perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Legitimasi Intervensi dalam Hukum Internasional
Legitimasi mempunyai arti yang berbeda dari legalalitas. Legalitas adalah
dimana sesuatu dilihat berdasarkan hukum yang ada, baik itu peraturan mau pun
keputusan hakim yang dijadikan yurisprudensi, contohnya adalah sebuah tindakan
bila dilihat secara hukum menghasilkan putusan legal atau ilegal. sedangkan
legitimasi mempunyai kondisi yang lebih fleksibel dari legalitas, legitimasi
mempunyai ruang lingkup lebih luas. Dilihat dari suatu tujuan terdapat suatu
pengecualian disaat sebuah tindakan dinyatakan ilegal tapi dengan tujuan yang
baik bisa dikatakan sah. Karena legitimasi berasal dari persepsi terhadap hasil
sebuah tindakan. Dan legitimasi bisa menjadi sebuah revolusi hukum atau
pertimbangan untuk membuat suatu peraturan. (Vesselin, Nicholas. 2008 : 4).
Penulis menggunakan legitimasi dikarenakan belum adanya peraturan mengenai
intervensi dan menggunakan pendapat ahli yang berasal dari kebiasaan
internasional dan persepsi yang ada.
Intervensi merupakan suatu tindakan campur tangan negara maupun
organisasi internasional terhadap negara lain didasarkan atas alasan kepentingan
tertentu terhadap negara tersebut. Bentuk dari intervensi dapat berupa tindakan
kekerasan maupun tindakan yang bersifat diplomatik. Intervensi saat ini menjadi
suatu perdebatan dalam ranah Hukum Internasional. Tindakan intervensi pada
dasarnya tidak diperbolehkan jika mengacu pada Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB,
namun ketentuan tersebut ternyata dapat dikecualikan jika melihat ketentuan yang
ada pada Bab VII Piagam PBB atas dasar untuk menjaga keamanan dan
perdamaian dunia. Tujuan utama pembentukkan PBB adalah memelihara
perdamaian dan keamanan internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut PBB
mengambil langkah-langkah bersama secara efektif dalam mencegah atau
menghindari ancaman agresi, perang, retorsi, tindakan pembalasan, intervensi
terhadap perdamaian, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum
30 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31 internasional (Pasal 1 ayat (1)) Piagam PBB (Oppenheim Lauterpacht, 1967 :
305). Dalam kaitan dengan usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional, PBB telah meletakkan 5 Prinsip dasar dalam piagamnya, yaitu
(Suryokusumo, 1987 : 8) :
1. Prinsip untuk menyelesaikan perselisihan internasional secara damai
(Pasal 2 ayat (3) jo Bab VI dan Bab VII Piagam PBB)
2. Prinsip untuk tidak menggunakan ancaman atau kekerasan (Pasal 2 ayat
(4) Piagam PBB)
3. Prinsip mengenai tanggung jawab untuk menentukan adanya ancaman
(Pasal 39)
4. Prinsip mengenai pengaturan persenjataan (Pasal 26 Piagam PBB)
5. Prinsip umum mengenai kerjasama di bidang pemeliharaan perdamaian
dan keamanan internasional (Pasal 11 ayat (1))
Wewenang DK PBB dalam mencapai pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional dilakukan dengan dua cara yaitu, usaha penyelesaian sengketa secara
damai yang ada dalam Bab VI Piagam PBB dan penyelesaian sengketa secara
paksa yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB (Baros, 1972 : 22). Salah satu cara
yang diperbolehkan dalam penyelesaikan sengketa secara paksa adalah dengan
melakukan intervensi (J.G. Starke, 1988 : 690).
Oleh karena itu, kata “intervensi” dalam Pasal 2 ayat (7) mengandung dua
pandangan yang berbeda, pertama, kata “intervensi” harus diinterpretasikan dalam
arti teknis hukum internasional yang berarti suatu campur tangan atas kedaulatan
atau “intervensi diktator”, sedangkan pandangan kedua mengartikan kata
“intervensi” hanya merupakan pengertian secara harafiah yaitu intervensi biasa
(Danial, 2004 : 22). Sehingga dapat dikatakan hanya DK PBB saja yang
mempunyai kemampuan bertindak dan dapat menimbulkan akibat hukum melalui
keputusan DK PBB dalam melaksanakan ketentuan Bab VII Piagam PBB.
Saat ini telah banyak negara yang melakukan intervensi secara individual
maupun kolektif, sebagai contoh intervensi yang dilakukan Eropa ketika
menyerang Macedonia pada tahun 1903-1908 dan intervensi Vietnam
ke
Kamboja pada tahun 1978-1989 (Bass J. Garry, 2008: 8). Selain itu ada konflik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32 yang terjadi di Kosovo, yang pernah menjadi perhatian utama dunia internasional.
Etnis Serbia yang dipimpin oleh Slobodan Milosevic berusaha untuk menghalang
halangi keinginan etnis Albania di Kosovo untuk mendirikan Republik Kosovo
yang lepas dari Serbia. Dengan mencabut hak otonomi Kosovo pada tahun 1989,
dan berupaya untuk melenyapkan etnis Albania di Kosovo . Tindakannya itu telah
mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan didaerah Balkan. Dengan
politiknya di Kosovo yaitu ‘pembersihan etnis’ yang dilakukan secara bertahap,
sistematis, dengan dibarengi strategi bumi hangus. Tentara Serbia menyerbu
Kosovo dan membunuh penduduk sipil serta membumi hanguskan desa-desa
disana. Dengan melihat situasi yang tidak kondusif di Kosovo, PBB mengerahkan
pasukan perdamaiannya untuk meredam konflik. Pengerahan pasukan oleh PBB
ke wilayah Kosovo merupakan pengerahan pasukan terbesar dan terlama
sepanjang sejarah penugasan pasukan PBB dalam misi internasionalnya guna
menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Situasi ini merupakan momentum yang
sangat baik bagi kegiatan PBB untuk kepentingannya terutama untuk
mendapatkan bantuan dana dari masyarakat internasional (Indro Dwi Haryono,
2002 : 5-6). Kasus sama juga terjadi pada intervensi NATO yang dilakukan atas
Libya pada tahun 2011 sebagai bentuk intervensi kemanusiaan berdasarkan
mandat dari DK PBB. Dalam hal ini PBB tak bisa tinggal diam melihat
pelanggaran HAM dilakukan secara terang-terangan dan sistematis. Sehingga
untuk mendapatkan dukungan masyarakat dunia, dilakukanlah intervensi
berdasarkan prinsip-prinsip universal yang berpegang pada piagam PBB.
Akan tetapi, ada juga praktek intervensi yang dianggap ilegal, seperti
dalam kasus intervensi antara Nikaragua dengan Amerika. Dalam hal ini ICJ
membatalkan alasan Amerika yang mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang
dilakukan merupakan sebuah tindakan legal atas dasar perlindungan terhadap
HAM. Namun, putusan ICJ tersebut tidak ditafsirkan bahwa intervensi
kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional. ICJ menolak alasan yang
digunakan Amerika karena dianggap tidak masuk akal. Menurut ICJ penggunaan
kekerasan bersenjata yang digunakan dengan alasan kemanusiaan harus sesuai
dengan tujuannya, sedangkan apa yang dilakukan Amerika adalah meledakkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33 dermaga, instalasi minyak, yang tidak memiliki korelasi terhadap perlindungan
HAM. Alasan itulah yang digunakan untuk menolak argumen Amerika (Holiwan,
2010 : 13).
Berdasarkan beberapa praktek intervensi yang telah ada, belum ada
ketentuan lebih lanjut yang mendasari praktek intervensi yang dibenarkan dalam
hukum internasional. Oleh karena itu, mulai muncul pandangan para ahli yang
mendasarkan praktek intervensi. Dalam hal ini, J.G Starke mempunyai pandangan
yang mendasarkan tindakan intervensi pada :
1.
Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB
Pasal 51 Piagam PBB yang berisi “Tidak ada suatu ketentuan dalam
piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk
membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu
anggota PBB, sampai dewan keamanan mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional.
tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan
hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada dewan keamanan dan
dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung
jawab dewan keamanan menurut piagam ini untuk pada setiap waktu
mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau
memulihkan perdamaian serta keamanan internasional”. mengatur salah satu
bentuk intervensi yang dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif
dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang
membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu
agresi. J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi negara atas
kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang
melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu
dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional
(J.G. Starke, 1988 : 137). Adapun keadaan yang dianggap sebagai suatu
situasi yang membahayakan perdamaian dunia seperti yang terjadi pada
Kosovo pada tahun 1999 dimana sudah lebih dari 30 ribu orang melarikan
diri, meninggalkan rumah mereka. Ribuan orang lainnya berusaha kabur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34 menyelamatkan diri dari peperangan yang juga berlangsung di Macedonia
dan Albania.Hal tersebut inilah yang melandasi masuknya NATO ke
wilayah Kosovo untuk menghindari terjadinya pemusnahan etnis dan
dikategorisasikan sebagai intervensi kemanusiaan dalam situasi darurat.
Jika kita melihat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB
lebih mendalam maka secara tersirat dalam pasal tersebut mengizinkan
adanya suatu tindakan intervensi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan,
maka dapat dikatakan intervensi yang diperbolehkan oleh DK PBB
tergolong kedalam intervensi kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan
dilakukan apabila pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil
wilayah negara lain secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk
memulihkan hak asasi manusia (Anthony D’Amato,2001 : 20). Sama halnya
seperti yang dikemukakan oleh Bryan A. Garner bahwa intervensi
kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas
internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam
sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara
tersebut (Bryan A. Garner, 1999 : 826). Pada dasarnya intervensi
kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan
tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu
negara. Setiap negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik.
Berdasarkan asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam
PBB. Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk
melakukan intervensi kemanusiaan menurut Awaludin, yaitu (Hamid
Awaludin, 2012 : 213) :
a. negara yang gagal. Bila dalam suatu negara, pemerintah gagal
untuk melindungi warganya karena adanya perang saudara atau
pembunuhan masal, maka pada kondisi inilah negara lain dapat
membenarkan diri untuk melakukan intervensi kemanusiaan.
Contohnya intervensi NATO atas Libya yang dianggap gagal
dalam melindungi kepentingan rakyatnya sendiri. Konflik Libya
disebabkan adanya pertentangan antara rakyat Libya dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 Pemerintahan Khadaffi yang telah berkuasa puluhan tahun. Konflik
ini telah menelan banyak korban jiwa dimana pemerintahan
Khadaffi yang seharusnya melindungi warga negaranya malah
melakukan aksi militer terhadap warga negaranya sendiri yang
menentang pemerintahannya (Nicholas J. Wheeler, 2000 : 27).
Terkait dengan kasus Libya, Koffi Annan berpendapat bahwa
dapat dipahami kemanusiaan merupakan prioritas utama yang
seharusnya melandasi setiap operasi intervensi. Jika tragedi
kemanusiaan terjadi di suatu negara, maka sudah merupakan
tanggung jawab dunia internasional untuk bergerak menghentikan
kejadian tersebut. Ini sejalan dengan prinsip Responsibility to
Protect yang menyatakan bahwa Kedaulatan suatu negara berarti
tanggung jawab untuk melindungi warganya dari kekerasan
terhadap
kemanusiaan.
Apabila negara gagal
memerankan
tanggung jawab tersebut maka komunitas internasional-lah yang
mengambil alih tanggung jawab tersebut. Pada saat tersebut,
masalah kedaulatan negara bersangkutan dapat ditangguhkan
sementara (Rudi Guraizu, 2008 : 7).
b. Kesadaran
kemanusiaan.Bila
dalam
suatu
negara
terjadi
pembunuhan secara masal, perbudakan masal dan peledakan yang
menimbulkan kematian yang besar (shocking the conscious of
mankind), maka kondisi itulah yang membenarkan suatu Negara
untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Contohnya, konflik yang
terjadi di Darfur yang menelan 180 ribu hingga 300 ribu korban
tewas dan 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya
untuk mengungsi. PBB bahkan menyebutnya pemberontakkan
kelompok bersenjata yang terjadi di Darfur sebagai yang terparah
di duni. Konflik ini bermula ketika pemberontak Sudan Liberation
Army (SLA) dan The Justice And Equality Movements menyerang
target-target pemerintahan Sudan karena merasa wilayah mereka
terabaikan. Hal inilah yang menggerakkan negara-negara untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36 melakukan intervensi kemanusian atas apa yang terjadi di wilayah
Darfur
(http://encarta.msn.com/encyclopedia_701843542/Darfur.
html).
c. Jalan terakhir. Bila semua cara damai telah dilakukan tetapi tetap
gagal, maka intervensi menjadi salah satu pilihan dan dapat
dibenarkan. Adapun contoh kasusnya seperti Amerika dan
Australia yang melakukan intervensi kemanusiaan dalam kasus
Timor Leste ketika militer Indonesia membantai ribuan rakyat
Timor Leste. Dalam hal ini Amerika dan Australia turun langsung
ke daerah konflik dengan mengirimkan pasukan militernya untuk
melindungi warga Timor Leste disana. Peristiwa ini dikenal
dengan
sebutan
Peristiwa
Santa
Cruz
(Radio
Netherland
Wereldomroep, 2011 : 2).
Pelaksanaan intervensi di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan
politik, juga harus mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan
dalam Piagam PBB. Maka berdasarkan ketentuan Bab VII Piagam PBB
yang dijelaskan dalam Pasal 39, 41, dan 51 terkait tindakan intervensi harus
mendapat izin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Izin ini berbentuk
rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan
yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi itu
diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut. Berdasarkan penafsiran atas
Pasal 2 (4) Piagam PBB, intervensi bukanlah sebuah larangan yang absolut,
melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan
wilayah (territorial integrity), kebebasan politik ( political independence)
dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner
inconsistent with the Purposes of the United Nations) (Yoram Dinstein 1994
: 89).
Dengan demikian, intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam
PBB merupakan intervensi yang didasarkan pada sifat kemanusiaan maupun
suatu tindakan yang dianggap sebagai upaya terakhir apabila penyelesaian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 secara damai tidak dapat mencapai kesepakatan.Tindakan intervensi
tersebut harus didasari atas beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh
DK PBB dengan tetap memperhatikan unsur kesatuan wilayah, kebebasan
politik dan juga tujuan PBB.
2.
Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya
di negara lain.
Kepentingan
nasional
menurut
Hans
J
Morgenthou
adalah
kemampuan minimun negara untuk melindungi dan mempertahankan
identitas politik dan kultural dari gangguan negara lainnya. Dari tinjauan
tersebut maka pemimpin negara menentukan kebijakan spesifik terhadap
negara lain atau dengan kata lain merupakan kekuatan yang merupakan pilar
utama dalam bidang politik nasional maupun internasional yang realistis dan
dipenuhi suatu pertentangan untuk menanamkan pengaruhnya di suatu
kawasan (Hans J. Morgenthou, 1978 : 60). Kepentingan nasional menjadi
sangat berpengaruh bagi suatu negara untuk memenuhi kebutuhan politik,
sosial, maupun ekonomi dan untuk pertahanan keamanan. Secara umum
negara yang membawa kepentingan nasionalnya cenderung melakukan
intervensi terhadap suatu kawasan.Kepentingan nasional merupakan unsur
yang sangat vital bagi suatu negara. Unsur-unsur yang termasuk didalamnya
antara lain (Saadi Touvel, 2001 : 32) :
a.
Kedaulatan
b.
Kelangsungan hidup bangsa dan negara
c.
Kemerdekaan
d.
Keutuhan wilayah
e.
Keamanan Militer
f.
Kesejahteraan ekonomi
Sedangkan menurut Donald E Nutcherlein, kepentingan nasional
merupakan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai suatu negara yang juga
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Kelompok kepentingan nasional
negara besar menurut Donald E Nuchterlein (Ibrahim Noor, 2014 : 6-7) :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 a.
Defence Interest: melindungi negara dan warga negara dari
ancaman luar, juga pertahanan sistem konstitusional.
b.
Economic Interest: meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui
hubungan dengan negara lain dan memperluas eksistensi ekonomi
dengan mempromosikan produk-produk ke luar negeri (bilateral
atau multilaeral) untuk menjamin kepentingan ekonomi.
c.
World Order Interest: kepentingan untuk membangun tata dunia di
bidang keamanan dan ekonomi. Bisa melalui kerjasama multilateral
untuk kebaikan bersama baik untuk mencapai perdamaian atau
perdagangan bebas.
d.
Ideology Interest: untuk melindungi dan menyebarkan sejumlah
nilai dan kepercayaan kepada pihak lain.
Tindakan intervensi dalam rangka melindungi hak, kepentingan dan
keselamatan warga negaranya berkaitan erat dengan teori Responsibility to
Protect. Negara memiliki tanggung jawab atas warga negaranya baik yang
berada di negara sendiri maupun di negara lain. Batasan tanggung jawab
negara atas warga negaranya didasarkan pada Deklarasi HAM PBB yang
diantaranya melindungi hak-hak individu dan sosial. Selain itu juga diatur
dalam Konvensi Jenewa dan berbagai perjanjian lainnya yang melarang
penyiksaan, perdagangan manusia, atau proliferasi nuklir juga membatasi
hak
negara
untuk
bertindak
sebagaimana
mereka
inginkan
(http://responsibilitytoprotect.org/).
Adapun bentuk intervensi yang diperbolehkan sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak dan kepentingan warga negaranya di negara lain
berkaitan dengan status yang melekat pada warga negara tersebut. Menurut
J.G Starke arti penting status kewarganegaraan (nationality) seseorang
dalam hukum internasional berkaitan dengan pemberian hak perlindungan
diplomatik di luar negeri. Setiap negara berhak melindungi warga negaranya
di luar negeri ( J.G Starke, 2010 : 459). Intervensi sebagai upaya untuk
melindungi hak dan kepentingan warga negaranya berhubungan dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39 tanggung jawab semua negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dengan
sejumlah cara seperti dalam bentuk intervensi yang bersifat ekonomi,
diplomatik dan politik. Sedangkan intervensi yang bersifat militer dapat
diperbolehkan dalam situasai darurat untuk menghentikan pemusnahan
massal
dan
berbagai
kejahatan
massal
lainnya
(http://responsibilitytoprotect.org/).
Salah satu contoh intervensi yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan suatu negara yang berada di negara lain adalah operasi
evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di Mesir yang merupakan operasi
penyelamatan sekitar 6 ribu WNI di Mesir pada saat Mesir dilanda
kekacauan politik pada tahun 2011. Dalam operasi ini Kementrian Luar
Negeri Indonesia di Mesir membuka 2 posko komunikasi dan 3 titik
penampungan di Kairo. Selama proses evakuasi mendapat beberapa
hambatan seperti izin dan proses penjemputan yang terhambat sehingga
menyebabkan pesawat Indonesia tertahan di Jeddah. Serta ada beberapa
daerah yang di blokade sehingga harus melewati daerah-daerah yang rawan.
Lalu adanya larangan penggunaan bis besar sehingga memperlambat dalam
proses evakuasi WNI (www.republika.co.id/berita/breaking-news /nasional
/11/01/31/161679-tni-siagakan-hercules-evakuasi-wni-di Mesir).
Dengan demikian intervensi dalam rangka melindungi hak, dan
kepentingan dan keselamatan warga negaranya di negara lain berkaitan
dengan prinsip responsibility to protect yang dimiliki suatu negara atas
warga negaranya yang didasarkan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Adapun bentuk intervensi yang dapat dilakukan meliputi intervensi politik,
ekonomi, diplomatik dan juga intervensi militer yang dapat digunakan
dalam situasi darurat.
3.
Pembelaan diri.
Intervensi dibutuhkan ketika terdapat sebuah serangan bersenjata
(armed attack). Ketentuan tersebut diperbolehkan jika merujuk pada Pasal
51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara anggota PBB berhak
melakukan pertahanan diri (self defence) baik secara individu maupun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40 kolektif ketika terjadi serangan bersenjata terhadap negara anggota PBB
terlebih dahulu (Boer Mauna, 2005 : 11). Tujuan Pasal 51 Piagam PBB
adalah untuk melindungi kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara,
sehingga pemahaman terhadap ketentuan Pasal 51 Piagam PBB ini, jika
suatu negara merasa kedaulatan dan kemerdekaan diancam oleh negara lain
sangat memungkinkan bagi negara tersebut untuk menggunakan kekuatan
paksaan terhadap negara yang terlebih dahulu mengancam bahkan jika
serangan belum mencapai armed attack.
Adapun yang menjadi syarat-syarat atas dasar dilakukannya
pembelaan diri adalah: langsung (instant), situasi yang mendukung
(overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada
waktu untuk menimbang (no moment of deliberation) (Sulastri Batubara,
2011 : 22) .
Dapat
dikatakan bahwa di bawah naungan PBB, suatu
intervensi dengan tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan yang
membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian diperbolehkan untuk
dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa intervensi merupakan suatu law
enforcement yang dalam hal-hal tertentu pelaksanaannya diberikan kepada
negara tertentu. Terlepas dari apakah suatu intervensi merupakan suatu hak
atau merupakan suatu delegasi wewenang dari hukum internasional, suatu
negara dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan.
Secara teoritis dan praktis pengertian dari self defence masih simpang
siur. Namun demikian, terdapat persetujuan apabila penggunaan pertahanan
diri membutuhkan hadirnya dua elemen. Elemen tersebut adalah keharusan
(necessity) dan kepatuhan (proportionality). Elemen keharusan (necessity)
yang didasarkan pada empat hal yang dipersyaratkan untuk dapat
menggunakan kekerasan dalam mempraktikkan anticipatory self-defense
yang dikenal sebagai Webster Formula yaitu instant, overwhelming, there
no alternative, dan no moment for deliberation. Sedangkan elemen
kepatuhan (proportionallity) didasarkan pada ketentuan Pasal 51 piagam
PBB yang menjadi dasar self defence yang dimodifikasi pada praktek
kebiasaan yang ada sehingga menciptakan posisi normatif yang seimbang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41 antara hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional, dan
menurut prinsip lex posterior, aturan dalam Piagam PBB mengenai use of
force kemudian menghapus kebiasaan yang telah ada sebelumnya yang
tidak sesuai dengan Piagam PBB (Tom Ruys, 2010 : 259).
Kedua elemen ini merupakan unsur yang penting dan harus hadir
dalam penggunaan prinsip pertahanan diri.Dalam pembahasan mengenai
hak dari negara-negara atas pertahanan diri tidak bisa dilepaskan dari teori
Hersch Lauterpacht yang ditulis tidak lama setelah dihasilkannya Pakta
Kellog-Briand. Lauterpacht menyatakan bahwa klaim terhadap hak atas
bela-diri merupakan subjek terhadap evaluasi objektif yang sesuai dengan
hukum. Pernyataan Lauterpacht ini dikutip oleh Hakim M. Schwebel dalam
dissenting opinion-nya dalam kasus Invasi AS terhadap Nikaragua. Hak ini
menurut Lauterpacht adalah sebagaimana yang diakui oleh hukum nasional
di satu sisi bersifat absolut dalam artian tidak ada hukum yang dapat
menghapuskannya. Akan tetapi, di sisi lain diharuskan adanya penghakiman
sehingga dalam hal suatu pihak mengklaim penggunaan hak ini maka
haruslah klaim tersebut menjadi objek bagi pengadilan (Oppenheim
Lauterpacht, 1967 : 102). Berdasarkan sejarahnya, pada abad ke 19 ditandai
dengan adanya pengecualian atas prinsip non-intervensi yang didasarkan
pada perjanjian atau pada prinsip menolong diri sendiri (self help) atau
penjagaan diri sendiri (self preservation). Usaha-usaha negara monarki
seperti Rusia, Austria, dan Prusia setelah tahun 1815 pada umumnya
menetapkan prinsip intervensi militer dengan dasar pembelaan diri.
Napoleon III mencoba mencari pengakuan untuk hak intervensi yang
didasarkan pada pembelaan diri (self defence) yang masih belum berhasil
mendapat pengakuan (Tom Ruys, 2010 : 259).
Dengan demikian, penggunaan kekerasan dalam rangka self defence
diperbolehkan apabila didasarkan pada empat syarat yang diperbolehkan
yakni instant, overwhelming, there no alternative, dan no moment for
deliberation. Serta dalam praktek pelaksanaannya harus tetap disesuaikan
berdasarkan ketentuan Pasal 51 Piagam PBB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42 4.
Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
Negara protektorat adalah negara yang berada di bawah perlindungan
negara lain yang dianggap lebih kuat, dengan demikian negara Protektorat
bukan merupakan negara yang merdeka. Dalam negara protektorat,
hubungan negara pelindung dengan negara yang dilindungi berdasarkan atas
suatu perjanjian. Dalam perjanjian tersebut disepakati mengenai kekuasaankekuasaan mana yang akan ditangani oleh negara protektorat termasuk
dalam hal intervensi (Huala Adolf, 2002 : 45). Contoh hubungan negara
protektorat antara lain : Perancis dengan Monako, dan Italia dengan San
Marino. Adapun bentuk intervensi yang berhubungan dengan negara
protektorat adalah untuk urusan luar negeri dan pertahanan dilakukan oleh
negara pelindung.Sedangkan negara protektorat-nya bertanggungjawab
masalah intern negaranya.Pada saat ini bentuk protektorat telah lenyap.
Dengan demikian bentuk intervensi yang terjadi pada negara
protektorat lebih bersifat intervensi politik, ekonomi dan sosial. Negara
pelindung dianggap sebagai negara yang memberikan pengaruh besar
terhadap negara yang dilindungi.
5.
Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran
berat atas hukum internasional.
Penggunaan tindakan intervensi juga tidak dapat dipisahkan dari
adanya suatu prinsip responsibility to protect. Adapun makna Responsibility
to Protect (R2P) adalah sebuah konsep baru dalam melindungi HAM dalam
rangka mengatasi kegagalan komunitas Internasional dalam mencegah
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam perluasan makna dari intervensi
menjadi R2P ini, pelaksanaan intervensi kemanusiaan didasarkan pada
kerugian skala besar bagi kehidupan baik karena pembersihan etnis ataupun
pelanggaran HAM dimana negara tersebut tidak mau dan tidak mampu
untuk bertindak sendiri (Jill Steans dan Loyd Pettiford, 2009 : 240).
Prinsip ini berkaitan pula dengan
kedaulatan yang dimiliki suatu
negara untuk melindungi segenap warga negaranya. Di satu sisi, terdapat
kelompok negara yang tetap berpegang teguh pada gagasan tradisional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43 mengenai kedaulatan negara yang selalu memahamkan kedaulatan sebagai
hal yang tidak dapat diganggu gugat, merupakan supremasi negara termasuk
kewenangan pengaturan hukum dalam yurisdiksi wilayahnya, serta selalu
mengaitkan kedaulatan negara ini dengan asas integritas wilayah (Stanczyk
Gaska, 2000 : 168). Pada sisi yang lain, terdapat kelompok negara yang
melihat adanya kebutuhan masyarakat internasional untuk melakukan
intervensi jika kekejaman massal dan kejahatan kemanusiaan terus terjadi.
Kelompok yang kedua ini melihat kedaulatan bukan sebagai sesuatu yang
bersifat mutlak. Sehingga melahirkan suatu pendapat bahwa ide mengenai
kedaulatan negara harus didasarkan bukan pada hak dari setiap negara untuk
melakukan apa yang dikehendakinya tanpa ada campur tangan internasional,
tetapi kedaulatan negara harus diasaskan pada perlindungan terhadap
rakyatnya yang tinggal di wilayah tersebut. Secara sederhana, kedaulatan
negara harus dibangun di atas konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab
(sovereignty
responsibility).
Negara
tidak
semestinya
mengambil
keuntungan dari hak dan kewenangan yang terkandung di dalam
kedaulatannya, tetapi negara seharusnya menerima tanggung jawab untuk
melindungi rakyat yang tinggal di dalam batas-batas wilayahnya (Rahayu,
2012 : 3). Ide ini kemudian dikembangkan dan dikaji lebih lanjut dalam
ICISS (International Commission on Intervention and State Souvereignty),
suatu
lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Kanada pada bulan
September 2000. Pada Desember 2001 ICISS menyampaikan laporannya
bahwa semua negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi
rakyat mereka dari pemusnahan
massal, kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. Mereka juga berpendapat
bahwa masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk membantu
negara melindungi rakyatnya dari keempat kejahatan tersebut. Jika suatu
negara
gagal
memberikan
perlindungan
terhadap
rakyatnya
dari
pembunuhan massal atau bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya,
maka masyarakat internasional harus mengambil tanggung jawab untuk
melindungi rakyat dari negara tersebut. Dalam rangka perlindungan itu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44 masyarakat internasional juga harus menggunakan serangkaian cara
diplomatik, ekonomi dan hukum, dan penggunaan kekuatan militer hanya
dimungkinkan sebagai upaya terakhir dalam situasi yang sangat ekstrim atau
mendesak. Laporan ICISS ini menandai perubahan tentang bagaimana
masyarakat internasional harus merespon krisis kemanusiaan yang terjadi.
Secara regional, prinsip tersebut selanjutnya diadopsi oleh African Union's
Charter tahun 2002 dengan mencantumkan pasal tentang intervensi ke
dalam wilayah negara anggotanya bila terjadi kejahatan perang,
pemusnahan massal atau kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah
tersebut (Rahayu, 2012 : 4-6).
Adapun tiga unsur untuk menggolongkan suatu intervensi sebagai
tindakan intervensi kemanusiaan, yaitu:
a.
Menggunakan kekuatan bersenjata (armed force)
Dalam melakukan intervensi kemanusiaan di dalam wilayah
negara lain tempat terjadinya penggaran berat HAM atau hukum
humaniter internasional, digunakan kekuatan bersenjata (armed force)
untuk melindungi para korban dan menghentikan pelanggaran yang
terjadi. Oleh karena itu penggunaan tindakan intervensi yang tidak
menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) seperti ancaman atau
penggunaan sanksi ekonomi, diplomatik,atau politik atau sanksi
lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan
(Robert O. Keohanne dan Holzgrefe, 2003 : 18).
b.
Dilakukan
dengan
tujuan
kemanusiaan
yaitu
untuk
menghentikan pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter
internasional
Tujuan utama dari intervensi kemanusiaan adalah untuk
mencegah atau menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM atau
hukum humaniter internasional. Dengan demikian maka motif lain
selain hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah intervensi
kemanusiaan (Joyner Christopher C. 2005 : 177). Dalam melakukan
tujuan kemanusiaan tersebut intervensi yang dilakukan oleh suatu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45 negara dalam wilayah negara lain melibatkan penggunaan kekuatan
bersenjata. Hal ini dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan
negara tersebut. Penekanan perlu dilakukan terhadap bagian dimana
tindakan intervensi ini dapat dilakukan tanpa ada persetujuan
dari pemerintahan negara yang bersangkutan. Hal ini perlu ditekankan
karena eratkaitannya dengan kedaulatan suatu negara dan kemampuan
suatu negara dalam
mengatasi
permasalah
HAM atau
pun
permasalahan humaniter di dalamwilayahnya.
c.
Dilakukan dengan persetujuan DK PBB
Tindakan intervensi kemanusiaan berdasarkan pengertian dari
Danish Institute of International Affairs dapat dilakukan dengan atau
tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Namun, masyarakat
internasional akan lebih bisa menerima suatu intervensi kemanusiaan
yang dilakukan dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruno Simma dalam Boer
Mauna bahwa penggunaan kekerasan untuk tujuan humaniter tidak
sesuai dengan tujuan Piagam PBB kecuali setelah mendapat otorisasi
dari Dewan Keamanan PBB (Boer Mauna, 2005 : 652). Contohnya
adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia, Rwanda,
dan Haiti, yang dilakukan berdasarkan otoritas Dewan Keamanan
PBB sehingga dapat diterima oleh masyarakat internasional.
Sebaliknya, intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara
tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB, akan diragukan legitimasinya
dan cenderung mendapat penolakan dan kecaman dari masyarakat
internasional (Rosalyn Higgins, 2001 : 6).
Nicholas Wheeler mengatakan bahwa ada empat syarat di mana
sebuah intervensi dianggap memiliki kualifikasi sebagai sebuah
intervensi kemanusiaan. Pertama, harus karena adanya darurat
kemanusiaan yang tinggi sifatnya. Kedua, penggunaan kekuatan
senjata harus menjadi pilihan terakhir. Ketiga, harus memenuhi syarat
proporsionalitas, dan keempat harus ada probabilitas tinggi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46 menyatakan bahwa penggunaan kekuatan senjata akan memperoleh
hasil kemanusiaan yang positif (Nicholas J, 2000 : 33-34).
Sebagaimana dikatakan bahwa tindakan intervensi yang diperbolehkan
didasarkan pada batasan tertentu dan sesungguhnya tidak ada alasan intervensi
yang dapat dibenarkan apabila menimbulkan atau membuat suatu keadaan
menjadi lebih buruk. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar
menuju suatu perdamaian. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah
subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi ini adalah (J.G.
Starke, 1988 : 137):
“Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang
dilakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya
revolusi atau perang saudara di negara lain”
Namun dalam perkembangannya, Jessup menyatakan bahwa pelarangan
kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4)
tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan
wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat
menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pada pasal
tersebut sehingga tidak melanggar tujuan dari PBB. Pendapat yang hampir sama
juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang
menurut hukum internasional adalah ketika keinginan negara untuk bermusuhan
ditambah dengan aktifitas militer. Menurutnya setiap negara bisa menggunakan
kekerasan bersenjata (use of force) untuk menyelamatkan asset nasionalnya dalam
kerangka pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata
(imminent), namun hal tersebut dapat dilakukan jika negara yang berdaulat tidak
mampu melindungi kepentingan negara lain (Rosalyn Higgins, 2004 : 246).
Sehingga dapat dikatakan bahwa menurut ketentuan hukum internasional pada
dasarnya tindakan intervensi telah mengalami perkembangan jika dilihat pada
pasal 2 ayat (4) piagam PBB. Intervensi dapat dilakukan apabila memenuhi lima
kriteria diantaranya : intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB,
untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47 negara lain, pembelaan diri, berhubungan dengan negara protektorat atas
dominionnya, serta negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan
pelanggaran berat atas hukum internasional. Perkembangan intervensi dilandaskan
pada prinsip responsibility to protect dimana suatu negara memiliki kedaulatan
untuk menjamin dan melindungi segenap warga negara dan apabila kewajiban
tersebut gagal dilaksanakan maka dapat dilakukan campur tangan dari negara lain
apabila berhubungan dengan HAM sehingga makna kedaulatan yang dimiliki oleh
suatu negara dapat dikatakan terbatas untuk menghindari tindakan kesewenangwenangan suatu negara. Sehingga pelaksanaan intervensi yang diperbolehkan
menurut ketentuan hukum internasional lebih sering dikenal dengan nama
intervensi kemanusiaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48 B. Legitimasi Intervensi Rusia atas Wilayah Krimea Berdasarkan
Ketentuan Hukum Internasional
1. Gambaran Konflik Rusia dengan Ukraina
Konflik yang menimbulkan banyak korban di ibukota Ukraina, Kiev,
ternyata tidak usai setelah Presiden Viktor Yanukovych diturunkan dari
jabatannya. Perseteruan kepentingan Barat dan Rusia berlanjut hingga ke
wilayah Krimea, tepatnya di kota Sevastopol, pangkalan armada angkatan
laut Negeri Beruang Merah. Selain terdiri dari 60 persen etnis Rusia,
Krimea juga jadi lokasi strategis tempat ditambatkannya Armada Laut
Hitam Rusia. Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang Sevastopol, wilayah
Semenanjung Krimea (http: //internasional. kompas.com/ read/2014/
03/02/ 1001125/Rusia.Bermain. Api. di. Crimea).
Kota pelabuhan di Laut Hitam ini ditemukan oleh Kaisar Rusia
Yekaterina di barat daya pesisir Semenanjung Krimea pada tahun 1783.
Sevastopol saat itu terletak di kota tua Yunani bernama Chersoneus.
Reruntuhan kota ini sampai saat ini masih dieksplorasi oleh para arkeolog.
Kaisar Yekaterina sendiri yang menamai kota itu Sevastopol, yang berarti
"Kota Suci nan Megah". Hal utama yang menarik perhatian Kaisar
Yekaterina adalah pelabuhan laut sedalam 30 meter, cocok untuk
pangkalan angkatan laut. Saat perang Krimea, penaklukkan Sevastopol
antara September 1854-September 1855 menjadi penentu kemenangan
konflik. Butuh sekitar setahun bagi Prancis, Inggris dan Kekhalifahan
Ottoman menguasai kota ini. Tahun 1941-1942, pasukan Tentara Merah
dan Armada Laut Hitam mempertahankannya dari pasukan Nazi Jerman
dalam pertempuran 250 hari, siang dan malam akan tetapi Pasukan Rusia
kalah. Sejak tahun 1948, Sevastopol mendapatkan status kota istimewa
dari pemerintahan Republik Sosialis Federal Soviet Rusia, bagian dari Uni
Soviet. Tahun 1954, pemimpin Soviet saat itu Nikita Khrushchev
memberikan Sevastopol dan seluruh Krimea kepada Republik Sosialis
Soviet Ukraina, juga bagian dari Uni Soviet. Awal 1990-an, Ukraina
menjadi negara merdeka. Krimea menjadi bagian dari Ukraina. Di bawah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49 Traktat Persahabatan, Kerja sama dan Kemitraan Moskow-Kiev tahun
1997, Rusia mengakui status kepemilikan Sevastopol dan
kedaulatan
Ukraina. Sebagai balasannya, Ukraina memberikan Rusia hak untuk terus
menggunakan pelabuhan Sevastopol bagi armada laut mereka sampai
tahun 2017 (http:// nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/akankahselesai-konflik-antara-rusia-dan-ukraina).
Perjanjian awal izin Armada Laut Hitam di Sevastopol berlangsung
untuk 20 tahun. Perjanjian ini otomatis diperpanjang lima tahun kecuali
salah satu pihak membatalkannya. Perjanjian kedua, ditandatangani di
Kharkiv tahun 2010, memperpanjang penggunaan pelabuhan Sevastopol
untuk armada Rusia hingga 2042. Rusia membayar Ukraina US$98 juta
per tahun untuk menyewa pangkalan laut di Krimea. Selain itu,
berdasarkan perjanjian Kharkiv, Rusia akan memberikan potongan harga
gas US$100 per ton. Rusia terpaksa menggunakan pelabuhan Sevastopol
karena tidak ada pelabuhan di negaranya yang mampu menampung
Armada Laut Hitam. Pelabuhan Rusia di Novorossiysk tidak cukup dalam
dan kurang infrastrukturnya (http://dunia.news.viva.co.id/ news/read
/485860-ini-sejarah-sevastopol-di-crimea--wilayah-ukraina-berbau-rusia).
Revolusi Ukraina di tahun 2014 melawan Yanukovich memicu sebuah
krisis politik di Krimea yang awalnya bermula dengan unjuk rasa
menentang pemerintahan pusat yang baru, tetapi segera bereskalasi berkat
dukungan Rusia yang terang-terangan terhadap kaum separatis, sebuah
keadaan yang tidak ada dalam 20 tahun sebelumnya. Pada tanggal 27
Februari, pasukan yang tidak dikenal dan diduga keras sebagai para
komando Rusia, merebut gedung Dewan Tertinggi Krimea atau VRD
(Verkhovna Rada Krimea) dan gedung-gedung kementerian lainnya di
Simferopol. bendera-bendera Rusia lalu dinaikkan ke atas gedung-gedung
ini,lalu barikade-barikade didirikan di luarnya. Sementara pasukanpasukan tidak dikenal ini masih menduduki gedung-gedung pemerintahan
di Simferopol, Dewan Tertinggi Krimea membubarkan pemerintahan dan
lalu mengadakan rapat dengan hasil Dewan Tertinggi Krimea memilih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50 Sergey Aksyonov, ketua Partai Persatuan Rusia yang merupakan partai
minoritas, sebagai Perdana Menteri Krimea. Sehingga
jika dilihat
berdasarkan sejarahnya, Krimea memang sudah menjadi bagian dari
wilayah Ukraina sehingga kedaulatan atas wilayah Krimea tidak dapat
dimasuki oleh kekuasaan negara lain (http://time.com/19097/putin-crimearussia-ukraine-aksyonov/).
Situasi
konflik
terus
terjadi,
sekurang-kurangnya
2000
pria
berseragam militer dan bersenjata yang tidak dikenali melakukan infiltrasi
ke obyek-obyek vital di semenanjung Krimea. Mereka menduduki
sejumlah
kantor penting dan gedung-gedung pemerintahan. Hal ini
kemudian dibenarkan oleh Rusia bahwa telah mengirim pasukan untuk
berjaga di wilayah Krimea. Tidak lama kemudian, juru bicara Ukraina
untuk United Nations (PBB) Yegor Pyovarov, mengatakan kepada CNN
bahwa jumlah pasukan Rusia di semenanjung Krimea telah mencapai
15.000 tentara (Charter, Magnay, dan Estwood, 2014 : 3).
Referendum mengenai status Krimea diadakan pada tanggal 16 Maret
2014 oleh parlemen Krimea dan pemerintah Sevastopol, yang merupakan
subdivisi Ukraina. Parlemen Krimea dan dewan kota Sevastopol
menganggap penjatuhan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych selama
revolusi Ukraina 2014 sebagai sebuah kudeta dan menganggap
pemerintahan baru di Ukraina tidak sah. Referendum ini menanyakan
apakah penduduk Krimea ingin bergabung dengan Federasi Rusia atau
mengembalikan konstitusi Krimea 1992 dan status Krimea sebagai bagian
dari Ukraina. Konstitusi 1992 memberikan banyak wewenang, termasuk
dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Parlemen Krimea
sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali
dengan Rusia. Referendum ini tidak memberikan pilihan untuk
menetapkan
status
quo
seperti
sebelumnya
(http://www.reuters.com/article/2014/03/11/us-ukraine-crisis-referendumidUSBREA2A1GR20140311). Referendum ini ditolak oleh negara-negara
Barat yang menganggapnya tidak sah. Selain itu, Majelis Bangsa Tatar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
Krim
mea - asosiassi politik banngsa Tatar di
d Krimea - memboikot
m
r
referendum
ini. Rancangan
R
Resolusi Deewan Keam
manan Perserrikatan Banggsa-Bangsa
yang
g mendeklaraasikan ketiddakabsahan referendum
r
ini diveto oleh
o
Rusia,
semeentara tiga belas
b
anggota dewan keeamanan laiinnya menddukung dan
satu
(Republik
negara
Rakyat
T
Tiongkok)
menyatakan
n
abstain
p://www.un.o
org/press/en///2014/ sc11
1319.doc.htm
m). Dalam referendum
r
(http
terseebut warga Krimea dibberikan duaa pilihan anntara lain mendukung
m
peny
yatuan kembbali Krimea dengan Rusia dengan K
Krimea menjjadi bagian
dari Federasi Ruusia Atau m
mendukung pengembalian
p
n Konstitusii 1992 dan
us
statu
Krim
mea
sebagai
bagian
dari
Ukraina
(http
p://www.nytiimes.com/20014/03/15/world/europe//crimea-votee-does-notofferr-choice-of-sstatus-quo.httml?_r=0).
Berikuut hasil referrendum yangg dikeluarkan
n oleh Krimeea :
Jumlaah
suaara
P
Pilihan
Bergabun
ng dengan
F
Federasi
Ru
usia
Mengembaliikan konstituusi
M
1992 dan tetap menjaadi
b
bagian
dari Ukraina
U
S
Subtotal
suara sah
Suara tidaak
S
k
kosong
sah
attau
J
Jumlah
suaraa
Pemilih teerdaftar
P
t
tidak
berparttisipasi
yaang
J
Jumlah
pem
milih terdaftarr
Persen
ntase
pemilih
terdafftar
Perssentase
su
uara
Peersentase
su
uara yang
sah
1.233.002
800,42%
996,77%
97,47%
31.997
2
2,09%
2,51%
2,53%
1.264.999
822,51%
999,29%
100,00%
9.097
0
0,59%
0,71%
—
1.274.096
833,10%
100,00%
—
259.112
166,90%
—
—
1.533.208
1000,00%
—
—
T
Tabel.
1. Hassil Referenduum Krimea.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52 Berdasarkan hasil referendum tersebut terlihat bahwa sebanyak
96,77% warga Ukraina memilih bergabung dengan Rusia. Sehari setelah
referendum tersebut, parlemen Krimea meminta agar Federasi Rusia
menerima Republik Krimea sebagai anggota. Pada hari yang sama,
Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi mengakui Krimea sebagai
negara (http://www.rt.com/news/crimea-referendum-results-official-250/).
2. Legitimasi Intervensi Rusia Berdasarkan Hukum Internasional
Terkait dengan legitimasitindakan intervensi yang dilakukan Rusia
atas wilayah Krimea, peneliti menganalisanya berdasarkan teori-teori yang
memperbolehkan adanya suatu intervensi, diantaranya, intervensi kolektif
yang ditentukan dalam Piagam PBB, intervensi untuk melindungi hak dan
kepentingan serta keselamatan warga negaranya di negara lain, pembelaan
diri, berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya, serta
negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran
berat atas hukum internasional. Adapun yang menjadi penjelasannya
adalah sebagai berikut :
a. Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB
Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB merupakan
intervensi yang didasarkan pada sifat kemanusiaan maupun suatu
tindakan yang didasarkan atas beberapa kriteria, seperti negara yang
gagal, kesadaran manusia dan sebagai upaya terakhir apabila
penyelesaian secara damai tidak dapat mencapai kesepakatan.
Tindakan
intervensi
pertimbangan
tersebut
harus
didasari
atas
beberapa
yang dilakukan oleh DK PBB dengan tetap
memperhatikan unsur kesatuan wilayah, kebebasan politik dan juga
tujuan PBB yang sesuai berdasarkan ketentuan Bab VII yakni untuk
memelihara perdamaian dan keamanan dunia internasional
(J.G.
Starke, 1988 : 140).
Terkait dengan intervensi yang dilakukan Rusia atas wilayah
Krimea, dalam hal ini telah terjadi intervensi berupa pengiriman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53 pasukan tanpa tanda pengenal dan diduga keras sebagai para komando
Rusia. Alasan dari dilakukannya pengiriman pasukan Rusia di wilayah
Krimea adalah untuk melindungi etnis Rusia yang tinggal di wilayah
Krimea karena adanya ancaman pemberontakan yang terjadi akibat
transisi politik di Ukraina. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan kondisi
pemerintahan di Ukraina sebelumnya, dikuasai oleh seorang etnis
Rusia yakni Viktor Yanukovich yang cenderung condong pada politik
luar negeri di bawah pengaruh Rusia yang bertentangan dengan
keinginan sebagian rakyat Ukraina. Sehingga ketika Presiden Viktor
Yanukovich diturunkan dari jabatannya, Rusia merasa bahwa
kepentingannya di Ukraina menjadi terganggu. Oleh karena itu, Rusia
ikut campur tangan ke wilayah Krimea untuk mendukung penolakan
turunnya pemerintahan Viktor Yanukovich dengan alasan melindungi
penduduk etnis Rusia di Krimea.
Perbuatan
Rusia
tersebut
tidak
dapat
dikatakan
bersifat
kemanusiaan karena tindakan intervensi Rusia tersebut malah
menimbulkan konflik yang semakin memanas antara pemberontak
dengan
pro-Yanukovich
dan
justru
mengakibatkan
terjadinya
pelanggaran HAM yang lebih besar disana. Kementerian kesehatan
Ukraina melaporkan 77 orang tewas akibat luka tembak serta 600
orang terluka maupun hilang akibat konflik yang terjadi disana (Reni
Candradewi, 2014 : 4). Sampai sekarang pejabat-pejabat Ukraina
menyebutkan lebih dari 200 orang tewas selama operasi militer digelar
di Ukraina timur. Yang pada akhirnya warga yang tak berdosa pun
menjadi korban akibat konflik yang terjadi tersebut, di tengah konflik
Warga Slavyansk Ukraina coba bertahan tanpa air, bukan hanya itu
ribuan bahkan puluh ribuan warga terpaksa mengungsi dari
wilayahnya untuk mengindari bentrokan yang di lakukan para separatis
(Charter, Magnay, dan Estwood, 2014 : 5). Berdasarkan kenyataan
inilah, maka tidak dapat dijadikan alasan pertimbangan DK PBB untuk
memberikan izin Rusia untuk melakukan intervensi di wilayah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54 Ukraina. Dewan PBB mengecam terhadap tindakan Rusia atas
pengiriman pasuka di Krimea dan Ukraina timur yang memperparah
konflik berdarah yang terjadi di Ukraina. Terlebih lagi adanya
penilaian bahwa permasalahan yang terjadi sebenarnya merupakan
permasalahan politik intern di Ukraina yang seharusnya diselesaikan
sendiri oleh Ukraina tanpa ada campur tangan dari negara
lain(www.bbc.com/news/world-europe-26353824#). Seharusnya Rusia
sebagai anggota tetap DK PBB sudah memahami ketentuan yang ada
dalam Piagam PBB mengenai prinsip menghormati kemerdekaan
politik negara lain ataupun tindakan lain yang akan mengganggu
keamanan wilayah negara lain.
b. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga
negaranya di negara lain.
Intervensi sebagai upaya untuk melindungi hak dan kepentingan
warga negaranya berhubungan dengan tanggung jawab semua negara
untuk melindungi rakyatnya sendiri dengan sejumlah cara seperti
dalam bentuk intervensi yang bersifat ekonomi, diplomatik dan
politik.
Sedangkan
diperbolehkan
pemusnahan
dalam
massal
intervensi
situasai
dan
yang
darurat
berbagai
bersifat
untuk
kejahatan
militer
dapat
menghentikan
massal
lainnya
(http://responsibilitytoprotect.org/)
Terkait dengan situasi yang terjadi di Ukraina setelah berakhirnya
masa jabatan Viktor Yanukovich, warga Krimea yang mayoritas etnis
Rusia merasa bahwa kepentingan mereka sudah tidak diperhatikan lagi
oleh pemerintahan yang baru serta adanya ancaman atas rasa aman
yang timbul akibat konflik politik yang terjadi di Ukraina. Berdasarkan
alasan inilah yang mendasari tindakan Rusia masuk ke wilayah Krimea
dengan mengirim pasukan tentara Rusia disana. Rusia menganggap
bahwa negaranya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga
Krimea yang mayoritasnya merupakan etnis Rusia. Jika dilihat
sejarahnya Krimea memang memiliki hubungan yang kuat dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55 Rusia. Sebelum 1954, Krimea adalah oblast (provinsi) di bawah
administrasi Rusia, namun pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita
Khrushchev, memberikan Krimea ke Ukraina (http://www.koransindo.com/node/372854-2014).
Berdasarkan
perjalanan
sejarah
tersebut Krimea telah sah menjadi bagian dari wilayah negara Ukraina.
Sehingga wilayah Krimea menjadi bagian dari kedaulatan Ukraina
yang tidak dapat dicampuri urusannya oleh negara lain.
c. Pembelaan diri.
Intervensi yang didasarkan pada alasan pembelaan diri harus
memenuhi beberapa persyaratan seperti adanya sebuah serangan
bersenjata (armed attack) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51
Piagam PBB. Adapun yang menjadi syarat pembelaan diri adalah:
langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation),
tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk
menimbang (no moment of deliberation) (Sulastri Batubara, 2011: 44).
Terkait dengan intervensi yang dilakukan Rusia atas Ukraina jika
dianalisa berdasarkan empat kriteria syarat pembelaan diri, antara lain :
1) Langsung, yang dimaksudkan disini adalah pembelaan diri
diperbolehkan apabila dilakukan segera setelah adanya serangan
dari negara lain. Akan tetapi dalam hal ini tindakan campur tangan
Rusia terhadap Ukraina dilakukan secara bertahap. Mulanya Rusia
membatalkan dana talangan senilai 15 Milyar serta membatalkan
harga diskon 30% terhadap gas yang dijual ke Ukraina, tak hanya
itu Rusia juga mengancam akan menaikkan harga pajak ekspor
Ukraina. Puncaknya lagi adalah ketika Rusia mengirimkan
pasukan militernya ke wilayah Krimea dengan alasan untuk
melindungi warga etnis Rusia yang berada disana akibat adanya
konflik yang terjadi disana (www.bbc.com/news/world-europe26353824#). Tindakan-tindakan yang dilakukan Rusia tersebut
tidak didahului dengan serangan yang bersifat ancaman oleh
Ukraina. Tindakan tersebut dilakukan Rusia akibat pergolakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56 politik di Ukraina sejak turunnya masa pemerintahan Viktor
Yanukovich yang merupakan etnis Rusia. Sehingga motif tindakan
yang dilakukan Rusia lebih condong ke arah kepentingan politik
daripada pembelaan diri.
2) Situasi yang mendukung adalah situasi ketika sebuah negara yang
melakukan pembelaan diri telah mendapatkan ancaman serangan
yang mengakibatkan kedaulatan negara tersebut terganggu, akan
tetapi lain halnya yang terjadi di Ukraina. Rusia berinisiatif sendiri
untuk melakukan tindakan intervensi ke wilayah Krimea dengan
alasan melindungi warga Krimea etnis Rusia akibat pergolakan
politik yang terjadi disana. Tindakan Rusia tidak didasari atas
adanya ancaman yang dilakukan Ukraina terhadap Rusia. Maka
situasi mendukung yang dimaksudkan dalam kriteria ini tidak
terpenuhi dalam tindakan yang dilakukan Rusia.
3) Tidak ada cara lain, yang dimaksudkan disini tindakan pembelaan
dilakukan sebagai upaya terakhir apabila telah dilakukan upaya
damai sebelumnya. Namun terkait dengan apa yang terjadi di
Ukraina merupakan konflik internal yang seharusnya diselesaikan
sendiri oleh Ukraina. Adapun dasar alasan Rusia mengintervensi
Ukraina untuk melindungi warga Krimea etnis Rusia disana
dengan mengirimkan pasukan militer seharusnya tidak boleh
dilakukan. Negara Ukraina memiliki tanggung jawab untuk
melindungi warga negaranya dari konflik internal yang terjadi
tanpa campur tangan dari negara lain. Campur tangan Rusia ke
Ukraina baru bisa dilakukan ketika memang Ukraina dianggap
tindak mampu ataupun tidak mau untuk melindungi warga
negaranya dari konflik internal yang terjadi.
Dalam hal ini Ukraina telah melakukan upaya
atas konflik
internal yang terjadi adalah dengan memberi kesempatan warga
sipil untuk meninggalkan wilayah konflik, Presiden Ukraina
memerintahkan dibukanya jalur evakuasi bagi penduduk sipil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 untuk meninggalkan wilayah konflik di Ukraina timur. Presiden
Ukraina
menyatakan
bahwa
seluruh
kementrian
telah
diperintahkan untuk menciptakan kondisi yang diperlukan bagi
warga sipil untuk pergi (Reni Candradewi, 2014 : 8).
4) Tidak ada waktu untuk menimbang, dimaksudkan disini adalah
adanya situasi darurat dan mendesak yang mengharuskan adanya
tindakan pembelaan diri dengan segera. Namun lain halnya
dengan alasan intervensi Rusia atas wilayah Krimea yang bersifat
kepentingan
politik sehingga tidak
bersifat
darurat yang
memperngaruhi situasi keamanan di Rusia.
d. Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
Ukraina memang sebelumnya merupakan bagian dari negara Uni
Soviet (Rusia), akan tetapi Ukraina saat ini telah menjadi suatu negara
yang berdaulat sendiri akibat perpecahan yang terjadi di Uni Soviet.
pada maret 1985 Uni Soviet dipimpin oleh Mikhail Gobarchev,
Gorbachev menyadari sistem pemerintahan Marxisme yang diterapkan
oleh
pemerintahan
sebelumnya
membawa
negara
mengalami
kemunduran. Melalui reformasi politik dan ekonomi, Gorbachev
berusaha membawa Uni Soviet kepada kehidupan yang lebih baik,
akan tetapi di lain pihak, kebijakan Gorbachev menimbulkan dampak
yang tidak diduga. Muncul pertentangan sosial dalam masyarakat, dan
lahir kelompok-kelompok masyarakat yang bersaing memperbutkan
pengaruh dan kekuasaan. Sehingga di duga runtuhnya Uni Soviet
akibat dari kegagalan program Gorbachev, sehingga pada 25
desember 1991 Uni Soviet pun bubar secara resmi. Pada kenyataannya
saat ini Rusia telah mendukung gerakan separatis warga proYanukovich di Ukraina dengan menggantikan sebuah badan
pemerintahan baru yang dijabat oleh Sergey Aksyonov yang
merupakan
warga
Rusia
(www.bbc.com/news/world-europe-
26353824#).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 Dengan demikian jika dilihat berdasarkan sejarahnya, Ukraina
telah memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negara sendiri sehingga
tidak boleh ada campur tangan yang masuk baik itu secara politik
seperti yang telah dilakukan oleh saat ini.
e. Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan
pelanggaran berat atas hukum internasional.
Merupakan pelaksanaan intervensi yang dilandaskan pada prinsip
responsibility to protect dimana suatu negara memiliki kedaulatan
untuk menjamin dan melindungi segenap warga negara dan apabila
kewajiban tersebut gagal dilaksanakan maka dapat dilakukan campur
tangan dari negara lain apabila berhubungan dengan HAM sehingga
makna kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dapat dikatakan
terbatas untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan suatu
negara. Sehingga pelaksanaan intervensi yang diperbolehkan sering
dikenal dengan nama intervensi kemanusiaan (Jill Steans dan Loyd
Pettiford, 2009 : 240).
Rusia dalam hal ini beranggapan bahwa tindakan intervensi yang
dilakukan atas dasar kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah
Ukraina dengan
menggulingkan Viktor Yanukovich sehingga
mengakibatkan korban jiwa di pihak para demonstran dan dapat
dikatakan sebagai suatu ketidakmampuan Ukraina untuk melindungi
warga negaranya. Akan tetapi, dengan adanya intervensi yang
dilakukan oleh Rusia justru membuat kondisi menjadi semakin buruk
dengan adanya pertentangan diantara demonstran yang proYanukovich dengan demonstran yang kontra Yanukovich. Sehingga
dapat dikatakan bahwa perbuatan intervensi yang dilakukan Rusia di
Ukraina tidak berdasarkan tujuan kemanusiaan melainkan demi
kepentingan politik yang malah memperburuk situasi disana.
Sebagaimana
dikatakan
bahwa
tindakan
intervensi
yang
diperbolehkan didasarkan pada batasan tertentu dan sesungguhnya
tidak
ada
alasan
intervensi
yang
commit to user
dapat
dibenarkan
apabila
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 menimbulkan atau membuat suatu keadaan menjadi lebih buruk.
Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju
suatu perdamaian.
J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan
istilah subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi
ini adalah (J.G. Starke, 1988 : 137) :
“Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya
yang dilakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk mendorong
terjadinya revolusi atau perang saudara di negara lain”
Sehingga dapat dinyatakan bahwa tindakan intervensi yang
dilakukan Rusia atas wilayah Ukraina tidak memperoleh legitimasi
berdasarkan hukum internasional. Hal tersebut didasarkan pada alasan
antara lain :
1) Tindakan intervensi Rusia dilakukan tanpa persetujuan dari DK
PBB, dikarenakan tindakan yang dilakukan Rusia didasarkan atas
kepentingan politik bukan atas dasar kemanusiaan.
2) Tindakan Rusia atas Ukraina bukan tindakan pembelaan diri
karena dilakukan atas inisiatif Rusia sendiri dan tidak didasarkan
atas serangan ancaman yang dilakukan Ukraina terlebih dahulu.
3) Ukraina merupakan negara berdaulat yang sah sehingga memiliki
tanggung jawab untuk melindungi kepentingan warganya dari
konflik internal yang terjadi dan tidak boleh ada campur tangan
dari negara lain.
commit to user
Download