11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Penelitian
Seorang peneliti dalam melakukan penelitian secara sadar atau tidak dalam
dirinya memiliki cara memandang hal atau fenomena dengan cara tertentu. Hal ini
dikarenakan dalam diri peneliti tersebut sudah terbentuk satu perangkat
kepercayaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi tertentu yang dinamakan
aksioma.
Menurut Pujileksono (2015: 26) paradigma penelitian merupakan sudut
pandang peneliti dalam memandang realitas yang diteliti. Sudut pandang
penelitian akan berimplikasi pada pendekatan, prosedur, asumsi dan teori yang
dipilih, maka dapat disimpulkan paradigma adalah satu set asumsi, konsep, nilainilai, dan cara pandang realitas dalam disiplin ilmu. Paradigma penelitian
merupakan perspektif penilaian yang digunakan oleh peneliti tentang bagaimana
peneliti melihat realita, bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang
digunakan
dalam
penelitian
dan
cara-cara
yang
digunakan
dalam
menginterpretasikan temuan.
Sesuai dengan sifat dan karakter permasalahan data yang diangkat dalam
penelitian ini, maka paradigma yang relevan dalam penelitian ini adalah
paradigma interpretif. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman
bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana
kita berperilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu, kita mencari sebuah
pemahaman tentang bagaimana dan mengapa komunikasi bekerja. Seperti yang
11
12
dikatakan Miller (Ardianto & Anees, 2007:124), dalam kehidupan sehari-hari kita
dihadapkan sekaligus dengan keteraturan dan ketidak aturan interaksi komunikasi,
situasi-situasi yang meungkin biasa (kecil) ataupun luar biasa (besar)..
Manusia dalam tradisi ini dipandang sebagai mahkluk rohania alamiah
(natural). Dalam pandangan ini, manusia berperilaku tidak secara otomatis atau
mekanis melainkan humanistik alamih dimana melibatkan niat, kesadaran, motifmotif atau alasan tertentu yang disebut Weber sebagai social action (tindakan
sosial) dan bukan social behavior (perilaku sosial) karena ia bersifat intensional,
melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri pelakunya. Dunia
makna itulah yang perlu dibuka, dilacak, dan dipahami untuk bisa memahami
fenomena sosial apapun, kapan pun, dan dimana pun (Vardiansyah, 2008: 67).
Hermeneutika merupakan salah satu dari tiga pandangan dasar pembentuk
perspektif interpretif. Tiga pandangan dasar ini yang mendasari metode ilmu
sosial yang khas, yaitu memberikan peran subjek dalam menentukan fakta sosial
sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai benda-benda (Ardianto & Anees,
2007:126). Hermeneutika memiliki posisi yang penting karena hermeneutik
mengajukan metode pemahaman (verstehen) terhadap dunia kehidupan.
Hermeneutika menegaskan bahwa fenomena khas manusia adalah bahasa, dan
karena itu untuk memahami manusia dapat dimulai dari bahasa. Karena bahasa
merupakan objektiviasi dari kesadaran manusia akan kenyataan (lahir dan batin).
Bahasa mencerminkan realitas yang dialami penutur, sekaligus apa yang
dipikirkan oleh penutur itu. Melalui bahasa juga, manusia memberi makna, dan
makna adalah objek kajian ilmu sosial. Mengutip apa yang dikatakan Hardiman
(2003:63):
13
“Apa yang ingin ditemukan dalam dunia-sosial itu terutama bukan
kausalitas yang niscaya, melainkan makna. Oleh karena itu, tujuan ilmuan
sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna
(Sinnvertehen). Dalam hal ini, seorang ilmuan sosial tidak lebih tahu
daripada para pelaku dalam dunia kehidupan. Oleh karena itu dengan cara
tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya
ingin ia jelaskan itu. Untuk menjelaskannya, ia harus memahami. Untuk
memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses menghasilkan
dunia kehidupan itu. Akhirnya partisipasi itu mengandaikan bahwa ia
sudah termasuk ke dalam dunia kehidupan itu.”
Paradigma interpretif memandang kebenaran sebagai suatu yang subjektif
dan diciptakan oleh partisipan. Penelitilah yang bertindak sebagai salah satu
partisipan. Objektivitas yang mutlak dalam paradigma ini sangat tidak mungkin.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada
apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West
& Turner, 2009: 75).
Secara ontologis, paradigma interpretif menuntut pendekatan secara
holistik, mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan dalam
variable-variabel guna mendapat pemahaman lengkap. Secara epistimologis,
paradigma interpretif menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta
subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di
lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara
aksiologis, penelitian interpretif tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek
sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiasnyah, 2008: 59-61).
Penjelasan interpretif terkait dengan upaya untuk membantu pembentukan
pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk menemukan makna dari
sebuah realitas dengan menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu.
Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung adanya
14
realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti “memonitor
berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka”. Pada realisme
yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat
menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Dalam tradisi ini, peneliti percaya
bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti
harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas
kepada pembacanya, karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam
penelitian. Peneliti-peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol
dan kemampuan untuk melakukan generalisasi kebanyak orang, melainkan
mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu
yang mereka teliti.
2.2.
Penelitan Sejenis Terdahulu
Penyusunan suatu penelitian tidak terlepas dengan adanya suatu hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang relevan. Hasil
penelitian terdahulu tersebut akan digunakan sebagai bahan referensi dan rujukan
serta menjadi bahan perbandingan dengan hasil penelitian yang akan disusun oleh
peneliti.
Penelitian pertama, penelitian berupa skripsi oleh Ferdian dengan judul
“Analisa Deskriptif Gaya Komunikasi Ustad Soleh Mahmoed (Ustad Solmed)
Dalam Berdakwah”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2013 dan penelitian kedua skripsi dengan judul “Analisis Deskriptif Gaya
Komunikasi Madjid” oleh Imelda Dwi Putri Sari, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Kedua penelitian dengan metode kualitatif
15
deskriptif ini menggambarkan bagaimana gaya komunikasi yang dilakukan ketika
menyampaikan ceramah dan pidatonya, bagaimana pandangan kolega terhadap
gaya komunikasinya dan mendeskripsikan termasuk kedalam gaya komunikasi
konteks tinggi atau konteks rendahkah gaya komunikasi komunikator tersebut
tersebut.
Hasil penelitian dari kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa
pemilihan kata-kata yang diungkapkan, simbol yang diberikan dan intonasi
pembicaraan tidak semata-mata sebagai ekspresi pribadi melainkan digunakan
secara sengaja dengan maksud tertentu dan bertujuan untuk mengarahkan cara
berfikir khalayak. Ustad Solmed termasuk kedalam bentuk gaya komunikasi
konteks
rendah.
Sedikit
berbeda
dengan
Nurcholis
Madjid
yang
mengkombinasikan gaya komunikasi kontek tinggi dan gaya komunikasi konteks
rendah, namun kecendrungan masuk kedalam gaya komunikasi konteks rendah.
Gambaran mengenai pemakaian kata-kata, penggunaan simbol, intonasi suara
serta gaya komunikasi konteks tinggi konteks rendah ini pula menjadi salah satu
pertimbangan peneliti dalam penelitian peneliti.
Penelitian ketiga, penelitian terdahulu berjudul “Analisa Pengaruh Tipe
Kepribadian dan Gaya Komunikasi Public Relations Manager Hotel “X”
Surabaya Dalam Membangun Hubungan Baik Dengan Media dan Meningkatkan
Publisitas “ oleh Adriana Aprilia, Junaedi Wijaya dan Yenny Wiyanto. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe kepribadian dan gaya komunikasi
manajer PR hotel “X” Surabaya terhadap hubungan baik dengan media dan
mengetahui hubungan baik dapat mempengaruhi peningkatan publikasi dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang
16
dilakukan dengan menggunakan metode survei, metode wawancara dan metode
observasi dengan 3 (tiga) responden yang terdiri dari jurnalis surat kabar berbeda
dan manager PR hotel “X” sebagai informan.
Aspek kajian gaya komunikasi yang digunakan adalah gaya komunikasi
menurut Cassee dan gaya komunikasi menurut Norton. Gaya komunikasi menurut
Cassee, yaitu gaya komunikasi yang dipengaruhi oleh 4 (empat) orientasi nilai
seseorang dalam berkomunikasi, yaitu 1). mengarah pada tindakan; 2). mengarah
pada proses; 3). mengarah pada orang; dan 4). mengarah pada ide. Sedangkan
Gaya komunikasi menurut Norton dibagi menjadi 9 (sembilan) bagian, yaitu: 1).
menguasai; 2). membesar-besarkan; 3). argumentatif; 4). banyak menggunakan
ekspresi bahasa dan tubuh; 5). cepat meninggalkan kesan; 6). tenang dan santai;
7). berempati; 8). terbuka dengan perasaan; dan 9). ramah.
Hasil penelitian terhadap gaya komunikasi menurut Cassee terhadap
manager PR hotel “X” dengan metode survey dengan kuesioner kepada 3 (tiga)
responden disimpulkan bahwa orientasi gaya komunikasinya mengarah pada ide.
Sedangkan dengan metode wawancara terhadap responden ditemukan bahwa gaya
komunikasi manager hotel PR tersebut menimbulkan kesan pertama yang
menyenangkan, santai, berwibawa, terbuka, mudah bergaul dan ramah. Gaya
komunikasi yang ekspresif, komunikatif, ramah, mudah bergaul, terbuka, dan
suka lelucon mampu memberikan informasi yang diinginkan responden sehingga
dikatakan komunikasi yang terjadi efektif. Untuk wawancara terhadap informan
mengenai gaya komunikasi adalah intensitas komunikasi yang tinggi dengan
memanfaatkan fasilitas media yang ada dikatakan sebagai komunikasi yang baik.
Kesimpulan yang didapat adalah gaya komunikasi manager PR hotel “X” sudah
17
efektif dan dapat mempengaruhi hubungan baik dengan media.
Penelitian keempat, penelitian yang berjudul “Gaya Retorika Dai dan
Perilaku Memilih Penceramah” oleh Kholid Noviyanto dan Sahroni Jaswadi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan sample
jamaah pengajian Al Istiqomah di Jambangan Surabaya pada tahun 2014.
Kesimpulan dari penelitian mengenai gaya retorika dai adalah kecendrungan
jamaah memilih gaya rekreatif yang paling diminati. Ditemukan bahwa gaya
retorika dai berpengaruh dalam memilih penceramah untuk mendengarkan
ceramah, namun tidak serta merta berpengaruh pada pengamalan dari materi yang
disampaikan dai.
Penelitian kelima, penelitian dengan judul “Dakwah Bil-Lisan Dengan
Teknik Hiburan di Kota Banda Aceh” oleh Sukardi pada tahun 2014. Penelitian
ini menjelaskan mengenai teknik hiburan dalam berdakwah yang dilakukan dai di
kota Banda Aceh serta dampaknya dari sudut pandang jamaah dan dai itu sendiri.
Hasil penelitian menunjukan bahwa teknik hiburan yang dilakukan hanya berupa
selingan tanpa menghilangkan substansi materi dakwah itu sendiri. Dampak
positifnya adalah jamaah termotivasi mendengarkan dakwah dan merasa perlu
humor atau canda tawa dalam berdakwah agar tidak mengalami kebosanan.
Imbasnya jamaah datang dengan mengikut sertakan keluarga untuk hadir
mendengarkan ceramah. Kaitanya dengan penelitian ini adalah menjadi satu
pertimbangan dalam penelitian peneliti dalam hal penggunaan humor dalam gaya
komunikasi dai.
Penelitian keenam, penelitian oleh Akhirudi dengan judul “Pemikiran
Dakwah Ismail Raji Al-Faruqi (Dakwah dalam Masyarakat Dunia Islam)”.
18
Penelitian ini membahas mengenai konsep dakwah dan pemikiran dakwah Ismail
Raji Al-Faruqi melalui pesan dakwah yang disampaikannya. Al Faruqi adalah
seorang tokoh yang memiliki andil dalam pengembangan pemikiran Islam
kontemporer. Gagasan-gagasan yang disampaikan dalam rangka pemecahan
persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Konsep berdakwah Al Faruq terdiri
dari beberapa hal, pertama menyampaikan dakwah dengan kearifan, nasihat yang
baik dan mengajarkan Islam kepada manusia dengan argumen yang lebih baik.
Kedua, dakwah adalah alat untuk membagi dan mengajarkan kebenaran, dimana
seorang berupaya untuk membagi kebenaran dan mengajak untuk menerima
kebenaran itu. Ide pokok dakwahnya adalah tauhid, karena tauhid merupakan
esensi dari Islam yang mencakup seluruh aktivitas manusia dan untuk
penerapannya menggunakan program Islamisasi ilmu pengetahuan yang
diyakininya sebagai upaya pembentukan masyarakat dunia Islam.
Hakikat dakwah menurut Al Faruq terdiri dari; pertama, menentang
ethosentrisme. Artinya Islam mengakui pengelompokan alamiah manusia, tetapi
Islam menolak setiap ultimasi dari pengelompokan kedalam keluarga, suku dan
bangsa sebagai kriteria final dari kebaikan dan kejahatan. Kedua adalah kebebasan
yang diartikan bahwa setiap umat beragama bebas untuk mendakwahkan
agamanya dan siapapun bebas untuk menerima maupun menolak ajakan itu.
Ketiga adalah rasionalitas, dimana dakwah Islam merupakan ajakan untuk
berpikir, berdebat dan berargumen, dan untuk menilai suatu kasus yang muncul.
Keempat adalah universalitas, maksudnya Islam mengandung ajaran-ajaran dasar
yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Terkahir kelima
adalah totalisme, tata sosial Islam bukanlah semata-mata club, suatu masyarakat
19
kaum terpelajar, sebuah kamar dagang, atau suatu partai politik. Tujuan dakwah
Al Faruq dibagi menjadi dua, berdasarkan sasaran dari objek dakwah. Dakwah
kepada kaum muslim bertujuan untuk mengarahkan ke jalan yang aktual,
sedangkan dakwah kepada non muslim bertujuan untuk mengajak bergabung
sebagai orang yang mengejar pola ketuhanan yang benar.
Penelitian ketujuh, penelitian dengan judul ”Ustadz Selebriti Abdullah
Gymnastiar (Perspektif Hipersemiotika Yasraf Amir Pilliang)” oleh Maskur.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis hipersemiotika Yasraf Amir
Piliang terhadap sosok dai selebriti Aa Gym. Hipersemiotika merupakan ilmu
tentang tanda dan fungsinya dalam masyarakat, yang secara khusus menyoroti
sifat berlebihan atau ekses-ekses pada tanda, sistem tanda, dan proses penandaan.
Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa saat ini seorang ustad atau
dai tidak lagi hanya dipandang sebagai seorang pendakwah saja, melainkan
menjadi seorang selebriti yang diidolakan masyarakat. Fenomena ustad celebriti
ini melekat pada sosok Aa Gym, dimana dengan media Aa Gym populer tidak
hanya sebagai ustad tetapi juga sebagai seorang penyanyi, aktor, penulis buku dan
sebagainya. Penelitian ini juga mengungkapan fenomena hiper dalam ketokohan
Aa Gym, yaitu; Pertama, hipersemiotika cara berpikir populer Abdullah
Gymnastiar yang dapat dilihat dari produk-produk Aa Gym yang menawarkan
kemudahan
akses
spritualitas
lewat
kecanggihan
teknologi.
Kedua,
Hipersemiotika komunikasi populer Abdullah Gymnastiar memperlihatkan tanda
hiper melalui kontradiksi antara spritualitas agama dan hiburan. Ketiga,
Hipersemiotika ritualitas populer Abdullah Gymnastiar, yaitu pemanfaatan
ritualitas keagamaan dalam bentuk komuditas. Keempat, hipersemiotika simbol
20
populer Abdullah Gymnastiar, yaitu berupa pengkombinasian simbol-simbol
kesalehan dengan gaya hidup.
Penelitian kedelapan, penelitian yang berjudul “Pola Komunikasi Dakwah
KH. Abdullah Gymnastiar dan KH. Jalaluddin Rahmat” oleh Bambang Saiful
Ma‟arif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma
kritis terhadap retorika dalam aktivitas dakwah Aa Gym dan Jalaluddin Rahmat.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: karakteristik komunikator
yang tercermin pada gaya komunikasinya, ubidang-bidang beragama sebagai
konteks komunikasi dakwah, isi pesan dan struktur pesan dan jenis imbauan pesan
komunikasi dakwah, konsepsi jamaan pengajian menurut kedua tokoh, pola
komunikasi dakwah dalam membina kehidupan beragama jamaahnya di Bandung,
dan faktor-faktor yang membentuk pola komunikasi dakwah kedua tokoh tersebut
sebagaimana yang tampak pada gaya komunikasi keduanya.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini kemudian disimpulkan menjadi
beberapa poin, yaitu : Pertama, gaya komunikasi Aa Gym adalah dramatic dan
friendly sedangkan Jalaluddin memiliki gaya contentious dan opened. Kedua,
tujuan komunikasi dakwah dalam membina kehidupan beragama jamaahnya Aa
Gym membina dengan keyakinan (kepercayaan), perilaku, persaudaraan, amal
ibadah (sosial), dan kepemimpinan/ kemandirian, sedangkan Jalaluddin intens
membina bidang kehidupan beragama yang inklusif, berpikir kritis, dan
menemukan makna kebahagiaan hidup. Ketiga, katagori pesan komunikasi
dakwah Aa Gym adalah: 1) ma‟rifatullah, 2) akhlak, ukhuwwah Islamiyah dan
keluarga sakinah dan 3) kepemimpinan dan kemandirian. Sedangkan isi pesan
Jalaluddin dikatagorikan menjadi: 1) pembinaan akhlak, persaudaraan yang
21
inklusif dan pluralisme, 2) sejarah Islam pendekatan kritis mengetengahkan faktafakta, 3) psikologi agama dan makna kebahagiaan yang membentuk sikap posisi
dan beramal saleh.
Keempat, media komunikasi dakwah yang digunakan. Media massa
digunakan Aa Gym karena dipandang sebagai media yang besar pengaruhnya
untuk mencitrakan dakwah bermuatan “Manajemen Qolbu” (MQ) membutuhkan
audio-visual. Media massa elektronik pancar intensif digunakan Aa Gym karena
dipandang mampu mengangkat citranya dan mempopulerkannya. Pada kondisi
audiens yang tingkat keterlibatannya pada pesan rendah (low involvement) tepat
menggunakan media siar (radio) dan pancar (televisi). Sedangkan KH. Jalal
banyak menggunakan media komunikasi massa cetak (press atau publishing)
karena masyarakat diajak untuk berpikir kritis, objektif, dan mendalam. Media
massa cetak (published material) dipilih karena memberi kesempatan kepada
jamaah lebih leluasa untuk mengkaji ulang pesan dakwahnya secara saksama.
Jamaah Kang Jalal berhadapan dengan media relatif lebih aktif dibandingkan
dengan jamaah Aa Gym, karena perilaku jamaah Kang Jalal berada dalam kondisi
high involvement; jamaah mencari pesan dan menganalisisnya. Dalam kondisi
berpikir penuh (mindfulness).
Kelima, Aa Gym memandang jamaahnya lebih bersifat bersahabat
(friendly) dengan sifat hubungannya pertemanan karena yang dibangkitkan adalah
gelora beragamanya untuk melahirkan pengamalan (gerakan). Pesan dakwah yang
menghibur jiwa dan contoh konkret tentang masalah yang ringan, namun berguna
bagi menata suasana hati. Sedangkan KH. Jalal memandang jamaahnya sebagai
22
individu yang aktif dan berpotensi pikir relatif besar. Potensi intelektual
dikembangkan melalui pemberian informasi dan ilmu.
Keenam, Pola komunikasi dakwah Aa Gym adalah semi delivering
extemporaneously dan impromptu yang cocok untuk membina hati dan perasaan,
memotivasi diri. Sedangkan pola komunikasi KH. Jalal adalah semi reading
manuscript dan delivering extemporaneously cocok untuk membentuk berpikir
kritis. Komunikasi dakwah Aa Gym dalam masalah pelatihan dan magang. Dia
tidak menanganinya sendiri, tetapi dioperkan kepada tim asatidz, sehingga terjadi
two step flow of communication. Demikian pula pada Kang Jalal, pembinaan
akhlak jamaah (jamaah dewasa dan remaja). Sikap inklusif disampaikan keduanya
melalui bahasa verbal, nonverbal, dan behavioral.
Ketujuh, Faktor pembentuk pola komunikasi itu bersifat pribadi yang
menyejarah dan mewujud pada komunikasi dakwahnya. Kelembutan dan
keteguhan Aa Gym memiliki daya ruhiyyah dakwahnya, karena apa yang
disampaikan telah diamalkan untuk dirinya. Sejak muda, ia melihat urgensi
dakwah untuk disampaikan dengan bahasa yang lembut dan mengayomi. Dalam
hal khilafiyyah Aa Gym mencari titik temu secara langsung, tanpa perlu melihat
informasi penyebab adanya persoalan khilafiyyah. Sedangkan KH. Jalal melihat
perbedaan ke akar masalahnya, lalu bersikap inklusif.
Penelitian kesembilan, penelitian yang dilakukan oleh Rosidi dengan judul
“Dakwah Multikultural di Indonesia – Studi Pemikiran dan Gerakan Dakwah
Abdurrahman Wahid”. Penelitian ini mengupas metode dan pendekatan dakwah
yang menghargai nilai-nilai budaya masyarakat yang mejemuk dan multikultural
yang dilakukan Gus Dur. Pendekatan yang digunakan adalah hermeneutik yang
23
merupakan suatu aktivitas interpretasi terhadap suatu objek yang mempunyai
makna (meaningful forms) dengan tujuan untuk menghasilkan kemungkinan
pemahaman yang objektif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) mencoba mendakwahkan agama dengan pendekatan multikultural yang
menghargai, menghormati budaya dan perbedaan pemahaman sebagai sunnatullah
yang mesti dijaga keberadaannya. Gus Dur secara tegas dan nyata memberikan
perlindungan hak-hak minoritas atas diskriminasi yang dilakukan oleh nergara dan
kelompok mayoritas. Hal ini dilakukan oleh Gus Dur karena Indonesia adalah
rumah bersama semua warga bangsa yang berbeda-beda agama, suku, adat
istiadat, yang semua perlu dihormati, agar tercapai kehidupan damai, rukun.
Karena itu tidak boleh mendakwahkan agama dengan cara-cara kekerasan, dan
melanggar hak-hak asasi manusia yang sudah dilindungi oleh Undang-Undang.
Penelitian kesepuluh, dengan judul “Dakwah K.H. Hasyim Asy‟ari (Studi
atas Materi dan Aktivitas)” oleh Samsul Ma‟arif. Penelitian yang dilakukan
Samsul Ma‟arif ini dilakukan terhadap hampir seluruh karya tulis K.H. Hasyim
Asy‟ari. Teori yang digunakan dalam membaca sumber-sumber teks tersebut
adalah: Pertama,strukturalis, yaitu dalam mengkaji sebuah tradisi tentunya harus
berangkat dari teks-teks sebagaimana adanya. Kedua, historis yaitu mengkaji dan
mempertautkan pemikiran penulis teks, yang telah dianalisis dalam pendekatan
pertama dengan lingkup sejarah, dengan segenap ruang lingkup budaya, politik
dan sosiologisnya. Ketiga, adalah ideologis, yaitu mengungkap fungsi ideologis
dan termasuk fungsi sosial politik, yang dikandung sebuah teks atau pemikiran
tertentu, atau yang disengaja dibebankan kepada teks tersebut dalam satu sistem
24
pemikiran tertentu yang menjadi pemikirannya. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui materi dakwah yang digunakan K.H. Hasyim Asy‟ari
dan untuk mengetahui aktivitas dakwahnya.
Hasil penenilitian ini memperkuat temuan sebelumnya yang menyatakan
bahwa K.H. Hasyim Asy‟ari adalah ahli strategi yang ingin merubah struktur
masyarakat secara mendasar. Penekanan materi yang diajarkannya adalah
mengenai ukhuwah Islamiyah, ahl sunnah wa al-jamaah, dan membongkar
khurafat. Dalam dakwahnya materi yang diajarkannya memperhitungkan keadaan
sosial dan masyarakat yang terjadi saat itu, sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan aspek tradisi keagamaan.
Ukhuwah Islamiyah ini berkaitan dengan telah terjadi keretakan antara penduduk
dengan ulama yang sudah mulai muncul, antara kaum tradisional dan kaum yang
sudah terpengaruh modernisasi. Materi ahl sunnah wa al-jamaah yang ditekankan
berkaitan adanya usaha dari beberapa ulama untuk mencoba menghancurkan suatu
tradisi yang sudah ada yang dianggap tidak benar namun bagi K.H. Hasyim
Asy‟ary tradisi tersebut diyakini kebenarannya. Dan meteri membongkar khurafat
(melenceng dari ajaran agama) adalah respon terhadap aktifitas yang dilakukan
masyarakat, sehingga K.H. Hasyim Asy‟ary merasa perlu untuk diluruskan
kembali agar tidak terjadi lagi bentuk amalan yang sebenarnya baik namun disalah
gunakan sehingga yang timbul justru kemaksiatan dalam amalan tersebut.
2.3.
Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari kata "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti "menafsirkan", dan kata bendanya hermeneia yang
25
berarti "penafsiran" atau "interpretasi", dan kata hermeneutes yang berarti
interpreter (penafsir) (Wachid, 2006: 210). Hermeneutika diartikan sebagai upaya
rasional menafsirkan realitas (ontologis) yang mengungkapkan hakikat atau
substansi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada (being) yang dalam
bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “true conditions” (Putra, 2012: 76). Pada
akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti dengan mencari makna suatu teks atau realitas dengan jalan
menafsirkannya.
Palmer (2003:15-36) berpendapat bahwa mediasi dan proses membawa
pesan "agar dipahami" yang diasosiasikan dengan Dewa Hennes itu terkandung
dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia. Tiga bentuk
tersebut menggunakan verba dari herme>neuein, sebagai berikut. Pertama,
herme>neuein sebagai "to express" (mengungkapkan), "to assert" (menegaskan),
atau "to say" (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi "pemberitahuan" dari
Hennes. Kedua, herme>neuein sebagai "to explain" (menjelaskan), interpretasi
sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih
menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang
paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu,
merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan
situasi tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan interpretasi,
serta menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi. Ketiga, herme>neuein
sebagai "to translate". Pada dimensi ini "to interpret" (menafsirkan) bermakna "to
translate" (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses
interpretatif dasar "membawa sesuatu untuk dipahami". Dalam konteks ini,
26
seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam
mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi
media antara satu dunia dengan dunia yang lain. "Penerjemahan" membuat kita
sadar akan cara bahwa kata-kata sebenamya membentuk pandangan dunia, bahkan
persepsi-persepsi kita; bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari
pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini, kita dapat melihat
melalui penglihatannya.
Sebagai metode penafsiran, "hermeneutika" tidak saja berurusan dengan
teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan penafsiran teks tersebut membuka
diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Faiz (2003:11-12) menyebutnya
sebagai "mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut",
yakni horison teks, horison pengarang, dan horison pembaca. Alasannya sebagai
berikut : dengan mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya
pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi
makna teks, yang di samping melacak bagaimana suatu teks itu dimuncuIkan oleh
pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang
ke dalam teks yang dibuatnya; juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut
sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan
kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga
hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks,
kemudian melakukan upaya kontekstualisasi (Wachid, 2006; 212).
Hermeneutik juga dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami
perilaku komunikasi. Menurut Littlejohn dan Foss, para pemikir hermeneutik
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang menggunakan
27
hermeneutik untuk memahami teks (text hermeneutics) dan kelompok yang
menggunakan hermeneutik sebagai alat untuk menginetpretasikan tindakan (
social or cultural hermeneutics) (Morissan, 2013: 194). Gadamer dan lainya telah
memperluas aplikasi hermeneutika itu sendiri kedalam setiap perilaku manusia,
produk, maupun ekspresi yang dapat diciptakan laiknya sebuah teks (Ardianto &
Anees, 2007: 131).
2.3.1. Hermeneutika Menurut Gadamer
Gadamer dalam karyanya memang tidak memberikan penjelasan, baik
secara explisit maupun implisit, tentang metode penafsiran tertentu terhadap teks.
Hal itu dikarenakan bahwa dia tidak mau terjebak pada ide universalisme metode
hermeneutika untuk semua bidang ilmu sosial dan humaniora. Gadamer
menegaskan bahwa kontemplasi metodikal berlawanan dengan pengalaman dan
refleksi. Menurutnya, manusia dapat meraih kebenaran hanya dengan mengerti
atau bahkan menguasai pengalamannya (Putra, 2012:77).
Hermeneutik bukanlah sebuah metode sekedar alat untuk “memahami”
sesuatu (teks) tetapi hermeneutik sendiri adalah pemahaman yang oleh karenanya
ia merupakan fakta ontologis. Dengan demikian, tampaknya yang ingin
ditekankan oleh Gadamer adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat
ontologis, bukan metodologis. Gadamer berpendapat bahwa “pemahaman”
(verstehen) pada intinya merupakan pertukaran kerangka rujukan antara pengamat
dan objek yang diamati. Dengan demikian teks-teks dan perilaku sosial
diinterpretasikan dengan menggunakan lensa pengalaman dan teoritis yang
28
dibangun melalui latar belakang pribadi dan profesi peneliti tersebut (Ardianto &
Anees, 2007: 135).
Bagi Gadamer, ”memahami” atau “mengerti”
lingkaran. Supaya orang
mengerti sudah
mempunyai
struktur
harus ada prapengertian. Untuk
mencapai pengertian satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya,
untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada prapengertian tertentu
tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu, kalau tidak maka sekali-kali tidak
pernah akan mungkin memperoleh pengertian tentang hal tersebut. Tetapi dilain
pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang
sungguh-sungguh. Proses inilah yang dinamakannya sebagai “lingkaran
hermeneutis”. Lingkaran ini menurutnya sudah terdapat pada taraf yang paling
fundamental . Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri.
Metode filsafat hermeneutika adalah kegiatan olah pikir yang menafsirkan
dan memahami makna suatu teks (realitas) secara rasional untuk mencari/
menemukan hakikatnya (Putra, 2012: 76). Hermeneutika filsafat menempatkan
hermenutika sebagai cara untuk memahami pemahaman. Dimana Faiz (2005:811) membagi hermeneutika menjadi tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara
untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk
memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara
untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.
2.3.2. Kritik Terhadap Hermeneutik Romantis
Kritik Gadamer terhadap pandangan Schleiermacher dan Dilthey
(hermeneutik romantis), bahwa mengerti atau memahami suatu teks adalah
29
menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh
pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang
teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas
tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini,
interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar
dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang dihayati dan mau
dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja
rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli
(Bertens,
2002:261).
Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang
interpretator harus sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah
dapat “pindah” ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat
dengan suatu horison historis yang melingkupinya(Bertens, 2002:262). Tegasnya,
ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong ke situasi
dan kondisi penulis teks.
Gadamer juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh
romantik ini. Pertama, Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan
Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli
sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu
teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi
Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang
teks tersebut. Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga
produktif.
30
Kedua, Gadamer juga mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang
waktu, yakni bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan diri dari
dimensi waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang
teks. Menurut Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari
situasi historis di mana kita berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa
lampau waktu teks tersebut ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna
untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan
menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai.
Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks. Dalam
istilah F. Budi Hardiman, makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya,
melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Maka, menafsirkan adalah
proses kreatif (Hardiman, 2003:44).
Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep “tradisi‟ dan
“prasangka” yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut
tradisi hermeneutika romantis, dalam menafsirkan suatu teks, prasangka harus
dihindarkan jauh-jauh. Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka
(prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran.
Gadamer menolak pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam memahami suatu
teks, kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti
interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu,
kita harus membedakan antara prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak
legitim, serta antara prasangka yang sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian
pula, sementara hermeneutika romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer
justru mengakuinya. Menurut Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu
31
tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan
menghambat pengenalan kita terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan
membantu kita dalam proses pemahaman (Berten, 2002:264-265).
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas
oleh Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi
hermeneutika romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu
pengetahuan apa pun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme.
Dengan pola pikir ini, hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang
mensyaratkan objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung
oleh Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika
objektivis (Mulyono, 2003:134-135).
Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa upaya
objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan
menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan penafsir
tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat dikosongkan
dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya objektivisme
murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang mungkin
dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga teks
tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang
waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan.
Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang produktif antara
masa lalu dan masa kini (Mulyono, 2003:135-136).
2.3.3. Teori-Teori Pokok Gadamer
32
1) Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected
Consciousness)
Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh
situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur,
ataupun pengalaman hidup. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks,
seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa
mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya.
Lebih lanjut Gadamer mengatakan, seseorang harus belajar memahami dan
mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh
dari affective history (“sejarah yang mempengaruhi seseorang”) sangat mengambil
peran. Sebagaimana diakui oleh Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini
memang tidaklah mudah. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus
mampu mengatasi subjektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.
2)
Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau affective history tertentu
membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah
pre-understanding atau “prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks yang
ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti
dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses
pemahaman, prapemahaman selalu memainkan peran. Dalam praktiknya,
prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang
penafsir berada, dan juga diwarnai oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk
dalam tradisi tersebut. Di dalam proses penafsiran tersebut, si penafsir dituntun
33
oleh prejudice, yakni sejumlah pengalaman dan seperangkat pengetahuannya.
Bedasarkan prejudice tersebut, si penafsir mencoba mencari hakikat sebuah teks
atau realitas dalam konteks sejarah dan tradisi pada saat teks atau realitas lahir
(Putra, 2012: 73).
Keharusan
adanya
prapemahaman
tersebut,
menurut
teori
ini,
dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks
yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman, seseorang tidak akan berhasil memahami
teks dengan baik. Bahkan, Oliver R. Scholz menyatakan bahwa prapemahaman
yang disebutnya dengan istilah “asumsi atau dugaan awal” merupakan “sarana
yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar”. Meskipun demikian, menurut
Gadamer, prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan
dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa
prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang
ditafsirkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap
pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini
disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.
3) Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion of Horizons) dan Teori
“Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
Dalam menafsirkan teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui
prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau
asimilasi horison” (fusion of horizons). Menurut teori ini, proses penafsiran
seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau
horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison
34
pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan
penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala
hermeneutiknya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca
mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang
dimiliki pembaca.
Dua bentuk horison ini,
menurut Gadamer,
harus
dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh
karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia
harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul (baca:
diungkapkan atau ditulis).
Seorang pembaca teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui
adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan
bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan,
“Peneliti harus membiarkan teks masa lalu berlaku (memberikan informasi
tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap
„keberbedaan‟ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu
yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti
membiarkan teks yang dimaksud berbicara.
Interaksi
di
antara
dua
horison
tersebut
dinamakan
“lingkaran
hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut Gadamer, horison pembaca hanya
berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak
pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa
teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa
pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik
pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud
35
oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan
objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh
pembaca atau penafsir teks.
4) Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
Makna objektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman
dan penafsiran. Ketika makna objektif telah dipahami, kemudian apa yang harus
dilakukan oleh pembaca atau penafsir teks yang di dalamnya terkandung pesanpesan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari? Di sisi lain, situasi
ketika munculnya teks tersebut dan masa ketika seorang penafsir hidup telah jauh
berbeda. Menurut Gadamer, ketika seseorang membaca kitab suci, maka selain
proses memahami dan menafsirkan, ada satu hal lagi yang dituntut, yakni
“penerapan” (application) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks
kitab suci itu ditafsirkan.Pertanyaannya adalah: apakah makna objektif teks
tersebut harus terus dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang
penafsir hidup? Menanggapi pertanyaan ini, Gadamer berpendapat bahwa pesan
yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi
“makna yang berarti” (meaningfull sense) atau pesan yang lebih berarti daripada
sekadar makna literal.
Intinya, dalam membaca dan mamahami teks-teks historis berlaku proses
hermeneutis yang dalam istilah Gadamer disebut effective history. Konsep ini
dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks
historis. Pertama, masa lampau, di mana sebuah teks dilahirkan atau
dipublikasikan. Di sini, makna teks bukan hanya milik pengarang, tetapi juga
36
milik setiap orang yang berusaha membaca dan memahaminya. Kedua, masa kini,
di mana penafsir datang dengan membawa sejumlah prasangka atau praanggapan.
Dengan prasangka ini, penafsir akan berdialog dengan masa lalu sehingga
melahirkan makna baru yang sesuai dengan kondisi penafsir. Ketiga, masa depan,
di mana di dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.
5.
Teori Pemahaman
Dalam Truth and Method, Gadamer berusaha melanjutkan dan
menyempurnakan gagasan gurunya, Martin Heidegger, tentang keterkaitan antara
keberadaan manusia dan kemungkinan pemahaman yang bisa dilakukan. Dalam
pandangan Heidegger, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Gadamer,
hermeneutik adalah penafsiran terhadap esensi (being) yang dalam kenyataannya
selalu tampil dalam eksistensi. Dengan demikian, suatu kebenaran tidak lagi
ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas
objektif (sebagaimana dilakukan oleh kalangan positivisme dengan dalih mencari
objektivitas), tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dan, satusatunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia.
Di atas telah dinyatakan bahwa dalam tradisi hermeneutika filosofis yang
digagas oleh Heidegger dan Gadamer, suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh
adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas objektif, tetapi
oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dengan demikian, dalam tradisi
hermeneutika filosofis tidak ada konsep pengujian kebenaran lewat media
verifikasi dan falsifikasi sebagaimana lazim dilakukan dalam tradisi filsafat
positivisme abad pencerahan. Sebab, studi filosofis dalam hermeneutika ala
37
Gadamer lebih menekankan pada masalah interpretasi atau pemahaman
(verstehen) daripada masalah kepastian (evidence) dan masalah objektivitas
kebenaran.
Pandangan Gadamer,
pemahaman
manusia
senantiasa
merupakan
peristiwa historis, dialektik, dan linguistik (Palmer, 2003:255). Dengan demikian,
dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer, kebenaran
diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah
menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan
dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah
mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang
riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai
macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”,
tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci
untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan
partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan
pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika (Palmer,
2003:255). Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu
keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima
yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru (Mulyono,
2003:142).
Dalam membangun sistem pengetahuannya ini, Gadamer banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu, dialektika dan spekulativitas
dalam sistem pengetahuan yang dibangun oleh Gadamer merujuk pada pemikiran
Hegel (Palmer, 2003:255).
38
Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini,
Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan (Sumaryono,
1999:71-84). Pertama, bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya
dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks,
maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan.
Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang,
kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam
proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan
dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan.
Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya
sendiri.
Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau
pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial
atau
pergaulan
sosial.
Para
filsuf
zaman
dulu
menyebutnya
dengan
“kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan
sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang
mendasari pola sikap manusia. Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan halhal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan
merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor
ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan
sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang
pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat
menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak
dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Keempat, taste atau selera,
39
yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau
keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer
menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai
pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak
tahu penyebabnya.
2.4.
Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi menurut Saphiere,
Mikk,
& Devries
(2005:5)
didefinisikan sebagai cara seseorang berkomunikasi, sebuah pola perilaku verbal
dan non verbal saat kita memberikan dan menerima pesan dalam sebuah situasi
tertentu. Jika pesan adalah “apa” dan komunikator adalah “siapa” maka gaya
komunikasi adalah “bagaimana”. Serupa dengan pendapat Saphiere,et.al, Dengan
demikian mengkaji gaya komunikasi dai berarti mengkaji masalah bagaimana dai
sebagai komunikator menyampaikan pesan dakwah. Termasuk bagaimana dai
mengekspresikan dirinya dalam penyampaian pesan dakwah berdasarkan nilai
atau keyakinan yang dianutnya. Setiap dai menggunakan memiliki gaya
komunikasi yang berbeda-beda sesuai dengan persepsi dirinya dan nilai-nilai yang
dianutnya dalam suatu konteks tertentu pula. Gaya komunikasi yang digunakan
tergantung pada kepribadian dan kebudayaan. Masing–masing gaya komunikasi
terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan
respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula.
Kata-kata yang diucapkan selalu mempunyai makna. Nada suara dan
bahasa tubuh yang menyertai setiap kata yang diucapkan mempunyai makna.
Demikian halnya dengan kata-kata yang ditulis juga memiliki makna, sebagai
40
ganti nada suara dan bahasa tubuh digunakan tanda baca untuk memberikan
makna tertentu. Setiap orang memberikan tekanan pada kata-kata yang diucapkan
atau yang ditulis, dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ada sesuatu yang sangat
penting yang ingin disampaikan. Kata-kata yang terucap memiliki makna tertentu
begitu juga dengan nada suara dan bahasa tubuh yang menyertai kata-kata yang
terucap maupun berdiri sendiri memiliki makna tertentu pula (Liliweri, 2011:
308).
Manusia mengucapkan atau menulis kata-kata untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan yang memotivasi, menyatakan kemarahan, menyatakan belas
kasihan, menyatakan pesan agar suatu perintah segera dilaksanakan. Semua
kombinasi ini adalah gaya komunikasi (Liliweri, 2011: 308). Gaya komunikasi
juga dapat digunakan sebagai upaya untuk merefleksikan identitas pribadinya
dalam berkomunikasi yang dapat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap
identitas ini.
Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan
bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan
hubungan yang harmonis. Gaya komunikasi yang dilakukan seorang komunikator
dapat memberikan pengaruh terhadap kesan atau citra tertentu (Bahfiarti, 2012;
Aprilia, Wiyanto, & Wiyanto, 2006). Gaya komunikasi merupakan salah satu
ketrampilan dalam berkomunikasi. Ketrampilan komunikasi melalui gaya
komunikasi mengisyaratkan kesadaran diri pada level tingkat tinggi. Ada kalanya
konten komunikasi tidak tersampaikan dengan baik. Salah satunya adalah faktor
kurangnya kemampuan komunikator dalam berkomunikasi yang terjadi.
Pentingnya kita untuk mengetahui dan mempelajari gaya komunikasi dari setiap
41
karakter manusia adalah agar saat kita melakukan proses komunikasi, komunikasi
tersebut berjalan dengan lancar, serta mencegah agar tidak terjadi miskomunikasi.
Gaya komunikasi bersifat personal dan melekat pada kepribadian
seseorang. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku
komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu
dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang
digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim dan harapan dari penerima.
Saphiere (2005) menyatakan gaya komunikasi tidak dapat berlaku pada seluruh
manusia secara sama, tetapi lebih mencerminkan karakter pribadi dan budaya
(Chitrawanty, 2014;1).
Gaya komunikasi dipengaruh situasi, bukan kepada tipe seseorang, gaya
komunikasi bukan tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada situasi yang
dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi yang berbeda-beda
ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik, atau bosan. Begitu juga
dengan seseorang yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang baru
dikenal dan dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Selain
itu gaya yang digunakan dipengaruhi oleh banyak faktor, gaya komunikasi adalah
sesuatu yang dinamis.
Liliweri (2011:309) menyatakan terdapat
beberapa konsep yang
menerangkan pengertian gaya komunikasi oleh beberapa ahli, yaitu :
1). Gaya
komunikasi
didefinisikan
sebagai
proses
kognitif
yang
mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro.
Setiap gaya selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya
ketika dia berinteraksi dengan orang lain.
42
2). Gaya komunikasi juga dapat dipandang sebagai meta-messages yang
mengkontekstualisasikan
bagaimana
pesan-pesan
verbal
diakui
dan
diinterpretasikan. Definisi ini menjelaskan mengapa sesorang berkomunikasi,
tidak lain berkomunikasi sebagai upaya merefleksikan identitas pribadinya
yang dapa mempengaruhi persepsi orang lain terhadap identitas ini.
3). Gaya komunikasi dapat dipandang sebagai campuran unsur-unsur komunikasi
lisan dan ilustratif. Pesan-pesan verbal individu yang digunakan untuk
berkomunikasi diungkapkan dalam kata-kata tertentu yang mencirikan gaya
komunikasi. Ini termasuk nada, volume atas semua pesan yang diucapkan.
2.4.1. Klasifikasi Gaya Komunikasi Menurut Beberapa Ahli
Para ahli telah mengelompokan beberapa tipe atau katagori gaya
komunikasi. Norton dalam Liliweri (2011:309-310) mengelompokan gaya
komunikasi membagi kedalam sepuluh jenis:
1.
Gaya dominan (dominant style), gaya seorang individu untuk mengontrol
situasi sosial.
2.
Gaya dramatis (dramatic style), gaya seorang individu yang selalu “hidup”
ketika dia bercakap-cakap.
3.
Gaya kontroversial (controversial style), gaya seseorang yang selalu
berkomunikasi secara argumentatif atau cepat untuk menantang orang lain.
4.
Gaya animasi (animated style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara
aktif dengan memakai bahasa nonverbal.
5.
Gaya berkesan (impression style), gaya berkomunikasi yang merangsang
orang lain sehingga mudah diingat, gaya yang sangat mengesankan.
43
6.
Gaya santai (relaxed style), gaya seseorang yang berkomunikasi dengan
tenang dan senang, penuh senyum dan tawa.
7.
Gaya atentif (attentive style), gaya seseorang yang berkomunikasi dengan
memerikan perhatian penuh kepada orang lain, bersikap simpati dan bahkan
empati, mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh.
8.
Gaya terbuka (open style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara terbuka
yang ditunjukkan dalam tampilan jujur dan mungkin saja blakblakan.
9.
Gaya bersahabat (friendly style), gaya komunikasi yang ditampilkan
seseorang secara ramah, merasa dekat, selalu memberikan respon positif, dan
mendukung.
10. Gaya yang tepat (precise style), gaya yang tepat dimana komunikator
meminta untuk membicarakan suatu konten yang tepat dan akurat dalam
komunikasi lisan.
McCallister (Liliweri, 2011:310)
mengelompokan gaya komunikasi
meliputi tiga katagori, yaitu:
a. Noble style, merupakan gaya terhormat, gaya standar, gaya sesuai dengan
patokan yang seharusnya dilakukan.
b. Reflective style, yaitu gaya yang dipahami sebagai gaya yang secara tidak
langsung melakukan refleksikan kepribadian.
c. Socrtic style, yaitu gaya yang selalu menampilkan perincian konten dan
analisis yang digunakan dalam perdebatan.
Pengelompokan gaya komunikasi berikutnya menurut ahli ditelaah dari klasifikasi
gaya komunikasi menurut Norton dan Callister menjadi katagori yang berbeda.
44
Comstock dan Higgins (Liliweri, 2011; 310), menelaah gaya komunikasi
yang dikemukakan oleh klasifikasi Norton ke dalam empat katagori yang
meliputi:
a.
Gaya kooperatif (cooperative style), gaya yang memadukan orientasi sosial
dan tugas.
b.
Gaya prihatin (apprehensive style),
gaya yang relatif bersahabat namun
selalu menampilkan perasaan cemas dan kepatuhan.
c.
Gaya sosial (social style), yang digambarkan sebagai gaya ekspresif, dominan
(gaya menguasai orang lain), gaya dramatis, dan gaya tepat.
d.
Gaya kompetitif (competitive style), yaitu gaya yang tepat atau gaya standar,
ekspresif, tidak terbuka terhadap isu-isu personal, dan lebih suka tampil
dominan dan beragumentasi.
Heffner (Liliweri, 2011; 310-311), mengklasifikasikan ulang gaya komunikasi
dari McCallister (1992) kedalam tiga gaya, yakni:
a.
Gaya pasif (passive style), gaya seseorang yang cenderung menilai orang lain
selalu benar dan lebih penting daripada diri sendiri.
b.
Gaya tegas (assertive style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara tegas
mempertahankan dan membela hak-hak sendiri demi mempertahankan hakhak untuk orang lain.
c.
Gaya agresif (aggresive style), gaya seorang individu yang selalu membela
hak-haknya sendiri, merasa superior, dan suka melanggat hak orang lain, dan
sudah mengabaikan perasaan orang lain.
45
Dalam praktek komunikasi sehari-hari memang ada banyak gaya berkomunikasi.
Menurut Liliweri (2011:311) dari sekian banyak gaya komunikasi namun
esensinya ada empat yang utama, yaitu:
1.
Emotive style traits, yang menggambarkan gaya komunikasi seseorang yang
selalu aktif namun lembut, dia mengambil inisiatif sosial, merangkum orang
dengan informal, menyatakan pendapatnya secara emosial.
2.
Director style traits, yang menyampaikan pendapatnya sebagai orang sibuk,
kadang-kadang mengirim informasi tetapi tidak memandang orang lain, yang
tampil dengan sikap serius dan suka mengawasi orang lain.
3.
Reflective style traits, yang suka mengontrol ekspresi emosi mereka, yang
menunjukan pilihan tertentu dan memerintah, cenderung menyatakan
pendapat dengan terukur, dan melihat kesulitan yang harus kita ketahui.
4.
Supportive style traits, yang diam dan tenang penuh perhatian, melihat orang
dengan perhatian penuh, cenderung menghindari kekuasaan, dan dia
membuat keputusan dengan mempertimbangkan semua pihak.
Sedangkan Edward T. Hall
(Mulyana, 2006: 147) membagi gaya
komunikasi berdasarkan dua konteks, yaitu komunikasi konteks tinggi dan
komunikasi konteks rendah.
2.5.
Komunikasi dan Dakwah
Dakwah merupakan kegiatan komunikasi, dimana dai mengkomunikasikan
pesan kepada jamaah baik secara perorangan maupun kelompok (Ilaihi, 2010:24).
Dakwah berasal bahasa Arab, berasal dari kata da‟wah, yang bersumber pada kata
da‟a, yad‟u, da‟watan yang bermakna, (1) memanggil, (2) menyeru, (3)
46
menegaskan, (4) perbuatan atau perkataan untuk menarik kepada sesuatu, dan (5)
memohon dan meminta (Sukayat, 2009:1). Sebagai suatu proses komunikasi
dakwah tidak hanya merupakan suatu usaha untuk menyampaikan saja tetapi juga
merupakan usaha untuk mengubah cara berpikir dan cara hidup manusia.
Mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti
petunjuk serta memerintah mereka berbuat ma‟ruf dan mencegah dari perbuatan
mungkar agar mereka memperoleh kebaikan didunia dan akhirat (ilaihi, 2010:16).
Dakwah Islam berupaya untuk menegakkan kepribadian yang berakhlaqul
karimah. Soewardi (2003) mengajukan 3 (tiga) tujuan operasional dakwah, yaitu:
menjadikan
orang
lurus
dan
benar
dengan
melakukan
kebaikan
dan
menghilangkan kemungkaran (amar ma‟ruf dan nahyi munkar); melahirkan
kekuatan
pada
diri
seseorang
melalui
karya-karyanya;
karsa;
tinggi
profesionalisme di bidang masing-masing. Dakwah Islam diarahkan pada
terbinanya kesalehan pribadi dan sosial.
Komunikasi dakwah
menyampaikan pesan-pesan keagamaan dalam
berbagai tatanan agar jamaahnya terpanggil dan merasakan pentingnya nilai Islam
dalam kehidupan. Di antara tatanan komunikasi dakwah adalah interpersonal,
publik, dan bermedia. Pada tataran interpersonal, komunikator dakwah (juru
dakwah) mengajak orang perorang mengamalkan Islam. Pada tataran publik, juru
dakwah memasyarakatkan nilai Islam di berbagai majelis taklim, pesantren dan
masjid. Sedangkan pada tataran media, juru dakwah menyebarluaskan ajaran
agama dengan menggunakan media. Komunikasi dakwah berlangsung dengan
menggunakan simbol dan lambang-lambang, karena manusia adalah makhluk
47
bersimbol (symbolicum animale). Lambang
adalah ekspresi dari manusia
(Tasmara, 1987).
Muhammad Natsir (Muridan, 2009:66-67) menegaskan bahwa dakwah
memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu:
1.
Memanggil kita kepada syariat untuk memecahkan persoalan-persoalan
hidup, baik perorangan, keluarga,, masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Memanggil kita pada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah diatas dunia
yang terbentang luas ini, berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola
pendirian, dan kepercayaannya, yakni fungsi sebagai syuhada alannas,
menjadi pelopor dan pengawas bagi umat manusia.
3.
Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yaitu menyembah
Allah.
Guna mencapai tujuan dari dakwah tersebut, maka dakwah harus
dilakukan dengan strategi yang benar, disalurkan melalui media yang tepat, dan
menggunakan metode yang sesuai. Dakwah harus tampil secara aktual, faktual
dan kontekstural. Dimana aktual berari dakwah harus mampu memecahkan
persoalan kekinian yang sedang menjadi pembicaraan di masyarakat. Faktual
yang berarti kongkrit dan nyata sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sedangkan
kontekstual yang berarti relevan dan menyangkut persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakat.
Setelah penjabaran di atas mengenai komunikasi dan dakwah, kita bisa
menarik pemahaman bahwasannya dari segi komunikasi, maka dakwah adalah
merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan (message) berupa ajaran Islam
yang disampaikan secara persuasive (hikmah) dengan harapan agar komunikan
48
dapat bersikap dan berbuat amal sholeh sesuai dengan ajaran Islam (Tasmara,
1997).
Kalau diperhatikan secara seksama dan mendalam, maka pengertian dari
dakwah itu tidak lain adalah komunikasi. Ahmad Mubarok dalam buku Psikologi
Dakwah mengungkapkan bahwa kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi di
mana dai mengkomunikasikan pesan dakwah kepada mad‟u, baik secara
perseorangan maupun kelompok.
Secara teknis, dakwah adalah komunikasi dai (komunikator) dan mad‟u
(komunikan). Semua hukum yang berlaku dalam ilmu komunikasi berlaku juga
dalam dakwah, hambatan komunikasi adalah hambatan dakwah, dan bagaimana
mengungkapkan apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia dakwah sama
juga dengan apa yang harus dikerjakan pada manusia komunikan.
Dakwah merupakan
suatu bentuk komunikasi yang khas. Dakwah
merupakan suatu proses komunikasi, tapi tidak semua proses komunikasi adalah
proses dakwah. Dalam
kajian
lebih dalam,
perbedaan yang ada dalam
komunikasi dakwah dan kegiatan komunikasi pada umumnya hanyalah pesan
yang disampaikan dan komunikator. Dalam komunikasi muatan pesannya lebih
netral dan umum, sedang dalam komunikasi dakwah terkandung nilai kebenaran
dan keteladanan Islam. Begitu pula dengan komunikatornya, sebagai aktor dalam
komunikasi dakwah diharuskan yang memiliki spesifikasi syarat dan kriteria
tersendiri.
Di samping itu, kalau pada aktivitas komunikasi yang biasa atau rutin,
tidak begitu mempersoalkan apa yang menjadi motivasi ataupun tujuan yang
49
dimaksud, maka dalam komunikasi dakwah, hal itu sudah benar-benar dikaitkan
dengan tujuan dakwah secara mikro, maupun makro.
Wahyu Ilaihi dalam buku komunikasi dakwah, mendefinisikan komunikasi
dakwah adalah proses penyampaian informasi atau pesan dari seseorang atau
sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lain yang bersumber
dari Al Quran dan Hadis dengan menggunakan lambang-lambang baik secara
verbal maupun non verbal dengan tujuan untuk mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku orang lainyang lebih baik sesuai ajaran Islam, baik langsung secara lisan
maupuntidak lansung melalui media.
Komunikasi dakwah juga dapat diartikan sebagai upaya komunikator
(orang yang menyampaikan pesan, seperti: ustaz, ulama, kiai,buya, atau dai)
dalam mengomunikasikan / menyampaikan pesanpesan Al Quran dan Hadis
kepada umat (khalayak) agar umat dapat mengetahui, memahami, menghayati,
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari serta menjadikan Al Qur‟an
dan Hadits sebagai pedoman dan pandangan hidup.
Secara umum, komunikasi dakwah adalah suatu penyampaian pesan
dakwah yang secara sengaja dilakukan oleh komunikator (dai) pada komunikan
(mad‟u) dengan tujuan membuat komunikan berperilaku tertentu.
2.5.1. Dai Sebagai Komunikator
Dai menurut Ilaihi (2010:76) adalah orang yang melaksanakan dakwah
baik secara lisan maupun tulisan ataupun perbuatan baik secara individu,
kelompok atau bentuk organisasi atau lembaga. Senada dengan pengertian
tersebut, pengertian dai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) adalah
50
orang yang kerjanya berdakwah; pendakwah: melalui kegiatan dakwah, para dai
menyebarluaskan ajaran agama. Secara umum setiap muslim yang dewasa
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh umat
manusia, adapun pengertian secara khusus dai adalah orang-orang yang berprofesi
atau secara sengaja mengkonsentrasikan dirinya dalam tugas menggali ilmu
agama untuk disampaikan kepada orang lain, sehingga ilmu dan ajarannya
tersebut dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain (Tasmara,
1997:40). Sebagai pelaku dan penggerak dakwah, dai tak pelak lagi memiliki
kedudukan yang penting, bahkan sangat penting karena dai dapat menjadi penentu
keberhasilan dan kesuksesan dakwah.
Dai dalam proses komunikasi dakwah ini berperan sebagai komunikator.
Seorang komunikator yang baik atau seorang dai yang baik harus memiliki
kredibilitas.
Jalaludin
Rahmat
dalam
Hamdan
(2007:355)
menyatakan
komunikator dikatakan sebagai komunikator yang baik, ia harus memiliki
kredibilitas yang terdiri dari expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat
dipercaya). Pada bagian lain Jalaludin Rahmat menjelaskan mengenai
komunikator efektif, dimana komunikator yang efektif harus memiliki ethos,
mencakup kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas meliputi keahlian
dan kepercayaan. Keahlian artinya kesan komunikan tentang keahlian
komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Dai yang
dipercaya jamaahnya akan efektif komunikasinya. Sedangkan mereka yang tidak
memiliki kredibilitas, komunikasinya akan diabaikan jamaah. Dai akan dipandang
ahli oleh jamaah bila ia menunjukkan penguasaan materi ceramahnya sekaligus
juga memperlihatkan ketrampilan mengkomunikasikannya.
51
Kompetensi yang secara harfiah berarti kemampuan atau kesanggupan
maka kompetensi dai berarti kemampuan dan kecakapan yang harus dimiliki oleh
seorang dai agar mampu bekerja dan melaksanakan tugasnya dengan sebaikbaiknya sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam. Kompetensi ini
merupakan kumpulan dari berbagai kebiasaan dan kekuatan yang dimiliki seorang
dai, meliputi kekuatan intelektual (knowledge), ketrampilan (skill), sikap dan
moral (attitude), dan kekuatan spiritual (spiritual power) (Ismail & Hotman,
2013:77).
Peran serta dai sebagai komunikator dakwah dalam kehidupan masyarakat
dianalogikan sebagai seorang arsitek (arsitek sosial) atau juga sebagai seorang
dokter. Dai bukan seorang aktor panggung yang mengharapkan tepuk tangan dari
penonton dan juga bukan pemain sandiwara yang tujuannya hanya memberi
hiburan. Abdullah Nasih Ulwan (Ismail & Hotman, 2013:75) menyatakan bahwa
dai sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam harus memerankan
sekurang-kurangnya enam tugas atau misi, yaitu sebagai tutor, edukator, orator,
mentor, pembuka dialog, budayawan dan penulis.
2.5.2. Objek Dakwah (Mad’u)
Mad‟u adalah manusia yang menjadi mitra dakwah atau menjadi sasaran
dakwah atau manusia penerima dakwah baik secara individu, kelompok baik
yang
beragama Islam maupun tidak, dengan kata lain manusia secara
keseluruhan. Keberadaan mad‟u harus menjadi perhatian penting seorang dai.
Agar aktivitas dakwah berhasil, maka penting bagi dai untuk mengetahui
karakteristik mad‟u yang dihadapinya.
52
Menurut Ismail (2013:155-156) mengatakan bahwa kepentingan dakwah
itu berpusat pada apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (mad‟u), dan bukan
kepada apa yang dikehendaki oleh pelaku dakwah (dai). Dakwah harus
berorientasi kepada kepentingan mad‟u (mad‟u centred preachin), dan tidak
kepada kepentingan dai (dai centred preaching). Dengan paradigma baru ini, dai
perlu mengerti tentang aspek-aspek yang menjadi kebutuhan mad‟u dalam suatu
komunitas, termasuk tingkat kemampuan intelektual mereka, kondisi psikologis,
serta problematikan yang melingkupi kehidupan masyarakat di tempat dan zaman
mereka berada.
Klasafikasi objek dakwah (mad‟u) menurut beberapa ahli memiliki
bermacam kategori. Moh. Ali aziz dalam bukunya Ilmu Dakwah memberikan
klasifikasi mad‟u berdasarkan perspektif teologi, artinya yang menjadi mitra
dakwah atau mad‟u tidak hanya umat Islam tapi juga orang-orang non Islam.
Sedangkan melalui perspektif sosiologisnya, banyak hal yang menjadi acuan
tentang klasifikasi karakteristik mad‟u, misalnya berdasarkan jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, status sosial, umur dan lain sebagainya. Ismail (2013:173)
membaginya menjadi empat kategori, yaitu : sikap mad‟u terhadap seruan
dakwah, antusiasnya kepada dakwah, kemampuannya dalam menangkap pesan
dakwah dan kelompok mad‟u berdasarkan keyakinannya. Tentunya dengan
memperhatikan karakteristik mad‟u yang dihadapinya akan mempermudah dai
untuk menentukan materi dakwah yang akan disampaikan.
53
2.5.3. Pesan Dakwah
Pesan dakwah menurut Tasmara (1997:43) adalah semua pernyataan yang
bersumber dari Al Quran dan Sunnah baik tertulis maupun lisan dengan pesanpesan (risalah tersebut). Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
pesan dakwah memiliki arti perintah, permintaan, amanah yang harus dikerjakan
atau disampaikan kepada orang lain yang berorientasi kepada pembentukan
perilaku Islam. Secara garis besar, pesan dakwah terbagi menjadi dua, yaitu pesan
utama (Al Quran dan Hadis) dan pesan tambahan atau penunjang (selain Al Quran
dan Hadis). Sudah barang tentu Al Quran dan Hadis menjadi sumber utama pesan
dakwah, karena dari keduanya merupakan pokok ajaran Islam. Pesan tambahan
atau penunjang dapat berbentuk hasil penelitian ilmiah, kisah teladan, karya
sastra berupa puisi, pantun, lagu. Tentunya semuanya itu mengandung unsurunsur ajaran Islam.
Menurut Alin Yafie dalam Ilaihi (2010:102) menyatakan bahwa pesan
dakwah itu terbagi menjadi lime pokok, yaitu :
1.
Masalah Kehidupan
Pesan dakwah yang disampaikan meliputi dua jenis kehidupan, yaitu
kehidupan duniawi yang bersifat sementara dan kehidupan akhirat yang
bersifat abadi.
2.
Masalah Manusia
Pesan dakwah mengenai hak dan kewajiban manusia diantaranya hak hidup,
hak bertetangga, hak untuk menganut sebuah keyakinan serta memelihara
hubungan baik antar sesama manusia maupun hubungan manusia dengan
Allah.
54
3.
Masalah Harta Benda
Pesan dakwah lebih pada penggunaan harta benda untuk kehidupan manusia
dan kemaslahatan umat.
4.
Masalah Ilmu Pengetahuan
Pesan berupa ilmu pengetahuan yang disampaikan melalui tiga jalur, yaitu 1)
mengenai tulisan dan bacaan, 2) penalaran, dalam penelitian dan rahasiarahasia alam, 3) penggambaran dibumi seperti study tour dan ekspedisi
ilmiah.
5.
Masalah Akidah
Pesan utama dalam dakwah adalah masalah akidah yang memiliki ciri-ciri
yang membedakan dengan kepercayaan lain, yaitu: 1) keterbukaan melalui
syahadat, dengan demikian seorang muslim selalu jelas identitasnya dan
bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain, 2) cakrawala yang luas
dengan memperkanalkan bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam, 3)
kejelasan dan kesederhanaan seluruh ajaran akidah baik soal ketuhanan,
kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah dipahami, 4) ketuhanan antara
iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.
Sedangkan Romli (2013:30-32) mengatakan secara garis besar ajaran
Islam meliputi ajaran tentang sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan),
sistem ritus (tata peribadatan) dan sistem norma (tata kaidah atau tata aturan yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan
alam lain), yang diklasifikasi tentang Akidah/ Iman, Syari‟at/ Islam dan Akhlak/
Ihsan. Akidah, Syariat dan Akhlak dalam Islam merupakan satu-kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
55
Di bidang akidah, Islam mengajarkan kepercayaan atau keimanan terhadap
enam hal yang dikenal dengan sebutan Rukun Iman (Arkan al-Iman), yaitu
meliputi Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab-kitab
Nya, Iman kepada Rasul-Nya, Iman kepada Hari Akhirat, dan Iman kepada
Qodho dan Qodar.
Di bidang syariah meliputi tatacara beribadah yang meliputi hubungan
dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama manusia
(hablum minannas). Aspek syariah ini berkaitan dengan aspek amal ibadah yang
berkenaan dengan pelaksanaan hukum, beberapa perintah dan larangan Allah
SWT.
Di bidang akhlak mengajarkan pedoman sikap mental atau budi pekerti
dalam bergaul atau berhubungan dengan Allah SWT sebagai Tuhan, dengan
sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Bahkan bidang akhlak ini menjadi
sasaran inti misi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam sebuat haditsnya “Sesungguhnya aku diutus (Allah SWT) untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”.
2.5.4. Metode Dakwah Bil Lisan
Metode dakwah bil lisan adalah dakwah yang dilakukan secara lisan
secara langsung maupun menggunakan media. Bentuk dakwah bil lisan ini
diantaranya dapat diwujudkan dalam bentuk ceramah (monolog), diskusi,
khutbah, nasihat dan lain-lain. Metode ceramah ini sudah sering dilakukan oleh
pada dai, baik ceramah dimajelis taklim, khutbah jum‟at, khutbah hari besar
agama atau pengajian-pengajian. Ceramah yang dilakukan secara langsung
56
memiliki kelebihan yang dapat menyentuh langsung hati pengendarnya karena
sifatnya yang dari hati ke hati.
Metode dakwah merupakan unsur yang penting untuk diperhatikan dalam
kaitannya dengan objek dakwah yang majemuk. Hatta (1995:25) membagi
menjadi tiga metode penyampaian dakwah berdasarkan ayat Al-Nahl ayat ke 125
yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang baik”.
Tiga metode tersebut adalah bijaksana, pengajaran yang baik dan berdiskusi.
Penggunaan ketiga metode ini erat kaitannya dengan pengenalan dai terhadap
objek dakwah:
1.
Metode bijaksana (bil hikmah) dapat digunakan kepada semua objek dakwah
yang lebih menitikberatkan kepada taktik. Termasuk dalam pengertian ini
adalah kemampuan memilih saat harus bicara atau diam, lembut atau keras,
kemampuan dalam melakukan kontak pribadi, mencari titik persamaan,
kemampuan dalam memilih dan menyusun kata yang tepat, bijaksana dalam
tata kelakuan.
2.
Metode pengajaran yang baik (mau‟idzah) memberikan pengajaran dan
nasihat yang menyentuh akal dan rasa, sesuai dengan saat dan suasana objek
yang sedang dihadapi.
3.
Metode mujadala adalah berdiskusi atau bertukar pikiran dengan cara yang
baik, senantiasa memberikan kesempatan pada lawan diskusi untuk
mengemukakan pendapatnya. Dalam hal ini seorang dai ketika berdiskusi
harus mempunyai argumen dan hujjah (alasan) yang tepat dan kuat.
57
Menurut Shihab (1994:197-198) untuk menunjang tercapainya target yang
diinginkan dalam penyampaian materi dakwah maka al-Qur‟an menempuh
metode-metode sebagai berikut:
1.
Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan tujuan materi Kisah-kisah
dalam al-Qur‟an berkisar pada peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi
dengan menyebut pelaku-pelaku dan tempat terjadinya (seperti kisah-kisah
nabi), peristiwa yang terjadi dan masih dapat berulang terjadinya pada zaman
sekarang (seperti kisah pembunuhan Qobil terhadap Habil).
2.
Nasihat dan panutan. Al-Qur‟an juga mengemukakan kalimat-kalimat yang
menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang
dikehendakinya, seperti yang terdapat dalam (QS 31 : 13-19), tetapi nasehat
yang dikemukakannya itu tidak banyak manfaatnya jika tidak dibarengi
dengan contoh teladan dari pemberi/penyampai nasihat.
3.
Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan
manusia,
karena
kebiasaan
seseorang
mampu
melakukan
hal-hal
penting/berguna tanpa menggunakan “pembiasaan”, yang dalam prosesnya
akan menjadi kebiasaan sebagai salah satu cara yang menunjang tercapainya
target yang diinginkan dalam penyajian materinya, pembiasaan tersebut
menyangkut
segi-segi
pasif
(meninggalkan
sesuatu
ataupun
aktif
melaksanakan sesuatu).
Metode penyampaian dakwah yang paling tepat didasarkan pada problem
penerima dakwah, jadi metode ini harus fleksibel, dengan menganalogikan dengan
seorang dokter yang mengobati pasiennya, setelah penyakitnya diketahui
berdasarkan diagnosa, barulah ditentukan jenis obatnya.
58
2.6.
Retorika Dakwah
Retorika ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu rhetor
yang memiliki arti seorang juru pidato, yang mempunyai sinonim orator. Dalam
bahasa Arab disebut sebagai fannul khitabah. Menurut Amin (2009:171) retorika
adalah ilmu kepandaian berpidato atau teknik dan seni. Adapun retorika dakwah
merupakan kegiatan untuk menarik perhatian orang lewat kepandaian berbicara
khususnya didepan umum dalam menyampaikan ajaran Islam. Pengertian ini
termasuk juga kelancaran berbicara, kemahiran menyatakan suatu gagasan, dan
kepandaian mempengaruhi orang banyak.
Kepandaian retorika seorang dai sangat diperlukan sebab keahlian tersebut
dapat memotivasi audiennya untuk mengamalkan pesan dakwah yang
disampaikan. Penyampaian yang tidak memperhatikan aturan dan tata cara kaidah
retorika yang baik dapat mengakibatkan pesan dakwah yang disampaikan tidak
mengenai sasaran dan susah untuk dipahami oleh pendengar.
Dakwah secara lisan atau ceramah merupakan retorika monologika.
Dimana efektifnya suatu ceramah bergantung pada teknik berbicara yang
merupakan syarat penting yang perlu dikuasai dai. Selain dari teknik berbicara
perlu dilengkapi dengan susunan ceramah yang menarik serta langgam yang
sesuai dengan keadaan pendengar. Retorika merupakan teknik pemakaian bahasa
secara efektif, penggunaan kata-kata terpilih yang mempunyai daya pengaruh.
Kaidah retorika dalam aktivitas dakwah memang hal yang urgent untuk dipelajari
dan dikuasai oleh para juru dakwah (dai).
59
Aristoteles dalam Tasmara (1997:156) menyebutkan tiga cara untuk
mempengaruhi orang lain :
1.
Ethos, anda harus bisa dan sanggup menunjukan pada khalayak bahwa anda
memiliki pengetahuan yang luas dan status terhormat.
2.
Phatos, anda harus mampu menyentuh hati, khalayak (perasaan, emosi,
harapan, kebencian dan kasih peneliting mereka).
3.
Logos, anda harus menyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti.
Rahmat (2002:32-34) mengatakan terdapat tiga prinsip dalam penyusunan pidato
sebagai dasar dalam penyusunan materi dakwah agar menarik, yaitu :
1.
Kesatuan (unity) komposisi yang baik adalah merupakan kesatuan yang
utuh. Ini meliputi kesatuan dalam isi, tujuan dan sifat. Dalam isi maksudnya
adalah gagasan tunggal harus mendominasi uraian, mengenai tujuan harus
jelas, apakah tujuan pidato itu untuk menghibur, memberitahukan dan
mempengaruhi begitu juga sifat pembicara apakah serius, formal atau
bermain-main dengan mdemikian jelas apa yang akan disampaikan dalam
pidato tersebut.
2.
Pertautan-pertautan (coherency) ini menunjukan urutan bagian yang
berkaitan satu sama lain, pertautan menyebabkan perpindahan dari pokok
yang satu ke pokok yang lain secara lancar.
3.
Titik berat (emphasis), bila kesatuan dan pertautan membantu pendengar
untuk mengikuti dengan mudah jalannya pembicaraan, maka titik berat
menunjukan pada khalayak bagian-bagian yang penting untuk diperhatikan.
60
2.7.
Bahasa
Pengertian bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa
berfungsi sebagai alat berkomunikasi, alat untuk menyampaikan pesan yang
berupa ide atau gagasan yang ada didalam pikiran seseorang yang dituangkan
kepada komunikan. Bahasa memiliki kaitan yang erat dengan cara berpikir
seseorang, pola pikir seseorang dapat terlihat dari cara dia membahasakan segala
sesuatu hal. Bahasa merupakan sistem tanda yang terpenting dalam kehidupan
manusia.
Gaya bahasa secara umum adalah penggunaan bahasa sebagai media
komunikasi secara khusus dengan tujuan untuk pengungkapan ekspresi dari
pengucapan. Gaya bahasa meliputi seluruh unsur bahasa, berupa intonasi, bunyi,
kata dan kalimat.
Bahasa dan dakwah memiliki kaitan yang erat. Pesan dakwah bisa saja
tidak tersampaikan dengan baik karena kegagalan penggunaan bahasa yang tidak
sesuai dengan kondisi pendengar dalam penyampaiannya. Kesalahan dalam
bahasa oleh para dai bisa menyebabkan gagalnya dakwah itu sendiri. Suatu
perkataan yang sama belum tentu sesuai untuk semua kalangan pendengar dakwah
tersebut. Oleh karena latar belakang pendengarnya yang berbeda-beda sehingga
suatu ungkapan akan berbeda meski makna sesungguhnya sama.
61
2.8.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan fokus permasalahan dan tujuan dalam penelitian ini terdapat
dua konsep utama yang harus dijelaskan dalam kerangka pemikiran, yaitu konsep
mengenai pesan dan konsep mengenai gaya komunikasi dai dalam melakukan
salah satu aktifitas dakwah yaitu berceramah. Dai dalam perspektif komunikasi
berperan sebagai komunikator. Sebagai seorang komunikator dituntut memiliki
kredibelitas yang baik guna tercapainya tujuan dari proses komunikasi tersebut.
Segala yang diucapkan maupun yang tidak terucapkan memiliki arti tersendiri.
Dai yang melakukan ceramah harus memiliki kemampuan atau ketrampilan dalam
menyampaikan pesan agama kepada jamaah sehingga pesan itu sampai dengan
baik.
Tidak hanya dalam penguasaan materi yang perlu dikuasai dai, namun
juga harus memiliki kemampuan mengelola sebuah pesan agar pesan itu dipahami
oleh jamaah dan memiliki kemahiran dalam retorika (cara penyampaian). Plato
dalam Rahmat (2002) menyatakan bahwa retorika merupakan ilmu untuk merebut
jiwa manusia melalui kata-kata, melalui retorika seorang dai mampu
mengembangkan pokok bahasan, memiliki teknik untuk membuka dan menutup
ceramah yang baik serta memiliki ketrampilan dalam penyampaian pesan yang
baik.
Aktivitas dakwah (berceramah) adalah suatu aktivitas yang sudah
direncanakan, artinya kegiatan ceramah tersebut tidak terjadi dengan spontanitas,
bukan tanpa persiapan. Jadi segala pesan yang disampaikan dan cara penyampaian
pesan tersebut sudah melewati proses penyeleksian dengan berbagai pertimbangan
agar tujuan dari ceramah itu sendiri tercapai.
62
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran
Proses Komunikasi
Yang Dilakukan Dai
Gaya Pesan dan
Gaya Penyampaian
Analisis
Hermeneutika
Teknik Komunikasi
Yang Dilakukan Dai
Model Komunikasi
Yang Dilakukan Dai
Download