“Corporate Internet Reporting: An Asian Example

advertisement
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
URGENSI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
DI INDUSTRI PERASURANSIAN
Oleh
Budi Hermana
Prihantoro
Abstrak
Penerapan manajemen risiko di perusahaan perasuransian didasari berbagai
peristiwa dan perkembangan pemikiran, mulai pelajaran dari krisis finansial global
sampai implementasi tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu, peningkatan
permintaan produk asuransi serta tuntutan kebutuhan dan perlindungan konsumen
memerlukan proses manajemen risiko yang efektif. Peningkatan permintaan
asuransi harus dimanfaatkan oleh perusahaan perasuransian dengan tetap
memperhitungkan dinamika pasar, kondisi perekonomian, serta karakteristik dan
persepsi masyarakat tentang produk asuransi yang cenderung semakin kompleks.
Konvergensi sistem keuangan dan pendalaman pasar keuangan mendorong
perusahaan perasuransian terus mengembangkan berbagai teknik dan standar
manajemen risiko yang dapat mengantisipasi risiko yang timbul dari kompleksitas
sistem keuangan tersebut. Prinsip dan standar manajemen risiko pun terus
dikembangkan oleh berbagai asosiasi atau insitusi, baik asosiasi profesi maupun
regulator di tingkat internasional.
Kata Kunci: manajemen risiko
1. Pendahuluan
Perusahaan perasuransian merupakan suatu bentuk usaha yang berperan untuk
memberikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan atau pemegang polis
(selanjutnya disebut pemegang polis) di masa mendatang dan sekaligus menghimpun
dana masyarakat. Untuk dapat memenuhi kewajibannya, Perusahaan Perasuransian yang
terdiri dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi, termasuk yang beroperasi dengan sistem syariah, harus memegang
prinsip-prinsip asuransi terutama prinsip utmost good faith dan pelaksanaan good
corporate governance (GCG) atau tata kelola.
Krisis finansial global menunjukkan bahwa para pengelola perusahaan gagal untuk
melindungi pemilik dan pemangku kepentingan dari perusahaannya (Stanton, 2010).
Kegagalan tersebut menyadarkan para pengelola perusahaan tentang tata kelola perusahaan
yang baik sehingga bisa mengantisipasi atau bahkan memprediksi kemungkinan kejadian
1|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
serupa di masa datang.Meskipun pihak perusahaan merasa sudah menerapkan berbagai
prinsip tata kelola perusahaan, mereka tetap tidak dapat menghindar dari dampak krisis
tersebut yang relatif mengejutkan atau di luar dugaan.Bahkan banyak perusahaan yang tidak
menyadari betapa besarnya kerugian yang mereka alami. Kondisi tersebut menunjukan
bahwa tata kelola perusahaan bersifat dinamis atau berkembang sesuai dengan
perkembangan internal dan eksternal.
Sumber: U.S. Department of the Treasury
Gambar 1. Tahapan terjadinya Krisis Finansial Global
Krisis tersebut menjadi tantangan bagi kebijakan tata kelola perusahaan.OECD (2009)
menyebutkan empat aspek yang memerlukan perhatian sebagai respon dari krisis finansial
global, yaitu sistem renumerasi atau insentif, praktek manajemen risiko, kinerja dewan
direksi, serta pelaksanaan hak-hak dari pemegang saham.Aspek insentif menjadi salah satu
kontroversi karena para eksekutif perusahaan menikmati gaji luar biasa besar dengan skema
yang relatif tidak terstruktur dan tidak transparan, namun di sisi lain, gaji dan berbagai
kemudahan yang diperoleh tersebut tidak menolong perusahaan terhindar dari
krisis.Hubungan antara insentif dan kinerja pun akhirnya menjadi perdebatan.
Perdebatan pun merembet ke kinerja dewan direksi atau komisaris yang cenderung
menbiarkan situasi tersebut terjadi dan tidak melakukan keputusan-keputusan yang strategis
ketika indikasi krisis finansial global mulai terlihat.Kondisi tersebut juga menunjukkan
2|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
manajemen risiko yang tidak dapat menemukan masalah sistem insentif tersebut.
Pertanyaan berikutnya yaitu mengapa para pemegang saham tidak mampu menunjukkan
pertanggungjawaban yang memadai ketika krisis finansial global akhirnya merugikan
nasabah, bahkan akhirnya menimbulkan krisis ekonomi di berbagai Negara. Selain itu, isuisu mengenai implementasi standar tata kelola perusahaan pun ikut dipertanyakan.
Perusahaan kini dituntut untuk mampu mengenali bahkan mengukur kemungkinan
terjadinya kejadian serupa di masa datang agar dapat mengantisipasinya secara optimal,
atau setidaknya dapat dilakukan proses mitigasi yang dapat mengurangi dampaknya secara
signifikan. Sistem pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan risiko tersebut
memerlukan informasi yang lebih baik tentang gambaran skenario atau kemungkinan
terjadinya krisis tersebut, meskipun di sisi lain, dinamika dari kompleksitas sistem
keuangan global menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan manajemen risiko yang
efektif. Meskipun risiko atau ketidakpastian memang relatif sulit diukur dengan tepat dan
akurat di era globalisasi yang sistem keuangannya makin kompleks dan melewati batas
negara, namun hal tersebut bukan berarti menampikkan tanggung jawab perusahaan
keuangan
dalam menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menyimpan atau
mengivestasikan dananya di lembaga keuangan.
Good Corporate Governance
Tata kelola perusahaan perasuransian mempunyai peranan penting untuk meyakinkan dan
memperoleh kepercayaan daru para pemangku kepentingan, terutama konsumen dan
investor, bahwa perusahaan perasuransian telah dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
kewajaran, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan kemandirian.Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya, kepercayaan masyarakat dan para investor terhadap lembaga
keuangan mengalami penurunan pasca krisis finansial global. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan perusahaan untuk mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan tersebut
adalah dengan menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance). Becht, Bolton, dan Roell (2002) menyebutkan lima alasan mengapa tata kelola
menjadi istilah yang populer dalam periode duapuluh tahun terakhir, yaitu: (1) gelombang
privatisasi perusahaan di dunia; (2) reformasi dana pensiun dan pertumbuhan simpanan
masyarakat; (3) gelombang pengambilalihan perusahaan pada tahun delapan puluhan; (4)
deregulasi dan integrasi pasar modal, dan (5) krisis.
3|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Beberapa akademisi dan peneliti berbeda-beda pendapat mengenai kemunculan istilah
“corporate governance” dalam konteks sejarah dan perkembangan tata kelola perusahaan.
Kostyuk, Braendle, dan Apreda (2007) menyebutkan bahwa konsep “corporate governance”
muncul pertama kali dalam kepustakaan akademisi oleh Richard Eells (1960) yang
menyebutkan: “the structure and functioning of the corporate polity”. Menurut Cheffins
(2011), “Corporate governance” pertama kali menjadi mode di Amerika Serikat pada tahun
tujuh puluhan. Selama 25 tahun istilah tersebut menjadi bahan perdebatan akademisi,
regulator, eksekutif perusahaan, dan para investor di seluruh dunia. Herrigel (2007)
menyebutkan lima Negara yang disebut sebagai rejim tata kelola yang banyak dijadikan
rujukan di seluruh dunia yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang.
Kelima Negara tersebut menunjukkan perspektif yang relatif berbeda dilihat dari tingkat
integrasi dari empat dimensi yaitu tingkatan tata kelola perusahaan, sistem keuangan, hak
pemegang saham, dan otoritas politik.
Menurut Kostuk dkk (2007), istilah “Corporate Governance” dapat diartikan secara sempit
dan luas yang dikaitkan dengan dua perspektif, yaitu pemilik saham dan orientasi pemangku
kepentingan. Dalam pengertian sempit, tata kelola merupakan hubungan antara manajer
perusahaan, dewan direksi, dan pemilik saham. Sedangkan dalam pengertian luas, tata
kelola mencakup kombinasi dari undang-undang, peraturan, peraturan penerbitan saham,
dan praktek-praktek pengelolaan perusahaan swasta yang memungkinkan perusahaan dapat
menarik modal, beroperasi secara efisien, menghasilkan keuntungan, serta memenuhi
kewajiban hukum dan harapan masyarakat luas.
Claessens (2003) menyatakan bahwa pengertian tata kelola dapat dikelompokkan dalam dua
golongan.Golongan pertama menekankan pada pola perilaku yaitu perilaku aktual
perusahaan berupa ukuran-ukuran seperti kinerja, efisiensi, pertumbuhan, struktur
keuangan, dan perlakuan terhadappemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.
Kelompok definisi yang kedua menekankan pada kerangka kerja normatif yaitu peraturanperaturan di mana perusahaan beroperasi yang bersumber dari sistem hukum, sistem
peradilan, pasar keuangan, dan pasar tenaga kerja. Claessens (2003) mengutip beberapa
pengertian tata kelola yang banyak dijadikan rujukan di kalangan akademisi, yaitu dari
Cadburry Committee (1992): “Tata kelola perusahaanadalah sistem dimana perusahaan
diarahkan dan dikendalikan” dan Sheifer dan Vishny (1997): “Tata kelola berkaitan dengan
cara-cara yang membuat pemasok keuangan perusahaan yakin akan mendapatkan
keuntungan investasi”.
4|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Tabel 1. Pengertian Corporate Governance
Pengertian/Pernyataan
Penemu/Perspektif
Tata kelola perusahaan menjelaskan cara untuk memastikan bahwa
aksi korporasi, aset dan agen diarahkan untuk mencapai tujuan
perusahaanyang didirikan oleh pemegang saham perusahaan
Sternberg (1998) memberikan definisi
yang lebih mendukung perspektif dari
pemegang saham
Ada kesalahpahaman yang mendasar tentang pendekatan tata kelola
perusahaan yang memberikan perhatian utama pada masalah sosial,
politik, dan moral. Tata kelola perusahaan lebih luas lagi yaitu
mencakup manfaat untuk masyarakat secara keseluruhan, dan
perusahaan tidak dijalankan untuk menghadapi permasalahan yang
menjadi perhatian umum.
Lipton and Lorsch (1992) secara jelas
melihat dari perspektif pemangku
kepentingan
ketika
manajemen
perusahaan tidak cukup dibekali cara
untuk
menghadapi
banyak
konsituennya
Tata kelola perusahaan adalah proses pengawasan dan pengelolaan
modal dan sumber daya manusia perusahaan untuk kepentingan
pemilik perusahaan.
Hess (1996) mengulas posisi umum
tentang tata kelola di Amerika Serikat.
Pemegang saham sebagai fokus
perusahaan
Shleifer
and
Vishny
(1997).
Pengertian ini lebih luas dari
perspektif pemegang saham semata
karena kreditor lain dari perusahaan
disebutkan sebagai tambahan dari
pemegang saham
Centre
of
European
Policy
Studies(CEPS, 1995); Melindungi
kepentingan
semua
pemangku
kepentingan merupakan perspektif
tata kelola di Eropa daratan
The
Cadbury
Report
(1992)
memberikan definisi tata kelola yang
cukup netral, menitik beratkan pada
pemegang saham dan dewan direksi
Tata kelola berkaitan dengan cara-cara yang membuat pemasok
keuangan perusahaan yakin akan mendapatkan keuntungan investasi
Tata kelola perusahaan adalah keseluruhan sistem dari hak-hak,
proses dan pengawasan yang dibangun secara internal dan eksternal
di atas manajemen perusahaan dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan dari semua pemangku kepentingan.
Tata kelola perusahaan adalah sistem dimana perusahaan diarahkan
dan dikendalikan. Dewan direksi bertanggung jawab atas tata kelola
perusahaan mereka. Peran pemegang saham dalam tata kelola adalah
untuk mengangkat direksi dan auditor serta untuk memuaskan diri
mereka sendiri bahwa struktur tata kelola perusahaan sudah tepat.
Tata kelola perusahaan didefinisikan sebagai sekumpulan hubungan
antara manajemen perusahaan, dewan direksi, pemegang saham dan
pemangku kepentingan lainnya.
The OECD Principles of Corporate
Governance
(2004)
mencoba
memberikan definisi yang lebih luas
sebagai basis untuk Negara-negara
anggota OECD
Dikutip dari Kostyuk, Braendle, dan Apreda (2007)
Menurut International Financial Coporation (2012), tata kelola merupakan struktur dan
prosesuntuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tata kelola perusahaan
menyangkut hubungan antara manajemen, dewan direksi, pemegang saham pengendali,
pemegang saham minoritas, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan
yang baik memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
dengan meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan akses ke sumber permodalan
dari luar.
Mengacu ke Worldbank, tata kelola perusahaan terdiri dari empat pilar yaitu akuntabilitas,
keadilan, transparansi, dan tanggung jawab. Akuntabilitas menjamin bahwa jajaran
5|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
manajemen bertanggung jawab ke direksi dan direksi bertanggung jawab ke pemegang
saham.Pilar keadilan menjaga hak-hak pemegang saham, memperlakukan semua pemegang
saham dengan adil, termasuk pemegang saham minoritas. Pilar transparansi menjamin
kecepatan dan ketepatan pengungkapan semua informasi penting, termasuk
situasi
keuangan, kinerja, pememilikan, dan tata kelola. Pilar terakhir, yaitu tanggung jawab,
memahami hak-hak pemegang saham dan mendorong kerjasama antara perusahaan dengan
pemangku kepentingan dalam menciptakan kesejahteraan, pekerjaan, dan keberlanjutan
ekonomi.
Pada tahun 1999 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
mengembangkan prinsip-prinsip corporate governance yang selanjutnya disempurnakan
pada tahun 2004.Prinsip-prinsip tata kelola menurut OECD secara ringkas mencakup unsurunsur: (1) Memastikan basis kerangka kerja tata kelola yang efektif; (2) Hak-hak pemegang
saham dan fungsi pemegang saham pengendali; (3) Perlakuan adil terhadap pemegang
saham; (4) Peran pemegang saham pada tata kelola perusahaan ; (5) Pengungkapan dan
transparansi; serta (6) tanggung jawab direksi. Pada pedoman OECD tahun 2004 tersebut
disebutkan bahwa: “Kerangka kerja tata kelola perusahaan harus mendorong transparansi
dan pasar yang efisien, sejalan dengan peraturan hukum, dan membagi dengan jelas
kewajiban dan tanggung jawab di antara otoritas yang menjalankan fungsi pengawasan,
pengaturan dan penegakan hukum”.
Indonesia termasuk negara yang merespon krisis finansial global relatif cepat dengan
melakukan berbagai kebijakan dan reformasi menangkal atau mengurangi dampak krisis
finansial global. Pemerintah Indonesia membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Keuangan, dan
Industri Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999. KNKCG telah menerbitkan Pedoman
Nasional Good Corporate Governance pada tahun 1999 yang selanjutnya telah mengalami
beberapa perbaikan sampai pada tahun 2001.
OECD Principles of Corporate Governance
The corporate governance framework should protect and facilitate the exercise of shareholders’ rights.
The corporate governance framework should ensure the equitable treatment of all shareholders, including minority and
foreign shareholders. All shareholders should have the opportunity to obtain effective redress for violation of their rights
6|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
The corporate governance framework should recognise the rights of stakeholders established by law or through mutual
agreements and encourage active co-operation between corporations and stakeholders in creating wealth, jobs, and the
sustainability of
financially sound enterprises
The corporate governance framework should ensure that timely and accurate disclosure is made on all material matters
regarding the corporation, including the financial situation, performance, ownership, and governance of the company
The corporate governance framework should ensure the strategic guidance of the company, the effective monitoring of
management by the board, and the board’s accountability to the company and the shareholders
The corporate governance framework should promote transparent and efficient markets, be consistent with the rule of law
and clearly articulate the division of responsibilities among different supervisory, regulatory and enforcement authorities
The corporate governance framework should protect and facilitate the exercise of shareholders’ rights.
The corporate governance framework should ensure the equitable treatment of all shareholders, including minority and
foreign shareholders. All shareholders should have the opportunity to obtain effective redress for violation of their rights
The corporate governance framework should recognice the rights of stakeholders established by law or through mutual
agreements and encourage active co-operation between corporations and stakeholders in creating wealth, jobs, and the
sustainability of financially sound enterprises
The corporate governance framework should ensure that timely and accurate disclosure is made on all material matters
regarding the corporation, including the financial situation, performance, ownership, and governance of the company
The corporate governance framework should ensure the strategic guidance of the company, the effective monitoring of
management by the board, and the board’s accountability to the company and the shareholders
Pada tahun 2004 KNKCG diganti menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG) melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor:
KEP/49/M.EKON/11/2004. Pada tahun 2004 KNKG telah diterbitkan pedoman GCG untuk
sektor perbankan dan pada awal tahun 2006 terbit pedoman GCG Perasuransian
Indonesia.Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG) juga telah diperbaiki
kembali pada tahun 2006.KNKG dalam Pedoman Umum GCG tahun 2006 menyebutkan
lima asas GCG yaitu (Transparansi (Transparency), Akuntabilitas (Accountability),
Responsibilitas (Responsibility), Independensi (Independency), Kewajaran dan Kesetaraan
(Fairness). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengutip berbagai pedoman GCG yang telah
diterbitkan oleh KNKG seperti disajikan pada gambar di bawah ini.
7|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Gambar 2. Pedoman GCG yang diterbitkan KNKG (OJK, 2014)
Mengacu pada Pedoman Good Corporate Governance Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi Indonesia yang diterbitkan oleh KNKG pada tahun 2009, usaha perasuransian
merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan atau
pemegang polis dan sekaligus menghimpun dana masyarakat. Kedua peranan tersebut
mengalami perkembangan pesat sehingga memerlukan perusahaan perasuransian yang kuat
dan dapat diandalkan. Perusahaan Perasuransian yang terdiri dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan ReasuransidanPerusahaan Penunjang Usaha Asuransi, termasuk yang beroperasi
dengan sistem syariah, harus memegang prinsip-prinsip asuransi terutama prinsip utmost
good faith dan pelaksanaan good corporate governance untuk memenuhi kewajiban yang
telah diperjanjikan. GCG juga perlu dipahami oleh pemangku kepentingan agarPerusahaan
Perasuransian dapat berkembang lebih baik.
Pada pedoman tersebut juga disebutkan bahwa setiap perusahaan perasuransian harus
memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnisnya dan di seluruh jajaran
Perusahaan. Asas-asas GCG yang harus dipastikan pelaksanaanya tersebut terdiri dari lima
asas yaitu (1) Transparansi, (2) akuntabilitas, (3) responsibilitas, (4) indepedensi serta (5)
kewajaran dan kesetaraan. Penerapan asas tersebut diperlukan untuk mencapai
kesinambungan usaha (sustainability)Perusahaan dengan memperhatikan para pemangku
kepentingan(stakeholders).
.
8|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Lima Asas GCG
Perusahaan Asuransi Dan Reasuransi
TRANSPARANSI
Tranparansi(transparancy)mengandung unsur pengungkapan(disclosure)dan penyediaan informasi yang
memadai dan mudah diakses olehpemangkukepentingan
AKUNTABILITAS
Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasidancara
mempertanggungjawabkannya. Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar
RESPONSIBILITAS
Perusahaan harusmematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakantanggung-jawabterhadap
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambunganusaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagaiwarga korporasiyang baik (good corporate citizen)
INDEPENDENSI
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organPerusahaan besertajajarannya
tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi olehpihak manapun
KEWAJARAN DAN KESETARAAN
Kewajaran dan kesetaraan (fairness)mengandung unsur kesamaan perlakuan dan kesempatan. Dalam
melaksanakan kegiatannya, Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan Pemegang Saham dan
pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan
Sumber: Pedoman GCG Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
KNKG (2009)
Perkembangan Kode dan Standar Manajemen Risiko
Akibat krisis finansial global,
Effective risk management is a key element of good corporate
governance in financial and non-financial companies.
OECD (2009)
kini perusahaan memberikan
perhatian yang lebih besar
terhadap manajemen risiko.
Penerapan manajemen risiko
pun semakin populer di pelbagai sektor ekonomi, khususnya pada lembaga keuangan yang
merupakan pemicu sekaligus pihak yang paling parah terkena dampak krisis finansial
global.Kecenderungan tersebut tidak terlepas dari berbagai kejadian atau masalah yang
menimpa perusahaan akhir-akhir ini, termasuk krisis finansial global.Menurut (OECD,
2009), kejutan terbesar dari krisis finansial global yaitu kegagalan dalam penerapan
manajemen risiko pada perusahaan. Pada beberapa kasus, banyak risiko yang tidak dikelola
di tingkat perusahaan atau pengelolaan risiko berbasis korporasi. Para manajer risiko sering
bekerja tidak terintegrasi dengan manajemen perusahaan atau tidak diposisikan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi strategi perusahaan. Hal paling penting
9|Page
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
dari semua itu, pada sejumlah kasus dewan direksi tidak peka atau bahkan mengabaikan
pelbagai risiko yang dihadapi perusahaan, baik perusahaan keuangan maupun nonkeuangan. Menurut rekomendasi OECD tahun 2010, dewan direksi harus meninjau dan
menyediakan pedoman tentang penyelarasan strategi perusahaan dengan profil risiko dan
struktur manajemen risiko internal.
Perusahaan
Successful insurers in 2014 will be balancing risk and reward in
their asset portfolios, seeking yield while ensuring they are
rewarded for the retained risk
2014 Global Insurance Outlook
keuangan
dan
non-keuangan
secara
umum
menghadapi
kisaran
atau
kategori risiko yang relatif mirip sama yang perlu dikelola dengan efektif,
yaitu mencakup risiko operasional, risiko strategik, dan risiko pasar. Namun
pada perusahaan keuangan, volatilitas risikonya cenderung lebih besar
sehingga memerlukan upaya yang lebih besar dalam proses pengelolaan
risikonya. Posisi dan kondisi tersebut menyebabkan penerapan manajemen

Prinsip perlindungan
konsumen
perusahaan jasa
keuangan mencakuo
transparansi,
perlakuan yang adil,
keandalan,
kerahasiaan dan
keamanan data, serta
penanganan
pengaduan dan
penyelesaian
sengketa

risiko pada lembaga keuangan menjadi prioritas atau mendapat perhatian
lebih dari regulator di berbagai negara. Hal penting yang perlu dipahami oleh regulator atau
pembuat kebijakan dan standar, penerapan manajemen risiko yang efektif bukan berkaitan
dengan penghilangan fungsi pengambilan risiko, yang merupakan faktor pendorong yang
fundamental dalam bisnis.Bahkan peran lembaga keuangan seperti bank dan asuransi justru
menemaptakan diri sebagai perusahaan yang mengambilahih risiko yang dihadapi nasabah
atau tertanggung. Penerapan manajemen risiko yang efektif bertujuan untuk memastikan
bahwa risiko dapat dipahami, dikelola, dan jika perlu, dikomunikasikan kepada para
pemangku kepentingan.
Kebutuhan dan Perlindungan Konsumen
Menurut Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan, Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan
cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.Konsumen adalah pihak-pihak yang
menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa
Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis
pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang10 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
undangan di sektor jasa keuangan. Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: (a)
transparansi; (b) perlakuan yang adil; (c) keandalan; (d) kerahasiaan dan keamanan
data/informasi Konsumen; dan (e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa
konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Prinsip transparansi juga diberlukan terhadap risiko yang mungkin dihadapi oleh konsumen
terkait dengan produk asuransi yang akan dibelinya. Perusahaan asuransi diwajibkan
menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan secara tertulis,
sekurang-kurangnya memuat: (a) manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan, dan
(b) syarat dan ketentuan. Perusahaan asuransi juga wajib memberikan pemahaman kepada
konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen. Sebelum Konsumen menandatangani
dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan, perusahaan asuransi wajib
menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada
Konsumen, yang sekurang-kurangnya memuat: (a) rincian biaya, manfaat dan risiko, dan
(b) prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di perusahaan asuransi.
Perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan tersebut wajib diberitahukan kepada
konsumen paling lambat 30 hari sebelum berlakunya perubahan tersebut.Jika konsumen
tidak menyetujui perubahan tersebut maka konsumen berhak memutuskan produk dan/atau
layanan tanpa dikenakan ganti rugi.
Customer Protection
Insurers in the region are improving operational risk management to achieve higher levels of customer
satisfaction. Compared with insurers in other regions, those in Asia-Pacific were ranked relatively low in
reputation and confidence in our Voice of the customer survey. Agents and insurers pursuing aggressive topline growth have long been perceived as misselling. This was coupled with complaints of poor claims service
in the wake of the heavy catastrophe losses in 2011.
Regulators are addressing these concerns by intensifying the focus on customer protection. Examples include
Singapore’s implementation of the Financial Advisory Industry Review recommendations, CIRC moving to
increase consumer protection and South Korea forming an independent consumer protection agency to
monitor claims dispute and sales activities. Other developments include the Insurance Regulatory and
Development Authority in India tightening regulations on agent commissions and increasing oversight of
policyholder protection, and Malaysia issuing a concept paper considering several reforms, including
deregulation in some areas and tightening in others.
2014 EY Asia-Pacific Insurance Outlook
11 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Integrasi dan Kompleksitas Sistem Keuangan
Integrasi Sistem Keuangan International
Integrasi sistem keuangan pada dasarnya menunjukkan seberapa besar sistem perekonomian
berhubungan dengan sistem keuangan atau perdagangan internasional.Terminologi lainnya
yaitu keterbukaan (openness) yang menunjukkan derajat keterbukaan sistem perekonomian
sebuah Negara dengan perekomian global. IMF (2003) menggunakan beberapa indicator
untuk mengukur tingkat integrasi tersebut, di antaranya yaitu: (1) Jumlah total aset dan
kewajiban luar negeri sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB); (2) Jumlah
total aset dan kewajiban modal (penanam modal langsung dan portofolio saham) luar negeri
sebagai persentase dari PDB; (3) porsi aset dan kewajiban modal luar negeri terhadap total
aset dan kewajiban luar negeri; (4) indeks akun liberalisasi dengan kisaran nilai 0 – yaitu
tidak liberal, sampai 4 yaitu liberalisasi lengkap; dan (5) tingkat keterbukaan yaitu rasio
ekspor dan impor barang dan jasa terhadap PDB.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat keterbukaan keuangan menjadi
fenomena yang jadi bahan perdebatan dan kontroversi.Keterbukaan tersebut dapat dilihat
dari tingkat integrasi sistem keuangan sebuah Negara dengan sistem keuangan
global.Integrasi keuangan tersebut semakin cepat sejak berakhirnnya Bretton Wood System
pada tahun 1971. Pada Bretton Wood System, Negara-negara yang terlibat dalam
perdagangan international menetapkan kurs atau harga mata uangnya dengan nilai tetap
(fixed rate) terhadap Dolar Amerika yang ditetapkan sebagai mata uang rujukan. Setelah
berakhirnya sistem kurs tetap tersebut, nilai mata uang sebuah Negara dibiarkan
mengambang (floating rate) terhadap nilai mata uang lainnya.Perubahan tersebut bukan
tanpa risiko karena melemah dan menguatnya menjadi risiko keuangan tersendiri untuk
perusahaan yang masuk ke pasar international.Apresiasi dan depresiasi mata uang tersebut
tergantung pada mekanisme pasar, atau tergantung permintaan dan penawaran terhadap
mata uang yang bersangkutan.Perubahan nilai tukar tersebut menjadi salah satu jenis risiko
yang dihadapi perusahaan perasuransian ketika sudah menjadi bagian dari sistem keuangan
international, minimal berdampak pada transaksi reasuransi jika menjalin kerjasama
reasuransi dengan perusahaan asing.
Integrasi keuangan atau keterbukaan sistem perekonomian menunjukkan dampak yang
berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain. Krisis keuangan global yang melanda
12 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Asia, termasuk Indonesia, pada tahun 1998, ditengarai merupakan dampak dari keterbukaan
keuangan.Lembaga keuangan menjadi salah satu sektor perekonomian yang paling terkena
krisis tersebut, yang pada awalnya disebabkan penuruan nilai tukar mata uang di negaranegara di wilayah Asia secara drastis terhadap mata uang Dollar.
Krisis finansial global yang dimulai di Amerika Serikat pada tahun 2008 cepat menjalar ke
wilayah lain juga disebabkan sistem keuangan yang makin terbuka atau terintegrasi
melewati batas Negara. Mobilitas atau aliran modal asing serta keterkaitan hubungan
kreditur-debitur yang melewati batas Negara menyebabkan keterpurukan satu perusahaan
berdampak pada perusahaan lainnya yang terkait atau terafiliasi secara finansial di wilayah
lain. Efek domino tersebut menyebabkan rentetan krisis keuangan di beberapa Negara,
mulai dari Amerika Serikat ke wilayah Eropa, dan terus berlanjut ke wilayah Asia, termasuk
Indonesia.Hal ini menunjukkan bahwa integrasi keuangan international seperti memiliki dua
sisi, yaitu dampak positif dan negatif.Pertanyaannya yaitu siapakah yang memperoleh
keuntungan dari integrasi sistem perekonomian atau keuangan tersebut?Kondisi
perekonomian sebuah negara menjadi kuncinya, dan ini artinya menyangkut berbagai
variabel yang perlu dikaji lebih mendalam.
Financial Integration
We consider two types of measures of financial integration:de facto andde jure.Whilede
factomeasures reflect the actual exposure of a country to internationalfinancial markets,de
juremeasures reflect the policy restrictions that affect theactual openness of a country to the
markets. Therefore, althoughde juremeasurescould be considered superior for tracking
changes in restrictions,de factomeasures are preferable to capture the effectiveness of
enforcement of capitalcontrols, which can change over time even if the legal restrictions
themselvesremain unchanged.Thede factomeasures of financial integration used in the
empirical section drawupon the work of Lane and Milesi-Ferretti (2007).The authors
propose twomeasures of financial integration. The first (volume-based) measure (FI1) is
theshare of the total stocks of external assets and liabilities toGDP:
WhereFAandFLrefer to the stock of foreign (debt, portfolio and direct investment)assets
and liabilities, respectively. The second (equity-based) measure (FI2) is theshare of the sum
of the total stocks of portfolioassets and liabilities and the stocks ofdirect investment assets
and liabilities toGDP:
13 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
WherePEQA (L)andFDIA (L)are the stocks of portfolio equity and FDI assets(liabilities).
Financial Integration and Fiscal Policy
Furceri and Zdzienicka (2011)
Konvergensi Produk Perbankan dan Asuransi
Bank dan perusahaan perasuransian secara tradisional mempunyai peran sebagai lembaga
keuangan yang mengumpulkan dana dan menginvestasikan kembali ke berbagai alternative
investasi. Pada sisi sumber dana, kedua lembaga keuangan tersebut relatif berbeda yaitu
premi pada asuransi dan simpanan masyarakat di bank. Namun pada sisi penempatan dana,
investasi kedua lembaga tersebut bersinggungan, khususnya pada instrumen pasar uang dan
pasar modal. Kondisi tersebut membuat produk bank dan asuransi cenderung menunjukkan
konvergensi, bahkan dapat menawarkan produk bersama, seperti produk asuransi berunsur
investasi atau produk bancassurance.
Berbagai teknik pengelolaan aset dan liabilitas pada bank dan asuransi, khususnya dalam
melakukan portofolio investasi di pasar keuangan, menjadi relatif sama atau dapat
diterapkan secara bersama. Risiko pasar sebagai implikasi dan integrasi keuangan seperti
telah dijelaskan sebelumnya, menjadi risiko yang juga dialami oleh bank dan asuransi.
Prinsip manajemen risikonya pun secara umum relatif sama, khususnya yang berhubungan
dengan risiko pasar seperti perubahan tingkat bunga dan kurs yang berdampak pada hasil
atau imbal jasa investasi perusahaan perasuransian dan bank. Aspek regulasi mengenai
pendanaan atau kemampuan permodalan pun mempunya prinsip perhitungan yang relative
sama, yaitu berbasis risiko aset atau invetasi. Jika bank mempunyai terminology CAR
(Capital Adequacy Ratio)- rasio antara modal dengan aktiva tertimbang menurut risikomaka perusahaan asuransi mempunyai RBC (Risk Based Capital)- yang juga menunjukkan
rasio antara modal dengan risiko aset dan risiko lainnya yang berpotensi menimbulkan
kerugian perusahaan.
Bancassurance: The New Challenges
14 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Is bancassurance simply a method of distributing insurance products? By definition, yes it
is, but more than that, it is a global movement that is gradually breaking down the
traditional barriers between the various businesses of supplying financial products and
services. Insurers and bankers have all set their sights on the gold mine of household
savings and the related asset management business.
The risks and vulnerabilities
Image risk
This is the biggest risk for banks. Lack of control over the handling of claims, and
possible delays or problems in paying out settlements can damage a bank’s image and its
relations with its clients. It is therefore in the bank’s interest to have visible ties with an
insurer and to market products under the insurer’s brand. The insurer is thus viewed as
being responsible for all claims-related issues and assumes at least part of the image risk.
Qualifications of account managers
Selling non-life products requires different skills from those needed to sell savings
products. According to some observers, there are certain fundamental differences in culture
which cannot be overcome, even by investing heavily in training. Two key issues are
salesforce training and type of products.
General risks concerning relations with the network, including product cannibalization risk
Very close ties (without integration) can bring the partnership to breaking point, potentially
leading to a very expensive divorce. Cannibalization between banking and insurance
products represents a real risk. The same risks exist in assurfinance. However, in the same
way that bancassurance exposes the banks to certain risks, so assurfinance can give rise to
dangers for the insurance companies. The main dangers can be summarized as follows: (a)
Clients may be reluctant to conduct all their financial dealings with a single partner; (b)
Products may be oversold to clients of captive networks; (c) Rivalries among distribution
networks, especially between insurance agencies and new bank branches, may lead to
fragmentation of the client base and/or ring-fencing of product offers (offers labelled
‘‘bank’’ or ‘‘insurance’’); (d) Creating a banking business from scratch requires heavy
investments.
Gilles Benoist (2002). Bancassurance: The New Challenges. The Geneva Papers on Risk and Insurance, Vol.
27 No. 3 (July 2002) 295–303
Konvergensi keuangan menjadi salah satu isu menarik yang banyak diteliti, terutama untuk
mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi konvergensi serta dampak konvergensi
tersebut terhadap perekonomian Negara atau dalam konteks ekonomi mikro, dampaknya
terhadap perusahaan, termasuk perusahaan perasuransian sebagai lembaga keuangan yang
merupakan bagian dari sistem keuangan secara makro. Menurut Furstenberg (1998),
pengertian integrasi keuangan international dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
pengertian dilihat dari prerequisite untuk integrasi tersebut dan pengertian ditinjau dari
15 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
konsekuensi atau dampak integrasinya. Sebagai perantara keuangan, perusahaan
perasuransian termasuk salah satu mata rantai dalam integrasi keuangan tersebut. Apergis
dkk (2012) menyebutkan bahwa kualitas sistem perantara keuangan – yaitu seberapa
efektifnya alokasi dana, dan ukuran sistem keuangan merupakan faktor kunci dari tingkat
konvergensi (atau divergensi) pendapatan pada sebuah Negara.
Pendalaman Pasar Keuangan
Ehrentraud dkk (2014) menyatakan bahwa pendalaman keuangan didefisinikan sebagai
ukuran pasar keuangan relatif terhadap aktivitas perekonomian serta berbagai fungsi yang
dilakukan pada pasar keuangan tersebut. Fungsi-fungsi tersebut meliputi perantara
keuangan, penentuan harga, dan lindung nilai.Berbagai fungsi tersebut diukur oleh beberapa
indikator berbasis perbankan seperti rasio kredit terhadap PDB, indicator berbasis pasar
seperti ukuran pasar obligasi pemerintah, pasar valuta asing, dan derivative), serta indikator
akses keuangan.
Menurut IMF (2011), secara konseptual, kedalaman pasar keuangan mengandung
pengertian bahwa: (i) Sektor dan agen dapat menggunakan berbagai pasar keuangan
untuktabungan dan keputusan investasi, termasuk pada saat jatuh tempo panjang (akses);
(ii) Perantara keuangan dan pasar keuangan dapat menyediakan volume dana yang lebih
besar danmenanganiperputarannyayang lebih besar, tanpa memerlukan pergerakan harga
aset yang tinggi (likuiditas pasar); dan (iii) sektor keuangan dapat menyediakan pilihan aset
yang luas untuk tujuan berbagi risiko (hedging atau diversifikasi). Pendalaman pasar
keuangan memberikan pilihan lebih banyak kepada masyarakat atau investor dengan
ketersedian berbagai variasi instrumen investasi di pasar uang dan pasar modal, dan dari
kepentingan perantara keuangan (pasar modal, bank dan asuransi), tersedia berbagai
altenatif sumber pendanaan eksternal.
Pendalaman keuangan tidak menjamin stabilitas keuangan (Ehrentraud dkk, 2014). Bahkan
menurut Winkler (2014), krisis finansial global pada tahun 2008 didahului oleh
pertumbuhan tinggi dan kemajuan pesat pada pendalaman pasar keuangan di negara-negara
maju dan negara berkembang.Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan berbagai
instrumen investasi di pasar uang dan pasar modal selain memberikan keuntungan dari sisi
16 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
permintaan dan penawaran dana yang lebih variatif dan volume yang lebih besar, juga
mengandung risiko investasi, baik dari sisi investor atau kreditur, maupun dari sisi perantara
keuangan. Pendalaman pasar keuangan tidak serta merta menghilangkan risiko investasi di
pasar keuangan, baik di pasar uang maupun di pasar modal.
OJK Serius Perdalam Pasar Keuangan
Pasar modal Indonesia punya potensi tumbuh lebih besar dari pasar modal negara lain di kawasan. Nurhaida,
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal yang juga salah satu Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) menjelaskan kesiapan OJK untuk memperdalam pasar keuangan khususnya pasar modal.
"Pendalaman pasar modal punya 4 building blocks: penguatan infrastruktur sistem teknologi informasi,
penyediaan regulasi yang akomodatif bagi industri sekaligus lebih melindungi investor, peningkatan sisi
penawaran dan permintaan produk, serta efektifnya pengawasan dan penegakan hukum di pasar modal.
Kesemuanya diorientasikan pada peningkatan likuiditas dan kemampuan kompetitif pasar modal nasional
memasuki era integrasi ekonomi ASEAN pada 2015 mendatang", papar Nurhaida di awal sesi.
Lebih kongkret, Nurhaida memaparkan beberapa strategi pengembangan yang telah dan akan dilanjutkan di
2015 mendatang. Terkait dengan pasar perdana, OJK mulai 2015 akan memperkenalkan mekanisme
penawaran umum berkelanjutan kepada emiten saham. Pasca go public, kewajiban keterbukaan bisa dilakukan
emiten melalui situs internetnya dan web bursa. Mulai 2015 pula kewajiban pelaporan emiten ke OJK bisa
dilakukan secara elektronik. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk efisiensi proses tersebut akan
meningkatkan minat perusahaan untuk go public.
Pasar modal Indonesia juga akan memiliki instrumen baru dengan adanya salah satu pelaku bisnis pembiayaan
sekunder perumahan yang akan menerbitkan Efek Beragun Aset berupa Surat Partisipasi (EBA SP). Meski
tidak menyebutkan identitas pihak penerbit, Nurhaida meyakini EBA SP akan menjadi pilihan instrumen
investasi baru yang menarik bagi investor. Pertambahan jumlah emiten dan produk keuangan merupakan
faktor penting untuk memperdalam pasar, di samping tentunya peningkatan jumlah investor, jelas Nurhaida.
Terkait peningkatan jumlah investor, OJK punya strategi khusus guna memperluas basis pemodal domestik
dengan akan dibukanya kesempatan pihak selain bank berfungsi sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
(APERD). Lembaga keuangan lain dengan jaringan luas dan pengalaman panjang sebagai pemasar produk
keuangan seperti perusahaan perasuransian, perusahan pembiayaan, pergadaian, bahkan perusahaan jasa pos
bisa mengajukan permohonan sebagai APERD mulai tahun depan. Saya yakin jumlah investor domestik
khususnya retail akan meningkat cukup progresif di 2015 mendatang dengan dukungan lembaga non bank
yang berfungsi sebagai APERD, Nurhaida mengutarakan keyakinannya tersebut.
Upaya pendalaman pasar keuangan oleh OJK menurut Nurhaida tidak hanya dilakukan pada sisi supply dan
demand industri, namun juga dari sisi pengembangan infrastruktur pasar. Sistem penyelesaian transaksi akan
semakin disempurnakan dengan pengembangan C-Best Next Generation milik KSEI, e-Clears milik KPEI,
dilibatkannya Bank Kustodian sebagai Settlement Agent, dan dukungan Bank Indonesia untuk penyelesaian
transaksi yang lebih efisien. OJK bersama KSEI juga akan memperluas penerapan Single Investor
Identification (SID) yang sebelumnya hanya untuk investor yang tercatat di KSEI akan diperluas pula untuk
investor reksa dana, investor yang terdaftar di BAE, dan investor Surat Berharga Negara.
Khusus di segmen surat utang, OJK juga akan menerbitkan aturan khusus yang menjadi pedoman umum bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi repo (General Master Repurchase Agreement). Regulasi baru
tersebut akan dilengkapi pula dengan aturan terkait lainnya yang mengatur intermediaries dan aspek
transparansi dalam penyelesaian transaksi surat utang. Selain penerapan Electronic Trading Platform (ETP)
untuk surat utang, pada 2015 nanti juga akan diluncurkan Bond Index, Nurhaida menambahkan.
Mengakhiri dialognya Nurhaida menyampaikan bahwa keberadaaan OJK sebagai lembaga pengawas sektor
jasa keuangan yang terintegrasi memudahkan proses penyusunan kebijakan lintas sektor jasa keuangan yang
17 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
saling bersinergi. Nurhaida lebih mudah berkoordinasi dan meminta dukungan Firdaus Djaelani, Kepala
Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK,agar perusahaan perasuransian dan dana pensiun lebih
berperan aktif sebagai investor di pasar modal. Koordinasi dengan Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif
Pengawas Bank OJK juga lebih efektif untuk mendorong kontribusi bank dalam mengembangkan industri
pasar modal.
"Dukungan keduanya juga Anggota Dewan Komisioner OJK lainnya jelas sangat berarti dalam upaya
pendalaman pasar keuangan khususnya pasar modal Indonesia", tutup Nurhaida.
Dikutip dari website OJK tentang dialog pendalaman pasar keuangan
Tanggal 24 September 2014.
Salah satu implikasi bagi perusahaan perasuransia adalah bahwa pendalaman pasar
keuangan di satu sisi memperbanyak sumber-sumber pendanaan dari pihak eksternal
melalui pasar keuangan (sisi sumber dana atau pembiayaan), dan memberikan pilihan
investasi di sisi aset ketika perusahaan perasuransian melakukan alokasi investasi di pasar
keuangan (sisi investasi). Namun perusahaan asuransi menghadapi risiko likuditas ketika
investor atau kreditur yang menarik dananya, serta risiko pasar berupa fluktuasi nilai bunga
atau keuntungan yang diperoleh dari berbagai instrumen di pasar keuangan yang dibeli oleh
perusahaan perasuransian. Kuncinya tetap pada proses manajemen risiko, khususnya pada
risiko manajemen aset/liabilitas yang akan diperdalam pada buku manajemen risiko di level
berikutnya.
REFERENSI
International Monetary Fund (2003). International Financial Integration. IMF Working
Paper, April 2003.
International Monetary Fund (2011). Financial Deepening and International Monetary
Stability. IMF STAFF DISCUSSION NOTE, October 19, 2011.
Johannes Ehrentraud, Prachi Mishra, Kenji Moriyama, Papa N’Diaye, and Hiroko Oura.Box
2.2. Financial Deepening in Emerging Markets, Chapter 2: How Do Changes in The
Investor Base and Financial Deepening Affect Emerging Market Economies? Global
Financial Stability Report: Moving From Liquidity- To Growth-Driven Markets,
International Monetary Fund, April 2014.
18 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Apergis, N., C. Christou and S. Miller (2012). Convergence patterns in financial
development: Evidence from club convergence. Empirical Economics, (2012) 43:1011–
1040.
George M. Von Furstenberg (1998). From Worldwide Capital Mobility to International
Financial Integration: A Review Essay. Open Economies review 9: 53–84.
Adalbert Winkler (2014). Finance,
Perspective.Intereconomics 2014.
Growth
and
Crisis
–
A
European
Mihail Petkovski and Kjosevski Jordan (2014). An Analysis of Non-Life Insurance
Determinants for Selected Countries in Central and South Eastern Europe: A Co-Integration
Approach. Romanian Journal of Economic Forecasting –XVII (3) 2014.
Erik Feyen, Rodney Lester and Roberto Rocha (2011). What Drives the Development of the
Insurance Sector? An Empirical Analysis Based on a Panel of Developed and Developing
Countries. Policy Research Working Paper. Finance and Policy Units, Financial and Private
Sector Development, The World Bank, February 2011.
Stijn Claessens (2003). Corporate Governance and Development. The International Bank
for Reconstruction and Development, The World Bank.
Rahim, F.A., and H. Amin. (2011). Determinants of Islamic Insurance Acceptance: An
Empirical Analysis. International Journal of Business and Society, Vol 12, No.2, 2011, p.
37-54.
OECD (2014), Risk Management and Corporate Governance, Corporate Governance,
OECD Publishing.http://dx.doi.org/10.1787/9789264208636-en.
Alexander N. Kostyuk, Udo C. Braendle, and Rodolfo Apreda.CORPORATE
GOVERNANCE. Virtus Interpress, Ukraine, 2007.
Becht, M., Bolton, P., Roell, A. (2002), Corporate Governance and Control, ECGI Working
Paper Series in Finance No 02/2002.
Gary Herrigel (2007). Corporate Governance. The Oxford Handbook of Business History,
Edited by Geoffrey Jones and Jonathan Zeitlin, Oxford University Press, 2007.
Komite Nasional Kebijakan Governance (2009).Pedoman Good Corporate Governance
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Indonesia.Diterbitkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2009.
Brian R. Cheffins (2011). The History of Corporate Governance.University of Cambridge
Faculty of Law Research Paper No. 54/2011.
B. Elango and J. Jones (2011). Drivers of Insurance Demand in Emerging
Markets.Journal of Service Science Research (2011) 3:185-204.
19 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO
Volume 2, Nomor 2, September 2014
Davide Furceri and Aleksandra Zdzienicka (2011).Financial Integration and Fiscal Policy.
Open Economies Review. Springer Science+Business Media, LLC 2011, Published Online
9 December 2011.
20 | P a g e
ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA
(AAMAI) 2014
Download