BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Media

advertisement
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Media massa berformat cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, buletin, atau buku
merupakan produk ideologis yang masing-masing memiliki misi berbeda1. Setiap perusahaan
media, baik media lokal maupun nasional, memiliki sistem kerja yang terangkum dalam
proses manajemen medianya masing-masing. Namun, manajemen media dipastikan harus
memberikan pengetahuan tentang pengelolaan media dan prinsip-prinsip manajemen dengan
seluruh proses manajemennya secara utuh yang meliputi berbagai fungsi manajemen, yaitu
planning, organizing, influencing, budgeting, controlling2.
Semua keterbatasan yang dihadapi institusi media menjadi alasan pentingnya
menyusun strategi menajemen yang apik demi tercapainya tujuan institusi media. Hingga kini
belum ada satu formula manajemen media yang baku. Masing-masing perusahaan menyusun
pola manajemennya berdasarkan visi-misi, situasi, lingkungan, keragaman latar belakang
sumber daya yang terlibat, serta perspektif yang mereka anut3.
Di Indonesia sendiri, kelonggaran kebijakan hukum pers yang diusung melahirkan
banyak sekali ragam perusahaan media. Regulasi hukum atau undang-undang tentang
kepengurusan pers yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU No. 40/1999 yang disahkan
oleh Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie, pada tanggal 23 September 1999. Pasal 9 ayat
(1) menuturkan bahwa setiap orang (WNI) bisa mendirikan perusahaan pers, sementara
pasal 9 ayat (2) menukaskan bahwa pers yang didirikan haruslah berbentuk badan hukum
Indonesia.
Bertolak dari regulasi tersebut, seharusnya batasan akan syarat berdirinya perusahaan
media dalam bentuk badan hukum Indonesia cukup jelas. Namun, praktiknya banyak
ditemukan media-media independen tanpa kuasa hukum yang resmi, mulai dari media
komunitas hingga yang bersifat komersial. Melihat poin ayat ke-2 dari pasal 9 tersebut yang
terabaikan, kemudahan dan kebebasan yang ada lantas mendorong munculnya deretan media
1
Totok Djuroto. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 15.
Amir Effendi Siregar.”Kajian dan Posisi Manajemen Media serta Peta Media di Indonesia” dalam Diyah Hayu
Rahmitasari (ed). 2010. Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta: Total Media. Hal. 5-6.
3
Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 13.
2
dengan ragam luas karakter pengorganisasian dan latar belakang sumber daya manusia,
termasuk dari golongan yang rentan dalam profesionalismenya.
Warning Magazine merupakan wujud konkret dari media cetak bersifat komersial
yang sejauh ini mampu menancapkan konsistensi eksistensinya di industri media seiring
dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya memenuhi karakter manajemen media
profesional. Kendati menganut elemen-elemen pokok dalam setiap majalah seperti jadwal
terbit, format majalah, atau target audiens, sejumlah indikator seperti prioritas kerja dan
pendanaan untuk gaji personil belum dapat dipenuhi. Penulis melihat adanya pengelolaan
struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan sistematis layaknya
media-media berbasis bisnis lainnya.
Padahal, sebagai satu-satunya majalah berkonten utama musik yang berasal dari kota
Yogyakarta, majalah Warning Magazine telah menjadi media yang diterima dengan baik oleh
publik, terutama oleh para penikmat musik tanah air dengan jangkauan nasional, baik dari
aspek penjualan hingga konten yang disajikan (nasional dan internasional). Untuk tiap
edisinya, oplah yang dicapai ialah 1000 eksemplar untuk didistribusikan pada 39 titik
penjualan dari 13 kota di Indonesia, serta 1 titik di Negara Singapura. Didirikan dan
dikembangkan dari nol seutuhnya secara mandiri, majalah Warning Magazine bebas dari
sokongan institusi pendidikan dan suntikan modal dari perusahaan atau korporasi. Sejak
meluncur pada bulan Desember tahun 2012, majalah Warning Magazine kini memiliki 26
anggota dari golongan kaum muda dengan rentang usia 20 hingga 24 tahun. .
Menurut Richard Flacks, kaum muda adalah mereka yang melewati usia 16 tahun
namun belum memasuki masa partisipan tenaga kerja4. Kaum muda adalah saat dimana fase
perkembangan anak-anak membutuhkan sebuah periode pemisahan dan persiapan untuk siap
dalam kultur kerja. Masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa itu diisi dengan
sekolah formal untuk mengembangkan kapasitas spesialisasi dan keterampilan demi nantinya
mendapatkan peran di masyarakat dan fungsi dalam industri5. Proses mempersiapkan potensi
kerja yang berkesinambungan itu diantaranya termasuk pendidikan disiplin, literasi, latihan
keterampilan, dan perilaku.
Manajemen media dari majalah Warning Magazine pun menjadi menarik untuk dikaji
lantaran memiliki pola dan karakter unik, yang nampak sangat dipengaruhi oleh status
anggotanya yang seluruhnya ditempati oleh kaum muda. Penelitian ini kemudian hendak
4
5
Richard Flacks. 1972. Youth and Social Change. Chicago:Markham Publishing Company. Hal. 9.
Ibid. Hal. 10.
mengupas bagaimana majalah Warning Magazine dikembangkan dan dikelola seutuhnya oleh
individu-individu dengan segala keterbatasannya, mulai dari profesionalisme, dana, hingga
prioritas kerja, dimana tak ada satupun dari anggotanya yang menempatkan keterlibatan di
media ini sebagai profesi utama. Bersama sifat kemandirian yang ada, berbagai kendala
seperti tak adanya kontrak kerja, ketiadaan regulasi, jam kerja dan divisi kerja yang jelas,
pengalaman profesi yang minim, hingga proses produksi yang masih harus bersinggungan
dengan kewajiban akademis, menjadi elemen-elemen yang ambil andil membentuk karakter
pengambilan keputusan serta pengelolaan bidang-bidang dalam manajemen majalah Warning
Magazine, misalnya bidang redaksi atau bidang pemasaran. Termasuk juga problema
efektivitas dan efisiensi proses koordinasi dan integrasi kegiatan-kegiatan kerja yang ada.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana manajemen media Warning Magazine dijalankan oleh kaum muda pada bulan
Januari tahun 2014 hingga bulan Maret 2015?
C. Tujuan Penelitian

Untuk mendeskripsikan manajemen media Warning Magazine pada bulan Januari
tahun 2014 hingga bulan Maret 2015.

Untuk mengidentifikasi kendala dan hambatan dalam profesionalisme pengelolaan
Warning Magazine pada bulan Januari tahun 2014 hingga bulan Maret 2015.

Untuk memahami hubungan dan interaksi setiap bagian atau individu yang
membentuk pola manajemen dalam majalah musik Warning Magazine pada bulan
Januari tahun 2014 hingga bulan Maret 2015.
D. Manfaat Penelitian

Sebagai referensi dan rujukan solusi bagi permasalahan institusi, terutama media yang
eksis dalam pengelolaan kaum muda.

Sebagai sumbangsih bagi kajian ilmu komunikasi terhadap penelitian selanjutnya
yang terkait dengan tema penelitian.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kebebasan Pers di Indonesia
Hampir semua pihak sepakat bahwa kebebasan pers adalah hal yang mesti dijaga
keeksisannya di negara manapun. Berbagai negara pun memberikan jaminan akan hal
tersebut. Amerika Serikat misalnya, menjamin kebebasan pers melalui Amandemen I dengan
tidak memperbolehkan adanya undang-undang yang menghapus atau membatasi kebebasan
pers6. Sementara di Indonesia, kebebasan pers yang sempat dikekang pada era orde baru pun
mendapatkan angin segar lewat undang-undang nomor 40 tahun 1999, yang merupakan
kerangka hukum yang baru dalam menaungi eksistensi perusahaan media di Indonesia.
Secara fundamental, undang-undang nomor 40 tahun 1999 sebagai landasan hukum
pers yang berlaku di Indonesia mendefinisikan pers sebagai lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia7. Yang
paling signifikan, pasal 9 dari undang-undang tersebut menjamin penuh kebebasan
mendirikan suatu perusahaan pers, sekaligus menggeser regulasi SIUUP yang diusung di orde
baru8.
Pasal 9 mengenai kebebasan pers berbunyi :
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia
Peran fundamental pers untuk menyebarluaskan informasi secara bertanggungjawab,
adil, dan benar dijamin dalam kebebasan pers. Agar informasi dapat disebarkan dengan
leluasa, setiap orang mempunyai hak untuk mendirikan perusahaan pers yang berbentuk
badan hukum. Dengan demikian, ruang warga negara untuk menyalurkan pendapat dan
informasinya juga semakin terbuka.
Akibat kebebasan tersebut, bisnis penerbitan pers yang sebelumnya serasa dibatasi di
orde baru, kini terbuka lebar. Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers
mengisyaratkan bahwa siapa saja boleh mendirikan media tanpa harus terlebih dahulu
6
Mursito BM. 2006. Memahami Institusi Media : Sebuah Pengantar. Surakarta : SPIKOM. Hal. 196.
Krisna Harahap. Op.Cit. Hal. 15.
8
Suroso. Op.Cit. Hal. 205.
7
mengajukan dan mendapatkan ijin khusus dari pemerintah. Ini yang kemudian memunculkan
banyak media baru dan memperketat persaingan. Menurut penelitian yang pernah dilakukan
oleh Felix Jibarus9, surat kabar dan majalah tumbuh subur sejak era reformasi, dimana
melonjak 400 persen dari 286 penerbitan di tahun 1997 hingga 1500 penerbitan pada akhir
1998.
Seiring perkembangannya, heterogenitas jenis media yang muncul pun patut disimak.
Perusahaan media, dari jajaran konten, visi-misi, latar belakang dan sumber daya manusia
yang berbeda-beda silih berganti menancapkan eksistensi dengan mudahnya. Media
berformat majalah terutama, sempat menjamur sebelum kini mulai terseok-seok oleh
perkembangan media online, dari majalah-majalah dengan konten segmental yang umum
seperti majalah anak muda, politik, olahraga, hingga majalah yang menyasar pasar alternatif
seperti majalah tato, majalah musik independen, majalah seni visual, majalah sastra, majalah
yang terbit tak rutin, majalah berformat zine, hingga majalah gratis yang diolah bak katalog
iklan. Tak sedikit yang sama sekali tak berbadan hukum atau terdistribusi dengan metode
yang tak lazim, apalagi dikelola oleh individu-individu dengan jenjang pendidikan dan
profesi tertentu.
Namun, berbagai penerbitan media itu ternyata secara perlahan tapi pasti tumbang
satu persatu karena ternyata tidak siap dengan tuntutan dalam bisnis pers, dimana sebagian
lain sukses karena dikelola secara efisien, menghasilkan produk berkualitas dan dijual dengan
harga yang kompetitif. Sementara yang lainnya, dikelola jauh dari profesional, hingga tak
jarang sekedar bertahan kurang dari hitungan tahun. Keran kebebasan yang dibuka ternyata
memang tak ketinggalan mengundang penerbitan-penerbitan yang sembarang. Memang
koran-koran baru, majalah baru, serta penerbitan pers lainnya banyak bermunculan, tetapi
kontinuitas penerbitan mereka cenderung hanya seumur jagung.
2. Sumber Daya Organisasi dalam Media Cetak
Selain peluang mendirikan media, makin terbukanya keran demokrasi dalam industri
pers tanah air juga memberi peluang bagi pengembangan potensi pada pengelolaan konten
maupun teknis internalnya10. Kebebasan itu bersifat koheren dengan perkembangan
keragaman sumber daya yang tersedia bagi organisasi media, lantaran kinerja dan aktivitas
9
Felix Jibarus. http://infomoneter.com/pers-indonesia-dari-tangan-penguasa-ke-pengusaha/. Diakses pada
tanggal 20 Januari 2013.
10
Suroso. Op.Cit. Hal. 7.
media jelas sepenuhnya bergantung dengan apa yang dikelola di dalam organisasi media
tersebut. Sebaliknya, kuantitas dan kualitas sumber daya juga bergantung pada pola
pengelolaannya. Sehingga, untuk bisa mewujudkan pers yang profesional, dibutuhkan
manajemen sumber daya yang profesional pula.
Dalam media cetak, sumber daya yang terlibat secara umum meliputi dana, peralatan
dan personil yang secara strategis tersebar untuk mengumpulkan dan mendistribusikan
konten11. Apapun jenis konten yang coba disajikan oleh media, keputusan akan bagaimana
mereka menyeleksi, mengalokasikan, mengawasi dan mempertahankan sumber dayanya
harus dipertimbangkan.
Misalnya, media cetak dengan sumber daya manusia yang unggul punya kans lebih
tinggi dalam kelangsungan produksi kontennya. Diantaranya pers harus mampu merekrut
sumber daya manusia handal untuk menampilkan penerbitan yang cerdas, jujur, dan
informatif. Karena industri pers merupakan kerja kolektif, pihak manajemen harus mampu
melahirkan wartawan yang memadai, termasuk berpengetahuan luas, memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi, kemauan keras untuk mewujudkan apa yang diyakininya benar, adaptif, sehat
jasmani dan rohani, serta mampu menggunakan teknologi alat-alat jurnalistik dalam
menyampaikan gambar dan berita.
Namun, sumber daya manusia atau pegawai bukan satu-satunya sumber daya yang
wajib diperhatikan dalam sebuah organisasi media. Ada juga kondisi finansial suatu media
yang berpengaruh pada perekrutan pegawai, dimana nantinya mereka bekerja memproduksi
konten sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan dana kembali. Dalam hubungan
yang berlangsung koheren dan sistematis antara satu dan yang lainnya, sumber daya
organisasi media dapat dibagi menjadi empat, yakni sumber daya manusia, konten, finansial,
dan teknologi.
a. Sumber Daya Manusia
Sumber daya dalam sebuah organisasi pada garis besarnya dapat dikategorikan dalam
dua golongan yaitu sumber daya manusia dan sumber daya non-manusia. Kedua kategori
tersebut sama pentingnya sesuai fungsi masing-masing, Akan tetapi, sumber daya manusia
adalah faktor yang dominan karena ialah satu-satunya sumber daya yang memiliki akal,
perasaan, keinginan, kebutuhan, pengetahuan, motivasi, keterampilan, dan aktivitasnya
11
John A. Fortunato. 2005. Making Media Content.: The Influence of Constituency Groups On Mass Media.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Hal. 74.
sangat mempengaruhi kinerja organisasi12. Maka dari itu, manajemen sumber daya manusia
yang kredibel adalah salah satu indikator penting dalam tatanan manajemen media
profesional.
Manajemen SDM sendiri didefinisikan sebagai rancangan sistem-sistem formal dalam
sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien
guna mencapai tujuan-tujuan organisasional13. Entah apakah organisasi itu merupakan
perusahaan raksasa atau organisasi nirlaba kecil, mereka mesti direkrut, diseleksi, diatur, dan
dibayar.
Manajemen SDM mengurusi sejumlah aktivitas yang saling berhubungan dalam
konteks organisasi yakni seperti perencanaan dan analisis SDM, kesetaraan dan kesempatan
kerja, pengangkatan pegawai, pengembangan SDM , pemberian kompensasi dan tunjangan
kesehaatan, keselamatan, dan keamanan, serta pengelolaan
hubungan karyawan dan
manajemen14.
Tidak setiap organisasi mampu memiliki sebuah departemen SDM15. Semisal di
sebuah perusahaan majalah yang hanya terdiri dari seorang pemilik dan kurang dari selusin
personil, lazimnya pemilik secara langsung turun tangan mengurus persoalan SDM. Akan
tetapi, diantara perbedaan-perbedaan yang nyata antara organisasi besar dan kecil, persoalan
SDM tetap diatur. Organisasi dalam skala personil yang besar biasanya perlu menunjuk
seseorang untuk menaungi wilayah manajemen SDM.
Pada perusahaan media cetak, para personil sebagai SDM itu menempati posisinya
dalam tingkatan-tingkatan berbeda dengan lazimnya dibagi menjadi empat departemen
utama16:
1. Editorial : Departemen yang mengawasi dan menjalankan aktivitas editorial,
merencanakan topik konten, memastikan artikel selesai pada waktunya, memilih
artwork, dan mengganti layout.
2. Produksi : Departemen yang mengurusi percetakan dan pengemasan majalah.
12
Hadriyanus Suharyanto dan Agus Heruanto Hadna. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta :
Media Wacana. Hal. 12
13
Robert L. Mathis dan John H. Jackson. 2004. Human Resource Management : Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta : Salemba Empat. Hal. 3.
14
Ibid. Hal. 44.
15
Ibid. Hal. 43.
16
Joseph R. Dominick. 2011. The Dynamics of Mass Communication. New York : McGraw-Hill. Hal 124.
3. Iklan dan Penjualan : Departemen yang bertanggung jawab atas tingkat penjualan dan
pendapatan perusahaan, baik yang berasal dari iklan atau dari penjualan produk
4. Sirkulasi : Departemen yang bertanggung jawab pada distribusi produk, termasuk
upaya menarik sebanyak mungkin pembaca baru
Belum ada definisi jelas untuk istilah-istilah jabatan seperti editor, managing editor,
editorial director, associate editor, editor in chief, group editor, publisher dan banyak
sebagainya17. Kebanyakan istilah editor diberikan pada individu senior yang berwenang
melancarkan dan membuat keputusan akhir dari layout dan konten. Director of Advertising
biasanya bertanggung jawab akan departemen penjualan dan iklan. Publisher merujuk pada
seseorang yang merupakan pimpinan teratas, namun dapat juga diartikan sebagai individu
yang mengawasi manajemen dari semua departemen selain redaksional.
b. Konten
Tiap majalah atau surat kabar memuat konten yang berbeda-beda, bahkan untuk jenis
media yang sama. Masing-masing menganut pola konsisten dalam menentukan, memilih,
membingkai dan membentuk konten untuk menarik pembaca dan pengiklan. Pola konsisten
itu penting dijaga dan dilestarikan, hingga ketika karakter konten suatu media telah dicerna
oleh audiens, mereka cenderung akan memiliki bayangan dan ekspetasi khusus akan
konsumsinya pada media massa tersebut. Pola itu juga lambat laun mampu membantu proses
pembentukan konten yang kompleks menjadi lebih sederhana.
Pola-pola profesional dalam pembentukan konten itu dikenal dengan istilah rutinitas
media (media routines). Rutinitas media massa selalu menjadi faktor dalam proses
pembuatan konten. Rutinitas media didefinisikan sebagai pola, rutinitas, atau praktik
berulang yang digunakan pekerja media dalam melakukan pekerjaanya18. Rutinitas media
menjadi faktor yang lebih berpengaruh pada proses penentuan konten dibanding faktor
ideologi dan individual yang terlibat dalam proses. Mempertahankan rutinitas juga membantu
media massa menentukan apa yang diterima oleh konsumen dan audiens. Sebab, rutinitas
media umumnya berbasis dari ekspetasi dan perilaku audiens sebelumnya. Media massa
memang selalu mempertimbangkan audiens dalam pembuatan konten. Sekali rutinitas media
terbentuk, perubahan format akan sulit dilakukan.
17
Gordon Woolf. 2004. How To Start And Produce A Magazine Or Newsletter. Sidney : Cromarty Press. Hal. 37.
18
John A Fortunato. Op.Cit. Hal. 72
Selain proses dalam rutinitas media, kepemilikan media juga memiliki kuasa khusus
untuk mempengaruhi konten. Ada tiga cara utama yang mampu dilakukan pemilik media
untuk mempengaruhi pembuatan konten, yakni mengatur total modal dan dana yang
disediakan, merekrut atau memecat pegawai, serta memberikan arahan atau komando untuk
penentuan konten secara langsung19.
Wujud konten dalam media cetak pun semakin bervariasi. Sejumlah penerbit kini
memungkinkan untuk memuat konten berupa persilangan iklan dan editorial yang kerap
disebut advetorial, dimana penulis menyuguhkan teks tertulis dalam konsep promosi produk
atau jasa tertentu dalam bentuk artikel20. Terkadang tak hanya dalam bentuk ulasan produk,
namun juga wawancara dengan pemilik bisnis ataupun tata cara menggunakan produk.
Penerbit media secara hati-hati juga dapat bereksperimen dengan produksi konten
oleh konsumen (reader-generated content). Format tersebut mesti diimbangi dengan kontrol
editor untuk menjaga konten dan meyakinkan tak ada konten ofensif atau tak berisi yang
tertampilkan21. Beberapa penerbit memang menjadikan reader-generated content sebagai
salah satu jalan untuk membangun basis audiens hingga meningkatkan pendapatan iklan.
Yang mesti digarisbawahi dalam konteks sebuah konten pada media cetak adalah
bahwa tak seluruhnya hanya tentang berita atau teks tertulis. Elemen lain seperti layout atau
artwork pun punya peran krusial. Layout menunjukan aspek ide dan kepiawaian fotografer,
desainer grafis, dan editor. Kendati lebih sukar dinilai dibanding teks tertulis, namun, layout
atau artwork dapat dipahami dari fungsinya guna menunjukan teks dan ilustrasi yang
dibutuhkan agar pembaca termotivasi untuk memandang dan membacanya. Layout yang baik
tak boleh gagal mengarahkan pembaca untuk mengikuti alur paragraf yang benar, atau
meninggalkan pembaca kebingungan akan bagian yang harus dibaca selanjutnya22. Layout
juga kehilangan manfaatnya jika terlalu lama diproduksi dan menunda publikasi atau
membutuhkan biaya yang di luar bujet. Pengelolaan konten artinya juga penentuan konsep
penuh visual majalah, ihwal seperti apakah majalah memiliki ilustrasi dalam ukuran besar
atau penuh dengan teks tertulis.
19
20
Ibid. Hal. 106.
Joseph R. Dominick Op.Cit. Hal. 117.
21
Gordon Woolf. Op.Cit. Hal. 45.
22
Ibid. Hal. 106 .
c. Finansial
Umumnya, membutuhkan modal dan dana yang besar untuk terjun ke bisnis media
massa. Dari titik awal media didirikan hingga proses perjalanannya, setiap kapital memegang
peranan krusial. Ibaratnya, uang menjadi bahan bakar dari daya gerak departemen apa pun,
mulai dari menggaji personil, membeli atau menyewa kantor dan perlengkapan, membiayai
aktivitas produksi, dan sebagainya. Maka dari itu, perusahaan media dengan finansial yang
sehat dan kuat lebih berpeluang untuk bertahan hidup.
Terlebih bagi perusahaan berbasis komersial, kondisi finansial merupakan tataran
yang paling diperhatikan dan menjadi alasan untuk mempertahankan perusahaan. Namun,
pola dan sumber dana yang mengalir begitu beragam pada tiap jenis media massa. Misalnya,
bagi media cetak komersial, tak ada yang bertahan hidup jika tidak dapat menarik dan
menjaga cukup pengiklan untuk membayar seluruh biaya produksi dan laba bagi investor dan
pemilik media23.
Logika bisnis menyetorkan dana dengan ekspetasi mendapatkan timbal balik yang
lebih juga menjadi pakem di media cetak. Keputusan yang bergantung pada ketersediaan
dana dan alokasi sumber daya dapat dipandang sebagai sebuah investasi dalam menarik
audiens24. Maka, tentu diharapkan adanya laba yang datang dari audiens dan pengiklan. Sejak
sebagian besar media cetak adalah perusahaan komersil, mereka berjuang agar produknya
terjual lebih dari biaya produksi yang mesti digelontorkan.
Dalam pengelolaan finansial pada media cetak, beberapa langkah yang paling kerap
diindahkan ialah tentang meminimalisir biaya produksi, diantaranya dengan mengurangi
jumlah personil atau memodifikasi teknologi produksi. Peralihan ke media internet mampu
mengurangi kebutuhan modal awal dan biaya operasi secara cukup signifikan, namun tak
berarti operasi situs tak membutuhkan biaya untuk berkembang.
Serba-serbi finansial juga menjadi perangkat utama untuk pembuatan keputusan
segala jenis konten yang akan disuguhkan ke audiens. Proses menciptakan konten
komunikasi massa tak akan dapat dipahami tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi
media. Pasalnya, selain waktu, dana pun merupakan faktor yang terbatas persediaanya,
hingga konten dari setiap media tak akan memiliki standar yang sama. Bagaimana media
massa mengalokasikan sumber daya keuangannya menunjukan indikasi kuat dari jenis konten
23
24
Samuel L Becker.1987. Discovering Mass Communication. Illinois:Scott Foresman and Company. Hal.348.
John A Fortunato. Op Cit. Hal. 74.
yang dipandang penting dan menarik audiens25. Misalnya ketika sebuah media berita
memberikan porsi besar dari sumber dana untuk berita dan reporter meliput berita-berita
musik independen, maka dapat disimpulkan bahwa media tersebut melihat jenis berita itulah
yang penting dan cenderung dinantikan pembaca.
d. Teknologi
Media massa dan teknologi tak pernah dapat dipisahkan. Sejatinya seluruh industri
media massa lahir dari sebuah pengembangan inovasi teknologi yang membuat saluran
komunikasi anyar26. Misalnya, tak akan ada industri majalah andai kata seseorang tak
menemukan mesin cetak atau perangkat penjilid kertas. Itu pun tentu diiringi dengan inovasi
pemasaran yang kompeten dengan teknologi tersebut untuk menyajikan pesan dan
membangun audiens.
Pada akhirnya, teknologi komunikasi begitu mempengaruhi lingkungan media,
terutama kesanggupan akan mencari konten yang diinginkan. Perubahan teknologi dalam
bagaimana, kapan, dan dimana audiens dapat mengakses konten yang dibuat mempengaruhi
rutinitas media27. Karena penggunaan surat kabar berbasis online misalnya, editor tentu lebih
mengusung komitmen dan mementingkan penyajian berita secepat dan seaktual mungkin dari
pada editor media tradisional.
Dalam level dialektika teknologi dan media massa berbasis cetak, kemunculan
internet menciptakan gebrakan yang signifikan. Internet membuka pintu bagi kompetitorkompetitor media tradisional cetak baru28. Tak hanya media sejenis, media berbasis situs
mulai eksis sebagai perangkat substitusi fungsi dari media tradisional. Iklan baris dari surat
kabar pindah ke situs-situs seperti Craigslist atau Autotrader.com. Belum lagi media sosial
seperti Facebook atau Twitter yang menyedot perhatian dan waktu audiens. Alasan utama
dibalik pertumbuhan kompetisi ini tak lain lantaran internet menurunkan biaya produksi
hingga ke titik dimana hampir semua orang mampu membiayainya. Di masa lampau,
kompetisi media terlindungi dan terbatasi oleh prasyarat biaya dan modal tinggi untuk terjun
di dalamnya.
25
Ibid. Hal. 73.
James W. Potter. 2013. Media Literacy. California: Sage Publication. Hal.87.
27
John A Fortunato. Op Cit. Hal. 75.
28
Joseph R. Dominick. Op. Cit. Hal. 11.
26
Perlahan tapi pasti, publik menjadi membiasakan diri untuk menerima informasi dan
hiburan secara gratis29. Media cetak tradisional yang menyajikan interaksi pasif tergantikan
oleh partisipasi aktif di media sosial. Orang-orang mulai menghabiskan waktunya untuk
menciptakan konten media, hingga waktu untuk mengonsumsi media pun semakin tergerus.
Tak heran sejumlah organisasi media bangkrut, sementara yang lain berjuang mencari
pasokan pemasukan lain dan sejumlah lainnya lagi total beralih ke era digital dengan
merombak medianya menjadi berbasis online sepenuhnya.
Padahal, dari awal mula internet mendapatkan gaungnya, media cetak memiliki
potensi untuk mengolahnya menjadi sebuah terobosan yang menguntungkan dalam proses
produksi. Mulanya, perusahaan media cetak tradisional seperti majalah masih belum
memahami fungsi pengaplikasian media baru dan malah banyak yang mengunggah konten
secara cuma-cuma di situs mereka sebagai upaya mempromosikan edisi cetaknya. Hal itu
lantas berdampak pada pengurangan jumlah pembaca edisi cetak potensial mereka.
Beberapa potensi eksistensi teknologi internet dalam operasi media cetak diantaranya
adalah kapasitas untuk mendekatkan jarak antara pelanggan dan penerbit. Selain itu, internet
juga mampu memudahkan proses produksi konten, misalnya bagaimana lumrahnya para
wartawan kini untuk mencari dan menciptakan berita hanya berdasarkan dari informasi yang
tersebar melalui dunia maya. Tak ketinggalan pula penggunaan surat elektronik yang makin
efektif dan efisien guna melangsungkan aktivitas komunikasi internal dan eksternal.
Didukung oleh inovasi teknologi yang makin bergerilya, perusahaan media cetak juga
mampu menganekaragamkan jangkauan produk media yang mereka produksi, hingga tak
asing lagi untuk mendengar istilah industri multimedia30.
3. Kaum Muda dan Mahasiswa
Meski peran kaum muda dalam dinamika perubahan sosial dan kesejarahan terbukti
penting, namun menarik untuk melihat bahwa studi akademik mengenai kepemudaan di tanah
air menjadi ranah yang terlantar31. Tak banyak kaum muda dibahas dalam studi akademis,
karena bisa jadi terpaut dengan arah kebijakan orde baru yang secara sistematis melemahkan
pemuda sebagai subjek aktif di ranah sosial-politik dan lebih mengarahkan mereka sebagai
29
Ibid. Hal. 13
David Croteau dan William Hoynes. 2001. The Business of Media: Corporate Media and the Public Interest.
California : Pine Forge Press. Hal. 4.
31
Muhammad Najib Azca dan Oki Rahadianto. 2012. “Mengapa Menerbitkan Jurnal Pemuda?” di Jurnal Studi
Pemuda. Vol. 1 No 1. Mei. Hal. 46.
30
objek pembangunan, bilangan dalam perayaan konsumsi serta resipien dalam dinamika
kebudayaan.
Sebagai sebuah konsep penting dalam kajian ilmu sosial, kaum muda amat
problematik. Mereka menjadi konsep yang terus mengalami pertumbuhan dengan
merefleksikan nilai-nilai sosial, politik, dan moral pada zamannya. Kaum muda, yang juga
mendapat istilah ‘pemuda’, ‘remaja’, atau youth dalam bahasa inggris, merupakan sebuah
konstruksi sosial dengan aneka pemaknaan yang berbeda dalam tataran yang berlainan dan
acap berubah dan bersalin seiring dinamika dan kurun sejarah.
Pada ranah global, jarang ditemukan konsistensi dalam mengategorikan kaum muda,
baik pada penggunaan sehari-hari maupun dalam kebijakan pemerintahan. Untuk kepentingan
kebijakan, lazim digunakan definisi pemuda yang merujuk pada sekelompok orang yang
berusia tertentu, misalnya Bank Dunia menyematkannya pada tiap individu yang berumur 16
sampai 25 tahun.
Memang usia acapkali menjadi kriteria teratas dalam membangun kategori pemuda.
Hal tersebut juga bertolak dari sejumlah kajian psikologis yang mendefinisikan pemuda atau
remaja sebagai mereka yang berada dalam usia transisional dalam perkembangan
kepribadian, dimana terbagi dalam dua fase, yakni fase adolesensi atau menuju remaja yang
berkisar antara 12 hingga 18 tahun, serta menjadi remaja antara 19 hingga 24 tahun32. Lebih
spesifik, dalam ranah psikologi perkembangan, diuraikan bahwa tatkala orang dewasa
memiliki status primer yang didasarkan pada kemampuan dan usahanya sendiri untuk
mandiri dan mapan, remaja dianggap memiliki status interim sebagai konsekuensi dari
posisinya yang sebagian diberikan orang tua, dan sebagian yang lain diperoleh melalui usaha
sendiri yang kemudian memberikan prestise tersendiri padanya33.
Selain usia, istilah kaum muda juga kerap menemui bentuknya sebagai terminologi
ideologis atau kultural. Dari kacamata sosiologis, Kiem34 melihat pemuda sebagai produk dan
agen perubahan sosial. Di satu sisi mereka adalah produk dari proses sosialisasi dan hanya
dapat dipahami dalam konteks muatan kultural, namun di sisi lain, mereka memiliki ruang
kebebasan tertentu dalam memilih nilai-nilai yang tersedia dalam pluralisme kultural dan
kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam masyarakat. Maka dari itu, kaum muda sebagai
32
F..J. Monks. 1985. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal. 219.
Ibid. Hal. 217.
34
Christian G. Kiem. 1993. Growing Up In Indonesia: Youth and Social Change in a Mollucan Town. Saarbucken:
Veirlag Breitenbach Publisher. Hal. 18.
33
agensi memiliki kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam
gerakan sosial radikal dibandingkan dengan orang dewasa.
Bagaimana kemudian kaum muda memiliki perangai sosial yang cenderung lebih
bebas dan labil juga disebabkan oleh fase transisi dalam pertumbuhan usia, dimana oleh ahli
psikologi Erik H. Erikson35 disebut lebih rentan mengalami apa yang disebut sebagai krisis
identitas. Konsep krisis identitas menjelaskan proses dan dinamika psikologis individu yang
berada dalam fase transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Disana mereka mengalami
ketidakpastian, termasuk menyangkut identitas diri, sehingga menjadi mudah menerima
kemungkinan ide-ide dan pandangan-pandangan baru.
Kaum muda pun cenderung melihat dan mengekspresikan segala sesuatunya dengan
gaya yang khas dan tipikal. Mulai dari bagaimana kaum muda menjadi bagian tak terpisahkan
dari segala sesuatu yang berbau independen, alternatif, bawah tanah, hingga gerakan sosial
yang bersifat radikal. Gejala radikalisme di kalangan kaum muda di masa pasca orde bisa
dilihat sebagai aksi identitas yang dilakukan dalam rangka merespon dan menjawab krisis
identitas yang mereka alami di tengah perubahan drastis dan dramatis yang terjadi di
Indonesia pada awal fase transisi menuju demokrasi.
Jenjang pendidikan lantas menjadi alur yang begitu lumrah ditempuh oleh kaum muda
melalui jangka usia yang bertahap. Institusi pendidikan formal seperti sekolah dasar, sekolah
menengah, hingga universitas mengiringi perjalanan kaum muda sebagai bagian transisi
menuju usia dewasa. Masa transisi tersebut menjadi ruang bagi kaum muda untuk menerima
pembekalan pengetahuan dan keterampilan hingga memenuhi kualifikasi sebagai kaum
profesional yang siap menghadapi dunia kerja profesional.
Kaum muda sebagai individu mendapatkan status yang lebih istimewa di masyarakat
tatkala menapaki jenjang mahasiswa. Sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar pada
suatu perguruan tinggi baik universitas, institut atau akademi, mahasiswa merupakan insaninsan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan di
harapkan menjadi calon-calon intelektual atau cendekiawan muda. Mahasiswa membawa
ekspetasi untuk nantinya dapat bertindak sebagai pemegang komando masyarakat, daya
penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi, atau setidaknya memasuki dunia kerja
sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional.
35
Erik H. Erikson. 1968. Identity: Youth and Crisis. London: Faber & Faber
Umumnya, mahasiswa tingkat sarjana berusia antara 19 sampai 28 tahun, atau tepat
dalam jangka usia untuk mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa.
Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap kenyataan objektif,
sistematik dan rasional. Secara sederhana mahasiswa dapat diklasifikasikan ke dalam 3
kelompok utama36:
a. Golongan pragmatis : Golongan mahasiswa yang menjadikan identitas mahasiswa
sebagai titik mobilitas vertikal yakni tujuan memperbaiki posisi kelasnya. Dengan
selesai studi secara cepat lalu meraih struktur kerja sesuai kalkulasi ekonomi,
b. Golongan hedonis : Golongan mahasiswa yang terlanjur menceburkan diri pada
kubangan ekspresi gaya hidup modern yang kian berkembang dan menemukan
momentumnya paling nyata seiring perubahan ekonomi, di mana pola-pola
kontestansi ekonomi mengemuka dan diwarnai dengan gejala konsumerisme yang
terus menjalar.
c. Golongan aktivis: Golongan mahasiswa yang mengusung teguh idealisme kaum muda
dengan beragam bentuk penyesuaian bersama dinamika yang tengah berlangsung.
Mereka tetap mengekspresikan pemikiran-pemikiran kritis dalam berbagai bentuknya,
baik melalui variasi gerakan yang lebih terbuka ataupun mereka yang tergabung
dalam kelompok studi, organisasi intra dan ekstra kampus. Mereka cenderung
membangun blok-blok politik pada berbagai isu, seperti tema anti korupsi, penegakan
HAM, demokrasi, koalisi pencinta lingkungan dan sebagainya. Cara yang ditempuh
tentu bukan lagi konvensional melainkan menggunakan pola-pola global dengan
diantaranya memanfaatkan jaringan kontemporer atau media-media kreatif.
4. Media Komersial dengan Manajemen Profesional
Di zaman modern, hampir semua negara mengadopsi kultur pers sebagai institusi
komersial dengan menjual informasi, baik berita maupun iklan. Kemajuan teknologi
informasi mampu mendorong perkembangan media massa dengan pesatnya sehingga
memungkinkan dijadikan ajang bisnis37.
Media massa sebagai institusi komersial dinilai sebagai unit yang menyelenggarakan
aktivitas produksi dan distribusi pesan kepada konsumen. Di sini, media dikelola sesuai
36
37
Muhammad Najib Azca, Dubando Agus Margono dan Lalu Wildan. 2011. Pemuda Pasca Orba. Yogyakarta : Fisipol UGM.
Hal. 42.
Ibid. Hal. 9.
dengan peranan dan fungsinya untuk keuntungan komersial38. Dalam melakukan produksi
dan penyebaran pesan, anggaran atau keuangan merupakan salah satu modal utama.
Bagaimana organisasi media mengalokasikan sumber keuangan mereka adalah modal bagi
tipe produk media yang diinginkan atau yang dipercayai dapat menarik perhatian audiens
atau konsumen.
Sebenarnya, antara surat kabar, majalah, dan televisi dalam hal penyampaian
informasi, nyaris tidak ada batasnya sama sekali. Majalah dalam berebut pelanggan tidak
hanya bersaing dengan sesama majalah, tetapi juga dengan surat kabar, televisi, bahkan
internet.
Sistem
penyampaiannyalah
yang
berbeda.
Masing-masing
media
harus
menyesuaikan dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan publik sebagai
audiensnya. Dampaknya, kehidupan pers kini makin kokoh ke arah pers industrialis dengan
informasi sebagai komoditi.
Dengan demikian, pers sebagai lembaga, seperti halnya dengan lembaga-lembaga
lainnya dapat dikelola dengan tata laksana dan tata administrasi yang baik melalui
manajemen profesional pada unsur media, sumber daya manusia, teknologi, dan kontennya
untuk dijadikan ajang bisnis, karena memiliki peluang mewujudkan sumber penghasilan39.
Disadari atau tidak, tajamnya persaingan antar perusahaan penerbitan pers mengharuskan tiap
penerbit mengkaji ulang organisasinya. Tak akan mengundang kejut jika perusahaan yang
tidak memposisikan pola manajemen mereka dalam lingkungan yang kompetitif mengalami
penurunan omset penjualan atau kemunculan kendala-kendala teknis pada pola kerja
karyawannya.
Lord Thomson Fleet, seorang tokoh pers dari Inggris, menuturkan bahwa perusahaan
media yang baik adalah yang dapat menciptakan keuntungan40. Kekuatan finansial dan
stabilitas komersial merupakan jaminan terhadap penerbitan pers. Manajemen media yang
baik harus mampu mempergunakan sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, bisnis
penerbitan pers memang harus dilengkapi dengan penerapan manajemen yang profesional.
Sebelum terjun langsung dalam bisnis pers, pengelola media massa harus dapat
menyesuaikan diri untuk menguasai kepentingan pangsa pasar, karena pasarlah yang
kemudian menjadi pemegang kendali.
38
Amir Effendi Siregar. Op.Cit. Hal. 6.
Ibid. Hal. 92.
40
Totok Djuroto. Op.Cit. Hal 97.
39
Bagaimana
media
secara
intitusi
diorganisasikan
dan
bagaimana
mereka
memproduksi produknya, secara signifikan akan dipengaruhi dan ditentukan oleh relasi
mereka dengan uang dan profit41. Sejumlah perusahaan majalah di Amerika Serikat seperti
The Nation dan National Review mesti beroperasi dalam periode yang panjang dalam
kerugian, hingga mesti diselamatkan oleh tanggungan dana dari individu pemilik medianya.
Kendati sejumlah media meraih dana dari kombinasi jalur berbeda, entah melalui laba
penjualan produk, ataupun subsidi dari sumber pemasukan lain seperti iklan dan donatur,
model bisnis untuk bisnis media tradisional adalah menerima pendapatan dari iklan sebagai
jasa karena mendatangkan audiens yang telah dipikat dengan konten media yang
ditawarkan42. Industri media memang cenderung lebih kompleks dan berbeda dari tipe
industri lain, terutama karena mayoritas terlibat secara simultan dalam dua transaksi
ekonomi, yakni menjual produk ke audien, dan menjual audiens ke iklan. Hampir seluruh
iklan dibuat dengan mengombinasikan empat elemen, yakni headline, ilustrasi, teks iklan,
dan logo43. Dengan kombinasi yang jitu, iklan telah menciptakan deretan pesan terkuat di
dunia. Iklan merupakan wadah multimedia yang kerap dipandang terpisah dari wujud pesan
yang lain.
Terdapat tiga jenis target iklan44. Yang pertama ialah target pasar, yakni area
geografis dan kota dimana iklan akan difokuskan. Lalu ada target kelompok, yaitu tataran
demografi sekelompok orang yang akan dicapai oleh iklan. Ada juga target audiens, dimana
mereka adalah seluruh pihak yang sejatinya mampu diraih iklan dalam media massa. Untuk
dapat bersaing dengan penerbit lain dalam hal memperebutkan kue iklan, diperlukan
peningkatan koordinasi dalam dimensi profesional. Agar sesuai dengan prinsip profesional,
koordinasi pada departemen iklan perlu meletakan dasar yang jitu pada fungsi dan tugas,
serta batas-batas wewenang dan tanggung jawab personil masing-masing.
5. Majalah
41
Lawrence Grossberg, et all. 2006. Media Making : Mass Media In A Popular Culture. London: Sage
Publications. Hal. 95.
42
Lucy Kȕng. 2008. Strategic Management in the Media: From Theory to Practice. London: SAGE Publications.
Hal. 10.
43
Katherine C. McAdams dan Jan Johnson Elliot. 1996. Reaching Audiences. A Guide to Media Writing. London:
Allyn & Bacon. Hal. 330.
44
Larry D. Kelley dan Donald W. Jugenheimer. 2008. Advertising Media Planning: A Brand Management Approach. New
York: M.E. Sharpe. Hal.123.
Kata ‘majalah’ berasal dari ‘magazine’ yang muncul sejak tahun 1583, dimana berasal
dari bahasa Arab yang berarti gudang atau tempat penyimpanan barang-barang dagangan
45
.
Baru semenjak tahun 1731, kata ‘magazine’ mulai bergeser makna sebagai gudang dari
informasi dan hiburan. Penerbitan majalah sendiri dimulai pertama kali di Amerika oleh
Benjamin Franklin bernama General Magazine pada tahun 1741, meski perkembangannya
sendiri baru tampak di sekitar abad 19.
Lantaran keragamannya, majalah mungkin saja merupakan media yang paling rumit
untuk didefinisikan. Keseragaman yang ada pada surat kabar tak ditemukan dalam majalah.
Tak ada majalah yang dapat disebut tipikal46. Artinya, masing-masing memiliki karakter dan
audiensnya sendiri-sendiri. Namun, di era dimana setiap individu sangat dimungkinkan untuk
membangun perusahaan media, majalah merupakan media yang relatif lebih mudah dikelola
dengan struktur organisasi yang cenderung lebih sederhana. Majalah juga lebih potensial
untuk diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, di mana mereka dapat dengan leluasa
dan luwes menentukan bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya47.
Menurut Ashadi Siregar dan Rondang Pasaribu,48 majalah secara fisik menggunakan
kertas HVS atau kertas jenis lain yang lebih baik kualitasnya. Kertas yang digunakan
berukuran A4 atau sedikit lebih besar. Namun, ada pula majalah yang menggunakan ukuran
lebih kecil. Sampul majalah banyak menggunakan kertas yang lebih tebal dan berkualitas
lebih baik ketimbang halaman di dalamnya, Dengan demikian, kualitas cetak sampul bisa
diupayakan lebih baik, agar tampak lebih menarik. Untuk media korporasi, jumlah halaman
minimal 16 hingga 24 halaman. Halaman majalah biasanya dibagi atas 2-4 kolom.
Elemen yang menjadi kontribusi terhadap produksi majalah saat ini sangat bervariasi.
Elemen-elemen seperti jadwal terbit, format majalah, dan target audiens menjadi elemen
pokok yang selalu ada di setiap majalah. Umumnya, majalah yang berfokus pada tema umum
terbit setiap minggu. Sedangkan untuk majalah yang mempunyai fokus pada tema tertentu
biasanya mempunyai frekuensi terbit yang lebih sedikit, misalnya bulanan atau per dua bulan.
Karena majalah diterbitkan lebih jarang dari pada surat kabar, maka majalah dapat menelaah
45
Samuel L Becker. Op. Cit. Hal. 157.
Ibid. Hal. 156.
47
Elvinaro Ardianto dan Lukianto Erdinaya dan Komala. 2005. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Hal.123.
48
Ashadi Siregar dan Rondang Pasaribu. 2000. Bagaimana Mengelola Media Korporasi – Organisasi.
Yogyakarta : Kanisius. Hal. 116.
46
persoalan-persoalan dan keadaan-keadaan yang terjadi dalam masyarakat secara teliti, luas
dan mendalam49.
Sebagai produk penerbitan berkala, majalah bukan sarana yang dibaca selintas saja
seperti media aktual seperti koran. Majalah dapat disimpan oleh pembaca selama bermingguminggu, berbulan-bulan, kadang-kadang bertahun-tahun. Umumnya, penghasilan majalah
bersumber dari perolehan iklan, atau laba penjualan majalah. Konsumen terbesar dari majalah
adalah kaum dewasa yang berusia 18 hingga 44 tahun dan rata-rata memiliki tingkat
pendidikan perkuliahan50.
Di dalam suatu majalah terkandung banyak elemen – elemen grafis seperti gambar,
tipografi, warna, ilustrasi dan elemen lainnya yang dimana hal itu untuk memperkuat konten
majalah dan aspek estetis untuk menarik perhatian pasar. Majalah juga harus memiliki
konsep atau target segmentasi yang jelas dan sesuatu hal yang berbeda dengan majalah
lainnya. Agar dapat terlihat oleh masyarakat memiliki ciri khas serta keunggulan dari majalah
– majalah pesaing.
Media massa cetak berupa majalah berskala nasional kini jauh lebih banyak jumlah
dan macamnya, seperti majalah anak-anak, majalah remaja, atau majalah wanita. Bahkan, tak
terhitung lagi majalah yang dengan warna pemberitaan yang terfokus pada aspek kehidupan
tertentu, seperti majalah kesehatan (Rumah Tangga dan Kesehatan, Bugar), majalah
pertanian (Trubus), majalah keagamaan (Amanah, Hidayah), majalah otomotif, dan termasuk
majalah musik.
Walaupun begitu, semenarik apapun konten dan tata letak pesannya, seperti halnya
produk
media cetak lainnya, manajemen produksi majalah memiliki potensi akan
keterbatasan-keterbatasan tertentu,51 yakni:
1. Keterbatasan mekanis, sehubungan dengan sarana produksi.
2. Keterbatasan bahan, sehubungan dengan jenis kertas, tinta, dan sebagainya.
3. Keterbatasan biaya, sehubungan dengan biaya produksi.
4. Keterbatasan fungsi, baik mengingat penggunaan maupun calon pembacanya.
49
Elvinaro Ardianto dan Lukianto Erdinaya dan Komala. Op Cit. Hal.113.
50
51
Helen Katz. 2007. The Media Handbook. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Hal. 83.
Dendi Sudiana. 1986. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Remadja Karya. Hal. 43.
5.Keterbatasan waktu, dan keterbatasan lainnya, misalnya yang berkenaan dengan lingkungan
kerja.
F. Kerangka Konsep
Adanya perubahan dan persaingan dalam lingkungan bermedia tak akan dapat
dihindari, hingga kemudian memantik perlunya antisipasi pada keterbatasan-keterbatasan
dalam beragam aspek di lingkungan internal media. Manajemen media pun adalah wajib
adanya guna mengantisipasi dan meminimalisir keterbatasan – keterbatasan tersebut, yang
diantaranya mencakup keterbatasan waktu dan ruang. Keterbatasan waktu terkait dengan
jadwal penerbitan, yang kemudian bersinggungan langsung dengan penempatan agendaagenda redaksional. Sementara keterbatasan ruang mengacu pada kuantitas ruang yang
tersedia untuk konten media, misalnya jumlah dan porsi halaman bagi artikel utama, artikel
khusus, hingga jatah iklan. Semua keterbatasan yang dihadapi institusi media menjadi alasan
pentingnya manajemen untuk membuat strategi demi tercapainya tujuan institusi media.
Sumber daya yang terkumpul dalam sebuah organisasi media pun tak akan berfungsi
dan membangun aktivitas media yang ideal andaikata tak dikelola dengan kompeten. Untuk
itu manajemen media, dengan prinsip-prinsip media yang diusungnya, mesti mampu
menciptakan, memelihara dan menerapkan sistem kerja yang proporsional pada masingmasing elemen sumber daya yang ada dengan diantaranya menumbuhkembangkan rasa
kebersamaan di antara sesama personil, serta tatanan kerja yang kokoh dalam organisasinya
Dalam menghasilkan produk yang relevan dengan visi-misi perusahaan, proses
manajemen media massa berformat cetak pun melibatkan banyak personil dalam ketiga
bidang, yakni bidang redaksional, percetakan, dan bidang usaha, atau aktivitas pendukung52.
Manajemen redaksional meliputi kegiatan penentuan materi konten, pencarian data,
peliputan, dan penulisan, termasuk layouting dan editing. Kegiatan percetakan meliputi
aktivitas produksi fisik dari produk medianya. Adapun yang dimaksud dengan aktivitas
pendukung ialah beragam langkah promosi, iklan, keuangan, hubungan masyarakat, dan
pengelolaan sumber daya.
Selain diaplikasikan dalam manajemen perusahaan yang berkaitan dengan
pengelolaan ekonomi media, manajemen media memang diterapkan pula dalam konteks
manajemen konten atau redaksional. Contohnya, bagaimana cara mengelola keterbatasan
personil untuk memenuhi target kualitas dan kuantitas dari konten produk media. Manajemen
52
Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 15.
redaksional tentunya juga dibutuhkan untuk menyaring dan mengelola tingkat kualitas konten
yang disajikan lewat pengambilan keputusan-keputusan redaksional yang tepat.
Adanya beragam faktor itu mendorong pengelolaan media untuk mengusung prinsipprinsip manajemen dengan seluruh proses manajemennya secara utuh yang meliputi pelbagai
fungsi manajemen. Pengelolaan media artinya membutuhkan eksistensi manajemen yang
tepat. Secara substansial, salah satu definisi “manajemen” yang banyak dianut banyak orang
adalah
definisi
dari
Henry
Fayol
yang
berbunyi:
“Manajemen
adalah
proses
menginterpretasikan, mengkoordinasikan sumber daya, sumber dana, dan sumber-sumber
lainnya untuk mencapai tujuan dan sasaran melalui tindakan – tindakan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian53.” Fayol pun lantas membaginya
menjadi 14 asas manajemen, yaitu:
1. Pembagian tugas
2. Wewenang dan Tanggung jawab
3. Disiplin
4. Kesatuan perintah
5. Kesatuan pengarahan
6. Ketertiban
7. Keadilan
8. Prakarsa
9. Stabilitas masa jabatan
10. Kesatuan
11. Jenjang Kepangkatan
12. Penggantian pegawai
13. Pemindahan wewenang
14. Pengutamaan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
Henry Fayol juga meringkas ke-14 asas tersebut menjadi empat poin yang disebut
sebagai fungsi manajemen, yaitu planning, organizing, leading, dan controlling.
a. Planning
Planning atau perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan
tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, serta mengambil langkah-langkah strategis guna
mencapai tujuan tersebut. Fungsi manajemen ini diharapkan mampu memberikan pandangan
53
Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 96.
dan formula yang jelas akan langkah-langkah selanjutnya dari pengelolaan media yang
bersangkutan.
b. Organizing
Organizing atau pengorganisasian meliputi proses komando, pengalokasian sumber
daya, serta pengaturan kegiatan secara terkoordinir pada setiap individu dan kelompok untuk
menerapkan rencana. Kegiatan-kegiatan yang terlibat dalam pengorganisasian mencakup tiga
kegiatan, yaitu: membagi komponen –komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan dan sasaran dalam kelompok-kelompok, membagi tugas kepada manajer dan bawahan
untuk mengadakan pengelompokan tersebut, dan menetapkan wewenang di antara kelompok
organisasi.
c. Leading
Leading atau pengarahan adalah proses untuk memotivasi dalam upaya menumbuhkan
semangat pada individu di dalam institusi media agar lebih optimal dalam bekerja, serta
membimbing mereka dalam melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan yang efektif dan
efisien. Melalui pengarahan yang ideal, seorang manajer mampu mengoptimalkan proses
kinerja yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan
d. Controling
Controlling atau pengendalian dimaksudkan untuk menyimak apakah kegiatan organisasi
sudah sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Fungsi pengendalian mencakup empat
kegiatan, yakni menentukan standar prestasi, mengukur prestasi yang telah dicapai sejauh ini,
membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan standar prestasi, dan melakukan
perbaikan jika terdapat penyimpangan dari standar prestasi yang telah ditetapkan.
Keempat poin itu yang lantas ditempatkan sebagai acuan dan indikator dasar demi
menyederhanakan pemikiran dan menuntun peneliti dalam mengkaji manajemen media di
majalah Warning Magazine. Selain menggambarkan fenomena yang diteliti, konsep yang
dijabarkan diharapkan mampu berlaku sebagai indikator penelitian dan kerangka acuan dalam
melakukan penelitian.
No. Kerangka Konsep Operasionalisasi Konsep
Teknik Pengambilan Data
1.
Mengeksplorasi majalah, situs, dan
produk lain Warning Magazine
Perencanaan
(Planning)
- Konsepsi dan identifikasi
media
- Modal keuangan
- Tujuan yang hendak
dicapai
Mewawancarai pendiri dan
pemimpin redaksi Warning
Magazine
Melakukan observasi ke lapangan
dan mengikuti jalannya proses
redaksional Warning Magazine
2.
Pengorganisasian
(Organizing)
- Struktur organisasi
- Pembagian SDM beserta
tugas dan fungsi
pokoknya
- Rubrikasi media
- Tata visual media
Mengeksplorasi majalah Warning
Magazine
Mewawancarai SDM Warning
Magazine (pendiri, pemimpin
redaksi hingga staf internal
lainnya).
Melakukan observasi ke lapangan
dan mengikuti jalannya proses
redaksional Warning Magazine.
3.
Pengarahan
(Leading)
4.
Pengontrolan
(Controlling)
- Manajemen sumber daya
manusia
- Manajemen finansial
- Distribusi dan penjualan
- Infratruktur fisik dan
teknologi
- Pengelolaan relasi
eksternal
Mewawancarai SDM Warning
Magazine (pendiri, pemimpin
redaksi hingga staf internal
lainnya).
Melakukan observasi ke lapangan
dan mengikuti jalannya proses
redaksional Warning Magazine.
- Pemantauan dan evaluasi Mewawancarai SDM Warning
kinerja
Magazine (pendiri, pemimpin
- Apresiasi dan sanksi
redaksi hingga staf internal
lainnya).
Melakukan observasi ke lapangan
dan mengikuti jalannya proses
redaksional Warning Magazine.
Tabel 1.1. Kerangka konsep penelitian.
G. Metode Penelitian
Mengacu pada objek dan rumusan masalahnya, metode penelitian yang akan
digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan metode penelitian
kualitatif yang memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu sebagai suatu kasus.
Lazimnya, studi kasus merupakan metode paling relevan untuk mengupas pokok pertanyaan
suatu penelitian berkenaan dengan how (bagaimana) atau why (mengapa), bila peneliti hanya
memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan
bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam
konteks kehidupan nyata54.
Penelitian ini pun memusatkan perhatian pada kasus tunggal dari satu institusi, yakni
penerapan tatanan manajemen media majalah Warning Magazine oleh sumber daya manusia
yang sepenuhnya diisi oleh jajaran kaum muda, bersama orientasinya untuk mengejar
keuntungan komersial. Penelitian ini akan berupaya melihat bagaimana proses manajemen
yang dilakukan majalah Warning Magazine dalam mengelola sumber-sumber internal, serta
bagaimana penerapannya terhadap produksi yang dihasilkan. Selain itu juga melihat
bagaimana interaksi yang terjadi antara individu yang terlibat, dan struktur organisasi dalam
manajemennya. Batasan masa obyek penelitian adalah pengelolaan dari bulan Januari 2014
hingga bulan Maret 2015, yang mencakup periode penerbitan lima edisi, mulai dari Warning
Magazine edisi 2 (Februari 2014) hingga Warning Magazine edisi 6 (April 2015).
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan data yang lebih banyak diambil melalui
metode argumentatif terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan
tendensi menggunakan logika ilmiah daripada menggunakan data-data berupa angka.
Jawaban akan permasalahan dari penelitian ini pun hendak dianalisis secara deskriptif dimana
peneliti akan memaparkan fenomena masalah atau fenomena yang sedang terjadi, dengan
tujuan melakukan atau mengkonfirmasi, klarifikasi ataupun proses. Dengan metode studi
kasus, maka penelitian dapat dilakukan dengan lebih rinci dan mendalam dengan
menganalisis data-data yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan
yang penelaahannya dilakukan secara mendalam dan mendetail. Sehingga, terdapat
kemungkinan akan melahirkan pernyataan-pernyataan yang bersifat eksplanasi.
1. Teknik Pengumpulan Data:
a. Dokumen dan rekaman arsip: Merupakan teknik pengumpulan data yang
memanfaatkan dokumen-dokumen terkait berupa hasil referensi utama, yang dalam
hal ini segala dokumen dan data media, meliputi :
a. Produk terbitan majalah Warning Magazine dalam enam edisi pertama
b. Penelusuran situs resmi Warning Magazine (www.warningmagz.com)
c. Penelusuran akun jejaring sosial resmi Warning Magazine, yakni akun twitter
(@Warningmagz), Facebook (Warning Magz), dan Instagram (WarningMagz)
d. Notulen rapat internal Warning Magazine.
54
Yin Robert K. 2005. Studi Kasus: Desain & Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 1.
e. Proposal penawaran iklan majalah Warning Magazine
f. Press Release Warning Magazine dalam penyelenggaraan konser peluncuran edisi
kelima pada bulan Januari 2015.
b. Observasi Partisipan: Merupakan teknik pengumpulan data dengan terjun langsung ke
lapangan, turut terlibat dalam aktivitas obyek sembari melakukan pengamatan di
dalamnya. Data yang didapat nantinya akan terdiri dari perincian kegiatan, perilaku,
tindakan orang-orang, serta juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal,
dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat
diamati55. Penulis sendiri merupakan salah satu anggota tetap dari institusi Warning
Magazine. Hal ini kemudian memunculkan sejumlah keuntungan bagi peneliti,
diantaranya memiliki akses dan pemahaman lebih terhadap obyek penelitian.
observasi pun dilakukan terhadap diantaranya meliputi:
1. Kegiatan manajerial dan operasi produksi yang berlangsung di kantor redaksi
Warning Magazine yang beralamat di Perumahan Aph Seturan A19 Yogyakarta.
2. Kegiatan manajerial dan operasi produksi yang berlangsung di luar kantor redaksi,
seperti di rumah makan, kafe, atau lokasi percetakan.
3. Aktivitas peliputan dari personil redaksi Warning Magazine dalam sebuah konser
musik, konferensi pers, atau pun sesi wawancara dengan narasumber.
c. Wawancara: Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan metode
tanya jawab dengan pihak-pihak terkait secara langsung. Narasumber yang dipilih
umumnya merupakan informan kunci yang diharapkan memiliki kapabilitas untuk
memberikan data yang berharga56. Dalam kasus ini, wawancara dilakukan terhadap
pihak manajemen Warning Magazine, meliputi pimpinan perusahaan, redaksi, dan
bidang lainnya.
No Narasumber
Jabatan
1
Pendiri dan Editor Minggu III Maret 2015
Tomi Wibisono
Tanggal
In Chief 2014 /
55
56
Ibid. Hal.186.
Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed). 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana. Hal.189.
Senior Editor
2015
2
Titah Asmaning
Editor 2014 /
Minggu III Maret 2015
Editor in Chief
2015
3
Yesa Utomo
Editor 2014 /
Associate Editor
2015
Minggu III Maret 2015
4
Maulana Al-Anshory
Account
Minggu III Maret 2015
Executive
5
Adya Nisita
Reporter
Minggu III Maret 2015
6
Faida Rachma
Ilustrator
Minggu III Maret 2015
Tabel 1.2. Daftar narasumber dan jadwal wawancara.
2. Teknik Analisa Data:
Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh
suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian
aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa
disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah
Data yang terkumpul di lapangan akan dianalisa dengan pengolahan data kualitatif.
Proses analisis dilakukan secara bertahap diawali pengorganisasian data yang mencakup
kategorisasi dan reduksi data untuk memilih poin-poin pokok dengan dibuat gugusan dan
pemisahan. Selanjutnya, data akan disajikan dan diinterpretasikan, serta diidentifikasikan
polanya melalui penelaaahan, pengkajian dan pengklasifikasian yang berbasis dari konsep
yang relevan. Jika pola, tema, hipotesis dari kajian data, dan hubungan persamaan yang dapat
digeneralisasi serta berlaku sintesis telah dipahami, maka tahapan akhirnya ialah perumusan
ikhtisar poin-poin makna untuk dituangkan dalam kesimpulan akhir yang tetap disusul
dengan peninjauan ulang mengenai kebenaran dari penyimpulan itu, khususnya berkaitan
dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan, dan perumusan masalah yang
ada. Selain menganalisis data yang diperoleh, analisis juga akan dilakukan terhadap output
dan produk yang dihasilkan oleh manajemen media (dalam studi kasus ini berarti terbitan
majalah Warning Magazine). Keseluruhan hasil penelitian ini akan dilaporkan dan disajikan
dalam bentuk narasi untuk memudahkan pemahaman alur penelitian.
Download