KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :98 / Pid.Sus/2012/PN.Bjn) SKRIPSI Disusun Oleh : SUBHAN KURNIA FIRDHAUSYAH E1A109021 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :98 / Pid.Sus/2012/PN.Bjn) SKRIPSI Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh : SUBHAN KURNIA FIRDHAUSYAH E1A109021 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i ii PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini saya: Nama : Subhan Kurnia F NIM : E1A109021 Judul penelitian : Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Anak Dalam Tindak Pidana Pencabulan (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 98 / Pid.Sus/2012/Pn.Bjn). Menyatakan bahwa penelitian ini adalah hasil karya skripsi dan di dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah tertulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Purwokerto, Agustus 2014 Subhan Kurnia F iii KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya serta kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :98 / Pid.Sus/2012/PN.Bjn). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini.Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada: 1. Dr. Angkasa,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Handri Wirastuti Sawitri,S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini. 3. Pranoto,S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini. 4. Kepada kedua orang tua saya yang telah banyak memberikan dukungan baik materiil maupun segalanya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu serta kakak saya Subhan Rizky Firdhausyah yamg selalu memotivasi saya dan juga iv Om Nur Said dan Tante Sri Lestari yang telah banyak membantu menyeleseikan study saya, sehingga saya menjadi sarjana. Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan.Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Purwokerto, Agustus 2014 Subhan Kurnia F v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii SURAT PERNYATAAN .......................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................... iv DAFTAR ISI .............................................................................................. vi ABSTRAK ................................................................................................. viii ABSTRACT ............................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6 D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ..................... 7 B. Asas–Asas Hukum Acara Pidana ........................................ 9 C. Pembuktian .......................................................................... 22 a. Pengertian dan Tujuan Pembuktian ................................ 22 b. Sistem Pembuktian ......................................................... 25 D. Alat Bukti Menurut KUHAP .............................................. 30 E. Pencabulan ........................................................................... 56 F. Anak Dibawah Umur ........................................................... 66 vi BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ............................................................. 70 B. Spesifikasi Penelitian........................................................... 70 C. Sumber Data ........................................................................ 70 D. Metode Pengumpulan Data ................................................. 72 E. Metode Penyajian Data........................................................ 72 F. Metode Analisis Data .......................................................... 72 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................... 73 B. Pembahasan ......................................................................... 90 BAB V PENUTUP A. Simpulan .............................................................................. 107 B. Saran .................................................................................... 108 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. ..........110 vii ABSTRAK Proses pembuktian menjadi pertimbangan Hakim dalam menentukan seorang terdakwa terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak, salah satu proses dalam pembuktian adalah mendengarkan keterangan saksi korban, hal ini yang mendorong Penulis melakukan penelitian dengan judul Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Anak Dalam Tindak Pidana Pencabulan (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi korban anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn dan juga bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder dan wawancara sebagai penunjang data sekunder. Data disajikan dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini adalah kekuatan pembuktian keterangan saksi korban Anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. Keterangan saksi korban anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak mempunyai nilai pembuktian karena tidak memenuhi syarat formil yaitu tidak mengangkat sumpah. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn, sudah adanya minimal dua alat bukti yaitu adanya keterangan saksi dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor 445/775-RM-2011 juga sudah dipertimbangkan keterangan terdakwa yang mengakui perbuatannya sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa sebagai pelaku tindak pidana serta Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa. Kesimpulan Penelitian ini adalah keterangan saksi korban anak dalam tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak mempunyai nilai pembuktian karena tidak memenuhi syarat formil yaitu tidak mengangkat sumpah. Kata kunci: Pembuktian, Saksi korban Anak , Tindak pidana pencabulan viii ABSTRACT Judge proving process into consideration in determining a defendant convicted of a crime or not, in the process of proving one is listening to witness testimony of victims, it is encouraging authors conducted research with the title The testimony of Proof Strength In Crime Child Victims of abuse (Juridical Review on Decision Number: 98 / Pid.Sus / 2012 / PN.Bjn). The problem in this study is how the strength of evidence in the child victim witnesses Decision Number: 98 / Pid.Sus / 2012 / PN.Bjn and also how a basic consideration in imposing criminal judge in Decision No. 98 / Pid.Sus / 2012 / PN. bjn. The method used in this study is normative, the data sources in the form of secondary data and interviews as supporting secondary data. The data presented in the form of description in stacking systematically with qualitative analysis. The result of this research is proving the power of the Son of victim witnesses in Decision No. 98 / Pid.Sus / 2012 / PN.Bjn. Victims of child witness testimony in Decision No. 98 / Pid.Sus / 2012 / PN.Bjn. not have the force of proof or no probative value because it has no formal qualify ie not take the oath. Dropping Basic Considerations in Criminal Justice in Decision No. 98 / Pid.Sus / 2012 / PN.Bjn, already the existence of at least two items of evidence, namely the testimony of witnesses and documentary evidence in the form of Visum et Repertum No. 445/775-RM-2011 has also been considered testimony that the defendant confessed that judges gain confidence that a criminal defendant as well as the judges also consider the aggravating and relieve the defendant. Conclusion This study is the child victim witnesses did not have the strength of evidence or because it has no probative value does not meet the formal requirements that do not take the oath. Keywords: Evidence, Witness Child victims, criminal acts of abuse ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara menegakan hukum pidana. Menurut Darwan Prints 1 hukum acara pidana adalah: “Hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan Hukum Pidana Materiil, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.” Tujuan Hukum acara pidana untuk mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengakapnya. Hal ini diterangkan oleh Andi Hamzah2, yaitu: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada 1 2 pemeriksaan keterangan saksi.Sekurang-kurangnya di samping Darwan prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta : Djambatan, 1989, hal 2. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal. 1-8. 2 pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.3 Keterangan saksi memiliki posisi penting dalam pembuktian perkara pidana sebagaimana terlihat dalam penempatannya pada Pasal 184 KUHAP, yang menyatakan bahwa keterangan saksi adalah alat bukti utama.Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkarayang sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib mendapat jaminan pendidikan, hal ini diatur dalam UUD1945 dan Pancasila sebagai dasar pemikiran hal tersebut.Sangatlah penting diperlukan pembinaan yang signifikan terhadap anak-anak yang putus sekolah serta anak yang kurang mampu agar mereka tidak terjerumus dalam lubang hitam lingkaran kejahatan yang senantiasa membayangi mereka kelak mereka dewasa nantinya.Jangan sampai anak yang menjadi bakal penerus bangsa ini justru menjadi pelaku maupun korban tindak pidana yang tidak pantas untuk perkembangan pada masanya. Lembaga yang melindungi anak, harusnya melindungi mereka yang notabene baik menjadi korban tindak pidana maupun mereka yang menjadi pelaku tindak pidana, sehingga diharapkan kedepan mereka mampu memberikan kontribusi yang jauh lebih baik. Perlindungan anak yang 3 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal. 286. 3 harusnya mengawasi jalannya peradilan anak harusnya memberikan dukungan, baik pada korban maupun pelaku tindak pidana anak,sehingga dalam proses putusan hukum hakim dapat mempertimbangkan masa depan anak tersebut, sehingga terciptalah keadilan bagi pelaku maupun korban tindak pidana. Karena bagaimanapun anak merupakan tumpuan dan harapan bangsa ini agar semakin maju dan terus berkembang ke depannya, tanpa mereka siapa yang akan membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan terhadap anak ialah pencabulan yang diatur dalam Buku ke II title XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Peradilan Anak. Suatu keberhasilan dalam melindungi anak bangsa merupakan cermin menurunnya angka kriminialitas yang disebabkan oleh anak yang masih dibawah umur,yang ditandai dengan menurunnya angka tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang notabene masih dibawah umur,hak-hak setiap anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merumuskan: 4 “Hak-hak setiap anak untuk dapat hidup, berkembang,tumbuh dan berpartisipasi seecara optimal sesuai dengan harkat,martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan tanpa diskriminasi”. Pasal 3 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak lebih diperjelas lagi bahwa : “Perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,berkembang ,tumbuh dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat,martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dan tanpa diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”. Undang-undang yang mengatur tentang pencabulan terhadap anak dalam Pasal 290 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merumuskan : “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin”. Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai pencabulan, yaitu rumusannya adalah: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Seharusnya hakim dalam memberikan suatu putusan harus melihat dampak yang ditimbulkan oleh putusannya, tidak hanya melihat dari satu sisi. Misalkan dalam pencabulan, hakim harus melihat keterangan-keterangan 5 semua saksi tak terkecuali keterangan saksi korban yang dalam hal ini (pencabulan) masih dibawah umur serta masih diragukan dan belum terbukti kebenarannya sebelum diadakannya sumpah. Akan tetapi saksi korban yang masih dibawah umur hanya memberikan keterangan tanpa disumpah terlebih dahulu. Hal ini menjadi rancu ketika saksi korban yang menjadi korban harus disumpah tetapi ternyata keterangan tidak dibawah sumpah. Hal ini yang mendorong Penulis melakukan penelitian dengan judul Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Anak Dalam Tindak Pidana Pencabulan (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn). B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan di atas, maka penulismerumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi korban anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn? 2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi korban anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. 6 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalammenjatuhkan pidanadalam Putusan Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang kekuatan pembuktian keterangan saksi korban anak. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi pengetahuan tentang kekuatan pembuktian keterangan saksi korban anak. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.4 Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain. Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut : 4 Andi Hamzah. Hukum Grafika.2001.Hal. 4. Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar 8 J. Dc Bosch Kemper5 Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan, undang-undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana Undang-undang pidana itu dilanggar. R. Soesilo6 Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh kaputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan. “Menurut Van Bemmelen7 Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum pidana materiil”. Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi Hamzah, mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah : “Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 5 Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,1986,Hal 16. 6 R Soesilo,Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3 7 R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito.1983.Hal. 11. 9 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib”. Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen 8 dikatakan lebih lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja. Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana. Menurut R. Soesilo9, tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai berikut: “Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.” B. Asas-asas Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan. Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum 8 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6. Ibid. Hal. 19. 9 10 sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum. Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada pihak yang berperkara. Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie semakin ditekankan dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e dikatakan: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” 11 Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3). Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan. 12 Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Menurut Yahya Harahap10 menjabarkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut : 1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan. 3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyatanyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolakbalik, tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan. b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence). Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf c yang merumuskan : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” 10 M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I).,Jakarta : Pustaka Kartini,2001, Hal 54. 13 Menurut M. Yahya Harahap11 menyatakan pendapatnya yaitu : “Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”. c. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP). Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : 11 Ibid. Hal. 38. 14 a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundangini untuk bertindak sebagai penuntut umum sertamelaksanakan putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang olehundangundang ini untuk melakukan penuntutan danmelaksanakan penetapan hakim. Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 140 (1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikandapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuatsurat dakwaan. (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikanpenuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwatersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkaraditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebutdalam surat ketetapan. 15 b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yangtidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Pasal 143 (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaantersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau 16 penasihathukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan denganpenyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Pasal 144 (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilanmenetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum danpenyidik. Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan dirugikan. A.Z. Abidin Farid 12 memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.” d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak-anak. 12 A.Z. Abidin Farid,Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS, 1981. Hal. 12. 17 Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan sebagai berikut : “Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup. Andi Hamzah13 berpendapat mengenai hal ini bahwa : “Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya”. e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun jabatannya dalam melakukan pemeriksaan. 13 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 18. 18 Romli Atmasasmita14 dalam bukunya mengatakan bahwa : “Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.” Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.”15 f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan : “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.” Menurut D. Simons 16 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut: 14 15 Romli Atmasasmita,Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30. Ibid. Hal. 20. 19 “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.” g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh bantuan hukum dari seorang penasehat hukum. Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasankebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai berikut : a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari tersangka / terdakwa.17 Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari 16 M Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.hal. 22. 17 Andi Hamzah. Opcit.Hal. 21. 20 segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segisegi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata. Menurut Adnan Buyung Nasution18 “setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan keadaan kesehatan yang memburuk.” h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor) Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan tindakan kekerasan ataupun penganiayaan. Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” 18 Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21. 21 Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”. Dalam bukunya, Andi Hamzah19 mengatakan bahwa: “Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.” i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi.Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya.Sedangkan arti dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi. 19 Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21. 22 b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Sedangkan pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Bambang Poernomo20 berpendapat bahwa : “Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.” C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. 20 Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79. 23 Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo21 yaitu: “Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.” 1. Penyidikan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.” 2. Penuntutan Pasal 137 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya denganmelimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.” 3. Pemeriksaan di Persidangan Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat 21 Martiman Prodjohamidjojo.Sistem Indonesia.1983.Hal. 12. Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta:Ghalia 24 tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.” 4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal 270 Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : (1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khususuntuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan danpengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidanaperampasan kemerdekaan. (2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakimpengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk palinglama dua tahun. Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana. Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, yaitu : 25 a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie) Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan secara positifkarena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa. 22 Menurut D. Simons23seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah: “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.” Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-benar menerapkan mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. 22 23 Yahya Harahap.Op.cit. Hal.257. Andi Hamzah.Op.cit.Hal.251. 26 b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time) M. Yahya Harahap24 berpendapat: “Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti yang ada.” Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang didakwakan kepadanya walaupun dalam persidangan pembuktian terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah. c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee) Sistem pembuktianberdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi 24 Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 256. 27 teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasanalasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara logika. “Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasanalasan keyakinannya, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Persamaan keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”25 d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief wettelijk) Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang 25 Yahya Harahap.Ibid.Hal. 257. 28 didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.26 Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut. e. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Sistem pembuktian yang dianut olehUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. 26 Yahya Harahap.Op.cit.Hal.279. 29 Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.27 M. Yahya Harahap28 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah29: “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.” R. Soesilo 30 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : 27 Ibid.Hal. 280. Ibid. Hal. 256-259. 29 Andi Hamzah. Opcit.Hal. 264. 30 R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109. 28 30 a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu. D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e.Keterangan terdakwa. Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat bukti tersebut. Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.31 Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 31 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar Grafika.2002. Hal.252. 31 (KUHAP) yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Halhal yang bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan : 1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi; 2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.32 a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.” 32 Ibid. Hal.276. 32 Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena 33 saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut : "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh 34 dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian. b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.33 Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin34 dalam bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut : 33 M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33. 34 35 "Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataankenyataan, dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataankenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut". Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal 168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undangundang. 36 Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah : 1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; 2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.35 35 Ibid. Hal.288. 37 Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan: a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. b. Keterangan Ahli Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, yaitu: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan (Pasal 186Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Penjelasan : 1. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. 2. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam 38 Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP. Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b KUHAP, jo. Stb. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi : 1. Ahli kedokteran forensik atau; 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.Stb.1937 no.3500; atau; 3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan oleh orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau 4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soal, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan.36 Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian keterangan ahli, yaitu: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Pasal 184 (1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas 36 Ibid.Hal.72-73. 39 metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian. Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186. Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.37 Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya adalah ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang 37 R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum EtRepertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.2002. Hal. 3. 40 nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli. Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Ahli dalam Pasal 133Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)menekankan kepada ahli dalam kedokteran forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli 41 disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya. I Ketut Martika dan Djoko Prakoso38 berpendapat, bahwa: Keterangan ahli dalam KUHAP dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau penelitian ulang karena diperlukan/ dibutuhkan oleh hakim kepada ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut yang diatur dalam Pasal 180 (2),(3), dan (4) KUHAP. Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan. 38 I Ketut Martika& Djoko Prakoso.Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. Hal. 66. 42 Yahya Harahap39 berpendapat: Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang. Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu : a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli; b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.40 Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan menolaknya. 39 40 Yahya Harahap. Op.cit. Hal.299. Ibid.Hal. 303. 43 Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi yaitu : 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya. 2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.41 Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Surat A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo42: 41 42 Ibid.Hal. 253. Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta :Pradya Paramitha. 1983.Hal. 24. 44 “Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabatpejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.” Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang menurut ketentuan ini: “Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”43 Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili. Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; 43 Andi Hamzah.Op.cit. Hal. 276. 45 b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Rumusan dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.44 Berdasarkan pasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain sebagai 44 Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309. 46 bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan. Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan. Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang dituntutkan kepadanya. 47 Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap45jika dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut : a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya; c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa. 2. Ditinjau dari segi materiil Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain : a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang. 45 Ibid. Hal.309-312. 48 b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati. c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan. d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjukpetunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun 49 kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.46 Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya. Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Bunyi pasal 188 ayat (3)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh 46 I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Op.cit.Hal.44. 50 terhadap tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar penjatuhan hukuman. Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah: a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi. b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan sengaja kejahatan yang terjadi. c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.47 Penggunaan alat bukti petunjuk dalampraktek persidangan sangat dihindari, bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya. 47 Andi Hamzah dan Indra Dahlan.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar.Jakarta.:Ghalia. Indonesia. 1984. Hal. 263. 51 Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti petunjuk yaitu diperoleh dari : a) Keterangan saksi b) Surat c) Keterangan terdakwa Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masingmasing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif. Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain. Djisman Samosir48 berpendapat bahwa: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati nuraninya.” Menurut Yahya Harahap 49 sendiri berpendapat bahwa nilai kekuatan pembuktian petunjuk serupa dengan sifat dan kekuatan alat bukti yang lain yakni: 48 C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana.Bandung. Binacipta. 1985. Hal. 90. 49 Yahya Harahap.Op.cit.Hal.317. 52 a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. e. Keterangan terdakwa Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merumuskan: “Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 KUHAP. Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. 53 sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut. a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. Mengaku ia bersalah.50 Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus mengandung beberapa asas, yaitu : 1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan. 2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang 50 Andi Hamzah.Op.cit.Hal.278. 54 diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan terdakwa; 3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menjelaskan: Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim. 55 Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif. Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah. 56 E. Pencabulan 1. Pengertian Pencabulan Dalam hal pengertian pencabulan, pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, “pencabulan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”. Dari pendapat tersebut, berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya terhadap seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bermoral dan dilarang menurut hukum yang berlaku. R. Sughandhi dalam asumsi mengatakan tentang pencabulan ialah: seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.51 Dari pendapat R. Sughandhi di atas, bahwa pencabulan tersebut adalah seorang pria yang melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita yang bukan isterinya dan dari persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang pria. Jadi unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur lain yaitu unsur keluarnya air mani, yang artinya seorang pria 51 P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, (Bandung, : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 41. 57 tersebut telah menyelesaikan perbutannya hingga selesai, apabila seorang pria tidak mengeluarkan air mani maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencabulan. Asumsi yang tak sependapat dalam hal mendefinisikan pencabulan tidak memperhitungkan perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani seperti yang dikemukakan oleh PAF Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.52 Dari pendapat tersebut, ini membuktikan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan suatu bagian untuk mempermudah dilakukannya suatu persetubuhan. Menurut Arif Gosita, perkosaan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara lain sebagai berikut : a. Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita. b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. 52 Ibid hal. 41 58 c. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan.53 Dari perumusan di atas menunjukan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai objek dari suatu kekerasan seksual (pencabulan) karena perempuan identik dengan lemah, dan laki laki sebagai pelaku dikenal dengan kekuatannya sangat kuat yang dapat melakukan pemaksaan persetubuhan dengan cara apapun yang mereka kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau ancaman kekerkasan. Fungsi dari kekerasan tersebut dalam hubungannya dengan tindak pidana adalah sebagai berikut : a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya kekerasan pada pencabulan, yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368), yang 53 Ibid., hal. 45 59 mengakibatkan korban tidak berdaya, dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang. b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana bukan merupakan cara melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan pada Pasal 211 atau 212.54 Sedangkan ancaman kekerasan mempunyai aspek yang penting dalam pencabulan yang antara lain sebagai berikut : a. Aspek obyektif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subyektif yang diobjektifkan). b. Aspek subyektif, ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kepercayaan ini tidak timbul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya.55 54 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 64 55 Ibid., hal. 66 60 Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut mencerminkan kekuatan fisik laki-laki sebagai pelaku merupakan suatu faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan sebagai korban, sehingga lakilaki menampilkan kekuatan yang bercorak represif yang menempatkan perempuan sebagai korbannya. Karakteristik utama dalam perkosaan ialah “bahwa perkosaan terutama bukan ekspresi agrsivitas (baca: kekerasan) dari seksualitas (the agressive expression of sexuality)akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu agresivitas (sexual expression of aggression)”. 56 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian perkosaan tertuang pada Pasal 285 yang berbunyi “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Dalam pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan antara lain : a. Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa klasifikasi umur yang signifikan. Seharusnya wanita dapat dibedakan yang antara lain sebagai berikut : 1) Wanita belum dewasa yang masih perawan. 2) Wanita dewasa yang masih perawan. 3) Wanita yang sudah tidak perawan lagi. 4) Wanita yang sedang bersuami.57 56 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 108 57 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 50 61 b. Korban mengalami pemaksaan bersetubuh berupa kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku. Dalam perkembangannya yang semakin maju dan meningkat dengan pesat ini, dalam hal ini muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk pemaksaan persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi target dalam pencabulan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan kotoran manusia) dapat menjadi target dari pencabulan yang antara lain sebagai berikut : a. Perbuatannya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke dalam vagina), tetapi juga : 1) Memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut. 2) Memasukkan sesuatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) ke dalam vagina atau mulut wanita. b. Caranya tidak hanya dengan kekerasan/ ancaman kekerasan, tetapi juga dengan cara apapun di luar kehendak/ persetujuan korban. c. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak berdaya/ pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terhadap wanita yang tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga terhadap wanita yang memberikan persetujuannya karena dibawah ancaman, karena kekeliruan/ kesesatan/ penipuan atau karena di bawah umur.58 58 Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta : IND-HILL-CO, 1997), hal. 67. 62 Pelaku pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur yang dapat juga disebut dengan chid molester, dapat digolongkan ke dalam lima kategori yaitu: a. Immature : para pelaku melakukan pencabulan disebabkan oleh ketidakmampuan mengidentifikasikan diri mereka dengan peran seksual sebagai orang dewasa. b. Frustated : para pelaku melakukan kejahatannya (pencabulan) sebagai reaksi melawan frustasi seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak mereka sendiri (incest) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya. c. Sociopathic : para pelaku pencabulan yang melakukan perbuatanya dengan orang yang sama sekali asing baginya, suatu tindakan yang keluar dari kecenderungan agresif yang terkadang muncul. d. Pathological : para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya (premature senile deterioration). e. Miscellaneous : yang tidak termasuk semua kategori tersebut di atas.59 2. Unsur-unsur Pencabulan Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak di bawah umur diatur juga dalam Undang-undang 59 Ibid., hal. 45 63 Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan : a. Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.60 Jika diperhatikan pada pasal tersebut di atas, maka unsur-unsur pencabulan ialah sebagai berikut : a. Setiap orang,yang berarti subyek atau pelaku. b. Dengan sengaja, yang berarti mengandung unsur kesengajaan (dolus). c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang berarti dalam prosesnya diperlakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti ada suatu pemaksaan dari pelaku atau orang lain untuk bersetubuh dengan seorang anak (korban). d. Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang berarti bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menipu, merayu, membujuk dan lain sebagainya untuk menyetubuhi korbannya. 60 Indonesia, Undang-undang Perlindungan Anak, UU No 23Tahun 2002, ps. 81 ayat (1) dan (2). 64 3. Jenis-Jenis Pencabulan Didalam mengklasifikasikan pencabulan dapat terbagi melalui beberapa macam jenis pencabulan yang antara lain sebagai berikut : a. Sadistic rape Pencabulan sadistic, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak.Pelaku pencabulan telah Nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban. b. Angea rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya c. Dononation rape Yakni suatu pencabulan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. d. Seduktive rape Suatu pencabulan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak.Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan.Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan 65 membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. e. Victim precipitatied rape Yakni pencabulan yang terjadi (berlangung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. f. Exploitation rape Pencabulan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.Misalnya, istri yang dicabuli suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihaknya yang berwajib.61 F. Anak Dibawah Umur 1. Pengertian Anak dibawah Umur Istilah anak di bawah umur tersebut dalam hal ini disetarakan dengan sebutan anak. Pengertian anak tersebut menurut sejarah ialah sebagai berikut : manusia berasal dari Adam dan Hawa dan dari kedua makhluk Tuhan ini lahirlah keturunan yang kemudian beranak-pianak menjadi kelompok-kelompok yang semakin membesar berpisah dan berpencar satu sama lain berupa suku dan kabilah dan bangsabangsa seperti sekarang ini, seperti apa yang difirmankan Tuhan dalam Al-Hujurat 13.62 61 62 Wahid, op. cit., hal. 46 Hamzah, op.cit., hal. 169 66 Sedangkan pengertian anak menurut kamus bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan keturunannya. “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya”.63 Anak merupakan makhluk sosial hal ini sama dengan orang dewasa, anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak harus kita jaga dan lindungi, dikarenakan : a. Anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus. b. Anak adalah sebagai potensi tumbuh kembang bangsa di masa depan. c. Anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dari orang lain. Anak merupakan tunas, sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk seseorang. 63 Irsan, op.cit., hal. 1. 67 2. Kategori Batasan Anak Dibawah Umur Untuk mengetahui apakah seseorang itu termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada batasan yang mengaturnya, dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak yang antara lain sebagai berikut : a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang di kategorikan sebagai anak terdapat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum mencapai lima belas tahun. b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dikategorikanusia seorang anak ialah seseorang yang belum dewasa seperti yang tertuang pada Pasal 330 KUHPerdata. c. Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Di dalam undang-undang ini pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seorang yang belum mencapai batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. 64 Dalam pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah di bawah usia dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. 64 Tribowo Hersandy Febriyanto, Indonesia, Undang-undang Kesejahteraan Anak, UU No 4, L.N No. 32 Tahun 1979, T.L.N No. 3143, ps. 1 ayat (2). 68 d. Undang-undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam undang-undang ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan “anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. 65 Dari penjelasan pasal tersebut dapat di perhatikan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah seorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapan belas tahun. e. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada Pasal 1 ayat (5) yang menyebutkan “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.66Menurut pasal ini, yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam kandungan sampai usia delapan belas tahun dan belum menikah. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.67Menurut pasal tersebut 65 Chandra Ningsih, Ratih, Indonesia, Undang-undang Pengadilan Anak, UU No 3, L.N. No. 3 Tahun 1997, T.L.N No. 3668, ps. 1 ayat (1). 66 Tribowo Hersandy Febriyanto Indonesia, Undang-undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39, L.N. No 165 Tahun 1999, T.L.N. No. 3886, ps. 1 ayat (5). 67 Soerjarno Soekanto, Indonesia, Undang-undang Perlindungan Anak, UU No 23, L.N No. 109 Tahun 2002, T.L.N. No. 4235 ps. 1 ayat (1). 69 di atas bahwa yang di kategorikan sebagai anak ialah seorang yang berusia di bawah delapan belas tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan sebagai anak. f. Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pada Pasal 1 ayat (4) yanga menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun”.68 Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini ialah belum berusia delapan belas tahun. Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi dalam setiap perbedaan pemahaman tersebut, tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang akan dipersoalkan nantinya. 68 Edward Elgar, Indonesia, Undang-undang Pornografi, UU No 44, L.N. No. 181Tahun 2009, T.L.N No. 4928, ps. 1 ayat (4) 70 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalamkajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.69 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif 70yaitu suatu penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dikaitkan dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan anak. C. Sumber Data Dalam penelitian ini Penulis menggunakan sumber data sebagai berikut: 69 Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296. 70 Soerjono soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Cetakan Pertama, UII Press, Hal .10. 71 Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya.71Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain : 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang-Hukum Acara Pidana (KUHAP). c) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. d) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. e) Putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku literatur atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. 71 Ibid.,Hal. 12 72 D. Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan.Studi kepustakaan yaitu dengan melihat buku literatur, kumpulan bahan hukum ukuliah, dan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi pedoman dalam pembuatan karya tulis ini. E. Metode Pengajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuakan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. F. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-teori, pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana. 73 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dalam Putusan Nomor :No :98 / Pid.Sus/2012/PN.Bjn, tentang Tindak Pidana Pencabulan, diperoleh sebagai berikut: 1. Duduk Perkara Terdakwa pada hari Sabtu tanggal 23 Juli 2011 dan tanggal 27 Juli 2011 di persawahan belakang Kantor BPP (Balai Penyuluh Pertanian) Banjarnegara dengan sengaja melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengan cara datang ke rumah saksi Iren pada hari Sabtu, tanggal 23 Juli 2011 kemudian sekitar jam 20.00 WIB terdakwa mengajak saksi korban pulang kerumahnya dengan alasan diperintah oleh ibu korban dan saksi korban sempat menolak namun terdakwa memaksa; Kemudian terdakwa dan korban membeli nasi goreng dengan dibungkus lalu dibawa ke belakang Kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka untuk dimakan bersama; Selanjutnya sekira jam 23.00 WIB dilokasi sawah belakang Kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di kelurahan Argasoka terdakwa menyetubuhi saksi; 74 Persetubuhan yang kedua pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2011 sekira jam 23.00 WIBdilokasi sawah belakang kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka; Sebelum melakukan persetubuhan yaitu pada hari Sabtu tanggal 23 juli 2011 setelah selesai makan nasi goreng sekira jam 23.00 WIB terdakwa timbul nafsu dan birahinya memeluk saksi korban dan saksi korban bertanya kepada terdakwa “MENGKO NEK METENG PRIYE ?atau dalam Bahasa Indonesia “NANTI KALU HAMIL BAGAIMANA ? dan dijawab terdakwa “MENGKO NEK KO METENG ENYONG AREP TANGGUNG JAWAB NIKAHI KO ? atau dalam bahasa Indonesia “NANTI KALU KAMU HAMIL SAYA AKAN TANGGUNG JAWAB MENIKAHI KAMU ? dan selanjutya terdakwa melepas celana pendek jean warna hitam yang dipakai saksi korban sampai diturunkan sebatas lutut dan terdakwa dengan posisi berdiri kemudian terdakwa membuka kedua kaki saksi korban dan penis terdakwa sudah dalam keadaan tegang dan mengeras selanjutnya dimasukkan kedalam vagina saksi korban dengan gerakan naik turun layaknya orang senggama yang dilakukan kurang lebih 2 (dua) menit merasa klimak dan kemudian penis terdakwa ditarik dari dalam vagina saksi korban dan cairan spermanya dibuang diluar diatas rumput; Selanjutnya untuk yang kedua kali dilakukan pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2011 pada waktu dan tempat seperti kejadian yang pertama dan yang kedua kalinya terdakwa melakukan dengan saksi 75 korban dengan posisi tidur dan cairan spermanya dibuang diluar diatas rumput; 2. Dakwaan Jaksa Berdasarkan uraiandi atas, Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berisikan sebagai berikut: a) Menyatakan terdakwa Roni bin Rohim tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MELAKUKAN PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR”; sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. b) Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, harus diganti dengan 30 (tiga puluh) hari wajib latihan kerja; c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d) Menetapkan agar barang bukti berupa: 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam; Dikembalikan kepada terdakwa; 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam; 76 1 (satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara; Dikembalikan kepada saksi Irma; e) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.500,(seribu rupiah); 3. Barang Bukti Barang bukti yang di bawa oleh jaksa penuntut umum berupa: 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam; 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam; 1 (satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara; 4. Pembuktian a. Keterangan Saksi Saksi korban menerangkan bahwa korban di paksa untuk melakukan persetubuhan dengan terdakwa sebanyak dua kali, saksi korban mengetahui barang bukti yang dihadirkan di persidangan dan korban menyatakan bahwa korban tidak mencintai terdakwa. Saksi adalah ibu korban menyatakan bahwa mengetahui persetubuhan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban yaitu setelah saksi menanyakan kepada saksi korban secara langsung, saksi mengetahui barang bukti yang dihadirkan di persidangan. Saksi adalah tante korban menyatakan bahwa saksi mengetahui bahwa saksi korban telah diajak pergi selama empat hari dan di setubuhi terdakwa tanpa ijin orang tuanya dan saksi mengenal terdakwa serta mengetahui atau mendengarkan pengakuan dari 77 korban sendiri dan saksi menyatakan bahwa korban masih duduk di bangku SMP Negeri 3 Banjarnegara. Saksi adalah teman korban menyatakan bahwa saksi mengetahui terdakwa telah membawa korban tanpa ijin orang tuanya, saksi mengetahui hal tersebut karena diberi tahu oleh ibu korban yang mengatakan bahwa korban sejak hari Sabtu 23 Juli 2011 setelah pulang sekolah tidak pulang dan pergi bersama terdakwa. Saksi adalah ayah terdakwa menyatakan bahwa saksi mengetahui terdakwa membawa korban tanpa sepengetahuan orang tuanya setelah diberi tahu oleh ibu korban bahwa sejak hari Sabtu 23 Juli 2011 setelah pulang sekolah tidak pulang dan pergi bersama terdakwa, dan sejak itu ibu korban sering menanyakan keberadaan terdakwa. Saksi menyatakan pada hari Kamis tanggal 28 Juli 2011 terdakwa bersama korban datang ke rumah saksi dan kemudian di antar pulang oleh saksi ke rumah korban.Saksi menyatakan bahwa terdakawa sudah tidak sekolah. b. Surat Yakni berupaVisum et Repertum Nomor 445/775/RM/2011 tanggal 10 September 2011 yang dibuat dan tanda tangani oleh dr Haryata, Sp. OG dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi pada Rumah sakit Umum Daerah Kabupaten Banjarnegara yang berisikan bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban Sinta binti Waluyo mengalami tampak robekan selaput dara pada jam 4 dan jam 78 6 luka lama (robekan lama sampai dasar tidak ada cairan dalam lobang Vagina) sesuai dengan adanya c. Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa dalam perkara ini yaitu menyatakan bahwa terdakwa terdakwa mengakui segala perbuatannya sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa juga membenarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan. 5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarnegara yang memeriksan dan mengadili perkara ini memutus sebagai berikut: a) Menyatakan terdakwa Roni bin Rohim tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MELAKUKAN PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR”; sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. b) Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila pidana denda 79 tersebut tidak dibayar, harus diganti dengan 30 (tiga puluh) hari wajib latihan kerja; c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d) Menetapkan agar barang bukti berupa: 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam; Dikembalikan kepada terdakwa; 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam; 1 (satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara; Dikembalikan kepada saksi Irma; e) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.500,(seribu rupiah); 6. Putusan Hakim Pengadilan Negeri a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang bahwa terdakwa oleh penuntut umum telah didakwa melakukan tindak dalam dakwaan PERTAMA melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak atau KEDUA melanggar pasal 287 ayat (1) KUHP jo Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak atau KETIGA melanggarpasal 332 ayat (1) ke 1 KUHP jo Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 80 Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut umum disusun secara alternative atau pilihan dalam dakwaan, maka hakim akan mempertimbangkan dakwaan yang dianggap terbukti yaitu melanggar yaitu Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No.23 tahun 2002 yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Setiap orang; 2. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak; 3. Untuk melakukan atau memberikan persetubuhan dengannya atau orang lain; Ad. 1 Setiap orang; Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah orang perseorangan atau koorporasi; Yang dimaksud dengan “orang perseorangan” adalah manusia (natuurlijk persoonen) sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukannya; Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur “orang perseorangan” dalam perkara ini adalah terdakwa Roni bin Rohim yang identitasnya sebagaimana tersebut diatas berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, terdakwa adalah orang yang normal sehat jasmani dan rohani dan pada diri terdakwa tidak ditemukan hal- 81 hal yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa, oleh karenanya terdakwa sebagai subyek hukum pendukng hak dan kewajiban dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dihadapan hukum, maka menururt hakim dengan demikian unsur “setiap orang” telah terpenuhi; Ad.2 Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak; Menimbang, bahwa di dalam unsur kedua ini diatur secara alternative dengan pengertian apabila salah satu dari perbuatan dalam unsur tersebut telah terbukti, maka unsur tesebut dianggap telah terbukti secara lengkap, sedangkan “Dengan sengaja” dalam hal ini berarti bahwa tindakan tersebut disadari, diinsyafi dan dikehendaki oleh pelaku termasuk segala akibatnya yang mungkin atau pasti akan terjadi; Menimbang, bahwa pengertian tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk adalah perbuatan pelaku untuk meyakinkan koerban bahwa apa yang dilakukan oleh korban pada saat kejadian adalah sudah benar dan keadaan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, karena baik kata-kata atau keadaan yang digambarkan oleh pelaku semata-mata untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, sehingga korban dalam memberikan penilaian atas sesuatu atau melakukan perbuatan didasarkan atas gambaran yang salah; 82 Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak diketahui bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan; Menimbang, bahwa oleh karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak secara jelas dan tegas telah memberi batasan atau definisi tentang siapa yang dimaksud dengan anak, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam perkara ini saksi korban yang bernama Sinta binti Waluyo adalah termasuk anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tersebut; Menimbang, bahwa dalam surat dakwaan Penuntut Umumm telah menyatakan bahwa saksi Iren binti Jamaludin adalah anak perempuan yang pada saat kejadian berumur 13 tahun 8 bulan (lahir pada tanggal 11 Desember 1997); Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan awalnya saksi korban Sinta berada di rumah Iren pada hari Sabtu, tanggal 23 Juli 2011 kemudian sekitar jam 20.00 WIB terdakwa mengajak saksi korban pulang kerumahnya dengan alasan diperintah oleh ibu korban dan saksi korban sempat menolak namun terdakwa memaksa; Bahwa kemudian terdakwa dan korban membeli nasi goreng dengan dibungkus lalu dibawa ke belakang Kantor Balai Penyuluh 83 Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka untuk dimakan bersama; Bahwa selanjutnya sekira jam 23.00 WIB dilokasi sawah belakang kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka terdakwa menyetubuhi saksi; Bahwa persetubuhan yang kedua pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2011 sekira jam 23.00 WIB dilokasi sawah belakang kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka; Bahwa sebelum melakukan persetubuhan yaitu pada hari Sabtu tanggal 23 juli 2011 setelah selesai makan nasi goreng sekira jam 23.00 WIB terdakwa timbul nafsu dan birahinya memeluk saksi korban dan saksi korban bertanya kepada terdakwa “MENGKO NEK METENG PRIYE ?atau dalam Bahasa Indonesia “NANTI KALU HAMIL BAGAIMANA ? dan dijawab terdakwa “MENGKO NEK KO METENG ENYONG AREP TANGGUNG JAWAB NIKAHI KO ? atau dalam bahasa Indonesia “NANTI KALU KAMU HAMIL SAYA AKAN TANGGUNG JAWAB MENIKAHI KAMU ? dan selanjutya terdakwa melepas celana pendek jean warna hitam yang dipakai saksi korban sampai diturunkan sebatas lutut dan terdakwa dengan posisi berdiri kemudian terdakwa membuka kedua kaki saksi korban dan penis terdakwa sudah dalam keadaan tegang dan mengeras selanjutnya dimasukkan kedalam vagina saksi korban dengan gerakan naik turun layaknya orang senggama yang dilakukan kurang lebih 2 (dua) menit 84 merasa klimak dan kemudian penis terdakwa ditarik dari dalam vagina saksi korban dan cairan spermanya dibuang diluar diatas rumput; Bahwa yang kedua kali pada hari Rabu, tanggal 27 Juli 2011 pada waktu dan tempat seperti kejadia yang pertama dan yang kedua kalinya terdakwa melakukan dengan saksi korban dengan posisi tidur dan cairan spermanya dibuang diluar diatas rumput; Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, saksi korban Sinta binti Waluyo mengalami tampak robekan selaput dara pada jam 4 dan jam 6 luka lama (robekan lama sampai dasar tidak ada cairan dalam lobang Vagina) sesuai dengan adanya Visum et Repertum Nomor 445/775/RM/2011 tanggal 10 September 2011 yang dibuat dan tanda tangani oleh dr Haryata, Sp. OG dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi pada Rumah sakit Umum Daerah Kabupaten Banjarnegara; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak” telah terbukti dan terpenuhi dalam perbuatan terdakwa; Ad.3 Untuk melakukan atau memberikan persetubuhan dengannya atau orang lain; Menimbang, bahwa karena kedudukan saksi Iren binti Jamaludin, dalam perkara ini adalah sebagai saksi korban langsung dari adanya tindak pidana / kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa sebagaimana yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum kepada 85 terdakwa, maka dalam hal ini adil apabila korban berhak mendapat perlindungan Hukum; Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi korban Sinta binti Waluyo dan saksi Iren binti Jamaludin, yang tidak dibantah atau telah diakui sendiri oleh terdakwa dipersidangan adalah telah melakukan persetubuhan sebanyak 2 (dua) kali; Menimbang, bahwa pada hari Sabtu tanggal 23 Juli 2011 sekitar jam 20.00 WIB saat saksi korban di rumah, warga dukuh Legok, Kelurahan Rejasa, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara diajak terdakwa ke alun-alun kota Banjarnegara, kemudian membeli nasi goreng dengan dibungkus lalu dibawa ke belakang kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di kelurahan argasoka untuk dimakan bersama selanjutnya sekitar jam 23.00 WIBdilokasi sawah belakang kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka terdakwa menyetubuhi saksi; Menimbang, bahwa persetubuhan yang kedua pada hari Rabu tanggal 27 juli 2011 sekira jam 23.00 WIBdilokasi sawah belakang kantor Balai Penyuluh Pertanian Banjarnegara di Kelurahan Argasoka; Menimbang, bahwa sebelum melakukan persetubuhan yaitu pada hari Sabtu tanggal 23 juli 2011 setelah selesai makan nasi goreng sekira jam 23.00 WIB terdakwa timbul nafsu dan birahinya memeluk saksi korban dan saksi korban bertanya kepada terdakwa “MENGKO 86 NEK METENG PRIYE ?atau dalam Bahasa Indonesia “NANTI KALU HAMIL BAGAIMANA ? dan dijawab terdakwa “MENGKO NEK KO METENG ENYONG AREP TANGGUNG JAWAB NIKAHI KO ? atau dalam bahasa Indonesia “NANTI KALU KAMU HAMIL SAYA AKAN TANGGUNG JAWAB MENIKAHI KAMU ? dan selanjutnya terdakwa melepas celana pendek jean warna hitam yang dipakai saksi korban sampai diturunkan sebatas lutut dan terdakwa dengan posisi berdiri kemudian terdakwa membuka kedua kaki saksi korban dan penis terdakwa sudah dalam keadaan tegang dan mengeras selanjutnya dimasukan kedalam vagina saksi korban dengan gerakan naik turun layaknya orang senggama yang dilakukan kurang lebih 2 (dua) menit merasa klimak dan kemudian penis terdakwa ditarik dari dalam vagina saksi korban dan cairan spermanya dibuang diluar diatas rumput; Bahwa persetubuhan yang kedua kali pada hari Rabu, tanggal 27 Juli 2011 pada waktu dan tempat seperti kejadian yang pertama dan yang kedua kalinya terdakwa melakukan dengan saksi korban dengan posisi tidur dan cairan spermanya dibuang diluar diatas rumput; Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan tersebut tidak dibantah oleh terdakwa, maka perbuatan tersebut dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum dilakukan dalam perbuatan terdakwa, maka menurut hakim dengan demikian unsur 87 “untuk melakukan atau membiarkan persetubuhan dengannya atau orang lain” telah terpenuhi; Menimbang, bahwa dengan demikian segenap unsur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi; Menimbang, bahwa pada akhirnya Hakim berkesimpulan dan berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “untuk melakukan atau membiarkan persetubuhan dengannya atau orang lain”; Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (2) UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Hakim wajib mempertimbangkan saran dari Balai Pembimbing Kemasyarakatan, menurut hemat Hakim putusan yang dijatuhkan adalah putusan dengan mempertimbangkan untuk kepentingan si anak; Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara ini, tidak terdapat unsur pembenar maupun pemaaf dari perbuatan terdakwa, maka ia terdakwa haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya tersebut, serta dibebani pula untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa sesuai dengan tujuan penghukuman bukanlah untuk pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh terdakwa tetapi adalah untuk mengayomi masyarakat dan mendidik serta membina terdakwa supaya jera dan tidak lagi mengulangi 88 perbuatan yang salah tersebut, maka sudah tepat dan adil putusan yang dijatuhkan sebagaimana tertera dalam amar putusan ini; Menimbang, bahwa karena selama proses pemeriksaannya terdakwa telah ditahan di RUTAN, maka masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa harus dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya; Menimbang, bahwa oleh karena pidana yang akan dijatuhkan lebih lama dari masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, maka kepada terdakwa haruslah diperintahkan untuk supaya tetap berada dalam tahanan; Menimbang, bahwa sebelum hakim menjatuhkan pidana, terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa; Hal-hal yang memberatkan: f) Perbuatan terdakwa mencemarkan nama baik keluarga g) Korban Sinta menjadi malu, menjadi gunjingan teman-teman dan lingkungannya; Hal-hal yang meringankan h) Terdakwa belum pernah dihukum dan mengakui terus terang perbuatannya; i) Mengingat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta serta peraturan-peratuan lain yang bersangkutan; 89 b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu: a) Menyatakan terdakwa Roni bin Rohim tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA MELAKUKAN PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR”; b) Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, harus diganti dengan 30 (tiga puluh) hari wajib latihan kerja; c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d) Menetapkan agar barang bukti berupa: 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam; Dikembalikan kepada terdakwa; 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam; 1 (satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara; Dikembalikan kepada saksi Irma; e) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah); 90 B. Pembahasan 1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Anak Dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehinggabagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari kebenaran materiil.Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.72 Putusan Nomor :98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn, hakim memeriksa alat bukti yakni 5 orang saksi dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor 445/775-RM-2011. Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan minimum 72 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273. 91 pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak dengan sengaja melakukan persetubuhan terhadap anak dibawah umur. Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya 92 sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut : "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu 93 peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Menurut Hibnu Nugroho 73menerangkan bahwa: “Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai berikut;74 1) Harus mengucapkan sumpah atau janji; 2) Keterangan saksi yang bernilai sebagi alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP: 1) 2) 3) 4) 5) Yang saksi lihat sendiri; Saksi dengan sendiri; Saksi alami sendiri; Serta menyebut alasan dari pengetahuan itu; Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). 73 Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang : BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34. 74 M.Yahya HarapanOp cit,, hal. 265 94 Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian. b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.75 Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak 75 M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. 95 dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah : 1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; 2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.76 Darwan Prints,77 mengemukakan beberapa syarat bagi saksi agar kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu : a) Syarat formal Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itudiberikan dibawah sumpah; b) Syarat materiil Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alatpambuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup untuk alatpembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan dan keterangan saksi tersebut adalah yang dia lihat, dia dengar serta dialamainya sendiri. 76 77 Ibid. Hal.288. Darwan prints, Op cit, hal 108. 96 Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus dinyatakan disidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 185 ayat 1, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengar sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan disidang pengadilan. 1) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat 2 KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat diambil sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unnus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, memperhatikan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat 2 KUHAP, yaitu: a) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; b) Atau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain 97 2) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri Dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 17-4-1987, No 28 K/Kr./ 1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan saki-saksi lainya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa, disinilah dituntut kemampuan dari keterampilan penyidik untuk mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif dapat memberikan keterangan yang saling berhubungan, hal seperti itu ditegaskan dalam Pasal 185 ayat 4 KUHAP yaitu ; a) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan syarat; b) Apabila keterangan saksi itu ada hubunganya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Keterangan saksikorban dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bj menerangkan bahwa korban di paksa untuk melakukan persetubuhan dengan terdakwa sebanyak dua kali, saksi korban mengetahui barang bukti yang dihadirkan di persidangan dan korban menyatakan bahwa korban tidak mencintai terdakwa. 98 Saksi adalah ibu korban menyatakan bahwa mengetahui persetubuhan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban yaitu setelah saksi menanyakan kepada saksi korban secara langsung, saksi mengetahui barang bukti yang dihadirkan di persidangan. Saksi adalah tante korban menyatakan bahwa saksi mengetahui bahwa saksi korban telah diajak pergi selama empat hari dan di setubuhi terdakwa tanpa ijin orang tuanya dan saksi mengenal terdakwa serta mengetahui atau mendengarkan pengakuan dari korban sendiri dan saksi menyatakan bahwa korban masih duduk di bangku SMP Negeri 3 Banjarnegara. Saksi adalah teman korban menyatakan bahwa saksi mengetahui terdakwa telah membawa korban tanpa ijin orang tuanya, saksi mengetahui hal tersebut karena diberi tahu oleh ibu korban yang mengatakan bahwa korban sejak hari sabtu 23 Juli 2011 setelah pulang sekolah tidak pulang dan pergi bersama terdakwa. Saksi adalah ayah terdakwa menyatakan bahwa saksi mengetahui terdakwa membawa korban tanpa sepengetahuan orang tuanya setelah diberi tahu oleh ibu korban bahwa sejak hari Sabtu 23 Juli 2011 setelah pulang sekolah tidak pulang dan pergi bersama terdakwa, dan sejak itu ibu korban sering menanyakan keberadaan terdakwa. Saksi menyatakan pada hari Kamis tanggal 28 Juli 2011 terdakwa bersama korban datang ke rumah saksi dan kemudian di antar 99 pulang oleh saksi ke rumah korban.Saksi menyatakan bahwa terdakawa sudah tidak sekolah. Jika penulis analisis keterangan saksi korban dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn yaitu keterangan saksi korban anak tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena yang memberikan keterangan itu adalah anak dibawah umur, menurut ketentuan Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah salah satunya adalah anak dibawah umur dan apabila dihubungkan dengan teori dari Darwan Prints,78mengemukakan beberapa syarat bagi saksi agar kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu : a) Syarat formal Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itudiberikan dibawah sumpah; b) Syarat materiil Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alatpambuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup untuk alatpembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan dan keterangan saksi tersebut adalah yang dia lihat, dia dengar serta dialamainya sendiri. Oleh karena itu, dapat penulis ketahui dari teori / dokrin dan juga dari peraturan perundangan sebagaimanaketerangan saksi korban anak 78 Darwan prints, Op cit, hal 108. 100 dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn jelas tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak mempunyai nilai pembuktian, meskipun saksi korban anak memenuhi syarat materil sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu saksi korban tersebut melihat sendiri, mengalami sendiri dan mendengar sendiri serta keterangan tersebut diberikan dalam dipersidangan dan juga keterangananya bersesuaian dengan keterangan saksi lainya, tetapi saksi korban anak tersebut tidak memenuhi syarat Formil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing akan tetapi pasal tersebut dikecualikan oleh Pasal 171 KUHAP yaitu salah satu rumusanya menyatakan bahwa saksi anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin tidak disumpah. 2. Dasar Pertimbangan Hakim DalamMenjatuhkan PidanaDalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 101 Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni: a) Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah/minimum pembuktian; b) Adanya keyakinan hakim. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan.Menurut C. Djisman Samosir 79 mengenai alat-alat bukti dan pembuktian yaitu ; ”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim untuk pengambilan keputusannya.Alat-alat bukti ini adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu. Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut”. Sistem pembuktian yang dianut olehUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. 79 C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina Cipta, 1985. halaman 79. 102 Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.80 Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.81 80 81 Yahya Harahap.Op.cit.Hal.279. Ibid.Hal. 280. 103 M. Yahya Harahap82 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah83: “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.” R. Soesilo 84 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu. Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar 82 Ibid. Hal. 256-259. Andi Hamzah. Opcit.Hal. 264. 84 R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109. 83 104 pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi”. Putusan Nomor :98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut menyatakan : “Menimbang, bahwa selain menghadirkan para saksi, Penuntut Umum juga telahmengajukan barang bukti berupa : 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam; 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam; 1(satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara; Berdasarkan pemaparan di atas maka hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut menyatakan bahwa : 1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan persetubuhan terhadap Anak dibawah umur; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, harus diganti dengan 30 (tiga puluh) hari wajib latihan kerja; Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari alat bukti keterangan saksi korban dan keterangan saksi biasa serta alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor 445/775-RM-2011 dan juga keterangan terdakwa yang mengakui perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi, maka majelis telah mendapat bukti yang sah dan merupakan sumber keyakinan hakim dalam memberikan putusan, bahwa terdakwa terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan putusan pidana bagi terdakwa atas perbuatannya itu. . 105 Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Putusan perkara Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjnmerupakan bentuk putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam perkara ini bagi terdakwadengan hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2)Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak. Putusan perkara pidana Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn, dengan penjatuhan pidana 3 (Tiga) tahun penjara dinilai sudah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan terhadap anak dibawah umur. Dapat disimpulkan dari semua alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti surat berupa Visum et Repertum 106 Nomor 445/775-RM-2011 dan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam, 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam, 1(satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 81 Ayat (2)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu unsur setiap orang, dengan sengaja melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan atau membujuk anak, untuk melakukan atau membiarkan persetubuhan denganya atau orang lain telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa. 107 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. Keterangan saksi korban anak dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn. tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak mempunyai nilai pembuktian, meskipun saksi korban anak memenuhi syarat materil sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu saksi korban tersebut melihat sendiri, mengalami sendiri dan mendengar sendiri serta keterangan tersebut diberikan dalam dipersidangan dan juga keterangananya bersesuaian dengan keterangan saksi lainya, tetapi saksi korban anak tersebut tidak memenuhi syarat formil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing akan tetapi pasal tersebut dikecualikan oleh Pasal 171 KUHAP yaitu salah satu rumusanya menyatakan bahwa saksi anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin tidak disumpah. 108 2) Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan Nomor: 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn, didasarkan pada: Alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor 445/775-RM-2011dan barang bukti berupa 1 (satu) buah celana jeans pendek warna hitam, 1 (satu) buah celana panjang jeans jenis pensil warna hitam, 1(satu) buah celana pendek warna biru bertuliskan manihara. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsurunsur yang terdapat dalam Pasal 81 Ayat (2)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu unsur setiap orang, dengan sengaja melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan atau membujuk anak, untuk melakukan atau membiarkan persetubuhan denganya atau orang lain telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa. B. Saran Mengenai kasus tindak pidana anak memang perlu penanganan yang khusus, oleh karena itu penulis mempunyai saran, yaitu jika dalam suatu tindak pidana yang menjadi korban adalah anak, maka saksi korban anak tersebut didudukan sebagai suatu saksi yang tidak mempunyai kekuatan 109 pembuktian karena tidak memenuhi syarat formil, sehingga jelas hal tersebut sangat tidak adil, maka perlu adanya suatu peraturan yang memberikan kedilan bagi saksi korban anak supaya ada peraturan yang memberikan kedudukan bahwa keterangan saksi korban anak itu mempunyai kekuatan pembuktian. 110 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Literatur : Atmasasmita, Romli. :BinaCipta. 1983. BungaRampaiHukumAcaraPidana. Jakarta C.S.T. Kansil,1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta : Balai Pustaka. Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia 1985. Harahap,Yahya.2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. , 2008.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Jhonny.,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.Malang: Cetakan Ketiga. Bayumedia Publishing, 2007. Makarao ,Muhamad Taufik dan Suhasril, 2004.Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta : Ghalia Indonesia. Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang :Badan Penerbit Undip. P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, (Bandung, : Citra Aditya Bakti, 1997) Prinst, Darwan. 1989, Hukum Acara Pidana dalam Praktik.Jakarta: Djambatan. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Pidana Indonesia.Bandung: Sumur Bandung 1985. Salam, Moch. Faisal, 2001.Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju. 111 Salam, Faisal .Moch,.Hukum Acara Bandung:MandarMaju,2005. Peradilan Anak di Indonesia. Soesilo, R. Hukum Acara Pidana. Bandung : Politea, 1982. Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: CetakanPertama,UII Press. 1981. Tanusoebroto, S.Dasar-dasar Hukum Acara Pidana. , Bandung: Armico 1989. Yuwono, Soesilo. Penyelesian Perkara Pidana. Berdasarkan KUHAP ( Sistem dan Prosedur). Bandung : Alumni, 1982. B. Peraturan Perundangan: Indonesia,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndangHukum Pidana (KUHP). ________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndangHukum Acara Pidana (KUHAP). ________,Undang-Undang Republik TentangPengadilan Anak. Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 ________,Undang-Undang Republik TentangPerlindungan Anak. Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 C. Sumber lain: Putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara 98/Pid.Sus/2012/PN.Bjn.