perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Legitimasi Intervensi dalam Hukum Internasional Legitimasi mempunyai arti yang berbeda dari legalalitas. Legalitas adalah dimana sesuatu dilihat berdasarkan hukum yang ada, baik itu peraturan mau pun keputusan hakim yang dijadikan yurisprudensi, contohnya adalah sebuah tindakan bila dilihat secara hukum menghasilkan putusan legal atau ilegal. sedangkan legitimasi mempunyai kondisi yang lebih fleksibel dari legalitas, legitimasi mempunyai ruang lingkup lebih luas. Dilihat dari suatu tujuan terdapat suatu pengecualian disaat sebuah tindakan dinyatakan ilegal tapi dengan tujuan yang baik bisa dikatakan sah. Karena legitimasi berasal dari persepsi terhadap hasil sebuah tindakan. Dan legitimasi bisa menjadi sebuah revolusi hukum atau pertimbangan untuk membuat suatu peraturan. (Vesselin, Nicholas. 2008 : 4). Penulis menggunakan legitimasi dikarenakan belum adanya peraturan mengenai intervensi dan menggunakan pendapat ahli yang berasal dari kebiasaan internasional dan persepsi yang ada. Intervensi merupakan suatu tindakan campur tangan negara maupun organisasi internasional terhadap negara lain didasarkan atas alasan kepentingan tertentu terhadap negara tersebut. Bentuk dari intervensi dapat berupa tindakan kekerasan maupun tindakan yang bersifat diplomatik. Intervensi saat ini menjadi suatu perdebatan dalam ranah Hukum Internasional. Tindakan intervensi pada dasarnya tidak diperbolehkan jika mengacu pada Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, namun ketentuan tersebut ternyata dapat dikecualikan jika melihat ketentuan yang ada pada Bab VII Piagam PBB atas dasar untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Tujuan utama pembentukkan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut PBB mengambil langkah-langkah bersama secara efektif dalam mencegah atau menghindari ancaman agresi, perang, retorsi, tindakan pembalasan, intervensi terhadap perdamaian, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum 30 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 internasional (Pasal 1 ayat (1)) Piagam PBB (Oppenheim Lauterpacht, 1967 : 305). Dalam kaitan dengan usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, PBB telah meletakkan 5 Prinsip dasar dalam piagamnya, yaitu (Suryokusumo, 1987 : 8) : 1. Prinsip untuk menyelesaikan perselisihan internasional secara damai (Pasal 2 ayat (3) jo Bab VI dan Bab VII Piagam PBB) 2. Prinsip untuk tidak menggunakan ancaman atau kekerasan (Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB) 3. Prinsip mengenai tanggung jawab untuk menentukan adanya ancaman (Pasal 39) 4. Prinsip mengenai pengaturan persenjataan (Pasal 26 Piagam PBB) 5. Prinsip umum mengenai kerjasama di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 11 ayat (1)) Wewenang DK PBB dalam mencapai pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dilakukan dengan dua cara yaitu, usaha penyelesaian sengketa secara damai yang ada dalam Bab VI Piagam PBB dan penyelesaian sengketa secara paksa yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB (Baros, 1972 : 22). Salah satu cara yang diperbolehkan dalam penyelesaikan sengketa secara paksa adalah dengan melakukan intervensi (J.G. Starke, 1988 : 690). Oleh karena itu, kata “intervensi” dalam Pasal 2 ayat (7) mengandung dua pandangan yang berbeda, pertama, kata “intervensi” harus diinterpretasikan dalam arti teknis hukum internasional yang berarti suatu campur tangan atas kedaulatan atau “intervensi diktator”, sedangkan pandangan kedua mengartikan kata “intervensi” hanya merupakan pengertian secara harafiah yaitu intervensi biasa (Danial, 2004 : 22). Sehingga dapat dikatakan hanya DK PBB saja yang mempunyai kemampuan bertindak dan dapat menimbulkan akibat hukum melalui keputusan DK PBB dalam melaksanakan ketentuan Bab VII Piagam PBB. Saat ini telah banyak negara yang melakukan intervensi secara individual maupun kolektif, sebagai contoh intervensi yang dilakukan Eropa ketika menyerang Macedonia pada tahun 1903-1908 dan intervensi Vietnam ke Kamboja pada tahun 1978-1989 (Bass J. Garry, 2008: 8). Selain itu ada konflik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 yang terjadi di Kosovo, yang pernah menjadi perhatian utama dunia internasional. Etnis Serbia yang dipimpin oleh Slobodan Milosevic berusaha untuk menghalang halangi keinginan etnis Albania di Kosovo untuk mendirikan Republik Kosovo yang lepas dari Serbia. Dengan mencabut hak otonomi Kosovo pada tahun 1989, dan berupaya untuk melenyapkan etnis Albania di Kosovo . Tindakannya itu telah mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan didaerah Balkan. Dengan politiknya di Kosovo yaitu ‘pembersihan etnis’ yang dilakukan secara bertahap, sistematis, dengan dibarengi strategi bumi hangus. Tentara Serbia menyerbu Kosovo dan membunuh penduduk sipil serta membumi hanguskan desa-desa disana. Dengan melihat situasi yang tidak kondusif di Kosovo, PBB mengerahkan pasukan perdamaiannya untuk meredam konflik. Pengerahan pasukan oleh PBB ke wilayah Kosovo merupakan pengerahan pasukan terbesar dan terlama sepanjang sejarah penugasan pasukan PBB dalam misi internasionalnya guna menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Situasi ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kegiatan PBB untuk kepentingannya terutama untuk mendapatkan bantuan dana dari masyarakat internasional (Indro Dwi Haryono, 2002 : 5-6). Kasus sama juga terjadi pada intervensi NATO yang dilakukan atas Libya pada tahun 2011 sebagai bentuk intervensi kemanusiaan berdasarkan mandat dari DK PBB. Dalam hal ini PBB tak bisa tinggal diam melihat pelanggaran HAM dilakukan secara terang-terangan dan sistematis. Sehingga untuk mendapatkan dukungan masyarakat dunia, dilakukanlah intervensi berdasarkan prinsip-prinsip universal yang berpegang pada piagam PBB. Akan tetapi, ada juga praktek intervensi yang dianggap ilegal, seperti dalam kasus intervensi antara Nikaragua dengan Amerika. Dalam hal ini ICJ membatalkan alasan Amerika yang mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang dilakukan merupakan sebuah tindakan legal atas dasar perlindungan terhadap HAM. Namun, putusan ICJ tersebut tidak ditafsirkan bahwa intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional. ICJ menolak alasan yang digunakan Amerika karena dianggap tidak masuk akal. Menurut ICJ penggunaan kekerasan bersenjata yang digunakan dengan alasan kemanusiaan harus sesuai dengan tujuannya, sedangkan apa yang dilakukan Amerika adalah meledakkan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 dermaga, instalasi minyak, yang tidak memiliki korelasi terhadap perlindungan HAM. Alasan itulah yang digunakan untuk menolak argumen Amerika (Holiwan, 2010 : 13). Berdasarkan beberapa praktek intervensi yang telah ada, belum ada ketentuan lebih lanjut yang mendasari praktek intervensi yang dibenarkan dalam hukum internasional. Oleh karena itu, mulai muncul pandangan para ahli yang mendasarkan praktek intervensi. Dalam hal ini, J.G Starke mempunyai pandangan yang mendasarkan tindakan intervensi pada : 1. Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB Pasal 51 Piagam PBB yang berisi “Tidak ada suatu ketentuan dalam piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu anggota PBB, sampai dewan keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada dewan keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab dewan keamanan menurut piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional”. mengatur salah satu bentuk intervensi yang dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi. J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional (J.G. Starke, 1988 : 137). Adapun keadaan yang dianggap sebagai suatu situasi yang membahayakan perdamaian dunia seperti yang terjadi pada Kosovo pada tahun 1999 dimana sudah lebih dari 30 ribu orang melarikan diri, meninggalkan rumah mereka. Ribuan orang lainnya berusaha kabur commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 menyelamatkan diri dari peperangan yang juga berlangsung di Macedonia dan Albania.Hal tersebut inilah yang melandasi masuknya NATO ke wilayah Kosovo untuk menghindari terjadinya pemusnahan etnis dan dikategorisasikan sebagai intervensi kemanusiaan dalam situasi darurat. Jika kita melihat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB lebih mendalam maka secara tersirat dalam pasal tersebut mengizinkan adanya suatu tindakan intervensi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, maka dapat dikatakan intervensi yang diperbolehkan oleh DK PBB tergolong kedalam intervensi kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan dilakukan apabila pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara lain secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia (Anthony D’Amato,2001 : 20). Sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Bryan A. Garner bahwa intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara tersebut (Bryan A. Garner, 1999 : 826). Pada dasarnya intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu negara. Setiap negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Berdasarkan asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam PBB. Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai alasan untuk melakukan intervensi kemanusiaan menurut Awaludin, yaitu (Hamid Awaludin, 2012 : 213) : a. negara yang gagal. Bila dalam suatu negara, pemerintah gagal untuk melindungi warganya karena adanya perang saudara atau pembunuhan masal, maka pada kondisi inilah negara lain dapat membenarkan diri untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Contohnya intervensi NATO atas Libya yang dianggap gagal dalam melindungi kepentingan rakyatnya sendiri. Konflik Libya disebabkan adanya pertentangan antara rakyat Libya dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 Pemerintahan Khadaffi yang telah berkuasa puluhan tahun. Konflik ini telah menelan banyak korban jiwa dimana pemerintahan Khadaffi yang seharusnya melindungi warga negaranya malah melakukan aksi militer terhadap warga negaranya sendiri yang menentang pemerintahannya (Nicholas J. Wheeler, 2000 : 27). Terkait dengan kasus Libya, Koffi Annan berpendapat bahwa dapat dipahami kemanusiaan merupakan prioritas utama yang seharusnya melandasi setiap operasi intervensi. Jika tragedi kemanusiaan terjadi di suatu negara, maka sudah merupakan tanggung jawab dunia internasional untuk bergerak menghentikan kejadian tersebut. Ini sejalan dengan prinsip Responsibility to Protect yang menyatakan bahwa Kedaulatan suatu negara berarti tanggung jawab untuk melindungi warganya dari kekerasan terhadap kemanusiaan. Apabila negara gagal memerankan tanggung jawab tersebut maka komunitas internasional-lah yang mengambil alih tanggung jawab tersebut. Pada saat tersebut, masalah kedaulatan negara bersangkutan dapat ditangguhkan sementara (Rudi Guraizu, 2008 : 7). b. Kesadaran kemanusiaan.Bila dalam suatu negara terjadi pembunuhan secara masal, perbudakan masal dan peledakan yang menimbulkan kematian yang besar (shocking the conscious of mankind), maka kondisi itulah yang membenarkan suatu Negara untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Contohnya, konflik yang terjadi di Darfur yang menelan 180 ribu hingga 300 ribu korban tewas dan 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya untuk mengungsi. PBB bahkan menyebutnya pemberontakkan kelompok bersenjata yang terjadi di Darfur sebagai yang terparah di duni. Konflik ini bermula ketika pemberontak Sudan Liberation Army (SLA) dan The Justice And Equality Movements menyerang target-target pemerintahan Sudan karena merasa wilayah mereka terabaikan. Hal inilah yang menggerakkan negara-negara untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 melakukan intervensi kemanusian atas apa yang terjadi di wilayah Darfur (http://encarta.msn.com/encyclopedia_701843542/Darfur. html). c. Jalan terakhir. Bila semua cara damai telah dilakukan tetapi tetap gagal, maka intervensi menjadi salah satu pilihan dan dapat dibenarkan. Adapun contoh kasusnya seperti Amerika dan Australia yang melakukan intervensi kemanusiaan dalam kasus Timor Leste ketika militer Indonesia membantai ribuan rakyat Timor Leste. Dalam hal ini Amerika dan Australia turun langsung ke daerah konflik dengan mengirimkan pasukan militernya untuk melindungi warga Timor Leste disana. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Peristiwa Santa Cruz (Radio Netherland Wereldomroep, 2011 : 2). Pelaksanaan intervensi di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Maka berdasarkan ketentuan Bab VII Piagam PBB yang dijelaskan dalam Pasal 39, 41, dan 51 terkait tindakan intervensi harus mendapat izin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut. Berdasarkan penafsiran atas Pasal 2 (4) Piagam PBB, intervensi bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik ( political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations) (Yoram Dinstein 1994 : 89). Dengan demikian, intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB merupakan intervensi yang didasarkan pada sifat kemanusiaan maupun suatu tindakan yang dianggap sebagai upaya terakhir apabila penyelesaian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 secara damai tidak dapat mencapai kesepakatan.Tindakan intervensi tersebut harus didasari atas beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh DK PBB dengan tetap memperhatikan unsur kesatuan wilayah, kebebasan politik dan juga tujuan PBB. 2. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara lain. Kepentingan nasional menurut Hans J Morgenthou adalah kemampuan minimun negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas politik dan kultural dari gangguan negara lainnya. Dari tinjauan tersebut maka pemimpin negara menentukan kebijakan spesifik terhadap negara lain atau dengan kata lain merupakan kekuatan yang merupakan pilar utama dalam bidang politik nasional maupun internasional yang realistis dan dipenuhi suatu pertentangan untuk menanamkan pengaruhnya di suatu kawasan (Hans J. Morgenthou, 1978 : 60). Kepentingan nasional menjadi sangat berpengaruh bagi suatu negara untuk memenuhi kebutuhan politik, sosial, maupun ekonomi dan untuk pertahanan keamanan. Secara umum negara yang membawa kepentingan nasionalnya cenderung melakukan intervensi terhadap suatu kawasan.Kepentingan nasional merupakan unsur yang sangat vital bagi suatu negara. Unsur-unsur yang termasuk didalamnya antara lain (Saadi Touvel, 2001 : 32) : a. Kedaulatan b. Kelangsungan hidup bangsa dan negara c. Kemerdekaan d. Keutuhan wilayah e. Keamanan Militer f. Kesejahteraan ekonomi Sedangkan menurut Donald E Nutcherlein, kepentingan nasional merupakan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai suatu negara yang juga dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Kelompok kepentingan nasional negara besar menurut Donald E Nuchterlein (Ibrahim Noor, 2014 : 6-7) : commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 a. Defence Interest: melindungi negara dan warga negara dari ancaman luar, juga pertahanan sistem konstitusional. b. Economic Interest: meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui hubungan dengan negara lain dan memperluas eksistensi ekonomi dengan mempromosikan produk-produk ke luar negeri (bilateral atau multilaeral) untuk menjamin kepentingan ekonomi. c. World Order Interest: kepentingan untuk membangun tata dunia di bidang keamanan dan ekonomi. Bisa melalui kerjasama multilateral untuk kebaikan bersama baik untuk mencapai perdamaian atau perdagangan bebas. d. Ideology Interest: untuk melindungi dan menyebarkan sejumlah nilai dan kepercayaan kepada pihak lain. Tindakan intervensi dalam rangka melindungi hak, kepentingan dan keselamatan warga negaranya berkaitan erat dengan teori Responsibility to Protect. Negara memiliki tanggung jawab atas warga negaranya baik yang berada di negara sendiri maupun di negara lain. Batasan tanggung jawab negara atas warga negaranya didasarkan pada Deklarasi HAM PBB yang diantaranya melindungi hak-hak individu dan sosial. Selain itu juga diatur dalam Konvensi Jenewa dan berbagai perjanjian lainnya yang melarang penyiksaan, perdagangan manusia, atau proliferasi nuklir juga membatasi hak negara untuk bertindak sebagaimana mereka inginkan (http://responsibilitytoprotect.org/). Adapun bentuk intervensi yang diperbolehkan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak dan kepentingan warga negaranya di negara lain berkaitan dengan status yang melekat pada warga negara tersebut. Menurut J.G Starke arti penting status kewarganegaraan (nationality) seseorang dalam hukum internasional berkaitan dengan pemberian hak perlindungan diplomatik di luar negeri. Setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri ( J.G Starke, 2010 : 459). Intervensi sebagai upaya untuk melindungi hak dan kepentingan warga negaranya berhubungan dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 tanggung jawab semua negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dengan sejumlah cara seperti dalam bentuk intervensi yang bersifat ekonomi, diplomatik dan politik. Sedangkan intervensi yang bersifat militer dapat diperbolehkan dalam situasai darurat untuk menghentikan pemusnahan massal dan berbagai kejahatan massal lainnya (http://responsibilitytoprotect.org/). Salah satu contoh intervensi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan suatu negara yang berada di negara lain adalah operasi evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di Mesir yang merupakan operasi penyelamatan sekitar 6 ribu WNI di Mesir pada saat Mesir dilanda kekacauan politik pada tahun 2011. Dalam operasi ini Kementrian Luar Negeri Indonesia di Mesir membuka 2 posko komunikasi dan 3 titik penampungan di Kairo. Selama proses evakuasi mendapat beberapa hambatan seperti izin dan proses penjemputan yang terhambat sehingga menyebabkan pesawat Indonesia tertahan di Jeddah. Serta ada beberapa daerah yang di blokade sehingga harus melewati daerah-daerah yang rawan. Lalu adanya larangan penggunaan bis besar sehingga memperlambat dalam proses evakuasi WNI (www.republika.co.id/berita/breaking-news /nasional /11/01/31/161679-tni-siagakan-hercules-evakuasi-wni-di Mesir). Dengan demikian intervensi dalam rangka melindungi hak, dan kepentingan dan keselamatan warga negaranya di negara lain berkaitan dengan prinsip responsibility to protect yang dimiliki suatu negara atas warga negaranya yang didasarkan perlindungan Hak Asasi Manusia. Adapun bentuk intervensi yang dapat dilakukan meliputi intervensi politik, ekonomi, diplomatik dan juga intervensi militer yang dapat digunakan dalam situasi darurat. 3. Pembelaan diri. Intervensi dibutuhkan ketika terdapat sebuah serangan bersenjata (armed attack). Ketentuan tersebut diperbolehkan jika merujuk pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara anggota PBB berhak melakukan pertahanan diri (self defence) baik secara individu maupun commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 kolektif ketika terjadi serangan bersenjata terhadap negara anggota PBB terlebih dahulu (Boer Mauna, 2005 : 11). Tujuan Pasal 51 Piagam PBB adalah untuk melindungi kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara, sehingga pemahaman terhadap ketentuan Pasal 51 Piagam PBB ini, jika suatu negara merasa kedaulatan dan kemerdekaan diancam oleh negara lain sangat memungkinkan bagi negara tersebut untuk menggunakan kekuatan paksaan terhadap negara yang terlebih dahulu mengancam bahkan jika serangan belum mencapai armed attack. Adapun yang menjadi syarat-syarat atas dasar dilakukannya pembelaan diri adalah: langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang (no moment of deliberation) (Sulastri Batubara, 2011 : 22) . Dapat dikatakan bahwa di bawah naungan PBB, suatu intervensi dengan tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian diperbolehkan untuk dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa intervensi merupakan suatu law enforcement yang dalam hal-hal tertentu pelaksanaannya diberikan kepada negara tertentu. Terlepas dari apakah suatu intervensi merupakan suatu hak atau merupakan suatu delegasi wewenang dari hukum internasional, suatu negara dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan. Secara teoritis dan praktis pengertian dari self defence masih simpang siur. Namun demikian, terdapat persetujuan apabila penggunaan pertahanan diri membutuhkan hadirnya dua elemen. Elemen tersebut adalah keharusan (necessity) dan kepatuhan (proportionality). Elemen keharusan (necessity) yang didasarkan pada empat hal yang dipersyaratkan untuk dapat menggunakan kekerasan dalam mempraktikkan anticipatory self-defense yang dikenal sebagai Webster Formula yaitu instant, overwhelming, there no alternative, dan no moment for deliberation. Sedangkan elemen kepatuhan (proportionallity) didasarkan pada ketentuan Pasal 51 piagam PBB yang menjadi dasar self defence yang dimodifikasi pada praktek kebiasaan yang ada sehingga menciptakan posisi normatif yang seimbang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 antara hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional, dan menurut prinsip lex posterior, aturan dalam Piagam PBB mengenai use of force kemudian menghapus kebiasaan yang telah ada sebelumnya yang tidak sesuai dengan Piagam PBB (Tom Ruys, 2010 : 259). Kedua elemen ini merupakan unsur yang penting dan harus hadir dalam penggunaan prinsip pertahanan diri.Dalam pembahasan mengenai hak dari negara-negara atas pertahanan diri tidak bisa dilepaskan dari teori Hersch Lauterpacht yang ditulis tidak lama setelah dihasilkannya Pakta Kellog-Briand. Lauterpacht menyatakan bahwa klaim terhadap hak atas bela-diri merupakan subjek terhadap evaluasi objektif yang sesuai dengan hukum. Pernyataan Lauterpacht ini dikutip oleh Hakim M. Schwebel dalam dissenting opinion-nya dalam kasus Invasi AS terhadap Nikaragua. Hak ini menurut Lauterpacht adalah sebagaimana yang diakui oleh hukum nasional di satu sisi bersifat absolut dalam artian tidak ada hukum yang dapat menghapuskannya. Akan tetapi, di sisi lain diharuskan adanya penghakiman sehingga dalam hal suatu pihak mengklaim penggunaan hak ini maka haruslah klaim tersebut menjadi objek bagi pengadilan (Oppenheim Lauterpacht, 1967 : 102). Berdasarkan sejarahnya, pada abad ke 19 ditandai dengan adanya pengecualian atas prinsip non-intervensi yang didasarkan pada perjanjian atau pada prinsip menolong diri sendiri (self help) atau penjagaan diri sendiri (self preservation). Usaha-usaha negara monarki seperti Rusia, Austria, dan Prusia setelah tahun 1815 pada umumnya menetapkan prinsip intervensi militer dengan dasar pembelaan diri. Napoleon III mencoba mencari pengakuan untuk hak intervensi yang didasarkan pada pembelaan diri (self defence) yang masih belum berhasil mendapat pengakuan (Tom Ruys, 2010 : 259). Dengan demikian, penggunaan kekerasan dalam rangka self defence diperbolehkan apabila didasarkan pada empat syarat yang diperbolehkan yakni instant, overwhelming, there no alternative, dan no moment for deliberation. Serta dalam praktek pelaksanaannya harus tetap disesuaikan berdasarkan ketentuan Pasal 51 Piagam PBB. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 4. Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya. Negara protektorat adalah negara yang berada di bawah perlindungan negara lain yang dianggap lebih kuat, dengan demikian negara Protektorat bukan merupakan negara yang merdeka. Dalam negara protektorat, hubungan negara pelindung dengan negara yang dilindungi berdasarkan atas suatu perjanjian. Dalam perjanjian tersebut disepakati mengenai kekuasaankekuasaan mana yang akan ditangani oleh negara protektorat termasuk dalam hal intervensi (Huala Adolf, 2002 : 45). Contoh hubungan negara protektorat antara lain : Perancis dengan Monako, dan Italia dengan San Marino. Adapun bentuk intervensi yang berhubungan dengan negara protektorat adalah untuk urusan luar negeri dan pertahanan dilakukan oleh negara pelindung.Sedangkan negara protektorat-nya bertanggungjawab masalah intern negaranya.Pada saat ini bentuk protektorat telah lenyap. Dengan demikian bentuk intervensi yang terjadi pada negara protektorat lebih bersifat intervensi politik, ekonomi dan sosial. Negara pelindung dianggap sebagai negara yang memberikan pengaruh besar terhadap negara yang dilindungi. 5. Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional. Penggunaan tindakan intervensi juga tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu prinsip responsibility to protect. Adapun makna Responsibility to Protect (R2P) adalah sebuah konsep baru dalam melindungi HAM dalam rangka mengatasi kegagalan komunitas Internasional dalam mencegah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam perluasan makna dari intervensi menjadi R2P ini, pelaksanaan intervensi kemanusiaan didasarkan pada kerugian skala besar bagi kehidupan baik karena pembersihan etnis ataupun pelanggaran HAM dimana negara tersebut tidak mau dan tidak mampu untuk bertindak sendiri (Jill Steans dan Loyd Pettiford, 2009 : 240). Prinsip ini berkaitan pula dengan kedaulatan yang dimiliki suatu negara untuk melindungi segenap warga negaranya. Di satu sisi, terdapat kelompok negara yang tetap berpegang teguh pada gagasan tradisional commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 mengenai kedaulatan negara yang selalu memahamkan kedaulatan sebagai hal yang tidak dapat diganggu gugat, merupakan supremasi negara termasuk kewenangan pengaturan hukum dalam yurisdiksi wilayahnya, serta selalu mengaitkan kedaulatan negara ini dengan asas integritas wilayah (Stanczyk Gaska, 2000 : 168). Pada sisi yang lain, terdapat kelompok negara yang melihat adanya kebutuhan masyarakat internasional untuk melakukan intervensi jika kekejaman massal dan kejahatan kemanusiaan terus terjadi. Kelompok yang kedua ini melihat kedaulatan bukan sebagai sesuatu yang bersifat mutlak. Sehingga melahirkan suatu pendapat bahwa ide mengenai kedaulatan negara harus didasarkan bukan pada hak dari setiap negara untuk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa ada campur tangan internasional, tetapi kedaulatan negara harus diasaskan pada perlindungan terhadap rakyatnya yang tinggal di wilayah tersebut. Secara sederhana, kedaulatan negara harus dibangun di atas konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab (sovereignty responsibility). Negara tidak semestinya mengambil keuntungan dari hak dan kewenangan yang terkandung di dalam kedaulatannya, tetapi negara seharusnya menerima tanggung jawab untuk melindungi rakyat yang tinggal di dalam batas-batas wilayahnya (Rahayu, 2012 : 3). Ide ini kemudian dikembangkan dan dikaji lebih lanjut dalam ICISS (International Commission on Intervention and State Souvereignty), suatu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Kanada pada bulan September 2000. Pada Desember 2001 ICISS menyampaikan laporannya bahwa semua negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi rakyat mereka dari pemusnahan massal, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. Mereka juga berpendapat bahwa masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk membantu negara melindungi rakyatnya dari keempat kejahatan tersebut. Jika suatu negara gagal memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dari pembunuhan massal atau bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, maka masyarakat internasional harus mengambil tanggung jawab untuk melindungi rakyat dari negara tersebut. Dalam rangka perlindungan itu, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 masyarakat internasional juga harus menggunakan serangkaian cara diplomatik, ekonomi dan hukum, dan penggunaan kekuatan militer hanya dimungkinkan sebagai upaya terakhir dalam situasi yang sangat ekstrim atau mendesak. Laporan ICISS ini menandai perubahan tentang bagaimana masyarakat internasional harus merespon krisis kemanusiaan yang terjadi. Secara regional, prinsip tersebut selanjutnya diadopsi oleh African Union's Charter tahun 2002 dengan mencantumkan pasal tentang intervensi ke dalam wilayah negara anggotanya bila terjadi kejahatan perang, pemusnahan massal atau kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah tersebut (Rahayu, 2012 : 4-6). Adapun tiga unsur untuk menggolongkan suatu intervensi sebagai tindakan intervensi kemanusiaan, yaitu: a. Menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) Dalam melakukan intervensi kemanusiaan di dalam wilayah negara lain tempat terjadinya penggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional, digunakan kekuatan bersenjata (armed force) untuk melindungi para korban dan menghentikan pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu penggunaan tindakan intervensi yang tidak menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) seperti ancaman atau penggunaan sanksi ekonomi, diplomatik,atau politik atau sanksi lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan (Robert O. Keohanne dan Holzgrefe, 2003 : 18). b. Dilakukan dengan tujuan kemanusiaan yaitu untuk menghentikan pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional Tujuan utama dari intervensi kemanusiaan adalah untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM atau hukum humaniter internasional. Dengan demikian maka motif lain selain hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah intervensi kemanusiaan (Joyner Christopher C. 2005 : 177). Dalam melakukan tujuan kemanusiaan tersebut intervensi yang dilakukan oleh suatu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 negara dalam wilayah negara lain melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata. Hal ini dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara tersebut. Penekanan perlu dilakukan terhadap bagian dimana tindakan intervensi ini dapat dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara yang bersangkutan. Hal ini perlu ditekankan karena eratkaitannya dengan kedaulatan suatu negara dan kemampuan suatu negara dalam mengatasi permasalah HAM atau pun permasalahan humaniter di dalamwilayahnya. c. Dilakukan dengan persetujuan DK PBB Tindakan intervensi kemanusiaan berdasarkan pengertian dari Danish Institute of International Affairs dapat dilakukan dengan atau tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Namun, masyarakat internasional akan lebih bisa menerima suatu intervensi kemanusiaan yang dilakukan dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruno Simma dalam Boer Mauna bahwa penggunaan kekerasan untuk tujuan humaniter tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB kecuali setelah mendapat otorisasi dari Dewan Keamanan PBB (Boer Mauna, 2005 : 652). Contohnya adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia, Rwanda, dan Haiti, yang dilakukan berdasarkan otoritas Dewan Keamanan PBB sehingga dapat diterima oleh masyarakat internasional. Sebaliknya, intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB, akan diragukan legitimasinya dan cenderung mendapat penolakan dan kecaman dari masyarakat internasional (Rosalyn Higgins, 2001 : 6). Nicholas Wheeler mengatakan bahwa ada empat syarat di mana sebuah intervensi dianggap memiliki kualifikasi sebagai sebuah intervensi kemanusiaan. Pertama, harus karena adanya darurat kemanusiaan yang tinggi sifatnya. Kedua, penggunaan kekuatan senjata harus menjadi pilihan terakhir. Ketiga, harus memenuhi syarat proporsionalitas, dan keempat harus ada probabilitas tinggi yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 menyatakan bahwa penggunaan kekuatan senjata akan memperoleh hasil kemanusiaan yang positif (Nicholas J, 2000 : 33-34). Sebagaimana dikatakan bahwa tindakan intervensi yang diperbolehkan didasarkan pada batasan tertentu dan sesungguhnya tidak ada alasan intervensi yang dapat dibenarkan apabila menimbulkan atau membuat suatu keadaan menjadi lebih buruk. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi ini adalah (J.G. Starke, 1988 : 137): “Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di negara lain” Namun dalam perkembangannya, Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pada pasal tersebut sehingga tidak melanggar tujuan dari PBB. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang menurut hukum internasional adalah ketika keinginan negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktifitas militer. Menurutnya setiap negara bisa menggunakan kekerasan bersenjata (use of force) untuk menyelamatkan asset nasionalnya dalam kerangka pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun hal tersebut dapat dilakukan jika negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan negara lain (Rosalyn Higgins, 2004 : 246). Sehingga dapat dikatakan bahwa menurut ketentuan hukum internasional pada dasarnya tindakan intervensi telah mengalami perkembangan jika dilihat pada pasal 2 ayat (4) piagam PBB. Intervensi dapat dilakukan apabila memenuhi lima kriteria diantaranya : intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB, untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 negara lain, pembelaan diri, berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya, serta negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional. Perkembangan intervensi dilandaskan pada prinsip responsibility to protect dimana suatu negara memiliki kedaulatan untuk menjamin dan melindungi segenap warga negara dan apabila kewajiban tersebut gagal dilaksanakan maka dapat dilakukan campur tangan dari negara lain apabila berhubungan dengan HAM sehingga makna kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dapat dikatakan terbatas untuk menghindari tindakan kesewenangwenangan suatu negara. Sehingga pelaksanaan intervensi yang diperbolehkan menurut ketentuan hukum internasional lebih sering dikenal dengan nama intervensi kemanusiaan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 B. Legitimasi Intervensi Rusia atas Wilayah Krimea Berdasarkan Ketentuan Hukum Internasional 1. Gambaran Konflik Rusia dengan Ukraina Konflik yang menimbulkan banyak korban di ibukota Ukraina, Kiev, ternyata tidak usai setelah Presiden Viktor Yanukovych diturunkan dari jabatannya. Perseteruan kepentingan Barat dan Rusia berlanjut hingga ke wilayah Krimea, tepatnya di kota Sevastopol, pangkalan armada angkatan laut Negeri Beruang Merah. Selain terdiri dari 60 persen etnis Rusia, Krimea juga jadi lokasi strategis tempat ditambatkannya Armada Laut Hitam Rusia. Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang Sevastopol, wilayah Semenanjung Krimea (http: //internasional. kompas.com/ read/2014/ 03/02/ 1001125/Rusia.Bermain. Api. di. Crimea). Kota pelabuhan di Laut Hitam ini ditemukan oleh Kaisar Rusia Yekaterina di barat daya pesisir Semenanjung Krimea pada tahun 1783. Sevastopol saat itu terletak di kota tua Yunani bernama Chersoneus. Reruntuhan kota ini sampai saat ini masih dieksplorasi oleh para arkeolog. Kaisar Yekaterina sendiri yang menamai kota itu Sevastopol, yang berarti "Kota Suci nan Megah". Hal utama yang menarik perhatian Kaisar Yekaterina adalah pelabuhan laut sedalam 30 meter, cocok untuk pangkalan angkatan laut. Saat perang Krimea, penaklukkan Sevastopol antara September 1854-September 1855 menjadi penentu kemenangan konflik. Butuh sekitar setahun bagi Prancis, Inggris dan Kekhalifahan Ottoman menguasai kota ini. Tahun 1941-1942, pasukan Tentara Merah dan Armada Laut Hitam mempertahankannya dari pasukan Nazi Jerman dalam pertempuran 250 hari, siang dan malam akan tetapi Pasukan Rusia kalah. Sejak tahun 1948, Sevastopol mendapatkan status kota istimewa dari pemerintahan Republik Sosialis Federal Soviet Rusia, bagian dari Uni Soviet. Tahun 1954, pemimpin Soviet saat itu Nikita Khrushchev memberikan Sevastopol dan seluruh Krimea kepada Republik Sosialis Soviet Ukraina, juga bagian dari Uni Soviet. Awal 1990-an, Ukraina menjadi negara merdeka. Krimea menjadi bagian dari Ukraina. Di bawah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 Traktat Persahabatan, Kerja sama dan Kemitraan Moskow-Kiev tahun 1997, Rusia mengakui status kepemilikan Sevastopol dan kedaulatan Ukraina. Sebagai balasannya, Ukraina memberikan Rusia hak untuk terus menggunakan pelabuhan Sevastopol bagi armada laut mereka sampai tahun 2017 (http:// nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/akankahselesai-konflik-antara-rusia-dan-ukraina). Perjanjian awal izin Armada Laut Hitam di Sevastopol berlangsung untuk 20 tahun. Perjanjian ini otomatis diperpanjang lima tahun kecuali salah satu pihak membatalkannya. Perjanjian kedua, ditandatangani di Kharkiv tahun 2010, memperpanjang penggunaan pelabuhan Sevastopol untuk armada Rusia hingga 2042. Rusia membayar Ukraina US$98 juta per tahun untuk menyewa pangkalan laut di Krimea. Selain itu, berdasarkan perjanjian Kharkiv, Rusia akan memberikan potongan harga gas US$100 per ton. Rusia terpaksa menggunakan pelabuhan Sevastopol karena tidak ada pelabuhan di negaranya yang mampu menampung Armada Laut Hitam. Pelabuhan Rusia di Novorossiysk tidak cukup dalam dan kurang infrastrukturnya (http://dunia.news.viva.co.id/ news/read /485860-ini-sejarah-sevastopol-di-crimea--wilayah-ukraina-berbau-rusia). Revolusi Ukraina di tahun 2014 melawan Yanukovich memicu sebuah krisis politik di Krimea yang awalnya bermula dengan unjuk rasa menentang pemerintahan pusat yang baru, tetapi segera bereskalasi berkat dukungan Rusia yang terang-terangan terhadap kaum separatis, sebuah keadaan yang tidak ada dalam 20 tahun sebelumnya. Pada tanggal 27 Februari, pasukan yang tidak dikenal dan diduga keras sebagai para komando Rusia, merebut gedung Dewan Tertinggi Krimea atau VRD (Verkhovna Rada Krimea) dan gedung-gedung kementerian lainnya di Simferopol. bendera-bendera Rusia lalu dinaikkan ke atas gedung-gedung ini,lalu barikade-barikade didirikan di luarnya. Sementara pasukanpasukan tidak dikenal ini masih menduduki gedung-gedung pemerintahan di Simferopol, Dewan Tertinggi Krimea membubarkan pemerintahan dan lalu mengadakan rapat dengan hasil Dewan Tertinggi Krimea memilih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 Sergey Aksyonov, ketua Partai Persatuan Rusia yang merupakan partai minoritas, sebagai Perdana Menteri Krimea. Sehingga jika dilihat berdasarkan sejarahnya, Krimea memang sudah menjadi bagian dari wilayah Ukraina sehingga kedaulatan atas wilayah Krimea tidak dapat dimasuki oleh kekuasaan negara lain (http://time.com/19097/putin-crimearussia-ukraine-aksyonov/). Situasi konflik terus terjadi, sekurang-kurangnya 2000 pria berseragam militer dan bersenjata yang tidak dikenali melakukan infiltrasi ke obyek-obyek vital di semenanjung Krimea. Mereka menduduki sejumlah kantor penting dan gedung-gedung pemerintahan. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Rusia bahwa telah mengirim pasukan untuk berjaga di wilayah Krimea. Tidak lama kemudian, juru bicara Ukraina untuk United Nations (PBB) Yegor Pyovarov, mengatakan kepada CNN bahwa jumlah pasukan Rusia di semenanjung Krimea telah mencapai 15.000 tentara (Charter, Magnay, dan Estwood, 2014 : 3). Referendum mengenai status Krimea diadakan pada tanggal 16 Maret 2014 oleh parlemen Krimea dan pemerintah Sevastopol, yang merupakan subdivisi Ukraina. Parlemen Krimea dan dewan kota Sevastopol menganggap penjatuhan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych selama revolusi Ukraina 2014 sebagai sebuah kudeta dan menganggap pemerintahan baru di Ukraina tidak sah. Referendum ini menanyakan apakah penduduk Krimea ingin bergabung dengan Federasi Rusia atau mengembalikan konstitusi Krimea 1992 dan status Krimea sebagai bagian dari Ukraina. Konstitusi 1992 memberikan banyak wewenang, termasuk dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Parlemen Krimea sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali dengan Rusia. Referendum ini tidak memberikan pilihan untuk menetapkan status quo seperti sebelumnya (http://www.reuters.com/article/2014/03/11/us-ukraine-crisis-referendumidUSBREA2A1GR20140311). Referendum ini ditolak oleh negara-negara Barat yang menganggapnya tidak sah. Selain itu, Majelis Bangsa Tatar commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 Krim mea - asosiassi politik banngsa Tatar di d Krimea - memboikot m r referendum ini. Rancangan R Resolusi Deewan Keam manan Perserrikatan Banggsa-Bangsa yang g mendeklaraasikan ketiddakabsahan referendum r ini diveto oleh o Rusia, semeentara tiga belas b anggota dewan keeamanan laiinnya menddukung dan satu (Republik negara Rakyat T Tiongkok) menyatakan n abstain p://www.un.o org/press/en///2014/ sc11 1319.doc.htm m). Dalam referendum r (http terseebut warga Krimea dibberikan duaa pilihan anntara lain mendukung m peny yatuan kembbali Krimea dengan Rusia dengan K Krimea menjjadi bagian dari Federasi Ruusia Atau m mendukung pengembalian p n Konstitusii 1992 dan us statu Krim mea sebagai bagian dari Ukraina (http p://www.nytiimes.com/20014/03/15/world/europe//crimea-votee-does-notofferr-choice-of-sstatus-quo.httml?_r=0). Berikuut hasil referrendum yangg dikeluarkan n oleh Krimeea : Jumlaah suaara P Pilihan Bergabun ng dengan F Federasi Ru usia Mengembaliikan konstituusi M 1992 dan tetap menjaadi b bagian dari Ukraina U S Subtotal suara sah Suara tidaak S k kosong sah attau J Jumlah suaraa Pemilih teerdaftar P t tidak berparttisipasi yaang J Jumlah pem milih terdaftarr Persen ntase pemilih terdafftar Perssentase su uara Peersentase su uara yang sah 1.233.002 800,42% 996,77% 97,47% 31.997 2 2,09% 2,51% 2,53% 1.264.999 822,51% 999,29% 100,00% 9.097 0 0,59% 0,71% — 1.274.096 833,10% 100,00% — 259.112 166,90% — — 1.533.208 1000,00% — — T Tabel. 1. Hassil Referenduum Krimea. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 Berdasarkan hasil referendum tersebut terlihat bahwa sebanyak 96,77% warga Ukraina memilih bergabung dengan Rusia. Sehari setelah referendum tersebut, parlemen Krimea meminta agar Federasi Rusia menerima Republik Krimea sebagai anggota. Pada hari yang sama, Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi mengakui Krimea sebagai negara (http://www.rt.com/news/crimea-referendum-results-official-250/). 2. Legitimasi Intervensi Rusia Berdasarkan Hukum Internasional Terkait dengan legitimasitindakan intervensi yang dilakukan Rusia atas wilayah Krimea, peneliti menganalisanya berdasarkan teori-teori yang memperbolehkan adanya suatu intervensi, diantaranya, intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB, intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di negara lain, pembelaan diri, berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya, serta negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional. Adapun yang menjadi penjelasannya adalah sebagai berikut : a. Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB merupakan intervensi yang didasarkan pada sifat kemanusiaan maupun suatu tindakan yang didasarkan atas beberapa kriteria, seperti negara yang gagal, kesadaran manusia dan sebagai upaya terakhir apabila penyelesaian secara damai tidak dapat mencapai kesepakatan. Tindakan intervensi pertimbangan tersebut harus didasari atas beberapa yang dilakukan oleh DK PBB dengan tetap memperhatikan unsur kesatuan wilayah, kebebasan politik dan juga tujuan PBB yang sesuai berdasarkan ketentuan Bab VII yakni untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia internasional (J.G. Starke, 1988 : 140). Terkait dengan intervensi yang dilakukan Rusia atas wilayah Krimea, dalam hal ini telah terjadi intervensi berupa pengiriman commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 pasukan tanpa tanda pengenal dan diduga keras sebagai para komando Rusia. Alasan dari dilakukannya pengiriman pasukan Rusia di wilayah Krimea adalah untuk melindungi etnis Rusia yang tinggal di wilayah Krimea karena adanya ancaman pemberontakan yang terjadi akibat transisi politik di Ukraina. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan kondisi pemerintahan di Ukraina sebelumnya, dikuasai oleh seorang etnis Rusia yakni Viktor Yanukovich yang cenderung condong pada politik luar negeri di bawah pengaruh Rusia yang bertentangan dengan keinginan sebagian rakyat Ukraina. Sehingga ketika Presiden Viktor Yanukovich diturunkan dari jabatannya, Rusia merasa bahwa kepentingannya di Ukraina menjadi terganggu. Oleh karena itu, Rusia ikut campur tangan ke wilayah Krimea untuk mendukung penolakan turunnya pemerintahan Viktor Yanukovich dengan alasan melindungi penduduk etnis Rusia di Krimea. Perbuatan Rusia tersebut tidak dapat dikatakan bersifat kemanusiaan karena tindakan intervensi Rusia tersebut malah menimbulkan konflik yang semakin memanas antara pemberontak dengan pro-Yanukovich dan justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM yang lebih besar disana. Kementerian kesehatan Ukraina melaporkan 77 orang tewas akibat luka tembak serta 600 orang terluka maupun hilang akibat konflik yang terjadi disana (Reni Candradewi, 2014 : 4). Sampai sekarang pejabat-pejabat Ukraina menyebutkan lebih dari 200 orang tewas selama operasi militer digelar di Ukraina timur. Yang pada akhirnya warga yang tak berdosa pun menjadi korban akibat konflik yang terjadi tersebut, di tengah konflik Warga Slavyansk Ukraina coba bertahan tanpa air, bukan hanya itu ribuan bahkan puluh ribuan warga terpaksa mengungsi dari wilayahnya untuk mengindari bentrokan yang di lakukan para separatis (Charter, Magnay, dan Estwood, 2014 : 5). Berdasarkan kenyataan inilah, maka tidak dapat dijadikan alasan pertimbangan DK PBB untuk memberikan izin Rusia untuk melakukan intervensi di wilayah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 Ukraina. Dewan PBB mengecam terhadap tindakan Rusia atas pengiriman pasuka di Krimea dan Ukraina timur yang memperparah konflik berdarah yang terjadi di Ukraina. Terlebih lagi adanya penilaian bahwa permasalahan yang terjadi sebenarnya merupakan permasalahan politik intern di Ukraina yang seharusnya diselesaikan sendiri oleh Ukraina tanpa ada campur tangan dari negara lain(www.bbc.com/news/world-europe-26353824#). Seharusnya Rusia sebagai anggota tetap DK PBB sudah memahami ketentuan yang ada dalam Piagam PBB mengenai prinsip menghormati kemerdekaan politik negara lain ataupun tindakan lain yang akan mengganggu keamanan wilayah negara lain. b. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara lain. Intervensi sebagai upaya untuk melindungi hak dan kepentingan warga negaranya berhubungan dengan tanggung jawab semua negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dengan sejumlah cara seperti dalam bentuk intervensi yang bersifat ekonomi, diplomatik dan politik. Sedangkan diperbolehkan pemusnahan dalam massal intervensi situasai dan yang darurat berbagai bersifat untuk kejahatan militer dapat menghentikan massal lainnya (http://responsibilitytoprotect.org/) Terkait dengan situasi yang terjadi di Ukraina setelah berakhirnya masa jabatan Viktor Yanukovich, warga Krimea yang mayoritas etnis Rusia merasa bahwa kepentingan mereka sudah tidak diperhatikan lagi oleh pemerintahan yang baru serta adanya ancaman atas rasa aman yang timbul akibat konflik politik yang terjadi di Ukraina. Berdasarkan alasan inilah yang mendasari tindakan Rusia masuk ke wilayah Krimea dengan mengirim pasukan tentara Rusia disana. Rusia menganggap bahwa negaranya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga Krimea yang mayoritasnya merupakan etnis Rusia. Jika dilihat sejarahnya Krimea memang memiliki hubungan yang kuat dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55 Rusia. Sebelum 1954, Krimea adalah oblast (provinsi) di bawah administrasi Rusia, namun pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Khrushchev, memberikan Krimea ke Ukraina (http://www.koransindo.com/node/372854-2014). Berdasarkan perjalanan sejarah tersebut Krimea telah sah menjadi bagian dari wilayah negara Ukraina. Sehingga wilayah Krimea menjadi bagian dari kedaulatan Ukraina yang tidak dapat dicampuri urusannya oleh negara lain. c. Pembelaan diri. Intervensi yang didasarkan pada alasan pembelaan diri harus memenuhi beberapa persyaratan seperti adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Adapun yang menjadi syarat pembelaan diri adalah: langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang (no moment of deliberation) (Sulastri Batubara, 2011: 44). Terkait dengan intervensi yang dilakukan Rusia atas Ukraina jika dianalisa berdasarkan empat kriteria syarat pembelaan diri, antara lain : 1) Langsung, yang dimaksudkan disini adalah pembelaan diri diperbolehkan apabila dilakukan segera setelah adanya serangan dari negara lain. Akan tetapi dalam hal ini tindakan campur tangan Rusia terhadap Ukraina dilakukan secara bertahap. Mulanya Rusia membatalkan dana talangan senilai 15 Milyar serta membatalkan harga diskon 30% terhadap gas yang dijual ke Ukraina, tak hanya itu Rusia juga mengancam akan menaikkan harga pajak ekspor Ukraina. Puncaknya lagi adalah ketika Rusia mengirimkan pasukan militernya ke wilayah Krimea dengan alasan untuk melindungi warga etnis Rusia yang berada disana akibat adanya konflik yang terjadi disana (www.bbc.com/news/world-europe26353824#). Tindakan-tindakan yang dilakukan Rusia tersebut tidak didahului dengan serangan yang bersifat ancaman oleh Ukraina. Tindakan tersebut dilakukan Rusia akibat pergolakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 politik di Ukraina sejak turunnya masa pemerintahan Viktor Yanukovich yang merupakan etnis Rusia. Sehingga motif tindakan yang dilakukan Rusia lebih condong ke arah kepentingan politik daripada pembelaan diri. 2) Situasi yang mendukung adalah situasi ketika sebuah negara yang melakukan pembelaan diri telah mendapatkan ancaman serangan yang mengakibatkan kedaulatan negara tersebut terganggu, akan tetapi lain halnya yang terjadi di Ukraina. Rusia berinisiatif sendiri untuk melakukan tindakan intervensi ke wilayah Krimea dengan alasan melindungi warga Krimea etnis Rusia akibat pergolakan politik yang terjadi disana. Tindakan Rusia tidak didasari atas adanya ancaman yang dilakukan Ukraina terhadap Rusia. Maka situasi mendukung yang dimaksudkan dalam kriteria ini tidak terpenuhi dalam tindakan yang dilakukan Rusia. 3) Tidak ada cara lain, yang dimaksudkan disini tindakan pembelaan dilakukan sebagai upaya terakhir apabila telah dilakukan upaya damai sebelumnya. Namun terkait dengan apa yang terjadi di Ukraina merupakan konflik internal yang seharusnya diselesaikan sendiri oleh Ukraina. Adapun dasar alasan Rusia mengintervensi Ukraina untuk melindungi warga Krimea etnis Rusia disana dengan mengirimkan pasukan militer seharusnya tidak boleh dilakukan. Negara Ukraina memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari konflik internal yang terjadi tanpa campur tangan dari negara lain. Campur tangan Rusia ke Ukraina baru bisa dilakukan ketika memang Ukraina dianggap tindak mampu ataupun tidak mau untuk melindungi warga negaranya dari konflik internal yang terjadi. Dalam hal ini Ukraina telah melakukan upaya atas konflik internal yang terjadi adalah dengan memberi kesempatan warga sipil untuk meninggalkan wilayah konflik, Presiden Ukraina memerintahkan dibukanya jalur evakuasi bagi penduduk sipil commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57 untuk meninggalkan wilayah konflik di Ukraina timur. Presiden Ukraina menyatakan bahwa seluruh kementrian telah diperintahkan untuk menciptakan kondisi yang diperlukan bagi warga sipil untuk pergi (Reni Candradewi, 2014 : 8). 4) Tidak ada waktu untuk menimbang, dimaksudkan disini adalah adanya situasi darurat dan mendesak yang mengharuskan adanya tindakan pembelaan diri dengan segera. Namun lain halnya dengan alasan intervensi Rusia atas wilayah Krimea yang bersifat kepentingan politik sehingga tidak bersifat darurat yang memperngaruhi situasi keamanan di Rusia. d. Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya. Ukraina memang sebelumnya merupakan bagian dari negara Uni Soviet (Rusia), akan tetapi Ukraina saat ini telah menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri akibat perpecahan yang terjadi di Uni Soviet. pada maret 1985 Uni Soviet dipimpin oleh Mikhail Gobarchev, Gorbachev menyadari sistem pemerintahan Marxisme yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya membawa negara mengalami kemunduran. Melalui reformasi politik dan ekonomi, Gorbachev berusaha membawa Uni Soviet kepada kehidupan yang lebih baik, akan tetapi di lain pihak, kebijakan Gorbachev menimbulkan dampak yang tidak diduga. Muncul pertentangan sosial dalam masyarakat, dan lahir kelompok-kelompok masyarakat yang bersaing memperbutkan pengaruh dan kekuasaan. Sehingga di duga runtuhnya Uni Soviet akibat dari kegagalan program Gorbachev, sehingga pada 25 desember 1991 Uni Soviet pun bubar secara resmi. Pada kenyataannya saat ini Rusia telah mendukung gerakan separatis warga proYanukovich di Ukraina dengan menggantikan sebuah badan pemerintahan baru yang dijabat oleh Sergey Aksyonov yang merupakan warga Rusia (www.bbc.com/news/world-europe- 26353824#). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58 Dengan demikian jika dilihat berdasarkan sejarahnya, Ukraina telah memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negara sendiri sehingga tidak boleh ada campur tangan yang masuk baik itu secara politik seperti yang telah dilakukan oleh saat ini. e. Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional. Merupakan pelaksanaan intervensi yang dilandaskan pada prinsip responsibility to protect dimana suatu negara memiliki kedaulatan untuk menjamin dan melindungi segenap warga negara dan apabila kewajiban tersebut gagal dilaksanakan maka dapat dilakukan campur tangan dari negara lain apabila berhubungan dengan HAM sehingga makna kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dapat dikatakan terbatas untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan suatu negara. Sehingga pelaksanaan intervensi yang diperbolehkan sering dikenal dengan nama intervensi kemanusiaan (Jill Steans dan Loyd Pettiford, 2009 : 240). Rusia dalam hal ini beranggapan bahwa tindakan intervensi yang dilakukan atas dasar kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah Ukraina dengan menggulingkan Viktor Yanukovich sehingga mengakibatkan korban jiwa di pihak para demonstran dan dapat dikatakan sebagai suatu ketidakmampuan Ukraina untuk melindungi warga negaranya. Akan tetapi, dengan adanya intervensi yang dilakukan oleh Rusia justru membuat kondisi menjadi semakin buruk dengan adanya pertentangan diantara demonstran yang proYanukovich dengan demonstran yang kontra Yanukovich. Sehingga dapat dikatakan bahwa perbuatan intervensi yang dilakukan Rusia di Ukraina tidak berdasarkan tujuan kemanusiaan melainkan demi kepentingan politik yang malah memperburuk situasi disana. Sebagaimana dikatakan bahwa tindakan intervensi yang diperbolehkan didasarkan pada batasan tertentu dan sesungguhnya tidak ada alasan intervensi yang commit to user dapat dibenarkan apabila perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59 menimbulkan atau membuat suatu keadaan menjadi lebih buruk. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi ini adalah (J.G. Starke, 1988 : 137) : “Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di negara lain” Sehingga dapat dinyatakan bahwa tindakan intervensi yang dilakukan Rusia atas wilayah Ukraina tidak memperoleh legitimasi berdasarkan hukum internasional. Hal tersebut didasarkan pada alasan antara lain : 1) Tindakan intervensi Rusia dilakukan tanpa persetujuan dari DK PBB, dikarenakan tindakan yang dilakukan Rusia didasarkan atas kepentingan politik bukan atas dasar kemanusiaan. 2) Tindakan Rusia atas Ukraina bukan tindakan pembelaan diri karena dilakukan atas inisiatif Rusia sendiri dan tidak didasarkan atas serangan ancaman yang dilakukan Ukraina terlebih dahulu. 3) Ukraina merupakan negara berdaulat yang sah sehingga memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan warganya dari konflik internal yang terjadi dan tidak boleh ada campur tangan dari negara lain. commit to user