Kesesuaian Lahan, Irigasi, dan Budaya Masyarakat Dalam Budidaya Padi Dede Sulaeman Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3 Ragunan Jakarta Selatan e-mail: [email protected] 1. Kesesuaian & Pengelolaan Lahan Sawah Berdasarkan definisi umum, tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija, dengan pengelolaan berupa genangan air (Hardjowigeno dkk, 2004:1 dan Puslitbangtanak, 2003 dalam Ritung dkk, 2004:259). Oleh karena itu sawah selalu mempunyai permukaan datar atau yang didatarkan (dibuat teras), dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Puslitbangtanak, 2003 dalam Ritung dkk, 2004:259). Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa-rawa yang “dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak (Hardjowigeno dkk, 2004:1 dan Ritung dkk, 2004:259). Dengan tingginya ragam jenis tanah yang dapat dijadikan tanah sawah, Hardjowigeno dkk (2004) menyebut tanah sawah sebagai tanah buatan manusia (man-made soil, anthropogenic soil). Area sawah biasanya berlokasi di wilayah dengan jenis tanah yang berasal bahan induk endapan volkan, seperti pulau Jawa misalnya, dimana secara alami lebih subur daripada tanah-tanah sawah yang berasal dari bahan induk endapan tersier (Setyorini dkk, 2004:170). Namun, pengembangan lahan pertanian diarahkan ke luar Jawa dengan kondisi lahan umumnya marjinal seperti: Histosol, Entisol, Inceptisol, Ultisol, Oxisol, dan Spodosol. Berdasarkan sifat-sifat tanah tersebut maka tanah sawah bukaan baru perlu perlakuan khusus untuk memperbaiki sifat kimia melalui ameliorasi (kaptan/dolomit) dan pemupukan, penggunaan varietas unggul, serta jaminan ketersediaan air irigasi (Suriadikarta dan Hartatik. 2004:148). --1-- Lebih lanjut dinyatakan bahwa lahan sawah bukaan baru umumnya berupa tanah mineral masam yang berbahan induk tufa masam yang miskin unsur hara dan mengandung besi tinggi. Untuk mengatasi kondisi lahan tersebut, selain perlakuan khusus pada tanah sawah diperlukan pula pemilihan varietas yang lebih tahan terhadap keracunan besi, salah satunya adalah IR-42 (Suriadikarta dan Hartatik. 2004:164-165). Uji coba yang dilakukan pada lahan bukaan baru menggunakan berbagai varietas padi di Sitiung menghasilkan rata-rata produksi 2,83 ton/ha, dan dengan pemilihan varietas yang lebih tahan keracunan besi dihasilkan rata-rata produksi 3,79 ton/ha (lihat Suriadikarta dan Hartatik. 2004). Dengan demikian, lahan sawah bukaan baru dapat digunakan untuk memproduksi padi namun dengan berbagai perlakuan pada tanah dan pemilihan varietas yang adaptif atau tahan terhadap kondisi lingkungan setempat. Kecuali itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain (Hardjowigeno dkk, 2004:1). Menurut Yoshida (1981:65) tanaman padi memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan manusia berhasil memodifikasi lingkungan tersebut, maka sekarang padi dapat tumbuh di banyak tempat yang berbeda lokasi dan ragam iklim. Padi ditanam di timurlaut China di 530 lintang utara, Sumatera bagian tengah di kahatulistiwa dan di New South Walws Australia di 350 lintang selatan. Tumbuh dibawah garis permukaan laut di Kerala India, dekat permukaan laut di banyak tempat, dan di ketinggian sekitar 2000 meter di Khasmir, India dan Nepal. Rata-rata hasil panen padi yang ditanam di berbagai negara berkisar mulai dari 1 hingga lebih dari 6 ton/ha. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya perbedaan dimana padi ditanam yang meliputi kondisi biologi, lingkungan dan sosial ekonomi. Panen rendah berhubungan dengan padi ladang/dataran tinggi, padi tadah hujan, kedalaman muka air dan rendahnya kondisi sosial ekonomi di daerah tropis. Tinggi panen berkaitan dengan padi dataran rendah beririgasi dan kondisi sosial ekonomi yang baik di wilayah beriklim sedang (Yoshida, 1981:67). Di Indonesia, berdasarkan data dari Atlas Arahan Tataruang Pertanian Nasional yang dikeluarkan Departemen Pertanian (2001), lahan-lahan yang termasuk pada lahan basah yang sesuai untuk sawah, dikelompokkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti karakteristik lahan (fisiografi, topografi, bahan induk, dan tanah), ketinggian tempat (dataran rendah <700 m dpl. dan dataran tinggi >700 m dpl.), serta iklim basah (zona agroklimat A, B, C) dan beriklim kering (zona agroklimat D, E, F) (Ritung dkk, 2004:264). --2-- Tabel 1. Luas Lahan Potensial Untuk Pengembangan Sawah di Indonesia Sumber: Ritung dkk (2004:264). Lahan basah yang sesuai untuk sawah di Indonesia mencapai luas 24,56 juta ha (61% dari total lahan basah), yang terdiri atas 23,26 juta ha (94,7%) berada pada dataran rendah, dan 1,30 juta ha (5,3%) berada pada dataran tinggi (Tabel 1). Berdasarkan kondisi iklimnya, sebagian besar berada pada wilayah beriklim basah yaitu seluas 20,8 juta ha (84,7%), sedangkan sisanya hanya 3,76 juta ha (15,3%) berada pada wilayah beriklim kering (Ritung dkk, 2004:264). Lebih lanjut dinyatakan bahwa minimnya lahan sawah di dataran tinggi karena lahan di dataran tinggi umumnya mempunyai bentuk wilayah bergelombang hingga berbukit-bergunung dan berupa lahan kering, sedangkan pada lokasi beriklim kering, wilayah yang sesuai untuk lahan sawah sangat sedikit karena keadaan biofisik lahan dan ketersediaan air yang terbatas (curah hujan rendah, zona agroklimat D, E, F). --3-- 2. Pengembangan Irigasi Di Indonesia 2.1. Fase Pengembangan Irigasi Dari banyak pustaka telah banyak diketahui bahwa irigasi telah menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat Indonesia yang beriklim tropis. Dari tinjauan kesejarahan dapat diketahui bahwa sistem irigasi pada awal mulanya dibangun masyarakat dengan satu sistem sangat sederhana baik infrastruktur maupun institusi pengelolanya. Tetapi dengan semakin maju kehidupan manusia maka pengelolaan sistem irigasi tidak lagi hanya sebagai satu sistem yang berakitan dengan produksi pangan saja tetapi juga telah berkaitan dengan persoalan pengembangan masyarakat, pengembangan wilayah bahkan juga dengan persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik suatu negara (Arif, 2009 dalam Arif dan Sulaeman, 2014). Lebih lanjut Arif dan Sulaeman (2014) menyatakan bahwa sistem irigasi telah lama dikembangkan di Indonesia. Dari satu prasasti yang temukan di daerah Tugu, di Jakarta Utara telah diketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak banjir sepanjang kurang lebih 10 km. Apabila kita telaah lebih lanjut tentang ilmu dasar keteknikan, pembangunan sistem pengelak banjir tentu lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan sistem irigasi. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa kemampuan nenek moyang kita membangun satu sistem irigasi beserta tata cara pengelolaannya telah berlangsung lama sebelum abad ke 5. Sebagai satu negara yang terletak di wilayah tropis basah maka Indonesia mempunyai watak klimatik sangat khas, yaitu dicirikan dengan banyak hujan dan hampir merata sepanjang tahun, meski secara garis besar terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Karakteristik klimat tersebut telah menyebabkan tanaman padi menjadi pilihan utama masyarakat untuk dikembangkan sebagai tanaman pangan pokok dengan budidaya sawah sangat khas. Perkembangan budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada abad-abad berikutnya Terdapat empat fase perkembangan pengelolaan irigasi berdasarkan basis masyarakat tani dan pemerintah yang memperlihatkan adanya partisipasi petani dan kendali pemerintah yaitu fase awal, fase kolonialisme atau penjajahan, fase kemerdekaan, dan fase reformasi. Pada awalnya, irigasi dibangun oleh masyarakat desa sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang lebih dari budidaya pertanian dan menghindari kegagalan panen karena mengandalkan air tadah hujan. Pada tahap ini, masyarakat membangun irigasi sekaligus mengelolanya. Kesepakatan-kesepakan diatur dalam masyarakat desa sendiri dan kendali pemerintah tidak tampak (Kementerian PU, 2011 dan Pasandaran, 2007). --4-- Pada fase kolonialisme atau penjajahan, irigasi tumbuh pesat dan dibangun dalam skala besar seperti bendungan, saluran primer dan sekunder dengan desain dan standar keteknikan yang lebih tinggi. Pembangunan ini dilakukan untuk mengakumulasi keuntungan dari ekspor komoditi perkebunan (Suhardiman and Giordano, 2014; Pasandaran, 2007; Kementerian PU, 2011). Pengelolaan irigasi untuk perkebunan dilakukan oleh pemerintah kolonial dan masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan irigasi. Namun masyarakat tani tetap mengelola dan mengembangkan irigasi yang dahulu telah dibangun (Pasandaran, 2007 dan Kementerian PU, 2011). Setelah merdeka, pengaturan irigasi dan manajemen irigasi pada negara bekas jajahan berubah secara dramatis. Irigasi diposisikan tidak lagi untuk menunjang ekspor pertanian tetapi lebih sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional untuk mengurangi kelaparan, kemiskinan dan menampung tenaga kerja. Fokus pelaksanaan irigasi dilanjutkan dengan desain dan konstruksi yang mengandalkan investasi yang kecepatannya melebihi pada masa kolonial (Schoengold & Zilberman, 2004 dalam Suhardiman and Giordano, 2014). Pembangunan infrastruktur yang cepat tidak hanya merepresentasikan kekuatan dan kekuasaan negara yang baru merdeka, tetapi juga menggambarkan meningkatnya kepentingan intervensi aspek perencanaan pembangunan (Scott, 1998 dalam Suhardiman and Giordano, 2014). Bentuk implementasi perencanaan tersebut adalah pembangunan irigasi yang mengandalkan pinjaman, hibah dan asistensi teknis dana internasional. Selama tahun 70’an dan 80’an, pembangunan irigasi menjadi fokus investasi World Bank dan Asian Development Bank, dengan nilai investasi mencapai satu trilyun dolar per tahun (Bakker & Molle, 2004; Jones, 1995 dalam Suhardiman and Giordano, 2014), dan di Indonesia, total pendanaan kontruksi irigasi baru mencapai Rp. 760 trilyun pada 1984, yaitu setara dengan tiga puluh kali pendanaan irigasi selama 25 tahun sebelumnya (Pasandaran and Rosegrant, 1995 Suhardiman and Giordano, 2014). Pada fase ini, pendekatan manajemen irigasi berubah menjadi manajemen produksi yang dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001 dalam PU, 2011). Pemerintah memegang kendali pada semua aras jaringan irigasi dan masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk berpartisipasi karena adanya pengabaian keragaman sosiokultural dan lingkungan stategis setempat diubah menjadi kesegamanan gaya teknis-ekonomis dan sentralistik (lihat PU, 2011). Di fase reformasi, pengelolaan irigasi dan sumberdaya air dihadapkan pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Walaupun fase ini didahului oleh Kepres No 3/1999 dan PP No 77/2001 tentang Irigasi yang pada hakekatnya menyerahkan kewenangan pengelolaan irigasi kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), --5-- namun dalam perkembangan selanjutnya melalui UU No 7/2004 tentang sumberdaya air lebih ditekankan pada pendekatan keterpaduan yang mencerminkan suatu keseimbangan dalam menerapkan peran dari berbagai aktor yang terlibat dan dalam menerapkan fungsi-fungsi air yaitu fungsi ekonomi, fungsi sosial dan fungsi keberlanjutan lingkungan sumberdaya air (Pasandaran, 2007). Pada fase ini, pengembangan irigasi lebih banyak pada upaya perawatan dan rehabilitasi jaringan irigasi untuk mempertahankan layanan irigasi. 2.2 Infrastruktur Irigasi Di Indonesia Lahan sawah di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002 mencapai 7,75 juta ha (tidak termasuk Papua dan Maluku), sebagian besar terdapat di Jawa 3,32 juta ha (42,8% dari luas sawah Indonesia), kemudian Sumatera 2,10 juta ha (27,2% dari luas sawah Indonesia), Kalimantan 1,01 juta ha (13,0% dari luas sawah Indonesia) dan Sulawesi 0,90 juta ha (11,6% dari luas sawah Indonesia). Sedangkan di Nusa Tenggara dan Bali hanya 0,42 juta ha atau 5,4% dari luas sawah Indonesia. Berdasarkan ketersediaan infrastruktur irigasi pada lahan sawah seluas 7,75 juta ha tersebut1 (Tabel 2), lahan sawah irigasi (teknis dan semiteknis) mencakup areal terluas, yakni sekitar 3,2 juta ha, yang tersebar terutama di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara-Bali. Lahan sawah irigasi sederhana mencakup luas sekitar 1,59 juta ha, terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sedangkan sisanya berupa lahan sawah pasang surut dengan luas 0,62 juta ha, dan lahan sawah lainnya yakni sawah lebak 0,33 juta ha, penyebarannya terutama di Sumatera dan Kalimantan, dan lahan sawah tadah hujan seluas 2,02 juta ha (Ritung dkk, 2004:266). Pengembangan infrastruktur irigasi didasarkan pada ketersediaan sumber daya air dan untuk memperkuat ketersediaan air bagi kegiatan budidaya padi lahan sawah. Berdasarkan data ketersediaan sumberdaya air nasional (annual water resources, AWR) (Tabel 3), kondisi AWR di wilayah Barat Indonesia masih sangat besar, terutama di wilayah baratdan sebaliknya di sebagian besar wilayah timur bagian selatan yang radiasinya melimpah, curah hujan rendah (<1.500 mm tahun-1) yang hanya terdistribusi selama 3-4 bulan (Ritung dkk, 2004). 1 Berdasarkan data BPS tahun 2002 yang dimuat dalam Ritung dkk (2004) --6-- Tabel 2. Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan, Tahun 2002 Sumber: BPS (2002) dalam (Ritung dkk, 2004) Tabel 3. Ketersedia Air dan Kebutuhan Air Irigasi di Indonesia Sumber: Pawitan et al. (1996) dan Las et al. (1998) dalam Ritung dkk (2004) --7-- Kebutuhan air irigasi merupakan porsi terbesar dari total kebutuhan airyang diperhitungkan dari kebutuhan dasar irigasi sebesar 1,0 lt dt-1 ha-1. Sekitar 50% dari kebutuhan padi sawah dipenuhi dari air irigasi dan sisanya dari hujan. Rerata penggunaan air irigasi adalah 8.000-12.000 m3 MT ha-1, tergantung besar hujan (Pawitan, 1996 dalam Ritung dkk, 2004). Data Departemen Pertanian (Bappenas, 1991 dalam Ritung dkk, 2004) dengan menggunakan hasil penelitian lembaga Food Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa kebutuhan air optimal tanaman adalah 450-700 mm bagi tanaman berumur 90-150 hari, atau setara dengan pemberian air irigasi sebesar 5.750 m3 ha-1 bagi varietas berumur 150 hari, atau setara 0,54 lt dt-1 ha-1. 3. Budaya Padi: Budaya Asli dan Intervensi Pemerintah Masih dilakukannya penanaman padi sawah hingga sekarang salah satunya karena budidaya padi berhasil melestarikan produktivitas lahan. Menurut Bray (1986) dalam Prasetyo dkk (2004:92) menyatakan bahwa selama beribu-ribu tahun sistem padi sawah telah berhasil mempertahankan tingkat hasil padi yang moderat tetapi stabil tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena penggenangan meningkatkan kesuburan tanah dan produksi padi dengan jalan: (1) menaikkan pH tanah mendekati netral; (2) meningkatkan ketersediaan hara, terutama P dan Fe; (3) memperlambat perombakan bahan organik tanah; (4) menguntungkan penambatan N2; (5) menekan timbulnya penyakit terbawa tanah; (6) memasok hara melalui air irigasi; (7) menghambat pertumbuhan gulma tipe C4; dan (8) mencegah perkolasi air dan erosi tanah (Prasetyo dkk, 2004:92). Schmitz et al. (2003) dalam Rescia et. al, (2010) menyatakan bahwa perilaku masyarakat dalam suatu bentanglahan dapat memunculkan bentanglahan budaya tertentu, dalam hal ini budaya budidaya padi. Demikian pula adanya perubahan bentanglahan pertanian akan merubah bentang lahan budaya diwilayah tersebut. Di Indonesia, sebaran penduduk berkorelasi positif dengan sebaran areal persawahan. Hampir 42% lahan sawah ada di Pulau Jawa, 27% di Sumatera, sedangkan 13, 11, dan 7% berturut-turut ada di Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara Barat dan Timur (Setyorini dkk, 2004:170). Hal ini berkaitan dengan tenaga kerja yang diperlukan dalam pengelolaan budidaya padi yang biasanya dilakukan oleh pemilik lahan, yang menurut Gaybita (2009) kebutuhan tenaga kerja dari awal hingga panen mencapai 175 HOK (hari orang kerja). Maka budaya padi lebih berkembang di --8-- wilayah dengan cakupan lahan sawah yang lebih luas dibandingkan dengan yang sempit. Namun demikian, alih fungsi lahan sawah atau pertanian ke non pertanian meningkat di sentra-sentra produksi padi Nasional dan menuntut adanya pembukaan lahan sawah baru. Terjadinya alih fungsi lahan disebabkan karena perkembangan sosial-ekonomi yang membutuhkan banyak ruang sebagai fasilitas untuk produksi dan kehidupan/hidup (Long et al., 2009; Su et al., 2011 dalam Su et. al, 2014). Lahan pertanian menjadi pilihan untuk menunjang aktivitas non pertanian, karena lahan pertanian memiliki hambatan yang paling kecil dalam menyediakan ruang bagi kehidupan manusia, sehingga menjadi pilihan pertama untuk pemusatan aktivitas ekonomi dan masyarakat (lihat Su et. al, 2014). Berdasarkan data Kementerian Pertanian, laju alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian mencapai 110.000 ha/tahun dan potensi alih fungsi lahan sawah akibat penerapan RTRW oleh pemda kabupaten/kota yang kurang berpihak kepada sektor pertanian juga meningkat setiap tahun. Cepatnya alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, antara lain (www.psp.deptan.go.id): (a) menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan pangan, (b) hilangnya mata pencaharian petani dan dapat menimbulkan pengangguran, dan (c) hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang menelan biaya sangat tinggi. Selain aspek penyediaan pangan yang terganggu, alih fungsi lahan pertanian juga akan merubah bentanglahan secara fisik dan bentanglahan budaya. Menurut Su et. al (2014) pembangunan sarana industri akan menyebabkan kekacauan distribusi dalam bentanglahan pertanian. Bentang lahan pertanian akan terfragmentasi dan menyebabkan perubahan bentang lahan secara tidak langsung. Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian perlu dibarengi dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanaman padi. Program ekstensifikasi bersama dengan intensifikasi lahan pertanian, sedianya ditujukan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional, namun dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya perluasan budaya tanaman padi, terutama di luar Jawa. Suriadikarta dan Hartatik (2004:148) menyatakan bahwa dalam program ekstensifikasi areal pertanian keluar Jawa, pemerintah telah membuka areal persawahan baru di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sebesar 3,2 juta hektar. --9-- Untuk meningkatkan produktivitas budidaya padi, pemerintah mendukung dan mendorong menyebarluaskan dan penggunaan varietas unggul, manajemen produksi, dan penyediaan pupuk anorganik. Sejak tahun 1950 pemerintah merintis peningkatan produksi beras program Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). Dilanjutkan pada akhir tahun yang sama dengan program padi sentra untuk melalui penanaman varietas unggul, perbaikan cara bercocok tanam, perbaikan pengelolaan air, pemupukan tepat dan pemberantasan hama dan penyakit yang dikenal dengan teknologi revolusi hijau. Pada akhir 1960-an diperkenalkan terobosan teknologi varietas padi unggul berproduksi tinggi, berumur genjah dan responsif terhadap pupuk anorganik seperti PB-5 dan PB-8 (Puslitbangtan) (Setyorini dkk, 2004:171). Program ini kemudian dilanjutkan dengan nama Bimbingan Masyarakat (BIMAS) penerapan budidaya non tradisional, Intensifikasi Khusus (INSUS dan SUPRA INSUS), Intensifikasi Massal (INMAS), Intensifikasi umum (INMUM), Operasi Khusus (OPSUS) hingga Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Pemerintah juga memberikan dukungan melalui subsidi pupuk dan benih, hingga memberikan benih secara cuma-cuma (Gaybita, 2009), bantuan alat dan mesin-mesin pertanian, dan penyuluhan, untuk mempertahankan produksi padi dan dan minat petani menanam padi. Pada situasi ini budaya budidaya padi yang sejatinya berasal dari budaya asli masyarakat kemudian diintervensi oleh Pemerintah melalui berbagai program dengan tujuan peningkatan produksi beras nasional di wilayah yang telah menerapkan budidaya padi atau dilokasi baru. Tahap selanjutnya, petani sebagai subjek dalam pengelolaan lahan sawah memainan peranan penting dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan merespon kebutuhan pasar (Sherbinin et al., 2008 dalam Palaciosa et. al, 2013) berkontribusi besar dalam perubahan bentanglahan fisik dan budaya melalui metode budidaya yang diterapkan dan aktivitas pertanian lainnya (Simpson et. al, 2001). 4. Kesimpulan Lahan sawah yang dibudidayakan saat ini berada pada wilayah dengan jenis tanah yang sangat beragam. Faktor iklim, ketersediaan air dan hambatan lingkungan lainnya diatasi dengan pengelolaan tanah dan pemilihan varietas serta teknik budidaya. Penerapan budidaya padi lahan sawah telah dilakukan sejak berabad silam dengan dukungan pengelolaan air melalui irigasi untuk menjamin ketersediaan air dan kebutuhan yang tinggi pada budidaya padi. Sehingga budaya budidaya padi dan budaya irigasi berlangsung bersamaan dalam suatu bentang lahan budaya lahan sawah. --10-- Alih fungsi lahan menggerus daya tahan dan keamanan pangan nasional sehingga diupayakan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan sawah. Perluasan lahan sawah ke luar Jawa didukung oleh pengelolaan lahan sawah yang spesifik karena kondisi tanah dan agroklimat yang berbeda dengan di Jawa. Perluasan lahan sawah juga akan menyebabkan perubahan bentanglahan budaya di lokasi tersebut. Masyarakat yang awalnya belum mengenal budidaya padi menjadi menjalankan budidaya padi. Dukungan pemerintah dalam program produksi padi berupa penyediaan infrastruktur irigasi, subsidi sarana produksi dan bantuan peralatan meenciptakan kondisi masyarakat masih melaksanakan budidaya padi secara luas. --11-- Daftar Pustaka Arif, S.S dan D. Sulaeman. 2014. Pengembangan Institusi Dan Pemberdayaan Masyarakat Irigasi. Bahan Pelatihan “Peningkatan Kemampuan Perencanaan Teknis Irigasi, Air Baku, dan Air Tanah”, Direktorat Irigasi dan Rawa, Kementerian Pekerjaan Umum tanggal 23-15 Maret 2014 di Yogyakarta (tidak dipublikasikan) Gaybita, H.M.N. 2009. Swasembada Beras dan Mutu Beras Nasional Dalam Perdagangan Global. Seminar Nasional Padi 2009 Hardjowigeno, S, H. Subagyo, dan M.L. Rayes. 2004. Morfologi Dan Klasifikasi Tanah Sawah. hal 1-38. Dalam Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, W. Hartatik (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Kementerian Pekerjaan Umun. 2011. Pedoman Umum Modernisasi Irigasi (Sebuah Kajian Akademik). Direktorat Irigasi dan Rawa, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Jakarta Kementerian Pertanian, Forum PLP2B dalam http://psp.deptan.go.id/index.php/page/forum diakses tanggal 28 Maret 2014 Suhardiman, D. and M. Giordano. 2014. Is There an Alternative for Irrigation Reform?. World Development Vol. 57, pp. 91–100. Elsevier Ltd. Palaciosa, M.R., E. Huber-Sannwalda, L.G. Barriosb, F.P. de Paz, J.P. Hernándeza, M.D.G Mendoza. 2013. Landscape diversity in a rural territory: Emerging land use mosaics coupled to livelihood diversification. Land Use Policy 30 (2013) 814– 824 Pasandaran, E. 2007. Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 126149 Prasetyo, B.H, J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R.D.M. Simanungkalit. 2004. Mineralogi, Kimia, Fisika, Dan Biologi Tanah Sawah. Dalam Agus, F., Adimihardja, A., Hardjowigeno, S., Fagi, AM., Hartatik, W (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Puslitbangtannak. 2001. Atlas Arahan Tataruang Pertanian Nasional dalam http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr245024.pdf diunduh 24 April 2014 --12-- Rescia, AJ., B.A. Willaartsc, M.F. Schmitza, Aguilerac, A. Pedro. 2010. Changes in land uses and management in two Nature Reserves in Spain: Evaluating the social– ecological resilience of cultural landscapes. Landscape and Urban Planning 98 (2010) 26–35 Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Sawah Intensifikasi. Dalam Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, W. Hartatik (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Simpson, I.A., A.J. Dugmore, A. Thomson, O. Ve´steinsson. 2001. Crossing the thresholds: human ecology and historical patterns of landscape degradation. Catena 42 (2001). 175–192 Suriadikarta, D.A, dan W. Hartatik. 2004. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Sawah Bukaan Baru Dalam Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, W. Hartatik (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Su, S., X. Maa, R. Xiao. 2014. Agricultural landscape pattern changes in response to urbanization atecoregional scale. Ecological Indicators 40 (2014) 10–18 Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Phillippines --13-- Tentang Penulis Dede Sulaeman Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 7 Desember 1973. Saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Pendidikan sarjana (S1) diselesaikan pada Jurusan Teknik Lingkungan, Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta tahun 1997 dan Pendidikan Magister (S2) diselesaikan pada Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia tahun 2006. Pengalaman dalam bidang lingkungan hidup meliputi Peneliti pada EcoIndorganic Project kerjasama Ecosolve United Kingdom dengan Deptan tahun 2000-2001, yang meneliti pemanfaatan limbah pertanian pada tanaman dan efeknya terhadap pengurangan Gas Rumah Kaca; menjadi anggota Tim Teknis Kompos Nasional pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2004-2005; bersama dengan Asdep Pengendalian Pencemaran Agroindustri KLH menyusun buku berjudul Profil Pengelolaan Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia yang diterbitkan tahun 2008; anggota Tim Modernisasi Irigasi Kementerian PU tahun 2013-sekarang; dan berbagai kegiatan atau penelitian lainnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Sejak tahun 2013, menempuh pendidikan Doktor Ilmu Lingkungan di Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, dan aktif dalam kegiatan irigasi bersih. Bersama dengan masyarakat petani di Kabupaten Bantul dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM mengelola website gerakan irigasi bersih (GIB) dengan alamat www.gerakanirigasibersih.or.id, yang merupakan sarana informasi, sosialisasi dan advokasi mengenai pertanian ramah lingkungan, irigasi bersih, pengelolaan sampah dan pemberdayaan masyarakat. Tulisan lainnya terkait pertanian organik, agroindustri ramah lingkungan, pengelolaan limbah irigasi bersih, dan pengelolaan lingkungan dimuat pada website Ditjen PPHP dan website gerakan irigasi bersih. Kontak dan diskusi dapat dikirimkan ke alamat e-mail: [email protected]. --14--