“Pengendalian Menara Telekomunikasi melalui Penetapan zona

advertisement
“Pengendalian Menara Telekomunikasi melalui
Penetapan zona Menara Telekomunikasi”
Disusun oleh:
Indria Wahyuni, S.H., LL.M. (Ketua)
Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H.
Dr. Emanuel Sujatmoko, S.H., M.S.
Dr. Lilik Pudjiastuti, S.H., M.H.
Agus Widyantoro, S.H., M.H.
Zendy Wulan Ayu W.P., S.H., LL.M.
Nurul Barizah, S.H., LL.M., PhD.
KERJASAMA PANITIA PERANCANG UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN
DAERAH RI DENGAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2013
HALAMAN PENGESAHAN
1.
Judul Penelitian
2.
Ketua Peneliti
: KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN
MENARA TELEKOMUNIKASI MELALUI
PENETAPAN ZONA MENARA
TELEKOMUNIKASI
a. Nama Lengkap
: Indria Wahyuni, S.H., LL.M.
b. Jenis Kelamin
: P
c. NIP
: 198201232006042001
d. Pangkat/Golongan
: III/a
e. Jabatan
: Asisten Ahli
f. Bidang Keahlian
: Hukum Pemerintahan Daerah
g. Fakultas/ Jurusan
: Fakultas Hukum/ Hukum Administrasi
h. Perguruan Tinggi
: Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Tim Peneliti
No
Nama Peneliti
Bidang Keahlian
Departemen Perguruan
Tinggi
1.
2.
3.
Dr.Sri Winarsi, S.H.,
Hukum Administrasi,
Hukum
M.H.
Sengketa Pemerintahan
Administrasi
Dr. Lilik Pudjiastuti,
Hukum Administrasi
Hukum
S.H., M.H.
Administrasi
Dr. Emanuel
Hukum
Sujatmoko, S.H.,
Administrasi
UNAIR
UNAIR
UNAIR
M.S
4.
Agus Widyantoro,
Hukum Perusahaan
S.H., M.H.
5.
Zendy Wulan Ayu
UNAIR
Perdata
Hukum Tata Negara
W.P., S.H., LL.M.
6.
Hukum
Hukum Tata
UNAIR
Negara
Nurul Barizah, S.H.,
UNAIR
LL.M., PhD.
ii
5.
Pendanaan dan Jangka waktu Penelitian
a. Jangka Waktu Penelitian yang diusulkan : 4 bulan
b. Biaya yang Disetujui
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si.
NIP. 195205291974121001
: Rp.100.000.000,Surabaya, 18 Maret 2013
Ketua Peneliti
Indria Wahyuni, S.H., LL.M.
NIP. 198210232006042001
iii
ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi
semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Peningkatan ini dibarengi dengan
pertumbuhan menara telekomunikasi sebagai infrastruktur bagi para penyedia jasa
telekomunikasi untuk memberikan layanan telekomunikasi bagi penggunanya. Keberadaan
pengaturan tentang menara telekomunikasi sangat penting untuk menjamin hak masyarakat
untuk berkomunikasi, hak untuk melakukan kegiatan bisnis serta menyeimbangkan hak tersebut
dengan kepentingan pemerintah untuk melindungi masyarakatnya. Di dalam penelitian ini akan
membahas secara mendalam mengenai urgensi pengaturan menara telekomunikasi, kewenangan
pemerintah daerah dalam mengatur pengendalian menara telekomunikasi dan instrument yang
dapat digunakan untuk pengendalian tersebut serta model hukum yang diperlukan guna penataan
menara telekomunikasi. Pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi harus diselaraskan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Daerah dapat melakukan pengendalian dengan
menggunakan instrument diantaranya zonasi, pengaturan Izin mendirikan bangunan menara,
kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama serta instrument ekonomik.
Diantara instrument tersebut, hanya penerbitan Izin mendirikan bangunan menara dan instrument
ekonomik yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, sedangkan pengaturan zonasi dan kebijakan pemanfaatan
bersama menara telekomunikasi hanya dituangkan dalam bentuk hukum Peraturan Bersama
Menteri, yang menimbulkan problematika hukum bila ditinjau dari daya mengikat dan
keberlakuannya sebagai pembebanan kewajiban bagi daerah untuk menerapkan kebijakan zonasi
menara telekomunikasi. Penataan Zonasi diperlukan agar pertumbuhan manara telekomunikasi
dapat dikendalikan, sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, estetika dan keamanan
lingkungan.
Kata kunci : Menara Telekomunikasi, Zonasi, penataan.
iv
RINGKASAN
Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana
telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Penggunaan
sarana telekomunikasi mempermudah masyarakat untuk melakukan komunikasi dan
meningkatkan produktifitas. Ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut perlu
didukung dengan infrastuktur yang memadai berupa menara telekomunikasi sebagai
bangunan
yang difungsikan sebagai penunjang jaringan
telekomunikasi
yang
desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan komunikasi dengan
memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan.
Pengaturan mengenai menara telekomunikasi sangat penting untuk memenuhi hak
telekomunikasi masyarakat, hal ini terkait dengan konsepsi filosofis pertanggungjawaban
negara dalam memenuhi hak berkomunikasi warganya sebagaimana dijamin dalam Pasal
28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi”. Selain itu sebagai penjabaran fungsi pemerintah selaku wasit (umpire), maka
pengaturan penataan menara telekomunikasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara
kepentingan pengusaha di bidang menara telekomunikasi, masyarakat dan pemerintah.
Kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengendalian dan penataan
menara telekomunikasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, berupa kewenangan pemerintah untuk mengatur daerah
otonomnya. Hal ini mencakup kewenangan pemerintah daerah untuk menyusun dan
menetapkan tata ruang wilayahnya dengan tetap berpedoman pada tata ruang nasional.
Dalam hal penataan menara telekomunikasi pemerintah daerah berwenang untuk
mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi agar sesuai dengan peruntukan wilayah di
daerahnya. Kewenangan pemerintah daerah dalam pengaturan menara telekomunikasi
tersebut juga didukung dengan peraturan-peraturan terkait lainnnya seperti UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan peraturan pelaksananya.
Dasar kewenangan ini menjadi sangat essensial mengingat tanpa dasar kewenangan
v
setiap tindakan pemerintah menjadi cacat dikarenakan pemerintah tidak berwenang (on
bevoegheid) dalam melakukan tindakan hukum tersebut.
Dalam hal penataan tersebut, pemerintah daerah dapat menggunakan empat
instrument diantaranya Instrumen Zonasi, Izin mendirikan bangunan menara, perizinan
atau dokumen lainnya, kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama dan
instrument ekonomik. Dari ke-empat instrument tersebut yang diatur secara tegas dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota hanya tegas
menyatakan kewenangan pemerintah daerah untuk menerbitkan Izin Mendirikan
Bangunan Menara serta melakukan pungutan retribusi atas Pengendalian Menara
Telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sedangkan ketentuan mengenai Zonasi dan kebijakan penggunaan menara
telekomunikasi secara bersama hanya diatur dalam bentuk hukum Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika
Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18
Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor
3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara
Telekomunikasi. Problematika hukum timbul atas daya mengikat dari aturan tersebut
terhadap pelaksanaan kebijakan zonasi di daerah. Untuk menjawab problematika tersebut
model hukum yang direkomendasikan dalam penelitian ini adalah dengan menerbitkan
Peraturan Pemerintah mengenai Pemanfaatan Menara Telekomunikasi bersama, dimana
substansi dari peraturan ini mencakup standarisasi kebijakan zonasi dan pemanfaatan
menara telekomunikasi secara bersama.
vi
PRAKATA
Puji Syukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan perkenan, hidayah dan
pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan penelitian ini, yang mengambil
judul
KEBIJAKAN
PENGENDALIAN
PERTUMBUHAN
MENARA
TELEKOMUNIKASI MELALUI PENETAPAN ZONA MENARA TELEKOMUNIKASI.
Ide awal dari penelitian ini bahwa kebutuhan masyarakat akan telekomunikasi semakin
meningkat, hal ini dibarengi dengan pertumbuhan menara telekomunikasi sebagai upaya dari
para penyedia jasa telekomunikasi untuk memberikan layanan telekomunikasi terbaik bagi
penggunanya. Apabila hal ini tidak diatur maka menara telekomunikasi akan berdiri di setiap
tempat tanpa memperdulikan tata ruang, peruntukan lahan dan keamanan bagi masyarakat di
sekitar menara. Pertumbuhan menara telekomunikasi yang tidak terkendali juga mengakibatkan
buruknya estetika kota, karena dipenuhi oleh menara-menara telekomunikasi yang menjulang
tinggi. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu melakukan kebijakan untuk mengatur
pertumbuhan menara telekomunikasi tersebut. Namun sampai saat ini belum ada perundangan
yang mengatur tentang pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi, peraturan yang ada
hanya berupa Surat Keputusan Bersama yang dari segi tata urutan peraturan perundangundangan berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 bukan merupakan bagian dari tata
urutan.
Selesainya penelitian ini merupakan bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu
perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Unair, Ketua
Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah (PPUU DPD RI), Dinas
Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan
pihak-pihak lain yang telah membantu kami, menyediakan data, memberikan saran dan masukan.
Tanpa adanya bantuan dari para pihak tersebut, tentunya penelitian ini tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, oleh karena itu penulis sangat berharap adanya
kritik konstruktif dalam rangka perbaikan penelitian ini, karena penulis sadar bahwa Laporan
penelitian ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan.
Surabaya, 10 Juli 2013
Tim Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN…………………….....………….……………..…………………………………..
ABSTRAK …………………………………………………………………………………………………………….
RINGKASAN ………………..……………………………………………………………………………………….
PRAKATA …………………………………………………………………………………………………………….
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………….
HAL
ii
Iv
V
Vii
viii
BAB I
:
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Permasalahan ……………………………………………..….
I.2. Perumusan Masalah ……………………………………………………………….
BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola
Hubungan
antara
Pemerintah
dan
Masyarakat……………..……………………………………………………….. 5
a. Negara sebagai Penyedia Sarana Telekomunikasi
………………………………………………………………………………….……. 6
BAB III
:
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
III.1. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………... 10
III.2. Manfaat Penelitian ………………………………………………………………. 10
BAB IV
:
METODE PENELITIAN
IV.1. Pendekatan Masalah …………………………………………………………….
IV.2. Bahan Hukum …………………………………………………………………...…
IV.3. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………...…
IV.4. Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………………….
BAB V
:
HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1.Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi Hak Telekomunikasi
……………………………………………………………………………………………………
A. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen
Hukum Internasional ……….……………………………………………..
B. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen
Hukum Nasional ………………..……………………………………………
C. Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk
Berkomunikasi menurut Instrumen Hukum Internasional
dan Nasional ……………………………………………………………………
1
4
11
11
11
12
13
14
15
18
20
V.2. Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum 26
Bisnis ....……………………………………………………………………………….
viii
A.
B.
C.
D.
Menara Telekomunikasi ……………………………………………………….
Legalitas Bisnis …………………………………………………………………….
Model Bisnis Menara Telekomunikasi ……………………………………
Pengaturan Sub Bidang Usaha Menara Telekomunikasi ………….
28
29
33
35
V.3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara
Telekomunikasi ………………………………………………………………….. 37
A. Keabsahan Tindak Pemerintahan Dalam Penataan dan
Pengendalian Menara Telekomunikasi ………………………………..
37
B. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam
Pengaturan Menara Telekomunikasi …………………………………… 42
V.4.
A.
B.
C.
D.
E.
Instrumen
Penataan
dan
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi …………………………………………………………………...
Zona Penempatan Menara Telekomunikasi ………………………
Izin Mendirikan Bangunan Menara …………………………………..
Perizinan dan dokumen yang terkait dengan penataan dan
pengendalian menara telekomunikasi ……………………………...
Kebijakan penataan Menara Telekomunikasi Bersama …….
Instrumen Ekonomik ……………………………………………………….
V.5. Penataan Pengendalian Menara Telekomunikasi di beberapa
daerah di Jawa Timur
A. Kota Surabaya ………………………………………………………………………..
B. Kabupaten Pasuruan ………………………………………………………………
C. Kabupaten Blitar ……………………………………………………………………
D. Kabupaten Ngawi ………………………………………………………………….
E. Kabupaten Tulungagung ……………………………………………………….
V.6.
A.
B.
BAB VI
:
65
66
69
78
78
80
82
89
95
99
107
Model Hukum Pengaturan Kebijakan Penataan dan
Pengendalian Menara Telekomunikasi
Daya Mengikat Peraturan Bersama Menteri …………………………. 109
Model
Hukum
Pengendalian
Penataan
Menara
Telekomunikasi …………………………………………………………………... 112
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan ………………………………………………………………………… 116
VI.2. Rekomendasi ………………………………………………………………………. 117
DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Permasalahan
Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana
telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Penggunaan
sarana telekomunikasi mempermudah masyarakat untuk melakukan komunikasi dari
jarak yang berjauhan. Selain memperpendek jarak dan mempermudah komunikasi,
ketersediaan fasilitas telekomunikasi akan meningkatkan produktifitas masyarakat.
Ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut perlu didukung dengan infrastuktur yang
memadai berupa menara telekomunikasi. Menara Telekomunikasi merupakan bangunan
yang difungsikan sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk
konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan komunikasi. Pembangunan dan
penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam
penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan
dan estetika lingkungan.
Menara Telekomunikasi adalah bangunan untuk kepentingan umum yang
didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan
bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya
dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal
tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana
penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi 1. Mengingat fungsinya guna
menunjang jaringan telekomunikasi, dengan demikian menara telekomunikasi sangat
dibutuhkan dalam upaya pemenuhan atas hak masyarakat atas fasilitas telekomunikasi.
1
Ps 1 angk 8 Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negari, Menteri Pekerjaan Umum, Menkominfo,
Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi
Keberadaan menara telekomunikasi di setiap kabupaten/kota menunjukkan angka
pertumbuhan yang tinggi. Di Surabaya misalnya, dengan luas wilayah Kota 326.37 Km2,
sampai dengan tahun 2010 terdapat 857 menara telekomunikasi yang terdiri dari menara
Green Field sebanyak 455 buah, menara Roof Top sebanyak 398 buah dan menara
Combat sebanyak 4 buah dengan jumlah 1207 BTS 2. Setiap menara telekomunikasi yang
berdiri haruslah memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan masyarakat, tata ruang
dan lingkungan hidup. Oleh karena itu pemerintah daerah dalam fungsinya sebagai
pelindung masyarakat (to protect) haruslah melakukan kebijakan pengendalian
pertumbuhan menara telekomunikasi guna menjamin pematuhan terhadap aspek-aspek
tersebut. Penataan menara telekomunikasi bertujuan untuk mengendalikan dan
mensinergikan antara ketersediaan ruang kota kebutuhan menara telekomunikasi,
keamanan serta meningkatkan kehandalan cakupan frekuensi telekomunikasi. Dengan
tujuan tersebut, maka dalam melakukan penataan menara telekomunikasi sangat
diperlukan guna menyeimbangkan jumlah dan prioritas penggunaan menara sehingga
dapat dicapai efesiensi dalam pemanfaatan ruang.
Mendirikan menara telekomunikasi merupakan salah satu dari kegiatan
mendirikan bangunan, khususnya bangunan non gedung, oleh karena itu mendirikan
menara telekomunikasi perlu mendapat pengaturan yang berorientasi pada keamanan,
keindahan dan kebutuhan tata ruang kota guna kelangsungan dan peningkatan kehidupan
serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan non gedung yang
fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Pada beberapa kondisi dan keadaan, kehadiran menara telekomunikasi dengan
fungsi sebagai base transceiver service (BTS) bagi beberapa pemerintah daerah
kabupaten/kota dirasa mengganggu, sehingga memerlukan langkah pengaturan, penataan,
penertiban. Meskipun secara fungsional BTS sangat dibutuhkan untuk mendukung
teknologi komunikasi, bukan berarti pembangunan dan pertumbuhannya boleh bebas
dibiarkan tanpa kendali, sehingga dalam konteks itu diperlukan pengendalian. Pemerintah
2
Dinas Komunikasi dan Informatika, Pemerintah Kota Surabaya
2
daerah memiliki berbagai kepentingan untuk mengatur, menata, menertibkan, dan
mengawasinya.
Sebagai contoh kasus, beberapa waktu yang lalu Pemerintah Kabupaten Badung,
Provinsi Bali, menyatakan bahwa perlu penertiban terhadap bangunan yang tidak
memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 3, termasuk BTS. Sebagai perwujudan atas
penertiban itu, Pemerintah Kabupaten Badung merobohkan 14 (empat belas) menara
telekomunikasi yang mengakibatkan sekitar 88 BTS tidak beroperasi sehingga ratusan
ribu pelanggan ponsel dari berbagai provider terganggu pelayanannya. Peristiwa itu
menimbulkan permasalahan hukum yang menarik untuk diteliti atau dikaji. Pertama,
kajian tentang wewenang pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur, menata,
menertibkan, mengawasi BTS. Kedua, persyaratan dan ketentuan tentang perijinan BTS.
Secara fungsional, BTS merupakan infrastuktur pendukung utama untuk akses
telekomunikasi. Keterbatasan BTS akan menyebabkan akses masyarakat terhadap
informasi dan pengetahuan juga berkurang, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan
persoalan dalam rangka menghadapi masalah globalisasi. Isu-isu global menjadi sangat
mudah diakses oleh masyarakat apabila pembangunan dan ketersediaan infrastruktur
telekomunikasi di masyarakat tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai.
Kejadian di Badung, pada satu sisi dapat dilihat sebagai suatu bentuk peristiwa yang
menyebabkan terjadi gangguan dan hambatan bagi akses masyarakat terhadap informasi
dan pengetahuan yang diperlukan oleh masyarakat dalam menjalankan kehidupannya,
baik ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan sosial lainnya sebagai bagian dari
sistem komunikasi global. Namun, pada sisi lain, juga perlu ditegakkan peraturan yang
berlaku di Badung, untuk dipatuhi oleh para pelaku usaha terkait dengan BTS. Artinya,
pemenuhan infrastruktur telekomunikasi harus memenuhi aspek legal sesuai peraturan di
kabupaten/kota, jangan menggunakan hak masyarakat atas perolehan informasi dan
pengetahuan sebagai dalih untuk melakukan pelanggaran IMB.
Di dalam penataan menara telekomunikasi tersebut, pemerintah daerah perlu
melakukan berbagai kebijakan hukum dalam menjamin keberlangsungan Menara
Telekomunikasi yang sesuai dengan ketentuan kelayakan bangunan dan aspek-aspek
3
Bisnis Indonesia, 14/07/2009.
3
terkait. Model kebijakan hukum tersebut diantaranya dengan instrument zonasi dan
medorong penggunaan bersama menara telekomunikasi.
I.2. Perumusan Masalah
Beranjak dari pemikiran dan paparan yang disajikan dalam latar belakang diatas,
maka penelitian ini akan menyuguhkan pembahasan terkait dengan persoalan-persoalan
kebijakan pengendalian menara telekomunikasi, yaitu:
a. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam memenuhi hak Telekomunikasi.
b. Kewenangan Pemerintah daerah dalam pengaturan menara telekomunikasi.
c. Model Kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi di Wilayah
Jawa Timur.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola Hubungan antara Pemerintah dan Masyarakat
Secara filosofis, negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab
untuk menyelenggarakan pelayanan sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public service) dari
pengguna layanan. Sementara rakyat memiliki hak atas pelayanan dari negara karena
sudah memenuhi kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar pajak atau
punggutan lainnya (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat dalam partisipasi
penyelenggaraan pelayanan publik. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam
Negara demokrasi dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Pemerintah mempunyai kewenangan dalam mengendalikan masyarakat (Sturen)
serta memberikan sanksi apabila terdapat pelangggaran terhadap ketentuan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian tersebut. Lebih lanjut, dalam
konsep demokratisasi pembangunan, menurut Friedmann, Negara memegang beberapa
fungsi yaitu: (a) Negara sebagai regulator; (b) Negara sebagai provider (penyedia layanan
publik); (c) Negara sebagai entrepreneur; dan (d) Negara sebagai wasit. Sebagai penyedia
layanan publik Negara (dalam hal ini pemerintah daerah) wajib memberikan pelayanan
yang prima kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
5
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Pelaksanaan pelayanan
kepada masyarakat tersebut haruslah sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk pada pemenuhan
kebutuhan akan telekomunikasi, mengingat bahwa tingkat kebutuhan masyarakat atas
telekomunikasi terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Mobilitas
masyarakat perlu didukung dengan sarana telekomunikasi yang memadai. Kebutuhan
telekomunikasi juga berpengaruh pada pertumbuhan bisnis dan ekonomi masyarakat.
Dalam hal peningkatan kebutuhan masyarakat atas telekomunikasi, pemerintah berperan
penting dalam mengatur agar pemenuhan kebutuhan tersebut tidak menggangu hak
masyarakat yang lain serta mengatur agar kenyamanan dan keamanan masyarakat tetap
terjaga.Pengaturan tersebut perlu dituangkan dalam bentuk produk hukum agar
memenuhi asas legalitas.
B.
Negara sebagai penyedia sarana telekomunikasi
Perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
khususnya
teknologi
telekomunikasi sangat berpengaruh pada pada kebutuhan manusia. Telekomunikasi saat
ini tidak saja sebagai sarana untuk melakukan hubungan antar masyarakat, namun
telekomunikasi telah menjadi bagian dari peradaban manusia dan kepentingan ekonomi.
Selain itu telekomuniukasi juga sudah merupakan bagian dari hak asasi manusia
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi.”
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut dapat dilakukan
dan diperoleh antara lain melalui sarana telekomunikasi yang tersedia. Telekomunikasi
dapat diartikan “setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap
informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
6
sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.” 4
Artinya
telekomunikasi merupakan instrumen untuk berkomunikasi atau penyampaian informasi
yang dibutuhkan oleh masyarakat, dimana berkomunikasi dan memperoleh informasi
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak berkomunikasi dan
memperoleh informasi merupakan bagaian dari hak asasi manusia, sehingga dalam
melakukan komunikasi dapat dimungkinkan adanya benturan kepentingan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut tentunya menuntut negara
untuk mengatur dan mengendalikan telekomunikasi dalam upaya pemenuhan hak
masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu peran negara
dalam telekomunikasi juga disebabkan semakin berkembang dan meningkatnya kegiatan
usaha
telekomunikasi,
sehingga
telekomunikasi
diharapkan
dapat
memajukan
kesejahteraan masyarakat baik dari sisi pengusaha telekomunikasi maupun pengguna
telekomunikasi itu sendiri. Peran negara dalam pengendalian dan pemenuhan sarana
telekomunikasi tidak dapat dilepaskan dari fungsi negara sebagai penyedia (provider),
dimana Negara bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana untuk layanan
sosial dalam rangka menjamin standar kehidupan bagi semua orang, dalam hal ini
menyediakan sarana untuk terpenuhinya kebutuhan komunikasi. Selain itu Negara juga
sebagai pengatur (regulator), dimana negara sebagai pembuat peraturan yang digunakan
berbagai sarana kontrol/pengendalian telekomunikasi
Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945, bahwa tujuan
bangsa Indonesia bernegara yang merdeka antara lain “untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….. “. Salah satu sarana untuk mewujudkan
tujuan tersebut antara lain tersedianya sarana telekomunikasi yang memadai. Hal tersebut
mengingat bahwa
“telekomunikasi digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas
masyarakat melalui penyampaian pesan dan informasi. Menyusul memudarnya era
ekonomi industri, informasi sudah mulai menunjukkan peran pentingnya bagi
pembentukan era ekonomi baru, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based
economy). Di sisi lain, informasi juga berperan signifikan dalam proses pendidikan
4
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
7
masyarakat, penyebarluasan pengetahuan, perkuatan budaya, dan pemupukan ideologi
bangsa yang pada akhirnya akan memengaruhi pembinaan mental dan karakter anak
bangsa. Dengan kata lain, posisi telekomunikasi menjadi sangat strategis bagi Republik
Indonesia, karena telekomunikasi memfasilitasi penguatan sistem pertahanan dan ketahan
nasional.” 5
Memperhatikan hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan kesejarahan pengelolaan
telekomunikasi penyelenggaraan telekomunikasi sejak kelahirannya merupakan jenis
layanan
publik
yang
dikuasai
pemerintah
karena
adanya
pemahaman
bahwa
telekomunikasi merupakan kekayaan alam yang dimiliki negara dan digunakan sebanyakbanyaknya bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dalam perjalanan waktu,
pemerintah memberikan kekuasaan pengelolaan telekomunikasi kepada sebuah badan
usaha milik negara (BUMN) untuk menjalankan fungsi penyediaan infrastruktur dan
penyelenggraan telekomunikasi. Guna memastikan pelaksanaan mandat negara kepada
BUMN dibuatlah regulasi yang memberikan koridor operasional. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyediaan sarana telekomunikasi yang
awalnya dikuasai oleh negara, maka telah digeser oleh peran swasta, sehingga
telekomunikasi sudah merupakan sebuah industry yang lebih mengedepankan keuntungan.
Walaupun demikian peran negara masih sangat diperlukan, hal tersebut mengingat bahwa
hak untuk memperoleh informasi, dan berkomunikasi merupakan bagian dari hak asasi
manusia, sehingga ada kewajiban negara untuk memenuhinya. Sebagaimana diketahui
bahwa wilayah negara Indonesia yang sangat luas ini tidak semua dapat dilayani oleh
pihak swasta, namun masih banyak wilayah yang belum terjangkau telekomunikasi,
mengingat bahwa tidak adanya pihak swasta yang mau melakukan usaha telekomunikasi
di wilayah tersebut dikarenakan mahalnya membangun infrastruktur telekomunilasi.
Dalam keadaan demikian, maka peran negara untuk menyediakan sarana dan prasarana
telekomunikasi yaitu “segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya
telekomunikasi.” 6 Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Telekomunikasi dikuasai oleh Negara
5
6
http://maswig.blogspot.com/2006/10/telekomunikasi-memperkuat-pertahanan.html
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
8
dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.” Hal tersebut mengingat bahwa
telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam
kehidupan nasional, maka penyelenggaraan telekomunikasi tersebut dikuasai oleh negara.
Penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang nomor 36 tahun1999 meliputi:
a.
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b.
penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c.
penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Pengusaan oleh negara atas telekomunikasi tersebut diartikan bahwa negara mempunyai
kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta, melalui
perizinan.
9
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
III.1. Tujuan
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1) Untuk mengidentifikasi dan menganalisa urgensi telekomunikasi dalam memenuhi hak
telekomunikasi dari perspektif hak asasi manusia dan hukum bisnis.
2) Untuk mengidentifikasi dan menganalisa kewenangan dari pemerintah daerah atas
penataan menara telekomunikasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3) Untuk merumuskan model pengendalian menara telekomunikasi melalui penetapan Zona
menara telekomunikasi.
III.2. Manfaat penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat diidentifikasi konsepsi mengenai
pengendalian
menara telekomunikasi daerah baik dari segi kewenangan maupun dari segi bentuk hukum
pengendalian menara telekomunikasi, sehingga dapat diperoleh rekomendasi bentuk hukum
dan model pengendalian menara telekomunikasi yang tepat guna menyelesaikan
permasalahan penataan menara telekomunikasi. Hasil penelitian ini selain dapat dijadikan
masukan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Pusat atas urgensi dari
pengendalian pertumbuhan Menara Telekomunikasi.
10
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1. Pendekatan masalah
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif. Sebagai penelitian hukum normatif pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
IV.2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini diperlukan bahan hukum yang dibedakan dalam bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi peraturan
perundang-undangan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan menteri dan peraturan daerah. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam
penelitian ini berbagai karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, ensiklopedi, jurnaljurnal ilmiah, terbitan (media massa) harian atau berkala di bidang hukum dan naskah
akademik dari beberapa peraturan perundang-undangan.
IV.3. Prosedur pengumpulan bahan hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui metode bola salju (snow ball method) dan
prosedur identifikasi serta invertarisasi bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Terhadap
bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan klasifikasi secara sistematis sesuai dengan
rumusan masalah dan tujuan penelitian. Klasifikasi dimaksudkan untuk melakukan
pemilahan bahan hukum sedasar dengan tema-tema analisis yang relevan dengan
menggunakan kartu catatan.
11
IV.4. Pengolahan dan analisis data
Bahan-bahan hukum yang diperoleh diolah dengan kategorisasi sebagai pengklasifikasian
bahan hukum secara selektif. Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan
menggunakan pembahasan diskriptif analitik yang oleh Jan Gijssels dan Mark Van Hoeke
dikatakan sebagai orang membatasi penyusunan studinya pada suatu pengkajian. Suatu
analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung berupaya untuk mengkonstruksikan atau
menguji hipotesa atau teori 7
7
Jan Gissels dan Mark Van Hoeke, Rechtswetwnschappen,1982
12
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan penelitian ini akan mencakup berbagai aspek yang terkait dengan
kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. Pada bagian pertama akan
membahas mengenai Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi hak telekomunikasi. Pada
bagian ini akan dianalisa secara mendalam mengenai pengaturan hak untuk berkomunikasi
dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional. Analisa mengenai hal ini
ditujukan untuk memotret pengaturan hak berkomunikasi masyarakat dari sudut pandang
instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional. Akan dianalisa juga dalam
bagian ini konsepsi pertanggungjawaban negara dalam hak berkomunikasi guna
menemukan landasan filosofis bagi pembebanan tanggung jawab negara dalam memenuhi
hak berkomunikasi masyarakat. Pembahasan pada bagian pertama ini merupakan landasan
bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya di penelitian ini.
Sebagai penjabaran fungsi pemerintah selaku wasit (umpire) 8, maka pengaturan
penataan menara telekomunikasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan
pengusaha di bidang menara telekomunikasi, masyarakat dan pemerintahBagian Kedua
dari pembahasan penelitian ini akan mendalami pengaturan menara telekomunikasi dalam
perspektif hukum bisnis. Pada bagian ini juga akan dianalisa lebih lanjut mengenai
legalitas bisnis dan model bisnis menara telekomunikasi. Pembahasan pada bagian kedua
ini ditujukan untuk memahami urgensi pengaturan menara telekomunikasi dari perspektif
hukum bisnis, hal ini menjadi penting karena dalam pengaturan menara telekomunikasi,
pemerintah diwajibkan untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyeimbangkan
kepentingan pengaturan, kepentingan pengusaha, masyarakat dan pemerintah. Bagian
ketiga pembahasan penelitian akan menganalisa secara spesifik mengenai Kewenangan
Pemerintah daerah dalam Pengaturan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Pembahasan pada bagian ini akan melihat kewenangan pemerintah daerah dalam
menetapkan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi yang bersumber dari berbagai
8
.
Lihat Friedman Wolfgang, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens, Sons, London, 1971
13
peraturan perundangan-undangan yang terkait. Analisa dalam bagian ini sangatlah penting
karena melandasi dasar kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan
hukum terkait dengan pengendalian menara. Dasar kewenangan ini menjadi sangat
essensial mengingat tanpa dasar kewenangan setiap tindakan pemerintah menjadi cacat
dikarenakan pemerintah tidak berwenang (on bevoegheid) dalam melakukan tindakan
hukum tersebut.
Bagian keempat dari pembahasan penelitian ini akan membahas perihal instrument
penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Pembahasan ini akan dilanjutkan pada
kondisi penataan pengendalian menara telekomunikasi di beberapa daerah di Provinsi Jawa
Timur. Daerah yang dijadikan rujukan pada pembahasan ini adalah Kota Surabaya,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Ngawi, Kabupatem Tulungagung.
Tujuan dari pembahasan pada bagian ini untuk memberikan gambaran dan analisa
mengenai pelaksanaan penataan pengendalian menara telekomunikasi di beberapa daerah
di Jawa Timur.
Bagian terakhir (keenam ) penelitian ini akan menganalisa dan merumuskan model
hukum dalam pengaturan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. Analisa pada
bagian ini berpijak pada analisa-analisa sebelumnya. Bagian ini akan membahas
keberlakuan daya mengikat sebuah Surat Keputusan Bersama dan perumusan rekomendasi
model hukum dalam penataan dan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi.
V.1. Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi Hak Telekomunikasi
Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang mendasar. Komunikasi juga
merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting dan merupakan hak asasi manusia.
Tanpa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan orang lain, tidak
mungkin individu, masyarakat atau kelompok akan mampu bertahan. Hal tersebut
disebabkan karena dengan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi; individu,
masyarakat atau kelompok akan memiliki kemungkinan untuk bisa bertukar pendapat atau
pikiran dengan individu, masyarakat atau kelompok lain. Dalam hal ini bisa dikatakan
bahwa komunikasi memungkinkan setiap orang, masyarakat atau kelompok untuk
mengekspresikan diri dan menunjukkan titik pandang mereka. Akibatnya adalah bahwa
14
komunikasi berperan dalam pembentukan diri seseorang dan khususnya memperkuat
martabat seseorang sebagai manusia. Dengan memiliki hak untuk berkomunikasi dan
mengungkapkan pikiran pribadi, gagasan, dan pendapat; seseorang akan merasa dirinya
diperlakukan sama
dengan orang lain. Dengan kata lain, komunikasi memvalidasi
kesetaraan manusia. Dengan demikian perlindungan dan pelaksanaan hak-hak komunikasi
merupakan bagian penting dari topik umum hak asasi manusia.
A.
Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Internasional
Untuk mengetahui hubungan antara hak untuk berkomunikasi dan sistem hak asasi
manusia pada umumnya, pertama yang penting untuk dilihat adalah hak atas kebebasan
berekspresi. Merupakan suatu pandangan yang umum jika hak untuk berkomunikasi
berakar dari hak atas kebebasan berekspresi. Hak atas kekebasan berekspresi adalah
merupakan sebuah hak asasi manusia yang mendasar; kunci dari pemenuhan hak-hak yang
lain, dan sebuah pondasi yang penting dari demokrasi. Pentingnya kebebasan berekspresi
memang tidak bisa dipungkiri. Hal tersebut terdapat di dalam hukum internasional yang
sarat dengan pernyataan-pernyataan yang menggarisbawahi sifat esensial atau pentingnya
kebebasan berekspresi. Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
mengikat negara-negara sebagai customary international law atau hukum kebiasaan
internasional. 9
Article 19 UDHR:
‘Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes
the right to hold opinions without interference and to seek, receive and impart
information and ideas through any media and regardless of frontiers.’
Dari Pasal 19 UDHR tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan
menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan
tidak memandang batas-batas. Ketentuan dalam Pasal 19 UDHR tersebut tidak lebih dari
9
ARTICLE 19 Global campaign for Free Expression, STATEMENT on the Right to Communicate, London,
February 2003, h. 2-3.
15
sekedar untuk menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengatakan apa
yang mereka inginkan. 10
Lahirnya International Bill of Human Rights yang diawali oleh UDHR pada Tahun
1948, diikuti oleh dua kovenan HAM yang terpisah yang dilengkapi dengan mekanisme
pemantauan terpisah pada Tahun 1966, yaitu International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESCR).Di dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR terdapat pengaturan yang
hampir sama dengan yang ada di Pasal 19 UDHR.
ARTICLE 19 PARAGRAPHS (1), (2) ICCPR
1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.
2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include
freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of
frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other
media of his choice.
Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR dirancang secara hati-hati untuk menjamin secara
eksplisit mengenai:
- Hak untuk tidak terkekang dalam menganut pendapat;
- Hak untuk mengekspresikan dan menyebarkan informasi atau ide-ide;
- Hak untuk memiliki akses ke media massa;
- Hak untuk mencari dan menerima informasi dan ide-ide. 11
Selain Pasal 19, di dalam UDHR juga terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan
aspek-aspek komunikasi, diantaranya adalah:
- Pasal 12 mengenai perlindungan terhadap privasi;
- Pasal 18 mengenai kebebasan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;
- Pasal 20 mengenai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat;
- Pasal 26 mengenai hak atas pendidikan; dan
10
11
Ibid, h.3.
Ibid.
16
- Pasal 27 mengenai turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk
menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu
pengetahuan.
Demikian juga halnya dengan ICCPR. Beberapa pasal di ICCPR selain Pasal 19 yang
berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi diantaranya adalah:
- Pasal 18 mengenai kebebasan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;
- Pasal 21 dan 22 mengenai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat.
Sedangkan hak atas pendidikan dan hak untuk turut serta dalam kehidupan
kebudayaan masyarakat, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan
dan manfaat ilmu pengetahuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 dan 27 UDHR, di
jamin oleh ICESCR.
Ketika
komponen-komponen
penting
dari
hak
untuk
berkomunikasi, seperti misalnya yang tercantum dalam Pasal 19 UDHR dan Pasal 19
ICCPR telah ditetapkan sebagai hukum internasional, bahkan ICCPR telah diratifikasi
oleh banyak negara, hak untuk berkomunikasi sendiri belum ditetapkan dalam hukum
internasional secara komprehensif. 12
Dalam kenyataannya, memang belum ada instrumen hukum internasional yang
mengatur mengenai hak untuk berkomunikasi. Sampai saat ini pun, perdebatan tentang
definisi atau konsep hak untuk berkomunikasi belum diselesaikan. Demikian juga
mengenai perlu tidaknya pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi masih menjadi
suatu perdebatan yang belum terselesaikan di dunia internasional. Perdebatan mengenai
hak untuk berkomunikasi terutama dipicu oleh D’Arcy yang mengakui bahwa Pasal 19
khususnya UDHR terlalu sempit dalam dunia komunikasi global yang interaktif. 13
Dari paparan sebelumnya dapat ditarik satu poin penting yaitu bahwa hak untuk
berkomunikasi sebenarnya bukanlah merupakan suatu hak yang baru, melainkan bisa
diibaratkan sebagai hak payung yang di dalamnya meliputi sebuah kelompok hak
12
William J. McIver, Jr. & William F. Birdsall, Technological Evolution and the Right to Communicate: The
Implications for Electronic Democracy, Paper Presented at Euricom Colloquium: Electronic Networks & Democracy,
9-12 October 2002, Nijmegen, the Netherlands.
13
Jean d'Arcy (1969). Direct Broadcast Satellites and the Right to Communicate. dalam: Right to
Communicate: Collected Papers, ed. L. S. Harms, Jim Richstad, and Kathleen A. Kie (Honolulu: University of Hawaii
Press, 1977), 1-9. Originally published in EBU Review 118 (1969): 14-18.
17
terkait, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan
ide, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik, hak untuk
mengakses informasi dari badan-badan publik, dan beberapa hak lainnya. 14
B.
Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Nasional
Walaupun di dalam instrumen hukum internasional belum ada pengaturan secara
eksplisit mengenai hak untuk berkomunikasi, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi
Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan pengaturan mengenai hak untuk
berkomunikasi secara eksplisit yang terdapat dalam Pasal 28F. Pasal 28F UUD NRI Tahun
1945 menjamin bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28F ini merupakan hasil dari
perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000. Selain Pasal 28F, UUD NRI Tahun 1945
juga memberikan jaminan perlindungan terhadap beberapa hak yang terkait dengan hak
untuk berkomunikasi, diantaranya adalah:
-
Pasal 28 :
‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’.
- Pasal 28C (1) UUD NRI Tahun 1945:
‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.’**)
-
Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945:
14
ARTICLE 19 Global campaign for Free Expression, Op.Cit, h. 13.
18
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali. **)
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **)
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.**)
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang lahir sebelum lahirnya
Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 juga bahkan telah menyebutkan mengenai hak untuk
berkomunikasi. Di dalam Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan sejenis sarana
yang tersedia.
Selain Pasal 14, UU No. 39 Tahun 1999 juga menjamin beberapa hak lain yang
terkait dengan hak untuk berkomunikasi, diantaranya adalah:
- Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya
untuk tumbuh dan berkembang secara layak.’
- Pasal 12:
‘Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk
memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas
hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab,
berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.’
- Pasal 13 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai
dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.
- Pasal 15 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak
pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
19
Walaupun UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 telah secara eksplisit
menyebutkan mengenai jaminan terhadap hak untuk berkomunikasi, dapat dilihat bahwa
pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi yang ada di dalam UUD NRI Tahun
1945 dan UU No. 39 tahun 1999 hampir sama dengan pengaturan mengenai hak atas
kebebasan berekspresi yang ada di Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR. Namun
UUD NRI Tahun 1945 atau UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan definisi atau
konsep ataupun batasan dari hak untuk berkomunikasi sebagai hak yang berdiri
sendiri.
Pada tahun 2005, Indonesia telah meratiifkasi ICCPR dan juga ICESCR melalui UU
No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan ICCPR. Dengan diratifikasinya kedua instrumen hukum internasional dalam
bidang HAM tersebut maka Indonesia terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban
sebagai Negara pihak sebagaimana diamanatkan oleh kedua instrumen hukum tersebut.
C.
Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk Berkomunikasi menurut
Instrumen Hukum Internasional dan Nasional
Konferensi HAM sedunia di Wina yang diselenggarakan pada tahun 1993,
menegaskan kesatuan kerangka normatif HAM, yaitu:
‘All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated. The
international community must treat human rights globally in a fair and equal
manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significance of
national and regional particularities and various historical, cultural and religious
backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their
political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights
and fundamental freedoms.’ 15
‘Democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms
are interdependent and mutually reinforcing. Democracy is based on the freely
expressed will of the people to determine their own political, economic, social and
cultural systems and their full participation in all aspects of their lives. In the context
of the above, the promotion and protection of human rights and fundamental
15
Paragraf 5 dalam Bagian I Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993
20
freedoms at the national and international levels should be universal and conducted
without conditions attached. The international community should support the
strengthening and promoting of democracy, development and respect for human
rights and fundamental freedoms in the entire world.’ 16
Dari pernyataan di Paragraf 5 Bagian I Vienna Declaration and Programme Of
Action tersebut dapat diketahui bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tidak
dapat dibagi saling bergantung dan berkait. Masyarakat internasional secara umum harus
memperlakukan hak asasi manusia di seluruh dunia secara adil dan seimbang, dengan
menggunakan dasar dan penekanan yang sama. Sementara kekhususan nasional dan
regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah suatu yang
penting dan harus terus menjadi pertimbangan, adalah tugas negara-negara, apapun sistem
politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua hak asasi
manusia dan kebebasan asasi.
Sedangkan menurut Paragraf 8 Bagian I Vienna Declaration and Programme of
Action dinyatakan bahwa demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan dan kebebasan asasi saling
bergantung dan saling memperkuat. Demokrasi didasari oleh tekad suatu bangsa yang
diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya
mereka sendiri serta partisipasi penuh mereka dalam segala aspek kehidupan mereka.
Dalam konteks tersebut di atas, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan asasi pada tingkat nasional maupun internasional harus bersifat universal dan
dilakukan tanpa terkait dengan syarat-syarat. Masyarakat internasional harus mendukung
penguatan dan pemajuan demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan asasi di seluruh dunia.
Salah satu prinsip hak asasi manusia adalah responsibilitas atau pertanggungjawaban
(responsibility). Prinsip pertanggungjawaban dalam hak asasi manusia ini menuntut
diperlukannya pengambilan langkah-langkah atau tindakan-tindakan tertentu dalam rangka
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Di dalam prinsip
pertanggungjawaban hak asasi manusia ini juga ditegaskan mengenai kewajiban-kewajiban
16
Paragraf 8 dalam Bagian I Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993
21
paling minimum dalam rangka pemajuan hak asasi manusia dengan menggunakan sumber
daya yang ada secara maksimal. 17
Di dalam prinsip pertanggungjawaban, peran negara menjadi besar karena negara
merupakan bagian dari organ kekuasaan politik yang mempunyai kewajiban untuk
melindungi warga negaranya. Prinsip pertanggungjawaban ini termasuk di
dalamnya adalah mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang
diambil sebagai kebijakan tertentu dan mempunyai dampak atau pengaruh terhadap
kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara sangat vital bukan hanya ketika negara
mengambil tindakan tertentu (by commission), tetapi Negara juga bisa dimintai
pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, namun negara tidak
mengambil tindakan apapun (by omission). Walaupun di dalam prinsip responsibility ini
ditekankan mengenai peran negara, tidak berarti bahwa aktor nonnegara tidak mempunyai
peran dalam pemajuan hak asasi manusia. Baik individual maupun kolektiva sosial dalam
organisasi kemasyarakatan juga mempunyai tanggung jawab dalam pemajuan hak asasi
manusia. 18
Kewajiban negara dalam hak asasi manusia tidak hanya berupa kewajiban negatif
saja dimana negara hanya wajib untuk menghormati kebebasan individu. Tetapi juga
berupa kewajiban positif untuk menjamin hak yang sama dapat dinikmati secara efektif
dalam praktiknya, contohnya adalah di bidang perundang-undangan atau alokasi-alokasi
sumber-sumber anggaran belanja. 19 Di sisi lain, HAM juga tidak hanya mengenai tindakan
apa saja yang tidak boleh atau wajib dilakukan oleh Negara, tetapi juga mengenai kondisi
sosial yang harus ada melalui berbagai cara yang dapat dipilih yang mungkin tersedia
tetapi tidak dianggap sebagai kewajiban Negara. Seringkali berlaku kewajiban yang
17
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung
Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, h. 32-50.
18
Ibid.
19
Martin Scheinin (n.d), Tanggung Jawabb Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat dibagi,
dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan, Alih Bahasa: Rini Adriati, Editor:
Suprijanto, h. 29-43. Penerbitan asli: H.O. Sano dan G. Alfredsson (ed.), Human Rights and Good Governance, the
Netherlands: Kluwer Law International, 2002, h. 29-43.
22
dikategorikan sebagai tiga langkah palalel, yaitu: kewajiban untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM. 20
Pasal 19 ICCPR tidak hanya melarang Negara untuk melakukan intervensi atau
campur tangan dalam penikmatan hak yang dimaksud, namun hukum internasional juga
mengharuskan Negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjamin kebebasan berekspresi bisa dinikmati oleh warga negaranya. Termasuk
langkah-langkah dalam bidang legislasi atau regulasi, serta langkah-langkah positif yang
praktis, misalnya melalui pendirian pusat komunikasi publik. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa kewajiban Negara dalam hak untuk berkomunikasi tidak hanya sekedar
kewajiban negatif saja, namun juga termasuk melakukan kewajiban positif nya.
Di dalam UUD NRI Tahun 1945, terdapat pengaturan mengenai tanggung jawab
negara yang ada di dalam Pasal 28I ayat (4) dan (5). Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal yang sama ditegaskan
kembali dalam Pasal 8 UU no. 39 Tahun 1999 bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Sedangkan Pasal 28I (5) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
R. Herlambang Perdana Wiratraman menyebut konsepsi dalam Pasal 28I ayat (4)
sebagai konsep realisasi progresif (progressive realization). Dalam konsepsi Pasal 28I ayat
(4) tersebut secara substansi menegaskan bahwa Negara harus memajukan kondisi hak-hak
asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan atau kelalaian untuk mundur),
dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan Pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi
pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya,
Negara dalam
menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk
membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat,
20
Lihat Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights Quarterly
20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7.
23
baik dalam sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun
proses legislasi. 21
Di dalam Pasal 19 ayat (3) ICCPR dinyatakan bahwa:
‘The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it
special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but
these shall only be such as are provided by law and are necessary:
(a) For respect of the rights or reputations of others;
(b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public
health or moral’
Dari Pasal 19 ayat (3) ICCPR dapat diketahui bahwa kebebasan untuk berekspresi
menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai
pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan
sepanjang diperlukan untuk:
(a) Menghormati hak atau nama baik orang lain;
(b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral
umum.
Konsep tanggung jawab yang di atur UUD NRI Tahun 1945 juga mengenal apa
yang disebut sebagai kewajiban asasi (human obligations). 22 Konsep ini terdapat dalam
Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
21
22
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc. Cit.
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit.
24
Pasal 32 UU no. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam
hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi sarana elektronika tidak boleh
diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan.
Dari ketentuan di ICCPR, UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 dapat
diketahui bahwa terhadap penikmatan hak untuk berkomunikasi bisa dilakukan
pembatasan. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa pembatasan tersebut harus
ditetapkan melaui hukum yang sah atau dengan undang-undang dan sepanjang diperlukan
untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional
atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Non-diskriminasi, seperti halnya pertanggungjawaban, juga merupakan salah satu
prinsip HAM. Prinsip non-diskriminasi menjelaskan bahwa tidak ada perlakuan yang
membedakan, baik berdasarkan kelas/ bangsa tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis,
kelamin, warna kulit, dan sebagainya; dalam rangka penghormatan, perlindungan adan
pemenuhan hak asasi seseorang. Prinsip non-diskriminasi ini adalah bagian dari prinsip
persamaan (equality) dalam HAM. Martin Scheinin menyatakan bahwa:
‘Larangan dan perlindungan terhadap diskriminasi merupakan unsur mendasar
pedoman normatif HAM. Unsur mendasar ini sudah terbukti jelas dapat digunakan
sebagai titik awal HAM, yaitu: kesetaraan martabat atas semua manusia, terlepas dari
misalnya: jenis kelamin, asal usul etnis atau status sosial. Akibatnya, hampir semua
perjanjian-perjanjian HAM menyertakan ketentuan atau paling tidak acuan tentang
hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.’ 23
Scheinin menambahkan bahwa Pasal 26 ICCPR menempatkan klausul nondiskriminasi sebagai unsur konstitutif gagasan penting tentang HAM. Sebagai ketentuan
tersendiri, perlindungan yang diberikan oleh Pasal 26 tidak terbatas pada seputar hak sipil
dan politik saja tetapi meliputi seluruh kegiatan yang menjadi Negara pihak, contohnya:
apabila terjadi diskriminasi apa saja pada hak sosial dan ekonomi. 24
Pasal 28I (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
23
24
Martin Scheinin, Loc.Cit.
Ibid.
25
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Hal yang
sama diatur di dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi. Tidak jauh beda dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999,
UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, di dalam Pasal 14 nya menetapkan bahwa
setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku. Lebih lanjut, UU No. 36 tahun 1999 menjamin dalam Pasal 17
bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan salah satu prinsipnya adalah
perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna. Dari
ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam melakukan kewajibannya dalam
hak untuk berkomunikasi, Negara khususnya pemerintah harus memperhatikan prinsip
non-diskriminasi dalam HAM.
V.2. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum Bisnis
Perkembangan telekomunikasi di Indonesia didorong oleh kemajuan telepon
genggam sebagai terjemahan dari istilah handphone atau dikenal juga dengan sebutan telepon
seluler (ponsel). Sekarang ini, ponsel dan alat telekomunikasi bergerak lainnya, bukan lagi
merupakan barang langka karena jumlah penduduk Indonesia yang menggunakannya
ternyata cukup besar. Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1990-an.
Menara telekomunikasi merupakan pendukung utama pengoperasioan ponsel dan sistem
telekominikasi bergerak lainnya, karena menara telekomunikasi akan berfungsi sebagai
tempat untuk meletakkan antena sebagai transceiver dalam system komunikasi seluler.
Pengguna ponsel di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Saat ini diperkirakan
50% penduduk Indonesia (sekitar 110 juta) menggunakan ponsel, sehingga menyebabkan
kebutuhan jaringan telekomunikasi yang handal makin tinggi. Operator berusaha menjangkau
pelanggannya dengan pelayanan yang semakin baik sesuai dengan perkembangan teknologi
di bidang komunikasi, sehingga masing-masing operator berlomba-lomba untuk membangun
26
menara BTS (base transceiver station). Dari wilayah perkotaan sampai di desa-desa ditemui
BTS. Pembangunan BTS memiliki karekteristika mengikuti area atau wilayah pelanggannya,
sehingga di tempat yang banyak pelanggan dibutuhkan BTS yang memadai. Karakteristik
demikian itu menyebabkan hutan menara telekomunikasi di tempat yang padat penduduk –
pengguna ponsel.
Di sekitar kita, saat ini, sering dijumpai menara telekomunikasi yang sering dikenal
dengan sebutan “tower” BTS berjajar, menjulang ke langit. Dalam praktik, banyak dijumpai
“hutan menara BTS” di sebuah kawasan, sehingga dari segi estetika kawasan, baik di
perkotaan maupun di lokasi lain, kondisi demikian menganggu pemandangan atau keindahan
sebuah kawasan, oleh karena itu perlu dikendalikan dalam arti dilakukan pengaturan dan
penataan. Dalam kerangka pengaturan dan penataan, maka akan muncul permasalahan
institusi atau instansi apa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan dan
penataan, substansi apa yang akan diatur dan ditata, bagaimana jika terjadi konflik
pengaturan dan penataan antara satu instansi dengan instansi lain atau daerah satu dengan
daerah lain, atau antara daerah dengan pusat. Problematika itu bukan ranah persoalan yang
akan didekati dari perspektif hukum bisnis. Hukum bisnis menyoal, mengkaji antara lain
bagaimana agar pengaturan dan penataan BTS tidak merugikan, menghambat, operasional
bisnis para pelaku usaha yang terkait dengan BTS.
Dari segi fungsional, dan secara teknikal, keberadaan BTS sangat berpengaruh
terhadap pelayanan telekomunikasi bagi pelanggan operator telepon seluler dan merupakan
suatu kebutuhan mendasar bagi pelaku usaha operator seluler.
Pada perkembangannya, saat ini operator ponsel banyak yang tidak lagi membangun
sendiri menara BTS untuk memenuhi kebutuhan jaringan selularnya. Para operator ponsel
lebih memilih untuk menggunakan jasa pihak lain yang menyewakan BTS. Ini merupakan
peluang bisnis bagi pelaku usaha yang ingin berusaha di sektor telekomunikasi. Ada
perusahaan yang bergerak di bidang usaha menyewakan BTS, termasuk yang menawarkan
model usaha penyewaan Tower BTS atau yang dikenal dengan Tower Leasing Provider
(TLP).
BTS memiliki beberapa aspek yang melekat, seperti regulasi, pelayanan
telekomunikasi, dan aspek bisnis. Aspek regulasi membahas tentang pengaturan menara
27
telekomunikasi dari segi, tata letak/lokasi BTS, ijin mendirikan BTS, dan sebagainya. Aspek
pelayanan membahas tentang fungsi teknis BTS sebagai pendukung utama penyelenggaraan
layanan telekomunikasi seluler. Aspek bisnis membahas tentang nilai ekonomis BTS sebagai
obyek bisnis. Dalam paper ini, lingkup materi yang dipaparkan meliputi: legalitas bisnis,
model bisnis menara telekomunikasi, pengaturan bidang usaha menara telekomunikasi,
proyeksi pengaturan bisnis menara telekomunikasi.
A. Menara Telekomunikasi
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18
Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/ 2009, Nomor:
3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi
(selanjutnya disebut PB-P3B-MT), Pasal 1 angka 8, pengertian menara telekomunikasi
dirumuskan sebagai berikut:
Menara telekomunikasi, yang selanjutnya disebut menara, adalah bangunan-bangunan
untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan
satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk
kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh
berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan
konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat
telekomunikasi.
Pada PB-P3B-MT juga didefinisikan Penyedia menara, serta Pengelola Menara.
Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara
telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi (Pasal 1
angka 10).
Pengelola menara adalah badan usaha yang mengelola dan/atau mengoperasikan
menara yang dimiliki oleh pihak lain (Pasal 1 angka 11).
Berdasarkan konsep sebagaimana yang dirumuskan tersebut di atas, maka menara
telekomunikasi merupakan obyek bisnis yang disediakan, dikelola, dioperasikan oleh pelaku
28
usaha. Penyediaan, pengelolaan, pengoperasian menara telekomunikasi berkedudukan
sebagai unit bisnis dalam kerangka pengelolaan jaringan komunikasi. Subyek pelaku usaha
dapat berupa perorangan maupun badan usaha.
B. Legalitas Bisnis
Tidak ada langkah bisnis yang tidak bertumpu pada hukum, karena setiap langkah
bisnis pada hakikatnya adalah langkah hukum. Oleh karena itu, setiap penyelenggaran bisnis
wajib memperhatikan, memahami, dan menegakkan hukum yang mengatur bidang bisnis
tersebut. Hukum akan melahirkan legalitas bisnis yang diselenggarakan oleh setiap pelaku
bisnis. Dalam bisnis terdapat 3 (tiga) legalitas yang wajib dipenuhi yaitu legalitas
eksistensional (pendirian), legalitas operasional, dan legalitas transaksional.
1. Legalitas Eksistensional (pendirian organisasi perusahaan).
Legalitas eksistensional merupakan aspek legal yang berkaitan dengan pendirian
sauatu badan usaha. Badan usaha dibedakan ke dalam badan usaha badan hukum
(BUBH) dan badan usaha bukan badan hukum (BUBBH). BUBH ada yang bersifat
komersial dan nirlaba. BUBH komersial antara lain terdiri atas perseroan terbatas (PT),
usaha bersama, koperasi, dana pensiun. BUBH nirlaba antara lain berbentuk yayasan.
BUBBH antara lain berupa persekutuan perdata atau matschaap, vennootschaap on de
firma (firma), dan commanditaire vennotschaap (CV). Kehadiran atau eksistensi setiap
bentuk badan usaha tersebut, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada prosedur
pendiriannya, sehingga keabsahan badan usaha
tersebut wajib memenuhi ketentuan
pendiriannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Matschaap, firma, CV diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juncto Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang. Pendirian PT diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendirian Koperasi daitur di dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Pendirian dana pensiun diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Pendirian yayasan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan juncto UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
29
Tahun 2001 tentang Yayasan. Bentuk BUBH yang terdapat dalam praktik akan tetapi
belum ada undang-undang yang mengaturnya adalah usaha bersama.
Apabila badan usaha didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, maka kehadiran atau eksistensi badan usaha itu sah sehingga memenuhi
legalitas pendiriannya atau yang saya sebut legalitas eksistensional. Dalam perspektif
legalitas eksistensional, maka penyedia menara yang dapat berbentuk usaha
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Swasta wajib memenuhi aspek legalitas pendiriannya. Secara konkrit,
legalitas pendirian dibuktikan dengan akta pendirian perusahaan berikut dokumen
adminstratif terkait yang diterbitkan oleh lembaga otoritas yang berbentuk akta
pengesahan atas pendirian perusahaan, sebagai contoh: legalitas pendirian PT ditentukan
oleh keberadaan akta pendiriannya yang berbentuk akta notaris dengan disertai Surat
Keputusan Pengesahan Pendirian PT yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Dalam kerangka pengaturan badan usaha yang diperbolehkanmenjalankan usaha
di bidang bisnis menara telekomunikasi perlu ditetapkan bentuk badan usaha apa yang
diperkenankan untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi. Alternatif pilihannya
digantungkan pada keluwesan atau fleksibilitas bentuk badan usaha itu ketika
bekerjasama dengan user atau pengguna menara telekomunikasi secara bersama. Apabila
ditijnau berdasarkan provider penyelenggara bisnis telekomunikasi ponsel, pada
umumnya pelaku usahanya berbentuk perseroan terbatas (PT). Dengan kerangka berpikir
berdasarkan kelinieran bentuk badan usaha, maka tidak ada salahnya jika pelaku usaha
bisnis menara telekomunikasi diarahkan kepada badan usaha yang berbentuk PT.
Pertimbangannya selain kelinieran itu, juga dengan menimbang kedudukan PT sebagai
badan
usaha
yang
berstatus
badan
hukum,
sehingga
memudahkan
pertanggungjawabannya dalam kerangka operasional bisnis. Pada PT, keberadaannya
tidak digantungkan pada orang perorangan yang menjadi pemegang saham, sehingga
pergantian pemegang saham tidak berpengaruh terhadap eksistensi PT sebagai subyek
hukum yang mandiri atau legal entity. Semakna dengan PT dimaksud, termasuk pula
BUMN yang berbentuk PT (Persero) maupun BUMD yang berbentuk PT.
30
Sistem pertanggungjwaban seperti itu tidak dijumpai pada bentuk badan usaha
yang tidak berstatus sebagai badan hukum, seperti usaha perorangan, CV, atau firma.
Selain PT, koperasi juga luwes dan layak untuk menjalankan bisnis menara
telekomunikasi, apabila ditinjau berdasarkan pertanggungjawabannya yang terletak pada
koperasi itu sendiri sebagai badan usaha yang berstatus sebagai badan hukum. Oleh
karena itu, PT dan koperasi merupakan bentuk badan usaha yang luwes dan layak untuk
diposisikan sebagai penyelenggara bisnis menara telekomunikasi.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka ketentuan dalam PB-P3B-MT yang
menegaskan “Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik
Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan
mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara
telekomunikasi” perlu ditinjau ulang atau direview, sehingga pelaku usaha penyedia
menara telekomunikasi adalah badan usaha yang berbadan hukum, yakni PT, koperasi,
PT (Persero) maupun PT yang didirikan dalam rangka BUMD.
2. Legalitas Operasional (perijinan).
Kegiatan operasional bisnis badan usaha, baik BUBH maupun BUBBH
digantungkan pada ijin operasional yang dimilikinya yang dalam praktik dikenal dengan
istilah ijin usaha. Ijin usaha merupakan landasan operasional bagi suatu badan usaha
untuk menjalankan atau menyelenggarakan kegiatan bisnisnya. Contoh: perusahaan yang
bergerak di bidang usaha perbankan wajib memiliki ijin usaha bank dari Bank Indonesia.
PJPT wajib memiliki ijin usaha menara telekomunikasi dari pahak otoritas, dalam hal ini
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Pendirian bangunan menera
telekomunikasi
harus
dilengkapi
dengan
Ijin
Mendirikan
Bangunan
Menara
Telekomunikasi.
Hakikat ijin adalah keabsahan melakukan tindakan atau kegiatan usaha sesuai
dengan ijin yang dimilikinya. Ijin akan “menghalalkan suatu tindakan yang semula
haram”. Pada sisi inilah, maka legalitas operasional merupakan kebutuhan mendasar bagi
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kepastian bahwa PJPT memiliki
31
ijin merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada para user/ pengguna
menara telekomunikasi secara bersama-sama dengan para user/pengguna yang lain.
3. Legalitas Transaksional.
Legalitas transaksional bermuatan tentang hubungan hukum pelaku bisnis dengan
partner bisnisnya. Dalam konteks penyewaan menara telekomunikasi, wujud atau
realisasi hubungan transaksional itu antar alain dalam bentuk perjanjian sewa menyewa
tower. Substansi perjanjiannya, proses pembentukan perjanjian sewa menyewa tower,
kapasitas para pihak dalam perjanjian sewa menyewa tower merupakan aspek yang
mutlak wajib diperhatikan dalam kaitan dengan keabsahan kontrak yang terjadi. Oleh
karena itu, PJPT perlu untuk menyiapkan, antara lain:
1) Kelengkapan data teknis tower seperti ketinggian, tipe, luas lahan, jumlah antena
terpasang, dll.
Kelengkapan data baik teknis maupun administrasi merupakan kunci utama dalam
keberhasilan usaha jasa penyewaan tower. Hal ini perlu disadari khususnya oleh
operator telekomunikasi seluler yang banyak memiliki aset tower yang pada awalnya
memang tidak dijadikan sebagai alat penghasilan dari sisi penyewaan tower. Para
operator tersebut kebanyakan tidak memiliki kelengkapan data khususnya data teknis
yang tentunya akan menyulitkan jika suatu waktu towernya akan disewakan ke
operator lainnya.
2) Kelengkapan dan kejelasan data hukum dan administrasi site, seperti dokumen
kontrak dengan pemilik lahan atau pemilik gedung, PBB, SHM, tanggal mulai sewa
oleh operator, dll. Dengan menimbnag bahwa tidak setiap menara telekomunikasi
didirikan di atas tanah milik pelaku usaha pembangun menara telekomunikasi, maka
kepastian hukum tentang status tanah temapt didirikannya menara merupakas aspek
legal yang perlu dikemukakan secara terbuka agar calan user memahami posisi PJPT.
3) Kejelasan isi perjanjian sewa menyewa tower dengan pelanggan.
Kejelasan kontrak perjanjian penyewaan tower harus sudah sangat disadari oleh pihak
Tower Leasing Provider bahwa salah satu kunci suksesnya usaha ini adalah kejelasan
kontrak yang mengatur, antara lain:
32
a) obyek sewa,
b) harga sewa dan cara pembayarannya,
c) asuransi,
d) hak dan kewajiban,
e) jangka waktu kontrak
f) pengakhiran kontrak
g) dispute settlement dan hal-hal lain yang sangat jelas pada akhirnya akan
berpengaruh pada pendapatan usahanya.
Kontrak yang jelas, baik, dan lengkap merupakan dasar dua belah pihak yang
mengikatkan diri pada perjanjian sewa menyewa sangat berguna untuk meminimalisir
adanya dispute dalam menginterpretasi isi kontrak sehingga dengan kontrak yang
baik dapat memberi kenyamanan dan keberlangsungan perjanjian diantara dua pihak
yang telah bersepakat untuk mengadakan sewa menyewa tower.
C. Model Bisnis Menara Telekomunikasi
1. Pembangunan Menara Telekomunikasi oleh Operator
Pada masa-masa awal operator beroperasi, kebutuhan menara telekomunikasi
dibangun sendiri oleh operator. Operator ponsel harus mengeluarkan dan untuk
diinvestasikan ke dalam pembangunan BTS. Mulai dari pembebasan lahan untuk lokasi
BTS, biaya perijinan, biaya konstruksi, dan biaya-biaya lain ditanggung oleh operator.
Pada waktu itu, berdiri perusahaan yang memberikan jasa pengurusan BTS mulai dari
penyiapan lahan sampai dengan pendirian menaranya, akan tetapi belum sampai kepada
bentuk perusahaan yang menyewakan BTS. Pada perkembangannya, kemudian
berkembang usaha penyewaan jasa tower atau Tower Leasing Provider.
2. Tower Leasing Provider atau Sewa Menyewa antara Perusahaan Penyedia Jasa
Tower dengan Operator
Dana untuk pembangunan menara BTS termasuk cukup besar. Kebutuhan dana
untuk pembangunan satu menara termasuk untuk investasi pembelian lahan berkisar
antara Rp 700 juta hingga Rp 1 milyar, bahkan bisa mencapai Rp 1.5 milyar. Apabila satu
33
perusahaan operator memerlukan 1.000 menara BTS, maka perusahaan itu akan
mengeluarkan dana investasi sekitar Rp 1 trilyun. Besaran biaya itu tergantung pada
lokasi dan tingkat ketinggian menara tersebut. Uang sebesar atau lebih dari Rp 1 milyar
itu untuk pembangunan menara BTS yang memiliki ketinggian antara 31-72 meter.
Nilai investasi yang cukup besar untuk satuan unit BTS membuka alternatif
model bisnis BTS. Operator tidak harus menyediakan sendiri, membangun sendiri
menara BTS. Ada peluang bagi perusahaan lain (non operator) untuk membangun menara
BTS kemudian disewakan kepada perusahaan operator dalam konstruksi perjanjian sewa
menyewa menara BTS, sehingga sewa menyewa menara BTS berkembang sebagai salah
satu model bisnis. Harga sewa menyewa satu buah menara, pihak operator dikenakan
biaya antara Rp 15 juta – Rp 20 juta per bulan. Harga sewa ini, merupakan biaya
keseluruhan yang termasuk biaya sewa menara, biaya listrik, maintenance / perawatan,
dan juga retribusi terhadap pemerintah. Bagi perusahaan jasa penyewaan tower (PJPT),
tower merupakan aset dan alat produksi penghasilan usaha jasa penyewaan tower. Pada
tataran sekarang ini, antara PJPT dengan operator berada dalam tahapan mencari bentuk
terbaiknya dalam hal proses dan prosedur bisnis serta tatacara sewa menyewa tower
antara operator telekomunikasi yang membutuhkan sarana infrastruktur berupa menara
untuk penempatan antenanya.
Pada sisi PJPT, penyedia jasa pembangunan tower berhadapan dengan masalah
lahan dan masalah akses kepada para operator ponsel. Padahal, dalam industri
telekomunikasi seluler kecepatan penambahan jaringan merupakan faktor penentu
keberhasilan dalam melayani kebutuhan pelanggan. PJPT dituntut untuk dapat memenuhi
standar kebutuhan waktu para penyewa/operator telekomunikasi seluler. Selain itu, PJPT
juga dituntut untuk memenuhi standar teknis yang dibutuhkan oleh pelanggannya.
Perkembangan terkini, operator yang mengoperasikan BTS banyak juga yang
menyewakan BTS-nya kepada operator lain. Apalagi setelah keluar PB-P3-MT.
Pada praktik pembangunan BTS terbuka peluang bagi pemilik lahan untuk
melakukan kerjasama dengan PJPT. PJPT tidak harus membeli lahan untuk lokasi BTS,
namun dapat menyewa tanah dari pemilik tanah. Apabila sewa lahan itu dilakukan maka
terbuka peluang bisnis bagi perorangan atau badan usaha, termasuk desa yang memiliki
34
aset yang idle yang lokasinya bersesuaian dengan kebutuhan pembangunan BTS untuk
menyewakan lahannya kepada PJPT, sehingga tercipta peluang bisnis pada sisi
pemenuhan kebutuhan lahan. Demikian pula untuk BTS yang didirikan di atas bangunan
permanen, maka terbuka peluang kerjasama bisnis antara pemilik bangunan dengan PJPT
untuk merealisasikan BTS di atas bangunan.
3. Keahlian atau Profesi
Menara telekomunikasi juga mengundang pengembangan keahlian yang menuju
kepada kelahiran kaum profesional di bidang pembangunan tower, bisnis penyewaan
tower, legal di bidang tower, pengembangan produk tower. Kompetensi yang
menyuguhkan keahlian di bidang-bidang tersebut mendorong lembaga pendidikan untuk
menghasilkan kaum profesional di bidang yang terkait dengan menara telekomunikasi,
baik dari segi teknikal, manajemen bisnis, dan legal.
D. Pengaturan Sub Bidang Usaha Menara Telekomunikasi
1. UU Penanaman Modal juncto Perpres 36/2010
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur
antara lain bidang usaha. Bidang usaha dalam rangka penanaman modal selanjutnya
diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha
yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal. Pada Perpres 36/2010, Lampiran II Bidang Usaha yang Terbuka
dengan Persyaratan, Bidang Usaha angka 11 yakni Bidang Komunikasi dan Informatika,
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 42217, ditegaskan bahwa
“Penyedia, Pengelola (Pengoperasian dan Penyewaan) dan Penyedia Jasa Konstruksi
untuk Menara Telekomunikasi, ditentukan Modal dalam negeri 100%”. Artinya,
pengusahaan BTS tertutup bagi pemodal asing, sehingga hanya pemodal dalam negeri
yang dapat melakukan usaha menara telekomunikasi.
Dalam Perpres 36/2010 tersebut dibedakan antara bidang usaha yang tertutup dan
bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Pasal 1 Perpres 36/2010 menyatakan
bahwa bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang
35
diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perpres 36/2010 adalah bidang usaha
tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat
tertentu, yaitu:
1) bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi,
2) bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan,
3) bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya,
4) bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan
5) bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Berdasarkan Perpres 36/2010 tersebut, tegas bahwa penyedia, pengelola (pengoperasian
dan penyewaan) dan penyedia jasa konstruksi untuk menara telekomunikasi merupakan
obyek bisnis meskipun hanya dapat dilakukan oleh penanam modal dalam negeri.
Sebagai catatan, beberapa waktu yang lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) bermaksud melepaskan kendali bisnis menara BTS kepada asing, yang
mendapatkan tentangan dari Menkominfo karena tetap berusaha untuk mempertahankan
dominasi bisnis BTS kepada pengusaha domestik. Sejalan dengan Menkominfo, Asosiasi
Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel) dan Badan Regulasi
Teknologi Informasi (BRTI) juga tegas menolak inisiatif dari BKPM tersebut, yakni
menolak secara tegas adanya asing di bisnis menara.
2. UU Telekomunikasi juncto PP 52 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Tel),
menegaskan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
oleh
Pemerintah.
Pembinaan
telekomunikasi
diarahkan
untuk
meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan,
pengawasan dan pengendalian. Fungsi penetapan kebijakan antara lain perumusan
mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi
nasional. Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan/atau teknis
operasional yang antara lain tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan
36
bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah
pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan
frekuensi dan orbit satelit serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang
telekomunikasi dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan
pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan
global. Dalam rangka pembinaan di bidang telekomunikasi, maka UU Tel dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 Tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi (PP 52/2000) serta PB-P3-MT.
Dalam Pasal 6 ayat (1) PP 52/2000 ditegaskan:
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau
menyediakan jaringan telekomunikasi.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) menegaskan:
Dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi penyelenggara
jaringan dapat membangun keseluruhan jaringan dapat pula membangun sebagian dan
atau menyediakan sebagian jaringan untuk terselenggaranya telekomunikasi. Misal,
dalam hal diperlukannya penggunaan transponder satelit, penyelenggara jaringan tidak
harus memiliki satelit sendiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP 52/2000 tersebut penyelenggara jaringan tidak
harus membangun keseluruhan kebutuhan jaringan, termasuk BTS, secara mandiri, akan
tetapi terbuka kemungkinan melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi
kebutuhan jaringan komunikasinya. Ketentuan demikian itu membuka peluang usaha bagi
perusahaan-perusahaan lain untuk menyokong kebutuhan penyelenggara jaringan.
V.3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi
A. Keabsahan Tindak Pemerintahan Dalam Penataan dan Pengendalian Menara
Telekomunikasi
Hak masyarakat untuk berkomunikasi, Hak atas penghidupan yang layak, dan Hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 28 F dan 28
37
H UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hak asasi manusia yang
tergolong hak sosial. Menurut pendapat Philipus M Hadjon bahwa : Inti hak sosial adalah
rights to receive. 25, sesuai dengan makna hak sosial, maka masyarakat berhak memperoleh
pemenuhan hak tersebut dari negara (to receive from the state). Konsekuensi dari makna
hak sosial adalah adanya kewajiban bagi negara untuk memenuhi kebutuhan setiap orang
atas hak berkomunikasi, hak untuk hidup layak dan hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
Kewajiban negara dalam memenuhi hak masyarakat tersebut dilakukan melalui
penyelenggaraan dan pembinaan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Berdasarkan Pasal 4 UU
Telekomunikasi dinyatakan bahwa :
(1) Telekomunikasi dikuasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan
telekomunikasi
diarahkan
untuk
meningkatkan
penyelenggaraan
telekomunikasi yang meliputi : penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh
dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang
dalam masyarakat serta perkembangan global .
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk
menetapkan
kebijakan,
pengaturan,
pengawasan
dan
pengendalian
di
bidang
telekomunikasi agar pemenuhan hak atas berkomunikasi dan hak untuk penghidupan yang
layak dapat seimbang dengan pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat akibat
dilaksanakannya kegiatan dan/atau usaha di bidang telekomunikasi, khususnya pendirian
menara telekomunikasi. Hal ini sesuai dengan asas dan tujuan penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang tentang
Telekomunikasi, yaitu :
25
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Peradaban, 2007, hal. 35. Sebagaimana ditulis
Tatiek Sri Djatmiati, Pelayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum Administrasi dan Tinak
Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. hal. 26,
38
1.
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
2.
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan
kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, secara adil
dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta
meningkatkan hubungan antar bangsa.
Pemerintah dalam melakukan pembinaan berupa penetapan kebijakan, pengaturan,
pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan dengan tindak
pemerintahan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Bestuurs Handelingen.
Dalam hukum administrasi tindak pemerintahan dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi
pemerintahan dibagi dalam beberapa jenis. Pembagian tindak pemerintahan sebagaimana
dijabarkan oleh Ten Berge tergambar dalam skema 2 di bawah ini 26 :
Skema 2
Bestuurs Handelingen (Tindak Pemerintahan)
Feitelijke handelingen
(Tindakan Nyata)
Rechtshandelingen
(Tindakan Hukum)
Interne rechtshandelingen
externe rechtshandelingen
Privaatrechtelijke handelingen
(Tindakan Hukum Privat)
publiekrechtelijke rechtshandelingen
(Tindakan Hukum Publik)
Meerzijdige besluiten
eenzijdige besluiten
26
J.B.J.M ten Berge, Besturen door de overhead, WEJ Tjeen Willink, Nederlands instituut voor Sociaal en
Economic Recht NISER, 1996, p. 138 Bandingkan dengan Philipus M Hadjon et all, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press,1993, h. 319
39
Algemene strekking
(Algemeen verbindende voorschriften
Ca; beleidsregels)
concrete strekking
Berdasarkan jenis dan tujuan tindak pemerintahan (bestuurshandelingen), maka
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan telekomunikasi, antara
lain :
1. Pembentukan peraturan perundang-undangan;
2. Melakukan kerjasama (kontrak);
3. Melakukan tindakan nyata;
4. Membentuk peraturan bersama;
5. Menetapkan Perizinan; dan/atau
6. Pengawasan.
Berkaitan dengan penyelenggaraan telekomunikasi agar dapat mencapai tujuan
perlu didukung dengan sarana dan prasarana telekomunikasi, yaitu segala sesuatu yang
memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi. Salah satu sarana dan
prasarana yang mendukung berfungsinya telekomunikasi adalah adanya menara
telekomunikasi. Dalam teknologi telekomunikasi terdapat 3 (tiga) teknologi yang
digunakan, antara lain telekomuikasi kabel, teknologi nirkabel (Wireless Technology) dan
teknologi satelit. Dalam teknologi nirkabel yang saat ini sedang berkembang memerlukan
menara pemancar yang akan memberikan sinyal (gelombang) pada perangkat penangkap
sinyal pada alat komunikasi yang dimiliki masyarakat.
Menara Telekomunikasi adalah bangunan-bangunan untuk kepentingan umum
yang didirikan di atas tanah atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi
dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur
fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk
tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana
penunjang
menempatkan
perangkat
telekomunikasi.
40
Dengan
demikian
menara
telekomunikasi sangat dibutuhkan dalam upaya pemenuhan atas hak masyarakat atas
fasilitas telekomunikasi.
Mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan meluasnya perkembangan
kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi yang memadai, maka terjadi berbagai
pembangunan di bidang telekomunikasi. Salah satu pembangunan sarana telekomunikasi
yang banyak dilakukan adalah pembangunan menara telekomunikasi sebagai sarana
penunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat akan layanan telekomubikasi yang baik.
Menara Telekomunikasi memiliki jangkauan dalam pemancaran jaringan sehingga
pendirian untuk Menara Telekomunikasi pun harus didirikan lebih dari satu tempat dalam
sebuah kota atau kabupaten berdasarkan luas wilayah kota atau kabupaten tersebut.
Pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu
infrastruktur pendukung dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan
efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan. Dalam rangka keamanan dan
keselamatan masyarakat serta menjaga keselamatan lingkungan, maka dalam mendorong
peningkatan pembangunan menara telekomunikasi perlu dilakukan penataan dan
pengendalian oleh Pemerintah. Penataan dan pengendalian menara telekomunikasi
bertujuan untuk mengendalikan dan mensinergikan antara ketersediaan ruang kota
kebutuhan menara telekomunikasi, keamanan serta meningkatkan kehandalan cakupan
frekuensi telekomunikasi. Dengan tujuan tersebut, maka dalam melakukan penataan dan
pengendalian menara telekomunikasi perlu dilakukan untuk menyeimbangkan jumlah dan
prioritas penggunaan menara sehingga dapat dicapai efesiensi dalam pemanfaatan ruang.
Kebijakan pemerintah untuk melakukan penataan dan pengendalian menara
telekomunikasi dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan telekomunikasi sebagai
suatu tindak pemerintahan harus sesuai dengan keabsahan (legalitas) tindak pemerintahan
yang meliputi : asas legalitas formal dan asas legalitas substansial. Asas legalitas formal
tindak pemerintahan terdiri atas : 1). Wewenang, 2) substansi dan 3) prosedur. 27
Sedangkan asas legalitas substansial merupakan asas yang harus dipenuhi oleh pemerintah
dalam melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Asas legalitas
substansial terdiri dari asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas
27
Phipipus M Hadjon, Kebutuhan Akan Hukum Administrasi dalam buku Hukum Administrasi dan Good
Governance, Universitas Trisakti, 2010, h. 22.
41
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Terkait dengan asas legalitas formal terhadap tindak pemerintahan untuk
melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi, maka kewenangan sebagai
dasar legitimasi tindakan tersebut harus jelas instansi dan kewenangnnya. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dinyatakan bahwa
wewenang penyelenggaraan dan pembinaan telekomunikasi dilakukan oleh Pemerintah,
sedangkan khusus untuk kewenangan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Rincian kewenangan tersebut tercantum dalam tabel di bawah ini :
Pemerintah
Pemerintah Provinsi
Pedoman pembangunan
sarana dan prasarana
menara telekomunikasi.
-
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Pemberian Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) menara
telekomunikasi sebagai
sarana dan prasarana
telekomunikasi.
Penetapan pedoman kriteria
pembuatan tower.
B. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara
Telekomunikasi
Secara spesifik, pengaturan Menara Telekomunikasi merupakan salah satu
kewenangan dari Pemerintah Daerah dalam hal penyelenggaraan urusan daerah berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan yang diberikan secara atribusi berdasarkan pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut
sebagai UUD 1945). UUD 1945 mengatur secara tegas perihal pemberian kewenangan
tersebut kepada daerah, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 berikut:
Pasal 18 Ayat (2):
42
Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)
Pasal 18 Ayat (5):
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan
Pusat.**)
Pasal 18 Ayat (6):
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** )
Pasal 18A Ayat (1):
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**)
Pasal 18A Ayat (2):
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.** )
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas maka dapat dinyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah mengandung adanya prinsip daerah mengatur sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan
otonomi seluas-luasnya, prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan
adil. Prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di atas tidak boleh
bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (1) UUDRI 1945 yang menganut konsep Negara
Kesatuan. Konsep Negara kesatuan pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan
ke daerah dengan asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan (medebewind). Hal ini
berarti kekuasaan tertinggi dalam Negara Kesatuan dipegang sepenuhnya oleh Pemerintah
Pusat. Hal ini sesuai dengan pendapat Edie Toet Hendratno yang menyatakan bahwa Negara
Kesatuan adalah Negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah
atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu pemerintah pusat. Kedaulatan sepenuhnya
dari pemerintah pusat disebabkan karena didalam Negara Kesatuan itu tidak terdapat negaranegara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara
43
dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya
dengan negara-negara bagian dalam bentuk Negara federasi. 28
Pengakuan adanya asas desentralisasi (penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke
daerah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu merupakan bentuk
pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah. Pelaksanaan asas desentralisasi
inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan
lebih lanjut mengenai Negara kesatuan yang didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari
uraian yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis berikut ini :
“Prinsip pada Negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan
tertinggi atas segenap urusan Negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu
delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government).
Dalam Negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan Negara tidak
dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local
government) sehingga urusan-urusan Negara dalam Negara Kesatuan tetap
merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di Negara itu ialah
pemerintah pusat. 29
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Daerah mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengaturan terhadap pembangunan Menara Telekomunikasi
dengan berdasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan, serta sebagai realisasi asas
otonomi dan tugas pembantuan pemerintah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain. Keberadaan Menara Telekomunikasi sebagai salah satu
infrastruktur dalam penyelenggaraan telekomunikasi dalam pembangunannya menara
telekomunikasi sering mengabaikan kepentingan pihak lain untuk memperoleh
kesejahteraan, maupun jaminan sosial yang merupakan bagian dari hak asasi manusia atas
lingkungan hidup yang sehat dan bersih sebagaimana diatur dalam beberapa pasal UUD
1945 yakni:
Pasal 28H Ayat (1):
28
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta,Graha Ilmu dan
Universitas Pancasila Press,2009,h.46
29
M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah,
Bandung, Alumni, 1983, h.8
44
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.**)
Pasal 33 ayat (1):
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pasal 33 ayat (3):
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (4):
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. ****)
Pemerintah daerah yang berpihak kepada kepentingan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi warganya, penduduknya, rakyatnya untuk mendapatkan rasa
aman, termasuk dari kekhawatiran atau ketakutan atas robohnya menara telekomunikasi
mendapatkan landasan konstitusional pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan
hal itu, maka pemerintah daerah memiliki wewenang untuk membuat peraturan daerah
dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganya. Penyusunan peraturan daerah
tersebut akan merujuk pula kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih
lanjut hak-hak warga Negara yang diatur dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan prinsip berkelanjutan yang melekat
dalam asas demokrasi ekonomi yang dianut oleh Negara Indonesia. Dalam Pasal 33 ayat
(4) tersebut pada dasarnya kata berkelanjutan itu berkaitan dengan konsep sustainable
development atau pembangunan berkelanjutan. Hal itu terkait erat dengan perkembangan
gagasan tentang pentingnya wawasan pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan
lingkungan hidup yang sehat 30 agar dengan demikian warga masyarakat dapat menikmati
hak hidupnya dengan baik lahir batin dalam kerangka kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan tersebut dijabarkan lagi dalam Undang30
Jimmly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945, Rajawali Pers, 2009, hal 133.
45
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan antara Pemerintah pusat,
Pemerintah provinsi dan Pemerintah daerah kabupaten/kota. Secara spesifik pengaturan
tentang kewenangan pemerintah daerah dalam mengendalikan pertumbuhan menara
telekomunikasi juga diatur dalam beberapa peraturan teknis lainnya. Setiap kebijakan
pemerintah daerah dalam melakukan pengendalian menara telekomunikasi haruslah
merujuk pada berbagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut, diantaranya:
1.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) telah mengatur tentang kewenangan
pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah, dimana pengaturannya
menyatakan bahwa “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi
pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan serta merupakan
penjabaran
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
dengan
memperhatikan ciri-ciri khas masing-masing daerah. Dengan demikian berkaitan
dengan penataan dan pembangunan menara telekomunikasi yang berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomot 38 Tahun 2007 tentang Pembangian Urusan Antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan
kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dengan disesuaikan kondisi daerah
masing-masing, maka penataan dan pembangunan menara telekomunikasi harus
diatur dalam Peraturan Daerah. Aturan ini memberikan dasar legalitas bagi
pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan pengendalian menara
telekomunikasi, dimana kebijakan tersebut haruslah tertuang dalam bentuk hukum
peraturan daerah yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pada
umumnya, dan pelaku usaha telekomunikasi pada khususnya.
Di dalam UU Pemda diatur tentang pembagian urusan pemerintahan,
dalam arti membagi antara urusan-urusan yang termasuk dalam wewenang
pemerintah pusat dan urusan-urusan yang menjadi wewenang pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan pusat dan
46
pemerintahan daerah merupakan realisasi dari konsep pelaksanaan otonomi
daerah yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus
menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi
daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata
dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang tidak
diabaikan. Ketentuan tentang pembagian urusan tersebut selanjutnya diatur lebih
rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Wewenang Pemerintah Pusat diatur dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan :
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UndangUndang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Sedangkan wewenang Pemerintahan Daerah Provinsi diataur dalam Pasal 13
menyatakan :
Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi:
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4) Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5) Penanganan bidang kesehatan;
6) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
7) Penangulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
47
9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
10) Pengendalian lingkungan hidup;
11) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (huruf tebal oleh
penulis)
12) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota diatur dalam Pasal 14 UU
Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan :
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi :
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) Perencanaan, pemanfaatn dan pengawasan tata ruang;
3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
4) Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5) Penanganan bidang kesehatan;
6) Penyelenggaraan pendidikan;
7) Penanggulangan masalah sosial;
8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
10) Pengendalian lingkungan hidup;
11) Pelayanan pertanahan;
12) Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14) Pelayanan administrasi penanaman modal;
15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Ketentuan Pasal 10, 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Tahun 2007 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737) (selanjutnya
48
disebut PP 38/2007) terutama dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 6 PP38/
2007 menyatakan :
(1)
(2)
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) menjadi kewenangannya.
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 7 PP 38/2007 menyatakan :
(1)
(2)
Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar.
Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olah raga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;
m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan;dan perpustakaan.
49
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas sangat jelas sekali keberadaan huruf q
yaitu komunikasi dan informatika termasuk dalam hal ini pendirian menara
telekomunikasi,
pemerintah
kabupaten/
kota
mempunyai
wewenang
mengaturnya dalam rangka memberikan pelayanan dasar yang berupa
upaya menata, pengendalian serta melakukan pengawasan. Kewenangan
daerah dituangkan secara tegas yaitu untuk menerbitkan Izin Mendirikan
Bangunan
Menara
dan
memungut
Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi 31. Hal ini membawa konsekuensi bahwa daerah memiliki
kewenangan mengaturnya dalam peraturan daerah kabupaten atau kota untuk
melaksanakan asas desentralisasi khususnya dalam pengaturan pengendalian
pendirian menara telekomunikasi. Hal ini terbukti beberapa daerah di Jawa Timur
memgatur menara telekomunikasi dalam peraturan daerah antara lain Kota
Surabaya, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Blitar,
Kabupaten Ngawi. Pengaturan Menara Telekomunikasi meskipun diatur dalam
peraturan daerah tetapi peraturan daerah tersebut
juga harus memperhatikan
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
2.
Undang-Undang
Nomor
36
Tahun
1999
tentang
Telekomunikasi32
(selanjutnya disebut sebagai UU Telekomunikasi).
Menara telekomunikasi merupakan bagian materi yang diatur dalam UU
Telekomunikasi,
undang-undang
tersebut
perlu
dirujuk
untuk
melacak
kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dalam bentuk
pengaturan terhadap telekomunikasi. Apabila disimak berdasarkan arti strategis
telekomunikasi yakni sebagai bagian strategis dalam upaya memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung
terciptanya
tujuan
pemerataan
pembangunan
dan
hasil-hasilnya,
serta
meningkatkan hubungan antarbangsa, maka pemerintah daerah merupakan bagian
penting yang tidak terpisahkan dalam sistem telekomunikasi nasional.
31
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, bidang Komunikasi dan informatika
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3881.
32
50
Telekomunikasi diberi peran strategis untuk semakin memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa, semakin menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam kerangka
NKRI dengan demikian juga memiliki peran vital untuk mengimplementasikan
peran strategis telekomunikasi.
Dalam konteks pengaturan terhadap menara telekomunikasi oleh
pemerintah, bentuk hukum yang digunakan adalah Peraturan daerah. Dalam
perspektif Provinsi Jawa Timur, pengaturan terhadap menara telekomunikasi
oleh Pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur harusnya mewujud dalam bentuk
harmonisasi peraturan daerah, antara daerah kabupaten/kota yang satu dengan
yang lain.
Peraturan daerah yang akan ditetapkan haruslah berdasarkan pada asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 UU
Telekomunikasi.
Penetapan
kebijakan
pengaturan,
pengawasan
dan
pengendalian di bidang telekomunikasi tersebut, sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) UU Telekomunikasi haruslah dilakukan secara menyeluruh dan
terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang
dalam masyarakat serta perkembangan global.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 33
3.
(selanjutnya disebut sebagai UU Jasa Konstruksi)
Menara telekomunikasi, secara fisik dan teknikal, berkaitan dengan
persoalan konstruksi, oleh karena itu pembangunan menara telekomunikasi
tidak terlepas dari jangkauan keberlakuan UU Jasa Konstruksi. Dalam UU Jasa
Konstruksi terdapat pengaturan kewenangan daerah, sehingga UU Jasa
Konstruksi berposisi sebagai rujukan atau landasan hukum ketika pemerintah
33
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3833.
51
daerah menggali sumber kewenangan untuk mengatur Base Transeiver Station
(selanjutnya disebut sebagai BTS).
Terkait dengan konstruksi menara telekomunikasi, berdasarkan Pasal 35
ayat (6) UU Jasa Konstruksi bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk
melakukan sebagaian tugas pembinaan jasa konstruksi yang dilimpahkan
kepada Pemerintah daerah. Pelimpahan itu diatur dalam bentuk hukum
Peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang
penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah No 59 Tahun 2010. Pembinaan yang dimaksud meliputi
pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Sehingga dalam menetapkan
kebijakan dalam penataan pertumbuhan menara telekomunikasi pemerintah
daerah berwenang untuk mengatur pertumbuhan menara agar dapat selaras
dengan pembangunan daerah, tata ruang daerah dan keindahan wilayah
(estetika) kabupaten/kota. Di dalam pengaturannya harus dipertimbangkan
kepentingan berimbang antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan
masyarakat.
Pemerintah
daerah
juga
berkewajiban
untuk
melakukan
pengawasan secara rutin terkait dengan kualitas bangunan/konstruksi menara
telekomunikasi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung34
4.
(selanjutnya disebut sebagai UU Bangunan Gedung)
UU Bangunan Gedung memberikan kewenangan yang cukup luas kepada
pemerintah daerah, khususnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 6, 7, 8, 9,
10, 33, 35, 39, 40, dan 48. Ketentuan dalam pasal-pasal ini terkait dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Izin Mendirikan Bangunan,
Penetapan, Persetujuan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap tindakan tertentu
terkait dengan bangunan, persyaratan administratif dan lain-lain serta elemen
34
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4247.
52
pembinaan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
untuk mengatur bangunan (termasuk BTS).
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung, Pengertian bangunan gedung dalam Undang-Undang ini adalah
bangunan berupa gedung dan bangunan non gedung, dimana menara
telekomunikasi merupakan salah satu bentuk dari bangunan non gedung.
Berdasarkan Undang-Undang Bangunan Gedung setiap bangunan baik gedung
maupun non gedung harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan
administratif. Salah satu sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam
memeriksa bangunan tersebut telah memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis melalui Izin Mendirikan Bangunan. Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk memberikan IMB yang pembentukannya diatur dengan
Peraturan Daerah.
Keberadaan menara telekomunikasi yang termasuk dalam kategori
bangunan non-gedung haruslah sesuai dengan peruntukan lokasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota. Ketentuan tegas ini dituangkan dalam pasal 6 ayat (1) UU
Bangunan Gedung. Pendirian menara telekomunikasi haruslah didasarkan pada
Izin
Mendirikan
Bangunan
Menara
Telekomunikasi
(IMB
Menara).
Selanjutnya merujuk pada ayat 93) pasal ini, setiap perubahan fungsi dari
menara telekomunikasi haruslah mendapatkan persetujuan dan penetapan
kembali oleh pemerintah daerah. Setiap IMB Menara yang diterbitkan haruslah
telah melalui pengkajian teknis, dan memenuhi syarat adminstratif, teknis yang
telah ditetapkan.
Namun,
mengingat
karateristik
menara
telekomunikasi,
terdapat
permasalahan mendasar apabila ke depan pengaturan menara telekomunikasi
tetap hanya merujuk pada UU Bangunan Gedung an sich. Karateristik menara
telekomunikasi sangatlah spesifik, walaupun dikategorikan sebagai bangunan
non-gedung, terdapat permasalahan apabila menara telekomunikasi tersebut
53
berdiri diatas masjid atau gereja yang hanya berfungsi sebagai antenna
penerima sinyal. Permasalahan juga timbul apabila menyangkut IMB (Izin
Membangun Bangunan) dan IMB Menara, terkait dengan retribusi dan
persyaratan teknis administratif lainnya serta terkait dengan mekanisme
pembongkaran mengingat pembongkaran menara telekomunikasi tidaklah
sama dengan pembongkaran bangunan lainnya karena biaya yang mahal dan
kompleksitas pekerjaan. Mendatang perlu difikirkan oleh pemerintah
untuk mengatur bangunan Menara Telekomunikasi dalam satu regulasi
tersendiri.
5.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya
disebut sebagai UU Penataan Ruang)
Salah satu model pengaturan yang utama adalah dengan meletakkan
menara telekomunikasi sesuai dengan penataan ruang di daerah. Penataan
ruang merupakan wewenang dari negara, dan dilimpahkan kepada daerah
berdasar pasal 7 ayat (1) UU Penataan Ruang. UU Penataan Ruang telah
memberikan dasar legalitas kewenangan daerah untuk melakukan penataan
ruang wilayahnya yang kemudian dituangkan dalam Rencana Tata Ruang dan
Tata Wilayah Kabupaten/kota masing-masing
faktor-faktor
geostrategis,
potensi
dengan mempertimbangkan
sumberdaya
Kewenangan ini ditujukan untuk menjaga
dan
kondisi
daerah.
keserasian dan keterpaduan
antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan
antardaerah dengan mendasarkan pada transparansi, efektifitas, dan partisipatif
agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal penyelenggaraan
penataan ruang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) UU Penataan Ruang,
meliputi:
a.
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
54
b.
c.
d.
6.
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH)
Keberadaan menara telekomunikasi sangat lekat kaitannya dengan
kebijakan pengaturan lingkungan hidup di sekitar lokasi menara. Sehingga
keberlangsungan ekosistem dan lingkungan yang baik dan sehat bagi
masyarakat di sekitar menara tetap terwujud.
Upaya memadukan pembangunan menara telekomunikasi dengan
kebijakan lingkungan serta penataan pertumbuhan menara telekomunikasi
merupakan salah satu upaya terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup. Hal ini selaras dengan konsep pembangunan
berkelanjutan sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU
PPLH.
Berdasarkan konsepsi pembangunan berkelanjutan tersebut, perlu
difikirkan upaya pengendalian menara telekomunikasi yang berbasis pada
lingkungan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan
kebijakan lingkungan pada tingkat kabupaten/kota yang merupakan salah satu
wewenang dari pemerintah daerah berdasarkan Pasal 63 ayat (3) huruf a UU
PPLH.
7.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Persaingan
Usaha)
Mengingat karateristiknya yang kompleks, pengaturan menara juga harus
mempertimbangkan aspek dari kepentingan usaha. Analisa pada bagian
55
sebelumnya telah memotret urgensi pengaturan menara telekomunikasi dari
perspektif hukum bisnis. Ditinjau dari hukum bisnis, pengaturan menara
telekomunikasi tertutama ditujukan untuk menciptakan iklim persaingan bisnis
yang sehat diantara para provider penyedia jasa menara, baik yang
menyediakan tower (tower povider) maupun yang menyediakan layanan jasa
telekomunikasi (service provider). Kegiatan usaha menara telekomunikasi
merupakan kegiatan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka
pemerintah dalam hal ini harus bertindak tegas untuk mengatur agar tidak
terjadi
monopoli
usaha.
Kebijakan
pemerintah
daerah
juga
harus
mempertimbangkan terwujudnya iklim usaha yang sehat bagi dunia usaha
menara telekomunikasi dan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha
dan kepentingan umum , sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 2 UU
Persaingan Usaha.
8.
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disebut
sebagai UU No.28/1999)
Secara teoritis, tindakan pemerintah dalam pembuatan kebijakan hukum
yang mengatur mengenai menara telekomunikasi maka pemerintah melakukan
tindakan hukum. Tindakan hukum berupa penetapan peraturan mengenai
menara
telekomunikasi
haruslah
berpedoman
pada
Asas
Umum
Penyelenggaraan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU
No.28/1999 yang mengikat pemerintah untuk melaksanakannya, yang terdiri
atas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Asas kepastian hukum;
Asas tertib penyelenggara negara;
Asas kepentingan umum;
Asas keterbukaan;
Asas proporsionalitas
Asas profesionalitas;
Asas akuntabilitas;
Asas efisiensi;
56
i.
Asas efektivitas.
Ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 menegaskan bahwa Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan harus tetap memperhatikan
batas-batas kewenangan dari daerah dengan bersandarkan pada asas-asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan asas good
governance.
9.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (selanjutnya
disebut sebagai UU Pelayanan Publik)
Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka
pemenuhan
kebutuhan
pelayanan
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik 35. Terkait dengan penyelenggaraan pelayanan oublik di
bidang menara telekomunikasi, Pemerintah daerah wajib untuk membuat
pengaturan tentang prosedur palayanan terkait dengan penyelenggaraan menara
telekomunikasi. Pelayanan dalam hal ini dapat meliputi pelayanan perizinan
pendirian menara, pelayanan cek fisik menara telekomunikasi dan pelayanan
lainnya yang terkait. Dalam hal penyelenggaraan pelayanan tersebut haruslah
berpegang teguh pada asas-asas yang tertuang dalam Pasal 4 UU Pelayanan
Publik, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
35
kepentingan umum;
kepastian hukum;
kesamaan hak;
keseimbangan hak dan kewajiban;
keprofesionalan;
partisipatif;
persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
keterbukaan;
Pasal 1 angka 1 UU Pelayanan Publik
57
i.
j.
k.
l.
akuntabilitas;
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
ketepatan waktu; dan
kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Pengaturan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik UU No. 25 Tahun
2009 sedasar dengan asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 dan asas penyelenggara
pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Realisasi
asas penyelenggaraan pelayanan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan
Desa dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance).
10.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (selanjutnya disebut sebagai UU PDRD)
Undang-Undang yang terkait lainnya dengan pengaturan Menara
Telekomunikasi adalah UU PDRD. Hal ini mengingat Menara Telekomunikasi
merupakan salah satu obyek dari pungutan daerah (retribusi). Atas jasa
pelayanan dalam penyelenggaraan menara telekomunikasi, pemerintah daerah
berwenang
untuk
memungut
Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi, yang merupakan salah satu dari jenis Retribusi Jasa Umum
sebagaimana diatur dalam Pasal 110 UU PDRD. Jasa umum merupakan jasa
yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau Badan
Obyek dari Retribusi Jasa Umum telah ditetapkan dalam pasal 109 UU
PDRD, yaitu:
‘Pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan’.
58
Pemungutan retribusi jasa umum merupakan pemungutan yang bersifat
pilihan, artinya pemerintah daerah dapat memungut atau tidak memungut
retribusi apabila potensi penerimaannya kecil atau merupakan kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. Secara spesifik,
obyek dari Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, diatur dalam Pasal
124 yaitu “Pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan
memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum”.
Dalam hal penetapan tarif retribusi daerah harus memperhatikan aspekaspek biaya penyediaan jasa (biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga dan
biaya modal), kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas
pengendalian atas pelayanan terkait dengan menara telekomunikasi tersebut 36.
Dalam penetapan tarif, untuk untuk menghindari penetapan tarif pajak yang
tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah
hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum
yang telah ditetapkan dalam UU PDRD.
Rasio filosofis dan sosiologis Penetapan Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi sebagai salah satu obyek retribusi jasa umum dapat dilihat
pada penjelasan UU PDRD, dimana Undang-Undang ini melakukan
perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis
Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan
dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah
terjadinya
gangguan
ketertiban,
keselamatan,
atau
kesehatan
umum,
memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan
kesehatan kerja. Lebih lanjut Undang-Undang ini juga menetapkan 4
(empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan
Tera/Tera
Ulang,
Retribusi
Pelayanan
Pendidikan,
Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha
Perikanan.
36
Pasal 152 UU Pajak Daerah dan retribusi daerah
59
11.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82)
Menurut Bagir Manan ajaran tentang tata urutan peraturan perundangundangan demikian mengandung beberapa prinsip, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan
tingkat lebih tinggi.
Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti
atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
paling tidak dengan yang sederajat.
Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur
materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan,
walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang
lama itu dicabut. Selain itu peraturan yang mengatur materi yang lebih
khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih
umum. 37
Bahwa dalam penetapan peraturan di daerah mengenai menara
telekomunikasi dan materi muatannya haruslah selaras dengan asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 6 ayat (1), yaitu
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
37
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, cetakan kedua, Op.cit, hal. 19.
60
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum danpemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi (selanjutnya disebut sebagai PP No 52/2000)
Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari UndangUndang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Walaupun mengatur
segala hal teknis tentang telekomunikasi seperti penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dan kewajiban penyelenggara
telekomunikasi dalam menyediakan akses telekomunikasi di daerah (Pasal 46),
perizinan (Pasal 55-67), namun pengaturan dalam Peraturan pemerintah ini
BELUM menyentuh terhadap pengaturan Menara Telekomunikasi.
Dalam Pasal 1 angka 1 PP a quo disebutkan bahwa Telekomunikasi adalah
setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi
dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Hal ini secara teknis hanya meliputi jaringan telekomunikasi yang
menghubungkan informasi dari seorang ke orang lainnya. Sehingga belum
mengatur detail mengenai menara telekomunikasi. Menara telekomunikasi
mempunyai karateristik unik, karena merupakan bangunan menara yang
difungsikan sebagai penerima dan pemancar gelombang telekomunikasi. Dari
aspek penyedia jasa, PP No. 52/2000 juga belum mengatur perkembangan
penyedia jasa yang terlibat dalam usaha menara telekomunikasi saat ini, yaitu
penyedia layanan telekomunikasi (service provider) dan penyedia menara
telekomunikasi (tower provider).
13.
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum,
Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor
07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009
61
Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara
Telekomunikasi (selanjutnya disebut SKB 3 Menteri dan Kepala BKPM).
Peraturan SKB 3 Menteri dan Kepala BKPM mengenai Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi merupakan
satu-satunya sampai dengan saat ini peraturan yang mengatur secara spesifik
mengenai Menara Telekomunikasi. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya
peraturan ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat selaras dengan kemajuan
perkembangan zaman. Hal ini tampak pada konsideran menimbang yaitu:
a.
b.
bahwa telekomunikasi merupakan sarana publik yang dalam
penyelenggaraannya membutuhkan infrastruktur menara
telekomunikasi;
bahwa pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi
sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam
penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan
efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan;
Lahirnya peraturan SKB ini sebagai pedoman pembangunan dan
penggunaan bersama menara untuk mewujudkan keserasian hubungan antara
pemerintah dengan pemerintahan daerah dalam hal memberikan petunjuk
pembangunan menara yang memenuhi persyaratan administratif, teknis, fungsi,
tata bangunan, rencana tata ruang wilayah, lingkungan dan aspek yuridis 38.
Dengan SKB ini pemerintah berupaya untuk menerapkan instrumen
dalam
pengendalian
pertumbuhan
menara,
yaitu
dengan
Kebijakan
penggunaan Menara secara bersama. Tujuannya yaitu mengendalikan
pertumbuhan
menara
telekomunikasi
baru
dengan
mengoptimalkan
penggunaan menara bersama existing. Hal-hal yang diatur dalam penggunaan
bersama menara dimuat dalam Pasal 3 SKB a quo, meliputi:
- persyaratan pembangunan dan pengelolaan menara,
- zona larangan pembangunan menara,
- struktur bangunan menara,
38
Pasal 2 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan
Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009,
Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan
Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi
62
-
perizinan pembangunan menara,
tata cara penggunaan bersama menara,
retribusi izin pembangunan menara,
pengawasan dan pengendalian.
SKB ini menetapkan bahwa setiap pembangunan menara WAJIB memiliki Izin
Mendirikan Bangunan Menara (IMB Menara). Izin ini dikeluarkan oleh Kepala
Daerah (Bupati/Walikota), dengan berpijak pada ketentuan Penataan ruang 39.
Permohonan tersebut diajukan oleh Penyedia menara. 40
Terkait dengan kebijakan Zonasi, maka SKB ini memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan Zona yang tidak
diperbolehkan (dilarang) bagi pembangunan menara. Zona ini diatur dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Detail Tata Ruang
Wilayah (RDTRK) daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 14 SKB yang
selengkapnya berbunyi :
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi
DKI Jakarta menetapkan zona-zona yang dilarang bagi
pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana
tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang
yang berlaku.
(2) Zona-zona yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana
detail tata ruang wilayah kabupaten/kota dan wilayah
provinsi DKI Jakarta dan/atau rencana tata bangunan dan
lingkungan yang bersangkutan.
(3) Larangan zona untuk pembangunan menara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak membatasi hak masyarakat
untuk mendapatkan layanan telekomunikasi pada zona
tersebut.
Kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi melalui
Penggunaan
menara
bersama
dan
Zona
larangan
pendirian
menara
telekomunikasi ditujukan untuk mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi
di wilayah daerah, namun dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat atas
komunikasi dengan mengotimalkan sarana menara komunikasi existing.
39
40
Lihat Pasal 4 ayat 91), (2), (3), Ibid.
Lihat Pasal 10, Ibid.
63
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur lebih lanjut tentang kebijakan
pengaturan pertumbuhan menara telekomunikasi tersebut juga termasuk dalam
kewenangan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pengendalian menara
telekomunikasi di daerah 41.
Hal yang menarik untuk dibahas lebih detail dalam SKB ini adalah Izin
Mendirikan Menara Telekomunikasi (IMB Menara) yang menurut SKB
Menara Bersama berlaku untuk selamanya dan tidak perlu diperbaharui setiap
periode tertentu. Hal ini dapat menimbulkan potensi pelanggaran terhadap
perlindungan masyarakat, karena keberadaan IMB Menara tidak ada jangka
waktu dan tidak ada pengawasan terhadap keberadaan Menara setalah berdiri.
Pengawasan tersebut menyangkut mengenai kekuatan konstruksi menara, hal
ini sangat penting untuk mencegah kemungkinan menara telekomunikasi
tersebut roboh. Terkait dengan hal ini terdapat kewajiban pemerintah daerah
selaku pelindung masyarakat (to protect), sehingga pemerintah daerah dalam
memberikan izin pendirian menara juga harus mempertimbangkan rasa ama
bagi masyarakat. Rasa aman ini dapat diwujudkan dalam kewejiban bagi
penyedia menara untuk mengasuransikan menaranya untuk mengantisipasi
segala kerugian yang timbul akibat menara.
Wewenang pemerintahan daerah dalam pengaturan pengendalian menara
telekomunikasi secara atributif telah diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 terutama dalam Pasal 14 dan ditindaklanjuti dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 terutama dalam Pasal 6 dan Pasal 7, serta
peraturan perundangan lainnya yang telah dijelaskan diatas, diwujudkan oleh
daerah
Kabupaten/Kota untuk melakukan pengaturan di
wilayahnya.
Pengaturan ini dituangkan dalam bentuk hukum Peraturan Daerah yang
mendapatkan persetujuan wakil rakyat (DPRD). Berikut akan dibahas lebih
detail contoh beberapa daerah kabupaten/kota yang telah mengatur mengenai
pertumbuhan menara telekomunikasi di daerahnyaa, antara lain :
41
Lihat Pasal 23, Ibid.
64
V.4. Instrumen Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi
Dalam analisa sebelumnya telah dijabarkan ratio filosofis serta urgensi
pengaturan menara telekomunikasi mengingat kondisi pertumbuhan menara
telekomunikasi dan upaya pemerintah daerah untuk memenuhi hak-hak masyarakat
(hak atas lingkungan hidup yang baik, hak untuk hidup layak dan hak untuk
berkomunikasi). Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan penataan menara
telekomunikasi (sebagaimana telah dijelaskan dalam analisa sub bab sebelumnya),
maka pemerintah daerah, sebagai organisasi yang melaksanakan fungsi Negara,
berwenang melakukan pengaturan yang berfungsi sebagai instrumen kebijaksanaan
yang bersifat preventif untuk penataan dan pengendalian menara telekomunikasi.
Sub bagian ini akan melakukan analisa mengenai Instrumen Penataan dan
Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Dalam melakukan pengaturan tentang penataan dan pengendalian menara
telekomunikasi sebagai intervensi pemerintah untuk mengatur keseimbangan
pembangunan menara telekomunikasi dengan hak masyarakat untuk memperoleh
keamanan dan lingkungan yang sehat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 H
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah
melakukan tindak pemerintahan (bestuur handelilngen) yang berupa pembentukan
peraturan perundang-undangan, peraturan kebijaksanaan (beleid regels), izin dan
tindakan nyata (feitelijk handelingen).
65
Tindak pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah bertujuan untuk
mencapai keseimbangan antara pembangunan menara telekomunikasi dengan
keamanan, keindahan dan fungsi menara telekomunikasi. Dengan demikian
pengaturan tentang penataan dan pengendalian menara telekomunikasi tetap harus
memberi jaminan ketersediaan jaringan telekomunikasi. Hal tersebut sesuai dengan
yang diisyaratkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan
Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi yaitu pemerintah daerah harus
menyusun pengaturan penempatan lokasi menara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. 42
Berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan
yang telah ditetapkan, maka beberapa instrumen kebijaksanaan yang berfungsi untuk
penataan dan pengendalian menara telekomunikasi meliputi :
a. Zona Penempatan Menara Telekomunikasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan
Menara Bersama Telekomunikasi, maka salah satu instrument kebijakan yang digunakan
untuk melakukan penataan dan pengendalian pembangunan menara telekomunikasi
adalah menetapkan Zona Penempatan Lokasi Menara. Zona Penempatan Lokasi
Menara adalah kajian teknis terpadu tentang zona penempatan titik-titik lokasi menara
yang telah ditentukan untuk pembangunan Menara Telekomunikasi yang berada dalam
radius maksimum 300 meter dari titik koordinat dengan memperhatikan aspek-aspek
42
pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008
66
kaidah perencanaan jaringan selular yaitu ketersediaan coverage area pada area potensi
generated traffic dan ketersediaan kapasitas traffic telekomunikasi selular.
Zona Penempatan Lokasi Menara berfungsi untuk mengarahkan, menjaga, dan
menjamin agar pembangunan dan pengoperasian menara telekomunikasi dapat terlaksana
secara tertata dengan baik, berorientasi masa depan, terintegrasi dan memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi semua pihak. Dengan demikian tujuan penataan menara
telekomunikasi adalah :
a.
Menjaga estetika kawasan daerah dan memperhatikan kelestarian lingkungan;
b.
Mendukung kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi serta kegiatan
pemerintahan;
c.
Menghindari pembangunan menara telekomunikasi yang tidak terkendali;
d.
Menentukan lokasi-lokasi menara telekomunikasi yang tertata;
e.
Standarisasi bentuk, kualitas, dan keamanan menara telekomunikasi;
f.
Kepastian peruntukan dan efisiensi lahan;
g.
Meminimalisir gejolak sosial;
h.
Meningkatkan citra wilayah;
i.
Keselarasan dengan RTRW;
j.
Memudahkan pengawasan dan pengendalian;
k.
Mengantisipasi menara telekomunikasi illegal sehingga menjamin legalitas setiap
menara telekomunikasi atau yang berizin;
l.
Memenuhi kebutuhan lalu lintas telekomunikasi selular secara optimal;
m.
Menghindari wilayah yang tidak terjangkau (blank spot area);
67
n.
Acuan konsep yang dapat digunakan oleh seluruh penyelenggara telekomunikasi,
baik GSM (Global System for Mobile Communications) maupun CDMA (Code
Division Multiple Acces) serta dapat digunakan untuk layanan nir kabel, LAN, dan
lain-lain;
o.
Mendorong efisensi dan efektivitas biaya telekomunikasi dan biaya investasi akibat
adanya kerjasama antara penyelenggara telekomunikasi; atau
p.
Mendorong persaingan yang lebih sehat antar penyelenggara telekomunikasi.
Kebijakan zonasi ini telah ditetapkan pada sebagian besar daerah di wilayah Jawa
Timur (termasuk wilayah yang menjadi sample dari penelitian ini). Di Kabupaten
Tulunggung, Ngawi, pasuruan sudah menerapkan kebijakan zonasi tersebut dalam suatu
peraturan daerah. Surabaya saat ini sedang dalam pembahasan akhir mengenai kebijakan
zonasi tersebut 43.
Pemerintah Provinsi jawa Timur sampai saat ini belum mempunyai peraturan
daerah tentang kebijakan zonasi menara telekomunikasi. Pengaturan hukum mengenai
zonasi juga belum tampak pada peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini hanya
mendasarkan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan
Menara Bersama Telekomunikasi.
43
Lihat analisa dan pembahasan mengenai kondisi penataan Menara telekomunikasi di beberapa wilayah di
Jawa Timur.
68
b. Izin Mendirikan Bangunan Menara
Selain melakukan penataan menara telekomunikasi melalui zona penempatan
lokasi menara telekomunikasi, maka dalam menjaga keamanan dan fungsi menara
telekomunikasi perlu dilakukan pengaturan tentang standar baku pembangunan menara
telekomunikasi. Standar baku pembangunan menara telekomunikasi digunakan oleh
Satuan kerja Perangkat Daerah sebagai pedoman dan criteria dalam menerbitkan Izin
Mendirikan Bangunan Menara.
Izin Mendirikan Bangunan Menara merupakan suatu keputusan yang diberikan
oleh pemerintah kabupaten/kota kepada orang atau badan untuk mengubah, mendirikan
dan/atau membongkar bangunan menara. IMB Menara merupakan salah satu tindakan
pemerintahan yang menjadi sarana pengendalian terhadap pembangunan menara agar
menjamin keselamatan bangunan dan lingkungannya. Pemberian IMB Menara agar
sesuai dengan tujuannya untuk menjamin keselamatan bangunan dan lingkungannya,
maka pemberian IMB Menara harus didasarkan SNI dan Standar Baku Tertentu.
SNI dan Standar Baku Tertentu bagi penyedia menara, pengelola menara dan
penyelenggaraan telekomunikasi digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi, sedangkan bagi Pemerintah
daerah SNI ini digunakan sebagai standar dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap pendirian dan penyelenggaraan menara telekomunikasi. Standar
yang harus dipenuhi dalam melakukan pembangunan menara telekomunikasi adalah :
a. Ketinggian menara harus memperhatikan tata guna lahan secara khusus, yaitu
kawasan militer, kawasan wisata dan kawasan kepadatan penduduk yang tinggi;
69
b. Struktur menara yang dibangun harus dipersiapkan sebagai menara bersama yang
dapat dipergunakan oleh beberapa penyelenggara telekomunikasi (BTS);
c. Rangka struktur menara dan pondasi menara harus memperhatikan daya dukung
menara bersama;
d. Pembangunan menara telekomunikasi harus mengacu pada SNI dan standar baku
untuk menjamin keamanan lingkungan dengan memperhatikan factor-faktor yang
menentukan kekuatan dan kestabilan konstruksi menara telekomunikasi, antara lain :
- Area penempatan antenna dan perangkat telekomunikasi;
- Ketinggian menara telekomunikasi;
- Struktur menara telekomunikasi;
- Rangka struktur telekomunikasi;
- Pondasi menara telekomunikasi; dan
- Kekuatan angin.
e. Bentuk menara bersama harus diserasikan dengan fungsi dan keserasian lingkungan,
misalnya berbentuk :
- Menara Telekomunikasi Kamuflase 44;
- Menara Telekomunikasi Tunggal (Monopole); atau
-
Menara Telekomunikasi Rangka (Self Suppoting Tower)
44
Menara kamuflase berdasar Pasal 1 angka 39 perda Kabupaten Pasuruan adalah Kamuflase terhadap
menara sebagai tower samaran/menyerupai biasanya berbentuk pohon
70
Berikut adalah contoh bentuk-bentuk menara telekomunikasi yang telah dikamuflasekan:
•
Menara Telekomunikasi yang berbentuk Menara Greenfield Collocation
71
•
Menara Telekomunikasi yang berbentuk Menara Greenfield Terbaru
72
•
menara Telekomunikasi yang berbentuk Menara Monopole Semi Kamuflase
73
•
Bentuk Menara Telekomunikasi Antena tersamar yang Menyatu dengan Lingkungan
•
Bentuk Menara Telekomunikasi Monopole Terbaru Yang Memanfaatkan Tiang PJU
74
Ketentuan tentang perizinan menara telekomunikasi telah diatur di Kota Surabaya,
Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Ngawi dan berbagai daerah
lain di Jawa Timur. Pengaturannya dalam bentuk hukum Peraturan Daerah. Arah
kebijakannya adalah pemberian Izin Menara Telekomunikasi yang sedapatnya
dikamuflasekan, sehingga tidak mengganggu estetika wilayah kabupaten/kota. Namun
kebijakan pendirian menara telekomunikasi di beberapa wilayah di Jawa Timur masih
belum dilaksanakan maksimal, hal ini nampak pada pengaturan ketentuan menara
kamuflase yang hanya berupa salah satu jenis menara telekomunikasi dan bukan
merupakan kewajiban bagi penyedia menara untuk membangun menara telekomunikasi
yang dikamuflasekan.
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan
dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama, Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa :
“Bentuk Menara Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
fungsi dan keserasian lingkungannya dapat berupa:
a. menara Telekomunikasi Kamuflase;
b. menara Telekomunikasi Tunggal (Monopole); atau
c. menara Telekomunikasi Rangka (Self Supporting Tower)”.
Pada
Kabupaten
Pasuruan
kriteria
penentuan
perlu
tidaknya
menara
telekomunikasi kamuflase berdasarkan atas kawasan, yaitu kawasan hutan lindung,
kawasan hutan kota dan kawasan pariwisata 45. Kabupaten Tulungagung dalam
45
Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2; Pasal 6 ayat (1) huruf b angka 2; pasal 6 ayat 95) huruf a
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 Tahun 2012
75
peraturan daerah nya sama sekali tidak mengatur mengenai ketentuan Menara
kamuflase. Langkah maju tampak pada Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20
tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pasal 16
(1) Menara Telekomunikasi Rangka adalah menara telekomunikasi yang
konstruksinya merupakan rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul untuk
menyatukannya.
(2) Menara Telekomunikasi Tunggal adalah menara telekomunikasi yang
konstruksinya berbentuk tunggal tanpa adanya simpul-simpul rangka yang
mengikat satu sama lain.
(3) Menara Telekomunikasi Kamuflase adalah penyesuaian bentuk menara
telekomunikasi yang diselaraskan dengan lingkungan dimana menara
tersebut berada.
Pasal 15
Pembangunan Menara Telekomunikasi Bersama yang berada di kawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, apabila dimungkinkan menurut hasil
kajian secara teknis dari Pemerintah Daerah maka bentuk dan desain menara
wajib berwujud Menara Telekomunikasi Kamuflase serta bangunan
pendukungnya wajib selaras dengan estetika lingkungan dan / atau kawasan
setempat yang juga merupakan bagian dari Menara Telekomunikasi Bersama.
Area yang wajib bentuk dan desain menara telekomunikasi nya berbentuk kamuflase di
Ngawi adalah :
a. kawasan bandar udara/ pelabuhan;
b. kawasan pengawasan militer;
c. kawasan cagar budaya;
d. kawasan pariwisata; dan/atau
e. kawasan hutan lindung 46.
46
Pasal 13 Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi
76
Tabel
berikut
menggambarkan
arah
kebijakan
pembangunan menara yang tersamar/berkamuflase.
daerah
dalam
mendorong
Aspek
Kota
Surabaya
Kabupaten
Pasuruan
Kabupaten
Blitar
Kabupaten
Ngawi
Kabupaten
Tulungagung
Kebijakan IMB
Menara
Telekomunikasi
Kebijakan
mendorong
pembangunan
menara
yang
tersamar
(berkamuflase)
Ketentuan
dalam Perda
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
(khusunya
pada menara
di hutan kota)
Ya
Ya
Tidak ada
Pasal 3 ayat
(4) Perda
Kab Blitar
Nomor 7
Tahun 2010 ,
dan
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Ngawi
Nomor 20
tahun 2010
tentang
Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunik
asi
Pasal 14 dan
Pasal 16 ayat (3)
Perbup Ngawi
No 11 Tahun
2010
-
Pada
tertentu
Ya
Ya
Ya
-
area
(Pasal 6
huruf b
angka 2)
Perda Kab
Pasuruan
Nomor 24
tahun 2012
Ya
77
c. Perizinan dan dokumen yang terkait dengan penataan dan pengendalian menara
telekomunikasi
Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, khususnya dalam lampiran dinyatakan bahwa dalam pembangunan
menara telekomunikasi juga diperlukan adanya izin gangguan yang diterbitkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan Pasal 3 Peraturan menteri Dalam Negeri
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Daerah bahwa kriteria
ganguuan meliputi :
1) Kriteria gangguan dalam penetapan izin terdiri dari:
a.
lingkungan;
b.
sosial kemasyarakatan; dan
c.
ekonomi.
(2) Gangguan terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
gangguan terhadap fungsi tanah, air tanah, sungai, laut, udara dan gangguan yang
bersumber dari getaran dan/atau kebisingan.
d. Kebijakan penataan Menara Telekomunikasi Bersama
Dalam upaya untuk mencapai tujuan penataan menara telekomunikasi telah
diterbitkan Surat Keputusan Bersama Antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan
Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor
19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan
78
Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Menara Telekomunikasi Bersama adalah
menara yang digunakan secara bersama-sama oleh penyedia layanan telekomunikasi
dan/atau penyelenggara telekomunikasi untuk menempatkan dan mengoperasikan
peralatan telekomunikasi berbasis radio (Base Transceiver Station) berdasarkan Zona
Penempatan Lokasi Menara. Surat Keputusan Bersama Menteri ini merupakan suatu
kebijakan yang bertujuan untuk menata pendirian menara telekomunikasi dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan perangkat telekomunikasi sebagai sarana komunikasi bagi
warga masyarakat.
Arah kebijakan penataan menara telekomunikasi bersama juga sudah tampak pada
kabupaten Tulungagung, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pasuruan dan Kota Surabaya.
Kondisi kebijakan penataan menara telekomunikasi pada ke-empat wilayah tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut :
Aspek
Kota
Surabaya
Kabupaten
Pasuruan
Kabupaten
Blitar
Kabupaten
Ngawi
Kabupaten
Tulungagung
Pemanfaatan
Menara
Telekomunikasi
bersama
Arah kebijakan
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Menara
telekomunika
si bersama
Menara
telekomunika
si bersama
Menara
telekomunika
si bersama
Menara
telekomunikasi
bersama
Menara
telekomunika
si bersama
Dari tabel diatas, tampak walaupun hanya dilandaskan dengan Surat Keputusan Bersama
Menteri, daerah-daerah banyak yang mentaati Surat Keputusan bersama menteri tersebut
79
dan mengaplikasikannya dalam kebijakan penataan menara telekomunikasi di
wilayahnya.
e. Instrumen ekonomik
Berdasarkan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pengendalian Menara Telekomunikasi merupakan salah
satu jenis pelayanan publik yang dapat dikenakan pungutan retribusi daerah dan termasuk
pada jenis retribusi jasa umum. Sebagaimana telah ditentukan dalam UU PDRD, Obyek
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara
telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan dan kepentingan
umum.
Berdasarkan Pasal 152 UU PDRD dinyatakan bahwa prinsip dan sasaran
penetapan tarif bagi retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya
penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan
efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya penyelenggaraan ini meliputi :
biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal. Atas dasar ketentuan
tersebut, maka sesuai dengan penjelasan Pasal 124 UU PDRD telah menjabarkan bahwa
tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit
ditentuan serta untuk kemudahan penghitungan tariff retribusi ditetapkan paling tinggi
2% dari nialai jual obyek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi
dan Bangunan Menara Telekomunikasi yang besarnya retribusi dikaitkan dengan
frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut. Berdasarkan
penghitungan tersebut, maka retribusi pengendalian menara telekomunikasi dikaitkan
80
dengan pengawasan yang dilakukan pemerintah daerah terhadap bangunan menara
telekomunikasi, sehingga hal ini merupakan sarana/instrumen yang bersifat preventif
terhadap keberadaan menara telekomunikasi.
Penerapan instrumen ekonomik sangat penting, hal ini tampak pada daerah-daerah
yang menerapkan penataan menara telekomunikasi bersama. Masing-masing daerah
tersebut selain mengatur penataan menara telekomunikasi dalam bentuk peraturan daerah,
juga mengatur tentang pungutan retribusi atas Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Kota/kabupaten
Pengaturan
tentang
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi
Pengaturan
tentang Retribusi
Pengendalian
Menara
Telekomunikasi
Keterangan
Surabaya
YA
Ya*
*Sampai penelitian ini ditulis,
rancangan peraturan daerah tentang
pengendalian menara telekomunikasi
sedang dalam pembahasan akhir
dengan DPRD.
Kabupaten
Pasuruan
YA
-*
Kabupaten Blitar
YA
Ya
81
Peraturan Daerah Kabupaten
Pasuruan Nomor 24 Tahun 2012
tentang Penataan dan Pengendalian
Menara Telekomunikasi Bersama
(*sedang dibahas rancangan
peraturan daerah tentang retribusi
pengendalian menara
telekomunikasi)
-
Peraturan Daerah Kabupaten
Blitar Nomor 7 Tahun 2010
tentang Pembangunan dan
Penataan Menara
Telekomunikasi Bersama.
-
Peraturan Daerah Kabupaten
Blitar Nomor 23 Tahun 2011
tentang retribusi Jasa Umum.
Kabupaten
Ngawi
YA*
Ya
Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi
Nomor 20 tahun 2010 tentang
Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi
*Substansi Perda Ngawi tersebut
mencakup keseluruhan kebijakan
penataan menera telekomunikasi,
termasuk pembentukan Tim
Penataan dan Pengawasan
Pembangunan Menara
Telekomunikasi. Sepertinya
substansi perda ini sebagian besar
mengadopsi Perbup No. 11 Tahun
2010 tentang Penataan,
Pembangunan,
dan Pengoperasian
Menara Telekomunikasi terpadu di
Kabupaten Ngawi
Kabupaten
Tulungagung
YA
Ya*
Peraturan Daerah Kabupaten
Tulungagung
Nomor 18 Tahun 2010
tentang
Pengendalian Menara
Telekomunikasi
(* ketentuan tentang Retribusi
dimasukkan dalam substansi Perda
No. 18 tahun 2010 tersebut).
V.5. Penataan Pengendalian Menara Telekomunikasi di beberapa daerah di Provinsi Jawa
Timur
a. Kota Surabaya
Kota Surabaya secara geografis terletak pada 112° 36’ sampai dengan 112° 54’
Bujur Timur, dan 7° 12’ sampai 7° 21’ Lintang Selatan, dengan ketinggian 3 – 6 meter
di atas permukaan laut (dataran rendah), kecuali di bagian selatan terdapat dua bukit
landai di daerah Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25 – 50 meter di atas
82
permukaan laut. Kota Surabaya terbagi atas 31 Kecamatan dengan 160 Kelurahan.
Secara demografis, dengan luas wilayah yang seluas 33.048 Ha, dan jumlah penduduk
(pada tahun 2011) sebanyak 3.001.043 jiwa 47 maka tingkat kepadatan Kota Surabaya
sebesar 8.864 jiwa / km2. Jika dilihat berdasarkan struktur usianya, penduduk Kota
Surabaya lebih banyak berusia produktif yaitu 35 tahun sampai 54 tahun atau sebesar
32,98 persen dari total penduduk 48. Piramida penduduk Surabaya pada tahun 2010
berdasarkan jenis kelamin dan usia, sebagaimana tertuang dalam RPJMD Kota
Surabaya 2010-2015 menunjukkan grafik berikut:
Grafik: Piramida Penduduk Surabaya tahun 2010
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, RPJMD Surabaya
2010-2015
Dengan banyaknya jumlah penduduk di Kota Surabaya, maka dalam
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat perlu didukung sarana dan prasarana yang
menunjang komunikasi antar masyarakat. Salah satu bentuk sarana yang diperlukan
dalam mendukung kebutuhan komunikasi adalah adanya menara telekomunikasi.
Berdasarkan data yang telah diselenggarakan oleh Pemerintah Kota dalam melakukan
47
48
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya
Kondisi Demografis Kota Surabaya di dalam RPJMD Kota Surabaya 2010-2015
83
penyusunan cell plan pada tahun 2010, menara telekomunikasi telah tercatat jumlah
menara telekomunikasi di 31 Kecamatan di Kota Surabaya adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Data Menara Telekomunikasi di Surabaya
No
Type Menara
Jumlah
1.
Menara Green Field
455
2.
Menara Roof Top
398
3.
Menara Combat
4
TOTAL
857
Sumber : Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya
Ke-857 menara tersebut dibangun tersebar di wilayah kota Surabaya. Berikut peta
sebaran pendirian menara tersebut:
84
Sedangkan jumlah BTS di seluruh wilayah Surabaya (sampai dengan awal 2011) yang
telah dimiliki oleh beberapa Telco Opeator adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah BTS yang Dimiliki Telco Operator
No.
Operator Telekomunikasi
Nama Singkat
Jumlah
1.
PT. Telekomunikasi Selular
Tsel
171
2.
PT. Indonesia Satelit Corporation
Isat
148
3.
PT. XL Axiata
XL
143
4.
PT. Hutchinson C.P Telecommunication
HCPT
136
5.
PT. Mobile-8 Telecom
Mob-8
34
6.
PT. Bakrie Telecom
Esia
141
7.
PT. Natrindo telepon Selular
NTS
161
8.
PT. Smart Telecom
Smart
68
9.
PT. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia
STI
5
10.
PT. Telekomunikasi Indonesia
Flexi
189
11.
Noname
11
TOTAL
1207
Sumber : Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya
1207 BTS yang dimiliki oleh seluruh Telko di Surabaya tersebut tersebar di seluruh
wilayah kota Surabaya, berikut grafik penyebaran BTS dimaksud :
85
Grafik : Penyebaran BTS di wilayah Kota Surabaya
Dengan mengetahui jumlah menara telekomunikasi sebanyak 857 dan jumlah
BTS yang dimiliki oleh Telco Operator sejumlah 1207, maka di Kota Surabaya
penggunaan menara telekomunikasi secara bersama belum banyak dilakukan, sehingga
perlu dilakukan penataan terhadap jumlah menara telekomunikasi.
Berdasarkan data dari Dinas Komunikasi dan Informatika kota Surabaya,
berikut proyeksi kebutuhan BTS dan menara telekomunikasi di Surabaya sampai
dengan tahun 2015:
86
Tabel: Proyeksi kebutuhan BTS dan Menara Telekomunikasi di kota
Surabaya, Periode 2011 – 2015
Variabel Data
2011
2015
Jumlah Penduduk
3,014,774
3,327,746
Menara Eksisting
857
455
BTS Eksisting
1207
4137
Teledensitas (tingkat
50%
70%
2%
10%
Intensitas Traffic
50
82,3
Throughput
64
256
Zona Menara
302
546
kepadatan) Pengguna Selular
Terkait dengan kebijakan zonasi, Pemerintah Kota Surabaya menerapkan
kebijakan untuk membagi wilayah pendirian menara telekomunikasi menjadi 3 (tiga)
zona) yaitu:
 302 zona lokasi menara bersama yang berisikan 445 Menara eksisting
 244 zona lokasi yang merupakan area baru untuk pendirian menara bersama
yang baru
 330 Zona Pedestrian untuk penempatan microcell voice + data mobile,
ducting kabel fiber optik + listrik 49
Apabila dipetakan, pembagian ketiga zona tersebut tergambar dalam peta berikut:
49
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya
87
Grafik. Peta persebaran Zona Menara Telekomunikasi di Kota Surabaya
Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya
Kota Surabaya saat ini tengah menggodok Peraturan Daerah mengenai
Pengendalian Menara Telekomunikasi. Proses pembahasan rancangan peraturan
daerah ini sudah pada tahap akhir, sosialisasi pada masyarakat dan pembahasan di
DPRD. Diharapkan paling lambat akhir tahun 2013 Surabaya sudah memiliki
Peraturan Daerah tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Hal-hal yang mendasar yang diatur dalam rancangan peraturan daerah ini adalah:
-
Kewenangan pemerintah daeah
Jangka waktu IMB Menara
Ketentuan perizinan IMB Menara
Ketentuan pembayaran Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
88
Terkait dengan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, kota Surabaya sudah
memiliki Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2013
Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1). Rancangan
peraturan daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi dan Rancangan peraturan
daerah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebenarnya diajukan
bersamaan dan pada tahun program legislasi daerah yang sama, namun proses
pembahasannya lebih cepat peraturan daerah tentang Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi, sehingga penetapannya lebih dahulu.
Penetapan perda retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tersebut merupakan
wujud dari kewenangan pemerintah daerah untuk memungut retribusi daerah atas
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 110 huruf n UU PDRD.
b. Kabupten Pasuruan
Pertumbuhan ekonomi di Pasuruan berkembang dengan pesat, hal ini dibuktikan
dengan semakin banyaknya perusahaan yang memilih untuk menginvestasikan
modalnya di Pasuruan. Pertumbuhan ekonomi tersebut perlu ditunjang dengan sarana
telekomunikasi yang memadai. Pasuruan merupakan salah satu kota yang menarik
bagi pengusaha penyedia jasa layanan telekomunikasi maupun bagi penyedia menara
telekomunikasi. Untuk merespon kebutuhan masyarakat tersebut Pemerintah
Kabupaten Pasuruan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24
tahun 2012 tentang Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi bersama
(Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 24, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 256).
Dalam konsideran menimbang peraturan daerah ini menyatakan:
a.
bahwa perkembangan teknologi telekomunikasi merupakan sebuah
fenomena yang harus ditanggapi oleh pemerintah daerah dalam upaya
memajukan perekonomian daerah;
89
b.
c.
bahwa menara telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur dalam
pembangunan daerah yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan,
bangunan dan ruang udara;
bahwa dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan menara
telekomunikasi harus memperhatikan faktor pemerataan pembangunan,
keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika lingkungan;
Terkait dengan ketentuan pembagian wilayah/lokasi penempatan menara bersama,
Pemerintah Kabupaten Pasuruan menetapkan zonasi (wilayah) penempatan menara
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan:
-
potensi ruang wilayah yang tersedia;
kepadatan pemakaian jasa telekomunikasi;
kaidah penataan ruang, tata bangunan;
struktur perwilayahan;
estetika dan keamanan lingkungan; dan
kebutuhan luasan area Menara 50.
Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (3) mengatur bahwa Jarak radius zona penempatan menara
yang dapat ditetapkan Bupati paling jauh 300 (tiga ratus) meter dari titik tengah zona
penempatan menara. Penetapan Zona Penempatan Lokasi Menara tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Bupati 51.
Dalam perda ini mengatur tentang Tim Penataan dan Pengawasan Pembangunan
Menara Telekomunikasi Bersama (TP3MTB) yang dibentuk oleh Bupati.
Pengaturan mengenai tim ini belum diatur dalam semua peraturan daerah yang ada
mengenai pengendalian menara telekomunikasi.
TP3MTB diperuntukkan guna kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan program
menara telekomunikasi bersama di wilayah daerah. TP3MTB merupakan satuan kerja
yang terdiri dari perwakilan SKPD yang tupoksinya terkait dengan pembangunan
menara bersama. Tugas TP3MTB untuk
a. melakukan kajian teknis terhadap desain, penataan, pembangunan menara bersama;
b. memberikan masukan dan saran atas pemberian izin pembangunan dan
pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama; dan
50
51
Lihat Pasal 8 Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012
Pasal 11, Ibid
90
c. memberikan asistensi terhadap Bupati dalam melakukan pembinaan, pengendalian
dan
pengawasan
terhadap
pembangunan
dan
pengoperasian
Menara
Telekomunikasi Bersama 52.
Di Pasuruan, berdasarkan ketentuan Peraturan daerah a quo, Penyedia Menara
atau pengelola menara dapat melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam
rangka pembangunan menara, dimana kerjasama tersebut dituangkan dalam perjanjian.
Pengawasan penyelenggaraan menara telekomunikasi di kabupaten Pasuruan meliputi,
pelaporan, pemantauan dan evaluasi terhadap penerbitan perizinan serta pelaksanaan
pembangunan dan pemeliharaan menara oleh Penyedia menara telekomunikasi 53.
Pengendalian menara telekomunikasi di Kabupaten Pasuruan memiliki perbedaan
dibandingkan dengan beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, keberadaan TP3MTB
memiliki peran dalam melakukan pengawasan dan pemberian rekomendasi
pembangunan menara.
Ketentuan mengenai pengawasan menara dan fungsi TP3MTB dalam memberikan
rekomendasi bagi penerbitan IMB Menara dituangkan dalam beberapa pasal di
Peraturan Daerah a quo, pada tabel berikut akan dirinci pasal-pasal dalam Peraturan
daerah ini yang terkait dengan pengawasan menara dan fungsi TP3MTB.
Tabel : Substansi Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan
Nomor 24 tahun 2012 54
Aspek
Pasal
PENGAWASAN Pasal 26
Bunyi
(1) Kegiatan pengawasan penyelenggaraan menara
telekomunikasi diselenggarakan dalam bentuk
pelaporan, pemantauan, dan evaluasi terhadap
penerbitan perizinan serta pelaksanaan
pembangunan dan pemeliharaan menara oleh
penyedia menara telekomunikasi;
(2) Pengawasan penyelenggaraan dan pengoperasian
menara telekomunikasi dilakukan oleh pejabat
52
Pasal 13 ayat (2), Ibid
Pasal 26, ibid
54
Penebalan kata dan penulisan cetak miring dilakukan oleh penulis untuk memberikan penekanan
mengenai hal-hal yang penting dan patut diperhatikan dalam pasal ini.
53
91
yang ditunjuk dengan melibatkan peran
masyarakat.
Pasal 27:
(1) Pengawasan terhadap menara telekomunikasi
mengacu pada:
a. rencana pembangunan menara sesuai
kriteria lokasi menara;
b. proses pembangunan menara pada kawasan
budi daya dan kawasan lindung yang
diperbolehkan yang dilakukan melalui
pengecekan terhadap kesesuaian
pembangunan menara dengan peraturan
zonasi yang berlaku serta ketentuan
peraturan perundang-undangan bidang
lingkungan hidup;
c. operasional pemanfaatan ruang di sekitar
menara.
Peran
Serta
Masyarakat
dalam
Pengawasan
Pasal 28:
(1) Dalam penyelenggaraan menara, masyarakat
dapat berperan aktif secara individu atau
kelompok dalam rangka:
a. pengawasan pemanfaatan ruang untuk
pembangunan menara antara lain
melalui pelaporan kepada pemerintah
daerah
atas
penyalahgunaan
pemanfaatan ruang untuk menara;
b. bekerja sama dengan pemerintah
daerah
dan
penyelenggara
telekomunikasi dalam menciptakan
lingkungan aman dan kondusif.
Fungsi TP3PM
dalam Ketentuan
Perizinan
Menara
Telekomunikasi
Pasal 29:
(1) Pembangunan Menara harus memiliki IMBM
dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
setelah mendapatkan rekomendasi dari
TP3MTB;
(2) Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Menara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperhatikan Zona Penempatan Lokasi
Menara;
(3) Setiap pemasangan atau penempatan antena
BTS oleh Penyedia Menara atau Pengelola
Menara pada Menara Bersama harus
dilaporkan kepada Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang tugas dan fungsinya di bidang
92
Pasal 30:
Penerapan
Sanksi
Administrasi
komunikasi dan informatika
(1) Penyedia Menara dapat memulai kegiatan
pembangunan setelah memperoleh IMBM;
(2) IMBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan tanpa batas waktu sepanjang tidak
ada perubahan struktur atau konstruksi menara
dan masih dipenuhinya seluruh syarat
pendirian menara;
(3) Pemerintah Daerah mengevaluasi kelayakan
operasional menara setia (tiga) tahun sekali;
(4) Dalam hal dinyatakan operasional menara
tidak layak sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Bupati mencabut IMBM
Pasal 34:
(1) Bupati membekukan IMBM apabila
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 tidak ditindaklanjuti dengan
melakukan upaya sebagaimana tertera dalam
surat peringatan.
(2) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara penyegelan
terhadap Menara Telekomunikasi Bersama
yang sedang atau telah selesai dibangun
dan/atau dioperasikan;
(3) Selama IMBM yang bersangkutan dibekukan,
pengoperasian Menara Telekomunikasi
Bersama dalam rangka memberikan pelayanan
kepada masyarakat dilakukan di bawah
pengawasan Pemerintah Daerah;
(4) Jangka waktu pembekuan IMBM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal dikeluarkannya
penetapan pembekuan;
(5) IMBM yang telah dibekukan dapat
diberlakukan kembali apabila pemilik izin
yang bersangkutan telah mengindahkan
peringatan dengan melakukan perbaikan dan
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini
Pasal 35:
(1) Apabila jangka waktu pembekuan IMBM telah
berakhir dan pemilik IMBM tidak
mengindahkan peringatan dengan melakukan
perbaikan dan melaksanakan kewajibannya,
Bupati mencabut IMBM.
93
(2) Pelaksanaan pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
pembongkaran Menara Telekomunikasi
Bersama.
Dari beberapa pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan mengenai
Penataan Dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama, arah kebijakan yang
dituju
oleh
Pemerintah
Daerah
adalah
mendorong
pemanfaatan
menara
telekomunikasi untuk digunakan sebagai menara telekomunikasi bersama. Hal
ini diperlukan guna menegakkan Rencana Tata Ruang Wilayah (yang telah ditetapkan
dalam peraturan daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah), sehingga akan terwujud mekanisme untuk penertiban, penataan,
pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi oleh Pemerintah Daerah.
Keberadaan peraturan daerah ini juga menjadi dasar legalitas bagi pemerintah daerah
untuk melakukan tindakan hukum pengaturan di bidang pengendalian menara
telekomunikasi.
Instrumen yang digunakan adalah instrumen Perizinan atas pembangunan base
Transceiver Station (BTS) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Power Operator
Seluler. Dalam instrumen perizinan tersebut tim TP3PM, selaku tim yang dibentuk
untuk bertanggungjawab teknis atas pengendalian pendirian menara telekomunikasi,
memberikan rekomendasi bagi setiap IMB Menara yang baru. Pemerintah daerah
kabupaten Pasuruan lebih mendorong pemanfaatan menara existing.
Dalam hal penerapan sanksi, pemerintah daerah lebih mengedepankan sanksi
administrasi yang diterapkan secara bertahap. Tahapan tersebut adalah:
a. Peringatan tertulis
b. Pembekuan IMB Menara selama 3 bulan
c. Pencabutan IMB Menara
d. Pembongkaran.
Pembongkaran merupakan sanksi administrasi terakhir yang dilakukan setelah
berberapa sanksi yang lain telah diterapkan. Hal ini ditujukan untuk memberikan
waktu kepada si penerima sanksi (penyedia menara/ penyedia jasa layanan) untuk
94
mentaati peraturan dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Disisi lain,
pembongkaran menara membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga pemerintah
daerah lebih mengutamakan pada meningkatkan ketaatan penyedia menara/ penyedia
jasa layanan daripada harus membongkar menara.
c. Kabupaten Blitar
Di Kabupaten Blitar, peningkatan membangunan menara telekomunikasi direspon
pemerintah daerah dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7
Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama.
Kabupaten Blitar merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang mengawali
pengaturan penataan menara telekomunikasi di wilayahnya. Penggunaan menara
telekomunikasi harus memperhatikan beberapa faktor untuk efektivitas dan efisiensi
penggunaan, diantaranya keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika
lingkungan.
Arah kebijakan pengaturan menara telekomunikasi di Kabupaten Blitar adalah pada
pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama. Pada tabel berikut akan
dijabarkan pasal-pasal dalam peraturan daerah a quo yang melandasi arah kebijakan
kabupaten Blitar serta pengaturan wilayah pendirian menara telekomunikasi dalam
bentuk zonasi.
Tabel : Substansi Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010
Perihal
Pasal
Bunyi
Pembangunan
Menara
Telekomunikasi
Bersama
Pasal 2:
Demi efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang
Daerah, menara telekomunikasi wajib digunakan secara
bersama dalam bentuk Menara Telekomunikasi
Bersama dengan tetap memperhatikan kesinambungan
pertumbuhan industri telekomunikasi
Ketentuan
Zonasi
Pasal 11:
(1) Penempatan Lokasi Menara Bersama dibagi
dalam wilayah dengan memperhatikan potensi
ruang wilayah yang tersedia dan kepadatan
95
pemakaian
jasa
telekomunikasi
dengan
mempertimbangkan kaidah penataan ruang, tata
bangunan, struktur perwilayahan, estetika dan
keamanan
lingkungan
serta
kebutuhan
telekomunikasi pada umumnya termasuk
kebutuhan luasan area Menara.
(2) Penempatan Lokasi Menara Bersama berada
dalam radius maksimum 300 meter dari titik
kordinat yang telah ditentukan.
(3) Dalam hal tidak memenuhinya kapasitas lalu
lintas telekomunikasi yang diperlukan oleh
Penyelenggara Telekomunikasi, Bupati dapat
merubah Penempatan Lokasi Menara Bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
tetap
memperhatikan
ketentuan
Zona
Penempatan Lokasi Menara.
Pasal 14:
Zona Penempatan Lokasi Menara ditetapkan dengan
Peraturan Bupati
Penggunaan
Menara
Telekomunikasi
Bersama
Pasal 17
(1) Penyedia Menara yang memiliki Menara atau
Pengelola Menara harus memberikan
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
kepada para Penyelenggara Telekomunikasi lain
untuk menggunakan Menara miliknya secara
bersama-sama sesuai kemampuan teknis
Menara.
(2) Pemasangan antena pemancar telekomunikasi
wajib dilakukan pada Menara Telekomunikasi
Bersama.
(3) Dalam hal teknis dan fungsi ruang
dimungkinkan untuk pemasangan antenna
pemancar telekomunikasi di bangunan atau
gedung, Bupati dapat memberikan izin dengan
tetap memperhatikan ketersediaan dan
penggunaan menara telekomunikasi bersama.
Perizinan
Pembangunan
Menara
Telekomunikasi
Bersama
Pasal 21:
(1) Pembangunan Menara harus memiliki
IMBM dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
setelah mendapatkan rekomendasi dari
TP3MTB.
(2) Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Menara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperhatikan Zona Penempatan Lokasi
Menara.
96
(3) Setiap pemasangan atau penempatan antena
Telekomunikasi pada Menara Bersama harus
dilaporkan kepada Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang tugas dan fungsinya di bidang
komunikasi dan informatika.
Pasal 22:
(1) Penyedia Menara dapat memulai kegiatan
pembangunan setelah memperoleh IMBM.
(2) IMBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan tanpa batas waktu sepanjang
tidak ada perubahan struktur atau
konstruksi Menara dan masih dipenuhinya
seluruh syarat pendirian menara.
(3) Pemerintah Daerah mengevaluasi kelayakan
operasional menara setiap 3 (tiga) tahun
sekali.
(4) Dalam hal dinyatakan operasional menara tidak
layak sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Bupati mencabut IMBM.
Pengawasan
dan
Pengendalian
Pasal 31
(1) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini
dilakukan oleh TP3MTB.
(2) Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan
serta pengoperasian Menara Telekomunikasi
Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi : pemantauan, sosialisasi, penertiban
serta evaluasi pada saat pelaksanaan konstruksi,
setelah konstruksi, dan pada saat Menara dan
jaringan Telekomunikasi itu mulai
dioperasionalkan.
Sanksi
Administrasi
Pasal 26
(1) Bupati membekukan IMBM apabila peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
tidak ditindaklanjuti dengan melakukan upaya
sebagaimana tertera dalam surat peringatan.
(2) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara penyegelan
terhadap Menara Telekomunikasi Bersama yang
sedang atau telah selesai dibangun dan/atau
dioperasikan.
(3) Selama IMBM yang bersangkutan dibekukan,
pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama
dalam rangka memberikan pelayanan kepada
97
masyarakat dilakukan di bawah pengawasan
Pemerintah Daerah.
(4) Jangka waktu pembekuan IMBM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal dikeluarkannya
penetapan pembekuan.
(5) IMBM yang telah dibekukan dapat diberlakukan
kembali apabila pemilik izin yang bersangkutan
telah mengindahkan peringatan dengan
melakukan perbaikan dan melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini.
Pasal 27:
(1) Apabila jangka waktu pembekuan IMBM telah
berakhir dan pemilik IMBM tidak
mengindahkan peringatan dengan melakukan
perbaikan dan melaksanakan kewajibannya,
Bupati mencabut IMBM.
(2) Pelaksanaan pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
pembongkaran Menara Telekomunikasi
Bersama.
Di Kabupaten Blitar juga telah dibentuk TP3MTB oleh Bupati guna kelancaran
pelaksanaan program menara telekomunikasi bersama di daerah. Berbeda dengan di
kabupaten pasuruan, TP3MTB di Kabupaten Blitar bertugas untuk:
a.
melakukan kajian teknis terhadap desain, penataan, pembangunan menara
bersama;
b.
memberikan masukan dan saran atas pemberian izin pembangunan dan
pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama; dan
c.
memberikan asistensi terhadap Bupati dalam melakukan pembinaan,
pengendalian dan pengawasan terhadap pembangunan dan pengoperasian
Menara Telekomunikasi Bersama 55.
Secara spesifik peraturan daerah ini memberikan kewenangan pada TP3MTB untuk
melakukan pengawasan dan pengendalian dari peraturan daerah ini. Kewenangan
55
Pasal 15 ayat 2 Perda Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan menara
Telekomunikasi Bersama
98
pengawasan dan pengendalian TP3MTB meliputi pemantauan, sosialisasi, penertiban
serta evaluasi pada saat pelaksanaan konstruksi, setelah konstruksi, dan pada saat
Menara dan jaringan Telekomunikasi itu mulai dioperasionalkan. Dalam hal
TP3MTB ingin melakukan penegakan hukum atas menara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan, maka harus berkoordinasi dengan Satpol PP Kabupaten Blitar,
dikarenakan secara teoritik kewenangan untuk melakukan pengawasan dan
penegakan dari peraturan daerah merupakan tugas pokok dan fungsi dari Satpol PP.
d. Kabupaten Ngawi
Kabupaten Ngawi merupakan salah satu Kabupaten yang teleh mengatur mengenai
pengendalian menara telekomunikasi di wilayahnya. Potensi pertumbuhan menara
telekomunikasi di Kabupaten Ngawi sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan
jumlah menara pada tahun 2009 dan tahun 2012 di Kabupaten Ngawi.
Tabel: Rekapitulasi Jumlah Menara telekomunikasi dan Non telekomunikasi
pada tiap Kecamatan di Kabupaten Ngawi tahun 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Kecamatan
Sine
Ngrambe
Jogorogo
Kendal
Geneng
Kwadungan
Pangkur
Karangjati
Bringin
Padas
Ngawi
Paron
Kedunggalar
Jumlah
Menara
Telkom
Jumlah Menara
Non
Telkom/Radio
4
3
5
3
12
4
7
8
4
5
18
9
14
1
2
1
1
1
4
1
2
1
14
1
1
99
Warnet/ Wifi
3
1
4
4
4
1
8
5
14
15
16
17
18
19
Pitu
Widodaren
Mantingan
Karanganyar
Gerih
Kasreman
JUMLAH
2
17
11
4
3
3
136
1
1
1
1
1
1
36
2
32
Sumber: Dinas perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Ngawi
Pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap jumlah menara
telekomunikasi yang ada, sebagaimana dituangkan dalam tabel berikut:
Tabel: Rekapitulasi Jumlah Menara telekomunikasi dan Non telekomunikasi
pada tiap Kecamatan di Kabupaten Ngawi (sampai dengan pertengahan tahun 2012)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
JUMLAH
Kecamatan
Sine
Ngrambe
Jogorogo
Kendal
Geneng
Kwadungan
Pangkur
Karangjati
Bringin
Padas
Ngawi
Paron
Kedunggalar
Pitu
Widodaren
Mantingan
Karanganyar
Gerih
Kasreman
Jumlah Menara
Telkom
8
7
10
5
21
5
7
12
9
5
25
17
19
10
20
15
8
11
9
223
Sumber: Dinas perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Ngawi
100
Jumlah Menara
Non
Telkom/Radio
3
5
4
3
3
8
3
2
1
1
20
2
1
3
2
1
2
1
3
68
Pengaturan mengenai menara telekomunikasi cukup lengkap, dan dituangkan dalam
beberapa peraturan daerah. Peraturan daerah yang mengatur mengenai pengendalian
menara telekomunikasi di Kabupaten Ngawi diantaranya:
c. Peraturan Bupati Kabupaten Ngawi No. 11 Tahun 2010 tentang Penataan,
Pembangunan dan Pengoperasian Menara telekomunikasi Terpadu di Kabupaten
Ngawi;
d. Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi No. 20 Tahun 2010 Tentang Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi ((Lembaran Daerah Kabupaten Ngawi
Tahun 2010 Nomor 20).
Pengaturan Menara Telekomunikasi di Ngawi menarik untuk dianalisa lebih lanjut,
penataan, pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Nagwi hanya diatur
dalam bentuk Peraturan Bupati. Berdasarkan terori peraturan perundang-undangan,
peraturan Bupati merupakan produk hukum yang hanya bisa mengatur tata cara atau
prosedur teknis dan tidak bisa memberikan beban (kewajiban) pada masyarakat.
Produk hukum yang memberikan beban/kewajiban bagi masyarakat haruslah
dituangkan dalam produk hukum yang mendapatkan persetujuan DPRD selaku wakil
rakyat, yaitu Peraturan Daerah.
Didalam Peraturan Bupati Kabupaten Ngawi No. 11 Tahun 2010 tersebut mengatur
mengenai:
a.
b.
c.
d.
e.
Rencana induk Menara Telekomunikasi terpadu
Penetapan Zona Menara
TP3MT
Penggunaan Menara terpadu
Ketentuan Perizinan:
- Izin Pengusahaan Menara Telekomunikasi Terpadu;
- Izin Gangguan Menara Telekomunikasi;
- Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Menara; dan
- Izin Operasional Menara Telekomunikasi Terpadu.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bupati No 11 tahun 2010 tersebut
bukanlah materi muatan dari Peraturan Bupati melainkan materi muatan dari
Peraturan Daerah.
101
Menarik untuk dianalisa lebih lanjut bahwa Kabupaten Ngawi juga memiliki
Peraturan mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Hal ini
mengingat Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah mensyaratkan bahwa segala jenis pungutan kepada masyarakat haruslah
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Terkait dengan tim teknis penataan menara telekomunikasi, di Kabupaten Ngawi
teleh terdapat TP3MB, dimana bertugas untuk melakukan kajian teknis terhadap:
a.
b.
c.
d.
Desain;
Penataan pembangunan;
memberikan masukan dan saran atas pemberian izin pembangunan dan
pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama; dan
Asistensi terhadap Bupati dalam melakukan pembinaan, pengendalian da
pengawasan terhadap pembangunan dan pengoperasian Menara
Telekomunikasi Bersama di Daerah 56.
Berbeda dengan peraturan daerah di wilayah lain, kabupaten Ngawi telah
menetapkan 4 izin yang berkaitan dengan menara, dimana tim TP3MB mempunyai
kewenangan untuk memberikan rekomendasi atas permohonan perizinan tersebut.
Perizinan yang dimaksud adalah Izin Pengusahaan Menara Telekomunikasi Terpadu;
Izin Gangguan Menara Telekomunikasi; Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Menara;
dan Izin Operasional Menara Telekomunikasi Terpadu
Peraturan daerah Kabupaten Ngawi No. 20 Tahun 2010 Tentang Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi juga mengatur mengenai sanksi administrasi
yang dapat diterapkan terhadap pelanggaran peraturan daerah ini yaitu:
a. Peringatan tertulis
b. Pembekuan izin an rekomendasi (penyegelan)
c. Pembongkaran 57
56
57
Pasal 4 Peraturan Bupati No 11 tahun 2010
Pasal 45 Perda No. 20 Tahun 2010
102
Terkait dengan ketentuan zonasi, Kabupaten Ngawi telah membagi wilayahnya
menjadi 6 zona untuk pendirian menara, rincian ke-6 zona pendirian Menara
Telekomunikasi tersebut diantaranya:
Pembagian Zona berdasar Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Existing Menara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Wilayah
Kec. Sine
Kec. Gerih
Kec. Geneng
Kec. Paron
Kec. Karangjati
Kec. Bringin
Kec. Padas
Kec. Mantingan
Kec. Widodaren
Kec. Kedunggalar
Kec. Sine
Kec. Ngrambe
Kec. Jogorogo
Kec. Kendal
Kec. Kwadungan
Kec. Pangkur
Kec. Kasreman
Kec. Pitu
Kec. Karanganyar
Jumlah
Luas
Wilayah (Km2)
70.56
34.52
52.52
101.14
66.67
62.67
50.25
57.14
88.93
147.14
80.22
57.22
65.84
84.56
30.30
29.41
31.46
56.01
147.14
1.295.98
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
84.076
37.420
55.729
89.362
47.969
32.392
33.716
41.821
70.953
31.251
46.599
42.186
91.284
50.697
28.662
28.514
23.974
28.214
31.25
889.224
Kepadatan
(Jiwa/Km2)
1.192
1.084
1.061
884
719
517
671
732
802
212
581
734
527
600
946
970
762
504
212
686
ZONA I KECAMATAN ( NGAWI, GERIH, GENENG, PARON)
No
Wilayah
1. Kec.Ngawi
Jumlah
menara
(buah)
26
28
Luas wilayah (Km2)
Jumlah penduduk
(Jiwa)
70.56
84.076
103
Lokasi penempatan
menara
kelurahan Margomulyo
Kelurahan Ketanggi
Kelurahan Karangtengah
2. Kec. Gerih
6
8
34.52
37.420
3. Kec. Geneng
16
18
52.52
55.729
4. Kec. Paron
16
18
101.14
89.362
JUMLAH
Desa Beran , Desa
Jururejo
Desa Karangtengah
prandon
Desa Ngawi , Desa
Kartoharjo
Desa Watualang
Desa. Widodaren
Desa Guyung
Desa Randu Songo
Desa Geneng
Desa Tambakromo
Desa Keraswetan
Desa Keniten
Desa Tepas
Desa Klitik
Desa Gelung
Desa Kebon
Desa Teguhan
Desa Jambangan
Desa Semen
Desa Gentong
Desa Tempuran
64
ZONA II KECAMATAN (KARANGJATI, BRINGIN, PADAS)
No
Wilayah
1.
Kec. Karangjati
Jumlah
menara
(buah)
8
10
Luas wilayah (Km2)
Jumlah penduduk
(Jiwa)
66.67
47.969
2
Kec. Bringin
4
6
62.67
32.392
3.
Kec. Padas
12
14
50.25
33.716
104
Lokasi penempatan
menara
Desa Sembung
Desa Legundi
Desa Sidokerto
Desa Sawo
Desa Jatipuro
Desa Dungmiri
Desa Puhti
Desa Bringin
Desa Dero
Desa Mojo
Desa Legowetan
Desa Padas
Desa Sambiroto
Desa Kedungprahu
Desa Kwadunganlor
Desa Sukowijono
JUMLAH
24
ZONA III KECAMATAN (MANTINGAN, WIDODAREN, KEDUNGGALAR
No
Wilayah
1.
Kec.Mantingan
Jumlah
menara
(buah)
14
16
2.
Kec. Gerih
6
8
34.52
37.420
3.
Kec. Geneng
16
18
52.52
55.729
JUMLAH
Luas wilayah (Km2)
Jumlah penduduk
(Jiwa)
70.56
84.076
Lokasi penempatan
menara
Kelurahan Margomulyo
Kelurahan Ketanggi
Kelurahan Karangtengah
Desa Beran , Desa
Jururejo
Desa Karangtengah
Prandon
Desa Ngawi , Desa
Kartoharjo
Desa Watualang
Desa Widodaren
Desa Guyung
Desa Randu Songo
Desa Geneng
Desa Tambakromo
Desa Keraswetan
Desa Keniten
Desa Tepas
Desa Klitik
64
ZONA IV KECAMATAN (SINE, NGRAMBE, JOGOROGO, KENDAL)
No
Wilayah
1. Kec.Sine
Jumlah
menara
(buah)
6
6
Luas wilayah (Km2)
Jumlah penduduk
(Jiwa)
80.22
46.599
105
Lokasi penempatan
menara
Desa Sine
Desa Girikerto
Desa Ketanggung
2. Kec. Ngrambe
6
8
54.49
42.186
3. Kec. Jogorogo
8
10
65.84
41.284
4. Kec. Kendal
6
8
84.56
50.697
JUMLAH
Desa Tulakan
Desa Sumberejo
Desa Kuniran
Desa. Ngrambe
Desa Tawangrejo
Desa Sambirejo
Desa Wakah
Desa Giriharjo
Desa Hargomulyo
Desa Dawung
Desa Jogorogo
Desa Brubuh
Desa Umbulrejo
Desa Jaten
Desa Girimulyo
Desa Kendal
Desa Majasem
Desa Ngrayudan
Desa Simo
26
ZONA V KECAMATAN (KWADUNGAN, PANGKUR)
No
Wilayah
1. Kec.Kwadungan
Jumlah
menara
(buah)
10
12
2. Kec. Pangkur
5
JUMLAH
15
8
Luas wilayah (Km2)
Jumlah penduduk
(Jiwa)
30.30
28.662
29.41
106
28.514
Lokasi penempatan
menara
Desa Kwadungan
Desa Waruk Kalong
Desa Kendung
Desa Purwosari
Desa Dinden
Desa Simo
Desa Pangkur
Desa Paras
Desa Poh Konyal
Desa Waruk Tengah
ZONA VI KECAMATAN (KASREMAN,PITU,KARANGANYAR)
No
Wilayah
1. Kec. Kasreman
Jumlah
menara
(buah)
4
6
2. Kec. Pitu
4
6
36.01
28.214
3. Kec.
Karanganyar
6
8
147.14
31.251
4. Kec. Paron
16
JUMLAH
18
Luas wilayah (Km2)
Jumlah penduduk
(Jiwa)
31.46
23.974
101.14
89.362
Lokasi penempatan
menara
Desa Karangmalang
Desa Legokulon
Desa Cangakan
Desa. Ngancar
Desa Papungan
Desa Pitu
Desa Karanganyar
Desa Sriwedari
Desa. Klitik
Desa Gelung
Desa Kebon
Desa Teguhan
Desa Jambangan
Desa Semen
Desa Gentong
Desa Tempuran
64
Dengan ketentuan Zonasi tersebut lebih memudahkan pemerintah kabupaten Ngawi
untuk melakukan penataan perizinan serta melakukan pengawasan dan pengendalian
pertumbuhan menara telekomunikasi
e. Kabupaten Tulungagung
Daerah lain di wilayah Provinsi Jawa Timur yang telah mengatur mengenai
Pengendalian Menara Telekomunikasi dalah Kabupaten Tulungagung. Pengaturan
tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18
Tahun 2010 Tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah
Kabupaten Tulungagung Tahun 2010 Nomor 02 Seri C). Tujuan penataan
membangun menara agar sesuai dengan tata ruang wilayah Kabupaten Tulungagung.
107
Penyelenggaraan pengendalian menara di Tulungagung, melandaskan pada asas :
a.
kaidah tata ruang;
b.
kemanfaatan keberlanjutan;
c.
keselamatan;
d.
keselarasan dan keserasian;
e.
kepastian hukum, adil dan merata; dan
f.
estetika 58.
Dalam peraturan daerah ini terdapat kewajiban oleh pemilik, penyedia dan Pemilik,
penyedia, dan/atau pengelola menara wajib melakukan pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan menara secara berkala setiap tahun. Hasi; dari
pemeriksaan tersebut dilaporkan kepada Bupati melalui instansi teknis 59.
Ketentuan
ini
membedakan
pengaturan
pengendalian
menara
di
Tulungagung dan di daerah lainnya, dimana meletakkan tanggungjawab/kewajiban
untuk melakukan melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan kelaikan
fungsi bangunan menara secara berkala setiap tahun kepada penyedia dan/atau
pengelola menara yang hasilnya akan dilaporkan ke Bupati. Dalam hal ini akan
rawan sekali adanya kecurangan, ada kemungkinan pelaporannya dibuat bagus dan
tidak sesuai dengan kenyataannya. Seharusnya kewajiban untuk melakukan
pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan secara berkala tidak hanya semata-mata
dibebankan pada penyedia dan/atau pengelola menara, namun juga menjadi
kewajiban dari pemerintah daerah untuk melakukan pengecekan dan memastikan
kelaikan fungsi bangunan menara. Hal ini merupakan bagian dari fungsi pemerintah
daerah untuk melindungi masyarakatnya dari kemungkinan ketidaklayakan bangunan
menara dan bahaya-bahaya lain yang mungkin timbul dari ketidaklayakan tersebut.
Fungsi pengawasan dilakukan oleh Tim Pengawasan dan Pengendalian
Menara Telekomunikasi yang dibentuk oleh Bupati 60. Arah kebijakan di Kabupaten
Tulungagung sejalan dengan Kabupaten/kota lain yang menjadi sample pada
penelitian ini, yaitu dengan menerapkan pemanfaatan menara telekomunikasi
58
Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010
Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010
60
Pasal 18 Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010
59
108
bersama berdasarkan SKB. Penggunaan menara telekomunikasi secara bersama
diwajibkan untuk menara telekomunikasi yang baru dibangun dan disarankan untuk
menara telekomunikasi existing, sehingga diharapkan semua menara telekomunikasi
yang ada di Tulungagung akan digunakan secara bersama. Pemanfaatan menara
telekomunikasi bersama tersebut diatur dalam pasal 14 perda a quo, yang
selengkapnya berbunyi;
(1) Untuk efisiensi dan efektifitas penataan ruang, khusus untuk menara
telekomunikasi dari tahap awal rencana pembangunan harus
diarahkan untuk penggunaan menara secara bersama.
(2) Ketentuan penggunaan bersama menara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku untuk :
a. menara yang digunakan untuk keperluan jaringan utama;
dan/atau
b. menara yang dibangun pada daerah-daerah yang belum
mendapatkan layanan telekomunikasi atau daerah-daerah
yang tidak layak secara ekonomis.
(3) Penyedia menara atau pengelola menara wajib memberikan
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada penyelenggara
telekomunikasi untuk menggunakan menara secara bersama-sama
sesuai kemampuan teknis menara.
(4) Setiap pembangunan menara telekomunikasi yang digunakan
sebagai menara telekomunikasi bersama berupa menara
telekomunikasi yang dapat digunakan oleh sekurang-kurangnya 3
(tiga) operator telekomunikasi dan desain konstruksi menaranya
harus mendapatkan persetujuan dari Bupati atau pejabat yang
ditunjuk.
V.6. Model Hukum Pengaturan Kebijakan Penataan dan Pengendalian Menara
Telekomunikasi
A. Daya mengikat Peraturan Bersama Menteri
Pada tanggal 17 Maret 2008, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)
mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
02/PER/
M.KOMINFO/3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama
Telekomunikasi (selanjutnya disingkat P3MBT). Pemberlakuan P3MBT didasarkan pada
pertimbangan: “Menara Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang
109
utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital dan memerlukan ketersediaan
lahan, bangunan dan ruang udara; dan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan
Menara Telekomunikasi harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan
masyarakat dan estetika lingkungan”. Pada tahun 2009 Menteri Komunikasi bersama dengan
Menteri Pekerjaan umum dan Mendagri menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009,
Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang
Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (selanjutnya
disebut Peraturan Bersama Menteri). Peraturan Bersama Menteri inilah yang akhirnya
menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan penataan pertumbuhan
menara telekomunikasi di wilayahnya.
Problematika hukum yang lahir pasca P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri
tersebut, antara lain, apakah pemerintah kabupaten/kota wajib tunduk dan mematuhi
peraturan menteri tersebut. Hal itu terjadi karena di dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peruandang-Undangan, Peraturan Menteri tidak
termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sedangkan peraturan daerah
merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam hal pemerintah kabupaten/kota terikat dan harus tunduk pada P3MBT tersebut,
Pasal 4 P3MBT menegaskan:
Pasal 4
i.
ii.
iii.
Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi
Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah Daerah dalam menyusun pengaturan penempatan Menara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan aspekaspek teknis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan prinsip-prinsip
penggunaan Menara Bersama.
Pengaturan penempatan lokasi Menara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik, dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan dengan
melibatkan peran masyarakat dalam menentukan kebijakan untuk
penataan ruang yang efisien dan efektif demi kepentingan umum.
Secara substantif, sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak P3MBT tersebut, sehingga
seandainya P3MBT tersebut diwadahi dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
110
pelaksanaan UU Telekomunikasi, sudah barang tentu pemerintah kabupaten/kota akan
tunduk kepadanya. Oleh karena itu, untuk memastikan tingat kepatuhan hukum terhadap
pengaturan menara telekomunikasi yang bersesuaian dengan maksud dantujuan P3MBT, ke
depan perlu dipertimbangkan agar pengaturan tentang P3MBT seperti itu dimuat dalam
Peraturan Pemerintah. Salah satu argumennya, bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD
1945 menegaskan: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya”. Artinya, Peraturan Pemerintah secara konstitusional diberi
kedudukan sebagai peraturan organik untuk menjalankan undang-undang, sehingga P3MBT
sebagai instrument pelaksanaan UU Telekomunikasi menjadi konstitusional apabila diwadahi
dalam bentuk peraturan pemerintah.
Dalam praktik pembuatan peraturan daerah tentang menara telekomunikasi oleh
beberapa pemerintah kabupaten/kota P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri tersebut
dirujuk untuk diposisikan sebagai salah satu konsideran yuridis. Hal demikianitu bermakna
bahwa peraturan daerah tersebut mengakui, mengindahkan P3MBT dan Peraturan Bersama
Menteri. Namun, apabila ada pemerintah kabupaten/kota tidak mau mengakui dan
mengindahkannya, maka Menkominfo tidak memiliki wewenang untuk memaksakan
P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri tersebut. Hal itu memicu munculnya disharmoni
peraturan daerah tentang menara telekomunikasi antara kabupaten/kota yang satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini ditawarkan agar muatan materi
seperti yang tertuang di dalam P3MBT itu dimuat dalam peraturan pemerintah.
Hasil kajian terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010
Tentang Pembangunan Dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama, Peraturan Daerah
Kabupaten Pasuruan Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Penataan Dan Pengendalian Menara
Telekomunikasi Bersama, Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 Tahun 2010
Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi menunjukkan hasil bahwa
susbstansi P3MBT diadopsi ke dalam perda-perda tersebut.
Berkaitan dengan persoalan harmonisasi, Ryaas Rasyid menyarankan agar
Permenkominfo ditingkatkan statusnya menjadi Peraturan Presiden (Perpres). Hal ini agar
setiap Perda mengacu pada Perpres tersebut. Walaupun Pemda punya kewenangan, tapi tidak
boleh dijadikan ajang monopolis dan menciptakan diskriminasi. Peraturan Menteri
111
(Permen) tidak bisa dijadikan dasar untuk membuat Perda. Pasalnya, Permen bersifat
internal dan teknis, sehingga Menteri tidak bisa menjatuhkan sanksi pada pihak lain di luar
departemen
B. Model Hukum Pengendalian Penataan Menara Telekomunikasi
Merujuk pada hasil kajian dari penelitian ini, pengaturan mengenai pengendalian
pertumbuhan dan penataan menara telekomunikasi sangatlah diperlukan. Pemerintah daerah
mendapatkan kewenangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan PP
Nomor 38 tahun 2007 untuk melakukan penataan terhadap wilayah ruangnya dalam bentuk
hukum Rencana Tata Ruang Wilayah. Terkait dengan menara telekomunikasi, daerah
mendapatkan kewajiban untuk menyusun pengaturan penempatan lokasi menara yang
akhirnya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Namun secara hukum, terdapat
kelemahan mendasar dalam pengaturan ini, Peraturan Menteri TIDAK dapat membebani
daerah, mngikat daerah ataupun memberi kewajiban kepada daerah. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 pasal 8 menjelaskan kedudukan mengikat peraturan menteri, bahwa peraturan
menteri baru dianggap sebagai peraturan perundang-undangan apabila diperintahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi.
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan (jenis dan hierarki) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 adalah:
112
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Permasalahan mendasar dalam pengaturan pengendalian dan penataan menara telekomunikasi
adalah bentuk hukum yang menjadi dasar dalam pengaturan dan pemberian kewajiban
kepada daerah untuk menyusun peraturan tentang pengendalian menara telekomunikasi di
wilayahnya. Undang-Undang tentang Telekomunikasi jo. Peraturan Pemerintah No 52 Tahun
2000 tidak berbicara secara spesifik tentang Menara Telekomunikasi. Mengingat karateristik
menara telekomunikasi yang multi aspek, maka pengaturan kewajiban pemerintah daerah
untuk membentuk aturan bagi pengendalian menara telekomunikasi di wilayahnya haruslah
minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersendiri dan tidak bisa merujuk pada
Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000. Lebih baik apabila peraturan tersebut dapat
dituangkan dalam aturan Undang-Undang tersendiri, karena menara telekomunikasi lebih
terkait dengan penyediaan bangunan dan jaringan untuk mendukung penyediaan
telekomunikasi
bagi
masyarakat,
namun
mengingat
pembuatan
Undang-Undang
membutuhkan proses yang panjang maka pengaturan tersebut bisa dalam bentuk Peraturan
Pemerintah.
Pengaturan model hukum mengenai Menara Telekomunikasi dalam suatu UndangUndang/ Peraturan Pemerintah tersendiri sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang mengakui keberadaan Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi sebagai salah satu bentuk Retribusi Jasa Umum.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Menara Telekomunikasi, maka
dengan bentuk hukum ini dapat memberikan kewajiban dan menjadi dasar hukum bagi daerah
untuk menyusun Peraturan Daerah tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Keberadaan peraturan pemerintah ini sangat penting dan sangat dibutuhkan sebagai landasan
113
hukum peraturan daerah yang telah lahir selama ini di daerah-daerah mengenai pengendalian
menara telekomunikasi.
Terkait dengan pengaturan pengendalian dan penataan menara telekomunikasi
pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu mengusulkan terhadap pemerintah pusat perihal
perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai Pengendalian Menara
Telekomunikasi. Terbitnya peraturan pemerintah ini akan menjadi landasan bagi Pemerintah
Provinsi untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pertumbuhan Menara
Telekomunikasi di Jawa Timur yang memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota di
wilayah Jawa Timur untuk mengatur menara telekomunikasi di wilayahnya sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Pengaturan tersebut dapat dijadikan rujukan/ standarisasi
model pengendalian pertumbuhan yang bisa dilakukan oleh kabupaten/kota.
Model Hukum Pengaturan Pengendalian dan Penataan Menara Telekomunikasi yang
terintegrasi
Peraturan Bersama
Menteri tentang
Pedoman Pembangunan
dan Penggunaan Menara
Bersama Telekomunikasi
Perlu diubah menjadi
bentuk hukum
Peraturan Pemerintah
Tentang Pengendalian Menara
Telekomunikasi
114
Mendatang,
Peraturan Pemerintah perlu ditingkatkan
pengaturannya menjadi
Undang-Undang mengenai
Pengendalian Menara
Telekomunikasi
Peraturan
Pemerintah
Outputnya
Instrumen:
a. Zonasi
Pengaturan Pengendalian dan
Penataan Menara
Telekomunikasi yang terintegrasi
b. IMB Menara
c. Perizinan
d. Menara telekomunikasi
bersama
e. Instrumen ekonomik
Peraturan Daerah
Provinsi
Implementasi Pengaturan tentang
Pengendalian dan Penataan
Menara Telekomunikasi di daerah
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
115
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan:
1.
Pengaturan mengenai Penataan Menara Telekomunikasi penting untuk
menjamin hak manusia akan komunikasi serta untuk menjamin kepastian
bisnis yang terkait dengan menara telekomunikasi. Oleh karenanya,
pengaturan tentang ini perlu untuk mengendalikan pertumbuhan menara
telekomunikasi di wilayah daerah kabupaten/kota, agar pertumbuhan tersebut
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah yang juga telah
disinergiskan dengan Rencana Tata Ruang Nasional.
2.
Kewenangan daerah untuk mengatur penataan menara telekomunikasi,
mendasarkan pada kewenangan daerah untuk melakukan penataan di
wilayahnya berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi dan
Pemerintah kabupaten/kota.
3.
Dalam melakukan penataan menara telekomunikasi, pemerintah daerah dapat
menerapkan beberapa instrument hukum meliputi instrument zonasi,
penerbitan izin mendirikan bangunan menara, perizinan dan dokumen
lainnya, kebijakan pemanfaatan telekomunikasi bersama dan instrument
ekonomik. Dari ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 hanya menegaskan kewenangan
daerah untuk menggunakan instrument penerbitan izin mendirikan bangunan
menara, dan instrument ekonomis.
4.
Terkait dengan dasar hukum penggunaan isntrumen hukum berupa zonasi dan
kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama hanya diatur
dalam bentuk hukum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan
116
Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun
2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor
3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara
Telekomunikasi. Problematika hukum timbul atas daya mengikat dari aturan
tersebut terhadap pelaksanaan kebijakan zonasi di daerah apabila ditinjau dari
hierarki peraturan perundang-undangan berdasar Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena
kedua peraturan menteri tersebut tidak terlebih dahulu diperintahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi, sehingga keduanya tidak termasuk dalam tata
urusan peraturan perundang-undangan.
VI.2. Rekomendasi
Dalam rangka pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi terintegrasi,
diperlukan beberapa hal, antara lain:
a. Standarisasi teknis bangunan menara telekomunikasi di Indonesia serta
standarisasi aspek legal dan administrasi pada usaha jasa penyewaan
menara, baik antara operator telekomunikasi sebagai penyewa dengan
Tower Leasing Provider (TLP), maupun antara TLP dengan pemilik
lahan.
b. Daerah
mengutamakan
penggunakan
instrument
ZONASI
dan
Kebijakan pengggunaan menara telekomunikasi bersama dalam rangka
pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi di wilayah daerah
agar dapat selaras dengan peruntukan ruang daerah.
c. Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan
Peraturan Pemerintah tentang Menara Telekomunikasi Bersama
sebagai acuan yang dipatuhi bagi peraturan di bawahnya (Peraturan
Daerah) sehingga acuan perda menjadi lebih jelas, dimana substansi
dari peraturan ini mencakup standarisasi kebijakan zonasi dan
pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama.
117
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, cetakan kedua, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2010
Black, Henry Champbell, Black’s Law Dictionary, west Publishing, 1990.
B.J.M ten Berge, Besturen door de overhead, W.E.J Tjeen Willink, Netherlands instituut voor
Sociaal en Economic Recht NISER, 1996
Djatmiati, Tatiek S, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, 2004
-------------------, Pelayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum
Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta,Graha Ilmu
dan Universitas Pancasila Press, 2009
Friedman Wolfgang, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens, Sons,
London, 1971
Hadjon, P. M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Peradaban, 2007
------------------et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press, 1993
------------------Kebutuhan Akan Hukum Administrasi dalam buku Hukum Administrasi dan Good
Governance, Universitas Trisakti, 2010
Jan Gissels dan Mark Van Hoeke, Rechtswetwnschappen, 1982
Jimmly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945, Rajawali Pers, 2009
Lotulung, Paulus Effendie, Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dalam
Korelasinya Dengan Hukum Administrasi, dalam Buku Hukum Administrasi dan Good
Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010
Martin Scheinin (n.d), Tanggung Jawab Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat
dibagi, dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005
M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah
Daerah, Bandung, Alumni, 1983
H.O. Sano dan G. Alfredsson (ed.), Human Rights and Good Governance, the Netherlands:
Kluwer Law International, 2002
Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., 2002,
P.P. Craig, Administrative Law, Thomson, Sweet and Maxwell, fifth edition, 2003.
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press, 2003
Jurnal/ international publication
Jean d'Arcy (1969). Direct Broadcast Satellites and the Right to Communicate. dalam: Right to
Communicate: Collected Papers, ed. L. S. Harms, Jim Richstad, and Kathleen A. Kie
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1977)
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi
Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Yuridika, Vol. 20 No.
1, Januari-Februari 2005
William J. McIver, Jr. & William F. Birdsall, Technological Evolution and the Right to
Communicate: The Implications for Electronic Democracy, Paper Presented at Euricom
Colloquium: Electronic Networks & Democracy, 9-12 October 2002, Nijmegen, the
Netherlands.
Instrumen Hukum Internasional
Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993
Global campaign for Free Expression, STATEMENT on the Right to Communicate, London,
February 2003.
Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights
Quarterly 20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7.
Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3833);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3881)
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4247)
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4275);
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5038)
9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3980);
12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008
tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi
13. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor
18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor
19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan
Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi;
14. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010
tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi;
15. Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 tentang Penataan Dan
Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama;
16. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan
Penataan menara Telekomunikasi Bersama;
17. Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi;
18. Peraturan Bupati Ngawi Nomor 11 Tahun 2010 Penataan, Pembangunan dan
Pengoperasian Menara telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Ngawi;
19. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian
Menara Telekomunikasi.
Download