BAB 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang berkaitan dengan variabel pola asuh orang tua serta variabel manajemen waktu, juga subjek remaja hingga kerangka berpikir dari penelitian ini berdasarkan keterkaitan antar variabel. 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Definisi pola asuh Menurut Santrock (2009) pola asuh atau pegasuhan ialah peran orang tua ketika menghadapi berbagai pilihan akan bagaimana orang tua merespon kebutuhan anak mereka dengan seberapa besar kendali orang tua diterapkan serta bagaimana orang tua menerapkan kendali tersebut. Pola asuh juga merupakan cara orang tua membesarkan anak dengan memenuhi kebutuhan anak, memberi perlindungan, mendidik anak, serta mempengaruhi tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-hari (Baumrind dalam Papalia, 2004). Menurut Yusuf & Sugandhi (2012) pola asuh merupakan gaya perilaku orang tua dan kontribusi orang tua terhadap kompetensi sosial, emosional, serta intelektual seseorang. Pola asuh orang tua juga mengajarkan akan nilai-nila serta norma kehidupan melalui pendidikan serta bimbingan dari mereka (Sarwono, 2012). Jadi dapat disimpulkan pola asuh adalah interaksi orang tua dengan anak, di mana orang tua memberikan pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara kompeten dari berbagai aspek. 2.1.2 Jenis-jenis pola asuh Santrock (2009) menjelaskan bahwa gaya pengasuhan orang tua atau pola asuh yang diterapkan orang tua biasanya memiliki empat gaya utama yaitu: a. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) Orang tua dengan pola asuh otoriter biasanya bersifat membatasi serta mengukum. Orang tua dengan gaya otoriter ini biasanya mendesak anak untuk mengikuti semua tuntutan orang tua secara tegas dan kaku. Batas dan kendali ditentukan 9 10 oleh orang tua dengan sedikit komunikasi verbal. Orang tua otoriter biasanya meminimalisir perdebatan verbal dengan anak, menggunakan kekerasan, menggunakan aturan aturan secara kaku tanpa menjelaskan permasalahan serta memperlihatkan amarah kepada anak. Hasil perilaku anak dengan pola asuh ini biasanya cenderung khawatir dengan perbandingan sosial seperti minder kemudian memiliki rasa ketakutan, gagal untuk memulai aktivitas, serta memiliki keterampilan komunikasi yang lemah. b. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting) Orang tua dengan pola asuh otoritatif biasanya mendorong anak untuk mandiri, namun tetap memberikan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan mereka. Orang tua dengan pola asuh otoritatif juga memberikan kesempatan anak untuk mengkomunikasikan berbagai hal secara verbal. Sikap yang muncul dari orang tua dengan pola asuh otoritatif adalah memberikan pengasuhan serta memberikan dukungan terhadap perilaku konstruktif anak salah satunya dengan cara memeluk serta berkomunikasi dengan nyaman. Anak dengan pola asuh ini dapat berprilaku kompeten secara sosial, dapat percaya diri, dapat menunda keinginan (pengendalian diri), berorientasi pada prestasi, serta menunjukan harga diri yang tinggi. c. Pola asuh mengabaikan (neglectful parenting) Pola asuh ini merupakan gaya pengasuhan dimana orang tua tidak ikut terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Orang tua membiarkan akan kehidupan anak mereka. Anak dengan pola asuh ini menerapkan pemikiran bahwa aspek-aspek lain yang dimiliki orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak dengan pola asuh ini biasanya sering kurang cakap secara sosial, memiliki harga diri yang rendah, kemandirian yang buruk, tidak termotivasi untuk berprestasi. Biasanya pada tahap remaja anak dengan pola asuh mengabaikanmenunjukan perilaku suka membolos. d. Pola asuh memanjakan (Permissive parenting) Pola asuh memanjakan merupakan gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak namun hanya menempatkan sedikit batasan atau larangan atas perilaku mereka. Orang tua dengan pola asuh memanjakan membiarkan anak mereka untuk melakukan apa yang diinginkan serta mendapatkan keinginan mereka. Beberapa orang tua menggunakan cara ini karena mereka menggangap kombinasi keterlibatan secara hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif, namun anak dengan pola asuh memajakan menjadi tidak belajar mengenai cara mengendalikan 11 perilakunya, kurang meghormati orang lain serta berharap selalu mendapatkan keinginan. Mereka juga bisa menjadi egosentris dan tidak menuruti aturan yang ada. 2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh Menurut Gunarsah dan Yulia (2008) pola asuh orang tua dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini ; a. Pengalaman masa lalu orang tua akan pola asuh orang tua terdahulu. Biasanya dalam mendidik anak orang cenderung untuk mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka terdahulu apabila hal tersebut dirasa memiliki manfaat. Ketika pola asuh orang tua sebelumnya dirasakan tidak bermanfaat orang tua cenderung untuk tidak mengulangi pola asuh yang digunakan oleh orang tuanya terdahulu. b. Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua. Ketika orang tua memiliki nilai-nilai yang digunakan, biasanya hal tersebut juga berpengaruh terhadap usaha orang tua ketika sedang mendidik anak mereka. Nilai-nilai ini bisa berupa nilai moral dan sosial. c. Tipe kepribadian orang tua. Kecendrungan dari kepribadian orang tua juga memiliki peran dalam mempengaruhi pola asuh orang tua kepada anak mereka. Contohnya ketika orang tua terlalu cemas dengan anaknya mereka akan terlalu melindungi anak mereka sehingga mempengaruhi pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. d. Kehidupan perkawinan orang tua. Ketika perkawinan keluarga kurang harmonis, biasanya orang tua lebih jarang melakukan interaksi di dalam rumah, hal ini terkadang menjadi pengaruh terhadap pola asuh orang tua yang lebih mengabaikan anak mereka. 2.2 Manajemen Waktu 2.2.1 Definisi manajemen waktu Menurut Vienažindien &Vienazindiene (2014) manajemen waktu adalah tindakan atau proses perencanaan dan mengontrol secara sadar atas jumlah waktu yang digunakan untuk suatu kegiatan, terutama untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi atau produktivitas seseorang. Ini merupakan meta-kegiatan yang bertujuan untuk memaksimalkan serangkaian kegiatan dalam batasan kondisi dari jumlah waktu yang 12 terbatas (Vienažindien, 2014). Lakein (dalam Macan, 1994) mendeskripsikan manajemen waktu merupakan perilaku seseorang yang menentukan kebutuhannya serta keinginannya terlebih dahulu, lalu kemudian diurutkan berdasarkan derajat kepentingannya. Manajemen waktu juga merupakan sebuah proses yang dihasilkan seseorang dari cara mereka mengontrol waktu serta hal-hal yang mereka lakukan (Ocken & Wass dalam Hellsten, 2011). Dari berbagai literatur yang ada Claessens Et al. (2007) mendefinisikan bahwa manajemen waktu ialah perilaku yang digunakan untuk meraih keefektifan dari penggunaan waktu ketika melakukan aktifitas tujuan yang sudah ditetapkan. Manajemen waktu menurut (Macan, 1990) adalah pengaturan diri dalam menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin dengan melakukan perencanaan, penjadwalan, mempunyai kontrol atas waktu, selalu membuat prioritas menurut kepentingannya, serta keinginan untuk terorganisasi yang dapat dilihat dari perilaku seperti mengatur tempat kerja dan tidak menunda-nunda pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen waktu ialah sebuah perilaku yang dilakukan seseorang dalam mengatur waktunya agar dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan utama yang sudah ditentukan atau diinginkan. 2.2.2 Komponen manajemen waktu Macan (1990) membagi manajemen waktu kedalam empat komponen sebagai berikut, a. Menetapkan tujuan dan prioritas (goal setting and prioritizing) Komponen ini berupa bentuk pengaturan tujuan mengenai apa yang diinginkan seseorang untuk mencapai dan memprioritaskan tugas yang penting agar tujuan tersebut tercapai (Macan, 1990). b. Mekanisme dari manajemen waktu (mechanics of time manajement) Komponen ini merupakan perilaku yang biasanya terkait dengan cara seseorang mengelola waktu (perencanaan). biasanya seperti membuat daftar tugas-tugas yang harus diselsaikan, penjadwalan mana tugas yang harus selsai terlebih dahulu, serta perencanaan kapan tugas harus terselesaikan hingga pengecekan kembali pada tugastugas yang sudah selsai (Macan, 1990). 13 c. Preferensi untuk mengatur (preference for organization) Komponen ini merupakan pendekatan yang digunakan seseorang untuk pengaturan dan mengerjakan sesuatu dengan baik serta pemeliharaan lingkungan belajar/kerja yang terstruktur atau terorganisir (Macan, 1990). d. Persepsi seseorang untuk mengontrol waktu (Percieved control over time) Komponen ini merupakan Persepsi seseorang untuk mengontrol waktunya. Komponen ini juga berhubungan dengan perasaan seseorang akan kemampuan mengatur waktu dan mengontrol berbagai hal yang dapat mempengaruhi penggunaan waktunya. sejauh mana subjek merasakan bahwa ia secara efektif mengontrol dan mengelola waktu nya . 2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen waktu Manajemen waktu yang dilakukan oleh seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini; a. Regulasi diri Kemampuan manajemen waktu yang di miliki seseorang dipengaruhi oleh regulasi diri seseorang. Jadi seseorang yang memiliki regulasi diri yang baik juga dapat mengatur waktunya dengan baik (Hofer Et al, 2007). b. Motivasi Ketika seseorang memiliki motivasi yang cukup tinggi biasanya mereka sudah memiliki energy arahan serta bagaimana cara mempertahankan perilakunya. Jadi jika seseorang memiliki motivasi akan mencapai sesuatu maka ada dorongan dari dalam dirinya untuk menentukan apa yang harus didahului serta mengatur waktu dengan baik (Hofer Et al, 2007). c. Penetapan tujuan Ketika seseorang sudah dapat menetapkan tujuan secara spesifik, biasanya ia akan mengatur waktunya agar tujuan yang dimiliki dapat tercapai (Hofer Et al, 2007). d. Karakteristik individu Orang yang memperoleh skor tinggi pada ketepatan waktu, perencanaan, dan polychronicity (dalam waktu yang sama dapat menyelesaikan lebih dari satu pekerjaan) mungkin memiliki kebutuhan yang lebih tinggi untuk mengendalikan situasi dan memanajemen waktu mereka (Claessens et al, 2005). 14 e. Pelatihan program memanajemen waktu Orang-orang yang sudah pernah mengikuti pelatihan program manajemen waktu biasanya dapat menggunakan waktunya dengan lebih efektif karena mereka diberikan laporan serta feedback dari kemampuannya sehingga seseorang dapat dapat menyadari akan pentingnya manajemen waktu (Claessens et al, 2005). 2.3 Remaja 2.3.1 Definisi remaja Menurut Santrock (2009), remaja meruapakan suatu masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Berdasarkan batasan usia yang ditetapkn oleh WHO (dalam Hagell, Coleman, & Brooks 2013) individu yang berada dalam usia 10-24 tahun masih digolongkan dalam kelompok kaum muda yang disebut dengan kelompok remaja. Selain itu pada remaja yang berusia 18-24 tahun merupakan kelompok usia yang sama yaitu kelompok yang sedang dalam masa transisi menuju dewasa (Brooks, 2011). Di Indonesia batasan usia remaja ialah pada umur 11 tahun hingga batas maksimal 24 tahun dan masih belum menikah serta masih bergantung dengan orang tua. Secara umum seseorang memasuki perguruan tinggi dari periode umur 18-24 tahun (Muss dalam Sarwono, 2013). Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang masih dalam batasan umur 18-24 tahun masih termasuk dalam kategori remaja. WHO mengembangkan definisi remaja kedalam tiga kriteria yaitu psikologis, biologis serta sosial ekonomi. Secara psikologis remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak menuju masa dewasa. Kemudian secara biologis remaja merupakan individu yang berkembang dimulai dari pubertas hingga kematangan seksual yang ditandai oleh perubahan yang pesat dalam berbagai aspek perkembangan baik fisik maupun psikis. Secara sosial ekonomi terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi dengan seseorang kedalam keadaan lebih mandiri (WHO dalam sarwono, 2012). Remaja merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang terjadi perubahan dalam aspek biologis, psikologis serta sosial (Yusuf & Sugandhi, 2012). 15 2.3.2 Aspek-aspek perkembangan remaja 2.3.2.1 Pekembangan fisik Masa remaja diawali dengan masa kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh ataupun aspek hormonal, ini disebut juga sebagai pubertas (Santrock, 2009). Perubahan tubuh ini ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Perubahan fisik biasanya meliputi berbagai aspek perkembangan seperti mestruasi pertama pada wanita atau perubahasan suara menjadi besar pada pria dan sebagainnya. Lalu, perubahan hormon yang mempengaruhi perubaha fisik seperti kelenjar gonads yang mempengaruhi ovaries pada wanita dan testis pada pria (Yusuf & Sugandhi, 2012). 2.3.2.2 Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif merupakan perkembangan akan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa serta kapasitas seseorang untuk memanipulasi serta mengingat informasi. Piaget (dalam Santrock, 2008) menyatakan bahwa perkembangan kognitif remaja berada pada tahap berpikir formal yaitu tahap keempat dari tahap perkembangan kognitif. Pada tahap berpikir formal ini remaja mempersepsikan dunia secara subjektif serta idealistik. Kemudian remaja juga sudah dapat berpikir abstrak serta sudah mulai dapat menyesuaikan diri terhadap bencana ataupun kondisi yang tidak stabil yang sudah di alaminya. Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Meskipun kemampuan kognitif remaja dipadang sudah berkembang lebih baik seperti dapat memecahkan masalah abstrak, mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakan mereka serta dapat mengatasi naik turunya emosi yang mereka alami, remaja tetap masih memiliki pemikiran yang kurang matang dan berpengaruh terhadap bagaimana cara mereka mengatur emosi. Menurut David Elkin (dalam Papalia,Old & Feldman, 2008) terdapat enam karakteristik yang belum dewasa pada remaja yaitu, idealisme dan terlalu kritis, terlalu argumetatif ketika menyusun fakta serta logika ketika mencari alasan. Lalu, memiliki rasa ragu-ragu ketika harus memilih. Kemudian, menunjukan hypocrisy atau terlalu idealis dalam menetapkan sesuatu namun kurang 16 pegorbanan untuk hal tersebut. Terakhir, kesadaran diri yang kurang serta menunjukan keyakinan yang berlebihan karena mereka spesial, unik serta tidak tunduk pada peraturan. Selain itu, ketika terdapat remaja yang kurang baik dalam mengelola emosi mereka, ini menyebabkan remaja dapat mengalami masalah depresi serta kurang mampu meregulasikan diri, sehingga memicu berbagai permasalahan seperti kesulitan belajar, dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya. 2.3.2.3 Perkembangan kepribadian dan sosial Menurut Papalia, Old & Feldman (2008) yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi mereka secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Erikson (dalam Santrock, 2009) mendefinisikan identitas diri sebagai konsep tentang diri, penentuan tujuan, nilai dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang. Tugas utama remaja adalah memecahkan krisis identitas ini, agar dapat menjadi orang dewasa yang memahami dirinya secara utuh, dan memahami perannya di masyarakat. Selain itu terdapat lima faktor besar dari kepribadian seseorang. Pertama, keterbukaan terhadap pengalaman seperti imajinatif, variatif serta independen. Kedua kesadaran seperti terorganisir atau tidak, lalai atau tidak disiplin atau impulsif. ketiga ekstraversi yaitu rasa ingin bersosialisasi. Keempat agreeableness yaitu sikap yang dimiliki seseorang seperti mengembangkan sikap percaya atau curiga dan yang terakhir neoritis atau bentuk dari kestabilan emosi seseorang. Dari kelima faktor ini yang paling mempengaruhi remaja ialah faktor kesadaran. Faktor kesadaran ini dapat menjadi prediktor pada pencapaian prestasi pada remaja, serta kualitas hubungan dengan orang lain (Yusuf & Sugandhi, 2012). 2.3.3 Faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja Perkembangan remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek berikut ini: a. Faktor genetik Faktor genetik merupakan keseluruhan karakter seseorang yang diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi fisik maupun psikis yang sudah dimiliki oleh seseorang yang diwariskan dari orang tua melalui gen-gen (Yusuf & Sugandhi, 2012). 17 b. Faktor lingkungan keluarga Keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan seseorang karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat idetifikasi seseorang, pengenalan nilai-nilai kehidupan anak, orang yang dianggap penting hingga memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan (Yusuf & Sugandhi, 2012). Orang tua juga memiliki peranan yang berbeda setiap tahapanya, ketika masa bayi orang tua menjadi perawat, ketika pada masa kanak-kanak orang tua menjadi pelindung, ketika anak pada masa pra sekolah orang tua menjadi pengasuh, ketika anak menduduki sekolah dasar orang tua menjadi pendorong hingga pada masa remaja orang tua berperan menjadi konselor (Hamner & turner dalam Adiastri dalam Yusuf & Sugandhi, 2012). c. Faktor lingkungan pendidikan Lembaga formal pendidikan secara sistematis melakasanakan program bimbingan, Pengajaran, serta pelatihan untuk membantu siswa agar mampu mengebangkan potensi secara optimal mulai dari berbagai aspek, sedangkan karakterisktik yang dikembangkan merupakan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia berdasarkan dari ; agama, pancasila, budaya, serta tujuan pendidikan nasional (Yusuf & Sugandhi, 2012). d. Kelompok teman sebaya Teman sebaya merupakan lingkungan sosial anak yang memiliki peranan cukup penting ketika remaja. Pengaruhnya pun dapat bersifat positif serta negatif (Yusuf & Sugandhi, 2012 ). e. Media massa Saat ini peran media masa dinilai sangat mempengaruhi seseorang dengan memberikan informasi pendidikan serta hiburan. Dampak positif dari media ialah informasi yang didapat dapat memperluas wawasan akan berbagai aspek kehidupan memberikan hiburan hingga pendidikan umum hingga agama. Sedangka dampak negatifnya ialah seseorang dapat mengembangkan perilaku negative karena proses pembelajaran dari nilai-nilai negatif yang ada pada media (Yusuf & Sugandhi, 2012). 18 2.4 Kerangka Berpikir Area akademik pelajar tidak hanya sekedar menyelesaikan tugas-tugas kuliah saja tetapi juga tugas-tugas lainnya seperti tugas administratif serta tugas kehadiran (Solomon dan Rothblum dalam Ursia, Siaputra & Sutanto, 2013). Akan tetapi tidak semua mahasiswa dapat melaksanakan tugas akademisnya. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa mahasiswa Universitas Bina Nusantara, diketahui bahwa masih terdapat mahasiswa yang memiliki masalah pada area akademik seperti melakukan penundaan akademik. Penundaan akademis yang dilakukan mahasiswa biasanya karena mereka lebih memilih untuk mendahulukan aktifitas yang dianggap menyenangkan hingga batas waktu ataupun melebihi batas waktu yang sudah ditentukan (Ferrari, 2010). Hal ini dapat berdampak pada waktu kelulusan yang tertunda. Padahal, Universitas Bina Nusantara telah menerapkan program binusian, sebagai salah satu upaya agar mahasiswa dapat lulus tepat waktu. Terjadinya penundaan akademis ini dikarenakan mahasiswa tidak mengetahui bagaimana langkah untuk belajar dengan memanfaatkan waktu yang mereka miliki (Balduf, 2009). Ketika mahasiswa dapat memanajemen waktunya dengan baik maka peningkatan akademis mahasiswa dapat terjadi (Hirsch, 2013). Ini sejalan dengan penelitian Britton & Tesser (1991) serta Macan Et Al (1990) bahwa manajemen waktu yang baik dapat berkontribusi terhadap pencapaian prestasi akademik mahasiswa. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ros & Gonzalez (2012) juga diketahui bahwa manajemen waktu memiliki hubungan dengan kinerja akademik mahasiswa yang berada pada tahun pertama mereka belajar di universitas. Mengatur waktu atau memanajemen waktu agar berjalan lebih efektif serta efisien merupakan bagian dari proses regulasi diri seseorang (Zimmerman, 1998). Regulasi diri merupakan kemampuan diri seseorang untuk membangkitkan pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai tujuan akademik (Zimmerman, 1998). Salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi diri seseorang ialah bimbingan dari orang tua (Parke & Gauvain, 2009). Lingkungan keluarga serta pola asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak dapat mempengaruhi Perkembangan seorang anak (Huey, Sayler, & Rinn dalam Schilling, Sparfeldt, & Rost, 2013). Pola asuh atau gaya pengasuhan merupakan pendekatan yang digunakan orang tua untuk membesarkan anak (Santrock, 2013). Santrock (2009) menyatakan bahwa pola asuh orang tua terbagi kedalam 4 19 bentuk yaitu otoriter (authoritarian), otoritatif (authoritative), menuruti (permissive) ,mengabaikan (neglectful). Pola pengasuhan otoriter (authoritarian) adalah gaya membatasi dan menghukum. pola pengasuhan otoritatif (authoritative) biasanya mendorong anak untuk bersikap lebih mandiri dengan tetap menetapkan batasan dan kendali dari setiap hal yang akan dilakukan oleh anak. Pola asuh mengabaikan (neglectful) biasanya orang tua dengan gaya ini dinilai tidak terlibat terhadap kehidupan anak. menuruti (permissive) merupakan kebalikan dari pola mengabaikan (neglectful) karena orang tua sangat terlibat dengan anak walaupun tidak banyak memberikan tuntutan dan kontrol mereka tetap membiarkan anak untuk selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Berdasarkan hasil penelitian Turner Chandler & Heffer (2009) dan Silva Et Al. (2007) diketahui bahwa pola asuh memiliki peran yang penting dalam pencapaian prestasi akademik Mahasiswa. Dari kerangka berpikir serta penjelasannya, diketahui bahwa manajemen waktu serta pola asuh memiliki kontribusi dalam pencapaian prestasi mahasiswa. Ketika orang tua sangat membatasi dan sangat mengontrol (otoriter) anak dapat mengembangkan perilaku yang cenderung minder, memiliki rasa takut serta gagal dalam memulai aktifitas yang akan dilakukan sehingga asumsi peneliti adalah orang tua dengan gaya otoriter akan berpengaruh buruk terhadap perilaku manajemen waktu mahasiswa. Ketika orang tua mendorong anak untuk mandiri, serta tetap memberikan batasan dan pengendalian tindakan mereka seperti pola asuh otoritatif anak dapat berperilaku secara kompeten dan dapat mengendalikan dirinya sendiri (Santrock, 2009), sehigga asumsi peneliti adalah anak dengan pola asuh orang tua otoritatif anak dapat memanajemen waktunya dengan baik. Ketika pola asuh orang tua memajakan (permisif) dimana orang tua sangat terlibat dengan anak namun hanya sedikit batasan serta larangan yang diberikan, anak dapat berperilaku buruk seperti tidak menghormati orang lain, serta kurang bisa mengendalikan perilakunya (Santrock, 2009). Sehingga asumsi peneliti adalah anak pola asuh ini tidak dapat memanajemen waktu mereka dengan baik juga. Ketika pola asuh orang tua mengabaikan (neglectful) yaitu tidak ikut terlibat terhadapa anak, anak dapat mengembangkan perilaku yang kurang baik seperti tidak termotivasi untuk berprestasi, serta kemandirian yang buruk (Santrock, 2009). Sehingga asumsi 20 peneliti adalah anak dengan pola asuh mengabaikan tidak dapat memanajemen waktuya dengan baik. Berikut merupakan bentuk kerangka berpikir penelitian ini, Gambar2.1 Kerangka Berpikir 2.5 Hipotesis Terdapat delapan hipotesis dalam penelitian ini yaitu H01: Tidak ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua otoriter pada mahasiswa Bina Nusantara. Ha1: Ada hubungan yang signifikan anara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua otoriter pada mahasiswa Bina Nusantara. H02: Tidak ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua otoritatif pada mahasiswa Bina Nusantara. Ha2: Ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua otoritaif pada mahasiswa Bina Nusantara. H03: Tidak ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua memanjakan (permissive) pada mahasiswa Bina Nusantara. Ha3: Ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua memanjakan (permissive) pada mahasiswa Bina Nusantara. H04: Tidak ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua mengabaikan (neglectful) pada mahasiswa Bina Nusantara. Ha4: Ada hubungan yang signifikan antara manajemen waktu dengan pola asuh orang tua mengabaikan (neglectful) pada mahasiswa Bina Nusantara.