wacana politik keagamaan dalam novel chinmoku

advertisement
i
TESIS
WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM NOVEL
CHINMOKU KARYA SHUSAKU ENDO
DIAN PRAMITA SUGIARTI
NIM 1190161055
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM TEKS
NOVEL CHINMOKU KARYA SHUSAKU ENDO
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Linguistik-Wacana Sastra
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DIAN PRAMITA SUGIARTI
NIM 1190161055
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
Tanggal 01 Juli 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.
NIP 19440923 197602 1 001
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt.
NIP 19611205 198603 1 004
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Linguistik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum.
NIP 19620310 198503 1 005
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K).
NIP 19590215 198510 2 001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 01 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
Nomor: 2059/UN14.14/HK/2014,Tanggal 01 Juli 2014
Ketua
: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Anggota:
1. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt.
2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.
3. Dr. I Ketut Jirnaya, M.Hum.
4. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Dian Pramita Sugiarti
NIM
: 1190161055
Program studi
: Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra
Judul Tesis
: “Wacana Politik Keagamaan dalam Novel Chinmoku
Karya Shusaku Endo”
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila pada kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor
17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar,….. ………2014
Yang membuat pernyataan,
Dian Pramita Sugiarti
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas kesehatan dan tuntunan-Nya kepada penulis dalam proses pengerjaan
tesis ini hingga selesai.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
dan Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister
Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Prof.
Dr.I Wayan Cika, M.S., terima kasih atas fasilitas, dorongan, motivasi, waktu,
cerita dan bimbingannya. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna,S.U., selaku
pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat
membimbing penulis. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., selaku
pembimbing II, terima kasih atas waktu yang diluangkan selama membimbing
dan saran-saran yang diberikan untuk kemajuan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ida Bagus Rai Putra,
M.Hum., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dari
masa perkuliahan hingga penelitian tesis, para dosen di Program Studi Magister
Linguistik, khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu memberikan
ilmu tanpa pamrih. Kepada pegawai administrasi dan perpustakaan Program
Magister/Doktor Studi Linguistik, yang selalu membantu penulis dengan penuh
kebaikan dan keramahan.
Kepada ayah (I Wayan Sueta) dan ibu (Ni Wayan Senun) yang selalu
memberikan dukungan, baik moral maupun materi, selaku orang tua, kepada ayah
mertua (I Ketut Senaka Jaya) dan ibu mertua (Ni Ketut Musni) yang selalu
memberikan dorongan secara moral dan materi, terima kasih banyak atas kasih
yang diberikan dengan terwujudnya tesis ini setidaknya merupakan bagian kecil
yang bisa membuat bangga keluarga.
Suami (Dedi Permana) dan putri kecil kami (Putu Kirana Nandini) yang
selalu hadir memberikan semangat dan kasih sayang saat penulis merasa jenuh.
Seluruh keluarga besar penulis (Mama Eca, Mama Wi, Pak Bo, Bli Dedi, Prama,
Mayra, Nathan, Raina, dan Tiena) yang memberikan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini.
Teman seperjuangan Wacana Sastra 2011 (Widhi, Wida, Yutri, Ari, Alit,
Gus Suputra, Widana, Suana, Ngurah, Artayasa, Supertama) yang selalu
memberikan masukan-masukan dan dukungan selama ini. Kepada sahabat-sahabat
tercinta (Anti, Anta, Redi, dan Juliana) terima kasih atas waktu yang diluangkan
untuk menghibur penulis ketika jenuh.
Terakhir, kepada saudara,teman, dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan
semuanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat untuk
pembaca.
Denpasar…………
Penulis
vii
ABSTRAK
WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM
NOVEL CHINMOKU KARYA SHUSAKU ENDO
Penelitian ini menganalisis wacana politik keagamaan dalam novel
Chinmoku karya Shusaku Endo. Ada tiga alasan novel ini dianalisis. Pertama,
wacana yang diungkapkan menarik karena dalam sebuah penyebaran agama yang
suci terdapat isu-isu politik keagamaan yang terjadi untuk kepentingan suatu
negara. Kedua, Endo sebagai sastrawan Kristen berani mengungkapkan faktafakta sejarah yang kontroversi dan menggambarkan karakter tokoh utama sebagai
pengingkar agama Kristen. Alasan yang terakhir, yakni novel Chinmoku
merupakan adikarya termasyhur yang telah menerima penghargaan bergengsi.
Penelitian ini didesain secara kualitatif dengan mendasarkan analisis pada
wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku. Penelitian ini menggunakan
teori sosiologi sastra dan hegemoni untuk menganalisis hubungan novel dengan
kondisi masyarakat Jepang akibat pelarangan penyebaran agama Kristen yang
dianggap suatu ancaman yang dapat menggulingkan rezim pemerintah Jepang dan
doktrin agama Kristen yang membuat kesetiaan rakyat jauh lebih tinggi kepada
Yesus daripada Kaisar. Hasil dari penelitian ini mendeskripsikan bentuk wacana
politik keagamaan yang meliputi wacana ancaman, perlawanan, negosiasi, dan
kompromi. Selain itu konteks wacana yang di analisis adalah konteks wacana
kekuasaan, nilai-nilai kebudayaan, dan nilai-nilai keagamaan. Makna wacana
politik keagamaan diimplementasikan sebagai doktrinisasi agama sebagai matamata politik, rawa-rawa Jepang dan hidup sebagai murtad serta paham
egalitarianisme dan mati sebagai martir. Doktrin agama Kristen dalam novel
Chinmoku mencerminkan manipulasi politik yang bertujuan menguasai dan
menjajah Jepang demi kepentingan negara Spanyol dan Portugal.
Kata kunci : novel Chinmoku, politik keagamaan, doktrin
viii
ABSTRACT
THE RELIGIOUS POLITICAL DISCOURSE IN CHINMOKU
NOVEL BY SHUSAKU ENDO
This research analyzed of the religious political discourse in Chinmoku
novel by Shusaku Endo. There are three reasons why this novel was being
analyzed. First, the discourse which was revealed was very interesting because in
the religion dispersion, we can find thr religious political issues which happened
for the country interest. Second, Endo as one of Christian man of letters was very
courageous to reveal the controversial history facts and illustrated the main
character as the abasement of Christian religion. The last reason, Chinmoku novel
is one of the splendid well-known litterature which received prestigious
achievement.
This research was designed in qualitative manner by underlying to the
religious political discourse in Chinmoku discourse. This research utilized
sociology literature theory and hegemony to analyze the relationship between
novel and Japanese people is the result of restriction of Christian reading which
was being thought as one of threat which could be able to overthrow the regime of
Japanese government and doctrine of Christian religion which made the loyalty of
people to Jesus is higher than Caesar. The result of this research described the
form of religious political discourse which covers the discourse of threat,
resistance, negotiation, and compromise. Besides that, the content of discourse
which was being analyzed was the content of authorization discourse the culture
values and the religion values. The purpose of religious political discourse
implemented as the religion doctrine as the political spy, the Japanese swamp and
life as the apostate and the view of egalitarian and die as a martyr. The lesson
Christian religion in Chinmoku novel reflects the political manipulation which has
that desire to conquer and colonize Japan as the Spain and Portugal.
Keywords: novel Chinmoku, the religious politics, doctrine
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM..........................................................................................
PRASYARAT GELAR....................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
SURAT PERNYATAAN.................................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................
ABSTRAK .......................................................................................................
ABSTRACT.......................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
i
ii
iii
vi
v
iv
vii
viii
ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1.1 Latar Belakang..........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................
1.3.1 Tujuan Umum..................................................................................
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................
1.4.1 Manfaat Teoretis .............................................................................
1.4.2 Manfaat Praktis ...............................................................................
1
1
7
8
8
8
9
9
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN.......................................................................
2.1 Kajian Pustaka ..........................................................................................
2.2 Konsep ......................................................................................................
2.2.1 Wacana Politik Keagamaan............................................................
2.2.2 Sastra Kristen..................................................................................
2.2.3 Novel Agama Kristen .....................................................................
2.3 Landasan Teori .........................................................................................
2.3.1 Teori Sosiologi Sastra......................................................................
2.3.2 Teori Hegemoni...............................................................................
2.4 Model Penelitian.......................................................................................
10
10
13
14
18
21
23
23
25
28
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................
3.1 Rancangan Penelitian ...............................................................................
3.2 Jenis dan Sumber Data .............................................................................
3.3 Instrumen Penelitian .................................................................................
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...................................................
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ............................................................
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ..................................
31
31
31
32
33
33
34
BAB IV REKONSTRUKSI SEJARAH NOVEL CHINMOKU ...................
4.1 Sinopsis Novel Chinmoku ........................................................................
4.2 Rekonstruksi Sejarah Novel Chinmoku....................................................
4.3 Visi dan Misi Fransiscus Xavier...............................................................
35
35
39
65
x
4.4 Visi dan Misi Tiga Misionaris ..................................................................
BAB V BENTUK WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL
CHINMOKU.......................................................................................
5.1 Pengertian Wacana Politik Keagamaan ...................................................
5.2 Bentuk-Bentuk Wacana Politik Keagamaan dalam Novel Chinmoku....
5.2.1 Bentuk Wacana Ancaman ...............................................................
5.2.2 Bentuk Wacana Perlawanan ............................................................
5.2.3 Bentuk Wacana Negosiasi ...............................................................
5.2.4 Bentuk Wacana Kompromi .............................................................
5.2.5 Bentuk Wacana Penggunaan Baju Barat Sesuai dengan Kimono
Jepang ..............................................................................................
70
74
74
84
84
90
96
106
110
BAB VI KONTEKS WACANA POLITIK KEGAMAAN DALAM
NOVEL CHINMOKU.......................................................................
6.1 Konteks Wacana Kekuasaan Pemerintah Jepang.....................................
6.2 Konteks Wacana Nilai-nilai Kebudayaan Masyarakat Jepang................
6.3 Konteks Wacana Nilai-nilai Keagamaan Misionaris ...............................
120
120
133
136
BAB VII MAKNA WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL
CHINMOKU....................................................................................
7.1 Misionaris sebagai Mata-Mata Politik......................................................
7.2 Rawa-Rawa Jepang dan Hidup sebagai Murtad .......................................
7.3 Paham Egalitarianisme dan Mati sebagai Martir......................................
149
149
154
159
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 165
8.1 SIMPULAN.............................................................................................. 165
8.2 SARAN ................................................................................................. 166
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
DAFTAR KAMUS ..........................................................................................
DAFTAR SUMBER INTERNET....................................................................
168
171
171
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jepang dikenal sebagai negara industri maju sekaligus negara yang
menghasilkan banyak karya sastra dan ada dua sastrawan penerima nobel1 seperti,
Yasunari Kawabata pada tahun 1968 dan Ōe Kenzaburō pada tahun 1994. Novel
dan cerpen Jepang telah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa termasuk bahasa Indonesia, seperti cerpen karya Akutagawa Ryuunosuke
yang menghasilkan cerpen yang terkenal, yaitu Kappa, Rashōmon, Kumo No Hito
(Jaring Laba-Laba), dan Yabu No Naka (Dalam Kerimbunan). Adapun sastrawan
lain, yaitu Natsume Soeseki hasil karya novelnya adalah Botchan (Tuan Muda),
Wahagai No Neko De Aru (Saya Seekor Kucing) dan Kokoro (Rahasia Hati).
Seorang novelis Katolik, yaitu Shusaku Endo mengisi kesusastraan Jepang
dengan keunikan yang bisa dilihat dari karya-karyanya yang bertema Tuhan
Yesus. Menurut Jhonston (dalam Endo, 2008:7--8), ia dijuluki sebagai Graham
Greene-nya Jepang karena tulisannya menggambarkan penderitaan iman serta
belas kasihan Tuhan Yesus. Endo telah maju ke barisan depan dunia sastra Jepang
dengan menulis berbagai masalah yang dulu terasa begitu jauh dari negeri ini,
masalah keimanan dan Tuhan, dosa dan pengkhianatan, mati sebagai martir, dan
1
Penghargaan nobel dianugerahkan setiap tahun kepada mereka yang telah melakukan penelitian
yang luar biasa, menemukan teknik atau peralatan yang baru atau telah melakukan kontribusi
luar biasa ke masyarakat. Hal ini saat ini dianggap sebagai penghargaan tertinggi bagi mereka
yang mempunyai jasa besar terhadap dunia. (id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_nobel. Diakses
23-12-2013).
2
pengingkaran iman. Ia menulis berbagai masalah tentang konflik antara budaya
Barat yang masuk ke Jepang yang memengaruhi budaya dan kemajuan Jepang
pada awal abad ke-16 sampai dengan abad ke-17.
Berkat karya-karyanya, Endo dianugerahi sejumlah hadiah. Tahun 1955
Endo memeroleh penghargaan Akutagawa2 dalam karyanya yang berjudul Orang
Putih (White Person) dan tahun 1966 ia memeroleh penghargaan Tanizaki3 dalam
karyanya yang berjudul Chinmoku. Endo menulis beberapa novel lain yaitu Orang
Kuning (1955), Laut dan Racun (1958), Studi Asing (1950), dan Hidup Yesus
(1973). Novel Chinmoku dipilih untuk menjadi objek penelitian karena berlatar
sejarah Jepang mengenai konflik antara Barat dan Timur tentang penyebaran
agama Kristen di Jepang dan menjadi novel terbaik abad ke-20 di Jepang.
Novel Chinmoku (Hening) mengisahkan perjalanan tiga misionaris yang
berasal dari Roma bernama Sebastian Rodrigues, Juan De Santa Marta, dan Pastor
Franciso Garrpe. Kedatangan mereka ke Jepang untuk mencari keberadaan
mentornya bernama pastor Christovao Feirra, yang telah dikabarkan mengingkari
imannya dan menikah dengan wanita Jepang. Tujuan utama kedatangan
Rodrigues ke Jepang selain mencari mentornya juga bermaksud untuk membantu
orang-orang Kristen yang hidup tanpa adanya pastor. Namun, ia bersama Garrpe
ditangkap oleh pemerintah Jepang di tempat yang berbeda. Pemerintah Jepang
tidak memperlakukan mereka dengan kejam, hanya dipaksa secara halus untuk
mengingkari keyakinannya sebelum banyak korban yang terbunuh. Hari demi hari
2
3
Penghargaan Akutagawa Ryūnosuke adalah hadiah sastra yang diberikan kepada penulis
pendatang baru atau penulis yang belum dikenal dalam dunia penulisan sastra di Jepang.
(id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_akutagawa, Diakses 23-12-2013)
Penghargaan Tanizaki yang diberikan setahun sekali untuk penulis fiksi atau drama.
(id.wikipedia.org/wiki/junichiro_tanizaki. Diakses 23-12-2013).
3
Rodrigues lewati di penjara dengan melihat penganut Kristen disiksa secara sadis.
Mulai timbul rasa keragu-raguan dalam dirinya terhadap Tuhan karena tidak ada
bantuan dari Tuhan atas segala deritanya. Pada akhirnya Rodrigues melakukan
fumie, yaitu tindakan yang mengharuskan kaum Kristiani untuk menginjak-injak
lukisan keagamaan yang dianggap suci oleh mereka seperti Bunda Maria dan
Yesus. Rodrigues mengingkari keyakinannya demi umat Kristen Jepang dan
memutuskan untuk menetap di Jepang (Budiman, 2006:20).
Perjalanan yang ditempuh oleh Rodrigues dan teman-temannya mengalami
masa yang sulit. Keinginan untuk bertemu Ferreira bagaikan mencari jarum dalam
tumpukan jerami, bahkan untuk melanjutkan misi mengkristenkan Jepang menjadi
mimpi buruk selama mereka tinggal di Jepang. Selama tinggal di Portugal mereka
hidup tenang, damai tanpa kekurangan apa pun. Namun, berbanding terbalik
dengan kehidupan di Jepang, mereka harus hidup penuh ketakutan ditangkap oleh
pemerintah, makan makanan yang lebih pantas untuk binatang, seperti kentang
kering, mentimun busuk, dan ikan asin yang sudah tidak layak makan. Pertahanan
mereka terus diuji hingga titik puncak kekejaman yang membuat mereka
memutuskan untuk hidup sebagai murtad dan mati sebagai martir. Pemerintah
Jepang pada novel Chinmoku terus membujuk Rodrigues agar melakukan
pengingkaran iman. Mereka menyatakan bahwa Tuhan agama Kristen tidak sama
dengan Tuhan agama di Jepang sehingga Tuhan agama Kristen tidak dapat
dipahami oleh orang Jepang. Pada akhirnya karena tidak tahan melihat penyiksaan
terhadap penganut Kristen yang sadis dan dilakukan di depan matanya, ia
akhirnya melakukan fumie demi umatnya.
4
Jhonston (dalam Endo, 2008:8) memaparkan bahwa agama Kristen
(disebut Kirishitan oleh orang Jepang) dibawa ke Jepang pertama kali oleh
Fransiscus Xavier bersama dua rekan Yesuitnya dan seorang penerjemah yang
bernama Anjiro tahun 1549 tepatnya di pantai Kagoshima. Xavier berhasil
mengkristenkan beberapa ratus orang dalam waktu beberapa bulan sebelum ia
berangkat ke China. Misi penyebaran agama Kristen di Jepang oleh Fransiscus
Xavier kemudian digantikan oleh Alessandro Valignano yang berkebangsaan
Italia.Valignano datang pada tahun 1579 tiga puluh tahun sesudah kedatangan
Xavier ke Jepang. Pada saat pertama kedatangannya ke Jepang, sudah ada
komunitas Kristen yang berkembang pesat, berjumlah sekitar 150.000 orang
dengan kualitas yang luar biasa serta iman yang dalam, sampai-sampai ia
membayangkan untuk mewujudkan sebuah pulau yang sepenuhnya dihuni oleh
kaum Kirishitan di utara Asia. Valignano dengan cepat menyiapkan pembangunan
seminari-seminari, kolase-kolase, dan sebuah biara. Setelah berjuang untuk
mendirikan tempat ibadah, usahanya membuahkan hasil yang dapat dilihat dari
para tuan tanah di Kyushu mulai memeluk agama Kristen dan membawa serta
sebagian penduduk mereka untuk menganut agama Kristen.
Menurut Yamagawa (1990:85), perkembangan agama Kristen di Jepang
mengalami kemajuan yang sangat pesat seiring dengan meningkatnya aktivitas
perdagangan dengan pedagang asing. Pada masa sengoku jidai 4 yang dikuasai
4
Sengoku Jidai adalah zaman perang saudara antara Hosokawa Katsumoto dan Yamano Sozen
berselisih dalam pergantian Shogun Yoshimasa yang kala itu lebih memperkaya diri daripada
memerhatikan rakyat sehingga keadaan uang negara memburuk (Nurhayati, 1987:13).
5
oleh pemerintahan Toyotomi Hideyoshi bergelar Taiko
5
, menerima baik
perkembangan agama Kristen di Jepang. Seiring dengan berjalannya waktu
perkembangan agama Kristen mulai pesat dan Jepang mulai dipengaruhi oleh
kebudayaan Barat. Banyak orang asing berkeliaran dan para tuan tanah (disebut
daimyō) yang terkuat yang merangkap sebagai kepala perang mulai beralih
menjadi agama Kristen. Perubahan ini membuat Hideyoshi merasa akan muncul
pemberontakan yang pada akhirnya menentangnya. Selain itu, ketakutan
Hideyoshi mulai memuncak ketika ia berkunjung ke wilayah Nagasaki. Ia melihat
dibangunnya banyak gereja di Nagasaki dan perdagangan orang Jepang sebagai
budak banyak dilakukan oleh orang asing. Pada tahun 1587 Hideyoshi
mengeluarkan perintah pengusiran para misionaris Kristen, melarang agama
Kristen, dan melarang para daimyō6 untuk mengkristenkan pengikutnya.
Kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Jepang pada saat itu
hanyalah strategi agar tidak dijajah oleh orang Barat. Ketakutan munculnya
pemberontakan yang akan menjatuhkan kepemimpinannya membuat pemerintah
Jepang mengeluarkan dekrit anti Kristen. Jepang adalah negara yang menganut
sistem masyarakat feodal yang dipimpin oleh bangsawan untuk mengendalikan
beberapa wilayah dengan kebijakan dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan
yang dibuat. Masyarakat Jepang sangat menjungjung tinggi rasa hormat dan
kesetiaan terhadap pemimpinnya. Namun, berbeda dengan konsep ajaran agama
Kristen yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesamaan derajat dan hanya
5
6
Taiko adalah gelar Raja Agung yang diberikan oleh Kaisar Tenno karena jasa Hideyoshi untuk
memajukan Jepang (Nurhayati, 1987: 14).
Daimyō adalah istilah untuk tuan tanah penguasa suatu kadipaten. Daimyō adalah tuan tanah
yang memiliki tanah lebih dari 10.000 koku (1 koku kurang lebih 180.391 liter beras) yang
dihasilkan (Bellah, 1992 : 40).
6
ada satu Tuhan, yaitu Yesus, dianggap tidak sesuai dan mengarah kepada
doktrinisasi yang dapat memicu pemberontakan.
Kondisi sosial masyarakat penganut agama Kristen merasa tidak
mendapatkan keadilan atas kebijakan pemerintah Jepang terhadap pelarangan
penyebaran agama Kristen. Para petani merasa bahwa agama Kristen
memperlakukan mereka dengan sangat baik, sebelumnya mereka diperlakukan
seperti sapi perah atau kuda beban oleh pemerintah Tokugawa. Kondisi ini
membuat munculnya banyak pemberontakan oleh sebagian masyarakat penganut
Kakure Kirishitan 7 yang juga memicu lahirnya isu-isu politik keagamaan dan
diberlakukannya kebijakan politik sakoku8.
Objek penelitian ini dipertimbangkan karena novel Chinmoku berlatar
sejarah Jepang pada awal abad ke-17, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan
penutupan negara yang melarang adanya perdagangan dan penyebaran agama
Kristen. Pengaruh Kristen pada rakyat Jepang juga menjadi wacana yang menarik
untuk diteliti. Ada tiga alasan mengapa novel ini dianalisis. Pertama, wacana yang
diungkapkan menarik karena dalam sebuah penyebaran agama yang suci terdapat
isu-isu politik keagamaan yang terjadi untuk kepentingan suatu negara. Kedua,
Endo sebagai sastrawan Kristen berani mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang
kontroversi dan menggambarkan karakter tokoh utama sebagai pengingkar agama
7
8
Kakure Kirishitan adalah organisasi bawah tanah umat Kristen yang didirikan karena mereka
tidak memiliki pastor agama Kristen, setelah adanya kebijakan larangan terhadap agama
Kristen oleh Tokugawa. (Budiman, 2006:120).
Sakoku adalah penutupan negara secara resmi yang terjadi pada tahun 1693 hingga 1852 akibat
dari pelarangan agama Kristen dan peralihan perdagangan dari Hirado ke Dejima (Ichi,
1991:304).
7
Kristen. Alasan yang terakhir yakni novel Chinmoku merupakan adikarya
termashyur yang telah menerima penghargaan bergengsi.
Novel Chinmoku sudah dikaji di Jepang, yakni oleh Shoichi Saeki (1966)
dan Kazoku Budiman (2008). Selain di Jepang, penelitian terhadap novel
Chinmoku telah dilakukan oleh peneliti di Indonesia, yakni Wulandari (2010),
Mashuri (2010), dan Sugiarti (2011). Penelitian mereka berhasil memberikan
pemahaman atas makna dan kehadiran novel ini. Meskipun demikian, masih ada
aspek menarik yang perlu didalami, yaitu wacana politik keagamaan yang menjadi
fokus penelitian ini. Penelitian ini menganalisis wacana politik keagamaan yang
meliputi bentuk, konteks penyampaian, dan makna wacana politik keagamaan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan hegemoni
yang mengacu kepada pendekatan terhadap
sastra sebagaimana
sastra
mencerminkan masyarakat dan pengaruh agama sebagai pandangan hidup suatu
negara.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini membahas beberapa masalah yang diteliti. Permasalahannya
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku?
2. Apakah konteks wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku?
3. Apakah makna wacana politik keagamaan novel Chinmoku?
8
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk politik
keagamaan dan pendekatan sosiologi sastra yang terkandung dalam novel ini.
Tujuan umum tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengangkat sejarah Jepang yang terkandung dalam novel
Chinmoku.
2. Untuk mendeskripsikan wacana politik keagamaan yang dituangkan ke
dalam novel Chinmoku.
3. Untuk memaparkan pengaruh budaya Barat terhadap budaya Timur
khususnya Jepang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara
khusus
penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengungkapkan
permasalahan berkaitan dengan novel Chinmoku karya Shusaku Endo. Tujuan
khusus tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk menganalisis bentuk wacana politik keagamaan yang terkandung
dalam novel Chinmoku.
2. Untuk menganalisis konteks wacana politik keagamaan yang disampaikan
dalam novel Chinmoku.
3. Untuk menganalisis makna wacana politik keagamaan novel Chinmoku.
9
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra
terutama
dalam
wacana
sastra
sehingga
dapat
memperkaya
pengetahuan tentang kesusastraan Jepang.
2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat dan peneliti
selanjutnya yang ingin meneliti novel Chinmoku.
3. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai media penelitian untuk
mengaplikasikan kembali teori-teori yang pernah dipelajari selama
mengikuti perkuliahan.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi kepada pembaca sehingga membantu dalam memahami
kehidupan masyarakat Jepang pada masa lampau.
2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan masukan
untuk meneliti sejarah Jepang pada abad ke-17.
3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain
yang berminat melakukan penelitian pada novel Chinmoku pada masa
yang akan datang
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada bab ini diuraikan peneliti sebelumnya terhadap objek penelitian dan
kajian lain yang relevan dengan penelitian ini. Uraian ini dimaksudkan untuk
menunjukkan orisinalitas penelitian ini dan mengapresiasi peneliti yang sudah ada
sebelumnya. Selain itu, juga diuraikan dengan ringkas konsep, teori, dan model
penelitian. Ada beberapa peneliti atau tulisan yang membahas novel Chinmoku,
yaitu Saeki (1966), Budiman (2006), Wulandari (2010), Mashuri (2010), dan
Sugiarti (2011). Penelitian mereka umumnya membahas aspek kejiwaan, aspek
estetika, aspek penokohan, dan aspek sejarah. Penelitian mereka mampu
memperkenalkan aspek menarik novel Chinmoku, tetapi masih banyak aspek lain
yang juga bisa dianalisis lebih jauh. Penelitian ini membahas masalah yang tidak
dibahas dalam penelitian yang disebutkan di atas yakni wacana politik keagamaan
terkait isu-isu politik dalam penyebaran agama Kristen di Jepang dalam novel
Chinmoku.
Saeki seorang kritikus sastra mengkaji “Bagian Kaiketsu dalam
Chinmoku” (1966). Pengertian Kaiketsu adalah pemecahan suatu masalah atau
lebih jelas Saeki menjawab berbagai pertanyaan tentang alasan Endo menulis
novel Chinmoku. Penelitian ini memaparkan kritik yang ditujukan kepada novel
Chinmoku dari kalangan gereja Katolik dan Protestan di Jepang karena karakter
11
tokoh-tokohnya tidak diungkapkan sesuai dengan sosok ideal yang diinginkan
oleh gereja. Pandangan Saeki terhadap alasan Endo memilih tokoh utama orang
Portugal memiliki dua alasan. Pertama, Endo dapat mengatasi masalah tokoh
Rodrigues dengan kepercayaan diri bahwa ia seiman dengan Rodrigues. Kedua,
keterbatasan kondisi Rodrigues justru memungkinkan munculnya simpati dan
pengalaman Endo sendiri.
Sebanding dengan Saeki, Budiman mengkaji “Sastra Agama Endo
Shusaku, Dilema memahami Tuhan” tahun 2006. Salah satu pembahasan buku
tersebut memaparkan sastra dan agama dalam novel Chinmoku. Dalam bukunya
tersebut Budiman menganalisis sisi lain Tuhan menurut pandangan pengarang dan
menjelaskan pola pikir pengarang yang dituangkan dalam novel Chinmoku.
Pembentukan karakter tiap-tiap tokoh dikaitkan dengan sikap dan perilaku
terhadap eksistensi agama Kristen. Selain itu, dipaparkan juga gambaran
pemikiran tokoh-tokoh yang hidup murtad dan mati sebagai martir. Penelitian ini
tidak lepas dari unsur-unsur estetika, yakni penceritaan latar, alur, waktu,
penokohan, dan majas-majas yang dipaparkan sangat detail.
Wulandari dalam “Analisis Unsur Latar Novel Chinmoku karya Shusaku
Endo”, Wulandari (2010) menganalisis tentang latar yang digunakan dalam novel
ini dengan hasil analisis yang mengacu pada tema novel Chinmoku, yaitu
kediaman Tuhan terhadap orang-orang Kristen yang teraniaya. Penelitian ini
banyak berfokus pada unsur latar yang menjadi bagian dari perjalanan Rodrigues
selama di Jepang, khususnya di daerah-daerah terpencil, seperti pegunungan, desa
Tomogi, laut Pulau Goto, hutan, dan semak-semak.
12
“Tema pada novel Chinmoku adalah “mengenai kebungkaman Tuhan terhadap
orang-orang Kristen teraniaya” diambilnya tema ini karena dari awal sampai
akhir cerita terus mengenai kebungkaman Tuhan” (Wulandari, 2010:24).
Mashuri dalam “Analisis Psikologi Novel Chinmoku karya Shusaku Endo”
(2010), membahas alur cerita dengan membagi tiga yaitu alur tahap awal, tahap
tengah, dan tahap akhir. Penelitian ini menggunakan teori unsur fisiologis, unsur
sosiologis, dan unsur psikologis. Di samping itu, penelitian ini juga
memanfaatkan latar sosial dengan mempertimbangkan bahwa tiap-tiap tokoh
memiliki cerita dan karakter tersendiri dalam mengasumsikan agama Kristen.
“Alur tahap awal ditunjukan kepada Sebastian Rodrigues, Francisco Garrpe, dan
Juan De Santa Marta berniat masuk ke Jepang dengan cara yang sama seperti
pendahulunya”(Mashuri, 2010:23).
Penulisan dalam bentuk skripsi sejarah dikaji oleh Sugiarti dalam
“Kebijakan Politik Tokugawa :Pelarangan Penyebaran Agama Kristen di Jepang”
(2011) yang menganalisis fakta sejarah yang terjadi pada akhir abad ke-16 dan
awal abad ke-17 yang merupakan latar dari novel Chinmoku. Masuknya pengaruh
budaya Barat ke Jepang pertama kali disambut baik oleh pemerintahan Jepang
karena membawa pengetahuan baru bagi Jepang. Namun, seiring dengan
berjalannnya komunitas orang asing yang masuk ke Jepang menimbulkan isu
tentang penjajahan yang akan dilakukan oleh kaum misionaris melalui penyebaran
agama Kristen membuat pada akhirnya terjadi pengusiran terhadap orang asing
dan pelarangan penyebaran agam Kristen.
“Perkembangan agama Kristen lama kelamaan mulai meresahkan Tokugawa
Ieyasu karena konsep agama Kristen dengan agama-agama yang sudah ada
sangat bertentangan” (Sugiarti, 2011:80).
13
Penelitian wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku adalah
penelitian lanjutan dari penelitian di atas. Konsep sejarah yang tertuang dalam
novel Chinmoku merupakan titik awal konflik yang memicu tokoh utama harus
menentang batin dan keyakinan yang memilih melakukan pengingkaran. Hal itu
terjadi karena alasan banyak umat Kristen yang teraniaya akibat kekukuhannya
mempertahankan apa yang telah menjadi keyakinannya selama ini.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah wacana politik
keagamaan yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini yang mencakup ruang
lingkup sejarah pada abad ke-17 tanpa memperhitungkan kritik sastra, unsurunsur estetika, dan kondisi psikologis. Novel Chinmoku merupakan novel sejarah
dan agama yang disusun berdasarkan fakta sejarah yang diambil pada zaman
ketika munculnya kebijakan larangan penyebaran
agama Kristen oleh
pemerintahan Jepang setelah diberlakukanya politik isolasi negara. Penelitian ini
mengangkat beberapa faktor munculnya politik keagamaan dan rekonstruksi
sejarah yang terkandung dalam novel Chinmoku berdasarkan faktanya.
2.2 Konsep
Untuk melakukan kajian yang lebih jelas terhadap politik keagamaan
dalam novel Chinmoku perlu dijabarkan beberapa konsep. Adapun konsep-konsep
yang dijelaskan pada penelitian ini adalah wacana politik keagamaan, sastra
Kristen, dan novel agama Kristen.
14
2.2.1 Wacana Politik Keagamaan
Ada beberapa pengertian wacana. Pengertian ini perlu diuraikan secara
ringkas sebagai dasar untuk menjelaskan pengertian konsep ‘wacana politik
keagamaan’. Menurut Badudu (dalam Badara, 2012:16) wacana merupakan
rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu
dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah
maknanya yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Wacana juga merupakan
kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi diatas kalimat atau klausa dengan
koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu
mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Menurut Hawtan (1992) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat
sebagai buah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah
aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
Politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat
diterima baik oleh sebagian besar warga untuk membawa masyarakat ke arah
kehidupan bersama yang harmonis. Usaha untuk menggapai the good life ini,
menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses
penentuan tujuan sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat
mengambil keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik
itu dan hal yang menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Untuk melaksanakan kebijakankebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan alokasi dari sumber daya
alam, perlu dimiliki kekuasaan serta wewenang. Kekuasaan ini diperlukan, baik
15
untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat menyakinkan
dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya
merupakan perumusan keinginan belaka. Politik adalah kegiatan yang
menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan
yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaanperbedaan di antara anggota-anggotanya (Budiardjo, 2008:15--16).
Secara etimologi, istilah ‘keagamaan’ berasal dari kata “agama” yang
mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi keagamaan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III (2005:12) dinyatakan bahwa agama
adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan antara manusia dan manusia serta lingkungan.
Berdasarkan penjelasan di atas dikaitkan dengan wacana politik
keagamaan dalam novel Chinmoku, yakni prinsip agama Kristen tidak sama
dengan kepercayaan Jepang yang menganggap bahwa manusia mempunyai posisi
tertinggi dan dapat menjadi dewa. Mōtori Norinaga menyatakan bahwa Jepang
adalah negara yang keturunannya berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu
Omikami 天照大神) dan ini membuktikan keunggulannya dengan negara-negara
lain. Dewa Matahari telah memberkati cucu laki-lakinya Ninigo No Mikoto
dengan tiga pusaka suci, yaitu pedang, kaca, dan kalung mengangkatnya menjadi
penguasa Jepang selama-lamanya. Keturunannya harus melanjutkan memerintah
16
selama langit dan bumi masih ada. Dengan bekal dan kewenangan penuh tersebut
semua dewa di langit dan manusia tunduk kepadanya (Bellah, 1992:137).
Langkah-langkah yang dilakukan oleh para misionaris dalam menyebarkan
agama Kristen di Jepang adalah dengan melakukan perdagangan, membayar
utpeti, dan mengkristenkan para tuan tanah (disebut daimyō) yang memegang
peranan penting untuk kesejahteraan rakyat Jepang. Untuk itu, para misionaris
membaptis banyak daimyō untuk meminta perlindungan dan mempermudah
penyebaran. Daimyō yang pertama kali dibaptis dan merupakan daimyō terkuat
pada masa itu adalah Omura Sumitada pada tahun 1562. Ia memerintahkan
kepada seluruh penduduknya untuk menganut agama Kristen. Masyarakat Jepang
diberikan pencerahan tentang paham monotheism, yaitu memuja satu Tuhan, yaitu
Yesus. Selain itu, juga diajarkan tentang kesetaraan sosial bahwa semua manusia
memiliki hak dan derajat yang sama. Sejak itu mulai banyak orang asing yang
berkeliaran di Jepang dan para daimyō yang terkuat yang merangkap sebagai
kepala perang mulai beralih menjadi agama Kristen. Hal ini dikhawatirkan
Hideyoshi akan terjadi pemberontakan terhadap sistem pemerintahannya selama
ini yang berujung pada penjajahan terhadap negara Jepang. Hideyoshi bertindak
melaksanakan kebijakan larangan beragama Kristen atau disebut kinzei dalam
sejarah Jepang, Shogun Tokugawa pun mengikuti kebijakan tersebut pada tahun
1614 seluruh misionaris dan pastor agama Kristen diusir dari Jepang.
Menurut Budiman (2006:33), dalam novel Chinmoku tokoh pemerintahan
Jepang Gubernur Inoue sebagai kepala pemerintah pengusiran kaum Kirishitan
menjadi peran penting yang bertugas membujuk para misionaris untuk
17
mengingkari imannya. Ia mengerti bahwa bagi orang Kristen, martir adalah suatu
kemuliaan di mata Tuhan. Oleh karena itu, ia menghalangi para misionaris
memilih mati sebagai martir pengikut agama Kristen tidak mengagumi cara itu.
Jika misionaris murtad, agama itu akan merasa kecewa atas kelakuan pastornya.
Tujuan Inoue tidak membunuh, baik penganut biasa maupun misionaris, tetapi
menyiksa atau membujuk mereka memilih murtad dari agamanya dan mengganti
agamanya dengan agama Buddha. Pokok bujukan Inoue kepada para pastor ialah
soal agama Jepang dan agama Kristen yang bertentangan. Agama Kristen tidak
bisa berakar dan menguasai tanah Jepang karena Jepang adalah rawa lumpur bagi
agama Kristen dan keberadaan agama Kristen juga mengganggu negara Jepang.
Yang dimaksud dengan ‘wacana politik keagamaan’ dalam penelitian ini
adalah konsep ajaran agama Kristen yang memiliki perbedaan dengan aliran
kepercayaan dan agama yang sudah ada di Jepang yakni Shinto, Budha dan
Konfusius. Agama-agama tersebut telah lama diyakini, Shinto sebagai suatu aliran
yang tertua menganut paham politheism yang percaya dengan adanya banyak
dewa dan kekuatan roh dalam setiap benda dan percaya bahwa Kaisar adalah
keturunan Dewa Matahari. Agama Budha dan aliran Konfusius merupakan agama
yang datang dari negara China. Konsep ajaran ini secara keseluruhan sama dengan
aliran Shinto sehingga bisa diterima dengan baik di Jepang. Sebaliknya, agama
Kristen datang dengan pemahaman baru tentang paham monotheism yang memuja
Yesus dan Bunda Maria dan pencerahan mengenai kesetaraan sosial untuk seluruh
manusia.
18
Paham-paham baru yang diajarkan oleh para misionaris dianggap
pemerintah Jepang sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan pemberontakan
terhadap sistem feodal yang telah lama diterapkan di Jepang. Para daimyō
tertinggi, bahkan sudah dibaptis dan mengkristenkan penduduknya sehingga
mempermudah berkembangnya agama Kristen di Jepang. Pemikiran pemerintah
Jepang akan adanya pemberontakan berujung pada penutupan negara dan
pengusiran misionaris. Para misionaris, seperti Ferreira dan Rodrigues dipaksa
untuk mengingkari iman mereka dan tinggal di Jepang. Kehidupan mereka diatur
negara, yaitu dari tempat tinggal, pekerjaan hingga pemilihan istri. Isu-isu politik
keagamaan digunakan untuk tetap mempertahankan sistem pemerintah Jepang dan
memanfaatkan para misionaris yang murtad untuk kepentingan negara dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
2.2.2 Sastra Kristen
Sastra Kristen (Kirisutokyo Bungaku) adalah sastra yang ditulis oleh
pengarang yang beragama Kristen di Jepang. Istilah ini sangat relatif sifatnya
karena mengacu pada latar belakang pengarang bukan pada isi sehingga novel
Chinmoku merupakan sastra Kristen. Namun, dalam penelitian ini istilah sastra
Kristen diambil untuk konteks terbatas karena penulis novel Chinmoku adalah
penganut agama Kristen yang muncul setelah Perang Dunia II. Eksistensi unsur
tokoh dalam karya sastra dengan unsur kekuatan seperti Tuhan atau iblis
merupakan pola asli umum bagi sebagian besar tema karya mereka. Garis
horizontal dalam hal ini perbuatan manusia bertemu garis vertical, yaitu Tuhan
19
(atau iblis). Ini merupakan unsur dinamik dalam tema sastra yang banyak
dikembangkan (Budiman, 2006:1).
Tidak ada arti kalau kita memikirkan putusnya hubungan agama dan sastra
atau menyambungnya secara ideologis. Akan tetapi, hal yang diperlukan
pengarang adalah unsur agama Kristen terdapat dalam sastra modern, termasuk
sastra
kontemporer
atau
bagaimana
sastrawan
Jepang
memperlihatkan
ketertarikannya pada agama Kristen atau unsur dalam sastra agama. Pemerhati
karya sastra (bisa pembaca, penonton, ataupun pengamat) juga akan
memperhatikan maksud pencipta dalam berbagai karya sastra secara mudah.
Unsur agama dan sastra bertemu dalam imajinasi pengarang atau pencipta ketika
mereka memperhatikan eksistensinya. Eksistensi itu bergerak menuju upaya
menyucikan diri dengan sendirinya. Dengan begitu agama dan karya sastra
bergabung dalam sikap pengarang ketika berusaha menyaksikan hal-hal duniawi
sambil berorientasi ke unsur yang kekal. Pascaperang dunia II, sikap budayawan
terhadap agama Kristen mulai menunjukkan perubahan. Mereka bersikap tidak
membenci ataupun memprotes Kristen seperti yang ditunjukkan pada masa perang
dunia II. Sikap mereka terhadap agama Kristen menjadi lebih netral (Takeda,
1976:310--318).
Budiman (2006:3) memaparkan perkembangan agama Kristen pasca
Perang Dunia II dipelopori oleh Shin Rinzo (1911--1973) merupakan tantangan
terhadap gaya penulisan sebelumnya. Para sastrawan mulai mencari kebenaran
eksistensi Tuhan atau keberadaan manusia. Gagasan mereka tidak ditunjang oleh
formalitas pengakuan fakta yang disebut zange (pengakuan atau pertobatan),
20
tetapi didorong unsur konflik batin atau drama kejiwaan manusia yang terjadi
sebelum proses pencapaian zange itu. Untuk itu, menulis karya sastra atau naskah
drama mereka harus mempunyai kesadaran tentang manusia. Mereka berusaha
menulis pandangan manusia yang diperoleh dari pengalaman melalui Kristen
Katolik, seperti persoalan dosa manusia, konflik kebaikan dan kejahatan, nasib
manusia yang menyangkal Tuhan walaupun di sisi lain ia mencari Tuhan dan
sebagainya. Agama Kristen Katolik banyak berpengaruh pada sastra Jepang.
Pengaruh agama Katolik mengambil alih peranan pengaruh Protestan yang
menganggap “pengakuan” sebagai tema paling tinggi hakikatnya di antara tematema lain. Oleh karena itulah, sastra pascaperang menyangkal sastra pengakuan
sehingga agama Katolik mengambil alih posisi agama Protestan yang
menganggap pengakuan sebagai tema yang paling tinggi di antara tema-tema lain.
Masih dari pendapat Budiman (2006:5--9) karya sastra Endo banyak
dipengaruhi oleh Francois Mauriac (1885--1970) yang menyatakan bahwa dirinya
bukan novelis yang menulis tema agama Kristen, melainkan seorang penganut
Kristen yang menulis novel. Lebih jelasnya ia tidak menyampaikan doktrin agama
Kristen melalui novel. Pada awal penulisan, tema Endo berpusat pada penceritaan
tentang alasan terjadinya jarak antara agama Kristen dan orang Jepang. Akan
tetapi, selanjutnya Endo mengubah temanya menjadi upaya mendekatkan agama
Kristen kepada orang Jepang. Endo menulis hal tersebut untuk mengampanyekan
proposisi “Teologi Endo”, yaitu pertanyaan bagaimana caranya orang Timur
(Jepang) dapat memercayai Tuhan yang dipercayai oleh orang Barat.
21
Endo dalam novel Chinmoku menggambarkan sosok figur pastor yang
dapat dipercayai orang Jepang dan cara orang Jepang untuk dapat memercayai
Tuhan yang datang dari Barat. Pastor yang digambarkan, seperti Ferreira dan
Rodrigues memiliki paras yang penuh cinta kasih, ketenangan, dan pencerahan
yang dianggap mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi oleh
raykat Jepang. Menurut pandangan Endo bagaimanapun hebat dan dapat
dipercayainya seorang misionaris, mereka tidak akan berhasil meyakinkan Tuhan
orang Barat kepada orang Jepang sebagaimana kenyataanya. Sistem pertahanan
yang dimiliki pemerintah Jepang sangat sulit diubah karena dasar pemikiran orang
Jepang adalah menyerap segala ilmu pengetahuan baru dengan memosisikannya
sebagai pandangan budaya Timur.
2.2.3 Novel Agama Kristen
Ada beberapa jenis novel, yaitu novel fiksi yang merupakan novel fiktif
atau tidak pernah terjadi dan novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata,
pengalaman seseorang atau yang mengambil data-data dari sejarah suatu negara.
Ada pula novel romantis yang menceritakan kisah-kisah percintaan dan novel
horror yang mengisahkan hal yang menyeramkan. Menurut Fleishman dalam
Djokosujatno (2002:14), novel sejarah merupakan sebuah genre yang penting dan
banyak ditulis oleh sastrawan negara Barat. Tentunya karya yang dihasilkan
mempunyai kesadaran sejarah yang tinggi dan sebagai pelopor penulisan novel
sejarah adalah Walter Scott pada abad XIX. Pendidikan yang baik berkaitan
dengan sejarah memberikan peluang yang positif untuk penulisan novel sejarah.
Di sisi lain novel sejarah berdampak positif pada tumbuhnya minat baca di
22
masyarakat. Oleh sebab itu, novel sejarah membantu memperkenalkan dan
mendekatkan masyarakat tertentu dengan sejarahnya.
Menurut Budiman (2006:12--13), novel Chinmoku adalah novel agama
Kristen karena ceritanya disusun dengan data-data sejarah perkembangan agama
Kristen di Jepang. Sehubungan dengan itu, kebanyakan peristiwa dan tokoh dalam
novel tersebut dibuat berdasarkan fakta sejarah walaupun tidak semuanya sama.
Cerita dalam Chinmoku dimulai dengan kalimat Roma kyookai ni hitotsu no
hookoku ga motarasareta (suatu berita dikabarkan ke Gereja Roma). Cara
penulisan ini seperti kalimat dari buku sejarah yang disampaikan pembaca secara
objektif dan ringkas. Latar waktu novel Chinmoku ialah zaman ketika larangan
agama Kristen dan politik isolasi negara dilaksanakan oleh pemerintahan
Tokugawa.
Menurut pendapat Varley (1973:148), Chinmoku adalah novel yang
didasari oleh kisah nyata tentang pastor Christovao Ferreira yang telah murtad di
Nagasaki pada tahun 1933. Hal tersebut didengar oleh dua muridnya, yakni
Sebastian Rodrigues dan Fransisco Garrpe sehingga mereka memutuskan datang
ke Jepang secara diam-diam untuk mencari kebenaran tentang kabar tersebut.
Dalam buku para pastor, setelah terlindungi oleh penduduk desa Kristen di Jepang
mereka ditangkap dan dipaksa untuk berpisah, dan yang terjadi selanjutnya adalah
kisah yang diceritakan melalui surat-surat oleh Sebastian Rodrigues. Surat-surat
tersebut mengisahkan pertemuan Rodrigues dengan Ferreira dan kemurtadan yang
akhirnya dipilih oleh Rodrigues untuk kelangsungan hidup kaum Kristiani di
Jepang.
23
Novel Chinmoku disebut sebagai novel agama Kristen karena novel ini
mengisahkan perjalanan pastor muda yang bertujuan untuk menyebarkan agama
Kristen di Jepang. Perjalanan Rodrigues selama di Jepang melalui penderitaan
yang panjang. Namun, penderitaan tersebut membawa berkah dan arti sebuah
keyakinan dalam dirinya. Di Jepang Rodrigues menjadi pastor seutuhnya. Ia
menyebarkan agama Kristen, mengajarkan doa, membaptis, menerima pengakuan
dosa, mengadakan misa, dan menjelaskan hari-hari raya untuk Kristus. Keyakinan
Rodrigues mulai memudar ketika ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa agama
Kristen tidak bisa diterima oleh negara Jepang dari segi mana pun karena
perbedaan pola pemikiran dan budaya.
2.3 Landasan Teori
Permasalahan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, yaitu mengkaji
politik keagamaan yang menjadi dasar dalam novel Chinmoku. Adapun teori yang
digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah teori
sosiologi sastra dan teori hegemoni.
2.3.1 Teori Sosiologi Sastra
Penelitian
ini
mempertimbangkan
unsur-unsur
masyarakat
yang
mencerminkan kehidupan nyata dengan sebuah karya sastra. Pengekspresian
pengarang dalam menghasilkan karya sastra secara nyata dipengaruhi oleh
lingkungannya. Endo lahir dan besar di lingkungan orang Jepang yang beragama
Kristen sehingga ia mampu menyampaikan masalah yang terjadi antara bangsa
24
Barat dan Timur. Berdasarkan hal itu, penelitian ini menggunakan teori sosiologi
sastra.
Menurut Wellek dan Warren (1990:109--111), hubungan sastra erat
kaitannnya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.
Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang. Sastra tak bisa
tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Akan tetapi,
tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan menyeluruh
mengekspresikan perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan
segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, yang semuanya itu merupakan
struktur sosial merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri
dengan lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang
menempatkan anggota di tempatnya masing-masing. Sosiologi adalah suatu telaah
sosial terhadap sastra. Sosiologi dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap
sastra
yang
mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatan.
Sosiologi
mempermasalahkan sesuatu di sekitar sastra dan masyarakat yang bersifat
eksternal mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi,
sosial, dan adat istiadat.
Menurut Endraswara (2011:79), sosiologi sastra adalah penelitian sastra
yang terfokus pada masalah kemanusiaan, karena sastra sering mengungkapkan
perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya berdasarkan
imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan
hidup manusia mewarnai teks sastra. Laurenson dan Swingewood (1971) dalam
Endaswara (2011 :79) juga menyebutkan terdapat tiga perspektif berkaitan dengan
25
sosiologi sastra. Pertama, penelitian yang memandang karya sastra sebagai
dokumen sosial yang di dalamnya terefleksi situasi pada masa sastra tersebut
diciptakan. Kedua, penelitian mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi
penulisnya. Ketiga, penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi
peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Rodrigues dalam novel Chinmoku digambarkan memiliki sifat yang berani
dan bersemangat. Hal itu dapat dilihat ketika Jepang sedang melaksakan kebijakan
larangan terhadap agama Kristen. Saat itu Rodrigues menyusup ke tempat
berbahaya untuk mencari informasi tentang Pastor Ferreira. Sesampainya di
Jepang, Rodrigues tinggal berpindah-pindah tempat dengan bantuan penganut
agama Kristen bawah tanah (Kakure Kirishitan). Mereka mengajarkan agama
Kristen kepada penduduk setempat. Munculnya kebijakan pelarangan agama
Kristen membuat Rodrigues harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari
pemerintah Jepang. Selain Rodrigues adapun tokoh lain, yakni Ferreira yang
terpaksa harus meninggalkan Kristen karena tidak sanggup untuk melewati
siksaan yang dihadapkan padanya sehingga oleh pemerintah Jepang Ferreira
diganti nama menjadi nama Jepang dan diberikan istri. Ia ditugaskan sebagai juru
bahasa dan membuat buku anti Kristen (Budiman, 2006 : 24).
2.3.2 Teori Hegemoni
Kekuasaan dalam suatu negara dipegang oleh pemerintahan yang kuat dan
memiliki sistem tatanan pemerintahan yang ketat. Hal tersebut dilakukan untuk
tetap menjaga sistem
pemerintahan agar tidak terjadi
pemberontakan-
pemberontakan yang mengarah kepada penjajahan. Penelitian ini menggunakan
26
teori hegemoni sebagai acuan untuk menganalisis novel Chinmoku. Hegemoni
memahami bagaimana strategi suatu kelas dan anggotanya menjalankan
kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya secara persuasi. Hegemoni bukanlah
hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan
persetujuan
dengan
menggunakan
kepemimpinan
politik
dan
ideologis
(Simon,1999:19--20).
Menurut pandangan Simon (1999:22), dasar-dasar konsep hegemoni
diletakkan oleh Lennin dengan menyempurnakan upaya yang telah dikerjakan
oleh para pendiri gerakan buruh Rusia. Istilah hegemoni pertama kali dipakai oleh
Plekhanov dan pengikut Marxis Rusia lainnya pada tahun 1880-an untuk
menunjukkan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani
dengan
tujuan
meruntuhkan
gerakan
Tsarisme.
Kelas
pekerja
harus
mengembangkan kekuatan nasional, berjuang untuk membebaskan semua kelas
atau kelompok yang tertindas. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk
revolusi, suatu strategi yang dijalankan oleh kelas pekerja dan anggotaanggotanya untuk memeroleh dukungan dari mayoritas. Gramsci menambahkan
dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya sehingga
hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam
merebut kekuasaaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang
telah diperoleh.
Hegemoni yang terdapat dalam novel Chinmoku adalah hegemoni dalam
bentuk agama. Agama Kristen diterima baik oleh banyak kalangan masyarakat
Jepang saat itu. Tingginya ketentuan pajak yang semakin menyiksa membuat
27
rakyat Jepang membenci pemerintah dan merasa mendapatkan bantuan berupa
pencerahan tentang Tuhan, kasih sayang, dan cinta kasih dari para kaum
misionaris. Penganut Kristen tak hanya dari kalangan rakyat jelata, tetapi juga
para daimyō terkuat ikut membaptiskan dirinya dan seluruh masyarakat didaerah
kekuasaannya. Perkembangan agama Kristen yang begitu pesat merisaukan dan
menimbulkan kekhawatiran pada pemimpin Jepang. Ajaran tersebut dianggap
bertolak belakang dengan sistem masyarakat feodal yang sedang berlangsung di
Jepang. Selain itu, sikap orang-orang asing yang tinggal di Jepang tidak mau
menghormati pemerintah. Mereka tidak mau tunduk terhadap perintah-perintah
pemerintah Jepang sehingga Tokugawa merasa terancam akan adanya para
misionaris di Jepang. Konsep egalitarian adalah doktrin pandangan yang
menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat dan status menurut
ajaran agama Kristen. Hal itu tidak bisa diterima oleh pemerintah karena ajaran
tersebut secara tidak langsung akan mendoktrin para petani atau kaum tertindas
untuk memberontak dan meminta hak mereka untuk mendapatkan status hak yang
sama.
28
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian yang dihubungkan dengan
permasalahan dan teori yang dijadikan landasan dalam mengkaji permasalahan
penelitian ini. Berikut gambaran model penelitian novel Chinmoku.
Sejarah Jepang abad
ke-17
Sejarah
Perkembangan
Agama Kristen di
Jepang
Novel Chinmoku
-
Dalam Konteks Apa
Wacana Politik
Keagamaan Disampaikan
Bentuk Wacana
Politik Keagamaan
Hasil Temuan
Keterangan Model Penelitian
Penceritaan rekonstruksi sejarah
Teori yang digunakan dalam penelitian
Objek penelitian
Teori Sosiologi
Sastra
Teori Hegemoni
Makna Wacana
Politik Keagamaan
29
Analisis penelitian
Garis penghubung dari rekonstruksi sejarah kepada objek,
menghubungkan teori dengan objek dan dari objek
terhubung dengan hasil penelitian
Hasil temuan penelitian
Model penelitian dalam penelitian ini disesuaikan berdasarkan kerangka
pola pikir. Susunan inti penelitian ini adalah novel Chinmoku yang terinspirasi
dari sejarah Jepang pada abad ke-17. Pada zaman perang merupakan sebuah
peristiwa sejarah yang menjadi titik puncak masuknya pengaruh budaya Barat ke
Jepang. Sebagai wujud representasi pengaruh dunia Barat terhadap Jepang
pengarang melahirkan sebuah mahakarya yang menjadi dasar sudut pandang
pemikirannya. Interaksi budaya Barat yang telah melampaui batas telah
menciptakan suatu dimensi waktu yang tak mampu diterima nalar hingga
dikaitkan dengan sejarah agama Kristen yang masuk ke Jepang melalui
perdagangan. Kedatangan kaum misionaris dalam misi penyebaran agama
dianggap pemerintah sebagai salah satu ancaman untuk melakukan penjajahan dan
menguasai pemerintahan Jepang. Hal tersebut juga menandakan adanya interaksi
antara bangsa Barat dan Timur dengan membawa misi gold (perdagangan), glory
(kekuasaan) dan gospel (penyebaran agama),
Peneliti melakukan interpretasi novel Chinmoku karya Shusaku Endo
dalam identifikasi struktur naratif dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan
hegemoni untuk menganalisis bentuk wacana politik keagamaan, dalam konteks
30
apa politik keagamaan disampaikan dan makna politik keagamaan dalam novel
Chinmoku. Dengan demikian, pada penelitian ini dapat diuraikan hasil temuan
analisis yang mengarah kepada kebenaran tentang isu-isu politik keagamaan
dalam novel Chinmoku sesuai dengan konteks sejarah. Wujud interaksi antara
budaya Barat dan Timur merupakan unsur struktur dalam novel Chinmoku yang
meliputi penerimaan pengaruh budaya Barat dari segi gaya hidup, ilmu
pengetahuan, dan agama Kristen.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Tatanan sistem mekanisme kerja penelitian ini meliputi beberapa tahapan
yang dipersiapkan untuk penelitian yang terarah dan tepat sasaran. Tahap pertama
yang dilakukan adalah tahap persiapan, yakni persiapan pemilihan objek
penelitian, penentuan judul, studi pustaka, rumusan masalah, penentuan model
penelitian hingga hasil analisis penelitian. Pemilihan objek dan judul dilakukan
terlebih dahulu dengan membaca novel Chinmoku dan memahami teks.
Selanjutnya mencari permasalahan yang belum dianalisis disesuaikan dengan
konsep dan teori yang digunakan untuk mengkaji objek penelitian.
Langkah selanjutnya dalam persiapan adalah studi pustaka. Studi pustaka
dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang menunjang
proses penelitian. Studi pustaka dan literatur disesuaikan dengan rumusan masalah
serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Pada tahap ini dilakukan
proses pengumpulan bahan-bahan pustaka berupa novel Chinmoku dan novel
Silence sebagai pustaka utama beserta buku-buku penunjang yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini melakukan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Jenis penelitian ini adalah
32
penelitian kualitatif yang menonjolkan proses, makna dengan menggunakan
landasan teori sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan kenyataan di
lapangan. Sumber data penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer yang digunakan, yaitu novel
Chinmoku karya Shusaku Endo terbit tahun 1996 yang merupakan novel asli
Jepang dan novel Silence karya Shusaku Endo yang diterjemahan dari novel
Chinmoku oleh Lesmana tahun 2008.
Sumber data sekunder diambil dari buku-buku studi kepustakaan yang ada
hubungannya dengan penelitian. Sumber data sekunder juga diambil dari sumber
lain, seperti buku Dilema Memahami Tuhan karya Budiman tahun 2006, Japanese
Cultural karya Varley tahun 1973, History of Japanese karya Yamagawa tahun
1990, beberapa buku lain yang berhubungan dengan penelitian ini, dan data
internet digunakan sebagai referensi. Penelitian ini menggunakan novel Chinmoku
yang merupakan novel asli Jepang serta novel Silence. Analisis dilakukan pada
kutipan sumber asli yang ditulis dalam bahasa Jepang, diikuti kutipan terjemahan
dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kutipan disajikan dalam bentuk sumber
asli yang disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
3.3 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian kartu data yang dibuat
oleh peneliti. Kartu data menggunakan pengodean terbuka, yaitu pengumpulan
data dengan pemberian nama serta pengelompokan data dan kutipan-kutipan yang
relevan dengan masalah penelitian ini. Penggunaan kartu data memudahkan
peneliti untuk mendapatkan data yang diinginkan. Selain kartu data, instrument
33
lain, yakni sumber internet juga dimanfaatkan sebagai data penunjang dalam
penelitian ini.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Penyediaan data dengan studi kepustakaan menggunakan teknik
membaca teks novel Chinmoku yang menggunakan huruf Katakana, Hiragana,
dan Kanji yang disesuaikan isi teks tersebut dengan teks novel Chinmoku yang
sudah diterjemahkan. Objek dalam penelitian ini adalah novel Chinmoku
berbahasa Jepang oleh Shusaku Endo (1966), dibantu dengan novel terjemahan
yang diterjemahkan oleh Lesmana (2008). Untuk menerjemahkan huruf-huruf
kanji penulis dibantu dengan kamus kanji oleh Chandra (2005). Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembacaan,
pencatatan dan kartu data. Novel Chinmoku dibaca dengan cermat agar ditemukan
wacana politik keagamaan yang dialami masyarakat Jepang pada abad ke-17 yang
terkandung dalam novel Chinmoku.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Penelitian ini memfokuskan pada data yang telah dikumpulkan kemudian
diklasifikasikan dan dianalisis. Menurut Endraswara (2008:8), metode penelitian
sastra adalah cara yang dipilih oleh peneliti dengan mempertimbangkan bentuk,
isi, dan sifat sastra sebagai subjek kajian. Metode dan teknik analisis data dalam
penelitian ini menggunakan deskriptif analisis, kualitatif interpretasi. Penelitian
ini mendeskripsikan beberapa fakta yang kemudian dianalisis dan diuraikan secara
deskriptif.
34
Penelitian ini dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra yang
menganalisis kondisi masyarakat Jepang dalam teks novel Chinmoku saat
pemerintah Jepang melarang masyarakat menganut agama Kristen. Penelitian ini
juga dianalisis dengan teori hegemoni yang menganalisis pengaruh doktrin agama
Kristen terhadap masyarakat Jepang yang member pencerahan bagi cara pandang
masyarakat Jepang.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Data yang telah dianlisis disajikan dengan metode informal. Metode dan
teknik penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dalam delapan
Bab. Bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan
model penelitian. Bab III menjabarkan metode penelitian yang terdiri atas jenis
dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik
analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis data. Bab IV
menguraikan rekonstruksi penceritaan sejarah dalam novel Chinmoku. Sementara
Bab V mengulas bentuk wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku. Bab
VI menjelaskan dalam konteks apa wacana politik keagamaan disampaikan. Bab
VII menganalisis makna wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku.Bab
VIII adalah bab terakhir yang berisi simpulan dan saran.
35
BAB IV
REKONSTRUKSI SEJARAH NOVEL CHINMOKU
Dalam bab ini diuraikan rekonstruksi sejarah novel Chinmoku yang
mencakup sinopsis novel Chinmoku, rekonstruksi sejarah Jepang yang terkandung
dalam novel Chinmoku, visi dan misi Fransiscus Xavier dalam penyebaran agama
Kristen, dan visi misi tiga misionaris yang datang ke ke Jepang bertujuan
menemukan mentornya. Uraian-uraian di atas dideskripsikan berdasarkan kutipankutipan pada teks asli novel Chinmoku untuk menganalisis awal kejadian yang
memicu timbulnya isu-isu politik keagamaan.
4.1 Sinopsis Novel Chinmoku
Chinmoku berarti hening atau keheningan. Novel Chinmoku dikarang oleh
sastrawan Jepang bernama Shusaku Endo. Novel ini diterbitkan pada tahun 1966
oleh penerbit Shincosha di Tokyo, Jepang dan telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia pada tahun 2008 dengan judul Silence. Chinmoku terbit dalam
312 halaman dan dibagi ke dalam sepuluh bab. Bab pertama hingga bab keempat
mengisahkan isi surat-surat yang ditulis oleh Sebastian Rodrigues. Novel
Chinmoku mengisahkan perjalanan tiga pastor muda, yakni Sebastian Rodrigues,
Juan De Santa Marta, dan Franisco Garrpe yang diam-diam datang ke Jepang
untuk mencari mentor mereka Christovao Ferreira yang telah dinyatakan murtad
di Jepang. Pada bab pertama hingga bab empat merupakan kisah yang diceritakan
melalui surat-surat Rodrigues untuk gereja Roma.
36
Surat pertama yang ditulis Rodrigues mengabarkan sesampainya mereka
di Macao setelah melewati perjalanan panjang dari Roma. Namun, kesehatan Juan
De Santa Marta memburuk sehingga ia tidak dapat melanjutkan perjalanan ke
Jepang. Di Macao mereka bertemu dengan Bapa Alessandro Valignano yang
menetap di sana selama sepuluh tahun. Keinginan Rodrigues dan Garrpe ke
Jepang ditentang keras oleh Bapa Valignano karena sejak tahun 1636 pemerintah
Jepang mencurigai adanya keterlibatan Portugis dengan pemberontakan yang
terjadi di Jepang. Hal tersebut tidak mengurungkan niat mereka untuk
membatalkan misi ke Jepang.
Melalui pertimbangan yang sangat berat, Bapa Valignano mengizinkan
mereka untuk pergi ke Jepang dengan alasan untuk mencari pastor Ferreira dan
mengkristenkan Jepang untuk kemuliaan Tuhan Yesus. Di Jepang Rodrigues dan
Garrpe tinggal di atas gunung di gubuk tempat penyimpanan arang atas bantuan
Kichijiro. Keseharian mereka selama tinggal di Desa Tomogi adalah mendengar
pengakuan dosa, memberikan petunjuk, mengajari berdoa, dan melakukan
pembaptisan. Selama enam tahun Desa Tomogi hidup tanpa adanya pastor dan
pemuka agama. Pada surat ketiga, Rodrigues berkesempatan untuk mengunjungi
desa lain, yaitu Desa Goto yang letaknya tidak jauh dari Desa Tomogi. Hari
pertama di Goto, Rodrigues sudah kebanjiran pekerjaan, bahkan tidak sempat
tidur. Orang-orang silih berganti datang untuk menemuinya untuk dibaptis dan
pengakuan dosa.
Surat keempat Rodrigues adalah surat terakhir yang ditulis untuk
menceritakan perjalanan hidupnya di Jepang. Surat ini mengisahkan kembalinya
37
para pengawal pemerintah Jepang yang memaksa penduduk desa menyerahkan
diri akibat menganut agama Kristen. Dua penduduk Desa Tomogi bernama
Mokichi dan Ichizo menyerahkan diri kepada pemerintah Jepang. Mereka dipaksa
untuk melakukan fumie sebagai bukti bahwa mereka tidak beragama Kristen.
Rodrigues dan Garrpe memutuskan berpisah untuk menghindari
pemerintah Jepang. Perjalanan Rodrigues dilanjutkan tanpa tahu kabar mengenai
sahabatnya Garrpe. Perasaan Rodrigues mulai kacau dan berhalusinasi mengapa
Tuhan membiarkannya hidup seperti ini penuh cobaan, rasa takut hingga rasa
keyakinannya yang mulai dipertanyakan. Tidak berselang lama ia melanjutkan
perjalanan ke tengah hutan lalu ke pegunungan hingga tanpa sengaja ia bertemu
dengan Kichijiro. Namun, Rodrigues telah dikhianati oleh Kichijiro, Rodrigues
ditangkap dan ditempatkan di sebuah gubuk tua bersama beberapa penganut
Kristen.
Untuk pertama kalinya, Rodrigues bertemu seorang samurai tua yang
memaksa mereka semua untuk mengingkari keyakinannya dan menjamin bisa
hidup dengan bebas. Samurai tua itu sangat menyayangkan sikap Rodrigues untuk
tetap bertahan terhadap keyakinannya, yang berakibat penyiksaan lebih kejam
kepada para tahanan. Pengunjung kedua adalah sang penerjemah, yang mampu
berbahasa Portugal. Penerjemah itu berusaha bernegosiasi dengan Rodrigues agar
setuju untuk mengingkari imannya. Namun, jawaban Rodrigues tetap sama. Ia
tetap mempertahankan keyakinannya. Sang penerjemah memberikan gambaran
tentang pengaruh budaya Barat dan agama Kristen untuk Jepang. Baginya, agama
Kristen hanya batu loncatan untuk bisa belajar di sekolah dan mendapat ilmu
38
pengetahuan. Hal itu dilakukan karena pada masa itu Jepang hanya mengizinkan
anak para bangsawan yang bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak.
Selang beberapa hari setelah kunjungan penerjemah, Rodrigues dipertemukan
dengan Gubernur Chikogu bernama Inoue yang selama ini dianggap sebagai
tokoh utama penyiksaan kaum Kristiani.
Pertemuan pertama pastor dengan Inoue tidak seperti dibayangkan. Sosok
Inoue adalah satu-satunya orang Jepang yang mengerti kondisi dan perasaannya
selama berada di Jepang. Perdebatan mulai terlihat, sang Gubernur meyakinkan
Rodrigues bahwa agama Kristen dan doktrinnya di Jepang tidak akan berhasil,
Jepang ibarat rawa-rawa yang tidak bisa ditanami tunas muda tidak seperti negeri
lain yang jika ditanami tunas muda akan tumbuh menjadi pohon besar yang subur.
Sang pastor hanya berkata bahwa agama Kristen bersifat universal dan bisa
diterima siapa saja. Pernyataan Inoue mulai meracuni pikirannya, mungkin benar
apa yang telah disampaikan oleh Inoue.
Sikap para pengawal yang menjaga di penjara mulai membaik, Rodrigues
diizinkan untuk melakukan doa, kegiatan agama, dan misa walaupun hanya skala
kecil. Sesekali ia diizinkan untuk berjalan-jalan dan diberikan jatah makan tiga
kali sehari. Perlakuan pemerintah ini membuat Rodrigues curiga, mungkin ini
salah satu cara mereka membuat pertahanan hati sang pastor lemah dan pada
akhirnya setuju untuk murtad. Rodrigues diajak pergi ke suatu tempat. Pada
akhirnya ia dipertemukan dengan sang mentor, yakni Ferreira. Singkat cerita,
Ferreira memberikan alasan utama bahwa Jepang tidak sepenuhnya menerima
agama Kristen. Mereka hanya mengadopsi doktrin Kristen dan menyamakannya
39
dengan agama Buddha. Bahkan, agama Kristen dianggap salah satu aliran dari
agama Buddha oleh masyarakat Jepang. Ferreira pun memaksa Rodrigues untuk
murtad, demi mengakhiri penderitaan yang panjang dan demi kelangsungan hidup
mereka. Tak banyak yang bisa dikatakan oleh Rodrigues. Semua perjuangannya
harus berakhir di papan fumie untuk menyelamatkan banyak umat yang
dicintainya.
4.2 Rekonstruksi Sejarah Novel Chinmoku
Kekuatan pola penceritaan dan formula-formula yang ada di dalam novel
merupakan aktualisasi bagaimana pengemasan sebuah cerita. Kedua hal tersebut
tentunya hanya menjadi wadah bagi penulis untuk mengemukakan ide atau
gagasannya. Ide dan gagasan itu diduga tidak akan lepas dari ekapisme (pelarian)
yang diusung pada saat novel ditulis. Karya sastra pelarian menurut Caweltu
(1976:15--16) melibatkan pengenalan psikologis yang berbeda dan keduanya
memainkan peran penting dalam membentuk pengalaman imajinatif untuk
relaksasi dan regenerasi (Rosidi, 2010:4,8).
Struktur naratif mencakup dua unsur, yaitu plot dan kisah. Plot adalah
rangkaian yang di dalamnya naratif menceritakan peristiwa, sedangkan kisah
adalah rangkaian logis dan kronologis peristiwa yang sedang diceritakan. Sebuah
naratif biasanya mencurahkan banyak plot pada peristiwa penting dalam kisah.
Hubungan plot dan kisah merupakan salah satu cara utama bagaimana
pengetahuan naratif, siapa mengetahui apa dihubungkan dengan kekuatan sosial.
Teks adalah sesuatu yang memuat berbagai keyakinan kultural yang berubah-ubah.
Teks juga memperkenalkan karakter yang mengamalkan perjalanan hidup
40
seseorang yang mengisyaratkan genre novel atau biografi dan membuat penilaian
tentang kualitas dan personalitas karakter (Thwaites, 2002:177,187). Penelitian ini
menggambarkan bahwa peristiwa bersejarah terjadi pada awal abad ke-16 sampai
dengan awal abad ke-17 yang dituangkan dalam novel Chinmoku. Penceritaan
rekonstruksi sejarah Jepang yang menjadi konflik pelik mengharuskan penulis
mengaitkan kejadian-kejadian pilu dalam novel yang diambil dari kisah nyata.
Menurut Forster (dalam Nurgyantoro, 2010:90--91) cerita adalah sebuah
narasi dengan berbagai peristiwa yang secara sengaja disusun berdasarkan urutan
waktu. Cerita harus mampu mengantarkan pembaca untuk mengetahui kelanjutan
peristiwa dan membangkitkan suspence (hal terpenting dalam suatu cerita). Unsur
peristiwa dilakonkan oleh para pelaku cerita. Dengan demikian, cerita merupakan
pengurutan gagasan lakuan dan atribut yang memiliki urutan awal, tengah, dan
akhir.
Setiap cerita memiliki peristiwa khususnya novel Chinmoku yang diangkat
berdasarkan fakta sejarah Jepang yang pernah terjadi ketika Jepang mengalami
polemik dengan negara Barat. Menurut Budiman (2006:1,6), Chinmoku adalah
novel yang dikategorikan sebagai novel agama karena dasar pembacaan bermula
dari beberapa pikiran kritis tentang hubungan sastra dan agama khususnya agama
Kristen. Pada awal penulisan, tema Endo berpusat pada terjadinya jarak antara
agama Kristen dan orang Jepang. Terkait dengan pendapat di atas bagi Budiman
(2006:7), Endo menggunakan tokoh utama seorang pastor Barat yang dijadikan
figur yang dapat dipercayai orang Jepang dan cara orang Jepang untuk dapat
memercayai Tuhan yang datang dari Barat. Endo menampilkan peristiwa sejarah,
41
yaitu bagaimanapun hebat dan dapat dipercayainya seorang misionaris, mereka
tidak berhasil untuk meyakinkan “Tuhan orang Barat” kepada Jepang
sebagaimana adanya.
Pada tahun 1547 Franciscus Xavier tepatnya di Malaka bertemu dengan
bangsawan Jepang bernama Anjiro. Anjiro telah mendengar kabar mengenai
Fransiscus pada tahun 1545 dan berlayar dari Kagoshima ke Malaka dengan
maksud bertemu dengannya. Anjiro melarikan diri dari Jepang setelah dituduh
melakukan pembunuhan. Ia lalu mencurahkan isi hatinya kepada Fransiscus,
menceritakan riwayat hidupnya serta adat dan budaya tanah airnya. Anjiro adalah
seorang samurai sehingga dapat membantu Xavier dengan keahlian mediator dan
penerjemah dalam karya misi di Jepang (Books, 2013:78). Kedatangan Fransiscus
ke Jepang menjadi langkah awal bagi kaum misionaris dari Roma berdatangan ke
Jepang untuk menyebarkan pemahaman agama Kristen lebih dalam.
Kedatangan Sebastian Rodrigues, Francisco Garrpe, dan Juan de santa
Marta serta merta karena terdengarnya kabar bahwa salah satu senior misionaris
yang juga adalah seorang mentor telah melakukan murtad saat sedang bertugas di
Jepang.
“Roma Kyōkai ni hitotsu no hōkoku ga motarasareta. Porutogaru no Iezusu kai
ga Nihon ni haken shiteita Kurisuto. Fereira kyōfu ga Nagasaki anazuri no
dōmon o uke, kikyō o tatoiu node aru” (Chinmoku, 1966:1).
Terjemahan :
Berita tersebut sampai pada gereja di Roma. Ferrira yang dikirim ke Jepang oleh
Serikat Yesus Portugal akhirnya menyerah dan murtad setelah mengalami
hukuman dalam “lubang” di Nagasaki.
Christovao Ferreira dikabarkan telah murtad karena tidak tahan akan
penyiksaan yang telah diberikan kepadanya. Menurut Yainabara (dalam Endo,
42
2008:23), keyakinan yang dimiliki Ferreira bahwa Jepang adalah rawa-rawa yang
tidak bisa menyerap Kristianitas bukanlah alasan menjadi murtad. Justru karena
keimanannya Ferreira mulai berpikir seperti itu. Ferreira memberikan tanda
menyerah setelah enam jam mengalami penyiksaan di dalam lubang.
Pengkhianatan Ferreira yang begitu luar biasa mungkin tidak terlalu memiliki arti
penting, tetapi kenyataannya bahwa dia adalah pemimpin misi yang diakui
menjadikan shok tersebut terasa kejam terlebih terungkap bahwa kemudian dia
bekerja sama dengan para penyiksanya.
Tindakan Ferreira bukan karena tidak ada alasan, tetapi kekuatan untuk
melarang agama Kristen begitu besar dan membabi buta. Hal ini dimulai pada
masa pemerintahan Hideyoshi. Ia awalnya tidak keberatan tersebarnya agama
Kristen di Jepang. Namun seiring dengan berjalannya waktu perkembangan
agama Kristen mulai mengkhawatirkan karena mulai banyak orang asing yang
berkeliaran dan para daimyō yang terkuat merangkap sebagai kepala perang
beralih pada agama Kristen. Hal ini semakin membuat Hideyoshi takut muncul
pemberontakan yang akan menentang kepemimpinannya (Yamagawa, 1990:85).
“1587 nen irai, Nihon no taishu, Hideyoshi ga juurai no seisaku o kawaete
Kirisutokyo o hakugaishi wa hajimeruto” (Chinmoku, 1966:5).
Terjemahan :
Sejak tahun 1587 Hideyoshi penguasa wali telah mengubah kebijaksanaan
pendahulunya dan telah mulai melakukan penganiayaan mengerikan terhadap
orang-orang Kristen.
Menurut Yamagawa (1990: 85), Hideyoshi mengusir orang-orang asing
beragama Kristen karena ajaran agama Kristen dianggap mengacaukan misi
penyatuan negara. Hal ini juga dikhawatirkan adanya penguasaan negara oleh
43
negara asing, seperti Espania dan Portugal. Pada novel Chinmoku ditegaskan
bahwa pengusiran misionaris terjadi pada masa pemerintahan Hideyoshi.
Pendahulunya yakni Oda Nobunaga yang tidak menghiraukan agama Kristen. Oda
hanya tertarik pada ilmu pengetahuan yang dibawa oleh para Nanbanjin berupa
globe, ilmu kedokteran, dan cara berperang baru. Puncak kemarahan Hideyoshi
tertulis pada surat-surat para misionaris yang menegaskan semuanya.
“Mazu, Nagasaki no seihan de ni juu roku hito no shinai to Shinto tara ga funkei
ni shosarare, kakuchi de amatano kishitan ga ie o ōware, gomon o uke,
giyakusatsusare hajimeta” (Chinmoku, 1966:5).
Terjemahan :
Dimulai ketika 26 pastor dan umat dihukum di Nagasaki. Tidak lama sesudahnya,
orang-orang Kristen diseluruh penjuru negeri diusir dari rumah mereka, disiksa
dan dihukum mati dengan kejam.
Berdasarkan catatan sejarah eksekusi terhadap 26 pastor terjadi pada 5
Februari 1579 di daerah bukit Nishizaka Nagasaki pada musim dingin atas
perintah Toyotomi Hideyoshi. Hal ini disebabkan oleh pilot Spanyol yang
terdampar di Jepang karena ingin membuat orang-orang Jepang terkesan, pilot itu
membual bahwa kebesaran kerajaan Spanyol sebagian disebabkan oleh para
misionaris yang selalu mempersiapkan jalan bagi angkatan bersenjata raja
Spanyol. Ketika berita ini terdengar sampai telinga Hideyoshi, amarahnya meluap
lagi dan dia memerintahkan sekelompok misionaris Kristen segera dieksekusi.
Setelah 26 martir itu ditangkap mereka dibawa ke alun-alun dan telinga kiri
mereka dipotong diarak dari satu kota ke kota lain. Hingga kini tidak jauh dari
stasiun Nagasaki masih berdiri monumen peringatan di tempat mereka meninggal
(Endo, 2008: 11).
44
Keinginan Rodrigues datang ke Jepang ternyata tidak mudah, mereka
harus berjuang dari Roma dengan menggunakan armada kapal India berlayar
memutari Afrika hingga menuju Goa. Setibanya di sana Rodrigues beserta kawankawannya mendengar kabar yang tidak mengenakkan tentang Jepang. Beberapa
bulan sebelum keberangkatan mereka terjadi pemberontakan kaum Kakuren
Kirishitan akibat tingginya pajak dan penindasan pada umat Kristen.
Pemberontakan itu disebut dengan Shimabara no Ran atau pemberontakan
Shimabara.
“Nihon de san juu go mang hito no setsushitan tachi ga itsuki o okishi,
shimabara o chuushin ni shite bakufu to akusen kutōshita ketsutō,
rōwakadanjō“ (Chinmoku, 1966:13).
Terjemahan :
Tiga puluh lima ribu orang Kristen telah melakukan pemberontakan Shimabara
dan dalam konflik berdarah yang terjadi kemudian dengan pasukan-pasukan
Bakufu semua pemberontak itu dibantai tanpa kecuali.
Pemberontakan Shimabara bermula dari penangkapan enam belas orang
petani dan dijatuhi hukuman mati pada musim gugur tahun 1637. Hal itu terjadi
karena mereka berdoa kepada Tuhannya, yaitu Yesus dan merupakan bentuk
protes dari penindasan terhadap kaum Kristiani yang semakin menjadi-jadi dan
tingginya pajak untuk Shogun yang membuat para petani, pedagang, dan samurai
penganut agama Kristen melakukan pemberontakan. Mereka tidak puas terhadap
pemerintah dalam bidang ekonomi dan politik. Akibat kerasnya penindasan yang
dilakukan oleh pemerintah membuat banyak daimyō menjadi penganut Kristen
yang setia. Mereka mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang asing dan
45
menyebarkan agama Nasrani di kalangan penduduk di daerahnya. Lambat laun
gerakan Kristen ini berubah menjadi gerakan anti Shogun (Nurhayati, 1987:24).
Surat pertama Rodrigues mengabarkan bahwa mereka tiba di Macao
setelah melalui perjalanan hampir setahun penuh. Juan De Santa Marta mengalami
penyakit malaria sehingga harus menetap di Macao. Selama berada di sana,
mereka diasuh oleh Bapa Valignano yang telah menetap selama sepuluh tahun.
Niat Rodrigues datang ke Jepang pada awalnya dilarang oleh Valignano karena
semenjak terjadinya pemberontakan Shimabara Jepang menutup semua akses
perdagangan dan memutuskan hubungan dengan Spanyol dan Portugal.
Penutupan negara atau politik Sakoku merupakan salah satu kebijakan politik
yang dikeluarkan oleh Tokugawa Ieyasu.
“Sen roppyaku san juu roku irai, nihon seifu wa shimabara no nairan ni
Porutogaru jin kankei aru o utagai, tsuushō o mattaku tatta dake de hanaku,
kumon yori nihon kinka ni itasuru kajō dewa, kyōtoshin no eiran gunkan ga
shubottsushite, wa ga shōsen ni hogeki o kuwaeteiru no desu” (Chinmoku,
1966 :17).
Terjemahan :
Sejak tahun 1636 pemerintah Jepang yang mencurigai keterlibatan Portugal
dalam pemberontakan Shimabara telah sepenuhnya memutuskan hubungan
dagang dengan Portugal.
Politik Sakoku dikeluarkan karena pemerintahan Bakufu
9
semakin
mencemaskan meluasnya ajaran Kristen di kalangan masyarakat Jepang. Bakufu
semakin memperketat pengawasan terhadap semua kegiatan perdagangan dan
merampas perdagangan para daimyō sementara perdagangan luar negeri Jepang
ditangani sendiri. Bakufu juga berkampanye bahwa perdagangan dengan orang-
9
Bakufu secara harfiah berarti “pemerintahan tenda” dan biasanya digunakan bergantian dengan
kata “keshogunan”. Bakufu juga biasa disebut pemerintahan militer (Bellah, 1992 : 30).
46
orang asing tidak berguna dan sangat merugikan Jepang. Sehubungan dengan itu,
mereka menghentikan perdagangan tersebut dan memutuskan menutup negaranya
secara ketat. Bagi Bakufu kegiatan para misionaris Kristen ini sangat
membahayakan stabilitas politik Jepang karena mereka membutuhkan sumber
kekuasaan dan sasaran kesetiaan. Perlawanan gigih orang-orang Kristen semakin
menimbulkan kecurigaan Shogun terhadap semua perdagangan luar negeri.
Sebenarnya, ia tetap berusaha menjaga hubungan dagang dengan Spanyol dan
Portugal, tetapi perlawanan orang-orang Kristen semakin sengit sehingga ia
memperkeras tekanan dengan menghentikan sama sekali perdagangan. Setelah itu
Bakufu mengadakan pengawasan terhadap semua orang Spanyol dan Portugal
yang masih berada di Jepang. Pada tahun 1639 kantor dagang Belanda yang ada di
pelabuhan Hirado dipindahkan ke Dejima di pelabuhan Nagasaki. Kapal-kapal
pedagang harus memiliki sertifikat agar tidak disebut sebagai bajak laut. Sertifikat
itu disebut Shuinjo. Mereka dilarang bergaul dengan orang-orang Jepang di
sekitarnya dan tidak diperbolehkan mengunjungi daerah-daerah Jepang lainnya.
Bagi pemerintah Jepang, para pedagang asing adalah sumber gangguan keamanan
yang sangat membahayakan (Nurhayati, 1987:24--25).
Bapa Valignano sepenuhnya menentang perjalanan Rodrigues ke Jepang
karena ia berkewajiban menolak mengirimkan lebih banyak misionaris ke Jepang.
Selain perjalanan laut ke sana yang amat berbahaya yang akan dihadapi, posisi
kaum misionaris sangat ditentang hingga tidak ada kapal Portugis yang bisa
memasuki wilayah perairan laut Jepang. Keinginan besar Rodrigues dan Garrpe
untuk pergi ke Jepang sangat beralasan selain untuk memastikan kabar kebenaran
47
tentang Ferreira juga merasa kasihan akan kondisi dari kaum Kristiani yang hidup
tanpa adanya rutinitas agama karena keterbatasan pemimpin keagamaan.
Budiman (2006:18) mengemukakan simpulan bahwa terdorongnya oleh
rasa cintanya terhadap agama Kristen, Rodrigues dan teman-temannya berangkat
meninggalkan tanah airnya Portugal menuju Jepang karena gereja Katolik
menerima berita bahwa Ferreira yang adalah senior dan idola Rodrigues yang
sedang bertugas menyebarkan agama Kristen di Jepang telah murtad. Hal itu
sangat mengejutkan para pastor di Portugal, terutama Ordo Jesuit. Jika itu benar
terjadi, kehormatan dan wibawa agama Kristen tentu tercemar. Peristiwa tersebut
dianggap sangat memalukan. Kepergian Rodrigues dan kawan-kawannya
bertujuan untuk mengembalikan citra dan harga diri agama Kristen.
Kebesaran hati Bapa Valignano pada akhirnya memberikan izin mereka
untuk berangkat dalam misi rahasia. Penantian keberangkatan telah usai setelah
pertemuan Rodrigues dengan orang asli Jepang bernama Kichijiro. Kichijiro
berasal dari distrik Hizen dekat Nagasaki. Dia satu-satunya orang Jepang yang
tersisa di Macao. Setelah berdiskusi akhirnya Kichijiro bersedia mengantarkan
Rodrigues ke Jepang dan bertemu dengan orang Jepang penganut agama Kristen.
Pada surat kedua yang ditulis Rodrigues disampaikan bahwa ia dan Garrpe
telah tiba di Jepang. Mereka dijemput oleh orang-orang penganut Kristen
tersembunyi dan untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan saudara-saudara
yang telah lama menanti kedatangan para pastor.
“Padore, Padore rōjin wa jūji o sette, sono koe wa wareware o itawaru yushisa
ga arimashita. Ima padore, shinpu sama to iu kono natsukashii Porutugaru go o
koko de mimi ni shiyōto wa yume ni omotte inakatta” (Chinmoku, 1966:38).
48
Terjemahan :
“Padre, Padre!” Lelaki tua itu membuat tanda salib seraya mengucapkan katakata tersebut, dan dalam suaranya ada nada lembut dan prihatin atas penderitaan
kami. Bagi kami sendiri, kata “Padre” itu, yang diucapkan dalam bahasa Portugis
kami tercinta.
Pelaku Kakuren Kirishitan adalah orang-orang Jepang yang menganut dan
meyakini agama Kristen. Akibat tingginya pajak dan pemberatan akan status
sosial yang dibedakan membuat orang-orang Kristen kaum kecil merasa
membutuhkan pencerahan hati dan tempat bersandar. Namun pada masa itu,
pendeta Buddha banyak yang telah terjun ke dalam dunia politik, bahkan banyak
dari mereka telah dipersenjatai. Menurut Yamagawa (1990:89--90) tidak hanya
status sosial masyarakat yang dibagi, tetapi dalam kehidupan rumah tangga juga
diatur oleh pemerintah. Berikut ini adalah bagan pembagian kelas masyarakat
yang diatur oleh pemerintah Jepang.
KELAS
MASYARAKAT
Bushi
PENGERTIAN
Shōnin
Merupakan kelas militer atau biasa disebut sebagai
samurai. Pada masa itu kaum militer yang posisinya paling
atas belajar ilmu pengetahuan dan bela diri.
Merupakan kelas petani, sekitar 80% penduduk Jepang
adalah petani. Kaum petani dan pedagang tidak memiliki
nama keluarga
Merupakan kaum pedagang
Shokunin
Kaum tukang atau pekerja
Shushigaku
Paham yang mengajarkan hubungan atas bawah, antara
atasan dan bawahan
Paham yang mengajarkan bahwa yang memegang
kedudukan tertinggi sebuah keluarga adalah ayah atau
Kachō dan anak laki-laki pertama yang disebut Chōnan.
Paham yang mengajarkan penghormatan tertinggi untuk
laki-laki dan merendahkan perempuan
Kaum pekerja-pekerja lapangan yang tabu, mereka juga
disebut orang buangan.
Nōmin
Kachō dan Chōnan
Dansonjōhi
Kaum Eta
49
Menurut pandangan Bellah (1992:76), semakin menguatnya ikatan
motivasional terhadap pola-pola kelembagaan akan memperkuat kemampuan
sistem integratif atau kelembagaan dalam mengontrol dan mengarahkan tindakan
sosial atau singkatnya akan mendorong peningkatan disiplin sosial. Struktur
kelembagaan dijaga kesatuannya terutama dengan cara ikatan-ikatan kesetiaan
antara atasan dan bawahan. Penguatan sistem ini akhirnya berarti penguatan
intensitas kesetiaan yang demikian memmengaruhi hubungan antara sistem politik
dan kelembagaan. Karena dapat mengandalkan kesetiaan yang tinggi, kekuatankekuatan koordinasi yang dapat dipraktikkan oleh sistem politik penghadapan
dengan sistem kelembagaan juga diperkuat.
Rodrigues dan Garrpe merasa gembira sudah tiba di Jepang. Mereka tiba
di desa nelayan bernama Tomogi yang penduduknya sebagian telah menerima
pembaptisan. Penduduk desa itu menyembunyikan mereka di gunung belakang
Desa Tomogi di sebuah pondok penyimpanan arang.
“Sumigoya de wareware wa hajimete jibuntachi ga tochaku shita basho ga doko
de attaka o kyōete moraimashita. Nagasaki kara judai reguwa no kyori ni aru
Tomogi to iu gyoson nado desu” (Chinmoku, 1966:40).
Terjemahan :
Desa ini desa nelayan Tomogi, orang-orang Kristen itu menyembunyikan kami di
sana, mereka mempunyai tempat persembunyian yang lebih aman di sana,
dipondok penyimpanan arang.
Selama persembunyian di Desa Tomogi Rodrigues dan Garrpe sudah
kebanjiran aktivitas keagamaan. Mereka mengadakan misa dan membaptis orangorang Jepang itu. Sebelum kedatangan mereka sudah ada kegiatan agama yang
berlangsung enam tahun lalu, seorang imam Jepang, Miguel Matsuda dan Bruder
50
Yesuit Mateo de Coros menjalin kontak dengan Desa Tomogi. Namun mereka
meninggal akibat kerja keras dan penderitaan.
Tertulis pada surat Rodrigues yang ketiga, ia menceritakan keadaan Desa
Tomogi yang menyedihkan. Mereka petani miskin yang mengais-ngais kehidupan
dengan menanam kentang dan gandum di ladang-ladang yang hanya sepetak. Hal
ini sangat berkaitan dengan pembagian masyarakat oleh pemerintah Jepang
dengan penghasilan yang tidak seberapa mereka juga harus membayar pajak yang
tinggi. Sejak terjadinya pemberontakan Shimbara, penguasa distrik ini telah
mengerahkan segala cara untuk memburu orang-orang Kristen yang bersembunyi.
Setiap hari para pejabat berkeliling menginspeksi setiap desa dengan saksama, dan
terkadang menggrebek sebuah desa secara mendadak.
“Tatoeba, sakunen kara, subete no ie wa rinka to no aida ni hei ya kakine o
sakutte wa narame to iu fukoku ga demashita. Tagai no ie no uchigawa ga
mitōseru yōni shite, moshi kaishii furumai o shite iru rinjin ga ireba sugu
mikkoku saseru tame desu” (Chinmoku, 1966:48)
Terjemahan :
Sejak setahun lalu telah dikeluarkan peraturan yang melarang siapa pun membuat
pagar atau tanaman pagar di antara rumahnya dengan rumah tetangganya. Mereka
ingin melihat rumah tetangga sebelahnya dan kalau melihat ada gerak-gerik
mencurigakan, dia harus melaporkannya segera.
Pemberontakan Shimabara membuat pemerintah Jepang memperketat
penyebaran agama Kristen, memburu kaum Kakure Kirishitan, dan memaksa
mereka
untuk
meninggalkan
keyakinannya.
Budiman
(2006:120)
mendeskripsikan larangan agama Kristen yang diumumkan pemerintah Tokugawa
pada tahun 1612 dan pengumuman Bateren Tsuihorei10 yang ditulis pada tahun
10
Bateren Tsuihorei adalah perintah pengusiran misionaris agama Kristen yang dicetuskan oleh
Toyotomi Hideyoshi. (Budiman, 2006:120).
51
1613 oleh seorang pendamping Shogun yang bernama Konchiin Suuden.
Berdasarkan hal itu, sejak sekitar tahun 1614 di daerah-daerah yang banyak umat
Kirishitan mulai diterapkan sistem Shumon Aratame11.
Sonin Hosho Seido12 merupakan cara yang dianggap paling efektif untuk
menangkap kaum Kristiani. Pada zaman seperti itu sebagian besar masyarakat
mengalami kemiskinan akibat pajak yang tinggi terkadang membuat mereka
terpaksa membuat pengaduan agar memeroleh uang. Pada masa Tokugawa uang
perak sangat berharga sehingga menjadi godaan besar bagi orang-orang miskin.
Kutipan berikut memaparkan hadiah uang untuk orang yang memberikan
pengaduan adanya aktivitas agama Kristen.
“Watashitachi wa shisai no ibasho o todoketa mono ni wa gin san hyaku mai ga
shiharawaremasu. Shūdō shi ni wa gin ni hyaku mai, donna Shinto demo hakken
saesureba gin hyaku mai ga shōkin to naru no desu. Kore kara no kin ga amari ni
mo hin shii nōmintachi ni donna yūwaku ni naruka o satsushi kudasai. Dakara
shintotachi wa hotondo hoka no mura no ningen o shinjimasen” (Chinmoku,
1966:48).
Terjemahan :
Siapa pun yang melaporkan kami, para pastor, diberikan imbalan 300 keping
perak. Orang yang melaporkan seorang Bruder diberikan imbalan 200 keping
perak dan orang yang melaporkan seorang Kristen menerima imbalan 100 keping
perak. Tak perlu kukatakan di sini besarnya godaan uang sebanyak itu untuk
petani miskin ini.Akibatnya, orang-orang Kristen boleh dikatakan tidak lagi
percaya penduduk desa lain.
Banyak hal yang diperbuat pemerintah Tokugawa untuk tetap menjaga
kedaulatan pemerintahannya. Tidak hanya mengatur dan menutup negara dari
misionaris penyebar agama Kristen, perdagangan dengan pihak Asing juga di11
Shumon Aratame adalah sistem mengganti agama ke agama Budha, dengan sistem itu
pemerintah mewajibkan penduduk mendaftarkan nama mereka di kuil-kuil agama Budha supaya
mereka dapat membuktikan dirinya non-Kristen dan berhubungan dengan kuil Budha
(Budiman,2006 :120).
12
Sonin Hosho Seido ialah sistem memberikan hadiah kepada orang yang melaporkan keberadaan
kaum Kakuren Kirishitan (Budiman, 2006 : 119).
52
batasi dan berpusat pada wilayah tertentu. Selain itu, posisi para daimyō mulai
dibatasi bahkan golongan para daimyō pun dibagi menjadi tiga, yaitu Shinpan
daimyō
13
, Fudai daimyō
14
, dan Tozama daimyō
15
. Surajaya (1990:15)
memaparkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Tokugawa
dikatakan belum menjamin kesetiaan para daimyō sebab secara politis dan militer
apabila terjadi penyatuan beberapa daimyō, kekuatan penyatuan ini sudah cukup
menghancurkan pemerintah Bakufu.
Perjalanan Rodrigues berlanjut pada datangnya kaum dua orang Kakure
Kirishitan dari Kepulaun Goto. Mereka mendengar kabar dari Kichijiro bahwa
Desa Tomogi kedatangan pastor yang selama ini ditunggu-tunggu oleh mereka
untuk memberikan misa dan pembaptisan. Dari penjelasan kedua orang ini
diketahui bahwa di Distrik Odomari para penduduk desa berhasil lolos dari
pengawasan para pejabat dan mereka masih tetap mempertahankan keyakinan
Kristen. Distrik dan desa-desa tetangga di Miyahara, Dozaki, dan Egami
meskipun dari luar kelihatannya dihuni penduduk beragama Buddha, sebenarnya
merupakan desa Kristen.
“Batten, washira wa mō Misa mo Kokkai mo ukechorimasen. Minna, tada orasho
dake tonaetoruto de gozarimasu” (Chinmoku, 1966:60).
Terjemahan :
Bapa selama ini kami belum mengikuti misa lagi. Kami belum membuat
pengakuan dosa lagi. Selama ini kami hanya sekadar memanjatkan doa-doa.
13
Shinpan daimyō adalah daimyō yang masih keluarga dari Tokugawa Ieyasu yang bertempat
tinggal di Edo (Surajaya, 2001:72).
14
Fudai daimyō adalah daimyō pengikut Tokugawa Ieyasu yang masih bertahan setelah perang
dan bertempat tinggal di sekitar Edo (Surajaya, 2001:72).
15
Tozama daimyō adalah para adipati yang menyerah pada kekuasaan Tokugawa Ieyasu hanya
setelah kemenangan terakhir Ieyasu. Mereka dipisahkan dari lingkungan Edo dan mendapat
berbagai larangan atau pembatasan (Bellah, 1992:28).
53
Pengakuan kedua orang tersebut menyiratkan bahwa begitu terpuruknya
hidup sebagai orang beragama Kristen. Bagi kaum rendah yang tertindas
kedatangan para misionaris membuat mereka bagai menemukan jarum di tengah
jerami hingga butuh waktu yang lama untuk menemukannya. Setelah melakukan
perundingan dengan matang akhirnya Rodrigues berkesempatan pergi ke Pulau
Goto. Antusias masyarakat Goto sangat tinggi terhadap Kristen terbukti setibanya
di sana Rodrigues sudah kebanjiran pekerjaan tanpa henti, seperti misa,
pembentukan Tossama16 dan Jiisama17 dan sakramen pembaptisan. Kabar tentang
Ferreira masih sulit ditemukan, tetapi ada dua laki-laki penganut Kristen yang
pernah bertemu dengannya. Mereka menggambarkan pengaruh Ferreira terhadap
kaum tertindas. Ferreira telah mendirikan rumah penampungan untuk anak-anak
telantar dan orang sakit di tempat bernama Shinmatsu dekat dengan Nagasaki.
Terlintas di pikirannya bahwa mentornya Ferreira sudah menjalani kewajibannya
sebagai pastor sehingga sangat dikenang sebagai pastor yang baik dan penuh
kelembutan.
Menurut Sudarmanto (1989:75), ajaran agama Kristen tentang sikap
terhadap sesama adalah cinta kasih sebab siapa saja yang tidak mengasihi saudara
yang dilihatnya tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya”. Cinta
kasih sebagai motivasi dasar dan cinta sejati mendorong orang berbuat sesuatu
bila melihat orang yang dicintainya diperlakukan tidak adil, dirampas haknya,
ditipu, diperdaya, dan disakiti. Cinta kasih disebarkan untuk menolong jiwa-jiwa
16
17
Tossama adalah orang-orang penganut Kristen yang dipilih untuk mengajarkan berdoa dan
katekisme, membuat daftar hari-hari raya gereja dan mengajarkannya kepada umat (Endo,
2008: 67).
Jiisama adalah orang-orang Kristen yang dipercaya untuk melakukan sakramen pembaptisan
(Endo, 2008:67).
54
yang lemah dan yang dianggap paling penting adalah bagaimana peranan gereja
untuk menumbuhkan kehidupan iman di kalangan orang-orang yang menderita.
Pendekatan dilakukan oleh para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen
pada saat Jepang sedang mengalami masa perang. Dengan demikian, sangat
mudah penerimaannya ibarat menyebarkan benih dan tunas-tunas muda pada
tanah yang subur, yakni Jepang.
Surat keempat Sebastian Rodrigues menceritakan dirinya kembali ke Desa
Tomogi dan bertemu sahabatnya Garrpe. Rodrigues menggambarkan lebih jelas
tentang kehidupan orang-orang Jepang khususnya penduduk Desa Tomogi yang
sebagian besar adalah petani. Para petani di sana hidup dalam kemiskinan dan
kejorokan yang jauh melampaui apa pun. Bahkan yang terkaya dari mereka hanya
mampu makan nasi dua kali dalam setahun. Biasanya mereka makan umbiumbian, kentang, dan sayuran.
Atap rumah terbuat dari alang-alang dan kondisi rumah sangat kotor dan
menyebarkan bau busuk. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa kondisi
Desa Tomogi adalah kondisi yang memang diperuntukkan kaum bawah. Sistem
masyarakat feodal membuat mereka harus membayar pajak yang sangat tinggi.
Jika tidak mampu membayar pajak, mereka akan disiksa tanpa belas kasihan.
Pemerintah Tokugawa melakukan hal tersebut hanya untuk menjaga kedaulatan
tatanan sistem pemerintahannya agar tidak terjadi pemberontak-pemberontak yang
nantinya akan menggulingkan pemerintahannya.
Diceritakan kembali sebuah kejadian yang begitu mendadak, yaitu pada 5
Juni Rodrigues mendapatkan firasat buruk. Tidak terprediksi inspeksi dadakan
55
terjadi di Desa Tomogi. Berdasarkan pengakuan informan para samurai ini diberi
tahu bahwa diam-diam Desa Tomogi adalah penganut agama Kristen. Para
samurai mengancam jika dalam waktu tiga hari tidak mengaku maka mereka akan
mengambil sandera. Selama ini mereka tidak menaruh curiga pada siapa pun,
tetapi keberadaan misionaris lambat laun pasti akan berujung pada penangkapan
Penangkapan kaum Kakure Kirishitan pada umumnya akan dipaksa untuk
melakukan murtad dan fumie. Hal ini dilakukan untuk menggoyahkan iman
mereka dan menunjukkan bahwa agama Kristen tidak dapat diterima di Jepang
apa pun alasannya. Setelah penangkapan dilakukan biasanya mereka akan
dikurung di penjara selama dua hari lalu diinterogasi yang dimulai dengan tanya
jawab yang terdengar mekanis.
“Omaetachi wa Kirishitan ga jakyō de aru koto o shitte orō. Sono jakyō o
omaetachi ga hōjiteiru to iu uttae ga atta ga, dō da. Naraba, koko de fumie o
fundemiyo” (Chinmoku, 1966:84).
Terjemahan :
Kalian tahu bahwa Kristen adalah agama yang dilarang? kami menerima laporan
bahwa kalian mempraktikkan agama terlarang ini, bagaimana tanggapan kalian?
Lalu langkah berikutnya adalah “kalau begitu, injak-injaklah fumie ini”.
Kutipan di atas menggambarkan bahwa sepintar apa pun menyembunyikan
penganut agama Kristen tidak akan lepas dari pemantauan pemerintah Jepang.
Penyekapan dan pemaksaan murtad hanya segelintir cara pemerintah untuk
memaksa mereka memberitahu lokasi para pastor yang berhasil menyusup ke
Jepang. Agama Kristen tidak akan bisa dihapuskan kalau saja mereka tidak
memburu akar kekristenan, yakni para misionaris penyebar agama. Untuk itu
pemerintah membayar mahal orang yang memberikan informasi keberadaan
pastor.
56
Penangkapan dirinya atas pengaduan yang dibuat Kichijiro diceritakan
Rodrigues pada bab kelima. Rodrigues sejak awal sudah curiga akan kesungguhan
Kichijiro yang seolah-olah menolongnya, tetapi ia dijual kepada pemerintah
Jepang. Kichijiro adalah salah satu penganut Kristen yang telah berkali-kali
murtad. Ia memercayai agama Kristen sekaligus mengkhianatinya sehingga tidak
heran bagi Rodrigues ketika ia ditangkap atas ulah Kichijiro. Perjalanan pada
suratnya kali ini lebih mendalam karena ia ditahan bersama orang-orang Jepang
penganut Kristen yang sangat yakin bahwa Tuhan Yesus akan datang menolong
mereka.
Perasaan Rodrigues bercampur aduk. Seingatnya tiap hari ia selalu
menyembah Tuhan, menjalankan ajaran-Nya, dan mengasihi sesamanya, tetapi
setiap hari ia mengalami penderitaan. Tuhannya tidak datang membantu.
Pertemuannya dengan orang-orang Kristen di penjara membuatnya merasa iba
karena tidak dapat membantu mereka. Salah seorang perempuan mengucapkan
dengan lantang bahwa mereka penganut Kristen yang setia. Bagi mereka, agama
Kristen banyak memberikan pencerahan dan gambaran tentang surga sebagai
tempat penuh kedamaian dan kebahagiaan.
“Wakarimatsusen. Atsujon, porain ni ikeba, honte suidō, anrashi ga aru to Ishida
sama wa tsune zune, mosaretorimashita. Asoko ja, nengu no kibishii toritatte
monakatone” (Chinmoku, 1966:128).
Terjemahan :
Bruder Ishida pernah mengatakan kalau kami masuk surga, kami akan
menemukan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Di sana kami tidak perlu bayar
pajak setiap tahun, tidak perlu takut kelaparan dan sakit. Tidak ada kerja keras di
sana.
57
Books (2013:96) menjelaskan bahwa bagi umat Kristen, surga adalah
rumah para malaikat dan para kudus. Yesus dianggap sebagai Mahakuasa pencipta,
penebus, penghibur, dan penyelamat umat. Yesus sebagai penyebar kasih sayang,
cinta kasih, dan peneduh iman. Pada saat terpuruk bagi masyarakat Jepang
datangnya para penebar kasih memberikan secercah harapan untuk bisa lepas dari
belenggu pajak tinggi dan kehidupan yang teramat menyedihkan. Ancaman demi
ancaman dilontarkan oleh para penjaga penjara. Mereka memaksa orang-orang itu
untuk menyangkal iman mereka hanya sebagai formalitas. Tak hanya itu para
penjaga juga selalu menyalahkan Rodrigues atas terbunuhnya para kaum martir
yang dianggap mati sia-sia. Kedatangan Rodrigues ke Jepang dianggap hanya
menambah daftar panjang nama orang-orang yang harus mati dan membuat
stabilitas Jepang semakin menurun.
Pengalaman penuh arti di penjara telah dilalui Rodrigues. Kini tiba saatnya
ia bertemu dengan Gubernur Chikugo. Pertemuannya dengan Gubernur Chikugo
diceritakannya pada bab keenam. Digambarkan oleh Bapa Valignano tentang
sikap Gubernur Chikugo atau lebih terkenal dengan nama Gubernur Inoue sangat
kejam dan licik untuk memaksa misionaris mengingkari iman mereka. Orang yang
oleh Bapa Valignano disebut setan berwajah pucat ini nyatanya adalah laki-laki
yang kelihatan penuh pengertian, baik, dan rapuh. Ketika bertemu dengannya
langsung Rodrigues merasa baru pertama kali ada pejabat pemerintah yang
menghargai kedatangannya ke Jepang.
“Padore ga banri no soto ni shii toshite, kenso kannan o hete koko ni kirareru
kokorozashi no kensa ni wareware tote itaku kokoro o dōka sareru. Sazo, kyō
made tsurakatta koto de arōna” (Chinmoku, 1966:170).
58
Terjemahan :
Bapa kami sangat terharu oleh keteguhan tekadmu menempuh jarak ribuan mil
dan menghadapi berbagai bahaya dan kesulitan untuk datang kemari. Tak
diragukan lagi, kau telah banyak menderita.
Sikap atas dirinya oleh pejabat negara membuat Rodrigues semakin
bingung. Ia diperlakukan sangat baik, makan tiga kali sehari, bahkan diizinkan
berjalan-jalan dan bertemu tahanan penganut Kristen. Pada pertemuan ini Inoue
memberikan gambaran kepada Rodrigues tentang ajaran agama Krisren yang
dianggap tidak sesuai dengan karakter dan kepribadian masyarakat Jepang.
Doktrin agama Kristen dirasakan tidak ada gunanya sehingga untuk apa agama
Kristen dikembangkan di Jepang. Jepang sudah memiliki agama. Keyakinan dan
panutan kedatangan para misionaris hanya untuk menambahkan suatu ajaran dan
pola pikir yang berbanding terbalik sehingga dikatakan agama Kristen adalah
sebuah ancaman.
Ucapan Inoue tak sepenuhnya diterima oleh Rodrigues. Beberapa kali ia
menyangkal apa yang diucapkan Inoue. Baginya Inoue hanya melakukan
pendekatan untuk menggoyahkan imannya dan perlahan memaksanya untuk
melakukan murtad. Menurut Budiman (2006:32), salah satu tugas Inoue adalah
menertibkan kebijaksaan larangan beragana Kristen oleh pemerintah Tokugawa.
Dalam sejarah Jepang disebut Kinzei. Sementara itu, objeknya adalah upaya
menghilangkan agama Kristen dari Jepang. Jika dilihat dari kedudukan Inoue
sebagai gubernur, ia harus menertibkan negara agar mendapat kepercayaan dari
Tokugawa. Inoue akan merasa tenang jika rakyat tidak memeluk agama Kristen
karena agama Kristen dianggap menganggu. Pernyataan tersebut mengisyaratkan
59
bahwa Inoue hanya menjalankan perannya sebagai pemimpin pengusiran agama
Kristen, tidak ada alasan baginya menghukum para pastor tanpa alasan yang jelas.
Pikiran Rodrigues masih terngiang tentang sosok Inoue, muncul rasa
curiga dalam dirinya tentang perlakuan khusus dari para pejabat negara. Dalam
perjalanan ini juga Rodrigues berkesempatan melihat para tanahan dipaksa
melakukan fumie sebagai formalitas pengingkaran imannya. Ada salah seorang
tahanan yang tetap akan keyakinannya menolak untuk fumie dibunuh di depan
matanya pada siang hari. Hal tersebut membuat Rodrigues bertanya-tanya ke
mana Tuhan pada saat seperti ini. Keraguan atas keyakinannya mulai muncul
memmengaruhi otak dan cara berpikirnya sebagai pastor. Upaya para pengawal
ini hanya untuk memaksa mereka murtad dan sekadar formalitas untuk segera
menyelesaikan tugas-tugas mereka.
“Hayausumaseba, hayau koko kara derareru to ja. Kokoro yori, fume to wa iu to
ranu. Kogen mono wa tada kata dake no koto yue, ashikake mōshitatote omaera
no shinjin ni kizu wa tsukumai” (Chinmoku, 1966:178).
Terjemahan :
Aku tidak menyuruh kalian menginjak-injak gambar itu dengan sungguhsungguh dan penuh keyakinan. Ini sekadar formalitas. Kalian cukup
menginjakkan kaki ke atas gambar. Itu tidak akan mengkhianati keyakinan kalian.
Pada bab ketujuh Rodrigues mengalami perjalanan yang paling tidak
terduga, pertemuan kedua kalinya dengan Inoue membuat Rodrigues harus tetap
berfokus pada keyakinannya. Inoue menceritakan Hirado dan menggambarkan
Takenobu Matsuura sebagai Jepang yang memiliki empat selir sebagai negaranegara, seperti Spanyol, Portugal, Belanda, dan Inggris. Baginya keempat negara
tersebut bak perempuan-perempuan yang tidak henti-hentinya membisikkan
60
cerita-cerita bernada fitnah karena saling cemburu ke telinga laki-laki, yakni
Jepang. Rodrigues mulai menyadari apa yang ingin disampaikan oleh Inoue
bahwa negeri-negeri Protestan, seperti Inggris dan Belanda dan negeri-negeri
Katolik seperti Spanyol dan Portugis datang ke Jepang karena saling iri dengan
kemajuan lawannya. Semua saling memburuk-burukkan dan menyampaikan
fitnah kepada pihak Jepang. Para misionaris pun didorong rasa persaingan, bahkan
pernah secara tegas melarang orang-orang Katolik Jepang bergaul dengan bangsa
Inggris dan Belanda.
Budiman (2006:53) memaparkan bahwa salah satu contoh pemikiran
Inoue terhadap agama Kristen dikemukakan dalam ungkapan “wanita penyayang
yang berparas jelek”. Ia pernah berbicara bahwa dirinya tidak menganggap agama
Kristen sebagai agama yang buruk. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa agama
Kristen tidak cocok bagi orang Jepang. Ia juga mengatakan bahwa laki-laki
Jepang yang baik adalah memilih menikah dengan wanita Jepang yang lahir di
Jepang dan sudah dikenal baik daripada memilih wanita asing. Bagi Inoue, wanita
mandul dan berparas jelek adalah agama Kristen, sedangkan wanita Jepang yang
lahir di Jepang adalah agama Budha. Jadi, Inoue percaya bahwa agama Budha
lebih cocok bagi orang Jepang. Sebenarnya ia tahu bahwa agama Kristen itu baik,
tetapi menurut pendapatnya agama itu tidak akan sesuai bagi Jepang karena
agama itu berasal dari Barat. Itulah sebabnya Inoue mati-matian berusaha agar
para penganut Kristen murtad dan masuk agama Buddha bila mereka ingin tetap
tinggal di Jepang.
61
Pikiran Rodrigues semakin terusik atas pendapat Inoue tentang agama
Kristen. Sepuluh hari setelah pertemuannya dengan Inoue, Rodrigues diarak pergi
ke Nagasaki untuk bertemu dengan mentornya Ferreira yang selama ini dicari.
Pertemuan mereka dilangsungkan di kuil Saishoji Nagasaki. Rodrigues sangat
terkejut akan pertemuannya ini rasa rindu, kesal, marah, tangis memenuhi semua
relung hatinya.
“Nani ka…itte kudasai…” Shisai wa aegu yōna koe de itta. “moshi, watashi o
awarende kudasarunara…nanika..iute..kudasai” (Chinmoku, 1966:223).
Terjemahan :
“Tolong…katakan…sesuatu.”Rodrigues nyaris terengah-engah ketika berbicara.
“Kalau kau menaruh belas kasihan padaku…kumohon…katakan..sesuatu.”
Ungkapan hati Rodrigues serta merta menghantam perasaan Ferreira, tidak
ada kata yang mampu diungkapkannya lagi. Pertanyaan demi pertanyaan telah
dilontarkan oleh Rodrigues, ia ingin tahu tentang kegiatan Ferreira setelah murtad.
Penerjemah yang ikut pada pertemuan itu menjelaskan bahwa kegiatan Ferreira
saat ini adalah menulis, menerjemahkan buku-buku astronomi dan pengobatan
atas perintah sang magistrat. Bagi Ferreira kegiatannya itu sangat berguna bagi
banyak orang setidaknya masih ada pengaruhnya selama ia berada di Jepang.
Ferreira diberikan nama Sawano Chuan oleh pemerintah Jepang, menikah dengan
perempuan asli Jepang, dan menulis buku tentang penyangkalan agama Kristen.
Baginya semua hal yang dilakukannya berguna untuk orang lain, membantu orang
lain, itulah satu-satunya harapan dan impian orang yang telah membaktikan
dirinya sebagai pastor.
Bagi para agamawan Kristen di Portugal, Jepang adalah negara di Asia
ketika itu bersifat terbuka. Inilah kesempatan baik untuk mengembangkan agama
62
Kristen. Sehubungan dengan itu, Ferreira pun diutus ke Jepang. Pada mulanya
kedatangan para misionaris Portugal diterima baik di Jepang. Agama Kristen
Katolik berkembang pesat di Jepang karena pemerintah Tokugawa ingin
berdagang dengan negara Eropa. Namun, perbedaann prinsip antara agama
Kristen dan kepercayaan Jepang membuat kebijakan pemerintah diubah menjadi
melarang penyebaran agama Kristen. Di bawah pemerintah Tokugawa, penganut
Kristen disuruh berganti agama menjadi agama Buddha. Mereka yang masih
menganut agama Kristen ditangkap dan disiksa sampai murtad dari agamanya.
Saat itu Ferreira juga ditangkap dan disiksa. Gubernur Inoue membujuk Ferreira
dan mengancam akan menyiksa para pengikut Ferreira. Akhirnya, Ferreira murtad
dari agama Kristen. Ia disuruh berganti nama Jepang dan diberikan istri. Ferreira
ditugaskan sebagai juru bahasa dan membuat buku anti Kristen. Menurut Ferreira,
agama Kristen memang tidak cocok dengan orang Jepang dan orang Jepang belum
pernah bisa memahami konsep Tuhan dalam agama Kristen (Budiman, 2006:24-25).
Pertemuan mereka menimbulkan perdebatan antara keyakinan dan
keselamatan nyawa para penganut Kristen di Jepang. Rodrigues bersikeras tetap
mempertahankan keyakinannya di tengah kondisi terburuk di Jepang. Ferreira
membujuknya dengan kata-kata bijak. Ia lebih dulu tahu tentang Jepang dan
menyarankan Rodrigues meninggalkan keyakinannya demi banyak umat Kristen
di Jepang. Selama kurun waktu dua puluh dua tahun Ferreira mempelajari
karakteristik orang Jepang.
63
“Kangaeru ga yoi. Ima to nattewana, kono kuni ni Kirishitan no Padore wa omae
hitotsu dake, sono omae mo na, mō toerarete wa hyakushōtachi ni kyōe to yara o
hiromerun subemonai” (Chinmoku, 1966:229)
Terjemahan :
Kau satu-satunya pastor yang tersisa di negeri ini. Sekarang kau sudah tertangkap
dan tidak ada lagi yang akan mengajar dan menyebarkan doktrin kepada para
petani.
Sang penerjemah pun memaksanya untuk murtad, dengan tinggal di
Jepang ia bisa membantu orang-orang sakit, membantu perkembangan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari bangsa lain. Anggapannya bahwa agama Budha
dan Kristen sama-sama mengambil jalan welas asih, tidak perlu doktrin untuk
menganut suatu agama kita hanya perlu mengikuti jalan mana yang kita yakini
memiliki kebenaran. Lambat laun pikiran Rodrigues semakin terganggu. Hampir
setiap kata yang diucapkan oleh Ferreira dan penerjemah ada benarnya. Jepang
ibarat rawa-rawa tak berdasar. Tunas muda yang ditanam telah membusuk sampai
akar-akarnya dan layu. Agama Kristen diibaratkan tunas muda itu tanpa disadari
layu dan mati.
Perjuangan atas keyakinannya berujung pada bab kedelapan yang.
Pertemuan kedua kalinya dengan Ferreira menimbulkan spekulasi akan kebenaran
kata-kata dari sang mentor. Rodrigues yang tidak mendapatkan bantuan apa-apa
dari Yesus mulai mempertanyakan ke mana sang Allah pada saat umat
membutuhkannya. Ferreira semakin mempertegas sarannya untuk murtad kepada
Rodrigues. Jika Rodrigues lebih mementingkan dirinya sendiri daripada mereka,
maka ia terlalu memikirkan penyelamatan untuk dirinya sendiri. Sang mentor
64
memaksanya untuk mengingkari imannya agar orang-orang yang telah dihukum
dalam lubang segera dibebaskan dan diselamatkan dari penderitaan.
“Kirisuto wa, hito bito no tame ni, tashika ni tenda darō” (Chinmoku, 1966:265).
Terjemahan :
Kristus tanpa ragu akan menyangkal keyakinannya untuk menolong manusia.
“Kirisuto wa tenda darō, ai no tame ni. Jibun no subete o gisei ni shite mo”
(Chinmoku, 1966:265).
Terjemahan :
Karena kasihnya, Kristus akan menyangkal keyakinannya. Meskipun itu berarti
melepaskan segala sesuatu yang dimilikinya.
“Ima made dare mo shinakatta ichiban korashi ai no koi o suru noda”
(Chinmoku, 1966:266).
Terjemahan :
Sekarang kau akan melakukan tindakan kasih yang paling memedihkan
“Kyōkai no sishokushatachi wa omae o saigu darō. Washi o saita yōri omae wa
karera kara tsuwareru darō. Da ga kyōkai yori mo, fukyō yori mo, motto ōkina
mono ga aru. Omae ga ima yarō to suru no wa” (Chinmoku, 1966:266).
Terjemahan :
Saudara-saudara di gereja akan menghakimimu, seperti mereka menghakimiku.
Tak ada hal yang lebih penting daripada gereja, lebih penting daripada karya
misionaris, yaitu apa yang sebentar akan kaulakukan.
Kutipan-kutipan di atas adalah seruan Ferreira kepada Rodrigues untuk
segera murtad. Papan fumie telah disediakan sebuah bandul tembaga sederhana
dipasang pada papan kelabu dari kayu yang sudah kotor dan berbutir-butir seperti
ombak-ombak kecil. Hati Rodrigues sangat kacau sudah tak terhitung berapa kali
ia memandang wajah Yesus, sungguh besar keyakinan atas kecintaan dan kasih
sayang Yesus. Terutama sejak kedatangannya pertama kali di Desa Tomogi,
mengembara ke pegunungan, dan berbaring di penjara. Setiap kali berdoa wajah
65
Kristus
selalu
muncul
dalam
angannya
yang
mampu
membangkitkan
semangatnya. Namun, pada hari itu ia harus menginjak wajah yang merupakan
harta berharga di seluruh dunia. Ketika fajar merekah sang pastor menempatkan
satu kakinya di atas fumie dan mengakhiri seluruh penderitaan para kaum Kakuren
Kirishitan.
Penginjakan fumie identik hanyalah sekadar formalitas untuk mencabut
akar-akar Kristianitas di Jepang. Jika akar tidak dicabut, para petani kecil diamdiam akan tetap mempertahankan keyakinannya. Untuk itu, pemerintah Tokugawa
lebih mengutamakan murtad daripada membiarkan mereka mati sebagai martir.
Bagi Rodrigues, perbuatan fumie bukan hanya sekedar formalitas ia merasakan
sakit yang amat sangat pada kakinya dan hatinya karena menginjak wajah Kristus
yang selama ini menjadi idolanya. Melakukan fumie telah membuka jalan baru
bagi Rodrigues. Ia menjadi warga negara Jepang dengan sebutan “Paulus Murtad”,
diberikan nama Jepang, yakni Okada Sanemon, dan memiliki istri orang asli
Jepang.
4.3 Visi dan Misi Franciscus Xavier
Franciscus Xavier berasal dari keluarga bangsawan Juan de Jassu dari
Navarra, Spanyol. Ayahnya adalah pejabat tinggi kerajaan. Ibunya adalah seorang
ibu yang penuh cinta kepada empat anak mereka. Fransisco de Jassu y de Javier
adalah nama asli Franciscus Xavier. Ia adalah anak bungsu, semenjak kecil
Fransiscus mengeyam pendidikan hidup penuh kerohanian sehingga tumbuh
cintanya terhadap Bunda Maria dan Salib Kristus. Setelah mengeyam pendidikan,
Fransiscus mengabdikan hidupnya pada karya misi. Sebagian besar dari masa
66
hidupnya untuk karya misi di negeri-negeri terpencil. Karena Raja Yohanes III
dari Portugal menghendaki agar para misionaris Yesuit berkaya di HindiaPortugis, maka ia pun diutus ke sana pada tahun 1540. Ia bertolak dari Lisbon
pada 7 April 1541 bersama dua Yesuit lainnya dengan menumpang kapal Santiago
(Books, 2013:74--76).
Pada 20 September 1542 ia mengadakan perjalanan misinya yang pertama
di antara kaum Parava (para penyelam mutiara di sepanjang pesisir timur India
Selatan). Ia berusaha mengkristenkan Raja Travancore di pesisir barat dan
mengunjungi Saila. Tidak puas akan hasil upayanya, ia kembali ke Timur pada
tahun 1545 dan menyusun rencana perjalanan misi ke Makassar. Setelah tiba di
Malaka pada Oktober tahun itu dan selama tiga bulan menunggu kapal tumpangan
ke Makassar yang tak kunjung tiba. Ia bertolak dari Malaka pada 1 Januari 1546
dan berlabuh di Ambon, kemudian tinggal di pulau itu hingga pertengahan Juni.
Setelah itu ia mengunjungi pulau-pulau lainnya di Maluku termasuk Ternate dan
Moro. Misi di Ambon ini menjadi salah satu awal sejarah Katolik di Indonesia.
Pada Desember 1547 di Malaka Franciscus Xaverius berjumpa dengan seorang
bangsawan Jepang dari Kagoshima bernama Anjiro (Books, 2013:77).
Anjiro telah mendengar kabar mengenai Franciscus pada tahun 1545 dan
berlayar dari Kagoshima ke Malaka dengan maksud betemu dengannya. Anjiro
melarikan diri dari Jepang setelah dituduh melakukan pembunuhan. Ia
mencurahkan isi hatinya kepada Franciscus, menceritakan riwayat hidupnya, serta
adat dan budaya tanah airnya. Anjiro adalah seorang samurai sehingga dapat
membantu Franciscus dengan keahliannya sebagai mediator dan penerjemah
67
dalam karya misi di Jepang yang kini tampak semakin dapat terwujud. Anjiro
meyakinkan Franciscus untuk datang ke Jepang karena orang Jepang adalah suatu
ras yang amat memetingkan akal budi, bahkan banyak pedagang Portugal
mengakui hal itu. Karena diyakinkan sedemikian rupa, Franciscus membaptis
Anjiro dengan nama baptis Paulo de Santa Fe dan mulai menyusun rencana suatu
misi bagi negeri yang belum lama ditemukan. Anjiro membantu Franciscus
menerjemahkan beberapa paragraf ajaran Kristiani ke dalam fonem bahasa Jepang
yang kemudian dihafalnya (Books, 2013:79).
Franciscus Xaverius tiba di Jepang pada 27 Juli 1549. Pada 15 Agustus ia
menginjakkan kakinya di Kagoshima, pelabuhan utama di Provinsi Satsuma
Kyushu. Ia disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Anjiro hingga Oktober
1550. Franciscus berencana bertemu kaisar tetapi gagal lalu ia pergi ke
Yamaguchi dan diizinkan berkhotbah oleh daimyō provinsi itu. Karena ia kurang
lancar berbahasa Jepang, ia hanya membacakan dengan lantang terjemahan
Katekismus. Ia diterima baik oleh para rahib Shintō karena mengggunakan kata
Dainichi untuk Allah Kristen. Begitu ia mendalami makna religius dari kata itu, ia
menggantinya dengan kata Deusu dari kata latin Portugis Deus. Para rahib pun
sadar, Franciscus tengah menyebarkan agama tandingan (Books, 2013:80).
Visi dan misi Fransiscus Xaverius adalah menyebarkan cinta kasih dan
membantu orang-orang miskin dan kaum yang tertindas. Pendekatan ini dilakukan
untuk mempermudah doktrin agama Kristen dan mengajak mereka untuk
meyakini kasih Yesus. Berdasarkan penjelasan di atas ada tiga visi dan misi utama
68
Fransiscus Xavier pada penyebaran agama Kristen di Jepang, yaitu sebagai
berikut,
a. Fransiscus memulai visi dan misinya dengan mengajarkan prinsip-prinsip
agama dan prinsip kebajikan. Dengan memanfaatkan kondisi masyarakat
Jepang yang tertekan oleh pajak yang tinggi dan para pendeta Buddha yang
tidak memberikan perhatian pada mereka maka dengan mudahnya Franciscus
membaptis orang Jepang dalam waktu singkat. Pendekatan kepada para
daimyō dilakukan dengan memberikan hadiah-hadiah yang modern pada masa
itu, yakni kacamata, kotak music, dan jam sehingga para daimyō memberinya
ruang untuk melakukan khotbah dan misa.
b. Fransiscus mengubah pandangan masyarakat Jepang dengan mengganti
Dainichi menjadi Deusu dari kata Deus dan membacakan Katekismus18 dalam
bahasa Jepang sehingga anggapan orang Jepang bahwa agama Kristen
merupakan salah satu aliran dari agama Buddha. Hal tersebut lebih
mempermudah penerimaan agama Kristen di Jepang sebanding dengan sikap
Fransiscus yang penuh dengan kehangatan dan penghormatan terhadap kaum
kecil. Fransiscus pergi sejak pagi untuk menolong dan memberikan semangat
pada orang-orang sakit di rumah sakit lalu mengumpulkan anak-anak budak
mengajari mereka doa-doa, nilai-nilai Kristiani, dan menciptakan lagu-lagu
tentang kebenaran Yesus. Sikapnya terhadap kaum kecil dengan terjun ke
lapangan dan melakukan hal-hal bersama para budak dan petani membuat ia
18
Katekismus adalah ringkasan atau uraian dari doktrin, yang biasanya digunakan dalam
pengajaran agama Kristen sejak masa perjanjian baru hingga sekarang. Katekismus adalah
manual
doktrin
dalam
bentuk
tanya
jawab
untuk
dihafalkan
(http:id.m.wikipedia.org/wiki/katekismus. Diakses 13 April 2013).
69
dan agama Kristen mudah diterima. Pendapat Ebisawa (1974:33) bahwa
strategi penyebaran agama Kristen dilakukan para misionaris dengan
menerjemahkan buku Roma katekismo ke bahasa Jepang pada tahun 1563
untuk mengimbangi kehidupan keagamaan yang khas di Jepang.
c. Franciscus Xaverius adalah salah satu anggota dari ordo Yesuit pimpinan
Iganitus Loyola pada tahun 1543. Motto ordo Yesuit adalah kepatuhan,
kemiskinan, kejujuran, dan kesucian. Tujuan ordo ini mengabdi kepada Yesus
dengan kesadaran agama baru dan melayani kegiatan misi atas perintah Paus
Roma. Berdasarkan hal tersebut Franciscus keliling Samudra Hindia untuk
mengamalkan tugasnya sebagai anggota ordo. Menurut pendapat Books
(2006:87), Franciscus dalam kasihnya yang menggelora akan Kristus,
menjalani suatu karya misioner ditandai kesucian hidup pribadinya. Dalam
berbagai suratnya ia mengajak teman-teman misionarisnya memperhatikan
kesucian hidup dan kasih akan Yesus karena kesucian hidup tidak hanya
berguna untuk kepentingan pribadi. Kesucian itu penting demi pewartaan Injil
dan demi keselamatan mereka yang dilayani.
Visi dan misi Franciscus Xavier sangat jelas ingin menyebarkan pola-pola
kekristenan kepada masyarakat Jepang. Segala upaya dilakukan termasuk
membayar upeti dan memberikan berbagai hadiah kepada para penguasa di
Jepang. Metode penyebaran iman yang dipilih Fransiscus dipengaruhi oleh
konsepnya yang negatif mengenai keselamatan di luar gereja. Ia mendorong dan
memberi semangat kepada para misionaris dengan menegaskan bahwa karya
misionaris mereka menyelamatkan banyak jiwa dan begitu banyak anak yang di-
70
baptis. Dalam surat yang dikirimnya ke Roma, ia menceritakan bagaimana doadoa tobat disalin ke dalam bahasa Tamil yang menjadi bahasa percakapan harian.
Doa-doa itu dihafalkan dengan cara meminta orang-orang itu mengulang apa yang
diucapkannya. Ia kemudian mengajar mereka hal-hal mendasar soal iman dan
perintah Yesus dalam bahasa Tamil. Selanjutnya semua diminta mengakui
kesalahan yang telah dibuat pada masa lampau dengan suara yang keras di
hadapan publik, termasuk publik yang tidak ingin menjadi Kristen. Setiap orang
kemudian ditanya berdasarkan butir demi butir dari doa Syahadat, apakah mereka
percaya akan kebenaran itu? Bila dijawab ya, maka akan dibaptis. Kepada yang
dibaptis masing-masing mendapatkan nama Kristiani di atas secarik kertas.
Fransiscus meninggalkan doa-doa di setiap kamping yang dibaptis di atas dalam
bahasa mereka agar bisa dipelajari setiap hari.
4.4 Visi dan Misi Tiga Misionaris
Sebastian Rodrigues dilahirkan pada tahun 1610 di kota pertambangan
Tasco yang terkenal. Memasuki kehidupan religius pada umur tujuh belas tahun.
Juan de Santa Marta dan Fransisco Garrpe, keduanya adala sahabat Sebastian
Rodrigues yang bersama menjadi siswa di seminari Campolide. Mereka sering
menghabiskan waktu bersama di ruang belajar dan menyimpan ingatan yang
sangat jelas tentang Ferreira guru yang mengajarkan teologi dulu. Fransisco
Garrpe adalah pastor Katholik muda yang ikut Ordo Jesuit dari Portugal seperti
Rodrigues dan Ferreira. Garrpe lahir di Lisboa dan bersekolah di seminari
Campolide, sedangkan gambaran tentang Juan de Santa Marta hanya sekilas
71
karena sebelum tiba di Jepang ia terjangkit malaria akibat perjalanan yang panjang
dan menguras tenaga.
Menurut Budiman (2006:13) tokoh utama dalam novel Chinmoku bukan
orang Jepang, melainkan orang Portugis, yakni Sebastian Rodrigues. Cara ini
pasti sulit dalam sebuah penulisan novel yang mengemukakan masalah agama
Kristen bagi orang Jepang. Namun, Endo menulis berdasarkan data-data sejarah
yang masih tersimpan, seperti surat-surat Fransiscus Xaverius, Alessandro
Valignano, dan Frois yang rajin menulis surat pada gereja Roma. Berkaitan
dengan pemilihan tokoh utama yang bukan orang Jepang, Saeki dalam Endo
(1966:250--246) seorang kritikus sastra, berpendapat ada dua alasan. Pertama,
Endo dapat mengatasi masalah tokoh Rodrigues dengan kepercayaan diri bahwa
ia seiman dengan Rodrigues karena Endo percaya bahwa prinsip agama Katolik
itu universal. Kedua, keterbatasan kondisi Rodrigues justru memungkinkan
timbulnya simpati dan pengalaman Endo sendiri.
Rodrigues, Garrpe, dan Santa Marta memutuskan untuk datang ke Jepang
setelah mendengar bahwa mentor mereka Ferreira murtad. Rasa kekecewaan dan
ingin tahu yang dalam membuat mereka ingin bertemu langsung dengan Pastor
Ferreira. Sosok Ferreira adalah sosok yang sangat populer nan lembut dan
berwibawa di seminari Portugal. Ia digambarkan sebagai sosok yang lembut
penuh kasih ketika masih bekerja sebagai pastor. Ia bekerja untuk kaum miskin
dan teraniaya. Ia sangat dicintai oleh murid-murid seminari dan umatnya sehingga
sulit dipercaya bahwa Ferreira yang selama dua puluh dua tahun tinggal di Jepang
untuk melakukan tugas mulia harus kalah oleh rawa-rawa Jepang.
72
Pada tahun 1637 ada sekelompok misionaris yang melakukan perjalanan
rahasia ke Jepang yang dipimpin oleh Bapa Rubino bersama empat rekannya dan
tambahan tiga pastor muda, yakni Rodrigues, Santa Marta, dan Garrpe. Pada
awalnya visi dan misi mereka hanya mencari mentornya yakni Ferreira karena
mereka tidak percaya bahwa guru yang dikagumi mereka justru merendah-rendah
seperti anjing di hadapan orang-orang kafir, ketika dihadapkan pada kesempatan
untuk mati mulia. Namun, hal tersebut berubah ketika mereka dihadapkan
kenyataan Jepang telah menutup negara lalu mengusir para misionaris dan
memburu para kaum Kakuren Kirishitan. Pertemuan dengan Bapa Valignano
membuat mereka terbakar api semangat untuk mendatangi Jepang, padahal gereja
Roma sudah tidak mengizinkan pengiriman misionaris ke Jepang. Berikut ini
adalah kutipan pernyataan tentang visi dan misi kedatangan mereka ke Jepang.
“Ka no ji dewa shintotachi wa ima ya shisai o ushinatte, ichigun no kohitsuji no
yōni koritsushiteimasu. Karera o yūki dsuke, sono shinkō no hidane o tayasanu
tame nimo, dōshite mo dareka ga iku beki desu” (Chinmoku, 1966:17).
Terjemahan :
Di negeri miskin papa itu umat Kristen telah kehilangan pastor-pastor mereka dan
mereka bagaikan kawanan domba tanpa penggembala. Harus ada yang pergi ke
sana untuk membangkitkan api semangat mereka dan memastikan api keimanan
mereka yang baru setitik itu tidak padam.
“Tōtō sai wa tōgerareta no desu. Nihon jin no kyōka to omo no hae no tame ni
watashitachi wa, kyō made dōni ka, kono tōyō made tadoritsu kimashita”
(Chinmoku, 1966:19).
Terjemahan :
Demi mengkristenkan Jepang dan demi kemuliaan Tuhan kami telah mengadakan
perjalanan ke Timur.
“Mō hitotsu, watashitachi ni wa gimu ga arimasu. Sore wa watashitachi san nin
no shide atta Ferreira shinpu no anpi o tazuneru koto desu” (Chinmoku,
1966:17).
73
Terjemahan :
Disamping itu, Kami mempunyai tugas tambahan: kami ingin mengetahui
kebenaran tentang guru kami Ferreira.
Pernyataan di atas membenarkan bahwa posisi agama Kristen saat itu
berada di ujung tanduk dan berdasarkan keyakinan mereka bahwa kaum
Kirishitan membutuhkan mereka untuk segera datang ke Jepang. Visi dan misi ini
dilakukan untuk tetap meneruskan perjalanan dari senior mereka atas
perkembangan Kristen di Jepang. Selama di seminari mereka merasa tak
seutuhnya menjadi pastor dengan stabilitas agama yang dipuja dan diterima
banyak orang. Di Jepang mereka baru merasa sebagai pastor seutuhnya karena
setiba di Jepang telah membaptis puluhan orang di Desa Tomogi dan berlanjut ke
daerah Goto.
Rodrigues dan Garrpe tampak bersemangat dengan tugas baru mereka
sebagai pastor yang disegani dan disanjung-sanjung. Beberapa orang Jepang
meminta mereka untuk membacakan sakramen-sakramen dan memberikan
mereka tanda salib dan Rosario sebagai bukti kecintaan terhadap Yesus.
Kehidupan mereka di Jepang penuh ketakutan, tetapi mereka tetap menjalankan
misa pada malam hari, saat pagi jika ada yang mendatangi mereka untuk
pengakuan dosa, memberikan petunjuk dan pengetahuan tentang agama Kristen
dan mengajari mereka berdoa.
74
BAB V
BENTUK WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL CHINMOKU
Dalam bab ini diuraikan tentang bentuk-bentuk wacana politik keagamaan
yang mencakup pengertian politik keagamaan, bentuk wacana ancaman, bentuk
wacana perlawanan, bentuk wacana negosiasi, bentuk wacana kompromi, dan
doktrinisasi agama sebagai mata-mata politik. Uraian yang paparkan dalam bab
ini mengacu kepada bentuk politik keagamaan yang menjadi isu-isu politik yang
mengarah kepada penjajahan negara Jepang oleh negara Barat melalui penyebaran
agama Kristen dan pendekatan terhadap kaum kecil dengan doktrinisasi
keagamaan. Upaya-upaya pemerintah Jepang yang menolak keras agama Kristen
menimbulkan perlawanan dari masyarakat Jepang yang mengakibatkan misionaris
dan masyarakat Jepang penganut agama Kristen terintimidasi.
5.1 Pengertian Wacana Politik Keagamaan
Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, yaitu
sebagai dominasi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Di satu pihak sebuah
kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan
atau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan
bersenjata. Di pihak lain, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok
kerabat dan suku mereka. Sebuah kelompok sosial dapat, bahkan harus sudah
menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan pemerintah
(Patria dan Arief, 1999:117).
75
Menurut Badudu (dalam Badara, 2012:16) wacana merupakan rentetan
kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah
maknanya yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Wacana juga merupakan
kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi diatas kalimat atau klausa dengan
koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu
mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Menurut Hawtan (1992) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat
sebagai buah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah
aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
Latar novel Chinmoku adalah masa pemerintahan Tokugawa Ieyasu yang
berkuasa sejak kemenangannya pada perang Sekigahara 19 . Pemerintahan diatur
sedemikian rupa oleh klan Tokugawa untuk tetap menjaga stabilitas negara seperti
membagi daimyō menjadi dua sesuai dengan kesetiaan mereka pada perang
Sekigahara dan memindahkan ibu kota dari Kyoto ke Edo. Menurut Bellah
(1992:35), masa Tokugawa ditandai oleh suatu sistem kelas yang resmi dan turuntemurun, kekuasaanlah yang menentukan status, bukan kekayaan. Yang berada di
titik puncak sistem itu adalah kaisar Shōgun dan tuan tanah feodal. Satu tingkat di
bawahnya adalah samurai, yang berkedudukan tinggi karena dia melaksanakan
kekuasaan politik, baik di bidang militer maupun jabatan sipil. Tingkat kedudukan
19
Perang Sekigahara adalah perang yang terjadi pada 15 September 1600 di daerah Sekigahara
Distrik Fuwa Provinsi Mino. Perang ini terjadi antara Tokugawa Ieyasu dan Ishida Mitsunari
sehubungan dengan perebutan kekuasaan setelah wafatnya Toyotomi Hideyoshi
(id.wikipedia.org/wiki/pertempuran_sekigahara. Diakses 21 Februari 2014).
76
rakyat jelata diatur sesuai dengan pandangan tradisional berdasarkan produktivitas
mereka seperti petani dan pedagang.
Menurut Gramsci (dalam Simon, 1999:21), pandangannya terhadap
hegemoni merupakan penambahan dimensi baru dengan memperluas pengertian
hegemoni yang juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik
dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan
yang telah diperoleh. Upaya inilah yang tengah dilakukan oleh pemerintah
Tokugawa dengan mengatur seluruh tatanan masyarakat, terutama para daimyō
terkuat untuk tetap bisa berada dalam pengawasannya. Soekanto (2013:202)
menambahkan bahwa sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat dapat
bersifat tertutup dan terbuka. Sistem lapisan yang bersifat tertutup membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik
yang merupakan gerak ke atas maupun ke bawah. Sebaliknya, di dalam sistem
terbuka setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha
dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa, sistem lapisan masyarakat
yang diterapkan oleh pemerintah Tokugawa adalah sistem lapisan masyarakat
yang tertutup. Peranan masyarakat dibagi ke dalam beberapa golongan untuk
menjaga agar sifat kesetiaan terhadap pemerintah menjadi turun temurun. Adapun
contoh visualisasi sifat lapisan masyarakat tertutup adalah sebagai berikut.
77
(Patria dan Arief, 1999:204)
Sistem lapisan masyarakat tertutup menjadi pilihan utama Tokugawa.
Kemenangannya di perang Sekigahara menjadi bukti kebesaran kekuatannya
untuk mempersatukan Jepang. Para daimyō yang kalah diungsikan dan jauh dari
kediamannya. Namun, keseluruhan aktivitas mereka berada di tangan Tokugawa,
bahkan perkawinan putra-putri antar daimyō dilarang keras dan diatur agar tidak
ada persekutuan. Untuk petani dan pedagang, pembayaran dan jumlah pajak terus
meningkat agar segala kekayaan yang dimiliki diserahkan kepada pemerintah.
Pemerintah Tokugawa juga mengharuskan pengikutnya untuk meninggalkan
agama Kristen yang telah berkembang pesat pada masa pemerintahan Oda
Nobunaga.
Varley (1984:147) berpendapat bahwa ada dua alasan Tokugawa Ieyasu
menolak agama Kristen. Pertama, rasa takut akan kekristenan yang sifatnya
bertentangan dengan tatanan sosial tradisional Jepang dan keyakinan agama.
Kedua, ketakutan bahwa daimyō Kristen Jepang yang sebelumnya melawan
Tokugawa Ieyasu sebelum perang Sekigahara mungkin bersekutu dengan orang
Eropa dan berusaha untuk menggulingkan rezim Edo. Tidak ada keraguan bahwa
kehadiran orang-orang Spanyol di pelabuhan Kyushu untuk memberikan senjata
dan perlengkapan militer lainnya ke para daimyō Kristen merupakan ancaman
yang sangat nyata bagi perdamaian nasional yang baru saja didapat Tokugawa
78
Ieyasu dalam perang Sekigahara. Tokugawa benar-benar tidak memiliki alternatif
praktis selain memaksakan semacam kebijakan pengasingan jika ingin menjamin
keamanan rezim mereka.
Pengawasan dan tekanan ditujukan kepada para petani. Mereka diharuskan
bekerja keras untuk pajak yang tinggi. Petani merupakan sumber kehidupan di
Jepang, seperti diceritakan dalam novel Chinmoku tentang Desa Tomogi yang
hidup sebagai petani, yang tampak dalam kutipan berikut.
“Karera wa san ekutāru ni mo mitanai hitodenchi de mugi ya imo o karōji de
saibai shiteiru shitsushii hyakuseitachi de, suiden o chitteiru zhe mo imasen”
(Chinmoku, 1966:44).
Terjemahan :
Mereka petani miskin yang mengais-ngais kehidupan menanam kentang dan
gandum di ladang-ladang yang hanya sepetak. Mereka tidak memiliki sawah.
Parsons (dalam Bellah, 1992:37) menambahkan bahwa pertanian
merupakan sumber kekayaan sepanjang pemerintahan Tokugawa. Metode yang
digunakan tradisional. Walaupun hasil produksinya relatif tinggi, ini terjadi berkat
tenaga buruh tani dalam jumlah besar yang menjadi ciri umum pertanian di Timur.
Sejumlah besar hasil tanaman, selain yang dibutuhkan untuk keperluan sendiri dan
untuk menopang kelangsungan keluarga itu, diserap habis oleh pajak dan
kebanyakan kebutuhan dicukupi produksi rumahan. Kebutuhan akan modal untuk
memenuhi kebutuhan belanja sangat besar dalam ekonomi seperti yang berlaku di
Jepang pada masa Tokugawa. Para petani miskin akhirnya harus meminjam
kepada lintah darat karena persediaan mereka telah habis sebelum panen. Adapun
gambaran tentang petani Desa Tomogi yang harus bekerja keras akibat pajak yang
sangat tinggi adalah sebagai berikut.
79
“Sorena no ni, Nagasaki no bugyō wa karera ni kakoku na zei o kashite
kimashita. Hontō ni nagai nagai ma, kono hyakushōtachi wa, gyūba no yōni
hataraki, gyūba no yōni shinde itta no deshō” (Chinmoku, 1966:45).
Terjemahan :
Pejabat Nagasaki memungut pajak yang sangat tinggi dari mereka, aku
mengatakan yang sebenarnya, sudah sejak lama para petani ini bekerja seperti
kuda dan ternak dan mereka mati seperti kuda dan ternak pula.
Politik
keagamaan
dan
hegemoni
telah
diterapkan
pada
masa
kepemimpinan Tokugawa. Sejak awal kedatangan agama Kristen Tokugawa
Ieyasu merasa tidak nyaman karena doktrin agama Kristen dianggap telah
mengubah gaya hidup masyarakat Jepang. Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah Tokugawa adalah dengan memberikan tugas kepada Gubernur Inoue,
sebagai petugas yang berkewajiban untuk membuat murtad para misionaris
berdasarkan cerita dalam novel Chinmoku. Menurut Varley (1984:146),
pemerintah Tokugawa melakukan penganiayaan terhadap kaum Kristiani karena
takut terhadap orang Kristen pribumi dan orang asing bersatu lalu melakukan
pemberontakan. Hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan hegemoni nasional
mereka.
Pengertian wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku berdasarkan
fakta-fakta sejarah dalam penelitian ini adalah fungsional suatu agama yang
sifatnya berbeda dari agama yang sudah ada membawa dampak yang dianggap
sebagai suatu ancaman terhadap tatanan negara Jepang. Isu-isu pemberontakan
telah disebarkan oleh para kaum misionaris melalui penyebaran agama Kristen
untuk mendoktrin para kaum yang memiliki pengaruh besar untuk negara Jepang
seperti petani, pedagang, samurai, dan para tuan tanah. Pengusiran kaum Kristen
dimulai dari kepemimpinan Hideyoshi yang mendengar kabar tentang aksi adu
80
domba dari pihak Spanyol yang mengancam akan melakukan penaklukan
terhadap pemerintah Jepang.
Varley (1984:147) menjelaskan bahwa pada tahun 1596 pada puncak
persaingan Fransiskan Jesuit, sebuah kapal Spanyol terdampar di Pulau Shikoku
dan muatannya disita pejabat Hideyoshi. Pilot kapal tersebut marah kehilangan
muatannya dan memperingatkan para pejabat Jepang bahwa penaklukan militer
oleh Spanyol akan segera dilakukan didasarkan mata-mata yang dilakukan oleh
para Fransiskan Jesuit. Mendengar kabar tersebut, Hideyoshi langsung
memerintahkan misionaris untuk dieksekusi. Enam misionaris dari provinsi
tengah ditangkap bersama dua puluh para penganut Kristen Jepang lalu diarak ke
Nagasaki. Pada awal Februari 1597 mereka disalibkan dan menjadi martir Kristen
pertama di Jepang. Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa negara
Spanyol menyatakan diri akan melakukan penaklukan terhadap Jepang, karena
para misionaris agama Kristen selalu mempersiapkan jalan bagi angkatan
bersenjata raja Spanyol. Di samping itu, juga dengan alasan menyebarkan misi
keagamaan mempermudah negara Spanyol untuk masuk ke Jepang tanpa
perantara.
Jansen (2000:75--77) menambahkan bahwa pada masa pemerintahan
Tokugawa ada seorang daimyō terkuat dari Sendai yang bernama Date Masamune
mengirimkan anak buahnya yang bernama Hasekura Tsunenaga ke Roma untuk
bertemu Paus Paulus V. Misi Hasekura Tsunenaga adalah untuk melakukan
negosiasi kesepakatan perdagangan dan pertukaran misi keagamaan. Selain itu,
sejumlah insiden lain membuat Tokugawa Ieyasu marah, yakni seorang daimyō
81
penganut Kristen bernama Arima mencoba melakukan penyuapan di pengadilan
untuk memenangkan ganti rugi tanah yang dinyatakan hilang. Namun, hal itu
hanyalah skema demi meningkatkan produktivitas tambang logam untuk
penambahan kekayaan sendiri melalui laporan-laporan yang tidak jujur. Peristiwa
ini diikuti oleh sebuah dekrit yang sekali lagi memerintahkan agar semua
misionaris kembali ke negaranya.
Penulis berpendapat bahwa perdagangan yang dilakukan oleh pihak-pihak
lain seperti daimyō-daimyō terkuat dengan orang Barat adalah untuk mendapatkan
senjata canggih dalam perang. Selain senjata, para daimyō memerlukan pakaian
perang, ilmu pengetahuan, pembuatan globe, dan navigasi untuk kemajuan dan
perkembangan hidup mereka. Hal-hal seperti penjelasan di atas menjadi ketakutan
sendiri bagi klan Tokugawa. Artinya bersekutu dengan orang Barat akan membuat
para daimyō semakin kuat dan berkemungkinan akan melakukan perlawanan
terhadap pemerintah. Untuk itu, Tokugawa mewajibkan semua warga di wilayah
Tokugawa mendaftarkan diri mereka sebagai umat dari kuil Buddha dan melarang
agama Kristen untuk dianut. Tidak mengherankan jika jumlah daimyō penganut
Kristen semakin berkurang setiap tahunnya. Mereka biasanya lebih memilih
mempertahankan kekuasaan mereka di bawah kekuasaan Tokugawa dan
mengharamkan iman mereka.
Pada novel Chinmoku diceritakan bahwa Sebastian Rodrigues datang ke
Jepang pada masa Jepang telah melakukan kebijakan politik Sakoku.
Pemberlakuan politik ini diharapkan dapat menjaga negara Jepang dari pengaruh
budaya asing dan menekan kedatangan para misionaris dalam misi penyebaran
82
agama Kristen. Perjalanan Rodrigues selama di Jepang mengantarkannya bertemu
dengan Gubernur Inoue dan mentornya Christovao Ferreira. Pendapat mereka
tentang agama Kristen mematahkan keyakinan yang telah dipegang teguh oleh
Rodrigues, yaitu bagi mereka sia-sia jika ingin menyebarkan agama Kristen di
negara yang telah memiliki keyakinan sendiri. Pengaruh agama Kristen dianggap
sangat menganggu dan menjadi bom waktu untuk negara yang memiliki paham
politheism. Christovao Ferreira pada bab terakhir novel Chinmoku memberikan
pandangan terhadap agama Kristen yang ada di Jepang. Agama Kristen di Jepang
sangat berbeda dengan agama Kristen di negara Eropa. Masyarakat Jepang
berpikir bahwa agama Kristen adalah bagian dari agama Budha seperti Zen. Selain
itu, masyarakat Jepang sebagian besar menganut Kristen hanya untuk
mendapatkan pencerahan dalam ilmu pengetahuan, sekolah, rumah sakit, dan
kesempatan belajar budaya Barat. Oleh karena itu, pemahaman mereka terhadap
agama Kristen hanya sebatas rasa ingin maju dan berkembang.
Varley (1984:148) menjelaskan bahwa selain keheningan novel Chinmoku,
novel ini juga berisi tentang kesepakatan Tuhan dengan masalah besar tentang
bagaimana Jepang mengadopsi atau menolak unsur-unsur budaya asing. Tokoh
utama Rodrigues, misalnya, memberi tahu bahwa ketika Jepang pada akhir abad
ke-16 tampaknya Jepang menerima kekristenan. Artinya, mereka benar mengubah
Allah Kristen menjadi dewa-dewa Jepang sendiri, dewa yang kompatibel dengan
tradisi keagamaan mereka. Menurut mereka, diam merupakan penyelidikan
intelektual penting dalam peminjaman budaya sebagai fenomena besar dalam
sejarah Jepang.
83
Diceritakan bahwa Ferreira melakukan murtad setelah ditangkap dan
disiksa, tetapi setelah kemurtadannya ia menjadi lebih berguna bagi negara
Jepang. Ferreira mendorong Rodrigues untuk murtad agar tidak mati sia-sia, dan
menyelamatkan banyak nyawa. Menurut Jhonston (dalam Endo, 2008:15), sejak
permulaan misi sampai dengan tahun 1632 meskipun mengalami siksaan
penyaliban, pembakaran, hukuman rendam, dan sebagainya, tidak ada misionaris
yang menyerah dan mengingkari iman mereka. Akan tetapi, prestasi ini tidak bisa
terus bertahan dan akhirnya pukulan hebat terjadi. Christovao Ferreira, mentor
berkebangsaan Portugis, memberikan tanda menyerah setelah enam jam
mengalami penyiksaan di dalam lubang. Penghianatannya yang begitu luar biasa
mungkin terlalu mempunyai arti terlalu penting, tetapi kenyataan bahwa dia
adalah pemimpin misi yang diakui menjadikan shock tersebut terasa kejam,
terlebih ketika terungkap bahwa kemudian dia bekerja sama dengan para mantan
penyiksanya.
Peneliti berpendapat bahwa penyebaran agama Kristen di Jepang pada
awalnya hanya untuk membawa doktrin baru dengan membantu orang-orang
tertindas di Jepang. Kondisi negara yang tengah perang untuk memperebutkan
kekuasaan mempermudah para pedagang asing datang selain berdagang juga
untuk menyebarkan agama Kristen. Kondisi masyarakat yang memprihatinkan
akibat tingginya pajak dan rasa tidak peduli dari para Bhiksu Buddha membuat
masyarakat kecil merasa tertindas dan tertekan. Namun, dengan adanya agama
Kristen diibaratkan air sejuk yang mampu melepas dahaga mereka selama ini.
Agama Kristen dianggap memberikan kasih sayang dan kehangatan manusiawi
84
yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Untuk pertama kalinya, mereka bertemu
orang-orang yang memperlakukan mereka sebagai manusia, bukan binatang yang
selalu dipaksa untuk bekerja. Kebaikan dan kemurahan hati para pastorlah yang
telah menyentuh hati mereka.
Paham strata sosial, pengetahuan, dan gaya hidup merupakan hal baru
yang bisa didapat dari para misionaris, tetapi dengan keharusan memeluk agama
Kristen. Misi para misionaris ini membuahkan hasil yang sangat besar. Hal itu
dapat dilihat dari penganut agama Kristen oleh para pejabat negara Jepang
termasuk Gubernur Inoue. Politik keagamaan dilakukan oleh negara Spanyol dan
Portugis demi persaingan perdagangan dengan negara Belanda dan Inggris.
5.2 Bentuk-Bentuk Wacana Politik Keagamaan dalam Novel Chinmoku
5.2.1 Bentuk Wacana Ancaman
Novel Chinmoku menggambarkan peristiwa-peristiwa penting sekitar abad
ke-16 hingga abad ke-17 seperti masuknya agama Kristen di Jepang hingga
berlakunya politik penutupan negara. Endo menggambarkan pengaruh agama
Kristen ke Jepang dan upaya-upaya yang dilakukan oleh para misionaris untuk
mengambil hati masyarakat Jepang. Hegemoni dalam bentuk penyebaran agama
oleh para pastor berkebangsaan Spanyol dan Portugis membawa pemikiran dan
harapan baru bagi masyarakat Jepang yang tengah berjuang untuk hidup. Menurut
Gramsci (dalam Faruk, 1994:69), agar dapat mencapai hegemoni idelogi harus
disebarkan. Penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui
lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk
85
sekolah dan pengajaran, sifat-sifat kelompok sosial yang mendominasi, dan
sebagainya.
Di pihak lain, pemerintah Jepang melakukan upaya-upaya untuk
menertibkan agama Kristen di Jepang. Konspirasi adanya isu-isu tentang pastorpastor yang ikut campur tangan telah diusir dari kerajaan Eropa. Hal ini
merupakan konflik religius yang tengah memecah belah Eropa bahkan hal
tersebut dibenarkan oleh orang-orang Inggris dan Belanda. Ajaran agama Kristen
mengandung unsur-unsur politik yang dianggap dapat merusak tatanan
pemerintah Jepang dalam misi penyatuan negara. Sehingga keputusan pengusiran
dan memusnahkan para kaum Kirishitan dinyatakan oleh Tokugawa Ieyasu
dengan alasan kaum Kirishitan datang untuk menguasai negeri Jepang. Adapun
kutipan yang terdapat dalam novel Chinmoku mengenai keputusan resmi
pemerintah yang mengancam akan memusnahkan para kaum Kirishitan.
Soshite saishūteki ni wa 1614 nen ni tsuihōrei ga kōfu sareta, gyangu no
Kirishitan ga ako no hōsoku o tekiyō suru koto o ito shite, Nihon ni kite irun to
nobete iru, karera wa kono koni o henkō suru koto ga deki, seifu ga koni zentai o
segyosuru yōni, shin no kyōgi o kutsugaesu tame no. kore wa hidoi saigai de,
shushi ga hakai sarenakereba naranai (Chinmoku, 1966:12).
Terjemahan :
Maka akhirnya pada tahun 1614 surat keputusan pengusiran diumumkan secara
resmi, menyatakan bahwa “gerombolan Kirishitan telah datang ke Jepang dengan
maksud menerapkan hukum yang jahat, untuk menjungkibalikkan doktrin sejati,
sehingga mereka bisa merubah pemerintahan negeri ini, dan menguasai seluruh
negeri. Ini merupakan bibit malapetaka dahsyat dan mesti dimunaskan”.
Berdasarkan penelitian di atas kekhawatiran Tokugawa Ieyasu memiliki
alasan yang kuat demi menjaga negara Jepang dari ancaman penjajahan.
Kekhawatiran ini mengakibatkan masyarakat Jepang penganut kaum Kristen dan
86
para misionaris harus mengalami berbagai kecaman dan ancaman. Dengan
kekuasaan yang dimilikinya, Ieyasu mengeluarkan kebijakan untuk mengusir dan
melarang penyebaran agama Kristen demi stabilitas negara Jepang. Keberadaan
agama Kristen dianggap dapat menjukirbalikkan doktrin sejati yang telah lama
menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat. Doktrin sejati yang dimaksudkan
adalah sistem strata sosial masyarakat yang telah dibagi beberapa golongan dan
konsep kesetiaan dan kehormatan terhadap Kaisar. Dalam pandangan Ieyasu, jika
doktrin sejati tersebut di gantikan dengan doktrin agama Kristen akan terjadi
pemberontakan-pemberontakan untuk menentang kepemimpinan Ieyasu.
Menurut
Parsons
(dalam
Budiardjo,
2006:63)
kekuasaan
adalah
kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat,
oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah
sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka
pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang
melaksanakan pemaksaan itu. Sesuai dengan pernyataan Parsons, Ieyasu telah
menjalankan kekuasaannya sebagai pemimpin tertinggi pada masa itu, setelah
mengeluarkan perintah pengusiran para misionaris Ieyasu mengancam akan
membunuh para penganut agama Kristen Jepang jika mereka tidak segera
meninggalkan agama Kristen. Kewajiban yang dimiliki masyarakat Jepang adalah
mengikuti setiap kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh Ieyasu.
Tokoh yang memiliki peranan besar dalam eksekusi para kaum Kristen di
Jepang adalah Gubernur Chikugo yakni, Inoue. Inoue dalam novel Chinmoku
telah berhasil menciptakan hukuman-hukuman untuk masyarakat yang tetap
87
mempertahankan agama Kristen dan para misionaris yang bersikeras untuk tetap
berada di Jepang. Ancaman-ancaman pun dilakukan bagi setiap desa yang berani
menyembunyikan jati diri mereka sebagai umat Kristen baik dengan hukuman
siksaan atau hukuman mati. Berikut ini adalah kutipan dalam novel Chinmoku
tentang ungkapan perasaan penganut agama Kristen di Desa Tomogi.
“Ima wa washira ni wa, nani mo de kimasen. Washira ga Kirishitan de aru to
wakareba yasaremasu” (Chinmoku, 1966:40).
Terjemahan :
Kami tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kalau sampai ketahuan bahwa kami
penganut Kristen, kami semua akan dibunuh.
Kutipan ini merupakan ungkapan rasa khawatir penduduk Desa Tomogi
akibat ancaman dari pemerintah Jepang yang akan membunuh orang-orang
penganut Kakuren Kirishitan. Desa Tomogi adalah desa penganut Kakuren
Kirishitan yang terorganisasi dengan baik. Penduduk desa itu mengorganisasi
suatu perkumpulan agama Kristen secara rahasia di bawah situasi ketatnya
larangan pemerintah terhadap agama Kristen dan pemeluknya. Mereka harus
menjaga rapat-rapat kekristenan yang telah menjadi kepercayaan yang baru.
Bahkan dengan kedatangan Rodrigues dan Garrpe ke Desa Tomogi merupakan
kehidupan mereka diliputi rasa khawatir yang mendalam. Menurut Ali (1981:12),
pemerintah Tokugawa memutuskan melarang agama Kristen karena dalam
pandangan pemerintah pada waktu itu masuknya agama Kristen semata-mata
sebagai selubung usaha kekuasaan asing yang bermaksud menaklukkan Jepang.
Pemerintah menuduh agama tersebut telah memperkecil dan meremehkan arti
kesetiaan terhadap kaisar dibandingkan dengan kesetiaan terhadap Tuhan Yesus.
88
Kehidupan Desa Tomogi sejenak berubah akibat terbongkarnya informasi
bahwa penduduk Desa Tomogi telah menyembunyikan keberadaan dari Rodrigues
dan Garrpe. Informasi yang didapatkan oleh pemerintah Jepang menimbulkan
kekhawatiran para penduduk Desa Tomogi, hingga tiba saatnya seorang samurai
datang dan mengancam akan mengambil sandera jika penduduk Desa Tomogi
tidak memberitahu tentang para penganut agama Kristen. Berikut kutipan tentang
ancaman dari seorang samurai yang memaksa penduduk Desa Tomogi untuk
mengatakan terus terang tentang orang-orang penganut agama Kristen.
Dare mo ga sotchaku ni anata ni tsutaetai baai wa, korera wa no hitobito no
dare mo ga, kare wa okurimono to shite gin hyaku mai o uketorimasu. Anata wa
mitomezaru o shitakunainara, anata wa kekka o futansuru hitsuyō ga (Chinmoku,
1966:76).
Terjemahan :
Kalau ada yang mau mengatakan terung terang, siapa saja orang-orang ini, dia
akan menerima seratus keeping perak hadiah. Tapi kalau kalian tidak mau
mengaku, kalian harus menanggung segala akibatnya. Setelah tiga hari, kami
akan mengambil satu sandera lagi. Pikirkanlah baik-baik!
Selain samurai tokoh sang penerjemah dalam Novel Chinmoku juga
memiliki peranan penting yakni, sebagai orang yang mengantarkan Rodrigues
kepada orang-orang Jepang penganut agama Kristen yang tengah disiksa. Sang
penerjemahkan meyakinkan agama Kristen tidak memiliki tempat yang baik di
Jepang, terlihat dari orang-orang yang disiksa dan dibunuh jika tidak mengingkari
iman mereka. Adapun kutipan ancaman sang penerjemah kepada Rodrigues untuk
mengingkari imannya demi menyelamatkan orang-orang yang disiksa.
Honyaku sha wa shinkokyū o totta, anata no shinkō o hitei shitakunai baai. Kare
wa, nomin ga ana no naka ni hanguappu ni naru to iu (Chinmoku, 1966:142).
Terjemahan :
89
Kalau anda tidak mau menyangkal keyakinan anda, katanya. Para petani itu akan
digantung di dalam lubang.
Kutipan di atas menyiratkan perasaan benci sang penerjemah yang merasa
tidak dapat dibodohi oleh ajaran agama Kristen. Para petani dan keluarga mereka
bisa dibodohi tentang kasih Tuhan yang maha pengampun yang memberikan jalan
penderitaan menuju surga. Selama mengantar Rodrigues bertemu dengan orangorang yang disiksa dan dibunuh, perdebatan tentang konsep ajaran agama Kristen
di ucapkan oleh sang penerjemah. Sang penerjemah merupakan orang yang
pernah mempelajari agama Kristen di seminari sebelum agama Kristen di larang
penyebarannya. Sang penerjemah menunjukkan penyiksaan yang diciptakan oleh
Inoue seperti yang disebutkan dalam kutipan di atas, yakni hukuman gantung.
Hukuman gantung ialah para petani akan digantung dengan posisi kepala di
bawah di dalam lubang selama beberapa hari. Ancaman yang diterima oleh para
misionaris dan orang Jepang penganut agama Kristen merupakan kebijakan yang
dibuat untuk mengurangi jumlah penganut agama Kristen di Jepang.
Menurut Budiardjo (2006:15--20), kebijakan adalah suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha
memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang
membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut peraturan
sumber daya alam perlu memiliki kekuasaan serta kewenangan. Kekuasaan ini
diperlukan, baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik
yangn mungkin timbul. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat menyakinkan dan
90
jika perlu bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan
perumusan keinginan belaka.
Berdasarkan penjelasan dan kutipan di atas peneliti menganalisis bentuk
wacana ancaman yang didominasi oleh pemerintah Jepang dengan memberi
berbagai ancaman kepada para penganut agama Kristen di Jepang. Ancaman
dilakukan untuk membuat orang-orang penganut agama Kristen meninggalkan
agama tersebut. Ancaman yang dilakukan kepada Rodrigues untuk memberikan
pengertian terhadap budaya masyarakat Jepang tidak bisa menyerap dan menganut
ajaran agama Kristen yang selama ini di dalam pikirannya bisa berkembang di
Jepang. Pemerintah Jepang melakukan berbagai ancaman untuk mengembalikan
masyarakat Jepang kepada budaya dan agama yang sudah ada di Jepang. Mereka
tak segan-segan akan menyekap, menyiksa, dan membunuh untuk membuat
orang-orang Jepang penganut agama Kristen taat pada kebijakan-kebijakan yang
telah ditentukan oleh pemerintah Jepang.
5.2.2 Bentuk Wacana Perlawanan
Kebijakan pelarangan agama Kristen di Jepang menimbulkan pro dan
kontra dikalangan masyarakat Jepang. Sebagian merasa setuju karena banyak
keluarga mereka telah mati akibat disiksa dan menyalahkan para misionaris serta,
sebagian merasa tidak setuju karena para misionaris adalah orang-orang yang
telah membantu mereka dalam berbagai hal. Perlawanan para penganut agama
Kristen pernah terjadi namun dalam skala kecil dan berhasil di redam oleh
pemerintah Jepang. Akibat perlawanan yang sering terjadi, penyiksaan dan
pembunuhan terhadap penganut agama Kristen mulai brutal. Puncak dari
91
penolakan agama Kristen yaitu terjadi perlawanan besar-besaran dalam sejarah
Jepang yang disebut sebagai pemberontakan Shimabara.
Dalam novel Chinmoku, pemberontakan Shimabara di ceritakan sebagai
peristiwa sejarah sebelum kedatangan Rodrigues dan Garrpe ke Jepang. Menurut
Jhonston (dalam Endo, 2008:15) pemberontakan Shimabara merupakan
kemunduran dalam Kristianitas. Akibat pajak yang tinggi yang tak kenal belas
kasihan dan penindasan oleh magistrat Nagasaki, pemberontakan tersebut kelak
menjadi manifestasi iman Kristen, para anggotanya membawa panji-panji
bertuliskan “Terpujilah Sakramen yang Paling Suci”, sambil meneriakkan nama
Yesus dan Maria. Pemberontakan ini ditumpas dengan kekejaman luar biasa, dan
Tokugawa yang merasaa yakin pemberontakan semacam itu hanya mungkin
terjadi dengan bantuan pihak luar, memutuskan untuk mengakhiri sepenuhnya
segala ikatan dengan Portugal dan menutup negeri mereka dari dunia luar.
Nurhayati (1987:24), menjelaskan pemberontakan Shimabara terjadi atas
ketidakpuasan para kaum petani dan kelompok samurai atas meningkatnya pajak
tanpa ada peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemberontakan tersebut merupakan
bentuk protes yang mereka lakukan untuk menentang pemerintah Tokugawa yang
mendeklarasikan anti Kristen. Akibat kerasnya penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah Jepang membuat banyak daimyō menjadi penganut Kristen yang setia.
Mereka mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang asing dan
menyebarkan agama Kristen didaerah kekuasaannya. Lambat laun gerakan
Kristen ini berubah menjadi gerakan anti Shōgun. Penyebaran agama Kristen yang
begitu pesat dalam waktu singkat menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah
92
Jepang. Terlihat dari pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan yang
dilakukan oleh penganut agama Kristen yang menggambarkan puncak dari
keinginan masyarakat Jepang untuk bebas dari segala tuntutan hidup. Seperti,
pajak yang tinggi, kehidupan yang diatur dalam beberapa golongan dan
pencerahan rohani yang tidak pernah didapat dari pendeta Buddha. Atas bantuan
dan doktrin dari bangsa asing keberanian para penganut Kristen di Jepang yang
terdiri dari para petani miskin mulai muncul dan menunjukkan sikap anti Shōgun.
Danandjaja (1997:168), menambahkan dalam waktu singkat penyebaran
agama Kristen segera mendapat dukungan dari para penguasa militer setempat
yang ingin memetik keuntungan dari kebudayaan Barat, terutama dari teknologi
miter dalam rangka pergulatan mereka dengan penguasa militer negara
tetangganya. Adanya isu-isu penjajahan militer dan politik oleh negara-negara
Barat mulai meresahkan pemerintah Shogun Tokugawa. Pengaruh para misionaris
sangat signifikan dan membuat masyarakat sangat tertarik. Banyak di antaranya
para pejabat, tuan tanah, dan samurai yang menganut agama Kristen, entah karena
ingin lebih dekat dengan Tuhan atau hanya sekadar ingin memiliki barang-barang
dari negara Barat. Pendekatan dengan para pejabat negara dilakukan oleh kaum
misionaris
dengan
cara
memberikan
hadiah-hadiah
untuk
mendapatkan
perlindungan selama melakukan misi penyebaran agama Kristen.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menganalisis bahwa Endo
mengangkat peristiwa pemberontakan Shimabara dalam novel Chinmoku sebagai
rentetan peristiwa penting sejarah agama Kristen di Jepang. Novel Chinmoku
merupakan karya sastra yang banyak memberikan gambaran-gambaran kehidupan
93
masyarakat Jepang dalam menentukan jati diri dan mencari kebudayaan asli
Jepang. Selama ini Jepang banyak dipengaruhi oleh budaya China, Korea,
Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugal sehingga budaya Jepang tertelan oleh
budaya negara lain. Selain itu implementasi Endo terhadap karya sastra novel
Chinmoku merupakan cara Endo untuk menyampaikan pengaruh agama Kristen
terhadap dirinya sendiri. Elizabeth dan Tom Burns (dalam Endaswara, 2011:79),
menjelaskan bahwa sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan
sosial budaya untuk mendapatkan fakta sejarah masa lalu. Karya sastra memang
sering kali terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Budiman (2006:11) menjelaskan bahwa Endo dalam pengalamannya
untuk menerima Barat tidak hanya menerima perbedaan gaya kebudayaan Barat
dan Jepang, tetapi juga memperhatikan tradisi spiritual orang Eropa yang melihat
sejarah panjang Eropa dengan mata tajam sebagai umat agama Katolik. Dari sikap
tersebut dapat dikatakan bahwa Endo sebagai cendekiawan beragama mempunyai
perhatian pada nilai pandang Katolikisme subjektif. Hal itu berarti bahwa ia
memadamkan perbedaan jiwa orang Jepang yang panties dan orang Barat yang
monoteis.
Dalam novel Chinmoku, tokoh Ichizo, Mokichi, dan Garrpe merupakan
tokoh yang melakukan perlawanan dalam bentuk penolakan untuk meninggalkan
agama Kristen dan memilih untuk mati sebagai martir. Diceritakan ditempat
berbeda Ichizo dan Mokichi ditangkap dan disiksa setelah menolak untuk
meludahi patung Yesus dan menyerukan Bunda Maria sebagai pelacur.
Sedangkan Garrpe melakukan tindakan penyelamatan kepada para petani yang
94
dibuang ke dalam laut hingga membuat Garrpe terbunuh. Adapun kutipan dari
perlawanan yang dilakukan oleh Mokichi dan Ichizo.
Saa, anata ni wa ue no tsuba shitakunai desuka? Anata ga chūmon dori no
supichi o mane shitakunai desuka? Fumie ryōte de sore otoru ichi san shi,
shokuin ga ushiro kara osarete imasuga, kare wa muryokuna kare ni tsuba o
shiyou to shito ga hanmei shita jōtai de. Kare wa sore o okonau koto ga
dekimasen deshita (Chinmoku, 1966:85).
Terjemahan :
Ayolah. Kalian tidak mau meludahi?kalian tidak mau menirukan ucapan seperti
yang diperintahkan?. Ichizo mengambil fumie itu dengan kedua tangannya, dan
dengan didorong-dorong dari belakang oleh para pejabat, dia mencoba meludahi
tapi ternyata dia tak berdaya. Dia tak sanggup melakukannya.
Karena didesak-desak oleh para pejabat tersebut membuat Mokichi yang
menyaksikan kejadian tersebut menitikkan air mata dan mengalir di pipinya.
Penolakan yang ditunjukkan oleh Mokichi dan Ichizo membuat para pejabat
semakin geram dan memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya
mereka berdua mengakui terus terang bahwa mereka memang penganut agama
Kristen. Setelah kejadian tersebut Mokichi dan Ichizo dipenjarakan selama
sepuluh hari di penjara Sakuradai hingga tiba akhirnya mereka di eksekusi.
Kematian dari Mokichi dan Ichizo merupakan contoh dari orang-orang Jepang
penganut agama Kristen yang tetap teguh mempertahankan keyakinan mereka dan
menolak untuk melakukan fumie serta memilih mati sebagai bagian dari
penyelamatan Yesus.
Perlawanan dalam aksi penolakan terhadap keputusan pemerintah Jepang
dilakukan oleh Garrpe, sebelum terjadinya eksekusi Garrpe menolak dengan tegas
permintaan pemerintah Jepang yang memaksanya untuk melakukan murtad. Pada
hari eksekusi Garrpe dihadapkan pada pengorbanan para petani Kristen yang
95
harus mati akibat kekukuhan hatinya untuk tetap mempertahankan agama Kristen.
pemerintah Jepang menekankan jika Garrpe adalah pastor yang memiliki belas
kasihan Kristen sejati, seharusnya Garrpe menaruh iba kepada para petani tersebut
tidak hanya berdiam diri melihat mereka mati. Akhirnya para petani tersebut di
eksekusi dengan membuang mereka ke laut yang dalam, hal ini membuat Garrpe
memutuskan untuk ikut terjun bersama petani tersebut. Keputusan Garrpe untuk
ikut terjun merupakan bentuk perlawanannya menolak untuk murtad. Berikut
kutipan tentang keberanian Garrpe yang ikut terjun demi petani Kristen tersebut.
Garrpe sudeni umi ni rannyūshi, kare wa kare ga mizu no naka ni mi o nageta
kare no ude o nobashi jikkoshimasu. Oyoide iru ma, kare wa nanika o sakenda,
omo wa watashitachi no inori o kitte imasu. Yori kasukara kurokami heddo
Garrpe, nani oboreta toki (Chinmoku, 1966:210).
Terjemahan :
Garrpe sudah lari menghambur ke laut, dan sambil merentangkan kedua
lengannya dia menceburkan diri ke air sambil menriakkan “Tuhan dengarkanlah
doa kami” sayup-sayup kepala Garrpe yang berambut hitam tenggelam ditengahtengah ombak.
Bentuk wacana perlawanan dalam novel Chinmoku tergambarkan dari
peristiwa-peristiwa yang di jelaskan di atas. Perlawanan yang mereka lakukan
merupakan bukti kesetiaan mereka terhadap Tuhan Yesus. Keyakinan yang begitu
kuat hingga membuat mereka rela mengorbankan nyawa demi menuju
kebahagiaan yang telah lama mereka nantikan. Pemberontakan Shimabara
merupakan titik puncak perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang
penganut agama Kristen. Pemberontakan ini mengakibatkan pemerintah Jepang
mengambil kebijakan penutupan negara yang berarti menutup seluruh aktivitas
baik perdagangan, pertukaran pelajar, dan penyebaran agama. Kekuasaan dalam
96
pemerintah Tokugawa memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan
yang mengarah pada perlindungan negara Jepang dari pengaruh negara lain.
5.2.3 Bentuk Wacana Negosiasi
Pemerintah Jepang mengadakan pendekatan dengan para misionaris
dengan tujuan untuk memusnahkan akar-akar kekristenan. Selain itu, pemanfaatan
ilmu pengetahuan juga menjadi pertimbangan untuk mendekati para misionaris.
Negosiasi merupakan jalan untuk menciptakan proses saling pengertian dan saling
membutuhkan dalam mencapai tujuan masing-masing. Pada novel Chinmoku,
pemerintah Jepang memilih untuk bernegosiasi kepada misionaris dengan
keputusan mereka harus meninggalkan agama Kristen lalu menyampaikannya
kepada Gereja Roma untuk tidak mengirim misionaris lagi ke Jepang. Sebagai
gantinya para misionaris yang setuju tidak akan dibunuh melainkan diberikan
pekerjaan, rumah tinggal, serta istri dan menetap di Jepang.
Gubernur Inoue, merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh
besar dalam pelaksanaan hukuman bagi para pastor asing untuk melakukan
murtad dalam novel Chinmoku. Pemikirannya terhadap agama Kristen tidak
buruk, tetapi akibat dari doktrin-doktrin tersebut bertujuan untuk menaklukan
Jepang. Baginya, agama Kristen digunakan untuk memengaruhi masyarakat
Jepang yang merasa tidak mendapatkan keadilan dan mempermudah doktrin itu
masuk dan mengacaukan negara. Berikut ini adalah kutipan tentang proses
negosiasi antara Inoue dan Rodrigues pada pertemuan kedua mereka.
“Padore no shūshi sono mono no seija o agetsurōte aru no dewanai. Esupania no
kuni, Porutogaru no kuni, sono hoka moromoro no kuni ni wa, padore no shūshi
wa tashikani o kinsei ni shita no wa jūjū, kankō no kekka, sono kyōe ga ima no
nihon kuni ni wa muyaku to mou dakara de aru” (Chinmoku, 1966:170)
97
Terjemahan
Bapa, kami tidak mempermasalahkan benar atau salahnya doktrin-Mu. Di
Spanyol dan Portugal dan negeri-negeri lain semacamnya, doktrin itu mungkin
benar. Kami melarang Kristianitas di Jepang adalah setelah menimbang-nimbang
dengan saksama dan mendalam, kami mendapati ajaran itu tidak ada gunanya
untuk Jepang masa kini.
Budiman (2006:33) berpendapat bahwa Inoue mengerti, yaitu bagi orang
Kristen, martir adalah suatu kemuliaan di mata Tuhan. Sehubungan dengan itu, ia
menghalangi para misionaris memilih mati sebagai martir agar pengikut Kristen
lainnya tidak mengagumi cara itu. Jika misionaris murtad, penganut agama itu
akan merasa kecewa atas kelakuan pastornya. Tujuan Inoue tidak membunuh,
baik penganut biasa maupun misionaris, tetapi ia menyiksa atau membujuk
mereka agar memilih murtad dari agamanya dan mengganti agamanya dengan
agama Budha. Pokok-pokok bujukan Inoue kepada para pastor ialah soal agama
Jepang dan agama Kristen yang bertentangan. Inoue berkata bahwa agama Kristen
tidak bisa berakar di tanah Jepang karena Jepang adalah rawa lumpur bagi agama
Kristen dan keberadaan agama Kristen juga mengganggu negara Jepang.
Berdasarkan kutipan dan pernyataan di atas, diketahui bahwa pengaruh
agama Kristen tampaknya memberikan kontribusi yang tidak baik dalam sudut
pandang pemerintah Jepang. Sebaliknya, sudut pandang tentang agama Kristen
oleh golongan masyarakat kecil merupakan suatu pencerahan yang telah lama
dinanti. Perbedaan sudut pandang terjadi akibat dari pemikiran-pemikiran yang
dirasakan kurang diterapkan di masyarakat Jepang. Pemerintah menyadari
dampak buruk dari pengaruh agama Kristen karena memudahkan masuknya
angkatan bersenjata negara Spanyol, tetapi berbeda halnya dengan masyarakat
98
kecil yang tidak berpendidikan. Mereka dengan mudah menerima orang-orang
asing karena bentuk perhatian yang diberikan melebihi dari para pendeta Buddha.
Tujuan Inoue bernegosiasi para pastor untuk murtad pun menurut peneliti hanya
kamuflase. Dikatakan demikian karena setelah murtad para pastor tidak diizinkan
pulang ke negaranya tetapi harus menetap di Jepang dan bekerja untuk negara
Jepang.
Gubernur Inoue terus meyakinkan para pastor termasuk Rodrigues bahwa
agama Kristen tidak akan bisa berkembang di Jepang. Perkembangan agama
Kristen di Jepang hanya bersifat sementara karena orang Jepang mengadopsi
ajaran agama Kristen masuk ke versi pemikiran orang Jepang. Persaingan negaranegara Eropa saling ingin menguasai Jepang membuat pemerintah Jepang menjadi
lebih waspada. Negeri-negeri Protestan, seperti Inggris dan Belanda saling iri
akan kemajuan lawannya, yaitu negeri-negeri Katolik, seperti Spanyol dan
Portugal. Mereka saling memfitnah dan memburuk-burukkan satu sama lain di
depan pihak Jepang. Bahkan, dalam penyebaran agama Kristen, mereka melarang
orang-orang Kristen Katolik bergaul dengan bangsa Inggris dan Belanda.
“Esupania, Porutogaru, Oranda, Egeresu to sore zore na noru onnatachi ga
Nihon to sarusu otoko no mimi ni, yotogi no tabi, tagai no waruguchi o chuiki
komi shenshitena” (Chinmoku,1966:190).
Terjemahan :
Spanyol, Portugal, Belanda, Inggris, dan perempuan-perempuan lain semacam itu
tidak henti-henti membisikkan cerita bernada fitnah karena saling cemburu ke
telinga laki-laki Jepang.
Perang posisi oleh negara Barat membuat pemerintah Jepang memikirkan
strategi agar tidak terlibat dalam perang ini. Penguasaan negara Jepang oleh
99
bangsa Barat dilakukan dengan mengadakan hubungan sosial perdagangan dan
penyebaran agama. Cara ini dianggap efektif karena kekuasaan akan merata ke
seluruh masyarakat sipil dan mempermudah masuknya pengaruh Barat. Menurut
Simon (1999:28), masyarakat sipil adalah suatu wadah di mana kelompokkelompok sosial yang lebih rendah dapat menyusun perlawanan mereka dan
membangun hegemoni alternatif dan merupakan wadah perjuangan kelas dan
perjuangan demokrasi kerakyatan. Kutipan di atas mendeskripsikan pengaruh
negara-negara asing terhadap Jepang melalui doktrin-doktrin yang bisa membuat
tergulingnya rezim Tokugawa. Peneliti berpendapat bahwa pernyataan tentang
kutipan di atas dilontarkan oleh Inoue kepada Rodrigues untuk menyampaikan
adanya kabar tentang persaingan antarnegara untuk memperluas wilayah mereka.
Sebelum mendatangi Jepang, Rodrigues sudah mendengar kabar tersebut di Goa
dan Macao bahwa negeri-negeri tersebut bersaing untuk memperluas wilayahnya.
Negosiasi yang dilakukan oleh Gubernur Inoue ialah menjelaskan kepada
para pastor asing tentang perbedaan pemikiran agama Jepang dengan agama
Kristen dan pengaruh buruk yang dibawa oleh agama Kristen. Seperti kutipan di
bawah ini, yang menegaskan bahwa orang Jepang sebaiknya meyakini apa yang
sudah menjadi tradisi turun temurun dan meninggalkan keyakinan yang baru saja
disebarkan agar formasi kesetiaan dan kehormatan terhadap kaisar tetap dapat
dijaga sebagai bentuk kebudayaan dan keyakinan asli negera Jepang.
“Dagana, Padore, Nihon to shensu otoko wa, wazawaz, ikoku no hiyoshyō o
senbazu tomo, onna ji kuni ni namare, kigokoro chireta nihon no onna to yuibu
no ga saijō to omo warenuka” (Chinmoku, 1966:192)
100
Terjemahan
Bapa, tidaklah lebih baik kalau laki-laki Jepang ini berhenti memikirkan
perempuan-perempuan dari negeri-negeri Asing? Bukankah lebih baik ia
mengawini perempuan yang lahir di negeri yang sama dengannya, perempuan
yang bersimpati terhadap pola berpikirnya?
Pemikiran Barat dan Timur memiliki perbedaan, baik dari segi gaya hidup
maupun pengaruh karakteristik. Peneliti berpendapat bahwa penyebaran agama
Kristen di Jepang diyakini merupakan suatu penyebaran agama yang suci seperti
pada umumnya. Kedatangan Rodrigues dan pendahulunya Ferreira ke Jepang
mengatasnamakan misi keagamaan memang telah dilakukan. Hal itu terlihat dari
perjuangan Ferreira yang telah hidup di Jepang selama tiga puluh tiga tahun
berhasil meyakinkan gereja Roma untuk membangun sekolah-sekolah, seminariseminari, dan rumah sakit. Begitu juga dengan Rodrigues yang telah bertaruh
nyawa datang ke Jepang hanya untuk mengemban misi mengkristenkan Jepang.
Jika dilihat dari perjuangan kedua pastor ini, bisa dikatakan bahwa politik
keagamaan ada karena orang-orang tertentu yang ingin menguasai Jepang seperti
kerajaan Spanyol. Kepercayaan yang diberikan kepada para misionaris
dimanfaatkan untuk kepentingan kerajaan yang ingin menguasai Jepang sehingga
pemerintah Jepang merasa bahwa misionaris memberikan doktrin untuk
melakukan perlawanan yang bisa memecah belah negara Jepang.
Endo dalam novel Chinmoku tercermin dari peristiwa sejarah Jepang
terfokus pada pelarangan agama Kristen dan masuknya para misionaris berkedok
sebagai pedagang. Pedagang asing membawa pengaruh budaya baru yang lebih
modern sehingga menjadi hal yang menarik hati masyarakat Jepang. Karya sastra
novel Chinmoku terinspirasi dari kehidupan Endo sebagai seorang Kristen dan
101
kehidupan keturunan dari orang-orang penganut Kristen bersembunyi pada masa
pemerintahan Tokugawa. Endo yang hidup pada masa zaman Meiji berhasil
mengimplementasikan situasi negara Jepang pada zaman Sengoku secara nyata,
berdasarkan surat-surat dan data-data sejarah yang diperoleh terciptalah karya
sastra sebagai manifestasi sejarah.
Laurenson dan Swingewood (1971) (dalam Endaswara, 2011:79),
menjelaskan terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra. Pertama,
penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya terefleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Kedua, penelitian
ini mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi zaman. Ketiga, penelitian yang
menangkap sastra sebagai manifestasi sejarah dalam keadaan sosial budaya.
Pengertian masyarakat Jepang tentang agama Kristen tidak seutuhnya
dapat diserap dengan baik. Mereka menganggap agama Kristen merupakan bagian
dari agama Buddha sehingga memunculkan polemik baru penyerapan agama
Kristen ke dalam pola pikir masyarakat Jepang. Berikut ini adalah kutipan tentang
proses negosiasi antara Ferreira yang telah murtad dan Rodrigues. Ferreira
berusaha meyakinkan Rodrigues bahwa konsep ajaran agama Kristen yang ia
yakini berbeda dengan konsep ajaran agama Kristen yang di yakini oleh
masyarakat Jepang. Hal tersebut terbukti dari konsep-konsep ketuhanan yang
telah disalah artikan.
“Deusu to Dainichi to kondō shita Nihon jin wa sono toki kara wareware no
kami o kareraryū ni kussetsusase henka sase, soshite betsu no mono o sakuri age
hajimeta noda o kotoba no konran ga naku atta atomo, kono kussetsu henka to
wa hisoka ni zoke rare, omae ga sakki ro ni deshita fukyō ga motto mo hana ya
kana toki de saemo Nihon jin tachi wa Kirisutokyō no kami dewa naku, karera ga
kusstesusastea mono o shinjiteita no da” (Chinmoku, 1966:233).
102
Terjemahan :
Sejak awal, orang-orang Jepang ini sudah mencampuradukkan antara ‘Deus’ dan
‘Dainichi’, dan mereka juga mengubah dan memelesetkan Tuhan kita, dan
menciptakan sesuatu yang berbeda. Bahkan, pada masa-masa kejayaan misionaris
yang kau sebutkan itu, bukan Tuhan orang Kristen yang dipercayai orang-orang
Jepang ini, melainkan Tuhan rekaan mereka sendiri.
Budiman (2006:188) menegaskan bahwa Ferreira telah menjelaskan
gagasan, baik ‘Deus’ maupun Tuhan menurut orang Jepang tidak sama dengan
Eropa. Orang Jepang tidak mampu memikirkan gagasan Tuhan yang sama sekali
asing dari manusia. ‘Dainichi’ (dari Sanskrit: Vairocana) yang berasal dari India
adalah salah satu nyorai (dari Sanskrit: Tathagata) yang berstatus Buddha hosshin.
Namun, sifat dewa sinar dan matahari dari ‘Dainichi’ sinkretik dengan Dewi
Amaterasu Oomikami yang bersosok feminisme. Oleh karena itu, pada waktu
tidak ada pemimpin agama Kristen pada zaman Tokugawa, tidak mengherankan
kaum Kirishitan salah memahami inti Tuhan agama Kristen dan mereka
menyesuaikan ‘Deus’ dengan sistem agama di Jepang.
Masih tentang pendapat Budiman (2006:180) yang menguraikan
pemikiran agama-agama di Jepang, Rodrigues sebagai tokoh utama yang telah
tinggal dan mempelajari tingkah laku orang Jepang mulai terpengaruh oleh
berbagai agama di Jepang. Pemikiran Rodrigues dipicu oleh kematian Mokichi
dan Ichizo yang terus menyanyikan lagu paraiso 20 ketika mereka menghadapi
kematian sebagai martir. Menurut kepercayaan kedua orang itu, bila mereka mati,
mereka tidak hanya akan bertemu dengan Tuhan Yesus, tetapi juga dengan para
20
Paraiso adalah salah satu ‘oratio nyanyian’ (uta orasio) bahasa Jepang yang diwariskan di
daerah Pulau Ikitsuki di Nagasaki sampai sekarang, di samping tiga oratio nyanyian bahasa latin
yang berasal dari lagu gereja Gregorius Roma. Lagu itu memuji para martir dengan harapan
mereka akan masuk kuli di surga (Budiman, 2006:185).
103
leluhur mereka. Hal itu menguatkan tekad mereka untuk menjadi martir. Sendra
(2008:37) menambahkan bahwa pemujaan terhadap leluruh dan roh merupakan
perwujudan dari salah satu sikap dan tingkah laku orang Jepang. Sebelum
masuknya agama Kristen orang Jepang percaya bahwa manusia ini terdiri atas dua
unsure, yaitu badan yang disebut karada dan jiwa disebut tama. Sukma yang
terlepas dari badan disebut roh atau reikon. Manusia lahir dengan tama dan ketika
mati tama itu meninggalkan badan. Oleh karena itu, orang Jepang meyakini
bahwa dengan pergi ke surga mereka dapat bertemu dengan para roh leluhur
untuk hidup bersama lagi dengan damai.
Ferreira, sebagai mantan misionaris yang telah lama tinggal di Jepang
memberikan penjelasan logis kepada Rodrigues untuk menyerah dan membuang
mimpinya untuk mengkristenkan Jepang. Adapun salah satu kutipan pernyataan
Ferreira yang menegaskan bahwa agama Kristen yang ia dan Rodrigues yakini
sejak lahir tidak sama dengan agama Kristen yang dipahami oleh masyarakat
Jepang. Keyakinan itu muncul setelah ia melewati semua penderitaan yang
dialaminya.
“Hokoru? Moshi, Nihon jin tachi ga, watashi no kyōeta kami o shinjite ita
narana. Daga, kono kuni de wareware no tateta kyōkai de Nihon jin tachu ga
inoritte ita no wa Kirisutokyō no kami dewanai. Watashitachi hi wa rikai de kinu
kareraryū ni kussetsusareta kami datta. Moshi are o kami to iu nara” (Chinmoku,
1966:234-235).
Terjemahan :
Bangga? Ya, kalau orang-orang Jepang itu akhirnya percaya kepada Tuhan
seperti yang kita ajarkan. Tetapi di gereja-gereja yang kita bangun di seluruh
penjuru negeri ini, orang-orang Jepang itu bukan berdoa kepada Tuhan-nya orang
Kristen. Mereka memutarbalikkan Tuhan menurut jalan pikiran mereka sendiri,
dalam cara yang takkan pernah bisa kita bayangkan. Kalau itu kausebut Tuhan...
104
Berdasarkan pernyataan dan kutipan di atas secara keseluruhan diketahui
bahwa bentuk wacana negosiasi dalam novel Chinmoku berdasarkan penelitian ini
adalah proses negosiasi antara pemerintah Jepang dengan Rodrigues serta Ferreira
dan Rodrigues untuk menjelaskan adanya perbedaan konsep pemikiranlah pemicu
adanya konflik berkepanjangan antara pemerintah Jepang dan para misionaris.
Pemikiran-pemikiran orang Jepang tentang konsep leluhur, roh, dan surga menjadi
kepercayaan turun temurun bagi seluruh generasi. Pemikiran Rodrigues yang
kental tentang akan kepercayaannya terhadap Kristus membawanya datang ke
Jepang dengan keyakinan bahwa agama Kristen akan terus berkembang di Jepang.
Namun, jauh sebelum pemikiran itu telah dipatahkan oleh Ferreira yang datang
lebih dahulu ke Jepang. Agama Kristen tidak sepenuhnya dapat berkembang
karena tidak diserap dengan baik oleh kaum Kirishitan. Mereka mencocokkan
agama Kristen dengan kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Perkembangan
para misionaris dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang ingin menguasai Jepang.
melalui doktrin Kristen. Bahkan, Varley (1984:148) menegaskan bahwa Tuhan
agama Kristen mengalami masalah yang besar tentang bagaimana Jepang
mengadopsi atau menolak unsur-unsur budaya asing. Inkuisitor Rodrigues,
misalnya, memberitahukan bahwa pada akhir abad ke-16 Jepang tampaknya
menerima kekristenan. Mereka mengubah Allah Kristen menjadi dewa mereka
sendiri, dewa yang kompatibel dengan tradisi keagamaan mereka.
Danandjaja (1997:169) menambahkan bahwa walaupun para pendeta
Kristen dari semua denomasi, baik golongan Katolik maupun Protestan, telah
berusaha keras, dalam seratus tahun ini mereka hanya menasranikan tidak lebih
105
dari satu juta orang atau kurang dari satu persen dari seluruh penduduk Jepang.
Penyebab kegagalan meningkatkan jumlah umat tersebut adalah karena agama
Kristen belum berhasil dinaturalisasikan ke dalam kebudayaan Jepang, seperti
halnya agama Buddha. Selain itu, sampai kini sebagian besar para misionaris
masih terdiri atas orang asing dan nama para sucinya, seperti Santo dan Santa pun
berasal dari nama asing. Peraturan yang keras serta ajaran moral yang ketat tidak
sesuai dengan temperamen orang Jepang, yang memperbolehkan praktik seks
bebas, meminum minuman keras, dan kegemaran duniawi lainnya asalkan
dilakukan secara moderat dan harus dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain.
Masih berkaitan dengan pendapat di atas, monoteisme juga asing bagi
konsep dunia adikodrat orang Jepang. Benak seorang Jepang dapat menampung
banyak sekali dewa, bahkan berasal dari berbagai agama tanpa ada perasaan
bertentangan. Penyebab paling penting adalah Nasrani merupakan agama
perorangan, sedangkan orang Jepang secara tradisional lebih merupakan suatu
bangsa yang terdiri atas keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas, di mana
seorang individu harus menyatukan kepentingannya dan perhatiannya demi
kelompoknya di mana ia menjadi anggotanya. Secara tradisional Buddha
memerhatikan
kesejahteraan
keluarga,
sedangkan
Shinto
memerhatikan
kesejahteraan kelompok.
Dasar pemikiran tersebut mendasari oleh pemerintah Jepang tentang
pandangan tidak ada gunanya agama Kristen berkembang di Jepang karena bisa
mengacaukan stabilitas negara. Selain itu, konsep-konsep yang menjadi dasar
negara Jepang diubah oleh para penyebar agama, seperti konsep kesetiaan dan
106
kehormatan
terhadap
kaisar
dan
penggolongan
masyarakat.
Kehidupan
masyarakat Jepang seperti diceritakan dalam novel Chinmoku mengalami masa
yang penuh penderitaan. Mereka hidup dengan beban yang berat akibat pajak dan
keberlangsungan hidup yang penuh aturan. Karya sastra Endo khususnya novel
Chinmoku bertemakan tentang penggunaan baju Barat yang disebut agama
Kristen, yang tidak cocok padanya, tetapi diupayakan menjadi ukuran Kimono
orang Jepang. Oleh karena itu, agama Kristen dianggap merupakan agama
warisan yang tidak dipelajari dengan baik.
5.2.4 Bentuk Wacana Kompromi
Proses negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang seperti Inoue dan
sang penerjemah yang dibantu oleh Ferreira terhadap Rodrigues mulai menuai
hasil. Selama di penjara Rodrigues mengalami berbagai peristiwa yang tidak dapat
membuktikan tentang keberadaan Tuhan Yesus untuk menolong orang-orang
Kristen yang teraniaya. Pemikiran Rodrigues mulai memudar atas kepercayaannya
terhadap Yesus, dalam novel Chinmoku Rodrigues beberapa kali menjerit dalam
hatinya ketika melihat orang-orang Kristen disiksa dan dibunuh. Berikut ini
adalah kutipan tentang jeritan hati Rodrigues yang meminta penganut Kristen dan
Garrpe untuk menyangkal iman mereka.
Tada sutonpu sutonpu wa tada sakenda. Chikashi, watashi wa kidzuita shukan
kara, watashi wo watashi no kuchi kara kotoba ga tekisetsudenai to itte ita
(Chinmoku, 1966:80).
Terjemahan :
“Injak saja! Injak!” teriakku. Tetapi seketika itu juga kusadari aku telah
mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya terlontar dari mulutku.
107
Shisai o kyohi kyohi anchisukiru no kotoba o kiite iru hito Garrpe tame ni kare
no kokoronouchi ni sore o tonae (Chinmoku, 1966:209).
Terjemahan :
“Menyangkallah! Menyanggkallah!” sang pastor meneriakkan kata itu di dalam
hatinya, kepada Garrpe yang sedang mendengarkan ucapan para pengawal.
Kutipan di atas merupakan bukti perasaan Rodrigues yang mulai memudar
akibat tekanan batin baik dari penyiksaan orang-orang Kristen juga karena Tuhan
Yesus tidak pernah datang membantunya. Tetapi di balik itu semua rasa kagum
Rodrigues tetap terpancar ketika ia dengan tegasnya menyatakan pada setiap
interogasinya bahwa ajaran agama Kristen mampu berkembang di Jepang. Atas
desakan Ferreira kelemahan hati Rodrigues mulai menjadi kenyataan karena
Tuhan agama Kristen yang di benarkan oleh Gereja Roma berbeda dengan Tuhan
agama Kristen yang berkembang di Jepang. Rodrigues pun dalam hatinya
menyadari hal tersebut hingga tiba saatnya ia untuk melakukan fumie dan
menyangkal imannya tersebut lalu hidup sebagai murtad. Berikut adalah kutipan
tentang perasaan Rodrigues yang akhirnya setuju untuk melakukan fumie.
Shisai wa kata ashi o machiageta. Kanojo no ashi ni ōkina kanshimi to omomi ga
arimasu. Kore wa tannaru keishiki teki dewa arimasen. Kare wa seikatsu no naka
de motto mo utsukushi mono o kentō sarete iru mono o fuminijiru darou, sore wa
motto mo junsuina, motto mo junsuina, motto mo kanpekina mono o shinjite,
dansei ni kitai sarete iru subete no mono hoji shite iru (Chinmoku, 1966:268).
Terjemahan :
Sang pastor mengangkat satu kakinya. Ada kepedihan hebat dan berat di kakinya.
Ini bukan sekedar formalitas. Dia akan menginjak-injaksesuatu yang selama ini
dianggapnya hal paling indah dalam hidupnya, hal yang diyakini paling murni,
sesuatu yang paling sempurna dan menyimpan segala sesuatu yang diharapkan
manusia.
Kepedihan hati Rodrigues yang harus menerima segala kebijakan-kebijakn
yang ditentukan oleh pemerintah Jepang. Menurut Budiardjo (2006:53), setiap
108
negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan
melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di
dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan ini antara lain berbentuk peraturanperaturan. Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dan
menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Bermacam-macam kebijaksanaan ke
arah tercapainya tujuan-tujuan masyarakat dilaksanakannya sambil menertibkan
hubungan-hubungan
manusia
dalam
masyarakat.
Berdasarkan
penjelasan
Budiardjo, pemerintah memiliki wewenang yang didasari hukum untuk menjaga
negara demi tercapai tujuan-tujuan yang disepakati. Pemerintah Jepang
mengeluarkan kebijakan untuk memaksa murtad para misionaris sebagai bukti
fungsi pemerintah Jepang sebagai pelindung negara.
Kompromi merupakan bentuk penerimaan Rodrigues untuk melakukan
murtad setelah melakukan proses negosiasi yang panjang selama perjalanannya di
Jepang. Rodrigues memilih untuk mempercayai setiap ucapan dari Ferreira, jika
agama Kristen di Jepang tidak bisa berkembang maka peran mereka akan
membantu orang-orang Jepang dalam bidang lain seperti, bidang ilmu
pengetahuan, pengobatan, dan pembuatan buku. Setelah melakukan murtad
sebagai hasil dari kompromi Rodrigues diberikan nama Jepang yakni Okada
Sanemon, tempat tinggal, pekerjaan dan seorang istri.
Penerimaan terhadap segala tuntutan dari pemerintah Jepang membuat
Rodrigues merasa akan menerima segala penghinaan dan hujatan dari Gereja
Roma. Kelemahan yang kalah oleh rawa-rawa Jepang membuatnya diberikan
julukan sebagai “Paulus Murtad”. Setelah keputusannya untuk murtad sikap
109
pemerintah Jepang justru membaik, tidak ada dari mereka yang mengungkit
tentang agama Kristen atau kemurtadannya. Kehidupan Rodrigues mulai berubah
secara signifikan, kini ia harus terbiasa mengikuti tradisi dan adat istiadat orang
Jepang serta hidup seperti orang Jepang. Berikut adalah kutipan tentang
penerimaan Rodrigues tentang disediakan rumah dan istri untuknya oleh Inoue.
Ie wa Kobinatacho de anata no tame ni yōi sarete imasu. Sore igai no Nihon de
anata no jinsei no nokori o sugosutsumoridanode, anata wa Nihon ie o motte iru
baai ga yoideshou. Okada sanemon dake de shinda shōnen ni okoru. Anata wa
anata no tsuma to shite kanojo o toru kota ga dekiru yōni, kono otoko wa tsuma o
motte ita (Chinmoku, 1966:289).
Terjemahan :
Sebuah rumah telah dipersiapkan untukmu di Kobinatacho. Selain itu berhubung
kau akan menghabiskan sisa hidup di Jepang, akan lebih baik kau mempunyai
nama Jepang. kebetulan seorang laki-laki Jepang bernama Okada Sanemon baru
saja meninggal. Nanti setelah kau pergi ke Edo, kau bisa langsung memakai
namanya. Orang ini mempunyai istri jadi kau boleh mengambil perempuan itu
sebagai istrimu.
Pernyataan Inoue tentang nama Jepang dan diberikan istri membuat
Rodrigues harus menerima kenyataan bahwa sisa hidupnya akan dihabiskan di
Jepang. Sebentar lagi Rodrigues akan dikirim ke Edo itu berarti kehidupannya
barunya akan dimulai disana. Edo merupakan penjara bagi para misionaris,
mereka tidak akan pernah kembali ke negara asal. Baginya kehidupan para
misionaris berarti meleburkan diri dengan negeri yang didatanginya. Niat awal
Rodrigues memang datang ke Jepang untuk hidup sebagai orang-orang Kristen
Jepang. Saat ini keinginan tersebut terkabul walau dengan proses yang berbeda
dan harus menerima kehidupan barunya didampingi istri yang asli orang Jepang.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan dan kutipan di atas, analisis bentuk
wacana kompromi novel Chinmoku adalah sifat pemaksaan yang dilakukan oleh
110
pemerintah Jepang demi menjaga kedaulatan negara Jepang. Negara memiliki
integrasi dari kekuasaan politik yang harus mempertahankan negaranya dari
serangan negara lain yang mengarah kepada penjajahan. Pemaksaan yang
dilakukan melalui proses negosiasi oleh pemerintah Jepang kepada Rodrigues
untuk mencabut keseluruhan akar-akar kekristenan yang dapat memicu sikap
anarkis dari para penganutnya. Budiardjo (2006:50) menjelaskan negara
mempunyai sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang
dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara ja dan tidak terdapat pada
asosiasi atau organisasi lainnya. Umumnya disetiap negara memiliki sifat
memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian
penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka
negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai
kekuatan fisik secara legal.
5.2.5 Bentuk Wacana Penggunaan Baju Barat Sesuai dengan Kimono Jepang
Pada dasarnya karakteristik orang Jepang ialah tumbuh sebagai pribadi
yang toleran terhadap semua pengaruh yang masuk, seperti halnya pengaruh
budaya China dan Korea yang mendominasi kebudayaan Jepang. Huruf
Hiragana 21 dan Katakana pun diadopsi dari huruf asli negara China. Agama
Budha yang dibawa masuk ke Jepang juga datang dari negara China dan diterima
baik oleh masyarakat Jepang. Jepang memiliki kepercayaan animisme dan
21
Bahasa tertulis pertama Jepang adalah China karena Jepang tidak memiliki bahasa tertulis
mereka mengadopsi sistem China dan sejak abad ke-8 mulai memproduksi teks sastra
menggunakan karakter China. Simbol China diadopsi kemudian diubah dan dimodifikasi dengan
menggunakan sistem fonetik yang disebut Hiragana dan Katakana (Reader,1993:21).
111
dinamisme yang dipercaya sejak zaman Jōmon22 yang biasa disebut dengan zaman
batu. Aliran yang dianggap sebagai kepercayaan tertua adalah Shinto 23 . Dalam
ajarannya Shinto memercayai kekuatan alam, para dewa, dan leluhur. Namun,
kepercayaan Shinto bersifat lisan tanpa ada tulisan ataupun buku-buku yang bisa
digunakan oleh masyarakat Jepang.
Kepercayaan Shinto dan agama Buddha memiliki banyak kesamaan,
seperti pemujaan kepada dewa-dewa, roh-roh, dan leluhur. Agama Budha pada
masa itu telah berkembang dan memiliki buku-buku, kitab-kitab, dan tempat
pemujaan yang telah memiliki patung-patung Buddha. Hal ini merupakan bentuk
perwujudan dari aliran Shinto sehingga agama Buddha diterima baik oleh
masyarakat Jepang. Pengaruh negara Korea yang berkembang di Jepang adalah
aliran kepercayaan Konfusius yang terkenal dengan ajarannya yakni ‘kesetiaan’
dan ‘kehormatan’ yang sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jepang bahwa
kesetiaan dan kehormatan tertinggi ditujukan kepada kaisar.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Jepang memiliki daya serap tinggi terhadap budaya baru. Namun, sebelum
diterima dan dikembangkan keseluruhan budaya itu akan disesuaikan dengan
pola-pola kebudayaan dan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Jepang.
Seperti agama Buddha yang memiliki kesamaan dengan aliran Shinto dan ajaran
Konfusius yang diyakini memiliki kesamaan dengan kepercayaan yang telah
22
Zaman Jōmon adalah zaman Neolitikum atau zaman batu, orang-orang pada zaman ini telah
mengenal teknologi, seperti pemburu, pemancing, dan petani. Mereka telah membuat beberapa
senjata dari batu, seperti pisau, alat berburu, dan alat memancing (Varley,1984:2).
23
Shinto merupakan gabungan kepercayaan “primitif” yang sukar digolongkan menjadi satu
agama, bahkan satu sistem kepercayaan. Oleh karena itu agama ini lebih tepat dianggap sebagai
suatu gabungan dari kepercayaan “prmitif” dan praktik-praktik yang berkaitan dengan jiwa-jiwa,
roh-roh, hantu-hantu, dan sebagainya (Befu dalam Danandjaja,1997:164).
112
diterapkan di masyarakat Jepang. Perbedaan muncul ketika agama Kristen
disebarkan di dalam masyarakat Jepang, Agama Kristen diterima pada awal
perkembangannya, tetapi mulai dilarang penyebarannya setelah dianggap tidak
sesuai dengan ajaran yang sudah ada di Jepang.
Agama Kristen seperti telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dibawa
pertama kali oleh Fransiscus Xavier, yaitu agama yang dibawa dari Barat tepatnya
oleh gereja Roma di negara Portugal. Kesalahan pemikiran penyesuaian agama
Kristen di Jepang pertama kali dilakukan oleh Fransiscus Xavier, seperti
persamaan antara ‘Deus’ dan ‘Dainichi’. Fransiscus Xavier melakukan hal
tersebut untuk mempermudah agama Kristen diterima oleh masyarakat Jepang.
Kesalahan tersebut telah disadari oleh Christovao Ferreira yang mempelajari
Jepang dan karakter masyarakatnya selama kurang lebih dua puluh dua tahun.
Atas kesadarannya tersebut, Ferreira mendorong dan meyakinkan Sebastian
Rodrigues untuk melakukan murtad.
“Hajime wa sukoshi mo ki ga tsukanakatta. Daga sei Zabierushi ga kyōerareta
Deusu to iu kotoba mo Nihon jin tachi wa katte ni Dainichi to yobu shinkō ni
henete ita noda. Yō o ogamu Nihon jin ni wa Deusu to Dainichi to wa hotondo
nitta hatsuon datta” (Chinmoku, 1966:236).
Terjemahan :
Bahkan, Santo itu pun lalai memperhatikan hal ini. Kata ‘Deus’ yang
diperkenalkannya, oleh bangsa Jepang diubah secara bebas menjadi ‘Dainichi’
(Matahari Agung). Bagi bangsa Jepang yang memuja Matahari, pelafalan ‘Deus’
dan ‘Dainichi’ hampir sama.
Selain kata ‘Deus’ Budiman (2006:60-62) menambahkan bahwa Ferreira
sadar bahwa Tuhan agama Kristen yang dipercayai oleh Jepang sejak masa
pemerintahan Tokugawa diyakini tidak sama dengan Tuhan agama Kristen bagi
orang Barat. Istilah ‘Deus’ yang diajarkaan Fransiscus Xavier pun diubah menjadi
113
kepercayaan ‘Dainichi’ dengan seenaknya karena ucapannya yang mirip
walaupun intinya sangat berbeda. Menurut Ferreira, orang Jepang percaya kepada
Tuhan yang intinya sudah diubah menjadi Tuhan a la Jepang. Orang Jepang tidak
memiliki kemampuan untuk memikirkan Tuhan yang melebihi keberadaan
manusia sehingga Ferreira putus asa dalam melaksanakan kegiatan misi agama
Kristen di Jepang. Orang Jepang dianggap tidak mampu memikirkan gagasangagasan Tuhan dalam agama Kristen, yang berupa suatu keberadaan yang sangat
melebihi manusia. Orang Jepang memiliki keyakinan adanya manusia yang
diperindah atau sesuatu yang diperluas sebagai Tuhan atau Kami. Oleh karena itu,
menurut orang Jepang Tuhan dan manusia tidak berbeda.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa kesalahan
penggunaan kata antara ‘Deus’ dan ‘Dainichi’ sengaja dilakukan oleh Fransiscus
Xavier. Keberadaan bangsa Barat yang datang membawa agama baru tidak
disambut baik oleh pendeta Buddha. Persaingan antaragama mungkin terjadi
untuk memperebutkan simpati masyarakat sehingga perlu adanya suatu konsep
lama yang dikemas secara baru. Hasilnya, masyarakat Jepang menerima baik
agama Kristen karena mereka beranggapan bahwa agama Kristen merupakan
bagian dari agama Buddha. Kesalahan pemikiran ini terkait dengan penggunaan
baju Barat yang sesuai dengan Kimono Jepang. Baju Barat diartikan sebagai
agama Kristen dan kimono Jepang diartikan sebagai pola pemikiran orang Jepang.
Jadi, pemikiran agama Kristen di Jepang mampu berkembang karena ajaran
agama Kristen telah disesuaikan dengan pola pikir orang Jepang dan melenceng
dari pemikiran agama Kristen bagi orang Barat.
114
Pada novel Chinmoku ada beberapa penggunaan kata sebagai dasar
pemikiran agama Kristen orang Barat yang telah disesuaikan dengan pemikiran a
la orang Jepang, yaitu sebuah lagu yang dinyanyikan ketika mereka mengalami
penyiksaan yang disebut Paraiso24.
“Mairo-ya, Mairo-ya,
Paraiso no tera ni mairo-ya,
Paraiso no tera towa mōsuredo
Tōi tera towa mōsuredo” (Chinmoku, 1966:143).
Terjemahan :
Mari pergi ziarah, mari pergi ziarah,
Ayo pergi ziarah ke kuil Paraiso,
Walaupun kuil itu konon sangat jauh.
Nyanyian Paraiso, seperti nyanyian untuk mengantarkan seseorang yang
telah martir dan meyakini mereka masuk surga. Surga yang dimaksudkan adalah
surga dalam pemikiran orang Jepang berupa kuil yang sangat indah. Budiman
(2006:143) menjelaskan bahwa dalam nyanyian tersebut istilah tera dan mairu
pada umumnya tidak digunakan di dalam agama Kristen. Kata tera (kuil) dipakai
umat Buddha, sedangkan mairu adalah bentuk kata dasar dari mairo yang dipakai
umat Buddha dan umat Shinto di Jepang. Jadi, yang menjadi masalah adalah
penggunaan kata tera dan mairu yang sebenarnya tidak cocok dipakai umat
Kristen, tetapi dinyanyikan dalam lagu itu ketika mereka dieksekusi. Dilihat dari
segi makna istilah tera merupakan suatu tanda sinkretik agama Kristen pada
zaman itu sesuai dengan sistem agama-agama Jepang yang Suijaku (bentuknya
agama Buddha, tetapi isinya agama Kristen). Hal ini menguatkan fakta bahwa
24
Paraiso berasal dari bahasa Latin yang berarti “surga” dan digunakan umat Kristen Jepang
secara luas pada abad ke-16 sampai abad ke-17. Kata itu muncul dalam lagu Paraiso yang
dinyanyikan umat Kristen ketika mereka dieksekusi (Budiman, 2006:142).
115
pemikiran agama Kristen yang disesuaikan dengan pemikiran orang Jepang tanpa
melihat inti yang memiliki perbedaan.
Penggunaan pemikiran Barat yang disesuaikan dengan pemikiran orang
Jepang selain Paraiso, yakni ‘Wareware no Kami’ (Tuhan kita, yang diyakini oleh
Ferreira dan Rodrigues) dan ‘Karekare no Kami’ (Tuhan mereka, yang diyakini
oleh orang Jepang). Tafsiran pemikiran itu diyakini sebagai penggalan
kepercayaan agama Kristen yang berkembang di Jepang dari awal hingga hari ini.
“Karera ga shinjite ita no wa Kirisutokyō no kami dewa nai. Nihon jin wa ima
made kami no gainen wa mota nakattashi, kore kara mo motenai darou”
(Chinmoku, 1966:236)
Terjemahan :
Mereka tidak percaya kepada Tuhan orang Kristen, sampai hari ini, bangsa
Jepang tidak memiliki konsep tentang Tuhan
Kutipan di atas membenarkan bahwa agama Kristen berkembang di
Jepang sebagai agama yang telah diserap ke dalam pemikiran orang Jepang.
Konsep tentang Tuhan tidak mampu digambarkan karena mereka tidak memiliki
pendalaman tentang ajaran agama Kristen. Pelarangan penyebaran agama Kristen
di Jepang mengharuskan para Kirishitan mempelajari agama Kristen secara
autodidak dan mengaitkannya dengan ajaran agama Buddha untuk menutupinya
dari pemerintah sehingga mulai timbul beberapa penyimpangan yang berakibat
fatal. Hal tersebut diyakini oleh Endo sebagai seorang Kirishitan yang
menggunakan agama Kristen sebagai agama yang diwariskan ibunya tanpa
mempelajari dengan baik. Budiman (2006:4) menambahkan pernyataan Endo
dalam tulisan berjudul Watashi ni Totte Kami to Wa (Apa Makna Tuhan bagi
Saya), yakni seperti dibawah ini.
116
“Kalau saya membuang keyakinan agama Kristen yang diwariskan oleh ibu tanpa
mempelajari dengan baik, saya akan merasa tidak enak pada ibu karena tak dapat
mempertahankan hidup sendiri dengan keyakinan itu”
Pernyataan Endo menyiratkan makna tentang kaum Kirishitan yang tanpa
sadar telah mempelajari agama Kristen yang ada dalam pikiran mereka dan
menurunkannya kepada generasi penerus yang menerima agama Kristen tanpa
mengerti maksud dan makna ajaran tersebut. Pendapat sama diungkapkan oleh
Reader (2002:37) yang menyatakan bahwa agama Kristen tidak akan menjadi
agama yang penting dalam hal jumlah, tetapi telah memengaruhi sejarah Jepang,
terutama dalam hal pendekatan sosial dan sikap sosial para pastor terhadap kaum
kecil. Salah satu alasan mengapa agama Kristen tidak bisa menyebar lebih cepat
karena agama Kristen selalu dibandingkan dengan agama-agama lain di Jepang.
Di samping itu, menuntut penganutnya untuk tidak memiliki agama selain agama
Kristen. Permintaan itu bertentangan dengan keyakinan dan keragaman agamaagama di Jepang.
Berdasarkan pernyataan Endo dan Reader tentang konsep pemikiran
agama Kristen, diketahui bahwa perubahan konsep pemikiran agama Kristen a la
orang Jepang terjadi akibat kendala bahasa. Kedatangan Fransiscus Xavier ke
Jepang dibantu penerjemah Anjiro yang memiliki kemampuan menerjemah
lemah. Akibatnya, penyampaian maksud dan makna ajaran agama Kristen tidak
bisa diserap seutuhnya. Selain itu, perkembangan agama Kristen yang dianggap
baik di mata orang Jepang semakin meluas akibat para daimyō yang diberikan
hadiah dan membayarkan upeti mulai menganut Kristen yang mengharuskan
pengikutnya masuk agama Kristen tanpa mengerti makna dan tujuan agama
117
tersebut. Sehubungan dengan itu, perkembangan agama Kristen tidak sesuai
dengan yang diharapkan dalam segi jumlah perkembangan agama Kristen melaju
pesat, tetapi tidak semua penganut agama Kristen mampu mengapresiasikan hidup
mereka untuk mempelajari agama Kristen lebih dalam. Sesuai dengan pernyataan
Reader bahwa agama Kristen belum menyebar lebih cepat akibat tuntutan untuk
tidak memiliki agama lain selain agama Kristen memicu timbulnya pemikiran
akan adanya gerakan pemberontakan pemerintah Jepang. Selain kepercayaan
terhadap alam dan dewa-dewa, agama-agama di Jepang menganut sistem
kehormatan dan kesetiaan yang dijunjung tinggi. Semua hal itu telah menyatu
dengan kehidupan orang Jepang yang sulit dihilangkan.
Hal tersebut semakin menguatkan pemikiran-pemikiran Ferreira tentang
agama Kristen dan perkembangannya di Jepang. Keputusannya untuk murtad
dipilih karena agama Kristen tidak cocok bagi orang Jepang dan orang Jepang
belum pernah bisa memahami konsep Tuhan dalam agama Kristen Barat. Salah
satu tokoh dalam novel Chinmoku yang dilihat dari karakternya menganggap
agama Kristen adalah sebuah pakaian, yakni Kichijiro. Kichijiro adalah tokoh
penentu dalam novel Chinmoku. Ia digambarkan sebagai pribadi yang memiliki
perangai yang buruk seperti suka mabuk-mabukan, suka berbohong, dan
berkhianat. Budiman (2006:28) menggambarkan bahwa Kichijiro adalah penganut
Kristen yang pernah dibaptis, tetapi perilakunya sering kali tidak sesuai dengan
ajaran agama Kristen yang semestinya. Ia sering berbohong sesama umat
beragama, bahkan mengkhianatinya.
118
Kichijiro menganggap bahwa agama Kristen sebagai pakaian yang bisa
ditanggalkan jika tidak diperlukan. Kichijiro telah berkali-kali murtad untuk
mendapatkan uang termasuk pengaduannya kepada pemerintah Jepang tentang
misionaris Sebastian Rodrigues dan Fransisco Garrpe. Seperti diceritakan dalam
Chinmoku, Kichijiro telah beberapa kali murtad dan mendapatkan uang atas
pengaduannya kepada pemerintah. Tak hanya itu Kichijiro beberapa kali tampil
sebagai penolong para misionaris, tetapi berakhir setelah ia melakukan pengaduan
dan meninggalkan Kristen begitu saja. Berdasarkan cerita dalam novel Chinmoku,
diketahui bahwa Kichijiro tampil sebagai penganut Kristen yang telah
mengingkari imannya. Dia dan seluruh keluarganya, semua penganut agama
Kristen, telah dikhianati oleh seorang informan yang merasa iri. Ketika
diperintahkan menginjak-injak gambar Kristus, semua saudara dan saudarinya
menolak tegas. Akan tetapi, Kichijiro setelah diancam beberapa kali oleh para
pengawal, akhirnya berteriak bahwa ia meninggalkan keyakinannya. Seluruh
keluarganya dibakar. Kichijiro pun ikut hadir ketika pembakaran itu dimulai dan
bergegas menghilang dari pandangan.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa kepercayaan
masyarakat Jepang tentang agama Kristen memunculkan berbagai pertanyaan.
Pertimbangan akan agama Kristen sesuai dengan pemikiran orang Jepang
diakibatkan oleh kondisi fasilitas keagamaan yang tidak memadai. Keterbatasan
bahasa memengaruhi pengertian agama Kristen dari misionaris kepada
masyarakat Jepang. Pejabat negara dan para daimyō beragama Kristen
mengalihfungsikan kuil-kuil menjadi gereja sehingga terkesan agama Kristen
119
sama dengan agama lain di Jepang, seperti menggunakan baju Barat yang tidak
sesuai dengan baju Jepang. Akan tetapi, baju Barat diubah dan disesuaikan dengan
kondisi badan orang Jepang. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan seutuhnya
bahwa baju Barat begitu pula agama Kristen Jepang tidak bisa sepenuhnya
dimengerti sebagai Kristen Barat. Ibarat baju jika sudah tidak diperlukan bisa
ditanggalkan begitu saja.
120
BAB VI
PENYAMPAIAN KONTEKS WACANA POLITIK KEAGAMAAN
DALAM NOVEL CHINMOKU
Dalam bab ini diuraikan konteks wacana politik keagamaan dalam novel
Chinmoku yang mencakup konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang, konteks
wacana nilai-nilai kebudayaan, dan konteks wacana nilai-nilai keagamaan para
misionaris. Uraian ini perlu dilakukan untuk menganalisis kutipan-kutipan yang
disampaikan oleh pemerintah Jepang dalam misi pelarangan agama Kristen di
Jepang dan menganalisis kutipan-kutipan yang menyatakan adanya isu-isu politik
keagamaan oleh para misionaris.
6.1 Konteks Wacana Kekuasaan Pemerintah Jepang
Penyampaian suatu doktrin penyebaran agama melalui masyarakat sipil
dilakukan
untuk
memperluas
doktrin.
Penyampaian
doktrin
pelarangan
penyebaran agama dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas negara. Penjagaan
stabilitas negara dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mempertahankan sistem
masyarakat feodal dan membentuk karakter bangsa tanpa campur tangan negara
lain. Kekuasaan terkuat dipegang oleh pemerintahan Tokugawa atas kepercayaan
dari kaisar. Dalam novel Chinmoku, pemerintah Tokugawa digambarkan dalam
karakter Gubernur Chikugo, yaitu Inoue, sang penerjemah, Christovao Ferreira,
dan
samurai
berkuda.
Kekuasaan
yang
diperuntukkan
kepada
mereka
mengharuskan mereka menyampaikan politik keagamaan untuk pelarangan
121
penyebaran agama Kristen yang dianggap dapat memberikan pengaruh yang
buruk.
Menurut
Weber
(dalam
Budiardjo,
2008:60)
kekuasaan
adalah
kemampuan untuk, melaksanakan kemauan sendiri dalam suatu hubungan sosial
sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini. Senada
dengan Weber, Laswell (dalam Budiardjo, 2008:60) menyatakan bahwa
kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang
dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan pihak
pertama. Kekuasaan yang ditunjukkan oleh pemerintah Jepang atas pelarangan
penyebaran agama Kristen, pelarangan tidak hanya dilakukan secara tertulis dan
lisan, tetapi sudah memasuki tahapan penyiksaan. Desa Tomogi dalam novel
Chinmoku merupakan salah satu desa yang dideskripsikan sebagai desa yang
tertindas akibat pelarangan agama Kristen. Berikut ini adalah kutipan yang
berlatar di Desa Tomogi dengan kondisi desa tersebut telah terancam.
Penyampaian politik keagamaan dilakukan oleh samurai berkuda dengan ancaman
sandera. Berikut ini adalah kutipan konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang
dalam pelarangan agama Kristen.
“Miru ga ii! Tsube kobe to sengi wa senu. Chikagoro omaera no naka ni wa
kinsei no Kirishitan o hisoka ni tatematsu zuru mono ga aru to iu soji ga atta”
(Chinmoku, 1966:76).
Terjemahan :
“Hati-hati! Aku tidak suka dibantah. Kami ke sini tidak untuk berdiskusi. Belum
lama ini seorang informan memberi tahu kami bahwa di antara kalian ada
pengikut rahasia sekte Kristen yang terlarang itu”.
122
Dalam pandangan Budiardjo (2008:61--62) esensi kekuasaan adalah hak
mengadakan sanksi. Cara untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda.
Upaya yang paling ampuh adalah kekerasan fisik (force). Seorang penjahat yang
bersenjatakan celurit yang memaksa seseorang untuk menyerahkan miliknya
merupakan suatu contoh kekuasaan yang paling terbuka dan brutal. Kekuasaan
dapat juga diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan
dapat diadakan sanksi. Suatu upaya yang sedikit lebih lunak adalah persuasi
(persuasion) yaitu proses meyakinkan, beragumentasi, atau menunjuk pada
pendapat seorang ahli. Berdasarkan pandangan tersebut bila dikaitkan dengan
kutipan di atas terjadi suatu ancaman yang mengacu pada tindak politik
keagamaan, yaitu pemerintah melarang dengan tegas masyarakat di Desa Tomogi
menganut agama tersebut.
Jansen (2000:77) menjelaskan bahwa pada masa pelarangan agama
Kristen semua orang wajib dicurigai. Di samping itu, para Kirishitan daimyō
diwajibkan untuk melakukan penganiayaan di daerah mereka sendiri untuk
membuktikan bahwa mereka tetap setia terhadap Shōgun. Ada daerah yang tidak
boleh melakukan pembaptisan, seperti Kyushu dan daerah pedesaan Nagasaki
yang merupakan kekuasaan langsung dari Shōgun. Ada pula daerah-daerah yang
langsung tunduk. Setelah adanya kebijakan pelarangan agama Kristen untuk
melakukan pencarian jaringan Kristen dan merancang penyiksaan memaksa kaum
Kristen mengingkari iman mereka. Intensitas penyiksaan dikombinasikan dengan
123
tekanan sosial dan politik untuk para samurai berkuda dan Rōnin 25 . Jadi, para
pelaku politik keagamaan merupakan orang-orang yang pernah dibaptis dan
menjadi seorang Kirishitan.
Peneliti berpendapat bahwa pemerintah Jepang senantiasa melakukan
penelusuran ke setiap desa dan mencari beberapa informan dengan bayaran yang
tinggi untuk mengusir dan memburu para pastor yang bersikeras masuk ke
Jepang. Ancaman dilakukan, baik secara fisik maupun koersi untuk rakyat biasa,
dan pendekatan persuasi dipilih untuk para misionaris asing. Uang merupakan
salah satu alat yang digunakan untuk melibatkan informan dalam pencarian para
misionaris. Informan yang diandalkan dalam novel Chinmoku adalah Kichijiro.
Perilaku pemerintah dalam upaya pelarangan agama Kristen merupakan suatu
bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan peraturan-peraturan yang
telah disepakati bersama. Kekuasaan yang dimiliki Shōgun Tokugawa membuat
para pejabat negara harus tunduk dan mematuhi setiap aturan yang di tetapkan.
Oleh karena itu, banyak yang daerah kekuasaan para Kirishitan Daimyō di pantau
dan diambil alih oleh Shōgun.
Pendekatan persuasi dilakukan oleh Inoue, sang penerjemah, dan Ferreira
untuk menaklukkan para misionaris termasuk Sebastian Rodrigues. Pendekatan
persuasi dipilih untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan para misionaris demi
kemajuan negara Jepang. Kewenangan yang telah diberikan kepada Inoue
membuatnya memiliki kedudukan yang patut dihormati sehingga wewenang
Inoue dalam memanfaatkan pihak asing dinyatakan keabsahannya. Budiardjo
25
Rōnin adalah sebutan untuk samurai yang telah kehilangan tuannya. Samurai yang kehilangan
tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut pemerintah
(id.m.wikipedia.org/wiki/Ronin. Diakses 20-04-2014).
124
(2008:64) menjelaskan bahwa wewenang adalah hak untuk mengeluarkan
perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan
kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya. Wewenang erat kaitannya dengan
legitamasi yang merupakan keabsahan yang terutama penting dalam suatu sistem.
Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang
ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai
dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah.
Apabila dikaitkan dengan novel Chinmoku, Inoue telah membuat
peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam misi pemberantasan umat Kristen di
Jepang. misalnya, hukuman salib dalam lautan yang dialami oleh tokoh Mokichi
dan Ichizo. Mereka tidak mau mengingkari keyakinan mereka saat pemerintah
memaksa untuk murtad dan meludahi patung Yesus dan menyebut Bunda Maria
sebagai pelacur.
“Kono Fumie ni tsuba o kake, seibo wa otokotachi ni mi o makashite kita inbai
da to itte miyo to inochi zeraremashita. Kore wa, yagate ato ni natte wakatta no
desuga, Valignano shi ga sai mo kiken na junbutsu to iwareta Inoue ga hatsumei
shita hōhō deshita” (Chinmoku, 1966:85).
Terjemahan :
Dan mereka pun diperintahkan meludahi salib serta menyatakan bahwa sang
Perawan Suci adalah pelacur. Baru sesudahnya aku mendengar bahwa rencana ini
telah dipikirkan oleh Inoue, orang yang kata Valignano merupakan yang paling
berbahaya dari semuanya.
“Jūjika ni kunda nihon no ki ga, watarin uchigiwa ni tateraremashita. Ichizo to
Mokichi wa sore ni kukuritsu kerareru no desu. Yoru ni nari, shio ga michite
kureba futari no karada wa ago no Atari made umi ni tsukaru deshō”
(Chinmoku,1966:87).
125
Terjemahan :
Dua batang pohon, yang dibuat berbentuk salib, ditancapkan di tepi air. Ichizo
dan Mokichi diikatkan di sana. Malam nanti, saat air laut pasang, tubuh mereka
terendam sampai dagu.
Selain hukuman salib dalam lautan juga ada hukuman lain, yakni hukuman
yang dilalui oleh Garrpe yang melibatkan petani-petani miskin dengan melilitkan
tikar-tikar pada tubuh sang martir. Rodrigues ikut menyaksikan kejadian yang dialami sahabatnya ini. Garppe masuk ke dalam air setelah tidak kuat menyaksikan
para petani itu ditenggelamkan hidup-hidup ke dalam air. Garrpe pun ikut mati
tenggelam sia-sia.
“Garrpe o jo ita san nin no Shinto no karada ni yakunin tachi ga komo o maki
hajimeta. Shinto wa kubi dake mino kara deta minomushi no yōna sugata ni natte
iku. Ma mo naku kobune ni jōse raretena. Oki ni fune o kogi desu. Kono irie wa
mikake yori mo fukai te” (Chinmoku, 1966:207).
Terjemahan :
Para pengawal mulai melilitkan tikar-tikar itu di seputar tubuh para tawanan.
Kecuali Garrpe. Tak lama kemudian, mereka tampak seperti pepes cacing di
dalam gulungan tikar, hanya kepala mereka yang menonjol ke luar. Sekarang
mereka akan dinaikkan ke perahu-perahu dan dibawa ke beting karang. Di teluk
itu airnya sangat dalam dan dasarnya tidak terlihat.
Hukuman terakhir yang paling sadis adalah hukuman gantung di lubang.
Hukuman ini pernah dirasakan oleh Ferreira dan Rodrigues. Atas hukuman yang
didapat inilah akhirnya Ferreira menyerah dan dengan menunjukkan luka di
belakang telinganya akibat hukuman tersebut, Ferreira memaksa Rodrigues untuk
segera meninggalkan keyakinannya.
“Anatsu mōshitena. Itsuka hanashita koto mo arōga. Teashi no dōkanu yōsumaki
ni shite ani natsuru. Sono mama dewa sokuza ni zetsumei suru yue, kōna mimi no
ushiro ni ana o aketena, itteki itteki chi ga shitataru yōni suru. Inoue no
kangaena sareta gōmon da ga” (Chinmoku, 1966:228-229).
126
Terjemahan :
Namanya hukuman digantung di dalam lubang. Barangkali kau pernah
mendengarnya. Kau diikat sedemikian rupa sehingga tidak bisa menggerakkan
tangan atau kaki. Lalu mereka menggantungmu terbalik di dalam lubang. Lubanglubang kecil ini dibuat di belakang telinga, supaya kau tidak mati dengan cepat.
Darahmu menitik setetes demi setetes. Siksaan ini diciptakan oleh Inoue.
Hukuman-hukuman di atas dibuat oleh Inoue sebagai bentuk wacana
kekuasaan pemerintah Jepang dibuat atas kewenangan yang diberikan kepadanya.
Tidak peduli berapa jumlah masyarakat sipil yang tewas akibat hukuman tersebut.
Hukuman itu dibuat tentunya untuk menggerakkan hati para misionaris agar tidak
datang ke Jepang dan sudah berada di Jepang untuk meninggalkan keyakinannya.
Hukuman tersebut akan mengurangi jumlah kaum Kristen di Jepang yang sangat
teguh dengan keyakinan mereka. Legitimasi dari hukuman tersebut diterima baik
oleh kaum pendeta Buddha dan masyarakat Jepang yang telah membenci agama
Kristen. Akibat dari hukuman tersebut banyak keluarga mereka yang mati sebagai
martir, dan sisa keluarga lain memutuskan untuk meninggalkan agama tersebut.
Selain Inoue, sang penerjemah memiliki peranan penting dalam menghasut
pikiran para misionaris untuk melakukan murtad. Pemikiran-pemikiran yang
berbeda dari orang Jepang dan orang Barat dianggap mampu membuat para
misionaris kehilangan keyakinannya. Penyampaian politik keagamaan dilakukan
sang penerjemah dengan memberikan gambaran-gambaran perbedaan pemikiran
antara Barat dan Timur.
“Padore, omaera no tame niwa, omaera ga kono Nihon kuni ni migatte na yume
o osae shitsuke yoru tame ni na, sono yume no tame ni dore dake hyakushōra ga
meiwaku shita ka kangaeta ka?” (Chinmoku, 1966:211).
127
Terjemahan :
Bapa, pernahkah kau memikirkan penderitaan yang telah kau timbulkan kepada
begitu banyak petani, hanya gara-gara impianmu, karena hanya kau ingin
memaksakan impianmu yang egois itu kepada Jepang?
Perilaku sang penerjemah menyiratkan bahwa ia berkewajiban mendoktrin
pikiran para misionaris dan membuat mereka berpikir tentang kejahatan yang
telah dibuat. Sang penerjemah bertugas memmengaruhi para misionaris dengan
unsur psikologis dan menyentuh hati serta dianggap merupakan cara yang cukup
berhasil. Rodrigues selama masa menjadi tahanan selalu didampingi oleh sang
penerjemah. Kepada dia ditampilakan beberapa kejadian keji dan selalu membuat
Rodrigues dipersalahkan atas kejadian tersebut.
“Warashi ga tenbase tai no wa, ano yōna komono tachi dewa naite. Nihon no
shima jima ni wa madahi soka ni Kirishitan o tatematsu zuru hyakushō tachi ga
amatairu. Korera o tachi modorasu tame ni mo Padore tachi ga mazu ten bane
banaranu” (Chinmoku, 1966:208).
Terjemahan :
Orang-orang yang kami inginkan menyangkal iman mereka bukanlah ikan-ikan
kecil ini. Di pulau-pulau lepas pantai masih banyak sekali petani yang diam-diam
tetap setia dan teguh pada kekristenan mereka. Untuk mendapatkan merekalah
kami ingin para pastor berbalik meninggalkan iman mereka.
Kutipan di atas jelas menyatakan bahwa pemerintah Jepang akan
mencabut akar-akar agama Kristen dan membiarkan tanaman itu layu seiring
berjalannya waktu. Akar-akar agama Kristen adalah para misionaris yang dipaksa
murtad dan hidup di Jepang. Dengan demikian sisa-sisa kekristennan akan lenyap
dengan sendirinya tanpa harus membunuh dan menginterogasi mereka satu-per
satu. Upaya ini mempermudah pemerintah dalam mengurangi jumlah orang-orang
Kristen
yang
telah
didoktrin
dan
mengurangi
kemungkinan
adanya
128
pemberontakan. Dasar perbedaan agama Kristen dengan agama yang ada di
Jepang di paparkan sejelas-jelasnya oleh sang penerjemah, memberi pengertian
dan secara tidak langsung telah mendoktrin Rodrigues untuk melakukan murtad.
“Kirishitan tachi wa “Deusu” koso daiji daihi no minamoto, subete no zen to
toku to no minamoto to mōshi, Busshin wa mina ningen de aru kara korera no
tokugi wa beiwatte oranu to iute oruga, Padore tono mo dōji o kangae kana”
(Chinmoku, 1966:139).
Terjemahan :
Orang-orang Kristen mengatakan Deus mereka adalah sumber kasih dan maha
pengampun, sumber kebaikan dan kebajikan, sementara Buddha hanya manusia
dan tidak mungkin memiliki sifat-sifat tersebut. Apakah Anda juga berpendapat
demikian, Bapa?
Kutipan di atas menyiratkan keinginan sang penerjemah untuk mendoktrin
pikiran-pikiran Rodrigues agar mengubur mimpinya dalam-dalam. Hal itu
dilakukan dengan membandingkan pola-pola agama Buddha dengan agama
Kristen yang selama ini selalu dipandang rendah oleh para misionaris. Sang
penerjemah dahulunya adalah penganut agama Kristen yang memanfaatkan
agama tersebut sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan Barat. Berkat para
misionaris banyak seminari dibangun di daerah Arima, Amakusa, dan Omura.
Pendidikan formal hanya bisa didapat di seminari yang mengharuskan
pengikutnya beragama Kristen. Penghormatan yang minim bagi kaum Kristen di
Jepang menimbulkan pemikiran tentang keinginan orang Barat untuk mengubah
Jepang sebagai rumah kedua mereka. Sang penerjemah membenci para pastor
karena mereka hanya ingin menyebarkan misi mereka, tidak menjadikan kaum
Kristen di Jepang sebagai bagian dari mereka.
“Padore tachi wa, itsumo ware ware Nihon jin o, baka ni shitorareta. Cabral to
iu Padore o shittorimashita ga, ano o-kata wa kakubetsu ware ware o sagesu
marete orareta. Nihon ni ki nagara, ware ware ie o azakeri, ware ware no kotoba
129
o azakeri, ware ware no tabemono ya sakukai o azakerarete orareta. Sōshite
watashitachi ga seminario o dete mo shisai to naru koto o ketsushite yurusare
nanda” (Chinmoku, 1966:137).
Terjemahan :
Pastor-pastor selalu saja mencemooh kami. Saya kenal Bapa Cabral, dia
memandang rendah segala sesuatu yang berkaitan dengan Jepang. Dia
mencemooh rumah-rumah kami; dia memandang rendah bahasa kami, makanan
kami, dan adat kebiasaan kami, tetapi dia hidup di Jepang. Bahkan dari antara
kami yang lulusan seminari tidak dia izinkan menjadi pastor.
Banyak hal yang tidak dipelajari sepenuhnya oleh Rodrigues, banyak hal
pula yang tidak seluruhnya diceritakan dalam surat-surat yang ditulis
pendahulunya ke gereja Roma. Perlakuan misionaris yang dianggap buruk oleh
pemerintah Jepang, yang membanding-bandingkan negara mereka yang sudah
maju dengan Jepang yang pada saat itu merupakan negara sedang berkembang.
Peneliti berpendapat bahwa sikap sang penerjemah digambarkan secara sinis oleh
Endo, rasa kebencian atas kemunafikan orang-orang Barat membuatnya menekan
Rodrigues untuk meninggalkan keyakinannya. Kepercayaan diri sang penerjemah
sangatlah kuat karena kemampuannya berbahasa Portugis dan pengetahuannya
tentang agama Kristen yang pernah dipelajarinya di seminari-seminari.
Bentuk konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang yang terakhir
disampaikan oleh Ferreira sang pastor yang telah murtad. Dalam bab-bab
sebelumnya telah dibahas tentang Ferreira dan visi misinya, Ferreira dan
kemurtadannya, dan Ferreira yang telah menjadi bagian negara Jepang. Tokoh
Ferreira telah mengalami banyak kejadian- keji, baik yang dialami langsung
maupun yang dilihat secara langsung. Kehidupan Ferreira terdahulu mendapatkan
posisi dan kehormatan yang tinggi, tetapi akibat adanya kebijakan pelarangan
agama Kristen kehormatan itu serta merta menjadi penolakan. Kehidupan Ferreira
130
yang baru membuat keyakinan dirinya terhadap agama Kristen yang dianut oleh
orang-orang Jepang adalah agama Kristen yang berbeda. Ferreira menjadi berguna
bagi negara Jepang, tetapi dalam posisi yang berbeda.
“Sayō. Ware ware wajin ni wa yaku ni tatte orutomo. Kochira wan a mo Sawano
Chūan to aratamerarete na. Mō itsusatsu no shomotsu ni tori kakatte orareru.
Deusu no oshie to Kirishitan no gengiroku to fusei o ba aba ku shomotsu dena.
Tashika arawatame toka iu ta ga” (Chinmoku, 1966:227).
Terjemahan :
Memang benar demikian. Dia banyak membantu kami bangsa Jepang. Dia
bahkan mempunyai nama Jepang; yaitu Sawano Chuan, dan dia sedang menulis
buku lagi. Buku untuk menyanggah ajaran Deus dan membuktikan kesalahankesalahan ajaran agama Kristen. Judulnya Gengiroku.
Kutipan cerita di atas disampaikan oleh sang penerjemah, tak ada kekuatan
yang besar bagi Ferreira untuk menyampaikan hal tersebut kepada Rodrigues.
Ferreira tidak sanggup menghentikan ucapan sang penerjemah. Ferreira diizinkan
bertemu dengan Rodrigues dalam upayanya untuk memaksa Rodrigues
menyangkal imannya. Dengan kehadiran Ferreira, tentu dalam pemikiran
pemerintah Jepang akan lebih mudah membuat Rodrigues juga murtad. Ferreira
menjelaskan penyebab ia memilih murtad dan mengkhianati gereja Roma adalah
Ferreira merasa lebih berguna terhadap bangsa Jepang, dengan membantu sistem
ilmu pengetahuan mereka dalam misi kemajuan bangsa Jepang.
“Omae ga tenbuyō, shōmeroto… watashi wa iwarete kita” (Chinmoku,
1966:228).
Terjemahan :
Aku telah diperintahkan untuk membuatmu menyangkal imanmu.
Eksistensi Ferreira selama dua puluh dua tahun membuat pikirannya
terhadap orang-orang Jepang mulai melemah. Kini Ferreira telah kehilangan
131
semangat akibat hidupnya kini bergantung pada kebaikan pemerintah Jepang.
Rodrigues pada awalnya tidak sanggup melihat sang pastor Ferreira yang gagah
kini hanya tergolek lemah di bawah tuntunan pendeta Buddha. Pemikiran
Rodrigues atas pernyataan tentang agama Kristen di Jepang yang sangat berbeda
dengan agama Kristen di gereja Roma mengalihkan perhatiannya terhadap Tuhan
Yesus yang merupakan tokoh penolong dan penuh cinta kasih. Secara keseluruhan
peneliti berpendapat bahwa komposisi samurai berkuda, Gubernur Inoue, sang
penerjemah, dan Ferreira memiliki pemikiran yang sama tentang keberlangsungan
agama Kristen di Jepang. Banyak nyawa akan terbunuh sia-sia jika akar agama
Kristen tidak dicabut dan Rodrigues merupakan satu-satunya akar agama Kristen
yang masih tersisa di Jepang.
Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan persuasi agar Rodrigues
mudah ditaklukan hatinya dan membuatnya murtad untuk menjadi bagian dari
negara Jepang. Karakter para pemerintah Jepang tersebut hanya kamuflase untuk
menakut-nakuti masyarakat yang tetap teguh mempertahankan imannya. Pada
dasarnya pemerintah tidak ingin membunuh atau menyiksa para petani, karena
mereka beranggapan bahwa petani merupakan tulang punggung negara Jepang.
Jika banyak petani yang mati akibat insiden pelarangan agama Kristen tentu
jumlah hasil panen akan semakin berkurang. Karena alasan tersebut, pemerintah
menginginkan para misionaris untuk murtad.
Menurut pandangan Ali (1981:12) cita-cita pemerintah untuk membangun
sebuah negara di atas dasar persatuan agama dan negara menghadapi berbagai
macam kesulitan. Agama Kristen yang dibawa oleh Fransiscus Xavier memiliki
132
pemikiran yang berbeda dengan agama Shinto, Buddha, ataupun Konfusius. Oleh
karena itu, agama Kristen tidak bisa menghindari adanya benturan dan konflik
dengan sistem nilai agama-agama yang dijumpainya di Jepang. Bahkan perasaan
bahwa agama Kristen adalah sebuah “agama asing” tetap kuat di kalangan bangsa
Jepang.
Befu (dalam Danandjaja, 1997:165) menjelaskan bahwa sikap orang
Jepang terhadap agama yang masuk ke negaranya memiliki karakteristik orientasi
agama mereka tidak sama dengan cara berpikir orang Barat terhadap agama
karena orang Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang eksklusif.
Sikap ini mempunyai beberapa arti. Pertama, seorang Jepang yang sama akan
menyembah dewa-dewa dari agama yang berbeda tanpa perasaan yang
bertentangan. Misalnya, seorang Jepang akan bersembahyang di altar agama
Buddha yang ada di rumahnya pada pagi hari, dan pada sorenya akan pergi
bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto. Kedua, ada tempat pemujaan yang
menyemayamkan patung-patung dewa dari berbagai agama yang berbeda.
Contohnya di Jepang ada kelenteng Buddha di dalam kompleks pemujaan Shinto
dan demikian sebaliknya. Ketiga, konsep religi orang Jepang mengenai seorang
dewa dapat mencakup unsur-unsur dari agama yang berbeda. Keempat, seorang
pendeta dari suatu agama boleh memimpin upacara agama dari agama lain.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sikap
yang ditunjukkan pemerintah Jepang semata-mata untuk melindungi negara
mereka dari pengaruh agama Kristen yang dianggap buruk. Setiap agama tidak
memiliki pengaruh buruk, tetapi tujuan penyebaran agama yang mengarah pada
133
tujuan ganda. Peneliti dalam masalah ini menilai bahwa sikap pemerintah Jepang
benar adanya. Dibutuhkan suatu pengorbanan untuk mendapatkan hak yang harus
dilindungi, baik secara pendekatan maupun secara paksa. Pemerintah Jepang tentu
sudah memikirkan akibat-akibat apa yang akan terjadi jika para misionaris tetap
berada di Jepang. Penyampaian politik keagamaan dilakukan oleh pemerintah
Jepang serta merta untuk mengurangi doktrin agama Kristen dan mengembalikan
masyarakat Jepang kepada peraturan yang telah ada. Jepang adalah negara yang
memiliki prinsip. Sebuah prinsip dalam negara merupakan cara negara tersebut
untuk tetap menjaga tatanan dan stabilitas kepemimpinan dalam negara.
6.2 Konteks Wacana Nilai-Nilai Kebudayaan Masyarakat Jepang
Nilai budaya masyarakat Jepang banyak terpengaruh dari budaya China
dan Korea. Masuknya pedagang asing seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan
Portugal membawa pengaruh bagi modernisasi budaya Jepang. Menurut Anwar
dan Adang (2013:251), modernisasi menunjukkan suatu proses dari serangkaian
upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material, dan sosial) yang
bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka
dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern
(maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang
keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau
universal. Berkaitan dengan novel Chinmoku, masyarakat Jepang merasa bahwa
kehidupan mereka berubah dan mengalami kemajuan semenjak kedatangan para
134
misionaris ke Jepang karena mereka diperkenalkan pada budaya yang baru dan
menarik.
Perubahan nilai-nilai budaya masyarakat Jepang terjadi karena mereka
menganut agama Kristen dengan tetap menggunakan alat-alat upacara agama
Buddha. Seperti dalam novel Chinmoku masyarakat Kepulauan Goto yang
didatangi oleh Rodrigues menempatkan patung Buddha Cannon yang dianggap
Bunda Maria di altar pemujaan. Sehingga fungsi dan makna dari patung itu
mengalami perubahan nilai-nilai budaya, budaya agama Buddha tetapi dipaksakan
untuk menjadi budaya agama Kristen. Hal tersebut dilakukan oleh masyarakat
Kepulauan Goto untuk tetap menyembunyikan kekristenan mereka. Agama
Kristen dibawa oleh para perantara yang khusus disebarkan ke berbagai negara
untuk menebarkan kasih dan sayang Yesus pada umat yang percaya kepadanya.
Weber (dalam Noviani, 2002:112--113) menyatakan bahwa doktrin awal
Kristen ditegakkan oleh sekelompok kecil elite yang sebelumnya menggambarkan
perkembangan selanjutnya dari kependetaan yang diberdayakan secara khusus dan
munculnya
gereja
institusional.
Perkembangan
selanjutnya
adalah
mentransformasikan sekelompok kecil murid Yesus yang dilihat sebagai ahli
dengan kualifikasi-kualifikasi luar biasa ke dalam sebuah gereja yang
terorganisasi dengan hierarki kependetaan. Selain itu, para perantara ini diberkahi
spirit yang diperlukan dalam hal ini. Para perantara dibutuhkan karena setiap
“agama keyakinan” atau “agama keselamatan” dari luar mengamsumsikan adanya
seorang Tuhan personal juga perantara dan para nabi Tuhan, yang demi
kepentingan mereka harus ada penolakan kebenaran diri dan pengetahuan
135
individual pada berbagai sisi. Dalam agama Kristen, karisma sang penyelamat
harus disalurkan melalui rasul-rasul dan hal ini diteruskan dalam karisma
ketuhanan dari pejabat keuskupan dan kependetaan. Para perantara yang
membawa Kristen masuk ke Jepang, adalah Fransiskus Xavier, Christovao
Ferreira, Alessandro Valignano, Sebastian Rodrigues, dan masih banyak
perantara-perantara lainnya.
Nilai-nilai budaya masyarakat Jepang yang mulai di pengaruhi oleh
doktrin para perantara adalah stratifikasi sosial yang ingin mereka rubah sesuai
dengan apa yang mereka ketahui bahwa negara diluar Jepang masyakaratnya tidak
digolongkan sesuai dengan strata sosial. Masyarakat Jepang mengharapkan
adanya perubahan yang dapat memajukan kehidupan mereka dan terlepas dari
segala tuntutan dari pajak yang tinggi. Di samping itu, adapun masyarakat yang
menganut agama Kristen hanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari para
misionaris tanpa mempermasalahkan tentang ajarannya. Anwar dan Adang
(2013:252), menjelaskan adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau
kelompok
yang kondusif untuk
mengadopsi
dan
mengadaptasi
proses
modernisasi. Pertama, nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi
ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya.
Kedua, nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi
dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi
pengembangan inovasi bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, memang ilmu
pengetahuan bisa dibeli, dipinjam dan diambil ahli dari ilmu pengetahuan pihak
asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih
136
rumit darpada mengembangkan iptek baru. Ketiga, nilai budaya atau sikap mental
yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial,
karena status ini seringkali dijadikan predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang
sifatnta normative, sedangkan penilai objektif hanya bisa didasrkan pada konsep
seperti apa. Keempat, nilai budaya atu sikap mental yang bersedia menilai tinggi
usaha pihak lain yang mampu meraih atas kerja kerasnya sendiri. Berdasarkan
pada novel Chinmoku, nilai-nilai kebudayaan masyarakat Jepang terpengaruh oleh
doktrin agama Kristen tetapi masih dalam konteks pemikiran ala Jepang.
penyerapan budaya asing melalui agama Kristen telah memberi semangat baru
bagi kehidupan masyarakat Jepang.
6.3 Konteks Wacana Nilai-Nilai Keagamaan Para Misionaris
Misionaris merupakan orang-orang yang memiliki tujuan mulia dalam
misi penyebaran agama Kristen. Berpusat pada gereja Roma, kaum Kristen
Khatolik dari negara Spanyol dan Portugal ini mendatangi Jepang dengan
keinginan untuk menjadikan Jepang rumah kedua para pastor. Misionaris
beranggotakan kaum Ordo Jesuit yang secara khusus dibentuk oleh gereja Roma
untuk melakukan perjalanan keliling dunia. Pada dasarnya misionaris dalam
penyebaran agama melakukan penyebaran agama Kristen pada negara-negara
yang tidak mengenal agama Kristen untuk mempermudah doktrin agama mereka.
Pada novel Chinmoku misionaris-misionaris tersebut adalah Fransiscus
Xavier, Alessandro Valignano, Christovao Ferreira, Sebastian Rodrigues, dan
Francisco Garrpe. Mereka adalah misionaris yang memiliki sejarah penting pada
137
penyebaran agama Kristen di Jepang. Para misionaris ini berasal dari Portugal
dengan tugas yang sangat berat. Perbedaan karakter, bahasa, kebudayaan, dan
kepribadian bangsa menimbulkan banyak kesulitan. Akan tetapi, doktrin agama
Kristen yang telah disalahartikan oleh orang Jepang ini terjadi mengakibatkan
persaingan politik antara Fransiscus Xavier dan pendeta Buddha. Ferreira telah
menyadari hal tersebut kendatipun selama tiga puluh tiga tahun hidup penuh
dengan kesusahan. Politik keagamaan terjadi akibat persaingan politik dari
beberapa negara dan pemuka agama di Jepang untuk tetap memiliki eksistensi.
Pemikiran Fransiscus Xavier tentang negara Jepang adalah negeri Timur yang
paling cocok dengan Kristianitas.
Konteks wacana nilai-nilai keagamaan para misionaris berfokus untuk
tetap menjaga kestabilan para penganut agama Kristen yang telah kehilangan para
pastor untuk menuntun mereka dalam mendalami agama Kristen. Keyakinan
agama Kristen untuk mampu berkembang di Jepang memang telah terjadi.
Doktrin agama Kritsen dianggap suatu perubahan yang membawa masyarakat
Jepang kepada kemajuan. Fransiscus Xavier memiliki keyakinan yang kuat
setelah ia diberikan cerita tentang kondisi negara Jepang oleh Anjiro.
“Nihon wa masashiku, sei Fransiskus Xavier ga iwareta yōni tōyō no uchi de
mottomo Kirisutokyō ni shizukushita kuni Rodrigues to iu” (Chinmoku, 1966:20).
Terjemahan :
Mengenai hal ini, sudah jelas bahwa Jepang seperti dikatakan Santo Francis
Xavier “adalah negeri di Timur paling cocok dengan Kristianitas”. Ungkap
Rodrigues.
Pernyataan Rodrigues tentang ucapan Fransiscus Xavier mengisyaratkan
bahwa kepercayaan Xavier terhadap orang Jepang karena kondisi negara Jepang
138
yang sedang tidak stabil. Pengaruh Barat akan mudah masuk, agama Kristen akan
mudah berkembang, dan mampu bersaing dengan agama lainnya di Jepang.
Dengan membawa konsep keselamatan dan pengampunan dosa, agama Kristen
Katholik diterima baik oleh kalangan menengah ke bawah masyarakat Jepang.
Weber (dalam O’Dea, 1996: 112) menjelaskan bahwa selama setiap kebutuhan
untuk keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka
tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang efektif bagi keselamatan
keyakinan walaupun bukan sumber eksklusif satu-satunya. Situasi yang rumit
yang dilahirkan oleh tekanan sosial sering kali menyebabkan munculnya gerakangerakan yang dipimpin oleh para pemimpin karismatik yang menawarkan
keselamatan pada mereka yang tertindas, baik pada dunia ini maupun dunia mati.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gramsci (dalam Bocock,
2007:124--125) bahwa, agama-agama dianggap beroperasi sebagai wawasanwawasan dunia yang populer, dengan suatu sistem nilai moral, suatu sistem
kepercayaan yang berkaitan, dan suatu sistem ritual atau simbolik. Agama Kristen
Barat, khususnya memiliki basis organisasi di berbagai gereja, denomination
(suatu bentuk komunitas agama), dan sekte serta suatu program pendidikan yang
jelas, yang sering di terapkan disekolah-sekolahnya pada masa lalu. Agama ini
cukup berhasil secara historis dalam beroperasi secara hegemonik dengan
menghasilkan sistem nilai moral yang bersifat memimpin. Para spesialis agama,
seperti uskup, pendeta, pendakwah, dan misionaris Kristen dapat memberikan
dukungan terhadap kelompok-kelompok yang berkuasa dalam negara-negara
139
tertentu atau mereka dapat bersikap kritis terhadap mereka dan terhadap tindakantindakan mereka.
Berdasarkan
penjelasan
Weber
dan
pendapat
Grasmci,
peneliti
berpendapat bahwa konsep keselamatan dan pengampunan dosa mampu menarik
minat masyarakat Jepang dan menjadi nilai-nilai keagamaan agama Kristen.
Meskipun para misionaris Jepang telah dieksekusi dan Jepang menutup negara,
keyakinan masyarakat terhadap agama Kristen tetap berkembang. Jepang sedang
mengalami perang perebutan daerah kekuasaan. Rakyat kecil yang tertindas
memerlukan penyelamat dan para pelaku perang memerlukan agamawan untuk
pengampunan dosa. Peran agama Buddha pada masa itu hanya mementingkan
keselamatan mereka dan sebagian dari mereka terjun ke dunia politik, bahkan
dipersenjatai. Peran para misionaris membangkitkan semangat masyarakat Jepang
dan mampu mengubah kehidupan mereka yang teramat menderita. Sebastian
Rodrigues, sebagai penganut agama Kristen teladan selalu mengingat pesan-pesan
yang disampaikan saat perjamuan di gereja Roma. Seperti dalam kutipan novel di
bawah ini, yang mengingatkan tujuan para misionaris dalam penyebaran agama
Kristen.
“Nanjira, zen sekai ni jūkite, subete no hihiroshi butsu ni fukuin o nobeyo. Shinji,
araise raruru hitobito wa sukuware, shinze zaru hito wa tsumi ni jōmeraren”
(Chinmoku, 1966:30).
Terjemahan :
Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang
percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan
dihukum.
Pandangan Knitter (2005:24) tentang penyebaran agama Kristen adalah
hakikat misionaris dalam penyebaran agama. Misionaris memiliki kewajiban
140
untuk berkhotbah, meyakinkan orang-orang tentang Kristen, dan memiliki
keinginan untuk mempertobatkan mereka. Baik secara intelektual maupun secara
moral, seorang misionaris harus yakin bahwa ia dapat dan harus membuka pikiran
dan hati mereka yang berkeyakinan lain dan yang menderita, yang diam dan
bekerja keras di bumi. Keyakinan dalam yang dimiliki misionaris harus dimiliki
oleh orang-orang lain untuk meyakininya lebih dalam juga. Orang-orang yang
telah meyakini agama Kristen harus dibaptis untuk meningkatkan kekuatan
spiritual dan mendapatkan perlindungan dari gereja.
Weber (2002:171) menjelaskan bahwa nasib agama secara sangat
komprehensif dipengaruhi oleh intelektualisme dan ragam hubungannya dengan
kependetaan dan otoritas-otoritas politik. Sebaliknya, hubungan-hubungan ini
dipengaruhi oleh sumber kelas yang menjadi penyebar intelektualisme khusus.
Pertama, kependetaan itu sendiri merupaka penyebar intelektualisme yang
terpenting, terutama di mana pun kitab Injil suci itu eksis, yang membuatnya
penting bagi kependetaan agar menjadi suatu serikat kerja sastra yang terikat
untuk mengintrepetasikan kitab Injil dan mengajarkan isi, arti, dan aplikasinya
yang tepat.
Ajaran agama Kristen mengenalkan istilah “kafir” untuk orang-orang non
Kristen. Dalam novel Chinmoku, kata-kata kafir diajarkan oleh Fransiscus Xavier
untuk menyebutkan orang-orang yang menghujat agama Kristen. Istilah-istilah
agama Kristen dalam bahasa Portugis diajarkan kepada masyarakat Jepang untuk
mempermudah doktrin agama Kristen. Kata kafir yang ditujukan kepada
pemerintah Jepang menunjukkan bahwa rasa kehormatan dan kesetiaan yang
141
selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang mulai memudar akibat doktrin
agama Kristen.
“Zencho to iu ware ga kuni no kotoba o kono Shinto tachi wa mō shitte iru no
desu. Sei Fransiskus Xavier shi irai, ware ware no ikuta no senpai tachi ga
karera ni kitto korera no kotoba o oshierarete ni chigai arimasen” (Chinmoku,
1966:39).
Terjemahan :
“Orang-orang kafir!”satu kata lagi dari bahasa kami yang sekarang dikenal oleh
para penganut Kristen ini. Para pendahulu kami, sejak zaman Xavier telah
mengajarkan kata-kata itu pada mereka.
Kata kafir didengar pertama kali di Desa Tomogi, yang diucapkan pertama
kali oleh Ichizo ketika menyambut kedatangan Rodrigues dan Garrpe di Jepang.
Kafir merupakan istilah yang ditujukan kepada pemerintah Jepang yang telah
berbuat keji terhadap kaum mereka. Kata kafir merupakan bentuk kata
pemberontakan yang ditimbulkan akibat doktrin agama Kristen, yang membuat
masyarakat Jepang membenci pemerintah mereka sendiri. Para misionaris
menyebarkan doktrin yang memicu pemberontakan-pemberontakan menentang
pemerintah Jepang. Hal ini terbukti dari orang-orang Kristen Jepang yang mulai
beralih ke agama Kristen dan berupaya menentang pemerintah dengan tetap
menganut agama Kristen secara bersembunyi. Menurut O’Dea (1996:118),
sebagian besar masyarakat beralih ke agama Kristen, misalnya dari kelas
menengah bawah yang menikmati perolehan peningkatan ekonomi yang terjadi
secara lamban pada waktu itu. Orang-orang yang beralih agama dijumpai pula di
kalangan yang paling miskin dan dalam perjalanan waktu peningkatan juga terjadi
di kalangan kelas atas.
142
Perhatian yang diberikan kepada kaum kecil merupakan langkah terbaik
dalam penyebaran agama Kristen. Mereka percaya bahwa agama Kristen mampu
memberikan perlindungan dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan. Pada novel
Chinmoku, Rodrigues memiliki kesempatan untuk melakukan praktik keagamaan
di dalam penjara. Hal ini dilakukan untuk mengurangi keributan yang terjadi
akibat keinginan kaum Kirishitan yang ingin berdoa bersama Rodrigues.
Rodrigues diizinkan pergi ke penjara orang-orang Kristen setiap pagi dan sore,
dua kali sehari untuk melantunkan doa atau mendengarkan pengakuan dosa.
“Budōshu to pan to ga nai tame, Misa koso taterarena katta ga, sono dairi shisai
wa Shintotachi to Credo ya Paster Noter ya Ave Maria no inori o shōwa shi,
sono Konhisan o kiku koto ga dekita“ (Chinmoku, 1966:164).
Terjemahan :
Karena tidak punya roti dan anggur, sang pastor tidak bisa mengadakan misa;
tetapi setidaknya dia bisa melantunkan Credo, Pater Noster, dan Ave Maria
bersama mereka; dan dia punya kesempatan mendengarkan pengakuan dosa.
Bentuk kepedulian Rodrigues mencerminkan sikap para misionaris yang
menjadi penolong dalam kegelapan yang dirasakan oleh kaum Kirishitan. Doktrin
agama Kristen masih bisa tetap dilakukan menjelang mereka akan dihukum mati.
Namun, hal tersebut membuat penganut Kristen semakin memiliki keyakinan
untuk mati sebagai mati yang terhormat. Keyakinan dan kesetiaan yang dimiliki
oleh penganut Kristen terhadap Tuhan Yesus membuat doktrin semakin menguat
sehingga muncul pemikiran bahwa penyampaian politik keagamaan dilakukan
oleh misionaris yang membalikkan pemikiran masyarakat Jepang untuk lebih setia
dan hormat kepada Tuhan Yesus daripada pemerintah Shōgun. Seperti Rodrigues
yang meyakinkan para penganut Kristen untuk percaya pada kekuatan Allah
Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan yang menjadikan langit
143
dan bumi, laut dan segala isinya. Rodrigues menekankan untuk tidak percaya akan
para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan
jika nyawanya melayang, ia kembali ke tanah bersama seluruh tujuan hidupnya.
Doktrin tersebut yang membuat penganut Kristen percaya akan kekuatan
penyelamatan, Allah Yesus penyelamat segala umatnya yang sedang berduka dan
dalam kesedihan yang mendalam. Kata-kata yang diucapkan oleh Rodrigues
menjadi kekuatan baru bagi penganut Kristen dan makna kehidupan yang lebih
berarti. Kepercayaan diri yang dibangkitkan kembali oleh Rodrigues membuat
para penganut agama Kristen berpikir bahwa mati merupakan salah satu jalan
menuju kedamaian karena di sana Tuhan Yesus akan menyambut roh mereka
dengan tangan hangat yang penuh kasih.
“Kahō naru kana. Ima yori Deusu no tame shi suru mono.Itsu made mo, anata
tachi o omo wa hōtte okare wa shimai. Ware ware no kizu o kare wa arai, sono
chi o fukitotte kureru te ga aru darō. Chi wa itsu made mo demo damatte o
rarenai noda” (Chinmoku, 1966:165).
Terjemahan :
Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang
ini…Tuhan tidak menelantarkan kalian selamanya. Dialah yang membasuh lukaluka kita; tangannyalah yang menyeka darah kita. Tuhan tidak akan bungkam
selamanya.
Ungkapan-ungkapan Rodrigues berdasarkan ayat-ayat yang dipelajari di
Portugal. Rodrigues yakin bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka yang
tengah berjuang demi agama mereka. Keyakinannya itu disebarkan untuk
memberikan semangat hidup dan ketenangan menjelang kematian. Masyarakat
144
Jepang telah mengenal sistem mati secara terhormat, yaitu Seppuku 26 , tetapi
memiliki arti yang berbeda dari mati demi memperjuangkan agama sehingga
pemikiran mati terhormat untuk agama sering kali dikaitkan dengan mati
terhormat secara Seppuku. Kematian bukanlah hal yang harus ditakutkan. Dalam
pandangan agama Kristen kematian merupakan jalan bertemu dengan Tuhan
Yesus. Menurut Jhonson (1986:126), agama memiliki keterkaitan dengan nilainilai integritas, pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama harus ditekankan.
Masalah membatasi nilai dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai itu sangat
erat hubungannya dengan institusi agama. Secara tradisional, agama memberikan
kerangka arti simbolis yang bersifat umum yang karenanya sistem nilai dalam
masyarakat memeroleh makna akhir yang mutlak. Dengan kata lain, pandangan
dunia yang mendasar dalam masyarakat berkaitan dengan struktur agamanya.
Berdasarkan penjelasan dari kutipan dan Jhonson peneliti berpendapat
bahwa setiap agama memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya.
Kepribadian masyarakat sangat terpengaruh pada agama yang dianutnya, sehingga
akan tercermin sikap dan pemikiran yang terbentuk melalui doktrin. Namun,
semua agama memiliki tujuan yang mulia yaitu percaya akan keberadaan-Nya
Yang Maha Pencipta, Mahakuasa, Maha Esa, dan Maha Pengasih. Agama Shinto,
Buddha, dan Konfusius merupakan agama warisan leluhur yang memengaruhi
kepribadian orang Jepang. Jadi, nilai-nilai integritas yang terkandung dalam
ajarannya tersebut bersifat kuno dan magis yang memengaruhi pandangan
masyarakat Jepang terhadap roh-roh. Di pihak lain, agama Kristen merupakan
26
Seppuku secara harfiah berarti “potong perut” yang merupakan bentuk ritual bunuh diri yang
dilakukan samurai Jepang dengan merobek perut dan mengeluarkan usus untuk memulihkan
nama baik (id.m.wikipedia.org/wiki/Seppuku, diakses 20-04-2014).
145
ajaran modern yang nilai-nilai integritas berfokus pada keselamatan umat oleh
Tuhan Yesus. Kepercayaan yang diajarkan adalah kepercayaan tentang
keberadaan Tuhan Yesus dan kesucian Bunda Maria. Pertentangan kepercayaan
tersebut sulit diterima oleh pemerintah Jepang karena dapat merusak kepercayaan
dan kebudayaan asli Jepang.
Sikap Rodrigues terhadap agama Kristen pun tetap bersinar meskipun
Rodrigues mengalami berbagai penyiksaan selama di Jepang. Rodrigues telah
mendoktrin orang-orang Kristen yang hidup bagai domba tanpa si gembala,
ajaran-ajaran yang didapat saat mengikuti seminari di gereja Roma di
praktikkannya di Desa Tomogi dan Desa Goto. Pelarangan penyebaran agama
Kristen tidak mengurung niat Rodrigues untuk tetap berkeinginan mengkristenkan
Jepang. Ketakutannya berubah menjadi keberanian dan kepercayaan diri yang
tinggi setelah bertemu dengan orang-orang penganut Kristen bersembunyi.
Berikut ini adalah kutipan tentang pengakuan dosa yang dijalaninya di Desa Goto.
“Hito no mae ni te ga o ii arawasu mono wa, ga mo mata, ten ni imasu ga ga
chichi no mae ni ii arawasan. Saredo hito no mae ni te ga o inamu mono wa ga
mo mata, ten ni imasu ga ga chichi no mae ni tehimasen” (Chinmoku, 1966:64).
Terjemahan :
Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya
di depan Bapa-Ku yang di surga. Akan tetapi, barang siapa yang menyangkal
Aku di depan manusia. Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di
surga.
Menurut Weber (dalam Schroeder, 2002:109), sebagian ketuhanan magis
dan sebagian ketuhanan etis dari pandangan dunia agama Kristen menghasilkan
sebuah tipe keyakinan yang tidak sistematis dan ditandai oleh kepatuhan emosi
dan etis. Kerendahan hati dan kepatuhan sebelum kekuatan ketuhanan merupakan
146
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan demonstrasi keyakinan. Namun dalam
menuntut tipe tindakan keagamaan ini, Yesus tidak menghukum kenikmatan yang
berkaitan dengan panca indra atau kekayaan dan kemewahan semata. Hal-hal itu
dianggap berbahaya bagi keselamatan hanya jika semua itu menghalangi
kepatuhan dan keyakinan.
Keyakinan yang dimiliki Rodrigues sangat kuat, kental dengan unsurunsur keyakinan yang dimiliki Yesus semasa hidupnya. Pengorbanan Yesus untuk
umatnya menandakan kemuliaan yang ditawarkan jika memercayai Yesus penuh
keyakinan. Rodrigues dalam setiap kesendiriannya selalu membanyangkan wajah
Yesus dan dalam setiap perjalanannya selalu mengaitkan dengan perjalanan Yesus
semasa hidup. Keyakinan yang dimiliki Rodrigues disebarkan dalam setiap
ajarannya. Keberadaan Yesus yang maha pengampun menjadikan pengakuan dosa
menjadi hal terpenting dalam setiap kunjungannya. Keberadaan Rodrigues di
tengah-tengah orang-orang Kristen merupakan kehendak Yesus, bahkan dalam
keadaan terendah pun nama Yesus tetap dilantunkan. Orang-orang terpilih yang
bisa menempatkan diri sebagai kasih Tuhan adalah orang-orang yang dinyatakan
mampu menyalurkan energi positif.
Menurut Foucault (2002:91), Saint Vincent de Paul mengingatkan bahwa
mereka yang cenderung dianggap gila di dalam rumah pengurungan merupakan
kehendak Allah Kita yang menempatkan mereka di tengah-tengah orang fanatik,
orang-orang yang berjiwa iblis, orang gila, orang-orang yang menderita, dan
orang-orang yang kerasukan. Mereka diatur oleh kekuatan-kekuatan yang pada
dasarnya kejam di sekeliling mereka yang mempresentasikan hikmat abadi di
147
sekeliling manusia, manusia dalam huruf besar ini secara implisit pada Yesus
yang digambarkan sebagai Manusia atau Anak Manusia dalam injil Yohanes.
Berdasarkan penjelasan di atas secara keseluruhan, peneliti berpendapat
bahwa konteks wacana nilai-nilai keagamaan para misionaris dilakukan sematamata untuk menyebarkan kasih Yesus, tanpa mempertimbangkan asal usul dan
kebudayaan masyarakat setempat. Tanpa disadari oleh pendahulu Fransiscus
Xavier bahwa ajaran yang disebarkan merupakan doktrin yang bisa mengubah
cara pikir masyarakat Jepang. Pemikiran-pemikiran rakyat Jepang penganut
agama Kristen sedikit demi sedikit mulai berubah. Hal ini disebabkan
kenyamanan dan keamanan yang diberikan para misionaris yang membuat mereka
lebih setia terhadap agama asing melebihi kesetiaan mereka terhadap pemerintah
Shōgun. Rodrigues sebagai tokoh utama memiliki karakter yang percaya akan
kekuatan Yesus. Namun kepercayaan itu mulai terkikis akibat penyiksaan yang
dilakukan oleh pemerintah Jepang.
Dasar
utama
tujuan
para
misionaris
ke
Jepang
adalah
untuk
mengkristenkan negara Jepang dan bersaing untuk mendapatkan sekutu yang lebih
besar. Pembangunan seminari-seminari di daerah-daerah utama Jepang, seperti
Kyushu dan Nagasaki merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada kaisar.
Penduduk asing yang tinggal di Jepang menunjukkan sikap yang kurang simpati
terhadap para pejabat daerah membuat situasi daerah yang ditinggali penduduk
asing semakin terpengaruh dengan agama Kristen. Beberapa desa yang telah
terpengaruh agama Kristen dalam konteks novel Chinmoku, yaitu Desa Tomogi
148
dan Goto. Desa-desa tersebut terletak di perairan laut lepas sehingga kedatangan
Rodrigues pertama kali adalah di Desa Tomogi.
Pengaruh agama Kristen lebih kental di Desa Tomogi daripada Desa Goto.
Hal tersebut terlihat dari beberapa bahasa Portugal yang dipelajari dari misionaris
terdahulu. Pembelajaran tentang bahasa Portugal membuat Rodrigues menjadi
lebih mudah untuk mengenal mereka dan mengetahui perkembangan agama
Kristen di Jepang. Keinginan misionaris yang melampaui batas mimpi menjadikan
mereka lupa akan tempat mereka berada, keyakinan yang dipercayai, dan budaya
yang berkembang di negara Jepang. Secara ilmu pengetahuan, agama Kristen
sangat membantu masyarakat Jepang, tetapi secara ilmu keagamaan justru
mengarahkan
masyarakat
Jepang
untuk
meninggalkan
agama
mereka.
Doktrinisasi yang dilakukan seharusnya selaras dengan kondisi dan keyakinan
yang memang telah ada sebelumnya. Keberadaan agama Kristen seharusnya dapat
diterima oleh semua kalangan jika doktrin agama Kristen tidak berdasarkan
adanya isu-isu politik keagamaan. Dalam kacamata peneliti, agama Kristen tidak
hanya dikendalikan oleh para misionaris atau gereja Roma, tetapi pihak-pihak lain
yang ingin memonopoli negara Jepang juga turut andil.
149
BAB VII
MAKNA WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL CHINMOKU
Dalam bab ini diuraikan makna wacana politik keagamaan novel
Chinmoku yang mencakup doktrinisasi keagamaan sebagai mata-mata politik,
rawa-rawa Jepang dan hidup sebagai murtad, dan paham egalitarianisme dan mati
sebagai martir. Pemaknaan terhadap politik keagamaan mendeskripsikan maknamakna yang tersirat dalam setiap doktrin agama Kristen, perumpamaan Jepang
sebagai rawa-rawa, pandangan tentang paham strata sosial dan orang-orang yang
memilih jalan masing-masing, baik sebagai murtad maupun martir.
7.1 Misionaris sebagai Mata-Mata Politik
Ajaran suatu agama pada umumnya memiliki tujuan untuk mendapatkan
kedamaian dan perlindungan dari Tuhan. Misi-misi keagamaan merupakan suatu
kegiatan yang melibatkan antara agamawan dan masyarakat penganut agama
tersebut. Definisi suatu agama pada umumnya adalah cara manusia mensyukuri
dan memuja Tuhan yang diyakini tanpa memiliki tujuan-tujuan tertentu yang
arahnya kepada doktrin berbau politik. Pada novel Chinmoku, agama Kristen
dikenalkan oleh para misionaris Barat untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemerintah
Jepang melarang penyebaran agama Kristen untuk menjaga stabilitas negara dari
kepentingan individu sebagai bentuk fungsi suatu negara.
Menurut Budiardjo (2008:55), suatu negara memiliki fungsi-fungsi untuk
tetap menjaga stabilitas negara. Fungsi-fungsi suatu negara, yaitu sebagai berikut.
150
Pertama, melaksanakan penertiban. Untuk mencapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan
penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. Kedua,
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini
sangat penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan di Indonesia
tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan
repelita. Ketiga, Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan
serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Fungsi-fungsi negara yang telah disebutkan di atas telah dilaksanakan oleh
pemerintah Jepang sebagai bentuk menjaga negara dari pihak-pihak yang ingin
menguasai Jepang. Sistem pertahanan yang diterapkan oleh pemerintah Jepang
karena misionaris agama Kristen dianggap sebagai mata-mata politik pihak lain.
Doktrin agama Kristen oleh misionaris dianggap mengarah kepada tujuan pihakpihak lain di luar misionaris sebagai mata-mata politik untuk mengetahui kondisi
stabilitas negara Jepang. Para misionaris mendoktrin para penganut agama Kristen
di Jepang untuk memercayai kekuatan Yesus, bukan kekuatan para bangsawan.
Pemerintah Jepang melakukan pertahanan negara untuk melindungi Jepang dari
pengaruh budaya Barat yang bisa mengacaukan keinginan pemerintah Tokugawa
untuk mempersatukan Jepang.
Menurut Ali (1981:36) misi agama Kristen yang dibawa oleh Fransiscus
Xavier, yaitu ingin menyebarluaskan Injil Kristus di kalangan bangsa Jepang.
151
Misi ini kemudian diikuti pula oleh misi-misi agama Kristen lainnya. Adanya
hubungan antara Jepang dan negara Barat ini telah memberikan kemungkinan
kepada bangsa Jepang untuk menyerap nilai-nilai baru dari Barat, misalnya dalam
bidang ilmu pengetahuan, kedokteran, perbintangan, pelayaran, dan sebagainya.
Akan tetapi, akhirnya bangsa Jepang menyadari bahwa apabila pikiran-pikiran
Barat itu dibiarkan berkembang, maka akan dapat menimbulkan kekacauan di
Jepang, yang berarti pula akan menghalangi tercapainya usaha mempersatukan
Jepang yang telah mulai dirintis pada masa sebelumnya.
Wacana politik keagamaan dimaknai dalam misionaris sebagai mata-mata
politik karena dalam novel Chinmoku Rodrigues sebagai tokoh utama diceritakan
tetap menjalankan misi untuk mengkristenkan Jepang, meskipun Rodrigues telah
ditangkap dan disiksa. Rodrigues telah menulis sebanyak empat surat yang
menceritakan kondisi masyarakat Jepang penganut agama Kristen yang
ditemuinya. Surat yang dibuat oleh Rodrigues dikirim kepada gereja Roma
sehingga bisa dikatakan bahwa pembuatan surat-surat tersebut sebagai mata-mata
politik yang memberitahukan negara Jepang. Dalam suratnya, Rodrigues hanya
menceritakan perjalanan mereka dari Portugal hingga tiba di Macao. Surat
terakhir yang ditulisnya mengenai penangkapan tiga orang penduduk Desa
Tomogi karena telah menyembunyikan keberadaan Rodrigues dan Garrpe.
Selain surat yang ditulis Rodrigues kepada gereja Roma, beberapa surat
juga telah ditulis oleh misionaris sebelumnya, yakni Ferreira. Dalam suratnya
Ferreira menceritakan perkembangan agama Kristen, jumlah penduduk yang
beralih agama Kristen yang semakin banyak, dan kebutuhan akan tempat untuk
152
mengadakan misa dan khotbah. Pengadaan bangunan-bangunan untuk seminari
digunakan beberapa kuil-kuil yang diubah menjadi gereja. Surat terakhir yang
dikirim oleh Ferreira kepada pejabat gereja pada tahun 1632, yaitu surat mengenai
penganiayaan baru, penindasan baru, dan penderitaan baru bagi masyarakat
Jepang penganut Kristen.
Selain dalam bentuk surat, misionaris bisa dikatakan sebagai mata-mata
politik karena misionaris memberikan doktrin yang mengubah cara pandang para
samurai dan pejabat negara. Bahkan, beberapa samurai bisa memiliki kesempatan
untuk bepergian ke Roma untuk menukarkan persenjataan dengan misi
penyebaran agama Kristen. Keinginan para pejabat memiliki senjata yang canggih
untuk memperluas wilayah mereka. Samurai Jepang menggunakan cara berperang
yang kuno dengan menggunakan pedang dan berperang jarak dekat, berbeda jika
menggunakan persenjataan Barat, yakni senapan yang dapat digunakan jarak jauh.
Monopoli terhadap persenjataan yang tidak terkendali membuat pemerintah
Shōgun khawatir dengan adanya pemberontakan-pemberontakan. Kekuasan yang
dimiliki oleh pemerintah patut dipertahankan untuk tetap menjaga ketertiban dan
keadilan negara Jepang. Jepang tengah berada dalam misi penyatuan negara. Oleh
sebab itu, pemerintah Jepang merasa doktrin agama Kristen mampu membatalkan
misi tersebut.
Anwar
memungkinkan
dan
Dadang
(2013:343)
kelompok-kelompok
menjelaskan
dan
individu
bahwa
kekuasaan
yang
berkuasa
mempertahankan dominasi terhadap masyarakat dan mengeksploitasinya.
Sebaliknya, kelompok dan individu yang lain menentang dominiasi dan tidak
153
eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk mempertahankan
hak-hak istimewa kelompok minoritas dari kelompok mayoritas. Di pihak lain,
politik dipandang sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan.
Di sini kekuasaan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran bersama dan
melindungi kepentingan umum dari tekanan-tekanan kelompok tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti berpendapat bahwa politik
keagamaan memiliki makna misionaris sebagai mata-mata politik karena
masuknya para misionaris mempermudah masuknya angkatan bersenjata dari
Spanyol dan Portugal. Doktrin-doktrin yang diajarkan dapat memicu konflikkonflik akibat pertentangan antara ajaran Kristen dan peraturan yang telah dibuat
pemerintah. Masuknya para misionaris dibantu oleh para pejabat. Mereka
diberikan hadiah-hadiah sebagai cendera mata yang bisa disebut sogokan. Dari
para misionaris ini, seluruh kegiatan negara Jepang bisa dikabarkan kepada
Spanyol dan Portugal, sehingga terlihat bahwa para misionaris memiliki dua misi,
yaitu penyebaran agama dan mata-mata politik. Surat-surat yang dikirim kepada
gereja Roma merupakan bentuk pengaduan tentang kondisi perkembangan agama
Kristen, baik kalangan bawah maupun kalangan atas. Berdasarkan hal itu
keputusan pemerintah Jepang untuk melarang penyebaran agama Kristen di
Jepang adalah keputusan yang benar, tetapi memicu putusnya hubungan
perdagangan dan terhambatnya perkembangan kemajuan negara Jepang.
Masyarakat Jepang berhak memilih keyakinan mereka sendiri, tetapi
pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas negara dari
pengaruh yang buruk. Jika pengaruh agama Kristen dan orang-orang asing
154
tersebut tetap berkembang di Jepang, tentu negara Jepang akan terpecah belah saat
ini. Stabilitas negara menjadi prioritas dan kemajuan negara harus dikorbankan,
seperti itulah pemikiran pemerintah Jepang. Pengusiran dan pemaksaan murtad
terhadap para misionaris sebagai bentuk kekuatan kesetiaan terhadap kaisar yang
hampir hilang akibat doktrin agama Kristen.
7.2 Rawa-Rawa Jepang dan Hidup sebagai Murtad
Negara Jepang dalam novel Chinmoku diibaratkan sebagai rawa-rawa
Jepang yang komposisi tanahnya tidak bisa ditanami oleh tanaman baru. Tunastunas muda akan mati dan tertelan oleh rawa-rawa itu. Tunas muda merupakan
ajaran agama Kristen yang datang dari Barat membawa konsep ajaran yang baru
tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya, pemikiran, dan gaya hidup.
Keyakinan negara Jepang tentang rawa-rawa Jepang karena Jepang pada
kenyataannya tidak mampu menerima ajaran agama Kristen. Mereka menyerap
agama Kristen yang sesuai dengan pemikiran mereka sendiri. Hal tersebut disadari
oleh pemerintah Jepang, yakni Shōgun Tokugawa yang dari awal tidak menyukai
agama Kristen.
Penyiksaan terhadap para misionaris mengarah kepada keinginan
pemerintah Jepang untuk memaksa mereka untuk murtad 27 . Hal ini dilakukan
untuk mengembalikan pemikiran penganut Kristen Jepang bahwa pastor-pastor itu
telah mengingkari iman mereka dan agama Kristen bukan agama yang sesuai
dengan budaya Jepang. Kemurtadan para misionaris pada dasarnya bukan akibat
27
Murtad adalah berbalik belakang; berbalik kafir; membuang iman; berganti ingkar
(KBBI,1991:675).
155
kekalahan mereka terhadap rawa-rawa Jepang, melainkan mereka kalah akibat
ideologis yang dimiliki oleh orang-orang Jepang. Jhonston (dalam Endo, 2008:
23) menambahkan bahwa tokoh Rodrigues dan Ferreira yang memilih murtad
kalah bukan karena rawa-rawa Jepang, melainkan keyakinan sosiologis mereka,
yang dipupuk di Portugal, dan akhirnya menguap di bawah tekanan kultur
paganisme.
Dalam novel Chinmoku penggambaran rawa-rawa Jepang telah di
tekankan oleh tokoh Gubernur Inoue. Pada kutipan di bawah ini Inoue
menjelaskan pengaruh agama Kristen terhadap rawa-rawa Jepang kepada
Rodrigues.
“Aru tochi dewa minoru ki mo, tochi ga henre kareru koto ga aru. Kirishitan to
yobuki wa ikoku ni oite wa, ha mo shigeri hana mo saki ki ga, ware ga Nihon
kuni dewa ha wa nae, tsubomi hitotsu tsuke mai. Tsuchi no chigai, mizu no chigai
o Padore wa kangaeta koto wa arumai” (Chinmoku, 1966:171).
Terjemahan:
Pohon yang tumbuh subur di tanah tertentu mungkin akan layu kalau tanahnya
diganti. Mengenai pohon Kristianitas, di negeri asing daun-daunnya mungkin
bisa tumbuh lebat dan kuncup-kuncupnya banyak, sedangkan di Jepang daundaunnya layu dan tidak ada kuncup yang muncul.
Kutipan
di
atas
mewakilkan
ungkapan
perasaan
Endo
tentang
pandangannya terhadap konsep agama Kristen. Tanah Timur dan tanah Barat
memiliki perbedaan yang signifikan terutama dalam bidang kebudayaan dan
keyakinan. Ajaran agama Kristen bisa berkembang di Jepang dengan pesat karena
ajaran strategi pendekatan yang digunakan para misionaris. Mereka memberikan
hadiah-hadiah kepada pejabat di suatu daerah dan meminta pejabat tersebut
melindungi mereka selama dalam misi penyebaran agama. Selain itu, tempattempat yang diberikan oleh pejabat tersebut yang dijadikan gereja merupakan
156
kuil-kuil Buddha sehingga pemikiran orang-orang Jepang agama Kristen memiliki
kesamaan dengan agama Buddha. Namun, lambat laun paham tersebut mulai
berubah seiring dengan kebudayaan dan keyakinan Jepang. Untuk memanipulasi
pemerintah Jepang mereka meletakkan patung Buddha Cannon sebagai patung
Bunda Maria. Pandangan agama Kristen Jepang menjadi berbeda dengan
pandangan agama Kristen Barat yang ada di Portugal.
Anwar dan Adang (2013:303) menjelaskan bahwa dalam kehidupan
masyarakat, keberadaan agama sebagai sebuah sistem kebudayaan, yang nampak
dalam dua aspek, yaitu fungsinya sebagai pandangan hidup masyarakat dan
menjadikan agama bersifat operasional. Sebagai pandangan hidup masyarakat,
agama berfungsi menjelaskan keberadaan manusia, asal, dan tujuan hidupnya. Di
pihak lain, sifat operasional agama bersangkut paut dengan dimensi horizontalnya,
yang mengatur hubungan manusia dan manusia lainnya. Oleh karena itu,
keberadaan agama berkaitan dengan nilai-nilai lainnya dalam masyarakat,
misalnya nilai sosial, politik, dan ekonomi.
Apabila dikaitkan dengan penjelasan di atas, keberadaan agama Kristen di
Jepang telah dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang sesuai dengan karakter
masyarakat Jepang. Nilai-nilai sosial dan budaya asli Jepang telah menyerap
agama Kristen menjadi sebuah fenomena agama baru tetapi berbasis agama
Shinto, Buddha, dan Konfusius. Sehubungan dengan itu, penyerapan agama
Kristen tidak sepenuhnya sempurna sesuai dengan pemikiran para misionaris.
Dalam novel Chinmoku, ada dua sosok yang menyadari konsep rawa-rawa Jepang
dan memilih hidup sebagai murtad, yaitu Christovao Ferreira dan Sebastian
157
Rodrigues. Kehidupan mereka pascamurtad dianggap lebih berguna untuk negara
Jepang, mereka membantu dalam bidang kemajuan teknologi, seperti ilmu
pengetahuan, kedokteran, navigasi, dan terjemahan.
Sosok Ferreira digambarkan sebagai sosok pastor yang memiliki
kelembutan hati, senyum yang ramah, dan kepribadian yang lembut. Ia
menghabiskan waktunya di Jepang untuk melakukan misi mulia penyebaran
agama Kristen di Jepang. Ferreira tinggal di Jepang hampir dua puluh dua tahun.
Ia telah mempelajari karakter orang-orang Jepang yang telah dibaptis, hidup, dan
tinggal bersama mereka. Setelah agama Kristen dilarang penyebarannya, Ferreira
ditangkap dan dipaksa untuk murtad. Ferreira mampu bertahan selama enam jam
dalam penyiksaan. Suara siksaan para penganut Kristen Jepang membuatnya
menyerah dan memilih murtad. Pascamurtad, Ferreira diberikan tempat tinggal,
istri, dan nama Jepang, yaitu Sawano Chuan. Ferreira berada dalam pengawasan
pendeta Buddha. Segala perilaku Chuan harus mendapatkan izin dari pendeta
tersebut. Kemurtadan Ferreira merupakan bentuk pengorbanan seorang pastor
menyelamatkan banyak nyawa dan bentuk kecintaannya terhadap negara Jepang.
Sebanding dengan Ferreira, sosok Rodrigues merupakan pastor yang
memiliki keyakinan teguh terhadap agama Kristen. Ia sering menggambar sosok
Yesus sebagai lelaki kurus dengan pipi cekung dan berjenggot. Pada awal cerita
Rodrigues sangat yakin bahwa Yesus akan turun ke dunia untuk membantunya
menyelamatkan para penganut Kristen Jepang yang disiksa. Rodrigues ditangkap
atas laporan yang dibuat oleh Kichijiro. Secara perlahan Rodrigues dipaksa
murtad agar orang-orang Kristen Jepang mau meninggalkan keyakinan mereka.
158
Kehadiran Ferreira sebagai orang yang harus memaksa Rodrigues murtad
memberikan pandangan bahwa agama Kristen yang dicintai masyarakat Jepang
bukanlah agama Kristen yang seperti di Portugal. Selama ini mereka telah
menciptakan Tuhan mereka sendiri dan menganggap bahwa Tuhan agama Kristen
sama dengan Tuhan agama Buddha. Kekeliruan ini harus dihentikan karena
banyak korban yang mati sia-sia jika masih ada pastor yang hidup di Jepang.
Kebesaran hati Rodrigues mengarahkannya untuk mengingkari imannya untuk
menolong orang-orang yang disiksa. Pascamurtad Rodrigues diberikan nama
Jepang yaitu Okada Saemon, diberikan istri Jepang, dan rumah yang selalu
diawasi penjaga. Selama hidup sebagai murtad, Ferreira dan Rodrigues dilarang
berkomunikasi menggunakan bahasa Portugal. Mereka hanya diizinkan bertemu
jika diperlukan bantuan untuk mengenali barang-barang yang masuk ke Jepang.
Berdasarkan pengertian di atas peneliti berpendapat bahwa pemikiran
rawa-rawa Jepang merupakan kebenaran yang autentik. Masyarakat Jepang sangat
mudah menyerap budaya lain yang masuk, tetapi lambat laun budaya tersebut
terserap sebagai budaya lain yang diyakini di Jepang. Seperti halnya tulisan Kanji,
Hiragana, dan Katakana yang berasal dari negara China. Tulisan tersebut diserap
dan disesuaikan dengan kebudayaan Jepang jadi tulisan negara China serupa
tetapi tak sama. Sama halnya dengan pengaruh agama Kristen yang masuk ke
Jepang sebagai budaya baru, agama Kristen diserap dalam pemikiran dan
pandangan hidup mereka sebagai orang Jepang bukan orang Barat sehingga
pengertian agama Kristen Jepang berbeda dengan agama Kristen Barat.
Kebudayaan negara Jepang pada awal periode banyak dipengaruhi oleh negara
159
China dan Korea sehingga mereka tidak memiliki budaya asli Jepang. Setelah
adanya penutupan negara, Jepang baru benar-benar menemukan kebudayaan asli
mereka, seperti Zen, seni merangkai bunga, dan upacara minum teh.
7.3 Paham Egalitarianisme dan Mati sebagai Martir
Pada abad ke-16 pemerintah Jepang telah menggunakan kebijakan
membagi golongan masyarakat untuk menciptakan lapisan masyarakat yang tidak
dapat berubah. Seperti sudah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa golongan
masyarakat yang dibuat oleh pemerintah untuk tetap menjaga stabilitas
kepemimpinan
Tokugawa
selama
turun
temurun.
Pembagian
golongan
masyarakat tersebut pada kenyataannya tidak mengarah pada kesejahteraan rakyat
Jepang, tetapi membuat posisi terbawah tetap berada di bawah yang lambat laun
menyiksa golongan terbawah. Masuknya paham Egalitarianisme 28 ke Jepang
dibawa oleh para misionaris. Mereka memberikan angin segar kepada orangorang Jepang untuk mendapatkan hak kesetaraan sosial. Tuhan Yesus
mengajarkan hak yang sama bagi seluruh umat manusia, manusia tidak dibedakan
dari warna kulit, tingkat sosial, dan kondisi fisik.
Sorokin (dalam Anwar dan Adang, 2013:215) mengatakan bahwa
pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat. Perwujudan dari gejala stratifikasi sosial adalah adanya
tingkatan tinggi dan rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan di dalam masyarakat
adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban, dan
28
Egalitarianisme adalah (1) doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu
ditakdirkan sama derajat; (2) asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang
berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang pandai sampai yang sangat bodoh
dalam proporsi yang relatif sama (KBBI,1991:250).
160
tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di
antara anggota masyarakat. Golongan lapisan tertinggi dalam suatu masyarakat
tertentu, dalam istilah sehari-hari dinamakan “elite”. Dengan demikian, pelapisan
berarti bahwa dalam masyarakat ada sejumlah kelompok masyarakat yang
mempunyai posisi berbeda-beda dalam tata tertib sosial masyarakat, di mana
golongan-golongan itu mendapat atau menikmati hak-hak tertentu.
Pembagian golongan masyarakat membuat golongan masyarakat termiskin
tidak memiliki hak untuk bersekolah, meniti karier, atau ingin menjadi seorang
samurai. Dalam novel Chinmoku sosok Sang Penerjemah telah menggambarkan
bahwa ia menjadi penganut Kristen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari
para misionaris Barat, yang bisa mengantarnya menjadi penerjemah bahasa
Portugal bagi pemerintah Jepang. Melihat kebijakan pembagian golongan
masyarakat tersebut telah menyiksa banyak masyarakat miskin, pendekatan para
misionaris dalam penyebaran agama Kristen dilakukan dengan memberikan
paham egalitarianisme. Paham tersebut disambut baik oleh masyarakat Jepang.
Oleh sebab itu, dengan mudahnya orang-orang Jepang golongan bawah menganut
agama Kristen.
Politik keagamaan dimaknai sebagai penyebaran paham egalitarianisme
oleh misionaris untuk membentuk suatu pemikiran baru yang dapat menentang
pemerintah Tokugawa. Paham tersebut dapat merusak tatanan politik sosial,
kepercayaan akan perlindungan dari pihak asing dapat menimbulkan perpecahan
bagi negara Jepang. Dalam novel Chinmoku paham egalitarianisme telah
diajarkan oleh Rodrigues yang pada masa penangkapannya menyatakan bahwa
161
semua manusia memiliki kesamaan di mata Tuhan Yesus, yang akan membawa
kedamaian untuk mereka dari surga.
Pandangan Endo terhadap paham egalitarianisme merupakan bentuk
politik keagamaan yang ingin diterapkan di Jepang. Endo menggambarkan sisi
sejarah tentang pendekatan yang dilakukan kaum misionaris untuk merebut hati
rakyat. Karya sastra novel Chinmoku merupakan cerminan dari kehidupan
masyarakat Jepang yang tersiksa akibat perang penyatuan negara. Dengan tegas
Endo telah membangkitkan luka lama bagi masyarakat Jepang yang hidup pada
masa peperangan. Lukacs (dalam Anwar dan Adang, 2013:372) menegaskan
pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang
memberikan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya.
Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas
ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak, tetapi
memberikan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati
dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal.
Paham egalitarianisme kokoh dipertahankan oleh penganut agama Kristen
di Jepang, mereka berharap adanya keadilan yang semata-mata hanya didapatkan
pada misionaris. Kekukuhan hati para penganut Kristen Jepang mengantarkan
mereka pada titik puncak penyiksaan, yaitu mati sebagai martir29. Dalam novel
Chinmoku ada beberapa sosok yang telah mati sebagai martir untuk tetap
mempertahankan keyakinan mereka. Mereka telah diyakini jika mati sebagai
martir jauh lebih terhormat dan akan diberikan tempat di surga oleh Tuhan Yesus
29
Martir adalah (1) orang yang rela menderita atau mati dan menyerah karena mempertahankan
agama atau kepercayaan; (2) orang yang mati demi kebenaran agama (KBBI,1991:632).
162
yang disebut Paraiso. Fransisco Garrpe, merupakan salah satu misionaris yang
datang ke Jepang bersama Sebastian Rodrigues demi misi yang sama. Garrpe
telah memilih jalan mati sebagai martir, setelah ia berpisah dari Rodrigues akibat
razia terhadap penduduk Desa Tomogi. Garrpe ditangkap dan dipaksa untuk
melakukan murtad. Ia diperintahkan untuk melakukan fumie dengan alasan untuk
menyelamatkan banyak jiwa.
Garrpe menolak perintah Inoue dan tetap berpegang teguh pada
keyakinannya. Hal itu membuat pemerintah Jepang justru menenggelamkan
penganut Kristen Jepang yang tertangkap bersama Garrpe. Tanpa aba-aba Garrpe
lalu ikut menenggelamkan dirinya ke dalam laut dan akhirnya mati sebagai martir.
Pelaksanaan eksekusi Garrpe di laut memperlihatkan sifat yang jantan dan
religius. Selain Garrpe, penduduk asli Desa Tomogi yang telah memilih mati
sebagai martir adalah Mokichi dan Ichizo. Mereka dipaksa meludahi patung
Yesus dan menghujat Perawan Bunda Maria sebagai pelacur. Mereka mati akibat
digantung pada salib di tengah air laut yang pasang. Keberanian para martir ini
semakin menguatkan keimanan penganut Kristen Jepang. Hal ini berbanding
terbalik dengan keinginan Gubernur Inoue yang ingin membuat para pastor
Kristen murtad supaya penganut yang masih diam-diam percaya kepada agama
Kristen kecewa dan ikut murtad bersama pastor.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti berependapat bahwa, politik
keagamaan bermakna egalitarianisme dan mati sebagai martir merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dilepaskan. Demi ingin mendapatkan kehidupan yang
lebih baik yang ditawarkan ajaran agama Kristen, penganut Kristen bersembunyi
163
rela menghianati pemerintah dan memilih mati bersama dengan keyakinannya.
Kondisi sosial masyarakat Jepang yang hidup lebih buruk bahkan dari binatang
akibat pajak yang tinggi dan perlakuan tidak adil pemerintah, membuat tidak ada
pilihan lain yang mengharuskan mereka memilih kekuatan yang mampu
menyelamatkan mereka dari siksaan ini. Martir menjadi salah satu bagian yang di
minati oleh penganut Kristen Jepang, pandangan-pandangan yang telah di
ajarakan dalam doktrin Kristen membuat mereka membayangkan tentang
indahnya mati sebagai martir, dan memperoleh posisi yang damai di surga tanpa
pungutan pajak, kekurangan makanan, dan ketakukan akan penyiksaan akibat
menganut agama Kristen. Sehingga banyak rakyat daerah pesisir pantai Jepang
tetap mempertahankan agama Kristen secara diam-diam demi mendapatkan
kehidupan yang dianggap lebih baik. Perubahan-perubahan masyarakat akibat
doktrin agama Kristen dianggap suatu bentuk protes yang dapat mengakibatkan
munculnya pemberontakan-pemberontakan yang dapat menentang Shōgun
Tokugawa.
Anwar dan Adang (2013:245) kembali mepertegas bahwa perubahanperubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak dahulu, tetapi seiring
perjalanan waktu perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat,
sehingga seolah-olah membingungkan masyarakat menghadapinya. Sehubungan
dengan itu, dalam masyarakat-masyarakat di dunia terlihat bahwa sering
terjadinya perubahan-perubahan tersebut berjalan secara konstan. Perubahanperubahan tersebut memang terikat waktu dan tempat, tetapi karena sifatnya yang
berantai, keadaan tersebut berlangsung terus walaupun kadang-kadang diselingi
164
keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan mengadakan reorganisasi unsurunsur struktur masyarakat yang terkena oleh proses perubahan tadi.
165
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Novel Chinmoku adalah gambaran masuknya misionaris asing ke Jepang
saat negara Jepang telah memberlakukan kebijakan politik penutupan negara. Isi
utama novel Chinmoku adalah adanya isu-isu politik keagamaan yang terjadi
melalui penyebaran agama Kristen di Jepang demi kepentingan negara lain. Isuisu politik keagamaan novel Chinmoku terdiri atas bentuk wacana ancaman,
bentuk wacana perlawanan, bentuk wacana negosiasi, dan bentuk wacana
kompromi. Keempat bentuk wacana di atas merupakan tugas pemerintah
Tokugawa sebagai pemimpin tertinggi zaman itu yang memiliki kekuasaan untuk
menggunakan wewenangnya demi menjaga keamanan dan keutuhan negara
Jepang dari segala jajahan negara-negara lain.
Analisis pada konteks wacana politik keagamaan dibagi ke dalam tiga
bagian yang mengacu kepada tokoh-tokoh penting dalam novel Chinmoku.
Pertama, konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang. Kedua, konteks wacana
nilai-nilai kebudayaan masyarakat Jepang. Ketiga, konteks wacana nilai-nilai
keagamaan para misionaris. Konteks wacana politik keagamaan bertujuan untuk
mendeskripsikan penerimaan agama Kristen bagi pemerintah, masyarakat, dan
para misionaris sebagai bagian dari agama-agama di Jepang. Konteks wacana
politik keagamaan menggambarkan tokoh-tokoh baik dari pemerintah, masyarakat
166
Jepang, dan misionaris dalam bersikap terhadap perkembangan agama Krsiten di
Jepang.
Novel Chinmoku diimplementasikan ke dalam tiga makna yang mampu
mewakilkan keseluruhan isi novel Chinmoku. Pertama, doktrinisasi keagamaan
sebagai mata-mata politik. Kedua, rawa-rawa Jepang dan hidup sebagai murtad.
Ketiga, pahama egalitarianisme dan mati sebagai martir. Ketiga makna tersebut
memberikan pemahaman tentang kondisi sosial masyarakat Jepang di tengah
konflik penyatuan negara dan masuknya ajaran agama Kristen yang berasal dari
Barat. Simpulan dati wacana politik keagamaan novel Chinmoku ialah novel ini
menggambarkan terjadinya isu-isu politik keagamaan yang dapat memecah belah
suatu negara dan menghilangkan kebudayaan-kebudayaan asli serta keyakinankeyakinan yang dimiliki oleh omasyarakat Jepang.
8.2 Saran
Penelitian ini membahas wacana politik keagamaan dalam novel
Chinmoku karya Shusaku Endo. Adanya konflik antara pemerintah Jepang dan
misionaris agama Kristen telah dipaparkan dalam penelitian ini. Pengaruh budaya
Barat terhadap budaya Timur menimbulkan banyak perbedaan yang sulit diterima
oleh petinggi negara. Sebagai objek kajian, karya sastra novel Chinmoku tidak
menutup kemungkinan adanya penafsiran dan pemberian makna lain pada
penelitian ini dengan sudut pandang yang berbeda, baik teori maupun metode.
Aspek sejarah abad ke-16 hingga abad ke-17 melatari lahirnya novel
Chinmoku. Perbedaan pemikiran antara pemerintah Jepang dan misionaris agama
Kristen menghadirkan wacana baru tentang adanya isu-isu politik dalam
167
penyebaran agama Kristen di Jepang. Karya sastra dikaitkan dengan unsur sejarah
adalah langkah yang baik untuk menggambarkan sejarah yang pernah terjadi di
suatu negara dengan lebih ekspresif. Karya sastra tidak pernah lepas dari budaya
dan sejarah sehingga kajian tentang budaya dan sejarah baik dalam negeri maupun
luar negeri dapat dilakukan oleh peneliti lain. Dengan adanya penelitian lain akan
memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang budaya dan sejarah suatu
negara.
168
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. 1981. Agama Jepang. Yogyakarta: PT. Bagus Arafah.
Anwar, Yesmil. Adang. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: PT Refika
Aditama.
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana Teori, Metode dan Penerapnnya pada
Wacana Media. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komperehensif untuk Memahami Hegemoni.
Yogyakarta: Jalasutra.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Budiman, Kazuko. 2006. Sastra Agama Endo Shusaku “Dilema Memahami
Tuhan”. Depok: ILUNI KWJ.
Books,Tim Chivita.2013.Hitam Putih Paus Fransiskus.Yogyakarta:Chivita
Books.
Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang: Dilihat dari Kacamata Indonesia.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Djokosujatno, Aspanti. 2002. “Novel Sejarah Indonesia :Konvensi, Bentuk,
Warna, dan Pengarangnya” Jurnal Makara,Sosial Humaniora, Vol 6 Juni,
No.1, hlm. 14-19.
Endo, Shusaku. 1996. Chinmoku. Tokyo: Shinchosa
Endo, Shusaku. 2008. Silence. Alih bahasa oleh Tanti Lesmana. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel. 2002. Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Hyakka, Asahi. 1984. Nihon no Rekishi Bab 5-6. Tokyo: Asahi Shimbunsha.
Ichi, Iwa Osei. 1991. Nihonshi 14 Sakoku. Tokyo: Chuōkoronsha.
169
Jansen, Marius B. 2000. The Making of Modern Japan. United States of America:
Lobrary of Congress Cataloging-in-Publication Data.
Jhonson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT
Gramedia.
Kazumi, Yamagata, 1994. Nihon Bungaku No Keiso. Tokyo: Sairyusha.
Knitter, Paul F. 2005. Menggugat Arogansi KeKristenan. Yogyakarta: Kanisius.
Mashuri. 2010. ”Analisis Psikologis Novel Chinmoku Karya Shusaku Endo”
(Skripsi). Denpasar: Universitas Udayana.
Noviani, Ratna. 2002. “Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan”
diterj. Dari Ralph Schroeder, Max Weber and The Sociology Of Cultures,
Sage Publications, London-Thousands Oaks-New Delhi 1992.
Yogyakarta : Kanisius.
Nurgyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nurhayati, Yeti. 1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta: PT
Dian Rakyat.
O’Dea, Thomas F. 1996. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Patria, Nezar dan Arief, Andi. 1999. Antonio Gramsci “Negara dan Hegemoni”.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reader,
Ian. 2002. Japanese
RoutledgeCurzon.
Religions:
Past
and
Present.
London:
Ricoeur, Paul. 1996. Interpretation Theory:Discourse and Surplus Meaning
“Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah”. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Rosidi, M. Ikhwan, Gumilar Trisna, Kurniawan Heru, Zumailis. 2010. Analisis
Teks Sastra (Mengungkap Makna, Estetika, dan Ideologi dalam Perpektif
170
Teori Formula, Semiotika, Hermeneutika dan Strukturalisme genetik).
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Schroeder, Ralph. 2002. Max Weber: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Sendra, I Made. 2007. Analisis Pariwisata: Komodifikasi Budaya dalam
Pariwisata. Denpasar: Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: INSIST
bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Spivak, Gayatri C. 2008. Etika Subalternitas dan Kritik Penalaran Poskolonial.
Yogyakarta: Pararato
Sudarmanto. 1989. Cinta Kasih Sebagai Motivasi Dasar. Yogyakarta : Kanisius.
Sugiarti, Dian Pramita. 2011. “Kebijakan Politik Pemerintah Tokugawa:
Pelarangan Penyebaran Agama Kristen” (Skripsi). Denpasar: Universitas
Udayana.
Surajaya, I Ketut. 1990. Makna Modernisasi Meiji Bagi Pembangunan Indonesia.
Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah corp.
Tadao, Umesano. 1995. The Great Japanese Nihon Go Daijiten. Tokyo:
Kodansha.
Thwaites, Tony, Davis Lloyd dan Warwick Mules. 2002. Introducing Cultural
And Media Studies (Sebuah Pendekatan Semiotik). Yogyakarta: Jala Sutra.
Tomoju, Takeda. 1976. Sakka No Ishō. Tokyo: Chūō Shuppan sha.
Varley, H. Paul. 1984. Japanese Cultural. Tokyo: Charles E. Tuttle Co.
Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama. Yogyakarta: IRCiSoD.
Weber, Max. 2007. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Yogyakarta:
JEJAK.
Wellek, Renne dan Austin, Warren. 1990. The Theory of Literature, Translated by
Melani Budianta, Teori Kesusastraan. Jakata: PT Gramedia.
Wulandari, Yuni. 2010. “Analisis Unsur Latar Novel Chinmoku Karya Shusaku
Endo” (Skripsi). Denpasar: Universitas Udayana.
171
Yamagawa. 1990. Ryuu Gakusei no Tame no Nihon no Rekishi. Tokyo: Tokyo
University of Foreign Studies.
DAFTAR KAMUS
Candra, T. 2005. Mengenal Kanji. Jakarta: Kursus Bahasa Everegreen
Matsuura, Kenji. 2005. Kamus Jepang Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Nelson, A.N. 2006. Kamus Kanji Modern Jepang Indonesia. Jakarta: Ksaint
Blanc.
Pusat Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tian Tjhin, Shian. 2003. Kamus Praktis Jepang Indonesia Indonesia-Jepang.
Jakarta: Gakushudo.
DAFTAR SUMBER INTERNET
id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_nobel. 23-12-2013.
id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_akutagawa. 23-12-2013.
id.wikipedia.org/wiki/junichiro_tanizaki. 23-12-2013.
id.m.wikipedia.org/wiki/Seppuku. 20-04-2014.
id.m.wikipedia.org/wiki/Ronin, 20-04-2014.
172
173
Download