Kesesuaian Lahan, Irigasi, dan Budaya Masyarakat Dalam

advertisement
Kesesuaian Lahan, Irigasi, dan Budaya Masyarakat
Dalam Budidaya Padi
Dede Sulaeman
Kementerian Pertanian
Jl. Harsono RM No. 3 Ragunan Jakarta Selatan
e-mail: [email protected]
1. Kesesuaian & Pengelolaan Lahan Sawah
Berdasarkan definisi umum, tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk
bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan
tanaman palawija, dengan pengelolaan berupa genangan air (Hardjowigeno dkk,
2004:1 dan Puslitbangtanak, 2003 dalam Ritung dkk, 2004:259). Oleh karena itu
sawah selalu mempunyai permukaan datar atau yang didatarkan (dibuat teras), dan
dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Puslitbangtanak, 2003 dalam
Ritung dkk, 2004:259).
Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Tanah
sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari
tanah rawa-rawa yang “dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase.
Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima
langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan
sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak
disebut sawah lebak (Hardjowigeno dkk, 2004:1 dan Ritung dkk, 2004:259). Dengan
tingginya ragam jenis tanah yang dapat dijadikan tanah sawah, Hardjowigeno dkk
(2004) menyebut tanah sawah sebagai tanah buatan manusia (man-made soil,
anthropogenic soil).
Area sawah biasanya berlokasi di wilayah dengan jenis tanah yang berasal
bahan induk endapan volkan, seperti pulau Jawa misalnya, dimana secara alami lebih
subur daripada tanah-tanah sawah yang berasal dari bahan induk endapan tersier
(Setyorini dkk, 2004:170). Namun, pengembangan lahan pertanian diarahkan ke luar
Jawa dengan kondisi lahan umumnya marjinal seperti: Histosol, Entisol, Inceptisol,
Ultisol, Oxisol, dan Spodosol. Berdasarkan sifat-sifat tanah tersebut maka tanah sawah
bukaan baru perlu perlakuan khusus untuk memperbaiki sifat kimia melalui ameliorasi
(kaptan/dolomit) dan pemupukan, penggunaan varietas unggul, serta jaminan
ketersediaan air irigasi (Suriadikarta dan Hartatik. 2004:148).
--1--
Lebih lanjut dinyatakan bahwa lahan sawah bukaan baru umumnya berupa
tanah mineral masam yang berbahan induk tufa masam yang miskin unsur hara dan
mengandung besi tinggi. Untuk mengatasi kondisi lahan tersebut, selain perlakuan
khusus pada tanah sawah diperlukan pula pemilihan varietas yang lebih tahan
terhadap keracunan besi, salah satunya adalah IR-42 (Suriadikarta dan Hartatik.
2004:164-165). Uji coba yang dilakukan pada lahan bukaan baru menggunakan
berbagai varietas padi di Sitiung menghasilkan rata-rata produksi 2,83 ton/ha, dan
dengan pemilihan varietas yang lebih tahan keracunan besi dihasilkan rata-rata
produksi 3,79 ton/ha (lihat Suriadikarta dan Hartatik. 2004). Dengan demikian, lahan
sawah bukaan baru dapat digunakan untuk memproduksi padi namun dengan
berbagai perlakuan pada tanah dan pemilihan varietas yang adaptif atau tahan
terhadap kondisi lingkungan setempat.
Kecuali itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh
lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain (Hardjowigeno dkk, 2004:1).
Menurut Yoshida (1981:65) tanaman padi memiliki tingkat adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan dan manusia berhasil memodifikasi lingkungan tersebut, maka
sekarang padi dapat tumbuh di banyak tempat yang berbeda lokasi dan ragam iklim.
Padi ditanam di timurlaut China di 530 lintang utara, Sumatera bagian tengah di
kahatulistiwa dan di New South Walws Australia di 350 lintang selatan. Tumbuh
dibawah garis permukaan laut di Kerala India, dekat permukaan laut di banyak tempat,
dan di ketinggian sekitar 2000 meter di Khasmir, India dan Nepal.
Rata-rata hasil panen padi yang ditanam di berbagai negara berkisar mulai
dari 1 hingga lebih dari 6 ton/ha. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya perbedaan dimana
padi ditanam yang meliputi kondisi biologi, lingkungan dan sosial ekonomi. Panen
rendah berhubungan dengan padi ladang/dataran tinggi, padi tadah hujan, kedalaman
muka air dan rendahnya kondisi sosial ekonomi di daerah tropis. Tinggi panen
berkaitan dengan padi dataran rendah beririgasi dan kondisi sosial ekonomi yang baik
di wilayah beriklim sedang (Yoshida, 1981:67).
Di Indonesia, berdasarkan data dari Atlas Arahan Tataruang Pertanian Nasional
yang dikeluarkan Departemen Pertanian (2001), lahan-lahan yang termasuk pada
lahan basah yang sesuai untuk sawah, dikelompokkan dengan mempertimbangkan
beberapa faktor seperti karakteristik lahan (fisiografi, topografi, bahan induk, dan
tanah), ketinggian tempat (dataran rendah <700 m dpl. dan dataran tinggi >700 m
dpl.), serta iklim basah (zona agroklimat A, B, C) dan beriklim kering (zona agroklimat
D, E, F) (Ritung dkk, 2004:264).
--2--
Tabel 1. Luas Lahan Potensial Untuk Pengembangan Sawah di Indonesia
Sumber: Ritung dkk (2004:264).
Lahan basah yang sesuai untuk sawah di Indonesia mencapai luas 24,56 juta
ha (61% dari total lahan basah), yang terdiri atas 23,26 juta ha (94,7%) berada pada
dataran rendah, dan 1,30 juta ha (5,3%) berada pada dataran tinggi (Tabel 1).
Berdasarkan kondisi iklimnya, sebagian besar berada pada wilayah beriklim basah yaitu
seluas 20,8 juta ha (84,7%), sedangkan sisanya hanya 3,76 juta ha (15,3%) berada
pada wilayah beriklim kering (Ritung dkk, 2004:264). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
minimnya lahan sawah di dataran tinggi karena lahan di dataran tinggi umumnya
mempunyai bentuk wilayah bergelombang hingga berbukit-bergunung dan berupa
lahan kering, sedangkan pada lokasi beriklim kering, wilayah yang sesuai untuk lahan
sawah sangat sedikit karena keadaan biofisik lahan dan ketersediaan air yang terbatas
(curah hujan rendah, zona agroklimat D, E, F).
--3--
2. Pengembangan Irigasi Di Indonesia
2.1. Fase Pengembangan Irigasi
Dari banyak pustaka telah banyak diketahui bahwa irigasi telah menjadi satu
bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat
Indonesia yang beriklim tropis. Dari tinjauan kesejarahan dapat diketahui bahwa
sistem irigasi pada awal mulanya dibangun masyarakat dengan satu sistem sangat
sederhana baik infrastruktur maupun institusi pengelolanya. Tetapi dengan semakin
maju kehidupan manusia maka pengelolaan sistem irigasi tidak lagi hanya sebagai satu
sistem yang berakitan dengan produksi pangan saja tetapi juga telah berkaitan dengan
persoalan pengembangan masyarakat, pengembangan wilayah bahkan juga dengan
persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik suatu negara (Arif, 2009 dalam Arif
dan Sulaeman, 2014).
Lebih lanjut Arif dan Sulaeman (2014) menyatakan bahwa sistem irigasi telah
lama dikembangkan di Indonesia. Dari satu prasasti yang temukan di daerah Tugu, di
Jakarta Utara telah diketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara
pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak banjir
sepanjang kurang lebih 10 km. Apabila kita telaah lebih lanjut tentang ilmu dasar
keteknikan, pembangunan sistem pengelak banjir tentu lebih sulit dibandingkan
dengan pembangunan sistem irigasi. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa kemampuan
nenek moyang kita membangun satu sistem irigasi beserta tata cara pengelolaannya
telah berlangsung lama sebelum abad ke 5.
Sebagai satu negara yang terletak di wilayah tropis basah maka Indonesia
mempunyai watak klimatik sangat khas, yaitu dicirikan dengan banyak hujan dan
hampir merata sepanjang tahun, meski secara garis besar terdapat dua musim yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Karakteristik klimat tersebut telah menyebabkan
tanaman padi menjadi pilihan utama masyarakat untuk dikembangkan sebagai
tanaman pangan pokok dengan budidaya sawah sangat khas. Perkembangan budidaya
sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada
abad-abad berikutnya
Terdapat empat fase perkembangan pengelolaan irigasi berdasarkan basis
masyarakat tani dan pemerintah yang memperlihatkan adanya partisipasi petani dan
kendali pemerintah yaitu fase awal, fase kolonialisme atau penjajahan, fase
kemerdekaan, dan fase reformasi. Pada awalnya, irigasi dibangun oleh masyarakat
desa sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang lebih dari budidaya pertanian dan
menghindari kegagalan panen karena mengandalkan air tadah hujan. Pada tahap ini,
masyarakat membangun irigasi sekaligus mengelolanya. Kesepakatan-kesepakan
diatur dalam masyarakat desa sendiri dan kendali pemerintah tidak tampak
(Kementerian PU, 2011 dan Pasandaran, 2007).
--4--
Pada fase kolonialisme atau penjajahan, irigasi tumbuh pesat dan dibangun
dalam skala besar seperti bendungan, saluran primer dan sekunder dengan desain dan
standar keteknikan yang lebih tinggi. Pembangunan ini dilakukan untuk
mengakumulasi keuntungan dari ekspor komoditi perkebunan (Suhardiman and
Giordano, 2014; Pasandaran, 2007; Kementerian PU, 2011). Pengelolaan irigasi untuk
perkebunan dilakukan oleh pemerintah kolonial dan masyarakat tidak dilibatkan dalam
pengelolaan irigasi. Namun masyarakat tani tetap mengelola dan mengembangkan
irigasi yang dahulu telah dibangun (Pasandaran, 2007 dan Kementerian PU, 2011).
Setelah merdeka, pengaturan irigasi dan manajemen irigasi pada negara bekas
jajahan berubah secara dramatis. Irigasi diposisikan tidak lagi untuk menunjang ekspor
pertanian tetapi lebih sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional untuk mengurangi
kelaparan, kemiskinan dan menampung tenaga kerja. Fokus pelaksanaan irigasi
dilanjutkan dengan desain dan konstruksi yang mengandalkan investasi yang
kecepatannya melebihi pada masa kolonial (Schoengold & Zilberman, 2004 dalam
Suhardiman and Giordano, 2014).
Pembangunan infrastruktur yang cepat tidak hanya merepresentasikan
kekuatan dan kekuasaan negara yang baru merdeka, tetapi juga menggambarkan
meningkatnya kepentingan intervensi aspek perencanaan pembangunan (Scott, 1998
dalam Suhardiman and Giordano, 2014). Bentuk implementasi perencanaan tersebut
adalah pembangunan irigasi yang mengandalkan pinjaman, hibah dan asistensi teknis
dana internasional. Selama tahun 70’an dan 80’an, pembangunan irigasi menjadi fokus
investasi World Bank dan Asian Development Bank, dengan nilai investasi mencapai
satu trilyun dolar per tahun (Bakker & Molle, 2004; Jones, 1995 dalam Suhardiman and
Giordano, 2014), dan di Indonesia, total pendanaan kontruksi irigasi baru mencapai
Rp. 760 trilyun pada 1984, yaitu setara dengan tiga puluh kali pendanaan irigasi
selama 25 tahun sebelumnya (Pasandaran and Rosegrant, 1995 Suhardiman and
Giordano, 2014).
Pada fase ini, pendekatan manajemen irigasi berubah menjadi manajemen
produksi yang dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001
dalam PU, 2011). Pemerintah memegang kendali pada semua aras jaringan irigasi dan
masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk berpartisipasi karena adanya
pengabaian keragaman sosiokultural dan lingkungan stategis setempat diubah menjadi
kesegamanan gaya teknis-ekonomis dan sentralistik (lihat PU, 2011).
Di fase reformasi, pengelolaan irigasi dan sumberdaya air dihadapkan pada
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Walaupun fase ini didahului oleh Kepres
No 3/1999 dan PP No 77/2001 tentang Irigasi yang pada hakekatnya menyerahkan
kewenangan pengelolaan irigasi kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A),
--5--
namun dalam perkembangan selanjutnya melalui UU No 7/2004 tentang sumberdaya
air lebih ditekankan pada pendekatan keterpaduan yang mencerminkan suatu
keseimbangan dalam menerapkan peran dari berbagai aktor yang terlibat dan dalam
menerapkan fungsi-fungsi air yaitu fungsi ekonomi, fungsi sosial dan fungsi
keberlanjutan lingkungan sumberdaya air (Pasandaran, 2007). Pada fase ini,
pengembangan irigasi lebih banyak pada upaya perawatan dan rehabilitasi jaringan
irigasi untuk mempertahankan layanan irigasi.
2.2 Infrastruktur Irigasi Di Indonesia
Lahan sawah di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2002 mencapai 7,75 juta ha (tidak termasuk Papua dan Maluku), sebagian besar
terdapat di Jawa 3,32 juta ha (42,8% dari luas sawah Indonesia), kemudian Sumatera
2,10 juta ha (27,2% dari luas sawah Indonesia), Kalimantan 1,01 juta ha (13,0% dari
luas sawah Indonesia) dan Sulawesi 0,90 juta ha (11,6% dari luas sawah Indonesia).
Sedangkan di Nusa Tenggara dan Bali hanya 0,42 juta ha atau 5,4% dari luas sawah
Indonesia.
Berdasarkan ketersediaan infrastruktur irigasi pada lahan sawah seluas 7,75
juta ha tersebut1 (Tabel 2), lahan sawah irigasi (teknis dan semiteknis) mencakup
areal terluas, yakni sekitar 3,2 juta ha, yang tersebar terutama di Pulau Jawa,
Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara-Bali. Lahan sawah irigasi sederhana mencakup
luas sekitar 1,59 juta ha, terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Sedangkan sisanya berupa lahan sawah pasang surut dengan luas 0,62 juta ha, dan
lahan sawah lainnya yakni sawah lebak 0,33 juta ha, penyebarannya terutama di
Sumatera dan Kalimantan, dan lahan sawah tadah hujan seluas 2,02 juta ha (Ritung
dkk, 2004:266).
Pengembangan infrastruktur irigasi didasarkan pada ketersediaan sumber daya
air dan untuk memperkuat ketersediaan air bagi kegiatan budidaya padi lahan sawah.
Berdasarkan data ketersediaan sumberdaya air nasional (annual water resources,
AWR) (Tabel 3), kondisi AWR di wilayah Barat Indonesia masih sangat besar, terutama
di wilayah baratdan sebaliknya di sebagian besar wilayah timur bagian selatan yang
radiasinya melimpah, curah hujan rendah (<1.500 mm tahun-1) yang hanya
terdistribusi selama 3-4 bulan (Ritung dkk, 2004).
1
Berdasarkan data BPS tahun 2002 yang dimuat dalam Ritung dkk (2004)
--6--
Tabel 2. Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan, Tahun 2002
Sumber: BPS (2002) dalam (Ritung dkk, 2004)
Tabel 3. Ketersedia Air dan Kebutuhan Air Irigasi di Indonesia
Sumber: Pawitan et al. (1996) dan Las et al. (1998) dalam Ritung dkk (2004)
--7--
Kebutuhan air irigasi merupakan porsi terbesar dari total kebutuhan airyang
diperhitungkan dari kebutuhan dasar irigasi sebesar 1,0 lt dt-1 ha-1. Sekitar 50% dari
kebutuhan padi sawah dipenuhi dari air irigasi dan sisanya dari hujan. Rerata
penggunaan air irigasi adalah 8.000-12.000 m3 MT ha-1, tergantung besar hujan
(Pawitan, 1996 dalam Ritung dkk, 2004). Data Departemen Pertanian (Bappenas, 1991
dalam Ritung dkk, 2004) dengan menggunakan hasil penelitian lembaga Food
Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa kebutuhan air optimal tanaman
adalah 450-700 mm bagi tanaman berumur 90-150 hari, atau setara dengan
pemberian air irigasi sebesar 5.750 m3 ha-1 bagi varietas berumur 150 hari, atau setara
0,54 lt dt-1 ha-1.
3. Budaya Padi: Budaya Asli dan Intervensi Pemerintah
Masih dilakukannya penanaman padi sawah hingga sekarang salah satunya
karena budidaya padi berhasil melestarikan produktivitas lahan. Menurut Bray (1986)
dalam Prasetyo dkk (2004:92) menyatakan bahwa selama beribu-ribu tahun sistem
padi sawah telah berhasil mempertahankan tingkat hasil padi yang moderat tetapi
stabil tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan.
Hal ini terjadi karena penggenangan meningkatkan kesuburan tanah dan
produksi padi dengan jalan: (1) menaikkan pH tanah mendekati netral; (2)
meningkatkan ketersediaan hara, terutama P dan Fe; (3) memperlambat perombakan
bahan organik tanah; (4) menguntungkan penambatan N2; (5) menekan timbulnya
penyakit terbawa tanah; (6) memasok hara melalui air irigasi; (7) menghambat
pertumbuhan gulma tipe C4; dan (8) mencegah perkolasi air dan erosi tanah (Prasetyo
dkk, 2004:92).
Schmitz et al. (2003) dalam Rescia et. al, (2010) menyatakan bahwa perilaku
masyarakat dalam suatu bentanglahan dapat memunculkan bentanglahan budaya
tertentu, dalam hal ini budaya budidaya padi. Demikian pula adanya perubahan
bentanglahan pertanian akan merubah bentang lahan budaya diwilayah tersebut.
Di Indonesia, sebaran penduduk berkorelasi positif dengan sebaran areal
persawahan. Hampir 42% lahan sawah ada di Pulau Jawa, 27% di Sumatera,
sedangkan 13, 11, dan 7% berturut-turut ada di Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa
Tenggara Barat dan Timur (Setyorini dkk, 2004:170). Hal ini berkaitan dengan tenaga
kerja yang diperlukan dalam pengelolaan budidaya padi yang biasanya dilakukan oleh
pemilik lahan, yang menurut Gaybita (2009) kebutuhan tenaga kerja dari awal hingga
panen mencapai 175 HOK (hari orang kerja). Maka budaya padi lebih berkembang di
--8--
wilayah dengan cakupan lahan sawah yang lebih luas dibandingkan dengan yang
sempit.
Namun demikian, alih fungsi lahan sawah atau pertanian ke non pertanian
meningkat di sentra-sentra produksi padi Nasional dan menuntut adanya pembukaan
lahan sawah baru. Terjadinya alih fungsi lahan disebabkan karena perkembangan
sosial-ekonomi yang membutuhkan banyak ruang sebagai fasilitas untuk produksi dan
kehidupan/hidup (Long et al., 2009; Su et al., 2011 dalam Su et. al, 2014). Lahan
pertanian menjadi pilihan untuk menunjang aktivitas non pertanian, karena lahan
pertanian memiliki hambatan yang paling kecil dalam menyediakan ruang bagi
kehidupan manusia, sehingga menjadi pilihan pertama untuk pemusatan aktivitas
ekonomi dan masyarakat (lihat Su et. al, 2014).
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, laju alih fungsi lahan pertanian ke
lahan non pertanian mencapai 110.000 ha/tahun dan potensi alih fungsi lahan sawah
akibat penerapan RTRW oleh pemda kabupaten/kota yang kurang berpihak kepada
sektor pertanian juga meningkat setiap tahun. Cepatnya alih fungsi tanah pertanian ke
non-pertanian
mempengaruhi
berbagai
aspek
kehidupan,
antara
lain
(www.psp.deptan.go.id):
(a) menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan
pangan,
(b) hilangnya mata pencaharian petani dan dapat menimbulkan pengangguran, dan
(c) hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang menelan biaya sangat
tinggi.
Selain aspek penyediaan pangan yang terganggu, alih fungsi lahan pertanian
juga akan merubah bentanglahan secara fisik dan bentanglahan budaya. Menurut Su
et. al (2014) pembangunan sarana industri akan menyebabkan kekacauan distribusi
dalam bentanglahan pertanian. Bentang lahan pertanian akan terfragmentasi dan
menyebabkan perubahan bentang lahan secara tidak langsung.
Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian perlu dibarengi dengan
program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanaman padi. Program ekstensifikasi
bersama dengan intensifikasi lahan pertanian, sedianya ditujukan untuk memantapkan
ketahanan pangan nasional, namun dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya
perluasan budaya tanaman padi, terutama di luar Jawa. Suriadikarta dan Hartatik
(2004:148) menyatakan bahwa dalam program ekstensifikasi areal pertanian keluar
Jawa, pemerintah telah membuka areal persawahan baru di Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi sebesar 3,2 juta hektar.
--9--
Untuk meningkatkan produktivitas budidaya padi, pemerintah mendukung dan
mendorong menyebarluaskan dan penggunaan varietas unggul, manajemen produksi,
dan penyediaan pupuk anorganik. Sejak tahun 1950 pemerintah merintis peningkatan
produksi beras program Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). Dilanjutkan pada
akhir tahun yang sama dengan program padi sentra untuk melalui penanaman varietas
unggul, perbaikan cara bercocok tanam, perbaikan pengelolaan air, pemupukan tepat
dan pemberantasan hama dan penyakit yang dikenal dengan teknologi revolusi hijau.
Pada akhir 1960-an diperkenalkan terobosan teknologi varietas padi unggul
berproduksi tinggi, berumur genjah dan responsif terhadap pupuk anorganik seperti
PB-5 dan PB-8 (Puslitbangtan) (Setyorini dkk, 2004:171).
Program ini kemudian dilanjutkan dengan nama Bimbingan Masyarakat
(BIMAS) penerapan budidaya non tradisional, Intensifikasi Khusus (INSUS dan SUPRA
INSUS), Intensifikasi Massal (INMAS), Intensifikasi umum (INMUM), Operasi Khusus
(OPSUS) hingga Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Pemerintah
juga memberikan dukungan melalui subsidi pupuk dan benih, hingga memberikan
benih secara cuma-cuma (Gaybita, 2009), bantuan alat dan mesin-mesin pertanian,
dan penyuluhan, untuk mempertahankan produksi padi dan dan minat petani
menanam padi.
Pada situasi ini budaya budidaya padi yang sejatinya berasal dari budaya asli
masyarakat kemudian diintervensi oleh Pemerintah melalui berbagai program dengan
tujuan peningkatan produksi beras nasional di wilayah yang telah menerapkan
budidaya padi atau dilokasi baru. Tahap selanjutnya, petani sebagai subjek dalam
pengelolaan lahan sawah memainan peranan penting dalam pemanfaatan sumberdaya
alam untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan merespon kebutuhan pasar (Sherbinin
et al., 2008 dalam Palaciosa et. al, 2013) berkontribusi besar dalam perubahan
bentanglahan fisik dan budaya melalui metode budidaya yang diterapkan dan aktivitas
pertanian lainnya (Simpson et. al, 2001).
4. Kesimpulan
Lahan sawah yang dibudidayakan saat ini berada pada wilayah dengan jenis
tanah yang sangat beragam. Faktor iklim, ketersediaan air dan hambatan lingkungan
lainnya diatasi dengan pengelolaan tanah dan pemilihan varietas serta teknik
budidaya.
Penerapan budidaya padi lahan sawah telah dilakukan sejak berabad silam
dengan dukungan pengelolaan air melalui irigasi untuk menjamin ketersediaan air dan
kebutuhan yang tinggi pada budidaya padi. Sehingga budaya budidaya padi dan
budaya irigasi berlangsung bersamaan dalam suatu bentang lahan budaya lahan
sawah.
--10--
Alih fungsi lahan menggerus daya tahan dan keamanan pangan nasional
sehingga diupayakan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan sawah. Perluasan
lahan sawah ke luar Jawa didukung oleh pengelolaan lahan sawah yang spesifik
karena kondisi tanah dan agroklimat yang berbeda dengan di Jawa. Perluasan lahan
sawah juga akan menyebabkan perubahan bentanglahan budaya di lokasi tersebut.
Masyarakat yang awalnya belum mengenal budidaya padi menjadi menjalankan
budidaya padi. Dukungan pemerintah dalam program produksi padi berupa penyediaan
infrastruktur irigasi, subsidi sarana produksi dan bantuan peralatan meenciptakan
kondisi masyarakat masih melaksanakan budidaya padi secara luas.
--11--
Daftar Pustaka
Arif, S.S dan D. Sulaeman. 2014. Pengembangan Institusi Dan Pemberdayaan
Masyarakat Irigasi. Bahan Pelatihan “Peningkatan Kemampuan Perencanaan
Teknis Irigasi, Air Baku, dan Air Tanah”,
Direktorat Irigasi dan Rawa,
Kementerian Pekerjaan Umum tanggal 23-15 Maret 2014 di Yogyakarta (tidak
dipublikasikan)
Gaybita, H.M.N. 2009. Swasembada Beras dan Mutu Beras Nasional Dalam
Perdagangan Global. Seminar Nasional Padi 2009
Hardjowigeno, S, H. Subagyo, dan M.L. Rayes. 2004. Morfologi Dan Klasifikasi Tanah
Sawah. hal 1-38. Dalam Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi,
W. Hartatik (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian
Kementerian Pekerjaan Umun. 2011. Pedoman Umum Modernisasi Irigasi (Sebuah
Kajian Akademik). Direktorat Irigasi dan Rawa, Direktorat Jenderal Sumber Daya
Air. Jakarta
Kementerian
Pertanian,
Forum
PLP2B
dalam
http://psp.deptan.go.id/index.php/page/forum diakses tanggal 28 Maret 2014
Suhardiman, D. and M. Giordano. 2014. Is There an Alternative for Irrigation Reform?.
World Development Vol. 57, pp. 91–100. Elsevier Ltd.
Palaciosa, M.R., E. Huber-Sannwalda, L.G. Barriosb, F.P. de Paz, J.P. Hernándeza,
M.D.G Mendoza. 2013. Landscape diversity in a rural territory: Emerging land
use mosaics coupled to livelihood diversification. Land Use Policy 30 (2013) 814–
824
Pasandaran, E. 2007. Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan
Pangan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 126149
Prasetyo, B.H, J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R.D.M. Simanungkalit. 2004.
Mineralogi, Kimia, Fisika, Dan Biologi Tanah Sawah. Dalam Agus, F.,
Adimihardja, A., Hardjowigeno, S., Fagi, AM., Hartatik, W (eds.). 2004. Tanah
sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
Puslitbangtannak. 2001. Atlas Arahan Tataruang Pertanian Nasional dalam
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr245024.pdf diunduh 24 April
2014
--12--
Rescia, AJ., B.A. Willaartsc, M.F. Schmitza, Aguilerac, A. Pedro. 2010. Changes in land
uses and management in two Nature Reserves in Spain: Evaluating the social–
ecological resilience of cultural landscapes. Landscape and Urban Planning 98
(2010) 26–35
Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi Pengelolaan Hara
Lahan Sawah Intensifikasi. Dalam Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno,
A.M. Fagi, W. Hartatik (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian
Simpson, I.A., A.J. Dugmore, A. Thomson, O. Ve´steinsson. 2001. Crossing the
thresholds: human ecology and historical patterns of landscape degradation.
Catena 42 (2001). 175–192
Suriadikarta, D.A, dan W. Hartatik. 2004. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Sawah
Bukaan Baru Dalam Agus, F., A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, W.
Hartatik (eds.). 2004. Tanah sawah dan teknik pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian
Su, S., X. Maa, R. Xiao. 2014. Agricultural landscape pattern changes in response to
urbanization atecoregional scale. Ecological Indicators 40 (2014) 10–18
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research
Institute. Los Banos, Laguna, Phillippines
--13--
Tentang Penulis
Dede Sulaeman
Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 7 Desember 1973. Saat ini
bertugas di
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Pendidikan sarjana (S1) diselesaikan pada Jurusan Teknik Lingkungan,
Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta tahun 1997 dan Pendidikan
Magister (S2) diselesaikan pada Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan
Universitas Indonesia tahun 2006.
Pengalaman dalam bidang lingkungan hidup meliputi Peneliti pada EcoIndorganic Project kerjasama Ecosolve United Kingdom dengan Deptan tahun
2000-2001, yang meneliti pemanfaatan limbah pertanian pada tanaman dan efeknya terhadap
pengurangan Gas Rumah Kaca; menjadi anggota Tim Teknis Kompos Nasional pada Kementerian
Negara Lingkungan Hidup tahun 2004-2005; bersama dengan Asdep Pengendalian Pencemaran
Agroindustri KLH menyusun buku berjudul Profil Pengelolaan Limbah Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) di Indonesia yang diterbitkan tahun 2008; anggota Tim Modernisasi Irigasi Kementerian PU
tahun 2013-sekarang; dan berbagai kegiatan atau penelitian lainnya di bidang pengelolaan
lingkungan hidup.
Sejak tahun 2013, menempuh pendidikan Doktor Ilmu Lingkungan di Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, dan aktif dalam kegiatan irigasi bersih. Bersama dengan masyarakat petani
di Kabupaten Bantul dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM mengelola website gerakan irigasi bersih
(GIB) dengan alamat www.gerakanirigasibersih.or.id, yang merupakan sarana informasi, sosialisasi
dan advokasi mengenai pertanian ramah lingkungan, irigasi bersih, pengelolaan sampah dan
pemberdayaan masyarakat.
Tulisan lainnya terkait pertanian organik, agroindustri ramah lingkungan, pengelolaan limbah
irigasi bersih, dan pengelolaan lingkungan dimuat pada website Ditjen PPHP dan website gerakan
irigasi bersih. Kontak dan diskusi dapat dikirimkan ke alamat e-mail: [email protected].
--14--
Download