moral katolik menghadapi tantangan jaman

advertisement
MORAL KATOLIK
MENGHADAPI TANTANGAN JAMAN
Laurentius Tarpin
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Abstract:
The cultural, social, industrial and sexual revolution has brought a number of
sophisticated and complex moral questions. In this context, how does the Catholic Moral teaching respond to? Does the Catholic moral teaching change in accordance with great changing social, political, cultural, and medical technology? The Vatican II has called for reformation in doing theology and especially
moral theology, namely theology that is based on and animated by the Scripture and focuses its reflection on the lofty of Christian calling and bearing the
fruit of charity for the world. In the light of the Vatican II, moral theology has
biblical, Christo-centric and personal character. The Catholic moral theology has
demonstrated the significant changes in methodology, sources, its function in
the Church life. The historically consciousness approach has made a great shift
in understanding of moral truths and its implication in concrete and particular
situation. Moral truths subject to revision and correction so that the timeless
and absolute formulations of moral truth are put in question. By the way, in
Catholic moral teaching, Jesus Christ is the ultimate norm and the model or
paradigm of Christian moral life.
Key words: Revolusi kultural, sosial dan seksual, metode deduktif dan induktif,
imitatio Christi et imitatio Dei, karakter biblis, Kristosentris.
Berkaitan dengan judul, saya menangkap adanya persoalan krusial,
apakah ajaran moral Gereja katolik bersifat statis atau dinamis dalam
menghadapi tantangan jaman yang terus berubah? Apakah Gereja
menyesuaikan ajaran moralnya seiring dengan perubahan jaman? Kalau
Gereja menyesuaikan diri, sejauh mana dan dalam hal apa? Atau apakah
Gereja tetap pada posisinya, tidak peduli pada apa yang terjadi di dalam
dunia yang melingkunginya? Apakah norma yang dirumuskan dalam
situasi dan waktu tertentu, yang dipengaruhi oleh konteks di mana norma
itu dibuat, memiliki validitas universal? Apakah memang ada norma universal yang mengikat semua orang dalam situasi apapun? Kalau ada norma
182
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
yang mana? Norma formal atau norma material?1 Apakah memang ada
tindakan-tindakan yang secara intrinsik jahat secara moral (intrinsice
malum)?2 Jawaban terhadap persoalan ini dapat kita lihat dalam ensiklik
Veritatis Splendor 3 yang merupakan tanggalan Gereja Katolik atas
perdebatan moral pasca Konsili Vatikan II.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, ada
baiknya kita melihat apa yang terjadi dalam masyarakat. Karena ajaran
moral lahir sebagai tanggapan atas pengalaman manusia yang direfleksikan
dalam terang iman. Lebih tepatnya, ajaran moral adalah titik temu antara
pengalaman manusia dengan kebenaran-kebenaran Injil dan iman yang
dapat dijadikan pedoman dalam memecahkan persoalan-persoalan muncul
dalam masyarakat. Dalam pembahasan tema ini, saya akan mengurai
beberapa persoalan moral dan factor pemicunya, pemahaman tentang
teologi moral, perubahan paradigma dalam teologi moral katolik, yang
menyangkut metode dan isi, moral katolik sebagai Imitatio Christi et
Imitatio Dei4 .
1.
Persoalan-Persoalan Moral
Kita hidup dalam jaman yang ditandai oleh persoalan-persoalan moral
seiring dengan perkembangan di dalam bidang ilmu dan teknologi, dalam
bidang bio-medis dan bio-etika. Di samping itu, kita hidup dalam
masyarakat yang ditandai oleh budaya kematian, mentalitas hedonistik,
utilitarianistik, meterialistik, relativistik, pragmatik, permisif, kebebasan
dan otonomi absolut, sikap dan perilaku kontraseptik dan abortif. Saat ini
kita juga hidup dalam masyarakat yang hidup dalam situasi seolah-olah
Tuhan tidak ada, sehingga semua boleh dilakukan, ada pemisahan antara
iman dan moralitas, seolah-olah antara iman dan kehidupan sosio politik
dan ekonomi itu tidak ada sangkut pautnya.
Pada saat inipun, kita menyaksikan adanya fenomen terjadinya
pemisahan antara kebebasan dan kebenaran, antara hak dan kewajiban.
Di samping itu, kita dihadapkan pada persoalan-persoalan moral yang pelik
menyangkut kehidupan seksual, tuntutan kaum homoseks supaya hu-
1
Bdk. Richard M. Gula, What are they saying about moral norms?, Paulist Press, Mahwah, New
York 1982, 54-89. bdk. Timothy E. O’Connel, Principles for a Catholic Morality, Harper
SanFrancisco Publisher, New York 1990, 174-186.
2
Ibid., 187-189.
3
Yohanes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor no. 74-80, Jakarta: Dokpen KWI 1995.
Kataelusmus Gereja Katolik.
Bdk. William C. Spohn, What are they saying about scripture and ethics? Paulis Press, Mahwah,
New York 1995, 77-93. Bdk. William E. May, Moral Aboslutes, Milwaukee: Marquette University Press, 1989
4
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
183
bungan mereka sebagai “suami istri” dikukuhkan. Lalu bagaimana sikap
Gereja terhadap mereka yang mengalami kegagalan dalam hidup
perkawinan, apakah situasi perkawinan yang tidak bisa diperbaiki dan
membuat orang menderita dan tertekan, tetap harus dipertahankan dengan
segala pengorbanan? Apakah mereka yang terpaksa harus mengakhiri
perkawinannya yang berat, dapat menikah kembali secara sah? Pada saat
inipun ada fenomen bahwa banyak kaum wanita yang tidak menikah, tetapi menuntut hak untuk mempunyai anak dengan cara apapun. Lalu
muncul pertanyaan lain apakah anak itu menjadi obyek keinginan dan
produk laboratorium ataukah anak dilihat sebagai anugerah dari Allah?
Berkaitan dengan persoalan martabat pribadi manusia dan martabat
prokreasi, Konggregasi untuk ajaran iman mengeluarkan dokumen sebagai
tanggapan atas kemajuan dalam bidang Bioetika5 .
Dalam dunia kedokteranpun banyak persoalan moral yang menuntut
jalan keluar, misalnya pasien yang berada dalam status vegetative
persisten, apakah pasien tersebut harus terus dipertahankan dengan alasan
penghormatan atas hidup manusia dan larangan membunuh? Apakah
secara moral dibenarkan melakukan tindakan memperpanjang proses
kematian dan memperpanjang penderitaan yang tak tertanggungkan?
Apakah diperbolehkan memberikan obat pembunuh rasa sakit dengan
akibat mempercepat proses kematian pasien? Bagaimana kita harus
bersikap terhadap kasus dilematis di mana ada dua kehidupan yang
dipertaruhkan?6
Banyak persoalan moral menuntut kecermatan dan discernment. Ada
beberapa factor yang telah memicu persoalan-persolan moral:
Revolusi kultural yang melahirkan ilmu-ilmu eksakta dan ilmu alam
yang kemudian memicu perkembangan teknologi dan mendorong
penemuan mesin-mesin telah memicu revolusi industri. Pengetahuan
manusia tentang hukum alam membawa manusia pada upaya menguasai
dan mengeksploitasi alam yang menimbulkan serangkaian persoalan
ekologis. Kemampuan manusia untuk menguasai hukum alam juga telah
memprovokasi tindakan manipulatif pada kehidupan manusia, pada tubuh
dan kehidupan psikis, pada kehidupan sosial dan hukum yang mengatur
transmisi kehidupan baru, menjadikan manusia sebagai obyek penelitian
yang merendahkan martabat pribadi manusia 7 . Hal ini dipicu oleh
kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan bioetika.
5
Konggregasi untuk Ajaran Iman, Instruction on Bioethics Respect for Human Life Donum
Vitae, Boston: St. Paul Books and Media 1987.
6
Tanggapan Gereja Katolik terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan penyakit terminal
dapat dilihat dalam Instruksi tentang Euthanasi. Lihat Kongregasi untuk Ajaran Iman, Pernyataan
tenang Euthanasia, (5-5-1980), terjemahan oleh Piet Go, O’Carm, Jakarta: Dokpen KWI 2005.
Berkaitan dengan martabat prokreasi dan asal hidup manusia, Kogregasi untuk doktrin
7
184
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
Berkat kemajuan di bidang ilmu kedokteran dan bioetika intervensi
atas hidup manusia semakin masif, hidup manusia diperlakukan sebagai
preparat di laboratorium yang siap dijadikan obyek penelitian, nafsu
berkuasa manusia pun distimulasi sehingga lahirlah bayi tabung,
inseminasi artifisial, intervensi atas embrio manusia, clonning. Semuanya
ini membawa serangkaian persoalan moral yang pelik, terutama berkaitan
dengan ancaman terhadap hidup manusia. Berhadapan dengan ancamanancaman terhadap martabat pribadi dan hidup manusia, maka Gereja
sebagai penjaga moral menyerukan suara kenabiannya dengan mengeluarkan berbagai eksiklik dan pernyataan yang secara tegas mengkritik
dan menghukum berbagai tindakan yang mengancam martabat pribadi
manusia8 .
Revolusi sosial memunculkan gerakan kebebasan modern yang
memperjuangkan hak-hak individu dan pembebasan individu dari setiap
bentuk penindasan politik (monarkhi absolute) dan penindasan agama
(dogmatisme). Revolusi sosial ini memuncak dalam revolusi Perancis
dengan trilogi semboyannya liberte, egalite et fraternite. Ketiga semboyan
ini akan telah mendorong manusia untuk memperjuangkan persamaan
hak atas dasar kesamaan martabat pribadi manusia. Di samping itu, revolusi
Perancis ini mendorong orang untuk membentuk system pemerintahan
demokratis yang menghargai dan melindungi hak setiap individu,
menghargai pluralitas, menumbuhkan sikap toleran, menegakkan keadilan,
mempromosikan partisipasi aktif setiap manusia dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Akan tetapi,
revolusi sosial ini juga membawa ekses negatif, yakni individualisme
ektrim, imperialisme, totalitarianisme, fasisme, marginaliasi nilai-nilai spiritual, marginalisasi agama dan moral, hegemoni budaya dan sistem
pemikiran tertentu atas nama universalitas. Di samping itu, berbagai jargon kemodernan yang menempatkan subyek manusia pada pusat semesta
pada akhirnya membawa dampak destruktif terhadap manusia dan
lingkungannya, serta memicu antihumanisme.
Revolusi kultural dan revolusi sosial memicu terjadinya revolusi
industri dengan dihasilkannya produksi barang dalam jumlah besar. Inilah
cikal bakal kapitalisme modern yang kemudian akan memicu gerakan
ekspansi kolonialisme dan imperialisme yang melahirkan penindasan,
Iman mengeluarkan Instruksi sebagai tanggapan Gereja Karolik atas persoalan moral
Inseminasi artifisial. Lihat Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Donum Vitae yang
diterbitkan pada tahun 1987.
8
Berhubungan dengan hal ini dapat dilihat dalam dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et
Spes no. 27, Deklarasi tentang Abortus Provocatus (1974), Deklarasi tentang Euthanasia
(1980), Instruksi tentang Hidup Manusia dan Martabat Prokreasi Donum Vitae (1987), dan
Ensiklik Evangelium Vitae (1995)..
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
185
ekploitasi manusia dan sumber daya alam yang melahirkan kemiskinan
dan keterbelakangan di negara-negara terjajah. Kapitalisme yang dimotori
oleh liberalisme atau neo-liberalisme telah menjadikan hukum pasar
sebagai satu-satunya norma yang mengatur relasi antar individu.
Kapitalisme liberal yang menjadikan persaingan bebas, efisiensi dan
produktivitas, maksimalisasi profit sebagai motor penggerak, pada
akhirnya menggerogoti nilai-nilai kebersamaan, nilai kesetiakawanan dan
solidaritas. Yang paling memprihatinkan adalah bahwa kemakmuran di
dunia kapitalis ternyata membuat penderitaan, kemiskinan dan
ketergantungan di negara-negara dunia III. Keuntungan yang diraup oleh
negara-negara kapitalis adalah buah dari penindasan dan ekploitasi para
pekerja. Situasi tidak manusiawi sebagai dampak kapitalisme ini telah
menggugat kesadaran moral Gereja sebagaimana diungkapkan dalam
ensiklik sosial pertama Rerum Novarum dari Paus Leo XIII (1891).
Pada saat ini Neokapitalisme dan Globalisasi telah menghadapkan
kita pada serangkaian masalah moral, yakni marginalisasi manusiamanusia yang tidak punya akses secara teknologi dan ekonomi. Dengan
demikian, globalisasi pada dirinya sendiri mengandung dilema, contradictio in terminis karena globalisasi, selain membawa dampak positif,
juga melahirkan exclusivikasi dan marginalisasi. Berkaitan dengan
dampak negatif kapitalisme dan globalisasi Gereja membuat kritik atas
Kapitalisme sebagaimana dapat kita lihat dalam Rerum Novarum,
Quadragesimo Anno, Populorum Progressio, Laborem Exercens, Sollicitudo
Rei Socialis, Centesimus Annus9 .
Di samping kritik pedas atas Kapitalisme, Gereja juga mengkritik
kejahatan moral Sosialisme-Colectivisme marxist karena tidak menghargai
kodrat individual manusia, memasung kebebasan individu, menolak nilainilai transenden, kekerasan yang dilakukan, mempromosikan kebencian
dan perjuangan kelas10 . Berkaitan dengan globalisasi, Gereja menekankan
pentingnya nilai-nilai moral: primat pribadi manusia, solidaritas,
subsidiaritas, bonum comune, the preferential option for the poor11 yang
harus membimbing Globalisi sehingga mengarah pada globalisasi
solidaritas dan kepedulian sosial. Berhadapan dengan dampak negatif
globalisasi, Gereja Katolik dalam Ajaran Sosialnya menunjukkan
komitmennya untuk berpihak kepada kaum marginal, yakni mereka yang
menjadi korban kebijakan sosial, politik, ekonomi dan budaya global. The
9
Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus no. 42. bdk. Pius XI, Ensiklik Quadragesimo
Anno no. 109.
10 Bdk. Leo XIII, Ensiklik Rerum Novarum no. 3-5. bdk. Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno no.
112.
11 Pontifical Council for Justice and Peace, Compendium of the Social Doctrine of the Church, Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana 2004, 91-120.
186
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
preferenial option for the poor dijadikan sebagai kunci hermeneutik untuk
membaca realitas, yakni menggunakan perspektif korban. Ini adalah
kebaruan radikal yang dihembuskan Gereja12 .
Revolusi seksual: Revolusi seksual terjadi pada tahun 60-an juga
membawa pengaruh besar pada kehidupan manusia, lebih-lebih menjadi
pintu masuk bagi kaum hawa untuk berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan beragama. Seksualitas tidak lagi dipahami sebagai
sesuatu yang tabu dan memalukan, tetapi sebagai sesuatu yang positif,
dipahami sebagai bagian integral eksistensi manusia. Seksualitas
mempengaruhi identitas seseorang dan mempengaruhi cara seseorang
berada dan berperilaku. Revolusi seksual ini juga membawa orang pada
pemahaman bahwa seksualitas adalah urusan pribadi di mana negara
tidak boleh campur tangan.
Revolusi ini juga memicu gerakan feminisme yang menggugat segala
macam bentuk pemikiran, dan ideologi bias gender, menolak budaya
patriarkal. Kaum feminis menuntut perlakuan sama terhadap kaum
perempuan. Kaum perempuan menuntut dihargai hak mereka untuk
menentukan hidup dan masa depan mereka. Kaum perempuan menuntut
haknya untuk meniti karier dan menolak stereotip lama yang mengatakan
bahwa perempuan cukup menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak
dan suami. Anggapan tersebut tidak lagi berlaku karena tuntutan kesamaan
hak dan partisipasi aktif individu dalam mengusahakan kesejahteraan
bersama. Pada saat inipun, banyak kaum wanita telah berhasil menempati
post-post penting dalam kehidupan publik. Hal semacam ini mempengaruhi sikap mereka terhadap seksualitas13 . Revolusi seksual yang
dibarengi oleh kemajuan di bidang teknologi kontrasepsi telah membawa
orang pada sikap dan mentalitas kontraseptik dan abortif. Membawa orang
pada sikap antagonistik pro-life versus pro-choice. Revolusi seksual juga
membawa manusia pada titik ekstrem anti-natalitas. Kehamilan dipahami
sebagai halangan bagi pengembangan karier. Kehamilan dilihat sebagai
kegagalan kontrepsi dan akhirnya menuntut hak untuk melakukan aborsi.
Sungguh ironis memang, bahwa apa yang jahat secara moral diklaim
sebagai hak.
Pada tahun 60-an juga muncul masalah kependudukan sehingga
Gerejapun dituntut untuk memberi tanggapan atas persoalan kependudukan. Persoalan yang krusial adalah persoalan yang berkaitan
dengan cara-cara pengaturan kelahiran anak. Apakah diperbolehkan
12 Bdk. Gregory Baum, Amazing Church: A Catholic Theologian Remembers a Half-Century of Change,
Maryknoll, New York 2005, 53-82. Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens no. 8;
Ensiklik Soliccitudo Rei Socialis no. 41, Ensiklik Centesimus Annus no. 11.
13 Bdk. A Nunuk P. Murniati S., “Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat” dalam
Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta 1997, 80-104.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
187
seorang katolik menggunakan kontrasepsi untuk menghindari kehamilan?
Apakah metode alamiah merupakan satu-satunya metode yang dapat
digunakan untuk mengatur kelahiran anak? Lalu bagaimana Gereja sebagai
institusi mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat di
lapangan?
Gereja melalui ensiklik Humanae Vitae menegaskan kembali ajaran
moral Gereja bahwa moralitas pengaturan kelahiran anak harus dipahami
dengan bertolak dari kebenaran dan makna seksualitas dan tindakan
perkawinan. Secara kodrati, seksualitas memiliki dimensi unitif, prokreatif
dan relasional. Oleh karenanya, setiap tindakan seksual dan perkawinan
harus memiliki dimensi unitif, prokreatif (dan relasional)14 . Berdasar pada
pemahaman tersebut, maka setiap tindakan seksual yang memisahkan
dimensi unitif dari dimensi prokreatif secara moral tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian, Gereja menilai bahwa perilaku dan tindakan seksual
yang mengecualikan salah satu dari dimensi seksual adalah tindakan immoral.15
Gereja mendasarkan ajaran moral seksualnya pada tatanan hukum
kodrat yang menggarisbawahi kebenaran bahwa setiap kemampuan dan
kecenderungan dasar dalam diri manusia memiliki tujuan dan fungsi
kodratinya. Akan tetapi, ajaran moral gereja tentang cara pengaturan
kelahiran alami tidak sedikit menimbulkan kesulitan di dalam praksis
hidup pasangan suami-istri. Dalam situasi demikian, MAWI (th 1968 dan
1972), sebagai tanggapan atas Ensiklik Humanae Vitae dan situasi aktual
Indonesia, mengeluarkan pernyataan bahwa untuk mengatur kelahiran
anak umat hendaknya mengikuti suara hati masing-masing. Dengan
demikian, keputusan moral menjadi urusan pribadi berdasarkan
pertimbangan rasional dan pada akhirnya pasangan suami-istri katolik
dapat mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya sendiri. Hal ini
menunjukkan otonomi dan kemandirian moral16 .
2.
Perubahan Paradigma Teologi Moral Katolik
Untuk menanggapi persoalan-persoalan moral tersebut di atas, kita
tentunya harus memahami apa artinya teologi moral? Ada banyak definisi
yang menjelaskan apa itu teologi moral atau etika kristiani.
Etika kristiani atau teologi moral adalah cabang teologi yang
mempelajari tindakan-tindakan manusia sejauh tindakan –tindakan
14 Bdk. Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae no. 11-13.
15 Ibid., no. 14.
16 Bdk. Bernard Kieser, “Pembinaan Moral Pasca-Vatikan II,” dalam Gereja Indonesia PascaVatikan II, Refleksi dan Tantangan, 221-245, khususnya 229-235.
188
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
tersebut tunduk pada hukum moral, pada imperatif-imperatifnya dan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh hukum moral, dalam terang
iman. Dalam definisi teresebut, konsep sentralnya adalah hukum yang
dilihat sebagai ekspresi kehendak Allah dan akal budi. Dalam hal ini
moralitas menjadi persoalan kewajiban.
Etika kristiani atau teologi moral adalah cabang teologi yang mempelajari tindakan-tindakan manusia supaya menyesuaikannya dengan
kewajiban (tugas) dan dengan norma-norma yang diberikan kepada kita
oleh akal budi dan kehendak Allah, dalam terang iman. Ide sentral dalam
definisi tersebut adalah tugas (kewajiban) yang dihubungkan dengan ide
kewajiban, tetapi memiliki konotasi interioritas.
Teologi moral adalah cabang teologi yang mempelajari tindakantindakan manusia untuk mengarahkannya pada pencapaian kebahagiaan
sejati dan tujuan ultim manusia dengan bantuan keutamaan-keutamaan
dan dalam terang iman. Dalam definisi tersebut, kita melihat bahwa
kebahagiaan sejati manusia dilihat sebagai tujuan ultimate . Di sini kita
melihat teori moral yang didasarkan pada ketertarikan manusia pada apa
yang benar dan baik, dan bukan pada perintah atau kewajiban.
Santo Thomas Aquinas memberi definisi teologi moral sebagai cabang
teologi yang memiliki obyek materialnya adalah studi tentang tindakantindakan manusia dalam relasinya dengan tujuan ultim sebagaimana
dikehendaki oleh Allah sebagai mewajibkan bagi semua orang. Untuk dapat
mencapai tujuan ultimate tersebut, dengan bantuan rahmat, manusia harus
hidup berdasarkan keutamaan, baik itu keutamaan kardinal: keadilan,
pengendalian diri, kebijaksanaan dan keberanian, maupun keutamaan
teologal: iman, harapan, dan kasih.
Servais Pinckaers mendefinisikan teologi moral sebagai cabang teologi
yang mempelajari tindakan-tindakan manusia untuk mengarahkannya
pada visi Allah yang penuh cinta yang dilihat sebagai kebahagiaan sejati
dan tujuan akhir hidup manusia. Visi tersebut dicapai melalui sarana
rahmat, keutamaan-keutamaan dan anugerah-anugerah dalam terang
iman17 .
Dalam perspektif pembebasan, teologi moral adalah refleksi kritis atas
iman sejauh iman tersebut menggerakkan orang untuk terlibat dalam
praksis cinta dan komitment dalam perjuangan demi keadilan dan
pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam konteks
ini, teologi pembebasan menggarisbawahi dimensi sosial – politik iman
kristiani dan pesan Injil. Iman kepada Kristus tidak bisa dipisahkan dari
komitment terhadap keadilan dan praksis cinta. Di samping itu, teologi
moral dalam perspektif pembebasan menekankan relasi dialektis antara
17 Bdk. Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics, T&T Clark, Edinburgh 1995, 8-13.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
189
transformasi hati dan budi dan transformasi dalam struktur dan sistem
sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Teologi moral adalah refleksi kritis atas iman sejauh iman itu
dipraktekkan dalam praksis hidup. Dalam hal ini moralitas menunjuk pada
baik-buruknya manusia sebagai manusia, yakni sebagai manusia yang
diciptakan secitra dan segambar dengan Allah yang dianugerahi
kemampuan akal budi, kehendak bebas dan kemampuan untuk memilih
antara yang baik dan buruk.
Dalam periode konsili Trente sampai dengan Konsili Vatikan II, teologi
moral lebih bernuansa praktis-pastoral dan lebih menekankan unsur hukum
(legalistik), kewajiban, menekankan moralitas tindakan dan sibuk dengan
persoalan dosa atau tidak dosa. Teologi moral dilihat sebagai sarana
pelatihan bagi para calon imam sehingga mereka memiliki keterampilan
dalam memecahkan persoalan-persoalan di kamar pengakuan dosa. Teologi
moral pada periode ini lebih menekankan soal kewajiban, ketaatan pada
hukum dan peraturan. Dalam ajaran moral Gereja katolik, hampir semua
ajarannya didasarkan pada hukum kodrat yang dapat dikenal dan dipahami
oleh semua manusia berkat kemampuan akal budinya. Semua hukum
manusia harus dilihat dalam relasinya dengan hukum kodrat dan hukum
abadi18 .
Dalam perdebatan kontemporer, teologi moral lebih dikarakterisasikan
dengan unsur-unsur: respon atas tawaran rahmat Allah, kebebasan, kesetiaan,
kreativitas kesadaran personal, tanggung jawab, dialog, keutamaan,
ketertarikan pada nilai-nilai.19 Dalam debat kontemporer juga muncul
ketegangan-ketegangan berkaitan dengan soal kebaikan dan keburukan
moral, terutama di antara moralis yang beraliran teleologis dan deontologis.
Dalam hal ini ada perdebatan tentang kebaikan dan keburukan pra-moral
(kebaikan atau keburukan ontik) dan kebaikan atau keburukan intrinsik.
Pendekatan yang digunakan dalam teologi moral pasca KV II adalah pendekatan induktif, dengan memberi perhatian pada tanda-tanda jaman, yang
kemudian diinterpretasikan dalam terang Injil dan Tradisi hidup Gereja20 .
Yang menimbulkan perbedaan pendekatan dalam teologi moral adalah
perubahan worldview dari worldview klasik yang ditandai oleh pemahaman tentang realitas sebagai sesuatu yang universal, kepastian, statis,
atau tidak berubah dan abadi, menuju worldview yang berkesadaran
historik yang memahami realitas sebagai sesuatu yang dinamis,
berkembang, partikular, sementara atau tentatif.
18 Bdk. Ibid., 254-297.
19 Bdk. Bernard Haering, Liberi e Fedeli in Cristo: teologia morale per preti e laici, Roma: Edizioni
Pauline 1990.
20 Bdk. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, art. 2-10, 48-90.
190
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
Berbeda dengan teologi moral pra-KV II yang legalistik dan sedikit
memberi perhatian pada Kitab Suci, dalam Teologi Moral sejak KV II,
peranan Kitab Suci, tradisi gereja, ajaran para bapa Gereja dan pengalaman
hidup manusia mendapat perhatian utama dalam perdebatan moral
kontemporer. Imperasi untuk menjadikan Kitab Suci sebagai sumber
kebenaran teologi moral ditekankan dalam Optatam Totius yang menggarisbawahi tuntutan untuk melakukan pembaharuan dalam teologi moral,
“yang harus ditata dalam hubungannya yang lebih hidup dengan misteri
Kristus dan sejarah keselamatan. Perawatan khusus harus diberikan kepada
penyempurnaan teologi moral. Penjelasan ilmiahnya harus lebih diresapi
ajaran Kitab Suci, dan menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman
dalam Kristus, serta tugas mereka dalam cinta kasih untuk menghasilkan
buah demi kehidupan dunia”21 .
Dari kutipan tersebut kita dapat melihat isi dan metode teologi moral,
yakni teologi moral yang bernafaskan dan berjiwakan Kitab Suci dan menggarisbawahi isi teologi bertugas untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus dan menekankan tugas umat beriman untuk menghasilkan buah-buah kehidupan iman
bagi kehudupan dunia22 . Dengan demikian, dunia tidak lagi dilihat sebagai
tempat kejahatan, yang harus dijauhi, tetapi sebagai tempat di mana Allah
mewahyukan diriNYa, memanggil manusia untuk menghayati iman dalam
peziarahan menuju kesempurnaan hidup. Di dalam dunialah umat beriman
juga dapat berjumpa dengan Allah yang hadir dalam diri setiap manusia
yang diciptakan secitra dan segambar dengan Allah. Manusia dapat
mengalami perjumpaan dengan Allah dalam keterlibatan dan solidaritas
mereka dengan kaum tertindas yang sedang berjuang demi kebebasan dan
keadilan.
3.
Perubahan Metodologi dan Sikap Gereja lebih jelas dalam Ajaran Moral
Sosial
Ajaran sosial gereja mengalami perubahan dalam metodologi dari
pendekatan klasik yang melihat realitas dalam term universalitas,
immutabilitas, stabilitas, kepastian, dalam hal ini norma-norma moral yang
dideduksi dari hukum kodrat, menuju pendekatan yang sadar secara
historik yang ditandai oleh partikularitas, kontingensi dan perubahan.
Pendekatan yang sadar secara historik mempertahankan continuitas dan
diskontinuitas. Pendekatan ini menggunakan metode induksi yakni
21 Konsili Vatikan II, Optatam Totius no. 16.
22 Bdk. Sabino Frigato, Vita in Cristo e Agire Morale: Saggio di teologia morale fondamentale, Editrice
ElleDici, Torino 1999, 77-86. bdk. Charles E. Curran, Ongoing Revision in Moral Theology,
Notre Dame: Fides Claretian 1975, 87-91.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
191
mengambil kesimpulan-kesimpulan dengan menganalisa situasi sosial,
politik, ekonomi dan kebudayaan yang terus berubah. Perubahan metodologi ini dapat kita lihat dalam dokumen ASG sebelum Vatikan II dan
setelahnya.
Di dalam Rerum Novarum Leo XIII mengatakan bahwa hak atas milik
pribadi didasarkan pada kodrat manusia dan pada hukum kodrat,
« mempunyai milik perorangan untuk dirinya merupakan hak manusiawi
berdasarkan kodratnya » (bdk. RN no. 6-7) Di dalam Quadragesimo Anno
(1931) juga ditekankan metodologi deduksi terutama berkaitan dengan
soal hak atas milik pribadi « Di dalam memanfaatkan sumber-sumber daya
alam bagi penggunaan manusiawi, hukum kodrati, atau lebih tepat
kehendak Allah yang terpancarkan oleh hukum itu, meminta supaya tata
tertib itu dipatuhi » (QA. No. 53).
Metode deduksi dapat kita lihat juga dalam Pacem in Terris (1963) yang
mendeduksi norma moral dari hukum kodrat. « Hukum-hukum yang
mengatur manusia berlainan sama sekali. Bapa alam semesta telah
menerakannya ke dalam kodrat manusia. Oleh karena itulah hukum itu
harus dicari di situ, bukan ditempat lain » (PT no. 6). Hukum yang
dideduksi dari hukum kodrat seharusnya mengarahkan dan mengatur
relasi manusia dalam hidup bersama, dalam hidup bernegara dan dalam
relasi international.
Perubahan dari metode deduksi menuju metode induksi dapat kita
lihat dalam Gaudium et Spes yang memanggil kita untuk membaca tandatanda jaman, artinya mencermati situasi real, partikular di mana kita hidup
lalu merefleksikan dan menginterpretasikannya dalam terang Injil dan
Tradisi gereja.
Untuk melaksanakan tugas yang luhur itu, sepanjang masa Gereja
wajib menelaah tanda-tanda jaman, lalu menafsirkannya di dalam terang
Injil. Dengan demikian, ia dapat menjawab atas cara yang sesuai dengan
tiap generasi, masalah abadi manusia tentang makna kehidupan sekarang
ini dan kelak dan tentang hubungan antara keduanya23
Hal senada dikatakan dalam dokumen yang sama :
Adalah tugas seluruh umat Allah, terutama para gembala dan teolog untuk
mendengarkan, membeda-bedakan dan menafsirkan pelbagai bahasa jaman kita, dengan bantuan Roh Kudus, lalu menilainya dalam terang Sabda
Ilahi, agar kebenaran yang diwahyukan selalu dapat ditanggapi dengan
lebih mendalam, dipahami dengan lebih baik dan disajikan dengan lebih
benar24 .
23 Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, Gaudium et Spes, art. No. 4.
24 Ibid., art. No. 44.
192
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
Dokumen yang sama menggarisbawahi tuntutan untuk memperhatikan dan membaca tanda-tanda jaman:
Konsili sudah menjelaskan apa itu martabat pribadi manusia dan untuk
menunaikan tugas individual maupun sosial mana di seluruh dunia ia
dipanggil. Sekarang di dalam terang Injil dan pengalaman manusiawi,
Konsili mengarahkan hati semua orang kepada beberapa kebutuhan yang
lebih mendesak dewasa ini, yang sangat menyangkut umat manusia25
Ajakan untuk membaca tanda-tanda jaman dipraktekkan dalam setiap
GS terutama berkaitan dengan bagaimana menginduksi norma-norma
moral untuk mengarahkan kehidupan berkeluarga, kebudayaan, ekonomi,
politik dan perdamaian.
Metode induktif dan pendekatan yang berkesadaran historik juga
dapat kita lihat dalam Octogesima Adveniens, di mana Paulus VI menyadari
adanya perbedaan situasi dari daerah yang satu dengan lainnya, maka
sangat sulitlah bagi Gereja untuk memberi jawaban atas persoalan sosial
yang bersifat universal.
Mengingat pelbagai situasi itu, yang dalam banyak hal serba berbeda,
kami merasa sulit menyampaikan pesan yang senada dan mengemukakan
pemecahan yang berlaku di mana-mana. Itu sebab bukan yang kami citacitakan, bukan misi kami pula. Merupakan tugas jemaat-jemaat kristiani
menganalis secara obyektif situasi yang khas bagi negeri mereka sendiri,
menyinarinya dengan terang amanat Injil yang tidak dapat diubah, dan
dari ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi, norma-norma
untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak26
Kesadaran secara historik dan metode induktif juga dapat kita lihat
dalam de Iustitia in Mundo(1971) yang mengawali dokumen dengan
mengajak orang untuk membaca tanda-tanda jaman. « Kami menyelidiki
tanda-tanda jaman dan mencoba menggali makna sejarah yang sedang
berlangsung. Sementara itu kami pun mempunyai aspirasi-aspirasi dan
pertanyaan-pertanyaan yang ada pada mereka semua, yang hendak
membangun dunia yang lebih manusiawi. Kami telah mendengarkan sabda
Allah, supaya mengalami pertobatan untuk memenuhi Rencana Ilahi demi
keselamatan dunia »27 .
Dengan membaca tanda-tanda jaman, para uskup sedunia menyadari
bahwa problem ketidakadilan dan penindasan bukan hanya berdimensi
individual dan lokal, melainkan berdimensi sosial, struktural dan mondial.
Oleh karenanya, untuk mengatasinya tidak cukup hanya dituntut pertobatan hati individual, tetapi dituntut transformasi struktural dan sistem
25 Ibid., art. No. 46.
26 Paulus VI, Octogessima Adveniens, art. No. 4.
27 Konferensi Para Uskup sedunia, Justice in the World, art. No. 2.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
193
yang tidak adil dan menindas, baik pada tingkat lokal, nasional dan
internasional.
Perubahan metode dan pendekatan dalam moral sosial Gereja diikuti
oleh perubahan dalam model etik28 :
Model etik pertama adalah model legal-deontologis yang memahami
moralitas dalam term kewajiban dan ketaatan pada hukum, keselarasan
dengan hukum dan kewajiban, biasanya norma moral dideduksi dari
hukum kodrat yang dipahami sebagai partisipasi mahluk rasional dengan
akal budi ilahi29 .. Norma-norma moral yang dideduksi dari hukum kodrat
tersebut kemudian diterapkan pada persoalan-persoalan konkret.
Kelemahan dari model etik ini adalah kurang memperhatikan dimensi
personal dan motivasi subyek moral. Dalam situasi ektrem model etik
deontologis ini bisa mengarah pada sikap legalistik rigid30 . Di samping
itu, model etik deontologis menggarisbawahi adanya tindakan-tindakan
yang secara intrinsik malum, terlepas dari motivasi dan tujuannya, seperti
tindakan membunuh orang yang tidak bersalah dan berzinah.
Model etik kedua adalah model teleologis memahami moralitas
dalam term telos, tujuan. Kebaikan dan keburukan moral dilihat dari
tujuannya. Model etik teleologis dapat dibedakan menjadi dua, yakni
teleologis ekstrinsik dan teleologis intrinsik. Yang dimaksud dengan
teleologis ekstrinsik adalah tujuan yang dipisahkan dari pribadi manusia,
diidentifikasi dengan konsekuensialisme dan utilitarianisme. Sementara
model etik teleologis intrinsik memahami tujuan sebagai kecenderungan
konstitutif pribadi manusia, yang mencapai pemenuhannya melalui
pencapaian tujuan dengan mana manusia diarahkan, yang dalam etika
thomasian disebut tujuan ultimate, yakni kebahagiaan (eudaimonia).
Manusia sebagai mahluk berakal budi dan berkehendak bebas dipanggil
untuk mengarahkan seluruh hidup dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan
sesuai kodratnya. Model etik teleologis ini karena menekankan tujuan yang
mau dicapai atau konsekuensi yang dihasilkan maka faktor motivasi subyek
moral kurang mendapat perhatian, bahkan pada titik ekstrem demi tujuan
baik atau kegunaan yang maksimal, orang akan menghalalkan segala cara
demi mencapai tujuan tersebut. Menurut model etik teleologis tidak ada
tindakan yang secara intrinsik jahat atau buruk sebab yang menentukan
kebaikan atau keburukan moral adalah tujuan yang mau dicapai atau akibat
yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan.
28 Bdk. Charles E. Curran, Catholic Social Teaching 1981-present: A Historical, theological and Ethical Analysis, Georgetown University Press, Washington D.C. 2002, 53-100.
29 Bdk Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno, no. 42-43.
30 Untuk melihat perubahan signifikan dalam metode teologi moral dapat dilihat dalam
pemaparan Charkes E. Curran dalam bukunya The Living Tradition of Catholic Moral Theology, Notre Dame, University of Notre Dame 1992, 85-87.
194
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
Model etik ketiga adalah relasionalitas-tanggung jawab, yakni model
etik yang memahami manusia dalam relasinya dengan Allah, sesamanya,
dirinya dan dengan alam. Dengan adanya perubahan pendekatan dari
klasicisme menuju metode berkesadaran secara historik, dan dengan
memberi penekanan pada pribadi manusia, kebebasan, partisipasi dan
kesamaan serta kesadaran atas dimensi global-planetaria persoalan sosial,
maka dibutuhkan model etik relationalitas-tanggungjawab. Hal ini dapat
kita lihat dalam Gaudium et Spes:
Di seluruh dunia semakin meningkat kesadaran akan otonomi dan
tanggung jawab, dan itu penting sekali bagi kematangan rohani maupun
moril umat manusia. Itu semakin jelas bila kita sadari proses menyatunya
dunia serta tugas panggilan kita, untuk membangun dunia yang lebih
baik dalam kebenaran dan keadilan. Maka demikianlah kita menjadi saksi
lahirnya humanisme baru ; di situlah manusia pertama-tama ditandai oleh
tanggungjawabnya atas sesamanya maupun sejarahnya31 .
Oleh karenanya harus diatasi etika individualistik dan harus
dikembangkan dan dipromosikan etika solidaritas global dan tanggung
jawab sosial. Perubahan model etik ini terjadi karena adanya perubahan
pendekatan, yakni dari pendekatan klasik yang deduktif menuju pendekatan yang berkesadaran historik yang induktif, dengan memberi
tekanan pada pribadi manusia sebagai subyek dan kesadaran atas dimensi
global persoalan sosial-politik-ekonomi-kultural yang menuntut
pendekatan holistik yang melibatkan tanggungjawab bersama. Model ini
sangat dibutuhkan pada jaman sekarang yang ditandai oleh globalisasi
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dipicu oleh kemajuan di bidang
teknologi komunikasi sosial. Berhadapan dengan dampak negatif globalisasi yang melahirkan eksklusivikasi dan marginalisasi, Gereja
menawarkan visi antropologi kristiani yang memberikan pemahaman
tentang manusia yang holistik, yang terdiri dari jiwa dan badan, memiliki
dimensi individual dan sosial serta memiliki kemampuan untuk bertransendensi diri melalui kemampuan akal budinya. Gereja memberikan
tuntunan dan prinsip-prinsip moral sosial, yakni primat pribadi manusia,
solidaritas, subsidiaritas, bonum comune, dan the preferential option for
the poor untuk memanusiawikan globalisasi.
Selain perubahan dalam metode, kita juga dapat melihat perubahan
dalam sikap Gereja terhadap beberapa ide yang ditolak sebelumnya. Kalau
kita mencermati apa yang terjadi pada Konsili Vatikan II, kita melihat
adanya perubahan besar dalam sikap Gereja terhadap ide-ide kemodernan,
dari sikap reaktif-apologetik menjadi sikap reflective, aseptik-dialogis.
Apa yang dicurigai di masa lalu, seperti ide demokrasi, kebebasan
31 Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes., art. No.55.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
195
beragama, parstisipasi, otonomi hal-ihwal duniawi dalam KV II diterima
dan diaffirmasi32 . Kita juga melihat perubahan sikap Gereja terhadap
gerakan hak asasi manusia. Gereja katolik pada awalnya enggan berbicara
tentang hak-hak karena bahaya individualisme eksesif. Namun dalam
perjalanan sejarah, Gereja Katolik akhirnya menerima gagasan baru
tersebut. Untuk pertama kalinya, dokumen resmi Gereja Katolik memuat
dan membahas secara panjang lebar hak-hak asasi manusia dalam ensiklik
Pacem in Terris 1963(lihat no. 11-27), ensiklik yang muncul sebagai
tanggapan atas bahaya perang dingin tahun 1963. Sejak saat itu, Gereja
menjadi pembela hak-hak asasi manusia sebagaimana ditulis dalam
berbagai dokumen-dokumen Gereja33 .
Perhatian terhadap pribadi manusia dan subyektivitas juga kental
dalam teologi moral sosial pasca KV II. Hal ini dapat kita lihat dalam
dukungan dan penerimaan Gereja terhadap ide kebebasan, kesamaan,
partisipasi individu, yang sebelumnya ditentang Gereja. Kepekaan dan
penerimaan aspirasi terhadap partisipasi dan kesamaan di antara semua
orang yang merupakan dua bentuk ungkapan dari martabat pribadi
manusia34 . Primat pribadi manusia di atas barang-barang duniawi juga
nampak jelas dalam relasi di antara Capital dan Labour yang telah memicu
konflik sejak Rerum Novarum sampai Laborem Exercens. Kalau Pius XI
dalam ensiklik Quadragesimo Anno melihat relasi antara capital dan labour
dalam posisi seimbang, dalam arti modal dan kerja memiliki nilai yang
sama penting dalam proses produksi, maka Yohanes Paulus II dalam
ensiklik Laborem Exercens menempatkan kerja yang keluar langsung dari
pribadi manusia di atas capital35 . Dengan menempatkan primat labour
(pribadi manusia) di atas modal maka Yohanes Paulus II meninggalkan
ajaran pendahulunya.36 Di samping itu, Yohanes Paulus II membedakan
arti kerja menjadi kerja dalam arti subyektif dan kerja dalam arti obyektif.
Dia menempatkan kerja dalam arti subyektif di atas kerja dalam arti
obyektif. Dalam konteks ini. Yohanes Paulus II menekankan pentingnya
subyektivitas individu dan masyarakat.
Berkaitan dengan ajaran moral sosial, Gereja mendasarkan penilaian
moralnya pada prinsip hormat terhadap martabat pribadi manusia, prinsip
solidaritas, prinsip subsidiaritas, prinsip keadilan, prinsip bonum comune
32 Bdk. Gregory Baum, Theology and Society, New York, Mahwah: Paulist Press 1987, 247-260.
ID., Essays in Critical Theology,Kansas Cirt: Sheed and Wards 1994, 171-188.
33 Bdk. Yohanes Paulus II, Ensklik Redemptoris Hominis 1979 (no. 17); Ensiklik Sollicitudo
Rei Socialis 1987 (no. 34), dan Ensiklik Centesimus Annus 1991 no.47.
34 Paulus VI, Octogessima Adveniens no. 22.
35 Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercensm no. 12.
36 Leo XIII dan Pius XI berpendapat bahwa modal dan kerja berada dalam tingkat yang sama,
kedua-duanya dibutuhkan dalam proses produksi.
196
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
dan the preferential option for the poor. Keenam prinsip moral tersebut
menjadi kriteria sejauh mana suatu sistem atau institusi sungguh-sungguh
mempromosikan, membela dan melindungi keluhuran martabat pribadi
dan kesejahteraan manusia yang merupakan tujuan dari setiap aktivitas
sosial, politik, ekonomi, budaya.
Berkaitan dengan moral seksual dan perkawinan, ajaran moral Gereja
tetap berpegang pada model pendekatan legalistik hukum kodrat
sebagaimana dapat kita lihat dalam dokumen deklarasi tentang Etika
Seksual yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk ajaran iman pada th. 1975;
Surat kepada para Uskup Gereja Katolik tentang Reksa Pastoral untuk
Kaum Homoseks yang dipromulgasikan pada th. 1986; dan Instruksi
tentang Hidup Manusia dan Martabat Prokreasi (Donum Vitae) yang
dipromulgasikan pada th. 1987. Dari ketiga dokumen tersebut, penilaian
moral dideduksi dari prinsip-prinsip dasar yang dapat dipahami oleh akal
budi, yang berasal dari tatanan hukum ilahi dan hukum kodrat. Semua
dokumen ini kental dengan world view klasik daripada worldview yang
berkesadaran historik. Tekanan diberikan bukan pada pribadi manusia,
tetapi pada kodrat kemampuan seksual yang diciptakan Allah untuk dua
tujuan, yakni tujuan prokreasi dan tujuan unitif37 .
Walau demikian, dalam bidang seksualitas dan perkawinan, kalau kita
mencermati sejarah perkembangan ajaran gereja tentang seksualitas dan
perkawinan sungguh menunjukkan perubahan signifikan, dari sikap negative menuju sikap yang lebih positif tentang seksualitas38 . Pada masa lalu
seksualitas dilihat sebagai sumber dosa dan kejahatan, dan perkawinanpun
dilihat sebagai status hidup kelas dua dibandingkan dengan status hidup
selibat atau keperawanan. Konsili Vatikan II mendobrak pandangan negative tersebut, dengan menekankan keluhuran dari kedua bentuk status
hidup sebagaimana dijabarkan dalam Gaudium et Spes 40-42. Berdasarkan
Konsili Vatikan II kaum awam dan kaum klerus, serta religius dipanggil
untuk menanggapi panggilan universal yakni menggapai kekudusan dan
kesempurnaan hidup. Kaum awam juga berpartisapasi dalam fungsi rajawi,
imamat dan kenabian Yesus Kristus.
37 Berkaitan dengan Moral seksualitas dalam Gereja Katolik, Charles Curran memberikan
evaluasi kritis dalam bukunya The Living Tradition of Catholic Moral Theology, Notre Dane,
University of Notre Dame 1992, 27-57.
38 Pandangan negatif tentang seks dan seksualitas terutama dipengaruhi oleh pandangan filsafat
platonisme dan neoplatonisme yang begitu berpengaruh pada pandangan teologi moral
seksualitas dan perkawinan sebagaimana dikembangkan oleh Agustinus.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
197
4.
Yesus sebagai Paradigma dalam Kehidupan Moral39
Di dalam kristianitas, pengajaran moral didasarkan pada pewartaan
tentang tindakan penyelamatan Allah dalam diri Yesus. Di dalam Injil kita
menemukan banyak perkataan-perkataan Yesus dan perumpamaan yang
sarat dengan nilai-nilai moral. Yang paling sentral adalah seruan pertobatan yang dikaitkan dengan pewartaan Kerajaan Allah yang sudah mendekat. « Waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah
dan percayalah pada Injil » (Mrk. 1: 15). Dalam hal ini jelas, bahwa kerajaan
Allah sudah datang, tetapi belum mencapai pemenuhan akhir. Ketegangan
antara sudah datang dan masih akan mencapai penyempurnaannya,
menuntut tanggapan manusia dengan hidup sebagai orang-orang yang
sedang menantikan pemenuhan akhir. Kata-kata injil sangat provokatif:
awas, waspadalah, berjaga-jagalah, bersiap-siaplah. Keseriusan situasi
menuntut orang untuk sampai pada keputusan yang tepat dan radikal.
Di samping itu, dalam surat-surat Paulus kita bisa menemukan banyak
pernyataan-pernyataan doktrinal tentang misteri Yesus Kristus yang kemudian diikuti oleh tuntutan dan imperatif moral. Sebagai contoh dalam
Gal. 5:1 “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita (indikatif), karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi
dikenakan kuk perhambaan (imperatif)”. Lebih lanjut Paulus menasihatkan,
“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka
(indikatif). Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu
sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah
seorang akan yang lain oleh kasih (Imperatif)” (Gal. 5:13).
Yesus memberikan ajaran moral sejalan dengan pemahaman bahwa
Allah telah membuat perjanjian dengan UmatNya. Namun perjanjian
tersebut telah dirusak oleh kesombongan manusia, di mana manusia
mengkhianati komitment perjanjian. Kendati demikian, Allah tetap mencintai manusia dan memperbaharui perjanjian tersebut melalui Yesus
PuteraNya sendiri. Dalam kerangka ini, Yesus menyerukan pertobatan
sebagai syarat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Pertobatan atau metanoia
dipahami sebagai perubahan orientasi hidup, perubahan hati dan budi,
perubahan opsi dasar, perubahan cara berpikir dan melihat realita (Mrk.
1:15)
Ajaran moral Yesus sangat padat dimuat dalam kotbah di bukit yang
dapat dijadikan magna carta umat perjanjian baru. Kotbah di bukit diawali
dengan penjungkirbalikkan tatanilai : yang dikatakan berbahagia adalah
orang-orang yang menurut logika dan kaca mata dunia adalah orang-orang
39 Richard M. Gula, S.S, What are they saying about Moral Norms?, Paulist Press, New York 1982,
111-114.
198
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
yang malang : mereka yang miskin, manangis, dianiaya karena keadilan
dan kebenaran. Mereka yang dikatakan berbahagia adalah mereka yang
lembut hati, tulus hati, mereka yang menjadi pembawa damai, mereka yang
disiksa demi nama Yesus dan InjilNya (Mat. 5 : 3-12).
Yesus menuntut para pengikutNya untuk menjadi garam dan terang
dunia, memiliki iman yang produktif, iman yang kreatif dan mengubah
dunia, membawa orang lain kepada Allah karena melihat perbuatanperbuatan baik kita (keadilan dan belas kasih) (Mat. 5 : 13-16 // Mat. 7 :
15-27// Mat. 25 :31-46).
Yesus menegaskan bahwa diriNya datang ke dunia untuk menggenapi
dan menyempurnakan hukum Taurat dan Kitab para Nabi. Bahkan Yesus
telah menggenapkan hukum Taurat dalam diriNya sendiri dengan menetapkan perjanjian baru dan kekal. Dalam konteks ini, Yesus menawarkan
interpretasi kreatif dan radikal isi Dekalog.
Pertama-tama Yesus menekankan bahwa seorang pengikut Yesus
dituntut untuk memiliki keadilan yang jauh lebih tinggi daripada keadilan
kaum Farisi dan ahli Taurat (Mat. 5 : 20). Keadilan yang didasarkan bukan
pada pemenuhan hukum dan perintah-perintah, tetapi keadilan karena
iman kepada Yesus, keadilan yang didasari oleh belas kasih.
Di hadapkan pada sikap orang Farisi dan Ahli Taurat yang menekankan tindakan lahiriah dan legalistik, maka moralitas Yesus
menekankan disposisi batin, sikap batin, actus internus. Oleh karenanya,
Yesus sangat geram dan marah pada sikap munafik kaum Farisi. Bagi Yesus,
tindakan internal dan hati manusia adalah basis moralitas (Mrk. 7: 17-23).
Perintah-perintah Allah harus diterapkan pada seluruh pribadi
manusia, bukan hanya pada tindakan lahiriah, tetapi lebih-lebih menyentuh
sikap batin (Mat. 5:27). Dalam hal ini, Yesus bukan hanya melarang tindakan pembunuhan, tetapi juga menuntut orang untuk mencabut akar terdalam yang menyebabkan tindakan pembunuhan, yakni kemarahan yang
membahana.
Yesus tidak hanya melarang tindakan perzinahan, tetapi Ia menuntut
orang untuk mencabut akar perzinahan, yakni hati yang penuh nafsu, libido seksualis yang tidak terkendali (Mat. 5: 28). Dalam konteks ini Yesus
menggarisbawahi moralitas adalah actus internus yang mencakup
kepribadian manusia secara keseluruhan, bukan hanya terbatas pada
tindakan tertentu.
Berkaitan dengan anggota tubuh yang membuat batu sandungan,
maka Yesus menuntut penyembuhan radikal: memotong tangan dan kaki,
mencukil mata yang menyesatkan (Mat. 5: 29).
Berhadapan dengan sikap rigid, kaku dan lagalistik kaum Farisi dan
ahli Taurat berkaitan dengan hari Sabat, maka Yesus mengembalikan hari
sabat pada motivasi awalnya: melindungi martabat pribadi manusia,
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
199
sebagai wujud pembebasan. Hari sabat untuk manusia bukan manusia
untuk hari Sabat (Mrk. 2: 28).
Yesus bergerak melampaui tulisan hukum untuk menampakkan kasih
dan kebaikan Allah, dengan menyembuhkan (membebaskan) orang pada
hari sabat, dengan berkata, “manakah diperbolehkan pada hari Sabat,
melakukan kebaikan atau kejahatan; menyelamatkan orang atau membunuh orang” (Mrk. 3:4). Bahkan Yesus menegaskan dirinya sebagai Tuhan
atas hari Sabat.
Moralitas kristiani adalah moralitas hidup mengikuti Yesus dan
meniru cara hidup Yesus ( sequella Christi et imitatio Christi), yang merupakan
pemenuhan seluruh hukum, Dialah hukum baru bagi setiap orang yang
mau hidup sempurna. Mengikuti Yesus artinya kita hidup seperti Yesus
hidup: dalam ajaran moralNya, Yesus memusatkan pengajaran moralNya
pada kasih yang berdimensi ganda: kasih kepada Allah dengan segenap
hati, segenap jiwa, segenap budi dan kekuatan dan mencintai sesama seperti
mencintai diri sendiri.
Moralitas kristiani dapat dikatakan sebagai moralitas sequella Christi
et imitatio Christi. Mengikuti dan menjadi murid Yesus mengandung
arti: mengikuti jalan Cinta. Mencintai seperti Yesus mencintai: cinta yang
radikal dan total, gratuit dan indiskriminatif, altruis dan oblatif, universal;
ingat kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37). Menjadi sesama
orang yang membutuhkan. Cinta yang mencapai titik kulminasinya dalam
tindakan pemberian diri (Yoh. 15:13). Yesus memperluas cakupan cinta,
dengan tuntutannya untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang
menganiaya kita (Mat. 5:44). Mengikuti jalan pelayanan: Melayani
sebagaimana Yesus melayani “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. Pelayanan seorang guru yang diungkapkan
dalam tindakan simbolik Yesus mencuci kaki para rasul (Yoh. 13:1-13).
Mengikuti jalan pengampunan: Mengampuni sebagaimana Yesus
mengampuni “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa
yang mereka perbuat!” Kemampuan untuk mengampuni akan membebaskan orang dari sikap balas dendam dan berani membalas kejahatan
dengan kebaikan. Pengampunan tanpa batas (lihat Mat. 18: 21-35 ; Rom
12: 9-21). Hal ini hanya mungkin terjadi kalau orang mampu mentransformasi makna pengalaman kontras-negatif, memurnikan dan
menyembuhkan memori yang pahit-menyakitkan. Mengikuti jalan
ketaatan: Taat seperti Yesus taat, taat sampai mati di salib, pengosongan
diri (kidung salib Filipi 2, 5-11). Hidup bukan diatur oleh kehendak sendiri,
tetapi oleh kehendak Allah; hidup tidak diperbudak oleh nafsu dan naluri,
tetapi mengendalikan dan menguasinya. Mengikuti jalan kerendahan hati
dan pengosongan diri (Fil. 2: 1-11); jalan kelembutan: Lembut dan rendah
hati sebagai mana Yesus lembut dan rendah hati (Mat. 11: 25-30). Menjaga
keseimbangan antara hidup aktif dan kontemplatif. Hidup yang berawal
200
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
dan bermuara pada doa. Contemplatio-actio-contemplatio atau actiocontemplatio-actio
Di samping itu, mengikuti Yesus berarti setia pada visi dan misiNya,
yakni menggenapi kehendak Allah, punya komitmen kuat (Mat. 4: 1-11);
“MakananKu adalah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan
menyelesaikan pekerjaanNya” (Yoh. 4:34). Dalam praksis hidupNya Yesus
mematahkan logika keseimbangan, hukum pembalasan (lex tallionis) dan
menggantinya dengan logika kelimpahan: “Barang siapa menampar pipimu
yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain dan barang siapa
mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu” (Luk. 6,29). Di
sini Yesus menantang kita untuk berbuat melampaui apa yang menjadi
kewajiban kita.
Yesus menantang para pengikutnya untuk mencontoh kebaikan,
kesempurnaan dan kemurahan hati Allah (imitatio Dei) “Hendaklah kamu
sempurna sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna (Mat. 5:48),
“Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu yang di surga adalah
murah hati” (Luk. 6:36). Berhadapan dengan kemunafikan kaum Farisi dan
ahli Tarurat, Yesus menekankan ketulusan dan kejujuran dalam berbuat
baik. Berbuat baik bukan karena pamrih, tetapi karena menyadari bahwa
perbuatan itu baik sehingga pantas dilakukan. Dalam hal ini Yesus menggarisbawahi pentingnya motivasi yang jujur dan tulus dalam melakukan segala
tindakan keagamaan (doa, puasa dan memberi sedekah) (Mat. 6:1-18)
Moral katolik adalah moral yang didasarkan pada pribadi Yesus. Dialah norma ultim kehidupan moral, Dialah paradigma atau model kehidupan
moral yang otonom dan autentik. Yesus menjadi model bagaimana seorang
kristiani dan komunitas kristiani harus hidup dan bersikap dalam dunia40 .
Sebagai dasar bagaimana kita harus hidup, kita dapat menerapkan kaidah
emas ini: “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat
kepadamu, perbuatlah itu juga kepada mereka” (Mat. 7,12). Kaidah ini
bukan satu tuntutan yang sifatnya resiprok, do ut des, tetapi berbuat baik
melampaui apa yang diwajibkan tanpa pamrih.. Masing-masing dari kita
dituntut untuk bersikap aktif dan mengambil inisiatif untuk berbuat baik,
bukannya bersifat reaktif.
Pada akhirnya moralitas katolik adalah moralitas imitatio Christi et
imitatio Dei (Mat. 5, 48 // Luk. 6,36). Moralitas Katolik adalah meniru
kesempurnaan dan kemurahan hati Allah, yang dimanifestasikan dalam
hidup, ajaran dan praksis hidup Yesus sendiri. Ini adalah ideal kehidupan
moral kita; Untuk sampai ke sana memang sulit, menuntut kemauan kuat,
sikap radikal. Kehidupan moral yang otentik tidak cukup hanya menye-
40 William C. Spohn, What are they saying about Scripture and ethics, New York: Paulist Press
1995, 94-126.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
201
laraskan seluruh tindakan kita dengan norma yang ada, tetapi kita dituntut
lebih dari itu, yakni hidup yang berkeutamaan. Moral yang otonom adalah
moral yang mendorong orang melakukan sesuatu karena kesadaran akan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Dengan demikian, moral
katolik bukanlah moral yang legalistik, tetapi lebih bersifat per-sonalistikKristosentrik. Moral yang membawa manusia pada kebebasan sejati dan
menjadikan manusia sungguh otentik.
5.
Penutup
Dalam dunia yang menawarkan banyak nilai dan norma perilaku,
Gereja sebagai institusi keagamaan tetap dapat memberi kontribusi dalam
pembentukan dunia dan kemanusiaannya menjadi lebih beradab dan
humanum. Gereja sebagai “ahli dalam bidang kemanusiaan” telah membuktikan kesetiaannya dalam membela nilai-nilai kemanusiaan, melalui
fungsinya sebagai guru iman dan moral. Dalam bidang moral, Gereja
sampai Konsili Vatikan II memberi kesan terlalu keras dan kaku, legalistik
dan tidak memberi tempat pada perubahan dan kebebasan individu.
Norma-norma dirumuskan secara abstrak, universal dan immutabile (tak
berubah). Hal ini terjadi karena pendekatan yang digunakan adalah
deduktif bukannya induktif. Yang menjadi sumber moralitas adalah hukum
kodrat yang dipahami secara fisik-biologistik, statik.
Konsili Vatikan II membuka babak baru dalam teologi dan mendorong
pembaharuan dalam teologi moral berdasar pada Kitab Suci, bahkan
dikatakan bahwa Kitab Suci harus menjadi jiwa dari teologi, secara umum
dan teologi moral seara khusus. Di samping itu, faktor pengalaman dan
historisitas manusia ikut dipertimbangkan dalam perumusan norma-norma
moral. Metode yang digunakan adalah metode induktif yang mempunyai
ciri partikularitas, konkret, historis. Manusia dan dunianya dilihat sebagai
sesuatu yang dinamis, berkembang. Oleh karenanya, nilai-nilai dan
normapun bisa berubah. Metode induktif dan world view yang berkesadaran historik menuntut adanya sikap kritis. Kebenaran yang diyakni
benar di masa lalu, terbuka atas revisi dan bahkan harus ditinggalkan
karena tidak memberi kontribusi untuk meningkatkan kesadaran manusia
atas martabatnya sebagai manusia. Sebaliknya pandangan-pandangan baru
sebelum diverifikasi melalui trial and error tidaklah fair kalau langsung
dicap bidaah.
Teologi moral pasca KV II lebih bersifat personalistik-Kristosentrisbiblis yang memberi tempat pada perubahan dan perkembangan,
menempatkan primat cinta dan martabat pribadi manusia di atas hukum
dan sistem. Kitab suci dijadikan jiwa dan roh dari teologi moral. Moral
pasca KV II juga dapat dipahami sebagai moral yang berfokus pada pribadi
dan praksis hidup Yesus, memberi ruang pada tanggung jawab pribadi
202
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
dan kolektif manusia dalam upaya memperjuangkan dan mempromosikan
keluhuran martabat pribadi manusia dan terbuka terhadap persoalanpersoalan jaman yang terus berubah dan menuntut tanggapan kritis. Di
hadapkan pada tantangan jaman, moral Katolik menunjukkan
dinamisitasnya dengan mempertahankan relasi dialektis antara kesetiaan
pada nilai-nilai Injili dan keterbukaan terhadap perubahan yang dituntut
oleh perkembangan jaman. Dengan demikian, kontinuitas dan
diskontinuitas tetap mewarnai ajaran moral Gereja Katolik.
Kalau kita mencoba membandingkan perkembambangan dalam
teologi moral, kita bisa melihat adanya perubahan signifikan dalam teologi
moral sosial, sedangkan dalam teologi moral seksualitas dan perkawinan
ajaran moral tetap konservatif dan kurang mempertimbangkan suara-suara
yang muncul dari pengalaman konkret dan persoalan-persoalan yang
digumuli oleh umat beriman. Masalah yang penting dan harus segera dicari
jalan keluarnya adalah masalah moral dalam hidup perkawinan, yakni
bagaimana membantu pasangan suami-istri yang perkawinannya sudah
mengalami kematian secara emosional, moral dan spiritual41 . Apakah
mereka tetap harus bertahan dalam situasi menderita? Bukankah hidup
perkawinan diarahkan pada kebaikan dan kebahagiaan suami-istri?
Apakah secara moral dibenarkan membiarkan orang hidup dalam penderitaan yang tidak perlu, yang sebenarnya tidak perlu terjadi? Manakah
yang lebih penting: mempertahankan lembaga perkawinan yang nyatanya
sudah tidak bisa dipertahankan atau menyelamatkan pribadi manusia?
Keselaman jiwa pribadi manusia berada di atas ketaatan buta pada hukum.
Moral katolik yang bersifat personal, kristosentrik dan biblis harus
menjadi moral yang membebaskan sebagaimana dicontohkan oleh praksis
hidup Yesus sendiri yang menantang orang untuk menempatkan primat
martabat pribadi manusia di atas hukum. Berkaitan dengan hukum kasih
Yesus menuntut orang bukan hanya mengetahui dan mengerti hukum
kasih, tetapi jadi mempraktekkannya sebagaimana ditegaskan dalam
perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37),
menantang orang untuk masuk ke dalam dirinya sendiri, dan setiap orang
dihadapkan pada penilaian hati nuraninya. Dengan demikian, moral katolik
diharapkan mampu mengajak orang untuk melakukan pertobatan dan
transformasi diri, hidup berdasarkan nilai-nilai Injili dan terlibat dalam
usaha menciptakan dunia yang lebih humanum.
*)
Laurentius Tarpin
Doktor Teologi Moral dari Accademia Alfonsiana, Roma; dosen teologi moral di Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Email: [email protected]
41 Bdk. Bernard Haring, No Way Out: Pastoral Care of the Devorced and Remarried, Midlegreen,
St. Paul Publications 1990, 41-48.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
203
BIBLIOGRAFI
Auer, Alfons, Morale autonoma e fede cristiana, Edizioni Paoline, Milano 1991.
Baum, Gregory, Theology and Society, New York, Mahwah: Paulst Press 1987.
________, Essays in Critical Theology, Kansas City: Sheed and Wards 1994.
________, Amazing Church: A Catholic Theologian Remembers a Half-Century
of Change, Maryknoll, New York 2005.
Boileau, David A., Ed., Principles of Catholic Social Teaching, Leuven:
Marquette University Press 1994.
Böckle, Franz, Fundamental Moral Theology, Gill and Macmillan, Dublin 1980.
Carlotti, Paolo, Teologia Morale e Magistero, Las Roma, Roma 1997.
Curran, Charles E., Moral Theology: Challenge for the Future, Essays in Honor
of Richard A. McCormick, S.J, Paulist Press, New York, Mahwah 1990.
_______, The Living Tradition of Catholic Moral Theology, Notre Dame, 1995.
_______, Catholic Social Teaching 1981-present: A Historical Theological and
Ethical Analysis, Georgetown University Press, Washington D.C. 2002.
Dinoia, J.A., OP & Romanus Cessario, OP, The Splendor of the Truth Veritatis
Splendor and the Renewal of Moral Theology, Scepter Publihers, Princeton,
New Jersey, 1999.
Elsbergnd, Mary, OSF, “Social Ethics“, dalam Theological Studies 60(2005),
137-158.
Fucek, Ivan, Il pecato oggi, Editrice Pontifice Università Gregoriana, Roma
1996.
Gula, Richard M., What are they saying about moral norm?, Paulist Press, New
York 1982.
Häring, Bernard, Free and Faithful in Christ, Moral Theology for Priests and
Laity vol., 1, A Saint Paul Publication, Sydney 1978.
Janzen, Waldemar, Old testament Ethics: a paradigmatic approach,
Westminster/John Knox Press, Louisville 1994.
Katekismus Gereja Katolik, Propinsi Gerejani Ende, Arnoldus, Ende 1995,
Keenan, James F., S.J, „Notes on Moral Theology: Ethics and the Crisis in
the Church“, dalam Theological Studies 66 (2005), 117-136.
Kieser, Bernard, Moral dasar, Kanisius, Yogyakarta 1994.
_______, Paguyuban manusia dengan dasar dasa firman, Kanisius, Yogyakarta
1991.
_______, „Pembinaan Moral pasca-Vatikan II“, dalam Gereja Indonesia PascaVatikan II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta 1997, 222-245.
Kohlberg, Laurence, Tahap-Tahap Perkembangan Moral, Kanisius, Yogyakarta
1995.
204
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
Kongregasi untuk Ajaran Iman, Pernyataan tentang Euthanasia, tejemahan
oleh Piet Go, O’Carm. Jakarta: Dokpen KWI 2005.
Konsili Vatikan II, Konstitusi pastoral Gaudium et Spes (1965), dalam
Kumpulan Dokumen ASG, 271-395.
Leo XIII, Ensiklik Rerum Novarum (1891), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran
Sosial Gereja (ASG) Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai
Centesimus Annus, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,
Jakarta 1999, 17-58.
Lobo, George V., Guide to Christian Living, A New Compendium of Moral Theology, Christian Classic, Inc., Bangalore India 1991.
_______, Moral and Pastoral Question, Gujarat Sahitya Prakash, Anan 1985.
May, William R., Moral Absolutes, Milwaukee: Marquette University Press,
1989.
Macquarrie, John and James Childress, A New Dictionary of Christian Ethics,
SCM Press, Ltd., London 1986.
Mondin, Battista, Dizionario Enciclopecico del pensiero di Tommaso D’Aquino,
Edizioni Studio Domenicano, Bologna 1991.
O’Connel, Timothy E., Principles for a Catholic Morality, Harper San
Fransisco, New York 1990.
Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae (1968).
_______, Octogessima Adveniens (1971), dalam Kumpulan Dokumen ASG, 443482.
Peschke, Karl H., Christian Ethics, Moral Theology in the Light of Vatican II,
Vol. 1, Logos Publication, Manila 1994.
Pinckaers, Servais, OP., The Sources of Christian Ethics, T&T Clark, Edinburgh,
1995.
Pius XI, Ensiklik Quadragesimo Anno (1931), dalam Kumpulan Dokumen ASG,
59-131.
Pontifial Council fpr Justice and Peace, Compendium of The Social Doctrine of
the Church, Vatican City: Libreria Editrice Vaticana 2004.
Poole, Ross, Moralitas dan Modernitas, di bawah bayang-bayang Nihilisme
(Pengantar oleh Dr. J. Sudarminta SJ), Kanisius, Yogyakarta 1993.
Ramsey, Paul, Nine Modern Moralists, Prentice Hall, New York 1962.
Salzman, Todd A., What are they saying about Catholic Ethical Method? Paulist
Press, Mahwah, New York 2003.
Sinode Para Uskup Sedunia, Iustitia in Mundo (1971), dalam Kumpulan
Dokumen ASG, 483-510.
Stackhouse, Marx L. and Don S. Browning, eds, God and Globalization vol
2: The Spirit and the Modern Uthorities, Trinity Press International, Harrisburg 2001.
Laurentius Tarpin, Moral Katolik Menghadapi Tantangan Jaman
205
Spohn, William C., What are they saying about scripture and ethics? New York:
Paulist Press 1995.
Sparks, Richard C., Contemporary Christian Morality, The Crossroad Publishing Company, New York 1996.
Vidal, Marciano, Manuale Etica teologica: Morale fondamental, Cittadella
Editrice, Assisi 1994.
Wendland, Heinz-Dietrich, Etica del Nuovo Testamento, Paedeia Editrice,
Brescia 1975.
Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris (1963), dalam Kumpulan Dokumen
ASG, 213-269.
Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis, dalam Kumpulan Dokumen
ASG, 583-653
_______, Ensiklik Laborem Exercens (1981), dalam Kumpulan Dokumen ASG,
655-721.
_______, Esortasi Apostolik, Reconciliazione e penitenza, Editrice Elle Di Ci,
Torino 1985.
_______, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, dalam Kumpulan Dokumen ASG, 723797.
_______, Ensiklik Centesimus Annus, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial
Gereja dari Eerum Novarum sampai Centesimus Annus, Jakarta: Dokpen
KWI.
_______, Ensiklik Veritatis Splendor, Departemen Documentasi dan
Penerangan KWI, Jakarta 1994.
_______, Ensiklik Evangelium Vitae, Jakarta: Dok-Pen KWI
206
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 2, Oktober 2008
Download