penggunaan gen chromo helicase dna binding (chd)

advertisement
PENGGUNAAN GEN CHROMO HELICASE DNA BINDING
(CHD) SEBAGAI MARKER PENENTU JENIS
KELAMIN PADA AVES
SKRIPSI
EKA SARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
Eka Sari. D14080071. 2012. Penggunaan Gen Chromo Helicase DNA Binding
(CHD) sebagai Marker Penentu Jenis Kelamin pada Aves. Skripsi. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Maria Ulfah, S. Pt., M.Sc.Agr.
Jenis kelamin merupakan informasi yang penting dalam budidaya unggas dan
penangkaran burung. Penentuan jenis kelamin pada sebagian burung sulit dilakukan
karena memiliki ciri-ciri fenotipik yang sangat mirip antara jantan dan betina, bahkan
setelah mencapai dewasa kelamin (monomorfis). Hal ini menjadi suatu permasalahan
bagi para breeder karena mereka belum yakin dengan jenis kelamin burung yang
mereka identifikasi. Identifikasi jenis kelamin sejak dini sangat bermanfaat dalam
pengembangbiakan serta menekan biaya perawatan untuk proses reproduksi di
penangkaran. Penentuan jenis kelamin secara molekuler merupakan suatu solusi
efektif bagi para breeder karena dapat dilakukan sejak dini dan dideteksi dari DNA
sehingga hasilnya lebih akurat. Penentuan jenis kelamin secara molekuler dilakukan
berdasarkan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) dengan menggunakan
primer P2 dan P8. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi jenis kelamin
Aves menggunakan primer P2 dan P8 berdasarkan DNA dari hasil ekstraksi darah
dan bulu.
Jenis-jenis Aves yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ayam kampung,
puyuh, itik, merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil jambul kuning
yang seluruhnya berjumlah 21 sampel. Sampel penelitian diperoleh dari darah dan
bulu yang kemudian diekstraksi untuk mendapatkan DNA total. Sampel darah
diekstraksi dengan menggunakan metode konvensional (phenol-chloroform),
sedangkan bulu diekstraksi dengan menggunakan kit ekstraksi. DNA total
diamplifikasi dengan menggunakan primer P2 dan P8 dan dielektroforesis pada gel
agarose. Genotyping dilakukan dengan melihat jumlah pita yang dihasilkan yaitu satu
pita menunjukkan jantan dan dua pita menunjukkan betina.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas DNA darah lebih tinggi
dibandingkan dengan bulu. Gen CHD berhasil diamplifikasi menggunakan primer P2
dan P8 dengan ukuran berkisar 300-400 bp. Hasil amplifikasi gen CHD
menunjukkan bahwa primer P2 dan P8 berhasil mengidentifikasi jenis kelamin pada
merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil jambul kuning dengan
elektroforesis pada gel agarose 2%. Namun primer P2 dan P8 tidak berhasil
mengidentifikasi jenis kelamin pada ayam, puyuh dan itik dengan gel agarose 2%
karena perbedaan ukuran fragmen spesifik CHD-Z dan CHD-W yang kecil sehingga
pita Z dan W tidak terpisah pada gel agarose 2%.
Kata-kata kunci: penentuan jenis kelamin, gen CHD, Aves
i
ABSTRACT
The Application of Chromo Helicase DNA Binding (CHD) Gene as A
Marker for Avian Sex Determination
Sari, E., C. Sumantri, and M. Ulfah
Many avian spesies are difficult to distinguish between male and female based on
their morphology. Male and female must be kept in the same cage for reproduction.
DNA-based sex identification provides a solution. CHD genes are preserved within
avian Z and W sex chromosomes. The aim of this research was to determine avians
sex based on CHD gene using P2 and P8 primers. DNA was extracted from avians
blood and feather. The Polymerase Chain Reaction (PCR) with a single of primers
P2 and P8 on a 2% agarose gel was used to decide the avian sex of chickens, quails,
ducks, rock pigeons, common hill myna, yellow-crested cockatoos, and salmoncrested cockatoos. Sex identifification of avian spesies based on bands the Z and W,
males had a single band (ZZ), and females had two (ZW) on a agarose gel. The CHD
gene amplified by the P2 and P8 primers had the fragment size of 300-400 bp. P2
dan P8 primers had no success for sex identification in chickens, quails and ducks.
However, the primers could be used to identify the sex of rock pigeons, common hill
myna, yellow-crested cockatoos and salmon-crested cockatoos.
Keywords : sex determination, CHD gene, avians.
ii
PENGGUNAAN GEN CHROMO HELICASE DNA BINDING
(CHD) SEBAGAI MARKER PENENTU JENIS
KELAMIN PADA AVES
EKA SARI
D14080071
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iii
Judul
: Penggunaan Gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) Sebagai
Marker Penentu Jenis Kelamin pada Aves
Nama
: Eka Sari
NIM
: D14080071
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004
(Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr.)
NIP. 19761101 199903 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 2 Juli 2012
Tanggal Lulus :
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1989 di Pekanbaru, Riau.
Penulis anak ketiga dari tiga orang bersaudara dari pasangan Bapak Azwar dan Ibu
Sari Banun. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri 05 Sukajadi, Pekanbaru
pada tahun 1996 hingga 2002. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di
SMP Negeri 13 Pekanbaru pada tahun 2002 hingga 2005. Penulis melanjutkan
pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Harau, Payakumbuh pada tahun 2005
hingga 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif dalam organisasi Badan
Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB)
kabinet IPB Gemilang periode 2008-2009 sebagai anggota Kementrian Kebijakan
Kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM D) periode 20102011 sebagai anggota RPM Internal, Majalah Emulsi periode 2010-2011 sebagai
anggota Divisi Marketing dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Payakumbuh (IKMP)
periode 2008-2012 sebagai anggota. Penulis juga aktif dalam organisasi nasional
yaitu Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI) Wilayah II periode
2009-2011 sebagai anggota.
Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Teknologi Pengolahan Telur dan
Daging Unggas dan panitia berbagai kegiatan di tingkat IPB maupun Fakultas
Peternakan. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Penelitian
Ternak Ciawi, Bogor pada Februari 2010. Penulis juga pernah menjadi anggota
Animal Breeding and Genetic Student Community (ABGSCi) periode 2011-2012.
Penulis juga menerima beasiswa berprestasi Propinsi Sumatera Barat, Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) dan Karya Salemba Empat (KSE).
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
segala karunia dan rahmatNya sehingga penulis mampu menyelesaikan studi,
penelitian dan skripsi dengan judul Penggunaan Gen Chromo Helicase DNA
Binding (CHD) Sebagai Marker Penentu Jenis Kelamin pada Aves. Skripsi ini
dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Beberapa hal yang mendasari penelitian ini dilakukan diantaranya, yaitu: (1)
populasi burung endemik Indonesia yang semakin menurun akibat permintaan pasar
yang tinggi sehingga butuh perhatian khusus mengenai pengembangbiakannya; (2)
pentingnya informasi mengenai jenis kelamin dalam budidaya unggas dan
penangkaran burung terutama jenis Aves yang monomorfik; (3) minimnya informasi
mengenai studi identifikasi jenis kelamin pada unggas dan burung endemik
Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada kelas Aves
berdasarkan gen Chromo Helicase DNA Binding menggunakan primer P2 dan P8.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berupa informasi identifikasi jenis kelamin
pada ayam, puyuh, itik, merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil jambul
kuning secara molekuler. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi yang
akurat dalam identifikasi jenis kelamin pada Aves yang monomorfik sehingga dapat
membantu dalam memperbaiki manajemen reproduksi dan menekan biaya
perawatan. Selain itu dengan adanya penelitian ini, identifikasi jenis kelamin pada
burung endemik Indonesia seperti beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil
jambul kuning dapat dilakukan dengan mudah sehingga populasinya dapat
meningkat. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa
lainnya untuk mengembangkan informasi mengenai pemanfaatan gen CHD untuk
identifikasi jenis kelamin pada Aves. Semoga skripsi ini dapat memberikan
sumbangan manfaat bagi dunia peternakan Indonesia. Amiin.
Bogor, Juli 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................
i
ABSTRACT.................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
ix
DAFTAR TABEL........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xi
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
Tujuan .............................................................................................
1
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
Aves (Bangsa Burung) .....................................................................
Unggas ................................................................................
Burung .................................................................................
Penentuan Jenis Kelamin pada Aves ..............................................
Gen CHD (Chromo Helicase DNA Binding) .................................
Isolasi DNA Total ...........................................................................
Seleksi Menggunakan Penanda Molekuler ......................................
Elektroforesis ..................................................................................
3
3
5
6
8
9
10
11
MATERI DAN METODE ...........................................................................
14
Lokasi dan Waktu ............................................................................
Materi ...............................................................................................
Sampel .................................................................................
Pengambilan Sampel............................................................
Ekstraksi DNA ....................................................................
Primer Sexing .......................................................................
Amplifikasi DNA .................................................................
Elektroforesis ......................................................................
Prosedur ..........................................................................................
Ekstraksi DNA ....................................................................
Kualitas DNA .....................................................................
Amplifikasi Gen CHD .........................................................
Elektroforesis ......................................................................
Rancangan dan Analisis Data ..........................................................
14
14
14
14
14
16
17
17
17
17
18
18
19
19
vii
Genotyping ...........................................................................
19
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
20
Isolasi DNA ....................................................................................
Kualitas DNA ..................................................................................
Amplifikasi Gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) .............
Implementasi Penentuan Jenis Kelamin secara Molekuler dalam
Pengembangan Riset dan Studi Keilmuan .......................................
20
20
23
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
29
Kesimpulan ......................................................................................
Saran ................................................................................................
29
29
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
31
LAMPIRAN.................................................................................................
35
viii
27
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Nomor
1. Beberapa Jenis Aves: Ayam Kampung Jantan dan Betina, Puyuh
Jantan dan Betina, Itik Jantan dan Betina, Merpati, Beo Nias,
Kakatua Molukan dan Kakatua Kecil Jambul Kuning ...................
6
2. Proses Polymerase Chain Reaction (PCR) .....................................
11
3. Jenis Sampel: Ayam Kampung Jantan dan Betina, Puyuh Jantan
dan Betina, Itik Jantan dan Betina, Merpati, Beo Nias, Kakatua
Molukan dan Kakatua Kecil Jambul Kuning ..................................
16
4. Penentuan Genotipe Gen CHD pada Aves .....................................
19
5. Elektroforesis DNA Hasil Ekstraksi pada Gel Agarose 1,5 % .......
23
6. Hasil Amplifikasi Gen CHD Menggunakan Primer P2 dan P8
pada Ayam Kampung, Puyuh, Itik, Merpati, Beo Nias, Kakatua
Molukan dan Kakatua Kecil Jambul Kuning dengan
Elektroforesis Gel Agarose 2 % ......................................................
24
7. Sekuen Gen CHD-Z dan CHD-W pada Columba livia, Coturnix
coturnix japonica dan Gallus gallus ...............................................
26
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Karakteristik Gel Agarose dan Poliakrilamid .................................
13
2. Identitas Sampel Penelitian .............................................................
15
3. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Darah ..............................
21
4. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Bulu ................................
22
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Sekuen Gen CHD-Z pada Ayam (Gallus gallus) ...........................
37
2. Sekuen Gen CHD-W pada Ayam (Gallus gallus) ...........................
38
3. Sekuen Gen CHD-Z pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica) ......
39
4. Sekuen Gen CHD-W pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica) ....
40
5.
Sekuen Gen CHD-Z pada Merpati (Columba livia) .......................
41
6. Sekuen Gen CHD-W pada Merpati (Columba livia) .......................
42
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jenis kelamin merupakan informasi yang penting dalam budidaya unggas dan
penangkaran burung. Penentuan jenis kelamin pada sebagian burung sulit dilakukan
karena memiliki ciri-ciri fenotipik yang sangat mirip antara jantan dan betina, bahkan
setelah mencapai dewasa kelamin (monomorfis). Namun, proses perkawinan di suatu
penangkaran dilakukan dengan menyatukan jantan dan betina dalam satu kandang.
Hal ini menjadi suatu permasalahan bagi para breeder karena mereka belum yakin
dengan jenis kelamin burung yang mereka identifikasi. Identifikasi jenis kelamin
sejak dini sangat bermanfaat dalam pengembangbiakan serta menekan biaya
perawatan untuk proses reproduksi di penangkaran.
Secara umum identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan berdasarkan dari
morfologi, kondisi hormonal dan molekuler. Identifikasi berdasarkan morfologi dan
kondisi hormonal hanya dapat dilakukan setelah mengalami dewasa kelamin.
Penentuan jenis kelamin secara molekuler merupakan suatu solusi efektif bagi para
breeder karena dapat dilakukan sejak dini dan dideteksi dari DNA sehingga hasilnya
lebih akurat. Sumber DNA untuk identifikasi jenis kelamin Aves dapat berasal dari
darah dan bulu. Penggunaan bulu dapat menghindari rasa sakit saat koleksi sampel
sehingga mengurangi stres yang terjadi pada burung. Penangkar burung biasanya
menggunakan jasa identifikasi jenis kelamin dengan sumber DNA dari bulu dan
mengirim sampel tersebut ke luar negeri karena masih terbatasnya jasa sexing burung
di Indonesia.
Gen Chromo Helicase DNA binding (CHD) merupakan suatu gen penanda
jenis kelamin pada Aves. Gen CHD berada di kromosom Z dan W, yang terdiri dari
CHD-Z (berada pada kromosom Z) dan CHD-W (berada pada kromosom W)
(Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Gen CHD ini diamplifikasi dengan
menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang membutuhkan primer
yang spesifik sehingga didapatkan hasil yang optimal. Primer sexing yang sering
digunakan yaitu primer P2 dan P8. Griffits et al. (1998) membuktikan bahwa primer
P2 dan P8 ini dapat menentukan jenis kelamin pada 27 spesies burung dari 23
Familia. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan primer P2 dan P8 untuk
1
mengidentifikasi jenis kelamin burung endemik Indonesia seperti kakatua kecil
jambul kuning, kakatua molukan dan beo nias.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada kelas Aves
berdasarkan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) menggunakan primer P2
dan P8. Selain itu, penelitian ini untuk mengetahui kualitas DNA dari hasil ekstraksi
darah dan bulu.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Aves (Bangsa Burung)
Burung atau aves adalah hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan
depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan,
berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka
ringan memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan
bertelur (Welty, 1982). Burung diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, filum
Chordata, subfilum Vertebrata, dan kelas Aves.
Alikondra (2010) menjelaskan bahwa domestikasi adalah suatu urutan proses
pembentukan spesies dalam suatu populasi yang semakin lama semakin disesuaikan
dengan keadaan tidak liar, melalui mekanisme-mekanisme penjinakan dari banyak
generasi untuk mendekati/mencapai tuntutan kebutuhan manusia. Berdasarkan proses
domestikasi kelas Aves terbagi menjadi unggas dan burung.
Unggas
Unggas merupakan jenis (spesies) burung yang telah mengalami domestikasi
dan mempunyai manfaat utama sebagai penghasil pangan (Donham dan Haase,
1980). Beberapa jenis unggas seperti ayam Kampung, itik, puyuh dan merpati
dijelaskan dibawah ini:
Ayam Kampung. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) memiliki kekerabatan
yang dekat dengan dua sub spesies dari ayam hutan merah (G. gallus spadiceus) di
China dan ayam hutan merah (G. gallus gallus) di Thailand (Sulandari dan Zein,
2009). Ayam kampung didefinisikan sebagai ayam yang tidak mempunyai ciri-ciri
khas tertentu, dengan kata lain penampilan fenotipenya masih sangat beragam. Sifatsifat kualitatif seperti warna bulu, warna kulit dan bentuk jengger yang sangat
bervariasi (Sartika dan Iskandar, 2007; Sartika, 2000). Ayam kampung jantan
memiliki bulu ekor sama panjang dengan panjang tubuh dan berpenampilan gagah,
sedangkan betina bulu ekor lebih pendek dari panjang tubuh, memiliki ukuran badan
dan kepala lebih kecil (Gambar 1).
Itik. Itik merupakan salah satu ternak unggas yang dikenal sebagai penghasil telur
dan daging. Itik jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan
3
itik betina (Brahmantiyo et al., 2003). Itik liar mengalami perubahan morfologi yang
bervariasi sesuai dengan tempat berkembangnya setelah mengalami domestikasi
seperti itik alabio, itik tegal, itik mojosari dan lain-lain (Srigandono, 1997). Pola
warna bulu itik mojosari sebagian besar didominasi oleh warna lurik-coklat gelap.
Variasi warna diantaranya adalah kombinasi warna lurik dengan belang putih pada
daerah leher dan bagian dada. Dari sebagian kecil dari populasi itik mojosari muncul
warna bulu putih polos (Suparyanto, 2003) (Gambar 1).
Puyuh. Puyuh merupakan jenis Aves yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif
kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan penghasil daging dan telur sehingga
sering dipelihara oleh masyarakat (Minvielle, 2004). Puyuh jantan dan betina dapat
dibedakan dari pola warna. Ciri-ciri puyuh jantan yaitu pada bagian bulu kepala
sampai ke bagian belakang terdapat warna putih yang berbentuk garis melengkung
tebal, bulu leher, dan dadanya yang berwarna cokelat muda (cinamon) tanpa ada
bercak kehitaman, bulu punggung berwarna campuran cokelat gelap, abu-abu dengan
garis putih dan bulu sayap seperti bulu punggung dengan belang kehitaman. Ciri-ciri
puyuh betina yaitu warna bulu pada kerongkongan dan dada bagian atas berwarna
cokelat muda lebih terang (sawo matang) dengan bercak cokelat tua atau kehitamhitaman (Kasiyati, 2009) (Gambar 1).
Merpati. Merpati termasuk dalam Familia Columbidae dari Ordo Columbiformes.
Merpati termasuk dalam kelas unggas yang telah lama dikenal di Indonesia dengan
sebutan burung dara. Merpati Indonesia merupakan jenis merpati lokal yang berasal
dari merpati liar (Columba livia) yang telah lama dibudidayakan dan asal
penyebarannya dari Eropa (Antawidjaja, 1988). Merpati merupakan salah satu
plasma nutfah di Indonesia. Para hobies menjadikan merpati sebagai hewan
kesayangan untuk dijadikan merpati balap (Darwati et al., 2010). Merpati dapat
dibedakan jenis kelaminnya setelah dewasa kelamin. Merpati betina biasanya lebih
kecil dan tidak terlalu ribut sewaktu kawin, sedangkan merpati jantan tubuhnya lebih
besar, lebih kasar, lehernya lebih tebal dan saat sedang kawin, jantan membuat
gerakan melingkar, memekarkan bulu ekor dan merebahkan bulu sayapnya (Blakely
& Bade, 1994) (Gambar 1).
4
Burung
Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup di dalam ekosistem
alam dengan jumlah populasi yang tinggi. Fimbel et al (2001) menyebutkan bahwa
fungsi ekologis burung yaitu sebagai pollinator, penyebar dan pemangsa benih.
Indonesia memiliki kekayaan hayati berupa burung yang berlimpah. Populasi burung
saat ini mengalami penurunan karena meningkatnya populasi manusia sehingga
habitat asli burung menjadi terganggu. Tingginya permintaan pasar juga salah satu
faktor yang menyebabkan menurunnya populasi burung endemik Indonesia di alam.
Hal ini menyebabkan perlunya pengembangbiakan yang diharapkan mampu
meningkatkan populasi dan kelestariannya dengan upaya penangkaran. Alikondra
(2010) menyebutkan bahwa penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan
pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai
sasaran tertentu. Beberapa jenis burung yang saat ini populasinya menurun akibat
tingginya permintaan pasar yaitu kakatua kecil jambul kuning, kakatua molukan dan
beo Nias.
Kakatua Kecil Jambul Kuning dan Kakatua Molukan. Burung kakatua merupakan jenis burung yang sangat dekat dan banyak digemari oleh masyarakat karena
perilaku yang khas, lucu, riang dan suka menirukan suara. Burung kakatua
merupakan spesies endemik Indonesia (Gambar 1). Indonesia memiliki 77 spesies
dari burung paruh bengkok (Ordo: Psttaciformes, Family: Pssittacidae) yaitu 61
spesies diantaranya masuk ke dalam daftar perdagangan pasar internasional sejak
tahun 1983-1999. Hal ini menyebabkan populasi burung ini mendekati kepunahan
akibat permintaan pasar yang tinggi. Semua burung paruh bengkok Indonesia
terdaftar dalam Appendix CITES yaitu Appendix I (terancam punah) sebanyak 4
spesies dan Appendix II (genting) sebanyak 73 spesies. Salah satu spesies yang
termasuk dalam Appendix I yaitu kakatua molucan (Cacatua moluccensis)
(Soehartono dan Mardiastuti, 2002).
Beo Nias
Burung beo merupakan burung yang paling pintar berbicara di dunia. Burung
ini dapat menirukan suara yang didengarnya dengan cermat (Gambar 1). Burung beo
memiliki sebutan yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia dan dalam bahasa
5
Inggris disebut Mynah (Campbell dan Lack, 1985). Burung beo adalah burung
monomorfik yaitu sulit dibedakan antara jantan dan betina. Hampir semua jenis
burung beo terancam kelestariannya akibat penangkapan dari habitat alaminya.
Burung beo termasuk daftar burung paruh bengkok yang popular dalam pedagangan
burung internasional (Soehartono dan Mardiastuti, 2002).
Gambar 1. Beberapa Jenis Aves: Ayam Kampung Jantan (A.1) dan Betina (A.2)1,
Puyuh Jantan (B.1) dan Betina (B.2)2, Itik Jantan (C.1) dan Betina (C.2)3,
Merpati (D)4, Beo Nias (E)5, Kakatua Molukan (F)6, dan Kakatua Kecil
Jambul Kuning (G)7.
Sumber: 1(Candrawati, 2007)
2
(www.cybex.deptan.go.id)
3
(www.litbang.deptan.go.id)
4
(www.karantina.deptan.go.id)
5
(Shepherd, 2006)
6
(Harrison, 2005)
7
(Harrison, 2005)
Penentuan Jenis Kelamin pada Aves
Penentuan jenis kelamin pada aves dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Penentuan jenis kelamin secara
non molekuler diantaranya yaitu autosexing, vent sexing, karyotyping, steroid sexing
pada feses dan laparoskopi. Penentuan jenis kelamin secara molekuler umumnya
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan
penanda genetik khusus jenis kelamin (Cerit dan Avanus, 2007a). Cara-cara untuk
menentukan jenis kelamin secara non molekuler ini memiliki beberapa kelemahan.
Cara penentuan jenis kelamin secara non molekuler yaitu sebagai berikut:
6
Autosexing. Penentuan jenis kelamin day old chick (DOC) merupakan pekerjaan
yang sangat penting dalam reproduksi di suatu pembibitan. Fakta menarik mengenai
jenis kelamin DOC yang baru menetas dapat diketahui dari bulu menggunakan gen
marker K-k yang berlokasi pada kromosom sex Z. Saat menetas jantan dilihat dari
pertumbuhan bulu primer yang lambat, sementara itu betina diketahui dari
pertumbuhan bulu primer yang lebih cepat. Hal ini menjadi cara yang mudah, tingkat
akurasi yang tinggi dan cepat dalam menentukan jenis kelamin pada ayam sehingga
sering digunakan di pembibitan unggas skala industri (Mincheva et al., 2012).
Autosexing ayam diketahui dari warna bulu akibat mutasi yang terpaut kelamin.
Jantan dan betina dapat diidentifikasi saat penetasan melalui warna bulunya yang
unik (Elbrecht dan Smith, 1992).
Vent Sexing. Vent sexing merupakan metode yang dipopulerkan oleh seorang
profesor Jepang, Kiyoshi Masui pada tahun 1930. Metode ini mengidentifikasi jenis
kelamin berdasarkan area kloaka untuk melihat keberadaan alat kelamin jantan.
Metode itu membutuh orang yang terlatih dan banyak pengalaman. Vent sexers yang
sangat terlatih dengan mudah mengidentifikasi jenis kelamin day old chick (DOC)
dengan tingkat keberhasilan hingga 95%. Seorang ahli juga dapat mengalami
kesalahan dalam mengidentifikasi burung yang monomorfik (Bramwell, 2003).
Laparoskopi (Pembedahan). Karakteristik saluran reproduksi dapat langsung
dilihat dengan menggunakan laparoskopi. Gonad burung dewasa lebih mudah
divisualisasi dibandingkan dengan anakan. Metode ini dilakukan dengan penyayatan
kecil pada sisi kiri tubuh burung sehingga memiliki resiko yang tinggi yaitu cedera
pada organ vital burung yang dibedah. Pemeriksaan ini dapat berbahaya dan bahkan
mematikan burung tersebut (Swengel, 1996; Cerit dan Avanus, 2007a).
Steroid Sexing pada feses. Metode ini didasarkan pada tingkat hormon
estrogen/testosterone (E/T) dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki
rasio E/T yang tinggi daripada burung jantan. Hasil terbaik dapat diperoleh dari
burung-burung dewasa selama musim kawin dan dilakukan pada feses segar
(Swengel, 1996; Cerit dan Avanus, 2007a).
7
Karyotyping. Sumber untuk isolasi kromosom dan penentuan kariotipe dapat
diperoleh dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Sebagian
besar kromosom spesies burung adalah mikrokromosom sehingga sulit untuk
menghitung mikrokromosom ini secara akurat. Kromosom Z memiliki ukuran yang
lebih besar dibandingkan dengan kromosom W (Archawaranon, 2004). Kelemahan
dari metode ini yaitu prosedur yang memakan waktu lama (Cerit dan Avanus, 2007a)
Gen CHD (Chromo Helicase DNA Binding)
Gen Chromo Helicase DNA binding (CHD) merupakan suatu gen penanda
jenis kelamin pada Aves. Gen CHD berada di kromosom Z dan W, yang terdiri dari
CHD-Z (berada pada kromosom Z) dan CHD-W (berada pada kromosom W)
(Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Gen CHD (chromo helicase DNA binding)
merupakan gen pertama yang berlokasi di kromosom W (CHD-W) pada aves
(Griffiths and Tiwari, 1995). CHD-Z berlokasi pada kromosom Z (Griffiths and Korn
1997), yang ada pada dua jenis kelamin (ZZ dan ZW). Struktur protein dari CHD-Z
dan CHD-W diketahui memiliki perbedaan yang sangat sedikit (Fridolfson dan
Ellergen, 1999). Sejauh ini hanya sedikit gen yang terdapat pada kromosom W untuk
mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves, namun gen yang paling umum digunakan
yaitu gen CHD.
Aves mempunyai kromosom sex yang berbeda dibandingkan dengan
mamalia. Sifat heterogametik pada burung dimiliki oleh betina (ZW) sedangkan
jantan merupakan homogametik (ZZ) (Ellergren, 1996). Gen CHD
(Chromo
Helicase DNA binding) dapat menunjukkan perbedaan antara alel Z dan W pada
betina (Griffiths et al., 1996). Perbedaan ini terjadi karena adanya keterpautan
(linkage) antara posisi gen CHD dengan kromosom kelamin pada Aves (kromosom Z
dan W) (Griffith dan Korn, 1997).
Sejak ditemukannya perbedaan pada gen jenis kelamin CHD-Z dan CHD-W
pada kebanyakan jenis burung, kemudian gen ini diamplifikasi dengan PCR
(Griffiths et al., 1998; Kahn et al., 1998; Fridolfsson dan Ellegren, 1999). Banyak
primer yang telah didesain untuk mengenali ukuran intron yang berbeda pada gen
CHD. Namun primer yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi jenis
kelamin pada Aves yaitu P2 dan P8 (Griffiths et al., 1998).
8
Isolasi DNA Total
Teknik PCR memerlukan suatu DNA cetakan (DNA template) yang nantinya
akan diperbanyak secara in vitro. DNA cetakan didapatkan dari hasil ekstraksi dan
purifikasi suatu sel, jaringan atau organ. Sebagian besar DNA pada sel hewan
terdapat di dalam inti dan sebagian yang lain terdapat di organel seperti mitokondria.
Ekstraksi dan purifikasi DNA pada prinsipnya adalah suatu cara atau metoda untuk
memisahkan DNA total dari komponen sel lainnya (Sulandari dan Zein, 2003).
Setiap sel atau jaringan yang memiliki DNA memungkinkan untuk dilakukan
ekstraksi DNA. Namun kualitas dan jumlah DNA yang diperoleh dapat bervariasi
tergantung asal jaringan, metode penyimpanan, dan cara ekstraksi. Ekstraksi DNA
dari fosil, rambut atau bulu, dan feses biasanya lebih sulit dilakukan (Taberlet et al.
1996).
Prinsip metode purifikasi pada semua jaringan hewan tidak jauh berbeda,
yaitu terdiri atas tiga tahapan utama. Tiga tahapan tersebut secara berurutan adalah
penghancuran (lisis) membran sel, pemisahan material DNA dari material organik sel
lain, dan pemisahan DNA dari larutannya (presipitasi) (Sambrook et al. 1989).
Secara umum dalam studi molekuler burung, DNA total didapatkan dari hasil
ekstraksi dan purifikasi darah lengkap (whole blood). Inhibitor (penghambat) yang
terdapat pada beberapa jaringan memerlukan perlakuan khusus dalam proses
ekstraksi sehingga hasilnya akan sulit untuk di PCR. Ekstraksi DNA dapat dilakukan
secara manual ataupun menggunakan DNA extraction kit (kit). Ekstraksi DNA
dengan menggunakan kit umumnya menghasilkan DNA dengan kualitas yang lebih
baik (Schill, 2007).
Bulu merupakan struktur khusus sebagai penciri dalam kelas Aves. Bulu
burung mempunyai prospek menjadi sumber DNA karena pada pangkal bulu
(calamus) banyak mengandung sel epitel. Bulu dapat diperoleh secara langsung
(pada saat mabung) maupun tak langsung (dicabut) dengan tingkat resiko kecil pada
burung tersebut. Namun karena pada bulu banyak mengandung unsur keratin dan
sudah mengeras, maka sulit untuk didapatkan DNAnya. Komponen bulu terdiri dari
α dan β-keratin yang tersusun oleh bermacam-macam asam amino (Harrap dan
Woods, 1964).
9
Seleksi Menggunakan Penanda Molekuler
Metode seleksi sederhana berdasarkan informasi fenotipe telah banyak
dilakukan untuk perbaikan produktivitas ternak, namun terdapat beberapa
keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal
untuk diukur dan diamati (Vischer et al., 2000). Salah satu metode untuk mengatasi
kelemahan tersebut adalah dengan melakukan seleksi menggunakan penanda
molekuler.
Poymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan
oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA
berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang
primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer forward
dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Enzim yang digunakan
sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase.
Untuk mencetak rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs
(deoxynucleoside triphosphat) yang mencakup dATP (nukleotida berbasa Adenine),
dCTP (Cytosine), dGTP (Guanine) dan dTTP (Tymine) (Muladno, 2002).
Proses PCR terdiri dari tiga tahapan yaitu : (1) Denaturasi, yaitu perubahan
struktur DNA utas ganda menjadi utas tunggal, (2) Annealing, yaitu penempelan
primer pada sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, dan (3) Ekstensi,
yaitu pemanjangan primer oleh DNA polymerase. PCR biasanya berlangsung dalam
35-40 siklus (Muladno, 2002). Tahap denaturasi DNA berlangsung dalam suhu 94 ºC
sehingga DNA untai ganda dapat terpisah menjadi utai tunggal. Tahap yang paling
menentukan adalah tahap penempelan primer, karena setiap pasang primer memiliki
suhu penempelan primer yang spesifik. Tahap pemanjangan primer berlangsung pada
suhu 27 ºC. Pada tahap ini enzim taq polymerase, buffer, dNTP, dan Mg2+ memulai
aktifitasnya memperpanjang primer (Viljoen et al., 2005). Proses PCR disajikan pada
Gambar 2.
10
Gambar 2. Proses Poymerase Chain Reaction (PCR)
(Nicholas, 2004)
Polymerase Chain Reaction-Single Strand Comformation Polymorphism
(PCR-SSCP) merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan
produk PCR. Metode ini merupakan pemisahan asam nukleat rantai tunggal (single
stranded nucleic acids) hasil amplifikasi PCR dengan elektroforesis melalui gel
poliakrilamid dan berdasarkan pada perbedaan berat model pasangan basa, sehingga
dapat menghasilkan perbedaan struktur sekuen gen (Orita et al., 1989). Prinsip yang
mendasari metode analisis SSCP adalah perbedaan asam nukleotida yang akan
mempengaruhi bentuk fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) akan
menyebabkan pola migrasi pada saat elektroforesis dalam gel poliakrilamid (Baroso
et al., 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al.,
1999).
Elektroforesis
Elektroforesis adalah proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu
medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada
muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja dari elekroforesis yaitu
berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif yang bergerak menuju
kutub positif (Klug & Cummings, 1994). Proses elektroforesis membutuhkan agar
atau gel sebagai medium untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses
elektroforesis yaitu agarose dan poliakrilamid. Gel agarose adalah koloid alami yang
11
diekstrak dari rumput laut. Gel agarose memiliki pori berukuran besar dan kegunaan
utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat besar dengan berat molekul lebih
dari 200 kiladalton (Sambrook et al., 1989). Posisi molekul yang terseparasi dapat
dilihat dengan pewarnaan gel. Untuk mendeteksi potongan-potongan DNA berupa
larik DNA pada gel agarose digunakan pewarna yang mengandung fluorescen
dengan konsentrasi rendah seperti ethidium bromide (EtBr) (Fatchiyah, 2006).
Resolusi optimal dalam separasi fragmen DNA akan didapatkan apabila
pemilihan konsentrasi gel tepat. Besar kecilnya pori-pori pada agarose ditentukan
oleh konsentrasinya, makin tinggi konsentrasi agarose, maka makin kecil pori yang
terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul, dimana migrasi fragmen
DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen yang lebih kecil (Fatchiyah,
2006).
Gel
poliakrilamida
terbentuk
tanpa
pemanasan,
melainkan
dengan
pencampuran larutan akrilamida dengan ammonium sulfat dan TEMED (N,N,N’,N’tetramethylethylenediamine). Pencampuran ini akan mengakibatkan monomer
akrilamida mengalami polimerisasi menjadi rantai panjang. Penambahan senyawa
lain N,N’-methylene bis-akrilamida (bis-akrilamida) di dalam proses polimerisasi,
terbentuk cross-linker antar rantai panjang sehingga terbentuk gel yang tingkat
porositasnya ditentukan oleh panjang rantai dan derajat penyilangan antar rantai
(cross-link). Panjang rantai polimer akrilamida ditentukan oleh konsentrasi
akrilamida di dalam reaksi polimerisasi (antara 3.5% dan 20%). Senyawa bisakrilamida yang berfungsi sebagai cross-linker ditambahkan dengan perbandingan
1:29 terhadap akrilamida (Muladno, 2002).
Elektroforesis gel poliakrilamida dilakukan pada posisi vertikal. Gel
poliakrilamida memiliki tiga keuntungan yaitu: (1) resolusi dalam pemisahan
molekul DNA jauh lebih tinggi sehingga panjang molekul DNA yang berbeda hanya
satu nukleotida dapat dideteksi, (2) gel poliakrilamida dapat menampung jumlah
DNA yang lebih besar daripada gel agarose dan (3) DNA yang diekstrak dari gel
poliakrilamida bersifat sangat murni dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut
(Muladno, 2002). Karakteristik dari gel agarose dan poliakrilamid ditampilkan pada
Tabel 1.
12
Tabel 1. Karakteristik Gel Agarose dan Poliakrilamid
Jenis Gel
Agarose
Poliakrilamid
Konsentrasi Gel Agarose (%)
0,2
0.4
0,6
0,8
1,0
1,5
2,0
3,0
3,5
5,0
8,0
12,0
15,0
20,0
Kisaran ukuran DNA (pb)
5000-40000
5000-30000
3000-10000
1000-7000
500-5000
300-3000
200-1500
100-1000
1000-2000
80-500
60-400
40-200
25-150
6-100
Sumber: (Sambrook et al., 1989)
13
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012. Koleksi
sampel darah unggas dilakukan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Koleksi sampel bulu dilakukan di Penangkaran Burung
“Megananda Bird Orchid Farm”, Ciluer, Bogor. Analisis identifikasi jenis kelamin
Aves dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan
Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 16 sampel darah unggas
yang terdiri dari ayam kampung, puyuh, itik dan merpati serta 5 sampel bulu burung
yang terdiri dari kakatua kecil jambul kuning, kakatua molukan dan beo nias
(Gambar 3). Identitas sampel penelitian ditampilkan pada Tabel 2.
Pengambilan Sampel
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah alkohol
70%, kapas dan EDTA. Alat yang digunakan adalah jarum venojeck, tabung
eppendorf 1,5 ml dan pipa kapiler.
Ekstraksi DNA
Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA darah yaitu sampel darah, RBC
lisis buffer, 1 x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M EDTA), SDS 10% (sodium
dodesil sulfat), Proteinase-K 5 mg/ml, fenol, CIAA, NaCl 5M, EtOH absolut, buffer
TE 80% (tris EDTA) dan tissue. Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf
1,5 ml, satu set mikro pipet dan tip, gunting, vortexmixer, sentrifuge, rotary mixer,
inkubator, refrigerator, dan freezer. Ektraksi DNA dari bulu dan feses menggunakan
kit extraction (ekstraksi kit) dengan menggunakan bahan yang with urea, ProteinaseK 10 mg/ml, PB Buffer dan EB buffer. Alat yang digunakan yaitu tabung spin,
sentrifuge, inkubator, dan rotary mixer.
14
Tabel 2. Identitas Sampel Penelitian
Ordo
Galliformes
Family
Phasianidae
Spesies
Nama Latin
Gallus gallus domesticus
Nama Inggris
Chicken
Nama Indonesia
Ayam Kampung
Asal Sampel
Laboratorium
Jenis
Jumlah
Jenis kelamin
Sampel
Sampel
yang diketahui
Darah
4
2♂ & 2♀
Darah
4
2♂ & 2♀
Darah
4
2♂ & 2♀
Darah
4
2♂ & 2♀
lapang
Galiformes
Phasianidae
Coturnix c. Japonica
Quail
Puyuh
Laboratorium
lapang
Anseriformes
Anatidae
Anas plathyrynchos
Duck
Itik
Laboratorium
lapang
Columbiformes
Columbidae
Columba livia
Rock Pigeon
Merpati
Laboratorium
lapang
Passeriformes
Sturnidae
Gracula religiosa robusta
Common Hill Mynah
Beo nias
Penangkaran
Bulu
1
-
Psittaciformes
Psittacidae
Cacatua moluccensis
Salmon-crested Cockatoo
Kakatua molukan
Penangkaran
Bulu
2
-
Psittaciformes
Psittacidae
Cacatua sulphurea
Yellow-crested Cockatoo
Kakatua kecil
Penangkaran
Bulu
2
-
jambul kuning
15
15
Gambar 3. Jenis Sampel: Ayam Kampung Jantan (A.1) dan Betina (A.2), Puyuh
Jantan (B.1) dan Betina (B.2), Itik (C), Merpati (D), Beo Nias (E),
Kakatua Molukan (F), dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (G).
Sumber : Dokumentasi pribadi
Primer Sexing
Primer merupakan molekul oligonukleotida yang berukuran pendek (sekitar
18-24 pasang basa) yang akan menempel pada DNA cetakan di tempat spesifik.
Pasangan primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen CHD berdasarkan
Griffiths et al. (1998) dengan runutan primer forward 5’- TCT GCA TCG CTA AAT
CCT TT-3’, dan primer reverse 5’- CTC CCA AGG ATG AGR AAY TG-3’ dengan
produk hasil amplifikasi sepanjang 300-400 bp. Sekuen gen CHD pada spesies
didapatkan dari genBank, yaitu ayam (CHD-Z: Nomor Akses AF006659 dan CHDW: Nomor Akses AF006660), puyuh (CHD-Z: Nomor Akses HQ175997 dan CHDW: Nomor Akses HQ175998) dan merpati (CHD-Z: Nomor Akses GU289184 dan
CHD-W: Nomor Akses GU289183).
16
Amplifikasi DNA
Amplifikasi DNA menggunakan bahan-bahan yaitu sampel DNA, buffer,
MgCl2, dNTP (deoxy Nukleotida Triposfat), enzim Taq Polymerase, destilated water
(DW) dan pasangan primer. Alat-alat yang digunakan dalam amplifikasi DNA yaitu
satu set mikropipet dan tip, mesin thermocycler, sentrifuge, rak, vortex dan tabung
eppendorf.
Elektroforesis
DNA yang telah diamplifikasi dielektroforesis menggunakan gel agarose
konsentrasi 2%. Bahan yang digunakan untuk elektroforesis gel agarosa adalah
produk PCR, agarose, loading dye, marker 100 bp, 0,5 x TBE, dan Ethidium
Bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia,
gelas ukur, stirrer, microwave, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply
electrophoresis 100 volt, alat foto UV trans iluminator, dan sarung tangan.
Prosedur
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dari darah dan bulu. Prosedur ekstraksi DNA darah
mengikuti metode phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989) dan ekstraksi DNA
dari bulu dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi.
Ekstraksi DNA Darah. Sampel darah diambil sebanyak 50 µl dipindahkan ke dalam
tabung 1,5 ml dan ditambahkan 800 µl RBC lisis buffer kemudian dihomogenkan
menggunakan vortex selama ± 5 menit. Campuran tersebut kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 8000 rpm (rotation per minutes) selama 5 menit dan bagian
supernatannya dibuang. Bagian sel darah yang diperoleh ditambahkan dengan 40 µl
SDS 10%, 10 µl Prot K 5 mg/ml dan 300 µl 1 x STE, dikocok pelan dalam inkubator
pada suhu 55 ºC selama 2 jam. Molekul DNA dimurnikan dengan cara penambahan
larutan fenol sebanyak 400 µl, 400 µl CIAA dan 40 µl NaCl 5M, kemudian dikocok
pelan pada suhu ruang selama 1 jam.
Molekul DNA yang larut dipisahkan dari fase phenol dengan alat sentrifugasi
pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Bagian DNA (bening) sebanyak ± 400
µl dipindahkan dengan menggunakan pipet ke tabung 1,5 ml baru dan ditambahkan
800 µl EtOH absolut serta 40 µl NaCl 5M, kemudian dibekukan selama satu malam.
17
Molekul DNA kemudian dipisahkan dari EtOH absolut dengan disentrifugasi pada
kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit kemudian dibuang bagian supernatan sehingga
diperoleh endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan dalam keadaan
terbuka hingga kering dan disuspensikan dalam 100 µl TE (tris-EDTA) 80% dan
disimpan dalam freezer sampai akan digunakan.
Ekstraksi DNA Bulu. Ekstraksi DNA dari bulu dilakukan dengan kit ekstraksi.
Sampel calamus dipotong kecil lalu diletakkan di tabung effendorf 1,5 ml, kemudian
ditambahkan “yang with urea” 1000 µl, dan prot K 10 mg/ml kemudian diinkubasi
sambil digoyang pada suhu 38 ºC selama satu malam. Sampel diberi prot K 10
mg/ml 20 µl dan diinkubasi pada suhu 55 ºC selama 2 jam lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Sampel sebanyak 500 µl ditambahkan 2500 µl
PB buffer, kemudian sampel diambil 750 µl dan dipindahkan ke tabung spin lalu
disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama satu menit dan diulangi hingga
semua campuran sampel dan PB buffer habis. Tabung ungu dipindahkan ke tabung
1,5 ml, ditambahkan 100 µl EB, didiamkan selama 5 menit dan disentrifugasi dengan
kecepatan 13000 rpm selama satu menit. Sampel DNA akan tertampung di tabung
1,5 ml.
Kualitas DNA
Kualitas
DNA
dapat
diketahui
dengan
cara
spektrofotometer
dan
elektroforesis. Sampel 3 µl dan 597 µl destilated water (DW) dan blanko kemudian
dispektrofotometer untuk mengetahui kualitas DNA dari sampel. Selain itu sampel
5 µl dicampurkan dengan loading dye kemudian dielektroforesis pada gel agarose
1,5 %.
Amplifikasi Gen CHD
Amplifikasi gen CHD secara in vitro menggunakan teknik PCR dengan
mesin
thermocycler.
Pereaksi
PCR
terdiri
dari
sampel
DNA
1
µl,
destilated water (DW) 18,9 µl, primer 0,3 µl, dNTP 0,2 µl, MgCl2 1 µl, dream taq
buffer 2,5 µl, enzim taq Polymerase 0,1 µl dengan volume akhir 23 µl. Campuran
tersebut kemudian diamplifikasi secara in vitro dalam mesin thermocycle dengan
kondisi pra-denaturasi 95 ºC selama lima menit, tahapan selanjutnya terdiri dari 35
siklus dengan masing-masing siklus terdiri dari denaturasi 95 ºC selama 30 detik,
18
anneling pada suhu 60 ºC selama 45 detik, dan elongasi pada suhu 72 ºC selama satu
menit. Kemudian tahap terakhir adalah elongasi akhir 72 ºC selama lima menit.
Elektroforesis
Produk PCR sebanyak 5 µl dicampurkan dengan loading dye (bromothymol
blue 0,01%, xylene cyanol 0,01%, dan gliserol 50%) sebanyak 1 µl dengan
menggunakan mikropipet lalu dimasukkan dalam sumur-sumur gel dan satu sumur
gel dimasukkan marker sebanyak 2 µl yang digunakan sebagai penanda. Kemudian
gel ditempatkan ke dalam gel tray elektroforesis yang sudah berisi larutan buffer dan
dialiri listrik 100 volt selama 30 menit, molekul DNA yang bermuatan negatif pada
pH netral akan bergerak (bermigrasi) ke arah positif. Gel agarose yang telah selesai
dielektoforesis kemudian diambil untuk melihat panjang pita DNA dengan
menggunakan sinar ultraviolet dalam trans illuminator. Panjang pita DNA dapat
diketahui dengan cara menarik garis lurus masing-masing pita sampel DNA dengan
posisi pita DNA marker.
Rancangan dan Analisis Data
Genotyping
Jenis kelamin setiap individu ditentukan berdasarkan pita-pita yang muncul
pada gel agarosa dan poliakrilamid. Jenis kelamin jantan menghasilkan satu pita dan
betina dua pita (Griffith et al., 1998). Penentuan genotipe dari setiap individu
ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 4. Penentuan Genotipe Gen CHD pada Aves
(Griffith et al., 1998)
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA
Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga
dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis
Aves memiliki pembuluh darah yang kecil seperti kakatua (Psittacidae) dan beo
(Sturnidae) sehingga ekstraksi DNA dari darah sulit dilakukan. Selain itu
penggunaan bulu dapat mengurangi stres pada burung dan mempermudah
pengambilan sampel pada jenis Aves yang ukuran tubuhnya kecil (Bello et al.,
2001). Cerit dan Avanus (2007b) menambahkan bahwa penggunaan bulu dapat
menghindari rasa sakit pada burung dan menurunkan resiko kontaminasi sehingga
biaya yang dibutuhkan lebih rendah.
Metode ekstraksi DNA dari sampel harus ditentukan dengan tepat. Ekstraksi
DNA pada penelitian ini dilakukan secara konvensional dan menggunakan extraction
kit (kit). Ekstraksi DNA yang berasal dari darah dilakukan dengan menggunakan
metode konvensional atau phenol chloroform, sedangkan ekstraksi DNA yang
berasal dari bulu dilakukan dengan menggunakan kit. Hal ini karena darah
merupakan sumber DNA yang paling umum digunakan sehingga dapat digunakan
metode phenol chloroform untuk efisiensi biaya. Dubiec dan Zagalska-Neubaurer
(2005) menjelaskan bahwa ekstraksi DNA dengan metode phenol chloroform
(Sambrook et al., 1989) menghasilkan kualitas dan kuantitas DNA yang optimal
dengan biaya lebih murah. Hickman et al. (1984) menyatakan bahwa sumber DNA
pada bulu didapat dari pangkal bulu (calamus) yang banyak mengandung sel epitel
dan mengandung penghambat (inhibitor) yaitu keratin sehingga proses ekstraksi
menjadi cukup sulit. Hasil ekstraksi DNA dengan menggunakan kit menghasilkan
kualitas DNA yang lebih baik, namun penggunaaan kit akan meningkatkan biaya.
Kualitas DNA
Kualitas DNA berkorelasi dengan kemurnian dan intensitas molekul dari
DNA. Pengujian kemurnian dan konsentrasi DNA hasil ekstraksi dapat diketahui
dengan menggunakan alat spektrofotometer dan intensitas molekul DNA dapat
diketahui dengan melihat intensitas cahaya dari pita DNA pada gel (Muladno, 2002).
20
Pengukuran jumlah DNA dengan spektrofotometer didasarkan pada prinsip
iradiasi sinar ultraviolet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan.
Analisis asam nukleat umumnya dilakukan untuk penentuan konsentrasi rata-rata dan
kemurnian DNA yang terdapat dalam sampel. Jumlah dan kemurnian tertentu
diperlukan untuk kinerja optimal sampel DNA yang digunakan. Asam nukleat
menyerap sinar ultraviolet dengan pola tertentu. Sampel ditembus sinar ultraviolet
dan fotodetektor cahaya pada 260 nm, semakin besar cahaya yang diserap sampel,
maka semakin tinggi konsentrasi asam nukleat dalam sampel (Sambrook & Russel
2001). Hasil kemurnian dan konsentrasi DNA darah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Darah
Sumber DNA
Kemurnian (A260/A280)
Konsentrasi (µg/µl)
Ayam 1
Ayam 2
Ayam 3
Ayam 4
Puyuh 1
Puyuh 2
Puyuh 3
Puyuh 4
Itik 1
Itik 2
Itik 3
Itik 4
Merpati 1
Merpati 2
Merpati 3
Merpati 4
1,546
1,438
0,965
1,741
1,417
1,417
1,391
1,100
1,100
1,200
1,433
1,611
1,571
1,667
1,429
1,500
1670
230
5640
1010
340
170
320
110
110
60
2020
580
110
100
100
150
Rataan
1,408
795
Konsentrasi DNA yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 50 μg/ml,
adapun untuk sampel yang memiliki konsentrasi DNA di atas 50 μg/ml dilakukan
pengenceran dengan menambahkan air destilata. Penggunaan sampel dengan
konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar keberhasilan amplifikasi seragam. Tabel
3 menunjukkan konsentrasi DNA darah hasil ekstraksi memiliki nilai yang bervariasi
antara 60 sampai 5640 μg/ml. Hal ini disebabkan sampel darah yang diekstraksi
berasal dari sumber yang berbeda sehingga memiliki pengotor DNA yang berbeda.
21
Adanya bahan pengotor pada sumber DNA akan mempengaruhi konsentrasi DNA
yang diperoleh.
Hasil rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm menunjukkan
tingkat kemurnian dari DNA. Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kemurnian DNA
darah sebesar 1,408 yang berarti DNA yang dihasilkan tidak terlalu murni. Sambrook
et al. (1989) menjelaskan DNA dapat dikatakan murni apabila rasio absorbansi pada
panjang gelombang 260/280 nm dalam kisaran 1,8 – 2,0. Hal ini disebabkan oleh
adanya pengotor yang terdapat pada darah seperti protein sehingga menjadi sumber
kontaminan pada DNA. Selain itu enzim proteinase tidak bekerja secara optimal saat
proses ekstraksi DNA darah yang dilakukan dengan metode konvensional. Sambrook
et al, (1989) menjelaskan bahwa rasio A260/A280 akan semakin besar atau kecil dari
nilai 1,8-2,0 jika ditemukan kontaminasi dari protein atau fenol. Secara umum DNA
darah hasil ekstraksi dapat digunakan untuk proses amplifikasi.
Bulu burung merupakan suatu modifikasi dari jaringan kulit yang menanduk.
Bulu dapat dijadikan sebagai alternatif sebagai sumber DNA. Hasil kemurnian dan
konsentrasi DNA bulu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Bulu
Sumber DNA
Kemurnian (A260/A280)
Konsentrasi (µg/µl)
Beo nias
Kakatua molukan 1
Kakatua molukan 2
Kakatua kecil jambul kuning 1
Kakatua kecil jambul kuning 2
1,429
1,273
1,643
1,250
1,400
200
280
230
200
210
Rataan
1,399
224
Nilai konsentrasi DNA bulu hasil ekstraksi memiliki hasil yang seragam
dengan kisaran antara 200 sampai 280 μg/ml (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh
metode ekstraksi pada bulu dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi. Hasil
rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm menunjukkan tingkat
kemurnian dari DNA. Rata-rata kemurnian DNA bulu yaitu 1,399 yang berarti DNA
yang dihasilkan berada dibawah kisaran DNA murni yaitu 1,8 – 2,0. Hal ini karena
bulu banyak mengandung protein (keratin) yang dapat menjadi pengotor DNA
maupun penghambat (inhibitor) saat ekstraksi (Schill, 2007).
22
Pengujian kualitas DNA dengan menggunakan gel ditentukan oleh intensitas
cahaya dari pita DNA pada media gel. Penilaian kualitas DNA dilakukan dengan
elektroforesis pada gel agarose 1,5% dengan tegangan 100 volt selama 45 menit.
Hasil uji kualitas DNA pada gel agarose 1% disajikan pada Gambar 5.
Darah
Bulu
M
Gambar 5. Elektroforesis DNA Hasil Ekstraksi pada Gel Agarose 1,5%
Pita DNA darah lebih terang daripada pita DNA bulu pada gel agarose 1,5%
(Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh konsentrasi DNA darah yang lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi DNA bulu. Hasil ekstraksi darah pada gambar terlihat ada
bagian smear. Smear merupakan bagian DNA yang terdegradasi sehingga
menghasilkan DNA dalam berbagai ukuran. Sampel DNA yang berkualitas baik,
tidak mengandung DNA yang terdegradasi. Tebalnya smear yang terlihat pada
gambar dapat disebabkan oleh kurangnya TE (Tris-EDTA) ketika melarutkan sampel
DNA.
Amplifikasi Gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD)
Penelitian ini menggunakan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD)
untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR). Primer spesifik yang digunakan pada penelitian ini yaitu primer P2
dan P8 karena primer ini yang paling sering digunakan untuk identifikasi jenis
23
kelamin pada Aves. Griffith et al. (1998) membuktikan bahwa primer P2 dan P8 ini
berhasil mengamplifikasi 27 jenis dari 28 spesies burung yang diteliti.
Amplifikasi gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) dilakukan pada
mesin thermal cycler dengan suhu annealing 60 ºC. Penentuan jenis kelamin dengan
primer P2 dan P8 dilakukan dengan melihat jumlah pita hasil elektroforesis. Jantan
memiliki satu pita dan betina memiliki dua pita. Hal ini karena Aves memiliki
kromosom sex yang berbeda dengan mamalia. Sifat heterogametik pada burung
dimiliki oleh betina (ZW) sedangkan jantan merupakan homogametik (ZZ)
(Ellergren, 1996). Gen CHD (Chromo Helicase DNA binding) dapat menunjukkan
perbedaan antara alel Z dan W pada betina (Griffiths et al,. 1996). Perbedaan ini
terjadi karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi gen CHD dengan
kromosom kelamin pada Aves (kromosom Z dan W) (Griffith dan Korn, 1997).
Sebanyak 21 sampel Aves telah berhasil diamplifikasi dengan menggunakan
primer P2 dan P8. Hasil amplifikasi gen CHD menggunakan primer P2 dan P8
disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Amplifikasi Gen CHD Menggunakan Primer P2 dan P8 pada Ayam
Kampung (A), Puyuh (B), Itik (C), Merpati (D), Beo Nias (E), Kakatua
Molukan (F) dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (G) dengan
Elektroforesis Gel Agarose 2%.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pola pita pada ayam, puyuh dan itik tidak
berbeda antara jantan dan betina yaitu sama-sama memiliki pita tunggal pada gel
agarose 2%. Berbeda halnya pada merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua
kecil jambul kuning yang memiliki pola pita berbeda antara jantan dan betina pada
24
gel agarose 2%. Penelitian ini menggunakan sembilan spesies Aves yang berbeda
sehingga setiap spesies memiliki ukuran fragmen yang berbeda pula karena memiliki
urutan basa yang berbeda. Panjang produk hasil amplifikasi gen CHD pada
penelitian ini dengan menggunakan primer P2 dan P8 berkisar antara 300-400 bp.
Hal ini sesuai dengan Griffiths et al. (1998) yang menemukan panjang produk hasil
amplifikasi gen CHD menggunakan primer P2 dan P8 dengan kisaran yang sama.
Fridolfsson & Ellergen (1999) dan Jensen et al. (2003) menjelaskan bahwa
perbedaan ukuran antara fragmen spesifik Z dan W pada primer P2 dan P8 sekitar
10-80 bp.
Hasil amplifikasi gen CHD pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus)
tidak menunjukkan pola pita yang berbeda antara jantan dan betina pada gel agarose
2% (Gambar 6). Sekuen gen CHD yang ditemukan dari genBank berasal dari ayam
hutan (Gallus gallus) memiliki panjang fragmen spesifik Z dan W yaitu 345 bp dan
362 bp yang diketahui dari sekuen gen CHD-Z (GenBank Nomor Akses AF006659)
dan CHD-W (GenBank Nomor Akses AF006660) sehingga memiliki perbedaan
fragmen Z dan W sebesar 17 bp (Gambar 7). Sekuen gen ini dapat dijadikan sebagai
acuan untuk ayam kampung dengan perbedaan fragmen yang tidak jauh berbeda
dengan ayam hutan (Gallus gallus).
Hasil amplifikasi gen CHD pada puyuh yang tidak menunjukkan pola pita
yang berbeda antara jantan dan betina (Gambar 6). Hal ini disebabkan oleh
perbedaan ukuran pita Z dan W yang tipis yang mengakibatkan pita Z dan W
berimpit. Hal ini terbukti dengan panjang fragmen spesifik Z dan W adalah 385 dan
379 dari sekuen gen CHD-Z (GenBank Nomor Akses HQ175997) dan CHD-W
(GenBank Nomor Akses HQ175998) (Gambar 7). Perbedaan ukuran fragmen hanya
6 bp yang mengakibatkan pita Z dan W tidak terpisah pada gel agarose 2%. Morinha
et al. (2011) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa primer P2 dan P8 tidak
berhasil membentuk pola pita yang berbeda antara jantan dan betina di gel agarosa,
namun mendapat hasil yang berbeda dengan menggunakan resolusi gel yang sangat
tinggi yaitu PCR-SSCP pada Coturnix c. japonica.
Hasil amplifikasi gen CHD pada itik tidak menunjukkan pola pita yang
berbeda antara jantan dan betina (Gambar 6). Hal ini diduga bahwa perbedaan
ukuran pita Z dan W yang relatif sedikit sehingga tidak dapat dipisahkan pada media
25
gel agarose 2%. Informasi mengenai sekuen gen CHD-Z dan CHD-W pada itik
belum ditemukan sehingga perbedaan ukuran fragmen spesifik Z dan W belum dapat
diketahui.
forward (P8)
Cl_CHD-Z
: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTGTGTCTTGGTTCTGATTGACTTGTGCTTTTGTGTTGCT
Cl_CHD-W
: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTATCTCTGGGTTTTGACCAACTAACTTCTTGTTGTTGTG
Ccj_CHD-Z
: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTACCTCTGGGTTTTGACTGTATTGTGTTTTTATTTTGAT
Ccj_CHD-W : CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTATCGTTGGGTTTTGACTGATTTTTTTTCTTTGATACTT
Gg_CHD-Z
: CTCCCGAGGATGAGAAACTGTGCAAAACAGGTACCTCTGGGTTTTGACTGTCTTGCGTCTTTATGTTGAT
Gg_CHD-W : CTTCCAAGAATGAGAAACTGTGCAAAACAGGTATCTCTGGGTTCTGACTGATTTTTTTCTTTGATACTTC
Cl_CHD-Z
: GTTGGTTTAGTTTGTTGGGGATTGTTGTTGGGTTTTGTTTTTTTAGGGTTTTTTCCGTTTTCTGAACACG
Cl_CHD-W
: TTTCTTTGTTTTTTCATTACTGTTGTTTTTGGCTTGTACTTTTCACCCCCCATTTTTGACAGGCTAGATA
Ccj_CHD-Z
: ATTTTGATTTTGGTTTTTGCCTTCGTGTTTTGTTTTGTTTTGTTTTTTGTTTGTTTTTTGGTTTTTTTCT
Ccj_CHD-W : CCATTGCTGATGTTTTGGCTTGTACTTTTGTGTTGCGTGGTTTTCATCTGTTTTCCCCCCCAAATATTTT
Gg_CHD-Z
: ATTTTCATTTGAGTTTTTGCCTTTTTTCCCCCTTCTCTGAATTCATATTTTTGTCAGGCTAGATAAGACT
Gg_CHD-W : TATTGCTGATGTTTTGACTTGTACTTTTGTGTTGTGTGGTTTTCGTGTGTTTTTCCCCCAAAATATTTTT
Cl_CHD-Z
: TATTTTTGACAGGTTAGGCAAAACTTGACCTGTGTTTGTCAATCGCATAGCTTTGAACTACTTATTCTGA
Cl-CHD-W
: GCACATTATTAAAATGTTTTAGTCACATAGCTTTGAACTACTTAATCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAAT
Ccj_CHD-Z
: CCTTCTCTGAATTCATATTTTTGTCAGGCTAGATAAGACTTTACTGTGTGTGAGTAAATCATGTAGTTTT
Ccj_CHD-W : TAATGGACAACATTAAAACACGTGACTTAAACAACACATAAGTTGTTTTAGTCACGTAGCTTTGAACTAG
Gg_CHD-Z
: TTACTATGTTTGAGATAATCATGTGGTTTTGAATTCTCATGCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAATGGGAG
Gg_CHD-W : ATGGACTAGGTAACACATAAATAAAATGTTTTAGTCATGTAGCTTTGAACTAGTTACTCTGAAATTCCAG
Cl_CHD-Z
: AATTCCAGATCAGCTTTAATGGAAGTGAAGGAAGGCGCAGTAGGAGCAGAAGATACTCTGGATCTGATAG
Cl_CHD-W
: GGAAGTGAAGGGAAATGCAGTAGAAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGACTCCATGTCAGAAAGAA
Ccj_CHD-Z
: GAATTCTTATTCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAATGGAAGTGAAGGAAGACGTAGTAGGAGCAGAAGATA
Ccj_CHD-W : TTACTCTGAACTTCCAGATCAGCTTTAATGGAAAGGAAGGGAGATGCAGTAGGATCAGAAGATATTCTGA
Gg_CHD-Z
: TGAAGGAAGACGCAGTAGGAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGACTCCATCACAGAAAGAAAACGG
Gg_CHD-W : ATCAGCTTTAATGGAAATGAAGGGAGATGCAGTAGGAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGATTCCA
Cl_CHD-Z
: TGACTCCATATCAGAAAGAAAACGGCCAAAAAAACGTGGAAGACCA
Cl_CHD-W
: AACGACCAAAAAAACGTGGACGACCACGAACTATTCCTCGAGAAAA
Ccj_CHD-Z
: TTCCGGATCTGATAGTGACTCCATCACAGAAAGAAAACGGCCAAAA
Ccj_CHD-W : ATCTGATAGTGATTCCATCTCAGAAAGAAAACGACCAAAAAAACGT
Gg_CHD-Z
: CCAAAAAAGCGTGGAAGACCTCGAACCATTCCTCGAGAAAATATTA
Gg_CHD-W : TCTCAGAAAGAAAACGACCAAAAAAACGTGGACGACCACGAACTAT
Cl_CHD-Z
Cl_CHD-W
Ccj_CHD-Z
Ccj_CHD-W
Gg_CHD-Z
Gg_CHD-W
: CGAACCATTCCTCGAGAAAATATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA
(370)
(350)
: AAGCGTGGGAGACCTCGAACTATTCCTCGAGAAAATATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA
: GGACGACCACGAACTATTCCCCGTGAAAACATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA (379)
: AAGGATTTAGTGATTGCAGA (345)
: TCCCCGTGAAAACAATTAAAGGATTTAGTGATGCAGA (362)
: TATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA
(385)
reverse (P2)
Gambar 7. Sekuen Gen CHD-Z dan CHD-W pada Merpati (Cl), Puyuh (Ccj), Ayam
(Gg) dan Posisi Primer (warna kuning) (gen bank code ; GU289183,
GU289184, HQ175997, HQ175998, AF006659, dan AF006660)
26
Hasil amplifikasi gen CHD menunjukkan pola pita yang berbeda antara
jantan dan betina pada merpati (Gambar 6). Hal ini dibuktikan dengan ukuran
fragmen pita Z dan W yaitu 350 bp (GenBank Nomor Akses GU289184) dan 370 bp
(GenBank Nomor Akses GU289183) sehingga memiliki perbedaan ukuran fragmen
sebesar 20 bp (Gambar 7). Perbedaan 20 bp dapat membentuk pola pita yang terpisah
antara jantan dan betina.
Hasil amplifikasi gen CHD pada beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil
jambul kuning menunjukkan terdapat perbedaan pola pita antara jantan dan betina
(Gambar 6). Hal ini diduga bahwa perbedaan ukuran fragmen pita Z dan W relatif
besar sehingga dapat terpisah pada media gel agarose 2%. Belum adanya informasi
mengenai sekuen gen CHD-Z dan CHD-W dari spesies-spesies tersebut
menyebabkan perbedaan ukuran pita Z dan W belum dapat diketahui. Sekuen gen
CHD-Z pada merpati (Columba livia), puyuh (Coturnix coturnix japonica) dan ayam
(Gallus gallus) ditampilkan pada Gambar 7.
Implementasi Penentuan Jenis Kelamin secara Molekuler dalam
Pengembangan Riset dan Studi Keilmuan
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa primer
spesifik P2 dan P8 dapat mengidentifikasi jenis kelamin pada merpati, kakatua kecil
jambul kuning, kakatua molukan dan beo Nias. Namun primer spesifik P2 dan P8
belum bisa mengidentifikasi jenis kelamin pada ayam, puyuh dan itik.
Identifikasi jenis kelamin sangat penting dilakukan untuk memperbaiki
manajemen dalam budidaya ternak. Ayam dan itik telah dapat diketahui jenis
kelaminnya sejak masih anakan, namun pada puyuh sulit dilakukan sehingga saat ini
anakan puyuh masih dijual dipasaran secara unsex. Saat ini para peternak telah
mengetahui cara menentukan jenis kelamin pada ayam, puyuh maupun itik baik
secara fenotipik maupun vent sexing yang berdasarkan kloaka. Identifikasi jenis
kelamin secara molekuler pada ayam, puyuh dan itik dalam penelitian ini dilakukan
sebagai acuan lebih lanjut dalam studi molekuler.
Saat ini populasi burung endemik Indonesia mengalami penurunan drastis
akibat permintaan konsumen yang luar biasa. Selain itu burung endemik Indonesia
memiliki nilai jual yang tinggi. Soehartono & Mardiastuti (2002) menjelaskan bahwa
semua burung paruh bengkok Indonesia terdaftar dalam Appendix CITES yaitu
27
Appendix I (terancam punah) sebanyak 4 spesies dan Appendix II (genting)
sebanyak 73 spesies. Salah satu spesies yang termasuk dalam Appendix I yaitu
kakatua molucan (Cacatua moluccensis) dan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua
shulpurea) termasuk dalam Appendix II.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi burung endemik
Indonesia yaitu pengembangbiakan, salah satunya penangkaran. Penangkaran burung
endemik masih belum berkembang di Indonesia. Hal ini karena para penangkar
masih sulit untuk menentukan jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan
hal yang utama dalam pengembangbiakan burung endemik Indonesia karena
sebagian besar burung termasuk jenis yang monomorfik. Identifikasi jenis kelamin
ini dapat bermanfaat untuk memperbaiki manajemen penangkaran, seperti
pemasangan ring pada anakan, menyatukan anakan jantan dan betina pada satu
kandang, meningkatkan ekonomi masyarakat dan sebagai studi keilmuan.
Pemasangan ring berfungsi untuk identifikasi secara legal pada burung
endemik Indonesia. Penyatuan anakan jantan dan betina pada satu kandang dapat
mempercepat proses dewasa kelamin sehingga dapat langsung dijodohkan.
Manajemen penangkaran yang baik akan dapat meningkatkan populasi burung
endemik Indonesia dan menekan biaya perawatan yang sangat tinggi. Burung
endemik Indonesia memiliki harga jual yang tinggi dan permintaan pasar yang tinggi
pula sehingga dengan identifikasi jenis kelamin ini dapat meningkatkan ekonomi
masyarakat. Selain itu identifikasi jenis kelamin dapat menjadi suatu studi keilmuan
mengingat minimnya informasi tentang identifikasi jenis kelamin secara molekuler
pada burung endemik Indonesia.
28
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penentuan jenis kelamin berhasil dilakukan pada merpati, kakatua kecil
jambul kuning, kakatua molukan dan beo nias, namun belum berhasil pada ayam,
puyuh dan itik berdasarkan gen Chromo Helicase DNA Binding dengan
menggunakan primer P2 dan P8 pada media gel agarose 2%. Kualitas DNA darah
memiliki kemurnian dan konsentrasi DNA yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bulu.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk identifikasi jenis kelamin pada
burung endemik Indonesia dengan media yang resolusinya lebih tinggi seperti gel
poliakrilamid (PAGE) atau metode Single Strand Comformation Polymorphism
(SSCP). Selain itu perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan sekuen
lengkap gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) pada spesies ayam kampung,
itik, kakatua molukan, kakatua kecil jambul kuning dan beo Nias dengan metode
sequencing.
29
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini dengan lancar.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc dan
Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr sebagai pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan,
saran, ketulusan dan kesabaran yang diberikan hingga tersusunnya skripsi ini.
Kepada Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Katsir Abdullah, M.S. sebagai
dosen penguji ujian lisan penulis yang telah banyak memberikan saran dan masukan
dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada penguji
seminar Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si atas masukan dan bimbingan yang diberikan selama
penulis berada di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Laboratorium Genetika
dan Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih
tidak lupa penulis ucapkan kepada Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc. Agr atas bimbingan,
perhatian, motivasi dan nasehat yang diberikan sebagai pembimbing akademik
penulis selama berada di Fakultas Peternakan IPB. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada pihak yang telah memberikan beasiswa sehingga sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Eryk Andreas, Ferdy Saputra
dan Irine atas bantuan dan arahannya selama penelitian. Kepada teman-teman
seperjuangan di Lab. Genetika dan Molekuler Ternak yaitu Isyana, Sri, Cicha, Gya,
Feby, Furqon, Tessa, Rey, Menix, dan Adil atas kekeluargaan, kebersamaan,
kerjasama dan bantuannya selama penelitian. Terima kasih kepada Miftahul Huda
atas doa, semangat dan dukungannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini,
Erren dan Pandu atas persahabatan, kebersamaan dan alur cerita kehidupan selama
menjadi mahasiswa. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan IPTP 45 atas
sukacita dan kebersamaannya selama tiga tahun di Fapet IPB. Tak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada teman-teman di Fairus yang selama ini selalu
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.
30
DAFTAR PUSTAKA
Alikondra, H. S. Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. IPB Press, Bogor.
Antawidjaja, T. 1988. Pengaruh pengelolaan loloh paksa (force feeding) terhadap
performan piyik dan induk burung merpati Homer King. Tesis. Program Studi
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Archawaranon, M. 2004. Rapid sexing hill mynah Gracula religiosa by sex
chromosomes. Biotechnology 3: 160-164.
Barroso, A., S. Dunner & J. Canon. 1999. Technical note: use of PCR-single strand
conformation polymorphism analysis for detection of bovine beta-casein
variants A1, A2, A3 and B. J. Anim. Sci. 77: 2629-2632.
Bastos, E., A. Crvador, J. Azevedo & H. G. Pinto. 2001. Single strand conformation
polymorphism (SSCP) detection in six genes in Potuguese indigenous sheep
breed “Churra da Terra Quente”. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 5: 7-15.
Bello, N., O. Francino & A. Sanchez. 2001. Isolation of genomic DNA from
feathers. J. Vet. Diagn. Invest. 13: 162-164.
Blakely, J. & D. H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Terjemahan: Bambang
Srigandono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Brahmantiyo, B., L. H. Prasetyo, A. R. Setioko, & R. H. Mulyono. 2003. Pendugaan
jarak genetik dan faktor peubah pembeda galur itik (alabio, bali, khaki
campbell, mojosari dan pegagan) melalui analisis morfometrik. JITV. 8: 1-7.
Bramwell, R. K. 2003. Sexing chicks in the backyard flock. Avian Advice 5: 4-5.
Campbell, B. & E. Lack. 1985. A Dictionary of Birds. Buteo Books, Vermillion.
Candrawati, V. Y. 2007. Studi ukuran dan bentuk tubuk ayam kampung, ayam sentul
dan ayam wareng tangerang melalui analisis komponen utama. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cerit, H. & K. Avanus. 2007a. Sex identification in avian species using DNA typing
methods. World’s Poultry Science Journal. 63: 91-99.
Cerit, H. & K. Avanus. 2007b. Sex determination by CHDW and CHDZ genes of
avian sex chromosomes in Nymphicus hollandicus. Turk. J. Vet. Anim. Sci.
31: 371-374.
Darwati, S., H. Martojo, C. Sumantri, D. T. H. Sihombing & A. Mardiastuti. 2010.
Productivity, repeatibilty of productive and reproductive traits of local
pigeon. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 34: 268-274.
Donham, R. S. & E. Haase. 1980. Hormones and Domestication. Avian
Endocrinology. Ed.: A. Epple, M. H. Stetson. Academic Press, New York.
Dubiec, A. & M. Zagalska-Neubauer. 2006. Molecular techniques for sex
identification in birds. Biological Lett. 43: 3-12.
Elbrecht, A. & R. G. Smith. Aromatase enzyme activity and sex determination in
chickens. Science 255: 467-470.
31
Ellegren, H. 1996. First gene on the avian W chromosome (CHD) provides a tag for
universal sexing of non-ratite birds. Proc. R. Soc. Lond. B. 263: 1635-1641.
Fatchiyah. 2006. Gel Elektroforesis. Laboratorium Sentral Biologi Molekuler &
Seluler. Universitas Brawijaya, Malang.
Fimbel, R. A., E. L. Bennett, R. Z. Donovan, P. C. Frumhoff, A. Grajal, R. E.
Gullison, D. J. Mason, F. E. Putz, J. G. Robinson, & D. I. Rumiz. 1998. The
Potential for Sustainable Forest Management to Conserve Wildlife Within
Tropical Forest Landscapes. Issues and Policy Paper no. 4., Bronx, New
York. Wildlife Conservation Society, New York, USA.
Fridolfsson, A. K. & H. Ellegren. 1999. A simple and universal method for
molecular sexing of non-ratite birds. J. Avi. Bio. 30: 116-121.
Griffiths, R. & B. Tiwari. 1995. Sex of the last wild spik’s macaw. Nature 375: 454.
Griffiths, R., S. Daan & C. Dijkstra. 1996. Sex identification in birds using two CHD
genes. Proc. R. Soc. Lond. B. 263: 1251-1256.
Griffiths, R. & R. Korn. 1997. A CHD1 gene is Z chromosome linked in the chicken
Gallus domesticus. Gene.197: 225-229.
Griffiths, R., M. C. Double, K. Orr & R. J. G. Dawson. 1998. A DNA test to sex
most birds. Mol. Ecol. 7: 1071-1075.
Harrap, B. S. & E. F. Woods. 1964. Soluble derivatives of feather keratin. J.
Biochem 92: 8-18.
Harrison, J. 2005. A Comprehensive Pet Owner’s Guide. Geostar Communications
LLC.
Hickman, Jr. C. P., L. S. Roberts & F. M. Hickman. 1984. Integrated Principles of
Zoology Sevent Edition. Toronto: Times Mirror/Mosby College Publishing.
Jensen, T., F. M. Pernasetti & B. Durrant. 2003. Conditions for rapid sex
determination in 47 avian species by PCR of genomic DNA from blood,
shell-membrane blood vessels and feathers. Zoo Biology 22: 561 571.
Kahn, N. W., J. John & T. Quinn. 1998. Chromosome-specific intron size differences
in the Avian CHD gene provide an efficient method for sex identification in
birds. The Auk.115: 1074 -1078.
Kasiyati. 2009. Umur masak kelamin dan kadar estrogen puyuh (Coturnix coturnix
japonica) setelah pemberian cahaya monokromatik. Tesis. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Klug, W. S. & M. R. Cummings. 1994. Concept of Genetics. 4th ed. Prentice Hall:
Englewood cliffs.
Mincheva, N., M. Lalev, M. Oblakova, P. hristakieva & I. Ivanova. 2012.
Investigation on the frequency of alleles at the k locus and their effect on the
growth of two lines of Plymouth Rock Chickens. Archiva Zootechnica 15:
69-75.
Minvielle, F. 2004. The future of Japanese quail for research and production.
World’s Poult. Sci. J.60: 500–507.
32
Morinha, F., M. Carvalho, A. Ferro, H. Guedes-Pinto, R. Rodrigues & E. Bastos.
2011. Molecular sexing and analysis of CHD1-Z and CHD1-W sequence
variations in wild common quail (Coturnix c. coturnix) and domesticated
Japanese quail (Coturnix c. japonica). J. Genet. 90: 39-43.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda
dan USESE Foundation. Bogor.
Nataraj, A. J., I. O. Glander, N. Kusukawa & Jr. W. E. Highsmith. 1999. Singlestrand conformation polymorphism and heteroduplex analysis for gel-based
mutation detection. Electrophoresis 20: 1177-1185.
Nicholas, F. W. 2004. Pengantar ke Genetika Veteriner. Terjemahan: Muladno.
Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
Orita, M., H. Iwanaha, H. Kanazawa, K. Hayashi & T. Sekiya. 1989. Detect
polymorphisms of human DNA by gel electrophoresis as single-conformation
polymorphisms. Proc Natl Acad Sci 86: 2766-2770.
Sambrook, J., F. Fritsch, & T. Miniatis. 1989. Molecular Cloning Laboratory
Manual. 3rd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.
Sambrook, J. & Russel. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Ed ke-3.
Cold Spring Harbor Laboratory Press, United States of America.
Sartika, T. 2000. Studi Keragaman fenotipik dan genetik ayam kampung (Gallus
gallus domesticus) pada populasi dasar seleksi. Tesis. Fakultas Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sartika, T. & S. Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan
Pemanfaatannya. Buku. Edisi Pertama. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Schill, R. O. 2007. Comparison of different protocols for DNA preparation and PCR
amplification of mitochondrial genes of tardigrades. J. Limnol 66: 164-170.
Shepherd, C. R. 2006. The bird trade in Medan, north Sumatra: an overview. Birding
ASIA 5: 16-24.
Soehartono, T. & A. Mardiastuti. 2002. CITES Implementation in Indonesia. Nagao
Natural Environment Foundation, Jakarta.
Srigandoro, B. 1997. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sulandari, S. & M. S. A Zein. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang
Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Sulandari, S.& M. S. A. Zein. 2009. Analisis D-loop DNA mitokondria untuk
memposisikan ayam hutan merah dalam domestikasi ayam di Indonesia. Med.
Pet. 32: 31-39.
Suparyanto, A. 2003. Karakteristik itik mojosari putih dan peluang
pengembangannya sebagai itik pedaging komersial. Wartazoa. 13: 143-151.
Swengel, S. R. 1996. Special Techniques Sex determination In: Cranes: Their
Biology, Husbandry, and Conservation. Ellis, D. H., Gee, G. F., Mirande, C.
33
M. Eds., National Biological Service/International Crane Foundation: United
States of America.
Taberlet, P., S. Griffin, B. Goossens, S. Questiau, V. Manceau, N. Escaravage, L. P.
Waits, & J. Bouvet. 1996. Reliable genotyping of samples with very low
DNA quantities using PCR. Nuc. Acids. Res. 24: 3189-3194.
Viljoen, G. J., L. H. Nel, & J. R. Crowther. 2005. Molecular Diagnostic PCR
Handbook. Springer, Dordrecht, Netherland.
Vischer, P., R. Pong-Wong, C. Whittemore & C. Haley. 2000. Impact of
biotechnology on (cross) breeding programmes in pigs. Lives. Prod. Sci 65:
57-60.
Welty, J. C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publishing, Philadelphia.
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1. Sekuen Gen CHD-Z pada Ayam (Gallus Gallus)
LOCUS
2004
DEFINITION
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
AF006659
345 bp
DNA
linear
VRT 22-NOV-
Gallus gallus CHD-Z (CHD-Z) gene, partial cds.
AF006659
AF006659.1 GI:3811116
.
Gallus gallus (chicken)
Gallus gallus
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi;
Archosauria; Dinosauria; Saurischia; Theropoda; Coelurosauria;
Aves; Neognathae; Galliformes; Phasianidae; Phasianinae; Gallus.
REFERENCE
1 (bases 1 to 345)
AUTHORS
Griffiths,R., Double,M.C., Orr,K. and Dawson,R.J.
TITLE
A DNA test to sex most birds
JOURNAL
Mol. Ecol. 7 (8), 1071-1075 (1998)
PUBMED
9711866
REFERENCE
2 (bases 1 to 345)
AUTHORS
Griffiths,R., Double,M., Kate,O. and Dawson,W.
TITLE
Direct Submission
JOURNAL
Submitted (02-JUN-1997) Zoology, Molecular Lab, Glasgow
University,
Glasgow G12 8QQ, UK
FEATURES
Location/Qualifiers
source
1..345
/organism="Gallus gallus"
/mol_type="genomic DNA"
/db_xref="taxon:9031"
/chromosome="Z"
gene
<1..>345
/gene="CHD-Z"
CDS
join(<1..30,194..>345)
/gene="CHD-Z"
/codon_start=1
/product="CHD-Z"
/protein_id="AAC69441.1"
/db_xref="GI:3811117"
/translation="LPRMRNCAKQISFNGSEGRRSRSRRYSGSDSDSITERKRPKKRG
RPRTIPRENIKGFSDA"
ORIGIN
1 ctcccgagga tgagaaactg tgcaaaacag gtacctctgg gttttgactg
61 ttatgttgat attttcattt gagtttttgc cttttttccc ccttctctga
121 ttgtcaggct agataagact ttactatgtt tgagataatc atgtggtttt
181 gctgaaattc cagatcagct ttaatgggag tgaaggaaga cgcagtagga
241 ttctggatct gatagtgact ccatcacaga aagaaaacgg ccaaaaaagc
301 tcgaaccatt cctcgagaaa atattaaagg atttagtgat gcaga
tcttgcgtct
attcatattt
gaattctcat
gcagaagata
gtggaagacc
36
Lampiran 2. Sekuen Gen CHD-W pada Ayam (Gallus Gallus)
LOCUS
2006
DEFINITION
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
AF006660
362 bp
DNA
linear
VRT 29-NOV-
Gallus gallus CHD-W (CHD-W) gene, intron 21 and partial cds.
AF006660 AY628508
AF006660.1 GI:3811118
.
Gallus gallus (chicken)
Gallus gallus
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi;
Archosauria; Dinosauria; Saurischia; Theropoda; Coelurosauria;
Aves; Neognathae; Galliformes; Phasianidae; Phasianinae; Gallus.
REFERENCE
1 (bases 1 to 362)
AUTHORS
Griffiths,R., Double,M.C., Orr,K. and Dawson,R.J.
TITLE
A DNA test to sex most birds
JOURNAL
Mol. Ecol. 7 (8), 1071-1075 (1998)
PUBMED
9711866
REFERENCE
2 (bases 1 to 362)
AUTHORS
Griffiths,R., Double,M., Orr,K. and Dawson,W.
TITLE
Direct Submission
JOURNAL
Submitted (02-JUN-1997) Zoology, Molecular Lab, Glasgow
University,
Glasgow G12 8QQ, UK
COMMENT
On Nov 29, 2006 this sequence version replaced gi:51950893.
FEATURES
Location/Qualifiers
source
1..362
/organism="Gallus gallus"
/mol_type="genomic DNA"
/db_xref="taxon:9031"
/chromosome="W"
gene
<1..>362
/gene="CHD-W"
CDS
join(<1..30,211..>362)
/gene="CHD-W"
/codon_start=1
/product="CHD-W"
/protein_id="AAC69442.1"
/db_xref="GI:3811119"
/translation="LPRMRNCAKQISFNGNEGRCSRSRRYSGSDSDSISERKRPKKRG
RPRTIPRENIKGFSDA"
intron
31..210
/gene="CHD-W"
/number=21
ORIGIN
1 cttccaagaa tgagaaactg tgcaaaacag gtatctctgg gttctgactg
61 ttgatacttc tattgctgat gttttgactt gtacttttgt gttgtgtggt
121 ttttccccca aaatattttt atggactagg taacacataa ataaaatgtt
181 agctttgaac tagttactct gaaattccag atcagcttta atggaaatga
241 agtaggagca gaagatattc tggatctgat agtgattcca tctcagaaag
301 aaaaaacgtg gacgaccacg aactattccc cgtgaaaaca ttaaaggatt
361 ga
atttttttct
tttcgtgtgt
ttagtcatgt
agggagatgc
aaaacgacca
tagtgatgca
37
Lampiran 3. Sekuen Gen CHD-Z pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
LOCUS
2011
DEFINITION
protein
HQ175997
385 bp
DNA
linear
VRT 09-FEB-
Coturnix japonica chromosome Z chromo-helicase DNA-binding
(CHD1) gene, partial sequence.
HQ175997
HQ175997.1 GI:322227556
.
Coturnix japonica (Japanese quail)
Coturnix japonica
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi;
Archosauria; Dinosauria; Saurischia; Theropoda; Coelurosauria;
Aves; Neognathae; Galliformes; Phasianidae; Perdicinae;
Coturnix.
REFERENCE
1 (bases 1 to 385)
AUTHORS
Morinha,F., Carvalho,M., Ferro,A., Guedes-Pinto,H., Rodrigues,R.
and Bastos,E.
TITLE
Molecular sexing of wild common quail (Coturnix c. coturnix) and
domesticated Japanese quail (Coturnix c. japonica)
JOURNAL
Unpublished
REFERENCE
2 (bases 1 to 385)
AUTHORS
Morinha,F., Carvalho,M., Ferro,A., Guedes-Pinto,H., Rodrigues,R.
and Bastos,E.
TITLE
Direct Submission
JOURNAL
Submitted (23-AUG-2010) Centre of Genomics and Biotechnology,
University of Tras-os-Montes e Alto Douro, Quinta de Prados,
Apartado 1013, Vila Real 5001-801, Portugal
FEATURES
Location/Qualifiers
source
1..385
/organism="Coturnix japonica"
/mol_type="genomic DNA"
/db_xref="taxon:93934"
/chromosome="Z"
/PCR_primers="fwd_name: P8, fwd_seq:
ctcccaaggatgagraaytg,
rev_name: P2, rev_seq: tctgcatcgctaaatccttt"
gene
<1..>385
/gene="CHD1"
/note="chromo-helicase DNA-binding protein; coding
region
not determined"
ORIGIN
1 ctcccaagga tgaggaactg tgcaaaacag gtacctctgg gttttgactg tattgtgttt
61 ttattttgat attttgattt tggtttttgc cttcgtgttt tgttttgttt tgttttttgt
121 ttgttttttg gtttttttct ccttctctga attcatattt ttgtcaggct agataagact
181 ttactgtgtg tgagtaaatc atgtagtttt gaattcttat tctgaaattc cagatcagct
241 ttaatggaag tgaaggaaga cgtagtagga gcagaagata ttccggatct gatagtgact
301 ccatcacaga aagaaaacgg ccaaaaaagc gtgggagacc tcgaactatt cctcgagaaa
361 atattaaagg atttagcgat gcaga
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
38
Lampiran 4. Sekuen Gen CHD-W pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
LOCUS
2011
DEFINITION
protein
HQ175998
379 bp
DNA
linear
VRT 09-FEB-
Coturnix japonica chromosome W chromo-helicase DNA-binding
(CHD1) gene, partial sequence.
HQ175998
HQ175998.1 GI:322227557
.
Coturnix japonica (Japanese quail)
Coturnix japonica
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi;
Archosauria; Dinosauria; Saurischia; Theropoda; Coelurosauria;
Aves; Neognathae; Galliformes; Phasianidae; Perdicinae;
Coturnix.
REFERENCE
1 (bases 1 to 379)
AUTHORS
Morinha,F., Carvalho,M., Ferro,A., Guedes-Pinto,H., Rodrigues,R.
and Bastos,E.
TITLE
Molecular sexing of wild common quail (Coturnix c. coturnix) and
domesticated Japanese quail (Coturnix c. japonica)
JOURNAL
Unpublished
REFERENCE
2 (bases 1 to 379)
AUTHORS
Morinha,F., Carvalho,M., Ferro,A., Guedes-Pinto,H., Rodrigues,R.
and Bastos,E.
TITLE
Direct Submission
JOURNAL
Submitted (23-AUG-2010) Centre of Genomics and Biotechnology,
University of Tras-os-Montes e Alto Douro, Quinta de Prados,
Apartado 1013, Vila Real 5001-801, Portugal
FEATURES
Location/Qualifiers
source
1..379
/organism="Coturnix japonica"
/mol_type="genomic DNA"
/db_xref="taxon:93934"
/chromosome="W"
/PCR_primers="fwd_name: P8, fwd_seq:
ctcccaaggatgagraaytg,
rev_name: P2, rev_seq: tctgcatcgctaaatccttt"
gene
<1..>379
/gene="CHD1"
/note="chromo-helicase DNA-binding protein; coding
region
not determined"
ORIGIN
1 ctcccaagga tgaggaactg tgcaaaacag gtatcgttgg gttttgactg attttttttc
61 tttgatactt ccattgctga tgttttggct tgtacttttg tgttgcgtgg ttttcatctg
121 ttttcccccc caaatatttt taatggacaa cattaaaaca cgtgacttaa acaacacata
181 agttgtttta gtcacgtagc tttgaactag ttactctgaa cttccagatc agctttaatg
241 gaaaggaagg gagatgcagt aggatcagaa gatattctga atctgatagt gattccatct
301 cagaaagaaa acgaccaaaa aaacgtggac gaccacgaac tattccccgt gaaaacatta
361 aaggatttag cgatgcaga
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
39
Lampiran 5. Sekuen Gen CHD-Z pada Merpati (Columba livia)
LOCUS
2011
DEFINITION
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
GU289184
370 bp
DNA
linear
VRT 31-JUL-
Columba livia CHD-Z (CHD-Z) gene, partial cds.
GU289184
GU289184.1 GI:281359327
.
Columba livia (Rock pigeon)
Columba livia
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi;
Archosauria; Dinosauria; Saurischia; Theropoda; Coelurosauria;
Aves; Neognathae; Columbiformes; Columbidae; Columba.
REFERENCE
1 (bases 1 to 370)
AUTHORS
Su,Y.-F., Cheng,C.-C., Chou,Y.C., Yao,C.-T., Chou,T.-C. and
Chang,H.-W.
TITLE
Direct Submission
JOURNAL
Submitted (04-DEC-2009) Dept. of Biomedical Science and
Environmental Biology, Kaohsiung Medical University, 100 ShihChuan
1st Road, Kaohsiung 80708, Taiwan
FEATURES
Location/Qualifiers
source
1..370
/organism="Columba livia"
/mol_type="genomic DNA"
/isolate="Bd92"
/db_xref="taxon:8932"
/sex="male"
/dev_stage="adult"
/country="Taiwan"
/collected_by="C.-T. Yao"
gene
<1..>370
/gene="CHD-Z"
mRNA
join(<1..30,219..>370)
/gene="CHD-Z"
/product="CHD-Z"
CDS
join(<1..30,219..>370)
/gene="CHD-Z"
/codon_start=1
/product="CHD-Z"
/protein_id="ADA63486.1"
/db_xref="GI:281359328"
/translation="LPRMRNCAKQISFNGSEGRRSRSRRYSGSDSDSISERKRPKKRG
RPRTIPRENIKGFSDA"
ORIGIN
1 ctcccaagga tgaggaactg tgcaaaacag gtgtgtcttg gttctgattg
61 ttgtgttgct gttggtttag tttgttgggg attgttgttg ggttttgttt
121 ttttccgttt tctgaacacg tatttttgac aggttaggca aaacttgacc
181 aatcgcatag ctttgaacta cttattctga aattccagat cagctttaat
241 gaaggcgcag taggagcaga agatactctg gatctgatag tgactccata
301 aacggccaaa aaaacgtgga agaccacgaa ccattcctcg agaaaatatt
361 gcgatgcaga
acttgtgctt
ttttagggtt
tgtgtttgtc
ggaagtgaag
tcagaaagaa
aaaggattta
40
Lampiran 6. Sekuen Gen CHD-W pada Merpati (Columba livia)
LOCUS
2011
DEFINITION
ACCESSION
VERSION
KEYWORDS
SOURCE
ORGANISM
GU289183
350 bp
DNA
linear
VRT 31-JUL-
Columba livia CHD-W (CHD-W) gene, partial cds.
GU289183
GU289183.1 GI:281359325
.
Columba livia (Rock pigeon)
Columba livia
Eukaryota; Metazoa; Chordata; Craniata; Vertebrata;
Euteleostomi;
Archosauria; Dinosauria; Saurischia; Theropoda; Coelurosauria;
Aves; Neognathae; Columbiformes; Columbidae; Columba.
REFERENCE
1 (bases 1 to 350)
AUTHORS
Su,Y.-F., Chou,Y.C., Yao,C.-T., Chou,T.-C., Cheng,C.-C. and
Chang,H.-W.
TITLE
Direct Submission
JOURNAL
Submitted (04-DEC-2009) Dept. of Biomedical Science and
Environmental Biology, Kaohsiung Medical University, 100 ShihChuan
1st Road, Kaohsiung 80708, Taiwan
FEATURES
Location/Qualifiers
source
1..350
/organism="Columba livia"
/mol_type="genomic DNA"
/isolate="Bd90"
/db_xref="taxon:8932"
/sex="female"
/dev_stage="adult"
/country="Taiwan"
/collected_by="C.-T. Yao"
gene
<1..>350
/gene="CHD-W"
mRNA
join(<1..30,199..>350)
/gene="CHD-W"
/product="CHD-W"
CDS
join(<1..30,199..>350)
/gene="CHD-W"
/codon_start=1
/product="CHD-W"
/protein_id="ADA63485.1"
/db_xref="GI:281359326"
/translation="LPRMRNCAKQISFNGSEGKCSRSRRYSGSDSDSMSERKRPKKRG
RPRTIPRENIKGFSDA"
ORIGIN
1 ctcccaagga tgaggaactg tgcaaaacag gtatctctgg gttttgacca
61 tgttgttgtg tttctttgtt ttttcattac tgttgttttt ggcttgtact
121 catttttgac aggctagata gcacattatt aaaatgtttt agtcacatag
181 cttaatctga aattccagat cagctttaat ggaagtgaag ggaaatgcag
241 agatattctg gatctgatag tgactccatg tcagaaagaa aacgaccaaa
301 cgaccacgaa ctattcctcg agaaaatatt aaaggattta gcgatgcaga
actaacttct
tttcaccccc
ctttgaacta
tagaagcaga
aaaacgtgga
41
Download