Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR072010031 Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Asuhan Keperawatan Wanita Dan Anak Dengan HIV/AIDS 1. Pencegahan Penularan HIV pada Wanita dan Anak Sering ada kesan bahwa sebagian besar anak yang dilahirkan oleh ibu yang HIVpositif akan terinfeksi. Seperti dijelaskan pada gambar berikut, sebenarnya 60–75% anak tersebut tidak terinfeksi, walaupun tidak ada intervensi apa pun. Rata-rata 30% terinfeksi, dengan 5% dalam kandungan, 15% waktu lahir dan 10% dari ASI. Dari angka ini, kita dapat mulai lihat intervensi yang mungkin dapat mengurangi jumlah anak yang tertular – intervensi yang disebut sebagai pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi.atau sering ada yang memakai singkatan PMTCT (prevention of mother-to-child transmission). Adalah penting kita – dan masyarakat umum – mengetahui bahwa dalam keadaan terburuk, paling 40% bayi terinfeksi. Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu-ke-bayi Risiko penularan dari ibu-ke-bayi adalah lebih tinggi bila: a. viral load perempuan di atas 1.000; b. ada infeksi plasenta – tampaknya malaria dapat mempengaruhi ini; c. perempuan terinfeksi suatu IMS; dan d. bila gizi perempuan kurang. Risiko juga ditingkatkan oleh intervensi yang keras waktu lahir (seperti membantu persalinan dengan cara menyedot kepala bayi), dan bila si ibu menyusui bayi sekaligus memberi pengganti ASI. • PMTCT – umum Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa hanya si bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, PASTI si bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV si ayah TIDAK mempengaruhi status HIV si bayi. Mengapa? Kita sering salah ngomong bahwa salah satu cairan tubuh manusia yang mengandung HIV adalah ‘cairan sperma’. Ini SALAH! Yang mengandung virus pada laki-laki yang HIV-positif adalah air mani, BUKAN sperma. Hal ini ibarat ikan dalam air laut: airnya mengandung virus, bukan ikan. Sperma tidak mengandung virus, dan oleh karena itu, telur si ibu TIDAK dapat ditularkan oleh sperma!. Jelas, bila si perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi si laki-laki tidak dapat langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada perempuan. Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%. ...agar ibu tidak tertular... Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini membutuhkan peningkatan. pada program pencegahan, termasuk penyuluhan, pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan. ...dan cegah kehamilan yang tidak diinginkan Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. Odha perempuan yang memakai ART harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif. Dalam hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting. • PMTCT dengan ART penuh Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai ART penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin. ART dapat diberikan walaupun dia tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak dibutuhkan. Pedoman baru dari WHO melonggarkan kriteria ART untuk perempuan hamil. WHO mengusulkan perempuan hamil dengan penyakit stadium klinis 3 dan CD4 di bawah 350 ditawarkan ART. Jelas bila CD4 di bawah 200, atau mengalami penyakit stadium klinis 4, sebaiknya si perempuan memakai ART. Namun ada sedikit keraguan dengan rejimen yang sebaiknya diberikan pada perempuan. Perempuan hamil tidak boleh diberikan efavirenz pada triwulan pertama. Tetapi juga ada masalah dengan pemberiannevirapine pada perempuan dengan CD4 yang masih tinggi: efek samping ruam dan hepatotoksisitas (keracunan hati) lebih mungkin dialami oleh perempuan dengan di atas 250. Jadi dibutuhkan pemantauan yang lebih ketat, sedikitnya pada beberapa minggu pertama, bila nevirapine diberikan pada perempuan dengan CD4 di atas 250. • PMTCT – mulai dini Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz pada triwulan pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia pakai terapi TB, diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap dipakai NNRTI ini bila tidak ada pilihan lain. Dan apa dampak bila ART diberikan pada perempuan tetapi tidak pada suami yang terinfeksi juga? Apakah si perempuan akan kasih obatnya pada suami, atau lebih buruk lagi, obatnya dibagi dengan dia? Bila menghadapi beberapa masalah ini, atau si perempuan tetap tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART penuh, sebaiknya dia ditawarkan protokol yang berikut: Ibu: AZT dari minggu 28 NVP dosis tunggal + AZT + 3TC saat melahirkan AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari Bayi: NVP dosis tunggal + AZT segera setelah lahir AZT diteruskan selama 7 hari AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya resistansi pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu persalinan, tingkat nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi serupa dengan monoterapi dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi dicegah dengan pemberian AZT setelah dosis tunggal nevirapine. Sekali lagi, protokol ini membutuhkan diagnosis dan perawatan agak dini, dan obat harus tersedia. Bila ibu diberikan AZT untuk kurang dari empat minggu sebelum melahirkan, AZT pada bayi sebaiknya diteruskan selama empat minggu, bukan tujuh hari. • PMTCT – mulai lambat Bila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan, protokol yang dapat dipakai seperti berikut: Ibu: NVP dosis tunggal + AZT + 3TC saat melahirkan AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari Bayi: NVP dosis tunggal + AZT segara setelah lahir AZT diteruskan selama 4 minggu • Makanan bayi Sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi jauh lebih sedikit bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di Indonesia meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan atau botol yang tidak bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan jumlah yang kurang sehingga bayi meninggal karena malnutrisi. ASI memberi semuanya yang dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh dan melawan infeksi. Jadi sering kali bayi lebih berisiko bila diberi PASI daripada ASI dari ibu HIV-positif. Oleh karena itu usulan sekarang adalah agar bayi diberi ASI eksklusif untuk enam bulan pertama, kemudian disapih mendadak, kecuali... ...bila dapat dipastikan bahwa PASI secara eksklusif dapat diberi dengan cara AFASS: A = Affordable (terjangkau) F = Feasible (praktis) A = Acceptable (diterima oleh lingkungan) S = Safe (aman) S = Sustainable (kesinambungan) Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis, ibu didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak bersih atau campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat diberi terus-menerus. ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh perut/usus. Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar diserap, membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu, ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak (berhenti total menyusui). 2. Perawatan Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan Wanita dengan HIV/AIDS yang hamil harus di berikan penyuluhan tentang kehamilanya, baik berupa penghentian atau kelanjutan kehamilan karena adanyari risiko tranmisi vertical HIV/AIDS dari ibu ke bayi sebesar 25-45%. Pada wanita hamil di perlukanpemeriksan awal pada kunjungan pertama meliputi antibody toksoplasmosis dan virus sitomegalo, tes mantoug, kultur serviks untuk mengetahui adanya neisseria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis, HBsAg, VDRL, antigen kriptokokus, pemeriksaan CD4 setiap 3 bulan (setiap bulan jika <300 mm³) untuk menentukan pakah pasien perlu di berikan profilaksis terhadap pneumocystis carinii atau Zidovudine. Pengobatan wanita hamil HIV tidak berbeda dengan wanita tidak hami, karena terapi ARV hanya sangat sedikit memiliki kemampuan mengganggu janin (Richard et al, 1997). Pertolongan persalinan di lakukan dengan berhati-hati dan menerapkan kewaspadaan universal dan alat pelindung diri lengkap. Penghisapan lendir bayi tidak boleh di lakukan dengan penghisap mulut, melainkan dengan kateter penghisap yang di hubungkan dengan mesin penghisap. Semua jenis harus di perlukan seperti individu yang tiak terinfeksi saat persalinan karena tranmisi vertical hanya sebesar 25-35%. Pencegahan harus di lakukan agar bayi terhindar dari trasmisi infeksi dari ibu ke bayi. Ibu harus di anjurkan agar mnghinari bayinya terkena skresi tubuhnya. Setelah persalinan, wanita bisa di anjurkan untuk memilih metoe kontrasepsi yang mereka sukai untuk mencegah kehamilan selanjutnya. Kontrasepsi harus segera di pakai paling lambat 4 minggu setelah persalinan. Metode kontrasepsi yang bisa di sarankan adalah pemakaian kondom karena memberikan perlinungan terhadap infeksi HIV dan PMS (penyakit menular seksual). Metode diafragma dan spons sama sekali tidak efektif sehingga tiak perlu di sarankan pada ibu. Alternative lain yang bisa di sarankan adalah kontrasepsi oral atau hormon injeksi. Pemakian IUD, MOW (strelisasi) tiak di sarankan pada wanita yang terinfeksi HIV karena dapat menyebabkan penyakit radang pelvis an peningkatan resiko pendarahan sehingga memudahkan transmisi HIV.