BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DI SMU NEGERI l UBUD Pendidikan IPS sebagai suatu studi sosial mempelajari dinamika masyarakat baik dari dimensi waktu, ruang, maupun nilai-nilainya (Depdiknas, 2002). Karena itu, sesungguhnya, praktik pendidikan IPS di sekolah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat di mana program pendidikan IPS itu dilaksanakan. Begitu pula dengan progr am pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud, yang terletak di daerah kawasan dan kunjungan wisata Ubud, tidak terlepas dari konteks kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Pengaruh yang terjadi memang tidaklah melibatkan peran masyarakat secara langsung dan aktif dalam proses pendidikan IPS di sekolah, melainkan t «"bentuk melalui nilai-nilai dan sikap yang hidup pada seluruh civitas sekolah yang kemudian turut mewarnai kebijakan serta sikap dan perilaku pendidik dan siswa dalam hubungan edukatifnya di lingkungan sekolah pada umumnya, dan pada pola praktik pendidikan IPS pada khususnya. A. Konteks Penelitian SMU Negeri 1 Ubud berlokasi di Banjar/Dusun Sambahan, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. SMU ini merupakan sekolah menengah tingkat atas negeri pertama yang ada di Kecamatan Ubud dan merupakan sekolah menengah negeri yang dirintis pertama kali di Bali berlokasi di tingkat kecamatan (Kepala SMU Negeri 1 Ubud, 2001). Adapun peta lokasi sekolah dapat digambarkan pada halaman 113 berikut. Dilihat dari latar belakangnya, SMU Negeri 1 Ubud ini dibuka pada tahun pelajaran 1980/1981. Pendirian sekolah ini dirintis oleh keluarga puri Ubud yang dimotori oleh Tjokorda Gde Agung Suyasa dengan memberikan sebidang tanah milik keluarga puri untuk lokasi sekolah ini. Demikian pula keluarga puri banyak memberikan bantuan fasilitas dan dana pendidikan untuk kepentingan sekolah ini setiap tahunnya. Oleh karena itulah, sekolah ini sangat dekat sekali hubungannya dengan keluarga puri Ubud. Sampai saat ini, sebagai penghormatan kepada keluarga puri Ubud, pengurus BP3 atau komite sekolah selalu dipimpin oleh keluarga puri Ubud sendiri. Hubungan yang dekat dengan puri Ubud ini memberikan corak budaya tersendiri kepada sekolah ini dalam pengembangan program-program pendidikannya maupun dalam membina hubungan 112 sosialnya dengan masyarakat di sekitarnya di wilayah Kecamatan Ubud pada umumnya dan Kelurahan Ubud pada khususnya. Adanya peranan keluarga puri Ubud dalam inisiasi pendirian sekolah ini serta bantuan-bantuan fasilitas, dana, dan kontribusi pemikiran-pemikiran yang berlandaskan sistem sosial dan budaya Bali, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Ubud masih menghormati keberadaan keluarga pun Ubud dengan segala atribut (kaste/wangsa) dan peranannya (warna) dalam masyarakat (Agung, 1974; Wiana, 1977). Ini karena tidak saja memiliki kemampuan diri melalui kemampuan secara ekonomi, sosial, dan politik, yang memberikan mereka status, otoritas, dan kekuasaan tinggi di masyarakat (Weber seperti dikutip oleh Johnson, 1994), tetapi mereka juga masih memiliki pengaruh sosial budaya secara tradisional karena mereka masih dianggap sebagai pemimpin yang memiliki karisma, dermawan, berpengetahuan luas, dan memiliki kekuasaan sosial politik secara sehulu dan niskala (bandingkan dengan Blumberg, 1978; Fried, 1967; Harner, 1970; LenskL 1966; Parson, 1977,1966; Widja, 1991, 1989). Sejak tahun ajaran 2001/2002 SMU Negeri 1 Ubud dipimpin oleh seorang kepala sekolah bernama Drs.Anak Agung Ketut Raka yang masih ada hubungan kekeluargaan pula dengan keluarga besar puri Ubud. Beliau ini merupakau alumni FKIP Universitas Udayana Singaraja program SI Program studi Pendidikan Ekonomi tahun 1984. Dengan kepemimpinannya, beliau ini dihormati, disegani, dan disukai baik oleh dewan guru, staf pegawai, siswa, maupun oleh pengurus komite sekolah. Beliau ini dinilai banyak guru senior, pegawai, dan siswa sebagai sosok orang Bali dari keluarga puri yang cerdas, terbuka, bijaksana, santun, dan demokratis. Dalam komunikasi tugas sehari-hari beliau selalu menggunakan bahasa Bali halus baik kepada guru, pegawai, orang tua murid/masyarakat, maupun siswa tanpa membeda-bedakan kedudukan dan kasta. Dengan bahasa Bali halus inilah beliau menyatakan bagaimana orang Bali menghormati atau menghargai orang lain, sehingga orang lain akan hormat kepada kita. Ini adalah prinsip utama seorang pemimpin di Bali, kata beliau, jika ingin dihormati dan disegani. Penggunaan bahasa Bali halus tidak harus diartikan sebagai bahasa kampungan dan tradisional. Ini harus dimaknai dalam rangka penegakan uAjeg Baii" (kelestarian Bali) secara keseluruhan tanpa harus meninggalkan penggunaan Bahasa Indonesia sama sekali. Dengan kepemimpinan kepala sekolah seperti di atas menunjukkan bahwa sekolah telah memiliki seorang pemimpin yang tidak saja memiliki otoritas secara tradisional, tetapi juga memiliki otoritas yang karismatik, dai! otoritas legal rasional (Weber, seperti dikutip oleh Jo'inso" ' oo-i > 114 Pada tahun ajaran 2002/2003 SMU Negeri Ubud memiliki tenaga • . 'j* c s sebanyak 64 orang dengan rincian per mata pelajaran, masa kerja, pangk^anJgbI(nfgafl/{' jenis kelamin, dan tingkat pendidikan sebagai tertera dalam tabel II dan ^ / v / Tabel 11: Distribusi Guru SMU Negeri I Ubud Berdasarkan Mata P c f a j a i ^ Pangkat, dan Jenis Kelamin Guru Mata Golongan III i Golongan IV | Pelajaran L P j L P I Agama/Bahasa Bali > 3 i I PPKn/Tata Negara 1 1 1 1 Sejarah j 2 1 1 1 ! Bahasa Indonesia • 3 1 Bahasa Inggris i 3 ! i 1 Matematika 1 1 4 ! 1 Geografi 1 i 1 ! Ekonomi/Akuntansi 2 ! 2 i Sosiologi/Antropologi ! 1 I ! 3 | 2 Fisika i 2 2 Biologi i Kimia 3 J i ! Bahasa Jepang 1 1 1 ! A. Islam/Bah. Arab Dari Departemen Agama j PKK Merangka 3 sebagai guru Sosiologi/Antropologi i Penjaskes I 2 : i i • Bimb. & Konseling | 3 i i i * Seni Rupa/Tari j 3 2 ; Guru Perpustakaan j 1 Total j 31 3 | U 19 Total 4 3 4 4 4 6 3 1 5 2 5 4 4 2 1 * l * 3 5 5 I 64 j Tabel 12: Distribusi Guru SMU Negeri 1 Ubud Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Masa Kerja Tingkat Pendidikan DUI/Sarmud Sarjana Total 5 Masa Kerja 11-20 9 33 5 42 1 -10 - Total | | ! j 21-30 I 16 10 54 17 64 j i i Berdasarkan distribusi data tersebut, dilihat dari segi kuantitas, SMU Negeri 1 Ubud telah memiliki tenaga gin u yang cukup baik dati segi rasio, berpengalaman, dan seimbang. Namun dilihat dari pengalaman mengikuti penataran atau pelatihan selama jabatan (inservice iraintng) tampaknya pendidikan guru masih sangat kurang. Diakui pula 115 bahwa sampai saat ini belum ada guru-guru di SMU Negeri 1 Ubud yang melahirkan hasil karya ilmiah yang diakui dalam bidang keahlian pendidikannya masing-masing atau mengikuti lomba karya ilmiah guru. Karena itulah, 22 orang guru yang telah berpangkat pembina golongan IVa meyakini bahwa mereka tidak akan naik pangkat lagi karena tidak memiliki karya tulis ilmiah. Dari data di alas dapat ditunjukkan bahwa kualifikasi guru-guru di SMU Negeri 1 Ubud dari segi tingkat pendidikannya memang sudah memadai karena mereka umumnya sudah mencapai sarjana pendidikan yang relevan. Sayangnya, pengalaman masa kerja guru-gum yang sudah rata-rata mencapai 1 0 - 2 0 tahun lebih belum diimbangi dengan pengalaman pengembangan kemampuan kualifikasi guru secara kualitas dalam bidangnya baik secara kedinasan, organisatoris, maupun secara personal. Lemalmya pendidikan dalam jabatan dan usaha guru secara personal dalam meningkatkan kualifikasi guru, menunjukkan bahwa guru-guru selama masa jabatannya lebih berorientasi pada pelaksanaan tugas sehari-hari dengan melaksanakan tugas berdasarkan pengalaman semata-mata. Ini menujukkan pula bahwa komitmen sekolah ini untuk meningkatkan kuah tas guru-gurunya masih sangat terbatas. Jika kualitas pendidikan sekolah dominan ditentukan oleh kualitas guru-gurunya (Depdiknas, 2004b; Tilaar, 1999) maka upaya sekolah ini pun dalam meningkatkan kualitas pendidikan sekolatinya masih dapat dikatakan terbatas. Di samping tenaga edukatif, untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi setiap harinya, SMU Negeri 1 Ubud memiliki 18 orang tenaga administrasi dengan rincian tingkat pendidikan: 1 orang sarjana manajemen, 1 orang sarjana muda sekretaris, 1 orang berpendidikan DIII sekretaris, 12 orang berpendidikan SMU/SMEA/KPAA/STM, 2 orang berpendidikan KKP, dan 1 orang berpendidikan SD. Dilihat dari keadaan input siswanya, SMU Negeri 1 Ubud sejak tahun ajaran 2000/2001 setiap tahunnya memiliki 17 rombongan belajar yang pada tahun ajaran 2002/2003 mencapai jumlah 721 orang siswa. Dari 17 rombongan belajar ini, enam rombongan adalah siswa kelas I dengan jumlah siswa 243 orang, enam rombongan lainnya adalah siswa kelas II dengan jumlah siswa 244 orang, dan lima rombongan belajar sisanya adalah siswa kelas III dengan jumlah siswa 234 orang. Untuk siswa kelas III, penjurusan disediakan dengan 1 rombongan belajar jurusan IPA, I rombongan jurusan IPS, dan 3 rombongan jurusan bahasa. Penjurusan ini di samping disesuaikan dengan pilihan minat siswa juga ditentukan berdasarkan tingkat prestasi siswa. Pada umumnya, sejak awal siswa SMU Negeri 1 Ubud cenderung memilih 116 jurusan bahasa dari pada jurusan IPA atau IPS. Menurat siswa dan guru, kondisi ini lebih ditentukan oleh kebutuhan pasar kerja sektor pariwisata dan kondisi sosial budaya masyarakat Ubud yang membutuhkan siswa terampil berbahasa asing dan perlu memahami banyak aspek budaya Bali. Data ini jelas menegaskan bahwa perkembangan sosial budaya masyarakat dan kebijakan-kebijakan tertentu di tingkat daerah dapat turut mempengaruhi kebijakan pelaksanaan program-program pendidikan sekolah, khususnya dalam pengembangan kecakapan liidup (Jife skills) siswa yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat Hubungan inilah yang menyebabkan sekolah dapat berperan terhadap dan atau sejalan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitarnya (Collins,1985: 60-87 ). Dalam kajian antropolgi pendidikan, proses ini dapat dikatakan bahwa pendidikan sekolah telah melakukan produksi budaya (cutiural produclion) bagi kepentingan sosial dan budaya masyarakatnya (Levinson & Holland, 1996: 1-54; Rival, 1996: 153-167; Skinner & Holland, 1996: 273-299) Diakui oleh kepala sekolah, guru, dan siswa bahwa minat lulusan SMU Negeri 1 Ubud untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi khususnya ke universitas atau institut memang tergolong cukup dan belum begitu tinggi. Kondisi ini diakui agak kontradiksi dengan latar belakang status sosial ekonomi orang tua siswa yang rata-rata berada pada kelompok menengah ke atas. Hal ini diduga ada kaitannya dengan orang tua siswa umumnya berlatar belakang wiraswasta dan pekerja yang cukup sukses di sektor perdagangan dan industri pariwisata (hanya 20% orang tua siswa berstatus PNS). Siswa lulusan SMU Negeri 1 Ubud cenderung memilih bekerja di sektor pariwisata setelah tamat mengikuti jejak orang tuanya, atau paling tidak melanjutkan sekolah program pendidikan kilat pariwisata (DI atau DII Pariwisata). Tidak mengherankan jika sekolah pariwisata sangat diminati siswa di daerah Ubud dan Gianyar pada khususnya dan di daerah Bali pada umumnya. Temuan ini jelas menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata telah membawa dampak pula pada program pendidikan sekolah dan minat siswa setelah tamat. Di sini, kebutuhan masyarakat pariwisata di Ubud terhadap pemenuhan sumber daya manusia yang terampil untuk bekeija di sektor pariwisata telah menyebabkan tumbuh dan berkembang secara cukup signifikan minat dan aspirasi kerja di kalangan siswa di sektor pariwisata. Dampak ini memang sebagian positif terutama bagi sekolah dalam mengembangkan program-program pendidikan yang relevan dibutuhkan masyarakat dan generasi muda untuk memasuki dunia kerja di industri pariwisata. Tetapi, dalam jangka 117 panjang dikhawatirkan juga bisa menimbulkan dampak negatif, karena sekolah cenderung dapat distimuii untuk secara pragmatis mengembangkan tujuan-tujuan pendidikan yang hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga keija tingkat teknis dan terampil. Ini jelas akan menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Menurut keyakinan siswa, Bali pada umumnya serta Gianyar dan Ubud pada khususnya, yang terkenal dengan objek dan aktivitas pariwisatanya, perlu didukung oleh sumber daya manusia yang dapat melestarikan dan mengembangkan potensi alam dan budaya Bali yang diminati wisatawan. Untuk belajar tentang kehidupan sosial dan budaya orang Bali, mereka tidak perlu belajar sampai perguruan tinggi, apalagi belajar di perguruan tinggi belum tentu bisa mempelajari kebudayaan orang Bali dan belum tentu akan memberikan jaminan hidup masa depan yang lebih baik. Belajar kehidupan sosial dan budaya orang Bali haruslah dipelajari langsung dalam kehidupan bermasyarakat dalam menjalankan swadarma masing-masing. Bekal pengetahuan formal sudah cukup sampai sekolah menengah, selebihnya dapat dipelajari sendiri oleh siswa dalam kehidupan di masyarakat. Bagi siswa, karena itu, sekolah bukanlah satu-satunya wahana tempat melangsungkan proses pendidikan, dan pendidikan formal bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa mengembangkan kecakapan hidup. Masyarakat dan lingkungan dunia kerja juga dapat digunakan sebagai wahana proses pendidikan dan pembelajaran untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan liidup yang dibutulikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan belajar siswa dan kebutuhan masyarakat Ubud pada khususnya seperti itu, maka SMU Negeri 1 Ubud mengembangkan program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan tersebut. Memang dari segi kurikulum, SMU Negeri 1 Ubud seutulmya melaksanakan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan fungsi kurikulum nasional. Namun, siswa dan masyarakat, sekolah juga melaksanakan kurikulum muatan lokal berbasis pelestarian budaya Bali. Ada satu mata pelajaran sebagai muatan lokal yang disisipkan pada kurikulum sekolah, yaitu mata pelajaran bahasa Bali. Pemberian mata pelajaran ini bertujuan, di samping melestarikan bahasa Bali sebagai salah satu aspek budaya Bali di kalangan generasi muda, juga untuk mempelajari keseluruhan aspek budaya Bah itu sendiri, karena bahasa diyakini merupakan pintu gerbang dan sarana penguasaan dan pengembangan budaya itu sendiri (AhhnsaPutra, 2001). Di samping itu dikembangkan pula program-program ekstrakurikuler yang relevan dengan pengembangan kebudayaan Bali seperti melukis, seni tari, menabuh, serta 118 kajian budaya dan agama Hindu (khususnya keterampilan menyiapkan upacara Hindu, keterampilan memberikan dharmawacana, dan keterampilan megegilan f dharmagita) atau menembangkan lagu-lagu suci. Pemberian mata pelajaran bahasa Bali kepada siswa, di samping memang telah sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah Bali melalui Dinas Pendidikan Propinsi Bali, kebijakan ini juga sesuai dengan visi dan misi SMU Negeri 1 Ubud. Dengan pemberian mata pelajaran bahasa Bali kepada siswa diharapkan siswa sebagai unsur generasi muda masyarakat Bali dapat melestarikan dan mengembangkan penggunaan baliasa dan sastra daerah Bali yang di dalamnya dinilai dan diyakini banyak mengandung sari pati kebudayaan Bali yang adi luhur (Sancaya, 2004 ). Selanjutnya, pemberian kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa pelestarian dan pengembangan kajian kebudayaan Bali kepada siswa adalah agar berguna bagi pembekalan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan hidup yang diperlukan siswa dalam kehidupan bermasyarakat Bali yang berbudaya dan religius. Di samping itu, memiliki pengetahuan, nilai-nilai, rasa estetika, dan keterampilan hidup berbasis kebudayaan dan kesenian Bali yang dididikkan kepada siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti menari, melukis, menabuh, seni pahat, megegitan, kemampuan memberikan dharmawacana, dan sejenisnya diyakini telah dapat memberikan kesejahteraan hidup kepada masyarakat Ubud dan Gianyar pada khususnya yang terkenal sebagai daerah tujuan wisata budaya yang kaya dengan seniman dan hasil seninya (Geriya, 1996). Untuk mendukung pencapaian tujuan di atas, sekolah menyediakan fasilitas dan sarana belajar untuk menunjang aktivitas kurikulum tersebut. SMU Negeri 1 Ubud telah memiliki fasilitas dan sarana pendidikan/belajar yang cukup memadai, kecuali untuk unsur-unsur seperti lapangan olah raga atletik dan sepak bola, ruang belajar, mang dan alat-alat keterampilan, alat-alat laboratorium, komputer, dan sarana buku-buku perpustakaan masih dirasakan kurang. B. Visi dan Misi SMU Negeri 1 Ubud Visi SMU Negeri 1 Ubud adalah menjadikan sekolah sebagai wahana pendidikan sumber daya manusia kepada generasi muda Bali dalam rangka pembinaan dan pengembangan manusia Bali yang bermutu, beriman, dan berbudaya (Kepala SMU Negeri 1 Ubud, 2002). Dengan pendidikan sumber daya manusia yang bermutu berarti SMU Negeri 1 Ubud berupaya mengembangkan kemampuan intelektual dan akademis serta 119 komitmen yang tinggi untuk inelaliirkan lulusan yang memiliki pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan hidup yang tinggi sesuai dengan tujuan dan target sekolah. Pendidikan manusia yang bermutu juga berarti pendidikan yang dapat melahirkan lulusan yang memiliki nilai-nilai dan komitmen yang relevan dalam upaya penguasaan dan pengembangan iptek, yang dicirikan oleh peningkatan kemampuan berpikir ilmiah, kemauan belajar dan bekerja keras dengan ulet dan tekun, menjunjung tinggi pengambilan keputusan yang rasional, bersifat terbuka dan demokratis, menghargai waktu, serta selalu bertindak sesuai dengan norma, tujuan, dan target yang ingin dicapai. Untuk dapat mewujudkau visi di atas, SMU Negeri 1 Ubud telah memfokuskan programnya dengan terus berupaya meningkatkan kualitas tnpui dan proses belajar mengajar, yang antara lain dilakukan dengan memperketat sistem seleksi penerimaan siswa baru, meningkatkan disiplin guru dalam kegiatan belajar mengajar baik yang bersifat perencanaan, pelaksanaan pembelajaran di kelas, melakukan evaluasi, dan pelaksanaan supervisi kelas, serta meningkatkan peran guru dalam mengikuti kegiatan MGMP terutama di tingkat kabupaten. Upaya lain yang dilakukan adalah memberikan tambahan jam belajar kepada siswa kelas III yang akan menghadapi ujian, meningkatkan jumlah jenis dan kualitas kegiatan ekstrakurikuler dengan mendatangkan pelatih profesional dari masyarakat dan seniman di sekitar Ubud, memperbanyak kesempatan siswa untuk berkompetisi baik dalam kegiatan akademis maupun kegiatan ekstrakurikuler, serta menjalin kerja sama pertukaran siswa dengan beberapa SMU di Jepang. Dalam program pertukaran siswa, SMU Negeri 1 Ubud telah empat kali mengirim ke Jepang siswa yang berprestasi di kelas, siswa yang unggul dalam seni tari dan melukis, serta siswa yang orang tuanya memiliki dana untuk program pertukaran siswa terutama siswa dari keluarga puri Ubud. Sebaliknya, SMU Negeri I Ubud juga telah menerima dua kali rombongan studi wisata siswa-siswa dari beberapa sekolah menengah di Jepang. Ada beberapa kemajuan yang telah dicapai SMU Negeri 1 Ubud dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikannya, antara lain sebagai berikut. Pertama, dengan sistem seleksi yang lebih ketat, sekolah lebih dapat menjaring input siswa dengan prestasi belajar yang lebih baik setiap tahunnya. Kedua, upaya sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa telah menunjukkan adanya peningkatan dalam rerata hasil belajar/NEM yang dicapai siswa setiap tahunnya, walau tidak terlalu signifikan dinilai, yang dengan begitu lulusan SMU Negeri I Ubud lebih dapat bersaing dengan lulusan sekolah lainnya. 120 Ketiga, sekolah lebih dapat menegakkan tata tertib sekolah dan meningkatkan disiplin belajar siswa. Dengan inpui siswa yang dalam hal prestasi lebih baik dan minat belajar yang lebih tinggi, lebih memudahkan sekolah untuk menegakkan tata tertib sekolah dan disiplin belajar siswa. Keempat, jumlah lulusan yang melanjutkan ke perguruan tinggi meningkat setiap tahunnya. Begitu pula lulusan yang diterima dengan sistem seleksi PMJK terutama pada Universitas Udayana dan IKIP Negeri Singaraja yang mengandalkan prestasi belajar sejak semester pertama hingga semester akhir sebelum ujian mengalami peningkatan. Akhirnya, diakui pula bahwa prestasi akademis dan bidang ekstrakurikuler siswa, terutama dalam minat mengikuti lomba, setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Dalam hal lomba bidang akademis, walau tidak ada siswa SMU Negeri I Ubud yang berhasil menjadi juara dalam berbagai lomba seperti dalam olimpiade fisika, biologi, matematika, kimia, akuntansi, komputer, dan lomba karya ilmiah remaja, bahkan untuk tingkat kabupaten sekalipun, tetapi minat siswa untuk mengikuti lomba mengalami peningkatan. Berbeda untuk bidang ekstrakurikuler, seperti bidang olah raga; kesenian: melukis, seni tari dan haleganjur; memberikan dharmawacam baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali; dan lomba mewirama, prestasi siswa SMU Negeri 1 Ubud ternyata cukup membanggakan, baik di tingkat kabupaten maupun propinsi Bali; begitu pula baik dalam kegiatan PORSENI daerah maupun lomba yang diselenggarakan institusi tertentu. Dalam kegiatan PORSENI daerah Gianyar, misalnya, SMU Negeri 1 Ubud bahkan selalu menjadi juara umum. Dari berbagai upaya dan hasil peningkatan mutu pendidikan di SMU Negeri I Ubud di atas, secara keseluruhan sebagai satu sistem memang tampak bahwa kebijakankebijakan dan tindakan-tindakan yang ditempuh telah mengarah kepada peningkatan mutu secara komprehensif. Sayangnya, rumusan peningkatan mutu pendidikan sekolah terutama dalam aspek kurikuler cenderung lebih berorientasi pada peningkatan rata-rata hasil raport dan hasil ujian sekolah serta ujian nasional yang hanya menekankan pencapaian aspek kognisi secara agregat (prestasi kelas dan sekolah). Selanjutnya, dengan visi beriman, hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan di SMU Negeri I Ubud haruslah mampu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para siswa. Dalam bahasa lokal tnereka menyatakan, sekolah haruslah mampu meningkatkan kesadaran civitasnya, dan terutama siswa, dalam hal crada (keyakinan/keimanaty, bhakii (pemujaan;, lan cubha karma (taqwa) kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Penetapan visi ini benar-benar disadari atas landasan keyakinan masyarakat pada 121 umumnya dan civitas sekolah pada khususnya bahwa betapa setinggi apapun ilmu yang dimiliki manusia, tanpa memiliki crada dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca, para dewa, betara, dan penghormatan kepada leluhur maka hidup manusia akan sia-sia. Visi ini relevan dengan adagium yang menyatakan bahwa ilmu tanpa agama itu adalah buta, dan sebaliknya agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Karena itulah, masyarakat Ubud menghendaki satu lembaga pendidikan yang mampu menyeimbangkan penguasaan iptek dengan pengembangan crada, bhaki, dan cubha karma kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca. Hal ini sejalan dengan peranan agama Hindu dalam seluruh aspek sikap dan perilaku masyarakat Hindu di Bali. Untuk mewujudkan visi di atas, SMU Negeri 1 Ubud telah mengembangkan program pendidikan yang meliputi program pembinaan crada dan bhakti, pendidikan budi pekerti berbasis agama dan budaya Bah, dan pendidikan keterampilan beragama. Untuk ini beberapa kegiatan rutin dan berkala dalam meningkatkan iklim dan pengalaman religius siswa telah dilakukan. Aktivitas program-program pendidikan keimanan sangat khusuk dilakukan semua civitas sekolah termasuk oleh guru dan siswa yang memberikan iklim religius yang tinggi pada lingkungan sekolah. Sebagaimana diakui, SMU Negeri 1 Ubud adalah sekolah yang memiliki unit pelinggih suci paling banyak di Bali. Ada enam jenis pelinggih di sekolah ini, yaitu: satu unit pura sekolah dengan satu padmasananya, satu unit pelinggih majeng kangin (menghadap ke timur) merupakan pelinggih Ratu Bhaiara Pemuteran Jagai yang melindungi semua yang ada di sekolah, satu unit pelinggih majeng kauh (menghadap ke barat) merupakan pelinggih penyawangan Betara leluhur fisi Markandya yang pura pemujaan utamanya di Ubud terletak di sebelah barat di sungai campuhan Ubud, satu unit pelinggih wong samar, satu pelinggih padma capah, satu pelinggih resa dugul {Bhaiara Indra Belaku), dan satu unit pelinggih (pelangkiran) di setiap ruangan. Dengan cukup banyaknya pel/nggth-pelinggih ini, memberikan semacam peringatan untuk meningkatkan kesadaran kepada setiap warga sekolah untuk menghaturkan sesaji atau persembahan dan persembahyangan setiap harinya dan agar bersikap dan berperilaku yang baik. Dari banyaknya tempat-tempat suci di lingkungan sekolah seperti ini yang disertai kewajibankewajiban religius yang mengikutinya, sekali lagi menunjukkan betapa besarnya peranan agama Hindu dalam memberikan landasan motivasi, landasan tuntunan moral, pengintegrasi jati diri, dan landasan orientatif bagi pengembangan dan pelaksanaan program pendidikan di sekolah, khususnya di SMU Negeri I Ubud. Jelaslah pula di sini bahwa agama telah merevitalisasi nilai-nilai luhur yang berbasis ajaran Hindu yang hidup 122 di tengah-tengah masyarakat Bali untuk diapliaksikan atau diimplementasikan dalam kehidupan pendidikan formal di lingkungan sekolah. Hal ini sesuai dengan pandangan Alpert CCoser, 1971) tentang peran agama dalam merevitalisasi nilai-nilai sosial budaya yang hidup dalam kelompok masyarakat. Di samping itu, SMU Negeri 1 Ubud juga adalah salah satu dari sekolah-sekolah di Bali yang menjalin hubungan erat dengan desa adat dan pura desanya. Hubungan ini membelikan kesempatan kepada para guru dan siswa untuk meningkatkan crada, hhakti, dan karma wacananya melalui hubungan sosialnya yang harmonis dengan warga atau krama desa adat Ubud. Ini berarti praktik keliidupan ritual beragama juga memberikan fungsi sosial dalam keliidupan bersama masyarakat (Coser, 1971: 139; Durkheiin,1965). Kalau diperhatikan praktik-praktik dan iklim yang diciptakan untuk meningkatan keimanan di atas tampak bahwa pelaksanaan praktik keyakinan beragama di sekolah dilaksanakan tidak saja melalui persembahan dan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Jdu Sang Hyang Widhi Wasa\ para dewa, para Rsi, dan leluhur, tetapi juga memberikan penghormatan kepada guru dan orang yang lebih tua atau dewasa, kepada sesama, bahkan melalui pemeliharaan lingkungan. Dengan begitu pelaksanaan crada dan bhakii agama serta pembentukan karma wacana tidak saja diwujudkan dalam nilai-nilai transenden kepada Tuhan, tetapi juga memiliki nilai-nilai immarteni mistics. Artinya, di sini dikembangkan agar manusia memiliki sikap yang selalu mencari nilai tertinggi di dunia yang memandang dirinya sebagai bagian dari suatu totalitas. Segala yang ada di dunia dinilai dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah yang ingin mencapai keselarasan antara pengalaman bathin dengan arti hidup, mencari pencipta yang tertinggi atau kekuasaan yang absolut, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Allport, Vemon, dan Lindzey, 1970). Praktik religius seperti ini sejalan pula dengan pandangan Spranger (seperti dikutip oleh Sukadi, 1994: 55-56) yang menjelaskan bahwa sifat religius adalah suatu keadaan baik instingtif ataupun rasional yang pengalaman tunggalnya, yang positif atau negatif, dihubungkan dengan keseluruhan nilai kehidupan. Dikaitkan dengan pandangan MagnisSuseno (1985), praktik keimanan seperti di atas akan dapat menimbulkan sikap religius yang termasuk di dalamnya memandang masyarakat, alam, dan dunia adikodrati sebagai kesatuan yang tidak terpecah belah. Jelaslah bahwa kehidupan keimanan agama yang ingin dibangun di sekolah seperti di atas tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Seperti Durkheim (1965; Coser, 1971; Johnson, 1994) menyatakan bahwa corak dari agama apa saja berhubungan dengan suatu dunia yang suci (sacred realm) yang berbeda dengan dunia profan dalam 123 kehidupan yang biasa sehari-hari. Tetapi, ide tentang dunia yang suci itu juga sesunggulmya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan sosial, yaitu kehidupan kelompok sosial dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol (Durkkheim, 1965). Visi berbudaya, visi ketiga SMU Negeri I Ubud, merupakan visi untuk mewujudkan sekolah sebagai wahana pendidikan yang berbudaya berbasis pada budaya Bali dan budaya Hindu tanpa meugabaikan upaya pengembangan kebudayaan nasional dan kebudayaan modern. Ini terutama dilakukan dengan program-program pendidikan yang memberikan siswa suatu iklim sentuhan budaya yang tinggi. Pertama, sekolah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa kelas III untuk memilih jurusan bidang bahasa dan budaya tanpa ada intervensi sekolah, seperti sekolah lain, untuk membual keseimbangan jumlah siswa yang memilih jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Dengan siswa lebih banyak memilih jurusan bahasa dan budaya inilah sekolah mengembangkan program pendidikan sosial budaya dan seni yang cukup intensif baik yang bersifat kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Dalam bidang kurikuler dan kokurikuler siswa dapat mengikuti kurikulum bahasa, sastra, dan budaya yang cukup intensif, seperti: bahasa dan sastra Indonesia, bahasa dan sastra Inggris, bahasa Jepang, bahasa Arab, bahasa dan sastra Bali, dan sejarah masyarakat dan kebudayaan Bali. Dalam kegiatan ekstrakurikuler, sekolah mengembangkan kegiatan ekstra, seperti: melukis, menari Bali, menabuh, dan kajian agama Hindu dan kebudayaan Bali (dharmacanthi dan dharmawacana). Kedua, sekolah juga menciptakan iklim kehidupan budaya Bali yang cukup kental dalam lingkungan sekolah. Penggunaan bahasa Bali halus oleh semua unsur civitas sekolah dalam komunikasi di luar jam pelajaran adalah program utama menciptakan iklim budaya Bali tersebut. Kebiasaan yang utama dilakukan juga adalah aktivitas religius setiap hari yang mewarnai lingkungan sekolah. Dalam hubungan antara sekolah dan masyarakat sebagai wujud sosialisasi sekolah di lingkungan masyarakat, sekolah juga ikut terlibat dalam kegiatan upacara ritual Hindu yang cukup sering dilaksanakan di pura-pura yang besar di wilayah Ubud, keterlibatan sekolah dalam kegiatan ritual di lingkungan puri Ubud, dan keterlibatan guru dan siswa dalam kegiatan-kegiatan festival seni dan budaya yang sering dilaksanakan di Ubud sebagai objek wisata budaya dan seni. Salah satu yang unik juga dilakukan sekolah adalah bahwa dalam upayanya melestarikan lingkungan lembah yang cukup luas ada di sebelah timur sekolah, sekolah 124 telah mengembangkan sikap dan perilaku siswa yang baik melalui jalur r d ^ S ^ 9 ^ ^ " " keyakinan civitas sekolah bahwa lembah di sebelah timur sekolah merupakan teftipaf_ suci yang secara niskala (tidak kasar mata) dihuni oleh makhluk-makliluk suc^Jj" disebut dengan wong samar. Karena itu, dikembangkanlah sikap dan perilaku untu&s&tsrii* menjaga kelestarian dan kesucian lembah itu. Praktik budaya seperti ini jelas sekali menunjukkan bagaimana struktur pikiran orang Bali yang bersifat nva bhineda terhadap lingkungan alam secara fisik. Walau lingkungan lembah sebagai buana alif merupakan lingkungan fisik biologis, namun orang Bali percaya bahwa lembah ini juga menjadi bagian dari kekuasaan buana agung yang hidup mengatur kelangsungan kehidupan makhluk-makhluk (tumbuh-tumbuhan dan binatang) di lembalL Unsur kekuatan buana agung itulah yang disimbolkan atau dipersonifikasikan dengan wong samar (makhluk yang tidak kelihatan, sesungguhnya merupakan kekuasaan Ida Sang Hyang Widhi Waca). Dengan adanya penghormatan, persembahan dan hidup selaras dengan kekuatan buana agprtg ini secara tidak langsung juga merupakan upaya pelestarian lingkungan lembah. Dengan begitu struktur pikiran seperti ini bisa didekati dengan kajian pendekatan strukturalis (Barker, 2004). Ketiga, dengan tidak mengabaikan pengembangan unsur-unsur kebudayaan nasional, sekolah juga secara konsisten melaksanakan kurikulum sekolah yang merupakan kurikulum nasional yang pada dasarnya dinilai guru sebagai upaya mempertahankan dan mengembangkan serta membawa pesan nilai-nilai yang hidup dalam perkembangan kebudayan nasional Indonesia. Secara kurikuler, dengan standar nasional, kurikulum mendidik dan mengajarkan kepada siswa bahwa Pancasila sebagai kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan nilai-nilai yang harus selalu menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan model pendidikan nilai seperti itu memang tampak lebih ditekankan kepada siswa perlunya kesadaran individu untuk selalu berupaya selaras dengan sistem dan nilai-nilai serta norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak ada tempat dalam model pendidikan nilai seperti ini bagi anak untuk melakukan kritik dan refleksi sosial, untuk membuat perubahan, dan untuk menjadi bebas menjadi dirinya sendiri. Pandangan seperti ini jelas sejalan dengan pemikiran fungsionalisme yang lebih menekankan arti keselarasan dan keseimbangan sistem sosial budaya dalam menciptakan keteraturan sosial dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Mulder, 2003). 125 Pendidikan IPS juga memiliki peran yang besar dalam pembentukan image tentang masyarakat dan kebudayaan nasional di kalangan siswa. Kurikulum dapat menciptakan kesan bahwa Indonesia itu adalah daerah yang subur; kaya dengan sumber-sumber alam termasuk flora dan faunanya; memiliki aneka ragam hasil budaya masyarakat; penduduk dengan multi etnik, ras, bahasa, adat isitiadat, dan agama, sehingga perlu dikembangkan sikap toleransi dan saling menghormati; bangsa yang memiliki latar belakang sejarah dan perjuangan yang sama dalam mencapai kemerdekaaan seiiiiigga membentuk semangat nasionalisme; dan masyarakat dengan corak budaya agraris yang bersifat komunal dan paternalistik yang kini berada dalam masa transisi menuju modernisasi yang demokratis. Dengan kurikulum bahasa dan sastra Indonesia, siswa belajar tentang bahasa persatuan, bahasa komunikasi antar individu dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Siswa juga belajar keterampilan berbahasa Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dan berkomunikasi secara ilmiah. Pelajaran sastra Indonesia juga setidak-tidaknya telah mengajarkan kekayaan ragam sastra nasional yang menumbuhkan sikap apresiasi siswa terhadap perkembangan sastra Indonesia. Akhirnya, dengan visi budaya, sekolah juga diakui oleh kepala sekolah dan guruguru serta siswa telah berfungsi mentransmisikan kebudayaan dan nilai-nilai global yang berbasis pada penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilainilai sertaan yang sejalan dengan kepentingan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut., antara lain: pentingnya belajar dan bekerja keras; berorientasi pada prestasi; berpandangan ke depan; penguasaan dan pelestarian terhadap alam; partisipasi dalam pemecahan masalah-masalah lokal, nasional, dan global; menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal; hubungan dan komunikasi antar bangsa; kompetisi dan kerja sama secara global; menjunjung nilai-nilai demokratis; penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia, hak-hak kelompok minoritas, kesetaraan gender; dan pengembangan budaya multi kultural; dan penciptaan perdamaian dunia (bandingkan dengan Cogan, et al.,1997). Dari kajian pengembangan visi dan tujuan-tujuan sekolah seperti yang digambarkan di atas, jelaslah bahwa visi yang dikembangkan di SMU Negeri 1 Ubud telah mencerminkan perwujudan fungsi dan tujuan-tujuan pendidikan nasional, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, 126 dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Pengembangan visi seperti ini juga menunjukkan bahwa tujuan pendidikan dalam rangka pembentukan manusia modern yang beradab tidaklah semata-mata diorientasikan untuk mengejar penguasaan iptek seperti dalam adagium iniellecius quaerrens ftdem, atau sebaliknya, hanya berorientasi pada peningkatan keimanan semata seperti dalam adagium fides quaerren$ inleltecium. Pengembangan visi di atas jelas menunjukkan suatu konlinum dari kedua adagium tersebut dengan tetap memberikan tekanan pada peningkatan e keimanan sebagai dasar yang pertama dan utama dalam pengembangan penguasaan iptek berbasis budaya lokal, nasional, dan global secara seimbang dan demokratis (Somantri, 2001). Pemberian penekanan pada peningkatan keimanan sebagai yang pertama dan utama, baru kemudian diikuti dengan pengembangan penguasaan iptek seperti ini, sejalan dengan pandangan kosmologis orang Bali yang berstruktur rwa bhimda yang menempatkan status buana agung (keimanan atau crada dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca) sebagai tempat utama (hulu) dalam kehidupan dan status buana alit (penguasaan iptek) sebagai tempat leben, tetapi di antara keduanya berfungsi komplementer dan tidak saling meniadakan. C. Pariwisata di Kecamatan Ubud Kegiatan pariwisata di wilayah Kecamatan Ubud dan sekitarnya telah berlangsung sejak tahun 1920 sampai tahun 1930-an. Pada masa itu salah seorang punggawa Ubud yang berasal dari keluarga bangsawan, Cokorda Gede Raka Sukawati, yang menunjukkan kesetiaannya kepada raja Gianyar dan menjadi anggota Volksraad di Batavia banyak mengundang seniman-seniman dunia untuk mengembangkan Ubud menjadi desa pusat pengembangan kebudayaan dan kesenian Bali. Ini memungkinkan, di samping karena daerah Ubud sejak jaman perunggu di Bali memang sudah terkenal dengan perkembangan kebudayaan dan keseniannya, Cokorda sendiri adalah bangsawan yang memiliki interes dan komitmen yang tinggi untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian Bati. Tak kurang seniman seni rupa dunia seperti Walter Spies datang dan tinggal menetap di Ubud untuk mengembangkan seni rupa di Ubud. Kondisi perkembangan seperti ini membuat Ubud menjadi semakin terkenal sebagai pusat kesenian di Bali. Walau beberapa perubahan telah terjadi pada gaya dan objek-objek lukisan dan hasil karya patung, kondisi ini sama sekali tidak meninggalkan nilai-nilai seni tradisional seniman-seniman Ubud yang selalu mengintegrasikan dan 127 mempersembahkan karya seni mereka untuk persembahan atau yadnya kepada Tuhan sebagai sumber kesenian (Ciwanaiamja). Sejalan dengan perkembangan seni lukis dan seni pahat di Ubud, jenis-jenis kesenian yang lain pun turut berkembang pesat di Ubud. Di Desa Peliatan Ubud, misalnya, sangat berkembang seni gamelan, seni tari yang terkenal dengan legong keratonnya, dan seni drama. Pada tahun 1931, group musik tradisional dan legong dari desa ini, yang dipimpin oleh musisi legendaris Anak Agung Gede Mandera telah diundang oleh pemerintah Perancis untuk melakukan eksibisi di kota Paris. Perkembangan seni musik Bali di Desa Peliatan inilah yang menarik seniman musik Kunst untuk menulis tentang musik Bali yang dipublikasikan tahun 1925. Karya Kunst inilah yang menarik Spies juga untuk belajar seni musik Bali dan mengantarkannya menjadi direktur orkestra kesultanan Yogyakarta yang melanglang buana ke Eropa. Tidak itu saja, di Desa Mas, Ubud juga, misalnya, berkembang seni kerajinan membuat wayang dari bahan kulit dan seni kerajinan kayu yang berkembang hingga sekarang. Kedua jenis seni kerajinan ini berkembang pesat di tangan-tangan para keluarga brahmana di Desa Mas yang merupakan keturunan dari Dang Hyang Nirarta (Pendeta Hindu-Budha dari Majapahit) dan diturunkan kepada para siswa-siswanya Tidak mengherankan jika hasilhasil karya seni mereka bernafaskan jiwa religius yang bermutu tinggi (Susilawati, 2002; Anonim, tt.b). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata di Ubud diawali oleh perkembangan keseniannya yang disertai pula dengan adanya interaksi antara seniman-seniman lokal dan seniman-seniman barat yang difasilitasi oleh keluarga puri Ubud. Interaksi antara seniman-seniman lokal dan barat ini ternyata mampu mengembangkan kegairahan seniman-seniman lokal di Ubud untuk mengembangkan dan memadukan hasil-hasil karya seninya, sampai bahkan melahirkan jenis kualitas seni kontemporer (Bandem, 2005; Katja, 2005). Tidak saja yang berkembang kemudian adalah seni rupa dan seni pahatnya saja, tetapi berkembang pula bidang-bidang seni yang lain, antara lain seni inusik atau gamelan, seni tari, seni pertunjukan (drama, drama tari, iopeng, arja, wayang kulit, wayang wong, gambuh, joged bumbung, dan lain-lain), seni sastra, dan seni kerajinan atau seni kriya. Di samping itu, interaksi ini pulalah yang menghasilkan seni wisata yang turut mendukung kebutuhan pariwisata akan nilai-nilai keindahan. Tetapi, walaupun perkembangan terjadi dalam kesenian di Bali (baik yang menyangkut bidang keseniannya, objeknya, medianya, alirannya, maupun gayanya), orang Bah tetap dapat membedakan hasil karya seninya menjadi dua klasifikasi, yaitu seni yang dipersembahkan untuk 128 kepentingan yadnya (upacara ritual) dan seni yang dikembangkan untuk pemuasan rasa estetis manusia. Seni yang dipersembahkan untuk kepentingan upacara ritual ini umumnya memiliki nilai mistis dan religius dan tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, seni yang ditunjukkan untuk kepentingan manusia, termasuk seni wisata, di samping memiliki nilainilai keindahan, juga memiliki nilai-nilai prestise dan komersial, dan, karena itu, cenderung mengalami perubahan. Pembedaan hasil karya seni ini juga menunjukkan struktur dalam, struktur pemikiran, masyarakat Bali yang menekankan adanya kekuatan m-a-bhinneda antara kekuatan buana alil dan buana agung (Bandem, 2005). Tidak mengherankan, karena itu, jika aktivitas pariwisata di Ubud khususnya dan di Bali pada umumnya terus berkembang seiring dengan perkembangan yang perlahan tapi pasti. Pada tahun 1960-an dan 1970-an mulailah masuk industri perhotelan dan caiering ikut terlibat dalam aktivitas pariwisata dengan mulai beroperasinya beberapa hotel / penginapan di wilayah Ubud, Sanur yang terkenal dengan Hotel Bali Beachnya, dan Legian Kuta. Tahun 1970-an inilah yang dinilai sebagai awal booming pariwisata Ubud pada khususnya dan di Bali pada umumnya yang didukung oleh mulai dibukanya Bandar Udara Ngurah Rai sebagai bandara internasional (Anonim, tt.a). Sejak tahun 1980-an hingga kini dinilai sebagai perkembangan pariwisata yang bersifat massa di Bali. Dewasa ini jumlah kunjungan wisata ke Bali pada umumnya dan ke Ubud pada khususnya dinilai masyarakat menunjukkan peningkatan walau ada pengaruh global (isu terorisme, perang Irak, dan isu SARS) terhadap tingkat kunjungan wisatawan, tei-utama dari mancanegara. Berikut ditunjukkan data kunjungan wisatawan ke Bali dalam lima tahun terakhir (1999-2003) yang mengalami fluktuasi pasang surut setiap tahunnya. Tabel 13: Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Domestik ke Bali dari Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2003 (dalam Ribuan) j NO 1 1 i I2 ! 4 i J i s 2002 2003 1.380,800 5.489,000 j i ! .406,700 1.218,100 1.033,800 231,882 774,455 ! 915,455 383,940 888,255 212,900 312,700 ; 351,500 353T700" 4137800" 440,909 78,806 i 277,848 296,160 261,086 2.951,503 2.251,900 2.616,941 1999 1 .. TAHUN 2001 KLASIFIKASI Mancanegara (i n Ciassified Hotel) Mancanegara (Nonclassified Hotel) Domenstik (in Ciassified Hotel) Domestik (Nonclassified Hotel) JUMLAH 2.266,491 2000 2.654.961 j Sumber: Badan Pusat Statistik Bali, 2004 Implikasi kunjungan wisatawan yang bersifat massa ini memberikan dampaknya yang semakin luas dirasakan masyarakat, tidak saja terhadap perkembangan kesenian di 129 Ubud, tetapi terhadap aspek-aspek kehidupan yang lain baik dari dimensi sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan kehidupan religius masyarakat. Ubud diakui masyarakat, budayawan, dan ilmuwan (peneliti) telah berkembang menjadi daerah tujuan wisata di Bah yang bercorak wisata budaya. Sejarah perkembangan aktivitas pariwisata di Ubud seperti dijelaskan di atas menunjukkan fenomena budaya dimaksud (Anonim, tt.a). Ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi Bali dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1974 yang menetapkan jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bah adalah pariwisata budaya (Ahrnad Baso, 20G2). Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dikembangkan bertumpu pada motivasi pengembangan berbagai aspek luhur kebudayaan (Geriya, 1996), seperti: pemanfaatan, penataan, dan pelestarian ekosistem lingkungan alam; pelestarian dan pengembangan berbagai karya seni; pelestarian dan pengembangan nilai-nilai dan sistem sosial budaya; penguatan kehidupan religi; peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sektor pendidikan; serta penataan, penyelarasan, dan pengembangan kegiatan politik dan ekonomi. Sebagai objek wisata, desa-desa di Ubud sebagian menjadi desa penunjang pariwisata, yaitu: Desa Kedewatan, Desa Sayan, dan Desa Singakerta. Sebagian lagi merupakan desa kunjungan wisata, yaitu Desa Mas dan Lodtunduh; sedangkan Desa Ubud, Petulu dan Peliatan adalah sebagai desa-desa domisili wisatawan. Klasifikasi ini memang tidaklah begitu ketat, tampaknya, terutama untuk desa penunjang pariwisata. Hal ini karena di Desa Kedewatan dan Sayan, misalnya, telah mulai berdiri beberapa hotel/ penginapan dan beberapa wilayalmya juga telah cukup rutin mendapat kunjungan wisatawan. Begitu pula, Desa Singakerta sebagian wilayahnya telah mendapat kunjungan wisatawan, yang semua ini tampaknya akan berkembang terus. Adanya klasifikasi ini tentu dapat diketahui bahwa intensitas interaksi wisatawan, baik wisatawan nasional (domestik) maupun wisatawan manca negara dengan penduduk atau masyarakat Ubud cukup bervariasi. Di sini intensitas interaksi yang paling tinggi terjadi tentunya pada masyarakat di desa-desa Ubud, Peliatan, dan Petulu, diikuti, kemudian, oleh masyarakat di desa-desa Lontunduh dan Mas, dan akhirnya masyarakat di desa-desa Kedewatan, Sayan, dan Singakerta. Kondisi ini membawa dampak yang beragam pula pada aktivitas dan kualitas kehidupan masyarakat Ubud secara keseluruhan dalam kaitannya dengan aktivitas pariwisata. Secara umum, wisatawan yang datang dan atau pernah tinggal di Ubud mencakup baik wisatawan yang terorganisir {organized mass tourist atau inslilulionalized tourisi) maupun wisatawan individual (the explorer or the drtfier) (Geriya, 1996). Hubungan 130 antara masyarakat dengan wisatawan tipe pertama ini umumnya lebih bersilat formal dan mereka umumnya memanfaatkan jasa-jasa pariwisata yang bersifat formal pula, seperti penggunaan biro peijalanan, gutde resmi, hotel-hotel berbintang internasional, dan sejenisnya, seliingga hubungan mereka dengan masyarakat pada umumnya bersifat tatap muka selintas. Berbeda halnya dengan tipe wisatawan individual yang jumlahnya lebih besar di Ubud, interaksi mereka dengan masyarakat pada umumnya sangat menyusup dan cukup mendalam, karena mereka berinteraksi langsung dengan masyarakat. Mereka terutama tinggal di rumah-rumah penginapw/homesiay, bungalow, bahkan di rumah-rumah penduduk. Tidak mengherankan jika ada wisatawan asing yang tinggal di Ubud telah fasih berbahasa Indonesia atau bahasa Bali, ikut bekerja di sektor industri pariwisata, berkeluarga (kawin mawin) dengan penduduk setempat, menjadi anggota penduduk setempat, belajar tentang kehidupan sosial budaya dan kesenian di Ubud, menjadi seniman di Ubud, ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, dan sejenisnva. Dewasa ini bahkan telah berdiri sekolah TK internasional di Ubud yang menampung putra-putri warga asing dan warga campuran yang menetap lama di Ubud. Dapat dikatakan bahwa perkembangan pariwisata di Ubud dengan karakteristik yang unik seperti di atas berkembang menjadi pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan. Dikatakan demikian karena dalam perkembangan pariwisata di Ubud, baik perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, pengelolaan, dan pengawasannya dapat dilakukan oleh masyarakat desa adat dengan peranan puri Ubud sebagai cenier ofexcellencenya.. Peranan individu dan keluarga dalam menggerakkan perkembangan pariwisata di Ubud juga cukup dominan sejak awal perkembangannya. Dimotori oleh individu-individu dan keluarga-keluarga seniman di Ubud, mereka bekerja semata-mata demi meningkatkan kualitas karya mereka dan untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berimplikasi pada peningkatan status sosial mereka di masyarakat dan karya-karya mereka juga makin banyak mengundang wisatawan datang ke Ubud. Di saat perkembangan pariwisata di Ubud mengalami booming awal di tahun 1970-an dan 1980-an mulailah generasi muda Ubud mengembangkan kreativitas mereka untuk memajukan industri pariwisata di Ubud. Banyak generasi muda yang beralih bekeija dari sektor pertanian ke sektor pariwisata yang lebih menjanjikan masa depan. Mereka mulai mengembangkan usaha-usaha pariwisata secara individual dan keluarga, seperti mendirikan arishop dan toko-toko souvenir, menyediakan rumah penginapan dan hotel bagi wisatawan, membentuk kelompok-kelompok atau seka seni, membangun restoran, 131 cafe, dan bar; mengembangkan seni kerajinan; mengembangkan usaha cargo; memberikan layanan guide freelance, menjadi tenaga-tenaga harian di rumah-rumah penginapan, restoran, dan arishop, dan sejenisnya. Semua ini dapat berkembang tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi hubungan individual yang kuat dan mendalam antara masyarakat dengan wisatawan-wisatawan kelas individual yang sebagian juga merupakan kelas-kelas pekerja Para wisatawan mendapat pelayanan wisata, pengalaman keindahan, dan ketakjuban yang memang mereka butuhkan datang ke Ubud, sementara masyarakat memperoleh materi dan pengembangan wawasan sosial budaya dan pengetahuan bisnis pariwisata modern yang rasional dari wisatawan (Geriya, 1996). Untuk menghindari terjadinya konflik di antara sesama individu atau antar keluarga dalam masyarakat serta konflik antara individu dan keluarga dengan para wisatawan dalam pengembangan aktivitas pariwisata di Ubud, peranan desa dinas, desa adat, dan kelompok-kelompok sosial budaya (seka) di Ubud juga cukup penting dalam memajukan perkembangan pariwisata di Ubud. Peranan pemerintahan dan desa dinas sangat penting dalam menyesuaikan kebijakan-kebijakannya agar tidak menyimpang dengan kepentingan masyarakat adat, walau tidak seluruhnya dapat dilakukan terutama yang menyangkut kebijakan penggunaan lahan tanah sebagai daya dukung lingkungan terhadap pariwisata. Kebijakan yang penting adalah adanya kesepakatan umum masyarakat Ubud untuk tidak menjual tanah miliknya kepada orang asing melainkan cukup disewakan saja, sehingga pariwisata di Ubud dapat dikembangkan dari, oleh, dan untuk kepentingan masyarakat Ubud pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Desa adat, kemudian, dengan dimotori oleh keluarga puri yang dominan menjadi tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan tokoh adat mengembangkan awig-awig adai (peraturan adat) secara tertulis untuk dijadikan dasar bagi pengaturan desa adat di masingmasing desa adat di Ubud, termasuk dalam penataan pengembangan pariwisata yang telah masuk ke sektor-sektor kehidupan dan wilayah-wilayah kekuasaan desa adat di Ubud. Pengembangan awig-awig adai ini sepenuhnya berlandaskan konsep pemikiran keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam penerapan atau perwujudan konsepkonsep dan nilai-nilai iri hita karana, walau masih ada saja pelanggaran terjadi. Menguatkan pelaksanaan awig-awig adai ini dinilai tidak saja mampu mendinamisasi perkembangan pariwisata di Ubud pada umumnya melalui dinamisasi sistem sosial berbasis seka dengan azas kekeluargaan dan dinamisasi nilai-nilai kebudayaan dan seni dalam meningkatkan kemampuan kreativitas (manajemen, desain, alat dan bahan, media, bentuk, gaya/siyle, dan aliran), tetapi juga mampu mengontrol dan 132 mengeliminir atau meminimalisasi ketegangan-ketegangan atau konflik yang bisa muncul. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipegang masyarakat dalam mengembangkan pariwisata di Ubud sesuai dengan jiwa awig-awig desa adai, antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, pengembangan pariwisata diabdikan untuk kepentingan masyarakat desa adat Ubud, dan bukan sebaliknya, desa adat dijual untuk kepentingan pariwisata. Kedua, pariwisata dikembangkan bertujuan makin meningkatkan kemampuan warga desa adat untuk melakukan yadnya {panca yadnya: dewa yadnya, rsi yadnya, piira yadnya, manusa yadnya, dan butha yadnya) dan tidak semata-mata untuk mengejar kepemilikan material. Ketiga, pariwisata dikembangkan di Ubud dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat Ubud (pawongan) dengan karakter kehidupan sosial budayanya yang kental dengan mengoptimalkan seluruh potensi locai genius yang dimiliki. Dalam hal ini lingkungan alam dan kehidupan sosial budaya serta kreativitas berkeseniaa masyarakat di Ubud memang sangat potensial dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan pembangunan bidang pariwisata. Keempat, aktivitas program pariwisata di Ubud relevan dengan upaya penataan dan pengembangan lingkungan palemahan dalam upaya menjadikan lingkungan Bali pada umumnya, dan wilayah Ubud pada khususnya, sebagai pulau taman yang dalam eksploitasi dan pengembangannya harus tetap memperhatikan kontinuitas kelestarian daya dukung lingkungan dan mengupayakan penataan lingkungan yang bersih, aman, lestari, dan indah (BALI). Walau dalam realitasnya penataan ruang atau lingkungan di Ubud telah mulai sesak dan sering menimbulkan kemacetan lalu lintas, namun diakui wisatawan bahwa lingkungan di Ubud secara umum masih cukup baik dan terbebas dari berbagai bentuk polusi. Aktivitas kelompok-kelompok atau seka kesenian juga sangat besar peranannya dalam memajukan pariwisata di Ubud. Munculnya seka-seka gong kebyar, kidung (pesanlian), arja, angklung, selonding, joged bumbung, lari legong kraion, tari kecak, dan seka baleganjur tidak saja ikut meramaikan dan menyemarakkan kancah perkembangan seni wisata yang lain dari yang sudah ada dan berkembang di Ubud yang sebagian untuk kepentingan komoditi pariwisata di Ubud pada khususnya, tetapi juga menjadi basis bagi perkembangan kesenian Bali pada umumnya yang memang menjadi karakter utama masyarakat Hindu Bali yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan berkesenian. Dengan kemampuan adaptasi budaya masyarakat Ubud terhadap tuntutan perkembangan pariwisata seperti ini, tidak saja pariwisata kemudian berdampak positif kepada masyarakat Ubud, tetapi masyarakat Ubud sendiri sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari dunia pariwisata. Simpulan ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh 133 McKean (1973) yang merumuskan bahwa hubungan atau interaksi orang Bali dengan wisatawan didasarkan atas prinsip saling mengharapkan. Mantra, sebagai dikutip oleh Erawan (1993:292-2931) juga senada menyimpulkan sebagai berikut. A few points I ha t can be drawn out in the frame of interaclion between culture and tourism are: l) between culiure and tourism ihere has been developing a dynamic interacting patlem; 2) and yet, its dynamism does not terminate only horizontally, but also moves verticaliy in the sense that culture is able to increase tourism and tourism is also able to develop culture; and 3) in the vertical dynamism of culture, it is obviously visible the potency of the culture in the form offlexible, adaptibility, and creativity without losing its own identity. Tetapi, pariwisata budaya di Ubud juga tidak luput dari berbagai masalah. Masih ada terjadi hingga kini keluhan wisatawan yang melaporkan ke lembaga informasi pariwisata tentang adanya kasus-kasus pelayanan yang tidak optimal, gangguan keamanan, gangguan terhadap privacy, gangguan kenyamanan, masalah kebersihan dan kesehatan pada fasilitas-fasilitas umum, masalah-masalah disiplin waktu dan kerja, serta belum adanya aturan-aturan yang menjamin seluruh kepentingan wisatawan. Terhadap masalahmasalah ini tampaknya alasan kurangnya pemahaman masyarakat lokal secara komprehensif terhadap kepentingan wisatawan dan nilai-nilai budaya global serta alasan perbedaan beberapa segi nilai-nilai dan sikap sosial dan budaya antara masyarakat lokal dan wisatawan menjadi kendalanya. Di samping itu, masyarakat sendiri juga menerima beberapa dampak negatif dari maraknya aktivitas pariwisata di Ubud. Beberapa masalah yang timbul antara lain adalah sebagai berikut. 1) Adanya kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, karena perbedaan tingkat pendapatan masyarakat antara masyarakat berpenghasilan tertinggi dan terendah dan antar desa-desa di Ubud yang tidak sama tingkat perkembangan pariwisatanya. 2) Berpengaruhnya penerapan sistem ekonomi berbasis kapital, menyebabkan para pemilik kapital lebih memperoleh pendapatan yang setinggi-tingginya dalam usaha bisnis wisatanya, sementara para seniman, pengrajin, petani, dan masyarakat pada umumnya yang memproduksi barang-barang dan jasa untuk kepentingan wisatawan hanya memperoleh pendapatan yang rendah. 3) Mulai munculnya sikap materialistis yang menempatkan kepentingan ekonomi lebih besar dari kepentingan sosial dan agama, termasuk munculnya sikap pamer terhadap pemilikan barang-barang mewah serta menguatnya pola sikap dan perilaku konsumtif tingkat tinggi. 4) Munculnya sikap dan perilaku pada sebagian masyarakat yang kurang menghargai arti penting pendidikan formal sekolah karena dinilai tidak menjamin status sosial ekonomi. 5) Menyempitnya lahan-lahan pertanian dan lahan-lahan yang berfungsi sebagai konservasi atau perlindunga 134 lingkungan yang digantikan oleh kepentingan pengembangan aktivitas industri wisata. 6) Mulai adanya perubahan sikap masyarakat yang lebih menonjolkan arti penting nilai-nilai dan aktivitas kebudayaan dan kesenian pada kegiatau-kegitan ritual keagamaan yang semestinya lebih mengutamakan aspek nilai-nilai religiusnya untuk bisa ditunjukkan pula bagi kepentingan perkembangan pariwisata di Ubud. 7) Berkembangnya fasilitas dan sarana-sarana industri wisata menyebabkan tampak daya dukung lahan dan jalan-jalan terasa semakin padat atau sesak dan ramai. Pada saat-saat tertentu dimana kunjungan wisatawan meningkat, keadaan lingkungan terasa amat menyesakkan. 8) Pada sebagian kalangan generasi muda, mulai muncul pula kurangnya sikap apresiasi mereka terhadap produk budaya dan kesenian lokal dan lebih mengikuti perkembangan mode-mode budaya dan seni kontemporer yang bersifat global. Beberapa dampak negatif ini dapat terjadi karena masyarakat juga turut menyerap pola-pola hubungan sosial, pengetahuan, dan nilainilai serta sikap dan perilaku yang berbasis nilai-nilai budaya wisatawan melalui proses penerimaan dari yang lebih bersifat imitasi sampai pada proses akomodasi dan akulturasi budaya yang berbasis hvalgenius (Cainilleri, 1986; Gama, 1996; Wulf, 2002). D. Keyakinan, Nilai-nilai, dan Sikap Guru terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat dan Budaya Bali dalam Proses Perubahan Sosial Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pendidik di lingkungan SMU Negeri I Ubud memiliki persepsi yang sama bahwa dalam proses perkembangan sosial budaya masyarakat Bali dewasa ini perlu ditegakkan konsep tentang ajeg Bali. Secara kebetulan memang seluruh guru di SMU Negeri 1 Ubud merupakan orang Bali. Secara harfiah ajeg Bali didefinisikan sebagai masyarakat dan budaya Bali yang selalu lestari atau ajeg. Sedangkan makna yang dimaksudkan adalah sebagai suatu gerakan moral yang perlu diperjuangkan dalam rangka mempertahankan karakteristik kehidupan religius, kehidupan sosial, dan kehidupan berbudaya masyarakat Bali yang lestari. Tetapi, ini tidak berarti lepas dari upaya dinamika masyarakat untuk selalu dapat maju setara dengan kemajuan masyarakat lain dengan tetap berlandaskan nilai-nilai dan pola perilaku masyarakat Bali yang religius, mengutamakan kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan, memajukan kesenian dau bahasa Bali. selaras dengan alam, penuh kedamaian (chanlt), serta mengejar keseimbangan kesejahteraan sekala dan niskala (moksariham jagadhita ya ca ili dharma). Pemberian arti dan makna pada konsep ajeg Bali seperti ini tampaknya relevan dengan konsep pelestarian budaya Bali yang diajukan oleh Widja (1993), Bateson (1973), 135 McKean (1973) dan Dube (1980). Dalam batasan makna seperti ini, ajeg Bali menuntut adanya nilai-nilai fundamental yang harus dipertahankan dalam rangka tetap ajegaya. jati diri masyarakat, tetapi sekaligus dengan nilai-nilai fundamental itu memberikan kesempatan untuk menjadikan nilai-nilai pragmatisnya menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Dalam bahasa Widja (1993), pelestarian budaya menuntut pengembangan upaya untuk tidak lepas dari akar budaya yang secara dialektis juga mampu mendinamisasikan budaya (unsur-unsur budaya) agar mampu tetap seirama dengan derap kehidupan pendukungnya yang akan selalu mengalami perubahan sebagai konsekuensi tantangan jaman Pandangan ini memperkuat Bateson (1973) yang menyatakan bahwa "mol ion i\ e.s sen itu t to batunce". Lebih lanjut dikatakan: "this lasi point give us a parlia/ answer to the qutstion of why the MK'ieiy not only contirtues to function bu/ funcltons rapidly and busi/v'. Oleh McKean (1973) pengertian pelestarian budaya seperti ini memiliki sekaligus pengertian yang simultan antara usaha konservasi dan reformasi budaya: "...the re i s u (.stmullaneous) izndeticy towards vonservation as well as towards changc. a Irend towurds rzsiorutum and rejbrmation as well as towards pregress and modernizahon'\ Dari pandangan di atas ada beberapa nilai dasar yang tampaknya bisa menjadi core vuluts yang disepakati guru yang mencerminkan nilai dan sikap sosial budaya masyarakat Bali yang perlu terus dipertahankan. Pertama dan paling utama, pada umumnya guru-guru menghendaki bahwa betapapun kemajuan masyarakat Bali dalam proses modernisasi masyarakat yang menurut penilaian guru sebagian sudah cendemng meninggalkan nilai-nilai budaya Bali yang luhur, namun pentingnya mempertahankan nilai, sikap, dan praktik religius itu adalah mutlak hukumnya. Beberapa guru menilai memang ada kecenderungan di Bali, terutama di beberapa pusat pengembangan pariwisata dan di kota besar, orang Bali mulai kelihatan lebih materialistik. Isu lain yang dinilai guru makin memperteguh perlunya penanaman dan pembinaan nilai-nilai religius yang bersumber pada nilai-nilai ajaran Hindu Bali adalah adanya kecenderungan pula bahwa sebagian masyarakat Bali dewasa ini telah berubah keyakinan dan praktik agamanya dan keyakinan/kepercayaan serta pelaksanaan praktik beribadah yang diyakini sesuai dengan ajaran Hindu Bah bergeser kepada keyakinan Hindu yang cenderung universal atau dicap kena pengaruh India, dan bahkan ada yang pindah agama seperti ke agama Kristen dan Budha. Terkait dengan isu ini memang tidak ada keseragaman pandangan guru. Kelompok guru yang cenderung Balisentris menilai perubahan keyakinan, sikap, dan praktik ritual agama seperti di atas, apalagi terjadi 136 perpindahan agama, tetap saja merupakan penyimpangan dari akar nilai-nilai religius Hindu Bali, karena kegagalan memahami, menghayati, dan memaknai ajaran Hindu Bali itu sendiri secara utuh. Bagi guru-guru kelompok ini, meyakini, mempercayai, menyikapi dan mempraktikkan ajaran-ajaran religi Hindu di Bali itu tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan dan karakteristik sosial budaya yang hidup dan berketnbang dalam konteks sosio budaya masyarakat Bali. Jadi agama dan kebudayaan itu tidak bisa dipisah-pisahkan dalam praktiknya, walau dapat dibedakan secara kognitif. Menurut kelompok ini, hukum agama tidak bisa dipisalikan dari hukum adat yang berlaku. Di sini hukum agama melandasi hukum adat, dan karena itu, nilai-nilainya menjiwai hukum adat. Sedangkan hukum adai mewujudkan hukum-hukum agama dalam praktik keliidupan sehari-hari di masyarakat yang berbudaya dengan prinsip desa, kala patra. Persandingan hukum agama dan hukum adat ini dapat teijadi karena karakteristik perkembangan agama Hindu Bali itu sendiri merupakan integrasi atau sinkritisme dari pengaruh India, Cina, Hindu-Jawa (Hindu-Budha), dan kepercayaan masyarakat lokal yang tumbuh berkembang dengan kekuatan lucui genius yang memberikan karakteristik yang unik pada etnik Bali dengan agama Hindunya. Pemikiran ini sejalan dengan penggunaan konsep-konsep dalam tradisi Bali yang dikembangkan dari prinsip-prinsip desa, kala, patra, yaitu konsep catur dresta, Iri premana kala, dan calur keluh. Semua konsep di atas dalam pelaksanaannya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Inilah yang mendasari secara utuh prinsip kehidupan religi masyarakat etnik Bali yang beragama Hindu dalam kaitannya dengan integrasi antara tradisi agama dengan tradisi adat. (Dharmayudha dan Cantika, 1991: 4041). Kelompok guru ini menghendaki bahwa dalam pendidikan agama di Bali, para siswa harus diberikan pemahaman, nilai-nilai, pembinaan dan pengembangan sikap, dan praktik yang tidak melepaskan antara ajaran kaidah-kaidah talwa, etika/susila, dan ritual agama dengan pendidikan sosial dan moral budaya Bali yang unik. Ini tidak berarti bahwa siswa akan belajar agama, kehidupan sosial, dan budaya yang statis. Pembelajaran konsep dan nilai-nilai iri hila ha rana baik dari dimensi ajaran agama maupun pandangan budaya yang disesuaikan dengan prinsip desa. kala, pairu diyakini membelikan dimensi ruang gerak yang tetap dinamis kepada siswa. Sementara itu, kelompok guru yang lain, yang umumnya golongan muda yang lebih rasional, modem, dan moderat tetapi tidak cukup berpengaruh, berpandangan bahwa penanaman dan pembinaan nilai-nilai agama kepada siswa sangatlah penting. Tetapi, 137 pembelajaran agama Hindu tidaklah harus bersifat Balisentris. Pembelajaran agama hendaklah lebih rasional dengan menekankan unsur tatwa, susila, dan upacara yang lebih bersifat universal dari pada menekankan unsur ritual Bali yang cenderung bersifat Balisentris seperti yang sekarang terjadi. Mereka umumnya menghendaki upaya pemurnian nilai-nilai agama Hindu yang bersumber pada Weda yang diyakini mengandung nilai-nilai yang universal tersebut. Pandangan seperti irti tidak menunjukkan bahwa kelompok guru ini tidak setuju dengan konsep ajeg Bali, melainkan mereka menunjukkan lebih moderat dalam pandangan-pandangannya untuk menuju Bali Hindu yang lebih modern dan universal. Mereka tidak menolak praktik-praktik ritual agama yang bersifat Balisentris dengan mempertahankan tradisi-tradisi adat setempat. Tetapi, mereka juga tidak menolak adanya praktik-praktik agama Hindu sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat lainnya. Dari pandangan guru-guru yang menempatkan nilai-nilai religius sebagai nilai ulama yang harus dilestarikan dalam perkembangan sosial dan budaya masyarakat Bali ini, jelaslah menunjukkan bahwa masyarakat Bali pada umumnya, melalui gerakan moral ajeg Balinya., masih menempatkan agama dan tradisi ritual mempunyai peranan yang sentral dalam perkembangan sosial budaya masyarakat Bali. Agama Hindu diyakini dapat mempunyai fungsi tidak saja sebagai pengontrol atau pengendali sikap dan perilaku manusia Bali dalam proses pembahan, tetapi juga diharapkan berfungsi menjadi landasan motivasi, pengokoh jati diri, dan pengarah tindakan untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat (Abraham, 1991; Geriya, 1991; Goldthorpe, 1992; Gorda, 1996; Lauer, 1989; Mantra, 1991; J. Menempatkan fungsi dan peran agama dalam keliidupan dan proses perubahan sosial budaya masyarakat seperti ini, menuntut interpretasi yang utuh terhadap fungsi dan peran agama dalam masyarakat. Pertama agama haruslah menjadi kekuatan atau energi yang memberikan etos kehidupan dan etos kerja dalam proses kehidupan masyarakat yang terus berubah. Dalam hubungan sepeiti ini, seperti kata Weber (Johnson,. 1994), agama dapat memberikan semangat asketisme dalam dunia (inner-world/y ascelicism). Inilah yang dalam pandangan Hindu Bali memunculkan konsep swadharma, laksu. dan konsep jengah sebagai konsep utama asketisme Hindu di samping konsep-konsep penunjang lainnya seperti yadnya. dharma, karma phalu, iri guna, dan catur purusa artha (Geriya, 1991; Gorda, 1996). Kedua, agama dapat juga menjadi pengokoh jati diri dan sebagai kontrol atau pengendali diri dalam perubahan sosial budaya masyarakat. Dalam fungsi ini 138 sesunggulmya agama berintegrasi dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat dan mencerminkan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Inilah yang menurut Durkheim, agama menjalankan fungsi sebagai dunia yang suci yang mempengaruhi kehidupan tiaptiap individu dalam masyarakat yang merasakan adanya kekuatan supernatural sebagai kekuasaan transenden yang timbul justru karena kehidupan kelompok itu sendiri. Fungsi ini juga menjelaskan bahwa agama dapat membawa manusia pada kehidupan bersama dan meyakinkan mereka ada dalam satu ikatan bersama (ikatan komunal) yang dapat memperkuat solidaritas sosial di antara anggota-anggota kelompok masyarakat (Coser, 1971: 139). Menyatunya agama dengan kehidupan masyarakat melalui penerapan ideologi Tri Hila Karuna di Bali menunjukkan fungsi agama Hindu pada tataran yang kedua ini. Ketiga, agama dapat berfungsi sebagai pengarah tujuan hidup. Menurut ajaran Hindu, tujuan hidup setiap manusia adalah tercapainya kebahagaian abadi baik di dunia maupun di sorga (moksarihum jagadhila ya ca iti dharma). Ini relevan juga dengan pandangan Weberdi atas tentang asketisme dalam dunia (Johnson, 1994). Dengan begitu, dapat ditafsirkan pula bahwa, dalam perkembangan keliidupan masyarakat Bali kini dalam pandangan para guru. fungsi agama juga dapat merevitalisasi nilai-nilai sosial budaya Bali yang luhur yang berbasis pada nilai-nilai agama Hindu dan tradisi masyarakat Bali. Fungsi ini penting dalam rangka tetap lestarinya masyarakat dan kebudayaan Bali dari waktu ke waktu. Nilai dasar kedua yang perlu dipertahankan dalam rangka ajeg Bali, menurut penilaian guru-guru, adalah nilai-nilai kekerabatan dan hubungan sosial bercorak Bali yang menekankan pentingnya nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan kegotongroyongan. Tujuan utama pelestarian nilai-nilai ini adalah agar tercipta sistem sosial dan hubungan sosial kemasyarakatan yang berintikan nilai-nilai luhur pawongan yang dijiwai oleh nilainilai parahyangan masyarakat Bali dengan menciptakan hubungan sosial yang harmonis antar individu, antar anggota keluarga, dan antar anggota krama desa dengan prinsipprinsip suka-duka. paras paras sarpanaya, segilik seguluk selunglung sebayaniaka, dan saltng asah, saling asih, saling asuh sebagai dasar penciptaan hubungan masyarakat luas yang harmonis. Nilai ajaran agama yang melandasi prinsip-prinsip ini adalah ajaran tentang lai twam asi yang menganggap bahwa seluruh makliluk itu sesungguhnya adalah satu (Aku adalah kamu, kamu adalah Aku) bersumber dari Brahman i Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ini tampaknya merupakan elemen dasar struktur masyarakat Bali yang sejalatt dengan teori Levi-Strauss (1967) tentang thmtniary siruciure bahwa sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial yang muncul, tiap-tiap unit sosial yang produktif 139 • mengembangkan saling ketergantungan satu sama lain dalam hubungan kerja sama dan persaingan di antara mereka (social inlerchange) yang bersifat resiprositas (reciprocHy). Dalam hubungan kekerabatan orang Bali pada umumnya, keluarga dibenfuk dengan hubungan perkawinan yang bersifat endogen dalam satu klen/trah keluarga. Ini bertujuan untuk melangsungkan keturunan keluarga dengan satu garis hubungan leluhur, sehingga dapat mengembangkan tradisi saling sumbah/sembaii. Hubungan perkawinan seperti uii tidak saja dapat mempertahankan dan mengembangkan solidaritas dan ikatan sosial secara horizontal, tetapi juga mengembangkan ikatan-ikatan sosial dan religius secara vertikal melalui keyakinan dan budaya saling sembah. Hubungan kekerabatan dalam unit yang paling kecil pada keluarga di Bali disebut kuren. Satu kuren adalah sebuah keluarga inti yang terdiri atas ayali, ibu, dan anakanaknya. Keluarga di Bah umumnya dibangun atas hukum patriakat dengan penelusuran garis keturunan bersifat patrilineal. Dengan sistem kekerabatan ini, ayah dan anak laki-laki memiliki kekuasaan, hak, dan kewajiban yang besar baik dalam tugas-tugas keluarga maupun dalam pelaksanaan tugas-tugas kewajiban kemasyarakatan (Atmadja, 1998). Dengan sistem kekerabatan seperti ini sesungguhnya, di Bali, kekuasaan kaum laki-laki sangat besar baik dalam fungsi sosial politik, kemasyarakatan, ekonomi, maupun dalam fungsi religius keluarga. Di sini peran perempuan tampak cenderung hanya di sektor domestik dalam keluarga dan perannya adalah sebagai pelengkap atau pendukung (Branson and Branson, 1988; Pusat Studi Wanita UNUD, 1996; Rahayu, 2005; Sudiatmaka, 2001). Hubungan kekerabatan di Bali tidak hanya terjadi pada lingkup kuren. Sebuah keluarga luas yang disebut pekurenan, yang terdiri dari sebuah keluarga inti senior dan beberapa keluarga inti dari garis keturunan laki-laki dengan diikat oleh satu sanggah (pura) keluarga dan tinggal dalam satu lingkungan pekurenan, juga masih menunjukkan hubungan kekeluargaan yang kuat baik yang mencakup kepentingan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, penyelesaian hukum keluarga, maupun yang paling utama adalah dalam pelaksanaan kewajiban ritual keluarga (Atmadja, 1998; Sudiasa, 1992). Nilai-nilai seperti di atas ternyata tetap terpelihara juga dalam hubungan kekerabatan yang lebih luas di Bali pada lingkungan keluarga yang disebut pada tingkat keluarga dadya. Walau suatu dadya tidak lagi tinggal dan hidup bersama pada satu lingkungan keluarga dan jarak tempat tinggal mereka bisa sangat berjauhan, tetapi ikatan keluarga dari beberapa lingkup pekurenan yang sudah cukup luas ini masih bisa dijalin 140 melalui berbagai jenis kegiatan upacara keluarga yang dilangsungkan di tin atau sanggah dadya. Kecenderungan yang tampak menguat yang memiliki nilai positif menurut penilaian guru-guru adalah, tumbuhnya kembali semangat kek< sudah cukup lama redup, yaitu kuatnya kembali keinginan keluarga-keluarga atj3ay(%qa; umumnya dan di daerah Ubud pada khususnya untuk mengenal sejarah asai usul keluarganya. Penelusuran keluarga menurut garis leluhur laki-laki ini membentuk satu ikatan trah/klen keluarga yang lebih kuat berdasarkan garis keturunan laki-lakinya. Muncullah upaya keluarga di Bali untuk mengetahui kawitan (asal mula) keluarganya. Dengan upaya ini muncullah kemudian kelompok-kelompok klen keluarga yang berbasis pada nama atau sebutan leluhur keluarganya, sepati kelompok keluarga atau warga Pasek Maha Goira Sanak Sapta Rsi, warga Cri Arya Kepakisan, warga Arya Wang Bang Pinatih, warga Brahmana Keniten, warga Brahmana Mus. warga Ksatria Dalem dan Tamanbali. warga Pande, warga Pulasari, warga Sangging, warga Bujangga Wesnawa, warga Kayuselem dan sebagainya (Soebandi, 1985). Nilai-nilai positif yang muncul dari upaya ini adalah menguatnya kembali ikatan kekerabatan keluarga yang paling luas di Bali, dan pada akhirnya juga mengingatkan persaudaraan seluruh orang etnik Bali, balikan sampai ke etnik Jawa Hindu (Soebandi, 1985). Nilai positif yang lain yang sangat kuat adalah meningkatnya kesadaran religi masyarakat Hindu pada umumnya. Bersatunya ikatan kekeluargaan pada tingkat trali atau klen keluarga luas dengan semangat religius berupa bhakti kepada leluhur atau kawitan dan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca sebagai asal mula (kawitan) semua manusia, menunjukkan bahwa semangat religius sesunggulmya juga dapat tumbuh dari keliidupan ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat yang menumbuhkan kesadaran sosial dengan semangat yang suci dani kesatuan dan keutuhan ikatan sosial dalam keluarga dan dalam masyarakat itu sendiri (Coser, 1971: 139; Durkheim,I965; Johnson, 1994). Hubungan sosial orang Bali tidak hanya terjadi pada lingkungan keluarga. Dalam hubungan kemasyarakatan, orang Bali etnik Bali merasa hidup dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut desa adat. Karakteristik kehidupan sosial religius desa pekraman di lingkungan desa adat yang konsep-konsep dan implementasi awalnya telah dibangun dan dikembangkan oleh Mpu Kuturan dengan mengintegrasikan konsep tri kahyangan desa sebagai kewajiban utama desa adat masih berkembang kuat hingga sekarang. Dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban desa adat baik dalam kaitannya dengan kahyangan 141 liga desa (tiga pura desa: Bale Agung, Puseh, dan Dalem), kewajiban sosial **' kemasyarakatan, maupun kewajiban terhadap palemahan (lingkungan) desa, krama desa (warga desa) melakukamiya dengan berdasar pada awig-awig desa adat yang pada intinya menerapkan ajaran lat (wam asi, nilai-nilai kekeluargaan, dan kegotongroyongan yang kuat. (Sudiasa, 1992) Begitulah kegiatan-kegiatan adat tersebut masih tumbuh dan berkembang hingga sekarang; tidak ada anggota krama desa adat yang berani melanggarnya karena takut mendapat sanksi sosial secara sekala dari warga desa adat, seperti: sanksi adat kasepekang atau dikucilkan atau dikeluarkan dari lingkungan desa adat dan takut mendapat sanksi secara niskala seperti kutukan leluhur dan mendapat hukum karma. Walau demikian, sesunggulmya kegiatan-kegiatan adat di atas tidaklah semata-mata mengajarkan agar setiap individu taat kepada kewajiban-kewajiban sosialnya, melainkan juga mengajarkan nilai-nilai yang lebih mendasar dan mendalam seperti rela berkorban, kebersamaan, rasa persatuan, saling menolong, mengutamakan kepentingan umum, dan semua itu dilandasi oleh rasa bhakli kepada leluhur, bhalara pelindung, dan kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca (Sudiasa, 1992: Atmadja, 1998). Kegiatan-kegiatan adat yang dilandasi nilai-nilai kekeluargaan seperti di atas tidak saja mengajarkan adanya hubungan sosial yang bersifat horizontal dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga hubungan sosial yang bersifat vertikal. Hubungan vertikal ini memunculkan adat sesana nganulin linggih, linggih nganuiin sesana (Sudiasa, 1992; Atmadja, 2005). Artinya, sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan fungsi dan peran sosialnya dalam keluarga atau masyarakat haruslah sesuai dengan kedudukan dan status sosialnya atau kedudukan dan status seseorang haruslah dapat membawakan peran sosialnya yang sesuai. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, sebagai dikutip oleh Dharmayudha dan Cantika (1991: 25) di sinilah sesungguhnya konsep bhinneka tunggal ika itu diimplementasikan Taf twam asi memberikan makna bahwa setiap makhluk dan manusia pada dasarnya adalah satu sehingga mereka hatus saling menghormati, menghargai, dan menolong satu sama lain, tetapi dalam melaksanakan fungsi dan peran sosialnya setiap individu dihargai perbedaan-perbedaannya. Jika diperhatikan nilai-nilai kekerabatan dan hubungan sosial yang hendak dilestarikan dalam rangka ajeg Bali di atas yang berlandaskan nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan dan kegotongroyongan, dan nilai-nilai religius, tampaknya hal mi tidak bisa dipisahkan dari struktur sosial dan budaya masyarakat Bali itu sendiri. Pendekatan 142 strukturalisme dapat digunakan untuk memahami hubungan-hubungan kekerabatan dan hubungan sosial yang hendak dibangun seperti tergambar di atas. Pada intinya, kehidupan sosial dalam kekerabatan orang Bah tidak saja dibangun atas dasar ikatan-ikatan dan solidaritas sosial secara horizontal sebagai wujud hubungan kekuatan buana alit, tetapi juga dibangun bersama-sama dengan ikatan-ikatan sosial yang bersifat vertikal melalui hubungan dengan leluhur dan kawitan sebagai wujud hubungan kekuatan buana alu dengan kekuatan buana agung, yaitu hubungan antara yang profan dan yang suci (Barker, 2004). Inilah juga yang tampaknya menyatukan makna kehidupan sosial budaya dengan kehidupan religi orang Bali, yang menurut ide Durkheim, dunia yang suci itu juga sesungguhnya tidak bisa dipisalikan dari kenyataan sosial, yaitu kehidupan kelompok sosial, dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol (totem) (Coser, 1971; Durkheim, 1965; Johnson, 1994). Nilai ketiga yang perlu dilestarikan dalam perkembangan kehidupan masyarakat Bali adalah kesatuan dan keselarasan manusia dengan alam karena sesunggultnya manusia dan alam itu adalah satu. Hal ini dapat diketahui dari adanya konsep penyatuan bhuwana alit dan bhuwana agung. Orang Bali Hindu meyakini bahwa manusia sebagai bhuwana alif adalah bagian dari bhuwana agung (alam semesta beserta isinya) yang universal. Keyakinan ini didasari oleh kesamaan unsur yang membentuk manusia dan alam semesta ini. Dalam ajaran Hindu Bali diyakini bahwa baik manusia {bhuwana alit) maupun alam semesta (bhuwana agung) berasal dari dua unsur besar yang bersifat dikotomis, yaitu unsur purusa dan prakerli. Unsur purusa dalam bhuwana agung adalah Paramaima atau Brahman sebagai kekuatan tunggal dan dinamis, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa; sedangkan unsur prakertia.ya adalah alam jagat raya tennasuk bumi tempat hidup manusia sebagai unsur kekuatan statis. Pada manusia, unsur purusa adalah Atman sebagai bagian dari Brahman yang menggerakkan dan mengaralikan hidup, dan unsui wadah fisik sebagai kekuatan statis. Keseluruhan unsur wadah atau fisik baik pada bhuwana agung maupun bhuwana alit dibangun dari unsur-unsur (Kinca maha bhuta, yang terdiri dari unsur-unsur zat padat (prthiwi), zat cair (upah), api atau panas (teja), udara atau (bayu), dan unsur zat ether (akasa). Dengan kesamaan unsur-unsur ini maka manusia tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan alam yang lebih besar, karena manusia itu sendiri merupakan bagian dari alam (Sukrata, 2002). Sifat hubungan manusia dengan alam seperti di atas dijadikan dasar dalam menata lingkungan dan sistem kehidupan sosial, berbudaya, dan kehidupan religius manusia dan 143 masyarakat Bali. Dengan analogi manik ring cecupu manusia dapat mengembangkan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang dengan alam. Di sini ada juga konotasi keselarasan hubungan antara isi dan bentuk atau wadahnya (Ahimsa-Putra, 2001 ). Dengan memperhatikan unsur dikotomis yang membentuk bhuwam alit dan hhuwuna agung, yakni unsur purusa dan prakerti, maka baik bhtcwana alit maupun bhuwana agung mengandung unsur sekala (yang tampak kasat mata/unsur prakerii) dan niskala (yang tidak tampak atau transenden/unsur purusa). Kedua unsur ini sesunggulmya meliki hukum kesepadanan. Karena itulah untuk dapat memahami dan menghayati dunia niskala, manusia Bali mengembangkan sistem simbolik dari dunia nyata (sekala) yang mengintegrasikan simbol fisik dengan sifat-sifatnya. Sebagai contoh, dunia Dewa yang merupakan dunia kebajikan dilambangkan dengan manusia yang tampan berwibawa dengan segala kelebihannya. Dunia raksasa sebagai dunia kejahatan, sebaliknya, dilambangkan dengan hewan dengan segala sifat buruknya. Implementasi konsep rwa bhineda ini dalam hubungan manusia dengan alam diwujudkan dalam beberapa keyakinan dan tradisi/adat. Sebagai contoh, dengan adanya konsep hulu-teben dikaitkan dengan konsep suci-leteh, maka orang Bali meyakini bahwa tempat yang di atas (hulu) adalah lebih suci dari tempat yang di bawah. Maka, orang Bah tidak akan menempatkan barang-barang yang kotor letaknya di atas manusia. Begitu pula membangun rumah, misalnya, tidak boleh lebih tinggi kedudukannya dari pada tempat suci. Orang Bali juga meyakini bahwa arah kaja (gunung) sebagai tempat yang tinggi mempakan tempat yang suci, sedangkan arah kelod (pasih/laut) merupakan tempat rendah yang berkonotasi leleh. Sehubungan dengan ini, dalam membangun tempat suci, misalnya, baik untuk sanggah ataupun pura, pembangunannya harus diletakkan di arah kaja (utara atau timur) dari bangunan untuk rumah tempat tinggal. Sebaliknya, kuburan desa adat sebagai tempat leleh umumnya di letakkan di arah kelod (arah ke laut/selatan). Begitulah konsep rwa bhineda ini digunakan untuk mengatur tala lingkungan baik dalam lingkungan keluarga, banjar/desa adat, lingkungan perkantoran atau perusahaan, dan sejenisnya. Tempat-tempat bangunan seperti ini tidak boleh ditukar tempatnya (Atmadja, 1996; 1997). Jika di langgar, diyakini, keluarga akan mendapat mara bahaya atau mala atau dalam bahasa lokalnya disebut pemalian. Hubungan manusia dengan alam juga diwujudkan oleh orang Bali Hindu dengan penghormatan dan syukur terhadap lingkungan yang telah memberi berkali kepada manusia. Penghormatan dan syukur ini dilakukan dengan mengadakan upacara untuk lingkungan. Karena itulah di Bali dikenal adanya upacara lumpek bubuh/iumpek uduh/ 144 tumpek wariga, tumpek kandang, tumpek landep, dan tumpek wayang. Di beberapa daerah di Bali balikan dikenal adanya upacara ngerarung bikul (mengusir tikus) yang berlaku di Desa Adat Julali (Atmadja, 1996) dan upacara ngaben bikul (pembakaran jazad tikus) berlaku di daerah Tabanan (Sanjaya, 1992). Hubungan manusia Bali yang harmonis dengan alam tidak hanya terjadi pada alam yang sekala (kasat mata) tetapi juga pada alam niskala. Di sini orang Bali umumnya meyakini bahwa alam semesta ini (bhuwana agung dan bhuwana aUl) terdiri dari tiga tingkatan atau loka sehingga disebut dengan iri loka. Pada bhuwana agung tiga tingkatan itu terdiri dari swah loka (dunia para dewa), bhwah loka (dunianya manusia), dan bhur loka (dunia alam gaib untuk makhluk-makhluk seperti jin, setan, wong samar, gandaruwa, para bhuta, binatang, dan makhluk-makhluk tingkatan rendah lainnya). Pada bhuwana alii, selanjutnya, dikenal adanya alam saiwam yang mempengaruhi sifat manusia bersikap dan berperilaku dewa (berbudi pekerti luhur), alam rajas yang dapat mempengaruhi manusia bersikap dan berperilaku seperti raksasa/iblis (egois, ambisius, sombong, serakah, kasar, pemarah, tamak, dan sejenisnya) dan alam lamas yang dapat mempengarulii perilaku manusia seperti binatang (pemalas, ingin yang enak dan gampang saja, pelantun, dan sejenisnya). Untuk terjadi keseimbangan alam yang harmonis di antara ketiga alam di atas, dan manusia dapat hidup secara harmonis pula dalam lingkungan alamnya, maka manusia berkewajiban menata lingkungan dan mengatur keseimbangan alam tei"sebut. Secara sekala, manusia Bali kemudian menata lingkungannya dalam berhubungan dengan ketiga tingkatan alam tersebut melalui konsep tri mandala. Maka lingkungan itu baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan yang lebih luas diatur ke dalam tiga lingkataii/mtfrtdWtf. Pertama liarus ada lingkungan yang merupakan area! parahyangan sebagai lingkungan yang suci tempat bersemayam para dewa dan roh leluhur yang telah suci, yaitu tempat bangunan suci seperti sanggah keluarga atau bangunan pura untuk desa yang umumnya letaknya di tempat yang tinggi atau di arah utara atau timur dalam tatanan lingkungan keluarga atau desa. Kedua merupakan areal untuk pawongan sebagai tempat tinggal manusia yang umumnya berada di titik pusat lingkungan. Dan ketiga merupakan areal palemahan sebagai lingkungan pendukung. Secara niskala, selajutnya, hubungan manusia dengan ketiga alam ini untuk dapat tejadi hubungan yang harmonis dengan alam dilakukan dengan berbagai bentuk dan tingkatan upacara yang pada dasarnya merupakan bagian dari panca yadnya (lima macam korban). Untuk hubungan manusia dengan alam para dewa dan roh leluhur/para Rsi yang 145 suci agar para dewa memberikan sinar suci, perlindungan, dan anugerah sifat-sifat kesucian, maka manusia perlu melakukan upacara yang disebut Dewa Yadnya dan Rsi Yadnya (korban suci kepada Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa, Bhatara pelindung, dan roh suci leluhur atau para Rsi). Untuk membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, di samping secara sekala manusia perlu membina komunikasi sesuai dengan status, fungsi, dan perannya dalam hubungan dan sistem sosial, manusia Bali juga melakukan upacara yadnya secara niskala yang disebut upacara manusa yadnya dalam bentuk upacara daur kehidupan (Atmadja, 19%). Akhirnya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan alam bawah (bhur loka) manusia juga melakukan upacara bhuta yadnya sebagai persembahan kepada para bhuta dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Tujuan upacara bhula yadnya ini pada dasarnya adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa agar para bhula tetap berada pada wilayah kehidupannya masing-masing dan tidak mengganggu keliidupan manusia serta memberikan persembahan kepada para bhuta agar mereka bersedia turut menjaga dan memelihara keseimbangan alam semesta sesuai dengan fungsi dan swadarmanya masing-masing. Dari pandangan kesatuan manusia dengan alam seperti di atas, jelas sekali bahwa manusia dan masyarakat Bali memandang hidup, masyarakat, dan kebudayaannya merupakan satu kesatuan sistem organis yang sistemik yang juga tidak dapat dipisalikan dari lingkungan alamnya, yang struktur-strukturnya hanya bermakna dalam relasi-relasi sistem yang diciptakan dalam pandangan yang saling melengkapi (komplementer) dari hubungan-hubungan hukum rwa bhineda: buana alit dan buana agung (Widja,1991). Jelaslah pula bahwa pandangan hidup masyarakat Bali juga merupakan pandangan hidup sistemik. Hal ini menekankan masalah hubungan dan bukannya pada entitias-entitas yang terpisah, dan melihat hubungan-hubungan ini sebagai sesuatu yang secara inheren bersifat dinamis. Kebudayaan Bali karena itu adalah kebudayaan yang berproses; bentuk dikailkan dengan proses, interelasi dengan interaksi, dan pertentangan-pertentangan disatukan melalui osilasi (Capra, 1998). Strukturalisme seperti ini dapat juga dikembalikan kepada pandangan LeviStrausss yang memandang proses-proses transformasi budaya selalu terjalin dalam hubungan relasi-relasi sistem yang terbetuk dari pasangan oposisi biner, tetapi yang justru saling melengkapi. Relasi-relasi sistem itu antara lain menciptakan relasi tesis dan antitesis (ada atas ada bawah; ada suci ada profan; ada kebajikan ada kejahatan, dan sebagainya), 146 relasi analogi (atas beranalogi dengan kesucian, alam kedewaan, kebajikan, dan laki-laki; sebaliknya, bawah beranalogi dengan kekotoran, alam raksasa dan binatang, dunia kejahatan, dan dunia perempuan), relasi kesepadanan yang menciptakan sistem simbol (para dewa sebagai simbol kebajikan disimbolkan dengan manusia laki-laki yang tampan dan gagali dengan segala kelebihan; sedangkan para raksasa sebagai simbol dunia kejahatan disimbolkan dengan wajah perempuan tua yang menyeramkan dan menakutkan dengan lidah yang menjulur mengeluarkan api, mata mendelik marah, dan susu yang besar bergantung), relasi perlindungan dalam hubungan "manik ring cecupu" (individu sebagai manik berlindung pada keluarga sebagai ceaipunyu. keluarga sebagai manik berlindung pada desa adai sebagai cecupunya, desa adat sebagai manik berlindung pada kesatuan wilayah yang lebih besar sebagai cecupunya.), serta relasi-relasi lainnya (bandingkan dengan Ahimsa-Putra, 2001, Barker, 2004). Nilai-nilai dan tradisi keempat yang perlu ditegakkan dalam rangka ajeg Bali menurut pandangan dan keyakinan guru-guru adalah nilai-nilai etika dan estetika dalam kehidupan berkesenian orang Bali. Menurut guru-guru, keyakinan ini bersumber dari ajaran Weda. Dalam Weda setiap penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai oleh nilai keindahan (estetis); suatu penghayatan keindahan dan kesemarakan. Sebagai pandangan agama, Bhagawad Gila menyebutnya wibhuti yoga - jalan kemegahan. Perwu judan kemegahan itu adalah cahaya ijyoii), dan dalam pengertian yang lebih abstrak adalah kemuliaan (bhargas), keagungan (makas) dan kecantikan (sri), keindahan (wapus), kehebatan (cUram). dan sebagainya (Sadya, 1990:17). Dalam keliidupan locai genius orang Hindu Bali, nilai-nilai keindalian dalam Weda dan Bhagawad Gila seperti di atas terkreasi melalui keterpaduan keserasian, keselarasan. dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan nilai-nilai etika dan estetika yang dalam. Nilai etika dan seni dalam hal ini diwujudkan dalam bahasa simbolik yang memiliki nilai-nilai etika yang tinggi. Dikatakan demikian karena dalam upayanya memahami, memaknai, menghayati, dan merasakan dunia niskala yang maha agung itu dan untuk menjembataninya dengan dunia sekala, maka orang Bali menciptakan sistem simbol kebenaran yang di dalamnya juga mengandung nilai-nilai estetika yang tinggi. Terwujudlah kemudian seni tabuh dan gamelan, seni tari, seni wayang, seni kidung, seni sastra, seni pertunjukan, seni lukis, seni pahat, dan seni pembuatan banten yang seluruhnya diabdikan untuk penghayatan pemuliaan kepada keagungan Tuhan dan pemuliaan kedudukan manusia sebagai makhluk pencipta kedua serta pemuliaan terhadap 147 keindahan alam. Tidak mengherankan jika kesenian di Bali tumbuh dan berkembang diabdikan untuk kepentingan agama dan yadnya (korban suci). Berpadunya kesenian Bali dengan kegiatan agama dan yadnya ini menyebabkan kesenian Bali memiliki nilai magis/mistis, nilai etika, dan nilai-nilai estetis yang tinggi. Begitu pula nilai-nilai etika sangat kuat mendasari karya-karya seni Bali. Berbagai karya sastra kekawin tentang Mahabharata dan Ramayana dengan berbagai cabangcabangnya yang kemudian menjadi basis bagi pengembangan karya seni lukis, seni drama dan tari, seni pertunjukan wayang kulit dan wayang orang, seni pahat, dan sebagainya memberikan pengalaman nilai etika hidup yang sangat sempurna kepada kehidupan masyarakat Bali karena karya-karya seni itu juga mengandung nilai-nilai etika moral kehidupan, seperti kejujuran, pentingnya ihnu pengetahuan dan teknologi, budi pekerti yang luhur, rela berkorban tanpa painerih, cinta dan kasih sayang, ketulusildasan, berderma kepada sesama, ketaatan, kesetiaan, hormat kepada orang tua dan leluhur, religius, pengabdian kepada negara, kepemimpinan asta bharaia, kebenaran dan keadilan, dan sebagainya (Suastika, 2002). Karakteristik orang Bali yang lain dalam kehidupan berkesenian adalah bahwa kesenian tidaklah hanya dimiliki oleh elit-elit seni mau tertentu saja seperti di daerah lain, tetapi juga sudah berkembang menjadi milik masyarakat etnik Bali Hindu pada umumnya. Tidak mengherankan jika setiap banjar atau desa adat di Bali memiliki seka gong. Kita juga mengenal seni lukis gaya Penestanan Ubud, gaya Kamasan Klungkung, gaya Batuan, dan lainnya yang menunjukkan bahwa seni lukis itu adalah milik masyarakat. Kita juga mengenal nama seka arja Bon Bali, seka joged Silangjana, Topeng Carangsari, tenunan Tenganan Pegringsingan, Tari Barong Batu Bulan, seni jegog Jembrana, gamelan tektekan Kerambitan Tabanan, dan banyak lagi lainnya yang menunjukkan bahwa kesenian juga dapat dikembangkan oleh kelompok sosial tertentu / seka atau menjadi milik yang khas dari satu daerali tertentu. Demikian juga semua orang Bali juga tahu bahwa ukiran atau seni pahat gaya Buleleng memiliki ciri yang khas jika dibandingkan dengan ukiran gaya Bali selatan. Berkembangnya kesenian Bali yang berbasis pada masyarakat luas tersebut dimungkinkan karena adanya peran kelompok-kelompok sosial seperti seka dan peran banjar atau desa adat yang mengintegrasikan kehidupan berkesenian dengan kehidupan beragama dan dalam tradisi atau adat setempat di samping karena peran lembaga-lembaga 148 masyarakat lainnya dan peranan sekolah atau lembaga pendidikan formal kesenian, seperti: SMKI, SMSR, PSSRD UNUD, ISI Bali, dan sebagainya. Walaupun kesenian Bali beragam bentuknya dan masing-masing daerah atau kelompok tertentu mengembangkan corak yang unik serta dalam perkembangannya mendapat banyak pengaruh dari kesenian lain sebagai konsekuensi perkembangan pariwista di Bali, sesungguhnya kesenian Bali pun berkembang tidak lepas dari hukum dualisme rwa bhinneda. Pertama, dalam karya-karya klasiknya, kesenian Bali umumnya menggambarkan perang kehidupan masyarakat Bali antara dkarma (kebajikan) dengan adharma (kejahatan) sebagai tergambar dalam cerita-cerita epos Maha Brata dan Ramayana serta cerita-cerita Panji atau cerita-cerita Tantri. Gambaran dualisme keltidupan ini sangat kental kita ketemukan dalam bentuk-bentuk kesenian pertunjukan (petforming ari), karya seni rupa, seni suara (kekawin/kiduug), seni pahat, dan seni sastra. Kedua, dalam perkembangan seni modern, khususnya dalam karya-karya seni rupa dan seni patung, corak dualisme itu juga ternyata tidak bisa ditinggalkan, antara lain ada gambaran perang antara kehidupan tradisi yang sederhana dan kehidupan modern yang glamor, ada gambaran perang antara konstruksi gender dan perlawanan perempuan, ada gambaran perang antara hutan yang mulai punah dengan pertumbuhan beton gedung dan mesin industri, dan pertentangan-pertentangan lain yang menunjukkan hukum rwa bhinneda itu sendiri. Ketiga, dalam perkembangannya menerima pengaruh-pengaruh luar, masyarakat Bali sendiri bereaksi terhadap pengaruh-pengaruh modern yang kapitalistik dengan mengembangkan bentuk-bentuk seni akulturasi yang dibedakan dengan seni-seni tradisi masyarakat. Reaksi seperti ini memungkinkan terjadinya penggolongan karya seni antara seni H uli (seni untuk persembahan secara religius) dan seni bebalihan (seni untuk tontonan masyarakat umum). Seni bebalihan inilah juga yang berkembang menjadi seni akulturasi (Prasetyo, 2005; Soedarsono, 1993). Orang Bali adalah juga kelompok etnis masyarakat yang suka dan cinta damai. Demikian ditegaskan oleh guru-guru SMU Negeri 1 Ubud. Karena itu karakter seperti ini dapat dikatakan sebagai karakter ulama orang Bali. Lihat saja salam yang diberikan orang Bali dalam pertemuan atau perjumpaan, diawali dengan mengucapkan salam Om Suusliusitt dan pada akhir pertemuan dengan Om Chanii, Chanii, Chanii Om menunjukkan betapa sesungguhnya orang Bali itu cinta damai. Dengam salam Om Suasliastu memberi makna bahwa setiap orang BaJi dengan iklas mendoakan orang !ain agar memiliki kehidupan yang baik, karena salam ini secara harfiah berarti semoga dalam keadaan baik 149 dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sementara salam Om Chanli, Chanti, Chanti Om memberi makna bahwa setiap orang Bah menghendaki hidup yang damai: damai di liati, dainai di dunia, dan damai selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itulah nilai-nilai tentang kedamaian hidup ini perlu terus dilestarikan oleh orang Bali tanpa terkecuali. Salam orang Bali seperti di atas sesungguluiya bukanlah penciri utama sifat masyarakat Bali yang cinta damai. Itu adalah salah satu wujud saja bagi orang Bali untuk menunjukkan jati dirinya yang suka damai. Rasional yang mendalam mengapa orang Bali cinta damai sesungguhnya berakar pada orientasi nilai hidup utama orang Bali yang selalu ingin menunjukan keselarasan, keseimbangan, dan kehannonian dalam hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam yang terwujud dalam konsep ajaran iri hita karana seperti telah tergambar secara selayang pandang di atas. Hanya dengan konsep seperti ini orang Bali akan dapat menunjukkan seni ftidup dalam kehidupan sosial budaya yang damai seperti tergambar dalam karya-karya seni orang Bah, karena keserasian/keselarasan, keseiinbanagn, dan kehannonian itu sendiri sudah menunjukkan konsep kedamaian itu sendiri. Kedamaian yang dituju oleh orang Bali adalah kedamaian hidup yang tertib, teratur, indah, tenang menyejukkan, dan berdinamika sosial tetapi tanpa keegoisan, tanpa kesombongan dan kecongkaan pribadi atau golongan, tanpa ambisi yang serakah, tanpa kekerasan, tanpa gejolak, tanpa pembunuhan, dan tanpa pemusnahan. Landasannya adalah nilai-nilai kebenaran dan kebijaksanaan yang disesuaikan dengan konsep desa (tempat), kala (waktu), dan paira (keadaan). Ini maksudnya adalah bahwa setiap perilaku orang Bali baik dalam bentuk pikiran atau ide, kata-kata, sikap, perbuatan, maupun dalam bentuk hasil karya perbuatan haruslah dapat disesuaikan kegunaan dan pemanfaatannya dari dimensi ruang/tempat, waktu/jaman, dan keadaan/kondisi. Kebijaksanaan seperti ini digambarkan dalam Bhagavadgita sloka XVII, 20 yang arti bebasnya dapat dikatakan sebagai berikut: "Sedekah yang diberikan tanpa mengharap kembali dengan keyakinan sebagai lugas untuk memberikan pada tempat dan waktu yang tepat sekali dan kepada orang yang patut disebut saliwika Dalam dimensi ruang atau tempat, nilai kebenaran bagi orang Bali haruslah dalam bungkus kebijakasanaan yang diatur oleh masing-masing dresla yang bersumber dari catur dresla, yaitu kuna dresla (warisan leluhur), loka dresla (hukum negara), desa dresla (tradisi desa/lokal), dan sastra dresla (aturan/hukum dalam kitab suci). Jika terdapat 150 ketidaksesuaian di antara keempat dresta di atas, maka musyawarah keluarga atau desa adat akan menyelesaikannya secara damai. Dari dimensi waktu, orang Bali percaya dengan konsep tri premana kala, yaitu keterkaitan dimensi waktu masa lalu (atita), masa kini (wartamuna), dan masa yang akan dalang ina^ata). Dalam hukum karma diyakini pula bahwa perbuatan yang dilakukan di masa lalu jika pahalanya tidak habis dinikmati di masa lalu maka akan berbual) pada kehidupan masa kini atau di masa yang akan datang. Begitu pula perbuatan yang dilakukan di masa ini dapat berpahala pada kehidupan di masa sekarang juga, tetapi dapat juga berbuah pada masa kehidupan yang akan datang. lili tidak berarti bahwa manusia Bali tidak boleh berkreativitas dalam kehidupan masa kini. Tetapi, kreativitas itu haruslah relevan dengan tradisi masa lalu agar tidak menimbulkan gejolak sosial di masa yang akan datang yang dapat menghancurkan sendisendi kehidupan sosial masyarakat. Jika ini terjadi maka kedamaian itu tentu tidak akan terwujud, karena alam dan kehidupan sosial menjadi tidak lagi selaras, seimbang, dan harmoni. Hal ini relevan dengan konsep pelestarian budaya sebagaimana dijelaskan oleh Baleson (1973), McKean (1973), dan Widja (1993). Dalam pandangan pelestarian budaya, pada prinsipnya, masyarakat berupaya dapat melestarikan nilai-nilai fundamental yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat sebelumnya dalam rangka pengenalan dan pemilikan jali diri masyarakat. Tetapi, masyarakat juga tetap menerima perubahanperubahan sosial sepanjang perubahan-perubahan tersebut tidak menggantikan struktur sosial dan sistem nilai-nilai fundamental dalam masyarakat dengan struktur dan nilai-nilai baru yang asing. Perubahan seperti inilah yang dimaksudkan oleh golongan strukturalisme sebagai satu bentuk transformasi sosial budaya (Ahimsa-Putra, 2001, Barker, 2004), yang dalam bahasa strukturalisme Levi Strauss, antara lain disebutkan, "otie need imagine n<> SOLI u! Mubi/ity nor aven ekuilibrium. Rather one traces cu I turut codes that uchieve rtlaiivt and iransienl order out of relutive randomness (hrough continous adjusmenls, shift.s. and ongoing fluctuaiion (Boori, 1985: 169) " Konsep catur keiah, selanjutnya, merupakan pandangan orang Bali untuk menyesuakan tindakannya kepada kondisi dan nilai-nilai yang ada. Dalam hal ini setiap sikap perbuatan orang Bali di samping dilakukan sesuai dengan pikiran-pikiran dan perasaannya sendiri (.swa tah), haruslah juga disesuaikan atau disepadankan dengan kebijaksanaan orang banyak yang ada di lingkungan sekitar (para (ah), sesuai dengan 151 pendapat masyarakat pada umumnya (loka lah), dan sesuai pula dengan dasar pembenaran pada ajaran-ajaran kebenaran, kesusilaan, hukum, dan agama (sastra (ah). Adanya konsep catur kelali ini menunjukkan betapa kuatnya pengendalian sistem sosial dan kultural dalam mengembangkan sistem kepribadian manusia dan masyarakat Bali untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi-kondisi masyarakat dan budayanya (Ritzer dan Goodman, 2004). Kepentingan hidup damai bagi orang Bali, menurut penilaian guru, juga adalah karena pembangunan di Bali bertumpu pada sektor pariwisata sebagai sektor leading berbasis pada pariwisata budaya dengan karakteristik budaya pertanian. Keberhasilan pembangunan bidang pariwisata ini sangat diyakini bergantung sekali pada sektor keamanan serta perdamaian dan kedamaian hidup baik bagi masyarakat Bali sendiri maupun lebih-lebih untuk kepentingan para wisatawan, karena sedikit saja ada gejolak yang membuat wisatawan tidak lagi tenang, aman, dan damai maka wisatawan dipastikan tidak akan datang ke Bali. Karakteristik utama lainnya dari masyarakat etnik Bali Hindu adalah dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat dalam rangka mengejar kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam hal ini guru-guru menilai bahwa masyarakat etnik Bali Hindu pada umumnya cenderung lebih menghargai keseimbangan pencapaian kesejahteraan material dan spiritual atau keseimbangan kesejahteraan sekala dan niskala dari pada hanya sematamata mengejar kesejahteraan material. Menurut guru-guru, ini sesuai dengau tujuan dari dharma agama Hindu, yaitu mencapai moksariham jagadhita ya ca iti dharmah, yang terjemahan bebasnya dapat diartikan bahwa tujuan agama itu adalah untuk mencapai kebaliagian hidup di dunia dan di akhirat berlandaskan pada ajaran dharma atau kebenaran (Geriya, 1988; 1996). Dalam realitanya, nilai keseimbangan antara tujuan hidup mencapai kebaliagian di dunia sekala dan kebagahagian hidup di dunia niskala itu diwujudkan dalam etos keija, landasan etos kerja, dan penggunaan atau pemanfaatam hasil keija itu sendiri. Menurut penilaian guru-guru, pada umumnya orang Bali itu meyakini bahwa kerja itu adalah kewajiban hidup. Karena itu, setiap orang haruslah bekerja untuk Iiidup dirinya dan keluarganya. Tidak seorangpun boleh berpangku tangan mengandalkan hidupnya kepada orang lain. Diyakini bahwa alam semesta ini diciptakan, dipelihara, dan d\pralma melalui karya/kerja Tuhan. Karena itu wajib hukumnya bagi setiap orang untuk bekerja. Dengan begitu, keija bagi orang Bali sesungguhnya adalah yadnya (korban suci) bagi kehidupan. 152 .Sejalan dengan Iandasan motivasi kerja berdasarkan yadnya di atas, manusia Bali dalam melaksanakan keija dijiwai pula oleh nilai-nilai lokal antara lain keija haruslah dilakukan dengan metaksu, nyalanang jengah, dan semangat puputan. Dengan konsep keija metaksu berarti bahwa keija tidaklah hanya dilakukan secara lahiriah melainkan juga harus dilandasi oleh penjiwaan dan kecintaan terhadap kerja. Dengan melakukan kerja sebagai yadnya yang dilandasi oleh penjiwaan dan kecintaan terhadap kerja akan menimbulkan karisma dan etos kerja yang mulia kepada pemiliknya, sehingga ialah yang dalam konsep modern dapat dikatakan sebagai profesional. Orang-orang seperti ini tidak saja dihormati masyarakat, tetapi diyakini juga dihormati dan disayangi oleh para dewa dan leluhur karena dinilai ikut memutar roda duma ini dengan dharmanyi. Selanjutnya, dengan konsep nyalanang jengah berarti bahwa kerja hamslah dilakukan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan berani untuk melakukan kompetisi kerja dengan orang lain dengan prestasi yang prima. Prinsip kerja seperti ini sesungguhnya dapat dijadikan model bekeija dengan prinsip menjadi sang juara/pemenang. Akhirnya, bekerja dengan semangat puputan berarti bahwa bekeija haruslah dilandasi oleh sikap dan tanggung jawab kerja yang tidak setengah hati dan keberanian berkorban untuk mencapai hasil keija yang maksimal. Bekeija dengan Iandasan etos atau nilai kerja seperti di atas diyakini oleh masyarakat Bali Hindu akan memberikan produktivitas dan kepuasan kerja yang tidak saja bersifat material tetapi juga memberikan keseimbangan secara spiritual. Kebahagian yang seimbang antara kesejahteraan material (sekala) dan kebahagiaan spiritual (niskala) tidaklah hanya dapat dicapai melalui proses dan aktivitas kerja saja. Orang Bali juga meyakini bahwa hasil kerja secara material haruslah juga dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan duniawi maupun rokhani. Jadi prinsip keseimbangan itu tidaklah hanya dapat dicapai dengan menciptakan sistem dan proses keija yang dilandasi oleh nilai kerja yang luhur seperti di atas, tetapi juga dapat dicapai melalui pemanfaatan hasil keija itu sendiri. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian Geriya, dkk (1990) yang menyatakan bahwa masyarakat Bali mementingkan materi bersama-sama dengan kepentingan spiritual, baik dalam kerja sebagai proses, sebagai sistem, dan sebagai tujuan akhir dari kerja. Sehubungan dengan itu, orang Bali umumnya menggunakan hasil kerja itu menjadi tiga bagian, yaitu: sebagian untuk kepentingan kebutuhan hidup keluarga secara duniawi, sebagian untuk tabungan, dan sebagian untuk bztyadnya (Gorda, 1996). 153 Dari berbagai pandangan di atas jelaslah bahwa dalam rangka mempertahankan karakteristik masyarakat Bali terutama dalam upayanya mencapai kesejahteraan lahir dan batliiri melalui aktivitas sosial ekonomi, agama Hindu dan beberapa nilai lokal Bali memberikan peranan yang besar dalam memberikan landasan nilai-nilai kerja dan dalam pemanfataan hasil kerja manusia. Di sini nilai-nilai agama Hindu tidak semata-mata hanya berurusan dengan dunia transenden yang menurut pandangan Hindu semata-mata bersifat niskala, tetapi juga memiliki hubungan dengan dunia imnanen bahwa untuk mencapai tujuan agama Hindu mencapai moksa (kebahagiaan yang kekal abadi di dunia akhirat) dapat juga dicapai melalui jalan karma yang baik di dunia. Hal ini dapat dilakukan dengan menjadikan kerja di dunia untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia sebagai salah satu bentuk yadnya (korban suci) kepada Tuhan Yang Malia Esa dan pengorbanan kepada sesama manusia dan sesama makhluk. Hal ini dapat disejajarkan sebagai bentuk asketisme dalam-dunia masyarakat Hindu di Bali yang akan memberikan dorongan bagi kemajuan kehidupan sosial ekonomi dan sekaligus memberikan karakteristik yang unik bagaimana manusia dan masyarakat Bali mengembangkan kehidupan sosial ekonominya. Ha! ini dalam rangka pencapaian kesejahteraan hidup lahir dan bathin dengan tetap menjadikan nilai-nilai agama Hndu dan nilai-nilai lokal Bali yang relevan sebagai landasan dalam mengembangkan nilai-nilai atau etos kerja atau karya serta dalam pemanfaatan hasil karya Tesis ini jelas sejalan dengari pandangan-pandangan Weber (Abraham, 1991; Goldthorpe, 1992; Horton dan Hunt, 1991; Johson, 1994; Lauer, 1989;) dan beberapa pakar lainnya tentang peranan agama dan nilai-nilai lokal dalam proses perubahan sosial menuju masyarakat modem (lihat Bellah, 1992; Davis, 1987; Dove, 1988; Wong, 1988). Nilai-nilai luhur orang Bali seperti di atas perlu diwariskan dari satu generasi terdahulu ke generasi yang lain berikutnya demi tetap ajegiiya masyarakat dan kebudayaan Bali. Untuk ini, menurut guru-guru, diperlukan sarana komunikasi yang efektif dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya dalam mentransmisikan dan mentransformasikan kebudayaan Bali itu sesuai dengan perkembangan jaman atau kebutuhan generasi berikutnya. Salah satu sarana komunikasi pembelajaran yang dinilai efektif itu diyakini adalah penggunaan bahasa daerah Bali Karena itu penggunaan bahasa daerah Bali sebagai bahasa Ibu masyarakat etnik Bali Hindu dalam proses enkulturasi budaya Bali kepada generasi muda dinilai sangat vital (Putrayasa, 2002; Sancaya, 2004). 154 Ada beberapa alasan yang mendorong perlu dan pentingnya pelestarian penggunaan bahasa daerah Bali kepada generasi muda Bali dalam rangka proses pewarisan nilai-nilai luhur budaya dan agama Hindu Bali. Pertama, diketahui bahwa hampir seluruh dokumen tertulis suinber-suinber informasi pengetahuan dan nilai-nilai agama dan kebudayaan Hindu Bali yang tertuang seperti dalam prasasti, awig-awig, karya kesusasteraan, lontar, buku-buku lama/tua, dan sejenisnya tertulis dalam tulisan huruf Bali. Kedua, nara sumber-nara sumber yang hidup untuk masalah-masalah adat, budaya, agama, dan kesenian Bali .umumnya adalah orang lua-orang tua atau sesepuh yang umumnya lebih mahir berbahasa Bali. Karena itu untuk memperoleh pengetahuan dari mereka haruslah bisa berbaliasa Bali dengan baik. Ketiga, baik sumber-sumber tertulis maupun nara sumber yang dimaksudkan di atas adanya, umumnya, di lingkungan keluarga brahmana igeriya) atau di lingkungan puri yang keduanya cenderung masih kental mempraktikkan tradisi berbahasa Bah sebagai sarana komunikasi sosial. Dengan tiga alasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat memperoleh sumber pengetahuan dan nilai-nilai tentang ajaran agama Hindu Bali, kehidupan adat dan kebudayaan di Bali, serta kehidupan kesenian di Bali bagi generasi muda Bali diperlukan sarana komunikasi berupa kemampuan penggunaan bahasa daerah Bali dengan baik dan benar. Kepentingannya bisa ganda, yaitu melestarikan penggunaan bahasa Bali itu sendiri sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali di satu sisi, dan di sisi lain merupakan sarana untuk memudahkan serta kemampuan untuk memaknai warisan budaya itu secara utuh, yang diyakini akan menimbulkan banyak bias budaya terjadi jika dipaksa melakukan transfer ke bahasa lain (Bali Post, 2005; Sancaya, 2004). Alasan yang lebih mendalam dilandasi oleh pemikiran bahwa bahasa menunjukkan budaya. Dengan pemikiran seperti ini diyakini bahwa budaya dan bahasa itu adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Budaya dapat dipahami dalam hal ini sebagai dunia ide, gagasan, atau pemikiran yang kemudian mengarahkan cipta, rasa, dan karsa manusia dalam hidup bermasyarakat yang kemudian melahirkan produk budaya atau produk peradaban (Ahimsa-Putra, 2001; Supriadi, 2001). Dengan pemikiran seperti ini dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah salah satu wujud budaya. Jika demikian maka tidaklah naif untuk mengatakan bahwa dalam upaya pelestarian budaya tentu termasuk juga upaya pelestarian bahasa sebagai produk budaya (bandingkan dengan pengertian budaya oleh Koentjaraningrat, 2001). 155 Bahasa, di sisi lain, dapat dimaknai sebagai sistem simbolik yang diciptakan dan digunakan manusia sebagai pencipta dan pendukung budaya dalam proses interaksi atau koinukasi sosial masyarakat sebagai sarana untuk menjelaskan proses dan produk budaya masyarakat tersebut. Jadi budaya dan bahasa adalah satu binatang dengan dua wujud Budaya hanya dapat dipahami dan dimaknai secara utuh dalam bahasa penciptanya, sementara bahasa adalah budaya itu sendiri dalam tataran dunia simbolik atau dunia ide, yaitu pikiran manusia sendiri (Ahimsa-Putra, 2001; Levi-Strauss, 1963). Dari sudut pandang ini, menurut Ahimsa-Putra (2001:25) lebih lanjut bahwa bahasa dapat dikatakan sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih kompleks, lebih rumit, yang sesuai (correspond) atau sejajar dengan aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang lain. Jika demikian adanya, maka, tidak mungkinlah mempelajari budaya suatu masyarakat secara holistik dan utuh lepas dari sistem bahasa yang dikembangkan dan digunakannya. Begitu pula tentunya dalam upaya pewarisan nilai-nilai budaya Bali kepada generasi muda tentu tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa menguasai sistem bahasa Bali sebagai sistem simbolik yang diciptakan dan dipraktikkan dalain proses interaksi dan komunikasi sosial masyarakat Bali yang menjunjung tinggi kebudayaan Bali. E. Keyakinan, Nilai-nilai, dan Sikap Siswa terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat dan Budaya Bati dalam Proses Perubahan Sosial Sebagai bagian dari masyarakat dan manusia etnik Bali Hindu, siswa SMU Negeri I Ubud yang hampir seluruhnya sebagai orang Bali Hindu, pada dasarnya bangga merasa sebagai orang Bali Hindu. Tidak saja ini terkait karena Bali dengan budaya dan agama Hindunya menjadi sangat populer di mata internasional terutama melalui aktivitas pariwisata budaya Balinya, tetapi kebanggaan ini juga muncul sebagai upaya untuk menunjukkan jati diri sebagai manusia etnis Bali yang beragama Hindu yang eksistensinya mempakan golongan minoritas baik di Indonesia maupun di tingkat global. Kebanggaan seperti ini juga memunculkan sikap dan keinginan siswa untuk makin memperkuat eksistensi manusia Bali bahwa walaupun sebagai golongan minoritas mereka bukanlah orang-orang kerdil atau yang pantas dipinggirkan. Orang Bali memang kecil dalam jumlah, menurut mereka, tetapi, mereka setuju bahwa yang kecil itu juga sangat indah (smail is beau(iful). 156 Dengan sikap seperti itu, secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan pandangan yang signifikan antara siswa dan guru dalam memandang keberadaan dirinya sebagai kelompok etnis Bali yang perlu terus mempertahan dan menunjukkan identitas etniknya dalam proses kehidupan bermasyarakat baik di tingkat lokal, nasional, maupun mondial. Dikaitkan dengan konsep ajegnya masyarakat dan budaya Bali, siswa pada umumnya juga setuju dengan konsep ajeg Bali dalam proses perkembangan masyarakat dan budaya Bali dewasa ini. Bedanya, siswa cenderung kurang menyadari atau memahami bagaimana sesungguhnya konsep ajeg Bali itu diwujudkan, aspek mana saja dalam kebudayaan Bali itu yang perlu dilestarikan, dau dengan upaya apa saja aspek-aspek budaya Bali itu dipertahankan. Akibatnya, banyak siswa yang menyatakan penilaiannya cenderung lebih afektual (suka tidak suka atau senang tidak senang) dan banyak unsur yang menyebabkan konflik pandangan antara satu aspek dengan aspek lainnya, sehingga sulit sesungguhnya untuk mendefinisikan makna ajeg Bali dalam konsepsi siswa dan hampir tidak mungkin bisa dilakukan. Masalah ini tampaknya terkait dengan kurangnya sosialisasi dan internalisasi wawasan dau nilai-nilai kebalian kepada siswa secara sistematis dan ilmiah, sehingga konsep yang mereka bangun cenderung berdasarkan pengalaman semata. Dalam bahasa pembangun pengetahuan (konstruktivisme), konsepsi seperti ini merupakan konsep awal (pnor knowiedge) atau pengetahuan sehari-hari, atau pengetahuan alamiah atau miskonsepsi tentang identitas jati diri sebagai manusia Bali yang diperoleh melalui pengalaman siswa di lingkungan masyarakatnya (Gredler, 1992). Identitas etnik Bali menurut siswa tampak antara lain dari aktivitas ritual agama yaitu dalam melaksanakan catur yadnya atau panca yadnya, dari makanan khas Bali berupa lawar Bali, dari perkembangan kesenian Balinya, penggunaan bahasa dan dialek Bali, kuatnya kehidupan adat dalam banjar atau desa adat yang diikat oleh kewajiban terliadap kahyangan liga, dari pakaian adatnya yang selalu digunakan pada saat kegiatau ritual adat dan agama, dan dari salam yang digunakan bila bertemu satu sama lain menggunakan salam Om Suastiastu dan Om Chanti, Chanti, Chanti Om. Dari pandangan para siswa seperti ini tampak bahwa pandangan mereka lebih ditentukan oleh struktur luar atau permukaan aktivitas kebudayaan orang Bali dari pada melihat struktur dalam yang melandasi semua sistem aktivitas budaya orang Bali. Artinya, para siswa cenderung menjadikan landasannya dengan membandingkan apa yang terjadi pada budaya lain yang mereka ketahui dan apa yang unik dari budaya Bali itu yang tidak dimiliki oleh budaya masyarakat lain. Jadi jelaslah bahwa pengetahuan mereka tentang identitas etnik orang 157 Bali masih merupakan pengetahuan eksternal, walau sudah ada upaya untuk merefleksikannya. Pertama dan yang paling pokok merupakan identitas etnik orang Bali Hindu, menurut pandangan para siswa, adalah pelaksanaan ritual agama orang Bali yang tampak dalam aktivitas panca yadnya. Menurut siswa, identitas melakukan upacara panca yadnya bagi orang Bali Hindu dilandasi oleh keyakinan adanya hutang (ma) manusia yang harus dibayar kepada para dewa (dewa rna), leluhur (piirct rna), dan kepada para rsi (rsi rna) yang disebut sebagai tri rna. Dengan konsep ini maka wajib hukumnya bagi orang Bali untuk melaksanakan yadnya (persembahan korban suci), di samping hanis melaksanakan keyakinan akan kebenaran ajaran panca crada sebagai ajaran tentang tatwa dan melaksanakan ajaran iri kaya parisudha sebagai ajaran tentang etika/susila. Menjalankan secara sungguh-sungguh keyakinan, ajaran etika, dan kewajiban ritual ini secara keseluruhan akan memberi bobot kereligiusan orang Bali tampak unik dan ini perlu terus ditingkatkan. Tetapi, pemahaman dan penghayatan crada, bhakti, dan pembentukan karma wacana dalam menjalankan nilai-nilai agama Hindu menurut para siswa lebih bersifat personal. Ini karena hubungan manusia dengan Tuhan, menurut para siswa lebih lanjut, lebih melupakan tanggung jawab pribadi. Ini tidak berarti bahwa praktik kehidupan beragama Hindu di Bah yang selama ini lebih menonjolkan ungkapan solidaritas sosial yang sesungguhnya menunjukkan jiwa koletiktivitas masyarakat itu sendiri salah di mata siswa. Yang tampaknya lebih dikehendaki adalah kebutuhan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasiNya; hubungan yang personal dan intim dengan Tuhan; doktrin tentang fungsi sosial di dalam masyarakat; pengakuan yang pasti atas keyakinan dan kepercayaan; dan keyakinan bahwa untuk mencapai tujuan hidup yang paling hakiki sekalipun dapat ditempuh dengan berbagai jalan. Pandangan seperti ini tampaknya sejalan dengan perkembangan masyarakat industri pariwisata di Ubud (bandingkan dengan Madjid, 1993:154-155). Karakteristik etnik Bali utama yang kedua menurut pandangan siswa adalah kuatnya ikatan kehidupan tradisi atau adat di banjar atau desa adat karena adanya ikatan kewajiban terhadap kahyangan liga. Dalam banyak hal sesungguhnya siswa tidak banyak mengetahui latar belakang mengapa orang Bali begitu kuat ikatannya dengan adat yang berlaku di desa adat, khususnya dalam menjalankan kewajiban yang terkait dengan 158 kahyangan liga. Yang mereka alami sehari-hari dan mereka ketahui kewajiban terhadap kahyangan liga adalah salah satu wujud keyakinan dalam melaksanakan ritual dewa yadnya sebagai konsekuensi adany^ habffig. nfanasfe W ii ia"'- '..•'' '"J""' kepada para dewa yang telah menciptakan manusia, alam semesta, beseiij Brahma di pura kahyangan Bale Agung), telah melindungi manusia kahyangan Puseh), dau yang telah mengembalikan manusia dan alam ini kepada asalnya/sumbernya {Dewa Ciwa di pura kahyangan Dalem). Sebagai konsekuensi adanya ikatan bersama dalam desa adat dalam menjalankan kewajiban terhadap kahyangan tiga hit, menurut siswa lebih lanjut, wajarlah jika kemudian dikembangkan sikap kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas ritual tersebut, karena pura-pura kahyangan tiga ini bukanlah sungsungan pribadi atau keluarga, melainkan sungsungan bersama warga atau krama desa adat. Karena itu, wajib hukumnya bagi setiap anggota atau krama desa adat untuk mematulii dan menjalankan keputusan-keputusan bersama desa adat dalam menyelenggarakan yadnya desa. Pelanggaran terhadap keputusan bersama ini dapat dikenakan sanksi adat baik berupa denda maupun kena sanksi adat kasepekang (dikucilkan dari masyarakat adat). Persepsi siswa terhadap tradisi ikatan desa adat yang memunculkan sikap kekeluargaan, persaudaraan, dan kegotongroyongan di antara kerama desa adat ini ternyata cukup positif. Para siswa menilai, inilah karakteristik utama masyarakat Bali yang paling positif untuk kepentingan bersama masyarakat desa adat atas dasar nilai-nilai kekeluargaan, persaudaraan, dan kegotongroyongan yang masih tetap hidup kuat hingga sekarang. Yang lebih positif lagi adalah bahwa desa adat dewasa ini tidak hanya peduli dengan masalah-masalah yadnya saja, tetapi telah pula ikut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan krama desa melalui kegiatan-kegiatan ekonomi desa adat seperti keterlibatan desa adat di Ubud dalam turut memanfaatkan palemahan desa adat untuk kepentingan kegiatan pariwisata yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi bagi kramanya, dan keterlibatan hampir seluruh desa adat sekarang dalam aktivitas lembaga perkreditan desa adat (LPD) dalam rangka tuint memajukan perekonomian masyarakat di wilayah desa adat masing-masing. Sebagaimana diketahui, LPD ini didirikan dan dijalankan adalah dari, oleh, dan untuk kepentingan masyarakat desa adat. Pandangan siswa di atas juga makin memantapkan bahwa nilai-nilai agama memang dapat memberikan peranan yang positif dalam membentuk nilai-nilai solidaritas sosial dalam masyarakat yang kemudian dapat juga menjadi kekuatan suci yang 159 mendorong masyarakat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang berguna demi kepentingan kesejahteraan masyarakat itu sendiri baik secara laliir maupun bathin. Nilai-nilai fundamental ini jelas dapat dipandang sebagai bentuk asketisme dalamdunia masyarakat Hindu di Bali yang mempunyai kekuatan positif dalam proses-proses transformasi sosial budaya masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik (bandingkan dengan Gertz, 1977, 1979; Gorda, 1996; Sukadi, 1994). Karakteristik utama etnik Bali yang ketiga menurut pandangan siswa adalah maraknya kehidupan berkesenian orang Bali dalam hampir setiap cabang kesenian. Kesenian yang dikembangkan oleh orang Bali terutama diabdikan untuk kepentingan yadnya.walau tidak dapat dipungkiri kesenian itu ternyata dapat juga dijual untuk kepentingan pariwisata (Yoety, 1986). Menurut siswa, mengapa orang Bah" memiliki komitmen yang tinggi dalam mengembangkan kesenian Bali adalah karena agama Hindu yang dianut orang Bali mewujudkan yadnyanya memang dalam bentuk seni. Dengan seni, yadnya orang Bali dinilai lebih hidup, karena lebih menarik, labih halus, lebih indah, lebih khusuk, dan lebih berdinamika. Seni, karena itu, adalah nafasnya agama Hindu. Hidup itu sendiri bagi orang Bali adalah seni. Karena itu, kehidupan orang Bali Hindu diabdikan untuk seni. Seni bagi orang Bali juga diabdikan untuk kepentingan pariwisata. Dengan seni, melalui pariwisata, orang Bali juga ingin menunjukkan kepada masyarakat lain bahwa orang Bali itu mencintai keindahan, keselarasan, keharmonisan, kedamaian, persaudaraan, kebajikan, dan keagungan. Orang Bali juga ingin mengajak orang lain memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang universal itu. Jika seni yang religius dan beretika tinggi itu bisa diterima banyak orang lain, bukan mustahil tentunya bahwa orang Bali juga bisa beryudnya untuk kedamaian umat manusia. Karakteristik utama masyarakat Hindu Bali lainnya, menurut penilaian siswa, adalah yang tampak dari sisi luar sebagai pemberian salam Om Suasliastu bila ada suatu pertemuan atau perjumpaan atau memulai suatu pembicaaran tertentu dalam suatu pertemuan dan salam Om Chartii, Chantt, Chanti Om sebagai penutup pertemuan atau pembicaraan. Salam awal ini memiliki makna sebagai memberikan doa kepada orang lain semoga ada dalam keadaan baik dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan salam akhir bermakna semoga dalam keadaan damai: damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari kedua makna salam tersebut dapatlah diinterpretasikan bahwa masyarakat Hindu Bali pada dasarnya memiliki sifat atau karakteristik mencintai liidup yang damai. 160 Hidup damai bagi orang Bali, menurut pandangan siswa, adalah hidup yang tenang tidak bergejolak, nikun, tertib, mementingkan menyama braya, hidup harmoni dalam masyarakat, dan tidak ada kekerasan apalagi pembunuhan. Nilai-nilai yang melandasi sikap seperti ini adalah ajaran tentang tat twam asi dan nilai-nilai lokal menyama braya. Bagi orang Bali, persaudaraan dan kebersamaan itu jauh lebih penting dari pada kepentingan pribadi. Di samping karakteristik-karakteristik utama orang Bali seperti di atas yang umumnya memiliki basis nilai-nilai yang kuat daJam ajaran agama Hindu Bali, orang Bali juga memiliki karakteristik yang tidak begitu kuat berbasis pada nilai agama, tetapi kuat melekatkan diri pada tradisi atau kebudayaan Bali, yaitu sifat orang Bali yang suka pada jenis masakan/makanan khas Bali yang disebut lawar dan menggunakan pakaian adat Bali jika melakukan ritual agama atau adat. Menurut siswa, karakteristik ini kuat tampak terdapat pada orang Bali semata-mata karena sifat kemelekatan orang Bali pada tradisi leluhurnya. Karena itu, di mana saja orang Bali tinggal, dua tradisi ini tidak pernah dilupakan, sebagai bukti masih adanya ikatan orang Bali pada tradisi leluhurnya. Akhirnya, menurut siswa juga, salah satu karakteristik orang Bali yang dikaitkan dengan produk budaya orang Bali adalah penggunaan bahasa daerah Bali sebagai sarana komunikasi baik dalam kehidupan keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat. Sayangnya, ada gejala di kalangan generasi muda siswa adalah makin melemahnya minat siswa menggunakan produk budaya bahasa Bali terutama dalam pergaulan antar remaja, apalagi dalam lingkungan formal. Menurut pengakuan siswa makin banyak saja siswa, terutama di kota-kota, yang gengsi menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar komunikasi sehari-hari dalam pergaulan mereka. Alasannya, bahasa Bali sering dianggap kampungan dan kurang praktis atau kurang gaul. Namun dalam praktik sehari-hari siswa di SMU Negeri I Ubud dapat dikatakan bahwa siswa umumnya masih menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan sehari-hari. Balikan mereka umumnya masih terkesan malumalu bila diminta berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, karena umumnya dialek mereka masih kental dipengaruhi oleh dialek Bali. Oleh karena itulah untuk menghindari kecenderungan siswa meninggalkan penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar sehari-hari, para siswa pada dasarnya setuju menerima pelajaran bahasa Bali sebagai salah satu kurikulum muatan lokal. Balikan mereka pada umumnya juga dapat menyetujui dan senang dengan ada/iya kebijakan sekolah untuk menggunakan bahasa Bali dengan baik dan benar sebagai bahasa pengantar pada setiap hari Rabu dan sabtu. 161 Menurut siswa, penggunaan bahasa Bali oleh siswa perlu terus dilestarikan di sekolah dalain rangka kesempatan siswa untuk dapat mempelajari khasanah budaya Bali dengan baik. Diakui oleh siswa, tanpa dapat menguasai dengan baik bahasa Bali, mustahil generasi muda siswa di Bali dapat mempelajari, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Bali yang luhur dengan baik. Padahal telah diketahui bersama bahwa program pembangunan pariwisata di Bali berbasis pada pengembangan kebudayaan Bali. Karena itu, menurut para siswa lebih lanjut, jika pariwisata di Bali ingin terus dipertahankan dan berbasis pada budaya Bali, maka mau tidak mau generasi muda siswa Bali juga perlu terus belajar melestarikan dan mengembangkan bahasa Bali demi ajegnya kebudayaan Bali. F. Rekonstruksi Pemahaman dan Nilai-nilai Sosiobudaya Bali untuk Kepentingan Pendidikan Sosial atau Pendidikan IPS di Sekolah Dari pandangan-pandangan guru dan siswa seperti di atas tentang konsep ajeg Bah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa baik guru-guru maupun siswa pada umumnya menginginkan bahwa kesadaran tentang ajeg Bali haruslah melandasi pengembangan dan pelaksanaan program pendidikan sosial pada umumnya dan Pendidikan IPS pada khususnya di sekolah. Menurut pandangan guru-guru, pendidikan sosial pada umumnya, dan Pendidikan IPS pada khususnya, haruslah mampu mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan sosial dalam hidup bermasyarakat di kalangan pebelajar yang dapat dijadikan kecakapan hidup bagi mereka dalam kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai tujuan di atas di samping secara kurikuler siswa di sekolah mendapat mata pelajaran-mata pelajaran rumpun Ilmu Pengetaluian Sosial, seperti: Geografi, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi. Ekonomi, PPKn, dan Tata Negara, mereka juga perlu diberikan bekal pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan sosial yang bersumber dari nilai-nilai sosio budaya Bali. Untuk mengintegrasikan kepentingan pencapaian tujuan seperti di atas. ada tiga level kebutuhan siswa dan masyarakat yang harus dipenuhi oleh sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya, baik secara fonnal maupun informal, yaitu level orientasi global, nasional, dan lokal. Menurut guru-guru, level kepentingan global dan nasional dapat dicapai dengan pencapaian kurikulum rumpun mata pelajaran IPS secara fonnal di sekolah. Dikatakan demikian karena kurikulum dan pembelajaran rumpun IPS di sekolah di samping diyakini telah mendidik dan mengajarkan pola-pola berpikir rasional berdasarkan nilai-nilai yang bersifat universal dalam pembentukan dan pengembangan 162 pengetahuan sosial siswa, mata pelajaran IPS juga banyak mengandung muatan pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap yang berorientasi pada kelu'dupan berbangsa dan bernegara, baik melalui mata pelajaran Sejarah Nasional, Geografi Indonesia, PPKn, Kebudayaan Indonesia, maupun dalam mata pelajaran Tata Negara dan tentang pemerintahan Indonesia. Sementara itu, untuk level kepentingan lokal tampaknya sekolah dan guru-guru haruslah dapat menyesuaikan konsep-konsep, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan hidup lokal yang dapat disisipkan baik secara formal dalam bentuk kegiatan kurikuler maupun secara informal dalam kegiatan-kegiatan kokurikuler dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana muatan materi pendidikan yang demikian harus diintegrasikan dalam Pendidikan IPS di sekolah? Menurut guru-guru, prinsip dasar yang harus digunakan adalah bagaimana dapat diintegrasikan konsep-konsep dan nilai-nilai dasar Tri Hila Karana ke dalam pengembangan materi Pendidikan IPS di sekolah dan ini pun harus disesuaikan dengan konsep-konsep desa kala palra. Untuk itu Pendidikan IPS tidaklah harus dibatasi maknanya hanya sebagai pendidikan ilmu-ilmu sosial seperti pada pendidikan Geografi, Ekonomi, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, PPKn, dan Tata Negara saja. Pendidikan IPS haruslah juga mencakup seluruh kegiatan pendidikan sosial di sekolah, termasuk di dalamnya Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Bahasa, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Budaya Lokal, serta seluruh penciptaan iklim lingkungan belajar yang memungkinkan nilai-nilai Tri Hila Karana itu dapat diwujudkan di sekolah. Dalam realitanya diakui guru-guru, terutama guru-guru rumpun Pendidikan IPS, sangatlah sulit untuk menyisipkan materi-materi muatan lokal yang berbasis nilai-nilai budaya Tri H Ha Karana ke dalam kurikulum dan pembelajaran rumpun IPS sebagai materi formal yang perlu dididikkan, diajarkan, dan dilatihkan kepada siswa. Ini terkait dengan keyakinan guru bahwa sistem pendidikan dan kurikulum yang tersentralisasi sangat sedikit memberikan peluang kepada guru untuk berkreativitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah dan masyarakat setempat. Lagi pula diakui guru-guru bahwa mereka belum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup memadai tentang konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana itu sendiri dan bagaimana menuangkannya ke dalam kurikulum yang dapat disisipkan atau diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional yang berlaku yang dinilai padat materi. Apa yang cenderung dilakukan guru adalah memberikan atau menyisipkan berbagai ilustrasi/contoh-contoh konsep, nilai-nilai, sikap, 163 dan tindakan yang dapat dipahami guru relevan dengan konsep dan niJai-nilai Tri Hita Karanu tersebut yang harus dimiliki siswa ketika mengajarkan suatu pokok bahasan tertentu. Oleh karena itu, kelengkapannya, kemudian, dilakukan dengan memberikan kegiatan ekstrakurikuler kepada siswa melalui berbagai aktivitas budaya lokal. Pada umumnya guru-guru di SMU Negeri 1 Ubud menyadari bahwa konsep Tri Hita Karana meiupakan konsep yang memiliki muatan nilai-nilai yang universal, tetapi ia juga bersifat unik dalam implementasinya dalam kehidupan beragama dan kebudayaan orang Bali, karena adanya konsep desa. kala, patra. Dalam konsep dan nilai-nilainya yang bersifat universal, konsep dan nilai-nilai Tri Hita Karana diyakini telah mengajarkan kepada orang Bali untuk menjalani hidup ini secara seimbang antara kepentingan buana agung (alam semesta) dan buana alii (diri manusia) atau menjaga keseimbangan antara dunia seka/a (dunia materi yang kasat mata) dan dunia niskala (dum'a lain yang bersifat transenden /dunia batin/alam roh/alam dewaisunia hka). Tri Hita Karana. dengan demikian, menurut pandangan guiu-guru, merupakan way o f life atau pandangan hidup bagi manusia Bali Hindu yang dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik sebagai makhluk religius, makhluk pribadi dan sosial, dan sebagai makhluk berbudaya. Dalam implementasinya, dikembangkanlah kemudian sistem religi dan ritual, sistem pengetahuan, sistem sosial dan budaya termasuk sistem nilai, norma, dan sistem tindakan yang mencerminkan pandangan hidup Tri Hita Karana tersebut. Dalam disertasi ini tidak mungkin dijelaskan seluruh tatanan sistem tersebut dan ini menjadi keterbatasan dalam disertasi ini, walau sepanjang yang dapat di persepsi guru dan siswa telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Apa yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana pengetahuan dibangun oleh guru dan siswa dalam mengembangkan dan kemudian mengimplementasikan pandangan Tri Hita Karana tersebut. Dalam agama Hindu di Bali dikenal adanya tiga pendekatan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, yaitu yang disebut dengan iri premana. Pertama adalah pendekatan terhadap pengetahuan melalui jalan sabda premana. Jalan menuju pengetahuan ini dilakukan melalui belajar dari sumber-sumber pengetahuan seperti mendengarkan penjelasan guru, orang tua. membaca dari kitab suci, literatur, mendengarkan dharma gila, dharma wacana, memperoleh dari surat kabar, mendapat informasi dari ahli, tokoh masyarakat, rohaniawan, pejabat, mendapat informasi dari media cetak dan elektronik, dan sejenisnya. Kedua adalah pendekatan terhadap pengetahuan melalui jalan pratyaksa premana. Jalan pengetahuan ini dilakukan melalui 164 keterlibatan langsung subjek terhadap pengetahuan itu sendiri melalui penggunaan panca indrianya. Sebagai contoh, para siswa, misalnya, belajar dengan terlibat langsung bagaimana upacara dewa yadnya dan bhula yadnya itu dilaksanakan di sekolah. Begitu pula mereka belajar langsung bagaimana keliidupan menyama braya di lingkungan desa pekraman itu dilaksanakan, bagaimana sekolah membangun hubungan yang baik dengan lingkungan sosial budaya masyarakat sekitarnya melalui berbagai kegiatan pengabdian sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. Ketiga adalah jalan menuju pengetahuan melalui anumana premana. Jalan ke pengetahuan ini dilakukan melalui penggunaan rasio atau logika, empati, nilai, sikap, dan niat yang dikembangkan dari adanya berbagai fenomena keliidupan. Penggunaan jalan ini dilakukan karena tidak seluruh objek belajar itu bersifat konkrit, sehingga diperlukan suatu proses penalaran untuk membangun pengetahuan. Ketiga jalan menuju pengetahuan tersebut tentu harus dilaksanakan secara integratif dan tidak dapat dijalankan secara tunggal dan terpisah-pisah. Tidak ada orang yang murni belajar hanya dengan jalan sabda premana, atau praiyaksa premana, atau dengan anumana premana saja (Subagia, 2000). Begitu pula, diyakini guru-guru bahwa belajar dengan pendekatan iri premana ini, dikaitkan dalam upaya membangun pengetahuan, mengembangkan nilai-nilai, dan implementasi tindakan berbasis nilai-nilai Tri Htta Karana secara alamiah, tentu subjek didik tidak dapat disekat-sekat ke dalam kelas, jenjang, subjek materi pelajaran, dan guru-guru yang terpisah-pisah. Seluruh pendekatan haruslah dilakukan secara terpadu untuk memperoleh hasil yang utuh, holistik, komprehensif, dan bannakna pula bagi siswa (Subagia, 2000). Dikaitkan dengan upaya membangun pengetahuan dan nilai-nilai yang berbasis pada ajaran pandangan hidup Tri Htta Karana. diakui guru-guru bahwa mereka lebih banyak membangun dan mengembangkan pengetahuan dan nilai-nilainya melalui proses langsung dalam mempraklikkan ajaran Tri Hita Karana tersebut dalam kehidupan riil baik di lingkungan keluarga, di masyarakat, maupun di lingkungan sekolah. Proses belajar pertama dan ulama yang mereka lakukan adalah melalui proses peniruan atau imitasi dari perilaku orang tua mereka, atau perilaku kerurna yang lain, atau melalui perilaku sesepuh di lingkungan ke rama desa mereka masing-masing, ini diakui adalah sebagai ciri utama belajar awal orang Bali dalam mewariskan nilai-nilai sosial budaya Bali kepada generasi penerusnya. Proses belajar langsung melalui peniruan atau imitasi sosial ini memungkinkan mereka dapat menerima, merasakan, memahami, menghayati, dan mempraktikkan langsung pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai Tri Hila Karana 165 mereka dalam kehidupan sosial budaya yang nyata baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Sebagai anggota krama desa yang memiliki pengalaman belajar formal di lingkungan persekolahan, diakui bahwa guru-guru, di lingkungan desa adatnya masingmasing, memiliki kemampuan belajar yang tidak hanya bersifat meniru, melainkan juga mampu mengembangkan penalaran dan nilai-nilai mereka dalam memahami fenomena praktik kehidupan religius dan sosial budaya di lingkungan desa adatnya masing-masing. Tidak mengherankan jika guru-guru ini banyak digunakan di desa adatnya masing-masing oleh krama desanya sebagai tokoh-tokoh atau sesepuh agama dan adat. Hal ini menyebabkan tidak saja mereka belajar bagaimana tradisi warisan leluhur dapat dipertahankan atau dilestarikan, tetapi mereka juga dapat menjadi nara sumber dan tokoh yang dihormati dalam pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan nilai-nilai religius dan sosial budaya yang mencerminkan ajaran Tri Hiia Karana di lingkungan mereka masingmasing. Model membangun pengetahuan religi dan sosial budaya kemasyarakatan yang berlandaskan ajaran Tri Hiia Karana dari guru-guru di atas berimplikasi pula pada bagaimana guru merekonstruksinya bagi kepentingan pendidikan sosial di lingkungan sekolah kepada para siswa sebagai upaya pelestarian dan pengembangan praktik nilai-nilai Tri Hiia Karana di lingkungan sekolah sebagai bagian dari upaya yang lebih luas, yaitu upaya ajeg Bali. Diyakini guru-guru bahwa upaya pendidikan sosial kepada siswa berlandaskan pada ajaran, nilai-nilai, dan praktik Tri Hiia Karana di lingkungan sekolah di samping dapat disisipkan pembelajaran konsepnya dalam pembelajaran bahasa Bali dan Agama Hindu secara kurikuler, akan berhasil jika dipenuhi beberapa persyaratan atau prinsip utama. Pertama adalah perlunya menetapkan visi dan misi sekolah yang relevan dengan usaha-usaha pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali berbasis pada nilainilai Tri Hiia Karana, Kedua adalah perlunya seluruh komponen civitas sekolah mampu menciplakan iklim sosial budaya di lingkungan sekolah yang mencerminkan implementasi nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut. Ketiga adalah perlunya dimunculkan unsur keteladanan terutama dari staf pemimpin sekolah dan guru-guru kepada siswa tentang bagaimana mewujudkan pengetahuan dan nilai-nilai Tri Hiia Karana tersebut dalam bentuk tindakan nyata di lingkungan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Keempat adalah perlunya memberikan wahana dan fasilitas pendidikan nilai-nilai Tri Hiia Karana kepada siswa yang dapat disisipkan atau diintegrasikan ke dalam seluruh sistem dan perangkat kurikulum dan pembelajaran di sekolah. Kelima perlunya pemberian 166 sistem reinforcement kepada siswa yang menunjukkan komitmennya dalam kesediaan mempelajari secara serius, mengembangkan, dan mengimplementasikan nilai-nilai Tri Hila Karana itu dalam perilaku sehari-hari di lingkungan sekolah. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, sekolah, dalam hal ini pimpinan sekolah dan guru-guru kemudian berupaya menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang relevan sehingga memungkinkan siswa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh proses sosialisasi dan sosialisasi kritis (counlersocialization) secara demokratis (Engle and Ochoa, 1988) dalam proses transaksional mengembangkan pemahaman dan pengetahuan, penghayatan nilai-nilai, pengembangan sikap positif, dan pengimplementasian ajaran dan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam perilaku nyata sehari-hari di lingkungan sekolah. Menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang relevan seperti di atas dinilai oleh guruguru jauh akan lebih efektif bila dibandingkan hanya dengan menyisipkan atau mengintegrasikan muatan materi atau conieni ajaran-ajaran Tri Hila Karana itu ke dalam kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran rumpun IPS di sekolah. Semua ini juga diharapkan akan menumbuhkan pendekatan dan iklim belajar yang khas sesuai dengan kebiasaan belajar orang Bali bagi siswa, terutama dalam mengembangkan wawasan, nilainilai, sikap, komitmen, kompetensi, dan praktik kehidupan religius dan sosial budaya berlandaskan ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karana tersebut. Apa yang dipersepsi, dipahami, diyakini, dan disikapi, serta menjadi komitmen guru-gum seperti di atas dalam upayanya mewujudkan gagasan ajeg Bali di lingkungan sekolah ternyata tidak jauh berbeda pula dengan apa yang dipersepsi, diyakini, disikapi, dan yang menjadi komitmen para siswa. Diakui bahwa pengetahuan dan wawasan siswa tentang konsep-konsep dan nilai-nilai serta sikap dan komitmen mereka terhadap prinsipprinsip dan norma-norma yang diturunkan dari ajaran dan pandangan hidup Tri Hita Karana masih sangat terbatas jangkauan atau ruang lingkup dan pendalamannya. Ini tidak saja karena keterbatasan mereka dalam proses sosialisasi ajaran dan nilai-nilai Tri Hita Karana di lingkungan keluarga dan di masyarakat mereka, tetapi kesempatan belajar mereka secara fonnal di sekolah pun memang masih cukup terbatas Pendidikan sosialisasi ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karam di lingkungan keluarga siswa berlangsung secara in fonnal. Hampir identik dengan apa yang menjadi pengalaman belajar guru-guru, siswa belajar nilai-nilai Tri Hita Karana di lingkungan keluarga juga melalui pendekatan pralyaksa premana, anumana premana, dan sabda premana yang terbatas. Dengan jalan praiyaksa premana, siswa memperoleh kesempatan terlibat langsung dalam proses-proses keluarga mengimplementasikan nilai-nilai Tri Hita 167 Karana itu seudiri. Umumnya siswa terlibat dalam pelaksanaan proses-proses ritual dalam keluarga serta kewajiban-kewajiban sosial kemasyarakatan yang menyertai proses-proses ritual tersebut. Proses-proses ritual serta kewajiban-kewajiban sosial yang menyertainya memang banyak mengandung muatan informasi dan nilai-nilai simbolik yang perlu dipelajari anak dalam keluarga. Dengan jalan ini orang (ua atau orang dewasa lainnya cukup memberikan contoh, petunjuk, dan perintah kepada anak-anak untuk turut melaksanakan kegiatan-kegiatan keluarga. Anak-anak kemudian melakukan observasi, langsung niendemontrasikan atau mengerjakan lugas-lugas, dan mengevaluasi serta merefleksi tindakan mereka berdasarkan contoh atau keteladanan orang tua. Diakui siswa, pendidikan sosialisasi nilai-nilai Tri Hita Kararta di lingkungan keluarga lebih bersifat partisipatoris dan demokratis dengan penekanan pada segi sikap dan praktik implementasinya. Ini adalah ciri utama pembelajaran nilai-nilai religius dan sosial budaya kemasyarakatan pada masyarakat Bali pada umumnya sebagai nian a dinyatakan oleh Suryani (1992). Di lingkungan masyarakat, anak juga belajar sosialisasi nilai-nilai Tri Hila Korona melalui proses pelibatan langsung dalam keliidupan bermasyarakat walau tidak sebanyak waktu yang dibutuhkan dalam berinteraksi dalam lingkungan keluarga. Untuk ini siswa yang sudah menginjak masa remaja umumnya ikut terlibat pada keliidupan seka teruna terani atau deha/teruna (kelompok remaja putera'puteri) di wilayah desa adatnya masing-masing dengan ikut mengambil peran yang besar dalam pelaksanaan kegiatan religi/ritual serta kewajiban sosial budaya kemasyarakatan yang menyertai di desa adatnya. Di seka ini siswa umumnya ikut terlibat aktif menyiapkan bahan-bahan upacara untuk desa yang diadakan pada setiap upacara berdasarkan perhitungan kalender (waktu) Bali baik yang menyangkut pelaksanaan upacara dewa yadnya, resi yadnya, pitra yadnya, manusia yadnya, maupun upacara bhuta yadnya untuk desa. Para remaja siswa ini juga umumnya ikut pada seluruh tahapan proses upacara, ikut menyiapkan persembahan sesajian, ikut menyiapkan dan menyuguhkan tari-tarian dan tabuh serta kegiatan seni lainnya yang dibutulikan dalam setiap upacara, ikut mengembangkan seka santi dengan melakukan kegiatan dharma gila, aktif dalam kegiatan gotong t oyong dan keija bhakti dalam menyiapkan dan melaksanakan seluruh rangkaian proses upacara, dan kegiatankegiatan desa adat lainya dalam mewujudkan nilai-nilai 't 'n Htla Karana di lingkungan desa adai masing-masing. 168 Dengan kondisi pengalaman belajar seperti di atas, diyakini bersama-sama oleh guru dan siswa bahwa dalam rangka pendidikan sosial siswa di lingkungan sekolah dalam upaya mewujudkan gagasan ajeg Bali bagi kepentingan seluruh masyarakat Bali, maka pendidikan sosialisasi beriri hila karana di lingkungan sekolah juga dinilai sangat vital bagi kebutuhan siswa, orang tua siswa, maupun seluruh masyarakat Bali. Dan ini akan dapat menunjukkan kontribusi sekolah dalam ikut mendinamisasi gerakan moral masyarakat Bali dalam rangka implementasi konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa upaya rekonstruksi pemahaman dan nilai-nilai sosial budaya Bali dan pendidikan diperlukan oleh guru-guru dan siswa dalam upayanya menyesuaikan program Pendidikan IPS dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka Ajeg Bali. Pertama, walau diakui guru-guru dan siswa bahwa konsep .dan nilai-nilai sosial budaya Bali yang intinya ada dalam konsep Trt Hila Karana memiliki juga nilai-nilai yang bersifat universal, tetapi, dalam realita praktik sehari-hari, nilai-nilai tersebut juga bersifat unik sesuai dengan konsep desa kala paira. Karena itu, untuk dapat diimplementasikan dalam praktik program Pendidikan IPS di sekolah, tentu memerlukan upaya adaptasi dalam proses sosialisasi dan edukasinya di lingkungan sekolah. Setidaktidaknya program Pendidikan IPS perlu diredefinisikan agar lebih sesuai dengan tuntutan perubahan sosial budaya masyarakat setempat sehingga dapat berfungsi dalam proses produksi budaya bagi orang-orang terdidiknya (Levinson dan Holland, 1996). Pendidikan IPS, karena itu, tidaklah semata-mata sebagai program pendidikan konsep-konsep dasar Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi dan Antropologi, dan. pendidikan Tata Negara saja seperti yang terjadi di sekolah dan dipersepsi oleh guru-guru rumpun IPS selama ini. Pendidikan IPS, menurut guru-guru dan siswa, haruslah dapat menjadi program pemberdayaan peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangannya untuk menguasai kecakapan-kecakapa» hidup di bidang sosial baik yang mencakup pengetahuan, nilai-nilai, sikap, setj-commUnteni. self-cunfidcnce, seria kompetensikompetensi sosial yang berguna dalatn kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dapat membantu siswa berpartisipasi aktif dalam memecahkan masai aii-m asal ah sosial dari lingkungan secara rasional baik yang terjadi di lingkungan masyarakat lokal, daerah, nasional, maupun global. Program Pendidikan IPS seperti ini tampaknya dapat memberikan guru-guru lebih fleksibel dalam menyesuaikan tujuantujuan Pendidikan IPS dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Dengan begitu program Pendidikan IPS sesungguhnya tidaklah terbatas pada pendidikan ilmu-ilmu sosial 169 seperti di atas saja, melainkan mencakup pula pendidikan agama, budi pekerti, ideologi, pendidikan budaya lokal, pendidikan bahasa, kesenian, bahkan termasuk pendidikan lingkungan dalam arti luas (bandingkan dengan definisi Social Studies, NCSS, 2000; definisi IPS, Somanlri, 2001).. Kedua, secara implisit sesungguhnya harapan-harapan yang berkembang di atas menunjukkan bahwa progi"am Pendidikan IPS perlu menyesuaikan dengan tiga level tuntutan masyarakat, yaitu di samping sudah sebagaimana mestinya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada level nasional dan level global, Pendidikan IPS di Bali juga seharusnya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal Bali, yaitu dalam rangka memenuhi harapan pembentukan manusia modem berwatak atau berkarakter Bali yang bersendikan nilai-nilai Tri Hila Karana (bandingkan dengan Stopsky & Lee, 1994; Tmjillo, 1996). Dalam kesadaran guru-guru dan siswa, sesungguhnya mereka menghendaki agar Pendidikan IPS seharusnyalah memberi peluang pula bagi tumbuhnya kesadaran ideologi yang memiliki ikatan sejarah dan budaya dengan kebudayaan Bah sebagai sarana identifikasi etnis (Trujillo, 1996). Hal inilah yang sesungguhnya memerlukan upaya rekonstruksi program Pendidikan IPS agar secara rasional dan berkeadilan berbasis pula pada upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan lokal Bali yang berdasar pada nilai-nilai Hindu, Tri Hiia Karana. Masalahnya, bagaimana kebudayaan lokal Bali dengan basis nilai-nilai Tri Hiia Karananya dikonstruksi pula oleh guru-guru dan siswa untuk dapat diintegrasikan dalam program Pendidikan IPS yang ada di sekolah. Ketiga, harus jujur diakui bahwa guru-guru sesungguhnya belumlah memiliki pemahaman yang memadai bagaimana konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma, dan kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan kebudayaan Bali yang berbasis ideologi Tri Hiia Karana dapat diintegrasikan dalam program Pendidikan IPS di sekolah sesuai dengan standar yang berlaku dalam kurikulum 1994 disempurnakan. Hal ini tampaknya berkaitan dengan pengalaman guru-guru sendiri dalam pemahaman tentang kebudayaan Bali memang belum pernah diupayakan secara formal dan ilmiah. Ini berimplikasi pada pembentukan struktur pengetahuan tentang kebudayaan Bali secara formal abstrak masih sangat terbatas. Inilah pula kemudian yang menyebabkan guni-guru dan siswa lebih mengandalkan pengalaman belajarnya secara alamiah dalam melakukan pola-pola sosialisasi dan internalisasi kebudayaan Bali dalam lingkungan sosial budaya masyarakat dengan menempatkan proses imitasi dan identifikasi terhadap model sebagai proses utama belajar. 170 Dengan demikian, penciptaan iklim lingkungan belajar yang memungkinkan proses sosialisasi dan internalisasi budaya melalui proses imitasi dan identifikasi model menjadi sangat penting dilakukan di sekolah. Di sinilah penggunaan konsep belajar melalui iri premana itu dikembangkan. Di sini, konsep kebudayaan Bali dengan nilai-nilai Tri H Ha Karunaiiya diasumsikan dapat diciptakan strukturnya dalam lingkungan sekolah dan dalam bubungannya dengan masyarakat desa adat dengan menganalogikan bahwa sekolah adalah model keluarga atau kelompok masyarakat desa adat yang telati melaksanakan nilai-nilai fundamental kebudayaan Bali berbasis nilai-nilai Tri Hita K a rana tersebut. Dengan begitu guru-guru, kepala sekolah, dan pegawai dapat dijadikan model sebagai orang tua di keluarga atau model pemimpin masyarakat di desa adat. Dengan model inilah kemudian siswa melakukan imitasi dan identifikasi berdasarkan proses-proses belajar sesuai dengan siklus iri premana: pra/yaksa premana, belajar secara langsung melalui pengamatan, merasakan, menghayati, dan melakukan; sabda premana, belajar melalui mendengarkan penjelasan guru, orang suci, membaca kitab suci, dan pemanfaatan sumber-sumber belajar lainnya; dan anumana premana, belajar melalui refleksi diri dan pengembangan penalaran reflektif atau pengembangan logika secara mandiri. Akhirnya, jika disimak rekonstruksi pemahaman budaya dan proses belajar seperti di atas, hal ini bukanlah tidak memiliki dasar-dasar rasional. Beberapa dasar teori belajar formal sesungguhnya dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Pertama, semua teori belajar, dari teori behavioristik hingga konstruktivisme (Gredler, 1992; Vygotsky,) balikan teori belajar kuantum, menyatakan bahwa penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif adalah hal yang paling pokok keperluannya dalam proses sosialisasi atau proses belajar. Dalam hal ini tidak ada proses belajar yang terjadi yang hampa dari faktor konteks lingkungan belajar. Proses belajar pada dasarnya adalah proses adaptasi subjek terhadap lingkungan agar subjek dapat menguasai lingkungan itu sendiri (lihat Gagne, Piaget, Vigotsky, Bandura, dan lain-lain dalam Gredler, 1992). Kedua, lingkungan belajar yang telah dibentuk dapat digunakan sebagai model dalam belajar. Penggunaan model dalam belajar adalah sangat penting tidak saja untuk belajar aspek-aspek prilaku konkrit, tetapi juga dapat digunakan dalatn mengembangkan proses-proses kognisi dan afeksi (sikap) yang bersifat abstrak dan kompleks. Gagne, Briggs. dan Wager (1992; Gredler, 1992), misalnya, menunjukkan pentingnya model dalam belajar sikap. Dewasa ini, sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa televisi telah banyak berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kepribadian anak-anak dan 171 kelompok remaja karena kemampuannya menunjukkan model dalam citra audio visual yang menarik. Sejalan dengan ini, Bandura (Gredler, 1992) yang terkenal dengan teori belajar kognisi sosialnya juga menunjukkan betapa penting artinya sebuali model dalam belajar. Seseorang dapat belajar dari model melalui proses imitasi secara langsung dan dapat pula belajar secara tidak langsung melalui konsekuensi yang diterima dari perilaku model (Gredler, 1992). Teori belajar terbaru dari konstruktivisme juga menunjukkan pentingnya proses modeling dalam belajar sosial. Hasil penelitian Sukadi (2005) menunjukkan \>ahwa dengan menggunakan pendekatan kontruktivisme, mahasiswa jurusan PPKN yang mengambil mata kuliah "Belajar dan Pembelajaran" lebih mudah memahami konsep-konsep belajar dan implementasinya dalam pembelajaran jika mahasiswa diberikan model simulasi pembelajaran yang sesuai dengan aplikasi teori belajarnya di awal pembelajaran. Ketiga, melalui model, seseorang bisa belajar melalu! proses imitasi dan identifikasi dengan model. Belajar melalui proses imitasi ini dimungkinkan baik untuk belajar prilaku dalam unjuk kerja maupun belajar proses-proses kognisi dan proses afeksi yang kompleks. Teori-teori belajar behavioristik dari Skinner dan teori belajar sosial dari Bandura memberikan dukungan untuk ini (Gredler, 1992). Begitu pula, Wulf (2002), seorang ahli antropologi pendidikan, menjelaskan betapa pentingnya konsep mimesis dalam berbagai aktivitas, imajinasi, pembicaraan, dan dalam pemikiran manusia; dan hal ini menggambarkan kebutuhan yang esensial dalam kehidupan sosial. Mimesis, dalam hal ini, secara kasar dapat diidentikkan dengan proses imitasi, sekaligus juga sebagai presentasi dan ekspresi (Wulf, 2002:51). Imitasi di sini tidaklah dilakukan secara pasif, melainkan berlangsung dalam proses menjadi. Keempat, pemahaman guru dan siswa tentang konsep dan nilai-nilai Tri H t ia Karana serta gambaran implementasinya dalam wujud-wujud kebudayaan Bali yang harus dikembangkan dan dilestarikan dalam rangka ajeg Bah bukanlah satu produk struktur pengetahuan yang sudah jadi. Baik guru maupun siswa sesungguhnya memahaminya, menghayatinya, menyikapinya, mengaktualisasikannya, sena menjaganya adalah sebagai suatu proses budaya dalam proses menjadi. Dengan begitu bersama-sama komponen masyarakat yang lain proses rekonstruksi pengetahuan terus berlangsung. Di sini guruguru dan siswa tidak hanya belajar memahami strukturnya, tetapi juga berupaya menghayati dan melakukannya, sehingga membentuk satu iklim kehidupan yang secara terus menerus juga dievaluasi dan direfleksikan. Di sinilah sesungguhnya konsep belajar dengan melakukan (learnmg by doing) dan merefleksikan dalam siklus-siklus belajar 172 menggunakan pendekatan iri premana dilakukan. Hal ini tidak lain adalah sebagai suatu pendekatan konstruktivisme Hindu yang berlangsung dalam iklim pendidikan yang alamiah, yang sesungguhnya pula telah menerapkan prinsip-prinsip belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi, dan belajar hidup bersama dalam masyarakat pebelajar (S u bagi a, 2000). G. Konteks Orientasi Nilai-nilai Kebangsaan (Nasionalisme) dalam Pengembangan Praktik Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud 1. Agama Hindu dan Ideologi Nasional Pancasila Masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Ubud pada khususnya merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Maka. tidaklah berlebihan juga jika dikatakan bahwa masyarakat Bali, di samping melaksanakan dan mendukung kehidupan sosial yang berkarakter kebudayaan Bali, juga melaksanakan dan mendukung kebudayaan Indonesia; dan, karena itu juga, mendukung nilai-nilai keindonesiaan. Kesadaran akan keindonesiaan itu tidaklah dimiliki orang Bali baru sekarang ini saja, melainkan telah terjadi pula balikan pada masa pergerakan nasional dan pada masa kemerdekaan. Sejarah pergerakan nasional dan sejarah kemerdekaan RI telah menunjukkan bagaimana kontribusi orang Bali pada pengembangan konsep dan nilai-nilai keindonesiaan. Diterimanya konsep negara kesatuan dan menjadikan Bali sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia; diterimanya Pancasila dan UUD 1945; diterimanya kepemimpinan nasional; diterimanya simbol-simbol kesatuan negara dan bangsa Indonesia seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ikan ya, dan penggunaan bahasa Indonesia; diterimanya program-program dan kebijakan-kebijakan pembangunan nasional di Bali; serta keikutsertaan masyarakat Bali dalam pentas sejarah partisipasi sosial politik, militer, sosial budaya, dan sosial ekonomi cukup untuk menunjukkan bahwa kesadaran kehidupan berbangsa Indonesia dengan nilai-nilai nasionalismenya telah dimiliki oleh orang Bali. Dalam perkembangannya, kesadaran nasionalisme Indonesia orang Bali terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia. Dalam tataran ideologi dan filosofi, keberadaan ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yakni Pancasila, diyakini sepenuhnya oleh masyarakat Bali sangat sesuai dengan dasar agama dan pandangan hidup orang Bali. Relevansi ini makin menguatkan kesadaran 173 nasionalisme orang Bali bahwa pada dasarnya orang Bali itu sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Indonesia juga, karena memiliki kesesuian ideologis dan pandangan hidup. Dengan keyakinan seperti ini, balikan dapat dikatakan bahwa kesadaran nasionalisme orang Bali tidaklah saja merupakan kesadaran nasionalisme yang bersifat politis tetapi telaii menyatu pula dalam kesadaran nasionalisme budaya (Widja, 2001). Ini artinya, secara ideologis, kesadaran nasionlisme orang Bali tidak lagi sematamata ditentukan oleh kemauan politik atau balikan oleh tekanan politis kekuasaan dalam hubungan kekuasaan pusat dan daerah, tetapi kesadaran itu memang telah tumbuh mejadi bagian dari kesadaran kehidupan budaya orang Bali. Ini dapat dievaluasi dari bagaimana pandangan hidup orang Bali dengan Hindunya terhadap dasar dan pandangan hidup Pancasila baik pada nilai-nilainya secara sila demi sila maupun dalam satu kesatuan maknanya Dalam hal ini, Pancasila tidak saja diterima sebagai cenier of ideas, tetapi juga menjadi btlieve siructureny&, dan ideologi nasionalnya orang Bali (Somantri, 2001). Pertama, orang Bali dengan ajaran Hindunya telah dapat menerima kebenaran nilai-nilai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini ajaran Hindu Bali sendiri dalam konsep keTuhanannya memang menganut faham monoteisme, yaitu keyakinan tentang kebenaran bahwa sesungguhnya Tuhan itu adalah Esa dan tidak ada duanya (VViana, 1993). Mantram Tri Sundhya bait kedua salah satunya menyatakan kebenaran tersebut, yaitu: Narayanah na dviiiyo 'sii kaset i (Wiana, 1993:19). (Tuhan/Narayaita hanya satu tidak ada yang kedua). Karena itu, agama Hindu juga mengembangkan keimanan dan ketaqwaan (crada, bhakii, dan karma) terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui pelaksanaan kerangka agama Hindu yag meliputi taiwa (sistem filsafat), susila (sistem etika), dan upacara (sistem ritual). Begitu pula. ajaran Hindu mengakui adanya hak dan kebebasan setiap individu manusia untuk menganut agama atau ajaran keyakinan/kepercayaannya masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama atau keyakinannya itu. Sivananda (1993:2) mengatakan terkait dengan kebebasan ini sebagai berikut: "Hinduisme, tidak seperti agama-agama lain, tidak secara dogmatis menyatakan bahwa pembebasan akhir dimungkinkan hanya melalui caranya sendiri dan tidak dapat dengan cara lain. Ia hanya merupakan satu cara untuk satu tujuan dan semua cara yang akhirnya akan membawa pada tujuan, disepakati secara bersama-sama". Lebih lanjut dikatakan: Hindu memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional dari manusia. Hinduisme tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir manusia, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan keinginan manusia, la 174 memperkenankan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hinduisme adalah suatu agama pembebasan. (1993:2). Dengan dasar-dasar keyakinan dan nilai-nilai seperti di atas jelaslah bahwa nilainilai Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran dan keyakinan agama Hindu. Keyakinan dan nilai-nilai di atas melandasi sikap dan perilaku manusia Bali Hindu bahwa secara vertikal manusia harus beriman dan bertaqwa (memiliki crada, bhakli, dan karma yang baik) kepada Tuban Yang Maha Esa; dan dengan dasar keimaan seperti itu membangun hubungan kehidupan yang harmonis pula dengan sesama manusia dengan memberiku hak dan kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki dan menjalankan crada dan bhakii sesuai dengan keyakinan dan kepercayaaannya. Untuk itulah perlu dikembangkan sikap toleransi dan saling menghormati keyakinan dan cara menjalankan ibadah {bhakii) setiap individu kepada Tuhan Yang Maha Esa (Wiana, 1993). Agama Hindu Bali mengakui bhinneka tinggal ika ian hana dharma mangrua. Artinya, walau berbeda-beda, sesungguhnya kita adalah satu dalam dharma (kebajikan), tidak ada dharma (Tuhan) yang kedua. Kedua, orang Bali Hindu juga memiliki konsep dan nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan konsep pawonganaya. yang mengajarkan perlunya manusia membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia atas landasan nilai-nilai iai iwam asi (kesamaan semua makhluk bersumber dari Tuhan Yang Malta Esa), manusia Bali mengakui bahwa semua manusia memiliki kedudukan, derajat, dan martabat yang sama di hadapan Tuhan tanpa membeda-bedakan suku/etnis, agama, ras, warna kulit, pangkat dan jabatan, kecuali semata-mata karena perbuatan atau perilakunya (karma wacananya). Pengakuan bahwa sesungguhnya manusia itu sama-sama bersumber dari Tuhan (Brahman atman atkyam) berimplikasi kepada ajaran dan nilai-nilai bahwa manusia haruslah saling menghormati, saling mengasihi, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tenggang rasa, tidak semena-mena kepada orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan melalui bentuk manusia yadrtya, berani membela kebenaran dan keadilan, serta menjalin hubungan dengan seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan agama, suku/etnis, ras, jenis kelamin, dan sejenisnya. Ketiga, masih sejalan dengan nilai-nilai di atas, manusia Bali juga menjunjung tinggi nilai-nilai bhinneka tunggal ika, yaitu walau kita berbeda-beda suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, bahasa, adat istiadat, dan sejenisnya, sesungguhnya kita adalah satu. Dengan pengakuan bahwa manusia Bali adalah orang Indonesia, maka sesungguhnya kesatuan itu juga meliputi persatuan dan kesatuan Indonesia. 175 Manusia Bali mengakui adanya bangsa dan negara Indonesia melalui dharmanyz sebagai dharma negara di samping sebagai dharma agama. Dalam menjalankan dharma negaranya, manusia Bali hanya mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan negaranya sebagai wahana pengabdiannya kepada negara (dharma negara). Dalam menjalankan prinsip dan nilai-nilai ini, manusia Bali tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tai iwarn asi. Ini tentu sejalan dengan konsep dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan Indonesia hidup dalam taman sarinya kemanusiaan. Keempat, ajaran dan praktik adat kemasyarakatan Hindu di Bali memang tidak secara khusus mengenal konsep demokrasi, apalagi konsep demokrasi dalam pemerintahan. Tetapi, ini tidaklah berarti bahwa orang Bali Hindu tidak memiliki dan tidak menjalankan praktik nilai-nilai demokrasi sesuai dengan jiwa sila keempat Pancasila. Geertz (1984) menemukan bahwa praktik demokrasi telah berlangsung dalam pemerintahan desa di Bali di mana kekuasaan tertinggi pada demokrasi desa berada di tangan dewan desa (lihat juga Atmadja, 1998). Atmadja (1998:16) menambahkan bahwa dewan desa sebagai pemegang kedaulatan rakyat memandatkan kekuasaannya kepada seorang pemimpin yang disebut bendesa adat (Surpha, 1992; Warren, 1991). Karena itu, nilai-nilai demokrasi dimiliki oleh orang Bali dan penerapannya berakar pada nilai-nilai agama dan budaya Hindu yang sangat menjunjung nilai-nilai keberagaman atau perbedaan, tetapi yang berbeda-beda itu harmonis, indah, dan sesungguhnya berasal dari satu kebenaran (dharma), yaitu kebenaran Tuhan Yang Maha Esa (Bhinneka lunggal ika tan hana dhurma mangrua). Pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi perbedaan ini jelas telah mengandung nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan masyarakat multikultur. Dengan ajaran ia t /wam asmya, manusia Hindu Bali juga mengakui pula hak-hak dan kewajiban setiap makhluk di bumi ini: mengakui hak dan kebebasan beragama atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengakui kesamaan kedudukan, derajat, dan martabatnya: mengakui hak-hak hidupnya; dan sejenisnya. Dengan nilai-nilai ini jelas orang Bali mengakui adanya nilai-nilai persamaan dan kebebasan sebagai nilai-nilai utama dalam demokrasi. Begitu pula, dengan nilai-nilai pawongan yang dilandasi oleh nilai-nilai paruhvangan, manusia Bali telah mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang berpilar Ketuhanan Yang Maha Esa (bandingkan dengan Sanusi, 1998; 1999). Demokrasi seperti ini mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan; pengakuan terhadap hak-hak komunal (bersama) terutama pada hak-hak atas tanah desa; 176 keputusan diambil dengan musyawarah mufakat; melaksanakan hasil musj_~_— T bertanggung jawab; dan dalam hubungan pemimpin dengan bawahan,ii^ , menerapkan prinsip sang nala ngiras sang kaula, sang kaula ngiras sang ttaitfjjjf^jik mengikuti kehendak suara rakyat, rakyat patuh kepada pemimpinnya). KehidSupSw tfeSgsfif^ nilai-nilai seperti di atas masih kental dapat kita ketahui dalam kehidupan pe^ desa adat di Bali (Atmadja, 1998), dan ini jelas pula merupakan nilai-nilai dasar demokrasi dalam kehidupan masyarakat tradisional. Akhirnya relevan dengan jiwa dan semangat nilai-nilai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, orang Bali Hindu juga memiliki ajaran catur purusha artha, yaitu: dharma, artha, kama, moksa, bii mengajarkan bahwa kebahagiaan yang berupa kesejahteraan lahir (artha dan kama) dan bathin (moksa) haruslah dicapai dengan Iandasan dharma atau kebenaran dan keadilan, dan kesejahteraan itu harus mencakup kepentingan bersama orang banyak. Ajaran catur purusha artha juga mendidik orang Bali bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban sekaligus untuk mendapatkan kesejahteraan berupa harta {artha) dan pemenuhan kebutuhan {kama) lainnya. Ini mewajibkan setiap manusia harus mau bekerja keras dengan Iandasan etos keija hukum karma yang didasari oleh pelaksanaan ajaran iri kaya partsudha (manacika, wacika, kayika), yaitu bersatunya kata, hati, dan perbuatan untuk membentuk perilaku yang baik (cuhha karma). Di samping artha dan kama, manusia juga wajib mengupayakan kebahagian bathiniah {moksa) dengau mengikuti ajaran kaidah-kaidah agama {dharma) (Genya, 1991; Gorda, 1996; Wiana, 1993). Guru-guru dan siswa SMU Negeri 1 Ubud sebagai bagian kecil orang Bali memiliki keyakinan dan nilai-nilai sebagai tergambar di atas. Bagi mereka. Pancasila memang merupakan dasar negara dan ideologi nasional yang paling tepat digunakan bagi kepentingan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan kandungan nilainilai Pancasila diyakini guru dan siswa relevan dengan nilai-nilai ajaran Hindu Bali sebagaimana dijelaskan di atas. Karena itu, mereka tidak perlu meragukan lagi bahwa Pancasila dapat digunakan sebagai dasar negara dan ideologi nasional yang akan menguatkan nilai-nilai nasionalisme mereka. Di sinilah maknanya Pancasila sebagai ideologi terbuka (Kaelan, 2003). Sejalan dengan pandangan seperti itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan masih perlu dipertahankan dalam rangka tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan demi pendidikan nilai-nilai nasionalisme. Hanya saja menurut pandangan siswa, Pendidikan Pancasila mestinya lebih merupakan pendidikan demokrasi dari pada 177 ^menerapkan pola indoktrinasi; dan harus ada komitmen semua komponen masyarakat, bangsa, dan negara untuk merealisasikan cita-cita pembentukan masyarakat Pancasila yang demokratis sesungguhnya dan bukan merupakan ciri masyarakat yang munafik: pandai dalam menjelaskan nilai-nilai Pancasila, tetapi tidak bijaksana dalam menerapkannya. Dari berbagai uraian di atas, secara strutural dapat dipahami bahwa masyarakat Bali sebagai bagian dari masyarakat Indonesia seluruhnya mengakui bangsa dan negara Indonesia sebagai tujuannya dalam menjalankan dharma negaranya.. Dalam pandangan liukuin rwa bhinneda, masyarakat Bali sebagai bagian dari kekuatan buana alit haruslah memiliki hubungan yang harmonis dengan kekuatan dunia yang lebih luas sebagai buana agungnya, yaitu Bangsa dan Negara Kesatuan Indonesia. Hubungan struktural dalam oposisi biner ini membentuk relasi peugabdian dengan menempatkan kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan suku atau golongan yang dengan demikian menjadi wahatia bagi masyarakat Bah dalam menjalankan dharma negaranya di samping menjalankan dharma agamanya (Widja, 1991). Karena itu bagi orang Bali, menjalankan kewajiban terhadap bangsa dan negara Indonesia dipandang sebagai bagian dari tugas suci yang utama, yang dengan pengorbanan-pengorbanan kepadanya dapat mengantarkan manusia mencapai sorga. 2. Peranan Agen-agen Sosial dan Pemerintahan dalam Konteks Pembentukan Identitas Nasional Masyarakat Bali Di samping Pancasila dan simbol-simbol kebangsaan lainnya yang diyakini guruguru dan siswa dapat menguatkan sikap nasionalisme mereka, peranan agen-agen sosial seperti pemerintahan, organisasi politik, media massa, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan pendidikan sekolah juga memiliki andil yang besar dalam niensosialisasikan dan membentuk citra (imagej dan nilai-nilai nasionalisme mereka. Keterlibatan masyarakat Bali dalam keliidupan berbangsa dan bernegara yang ditunjukkan dalam partisipasinya pada sektor pemerintahan dari level pemerintahan desa hingga level pemerintahan pusat menunjukkan bahwa orang Bali cukup kuat nilai-nilai dan sikap nasionalismenya. Partisipasi masyarakat desa adat yang tinggi baik terhadap pemerintahan desa adat maupun desa dinas sebagai perpanjangan tangan pemerintahan nasional (Waren, 1991; Widja, 1994) sekali lagi menunjukkan bukti nilai-nilai nasionalisme masyarakat Bali juga tinggi. 178 Pandangan dan sikap-sikap guru dan siswa SMU Negeri 1 Ubud terhadap pemerintahan Indonesia juga masih sangat positif. Mereka mengakui eksistensi pemerintahan Indonesia yang menjalankan sistem pemerintahannya baik secara terpusat maupun dengan sistem desentralisasinya. Pengakuan ini menunjukkan pengakuan integrasi masyarakat Bali dalam kekuasaan negara dan pemerintahan Indonesia yang secara bersama-sama mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan ini, mereka juga mengakui seluruh alat-alat kelengkapan negara dan sistem pemerintahan Indonesia yang diwujudkan untuk menjalankan tugas-tugas dan fungsi negara dan pemerintahan dalam mencapai kesejahteraan, keadilan, keamanan dan stabilitas nasional, dan dalam memajukan bangsa Indonesia. Imuge yang juga muncul di kalangan guru-guru dan siswa pada umunya terhadap pemerintahan era reformasi di Indonesia adalah pemerintahan yang lebih demokratis. Dimulai dengan adanya pemilu dengan sistem multi partai, dan kemudian disusul dengan perubaltan iklim politik seperti pemilihan presiden/wakil presiden yang lebih demokratis, perubahan UUD 1945, adanya rencana pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, diberlakukannya undang-undang sistem desentralisasi pemerintahan, penyederhanaan departemen pemerintahan, serta meningkatnya peran masyarakat dalam pengambilan dan perumusan kebijakan publik, memberikan angin segar bagi tumbuhnya faham kebebasan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Euporia pesta demokrasi seperti itu sebagian dimanfaatkan oleh kalangan siswa untuk menunjukkan kebebasan dalam kreativitasnya pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan dalam kebebasan menentukan pilihan jurusan serta dalam hubungan guru dan siswa yang tidak lagi didasari semata-mata oleh hubungan dominasi kekuasaan. Namun, euporia demokrasi dan kebebasan ini juga sebagian ditanggapi oleh guru dan siswa dengan sikap was-was yang memunculkan kuatnya dorongan untuk mengadakan pendidikan budi pekerti berbasis pada budaya lokal, walau ini juga tidak selalu sejalan antara kepentingan kebebasan berekspresi dengan pemertahauan status quo kepentingan guru yang dinilai ingin mempertahankan dominasi kekuasaan. Baik guru-guru dan siswa memang tetap mengkritisi lemahnya pemerintahan Indonesia dalam menegakkan supremasi hukum, meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat lemah, menjamin pemerataan pembangunan antar daerah, menangani isu-isu gerakan etnisilas, memajukan ekonomi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, dan dalam memberantas perilaku menyimpang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan mi dinilai terjadi pada semua level pemerintahan baik di pusat 179 maupun di daerah. Kondisi ini, menurut guru-guru dan siswa, memang merupakan tantangan dalam membangun dan mengembangkan sikap nasionalisme Indonesia. Dan ini menjadi isu-isu penting dalam menyikapi pemilihan elit-elit politik dan pemerintahan baik di tingkat daerah maupun pusat, termasuk juga dalam pengembangan wawasan kebangsaan di sekolah. Peranan gerakan-gerakan organisasi sosial politik dan organisasi sosial kemasyarakatan dewasa ini juga memberikan citra yang positif terhadap guru-guru dan siswa SMU Negeri 1 Ubud, walau eksplanasinya tidak dapat semata-mata dijelaskan secara mekanistik dan linear. Menurut penilaian guru-guru dan siswa pada umumnya, tumbuhnya organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial politik pada umumnya di Indonesia yang bagaikan jamur tumbuh di musim hujan merupakan implikasi dari dibukanya kran demokrasi dan kebebasan dalam berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara yang memungkinkan peningkatan partisipasi sosial politik setiap anggota masyarakat sebagai warga negara dalam pemerintahan dan pembangunan nasional. Gejala ini menjadi isu-isu sosial yang turut mewarnai kebijakan sekolah, mewarnai iklim demokrasi di sekolah dan di kelas, dan mewarnai praktik-praktik pembelajaran di sekolah. Tumbuh menjamurnya organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia pada umumnya, dan di Bali, termasuk di Gianyar dan Ubud pada khususnya, walau dinilai guru-guru dan siswa tidak selalu dilandasi oleh kepentingan nasional, hal ini menandakan mulai munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya turut berpartisipasi dan menjadi subjek dalam pembangunan dan menghindarkan mereka dari penjajahan oleh bangsa sendiri karena dijadikan objek pembangunan. Dan ini, dari sudut kepentingan pengembangan pendidikan sekolah, dapat dijadikan peluang dan tantangan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia peserta didik, terutama dalam mengembangkan program-program pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan perkembangan masyar akat. Pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia ini, di samping karena makin beragamnya muncul kepentingan-kepentingan yang dibawakan oleh organisasiorganisasi sosial politik dan kemasyarakatan ini, upaya mengelola benturan antar kepentingan atau konflik kepentingan ini membutulikan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap yang bijaksana, bertanggung jawab dan demokratis, keimanan dan ketaqwaan yang tinggi, serta memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi pula untuk diabdikan kepada kepentingan nasional. 180 Bagi kepentingan sekolah, guru-guru, dan siswa, kebutuhan peningkatan kualitas sumber daya siswa perlu dikembangkan melalui peningkatan kualitas kecerdasan siswa dalam berbagai dimensinya, antara lain: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan kewarganegaraan, yang dalam bahasa kecakapan hidup yang dikembangkan oleh UNESCO mencakup pengembangan kecakapan personal, sosial, intelektual, akademis, dan kecakan vokasional (Depdiknas, 2004). Keseluruhan pengembangan kecakapan hidup seperti ini haruslah mampu diintegrasikan dalam program-program pendidikan sekolah, termasuk di dalamnya melalui program-program pendidikan IPS. Dimensi kebutuhan lain yang perlu dikembangkan di sekolah/kelas, dengan munculnya berbagai organisasi sosial politik dan kemasyarakatan yang membawakan berbagai macam dan level kepentingan seiring dengan peitumbuhan dan perkembangan konsep dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, adalah perlunya pengembangan wawasan nasional dan kesadaran hidup berbangsa yang mendalam, sehingga gerakan-gerakan demokrasi masyarakat itu tidak menyeret kepada perpecahan atau retaknya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kesetaraan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa, karena itu, perlu terus digali dan dikembangkan berbasis pada nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan yang universal untuk secara bersama-sama kemudian diabdikan bagi kemajuan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengembangan nilai-nilai ini dapat dikembalikan kemudian pada kebutuhan akan pendidikan nilai-nilai Pancasila yang akan membentuk dan mengembangkan center of idtu dan be/iefsiructurenya. masyarakat Indonesia (Somantri, 2001). 3. Isu Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Berbangsa Isu-isu sosial aktual yang juga turut mempengarulii program pendidikan di sekolah sebagai implikasi berkembangnya organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan adalah tentang perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk kesetaraan gender. Diakui guru-guru dan siswa bahwa isu kesetaraan gender ini memang cukup kuat pengaruhnya kepada iklim pendidikan kesetaraan gender di sekolah, walau diakui pula bahwa tidak seluruh permasalahan yang muncul dalam isu perjuangan kesetaraan gender itu dapat diikuti oleh sekolah. Dalam pandangan guru-guru dan siswa, memang sudah waktunya bagi perempuan di Indonesia pada umumnya dan perempuan di Bali pada khususnya untuk lebih menperjuangkan kesetaraan hak-haknya baik di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, bahkan dalam bidang pertahanan dan keamanan. Hal ini karena 181 dinilai bahwa sebegitu jauh sudah kemajuan pembangunan yang sudah dapat dicapai bangsa Indonesia, namun perlakuan terliadap dan peranan kaum perempuan Indonesia dalam berbagai aspek pembangunan masih dimarginalkan. Pada hal, jumlah penduduk perempuan di Indonesia sudah melebihi jumlah penduduk laki-lakinya. Jika perlakuan tidak adil kepada kaum perempuan ini dibiarkan tertindas oleh kuatnya pengaruh budaya patriarkhi, maka dipastikan bangsa Indonesia tidak akan pernah mencapai kemajuan setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Ini karena sebagian besar sumber daya manusianya dibiarkan terpasung dalam iklim ketidakberdayaan; bukan karena faktor kualitasnya yang lemah, melainkan karena faktor agama dan budaya (Fakih, 1999). Sehubungan dengan itu, gerakan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan gender ini perlu didukung semua komponen masyarakat tennasuk komponen lembaga pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah haruslah pula mengambil peran terdepan dalam memberdayakan kaum perempuan Indonesia pada umumnya dan perempuan Bali pada khususnya, sehingga mereka dapat mengembangkan seluruh potensinya secara optimal setara dengan kaum laki-laki, serta mendapat peluang dan peran serta diperlakukan sama dengan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan dai] seluruh aspek pembangunan (bandingkan dengan Astuti, 2000; Astuti, Indati, dan Sastriyani, 1999; Fakih, 1999; Sanjaya, 2000; Sudiatmaka, 2001; Tokoh, 2004). Menurut penilaian guru-guru dan siswa, ini tidak berarti bahwa keterbatasan fisik serta faktor-faktor budaya diabaikan sama sekali. Bagaimanapun pemberdayaan kaum perempuan haruslah tetap mempertimbangkan nilainilai, norma-norma, dan praktik-praktik budaya tertentu yang masih dinilai luhur dan dapat dipertahankan, seliingga kaum perempuan Indonesia tidak terjerumus ke dalam kebebasan gender (Sudiatmaka, 2001). Di sekolah, menurut guru-guru dan siswa, program pendidikan yang berorientasi kesetaraan gender dapat dilakukan melalui pengkajian materi-materi yang berkaitan dengan isu dan permasalahan kesetaraan gender yang diintegrasikan dalam mata pelajaran PPKn, atau pada mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi, sedikit pada mata pelajaran Sejarah dan Biologi, dan dapat pula menciptakan iklim kesetaraan gender pada berbagai kegiatan program pendidikan baik pada kegiatan kurikuler seperti di atas, kegiatan kokurikuler, maupun pada kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan kurikuler dan kokurikuler, di samping beberapa guru ~ seperti guru PPKn, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, dan guru Biologi - memberikan pemahaman dan pembinaan sikap kesetaraan gender melalui beberapa pokok bahasan yang relevan, materi-materi pembelajaran juga dinilai guru dan siswa tidak bersifat bias 182 gender; walau harus diakui bahwa dari segi sikap dan perilaku siswa dan guru dalam interaksi di kelas tidak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa hal masih tetap mempertahankan praktik bias gender. Untuk beberapa hal yang masih bias gender, menur ut guru dan siswa tidak dianggap sebagai sikap dan tindakan yang bias gender, melainkan karena sudah menjadi tradisi masyarakat Bali pada umumnya dan dinilai sebagai sikap dan nilai-nilai yang luhur. Hal ini berkaitan dengan pemahaman konsep dan nilai-nilai r*a bhinneda tentang karakteristik laki-laki dan perempuan yang dimiliki oleh guru dan siswa (Sudiatmaka, 200]). Pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, sekolah (dalam hal ini gum-gura) memang selalu berorientasi untuk tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang bias gender dalam memberikan kesempatan dan perlakuan kepada siswa dalam memilih dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Guru-guru, dalam hal ini, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk memilih dan melakukan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan bakat dan minatnya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin siswa. Semua ini bertujuan untuk memberikan peluang yang sama kepada siswa laki-laki dan perempuan untuk berkembang secara optimal dalam kemampuan, kepribadian, dan keterampilan vokasionalnya. Namun, ini juga harus diakui bahwa, dalam realitanya, pengaruh budaya patriarkhi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Ubud pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya tetap mempengaruhi pilihan-pilihan siswa perempuan dan laki-laki dalam memilih kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diminatinya, yang menunjukkan adanya bias gender. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan-kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler di atas, dalam hal pemililian jurusan, sekolah juga memberikan kesempatan vang seluas-luasnya kepada siswa untuk memilih jurusan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya tanpa mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin siswa. Dan siswa menyadari bahwa mereka memang telah memperoleh peluang/kesepatan dan perlakuan yang sama dari guru-guru dalam menentukan pilihan jurusannya. Namun, harus diakui guru-guru dan siswa bahwa pilihan-pilihan jurusan itupun akhirnya cenderung menunjukkan bias gender, walau sebenarnya kurang dikehendaki bersama. Begitulah, konsep kesetaraan gender diperjuangkan dalam kondisi yang sangat alamiah. Baik guru dan siswa sesungguhnya menyadari bahwa sekolah memiliki peranan yang sangat penting dalam (urut memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender bagi kaum perempuan Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya agar kaum perempuan tidak terus tersubordinasi oleh kaum laki-laki. Tetapi, karena kurang adanya kesadaran 183 bagaimana menciptakan dan mengembangkan iklim kesetaraan gender dan bagaimana kriteria kesetaraan gender yang diinginkan, baik guru maupun siswa tanpa disadari tidak bisa pula melepaskan diri dari sikap dan perilaku yang bias gender dalam interaksi edukasi di lingkungan sekolah atau kelas. Walau guru-guru teiali beiprinsip memberi peluang dan kesempatan yang sama, tetapi pilihan-pilihan yang alamiah tetap mempolakan mereka pada sikap dan perilaku yang bias gender. Dalam hal ini dapat dikatakan, sekolah tidak bermaksud mendidik {nurture) siswanya dalam sikap dan prilaku yang bias gender, tetapi secara biologis dan alamiah (nature) guru dan siswa masih mempraktikkan pola budaya patriarklii yang bias gender (Megawangi, 1999). Temuan seperti ini tampaknya relevan dengan temuan Sudiatmaka (2001) yang menyimpulkan bahwa sekolah tidak secara nurture mempraktikkan sikap dan perilaku bias gender, tetapi baik guru dan siswa secara biologis dan alamiah tanpa menyadarinya masih mempraktikkan pola budaya patriarklii dalam interaksi edukasinya yang menunjukkan adanya sikap dan perilaku bias gender. Kondisi ini sebenarnya dapat dijelaskan dari praktik budaya patriarklii dalam pandangan agama dan budaya Hindu di Bali (Miller and Branson, 1990). Dalam pandangan agama dan praktik budaya Hindu di Bah yang berbasis ideologi Tri Hiia Karana, dalam konsep parahyartgan, pawongan, dan paiemahan, sesunggulinya tercermin juga, dari dimensi hukum rwa hhinnedai\y&, adanya konsep kesucian dan kekotoran (Atmadja, 1999). Parahyangan adalah dunianya kesucian sebagai dunianya para dewa. Sedangkan paiemahan adalah dunia yang profan, sekuler, atau leleh. Setara dengan pemikiran di atas, konsep laki-laki dan perempuan juga membawa implikasi, dilihat d aji dimensi rwa hhineda. suci dan profan. Laki-laki merupakan simbol dunianya para dewa/parahyangan, sedangkan perempuan merupakan simbol dunianya paiemahan. Kaum perempuan disimbolkan mewakili dunia profan karena dianggap pada diri dan kodratnya membawa hal-hal yang tidak suci atau leleh (Miller and Branson, 1990). Pandangan seperti ini membentuk sistem nilai dalam sistem sosial budaya patriarkhi orang Bali yang menempatkan kaum perempuan dalam subordinasi kaum lakilaki yang melahirkan praktik-praktik ketimpangan gender atau perilaku bias gender di Bali. Kondisi seperti ini disadari oleh kaum perempuan Bali dewasa ini, termasuk oleh guru-guru dan para siswa SMU. Namun, mereka belum dapat berbuat banyak untuk melakukan perubahan-perubahan yang mengarah kepada kesetaraan gender karena mereka telah terikat oleh sistem nilai dalam kehidupan sosial budaya orang Bali yang terlanjur 184 dinilai luhur dan mulia; dan, karena itu, tidak mungkin mengubahnya secara revolusioner (Sanjaya, 2000; Sudiatmaka, 2001). Kondisi seperti ini pula, memang, tidak jarang memunculkan konflik nilai, tidak saja bagi kaum perempuan Bali itu sendiri, tetapi bagi masyarakat pada umumnya. Di satu sisi, mereka sudah menginginkan adanya perlakuan yang sama kepada kaum perempuan dan kaum laki-laki pada semua bidang kehidupan sosial budaya di masyarakat, namun, di sisi lain, mereka terlanjur telah memuliakan nilai-nilai perempuan yang dianggap luhur, yang secara tidak langsung juga niemarginalkannva. Lantas, konsep kesetaraan gender yang bagaimana yang mereka inginkan? Guru-guru dan siswa sepakat menyatakan bahwa semua itu masih dalam proses belajar menjadi (leaming how (o be). Yang penting bagi gum-gunj, mereka telah berupaya memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada siswa laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisasikan seluruh potensipotensinya. 4. Peranan Media Massa dalam Mensosialisasikan Nilai-nilai Nasionalisme Peranan media massa di Bali juga tidak kalah pentingnya dalam mensosialisasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat pada umumnya dan kepada generasi muda dan siswa SMU pada khususnya. Menurut guru-guru dan siswa, tiga jenis media massa, yaitu televisi, radio, dan surat kabar/tabloid memiliki peranan yang paling penting dalam memberikan infonuasi tentang berbagai peristiwa dan isu-isu aktual kontroversial dalam kaitannya dengan konsep dan nilai-nilai nasionalisme. Ketiga media ini melupakan media yang paling sering dan intensif dapat digunakan guru-guru dan siswa dalam memperoleh berbagai informasi termasuk informasi yang berkaitan dengan peristiwa dan isu-isu nasionalisme Berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai peristiwa dan isu yang muncul di berbagai media massa terkait dengan peristiwa-peristiwa dan isu-isu nasionalisme telah membentuk tmage atau citra tentang nasionalisme Indonesia vang berubah. Menurut guruguru dan siswa, nilai-nilai nasionalisme memang masih tetap urgen untuk dimiliki dan dilaksanakan oleh seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa nilai-nilai dan komitmen nasionalisme Indonesia yang kuat, diyakini akan dapat menghancurkan keutuhan sendisendi kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat Indonesia. Masalalinya, nilainilai nasionalisme Indonesia yang bagaimanakah yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia. Inilah yang menimbulkan 185 - 'banyak- interpretasi tergantung pada bagaimana interaksi yang terjadi antara guru-guru dan siswa dengan media itu sendiri di samping ditentukan pula oleh faktor-faktor internal mereka. Beberapa guru dan siswa berpandangan bahwa sesungguhnya nilai-nilai nasionalisme itu tidaklah pernah berubah. Sikap nasionalisme harus ditunjukkan oleh setiap komponen bangsa dengan menunjukkan kesetiaannya kepada prinsip negara kesatuan RI sebagai konsekuensi adanya sikap kesatuan atas tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia serta kesatuan dalam seluruh simbol-simbol kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Dikaitkan dengan konsep dharma dalam agama Hindu di Bali, guru-guru dan siswa yang berpandangan seperti ini menjelaskan bahwa untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan RI, setiap warga negara Indonesia haruslah sadar dalam menjalankan dharma negaranya.. Setiap individu haruslah menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan untuk menjalankan dharma negara seperti itu. Beberapa guru dan siswa yang lain menyatakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa dalam konsep integrasi nasional dan menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan memang sangat penting untuk tetap terimplementasikannya nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Tetapi, nilai-nilai itu saja tidaklah cukup untuk mempertahankan tetap tegaknya dan untuk memajukan bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan jaman serta perkembangan atau dinamika masyarakat juga telah berubah. Karena itu, nilai-nilai nasionalisme Indonesia juga tentunya mengalami perubahan makna (Irwan, dkk. 2001; Sukadi, 2004; Widja, 2001). Berbagai peristiwa yang muncul yang menantang perlunya perubahan paradigma dalam cara pandang terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang diketahui dari berbagai informasi media massa haruslah memberi pelajaran kepada kita semua bahwa kepentingan hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidaklah tunggal dalam jenis maupun levelnya. Karena itu, makna nilai-nilai nasionalisme yang mengatur bagaimana kepentingan-kepentingan itu diatur dan diposisikan dalam kehidupan haruslah berdimensi ganda juga. Prinsip kehidupan berdemokrasi dalam kehidupan bennasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena itu, tampaknya sangatlah penting juga dalam merealisasikan nilai-nilai nasionalisme di era perubahan masyarakat Indonesia seperti sekarang dati di era 186 globalisasi ini. Ini artinya, nasionalisme haruslah demokratis, dan demokrasidapat membangun semangat dan nilai-nilai nasionalisme (Irwan, dkk, 2001).,f t Hampir sejalan dengan pandangan di atas, ada juga yang berpand&ngaifipE^ nasionalisme dewasa ini tidaklah cukup hanya bersifat politis, apalagi karertfc termmu^.^ V ^ w s ^ kekuasaan politik oleh kelompok, suku, golongan, agama, atau ideologi liin nni Tuju (Irwan, dkk., 2001; Suwarsono dan Alvin Y. So, 1991). Nasionalisme seperti itu adalah nasionalisme yang semu. Nilai-nilai nasionalisme Indonesia yang dibutulikan dewasa ini semestinya adalah di samping secara politis karena adanya kesadaran sejarah sebagai bangsa yang satu atas dasar persamaan nasib dan peijuangan, secara sosial budaya juga harus disadari bahwa nasionalisme Indonesia yang kuat adalah jika nasionalisme dibangun atas dasar nilai-nilai kesamaan atau kesetaraan kedudukan, keadilan dan kepastian hukum, kesejahteraan, kemajuan ekonomi, kecerdasan, profesionalisme, tanggung jawab, kemampuan bekeija sama secara kooperatif dan berkompetisi secara sehat, serta keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari seluruh komponen masyarakat dan bangsa Indonesia. Nasionalisme sosial budaya seperti ini terjadi jika ada dialog yang demokratis dan berbudaya dalam hubungan masyarakat Indonesia yang multikultur dengan tingkat keragaman perkembangan masyarakatnya pula (Sukadi, 2004). Dalam pandangan Hindu di Bali, nasionalisme seperti ini adalah sebuah dharma negara yang perlu dilandasi oleh: dharma agama berupa crada (keimanan) dan bhakli (ketaqwaan) serta karma wacana yang baik (cubha karma), nilai-nilai lal twam asi, bhinneka tunggal ika ian hana dharma mangruwa, catur paramilha, iri kaya parisudha, karma phala, dan catur purusa artha (dharma, artha, kama, moksa). Rangkaian ajaran keyakinan tentang bagaimana nilai-nilai nasionalisme diwujudkan sebagai bentuk atau wujud dharma kepada negara sepati di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai tertera di halaman berikut. Begitulah dalam pembentukan nilai-nilai nasionalisme sebagai konteks kehidupan berbangsa pada masyarakat Bali tidak pula bisa dipisahkan dari peranan nilai-nilai agama Hiudu yang mendasarinya. Di sini agama Hindu dengan nilai-nilai dasarnya dapat memberikan landasan motivasi diri, landasan pengintegrasi jati diri, dan landasan dalam mengembangkan tujuan melaksanakan dharma negara. 187 ' Gambar 08: Pemahaman orang Bali tentang Pelaksanaan Dharma Negara dalam kaitannya dengan Pelaksanaan Dharma Agama dalam rangka Pembentukan Nilai-nilai Nasionalisme » t Landasan Motivasi Diri C rada dan Bhakti Tat twam asi Karma phala Etos keija Hindu {Dharma agama) Landasan Pengintegrasi Jati Diri Tujuan Dharma Negara Dharma Negara Catur Purusa Artha {Dharma, Artha, Kama, Moksa) Bhinneka Tunggal Ika Tri Kaya Partsudha Catur Paramita H. Pariwisata dan Isu-isu Global dalam Persepsi Guru dan Siswa Ubud, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merupakan daerah kawasan wisata budaya yang ulama, baik untuk daerah Bali maupun untuk kabupaten Gianyar. SMU Negeri 1 Ubud yang berlokasi di pusat kecamatan Ubud ini, karena itu, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh aktivitas pariwisata di lingkungan sekitarnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa SMU Negeri 1 Ubud memainkan peranan penting pula dalam fenomena kepariwisataan di Ubud. Tidak berlebihan pulalah, karena itu, jika guru-guru dan siswa turut terpengaruh oleh dan mempengaruhi aktivitas pariwisata di Ubud, setidaktidaknya dalam tataran persepsi, sikap, dan nilai-nilai, serta kebijakan sekolaluiya. Sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa, baik dalam tataran kebijakan maupun dalam perkembangan alamiahnya, aktivitas pariwisata di Ubud cenderung berorientasi pada perkembangan pariwisata budaya. Sebagai aktivitas budaya, pariwisata di Ubud tentu dapat menjadi tempat atau wahana pertemuan antar budaya. Dalam hal ini tentu terjadi pertemuan antara budaya masyarakat Bali lokal dengan masyarakat internasional (global). Ada dua masalah penting kemudian yang menjadi isu dalam pertemuan atau kontak budaya tersebut dipandang dari sudut kepentingan masyarakat Bali lokal di Ubud, yaitu peranan apakah yang dapat dimainkan masyarakat lokal dalam proses interaksi budaya tersebut serta pengaruh-pengaruh apakah yang diterimanya. Bagi kepentingan sekolah, khususnya SMU Negeri 1 Ubud, isu yang ditangkap oleh sekolah kemudian adalah peranan apa yang bisa dimainkan sekolah? Apa pengaruh-pengaruh yang diterimanya? Dan, kebijakan apa yang dihasilkan dan dilaksanakan untuk meningkatkan peranan 188 sekolah sehingga diperoleh dampak yang positif dan optimal, sementara berusaha pula meminimalisasi dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan? Untuk menjawab pertanyaan pertama, masyarakat dan sekolah merasa berkepentingan terhadap kedatangan wisatawan ke Ubud pada khususnya, karena kedatangan wisatawan turut serta membawa uang atau dolar yang akan menjadi sumber pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Karena itu, masyarakat perlu menunjukkan nilai-nilai, sikap dan perbuatan yang dapat menarik kedatangan wisatawan. Di sini, masyarakat belajar memenuhi harapan-harapan atau kebutuhan wisatawan datang ke Ubud. Sebagaimana banyak dikatakan wisatawan, kebutuhan mereka datang ke Ubud adalah karena menyukai keindahan dan exotisme alam Ubud yang masih alami dan asri, kaya deugan keseniannya yang mengandung nilai-nilai magis, penduduknya yang ramah tamah dan penuh gotong royong, kehidupan religi dan ritual masyarakatnya yang masih kental, peninggalan-peninggalan sejarah yang kaya dan luhur, serta kuat melaksanakan adat istiadat atau tradisi-tradisi leluhur tetapi juga amat dinamis, adaptif, dan kreatif (Anonim, tl.c; Anonim, tt.d; Anonim, tt.e) Masyarakat Ubud dapat mempertahankan citra seperti di atas. Di samping karena memiliki kepentingan untuk kesinambungan pariwisata budaya di Ubud yang telah banyak memberikan sumbangan kesejahteraan kepada masyarakat Ubud melalui kebijakan pariwisata berbasis masyarakat, dengan pariwisata ini pula masyarakat Ubud dapat mempertaliankan sistem sosial budayanya yang telah mentradisi. Jadi. pelestarian atau pemertahanan budaya ini memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, masyarakat Ubud dapat mempertaliankan jati diri masyarakatnya sebagai masyarakat Bali lokal yang teguh dalam mempertahankan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat adatnya. Kedua, dengan sistem sosial budaya yang dimiliki, masyarakat Ubud sekaligus dapat mengundang wisatawan yang tertarik datang ke Ubud memang karena karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Ini tidak berarti bahwa masyarakat Ubud tidak mengalami perubahan. Seiring dengan perkembangan pariwisata di Ubud, masyarakatnya juga mengikuti kebutuhankebutuhan perubahan yang dikehendaki dalam perkembangan pembangunan pariwisata di Ubud. Terjadilah proses belajar melalui interaksi langsung masyarakat dengan kepentingan wisatawan dalam berbagai aktivitas industri pariwisata yang makin hari menuju kepada industri dan produksi massa, antara lain dalam penyediaan dan pengembangan sarana akomodasi, prasarana dan sarana transportasi, catenng, pengembangan barang-barang souvenir yang bersifat massa, pelayanan jasa cargo, 189 prinsip-prinsip pelayanan modem, pengembangan sarana informasi dan komunikasi, pengembangan kreativitas seni, pengembangan perdagangan barang dan jasa pariwisata secara internasional, sampai dengan pengembangan manajemen jasa pariwisata secara modem dan internasional. Bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan dengan boomingnya pariwisata di Ubud sekitar tahun 1970-1980an, muncullah berbagai sarana pariwisata massa di Ubud sepeiti arlshop-artshop, sentra-sentra industri kerajinan untuk souvenir, seka-seka kesenian, restoran, cafe, liotel dan ramali penginapan {homeslav. villa, bungalow), pasar seni, usaha-usaha rental (komputer dengan internetnya, sepeda, sepeda motor, mobil), wartel, usaha loundry, usaha penitipan anak, penyedia jasa informasi, usaha jasa cargo, giude lepas, sampai dengan munculnya warung-warung dan toko-toko yang menyediakan kebutuhan wisatawan baik domestik maupun manca negara. Kondisi di atas membawa serta dampak kepada masyarakat Ubud baik yang bersifat positif maupun negatif. Pertama, masyarakat Ubud tentu merasakan dampak langsung yang positif dari perkembangan pariwisata di Ubud berupa peningkatan pendapatan dan kesejahteraan karena terus berkembangnya lapangan kerja di sektor pariwisata yang berhubungan langsung dengan dolar yang memiliki nilai tukar yang tinggi bila dibandingkan dengan nilai rupiah. Tumbuhnya lapangan ketja di sektor pariwisata ini telah mengalihkan sebagian besar mata pencaharian masyarakat yang semula di sektor primer pertanian tradisional menuju ke sektor produksi industri barang dan jasa pariwisata yang lebih modern bahkan global. Dengan perkembangan seperti inilah masyarakat kemudian membutuhkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan keija yang rasional dan modern di bidang pariwisata. Pengembangannya, tidak saja bisa dipenuhi melalui hubungan langsung antara masyarakat dengan wisatawan dengan prinsip dan proses belajar partisipatifnya, melainkan juga dikontribusi oleh peran lembaga-lembaga pendidikan yang memberikan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan yang berhubungan dengan aktivitas pariwisata. Pengetahuan dan keterampilan pokok yang dibutuhkan antara lain: pengetahuan dan keterampilan tentang jenis-jenis produk barang dan jasa dalam bidang pariwisata; pengetahuan dan keterampilan tentang standar mutu produk barang dan layanan jasa pariwisata; prinsip-prinsip hubungan dan komunikasi antar bangsa dalam hubungan multikultur; pengetahuan dan keterampilan berbahasa asing; penggunaan teknologi yang lebih canggih dalam proses produksi termasuk fmishing, distribusi, dan peningkatan daya tahan produk dalam proses penyimpanan dan transportasi jarak jauh; 190 pengetahuan tentang pemasaran produk barang dan layanan jasa pariwisata; pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan manajemen layanan jasa pariwisata; perencanaan dalam penataan lingkungan pariwisata; penanganan dan pengelolaan limbah hasil produksi; dan pengetahuan tentang penanganan hukum dalam kontrak keija dan perdagangan internasional di bidang produk-produk wisata. Sementara itu nilai-nilai dan sikap modem yang perlu dimiliki antara lain: orientasi produktivitas dan kreativitas yang tinggi; menghargai tinggi mutu produksi barang dan jasa; orientasi pelayanan yang sopan dan ramah; disiplin dan tanggung jawab kerja yang tinggi; kecepatan, ketepatan, kelenturan, dan keselamatan keija; kebersihan, keindangan, ketertiban, keamanan, kesehatan, dan penciptaan kenangan; menghargai waktu; kompetisi yang sehat dan keija sama secara kooperatif; komitmen pelestarian lingkungan dalam upaya kesinambungan daya dukung lingkungan alam dan sosial; dan menghargai pengambilan keputusan yang rasional dan empirik. Kedua, sejalan dengan perkembangan wisata di Bali pada umumnya dan di Ubud pada khususnya, salah satu pengaruh positifnya juga adalah menjadikan daerah wisata Ubud makin terkenal dan terhubung dengan kota-kota besar dunia. Karena itu, perkembangan daerah wisata Ubud tidak saja kini menjadi kepedulian dan komitmen masyarakat Ubud dan Bali pada khususnya, tetapi juga telah menjadi perhatian dan komitmen dunia internasional. Ini dapat ditunjukkan dengan banyaknya peneliti, pengamat, budayawan, penulis dan wartawan, dan seniman-seniman baik domestik maupun mancanegara - seperti telati dijelaskan terdahulu - yang menunjukkan kepedulian dan komitmen serta memberikan kontribusinya bagi tetap lestari dan bagi perkembangan pariwisata di Bali pada umumnya dan di Ubud pada khususnya (Prasetyo, 2005). Ketiga, konsekuensi dari kondisi kedua di atas, masyarakat Ubud sekarang telah menjadi masyarakat yang terbuka bagi pengaruh-pengaruh masyarakat dan budaya asing terutama budaya barat. Keterbukaan ini disadari masyarakat telah dapat membawa sisi kehidupan yang lebih baik, tetapi juga bisa membawa sisi pada kematian sistem sosial dan budaya lokal Sisi kehidupan yang positif itu telah ditunjukkan masyarakat Ubud dalam perkembangan sejarah pariwisatanya, yang dengan semangat hcal geniusnya (keunggulan integrasi sistem sosial budaya dan keseniannya), mampu mengembangkan pariwisata di Ubud berbasis masyarakat dan pengembangan budaya berkesenian dalam berbagai dimensinya di Ubud yang pada ujungnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Ubud pada khususnya dan Bali pada umumnya. Sisi negatifnya, walau belum menimbulkan konflik yang besar dan intensif, tidak dapat dipungkiri, kini masyarakat Ubud juga sudah 191 mengalami beberapa masalah rumit terkait dengan penataan lingkungan, makin terekploitasinya lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata, sikap kousumtif teriiadap barang-barang mewah, mulai tumbuhnya orientasi kuat terhadap materi, dan masalah kesenjangan kesejahteraan masyarakat antara kelompok miskin dan kaya dan antar desa. Permasalahan-permasalahan ini memang diakui belum cukup signifikan untuk mengganggu keseimbangan sistem sosial dan budaya masyarakat Ubud. Tetapi, jika tidak ditangani secara berencana dan serius dikliawatirkan akan dapat mengganggu kehidupan masyarakat itu sendiri. Apa yang sudah dilakukan masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan terkait untuk pemecahan masalah-masalah di atas, antara lain adalah: perluasan penyebaran pembangunan sarana wisata ke seluruh wilayah Ubud dan sekitarnya; penataan lingkungan desa, termasuk desa adat; mengembangkan objek wisata alam dan agrowisata untuk melestarikan lingkungan alam dan mempertahankan daya dukung lahan pertanian, serta pemberdayaan desa adat dalam mengembangkan, memantapkan, dan menangani masalah-masalah yang ditimbulkan oleh aktivitas pariwisata. Keempat, kemajuan pariwisata di Ubud juga telah memungkinkan masyarakat Ubud melakukan hubungan dan komunikasi multi etnis/ras dan multikultur. Ini memberi dampak positif pula kepada pengembangan pengetahuan dan wawasan global, multikultur, hubungan dalam kompetisi dan keija sama antar bangsa, serta tumbuhnya pola pikir serta nilai-nilai budaya dan sikap kemanusiaan yang universal, sementara dapat bertindak dengan cara-cara lokal (ihink globaily, act tocalfy). Pengaruh yang positif ini dapat dilihat dari upaya masyarakat untuk menguasai bahasa asing (terutama bahasa Inggris) sementara banyak orang asing pula yang mau belajar bahasa dan kesenian Bali, adanya perkawinan antara orang Bali (Ubud) dengan orang asing, adanya keija sama bisnis perdagangan antar bangsa antara orang asing dengan orang Bali (Ubud), banyak dan seringnya seka-seka kesenian dan seniman-seniman di Ubud yang mendapat undangan untuk presentasi atau pameran di luar negeri, adanya usaha-usaha hotel berbintang dan usaha jasa pariwisata lainnya milik orang asing di Ubud yang inempekeijakan orang-orang Bali lokal, pembauran orang-orang asing yang tinggal menentap beberapa waktu di Ubud dan tinggal di lingkungan masyarakat adat, pertukaran pelajar antara pelajar-pelajar di Ubud dengan pelajar Jepang, Amerika, Australia, dan pelajar beberapa negara Eropa, serta adanya kesempatan beberapa siswa dari Ubud yang orang tuanya cukup mampu secara ekonomi 192 karena keberhasilan usaha pariwisatanya untuk studi di luar negeri seperti di Singapura, Australia, Inggris, Kanada, Jepang, dan Amerika. Perkembangan pariwisata di Ubud dengan berbagai pengarulinya terhadap masyarakat seperti tergambar di atas ternyata memberi inspirasi kepada lembaga-lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah di Ubud, termasuk SMU Negeri I Ubud, untuk mengembangkan visi, misi, tujuan, dan kebijakan sekolah yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Ubud sebagai masyarakat pariwisata seperti di atas. SMU Negeri I Ubud, walau bukan merupakan sekolah kejuruan pariwisata, dapat disetujui merupakan sekolah tingkat menengah umum di Ubud yang memiliki kepedulian dan komitmen bersama-sama masyarakat memajukan pembangunan pariwisata budaya di Ubud pada khususnya, dan di Bali pada umumnya. Bukti kepedulian dan komitmennya ini dapat dilihat dari yang paling abstrak pada visi dan misi sekolah sampai yang paling konkrit pada berbagai aktivitas budaya yang dilakukan sekolah. Visi SMU Negeri 1 Ubud sebagai telah dijelaskan terdahulu adalah menjadikan sekolah sebagai wahana pendidikan tingkat menengah dalam rangka membentuk generasi muda yang bermutu, beriman, dan berbudaya dengan landasan nilai-nilai Tri Hiia Karana. Dengan visi bermutu SMU Negeri 1 Ubud mengupayakan peningkatan kualitas proses dan hasil belajar siswanya sehingga dapat lebih bersaing baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maupun dalam persaingan dunia keija dan dalam partisipasi atau pengabdian kepada masyarakat. Dengan peningkatan mutu ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutulikan dalam perkembangan pariwisata di Ubud pada khususnya, dan pembangunan di Bali pada umumnya. Dengan visi beriman, SMU Negeri 1 Ubud juga berupaya meningkatkan crada dan bhakti para siswa sebagai generasi muda dan sebagai anggota masyarakat berbasis pada ajaran nilai-nilai Hindu Bali. Dengan begitu harapan masyarakat kepada generasi muda untuk dapat melaksanakan gagasan ajeg Bali dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya Hindu Bali dapat diwujudkan. Hal ini tentu selaras dan mendukung kebijakan pemerintah daerah Bali dalam mengembangkan pembangunan pariwisata budaya berdasarkan ajaran nilai-nilai Hindu Bali. Begitu pula dengan visi berbudaya yang tidak bisa dilepaskan dari visi bermutu dan benmannya, SMU Negeri 1 Ubud berupaya terus bersama-sama komponen masyarakat lainnya turut memajukan, mengembangkan, dan melestarikan budaya dan kesenian Bah yang berbasis pada ajaran agama Hindu Bali, di samping turut juga 193 memajukan kebudayaan nasional dan kebudayaan umat manusia secara universal. Berlandaskan visi sekolah seperti di atas, SMU Negeri 1 Ubud kemudian menyelaraskan program-program pendidikannya yang langsung atau tidak langsung bersentuhan dengan harapan-harapan masyarakat untuk memajukan pariwisata budaya di Ubud dengan segala tuntutan perkembangan dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Pertama, dengan kuatnya tuntutan masyarakat, termasuk masyarakat pariwisata di Ubud untuk upaya pelestarian budaya dan agama Hindu Bali dalam rangka ajeg Bali, sekolah telah mengembangkan kebijakan untuk menjadikan pendidikan sekolah sebagai wahana dan proses pemantapan dan pengembangan kebudayaan Bali yang modem berbasis agama Hindu Bali. Kedua, sebagai konsekuensi tuntutan perkembangan pariwisata di Ubud yang memberikan kesempatan peluang kerja di bidang produksi barang dan jasa yang terkait dengan pariwisata, sekolah juga telah mengembangkan program-program pendidikan yang mengkontribusi kepada pembekalan pengetahuan, pembinaan dan pengembangan nilainilai dan sikap, serta pelatihan keterampilan yang langsung atau tidak langsung bersentuhan dengan pariwisata. Ketiga, pariwisata di Ubud juga telah mengembangkan hubungan multi etnis/ras dan multi budaya antara masyarakat Ubud dengan wisatawan baik domestik maupun manca negara. Hubungan sepati ini tentu membutulikan pengetahuan, wawasan, serta nilai-nilai dan sikap global dalam karakteristik hubungan antar atau multi etnis/ras dan multi budaya baik dalam hubungan sosial, hubungan kerja sama ekonomi, maupun hubungan kebudayaan. Kebutuhan seperti ini disadari betul oleh sekolah terutama guruguru bahwa ini amat penting bagi siswa sebagai anggota masyarakat Ubud pada khususnya, dan masyarakat Bali pada umumnya, untuk mengembangkan wawasan dan nilai-nilai global tersebut. Karena itu, sekolah merasa berkewajiban untuk memfasilitasi siswa dapat meningkatkan wawasan dan nilai-nilai global tersebut baik melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler di sekolah. Untuk kepentingan ini, diakui bahwa guru-guru mata pelajaran PPKn, Sejai-ah, Tata Negara, Geografi, Sosiologi dan Antropologi, Ekonomi, Bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan pengembangan wawasan dan nilai-nilai global tersebut yang diintegrasikan ke dalam pembahasan pokok-pokok bahasan yang relevan serta dalam pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengikuti kegiatan pertukaran siswa. Dari penjelasan di atas, tampak juga bahwa perkembangan pariwisata budaya di Ubud telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pengembangan program 194 pendidikan di SMA Negeri 1 Ubud termasuk dalam pengembangan program Pendidikan IPSnya. Di satu sisi, secara kultural pariwisata budaya menghendaki masyarakat lokal untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan praktik kehidupan religi, sosial, budaya, kesenian, dan pemeliharaan lingkungan yang telah menjadi tradisi masyarakat Bali yang berbasis nilai-nilai Hindu dan lokal Bali. Secara politik dan ideologis, sekolah merasa perlu menyesuaikan visi ideologisnya dalam rangka pemertahanan budaya tersebut. Maka, kebijakan dan tindakan-tindakan sosio-paedagogis dan sosio-kulturalpun dikembangkan yang memungkinkan sekolah berfungsi dalam kontribusi pemeliharaan nilai-nilai budaya lokal yang berbasis agama Hindu tersebut. Di sisi lain, interaksi dengan tuntutan perkembangan pariwisata budaya yang makin banyak mengundang orang asing (mancanegara) membutuhkan juga pola adaptasi sosial dan budaya yang memungkinkan masyarakat lokal Bah dapat berinteraksi dengan wisatawan dengan karakteristik kehidupan sosial yang lebih modem dan berwawasan global dalam hubungan yang saling menguntungkan. Ini tidak saja berimplikasi secara ideologis, tetapi juga ekonomis. Secara ideologis, masyarakat lokal, di satu sisi dapat menyesuaikan visi ideologisnya dengan tuntutan-tuntutan kemampuan dan nilai-nilai yang lebih universal. Di sisi lain, dapat juga terjadi bahwa masyarakat lokal mengadopsi nilainilai modern yang berwawasan global untuk digunakan terutama dalam mengelola pengembangan lapangan kerja atau bidang profesi modem (pengembangan sektor industri barang dan jasa) yang baru sesuai dengan tuntutan perkembangan pariwisata. Secara ekonomis, masyarakat lokal juga dapat memetik keuntungan material dalam interaksi sosial budaya dengan wisatawan terutama sesuai dengan pengembangan lapangan kerja atau bidang profesi yang dibutuhkan dalam pengembangan aktivitas pariwisata budaya. Manfaat ekonomis ini tentu membawa dampak pula secara ideologis dalam penyesuaian visi ideologis masyarakat lokal agar manfaat eokonomi dapat ditingkatkan tanpa harus menghancurkan sama sekali nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki yang memang dikehendaki oleh pariwisata sendiri untuk dilestarikan. Dilema seperti ini juga disadari oleh komponen civitas sekolah dan masyarakat. Sebagaimana konflik-konflik kehidupan dalam konsep rwa bhinneda selalu dapat diakomodasi dan ditempatkan keberadaannya dalam relasi fungsi-fungsinya yang bersifat komplementer dalam kehidupan masyarakat Bali, dilema antara pelestarian budaya lokal dan pengembangan budaya modem inipun dapat diakomodasi dalam pengembangan program sekolah melalui penyesuaian visi ideologis sekolah dalam menghasilkan generasi muda yang beriman, bermutu, dan berbudaya. Dalam pada itu, beberapa kebijakan dan 195 tindakan sosio-paedagogis, sosio-akademis, dan sosio-kultural yang relevan telah dikembangkan sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan sekolah sesuai dengan visi dan misi sekolah. Dalam hal ini, sekolah tidak memandang dua kepentingan ini sebagai hambatan dalam mencapai tujuan-tujuan program pendidikan sekolah, melainkan menjadikannya sebagai kekuatan-kekuatan dinamis yang mengarahkan pengembangan program-program pendidikan sekolah dalam rangka mencapai pembentukan generasi muda modem berwatak Bali. Inilah yang mungkin dapat disebut sebagai proses produksi budaya orang-orang terdidik yang diharapkan dapat menghasilkan generasi muda modem tanpa harus kehilangan identitas atau jati diri budaya lokalnya (bandingkan dengan Trujillo, 1996:119349). I. Kebijakan-Kebijakan Terkait yang Mempengaruhi Praktik Program Pendidikan Sosial (IPS) di SMU Negeri 1 Ubud Dilihat dari kebijakan penerapan kurikulum 1994 dengan suplemen kurikulum 1999, Pendidikan IPS di tingkat SMU dalam persepsi dan implementasi praktik guru-guru SMU Negeri 1 Ubud lebih merupakan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu sosial seperti Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi dan Antropologi, dan mata pelajaran Tata Negara. Pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu sosial seperti itu, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam kebersamaannya, diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan wawasan, membentuk nilai-nilai dan sikap, dan melatih keterampilan sosial yang diperlukan bagi siswa untuk keperluan melanjutkan studi yang lebih tinggi dalam bidang ilmu-ilmu sosial terkait serta bagi kepentingan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat baik dengan pendekatan monodisiplin maupun pendekatan antardisiplin. Pengertian IPS seperti di atas tampaknya lebih cocok dengan pelaksanaan tradisi Pendidikan IPS sebagai pendidikan ilmu-ilmu sosial yang mengajarkan siswa konsepkonsep dasar dari beberapa disiplin ilmu sosial terkait untuk tujuan-tujuan pendidikan sekolah (lihat Somantri, 2001). Pengetahuan yang diberikan dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti di atas lebih merupakan fakta-fakta dan konsep-konsep dasarnya saja yang sesuai dengan karakteristik keilmuan masing-masing mata pelajaran yang dideskripsikan menjadi kumpulan dari bahan-bahan kajian ilmu-ilmu sosial tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa, dalam implementasinya, pendidikan nilai dan keterampilan berIPS dengan memperhatikan padatnya materi keilmuan kurikulum 1994, walau sudah disederhanakan melalui suplemen kurikulum 1999, cenderung hanya menjadi kurikulum tersembunyi. 196 Artinya, tujuan-tujuan pendidikan nilai dan pembinaan keterampilan berIPS seperti yang diharapkan dalam kurikulum, dalam implementasinya hanya diharapkan oleh guru dapat terjadi melalui efek samping (nurluranl effect) pengajaran konsep-konsepnya saja. Hal ini terjadi karena, baik dalam perencanaan pembelajaran maupun dalam praktik pembelajaran dan penilaian di kelas, tidak ada upaya guru secara sengaja merancang dan melaksanakan pendidikan nilai-nilai dan pendidikan keterampilan yang semestinya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Dengan pendekatan pendidikan nilai-nilai seperti di atas, diakui guru dan siswa bahwa nilai-nilai yang ditanamkan melalui penanaman konsep-konsep dasar pada masingmasing mata pelajaran rumpun IPS cenderung lebih mengedepankan orientasi nilai-nilai nasionalisme dan orientasi global dan cenderung pula mengabaikan penanaman konsepkonsep dan nilai-nilai lokal yang sesuai dengan lingkungan belajar siswa. Hal ini diakui guru-guru lebih terkait dengan upaya menempatkan kepentingan nasional serta penggunaan standar nasional dalam pengembangan kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran serta penilaian hasil belajar siswa. Begitu pula karena buku-buku teks yang digunakan sebagai sumber belajar cenderung menggunakan buku import dari Jawa, maka kandungan kontekstual lokal Bali jelas terabaikan. Implementasi kebijakan kurikulum rumpun mata pelajaran IPS tahun 1994 seperti di atas tidak bisa dilepaskan pula dari adanya kebijakan tentang pelaksanaan evaluasi sumatif dan ujian tahap akhir sekolah serta ujian nasional. Karena kebijakan evaluasi hasil belajar yang masih tersentralisir ini, seluruh kebijakan sekolah sebagai kebijakan implementasi dalam melaksanakan assessment hasil belajar siswa hanya memfokuskan pada penilaian aspek kognisi saja, dan inipun hanya terbatas pada aspek kognisi level rendah, yakni; pengetahuan (knowledgeiCl), pemahaman (comprhension!C2), dan aplikasi konsep (applicaiionICh). Ini dapat diketahui dari pelaksanaan evaluasi formatif, sumatif, dan ujian sekolah, serta ujian akhir nasional, seluruh tes prestasi belajar mata pelajaran rumpun IPS yang digunakan sekolah sepenuhnya menggunakan instrumen tes objektif pilihan ganda yang distribusi item-item tesnya hanya tersebar pada penilaian aspek kognisi level Cl, C2, dan C3 saja. Kebijakan tes objektif ini dilakukan karena mempertimbangkan segi kepraktisan guru-guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar, mengingat adanya kebijakan sekolah yang menerima daya tampung siswa tiap kelas cukup besar, yaitu antara 40 sampai 45 orang. Memperhatikan kondisi kebijakan pelaksanaan program pendidikan, termasuk Pendidikan IPS, seperti di atas, secara politis dan ideologis, kenyataan ini jelas 197 menunjukkan adanya hegemoni dan dominasi politik pendidikan yang menempatkan kepentingan pusat sebagai instrumen kepentingan nasional lebih menjadi superordinasi dan kepentingan lokal atau daerah, termasuk otonomi sekolah, sebagai subordinasinya (lihat Giroux, 1981; Ritzer, 1992). Hal ini benar, karena menurut keyakinan guru-guru, dalam semua kebijakan pendidikan dari kebijakan kurikulum, bantuan fasilitas dan sarana pendidikan, bantuan sumber belajar (buku dan LKS) sampai pelaksanaan evaluasi hasil belajar, semuanya berasal dari pusat; dan bahkan untuk kepentingan melanjutkan studi mencari perguruan tinggi terbaikpun bagi siswa adanya dekat dengan kepentingan pusat. Dalam hubungan politik pendidikan seperti ini, bagi guru-guru di Bali yang dalam keyakinan ideologisnya menempatkan kepentingan nasional sebagai unsur buana agung lebih utama dari pada kepentingan daerali/sekolah sebagai unsur buana alitnya, maka kebijakan ini menjadikan guru-guru IPS lebih sebagai objek pendidikan yang harus melaksanakan semua kebijakan pusat dengan sebaik-baiknya. Tanpa disadari, ideologi kepentingan nasional telah membentuk pola pikir, nilai-nilai, dan sistem keyakinan guruguru bahwa pendidikan adalah dalam rangka nation and characler building. Konsekuensinya, guru-guru merasakan sedikit sekali ruang untuk berkreativitas dan berinovasi dalam mengangkat ideologi local genius menjadi sumber potensi kekuatan dalam rangka membangun karakter bangsa yang lebih pluralistis dan demokratis. Secara politis, dengan demikian, telah terjadi hegemoni ideologi nasionalisme pendidikan yang secara kultural menciptakan praktik budaya pendidikan nasional yang tersentralisasi dan mengabaikan proses produksi budaya generasi muda modem berwatak Bali (bandingkan dengan Abdullah, 1999; Trujillo, 1996; Widja, 2001). Bersamaan dengan implementasi kebijakan kurikulum 1994 dengan suplemen kurikulum 1999nya, pariwisata di Bah pada umumnya mulai mendapat kritik yang tajam dari berbagai kalangan sebagai akibat kebijakan pemerintah orde baru yang terus mengeksploitasi pariwisata di Bali untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kontinuitas daya dukung sumber-sumber alam dan sumber-sumber kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Masyarakat Balipun mulai gerah dengan munculnya kekhawatiran akan punahnya daya dukung di atas. Maka, muncullah kemudian gagasan-gagasan dalam polemik untuk mengembalikan alam, masyarakat, dan kebudayaan Bah seperti sedia kala. Muncullah, kemudian, konsep ajeg Bali yang makin kuat berkumandang dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, pada ulasan-ulasan berita media massa, obrolan di balai masyarakat, pada penulisan buku-buku tentang kebudayaan Bali, pembahasan pada seminar-seminar budaya Bali, pada berbagai kegiatan dharma wacana, 198 pada penelitian-penelitian kebudayaan Bali, dan nyanyian para peocipta lagu Bali (Aslirama, 2004), walau harus diakui tidak ada konsep yang sama bagaimana konsep ajeg Bali itu bisa diwujudkan. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah Bali dengan kebijakannya melalui Perda No 16 tahun 2002 sebagai kelanjutan dari perda No 4 tahun 1996 kemudian mensosialisasikan ajaran-ajaran Tri Hita Karana kepada lapisan-lapisan sosial masyarakat sampai dengan membuat ajang lomba pembudayaan Tri Hila Karana di lembaga-lembaga kemasyarakatan dan lembaga-lembaga pendidikan seperti pada lomba desa adat, lomba lembaga perkreditan desa, lomba pembudayaan Tri Hita Karana antar lembaga jasa pariwisata (terutama hotel dan restoran), lomba seka teruna-teruni, lomba subak, lomba lingkungan wiyata mandala di sekolah, lomba perindangan di sekolah, dan sejenisnya. Walau tidak ada kebijakan tertulis dari dinas pendidikan, sebagai bagian dari kelompok masyarakat, sekolah-sekolah yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk ajeg masyarakat Bali mencoba mensosialisasikan dan membudayakan konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana di lingkungan sekolah melalui penataan hubungan parahyangan, pawongan, dan penataan hubungan palemahan sekolah. SMU Negeri 1 Ubud dengan kebijakan sekolahnya mengambil peran dalam rangka sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut yang kemudian dituangkan dan diintegrasikan dalam visi, misi, dan program keija sekolah melalui visi bermutu, beriman, dan berbudayanya. Kebijakan ini ditempuh mempertimbangkan berbagai faktor perubahan sosial dalam masyarakat yang turut berpengaruh kepada sikap dan perilaku siswa, sementara disadari benar bahwa kurikulum formal sekolah saja dinilai tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan peserta didik yang salah satunya adalah kebutuhan masyarakat Bali untuk mengaktualisasikan konsep ajeg Bali dalam penataan kehidupan sosial budaya dan penataan lingkungan alam di Bali yang dinilai telah mulai mengalami abrasi, erosi, degradasi, atau dekadensi. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, sekolah kemudian mencoba merencanakan, mensosialisasikan, dan membudayakan nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut baik melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, maupun melalui penciptaan iklim sekolah dan iklim belajar di kelas. Keseluruhan kebijakan yang diambil dapat memberikan karakteristik kepada sekolah dan memberikan arti penting bagi pendidikan sosial pada umumnya, dan Pendidikan IPS pada khususnya, walau harus diakui implementasi kebijakan ini bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab guru-guru rumpun mata pelajaran IPS saja. Dengan demikian, ada pembahan paradigma berpikir 199 bahwa pendidikan sosial dan Pendidikan IPS bukanlah semata-mata merupakan kegiatan pengajaran rumpun mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, melainkan juga mencakup seluruh aktivitas pendidikan yang bertujuan memberikan pemahaman kritis, nilai-nilai dan sikap, seria keterampilan sosial yang dibutuhkan sebagai warga negara dan warga masyarakat yang cerdas, berkomitmen tinggi, serta memiliki kompetensi partisipatif dalam mengembangkan kebudayaan masyarakatnya baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Perubahan paradigma ini, sejalan dengan perjuangan ideologi masyarakat Bali untuk mengembangkan proses produksi budaya (cultural production) generasi muda modern berwatak Bali melalui perjuangan politik pendidikan yang dapat membangun individu-individu modem yang memiliki kebanggan berbudaya Bali dengan landasan nilai-nilai Agama Hindu. Wacana produksi budaya seperti ini menegaskan fungsi sekolah sebagai wahana heterogen di mana pendidik dan siswa mengembangkan beragam wacana dan praktik pendidikan yang mempengaruhi cara mereka membangun pengetahuan dan identitasnya (Trujillo, 1996:144). Implementasi kebijakan sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai bagian dari pendidikan sosial di SMU Negeri 1 Ubud ini tidak dilakukan dengan menyisipkan kurikulum atau mata pelajaran baru. Pembelajaran konsep-konsep dasarnya sebagai bekal pengetahuan awal siswa cenderung dilakukan dengan menyisipkan pokok bahasan Tri Hita Karana pada mata pelajaran Agama Hindu di kelas III dengan pemberian konsep-konsep dan deskripsi tentang latar belakang historis, pengertian, unsur-unsur, beberapa sumber-sumbernya dalam kitab suci, penerapan nilai-nilainya, serta nilai budaya BaJi yang relevan. Secara ideologis, selanjutnya, ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karana ini dijadikan basis bagi pengembangan iklim pendidikan yang dituangkan dalam visi sekolah yang dengannya kemudian dijadikan dasar pula bagi pengembangan program kerja sekolah, baik yang menyangkut kegiatan pembinaan mental spiritual, pengembangan aktivitas kurikulum (termasuk aktivitas kokurikuler dan ekstrakurikuler), pembinaan kesiswaan, pengembangan hubungan dengan masyarakat, serta dalam pengembangan dan penataan fasilitas pendidikan. Pilihan implementasi kebijakan seperti ini dinilai lebih mendasar, komprehensif, visioner, dan lebih powerjul bila dibandingkan hanya dengan memasukkan mata pelajaran baru untuk siswa. Dan, dengan demikian pula, implementasi program ini akan menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen civitas sekolah termasuk komponen masyarakat. 200 Kehidupan mental spiritual berkarakter neligiusitas Hindu Bali di lingkungan SMU Negeri 1 Ubud dapat dikatakan masih cukup kental. Ini dapat dilihat, walau sekolah meiupakan tempat belajar bagi siswa dan tempat menjalankan profesi sebagai pendidik dan pengajar bagi guru, lingkungan sekolah bukanlah tempat sekuler. Seperti bagaimana sebuah keluarga atau desa adat di Bali ditata menurut konsep Tri Hita Karana, SMU Negeri 1 Ubud juga ditata mengikuti konsep tersebut. Dengan menata lingkungan sekolah menjadi tiga mandala (iri mandala), seluruh civitas sekolah dapat memanfaatkan masingmasing mandala sesuai dengan fungsinya secara optimal. Pada daerah ulama mandala seluruh civitas sekolah dapat melaksanakan kegiatan spiritual untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Di daerah utama mandala inilah terdapat pura sekolah dan beberapa pelinggih suci yang memungkinkan guru, pegawai, dan para siswa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa baik secara indivudual maupun bersama-sama sesuai dengan keyakinan, kepercayaan, dan tradisinya. Dengan kegiatan-kegiatan spiritual seperti ini, seluruh civitas sekolah juga dapat melaksanakan kewajiban melaksanakan yadnya dalam melaksanakan tugas masingmasing, dan sekaligus menjadi sarana belajar bagi seluruh civitas (terutama siswa) dalam meningkatkan c rada dan bhakii serta karma baiknya di lingkungan sekolah, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pula kehidupan spiritualnya sebagaimana diwajibkan dalam ajaran tentangparahyangan dalam konsep Tri Hita Karana. Pengembangan aktivitas pembinaan mental spiritual seperti di alas dimungkinkan di sekolah. Pertama, sebagai Weber menyatakan bahwa agama memang dapat mempunyai peranan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat modem terutama dalam pengembangan kehidupan yang rasional (Coser, 1971; Johnson, 1994). Begitu pula halnya dengan agama Hindu di Bali (Gorda, 1996). Lebih jauh, iklim seperti ini dapat juga digunakan sebagai basis pengembangan keliidupan beragama yang lebih rasional, karena penerapan nilai-nilai agama di lingkungan sekolah dapat membantu siswa lebih merasionalisasikan c rada, bhakii, dan karmanya, yang akan lebih memantapkan keyakinannya pula. Ini tentu sejalan dengan pandangan Comte untuk mengembangkan agama humanitas yang lebih berdasar pada pandangan-pandangan ilmiah dan tidak terbatas pada keyakinan dogmatis belaka (Coser, 1971; Johnson, 1994). Sesuai dengan pandangan Durkheim (1965), fungsi agama seperti ini juga diharapkan dapat lebih menguatkan ikatan kehidupan sosial dan budaya di lingkungan sekolah, karena praktikpraktik religius di lingkungan sekolah seperti di atas pada aki lirnya dapat pula 201 menumbulikan energi jiwa kolektif di lingkungan sekolah yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk pencapaian tujuan-tujuan sekolah. Akliirnya, sesuai dengan pandangan Enstein (seperti dikutp oleh Suriasurnantri, 1985) praktik kehidupan beragama di lingkungan sekolah seperti di atas juga dapat membantu generasi muda menguatkan landasan kepribadian diri dengan penguasaan ilmu dan agama secara utuh. Sebab, seperti dikatakan oleh Enstein, manusia berilmu tanpa agama adalah manusia buta; begitu pula sebaliknya, manusia beragama tanpa ilmu adalah lumpuh. Konsep dan nilai-nilai Tri Hita Karana juga dikembangkan dalam aktivitas kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler di SMU Negeri lUbud. Ini memang tidak dilakukan dengan menambahkan mata pelajaran baru tentang Tri Hita Karana, melainkan diintegrasikan pada beberapa mata pelajaran yang relevan. Konsep-konsep Tri Hita karana ini dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran, terutama mata pelajaran agama Hindu. Di samping itu, beberapa konsep dan nilai-nilainya yang relevan juga dibahas dalam mata-mata pelajaran Baliasa Bali, Antropologi, dan muatan lokal Budaya Bali. Sedangkan nilai-nilai Tri Hita Karana secara umum dapat pula diintegrasikan dalam semua mata pelajaran, seperti mengintegrasikan pendidikan budi pekerti pada semua mata pelajaran termasuk pada mata pelajaran rumpun IPS. Namun harus diakui, tidak mudah bagi guru untuk dapat mengintegrasikan konsepkonsep dan nilai-nilai Tri Hita Karana ke dalam mata-mata pelajaran yang ada, karena rigidnya implementasi kurikulum 1994, baik yang mencakup pencapaian target kurikulum, ketuntasan belajar, daya serap, dan standar evaluasi nasional/daerah. Karena itu, kegiatan ekstrakurikuler menjadi lebih memadai untuk memberikan kesempatan kepada siswa mempraktikkan langsung konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana tersebut melalui model belajar dan pembelajaran secara partisipatif. Pemberian kegiatan ekstrakurikuler bernuansa budaya Bah dalam rangka pembudayaan konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana relevan dengan kebijakan bidang pembinaan kesiswaan yang mengarahkan aktivitas-aktivitas kesiswaan tidak saja untuk kegiatan olah raga berprestasi, tetapi juga pada kegaiatan-kegiatan lain yang relevan dengan visi sekolah, seperti: pembinaan mental spiritual siswa, pembinaan kehidupan berkesenian, pembinaan disiplin dan tata tertib sekolah, pengenalan kebudayaan Bali, hubungan sosial dan pengabdian kepada masyarakat, kegiatan karya ilmiah remaja, pembinaan prestasi mata pelajaran tertentu, kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan, dan kelompok pencinta alam. 202 Dalam hubungan kemasyarakatan, ada kebijakan yang unik dii Negeri 1 Ubud yang telah disepakati bersama civitas sekolah. Keunika 1 £ "* bahwa seluruh civitas sekolah menyatakan siap untuk menjadi anggota (tfarga) desa adat Ubud, tetapi hal ini tidak diatur di dalam awig-awig tertulis d e ^ a$ab feibild^ Dan, ini hanya menjadi kebiasaan yang telah mentradisi di desa adat Ubud^N^esedf^rtjm semata-mata sebagai tindakan sukarela civitas sekolah untuk membantu kegiatan-kegiatan agama dan adat yang berlangsung di desa adat Ubud dan kegiatan-kegiatan agama dan adat yang berlangsung di puri Ubud, karena seluruh civitas sekolah merasa menjadi bagian dari desa adat Ubud dan memiliki pertalian sejarah dengan keluarga puri Ubud. Hubungan yang harmonis antara civitas SMU Negeri 1 Ubud dengan krama desa adat Ubud dan keluarga puri Ubud seperti di atas diyakini tidak saja baik dalam mewujudkan hubungan sosial antara sekolah dengan masyarakat, tetapi juga menjadi sarana belajar yang efektif bagi semua anggota civitas sekokah (terutama siswa) dalam memahami dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai Tri Hita Karana berbasis agama dan kebudayaan Hindu Bali dalam kehidupan bermasyarakat di Bali pada umumnya, dan di Ubud pada khususnya. Dengan demikian, tidak teijadi kesenjangan yang tajam antara pendidikan sosial di sekolah dengan pendidikan sosial bermasyarakat. SMU Negeri J Ubud juga memiliki kebijakan untuk menata lingkungan dan iklim pendidikan (belajar) di sekolah menggunakan prinsip-prinsip pembudayaan nilai-nilai Tri Hita Karana. Dengan menggunakan konsep unsur-unsur Tri Hita Karana berupa konsepkonsep parahyangan, pawongan, dan palemahan, lingkungan fisik sekolah ditata ke dalam tiga wilayah konsep tersebut yang disebut dengan iri mandala. Penataan lingkungan sekolah menggunakan prinsip-prinsip Tri Hita Karana ini dapat digambar dalam peta/denah lingkungan sekolah sebagai tertera di halaman berikut. Penataan lingkungan ini kemudian diikuti oleh penciptaan kehidupan spiritual dan iklim sekolah yang memungkinkan seluruh civitas sekolah (terutama siswa) belajar memahami dan menerapkan konsep-konsep ajaran dan nilai-nilai Tri Hita Karana di lingkungan sekolah. Di daerah parahyangan sekolah seluruh civitas sekolah dapat melakukan hubungan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, kehadapan Tuhan, kepada para Dewa, dan Betara pelindung dengan menghaturkan persembahan (sesaji bebanien\ memuja, dan berdoa secara khusuk dan iklas dengan cara-cara Hindu Bali. Kegiatan spiritual ini ada yang dilakukan setiap saat, setiap hari, dan setiap hari raya suci Hindu sesuai dengan tingkatan yadnya yang dapat dilakukan civitas sekolah. Suasana keliidupan 203 Gambar 09: Denah Tata Ruang Tri Hiia Karana SMU Negeri I Ubud 204 Keterangan Denah: A Ruang Guru Al Monumen Sekolah (Dewi Saraswati) B Ruang Kepala Sekolah BI Tempat Parkir untuk Siswa B2 Tempat Parkir untuk Guru B3 Lapangan Basket/V o! lyATen ipal Upacara Bendera C Ruang Pegawai Toilet Guru/Pegawai Cl C2 Toilet Siswa Laboratorium IPA D Jalan Utama Desa DI Ruang Keterampilan E Ruang Belajar F Perpustakaan dan Ruang BP G H - V Ruang Belajar K1 Kantin L1 Wilayah Lembah di Timur Sekolali W Ruang Pusat Komputer Pura / Padmasana Sekolali XI Pelinggih Pengayatan Rsi Markandya X2 Pelinggih Ratu Pusering Jagat X3 X4 Pelinggih Wong Samar X5-X6 Padma Capah (Pelinggih Ratu Indera Belaka) Y Tiang Bendera Z Aula Sekolah spiritual yang kental ini, di samping memberikan suasana religio-magis kepada iklim sekolah, juga dapat meningkatkan crada dan bhakti seluruh civitas sekolah kehadapan Tuhan yang Maha Esa dengan segala manifestasinya. Demikian pula, aktivitas ini dapat juga mempengaruhi kehidupan aktivitas pawongan di lingkungan sekolali. Sebagai contoh, jika kepala sekolali dan dewan guru melakukan rapat, maka mereka selalu menghaturkan canang pengrawos sebelum rapat dimulai. Begitu pula siswa, jika mereka akan melaksanakan proses belajar di kelas, piket kelas juga tidak akan mengabaikan untuk menghaturkan canang sari dan melakukan persembahyangan sebelum kelas dimulai. Sebelum pelajaran dimulai siswa juga tidak melupakan untuk memberikan salam Om Suastiaslu kepada guru, yang bermakna semoga ada dalam keadaan baik dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa. Tradisi-tradisi mulia seperti ini masih jarang dilakukan siswa di lingkungan sekolah di Bali pada umumnya, jika tidak dapat dikatakan masih langka. Hubungan sosial antar guru, antar siswa, antar pegawai, dan antara guiu, siswa, dan pegawai dalam aktivitas pawongan di sekolali juga berlandaskan prinsip hidup menyama braya (persaudaraan) yang cukup kental sebagai ciri hubungan sosial 205 masyarakat BaJi. Begitu pula hubungan antar siswa yang berbeda agama dan suku tampak cukup baik karena disemangati rasa toleransi dan persaudaraan yang tinggi. Hubungan yang harmonis ini dapal dilihat dari tidak adanya sikap pamer materi yang dilakukan antar guru dan antar siswa walau diketahui kesenjangan latar belakang status sosial ekonomi antar siswa cukup tinggi, tidak adanya hubungan dominasi kekuasaan antara siswa Bali sebagai mayoritas dengan siswa nonHindu Bah sebagai minoritas, sangat jarang sekali terjadi pelanggaran peraturan tata tertib sekolah baik oleh guru maupun siswa, pelaksanaan disiplin sekolah cukup baik, penggunaan bahasa Bali kepara dalam hubungan antar siswa setiap hari tanpa membeda-bedakan status sosial (kasta) siswa, penggunaan bahasa Bali halus oleh seluruh guru dan siswa pada saat-saat pertemuan rapat atau menerima tamu, penggunaan bahasa Bali halus oleh kepala sekolah kepada seluruh guru, tidak adanya permusuhan tersembunyi terjadi antar guru, sikap dan rasa hormat yang tinggi dari semua siswa kepada guru-guru dan kepala sekolah serta dari guru-guru kepada kepala sekolah, serta adanya aktivitas kelompok suka duka, baik yang dilakukan siswa maupun guru-guru dalam hubungan sosial sehari-hari. Keharmonisan seperti di atas tidak saja terjadi dalam hubungan yang bersifat sosial sehari-hari, tetapi juga terjadi dalam hubungan struktural antara kepala sekolah kepada guru-guru dan kepada pegawai, atau hubungan guru kepada siswa. Bahasa Bali halus yang selalu digunakan kepala sekolah kepada guru-guru dan pegawai, baik dalam hubungan sehari-hari maupun hubungan kedinasan, termasuk dalam rapat-rapat, dan begitu pula sebaliknya, menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menghormati antara kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai. Tampaknya, tiap-tiap individu guru dan pegawai serta kepala sekolah lebih mengutamakan bagaimana keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hubungan dapat diwujudkan dan berlangsung di sekolah, ketimbang berpikir apa hak-hak yang semestinya diperoleh. Tampaknya pula, tiap individu menyadari pula bahwa dalam kehidupan bersama di sebuah keluarga besar, seperti di SMU Negeri 1 Ubud ini, tidak mungkin tiaptiap individu mendapatkan kepuasan yang optimal dalam hubungan hak-hak dan kewajiban satu sama lain sesuai dengan keinginan masing-masing individu. Dan, karena itu, sebagai orang Bali, mereka lebih menempatkan kepentingan bersama sekolah lebih tinggi dari pada kepentingan pribadi atau kelompok. Karakter hubungan yang bernuansa Bali dalam hubungan kepala sekolah dengan guru-guru dan pegawai tampak juga dalam hubungan kepemimpinan kepala sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah berasal dari kasta ksatria yang masih memiliki hubungan 206 darah biru dengan keluarga puri Ubud. Dalam pandangan Hindu di Bali, individu-individu dari kasta ksatria memang cocok berperan sebagai pemimpin. Sementara itu di mata masyarakat Ubud, pemimpin-pemimpin masyarakat yang berasal dari keluarga puri Ubud memang masih sangat disegani dan dihormati sampai sekarang baik secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Tidak saja hal ini karena karisma sejarahnya dan karena berasa! dari kasta ksatria, tetapi karena mereka juga memang dinilai pantas dan mampu menjadi pemimpin yang bisa mengayomi, melindungi, dan mensejahterakan masyarakat. Latar belakang kepemimpinan seperti ini ternyata memberikan karisma yang tinggi kepada kepala SMU Negeri Ubud untuk menjadi pemimpin yang dihormati dan disegani guruguru. Dengan pola kepemimpinannya pula, yang dinilai guru-guru dan pegawai masih cukup demokratis, maka hubungan sosial dan kedinasan yang terjadi antara kepala sekolah dengan guru-guru dan pegawai berlangsung cukup harmonis. Nilai-nilai yang mendasari hubungan sosial antar kepala sekolah, dewan guru, siswa, dan pegawai tidaklah hanya nilai-nilai menyama braya yang bersifat statis. Sebagai sekolah yang memiliki visi menjadikan SMU Negeri I Ubud sebagai sekolah bermutu, secara tradisional, hubungan sosial antar civitas akademika juga dilandasi oleh nilai-nilai dinamis yang dapat menggerakkan seluruh sistem sekolah menuju sekolah bermutu tersebut. Nilai-nilai yang dijadikan dasar itu adalah nilai yadnya, berkorban terhadap sesama dan lembaga; nilai cubha karma untuk berbuat baik kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja; dan nilai dharma, artha, kama, dan moksa. Dengan nilai-nilai yadnya, guru-guru, termasuk kepala sekolah, berkeyakinan bahwa tugas sebagai pendidik adalah tugas mulia. Karena itu, guru sebagai guru pengajian memiliki kewajiban betyadnya {korban suci) untuk mengantarkan peserta didik (anak didiknya) mencapai tujuannya menjadi suputra (anak yang baik) dan sujana (anak yang cerdas dan bijaksana). Sebagai pendidik, guru juga wajib untuk selalu berbuat baik (cubha karma) kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Dalam hal ini guru dalam pandangan Hindu di Bali adalah orang yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) karena guru adalah orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, memiliki kebijaksanaan dalam melaksanakan ajaran Weda, dan selalu dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat. Guru juga wajib melaksanakan ajaran keseimbangan dharma, artha, kama, dan moksa. Guru yang dinilai memiliki pengetahuan yang tinggi tentang ajaran Weda (ajaran tentang kebenaran dan kesucian) patut dapat melaksanakan tugas atau dharmanyz sebagai guru sesuai dengan ajaran-ajaran dharma (kebajikan) dalam kitab suci. Dengan 207 melaksanakan kerja, guru juga wajar memperoleh artha (kesejahteraan) dan kama (kepuasan), kareua hukum karma telah menggariskan bahwa setiap keija tentu mendatangkan pahala: keija yang baik akan mendatangkan pahala yang baik pula. Dengan begitulah guru dan masyarakat kemudian mencapai moksa (kebahagian abadi tanpa menimbulkan penderitaan). Dalam hal penataan lingkungan sekolah, lingkungan fisik dan sosial budaya, di SMU Negeri 1 Ubud juga mencerminkan penerapan ajaran dan nilai-nilai Tri Hiia Karana. Secara fisik {sekala), sebagai telah disebutKan di atas, lingkungan sekolah telah dibagi mejadi tiga mandala (iri mandala) yang tiap-tiap mandala mempunyai fungsi yang berbeda-beda, yaitu fungsi parahyangan di utama mandala, fungsi pawongan di madya mandala, dan fungsi palemahan di nista mandala. Secara niskala pembagian ketiga area dengan fungsinya masing-masing ini telah disucikan menggunakan tata cara ritual Hindu Bah. Ini diyakini dapat menambatkan pikiran, keyakinan, sikap, dan perilaku seluruh civitas sekolah kepada fungsi masing-masing area atau mandala, karena tiap-tiap mandala diyakini telah dikuasai dan diatur berfungsinya oleh kekuatan dan sinar suci Ida Sang Hyang Widhi Waca dengan segala manifestasinya., yaitu para dewa, dan atau, energi para butha kala. Ada kebijakan juga di SMU Negeri 1 Ubud dalam hal penataan lingkungan sekolah bahwa lembah atau jurang yang berada di sebelah timur dan menjadi bagian dari lingkungan sekolah haruslah dijaga tetap lestari. Ini terkait dengan adanya kepercayaan masyarakat setempat dan kepercayaan warga sekolah bahwa di jurang atau lembah ini terdapat ghya (tempat tinggal) wong samar (salah satu bentuk makhluk halus) sebagai pengikut atau pengiring para dewa yang berstana di pura dan di pelinggih-pelinggih suci sekolah. Karena itulah di sisi barat lembah ini, di bagian timur laut bangunan sekolah, dibangun satu pelinggih tugu tempat memberikan sesap kepada wong samar ini agar teijalin hubungan baik antara seluruh warga sekolah dengan makhluk ini, sehingga mereka tidak akan mengganggu seluruh aktivitas di sekolah. Kepercayaan ini ternyata cukup kuat diyakini warga sekolah sehingga keadaan di lembah ini cukup lestari. Kepercayaan seperti ini bukanlah tidak rasional. Keyakinan seperti ini pada dasarnya merupakan kearifan lokal dari masyarakat Hindu Bali dalam upayanya melestarikan lingkungan alam sekitar. Sesuai dengan pandangan strukturalisme masyarakat Bali, masyarakat mengakui bahwa di lingkungan lembah berkuasa dua kekuatan besar, yaitu kekuatan buana alit dan buana agung. Buana alit dari lingkungan lembah itu adalah semua kehidupan yang tampak di sana, yaitu flora dan fauna yang hidup 208 di lingkungan lembah. Sementara itu, kehidupan lembah itu juga diatur oleh kekuatan buana agung. Energi atau kekuatan yang mengliidupkan dan mengatur kehidupan flora dan fauna di lembah inilah sebagai kekuatan buana agung yang disimbolkan oleh masyarakat sebagai wong samar. Wajarlah, karena itu, jika masyarakat tidak berkenan merusak kehidupan wong samar tersebut, karena jika itu dirusak, maka rusak pulalah kehidupan flora dan fauna di lembah tersebut. Dan, ini dapat membahayakan keberadaan sekolah, di sekitarnya, karena bahaya tanah longsor. Kearifan lokal seperti ini ternyata cukup ampuh dalain menyelesaikan masalah-masalah lingkungan, khususnya dalam mempertahankan kelestarian kawasan konservasi lingkungan (Atmadja, 1992). Berbagai penjelasan tentang kebijakan di atas jelas mewarnai bagaimana proses dan iklim Pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud, yang tidak saja menekankan pendidikan sosial pada aspek pengajaran ilmu-ilmu sosial, tetapi, yang penting juga adalah aspek pendidikan yang dengan integrasi semua kebijakan di atas diharapkan lebih dapat memberdayakan tifa skill siswa dalam wujud kearifan lokal, baik yang berupa kearifan religius, sosial budaya, maupun ekologis berbasis pada ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karana (Anshori, 2004). Hal ini sejalan dengan harapan-harapan masyarakat kepada apa yang dapat dicapai oleh Pendidikan IPS untuk meningkatkan kecerdasan-kecerdasan spritual, sosial budaya, emosional, dan kecerdasan ekologis, di samping kecerdasan yang bersifat intelektual. Dari penjelasan di atas jelaslah pula bahwa program-program pendidikan di sekolah dapat menjadi wahana sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kebudayaan Bali yang tidak saja memiliki nilai-nilai lokal, tetapi juga memiliki unsur nilai-nilai universal. Proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai ini dianggap penting dan menjadi tugas sekolah dalam rangka menyiapkan generasi muda Bali untuk siap menghadapi tugas-tugas kemasyarakatan. Pemikiran seperti ini jelas merupakan perwujudan dari paradigma berpikir struktural fungsional yang menekankan pada tugas dan fungsi sekolah sebagai wahana proses sosialisasi, yaitu sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yang ada (Hallinan, dalam BaJIantine, 1985: 33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-87). Sekolah juga mensosialisasikan kepada generasi muda pengetahuan intelektual, nilai-nilai etis, normanorma budaya, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat untuk keberlangsungannya (Durkheim, 1985a:21).Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Dreeben (1968) yang mengukuhkan pentingnya empat norma esensial yang harus menjadi concern sekolah untuk mendidikkannya kepada generasi muda agar masyarakat tetap dapat 209 berlangsung, yaitu independensi (independence), prestasi (achievemeni), universalitas (universal ism), dan kekhususan (specificUy). Keempat norma ini tampaknya sudah tersosialisasikan dalam pelaksanaan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud dalam upayanya mengimplemenatsikan nilai-nilai Tri Hita Karana di lingkungan sekolah. Tetapi harus diakui, upaya-upaya sekolah seperti di atas tidaklah semata-mata berperspektif fungsionalisme dalam kepentingan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai sosial budaya Hindu Bali saja. Kesadaran sekolah dalam memaknai gerakan masyarakat untuk ajeg Bali yang dapat diaplikasikan di lingkungan program pendidikan sekolah dari pengaruh dominasi kebijakan pendidikan nasional yang tersentralisasi, membantu sekolah menciptakan kesadaran dan upaya yang kritis. Di sini program pendidikan tidak lagi menjadi wacana yang tunggal dalam menginterpretasi makna manusia modem yang nasionalis, seperti yang terjadi sebelumnya. Ada satu dialog kritis bagaimana civitas sekolah kemudian menciptakan image atau citra tentang generasi muda modem berwatak Bali yang menghargai nilai-nilai nasionalisme dan mengembangkan kemampuan berpikir global (bandingkan dengan Skinner dan Holland, 1996: 273-299). Di sinilah komponenkomponen civitas sekolah (kepala sekolah, guru, dan siswa) melakukan rekonstruksi secara kritis dalam rangka mereproduksi citra kehidupan modem yang lebih demokratis, yang lebih memberikan keseimbangan pada pemberian liak-hak hidup secara sosial, politik, budaya dan ekonomi antara kepentingan lokal masyarakat Hindu Bali, kepentingan nasional, dan kepentingan global. Hal ini sejalan dengan kondisi perubahan sosial budaya masyarakat Ubud pada khususnya, dan perkembangan masyarakat Bah pada umumnya dewasa ini, yang memang sedang menghadapi fenomena berbagai konflik kepentingan antara kepentingan masyarakat lokal Bali dalam rangka ajeg Bali, kepentingan pembangunan nasional demi tetap tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan pemenuhan kepentingan interaksi global. Penekanan pada proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Tri Hita Karana di atas, dengan demikian, menjadi sarana perjuangan seluruh komponen sekolah untuk memperoleh hak-hak emansipasi dalam proses pendidikan atas proses medemisasi yang berbasis nilai-nilai nasionalisme dalam program pendidikan di sekolah umum selama ini. Di sinilah rekonstruksi pengalaman sosial budaya secara kritis berbasis nilai-nilai Tri Hita Karana telah dikembangkan untuk memformulasikan satu model Pendidikan IPS yang memberdayakan kecakapan-kekapan hidup yang esensial perlu dikembangkan pada siswa sebagai generasi muda, baik yang mencakup kesadaran politis dan ideologis, sosial 210 budaya, spiritual, maupun kesadaran ekologis yang lebih relevan dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat lingkungannya. J. Agen-agen Sosial yang Mempengaruhi Praktik Pendidikan IPS di Sekolah Banyak pihak diakui oleh civitas sekolah yang berkepentingan terhadap pengembangan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud pada umumnya dan pada praktik Pendidikan IPS pada khususnya. Akomodasi terhadap berbagai kepentingan itu dianggap wajar oleh sekolah sebagai konsekuensi adanya hubungan dan saling pengaruh antara sekolah dengan masyarakat pada umumnya. Hanya dengan menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekolah akan tetap eksis dau dapat berkembang di tengah-tengah pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya. Seluruh civitas SMU Negeri I Ubud juga menyadari bahwa sekolah perlu mengakomodasi, mengadaptasi, dan mengembangkan tiga level kepentingan yang harus menjadi orientasi nilai dan tindakan seluruh warga sekolah dan masyarakat, yaitu level kepentingan eksistensi masyarakat lokal, level kepentingan nasional, dan level kepentingan global. Ketiga level kepentingan itu bisa saja sejalan satu sama lain, tetapi bisa juga menimbulkan konflik kepentingan. Di sini menjadi tugas sekolah, bagaimana dapat merekonstruksi masing-masing level orientasi kepentingan dan nilai-nilai tanpa menghapuskan orientasi nilai yang lain. Ada sejumlah agen sosial yang diyakini civitas sekolah turut membawa kepentingan dan orientasi nilainya dalam pelaksanaan berbagai kebijakan turut mempengaruhi pengambilan dan implementasi program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud; dan dengan demikian mempengaruhi pula praktik program Pendidikan IPSnya. Pertama, adanya kepentingan nasional yang dibawa ke sekolah melalui saluran kurikulum sekolah oleh agen-agen pemerintah terkait, khususnya oleh dan dari Departemen Pendidikan Nasional dengan seluruh hubungannya di daerah. Dalam hal ini, Departemen Pendidikan Nasional setelah mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik, pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), ekonomi, sosial, dan budaya yang berkembang secara nasional, mengintegrasikannya ke dalam kurikulum sekolah yang secara tersentralisasi memandatkannya kepada sekolah untuk melaksanakan atau mengimplementasikannya melalui pendidikan dan pengajaran berbagai disiplin mata pelajaran bidang studi termasuk mata pelajaran rumpun IPS. Dengan kebijakan secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional seperti di atas, mata pelajaran rumpun IPS jelas pula membawa kepentingan dan orientasi nilai-nilai 211 nasional. Ini dapat dilihat dari relevansi tujuan pendidikan nasional dengan karakteristik dan tujuan Pendidikan IPS dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya dan pembentukan warga negara yang baik. Somantri (2001:40) menyalakan bahwa sebagian besar aspek tujuan pendidikan nasional banyak yang menjadi daerah tujuan Pendidikan IPS karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berkenaan dengan ideologi, politik dan pemerintahan, kewarganegaraan, sejarah perkembangan bangsa Indonesia, distribusi sumber-sumber daya Indonesia, kekuatan ekonomi nasional, dan puncak-puncak kebudayaan bangsa. Karena orientasi nilai dan dominasi kepentingan berskala nasional inilah tampaknya menjadikan mata pelajaran IPS banyak membawa visi dan misi bangsa; dan karenanya, karakteristik ini menyebabkan perbedaan substansi materi dan kandungan nilai-nilai yang terjadi antar IPS (Social Studies) di berbagai negara (Winataputra, 2001). Menyadari kelemahan-kelemahan standar kurikulum yang bersifat nasional, masyarakat yang menyadari tidak terjadi link and match antara pendidikan dan pengajaran di sekolah dengan kebutuhan masyarakat lokal, melalui berbagai agen-agen pembahan sosialnya yang terkait, menghimbau dan meminta pemerintah daerah beserta jajarannya di dinas pendidikan propinsi dan kabupaten serta kepada sekolah-sekolah untuk mengembangkan program pendidikan di sekolah lebih menyesuaikan dengan tuntutan kecakapan hidup masyarakat lokal tanpa mengabaikan kepentingan-kepentingan nasional dan global. Pada kasus di SMU Negeri I Ubud, lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh berikut ini mengambil peranan yang besar dalam turut mempengaruhi kebijakan sekolah dalam melaksanakan program pendidikannya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal, antara lain: lembaga keluarga, Badan Pembina Lembaga Adat (BPLA) Kabupaten Gianyar atau yang dewasa ini akan diubah menjadi Majelis Madya Desa Pekraman, serta Musyawarah Pembinaan lembaga Adat (MPLA) Kecamatan Ubud atau Majelis Alit Desa Pekraman, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Gianyar dan Kecamatan Ubud, tokoh- tokoh puri Ubud, tokoh-tokoh desa adat dan desa dinas Ubud, media massa lokal seperti Harian Bali Post, Harian NusaTenggara, majalah SARAD Bali, media elektronik TV Bali dan Bali TV, seku-seka kesenian di Ubud, pemilik-pemilik galeri di Ubud, dan beberapa pengusaha industri dan jasa pariwisata di Ubud. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Karena itu dapat diyakini bahwa keluarga merupakan agen sosial yang turut juga berpengaruh terhadap pendidikan di sekolah (Sukeini, 1994; Suyasa, 2003). Peranan keluarga dalam fungsi-fungsi religius, sosial, budaya, politik, dan ekonominya tetap tidak dapat diabaikan (Lauer, 1989; Sudiasa, 1992; Sukadi, 1994; Suyasa, 2003). Melalui 212 fungsi-fungsi seperti di atas, pendidikan dalam keluarga turut juga mewarnai wawasan, nilai-nilai dan sikap, serta kecakapan siswa ketika hadir di sekolah. Dan, semua ini dapat menjadi pengalaman awal siswa yang akan dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan di sekolah. Inilah yang disebut dengan pendidikan sekolah berbasis pada pengalaman dunia nyata anak yang sebagian dibentuk dalam lingkungan pendidikan keluarga (Sadia, 1996; Santiyasa, 1999; Widja, dkk. 2002). Pengaruh pendidikan keluarga terhadap proses pendidikan di SMU Negeri I Ubud termasuk dalam proses pendidikan sosialnya dapat tetjadi melalui pengalaman yang dibawa siswa, dan dapat pula pada pengalaman yang dibawa guru-guru ke sekolah. Di sini baik guru-guru dan siswa dapat sama-sama membawa pengalaman-pengalaman religius, sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan pengalaman hidup berkesenian sebagai orang Bali dan sebagai orang Ubud yang banyak terlibat dalam bidang pariwisata budaya. Kesamaan-kesamaan pengalaman ini diakui guru-guru dan siswa lebih memudahkan proses tranmisi nilai-nilai budaya lokal Tri Hiia Karana, karena adanya kesamaan nilainilai dan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan guru-guru dan siswa. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman belajar nilai-nilai budaya di sekolah lebih banyak sebagai upaya makin menguatkan atau memantapkan tradisi-tradisi, norma-norma, dan nilai-nilai yang telah dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, baik yang bersangkutan dengan nilai-mlai parahyangan, pawongan, maupun palemahan, sehingga nilai-nilai tersebut lebih terinternalisasi dalam kepribadian siswa. Ini tidak berarti bahwa seluruh aspek dan strategi pendidikan nilai-nilai dan keterampilan berbudaya Bali dalam lingkungan keluarga dikukuhkan begitu saja dalam proses pendidikan sosial dan nilai-nilai di sekolah Apa yang dilakukan di sekolah kemudian adalah membantu memilih materi-materi pendidikan agama dan nilai-nilai budaya yang diperlukan siswa dalam keliidupan bermasyarakat yang berubah serta membantu siswa memberikan landasan ideologis/filosofis dan landasan rasional yang lebih kuat secara kritis dan kreatif kepada siswa tentang berbagai praktik tradisi nilai-nilai budaya yang telah dilakukan di lingkungan keluarga yang tidak dapat dijelaskan oleh pihak orang tua atau orang dewasa lainnya di lingkungan keluarga (Sudiasa, 1992). Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa pendidikan sekolah tidak dapat melepaskan diri dari pendidikan dalam keluarga. Keberadaan ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari pandangan strukturalisme fungsional, bahwa sesungguhnya pendidikan sekolah berfungsi dalam menyiapkan generasi muda untuk memiliki sistem bahasa, pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam 213 melaksanakan fungsi di dalam masyarakat, termasuk dalam keluarga. Sekolah, dengan demikian, dapat dianggap sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yang ada (Hallinan, dalam Ballantine, 1985:33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-87). BPLA dan Parisadha, selanjutnya, umumnya berperan melalui saluran dharma wacananya di sekolah turut memberikan pencerahan baik kepada pemimpinan sekolah, dewan guru, staf pegawai maupun siswa untuk menata lingkungan sekolah dan menciptakan iklim pendidikan dan pengajaran berbasis nilai-nilai Tri Hita Karana. Wawasan dan nilai-nilai yang diterima dalam dharma wacana inilah yang dijadikan pedoman oleh sekolah untuk membuat kebijakan penataan lingkungan dan penciptaan iklim pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud berbasis pada nilai-nilai Tri Hila Karana yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip desa, kala, paira. Tokoh-tokoh dan keluarga puri Ubud juga mempunyai andil yang besar terhadap pendirian, pembangunan, dan pengembangan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud. Peran mereka di samping sebagai pendiri, penyedia lahan untuk pembangunan sekolah, donatur, dan dewan pembina/penasehat adalah juga sebagai pengurus atau fungsionaris BP3/koraite sekolah. Tidak mengherankan jika keluarga puri Ubud memiliki kepentingan yang besar terhadap perkembangan SMU Negeri I Ubud sebagai sekolah menengah umum yang pertama dan utama bagi proses pendidikan masyarakat. Keluarga puri Ubud, termasuk puri Peliatan, juga merupakan yang ditokohkan masyarakat baik dalam bidang sosial, adat, agama, politik, ekonomi, maupun dalam pengembangan pariwisata di Ubud pada khususnya, dan di kabupaten Gianyar pada umumnya. Karena itu, keluarga puri Ubud juga memiliki kepentingan terhadap proses pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud dalam rangka memenuhi harapan masyarakat Ubud terhadap upaya mempertahankan karakteristik masyarakat Ubud berkarakter Bali dan dalam upaya pengembangan pariwisata budaya di Ubud yang diyakini benar sebagian merupakan jasa para leluhur keluarga puri Ubud yang telah membesarkan pariwisata budaya di Ubud. Dua kepentingan inilah yang melandasi bagaimana penataan lingkungan dan penciptaan iklim belajar di SMU Negeri 1 Ubud dikembangkan oleh sekolah dengan mendapatkan bahan-bahan pertimbangan dan nasehat dari keluarga puri Ubud. Bahanbahan pertimbangan ini pulalah yang membantu dan sekaligus mengikat sekolah untuk merumuskan visi dan misi sekolahnya (beriman, bermutu, dan berbudaya), yang pada gilirannya juga mempengaruhi iklim pembelajaran pendidikan sosial (IPS) di SMU 214 Negeril Ubud berbasis pada nilai-nilai tradisional Tri Hila Karana yang dengan prinsip-prinsip desa, kala, patra di Ubud. jelas sekali bahwa, sesuai dengan pandangan teoritisi interpretivis, struktur masyarakat Ubud terdiri dari sistem ketidaksamaan kelas (karena berlakunya sistem kasta) yang dilanggengkan dalam keluarga melalui proses transmisi kode-kode linguistik dan pola komunikasi kepada anak (Karabel dan Halsey, 1977:63). Sekolah sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya keluarga yang pada umumnya mencerminkan dominasi budaya kelas-kelas atas. Tidak mengejutkan, karena itu, sekolah, baik langsung maupun tidak langsung, sesungguhnya berharap semua siswa belajar kode-kode linguistik dan kompetensi budaya kelas dominan, yaitu yang dihasilkan oleh keluarga-keluarga puri Ubud (Pai, 1990). Bourdieu (1977:494) menuliskan situasi ini: "The educational syslem demands of everyone alike that ihey have what it does nol give. This consisls mainly o/ linguistic and cullural compelencies and ihal relationship of familiarUy v/Uh culiure which can only be producedby family upbringing when H iransmils the dominani culiure ". Hubungan antara SMU Negeri 1 Ubud dan desa dinas serta desa adat Ubud juga sangat harmonis. Tidak saja karena lokasi SMU Negeri 1 Ubud berada di wilayah teritorial desa dinas dan desa adat Ubud, tetapi, sebagai lembaga pendidikan, sekolah yang berada di wilayah desa adat dan dinas tersebut memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar, memenuhi tuntutan pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat setempat dalam rangka proses enkulturasi dan transmisi budaya, dan memenuhi harapan masyarakat untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia setempat. Begitu pula, ada kewajiban moral bagi desa-desa dinas dan desa adat Ubud untuk turut serta membantu, membina, dan mengembangkan lembaga pendidikan masyarakat yang dimilikinya, sehingga SMU Negeri 1 Ubud dapat menjadi center of excellence bagi pengembangan sumber daya manusia masyarakat Ubud. Dengan adanya saling kepentingan antara SMU Negeri I Ubud dengan masyarakat sekitarnya, memungkinkan bagi desa adat dan desa dinas Ubud sebagai agen-agen sosial turut mempengaruhi kebijakan sekolah dan mewarnai iklim pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud, terutama dalam iklim pendidikan sosialnya. Proses hubungan masyarakat seperti ini dapat menjadi sarana belajar secara langsung dan paitisipatif (pratyaksa premana) bagi siswa SMU Negeri 1 Ubud, khususnya 215 dalam mempraktikkan kehidupan beragama (parahyangan), keliidupan sosial bermasyarakat (pawongan), dan dalam pemeliharaan lingkungan palemahan yang riil dalam kehidupau masyarakat Ubud berlandaskan prinsip-prinsip ajaran Tri Hila Karana Hubungan antara sekolah dengan desa adat di atas juga makin menguatkan keyakinan bahwa sekolah juga mempunyai fungsi yang sentral dalam melestarikan sistem sosial dan budaya dalam masyarakat. Dalam hal ini, sekolah yang berada di wilayah teritorial desa dinas dan desa adat Ubud jelas tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan lokal masyarakat desa adat Ubud untuk turut melestarikan tradisi-tradisi keliidupan sosial, budaya, dan berkesenian masyarakat; tidak saja untuk kepentingan internal masyarakat Ubud, tetapi juga penting bagi masyarakat desa Ubud secara keseluruhan yang berkeinginan dapat menjaga tetap lestarinya kebudayaan Bali di Ubud yang sangat dipentingkan dalam rangka mengembangkan pariwisata budaya di Ubud. Sekolah, dengan demikian, dapat menjamin bahwa program-program pendidikannya dapat mensosialisasikan kepada siswa aspek-aspek sosial budaya yang esensial yang diperlukan masyarakat untuk dilestarikan, seperti pelestarian penggunaan bahasa Bali, pelestarian sistem struktur sosial yang berbasis kasta, pelestarian tradisitradisi keliidupan gotong royong di dalam masyarakat, pelestarian sistem ritual dan kehidupan beragama Hindu dalam masyarakat, tradisi kehidupan berkesenian, dan sejenisnya. Pandangan seperti ini sekali lagi menguatkan pandangan strukturalisme fungsional masyarakat Bali dalam rangka ajeg Bali. Media massa lokal di Bali juga merupakan agen-agen sosial yang mempunyai peranan penting bagi pendidikan yang memberikan wawasan dan nilai-nilai budaya lokal bagi masyarakat Bali dan Ubud pada umumnya dan civitas SMU Negeri l Ubud pada khususnya, baik melalui media cetak harian Bali Post, harian Nusa Tenggara, dan majalah SARAD Bali, maupun melalui media elektronik stasiun TVRI Bali (dulunya disebut TVRI Stasiun Denpasar) dan Bali TV. Ini dapat diketahui dari digunakannya ketiga media cetak ini sebagai sumber bacaan, baik bagi guru-guru maupun siswa SMU Negeri 1 Ubud dan penggunaan siaran TVRI Bali dan Bali TV yang dominan menayangkan kajian budaya lokal sebagai salah satu sumber belajar di sekolah. Sebagaimana diketahui, harian Bali Post dan Nusa Tenggara serta majalah SARAD Bali adalah media cetak lokal di Bali yang juga turut menyajikan informasi-informasi, artikel-artikel atau bahasan-bahasan tentang kehidupan sosial, kehidupan agama, kehidupan pariwisata, dan kehidupan budaya Hindu Bali. Sebagai media lokal, kedua 216 harian ini memang cukup rutin (hampir setiap hari) menyajikan berita-berita, informasiinformasi, dan artikel-artikel seperti di atas walau jumlah informasi, berita, atau artikelartikelnya tidaklah selalu dominan. Sedangkan majalah SARAD Bali memang merupakan salah satu majalah yang berfokus pada keliidupan agama dan kebudayaan Hindu Bali pada khususnya dan kebudayaan Hindu di Indonesia pada umumnya. Tidaklah mengherankan, karena itu, pendidikan yang memberikan wawasan, nilai-nilai, dan sikap positif terhadap kehidupan budaya lokal dan agama Hindu Bali dapat diperoleh melalui akses yang intensif terhadap media massa lokal Bali ini, seperti Temuan Suyasa (2003) yang menyimpulkan bahwa akses yang intensif dari siswa SMU di kota Singaraja terhadap media massa dapat meningkatkan sikap politik berdemokrasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Media elektronik melalui siaran TVRI Bah dan Bali TV juga tidak kalah intensifnya dalam menyajikan berita-berita, gambar-gambar, ulasan-ulasan, topik-topik pembahasan, sajian kesenian, tayangan sinetron, tayangan film, dan kegiatan dharma wacana yang menggambarkan kehidupan sosial, religius, budaya, dan keliidupan berkesenian masyarakat Bali. Bahkan untuk siaran Bali TV yang memiliki visi dan misi ajeg Bali hampir seluruh tayangannya memang difokuskan untuk pengembangan dan pelestarian kebudayaan, agama Hindu, dan kesenian Bali. Diyakini, masyarakat yang memiliki minat yang besar menjadi pemirsa TV Bali dan Bah TV dipastikan memiliki minat yang besar dan sikap yang positif pula dalam upaya pengembangan dan pelestarian kebudayaan lokal Bali yang berbasis pada ajaran agama Hindu Bali. Memang melalui visi dan misi ajeg Balinya., Bali TV memiliki komitmen yang kuat untuk mengajak seluruh masyarakat Bali secara bersama-sama mengcyegkan atau melestarikan kebudayaan dan agama Hindu Bali yang telah dinilai sebagai kebudayaan yang luhur warisan para dewata leluhur. Prinsip yang digunakan dalam pemilihan tayangan-tayangannya memang adalah continuity and change dalam kebudayaan Bali. Artinya, redaktur telah sangat objektif dalam menentukan mana unsur-unsur kebudayaan dan ajaran agama Hindu Bati yang harus dipertahankan dan perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan mana unsur-unsur kebudayaan Bali yang masih perlu dieksplorasi dan dikembangkan bersama oleh masyarakat. Terlepas masih adanya pro dan kontra dari masyarakat terhadap berbagai tayangan tentang berbagai bentuk kebudayaan Bali di Bali TV dan media cetak seperti SARAD Bah, harus diakui bahwa masyarakat Bali secara keseluruhan memang bangga terhadap keberadaan Bali TV dan SARAD Bah yang sangat berani dengan visi dan 217 misinya tentang ajeg Bah. Misi pelestarian budaya yang di dalamnya juga mengakui adanya penerimaan unsur-unsur luar atau unsur-unsur asing ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konsepsi strukturalisme masyarakat Bah yang percaya bahwa di dunia ini bekerja dua kekuatan atau kekuasaan kosmis, yaitu buana alu dan buana agung (Widja, 1991). Dikaitkan dengan prinsip coniinuily andchange, masyarakat Bali mengakui bahwa kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali juga tidaklah dapat lepas dari hubungannya dengan kekuasaan buana agung, yaitu kehidupan sosial budaya yang lebih luas di bumi ini. Jadi masyarakat Bali tidak hanya mengakui adanya kebudayaan Bali, tetapi ada juga kebudayaan lain yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bah. Namun, apapun bentuk kebudayaan asing atau kebudayaan modern yang diterima pengaruhnya terliadap kebudayaan Bali haruslah dapat didekati dari berlakunya hukum r»'a bhinneda yang telah terstruktur dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali. Artinya, apapun bentuk kebudayaan baru itu, tidaklah harus menyerang untuk merobohkan dinding mental spiritual masyarakat Bali yang direkatkan oleh jiwa kolektif yang menumbuhkan semangat suci (Widja,1991). Civitas SMU Negeri 1 Ubud mengakui bahwa mereka secara keseluruhan memiliki akses yang intensif terhadap ketiga media cetak (harian Bah Post, Nusa Tenggara, dan SARAD Bali) dan kedua media elektronik di atas, terutama kepada Bah TV, baik secara individual di lingkungan keluarga maupun dalam memanfaatkan sarana yang dimiliki sekolah. Hampir setiap hari guru dan siswa dapat mengakses informasi media Bali Post, NusaTenggara, dan SARAD Bali yang tersedia baik di kantor kepala sekolah, kantor guru, maupun di perpustakaan. Begitu pula tayangan acara-acara terutama Bah TV dapat diikuti guru-guru dan siswa setiap hari pada televisi sekolah yang ada di kantor guru atau perpustakaan sekolah. Secara umum dapat dikatakan pula bahwa baik kepala sekolah, guru-guru, pegawai, maupun siswa memiliki minat dan sikap yang positif terhadap tayangan-tayangan kebudayaan Bali yang ada di berbagai media massa lokal di atas. Ini dapat ditunjukkan pada komitmen sekolah ketika menayangkan presentasi budaya dan keseniannya sebagai hasil kreativitas para siswanya pada perayaan-perayan seperti hari ulang tahun sekolah dan hari-hari raya suci Hindu tertentu, sekolah juga ikut mempublikasikannya ke media-media cetak dan elektronik lokal di atas. Di samping itu, diakui bahwa SMU Negeri 1 Ubud telah beberapa kali mengikuti kegiatan lomba presentasi budaya, kesenian Bali, dharma tufa, dan dharma wacana yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi media massa di atas (terutama oleh Bali Post dan Bali TV); dan, 218 karena itu, turut berkontribusi pula pada tayangan-tayangan budaya yang disajikan oleh kedua media tersebut kepada masyarakat. Dari penjelasan ini jelaslah bahwa media massa lokal Bali yang telah mempresentasikan karakteristik keliidupan masyarakat Bali secara religius, sosial, budaya, berkesenian, dan hubungannya dengan lingkungan alamnya telah memberikan pengaruh pula kepada civitas SMU Negeri 1 Ubud dalam upayanya melestarikan kehidupan religi, sosial, budaya, dan kesenian masyarakat Bali. Daerah Ubud, sebagai telah dijelaskan di atas, juga sangat terkenal dan marak dengan kehidupan berkeseniannya dengan berbagai jenis cabang kesenian. Untuk seni rupanya bahkan telah juga berkembang berbagai alirannya. Walau ada indikasi pada beberapa seginya telah berkembang ke arah aliran yang lebih modem melalui pengembangan seni rupa kontemporer (Bandem, 2005; Kaija, 2005), secara umum masyarakat Ubud masih bergulat dengan kesenian tradisional Balinya. Karena itu, tidak mengherankan kalau di Ubud itu dikenal banyak muncul seniman-seniman tradisional muda dengan berbagai seka atau kelompok, sanggar, dan galeri keseniaimya. Kelompokkelompok atau seka dan sanggar-sanggar serta galeri-galeri kesenian inilah yang banyak berpengaruh kepada masyarakat dalam menghasilkan seniman-seniman baru termasuk kepada siswa-siswa di sekolah, antara lain kepada para siswa SMU Negeri 1 Ubud. Pengaruh seniman dan seka-seka kesenian di Ubud terhadap kebijakan program pendidikan di SMU Negeri Ubud cenderung tidak bersifat langsung. Sekolah dengan komitmen visi kebudayaannya yang mengupayakan turut mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Bali, tentu termasuk juga turut mengembangkan kecakapan para siswa dalam kehidupan berkesenian. Ini tidak saja dimaksudkan untuk menyiapkan caloncalon seniman muda atau pengrajin seni yang dibutuhkan oleh masyarakat Ubud dalam proses regenerasi seniman, tetapi, sebagai pendukung kebudayaan Bali, kehidupan berkesenian oleh siswa sebagai orang Bali sudah menjadi bagian dari kehidupan. Di samping itu, dalam rangka pengembangan program pendidikan seutuhnya dan terpadu, pendidikan kesenian memang menjadi bagian integral dari pendidikan siswa untuk tujuan pengembangan kepribadian siswa secara utuh pula, karena diyakini dapat mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang halus, lembut, indah, dan luhur (Mulyanto. 1994). Di sini kehidupan para seniman dan keberadaan seka-seka atau sanggar kesenian cenderung dapat dijadikan teladan, orientasi, dan tempat belajar secara informal dan nonformal bagi siswa, sekaligus dalam mengembangkan kecakapan-kecakapan berkeseniannya. 219 Kehidupan berkesenian para seniman di Ubud memang dapat diteladani oleh dan menjadi teladan serta orientasi para siswa SMU Negeri 1 Ubud. Ini tidak saja mengacu kepada seniman-seniman muda dewasa ini, tetapi termasuk juga meneladani para maestro seniman Ubud yang sudah tiada, seperti almarhum Gusti Nyoman Lempad, I Ketut Cokot, Ida Bagus Sobrat, Ida Bagus Made, I Made Cakra, Antonio Blanco, Walter Spies, Ary S midi, Han Snell, dan sebagainya yang telah mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk perkembangan dan kemajuan seni dan ketenaran Ubud. Para maestro seni ini tidak saja diteladani para siswa karena pengabdiannya kepada seiii yang sangat tulus, tanpa pamerih, jujur, dan kualitas seninya yang tinggi karena mengandung nilai-nilai religius magis, tetapi juga karena kepribadiannya secara keseluruhan yang sederhana dan bersahaja memang pantas diteladani, terutama juga karena pengabdiannya kepada Ubud pada umumnya, serta kepedulian dan pengabdiannya kepada masyarakat adat tempat tinggalnya. Dalam pandangan dan nilai-nilai serta sikap para guru dan siswa SMU Negeri 1 Ubud, para seniman maestro Ubud di atas diyakini telah menjadi seniman Ubud yang memiliki taksu seniman Bali (profesional, berkarisma atau berwibara karena profesinya, dan karena itu menjadi terkenal atau kasub). Para seniman, pengrajin seni, dan seka-seka atau sanggar-sanggar, termasuk galeri-galeri kesenian di Ubud juga menjadi tempat belajar siswa dalam mengembangkan kecakapan, keterampilan, dan nilai-nilai seninya, baik karena permohonan bantuan yang diminta sekolah kepada para seniman dan sanggar-sanggar kesenian untuk menjadi pembimbing atau pembina siswa maupun sebagai tempat belajar secara informal maupun nonformal. Di sini siswa tidak saja belajar menari, menabuh, menggambar atau melukis, memahat atau mengukir, dan menembang gita, tetapi, mereka juga belajar tentang nilainilai seni dan kehidupan yang religius, nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Bali, kreativitas, menghargai keindahan, keluhuran, kebesaran dan kemegahan serta kegemerlapan Tuhan dan para Dewa, melestarikan lingkungan, keuletan dalam belajar dan berkarya, mengembangkan imaginasi dan intuisi, kesederhanaan dan kebersahajaan, kejujuran, kepekaan sosial dan lingkungan, serta mengagumi keindahan alam. Semua pembelajaran seni seperti ini umumnya dilakukan secara praktik partisipastif secara langsung dan para guru atau seniman pembimbing memberikan pemodelan, fasilitasi, arahan, pelatihan, pengulangan, memberikan pujian dan kritikan, serta memberikan tantangan kepada siswa. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa seka-seka atau sanggar-sanggar kesenian dengan para senimannya sebagai agen-agen sosial mempunyai pengaruh juga pada praktik program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud terutama dalam 220 memberikan pengalaman berkesenian serta pembentukan nilai-nilai kehidupan beragama, sosial, dan budaya lokal masyarakat Bali berbasis nilai-nilai Tri Hiia Karana kepada siswa. Usaha-usaha industri barang dan jasa pariwisata dengan para pengusalia wirausahanya juga merupakan agen-agen sosial yang mempunyai pengaruh penting terhadap kebijakan, implementasi program, dan penciptaan iklim pendidikan dan belajar di SMU Negeri 1 Ubud yang pada gilirannya berpengaruh pula pada praktik program pendidikan sosial dan Pendidikan IPS di sekolah. Diakui bahwa pengaruh kelompok dunia industri pariwisata di Ubud terhadap sekolah memang belum bersifat langsung, karena sampai saat ini belum pernah dilakukan kerja sama kemitraan secara formal antara sekolali dengan kelompok-kelompok pengusaha industri barang dan jasa pariwisata di Ubud. Namun demikian, iklim berusaha masyarakat Ubud pada bidang pariwisata jelas mempengaruhi sekolah. Ada image di masyarakat Ubud pada umumnya bahwa jika seseorang memiliki jiwa dan kecakapan dalam seni serta memiliki kemampuan berbahasa asing yang memadai, maka orang itu bisa sukses dalam berkarya dan memperoleh dolar di bidang pariwisata di Ubud. Image seperti inilah yang paling mempengaruhi sekolah sehingga turut mempengaruhi kebijakan sekolah dan iklim belajar siswa. Kebijakan sekolah memberikan kebebasan yang lebih leluasa kepada siswa dalam memilih jurusan bahasa sehingga pesertanya lebih banyak dari pada jurusan IPS dan IPA, serta kebijakan sekolah untuk terus meningkatkan terutama kualitas pembelajaran bahasa asing menunjukkan indikasi ini. Begitu pula pemantapan dan peningkatan kualitas pembelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler bidang seni dapat dikatakan sebagian merupakan implikasi dari berkembangnya bidang-bidang usaha industri kerajinan dan kesenian dalam bisnis pariwisata di Ubud. image di atas juga memberi peluang terbentuknya image di kalangan siswa tentang pentingnya jiwa dan semangat serta keterampilan berwirausaha yang ternyata cukup kuat pengarulmya dalam menggantikan sikap untuk menjadi pegawai negeri yang umum terjadi di kalangan siswa pada umumnya. Karena itu, siswa SMU Negeri 1 Ubud umumnya lebih suka menggunakan waktu di luar jam sekolahnya untuk belajar mengembangkan bakat dan kecakapan seninya dengan belajar pada kelompok-kelompok usaha wirausaha kerajinan dan seni, seperti belajar mengukir kayu, kerajinan seni dari logam, kerajinan seni dari bambu, pelepah pisang, kerajinan seni dari kulit, kerajinan seni dari kain perca, melukis, menari, menabuh, dan sejenisnya. Tidak sedikit siswa SMU Negeri 1 Ubud yang lebih suka bekerja membantu orang tua atau bekerja secara mandiri untuk memperoleh nafkah 221 uang dari bekerja di sektor industri seni kerajinan, atau mengikuti seni pertunjukan dari pada belajar secara fonnal untuk menguasai ilmu. Pengaruh iklim berwirausaha oleh agen-agen sosial para pengusaha di atas terhadap sekolah tidaklah semata-mata pada image bisa menguasai seni dan bahasa asing saja. Lebih dari itu, membelajarkan masyarakat dan para siswa juga tentang pentingnya memiliki etos atau nilai-nilai kerja modem dan berkomitmen mewujudkannya agar dapat berkompetisi di era persaingan pasar bebas dengan tetap memegang nilai-nilai kerja metaksu dan kasub. Ini telah dicontolikan oleh beberapa orang yang sukses secara profesional dan ekonomi di Ubud, baik di kalangan pengusaha, seniman, maupun pengrajin. Selanjutnya mereka juga perlu belajar nilai-nilai kerja modem yang rasional dalam persaingan bisnis, antara lain: keberanian berinvestasi, keberanian dalam menanggung resiko, mau dan mampu bekerja keras, perlunya memanfaatkan sumber-sumber alam secara kreatif dengan tetap mempertimbangkan kelestarian dan kesinambungannya, pentingnya membaca peluang bisnis, membangun jaringan kerja sama kemitraan dengan dunia usaha, membaca kebutuhan dan prospek pasar, sikap yang positif terhadap teknologi modem, bersaing secara sportif, jujur, dan objektif, disiplin dengan janji binis, manajemen usaha yang baik dan profesional, perlunya memiliki data bisnis dalam setiap mengambil keputusan usaha bisnis, serta perlunya memiliki sikap yang positif dan kreatif dalam menghadapi dan memecalikan masalah-masalah bisnis yang ditemui. Etos dan nilai kerja seperti ini tidak diperoleh oleh guru dan siswa secara langsung dan formal dari pengalaman bekerja sama dengan pengusalia, melautkan karena adanya hubunganhubungan kerja secara personal yang bersifat informal serta upaya interpretasi baik oleh guru dan siswa atas iklim kerja dan berusaha yang terjadi di masyarakat Ubud yang menunjukkan makin tumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha baru di bidang pariwisata. Demikianlah beberapa agen sosial di masyarakat telah memberikan pengarulinya terhadap pengambilan kebijakan dan implementasi program pendidikan, tennasuk praktik program pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud, baik secara langsung maupun tidak langsung mewarnai iklim Pendidikan IPS dalam membawakan misinya mewujudkan kepentingan dan nilai-nilai lokal, nasional, dan global. Secara fonnal, implementasi kebijakan kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah dengan dasar kebijakan oleh Departemen Pendidikan Nasional beserta jajarannya di daerah memang lebih menampakkan visi, misi, dan tujuannya yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasiona. 222 Karena itu, lebih mengutamakan kepentingan nasional dalam rangka membentuk warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme serta memiliki kemampuan berpikir dan bertindak dalam persaingan global. Namun demikian, pengaruh-pengaruh agen-agen sosial lokal d e n ^ n visi, misi, dan tujuan-tujuan pengembangan dan pelestarian budaya lokal Balinya juga turut mempengaruhi baik secara formal maupun secara tidak langsung terhadap praktik program Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud, terutama dalam menciptakan kebijakan dalam penataan lingkungan sekolah, pengembangan program pendidikan berbasis budaya lokal, dan dalam penciptaan iklim pendidikan dan belajar siswa dengan basis nilai-nilai budaya lokal Bali berideologi Tri HUa Karana. Pengaruh berbagai agen-agen sosial terhadap pelaksanaan program pendidikan di sekolah seperti telah digambarkan di atas juga menunjukkan bahwa Pendidikan IPS pada khususnya tidaklah selalu diperoleh melalui belajar secara formal di lingkungan kelas atau sekolah saja, melainkan dapat juga berlangsung secara informal di lingkungan keluarga dan secara nonformal di lingkungan masyarakat. Dengan prinsip belajar sepanjang hayat dan belajar dapat dilaksanakan sambil bekerja (learning by dotng), warga belajar sesunggulmya dapat mengembangkan model belajar yang betul-betul bermakna dalam mengembangkan kecakapan-kecakapan hidup yang dibutuhkan untuk dapat berinteraksi dan berintegrasi dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Apa yang terjadi di SMU Negeri lUbud, walau tidak sepenuhnya peugaruhpengaruh sosial budaya di masyarakat tersebut dapat diakomodasi dalam mengembangkan program Pendidikan IPS khususnya secara formal di kelas, seluruh komponen civitas sekolah sesunggulmya pula telah mengakomodasi dan mengadaptasikannya ke dalam pengembangan program pendidikan di sekolah. Hal ini khususnya yang berkaitan dengan menciptakan iklim pendidikan di sekolah, menyediakan sarana pendidikannya, mengambil inti sari materi pendidikannya untuk kepentingan bimbingan-bimbingan belajar kepada siswa, mengembangkan program keija samanya dengan masyarakat, serta menjadi basis bagi sekolah dalam mengembangkan visi dan tujuan-tujuan pendidikan SMU Negeri 1 Ubud dalam rangka melahirkan generasi muda modern berwatak Bah yang bermutu, beriman, dan berbudaya. Dan, inilah sesungguhnya pula yang menjadi salah satu sumber bagi komponen-komponen sivitas sekolah dalam upayanya merekonstruksi pengalaman sosial budayanya berbasis ideologi Tri hita Karana untuk kepentingan pengembangan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud pada umumnya, dan pengembangan program Pendidikan IPS pada khususnya dalam rangka melahirkan generasi muda Bali modem 223 yang benmUu, mengembangkan beriman, dan kebudayaan berbudaya lokal, yang memiliki kemampuan menghargai nilai-nilai nasionalisme, dalam dan mengembangkan kemampuan berpikir global. Gambaran di alas juga jelas menunjukkan bahwa dalam rangka menghadapi masyarakat dan kebudayaan Bali pada umumnya dan Ubud pada khususnya yang bertransformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modem, pihak sekolah lelah berupaya mendekatinya dalam pandangan slruluralisme masyarakat Bali. Dalam hal ini, oposisi biner yang nienstruktur masyarakat Bali ke dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidaklah dipandang sebagai sualu diskontinuitas, melainkan masyarakat yang bertransformasi (shifiing) dalam konsep binarian tetapi tetap dapat menjamin teijadinva keseimbangan {ba/anting) dan dapat melakukan penyesuaian (adjuamtnl), yang dengan kemampuan adaptasinya {adapiing) dapat memperoleh (acqutrmg) kemajuan-kemajuan yang diinginkan (Ahimsa-Putra, 2001; Boon, 1985; Badcock, 2006) 224