PUSAT PEMBINAAN KEAHLIAN DAN TEKNIK KONSTRUKSI BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN SUMBER DAYA MANUSIA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Jl. Abdul Hamid Cicaheum Bandung, 40193. Tlp. (022) 7206892 Fax. (022) 7236224 Dari Redaksi Jurnal kali ini masih mengetengahkan materi Mata Kuliah Umum Kedinasan yang berupa karya tulis ilmiah dari para karyasiswa program Magister Teknik kerjasama Pendidikan Pusbiktek BPKSDM Dep. PU dengan Perguruan Tinggi Mitra, Angkatan 2006. JURNAL PENDIDIKAN PROFESIONAL Diterbitkan Oleh Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi BPKSDM Departemen Pekerjaan Umum Penanggung Jawab/Pembina Ir. Iwan Nursyirwan Diar, Dipl. HE. Pananggung Jawab/Pengarah Dr. Ir. Nana Rukmana D. Wirapradja, MA. Pemimpin Redaksi Ir. Heriyadi Dwijoyanto, Dipl. HE. Wakil Pemimpin Redaksi RM. Bambang Ari Amarto, ST. Penyunting / Editor Ir. Yaya Supriyatna, M.Eng.Sc. Drs. Wiwies Wisusena Ir. Christian Handry Laihad, M.Pd. Kiagus Moch. Ali, ST, Sp. PSDA Beberapa tulisan tersaji dalam edisi kali ini diantaranya bertajuk ”Perbandingan Subway dan Busway Sebagai Angkutan Umum Perkotaan”, ”Penataan Bangunan Pada Kawasan Kumuh di Pesisir Pantai OEBA Kota Kupang”, ”Penanganan Kemacetan Lalu-lintas di Kota Abepura - Papua ”, ”Pemanfaatan Bambu Sebagai Bahan Alternatif pada Konstruksi Bangunan Sederhana”, ”Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Menjaga Ketersediaan Air Waduk pada Musim K e m a r a u ” , s e r t a ” P e n y e d i a a n R S H Ya n g Berkelanjutan”. Jurnal pendidikan profesional ini diterbitkan untuk memacu para karyasiswa dalam menyelesaikan tugas selama masa perkuliahan karena karya ilmiah yang disajikan dalam jurnal kali ini merupakan hasil penyeleksian tugas dari para karyasiswa tersebut. Akhirnya tim redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi semua pihak, sehingga jurnal pendidikan profesional ini dapat diterbitkan pada waktunya. Selamat membaca ! Redaktur Pelaksana Nugroho Wuritomo, ST, MT. Ir. Sudradjat, M.Eng. Asep Wardiman, SH, M.Pd. Wahyu Triwidodo, ST, M.Eng. Anjar Pramularsih, ST. Ero. S.Pd. Sekretariat NBR Noor Suarni, S.Sos. Iyan Hendrayanto, AMd. Ahmad Baharudin Alamat Redaksi Jl. Abdul Hamid, Cicaheum, Bandung 40193 Tlp:(022) 7206892. Fax: (022) 7236224 E-mail: [email protected] [email protected] Jurnal Pendidikan Profesional merupakan wahana komunikasi bagi seluruh stake holder Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi (Pusbiktek). BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum. Redaksi menerima sumbangan tulisan/artikel yang berkaitan dengan pendidikan profesional baik dari mitra kerjasama perguruan tinggi nasional, balai-balai, para profesional pendidikan, widyaiswara, karyasiswa dan segenap pihak pelaksana serta pemerhati pendidikan profesional. Tulisan disajikan dalam Ms. Word dilengkapi tabel, grafik, gambar, foto sesuai kebutuhan. Tulisan (satu eksemplar) hard copy dan disket disampaikan kealamat redaksi atau melalui e-mail : Jurnal @bdg.centrin.net.id (tulisan melalui e-mail, diharapkan mengirimkan draf melalui fax. ke no. 022 - 7236224). PEMANFAATAN BAMBU SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PADA KONSTRUKSI BANGUNAN SEDERHANA Gerson Pangajow, Howardi (*) ABSTRAK Manusia hidup pada hakekatnya membutuhkan kehidupan yang layak,baik sandang, pangan dan papan sehingga manusia itu sendiri mempunyai angan angan dan harapan, menginginkan suatu rumah yang kuat, kokoh dan sehat dengan harga yang murah. Tapi kenyataan rumah yang menjadi harapan tidak sesuai dari segi konstruksi tidak kokoh serta tidak sehat. Hal ini dapat kita lihat di pedesaan dan kepulauan yang jauh berbeda dengan perkotaan. Melihat kenyataan ini timbul gagasan dan konsep tentang “BAGAIMANA MENEKAN HARGA PEMBANGUNAN PADA SEKTOR IPU DI PEDESAAN DAN KEPULAUAN YANG PADA AKHIRNYA DAPAT MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LUAS” Memberikan pengetahuan bagi kita semua mengenai bambu. Bambu pada setiap daerah dikenal dengan nama masing-masing seperti Padang buluh, Menado, gorontalo bulu. Bambu banyak tumbuh dan tersedia dalam jumlah yang cukup dan perkiraan penulis dapat digunakan dalam waktu yang lama. Bambu yang kita lihat sehari-hari hanya dibiarkan begitu saja tampa ada penggunaan yang tepat. Penggunaan bambu yang tepat dalam pembangunan dapat menekan biaya pembanguan IPU itu sendiri. Ide ide diatas sekiranya dapat di implementasikan dalam penggunaan sektor IPU di pedesaan dan kepulauan yang ada jauh dari perkotaan. Sasaran yang penulis tuju saat ini ialah memberikan pengetahuan pada masyarakat seluasluasnya di pedesaan dan kepulauan tentang bambu. Kata kunci : Pemberdayaan bambu untuk kepentingan peningkatan IPU BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dalam banyak segi pembangunan yang ada di perkotaan baik pembangunan dengan menggunakan konstruksi rumit ataupun konstruksi sederhana penggunaan baja memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pekerjaan. Untuk daerah pedesaan atau kepulauan, baja sebagai bahan perkuatan untuk meningkatkan kekuatan dari konstruksi beton seringkali tidak dapat terjangkau dikarenakan harga yang mahal, akses dari pedesaan, kepulauan ke perkotaan untuk membeli baja sangat sulit diakibatkan sarana dan prasarana transportasi kurang memadai, sehingga membuat kesenjangan pembangunan dipedesaan, kepulauan terkebelakang jauh dari pembangunan di perkotaan. Kalau kita mau bijaksana, kita dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada, seperti bambu misalnya. Keuntungan yang bisa kita dapat yaitu dengan menekan biaya pembangunan, sementara disekitar kita dan bahkan diseluruh Indonesia bambu banyak terdapat dan tumbuh subur. Bambu yang ada hanya dibiarkan begitu saja tanpa ada penggunaan yang cukup bermanfaat. Pemanfaatan bambu untuk masyarakat hanya terbatas pada pembuatan pagar rumah, bilik bilik ataupun dijadikan perancah bangunan serta karya seni. Pemanfaatan bambu sekarang ini belumlah optimal disebabkan karena kekurangan pengetahuan, ketidaktahuan tentang bambu itu sendiri serta kekurangpercayaan untuk menggunakan bambu. Masih ada anggapan bahwa bangunan jenis bambu merupakan konstruksi masyarakat ekonomi bawah. Banyak hasil penelitian tentang bambu menyatakan bambu mempunyai kelebihan-kelebihan, keunggulan-keunggulan yang dapat kita gunakan dalam konstruksi bangunan. Banyak pengetahuan tentang bambu yang dapat disampaikan antara lain bambu bisa diawetkan, dijadikan tulangan sebagai perkuatan pada konstruksi bangunan sederhana yang belum diketahui atau memasyarakat. 1.2. Tujuan ? Mencari solusi penggunaan bambu pada masyarakat pedesaan dan kepulauan untk menekan biaya pembangunan konstruksi yang selama ini menjadi kendala dalam masyarakat pedesaan dan kepulauan. ? Mencari alternatif ketergantungan penggunaan tulangan baja dalam pembangunan konstruksi bangunan dipedesaan dan kepulauan agar supaya pembangunan sektor IPU tidakjauh tertinggal dari perkotaan. 1.3. Manfaat ? Menekan biaya pembangunan konstruksi bangunan akibat mahalnya harga baja di pasaran. ? Meningkatkan / memberikan pengetahuan yang sebesarbesarnya kepada masyarakat luas tentang manfaat bambu untuk mendukung IPU. 1.4. Pembatasan masalah Dalam penerapannya sekarang bambu telah banyak dipergunakan untuk berbagai hal baik sebagai kerajinan tangan ataupun untuk konstruksi bangunan. Dalam penulisan ini kami membatasi “penggunaan bambu dalam pembangunan konstruksi sebagai tulangan alternatif pengganti tulangan baja.” BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori Teori yang melandasi dalam penulisan ini mengacu kepada perencanaan struktur beton bertulang standar SNI T15-1991-03. Perlakuan struktur beton penulangan dengan bambu disamakan dengan perlakuaan struktur beton bertulang dengan tulangan baja. Kita mengetahui bahwa beton memiliki kekuatan terhadap tarik sangat kecil, oleh karena itu guna mengatasi kelemahan beton tersebut digunakan tulangan yang pada penulisan ini menggunakan tulangan bambu bada bagian tarik, sehingga menghasilkan beton bertulang. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 1 Gaya yang bekerja pada struktur beton akan ditahan oleh beton dan tulangan secara bersama-sama secara internal. Jadi diharapkan daya lekat yang tinggi antara tualangan dan beton. Jadi seolah-olah beton bertingkah laku sebagai material homogen. Sebagai balok homogen, nilai regangan pada serat beton maupun pada tulangannya adalah sama dan berbanding lurus dengan jarak sumbu netral, yaitu nol pada garis netral dan maksimum pada serat terluar. Karena regangan tekan beton pada setiap pembebanan adalah sama dengan dengan regangan tekan tulangan menurut teori elastisitas dapat ditulis εs = εc = fc f = s Ec Es Beban maksimum yang dapat dipikul oleh suatu struktur merupakan kekuatan batas yang merupakan besar daya pikul. Kekuatan batas dari suatu struktur beton bertulang yang dibebani secara kosentris dimana tercapai kondisi beton hancur dan tulangan meleleh dapat dihitung : Pn = 0 ,85. f c' Ac + f y As Beberapa metode dan tata cara yang juga melandasi penulisan ini antara lain : ? SK SNI M-104-1990-03 Metoda pengujian kuat tarik baja beton ? SK SNI T-28-1991-03 Tata cara pengadukan dan pengecoran beton ? SK SNI M-14-1989 Metode pengujian kuat tekan beton dengan f c = tegangan serat beton BAB III METODOLOGI f s = tegangan tulangan Ec = modulus elastisitas 3.1 Studi Literatur beton Ec = modulus elastisitas baja Perbandingan modulus elastisitas ini biasanya dinyatakan dengan nilai n (atau n = E s Ec ) yang menunjukan bahwa tegangan tulangan adalah n kali besar dari tegangan beton. f s = nfc Tegangan juga dirumuskan sebagai gaya dibagi luas penampang, dengan asumsi sebagai material homogen, gaya eksternal aksial P akan ditahan oleh beton dan tulangan secara bersama-sama, yang dapat dirumuskan menjadi : P = Ac f c + As f s P = Ac f c + As nf c P = (Ac + nAs )f c apabila At = Ac + nAs , maka P = (Ac + nAs )f c = At f c Rumus (Ac + nAs) ini dapat dinterprestasikan sebagai luas fiktif penampang beton At, yang disebut luas transformasi, yang apabila mengalami tegangan fc akan menghasilkan gaya aksial P yang sama besar dengan yang dihasilkan oleh penampang aktual yang terdiri atas beton dan tulangan. Luas transformasinya dapat ditentukan hanya dengan dengan menjumlahkan luas kotor penampang beton, Ag dengan (n 1)As, sehingga [ ] P = Ag + (n − 1)As f c 2 A. Karakteristik Bambu Tanaman bambu dapat ditemukan di indonesia sekitar 60 jenis, tetapi tidak semuanya merupakan tanaman asli indonesia. Tanaman bambu indonesia dapat ditemukan di daratan rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl. Pada umumnya ditemukan ditempattempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air. Adapun beberapa jenis- jenis bambu yang terpenting dan untuk tujuan tujuan konstruksi antara lain: a.Gigantochloa apus (bambu tali) b.Gigantochloa verticillata (bambu andong) c.Dendrocalamus asper (bambu petung) d.Gigantochloa atter (bambu hitam) e.Bambusa bambos (bambu duri) Sumber : Ir. K. H felix Yap (1983) Bambu adalah sejenis rumput yang tak berhingga (pereunisi grass) dengan batang batang yang berkayu (woody steam, culm), jadi anatominya sangat berbeda dngan kayu. Kolom bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sievetubes) Dransfield dan Widjaja (1995). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar. Susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecendrungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang. Sifat fisis dan mekanis merupakan informasi penting guna memberi petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter tebal daging bambu, posisi beban(pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Sifat fisis dan mekanis bambu telah diinformasikan Hadjib dan Karnasudirdja (1986). Pengujian dilakukan pada tiga jenis bambu, yaitu bambu andong (Gigantochloa verticillata), bambua petung (Gigantochloa verticillata) dan bambu hitam (Gigantochloa atter). Hasilnya menunjukan bahwa bambu hitam mempunyai berat jenis dan sifat kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan bambu petung dan bambu andong. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 Tabel 1. Nilai sifat fisis dan mekanis bambu Bambu hitam Kg/cm2 533.05 Bambu petung Kg/cm2 342.47 Bambu andong Kg/cm2 128.31 Modulus elastisitas 89152.5 53173.0 23775.0 3 Keteguhan tekan sejajar serat 584.31 416.57 293.25 4 Berat jenis 0.71 0.68 0.55 No Sifat Fisis dan Mekanis 1 Keteguhan lentur maksimum 2 Sumber : Hadjib dan Karnasudirdja (1986) Lain daripada kayu bambu mulai menyusut pada permulaan pengeringan. Penyusutan ini tidak kontinu, ukuran ukuran tidak berobah banyak antara suatu kadar lengas dari kira-kira 70 % sampai titik jenuh serat. Titik jenuh serat bambu adalah 20 30 %. Bambu yang masih muda lebih bersifat lengas dari bambu yang dewasa. Kadar lengas dalam suatu batang berubah- ubah dengan tingginya, bagian yang lebih bawah selalu lebih banyak lengas daripada atasnya. B. Pengawetan Bambu Keawetan bambu alam sangatlah rendah, maka untuk memanfaatkan bambu secara optimal memerlukan pengawetan. Metode pengawetan lebih dahulu dilihat dari segi pemanen bambu tersebut. Pemanenan bambu antara lain dengan metode pemanenan tebang habis dan tebang pilih. Pada metode tebang habis, batang bambu ditebangswmuanya baik dari yang muda sampai ke yang dewasa, sehingga kualitas bambu bercampur. Selain itu metode ini berpengaruh dari segi perebungan dan dapat menggangu kelangsungan hidup bambu tersebut. Metode tebang pilih merupakan metode pemanenan bambu dengan menebang batang-batang bambu berdasarkan umur tumbuhnya. Metoda ini dikembangkan dengan dasar pemikiran adanya hubungan batang bambu yang ditinggalkan dengan kelangsungan sistem perebungan. Setelah pemilihan cara pemanenan yang baik maka untuk menambah kekuatan bambu tersebut sebaiknya diawetkan, Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara merendamnya didalam air mengalir, air tenang, lumpur atau air asin dan pengasapan. Proses proses perendaman ini dapat mengawetkan bambu dari serangan serangga tetapi tidak dari serangan jamur. Sehingga pada perendaman diperlukannya zat kimia yang dapat menambah keawetan dari bambu. Cara tradisional yang merupakan cara kimiawi mempergunakan bahan pengawet yang bukan bahan pengawet lazim dijual di pasaran. Biasanya dalam praktek bambu direndam bersama : 1. Dikapur 2. Diter 3. Digabung keduanya Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan, sekarang ini sistem pengawetan bambu dapat mempergunakan bahanbahan pengawet yang ada dipasaran yang dapat lebih menambah kekuatan dari bambu tersebut. Beberapa masyarakat telah melakukan pengawetan dengan menggunakan boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau pengasapan dengan belerang. Penelitian pengawetan bambu dengan menggunakan pestisida pengawet kayu telah dimulai oleh Martawijaya (1964), dan hasilnya bahwa bambu dapat diawetkan dengan mudah dan memiliki retensi yang lebih baik. Selain itu penggunaan senyawa boron dalam pengawetan bambu oleh Supriana (1987) dan juga menggunakan bahan pengawet dengan cara rendaman dingin menggunakan larutan asam borat dan boraks (boric acid equivalen) 10% dan larutan wolmanit CB 10% dilakukan oleh abdurrochim (1982). Selanjutnya guna menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan dan mempermudah pengerjaan lebih lanjut dibutuhkan proses pengeringan. Kekuatan bambu juga akan bertambah dengan bertambah keringnya bambu. Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hatihati, karena apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban berfluktuasi akan menyebabkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap. Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying), pengasapan, pengeringan dengan energi tenaga surya atau kombinasi dengan energi tungku, dan pengeringan dalam dapur pengering. Pengeringan dalam ruangan perlu dijaga kesimbangan suhu dan kelembabannya, agar kualitas pengeringan bambu dapat terjaga. Pada malam haripun diperlukan suplai energi kedalam ruangan pengeringan tenaga surya. Dari hasil penelitian dan pengujian terhadap bambu didapatkan hasil: 1. Kekuatan tarik (tegangan patah untuk tarikan) : 1000 4000 kg/cm2 2. Kekuatan tekan (tegangan patah untuk tekanan) ; 250 1000 kg/cm2 3. Modulus kekenyalan (untuk tarikan) : 100.000 300.000 kg/cm2 Pengujian juga menunjukan kekuatan dan modulus kekenyalan bagian luar lebih besar daripada bagian dalam. Untuk sementara kita dapat mengambil : 1. tegangan izin tarik : 300 kg/cm2 2.Tegangan izin tekan : 80 kg/cm2 3.Tegangan izin lentur : 100 kg/cm2 4.modulus kenyal untuk tarikan dan tekan : 200.000 kg/cm2 5.Batang tertekan yang dihitung menurut rumus tekuk Enler dan diambil fator keamanan n = 4 Sumber : Ir. K. H felix Yap (1983) Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 3 Bambu memiliki berat jenis berkisar antara 0,6 0,9 kg/cm3. Seperti yang disebutkan literatur diatas untuk meningkatkan kekuatan dan keterawetan bambu dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.penggunaan racun dan senyawa senyawa kimia special. 2.pengucilan atau fiksasi pati dan albumen yang mengkibatkan kerusakan oleh serangan yang merusak. 3.efek permanen atau sementara daripada gas. 4.pengawasan terhadap kerusakan dengan cara menyerap lengas dan bakteria dalam udara. 5.pengecatan atau pelapisan 6.pengeringan. Tabel 3 Analisis permasalahan dengan jaringan SWOT Kekuatan Batang bambu kuat, keras Bahan lurus dan rata bahan mudah dibelah, dibentuk dan dikerjakan Struktur ringan Kelemahan Variasi dimensi dan ketidak seragaman panjang ruasnya Kekuatan setiap jenis bambu tidak sama Kekurangawetan Penyerapan air yang tinggi 3.2 Metode Pendekatan Metode pendekatan permasalahan untuk melihat dan menentukan apakah bambu dapat digunakan sebagai tulangan pada konstruksi beton menggantikan tulangan baja yang selama ini menjadi bahan perkuatan. Hal hal penyebab belum digunakannya (terapkan) bambu pada konstruksi beton. Melalui analisis faktor faktor strategi external dan internal dengan cara memberi bobot dan rating serta perkalian bobot dan rating untuk setiap faktor pada peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan. Hasil yang diperoleh adalah antara urutan rangking setiap faktor yang telah disusun. Rangking tersebut selanjutnya digunakan untuk menyusun strategi strategi pada analisa SWOT 3.3 Analisa Penyelesaian Analisa pemecahan masalah “ Kajian Penggunaan Tulangan bambu Pada Konstruksi Bangunan Sederhana “ dengan menggunakan analisa SWOT setelah ditentukan faktor faktor penentu solusi dengan metode analisa jaringan. Tabel 2 faktor faktor penyebab masalah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembahasan Hasil analisa SWOT diperoleh opsi untuk penentuan solusi yang dapat dilakukan sebagai alternatif pemecahan masalah, faktor-faktor yang menentukan yaitu : 4 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 1.Biaya 2.Kemungkinan berhasil 3.Ketersediaan bahan 4.Waktu pengerjaan 5.Dampak sosial Berikut ditentukan solusi dengan menggunakan metoda analisa jaringan untuk skala pilihan : 1.Murah ( untuk biaya) 2.Kecil / Tinggi (untuk kemungkinan berhasil) 3.Lama / singkat ( untuk skala waktu pengerjaan) 4.Kurang / banyak (untuk skala ketersediaan bahan) 5.Besar / kecil (untuk dampak sosial) Berikut adalah opsi yang akan dipilih : 1.Mengenalkan kepada masyarakat model konstruksi beton dengan menggunakan tulangan. 2.Merancang contoh model konstruksi beton/bangunan dengan menggunakan tulangan bambu. 3.menggalang minat masyarakat untuk memanfaatkan bambu dalam pembangunan konstruksi. 4.mempersiapkan teknologi, pengolahan, produksi bahan bambu 5.memberdayakan industri lokal dalam hal pengolahan pengawetan dan produksi bambu 6.mensosialisasikan penerapan standar konstruksi bambu pada masyarakat. 7.optimalkan bahan bambu disekitar kita untuk menekan biaya. Tabel 4 Penentuan solusi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisa kami mengenai pemanfaatan bambu dapat disimpulkan : 1.hasil studi literatur bambu mempunyai nilai ekonomis dan kuat yang dapat dikembangkan oleh masyarakat dalam pembangunan konstruksi yang selama ini belum digunakan. 2.kekurangan pengetahuan masyarakat tentang bambu sehingga masyarakat belum memberikan pilihan menggunakan bambu dalam pembangunan IPU. 3.bambu dapat menunjang pembangunan IPU asal dengan pengelolaan yang baikdan benar. 5.2 Saran Pada penulisan ini kami sarankan : 1.Perlu mengoptimalkan penggunaan bambu untuk meninggkatkan IPU dengan cara mensosialisasikan pada masyarakat secara luas khususnya di pedesaan dan di kepulauan. 2.perlu adanya standarisasi kekuatan bambu untuk digunakan dalam konstruksi bangunan untuk memberikan dampak ekonomis bagi masyarakat. 3.perlu adanya pedoman pelaksanaan (NSPM) bambu pada penggunaan konstruksi bangunan. 4.2 Hasil Analisa Dari tabel analisa matriks pemecahan masalah menghasilkan beberapa keuntungan penggunaan bambu : 1.Bambu dari segi biaya sangatlah murah. 2.Kemungkinan bambu digunakan dalam pembangunan konstruksi pengganti tulangan baja cukupbesar. 3.Bambu diperoleh dan di produksi dengan mudah. 4.Memberikan dampak ekonomis bagi masyarakat dalam menekan biaya pembangunan konstruksi. (*) Karyasiswa Program Magister Teknik Teknologi Bahan Bangunan Angkatan 2006, Kerjasama Pendidikan PUSBIKTEK - UGM Yogjakarta. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 5 Perbandingan Subway dan Busway Sebagai Angkutan Umum Perkotaan Y. Ronny Priyo Anggodo, Martin Kahpiasa (*) ABSTRAK Untuk mengimbangi dan menekan laju pertumbuhan angkutan pribadi harus dilakukan perbaikan sistem angkutan umum berdasarkan kemampuan angkut yang besar, kecepatan yang tinggi, keamanan dan kenyamanan perjalanan yang memadai dan karena digunakan secara masal haruslah dengan biaya perjalanan yang terjangkau. Jadi harus ada sistem transportasi baru yang tidak terikat oleh jalan raya yang memenuhi semua persyaratan itu Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membandingkan dan melihat perbedaan karakteristik subway dan busway ditinjau dari beberapa aspek seperti biaya, pembanguanan/kontruksi, kapasitas penumpang dan sosial. Dari perbandingan ini selanjutnya akan dapat diketahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum diputuskan pengembangan subway atau busway Jika dibandingkan secara ekonomis, busway relatif lebih murah daripada subway karena tidak memerlukan biaya penggalian (excavation) dan tidak memerlukan jaringan rel yang mahal. Biaya pembangunan busway dapat lebih murah 100 kali lipat dibandingkan dengan subway (GTZ, Mass Transit Option 2005). Infrastruktur busway lebih sederhana sehingga sistem ini dapat dibangun dalam waktu yang lebih singkat sedangkan infrastruktur subway lebih rumit dan biasanya memerlukan waktu konstruksi lebih lama. Sistem busway memberikan pengaruh sosial yang positif. Kaum berada dan kaum miskin bersama-sama dapat menggunakan fasilitas bus hal ini menunjukkan bahwa busway tidak hanya merupakan suatu sistem transportasi namun juga merupakan sebuah sarana pengalaman sosial. Setelah membandingkan subway dan busway secara umum dapat disimpulkan bahwa di negara berkembang umumnya busway lebih disukai jika ditinjau dari beberapa aspek seperti biaya, pembangunan/konstruksi, kapasitas penumpang dan aspek sosial. Namun sistem transportasi yang cocok untuk suatu kota sebenarnya tergantung pada konsisi daerah tersebut dan mungkin merupakan suatu gabungan dari beberapa system transportasi 6 1. PENDAHULUAN 1.1. Umum Transportasi secara umum berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah darat. Transportasi terdiri dari moda transportasi darat, laut dan udara. Sampai saat ini baik di daerah urban maupun sub-urban mobil pribadi masih tetap merupakan moda transportasi yang dominan. Hal ini sejalan dengan pembangunan ekonomi dimana jumlah masyarakat golongan ekonomi menengah keatas makin meningkat terutama di daerah perkotaan. Keamanan, kenyamanan, privasi, fleksibilitas pergerakan dan prestise merupakan faktor-faktor utama yang menjadi alasan mengapa kendaraan pribadi lebih disukai sebagai moda transportasi di perkotaan. Sementara itu di kebanyakan kota besar di Indonesia Sistem Angkutan Masal Perkotaan (SAUM) yang modern masih dalam tahap perancangan dan belum berada pada jalur utama (mainstream) kebijakan utama pemerintah dalam rangka menciptakan suatu sistem transportasi yang berimbang, efisien dan berkualitas. 1.2. Latar Belakang Sarana angkutan di daerah perkotaan kian bertambah, namun pertambahan jumlah sarana angkutan tersebut tidak sebanding dengan pertambahan prasarana jalan. Hal ini menyebabkan kemacetan terutama pada jam-jam sibuk di hampir semua bagian kota. Disisi lain, lahan yang tersedia untuk pembangunan jalan semakin terbatas. Sehingga jika pembangunan prasarana jalan tetap menjadi pilihan maka penggusuran dan pembongkaran sejumlah bangunan tetap saja tidak dapat dihindarkan. Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah sosial yang pada pelaksanaannya akan mengakibatkan pembengkakan biaya pembangunan, padahal tidak ada jaminan pembangunan jalan tersebut akan mengatasi kemacetan lalu lintas secara maksimal. Untuk mengimbangi dan menekan laju pertumbuhan angkutan pribadi harus dilakukan perbaikan sistem angkutan umum berdasarkan kemampuan angkut yang besar, kecepatan yang tinggi, keamanan dan kenyamanan perjalanan yang memadai dan karena digunakan secara masal haruslah dengan biaya perjalanan yang terjangkau. Jadi harus ada sistem transportasi baru yang tidak terikat oleh jalan raya yang memenuhi semua persyaratan itu. Pada beberapa kota besar prioritas harus diberikan pada sistem angkutan umum yang massa, cepat , sesuai daya beli masyarakat dan menarik untuk digunakan. Karena biaya investasi mahal angkutan umum massa harus diterapkan hanya untuk koridor utama dengan perkiraan jumlah penumpang lebih dari 30.000 - 40.000 orang/arah/jam (Ofyar Z. Tamin, 2000). 1.3. Ruang Lingkup Alternatif pengambangan Sistem Angkutan Umum Massa (SAUM) untuk mengatasi masalah-masalah diatas antara lain adalah Busway (Bus Rapid Transit System) dan Subway (Mass Rapid Transportation System). Dalam makalah ini pembahasan dititik beratkan pada dua moda transportasi tersebut. Kedua moda transportasi ini dipilih karena di kotakota besar dunia kedua moda transportasi ini menjadi pilihan utama disamping Tram (Light Weight Transportation System). Dan untuk melihat perbedaan antara dua moda Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 TRANSPORTASI transportasi itu peninjauan yang dilakukan adalah dari aspek biaya, pembangunan/konstruksi, kapasitas dan sosial 1.4. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membandingkan dan melihat perbedaan karakteristik subway dan busway ditinjau dari beberapa aspek seperti biaya, pembanguanan/kontruksi, kapasitas penumpang dan sosial. Dari perbandingan ini selanjutnya akan dapat diketahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum diputuskan pengembangan subway atau busway. Pengembangan sebuah sistem tranportasi perkotaan yang tepat akan menggerakkan roda perekonomian, masyarakat akan tertarik untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan sistem transportasi tersebut dimana hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan. Disisi lain dengan peningkatan kondisi ekonomi maka masalahmasalah sosial juga akan berkurang sehingga secara tidak langsung hal ini juga akan memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Pribadi Rapid Transit Mass Rapid Transit 1.5. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah, diharapkan dapat menjadi masukan untuk melihat faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pengembangan moda transportasi perkotaan khususnya busway dan subway. 1.6. Metodologi Penulisan makalah ini dilakukan setelah melakukan kajian literatur. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari beberapa buku literatur dan internet. Asisensi dengan dosen pembimbing di kelas sekaligus juga merupakan wawancara dengan pakar transportasi yang merupakan bagian dari penulisan makalah ini. 2. KARAKTERISTIK SUBWAY DAN BUSWAY 2.1.Transportasi Perkotaan Seperti di negara berkembang lainnya berbagai kota besar di Indonesia berada dalam tahap pertumbuhan urbanisasi yang tinggi akibat laju pertumbuhan ekonomi, sehingga kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakan menjadi semakin meningkat. Mobil sebagai kendaraan pribadi sangat menguntungkan, terutama dalam hal mobilitas pergerakan. Tetapi penggunaan kendaraan pribadi juga dapat menimbulkan beberapa efek negatif yang tidak dapat dihindari. Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi mengakibatkan peningkatan perusakan kualitas hidup, terutama di daerah pusat perkotaan, kemacetan dan tundaan pada beberapa ruas jalan, dan polusi lingkungan baik suara maupun udara. Tipikal jenis transportasi di perkotaan adalah sebagai berikut: Umum Subway Bus Minibus/ angkot Light Rapid Transit Monorail Bus Rapid Transit Ojeg Busway Paratransit Dedicated Lane Tram Gambar 1 Moda Transportasi Perkotaan Pada makalah ini pembahasan difokuskan pada dua moda transportasi yaitu, busway dan subway. 2.2. Subway Subway atau Metro pada umumnya diartikan sebagai kereta api bawah tanah akan tetapi pada kenyataannya Subway dapat diartikan sebagai jalur kereta api dalam kota yang memiliki ketinggian jalur berbeda dengan jalur kereta api biasa (grade separated inner-city railway). Jalur dan kereta api listrik yang digunakan menyerupai kereta api listrik biasa, namun memiliki jarak stasiun pemberhentian yang lebih dekat. Umumnya kereta api yang digunakan memiliki 6 8 gerbong. Di negara berkembang tipikal panjang jaringan subway adalah sekitar 20 100 km. Kebanyakan kota-kota besar negara barat telah memiliki jaringan subway selama puluhan tahun, dan saat ini banyak negara berkembang yang telah dan mulai mengembangkan jaringan subway. Kereta yang digunakan dalam jaringan subway umumnya cukup panjang dan dapat memuat penumpang berdiri dalam jumlah yang banyak, di beberapa kota jumlah penumpang dalam satu rangkaian kereta dapat mencapai 3000 orang. Jika interval waktu antar rangkaian kereta (headways) cukup pendek, total arus penumpang per-jam akan sangat tinggi melebihi moda transportasi lainnya.. Satu kendala utama dalam penyediaan jaringan subway adalah biaya investasi yang sangat tinggi. Meskipun sangat mahal, subway banyak memberikan keuntungan terutama dalam hal angkutan masal cepat. Subway tidak mengganggu lalu lintas lainnya, bebas pencemaran udara dan suara karena dijalankan dengan listrik. Oleh karena itu subway dianggap tidak merusak keasrian kota dan relatif tidak memerlukan segala jenis pembongkaran dan ganti rugi tanah. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 7 Sekitar tahun 1995 Pemda DKI Jakarta pernah merencanakan untuk membangun sebuah jaringan subway. Gubernur Jakarta saat itu bersama dengan konsorsium multinasional telah membuat sebuah Memorandum of Understanding (MoU) tentang penyusunan rencana dasar angkutan masal. Subway ini direncakan menghubungkan Blok M Jakarta Kota sepanjang 14,5 km dengan perkiraan biaya keseluruhan proyek 1,5 milyar dolar AS. Namun karena berbagai krisis yang melanda Indonesia akhirnya proyek ini tidak dilanjutkan. 3. ANALISIS MASALAH 3.1. Aspek Biaya Jika dibandingkan secara ekonomis, busway relatif lebih murah daripada subway karena tidak memerlukan biaya penggalian (excavation) dan tidak memerlukan jaringan rel yang mahal. Biaya pembangunan busway dapat lebih murah 100 kali lipat dibandingkan dengan subway (GTZ, Mass Transit Option 2005). Demikian juga dengan infrastruktur yang digunakan, pembangunan sebuah stasiun busway di Quito Equador membutuhkan biaya 35.000 dolar AS, sedangkan sebuah stasiun subway di Porto Alegre yang melayani jumlah penumpang yang setara membutuhkan biaya 150 juta dolar AS. Lebih lanjut lagi dengan nilai investasi yang sama busway dapat melayani 100 kali area pelayanan subway. Sebuah kota dengan anggaran yang hanya cukup untuk membangun satu kilometer sistem subway dapat membangun 100 km sistem subway dengan biaya yang sama. Biaya investasi yang diperlukan meliputi biaya pererncanaan dan biaya konstruksi. Biaya ini tergantung dari tinggi perbedaan elevasi, panjang jalur, kondisi geologi, harga barang dan upah buruh serta faktor lainnya. Biaya investasi subway pada beberapa kota adalah seperti disajikan pada Tabel 1 sedangkan pengaruh perbedaan ketinggian (elevasi) terhadap biaya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Biaya investasi system subway pada beberapa kota Gambar 2 Subway 2.3. Busway Busway adalah lajur jalan yang direncanakan untuk digunakan secara exclusif oleh bus. Konstruksi lajur ini dapat sejajar, diatas atau dibawah permukaan tanah. Lokasi lajur khusus ini dapat terpisah atau menyatu dengan lajur lalu lintas lainnya (GTZ, Mass Transit Option 2005) Busway pertama kali dikembangkan di kota Curitiba, Brazil pada awal 1970. Sistem busway ini merupakan salah satu sistem yang paling berhasil di dunia sehingga banyak menginspirasi negara lain untuk membuat sistem yang serupa. Di kota ini jaringan sistem busway membentang sepanjang 57 km dan didukung oleh 340 km lajur pengumpan (feeder route). Sementara jaringan busway di kota Sao Paulo, Brazilia kemungkinan adalah jaringan busway terbesar yang melayani jaringan sepanjang 137 km dan masih terus dikembangkan.. Di Jakarta, busway dibangun sekitar tahun 2004. Koridor I menghubungkan Blok M Jakarta Kota sepanjang kurang lebih 13.5 km. Saat ini telah dikembangkan dua koridor lainnya yaitu koridor 2 Pulo Gadung Kalideres. Di Indonesia bus yang digunakan adalah Bus bermesin diesel dengan kapasitas penumpang 85 orang. Sumber: UTSR 2001; Allport 2000; GTZ 2001 Tabel 2 Pengaruh beda ketingian konstruksi terhadap biaya Sumber:Allport 2000 Gambar 3 Busway di Jakarta 8 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 Dari Tabel 1 dan 2 diatas terlihat bahwa subway memerlukan biaya yang besar terutama apabila konstruksi ada di bawah tanah. Pada Tabel 4 juga ditampilkan biaya investasi dan biaya operasi subway di beberapa negara dari sumber yang berbeda. Tabel 3 Biaya Investasi, Kebutuhan Penumpang (Passanger Demand) dan Biaya Operasi per penumpang pada sistem subway di beberapa negara 3.3. Aspek Kapasitas Penumpang Ada sebuah persepsi yang menyatakan bahwa busway tidak dapat melayani penumpang dalam jumlah besar, namun pada kenyataannya di Columbia dan Brazil, busway dapat melayani jumlah penumpang antara 20.000 35.000 penumpang per jam per arah. Perbandingan kapasitas subway dan busway pada beberapa kota ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 4 Kapasitas penumpang subway dan busway di beberapa kota Catatan: 1. Nilai/angka diambil dari Fouracre et al, 1990 2. Biaya operasi termasuk biaya penyusutan/depresiasi alat, tapi tidak termasuk initial capital cost repayment Pembangunan jaringan subway di Hongkong membutuhkan dana per km sebesar 131 juta dolar AS sedangkan di Rio De Jeneiro dan Sao Paulo membutuhkan dana per km lebih dari 80 juta dolar AS (Fouracre et al, 1990). Selain itu tingginya biaya pembelian serta pemeliharaan peralatan berteknologi tinggi juga merupakan kendala, biaya operasi total per kilometer- penumpang berkisar antara 1,6 6,4 sen dolar AS, sebagai perbandingan biaya operasi bus berkisar 1,1 2,0 sen dolar per kilometer-penumpang (Fouracre et al, 1990) 3.2.Aspek Pembangunan/Konstruksi Pada umumnya proyek perencanaan dan pembangunan busway lebih cepat dibandingkan subway. Proses perencanaan busway umumnya memerlukan waktu satu tahun dengan biaya sekitar 400.000 2 juta dólar AS. Karena biaya yang diperlukan relatif rendah maka proses pembiayaan umumnya juga lebih mudah. Sebagai contoh pada akhir tahun 2001 pemerintah DKI Yakarta memutuskan untuk membuat sebuah sistem busway maka pemerintah dapat dengan cepat mengalokasikan dana yang dibutuhkan dari anggaran rutin pembangunan kota. Demikian juga secara fisik, infrastruktur busway lebih sederhana sehingga sistem ini dapat dibangun dalam waktu yang lebih singkat secara tipikal kurang dari 18 bulan. Sedangkan infrastruktur subway lebih rumit dan biasanya memerlukan waktu konstruksi lebih dari 3 tahun. Dalam hal fleksibilitas untuk pengembangan dan adaptasi terhadap perubahan perkembangan kota, busway lebih bersifat fleksibel dibandingkan subway. Pengembangan dan penyesuaian jalur subway akan sangat mahal dan kompleks. Kota-kota yang memiliki sistem transportasi subway harus senantiasa mencari inovasi untuk mengatasi kebutuhan pengembangan sistem transportasi Sumber: Lloyd Wright; GTZ; from various sources, 2001 Pada Tabel 5 terlihat bahwa busway dapat mengangkut jumlah penumpang dalam jumlah cukup besar bahkan lebih dari 30.000 penumpang per jam per arah, Namun tentu saja tidak dapat menyamai subway di Hongkong yang kapasitasnya mencapai 81.000 penumpang/jam/arah. Kapasitas penumpang tidak hanya ditentukan oleh moda transportasi tapi juga teknik yang digunakan saat penumpang naik (boarding) atau turun. Kota London dan New York dengan kepadatan penduduk sedang, penduduknya sangat menyukai moda transportasi subway, namun pada jam sibuk jumlah penumpang yang diangkut hanya sekitar 20.000 30.000 penumpang/jam/arah. Hal ini terjadi karena pada sistem subway digunakan beberapa jalur (multiple lines) untuk mendistribusikan penumpang sehingga tidak terjadi kepadatan yang berlebih. Sebaliknya di Hongkong dan Sao Paulo kapasitas yang tinggi terjadi karena keterbatasan jumlah lajur. Hal ini umumnya terjadi karena keterbatasan kondisi geografi atau karena keterbatasan dana. Namun baik pada busway maupun subway, kapasitas sebaiknya dibatasi, jika kapasitas melebihi 50.000 penumpang/jam/arah maka akan menimbulkan ketidaknyamanan serta terkadang mengurangi keamanan. 3.4. Aspek Sosial Dalam laporan World Bank “Urban Transport Strategy” (allport 2001) disebutkan bahwa ada satu dilema dalam penentuan kebijakan dalam pengembangan angkutan umum massa di negara berkembang. Adalah suatu konflik antara pertimbangan keberpihakan pada kaum miskin, dimana Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 9 pelayanan yang murah dan terjangkau adalah suatu hal yang kritis. Atau lebih berpihak pada para pemakai kendaraan roda 4 yang lebih mengutamakan kualitas pelayanan. Hal diatas tidak sepenuhnya benar, beberapa kasus di Curitiba, Bogota, Sao Paulo dan Quito menunjukkan bahwa sistem busway di kota-kota negara berkembang dapat menyediakan pelayanan yang baik untuk masyarakat kelas atas dan bawah serta masih menguntungkan walaupun harga tiket relatif rendah. Sebaliknya karena jangkauan subway lebih terbatas maka umumnya tidak dapat menjangkau kaum miskin yang tinggal jauh di pinggiran kota dimana biaya permukiman rendah. Kaum miskin di perkotaan membelanjakan sekitar 30% dari pendapatannya untuk kebutuhan transportasi, mereka umumnya tinggal dipermukiman murah di pinggiran kota yang tidak terjangkau oelh sistem subway. Satu hal lagi yang penting, dana masyarakat yang tidak dikeluarkan untuk pembuatan jalan raya atau rel subway dapat digunakan untuk program peningkatan kesehatan, pendidikan dan peningkatan kualitas hidup kaum miskin di perkotaan. Satu contoh sistem busway yang berhasil adalah di Bogota, dimana sistem busway memberikan pengaruh sosial yang positif. Kaum berada dan kaum miskin bersama-sama dapat menggunakan fasilitas bus hal ini menunjukkan bahwa busway tidak hanya merupakan suatu sistem transportasi namun juga merupakan sebuah sarana pengalaman sosial. DAFTAR PUSTAKA 1.Gardner, G; Kuhn, F; Appropriate Mass Transit in Developing Country; Transport Research Laboratory; Crowthorne Berkshire United Kingdom, 1990 2.Lloyd Wright (Institute for Transportation and Development Policy) and Karl Fjelstrom (GTZ); Mass Transit Option; Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbelt (GTZ) GmbH, Germany; July 2005. 3.Majalah Pekerjaan Umum, Edisi Khusus 0910/TH.1995/1996/XXVIII 4.Ofyar Z. Tamin; Perencanaan dan Pemodelan Transportasi; ITB Bandung; 2000 5.Thomson, J.M; Allport, R J; Fouracre P. R; Rail Mass Transit in Developing Cities; Transport Research Laboratory; Crowthorne Berkshire United Kingdom 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Setelah membandingkan subway dan busway secara umum dapat disimpulkan bahwa di negara berkembang umumnya busway lebih disukai jika ditinjau dari beberapa aspek seperti biaya, pembangunan/konstruksi, kapasitas penumpang dan aspek sosial. Namun sistem transportasi yang cocok untuk suatu kota sebenarnya tergantung pada konsisi daerah tersebut dan mungkin merupakan suatu gabungan dari beberapa system transportasi. Busway tidak selalu menjadi solusi transportasi yang terbaik. Jika arus penumpang sangat tinggi dan ruang untuk busway terbatas maka subway atau moda transportasi lain mungkin lebih tepat untuk diterapkan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk pemilihan sistem transportasi adalah biaya investasi. (*) Karyasiswa Program Magister Teknik Pengelolaan Jaringan Jalan Angkatan 2006, Kerjasama Pendidikan PUSBIKTEK - UNPAR. 4.2. Saran Dalam pemilihan jenis Mass Rapid Transit perlu memperhatikan faktor kondisi geografis, kondisi keuangan, kapasitas penumpang, fleksibilitas, pengaruhnya terhadap lingkungan serta pengaruh terhadap pengembangan kota selanjutnya. 10 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 PENYEDIAAN RSH YANG BERKELANJUTAN ( Relokasi warga Bantaran Sungai Karang Mumus ) Agus Supriyanto, Nana Fitriyadi (*) Abstrak. Sungai sebagai sumber daya air dapat pula digunakan sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, angkutan sungai, sumber perikanan, obyek wisata dan lainnya. Namun dalam perjalanan waktu ,fungsi tersebut mengalami penurunan sejalan dengan perkembangan perkotaan, Bertambahnya jumlah penduduk diperkotaan akibat urbanisasi menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan permukiman, disisi lain tingginya harga tanah untuk permukiman yang tersedia sangat tidak terjangkau oleh masyarakat, untuk mengatasi hal tersebut banyak masyarakat membangun rumah di tanah kosong yang ada, antara lain dibantaran sungai. Tergunakannya bantaran sungai akan menimbulkan permasalah yang lebih kompleks dan luas baik skala mikro ( daerah bantaran ) maupun skala makro (kota), Pembangunan RSH yang berkesinambungan dengan skala pembiayaan sederhana, mudah terjangkau dan effektif sangat diperlukan khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak hanya berada di bantaran sungai saja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Karang Mumus (SKM) sebagai anak Sungai Mahakam memiliki fungsi sangat vital sebagai sumber daya air bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat Kota Samarinda dari dahulu sampai sekarang, antara lain sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, angkutan sungai, sumber perikanan, obyek wisata dan lain sebagainya. Namun dalam perjalanan waktu, fungsi-fungsi tersebut hingga kini telah dan terus mengalami penurunan sejalan dengan perkembangan perkotaan. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kepadatan bangunan dan aktivitas manusia baik yang berada di sepanjang maupun di luar daerah aliran sungai SKM yang menyebabkan timbulnya peningkatan sediment, pendangkalan, penyempitan badan sungai hingga mencapai 200 meter. Kondisi demikian mengakibatkan pada saat hujan sungai tidak dapat menampung limpasan air sehingga menimbulkan banjir di wilayah perkotaan. Disamping itu, kualitas airnya sudah tidak layak untuk kesehatan manusia dan kehidupan biota khas Samarinda akibat limbah domestik maupun aktivitas lainnya. Melihat kondisi demikian, sesuai dengan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), pasal 1 point 18 yang berbunyi “ Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang”, maka perlu dilakukan upaya konservasi SDA untuk normalisasi dan mengembalikan fungsi SKM seperti semula. Sejalan dengan itu penerapan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Perkim) bab II pasal 3-4 yang mengatur penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan dan kelestarian lingkungan hidup perlu dilakukan upaya relokasi penduduk bantaran SKM ke lokasi permukiman baru berupa perumahan yang didukung oleh Pra sarana dan Sarana Dasar Pekerjaan Umum (PSDPU) yang memadai. Sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Samarinda tahun 2001-2010, kawasan sepanjang bantaran SKM nantinya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi SDA yaitu sebagai ruang terbuka hijau (RTH) . Tantangan yang harus dihadapi dalam program relokasi warga bantaran SKM cukup kompleks, karena tidak saja menyangkut masalah implementasi kebijakan Pemkot yang kurang tegas dan konsisten dalam hal tata ruang dan tata bangunan, dana APBD yang terbatas untuk upaya relokasi sehingga menyulitkan terlaksananya pengadaan RSH yang berkelanjutan, namun juga masalah sosial dan budaya lokal yang masih berorientasi pada sungai menyebabkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap upaya relokasi rendah. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari penulisan ini adalah untuk memaparkan beberapa langkah penataan bantaran SKM sebagai RTH untuk konservasi SDA melalui program relokasi warga Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 11 bantaran SKM, masalah kebutuhan perumahan yang ditimbulkannya serta upaya Pemkot Samarinda dalam rangka memenuhi kebutuhan RSH berikut komponen kebijakan pembiayaan yang diterapkan . Sedangkan tujuannya adalah untuk memberikan rekomendasi bagi Pemkot Samarinda dan stakeholder dalam peningkatan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman serta dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui pengadaan RSH yang berkesinambungan dengan instrument strategi pembiayaan yang sederhana, mudah dan efektif. 1.3. Sasaran Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya penataan bantaran SKM sebagai RTH melalui upaya relokasi warga bantaran SKM dengan jalan merealisasikan pengadaan RSH yang terjangkau MBR dan rekayasa kebijakan pembiayaan yang mendukung upaya pengadaan perumahan dan permukiman bagi relokasi warga SKM. 1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Ruang lingkup dan batasan pembahasan adalah pada pengadaan RSH oleh Pemkot Samarinda bagi warga relokasi bantaran SKM yang belum berkelanjutan karena pola pembiayaan penyediaan RSH yang kurang sesuai. 1.5. Metodologi Metodologi pembahasan meliputi identifikasi masalah dengan metode kuantitatif decision trees model, pemilihan masalah dengan metode kuantitatif USGR , analisis masalah dengan metode SWOT, pembahasan untuk mencari berbagai alternatif pemecahan masalah melalui studi literature dan landasan teori yang relevan juga memaparkan serta memilih alternatif terbaik untuk direkomendasikan. BAB II TINJAUAN UMUM 2.1.Gambaran Umum a.Geografis Kota Samarinda secara geografis terletak pada posisi antara 1160 15' 36” - 1170 24'16” BT dan 00 21' 18” - 10 09' 16” LS. Dalam kapasitasnya sebagai ibukota propinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda telah beberapa kali mengalami perubahan wilayah administrasi. Secara administrasi Kota Samarinda mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut : Utara : Kecamatan Muara Badak dan Kecamatan Tenggarong, Kab. Kutai. Timur : Kecamatan Anggana, Kab. Kutai. Selatan : Kecamatan Sanga-Sanga dan Kecamatan Loa Janan, Kab. Kutai. Barat : Kecamatan Loa Kulu dan Kecamatan Tenggarong, Kab. Kutai. b.Demografi Perkembangan penduduk suatu wilayah atau kota pada dasarnya dipengaruhi oleh kegiatan dan aktifitas dari penduduknya. Oleh sebab itu tinjauan dari aspek kependudukan/demografi merupakan salah satu pokok dalam penyusunan suatu rencana. 12 Kota Samarinda yang berpenduduk 638.800 jiwa, apabila ditinjau pada seluruh kecamatan, distribusi penduduk di relatif merata di setiap kecamatan dengan konsentrasi penduduk terbesar di Kecamatan Samarinda Utara sebesar 119.313 jiwa. Sedangkan konsentrasi penduduk terkecil di Kecamatan Palaran, yaitu 36.314 jiwa. Jumlah penduduk ini dapat dikaitkan dengan luas wilayah, yang akan menghasilkan kepadatan penduduk, baik itu kepadatan penduduk kotor (Gross density) maupun kepadatan penduduk bersih (Nett density). Kepadatan penduduk kotor di dapat dari perbandingan jumlah penduduk bersih merupakan perbandingan langsung antara jumlah penduduk dengan luas areal yang dimanfaatkan untuk permukiman. Distribusi penduduk di Kota Samarinda dapat pula ditinjau menurut kota desa. Presentasi penduduk perkotaan (urban population) dapat dijadikan indikasi seberapa besar tingkat urbanisasi yang terjadi di Kota Samarinda, karena arus urbanisasi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan kota. 2.2. Kondisi Saat Ini a. Warga Bantaran Sungai Karang Mumus. Kehidupan warga masyarakat bantaran sungai pada umumnya berorientasi pada sungai. Kegiatan sehari-hari mereka seperti mandi, cuci, kakus (mck), membuang sampah dan limbah rumah tangga ke dalam sungai, telah mereka lakukan secara turun temurun. Tentu saja hal ini akan berakibat turunnya kualitas air sungai dan mempercepat pendangkalan sungai. b.Bangunan di Bantaran Sungai Karang Mumus. Kota Samarinda secara geografis dilalui Sungai Mahakam yang membelah kota menjadi dua bagian besar. Di bagian utara sungai, Kota Samarinda telah berkembang dengan pesat. Sungai Karang Mumus sebagai anak sungai Mahakam terletak relatif dekat dengan pusat perkembangan kota. Pertumbuhan jumlah penduduk yang bermukim di sepanjang bantaran sungai mengakibatkan perkembangan bangunan yang padat dan berkembang secara sporadis di sepanjang bantaran sungai dan semakin mengarah ke sungai. Perkembangan bangunan tersebut menyebabkan terjadinya penyempitan badan sungai. Tabel 1. Jumlah Bangunan di Bantaran Sungai Karang Mumus (s/d April 2003 ) Sumber : Diskimbangkot Samarinda, 2003 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 2.3. Pelaksanaan Program Relokasi Warga Bantaran Sungai Kebijakan relokasi ini adalah merupakan satu dari beberapa langkah program penataan Sungai karang Mumus. Langkah-langkah penataan Sungai Karang Mumus yang telah dan akan dilakukan Pemerintah Kota Samarinda sebagai berikut : ? Kawasan permukiman kumuh yang berada di bantaran Sungai Karang Mumus pada radius ± 5 20 m akan direlokasi ke luar kawasan. ? Memindahkan atau menutup industri-industri kecil di sepanjang Sungai Karang Mumus (industri sawmill) ? Memperlebar jalan di tepi sungai ? Penataan/relokasi pasar yang ada ? Membuat jalur hijau dan taman di lahan sepanjang sungai yang terkena relokasi. •Prasarana dan sarana lingkungan Perumahan dan permukiman untuk menunjang 3.915 KK termasuk Jalan Akses, Jalan Lingkungan, Drainase Lingkungan, GorongGorong, Listrik, Penerangan Jalan, Air Bersih oleh Pemerintah Kota Samarinda dan DPU. •Pengadaan RSH di Bengkuring 1.400 unit dan di Sambutan 2.515 unit oleh Perum Perumnas dan Pengembang/Developer. •Pembangunan Fasum dan Fasos berupa SD, Pasar, Terminal, Hidran Kebakaran, Tempat Sampah, dan Tempat Ibadah oleh Pemerintah Kota Samarinda dan DPU. Berdasarkan daftar jumlah sebaran penduduk dalam kemajuan pelaksanaan program permukiman kembali warga tepi sungai Karang Mumus ke Bengkuring, Sambutan Idaman Permai dan Sambutan Asri (s/d bulan April 2003), tercatat 56,25 % dari warga terkena program telah memperoleh rumah (melalui KPR-BTN dan pembagian rumah gratis oleh Pemkot Samarinda). Dengan demikian masih terdapat sekitar 43,75% yang belum mendapatkan penggantian rumah. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Kemajuan Pelaksanaan Program Relokasi Sumber : Diskimbangkot Samarinda, 2005 Untuk penanganan sungai Karang Mumus, melalui program normalisasi sungai dan yang terpenting adalah dengan program percepatan relokasi penduduk Karang Mumus. Dalam rangka penanggulangan Banjir Samarinda yang terjadi pada tanggal 30 Juli s/d 2 Agustus 1998 dilakukan beberapa penanganan yang dikoordinasikan oleh Tim Teknis Tingkat Pusat dengan anggota semua instansi terkait, dengan ketua Dirjen Cipta Karya dengan Kelompok Kerja (Pokja) A, B dan C. Khusus Pokja C yang menangani Permukiman Kembali Penduduk (3.915 KK) dari tepian Sungai Karang Mumus mempunyai kegiatan meliputi : •Penyiapan lahan untuk lokasi resettlement penduduk di Bengkuring dan Sambutan oleh Pemerintah Propinsi Kaltim. •Pembongkaran rumah termasuk penyuluhan dan santunan oleh Pemerintah Kota Samarinda. Tabel 3. Proses Penyediaan Kapling dan Pembangunan RSH Relokasi Sungai Karang Mumus Sumber:Perum Perumnas Reg. V Cab. Kaltim DPPK Kota Samarinda, April 2003 Terhitung mulai tahun anggaran 2001 sesuai dengan SK. Walikota Samarinda No. 640/195/HUK-KS/2001 Tanggal 24 Juli 2001, maka pola subsidi berupa kompensasi atau penggantian bangunan milik warga SKM adalah sebagai berikut : ? Bagi warga SKM asli yang sudah mendapat rumah RSS baik Tipe 21 ataupun Tipe 36 yang berdiri diatas tanah seluas 150 m2 melalui KPR-BTN maupun Tunai akan mendapatkan santunan pindah Rp. 7.175.000 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 13 dan rumah yang telah dimiliki dinilai dengan uang sesebesar Rp. 7.175.000. Jadi jumlah total santunan yang diterima adalah Rp. 14.350.000. ? Bagi warga SKM asli yang sudah mendapat tanah kapling seluas 150 m2 akan medapatkan santunan pindah dan ganti rugi rumah masing-masing Rp. 7.175.000. Jadi jumlah total santunan yang diterima adalah Rp. 14.350.000. ? Bagi warga SKM asli yang belum mendapat rumah maupun tanah kapling akan mendapat rumah gratis RSS T.36/150 m2 dan santunan pindah sebesar Rp. 7.175.000. ? Bagi warga SKM asli yang tidak menginginkan rumah tapi hanya menginginkan santunan, akan mendapatkan santunan rumah Rp. 7.175.000, santunan pindah Rp. 7.175.000 dan nilai tanah kapling Rp. 3.000.000. Sehingga jumlah total santunan yang diterima adalah Rp. 17.350.000. Pelaksanaan dan perkiraan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program resettlement penduduk Sungai Karang Mumus dari Jembatan I - Jembatan VII (Ruhui Rahayu) dan jadwal pelaksanaannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 14 Tabel 4. Jumlah Anggaran dan Sumber Anggaran Program Relokasi Sungai Karang Mumus Sumber : Departemen Kimpraswil, Dirjen Pengembangan Kota, 2000 DPPK Kota Samarinda, April 2003 Gambar 1. Lokasi Bengkuring Tepian Permai Gambar 2. Lokasi Sambutan Idaman Permai Gambar 3. Lokasi Sambutan Asri Gambar 4. Lokasi Sambutan Handil Kopi Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 masalah demi masalah terjadi khususnya dalam hal tata ruang. Kelambanan Pemkot dalam mengantisipasi hal ini menyebabkan warga menganggap tidak akan ada sanksi terhadap pelanggaran tata ruang yang mereka lakukan. Selain itu ketidaktegasan Pemkot menindaklanjuti masalah ini, mengakibatkan semakin sporadisnya perkembangan perumahan ke arah sungai. BAB III PERMASALAHAN 3.1.Identifikasi Masalah Berbagai faktor yang mempengaruhi belum tercapainya penataan bantaran SKM sebagai RTH adalah adalah sulitnya upaya relokasi warga bantaran SKM dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi SDA dan perumahan yang sehat, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengadaan RSH secara swadaya, ketidakmampuan Pemkot Samarinda untuk menyediakan rumah yang layak huni dan terjangkau oleh masyarakat yang kurang mampu secara berkelanjutan dan implementasi kebijakan yang bias dan kurang konsisten mengenai tata ruang. 3.2. Pemilihan Masalah Pemilihan masalah dilakukan melalui metode decision trees model dengan skema sebagai berikut: Belum tercapainya penataan bantaran SKM sebagai RTH 3.1.1.Kurangnya Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat Warga bantaran SKM mayoritas adalah kaum marjinal yang berpenghasilan rendah karena bekerja di sektor informal. Tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah ini mengakibatkan sulitnya pemahaman akan pentingnya rumah yang layak huni dan pentingnya upaya relokasi warga dari bantaran SKM. Selain itu budaya local yang masih berorientasi pada sungai menimbulkan keengganan untuk pindah karena kemudahankemudahan yang diberikan oleh sungai. Selain itu lokasi bantaran sungai yang strategis, sarana transportasi yang mudah dari dan ke pusat kota atau pusat ekonomi menambah sulitnya upaya relokasi. 3.1.2.Pengadaan RSH Yang Berkelanjutan Sulit Dilaksanakan Berbagai faktor menyebabkan sulitnya pengadaan RSH bagi warga MBR khususnya bagi warga relokasi bantaran SKM diantaranya adalah masih tingginya biaya pembangunan perumahan, akibatnya harga jual rumah menjadi tidak terjangkau terutama bagi warga MBR. Daya beli masyarakat yang rendah selain dipicu oleh tingkat ekonomi mereka yang memang rendah juga dikarenakan faktor sosialisasi yang kurang juga sistem dan prosedur kepemilikan yang tidak sederhana. Dari segi ekonomi dan politik, alokasi APBD Kota Samarinda memang masih kurang untuk mendanai pembangunan RSH sementara pemerintah sendiri sulit melibatkan swasta karena profitability nya rendah berbeda dengan pengadaan real estate atau permukiman kelas menengah ke atas. Selain itu fluktuasi tingkat bunga Bank yang tidak menentu dalam kondisi ekonomi saat ini semakin menyurutkan investor untuk membangun RSH. Pola pembiayaan penyediaan perumahan yang tidak melibatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat juga menyebabkan sulitnya keberlanjutan program ini. 3.1.3.Implementasi Kebijakan Yang Bias dan Kurang Konsisten Mengenai Tata Ruang Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan perumahan juga semakin meningkat. Namun keterbatasan ekonomi, pendidikan dan faktor sosial budaya menyebabkan pertumbuhan permukiman yang tidak layak huni di bantaran SKM juga semakin meningkat. Mulanya efek negatif belum terasa namun, dengan semakin padatnya permukiman di bantaran SKM Belum terlaksananya kelancaran relokasi warga bantaran SKM Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat Terbatasny a lahan Sulitnya kelanjutan pengadaan RSH Pola pembiayaa n kurang mendukun Implementa si kebijakan yang bias dan kurang konsisten Sistem kepemilika n kurang mendukun Kurangnya peranan pihak ketiga Gambar 6. Diagram Decision Trees Model Sumber: Catanese dan Snyder. 1992 Hasil pemilihan masalah berdasarkan Decision Trees Model , bobot kepentingan menunjukkan bahwa masalah yang paling penting untuk dipecahkan adalah kelanjutan pengadaaan RSH yang sulit dilaksanakan. Kesulitan ini menjadi faktor kunci keberhasilan program relokasi warga bantaran SKM untuk mewujudkan penataan bantaran SKM sebagai RTH. Bila ditelaah lebih lanjut, akar masalah dari kesulitan kelanjutan pengadaan RSH adalah karena terbatasnya lahan, pola pembiayaan yang kurang mendukung, system kepemilikan yang kurang mendukung dan kurangnya peranan pihak ketiga. Beberapa elemen yang berkepentingan dengan masalah kesulitan pengadaaan RSH adalah masyarakat itu sendiri, Pemkot dan lembaga keuangan. Instrumen yang dibutuhkan untuk menunjang upaya tersebut diantaranya adalah: a.Konsistensi penerapan kebijakan pembiayaan yang market friendly, efisien dan akuntabel b.Efektivitas pembiayaan perumahan berbasis komunitas c.Kreativitas dan efisiensi pemanfaatan alternative pembiayaan perumahan Melihat kondisi kebutuhan perumahan yang masih tinggi dan kemampuan pembiayaan yang terbatas, hal yang Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 15 di inginkan ke depan adalah tersedianya perumahan yang layak huni dan terjangkau oleh MBR melalui partisipasi aktif masyarakat, pemerintah dan lembaga yang berkompeten. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi masalah penyediaan RSH di Kota Samarinda antara lain: ? Renstra Kota ? Kelembagaan ? Alokasi APBD ? Sumber Daya Manusia Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain: ? UU No.4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman ? KepMenKeu No.132/KMK.014/1998 ? Fluktuasi tingkat bunga ? Daya beli RSH Selanjutnya faktor-faktor tersebut diatas akan dianalisis melalui metode SWOT pada bab berikutnya. BAB IV ANALISIS 4.1.Analisis Kebijakan Untuk menilai kebijakan program relokasi warga bantaran Sungai Karang Mumus dalam penulisan ini menggunakan Analisis SWOT dengan faktor-faktor sebagai berikut : a.Faktor Internal : Merupakan faktor dari dalam yang mempengaruhi pengambilan dan penentuan kebijakan, yang terdiri dari : -Kekuatan, meliputi : renstra kota dan kelembagaan; Perencanaan Strategik (Renstra) kota lebih menitikberatkan pada pendekatan masukan dari kondisi yang ada (bottom up) yang dikombinasikan dengan pendekatan arahan kebijaksanaan (top down) yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik secara optimal dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek dan obyek dari pembangunan di Kota Samarinda. Kelembagaan terdiri dari dinas/badan/bagian yang ada pada pemerintah kota secara sinergis melaksanakan fungsi kelembagaan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. -Kelemahan, meliputi : alokasi APBD yang terbatas dan kemampuan SDM yang belum memadai; Pemasukan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan sumber-sumber lain yang sah digunakan untuk seluruh belanja aparatur dan pembangunan menuntut alokasi yang berimbang sesuai dengan prioritas kota yang selalu berubah pada setiap tahun anggaran. Sumber daya manusia aparat pelaksana kegiatan pemerintahan yang heterogen menuntut kemampuan yang mengikuti perkembangan kemajuan kota. Seringkali pesatnya kemajuan perkembangan kota tidak selaras dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusianya. b.Faktor Eksternal : Merupakan faktor dari luar yang ikut mempengaruhi pengambilan dan penentuan kebijakan, yang terdiri dari : -Peluang, meliputi : UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan KepMen Keuangan No.132/KMK.014/1998 tentang Perusahaan Fasilitas 16 Pembiayaan Sekunder. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman , Bab VI. PEMBINAAN, pasal 33: (1)Untuk memberikan bantuan dan / atau kenudahan kepada masyarakat dalam membangun rumah sendiri atau memiliki rumah, pemerintah melakukan upaya pemupukan dana;berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. (2)Bantuan dan/atau kemudahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa kredit perumahan. -Ancaman, meliputi : fluktuasi tingkat bunga dan daya beli RSH yang rendah. Jika tingkat bunga berfluktuasi, pengaruhnya sangat besar terhadap pembiayaan perumahan melalui fasilitas KPR, karena pemberi KPR otomatis harus membayar tingkat bunga yang lebih tinggi kepada masyarakat dibanding dengan tingkat bunga yang didapat dari portfolio KPR. Kemampuan daya beli akan rumah sederahana sehat (RSH) berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Tabel 5. Analisis SWOT c.Alternatif Rumusan Kebijakan : Pemilihan alternatif kebijakan berdasarkan opsi yang didapat dari pemanfaatan faktor internal dan eksternal di atas. Adapun opsi-opsi tersebut adalah sebagai berikut : (1)Sesuaikan Renstra Kota dan kelembagaan dengan UU dan peraturan yang berlaku; (2)Tingkatkan peran lembaga keuangan dalam pemberian subsidi; (3)Partisipasi kelembagaan dalam pemenuhan kebutuhan RSH; (4)Tingkatkan efisiensi pemanfaatn APBD untuk penerapan UU; (5)Tingkatkan konsistensi pelaksanaan UU; (6)Tingkatkan penggalian sumber dana lain; (7)Tingkatkan kemampuan SDM. Selanjutnya dari 7 (tujuh) opsi tersebut dinilai dengan nilai indikator biaya, kemungkinan sukses, benefit cost, waktu perencanaan, dan efek sosial. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 No Uraian/Item Opsi 1 Opsi 2 Opsi 3 Opsi 4 Opsi 5 Opsi 6 Opsi 7 1 Biaya murah mahal mahal murah mahal mahal mahal 2 Kemungkinan kesuksesan kecil tinggi kecil kecil kecil tinggi tinggi 3 Benefit cost tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi 4 Waktu perencanaan lama lama singkat singkat lama lama lama 5 Efek sosial kecil kecil besar kecil besar besar besar Tabel 6. Proses Penyediaan Kapling dan Pembangunan RSH Relokasi Sungai Karang Mumus BAB V REKOMENDASI Beberapa tindakan yang harus dilakukan dalam upaya pemecahan masalah kesulitan pengadaan RSH bagi relokasi warga bantaran SKM dengan mempertimbangkan hasil analisis SWOT adalah: 1.Tingkatkan peran lembaga keuangan dalam pemberian subsidi Sesuai dengan SK. Walikota Samarinda No. 640/195/HUK-KS/2001 Tanggal 24 Juli 2001, Pemkot Samarinda memberikan subsidi berupa santunan uang pindah dan ganti rugi rumah berbentuk tunai bagi warga yang direlokasi. Upaya ini menjadi boomerang bagi Pemkot sendiri mengingat alokasi APBD yang terbatas, sehingga keberlanjutan program ini menjadi tidak tercapai. Upayaupaya inovatif untuk pembangunan perumahan harus dikembangkan melalui partisipasi kelembagaan untuk kerjasama operasional, korporatisasi, privatisasi hingga divestasi asset. Pemkot sendiri dapat melakukan penekanan kebijakan seperti pemberian insentif atau fasilitas keringanan yang mungkin dapat diberikan untuk dapat lebih menarik minat para investor. Hal yang dapat dilakukan untuk menjawab tantangan ini adalah pemberian subsidi kepada warga tidak dalam bentuk uang tunai tapi dalam bentuk subsidi uang muka untuk fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) melalui lembaga keuangan yang ditunjuk. 2.Partisipasi kelembagaan dalam pemenuhan kebutuhan RSH Sesuai dengan misi pemerintah untuk mewujudkan kemandirian daerah melalui peningkatan kapasitas pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur permukiman, maka diperlukan partisipasi kelembagaan pemerintah dan atau swasta dalam wujud pengembangan pola pemenuhan kebutuhan perumahan yang strategis, efektif, transparan dan akuntabel. Partisipasi aktif kelembagaan seperti ini belum dilaksanakan sebelumnya di Kota Samarinda. 3. Tingkatkan Penggalian Sumber Dana Lain Masalah pembiayaan pembangunan perumahan bagi Kota Samarinda adalah karena alokasi APBD yang terbatas Untuk itu perlu upaya terobosan untuk memperoleh sumber dana alternative di luar APBD Beberapa hal yang bisa menjadi opsi adalah pembiayaan dengan mengadopsi sistem Secondary Mortage Facility (SMF) yaitu pembiayaan sekunder untuk suatu sektor, sub sektor yang bertujuan memberikan fasilitas pembiayaan sektor/sub sektor yang bersangkutan agar terjangkau oleh masyarakat yang disesuaikan dengan karakter ekonomi masyarakat Kota Samarinda. Pembiayaan ini melibatkan Lembaga Keuangan Penerbit KPR dan pasar modal. Untuk kasus Kota Samarinda, segmen pasarRSH mayoritas berasal dari relokasi warga SKM, yang pekerjaannya rata-rata di sector informal. Kesulitan warga ini untuk menembus birokrasi perbankan, dapat di pecahkan dengan membentuk suatu paguyuban guna kemudahan persyaratan KPR. Dapat juga dilakukan sistem DBL (Design, Build and Lease) , design and build dibiayai oleh pemerintah, namun pelaksananya oleh swasta melalui tender dan pengoperasiannya diserahkan kepada swasta dengan suatu lease agreement yang paling menguntungkan Pemkot. BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari uraian penulisan di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain : a.Berdasarkan metode decission trees model bahwa masalah pokok dari program relokasi warga bantaran SKM di Kota Samarinda adalah kesulitan dalam kelanjutan penyediaan RSH; b.Kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain terbatasnya lahan, pola pembiayaan yang kurang mendukung, system kepemilikan yang kurang mendukung dan kurangnya peranan pihak ketiga. 6.2.Saran Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut : a.Tingkatkan peran lembaga keuangan dalam pemberian subsidi b.Tingkatkan partisipasi kelembagaan dalam pemenuhan kebutuhan RSH c.Tingkatkan Penggalian Sumber Dana Lain Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 17 DAFTAR PUSTAKA Catanese dan Snyder. 1992. Perencanaan Kota. Erlangga. Jakarta. Widayatin, Sumaryanto, Ir.,M.SCE.. 2006. Investasi Infrastruktur dan Industri Konstruksi di Indonesia. Kuliah Umum Kedinasan Terpusat, Program Magister Teknik 2006. Departemen Pekerjaan Umum.Bandung, 08 Agustus 2006. TimPustaka MKUK 2006. 2006. Kumpulan Kebijakan dan Perundang-undangan Ke-PU-an. PUSBIKTEK-BPKSDM-Departemen Pekerjaan Umum. Bandung Infrastruktur Indonesia. Perumahan. Pusbiktek-BPKSDM Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Buku Pedoman MKUK 2006. Bandung. (*) Karyasiswa Program Magister Teknik Rekayasa dan Manajement Pembiayaan Permukiman Angkatan 2006 Kerjasama Pendidikan Pusbiktek - UPI YAI Jakarta 18 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 Penataan pada Kumuh Pantai BAB. I PENDAHULUAN Bangunan Kawasan di Oeba pesisir - Kota Kupang Andi khusnul Yakin, Paulus A. Guiputra TPP Unhas Disunting oleh ................................................................ Abstraksi. Perumahan dan permukiman selain merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia juga mempunyai fungsi yang strategis sebagai pusat pendidikan keluarga, pembinaan generasi muda, juga dapat disebut sebagai barang modal (tidak bergerak). Terwujudnya kesejahteraan rakyat dapat ditandai melalui pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak huni dengan pemanfaatan peruntukkan ruangnya yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Salah satu permasalahan kota yang sangat pelik saat ini di Kota Kupang khususnya di daerah pesisir pantai Oeba yaitu adanya kawasan permukiman kumuh. Untuk itu dalam makalah ini, penyusun mencoba mencari pemecahan masalahnya, mengapa pada kawasan pesisir pantai Oeba di Kota Kupang pada saat ini menjadi kawasan kumuh dengan menggunakan metode analisia pemecahan masalahnya. Kombinasi pesatnya pertambahan penduduk yang semakin meningkat, harga lahan yang tinggi dan terkonsentrasinya penduduk di wilayah perkotaan menimbulkan kesenjangan antara kebutuhan dan pemenuhan rumah layak huni. Kesenjangan ini mengakibatkan berbagai masalah, seperti pembangunan rumah-rumah liar, tanpa IMB akan mengganggu peruntukkan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Kupang. Permasalahan ini tidak akan terlepas dari peranan dan partisipasi serta kerjasama Pemerintah Daerah dan masyarakat. Pemerintah berkewajiban menjadi fasilitator, motivator dan pelayan publik dengan mengoptimalkan mensosialisasikan PERDA yang ada, agar permasalahan permukiman kumuh ini dapat teratasi, dan dapat menjadi bahan referensi bagi kawasan daerah lainnya di Kota Kupang. A.Latar Belakang Rumah sebagai kebutuhan dasar mempunyai arti, fungsi dan peran yang sangat penting bagi keberadaan kehidupan seseorang. Perilaku masyarakat tercermin dari kondisi perumahan permukiman baik secara ekonomi maupun budaya. Di sisi lain kondisi perumahan dan permukiman juga merefleksikan peran perhatian pemerintah terhadap penataan penertiban kehidupan warganya. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar, rumah dapat menjadi tolok ukur tingkat kesejahteraan masyarakat , .Sehubungan dengan hal tersebut pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan suatu bangsa dapat diartikan sebagai daya kemampuan dan upaya bangsa mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Kedudukan perumahan dan permukiman dalam Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman dinyatakan bahwa pembangunan kawasan permukiman ditujukan untuk : ? Menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman ? Mengintegrasikan segala sesuatu secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam/sekitarnya. Di dalam Perda Kota Kupang telah diatur peraturan yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman tersebut, yakni sebagai berikut : ? Perda Kota Kupang No.7 Tahun 2000 tentang Ruang Terbuka Hijau ? Perda Kota Kupang No.9 Tahun 2003 tentang Penataan Bangunan ? Perda Kota Kupang No.12 Tahun 2003 tentang Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah/Lahan ? Perda Kota Kupang No.23 Tahun 1998 tentang Retribusi IMB B. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan bersama teman-teman dalam Prodi TPP, didapatkan berbagai permasalahan di antaranya : ? Terdapat banyaknya bangunan yang dibangun tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) ? Pembangunan permukiman dan prasarananya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang. ? Terdapat banyaknya bangunan yang tidak layak huni dan prasarana permukiman yang sangat minimal. Dari berbagai permasalahan di atas, dapatlah penulis meyimpulkan dari topik yang akan kami bahas yaitu : “ Penataan Bangunan Pada Kawasan Kumuh di Pesisir Pantai Oeba - Kota Kupang”. C.Tujuan dan Sasaran Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana penataan permukiman terhadap kawasan kumuh yang ada, sehingga didapat pemecahan masalah pemukiman kumuh yang dimaksud. Sasaran yang ingin dicapai adalah penyusunan makalah ini mendapatkan pembelajaran dalam mempelajari Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 19 proses dan penggunaan analisa-analisa dalam upaya pemecahan masalah secara sistematis walaupun menghadapi keterbatasan waktu dalam memperoleh data dan pengambilan keputusan. D. Ruang Lingkup Pembahasan Dalam penyusunan makalah ini, penyusun memberi batsan-batasan pada penekanan pemecahan masalah berdasarkan data sekunder yang diperoleh berupa materi perkuliahan MKUK dan studi literatur yang didapat di perpustakaan PUSBIKTEK. E. Kerangka Berfikir hunian dan tempat kegiatan yang mendukung pri kehidupan dan penghidupan (UU RI No. 4 Tahun 1992 Bab. I Pasal 1) ? Wilayah Adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. ? Pesisir Pantai Adalah tanah datar berpasir yang merupakan perbatsan antara daratan dengan laut. (kamus besar Bahasa Indonesia Edisi II Dep. P & K Tahun 1991) ? Ruang Adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya ? Tata Ruang Adalah wujud dari struktur dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. ? Rencana Tata Ruang Adalah hasil perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang. BAB. II LANDASAN KONSEPTUAL Pengertian - Pengertian Pengertian-pengertian dasar yang dipakai dalam penulisan makalah ini meliputi : ? Rumah Adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992 Bab. I Pasal 1) ? Perumahan Adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU RI No. 4 Tahun 1992 Bab. I Pasal 1) ? Kawasan Kumuh Adalah kawasan permukiman yang tidak teratur, rumahrumah pada umumnya tidak layak huni, padat penghuni dan dengan prasarana dan sarana yang sangat minimal (Usman, M.Y., 1989 ; Panudju B., Tahun 1998,). Kawasan ini dapat dibagi 2 jenis, yaitu : 1.Kawasan Kumuh Legal adalah kawasan permukiman yang dibangun diatas tanah / lahan milik mereka sendiri atau menyewa dari pemilik tanah atau lahan yang juga tinggal di kawasan tersebut, atau ditempati atas seijin / sepengetahuan pemilik lahan. 2.Kawasan Kumuh Ilegal adalah kawasan permukiman yang dibangun diatas lahan / tanah yang bukan milik mereka dan dalam menempati kawasan tersebut tidak memperoleh ijin menempati dari yang memiliki atau menguasai lahan tersebut (menempati dengan cara menyerobot). Kawasan seperti ini terdiri dari : a.Kawasan di lahan-lahan kosong milik pribadi / swasta, yang oleh pemiliknya belum dibangun. b.Kawasan di lahan-lahan milik publik, seperti di tamantaman kota, di daerah sempadan jalan raya, jalan kereta api, sungai dan perairan lainnya. c.Kawasan khusus yang umumnya dikuasai pemerintah, seperti dilahan kritis yakni bantaran sungai / laut, tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dibawah jalur listrik tegangan tinggi, dan dikawasan berbahaya lainnya. ? Permukiman Adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau 20 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 BAB. III ANALISIS PEMBAHASAN A. Identifikasi Masalah Melihat kondisi yang ada pada kawasan pemukiman kumuh di Pesisir Pantai Oeba Kota Kupang dan berdasarkan hasil diskusi bersama dalam kelompok Prodi kami didapatkan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Kemampuan ekonomi masyarakat yang ada di pesisir pantai Oeba pada umumnya di golongkan dengan pendapatn rendah, tidak tetap dan bekerja di sektor informal 2. Pola Hidup atau kebiasaan yang melekat dalam kehidupan sehari-harinya masih membawa kebiasaan dari desa. 3. Masyarakat yang ada lebih memilih lokasi permukiman yang dekat dari tempat bekerja / berjualan. 4. Spekualasi penguasaan tanah / lahan 5. Kurangnya pengawasan oleh aparat terkait Pemerintah Kota Kupang 6. Lemahnya Penegakkan hukum (Law Inforcement) 7. Kurangnya kemampuan Pemerintah Kota untuk membiayai pembangunan rumah murah yang terjangkau oleh masyarakat pada kawasan ini. 8. Pembangunan perumahannya tidak sesuai dengan RTRW Kota Kupang 9. Banyaknya rumah-rumah liar yang tidak memiliki IMB 10.Keadaaan bangunan rumah yang ada tidak layak huni 11.Prasarana yang dibangun tidak sesuai dengan RTRW Kota Kupang 12.Perumahan yang ada tidak sesuai dengan peruntukannya (advice plan) 13.Lahan Permukiman yang ada sempit 14.SDM dari masyarakat yang ada rata-rata sangat rendah B. Analisa-analisa Pemecahan Masalah 1. Analisa USGR Merupakan salah satu teknik manajemen untuk menetapkan alternatif masalah, dimana U (Urgent) = menunjukan aspek kepentingan dari unsur waktu yang perlu segera ditanganani ; S (Seriousness) = merupakan aspek keseriusan melihat besar kecilnya akibat yang ditimbulkan ; G (Grouth) = merupakan aspek kemungkinan meluasnya atau perkembangan masalah/dampak yang jika tidak segera ditangani akan mengalami kesulitan yang besar ; R (Rationalization) = merukan aspek rasional dilihat dari sasaran dan ketersediaan sumber manajemen serta peluang pelaksanaannya. Dengan memberikan pembobotan skor penilaian antara 1- 5 dengan kriteria : -Nilai 1 = tidak penting - Nilai 2 = kurang penting - Nilai 3 = cukup penting - Nilai 4 = penting - Nilai 5 = sangat penting Dimana semakin besar nilainya semakin besar tingkat prioritas pemecahan masalahnya. a. Masalah : Terdapatnya bangunan yang dibangun tanpa IMB. Penyebabnya : Dari ke-14 pernyataan-pernyataan tersebut diatas dapat dikelompokan menjadi tiga (3) isu strategis dikaitkan dengan kawasan kumuh di Pesisir Pantai Oeba dan RTRW Kota Kupang yaitu : ? Terdapat banyaknya bangunan yang dibangun tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) ? Pembangunan permukiman dan prasarananya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang. ? Terdapat banyaknya bangunan yang tidak layak huni dan prasarana permukiman yang sangat minimal. Dari ketiga isu-isu strategis di atas, kami rumuskan menjadi satu isu strategis yang sesuai dengan minat kelompok kami yaitu : “Evaluasi Terhadap Permukiman Kumuh di Pesisir Pantai Oeba Kota Kupang”. Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan Evaluasi Terhadap Permukiman Kumuh di Pesisir Pantai Oeba Kota Kupang adalah : 1.Kurangnya sosialisasi tentang tata ruang kota kepada masyarakat . 2.Pesatnya peningkatan jumlah penduduk 3.Kurang tegasnya aparat Pemerintah Kota terkait 4.Kurangnya koordinasi instansi terkait b. Masalah : Pembangunan perumahan dan prasarananya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang. Penyebabnya : Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 21 c. Masalah : Terdapat banyaknya bangunan yang tidak layak huni dan prasarana permukiman yang Sangat minim. Penyebabnya : total 136 Dari hasil analisa USGR tersebut diatas diperoleh kesimpulan bahwa masalah yang diprioritaskan untuk dibahas adalah masalah perumahan dan prasarananya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang. 2. Kompilasi Data Digunakan untuk mengetahui ketersediaan data untuk mendukung pembahasan dalam pemecahan masalah perumahan dan prasarananya yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Kupang. Kompilasi data yang ada dilakukan karena keterbatasan waktu serta data lainnya seperti studi literatur dan data sekunder yang didapatkan dari presenter materi perkuliahan. *Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat Pembangunan Perumahan dan prasarananya tidak sesuai dengan RTRK * Kurangnya sosialisasi tentang RTRW Kota Kupang. 22 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 3. Analisa SWOT Digunakan untuk mendapatkan strategi yang tepat dengan menggunakan kekuatan dan ketersediaan sumber daya yang ada dalam menghadapi kompetisi di lingkungan luar, atau untuk mendapatkan strategi secara komprehensif dari pemecahan masalah Strategi yang didapat, diuraikan menjadi kegiatankegiatan yang mendukung untuk tercapainya strategi tersebut yang disusun berdasarkan jangka pendek, jangka menengah, dan pangka panjang. Perumusan masalah yang diambil dari topik Penataan Bangunan Pada Kawasan Kumuh Di Pesisir Pantai Oeba Kota Kupang adalah “Kurangnya Sosialisasi tentang RTRW Kota Kupang kepada Masyarakat”. Hasil Analisis Strategik disesuaikan dengan Jangka Waktu, adalah : BAB. IV PENUTUP A. Kesimpulan ? Keseluruhan permasalahan yang menyangkut penataan bangunan pada kawasan kumuh di pesisir pantai Oeba Kota Kupang setelah dikaitkan dengan isu strategis dapat teridentifikasi menjadi satu masalah utama yakni kurangnya sosialisasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang kepada masyarakat. ? Hasil Analisis dengan menggunakan SWOT Analisys menghasilkan beberapa Strategi yang dapat dilaksanakan sesuai dendan prioritas dan jangka waktu, yaitu : 1.RTRW Kota harus didukung dengan kebijakan, strategi, dan program pemerintah Kota dan mengoptimalkan penegakkan hukum sesuai dengan PERDA yang ada adalah Prioritas Pertama yang harus dilakukan (jangka pendek). 2.Mengoptimalkan Ketersediaan dana untuk membeli peralatan teknologi informasi dan Optimalkan penggunaan dana untuk pengadaan sarana dan prasarana untuk sosialisasi RTRWK adalah Prioritas Kedua yang harus dilakukan (jangka menengah). 3.Tingkatkan kemampuan pegawai / SDM melalui pelatihan teknologi informasi dan tingkatkan pengetahuan / Pendidikan masyarakat untuk antisipasi intervensi pihak luar adalah Prioritas Ketiga yang harus dilakukan (jangka panjang). Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 23 B. Saran - Saran ? Karena keterbatasan waktu data dan waktu maka pemberian judul makalah di masa yang akan datang harus diperhitungkan demi kesempurnaan pembuatan makalah. ? Hasil yang dicapai dari penyusunan makalah ini hanya merupakan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut karena merupakan proses pembelajaran bagi penyusun/kelompok kami. DAFTAR PUSTAKA ? Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II Dep. P dan K Tahun 1991. ? Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. ? Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum 2005 2009. ? Peraturan Daerah Kota Kupang No. 7 Tahun 2000 tentang Ruang Terbuka Hijau. ? Peraturan Daerah Kota Kupang No. 9 Tahun 2003 tentang Penataan Bangunan. ? Peraturan Daerah Kota Kupang No. 12 Tahun 2003 tentang Ijin Peruntukan Penggunaan Lahan/Tanah. ? Peraturan Daerah Kota Kupang No. 23 Tahun 1998 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). ? Materi MKUK tentang Kebijakan Penataan Ruang Dalam Penyelenggaraan IPU, Pusbiktek Bandung serta Materi MKUK lainnya yang berhubungan dengan topik makalah ini. (*) Karyasiswa Program Magister Teknik Perencanaan Perumahan Angkatan 2006, Kerjasama Pusbiktek Universitas Hasanuddin Makasar 24 Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM RANGKA MENJAGA KETERSEDIAAN AIR WADUK PADA MUSIM KEMARAU PUJI SUTARTO, HARJAKA, DIAZ SHODIQ (*) BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Jaminan ketersediaan air tawar muncul sebagai masalah global akibat semakin meningkatnya pemanfaatan sumber sumber air yang terbatas jumlahnya oleh jumlah penduduk yang terus bertambah. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber air akibat pengelolaan yang belum optimal dan perubahan tata guna lahan untuk kepentingan mencari nafkah dan tempat tinggal juga menjadi penyebabnya. Dampak keterbatasan air ini semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat pemakai ar seperti ketersediaan air tidak merata sepanjang tahun yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau dan terjadi bencana banjir dan longsor pada musim penghujan. Waduk dibangun untuk menampung air pada periode kelebihan air (musim penghujan) dan dipakai pada waktu kekurangan air (musim kemarau) untuk berbagai kepentingan misalnya air minum, pariwisata, pengendalian banjir, pertanian dan lain lain. Pengelolaan operasional waduk yang optimal merupakan antisipasi nyata dalam mendistribusikan air sehingga dapat mengurangi dampak yang menjadi ancaman serius bagi keberhasilan program ketahanan pangan, penyediaan air untuk berbagai keperluan, kelestarian lingkungan hidup dan mengurangi meningkatnya korban manusia dan kerugian harta benda akibat bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, erosi, abrasi, dan lainnya. Dampak yang menjadi ancaman tersebut menambah terpuruknya perekonomian masyarakat Indonesia sehingga program peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terwujud. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman pentingnya kesadaran semua elemen masyarakat, swasta dalam pengelolaan air dan kesadaran pemerintah dalam menentukan kebijakan kebijakan pengembangan sumber daya air. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud pembuatan makalah secara akademis adalah supaya karyasiswa mampu menganalisis kebijakan dan strategi penyelenggaraan prasarana dalam rangka pengembangan sumber daya air setelah karyasiswa dibekali metodologi ilmiah dalam perumusan kebijakan dan strategi. Selain itu juga bertujuan agar karyasiswa dapat melakukan pengkajian identifikasi masalah dan melakukan pemecahan masalahnya sehingga didapatkan konsep usulan kebijakan yang dapat diambil dan tata cara teknis pengelolaan operasional wadu secara optimal dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan maksud dan tujuan dari penulisan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Menjaga Ketersediaaan Air Waduk Pada Musim Kemarau secara ilmiah adalah untuk mengefisiensikan pengelolaan waduk dan dana penanganan bencana akibat fluktuasi air waduk dengan perbedaan yang signifikan pada musim kemarau dan musim penghujan. Peran serta masyarakat untuk menjaga keseimbangan air waduk merupakan langkah penting dalam pengelolaan secara struktural dan non struktural. 1.3. Gambaran Umum Wilayah Yang Akan Dikaji Studi Kasus pada Waduk Jatiluhur dimana Air waduk pada musim kemarau mengalami penurunan kuantitas dan kualitas air yang diindikasikan oleh : 1.Kekeringan panjang tahun ini sehingga memerosokkan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air Waduk Jatiluhur ke titik nadir, sebagai akibat perubahan tata guna lahan dan penanganan masih bersifat sektoral. 2.Rendahnya kesadaran masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan potensi konflik masyarakat pengguna air yang bergantung pasokan air dari Sungai Citarum dan anak- anak sungainya. 3.Pendangkalan waduk akibat sedimentasi dan operasional waduk yang belum optimal. 1.4. Ruang Lingkup. Maksud dari tulisan ini adalah untuk mengupayakan suatu sistem pengelolaan sumber daya air secara komprehensif khususnya air waduk untuk keperluan pertanian,air baku, pembangkit listrik tenaga air dan pengendalian banjir. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan langkah-langkah dan kebijakan kebijakan yang terkait dengan Sumber Daya Air Nasional untuk mengantisipasi menurunnya ketersediaan air waduk pada musim kemarau. 1.5. Metodologi Penulisan. Metodologi penulisan ini adalah studi literatur dari beberapa buku terkait masalah tersebut di atas sebagai data dalam penulisan,untuk lebih jelasnya secara skematis dapat dilihat pada flow chart sebagai alur pemikiran ,gambar 1.1 sebagai berikut : Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 25 Gambar. 1.1 POLA PEMIKIRAN 2.3. Kebijakan Pembangunan Wilayah. Kebijakan pembangunan wilayah adalah upaya mempercepat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah agar tercapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, efisien, efektif, sinergi dan sustainable dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi, perlindungan lingkungan, penyediaan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia. Peran serta masyarakat dalam rangka menjaga Ketersediaan air waduk dimusim kemarau ISU-ISU MASALAH - Krisis air ancam hektaran sawah - Debit air waduk saguling & Jatiluhur 2.4. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia. Kebijakan pengembangan keembagaan sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan aspek kualitas yaitu usaha kerja dan jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi, sedangkan aspek kuantitasnya yaitu manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau kerja dalam pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan tatanan kehidupan dan mengurangi dampak negatif dari proses kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). MENYUSUT PENGUMPULAN DATA - data sekunder - bahan ajar nara sumber MKUK tahun 2006 IDENTIFIKASI MASALAH PERUMUSAN MASALAH ANALISIS PENYELESAIAN Perundang undangan dan peraturan peraturan : UU SDA No.7 th 2004 –PP.RI No.20 th 2006 Tentang irigasi BAB III. DESKRIPSI MASALAH Lingkungan strategis: Masyarakat pemakai air GNPA (Gerakan Nasional Penyelamat Air ) tidak CHECK ya KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB II. LANDASAN KONSEPTUAL 2.1. Kebijakan Publik. Kebijakan publik adalah kebijakan pokok yang menjadi dasar hukum publik dalam suatu pengelolaan sumber daya air dan penanggulangan yang ditimbulkannya. Kebijakan publik dibuat untuk menggerakkan, menghambat, melarang, mengarahkan tindakan swasta dan masyarakat serta dibuat untuk dapat menyusun kebijakan publik. Perlu memahami dasar-dasar dan konsep kebijakan publik dan mengerti cara melakukan analisa kebijakan. 2.2. Manajemen Strategis. Manajemen strategi untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air secara komprehensif dalam upaya penanggulangan bencana bagi kehidupan manusia khususnya dengan cara pemantauan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Waduk dengan sistem periodik dan tergantung pada kondisi dana yang tersedia. 26 3.1. Identifikasi Masalah. Penyebab utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal , kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi secara alami maupun migrasi. Bencana kekeringan yang merupakan bukti penurunan daya dukung lingkungan dari waktu ke waktu cenderung meningkat . Fenomena otonomi daerah yang kurang dipandang sebagai suatu kesatuan kerja antara pusat,Propinsi dan Kabupaten/Kota berakibat pada kurangnya koordinasi Pengelolaan Sumber Air yang pada hakekatnya mempercepat terjadinya krisis air,dalam hal ini dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air utama pada Waduk Jatiluhur ke titik nadir, sebagai akibat perubahan tata guna lahan, rendahnya kesadaran masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) 2. Potensi konflik masyarakat pengguna air yang bergantung pasokan air dari Sungai Citarum dan anak- anak sungainya. 3. Kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan (Stake holders). 4. Pendangkalan waduk dan operasional waduk belum optimal. 3.2. Perumusan Masalah. Dari identifikasi masalah dapat dibuat perumusan masalah : ? Penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Citarum sebagai pemasok air untuk Waduk Jatiluhur ,yang mengakibatkan keberadaan air tidak seimbang pada musim kemarau terjadi kekeringan pada musim penghujan menimbulkan kerusakan yang sangat hebat. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 ? Berkurangnya pasokan air untuk keperluan irigasi sehingga terjadi kegagalan panen , dalam hal ini apabila tidak ada penanganan secara terpadu akan terjadi konflik horizontal. ? Kebutuhan air baku untuk pelayanan daerah Jakarta yang dialirkan melalui bendung Curug berkurang ,demikian juga untuk daerah Cikampek.,lihat gambar 3.1 Skema Jaringan. ? Kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan(Stake holders) untuk penanganan daerah tangkapan air Sungai Citarum. ? Daya tampung waduk berkurang dan Maintenance waduk belum opimal. Operation dan ? Berkurangnya ketersediaan air dila dibandingkan dengan tingkat kebutuhan air, lihat lampiran Tabel 3.2 Neraca Air Sungai Citarum ? Potensi sumber daya air yang ada di daerah aliran Sungai (DAS) Citarum dan dari 74 sungai dan anaknya + 12,95 miliar m3/tahun, yang tediri dari potensi Sungai Citarum + 6 miliar m3/tahun (46,3 %) dan sungai lainnya + 6,95 miliar m3/tahun (53,7 %). Dalam pengendalian potensi sumber daya air dari Sungai Citarum dan sungai lainnya, potensi yang belum terkendali dan terbuang ke laut + 5,45 miliar m3/tahun. (Gambar 3.3) ? Ketersediaan air untuk irigasi maupun pasokan air baku untuk keperluan air minum domestic maupun komersial dan PLTA terpenuhi. ? Dengan melakukan pemeliharaan (maintenance) waduk sesuai standar operation yang ditetapkan diharapkan kapasitas air waduk sesuai pada kondisi rencana BAB IV. PEMBAHASAN MASALAH 4.1. Identifikasi Penyebab. Dalam menyusun pola pengelolaan sumber daya air terutama upaya konservasi pada daerah aliran sungai (DAS), pihak-pihak terkait atau pemangku kepentingan (stake holders) dalam hal ini pemerintah pusat , daerah dan masyarakat, terbentur berbagai kendala yang menghambat proses penanganannya. Beberapa penyebab yang dapat terindentifikasi antara lain : 1.Kondisi toprografi, dan hidrologi yang berpengaruh terhadap ketersediaan air. 2.Pembangunan yang ada masih bersifat partial dan belum terpadu serta masih menitikberatkan pada program pengembangan sektoral. 3.Tuntutan kebutuhan akan pembangunan yang berwawasan kelestarian atas pengelolaan sumber daya air pada masa sekarang dan di masa yang akan datang. Gambar 3.1. SKEMA JARINGAN 3.3. Keadaan yang Diinginkan. Dengan adanya suatu pola pengelolaan sumber air secara terpadu diharapkan dapat mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air, serta dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,wilayah,dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air,sehingga : ? Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) meningkat dan keseimbangan air pada saat musim kemarau dan penghujan terpenuhi Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 Gambar. 4.1 GAMBAR SIKLUS HIDROLOGI 27 4.2. Alternatif Pemecahan. 4.2.1 Upaya Konservasi Siklus hidrologi pada gambar 4.1 menggambarkan bagaimana air ini berubah bentuk kembali dalam bentuk semula membuat keseimbangan terhadap alam,lingkungan serta memberi kehidupan bagi mahkluk-mahkluk yang hidup di bumi ini,untuk itu perlu dilindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam rangka ketersediaan sumber air di musim kemarau yang dilakukan dengan : a)Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air di daerah tangkapan air. b)Perlindungan dan Pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/teknik sipil melalui pendekatan sosial,ekonomi,dan budaya. Yang dimaksud dengan cara vegetatif merupakan upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan dengan atau melalui penanaman pepohonan atau tanaman yang sesuai pada daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air. Sedang yang dimaksud dengan cara sipil teknis adalah upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan melalui rekayasa teknis,seperti pembangunan bagunan penahan sediment, pembuatan teras(sengkedan).dan/atau perkuatan tebing sumber air. Pendekatan social ,budaya,dan ekonomi adalah bahwa dalam pelaksanaan perlindungan dan pelestarian sumber air harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi social,budaya,dan ekonomi masyarakat setempat hal ini sesuai dengan UU Sumber Daya Air Bab III Konservasi Sumber Daya Air, Pasal 21, ayat 4. Peran masyarakat disekitar daerah aliran sungai maupun pemakai air diharapkan berpartisipasi untuk melakukan konservasi di daerah tangkapan air dan optimalisasi penggunaan air untuk irigasi dengan ciri pembangunan berbasis komunitas (Sumber : Dr.Sugimin Pranoto, 2006, Designing Community Based Development, MKUK Pusbiktek ) Strategi strategi untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk diperkenalkan ke pembangunan berbasis komunitas adalah penting, hal ini didasarkan pada penciptaan insentif bagi organisasi untuk berinteraksi satu sama lain untuk mencapai hasil yang di inginkan. Ada 4 (empat) strategi yang digunakan untuk mendorong dukungan dukungan bagi pendekatan berbasis komunitas dan efektifitas pekerjaan, strategi ini terdiri dari keterlibatan para pemangku kepentingan (stake holders),konsultasi dengan pelakupelaku yang berbeda,kegiatan-kegiatan perintisan,dan pembelajaran yang terstruktur. Untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian dareah tangkapan air melibatkan peran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya misalnya: GNPA (Gerakan Nasional Penyelamat Air) di tingkat Provinsi,Kabupaten/ Kota (Sumber : Ir.Siswoko,Dipl.HE, 2006,Kebijakan dan Program Penyelenggaraan Sektor Sumber Daya Air,MKUK Pusbiktek), Sedang dalam rangka penggunaan air irigasi melibatkan masyarakat pemakai air P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air). 28 4.2.2 Upaya Koordinasi Aspek pengelolaan sumber daya air menurut UndangUndang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 antara lain konservasi sumber daya air. Otonomi Daerah dan UndangUndang No.7 Tahun 2004 Sumber Daya air tidak terpisahkan dalam pelaksanaannya utamanya mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing Pemerintah untuk pelaksanaan konservasi daerah tangkapan air. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat diantaranya sebagai berikut : ? Menetapkan kebijakan nasional sumber daya air ? Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilyah sungai lintas negara,dan wilayah sungai strategis nasional ? Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas Negara,dan wilayah sungai strategis nasional. ? dsb Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi diantaranya sebagai berikut : ? Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya. ? Menetapkan pola pengelolaan sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten ? Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota. ? dsb Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah kabupaten/Kota diantaranya sebagai berikut : ? Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya. ? Menetapkan pola pengelolaan sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota ? Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. ? Dsb. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Desa diantaranya sebagai berikut : ? Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau pemerintah di atasnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan umum ? Menjaga efektivitas,efisiensi,kualitas,dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenagannya. ? Dsb. Konservasi sumber daya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,wilayah,dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air. Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 4.2.3 Pengoperasian Waduk Waduk Jatiluhur merupakan waduk multi purpose tempat penyimpanan air untuk irigasi, air baku untuk keperluan domestik atau komersial,pembangkit tenaga listrik dan pariwisata. Pedoman opersional untuk memenuhi berbagai kebutuhan air atau pengguna fungsional waduk yang menyajikan kurva pengaturan operasi waduk dalam bentuk grafik yang menunjukkan persyaratan elevasi permukaan air minimum pada setiap waktu guna memenuhi kebutuhan air untuk berbagai pemanfaatan dengan kondisi aliran yang ada. Dengan ketersediaan air waduk, penggunaan air dapat dilakukan untuk semua pemanfaatan dalam batas-batas kurva pengaturan operasi waduk. 1.Langkah dasar pembuatan kurva pengatur waduk : a)Sifat sifat waduk harus dipertimbangkan karena kapasitas waduk untuk penyimpanan air,akan memegang peran penting dalam penyiapan kurva pengaturan operasi. Sebagai penampungan air ,waduk akan menunjukkan volume air yang dapat disimpan pada setiap ketinggian muka air. b)Waduk berfungsi untuk pemanfaatan untuk air irigasiair baku domestik atau komesrsial dan pembangkit tenaga listrik,maka jadwal pemberian air yang tepat harus ditentukan untuk memenuhi kebutuhan air dari berbagaisektor tersebut.Kehilangan air seperti penguapan/evaporasi dan sebagainya harus dipertimbangkan dalam kebutuhan air. c)Aliran yang masuk ke waduk(inflow) merupakan sumber air,oleh karena itu pengamatan yang cermat perlu dilakukan untuk berbagai macam aliran karena akan mempengaruhi volume air yang dapat ditampung oleh waduk. 2.Prosedure Pembuatan Kurva Pengaturan Operasi Waduk a)Aliran yang air waduk minimum yang diperkenankan ditetapkan pada akhir bulan dari periode kritis, berikut volume air waduknya,dengan menggunakan lengkung elevasi muka air dan volume air waduk. b)Berdasarkan elevasi muka air waduk minimum dan volumenya tersebut,dilakukan perhitungan (routing procedure) untuk mencari elevasi muka air waduk yang diharapkan pada setiap akhir bulan dan.berurutan. Perhitungan elevasi muka air waduk dengan cara sebagai berikut : ? Hitung volume air waduk pada setiap akhir bulan dengan menambahkan volume air yang dapat ditampung terhadap volume air waduk dari bulan sebelumnya. ? Volume air yang dapat ditampung yaitu : Aliran masuk dikurangi aliran keluar , ( Inflow Out flow) ? Aliran keluar adalah pemberian air untuk irigasi,air baku untuk domestik atau komersial dan lain-lain termasuk evaporasi (total evaporasi dikurangi curah hujan) ? Elevasi muka air waduk didapat dengan membaca dari lengkung elevasi muka air dan volume air waduk c)Proses perhitungan tersebut diulang sampai pada akhir bulan dari awal perhitungan ( periode kritis) d)Jika ada volume air yang dapat ditampung ( aliran masuk ke waduk sama dengan aliran keluar , inflow = outflow ),perhitungan tersebut diatas tetap dilakukan. jika elevasi muka air waduk lebih dari elevasi muka air waduk maksimum (elevasi air penuh/ EAPh untuk setiap bulan,aliran masuk yang ada dialirkan keluar dan elevasi air waduk dipertahankan sesuai sesuai EAPh). e)Dibuat kurva muka air yang memperlihatkan elevasi muka air waduk untuk setiap bulan dan dinamakan “ Kurva Pengaturan Operasi Waduk” f)Jika elevasi muka air waduk pada bulan tertentu lebih rendah dari elevasi muka air minimum,maka akan terjadi kekurangan air,oleh karena itu pemberian air untuk air baku,pembangkit tenaga listrik dan irigasi harus dikurangi. Pada saat elevasi muka air waduk turun dan terjadi keadaan darurat maka Pengelola dari Dep.PU atau Dinas PU harus membuat Pola Pemberian Air yang baru dengan dikonsultasikan bersama secara sinergi dengan instansi terkait. 3.Kurva Pengaturan Operasi Waduk Dari data aliran masuk, terlihat pada grafik 4.2 pemasukan aliran minimum jatuh di bulan April,Mei, Juni sedangkan pemasukan yang cukup besar mulai dari bulan Juli sampai Desember. Jadi pada akhir bulan dari periode kritis tanggal 30 Juni 2006,pada saat elevasi muka air waduk minimum ( elevasi + 200) BAB V. KEBIJAKAN DAN STRATEGI 5.1. Perumusan Kebijakan. Kebijakan pemerintah dalam menyikapi persoalan yang terjadi didaerah aliran sungai (DAS) haruslah merupakan satu pendekatan yang bersifat terpadu, artinya dalam suatu pengelolaan di daerah aliran sungai harus mempunyai suatu perencanaan yang komprehensif dan melibatkan semua unsur terkait (stakeholder) dan juga dibuat sebuah aturan yang mengikat yang membuat masyarakat terkontrol dalam setiap tindakannya. 5.2. Penyesuaian Kebijakan. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) haruslah mendapat suatu pengawasan yang ketat, dimana setiap masyarakat yang akan membuat atau membangun di zona tersebut harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan instansi-instansi terkait. Dimana kebijakan-kebijakan tersebut disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada. 5.3. Rencana Strategis. Dalam suatu wilayah sungai yang akan dikembangkan haruslah dibuat suatu perencanaan yang terpadu dengan melibatkan semua pihak yang terkait sehingga lingkungan pantai tetap terpelihara dengan baik. BAB VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka akan timbul banyak masalah yang berhubungan dengan keterbatasan sumber daya air. Agar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan maka diperlukan suatu sistem pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan komprehensif, khususnya yang berkaitan dengan konservasi daerah aliran sungai (DAS). Keberhasilan dari konservasi daerah aliran sungai akan meningkatkan ketersediaan air dan kesejahteraan masyarakat, yang akan sangat menunjang pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempertahankan keutuhan Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 29 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran serta masyarakat dalam rangka menjaga ketersediaan air waduk pada musim kemarau sangat dominan peranannya. Bentuk peran serta masyarakat tersebut adalah : 1.Masyarakat yang berada di sekitar DAS mengubah lahan perkebunannya dengan tanaman keras seperti jengkol, petai, durian dll. 2.Masyarakat tidak membangun rumah di pinggiran Sungai Citarum yang mengakibatkan penyempitan lebar sungai. 3.Pencanangan moto “Hemat air”. 4.Melaporkan ke pihak yang berwajib bila ada oknum yang melakukan pengerusakan alam yang akan berakibat terhadap perubahan sumber daya air. 5.Ikut menjaga infrastruktur yang telah dibangun 6.2.Rekomendasi. ? Perlu didorong peran aktif masyarakat dan segenap pemangku kepentingan untuk menjaga dan melakukan perlindungan terhadap kelestarian daerah tangkapan air secara bekelanjutan . ? Koordinasi dengan instansi terkait agar pelaksanaan lebih sinergi. ? Melakukan pemeliharaan waduk secara berkesinambungan agar daya tampung waduk sesuai rencana. DAFTAR PUSTAKA 1.Undang-Undang Nomor 7, 2004. Sumber Daya Air 2.Siswoko,Ir,Dipl.HE, MKUK, 2006 Kebijakan Strategis dan Penyelenggaraan Sektor SDA. 3.Sugimin Pranoto,Dr, 2006, Designing Community Based Development, MKUK Pusbiktek. 4.Robert J.Kodoatie,Ph.D dan Roestam Sjarief,Phd,2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. 5.Kliping Koran Pikiran Rakyat, April 2005 6.Jasa Tirta II Jatiluhur, 2002, Company Profile. 7.Bahan ajaran MKUK 2006, Pusbiktek,BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum. (*) Karyasiswa Program Magister Teknik Perencanaan Lingkungan Permukiman Angkatan 2006, Kerjasama Pendidikan Pusbiktek Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Jurnal Pendidikan Profesional Volume I No. 13 Februari 2007 30