1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia perdagangan, iklan adalah merupakan sarana untuk memberikan informasi tentang : adanya produk tertentu dengan kelebihan dan kekhususannya, sebagai pembanding dengan produk yang lain dengan tujuan untuk menarik minat masyarakat membeli produk tersebut. Salah satu sarana periklanan yang berkembang pesat dewasa ini adalah media papan reklame (billboard) yang dipasang pada jalan-jalan kota atau di tempat-tempat strategis lainnya. Maraknya penggunaan papan reklame sebagai media iklan, membuka peluang usaha bagi pihak-pihak tertentu, yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan papan reklame untuk memenuhi kebutuhan produsen atau pedagang sebagai pengguna secara sewa. Bagi produsen dan pedagang, dengan cara menyewa papan reklame memang lebih praktis, karena mereka dapat memasang iklan/reklame dimanapun, tanpa harus melakukan berbagai tindakan birokrasi seperti ijin lokasi, sewa lahan, pemasangan instalasi listrik dan pembayaran rekening listrik, pembayaran pajak, melakukan pemasangan, perawatan, perbaikan dari kerusakan, dan tindakan pengamanan, melainkan cukup dengan membayar uang sewa, produsen atau pedagang sudah dapat menikmati fasilitas berupa penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi pemasaran produknya. 2 Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang ditandai dengan semakin berkembangnya industri dan perdagangan, maka semakin berkembang pula kegiatan periklanan melalui media papan reklame. Pada ujung-ujungnya, adalah semakin banyak transaksi sewa-menyewa papan reklame. Kesemuanya itu menunjukan bahwa sewa-menyewa menjadi sangat penting dalam masyarakat khususnya dunia bisnis. Oleh karena itu kajian terhadap perjanjian sewa-menyewa juga menjadi semakin penting, dalam rangka memberikan telaah terhadap praktik-praktik perjanjian sewa papan reklame yang terjadi dalam masyarakat, untuk memberikan pemahaman tentang makna sewamenyewa beserta akibat hukum yang timbul. Pada masa lampau pernah terjadi sengketa perjanjian sewa atas fasilitas penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi barang dagangan, yang berupa dinding batu pagar rumah. Menurut Hoge Raad, yang disewa adalah luasnya pagar, dan luasnya pagar bukan benda (zaak), sehingga Hoge Raad tanggal 27 Mei 1910 menyatakan : karena tidak ada benda (zaak) maka tidak ada perjanjian sewa. Menurut para ahli hukum, perjanjian itu tetap sah dengan mengajukan dua argumentasi sebagai berikut1 : 1. Setiap perjanjian yang dibuat memenuhi syarat undang-undang (Pasal 1320 KUH Perdata) tetap sah. Jika luasnya pagar batu tidak memenuhi kriteria benda (zaak) sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian sewa- 1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogajakarta, hal. 17-19. 3 menyewa Pasal 1548 KUH Perdata, maka perjanjian itu bukan perjanjian sewa-menyewa, sehingga terhadap perjanjian itu tidak dapat diperlakukan ketentuan-ketentuan khusus dari sewa-menyewa. Perjanjian demikian itu lalu berlaku sebagai ketentuan perjanjian tak bernama. 2. Pitlo berpendirian, bahwa oleh undang-undang penyerahan suatu benda (zaak) untuk dipakai dan sebaliknya menerima harganya itu disebut : sewa. Apa yang dinamakan benda (zaak) itu ditentukan oleh kebutuhan menurut kebutuhan masyarakat. Jika masyarakat memerlukan penyerahan luasnya pagar untuk dipakai dan sebaliknya membayar harganya untuk itu, maka itupun termasuk pengertian sewa juga. Inti persoalan dari pertentangan pendapat tersebut sebenarnya adalah mengenai penafsiran “benda” yang menjadi obyek sewa. Dalam pengertian Hukum Benda, yang dimaksud “benda” adalah bersifat “mandiri,” sehingga “bagian benda” bukan benda. Pada argumentasi pertama, tidak terpenuhinya kriteria obyek sewa sebagai benda mandiri, lalu memperluas penafsiran perjanjian sewa-menyewa menjadi perjanjian tak bernama; Sedang pada argumntasi kedua, dengan tetap mempertahankan pengertian perjanjian sewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata, tetapi pengertian bendanya yang diperluas, bahwa sekalipun “luasnya pagar” bukan benda menurut Hukum Benda, tetapi karena dapat diserahkan pemakaiannya, maka luasnya pagar dapat menjadi obyek dalam perjanjian sewa. 4 Pada masa kini, dijumpai peristiwa perjanjian sewa atas fasilitas penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi barang dagangan, yang berupa papan reklame (bilboard). Peristiwanya : Perusahaan lampu neon PT. Hannochs, menggunakan fasilitas penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi berupa papan reklame milik perusahaan penyedia papan reklame PT. Maju Makmur Abadi. Dalam transaksinya para pihak menyatakan sepakat bahwa PT. Maju Makmur Abadi memberi ijin kepada PT. Hannochs yang menyatakan setuju menyewa lokasi Billboard milik PT. Maju Makmur Abadi untuk mempromosikan produk milik PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka, yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang. Yang perlu dicermati dalam perjanjian sewa tersebut adalah mengenai obyek benda sewanya : apakah “papan reklame (billboard) milik PT. Maju Makmur Abadi, ataukah lokasi billboard yang nota bene adalah lahan di Jl. Ahmad Yani Semarang milik Pemda Semarang ? Pertanyaan tersebut jelas membutuhkan kajan toeritis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengertian benda dalam kedudukannya sebagai “obyek sewa.” Peristiwa perjanjan sewa ini memang tidak sama persis dengan peristiwa sewa dalam sengketa arrest Hoge Raad tanggal 27 Mei 1910, namun keduanya sama-sama membutuhkan kajian teoritis mengenai penafsiran benda sebagai “obyek benda sewa.” 5 Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai perjanjian sewa-menyewa yang terjadi antara Perusahaan lampu neon PT. Hannochs yang menggunakan fasilitas penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi berupa papan reklame dengan perusahaan penyedia papan reklame PT. Maju Makmur Abadi. Hal ini penting untuk memahami bagaimanakah cara pandang hukum dalam menentukan manakah obyek sewa yang sebenarnya, apakah papan reklame ataukah lokasi papan reklame dan bagaimana konsekuensi hukumnya terutama mengenai cara penyerahan benda obyek sewa dari pemberi sewa kepada penyewa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1550 KUH Perdata bahwa kewajiban pokok pemberi sewa adalah menyerahkan (leveren) bendanya kepada penyewa. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah penafsiran terhadap pengertian atas benda obyek sewa dalam perjanjian sewa papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi ? 2. Bagaimanakah cara menyerahkan benda obyek sewa dalam perjanjian sewa papan reklame ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk memahami makna benda obyek sewa dalam perjanjian sewa antara PT. Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi. 2. Untuk memahami cara menyerahkan benda obyek sewa dalam perjanjian sewa papan reklame. 6 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis : memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dibidang Hukum Perjanjian dan Hukum Perdata pada umumnya, khususnya berkaitan dengan masalah perjanjian sewa lokasi pemasangan reklame. 2. Manfaat Praktis : memberikan kejelasan aspek hukum dalam perjanjian sewa lokasi papan reklame, khususnya bagi pihak-pihak terkait dalam perjanjian ini. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perikatan Perikatan menurut doktrin adalah hubungan hukum antara 2 (dua) pihak yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.2 Dengan demikian istilah perikatan menunjuk pada suatu keadaan berupa timbulnya hubungan hukum yang berisikan hak dan kewajiban atas suatu prestasi. Pihak yang berhak menuntut prestasi dinamakan kreditur, sedang pihak yang wajib berprestasi dinamakan debitur. Secara umum terdapat dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang, sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 1233 KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Akan tetapi menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa sesungguhnya masih dapat ditemukan adanya sumber perikatan selain kedua sumber di atas, yaitu ilmu pengetahuan hukum perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan Hakim atau yurisprudensi.3 Berdasarkan pengertian perikatan di atas, maka dapat diuraikan unsurunsur perikatan, yaitu : 2 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1. 3 Ibid, hal. 9. 8 a. Hubungan hukum, yaitu hubungan terhadap mana hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak yang lain. Hak yang timbul dalam hubungan hukum ini harus hak yang dapat dituntut pemenuhannya atau diajukan gugatan di muka Hakim, atau yang pemenuhannya dapat dimintakan upaya paksa melalui keputusan Hakim. Hal ini untuk membedakan dengan hak-hak yang berada dalam lapangan moral atau sosial. b. Dalam lapangan kekayaan, yaitu hubungan perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata atau perikatan-perikatan yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini untuk membedakan adanya hubungan perikatan dalam arti luas yang meliputi perikatan dalam lapangan hukum keluarga. c. Para pihak, bahwa dalam hubungan perikatan selalu terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berhak atas prestasi atau berpiutang yang disebut kreditur dan pihak yang wajib berprestasi atau berutang yang disebut debitur. Masing-masing pihak tersebut bisa terdapat lebih dari satu orang atau subyek hukum, dan pada prinsipnya pihak-pihak dalam perikatan dapat digantikan kedudukannya. Asasnya penggantian debitur harus dengan sepengetahuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur tidak harus dengan sepengetahuan debitur bahkan seringkali penggantian itu sudah diperjanjikan sejak semula. d. Prestasi (obyek hukum), yaitu sesuatu yang dapat dituntut atau sesuatu yang wajib dilakukan dalam hubungan perikatan. Prestasi itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan 9 tidak berbuat sesuatu. Pada prestasi untuk memberikan sesuatu, obyeknya adalah barang yang harus diserahkan untuk diambil manfaatnya atau untuk dialihkan hak miliknya. Prestasi berbuat sesuatu, obyeknya adalah melakukan suatu perbuatan selain menyerahkan suatu barang, seperti membangun rumah. Sedangkan prestasi untuk tidak berbuat sesuatu adalah kewajiban untuk tidak melakukan perbuatan yang telah diperjanjikan oleh para pihak. B. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian. Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dengan rumusan sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau labih”. Rumusan perjanjian di atas oleh para sarjana, dikatakan banyak mengandung kelemahan, karena di satu pihak rumusannya terlalu luas, dan di pihak lain rumusannya terlalu sempit. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pendapat sarjana yang membahas mengenai pengertian perjanjian. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata ini banyak mengandung kelemahan, karena : a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya 10 perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak. b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum kekayaan. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat perseorangan. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.4 Menurut Subekti, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5 Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana di atas, maka dapat dirumuskan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dalam 4 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1. 78. 11 lapangan hukum kekayaan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya. 2. Asas-asas Dalam Perjanjian Paul Scholten mengemukakan bahwa asas hukum sebagai kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada. Seangkan asas hukum menurut Van Eikema Hommes adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.6 Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaikbaiknya, tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.7 Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Menurut Abdulkadir Muhammad8, asas- asas tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini: 1) Asas kebebasan berkontrak atau dengan istilah lain disebut juga sistem terbuka (open system), pada dasarnya setiap orang boleh mengadakan 6 Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010. Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 87. 8 Abdulkadir Muhammad, op.cit. hal 84-86. 7 12 perjanjian apa saja, dengan siapa saja dan mengenai apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada kata “semua perjanjian”, seolah-olah berisikan pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian berupa apa saja asal memenuhi syarat sahnya perjanjian, dan perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya. 2) Bersifat pelengkap (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri, yang menyimpang dari kketentuan pasalpasal undang-undang. Akan tetapi apabila dalam perjanjian tidak diperjanjikan lain, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam undangundang. 3) Asas konsensualisme, artinya perjanjian (pada umumnya) itu terjadi atau telah lahir sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak. A. Qirom Syamsudin menyebutkan dengan adanya asas konsensualisme maka perjanjian itu sudah lahir dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali dalam perjanjian yang bersifat formil.9 9 A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakaarta, hal. 20. 13 4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah, apabila diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst). 5) Asas Daya Mengikat Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat para pihak seperti halnya mengikatnya undang-undang. Dengan kata lain orang yang membuat perjanjian berarti telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri. Asas ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam hal ini Sudikno berpendapat bahwa kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat. Perjanjian secara sah mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang. Berarti bahwa kedua belah pihak berkewajiban mentaati danmelaksanakan perjanjian, sudah selayaknyalah bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula oleh kedua belah pihak. 10 6) Asas Iktikad Baik (te goeder trouw), bahwa pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada kepatutan (redelijkheid) dan keadilan (billijkheid). 10 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty, Yogyakarta, hal. 97. 14 3. Syarat sahnya perjanjian J. Satrio11 dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diartikan sebagai untuk “sahnya” suatu perjanjian diperlukan 4 syarat. Dalam bahasa aslinya sebenarnya tertulis untuk “adanya” (bestaanbaarheid) suatu perjanjian diperlukan 4 syarat. Kata “adanya” adalah tidak tepat, karena ada kalanya, sekalipun suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi tetap diterima sebagai “ada”, sekalipun mengandung cacat dan karenanya sebagai “tidak sah” sehingga ada kemungkinan dibatalkan. Tidak sah disini dimaksudkan sebagai “dapat dibatalkan”. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, adalah : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakap untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; dan d. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan subyeknya dan berdasarkan obyeknya. Dua syarat pertama disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek yang menutup perjanjian, sedangkan dua syarat yang lain disebut syarat obyektif, karena menyangkut 11 obyek dari perjanjian. Pembedaan ini menimbulkan J. Satrio, 2001, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 163. 15 konsekuensi hukum, yaitu apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian itu tetap ada walaupun tidak sah dan menimbulkan kemungkinan untuk dibatalkan. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan dengan sendirinya batal demi hukum. Mengenai keempat syarat sahnya perjanjian dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH Perdata). Dalam suatu perjanjian haruslah ada kata sepakat diantara para pihak mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka adakan. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara dua pihak, atau dengan perkataan lain ada pertemuan dua kehendak yang berbeda akan tetapi saling mengisi dan masing-masing pihak menyatakan persetujuannya masing-masing. Untuk dapat bertemu, antara kehendak pihak yang satu dengan pihak yang lain, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Kehendak yang dinyatakan haruslah nyata dan dapat dimengerti oleh pihak lain. Sehingga apabila kehendak yang dinyatakan tersebut sampai dan bisa dimengerti pihak lain, dan pihak lain tersebut kemudian menyatakan menerimanya, maka disitulah timbul kata sepakat. 16 Berkaitan dengan masalah kesepakatan, apabila tidak ada kesesuaian antara pernyataan dan kehendak, telah melahirkan teori-teori hukum untuk menyelesaikannya, yaitu : 1) Teori Kehendak (Wiltheorie) Teori kehendak adalah teori tertua dan menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini jika mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendakinya, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal 1343 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.” 2) Teori Pernyataan (Verklaringstheorie) Menurut teori ini pernyataan sepakat yang dinyatakan seseorang adalah mengikat dirinya, tanpa menghiraukan apakah yang dinyatakan kedua belah pihak sesuai atau tidak dengan kehendak masing-masing pihak. Pernyataan adalah tindakan lahiriah yang dapat diketahui, sedangkan kehendak adalah tindakan batin seseorang yang tidak dapat diketahui. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal 1342 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu perjanjian adalah jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”. 17 3) Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie) Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat terjadi, jika ada dua pernyataan yang saling bertemu dan menimbulkan kepercayaan. Teori ini mendapat penerapan daalam Pasal 1346 KUH Perdata, yang menyebutkan : “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat”. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUH Perdata). Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai siapa orang yang cakap untuk membuat membuat perikatan, yang diatur adalah mengenai orang yang dinyatakan tidak cakap membuat perikatan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu : “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.” Dengan demikian pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh undfang-undang. Berlakunya ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata mendapat perubahan dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut antara lain Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, dan dengan adanya Undang-Undang 18 Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 31 ayat (2), maka seorang isteri dinyatakan cakap bertindak dalam hukum. c. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUH Perdata). Dalam Pasal 1332 KUH Perdata disebutkan, bahwa : “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian” Berdasarkan pasal tersebut, obyek perjanjian harus merupakan bendabenda yang dapat diperdagangkan. Apabila benda tersebut merupakan benda terlarang untuk diperdagangkan, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Pada asasnya suatu benda bisa menjadi pokok suatu perjanjian, kecuali tujuan dari padanya sebagai suatu dinas/instansi umum (pelayanan umum) tidak memungkinkannya.12 Selanjutnya dalam Pasal 1333 KUH Perdata disebutkan : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Perihal syarat “tertentu”, suatu barang minimal dapat ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya boleh saja tidak ditentukan pada saat dibuatnya perjanjian, asal dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. Suatu perjanjian yang obyeknya tidak tentu atau tidak ada, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi hukum. 12 J. Satrio, op.cit, hal 49. 19 Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek suatu perjanjian. Barang yang akan ada dibedakan menjadi dua, yaitu barang yang akan ada dalam arti mutlak dan barang yang akan ada dalam arti nisbi. Benda yang akan ada dalam arti mutlak yaitu bahwa pada saat dibuat perjanjian memang belum ada, sedangkan barang yang akan ada dalam arti nisbi yaitu barang itu sudah ada tetapi bagi orang tertentu masih merupakan harapan untuk dimiliki.13 Sementara itu J. Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” adalah : “Obyek prestasi perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian. Ditinjau dari kreditur dan debitur, “hal tertentu” tidak lain merupakan isi dari pada perikatan utama yaitu prestasi pokok dari pada perikatan utama yang muncul dari perjanjian tersebut” d. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUH Perdata). Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan, bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Menurut Hamaker bahwa yang dimaksud causa suatu perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan mereka (para pihak bersama) menutup perjanjian.14 Causa atau sebab berbeda dengan motif, yaitu alasan yang 13 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 28. 14 J. Satrio, op.cit, hal. 41. 20 mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan causa adalah tujuan dari pada perjanjian.15 Maksud dari “causa atau sebab yang halal” artinya bukan causa atau sebab yang terlarang, sedangkan mengenai causa yang terlarang disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum” Dengan demikian yang dimaksud dengan kata “halal” adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa undang-undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sikap batin (motif) orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi adalah isi perjanjian, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak16. 4. Saat Lahirnya Perjanjian Dalam asas konsensualisme, maka suatu perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak mengenai pokok perjanjian atau unsur essensial dari perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi dalam hubungan hukum yang dilakukan secara langsung, baik dalam arti bertemu secara nyata dalam suatu tempat dan waktu yang sama, ataupun hubungan hukum secara langsung yang dilakukan melalui media elektronik, seperti telepon, webcam , teleconference dan sebagainya. Dalam hubungan yang 15 R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, bandung, hal 62. Abdulkadir Muhammad, 1990, op.cit. hal, 94. 16 21 seperti ini antara penawaran dan penerimaan dapat langsung diketahui satu sama lain antara para pihak yang menutup perjanjian. Berbeda halnya dalam transaksi atau hubungan hukum yang dilakaukan secara tidak langsung, misalnya : melalui surat, telegraf, sms, email, website atau blok di Internet, dalam hubungan yang demikian antara penawaran dan penerimaan dipisahkan oleh waktu. Dalam keadaan demikian seringkali tidak mudah untuk menentukan kapan lahirnya perjanjian. Untuk itu doktrin telah memberikan berbagai teori yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai kapan saat lahirnya suatu perjanjian, yaitu : a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat ditulis surat jawaban penerimaan atas suatu penawaran. Dengan kata lain, perjanjian itu ada, pada saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor saling bertemu. Keberatan dari teori ini adalah orang tidak dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian itu lahir, karena sulit membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban tersebut. b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie) Menurut teori ini saat pengiriman jawaban atau akseptasi adalah saat yang menentukan lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, biasanya tanggal cap Pos yang dipakai sebagai jawaban, apabila surat tersebut telah 22 dikirim, maka akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi terjhadap surat tersebut dan tidak dfapat merubah lagi saat terjadinya perjanjian. Teori ini merupakan perbaikan dari teori pernyataan. Adapun keberata terhadap teori ini adalah perjanjian sudah lahir dan mengikat orang yang menawarkan pada saat orang yang memberi penawaran sendiri belum tahu akan hal itu. c. Toei Pengetahuan (Vernemingstheorie) Dalam teori ini, saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui orang yang melakukan penawaran. Teori ini dianggap paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemua dua kehendak yang dinyatakan, dan pernyataan kehendak tersebut harus dapat saling dimengerti antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Keberata teori ini adaalah apabila penerima surat membiarkan suratnya dan tidak dibuka, maka perjanjian tidak lahir dan tidak akan pernah lahir. d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Sebagai jawaban dari kekuranga-kekurangan dari teori sebelumnya, maka muncul teori penerimaan ini yang mengajarkan bahwa saat lahirnya perjanjian adaalah saat diterimanya jawaban atau akseptasi oleh orang yang memberikan penawaran. Jadi tidak peduli apakah surat itu dibuka ataukah tidak atau memang dibiarkan tidak dibuka, perjanjian 23 tetap lahir, yang penting surat tersebut telah sampai pada alamat si penerima surat, yaitu pihak yang melakukan penawaran. 17 5. Unsur-unsur Perjanjian Dengan mencermati isi prestasi dari suatu perjanjian, maka dapat dikelompokkan dalam tiga unsur perjanjian, yaitu : a. Unsur Essensialia Unsur essensialia adala unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur ini perjanjian tidak mungkin ada. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur essensialia adalah sesuatu yang harus ada, merupakan hal pokok yang harus ada dalam suatu perjanjian.18 Tanpa hal pokok tersebut maka tidak ada perjanjian. Contohnya dalam perjanjian jual beli, maka barang dan harga merupakan unsur essensialia. Pada perjanjian riil, syarat penyerahan obyek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur essensialia dari suatu perjanjian masing-masing berbeda, atau yang membedakan antara perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya. dalaam jual beli sekurang-kurangnya harus ditentukan mengenai barang dan harganya, untuk hal yang lain dapat diabaikan, sedangkan dalam perjanjian yang lain, disyaratkan menyebut hal-hal pokok yang harus dicantumkan dalam perjanjian (important in highest degree). 17 J. Satrio, 2001, op.cit, hal. 257-262. Ibid, hal. 60, baca juga Rai Wijaya, 2004, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Bekasi, 18 hal 118. 24 Dalam suatu perjanjian untuk dapat membedakan perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya, dapat diketahui dari unsur essensialia dan causa perjanjian. Causa adalah tujuan yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak dengan menutup perjanjian tersebut.19 Unsur essensialia dan causa perjamnjian yang satu berbeda dengan perjanjian lainnya, karena setiap perjanjian mempunyai caausa atau tujuannya sendiri yang khas, meskipun kadang terdapat kemiripan. Misalnya antara perjanjian jual beli dengan perjanjian sewa menyewa, kedua perjanjian ini unsur essensialianya sama yaitu : barang dan harga. Akan tetap causa kedua perjanjian tersebut berbeda, pada perjanjian jual beli causanya adalah penyerahan barang untuk dimiliki pihak lain (pembeli) jadi ada penyerahan barang dan penyerahan hak milik, sedangkan dalam perjanjian sewa menyewa causanya adalah penyerahan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan hak miliknya tetap ada pada pihak pemberi sewa. b. Unsur Naturalia Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang di atur tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau di ganti 20 . Unsur ini sebenarnya merupakan bagian-bagian isi perjanjian yang secara umum patut, dan adil bagi para pihak karena merupakan konsekuensi logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang 19 J. Satrio, op,cit, hal. 60. 20 Ibid. 25 pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian sebagaimana logisnya. Unsur naturalia ini oleh undang-undang diatur dengan hukum yang bersifat mengatur atau menambah (regelend rech atau aanvullend rech). Jadi, melalui aturan yang bersifat menambah ini pembuat undang-undang telah menfiksikan kehendak para pihak rata-rata umumnya orang dalam membuat perjanjian. Secara logis (natural) seseorang yang dalam suatu perjanjian misal nya jual beli diwajibkan untuk menyerahkan hak milik atas kebendaan tertentu, sebagai konsekuensi logisnya ia diwajibkan pula untuk menjamin bahwa kebendaan yang diserahkan tersebut aman dari tuntutan pihak ketiga dan bebas dari cacat tersembunyi ( Pasal 1491 KUH Perdata). Tanpa memperjanjikan hal ini pun ketentuan pasal tersebut berlaku secara otomatis menambah isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disingkirkan dengan mengaturnya secara lain melalui kesepakatan kedua belah pihak. Contohnya adalah kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin (vrijwaren) dari cacat tersembunyi (Pasal 1491), semua itu dapat disimpangi atas dasar kesepakatan bersama. c. Unsur Accidentalia Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut21. 21 Ibid. 26 Semua janji-janji dalam suatu perjanjian yang sengaja dibuat untuk menyimpangi ketentuan hukum yang menambah merupakan unsur accidentalia22. Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang umumnya telah mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui ketentuan yang bersifat menambah. Meskipun demikian kadang-kadang terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa mengaturnya sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri. Dengan demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang dibuat oleh para pihak karena undang-undang (yang bersifat menambah) tidak mengaturnya atau berupa janji-janji yang dibuat para pihak dalam hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut. 6. Akibat Hukum Perjanjian KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 yang berjudul tentang akibat hukum perjanjian, dibuka dengan Pasal 1338 yang menyatakan : “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.“ Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat “ secara sah “ berarti memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian yaitu ada kesepakatan untuk membuat perjanjian, mereka yang bersepakat adalah orang yang cakap untuk membuat perjanjian, prestasinya tertentu dan tujuan para pihak 22 Ibid., hal 73. 27 mengadakan perjanjian secara jelas tidak melanggar ketentuan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-undang yang mengikat orang terhadap siapa undang-undang berlaku. Perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara para pihak yang membuatnya untuk membatalkan perjanjian yang telah ada tersebut. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian. Sampai kapankah perjanjian mengikat atau sampai kapan suatu perjanjian itu berakhir ? Pada asasnya perjanjian berakhir kalau akibatakibat hukum yang dituju telah selesai terpenuhi. 7. Risiko Yang dimaksud dengan risiko adalah suatu kewajiban untuk menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari salah satu pihak.23 Hal itu berarti risiko berpokok pangkal pada suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, atau dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang didalam hukum dinamakan : keadaan memaksa. Dengan demikian maka risiko adalah merupakan kelanjutan dari keadaan memaksa. 23 A. Qirom Syamsudin Meliala, op.cit, hlm. 49. 28 a. Resiko pada Perjanjian Sepihak Pasal 1237 KUH Perdata : “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Ketentuan ini terletak pada bab tentang perikatan pada umumnya; jadi disini diatur tentang perikatan dalam bentuk dasarnya yaitu hubungan dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak (kreditur) dan dilain pihak ada kewajiban (debitur). Bentuk perikatan seperti ini muncul pada perjanjian sepihak, seperti pada hibah. Berdasarkan ketentuan tersebut benda yang harus diserahkan menjadi tanggungan kreditur. Disini tidak dibicarakan siapa yang bersalah, tetapi hanya dikatakan yang menanggung kerugian adalah kreditur; maka ---ditafsirkan bahwa--- kalau terjadi kerugian pada benda tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah atas kerugian itu, yang menanggung adalah kreditur. Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah atau rusak karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang” (kreditur), yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Dalam bahasa hukum dikatakan pada perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak resiko ada pada kreditur. 29 b. Resiko pada Perjanjian Timbal Balik Dalam perjanjian timbal balik prestasi yang satu berkaitan erat sekali dengan prestasi yang lain; dijanjikannya prestasi yang satu adalah dengan memperhitungkan akan diterimanya prestasi yang lain. Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal-balik, dimana kedua belah pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi, dapat kita simpulkan dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga samasekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.” Disini ditentukan, apabila suatu barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar salahnya si berutang maka perikatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian menjadi hapus; dan karena seluruh perikatan hapus, maka dengan sendirinya pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut sesuatu apapun antara yang satu terhadap yang lain. Hal itu berarti apabila barang yang menjadi obyek perjanjian timbal-balik selama belum diserahkan telah musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang diluar salahnya salah satu pihak, maka risikonya ditanggung oleh pemilik; Karena terhadap barang miliknya, pemilik yang harus menyerahkan barangnya, berkedudukan sebagai debitur, maka disini dikatakan risiko kerugian dipikul oleh debitur. 30 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, resiko pada perjanjian timbal-balik ditanggung oleh pemilik atau debitur. Karena Pasal 1444 KUH Perdata ini termuat dalam Bagian Umum Buku III KUH Perdata, maka pasal tersebut merupakan ketentuan umum tentang resiko yang menjadi pedoman bagi perjanjian-perjanjian pada umumnya. Pasal 1237 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko bagi perjanjian sepihak. Sedangkan Pasal 1444 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko bagi perjanjian timbal-balik. Kecuali perihal resiko ini diatur dalam pasal-pasal Bagian Umum Buku III KUH Perdata yang menjadi pedoman bagi perjanjian pada umumnya, yang dirasakan mengatur tentang resiko itu sudah seadilnya, perihal resiko juga diatur dalam pasal-pasal Bagian Khusus Buku III KUH Perdata tentang perjanjian-perjanjian tertentu pada pasal-pasal tertentu pula. Misalnya dalam perjanjian jual-beli resikonya diatur pada Pasal 1460, 1461 dan 1462 KUH Perdata, dalam perjanjian tukarmenukar resikonya diatur pada Pasal 1545 KUH Perdata, selanjutnya dalam perjanjian sewa-menyewa resikonya diatur dalam Pasal 1553 KUH Perdata dan lain sebagainya. Pasal-pasal KUH Perdata yang megatur resiko dalam perjanjianperjanjian jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-mnyewa itu dirasakan sebagai sudah seadilnya sesuai dengan Pasal 1444 KUH Perdata. Kecuali Pasal 1460 KUH Perdata yang mengatur resiko secara tidak adil, 31 sehingga Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 tahun 1963 menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi. Kemudian bilamana ketentuan mengenai resiko ini kita hubungkan dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa semua orang dapat membuat perjanjian yang bagaimanapun isinya asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai resiko ini inkonkreto diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk mengatur dan menentukan sendiri sedemikian rupa, bagaimana perihal resiko itu diinginkan mereka. C. Perjanjian Sewa Menyewa 1. Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam babVII Buku III KUH Perdata yang berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “ Perjanjian sewamenyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah disanggupi pembayaranya.” 32 Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire . Sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.24 Yahya Harahap menyebutkan bahwa : “sewa- menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”.25 Menurut Wiryono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada pemilik. 26 Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian sewa-menyewa di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa, yaitu: a. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri Pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak yang mempunyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu pihak yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri, kepentingan pihak lain, atau kepentingan badan hukum tertentu. 24 Kamus Besar Bahasai Indonesia, hal 833. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, hal 240. 26 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, hal 25 190. 33 b. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa Barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik bergerak maupun tidak bergerak. Harga adalah biaya sewa yang berupa sebagai imbalan atas pemakaian benda sewa. Dalam perjanjian sewa-menyewa pembayaran sewa tidak harus berupa uang tetapi dapat juga mengunakan barang ataupun jasa (pasal 1548 KUH Perdata). Hak untuk menikmati barang yang diserahkan kepada penyewahanya terbatas pada jangka waktu yang ditentukan kedalam perjanjian.27 c. Ada kenikmatan yang diserahkan Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan barang yang disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak yang menyewakan akan memperoleh kontra prestasi berupa uang, barang, atau jasa menurut apa yang diperjanjikan sebelumnya. Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat diantara para pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa-menyewa yaitu barang dan harga. Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa-menyewa sehingga perjanjian sewamenyewa dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewamenyewa dalam praktek khususnya sewa-menyewa bangunan dibuat dalam bentuk tertulis. 2. Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa menyewa 27 hlm 40. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cetakan ke sepuluh, CV. Citra Aditya Bakti, Bandung, 34 Pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian sewa-menyewa adalah : a. Pihak yang menyewakan Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan didalam sewa-menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang disewakan. b. Pihak Penyewa Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan. Obyek barang yang dapat disewakan menurut Hofmann dan De Burger, yang dapat di sewa adalah barang bertubuh saja, namun ada pendapat lain yaitu dari Asser dan Van Brekel serta Vollmar berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang yang bertubuh saja yang dapat menjadi obyek sewa melainkan hak-hak juga dapat disewa, pendapat ini diperkuat dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember 1922 yang menganggap kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk memburu hewan (jachtrecht).28 28 Wiryono Projodikoro, Op. cit, hlm 50. 35 Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan. Perjanjian sewa-menyewa menurut Van Brekel, bahwa harga sewa dapat berwujud barang-barang lain selain uang, namun barag-barang tersebut harus merupakan barang-barang bertubuh, karena sifat dari perjanjian sewa-menyewa akan hilang jika harga sewa dibayar dengan suatu jasa. Pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat dari Subekti yang berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa. 29 Jadi obyek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak berwujud. 3. Hak dan Kewajiban a. Hak dan Kewajiban Para pihak Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian timbal balik sehingga ada hak dan kewajiban yang membebani para pihak yang melakukan perjanjian. Kewajiban pihak yang menyewakan dapat 29 Subekti, Op. cit, hlm 91. 36 ditemukan di dalam pasal 1550 KUH Perdata. Kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu : 1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa. 2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan. 3) Memberikan si penyewa kenikmatan yang terteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa-menyewa. Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut bukan hak miliknya. Tentang pemeliharaan barang yang disewakan pihak yang menyewakan barang diwajibkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan atas barang yang disewakan. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1551 ayat (2) KUH Perdata yang berbunyi: “Ia harus selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu dilakukan kecuali pembetulanpembetulan yang menjadi wajibnya si penyewa.” Pasal 1552 KUH Perdata mengatur tentang cacat dari barang yang disewakan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menanggung semua cacat dari barang yang dapat merintangi pemakaian barang yang disewakan walaupun sewaktu perjanjian dibuat pihak-pihak tidak mengetahui cacat tersebut. Jika cacat tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak penyewa maka pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menganti kerugian. 37 Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak milik atas barangnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 1556 dan 1557 KUH Perdata. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan ganguan dan rintangan tersebut telah di beritahukan kepada pemilik. Akan tetapi pihak yang menyewakan tidak diwajibkan untuk menjamin sipenyewa terhadap rintangan-rintangan dalam menggunakan barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan tuntutan atas hak milik atas barang sewa. Pihak yang menyewakan disamping dibebani dengan kewajiban juga menerima hak. Hak-hak yang diperoleh pihak yang menyewakan dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1548 KUH Perdata, yaitu: 1) Menerima uang sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian; 2) Menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibanya dengan baik. Pasal 1560, 1564, dan 1583 KUH Perdata menentukan bahwa pihak penyewa memiliki kewajiban-kewajiban, yaitu: 1) Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut 38 perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan 2) Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. 3) Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa. 4) Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat. Pihak penyewa memiliki hak, yaitu: 1) Menerima barang yang disewa 2) Memperoleh kenikmatan yang terteram atas barang yang disewanya selama waktu sewa. 3) Menuntut pembetulan-pembetulan atas barang yang disewa, apabila pembetulan-pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang menyewakan. 4. Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian. 30 Risiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. 30 Subekti, Op. cit, hlm 92 39 Pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang / obyek sewa. Musnahnya barag yang menjadi obyek perjajian sewamenyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : a. Musnah secara total (seluruhnya) Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal. b. Musnah sebagian Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu : 40 1) Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa. 2) Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa. 5. Mengulang sewakan dan melepas sewa kepada pihak ke tiga Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan obyek sewa kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik obyek sewa. Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang, yang disewanya, ataupun melepas sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.” Dari ketentuan Pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata dapat diketahui bahwa : a. Mengulang sewakan obyek sewa kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh seorang penyewa, apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa menyewa atau disetujui oleh para pihak; b. Jika pihak penyewa mengulang sewakan obyek sewa tanpa ijin, pihak yang menyewakan dapat menuntut pembatalan perjanjian sewa dan setelah pembatalan tidak tunduk pada perjanjian ulang sewa. Perbuatan hukum berupa melakukan sewa ulang atau melepaskan sewa, keduanya adalah dilarang; kecuali memang telah diperjanjikan sebelumnya antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan. Yang 41 dimaksud dengan mengulang sewakan adalah pihak penyewa bertindak sendiri sebagai pihak yang menyewakan obyek sewa dalam suatu perjanjian sewa menyewa yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga. Sedangkan yang dimaksud dengan melepaskan sewanya adalah pihak penyewa mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk menggantikan kedudukannya sebagai penyewa, sehingga pihak ketiga berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan. 6. Berakhirya Perjanjian Sewa Menyewa Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai berakhirnya perjanjian sewa menyewa dibedakan berdasarkan bentuk perjanjiannya, yaitu apakah sewa menyewa itu dibuat secara tertulis ataukah dilakukan secara lisan, dan juga apakah perjanjian sewa menyewa itu dibuat dengan batas waktu ataukah tidak. Dengan demikian pembedaan itu didasarkan pada dua hal, yaitu bentuk perjanjian dan ketentuan waktu. Berikut ini uraian mengenai berakhirnya perjanjian sewa menyewa. a. Perjanjian sewa menyewa dengan batas waktu. 1) Perjanjian sewa menyewa tertulis. Dalam Pasal 1570 KUH Perdata disebutkan bahwa : “ jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”. Dengan demikian apabila perjanjian sewa menyewa dibuat secara tertulis, maka perjanjian itu berakhir setelah jangka waktu sewa 42 selesai. Untuk pengakhirannya tanpa harus didahului adanya pemberitahuan atau somasi. 2) Perjanjian sewa menyewa lisan. Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang telah ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.” b. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya. Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewamenyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak. c. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus 1) Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan 43 mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan. 2) Putusan Pengadilan Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981. 3) Benda obyek sewa-menyewa musnah Pasal 1553 KUH Perdata mengatur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht). 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.31 B. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti.32 Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan secara umum, akan tetapi berupa analisis yang mendalam terhadap obyek yang diteliti. C. Bahan Hukum a. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat33. Bahan hukum primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah semua peraturan yang berkaitan dengan pengaturan mengenai perjanjian sewa menyewa. 31 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal..37. 32 Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.. 35. 33 Ibid, hal.. 113. 45 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder yang digunakan dengan penelitian ini terdiri dari literatur hukum, hasil penelian para sarjana dan berbagai artikel perjanjian sewa menyewa. D. Metode Pengambilan Bahan hukum a. Bahan hukum primer diperoleh dengan melakukan inventarisasi hukum, mempelajari, mencatat dan mensistematisasi berbagai peraturan mengenai sewa menyewa. b. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dokumen resmi, literatur, hasil penelitian dan artikel ilmiah yang relevan. E. Metode Penyajian Bahan Hukum Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. F. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menginterpretasikan hasil penelitian berlandaskan pada teoriteori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.34 Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. 34 hal..93. Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap data sekunder berupa perjanjian sewa lokasi pemasangan reklame dengan pokok-pokok sebagai berikut : 1. Subyek Perjanjian : 1.1. Pemberi sewa adalah Suprayogi, selaku Direktur PT. Maju Makmur Abadi yang berkedudukan di. Jl. Gadjah Mada No. 56 Semarang. 1.2. Penyewa adalah Handoko selaku Direktur PT. Hannochs, yang berkedudukan di Jl. Kartini No. 35 Jakarta Pusat. 2. Lingkup Perjanjian : Pihak Pertama member ijin kepada Pihak Kedua yang menyatakan setuju menyewa lokasi Billboard milik Pihak Pertama untuk mempromosikan produk milik Pihak Kedua dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka, vertikal, frontlite yang dipasang pada konstruksi milik Pihak Pertama yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang. 3. Jangka Waktu Sewa : Jangka waktu untuk pemasangan billboard tersebut selama 1 ( satu ) tahun terhitung sejak visual / MMT billboard pertama kali dipasang dan bisa diperpanjang dengan kententuan selambat-lambatnya 2 ( dua ) bulan sebelum masa kontrak berakhir. 4. Harga Sewa : 47 4.1. Harga kontrak sewa lokasi tersebut sebesar Rp.135.000.000, (Seratus Tiga Puluh Lima Juta Rupiah) belum termasuk PPN 10%. 4.2. Harga kontrak tersebut diatas termasuk penyediaan berbagai fasilitas berupa : a. Perijinan dan pajak reklame selama 1 (satu) tahun. b. Sewa lahan pemkot selama 1 ( Satu ) tahun. c. Sewa konstruksi dan panel billboard 1 muka selama 1 ( satu ) tahun . d. Sambungan listrik dan instalasinya. e. Lampu penerangan HPIT @ 400W= 4 unit menyala mulai pukul 17.30 s/d 05.00 WIB. f. Rekening listrik bulanan selama 12 ( dua belas ) bulan . g. Perawatan selama 1 (m satu ) tahun. h. Dua (2) kali cetak materi visual Flexface Fronlite ( MMT ) 5 x 10m. i. Gratis biaya pemasangan materi visual selama dua (2) kali selama masa kontrak. j. Maintenance. 5. Pembayaran : 5.1. Uang sewa harus dibayar sebesar 50% saat penandatangan kontrak sewa billboard. 5.2. Pembayaran pelunasan setelah pekerjaan selesai yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan. 48 5.3. Pembayaran dilakukan melalui transfer ke rekening bank yaitu BCA Cabang Semarang Barat an. PT. Maju makmur Abadi No. Rek. 420xxxxxx. 6. Hak dan Kewajiban : 6.1. Pemberi sewa memberikan persetujuan dan ijin untuk menampilkan produk milik Penyewa selama masa kontrak. 6.2. Pemberi sewa menjamin tidak akan ada tuntutan dari pihak manapun sehubungan dengan pemasangan Billboard di lokasi tersebut, namun apabila hal tersebut terjadi, maka Penyewa bebas dari segala tuntutan, dan Pemberi sewa juga menjamin bahwa papan reklame / billboard yang terpasang tidak tertutup atau terhalang bangunan / apapun didepanya sehingga dapat terlihat oleh khalayak umum. 6.3. Apabila dikemudian hari Pemkot Kota Semarang mengeluarkan peraturan baru atau peraturan tambahan yang mengakibatkan reklame dimaksud ditiadakan, sedangkan masa kontrak belum berakhir maka kedua belah pihak sepakat untuk mencari lokasi pengganti yang tata letaknya bisa diterima oleh kedua belah pihak. 7. Pembongkaran Reklame : 7.1. Apabila jangka waktu perjanjian berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh Penyewa, maka Pemberi Sewa akan menurunkan visual Reklame beserta lampu-lampu yang telah terpasang dibeberapa lokasi dalam jangka waktu 14 ( empat belas ) hari kerja terhitung sejak pihak Pemberi Sewa menerima konfirmasi tertulis dari Penyewa. 49 7.4. Biaya pembongkaran dan pemasangan kembali papan reklame menjadi beban dan tanggung jawab Pemberi Sewa. 8. Force Majeure : 8.1.Tidak satupun pihak dalam perjanjian ini yang bertanggung jawab atas kegagalan dalam melaksanakan ketentuan–ketentuan perjanjian ini atau mengakhiri perjanjian ini apabila pelaksanaan kewajiban tertunda, tidak dapat dilaksanakan atau terganggu oleh alasan-alasan force majeure, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Gempa bumi, taufan, banjir, tanah longsor, badai asteroid atau bencana alam lainnya, bencana ruang angkasa, kontaminasi radio aktif, pemberontakan, penyanderaan, hura-hura, demonstrasi, pencurian, sabotase dan perang. b) Pemogokan umum, penutupan tempat kerja sehubungan dengan ancaman pemogokan , perselisihan perburuan , penghentian kerja, embargo, atau kesulitan perburuhan. c) Setiap peraturan hukum atau peraturan pemerintah lainnya termasuk dicabutnya ijin penggunaan lokasi oleh pihak yang berwenang dan kebijaksanaan permerintah yang berakibat langsung terhadap pembangunan dan penggunaan obyek Sewa. 8.2. Apabila salah satu pihak terkana salah satu kejadian tersebut diatas, maka pihak tersebut harus segera memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya tentang penyebab dan akibatnya dalam jangka waktu 14 hari kalender. 50 8.3. Pemberi sewa akan menanggulangi kerusakan yang disebabkan oleh kejadian Force Majeure secepatnya dan segera memberikan sesuatu perkiraan waktu untuk penyelesaiannya kepada Penyewa. Untuk biaya perbaikan atas kerusakkan Billboard yang disebabkan oleh kejadian Force Majeure menjadi tanggungan Penyewa. 8.4. Jangka waktu yang hilang selama perbaikan akan diperhitungkan kembali berdasarkan kesepakatan Para Pihak dan diatur secara tertulis serta ditandatangani oleh kedua belah pihak. 8.5. Apabila kejadian-kejadian diatas berlangsung terus menerus untuk jangka waktu selama 30 hari kalender berturut-turut, maka Para Pihak dapat menghentikan sementara Perjanjian ini selama 30 hari kalender atau melakukan pengakhiran perjanjian. 8.6. Selama jangka waktu penghentian sementara, Para Pihak akan berusaha untuk mengambil semua tindakkan yang diperlukan untuk mencegah atau mengurangi gangguan sehingga papan reklame dapat segera dipasang kembali. 9. Sanksi dan Denda 9.1. Apabila : dalam jangka waktu 60 hari kerja terhitung sejak penandatangan perjanjian ini Pemberi sewa tidak berhasil memasang Billboard dan bukan disebabkan oleh keadaan force majeure, maka Pemberi Sewa akan dikenakan denda sebesar 1% ( satu persen ) perhari terhitung dari Billboard yang belum terpasang. Denda keterlambatan ini hanya berlaku untuk 30 ( tiga puluh ) hari. 51 9.2. Apabila waktu 30 hari sebagaimana tersebut diatas telah lewat dan Pemberi Sewa masih juga belum dapat menyelesaikan pekerjaannya, maka wajib mengembalikan biaya pekerjaan yang telah dibayarkan dan Penyewa berhak membatalkan perjanjian ini secara sepihak. Biaya pekerjaan yang akan dikembalikan oleh Pemberi Sewa akan disesuaikan dengan biaya pekerjaan perlokasi yang dapat terpasang Billboard. 9.3. Apabila keterlambatan pemasangan dikarenakan kelalaian Pihak Penyewa antara lain kertelambatan persetujuan proof desain maka sanksi dan denda tersebut di atas tidak berlaku. Proof desain yang telah disetujui oleh Penyewa diterima oleh Pemberi Sewa paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak surat Perjanjian ditanda-tangani. B. Pembahasan Pembahasan yang akan dilakukan dalam penulisan hukum ini adalah untuk memperoleh jawaban dari perumusan masalah yaitu pertama tentang penafsiran terhadap pengertian atas benda obyek sewa khususnya dalam peristiwa perjanjian sewa papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi dan cara menyerahkan benda obyek sewa dalam perjanjian sewa papan reklame tersebut. Untuk itu pembahasan akan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama pembahasan yang bersifat teoritis tentang perjanjian sewa-menyewa akan diuraikan dalam Pembahasan Umum, selanjutnya pembahasan dilanjutkan dengan menganalisis pelaksanaan 52 perjanjian sewa papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi. 1. Pembahasan umum Pembahasan teoritis tentang perjanjian sewa-menyewa adalah kajian untuk memahami bagaimanakah KUH Perdata memberikan perumusan perjanjian sewa-menyewa, sebagai pengantar untuk membahas hubungan hukum para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa. Dalam KUH Perdata perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Buku III Bab 7, bagian 1 mengatur pengertian sewa dan benda-benda yang dapat disewakan yaitu benda bergerak dan benda tak bergerak. Akan tetapi bagian 2 dan 3 dan 4, hanya mengatur tentang sewa tanah, rumah dan isi rumah (huis raad) seperti mebel, alat-alat dapur dan lain sebagainya dan sewa tanah pertanian Sehingga untuk sewa-menyewa benda-benda bergerak lainnya, Pasal-pasal dalam KUH Perdata digunakan secara analogi. Pasal 1548 KUH Perdata menyatakan : “Sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.” Berdasarkan rumusan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa : Essesnsi dari perjanjian sewa-menyewa adalah “kenikmatan atas suatu benda” dan “uang” harga sewa; Causa atau tujuan para pihak dalam menutup perjanjan sewa adalah : pihak yang satu berkehendak menyerahkan kenikmatan atas suatu benda dalam jangka waktu tertentu, dan kehendak pihak lain untuk membayar 53 harganya. Sistem Hukum Perjanjian mengajarkan bahwa nama dari suatu perjanjian merupakan suatu rumusan pengertian yang menunjukkan prestasi pokok para pihak dalam perjanjian dimaksud. Dengan demikian berdasarkan rumusan perjanjian sewa tersebut dapat dipahami kewajiban pokok para pihak adalah sebagai berikut : - Kewajiban pemberi sewa adalah menyerahkan kenikmatan atas suatu benda. Kewajiban pokok pemberi sewa mendapat penjabaran dalam Pasal 1550 KUH Perdata yang menyatakan adanya tiga macam kewajiban yaitu : 1) menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa; 2) memelihara barang sedemikian rupa, sehingga barangnya dapat dipakai untuk keperluan dimaksud; 3) memberikan ketenteraman menikmati barang yang disewakan selama sewa berjalan. - Kewajiban penyewa adalah membayar uang sewa. Kewajiban pokok penyewa mendapat penjabaran dalam Pasal 1560 KUH Perdata yang menyatakan adanya tiga macam kewajiban yaitu : 1) memakai barang yang disewa secara sangat hati-hati (als een goed huisvader) dan menurut tujuan serta maksud menurut perjanjian sewa; 2) membayar uang sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. 54 Untuk memahami bagaimana makna benda sebagai obyek sewa, pertama-tama harus diawali dengan analisis mengenai hak milik sebagai dasar munculnya hak-sewa. Pasal 570 KUH Perdata menentukan bahwa : “Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan ………….. “ Berdasarkan rumusan tersebut dapat dipahami bahwa ada dua hak yang merupakan isi dari hak milik yaitu : 1) hak untuk menikmati sesuatu benda dengan leluasa (genotsrecht) dan 2) hak untuk berbuat bebas terhadap bendanya (beschikkingsrecht). Yang dimaksud dengan hak menikmati (genotsrect) adalah hak memakai benda sesuai dengan sifatnya benda, termasuk dalam pengertian ini adalah memetik hasilnya. Adapun hak untuk berbuat bebas terhadap bendanya (beschikkingsrecht) dibedakan menjadi dua arti. Pertama, perbuatan materiil yaitu perbuatan yang tertuju pada materi bendanya seperti memelihara, merubah, memperbaiki bahkan merusaknya. Yang kedua, perbuatan hukum, yaitu perbuatan-perbuatan yang diatur oleh hukum terhadap bendanya, seperti : meminjamkan, menitipkan, menjual dan menyewakan. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi obyek perjanian sewa adalah benda hak milik, sedangkan yang diserahkan kepada penyewa adalah hak menikmatinya (genotsrecht) saja, bukan hak miliknya. Mengenai benda apa yang dapat disewakan ?, Pasal 1548 KUH Perdata hanya menyebutkan benda (zaak) saja. Menurut doktrin benda yang 55 dapat disewakan meliputi baik benda berwujud (lichmellijk zaken) maupun benda tidak berwujud (onlichamelijk zaken) yang berupa “hak.” Hal ini ditunjukkan oleh Pasal 772 KUH Perdata yang mengijinkan seorang yang mempunyai hak memungut hasil atas suatu benda, boleh menyewakan hak memungut hasilnya kepada orang lain. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa benda yang dapat disewakan adalah benda hak milik, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan orang yang dapat menyewakan adalah pemilik, karena dia-lah yang wenang bertindak bebas terhadap bendanya (bescikking bevoegdheid). Bagaimana kalau benda sewa di sewakan lagi ? Hal itu diatur dalam Pasal 1559 KUH Perdata yang menyatakan meneruskan sewa hanya dapat terjadi apabila diperbolehkan dalam perjanjian sewa-menyewa yang semula (asli). Kalau tidak dan kemudian bendanya toh disewakan lagi kepada seorang pihak ketiga, maka pihak yang menyewakan semula dapat menuntut pembatalan dengan disertai ganti rugi. Dan dengan ini pecah pula perjanjian sewa-menyewa yang diadakan antara penyewa dengan pihak ketiga. Pasal 1559 KUH Perdata menggunakan dua istilah yang berbeda tentang penyewaan terus, yaitu : - menyewakan lagi (wederverhuren), artinya, dengan mempertahankan perjanjian sewa-menyewa yang semula (asli), si penyewa mengadakan perjanjian sewa-menyewa baru dengan seorang pihak ketiga, dalam mana ia bertindak sebagai pihak yang menyewakan. 56 - menyerahkan sewanya kepada orang lain (zijn huur aan een ander afstaan), artinya, penyerahan segala hak dan kewajiban si penyewa kepada seorang pihak ketiga, sehingga seorang pihak ketiga itu selaku penyewa baru mempunyai hubungan langsung dengan pihak yang menyewakan semula. Bagaimana penyerahan kemikmatan atas benda yang di sewakan ? Berdasarkan rumusan dari perjanjian sewa dalam Pasal 1548 KUH Perdata dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud “hak sewa” adalah : hak untuk menikmati benda orang lain (milik pemberi sewa) untuk sementara waktu dengan membayar sejumlah uang. Selanjutnya Pasal 1550 KUH Perdata memberikan kepada pemberi sewa suatu kewajiban pokok yaitu : menyerahkan (leveren) bendanya kepada penyewa. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa, menurut KUH Perdata agar penyewa dapat menikmati suatu benda yang disewa, maka penyewa harus menguasai bendanya. Dengan demikian yang dimaksud dengan penyerahan benda sewa adalah penyerahan kekuasaan atas benda sewa, sedangkan hak milik tetap berada pada pemberi sewa. Mengenai bagaimana cara melakukan penyerahan kekuasaan atas benda sewa, ketentuan-ketentuan tentang perjanjian sewa-menyewa dalam KUH Perdata, sama sekali tidak mengatur. Untuk lebih memahami tentang penyerahan kekuasaan dalam arti hukum, maka perlu dikemukakan disini mengenai makna penyerahan (levering) dalam ranah hukum Benda. 57 Penyerahan (deliverance) mengandung dua aspek yaitu penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (juridische levering). 1) Penyerahan nyata (feitelijke levering); yaitu penyerahan kekuasaan nyata atas bendanya, sehingga orang lain (yang menerima) secara nyata menguasai benda itu.35 Tujuannya adalah untuk memberikan kekuasaan atau kenikmatan atas bendanya; yang ditonjolkan dalam penyerahan ini adalah penyerahan phisik. Cara penyerahan nyata tidak diatur dalam undang-undang. Penyerahan nyata tercapai jika si penerima telah mampu untuk melakukan kekuasaan seperti kekuasaan yang dapat dilakukan sendiri oleh orang yang memindahkannya. 36 Penyerahan nyata atas benda tidak bergerak dilakukan dengan mengosongkan tanah atau bangunan dan membuka pagar, dan memberikan kunci.37 2) Penyerahan yuridis (juridische levering); yaitu penyerahan kekuasaan hukumnya. Tujuannya adalah memberikan hak kebendaan-nya (hak milik); oleh karena itu yang ditonjolkan dalam penyerahan ini adalah pengoperan haknya. Berlainan dengan penyerahan nyata yang tidak perlu diatur, maka penyerahan yuridis inilah yang memang harus diatur dalam undang-undang. Tidak mengikuti cara penyerahan yuridis yang ditentukan mengakibatkan tidak sahnya penyerahan yang dilakukan. 35 Chidir Ali, 1979, Hukum Perdatra I (Hukum Benda), Fakultas Hukum UNPAD, Tidak Diterbitkan, hal 47. 36 Soetojo Prawirohamidjojo danMartalena Pohan, 1984, Bab-bab tentang Hukum Benda, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 61. 37 Ko Tjay Sing, tanpa tahun, Hukum Perdata Jilid II Hukum Benda (Diktat Lengkap), tidak diterbitkan. Semarang., hal 179. 58 2. Perjanjian sewa lokasi papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi. Dari data no. 1 mengenai subyek perjanian, data no. 2 lingkup perjanjian dan data no. 3 mengenai harga sewa, dapat dideskripsikan bahwa telah terjadi perjanjian sewa antara PT. Maju Makmur Abadi dengan PT. Hannochs, yang isinya PT. Maju Makmur Abadi memberi ijin kepada PT. Hannochs yang menyatakan setuju menyewa lokasi Billboard milik PT. Maju Makmur Abadi untuk mempromosikan produk milik PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka, yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang. Untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dan Penyewa mengikatkan diri untuk membayar uang sewa sebesar Rp. 135.000.000,-. Apabila hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan pengertian Essesnsi dari perjanjian sewa-menyewa yaitu “kenikmatan atas suatu benda” dan “uang” harga sewa, maka dapat dinyatakan bahwa essensi perjanjian tersebut adalah : “pemakaian lokasi papan reklame (billboard) untuk mempromosikan produk” dan “harga sewa,” maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian tersebut telah memenuhi unsur essensial perjanjian sewa. Apabila hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan pengertian Causa atau tujuan para pihak dalam menutup perjanjan sewa adalah : pihak yang satu berkehendak menyerahkan kenikmatan atas suatu benda dalam jangka waktu tertentu, dan kehendak pihak lain untuk membayar harganya, maka dapat dinyatakan bahwa Causa dalam perjanjian sewa tersebut adalah : 59 - PT. Maju Makmur Abadi berkehendak menyerahkan “pemakaian lokasi papan reklame (billboard) yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang.” untuk mempromosikan lampu neon produksi PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka” - PT. Hannochs berkehendak membayar harga sewa sebesar Rp. 135.000.000,- untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Dengan telah terpenuhinya unsur essensial dan causa perjanjian sewamenyewa maka dapat dinyatakan bahwa antara PT. Maju Makmur Abadi dan PT. Hannochs telah terjadi perjanjan sewa-menyewa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1548 KUH Perdata, dengan rincian : - Pemberi sewa : PT. Maju Makmur Abadi. - Penyewa : PT. Hannochs - Obyek sewa : Pemakaian lokasi papan reklame (billboard) di Jl. Ahmad Yani Semarang” untuk mempromosikan lampu neon pro duksi PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka” Berdasarkan uraian tersebut maka kewajiban pokok PT. Maju Makmur Abadi.sebagai pemberi sewa adalah menyerahkan kenikmatan (genotsrecht) berupa : “pemakaian lokasi papan reklame (billboard) di Jl. Ahmad Yani Semarang untuk mempromosikan lampu neon produksi PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka” atas benda sewa. 60 a. Tentang benda sewa Kewajiban pokok pemberi sewa mendapat penjabaran dalam Pasal 1550 KUH Perdata yang menyatakan kewajiban pokok pemberi sewa adalah : “menyerahkan benda yang disewakan kepada penyewa.” Untuk memberikan pemahaman tentang benda sewa tersebut, maka perlu dianalisis tentang kedudukan pihak PT. Maju Makmur Abadi terhadap lahan di Jl. Ahmad Yani Semarang, dalam skema berikut. Pemkot Semarang PT. Maju Makmur Abadi Pemberi sewa lahan Jl. Ahmad Yani Perjanjian Sewa lahan Pemberi Ijin Lokasi pemasangan iklan PT. Hannochs Penyewa lahan Jl. Ahmad Yani Pemegang Ijin Lokasi pemasangan iklan pemilik konstruksi papan reklame PT. Hannochs Perjanjian Sewa Papan reklame diatas lahan Jl Ahmad Yani Penyewa Papan reklame diatas lahan Jl Ahmad Yani PT. Maju Makmur Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha periklanan dalam bentuk media papan reklame, yang didirikan di atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang yang berlokasi di Jl Ahmad Yani Semarang. Dalam menjalankan usahanya langkah-langkah yang dijalankan adalah : 1) Menyewa lahan dengan Ijin Lokasi untuk pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang dari Pemerintah Kota Semarang, kemudian membangun konstruksi papan rekalme (Billboard). 61 2) Menyewakan Ijin Lokasi pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang tersebut untuk pemasangan materi visual (pamlet) lampu neon produksi PT. Hannoch pada papan reklame (Billboard). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hubungan sewamenyewa antara PT. Maju Makmur Abadi dan PT. Hannoch pada hakikatnya mengandung dua perjanjian sewa yaitu : 1) Perjanjian sewa papan reklame (Billboard) atas benda (hak) milik PT. Maju Makmur Abadi; 2) Perjanian sewa lokasi pemasangan papan reklame (Billboard), atas hak sewa Lokasi pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang milik Pemerintah Kota Semarang. Dalam sistem KUH Perdata, dibedakan dua kategori perjanjian sewa, yaitu “penyewaan asli” dihadapkan dengan “penyewaan terusan.” Persewaan asli mengandung pengertian, benda yang disewakan adalah milik pemberi sewa; sedang “persewaan terusan” artinya benda yang disewakan adalah benda yang disewa oleh pemberi sewa semula (asli). Dalam Pasal 1559 KUH Perdata yang mengatur tentang “penyewaan terus” dibedakan dua jenis perjanjian terusan, yaitu : - menyewakan lagi (wederverhuren), atau - menyerahkan sewanya kepada orang lain (zijn huur aan een ander afstaan). Apabila perjanjian sewa atas papan reklame (Billboard) milik PT. Maju Makmur Abadi, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1559 KUH 62 Perdata, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewanya termasuk dalam kategori “persewaan asli.” Apabila perjanjian sewa lokasi pemasangan papan reklame (Billboard), atas hak sewa lokasi pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang milik Pemerintah Kota Semarang ini dihubungkan dengan Pasal 1559 KUH Perdata yang mengatur tentang “penyewaan terus” ada dua kemungkinan jenis perjanjian sewanya yaitu : - menyewakan lagi (wederverhuren), atau - menyerahkan sewanya kepada orang lain (zijn huur aan een ander afstaan). Dari data hasil penelitian no. 4.2. tentang isi perjanjian sewa mengenai harga pembayaran harga kontrak, dapat dideskripsikan bahwa isi perjanjian sewa tersebut pada adalah bukan merupakan tindakan penyerahan segala hak dan kewajiban PT. Hannoch kepada Pemerintah Kota Semarang. Apabila hal ini dihubungkan dengan Pasal 1559 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa untuk perjanjian sewa lokasi pemasangan papan reklame (Billboard), atas benda (hak) sewa dari Pemerintah Kota Semarang, adalah termasuk dalam kategori Perjanjian menyewakan lagi (wederverhuren). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan sewamenyewa antara PT. Maju Makmur Abadi dan PT. Hannoch pada hakikatnya mengandung dua benda sewa yang dapat dipisahkan yaitu : 63 - Papan reklame (Billboard) berupa benda milik PT. Maju Makmur Abadi; - Hak sewa pemasangan papan reklame (Billboard) di Jl. Ahmad Semarang, di atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang. Konsekuensi dari Perjanjian menyewakan lagi (wederverhuren), adalah PT. Hannoch tidak mempunyai hubungan hukum langsung dengan Pemerintah Kota Semarang. b. Tentang penyerahan benda sewa Telah disebutkan bahwa “hak sewa” adalah : hak untuk menikmati benda orang lain (milik pemberi sewa) untuk sementara waktu dengan membayar sejumlah uang. Menurut KUH Perdata agar penyewa dapat menikmati benda yang disewa,, penyewa harus menguasai bendanya, sehingga yang dimaksud dengan penyerahan benda sewa adalah penyerahan kekuasaan atas bendanya bukan penyerahan hak milik atas bendanya. Dalam teori Hukum Benda penyerahan kekuasaan termasuk dalam kategori “penyerahan nyata” (feitelijke levering), yaitu penyerahan kekuasaan nyata atas bendanya, sehingga yang menerima secara nyata menguasai benda itu, dengan tujuan agar dapat memakai atau menikmati bendanya. Undang-undang tidak mengatur bagaimana penyerahan harus dilakukan, yang penting si penerima telah mampu untuk melakukan kekuasaan seperti kekuasaan yang dapat dilakukan sendiri oleh orang yang memindahkannya. 64 Dari hasil penelitian No. 2 tentang obyek perjanjian dapat dideskripsikan bahwa obyek perjanjian sewa adalah pemakaian papan reklame untuk promosi produk, di Jl. Ahmad Semarang, di atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang, dengan cara pemasangan materi visual (pamlet) lampu neon produksi PT. Hannoch pada papan reklame ukuran 5 m x 10 m 1 muka, vertikal, frontlite di Jl. Ahmad Yani Semarang. Dari hasil penelitian No. 4.2 tentang fasilitas benda sewa dapat dideskripsikan bahwa pemasangan materi visual (pamlet) dua muka pada konstruksi papan reklame dilakukan oleh PT. Maju Makmur Abadi. Dengan tindakan pemasangan materi visual (pamlet) secara gratis tersebut, maka PT. Hannoch berarti sudah dalam keadaan dapat menikmati atau memakai kegunaan benda sewa sesuai dengan tujuan perjanjian sewa. Apabila dari hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan makna dari pengertian penyerahan nyata (feitelijke levering), maka dapat disimpulkan bahwa “penyerahan nyata” (feitelijke levering) atas benda sewa berupa pemakaian papan reklame untuk promosi produk adalah berupa tindakan dari PT. Maju Makmur Abadi pemasangan materi visual (pamlet) secara gratis. Dalam Pasal 1551 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa pihak yang menyewakan wajib menyerahkan barangnya kepada si penyewa dalam keadaan terpelihara sebaik-baiknya. Wirjono Prodjodikoro 65 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian sebaik-baiknya adalah tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak. 38 Dari data hasil penelitian No. 4.2. dapat dideskripsikan bahwa Papan reklame tersebut diberi sambungan listrik dan instalasinya dengan lampu penerangan HPIT @ 400W = 4 unit menyala mulai pukul 17.30 s/d 05.00 WIB, adalah merupakan wujud dari pelaksanaan kewajiban PT. Maju Makmur Abadi yang berupa tindakan menyerahkan benda sewa dalam keadaan sebaik-baiknya. 38 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata, tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, hal. 52. 66 BAB V PENUTUP 1) Dalam hubungan sewa-menyewa Lokasi Pemasangan Reklame antara PT. Maju Makmur Abadi dan PT. Hannoch untuk pemasangan materi visual (pamlet) lampu neon produksi PT. Hannoch pada papan reklame yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang, pada hakikatnya terdiri dari dua benda sewa yang masing-masing terikat pada perjanjian sewa yang berbeda yaitu : a. papan reklame (Billboard) milik PT. Maju Makmur Abadi yang terikat pada perjanjian sewa-menyewa (asli); b. hak sewa Lokasi Pemasangan Reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang yang terikat pada perjanjian sewa terusan berupa perjanjian “menyewakan lagi (wederverhuren). 2) Cara penyerahan benda obyek sewa dalam perjanjian sewa papan reklame tersebut adalah dengan “penyerahan nyata” (feitelijke levering) berupa tindakan pemasangan materi visual (pamlet) pada papan reklame (billboard) di Jl. Ahmad Yani Semarang secara gratis oleh PT. Maju Makmur Abadi. ---------------------------