JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 URGENSI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI INDUSTRI PERASURANSIAN Oleh Budi Hermana Prihantoro Abstrak Penerapan manajemen risiko di perusahaan perasuransian didasari berbagai peristiwa dan perkembangan pemikiran, mulai pelajaran dari krisis finansial global sampai implementasi tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu, peningkatan permintaan produk asuransi serta tuntutan kebutuhan dan perlindungan konsumen memerlukan proses manajemen risiko yang efektif. Peningkatan permintaan asuransi harus dimanfaatkan oleh perusahaan perasuransian dengan tetap memperhitungkan dinamika pasar, kondisi perekonomian, serta karakteristik dan persepsi masyarakat tentang produk asuransi yang cenderung semakin kompleks. Konvergensi sistem keuangan dan pendalaman pasar keuangan mendorong perusahaan perasuransian terus mengembangkan berbagai teknik dan standar manajemen risiko yang dapat mengantisipasi risiko yang timbul dari kompleksitas sistem keuangan tersebut. Prinsip dan standar manajemen risiko pun terus dikembangkan oleh berbagai asosiasi atau insitusi, baik asosiasi profesi maupun regulator di tingkat internasional. Kata Kunci: manajemen risiko 1. Pendahuluan Perusahaan perasuransian merupakan suatu bentuk usaha yang berperan untuk memberikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan atau pemegang polis (selanjutnya disebut pemegang polis) di masa mendatang dan sekaligus menghimpun dana masyarakat. Untuk dapat memenuhi kewajibannya, Perusahaan Perasuransian yang terdiri dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi, termasuk yang beroperasi dengan sistem syariah, harus memegang prinsip-prinsip asuransi terutama prinsip utmost good faith dan pelaksanaan good corporate governance (GCG) atau tata kelola. Krisis finansial global menunjukkan bahwa para pengelola perusahaan gagal untuk melindungi pemilik dan pemangku kepentingan dari perusahaannya (Stanton, 2010). Kegagalan tersebut menyadarkan para pengelola perusahaan tentang tata kelola perusahaan yang baik sehingga bisa mengantisipasi atau bahkan memprediksi kemungkinan kejadian 1|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 serupa di masa datang.Meskipun pihak perusahaan merasa sudah menerapkan berbagai prinsip tata kelola perusahaan, mereka tetap tidak dapat menghindar dari dampak krisis tersebut yang relatif mengejutkan atau di luar dugaan.Bahkan banyak perusahaan yang tidak menyadari betapa besarnya kerugian yang mereka alami. Kondisi tersebut menunjukan bahwa tata kelola perusahaan bersifat dinamis atau berkembang sesuai dengan perkembangan internal dan eksternal. Sumber: U.S. Department of the Treasury Gambar 1. Tahapan terjadinya Krisis Finansial Global Krisis tersebut menjadi tantangan bagi kebijakan tata kelola perusahaan.OECD (2009) menyebutkan empat aspek yang memerlukan perhatian sebagai respon dari krisis finansial global, yaitu sistem renumerasi atau insentif, praktek manajemen risiko, kinerja dewan direksi, serta pelaksanaan hak-hak dari pemegang saham.Aspek insentif menjadi salah satu kontroversi karena para eksekutif perusahaan menikmati gaji luar biasa besar dengan skema yang relatif tidak terstruktur dan tidak transparan, namun di sisi lain, gaji dan berbagai kemudahan yang diperoleh tersebut tidak menolong perusahaan terhindar dari krisis.Hubungan antara insentif dan kinerja pun akhirnya menjadi perdebatan. Perdebatan pun merembet ke kinerja dewan direksi atau komisaris yang cenderung menbiarkan situasi tersebut terjadi dan tidak melakukan keputusan-keputusan yang strategis ketika indikasi krisis finansial global mulai terlihat.Kondisi tersebut juga menunjukkan 2|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 manajemen risiko yang tidak dapat menemukan masalah sistem insentif tersebut. Pertanyaan berikutnya yaitu mengapa para pemegang saham tidak mampu menunjukkan pertanggungjawaban yang memadai ketika krisis finansial global akhirnya merugikan nasabah, bahkan akhirnya menimbulkan krisis ekonomi di berbagai Negara. Selain itu, isuisu mengenai implementasi standar tata kelola perusahaan pun ikut dipertanyakan. Perusahaan kini dituntut untuk mampu mengenali bahkan mengukur kemungkinan terjadinya kejadian serupa di masa datang agar dapat mengantisipasinya secara optimal, atau setidaknya dapat dilakukan proses mitigasi yang dapat mengurangi dampaknya secara signifikan. Sistem pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan risiko tersebut memerlukan informasi yang lebih baik tentang gambaran skenario atau kemungkinan terjadinya krisis tersebut, meskipun di sisi lain, dinamika dari kompleksitas sistem keuangan global menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan manajemen risiko yang efektif. Meskipun risiko atau ketidakpastian memang relatif sulit diukur dengan tepat dan akurat di era globalisasi yang sistem keuangannya makin kompleks dan melewati batas negara, namun hal tersebut bukan berarti menampikkan tanggung jawab perusahaan keuangan dalam menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menyimpan atau mengivestasikan dananya di lembaga keuangan. Good Corporate Governance Tata kelola perusahaan perasuransian mempunyai peranan penting untuk meyakinkan dan memperoleh kepercayaan daru para pemangku kepentingan, terutama konsumen dan investor, bahwa perusahaan perasuransian telah dikelola berdasarkan prinsip-prinsip kewajaran, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan kemandirian.Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kepercayaan masyarakat dan para investor terhadap lembaga keuangan mengalami penurunan pasca krisis finansial global. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan tersebut adalah dengan menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Becht, Bolton, dan Roell (2002) menyebutkan lima alasan mengapa tata kelola menjadi istilah yang populer dalam periode duapuluh tahun terakhir, yaitu: (1) gelombang privatisasi perusahaan di dunia; (2) reformasi dana pensiun dan pertumbuhan simpanan masyarakat; (3) gelombang pengambilalihan perusahaan pada tahun delapan puluhan; (4) deregulasi dan integrasi pasar modal, dan (5) krisis. 3|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Beberapa akademisi dan peneliti berbeda-beda pendapat mengenai kemunculan istilah “corporate governance” dalam konteks sejarah dan perkembangan tata kelola perusahaan. Kostyuk, Braendle, dan Apreda (2007) menyebutkan bahwa konsep “corporate governance” muncul pertama kali dalam kepustakaan akademisi oleh Richard Eells (1960) yang menyebutkan: “the structure and functioning of the corporate polity”. Menurut Cheffins (2011), “Corporate governance” pertama kali menjadi mode di Amerika Serikat pada tahun tujuh puluhan. Selama 25 tahun istilah tersebut menjadi bahan perdebatan akademisi, regulator, eksekutif perusahaan, dan para investor di seluruh dunia. Herrigel (2007) menyebutkan lima Negara yang disebut sebagai rejim tata kelola yang banyak dijadikan rujukan di seluruh dunia yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang. Kelima Negara tersebut menunjukkan perspektif yang relatif berbeda dilihat dari tingkat integrasi dari empat dimensi yaitu tingkatan tata kelola perusahaan, sistem keuangan, hak pemegang saham, dan otoritas politik. Menurut Kostuk dkk (2007), istilah “Corporate Governance” dapat diartikan secara sempit dan luas yang dikaitkan dengan dua perspektif, yaitu pemilik saham dan orientasi pemangku kepentingan. Dalam pengertian sempit, tata kelola merupakan hubungan antara manajer perusahaan, dewan direksi, dan pemilik saham. Sedangkan dalam pengertian luas, tata kelola mencakup kombinasi dari undang-undang, peraturan, peraturan penerbitan saham, dan praktek-praktek pengelolaan perusahaan swasta yang memungkinkan perusahaan dapat menarik modal, beroperasi secara efisien, menghasilkan keuntungan, serta memenuhi kewajiban hukum dan harapan masyarakat luas. Claessens (2003) menyatakan bahwa pengertian tata kelola dapat dikelompokkan dalam dua golongan.Golongan pertama menekankan pada pola perilaku yaitu perilaku aktual perusahaan berupa ukuran-ukuran seperti kinerja, efisiensi, pertumbuhan, struktur keuangan, dan perlakuan terhadappemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Kelompok definisi yang kedua menekankan pada kerangka kerja normatif yaitu peraturanperaturan di mana perusahaan beroperasi yang bersumber dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan, dan pasar tenaga kerja. Claessens (2003) mengutip beberapa pengertian tata kelola yang banyak dijadikan rujukan di kalangan akademisi, yaitu dari Cadburry Committee (1992): “Tata kelola perusahaanadalah sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan” dan Sheifer dan Vishny (1997): “Tata kelola berkaitan dengan cara-cara yang membuat pemasok keuangan perusahaan yakin akan mendapatkan keuntungan investasi”. 4|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Tabel 1. Pengertian Corporate Governance Pengertian/Pernyataan Penemu/Perspektif Tata kelola perusahaan menjelaskan cara untuk memastikan bahwa aksi korporasi, aset dan agen diarahkan untuk mencapai tujuan perusahaanyang didirikan oleh pemegang saham perusahaan Sternberg (1998) memberikan definisi yang lebih mendukung perspektif dari pemegang saham Ada kesalahpahaman yang mendasar tentang pendekatan tata kelola perusahaan yang memberikan perhatian utama pada masalah sosial, politik, dan moral. Tata kelola perusahaan lebih luas lagi yaitu mencakup manfaat untuk masyarakat secara keseluruhan, dan perusahaan tidak dijalankan untuk menghadapi permasalahan yang menjadi perhatian umum. Lipton and Lorsch (1992) secara jelas melihat dari perspektif pemangku kepentingan ketika manajemen perusahaan tidak cukup dibekali cara untuk menghadapi banyak konsituennya Tata kelola perusahaan adalah proses pengawasan dan pengelolaan modal dan sumber daya manusia perusahaan untuk kepentingan pemilik perusahaan. Hess (1996) mengulas posisi umum tentang tata kelola di Amerika Serikat. Pemegang saham sebagai fokus perusahaan Shleifer and Vishny (1997). Pengertian ini lebih luas dari perspektif pemegang saham semata karena kreditor lain dari perusahaan disebutkan sebagai tambahan dari pemegang saham Centre of European Policy Studies(CEPS, 1995); Melindungi kepentingan semua pemangku kepentingan merupakan perspektif tata kelola di Eropa daratan The Cadbury Report (1992) memberikan definisi tata kelola yang cukup netral, menitik beratkan pada pemegang saham dan dewan direksi Tata kelola berkaitan dengan cara-cara yang membuat pemasok keuangan perusahaan yakin akan mendapatkan keuntungan investasi Tata kelola perusahaan adalah keseluruhan sistem dari hak-hak, proses dan pengawasan yang dibangun secara internal dan eksternal di atas manajemen perusahaan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan dari semua pemangku kepentingan. Tata kelola perusahaan adalah sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Dewan direksi bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan mereka. Peran pemegang saham dalam tata kelola adalah untuk mengangkat direksi dan auditor serta untuk memuaskan diri mereka sendiri bahwa struktur tata kelola perusahaan sudah tepat. Tata kelola perusahaan didefinisikan sebagai sekumpulan hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. The OECD Principles of Corporate Governance (2004) mencoba memberikan definisi yang lebih luas sebagai basis untuk Negara-negara anggota OECD Dikutip dari Kostyuk, Braendle, dan Apreda (2007) Menurut International Financial Coporation (2012), tata kelola merupakan struktur dan prosesuntuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tata kelola perusahaan menyangkut hubungan antara manajemen, dewan direksi, pemegang saham pengendali, pemegang saham minoritas, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan akses ke sumber permodalan dari luar. Mengacu ke Worldbank, tata kelola perusahaan terdiri dari empat pilar yaitu akuntabilitas, keadilan, transparansi, dan tanggung jawab. Akuntabilitas menjamin bahwa jajaran 5|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 manajemen bertanggung jawab ke direksi dan direksi bertanggung jawab ke pemegang saham.Pilar keadilan menjaga hak-hak pemegang saham, memperlakukan semua pemegang saham dengan adil, termasuk pemegang saham minoritas. Pilar transparansi menjamin kecepatan dan ketepatan pengungkapan semua informasi penting, termasuk situasi keuangan, kinerja, pememilikan, dan tata kelola. Pilar terakhir, yaitu tanggung jawab, memahami hak-hak pemegang saham dan mendorong kerjasama antara perusahaan dengan pemangku kepentingan dalam menciptakan kesejahteraan, pekerjaan, dan keberlanjutan ekonomi. Pada tahun 1999 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengembangkan prinsip-prinsip corporate governance yang selanjutnya disempurnakan pada tahun 2004.Prinsip-prinsip tata kelola menurut OECD secara ringkas mencakup unsurunsur: (1) Memastikan basis kerangka kerja tata kelola yang efektif; (2) Hak-hak pemegang saham dan fungsi pemegang saham pengendali; (3) Perlakuan adil terhadap pemegang saham; (4) Peran pemegang saham pada tata kelola perusahaan ; (5) Pengungkapan dan transparansi; serta (6) tanggung jawab direksi. Pada pedoman OECD tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa: “Kerangka kerja tata kelola perusahaan harus mendorong transparansi dan pasar yang efisien, sejalan dengan peraturan hukum, dan membagi dengan jelas kewajiban dan tanggung jawab di antara otoritas yang menjalankan fungsi pengawasan, pengaturan dan penegakan hukum”. Indonesia termasuk negara yang merespon krisis finansial global relatif cepat dengan melakukan berbagai kebijakan dan reformasi menangkal atau mengurangi dampak krisis finansial global. Pemerintah Indonesia membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Keuangan, dan Industri Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999. KNKCG telah menerbitkan Pedoman Nasional Good Corporate Governance pada tahun 1999 yang selanjutnya telah mengalami beberapa perbaikan sampai pada tahun 2001. OECD Principles of Corporate Governance The corporate governance framework should protect and facilitate the exercise of shareholders’ rights. The corporate governance framework should ensure the equitable treatment of all shareholders, including minority and foreign shareholders. All shareholders should have the opportunity to obtain effective redress for violation of their rights 6|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 The corporate governance framework should recognise the rights of stakeholders established by law or through mutual agreements and encourage active co-operation between corporations and stakeholders in creating wealth, jobs, and the sustainability of financially sound enterprises The corporate governance framework should ensure that timely and accurate disclosure is made on all material matters regarding the corporation, including the financial situation, performance, ownership, and governance of the company The corporate governance framework should ensure the strategic guidance of the company, the effective monitoring of management by the board, and the board’s accountability to the company and the shareholders The corporate governance framework should promote transparent and efficient markets, be consistent with the rule of law and clearly articulate the division of responsibilities among different supervisory, regulatory and enforcement authorities The corporate governance framework should protect and facilitate the exercise of shareholders’ rights. The corporate governance framework should ensure the equitable treatment of all shareholders, including minority and foreign shareholders. All shareholders should have the opportunity to obtain effective redress for violation of their rights The corporate governance framework should recognice the rights of stakeholders established by law or through mutual agreements and encourage active co-operation between corporations and stakeholders in creating wealth, jobs, and the sustainability of financially sound enterprises The corporate governance framework should ensure that timely and accurate disclosure is made on all material matters regarding the corporation, including the financial situation, performance, ownership, and governance of the company The corporate governance framework should ensure the strategic guidance of the company, the effective monitoring of management by the board, and the board’s accountability to the company and the shareholders Pada tahun 2004 KNKCG diganti menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004. Pada tahun 2004 KNKG telah diterbitkan pedoman GCG untuk sektor perbankan dan pada awal tahun 2006 terbit pedoman GCG Perasuransian Indonesia.Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG) juga telah diperbaiki kembali pada tahun 2006.KNKG dalam Pedoman Umum GCG tahun 2006 menyebutkan lima asas GCG yaitu (Transparansi (Transparency), Akuntabilitas (Accountability), Responsibilitas (Responsibility), Independensi (Independency), Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengutip berbagai pedoman GCG yang telah diterbitkan oleh KNKG seperti disajikan pada gambar di bawah ini. 7|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Gambar 2. Pedoman GCG yang diterbitkan KNKG (OJK, 2014) Mengacu pada Pedoman Good Corporate Governance Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Indonesia yang diterbitkan oleh KNKG pada tahun 2009, usaha perasuransian merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan atau pemegang polis dan sekaligus menghimpun dana masyarakat. Kedua peranan tersebut mengalami perkembangan pesat sehingga memerlukan perusahaan perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Perusahaan Perasuransian yang terdiri dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan ReasuransidanPerusahaan Penunjang Usaha Asuransi, termasuk yang beroperasi dengan sistem syariah, harus memegang prinsip-prinsip asuransi terutama prinsip utmost good faith dan pelaksanaan good corporate governance untuk memenuhi kewajiban yang telah diperjanjikan. GCG juga perlu dipahami oleh pemangku kepentingan agarPerusahaan Perasuransian dapat berkembang lebih baik. Pada pedoman tersebut juga disebutkan bahwa setiap perusahaan perasuransian harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnisnya dan di seluruh jajaran Perusahaan. Asas-asas GCG yang harus dipastikan pelaksanaanya tersebut terdiri dari lima asas yaitu (1) Transparansi, (2) akuntabilitas, (3) responsibilitas, (4) indepedensi serta (5) kewajaran dan kesetaraan. Penerapan asas tersebut diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability)Perusahaan dengan memperhatikan para pemangku kepentingan(stakeholders). . 8|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Lima Asas GCG Perusahaan Asuransi Dan Reasuransi TRANSPARANSI Tranparansi(transparancy)mengandung unsur pengungkapan(disclosure)dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses olehpemangkukepentingan AKUNTABILITAS Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasidancara mempertanggungjawabkannya. Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar RESPONSIBILITAS Perusahaan harusmematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakantanggung-jawabterhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambunganusaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagaiwarga korporasiyang baik (good corporate citizen) INDEPENDENSI Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organPerusahaan besertajajarannya tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi olehpihak manapun KEWAJARAN DAN KESETARAAN Kewajaran dan kesetaraan (fairness)mengandung unsur kesamaan perlakuan dan kesempatan. Dalam melaksanakan kegiatannya, Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan Pemegang Saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan Sumber: Pedoman GCG Perusahaan Asuransi dan Reasuransi KNKG (2009) Perkembangan Kode dan Standar Manajemen Risiko Akibat krisis finansial global, Effective risk management is a key element of good corporate governance in financial and non-financial companies. OECD (2009) kini perusahaan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap manajemen risiko. Penerapan manajemen risiko pun semakin populer di pelbagai sektor ekonomi, khususnya pada lembaga keuangan yang merupakan pemicu sekaligus pihak yang paling parah terkena dampak krisis finansial global.Kecenderungan tersebut tidak terlepas dari berbagai kejadian atau masalah yang menimpa perusahaan akhir-akhir ini, termasuk krisis finansial global.Menurut (OECD, 2009), kejutan terbesar dari krisis finansial global yaitu kegagalan dalam penerapan manajemen risiko pada perusahaan. Pada beberapa kasus, banyak risiko yang tidak dikelola di tingkat perusahaan atau pengelolaan risiko berbasis korporasi. Para manajer risiko sering bekerja tidak terintegrasi dengan manajemen perusahaan atau tidak diposisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi strategi perusahaan. Hal paling penting 9|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 dari semua itu, pada sejumlah kasus dewan direksi tidak peka atau bahkan mengabaikan pelbagai risiko yang dihadapi perusahaan, baik perusahaan keuangan maupun nonkeuangan. Menurut rekomendasi OECD tahun 2010, dewan direksi harus meninjau dan menyediakan pedoman tentang penyelarasan strategi perusahaan dengan profil risiko dan struktur manajemen risiko internal. Perusahaan Successful insurers in 2014 will be balancing risk and reward in their asset portfolios, seeking yield while ensuring they are rewarded for the retained risk 2014 Global Insurance Outlook keuangan dan non-keuangan secara umum menghadapi kisaran atau kategori risiko yang relatif mirip sama yang perlu dikelola dengan efektif, yaitu mencakup risiko operasional, risiko strategik, dan risiko pasar. Namun pada perusahaan keuangan, volatilitas risikonya cenderung lebih besar sehingga memerlukan upaya yang lebih besar dalam proses pengelolaan risikonya. Posisi dan kondisi tersebut menyebabkan penerapan manajemen Prinsip perlindungan konsumen perusahaan jasa keuangan mencakuo transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa risiko pada lembaga keuangan menjadi prioritas atau mendapat perhatian lebih dari regulator di berbagai negara. Hal penting yang perlu dipahami oleh regulator atau pembuat kebijakan dan standar, penerapan manajemen risiko yang efektif bukan berkaitan dengan penghilangan fungsi pengambilan risiko, yang merupakan faktor pendorong yang fundamental dalam bisnis.Bahkan peran lembaga keuangan seperti bank dan asuransi justru menemaptakan diri sebagai perusahaan yang mengambilahih risiko yang dihadapi nasabah atau tertanggung. Penerapan manajemen risiko yang efektif bertujuan untuk memastikan bahwa risiko dapat dipahami, dikelola, dan jika perlu, dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan. Kebutuhan dan Perlindungan Konsumen Menurut Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang10 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 undangan di sektor jasa keuangan. Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: (a) transparansi; (b) perlakuan yang adil; (c) keandalan; (d) kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Prinsip transparansi juga diberlukan terhadap risiko yang mungkin dihadapi oleh konsumen terkait dengan produk asuransi yang akan dibelinya. Perusahaan asuransi diwajibkan menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat: (a) manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan, dan (b) syarat dan ketentuan. Perusahaan asuransi juga wajib memberikan pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen. Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan, perusahaan asuransi wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada Konsumen, yang sekurang-kurangnya memuat: (a) rincian biaya, manfaat dan risiko, dan (b) prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di perusahaan asuransi. Perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan tersebut wajib diberitahukan kepada konsumen paling lambat 30 hari sebelum berlakunya perubahan tersebut.Jika konsumen tidak menyetujui perubahan tersebut maka konsumen berhak memutuskan produk dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi. Customer Protection Insurers in the region are improving operational risk management to achieve higher levels of customer satisfaction. Compared with insurers in other regions, those in Asia-Pacific were ranked relatively low in reputation and confidence in our Voice of the customer survey. Agents and insurers pursuing aggressive topline growth have long been perceived as misselling. This was coupled with complaints of poor claims service in the wake of the heavy catastrophe losses in 2011. Regulators are addressing these concerns by intensifying the focus on customer protection. Examples include Singapore’s implementation of the Financial Advisory Industry Review recommendations, CIRC moving to increase consumer protection and South Korea forming an independent consumer protection agency to monitor claims dispute and sales activities. Other developments include the Insurance Regulatory and Development Authority in India tightening regulations on agent commissions and increasing oversight of policyholder protection, and Malaysia issuing a concept paper considering several reforms, including deregulation in some areas and tightening in others. 2014 EY Asia-Pacific Insurance Outlook 11 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Integrasi dan Kompleksitas Sistem Keuangan Integrasi Sistem Keuangan International Integrasi sistem keuangan pada dasarnya menunjukkan seberapa besar sistem perekonomian berhubungan dengan sistem keuangan atau perdagangan internasional.Terminologi lainnya yaitu keterbukaan (openness) yang menunjukkan derajat keterbukaan sistem perekonomian sebuah Negara dengan perekomian global. IMF (2003) menggunakan beberapa indicator untuk mengukur tingkat integrasi tersebut, di antaranya yaitu: (1) Jumlah total aset dan kewajiban luar negeri sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB); (2) Jumlah total aset dan kewajiban modal (penanam modal langsung dan portofolio saham) luar negeri sebagai persentase dari PDB; (3) porsi aset dan kewajiban modal luar negeri terhadap total aset dan kewajiban luar negeri; (4) indeks akun liberalisasi dengan kisaran nilai 0 – yaitu tidak liberal, sampai 4 yaitu liberalisasi lengkap; dan (5) tingkat keterbukaan yaitu rasio ekspor dan impor barang dan jasa terhadap PDB. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat keterbukaan keuangan menjadi fenomena yang jadi bahan perdebatan dan kontroversi.Keterbukaan tersebut dapat dilihat dari tingkat integrasi sistem keuangan sebuah Negara dengan sistem keuangan global.Integrasi keuangan tersebut semakin cepat sejak berakhirnnya Bretton Wood System pada tahun 1971. Pada Bretton Wood System, Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan international menetapkan kurs atau harga mata uangnya dengan nilai tetap (fixed rate) terhadap Dolar Amerika yang ditetapkan sebagai mata uang rujukan. Setelah berakhirnya sistem kurs tetap tersebut, nilai mata uang sebuah Negara dibiarkan mengambang (floating rate) terhadap nilai mata uang lainnya.Perubahan tersebut bukan tanpa risiko karena melemah dan menguatnya menjadi risiko keuangan tersendiri untuk perusahaan yang masuk ke pasar international.Apresiasi dan depresiasi mata uang tersebut tergantung pada mekanisme pasar, atau tergantung permintaan dan penawaran terhadap mata uang yang bersangkutan.Perubahan nilai tukar tersebut menjadi salah satu jenis risiko yang dihadapi perusahaan perasuransian ketika sudah menjadi bagian dari sistem keuangan international, minimal berdampak pada transaksi reasuransi jika menjalin kerjasama reasuransi dengan perusahaan asing. Integrasi keuangan atau keterbukaan sistem perekonomian menunjukkan dampak yang berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain. Krisis keuangan global yang melanda 12 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Asia, termasuk Indonesia, pada tahun 1998, ditengarai merupakan dampak dari keterbukaan keuangan.Lembaga keuangan menjadi salah satu sektor perekonomian yang paling terkena krisis tersebut, yang pada awalnya disebabkan penuruan nilai tukar mata uang di negaranegara di wilayah Asia secara drastis terhadap mata uang Dollar. Krisis finansial global yang dimulai di Amerika Serikat pada tahun 2008 cepat menjalar ke wilayah lain juga disebabkan sistem keuangan yang makin terbuka atau terintegrasi melewati batas Negara. Mobilitas atau aliran modal asing serta keterkaitan hubungan kreditur-debitur yang melewati batas Negara menyebabkan keterpurukan satu perusahaan berdampak pada perusahaan lainnya yang terkait atau terafiliasi secara finansial di wilayah lain. Efek domino tersebut menyebabkan rentetan krisis keuangan di beberapa Negara, mulai dari Amerika Serikat ke wilayah Eropa, dan terus berlanjut ke wilayah Asia, termasuk Indonesia.Hal ini menunjukkan bahwa integrasi keuangan international seperti memiliki dua sisi, yaitu dampak positif dan negatif.Pertanyaannya yaitu siapakah yang memperoleh keuntungan dari integrasi sistem perekonomian atau keuangan tersebut?Kondisi perekonomian sebuah negara menjadi kuncinya, dan ini artinya menyangkut berbagai variabel yang perlu dikaji lebih mendalam. Financial Integration We consider two types of measures of financial integration:de facto andde jure.Whilede factomeasures reflect the actual exposure of a country to internationalfinancial markets,de juremeasures reflect the policy restrictions that affect theactual openness of a country to the markets. Therefore, althoughde juremeasurescould be considered superior for tracking changes in restrictions,de factomeasures are preferable to capture the effectiveness of enforcement of capitalcontrols, which can change over time even if the legal restrictions themselvesremain unchanged.Thede factomeasures of financial integration used in the empirical section drawupon the work of Lane and Milesi-Ferretti (2007).The authors propose twomeasures of financial integration. The first (volume-based) measure (FI1) is theshare of the total stocks of external assets and liabilities toGDP: WhereFAandFLrefer to the stock of foreign (debt, portfolio and direct investment)assets and liabilities, respectively. The second (equity-based) measure (FI2) is theshare of the sum of the total stocks of portfolioassets and liabilities and the stocks ofdirect investment assets and liabilities toGDP: 13 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 WherePEQA (L)andFDIA (L)are the stocks of portfolio equity and FDI assets(liabilities). Financial Integration and Fiscal Policy Furceri and Zdzienicka (2011) Konvergensi Produk Perbankan dan Asuransi Bank dan perusahaan perasuransian secara tradisional mempunyai peran sebagai lembaga keuangan yang mengumpulkan dana dan menginvestasikan kembali ke berbagai alternative investasi. Pada sisi sumber dana, kedua lembaga keuangan tersebut relatif berbeda yaitu premi pada asuransi dan simpanan masyarakat di bank. Namun pada sisi penempatan dana, investasi kedua lembaga tersebut bersinggungan, khususnya pada instrumen pasar uang dan pasar modal. Kondisi tersebut membuat produk bank dan asuransi cenderung menunjukkan konvergensi, bahkan dapat menawarkan produk bersama, seperti produk asuransi berunsur investasi atau produk bancassurance. Berbagai teknik pengelolaan aset dan liabilitas pada bank dan asuransi, khususnya dalam melakukan portofolio investasi di pasar keuangan, menjadi relatif sama atau dapat diterapkan secara bersama. Risiko pasar sebagai implikasi dan integrasi keuangan seperti telah dijelaskan sebelumnya, menjadi risiko yang juga dialami oleh bank dan asuransi. Prinsip manajemen risikonya pun secara umum relatif sama, khususnya yang berhubungan dengan risiko pasar seperti perubahan tingkat bunga dan kurs yang berdampak pada hasil atau imbal jasa investasi perusahaan perasuransian dan bank. Aspek regulasi mengenai pendanaan atau kemampuan permodalan pun mempunya prinsip perhitungan yang relative sama, yaitu berbasis risiko aset atau invetasi. Jika bank mempunyai terminology CAR (Capital Adequacy Ratio)- rasio antara modal dengan aktiva tertimbang menurut risikomaka perusahaan asuransi mempunyai RBC (Risk Based Capital)- yang juga menunjukkan rasio antara modal dengan risiko aset dan risiko lainnya yang berpotensi menimbulkan kerugian perusahaan. Bancassurance: The New Challenges 14 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Is bancassurance simply a method of distributing insurance products? By definition, yes it is, but more than that, it is a global movement that is gradually breaking down the traditional barriers between the various businesses of supplying financial products and services. Insurers and bankers have all set their sights on the gold mine of household savings and the related asset management business. The risks and vulnerabilities Image risk This is the biggest risk for banks. Lack of control over the handling of claims, and possible delays or problems in paying out settlements can damage a bank’s image and its relations with its clients. It is therefore in the bank’s interest to have visible ties with an insurer and to market products under the insurer’s brand. The insurer is thus viewed as being responsible for all claims-related issues and assumes at least part of the image risk. Qualifications of account managers Selling non-life products requires different skills from those needed to sell savings products. According to some observers, there are certain fundamental differences in culture which cannot be overcome, even by investing heavily in training. Two key issues are salesforce training and type of products. General risks concerning relations with the network, including product cannibalization risk Very close ties (without integration) can bring the partnership to breaking point, potentially leading to a very expensive divorce. Cannibalization between banking and insurance products represents a real risk. The same risks exist in assurfinance. However, in the same way that bancassurance exposes the banks to certain risks, so assurfinance can give rise to dangers for the insurance companies. The main dangers can be summarized as follows: (a) Clients may be reluctant to conduct all their financial dealings with a single partner; (b) Products may be oversold to clients of captive networks; (c) Rivalries among distribution networks, especially between insurance agencies and new bank branches, may lead to fragmentation of the client base and/or ring-fencing of product offers (offers labelled ‘‘bank’’ or ‘‘insurance’’); (d) Creating a banking business from scratch requires heavy investments. Gilles Benoist (2002). Bancassurance: The New Challenges. The Geneva Papers on Risk and Insurance, Vol. 27 No. 3 (July 2002) 295–303 Konvergensi keuangan menjadi salah satu isu menarik yang banyak diteliti, terutama untuk mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi konvergensi serta dampak konvergensi tersebut terhadap perekonomian Negara atau dalam konteks ekonomi mikro, dampaknya terhadap perusahaan, termasuk perusahaan perasuransian sebagai lembaga keuangan yang merupakan bagian dari sistem keuangan secara makro. Menurut Furstenberg (1998), pengertian integrasi keuangan international dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pengertian dilihat dari prerequisite untuk integrasi tersebut dan pengertian ditinjau dari 15 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 konsekuensi atau dampak integrasinya. Sebagai perantara keuangan, perusahaan perasuransian termasuk salah satu mata rantai dalam integrasi keuangan tersebut. Apergis dkk (2012) menyebutkan bahwa kualitas sistem perantara keuangan – yaitu seberapa efektifnya alokasi dana, dan ukuran sistem keuangan merupakan faktor kunci dari tingkat konvergensi (atau divergensi) pendapatan pada sebuah Negara. Pendalaman Pasar Keuangan Ehrentraud dkk (2014) menyatakan bahwa pendalaman keuangan didefisinikan sebagai ukuran pasar keuangan relatif terhadap aktivitas perekonomian serta berbagai fungsi yang dilakukan pada pasar keuangan tersebut. Fungsi-fungsi tersebut meliputi perantara keuangan, penentuan harga, dan lindung nilai.Berbagai fungsi tersebut diukur oleh beberapa indikator berbasis perbankan seperti rasio kredit terhadap PDB, indicator berbasis pasar seperti ukuran pasar obligasi pemerintah, pasar valuta asing, dan derivative), serta indikator akses keuangan. Menurut IMF (2011), secara konseptual, kedalaman pasar keuangan mengandung pengertian bahwa: (i) Sektor dan agen dapat menggunakan berbagai pasar keuangan untuktabungan dan keputusan investasi, termasuk pada saat jatuh tempo panjang (akses); (ii) Perantara keuangan dan pasar keuangan dapat menyediakan volume dana yang lebih besar danmenanganiperputarannyayang lebih besar, tanpa memerlukan pergerakan harga aset yang tinggi (likuiditas pasar); dan (iii) sektor keuangan dapat menyediakan pilihan aset yang luas untuk tujuan berbagi risiko (hedging atau diversifikasi). Pendalaman pasar keuangan memberikan pilihan lebih banyak kepada masyarakat atau investor dengan ketersedian berbagai variasi instrumen investasi di pasar uang dan pasar modal, dan dari kepentingan perantara keuangan (pasar modal, bank dan asuransi), tersedia berbagai altenatif sumber pendanaan eksternal. Pendalaman keuangan tidak menjamin stabilitas keuangan (Ehrentraud dkk, 2014). Bahkan menurut Winkler (2014), krisis finansial global pada tahun 2008 didahului oleh pertumbuhan tinggi dan kemajuan pesat pada pendalaman pasar keuangan di negara-negara maju dan negara berkembang.Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan berbagai instrumen investasi di pasar uang dan pasar modal selain memberikan keuntungan dari sisi 16 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 permintaan dan penawaran dana yang lebih variatif dan volume yang lebih besar, juga mengandung risiko investasi, baik dari sisi investor atau kreditur, maupun dari sisi perantara keuangan. Pendalaman pasar keuangan tidak serta merta menghilangkan risiko investasi di pasar keuangan, baik di pasar uang maupun di pasar modal. OJK Serius Perdalam Pasar Keuangan Pasar modal Indonesia punya potensi tumbuh lebih besar dari pasar modal negara lain di kawasan. Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal yang juga salah satu Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan kesiapan OJK untuk memperdalam pasar keuangan khususnya pasar modal. "Pendalaman pasar modal punya 4 building blocks: penguatan infrastruktur sistem teknologi informasi, penyediaan regulasi yang akomodatif bagi industri sekaligus lebih melindungi investor, peningkatan sisi penawaran dan permintaan produk, serta efektifnya pengawasan dan penegakan hukum di pasar modal. Kesemuanya diorientasikan pada peningkatan likuiditas dan kemampuan kompetitif pasar modal nasional memasuki era integrasi ekonomi ASEAN pada 2015 mendatang", papar Nurhaida di awal sesi. Lebih kongkret, Nurhaida memaparkan beberapa strategi pengembangan yang telah dan akan dilanjutkan di 2015 mendatang. Terkait dengan pasar perdana, OJK mulai 2015 akan memperkenalkan mekanisme penawaran umum berkelanjutan kepada emiten saham. Pasca go public, kewajiban keterbukaan bisa dilakukan emiten melalui situs internetnya dan web bursa. Mulai 2015 pula kewajiban pelaporan emiten ke OJK bisa dilakukan secara elektronik. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk efisiensi proses tersebut akan meningkatkan minat perusahaan untuk go public. Pasar modal Indonesia juga akan memiliki instrumen baru dengan adanya salah satu pelaku bisnis pembiayaan sekunder perumahan yang akan menerbitkan Efek Beragun Aset berupa Surat Partisipasi (EBA SP). Meski tidak menyebutkan identitas pihak penerbit, Nurhaida meyakini EBA SP akan menjadi pilihan instrumen investasi baru yang menarik bagi investor. Pertambahan jumlah emiten dan produk keuangan merupakan faktor penting untuk memperdalam pasar, di samping tentunya peningkatan jumlah investor, jelas Nurhaida. Terkait peningkatan jumlah investor, OJK punya strategi khusus guna memperluas basis pemodal domestik dengan akan dibukanya kesempatan pihak selain bank berfungsi sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD). Lembaga keuangan lain dengan jaringan luas dan pengalaman panjang sebagai pemasar produk keuangan seperti perusahaan perasuransian, perusahan pembiayaan, pergadaian, bahkan perusahaan jasa pos bisa mengajukan permohonan sebagai APERD mulai tahun depan. Saya yakin jumlah investor domestik khususnya retail akan meningkat cukup progresif di 2015 mendatang dengan dukungan lembaga non bank yang berfungsi sebagai APERD, Nurhaida mengutarakan keyakinannya tersebut. Upaya pendalaman pasar keuangan oleh OJK menurut Nurhaida tidak hanya dilakukan pada sisi supply dan demand industri, namun juga dari sisi pengembangan infrastruktur pasar. Sistem penyelesaian transaksi akan semakin disempurnakan dengan pengembangan C-Best Next Generation milik KSEI, e-Clears milik KPEI, dilibatkannya Bank Kustodian sebagai Settlement Agent, dan dukungan Bank Indonesia untuk penyelesaian transaksi yang lebih efisien. OJK bersama KSEI juga akan memperluas penerapan Single Investor Identification (SID) yang sebelumnya hanya untuk investor yang tercatat di KSEI akan diperluas pula untuk investor reksa dana, investor yang terdaftar di BAE, dan investor Surat Berharga Negara. Khusus di segmen surat utang, OJK juga akan menerbitkan aturan khusus yang menjadi pedoman umum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi repo (General Master Repurchase Agreement). Regulasi baru tersebut akan dilengkapi pula dengan aturan terkait lainnya yang mengatur intermediaries dan aspek transparansi dalam penyelesaian transaksi surat utang. Selain penerapan Electronic Trading Platform (ETP) untuk surat utang, pada 2015 nanti juga akan diluncurkan Bond Index, Nurhaida menambahkan. Mengakhiri dialognya Nurhaida menyampaikan bahwa keberadaaan OJK sebagai lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang terintegrasi memudahkan proses penyusunan kebijakan lintas sektor jasa keuangan yang 17 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 saling bersinergi. Nurhaida lebih mudah berkoordinasi dan meminta dukungan Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK,agar perusahaan perasuransian dan dana pensiun lebih berperan aktif sebagai investor di pasar modal. Koordinasi dengan Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Bank OJK juga lebih efektif untuk mendorong kontribusi bank dalam mengembangkan industri pasar modal. "Dukungan keduanya juga Anggota Dewan Komisioner OJK lainnya jelas sangat berarti dalam upaya pendalaman pasar keuangan khususnya pasar modal Indonesia", tutup Nurhaida. Dikutip dari website OJK tentang dialog pendalaman pasar keuangan Tanggal 24 September 2014. Salah satu implikasi bagi perusahaan perasuransia adalah bahwa pendalaman pasar keuangan di satu sisi memperbanyak sumber-sumber pendanaan dari pihak eksternal melalui pasar keuangan (sisi sumber dana atau pembiayaan), dan memberikan pilihan investasi di sisi aset ketika perusahaan perasuransian melakukan alokasi investasi di pasar keuangan (sisi investasi). Namun perusahaan asuransi menghadapi risiko likuditas ketika investor atau kreditur yang menarik dananya, serta risiko pasar berupa fluktuasi nilai bunga atau keuntungan yang diperoleh dari berbagai instrumen di pasar keuangan yang dibeli oleh perusahaan perasuransian. Kuncinya tetap pada proses manajemen risiko, khususnya pada risiko manajemen aset/liabilitas yang akan diperdalam pada buku manajemen risiko di level berikutnya. REFERENSI International Monetary Fund (2003). International Financial Integration. IMF Working Paper, April 2003. International Monetary Fund (2011). Financial Deepening and International Monetary Stability. IMF STAFF DISCUSSION NOTE, October 19, 2011. Johannes Ehrentraud, Prachi Mishra, Kenji Moriyama, Papa N’Diaye, and Hiroko Oura.Box 2.2. Financial Deepening in Emerging Markets, Chapter 2: How Do Changes in The Investor Base and Financial Deepening Affect Emerging Market Economies? Global Financial Stability Report: Moving From Liquidity- To Growth-Driven Markets, International Monetary Fund, April 2014. 18 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Apergis, N., C. Christou and S. Miller (2012). Convergence patterns in financial development: Evidence from club convergence. Empirical Economics, (2012) 43:1011– 1040. George M. Von Furstenberg (1998). From Worldwide Capital Mobility to International Financial Integration: A Review Essay. Open Economies review 9: 53–84. Adalbert Winkler (2014). Finance, Perspective.Intereconomics 2014. Growth and Crisis – A European Mihail Petkovski and Kjosevski Jordan (2014). An Analysis of Non-Life Insurance Determinants for Selected Countries in Central and South Eastern Europe: A Co-Integration Approach. Romanian Journal of Economic Forecasting –XVII (3) 2014. Erik Feyen, Rodney Lester and Roberto Rocha (2011). What Drives the Development of the Insurance Sector? An Empirical Analysis Based on a Panel of Developed and Developing Countries. Policy Research Working Paper. Finance and Policy Units, Financial and Private Sector Development, The World Bank, February 2011. Stijn Claessens (2003). Corporate Governance and Development. The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank. Rahim, F.A., and H. Amin. (2011). Determinants of Islamic Insurance Acceptance: An Empirical Analysis. International Journal of Business and Society, Vol 12, No.2, 2011, p. 37-54. OECD (2014), Risk Management and Corporate Governance, Corporate Governance, OECD Publishing.http://dx.doi.org/10.1787/9789264208636-en. Alexander N. Kostyuk, Udo C. Braendle, and Rodolfo Apreda.CORPORATE GOVERNANCE. Virtus Interpress, Ukraine, 2007. Becht, M., Bolton, P., Roell, A. (2002), Corporate Governance and Control, ECGI Working Paper Series in Finance No 02/2002. Gary Herrigel (2007). Corporate Governance. The Oxford Handbook of Business History, Edited by Geoffrey Jones and Jonathan Zeitlin, Oxford University Press, 2007. Komite Nasional Kebijakan Governance (2009).Pedoman Good Corporate Governance Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Indonesia.Diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance, 2009. Brian R. Cheffins (2011). The History of Corporate Governance.University of Cambridge Faculty of Law Research Paper No. 54/2011. B. Elango and J. Jones (2011). Drivers of Insurance Demand in Emerging Markets.Journal of Service Science Research (2011) 3:185-204. 19 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014 JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014 Davide Furceri and Aleksandra Zdzienicka (2011).Financial Integration and Fiscal Policy. Open Economies Review. Springer Science+Business Media, LLC 2011, Published Online 9 December 2011. 20 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014