BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini banyak perusahaan atau organisasi berlomba-lomba untuk menjadi sebuah perusahaan atau organisasi yang menjadi pilihan bagi pegawai dimana perusahaan atau organisasi sekarang berusaha untuk menunjukkan kompetensinya dalam menarik, membangun dan melatih pegawai dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh perusahaan (Joo dan McLean, 2006). Sebuah tempat kerja yang baik dipercaya dapat meningkatkan kualitas produksi barang atau jasa, lebih memungkinkan terjadinya inovasi, memiliki kemampuan untuk menarik pekerja yang lebih bertalenta, lebih tahan terhadap perubahan dan mengurangi biaya turnover karyawan (Levering, 1998). Untuk sebuah organisasi atau perusahaan yang sudah memiliki keunggulan kompetitif pada produk barang atau jasanya maka membutuhkan pekerja yang memiliki komitmen pada perusahaan. Salah satu usaha utuk mencapai tujuan perusahaan adalah adanya partisipasi seluruh karyawan yang diwujudkan dalam suatu bentuk yang disebut komitmen organisasi. Komitmen organisasi adalah aspek penting dalam kehidupan perusahaan, dimana masing-masing karyawan sebagai individu terlibat dalam organisasi perusahaan dan turut memberikan kontribusi (Gibson, 1997). Menurut Allen dan Meyer (1990) Komitmen organisasional merupakan perwujudan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan pekerja dengan organisasi dan memiliki 1 implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi. Menurut Meyer dan Allen (1991) Komitmen organisasional mencakup tiga komponen afektif (keinginan untuk tetap), continuance (gaji yang dirasakan) dan normatif (kewajiban dianggap tetap). Sedangkan menurut Mowday, Steers, dan Porter (1982) komitmen perusahaan mengacu pada perasaan individu masing-masing pekerja yang merasa menjadi satu dengan perusahaan secara utuh atau ikatan pekerja dengan perusahaan. Kesuksesan organisasi tergantung pada kerja keras, loyalitas, dan keterlibatan dari para manajer dan pekerja (Bushra et al., 2011). Salah satu bentuk keterlibatan yang dapat dilakukan manajer atau pimpinan terhadap pekerjanya terdapat dalam konsep pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan berarti memberikan otoritas, tanggung jawab, dan kebebasan untuk bertindak tentang apa yang individu ketahui sehingga dapat memiliki keyakinan, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk mencapai kesuksesan (Huber, 2010). Pemberdayaan merupakan suatu teknik manajemen yang digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan efektivitas organisasi (Laschinger et al., dalam Debora, 2006). Pemberdayaan bertujuan untuk memperbaiki kemampuan diri pekerja, kemampuan untuk mengatasi kesulitan, keinginan untuk bertindak secara lebih bebas dan lebih bertanggung jawab guna mencapai kinerja yang efektif (Huber, 2010). Pemberdayaan dideskripsikan sebagai perwujudan dari empat dimensi orientasi pekerja terhadap peran mereka, yaitu kebermaknaan, kemampuan, determinasi diri, dan dampak (Spreitzer et al, dalam Boonyarit et al., 2010). Konsep pemberian pemberdayaan 2 psikologis (psychological empowerment), yaitu keyakinan karyawan terhadap sejauh apa mereka memiliki lingkungan kerja, kompetensi, makna pekerjaan, dan otonomi dalam pekerjaan, juga sangat berkaitan dengan sikap kerja. Lebih spesifik, pemberdayaan psikologis dicapai dengan meningkatkan keyakinan pekerja akan pentingnya pekerjaan yang mereka lakukan, kapabilitas mereka untuk kesuksesan kerja mereka, determinasi diri mereka, dan otonomi mereka dalam mempengaruhi hasil kerjanya (Hechanova et al., dalam Boonyarit et al., 2010). Jika pemberdayaan telah diterapkan dengan baik, hal ini dapat menciptakan situasi atau lingkungan yang menyediakan alat atau kebebasan bagi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya (Breaugh, dalam Ismail et al., 2011). Kanter (dalam Debora, 2006) berpendapat bahwa bekerja dalam kondisi terberdayakan memiliki dampak yang positif bagi karyawan, yaitu meningkatnya keyakinan diri dan kepuasan kerja, serta motivasi yang lebih tinggi. Drucker (1988) sudah mengungkapkan perkembangan pengetahuan ekonomi dan pentingnya pekerja yang berpengetahuan. Pekerjaan tidak hanya tentang bekerja dan pengetahuan kerja tetapi juga pada manufaktur lebih berorientasi pada pengetahuan, serta mengerti tentang pekerjaan itu secara baik (Parker, Wall, dan Cordery, 2001). Menurut Drucker (1999) mengatakan bahwa pekerja yang memiliki pengetahuan termasuk kedalam pekerja dengan tingkat tinggi yang mengaplikasikan pengetahuan dari pendidikan formal yang mereka dapat dalam membangun produk atau jasa baru. Sedangkan hasil dari metaanalisis tentang desain pekerjaan menyimpulkan bahwa seorang pekerja 3 dengan pekerjaan yang lebih komplek lebih puas dan lebih termotivasi daripada pekerja yang bekerja dengan tingkat kompleksitas rendah (Fried dan Ferris, 1987). Masalahnya sekarang adalah pada supervisor lebih sulit untuk mengawasi pekerja yang pekerjaannya komplek dan sulit (Joo, 2007). Selain itu, karyawan yang merasa mudah kehilangan minat dalam pekerjaan mereka (Csikszentmihalyi, 2003). Sekarang dengan persaingan yang lebih sengit membuat perusahaan semakin siap untuk mengahadapi perubahan dan beradaptasi, karena untuk bertahan dalam dunia bisnis yang semakin sulit, perusahaan harus menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar agar tidak tertinggal oleh para pesaing. Sehingga menyebabkan banyak perusahaan mempelajari budaya untuk membentuk dan mengirimkan informasi dalam bertahan hidup (Garvin, 1993). Budaya pembelajaran organisasional merujuk pada kemampuan organisasi atau perusahan untuk membentuk, menemukan dan mengirimkan pengetahuan kemudian memodifikasi sikap dan budaya untuk menerima pengetahuan baru (Garvin, 1993). Marsick dan watkins (2003) berpendapat bahwa aspek budaya dan iklim terbentuk dari komponen yang kompleks termasuk kepemimpinan, proses pembelajaran dan faktor pendukung sistem lainnya. Dengan demikian, budaya pembelajaran organisasional dapat berpengaruh organisasi. langsung Budaya maupun tidak pembelajaran langsung organisasional dalam komitmen sebagai atribut, kelakuan, kebiasaan, kepercayaan, dan sistem untuk menciptakan, memperoleh, menyebarkan, dan mempertahankan kemampuan serta mempertahankan kelancaran organisasi untuk dapat membangun dan 4 memperkuat budaya yang sudah kuat, timbul keinginan untuk memeriksa elemen-elemen dari sistem yang membentuk budaya pembelajaran. Peneliti melakukan replikasi penelitian dari Joo dan Shim (2010) yang dilakukan di publik sektor Korea. Namun, pada penelitian ini peneliti mereplikasi penelitian tersebut dengan obyek penelitian karyawan Balai kota Surakarta. Balai kota menurut KBBI adalah tempat yang digunakan oleh aparat pemerintah untuk mengadakan rapat atau kegiatan kemasyarakatan lain. Balai kota Surakarta terdiri dari beberapa badan pemerintahan dan organisasi yang berada dalam satu lingkungan kerja serta saling terintegrasi. Dalam SKPD terdapat beberapa kelompok organisasi atau unit kerja yang terbagi dalam beberapa bidang. Terdapat fenomena permasalahan yang sering muncul pada organisasi dalam hal mempertahankan karyawan agar tetap bekerja sesuai dengan tuntutan organisasi. Untuk mengatasi fenomena permasalahan yang sering muncul tersebut pemerintahan Balai kota Surakata mempunyai visi dan misi agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan karyawan memiliki pedoman dalam melakukan pekerjaan sehingga dapat memberikan komitmen yang baik pada Balai kota Surakarta. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Meyer, Allen dan Smith (dalam Rhoades er al, 2001) berpendapat apabila seseorang yang komit secara afektif lebih mungkin untuk mengembangkan perilaku yang sesuai dengan visi dan misi organisasinya, serta lebih mungkin untuk mengikuti perkembangan dalam pekerjaan. Berbeda dengan individu yang memiliki komitmen continuance dan normatif, mereka biasanya kurang terlibat dalam 5 aktivitas-aktivitas keorganisasian maupun pekerjaan. Atas dasar itulah penelitian ini lebih memfokuskan pada komponen komitmen afektif, karena sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa komitmen organisasi afektif mengindikasikan loyalitas serta sikap individu karyawan untuk menjalankan tujuan dan nilai-nilai perusahaan tanpa adanya paksaan dan pamrih lainnya yang diharapkan. Semakin banyak karyawan yang diberdayakan, maka lebih tinggi mereka berkomitmen untuk organisasi mereka, serta meningkatkan proses budaya pembelajaran organisasional. Hal ini diungkapkan pada penelitian terdahulu oleh Joo dan Shim (2010). Dari penelitian sebelumnya mendukung kebutuhan sebuah organisasi untuk melakukan pemberdayaan, sebuah organisasi yang penting bagi khalayak umum dan memiliki peran strategis adalah organisasi yang berada di Balai kota Surakarta karena organisasi-organisasi tersebut yang akan melayani masyarakat umum sehingga karyawan Balai kota Surakarta harus memiliki pemberdayaan yang kuat agar berkomitmen pada organisasi dan melakukan pekerjaan dengan baik. Berdasar latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian replikasi dari Joo dan Shim (2010) sehingga judul penelitian ini adalah “Pengaruh Pemberdayaan Psikologis pada Komitmen Organisasional Pembelajaran yang Organisasional Surakarta)” 6 dimoderasi (Studi karyawan oleh Balai Budaya Kota B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah setiap dimensi pemberdayaan psikologis berpengaruh pada komitmen organisasional? 2. Apakah budaya pembelajaran organisasional memoderasi pengaruh dimensi pemberdayaan psikologis pada komitmen organisasional? C. Tujuan Penelitian Berdasar dari rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai yaitu : 1. Untuk menguji pengaruh dimensi pemberdayaan psikologis pada komitmen organisasional. 2. Untuk menguji budaya pembelajaran organisasional yang memoderasi pengaruh pemberdayaan psikologis pada komitmen organisasional. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan adalah bahwa seluruh tahapan penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan atau wawasan tambahan bagi peneliti mengenai Pengaruh Pemberdayan Psikologis pada Komitmen 7 Organisasional yang dimoderasi oleh Budaya Pembelajaran Organisasional. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa seluruh tahapan penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Balai Kota Surakarta, seputar persepsi pemberdayaan psikologis, komitmen organisasional dan budaya pembelajaran organisasional. 8