. Enka Parahiyangan. Dewanti. 2012. Dalam seminar “Solutions for Toddler Feeding Problems”. Malang: Brawijaya University. Dorfmann, Kelly. The Picky Eater. http://www.autism.org/pickyeater.html (sitasi 24 Januari 2013). Dubois, Lise. Anna Farmer, Manon Girad, Kelly Peterson. 2007. Preschool children‟s eating behaviours are related to dietary adequacy and body weight. Available from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1855064 (sitasi 2 Juli 2013) Eisenberg. 2002. Bayi Pada Tahun Pertama: Apa yang Ibu/pengasuh Hadapi per Bulan. Jakarta: Arcan. Galloway, Amy T, Yoona Lee & Leann L Birch. 2003. Predictor and consequences of food neophobia and pickiness in young girls. Journal of the American Dietetic Association, Vol. 10, No. 6, p. 692-701. IDAI. 2010. Indonesia Menyusui. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 117 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Judarwanto, Widodo. Alergi makanan dan autisme. Children allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta. Available from http://www.pdpersi.coi.id (sitasi 09 Feb 2013). Kurniasih, Dedeh. 2010. Sehat dan Bugar Berkat gizi Seimbang. Jakarta: Kompas Gramedia. Kurniawan. 2001. Chilhood Malnutrition in Indonesia, it‟s Current Situation, Joint Symposium Between Departement of Nutrition. Departement of Pediatrics. Surakarta: Sebelas Maret University, February, 19-21th, 2001. Lubis G. 2005. Masalah makan pada anak. Majalah Kedokteran Andalas, Vol.29. Mayes, L.C & Volkmar, F.R. 1993. Nosology of eating growth disorder in early childhood. Child and adolecent psychiatric clinics of north America, Vol. 1, No. 2, p.15-35. Pudjiadi, S. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI. Shore, B., & Piazza, C. 1997. Pediatric feeding disorders. Manual for the Assessment and Treatment of the Behavior Disorder of People with Mental Retardation p.65-89. Sulistyoningsih. 2012. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. Siswanto, Hadi. 2009. Pendidikan Kesehatan Anak Umur Dini. Jakarta: Pustaka Rihama. Taveras, Elsie M. 2004. Association of brestfeeding with maternal control of infant feeding at age 1 years. Pediatrics. Vol. 114, No. 5. Wright, Charlotte M., et al January 30, 2008. How do Toddler eating problems relate to their eating behavior, food preference, and growth?. American acadeny of pediatric. E1069e1075 pp. www.pediatrics.org Viewed on Feb 10, 2013 118 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 . 119 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 FAKTOR-FAKTOR KARAKTERISTIK YANG BERPENGARUH TERHADAP PELAKSANAAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA TANGUNAN KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO Dian Irawati Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Applying healthy lifestyle (PHBS) are powerful steps to ward off diseases. However, in practice, a simple application of PHBS that impression is not always easy to do. Especially for those who are not accustomed to. In this case, the education of the family is needed (Angels, 2010). In addition, the number of individual activities undertaken to make them forget about health (Ababar, 2008). This study is to determine the characteristics of the factors that influence the execution behavior of clean and healthy household in the village Tangunan Puri Mojokerto. The population in this study were heads of household in the village Tangunan Puri Mojokerto, as many as 676 households. The sample in this study was taken from the head of the family in the village of Puri Mojokerto Tangunan who met the inclusion criteria were as many as 88 heads of families collected by cluster sampling. Data were collected using an instrument check list and analyzed by chi square test .The results showed that most respondents implementing PHBS in the classification of household 2 and 4 as many as 24 people ( 27.3 % ). The results of the chi square test shows that there were effect of age, education, occupation, and income on household PHBS. According to these results should continue to monitor the implementation of PHBS and icrease PHBS competition as part of efforts to improve the evaluation of people's motivation. Keyword: factors, healthy lifestyle (PHBS) A. PENDAHULUAN Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu, adil dan merata. Untuk mendukung pencapaian visi Indonesia Sehat 2010 telah ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dengan keputusan Menteri Kesehatan No. 131/ Menkes/ 11/ 2004 dan salah satu subsistem dari SKN adalah subsistem pemberdayaan masyarakat (Kamisah, 2009). Banyak penyakit dapat dihindari dengan PHBS, mulai dari Diare, DBD, Flu burung, ataupun Flu babi yang akhir-akhir ini marak. Namun masyarakat masih sulit untuk menerapkan PHBS itu sendiri (Angels, 2010). Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 diketahui bahwa pencapaian angka Rumah Tangga Ber-PHBS adalah sebesar 37,8 %, target yang ingin dicapai pada tahun 2007 adalah 44 %, sedangkan target pada tahun 2010 adalah 65% Rumah Tangga Ber-PHBS (Almaida, 2009). Jawa timur merupakan daerah yang rawan dengan berbagai jenis bencana baik bencana karena alam (banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, luapan lumpur panas, dan lain - lain) maupun bencana yang ditimbulkan karena manusia (kecelakaan lalu lintas, kebakaran, ledakan pabrik, dan lain - lain). Masalah kesehatan lingkungan yang sangat mendasar antara lain pada tahun 2005 pemanfaatan air bersih yang sehat masih berkisar 87,5% dan penggunaan jamban masih sekitar 59,5%, sedangkan pencemaran udara dan kebisingan di permukiman cenderung meningkat (Boyskorean, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 10 Mei 2011 di Desa Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto yang memiliki 676 kepala keluarga yang terdiri dari 7 RW dan 15 RT terhadap 15 kepala keluarga yang diwawancarai di tiap-tiap RW ternyata sebanyak 12 kepala keluarga (80%) kepala keluarga masih belum mengetahui dan 120 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat karena masih banyak masyarakat yang merokok dalam rumah, jarang memberantas jentik nyamuk di rumah, jarang mencuci tangan dengan sabun, dan jarang memberi ASI eksklusif karena ibu harus bekerja. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan langkah ampuh untuk menangkal penyakit. Namun dalam praktiknya, penerapan PHBS yang kesannya sederhana tidak selalu mudah dilakukan. Terutama bagi mereka yang tidak terbiasa. Dalam hal ini, pendidikan dari keluarga sangat dibutuhkan (Angels, 2010). Selain itu, banyaknya kegiatan yang dilakukan individu membuat mereka lupa akan kesehatan (Ababar, 2008). Umumnya penyebab masyarakat tidak melaksanakan PHBS adalah karena kebiasaan, ketidaktahuan ataupun kurangnya informasi (Esty, 2009). Sehingga banyak dampak yang diakibatkan dari tidak melaksanakan PHBS itu sendiri misalnya saja, sakit perut karena minum air yang tidak dimasak, cacingan karena makan dengan tangan yang kotor dan mungkin ada telur cacing (Angels, 2010). Banyak upaya yang dilaksanakan agar masyarakat mau melaksanakan PHBS diantaranya dilaksanakan promosi kesehatan dengan menetapkan tiga strategi dasar yaitu gerakan pemberdayaan yaitu proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Bina suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan, serta Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders) (Kamisah, 2009). Fenomena di atas sangat menaruh minat peneliti untuk melaksanakan penelitian dengan judul Faktor-faktor karakteristik yang berpengaruh terhadap pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Perilaku Perilaku dari segi biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respons). Secara lebih operasional perilaku adalah suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut (Notoatmodjo, 2003). Perilaku juga bisa dari individu tersebut dan dapat pula dipengaruhi dari luar misalnya pengaruhi dari luar misalnya dari budaya, nilai-nilai, ataupun keyakinan yang ada dalam masyarakat (Suliha, 2001). 2. Klasifikasi Perilaku Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat di klasifikasikan menjadi 3 kelompok: 1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usahausaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit 2) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah 121 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. 3) Perilaku kesehatan lingkungan adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya. 3. Domain Perilaku Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Benyamin Bloom (1908) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 domain, yakni : a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku Faktor internal mencakup : pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar seperti : iklim, manusia, sosialekonomi, kebudayaan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). 5. Konsep Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Pusat Promkes Depkes RI, 2006) Sasaran PHBS tidak hanya terbatas tentang hygiene, namun harus lebih komprehensif dan luas, mencakup perubahan lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial-budaya masyarakat sehingga tercipta lingkungan yang berwawasan kesehatan dan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Lingkungan fisik seperti sanitasi dan hygiene perorangan, keluarga dan masyarakat, tersedianya air bersih, lingkungan perumahan, fasilitas mandi, cuci dan kakus (MCK) dan pembuangan sampah serta limbah. Lingkungan biologi adalah flora dan fauna. Lingkungan sosial-budaya seperti pengetahuan, sikap perilaku dan budaya setempat yang berhubungan dengan PHBS (Depkes RI, 2003). 6. Konsep PHBS Rumah Tangga PHBS Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar memahami dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat (Pusat Promkes Depkes RI, 2009). Tatanan Rumah Tangga Sasaran PHBS di rumah tangga adalah seluruh anggota keluarga secara keseluruhan dan terbagi dalam : 1) Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga yang akan dirubah perilakunya atau anggota keluarga yang bermasalah (individu dalam keluarga yang bermasalah) 2) Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi individu dalam keluarga yang bermasalah misalnya, kepala keluarga, ibu, orang tua, tokoh keluarga, kader tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan lintas sektor terkait, PKK 3) Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi unsur pembantu dalam menunjang atau mendukung pendanaan, kebijakan, dan kegiatan untuk tercapainya 122 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 pelaksanaan PHBS misalnya, kepala desa, lurah, camat, kepala Puskesmas, guru, tokoh masyarakat dll. (Promkes Depkes RI, 2004) 7. Indikator PHBS Rumah Tangga 1) Persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan adalah persalinan yang di tolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya). Dengan menggunakan peralatan yang aman, bersih dan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya. 2) Memberi ASI eksklusif adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa memberikan tambahan makanan atau minuman lain. 3) Menimbang bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhannya setiap bulan. 4) Menggunakan air bersih, air adalah kebutuhan dasar yang diperlukan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alatalat dapur dan sebagainya agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari sakit. 5) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, manfaat mencuci tangan dengan sabun adalah membunuh kuman penyakit yang ada di tangan, mencegah penularan penyakit diare, kolera, disentri dan lain-lain serta tangan menjadi bersih dan bebas dari kuman. 6) Menggunakan jamban sehat, jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok/ tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit pembuangan kotoran dan air untuk membersihkannya. 7) Memberantas jentik di rumah, rumah bebas jentik adalah rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala adalah pemeriksaan tempattempat perkembangbiakan nyamuk yang ada dalam rumah seperti bak mandi/ wc, vas bunga dan lain-lain. 8) Makan buah dan sayur setiap hari, sangat penting karena sayur dan buah mengandung vitamin dan mineral yang mengatur pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mengandung serat yang tinggi. 9) Melakukan aktivitas fisik setiap hari, aktivitas fisik adalah melakukan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik. 10) Tidak merokok di dalam rumah, tidak merokok adalah penduduk 10 tahun ke atas yang tidak merokok selama 1 bulan terakhir. (Angels, 2010) Kategori pelaksanaan PHBS rumah tangga antara lain: Klasifikasi 1 : Jika jawaban iya banyaknya antara 1-3 (warna merah). Klasifikasi 2 : Jika jawaban iya banyaknya antara 4-6 (warna kuning). Klasifikasi 3 : Jika jawaban iya banyaknya antara 7-9 (warna hjau). Klasifikasi 4 : klasifikasi 3 + ikut dana sehat (warna biru). C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional (assosiasi) yaitu penelitian yang mengkaji hubungan antara variabel, peneliti dapat mencari, menjelaskan sustu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teoro yang ada (Nursalam, 2003). Sedangkan jenis penelitiannya menggunakan cross sectional yaitu jenis penelitian yang 123 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali, pada saat itu. Pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara berkesinambungan pada satu saat, jadi tidak ada follow up (Nursalam, 2003). Variabel Independen Umur Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Variabel Dependen Perilaku hidup bersih dan sehat Variabel Confounding Lingkungan fisik Motivasi PHBS Pengetahuan PHBS Gambar 1: Frame work penelitian 2. Populasi, Sampel, Variabel, dan Instrumen Populasi dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang terdapat di desa Tangunan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto yang berjumlah 676 KK. Sedangkan sampel pada penelitian ini diambil dari kepala keluarga di desa Tangunan Puri Mojokerto yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 88 kepala keluarga yang dihitung dengan rumus: Keterangan: N = Besar populasi n = Besar sampel d = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (10%) (Notoatmodjo, 2005). Dari jumlah populasi kepala keluarga desa Tangunan Puri Mojokerto sebanyak 676 kepala keluarga, maka sampel yang diambil adalah 88 KK. a. Kriteria sampel Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: 1) Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003) yang menjadi kriteria inklusi yaitu : a) Responden yang bersedia menjadi responden dan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. b) Responden yang bisa menulis dan membaca. c) Responden yang memiliki rumah dan sarana sanitasi sendiri. 2). Kriteria eksklusi adalah mengeluarkan atau menghilangkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena sebab (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi penelitian ini adalah : a) Responden dengan kelainan penglihatan. b) Responden yang buta huruf. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling yaitu suatu cara pengambilan sampel bila objek yang diteliti atau sumber data Sangat luas atau besar, yakni populasinya heterogen maka caranya adalah berdasarkan 124 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 daerah dari populasi yang telah ditetapkan (Hidayat, 2007). Setelah itu pengambilan sampel dilakukan secara acak. Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel independen (variabel bebas ) dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Sedangkan variabel dependen (terikat) adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah perilaku hidup bersih dan sehat. Penelitian ini menggunakan alat bantu checklist yang diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban/ dengan memberi tanda-tanda tersebut (Notoatmodjo, 2002). 3. Teknik Analisa Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan uji statistik chisquare digunakan untuk menguji variabel yang dikorelasikan berbentuk ordinal Keterangan : X2 : Chi kuadrat fo : Frekuensi yang diobservasi fh : Frekuensi yang diharapkan Jika X2hitung > X2 tabel maka Ho ditolak dan H1 diterima. Atau jika menggunakan tabel 2 x 2 maka digunakan rumus dengan yates correction yaitu: X2 = (Iad–bcI - ½ N)2.N (a+b) (c+d) (a+c) (b+d) Dan bila terdapat frekuensi harapan kurang dari 5 pada sel tabel silang maka digunakan rumus fisher exact probability test dibawah ini: P = (a+b)! (c+d)!(a+c)!(b+d)! N! a! b! c! d! Kesimpulannya: Ho ditolak jika 0,01 <p< 0,05, dan diterima jika pvalue > 0,05. D. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum a. Karakteristik responden berdasarkan umur Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Desa Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 17-24 Juni 2011 Usia 20-29 Tahun 30-39 Tahun 40-49 Tahun 50-59 Tahun >=60 Tahun Frequency 19 23 17 14 15 Percent 21,6 26,1 19,3 15,9 17,0 Valid Percent 21,6 26,1 19,3 15,9 17,0 88 100,0 100,0 Total Cumulative Percent 21,6 47,7 67,0 83,0 100,0 Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa paling banyak responden berumur 30-39 tahun yaitu sebanyak 23 orang (26,1%) sedangkan responden yang berumur 50-59 tahun mempunyai proposi yang terkecil yaitu 14 orang (15,9 %). 125 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 b. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 17-24 Juni 2011 Pendidikan SD SMP SMA PT Total Frequency 18 54 13 3 88 Percent 20,5 61,4 14,8 3,4 100,0 Valid Percent 20,5 61,4 14,8 3,4 100,0 Cumulative Percent 20,5 81,8 96,6 100,0 Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50 % responden berpendidikan SMP yaitu sebanyak 54 orang (61,4%) sedangkan yang berpendidikan PT mempunyai proporsi yang paling kecil yaitu sebanyak 3 orang (3,4%). c. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan pekerjaan di Desa Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 17-24 Juni 2011 Pekerjaan BEKERJA TIDAK BEKERJA Total Frequency 71 17 88 Percent 80,7 19,3 100,0 Valid Percent 80,7 19,3 100,0 Cumulative Percent 80,7 100,0 Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah bekerja yaitu sebanyak 71 orang (80,7%) dan yang tidak bekerja sebanyak 17 (19,3%). d. Karakteristik responden berdasarkan penghasilan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penghasilan di Desa Tangunan Puri Kabupaten Mojokerto pada tanggal 17-24 Juni 2011 Penghasilan <Rp. 1.009.150 >Rp. 1.009.150 Total Frequency 41 47 88 Percent 46,6 53,4 100,0 Valid Percent 46,6 53,4 100,0 Cumulative Percent 46,6 100,0 Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai penghasilan > Rp. 1.009.150 atau lebih dari UMR yaitu sebanyak 47 orang (53,4 %). 2. Data Khusus a. Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto Tabel 5 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011 PHBS Klasifikasi 1 klasifikasi 2 klasifikasi 3 klasifikasi 4 Total Frequency 19 24 21 24 88 126 Percent 21,6 27,3 23,9 27,3 100,0 Valid Percent 21,6 27,3 23,9 27,3 100,0 Cumulative Percent 21,6 48,9 72,7 100,0 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Berdasarkan tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa paling banyak responden melaksanakan PHBS rumah tangga pada klasifikasi 2 dan 4 yaitu sebanyak 24 orang (27,3%). b. Pengaruh umur terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Tabel 6 Tabel Silang Pengaruh Umur Terhadap Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011 PHBS USIA 20-29 30-39 40-49 50-59 >=60 Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Klasifikasi 1 5 klasifikasi 2 8 klasifikasi 3 4 klasifikasi 4 2 Total 19 5,7% 9,1% 4,5% 2,3% 21,6% 3 7 2 11 23 3,4% 8,0% 2,3% 12,5% 26,1% 2 4 4 7 17 2,3% 4,5% 4,5% 8,0% 19,3% 5 2 3 4 14 5,7% 2,3% 3,4% 4,5% 15,9% 4 3 8 0 15 4,5% 3,4% 9,1% ,0% 17,0% 19 24 21 24 88 21,6% 27,3% 23,9% 27,3% 100,0% Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa hampir 50 % responden yang berumur 20-29 tahun melaksanakan PHBS pada klasifikasi 2 sedangkan responden yang berumur 40-49 tahun hampir 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut: Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 24,664 a 27,861 12 12 Asymp. Sig. (2-sided) ,016 ,006 1 ,818 df ,053 88 a. 4 cells (20,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,02. Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (24,664) > X2tabel (21,03) maka Ho ditolak dan H1 diterima jadi ada pengaruh umur terhadap pelaksanaan PHBS rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto 127 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 c. Pengaruh pendidikan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Tabel 7 Tabel Silang Pengaruh PendidikanTerhadap Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011 PENDIDIKAN SD SMP SMA PT Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Count % of Total Klasifikasi 1 10 11,4% 8 9,1% 1 1,1% 0 ,0% 19 21,6% KRITERIA klasifikasi 2 klasifikasi 3 0 5 ,0% 5,7% 19 9 21,6% 10,2% 4 7 4,5% 8,0% 1 0 1,1% ,0% 24 21 27,3% 23,9% klasifikasi 4 3 3,4% 18 20,5% 1 1,1% 2 2,3% 24 27,3% Total 18 20,5% 54 61,4% 13 14,8% 3 3,4% 88 100,0% Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa lebih dari 50 % responden yang berpendidikan SD melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1 sedangkan responden yang berpendidikan PT lebih dari 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut: Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 30,729 a 33,622 9 9 Asymp. Sig. (2-sided) ,000 ,000 1 ,048 df 3,918 88 a. 2 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,65. Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (30,729) > X2tabel (16,92) maka Ho ditolak dan H1 diterima jadi ada pengaruh pendidikan terhadap pelaksanaan PHBS rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto. d. Pengaruh pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Tabel 8 Tabel Silang Pengaruh Pekerjaan Terhadap Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011 PEKERJAAN BEKERJA Count % of Total TIDAK BEKERJA Count % of Total Total Count % of Total KRITERIA Klasifikasi 1 klasifikasi 2 klasifikasi 3 11 23 16 12,5% 26,1% 18,2% 8 1 5 9,1% 1,1% 5,7% 19 24 21 21,6% 27,3% 23,9% 128 klasifikasi 4 21 23,9% 3 3,4% 24 27,3% Total 71 80,7% 17 19,3% 88 100,0% HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang bekerja melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4 sedangkan responden yang tidak bekerja paling banyak melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut: Chi-Square Tests Value 10,852 a 11,066 Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 3 3 Asymp. Sig. (2-sided) ,013 ,011 1 ,106 df 2,614 88 a. 1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,67. Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (10,852) > X2tabel (7,81) maka Ho ditolak dan H1 diterima jadi ada pengaruh pekerjaan terhadap pelaksanaan PHBS rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto. e. Pengaruh penghasilan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Tabel 9 Tabel Silang Pengaruh Penghasilan Terhadap Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto pada tanggal 17 - 24 Juni 2011 Penghasilan <Rp. 1.009.150 Count % of Total >Rp. 1.009.150 Count % of Total Total Count % of Total KRITERIA Klasifikasi 1 7 8,0% 12 13,6% 19 klasifikasi 2 16 18,2% 8 9,1% 24 klasifikasi 3 7 8,0% 14 15,9% 21 klasifikasi 4 11 12,5% 13 14,8% 24 21,6% 27,3% 23,9% 27,3% Total 41 46,6% 47 53,4% 88 100,0 % Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang mempunyai penghasilan < Rp. 1.009.150 dan > Rp. 1.009.150 melaksanakan PHBS pada tingkat klasifikasi 4. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh hasil sebagai berikut: Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 6,102a 6,186 3 3 Asymp. Sig. (2-sided) ,107 ,103 1 ,803 df ,062 88 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,85. 129 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Hasil uji chi square menunjukkan nilai X2hitung (6,102) < X2tabel (7,81) maka Ho diterima dan H1 ditolak jadi tidak ada pengaruh pekerjaan terhadap pelaksanaan PHBS rumah tangga di desa Tangunan Puri Mojokerto. E. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Berdasarkan tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa paling banyak responden melaksanakan PHBS rumah tangga pada klasifikasi 2 dan 4 yaitu sebanyak 24 orang (27,3%). Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Mubarak (2009) dimana ciri-ciri dari masyarakat sehat adalah adanya peningkatan kemampuan dari masyarakat untuk hidup sehat, mampu mengatasi masalah kesehatan sederhana, berupaya untuk meningkatkan kesehatn lingkungan, meningkatkan status gizi masyarakat, dan berupaya selalu menurunkan angka kesakitan dan kematian sehingga masyarakat dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga dengan baik. Berdasarkan fakta dan teori di atas maka peneliti beropini bahwa masyarakat di desa tersebut berperilaku tidak sehat karena tidak terbiasa berperilaku sehat atau kurangnya informasi yang didapat mengenai PHBS rumah tangga. Pelaksanaan PHBS terletak pada diri individu sendiri (intern) namun juga ditentukan oleh factor dari luar individu (ekstern) (Kamisah, 2009). Jadi dilaksanakan atau tidaknya PHBS sangat ditentukan oleh individu sendiri dan juga dipengaruhi oleh factor lingkungan. Seorang individu bisa saja rutin melaksanakan PHBS dengan baik karena dari dalam dirinya sudah mengetahui dengan baik manfaat PHBS bagi kesehatannya, serta lingkungan keluarganya juga terbiasa melaksanakan PHBS maka secara otomatis individu tersebut akan melaksanakan PHBS dalam kesehariannya. 2. Pengaruh umur terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Berdasarkan tabulasi silang dapat diketahui bahwa hampir 50 % responden yang berumur 20-29 tahun melaksanakan PHBS pada klasifikasi 2 sedangkan responden yang berumur 40-49 tahun hampir 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Dari hasil uji chi square juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan PHBS rumah tangga. Semestinya semakin cukup tingkat usia maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi kematangan jiwanya (Notoatmodjo, 2003). Jadi menurut opini peneliti, semakin matang usia responden akan membuat responden mampu memikirkan secara matang bahwa PHBS merupakan upaya preventif yang paling murah dan manfaatnya sangat besar dari pada kuratif. Jadi lebih baik seseorang melaksanakan PHBS dalam kehidupannya sehari-hari daripada melakukan pengobatan jika sudah sakit. Sebab biaya pengobatan jauh lebih mahal dibandingkan pencegahan. Selain itu juga semakin tua umur seseorang juga semakin banyak pengalaman yang didapatkan. Sehingga jika seseorang sudah lama merasakan manfaat PHBS maka dia akan terbiasa melaksanakan PHBS. 3. Pengaruh pendidikan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Berdasarkan tabel silang dapat diketahui bahwa lebih dari 50 % responden yang berpendidikan SD melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1 sedangkan responden yang berpendidikan PT lebih dari 50% melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4. Hasil uji chi 130 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 square juga menunjukkan bahwa ada pengaruh pendidikan terhadap pelaksanaan PHBS rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2005) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin luas wawasan sehingga semakin mudah menerima informasi yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sehingga untuk meningkatkan pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga seharusnya masyarakat di desa tersebut mencari informasi tentang PHBS rumah tangga, membisakan diri untuk hidup bersih. Responden yang berpendidikan tinggi akan mudah menyerap informasi, sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki lebih tinggi namun sebaliknya orang tua yang berpendidikan rendah akan mengalami hambatan dalan penyerapan informasi sehingga ilmu yang dimiliki juga lebih rendah yang berdampak pada kehidupannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka akan semakin terbuka pikiran responden terhadap halhal baru dan bermanfaat bagi kesehatan. Sehingga tidak menganggap pelaksanaan PHBS sebagai suatu beban melainkan sebagai kebiasaan sehari-hari yang ringan dan mudah dilaksanakan serta banyak manfaatnya untuk kesehatan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarok, 2007). Dengan demikian tingkat pendidikan yang rendah tentu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pendidikan mempengaruhi sikap seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk ikut berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin bertambah pula kecakapan baik secara intelektual dan emosionalnya. Jadi dengan tingkat pendidikan yang rendah maka juga akan mempengaruhi pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang rendah akan mempengaruhi perilaku seseorang. 4. Pengaruh pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Berdasarkan tabel silang dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang bekerja melaksanakan PHBS pada klasifikasi 4 sedangkan responden yang tidak bekerja paling banyak melaksanakan PHBS pada klasifikasi 1. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh pekerjaan terhadap PHBS rumah tangga. Hal ini berlawanan dengan pendapat Nursalam (2002:134) yang menyebutkan bahwa ibu rumah tangga akan mempunyai waktu yang cukup untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang benar. Seseorang yang bekerja akan lebih terbuka dengan dunia luar sehingga akan lebih banyak pengetahuan yang diperoleh dari sesama rekan kerja maupun dari rekan di luar pekerjaan. Sehingga apabila responden bekerja dan lingkungan kerja juga membiasakan PHBS dalam tata laksana aktivitas kerja maka responden juga akan membiasakan diri untuk melaksanakan PHBS dalam rumah tangganya akibat dari kebiasaan di tempat kerja. Sedangkan responden yang tidak bekerja cenderung tertutup terhadap perubahan, apalagi jika gaya hidupnya sejak kecil tidak sehat, maka kebiasaan itu akan terbawa dalam kesehariannya. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung (Mubarok, 2007). 131 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada pada cara berfikir seseorang dengan pekerjaan sebagai buruh/petani akan memberikan lingkungan yang kurang memadai bagi responden untuk membentuk tingkat pengetahuan yang baik. Sehingga pekerjaan juga dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku hidup responden. 5. Pengaruh penghasilan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa paling banyak responden yang mempunyai penghasilan < Rp. 1.009.150 dan > Rp. 1.009.150 melaksanakan PHBS pada tingkat klasifikasi 4. Hasil analisa menggunakan uji chi square diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh antara penghasilan terhadap pelaksanaan PHBS di tingkat rumah tangga.Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena memiliki pengahasilan yang tidak cukup untuk membeli obat atau untuk membayar transportasi (Notoadmodjo, 2007). Namun Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Pusat Promkes Depkes RI, 2006). Sedangkan PHBS Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS tatanan rumah tangga penting dilakukan untuk meningkatkan kesehatan keluarga. Ini bertujuan agar anak dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas. Di samping itu, kemampuan bekerja setiap anggota keluarga meningkat, serta pengeluaran biaya rumah tangga dapat digunakan untuk pemenuhan gizi keluarga, pendidikan, dan peningkatan pendapatan. Bagi masyarakat, akan tercipta lingkungan yang sehat dan mampu mencegah serta menanggulangi masalah-masalah kesehatan. Rumah tangga sehat merupakan aset dan modal utama pembangunan di masa depan. Kesakitan dan kematian karena penyakit infeksi dan non infeksi dapat dicegah dengan berperilaku hidup bersih dan sehat (Kamisah, 2010). Sedangkan menurut Kamisah (2009), PHBS rumah tangga meliputi persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan adalah persalinan yang di tolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya). Dengan menggunakan peralatan yang aman, bersih dan steril sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya, saat ini persalinan oleh tenaga kesehatan sudah sangat murah bahkan ada jamkesda yang mampu membantu persalinan anggota rumah tangga yang tidak mampu jadi bukan alasan bagi ibu untuk melakukan persalinan pada bukan tenaga kesehatan, indikator selanjutnya adalah memberi ASI eksklusif adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa memberikan tambahan makanan atau minuman lain. Upaya memberikan ASI saja jauh lebih murah dibandingkan memberikan susu formula yang lebih mahal. Sehingga ibu yang tidak mempunyai penghasilan sekalipun bisa memberikan makanan pada bayinya melalui ASI eksklusif. Indikator yang ketiga adalah menimbang bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhannya setiap bulan. Upaya penimbangan bayi dan balita dapat dilakukan di posyandu yang gratis dan tidak dipungut biaya sedikitpun. Indikator keempat 132 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 adalah menggunakan air bersih. Air adalah kebutuhan dasar yang diperlukan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur dan sebagainya agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari sakit. Air bersih sangat mudah didapat didaerah Tangunan Puri, sebab wilayah ini masih merupakan wilayah pedesaan yang jauh dari area perindustrian dan bebas pencemaran. Sehingga bukan alasan bagi warga untuk memanfaatkan air sungai yang kotor untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Indikator yang kelima adalah mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Manfaat mencuci tangan dengan sabun adalah membunuh kuman penyakit yang ada di tangan, mencegah penularan penyakit diare, kolera, disentri dan lain-lain serta tangan menjadi bersih dan bebas dari kuman. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun bukan merupakan kegiatan yang membutuhkan biaya yang besar. Apalagi sabun yang digunakan tidak harus mahal. Indikator yang selanjutnya adalah menggunakan jamban sehat. Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok/ tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit pembuangan kotoran dan air untuk membersihkannya. Jamban bukan menjadi suatu hal yang sulit dan mahal bagi masyarakat desa Tangunan sebab lahan masih sangat luas untuk membangun jamban sehat di rumahnya. Indikator selanjutnya adalah memberantas jentik di rumah. Rumah bebas jentik adalah rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk yang ada dalam rumah seperti bak mandi/ wc, vas bunga dan lain-lain. Rumah bebas jentik tidak harus mewah dan megah. Namun justru dengan rajin membersihkan dan tidak menyimpan benda-benda yang merupakan sampah maka akan terbebas dari jentik. Indikator selanjutnya adalah makan buah dan sayur setiap hari. Hal ini sangat penting karena sayur dan buah mengandung vitamin dan mineral yang mengatur pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mengandung serat yang tinggi. Desa Tangunan adalah desa penghasil sayur dan buah-buahan jadi untuk membeli sayur dan buah-buahan tidak mahal. Indikator selanjutnya adalah melakukan aktivitas fisik setiap hari, aktivitas fisik adalah melakukan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik. Aktivitas fisik yang dilakukan juga tidak harus mahal. Jalan kaki tiap pagi merupakan salah satu contoh aktivitas fisik yang tidak memerlukan biaya. Indikator yang terakhir adalah tidak merokok di dalam rumah. Penduduk 10 tahun ke atas yang tidak merokok selama 1 bulan terakhir. Kebiasaan ini justru akan meningkatkan pendapatan keluarga karena akan menghemat pengeluaran pada pos kebutuhan rokok. PHBS merupakan perilaku yang murah dan bermanfaat jadi tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak melaksanakan kebiasaan ini, sebab selain banyak manfaatnya, PHBS merupakan salah satu bentuk investasi jangka panjang pada perkembangan generasi penerus bangsa. F. PENUTUP Ada pengaruh umur, pendidikan, dan pekerjaan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat Rumah Tangga di Desa Tangunan Puri Mojokerto. Hendaknya tenaga kesehatan setempat senantiasa memonitoring PHBS yang dilaksanakan masyarakat melalui kader setempat dan aktif mengadakan lomba PHBS sebagai salah satu upaya evaluasi yang dapat meningkatkan motivasi masyarakat dalam melaksanakan PHBS. 133 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 DAFTAR PUSTAKA Angels, W. (2010). PHBS. (http : // bewinglessangel.blogspot.com, diakses 17 April 2010). Ababar. (2008). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // ababar.blogspot.com, diakses 17 April 2010). Almaida. (2009). Pramuka Pelopor dalam Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // almaidascout.wordpress.com, diakses 25 April 2010) Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta Boyskorean. (2010). Sistem Kesehatan Jawa Timur. (http://boyskorean.blogspot.com, diakses 8 Mei 2010). Budiarto, Didik (2004). Dasar-dasar metodologi Penelitian Esty. (2009). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // www.surabayaehealth.org/dkksurabaya/berita/perilaku-hidup-bersih-dan sehat-phbs, diakses 29 April 2010). Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Kamisah. (2009). PHBS Tatanan Rumah Tangga. (http://kamisah.blogspot.com, diakses 25 April 2010). Kesmas. (2010). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http:// belajar90.blogspot.com, diakses 27 April 2010). Mubarak, wahidlqbal. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat Notoatmodjo, S. (2000). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Nursalam dan Siti Pariani. (2001). Pendekatan Praktis Metodelogi Riset Keperawatan. Jakarta : Seagung Seto Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, 2004 Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, 2006 Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, 2009 Suliha. (2001). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC Sumantri, Ating. (2006). Aplikasi Statistika dalam Penelitian. Bandung : Pustaka Setia ___. (2009). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (http : // kesmas.pusat.jakarta.go.id, diakses 1 Mei 2010) 134 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI BPS Hj SRI SULASMIATI, S.ST DESA WONOAYU KEC. PILANGKENCENG KAB. MADIUN DYAH PERMATA SARI Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit. ABSTRACK Anaemia instance really been regarded by pregnant mother nutrient state that alone. Nutrient on useful pregnant mother to get intrauterine aught fetus growth to keep health and alone mother body force, so don't ensue fatal on pregnant mother and newborn baby. This research intent to study relationship among nutrient state with anaemia instance on trimester's pregnant mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu‟s Kec's Village Pilangkenceng Madiun‟s. Design observationaling to utilize analytic observasional with approaching cross sectional. Independent's variable which is nutrient state, dependent's variable which is anaemia instance. Its population is exhaustive trimester's pregnant mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu Village. Mojosari Kab. Madiun as much 32 pregnant mothers. Sample 32 respondent that took by tekhnik sampling Non Probability sampling type Accidental is sampling. Date downloading May 15 15th June checklist's research instrument and Hb Sahli Set. Quiz statisticaling to utilize quiz spearman rank with a = 0,05. Observational result to be gotten that largely respondent good nutrient state which is 19 respondents (59,4 %) and 15 respondents (46,9 %) don't experience anaemia.. Morphological result by tests spearman rank with a = 0,05 are gotten that rs = 0,666789 rs's matters computing > 0,364, therefore Ho is refused and Hi is accepted therefore there is relationship among nutrient state with anaemia instance on trimester's pregnant mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu's Village Pilangkenceng Madiun‟s district Year 2013. Conclusion this research is available subjective among nutrient state with anaemia instance on trimester's pregnant mother III. at BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Wonoayu's Village Pilangkenceng Madiun's. We as officer of health moring to increase service to mother nutrient state pregnant trimester III.ING to anticipate its happening anaemia. Keyword: Nutrient state, anaemia, pregnancy A. PENDAHULUAN Anemia adalah nama yang umumnya diberikan untuk serangkaian defisiensi dalam kualitas dan kuantitas sel darah merah (Linda, 2010). Anemia kehamilan disebut “potential danger to mother and child” (potensial membahayakan ibu dan anak), karena itulah anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada lini terdepan (Manuaba, 2010:237). Menurut WHO, kejadian anemia kehamilan berkisar antara 20 dan 89% dengan menetapkan Hb 11gr% (Manuaba, 2010:237). Secara global, 40% dari seluruh kematian maternal di akibatkan dengan anemia (WHO, 2001). Anemia defisiensi zat besi terjadi pada 23% ibu hamil di negara maju dan pada 52% terjadi di negara berkembang (WHO et al., 2001). Angka anemia kehamilan di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi, Hoo Swie Tjiong menemukan angka anemia kehamilan 3,8% pada trimester I, 13,6% pada trimester II dan 24,8% pada trimester III (Manuaba, 2010:237). Hasil persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 12-28% angka kematian janin, 30% kematian perinatal dan 7-10% angka kematian neonatal (Atikah, 2010:131). 135 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Study pendahuluan yang sudah saya lakukan di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu ibu hamil trimester III yang menderita anemia mencapai 4 ibu hamil atau 40% dari 10 ibu hamil trimester III yang ada di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun. Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu (Manuaba, 2010:238). Peningkatan volume plasma menyebabkan terjadinya hidremia kehamilan atau hemodilusi yang menyebabkan terjadinya penurunan hematokrit (20-30%), sehingga hemoglobin dari hematokrit lebih rendah secara nyata dari pada keadaan tidak hamil (Atikah, 2010:132). Anemia pada ibu hamil dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan postpartum apabila terjadi sejak awal dapat menyebabkan terjadinya persalinan prematur, sedangkan faktor terbesar terjadinya anemia adalah status gizi yang buruk dengan defisiensi multivitamin termasuk di negara-negara berkembang seperti indonesia (Atikah, 2009:76). Pada kebanyakan negara berkembang, perubahan ini dapat diperburuk oleh kekurangan nutrisi dalam kehamilan yang berdampak pada defisiensi nutrisi mikro seperti anemia yang dapat berakibat fatal pada ibu hamil dan bayi baru lahir (Ellya, 2010:167). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas peneliti ingin meneliti hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimerter III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec Pilangkenceng Kab Madiun. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Gizi. a. Definisi Gizi. Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal oleh suatu organisme melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertunbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Atikah, 2009:1). Status Gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi (Mary, 2011:1). Status Gizi (Nutrition Status) adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Ellya, 2010:1). b. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari pada kebutuhan untuk wanita tidak hamil. Salah satu parameter untuk mengetahui status gizi ini adalah dengan melihat peningkatan berat badan selama kehamilan. Idealnya, dalam 5 bulan pertama terdapat peningkatan 1 kg berat badan ibu per bulan. Dalam bulan-bulan berikutnya diharapkan peningkatan sebesar 2 kg per bulannya. Selama kehamilan, diharapkan adanya berat badan ibu sebesar : a. 7 – 11,5 kg bagi mereka dengan berat badan > 65 kg saat mulai hamil. b. 12 – 15 kg bagi mereka dengan berat badan 45 – 65 kg saat mulai hamil. c. 12,5 - 18 kg bagi mereka dengan berat badan < 45 kg saat mulai hamil (Atikah, 2010:82). Wanita hamil membutuhkan sekitar 2485 kalori per hari yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral c. 3 Zat Gizi Penting Bagi Ibu Hamil a. Asam Folat Asam folat termasuk kelompok vitamin B yang bermanfaat mengurangi NTD (Neural Tubes Defects) atau kelainan susunan saraf pusat. Sumber 136 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 asam folat antara lain brokoli,gandum, kacang-kacangan, jeruk, stroberi dan bayam. b. Kalsium Kalsium semakin dibutuhkan ibu hamil memasuki trimester kedua dan ketiga kehamilan. Pada masa inilah janin mulai tumbuh pesat terutama pada pembentukan tulang dan giginya. Sumber kalsium diantaranya telur, susu, ikan teri, ikan salmon, sarden, sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan dan wijen. c. Zat Besi Kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat mengganggu metabolisme energi sehingga dapat menyebabkan menurunnya kemampuan kerja organorgan tubuh. Sumber makanan yang mengandung zat besi antara lain daging, hati, telur, kacang-kacangan dan sayuran hijau (Atikah, 2010:86 d. Faktor yang mempengaruhi Gizi Ibu Hamil a. Umur Lebih muda umur seorang wanita yang hamil, lebih banyak energi yang diperlukan (Purwitasari, 2009:36). Umur yang tua perlu energi yang besar karena fungsi organ yang makin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal maka memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung kehamilan yang sedang berlangsung (Atikah, 2009:53) b. Berat Badan Berat badan yang lebih ataupun kurang dari pada berat badan rata-rata untuk umur tertentu merupakan faktor untuk menentukan jumlah zat makanan yang harus diberikan agar kehamilannya berjalan lancar. c. Suhu Lingkungan Suhu tubuh dipertahankan pada 36,5-37o C untuk metabolisme yang optimum. d. Aktifitas Setiap aktifitas memerlukan energi, makin banyak aktifitas yang dilakukan makin banyak energi yang diperlukan tubuh (Purwitasari, 2009:36). e. Status Kesehatan Ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi tablet yang mengandung zat besi atau makanan yang mengandung zat besi seperti hati, bayam. f. Kebiasaan dan Pandangan Wanita Terhadap Makanan Pada umumnya kaum wanita lebih memberikan perhatian khusus pada kepala keluarga dan anak-anaknya. g. Pengetahuan Zat Gizi Dalam Makanan Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain kemampuan keluarga untuk membeli makanan atau pengetahuan tentang zat gizi. Ngidam adalah pertanda bahwa didalam tubuh ibu hamil ada perubahan besar yang menyangkut susunan enzim dan hormon (Purwitasari, 2009:36). h. Status Ekonomi Baik status ekonomi maupun status Sosial Sangat mempengaruhi seorang wanita dalam memilih makanannya. i. Diit pada masa sebelum hamil dan selama hamil. j. Psikologi (Purwitasari, 2009:36) e. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kehamilan a) Ibu hamil : Anemia, Produksi ASI kurang. 137 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 b) Janin : Kegagalan pertumbuhan, BBLR, Prematur, Lahir mati, Cacat bawaan dan Keguguran. c) Persalinan : Sektio Sesario, Pendarahan, Persalinan lama (Purwitasari, 2009:37) f. Metode Pengukuran Body Mass Index (BMI) Faktor yang mempengaruhi besarnya kebutuhan berat badan ditentukan oleh tinggi badan dan berat badan, apakah wanita tersebut memiliki berat badan normal, kurang atau lebih sebelum kehamilan. Metode yang biasa digunakan dalam menentukan kondisi berat badan dan tinggi badan adalah body mass index (BMI). Formula ini digunakan untuk menghitung BMI adalah : BMI = Berat/Tinggi2 BMI dapat di intepretasikan dalam kategori sebagai berikut : a) Kurang dari 19,8 adalah berat kurang atau rendah b) 19,8 sampai dengan 26,0 normal c) 26,0 sampai dengan 29 adalah berat lebih atau tinggi d) Lebih dari 29 obesitas 2. Konsep Dasar Anemia a. Pengertian Dasar Anemia Anemia adalah kondisi dimana kadar Hb kurang dari normal (< 11 gr%) (Purwitasari, 2009:80). Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11g% pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5g% pada trimester 2. Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi dan merupakan jenis anemia yang pengobatannya relatif mudah bahkan murah (Manuaba, 2010:237). Anemia dalam kehamilan merupakan satu penyebab potensial morbiditas dan mortalitas ibu dan anak (Purwitasari, 2009:80). Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang (Atikah, 2010:131). b. Penyebab Terjadinya Anemia 1) Kurang intake makanan sumber pembentukan sumber darah merah dikarenakan muntah, pantangan, tidak suka pada suatu jenis makanan dan faktor alergi terhadap makanan. 2) Kehamilan dan persalinan yang terlalu sering sehingga simpanan Fe rendah. 3) Kebutuhan Fe yang meningkat. 4) Gangguan penyerapan Fe (Purwitasari, 2009:81). c. Tanda dan Gejala Anemia Gejalanya : Kelelahan, keletihan, iritabilitas, dan sesak nafas saat melakukan aktifitas merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Stomatitis angular dapat juga terjadi yaitu robekan yang terasa nyeri pada sudut mulut yang menyebabkan kehilangan nafsu makan. Tandanya : Pucat pada kulit dan membran mukosa dapat dilihat dan mungkin tampak pada telapak tangan dan konjungtiva, meskipun tanda ini bersifat subjektif dan tidak dapat diandalkan. Pada anemia berat tanda dan gejala klinis yang tampak secara langsung dihubungkan dengan ketidakadekuatan suplai oksigen dan mencakup takikardia dan palpitasi, angina dan klaudikasi intermiten/berjalan pincang-red (Linda, 2010:87). d. Pencengahan Anemia Dalam Kehamilan a. Mengkonsumsi dan Fungsi Zat Besi 1) Pembentukan sel darah merah, cadangan Fe pada bayi yang baru lahir. 138 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2) Sel darah merah bertugas mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan mengangkut nutrisi dari ibu ke janin. 3) Ikatan Fe dan protein dalam otot menyimpan oksigen yang sewaktuwaktu digunakan oleh sel. 4) Reaksi enzim diberbagai jaringan tubuh (Purwitasari, 2009:81). b. Tujuan Diit pada Ibu Hamil Dengan Anemia Memberikan makanan yang dapat mencengah dan memperbaiki keadaan anemia (Purwitasari, 2009:83). c. Syarat Diit pada Ibu Hamil Dengan Anemia Energi sesuai kebutuhan secara bertahap sejumlah 2200 kalori + 300 – 500 kalori/hari, lemak cukup, 53 gram/hari, protein tinggi, 75 gram/hari + 8 – 12 gr/hari, diutamakan protein bermutu tinggi, meningkatkan konsumsi makanan sumber pembentukan sel darah merah, bentuk makanan dan porsi disesuaikan dengan keadaan kesehatan ibu hamil (Purwitasari, 2009:82). d. Cara Meningkatkan Asupan Fe dan Asam Folat 1) Konsumsi protein hewani (daging, unggas, seafoods, telur, susu, dan hasil olahannya), konsumsi makanan sumber asam folat (Asparagus, bayam, buncis, hati sapi, kapri, kacang tanah, orange juice, almond, beras merah/tumbuk, kembang kol, telur, selada, sereal instant), meningkatkan asupan buah berwarna jingga dan merah segar (jeruk, pisang, kiwi, semangka, nanas). 2) Mengkonsumsi makanan fortifikasi (susu, keju, es krim, makanan berbasis tepung), vitamin C untuk meningkatkan absorbsi Fe dalam usus, konsumsi makanan sumber vitamin B12 (daging, hati, ikan, makanan fermentasi, yogurth, udang, susu). 3) Jika perlu ditambahkan suplemen vitamin B12, Fe dan vitamin C. 4) Konsumsi sayuran hijau paling tidak 3 porsi/hari. 3. Konsep dasar Kehamilan. 1. Pengertian dasar Kehamilan Kehamilan adalah suatu keadaan yang istimewa bagi seorang wanita sebagai calon ibu, karena pada masa kehamilan akan terjadi perubahan fisik yang mempengaruhi kehidupannya (Atikah, 2009:47). 2. Tanda Dugaan Kehamilan Berikut ini adalah tanda-tanda dugaan adanya kehamilan : a. Amenorea (terlambat datang bulan). Konsepsi dan nidasi menyebabkan tidak terjadinya pembentukan folikel de Graaf dan ovulasi. b. Mual dan muntah (emesis). Pengaruh estrogen dan progesteron menyebabkan pengeluaran asam lambung yang berlebihan. c. Ngidam. Wanita hamil sering menginginkan makanan tertentu, keinginan yang demikian disebut ngidam. d. Sinkope atau pingsan. Terjadinya gangguan sirkulasi ke daerah kepala (sentral) menyebabkan iskemia susunan saraf pusat dan menimbulkan sinkop atau pingsan. Keadaan ini menghilang setelah usia kehamilan 16 minggu. Payudara sedang. Pengaruh estrogen progesteron dan somatomamotrofin menimbulkan deposit lemak, air dan garam pada payudara (Manuaba, 2010:107 3. Ibu Hamil Golongan Risiko Tinggi a. Ibu hamil terlalu muda yaitu kurang dari 16 tahun dimana organ reproduksi belum siap untuk terjadinya pembuahan. 139 HOSPITAL MAJAPAHIT b. c. d. e. f. g. Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Ibu hamil diatas 35 tahun. Faktor ini juga menjadi masalah karena dengan bertambahnya umur maka akan terjadi penurunan fungsi dari organ yaitu melalui proses penuaan. Ibu baru hamil setelah perkawinan selama 4 tahun. Jarak dengan anak terkecil dengan anak lebih dari 10 tahun. Jarak kehamilan terlalu dekat yaitu kurang dari 2 tahun. Menjadi berisiko karena sistem reproduksi belum kembali seperti semula, serta ibu masih menyusui, terlalu banyak anak yaitu lebih dari 4, Tinggi badan terlalu pendek dan kurang dari 145 cm, terlalu gemuk atau terlalu kurus, ini akan berpengaruh pada gizi keduanya. Riwayat persalinan yang jelek, riwayat adanya cacat bawaan yang dibawa oleh keluarga atau kehamilan yang lalu. Ibu seorang pokok berat, kecanduan obat dan memilih hobi minum-minuman keras C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian. Rancang bangun dalam penelitian ini adalah observasional analitik yang dilakukan secara cross sectional dimana penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara status gizi dengan kejadian anemia, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Kerangka Kerja Faktor yang mempengaruhi Status gizi ibu hamil : 1. Umur 2. Berat badan 3. Suhu lingkungan 4. Aktifitas 5. Status kesehatan 6. Kebiasaan 7. Pengetahuan 8. Status ekonomi 9. Diit 10. Psikologi Faktor yang mempengaruhi anemia pada kehamilan : 1. Hemodilusi 2. Pola makan 3. Paritas 4. Kepatuhan konsumsi tablet Fe Anemia pada ibu hamil trimester III Status Gizi Ibu Hamil Kurang : < 19,8 Normal : 19,8 – 26,0 Lebih : 26,0 – 29,0 Obesitas : >29,0 Tidak Anemia : Hb 11g% Anemia Ringan : Hb 9-10 g% Anemia Sedang : Hb 7-8 g% Anemia Berat : Hb < 7g% Sumber : Purwitasari, 2009. Manuaba, 2010. Keterangan : Diteliti Tidak diteliti Gambar 1 : Kerangka konseptual Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec Pilangkenceng Kab Madiun Tahun 2012. 140 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Variabel dan Definisi Operasional. a. Jenis Variabel Penelitian. Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian anemia pada ibu hamil trimester III. b. Definisi Operasional. Tabel 1 : Definisi Operasional Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec Pilangkenceng Kab Madiun Variabel Independen Status gizi pada ibu hamil Dependen Anemia pada ibu hamil trimester III Definisi Status Gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi dengan diukur dengan BMI Suatu keadaan kadar hemoglobin ibu dibawah batas normal yang diukur dengan metode Hb sahli Kriteria Kurang : < 19,8 Normal : 19,8 – 26,0 Lebih : 26,0 – 29,0 Obesitas : >29,0 (Gisajel, 2011) Tidak Anemia : Hb 11g% Anemia Ringan: Hb 9-10 g% Anemia Sedang: Hb 7-8 g% Anemia Berat : Hb <7g% (Atikah, 2009) Skala Ordinal Ordinal 3. Populasi, Sampel, Teknik dan Instrumen Penelitian. Dalam penelitian ini Populasinya adalah seluruh ibu hamil trimester III yang periksa di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun yaitu sebanyak 32 orang pada bulan Mei 2013, sedangkan Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil trimester III yang periksa di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah Non Probability sampling dimana teknik pengambilan sampelnya menggunakan Accidental Sampling. Dalam Melakukan observasi, pada sampel yang telah ditentukan dan dilakukan pengukuran BMI untuk mengetahui status gizi dan dilakukan pengukuran kadar Hb untuk mengetahui status anemia pada ibu hamil trimester III. Instrumen untuk status gizi ibu hamil menggunakan cara BMI yaitu mengukur berat badan dan tinggi badan dan untuk mengetahui anemia pada ibu hamil dilakukan pemeriksaan Hb Sahli 4. Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data. Teknik Pengumpulan Data 1. Editing Editing adalah memeriksa daftar cheklist dengan tujuan untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada dalam daftar cheklist yang sudah diselesaikan (Hidayat, 2010 : 121). 141 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Coding Coding adalah kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pada penelitian ini coding diberikan pada data umum dan data khusus a. Data umumnya terdiri dari : 1) Usia 1 : < 20 tahun 2 : 20-35 tahun 3 : > 35 tahun 2) Pendidikan 1 : SD/Sederajat 2 : SMP/Sederajat 3 : SMA/Sederajat 4 : Akademi 3) Pekerjaan 1 : Bekerja 2 : Tidak Bekerja 4) Paritas 1 : Primigravida 2 : Multigravida 3 : Grandemultigravida b. Data khususnya terdiri dari : 1) Status Gizi 1 : BMI Kurang < 19,8 2 : BMI Normal 19,8 - 26,0 3 : BMI Lebih 26,0 – 29,0 4 : BMI Obesitas > 29,0 2) Anemia Bumil TM III 1 : Hb 11 g% Tidak Anemia 2 : Hb 9-10 g% Anemia Ringan 3 : Hb 7-8 g% Anemia Sedang 4 : Hb < 7 g% Anemia Berat 3. Scoring Memberi skor untuk menetapkan kategori dari masing-masing variabel yang terdapat pada daftar cheklist. 4. Entry data Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau data base komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi (Hidayat, 2010:121). 5. Tabulating Tabulasi adalah mentabulasi hasil data yang diperoleh sesuai dengan daftar cheklist. 5. Analisis Data. Data dalam variabel ini adalah data ordinal. Setelah data diperoleh dari hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan, kemudian dimasukan ke dalam rumus BMI lalu ke dalam daftar cheklist. Rumus BMI = Berat/Tinggi2 Kriteri status gizi sebagai berikut : 1) Kurang : < 19,8 2) Normal : 19,8 – 26,0 142 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 3) Lebih : 26,0 – 29,0 4) Obesitas : >29,0 kemudian data ditabulasikan. D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini adalah di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Jumlah penduduk Desa Wonoayu secara keseluruhan berjumlah 5.569 jiwa, dengan perincian 2.830 orang perempuan dan 2.667 orang laki-laki sedangkan jumlah ibu hamil trimester III sebanyak 32 orang. BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST dari 1 ruang untuk persalinan, 1 ruang untuk ibu nifas, 1 ruang pemeriksaan kehamilan dan akseptor KB serta ruang tunggu 2. Data Umum. a. Karakteristik Umur Responden. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Menurut Umur Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun No 1 2 3 Umur (tahun) <20 20-35 >35 Jumlah Frekuensi 4 25 3 32 Prosentase (%) 12,5 78,1 9,4 100 Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa hampir seluruh responden berumur 20-35 tahun yaitu 25 responden (78,1%) dan sebagian kecil responden berumur >35 tahun yaitu 3 responden (9,4%) b. Karakteristik Pendidikan Responden. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun c. No Pendidikan Frekuensi Prosentase (%) 1 2 3 4 SD SMP SMA Akademi /PT Jumlah 1 8 19 4 32 3,1 25 59,4 12,5 100 Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai latar belakang pendidikan SMA yaitu 19 responden (59,4%) dan sebagian kecil responden berpendidikan SD yaitu 1 responden (3,1%). Karakteristik Pekerjaan Responden Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan Ibu Hamil Trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun No 1 2 Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Jumlah Frekuensi 22 10 32 Prosentase (%) 68,75 31,25 100 Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden bekerja yaitu 22 responden (68,75%) dan hampir setengah dari responden tidak bekerja yaitu 10 responden (31,25%). 143 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 d. Karakteristik Paritas Responden. Tabel 5 Distribusi Frekuensi Menurut Paritas Ibu Hamil Trimester III di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun No 1 2 3 Paritas Primigravida Multigravida Grandemultigravida Jumlah Frekuensi 17 11 4 32 Prosentase (%) 53,1 34,4 12,5 100 Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah primigravida 17 responden (53,1%) dan sebagian kecil responden adalah grandemultigravida 4 responden (12,5%). 3. Data khusus a. Status Gizi Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden menurut status gizi pada Ibu hamil trimester III di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun No 1 2 3 4 Status Gizi Kurang Normal Lebih Obesitas Jumlah Frekuensi 5 19 5 3 32 Prosentase (%) 15,6 59,4 15,6 9,4 100 Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden status gizinya normal yaitu 19 responden (59,4%) dan sebagian kecil responden status gizinya obesitas yaitu 3 responden (9,4%). b. Anemia Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden menurut Anemiapada Ibu hamil trimester III di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun No 1 2 3 4 c. Anemia Tidak Anemia Anemia Ringan Anemia Sedang Anemia Berat Jumlah Frekuensi 15 9 6 2 32 Prosentase (%) 46,9 28,1 18,75 6,25 100 Berdasarkan tabel 7 didapatkan bahwa hampir setengah dari responden tidak mengalami anemia yaitu 15 responden (46,9%) dan sebagian kecil responden mengalami anemia berat yaitu 2 responden (6,25%). Analisis Hasil Penelitian Tabel 8 Tabulasi Silang Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III di di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun Status Gizi Tidak Anemia Kurus Σ 0 % 0 Normal 11 34,4 Anemia Anemia Ringan Σ % 1 3,1 Anemia Sedang Σ % 3 9,4 Anemia Berat Σ % 1 3,1 Σ 5 % 15,6 8 0 0 19 59,4 25,0 144 0 0 Total HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Status Gizi Lebih Σ 1 % 3,1 Anemia Anemia Ringan Σ % 1 3,1 Obesitas 1 3,1 0 0 1 3,1 1 3,1 3 9,4 Total 13 40,6 10 31,3 7 21, 9 2 6,3 32 100 Tidak Anemia Total Anemia Sedang Σ % 3 9,4 Anemia Berat Σ % 0 0 Σ 5 % 15,6 Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden status gizi normal sebanyak 19 responden (59,4%) dan 11 responden (34,4%) tidak mengalami anemia, sedangkan sebagian kecil responden status gizinya kurus sebanyak 5 responden (15,6%) dan semuanya mengalami anemia ringan, sedang dan berat. Hasil uji spearman rank dengan a = 0,05 didapatkan bahwa rs = 0,666789 berarti rs hitung> 0,364 , sehingga H1 diterima yang artinya ada hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III. E. PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 4.5 hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden sebagian besar responden memiliki status gizi normal yaitu 19 responden (59,3%) dan sebagian kecil responden memiliki status gizi obesitas yaitu 3 responden (9,4%). Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi (Mary, 2011:1). Ada 3 zat gizi penting bagi ibu hamil yaitu : a. Asam Folat sumber asam folat antara lain brokoli,gandum, kacang-kacangan, jeruk, stroberi dan bayam. b. Kalsium sumber kalsium diantaranya telur, susu, ikan teri, ikan salmon, sarden, sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan dan wijen. c. Zat Besi sumber makanan yang mengandung zat besi antara lain daging, hati, telur, kacangkacangan dan sayuran hijau (Atikah, 2010:86). Faktor yang mempengaruhi gizi ibu hamil meliputi umur, berat badan, suhu lingkungan, aktifitas, status kesehatan, kebiasaan dan pandangan wanita terhadap makanan, pengetahuan zat gizi dalam makanan, status ekonomi, diit pada masa sebelum hamil dan selama hamil dan psikologi (Purwitasari, 2009:36). Sebagian besar ibu hamil trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST mempunyai status gizi yang baik. Status gizi yang baik dipengaruhi oleh umur ibu yang matang, pendidikan yang cukup tinggi, jumlah paritas yang masih rendah dan pekerjaan. Berdasarkan tabulasi silang antara umur dengan status gizi dari 32 responden diperoleh hasil bahwa hampir seluruh responden berusia 20 – 35 tahun sebanyak 25 responden (78,1%) dan 15 responden (46,9%) mempunyai status gizi normal, sedangkan sebagian kecil responden berusia > 35 tahun sebanyak 3 responden (9,4%) dan semuanya mempunyai status gizi normal. Berdasarkan tabulasi silang antara pendidikan dengan status gizi dari 32 responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden berpendidikan SMA sebanyak 19 responden (59,4%) dan 9 reponden (28,1%) mempunyai status gizi normal, sedangkan sebagian kecil responden berpendidikan SD sebanyak 1 responden (3,1%) dan semuanya tidak mempunyai status gizi normal. Berdasarkan tabulasi silang antara pekerjaan dengan status gizi dari 32 responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden bekerja sebanyak 22 responden (68,8%) dan 9 responden (28,1%) mempunyai status gizi normal, sedangkan hampir 145 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 setengah dari responden tidak bekerja sebanyak 10 responden (31,3%) dan semuanya mempunyai status gizi normal. Ibu yang bekerja kurang mempunyai waktu yang lebih untuk memperhatikan status gizi yang dikonsumsinya sehingga status gizi dari ibu tersebut kurang, sedangkan ibu yang tidak bekerja mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan status gizi yang dikonsumsi sehingga status gizinya normal. Berdasarkan tabulasi silang antara paritas dengan status gizi dari 32 responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden multigravida sebanyak 19 responden (59,4%) dan 11 responden (34,4%) mempunyai status gizi normal, sebagian kecil responden grandemultigravida sebanyak 4 responden (12,5%) dan semuanya mempunyai status gizi normal. Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa hampir setengah dari responden tidak mengalami anemia yaitu 15 responden (46,9%) dan sebagian kecil responden mengalami anemia berat yaitu 2 responden (6,25%). Hampir seluruh responden tidak mengalami anemia. Kejadian anemia ini dipengaruhi oleh faktor umur, paritas, jarak kehamilan dan pendidikan yang cukup. Berdasarkan tabulasi silang antara umur dengan anemia dari 32 responden diperoleh hasil bahwa hampir seluruh responden berumur 20 – 35 tahun sebanyak 25 responden (78,1%) dan 9 responden (28,1%) tidak mengalami anemia, sedangkan sebagian kecil responden berumur > 35 tahun sebanyak 3 responden (9,4%) dan 1 responden (3,1%) mengalami anemia ringan. Pada wanita hamil usia terlalu muda < 20 tahun, secara fisikalat reproduksinya belum siap untuk menerima hasil konsepsi dan secara psikiogis belum cukup dewasa dan matang untuk menjadi seorang ibu, sedangkan wanita hamil pada usia lanjut yaitu > 35tahun, proses faal tubuhnya sudah mengalami kemunduran berupa elastisitas otot-otot panggul di sekitar organ-organ reproduksi lainnya, keseimbangan hormonnya mulai terganggu sehingga kemungkinan terjadi berbagai resiko kehamilan (Wiknjosastro, 2000). Menurut fakta diatas umur ibu > 35 tahun dan hanya 1 yang mengalami anemia ringan, sedangkan menurut Wiknjosastro, umur > 35 tahun berisiko tinggi mengalami anemia sehingga ada kesenjangan antara fakta dengan teori dan ini bisa dipengaruhi oleh pola makan yang baik dan kepatuhan dalam mengkonsumsi tablet Fe. Berdasarkan tabulasi silang antara pendidikan dengan anemia dari 32 responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden berpendidikan SMA sebanyak 19 responden (59,4%) dan 7 responden (21,9%) tidak mengalami anemia, sedangkan sebagian kecil responden berpendidikan SD sebanyak 1 responden (3,1%) dan semuanya tidak mengalami anemia. Menurut fakta diatas responden yang berpendidikan SD tidak ada yang mengalami anemia, sedangkan menurut Herlina, semakin rendah pengetahuan kesehatan reproduksi, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia sehingga ada kesenjangan antara fakta dengan teori dan ini bisa dipengaruhi oleh pola makan yang baik dan kepatuhan dalam mengkonsumsi tablet Fe. Berdasarkan tabulasi silang antara pekerjaan dengan anemia dari 32 responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden bekerja sebanyak 22 responden (68,8%) dan 9 responden (28,1%) tidak mengalami anemia, sedangkan hampir setengah dari responden tidak bekerja sebanyak 10 responden (31,3%) dan 6 responden (18,8%) mengalami anemia ringan. Setiap pekerjaan atau aktifitas memerlukan energi, maka apabila semakin banyak aktifitas yang dilakukan, energi yang dibutuhkan akan semakin banyak (Atikah, 2009:52). 146 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Berdasarkan tabulasi silang antara paritas dengan anemia dari 32 responden diperoleh hasil bahwa sebagian besar dari responden primigravida sebanyak 17 responden (53,1%) dan 6 responden (18,8%) tidak mengalami anemia, sedangkan sebagian kecil responden grandemultigravida sebanyak 4 responden (12,5%) dan 1 responden (3,1%) mengalami anemia ringan. Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden status gizi normal sebanyak 19 responden (59,4%) dan 11 responden (34,4%) tidak mengalami anemia, sedangkan sebagian kecil responden status gizinya kurus sebanyak 5 responden (15,6%) dan semuanya mengalami anemia ringan, sedang dan berat. Hasil uji spearman rank dengan a = 0,05 didapatkan bahwa rs = 0,666789 berarti rs hitung> 0,364, sehingga H1 diterima yang artinya ada hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun. Berbagai faktor yang mempengaruhi gizi ibu hamil adalah umur, berat badan, suhu lingkungan, aktifitas, status kesehatan, kebiasaan dan pandangan wanita terhadap makanan, pengetahuan zat gizi dalam makanan, status ekonomi, diit pada masa sebelum hamil dan selama hamil dan psikologi (Purwitasari, 2009:36). Status gizi yang buruk merupakan faktor predisposisi terbesar terjadinya anemia (Atikah, 2009:77). Pengaruh status gizi pada ibu hamil akan terjadi anemia dan pada janin terjadi kegagalan pertumbuhan, BBLR, prematur lahir mati, cacat bawaan dan keguguran, sedangkan pengaruh anemia pada ibu hamil, baik dalam masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan akan terjadi abortus, partus prematur, partus lama, pendarahan post partum, infeksi dan anemia dan pada janin akan terjadi kematian janin, kematian perinatal, prematur, cacat bawaan, cadangan Fe bayi kurang (Purwitasari, 2009:82). Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa ada kesenjangan yaitu sebagian besar dari responden status gizi normal sebanyak 19 responden (59,4%) dan 8 responden (25,0%) mengalami anemia ringan, sedangkan sebagian kecil responden status gizi lebih sebanyak 5 responden (15,6%) dan 3 responden (9,4%) mengalami anemia sedang. Penyerapan zat besi terjadi dalam lambung dan usus bagian atas yang masih bersuasana asam, banyaknya zat besi dalam makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh tergantung pada tingkat absorbsinya. Tingkat absorbsi zat besi dapat dipengaruhi oleh pola menu makanan atau jenis makanan yang menjadi sumber zat besi. Misalnya zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani dapat diabsorbsi sebanyak 20 -30% sedangkan zat besi yang berasal dari bahan makanan tumbuh-tumbuhan hanya sekitar 5 % (Anon, 2008). Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi oleh kombinasi makanan yang disantap pada waktu makan. Berdasarkan teori dan fakta yang ada bahwa ada Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III Di BPS Hj Sri Sulasmiati, S.ST Desa Wonoayu Kec. Pilangkenceng Kab. Madiun. F. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan status gizi ibu hamil pada penelitian ini terbanyak adalah status gizi baik yaitu sebanyak 19 orang dari 32 responden. Ibu hamil trimester III pada penelitian ini terbanyak adalah tidak mengalami anemia yaitu sebanyak 15 orang dari 32 responden. Hasil spearman rank dengan a = 0,05 didapatkan bahwa rs = 0,666789 berarti rs hitung> 0,364, sehingga H1 diterima yang artinya ada hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III. 147 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Saran Kader Memberikan informasi pada ibu tentang status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III dengan jelas dan menarik sehingga bisa menjadi strategi tenaga kesehatan dalam memberikan penyuluhan dan informasi untuk meningkatkan status gizi terutama pada ibu hamil. Penelitian ini lebih disempurnakan lagi bagi peneliti selanjutnya karna penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dengan mengetahui lebih dalam lagi mengenai hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III. DAFTAR PUSTAKA Anon. 2012.Penyebab dan Penanganan Anemia / Mengganti Dengan Obat Lain Yang Sesuai. (http://majalahkesehatan.com), diakses 9 mei 2013 Anon. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi. (http://blogkesmas.blogspot.com), diakses 16 juli 2013 Anon. 2008. Absorbsi zat besi. (http://fransis.wordpress.com), diakses 16 juli 2013 Beck, Mary E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet.Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica Ellya, Eva. 2010. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : TIM Hidayat, A.A. 2010. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Manuaba. 2010.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta : EGC Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Proverawati, Atikah. 2009. Buku Ajar Gizi Untuk Kebidanan. Yogyakarta : Nuha MedikaJa Proverawati, Atikah. 2010. Nutrisi Janin dan Ibu Hamil. Yogyakarta : Nuha Medika Purwitasari, Desi. 2009. Buku Ajar Yang Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Nuha Medika Wylie, Linda. 2010. Manajemen Kebidanan. Jakarta : EGC . 148 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 KONSUMSI PIL KB DI POLINDES DESA KEMBANGSARI KECAMATAN JATIBANTENG SITUBONDO Sari Priyanti Dosen DIII Kebidanan Poltekkes Majapahit ABSTRAK Women have difficulty in determining the contraceptivedevices. This is not only caused by unknown the limititation of available methods but also their unknown about requirement and safety of contraceptives methods.if contraceptives program are not successful,they will impact negatively towards other sectors.they are education,health,economic,adn etc.the aim of this study is to determine the obedient acceptors consuming pill contraceptives. Design of this study is a descriptive with survey.the variabel in this study is the obediens acceptors toward pill contraceptives.the Population in this study is 55 acceptors with a sample as many as 50 respondents. Sampling techniques used is the type of random probability sampling the study had been conducted in Kembangsari Jatibanteng Situbondo On July 12-18 years 2013.the data are collected by questionnaire sheets and processed by editing,coding, scoring, and tabulating.The results show that most respondents disobey consuming pill contraceptives as many as 29 respondents (58.0%) and a minority of respondents obey consuming pill contraceptives as many as 21 respondents (42.0%). In this study, many respondents disobey consuming pill contraceptives,so that they happen in conception due to disobey consuming pill contraceptives, and can cause them difficulty consuming 2 pills directly. Most of the obedient acceptors consuming pill contraceptives in Polindes Kembangsari, Jatibanteng Situbondo disobey consuming it. the health workers or midwives should provide counseling about the importance of consuming it regularly and the respondents are expected to add knowledge about the obedient acceptors consuming pill contraceptives by counselling heath about their obedient. Keywords: Acceptor, kb, pill A. PENDAHULUAN Banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia tetapi juga oleh ketidak tahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai potensi, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan (Saroha Pinem,2009). Program KB sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang kependudukan, memiliki implikasi yang tinggi dalam pembangunan kesehatan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif oleh karena itu, program KB memiliki posisi strategis dalam upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui kelahiran pendewasaan usia perkawinan (secara kuantitatif), maupun pembinaan ketahanan dan peningkatan kesejahteraan keluarga (secara kualitatif) dalam mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera, sehingga memungkinkan program dan gerakan KB diposisikan sebagai bagian penting dari strategi pembangunan ekonomi. Apabila program KB tidak berhasil akan berimplikasi negatif terhadap sector pembangunan lain seperti: pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sector lainnya (Suratun ,2008 ) Program pembangunan nasional, Keluarga Berencana (KB) mempunyai arti yang sangat penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia sejahtera, disamping program pendidikan dan kesehatan.Data BKKBN terkini (2007) menyebutkan, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 224,9 juta dan merupakan keempat terbanyak di dunia. Berdasarkan kuantitasnya, penduduk Indonesia tergolong sangat besar. Namun dari segi 149 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 kualitasnya, masih memprihatinkan dan tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya.Di dunia ini, kira-kira 85 dari 100 wanita yang aktif secara seksual tidak menggunakan metode kontrasepsi apapun, sehingga terjadi kehamilan dalam waktu satu tahun 1 dan lebih dari seperempat wanita yang hamil melakukan aborsi atau melakukan pengguguran. Penting untuk dicatat, bahwa dari sekitar 123 juta wanita dunia yang tidak menggunakan kontrasepsi terutama berasal dari negara berkembang. Indonesia, pada tahun 2012 tercatat jumlah peserta KB aktif dari 64.133.347 juta jiwa, dengan jumlah PUS 161.750.743 juta jiwa dan WUS 51.472.069 juta jiwa (Kemenkes RI, 2010). Dari 64.133.347 peserta KB aktif, peserta KB Pil. Program KB di Jawa Timur sudah tercapai baik, tercatat tahun 2010, peserta KB 1.171.619 orang (109,86%), dari PPM (Prakiraan Permintaan Masyarakat) 1.066.462 orang. Tahun 2011, jumlah peserta KB baru naik menjadi 1.317.768 orang (110,42%). Berdasarkan laporan total KB aktif hingga Desember 2011, di Jawa Timur sebanyak 6.150.153 orang 126,46% dengan prevalensi terhadap peserta KB Pil 21,01%.(BKKBN 2012). Mengacu data yang di dapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo tahun 2006, paserta KB baru 10.959 orang (3.11%) dan jumlah peserta KB aktif 220.440 orang (62.51%).Dari 352,641peserta KB aktif pengguna aktif KB suntik (41.28%),peserta KB pil (31.13%),peserta KB implant(17.28%%),peserta KB IUD (4.87%),peserta KB MOW (2.59%),peserta KB kondom (1.01%),peserta KB MOP(0.84%). (Dinkes situbondo 2006).Data tersebut menunjukan bahwa kebanyakan masyarakat Situbondo mengunakan alat kontrasepsi suntik dan Pil. Data yang di dapat dari polindes desa kembangsari kecamatan jatibanteng kabupaten situbondo.di dapatkan jumlah akseptor KB Pil pada tanggal 19 juni 2013 dengan tehnik wawancara pada 5 responden di dapatkan 3 orang yang patuh( %),2 orang yang tidak patuh( %). Kelebihan Pil kombinasi, antara lain: efektifitasnya tinggi, frekuensi koitus tidak perlu diatur, siklus haid menjadi teratur, dan keluhan-keluhan disminore yang primer menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Sedangkan, kekurangan dari Pil kombinasi antara lain: Pil harus diminum setiap hari, motivasi harus kuat, dan adanya efek samping walaupun sifatnya sementara, misalkan mual, sakit kepala, muntah, buah dada nyeri, dan lain-lain,Walaupun banyaknya efek samping yang ditimbulkan oleh kontrasepsi Pil ternyata masih banyak akseptor KB yang memilih kontrasepsi Pil (Prawihardjo,2006).Dalam mencapai keberhasilan ketepatan cara penggunaan Pil KB oleh akseptor,yang meliputi cara memilih Pil KB yang sesuai waktu memulai minum Pil KB,cara mulai minum,dan cara bilaterjadi lupa minum Pil.Dimana hal tersebut sangat menentukan berhasil tidaknya kontrasepsi ini mencegah kehamilan. Solusi dari kegagalan adalah informasi yang efektif hal ini sebagai satu cara untuk memperbaiki kepatuhan akseptor,sebaiknya diberikan dalam satu paket dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja untuk mencegah kehamilan sebelum mereka siap merubah perilakunya dan siap membentuk sebuah keluarga.(Saroha Pinem,2009)Dilakukan pemahaman yang baik tentang pentingnya kepatuhan mengkonsumsi Pil KB bagi akseptor dalam bentuk komunikasi,informasi,dan edukasi yang intensif seperti menyebarkan leaflet, radio interaktif, penyuluhan di posyandu,dan pengajian,dll. Berdasarkan penjelasan dari data di atas maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai tingkat kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep KB Pil a. Pengertian Pil KB adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk Pil atau tablet di dalam strip yang berisi gabungan hormon estrogen dan progesteron 150 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 atau yang hanya terdiri dari progesterone saja.(Suratun,2008) di bawah ini merupakan Jenis -Jenis KB Pil kombinasi, terdapat kombinasi komponen progesteron dan estrogen. 1) Pil Monofasik : Dalam kemasan 21 tablet, mengandung hormon esrogen/progestin (E/P) dalam dosis sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif. 2) Bifasik : Pil yang tersedia dalam 21 tablet mengandung (E/P), dengan dua dosis yang berbeda,dengan 7 tablet tanpa hormone aktif. 3) Trifasik: Pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung hormon aktif (E/P) dengan tiga dosis yang berbeda,dengan 7 tablet tanpa hormon aktif. b. Cara Kerja 1) Menekan ovulasi 2) Mencegah implantasi 3) Lendir servik mengental sehingga sulit di lalui sperma 4) Pergerakan tuba terganggu sehingga transplantasi telurtergang c. Manfaat Kontrasepsi 1) Memiliki efektifitas sangat tinggi bila di gunakan setiap hari. 2) Resiko terhadap kesehatan sangat kecil 3) Tidak menggangu hubungan seksual 4) Siklus haid teratur, banyaknya darah berkurang, tidak terjadi 5) nyeri haid. 6) Dapat digunakan sejak usia remaja sampai manepause 7) Mudah dihentikan 8) Kesuburan segera kembali 9) Dapat digunakan sebagai kontrasepsi darurat 10) Membantu mencegah : KET, kanker , ovarium, dll d. Efek samping 1) Mual ,3 bulan pertama 2) Perdarahan bercak,pada 3 bulan pertama 3) Pusing 4) Kenaikan berat badan 5) Nyeri payudara 6) Pusing 7) Tidak mencegah PMS 8) Tidak boleh umtuk ibu menyusui 9) Dapat meningkatkan tekanan darah sehingga resiko stroke e. Indikkasi 1) Usia reproduksi 2) Telah memiliki anak ataupun belum 3) Gemuk atau kurus 4) Setelah melahirkan dan tidak menyusui 5) Pasca keguguran 6) Anemia karena haid berlebihan 7) Riwayat kehamilan ektopik 8) Siklus haid tidak teratur 9) Kelainan payudara jinak 10) Kencing manis tanpa komplikasi pada ginjal,pembuluh darah, 11) mata dan syaraf. f. Kontra indikasi 151 HOSPITAL MAJAPAHIT g. h. i. Vol 5 No. 2 Nopember 2013 1) Absolut a) Tromophlebitis / serebro vaskuler ( pernah & sedang) b) Jantung iskemik/arteri koroner c) Karsioma payudara d) Kehamilan e) Tumor hepar f) Perdarahan abnormal g) Neoplasma, hiperlipidemia ( kongenetal / familial ) 2) Relatif a) Sakit kepala hebat b) Hipertensi c) Diabetes mellitus d) Penyakit kantung empedu yang aktif e) Myoma uteri f) Epilepsy g) Umur >40 disertai riwayat kardiovaskuler Cara memulai minum KB Pil 1) Sebaiknya Pil diminum setiap hari,lebih baik dalam waktu yang sama 2) Pil pertama dimulai hari pertama siklus haid ini sangat dianjurkan 3) Bila Pil habis mulai minum dari paket yang baru.paket 21 Pil habis sebaiknya tunggu 1 minggu baru minum Pil dari paket yang baru 4) Bila muntah dalam waktu 2 jam, minum Pil lain.atau gunakan kontrasepsi lain 5) Bila lupa minum 1 Pil setelah ingat segera minum Pil yang lupa dan minumlah Pil untuk hari ini seperti biasa 6) Bila lupa 2 Pil setelah ingat segera minum Pil 2, Pil hari itu dan 2 Pil lagi hari berikutnya 7) Lupa minum 3 Pil berturut-turut / lebih baik hentikan pemakain, gunakan metode lain bila ingin menggunakan Pil lagi tunggu menstruasi dan gunakan dari kemasan yang baru. Waktu mulai minum Pil : 1) Setiap saat asalkan ibu tidak hamil 2) Hari pertama – hari ke7 siklus haid 3) Boleh menggunakan pada hari ke 8, perlu menggunakan metode kontrasepsi yang lain sampai hari ke 14 atau tidak melakukan hubungan seksual 4) Setelah malahirkan : setelah 6 bulan pemberian ASI eklusif,setelah 3 bulan dan tidak menyusui,pasca keguguran. Cara memilih KB Pil yang sesuai Cara memilih KB Pil yang cocok untuk wanita yang sesuai yaitu dengan mengenali 3 tipe utama wanita dan mengetahui isi KB Pil yang diberikan.Munfordmenggolongkan 3 tipe utama wanita : 1) Estrogenik Adalah wanita – wanita yang sangat buruk reaksinya terhadap pemberian estrogen, mereka pekaterhadap estrogen dan wanita tipe ini cenderung mempunyai siklus haid yang pendek, biasanya kurang dari 26 hari, lamanya haid lebih dari 6 hari dan perdarahan lebih banyak. Pertumbuhan rambut dan penyebaran lemak tubuh yang feminim, payudara besar, sekret vagina banyak, pinggul besar.Pada wanita ini dapat diberikan jenisKB pil yang lebih Progestogenik. 152 HOSPITAL MAJAPAHIT j. Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2) Balance ( seimbang ) Adalah wanita yang bersifat seimbang antara estrogenik dan progestonik, siklus haid 28 hari dan lamanya 5 - 6 hari, sedangkan jumlah perdarahannya sedang. 3) Progestogenik Adalah wanita-wanita yang bereaksi terhadap progesteron( peka terhadap progesteron), dimana wanita jenis ini mempunyai siklus haid 30 hari atau lebih, lamanya 4 hari atau kurang dengan jumlah perdarahan sedikit. Pertumbuhan rambut dan penyebaran lemak maskulin, payudara kecil, kurus, mempunyai riwayat sering tumbuh jerawat, pinggul kecil.Wanita jenis ini diberikan jenis yang lebih estrogenik. Hal-hal penting yang harus diketahui oleh akseptor KB Pil : 1) Minum pil pada waktu yang sama setiap hari ( sore atau malam hari ). 2) Gunakan kontrasepsi cadangan lain, seperti kondom bila baru mulai dengan bungkus pertama pil. 3) Akseptor harus membaca brosurmengenai pil yang terdapat di 4) dalam bungkus pilnya. 5) Para pemakai pil sangat dianjurkan melakuan pemeriksaan sitologi (papanicolau smear) dan pemeriksaan payudara 1 tahun sekali. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan kepatuhan,usia, jenis kelamin, ekonomi, pendidikan, sikap, keyakinan, cara hidup(pola hidup,dan lain-lain). Rancang bangun penelitian dalam penelitian ini survei yaitu mengumpulkan data sebanyak-sebanyaknya mengenai faktorfaktor yang merupakan pendukung terhadap kualitas variable penelitian,kemudian menganalisis faktor-faktor tersebut untuk dicari perannya terhadap variable penelitian (Arikunto,2010). Pada penelitian ini populasinya adalah semua Akseptor KB Pil di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo.Berdasarkan hasil survey pendahuluan didapatkan populasi akseptor KB Pil pada bulan Juni 2013 sebanyak 55 orang. Jadi besarnya sampel dalam penelitian berjumlah 50 akseptor KB Pil di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini menggunakan probability sampling tipe simple random sampling atau dipilih secara acak dari jumlah akseptor KB Pil di Desa Kembangsari Kec.Jatibanteng Situbondo. D. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran umum Polindes Desa Kembangsari Polindes Desa kembangsari berlokasi di dusun krajan desa kembangsari kecamatan jatibanteng situbondo memiliki luas wilayah ± 205.635 m².desa kembangsari memilki 3 dusun,yakni dusun krajan,dusun sumber pinang, dan dusun tampelan Batas Polindes Desa Kembangsari sebagai berikut : - Sebelah utara : rumah warga - Sebelah selatan : rumah kepala desa - Sebelah barat : masjid - Sebelah timur : jalan raya kembangsari Dalam pemberian pelayana kesehatandibagi menjadi 3 ruang , yaitu 1 ruang periksa, 1 kamar mandi, 1 ruang tunggu. Pelayan kesehatan yang dilakukan di Polindes desa kembangsari meliputi : KIA (KB,ANC,PNC,BBL,konsul kespro). 153 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 2. Data Umum a. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan responden Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo Pada Tanggal 12-18 juli 2013. Pekerjaan PNS / Pegawai negri Swasta Tani IRT Frekuensi (f) 0 0 28 22 Total 50 Persentase (%) 0 0 56.0 44.0 100.0 Dari tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang tani sebanyak 28 responden b. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan umur di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo pada tanggal 12 –18 juli 2013. Umur responden Frekuensi (f) Persentase (%) 5 28 17 50 10.0 56.0 34.0 100.0 <20 tahun 20-35 tahun >35 tahun Total c. Dari tabel 2 menunjukkan bahwa reponden paling banyak berumur 20-35 tahun sebanyak 28 responden Karakteristik responden berdasarkan pendidikan. Tabel 3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan di Polindes Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo Pada Tanggal 12-18 juli 2013. Pendidikan SD SMP SMA Akademi / PT Total Frekuensi (f) Persentase (%) 29 15 6 0 50 58.0 30.0 12.0 0 100.0 Dari tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SD sebanyak 29 responden. 3. Data khusus a. Kepatuhan Akseptor KB Pil Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB Pada Tanggal 12-18 juli 2013. Kepatuhan Frekuensi (f) Persentase (%) Patuh Tidak Patuh 21 29 42.0 58.0 Total 50 100.0 Dari tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang tidak patuh sebanyak 29. 154 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 E. PEMBAHASAN 1. Pekerjaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang bekerja tani sebanyak 28 responden (56.0%). Pekerjaan merupakan pencarian barang yang terjadi untuk sesuatu pokok penghidupan yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah (BKKBN,2005). Pekerjaan dalam arti luas merupakan aktifitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan di gunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari hari istilah ini sering dianggap dengan profesi. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu, bekerja bagi ibu – ibu akan mempunyai pengaruh terhadap keluarga. (Markum, AH, 2007). Pekerjaan dari peserta KB dan suami akan mempengaruhi pendapatan dan status ekonomi keluarga. Suatu keluarga dengan status ekonomi atas terdapat perilaku fertilitas yang mendorong terbentuknya keluarga besar, sedangkan keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung menunda kehamilan (Singarimbun, 2005). Dalam penelitian ini banyak diantara responden yang bekerja tani yang tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB,sehingga dapat mempengaruhi terhadap ke ikut sertaan dalam KB,karena faktor pengaruh lingkungan pekerjaan yang menyebabkan status dalam pemakaian kontrasepsi. 2. Umur akseptor Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 28 responden (56.0%). Umur merupakan periode terhadap polapola kehidupan yang baru semakin bertambahnya umur maka individu akan mencapai usia reproduksi, termasuk di antaranya pertumbuhan dan perkembangan. pada umur tertentu dan akan sangat berkurang sejalan dengan bertambahnya grafik umur kita (Suparyanto,2010). Responden yang berumur 20-35 tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB disebabkan karna pada umur ini responden cenderung bertahan dengan pemikiran atau pendapatnya sendiri sehingga akan sulit menerima informasi dari luar tentang kepatuhan akseptor KB Pil sehingga mempengaruhi akseptor dalam mengkonsumsi Pil KB. 3. Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berpendidikan SD sebanyak 29 responden (58.0 %). Pendidikan merupakan suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa dan lebih matang pada diri individu, kelompok, atau masyarakat. Semakin tinggi pendidikan maka semakin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pengetahuan yang di miliki. Sebaiknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai baru yang di perkenalkan (Rianti,2012). Dalam penelitian ini banyak diantara ibu yang masih berpendidikan dasar atau SD dan SMP, ini menyebabkan pengetahuan yang masih kurang tentang kepatuhan akseptor karena kurangnya informasi tentang pentingnya mengkonsumsi Pil KB, sehingga dapat mempengaruhi persepsi akseptor dalam mengkonsumsi Pil KB.Dengan mempunyai cukup bekal ilmu maka mereka dapat menimbulkan persepsi positif sehingga akseptor patuh dalam mengkonsumsi Pil KB. 4. Kepatuhan Akseptor KB Pil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB yaitu sebanyak 29 responden (58.0%). Kepatuhan akseptor adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses serangkaian prilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan,kepatuhan ,kesetian,keteraturan & 155 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 ketertiban sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban,bahkan,sebaiknya akan membebani dirinya bila mana ia tidak dapat berbuat sebagai mana lazimnya (Prijadarminto,2003) Pada penelitian ini banyak responden yang tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB sehingga dapat terjadi konsepsi, yang disebabkan ketidak teraturan akseptor dalam mengkonsumsi Pil KB,dan dapat menyebabkan akseptor sukar mengkonsumsi 2 Pil KB secara langsung. F. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di simpulkan bahwa Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB di Desa Kembangsari Kecamatan Jatibanteng Situbondo adalah sebagian besar tidak patuh dalam mengkonsumsi Pil KB yaitu sebanyak 29 responden (58.0%) . 2. Saran a) Bagi Peneliti selanjutnya Peneliti dapat menggunakan data referensi penelitian ini sehingga peneliti selanjutnya dapat mengembangkan konsep atau melakukan penelitian tentang Kepatuhan Akseptor KB Pil dengan jumlah yang lebih banyak,sehingga didapatkan hasil penelitian yang lebih lengkap. b) Bagi praktis a) Bagi lahan penelitian Peneliti dapat menggunakan data referensi penelitian ini sehingga peneliti selanjutnya dapat mengembangkan konsep atau melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Akseptor KB Pil dengan jumlah yang lebih banyak,sehingga didatkan hasil penelitian yang lebih lengkap. b) Bagi responden Untuk menambah pengalaman responden tentang Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB.dengan cara mengikuti penyuluhan-penyuluhan kesehatan khususnya tentang cara Mengkonsumsi Pil KB dengan benar. c) Bagi institusi spendidikan Untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam mempelajari Kepatuhan Akseptor KB Pil Dalam Mengkonsumsi Pil KB dan diharapkan menjadi bahan wacana perpustakaan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto.(2010) Metode penelitian kebidanan tehnik analisis data. Jakarta:PT.Renika Cipta dr.Sugiri syarie(2011) kontrasepsi dan fenomina keluarga bahagia.hhtp://indosiar .com(diakses pada 12 juni 2013) Depkes .(2006) macam-macam akseptor.http://id.shyoong.com (diakses pada 12 juni 2013) Hartanto (2003) Keluarga berencana dan kontrasepsi.http://.mitrariset,com/akseptor (diakses pada 12 juni2013) Gio akram (2013) Pengertian konsumsi .http://blogspot.com/2013(diakses pada 16 juni 2013) Notoatmodjo (2010) Metode penelitian kesehatan.Jakarta :PT.Rineka cipta Nursalam (2008) Konsep dan penerapan Metodologi penelitian ilmu kesehatan Jakarta:Salemba Medika Prawirohardjo (2006) buku panduan pelayanan kontrasepsi .Jakarta: tridasma printer Pridajarminto (2003) definisi kepatuhan. www.psikologymania http://www.psikologymania.com/ (diakses pada 20 juni 2013) 156 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 5 No. 2 Nopember 2013 Suratun,SKM,M.Kes(2008)Pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kontrasepsi .Jakarta : Trans Info Media Sri Handayani,S.Si.T(2011) Pelyanan Keluarga Berencana. Pustaka Rehama: Sewon, Bantul, Yogyakarta syakira-blog-blogspot.com (2009) Konsep kepatuhan.www.blogspot.com(di akses pada12 juni 2013) Setiadi (2007) Konsep dan penulisan riset keperawatan .Yokyakarta : graham ilmu suparyanto.http// blogspot. com/2010/12/pengaruh-kb-terhada perubahan.html (di akses pada 29 juni 2013) 157