“Pengendalian Menara Telekomunikasi melalui Penetapan zona Menara Telekomunikasi” Disusun oleh: Indria Wahyuni, S.H., LL.M. (Ketua) Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H. Dr. Emanuel Sujatmoko, S.H., M.S. Dr. Lilik Pudjiastuti, S.H., M.H. Agus Widyantoro, S.H., M.H. Zendy Wulan Ayu W.P., S.H., LL.M. Nurul Barizah, S.H., LL.M., PhD. KERJASAMA PANITIA PERANCANG UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2013 HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian 2. Ketua Peneliti : KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN MENARA TELEKOMUNIKASI MELALUI PENETAPAN ZONA MENARA TELEKOMUNIKASI a. Nama Lengkap : Indria Wahyuni, S.H., LL.M. b. Jenis Kelamin : P c. NIP : 198201232006042001 d. Pangkat/Golongan : III/a e. Jabatan : Asisten Ahli f. Bidang Keahlian : Hukum Pemerintahan Daerah g. Fakultas/ Jurusan : Fakultas Hukum/ Hukum Administrasi h. Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Airlangga Tim Peneliti No Nama Peneliti Bidang Keahlian Departemen Perguruan Tinggi 1. 2. 3. Dr.Sri Winarsi, S.H., Hukum Administrasi, Hukum M.H. Sengketa Pemerintahan Administrasi Dr. Lilik Pudjiastuti, Hukum Administrasi Hukum S.H., M.H. Administrasi Dr. Emanuel Hukum Sujatmoko, S.H., Administrasi UNAIR UNAIR UNAIR M.S 4. Agus Widyantoro, Hukum Perusahaan S.H., M.H. 5. Zendy Wulan Ayu UNAIR Perdata Hukum Tata Negara W.P., S.H., LL.M. 6. Hukum Hukum Tata UNAIR Negara Nurul Barizah, S.H., UNAIR LL.M., PhD. ii 5. Pendanaan dan Jangka waktu Penelitian a. Jangka Waktu Penelitian yang diusulkan : 4 bulan b. Biaya yang Disetujui Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. NIP. 195205291974121001 : Rp.100.000.000,Surabaya, 18 Maret 2013 Ketua Peneliti Indria Wahyuni, S.H., LL.M. NIP. 198210232006042001 iii ABSTRAK Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Peningkatan ini dibarengi dengan pertumbuhan menara telekomunikasi sebagai infrastruktur bagi para penyedia jasa telekomunikasi untuk memberikan layanan telekomunikasi bagi penggunanya. Keberadaan pengaturan tentang menara telekomunikasi sangat penting untuk menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi, hak untuk melakukan kegiatan bisnis serta menyeimbangkan hak tersebut dengan kepentingan pemerintah untuk melindungi masyarakatnya. Di dalam penelitian ini akan membahas secara mendalam mengenai urgensi pengaturan menara telekomunikasi, kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengendalian menara telekomunikasi dan instrument yang dapat digunakan untuk pengendalian tersebut serta model hukum yang diperlukan guna penataan menara telekomunikasi. Pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi harus diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Daerah dapat melakukan pengendalian dengan menggunakan instrument diantaranya zonasi, pengaturan Izin mendirikan bangunan menara, kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama serta instrument ekonomik. Diantara instrument tersebut, hanya penerbitan Izin mendirikan bangunan menara dan instrument ekonomik yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, sedangkan pengaturan zonasi dan kebijakan pemanfaatan bersama menara telekomunikasi hanya dituangkan dalam bentuk hukum Peraturan Bersama Menteri, yang menimbulkan problematika hukum bila ditinjau dari daya mengikat dan keberlakuannya sebagai pembebanan kewajiban bagi daerah untuk menerapkan kebijakan zonasi menara telekomunikasi. Penataan Zonasi diperlukan agar pertumbuhan manara telekomunikasi dapat dikendalikan, sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, estetika dan keamanan lingkungan. Kata kunci : Menara Telekomunikasi, Zonasi, penataan. iv RINGKASAN Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Penggunaan sarana telekomunikasi mempermudah masyarakat untuk melakukan komunikasi dan meningkatkan produktifitas. Ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut perlu didukung dengan infrastuktur yang memadai berupa menara telekomunikasi sebagai bangunan yang difungsikan sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan komunikasi dengan memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan. Pengaturan mengenai menara telekomunikasi sangat penting untuk memenuhi hak telekomunikasi masyarakat, hal ini terkait dengan konsepsi filosofis pertanggungjawaban negara dalam memenuhi hak berkomunikasi warganya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi”. Selain itu sebagai penjabaran fungsi pemerintah selaku wasit (umpire), maka pengaturan penataan menara telekomunikasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha di bidang menara telekomunikasi, masyarakat dan pemerintah. Kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengendalian dan penataan menara telekomunikasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berupa kewenangan pemerintah untuk mengatur daerah otonomnya. Hal ini mencakup kewenangan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan tata ruang wilayahnya dengan tetap berpedoman pada tata ruang nasional. Dalam hal penataan menara telekomunikasi pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi agar sesuai dengan peruntukan wilayah di daerahnya. Kewenangan pemerintah daerah dalam pengaturan menara telekomunikasi tersebut juga didukung dengan peraturan-peraturan terkait lainnnya seperti UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan peraturan pelaksananya. Dasar kewenangan ini menjadi sangat essensial mengingat tanpa dasar kewenangan v setiap tindakan pemerintah menjadi cacat dikarenakan pemerintah tidak berwenang (on bevoegheid) dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Dalam hal penataan tersebut, pemerintah daerah dapat menggunakan empat instrument diantaranya Instrumen Zonasi, Izin mendirikan bangunan menara, perizinan atau dokumen lainnya, kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama dan instrument ekonomik. Dari ke-empat instrument tersebut yang diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota hanya tegas menyatakan kewenangan pemerintah daerah untuk menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan Menara serta melakukan pungutan retribusi atas Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan ketentuan mengenai Zonasi dan kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama hanya diatur dalam bentuk hukum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Problematika hukum timbul atas daya mengikat dari aturan tersebut terhadap pelaksanaan kebijakan zonasi di daerah. Untuk menjawab problematika tersebut model hukum yang direkomendasikan dalam penelitian ini adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah mengenai Pemanfaatan Menara Telekomunikasi bersama, dimana substansi dari peraturan ini mencakup standarisasi kebijakan zonasi dan pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama. vi PRAKATA Puji Syukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan perkenan, hidayah dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan penelitian ini, yang mengambil judul KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN MENARA TELEKOMUNIKASI MELALUI PENETAPAN ZONA MENARA TELEKOMUNIKASI. Ide awal dari penelitian ini bahwa kebutuhan masyarakat akan telekomunikasi semakin meningkat, hal ini dibarengi dengan pertumbuhan menara telekomunikasi sebagai upaya dari para penyedia jasa telekomunikasi untuk memberikan layanan telekomunikasi terbaik bagi penggunanya. Apabila hal ini tidak diatur maka menara telekomunikasi akan berdiri di setiap tempat tanpa memperdulikan tata ruang, peruntukan lahan dan keamanan bagi masyarakat di sekitar menara. Pertumbuhan menara telekomunikasi yang tidak terkendali juga mengakibatkan buruknya estetika kota, karena dipenuhi oleh menara-menara telekomunikasi yang menjulang tinggi. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu melakukan kebijakan untuk mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi tersebut. Namun sampai saat ini belum ada perundangan yang mengatur tentang pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi, peraturan yang ada hanya berupa Surat Keputusan Bersama yang dari segi tata urutan peraturan perundangundangan berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 bukan merupakan bagian dari tata urutan. Selesainya penelitian ini merupakan bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Unair, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah (PPUU DPD RI), Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan pihak-pihak lain yang telah membantu kami, menyediakan data, memberikan saran dan masukan. Tanpa adanya bantuan dari para pihak tersebut, tentunya penelitian ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, oleh karena itu penulis sangat berharap adanya kritik konstruktif dalam rangka perbaikan penelitian ini, karena penulis sadar bahwa Laporan penelitian ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan. Surabaya, 10 Juli 2013 Tim Penulis vii DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN…………………….....………….……………..………………………………….. ABSTRAK ……………………………………………………………………………………………………………. RINGKASAN ………………..………………………………………………………………………………………. PRAKATA ……………………………………………………………………………………………………………. DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………. HAL ii Iv V Vii viii BAB I : PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan ……………………………………………..…. I.2. Perumusan Masalah ………………………………………………………………. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Hubungan antara Pemerintah dan Masyarakat……………..……………………………………………………….. 5 a. Negara sebagai Penyedia Sarana Telekomunikasi ………………………………………………………………………………….……. 6 BAB III : TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN III.1. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………... 10 III.2. Manfaat Penelitian ………………………………………………………………. 10 BAB IV : METODE PENELITIAN IV.1. Pendekatan Masalah ……………………………………………………………. IV.2. Bahan Hukum …………………………………………………………………...… IV.3. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………...… IV.4. Pengolahan dan Analisis Data ………………………………………………. BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN V.1.Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi Hak Telekomunikasi …………………………………………………………………………………………………… A. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Internasional ……….…………………………………………….. B. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Nasional ………………..…………………………………………… C. Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk Berkomunikasi menurut Instrumen Hukum Internasional dan Nasional …………………………………………………………………… 1 4 11 11 11 12 13 14 15 18 20 V.2. Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum 26 Bisnis ....………………………………………………………………………………. viii A. B. C. D. Menara Telekomunikasi ………………………………………………………. Legalitas Bisnis ……………………………………………………………………. Model Bisnis Menara Telekomunikasi …………………………………… Pengaturan Sub Bidang Usaha Menara Telekomunikasi …………. 28 29 33 35 V.3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi ………………………………………………………………….. 37 A. Keabsahan Tindak Pemerintahan Dalam Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi ……………………………….. 37 B. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi …………………………………… 42 V.4. A. B. C. D. E. Instrumen Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi …………………………………………………………………... Zona Penempatan Menara Telekomunikasi ……………………… Izin Mendirikan Bangunan Menara ………………………………….. Perizinan dan dokumen yang terkait dengan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi ……………………………... Kebijakan penataan Menara Telekomunikasi Bersama ……. Instrumen Ekonomik ………………………………………………………. V.5. Penataan Pengendalian Menara Telekomunikasi di beberapa daerah di Jawa Timur A. Kota Surabaya ……………………………………………………………………….. B. Kabupaten Pasuruan ……………………………………………………………… C. Kabupaten Blitar …………………………………………………………………… D. Kabupaten Ngawi …………………………………………………………………. E. Kabupaten Tulungagung ………………………………………………………. V.6. A. B. BAB VI : 65 66 69 78 78 80 82 89 95 99 107 Model Hukum Pengaturan Kebijakan Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Daya Mengikat Peraturan Bersama Menteri …………………………. 109 Model Hukum Pengendalian Penataan Menara Telekomunikasi …………………………………………………………………... 112 PENUTUP VI.1. Kesimpulan ………………………………………………………………………… 116 VI.2. Rekomendasi ………………………………………………………………………. 117 DAFTAR PUSTAKA ix BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Penggunaan sarana telekomunikasi mempermudah masyarakat untuk melakukan komunikasi dari jarak yang berjauhan. Selain memperpendek jarak dan mempermudah komunikasi, ketersediaan fasilitas telekomunikasi akan meningkatkan produktifitas masyarakat. Ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut perlu didukung dengan infrastuktur yang memadai berupa menara telekomunikasi. Menara Telekomunikasi merupakan bangunan yang difungsikan sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan komunikasi. Pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan. Menara Telekomunikasi adalah bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi 1. Mengingat fungsinya guna menunjang jaringan telekomunikasi, dengan demikian menara telekomunikasi sangat dibutuhkan dalam upaya pemenuhan atas hak masyarakat atas fasilitas telekomunikasi. 1 Ps 1 angk 8 Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negari, Menteri Pekerjaan Umum, Menkominfo, Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi Keberadaan menara telekomunikasi di setiap kabupaten/kota menunjukkan angka pertumbuhan yang tinggi. Di Surabaya misalnya, dengan luas wilayah Kota 326.37 Km2, sampai dengan tahun 2010 terdapat 857 menara telekomunikasi yang terdiri dari menara Green Field sebanyak 455 buah, menara Roof Top sebanyak 398 buah dan menara Combat sebanyak 4 buah dengan jumlah 1207 BTS 2. Setiap menara telekomunikasi yang berdiri haruslah memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan masyarakat, tata ruang dan lingkungan hidup. Oleh karena itu pemerintah daerah dalam fungsinya sebagai pelindung masyarakat (to protect) haruslah melakukan kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi guna menjamin pematuhan terhadap aspek-aspek tersebut. Penataan menara telekomunikasi bertujuan untuk mengendalikan dan mensinergikan antara ketersediaan ruang kota kebutuhan menara telekomunikasi, keamanan serta meningkatkan kehandalan cakupan frekuensi telekomunikasi. Dengan tujuan tersebut, maka dalam melakukan penataan menara telekomunikasi sangat diperlukan guna menyeimbangkan jumlah dan prioritas penggunaan menara sehingga dapat dicapai efesiensi dalam pemanfaatan ruang. Mendirikan menara telekomunikasi merupakan salah satu dari kegiatan mendirikan bangunan, khususnya bangunan non gedung, oleh karena itu mendirikan menara telekomunikasi perlu mendapat pengaturan yang berorientasi pada keamanan, keindahan dan kebutuhan tata ruang kota guna kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan non gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya. Pada beberapa kondisi dan keadaan, kehadiran menara telekomunikasi dengan fungsi sebagai base transceiver service (BTS) bagi beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota dirasa mengganggu, sehingga memerlukan langkah pengaturan, penataan, penertiban. Meskipun secara fungsional BTS sangat dibutuhkan untuk mendukung teknologi komunikasi, bukan berarti pembangunan dan pertumbuhannya boleh bebas dibiarkan tanpa kendali, sehingga dalam konteks itu diperlukan pengendalian. Pemerintah 2 Dinas Komunikasi dan Informatika, Pemerintah Kota Surabaya 2 daerah memiliki berbagai kepentingan untuk mengatur, menata, menertibkan, dan mengawasinya. Sebagai contoh kasus, beberapa waktu yang lalu Pemerintah Kabupaten Badung, Provinsi Bali, menyatakan bahwa perlu penertiban terhadap bangunan yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 3, termasuk BTS. Sebagai perwujudan atas penertiban itu, Pemerintah Kabupaten Badung merobohkan 14 (empat belas) menara telekomunikasi yang mengakibatkan sekitar 88 BTS tidak beroperasi sehingga ratusan ribu pelanggan ponsel dari berbagai provider terganggu pelayanannya. Peristiwa itu menimbulkan permasalahan hukum yang menarik untuk diteliti atau dikaji. Pertama, kajian tentang wewenang pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur, menata, menertibkan, mengawasi BTS. Kedua, persyaratan dan ketentuan tentang perijinan BTS. Secara fungsional, BTS merupakan infrastuktur pendukung utama untuk akses telekomunikasi. Keterbatasan BTS akan menyebabkan akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan juga berkurang, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan persoalan dalam rangka menghadapi masalah globalisasi. Isu-isu global menjadi sangat mudah diakses oleh masyarakat apabila pembangunan dan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi di masyarakat tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Kejadian di Badung, pada satu sisi dapat dilihat sebagai suatu bentuk peristiwa yang menyebabkan terjadi gangguan dan hambatan bagi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan yang diperlukan oleh masyarakat dalam menjalankan kehidupannya, baik ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan sosial lainnya sebagai bagian dari sistem komunikasi global. Namun, pada sisi lain, juga perlu ditegakkan peraturan yang berlaku di Badung, untuk dipatuhi oleh para pelaku usaha terkait dengan BTS. Artinya, pemenuhan infrastruktur telekomunikasi harus memenuhi aspek legal sesuai peraturan di kabupaten/kota, jangan menggunakan hak masyarakat atas perolehan informasi dan pengetahuan sebagai dalih untuk melakukan pelanggaran IMB. Di dalam penataan menara telekomunikasi tersebut, pemerintah daerah perlu melakukan berbagai kebijakan hukum dalam menjamin keberlangsungan Menara Telekomunikasi yang sesuai dengan ketentuan kelayakan bangunan dan aspek-aspek 3 Bisnis Indonesia, 14/07/2009. 3 terkait. Model kebijakan hukum tersebut diantaranya dengan instrument zonasi dan medorong penggunaan bersama menara telekomunikasi. I.2. Perumusan Masalah Beranjak dari pemikiran dan paparan yang disajikan dalam latar belakang diatas, maka penelitian ini akan menyuguhkan pembahasan terkait dengan persoalan-persoalan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi, yaitu: a. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam memenuhi hak Telekomunikasi. b. Kewenangan Pemerintah daerah dalam pengaturan menara telekomunikasi. c. Model Kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi di Wilayah Jawa Timur. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Hubungan antara Pemerintah dan Masyarakat Secara filosofis, negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public service) dari pengguna layanan. Sementara rakyat memiliki hak atas pelayanan dari negara karena sudah memenuhi kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar pajak atau punggutan lainnya (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat dalam partisipasi penyelenggaraan pelayanan publik. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam Negara demokrasi dapat digambarkan dalam bagan berikut: Pemerintah mempunyai kewenangan dalam mengendalikan masyarakat (Sturen) serta memberikan sanksi apabila terdapat pelangggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian tersebut. Lebih lanjut, dalam konsep demokratisasi pembangunan, menurut Friedmann, Negara memegang beberapa fungsi yaitu: (a) Negara sebagai regulator; (b) Negara sebagai provider (penyedia layanan publik); (c) Negara sebagai entrepreneur; dan (d) Negara sebagai wasit. Sebagai penyedia layanan publik Negara (dalam hal ini pemerintah daerah) wajib memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat tersebut haruslah sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk pada pemenuhan kebutuhan akan telekomunikasi, mengingat bahwa tingkat kebutuhan masyarakat atas telekomunikasi terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Mobilitas masyarakat perlu didukung dengan sarana telekomunikasi yang memadai. Kebutuhan telekomunikasi juga berpengaruh pada pertumbuhan bisnis dan ekonomi masyarakat. Dalam hal peningkatan kebutuhan masyarakat atas telekomunikasi, pemerintah berperan penting dalam mengatur agar pemenuhan kebutuhan tersebut tidak menggangu hak masyarakat yang lain serta mengatur agar kenyamanan dan keamanan masyarakat tetap terjaga.Pengaturan tersebut perlu dituangkan dalam bentuk produk hukum agar memenuhi asas legalitas. B. Negara sebagai penyedia sarana telekomunikasi Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi telekomunikasi sangat berpengaruh pada pada kebutuhan manusia. Telekomunikasi saat ini tidak saja sebagai sarana untuk melakukan hubungan antar masyarakat, namun telekomunikasi telah menjadi bagian dari peradaban manusia dan kepentingan ekonomi. Selain itu telekomuniukasi juga sudah merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.” Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut dapat dilakukan dan diperoleh antara lain melalui sarana telekomunikasi yang tersedia. Telekomunikasi dapat diartikan “setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui 6 sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.” 4 Artinya telekomunikasi merupakan instrumen untuk berkomunikasi atau penyampaian informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dimana berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagaian dari hak asasi manusia, sehingga dalam melakukan komunikasi dapat dimungkinkan adanya benturan kepentingan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut tentunya menuntut negara untuk mengatur dan mengendalikan telekomunikasi dalam upaya pemenuhan hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu peran negara dalam telekomunikasi juga disebabkan semakin berkembang dan meningkatnya kegiatan usaha telekomunikasi, sehingga telekomunikasi diharapkan dapat memajukan kesejahteraan masyarakat baik dari sisi pengusaha telekomunikasi maupun pengguna telekomunikasi itu sendiri. Peran negara dalam pengendalian dan pemenuhan sarana telekomunikasi tidak dapat dilepaskan dari fungsi negara sebagai penyedia (provider), dimana Negara bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana untuk layanan sosial dalam rangka menjamin standar kehidupan bagi semua orang, dalam hal ini menyediakan sarana untuk terpenuhinya kebutuhan komunikasi. Selain itu Negara juga sebagai pengatur (regulator), dimana negara sebagai pembuat peraturan yang digunakan berbagai sarana kontrol/pengendalian telekomunikasi Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945, bahwa tujuan bangsa Indonesia bernegara yang merdeka antara lain “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….. “. Salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut antara lain tersedianya sarana telekomunikasi yang memadai. Hal tersebut mengingat bahwa “telekomunikasi digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas masyarakat melalui penyampaian pesan dan informasi. Menyusul memudarnya era ekonomi industri, informasi sudah mulai menunjukkan peran pentingnya bagi pembentukan era ekonomi baru, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Di sisi lain, informasi juga berperan signifikan dalam proses pendidikan 4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 7 masyarakat, penyebarluasan pengetahuan, perkuatan budaya, dan pemupukan ideologi bangsa yang pada akhirnya akan memengaruhi pembinaan mental dan karakter anak bangsa. Dengan kata lain, posisi telekomunikasi menjadi sangat strategis bagi Republik Indonesia, karena telekomunikasi memfasilitasi penguatan sistem pertahanan dan ketahan nasional.” 5 Memperhatikan hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan kesejarahan pengelolaan telekomunikasi penyelenggaraan telekomunikasi sejak kelahirannya merupakan jenis layanan publik yang dikuasai pemerintah karena adanya pemahaman bahwa telekomunikasi merupakan kekayaan alam yang dimiliki negara dan digunakan sebanyakbanyaknya bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dalam perjalanan waktu, pemerintah memberikan kekuasaan pengelolaan telekomunikasi kepada sebuah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menjalankan fungsi penyediaan infrastruktur dan penyelenggraan telekomunikasi. Guna memastikan pelaksanaan mandat negara kepada BUMN dibuatlah regulasi yang memberikan koridor operasional. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyediaan sarana telekomunikasi yang awalnya dikuasai oleh negara, maka telah digeser oleh peran swasta, sehingga telekomunikasi sudah merupakan sebuah industry yang lebih mengedepankan keuntungan. Walaupun demikian peran negara masih sangat diperlukan, hal tersebut mengingat bahwa hak untuk memperoleh informasi, dan berkomunikasi merupakan bagian dari hak asasi manusia, sehingga ada kewajiban negara untuk memenuhinya. Sebagaimana diketahui bahwa wilayah negara Indonesia yang sangat luas ini tidak semua dapat dilayani oleh pihak swasta, namun masih banyak wilayah yang belum terjangkau telekomunikasi, mengingat bahwa tidak adanya pihak swasta yang mau melakukan usaha telekomunikasi di wilayah tersebut dikarenakan mahalnya membangun infrastruktur telekomunilasi. Dalam keadaan demikian, maka peran negara untuk menyediakan sarana dan prasarana telekomunikasi yaitu “segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi.” 6 Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Telekomunikasi dikuasai oleh Negara 5 6 http://maswig.blogspot.com/2006/10/telekomunikasi-memperkuat-pertahanan.html Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 8 dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.” Hal tersebut mengingat bahwa telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penyelenggaraan telekomunikasi tersebut dikuasai oleh negara. Penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang nomor 36 tahun1999 meliputi: a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi; c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Pengusaan oleh negara atas telekomunikasi tersebut diartikan bahwa negara mempunyai kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta, melalui perizinan. 9 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN III.1. Tujuan Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1) Untuk mengidentifikasi dan menganalisa urgensi telekomunikasi dalam memenuhi hak telekomunikasi dari perspektif hak asasi manusia dan hukum bisnis. 2) Untuk mengidentifikasi dan menganalisa kewenangan dari pemerintah daerah atas penataan menara telekomunikasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3) Untuk merumuskan model pengendalian menara telekomunikasi melalui penetapan Zona menara telekomunikasi. III.2. Manfaat penelitian Dengan penelitian ini diharapkan dapat diidentifikasi konsepsi mengenai pengendalian menara telekomunikasi daerah baik dari segi kewenangan maupun dari segi bentuk hukum pengendalian menara telekomunikasi, sehingga dapat diperoleh rekomendasi bentuk hukum dan model pengendalian menara telekomunikasi yang tepat guna menyelesaikan permasalahan penataan menara telekomunikasi. Hasil penelitian ini selain dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Pusat atas urgensi dari pengendalian pertumbuhan Menara Telekomunikasi. 10 BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pendekatan masalah Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum normatif pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). IV.2. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini diperlukan bahan hukum yang dibedakan dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri dan peraturan daerah. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini berbagai karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, ensiklopedi, jurnaljurnal ilmiah, terbitan (media massa) harian atau berkala di bidang hukum dan naskah akademik dari beberapa peraturan perundang-undangan. IV.3. Prosedur pengumpulan bahan hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui metode bola salju (snow ball method) dan prosedur identifikasi serta invertarisasi bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan klasifikasi secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Klasifikasi dimaksudkan untuk melakukan pemilahan bahan hukum sedasar dengan tema-tema analisis yang relevan dengan menggunakan kartu catatan. 11 IV.4. Pengolahan dan analisis data Bahan-bahan hukum yang diperoleh diolah dengan kategorisasi sebagai pengklasifikasian bahan hukum secara selektif. Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan menggunakan pembahasan diskriptif analitik yang oleh Jan Gijssels dan Mark Van Hoeke dikatakan sebagai orang membatasi penyusunan studinya pada suatu pengkajian. Suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung berupaya untuk mengkonstruksikan atau menguji hipotesa atau teori 7 7 Jan Gissels dan Mark Van Hoeke, Rechtswetwnschappen,1982 12 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan penelitian ini akan mencakup berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. Pada bagian pertama akan membahas mengenai Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi hak telekomunikasi. Pada bagian ini akan dianalisa secara mendalam mengenai pengaturan hak untuk berkomunikasi dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional. Analisa mengenai hal ini ditujukan untuk memotret pengaturan hak berkomunikasi masyarakat dari sudut pandang instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional. Akan dianalisa juga dalam bagian ini konsepsi pertanggungjawaban negara dalam hak berkomunikasi guna menemukan landasan filosofis bagi pembebanan tanggung jawab negara dalam memenuhi hak berkomunikasi masyarakat. Pembahasan pada bagian pertama ini merupakan landasan bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya di penelitian ini. Sebagai penjabaran fungsi pemerintah selaku wasit (umpire) 8, maka pengaturan penataan menara telekomunikasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha di bidang menara telekomunikasi, masyarakat dan pemerintahBagian Kedua dari pembahasan penelitian ini akan mendalami pengaturan menara telekomunikasi dalam perspektif hukum bisnis. Pada bagian ini juga akan dianalisa lebih lanjut mengenai legalitas bisnis dan model bisnis menara telekomunikasi. Pembahasan pada bagian kedua ini ditujukan untuk memahami urgensi pengaturan menara telekomunikasi dari perspektif hukum bisnis, hal ini menjadi penting karena dalam pengaturan menara telekomunikasi, pemerintah diwajibkan untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyeimbangkan kepentingan pengaturan, kepentingan pengusaha, masyarakat dan pemerintah. Bagian ketiga pembahasan penelitian akan menganalisa secara spesifik mengenai Kewenangan Pemerintah daerah dalam Pengaturan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi. Pembahasan pada bagian ini akan melihat kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi yang bersumber dari berbagai 8 . Lihat Friedman Wolfgang, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens, Sons, London, 1971 13 peraturan perundangan-undangan yang terkait. Analisa dalam bagian ini sangatlah penting karena melandasi dasar kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan hukum terkait dengan pengendalian menara. Dasar kewenangan ini menjadi sangat essensial mengingat tanpa dasar kewenangan setiap tindakan pemerintah menjadi cacat dikarenakan pemerintah tidak berwenang (on bevoegheid) dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Bagian keempat dari pembahasan penelitian ini akan membahas perihal instrument penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Pembahasan ini akan dilanjutkan pada kondisi penataan pengendalian menara telekomunikasi di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur. Daerah yang dijadikan rujukan pada pembahasan ini adalah Kota Surabaya, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Ngawi, Kabupatem Tulungagung. Tujuan dari pembahasan pada bagian ini untuk memberikan gambaran dan analisa mengenai pelaksanaan penataan pengendalian menara telekomunikasi di beberapa daerah di Jawa Timur. Bagian terakhir (keenam ) penelitian ini akan menganalisa dan merumuskan model hukum dalam pengaturan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. Analisa pada bagian ini berpijak pada analisa-analisa sebelumnya. Bagian ini akan membahas keberlakuan daya mengikat sebuah Surat Keputusan Bersama dan perumusan rekomendasi model hukum dalam penataan dan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. V.1. Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi Hak Telekomunikasi Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang mendasar. Komunikasi juga merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting dan merupakan hak asasi manusia. Tanpa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan orang lain, tidak mungkin individu, masyarakat atau kelompok akan mampu bertahan. Hal tersebut disebabkan karena dengan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi; individu, masyarakat atau kelompok akan memiliki kemungkinan untuk bisa bertukar pendapat atau pikiran dengan individu, masyarakat atau kelompok lain. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa komunikasi memungkinkan setiap orang, masyarakat atau kelompok untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan titik pandang mereka. Akibatnya adalah bahwa 14 komunikasi berperan dalam pembentukan diri seseorang dan khususnya memperkuat martabat seseorang sebagai manusia. Dengan memiliki hak untuk berkomunikasi dan mengungkapkan pikiran pribadi, gagasan, dan pendapat; seseorang akan merasa dirinya diperlakukan sama dengan orang lain. Dengan kata lain, komunikasi memvalidasi kesetaraan manusia. Dengan demikian perlindungan dan pelaksanaan hak-hak komunikasi merupakan bagian penting dari topik umum hak asasi manusia. A. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Internasional Untuk mengetahui hubungan antara hak untuk berkomunikasi dan sistem hak asasi manusia pada umumnya, pertama yang penting untuk dilihat adalah hak atas kebebasan berekspresi. Merupakan suatu pandangan yang umum jika hak untuk berkomunikasi berakar dari hak atas kebebasan berekspresi. Hak atas kekebasan berekspresi adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang mendasar; kunci dari pemenuhan hak-hak yang lain, dan sebuah pondasi yang penting dari demokrasi. Pentingnya kebebasan berekspresi memang tidak bisa dipungkiri. Hal tersebut terdapat di dalam hukum internasional yang sarat dengan pernyataan-pernyataan yang menggarisbawahi sifat esensial atau pentingnya kebebasan berekspresi. Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) mengikat negara-negara sebagai customary international law atau hukum kebiasaan internasional. 9 Article 19 UDHR: ‘Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes the right to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.’ Dari Pasal 19 UDHR tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. Ketentuan dalam Pasal 19 UDHR tersebut tidak lebih dari 9 ARTICLE 19 Global campaign for Free Expression, STATEMENT on the Right to Communicate, London, February 2003, h. 2-3. 15 sekedar untuk menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengatakan apa yang mereka inginkan. 10 Lahirnya International Bill of Human Rights yang diawali oleh UDHR pada Tahun 1948, diikuti oleh dua kovenan HAM yang terpisah yang dilengkapi dengan mekanisme pemantauan terpisah pada Tahun 1966, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).Di dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR terdapat pengaturan yang hampir sama dengan yang ada di Pasal 19 UDHR. ARTICLE 19 PARAGRAPHS (1), (2) ICCPR 1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference. 2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR dirancang secara hati-hati untuk menjamin secara eksplisit mengenai: - Hak untuk tidak terkekang dalam menganut pendapat; - Hak untuk mengekspresikan dan menyebarkan informasi atau ide-ide; - Hak untuk memiliki akses ke media massa; - Hak untuk mencari dan menerima informasi dan ide-ide. 11 Selain Pasal 19, di dalam UDHR juga terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi, diantaranya adalah: - Pasal 12 mengenai perlindungan terhadap privasi; - Pasal 18 mengenai kebebasan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; - Pasal 20 mengenai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat; - Pasal 26 mengenai hak atas pendidikan; dan 10 11 Ibid, h.3. Ibid. 16 - Pasal 27 mengenai turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. Demikian juga halnya dengan ICCPR. Beberapa pasal di ICCPR selain Pasal 19 yang berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi diantaranya adalah: - Pasal 18 mengenai kebebasan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; - Pasal 21 dan 22 mengenai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat. Sedangkan hak atas pendidikan dan hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 dan 27 UDHR, di jamin oleh ICESCR. Ketika komponen-komponen penting dari hak untuk berkomunikasi, seperti misalnya yang tercantum dalam Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR telah ditetapkan sebagai hukum internasional, bahkan ICCPR telah diratifikasi oleh banyak negara, hak untuk berkomunikasi sendiri belum ditetapkan dalam hukum internasional secara komprehensif. 12 Dalam kenyataannya, memang belum ada instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai hak untuk berkomunikasi. Sampai saat ini pun, perdebatan tentang definisi atau konsep hak untuk berkomunikasi belum diselesaikan. Demikian juga mengenai perlu tidaknya pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi masih menjadi suatu perdebatan yang belum terselesaikan di dunia internasional. Perdebatan mengenai hak untuk berkomunikasi terutama dipicu oleh D’Arcy yang mengakui bahwa Pasal 19 khususnya UDHR terlalu sempit dalam dunia komunikasi global yang interaktif. 13 Dari paparan sebelumnya dapat ditarik satu poin penting yaitu bahwa hak untuk berkomunikasi sebenarnya bukanlah merupakan suatu hak yang baru, melainkan bisa diibaratkan sebagai hak payung yang di dalamnya meliputi sebuah kelompok hak 12 William J. McIver, Jr. & William F. Birdsall, Technological Evolution and the Right to Communicate: The Implications for Electronic Democracy, Paper Presented at Euricom Colloquium: Electronic Networks & Democracy, 9-12 October 2002, Nijmegen, the Netherlands. 13 Jean d'Arcy (1969). Direct Broadcast Satellites and the Right to Communicate. dalam: Right to Communicate: Collected Papers, ed. L. S. Harms, Jim Richstad, and Kathleen A. Kie (Honolulu: University of Hawaii Press, 1977), 1-9. Originally published in EBU Review 118 (1969): 14-18. 17 terkait, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan ide, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik, hak untuk mengakses informasi dari badan-badan publik, dan beberapa hak lainnya. 14 B. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Nasional Walaupun di dalam instrumen hukum internasional belum ada pengaturan secara eksplisit mengenai hak untuk berkomunikasi, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi secara eksplisit yang terdapat dalam Pasal 28F. Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28F ini merupakan hasil dari perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000. Selain Pasal 28F, UUD NRI Tahun 1945 juga memberikan jaminan perlindungan terhadap beberapa hak yang terkait dengan hak untuk berkomunikasi, diantaranya adalah: - Pasal 28 : ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’. - Pasal 28C (1) UUD NRI Tahun 1945: ‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’**) - Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945: 14 ARTICLE 19 Global campaign for Free Expression, Op.Cit, h. 13. 18 (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. **) (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **) (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.**) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang lahir sebelum lahirnya Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 juga bahkan telah menyebutkan mengenai hak untuk berkomunikasi. Di dalam Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan sejenis sarana yang tersedia. Selain Pasal 14, UU No. 39 Tahun 1999 juga menjamin beberapa hak lain yang terkait dengan hak untuk berkomunikasi, diantaranya adalah: - Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.’ - Pasal 12: ‘Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.’ - Pasal 13 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia. - Pasal 15 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. 19 Walaupun UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 telah secara eksplisit menyebutkan mengenai jaminan terhadap hak untuk berkomunikasi, dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi yang ada di dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 hampir sama dengan pengaturan mengenai hak atas kebebasan berekspresi yang ada di Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR. Namun UUD NRI Tahun 1945 atau UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan definisi atau konsep ataupun batasan dari hak untuk berkomunikasi sebagai hak yang berdiri sendiri. Pada tahun 2005, Indonesia telah meratiifkasi ICCPR dan juga ICESCR melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Dengan diratifikasinya kedua instrumen hukum internasional dalam bidang HAM tersebut maka Indonesia terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai Negara pihak sebagaimana diamanatkan oleh kedua instrumen hukum tersebut. C. Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk Berkomunikasi menurut Instrumen Hukum Internasional dan Nasional Konferensi HAM sedunia di Wina yang diselenggarakan pada tahun 1993, menegaskan kesatuan kerangka normatif HAM, yaitu: ‘All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated. The international community must treat human rights globally in a fair and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significance of national and regional particularities and various historical, cultural and religious backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.’ 15 ‘Democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms are interdependent and mutually reinforcing. Democracy is based on the freely expressed will of the people to determine their own political, economic, social and cultural systems and their full participation in all aspects of their lives. In the context of the above, the promotion and protection of human rights and fundamental 15 Paragraf 5 dalam Bagian I Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993 20 freedoms at the national and international levels should be universal and conducted without conditions attached. The international community should support the strengthening and promoting of democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms in the entire world.’ 16 Dari pernyataan di Paragraf 5 Bagian I Vienna Declaration and Programme Of Action tersebut dapat diketahui bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tidak dapat dibagi saling bergantung dan berkait. Masyarakat internasional secara umum harus memperlakukan hak asasi manusia di seluruh dunia secara adil dan seimbang, dengan menggunakan dasar dan penekanan yang sama. Sementara kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah suatu yang penting dan harus terus menjadi pertimbangan, adalah tugas negara-negara, apapun sistem politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi. Sedangkan menurut Paragraf 8 Bagian I Vienna Declaration and Programme of Action dinyatakan bahwa demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan dan kebebasan asasi saling bergantung dan saling memperkuat. Demokrasi didasari oleh tekad suatu bangsa yang diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri serta partisipasi penuh mereka dalam segala aspek kehidupan mereka. Dalam konteks tersebut di atas, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi pada tingkat nasional maupun internasional harus bersifat universal dan dilakukan tanpa terkait dengan syarat-syarat. Masyarakat internasional harus mendukung penguatan dan pemajuan demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi di seluruh dunia. Salah satu prinsip hak asasi manusia adalah responsibilitas atau pertanggungjawaban (responsibility). Prinsip pertanggungjawaban dalam hak asasi manusia ini menuntut diperlukannya pengambilan langkah-langkah atau tindakan-tindakan tertentu dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Di dalam prinsip pertanggungjawaban hak asasi manusia ini juga ditegaskan mengenai kewajiban-kewajiban 16 Paragraf 8 dalam Bagian I Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993 21 paling minimum dalam rangka pemajuan hak asasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada secara maksimal. 17 Di dalam prinsip pertanggungjawaban, peran negara menjadi besar karena negara merupakan bagian dari organ kekuasaan politik yang mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Prinsip pertanggungjawaban ini termasuk di dalamnya adalah mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan mempunyai dampak atau pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara sangat vital bukan hanya ketika negara mengambil tindakan tertentu (by commission), tetapi Negara juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, namun negara tidak mengambil tindakan apapun (by omission). Walaupun di dalam prinsip responsibility ini ditekankan mengenai peran negara, tidak berarti bahwa aktor nonnegara tidak mempunyai peran dalam pemajuan hak asasi manusia. Baik individual maupun kolektiva sosial dalam organisasi kemasyarakatan juga mempunyai tanggung jawab dalam pemajuan hak asasi manusia. 18 Kewajiban negara dalam hak asasi manusia tidak hanya berupa kewajiban negatif saja dimana negara hanya wajib untuk menghormati kebebasan individu. Tetapi juga berupa kewajiban positif untuk menjamin hak yang sama dapat dinikmati secara efektif dalam praktiknya, contohnya adalah di bidang perundang-undangan atau alokasi-alokasi sumber-sumber anggaran belanja. 19 Di sisi lain, HAM juga tidak hanya mengenai tindakan apa saja yang tidak boleh atau wajib dilakukan oleh Negara, tetapi juga mengenai kondisi sosial yang harus ada melalui berbagai cara yang dapat dipilih yang mungkin tersedia tetapi tidak dianggap sebagai kewajiban Negara. Seringkali berlaku kewajiban yang 17 R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, h. 32-50. 18 Ibid. 19 Martin Scheinin (n.d), Tanggung Jawabb Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat dibagi, dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan, Alih Bahasa: Rini Adriati, Editor: Suprijanto, h. 29-43. Penerbitan asli: H.O. Sano dan G. Alfredsson (ed.), Human Rights and Good Governance, the Netherlands: Kluwer Law International, 2002, h. 29-43. 22 dikategorikan sebagai tiga langkah palalel, yaitu: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. 20 Pasal 19 ICCPR tidak hanya melarang Negara untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam penikmatan hak yang dimaksud, namun hukum internasional juga mengharuskan Negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan berekspresi bisa dinikmati oleh warga negaranya. Termasuk langkah-langkah dalam bidang legislasi atau regulasi, serta langkah-langkah positif yang praktis, misalnya melalui pendirian pusat komunikasi publik. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa kewajiban Negara dalam hak untuk berkomunikasi tidak hanya sekedar kewajiban negatif saja, namun juga termasuk melakukan kewajiban positif nya. Di dalam UUD NRI Tahun 1945, terdapat pengaturan mengenai tanggung jawab negara yang ada di dalam Pasal 28I ayat (4) dan (5). Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Pasal 8 UU no. 39 Tahun 1999 bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Sedangkan Pasal 28I (5) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. R. Herlambang Perdana Wiratraman menyebut konsepsi dalam Pasal 28I ayat (4) sebagai konsep realisasi progresif (progressive realization). Dalam konsepsi Pasal 28I ayat (4) tersebut secara substansi menegaskan bahwa Negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan atau kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan Pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, Negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, 20 Lihat Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights Quarterly 20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7. 23 baik dalam sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi. 21 Di dalam Pasal 19 ayat (3) ICCPR dinyatakan bahwa: ‘The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or moral’ Dari Pasal 19 ayat (3) ICCPR dapat diketahui bahwa kebebasan untuk berekspresi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Konsep tanggung jawab yang di atur UUD NRI Tahun 1945 juga mengenal apa yang disebut sebagai kewajiban asasi (human obligations). 22 Konsep ini terdapat dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945. Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 21 22 R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc. Cit. R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit. 24 Pasal 32 UU no. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Dari ketentuan di ICCPR, UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa terhadap penikmatan hak untuk berkomunikasi bisa dilakukan pembatasan. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa pembatasan tersebut harus ditetapkan melaui hukum yang sah atau dengan undang-undang dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Non-diskriminasi, seperti halnya pertanggungjawaban, juga merupakan salah satu prinsip HAM. Prinsip non-diskriminasi menjelaskan bahwa tidak ada perlakuan yang membedakan, baik berdasarkan kelas/ bangsa tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis, kelamin, warna kulit, dan sebagainya; dalam rangka penghormatan, perlindungan adan pemenuhan hak asasi seseorang. Prinsip non-diskriminasi ini adalah bagian dari prinsip persamaan (equality) dalam HAM. Martin Scheinin menyatakan bahwa: ‘Larangan dan perlindungan terhadap diskriminasi merupakan unsur mendasar pedoman normatif HAM. Unsur mendasar ini sudah terbukti jelas dapat digunakan sebagai titik awal HAM, yaitu: kesetaraan martabat atas semua manusia, terlepas dari misalnya: jenis kelamin, asal usul etnis atau status sosial. Akibatnya, hampir semua perjanjian-perjanjian HAM menyertakan ketentuan atau paling tidak acuan tentang hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.’ 23 Scheinin menambahkan bahwa Pasal 26 ICCPR menempatkan klausul nondiskriminasi sebagai unsur konstitutif gagasan penting tentang HAM. Sebagai ketentuan tersendiri, perlindungan yang diberikan oleh Pasal 26 tidak terbatas pada seputar hak sipil dan politik saja tetapi meliputi seluruh kegiatan yang menjadi Negara pihak, contohnya: apabila terjadi diskriminasi apa saja pada hak sosial dan ekonomi. 24 Pasal 28I (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak 23 24 Martin Scheinin, Loc.Cit. Ibid. 25 mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Hal yang sama diatur di dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Tidak jauh beda dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, di dalam Pasal 14 nya menetapkan bahwa setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku. Lebih lanjut, UU No. 36 tahun 1999 menjamin dalam Pasal 17 bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan salah satu prinsipnya adalah perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam melakukan kewajibannya dalam hak untuk berkomunikasi, Negara khususnya pemerintah harus memperhatikan prinsip non-diskriminasi dalam HAM. V.2. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum Bisnis Perkembangan telekomunikasi di Indonesia didorong oleh kemajuan telepon genggam sebagai terjemahan dari istilah handphone atau dikenal juga dengan sebutan telepon seluler (ponsel). Sekarang ini, ponsel dan alat telekomunikasi bergerak lainnya, bukan lagi merupakan barang langka karena jumlah penduduk Indonesia yang menggunakannya ternyata cukup besar. Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1990-an. Menara telekomunikasi merupakan pendukung utama pengoperasioan ponsel dan sistem telekominikasi bergerak lainnya, karena menara telekomunikasi akan berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan antena sebagai transceiver dalam system komunikasi seluler. Pengguna ponsel di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Saat ini diperkirakan 50% penduduk Indonesia (sekitar 110 juta) menggunakan ponsel, sehingga menyebabkan kebutuhan jaringan telekomunikasi yang handal makin tinggi. Operator berusaha menjangkau pelanggannya dengan pelayanan yang semakin baik sesuai dengan perkembangan teknologi di bidang komunikasi, sehingga masing-masing operator berlomba-lomba untuk membangun 26 menara BTS (base transceiver station). Dari wilayah perkotaan sampai di desa-desa ditemui BTS. Pembangunan BTS memiliki karekteristika mengikuti area atau wilayah pelanggannya, sehingga di tempat yang banyak pelanggan dibutuhkan BTS yang memadai. Karakteristik demikian itu menyebabkan hutan menara telekomunikasi di tempat yang padat penduduk – pengguna ponsel. Di sekitar kita, saat ini, sering dijumpai menara telekomunikasi yang sering dikenal dengan sebutan “tower” BTS berjajar, menjulang ke langit. Dalam praktik, banyak dijumpai “hutan menara BTS” di sebuah kawasan, sehingga dari segi estetika kawasan, baik di perkotaan maupun di lokasi lain, kondisi demikian menganggu pemandangan atau keindahan sebuah kawasan, oleh karena itu perlu dikendalikan dalam arti dilakukan pengaturan dan penataan. Dalam kerangka pengaturan dan penataan, maka akan muncul permasalahan institusi atau instansi apa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan dan penataan, substansi apa yang akan diatur dan ditata, bagaimana jika terjadi konflik pengaturan dan penataan antara satu instansi dengan instansi lain atau daerah satu dengan daerah lain, atau antara daerah dengan pusat. Problematika itu bukan ranah persoalan yang akan didekati dari perspektif hukum bisnis. Hukum bisnis menyoal, mengkaji antara lain bagaimana agar pengaturan dan penataan BTS tidak merugikan, menghambat, operasional bisnis para pelaku usaha yang terkait dengan BTS. Dari segi fungsional, dan secara teknikal, keberadaan BTS sangat berpengaruh terhadap pelayanan telekomunikasi bagi pelanggan operator telepon seluler dan merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi pelaku usaha operator seluler. Pada perkembangannya, saat ini operator ponsel banyak yang tidak lagi membangun sendiri menara BTS untuk memenuhi kebutuhan jaringan selularnya. Para operator ponsel lebih memilih untuk menggunakan jasa pihak lain yang menyewakan BTS. Ini merupakan peluang bisnis bagi pelaku usaha yang ingin berusaha di sektor telekomunikasi. Ada perusahaan yang bergerak di bidang usaha menyewakan BTS, termasuk yang menawarkan model usaha penyewaan Tower BTS atau yang dikenal dengan Tower Leasing Provider (TLP). BTS memiliki beberapa aspek yang melekat, seperti regulasi, pelayanan telekomunikasi, dan aspek bisnis. Aspek regulasi membahas tentang pengaturan menara 27 telekomunikasi dari segi, tata letak/lokasi BTS, ijin mendirikan BTS, dan sebagainya. Aspek pelayanan membahas tentang fungsi teknis BTS sebagai pendukung utama penyelenggaraan layanan telekomunikasi seluler. Aspek bisnis membahas tentang nilai ekonomis BTS sebagai obyek bisnis. Dalam paper ini, lingkup materi yang dipaparkan meliputi: legalitas bisnis, model bisnis menara telekomunikasi, pengaturan bidang usaha menara telekomunikasi, proyeksi pengaturan bisnis menara telekomunikasi. A. Menara Telekomunikasi Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/ 2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (selanjutnya disebut PB-P3B-MT), Pasal 1 angka 8, pengertian menara telekomunikasi dirumuskan sebagai berikut: Menara telekomunikasi, yang selanjutnya disebut menara, adalah bangunan-bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi. Pada PB-P3B-MT juga didefinisikan Penyedia menara, serta Pengelola Menara. Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi (Pasal 1 angka 10). Pengelola menara adalah badan usaha yang mengelola dan/atau mengoperasikan menara yang dimiliki oleh pihak lain (Pasal 1 angka 11). Berdasarkan konsep sebagaimana yang dirumuskan tersebut di atas, maka menara telekomunikasi merupakan obyek bisnis yang disediakan, dikelola, dioperasikan oleh pelaku 28 usaha. Penyediaan, pengelolaan, pengoperasian menara telekomunikasi berkedudukan sebagai unit bisnis dalam kerangka pengelolaan jaringan komunikasi. Subyek pelaku usaha dapat berupa perorangan maupun badan usaha. B. Legalitas Bisnis Tidak ada langkah bisnis yang tidak bertumpu pada hukum, karena setiap langkah bisnis pada hakikatnya adalah langkah hukum. Oleh karena itu, setiap penyelenggaran bisnis wajib memperhatikan, memahami, dan menegakkan hukum yang mengatur bidang bisnis tersebut. Hukum akan melahirkan legalitas bisnis yang diselenggarakan oleh setiap pelaku bisnis. Dalam bisnis terdapat 3 (tiga) legalitas yang wajib dipenuhi yaitu legalitas eksistensional (pendirian), legalitas operasional, dan legalitas transaksional. 1. Legalitas Eksistensional (pendirian organisasi perusahaan). Legalitas eksistensional merupakan aspek legal yang berkaitan dengan pendirian sauatu badan usaha. Badan usaha dibedakan ke dalam badan usaha badan hukum (BUBH) dan badan usaha bukan badan hukum (BUBBH). BUBH ada yang bersifat komersial dan nirlaba. BUBH komersial antara lain terdiri atas perseroan terbatas (PT), usaha bersama, koperasi, dana pensiun. BUBH nirlaba antara lain berbentuk yayasan. BUBBH antara lain berupa persekutuan perdata atau matschaap, vennootschaap on de firma (firma), dan commanditaire vennotschaap (CV). Kehadiran atau eksistensi setiap bentuk badan usaha tersebut, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada prosedur pendiriannya, sehingga keabsahan badan usaha tersebut wajib memenuhi ketentuan pendiriannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Matschaap, firma, CV diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juncto Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pendirian PT diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendirian Koperasi daitur di dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Pendirian dana pensiun diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Pendirian yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan juncto UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 29 Tahun 2001 tentang Yayasan. Bentuk BUBH yang terdapat dalam praktik akan tetapi belum ada undang-undang yang mengaturnya adalah usaha bersama. Apabila badan usaha didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka kehadiran atau eksistensi badan usaha itu sah sehingga memenuhi legalitas pendiriannya atau yang saya sebut legalitas eksistensional. Dalam perspektif legalitas eksistensional, maka penyedia menara yang dapat berbentuk usaha perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta wajib memenuhi aspek legalitas pendiriannya. Secara konkrit, legalitas pendirian dibuktikan dengan akta pendirian perusahaan berikut dokumen adminstratif terkait yang diterbitkan oleh lembaga otoritas yang berbentuk akta pengesahan atas pendirian perusahaan, sebagai contoh: legalitas pendirian PT ditentukan oleh keberadaan akta pendiriannya yang berbentuk akta notaris dengan disertai Surat Keputusan Pengesahan Pendirian PT yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kerangka pengaturan badan usaha yang diperbolehkanmenjalankan usaha di bidang bisnis menara telekomunikasi perlu ditetapkan bentuk badan usaha apa yang diperkenankan untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi. Alternatif pilihannya digantungkan pada keluwesan atau fleksibilitas bentuk badan usaha itu ketika bekerjasama dengan user atau pengguna menara telekomunikasi secara bersama. Apabila ditijnau berdasarkan provider penyelenggara bisnis telekomunikasi ponsel, pada umumnya pelaku usahanya berbentuk perseroan terbatas (PT). Dengan kerangka berpikir berdasarkan kelinieran bentuk badan usaha, maka tidak ada salahnya jika pelaku usaha bisnis menara telekomunikasi diarahkan kepada badan usaha yang berbentuk PT. Pertimbangannya selain kelinieran itu, juga dengan menimbang kedudukan PT sebagai badan usaha yang berstatus badan hukum, sehingga memudahkan pertanggungjawabannya dalam kerangka operasional bisnis. Pada PT, keberadaannya tidak digantungkan pada orang perorangan yang menjadi pemegang saham, sehingga pergantian pemegang saham tidak berpengaruh terhadap eksistensi PT sebagai subyek hukum yang mandiri atau legal entity. Semakna dengan PT dimaksud, termasuk pula BUMN yang berbentuk PT (Persero) maupun BUMD yang berbentuk PT. 30 Sistem pertanggungjwaban seperti itu tidak dijumpai pada bentuk badan usaha yang tidak berstatus sebagai badan hukum, seperti usaha perorangan, CV, atau firma. Selain PT, koperasi juga luwes dan layak untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi, apabila ditinjau berdasarkan pertanggungjawabannya yang terletak pada koperasi itu sendiri sebagai badan usaha yang berstatus sebagai badan hukum. Oleh karena itu, PT dan koperasi merupakan bentuk badan usaha yang luwes dan layak untuk diposisikan sebagai penyelenggara bisnis menara telekomunikasi. Berdasarkan pemikiran di atas, maka ketentuan dalam PB-P3B-MT yang menegaskan “Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi” perlu ditinjau ulang atau direview, sehingga pelaku usaha penyedia menara telekomunikasi adalah badan usaha yang berbadan hukum, yakni PT, koperasi, PT (Persero) maupun PT yang didirikan dalam rangka BUMD. 2. Legalitas Operasional (perijinan). Kegiatan operasional bisnis badan usaha, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada ijin operasional yang dimilikinya yang dalam praktik dikenal dengan istilah ijin usaha. Ijin usaha merupakan landasan operasional bagi suatu badan usaha untuk menjalankan atau menyelenggarakan kegiatan bisnisnya. Contoh: perusahaan yang bergerak di bidang usaha perbankan wajib memiliki ijin usaha bank dari Bank Indonesia. PJPT wajib memiliki ijin usaha menara telekomunikasi dari pahak otoritas, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Pendirian bangunan menera telekomunikasi harus dilengkapi dengan Ijin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi. Hakikat ijin adalah keabsahan melakukan tindakan atau kegiatan usaha sesuai dengan ijin yang dimilikinya. Ijin akan “menghalalkan suatu tindakan yang semula haram”. Pada sisi inilah, maka legalitas operasional merupakan kebutuhan mendasar bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kepastian bahwa PJPT memiliki 31 ijin merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada para user/ pengguna menara telekomunikasi secara bersama-sama dengan para user/pengguna yang lain. 3. Legalitas Transaksional. Legalitas transaksional bermuatan tentang hubungan hukum pelaku bisnis dengan partner bisnisnya. Dalam konteks penyewaan menara telekomunikasi, wujud atau realisasi hubungan transaksional itu antar alain dalam bentuk perjanjian sewa menyewa tower. Substansi perjanjiannya, proses pembentukan perjanjian sewa menyewa tower, kapasitas para pihak dalam perjanjian sewa menyewa tower merupakan aspek yang mutlak wajib diperhatikan dalam kaitan dengan keabsahan kontrak yang terjadi. Oleh karena itu, PJPT perlu untuk menyiapkan, antara lain: 1) Kelengkapan data teknis tower seperti ketinggian, tipe, luas lahan, jumlah antena terpasang, dll. Kelengkapan data baik teknis maupun administrasi merupakan kunci utama dalam keberhasilan usaha jasa penyewaan tower. Hal ini perlu disadari khususnya oleh operator telekomunikasi seluler yang banyak memiliki aset tower yang pada awalnya memang tidak dijadikan sebagai alat penghasilan dari sisi penyewaan tower. Para operator tersebut kebanyakan tidak memiliki kelengkapan data khususnya data teknis yang tentunya akan menyulitkan jika suatu waktu towernya akan disewakan ke operator lainnya. 2) Kelengkapan dan kejelasan data hukum dan administrasi site, seperti dokumen kontrak dengan pemilik lahan atau pemilik gedung, PBB, SHM, tanggal mulai sewa oleh operator, dll. Dengan menimbnag bahwa tidak setiap menara telekomunikasi didirikan di atas tanah milik pelaku usaha pembangun menara telekomunikasi, maka kepastian hukum tentang status tanah temapt didirikannya menara merupakas aspek legal yang perlu dikemukakan secara terbuka agar calan user memahami posisi PJPT. 3) Kejelasan isi perjanjian sewa menyewa tower dengan pelanggan. Kejelasan kontrak perjanjian penyewaan tower harus sudah sangat disadari oleh pihak Tower Leasing Provider bahwa salah satu kunci suksesnya usaha ini adalah kejelasan kontrak yang mengatur, antara lain: 32 a) obyek sewa, b) harga sewa dan cara pembayarannya, c) asuransi, d) hak dan kewajiban, e) jangka waktu kontrak f) pengakhiran kontrak g) dispute settlement dan hal-hal lain yang sangat jelas pada akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan usahanya. Kontrak yang jelas, baik, dan lengkap merupakan dasar dua belah pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian sewa menyewa sangat berguna untuk meminimalisir adanya dispute dalam menginterpretasi isi kontrak sehingga dengan kontrak yang baik dapat memberi kenyamanan dan keberlangsungan perjanjian diantara dua pihak yang telah bersepakat untuk mengadakan sewa menyewa tower. C. Model Bisnis Menara Telekomunikasi 1. Pembangunan Menara Telekomunikasi oleh Operator Pada masa-masa awal operator beroperasi, kebutuhan menara telekomunikasi dibangun sendiri oleh operator. Operator ponsel harus mengeluarkan dan untuk diinvestasikan ke dalam pembangunan BTS. Mulai dari pembebasan lahan untuk lokasi BTS, biaya perijinan, biaya konstruksi, dan biaya-biaya lain ditanggung oleh operator. Pada waktu itu, berdiri perusahaan yang memberikan jasa pengurusan BTS mulai dari penyiapan lahan sampai dengan pendirian menaranya, akan tetapi belum sampai kepada bentuk perusahaan yang menyewakan BTS. Pada perkembangannya, kemudian berkembang usaha penyewaan jasa tower atau Tower Leasing Provider. 2. Tower Leasing Provider atau Sewa Menyewa antara Perusahaan Penyedia Jasa Tower dengan Operator Dana untuk pembangunan menara BTS termasuk cukup besar. Kebutuhan dana untuk pembangunan satu menara termasuk untuk investasi pembelian lahan berkisar antara Rp 700 juta hingga Rp 1 milyar, bahkan bisa mencapai Rp 1.5 milyar. Apabila satu 33 perusahaan operator memerlukan 1.000 menara BTS, maka perusahaan itu akan mengeluarkan dana investasi sekitar Rp 1 trilyun. Besaran biaya itu tergantung pada lokasi dan tingkat ketinggian menara tersebut. Uang sebesar atau lebih dari Rp 1 milyar itu untuk pembangunan menara BTS yang memiliki ketinggian antara 31-72 meter. Nilai investasi yang cukup besar untuk satuan unit BTS membuka alternatif model bisnis BTS. Operator tidak harus menyediakan sendiri, membangun sendiri menara BTS. Ada peluang bagi perusahaan lain (non operator) untuk membangun menara BTS kemudian disewakan kepada perusahaan operator dalam konstruksi perjanjian sewa menyewa menara BTS, sehingga sewa menyewa menara BTS berkembang sebagai salah satu model bisnis. Harga sewa menyewa satu buah menara, pihak operator dikenakan biaya antara Rp 15 juta – Rp 20 juta per bulan. Harga sewa ini, merupakan biaya keseluruhan yang termasuk biaya sewa menara, biaya listrik, maintenance / perawatan, dan juga retribusi terhadap pemerintah. Bagi perusahaan jasa penyewaan tower (PJPT), tower merupakan aset dan alat produksi penghasilan usaha jasa penyewaan tower. Pada tataran sekarang ini, antara PJPT dengan operator berada dalam tahapan mencari bentuk terbaiknya dalam hal proses dan prosedur bisnis serta tatacara sewa menyewa tower antara operator telekomunikasi yang membutuhkan sarana infrastruktur berupa menara untuk penempatan antenanya. Pada sisi PJPT, penyedia jasa pembangunan tower berhadapan dengan masalah lahan dan masalah akses kepada para operator ponsel. Padahal, dalam industri telekomunikasi seluler kecepatan penambahan jaringan merupakan faktor penentu keberhasilan dalam melayani kebutuhan pelanggan. PJPT dituntut untuk dapat memenuhi standar kebutuhan waktu para penyewa/operator telekomunikasi seluler. Selain itu, PJPT juga dituntut untuk memenuhi standar teknis yang dibutuhkan oleh pelanggannya. Perkembangan terkini, operator yang mengoperasikan BTS banyak juga yang menyewakan BTS-nya kepada operator lain. Apalagi setelah keluar PB-P3-MT. Pada praktik pembangunan BTS terbuka peluang bagi pemilik lahan untuk melakukan kerjasama dengan PJPT. PJPT tidak harus membeli lahan untuk lokasi BTS, namun dapat menyewa tanah dari pemilik tanah. Apabila sewa lahan itu dilakukan maka terbuka peluang bisnis bagi perorangan atau badan usaha, termasuk desa yang memiliki 34 aset yang idle yang lokasinya bersesuaian dengan kebutuhan pembangunan BTS untuk menyewakan lahannya kepada PJPT, sehingga tercipta peluang bisnis pada sisi pemenuhan kebutuhan lahan. Demikian pula untuk BTS yang didirikan di atas bangunan permanen, maka terbuka peluang kerjasama bisnis antara pemilik bangunan dengan PJPT untuk merealisasikan BTS di atas bangunan. 3. Keahlian atau Profesi Menara telekomunikasi juga mengundang pengembangan keahlian yang menuju kepada kelahiran kaum profesional di bidang pembangunan tower, bisnis penyewaan tower, legal di bidang tower, pengembangan produk tower. Kompetensi yang menyuguhkan keahlian di bidang-bidang tersebut mendorong lembaga pendidikan untuk menghasilkan kaum profesional di bidang yang terkait dengan menara telekomunikasi, baik dari segi teknikal, manajemen bisnis, dan legal. D. Pengaturan Sub Bidang Usaha Menara Telekomunikasi 1. UU Penanaman Modal juncto Perpres 36/2010 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur antara lain bidang usaha. Bidang usaha dalam rangka penanaman modal selanjutnya diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pada Perpres 36/2010, Lampiran II Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan, Bidang Usaha angka 11 yakni Bidang Komunikasi dan Informatika, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 42217, ditegaskan bahwa “Penyedia, Pengelola (Pengoperasian dan Penyewaan) dan Penyedia Jasa Konstruksi untuk Menara Telekomunikasi, ditentukan Modal dalam negeri 100%”. Artinya, pengusahaan BTS tertutup bagi pemodal asing, sehingga hanya pemodal dalam negeri yang dapat melakukan usaha menara telekomunikasi. Dalam Perpres 36/2010 tersebut dibedakan antara bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Pasal 1 Perpres 36/2010 menyatakan bahwa bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang 35 diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perpres 36/2010 adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu: 1) bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, 2) bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, 3) bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, 4) bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan 5) bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Berdasarkan Perpres 36/2010 tersebut, tegas bahwa penyedia, pengelola (pengoperasian dan penyewaan) dan penyedia jasa konstruksi untuk menara telekomunikasi merupakan obyek bisnis meskipun hanya dapat dilakukan oleh penanam modal dalam negeri. Sebagai catatan, beberapa waktu yang lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bermaksud melepaskan kendali bisnis menara BTS kepada asing, yang mendapatkan tentangan dari Menkominfo karena tetap berusaha untuk mempertahankan dominasi bisnis BTS kepada pengusaha domestik. Sejalan dengan Menkominfo, Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel) dan Badan Regulasi Teknologi Informasi (BRTI) juga tegas menolak inisiatif dari BKPM tersebut, yakni menolak secara tegas adanya asing di bisnis menara. 2. UU Telekomunikasi juncto PP 52 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Tel), menegaskan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Fungsi penetapan kebijakan antara lain perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional. Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan/atau teknis operasional yang antara lain tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan 36 bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. Dalam rangka pembinaan di bidang telekomunikasi, maka UU Tel dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (PP 52/2000) serta PB-P3-MT. Dalam Pasal 6 ayat (1) PP 52/2000 ditegaskan: (1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) menegaskan: Dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi penyelenggara jaringan dapat membangun keseluruhan jaringan dapat pula membangun sebagian dan atau menyediakan sebagian jaringan untuk terselenggaranya telekomunikasi. Misal, dalam hal diperlukannya penggunaan transponder satelit, penyelenggara jaringan tidak harus memiliki satelit sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP 52/2000 tersebut penyelenggara jaringan tidak harus membangun keseluruhan kebutuhan jaringan, termasuk BTS, secara mandiri, akan tetapi terbuka kemungkinan melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan jaringan komunikasinya. Ketentuan demikian itu membuka peluang usaha bagi perusahaan-perusahaan lain untuk menyokong kebutuhan penyelenggara jaringan. V.3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi A. Keabsahan Tindak Pemerintahan Dalam Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Hak masyarakat untuk berkomunikasi, Hak atas penghidupan yang layak, dan Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 28 F dan 28 37 H UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hak asasi manusia yang tergolong hak sosial. Menurut pendapat Philipus M Hadjon bahwa : Inti hak sosial adalah rights to receive. 25, sesuai dengan makna hak sosial, maka masyarakat berhak memperoleh pemenuhan hak tersebut dari negara (to receive from the state). Konsekuensi dari makna hak sosial adalah adanya kewajiban bagi negara untuk memenuhi kebutuhan setiap orang atas hak berkomunikasi, hak untuk hidup layak dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kewajiban negara dalam memenuhi hak masyarakat tersebut dilakukan melalui penyelenggaraan dan pembinaan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Berdasarkan Pasal 4 UU Telekomunikasi dinyatakan bahwa : (1) Telekomunikasi dikuasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. (2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi : penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. (3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global . Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi agar pemenuhan hak atas berkomunikasi dan hak untuk penghidupan yang layak dapat seimbang dengan pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat akibat dilaksanakannya kegiatan dan/atau usaha di bidang telekomunikasi, khususnya pendirian menara telekomunikasi. Hal ini sesuai dengan asas dan tujuan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang tentang Telekomunikasi, yaitu : 25 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Peradaban, 2007, hal. 35. Sebagaimana ditulis Tatiek Sri Djatmiati, Pelayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum Administrasi dan Tinak Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. hal. 26, 38 1. Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. 2. Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Pemerintah dalam melakukan pembinaan berupa penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan dengan tindak pemerintahan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Bestuurs Handelingen. Dalam hukum administrasi tindak pemerintahan dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi pemerintahan dibagi dalam beberapa jenis. Pembagian tindak pemerintahan sebagaimana dijabarkan oleh Ten Berge tergambar dalam skema 2 di bawah ini 26 : Skema 2 Bestuurs Handelingen (Tindak Pemerintahan) Feitelijke handelingen (Tindakan Nyata) Rechtshandelingen (Tindakan Hukum) Interne rechtshandelingen externe rechtshandelingen Privaatrechtelijke handelingen (Tindakan Hukum Privat) publiekrechtelijke rechtshandelingen (Tindakan Hukum Publik) Meerzijdige besluiten eenzijdige besluiten 26 J.B.J.M ten Berge, Besturen door de overhead, WEJ Tjeen Willink, Nederlands instituut voor Sociaal en Economic Recht NISER, 1996, p. 138 Bandingkan dengan Philipus M Hadjon et all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press,1993, h. 319 39 Algemene strekking (Algemeen verbindende voorschriften Ca; beleidsregels) concrete strekking Berdasarkan jenis dan tujuan tindak pemerintahan (bestuurshandelingen), maka tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan telekomunikasi, antara lain : 1. Pembentukan peraturan perundang-undangan; 2. Melakukan kerjasama (kontrak); 3. Melakukan tindakan nyata; 4. Membentuk peraturan bersama; 5. Menetapkan Perizinan; dan/atau 6. Pengawasan. Berkaitan dengan penyelenggaraan telekomunikasi agar dapat mencapai tujuan perlu didukung dengan sarana dan prasarana telekomunikasi, yaitu segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi. Salah satu sarana dan prasarana yang mendukung berfungsinya telekomunikasi adalah adanya menara telekomunikasi. Dalam teknologi telekomunikasi terdapat 3 (tiga) teknologi yang digunakan, antara lain telekomuikasi kabel, teknologi nirkabel (Wireless Technology) dan teknologi satelit. Dalam teknologi nirkabel yang saat ini sedang berkembang memerlukan menara pemancar yang akan memberikan sinyal (gelombang) pada perangkat penangkap sinyal pada alat komunikasi yang dimiliki masyarakat. Menara Telekomunikasi adalah bangunan-bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi. 40 Dengan demikian menara telekomunikasi sangat dibutuhkan dalam upaya pemenuhan atas hak masyarakat atas fasilitas telekomunikasi. Mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan meluasnya perkembangan kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi yang memadai, maka terjadi berbagai pembangunan di bidang telekomunikasi. Salah satu pembangunan sarana telekomunikasi yang banyak dilakukan adalah pembangunan menara telekomunikasi sebagai sarana penunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat akan layanan telekomubikasi yang baik. Menara Telekomunikasi memiliki jangkauan dalam pemancaran jaringan sehingga pendirian untuk Menara Telekomunikasi pun harus didirikan lebih dari satu tempat dalam sebuah kota atau kabupaten berdasarkan luas wilayah kota atau kabupaten tersebut. Pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan. Dalam rangka keamanan dan keselamatan masyarakat serta menjaga keselamatan lingkungan, maka dalam mendorong peningkatan pembangunan menara telekomunikasi perlu dilakukan penataan dan pengendalian oleh Pemerintah. Penataan dan pengendalian menara telekomunikasi bertujuan untuk mengendalikan dan mensinergikan antara ketersediaan ruang kota kebutuhan menara telekomunikasi, keamanan serta meningkatkan kehandalan cakupan frekuensi telekomunikasi. Dengan tujuan tersebut, maka dalam melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi perlu dilakukan untuk menyeimbangkan jumlah dan prioritas penggunaan menara sehingga dapat dicapai efesiensi dalam pemanfaatan ruang. Kebijakan pemerintah untuk melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan telekomunikasi sebagai suatu tindak pemerintahan harus sesuai dengan keabsahan (legalitas) tindak pemerintahan yang meliputi : asas legalitas formal dan asas legalitas substansial. Asas legalitas formal tindak pemerintahan terdiri atas : 1). Wewenang, 2) substansi dan 3) prosedur. 27 Sedangkan asas legalitas substansial merupakan asas yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Asas legalitas substansial terdiri dari asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas 27 Phipipus M Hadjon, Kebutuhan Akan Hukum Administrasi dalam buku Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, 2010, h. 22. 41 penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Terkait dengan asas legalitas formal terhadap tindak pemerintahan untuk melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi, maka kewenangan sebagai dasar legitimasi tindakan tersebut harus jelas instansi dan kewenangnnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dinyatakan bahwa wewenang penyelenggaraan dan pembinaan telekomunikasi dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan khusus untuk kewenangan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Rincian kewenangan tersebut tercantum dalam tabel di bawah ini : Pemerintah Pemerintah Provinsi Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi. - Pemerintah Kabupaten/Kota Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi. Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower. B. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi Secara spesifik, pengaturan Menara Telekomunikasi merupakan salah satu kewenangan dari Pemerintah Daerah dalam hal penyelenggaraan urusan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan yang diberikan secara atribusi berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945). UUD 1945 mengatur secara tegas perihal pemberian kewenangan tersebut kepada daerah, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 berikut: Pasal 18 Ayat (2): 42 Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**) Pasal 18 Ayat (5): Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.**) Pasal 18 Ayat (6): Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** ) Pasal 18A Ayat (1): Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**) Pasal 18A Ayat (2): Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.** ) Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas maka dapat dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mengandung adanya prinsip daerah mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya, prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil. Prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di atas tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) UUDRI 1945 yang menganut konsep Negara Kesatuan. Konsep Negara kesatuan pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan ke daerah dengan asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan (medebewind). Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam Negara Kesatuan dipegang sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan pendapat Edie Toet Hendratno yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan adalah Negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh satu pemerintah pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari pemerintah pusat disebabkan karena didalam Negara Kesatuan itu tidak terdapat negaranegara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara 43 dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian dalam bentuk Negara federasi. 28 Pengakuan adanya asas desentralisasi (penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu merupakan bentuk pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan lebih lanjut mengenai Negara kesatuan yang didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis berikut ini : “Prinsip pada Negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan Negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government). Dalam Negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan Negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (local government) sehingga urusan-urusan Negara dalam Negara Kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di Negara itu ialah pemerintah pusat. 29 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengaturan terhadap pembangunan Menara Telekomunikasi dengan berdasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan, serta sebagai realisasi asas otonomi dan tugas pembantuan pemerintah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain. Keberadaan Menara Telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur dalam penyelenggaraan telekomunikasi dalam pembangunannya menara telekomunikasi sering mengabaikan kepentingan pihak lain untuk memperoleh kesejahteraan, maupun jaminan sosial yang merupakan bagian dari hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih sebagaimana diatur dalam beberapa pasal UUD 1945 yakni: Pasal 28H Ayat (1): 28 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta,Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press,2009,h.46 29 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung, Alumni, 1983, h.8 44 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.**) Pasal 33 ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pasal 33 ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ****) Pemerintah daerah yang berpihak kepada kepentingan untuk memberikan perlindungan hukum bagi warganya, penduduknya, rakyatnya untuk mendapatkan rasa aman, termasuk dari kekhawatiran atau ketakutan atas robohnya menara telekomunikasi mendapatkan landasan konstitusional pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan hal itu, maka pemerintah daerah memiliki wewenang untuk membuat peraturan daerah dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganya. Penyusunan peraturan daerah tersebut akan merujuk pula kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut hak-hak warga Negara yang diatur dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan prinsip berkelanjutan yang melekat dalam asas demokrasi ekonomi yang dianut oleh Negara Indonesia. Dalam Pasal 33 ayat (4) tersebut pada dasarnya kata berkelanjutan itu berkaitan dengan konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Hal itu terkait erat dengan perkembangan gagasan tentang pentingnya wawasan pemeliharaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup yang sehat 30 agar dengan demikian warga masyarakat dapat menikmati hak hidupnya dengan baik lahir batin dalam kerangka kesejahteraan masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan tersebut dijabarkan lagi dalam Undang30 Jimmly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, 2009, hal 133. 45 Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan antara Pemerintah pusat, Pemerintah provinsi dan Pemerintah daerah kabupaten/kota. Secara spesifik pengaturan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam mengendalikan pertumbuhan menara telekomunikasi juga diatur dalam beberapa peraturan teknis lainnya. Setiap kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan pengendalian menara telekomunikasi haruslah merujuk pada berbagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut, diantaranya: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) telah mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah, dimana pengaturannya menyatakan bahwa “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri-ciri khas masing-masing daerah. Dengan demikian berkaitan dengan penataan dan pembangunan menara telekomunikasi yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomot 38 Tahun 2007 tentang Pembangian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dengan disesuaikan kondisi daerah masing-masing, maka penataan dan pembangunan menara telekomunikasi harus diatur dalam Peraturan Daerah. Aturan ini memberikan dasar legalitas bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi, dimana kebijakan tersebut haruslah tertuang dalam bentuk hukum peraturan daerah yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pada umumnya, dan pelaku usaha telekomunikasi pada khususnya. Di dalam UU Pemda diatur tentang pembagian urusan pemerintahan, dalam arti membagi antara urusan-urusan yang termasuk dalam wewenang pemerintah pusat dan urusan-urusan yang menjadi wewenang pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan pusat dan 46 pemerintahan daerah merupakan realisasi dari konsep pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang tidak diabaikan. Ketentuan tentang pembagian urusan tersebut selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Wewenang Pemerintah Pusat diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan : (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UndangUndang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Sedangkan wewenang Pemerintahan Daerah Provinsi diataur dalam Pasal 13 menyatakan : Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4) Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5) Penanganan bidang kesehatan; 6) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7) Penangulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 47 9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10) Pengendalian lingkungan hidup; 11) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (huruf tebal oleh penulis) 12) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan 16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan : Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi : 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2) Perencanaan, pemanfaatn dan pengawasan tata ruang; 3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 4) Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5) Penanganan bidang kesehatan; 6) Penyelenggaraan pendidikan; 7) Penanggulangan masalah sosial; 8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10) Pengendalian lingkungan hidup; 11) Pelayanan pertanahan; 12) Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; 13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14) Pelayanan administrasi penanaman modal; 15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Ketentuan Pasal 10, 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737) (selanjutnya 48 disebut PP 38/2007) terutama dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 6 PP38/ 2007 menyatakan : (1) (2) Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya. Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pasal 7 PP 38/2007 menyatakan : (1) (2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. lingkungan hidup; d. pekerjaan umum; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perumahan; h. kepemudaan dan olah raga; i. penanaman modal; j. koperasi dan usaha kecil dan menengah; k. kependudukan dan catatan sipil; l. ketenagakerjaan; m. ketahanan pangan; n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; p. perhubungan; q. komunikasi dan informatika; r. pertanahan; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. sosial; w. kebudayaan; x. statistik; y. kearsipan;dan perpustakaan. 49 Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas sangat jelas sekali keberadaan huruf q yaitu komunikasi dan informatika termasuk dalam hal ini pendirian menara telekomunikasi, pemerintah kabupaten/ kota mempunyai wewenang mengaturnya dalam rangka memberikan pelayanan dasar yang berupa upaya menata, pengendalian serta melakukan pengawasan. Kewenangan daerah dituangkan secara tegas yaitu untuk menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan Menara dan memungut Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi 31. Hal ini membawa konsekuensi bahwa daerah memiliki kewenangan mengaturnya dalam peraturan daerah kabupaten atau kota untuk melaksanakan asas desentralisasi khususnya dalam pengaturan pengendalian pendirian menara telekomunikasi. Hal ini terbukti beberapa daerah di Jawa Timur memgatur menara telekomunikasi dalam peraturan daerah antara lain Kota Surabaya, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Ngawi. Pengaturan Menara Telekomunikasi meskipun diatur dalam peraturan daerah tetapi peraturan daerah tersebut juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi32 (selanjutnya disebut sebagai UU Telekomunikasi). Menara telekomunikasi merupakan bagian materi yang diatur dalam UU Telekomunikasi, undang-undang tersebut perlu dirujuk untuk melacak kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dalam bentuk pengaturan terhadap telekomunikasi. Apabila disimak berdasarkan arti strategis telekomunikasi yakni sebagai bagian strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarbangsa, maka pemerintah daerah merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dalam sistem telekomunikasi nasional. 31 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, bidang Komunikasi dan informatika Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881. 32 50 Telekomunikasi diberi peran strategis untuk semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, semakin menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam kerangka NKRI dengan demikian juga memiliki peran vital untuk mengimplementasikan peran strategis telekomunikasi. Dalam konteks pengaturan terhadap menara telekomunikasi oleh pemerintah, bentuk hukum yang digunakan adalah Peraturan daerah. Dalam perspektif Provinsi Jawa Timur, pengaturan terhadap menara telekomunikasi oleh Pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur harusnya mewujud dalam bentuk harmonisasi peraturan daerah, antara daerah kabupaten/kota yang satu dengan yang lain. Peraturan daerah yang akan ditetapkan haruslah berdasarkan pada asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 UU Telekomunikasi. Penetapan kebijakan pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Telekomunikasi haruslah dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 33 3. (selanjutnya disebut sebagai UU Jasa Konstruksi) Menara telekomunikasi, secara fisik dan teknikal, berkaitan dengan persoalan konstruksi, oleh karena itu pembangunan menara telekomunikasi tidak terlepas dari jangkauan keberlakuan UU Jasa Konstruksi. Dalam UU Jasa Konstruksi terdapat pengaturan kewenangan daerah, sehingga UU Jasa Konstruksi berposisi sebagai rujukan atau landasan hukum ketika pemerintah 33 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833. 51 daerah menggali sumber kewenangan untuk mengatur Base Transeiver Station (selanjutnya disebut sebagai BTS). Terkait dengan konstruksi menara telekomunikasi, berdasarkan Pasal 35 ayat (6) UU Jasa Konstruksi bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan sebagaian tugas pembinaan jasa konstruksi yang dilimpahkan kepada Pemerintah daerah. Pelimpahan itu diatur dalam bentuk hukum Peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No 59 Tahun 2010. Pembinaan yang dimaksud meliputi pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Sehingga dalam menetapkan kebijakan dalam penataan pertumbuhan menara telekomunikasi pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pertumbuhan menara agar dapat selaras dengan pembangunan daerah, tata ruang daerah dan keindahan wilayah (estetika) kabupaten/kota. Di dalam pengaturannya harus dipertimbangkan kepentingan berimbang antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk melakukan pengawasan secara rutin terkait dengan kualitas bangunan/konstruksi menara telekomunikasi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung34 4. (selanjutnya disebut sebagai UU Bangunan Gedung) UU Bangunan Gedung memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah, khususnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 33, 35, 39, 40, dan 48. Ketentuan dalam pasal-pasal ini terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Izin Mendirikan Bangunan, Penetapan, Persetujuan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap tindakan tertentu terkait dengan bangunan, persyaratan administratif dan lain-lain serta elemen 34 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247. 52 pembinaan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengatur bangunan (termasuk BTS). Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pengertian bangunan gedung dalam Undang-Undang ini adalah bangunan berupa gedung dan bangunan non gedung, dimana menara telekomunikasi merupakan salah satu bentuk dari bangunan non gedung. Berdasarkan Undang-Undang Bangunan Gedung setiap bangunan baik gedung maupun non gedung harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan administratif. Salah satu sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam memeriksa bangunan tersebut telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis melalui Izin Mendirikan Bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memberikan IMB yang pembentukannya diatur dengan Peraturan Daerah. Keberadaan menara telekomunikasi yang termasuk dalam kategori bangunan non-gedung haruslah sesuai dengan peruntukan lokasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Ketentuan tegas ini dituangkan dalam pasal 6 ayat (1) UU Bangunan Gedung. Pendirian menara telekomunikasi haruslah didasarkan pada Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi (IMB Menara). Selanjutnya merujuk pada ayat 93) pasal ini, setiap perubahan fungsi dari menara telekomunikasi haruslah mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh pemerintah daerah. Setiap IMB Menara yang diterbitkan haruslah telah melalui pengkajian teknis, dan memenuhi syarat adminstratif, teknis yang telah ditetapkan. Namun, mengingat karateristik menara telekomunikasi, terdapat permasalahan mendasar apabila ke depan pengaturan menara telekomunikasi tetap hanya merujuk pada UU Bangunan Gedung an sich. Karateristik menara telekomunikasi sangatlah spesifik, walaupun dikategorikan sebagai bangunan non-gedung, terdapat permasalahan apabila menara telekomunikasi tersebut 53 berdiri diatas masjid atau gereja yang hanya berfungsi sebagai antenna penerima sinyal. Permasalahan juga timbul apabila menyangkut IMB (Izin Membangun Bangunan) dan IMB Menara, terkait dengan retribusi dan persyaratan teknis administratif lainnya serta terkait dengan mekanisme pembongkaran mengingat pembongkaran menara telekomunikasi tidaklah sama dengan pembongkaran bangunan lainnya karena biaya yang mahal dan kompleksitas pekerjaan. Mendatang perlu difikirkan oleh pemerintah untuk mengatur bangunan Menara Telekomunikasi dalam satu regulasi tersendiri. 5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut sebagai UU Penataan Ruang) Salah satu model pengaturan yang utama adalah dengan meletakkan menara telekomunikasi sesuai dengan penataan ruang di daerah. Penataan ruang merupakan wewenang dari negara, dan dilimpahkan kepada daerah berdasar pasal 7 ayat (1) UU Penataan Ruang. UU Penataan Ruang telah memberikan dasar legalitas kewenangan daerah untuk melakukan penataan ruang wilayahnya yang kemudian dituangkan dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten/kota masing-masing faktor-faktor geostrategis, potensi dengan mempertimbangkan sumberdaya Kewenangan ini ditujukan untuk menjaga dan kondisi daerah. keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah dengan mendasarkan pada transparansi, efektifitas, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal penyelenggaraan penataan ruang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) UU Penataan Ruang, meliputi: a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; 54 b. c. d. 6. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) Keberadaan menara telekomunikasi sangat lekat kaitannya dengan kebijakan pengaturan lingkungan hidup di sekitar lokasi menara. Sehingga keberlangsungan ekosistem dan lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat di sekitar menara tetap terwujud. Upaya memadukan pembangunan menara telekomunikasi dengan kebijakan lingkungan serta penataan pertumbuhan menara telekomunikasi merupakan salah satu upaya terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup. Hal ini selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PPLH. Berdasarkan konsepsi pembangunan berkelanjutan tersebut, perlu difikirkan upaya pengendalian menara telekomunikasi yang berbasis pada lingkungan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan kebijakan lingkungan pada tingkat kabupaten/kota yang merupakan salah satu wewenang dari pemerintah daerah berdasarkan Pasal 63 ayat (3) huruf a UU PPLH. 7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Persaingan Usaha) Mengingat karateristiknya yang kompleks, pengaturan menara juga harus mempertimbangkan aspek dari kepentingan usaha. Analisa pada bagian 55 sebelumnya telah memotret urgensi pengaturan menara telekomunikasi dari perspektif hukum bisnis. Ditinjau dari hukum bisnis, pengaturan menara telekomunikasi tertutama ditujukan untuk menciptakan iklim persaingan bisnis yang sehat diantara para provider penyedia jasa menara, baik yang menyediakan tower (tower povider) maupun yang menyediakan layanan jasa telekomunikasi (service provider). Kegiatan usaha menara telekomunikasi merupakan kegiatan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka pemerintah dalam hal ini harus bertindak tegas untuk mengatur agar tidak terjadi monopoli usaha. Kebijakan pemerintah daerah juga harus mempertimbangkan terwujudnya iklim usaha yang sehat bagi dunia usaha menara telekomunikasi dan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum , sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 2 UU Persaingan Usaha. 8. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disebut sebagai UU No.28/1999) Secara teoritis, tindakan pemerintah dalam pembuatan kebijakan hukum yang mengatur mengenai menara telekomunikasi maka pemerintah melakukan tindakan hukum. Tindakan hukum berupa penetapan peraturan mengenai menara telekomunikasi haruslah berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU No.28/1999 yang mengikat pemerintah untuk melaksanakannya, yang terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. h. Asas kepastian hukum; Asas tertib penyelenggara negara; Asas kepentingan umum; Asas keterbukaan; Asas proporsionalitas Asas profesionalitas; Asas akuntabilitas; Asas efisiensi; 56 i. Asas efektivitas. Ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 menegaskan bahwa Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan harus tetap memperhatikan batas-batas kewenangan dari daerah dengan bersandarkan pada asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan asas good governance. 9. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut sebagai UU Pelayanan Publik) Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik 35. Terkait dengan penyelenggaraan pelayanan oublik di bidang menara telekomunikasi, Pemerintah daerah wajib untuk membuat pengaturan tentang prosedur palayanan terkait dengan penyelenggaraan menara telekomunikasi. Pelayanan dalam hal ini dapat meliputi pelayanan perizinan pendirian menara, pelayanan cek fisik menara telekomunikasi dan pelayanan lainnya yang terkait. Dalam hal penyelenggaraan pelayanan tersebut haruslah berpegang teguh pada asas-asas yang tertuang dalam Pasal 4 UU Pelayanan Publik, yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. 35 kepentingan umum; kepastian hukum; kesamaan hak; keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan; partisipatif; persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; keterbukaan; Pasal 1 angka 1 UU Pelayanan Publik 57 i. j. k. l. akuntabilitas; fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; ketepatan waktu; dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Pengaturan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik UU No. 25 Tahun 2009 sedasar dengan asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 dan asas penyelenggara pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Realisasi asas penyelenggaraan pelayanan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). 10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut sebagai UU PDRD) Undang-Undang yang terkait lainnya dengan pengaturan Menara Telekomunikasi adalah UU PDRD. Hal ini mengingat Menara Telekomunikasi merupakan salah satu obyek dari pungutan daerah (retribusi). Atas jasa pelayanan dalam penyelenggaraan menara telekomunikasi, pemerintah daerah berwenang untuk memungut Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, yang merupakan salah satu dari jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 110 UU PDRD. Jasa umum merupakan jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan Obyek dari Retribusi Jasa Umum telah ditetapkan dalam pasal 109 UU PDRD, yaitu: ‘Pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan’. 58 Pemungutan retribusi jasa umum merupakan pemungutan yang bersifat pilihan, artinya pemerintah daerah dapat memungut atau tidak memungut retribusi apabila potensi penerimaannya kecil atau merupakan kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. Secara spesifik, obyek dari Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, diatur dalam Pasal 124 yaitu “Pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum”. Dalam hal penetapan tarif retribusi daerah harus memperhatikan aspekaspek biaya penyediaan jasa (biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal), kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan terkait dengan menara telekomunikasi tersebut 36. Dalam penetapan tarif, untuk untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang telah ditetapkan dalam UU PDRD. Rasio filosofis dan sosiologis Penetapan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagai salah satu obyek retribusi jasa umum dapat dilihat pada penjelasan UU PDRD, dimana Undang-Undang ini melakukan perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Lebih lanjut Undang-Undang ini juga menetapkan 4 (empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. 36 Pasal 152 UU Pajak Daerah dan retribusi daerah 59 11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82) Menurut Bagir Manan ajaran tentang tata urutan peraturan perundangundangan demikian mengandung beberapa prinsip, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan, walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum. 37 Bahwa dalam penetapan peraturan di daerah mengenai menara telekomunikasi dan materi muatannya haruslah selaras dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 6 ayat (1), yaitu a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; 37 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, cetakan kedua, Op.cit, hal. 19. 60 g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum danpemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (selanjutnya disebut sebagai PP No 52/2000) Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari UndangUndang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Walaupun mengatur segala hal teknis tentang telekomunikasi seperti penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dan kewajiban penyelenggara telekomunikasi dalam menyediakan akses telekomunikasi di daerah (Pasal 46), perizinan (Pasal 55-67), namun pengaturan dalam Peraturan pemerintah ini BELUM menyentuh terhadap pengaturan Menara Telekomunikasi. Dalam Pasal 1 angka 1 PP a quo disebutkan bahwa Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Hal ini secara teknis hanya meliputi jaringan telekomunikasi yang menghubungkan informasi dari seorang ke orang lainnya. Sehingga belum mengatur detail mengenai menara telekomunikasi. Menara telekomunikasi mempunyai karateristik unik, karena merupakan bangunan menara yang difungsikan sebagai penerima dan pemancar gelombang telekomunikasi. Dari aspek penyedia jasa, PP No. 52/2000 juga belum mengatur perkembangan penyedia jasa yang terlibat dalam usaha menara telekomunikasi saat ini, yaitu penyedia layanan telekomunikasi (service provider) dan penyedia menara telekomunikasi (tower provider). 13. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 61 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (selanjutnya disebut SKB 3 Menteri dan Kepala BKPM). Peraturan SKB 3 Menteri dan Kepala BKPM mengenai Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi merupakan satu-satunya sampai dengan saat ini peraturan yang mengatur secara spesifik mengenai Menara Telekomunikasi. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya peraturan ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat selaras dengan kemajuan perkembangan zaman. Hal ini tampak pada konsideran menimbang yaitu: a. b. bahwa telekomunikasi merupakan sarana publik yang dalam penyelenggaraannya membutuhkan infrastruktur menara telekomunikasi; bahwa pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan; Lahirnya peraturan SKB ini sebagai pedoman pembangunan dan penggunaan bersama menara untuk mewujudkan keserasian hubungan antara pemerintah dengan pemerintahan daerah dalam hal memberikan petunjuk pembangunan menara yang memenuhi persyaratan administratif, teknis, fungsi, tata bangunan, rencana tata ruang wilayah, lingkungan dan aspek yuridis 38. Dengan SKB ini pemerintah berupaya untuk menerapkan instrumen dalam pengendalian pertumbuhan menara, yaitu dengan Kebijakan penggunaan Menara secara bersama. Tujuannya yaitu mengendalikan pertumbuhan menara telekomunikasi baru dengan mengoptimalkan penggunaan menara bersama existing. Hal-hal yang diatur dalam penggunaan bersama menara dimuat dalam Pasal 3 SKB a quo, meliputi: - persyaratan pembangunan dan pengelolaan menara, - zona larangan pembangunan menara, - struktur bangunan menara, 38 Pasal 2 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi 62 - perizinan pembangunan menara, tata cara penggunaan bersama menara, retribusi izin pembangunan menara, pengawasan dan pengendalian. SKB ini menetapkan bahwa setiap pembangunan menara WAJIB memiliki Izin Mendirikan Bangunan Menara (IMB Menara). Izin ini dikeluarkan oleh Kepala Daerah (Bupati/Walikota), dengan berpijak pada ketentuan Penataan ruang 39. Permohonan tersebut diajukan oleh Penyedia menara. 40 Terkait dengan kebijakan Zonasi, maka SKB ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan Zona yang tidak diperbolehkan (dilarang) bagi pembangunan menara. Zona ini diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Detail Tata Ruang Wilayah (RDTRK) daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 14 SKB yang selengkapnya berbunyi : (1) Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan zona-zona yang dilarang bagi pembangunan menara di wilayahnya berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang yang berlaku. (2) Zona-zona yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota dan wilayah provinsi DKI Jakarta dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan yang bersangkutan. (3) Larangan zona untuk pembangunan menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan layanan telekomunikasi pada zona tersebut. Kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi melalui Penggunaan menara bersama dan Zona larangan pendirian menara telekomunikasi ditujukan untuk mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi di wilayah daerah, namun dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat atas komunikasi dengan mengotimalkan sarana menara komunikasi existing. 39 40 Lihat Pasal 4 ayat 91), (2), (3), Ibid. Lihat Pasal 10, Ibid. 63 Kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur lebih lanjut tentang kebijakan pengaturan pertumbuhan menara telekomunikasi tersebut juga termasuk dalam kewenangan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi di daerah 41. Hal yang menarik untuk dibahas lebih detail dalam SKB ini adalah Izin Mendirikan Menara Telekomunikasi (IMB Menara) yang menurut SKB Menara Bersama berlaku untuk selamanya dan tidak perlu diperbaharui setiap periode tertentu. Hal ini dapat menimbulkan potensi pelanggaran terhadap perlindungan masyarakat, karena keberadaan IMB Menara tidak ada jangka waktu dan tidak ada pengawasan terhadap keberadaan Menara setalah berdiri. Pengawasan tersebut menyangkut mengenai kekuatan konstruksi menara, hal ini sangat penting untuk mencegah kemungkinan menara telekomunikasi tersebut roboh. Terkait dengan hal ini terdapat kewajiban pemerintah daerah selaku pelindung masyarakat (to protect), sehingga pemerintah daerah dalam memberikan izin pendirian menara juga harus mempertimbangkan rasa ama bagi masyarakat. Rasa aman ini dapat diwujudkan dalam kewejiban bagi penyedia menara untuk mengasuransikan menaranya untuk mengantisipasi segala kerugian yang timbul akibat menara. Wewenang pemerintahan daerah dalam pengaturan pengendalian menara telekomunikasi secara atributif telah diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terutama dalam Pasal 14 dan ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 terutama dalam Pasal 6 dan Pasal 7, serta peraturan perundangan lainnya yang telah dijelaskan diatas, diwujudkan oleh daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan pengaturan di wilayahnya. Pengaturan ini dituangkan dalam bentuk hukum Peraturan Daerah yang mendapatkan persetujuan wakil rakyat (DPRD). Berikut akan dibahas lebih detail contoh beberapa daerah kabupaten/kota yang telah mengatur mengenai pertumbuhan menara telekomunikasi di daerahnyaa, antara lain : 41 Lihat Pasal 23, Ibid. 64 V.4. Instrumen Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Dalam analisa sebelumnya telah dijabarkan ratio filosofis serta urgensi pengaturan menara telekomunikasi mengingat kondisi pertumbuhan menara telekomunikasi dan upaya pemerintah daerah untuk memenuhi hak-hak masyarakat (hak atas lingkungan hidup yang baik, hak untuk hidup layak dan hak untuk berkomunikasi). Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan penataan menara telekomunikasi (sebagaimana telah dijelaskan dalam analisa sub bab sebelumnya), maka pemerintah daerah, sebagai organisasi yang melaksanakan fungsi Negara, berwenang melakukan pengaturan yang berfungsi sebagai instrumen kebijaksanaan yang bersifat preventif untuk penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Sub bagian ini akan melakukan analisa mengenai Instrumen Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi. Dalam melakukan pengaturan tentang penataan dan pengendalian menara telekomunikasi sebagai intervensi pemerintah untuk mengatur keseimbangan pembangunan menara telekomunikasi dengan hak masyarakat untuk memperoleh keamanan dan lingkungan yang sehat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah melakukan tindak pemerintahan (bestuur handelilngen) yang berupa pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijaksanaan (beleid regels), izin dan tindakan nyata (feitelijk handelingen). 65 Tindak pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan menara telekomunikasi dengan keamanan, keindahan dan fungsi menara telekomunikasi. Dengan demikian pengaturan tentang penataan dan pengendalian menara telekomunikasi tetap harus memberi jaminan ketersediaan jaringan telekomunikasi. Hal tersebut sesuai dengan yang diisyaratkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi yaitu pemerintah daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 42 Berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang telah ditetapkan, maka beberapa instrumen kebijaksanaan yang berfungsi untuk penataan dan pengendalian menara telekomunikasi meliputi : a. Zona Penempatan Menara Telekomunikasi Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, maka salah satu instrument kebijakan yang digunakan untuk melakukan penataan dan pengendalian pembangunan menara telekomunikasi adalah menetapkan Zona Penempatan Lokasi Menara. Zona Penempatan Lokasi Menara adalah kajian teknis terpadu tentang zona penempatan titik-titik lokasi menara yang telah ditentukan untuk pembangunan Menara Telekomunikasi yang berada dalam radius maksimum 300 meter dari titik koordinat dengan memperhatikan aspek-aspek 42 pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 66 kaidah perencanaan jaringan selular yaitu ketersediaan coverage area pada area potensi generated traffic dan ketersediaan kapasitas traffic telekomunikasi selular. Zona Penempatan Lokasi Menara berfungsi untuk mengarahkan, menjaga, dan menjamin agar pembangunan dan pengoperasian menara telekomunikasi dapat terlaksana secara tertata dengan baik, berorientasi masa depan, terintegrasi dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak. Dengan demikian tujuan penataan menara telekomunikasi adalah : a. Menjaga estetika kawasan daerah dan memperhatikan kelestarian lingkungan; b. Mendukung kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi serta kegiatan pemerintahan; c. Menghindari pembangunan menara telekomunikasi yang tidak terkendali; d. Menentukan lokasi-lokasi menara telekomunikasi yang tertata; e. Standarisasi bentuk, kualitas, dan keamanan menara telekomunikasi; f. Kepastian peruntukan dan efisiensi lahan; g. Meminimalisir gejolak sosial; h. Meningkatkan citra wilayah; i. Keselarasan dengan RTRW; j. Memudahkan pengawasan dan pengendalian; k. Mengantisipasi menara telekomunikasi illegal sehingga menjamin legalitas setiap menara telekomunikasi atau yang berizin; l. Memenuhi kebutuhan lalu lintas telekomunikasi selular secara optimal; m. Menghindari wilayah yang tidak terjangkau (blank spot area); 67 n. Acuan konsep yang dapat digunakan oleh seluruh penyelenggara telekomunikasi, baik GSM (Global System for Mobile Communications) maupun CDMA (Code Division Multiple Acces) serta dapat digunakan untuk layanan nir kabel, LAN, dan lain-lain; o. Mendorong efisensi dan efektivitas biaya telekomunikasi dan biaya investasi akibat adanya kerjasama antara penyelenggara telekomunikasi; atau p. Mendorong persaingan yang lebih sehat antar penyelenggara telekomunikasi. Kebijakan zonasi ini telah ditetapkan pada sebagian besar daerah di wilayah Jawa Timur (termasuk wilayah yang menjadi sample dari penelitian ini). Di Kabupaten Tulunggung, Ngawi, pasuruan sudah menerapkan kebijakan zonasi tersebut dalam suatu peraturan daerah. Surabaya saat ini sedang dalam pembahasan akhir mengenai kebijakan zonasi tersebut 43. Pemerintah Provinsi jawa Timur sampai saat ini belum mempunyai peraturan daerah tentang kebijakan zonasi menara telekomunikasi. Pengaturan hukum mengenai zonasi juga belum tampak pada peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini hanya mendasarkan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. 43 Lihat analisa dan pembahasan mengenai kondisi penataan Menara telekomunikasi di beberapa wilayah di Jawa Timur. 68 b. Izin Mendirikan Bangunan Menara Selain melakukan penataan menara telekomunikasi melalui zona penempatan lokasi menara telekomunikasi, maka dalam menjaga keamanan dan fungsi menara telekomunikasi perlu dilakukan pengaturan tentang standar baku pembangunan menara telekomunikasi. Standar baku pembangunan menara telekomunikasi digunakan oleh Satuan kerja Perangkat Daerah sebagai pedoman dan criteria dalam menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan Menara. Izin Mendirikan Bangunan Menara merupakan suatu keputusan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada orang atau badan untuk mengubah, mendirikan dan/atau membongkar bangunan menara. IMB Menara merupakan salah satu tindakan pemerintahan yang menjadi sarana pengendalian terhadap pembangunan menara agar menjamin keselamatan bangunan dan lingkungannya. Pemberian IMB Menara agar sesuai dengan tujuannya untuk menjamin keselamatan bangunan dan lingkungannya, maka pemberian IMB Menara harus didasarkan SNI dan Standar Baku Tertentu. SNI dan Standar Baku Tertentu bagi penyedia menara, pengelola menara dan penyelenggaraan telekomunikasi digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembangunan dan pengelolaan menara telekomunikasi, sedangkan bagi Pemerintah daerah SNI ini digunakan sebagai standar dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pendirian dan penyelenggaraan menara telekomunikasi. Standar yang harus dipenuhi dalam melakukan pembangunan menara telekomunikasi adalah : a. Ketinggian menara harus memperhatikan tata guna lahan secara khusus, yaitu kawasan militer, kawasan wisata dan kawasan kepadatan penduduk yang tinggi; 69 b. Struktur menara yang dibangun harus dipersiapkan sebagai menara bersama yang dapat dipergunakan oleh beberapa penyelenggara telekomunikasi (BTS); c. Rangka struktur menara dan pondasi menara harus memperhatikan daya dukung menara bersama; d. Pembangunan menara telekomunikasi harus mengacu pada SNI dan standar baku untuk menjamin keamanan lingkungan dengan memperhatikan factor-faktor yang menentukan kekuatan dan kestabilan konstruksi menara telekomunikasi, antara lain : - Area penempatan antenna dan perangkat telekomunikasi; - Ketinggian menara telekomunikasi; - Struktur menara telekomunikasi; - Rangka struktur telekomunikasi; - Pondasi menara telekomunikasi; dan - Kekuatan angin. e. Bentuk menara bersama harus diserasikan dengan fungsi dan keserasian lingkungan, misalnya berbentuk : - Menara Telekomunikasi Kamuflase 44; - Menara Telekomunikasi Tunggal (Monopole); atau - Menara Telekomunikasi Rangka (Self Suppoting Tower) 44 Menara kamuflase berdasar Pasal 1 angka 39 perda Kabupaten Pasuruan adalah Kamuflase terhadap menara sebagai tower samaran/menyerupai biasanya berbentuk pohon 70 Berikut adalah contoh bentuk-bentuk menara telekomunikasi yang telah dikamuflasekan: • Menara Telekomunikasi yang berbentuk Menara Greenfield Collocation 71 • Menara Telekomunikasi yang berbentuk Menara Greenfield Terbaru 72 • menara Telekomunikasi yang berbentuk Menara Monopole Semi Kamuflase 73 • Bentuk Menara Telekomunikasi Antena tersamar yang Menyatu dengan Lingkungan • Bentuk Menara Telekomunikasi Monopole Terbaru Yang Memanfaatkan Tiang PJU 74 Ketentuan tentang perizinan menara telekomunikasi telah diatur di Kota Surabaya, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Ngawi dan berbagai daerah lain di Jawa Timur. Pengaturannya dalam bentuk hukum Peraturan Daerah. Arah kebijakannya adalah pemberian Izin Menara Telekomunikasi yang sedapatnya dikamuflasekan, sehingga tidak mengganggu estetika wilayah kabupaten/kota. Namun kebijakan pendirian menara telekomunikasi di beberapa wilayah di Jawa Timur masih belum dilaksanakan maksimal, hal ini nampak pada pengaturan ketentuan menara kamuflase yang hanya berupa salah satu jenis menara telekomunikasi dan bukan merupakan kewajiban bagi penyedia menara untuk membangun menara telekomunikasi yang dikamuflasekan. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama, Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa : “Bentuk Menara Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan fungsi dan keserasian lingkungannya dapat berupa: a. menara Telekomunikasi Kamuflase; b. menara Telekomunikasi Tunggal (Monopole); atau c. menara Telekomunikasi Rangka (Self Supporting Tower)”. Pada Kabupaten Pasuruan kriteria penentuan perlu tidaknya menara telekomunikasi kamuflase berdasarkan atas kawasan, yaitu kawasan hutan lindung, kawasan hutan kota dan kawasan pariwisata 45. Kabupaten Tulungagung dalam 45 Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2; Pasal 6 ayat (1) huruf b angka 2; pasal 6 ayat 95) huruf a Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 Tahun 2012 75 peraturan daerah nya sama sekali tidak mengatur mengenai ketentuan Menara kamuflase. Langkah maju tampak pada Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Pasal 16 (1) Menara Telekomunikasi Rangka adalah menara telekomunikasi yang konstruksinya merupakan rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul untuk menyatukannya. (2) Menara Telekomunikasi Tunggal adalah menara telekomunikasi yang konstruksinya berbentuk tunggal tanpa adanya simpul-simpul rangka yang mengikat satu sama lain. (3) Menara Telekomunikasi Kamuflase adalah penyesuaian bentuk menara telekomunikasi yang diselaraskan dengan lingkungan dimana menara tersebut berada. Pasal 15 Pembangunan Menara Telekomunikasi Bersama yang berada di kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, apabila dimungkinkan menurut hasil kajian secara teknis dari Pemerintah Daerah maka bentuk dan desain menara wajib berwujud Menara Telekomunikasi Kamuflase serta bangunan pendukungnya wajib selaras dengan estetika lingkungan dan / atau kawasan setempat yang juga merupakan bagian dari Menara Telekomunikasi Bersama. Area yang wajib bentuk dan desain menara telekomunikasi nya berbentuk kamuflase di Ngawi adalah : a. kawasan bandar udara/ pelabuhan; b. kawasan pengawasan militer; c. kawasan cagar budaya; d. kawasan pariwisata; dan/atau e. kawasan hutan lindung 46. 46 Pasal 13 Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi 76 Tabel berikut menggambarkan arah kebijakan pembangunan menara yang tersamar/berkamuflase. daerah dalam mendorong Aspek Kota Surabaya Kabupaten Pasuruan Kabupaten Blitar Kabupaten Ngawi Kabupaten Tulungagung Kebijakan IMB Menara Telekomunikasi Kebijakan mendorong pembangunan menara yang tersamar (berkamuflase) Ketentuan dalam Perda Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya (khusunya pada menara di hutan kota) Ya Ya Tidak ada Pasal 3 ayat (4) Perda Kab Blitar Nomor 7 Tahun 2010 , dan Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunik asi Pasal 14 dan Pasal 16 ayat (3) Perbup Ngawi No 11 Tahun 2010 - Pada tertentu Ya Ya Ya - area (Pasal 6 huruf b angka 2) Perda Kab Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 Ya 77 c. Perizinan dan dokumen yang terkait dengan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, khususnya dalam lampiran dinyatakan bahwa dalam pembangunan menara telekomunikasi juga diperlukan adanya izin gangguan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan Pasal 3 Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Daerah bahwa kriteria ganguuan meliputi : 1) Kriteria gangguan dalam penetapan izin terdiri dari: a. lingkungan; b. sosial kemasyarakatan; dan c. ekonomi. (2) Gangguan terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi gangguan terhadap fungsi tanah, air tanah, sungai, laut, udara dan gangguan yang bersumber dari getaran dan/atau kebisingan. d. Kebijakan penataan Menara Telekomunikasi Bersama Dalam upaya untuk mencapai tujuan penataan menara telekomunikasi telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama Antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan 78 Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Menara Telekomunikasi Bersama adalah menara yang digunakan secara bersama-sama oleh penyedia layanan telekomunikasi dan/atau penyelenggara telekomunikasi untuk menempatkan dan mengoperasikan peralatan telekomunikasi berbasis radio (Base Transceiver Station) berdasarkan Zona Penempatan Lokasi Menara. Surat Keputusan Bersama Menteri ini merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk menata pendirian menara telekomunikasi dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan perangkat telekomunikasi sebagai sarana komunikasi bagi warga masyarakat. Arah kebijakan penataan menara telekomunikasi bersama juga sudah tampak pada kabupaten Tulungagung, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pasuruan dan Kota Surabaya. Kondisi kebijakan penataan menara telekomunikasi pada ke-empat wilayah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Aspek Kota Surabaya Kabupaten Pasuruan Kabupaten Blitar Kabupaten Ngawi Kabupaten Tulungagung Pemanfaatan Menara Telekomunikasi bersama Arah kebijakan Ya Ya Ya Ya Ya Menara telekomunika si bersama Menara telekomunika si bersama Menara telekomunika si bersama Menara telekomunikasi bersama Menara telekomunika si bersama Dari tabel diatas, tampak walaupun hanya dilandaskan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri, daerah-daerah banyak yang mentaati Surat Keputusan bersama menteri tersebut 79 dan mengaplikasikannya dalam kebijakan penataan menara telekomunikasi di wilayahnya. e. Instrumen ekonomik Berdasarkan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengendalian Menara Telekomunikasi merupakan salah satu jenis pelayanan publik yang dapat dikenakan pungutan retribusi daerah dan termasuk pada jenis retribusi jasa umum. Sebagaimana telah ditentukan dalam UU PDRD, Obyek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan dan kepentingan umum. Berdasarkan Pasal 152 UU PDRD dinyatakan bahwa prinsip dan sasaran penetapan tarif bagi retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya penyelenggaraan ini meliputi : biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal. Atas dasar ketentuan tersebut, maka sesuai dengan penjelasan Pasal 124 UU PDRD telah menjabarkan bahwa tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentuan serta untuk kemudahan penghitungan tariff retribusi ditetapkan paling tinggi 2% dari nialai jual obyek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan Menara Telekomunikasi yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut. Berdasarkan penghitungan tersebut, maka retribusi pengendalian menara telekomunikasi dikaitkan 80 dengan pengawasan yang dilakukan pemerintah daerah terhadap bangunan menara telekomunikasi, sehingga hal ini merupakan sarana/instrumen yang bersifat preventif terhadap keberadaan menara telekomunikasi. Penerapan instrumen ekonomik sangat penting, hal ini tampak pada daerah-daerah yang menerapkan penataan menara telekomunikasi bersama. Masing-masing daerah tersebut selain mengatur penataan menara telekomunikasi dalam bentuk peraturan daerah, juga mengatur tentang pungutan retribusi atas Pengendalian Menara Telekomunikasi. Kota/kabupaten Pengaturan tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi Pengaturan tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Keterangan Surabaya YA Ya* *Sampai penelitian ini ditulis, rancangan peraturan daerah tentang pengendalian menara telekomunikasi sedang dalam pembahasan akhir dengan DPRD. Kabupaten Pasuruan YA -* Kabupaten Blitar YA Ya 81 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama (*sedang dibahas rancangan peraturan daerah tentang retribusi pengendalian menara telekomunikasi) - Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama. - Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 23 Tahun 2011 tentang retribusi Jasa Umum. Kabupaten Ngawi YA* Ya Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi *Substansi Perda Ngawi tersebut mencakup keseluruhan kebijakan penataan menera telekomunikasi, termasuk pembentukan Tim Penataan dan Pengawasan Pembangunan Menara Telekomunikasi. Sepertinya substansi perda ini sebagian besar mengadopsi Perbup No. 11 Tahun 2010 tentang Penataan, Pembangunan, dan Pengoperasian Menara Telekomunikasi terpadu di Kabupaten Ngawi Kabupaten Tulungagung YA Ya* Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi (* ketentuan tentang Retribusi dimasukkan dalam substansi Perda No. 18 tahun 2010 tersebut). V.5. Penataan Pengendalian Menara Telekomunikasi di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur a. Kota Surabaya Kota Surabaya secara geografis terletak pada 112° 36’ sampai dengan 112° 54’ Bujur Timur, dan 7° 12’ sampai 7° 21’ Lintang Selatan, dengan ketinggian 3 – 6 meter di atas permukaan laut (dataran rendah), kecuali di bagian selatan terdapat dua bukit landai di daerah Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25 – 50 meter di atas 82 permukaan laut. Kota Surabaya terbagi atas 31 Kecamatan dengan 160 Kelurahan. Secara demografis, dengan luas wilayah yang seluas 33.048 Ha, dan jumlah penduduk (pada tahun 2011) sebanyak 3.001.043 jiwa 47 maka tingkat kepadatan Kota Surabaya sebesar 8.864 jiwa / km2. Jika dilihat berdasarkan struktur usianya, penduduk Kota Surabaya lebih banyak berusia produktif yaitu 35 tahun sampai 54 tahun atau sebesar 32,98 persen dari total penduduk 48. Piramida penduduk Surabaya pada tahun 2010 berdasarkan jenis kelamin dan usia, sebagaimana tertuang dalam RPJMD Kota Surabaya 2010-2015 menunjukkan grafik berikut: Grafik: Piramida Penduduk Surabaya tahun 2010 Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, RPJMD Surabaya 2010-2015 Dengan banyaknya jumlah penduduk di Kota Surabaya, maka dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat perlu didukung sarana dan prasarana yang menunjang komunikasi antar masyarakat. Salah satu bentuk sarana yang diperlukan dalam mendukung kebutuhan komunikasi adalah adanya menara telekomunikasi. Berdasarkan data yang telah diselenggarakan oleh Pemerintah Kota dalam melakukan 47 48 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya Kondisi Demografis Kota Surabaya di dalam RPJMD Kota Surabaya 2010-2015 83 penyusunan cell plan pada tahun 2010, menara telekomunikasi telah tercatat jumlah menara telekomunikasi di 31 Kecamatan di Kota Surabaya adalah sebagai berikut : Tabel 1 Data Menara Telekomunikasi di Surabaya No Type Menara Jumlah 1. Menara Green Field 455 2. Menara Roof Top 398 3. Menara Combat 4 TOTAL 857 Sumber : Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya Ke-857 menara tersebut dibangun tersebar di wilayah kota Surabaya. Berikut peta sebaran pendirian menara tersebut: 84 Sedangkan jumlah BTS di seluruh wilayah Surabaya (sampai dengan awal 2011) yang telah dimiliki oleh beberapa Telco Opeator adalah sebagai berikut: Tabel 2 Jumlah BTS yang Dimiliki Telco Operator No. Operator Telekomunikasi Nama Singkat Jumlah 1. PT. Telekomunikasi Selular Tsel 171 2. PT. Indonesia Satelit Corporation Isat 148 3. PT. XL Axiata XL 143 4. PT. Hutchinson C.P Telecommunication HCPT 136 5. PT. Mobile-8 Telecom Mob-8 34 6. PT. Bakrie Telecom Esia 141 7. PT. Natrindo telepon Selular NTS 161 8. PT. Smart Telecom Smart 68 9. PT. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia STI 5 10. PT. Telekomunikasi Indonesia Flexi 189 11. Noname 11 TOTAL 1207 Sumber : Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya 1207 BTS yang dimiliki oleh seluruh Telko di Surabaya tersebut tersebar di seluruh wilayah kota Surabaya, berikut grafik penyebaran BTS dimaksud : 85 Grafik : Penyebaran BTS di wilayah Kota Surabaya Dengan mengetahui jumlah menara telekomunikasi sebanyak 857 dan jumlah BTS yang dimiliki oleh Telco Operator sejumlah 1207, maka di Kota Surabaya penggunaan menara telekomunikasi secara bersama belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan penataan terhadap jumlah menara telekomunikasi. Berdasarkan data dari Dinas Komunikasi dan Informatika kota Surabaya, berikut proyeksi kebutuhan BTS dan menara telekomunikasi di Surabaya sampai dengan tahun 2015: 86 Tabel: Proyeksi kebutuhan BTS dan Menara Telekomunikasi di kota Surabaya, Periode 2011 – 2015 Variabel Data 2011 2015 Jumlah Penduduk 3,014,774 3,327,746 Menara Eksisting 857 455 BTS Eksisting 1207 4137 Teledensitas (tingkat 50% 70% 2% 10% Intensitas Traffic 50 82,3 Throughput 64 256 Zona Menara 302 546 kepadatan) Pengguna Selular Terkait dengan kebijakan zonasi, Pemerintah Kota Surabaya menerapkan kebijakan untuk membagi wilayah pendirian menara telekomunikasi menjadi 3 (tiga) zona) yaitu: 302 zona lokasi menara bersama yang berisikan 445 Menara eksisting 244 zona lokasi yang merupakan area baru untuk pendirian menara bersama yang baru 330 Zona Pedestrian untuk penempatan microcell voice + data mobile, ducting kabel fiber optik + listrik 49 Apabila dipetakan, pembagian ketiga zona tersebut tergambar dalam peta berikut: 49 Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya 87 Grafik. Peta persebaran Zona Menara Telekomunikasi di Kota Surabaya Sumber: Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya Kota Surabaya saat ini tengah menggodok Peraturan Daerah mengenai Pengendalian Menara Telekomunikasi. Proses pembahasan rancangan peraturan daerah ini sudah pada tahap akhir, sosialisasi pada masyarakat dan pembahasan di DPRD. Diharapkan paling lambat akhir tahun 2013 Surabaya sudah memiliki Peraturan Daerah tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi. Hal-hal yang mendasar yang diatur dalam rancangan peraturan daerah ini adalah: - Kewenangan pemerintah daeah Jangka waktu IMB Menara Ketentuan perizinan IMB Menara Ketentuan pembayaran Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. 88 Terkait dengan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, kota Surabaya sudah memiliki Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2013 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1). Rancangan peraturan daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi dan Rancangan peraturan daerah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebenarnya diajukan bersamaan dan pada tahun program legislasi daerah yang sama, namun proses pembahasannya lebih cepat peraturan daerah tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, sehingga penetapannya lebih dahulu. Penetapan perda retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tersebut merupakan wujud dari kewenangan pemerintah daerah untuk memungut retribusi daerah atas pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 110 huruf n UU PDRD. b. Kabupten Pasuruan Pertumbuhan ekonomi di Pasuruan berkembang dengan pesat, hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya perusahaan yang memilih untuk menginvestasikan modalnya di Pasuruan. Pertumbuhan ekonomi tersebut perlu ditunjang dengan sarana telekomunikasi yang memadai. Pasuruan merupakan salah satu kota yang menarik bagi pengusaha penyedia jasa layanan telekomunikasi maupun bagi penyedia menara telekomunikasi. Untuk merespon kebutuhan masyarakat tersebut Pemerintah Kabupaten Pasuruan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 tentang Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi bersama (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 24, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 256). Dalam konsideran menimbang peraturan daerah ini menyatakan: a. bahwa perkembangan teknologi telekomunikasi merupakan sebuah fenomena yang harus ditanggapi oleh pemerintah daerah dalam upaya memajukan perekonomian daerah; 89 b. c. bahwa menara telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur dalam pembangunan daerah yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; bahwa dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan menara telekomunikasi harus memperhatikan faktor pemerataan pembangunan, keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika lingkungan; Terkait dengan ketentuan pembagian wilayah/lokasi penempatan menara bersama, Pemerintah Kabupaten Pasuruan menetapkan zonasi (wilayah) penempatan menara dengan memperhatikan dan mempertimbangkan: - potensi ruang wilayah yang tersedia; kepadatan pemakaian jasa telekomunikasi; kaidah penataan ruang, tata bangunan; struktur perwilayahan; estetika dan keamanan lingkungan; dan kebutuhan luasan area Menara 50. Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (3) mengatur bahwa Jarak radius zona penempatan menara yang dapat ditetapkan Bupati paling jauh 300 (tiga ratus) meter dari titik tengah zona penempatan menara. Penetapan Zona Penempatan Lokasi Menara tersebut ditetapkan dalam Peraturan Bupati 51. Dalam perda ini mengatur tentang Tim Penataan dan Pengawasan Pembangunan Menara Telekomunikasi Bersama (TP3MTB) yang dibentuk oleh Bupati. Pengaturan mengenai tim ini belum diatur dalam semua peraturan daerah yang ada mengenai pengendalian menara telekomunikasi. TP3MTB diperuntukkan guna kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan program menara telekomunikasi bersama di wilayah daerah. TP3MTB merupakan satuan kerja yang terdiri dari perwakilan SKPD yang tupoksinya terkait dengan pembangunan menara bersama. Tugas TP3MTB untuk a. melakukan kajian teknis terhadap desain, penataan, pembangunan menara bersama; b. memberikan masukan dan saran atas pemberian izin pembangunan dan pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama; dan 50 51 Lihat Pasal 8 Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 Pasal 11, Ibid 90 c. memberikan asistensi terhadap Bupati dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap pembangunan dan pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama 52. Di Pasuruan, berdasarkan ketentuan Peraturan daerah a quo, Penyedia Menara atau pengelola menara dapat melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan menara, dimana kerjasama tersebut dituangkan dalam perjanjian. Pengawasan penyelenggaraan menara telekomunikasi di kabupaten Pasuruan meliputi, pelaporan, pemantauan dan evaluasi terhadap penerbitan perizinan serta pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan menara oleh Penyedia menara telekomunikasi 53. Pengendalian menara telekomunikasi di Kabupaten Pasuruan memiliki perbedaan dibandingkan dengan beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, keberadaan TP3MTB memiliki peran dalam melakukan pengawasan dan pemberian rekomendasi pembangunan menara. Ketentuan mengenai pengawasan menara dan fungsi TP3MTB dalam memberikan rekomendasi bagi penerbitan IMB Menara dituangkan dalam beberapa pasal di Peraturan Daerah a quo, pada tabel berikut akan dirinci pasal-pasal dalam Peraturan daerah ini yang terkait dengan pengawasan menara dan fungsi TP3MTB. Tabel : Substansi Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 54 Aspek Pasal PENGAWASAN Pasal 26 Bunyi (1) Kegiatan pengawasan penyelenggaraan menara telekomunikasi diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penerbitan perizinan serta pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan menara oleh penyedia menara telekomunikasi; (2) Pengawasan penyelenggaraan dan pengoperasian menara telekomunikasi dilakukan oleh pejabat 52 Pasal 13 ayat (2), Ibid Pasal 26, ibid 54 Penebalan kata dan penulisan cetak miring dilakukan oleh penulis untuk memberikan penekanan mengenai hal-hal yang penting dan patut diperhatikan dalam pasal ini. 53 91 yang ditunjuk dengan melibatkan peran masyarakat. Pasal 27: (1) Pengawasan terhadap menara telekomunikasi mengacu pada: a. rencana pembangunan menara sesuai kriteria lokasi menara; b. proses pembangunan menara pada kawasan budi daya dan kawasan lindung yang diperbolehkan yang dilakukan melalui pengecekan terhadap kesesuaian pembangunan menara dengan peraturan zonasi yang berlaku serta ketentuan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup; c. operasional pemanfaatan ruang di sekitar menara. Peran Serta Masyarakat dalam Pengawasan Pasal 28: (1) Dalam penyelenggaraan menara, masyarakat dapat berperan aktif secara individu atau kelompok dalam rangka: a. pengawasan pemanfaatan ruang untuk pembangunan menara antara lain melalui pelaporan kepada pemerintah daerah atas penyalahgunaan pemanfaatan ruang untuk menara; b. bekerja sama dengan pemerintah daerah dan penyelenggara telekomunikasi dalam menciptakan lingkungan aman dan kondusif. Fungsi TP3PM dalam Ketentuan Perizinan Menara Telekomunikasi Pasal 29: (1) Pembangunan Menara harus memiliki IMBM dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk setelah mendapatkan rekomendasi dari TP3MTB; (2) Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan Zona Penempatan Lokasi Menara; (3) Setiap pemasangan atau penempatan antena BTS oleh Penyedia Menara atau Pengelola Menara pada Menara Bersama harus dilaporkan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas dan fungsinya di bidang 92 Pasal 30: Penerapan Sanksi Administrasi komunikasi dan informatika (1) Penyedia Menara dapat memulai kegiatan pembangunan setelah memperoleh IMBM; (2) IMBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa batas waktu sepanjang tidak ada perubahan struktur atau konstruksi menara dan masih dipenuhinya seluruh syarat pendirian menara; (3) Pemerintah Daerah mengevaluasi kelayakan operasional menara setia (tiga) tahun sekali; (4) Dalam hal dinyatakan operasional menara tidak layak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati mencabut IMBM Pasal 34: (1) Bupati membekukan IMBM apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak ditindaklanjuti dengan melakukan upaya sebagaimana tertera dalam surat peringatan. (2) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara penyegelan terhadap Menara Telekomunikasi Bersama yang sedang atau telah selesai dibangun dan/atau dioperasikan; (3) Selama IMBM yang bersangkutan dibekukan, pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dilakukan di bawah pengawasan Pemerintah Daerah; (4) Jangka waktu pembekuan IMBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya penetapan pembekuan; (5) IMBM yang telah dibekukan dapat diberlakukan kembali apabila pemilik izin yang bersangkutan telah mengindahkan peringatan dengan melakukan perbaikan dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini Pasal 35: (1) Apabila jangka waktu pembekuan IMBM telah berakhir dan pemilik IMBM tidak mengindahkan peringatan dengan melakukan perbaikan dan melaksanakan kewajibannya, Bupati mencabut IMBM. 93 (2) Pelaksanaan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pembongkaran Menara Telekomunikasi Bersama. Dari beberapa pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan mengenai Penataan Dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama, arah kebijakan yang dituju oleh Pemerintah Daerah adalah mendorong pemanfaatan menara telekomunikasi untuk digunakan sebagai menara telekomunikasi bersama. Hal ini diperlukan guna menegakkan Rencana Tata Ruang Wilayah (yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah), sehingga akan terwujud mekanisme untuk penertiban, penataan, pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi oleh Pemerintah Daerah. Keberadaan peraturan daerah ini juga menjadi dasar legalitas bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan hukum pengaturan di bidang pengendalian menara telekomunikasi. Instrumen yang digunakan adalah instrumen Perizinan atas pembangunan base Transceiver Station (BTS) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Power Operator Seluler. Dalam instrumen perizinan tersebut tim TP3PM, selaku tim yang dibentuk untuk bertanggungjawab teknis atas pengendalian pendirian menara telekomunikasi, memberikan rekomendasi bagi setiap IMB Menara yang baru. Pemerintah daerah kabupaten Pasuruan lebih mendorong pemanfaatan menara existing. Dalam hal penerapan sanksi, pemerintah daerah lebih mengedepankan sanksi administrasi yang diterapkan secara bertahap. Tahapan tersebut adalah: a. Peringatan tertulis b. Pembekuan IMB Menara selama 3 bulan c. Pencabutan IMB Menara d. Pembongkaran. Pembongkaran merupakan sanksi administrasi terakhir yang dilakukan setelah berberapa sanksi yang lain telah diterapkan. Hal ini ditujukan untuk memberikan waktu kepada si penerima sanksi (penyedia menara/ penyedia jasa layanan) untuk 94 mentaati peraturan dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Disisi lain, pembongkaran menara membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga pemerintah daerah lebih mengutamakan pada meningkatkan ketaatan penyedia menara/ penyedia jasa layanan daripada harus membongkar menara. c. Kabupaten Blitar Di Kabupaten Blitar, peningkatan membangunan menara telekomunikasi direspon pemerintah daerah dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama. Kabupaten Blitar merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang mengawali pengaturan penataan menara telekomunikasi di wilayahnya. Penggunaan menara telekomunikasi harus memperhatikan beberapa faktor untuk efektivitas dan efisiensi penggunaan, diantaranya keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika lingkungan. Arah kebijakan pengaturan menara telekomunikasi di Kabupaten Blitar adalah pada pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama. Pada tabel berikut akan dijabarkan pasal-pasal dalam peraturan daerah a quo yang melandasi arah kebijakan kabupaten Blitar serta pengaturan wilayah pendirian menara telekomunikasi dalam bentuk zonasi. Tabel : Substansi Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 Perihal Pasal Bunyi Pembangunan Menara Telekomunikasi Bersama Pasal 2: Demi efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang Daerah, menara telekomunikasi wajib digunakan secara bersama dalam bentuk Menara Telekomunikasi Bersama dengan tetap memperhatikan kesinambungan pertumbuhan industri telekomunikasi Ketentuan Zonasi Pasal 11: (1) Penempatan Lokasi Menara Bersama dibagi dalam wilayah dengan memperhatikan potensi ruang wilayah yang tersedia dan kepadatan 95 pemakaian jasa telekomunikasi dengan mempertimbangkan kaidah penataan ruang, tata bangunan, struktur perwilayahan, estetika dan keamanan lingkungan serta kebutuhan telekomunikasi pada umumnya termasuk kebutuhan luasan area Menara. (2) Penempatan Lokasi Menara Bersama berada dalam radius maksimum 300 meter dari titik kordinat yang telah ditentukan. (3) Dalam hal tidak memenuhinya kapasitas lalu lintas telekomunikasi yang diperlukan oleh Penyelenggara Telekomunikasi, Bupati dapat merubah Penempatan Lokasi Menara Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tetap memperhatikan ketentuan Zona Penempatan Lokasi Menara. Pasal 14: Zona Penempatan Lokasi Menara ditetapkan dengan Peraturan Bupati Penggunaan Menara Telekomunikasi Bersama Pasal 17 (1) Penyedia Menara yang memiliki Menara atau Pengelola Menara harus memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada para Penyelenggara Telekomunikasi lain untuk menggunakan Menara miliknya secara bersama-sama sesuai kemampuan teknis Menara. (2) Pemasangan antena pemancar telekomunikasi wajib dilakukan pada Menara Telekomunikasi Bersama. (3) Dalam hal teknis dan fungsi ruang dimungkinkan untuk pemasangan antenna pemancar telekomunikasi di bangunan atau gedung, Bupati dapat memberikan izin dengan tetap memperhatikan ketersediaan dan penggunaan menara telekomunikasi bersama. Perizinan Pembangunan Menara Telekomunikasi Bersama Pasal 21: (1) Pembangunan Menara harus memiliki IMBM dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk setelah mendapatkan rekomendasi dari TP3MTB. (2) Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan Zona Penempatan Lokasi Menara. 96 (3) Setiap pemasangan atau penempatan antena Telekomunikasi pada Menara Bersama harus dilaporkan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas dan fungsinya di bidang komunikasi dan informatika. Pasal 22: (1) Penyedia Menara dapat memulai kegiatan pembangunan setelah memperoleh IMBM. (2) IMBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa batas waktu sepanjang tidak ada perubahan struktur atau konstruksi Menara dan masih dipenuhinya seluruh syarat pendirian menara. (3) Pemerintah Daerah mengevaluasi kelayakan operasional menara setiap 3 (tiga) tahun sekali. (4) Dalam hal dinyatakan operasional menara tidak layak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati mencabut IMBM. Pengawasan dan Pengendalian Pasal 31 (1) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh TP3MTB. (2) Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan serta pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : pemantauan, sosialisasi, penertiban serta evaluasi pada saat pelaksanaan konstruksi, setelah konstruksi, dan pada saat Menara dan jaringan Telekomunikasi itu mulai dioperasionalkan. Sanksi Administrasi Pasal 26 (1) Bupati membekukan IMBM apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak ditindaklanjuti dengan melakukan upaya sebagaimana tertera dalam surat peringatan. (2) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara penyegelan terhadap Menara Telekomunikasi Bersama yang sedang atau telah selesai dibangun dan/atau dioperasikan. (3) Selama IMBM yang bersangkutan dibekukan, pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama dalam rangka memberikan pelayanan kepada 97 masyarakat dilakukan di bawah pengawasan Pemerintah Daerah. (4) Jangka waktu pembekuan IMBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya penetapan pembekuan. (5) IMBM yang telah dibekukan dapat diberlakukan kembali apabila pemilik izin yang bersangkutan telah mengindahkan peringatan dengan melakukan perbaikan dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 27: (1) Apabila jangka waktu pembekuan IMBM telah berakhir dan pemilik IMBM tidak mengindahkan peringatan dengan melakukan perbaikan dan melaksanakan kewajibannya, Bupati mencabut IMBM. (2) Pelaksanaan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pembongkaran Menara Telekomunikasi Bersama. Di Kabupaten Blitar juga telah dibentuk TP3MTB oleh Bupati guna kelancaran pelaksanaan program menara telekomunikasi bersama di daerah. Berbeda dengan di kabupaten pasuruan, TP3MTB di Kabupaten Blitar bertugas untuk: a. melakukan kajian teknis terhadap desain, penataan, pembangunan menara bersama; b. memberikan masukan dan saran atas pemberian izin pembangunan dan pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama; dan c. memberikan asistensi terhadap Bupati dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap pembangunan dan pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama 55. Secara spesifik peraturan daerah ini memberikan kewenangan pada TP3MTB untuk melakukan pengawasan dan pengendalian dari peraturan daerah ini. Kewenangan 55 Pasal 15 ayat 2 Perda Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan menara Telekomunikasi Bersama 98 pengawasan dan pengendalian TP3MTB meliputi pemantauan, sosialisasi, penertiban serta evaluasi pada saat pelaksanaan konstruksi, setelah konstruksi, dan pada saat Menara dan jaringan Telekomunikasi itu mulai dioperasionalkan. Dalam hal TP3MTB ingin melakukan penegakan hukum atas menara telekomunikasi yang melanggar ketentuan, maka harus berkoordinasi dengan Satpol PP Kabupaten Blitar, dikarenakan secara teoritik kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penegakan dari peraturan daerah merupakan tugas pokok dan fungsi dari Satpol PP. d. Kabupaten Ngawi Kabupaten Ngawi merupakan salah satu Kabupaten yang teleh mengatur mengenai pengendalian menara telekomunikasi di wilayahnya. Potensi pertumbuhan menara telekomunikasi di Kabupaten Ngawi sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan jumlah menara pada tahun 2009 dan tahun 2012 di Kabupaten Ngawi. Tabel: Rekapitulasi Jumlah Menara telekomunikasi dan Non telekomunikasi pada tiap Kecamatan di Kabupaten Ngawi tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kecamatan Sine Ngrambe Jogorogo Kendal Geneng Kwadungan Pangkur Karangjati Bringin Padas Ngawi Paron Kedunggalar Jumlah Menara Telkom Jumlah Menara Non Telkom/Radio 4 3 5 3 12 4 7 8 4 5 18 9 14 1 2 1 1 1 4 1 2 1 14 1 1 99 Warnet/ Wifi 3 1 4 4 4 1 8 5 14 15 16 17 18 19 Pitu Widodaren Mantingan Karanganyar Gerih Kasreman JUMLAH 2 17 11 4 3 3 136 1 1 1 1 1 1 36 2 32 Sumber: Dinas perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Ngawi Pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap jumlah menara telekomunikasi yang ada, sebagaimana dituangkan dalam tabel berikut: Tabel: Rekapitulasi Jumlah Menara telekomunikasi dan Non telekomunikasi pada tiap Kecamatan di Kabupaten Ngawi (sampai dengan pertengahan tahun 2012) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 JUMLAH Kecamatan Sine Ngrambe Jogorogo Kendal Geneng Kwadungan Pangkur Karangjati Bringin Padas Ngawi Paron Kedunggalar Pitu Widodaren Mantingan Karanganyar Gerih Kasreman Jumlah Menara Telkom 8 7 10 5 21 5 7 12 9 5 25 17 19 10 20 15 8 11 9 223 Sumber: Dinas perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Ngawi 100 Jumlah Menara Non Telkom/Radio 3 5 4 3 3 8 3 2 1 1 20 2 1 3 2 1 2 1 3 68 Pengaturan mengenai menara telekomunikasi cukup lengkap, dan dituangkan dalam beberapa peraturan daerah. Peraturan daerah yang mengatur mengenai pengendalian menara telekomunikasi di Kabupaten Ngawi diantaranya: c. Peraturan Bupati Kabupaten Ngawi No. 11 Tahun 2010 tentang Penataan, Pembangunan dan Pengoperasian Menara telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Ngawi; d. Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi No. 20 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ((Lembaran Daerah Kabupaten Ngawi Tahun 2010 Nomor 20). Pengaturan Menara Telekomunikasi di Ngawi menarik untuk dianalisa lebih lanjut, penataan, pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Nagwi hanya diatur dalam bentuk Peraturan Bupati. Berdasarkan terori peraturan perundang-undangan, peraturan Bupati merupakan produk hukum yang hanya bisa mengatur tata cara atau prosedur teknis dan tidak bisa memberikan beban (kewajiban) pada masyarakat. Produk hukum yang memberikan beban/kewajiban bagi masyarakat haruslah dituangkan dalam produk hukum yang mendapatkan persetujuan DPRD selaku wakil rakyat, yaitu Peraturan Daerah. Didalam Peraturan Bupati Kabupaten Ngawi No. 11 Tahun 2010 tersebut mengatur mengenai: a. b. c. d. e. Rencana induk Menara Telekomunikasi terpadu Penetapan Zona Menara TP3MT Penggunaan Menara terpadu Ketentuan Perizinan: - Izin Pengusahaan Menara Telekomunikasi Terpadu; - Izin Gangguan Menara Telekomunikasi; - Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Menara; dan - Izin Operasional Menara Telekomunikasi Terpadu. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bupati No 11 tahun 2010 tersebut bukanlah materi muatan dari Peraturan Bupati melainkan materi muatan dari Peraturan Daerah. 101 Menarik untuk dianalisa lebih lanjut bahwa Kabupaten Ngawi juga memiliki Peraturan mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Hal ini mengingat Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mensyaratkan bahwa segala jenis pungutan kepada masyarakat haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Terkait dengan tim teknis penataan menara telekomunikasi, di Kabupaten Ngawi teleh terdapat TP3MB, dimana bertugas untuk melakukan kajian teknis terhadap: a. b. c. d. Desain; Penataan pembangunan; memberikan masukan dan saran atas pemberian izin pembangunan dan pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama; dan Asistensi terhadap Bupati dalam melakukan pembinaan, pengendalian da pengawasan terhadap pembangunan dan pengoperasian Menara Telekomunikasi Bersama di Daerah 56. Berbeda dengan peraturan daerah di wilayah lain, kabupaten Ngawi telah menetapkan 4 izin yang berkaitan dengan menara, dimana tim TP3MB mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi atas permohonan perizinan tersebut. Perizinan yang dimaksud adalah Izin Pengusahaan Menara Telekomunikasi Terpadu; Izin Gangguan Menara Telekomunikasi; Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Menara; dan Izin Operasional Menara Telekomunikasi Terpadu Peraturan daerah Kabupaten Ngawi No. 20 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi juga mengatur mengenai sanksi administrasi yang dapat diterapkan terhadap pelanggaran peraturan daerah ini yaitu: a. Peringatan tertulis b. Pembekuan izin an rekomendasi (penyegelan) c. Pembongkaran 57 56 57 Pasal 4 Peraturan Bupati No 11 tahun 2010 Pasal 45 Perda No. 20 Tahun 2010 102 Terkait dengan ketentuan zonasi, Kabupaten Ngawi telah membagi wilayahnya menjadi 6 zona untuk pendirian menara, rincian ke-6 zona pendirian Menara Telekomunikasi tersebut diantaranya: Pembagian Zona berdasar Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Existing Menara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Wilayah Kec. Sine Kec. Gerih Kec. Geneng Kec. Paron Kec. Karangjati Kec. Bringin Kec. Padas Kec. Mantingan Kec. Widodaren Kec. Kedunggalar Kec. Sine Kec. Ngrambe Kec. Jogorogo Kec. Kendal Kec. Kwadungan Kec. Pangkur Kec. Kasreman Kec. Pitu Kec. Karanganyar Jumlah Luas Wilayah (Km2) 70.56 34.52 52.52 101.14 66.67 62.67 50.25 57.14 88.93 147.14 80.22 57.22 65.84 84.56 30.30 29.41 31.46 56.01 147.14 1.295.98 Jumlah Penduduk (Jiwa) 84.076 37.420 55.729 89.362 47.969 32.392 33.716 41.821 70.953 31.251 46.599 42.186 91.284 50.697 28.662 28.514 23.974 28.214 31.25 889.224 Kepadatan (Jiwa/Km2) 1.192 1.084 1.061 884 719 517 671 732 802 212 581 734 527 600 946 970 762 504 212 686 ZONA I KECAMATAN ( NGAWI, GERIH, GENENG, PARON) No Wilayah 1. Kec.Ngawi Jumlah menara (buah) 26 28 Luas wilayah (Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) 70.56 84.076 103 Lokasi penempatan menara kelurahan Margomulyo Kelurahan Ketanggi Kelurahan Karangtengah 2. Kec. Gerih 6 8 34.52 37.420 3. Kec. Geneng 16 18 52.52 55.729 4. Kec. Paron 16 18 101.14 89.362 JUMLAH Desa Beran , Desa Jururejo Desa Karangtengah prandon Desa Ngawi , Desa Kartoharjo Desa Watualang Desa. Widodaren Desa Guyung Desa Randu Songo Desa Geneng Desa Tambakromo Desa Keraswetan Desa Keniten Desa Tepas Desa Klitik Desa Gelung Desa Kebon Desa Teguhan Desa Jambangan Desa Semen Desa Gentong Desa Tempuran 64 ZONA II KECAMATAN (KARANGJATI, BRINGIN, PADAS) No Wilayah 1. Kec. Karangjati Jumlah menara (buah) 8 10 Luas wilayah (Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) 66.67 47.969 2 Kec. Bringin 4 6 62.67 32.392 3. Kec. Padas 12 14 50.25 33.716 104 Lokasi penempatan menara Desa Sembung Desa Legundi Desa Sidokerto Desa Sawo Desa Jatipuro Desa Dungmiri Desa Puhti Desa Bringin Desa Dero Desa Mojo Desa Legowetan Desa Padas Desa Sambiroto Desa Kedungprahu Desa Kwadunganlor Desa Sukowijono JUMLAH 24 ZONA III KECAMATAN (MANTINGAN, WIDODAREN, KEDUNGGALAR No Wilayah 1. Kec.Mantingan Jumlah menara (buah) 14 16 2. Kec. Gerih 6 8 34.52 37.420 3. Kec. Geneng 16 18 52.52 55.729 JUMLAH Luas wilayah (Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) 70.56 84.076 Lokasi penempatan menara Kelurahan Margomulyo Kelurahan Ketanggi Kelurahan Karangtengah Desa Beran , Desa Jururejo Desa Karangtengah Prandon Desa Ngawi , Desa Kartoharjo Desa Watualang Desa Widodaren Desa Guyung Desa Randu Songo Desa Geneng Desa Tambakromo Desa Keraswetan Desa Keniten Desa Tepas Desa Klitik 64 ZONA IV KECAMATAN (SINE, NGRAMBE, JOGOROGO, KENDAL) No Wilayah 1. Kec.Sine Jumlah menara (buah) 6 6 Luas wilayah (Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) 80.22 46.599 105 Lokasi penempatan menara Desa Sine Desa Girikerto Desa Ketanggung 2. Kec. Ngrambe 6 8 54.49 42.186 3. Kec. Jogorogo 8 10 65.84 41.284 4. Kec. Kendal 6 8 84.56 50.697 JUMLAH Desa Tulakan Desa Sumberejo Desa Kuniran Desa. Ngrambe Desa Tawangrejo Desa Sambirejo Desa Wakah Desa Giriharjo Desa Hargomulyo Desa Dawung Desa Jogorogo Desa Brubuh Desa Umbulrejo Desa Jaten Desa Girimulyo Desa Kendal Desa Majasem Desa Ngrayudan Desa Simo 26 ZONA V KECAMATAN (KWADUNGAN, PANGKUR) No Wilayah 1. Kec.Kwadungan Jumlah menara (buah) 10 12 2. Kec. Pangkur 5 JUMLAH 15 8 Luas wilayah (Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) 30.30 28.662 29.41 106 28.514 Lokasi penempatan menara Desa Kwadungan Desa Waruk Kalong Desa Kendung Desa Purwosari Desa Dinden Desa Simo Desa Pangkur Desa Paras Desa Poh Konyal Desa Waruk Tengah ZONA VI KECAMATAN (KASREMAN,PITU,KARANGANYAR) No Wilayah 1. Kec. Kasreman Jumlah menara (buah) 4 6 2. Kec. Pitu 4 6 36.01 28.214 3. Kec. Karanganyar 6 8 147.14 31.251 4. Kec. Paron 16 JUMLAH 18 Luas wilayah (Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) 31.46 23.974 101.14 89.362 Lokasi penempatan menara Desa Karangmalang Desa Legokulon Desa Cangakan Desa. Ngancar Desa Papungan Desa Pitu Desa Karanganyar Desa Sriwedari Desa. Klitik Desa Gelung Desa Kebon Desa Teguhan Desa Jambangan Desa Semen Desa Gentong Desa Tempuran 64 Dengan ketentuan Zonasi tersebut lebih memudahkan pemerintah kabupaten Ngawi untuk melakukan penataan perizinan serta melakukan pengawasan dan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi e. Kabupaten Tulungagung Daerah lain di wilayah Provinsi Jawa Timur yang telah mengatur mengenai Pengendalian Menara Telekomunikasi dalah Kabupaten Tulungagung. Pengaturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2010 Nomor 02 Seri C). Tujuan penataan membangun menara agar sesuai dengan tata ruang wilayah Kabupaten Tulungagung. 107 Penyelenggaraan pengendalian menara di Tulungagung, melandaskan pada asas : a. kaidah tata ruang; b. kemanfaatan keberlanjutan; c. keselamatan; d. keselarasan dan keserasian; e. kepastian hukum, adil dan merata; dan f. estetika 58. Dalam peraturan daerah ini terdapat kewajiban oleh pemilik, penyedia dan Pemilik, penyedia, dan/atau pengelola menara wajib melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan menara secara berkala setiap tahun. Hasi; dari pemeriksaan tersebut dilaporkan kepada Bupati melalui instansi teknis 59. Ketentuan ini membedakan pengaturan pengendalian menara di Tulungagung dan di daerah lainnya, dimana meletakkan tanggungjawab/kewajiban untuk melakukan melakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan menara secara berkala setiap tahun kepada penyedia dan/atau pengelola menara yang hasilnya akan dilaporkan ke Bupati. Dalam hal ini akan rawan sekali adanya kecurangan, ada kemungkinan pelaporannya dibuat bagus dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Seharusnya kewajiban untuk melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan secara berkala tidak hanya semata-mata dibebankan pada penyedia dan/atau pengelola menara, namun juga menjadi kewajiban dari pemerintah daerah untuk melakukan pengecekan dan memastikan kelaikan fungsi bangunan menara. Hal ini merupakan bagian dari fungsi pemerintah daerah untuk melindungi masyarakatnya dari kemungkinan ketidaklayakan bangunan menara dan bahaya-bahaya lain yang mungkin timbul dari ketidaklayakan tersebut. Fungsi pengawasan dilakukan oleh Tim Pengawasan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi yang dibentuk oleh Bupati 60. Arah kebijakan di Kabupaten Tulungagung sejalan dengan Kabupaten/kota lain yang menjadi sample pada penelitian ini, yaitu dengan menerapkan pemanfaatan menara telekomunikasi 58 Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 60 Pasal 18 Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 59 108 bersama berdasarkan SKB. Penggunaan menara telekomunikasi secara bersama diwajibkan untuk menara telekomunikasi yang baru dibangun dan disarankan untuk menara telekomunikasi existing, sehingga diharapkan semua menara telekomunikasi yang ada di Tulungagung akan digunakan secara bersama. Pemanfaatan menara telekomunikasi bersama tersebut diatur dalam pasal 14 perda a quo, yang selengkapnya berbunyi; (1) Untuk efisiensi dan efektifitas penataan ruang, khusus untuk menara telekomunikasi dari tahap awal rencana pembangunan harus diarahkan untuk penggunaan menara secara bersama. (2) Ketentuan penggunaan bersama menara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk : a. menara yang digunakan untuk keperluan jaringan utama; dan/atau b. menara yang dibangun pada daerah-daerah yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi atau daerah-daerah yang tidak layak secara ekonomis. (3) Penyedia menara atau pengelola menara wajib memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada penyelenggara telekomunikasi untuk menggunakan menara secara bersama-sama sesuai kemampuan teknis menara. (4) Setiap pembangunan menara telekomunikasi yang digunakan sebagai menara telekomunikasi bersama berupa menara telekomunikasi yang dapat digunakan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) operator telekomunikasi dan desain konstruksi menaranya harus mendapatkan persetujuan dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk. V.6. Model Hukum Pengaturan Kebijakan Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi A. Daya mengikat Peraturan Bersama Menteri Pada tanggal 17 Maret 2008, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/ M.KOMINFO/3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi (selanjutnya disingkat P3MBT). Pemberlakuan P3MBT didasarkan pada pertimbangan: “Menara Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang 109 utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan Menara Telekomunikasi harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika lingkungan”. Pada tahun 2009 Menteri Komunikasi bersama dengan Menteri Pekerjaan umum dan Mendagri menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (selanjutnya disebut Peraturan Bersama Menteri). Peraturan Bersama Menteri inilah yang akhirnya menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan penataan pertumbuhan menara telekomunikasi di wilayahnya. Problematika hukum yang lahir pasca P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri tersebut, antara lain, apakah pemerintah kabupaten/kota wajib tunduk dan mematuhi peraturan menteri tersebut. Hal itu terjadi karena di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peruandang-Undangan, Peraturan Menteri tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sedangkan peraturan daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam hal pemerintah kabupaten/kota terikat dan harus tunduk pada P3MBT tersebut, Pasal 4 P3MBT menegaskan: Pasal 4 i. ii. iii. Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah Daerah dalam menyusun pengaturan penempatan Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan aspekaspek teknis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan prinsip-prinsip penggunaan Menara Bersama. Pengaturan penempatan lokasi Menara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan dengan melibatkan peran masyarakat dalam menentukan kebijakan untuk penataan ruang yang efisien dan efektif demi kepentingan umum. Secara substantif, sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak P3MBT tersebut, sehingga seandainya P3MBT tersebut diwadahi dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai peraturan 110 pelaksanaan UU Telekomunikasi, sudah barang tentu pemerintah kabupaten/kota akan tunduk kepadanya. Oleh karena itu, untuk memastikan tingat kepatuhan hukum terhadap pengaturan menara telekomunikasi yang bersesuaian dengan maksud dantujuan P3MBT, ke depan perlu dipertimbangkan agar pengaturan tentang P3MBT seperti itu dimuat dalam Peraturan Pemerintah. Salah satu argumennya, bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menegaskan: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya”. Artinya, Peraturan Pemerintah secara konstitusional diberi kedudukan sebagai peraturan organik untuk menjalankan undang-undang, sehingga P3MBT sebagai instrument pelaksanaan UU Telekomunikasi menjadi konstitusional apabila diwadahi dalam bentuk peraturan pemerintah. Dalam praktik pembuatan peraturan daerah tentang menara telekomunikasi oleh beberapa pemerintah kabupaten/kota P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri tersebut dirujuk untuk diposisikan sebagai salah satu konsideran yuridis. Hal demikianitu bermakna bahwa peraturan daerah tersebut mengakui, mengindahkan P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri. Namun, apabila ada pemerintah kabupaten/kota tidak mau mengakui dan mengindahkannya, maka Menkominfo tidak memiliki wewenang untuk memaksakan P3MBT dan Peraturan Bersama Menteri tersebut. Hal itu memicu munculnya disharmoni peraturan daerah tentang menara telekomunikasi antara kabupaten/kota yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini ditawarkan agar muatan materi seperti yang tertuang di dalam P3MBT itu dimuat dalam peraturan pemerintah. Hasil kajian terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pembangunan Dan Penataan Menara Telekomunikasi Bersama, Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Penataan Dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama, Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi menunjukkan hasil bahwa susbstansi P3MBT diadopsi ke dalam perda-perda tersebut. Berkaitan dengan persoalan harmonisasi, Ryaas Rasyid menyarankan agar Permenkominfo ditingkatkan statusnya menjadi Peraturan Presiden (Perpres). Hal ini agar setiap Perda mengacu pada Perpres tersebut. Walaupun Pemda punya kewenangan, tapi tidak boleh dijadikan ajang monopolis dan menciptakan diskriminasi. Peraturan Menteri 111 (Permen) tidak bisa dijadikan dasar untuk membuat Perda. Pasalnya, Permen bersifat internal dan teknis, sehingga Menteri tidak bisa menjatuhkan sanksi pada pihak lain di luar departemen B. Model Hukum Pengendalian Penataan Menara Telekomunikasi Merujuk pada hasil kajian dari penelitian ini, pengaturan mengenai pengendalian pertumbuhan dan penataan menara telekomunikasi sangatlah diperlukan. Pemerintah daerah mendapatkan kewenangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 tahun 2007 untuk melakukan penataan terhadap wilayah ruangnya dalam bentuk hukum Rencana Tata Ruang Wilayah. Terkait dengan menara telekomunikasi, daerah mendapatkan kewajiban untuk menyusun pengaturan penempatan lokasi menara yang akhirnya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Namun secara hukum, terdapat kelemahan mendasar dalam pengaturan ini, Peraturan Menteri TIDAK dapat membebani daerah, mngikat daerah ataupun memberi kewajiban kepada daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pasal 8 menjelaskan kedudukan mengikat peraturan menteri, bahwa peraturan menteri baru dianggap sebagai peraturan perundang-undangan apabila diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi. (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Tata urutan peraturan perundang-undangan (jenis dan hierarki) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah: 112 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Permasalahan mendasar dalam pengaturan pengendalian dan penataan menara telekomunikasi adalah bentuk hukum yang menjadi dasar dalam pengaturan dan pemberian kewajiban kepada daerah untuk menyusun peraturan tentang pengendalian menara telekomunikasi di wilayahnya. Undang-Undang tentang Telekomunikasi jo. Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2000 tidak berbicara secara spesifik tentang Menara Telekomunikasi. Mengingat karateristik menara telekomunikasi yang multi aspek, maka pengaturan kewajiban pemerintah daerah untuk membentuk aturan bagi pengendalian menara telekomunikasi di wilayahnya haruslah minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersendiri dan tidak bisa merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000. Lebih baik apabila peraturan tersebut dapat dituangkan dalam aturan Undang-Undang tersendiri, karena menara telekomunikasi lebih terkait dengan penyediaan bangunan dan jaringan untuk mendukung penyediaan telekomunikasi bagi masyarakat, namun mengingat pembuatan Undang-Undang membutuhkan proses yang panjang maka pengaturan tersebut bisa dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Pengaturan model hukum mengenai Menara Telekomunikasi dalam suatu UndangUndang/ Peraturan Pemerintah tersendiri sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang mengakui keberadaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagai salah satu bentuk Retribusi Jasa Umum. Dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Menara Telekomunikasi, maka dengan bentuk hukum ini dapat memberikan kewajiban dan menjadi dasar hukum bagi daerah untuk menyusun Peraturan Daerah tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi. Keberadaan peraturan pemerintah ini sangat penting dan sangat dibutuhkan sebagai landasan 113 hukum peraturan daerah yang telah lahir selama ini di daerah-daerah mengenai pengendalian menara telekomunikasi. Terkait dengan pengaturan pengendalian dan penataan menara telekomunikasi pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu mengusulkan terhadap pemerintah pusat perihal perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai Pengendalian Menara Telekomunikasi. Terbitnya peraturan pemerintah ini akan menjadi landasan bagi Pemerintah Provinsi untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pertumbuhan Menara Telekomunikasi di Jawa Timur yang memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota di wilayah Jawa Timur untuk mengatur menara telekomunikasi di wilayahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayahnya. Pengaturan tersebut dapat dijadikan rujukan/ standarisasi model pengendalian pertumbuhan yang bisa dilakukan oleh kabupaten/kota. Model Hukum Pengaturan Pengendalian dan Penataan Menara Telekomunikasi yang terintegrasi Peraturan Bersama Menteri tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi Perlu diubah menjadi bentuk hukum Peraturan Pemerintah Tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi 114 Mendatang, Peraturan Pemerintah perlu ditingkatkan pengaturannya menjadi Undang-Undang mengenai Pengendalian Menara Telekomunikasi Peraturan Pemerintah Outputnya Instrumen: a. Zonasi Pengaturan Pengendalian dan Penataan Menara Telekomunikasi yang terintegrasi b. IMB Menara c. Perizinan d. Menara telekomunikasi bersama e. Instrumen ekonomik Peraturan Daerah Provinsi Implementasi Pengaturan tentang Pengendalian dan Penataan Menara Telekomunikasi di daerah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 115 BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan: 1. Pengaturan mengenai Penataan Menara Telekomunikasi penting untuk menjamin hak manusia akan komunikasi serta untuk menjamin kepastian bisnis yang terkait dengan menara telekomunikasi. Oleh karenanya, pengaturan tentang ini perlu untuk mengendalikan pertumbuhan menara telekomunikasi di wilayah daerah kabupaten/kota, agar pertumbuhan tersebut sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah yang juga telah disinergiskan dengan Rencana Tata Ruang Nasional. 2. Kewenangan daerah untuk mengatur penataan menara telekomunikasi, mendasarkan pada kewenangan daerah untuk melakukan penataan di wilayahnya berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota. 3. Dalam melakukan penataan menara telekomunikasi, pemerintah daerah dapat menerapkan beberapa instrument hukum meliputi instrument zonasi, penerbitan izin mendirikan bangunan menara, perizinan dan dokumen lainnya, kebijakan pemanfaatan telekomunikasi bersama dan instrument ekonomik. Dari ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 hanya menegaskan kewenangan daerah untuk menggunakan instrument penerbitan izin mendirikan bangunan menara, dan instrument ekonomis. 4. Terkait dengan dasar hukum penggunaan isntrumen hukum berupa zonasi dan kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama hanya diatur dalam bentuk hukum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan 116 Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Problematika hukum timbul atas daya mengikat dari aturan tersebut terhadap pelaksanaan kebijakan zonasi di daerah apabila ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena kedua peraturan menteri tersebut tidak terlebih dahulu diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi, sehingga keduanya tidak termasuk dalam tata urusan peraturan perundang-undangan. VI.2. Rekomendasi Dalam rangka pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi terintegrasi, diperlukan beberapa hal, antara lain: a. Standarisasi teknis bangunan menara telekomunikasi di Indonesia serta standarisasi aspek legal dan administrasi pada usaha jasa penyewaan menara, baik antara operator telekomunikasi sebagai penyewa dengan Tower Leasing Provider (TLP), maupun antara TLP dengan pemilik lahan. b. Daerah mengutamakan penggunakan instrument ZONASI dan Kebijakan pengggunaan menara telekomunikasi bersama dalam rangka pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi di wilayah daerah agar dapat selaras dengan peruntukan ruang daerah. c. Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Menara Telekomunikasi Bersama sebagai acuan yang dipatuhi bagi peraturan di bawahnya (Peraturan Daerah) sehingga acuan perda menjadi lebih jelas, dimana substansi dari peraturan ini mencakup standarisasi kebijakan zonasi dan pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama. 117 DAFTAR PUSTAKA Buku: Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, cetakan kedua, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010 Black, Henry Champbell, Black’s Law Dictionary, west Publishing, 1990. B.J.M ten Berge, Besturen door de overhead, W.E.J Tjeen Willink, Netherlands instituut voor Sociaal en Economic Recht NISER, 1996 Djatmiati, Tatiek S, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2004 -------------------, Pelayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta,Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009 Friedman Wolfgang, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens, Sons, London, 1971 Hadjon, P. M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Peradaban, 2007 ------------------et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press, 1993 ------------------Kebutuhan Akan Hukum Administrasi dalam buku Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, 2010 Jan Gissels dan Mark Van Hoeke, Rechtswetwnschappen, 1982 Jimmly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, 2009 Lotulung, Paulus Effendie, Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dalam Korelasinya Dengan Hukum Administrasi, dalam Buku Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010 Martin Scheinin (n.d), Tanggung Jawab Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat dibagi, dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung, Alumni, 1983 H.O. Sano dan G. Alfredsson (ed.), Human Rights and Good Governance, the Netherlands: Kluwer Law International, 2002 Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., 2002, P.P. Craig, Administrative Law, Thomson, Sweet and Maxwell, fifth edition, 2003. Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, 2003 Jurnal/ international publication Jean d'Arcy (1969). Direct Broadcast Satellites and the Right to Communicate. dalam: Right to Communicate: Collected Papers, ed. L. S. Harms, Jim Richstad, and Kathleen A. Kie (Honolulu: University of Hawaii Press, 1977) R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005 William J. McIver, Jr. & William F. Birdsall, Technological Evolution and the Right to Communicate: The Implications for Electronic Democracy, Paper Presented at Euricom Colloquium: Electronic Networks & Democracy, 9-12 October 2002, Nijmegen, the Netherlands. Instrumen Hukum Internasional Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993 Global campaign for Free Expression, STATEMENT on the Right to Communicate, London, February 2003. Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights Quarterly 20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7. Peraturan Perundang-Undangan 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817); 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833); 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851) 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881) 5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4275); 8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038) 9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980); 12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi 13. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi; 14. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi; 15. Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 tentang Penataan Dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama; 16. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan menara Telekomunikasi Bersama; 17. Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; 18. Peraturan Bupati Ngawi Nomor 11 Tahun 2010 Penataan, Pembangunan dan Pengoperasian Menara telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Ngawi; 19. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi.