i PERJANJIAN BAKU DALAM PEMBELIAN SEPEDA MOTOR OLEH KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA (STUDI DI FIF MATARAM) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mencapai derajat S-1 pada Program Studi Ilmu Hukum Oleh: ROSALIANA D1A113257 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2017 ii PERJANJIAN BAKU DALAM PEMBELIAN SEPEDA MOTOR OLEH KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA (STUDI DI FIF MATARAM) Oleh : ROSALIANA D1A113257 Menyetujui, Pembimbing Pertama, Pembimbing Kedua, Dr. Djumardin, SH., M.Hum NIP. 19630809 198803 1 001 H. Mohammad Saleh, SH., M.Hum NIP. 19591231 198703 1 014 iii SKRIPSI INI TELAH DISEMINARKAN DAN DIUJI PADA TANGGAL…………………………………… OLEH: DEWAN PENGUJI Ketua, H. Zainal Arifin Dilaga,SH.,M.Hum NIP. 19610712 198903 1 002 (………………………….....) Anggota I, Dr. Djumardin, SH.,M.Hum NIP. 19630809 198803 1 001 (………………………….....) Anggota II, H. Mohammad Saleh, SH., M.Hum NIP. 19591231198703 1 014 (…………………………….) Mengetahui, Fakultas Hukum Universitas Mataram Ketua Bagian Hukum Perdata Muhammad Umar,. SH., MH NIP:19521231198403 1 104 iv SKRIPSI INI TELAH DITERIMA DAN DISAHKAN OLEH : PROGRAM S1 NON REGULER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM PADA TANGGAL………………………………………………… Ketua, H. Zaenal Arifin Dilaga, SH., M.Hum NIP:19610712 198903 1 002 v SKRIPSI INI TELAH DITERIMA DAN DISAHKAN OLEH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM PADA TANGGAL:…………………………………………….. Dekan, Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. NIP. 196212311988031010 vi KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-nya, shalawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW. Beriring rasa syukur sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S1) pada program studi Ilmu Hukum Universitas Mataram. Dalam usaha menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari semua akan keterbatasan waktu, pengetahuan dan biaya sehingga tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak tidaklah mungkin berhasil dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah berlebihan apabila penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada yang terhormat: 1. BapakProf. Ir. H. Sunarpi, Ph.D, selaku Rektor Universitas Mataram yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Mataram. 2. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram. yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga kepada penulis untuk menimba ilmu di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Mataram. vii 3. Bapak H. Zaenal Arifin Dilaga, SH., M.Hum dan H. Muh. Saleh, SH. MH., selaku Ketua Dan Sekertariat Program S1 Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Mataram. 4. Bapak H. Zaenal Arifin Dilaga, SH., M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengajaran,arahan, dan motivasi dalam penyusunan Skripsi ini. 5. Bapak Dr. Djumardin,SH.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Pertama yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengajaran, arahan, dan motivasi serta telah bersabar untuk membimbing penyusunan dalam penulisan Skripsi ini. 6. Bapak H. Mohammad Saleh, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengajaran, arahan, dan motivasi serta telah bersabar untuk membimbing penyusunan dalam penulisan Skripsi ini. 7. Segenap Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Mataram yang telah banyak membantu penyusun selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Mataram. 8. Segenap Staf dan karyawan di PT.FIF Kota Mataram, kyang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan bisa digunakan sebagai mana mestinya. 9. Terimakasih kepada semua teman-teman Kelas D angkatan 2013 Nisfu Rahayu Mutmainah, SH, Yulia Purwanti, SH, Nanda Juliansyah, SH, Zarkia Dewiyana, Syukran, Nurhaeni Eka Saputri, Yunita Isnaeni, Sartika Nila viii Harum, Inten, Lu’luil Hidayati, Intan Rahmadhani, Sonya solatiah, Sahriani, Rini Indah Setyawati, Bang Rino Suharsono, Rizal Julia Wardi, Rival Junianda Utama, Daden Zabid, Rosida Herawati, lilis Suryani, Nova Zamzami, Putranji Ahyar, Sartika Nila Harum, Ocha, Nur syafariah, Sandra Magdalena, sudah banyak memberikan kritik serta saran dan motivasi, serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Terimakasih Kepada Sahabatku Nisfu Rahayu Mutmainah, SH, Septira Putri Mulyana, Ismila Malini, Zarkia Dewiyana yang sudah memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Terimakasih kepada Muhammad Fachry Bintacher sudah menemani selama 7 tahun ini dan banyak memberikan semangat, doa dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Terimaksih kepada teman-teman KKN Tematik Unram Desa Golong, Lina Nurhidayah, Sera Febrianti, Desy Krisanti, Paradisa Sukma, Ameylia Nanda Pi, Dewi Wulan S, Ferdy Julianto, L. Rijalul Hadi, M. Raihan Mubarok, Deny Manda S, Taufik Holili, Yoga Baskara, ahsani takwim, dan syawaludin. Selanjutnya, kepada semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam terselesaikannya skripsi ini saya ucapkan terimakasih. Mataram,24 Agustus 2017 Penyusun, Rosaliana ix RINGKASAN PERJANJIAN BAKU DALAM PEMBELIAN SEPEDA MOTOR OLEH KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA (STUDI DI FIF MATARAM) Rosaliana Pembimbing: Dr. Djumardin dan H. Mohammad Saleh Perjanjian baku yang merupakan perjanjian memberatkan salah satu pihak yang dalam hal ini adalah konsumen yang berada pada posisi lemah, kemudian pelaku usaha akan berada pada titik posisi yang diuntungkan. Munculnya UndangUndang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 menjadi pelindung bagi konsumen dalam melakukan setiap tindakan ekonomi.Tertuang dalam Pasal 18 UUPK masih terdapat klausula baku didalamnya yang akan memberatkan posisi konsumen, yaitu 1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, 2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti, 3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan angka (2) dinyatakan batal demi hukum, dan 4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bentuk perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku pembelian sepeda motor menurut perspektif hukum Indonesia dan mengetahui bentuk penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor oleh konsumen dalam perspektif hukum Indonesia. Pokok permasalan dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana bentuk perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku pembelian sepeda motor menurut perspektif hukum Indonesia dan Bagai mana bentuk penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor oleh konsumen dalam perspektif hukum Indonesia. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian Normatif-Empiris: Penelitian hokum normative merupakan penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan penelitian empiris, yang merupakan penelitian lapangan yang melihat langsung penerapan Peraturan Perundang-Undangan dimasyarakat, melalui x wawancara yang dilakukan dengan informan dan responden untukm emperoleh data primer dan data skunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi kepastian akan hak konsumen dalam penerapan perlindungan baginya, pada dasarnya UUPK hadir karena keresahan konsumen akan tindakan pelaku usaha yang sering kali memberat kan dalam tindakan ekonomi, dalam Pasal 18 UUPK masihter dapat klausula baku, klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dilarang oleh UndangUndang, jika dilanggar maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi perdata dan pidana. Penerapan kalusula eksonerasi dalam perjanjian baku masih berlaku dalam prakteknya, hal tersebut memberatkan salah satu pihak yaitu konsumen. Pengalihan tanggungjawab menjadi beban bagi konsumen adalah hal yang tidak sesuai dengan asas keadilan. Penerapan klausula baku di FIF sendiri tidak sama skali dihilangkan melainkan tanggung tanggung jawabnya dialihkan kepada pihak asuransi dan pihak konsumen sendiri. Namun ada sanksi yang harus ditanggung oleh pelaku usaha jika terjadi pelanggaran, yaitu sanksi perdata dan sanksi pidana akan dibebankan pada pelaku usaha jika melanggar hak-hak dari konsumen. xi PERJANJIAN BAKU DALAM PEMBELIAN SEPEDA MOTOR OLEH KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA (STUDI DI FIF MATARAM) ROSALIANA D1A113257 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor dalam per spektif hukum Indonesia dan penerpan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku pembelian sepeda motor. Jenis penelitian ini adalah Normatif-Empiris.Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen terhadap perjanjian baku pembelian sepeda motor tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen untuk mempertahankan hak yang dimiliki oleh konsumen. Penerapan kalusula eksonerasi dalam perjanjian baku dilarang oleh Undang-Undang, dan penerapan klausula di FIF tidak dihilangkan melainkan dialihkan kepada pihak asuransi. Kata kunci: konsumen, perlindungan, baku dan eksonerasi RAW AGREEMENTS IN PURCHASE OF MOTORCYCLE BY CONSUMERS IN INDONESIA LEGAL PERSPECTIVE (STUDY IN FIF MATARAM) ROSALIANA D1A113257 Abstract The purpose of this study is to know the form of consumer protection against the standard agreement in the purchase of motorcycles in per spektif law of Indonesia and the exponential clause exonerasi in standard purchase agreement motorcycle. This type of research is Normative-Empirical. The form of legal protection given to the consumer against the standard agreement of motorcycle purchase is contained in Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection to retain rights owned by consumers. The application of exoneration kalusula in standard agreement is prohibited by law, if violated then business actor will be subject to civil and criminal sanction. Keywords: consumer, protection, raw and eksonerasi xii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN KETUA PROGRAM .................................. iv HALAMAN PENGESAHAN DEKAN ........................................................ v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi RINGKASAN ................................................................................................. ix ABSTRAK ...................................................................................................... xi ABSTRACT .................................................................................................... xii DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................. 6 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6 D. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8 A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen ............................. 8 1. Pengertian Perlindungan Konsumen .............................................. 8 2. Asas-asas Perlindungan Konsumen ............................................... 9 3. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen ....................................... 9 4. Hak dan Kewajiban Konsumen ...................................................... 10 B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian .................................................... 12 1. Pengertian Perjanjian ..................................................................... 12 2. Asas-asas Perjanjian ....................................................................... 13 3. Syarat Syahnya suatu Perjanjian .................................................... 16 C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Baku ........................................... 18 1. Pengertian Perjanjian Baku ........................................................... 18 2. Dasar Hukum Perjanjian Baku ...................................................... 22 D. Tinjauan Umum Tentang Klausula Eksonerasi……………………… 25 xiii 1. Pengertian Klausula Eksonerasi atau Klausula Baku…………… 25 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 27 A. Jenis Penelitian ................................................................................ 27 B. Metode Pendekatan ......................................................................... 28 C. Jenis danSumber Data .................................................................... 28 D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 29 E. Analisis Data ................................................................................... 29 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 30 A. Perjanjian Baku Pembeian Sepeda Motor……………………………… 30 1. Bentuk, format dan isi Surat Perjanjian pembelian sepeda motor FIF ..................................................................................................... 30 2. Perlindungan Konsumen dan pelaku Usaha ....................................... 33 3. Tanggungjawab Pelaku Usaha ............................................................ 38 4. Klausula Eksonerasi atau Klausula Baku ........................................... 39 B. Bentuk Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Pembelian Sepeda Motor Oleh konsumen menurut Perspektif Hukum Indonesia .................................................................................... 44 C. Bentuk Penerapan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Baku Dalam Pembelian Sepeda Motor Oleh Konsumen Menurut Perspektif Hukum Indonesia................................................................... 50 BAB V PENUTUP .......................................................................................... 58 A. Simpulan ............................................................................................ 58 B. Saran................................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan manusia seiring dengan perkembangan zaman saat ini banyak membawa dampak bagi kehidupan manusia, pada dasarnya manusia sudah memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, di Indonesia atau di negara-negara lainnya kebutuhan masyarakatnya sangat beragam, mulai dari kebutuhan hidup sehari-hari hingga kebutuhan akan alat transportasi yang mana nantinya alat transportasi tersebut yang akan digunakan untuk melakukan ativitas sehari-hari. kebutuhan akan penggunaan alat transportasi semakin meningkat terutama terhadap kendaraan bermotor pribadi. Keberadaan kendaraan bermotor saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat kerap melakukan berbagai cara untuk memenuhinya, salah satunya dengan melakukan pinjaman, pembelian atau bahkan kredit pada perusahaan yang menyediakan jasa kredit kendaraan, baik kendaraan motor maupun mobil . Lahirnya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Perjanjian merupakan hubungan hukum manusia sebagai subjek hukum dengan subjek hukum lainnya dalam bidang harta kekayaan, yang dimana salah satu dari mereka berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya 2 berkewajiban memnuhi prestasi dari pihak pertama.tertuang dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa:1 “Perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak hak yang diperolehnya, sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya.Hukum perjanjian di Indonesia mempergunakan sistem terbuka artinya adanya kebebasan yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan2. Hubungan hukum antara kedua belah pihak akan berjalan lancar apabila keduanya memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Namun tidak menutup kemungkinan didalam perjanjian salah satu pihak tidak memenuhi kesepakatan sebelumnya.Guna membuktikan hak dan kewajiban dari pihak kreditur maupun debitur, apabila salah satu pihak tidak memnuhi kewajiban sebagaimana yang telah disepakati, maka perjanjian tersebut perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.Karena pada dasarnya perjanjian memiliki dua bentuk, yaitu 1 Salim HS, Hukum Kontrak dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.25 2 Pasal 1320 KUHPerdata 3 perjanjian tertulis dan perjanjian yang tidak tertulis (lisan).Perkembangan dan kemajuan perekonomian di Indonesia saat ini banyak transaksi-transaksi jenis baru mulai diterapkan. Praktek perjanjian dalam perkembangannya dilaksanakan suatu bentuk kontrak yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian semacam ini dikenal dengan istilah perjanjian baku. Biasanya perusahaan penyedia layanan pembelian hingga kredit motor menggunakan perjanjian baku untuk mengikat para pihak. Klausula-klausula dalam perjanjian baku tersebut telah dibuat sebelumnya oleh perusahaan tanpa melibatkan pihak lain, dan pihak lain hanya akan menandatangani perjanjian yang telah dibuat oleh perusahaan sebagai tanda kesepakatan. Pembeli atau konsumen menerima dan memnuhi klausula-klausula yang telah dipersiapkan dengan risiko tidak akan memperoleh barang yang menjadi objek perjanjian, apabila konsumen atau pembeli tidak menandatangani perjanjian. Perjanjian jual-beli kendaraan bermotor, yang ternyata paling banyak dipkai dalam prkatik yang sesuai sesuai dengan kemampuan keuangan untuk dapat memiliki barang yang diinginkan. Dalam praktek perjanjian jual-beli , bukan merupakan perjanjian konsensual yang sekaligus diikuti dengan perjanjian riil. Dalam suatu perjanjian tidak jarang terjadi suatu pristiwa wanprestasi terhadap suatu perjanjian, yaitu dengan adanya penunggakan pembayaran, atau melakukan pembayaran ganda selain itu adanya penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannya.Jika terjadi penarikan terhadap objek 4 yang telah diperjanjikan. Penarikan menurut Undang-Undang akanmemerlukan waktu yang relatif lama, karena harus melalui perintah hakim. Untuk menghindari risiko tersebut,sering pihak penjual menempuh jalan pintas dengan penarikan barang objek jual beli secara langsung, sehingga lebih banyak resiko atau kerugian yang harus dipikul oleh pembeli, tentunya hal tersebut tidak dikehendaki dan tidak dibenarkan oleh hukum, karena hukum bertujuan untuk memberi keadilan dan mengayomi semua pihak. Maka dari itu perlu adanya perlindungan untuk konsumen yang dimana dalam salah satu Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang perlindungan konsumen Nomor 8 Tahun 1999, menjelaskan bahwa pengertian perlindungan konsumen: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen”.3 Adanya perlindungan konsumen ini, menghilangkan kekhawatiran dari pihak konsumen dalam melakukan kegiatan perekonomian terlebih dalam transaksi jual beli.Ada beberapa hal yang melatar belakangi adanya perlindungan bagi konsumen, antara lain:4 a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif dari pemakian barang dan atau jasa; 3 1999 4 Indonesia, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun Yusuf sofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2008, hlm.155 5 c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sisitem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsunga usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Perlindungan konsumen perlu ada untuk menjamin keselamatan bagi konsumen dalam melakukan kegiatan perekonomian. Pemerintah menjamin adanya perlindungan bagi konsumen melalui Undang-Undang perlindungan konsumen Nomor 8 Tahun 1999, sehingga posisi konsumen dan penjual menjadi sama. Dalam perjanjian jual beli terlebih perjanjian tersebut adalah perjanjian baku, tidak jarang perjanjian tersebut menimbulkan permsalahan ketika pihak konsumen mempermasalahkan terkait dengan perjanjian yang dibuat terlebih dahulu oleh pihak penjual, karena ada beberapa klausul yang tidak diinginkan atau dikehendaki oleh pihak konsumen, namun jika konsumen tidak menyetujui perjanjian tersebut, maka konsumen tidak akan mendapatkan barang yang diinginkan. Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun tertarik melakukan penelitian dengan judul “ PERJANJIAN BAKU DALAM PEMBELIAN SEPEDA MOTOR OLEH KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA (STUDI DI FIF MATARAM)”. 6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun menarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku pembelian sepeda motor dalam perspektif hukum Indonesia ? 2. Bagaimana bentuk penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor oleh konsumen dalam perspektif hukum Indonesia ? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku pembelian sepeda motor dalam perspektif hukum Indonesia. b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor oleh konsumen dalam perspektif hukum Indonesia. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Memberikan sumbangan pikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya, dan Hukum Perdata mengenai bentuk perjanjian baku pembelian sepeda motor dalam perspektif hukum Indonesia. b. Manfaat Praktis Manfaat penelitian ini yang dimana hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada semua pihak yang membutuhkan 7 pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti, guna dipakai sebagai dasar rujukan dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya hukum perdata dalam perjanjian baku pembelian sepeda motor. D. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bentuk perlindungan yang diperoleh konsumen dalam perjanjian baku pembelian sepeda motor dalam perspektif hukum Indonesia dan bentuk penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku pembelian sepeda motor dalam perspektif hukum Indonesia. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka (1) menjelaskan pengertian perlindungan konsumen:5 “Perlindungan konsumen adalah segala uapaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Ada beberapa hal yang melatar belakangi munculnya perlindungan konsumen, antara lain:6 a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta ekses untuk mendapatkan informasi e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha f. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. 5 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.155 6 9 g. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. h. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. 2. Asas-asas Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berasaskan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tertang perlindungan konsumen, yaitu:7 a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi selurh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual; d. Asas keamanan dan keselamtan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dala penggunaan,pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menajmin kepastian hukum. 3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen a. Prinsip bertanggungjawab berdasarkan kelalaian 7 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 10 Tanggungjawab berdasarkan kelalian adalah suatu prinsip tanggungjawab yang bersifat subjektif. b. Prinsip tanggungjawab berdasarkan wanprestasi Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi adalah tanggungjawab berdasarkan kontrak, ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupkan bagian dari kontrak, baik lisan mapun tulisan. c. Prinsip tanggungjawab mutlak Asas tanggungjawab ini dikenal dengan namaproduct liability.Menurut prinsip ini produsen wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasar.Tanggungjawab mutlak strict liability yaitu unsur kesalahan yang tidak memerlukan bukti dari pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian. 4. Hak dan kewajiban konsumen Secara umum dikenal empat hak dasar yang dimiliki oleh konsumen yang dikaui secara nasional, yaitu:8 1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety) 2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Grasindo, 2000), hlm.16-17 11 3) Hak untuk memilih (the right to choose) 4) Hak untuk didengar (the right to be heard). Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999, yaitu:9 1) Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9) Hak-hak diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat penyelesaian sengekta diluar pengadilan, lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah Badan penyelesaian sengketa konsumen. Tugas dan wewenang BPSK ini diatur dalam dalam pasal 52 UUPK, sebagai berikut:10 9 pasal 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, 10 Gunawan Widjaja, Ahmad yani, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm 13 12 1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; 2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) Melaporkan kepada pihak penyidik umum apabila terjadi pelanggran ketentuan dalam undang-undang ini; 5) Mnerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap pelanggaran konsumen; 6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran atas undangundang ini; 9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha , saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang dimaksud pada angka 7 dan angka 8, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; 10) Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11) Memutuskan danmenetapkan dan atau tidak adanya kerugian dari pihak konsumen; 12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian merupakan sumber dari perikatan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah 13 “perikatan”, diawali dengan pasal 1233, yang menyatakan bahwa “tiaptiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena UndangUndang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehndaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang disengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundnagundnagan yang berlaku. Dari uraian diatas, maka dapat dijabarkan empat unsur-unsur dari perikatan, yaitu:11 a. Bahwa perikatan merupakan suatu hubungan hukum b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak) c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban dari salah satu pihak dalam perikatan Dalam rumusan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dinyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu”, maka sudah jelas pemenuhan yang harus dilakukan dalam perikatan yaitu ada tiga hal bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan sesuatu. 11 Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, perikatan pada umumnya, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003), hlm.17 14 2. Asas-asas perjanjian Sesuai dengan sifatnya yang terbuka dan konsensuil, maka dalam perjanjian dikenal ada beberapa asas, yaitu : a. Asas konsensualisme, Asas konsensualisme dapat disimpulakan dari ketentuan Pasal 1320 Angka 1 KUHPerdatayang menyatakan salah satu syarat syahnya perjanjian adalah sepakat dari kedua belah pihak. Jadi konsensuil adalah salah satu asas yang menentukan bahwa untuk terjadinya suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian ini lahir pada saat terjadinya sepakat antara kedua belah pihak tentang hal-hal pokok yang dimaksud dalam perjanjian yang dimaksudkan, tanpa harus diikuti dengan perbuatan hukum yang lainnya, kecuali dalam pengadaan perjanjian formal yang bentuknya telah ditentukan oleh undangundang. Sedangkan menurut abdul khadir Muhammad asas konsensual adalah “ bahwa perjanjian itu terjadi sejak tercapainya kata sepakat (konsensi) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian sejak saat itu perjanjian bersifat mengikat dan mempunyai akibat hukum”.12 12 Abdul Khadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2000), hlm. 226 15 b. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian merupakan cerminan dari hukum perjanjian yang bersifat terbuka maksdnya setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam Undang-Undang maupun yang belum diatur dalam Undang-Undang. Artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada semua orang untuk mengadakan perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. c. Asas Itikad Baik Setiap orang yang membuat perjanjian harus melakukannya dengan itikad baik, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1338 Angka 3 “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik dimaksudkan agar memberikan perlindungan hukum bagi salah satu pihak yang memang memiliki itikad baik dalam mengadakan perjanjian.Jadi itikad baik ini harus tercapai pada tahap prokontraktual dan tahap kontraktual. Itikad baik dapat diketahi dari tingkah laku, sikap dan perbuatannya harus sesuai dengan kepatutan dan norma hokum yang berlaku. 16 d. Asas Pacta Sunt Servanda (asas kepastian hukum) Asas ini merupakan cerminan dari rumusan Pasal 1338 Angka 1 KUHPerdata, yang dimaksud untuk memberikan akibat hokum bagi para pihak yang saling mengikatkan dirinya dalam perjanjian yang syah secara hokum, dimana isi poerjanjian itu memiliki kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak sebagi undangundang. Dengan demikian, dengan kepentingan para pihak akanterlindungi, baik terhadap tindakan salah satu pihak maupun ganguan dari pihak ketiga. Sejalan dengan yang di atas, R. Subekti mengatakan bahwa “tujuan asas pacta sunt sevanda untuk memberikan perlindungan bagi para pembeli bahwa mereka tak perlu khawatir akan hakhaknya karena perjanjian itu berlaku sebagi undang-undang para pihak yang membuatnya”13 e. Asas Obligator Merupakan asas yang mengandung arti bahwa “ perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu dalam tahap menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik, dan hak milik itu baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang 13 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta:PT.Internusa,1990),hlm.20 17 bersifat kebendaan ( Zakalijke Overeenkomst) yaitu melalui penyerahan”.14 Jadi perjanjian yang dibuat baru pengikat kedua belah pihak, belum menimbulkan hak milik atau hak milik belum berpindah ke pihak lain. 3. Syarat-syarat syahnya suatu perjanjian Dalam ketentuan umum tentang periatan yang lahir dari perjanjian, dalam rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan adanya empat syarat yang merupakan syarat syahnya perjanjian, yaitu:15 a. b. c. d. Kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Adanya hal atau objek tertentu yang diperjanjikan. Suatu sebab (causa) yang halal. ad.1. Maksud dari kesepakatan para pihak adalah dimana para pihak (subyek) dari perjanjian ini harus bersepakat atau menyetujui mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. Apa yang dinyatakan harus merupakan keinginan dari pihak-pihak. Dengan tercapainya kata sepakat itu, maka perjanjian ini sudah terjadi dan mengikat kedua belah pihak tanpa perlu ada tindakan-tindakan formalitas lainnya kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 14 15 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hlm.226 Indonesia, Pasal 1230 KUHPerdata 18 ad.2. Syarat kecakapan untuk membuat perjanjian dimaksudkan bahwa para pihak (subyek) yang membuat perjanjian itu harus mampu bertanggung jawab secara hukum, seperti telah dewasa dan sehat pikirannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa orang yang tidak cakap dalam melakukan perjanjian adalah: a. Orang yang belum dewasa b. Orang yang berada dibawah pengampuan c. Seorang perempuan dalam hal mana yang telah ditetapkan dalam undang-undang telah dilarang membuat perjanjian tertentu. Orang yang belum dewasa ini dimaksudkan adalah orang yang belum berumur 21 tahun atau belum pernah kawin, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 330 KUH Perdata. Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Orang yang berada dibawah pengampuan ini maksudnya, yang bersangkutan telah dewasa, tetapi ada faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti : sakit ingatan, dungu,atau boros, maka dikatakan tidak cakap. 19 Ketentuan undang-undang yang melarang seorang perempuan untuk membuat perjanjian tertentu, telah dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia ( SE. MA RI No. 13 Tahun 1963) yang membolehkan seorang isteri dapat melakukan perbuatan hukum sendiri. ad.3. Syarat suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek dari perjanjian sebagai dasar pelaksanaan prestasi. Obyek perjanjian ini berupa harta kekayaan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Obyek juga harus dapat ditentukan jenisnya, agar dapat mempermudah pengertian mengenai jenis obyek yang diperjanjikan. ad.4. Syarat suatu sebab ( causa) yang halal. Dimaksudkan yaitu sebab yang sesuai dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang dibuat karena sebab yang lain atau palsu tidak mempunyai kekuatan hukum, karena pada hakekatnya sebab atau causa yang halal disini, merupakan isi dari perjanjian itu sendiri. Dua syarat pertama dinamakan syarat subyektif karena menyangkut orang-orang atau subyek yang membuat perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat obyketif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu” 20 Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian yang ada dapat diminta untuk dibatalkan oleh salah saru pihak. Pihak yang dapat meminta untuk dibatalkannya suatu perjanjian adalah pihak yang tidak cakap atau memberikan sepakatnya ( perizinannya) secara bebas. Sedangkan kalau syarat obyektifnya tidak dipenuhi, maka perjanjian-nya batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selanjutnya adalah pemenuhan syarat objektif dari dua urutan terakhir dari syarat sahnya perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung” Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa sekalipun orang bebas membuat perjanjian dalam bentuk apapun, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya syahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH. Perdata, maka perjanjian yang dibuat tidak syah dan tidak mempunyai akibat hukum dan perjanjian itu baru bisa dikatakan syah, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 Kuh.Perdata. Berarti dalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat 21 sesuatu, haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan menjadi objek dalam perjanjian, yang selnajutnya akan menjadi objek dalam perikatan yang lahir diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Meskipun secara prinsip dikatakan bahwa kebendaan tersebut haruslah sudah ditentukan, walau demikian Pasal 1334 KUH Perdata merumuskan sebagai berikut:16 “Kebendaan yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal-Pasal 169,176, dan 178” Syarat objektif yang kedua adalah berhubungan dengan sebab yang halal, yang dalam ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: a. Bukan tanpa sebab b. Bukan sebab yang palsu c. Bukan sebab yang terlarang. 4. Tinjauan Tentang Perjanjian Baku a. Pengertian Perjanjian Baku Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukandan dituangkan dalam bentuk formulir. 16 Indonesia, Pasal 1334 KUHPerdata 22 Pengertian baku adalah patokan atau ukuran, perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha disebut perjanjian baku.17 Perjanjian baku adalah kontrak ( perjanjian) yang hampir seluruh klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain tidak punya peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan yang belum dibakukan hanyalah bebrpa hal saja, misalnnya menyangkut, jenis, harga, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.18 Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah Suatu kontrak tulis yang dibuat oleh hanya saah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali disebut sudah tercetak (beilerppalte) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditangdatangani umumnyapara pihak hanya mengisikan data-data informative tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula- 17 klausulanya diamana pihak mempunyai kesempatan lain hanya dalam sedkit kontrak kesempatan tersebut untuk Muhammad Abdul Kadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 6. 18 Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dam Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm 66. 23 bernegosiasi atau untuk mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga kontrak baku sangat berat sebelah19. Pembuatan perjanjian baku oleh pihak penjual selalu berada dalam posisi yang kuat sedangkan pihak pembeli berada dalam posisi yang lemah, sementara pihak pembeli dihadapkan pada dua pilihan yaitu: 20 1) Jika pihak pembeli membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka pembeli dapat menyetujui perjanjian baku yang diberikan oleh pihak penjual. 2) Jika pembeli tdak setuju dengan perjanjian baku yang diberikan, maka piha pembeli jangan membuat perjanjian dengan pihak penjual yang bersangkutan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian baku walaupun akibat tersebut seringkali merugikan konsumen.21 Adapun ciri-ciri kontrak baku tersebut adalah :22 1) Bentuknya tertulis Kalimat pernyataan kehendak yang dimuat dalam perjanjiaj baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik ( akta dibawah 19 Salim, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada, Hal. 148. 20 Muhammad Abdul Kadir, Op.Cit, hlm 2. 21 Ibid, hlm 4. 22 Muhammad Abdul Kadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti,1992, hlm 2. 24 tangan) dan susunan kata atau kalimat dibuat secara teratur dan rapi. 2) Format yang dibakukan Format telah ditentukan model, rumusan dan ukurannya sehingga tidak dapat diganti karena telah dicetak. 3) Syarat-sayarat kontrak ditentukan pengusaha Syarat-syarat kontrak dikuasai oleh pengusaha sehingga syarat kontrak tersebut lebih menguntungkan pengusaha dari pada konsumen. 4) Konsumen hanya menerima atau menolak Syarat perjanjian baku yang diterima dan ditandatangani oleh konsumen menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul tanggung jawab dan konsumen tidak dapat menawar syarat yang telah dibakukan, apabila kon sumen menawar syarat yang telah baku artinya konsumen menolak kotrak baku tersebut. 5) Penyelesaian sengketa Peneyelessaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase dan pengadilan jika ada pihak yang menghendakinya. 6) Kontrak baku menguntungkan pengusaha Kontrak baku yang telah ditetapkan secara sepihak akan lebih menguntungkan pihak pengusaha seperti efisiensi biaya, waktu dan tenaga. Dalam perjanjian baku terdapat klausul baku yang merupakan pernyataan yang ditetapkan secara sepihak oleh salah satu pihak, lazimnya adalah pelaku usaha, sehingga konsumen hanya mempunyai pilihan menyetujui atau menolaknya (take it or leave it contract). Penetapan secara sepihak ini biasanya menimbulkan masalah karena bersifat berat sebelah ini merupakan ciri khas dari pranata sewa beli yaitu perjanjian bentuk tertulis, meskipun bentuk 25 tertulis bukanlah syarat untuk sahnya suatu perjanjian sewa beli. Dari bentuk tertulis ini timbul perjanjian-perjanjian yang bentuk maupun isinya telah dibuat oleh salah satu pihak. Biasanya pembuat perjanjian baku ini adalah pelaku usaha/kreditur/penjual yang umumnya mempunyai posisi tawar yang lebih kuat. Kreditur atau pelaku usaha menyodorkan bentuk perjanjian yang berwujud blanko atau formulir dengan klausul-klausul yang sudah ada, kecuali mengenai harga, cara pembayaran, jangka waktu, jenis barang, jumlah serta macamnya. b. Dasar Hukum Perjanjian Baku Perjanjinan standar atau baku tidak perlu selalu dituangkan dalam forulir walaupun memang lazimnya dibuat secara terulis , seperti contohnya perjanjain baku dapat dibuat dala bentuk pengumuman yang di temple di tempa penjual menjalanka usahaya. Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktik kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlaknya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu : 1. Pasal 6,5,1,2 dan pasal 6,5,1,3 NBW Belanda Bidang-bidang usaha untuk mana atura baku diperlukan dientukan dengan peraturan. Aturan bau dapat ditetapkan, 26 diubah dan dicabut ika disetujui oleh menteri kehakiman, elalui sebuah panitia yang ditentukan untuk itu.Cara menyusun dan bekerja diatur dengan undang-udang. Penetapan, perbahan dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai isi janji baku ata menerima atau penunjukkan terhadap syarat umum, terikat pada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditor mengetahui atau seharusnya mengetahui pihak kreditur tidak kan mnerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya. 2. Pasal 2.19 sampai dengan Pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract) Prinsip UNIDROIT merpakn prinsip hukum yang mengatur hak dan kwajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karna prinsip kebebasn berkontrak jika tidak diatur bias membahaykan pihak yang lemah. Pasal 2.19 prisip UNIDROIT menetukan sebagai berikut : Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan hukum tentang ementukan kontrak dengan tuduk pada pasal 2.20- psal 2.22. syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dhulu untuk digunakan secara umum dan berulangulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya. 27 Ketentun ini mengatur tentang : a. Tunduk salah satu pihk terhadap kontrak baku b. pengertian kontrak baku 3. Pasal 2.20 prinip UNIDROIT menentukan sebagai berikut: Suatu persyaratan standr yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh salah satu pihak dinyatakan tidak berlaku keuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memnuhi ciri seperti diatas akan bergantung pada isi bahasa dan penyajiannya. 4. Pasal 2.21 berbunyi : Dalam hal timbul suatu pertententangan antara persyartanpersyaratan standard an tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyataan berlaku. 5. Pasal 2.22 Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, keuali untuk beberpa persyaratan terstentu, suatu kontrak disimpulkan berasarkan perjanjian-perjnjin yang telah disepakati dan persyaratan- persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi , kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penunndaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa ha tersebut tidka dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut. 28 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1988 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankkan 7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlidungan Konsumen. Dengan dikelurkanya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukan bahwa pada intinya kontrak baku mruoakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karea pada dasanya dasar hokum pelakssanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebuhan dan untuk kepentingan umum sehingga perjnjin kontrak baku berlaku dengan mengikat kedua belah pihak yag membuatnya. 5. Tinjauan Umum Tentang Klausula Eksonerasi a. Pengertian Klausula eksonerasi atau klausula baku Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen (penjual). 29 UU Perlindungan Konsumen tidak ada memberikan istilah mengenai klausula eksonerasi. Yang ada adalah “klausula baku” dalam Pasal 1 Angka (10) :23 “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah di persiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenhi oleh konsumen.” Adapun klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam bentuk perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban membayar ganti rugi seluhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.24 Adapun Jenis klausula baku menurut Mariam Darus Badrulzaman, antara lain :25 a. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibatakibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu pihak misalnya pencipta kewajiban ganti rugi kepada ketiga yang terbukti mengalami kerugian. 23 1999 24 Indonesia, Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun Mariam Darus Badrulzaman (III), Aneka Hukum Bisnis, Bandung, 1994 hlm,47. Mariam Darus Badrulzaman, “Hukum Perlindungan Konsumen”,Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 115 25 30 BAB III METODE PENELITIAN Metode Penelitian hukum sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. 26 A. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif dan penelitian hukum Empiris.Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan penelitian hukum empiris merupakan penelitian jenis ini pada awalnya merupakan suatu penelitian tentang hukum yang hidup dimasyarakat, yang dilaksanakan oleh anggota masyarakat.27Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang artinya suatu penelitian yang didasarkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang masalah, keadaan atau gejala-gejala lainnya yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. 26 Soedjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Cet.3, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm.43 Asri Wijayanti, Strategi Penulisan Hukum, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm.39 27 31 B. Metode Pendekatan Sesuai penelitian ini adalah penelitian empiris, yaitu penelitian yang melihat hukum dipraktekan ditengah-tengah kehidupan masyarakat (law in action)28. Oleh karena itu pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Perundang-Undangan (satute Aproach), suatu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji norma-norma hukum, dan berbagai peraturan pelaksana yang terkait dengan perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor oleh konsumen dalam perspektif hukum Indonesia. 2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Aproach), yaitu suatu pendekatan dengan mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang memiliki kaitan dengan perjanjian baku dalam pembelian sepeda motor oleh konsumen dalam perspektif hukum Indonesia. 3. Pendekatan Sosiologis (sociological approach), pendekatan ini mengkaji dan melihat langsung bahgaimana pelaksanaan atau pemberberlakuan suatu peraturan hukum atau Perundang-Undangan di masyarakat. C. Jenis dan Sumber Data 1. Adapun sumber data dalam penelitian ini, yaitu bersumber dari kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) 28 Soedjono Soekanto, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar, Cet.37, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, hlm.47 32 2. Jenis data/bahan hukum Adapun jenis data sehubungan dengan penelitian ini terdapat tiga jenis data, yaitu : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari sejumlah keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang secara langsung melalui penelitian lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian. b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti yang diperoleh dari bahan dokumentasi atau bahan yang tertulis melalui studi pustaka seperti bahan-bahan yang berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan laporan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian. c. Data tersier yaitu data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, indeks normatif dan lainnya.29 3. Data lapangan adalah sumber data yang diperoleh langsung dalam penelitian lapangandan keterangan yang berkaitan langsung dengan objek penelitian. Dalam hal ini data diperoleh dari pegawai atau pihak yang berwenang. 29 Ibid, hlm.13 33 D. TeknikPengumpulan data Metode yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah sebaga berikut: 1. Data kepustakaan Data kepustakaan dikumpulkan dengan teknik studi dokumen adalah dengan mengkaji buku-buku literatur, Peraturan Perundang- Undangan, dokumen-dokumen resmi dan sumber kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 2. Data lapangan Data lapangan dikumpulkan dengan teknik wawancara yang berhubungan dengan pembelian sepeda motor melalui perjanjian baku antara perusahaan penyedia barang (Motor) dan konsumenyang dalam penelitian ini disebut responden. E. Teknik analisis data Setelah data diperoleh dan diolah kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan analisis deskriptif yaitu yang ditanyakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh dan selanjutnya disusun dalam skripsi. Dalam menggunakan metode kualitatif tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran, tapi juga untuk memahami kebenaran. 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perjanjian Baku Pembelian Sepeda Motor 1. Bentuk, format dan isi Surat Perjanjian pembelian sepeda motor FIF Pada umumnya bentuk perjanjian pada Federal Internasional Finance (FIF) adalah berupa akte di bawah tangan berupa blanco yang telah disediakan oleh Pihak FIF ( standar kontrak baku) dan dibubuhi dengan meterai Rp.6000, dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang diambil dari Pegawai FIF, calon pembeli tinggal menanda tangani saja dengan biaya meterai dibebankan pada calon pembeli. Adapun format surat perjanjian pembelian motor secara angsuran pada FIF adalah berupa format “ Perjanjian Pembiayaan Konsumen”, sehingga para pihak masing-masing bertindak sebagai Pemberi fasilitas ( FIF) dan penerima fasilitas ( pembeli ), yang obyek perjanjiannya adalah kendaraan bermotor, yang memuat : I. Objek Pembiayaan Konsumen, yang berisi: (1). Pemberi Fasilitas sepakat untuk memberikan fasilitas pembiayaan konsumen kepada Penerima Fasilitas guna pembelian barang berupa kendaraan bermotor ( Kendaraan) dengan spesifikasi sebagai berikut: Jenis, jumlah, merek dan tipe, nomor rangka, nomor mesin, tahun, Nomor BPKB, aksessoris, selanjutnya disebut “Barang”. (2). Harga barang dan uang muka (3). Untuk kepentingan pembelian barang tersebut, Pemberi fasilitas membayarkan langsung kepada dealer/penyedia barang. II. Struktur Pembiayaan Konsumen Fasilitas pembiayaan konsumen diberikan kepada Penerima fasilitas oleh Pemberi fasilitas dengan struktur pembiayaan 35 konsumen yang disepakati sebagai berikut: Pokok pembiayaan, bunga, hutang pembiayaan, periode pembayaran, waktu pembayaran, system pembayaran, angsuran, angsuran terakhir dan tanggal jatuh tempo. III. Biaya-biaya Adapun biaya-biaya yang harus dibayar oleh Penerima fasilitas, adalah : biaya tagih, Surat Keterangan STNK, penyimpan BPKB, administrasi pelunasan. Kemudian dijabarkan lebih jelas lagi dibagian belakang lembaran tersebut yang merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan dengan isi perjanjian yang termuat di bagian depan, yang memuat ketentuan tentang: 1. Penerimaan fasilitas pembiayaan konsumen; 2. Pembayaran angsuran; 3. Bunga, denda, pajak dan biaya; 4. Hak dan Kewajiban atas barang; 5. Asuransi; 6. Cidera janji; 7. Berakhirnya Perjanjian Pembiayaan; 8. Penyelesaian Perselisihan; 9. Lain-lain. Di samping menandatangani Surat Perjanjian, Penerima fasilitas atau pembeli disodorkan blanko Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia sebagai jaminan pelunasan hutang penerima fasilitas (pembeli) yang telah disiapkan sendiri oleh FIF sebagai Pihak Pemberi fasilitas, dan sebagai jaminannya adalah sepeda motor yang 36 dibeli secara angsuran oleh pembeli atau Penerima fasilitas melalui Perjanjian pembiayaan. Setelah Surat Perjanjian dan Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia, selesai ditanda tangani, pihak FIF memberikan surat pengantar pengambilan sepeda motor sesuai dengan isi perjanjian pada dealer yang ditunjuk oleh FIF. Sejak Surat Perjanjian ditanda tangani oleh kedua belah pihak, maka seketika itu juga timbul hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban tersebut tertuang dalam lembaran belakang Surat Perjanjian point 4 butir 1 sampai butir 5, masing-masing berbunyi sebagai berikut: Butir 1 : Pemberi Fasilitas bukanlah penjual Barang, karenanya tidak bertanggung jawab atas penyerahan, kualitas atau kondisi barang, baik yang terjadi pada saat penyerahan barang dari dealer atau pada saat pemakaian oleh penerima fasilitas. Butir 2 : Penerima Fasilitas wajib untuk memelihara dan menjaga keutuhan barang tersebut sebaik-baiknya dan memperbaiki segala kerusakan atas biaya Penerima Fasilitas sendiri hingga setiap saat dan dari waktu ke waktu Barang dapat digunakan sebagaimana mestinya. Butir 3 : Penerima Fasilitas sepakat untuk setiap waktu menginzinkan/memperbolehkan Pemberi Fasilitas dan/atau kuasanya untuk melihat dan/atau memeriksa kondisi/keadaan barang di manapun barang tersebut berada, termasuk memasuki ruangan apapun bukan sebagai tindakan memasuki ruangan orang lain tanpa izin. Butir 4 : Penerima Fasilitas dilarang mengalihkan dengan cara apapun termasuk tetapi tidak terbatas pada menggadaikan, menjaminkan, menyewakan atau menjual barang, baik seluruhnya ataupun sebagian kepada pihak lain kecuali dengan persetujuan tertulis dari Pemberi Fasilitas sebelumnya. 37 Butir 5 : Untuk menjamin pelunasan setiap dan seluruh kewajiban Penerima Fasilitas berdasarkan perjanjian pembiayaan ini, Penerima Fasilitas setuju dan sepakat mengikatkan diri kepada Pemberi Fasilitas untuk menyerahkan dokumen Barang, yaitu BPKB kepada pemberi fasilitas terhitung sejak diterbitkannya BPKB (bagi kendaraan baru) atau sejak ditandatanganinya perjanjian pembiayaan ini (bagi kendaraan bekas pakai) hingga seluruh kewajiban Penerima Fasilitas terhadap Pemberi Fasilitas berdasarkan perjanjian pembiayaan ini lunas. 2. Perlindungan Konsumen dan Pelaku Usaha Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa, pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata materil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan undang undang dasar 1945. Oleh karena itu maka pembangunan prekonomian nasional harus dapan mndukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa megakibatkan kerugian konsumen. 38 Pengertian Perlindungan Konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka (1) : “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hokum untuk member perlindungan kepada konsumen.”30 Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka (2) disebut bahwa : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”31 Disamping itu untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keperdulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap prilaku usaha yang bertanggung jawab.Ada beberapa tujuan dari perlindungan konsumen, antara lain :32 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 30 Dian Rakyat, Perlindungan Konsumen, PT. Dian Rakyat,Jakarta, 2003, hlm 12 Ibid, Hlm 12 32 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.22 31 39 4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan insformasi serta akses unutuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang juju dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sedangkan Kewajiban konsumen sebagaimana yang ditentukan dalm pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perindungan Konsumen adalah sebagi berikut :33 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa , demi kemanan dan keselamatan b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan hukum secara patut. Konsumen dilindungi dari setiap tindakan atau perbuatan dari produsen barang dan atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang dan jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan nama pelaku usaha.Ada dua jenis perlindungan 33 Pasal 5 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 40 yang diberikan kepada konsumen, yaitu perlindungan priventlf dan perlindungan kuratif . Perlindungan preventif adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli, atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut. Perlindungan kuratif adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen.Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian. Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 angka (3) menyatakan bahwa : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseoranan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hokum maupun bukan badan hokum 41 yang didirikan dan berkedudukan atau melakukaan kegiatan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”34 Adapun beberapa hak dan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang telah dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut : Hak-hak pelaku usaha sebagaimana telah dimaksud dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain :35 a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kewajiban pelaku usaha sebagaimana telah dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 34 Dian Rakyat, Perlindungan Konsumen, PT. Dian Rakyat,Jakarta, 2003, hlm 12 Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 35 Pasal 6 42 c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. h. Menerima pembayaran sesuai kesepakatan. i. Mendapatkan Perlindungan hokum dari perlakuan atau tindakan konsumen yang tidak beritikad baik. 3. Tanggungjawab Pelaku Usaha Terkait dengan tanggungjawab dari pihak pelaku usaha tertuang dalam Pasal 19 UUPK, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,pencemaran, dan atau kerugian mengkonsumsi dan atau jasa barang yang konsumen dihasilkan akibat atau diperdagangkan. b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atauperawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. c. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 43 d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. 4. Klausula Eksonerasi Atau Klausula Baku Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen (penjual).Isi klausula baku seringkali merugikan pihak yang yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klusula baku serupa akan ditemuinya ditempat lain. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak ada memberikan istilah mengenai klausula eksonerasi. Yang ada adalah “klausula baku” dalam Pasal 1 Angka (10) : “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Shidarta membedakan antara klausula baku dengan klausula eksonerasi yaitu bahwa, kalau dalam klausula baku, yang ditekankan adalah 44 mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan dalam hal eksonerasi yang dipersoalkan adalah menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha. 36 Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh para pakar hukum tersebut, klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.Menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen. Sebagaimana diuraikan diatas perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi tersebut pula dengan perjanjian syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab.Bebabn tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undnag dihapus oleh penyusun perjanjianmelaalui syarat-syarat eksonerasi tersebut.Oleh karena itu syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban tetapi membebankan pihak lain. Secara sederhana, klausula baku mempunyi ciri berikut : 1.Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisinya relatif lebih kuat dibandingkan konsumen; 36 Shidarta, Op.Cit.hlm19 45 2.Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi klausula tersebut; 3.Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal; dan 4.Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong kebutuhan. Menurut Sudaryatmo ada beberapa karakteristik klausula baku antara lain sebagai berikut.37 1. Perjanjian dibuat sepihak oleh mereka yang posisinya relative lebih kuat dari konsumen. 2. konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian. 3. dibuat dalam bentuk tertulis dan masal. 4. konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena dorongan oleh faktor kebutuhan. Pasal 18 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen : Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang 37 93 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hlm 46 dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Dalam penjelasan Pasal 18 Angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak” sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 Angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen. Pasal 18 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula baku yang mengarah kepada klausula eksonerasi. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah pada klausula eksonerasi. Dimana butir pasal 18 Angka 1 butir a sampai dengan h merupakan klausula eksenorasi dalam perjanjian standar antara produsen dan konsumen yaitu pembatasan dan penghapusan tanggung jawab dalam hal : a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. penolakan penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. penolakan penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 47 d. pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. pengaturan pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. pengurangan manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. penundukan konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. pemberian kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen : “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” R.H.J. Engels menyebut adanya 3 (tiga) faktor dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yaitu sebagai berikut : a. Tanggungjawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian. b. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat). c. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggungjawab yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga. Sluijter, mengatakan bahwa klausula baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah berarti membentuk undang-undang swasta ( lagio particuliere wetgever ) syaarat- 48 syarat yang ditentukan pengusaha dalam klausula itu adalah undang-undang, bukan perjanjian. Harus diakui bahwa, perjanjian baku sangatlah dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin pesat ini, dengan penggunaan klausula baku tersebut, berarti para pihak dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Dan disamping itu juga perjanjia baku juga tetap mengikat para pihak dan pada umumnya beban tanggung jawab para pihak berat sebelah.Upaya perlindungan konsumen diatas tetstu sangatlah terbatas dan tidak mungkin memberikan perlinudungan kepada semua konsumen secara keseluruhan.akan tetapi upaya tersebut dapat dijadikan untuk membatasi kerugian penggunaan klausula baku. Pembatasan atau larangan pencantuman klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, yang pada akhirnya dapat merugikan konsumen. B. Bentuk Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Pembelian Sepeda Motor Menurut Perspektif Hukum Indonesia Perjanjian pembelian kendaraan bermotor pada prakteknya dilakukan dalam bentuk perjanjian baku yang berisi klausula-klausula yang bersifat membatasi tanggung jawab (klausula eksonerasi) penjual terhadap kewajiban yang seharusnya telah ditentukan dan dijamin pemenuhannya oleh hukum positif. Perjanjian baku yang berisi klausula-klausula baku tersebut 49 dibuat oleh penjual untuk melindungi kepentingannya tanpa mempertimbangkan perlindungan kepentingan konsumen yang seharusnya dilindungi dan dijamin.Pemberian kebebasan kepada para pihak oleh KUHPerdata dalam menentukan bentuk dan isi perjanjian yang mengikat di antara para pihak tersebut melalui asas kebebasan berkontrak tidak boleh menciptakan suatu ketidakadilan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Dengan demikian pemberlakuan Pasal 18 UUPK yang membatasi pencantuman klausula baku dengan melarang beberapa bentuk klausula baku harus dijadikan patokan oleh penjual dalam membuat perjanjian baku yang akan mengikat para pihak. Perjanjian pembelian kendaraan bermotor yang telah dibuat sebelum lahirnya UUPK harus disesuaikan dengan ketentuanketentuan UUPK Pasal 18 ayat (4) UUPK. Beberapa klausula baku yang masih berlaku dalam Pasal 18 UUPK adalah:38 (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; 38 Indonesia, Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18, TLN. Nomor 3821 50 f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulitdimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Perlindungan Konsumen diselenggarakan bersama berdasarkan lima asas yang sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu: a. asas manfaat dimaksudkan mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan onsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan b. asas kedlan maksudnya ada partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara makimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan kewajiban secara adil c. asas keseimbangan masudnya perlindungan konsumen memberikan keempatan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. 51 d. Asas keselamatan dan kemanan konsumen , yaitu untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunan dan pemakaian dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan e. Asas kepastian hukum, maksudnya agar pelaku usaha dan konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelengaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum Dalam klausula tersebut terdapat unsur pembebanan resiko secara sepihak yang dibebankan kepada pembeli/penyewa/konsumen.Pembebanan resiko yang penyebabnya tidak dibatasi sehingga meliputi semua keadaan, termasuk keadaan memaksa atau overmacht yang harus ditanggung oleh konsumen adalah tidak adil karena tidak semua keadaan yang dapat menyebabkan hilang/rusaknya barang, adalah merupakan tanggung jawab konsumen.Penjual seharusnya tidak membebankan semua tanggung jawab atas kerusakan atau musnahnya barang yang dibeli kepada konsumen, tetapi harus diperhitungkan pula penyebab dari kerusakan, musnah, atau hilangnya barang yang dibeli.Pada praktek dalam lembaga yang dibeli, tanggung jawab atas kerusakan, musnah, atau hilangnya barang kendaraan bermotor ditanggung oleh pihak asuransi, bukan seluruhnya ditanggung oleh pembeli/konsumen.Tanggung jawab pembeli dapat diperhitungkan dari penyebab kerusakan/musnah atau hilangnya barang tersebut. 52 Secara normatif, pencantuman klausula baku dapat muncul dalam bentuk dokumen atau perjanjian. Keberadaan perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain perkembangan masyarakat modern, dan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku yakni alasan efisiensi dan praktis.39 Pengalihan atau pembebasan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha ini secara prinsip bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUPK. “Pihak Pertama berhak sepenuhnya untuk memperhitungkan besarnya pembayaran angsuran dan denda untuk kepentingan Penagihan, dan/atau memperhitungkan ganti rugi apabila dilakukan penarikan kendaraan”. Klausula tersebut memperlihatkan posisi tawar yang kuat dari pelaku usaha dalam perjanjian pembelian kendaraan bermotor, sehingga dapat melakukan tindakan hukum sepihak yang dianggap menguntungkan pihaknya, sehingga cenderung tidak sesuai dengan kepatutan. Perjanjian pembelian kendaraan bermotor pada prakteknya dilakukan dalam bentuk perjanjian baku yang berisi klausula-klausula yang bersifat membatasi tanggung jawab (klausula eksonerasi) penjual terhadap kewajiban yang seharusnya telah ditentukan dan dijamin pemenuhannya oleh hukum positif. Perjanjian baku yang berisi klausula-klausula baku tersebut dibuat oleh penjual untuk melindungi kepentingannya tanpa mempertimbangkan perlindungan kepentingan konsumen yang seharusnya dilindungi dan dijamin. Pemberian kebebasan kepada para pihak oleh 39 Suryati, pengertian klausula baku, http://komnaslkpipusat.blogspot.co.id/2013/06/memahami-perjanjian-baku.html diakses pada tanggal 19 juli 2017 53 KUHPerdata dalam menentukan bentuk dan isi perjanjian yang mengikat di antara para pihak tersebut melalui asas kebebasan berkontrak tidak boleh menciptakan suatu ketidakadilan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Dengan demikian pemberlakuan Pasal 18 UUPK yang membatasi pencantuman klausula bakudengan melarang beberapa bentuk klausula baku harus dijadikan patokan oleh penjual dalam membuat perjanjian baku yang akan mengikat para pihak. Perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang telah dibuatsebelum lahirnya UUPK harus disesuaikan dengan ketentuanketentuan UUPK Pasal 18 ayat (4) UUPK. Beberapa klausula baku yang masih berlaku dalam perjanjian pembelian yang secara prinsip bertentangan dengan Pasal 18 UUPK adalah: a. “Segala resiko atau hilang dan/atau musnahnya barang yang disewabelikan yang disebabkan oleh kelalaian Pihak Kedua baik secara sengaja ataupu tidak sengaja, menjadi tanggung jawab Pihak Kedua sepenuhnya, dengan tidak menunda atau mengurangi atau menghilangkan segala kewajiban Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Sewa Beli “ . b. “Pihak Kedua mengakui bahwa Pihak Pertama adalah pemilik yang sah dari kendaraan bermotor tersebut diatas,yang dengan ini memberi kuasa / hak untuk memakai sesuai dengan tujuan barang itu dibuat dan Pihak Kedua berkewajiban memelihara / merawat dan atau memperbaiki suatu kerusakan atas beayanya sendiri serta tidak diperkenankan merubah bentuk apapun terhadap barang tersebut”. c. “Dengan penerimaan / penyerahan kendaraan tersebut, maka mulai saat ini, seluruh tanggung jawab / resiko atas kendaraan tersebut telah beralih pada Pihak Kedua dan ia berkewajiban memenuhi segala tanggung jawabnya dalam perjanjian ini, meskipun terjadi penurunan nilai kendaraan tersebut dan atau menjadi nihil. Pihak Pertama sama sekali tidak mempunyai kewajiban menanggung / vrij-waring terhadap barang yang telah diserahkan kepada Pihak Kedua”. 54 Klausula tersebut memperlihatkan posisi tawar yang kuat dari pelaku usahadalam perjanjian pembelian kendaraan bermotor, sehingga dapat melakukan tindakanhukum sepihak yang dianggap menguntungkan pihaknya, sehingga cenderung tidaksesuai dengan kepatutan.Dengan menganggap bahwa konsumen telah melakukan kelalaian, pelaku usahamempunyai kewenangan untuk melakukan penghentian.Perjanjian pembelian kendaraanbermotor yang tunduk pada asas-asas dalam hukum perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak menyinggung rasa keadilan. Penghentian perjanjian secara sepihak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUPK.Dengan demikian, secara umum, perjanjian pembelian kendaraan bermotor yang berbentuk perjanjian baku tersebut harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip dalam UUPK sebagai ketentuan hukum positif, khususnya aturan tentang larangan pencantuman klausula-klasula baku tertentu yang dijelaskan dalam Pasal 18 UUPK. Apabila penjualmasih tetap memberlakukan perjanjian yang isinya mengandung klausula-klausula yangdilarang oleh Pasal 18 UUPK, maka klausula tersebut batal demi hukum (Pasal 18 ayat(3) UUPK). Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen : “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”. Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya perjanjian standar antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian standar tersebut tercantum mengenai klausula eksonerasi 55 pada ayat (1) butir a s.d h. Sifat dari batalnya hukum perjanjian standar ini tidak berlangsung secara otomatis. Pasal 1266 jo 1267 KUHPerdata mengutarakan bahwa pembatalan suatu perjanjian melalui pengadilan dan memiliki kekuatan hukum dalam putusan hakim.Batal demi hukumnya suatu perjanjian merupakan pelanggaran terhadap pasal 1320 KUHPerdata dalam hal syarat objektif dari suatu perjanjian. Akibat dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang berarti pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Jadi ketika perjanjian standar memuat klausula eksenorasi, dan diajukan gugatan ke pengadilan, hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian menjadi batal seluruhnya (bukan hanya klausula bakunya).40 Perlindungan hukum yang diperoleh oleh konsumen sendiri adanya asuransi dalam pembiayaan pembelian sepeda motor, yaitu:41 a. dalam hal pembiayaan ini disertai perlindungan asuransi, debitur diwajibkan membayar biaya premi yang dibayarkan melalui kreditur. b. Jika terjadi risiko, apabila klaim/tuntutan penggantian asuransi dapat dicairkan, maka kreditur berhak sebagaimana debitur setuju untuk menerima penggantian asuransi dan memperhitungkannya dengan seluruh/sisa hutang pembiayaan, denda dan biaya-biaya yang masih ada setelah dikurangi dengan biaya dan/atau ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh reditur untuk mengajukan, mengurus atau menyelesaikan klaim/tuntutan penggantian asuransi. 40 Mimi antasari, syarat objektif dan syarat subjektif, http://pecanduhukum.blogspot.co.id/2009/03/perjanjian-standar-dan-klausula.html diakses pada tanggal 15 juli 2017 41 Surat perjanjian pembiayaan FIF Group 56 C. Bentuk Penerapan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku Dalam Pembelian Sepeda Motor Oleh Konsumen Dalam Perspektif Hukum Indonesia Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen (penjual).Isi klausula baku seringkali merugikan pihak yang yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klusula baku serupa akan ditemuinya ditempat lain. Penerapan kalusula ekonerasi dilakukan oleh pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat yang kemudian akan merugikan posisi pihak lain yang lebih lemah. Dalam hal ini adalah antara pelaku usaha dan konsumen. Klausula eksonerasi yang biasanya dibuat dalam perjanjian sebagai dijadikan sebagai kalusula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam kontrak baku. Klausula tersebut menjadi sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi yang lemah, jika dibandingkan dengan prosedur karena beban yang harus dipikul oleh produsen dengan adanya klausula tersebut menjadi beban bagi konsumen. Pada umumnya perjanjian baku dengan klausula eksonerasi menguntungkan pelaku usaha dan merugikan pihak konsumen, karena pelimpahan tanggungjawab yang harusnya dibebankan pada pelaku usaha menjadi tanggungjawab bagi konsumen, hal tersebut tidak mencerminkan 57 keadilan. Akibat kedudukan para pihak yang tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya berada dalam keadaanyang sangat bebas untuk menentukan apa yang diinginkannya dalam perjanjian. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Ibu Nurul sebagai Admin FIF Group menerangkan bahwa:42 “Surat perjanjian atau ketentuan dibuat memang dari pihak perusahaan sepenuhnya, atas semua kalusul-klausul yang ada ditetapkan dari perusahaan dikarenakan kami tidak mungkin mendatangkan konsumen satu-persatu kemudian membuat perjanjian setelah itu. Itu semua menjadi kebijakan dari perusahaan, dan konsumen hanya tinggal menyetujui perjanjian tersebut dengan membubuhkan tanda tangan” Dalam situasi seperti itu, maka perusahaan sebagai pelaku usaha mendapat keuntungan terlepas dari tanggungjawab hokum, yang kemudian dilimpahkan kepada konsumen.Pada dasarnya perjanjian dibuat oleh para pihak yang bersepakat yaitu pelaku usaha dan konsumen, hal tersebut tidak lagi ada dikarenakan kalusul-klausul sudah ditentukan terlebih dahulu oleh pihak perusahaan yang memiliki posisi yang lebih kuat.Adapun syarat sahnya suatu perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang dimana syarat subjektif didalamnya adalah Kespkatan para pihak.Kesepakatan seseorang untuk mengikatkan dirinya menjadi penentu perjanjian itu ada atau tidak pernah terjadi. Kesepakatan yang dilakukan secara bebas dilihat pada Pasal 1321 KUH Perdata: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau tipuan” 42 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul selaku staff Administrasi FIF Group, Pada Tanggal 27 Juli 2017 58 Para pihak secara langsung telah terikat dengan perjanjian tersebut berdasarkan asas konsensualisme.Asas konsensualisme sangat terkait pula dengan kebebasan berkontrak karena dengan itu, seseorang dapat bertindak terhadap isi perjanjian tersebut. Kontrak baku sendiri kebebasan melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan secara bebas dengan perjanjian secara langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian, hanya saja kalusula eksonerasi yang ditentukan oleh para pihak yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ada beberapa hal yang dijelaskan oleh Ibu Nurul selaku staff Administrasi FIF Goup:43 “Isi perjanjian atau kalusula yang ada dalam surat perjanjian antara pihak perusahaan dan konsumen diberikan kepada konsumen ketikan akan melakukan pembelian, kredit atau sewa beli sepeda motor. Kalusula tersebut telah dibuat dengan kebijakan perusahaan dan konsumen diberikan pilihan untuk menyetujui atau tidak perjajian tersebut, dan segala hal yang terjadi diluar kesepakatan dari perjanjian yang di tanda tangani oleh pihak konsumen bukan menjadi tanggungjawab perusahaan”. Pencantuman syarat eksonerasi oleh pelaku usaha yang mergikan konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Angka 2 UUPK dinyatakan batal demi hukum artinya syarat-syarat tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada. Jika ditijau dari sanksinya bagi pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi, maka akan dikenakan sanksi, sebagai berikut: 43 Hasil wawancara dengan Ibu Nurul selaku staff Administrasi FIF Group, Pada Tanggal 27 Juli 2017 59 a. Sanksi perdata: perjanjian standar yang dibuatnya jika digugat dipengadilan oleh konsumen maka hakim akan membuat keputusan perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 18 Angka 3 UUPK). Pelaku usaha yang menerapkan kalusula eksonerasi dalam perjanjian bakudiwajibkan untuk merevisi perjanjian tersebut untuk menyelaraskan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. b. Sanksi pidana: pidana penjara akan berlaku paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Pasal 62 Angka 1 UndangUndang Perlindungan Konsumen. Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen membantu konsumen mepertahankan haknya dan meminimalisir pelanggaran terhadap konsumen oleh pelaku usaha. Hal berbeda dijelaska oleh Ibu windy selaku seles center FIF Group: 44 “Hal-hal yang tertuang dalam perjanjian yang diberikan kepada calon konsumen memang dibuat oleh perusahaan, namun konsumen menyetujui tanpa merasa dibebankan oleh perjanjian tersebut, dengan membubhkan tanda tangan dalam surat perjanjian”. Pada dasarnya jika terjadi kerusakan, hilang atau musnahnya barang akan ditanggung oleh pihak asuransi bukan dari pihak konsumen. Penjelasan lebih lanjut oleh Ibu Windy selaku seles center FIF Group:45 “Kerusakan barang dikemudian hari oleh konsumen terhadap barang yang dibeli/sewa-beli akan ditanggug sendiri oleh konsumen, krena masalah dating langsung dari konsumen, perusahaan tidak bertanggungjawab atas hal tersebut”. 44 Hasil wawancara dengan Ibu Windy selaku sales FIF Group, Pada Tanggal 27 Juli 2017 Hasil wawancara dengan Ibu Windy selaku sales FIF Group, Pada Tanggal 27 Juli 2017 45 60 Mengenai tanggungjawab atas hilangnya dan rusaknya barang jaminan (sepeda motor) pada PT.FIF Mataram, kedua belah pihak telah sepakat dan menanda tangani kontrak, sebagaimana tertera pada point 5 tentang Asuransi Butir 1: Segala risiko rusak, hilang atau musnahnya barang karena sebab apapun juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab penerima fasilitas, sehingga dengan rusak, hilang atau musnahnya barang, tidak meniadakan, mengurangi atau menunda pemenuhan kewajiban Penerima Fasilitas terhadap Pemberi Fasilitas. Butir 2 :Penerima Fasilitas wajib untuk mengasuransikan barang,termasuk membayar biaya premi yang dibayarkannya melalui Pemberi Fasilitas. Butir 3 : Jika Barang yang berada dibawah penguasaan PenerimaFasilitas hilangatau rusak, apabila klaim/tuntutan penggantian asuransi dapat dicairkan, maka Pemberi Fasilitas berhak sebagaimana Penerima Fasilitas setuju untuk menerima penggantian asuransi dan memperhitungkannya dengan seluruh/sisa Hutang Pembiayaan yang masih ada setelah dikurangi dengan biaya dan/atau ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh Pemberi Fasilitas untuk mengajukan, mengurus atau menyelesaikan klaim/tuntutan penggantian asuransi. Butir 4 : Apabila penggantian asuransi tidak mencukupi untuk pelunasan seluruh/ sisa Hutang Pembiayaan, maka Penerima Fasilitas berjanji dan meikatkan diri untuk melunasinya demikian sebaliknya. Pada umumnya barang yang menjadi objek perjanjian adalah menjadi tanggung jawab pemegang.Apabila benda yang menjadi objek perjanjian sewaktu – waktu terjadi suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak maka yang bertanggung jawab atas benda tersebut adalah pemegangnya.Kesalahan di luar salah satu pihak inilah yang di namakan “risiko”.Risiko ialah Kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. 61 Dalam Hukum Perjanjian mengenai risiko Perjanjian Timbal-balik di atur dalam pasal 1460 KUHPerdata, menyatakan : “Jika kebendaan yang di jual itu berupa barang yang sudah di tentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual berhak menuntut harganya” Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 1460 KUH.Perdata di atas, maka yang menanggung risiko adalah debitur atau yang berutang, walaupun selama kebendaan itu belum diserahkan kepadanya. Namun dalam perjanjian sewa beli sepeda motor pada umumnya, barangnya atau sepeda motor sudah diserahkan kepada pembeli dan sudah berada dalam penguasaannya. Sehingga oleh karena itu, kalau barang jaminan yang merupakan objek perjanjian hilang merupakan kelalaian si debitur sebagai pemegang atau yang mempunyai hak penguasaan atas barang jaminan tersebut, maka yang bertanggung jawab adalah debitur. Demikian juga yang diberlakukan oleh Pihak FIF Mataram bahwa risiko atas hilangnya sepeda motor objek perjanjian pembiayaan ditanggung oleh konsumen ( pembeli), sebagaimana yang tertera dalam Surat Perjanjian Pembiayaan, point 5 butir 1. Dan untuk mengalihkan risiko, Pihak FIF mewajibkan konsumen ( penerima fasilitas) untuk mengasuransikan fasilitas yang diterima ( sepeda motor) kepada Perusahaan Asuransi yang ditunjuk oleh FIF dengan membayar premi sekaligus bersama-sama uang muka dan angsuran pertama dan jangka waktu asuransi sama dengan jangka waktu angsuran berlangsung. Misalnya lama angsuran pembayaran sepeda 62 motor itu 24 bulan, maka jangka waktu asuransi itu juga selama 24 bulan. Dengan demikian, maka risiko atas hilangnya sepeda motor tetap merupakan tanggung jawab konsumen, akan tetapi karena konsumen telah mengansuransikannya kepada Perusahaan Asuransi, maka risiko beralih menjadi tanggung jawab Pihak Asuransi. Hal ini menurut hemat Penulis, sejalan dengan ketentuan Pasal 1460 KUH. dan sesuai dengan isi perjanjian yang ditanda tangani oleh kedua belah point 5 butir 1, yang berbunyi : Segala risiko rusak, hilang atau musnahnya barang karena sebab apapun juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab penerima fasilitas, sehingga dengan rusak, hilang atau musnahnya barang, tidak meniadakan, mengurangi atau menunda pemenuhan kewajiban Penerima Fasilitas terhadap Pemberi Fasilitas. Apabila sepeda motor tidak hilang, hingga jangka waktu angsuran lunas, maka uang premi tidak bisa ditarik kembali oleh konsumen ( pembeli motor) dan menjadi milik Perusahaan Asuransi. Namun yang menjadi masalah dihadapi oleh konsumen adalah pada waktu mengclaim pada Perusahaan Asuransi melalui FIF atas hilangnya sepeda motor. Jadi menurut hemat penulis, dalam hal ini FIF sudah mengalihkan tangung jawabnya kepada pihak konsumen dan pihak asuransi atas kerugian yang di perbuat oleh konsumen sendiri, FIF sudah lepas tangan dengan segala resiko yang di perbuat oleh konsumen sendiri, dan dari sinilah kita bisa melihat salah satu contoh adanya unsur klausula baku yang merugikan konsumen. 63 Ada beberapa ketentuan terkait dengan kalusula eksonerasi dalam perjanjian baku, sesuai dengan wawancara bersama Ibu Nurul selaku staff Administrasi:46 “Ada beberpa hal yang tertuang dalam isi perjanjian terkait denda dan biaya lain, denda keterlambatan pembayaran dikenakan 0,50% perhari, biaya tagih Rp. 10.000 per satu kali penagihan, biaya surat keterangan STNK Rp. 10.000 per surat keterangan dan biaya simpan BPKB sebanyak Rp. 1.000 perhari.” Ketentuan yang berkaitan dengan denda terdapat dalam surat perjanjian FIF Group yang menjelaskan bahwa denda wajib dibayar seluruhnya bersamaan dengan pembayaran angsuran yang terlambat tersebut atau dapat diangsur sebesar nilai pembayaran minum yang ditetapkan kreditur. Namun selain itu ada beberapa fasilitas pembiayaan yang dierikan oleh FIF, yaitu:47 a. Debitur sah menerima fasilitas pembiayaan dan menyetujui dibayarkan kepada penyedia barang oleh kreditur dengan cara yang dianggap baik oleh kreditur. b. Debitur dengan ini menyatakan sah berhutang kepada kreditur dan kreditur mempunyai piutang kepada debitur atas hutang pembiayaan sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian pembiayaan ini. c. Debitur telah menerima barang dari penyedia barang. Dalam perjanjian kontrak baku dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggungjawab. Ada beberapa jenis kalusula baku eksonerasi, yaitu: a. Pengurangan atau penghapusan tenggungjawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi 46 Surat Perjanjian Pembiayaan FIF Group Hasil wawancara dengan Ibu Wina, selaku CS FIF Group, Pada tanggal 30 Juli 2017 47 64 b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu pihak misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada pihak ketiga yang terbukti mengalami kerugian. Oleh karena itu penghapusan/pengangguran syarat-syarat terhadap eksonerasi akibat dapat berupa hukum, atau pembatasan/penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban yang membebankan pihak lain.Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas maupun tersurat tidak ada dicantumkn istilah syarat eksonerasi tersebut. Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini menjadi pelindung bagi setiap konsumen atas hak-haknya yang dilanggar oleh produsen. Ada banyak implikasi dengan diberlakukannya kalusula baku dalam Perlindungan Konsumen seperti pelaku usaha tidak dapat mengalihkan tanggungjawabnya. 65 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian/observasi penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian pembelian sepeda motor, sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka dapat di tarik aimpulan sebagai beriku : 1. Sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member pertlindungan kepada konsumen meliputi hak dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam Peraturan PerundangUndangan. Perlindungan hukum yang diperoleh oleh konsumen sendiri adanya asuransi dalam pembiayaan pembelian sepeda motor, yaitu: Dalam hal pembiayaan ini disertai perlindungan asuransi, debitur diwajibkan membayar biaya premi yang dibayarkan melalui kreditur. Jika terjadi risiko, apabila klaim/tuntutan penggantian asuransi dapat dicairkan, maka kreditur berhak sebagaimana debitur setuju untuk menerima penggantian asuransi dan memperhitungkannya dengan seluruh/sisa hutang pembiayaan, denda dan biaya-biaya yang masih ada setelah dikurangi dengan biaya dan/atau ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh 66 reditur untuk mengajukan, mengurus atau menyelesaikan klaim/tuntutan penggantian asuransi. 2. Penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku pembelian sepeda motor di FIF merupakan klausula baku yang seringkali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak FIF mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak asuransi dan kepada pihak konsumen sendiri dimana pihak konsumen diharuskan untuk mengangsurasikan kendaraannya kepada pihak asuransi, karena jika ada terjadi resiko hilang atau rusaknya barang (kendaraan bermotor) maka segala resiko tersebut ditanggung sendiri oleh pihak konsumen. Karena pihak FIF sendiri sudah lepas tangan dengan segala resiko yang diperbuat oleh konsumen dan mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak asuransi dan kepada pihak konsumen sendiri. Pihak konsumen sangat dirugikan dalam hal ini. Klausula tersebut tidak dihilangkan tetapi dialihkan kepada pihak asuransi dan kepada pihak konsumen itu sendiri. B. Saran 1. Bagi pemerintah harus hadir dan lebih memberikan perannya dalam pembinaan dan pendidikan konsumen untuk masyarakat. Serta sosialisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sehingga masyarakat baik konsumen maupun pelaku usaha mempumnyai kesadaran akan hak dan kewajibannya. Bagi masyarakat, sebagai konsumen sebaiknya lebih memperhatikan hak-haknya sebagai konsumen apabila merasa dirugikan, konsumen tidak perlu takut untuk menuntut dan 67 menggugat pelaku usaha agar mendapatkan ganti rugi yang sepadan dengan kerugian yang dialami. 2. Bagi pihak pelaku usaha jasa pembiayaan , seharusnya tidak harus mencari keuntungan semata, namun juga harus memperhatikan pemenuhan hakhak konsumen yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 68 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Dian Rakyat, Perlindungan Konsumen, PT. Dian Rakyat,Jakarta, 2003, hlm 12 Khadir Abdul Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti 2000. Miru Ahmadi & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muljadi Kartini dan Gunawan widjaja. Perikatan pada umumnya.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2003. Remi Sutan Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dam Perlindungan Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta:InstitutBankir Indonesia, 1993 HS, Salim. Hukum Kontrakdan Tehnik Penyusunan Kontrak. Sinar Grafika: Jakarta. 2003. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2007. -------------, Perjanjian Baku DalamPraktek Perusahaan Perdagangan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta:Grasindo, 2000 -------------, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:Grasindo, 2000 Soekanto Soedjono, Pengantar Penelitian Hukum,Cet.3, UI-Press, Jakarta: 1986 --------------, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar, Cet.37, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2001 Sofie Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. PT. Citra Aditiya Bakti:Bandung. 2008 -------------- ,Perjanjian Baku DalamPraktek Perusahaan Perdagangan, Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, 1992 69 Subekti, R. Hukum Perjanjian, Jakarta:PT.Internusa,1990 Wijayanti Asri, Strategi Penulisan Hukum, Lubuk Agung, Bandung: 2011 Widjaja Gunawan, yani Ahmad, 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm 13 B. PeraturanPerundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentng Perlindungan Konsumen C. Internet/website Suryani, Pengertian Klausula Baku http://pecanduhukum.blogspot.co.id/2009/03/perjanjian-standar-danklausula.html diakses pada tanggal 15 juli 2017 Antasari Mimi, syarat objektif dan syarat subyektif, http://komnaslkpipusat.blogspot.co.id/2013/06/memahami-perjanjianbaku.html diakses pada tanggal 19 juli 2017