hubungan pendamping dengan korban kdrt dalam usaha

advertisement
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
HUBUNGAN PENDAMPING DENGAN KORBAN KDRT DALAM
USAHA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Ramos Andrew Ondihon Simanjuntak
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
[email protected]
ABSTRAK
Fenomena gunung es pada kasus-kasus KDRT dapat terjadi karena perempuan yang menjadi korban
KDRT seringkali tidak mengetahui harus berbuat apa. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan
antara pendamping dengan korban KDRT dalam usaha memberdayakan korban. Metode penelitian
yang digunakan adalah studi kasus yang menekankan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan
cara observasi dan wawancara. Penelitian memperlihatkan proses hubungan antara pendamping
dengan korban KDRT dalam usaha pemberdayaannya. Hubungan yang terbentuk dapat berlangsung
cepat hingga ke daerah yang lebih bersifat pribadi, akan tetapi hubungan tersebut tidak langsung
menjadi dalam dan stabil.
Kata kunci: Hubungan. Pemberdayaan. Perempuan.
dalam buku Menggugat Harmoni mengatakan
bahwa KDRT adalah suatu batasan yang
merujuk kepada kekerasan yang terjadi dalam
lokus rumah tangga atau biasa dikenal sebagai
“keluarga”. Arti KDRT menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1,
menyebutkan:
PENDAHULUAN
Permasalahan gender di Indonesia
merupakan permasalahan yang abadi, karena
permasalahan tersebut telah ada sejak jaman
penjajahan hingga sekarang yang telah mulai
adanya pergerakan-pergerakan persetaraan
gender. Gender sebenarnya bukanlah hanya
berarti sebagai jenis kelamin (sex), menurut
Mansour Fakih, gender adalah suatu sifat yang
melekat pada kaum perempuan dan laki-laki,
yang dikonstruksikan secara sosial maupun
kultural (Fakih, 1997:7). Konsep yang ada
mengenai gender sangat berbeda dengan
konsep jenis kelamin yang lebih melihat pada
anatomi biologi manusia, konsep gender lebih
berkaitan dengan dua hal, yaitu feminimitas
dan maskulinitas. Menurut baron gender
merupakan sebagian dari konsep diri yang
melibatkan identifikasi individu sebagai
seorang laki-laki atau perempuan (Baron,
2000:188).
“Setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan
yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan
secara
fisik,
psikologis
dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah
tangga” (Sumber UU No 23
Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 1).
Salah satu penyebab perempuan sering
menjadi korban KDRT, karena adanya
pemikiran dari masyarakat pada umumnya
yang menganggap perempuan adalah lemah
dan inferior. Pola pemikiran seperti itulah yang
membuat perempuan menjadi kurang dianggap
keberadaannya, sehingga seringkali kaum
perempuan menjadi sasaran KDRT. Kaum
perempuan sering tidak berdaya dalam
menghadapi
penindasan
tersebut.
Salah satu permasalahan gender dalam
ruang lingkup keluarga adalah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT
merupakan salah satu dari pelanggaran HAM
dan juga pendiskriminasian terhadap gender.
Elli Nur Hayati dalam tulisannya yang terdapat
20
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
Ketidakberdayaan tersebut telah terjadi secara
turun-temurun karena adanya budaya patriarki.
Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat
mementingkan garis keturunan bapak (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2001:654). Dalam
pengartian yang hanya menarik garis
keturunan bapak sangat terlihat sekali, bahwa
laki-laki adalah yang lebih penting dari pada
perempuan.
terus-meningkat-343683
diakses pada 15 April 2013
14.30).
Jumlah kasus tersebut hanya yang
didampingi oleh Bapermas P2AKB Solo. Dan
masih banyak kasus KDRT yang ditangani
oleh Yayasan, LBH (Lembaga Bantuan
Hukum),
komunitas-komunitas
peduli
perempuan, seperti ATMA dan Spek-HAM
yang masih belum terdata. Selain itu problem
KDRT merupakan fenomena gunung es, yang
memiliki arti jumlah korban KDRT yang tidak
berani melapor bisa lebih banyak dari yang
melapor, sehingga jumlah kasus KDRT yang
sesungguhnya masih bisa lebih banyak lagi.
Budaya
patriarki
mengakibatkan
ketimpangan dalam gender dan ketimpangan
tersebut membuat perempuan menjadi tidak
berdaya. Dalam kebudayaan jawa, yang
masyarakatnya sangat menganut adat dan
budaya, banyak sekali peraturan-peraturan
yang tidak adil dalam mengatur perempuan
dan laki-laki. Masyarakat jawa menempatkan
perempuan sebagai the second sex.
Yayasan ATMA sudah melakukan
pemberdayaan kepada masyarakat luas pada
umumnya dan korban-korban pelanggaran
HAM pada khususnya. Pemberdayaan tersebut
berupa training, diskusi, pendampingan dalam
bentuk litigasi dan non-litigasi, sosialisasi,
kampanye, penerbitan buku-buku yang
memberikan pengetahuan mengenai HAM.
Program-program yang dilakukan ATMA
terkait dengan pemberdayaan perempuan
adalah pendampingan hukum bagi Anak,
perempuan dan masyarakat tidak mampu serta
pendampingan dan pemberdayaan perempuan
di Eks karesidenan Surakarta. Pendampingan
dan pemberdayaan tersebut dengan cara
membuat
suatu
komunitas-komunitas
perempuan dan memberikan advokasi.
Komunitas-komunitas perempuan yang telah
dibentuk berada di daerah-daerah eks
karesidenan Surakarta, seperti boyolali dan
wonogiri. Komunitas tersebut diharapkan
dapat membantu ataupun mengajak perempuan
untuk mendapatkan kesetaraan gender dan
memperjuangkan haknya.
“Data statistik dari Mitra
Perempuan Women’s Crisis
Centre pada tahun 2011 ada
90,43% dari 209 pengadu
merupakan
kasus-kasus
Kekerasan
dalam Rumah
Tangga (KDRT) di wilayah
Jakarta, Tangerang, Bekasi,
Depok, Bogor dan wilayah
lainnya.
Suami
korban
merupakan pelaku tertinggi
(75,60%), kemudian pacar
(9,09%) dan sisanya orangtua,
anak, atau saudara/kerabat.”
(http://perempuan.or.id/statisti
k-catatantahunan/2012/01/
03/tahun-2011-statistikkekerasan-terhadapperempuan-mitra-perempuanwcc/ diakses pada 15 April
2013 14.25).
“Pada tahun 2012 Badan
Pemberdayaan
Masyarat
Pemberdayaan
Perempuan
Perlindungan
Anak
dan
Keluarga
Berencana
(Bapermas P2AKB) solo telah
menangani 80 kasus KDRT.
Jumlah tersebut meningkat
10% dari tahun sebelumnya.”
(http://www.solopos.com/2012
/10/31/kasus-kdrt-di-solo-
Pendamping dari KPBH ATMA yang
merupakan
komunikator
mempersiapkan
pesan-pesan untuk membantu mengatasi
permasalahan-permasalahan
hukum
dari
kliennya yang merupakan korban KDRT.
Proses penyampaian pesan dari komunikator
ke komunikan merupakan proses komunikasi.
Proses komunikasi yang terjadi antara
21
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
pendamping dari ATMA dengan korban dan
sebaliknya adalah usaha pemberdayaan
kesetaraan gender, proses-proses komunikasi
tersebut penting karena peneliti melihat dari
proses-proses komunikasi yang terjadi secara
berulang-ulang dapat menjadi suatu pola
komunikasi yang digunakan dalam membantu
korban KDRT. Proses komunikasi dalam usaha
pemberdayaan perempuan tersebut menjadi
menarik, karena seorang perempuan mampu
mengemukakan
permasalahan
rumah
tangganya yang merupakan permasalahan
pribadi atau private adalah hal yang sangat luar
biasa. Kemudian dari proses komunikasi
tersebut
seorang
perempuan
mampu
menembus barrier-barrier yang ada, seperti
budaya patriarki dan tanggapan khalayak luas
mengenai permasalahan-permasalahan yang
terjadi di dalam rumah tangga dan menjadi
berdaya untuk mengatasi permasalahan KDRT
melalui jalur-jalur yang ada, baik jalur hukum
ataupun dengan jalur kekeluargaan.
Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten,
Boyolali dan Solo. Selain wilayah Surakarta,
ATMA juga melayani di Pati, Lampung,
Sumba, Kalimantan.
Pengalaman yang dimiliki oleh KPBH
ATMA dari sisi komunikasi dapat diteliti,
karena hal tersebut merupakan proses
komunikasi. Proses komunikasi yang terjadi
adalah mengenai usaha KPBH ATMA dalam
menangani kasus HAM, khususnya pada kasus
perempuan yang mengalami KDRT. Setelah
itu mediasi ataupun edukasi yang dilakukan
oleh KPBH ATMA kepada khalayak, terutama
bagi masyarakat yang masih belum mengerti
mengenai hukum dan HAM, juga merupakan
proses komunikasi yang terjadi antara
komunikator kepada komunikan. Kesimpulan
yang ditemukan oleh peneliti belum tentu
dapat ditarik atau digunakan secara umum,
karena penelitian yang dilakukan peneliti
hanya pada KPBH ATMA.
Komunikasi merupakan suatu proses
relasional
yang
menciptakan
dan
menginterpretasi pesan yang memperoleh
respon (Griffin, 2009 : 6). Maka proses
pengiriman pesan akan dianggap menjadi suatu
komunikasi, apabila pesan yang dikirimkan
memperoleh
respon.
Individu
yang
mengirimkan pesan disebut komunikator dan
yang menerima pesan disebut komunikan.
Dalam berkomunikasi setiap orang dapat
menerima pesan, mengartikan pesan yang
diterima dan memberikan respon terhadap
pesan tersebut. Respon terhadap pesan yang
diterima berdasarkan interpretasi terhadap
pesan tersebut. Sehingga interpretasi terhadap
pesan yang diterima oleh setiap orang dapat
berbeda, tergantung dari informasi yang
dimiliki oleh komunikan terhadap pesan
tersebut.
Peneliti akan meneliti pola komunikasi
yang terjadi antara komunikator dan
komunikan, yang membentuk suatu hubungan
melalui studi kasus di KPBH ATMA. Peneliti
menggunakan studi kasus, karena kasus yang
akan diteliti menarik seperti yang telah peneliti
tuliskan pada paragraf-paragraf sebelumnya.
Peneliti memilih melakukan studi kasus di
KPBH ATMA, karena ATMA merupakan
salah satu kantor pelayanan bantuan hukum
yang sudah berdiri sejak lama dan masih dapat
bertahan sampai sekarang, kemudian KPBH
ATMA dari pertama kali berdiri sampai
sekarang tetap menjadi badan non-profit yang
melayani masyarakat dengan fokus isu yang
diangkat selalu HAM dan demokrasi. Karena
telah lama berdiri dan fokus isu yang diangkat
tidak pernah berubah, maka KPBH ATMA
telah memiliki pengalaman yang sangat
banyak dalam penanganan kasus-kasus HAM.
Selain itu KPBH ATMA memiliki hubungan
kerjasama yang luas, baik dari dalam negeri
ataupun luar negeri. KPBH ATMA juga
memiliki wilayah kerja yang cukup luas, untuk
wilayah
Surakarta
meliputi
Sragen,
Mulyana (2005 : 69) mengatakan
bahwa komunikasi tidak berlangsung dalam
suatu ruang hampa-sosial melainkan dalam
konteks atau situasi tertentu. Konteks tersebut
terdiri dari empat aspek, yaitu: aspek pertama
adalah aspek fisik, atau lingkungan/keadaan
22
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
sekitar yang mempengaruhi komunikasi
berlangsung, seperti cuaca dan ruangan.
Aspek kedua adalah aspek psikologis, kondisi
dan perilaku psikologis dari komunikan yang
mempengaruhi komunikasi, seperti emosi dan
sikap. Aspek ketiga adalah aspek sosial, seperti
norma kelompok, nilai sosial dan budaya.
Aspek keempat adalah aspek waktu kapan
berkomunikasi. Keempat aspek tersebut dapat
mempengaruhi interpretasi seseorang dalam
mengartikan pesan.
makin efektif komunikasi yang berlangsung.
Memahami proses komunikasi interpersonal
menuntut
hubungan
simbiosis
antara
komunikasi dan perkembangan relasional, dan
pada
gilirannya
(secara
serentak),
perkembangan relasional mempengaruhi sifat
komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat
dalam hubungan tersebut (Miller, 1976).
Teori penetrasi sosial dipopulerkan
oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor pada
tahun 1973. Teori penetrasi sosial menyatakan
bahwa berkembangnya hubungan-hubungan
itu mulai dari tingkatan yang paling dangkal,
yaitu mulai dari tingkatan yang bukan inti
menuju ke tingkatan yang terdalam atau
tingkatan yang lebih bersifat pribadi. Menurut
teori penetrasi sosial terdapat tiga level
hubungan, yaitu: awal hubungan (artificial
level), hubungan dalam proses (intimate level),
hubungan yang lebih intim (very intimate
level). Altman & Taylor menggunakan contoh
bawang dalam mengibaratkan manusia.
Bawang terdiri dari beberapa layer, begitupun
manusia
memiliki
beberapa
lapisan
kepribadian. Ketika seseorang memulai suatu
interaksi dalam hubungan, maka mereka akan
saling mengelupasi lapisan-lapisan informasi
mengenai diri masing-masing.
Ciri-ciri komunikasi interpersonal
adalah arus pesan cenderung dua arah, konteks
komunikasi adalah tatap muka, tingkat respon
atau umpan balik yang tinggi, kemampuan
untuk mengatasi tingkat selektivitas sangat
tinggi, kecepetan untuk menjangkau sasaran
yang besar sangat lamban dan efek yang terjadi
antara lain perubahan sikap (Liliweri,
1997:12). Sedangkan menurut DeVito (1997 :
259) komunikasi interpersonal memiliki lima
unsur, yaitu: keterbukaan (openess), empati
(empathy), sikap mendukung (supportiveness),
sikap positif (positiveness), dan kesetaraan
(equality).
Komunikasi interpersonal menurut
Jalaludin Rakhmat (1994) dipengaruhi oleh
empat hal, yaitu: persepsi interpersonal,
konsep diri, atraksi interpersonal, dan
hubungan interpersonal. Persepsi interpersonal
adalah memberikan makna pada stimulus yang
diterima oleh indera atau menafsirkan
informasi indera yang berupa pesan verbal dan
nonverbal. Kecermatan dalam persepsi
interpersonal akan berpengaruh terhadap
keberhasilan komunikasi, karena seorang
pelaku komunikasi yang salah memberi makna
terhadap pesan akan mengakibatkan kegagalan
komunikasi.
Kedalaman dan keluasan suatu
hubungan dianggap penting oleh teori
penetrasi sosial. Hal tersebut berarti dalam
suatu hubungan interpersonal, mungkin dalam
beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi bisa
sangat terbuka kepada seseorang yang dekat.
Akan tetapi bukan berarti yang dibuka semua
tentang hal pribadi. Jadi hanya membuka
beberapa tentang hal yang pribadi, dan hal lain
yang dianggap sangat penting tidak serta merta
dibuka secara langsung. Karena hanya ada satu
area saja yang terbuka bagi pihak lain, maka
hal ini menggambarkan suatu situasi di mana
hubungan yang terjadi bersifat mendalam tapi
tidak meluas (depth without breadth),
sedangkan kebalikannya bersifat meluas tetapi
tidak mendalam (breadth without depth). Sifat
hubungan terebut mungkin terjadi pada
hubungan interpersonal yang biasa-biasa saja.
Hubungan
interpersonal
adalah
hubungan
antara
komunikator
dengan
komunikan. Hubungan interpersonal yang baik
akan menumbuhkan derajad keterbukaan
pelaku komunikasi untuk mengungkapkan
dirinya, makin cermat persepsinya tentang
orang lain dan persepsi dirinya, sehingga
23
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
Ketika hubungan interpersonal telah menjadi
intim makan akan memiliki sifat yang dalam
dan luas.
berlanjut. Tetapi apabila tingkat kecemasan
tetap tidak berkurang, karena kurangnya
informasi terhadap orang yang dikenal, maka
akan menimbulkan perasaan tidak nyaman
terhadap orang tersebut. Dan ketika hal
tersebut terus berlanjut, akan mengakibatkan
tingkat kecemasan terlalu tinggi, maka orang
yang melakukan hubungan akan menghindari
komunikasi
Altman &Taylor melihat pemikiran
John Thibaut dan Harold Kelley mengenai
pengembangan hubungan melalui prinsip
ekonomi, yaitu teori pertukaran sosial (social
exchange theory). Pertukaran sosial adalah
perilaku hubungan dan status diatur oleh kedua
belah pihak evaluasi dari penghargaan dan
biaya interaksi dirasakan oleh kedua belah
pihak. Hal yang penting dalam pertukaran
sosial adalah relational outcomes, relational
satisfaction, dan relational stability (Griffin.
2009:117).
Charles R. Berger (1988) mengajukan
beberapa
aksioma
untuk
menjelaskan
hubungan antara konsep ketidakpastian dengan
delapan variabel kunci dari mengembangkan
hubungan. Kedelapan variabel tersebut adalah:
verbal communication, nonverbal warmth,
information seeking, self-disclosur, reciprocity,
similiarity, liking, dan shared networks.
Menurut teori pertukaran sosial,
manusia
sebenarnya
kesulitan
dalam
memprediksikan keuntungan yang akan
didapatkan dari suatu hubungan dengan orang
lain. Karena secara psikologis, “keuntungan”
merupakan tolak ukur yang berbeda dari tiap
orang. Dalam teori pertukaran sosial terdapat
dua hal yang dijadikan perbandingan dalam
mengevaluasi suatu hubungan interpersonal,
yaitu: kepuasan relatif/level perbandingan dan
level perbandingan alternatif.
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian studi kasus dari
penelitian ini adalah kasus outlier, karena
kasus yang diteliti merupakan kasus yang
istimewa
dan
menyimpang.
Subjek
penelitiannya adalah pendamping atau pembela
atau pengacara yang bekerja di KPBH ATMA
dan juga yang menangani kasus berbasis
gender khususnya kasus KDRT. Subjek
penelitian yang lain adalah korban dari kasus
berbasis gender khususnya kasus KDRT yang
ditangani oleh KPBH ATMA.
Teori pengurangan ketidakpastian
memiliki fokus utama mengenai cara-cara
individu memperhatikan lingkungan sosial
mereka dan lebih mengenal diri mereka juga
orang lain melalui sebuah interaksi. Pada saat
awal memulai hubungan dengan orang asing,
akan muncul rasa tertarik dan akan berusaha
memahami pengalaman komunikasi mereka.
Setelah rasa ketertarikan muncul, maka akan
ada proses pengumpulan informasi yang terjadi
karena ketidakpastian tergantung pada apa
diketahui orang tersebut terhadap orang lain
yang diajak berkomunikasi. Dalam proses
pengumpulan informasi akan diketahui segala
informasi yang dapat dikumpulkan mengenai
seseorang yang dikenal, ketika informasi
tersebut benar, maka tingkat kecemasan akan
ketidakpastian akan berkurang. Hal tersebut
akan memberikan dampak langsung terhadap
hubungan, yaitu hubungan menjadi terus
Data primer dalam penelitian ini
diperoleh melalui wawancara mendalam
dengan subjek penelitian, yaitu: pendamping
atau pembela atau pengacara yang bekerja di
KPBH ATMA dan juga yang menangani kasus
berbasis gender khususnya kasus KDRT dan
korban dari kasus berbasis gender khususnya
kasus KDRT yang ditangani oleh KPBH
ATMA.
Validitas data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber data
dan peer review. Menurut HB. Sutopo
(2006:92) trianggulasi data merupakan cara
yang paling umum dipergunakan untuk
peningkatan validitas dalam penelitian
kualitatif. Trianggulasi merupakan teknik
24
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
menarik kesimpulan yang mantap, yang
mengharuskan cara pandang yang tidak hanya
satu, harus memiliki dasar pola pemikiran
fenomenologis yang bersifat multiperspektif.
Penggunaan trianggulasi data mengharuskan
peneliti untuk menggunakan beragam sumber
data, metode, pewawancara dan teori demi
mendapatkan data yang otentik.
merupakan komunikasi antarpribadi. Karena
hubungan arus pesan yang terkandung
didalamnya cenderung dua arah. Pendamping
dengan korbanpun sering berkomunikasi
secara tatap muka, sehingga tingkat respon
satu dengan yang lainnya sangat tinggi. Proses
komunikasi yang terjadi tidaklah hanya sekali
ataupun dua kali saja, melainkan memiliki
proses dan waktu yang berbeda disetiap
kasusnya, sehingga akan membentuk suatu
pola komunikasi.
Selain menggunakan trianggulasi data,
peneliti akan menggunakan peer review untuk
melakukan validitas data. Pada peer review,
peneliti akan meminta informan untuk
mengecek dan mendapat masukan selama
penelitian berlangsung. Review atau member
check merupakan tindakan yang dilakukan
pada saat wawancara dan pada akhir
wawancara berlangsung, dimana peneliti
secara garis besar mengulangi apa yang telah
dikatakan oleh informan dengan maksud agar
dia dapat memperbaiki pernyataannya apabila
ada kekeliruan atau menambah apa yang masih
kurang (Moleong, 2007:173-179).
Membangun komunikasi antarpribadi
antara pendamping dengan korban KDRT
harus memiliki beberapa unsur, seperti empati,
sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan dan
keterbukaan. Empati merupakan dasar sikap
yang harus dimiliki oleh seorang pendamping,
karena dengan empati pendamping dapat
mengetahui apa yang sedang dialami oleh
korban KDRT, melalui sudut pandang korban
tersebut. Sangatlah penting untuk membangun
empati, agar dapat membantu korban
menyelesaikan masalahnya, karena empati
bukanlah hanya rasa kasihan semata, tetapi
juga ikut mengajak korban bergerak dan
berusaha menyelesaikan permasalahan KDRT
dengan kemampuannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setiap manusia memiliki kepentingan
yang berbeda dalam berkomunikasi. Menurut
Abraham Maslow (dalam Wood, 2010:11),
kita berkomunikasi untuk memenuhi kisaran
dari kebutuhan manusia. Kebutuhan dasar
harus terpenuhi terlebih dahulu, baru kemudian
dapat fokus dalam kebutuhan yang lebih
abstrak. Begitupun juga dalam komunikasi
antarpribadi yang terbentuk antara pendamping
dengan klien dan antara klien dengan
pendamping. Komunikasi mereka terbentuk,
karena kebutuhan yang berbeda di antara
mereka. Seorang klien yang merupakan korban
dari KDRT, memiliki kebutuhan dasar agar
dapat terbebas dari permasalahan yang
menimpa rumah tangganya. Sedangkan
seorang pendamping memiliki keinginan untuk
dapat membantu, karena merupakan bagian
dari pekerjaannya dan selain itu adanya
perasaan empati yang keluar dari dalam lubuk
hati para pendamping.
Pendamping maupun korban samasama mengatakan perlu adanya kejujuran atau
keterbukaan ketika memberikan informasi.
Bagi pendamping, keterbukaan yang ada lebih
banyak mengenai proses hukum yang harus
dilalui. Sedangkan bagi korban keterbukaan
yang ada lebih mengenai informasi yang telah
terjadi pada dirinya. Keterbukaan ini lebih
sulit, karena informasi yang akan dibagikan
oleh korban berada di daerah private, sehingga
terkadang korban sendiri merasa malu akan
pandangan orang lain mengenai kasus yang
terjadi, atau bahkan korban merasa takut
terhadap efek yang akan terjadi pada
kehidupannya. Peran dari komunikator dan
komunikan
sangat
dibutuhkan
agar
pemberdayaan tercapai. Agar dapat mencapai
suatu tahapan yang dapat masuk ke daerah
yang private dibutuhkan proses dan
kemampuan
dari
pendamping
selaku
Komunikasi yang terjadi antara
pendamping
dengan
korban
KDRT,
25
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
komunikator untuk memperoleh kepercayaan
dari korban selaku komunikan.
komunikasi antara pendamping dengan korban
KDRT tidak sepenuhnya lancar, dan bahkan
tidak jarang korban KDRT dalam bercerita
tidak terbuka sepenuhnya, atau menceritakan
secara tidak urut, sehingga informasi yang
disampaikan tidak utuh.
Hubungan antarpribadi digambarkan
memiliki lapisan-lapisan. Hubungan antara
pendamping dengan korban KDRT juga
melalui lapisan-lapisan yang ada. Ketika
pertama kali bertemu, hubungan antara
pendamping dengan korban KDRT akan
membuka tahap orientasi sebagai lapisan
pertama dengan sangat cepat, pendamping
perlu menanyakan biodata secara singkat
sebagai data. Hal tersebut sebagai data awal,
apabila berkas kasus dari korban mulai
ditangani oleh pendamping dari ATMA.
Cepatnya perpindahan dari tiap
tahapan, sebenarnya tidak terjadi secara tibatiba, melainkan karena ada faktor pendorong
dari percepatan tersebut. Faktor pendorong
merupakan orang yang sudah sangat dipercaya
oleh korban KDRT, ataupun suatu badan yang
benar-benar telah dinilai oleh masyarakat luas
dapat membantu korban KDRT. Sehingga
faktor pendorong tersebut dapat membuat
korban KDRT memberikan kepercayaannya
kepada pendamping dari ATMA, untuk
membantunya menyelesaikan kasus KDRT.
Proses komunikasi antara pendamping
dengan korban akan melewati tahap orientasi
dengan cepat, dan bahkan terkadang tidak
melalui tahapan pertukaran afektif-eksploratif.
Karena pada tahapan ini, informasi yang
diberikan berada dilapisan yang biasanya
berupa kesenangan ataupun hobi, dan
informasi tersebut tidak berhubungan dekat
dengan informasi yang dibutuhkan untuk
mendukung proses dari kasus KDRT. Lapisan
ketiga yang merupakan tahap pertukaran
afektif, menjadi titik awal dalam penggalian
informasi yang dibutuhkan oleh pendamping.
Karena pada tahapan pertukaran afektif, pelaku
komunikasi mulai berani membuka diri dengan
informasi yang lebih pribadi.
Penulis menemukan dua faktor
pendorong, yang dapat membantu korban
KDRT, menjadi lebih cepat percaya kepada
pendamping. Pertama adalah orang-orang
terdekat dari korban sendiri, biasanya korban
mempunyai teman yang telah mencapai di
tahapan hubungan yang stabil. Korban dan
temannya telah lama berhubungan, dan
pertukaran informasi diantara mereka sudah
mencapai di tahapan yang paling dalam,
sehingga korban dapat bercerita mengenai
permasalahannya,
walaupun
letak
permasalahannya ada di area yang pribadi.
Selain teman dekat, bisa juga dari pihak
keluarga yang membantu korban untuk
menyelesaikan kasusnya. Korban KDRT
biasanya telah mendapatkan motivasi dan
saran dari yang mengarahkan ke ATMA.
Korban telah memiliki tujuan dan pilihannya
ketika mendatangi ATMA, berdasarkan saransaran yang telah diterimanya. Meskipun
demikian, pendamping dari ATMA tetaplah
memberikan penjelasan yang lebih detail
mengenai penanganan kasus KDRT.
Korban
KDRT
untuk
dapat
menceritakan kasus KDRT yang dialaminya,
membutuhkan suatu keberanian yang luar
biasa, karena kasus yang korban alami
berhubungan erat dengan kehidupan pribadi
dari korban.
Korban KDRT agar dapat
menceritakan runtutan kejadian kepada
pendamping, dibutuhkan kepercayaan diantara
mereka. Pendamping untuk dapat membuka
lapisan pertukaran afektif, harus mampu
membuat korban KDRT percaya kepada
mereka. Proses kepercayaan tersebut harus
dapat terbentuk dalam waktu yang cepat, agar
dapat membantu menyelesaikan kasus secara
cepat. Meskipun telah mencapai pada tahapan
pertukaran afektif, pada awal hubungan proses
Hubungan antara pendamping dengan
korban KDRT tidak semua menjadi hubungan
yang stabil, maka proses komunikasi mereka
tidak semuanya mencapai pada tahapan
26
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
keempat. Hal tersebut dapat disebabkan
berbagai hal, seperti jarak yang jauh dari
kantor ATMA, sehingga pendamping ataupun
korban menjadi jarang bertemu dan
berkomunikasi setelah kasus selesai, atau
kesibukan sendiri-sendiri yang mengakibatkan
jarangnya berkomunikasi.
korban dalam bentuk cerita kronologi kasus,
maka keterbukaan yang ada masih memiliki
sifat timbal-balik. Saat kasus KDRT sudah
berjalan, maka keterbukaan yang ada tidak
bersifat timbal-balik, karena korban KDRT
telah memiliki kepercayaan secara utuh kepada
pendamping. Korban KDRT harus dapat dibuat
percaya kepada pendamping sejak awal
hubungan terjadi, dan rasa percaya itu
tergantung
dari
cara
pendamping
berkomunikasi
dengan
korban.
Cara
berkomunikasi pendamping haruslah dengan
lembut, penuh perhatian dan ketika
memberikan pertanyaan tidak membuat korban
menjadi semakin terpuruk.
Pendamping dari ATMA memiliki
batasan untuk tidak terlalu masuk ke dalam
kehidupan korban KDRT, seperti pada waktu
kasus KDRT berjalan maupun ketika kasus
telah selesai. Pada saat kasus KDRT berjalan,
pendamping hanya mencari informasi yang
berhubungan dengan kasus KDRT, sehingga
pendamping hanya memiliki informasi yang
dibutuhkan untuk penyelesaian kasus KDRT.
Walaupun terkadang korban juga berbagi
informasi mengenai kehidupannya selain yang
berhubungan dengan kasus KDRT, hal itu
hanya sebatas bercerita dan tidak menjadi
suatu
bahan
yang
akan
dibahas.
Pendampingpun tidak masuk dan mencampuri
kehidupan baru dari korban KDRT, ketika
kasus sudah selesai.
Pendamping dan korban KDRT
sebagai pelaku komunikasi sangat mudah
membuka diri dan tiap tahapannya sangat cepat
berpindah, bahkan hingga tahapan ketiga yang
para pelaku komunikasi mulai membuka
informasi diri yang lebih pribadi, juga cepat
tercapai. Keterbukaan diri pada tahap awal
hubungan akan bersifat timbal-balik, seperti
pendamping dan korban KDRT saling
berkenalan, kemudian pendamping berusaha
menjelaskan mengenai langkah-langkah yang
akan ditempuh dan pilihan penyelesaian kasus
yang ada, selain itu korban juga mulai bercerita
mengenai kronologi kasusnya, walaupun yang
diceritakan tidak secara urut ataupun belum
semuanya diceritakan, karena di tahap awal
hubungan korban KDRT belum sepenuhnya
percaya kepada pendamping, walaupun bibit
keyakinan akan bantuan dari pendamping
sudah ada pada awal hubungan terjadi.
Komunikasi
antarpribadi
antara
pendamping
dengan
korban
KDRT,
merupakan hubungan antarpribadi yang biasabiasa saja, karena sifat dari hubungan
antarpribadi tersebut adalah mendalam tetapi
tidak meluas (depth without breadth).
Informasi yang diberikan oleh korban KDRT
merupakan informasi yang dalam, tetapi hanya
fokus kepada informasi-informasi yang
bersangkutan dengan kasus KDRT tersebut.
Informasi pribadi yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kasus belum tentu diberikan
oleh korban. Pendamping akan lebih fokus
kepada informasi yang bersangkutan dengan
kasus saja, agar proses penyelesaian kasus
KDRT dapat berjalan dengan benar.
Pendamping juga tidak boleh terlalu masuk ke
dalam kehidupan korban KDRT, agar tetap
dapat objektif dalam menyelesaikan kasus.
Oleh karena itu, hubungan antara pendamping
dengan korban KDRT kebanyakan hanya
mencapai pada tahapan pertukaran afektif,
walaupun hubungan tersebut memiliki waktu
jangka panjang, hubungan tersebut tidak
dengan sendirinya menjadi pertukaran yang
stabil. Prinsip dari pendamping yang tidak
terlalu ingin terlalu masuk ke dalam kehidupan
pribadi dari korban KDRT, membuat
hubungan terus berada di tahapan pertukaran
afektif.
Informasi
yang
diberikan
dari
pendamping kepada korban KDRT, memiliki
timbal-balik dengan informasi pribadi dari
Prinsip
untung-rugi
merupakan
penentu kedekatan suatu hubungan, akan tetapi
27
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
akan sangat sulit melihat hubungan menjadi
suatu keuntungan atau kerugian, maka akan
dilihat kepuasan relatif. Hubungan antara
pendamping dengan korban KDRT, juga
melihat untung-rugi yang dinilai dengan
kepuasan relatif. Pendamping akan melihat
suatu hubungan dengan korban KDRT sebagai
keuntungan, ketika menganggap hubungan
tersebut sebagai profesionalisme pekerjaan,
merupakan pekerjaan dari pendamping untuk
menolong korban KDRT, dan ketika
membantu korban KDRT, pendamping juga
dapat mengembangkan kemampuan diri, yang
akan sangat membantu dalam pengembangan
karirnya. Kerugian dari suatu hubungan akan
dirasakan oleh pendamping, ketika korban
KDRT sangat sulit diajak bekerja sama,
ataupun kasus KDRT yang berjalan di
pengadilan mengalami kekalahan. Sedangkan
dari
sudut
pandang
korban
KDRT,
hubungannya dengan pendamping merupakan
suatu keuntungan, karena menganggap
pendamping dapat membantunya dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Korban
KDRT
akan
menganggap
hubungannya
suatu
kerugian,
ketika
mengalami konflik dengan pendamping atau
menganggap arah dan hasil dari proses
penyelesaian kasusnya tidak sesuai dengan
keinginan. Konflik yang terjadi diantara
mereka selalu dapat dianggap sebagai kerugian
bagi hubungan mereka, akan tetapi konflik
yang ada tidak selamanya dirasakan oleh
pendamping ataupu korban secara bersamaan.
Konflik yang terjadi dapat dirasakan pada
salah satu pihak, seperti ketika korban KDRT
sangat sulit diajak bekerja sama ataupun
semaunya sendiri. Contohnya ketika korban
KDRT berada di rumah aman atau shelter,
yang pastinya ada peraturan-peraturan yang
harus dipatuhi oleh korban, dan ternyata
korban tidak mematuhinya hanya karena
keinginannya sendiri. Padahal adanya rumah
aman untuk kebutuhan dan keamanan dari
korban KDRT sendiri.
ketika kasus KDRT yang ditangani
pendamping tidak berjalan lancar, seperti kasus
tersebut tidak dilanjutkan oleh pihak korban
atau berhenti ditengah jalan. Depenetrasi
hubungan antara pendamping dengan korban
KDRT, tidak hanya dapat terjadi pada awal
hubungan, tetapi juga ketika hubungan sudah
terbentuk. Karena kasus KDRT merupakan
kasus yang unik dan sangat berhubungan erat
dengan kehidupan pribadi dari korban, maka
perubahan arah dari kasus dapat terjadi kapan
saja. Perubahan tersebut adalah ketika korban
secara sepihak memutuskan hubungan atau
kontrak
dengan
pendamping,
karena
merasakan intimidasi dari pelaku ataupun
desakan dari pihak keluarga korban untuk
menghentikan proses hukum, yang menurut
mereka mempermalukan keluarga mereka
sendiri.
Hubungan antara pendamping dengan
korban KDRT, ketika pertama kali bertemu
juga dapat dilihat melalui teori pengurangan
ketidakpastian. Karena ketika pada awal
berkomunikasi, pendamping dan korban tidak
saling
mengenal, maka
ada
banyak
ketidakpastian diantara mereka. Untuk
mengurangi
ketidakpastian
tersebut,
pendamping dan korban KDRT melakukan
beberapa aksioma yang telah dikemukakan
oleh Charles R Berger. Pendamping dengan
korban KDRT akan melakukan komunikasi
verbal yang memiliki rentang waktu cukup
panjang, terutama ketika awal pertemuan
mereka akan melakukan komunikasi verbal
secara
langsung,
untuk
mengurangi
ketidakpastian diantara mereka. Komunikasi
verbal tersebut dapat berupa pencarian
informasi yang dilakukan oleh pendamping
untuk menggali kronologi kasus yang terjadi,
dan bagi korban pencarian informasi yang
dilakukan adalah mencari jalan untuk menjadi
lebih berdaya dan terlepas dari permasalahan
KDRT yang dialaminya. Bersamaan dengan itu
diperlukan keterbukaan diri dalam pemberian
informasi, karena informasi mengenai kasus
KDRT yang dimiliki oleh korban KDRT
berada di daerah yang pribadi dari kehidupan
Hubungan antara pendamping dengan
korban KDRT akan mengalami depenetrasi,
28
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
seseorang, dan ketika telah ada keterbukaan
diri, maka informasi tersebut dapat dibagi
dengan pendamping. Sedangkan dari pihak
pendamping juga memerlukan keterbukaan diri
mengenai perjalanan dan arah kasus yang
dialami oleh korban KDRT.
pilihan sendiri dari korban KDRT ataupun
melalui proses mediasi yang berhasil, hal
tersebut masih merupakan kesamaan tujuan
dari pendamping dan korban KDRT. Tetapi
korban yang merubah pilihannya karena ada
tekanan-tekanan dari keluarga ataupun
masyarakat, akan membuat perbedaan dalam
tujuan memproses kasus KDRT.
Komunikasi verbal yang berlangsung
diantara pendamping dan korban KDRT
menjadi semakin sering, maka akan ada
pertukaran informasi diantara mereka.
Komunikasi non-verbal akan ditunjukkan oleh
pendamping dan korban KDRT, sebagai wujud
ekspresi dari perasaan yang ada. Pendamping
yang harus memberikan empati dan korban
yang harus kuat menghadapi permasalahannya.
Contoh dari ekspresi tersebut adalah ketika
korban yang mulai bercerita mengenai kasus
yang dialaminya, kemudian mulai menangis
karena
mengingat
kejadian
yang
mengakibatkan tekanan pada dirinya, hal
tersebut merupakan sebuah perwujudan dari
rasa kesedihan. Pendamping yang mengetahui
korban menangis, maka akan berusaha
menenangkan dan memberi support agar kuat.
KESIMPULAN
Hubungan antara pendamping dengan
korban KDRT merupakan hubungan yang
fokus pada satu tujuan, yaitu usaha
pemberdayaan dari korban KDRT. Maka
hubungan antarpribadi yang terjadi mendalam
tapi tidak meluas, karena informasi yang
dibagikan lebih fokus pada permasalahan
KDRT yang dialami oleh korban. Hubungan
tersebut juga terbentuk pada saat usaha
pemberdayaan korban KDRT, oleh karena itu
komunikasi yang ada hanya disekitar usaha
pemberdayaan saja.
Pendamping sedapat mungkin untuk
tidak terlalu menggunakan perasaan ketika
mendampingi korban, sehingga pendamping
tidak ikut terhanyut dalam kesedihan korban.
Pendamping diharuskan untuk lebih fokus
pada informasi yang berhubungan dan
dibutuhkan dalam kasus saja. Karena alasan
tersebut, maka hubungan antara pendamping
dengan korban KDRT kebanyakan hanya
mencapai pertukaran afektif, dan bagi
pendamping hubungan yang mencapai tahapan
tersebut merupakan hal yang wajar. Sebab
apabila hubungan dengan korban selalu
menjadi hubungan yang stabil akan membuat
pendamping kesulitan dalam profesionalisme
pekerjaan.
Pendamping dengan korban KDRT
harus memiliki kesamaan dalam menentukan
tujuan dari arah kasus tersebut, memang dalam
usaha untuk memberdayakan korban KDRT,
maka pilihan ada di tangan korban sendiri,
akan tetapi terkadang akan ada perbedaan
pendapat di dalam proses pemberdayaannya.
Tujuan dari proses kasus KDRT memang dapat
berubah ditengah jalan, oleh karena itu
pendamping dan korban harus memiliki
kesamaan tujuan. Awal pemrosesan kasus
KDRT telah dijelaskan oleh pendamping
mengenai pilihan yang dapat dijalani,
konsekuensi yang akan didapatkan dari tiap
pilihan yang ada dan langkah-langkah yang
harus dilalui. Korban setelah mendengarkan
semua akan menentukan pilihannya sendiri dan
berusaha melalui proses dari pilihan yang ada.
Selama proses berjalan, terkadang ada
perubahan dari tujuan arah kasus. Perubahan
yang terjadi dapat berupa korban merubah
pilihan dari tujuan kasus di tengah perjalanan
kasus, apabila perubahan tersebut merupakan
Pendamping dan korban, sama-sama
diuntungkan dalam berhubungan. Korban
dapat menjadi berdaya dan pendamping dapat
mengembangkan diri dalam pekerjaan. Tetapi
ketika proses hukum kasus KDRT dihentikan
secara sepihak oleh korban dan dihentikannya
karena tekanan dari luar, bukan karena proses
mediasi, maka hubungan yang telah terbentuk
29
Jurnal IKON Prodi D3 Komunikasi Massa – Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 2 No. 4 Desember 2016
dapat dirasakan kerugian dan mulai mengalami
depenetrasi.
Griffin, E. M. (2009). Communication: A First
Look at Communication Theory (7th
ed.). New York, NY: McGraw-Hill
Unsur-unsur komunikasi antarpribadi
harus dapat dijalankan oleh pendamping dalam
usaha pemberdayaan korban KDRT. Unsur
tersebut, yaitu: keterbukaan (openess), empati
(empathy), sikap mendukung (supportiveness),
sikap positif (positiveness), dan kesetaraan
(equality). Harus ada keterbukaan diantara
pendamping dan korban KDRT. Pendamping
dalam usahanya memberdayakan korban
KDRT yang didampinginya harus menekankan
sikap empati, agar setiap usaha pemberdayaan
yang dilakukan lebih obyektif dan fokus pada
pemberdayaan korban. Pendamping harus
menunjukkan sikap mendukung kepada
korban, agar korban tidak sendirian dan merasa
ada
yang
mendukung
dalam
usaha
pemberdayaannya. Kesetaraan juga harus
diberikan kepada korban, ketika menentukan
langkah yang akan ditempuh oleh korban
KDRT.
Liliweri,
Alo.
(1997).
Komunikasi
Antarpribadi. Bandung: Penerbit Citra
Aditya Bakti.
Miller. (1976). Explorations In Interpersonal
Communication.
London:
Sage
Publications
Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi:
Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. & Taylor, D. (1973). Social
penetration: The development of
interpersonal relationships. New York:
Holt.
Baron, A. R. (2000). Psikologi Sosial.
Bandung: Khazanah Intelektual.
Berger, Charles R. (1988). Uncertainty and
Informations Exchange in Developing
Relationship. New York : John Wiley &
Sons.
Devito, Joseph
A. (1997). Human
Communication. New York: Harper
Collinc Colege Publisher.
Fakih, Mansour. (1997). Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, cet.2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. (2006). Analisis Gender dan
Transformasi
Sosial.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
30
Download