Pembuatan Keju Kedelai yang Mengandung Senyawa Faktor

advertisement
BioSMART
Volume 5, Nomor 1
Halaman: 8-12
ISSN: 1411-321X
April 2003
Pembuatan Keju Kedelai yang Mengandung Senyawa Faktor-2 Hasil Biokonversi
Isoflavon pada Tahu oleh Rhizopus oligosporus (L.41)
Production of soycheese containing factor-2 compound bioconvertion product from isoflavone in
tofu by Rhizopus oligosporus (L.41)
SRI RETNO DWI ARIANI
Program Studi Kimia PMIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
Diterima: 8 Nopember 2002. Disetujui: 25 Desember 2002
ABSTRACT
This research was intended to create a new food product from tofu, soy-cheese containing factor-2 (6,7,4’-trihydroxy isoflavone)
compound. Factor-2 is classified as an isoflavone group of secondary metabolic that has a strong antioxidant, antihemolytic and
anticancer activities. Isolation and identification using TLC and HPLC indicated that both of tofu and fermented tofu II did not contain
factor-2. For the production of soy-cheese containing factor-2, tofu must be pre-fermented by Rhizopus oligosporus (L.41) for 48 hours.
The name of this product is fermented tofu I. Isolation and identification by TLC, HPLC and UV-VIS Spectroscopy indicated that
fermented tofu I contained 2.6 mg factor-2/kg sample. This was then followed by the second fermentation with Streptococcus lactisLactobacillus bulgaricus (1:1), 5% of glucose and 2.5% of parsley to improve flavour, taste and keeping quality of fermented tofu I. The
result of isolation and identification indicated that fermented tofu I+II (soy-cheese) contained 2.3 mg factor-2/kg sample.
Key words: factor-2, isoflavone, Rhizopus oligosporus (L.41), Streptococcus lactis, Lactobacillus bulgaricus.
PENDAHULUAN
Sampai saat ini kedelai masih memegang peranan
penting sebagai sumber bahan pangan berprotein tinggi
yang harganya relatif murah. Kedelai dapat diolah menjadi
berbagai produk pangan, baik melalui proses fermentasi
atau tanpa fermentasi. Tahu merupakan salah satu contoh
makanan dengan bahan dasar kedelai yang diolah tanpa
melalui proses fermentasi (Koswara, 1992).
Saat ini tahu masih dianggap sebagai menu makanan
rumah tangga dan mempunyai nilai sosial yang lebih
rendah dibandingkan sumber protein hewani seperti daging
dan ikan (Lestari, 1994). Disamping itu tahu yang telah
dihasilkan oleh produsen harus segera dijual karena daya
simpannya rendah, sehingga distribusi dan pemasaran tahu
menjadi terbatas. Guna mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan suatu usaha penganekaragaman produk hasil
olahan dengan bahan dasar tahu, antara lain melalui
pembuatan keju kedelai.
Naim (1973) melaporkan bahwa kedelai dorman
mengandung glikosida isoflavon yang terdiri dari: 65%
genistin, 23% daidzin dan 15% glisitin. Pratt dan Hudson
(1985), melaporkan bahwa genistin, daidzin dan glisitin
yang terdapat pada biji kedelai dapat dihidrolisis oleh βglukosidase selama proses perendaman menjadi aglikon
isoflavon dan glukosanya yaitu: genistein (5,7,4’trihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1), daidzein (7,4’trihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1) serta glisitein (6metoksi-7,4’-dihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1).
Genistein, daidzein dan glisitein mempunyai aktifitas
fisiologis sebagai antioksidan.
Dziedzic dan Dick (1982), menemukan adanya senyawa
isoflavon daidzein dan genistein di dalam biji kedelai yang
mengalami germinasi. Genistein dan daidzein mempunyai
aktifitas biologis sebagai antifungi, antioksidan dan
antihemolitik. Penelitian Gyorgy et al. (1964),
menunjukkan bahwa pada tempe hasil fermentasi kedelai
rendam dengan Rhizopus oligosporus ditemukan adanya
isoflavon genistein, daidzein dan faktor-2 (6,7,4’trihidroksi isoflavon). Genistein dan daidzein telah ada
pada kedelai rendam sebagai bahan baku tempe, tetapi
faktor-2 hanya dijumpai pada tempe.
Menurut Barz dan Papendorf (1991), faktor-2 dapat
terbentuk karena selama proses perendaman kedelai, βglukosidase akan aktif dan mengubah glisitin, genistin dan
daidzin yang telah ada pada kedelai menjadi daidzein,
geniztein dan glisitein. Selanjutnya selama proses
fermentasi kedelai rendam dengan Rhizopus oligosporus
terjadi biokonversi lebih lanjut daidzein dan glisitein
menjadi senyawa faktor-2. Terbentuknya faktor-2 dapat
dimulai dengan dua cara yaitu: hidroksilasi gugus C6 dari
senyawa daidzein atau demetilasi gugus C6 dari senyawa
glisitein. Enzim-enzim yang berperan dalam mengkatalisis
biokonversi faktor-2 bukanlah enzim-enzim yang terdapat
pada biji kedelai, melainkan enzim-enzim yang terdapat
pada mikroba (Rhizopus spp. L.41), namun enzim-enzim
yang terdapat pada kedua jenis organisme ini lebih efektif
jika bekerja sama dalam proses fermentasi kedelai.
Murata (1985), menyatakan bahwa faktor-2 mempunyai
aktifitas antioksidan yang secara in vitro jauh lebih tinggi
© 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 8-12
bila dibandingkan antioksidan lain. Faktor-2 mempunyai
daya antioksidasi sebesar 304 menit sedangkan genistein
mempunyai daya antioksidasi sebesar 98 menit. Aktifitas
antioksidan pada penelitian ini adalah waktu (menit) yang
diperlukan untuk menyerap oksigen apabila 50 µl larutan
natrium linolenat mengandung 10-5 M antioksidan. Murata
juga melaporkan bahwa tikus-tikus yang diberi makanan
tempe ternyata memiliki ketahanan lebih besar terhadap
hemolisis sel darah merah dibandingkan tikus yang diberi
makanan kedelai rebus. Hal ini menunjukkan bahwa selain
bersifat sebagai antioksidan, faktor-2 juga mempunyai
aktifitas fisiologis aktif sebagai antihemolitik.
Di dalam tempe, aktifitas antioksidan yang dihasilkan
dapat menghambat proses ketengikan yang diakibatkan
oleh reaksi asam lemak tak jenuh dengan radikal bebas. Jha
et al. (1990), menyatakan bahwa senyawa isoflavonoid
yang menunjukkan aktifitas antioksidan paling tinggi
adalah faktor-2 dan texasin. Aktifitas kedua isoflavon
tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan α-tokoferol.
Penelitian yang dilakukan oleh Pratt dan Hudson (1985),
menunjukkan bahwa faktor-2 memiliki aktifitas
antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan daidzein,
genistein, glisitein dan quersetin. Hasil penelitian oleh
Gyorgy et al. (1964) menyatakan bahwa faktor-2
mempunyai aktifitas sebagai antioksidan dan antihemolitik.
Penelitian lebih lanjut oleh Zilliken dan Jha (1986),
menyatakan bahwa selain berfungsi sebagai antioksidan,
faktor-2 juga dapat menurunkan tekanan darah dan
mengurangi resiko penyakit kanker.
Suzanna dan Arbianto (1994), telah berhasil membuat
keju kedelai dengan cara memfermentasi tahu dengan
Streptococcus lactis dan Lactobacillus bulgaricus (1:1) dan
bumbu jintan. Keju kedelai yang dihasilkan tersebut belum
diteliti kandungan isoflavonoidnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah menciptakan produk
makanan baru dengan bahan dasar tahu, yaitu keju kedelai
yang mengandung senyawa faktor-2.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Kedelai, jenis lokal varietas Davros (sifat biji:warna
kuning pucat, bentuk bundar) digunakan sebagai bahan
baku pembuatan tahu.
Mikroorganisme, yaitu Rhizopus oligosporus L.41,
Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus lactis.
Media pertumbuhan, yaitu media agar miring PYG
untuk membiakkan Lactobacillus bulgaricus, media agar
miring laktosa BCP untuk membiakkan Streptococcus
lactis dan media agar miring tauge untuk membiakkan
Rhizopus oligosporus (L.41).
Rempah-rempah, yaitu jintan.
Isoflavon standard, yaitu faktor-2, genistein dan
daidzein.
Bahan kimia, yaitu glukosa, akuades, asam laktat,
NaCl, metanol, petroleum eter, etil asetat, MgSO4 anhidrat,
silika gel GF 254 untuk KLT, silika gel GF 254 untuk
KLP, kloroform, asam asetat, dan HCl (semua bahan kimia
yang digunakan berderajat kemurnian pro analisa).
9
Cara kerja
Pembuatan susu kedelai. Kedelai yang telah disortir
ditimbang sebanyak 1 kilogram kemudian dicuci dengan
air bersih. Setelah itu direndam selama 6 jam. Kedelai
ditiriskan lalu dikukus selama 45 menit. Selanjutnya
ditambah akuades 80o C sebanyak 500 ml dan digiling.
Bubur yang diperoleh dibiarkan selama 10 menit dan busa
yang timbul di permukaan dibuang. Kemudian bubur
disaring dengan kain belacu dan ampas yang terbentuk
disaring kembali dengan 2X250 ml akuades (Shurtleff dan
Aoyagi, 1980; Koswara, 1992).
Pembuatan tahu. Susu kedelai yang dihasilkan
dipanaskan sampai suhu mencapai 70-80o C . Kemudian
ditambah dengan asam laktat sampai mencapai titik
isoelektrik. Setelah itu dibiarkan selama 6 jam. Filtrat yang
terbentuk dipisahkan endapannya. Endapan tahu dicetak
dengan alat pencetak tahu yang dilapisi kain belacu dan
dibiarkan selama semalam. Tahu yang terbentuk dalam
cetakan dikempa dengan lat pengempa selama 1 menit dan
dikeluarkan dari cetakan.
Pembuatan tahu fermentasi I. Satu kilogram tahu
dihancurkan lalu diinokulasi dengan Rhizopus oligosporus
(L.41) yang telah disuspensikan ke dalam 10 ml larutan
NaCl 0,85% fisiologis steril. Setelah itu dimasukkan dalam
plastik yang berlubang-lubang dan diinkubasi pada suhu
300C sampai terbentuk bulu-bulu warna putih yang
melapisi tahu (Koswara, 1992). Produk yang terbentuk
disebut tahu fermentasi I.
Pembuatan tahu fermentasi II. Satu kilogram tahu
dihancurkan lalu direndam dalam larutan steril NaCl 6%
selama 1 jam dan dioven pada suhu 70o C selama 1 jam.
Selanjutnya didinginkan pada suhu kamar, lalu dihaluskan
dan dan dicampur sampai homogen dengan bakteri
Streptococcus lactis dan Lactobacillus bulgaricus yang
telah disuspensikan dalam 20 ml larutan NaCl 2% steril,
2,5% jintan dan 5% glukosa. Setelah itu diinkubasi selama
26 jam pada suhu 30o C. Selanjutnya ditempatkan dalam
kain belacu steril, dicetak dan dikempa selama 1 menit.
Keju kedelai yang sudah padat dicelupkan ke dalam larutan
NaCl 23% steril selama 15 menit dan diperam pada suhu
16o C selama 1 bulan di cawan petri steril yang disegel
(Daulay, 1991; Suzanna dan Arbianto, 1994). Produk yang
terbentuk disebut tahu fermentasi II.
Pembuatan keju kedelai. Tahu fermentasi I
dihancurkan, selanjutnya diberi perlakuan yang sama
dengan cara pembuatan tahu fermentasi II. Produk yang
terbentuk disebut tahu fermentasi I+II (keju kedelai).
Isolasi isoflavon. Enam ratus gram tahu ditambah 400
ml akuades. Kemudian diblender selama 3 x 5 menit lelu
ditambah dengan 1.200 ml metanol, direndam semalam dan
disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan alat
penguap putar tekanan rendah pada suhu 60o C sampai
diperoleh ekstrak kental.
Ekstrak kental diekstraksi dengan 5 x 150 ml petroleum
eter kemudian diekstraksi lagi dengan 5 x 150 ml etil
asetat. Fase etil asetat di bagian atas diambil dan
dibebaskan dari air dengan MgSO4 anhidrat lalu disaring.
Ekstrak tersebut dipekatkan dengan alat penguap putar
tekanan rendah pada suhu 40o C sampai diperoleh isolat
isoflavon (Mabry et al., 1970).
10
ARIANI – Keju kedelai Rhizopus oligosporus
Identifikasi isoflavon dengan metode kromatografi
lapis tipis (KLT). Sedikit isolat hasil isolasi isoflavon
dilarutkan dalam metanol dan dilakukan proses KLT
dengan menggunakan fasa diam silika gel GF 254, fasa
gerak kloroform : metanol (3:1) dan penampak nodanya
diperiksa dengan lampu UV (Gyorgy et al., 1964). Setelah
itu noda yang terbentuk diamati dan dibandingkan dengan
noda senyawa faktor-2 standard, daidzein standard dan
genistein standard.
Identifikasi isoflavon dengan metode kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Isolat hasil isolasi isoflavon
diidentifikasi menggunakan alat KCKT dengan kondisi :
• Kolom
: µ - Bondapak C-18
• Fasa gerak
: metanol:asam asetat 0,02%
(57,5%:42,5%)
• Kecepatan alir
: 1ml/menit
• Detektor
: sinar UV pada 258 nm
• Suhu oven
: 27oC
• Kecepatan kertas : 2 mm/menit
Isolasi faktor-2. Isolat hasil isolasi isoflavon, dilarutkan dalam metanol dan dilakukan proses kromatografi lapis
preparatif (KLP) dengan menggunakan fasa diam silika gel
GF 254, fasa gerak kloroform : metanol (3:1) dan lampu
UV sebagai penampak nodanya. Pita yang mempunyai
harga Rf sama dengan faktor-2 standar dikerok, ditambah
metanol dan disaring. Filtrat yang terbentuk dipekatkan
dengan alat penguap putar tekanan rendah lalu dikristalkan.
Agar isolat lebih murni maka dilakukan proses kristalisasi
ulang dengan pelarut metanol (Harborne, 1987).
Identifikasi faktor-2. Isolat hasil isolasi senyawa
faktor-2 diidentifikasi menggunakan KLT, KCKT dan
Spektrofotometri UV-VIS. Kemudian spektra yang
diperoleh dibandingkan dengan spektrum faktor-2 standar
yang diidentifikasi dengan alat yang sama.
Identifikasi faktor-2 dengan kromatografi lapis tipis
(KLT). Isolat hasil isolasi faktor-2 diuji KLT dengan
kondisi yang sama dengan kondisi pada saat identifikasi
isoflavon.
Identifikasi faktor-2 dengan metode kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Isolat hasil isolasi faktor-2
diuji KCKT dengan kondisi yang sama dengan kondisi
pada saat identifikasi isoflavon
Identifikasi faktor-2 dengan Spektroskopi UV-VIS.
Isolat hasil isolasi faktor-2 dilarutkan dalam metanol dan
diukur dengan alat spektrofotometer UV-VIS pada λ =
237-400 nm (Mabry et al., 1970).
Penentuan kadar faktor-2. Senyawa faktor-2 dihitung
kadarnya dalam 1 kg bahan berdasar rumus :
Kadar faktor-2 = B/A x 100%
Keterangan:
B = Berat faktor-2 yang telah diisolasi
A = Berat sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum protein digumpalkan, harus diketahui terlebih
dahulu titik isoelektrik protein susu kedelai. Tujuan
penentuan titik isoelektrik protein susu kedelai adalah
untuk mengetahui volume dan konsentrasi asam laktat yang
diperlukan agar menghasilkan rendeman yang optimum
(Shurtleff dan Aoyagi, 1980). Titik isoelektrik protein susu
kedelai terletak pada pH = 4,66 karena pada pH tersebut
terbentuk volume endapan protein yang optimum. Susu
kedelai yang terbentuk dipanaskan, digumpalkan proteinnya kemudian dicetak dan dikempa sehingga dihasilkan
tahu. Pada penelitian ini diciptakan 4 macam sampel yaitu
tahu, tahu fermentasi I, tahu fermentasi II dan tahu
fermentasi I+II. Tujuannya adalah untuk mengetahui
kandungan isoflavon pada masing-masing sampel dan
proses pembuatan tahu yang dapat menghasilkan senyawa
faktor-2.
Proses fermentasi I menggunakan tahu sebagai substrat,
sehingga termasuk fermentasi padat (solid fermentation).
Proses fermentasi padat terjadi secara tidak merata pada
setiap bagian substrat yang masih mengalami tropophase
sedangkan satu bagian yang lain sudah mengalami
iodophase, sehingga kurva pertumbuhannya sukar diikuti
(Fardiaz,1989). Menurut Sudarmadji (1989), untuk
menghasilkan tempe yang paling baik maka inkubasi atau
fermentasi dilakukan pada suhu 300C selama 48 jam.
Produk fermentasi yang paling baik adalah: kapang
mempunyai miselium yang berwarna putih atau putih
kekuningan, tekstur dan tenunan miselium harus kompak,
tebal dan tidak memproduksi bau serta rasa yang tidak
disukai. Hasil uji organoleptik tahu fermentasi I tertera
pada Tabel 1.
Pada jam ke-48 didapatkan hasil fermentasi tahu yang
paling baik yaitu: kapang tebal merata menutupi permukaan tahu, berwarna putih, tidak busuk dan tidak berbau
amonia. Selama proses fermentasi dengan menggunakan
Rhizopus oligosporus (L.41) terjadi hidrolisis protein oleh
protease menjadi peptida dan asam-asam amino. Hidrolisis
lemak oleh lipase menjadi asam lemak dan gliserol, terjadi
proses glikolisis terhadap monosakarida. Disamping itu
Rhizopus oligosporus (L.41) juga dapat memproduksi
fitase yang berfungsi menguraikan asam fitat menjadi
inositol dan asam fosfat, memproduksi senyawa
antibakteri, memproduksi senyawa riboflavin dan biotin,
memproduksi senyawa-senyawa folat, serta biokonversi
isoflavonoid yang ada pada tahu menjadi senyawa faktor-2
(Mulyowidarso et al., 1989; Kasmidjo, 1990).
Selanjutnya dilakukan isolasi isoflavon terhadap 600
gram tahu, tahu fermentasi I, tahu fermentasi II dan tahu
fermentasi I+II, adapun hasilnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Hasil uji organoleptik tahu fermentasi I.
Jam
ke0
24
48
72
96
Penampilan
Warna
Rasa
Tahu
Tahu berlapis
kapang belum
merata
Tahu berlapis
kapang merata
Putih
Putih
kekuningan
Tawar
Khas
tempe
Putih
kekuningan
Khas
tempe
Tahu berlapis
kapang merata
Tahu berlapis
kapang yang
menyusut
Putih abuabu
Putih abuabu
Tempe
busuk
Tempe
busuk
Aroma
Netral
Harum,
khas
tempe
Harum,
khas
tempe
Amonia
Amonia +
busuk
BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 8-12
Tabel 2. Hasil isolasi isoflavon dari sampel.
Sampel
Tahu
Tahu fermentasi I
Tahu fermentasi II
Tahu fermentasi I+ II
Berat
(mg)
12,5
10,2
9,3
8,2
Tabel 4. Data KCKT yang dinyatakan dalam waktu retensi (tr).
Bentuk
Warna
Kristal
Kristal
Kristal
Kristal
Kuning muda
Kuning muda
Kuning muda
Kuning muda
Identifikasi isoflavon menggunakan 2 cara yaitu
menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Hasil identifikasi
isoflavon dengan KLT menggunakan fasa diam silika gel
GF 254, fasa gerak kloroform:metanol (3:1) serta lampu
UV sebagai penampak noda disajikan pada pada Tabel 3.
Tahu
Tahu fermentasi I
Tahu fermentasi II
Tahu fermentasi I+II
Faktor-2, daidzein dan
genistein standard
Tabel 5. Hasil isolasi senyawa dengan Rf = 0,95 dari 1 kg
sampel.
Tahu fermentasi I
Tabel 3. Hasil identifikasi isoflavon dengan KLT.
Rf
Faktor-2
Daidzein
Genistein
Tahu
0,82
0,52
Tahu
fermentasi
I
0,95
0,82
0,52
Tahu
fermentasi
II
0,82
0,52
Tahu
fermentasi
I+II
0,95
0,82
0,52
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa senyawa faktor2 tidak terdapat pada tahu dan tahu fermentasi II tetapi
terdapat pada isolat isoflavon tahu fermentasi I dan tahu
fermentasi I+II, sedangkan daidzein dan genistein terdapat
pada semua sampel. Hasil identifikasi dengan metode
KCKT menunjukkan bahwa kromatogram isolat isoflavon
tahu dan tahu fermentasi II mengandung 3 puncak sedangkan kromatogram isolat isoflavon tahu hasil fermentasi
tahap I dan tahu fermentasi I+II mengandung 4 puncak.
Puncak pertama menunjukkan puncak dari eluen asam
asetat (0,02%) yang terdeteksi oleh detektor UV pada
panjang gelombang = 258 nm. Identifikasi isoflavon
dengan metode KCKT menunjukkan hasil bahwa puncak
yang kedua (waktu retensi = 4,38) muncul pada
kromatogram isolat tahu hasil fermentasi I dan tahu
fermentasi I+II tetapi tidak muncul pada kromatogram
isolat isoflavon tahu dan tahu fermentasi II. Sedangkan
puncak ke-3 dan ke-4 muncul pada semua isolat sampel.
Setelah dibandingkan dengan kromatogram KCKT
senyawa daidzein, genistein dan faktor-2 standard
diperoleh hasil bahwa tr puncak ke-2 sesuai dengan tr
puncak faktor-2 standard, tr puncak ke-3 sesuai dengan tr
puncak daidzein standard dan tr puncak ke-4 sesuai dengan
tr puncak genistein standard. Hasil identifikasi isoflavon
dengan KCKT tertera pada Tabel 4.
Langkah selanjutnya adalah isolasi senyawa faktor-2
yang terkandung di dalam isolat isoflavon tahu fermentasi I
dan tahu fermentasi I+II menggunakan kromatografi lapis
preparatif dengan fasa gerak kloroform:metanol (3:1), fasa
diam silika gel GF 254 dan penampak noda sinar UV. Pita
dengan RF=0,95 ditandai dan dikerok. Selanjutnya hasil
kerokan dilarutkan dengan metanol, disaring dan
dikristalkan. Agar lebih murni lagi maka dilakukan proses
kristalisasi ulang. Kristal yang terbentuk ditimbang dan
hasilnya disajikan pada pada Tabel 5.
Waktu retensi (tr), (menit)
I
II
III
IV
3,098
5,137
6,475
3,093
4,383
5,098
6,477
3,047
5,073
6,507
3,063
4,388
5,107
6,477
3,090
4,385
5,088
6,498
Sampel
Sampel
Senyawa
Standar
11
Berat
(mg)
2,6
Kadar
(%)
0,00026
2,3
0,00023
Tahu fermentasi
I+II
Bentuk
Kristal
Kristal
Warna
Kuning
muda
Kuning
muda
Selanjutnya isolat hasil isolasi faktor-2 diidentifikasi
menggunakan metode KLT, Spektroskopi UV-VIS dan
KCKT. Identifikasi terhadap senyawa faktor-2 standard
dan isolat hasil isolasi faktor-2 dari tahu fermentasi I dan
tahu fermentasi I+II menggunakan metode KLT dengan
fasa gerak kloroform:metanol (3:1), fasa diam silika gel GF
254 dan detektor sinar UV diperoleh 1 noda yaitu pada Rf
= 0,95. Adapun hasilnya tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil KLT dengan fasa gerak kloroform:metanol (3:1).
Isolat murni dari
Faktor-2 standard
Tahu fermentasi I
Tahu fermentasi I+II
Campuran ketiga isolat murni
Jumlah
noda
1
1
1
1
Rf
0,95
0,95
0,95
0,95
Lampu
UV
Ungu
Ungu
Ungu
Ungu
Data hasil identifikasi senyawa faktor-2 standard dan
isolat hasil isolasi faktor-2 pada tahu hasil fermentasi dan
tahu hasil fermentasi tahap I+II menggunakan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Data KCKT yang dinyatakan dalam waktu retensi (tr).
Isolat dari
Faktor-2 standard
Tahu hasil fermentasi tahap I
Tahu hasil fermentasi tahap
I+II
Waktu retensi (tr), (menit)
I
II
3,888
4,388
3,847
4,389
3,933
4,433
Pada kromatogram hasil identifikasi menggunakan
KCKT didapatkan 2 puncak. Puncak yang pertama
diakibatkan oleh adanya asam asetat 0,02% yang berfungsi
sebagai fasa gerak (eluen) dan terdeteksi oleh detektor UV
pada panjang gelombang 258 nm. Setelah dibandingkan
dengan kromatogram KCKT senyawa faktor-2 standard
diperoleh hasil waktu retensi (tr) puncak kedua dari
kromatogram isolat hasil isolasi senyawa faktor-2 pada
ARIANI – Keju kedelai Rhizopus oligosporus
12
tahu hasil fermentasi tahap I dan tahu fermentasi tahap I+II
sesuai dengan waktu retensi puncak faktor-2 standard.
Adapun data spektrum UV-VIS dari faktor-2 standard,
isolat hasil isolasi faktor-2 pada tahu hasil fermentasi tahap
I dan tahap I+II tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Data spektrum UV-VIS.
Isolat murni dari
Faktor-2 standard
Tahu fermentasi I
Tahu fermentasi I+II
λ maks (nm)
Pita I
Pita II
258
324
256
323
257
324
Hasil isolasi dan identifikasi faktor-2 menunjukkan
bahwa tahu dan tahu fermentasi II (fermentasi tahu
menggunakan
Streptococcus
lactis-Lactobacillus
bulgaricus) hanya mengandung senyawa daidzein dan
genistein, sedangkan pada tahu fermentasi I (fermentasi
tahu dengan menggunakan Rhizopus oligosporus L.41) dan
tahu hasil fermentasi tahap I+II (fermentasi tahu
menggunakan Rhizopus oligosporus L.41 lalu diteruskan
dengan Streptococcus lactis-Lactobacillus bulgaricus)
mengandung senyawa daidzein ,genistein dan faktor-2.
Pada penelitian ini membuktikan bahwa faktor-2 hanya
dapat dijumpai tahu yang telah mengalami proses
fermentasi dengan menggunakan lapuk Rhizopus
oligosporus L.41. Isolasi dan identifikasi faktor-2
menunjukkan bahwa sebanyak 1 kg tahu fermentasi I telah
mengandung 2,6 mg senyawa faktor-2, tetapi masih
mempunyai aroma dan cita rasa seperti tempe serta telah
busuk pada hari ke-3, untuk itu diperlukan proses
fermentasi tahap II yang berfungsi untuk meningkatkan
aroma, cita rasa dan daya awetnya. Khususnya
penambahan jintan adalah untuk memberikan aroma serta
cita-rasa Indonesia. Untuk selanjutnya tahu hasil fermentasi
tahap I+II disebut keju kedelai. Kandungan faktor-2 dari 1
kg keju kedelai adalah sebesar 2,3 mg.
KESIMPULAN
Isolasi dan identifikasi faktor-2 dengan metode KLT,
KCKT dan Spektroskopi UV-VIS memberikan hasil yaitu:
pada isolat isoflavon tahu dan tahu fermentasi II
mengandung senyawa daidzein dan genistein, sedangkan
pada isolat isoflavon tahu fermentasi I dan tahu fermentasi
I+II mengandung senyawa daidzein, geinstein dan faktor-2.
Hasil isolasi dan identifikasi membuktikan bahwa senyawa
faktor-2 hanya ditemukan pada tahu yang telah
difermentasi dengan Rhizopus oligosporus L. 41.
Tahu fermentasi I mengandung 2,6 mg faktor-2/kg
sampel, tetapi masih mempunyai aroma dan cita rasa
seperti tempe serta telah busuk pada hari ke-3, sehingga
diperlukan proses fermentasi II. Tujuan proses fermentasi
II adalah untuk memperbaiki aroma, cita rasa dan daya
awet tahu fermentasi I. Tahu fermentasi I+II yang
dihasilkan mengandung 2,3 mg faktor-2/kg.
DAFTAR PUSTAKA
Barz, W. and G.B. Papendorf. 1991. Metabolism of isoflavones and
formation of factor-2 by tempeh producing microorganism Tempeh
Workshop, Cologne, 20 May 1991.
Daulay, D. 1990/1991. Fermentasi Keju. Bogor: PAU-Pangan dan Gizi
IPB.
Dziedzic, S.Z. and J. Dick. 1982. Analysis of isoflavone in bengalgram by
high perfomance liquid chromatography. Journal of Chromatography.
14: 491-499.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU-Pangan dan Gizi
IPB.
Gyorgy, P., K. Murata, and H. Ikehata 1964. Antioxidants isolated from
fermented soybeans tempeh. Nature. 203: 872-875.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan ke-2. Penerjemah:
Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung: Penerbit ITB.
Jha, H.C., S. Bockemuhl, and H. Egge. 1990. Adriamycin induced
mitochondrial lipid peroxidation and its inhibition by tempeh
isoflavonoids and their derivatives Second Asian Symposium on Non
Salted Soybean Fermentation , Jakarta, 11 October 1990.
Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe, Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan
serta Pemanfaatannya. Yogyakarta: PAU-Pangan dan Gizi UGM.
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan
Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lestari, R.S. 1994. Memasyarakatkan model usaha industri nata de soya
dalam rangka perwujudan pengembangan agroindustri akrab
lingkungan. Pangan 20: 60-64.
Mabry, T.J. 1970. The Systematic Identification of Flavonoids. New York:
Springer Verlag Inc.
Mulyowidarso, R.K., G.H. Fleet, and K.A. Buckle. 1989. The microbial
ecology of soybean soaking for tempeh production. International
Journal of Food Microbiology 8: 5-8.
Murata, K. 1985. Formation of antioxidats and nutrien in tempeh.:
Proceedings of The Asian Symposium on Non Salted Soybean
Fermentation ,Tsukuba, 23 August 1984.
Naim, M. 1973. A new isoflavone from soybeans. Phytochemistry 12:
169-171.
Pratt, D.E. and B.J. Hudson. 1985. Natural antioxidants not exploited
commercially. Antioxidants: 1971-1989.
Shurtleff, W. dan Aoyagi. 1980. The Book of Tofu. New York: Balantine
Book.
Sudarmadji, S., R. Kasmidjo, dan Sardjono. 1989. Microbiologi Pangan.
Yogyakarta: PAU-Pangan dan Gizi UGM.
Suzanna, B. dan P. Arbianto. 1994. Pembuatan Keju Kedelai Sebagai
Alternatif Pengembangan Hasil Olah Pangan Dari Kedelai.
Bandung: Jurusan Kimia FMIPA ITB.
Ziliken and H.C. Jha. 1986. Novel isoflavonoides and its derivatives, new
antioxidants derived from fermented soybean (tempeh). Asian
Symposium on Non Salted Soybean Fermentation , Tsukuba, 10 June
1986.
Download