BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Organisasi Korea Selatan memiliki nama resmi yakni Republik Korea dan beribukota di Seoul. Berlokasi di Semenanjung Korea yakni bagian timur laut dari Benua Asia. Hubungan diplomatik antara Korea Selatan dan Indonesia ditandai dengan pengakuan Korea Selatan akan adanya negara Republik Indonesia pada Desember 1949. Kemudian semakin meningkat menjadi hubungan tingkat konsulat antar kedua negara yang dimulai pada Agustus 1966. Pada bulan Desember ditahun yang sama, Korea Selatan membuka Konsulat Jenderal di Indonesia, disusul kemudian pembukaan Konsulat Jenderal Indonesia di Seoul pada Februari 1968. Hubungan antara Korea Selatan dengan Indonesia mulai diresmikan menjadi hubungan diplomatik tingkat Duta Besar pada September 1973. Hubungan diplomatik antara Korea Selatan dengan Indonesia dimulai dengan kerjasama dibidang ekonomi, baik perdagangan dan investasi maupun kerjasama pembangunan. Atas kerjasama dibidang ekonomi, saat ini Indonesia berhasil menjadi rekan dagang terbesar kesepuluh bagi Korea Selatan sedangkan Korea Selatan menjadi rekan dagang terbesar keenam bagi Indonesia. Dengan semakin gencarnya hubungan diplomatik antar kedua negara saat ini kerjasama yang dilakukan tidak terbatas pada kerjasama dalam bidang ekonomi saja namun telah merambah pada hampir semua bidang kerjasama seperti bidang kebudayaan, pariwisata, politik, pendidikan, kehutanan, hukum dan HAM, imigrasi, dan lain sebagainya. Adanya kerjasama yang lebih luas tersebut sangat dipandang positif demi menjaga hubungan baik dalam jangka waktu panjang yang saling menguntungkan antar kedua negara. Kedutaan Besar Republik Korea di Jakarta merupakan perwakilan resmi Korea Selatan di Indonesia dalam rangka menjalin, menjaga serta memantapkan hubungan diplomatik yang harmonis antar kedua negara. Berlokasi di jalan Gatot Subroto Kavling 57 Jakarta Selatan, letak gedung Kedutaan Besar Republik Korea persis bersebelahan dengan Rumah Sakit Medistra. Namun, berdasarkan perintah dari Kementerian Luar Negeri Republik Korea pada tahun 2010 untuk merenovasi gedung yang telah ditempati selama hampir 28 tahun tersebut, sehingga seluruh aktivitas bekerja dipindahkan untuk sementara waktu di The Plaza Office Tower lantai 30, Jalan MH. Thamrin Kavling 28-30 Jakarta Pusat 10350. Dengan dikepalai oleh seorang Duta Besar dan dibantu oleh sejumlah Diplomat yang memiliki keahlian dan latar belakang pendidikan yang kompeten, mereka melakukan tugas kenegaraannya di Indonesia hingga batas waktu yang telah ditentukan. Pada umumnya Duta Besar dan Diplomat tersebut mempunyai masa dinas selama tiga tahun lamanya dan maksimal diperpanjang selama satu tahun. Saat ini Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia dipimpin oleh bapak Kim Young Sun. Dan menjabat sebagai Chief Deputy Mission atau Wakil Duta Besar yakni bapak Park Young Sik. LOGO ORGANISASI Gambar 4.1 Logo Consular Section Kedubes Korea di Indonesia Sumber : Dokumen Internal Kedutaan Besar Republik Korea Kedutaan Besar Republik Korea di Jakarta terbagi menjadi dua bagian yakni, Embassy (Kedutaan) dan Consular Section (bagian fungsi kekonsuleran). Pemisahan ini guna mempermudah dalam melaksanakan tugas dan memberikan layanan dokumen bagi para warganegara Korea Selatan yang berada di Indonesia dan juga bagi warganegara Indonesia yang ingin mengurus visa kunjungan ke Korea Selatan. Pada Consular Section (bagian fungsi kekonsuleran) terdapat empat orang Consul, sebutan untuk kepala atau pimpinan. Consul-Consul tersebut berasal dari empat kementerian yang berbeda di Korea Selatan, yakni Consul utusan Kementerian Luar Negeri, Consul utusan dari Kementerian Hukum dan HAM dan Korea Immigration Services, Consul utusan dari Kepolisian Nasional Republik Korea serta Consul utusan Komisi Pemilihan Umum. Setiap Consul tersebut dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para staff lokal yang berasal dari Indonesia dan juga staff yang berasal dari Korea Selatan. Consul utusan Kementerian Luar Negeri yakni bapak Kim Pil Hwan memiliki tiga orang staff Korea Selatan dan satu orang staff Indonesia. Bapak Lee Jin Gon selaku Consul utusan dari Kementerian Hukum dan HAM dan Korea Immigration Services memiliki staff yang paling banyak karena berkaitan dengan pengurusan visa, dokumen serta urusan lain yang terkait dengan hukum, HAM serta imigrasi. Beliau memiliki lima orang staff Indonesia dan satu orang staff Korea Selatan. Consul utusan dari Kepolisian Nasional Republik Korea, bapak Lee Hee Sung hanya memiliki satu orang staff Indonesia sebagai sekretaris sedangkan Consul utusan Komisi Pemilihan Umum yakni bapak Seol Tae Seon juga hanya memiliki satu orang staff Korea Selatan. 4.1.1 Analisa Struktur Lingkup Internal dan Eksternal Dalam rangka menjalin hubungan diplomatiknya dengan Indonesia, kini pemerintah Korea Selatan tidak hanya memfokuskan diri dengan kerjasama dibidang ekonomi tetapi juga dalam segala bidang, dimulai dari kehutanan, pendidikan, tenaga kerja, perpajakan, bea dan cukai, imigrasi, hukum dan hak asasi manusia, pemilihan umum, dan masih banyak bidang lainnya. Saat ini pemerintah Korea Selatan melalui perwakilannya di Indonesia telah membina banyak hubungan kerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui kementerian-kementerian yang terkait. Kerjasama yang pernah dan atau sedang dilakukan saat ini oleh Kedubes Korea Selatan dengan Indonesia antara lain adalah: Proyek pembangunan pesawat tempur TNI-AU, yang merupakan hasil kerjasama dengan pihak Kementerian Pertahanan Korea, Kementerian Pertahanan Indonesia, Balitbang, dan PT. Dirgantara Indonesi, yang rencananya akan berlangsung hingga tahun 2020. Proyek perbaikan kapal dan kapal selam Manggala milik TNI-AL, sebagai bagian dari kerjasama antara Kementerian Pertahanan Korea, TNIAngkatan Laut dan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering. Pelatihan dan studi banding bagi pegawai Imigrasi Indonesia ke Korea Selatan atas prakarsa Korea Immigration Services dan KOICA. Pemberian beasiswa penuh bagi pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi melalui program Korean Government Scholarship Programs yang diadakan setiap tahunnya. Program beasiswa ini dimulai dari jenjang sarjana, master hingga doctoral. Program ini merupakan hasil kerjasama Kementerian Pendidikan Korea Selatan dengan DIKTI. Program pemberian beasiswa bagi Pegawai Negeri Sipil Indonesia berlangsung secara terpisah, hal ini adalah sebagai salah satu kemudahan bagi para pegawai negeri sipil Indonesia yang mempunyai keinginan dan juga membuka jalur khusus dengan kesempatan lebih besar untuk dapat menempuh pendidikan di Korea Selatan. Komisi Pemilihan Umum Korea dan Komisi Pemilihan Indonesia juga melakukan kerjasama berupa studi banding mengenai mekanisme pemilihan umum yang ada di Indonesia dan Korea Selatan. Kerjasama sistem Government to Government (G to G) pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Korea Selatan sebagai hasil kerjasama Kementerian Tenaga Kerja Korea dengan Kementerian Tenaga Kerja Indonesia melalui BNP2TKI. Hal ini dilakukan untuk kenyamanan, keamanan, menghindari kecurangan dan praktek ilegal biro tenaga kerja Indonesia dalam proses pengiriman tenaga kerja ke Korea Selatan yang selalu memungut biaya terlalu besar dari para calon tenaga kerja. Selain contoh diatas masih banyak sekali kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara. Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia melalui para diplomatnya juga kerap melakukan kunjungan kerja ke sejumlah kementerian sebagai dari bagian menjaga hubungan diplomatik agar selalu terjalin dengan baik. 4.1.2 Latar Belakang Staff yang Bekerja pada Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia Saat ini dalam lingkup Kedutaan Besar Republik Korea memiliki total staff sebanyak 62 orang, 23 orang diantaranya adalah diplomat Korea Selatan, 12 orang staff Korea Selatan dan 27 orang staff Indonesia. Pendidikan para diplomat tersebut minimal adalah strata dua dan telah menjalani dinas keluar negeri paling tidak selama satu tahun. Beberapa diantara para diplomat tersebut sebelum bertugas di Indonesia pernah ditugaskan dinegara lain seperti Vietnam, Kamboja, Amerika Serikat, Jerman, Kazakhstan, Libanon, dan negara-negara lainnya. Sedangkan untuk para staff Indonesia dan staff Korea Selatan pada umumnya memiliki pendidikan strata satu dari berbagai disiplin ilmu. Sistem rekrutmen karyawan antara Consular Section dengan Kedutaan pada dasarnya adalah sama, namun khusus untuk Consular Section karena dulu pada tahun 2000-an diadakan pemutihan besar-besaran bagi overstayer atau ilegal stayers oleh Pemerintah Korea Selatan, hampir sekitar 2.000 orang Indonesia yang menjadi ilegal stayers di Korea Selatan diwajibkan kembali ke Indonesia untuk mengurus visa kerja resmi bagi mereka. Pada saat itu juga terjadi perubahan proses pengurusan visa yang dahulu hanya berupa visa on arrival, stempel visa dan tidak memerlukan dokumen apapun, kini setiap warga negara Indonesia yang akan ke Korea Selatan harus mengurus visa dan melengkapi dokumen persyaratan yang telah ditetapkan oleh Kedutaan Besar Republik Korea diseluruh dunia, persyaratan disetiap negara akan berbeda dengan negara lainnya karena mengikuti tingkat pendapatan dan kesejahteraan penduduk dinegara tersebut. Sistem pengurusan visa pun berubah menjadi online, para staff harus memasukan data pendaftar visa ke jaringan kerja khusus dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM terutama Korea Immigration Services. Adaptasi dengan perubahan ini memerlukan waktu yang cukup lama, karena semua sistem menggunakan bahasa Korea dan seluruh staff pada saat itu tidak mengerti bahasa Korea. Pada akhirnya, pihak Consular Section memutuskan untuk merekrut staff sementara, dengan masa kerja hingga masa pemutihan bagi ilegal stayers selesai. Rekrutmen tersebut juga tidak ketat pelaksanaannya, karena hanya bertugas menjadi staff sementara maka minimal pendidikan, pengalaman kerja dan penguasaan bahasa asing tidak dijadikan keharusan. Hasil rekrutmen staff sementara itu terpilih sebanyak 3 orang, 2 orang diantaranya telah mengundurkan diri. Para staff sementara itu diberikan pelatihan singkat mengenai tata cara penggunaan dan cara memasukan data kedalam sistem kerja. Mereka hanya mengingat bagian mana saja yang harus diisi tanpa bisa membaca dan mengerti artinya. Dimulai dari adanya perekrutan staff sementara menjadikan sistem perekrutan di Consular Section menjadi rendah standarnya. Kini hal-hal krusial seperti minimal pendidikan, pengalaman bekerja dan kemampuan bahasa asing tidak menjadi persyaratan mutlak bagi calon staff disana. Saat ini saja, untuk staff yang bekerja di Consular Section ada yang hanya lulusan sekolah menengah atas dan tidak bisa berbahasa Inggris. Consular Section memiliki 4 orang Consul, 7 orang staff Indonesia dan 4 orang staff Korea Selatan. Pendidikan staff Indonesia yang bekerja terdiri dari 1 orang lulus strata dua, 2 orang lulus dari strata satu, 3 orang dari diploma tiga, dan 1 orang sekolah menengah atas. Mayoritas para staff tersebut belum memiliki pengalaman bekerja dan tidak cukup baik kemampuan bahasa asingnya. Sedangkan 4 orang staff Korea Selatan yang bekerja, semuanya lulus dari jenjang strata satu dan juga belum pernah memiliki pengalaman bekerja. Namun kesemuanya, cukup dapat mengerti komunikasi dalam bahasa Indonesia. Staff Indonesia yang bekerja di Consular Section mayoritas berasal dari suku Jawa, yang bersikap lebih kalem dan lembut. Sedangkan mayoritas diplomat dan staff Korea Selatan berasal dari daerah bawah kota seperti daerah Busan sehingga tutur katanya hampir mirip dengan suku Batak di Indonesia yang nada bicaranya keras. 4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Aktivitas Komunikasi dalam Organisasi Penelitian tentang komunikasi antarbudaya para staff pada Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia ini didukung oleh data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi tentang pola komunikasi serta hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang ditemui oleh para staff pada Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia. Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 7 Desember 2012, dengan Key Informan Bapak Lee Jin Gon selaku Consul bagian Keimigrasian, Ibu Jeon Min Yoon dan Ibu Raviyanti selaku staff dari Korea Selatan dan Indonesia sebagai Informan. Selain itu, wawancara juga dilakukan pada tanggal 16 November 2012, kepada Bapak Heru Wibowo selaku Informan ahli melalui Skype. Periode penelitian ini dimulai dari bulan September 2012 hingga Desember 2012. Penelitian ini dilakukan empat bulan menjelang akhir tahun, dengan pertimbangan bahwa akan banyak sekali aplikasi permohonan visa yang masuk ke Consular Section, perubahan peraturan dan proses adaptasi dengan peraturan baru yang telah berubah. Maka sudah pasti akan banyak sekali aktivitas komunikasi yang terjadi serta hambatan-hambatan komunikasi yang dihadapi oleh consul dan para staff tersebut. Peneliti juga melakukan observasi partisipatif yang memungkinkan peneliti melihat dan mengikuti keseharian para staff dan consul pada saat bekerja sehinga dapat secara langsung melihat bagaimana pola komunikasi dan hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang ditemui oleh para staff tersebut. Aktivitas komunikasi yang berlangsung pada lingkup Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia meliputi pembagian fungsi dan tugas kerja, pemberitahuan informasi terbaru mengenai sistem kerja, perubahan peraturan organisasi, pengorganisasian dokumen dan laporan hasil kerja secara berkala kepada consul yang berwenang. Pelaporan hasil kerja ini mulai dari harian, mingguan, bulanan hingga tahunan, yang semua datanya harus direkapitulasi sehingga dapat dilaporkan dengan baik kepada consul. Bentuk-bentuk penyampaian informasi yang menjadi bagian dari aktivitas komunikasi dalam Consular Section diharapkan dapat membantu consul dan para staff yang bekerja saling melakukan pertukaran informasi, membantu interaksi antar staff yang berbeda budaya dan bahasa tersebut sehingga tugas kerja dapat diselesaikan dengan baik dan juga tercipta lingkungan kerja yang nyaman. Selain dari komunikasi mengenai tugas dan fungsi kerja, para staff tersebut tidak banyak melakukan komunikasi dengan para staff asing tersebut, staff Indonesia lebih banyak melakukan percakapan dengan staff Indonesia lainnya, sebaliknya juga dengan para staff Korea Selatan tersebut. Berada dalam lingkup perwakilan sebuah negara maka menjadi tantangan sekaligus hambatan bagi para staff yang terlibat didalamnya. Memahami budaya dan kemampuan bahasa asing harusnya menjadi modal tersendiri bagi para staff tersebut untuk dapat bekerja dengan baik dan rasa nyaman dalam bekerja. Perbedaan bahasa dan budaya yang ada, menjadikan para staff ini tidak dapat memahami konteks percakapan yang berlangsung, sehingga timbul salah paham diantara keduanya. Tidak semua staff yang bekerja disana mempunyai kemampuan untuk memahami atau menerima perbedaanperbedaan tersebut, dan tidak semua staff juga mampu berkomunikasi dengan bahasa asing walaupun dengan percakapan dasar. Dalam penelitian ini hal pertama yang ditanyakan oleh peneliti kepada para informan mengenai pendapat mereka tentang komunikasi antarbudaya. Hal ini ditanyakan untuk dapat mendapatkan gambaran tentang pengetahuan para informan tersebut mengenai komunikasi antarbudaya, baik dalam sebuah organisasi maupun dalam lingkungan sehari-hari. Bapak Lee Jin Gon (Key Informan) memberikan pendapatnya mengenai komunikasi antarbudaya, yaitu: “Komunikasi antarbudaya menurut saya adalah komunikasi yang terjadi antara orang-orang dengan budaya yang berbeda. Termasuk juga bahasa yang berbeda.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli. Lebih jauh Key Informan juga menambahkan bahwa semua orang yang berada dalam organisasi internasional seperti kedutaan harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan banyak orang dengan latar belakang baik budaya dan bahasa yang berbeda. “Jangankan dengan orang dari bangsa lain yang bahasanya berbeda, sesama orang Korea Selatan-pun bisa saling bertengkar, karena masing-masing daerah memiliki budaya yang berbeda. Saya berasal dari Busan walaupun sudah lama tinggal di Incheon tapi aksen bicara saya masih sangat Busan yang nada bicaranya tinggi, sehingga sering terjadi salah paham dengan orang-orang di Incheon yang nada bicaranya lebih halus. Dimana saja manusia berada, dia harus memiliki kemampuan komunikasi antarbudaya tersebut. Jadi sangat penting bagi setiap orang untuk memahami komunikasi antarbudaya.” Ibu Jeon Min Yoon, telah lima tahun bekerja di Kedubes Korea Selatan di Indonesia, dia juga merupakan lulusan Pusan University of Foreign Language jurusan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Saat ditanya mengenai pendapatnya mengenai komunikasi antarbudaya berikut jawabannya: “Saya belajar bahasa Indonesia selama kurang lebih 4 tahun dengan dosen dari Indonesia. Sewaktu belajar saya merasa bahwa saya menguasai bahasa Indonesia dengan lancar dan saya mengerti sedikit banyak dengan kebudayaannya karena guru saya banyak mengajarkan budaya Indonesia. Namun ketika saya bekerja dengan banyak staff Indonesia, saya sempat mengalami mungkin seperti culture shock dengan cara kerja staff Indonesia. Tetapi saya rasa menguasai bahasa asing dan berusaha menerima perbedaan budaya adalah hal yang paling utama.” Hal yang sama ditanyakan juga kepada Ibu Raviyanti mengenai pendapatnya mengenai komunikasi antarbudaya. “Sebenarnya saya tidak pernah ngeh dengan adanya komunikasi antarbudaya, namun saya rasa hal ini penting bagi orang-orang seperti saya yang bekerja di organisasi internasional untuk mempelajari komunikasi antarbudaya ini, walaupun saya mempunyai kemampuan dasar berkomunikasi dalam bahasa Korea namun kemampuan itu tidak pernah saya terapkan karena saya takut salah interpretasi.” Pernyataan-pernyataan diatas membuktikan bahwa komunikasi antarbudaya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari, bukan saja dengan orang dari negara yang sama namun berbeda budaya tetapi juga dengan orang-orang dari lintas negara. Selain itu, setiap individu harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya tersebut, sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Selanjutnya, peneliti juga menanyakan mengenai kemungkinan para informan tersebut melakukan komunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan bahasa terutama dengan orang-orang dari lintas negara. “Sebelum ditugaskan sebagai consul di Indonesia, saya ditugaskan di Kazakhstan selama satu tahun. Dan saya juga pernah mengikuti pelatihan imigrasi di Amerika Serikat selama enam bulan. Berbeda dengan di Kazakhstan, staff Indonesia lebih sulit untuk diajak berkomunikasi karena kesulitan bahasa.” Jeon Min Yoon sebagai staff perempuan asal Korea Selatan satu-satunya di Consular Section juga memberikan keterangan: “Saya tidak bisa berbahasa Inggris. Saya mengerti tapi tidak bisa menjawab. Bahasa asing yang saya pelajari hanya bahasa Indonesia, dan untuk lintas negara mungkin memang hanya dengan orang Indonesia saja saya banyak berkomunikasi.” Senada dengan Ibu Jeon Min Yoon, Ibu Raviyanti dalam wawancara juga mengungkapkan hal yang serupa: “Saya belajar bahasa Korea di Indonesia, terdiri dari dosen native dan Indonesia. Tapi dosen native saya lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Indonesia juga, alhasil bahasa Korea saya juga tidak bagus dan tidak percaya diri untuk mempraktekkannya.” Dengan banyak melakukan aktivitas komunikasi antarbudaya, seharusnya menjadikan setiap individu tersebut dapat terbuka pemahamannya mengenai perbedaan budaya dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan mengurangi kesalahan dalam berkomunikasi terutama jika berhubungan dengan budaya dari lintas negara. Setiap hari para staff tersebut harus berada dalam lingkup kerja yang sama dimulai dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 16.30 sore, setiap hari Senin hingga hari Jumat. Namun jam kerja ini dapat melebihi jam kerja yang telah ditentukan jika masih ada tugas yang belum diselesaikan. Berada dalam kurun waktu tersebut, memungkinkan bagi para staff tersebut untuk melakukan komunikasi baik secara formal dan informal, verbal dan nonverbal baik kepada atasan maupun antar staff yang berada dalam lingkup organisasi. Serta terbukanya peluang untuk proses pertukaran kebudayaan didalamnya. Model komunikasi adalah pola yang digunakan dalam proses komunikasi. Menurut Sereno dan Mortensen, model komunikasi merupakan deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Sedangkan B. Aubrey Fisher mengatakan bahwa model adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Pola komunikasi adalah kecenderungan gejala umum yang menggambarkan bagaimana cara berkomunikasi yang terjadi dalam organisasi atau kelompok sosial tertentu. Mengetahui pola komunikasi yang ada didalam Consular Section sangat penting dalam penelitian ini sehingga dapat ditemukan sebab-akibat dan jalan keluarnya. Pertanyaan berikut ini ditanyakan kepada para informan, Bagaimanakah pola komunikasi yang terjadi dalam Consular Section, baik komunikasi formal dan informal antara staff dengan Consul ataupun dengan sesama staff dan berikut adalah jawaban mereka: Key Informan, Bapak Lee Jin Gon memberikan pendapatnya: “Sebagai atasan saya membuka diri dengan komunikasi yang formal dan informal dengan para staff saya. Namun memang kembali lagi kepada kemampuan mereka dan saya untuk berkomunikasi. Sejujurnya saya sangat peduli dengan para staff saya dan saya juga berusaha untuk mendekatkan diri dengan mereka, karena Consular Section ini bukanlah seperti Embassy yang serba protokoler, disini lebih administratif dan jumlah staffnya lebih sedikit, jadi seharusnya ini menjadi keuntungan bagi kami bisa saling bersinergi untuk dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam bekerja dan yang terpenting keakraban setiap orang yang ada dalam organisasi.” Key informan juga menjelaskan bahwa staff Indonesia yang bekerja di Consular Section cenderung lebih pendiam, berkelompok dan terbatas jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan dari atasan mereka. Hal ini yang menjadikan kurangnya komunikasi yang terjadi dalam organisasi tersebut. “Staff Indonesia yang bekerja di Consular Section lebih pendiam dan berkelompok. Saat saya menyampaikan instruksi kerja banyak dari mereka yang hanya diam seperti menunggu terjemahan dari instruksi saya, padahal saya menggunakan bahasa Inggris atau lebih kepada mimik wajah dan nada bicara yang saya rasa cukup dapat memberikan pengertian bagi mereka. Ketika sedang istirahat makan siang atau diwaktu-waktu tidak terlalu banyak pekerjaan, saya selalu berusaha berbincang dengan mereka. Namun selalu tidak berjalan dengan baik. Mungkin dibandingkan dengan komunikasi formal, menurut saya selama ini saya lebih banyak berinteraksi secara informal dengan para staff saya.” Berdasarkan hasil penelitian, peneliti melihat bahwa staff Indonesia dan staff Korea Selatan jarang melakukan komunikasi dalam bekerja, masingmasing staff tersebut lebih banyak berkomunikasi dengan sesama mereka, yang memiliki persamaan bahasa saja. Selain itu dalam pengamatan juga terlihat staff Indonesia cenderung menghindar untuk berkomunikasi dengan staff Korea Selatan dan consul. Saat ditanya mengenai aktivitas komunikasi dalam pembagian tugas dan fungsi kerja bagi para staffnya, key informan menjelaskan bahwa semua peraturan, pemberitahuan serta instruksi awal berasal dari pusat, yakni Kementerian Hukum dan HAM Republik Korea dan Korea Immigration Services yang kemudian diberitahukan kepada seluruh staff yang bekerja di Consular Section dinegara manapun. “Untuk aktivitas komunikasi mengenai pembagian tugas dan fungsi semua berasal dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Korea, tapi karena bidang saya menyangkut imigrasi maka saya mendapatkan instruksi kerja juga dari Korea Immigration Services. Setiap saya mendapatkan tugas dari pusat nantinya akan langsung koordinasi dengan para staff saya disini. Saya akan mengadakan pertemuan kecil dengan seluruh staff lalu memberitahukan informasi atau tugas untuk mereka. Penyampaiannya saya sesuaikan dengan tingkat kepentingan informasi tersebut, jika cukup penting dan saya kesulitan untuk menyampaikan dengan bahasa Inggris maka saya akan menyampaikannya dalam bahasa Korea yang langsung diterjemahkan kepada seluruh staff.” Peneliti juga melihat secara langsung cara penyampaian tugas kerja yang disampaikan oleh consul kepada para staffnya. Dapat terlihat bahwa para staff Indonesia sama sekali tidak dapat mengerti arahan yang diberikan oleh consul baik dalam bahasa pengantar Inggris ataupun Korea. Namun setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, para staff Indonesia dapat sedikit memahami maksud dari penyampaian consul. Walaupun beberapa dari mereka tetap saja terlihat kebingungan dengan terjemahan yang disampaikan. Lebih lanjut peneliti juga menanyakan tentang pola komunikasi antara consul dengan para staffnya serta bagaimana pembagian tugas dan pelaksanaan fungsi kerja kepada Ibu Jeon Min Yoon dan Ibu Raviyanti. Berikut adalah jawaban dari Ibu Jeon Min Yoon: “Kalau saya selama ini melihat antara consul dan staff bebas untuk melakukan komunikasi, tidak dibatasi. Tetapi yang selama ini terlihat staff Korea Selatan lebih banyak yang berkomunikasi dengan Consul karena kesamaan bahasa. Namun, saya merasa staff Indonesia tidak cukup percaya diri dengan kemampuan bahasa asing mereka. Untuk pembagian kerja cukup adil, karena sudah ada pekerjaan masing-masing.” Ibu Raviyanti memiliki pandangan serupa dengan Ibu Jeon Min Yoon: “Untuk komunikasi dengan atasan, saya rasa semuanya mendapat kesempatan yang sama. Consul Lee Jin Gon terutama sangat terbuka untuk percakapan dengan para staffnya, baik itu dalam bekerja maupun saat istirahat makan siang hanya saja permasalahannya adalah kendala bahasa dan kepercayaan diri. Sejauh ini masalah pembagian tugas cukup adil, hanya tinggal staffnya itu yang melakukan tugas mereka dengan baik atau tidak.” Ibu Raviyanti kemudian menambahkan jika selama ini banyak staff Korea Selatan yang tidak mengerti job description mereka sebagai seorang karyawan. Sehingga banyak tugas yang dialihkan kepada staff Indonesia tanpa sepengetahuan consul. Berdasarkan pengamatan juga dapat terlihat bahwa consul membuka kesempatan untuk seluruh staffnya untuk berkomunikasi dengannya. Terlihat dari selalu terbukanya pintu ruangannya, serta keinginannya untuk memulai percakapan dengan para staffnya. Consul juga tidak segan untuk duduk bersama dengan para staffnya atau bercanda untuk menciptakan keakraban. Hasil wawancara terhadap para informan tersebut keduanya juga memberikan pendapat yang sama bahwa pola komunikasi antara Consul dan para staffnya bersifat terbuka dan tidak membedakan antara staff Indonesia dan staff Korea Selatan. Peneliti juga menanyakan mengenai pola komunikasi antara staff Indonesia dengan staff Korea Selatan yang bekerja di Consular Section. Berikut adalah jawaban Ibu Raviyanti: “Saya jarang melakukan kontak dengan staff Korea Selatan. Jangankan komunikasi informal, komunikasi yang berhubungan dengan pekerjaanpun jarang. Setelah dapat terjemahan dari instruksi biasanya saya langsung kembali ke meja kerja.” Ibu Raviyanti menambahkan bahwa menurut pemikirannya staff Korea Selatan yang bekerja disana hanya melempar tugas dari Consul kepada staff Indonesia yang lain. Sehingga jika dia banyak melakukan kontak dengan staff Korea Selatan tersebut maka akan semakin banyak tugas yang akan dilemparkan kepadanya. Pertanyaan yang sama juga ditanyakan kepada Ibu Jeon Min Yoon yang memberikan jawabannya: “Hhmm.. Saya selalu menganggap mereka lebih dari rekan kerja tapi sebagai keluarga. Tetapi terkadang kalaupun saya berbincang dengan mereka itu jadi sekedar basa-basi. Saya menilai mereka membentengi diri untuk dapat berkomunikasi dengan orang asing.” Peneliti juga menanyakan kepada Ibu Jeon Min Yoon mengenai anggapan staff Indonesia bahwa staff Korea Selatan kerap melempar tugas kerja kepada mereka ketimbang mengerjakan sendiri. “Ya.. Pemikiran orang berbeda-beda. Mungkin itu yang dirasakan oleh staff Indonesia, tapi mungkin staff Korea tersebut tidak dapat mengerjakan tugasnya karena sedang mengerjakan tugas lain sehingga meminta bantuan staff Indonesia.” Consul Lee Jin Gon sebagai atasan juga menilai bahwa komunikasi antar staff terutama Indonesia dan Korea Selatan yang dilakukan oleh staffnya tidak berjalan harmonis. Dijelaskan bahwa selama ia bertugas sejak Agustus 2009, ia kesulitan untuk menyatukan para staff yang berbeda budaya dan bahasa tersebut kedalam suasana yang nyaman. “Sebagai kepala saya bertanggung jawab untuk semua keperluan mereka, memberikan mereka suasana kerja yang nyaman dan memberikan tugas secara adil. Dan selama ini jika mereka berbuat salahpun saya tidak pernah langsung memarahi atau memberikan hukuman namun lebih kepada pencarian solusi agar masalah teratasi dan semua pihak dapat belajar dari kesalahan tersebut. saya ingin win-win solution tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.” Consul Lee Jin Gon juga menambahkan bahwa ia tidak ingin ada anggapan bahwa selama ini ia membela satu pihak dan menyalahkan pihak yang lain. “Saya bersikap netral sebagai pimpinan. Jika ada yang salah, saya akan panggil staff tersebut untuk duduk bersama dan mencari jalan keluarnya. Saya tidak mau ada anggapan negatif dari staff saya.” Dari hasil wawancara diatas dan pengamatan terlihat bahwa ada pihak yang membuka dan ada pihak yang menutup diri untuk melakukan komunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, terutama lintas negara. Berdasarkan hasil penelitian juga terlihat beberapa kali staff Korea Selatan melempar tugas yang seharusnya dikerjakan oleh mereka kepada staff Indonesia. Saat menerima lemparan tugas juga staff Indonesia tidak menolak walaupun terlihat kekesalan dari wajah. Selain itu terlihat bahwa tidak ada komunikasi yang berarti diantara staff Indonesia dan staff Korea Selatan, masing-masing dari mereka sibuk dengan pekerjaannya. Dan terlihat dari jawaban Ibu Raviyanti bahwa terdapat ketidakpercayaan untuk melakukan kerjasama atau komunikasi terhadap staff asing. 4.2.2 Hambatan Komunikasi Mengacu pada hasil wawancara dengan para informan tersebut jelas terlihat bahwa mereka memiliki banyak hambatan dalam melakukan komunikasi. Hambatan-hambatan tersebut dapat muncul dari dalam dan luar orang tersebut. Sebelum itu, peneliti mengajukan pertanyaan kemampuan komunikasi dalam bahasa asing kepada seluruh informan. Berikut pendapat Consul Lee Jin Gon: “Saya memang enggan untuk belajar bahasa Indonesia. Terlalu sulit untuk saya. Tapi saya bisa menghitung dalam bahasa Indonesia, mengucapkan kata apa, kenapa, dimana, berapa, tidak bisa, bisa, hanya kata sederhana. Sebenarnya disediakan guru privat untuk semua diplomat jika mau belajar bahasa Indonesia, namun memang saya yang tidak mau belajar. Bahasa Inggris saya juga tidak maksimal, tapi saya rasa cukup baik.” Peneliti kemudian menanyakan lebih detail alasan penolakan untuk mempelajari bahasa Indonesia kepada Consul Lee Jin Gon, “Pengucapan bahasa Indonesia sangat berbeda dengan bahasa Korea. Kata-katanya juga susah. Saya pernah diajari oleh sekretaris saya bahasa Indonesia, tetapi baru satu kali pertemuan saya langsung menyerah. Saya sudah tua dan sulit untuk menghapal kata-kata baru dalam bahasa asing.” Diakui oleh Consul Lee Jin Gon, bahwa selama ini ia sangat terbantu dengan adanya staff Indonesia yang dapat berbahasa Indonesia maupun staff Korea Selatan yang bekerja dengannya. “Waktu saya bertugas di Kazakhstan, sekretaris saya orang Kazakhstan yang mampu berbahasa Korea walaupun tidak terlalu baik, namun saya sangat terbantu. Begitu juga selama saya di Indonesia, sekretaris saya orang Indonesia yang bisa berbahasa Korea. Jadi saya sangat beruntung memiliki staff yang mampu berbahasa Korea karena sangat membantu saya mengatasi kesulitan berbahasa asing saya.” Berbeda dengan Ibu Jeon Min Yoon yang mampu berbahasa Indonesia jauh sebelum ia bekerja di Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia: “Alasan saya belajar bahasa Indonesia sederhana sekali sebenarnya, karena untuk masuk ke universitas besar dengan fakultas yang bagus sulit sekali. Jadi saya memilih untuk masuk ke jurusan bahasa Indonesia. Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Bahasa Indonesia sulit. Saya banyak tertukar kata-kata yang mirip pengucapannya, tapi setelah mengikuti pertukaran pelajar di Universitas Indonesia saya menjadi sangat percaya diri dengan kemampuan bahasa Indonesia.” Ibu Jeon Min Yoon menambahkan bahwa ia banyak melakukan praktek percakapan dengan banyak orang untuk melatih bahasa Indonesianya. Termasuk juga dengan supir atau asisten rumah tangga yang bekerja dirumahnya. Serupa dengan Ibu Jeon Min Yoon, Ibu Raviyanti juga sebelum bekerja di Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia merupakan lulusan diploma tiga Universitas Nasional, Jakarta. Berikut pendapatnya: “Walaupun saya lulusan bahasa Korea tapi saya tidak lancar berbahasa Korea. Sebenarnya saya juga tidak lancar bahasa Inggris. Kemampuan komunikasi dan bahasa asing saya sangat lemah. Sekarang saya sedang melanjutkan pendidikan saya di jurusan bahasa Inggris, namun saya tidak percaya diri untuk mempraktekkannya juga.” Menurut pengamatan peneliti, terlihat memang dalam aktivitas komunikasi dalam Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia banyak mencampur bahasa dalam percakapan. Bahasa Inggris, bahasa Korea, bahasa Indonesia, dan banyak melakukan komunikasi nonverbal. Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan bahasa asing yang dimiliki oleh para staff dan consul. Untuk menemukan hambatan-hambatan komunikasi yang dialami oleh para staff dan Consul, peneliti menanyakan kepada para informan tersebut mengenai apa saja hambatan dalam berkomunikasi yang mereka temui saat berada dalam lingkungan Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia dan berikut adalah jawaban Consul Lee Jin Gon: “Bagi saja bahasa jelas nomor satu hambatan dalam berkomunikasi. Di Korea, bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya tidak menjadi hal yang penting untuk dipelajari, orang-orang Korea akan menghindar dari orang yang berasal dari negara lain, karena mereka tidak bisa untuk berkomunikasi dengan bahasa lain. selain itu, Korea merasa budaya mereka lebih tinggi daripada negara lain, sehingga tidak penting bagi mereka untuk memahami budaya lain, sebaliknya negara lain yang harus memahami budaya Korea. Sudah sangat jelas bahasa sangat mempengaruhi saya dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya non Korea. Saat saya datang ke Indonesia saya sama sekali tidak dibekali dengan kemampuan bahasa Indonesia karena saya berpikir staff yang bekerja pasti mempunyai kemampuan bahasa Inggris, tapi ternyata saya salah. Selain itu budaya kerja yang berbeda antara Korea dan Indonesia, di Korea semua orang bisa sangat gila kerja tapi jika saya lihat staff Indonesia di Consular Section tidak memberikan sepenuhnya kemampuan mereka untuk organisasi.” Selain itu Consul Lee Jin Gon juga menambahkan bahwa para staff yang bekerja kebanyakan belum pernah memiliki pengalaman kerja sebelumnya, jadi sangat dibutuhkan kemauan untuk mau belajar. “Setiap akan berkomunikasi saya selalu mencoba dulu dalam bahasa Inggris, jika staff Indonesia tidak dapat mengerti maksud saya baru saya akan meminta bantuan staff Korea untuk menerjemahkan perkataan saya. Sejauh ini jika menyangkut tugas kerja hal itu cukup efektif. Walaupun sebenarnya saya ingin benar-benar bisa brain storming dengan para staff tanpa bantuan penerjemah. Menurut saya ini kesalahan yang tidak ingin diperbaiki saat perekrutan karyawan, karena HRD hanya mengandalkan orang-orang yang mau bekerja dengan pendidikan yang sangat standar dan bukan mencari orangorang dengan kemampuan yang mumpuni serta memiliki pendidikan yang lebih tinggi.” “Hambatan-hambatan ini jelas sangat mengganggu kegiatan bekerja, bagaimana tujuan terbentuknya perwakilan negara ini dapat berjalan dengan baik jika tidak ditopang oleh staff yang solid.” Selain itu Consul Lee Jin Gon juga menambahkan bahwa dirinya lebih memilih untuk berkomunikasi tatap muka untuk berbicara dengan staff Indonesia karena dengan begitu ia dapat melihat mimik muka dan respon nonverbalnya. Ibu Raviyanti juga mengatakan bahwa hambatan terbesarnya dalam berkomunikasi adalah bahasa. Hal ini sangat bertolak belakang dengan latar belakang pendidikannya yang adalah lulusan Diploma tiga bahasa Korea. “Hambatan komunikasi saya adalah bahasa dan cara bicara orang Korea. Saya lulus dari jurusan bahasa Korea tetapi saya tidak pernah bicara dalam bahasa Korea walaupun percakapan dasar. Saya merasa kemampuan bahasa Korea saya tidak bagus dan malu untuk menggunakannya. Saya juga tidak lancar dalam bahasa Inggris, saya lebih memilih menggunakan teman kerja yang dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris atau Korea sebagai sarana untuk menjadi penyambung lidah dengan consul. Staff Korea disini kecuali para consul selalu bicara dengan nada tinggi dan menyampaikan segala hal seperti orang marah, sangat mengganggu suasana kerja. Saya dan teman-teman yang lain tidak dapat konsentrasi bekerja dalam situasi yang tidak kondusif.” Ibu Raviyanti juga menjelaskan bahwa suasana kerja yang tidak kondusif karena cara penyampaian dan terjemahan bahasa yang kaku serta membingungkan menjadikan mereka tidak menyatu dengan organisasi sebagai sebuah tim kerja. Senada dengan Ibu Raviyanti dan Consul Lee Jin Gon, Ibu Jeon Min Yoon juga menyatakan hal yang serupa: “Kesulitan saya dalam komunikasi adalah bahasa. Saya banyak kesulitan dalam menerjemahkan kalimat dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia sehingga saat ditugaskan untuk menjadi penerjemah oleh Consul, saya hanya membuat staff Indonesia kebingungan dengan terjemahan saya. Saya tidak bisa mengerti beberapa kata-kata yang biasa diucapkan sehari-hari, bahasa Korea sangat berbeda dengan bahasa Indonesia sehingga sulit untuk menerjemahkannya. Terkadang staff Indonesia juga menggunakan bahasa gaul atau bahasa daerah untuk menghindari orang lain mengetahui percakapan mereka. Saya juga kesulitan mengerti jika staff Indonesia berbicara terlalu cepat. Saya mengatasi hambatan ini dengan banyak belajar untuk bersikap lebih friendly seperti pergi makan siang bersama agar bisa lebih akrab.” Peneliti menemukan hambatan dalam berbahasa asing antara staff Indonesia dan staff Korea Selatan. Masing-masing dari mereka tidak memiliki pengalaman berada dalam lingkungan lintas negara sehingga tidak mudah bagi mereka untuk membuka diri terhadap perbedaan budaya, hal ini bertambah buruk karena tidak dibekali dengan kemampuan berbahasa asing yang baik serta kemampuan komunikasi. Dalam lapangan, ditemukan komunikasi dalam bahasa yang bercampur-aduk, menggabungkan bahasa Inggris yang sangat minim dengan bahasa Indonesia dalam komunikasi yang dilakukan. Untuk berkomunikasi kita membutuhkan bahasa sebagai pengantar, tanpa pemahaman dan pengertian bahasa asing maka komunikasi akan sulit untuk dilakukan atau dalam kata lain akan terjadi kemungkinan kesalahpahaman yang besar akibat ketidakmampuan untuk berkomunikasi. Seperti yang sudah diungkapkan oleh para informan bahwa hambatan paling utama yang mereka temui dalam berkomunikasi adalah bahasa. Kurangnya kemampuan berbahasa asing, kurangnya penerimaan diri terhadap budaya asing menjadi salah satu sebab mengapa komunikasi yang terjalin tidak berjalan dengan lancar. Selain bahasa, peneliti menanyakan mengenai hambatan-hambatan lain menyangkut budaya kerja pimpinan dan staff Korea Selatan kepada seluruh informan: Consul Lee Jin Gon, menyatakan bahwa masyarakat Korea Selatan memang sangat disiplin dengan waktu dan loyalitas dengan pekerjaan mereka. “Semua orang Korea Selatan sangat disiplin dengan waktu. Keterlambatan dalam janji bertemu sangat tidak termaafkan. Mereka akan sangat marah, jika orang yang ditunggu tidak datang lewat 15 menit dari jam yang sudah ditentukan. Kemudian yang harus diketahui oleh orang lain adalah bahwa orang Korea Selatan suka dengan kecepatan. Semua pekerjaan harus dilakukan dengan cepat, tidak suka menunggu dan menunda pekerjaan. Orang Korea Selatan juga punya loyalitas tinggi terhadap pekerjaan mereka. Saat bekerja dengan orang asing, mereka juga mengharapkan hal yang sama.” Ibu Jeon Min Yoon juga setuju dengan pendapat Consul Lee Jin Gon. “Orang Korea suka semuanya dilakukan dengan cepat. Kalau mereka merasa sudah lama menunggu, mereka tidak segan untuk komplain bahkan marah.” Sementara Ibu Raviyanti menilai budaya kerja yang mempengaruhi lingkungan kerjanya sangat berbanding terbalik dengan harapannya. “Budaya kerja orang Korea itu keras buat saya. Semua mau dikerjakan secara cepat, tidak menunda pekerjaan, terkadang mereka juga tidak mengerti peraturan di Indonesia. Yang paling sulit buat saya adalah jam kerja mereka yang sangat gila.” Menurut Ibu Raviyanti, jam kerja normal berakhir pada pukul 16.30 sore, namun pada kenyataannya para staff Indonesia bisa lebih dari jam kerja normal. Terkadang mereka harus bekerja hingga pukul 21.00 hingga 22.00 malam. “Di bulan-bulan menjelang akhir tahun, merupakan bulan paling menyebalkan buat saya. Setiap hari kami bisa pulang diatas jam 21.00 malam, karena banyaknya aplikasi visa yang masuk dan tidak ada pembatasan mengenai jumlah aplikasi visa yang masuk setiap harinya. Tapi menurut mereka itu merupakan kewajiban para staff sementara menurut staff Indonesia ini merupakan penyiksaan.” Ibu Raviyanti juga menambahkan bahwa setiap hari selama menjelang akhir tahun pihak Consular Section dapat menerima hampir 1.000 aplikasi dokumen permohonan visa. “Jika mengacu pada jam kerja normal seharusnya kami hanya menerima paling banyak 300 dokumen, dengan estimasi selesai kerja pada pukul 18.00 sore. Selain itu staff Korea Selatan tidak suka jika staff Indonesia izin untuk beribadah, padahal ibadah paling lama tidak sampai 10 menit.” Berdasarkan pengamatan peneliti, budaya kerja yang diterapkan dalam organisasi semua harus dilakukan secara cepat dan benar. Tidak diperkenankan menunda pekerjaan dengan alasan apapun, dan bekerja melebihi jam kerja normal berarti memiliki loyalitas tinggi terhadap organisasi. Organisasi dalam hal ini Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia juga tidak membatasi pekerjaan dengan jam kerja sehingga para staff harus bekerja hingga larut malam. Dalam hal kebebasan beribadah, para staff Indonesia cenderung melakukan kecurangan dengan pura-pura pergi ke toilet demi menjalankan kewajiban agama mereka. 4.2.3 Tindakan Pengambilan Solusi atas Hambatan Komunikasi Antarbudaya Berdasarkan hambatan-hambatan komunikasi tersebut, perlu adanya tindakan pengambilan solusi dalam mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang ada. Hal ini diperlukan agar semua pihak yang terkait dapat mencari cara dan jalan keluar untuk meminimalisir hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya tersebut. Seperti digambarkan oleh Model Komunikasi Gudykunst dan Kim, bahwa ada pengaruh budaya-budaya individu dan masalah-masalah penyandian dan penyandian balik pesan. Dalam hal ini adalah setiap individu yang berada dalam organisasi tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan, kepribadian, persepsi terhadap relasi antarpribadi dan kemampuan mereka menerima perbedaan serta lingkungan. Dalam hal ini setiap consul dan para staff memiliki latar belakang budaya, kepribadian serta definisi mengenai hubungan antarpribadi, tumbuh dalam lingkungan dan memiliki kemampuan menerima perbedaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Peneliti mencoba menanyakan kepada key informan mengenai langkahlangkah apa saja yang pernah ia tempuh untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan komunikasi antarbudaya ini. Berikut adalah jawabannya: “Sejauh ini saya selalu mencoba memikirkan dan melakukan cara-cara yang saya nilai dapat mengatasi hambatan-hambatan dalam komunikasi, karena menurut saya ini hal yang sangat penting. Kami sebuah perwakilan negara yang ingin menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan negara lain, hal tersebut harus dimulai dari memanajemen komunikasi para staff yang bekerja sehingga mereka dapat melakukan tugas dan menjalankan fungsi mereka dengan baik.” Saat ditanya lebih banyak mengenai langkah-langkah yang pernah dilakukan, Consul Lee Jin Gon dalam pernyataannya menambahkan, “Dulu saya pernah melakukan pertemuan rutin dengan semua staff setiap hari Jumat, dengan harapan bahwa pertemuan tersebut dapat menjadi wadah untuk me-review pekerjaan, staff juga lebih bebas menyampaikan keluhan dan keinginan dalam bekerja, namun sekarang sudah tidak pernah dilakukan lagi karena ternyata pertemuan tersebut tidak berhasil hanya satu atau dua staff saja yang vokal selebihnya hanya diam. Sulit bagi saya untuk mengerti keinginan mereka jika tidak ada yang bicara. Contoh lainnya seperti jamuan makan siang atau malam. Sebagai sebuah organisasi dengan staff yang tidak banyak, saya ingin mendekatkan mereka sebagai sebuah tim jadi jamuan makan saya jadikan sebagai sarana untuk mempererat keakraban, saya merancang tempat duduk untuk mereka sehingga tidak ada yang duduk berkelompok dengan teman dekatnya, percakapan yang dilakukan topiknya lebih general sehingga para staff tersebut dapat memberikan pendapatnya, tetapi ya sulit. Hal yang sangat sulit.” Para staff yang berada dalam organisasi tersebut juga telah melakukan berbagai usaha untuk mencoba mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya. Menurut Ibu Raviyanti, ia telah mencoba membuka diri dengan perbedaan namun ternyata masih terdapat penolakan dan ketidakmampuan untuk menerima perbedaan budaya tersebut. “Saya mencoba untuk membuka diri akan adanya perbedaan namun ya tetap saja tidak mudah. Penilaian saya adalah staff Korea Selatan disini juga tidak pernah mau membuka percakapan, selalu merasa statusnya lebih tinggi daripada staff Indonesia, makanya ga heran kalau staff Indonesia dan Korea disini ga akur.” Sebaliknya menurut Ibu Jeon Min Yoon selama ini seluruh staff Korea Selatan tidak pernah merasa memiliki status yang lebih tinggi dari staff Indonesia, namun seluruh persepsi tersebut mungkin saja ada benarnya. “Staff Indonesia disini yang perempuan memang sedikit, namun karena sama-sama perempuan saya merasa cukup dekat walaupun tidak secara mendalam. Saya tidak pernah merasa membedakan mereka, dan saya juga sering mengajak mereka untuk makan siang bersama atau bergosip dengan mereka. Tapi memang komunikasi disini sangat kaku, karena kesibukan masing-masing. Persoalan mengenai status yang lebih tinggi atau lebih rendah menurut saya itu tidak benar, disini semua staff mempunyai posisi yang sama, tidak ada yang beda. Jika staff Indonesia punya pendapat berbeda mengenai status yang lebih tinggi, itu penilaian mereka.” Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa kekakuan ini sudah diketahui oleh consul dan telah lama berlangsung bahkan sebelum consul Lee Jin Gon bertugas disana. Peneliti melihat bahwa setiap staff memilih menggunakan cara yang berbeda untuk mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya, yang terlihat adalah banyak dari staff tersebut yang diam saja, atau menganggap itu bukan masalah besar sehingga dibiarkan saja berlalu begitu saja. Baik staff Indonesia dan staff Korea Selatan membatasi diri mereka untuk mau berinteraksi dengan baik satu sama lainnya. Jika dilihat langkah yang ditempuh oleh Consul dan para staff tersebut cukup baik, sebagai langkah awal mencairkan suasana dan mengakrabkan hubungan diantara mereka. Peneliti kemudian mewawancarai Bapak Heru Wibowo, staff Kedutaan Besar Republik Indonesia di Korea Selatan. Wawancara dilakukan melalui Skype dikarenakan perbedaan geografis antara pewawancara yang berada di Indonesia dan terwawancara yang berada di Korea Selatan. Wawancara dilakukan pada tanggal 16 November 2012, sekitar pukul 19.00 waktu Indonesia. Diketahui bahwa sebelumnya bapak Heru Wibowo pernah menjadi bagian dari Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia selama tiga tahun. Peneliti menanyakan aktivitas komunikasi antara consul dan para staff pada saat Bapak Heru Wibowo masih menjadi bagian dari Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia: “Dulu waktu masih bekerja di Kedubes Korea, jumlah staffnya lebih banyak daripada yang ada saat ini. Jumlah staff permanen dengan staff temporer kalau ditotal bisa lebih dari 10 orang. Kalau dibandingkan dengan dulu saya bekerja jelas berbeda, karena dulu staff Korea Selatan yang bekerja tidak pernah membatasi diri mereka dengan staff Indonesia. Consul-consulnya juga sangat kooperatif. Benar-benar kekeluargaan sekali.” Lebih lanjut dikatakan bahwa consul dan staff Korea Selatan yang terdahulu mau belajar untuk belajar bahasa Indonesia sehingga komunikasi tidak terlalu mengalami gangguan dalam penyampaian pesan. “Kalau consul-consul dan staff Korea yang lama, semuanya belajar bahasa Indonesia karena memang disediakan guru khusus oleh Embassy. Dan mereka ga bisa menolak, karena keharusan.” “Kita sering jalan bersama, makan-makan, benar-benar kekeluargaan. Tapi jika dalam bekerja kita melakukan kesalahan, kita akan dapat hukuman. Menurut saya itu hal yang bagus untuk menghindari pengulangan kesalahan dalam bekerja.” Menurut Bapak Heru Wibowo, ia terakhir mengunjungi Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia sekitar pertengahan Desember 2012 dalam rangka kunjungan kerja dan penyambutan Duta Besar yang baru Republik Indonesia di Korea Selatan. “Rasanya berbeda dengan waktu zaman saya kerja. Yang paling jelas terlihat jumlah staffnya yang semakin sedikit. Saya juga melihat kekakuan para staff yang bekerja disana. Seperti tidak menyatu sebagai sebuah tim.” Lebih jauh diungkapkan bahwa consul dan staff Indonesia serta Korea Selatan dimasa Bapak Heru Wibowo masih bekerja lebih ramah dan tidak segan untuk berkomunikasi dan berbaur dengan staff Indonesia. “Kalau makan siang apa yang kita makan, mereka bisa makan yang sama. Ibaratnya kalau saya makan tempe dia juga ikut makan tempe. Jadi saling membuka diri untuk perbedaan menurut saya.” Ditanya mengenai hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya pada saat informan masih bekerja, ia menambahkan bahwa semua hambatan komunikasi pasti ada. “Hambatan-hambatan komunikasi pasti ada. Apalagi dengan orang dari negara lain yang sudah jelas bahasa dan budayanya berbeda. Saya rasa yang terpenting adalah sikap individunya yang mampu berkomunikasi dan menguasai bahasa asing. Jelas selintas saya lihat bahwa staff yang ada saat ini hampir seluruhnya tidak punya kemampuan komunikasi dan bahasa asing yang mumpuni. Dulu untuk staff Indonesia permanen semuanya bisa bahasa Inggris, kalau temporernya memang tidak diwajibkan bisa bahasa asing.” Bapak Heru Wibowo juga mengungkapkan bahwa dulu ia tidak melihat bahasa sebagai hambatan dalam berkomunikasi. Menurutnya kendala awal saat ia bekerja di Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia adalah budaya kerja yang berbeda. “Saya baru lulus kuliah waktu diterima kerja saat itu. Ada kebanggaan namun kekhawatiran untuk masuk kedunia kerja apalagi pertama kali kerja langsung dengan orang-orang dari negara lain. Tapi bukan bahasa yang menjadi hambatan untuk saya tetapi budaya kerja orang Korea Selatan. Kita bisa pulang paling malam jam 21.00 malam, tapi itu jarang hanya jika memang ada acara tertentu saja yang mengharuskan pulang malam. Selebihnya ga ada masalah.” “Semua staff pasti kaget dengan budaya kerja mereka yang benar-benar gila kerja. Semua harus serba cepat dan sesuai keinginan mereka. Tapi itu pelajaran berharga bagi saya, untuk menjadi individu yang selalu bergerak cepat dan tidak menunda pekerjaan, sangat disiplin terhadap waktu. Ada keuntungan positif yang saya dapatkan bekerja dengan orang Korea.” Peneliti kemudian menanyakan solusi yang dilakukan oleh para consul dan staff untuk mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya yang ditemui kepada Bapak Heru Wibowo: “Bahasa awalnya kendala bagi sebagian besar staff Indonesia yang tidak bisa berbahasa Korea. Strategi unik dilakukan oleh consul saat itu, yakni dengan mengajarkan staff Indonesia bahasa Korea setelah jam kerja selesai. Paling tidak kita diajarkan cara membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa Korea. Memang hal yang sederhana namun itu sangat membantu kami dalam bekerja. Kalau dibandingkan dengan situasi yang ada sekarang secara detail saya kurang tau, tapi seperti itulah waktu saya bekerja.” Selanjutnya Bapak Heru Wibowo juga menyatakan bahwa untuk menjalin keakraban dengan para staffnya, consul terdahulu biasa mengadakan acara makan bersama atau piknik bersama untuk melepaskan kepenatan bekerja. Menurutnya ada perbedaan dalam pengalaman antara consul yang terdahulu dengan yang sekarang. “Consul yang terdahulu sudah banyak ditugaskan kenegara-negara besar sehingga mungkin pengalamannya berbeda dengan consul yang sekarang. Saya pernah berkomunikasi dengan Consul Lee Jin Gon baik melalui telepon maupun secara tatap muka dan saya sangat nyaman untuk berbicara dengan beliau secara langsung. Karena saya tidak dapat mengerti secara jelas maksud percakapannya. Makanya sekarang saya lebih banyak berkomunikasi dengan sekretarisnya saja.” Berdasarkan informasi dari Bapak Heru Wibowo jelas terlihat perbedaan antara suasana kerja yang lama saat ia masih menjadi staff dengan suasana kerja yang baru saat ia sudah tidak lagi menjadi bagian dari Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia. Perbedaan yang terlihat adalah penerimaan dan keterbukaan para staff dan consul dalam menyikapi perbedaan budaya diantara mereka, kemampuan consul dan para staff dalam beradaptasi, kemampuan bahasa asing serta pengambilan solusi yang dilakukan oleh consul dalam mengatasi hambatan dalam komunikasi antarbudaya. 4.3 Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa dalam lingkup organisasi Consular Section Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia dimulai dari pendapat para informan mengenai komunikasi antarbudaya, aktivitas komunikasi, hambatan-hambatan komunikasi akibat perbedaan budaya dan bahasa serta langkah yang dilakukan sebagai jalan keluar untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam berkomunikasi tersebut. Definisi komunikasi antarbudaya menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras dan kelas sosial. Sedangkan menurut Samovar dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi diantara produsen dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. Penelitian ini mengambil contoh Indonesia dan Korea Selatan, dimana masing-masing negara tersebut memiliki budaya, bahasa, penerimaan terhadap orang dan budaya asing serta budaya kerja yang berbeda. Definisi yang disampaikan oleh para ahli sangat sesuai dengan penelitian yang dilakukan yakni, komunikasi yang dilakukan oleh suku bangsa, etnik, ras atau memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Berdasarkan data lapangan hasil penelitian yang peneliti lakukan pola komunikasi yang terjadi antara atasan dengan bawahan atau staff antar staff sebenarnya bersifat terbuka namun tidak efektif. Pola komunikasi sebagaimana dikemukakan oleh B. Aubrey Fisher adalah kecenderungan gejala umum yang menggambarkan bagaimana cara berkomunikasi yang terjadi dalam organisasi atau kelompok sosial tertentu. Ketidakefektifan terjadi karena walaupun consul bersikap terbuka dengan segala bentuk percakapan namun, hal ini tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh individu dalam organisasi. Consul sebagai pimpinan telah berusaha untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya dengan bertegur sapa, menanyakan hal-hal ringan seperti kesulitan terhadap tugas yang diberikan, namun tidak selalu respon baik yang didapat karena kemampuan staff Indonesia terhadap bahasa asing yang minim. Kebanyakan staff Indonesia lebih banyak tersenyum saat tidak mengerti percakapan yang sedang berlangsung. Atau juga berlalu begitu saja meninggalkan lawan bicara. Padahal tujuan komunikasi sederhana ini dilakukan adalah untuk menghilangkan kekakukan sehingga dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman dan pengembangan komunikasi yang dua arah dan bersinambungan kepada setiap individu dalam organisasi. Staff Indonesia dan staff Korea Selatan juga tidak banyak melakukan aktivitas komunikasi dikarenakan ketakutan akan mendapatkan lemparan tugas lebih banyak dari staff Korea Selatan jika mereka sering melakukan kontak. Semakin dekat hubungan mereka maka akan semakin banyak ketergantungan staff Korea Selatan akan individu tersebut untuk melakukan tugas yang seharusnya dilakukan oleh staff Korea Selatan tersebut. Hal ini berkembang karena persepsi pribadi staff Indonesia atas staff Korea Selatan, yang dinilai tidak pernah mau melakukan tugas mereka sendiri. Selain itu berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan kecenderungan para staff Indonesia dan Korea Selatan berkelompok dan berinteraksi lebih banyak dengan mereka yang berasal dari bangsa dan bahasa yang sama. Dikemukakan bahwa prinsip komunikasi antarbudaya, terbagi menjadi tiga prinsip. Yakni, prinsip pertama adalah suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek verbal dan nonverbal. Sarbaugh (1979) berpendapat bahwa tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Akan terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi. Prinsip kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan diantara pihakpihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons. Kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Prinsip ketiga adalah hal yang punya implikasi penting bagi komunikasi antarbudaya adalah tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Ada dua komponen yakni pengetahuan dan penerimaan. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Hasil penelitian sangat sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut yang diungkapkan oleh Sarbaugh, bahwa kepercayaan seseorang terhadap individu yang lain sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap perilaku orang lain. Ini sangat jelas terlihat, karena staff Indonesia memiliki persepsi yang negatif terhadap perilaku staff Korea Selatan terutama yang berhubungan dengan pekerjaan sehingga tidak mudah bagi staff Indonesia untuk menaruh kepercayaan terdapat staff Korea Selatan. Adanya komunikasi verbal maupun nonverbal diantara mereka juga menjadi penghalang untuk menciptakan komunikasi efektif dalam organisasi. Masing-masing pihak tidak mau membuka diri dan mengakui adanya perbedaan budaya dan bahasa yang sangat krusial diantara mereka yang jika tidak ditangani segera akan sangat membahayakan bagi keutuhan organisasi. Komunikasi yang terjadi antara atasan dengan bawahan atau staff antar staff menjadi tidak efektif karena consul memerlukan bantuan orang lain untuk dapat menerjemahkan maksud yang ingin disampaikan. Sedangkan orang yang melakukan penerjemahan tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik karena hasil penerjemahan menggunakan kata-kata yang berlebihan sehingga membingungkan penerima pesan. Baik consul, staff Korea Selatan dan staff Indonesia mempunyai kesamaan yakni, tidak memiliki kemampuan bahasa asing yang baik, sehingga tidak dapat berkomunikasi secara mandiri. Adanya persepsi bahwa status staff Korea lebih tinggi dan staff Indonesia lebih rendah juga menjadikan pemahaman mereka akan kebudayaan yang berbeda menjadi sempit. Hal ini menjadi hambatan komunikasi bagi seluruh individu yang berada dalam organisasi tersebut. Selama penelitian berlangsung dapat dilihat bahwa para staff tersebut tidak melakukan banyak aktivitas komunikasi karena kekhawatiran mereka akan kesalahpahaman yang dapat memunculkan pertengkaran. Staff Indonesia berkelompok dengan staff Indonesia yang lain, sedangkan staff Korea lebih memilih bergabung dengan staff Korea yang lain. Staff Korea lebih banyak berteriak saat memberi informasi atau memberi tanda ketidaksetujuan, hal ini sangat berbeda dengan budaya Indonesia yang menghargai sopan santun dalam berbicara. Pendidikan serta minimnya pengalaman berada dalam lingkungan dengan budaya berbeda terutama lintas negara juga mempengaruhi mereka untuk beradaptasi dengan individu-individu dalam organisasi. Tidak dapat memahami budaya asing selain budaya mereka sendiri. Seperti kebudayaan Korea yang harus membungkukkan tubuh saat bertemu dengan orang lain, bekerja secara cepat sesuai dengan etos kerja masyarakat Korea. Hal ini dapat dilihat dari penolakan-penolakan individu untuk mengatasi dan mencari jalan keluar atas hambatan komunikasi yang mereka temui. Hasil penelitian juga melihat bahwa tindakan consul dan staff baik Indonesia dan Korea untuk mengatasi hambatan mereka dalam berkomunikasi sudah cukup baik. Namun tentunya dibutuhkan kerjasama dari seluruh pihak agar hal ini dapat diselesaikan dengan baik. Consul telah cukup bijaksana dengan mengadakan pertemuan tiap Jumat sebagai media evaluasi kerja, namun kesulitan para staff Indonesia untuk mengungkapkan keluhan, harapan dan keinginan sebagai pekerja menjadi hambatan. Dan lambat laun, pertemuan ini dianggap tidak efektif karena hanya satu atau dua orang staff saja yang dapat memberikan pendapatnya. Sebagai ganti dari pertemuan mingguan tersebut, consul rutin mengadakan jamuan makan bagi para staffnya. Hal ini diharapkan agar dapat memberikan susasana yang lebih santai dan para staff dapat lebih mengakrabkan diri satu sama lain. Pada jamuan ini juga consul telah menyiapkan strategi khusus agar staffnya dapat berbaur baik dengan staff Korea, Indonesia dan para consul. Kursi yang disediakan sengaja diatur agar staff tersebut tidak saling berkelompok dan dapat menghilangkan kesan status lebih tinggi dan lebih rendah. Namun, ternyata tetap saja hal tersebut tidak menjadi sarana yang efektif. Karena staff Indonesia juga kerap menolak ajakan makan dari para consul dengan berbagai alasan, begitu juga sebaliknya dengan staff Korea. Hal ini sangat mempengaruhi consul untuk mencari jalan keluar agar masalah ini dapat teratasi, karena seperti diketahui suasana lingkungan kerja dan komunikasi yang efektif dalam organisasi dapat mempengaruhi pekerjaan dan perilaku individu. Semakin kondusif lingkungan kerja yang ada maka akan semakin besar peluang para staff tersebut dapat mengerjakan tugas mereka dengan baik. Sebagai perwakilan negara yang menjalankan fungsi diplomatik, sangat penting untuk membina hubungan komunikasi yang baik dengan staff yang berada dalam lingkup internal organisasi tersebut sebelum dapat memulai komunikasi dengan lingkup eksternal dengan baik demi mencapai tujuan hubungan diplomatik yang baik. Selain itu dengan membina hubungan komunikasi yang baik akan memberikan sisi positif bagi staff yang berada didalam organisasi tersebut, seperti mengurangi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, menciptakan keakraban antar staff, hingga kenyamanan dalam bekerja dan sense of belongings terhadap pekerjaan dan organisasi.