i TESIS WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM NOVEL CHINMOKU KARYA SHUSAKU ENDO DIAN PRAMITA SUGIARTI NIM 1190161055 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM TEKS NOVEL CHINMOKU KARYA SHUSAKU ENDO Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik-Wacana Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana DIAN PRAMITA SUGIARTI NIM 1190161055 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 iii LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI Tanggal 01 Juli 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. NIP 19440923 197602 1 001 Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. NIP 19611205 198603 1 004 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum. NIP 19620310 198503 1 005 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP 19590215 198510 2 001 iv PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 01 Juli 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor: 2059/UN14.14/HK/2014,Tanggal 01 Juli 2014 Ketua : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. Anggota: 1. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. 2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. 3. Dr. I Ketut Jirnaya, M.Hum. 4. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum. v SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dian Pramita Sugiarti NIM : 1190161055 Program studi : Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra Judul Tesis : “Wacana Politik Keagamaan dalam Novel Chinmoku Karya Shusaku Endo” Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila pada kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Denpasar,….. ………2014 Yang membuat pernyataan, Dian Pramita Sugiarti vi UCAPAN TERIMA KASIH Pertama puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kesehatan dan tuntunan-Nya kepada penulis dalam proses pengerjaan tesis ini hingga selesai. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.I Wayan Cika, M.S., terima kasih atas fasilitas, dorongan, motivasi, waktu, cerita dan bimbingannya. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna,S.U., selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat membimbing penulis. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., selaku pembimbing II, terima kasih atas waktu yang diluangkan selama membimbing dan saran-saran yang diberikan untuk kemajuan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dari masa perkuliahan hingga penelitian tesis, para dosen di Program Studi Magister Linguistik, khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu memberikan ilmu tanpa pamrih. Kepada pegawai administrasi dan perpustakaan Program Magister/Doktor Studi Linguistik, yang selalu membantu penulis dengan penuh kebaikan dan keramahan. Kepada ayah (I Wayan Sueta) dan ibu (Ni Wayan Senun) yang selalu memberikan dukungan, baik moral maupun materi, selaku orang tua, kepada ayah mertua (I Ketut Senaka Jaya) dan ibu mertua (Ni Ketut Musni) yang selalu memberikan dorongan secara moral dan materi, terima kasih banyak atas kasih yang diberikan dengan terwujudnya tesis ini setidaknya merupakan bagian kecil yang bisa membuat bangga keluarga. Suami (Dedi Permana) dan putri kecil kami (Putu Kirana Nandini) yang selalu hadir memberikan semangat dan kasih sayang saat penulis merasa jenuh. Seluruh keluarga besar penulis (Mama Eca, Mama Wi, Pak Bo, Bli Dedi, Prama, Mayra, Nathan, Raina, dan Tiena) yang memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Teman seperjuangan Wacana Sastra 2011 (Widhi, Wida, Yutri, Ari, Alit, Gus Suputra, Widana, Suana, Ngurah, Artayasa, Supertama) yang selalu memberikan masukan-masukan dan dukungan selama ini. Kepada sahabat-sahabat tercinta (Anti, Anta, Redi, dan Juliana) terima kasih atas waktu yang diluangkan untuk menghibur penulis ketika jenuh. Terakhir, kepada saudara,teman, dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan semuanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat untuk pembaca. Denpasar………… Penulis vii ABSTRAK WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM NOVEL CHINMOKU KARYA SHUSAKU ENDO Penelitian ini menganalisis wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku karya Shusaku Endo. Ada tiga alasan novel ini dianalisis. Pertama, wacana yang diungkapkan menarik karena dalam sebuah penyebaran agama yang suci terdapat isu-isu politik keagamaan yang terjadi untuk kepentingan suatu negara. Kedua, Endo sebagai sastrawan Kristen berani mengungkapkan faktafakta sejarah yang kontroversi dan menggambarkan karakter tokoh utama sebagai pengingkar agama Kristen. Alasan yang terakhir, yakni novel Chinmoku merupakan adikarya termasyhur yang telah menerima penghargaan bergengsi. Penelitian ini didesain secara kualitatif dengan mendasarkan analisis pada wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan hegemoni untuk menganalisis hubungan novel dengan kondisi masyarakat Jepang akibat pelarangan penyebaran agama Kristen yang dianggap suatu ancaman yang dapat menggulingkan rezim pemerintah Jepang dan doktrin agama Kristen yang membuat kesetiaan rakyat jauh lebih tinggi kepada Yesus daripada Kaisar. Hasil dari penelitian ini mendeskripsikan bentuk wacana politik keagamaan yang meliputi wacana ancaman, perlawanan, negosiasi, dan kompromi. Selain itu konteks wacana yang di analisis adalah konteks wacana kekuasaan, nilai-nilai kebudayaan, dan nilai-nilai keagamaan. Makna wacana politik keagamaan diimplementasikan sebagai doktrinisasi agama sebagai matamata politik, rawa-rawa Jepang dan hidup sebagai murtad serta paham egalitarianisme dan mati sebagai martir. Doktrin agama Kristen dalam novel Chinmoku mencerminkan manipulasi politik yang bertujuan menguasai dan menjajah Jepang demi kepentingan negara Spanyol dan Portugal. Kata kunci : novel Chinmoku, politik keagamaan, doktrin viii ABSTRACT THE RELIGIOUS POLITICAL DISCOURSE IN CHINMOKU NOVEL BY SHUSAKU ENDO This research analyzed of the religious political discourse in Chinmoku novel by Shusaku Endo. There are three reasons why this novel was being analyzed. First, the discourse which was revealed was very interesting because in the religion dispersion, we can find thr religious political issues which happened for the country interest. Second, Endo as one of Christian man of letters was very courageous to reveal the controversial history facts and illustrated the main character as the abasement of Christian religion. The last reason, Chinmoku novel is one of the splendid well-known litterature which received prestigious achievement. This research was designed in qualitative manner by underlying to the religious political discourse in Chinmoku discourse. This research utilized sociology literature theory and hegemony to analyze the relationship between novel and Japanese people is the result of restriction of Christian reading which was being thought as one of threat which could be able to overthrow the regime of Japanese government and doctrine of Christian religion which made the loyalty of people to Jesus is higher than Caesar. The result of this research described the form of religious political discourse which covers the discourse of threat, resistance, negotiation, and compromise. Besides that, the content of discourse which was being analyzed was the content of authorization discourse the culture values and the religion values. The purpose of religious political discourse implemented as the religion doctrine as the political spy, the Japanese swamp and life as the apostate and the view of egalitarian and die as a martyr. The lesson Christian religion in Chinmoku novel reflects the political manipulation which has that desire to conquer and colonize Japan as the Spain and Portugal. Keywords: novel Chinmoku, the religious politics, doctrine ix DAFTAR ISI SAMPUL DALAM.......................................................................................... PRASYARAT GELAR.................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ SURAT PERNYATAAN................................................................................. UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACT....................................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... i ii iii vi v iv vii viii ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 1.3.1 Tujuan Umum.................................................................................. 1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................... 1.4.1 Manfaat Teoretis ............................................................................. 1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................... 1 1 7 8 8 8 9 9 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN....................................................................... 2.1 Kajian Pustaka .......................................................................................... 2.2 Konsep ...................................................................................................... 2.2.1 Wacana Politik Keagamaan............................................................ 2.2.2 Sastra Kristen.................................................................................. 2.2.3 Novel Agama Kristen ..................................................................... 2.3 Landasan Teori ......................................................................................... 2.3.1 Teori Sosiologi Sastra...................................................................... 2.3.2 Teori Hegemoni............................................................................... 2.4 Model Penelitian....................................................................................... 10 10 13 14 18 21 23 23 25 28 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................... 3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................................. 3.3 Instrumen Penelitian ................................................................................. 3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ................................................... 3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ............................................................ 3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data .................................. 31 31 31 32 33 33 34 BAB IV REKONSTRUKSI SEJARAH NOVEL CHINMOKU ................... 4.1 Sinopsis Novel Chinmoku ........................................................................ 4.2 Rekonstruksi Sejarah Novel Chinmoku.................................................... 4.3 Visi dan Misi Fransiscus Xavier............................................................... 35 35 39 65 x 4.4 Visi dan Misi Tiga Misionaris .................................................................. BAB V BENTUK WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL CHINMOKU....................................................................................... 5.1 Pengertian Wacana Politik Keagamaan ................................................... 5.2 Bentuk-Bentuk Wacana Politik Keagamaan dalam Novel Chinmoku.... 5.2.1 Bentuk Wacana Ancaman ............................................................... 5.2.2 Bentuk Wacana Perlawanan ............................................................ 5.2.3 Bentuk Wacana Negosiasi ............................................................... 5.2.4 Bentuk Wacana Kompromi ............................................................. 5.2.5 Bentuk Wacana Penggunaan Baju Barat Sesuai dengan Kimono Jepang .............................................................................................. 70 74 74 84 84 90 96 106 110 BAB VI KONTEKS WACANA POLITIK KEGAMAAN DALAM NOVEL CHINMOKU....................................................................... 6.1 Konteks Wacana Kekuasaan Pemerintah Jepang..................................... 6.2 Konteks Wacana Nilai-nilai Kebudayaan Masyarakat Jepang................ 6.3 Konteks Wacana Nilai-nilai Keagamaan Misionaris ............................... 120 120 133 136 BAB VII MAKNA WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL CHINMOKU.................................................................................... 7.1 Misionaris sebagai Mata-Mata Politik...................................................... 7.2 Rawa-Rawa Jepang dan Hidup sebagai Murtad ....................................... 7.3 Paham Egalitarianisme dan Mati sebagai Martir...................................... 149 149 154 159 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 165 8.1 SIMPULAN.............................................................................................. 165 8.2 SARAN ................................................................................................. 166 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... DAFTAR KAMUS .......................................................................................... DAFTAR SUMBER INTERNET.................................................................... 168 171 171 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang dikenal sebagai negara industri maju sekaligus negara yang menghasilkan banyak karya sastra dan ada dua sastrawan penerima nobel1 seperti, Yasunari Kawabata pada tahun 1968 dan Ōe Kenzaburō pada tahun 1994. Novel dan cerpen Jepang telah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, seperti cerpen karya Akutagawa Ryuunosuke yang menghasilkan cerpen yang terkenal, yaitu Kappa, Rashōmon, Kumo No Hito (Jaring Laba-Laba), dan Yabu No Naka (Dalam Kerimbunan). Adapun sastrawan lain, yaitu Natsume Soeseki hasil karya novelnya adalah Botchan (Tuan Muda), Wahagai No Neko De Aru (Saya Seekor Kucing) dan Kokoro (Rahasia Hati). Seorang novelis Katolik, yaitu Shusaku Endo mengisi kesusastraan Jepang dengan keunikan yang bisa dilihat dari karya-karyanya yang bertema Tuhan Yesus. Menurut Jhonston (dalam Endo, 2008:7--8), ia dijuluki sebagai Graham Greene-nya Jepang karena tulisannya menggambarkan penderitaan iman serta belas kasihan Tuhan Yesus. Endo telah maju ke barisan depan dunia sastra Jepang dengan menulis berbagai masalah yang dulu terasa begitu jauh dari negeri ini, masalah keimanan dan Tuhan, dosa dan pengkhianatan, mati sebagai martir, dan 1 Penghargaan nobel dianugerahkan setiap tahun kepada mereka yang telah melakukan penelitian yang luar biasa, menemukan teknik atau peralatan yang baru atau telah melakukan kontribusi luar biasa ke masyarakat. Hal ini saat ini dianggap sebagai penghargaan tertinggi bagi mereka yang mempunyai jasa besar terhadap dunia. (id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_nobel. Diakses 23-12-2013). 2 pengingkaran iman. Ia menulis berbagai masalah tentang konflik antara budaya Barat yang masuk ke Jepang yang memengaruhi budaya dan kemajuan Jepang pada awal abad ke-16 sampai dengan abad ke-17. Berkat karya-karyanya, Endo dianugerahi sejumlah hadiah. Tahun 1955 Endo memeroleh penghargaan Akutagawa2 dalam karyanya yang berjudul Orang Putih (White Person) dan tahun 1966 ia memeroleh penghargaan Tanizaki3 dalam karyanya yang berjudul Chinmoku. Endo menulis beberapa novel lain yaitu Orang Kuning (1955), Laut dan Racun (1958), Studi Asing (1950), dan Hidup Yesus (1973). Novel Chinmoku dipilih untuk menjadi objek penelitian karena berlatar sejarah Jepang mengenai konflik antara Barat dan Timur tentang penyebaran agama Kristen di Jepang dan menjadi novel terbaik abad ke-20 di Jepang. Novel Chinmoku (Hening) mengisahkan perjalanan tiga misionaris yang berasal dari Roma bernama Sebastian Rodrigues, Juan De Santa Marta, dan Pastor Franciso Garrpe. Kedatangan mereka ke Jepang untuk mencari keberadaan mentornya bernama pastor Christovao Feirra, yang telah dikabarkan mengingkari imannya dan menikah dengan wanita Jepang. Tujuan utama kedatangan Rodrigues ke Jepang selain mencari mentornya juga bermaksud untuk membantu orang-orang Kristen yang hidup tanpa adanya pastor. Namun, ia bersama Garrpe ditangkap oleh pemerintah Jepang di tempat yang berbeda. Pemerintah Jepang tidak memperlakukan mereka dengan kejam, hanya dipaksa secara halus untuk mengingkari keyakinannya sebelum banyak korban yang terbunuh. Hari demi hari 2 3 Penghargaan Akutagawa Ryūnosuke adalah hadiah sastra yang diberikan kepada penulis pendatang baru atau penulis yang belum dikenal dalam dunia penulisan sastra di Jepang. (id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_akutagawa, Diakses 23-12-2013) Penghargaan Tanizaki yang diberikan setahun sekali untuk penulis fiksi atau drama. (id.wikipedia.org/wiki/junichiro_tanizaki. Diakses 23-12-2013). 3 Rodrigues lewati di penjara dengan melihat penganut Kristen disiksa secara sadis. Mulai timbul rasa keragu-raguan dalam dirinya terhadap Tuhan karena tidak ada bantuan dari Tuhan atas segala deritanya. Pada akhirnya Rodrigues melakukan fumie, yaitu tindakan yang mengharuskan kaum Kristiani untuk menginjak-injak lukisan keagamaan yang dianggap suci oleh mereka seperti Bunda Maria dan Yesus. Rodrigues mengingkari keyakinannya demi umat Kristen Jepang dan memutuskan untuk menetap di Jepang (Budiman, 2006:20). Perjalanan yang ditempuh oleh Rodrigues dan teman-temannya mengalami masa yang sulit. Keinginan untuk bertemu Ferreira bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, bahkan untuk melanjutkan misi mengkristenkan Jepang menjadi mimpi buruk selama mereka tinggal di Jepang. Selama tinggal di Portugal mereka hidup tenang, damai tanpa kekurangan apa pun. Namun, berbanding terbalik dengan kehidupan di Jepang, mereka harus hidup penuh ketakutan ditangkap oleh pemerintah, makan makanan yang lebih pantas untuk binatang, seperti kentang kering, mentimun busuk, dan ikan asin yang sudah tidak layak makan. Pertahanan mereka terus diuji hingga titik puncak kekejaman yang membuat mereka memutuskan untuk hidup sebagai murtad dan mati sebagai martir. Pemerintah Jepang pada novel Chinmoku terus membujuk Rodrigues agar melakukan pengingkaran iman. Mereka menyatakan bahwa Tuhan agama Kristen tidak sama dengan Tuhan agama di Jepang sehingga Tuhan agama Kristen tidak dapat dipahami oleh orang Jepang. Pada akhirnya karena tidak tahan melihat penyiksaan terhadap penganut Kristen yang sadis dan dilakukan di depan matanya, ia akhirnya melakukan fumie demi umatnya. 4 Jhonston (dalam Endo, 2008:8) memaparkan bahwa agama Kristen (disebut Kirishitan oleh orang Jepang) dibawa ke Jepang pertama kali oleh Fransiscus Xavier bersama dua rekan Yesuitnya dan seorang penerjemah yang bernama Anjiro tahun 1549 tepatnya di pantai Kagoshima. Xavier berhasil mengkristenkan beberapa ratus orang dalam waktu beberapa bulan sebelum ia berangkat ke China. Misi penyebaran agama Kristen di Jepang oleh Fransiscus Xavier kemudian digantikan oleh Alessandro Valignano yang berkebangsaan Italia.Valignano datang pada tahun 1579 tiga puluh tahun sesudah kedatangan Xavier ke Jepang. Pada saat pertama kedatangannya ke Jepang, sudah ada komunitas Kristen yang berkembang pesat, berjumlah sekitar 150.000 orang dengan kualitas yang luar biasa serta iman yang dalam, sampai-sampai ia membayangkan untuk mewujudkan sebuah pulau yang sepenuhnya dihuni oleh kaum Kirishitan di utara Asia. Valignano dengan cepat menyiapkan pembangunan seminari-seminari, kolase-kolase, dan sebuah biara. Setelah berjuang untuk mendirikan tempat ibadah, usahanya membuahkan hasil yang dapat dilihat dari para tuan tanah di Kyushu mulai memeluk agama Kristen dan membawa serta sebagian penduduk mereka untuk menganut agama Kristen. Menurut Yamagawa (1990:85), perkembangan agama Kristen di Jepang mengalami kemajuan yang sangat pesat seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan dengan pedagang asing. Pada masa sengoku jidai 4 yang dikuasai 4 Sengoku Jidai adalah zaman perang saudara antara Hosokawa Katsumoto dan Yamano Sozen berselisih dalam pergantian Shogun Yoshimasa yang kala itu lebih memperkaya diri daripada memerhatikan rakyat sehingga keadaan uang negara memburuk (Nurhayati, 1987:13). 5 oleh pemerintahan Toyotomi Hideyoshi bergelar Taiko 5 , menerima baik perkembangan agama Kristen di Jepang. Seiring dengan berjalannya waktu perkembangan agama Kristen mulai pesat dan Jepang mulai dipengaruhi oleh kebudayaan Barat. Banyak orang asing berkeliaran dan para tuan tanah (disebut daimyō) yang terkuat yang merangkap sebagai kepala perang mulai beralih menjadi agama Kristen. Perubahan ini membuat Hideyoshi merasa akan muncul pemberontakan yang pada akhirnya menentangnya. Selain itu, ketakutan Hideyoshi mulai memuncak ketika ia berkunjung ke wilayah Nagasaki. Ia melihat dibangunnya banyak gereja di Nagasaki dan perdagangan orang Jepang sebagai budak banyak dilakukan oleh orang asing. Pada tahun 1587 Hideyoshi mengeluarkan perintah pengusiran para misionaris Kristen, melarang agama Kristen, dan melarang para daimyō6 untuk mengkristenkan pengikutnya. Kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Jepang pada saat itu hanyalah strategi agar tidak dijajah oleh orang Barat. Ketakutan munculnya pemberontakan yang akan menjatuhkan kepemimpinannya membuat pemerintah Jepang mengeluarkan dekrit anti Kristen. Jepang adalah negara yang menganut sistem masyarakat feodal yang dipimpin oleh bangsawan untuk mengendalikan beberapa wilayah dengan kebijakan dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan yang dibuat. Masyarakat Jepang sangat menjungjung tinggi rasa hormat dan kesetiaan terhadap pemimpinnya. Namun, berbeda dengan konsep ajaran agama Kristen yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesamaan derajat dan hanya 5 6 Taiko adalah gelar Raja Agung yang diberikan oleh Kaisar Tenno karena jasa Hideyoshi untuk memajukan Jepang (Nurhayati, 1987: 14). Daimyō adalah istilah untuk tuan tanah penguasa suatu kadipaten. Daimyō adalah tuan tanah yang memiliki tanah lebih dari 10.000 koku (1 koku kurang lebih 180.391 liter beras) yang dihasilkan (Bellah, 1992 : 40). 6 ada satu Tuhan, yaitu Yesus, dianggap tidak sesuai dan mengarah kepada doktrinisasi yang dapat memicu pemberontakan. Kondisi sosial masyarakat penganut agama Kristen merasa tidak mendapatkan keadilan atas kebijakan pemerintah Jepang terhadap pelarangan penyebaran agama Kristen. Para petani merasa bahwa agama Kristen memperlakukan mereka dengan sangat baik, sebelumnya mereka diperlakukan seperti sapi perah atau kuda beban oleh pemerintah Tokugawa. Kondisi ini membuat munculnya banyak pemberontakan oleh sebagian masyarakat penganut Kakure Kirishitan 7 yang juga memicu lahirnya isu-isu politik keagamaan dan diberlakukannya kebijakan politik sakoku8. Objek penelitian ini dipertimbangkan karena novel Chinmoku berlatar sejarah Jepang pada awal abad ke-17, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan penutupan negara yang melarang adanya perdagangan dan penyebaran agama Kristen. Pengaruh Kristen pada rakyat Jepang juga menjadi wacana yang menarik untuk diteliti. Ada tiga alasan mengapa novel ini dianalisis. Pertama, wacana yang diungkapkan menarik karena dalam sebuah penyebaran agama yang suci terdapat isu-isu politik keagamaan yang terjadi untuk kepentingan suatu negara. Kedua, Endo sebagai sastrawan Kristen berani mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang kontroversi dan menggambarkan karakter tokoh utama sebagai pengingkar agama 7 8 Kakure Kirishitan adalah organisasi bawah tanah umat Kristen yang didirikan karena mereka tidak memiliki pastor agama Kristen, setelah adanya kebijakan larangan terhadap agama Kristen oleh Tokugawa. (Budiman, 2006:120). Sakoku adalah penutupan negara secara resmi yang terjadi pada tahun 1693 hingga 1852 akibat dari pelarangan agama Kristen dan peralihan perdagangan dari Hirado ke Dejima (Ichi, 1991:304). 7 Kristen. Alasan yang terakhir yakni novel Chinmoku merupakan adikarya termashyur yang telah menerima penghargaan bergengsi. Novel Chinmoku sudah dikaji di Jepang, yakni oleh Shoichi Saeki (1966) dan Kazoku Budiman (2008). Selain di Jepang, penelitian terhadap novel Chinmoku telah dilakukan oleh peneliti di Indonesia, yakni Wulandari (2010), Mashuri (2010), dan Sugiarti (2011). Penelitian mereka berhasil memberikan pemahaman atas makna dan kehadiran novel ini. Meskipun demikian, masih ada aspek menarik yang perlu didalami, yaitu wacana politik keagamaan yang menjadi fokus penelitian ini. Penelitian ini menganalisis wacana politik keagamaan yang meliputi bentuk, konteks penyampaian, dan makna wacana politik keagamaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan hegemoni yang mengacu kepada pendekatan terhadap sastra sebagaimana sastra mencerminkan masyarakat dan pengaruh agama sebagai pandangan hidup suatu negara. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini membahas beberapa masalah yang diteliti. Permasalahannya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku? 2. Apakah konteks wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku? 3. Apakah makna wacana politik keagamaan novel Chinmoku? 8 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk politik keagamaan dan pendekatan sosiologi sastra yang terkandung dalam novel ini. Tujuan umum tersebut adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengangkat sejarah Jepang yang terkandung dalam novel Chinmoku. 2. Untuk mendeskripsikan wacana politik keagamaan yang dituangkan ke dalam novel Chinmoku. 3. Untuk memaparkan pengaruh budaya Barat terhadap budaya Timur khususnya Jepang. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan permasalahan berkaitan dengan novel Chinmoku karya Shusaku Endo. Tujuan khusus tersebut adalah sebagai berikut. 1. Untuk menganalisis bentuk wacana politik keagamaan yang terkandung dalam novel Chinmoku. 2. Untuk menganalisis konteks wacana politik keagamaan yang disampaikan dalam novel Chinmoku. 3. Untuk menganalisis makna wacana politik keagamaan novel Chinmoku. 9 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra terutama dalam wacana sastra sehingga dapat memperkaya pengetahuan tentang kesusastraan Jepang. 2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat dan peneliti selanjutnya yang ingin meneliti novel Chinmoku. 3. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai media penelitian untuk mengaplikasikan kembali teori-teori yang pernah dipelajari selama mengikuti perkuliahan. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pembaca sehingga membantu dalam memahami kehidupan masyarakat Jepang pada masa lampau. 2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan masukan untuk meneliti sejarah Jepang pada abad ke-17. 3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian pada novel Chinmoku pada masa yang akan datang 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pada bab ini diuraikan peneliti sebelumnya terhadap objek penelitian dan kajian lain yang relevan dengan penelitian ini. Uraian ini dimaksudkan untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini dan mengapresiasi peneliti yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, juga diuraikan dengan ringkas konsep, teori, dan model penelitian. Ada beberapa peneliti atau tulisan yang membahas novel Chinmoku, yaitu Saeki (1966), Budiman (2006), Wulandari (2010), Mashuri (2010), dan Sugiarti (2011). Penelitian mereka umumnya membahas aspek kejiwaan, aspek estetika, aspek penokohan, dan aspek sejarah. Penelitian mereka mampu memperkenalkan aspek menarik novel Chinmoku, tetapi masih banyak aspek lain yang juga bisa dianalisis lebih jauh. Penelitian ini membahas masalah yang tidak dibahas dalam penelitian yang disebutkan di atas yakni wacana politik keagamaan terkait isu-isu politik dalam penyebaran agama Kristen di Jepang dalam novel Chinmoku. Saeki seorang kritikus sastra mengkaji “Bagian Kaiketsu dalam Chinmoku” (1966). Pengertian Kaiketsu adalah pemecahan suatu masalah atau lebih jelas Saeki menjawab berbagai pertanyaan tentang alasan Endo menulis novel Chinmoku. Penelitian ini memaparkan kritik yang ditujukan kepada novel Chinmoku dari kalangan gereja Katolik dan Protestan di Jepang karena karakter 11 tokoh-tokohnya tidak diungkapkan sesuai dengan sosok ideal yang diinginkan oleh gereja. Pandangan Saeki terhadap alasan Endo memilih tokoh utama orang Portugal memiliki dua alasan. Pertama, Endo dapat mengatasi masalah tokoh Rodrigues dengan kepercayaan diri bahwa ia seiman dengan Rodrigues. Kedua, keterbatasan kondisi Rodrigues justru memungkinkan munculnya simpati dan pengalaman Endo sendiri. Sebanding dengan Saeki, Budiman mengkaji “Sastra Agama Endo Shusaku, Dilema memahami Tuhan” tahun 2006. Salah satu pembahasan buku tersebut memaparkan sastra dan agama dalam novel Chinmoku. Dalam bukunya tersebut Budiman menganalisis sisi lain Tuhan menurut pandangan pengarang dan menjelaskan pola pikir pengarang yang dituangkan dalam novel Chinmoku. Pembentukan karakter tiap-tiap tokoh dikaitkan dengan sikap dan perilaku terhadap eksistensi agama Kristen. Selain itu, dipaparkan juga gambaran pemikiran tokoh-tokoh yang hidup murtad dan mati sebagai martir. Penelitian ini tidak lepas dari unsur-unsur estetika, yakni penceritaan latar, alur, waktu, penokohan, dan majas-majas yang dipaparkan sangat detail. Wulandari dalam “Analisis Unsur Latar Novel Chinmoku karya Shusaku Endo”, Wulandari (2010) menganalisis tentang latar yang digunakan dalam novel ini dengan hasil analisis yang mengacu pada tema novel Chinmoku, yaitu kediaman Tuhan terhadap orang-orang Kristen yang teraniaya. Penelitian ini banyak berfokus pada unsur latar yang menjadi bagian dari perjalanan Rodrigues selama di Jepang, khususnya di daerah-daerah terpencil, seperti pegunungan, desa Tomogi, laut Pulau Goto, hutan, dan semak-semak. 12 “Tema pada novel Chinmoku adalah “mengenai kebungkaman Tuhan terhadap orang-orang Kristen teraniaya” diambilnya tema ini karena dari awal sampai akhir cerita terus mengenai kebungkaman Tuhan” (Wulandari, 2010:24). Mashuri dalam “Analisis Psikologi Novel Chinmoku karya Shusaku Endo” (2010), membahas alur cerita dengan membagi tiga yaitu alur tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Penelitian ini menggunakan teori unsur fisiologis, unsur sosiologis, dan unsur psikologis. Di samping itu, penelitian ini juga memanfaatkan latar sosial dengan mempertimbangkan bahwa tiap-tiap tokoh memiliki cerita dan karakter tersendiri dalam mengasumsikan agama Kristen. “Alur tahap awal ditunjukan kepada Sebastian Rodrigues, Francisco Garrpe, dan Juan De Santa Marta berniat masuk ke Jepang dengan cara yang sama seperti pendahulunya”(Mashuri, 2010:23). Penulisan dalam bentuk skripsi sejarah dikaji oleh Sugiarti dalam “Kebijakan Politik Tokugawa :Pelarangan Penyebaran Agama Kristen di Jepang” (2011) yang menganalisis fakta sejarah yang terjadi pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 yang merupakan latar dari novel Chinmoku. Masuknya pengaruh budaya Barat ke Jepang pertama kali disambut baik oleh pemerintahan Jepang karena membawa pengetahuan baru bagi Jepang. Namun, seiring dengan berjalannnya komunitas orang asing yang masuk ke Jepang menimbulkan isu tentang penjajahan yang akan dilakukan oleh kaum misionaris melalui penyebaran agama Kristen membuat pada akhirnya terjadi pengusiran terhadap orang asing dan pelarangan penyebaran agam Kristen. “Perkembangan agama Kristen lama kelamaan mulai meresahkan Tokugawa Ieyasu karena konsep agama Kristen dengan agama-agama yang sudah ada sangat bertentangan” (Sugiarti, 2011:80). 13 Penelitian wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku adalah penelitian lanjutan dari penelitian di atas. Konsep sejarah yang tertuang dalam novel Chinmoku merupakan titik awal konflik yang memicu tokoh utama harus menentang batin dan keyakinan yang memilih melakukan pengingkaran. Hal itu terjadi karena alasan banyak umat Kristen yang teraniaya akibat kekukuhannya mempertahankan apa yang telah menjadi keyakinannya selama ini. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah wacana politik keagamaan yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini yang mencakup ruang lingkup sejarah pada abad ke-17 tanpa memperhitungkan kritik sastra, unsurunsur estetika, dan kondisi psikologis. Novel Chinmoku merupakan novel sejarah dan agama yang disusun berdasarkan fakta sejarah yang diambil pada zaman ketika munculnya kebijakan larangan penyebaran agama Kristen oleh pemerintahan Jepang setelah diberlakukanya politik isolasi negara. Penelitian ini mengangkat beberapa faktor munculnya politik keagamaan dan rekonstruksi sejarah yang terkandung dalam novel Chinmoku berdasarkan faktanya. 2.2 Konsep Untuk melakukan kajian yang lebih jelas terhadap politik keagamaan dalam novel Chinmoku perlu dijabarkan beberapa konsep. Adapun konsep-konsep yang dijelaskan pada penelitian ini adalah wacana politik keagamaan, sastra Kristen, dan novel agama Kristen. 14 2.2.1 Wacana Politik Keagamaan Ada beberapa pengertian wacana. Pengertian ini perlu diuraikan secara ringkas sebagai dasar untuk menjelaskan pengertian konsep ‘wacana politik keagamaan’. Menurut Badudu (dalam Badara, 2012:16) wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah maknanya yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Wacana juga merupakan kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. Menurut Hawtan (1992) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai buah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha untuk menggapai the good life ini, menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal yang menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Untuk melaksanakan kebijakankebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan alokasi dari sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan serta wewenang. Kekuasaan ini diperlukan, baik 15 untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat menyakinkan dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka. Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaanperbedaan di antara anggota-anggotanya (Budiardjo, 2008:15--16). Secara etimologi, istilah ‘keagamaan’ berasal dari kata “agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi keagamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III (2005:12) dinyatakan bahwa agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antara manusia dan manusia serta lingkungan. Berdasarkan penjelasan di atas dikaitkan dengan wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku, yakni prinsip agama Kristen tidak sama dengan kepercayaan Jepang yang menganggap bahwa manusia mempunyai posisi tertinggi dan dapat menjadi dewa. Mōtori Norinaga menyatakan bahwa Jepang adalah negara yang keturunannya berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu Omikami 天照大神) dan ini membuktikan keunggulannya dengan negara-negara lain. Dewa Matahari telah memberkati cucu laki-lakinya Ninigo No Mikoto dengan tiga pusaka suci, yaitu pedang, kaca, dan kalung mengangkatnya menjadi penguasa Jepang selama-lamanya. Keturunannya harus melanjutkan memerintah 16 selama langit dan bumi masih ada. Dengan bekal dan kewenangan penuh tersebut semua dewa di langit dan manusia tunduk kepadanya (Bellah, 1992:137). Langkah-langkah yang dilakukan oleh para misionaris dalam menyebarkan agama Kristen di Jepang adalah dengan melakukan perdagangan, membayar utpeti, dan mengkristenkan para tuan tanah (disebut daimyō) yang memegang peranan penting untuk kesejahteraan rakyat Jepang. Untuk itu, para misionaris membaptis banyak daimyō untuk meminta perlindungan dan mempermudah penyebaran. Daimyō yang pertama kali dibaptis dan merupakan daimyō terkuat pada masa itu adalah Omura Sumitada pada tahun 1562. Ia memerintahkan kepada seluruh penduduknya untuk menganut agama Kristen. Masyarakat Jepang diberikan pencerahan tentang paham monotheism, yaitu memuja satu Tuhan, yaitu Yesus. Selain itu, juga diajarkan tentang kesetaraan sosial bahwa semua manusia memiliki hak dan derajat yang sama. Sejak itu mulai banyak orang asing yang berkeliaran di Jepang dan para daimyō yang terkuat yang merangkap sebagai kepala perang mulai beralih menjadi agama Kristen. Hal ini dikhawatirkan Hideyoshi akan terjadi pemberontakan terhadap sistem pemerintahannya selama ini yang berujung pada penjajahan terhadap negara Jepang. Hideyoshi bertindak melaksanakan kebijakan larangan beragama Kristen atau disebut kinzei dalam sejarah Jepang, Shogun Tokugawa pun mengikuti kebijakan tersebut pada tahun 1614 seluruh misionaris dan pastor agama Kristen diusir dari Jepang. Menurut Budiman (2006:33), dalam novel Chinmoku tokoh pemerintahan Jepang Gubernur Inoue sebagai kepala pemerintah pengusiran kaum Kirishitan menjadi peran penting yang bertugas membujuk para misionaris untuk 17 mengingkari imannya. Ia mengerti bahwa bagi orang Kristen, martir adalah suatu kemuliaan di mata Tuhan. Oleh karena itu, ia menghalangi para misionaris memilih mati sebagai martir pengikut agama Kristen tidak mengagumi cara itu. Jika misionaris murtad, agama itu akan merasa kecewa atas kelakuan pastornya. Tujuan Inoue tidak membunuh, baik penganut biasa maupun misionaris, tetapi menyiksa atau membujuk mereka memilih murtad dari agamanya dan mengganti agamanya dengan agama Buddha. Pokok bujukan Inoue kepada para pastor ialah soal agama Jepang dan agama Kristen yang bertentangan. Agama Kristen tidak bisa berakar dan menguasai tanah Jepang karena Jepang adalah rawa lumpur bagi agama Kristen dan keberadaan agama Kristen juga mengganggu negara Jepang. Yang dimaksud dengan ‘wacana politik keagamaan’ dalam penelitian ini adalah konsep ajaran agama Kristen yang memiliki perbedaan dengan aliran kepercayaan dan agama yang sudah ada di Jepang yakni Shinto, Budha dan Konfusius. Agama-agama tersebut telah lama diyakini, Shinto sebagai suatu aliran yang tertua menganut paham politheism yang percaya dengan adanya banyak dewa dan kekuatan roh dalam setiap benda dan percaya bahwa Kaisar adalah keturunan Dewa Matahari. Agama Budha dan aliran Konfusius merupakan agama yang datang dari negara China. Konsep ajaran ini secara keseluruhan sama dengan aliran Shinto sehingga bisa diterima dengan baik di Jepang. Sebaliknya, agama Kristen datang dengan pemahaman baru tentang paham monotheism yang memuja Yesus dan Bunda Maria dan pencerahan mengenai kesetaraan sosial untuk seluruh manusia. 18 Paham-paham baru yang diajarkan oleh para misionaris dianggap pemerintah Jepang sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan pemberontakan terhadap sistem feodal yang telah lama diterapkan di Jepang. Para daimyō tertinggi, bahkan sudah dibaptis dan mengkristenkan penduduknya sehingga mempermudah berkembangnya agama Kristen di Jepang. Pemikiran pemerintah Jepang akan adanya pemberontakan berujung pada penutupan negara dan pengusiran misionaris. Para misionaris, seperti Ferreira dan Rodrigues dipaksa untuk mengingkari iman mereka dan tinggal di Jepang. Kehidupan mereka diatur negara, yaitu dari tempat tinggal, pekerjaan hingga pemilihan istri. Isu-isu politik keagamaan digunakan untuk tetap mempertahankan sistem pemerintah Jepang dan memanfaatkan para misionaris yang murtad untuk kepentingan negara dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. 2.2.2 Sastra Kristen Sastra Kristen (Kirisutokyo Bungaku) adalah sastra yang ditulis oleh pengarang yang beragama Kristen di Jepang. Istilah ini sangat relatif sifatnya karena mengacu pada latar belakang pengarang bukan pada isi sehingga novel Chinmoku merupakan sastra Kristen. Namun, dalam penelitian ini istilah sastra Kristen diambil untuk konteks terbatas karena penulis novel Chinmoku adalah penganut agama Kristen yang muncul setelah Perang Dunia II. Eksistensi unsur tokoh dalam karya sastra dengan unsur kekuatan seperti Tuhan atau iblis merupakan pola asli umum bagi sebagian besar tema karya mereka. Garis horizontal dalam hal ini perbuatan manusia bertemu garis vertical, yaitu Tuhan 19 (atau iblis). Ini merupakan unsur dinamik dalam tema sastra yang banyak dikembangkan (Budiman, 2006:1). Tidak ada arti kalau kita memikirkan putusnya hubungan agama dan sastra atau menyambungnya secara ideologis. Akan tetapi, hal yang diperlukan pengarang adalah unsur agama Kristen terdapat dalam sastra modern, termasuk sastra kontemporer atau bagaimana sastrawan Jepang memperlihatkan ketertarikannya pada agama Kristen atau unsur dalam sastra agama. Pemerhati karya sastra (bisa pembaca, penonton, ataupun pengamat) juga akan memperhatikan maksud pencipta dalam berbagai karya sastra secara mudah. Unsur agama dan sastra bertemu dalam imajinasi pengarang atau pencipta ketika mereka memperhatikan eksistensinya. Eksistensi itu bergerak menuju upaya menyucikan diri dengan sendirinya. Dengan begitu agama dan karya sastra bergabung dalam sikap pengarang ketika berusaha menyaksikan hal-hal duniawi sambil berorientasi ke unsur yang kekal. Pascaperang dunia II, sikap budayawan terhadap agama Kristen mulai menunjukkan perubahan. Mereka bersikap tidak membenci ataupun memprotes Kristen seperti yang ditunjukkan pada masa perang dunia II. Sikap mereka terhadap agama Kristen menjadi lebih netral (Takeda, 1976:310--318). Budiman (2006:3) memaparkan perkembangan agama Kristen pasca Perang Dunia II dipelopori oleh Shin Rinzo (1911--1973) merupakan tantangan terhadap gaya penulisan sebelumnya. Para sastrawan mulai mencari kebenaran eksistensi Tuhan atau keberadaan manusia. Gagasan mereka tidak ditunjang oleh formalitas pengakuan fakta yang disebut zange (pengakuan atau pertobatan), 20 tetapi didorong unsur konflik batin atau drama kejiwaan manusia yang terjadi sebelum proses pencapaian zange itu. Untuk itu, menulis karya sastra atau naskah drama mereka harus mempunyai kesadaran tentang manusia. Mereka berusaha menulis pandangan manusia yang diperoleh dari pengalaman melalui Kristen Katolik, seperti persoalan dosa manusia, konflik kebaikan dan kejahatan, nasib manusia yang menyangkal Tuhan walaupun di sisi lain ia mencari Tuhan dan sebagainya. Agama Kristen Katolik banyak berpengaruh pada sastra Jepang. Pengaruh agama Katolik mengambil alih peranan pengaruh Protestan yang menganggap “pengakuan” sebagai tema paling tinggi hakikatnya di antara tematema lain. Oleh karena itulah, sastra pascaperang menyangkal sastra pengakuan sehingga agama Katolik mengambil alih posisi agama Protestan yang menganggap pengakuan sebagai tema yang paling tinggi di antara tema-tema lain. Masih dari pendapat Budiman (2006:5--9) karya sastra Endo banyak dipengaruhi oleh Francois Mauriac (1885--1970) yang menyatakan bahwa dirinya bukan novelis yang menulis tema agama Kristen, melainkan seorang penganut Kristen yang menulis novel. Lebih jelasnya ia tidak menyampaikan doktrin agama Kristen melalui novel. Pada awal penulisan, tema Endo berpusat pada penceritaan tentang alasan terjadinya jarak antara agama Kristen dan orang Jepang. Akan tetapi, selanjutnya Endo mengubah temanya menjadi upaya mendekatkan agama Kristen kepada orang Jepang. Endo menulis hal tersebut untuk mengampanyekan proposisi “Teologi Endo”, yaitu pertanyaan bagaimana caranya orang Timur (Jepang) dapat memercayai Tuhan yang dipercayai oleh orang Barat. 21 Endo dalam novel Chinmoku menggambarkan sosok figur pastor yang dapat dipercayai orang Jepang dan cara orang Jepang untuk dapat memercayai Tuhan yang datang dari Barat. Pastor yang digambarkan, seperti Ferreira dan Rodrigues memiliki paras yang penuh cinta kasih, ketenangan, dan pencerahan yang dianggap mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi oleh raykat Jepang. Menurut pandangan Endo bagaimanapun hebat dan dapat dipercayainya seorang misionaris, mereka tidak akan berhasil meyakinkan Tuhan orang Barat kepada orang Jepang sebagaimana kenyataanya. Sistem pertahanan yang dimiliki pemerintah Jepang sangat sulit diubah karena dasar pemikiran orang Jepang adalah menyerap segala ilmu pengetahuan baru dengan memosisikannya sebagai pandangan budaya Timur. 2.2.3 Novel Agama Kristen Ada beberapa jenis novel, yaitu novel fiksi yang merupakan novel fiktif atau tidak pernah terjadi dan novel yang dibuat berdasarkan kisah nyata, pengalaman seseorang atau yang mengambil data-data dari sejarah suatu negara. Ada pula novel romantis yang menceritakan kisah-kisah percintaan dan novel horror yang mengisahkan hal yang menyeramkan. Menurut Fleishman dalam Djokosujatno (2002:14), novel sejarah merupakan sebuah genre yang penting dan banyak ditulis oleh sastrawan negara Barat. Tentunya karya yang dihasilkan mempunyai kesadaran sejarah yang tinggi dan sebagai pelopor penulisan novel sejarah adalah Walter Scott pada abad XIX. Pendidikan yang baik berkaitan dengan sejarah memberikan peluang yang positif untuk penulisan novel sejarah. Di sisi lain novel sejarah berdampak positif pada tumbuhnya minat baca di 22 masyarakat. Oleh sebab itu, novel sejarah membantu memperkenalkan dan mendekatkan masyarakat tertentu dengan sejarahnya. Menurut Budiman (2006:12--13), novel Chinmoku adalah novel agama Kristen karena ceritanya disusun dengan data-data sejarah perkembangan agama Kristen di Jepang. Sehubungan dengan itu, kebanyakan peristiwa dan tokoh dalam novel tersebut dibuat berdasarkan fakta sejarah walaupun tidak semuanya sama. Cerita dalam Chinmoku dimulai dengan kalimat Roma kyookai ni hitotsu no hookoku ga motarasareta (suatu berita dikabarkan ke Gereja Roma). Cara penulisan ini seperti kalimat dari buku sejarah yang disampaikan pembaca secara objektif dan ringkas. Latar waktu novel Chinmoku ialah zaman ketika larangan agama Kristen dan politik isolasi negara dilaksanakan oleh pemerintahan Tokugawa. Menurut pendapat Varley (1973:148), Chinmoku adalah novel yang didasari oleh kisah nyata tentang pastor Christovao Ferreira yang telah murtad di Nagasaki pada tahun 1933. Hal tersebut didengar oleh dua muridnya, yakni Sebastian Rodrigues dan Fransisco Garrpe sehingga mereka memutuskan datang ke Jepang secara diam-diam untuk mencari kebenaran tentang kabar tersebut. Dalam buku para pastor, setelah terlindungi oleh penduduk desa Kristen di Jepang mereka ditangkap dan dipaksa untuk berpisah, dan yang terjadi selanjutnya adalah kisah yang diceritakan melalui surat-surat oleh Sebastian Rodrigues. Surat-surat tersebut mengisahkan pertemuan Rodrigues dengan Ferreira dan kemurtadan yang akhirnya dipilih oleh Rodrigues untuk kelangsungan hidup kaum Kristiani di Jepang. 23 Novel Chinmoku disebut sebagai novel agama Kristen karena novel ini mengisahkan perjalanan pastor muda yang bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen di Jepang. Perjalanan Rodrigues selama di Jepang melalui penderitaan yang panjang. Namun, penderitaan tersebut membawa berkah dan arti sebuah keyakinan dalam dirinya. Di Jepang Rodrigues menjadi pastor seutuhnya. Ia menyebarkan agama Kristen, mengajarkan doa, membaptis, menerima pengakuan dosa, mengadakan misa, dan menjelaskan hari-hari raya untuk Kristus. Keyakinan Rodrigues mulai memudar ketika ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa agama Kristen tidak bisa diterima oleh negara Jepang dari segi mana pun karena perbedaan pola pemikiran dan budaya. 2.3 Landasan Teori Permasalahan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, yaitu mengkaji politik keagamaan yang menjadi dasar dalam novel Chinmoku. Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra dan teori hegemoni. 2.3.1 Teori Sosiologi Sastra Penelitian ini mempertimbangkan unsur-unsur masyarakat yang mencerminkan kehidupan nyata dengan sebuah karya sastra. Pengekspresian pengarang dalam menghasilkan karya sastra secara nyata dipengaruhi oleh lingkungannya. Endo lahir dan besar di lingkungan orang Jepang yang beragama Kristen sehingga ia mampu menyampaikan masalah yang terjadi antara bangsa 24 Barat dan Timur. Berdasarkan hal itu, penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra. Menurut Wellek dan Warren (1990:109--111), hubungan sastra erat kaitannnya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang. Sastra tak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Akan tetapi, tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan menyeluruh mengekspresikan perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, yang semuanya itu merupakan struktur sosial merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan anggota di tempatnya masing-masing. Sosiologi adalah suatu telaah sosial terhadap sastra. Sosiologi dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sosiologi mempermasalahkan sesuatu di sekitar sastra dan masyarakat yang bersifat eksternal mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, dan adat istiadat. Menurut Endraswara (2011:79), sosiologi sastra adalah penelitian sastra yang terfokus pada masalah kemanusiaan, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan hidup manusia mewarnai teks sastra. Laurenson dan Swingewood (1971) dalam Endaswara (2011 :79) juga menyebutkan terdapat tiga perspektif berkaitan dengan 25 sosiologi sastra. Pertama, penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya terefleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Kedua, penelitian mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi penulisnya. Ketiga, penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Rodrigues dalam novel Chinmoku digambarkan memiliki sifat yang berani dan bersemangat. Hal itu dapat dilihat ketika Jepang sedang melaksakan kebijakan larangan terhadap agama Kristen. Saat itu Rodrigues menyusup ke tempat berbahaya untuk mencari informasi tentang Pastor Ferreira. Sesampainya di Jepang, Rodrigues tinggal berpindah-pindah tempat dengan bantuan penganut agama Kristen bawah tanah (Kakure Kirishitan). Mereka mengajarkan agama Kristen kepada penduduk setempat. Munculnya kebijakan pelarangan agama Kristen membuat Rodrigues harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari pemerintah Jepang. Selain Rodrigues adapun tokoh lain, yakni Ferreira yang terpaksa harus meninggalkan Kristen karena tidak sanggup untuk melewati siksaan yang dihadapkan padanya sehingga oleh pemerintah Jepang Ferreira diganti nama menjadi nama Jepang dan diberikan istri. Ia ditugaskan sebagai juru bahasa dan membuat buku anti Kristen (Budiman, 2006 : 24). 2.3.2 Teori Hegemoni Kekuasaan dalam suatu negara dipegang oleh pemerintahan yang kuat dan memiliki sistem tatanan pemerintahan yang ketat. Hal tersebut dilakukan untuk tetap menjaga sistem pemerintahan agar tidak terjadi pemberontakan- pemberontakan yang mengarah kepada penjajahan. Penelitian ini menggunakan 26 teori hegemoni sebagai acuan untuk menganalisis novel Chinmoku. Hegemoni memahami bagaimana strategi suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya secara persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon,1999:19--20). Menurut pandangan Simon (1999:22), dasar-dasar konsep hegemoni diletakkan oleh Lennin dengan menyempurnakan upaya yang telah dikerjakan oleh para pendiri gerakan buruh Rusia. Istilah hegemoni pertama kali dipakai oleh Plekhanov dan pengikut Marxis Rusia lainnya pada tahun 1880-an untuk menunjukkan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani dengan tujuan meruntuhkan gerakan Tsarisme. Kelas pekerja harus mengembangkan kekuatan nasional, berjuang untuk membebaskan semua kelas atau kelompok yang tertindas. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk revolusi, suatu strategi yang dijalankan oleh kelas pekerja dan anggotaanggotanya untuk memeroleh dukungan dari mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya sehingga hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh. Hegemoni yang terdapat dalam novel Chinmoku adalah hegemoni dalam bentuk agama. Agama Kristen diterima baik oleh banyak kalangan masyarakat Jepang saat itu. Tingginya ketentuan pajak yang semakin menyiksa membuat 27 rakyat Jepang membenci pemerintah dan merasa mendapatkan bantuan berupa pencerahan tentang Tuhan, kasih sayang, dan cinta kasih dari para kaum misionaris. Penganut Kristen tak hanya dari kalangan rakyat jelata, tetapi juga para daimyō terkuat ikut membaptiskan dirinya dan seluruh masyarakat didaerah kekuasaannya. Perkembangan agama Kristen yang begitu pesat merisaukan dan menimbulkan kekhawatiran pada pemimpin Jepang. Ajaran tersebut dianggap bertolak belakang dengan sistem masyarakat feodal yang sedang berlangsung di Jepang. Selain itu, sikap orang-orang asing yang tinggal di Jepang tidak mau menghormati pemerintah. Mereka tidak mau tunduk terhadap perintah-perintah pemerintah Jepang sehingga Tokugawa merasa terancam akan adanya para misionaris di Jepang. Konsep egalitarian adalah doktrin pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat dan status menurut ajaran agama Kristen. Hal itu tidak bisa diterima oleh pemerintah karena ajaran tersebut secara tidak langsung akan mendoktrin para petani atau kaum tertindas untuk memberontak dan meminta hak mereka untuk mendapatkan status hak yang sama. 28 2.4 Model Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitian yang dihubungkan dengan permasalahan dan teori yang dijadikan landasan dalam mengkaji permasalahan penelitian ini. Berikut gambaran model penelitian novel Chinmoku. Sejarah Jepang abad ke-17 Sejarah Perkembangan Agama Kristen di Jepang Novel Chinmoku - Dalam Konteks Apa Wacana Politik Keagamaan Disampaikan Bentuk Wacana Politik Keagamaan Hasil Temuan Keterangan Model Penelitian Penceritaan rekonstruksi sejarah Teori yang digunakan dalam penelitian Objek penelitian Teori Sosiologi Sastra Teori Hegemoni Makna Wacana Politik Keagamaan 29 Analisis penelitian Garis penghubung dari rekonstruksi sejarah kepada objek, menghubungkan teori dengan objek dan dari objek terhubung dengan hasil penelitian Hasil temuan penelitian Model penelitian dalam penelitian ini disesuaikan berdasarkan kerangka pola pikir. Susunan inti penelitian ini adalah novel Chinmoku yang terinspirasi dari sejarah Jepang pada abad ke-17. Pada zaman perang merupakan sebuah peristiwa sejarah yang menjadi titik puncak masuknya pengaruh budaya Barat ke Jepang. Sebagai wujud representasi pengaruh dunia Barat terhadap Jepang pengarang melahirkan sebuah mahakarya yang menjadi dasar sudut pandang pemikirannya. Interaksi budaya Barat yang telah melampaui batas telah menciptakan suatu dimensi waktu yang tak mampu diterima nalar hingga dikaitkan dengan sejarah agama Kristen yang masuk ke Jepang melalui perdagangan. Kedatangan kaum misionaris dalam misi penyebaran agama dianggap pemerintah sebagai salah satu ancaman untuk melakukan penjajahan dan menguasai pemerintahan Jepang. Hal tersebut juga menandakan adanya interaksi antara bangsa Barat dan Timur dengan membawa misi gold (perdagangan), glory (kekuasaan) dan gospel (penyebaran agama), Peneliti melakukan interpretasi novel Chinmoku karya Shusaku Endo dalam identifikasi struktur naratif dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan hegemoni untuk menganalisis bentuk wacana politik keagamaan, dalam konteks 30 apa politik keagamaan disampaikan dan makna politik keagamaan dalam novel Chinmoku. Dengan demikian, pada penelitian ini dapat diuraikan hasil temuan analisis yang mengarah kepada kebenaran tentang isu-isu politik keagamaan dalam novel Chinmoku sesuai dengan konteks sejarah. Wujud interaksi antara budaya Barat dan Timur merupakan unsur struktur dalam novel Chinmoku yang meliputi penerimaan pengaruh budaya Barat dari segi gaya hidup, ilmu pengetahuan, dan agama Kristen. 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Tatanan sistem mekanisme kerja penelitian ini meliputi beberapa tahapan yang dipersiapkan untuk penelitian yang terarah dan tepat sasaran. Tahap pertama yang dilakukan adalah tahap persiapan, yakni persiapan pemilihan objek penelitian, penentuan judul, studi pustaka, rumusan masalah, penentuan model penelitian hingga hasil analisis penelitian. Pemilihan objek dan judul dilakukan terlebih dahulu dengan membaca novel Chinmoku dan memahami teks. Selanjutnya mencari permasalahan yang belum dianalisis disesuaikan dengan konsep dan teori yang digunakan untuk mengkaji objek penelitian. Langkah selanjutnya dalam persiapan adalah studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang menunjang proses penelitian. Studi pustaka dan literatur disesuaikan dengan rumusan masalah serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan bahan-bahan pustaka berupa novel Chinmoku dan novel Silence sebagai pustaka utama beserta buku-buku penunjang yang berkaitan dengan penelitian ini. 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini melakukan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Jenis penelitian ini adalah 32 penelitian kualitatif yang menonjolkan proses, makna dengan menggunakan landasan teori sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sumber data penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang digunakan, yaitu novel Chinmoku karya Shusaku Endo terbit tahun 1996 yang merupakan novel asli Jepang dan novel Silence karya Shusaku Endo yang diterjemahan dari novel Chinmoku oleh Lesmana tahun 2008. Sumber data sekunder diambil dari buku-buku studi kepustakaan yang ada hubungannya dengan penelitian. Sumber data sekunder juga diambil dari sumber lain, seperti buku Dilema Memahami Tuhan karya Budiman tahun 2006, Japanese Cultural karya Varley tahun 1973, History of Japanese karya Yamagawa tahun 1990, beberapa buku lain yang berhubungan dengan penelitian ini, dan data internet digunakan sebagai referensi. Penelitian ini menggunakan novel Chinmoku yang merupakan novel asli Jepang serta novel Silence. Analisis dilakukan pada kutipan sumber asli yang ditulis dalam bahasa Jepang, diikuti kutipan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kutipan disajikan dalam bentuk sumber asli yang disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. 3.3 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian kartu data yang dibuat oleh peneliti. Kartu data menggunakan pengodean terbuka, yaitu pengumpulan data dengan pemberian nama serta pengelompokan data dan kutipan-kutipan yang relevan dengan masalah penelitian ini. Penggunaan kartu data memudahkan peneliti untuk mendapatkan data yang diinginkan. Selain kartu data, instrument 33 lain, yakni sumber internet juga dimanfaatkan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. 3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Penyediaan data dengan studi kepustakaan menggunakan teknik membaca teks novel Chinmoku yang menggunakan huruf Katakana, Hiragana, dan Kanji yang disesuaikan isi teks tersebut dengan teks novel Chinmoku yang sudah diterjemahkan. Objek dalam penelitian ini adalah novel Chinmoku berbahasa Jepang oleh Shusaku Endo (1966), dibantu dengan novel terjemahan yang diterjemahkan oleh Lesmana (2008). Untuk menerjemahkan huruf-huruf kanji penulis dibantu dengan kamus kanji oleh Chandra (2005). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembacaan, pencatatan dan kartu data. Novel Chinmoku dibaca dengan cermat agar ditemukan wacana politik keagamaan yang dialami masyarakat Jepang pada abad ke-17 yang terkandung dalam novel Chinmoku. 3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Penelitian ini memfokuskan pada data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dan dianalisis. Menurut Endraswara (2008:8), metode penelitian sastra adalah cara yang dipilih oleh peneliti dengan mempertimbangkan bentuk, isi, dan sifat sastra sebagai subjek kajian. Metode dan teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif analisis, kualitatif interpretasi. Penelitian ini mendeskripsikan beberapa fakta yang kemudian dianalisis dan diuraikan secara deskriptif. 34 Penelitian ini dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra yang menganalisis kondisi masyarakat Jepang dalam teks novel Chinmoku saat pemerintah Jepang melarang masyarakat menganut agama Kristen. Penelitian ini juga dianalisis dengan teori hegemoni yang menganalisis pengaruh doktrin agama Kristen terhadap masyarakat Jepang yang member pencerahan bagi cara pandang masyarakat Jepang. 3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Data yang telah dianlisis disajikan dengan metode informal. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dalam delapan Bab. Bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model penelitian. Bab III menjabarkan metode penelitian yang terdiri atas jenis dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis data. Bab IV menguraikan rekonstruksi penceritaan sejarah dalam novel Chinmoku. Sementara Bab V mengulas bentuk wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku. Bab VI menjelaskan dalam konteks apa wacana politik keagamaan disampaikan. Bab VII menganalisis makna wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku.Bab VIII adalah bab terakhir yang berisi simpulan dan saran. 35 BAB IV REKONSTRUKSI SEJARAH NOVEL CHINMOKU Dalam bab ini diuraikan rekonstruksi sejarah novel Chinmoku yang mencakup sinopsis novel Chinmoku, rekonstruksi sejarah Jepang yang terkandung dalam novel Chinmoku, visi dan misi Fransiscus Xavier dalam penyebaran agama Kristen, dan visi misi tiga misionaris yang datang ke ke Jepang bertujuan menemukan mentornya. Uraian-uraian di atas dideskripsikan berdasarkan kutipankutipan pada teks asli novel Chinmoku untuk menganalisis awal kejadian yang memicu timbulnya isu-isu politik keagamaan. 4.1 Sinopsis Novel Chinmoku Chinmoku berarti hening atau keheningan. Novel Chinmoku dikarang oleh sastrawan Jepang bernama Shusaku Endo. Novel ini diterbitkan pada tahun 1966 oleh penerbit Shincosha di Tokyo, Jepang dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2008 dengan judul Silence. Chinmoku terbit dalam 312 halaman dan dibagi ke dalam sepuluh bab. Bab pertama hingga bab keempat mengisahkan isi surat-surat yang ditulis oleh Sebastian Rodrigues. Novel Chinmoku mengisahkan perjalanan tiga pastor muda, yakni Sebastian Rodrigues, Juan De Santa Marta, dan Franisco Garrpe yang diam-diam datang ke Jepang untuk mencari mentor mereka Christovao Ferreira yang telah dinyatakan murtad di Jepang. Pada bab pertama hingga bab empat merupakan kisah yang diceritakan melalui surat-surat Rodrigues untuk gereja Roma. 36 Surat pertama yang ditulis Rodrigues mengabarkan sesampainya mereka di Macao setelah melewati perjalanan panjang dari Roma. Namun, kesehatan Juan De Santa Marta memburuk sehingga ia tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Jepang. Di Macao mereka bertemu dengan Bapa Alessandro Valignano yang menetap di sana selama sepuluh tahun. Keinginan Rodrigues dan Garrpe ke Jepang ditentang keras oleh Bapa Valignano karena sejak tahun 1636 pemerintah Jepang mencurigai adanya keterlibatan Portugis dengan pemberontakan yang terjadi di Jepang. Hal tersebut tidak mengurungkan niat mereka untuk membatalkan misi ke Jepang. Melalui pertimbangan yang sangat berat, Bapa Valignano mengizinkan mereka untuk pergi ke Jepang dengan alasan untuk mencari pastor Ferreira dan mengkristenkan Jepang untuk kemuliaan Tuhan Yesus. Di Jepang Rodrigues dan Garrpe tinggal di atas gunung di gubuk tempat penyimpanan arang atas bantuan Kichijiro. Keseharian mereka selama tinggal di Desa Tomogi adalah mendengar pengakuan dosa, memberikan petunjuk, mengajari berdoa, dan melakukan pembaptisan. Selama enam tahun Desa Tomogi hidup tanpa adanya pastor dan pemuka agama. Pada surat ketiga, Rodrigues berkesempatan untuk mengunjungi desa lain, yaitu Desa Goto yang letaknya tidak jauh dari Desa Tomogi. Hari pertama di Goto, Rodrigues sudah kebanjiran pekerjaan, bahkan tidak sempat tidur. Orang-orang silih berganti datang untuk menemuinya untuk dibaptis dan pengakuan dosa. Surat keempat Rodrigues adalah surat terakhir yang ditulis untuk menceritakan perjalanan hidupnya di Jepang. Surat ini mengisahkan kembalinya 37 para pengawal pemerintah Jepang yang memaksa penduduk desa menyerahkan diri akibat menganut agama Kristen. Dua penduduk Desa Tomogi bernama Mokichi dan Ichizo menyerahkan diri kepada pemerintah Jepang. Mereka dipaksa untuk melakukan fumie sebagai bukti bahwa mereka tidak beragama Kristen. Rodrigues dan Garrpe memutuskan berpisah untuk menghindari pemerintah Jepang. Perjalanan Rodrigues dilanjutkan tanpa tahu kabar mengenai sahabatnya Garrpe. Perasaan Rodrigues mulai kacau dan berhalusinasi mengapa Tuhan membiarkannya hidup seperti ini penuh cobaan, rasa takut hingga rasa keyakinannya yang mulai dipertanyakan. Tidak berselang lama ia melanjutkan perjalanan ke tengah hutan lalu ke pegunungan hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Kichijiro. Namun, Rodrigues telah dikhianati oleh Kichijiro, Rodrigues ditangkap dan ditempatkan di sebuah gubuk tua bersama beberapa penganut Kristen. Untuk pertama kalinya, Rodrigues bertemu seorang samurai tua yang memaksa mereka semua untuk mengingkari keyakinannya dan menjamin bisa hidup dengan bebas. Samurai tua itu sangat menyayangkan sikap Rodrigues untuk tetap bertahan terhadap keyakinannya, yang berakibat penyiksaan lebih kejam kepada para tahanan. Pengunjung kedua adalah sang penerjemah, yang mampu berbahasa Portugal. Penerjemah itu berusaha bernegosiasi dengan Rodrigues agar setuju untuk mengingkari imannya. Namun, jawaban Rodrigues tetap sama. Ia tetap mempertahankan keyakinannya. Sang penerjemah memberikan gambaran tentang pengaruh budaya Barat dan agama Kristen untuk Jepang. Baginya, agama Kristen hanya batu loncatan untuk bisa belajar di sekolah dan mendapat ilmu 38 pengetahuan. Hal itu dilakukan karena pada masa itu Jepang hanya mengizinkan anak para bangsawan yang bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Selang beberapa hari setelah kunjungan penerjemah, Rodrigues dipertemukan dengan Gubernur Chikogu bernama Inoue yang selama ini dianggap sebagai tokoh utama penyiksaan kaum Kristiani. Pertemuan pertama pastor dengan Inoue tidak seperti dibayangkan. Sosok Inoue adalah satu-satunya orang Jepang yang mengerti kondisi dan perasaannya selama berada di Jepang. Perdebatan mulai terlihat, sang Gubernur meyakinkan Rodrigues bahwa agama Kristen dan doktrinnya di Jepang tidak akan berhasil, Jepang ibarat rawa-rawa yang tidak bisa ditanami tunas muda tidak seperti negeri lain yang jika ditanami tunas muda akan tumbuh menjadi pohon besar yang subur. Sang pastor hanya berkata bahwa agama Kristen bersifat universal dan bisa diterima siapa saja. Pernyataan Inoue mulai meracuni pikirannya, mungkin benar apa yang telah disampaikan oleh Inoue. Sikap para pengawal yang menjaga di penjara mulai membaik, Rodrigues diizinkan untuk melakukan doa, kegiatan agama, dan misa walaupun hanya skala kecil. Sesekali ia diizinkan untuk berjalan-jalan dan diberikan jatah makan tiga kali sehari. Perlakuan pemerintah ini membuat Rodrigues curiga, mungkin ini salah satu cara mereka membuat pertahanan hati sang pastor lemah dan pada akhirnya setuju untuk murtad. Rodrigues diajak pergi ke suatu tempat. Pada akhirnya ia dipertemukan dengan sang mentor, yakni Ferreira. Singkat cerita, Ferreira memberikan alasan utama bahwa Jepang tidak sepenuhnya menerima agama Kristen. Mereka hanya mengadopsi doktrin Kristen dan menyamakannya 39 dengan agama Buddha. Bahkan, agama Kristen dianggap salah satu aliran dari agama Buddha oleh masyarakat Jepang. Ferreira pun memaksa Rodrigues untuk murtad, demi mengakhiri penderitaan yang panjang dan demi kelangsungan hidup mereka. Tak banyak yang bisa dikatakan oleh Rodrigues. Semua perjuangannya harus berakhir di papan fumie untuk menyelamatkan banyak umat yang dicintainya. 4.2 Rekonstruksi Sejarah Novel Chinmoku Kekuatan pola penceritaan dan formula-formula yang ada di dalam novel merupakan aktualisasi bagaimana pengemasan sebuah cerita. Kedua hal tersebut tentunya hanya menjadi wadah bagi penulis untuk mengemukakan ide atau gagasannya. Ide dan gagasan itu diduga tidak akan lepas dari ekapisme (pelarian) yang diusung pada saat novel ditulis. Karya sastra pelarian menurut Caweltu (1976:15--16) melibatkan pengenalan psikologis yang berbeda dan keduanya memainkan peran penting dalam membentuk pengalaman imajinatif untuk relaksasi dan regenerasi (Rosidi, 2010:4,8). Struktur naratif mencakup dua unsur, yaitu plot dan kisah. Plot adalah rangkaian yang di dalamnya naratif menceritakan peristiwa, sedangkan kisah adalah rangkaian logis dan kronologis peristiwa yang sedang diceritakan. Sebuah naratif biasanya mencurahkan banyak plot pada peristiwa penting dalam kisah. Hubungan plot dan kisah merupakan salah satu cara utama bagaimana pengetahuan naratif, siapa mengetahui apa dihubungkan dengan kekuatan sosial. Teks adalah sesuatu yang memuat berbagai keyakinan kultural yang berubah-ubah. Teks juga memperkenalkan karakter yang mengamalkan perjalanan hidup 40 seseorang yang mengisyaratkan genre novel atau biografi dan membuat penilaian tentang kualitas dan personalitas karakter (Thwaites, 2002:177,187). Penelitian ini menggambarkan bahwa peristiwa bersejarah terjadi pada awal abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-17 yang dituangkan dalam novel Chinmoku. Penceritaan rekonstruksi sejarah Jepang yang menjadi konflik pelik mengharuskan penulis mengaitkan kejadian-kejadian pilu dalam novel yang diambil dari kisah nyata. Menurut Forster (dalam Nurgyantoro, 2010:90--91) cerita adalah sebuah narasi dengan berbagai peristiwa yang secara sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Cerita harus mampu mengantarkan pembaca untuk mengetahui kelanjutan peristiwa dan membangkitkan suspence (hal terpenting dalam suatu cerita). Unsur peristiwa dilakonkan oleh para pelaku cerita. Dengan demikian, cerita merupakan pengurutan gagasan lakuan dan atribut yang memiliki urutan awal, tengah, dan akhir. Setiap cerita memiliki peristiwa khususnya novel Chinmoku yang diangkat berdasarkan fakta sejarah Jepang yang pernah terjadi ketika Jepang mengalami polemik dengan negara Barat. Menurut Budiman (2006:1,6), Chinmoku adalah novel yang dikategorikan sebagai novel agama karena dasar pembacaan bermula dari beberapa pikiran kritis tentang hubungan sastra dan agama khususnya agama Kristen. Pada awal penulisan, tema Endo berpusat pada terjadinya jarak antara agama Kristen dan orang Jepang. Terkait dengan pendapat di atas bagi Budiman (2006:7), Endo menggunakan tokoh utama seorang pastor Barat yang dijadikan figur yang dapat dipercayai orang Jepang dan cara orang Jepang untuk dapat memercayai Tuhan yang datang dari Barat. Endo menampilkan peristiwa sejarah, 41 yaitu bagaimanapun hebat dan dapat dipercayainya seorang misionaris, mereka tidak berhasil untuk meyakinkan “Tuhan orang Barat” kepada Jepang sebagaimana adanya. Pada tahun 1547 Franciscus Xavier tepatnya di Malaka bertemu dengan bangsawan Jepang bernama Anjiro. Anjiro telah mendengar kabar mengenai Fransiscus pada tahun 1545 dan berlayar dari Kagoshima ke Malaka dengan maksud bertemu dengannya. Anjiro melarikan diri dari Jepang setelah dituduh melakukan pembunuhan. Ia lalu mencurahkan isi hatinya kepada Fransiscus, menceritakan riwayat hidupnya serta adat dan budaya tanah airnya. Anjiro adalah seorang samurai sehingga dapat membantu Xavier dengan keahlian mediator dan penerjemah dalam karya misi di Jepang (Books, 2013:78). Kedatangan Fransiscus ke Jepang menjadi langkah awal bagi kaum misionaris dari Roma berdatangan ke Jepang untuk menyebarkan pemahaman agama Kristen lebih dalam. Kedatangan Sebastian Rodrigues, Francisco Garrpe, dan Juan de santa Marta serta merta karena terdengarnya kabar bahwa salah satu senior misionaris yang juga adalah seorang mentor telah melakukan murtad saat sedang bertugas di Jepang. “Roma Kyōkai ni hitotsu no hōkoku ga motarasareta. Porutogaru no Iezusu kai ga Nihon ni haken shiteita Kurisuto. Fereira kyōfu ga Nagasaki anazuri no dōmon o uke, kikyō o tatoiu node aru” (Chinmoku, 1966:1). Terjemahan : Berita tersebut sampai pada gereja di Roma. Ferrira yang dikirim ke Jepang oleh Serikat Yesus Portugal akhirnya menyerah dan murtad setelah mengalami hukuman dalam “lubang” di Nagasaki. Christovao Ferreira dikabarkan telah murtad karena tidak tahan akan penyiksaan yang telah diberikan kepadanya. Menurut Yainabara (dalam Endo, 42 2008:23), keyakinan yang dimiliki Ferreira bahwa Jepang adalah rawa-rawa yang tidak bisa menyerap Kristianitas bukanlah alasan menjadi murtad. Justru karena keimanannya Ferreira mulai berpikir seperti itu. Ferreira memberikan tanda menyerah setelah enam jam mengalami penyiksaan di dalam lubang. Pengkhianatan Ferreira yang begitu luar biasa mungkin tidak terlalu memiliki arti penting, tetapi kenyataannya bahwa dia adalah pemimpin misi yang diakui menjadikan shok tersebut terasa kejam terlebih terungkap bahwa kemudian dia bekerja sama dengan para penyiksanya. Tindakan Ferreira bukan karena tidak ada alasan, tetapi kekuatan untuk melarang agama Kristen begitu besar dan membabi buta. Hal ini dimulai pada masa pemerintahan Hideyoshi. Ia awalnya tidak keberatan tersebarnya agama Kristen di Jepang. Namun seiring dengan berjalannya waktu perkembangan agama Kristen mulai mengkhawatirkan karena mulai banyak orang asing yang berkeliaran dan para daimyō yang terkuat merangkap sebagai kepala perang beralih pada agama Kristen. Hal ini semakin membuat Hideyoshi takut muncul pemberontakan yang akan menentang kepemimpinannya (Yamagawa, 1990:85). “1587 nen irai, Nihon no taishu, Hideyoshi ga juurai no seisaku o kawaete Kirisutokyo o hakugaishi wa hajimeruto” (Chinmoku, 1966:5). Terjemahan : Sejak tahun 1587 Hideyoshi penguasa wali telah mengubah kebijaksanaan pendahulunya dan telah mulai melakukan penganiayaan mengerikan terhadap orang-orang Kristen. Menurut Yamagawa (1990: 85), Hideyoshi mengusir orang-orang asing beragama Kristen karena ajaran agama Kristen dianggap mengacaukan misi penyatuan negara. Hal ini juga dikhawatirkan adanya penguasaan negara oleh 43 negara asing, seperti Espania dan Portugal. Pada novel Chinmoku ditegaskan bahwa pengusiran misionaris terjadi pada masa pemerintahan Hideyoshi. Pendahulunya yakni Oda Nobunaga yang tidak menghiraukan agama Kristen. Oda hanya tertarik pada ilmu pengetahuan yang dibawa oleh para Nanbanjin berupa globe, ilmu kedokteran, dan cara berperang baru. Puncak kemarahan Hideyoshi tertulis pada surat-surat para misionaris yang menegaskan semuanya. “Mazu, Nagasaki no seihan de ni juu roku hito no shinai to Shinto tara ga funkei ni shosarare, kakuchi de amatano kishitan ga ie o ōware, gomon o uke, giyakusatsusare hajimeta” (Chinmoku, 1966:5). Terjemahan : Dimulai ketika 26 pastor dan umat dihukum di Nagasaki. Tidak lama sesudahnya, orang-orang Kristen diseluruh penjuru negeri diusir dari rumah mereka, disiksa dan dihukum mati dengan kejam. Berdasarkan catatan sejarah eksekusi terhadap 26 pastor terjadi pada 5 Februari 1579 di daerah bukit Nishizaka Nagasaki pada musim dingin atas perintah Toyotomi Hideyoshi. Hal ini disebabkan oleh pilot Spanyol yang terdampar di Jepang karena ingin membuat orang-orang Jepang terkesan, pilot itu membual bahwa kebesaran kerajaan Spanyol sebagian disebabkan oleh para misionaris yang selalu mempersiapkan jalan bagi angkatan bersenjata raja Spanyol. Ketika berita ini terdengar sampai telinga Hideyoshi, amarahnya meluap lagi dan dia memerintahkan sekelompok misionaris Kristen segera dieksekusi. Setelah 26 martir itu ditangkap mereka dibawa ke alun-alun dan telinga kiri mereka dipotong diarak dari satu kota ke kota lain. Hingga kini tidak jauh dari stasiun Nagasaki masih berdiri monumen peringatan di tempat mereka meninggal (Endo, 2008: 11). 44 Keinginan Rodrigues datang ke Jepang ternyata tidak mudah, mereka harus berjuang dari Roma dengan menggunakan armada kapal India berlayar memutari Afrika hingga menuju Goa. Setibanya di sana Rodrigues beserta kawankawannya mendengar kabar yang tidak mengenakkan tentang Jepang. Beberapa bulan sebelum keberangkatan mereka terjadi pemberontakan kaum Kakuren Kirishitan akibat tingginya pajak dan penindasan pada umat Kristen. Pemberontakan itu disebut dengan Shimabara no Ran atau pemberontakan Shimabara. “Nihon de san juu go mang hito no setsushitan tachi ga itsuki o okishi, shimabara o chuushin ni shite bakufu to akusen kutōshita ketsutō, rōwakadanjō“ (Chinmoku, 1966:13). Terjemahan : Tiga puluh lima ribu orang Kristen telah melakukan pemberontakan Shimabara dan dalam konflik berdarah yang terjadi kemudian dengan pasukan-pasukan Bakufu semua pemberontak itu dibantai tanpa kecuali. Pemberontakan Shimabara bermula dari penangkapan enam belas orang petani dan dijatuhi hukuman mati pada musim gugur tahun 1637. Hal itu terjadi karena mereka berdoa kepada Tuhannya, yaitu Yesus dan merupakan bentuk protes dari penindasan terhadap kaum Kristiani yang semakin menjadi-jadi dan tingginya pajak untuk Shogun yang membuat para petani, pedagang, dan samurai penganut agama Kristen melakukan pemberontakan. Mereka tidak puas terhadap pemerintah dalam bidang ekonomi dan politik. Akibat kerasnya penindasan yang dilakukan oleh pemerintah membuat banyak daimyō menjadi penganut Kristen yang setia. Mereka mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang asing dan 45 menyebarkan agama Nasrani di kalangan penduduk di daerahnya. Lambat laun gerakan Kristen ini berubah menjadi gerakan anti Shogun (Nurhayati, 1987:24). Surat pertama Rodrigues mengabarkan bahwa mereka tiba di Macao setelah melalui perjalanan hampir setahun penuh. Juan De Santa Marta mengalami penyakit malaria sehingga harus menetap di Macao. Selama berada di sana, mereka diasuh oleh Bapa Valignano yang telah menetap selama sepuluh tahun. Niat Rodrigues datang ke Jepang pada awalnya dilarang oleh Valignano karena semenjak terjadinya pemberontakan Shimabara Jepang menutup semua akses perdagangan dan memutuskan hubungan dengan Spanyol dan Portugal. Penutupan negara atau politik Sakoku merupakan salah satu kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Tokugawa Ieyasu. “Sen roppyaku san juu roku irai, nihon seifu wa shimabara no nairan ni Porutogaru jin kankei aru o utagai, tsuushō o mattaku tatta dake de hanaku, kumon yori nihon kinka ni itasuru kajō dewa, kyōtoshin no eiran gunkan ga shubottsushite, wa ga shōsen ni hogeki o kuwaeteiru no desu” (Chinmoku, 1966 :17). Terjemahan : Sejak tahun 1636 pemerintah Jepang yang mencurigai keterlibatan Portugal dalam pemberontakan Shimabara telah sepenuhnya memutuskan hubungan dagang dengan Portugal. Politik Sakoku dikeluarkan karena pemerintahan Bakufu 9 semakin mencemaskan meluasnya ajaran Kristen di kalangan masyarakat Jepang. Bakufu semakin memperketat pengawasan terhadap semua kegiatan perdagangan dan merampas perdagangan para daimyō sementara perdagangan luar negeri Jepang ditangani sendiri. Bakufu juga berkampanye bahwa perdagangan dengan orang- 9 Bakufu secara harfiah berarti “pemerintahan tenda” dan biasanya digunakan bergantian dengan kata “keshogunan”. Bakufu juga biasa disebut pemerintahan militer (Bellah, 1992 : 30). 46 orang asing tidak berguna dan sangat merugikan Jepang. Sehubungan dengan itu, mereka menghentikan perdagangan tersebut dan memutuskan menutup negaranya secara ketat. Bagi Bakufu kegiatan para misionaris Kristen ini sangat membahayakan stabilitas politik Jepang karena mereka membutuhkan sumber kekuasaan dan sasaran kesetiaan. Perlawanan gigih orang-orang Kristen semakin menimbulkan kecurigaan Shogun terhadap semua perdagangan luar negeri. Sebenarnya, ia tetap berusaha menjaga hubungan dagang dengan Spanyol dan Portugal, tetapi perlawanan orang-orang Kristen semakin sengit sehingga ia memperkeras tekanan dengan menghentikan sama sekali perdagangan. Setelah itu Bakufu mengadakan pengawasan terhadap semua orang Spanyol dan Portugal yang masih berada di Jepang. Pada tahun 1639 kantor dagang Belanda yang ada di pelabuhan Hirado dipindahkan ke Dejima di pelabuhan Nagasaki. Kapal-kapal pedagang harus memiliki sertifikat agar tidak disebut sebagai bajak laut. Sertifikat itu disebut Shuinjo. Mereka dilarang bergaul dengan orang-orang Jepang di sekitarnya dan tidak diperbolehkan mengunjungi daerah-daerah Jepang lainnya. Bagi pemerintah Jepang, para pedagang asing adalah sumber gangguan keamanan yang sangat membahayakan (Nurhayati, 1987:24--25). Bapa Valignano sepenuhnya menentang perjalanan Rodrigues ke Jepang karena ia berkewajiban menolak mengirimkan lebih banyak misionaris ke Jepang. Selain perjalanan laut ke sana yang amat berbahaya yang akan dihadapi, posisi kaum misionaris sangat ditentang hingga tidak ada kapal Portugis yang bisa memasuki wilayah perairan laut Jepang. Keinginan besar Rodrigues dan Garrpe untuk pergi ke Jepang sangat beralasan selain untuk memastikan kabar kebenaran 47 tentang Ferreira juga merasa kasihan akan kondisi dari kaum Kristiani yang hidup tanpa adanya rutinitas agama karena keterbatasan pemimpin keagamaan. Budiman (2006:18) mengemukakan simpulan bahwa terdorongnya oleh rasa cintanya terhadap agama Kristen, Rodrigues dan teman-temannya berangkat meninggalkan tanah airnya Portugal menuju Jepang karena gereja Katolik menerima berita bahwa Ferreira yang adalah senior dan idola Rodrigues yang sedang bertugas menyebarkan agama Kristen di Jepang telah murtad. Hal itu sangat mengejutkan para pastor di Portugal, terutama Ordo Jesuit. Jika itu benar terjadi, kehormatan dan wibawa agama Kristen tentu tercemar. Peristiwa tersebut dianggap sangat memalukan. Kepergian Rodrigues dan kawan-kawannya bertujuan untuk mengembalikan citra dan harga diri agama Kristen. Kebesaran hati Bapa Valignano pada akhirnya memberikan izin mereka untuk berangkat dalam misi rahasia. Penantian keberangkatan telah usai setelah pertemuan Rodrigues dengan orang asli Jepang bernama Kichijiro. Kichijiro berasal dari distrik Hizen dekat Nagasaki. Dia satu-satunya orang Jepang yang tersisa di Macao. Setelah berdiskusi akhirnya Kichijiro bersedia mengantarkan Rodrigues ke Jepang dan bertemu dengan orang Jepang penganut agama Kristen. Pada surat kedua yang ditulis Rodrigues disampaikan bahwa ia dan Garrpe telah tiba di Jepang. Mereka dijemput oleh orang-orang penganut Kristen tersembunyi dan untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan saudara-saudara yang telah lama menanti kedatangan para pastor. “Padore, Padore rōjin wa jūji o sette, sono koe wa wareware o itawaru yushisa ga arimashita. Ima padore, shinpu sama to iu kono natsukashii Porutugaru go o koko de mimi ni shiyōto wa yume ni omotte inakatta” (Chinmoku, 1966:38). 48 Terjemahan : “Padre, Padre!” Lelaki tua itu membuat tanda salib seraya mengucapkan katakata tersebut, dan dalam suaranya ada nada lembut dan prihatin atas penderitaan kami. Bagi kami sendiri, kata “Padre” itu, yang diucapkan dalam bahasa Portugis kami tercinta. Pelaku Kakuren Kirishitan adalah orang-orang Jepang yang menganut dan meyakini agama Kristen. Akibat tingginya pajak dan pemberatan akan status sosial yang dibedakan membuat orang-orang Kristen kaum kecil merasa membutuhkan pencerahan hati dan tempat bersandar. Namun pada masa itu, pendeta Buddha banyak yang telah terjun ke dalam dunia politik, bahkan banyak dari mereka telah dipersenjatai. Menurut Yamagawa (1990:89--90) tidak hanya status sosial masyarakat yang dibagi, tetapi dalam kehidupan rumah tangga juga diatur oleh pemerintah. Berikut ini adalah bagan pembagian kelas masyarakat yang diatur oleh pemerintah Jepang. KELAS MASYARAKAT Bushi PENGERTIAN Shōnin Merupakan kelas militer atau biasa disebut sebagai samurai. Pada masa itu kaum militer yang posisinya paling atas belajar ilmu pengetahuan dan bela diri. Merupakan kelas petani, sekitar 80% penduduk Jepang adalah petani. Kaum petani dan pedagang tidak memiliki nama keluarga Merupakan kaum pedagang Shokunin Kaum tukang atau pekerja Shushigaku Paham yang mengajarkan hubungan atas bawah, antara atasan dan bawahan Paham yang mengajarkan bahwa yang memegang kedudukan tertinggi sebuah keluarga adalah ayah atau Kachō dan anak laki-laki pertama yang disebut Chōnan. Paham yang mengajarkan penghormatan tertinggi untuk laki-laki dan merendahkan perempuan Kaum pekerja-pekerja lapangan yang tabu, mereka juga disebut orang buangan. Nōmin Kachō dan Chōnan Dansonjōhi Kaum Eta 49 Menurut pandangan Bellah (1992:76), semakin menguatnya ikatan motivasional terhadap pola-pola kelembagaan akan memperkuat kemampuan sistem integratif atau kelembagaan dalam mengontrol dan mengarahkan tindakan sosial atau singkatnya akan mendorong peningkatan disiplin sosial. Struktur kelembagaan dijaga kesatuannya terutama dengan cara ikatan-ikatan kesetiaan antara atasan dan bawahan. Penguatan sistem ini akhirnya berarti penguatan intensitas kesetiaan yang demikian memmengaruhi hubungan antara sistem politik dan kelembagaan. Karena dapat mengandalkan kesetiaan yang tinggi, kekuatankekuatan koordinasi yang dapat dipraktikkan oleh sistem politik penghadapan dengan sistem kelembagaan juga diperkuat. Rodrigues dan Garrpe merasa gembira sudah tiba di Jepang. Mereka tiba di desa nelayan bernama Tomogi yang penduduknya sebagian telah menerima pembaptisan. Penduduk desa itu menyembunyikan mereka di gunung belakang Desa Tomogi di sebuah pondok penyimpanan arang. “Sumigoya de wareware wa hajimete jibuntachi ga tochaku shita basho ga doko de attaka o kyōete moraimashita. Nagasaki kara judai reguwa no kyori ni aru Tomogi to iu gyoson nado desu” (Chinmoku, 1966:40). Terjemahan : Desa ini desa nelayan Tomogi, orang-orang Kristen itu menyembunyikan kami di sana, mereka mempunyai tempat persembunyian yang lebih aman di sana, dipondok penyimpanan arang. Selama persembunyian di Desa Tomogi Rodrigues dan Garrpe sudah kebanjiran aktivitas keagamaan. Mereka mengadakan misa dan membaptis orangorang Jepang itu. Sebelum kedatangan mereka sudah ada kegiatan agama yang berlangsung enam tahun lalu, seorang imam Jepang, Miguel Matsuda dan Bruder 50 Yesuit Mateo de Coros menjalin kontak dengan Desa Tomogi. Namun mereka meninggal akibat kerja keras dan penderitaan. Tertulis pada surat Rodrigues yang ketiga, ia menceritakan keadaan Desa Tomogi yang menyedihkan. Mereka petani miskin yang mengais-ngais kehidupan dengan menanam kentang dan gandum di ladang-ladang yang hanya sepetak. Hal ini sangat berkaitan dengan pembagian masyarakat oleh pemerintah Jepang dengan penghasilan yang tidak seberapa mereka juga harus membayar pajak yang tinggi. Sejak terjadinya pemberontakan Shimbara, penguasa distrik ini telah mengerahkan segala cara untuk memburu orang-orang Kristen yang bersembunyi. Setiap hari para pejabat berkeliling menginspeksi setiap desa dengan saksama, dan terkadang menggrebek sebuah desa secara mendadak. “Tatoeba, sakunen kara, subete no ie wa rinka to no aida ni hei ya kakine o sakutte wa narame to iu fukoku ga demashita. Tagai no ie no uchigawa ga mitōseru yōni shite, moshi kaishii furumai o shite iru rinjin ga ireba sugu mikkoku saseru tame desu” (Chinmoku, 1966:48) Terjemahan : Sejak setahun lalu telah dikeluarkan peraturan yang melarang siapa pun membuat pagar atau tanaman pagar di antara rumahnya dengan rumah tetangganya. Mereka ingin melihat rumah tetangga sebelahnya dan kalau melihat ada gerak-gerik mencurigakan, dia harus melaporkannya segera. Pemberontakan Shimabara membuat pemerintah Jepang memperketat penyebaran agama Kristen, memburu kaum Kakure Kirishitan, dan memaksa mereka untuk meninggalkan keyakinannya. Budiman (2006:120) mendeskripsikan larangan agama Kristen yang diumumkan pemerintah Tokugawa pada tahun 1612 dan pengumuman Bateren Tsuihorei10 yang ditulis pada tahun 10 Bateren Tsuihorei adalah perintah pengusiran misionaris agama Kristen yang dicetuskan oleh Toyotomi Hideyoshi. (Budiman, 2006:120). 51 1613 oleh seorang pendamping Shogun yang bernama Konchiin Suuden. Berdasarkan hal itu, sejak sekitar tahun 1614 di daerah-daerah yang banyak umat Kirishitan mulai diterapkan sistem Shumon Aratame11. Sonin Hosho Seido12 merupakan cara yang dianggap paling efektif untuk menangkap kaum Kristiani. Pada zaman seperti itu sebagian besar masyarakat mengalami kemiskinan akibat pajak yang tinggi terkadang membuat mereka terpaksa membuat pengaduan agar memeroleh uang. Pada masa Tokugawa uang perak sangat berharga sehingga menjadi godaan besar bagi orang-orang miskin. Kutipan berikut memaparkan hadiah uang untuk orang yang memberikan pengaduan adanya aktivitas agama Kristen. “Watashitachi wa shisai no ibasho o todoketa mono ni wa gin san hyaku mai ga shiharawaremasu. Shūdō shi ni wa gin ni hyaku mai, donna Shinto demo hakken saesureba gin hyaku mai ga shōkin to naru no desu. Kore kara no kin ga amari ni mo hin shii nōmintachi ni donna yūwaku ni naruka o satsushi kudasai. Dakara shintotachi wa hotondo hoka no mura no ningen o shinjimasen” (Chinmoku, 1966:48). Terjemahan : Siapa pun yang melaporkan kami, para pastor, diberikan imbalan 300 keping perak. Orang yang melaporkan seorang Bruder diberikan imbalan 200 keping perak dan orang yang melaporkan seorang Kristen menerima imbalan 100 keping perak. Tak perlu kukatakan di sini besarnya godaan uang sebanyak itu untuk petani miskin ini.Akibatnya, orang-orang Kristen boleh dikatakan tidak lagi percaya penduduk desa lain. Banyak hal yang diperbuat pemerintah Tokugawa untuk tetap menjaga kedaulatan pemerintahannya. Tidak hanya mengatur dan menutup negara dari misionaris penyebar agama Kristen, perdagangan dengan pihak Asing juga di11 Shumon Aratame adalah sistem mengganti agama ke agama Budha, dengan sistem itu pemerintah mewajibkan penduduk mendaftarkan nama mereka di kuil-kuil agama Budha supaya mereka dapat membuktikan dirinya non-Kristen dan berhubungan dengan kuil Budha (Budiman,2006 :120). 12 Sonin Hosho Seido ialah sistem memberikan hadiah kepada orang yang melaporkan keberadaan kaum Kakuren Kirishitan (Budiman, 2006 : 119). 52 batasi dan berpusat pada wilayah tertentu. Selain itu, posisi para daimyō mulai dibatasi bahkan golongan para daimyō pun dibagi menjadi tiga, yaitu Shinpan daimyō 13 , Fudai daimyō 14 , dan Tozama daimyō 15 . Surajaya (1990:15) memaparkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Tokugawa dikatakan belum menjamin kesetiaan para daimyō sebab secara politis dan militer apabila terjadi penyatuan beberapa daimyō, kekuatan penyatuan ini sudah cukup menghancurkan pemerintah Bakufu. Perjalanan Rodrigues berlanjut pada datangnya kaum dua orang Kakure Kirishitan dari Kepulaun Goto. Mereka mendengar kabar dari Kichijiro bahwa Desa Tomogi kedatangan pastor yang selama ini ditunggu-tunggu oleh mereka untuk memberikan misa dan pembaptisan. Dari penjelasan kedua orang ini diketahui bahwa di Distrik Odomari para penduduk desa berhasil lolos dari pengawasan para pejabat dan mereka masih tetap mempertahankan keyakinan Kristen. Distrik dan desa-desa tetangga di Miyahara, Dozaki, dan Egami meskipun dari luar kelihatannya dihuni penduduk beragama Buddha, sebenarnya merupakan desa Kristen. “Batten, washira wa mō Misa mo Kokkai mo ukechorimasen. Minna, tada orasho dake tonaetoruto de gozarimasu” (Chinmoku, 1966:60). Terjemahan : Bapa selama ini kami belum mengikuti misa lagi. Kami belum membuat pengakuan dosa lagi. Selama ini kami hanya sekadar memanjatkan doa-doa. 13 Shinpan daimyō adalah daimyō yang masih keluarga dari Tokugawa Ieyasu yang bertempat tinggal di Edo (Surajaya, 2001:72). 14 Fudai daimyō adalah daimyō pengikut Tokugawa Ieyasu yang masih bertahan setelah perang dan bertempat tinggal di sekitar Edo (Surajaya, 2001:72). 15 Tozama daimyō adalah para adipati yang menyerah pada kekuasaan Tokugawa Ieyasu hanya setelah kemenangan terakhir Ieyasu. Mereka dipisahkan dari lingkungan Edo dan mendapat berbagai larangan atau pembatasan (Bellah, 1992:28). 53 Pengakuan kedua orang tersebut menyiratkan bahwa begitu terpuruknya hidup sebagai orang beragama Kristen. Bagi kaum rendah yang tertindas kedatangan para misionaris membuat mereka bagai menemukan jarum di tengah jerami hingga butuh waktu yang lama untuk menemukannya. Setelah melakukan perundingan dengan matang akhirnya Rodrigues berkesempatan pergi ke Pulau Goto. Antusias masyarakat Goto sangat tinggi terhadap Kristen terbukti setibanya di sana Rodrigues sudah kebanjiran pekerjaan tanpa henti, seperti misa, pembentukan Tossama16 dan Jiisama17 dan sakramen pembaptisan. Kabar tentang Ferreira masih sulit ditemukan, tetapi ada dua laki-laki penganut Kristen yang pernah bertemu dengannya. Mereka menggambarkan pengaruh Ferreira terhadap kaum tertindas. Ferreira telah mendirikan rumah penampungan untuk anak-anak telantar dan orang sakit di tempat bernama Shinmatsu dekat dengan Nagasaki. Terlintas di pikirannya bahwa mentornya Ferreira sudah menjalani kewajibannya sebagai pastor sehingga sangat dikenang sebagai pastor yang baik dan penuh kelembutan. Menurut Sudarmanto (1989:75), ajaran agama Kristen tentang sikap terhadap sesama adalah cinta kasih sebab siapa saja yang tidak mengasihi saudara yang dilihatnya tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya”. Cinta kasih sebagai motivasi dasar dan cinta sejati mendorong orang berbuat sesuatu bila melihat orang yang dicintainya diperlakukan tidak adil, dirampas haknya, ditipu, diperdaya, dan disakiti. Cinta kasih disebarkan untuk menolong jiwa-jiwa 16 17 Tossama adalah orang-orang penganut Kristen yang dipilih untuk mengajarkan berdoa dan katekisme, membuat daftar hari-hari raya gereja dan mengajarkannya kepada umat (Endo, 2008: 67). Jiisama adalah orang-orang Kristen yang dipercaya untuk melakukan sakramen pembaptisan (Endo, 2008:67). 54 yang lemah dan yang dianggap paling penting adalah bagaimana peranan gereja untuk menumbuhkan kehidupan iman di kalangan orang-orang yang menderita. Pendekatan dilakukan oleh para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen pada saat Jepang sedang mengalami masa perang. Dengan demikian, sangat mudah penerimaannya ibarat menyebarkan benih dan tunas-tunas muda pada tanah yang subur, yakni Jepang. Surat keempat Sebastian Rodrigues menceritakan dirinya kembali ke Desa Tomogi dan bertemu sahabatnya Garrpe. Rodrigues menggambarkan lebih jelas tentang kehidupan orang-orang Jepang khususnya penduduk Desa Tomogi yang sebagian besar adalah petani. Para petani di sana hidup dalam kemiskinan dan kejorokan yang jauh melampaui apa pun. Bahkan yang terkaya dari mereka hanya mampu makan nasi dua kali dalam setahun. Biasanya mereka makan umbiumbian, kentang, dan sayuran. Atap rumah terbuat dari alang-alang dan kondisi rumah sangat kotor dan menyebarkan bau busuk. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa kondisi Desa Tomogi adalah kondisi yang memang diperuntukkan kaum bawah. Sistem masyarakat feodal membuat mereka harus membayar pajak yang sangat tinggi. Jika tidak mampu membayar pajak, mereka akan disiksa tanpa belas kasihan. Pemerintah Tokugawa melakukan hal tersebut hanya untuk menjaga kedaulatan tatanan sistem pemerintahannya agar tidak terjadi pemberontak-pemberontak yang nantinya akan menggulingkan pemerintahannya. Diceritakan kembali sebuah kejadian yang begitu mendadak, yaitu pada 5 Juni Rodrigues mendapatkan firasat buruk. Tidak terprediksi inspeksi dadakan 55 terjadi di Desa Tomogi. Berdasarkan pengakuan informan para samurai ini diberi tahu bahwa diam-diam Desa Tomogi adalah penganut agama Kristen. Para samurai mengancam jika dalam waktu tiga hari tidak mengaku maka mereka akan mengambil sandera. Selama ini mereka tidak menaruh curiga pada siapa pun, tetapi keberadaan misionaris lambat laun pasti akan berujung pada penangkapan Penangkapan kaum Kakure Kirishitan pada umumnya akan dipaksa untuk melakukan murtad dan fumie. Hal ini dilakukan untuk menggoyahkan iman mereka dan menunjukkan bahwa agama Kristen tidak dapat diterima di Jepang apa pun alasannya. Setelah penangkapan dilakukan biasanya mereka akan dikurung di penjara selama dua hari lalu diinterogasi yang dimulai dengan tanya jawab yang terdengar mekanis. “Omaetachi wa Kirishitan ga jakyō de aru koto o shitte orō. Sono jakyō o omaetachi ga hōjiteiru to iu uttae ga atta ga, dō da. Naraba, koko de fumie o fundemiyo” (Chinmoku, 1966:84). Terjemahan : Kalian tahu bahwa Kristen adalah agama yang dilarang? kami menerima laporan bahwa kalian mempraktikkan agama terlarang ini, bagaimana tanggapan kalian? Lalu langkah berikutnya adalah “kalau begitu, injak-injaklah fumie ini”. Kutipan di atas menggambarkan bahwa sepintar apa pun menyembunyikan penganut agama Kristen tidak akan lepas dari pemantauan pemerintah Jepang. Penyekapan dan pemaksaan murtad hanya segelintir cara pemerintah untuk memaksa mereka memberitahu lokasi para pastor yang berhasil menyusup ke Jepang. Agama Kristen tidak akan bisa dihapuskan kalau saja mereka tidak memburu akar kekristenan, yakni para misionaris penyebar agama. Untuk itu pemerintah membayar mahal orang yang memberikan informasi keberadaan pastor. 56 Penangkapan dirinya atas pengaduan yang dibuat Kichijiro diceritakan Rodrigues pada bab kelima. Rodrigues sejak awal sudah curiga akan kesungguhan Kichijiro yang seolah-olah menolongnya, tetapi ia dijual kepada pemerintah Jepang. Kichijiro adalah salah satu penganut Kristen yang telah berkali-kali murtad. Ia memercayai agama Kristen sekaligus mengkhianatinya sehingga tidak heran bagi Rodrigues ketika ia ditangkap atas ulah Kichijiro. Perjalanan pada suratnya kali ini lebih mendalam karena ia ditahan bersama orang-orang Jepang penganut Kristen yang sangat yakin bahwa Tuhan Yesus akan datang menolong mereka. Perasaan Rodrigues bercampur aduk. Seingatnya tiap hari ia selalu menyembah Tuhan, menjalankan ajaran-Nya, dan mengasihi sesamanya, tetapi setiap hari ia mengalami penderitaan. Tuhannya tidak datang membantu. Pertemuannya dengan orang-orang Kristen di penjara membuatnya merasa iba karena tidak dapat membantu mereka. Salah seorang perempuan mengucapkan dengan lantang bahwa mereka penganut Kristen yang setia. Bagi mereka, agama Kristen banyak memberikan pencerahan dan gambaran tentang surga sebagai tempat penuh kedamaian dan kebahagiaan. “Wakarimatsusen. Atsujon, porain ni ikeba, honte suidō, anrashi ga aru to Ishida sama wa tsune zune, mosaretorimashita. Asoko ja, nengu no kibishii toritatte monakatone” (Chinmoku, 1966:128). Terjemahan : Bruder Ishida pernah mengatakan kalau kami masuk surga, kami akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Di sana kami tidak perlu bayar pajak setiap tahun, tidak perlu takut kelaparan dan sakit. Tidak ada kerja keras di sana. 57 Books (2013:96) menjelaskan bahwa bagi umat Kristen, surga adalah rumah para malaikat dan para kudus. Yesus dianggap sebagai Mahakuasa pencipta, penebus, penghibur, dan penyelamat umat. Yesus sebagai penyebar kasih sayang, cinta kasih, dan peneduh iman. Pada saat terpuruk bagi masyarakat Jepang datangnya para penebar kasih memberikan secercah harapan untuk bisa lepas dari belenggu pajak tinggi dan kehidupan yang teramat menyedihkan. Ancaman demi ancaman dilontarkan oleh para penjaga penjara. Mereka memaksa orang-orang itu untuk menyangkal iman mereka hanya sebagai formalitas. Tak hanya itu para penjaga juga selalu menyalahkan Rodrigues atas terbunuhnya para kaum martir yang dianggap mati sia-sia. Kedatangan Rodrigues ke Jepang dianggap hanya menambah daftar panjang nama orang-orang yang harus mati dan membuat stabilitas Jepang semakin menurun. Pengalaman penuh arti di penjara telah dilalui Rodrigues. Kini tiba saatnya ia bertemu dengan Gubernur Chikugo. Pertemuannya dengan Gubernur Chikugo diceritakannya pada bab keenam. Digambarkan oleh Bapa Valignano tentang sikap Gubernur Chikugo atau lebih terkenal dengan nama Gubernur Inoue sangat kejam dan licik untuk memaksa misionaris mengingkari iman mereka. Orang yang oleh Bapa Valignano disebut setan berwajah pucat ini nyatanya adalah laki-laki yang kelihatan penuh pengertian, baik, dan rapuh. Ketika bertemu dengannya langsung Rodrigues merasa baru pertama kali ada pejabat pemerintah yang menghargai kedatangannya ke Jepang. “Padore ga banri no soto ni shii toshite, kenso kannan o hete koko ni kirareru kokorozashi no kensa ni wareware tote itaku kokoro o dōka sareru. Sazo, kyō made tsurakatta koto de arōna” (Chinmoku, 1966:170). 58 Terjemahan : Bapa kami sangat terharu oleh keteguhan tekadmu menempuh jarak ribuan mil dan menghadapi berbagai bahaya dan kesulitan untuk datang kemari. Tak diragukan lagi, kau telah banyak menderita. Sikap atas dirinya oleh pejabat negara membuat Rodrigues semakin bingung. Ia diperlakukan sangat baik, makan tiga kali sehari, bahkan diizinkan berjalan-jalan dan bertemu tahanan penganut Kristen. Pada pertemuan ini Inoue memberikan gambaran kepada Rodrigues tentang ajaran agama Krisren yang dianggap tidak sesuai dengan karakter dan kepribadian masyarakat Jepang. Doktrin agama Kristen dirasakan tidak ada gunanya sehingga untuk apa agama Kristen dikembangkan di Jepang. Jepang sudah memiliki agama. Keyakinan dan panutan kedatangan para misionaris hanya untuk menambahkan suatu ajaran dan pola pikir yang berbanding terbalik sehingga dikatakan agama Kristen adalah sebuah ancaman. Ucapan Inoue tak sepenuhnya diterima oleh Rodrigues. Beberapa kali ia menyangkal apa yang diucapkan Inoue. Baginya Inoue hanya melakukan pendekatan untuk menggoyahkan imannya dan perlahan memaksanya untuk melakukan murtad. Menurut Budiman (2006:32), salah satu tugas Inoue adalah menertibkan kebijaksaan larangan beragana Kristen oleh pemerintah Tokugawa. Dalam sejarah Jepang disebut Kinzei. Sementara itu, objeknya adalah upaya menghilangkan agama Kristen dari Jepang. Jika dilihat dari kedudukan Inoue sebagai gubernur, ia harus menertibkan negara agar mendapat kepercayaan dari Tokugawa. Inoue akan merasa tenang jika rakyat tidak memeluk agama Kristen karena agama Kristen dianggap menganggu. Pernyataan tersebut mengisyaratkan 59 bahwa Inoue hanya menjalankan perannya sebagai pemimpin pengusiran agama Kristen, tidak ada alasan baginya menghukum para pastor tanpa alasan yang jelas. Pikiran Rodrigues masih terngiang tentang sosok Inoue, muncul rasa curiga dalam dirinya tentang perlakuan khusus dari para pejabat negara. Dalam perjalanan ini juga Rodrigues berkesempatan melihat para tanahan dipaksa melakukan fumie sebagai formalitas pengingkaran imannya. Ada salah seorang tahanan yang tetap akan keyakinannya menolak untuk fumie dibunuh di depan matanya pada siang hari. Hal tersebut membuat Rodrigues bertanya-tanya ke mana Tuhan pada saat seperti ini. Keraguan atas keyakinannya mulai muncul memmengaruhi otak dan cara berpikirnya sebagai pastor. Upaya para pengawal ini hanya untuk memaksa mereka murtad dan sekadar formalitas untuk segera menyelesaikan tugas-tugas mereka. “Hayausumaseba, hayau koko kara derareru to ja. Kokoro yori, fume to wa iu to ranu. Kogen mono wa tada kata dake no koto yue, ashikake mōshitatote omaera no shinjin ni kizu wa tsukumai” (Chinmoku, 1966:178). Terjemahan : Aku tidak menyuruh kalian menginjak-injak gambar itu dengan sungguhsungguh dan penuh keyakinan. Ini sekadar formalitas. Kalian cukup menginjakkan kaki ke atas gambar. Itu tidak akan mengkhianati keyakinan kalian. Pada bab ketujuh Rodrigues mengalami perjalanan yang paling tidak terduga, pertemuan kedua kalinya dengan Inoue membuat Rodrigues harus tetap berfokus pada keyakinannya. Inoue menceritakan Hirado dan menggambarkan Takenobu Matsuura sebagai Jepang yang memiliki empat selir sebagai negaranegara, seperti Spanyol, Portugal, Belanda, dan Inggris. Baginya keempat negara tersebut bak perempuan-perempuan yang tidak henti-hentinya membisikkan 60 cerita-cerita bernada fitnah karena saling cemburu ke telinga laki-laki, yakni Jepang. Rodrigues mulai menyadari apa yang ingin disampaikan oleh Inoue bahwa negeri-negeri Protestan, seperti Inggris dan Belanda dan negeri-negeri Katolik seperti Spanyol dan Portugis datang ke Jepang karena saling iri dengan kemajuan lawannya. Semua saling memburuk-burukkan dan menyampaikan fitnah kepada pihak Jepang. Para misionaris pun didorong rasa persaingan, bahkan pernah secara tegas melarang orang-orang Katolik Jepang bergaul dengan bangsa Inggris dan Belanda. Budiman (2006:53) memaparkan bahwa salah satu contoh pemikiran Inoue terhadap agama Kristen dikemukakan dalam ungkapan “wanita penyayang yang berparas jelek”. Ia pernah berbicara bahwa dirinya tidak menganggap agama Kristen sebagai agama yang buruk. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa agama Kristen tidak cocok bagi orang Jepang. Ia juga mengatakan bahwa laki-laki Jepang yang baik adalah memilih menikah dengan wanita Jepang yang lahir di Jepang dan sudah dikenal baik daripada memilih wanita asing. Bagi Inoue, wanita mandul dan berparas jelek adalah agama Kristen, sedangkan wanita Jepang yang lahir di Jepang adalah agama Budha. Jadi, Inoue percaya bahwa agama Budha lebih cocok bagi orang Jepang. Sebenarnya ia tahu bahwa agama Kristen itu baik, tetapi menurut pendapatnya agama itu tidak akan sesuai bagi Jepang karena agama itu berasal dari Barat. Itulah sebabnya Inoue mati-matian berusaha agar para penganut Kristen murtad dan masuk agama Buddha bila mereka ingin tetap tinggal di Jepang. 61 Pikiran Rodrigues semakin terusik atas pendapat Inoue tentang agama Kristen. Sepuluh hari setelah pertemuannya dengan Inoue, Rodrigues diarak pergi ke Nagasaki untuk bertemu dengan mentornya Ferreira yang selama ini dicari. Pertemuan mereka dilangsungkan di kuil Saishoji Nagasaki. Rodrigues sangat terkejut akan pertemuannya ini rasa rindu, kesal, marah, tangis memenuhi semua relung hatinya. “Nani ka…itte kudasai…” Shisai wa aegu yōna koe de itta. “moshi, watashi o awarende kudasarunara…nanika..iute..kudasai” (Chinmoku, 1966:223). Terjemahan : “Tolong…katakan…sesuatu.”Rodrigues nyaris terengah-engah ketika berbicara. “Kalau kau menaruh belas kasihan padaku…kumohon…katakan..sesuatu.” Ungkapan hati Rodrigues serta merta menghantam perasaan Ferreira, tidak ada kata yang mampu diungkapkannya lagi. Pertanyaan demi pertanyaan telah dilontarkan oleh Rodrigues, ia ingin tahu tentang kegiatan Ferreira setelah murtad. Penerjemah yang ikut pada pertemuan itu menjelaskan bahwa kegiatan Ferreira saat ini adalah menulis, menerjemahkan buku-buku astronomi dan pengobatan atas perintah sang magistrat. Bagi Ferreira kegiatannya itu sangat berguna bagi banyak orang setidaknya masih ada pengaruhnya selama ia berada di Jepang. Ferreira diberikan nama Sawano Chuan oleh pemerintah Jepang, menikah dengan perempuan asli Jepang, dan menulis buku tentang penyangkalan agama Kristen. Baginya semua hal yang dilakukannya berguna untuk orang lain, membantu orang lain, itulah satu-satunya harapan dan impian orang yang telah membaktikan dirinya sebagai pastor. Bagi para agamawan Kristen di Portugal, Jepang adalah negara di Asia ketika itu bersifat terbuka. Inilah kesempatan baik untuk mengembangkan agama 62 Kristen. Sehubungan dengan itu, Ferreira pun diutus ke Jepang. Pada mulanya kedatangan para misionaris Portugal diterima baik di Jepang. Agama Kristen Katolik berkembang pesat di Jepang karena pemerintah Tokugawa ingin berdagang dengan negara Eropa. Namun, perbedaann prinsip antara agama Kristen dan kepercayaan Jepang membuat kebijakan pemerintah diubah menjadi melarang penyebaran agama Kristen. Di bawah pemerintah Tokugawa, penganut Kristen disuruh berganti agama menjadi agama Buddha. Mereka yang masih menganut agama Kristen ditangkap dan disiksa sampai murtad dari agamanya. Saat itu Ferreira juga ditangkap dan disiksa. Gubernur Inoue membujuk Ferreira dan mengancam akan menyiksa para pengikut Ferreira. Akhirnya, Ferreira murtad dari agama Kristen. Ia disuruh berganti nama Jepang dan diberikan istri. Ferreira ditugaskan sebagai juru bahasa dan membuat buku anti Kristen. Menurut Ferreira, agama Kristen memang tidak cocok dengan orang Jepang dan orang Jepang belum pernah bisa memahami konsep Tuhan dalam agama Kristen (Budiman, 2006:24-25). Pertemuan mereka menimbulkan perdebatan antara keyakinan dan keselamatan nyawa para penganut Kristen di Jepang. Rodrigues bersikeras tetap mempertahankan keyakinannya di tengah kondisi terburuk di Jepang. Ferreira membujuknya dengan kata-kata bijak. Ia lebih dulu tahu tentang Jepang dan menyarankan Rodrigues meninggalkan keyakinannya demi banyak umat Kristen di Jepang. Selama kurun waktu dua puluh dua tahun Ferreira mempelajari karakteristik orang Jepang. 63 “Kangaeru ga yoi. Ima to nattewana, kono kuni ni Kirishitan no Padore wa omae hitotsu dake, sono omae mo na, mō toerarete wa hyakushōtachi ni kyōe to yara o hiromerun subemonai” (Chinmoku, 1966:229) Terjemahan : Kau satu-satunya pastor yang tersisa di negeri ini. Sekarang kau sudah tertangkap dan tidak ada lagi yang akan mengajar dan menyebarkan doktrin kepada para petani. Sang penerjemah pun memaksanya untuk murtad, dengan tinggal di Jepang ia bisa membantu orang-orang sakit, membantu perkembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari bangsa lain. Anggapannya bahwa agama Budha dan Kristen sama-sama mengambil jalan welas asih, tidak perlu doktrin untuk menganut suatu agama kita hanya perlu mengikuti jalan mana yang kita yakini memiliki kebenaran. Lambat laun pikiran Rodrigues semakin terganggu. Hampir setiap kata yang diucapkan oleh Ferreira dan penerjemah ada benarnya. Jepang ibarat rawa-rawa tak berdasar. Tunas muda yang ditanam telah membusuk sampai akar-akarnya dan layu. Agama Kristen diibaratkan tunas muda itu tanpa disadari layu dan mati. Perjuangan atas keyakinannya berujung pada bab kedelapan yang. Pertemuan kedua kalinya dengan Ferreira menimbulkan spekulasi akan kebenaran kata-kata dari sang mentor. Rodrigues yang tidak mendapatkan bantuan apa-apa dari Yesus mulai mempertanyakan ke mana sang Allah pada saat umat membutuhkannya. Ferreira semakin mempertegas sarannya untuk murtad kepada Rodrigues. Jika Rodrigues lebih mementingkan dirinya sendiri daripada mereka, maka ia terlalu memikirkan penyelamatan untuk dirinya sendiri. Sang mentor 64 memaksanya untuk mengingkari imannya agar orang-orang yang telah dihukum dalam lubang segera dibebaskan dan diselamatkan dari penderitaan. “Kirisuto wa, hito bito no tame ni, tashika ni tenda darō” (Chinmoku, 1966:265). Terjemahan : Kristus tanpa ragu akan menyangkal keyakinannya untuk menolong manusia. “Kirisuto wa tenda darō, ai no tame ni. Jibun no subete o gisei ni shite mo” (Chinmoku, 1966:265). Terjemahan : Karena kasihnya, Kristus akan menyangkal keyakinannya. Meskipun itu berarti melepaskan segala sesuatu yang dimilikinya. “Ima made dare mo shinakatta ichiban korashi ai no koi o suru noda” (Chinmoku, 1966:266). Terjemahan : Sekarang kau akan melakukan tindakan kasih yang paling memedihkan “Kyōkai no sishokushatachi wa omae o saigu darō. Washi o saita yōri omae wa karera kara tsuwareru darō. Da ga kyōkai yori mo, fukyō yori mo, motto ōkina mono ga aru. Omae ga ima yarō to suru no wa” (Chinmoku, 1966:266). Terjemahan : Saudara-saudara di gereja akan menghakimimu, seperti mereka menghakimiku. Tak ada hal yang lebih penting daripada gereja, lebih penting daripada karya misionaris, yaitu apa yang sebentar akan kaulakukan. Kutipan-kutipan di atas adalah seruan Ferreira kepada Rodrigues untuk segera murtad. Papan fumie telah disediakan sebuah bandul tembaga sederhana dipasang pada papan kelabu dari kayu yang sudah kotor dan berbutir-butir seperti ombak-ombak kecil. Hati Rodrigues sangat kacau sudah tak terhitung berapa kali ia memandang wajah Yesus, sungguh besar keyakinan atas kecintaan dan kasih sayang Yesus. Terutama sejak kedatangannya pertama kali di Desa Tomogi, mengembara ke pegunungan, dan berbaring di penjara. Setiap kali berdoa wajah 65 Kristus selalu muncul dalam angannya yang mampu membangkitkan semangatnya. Namun, pada hari itu ia harus menginjak wajah yang merupakan harta berharga di seluruh dunia. Ketika fajar merekah sang pastor menempatkan satu kakinya di atas fumie dan mengakhiri seluruh penderitaan para kaum Kakuren Kirishitan. Penginjakan fumie identik hanyalah sekadar formalitas untuk mencabut akar-akar Kristianitas di Jepang. Jika akar tidak dicabut, para petani kecil diamdiam akan tetap mempertahankan keyakinannya. Untuk itu, pemerintah Tokugawa lebih mengutamakan murtad daripada membiarkan mereka mati sebagai martir. Bagi Rodrigues, perbuatan fumie bukan hanya sekedar formalitas ia merasakan sakit yang amat sangat pada kakinya dan hatinya karena menginjak wajah Kristus yang selama ini menjadi idolanya. Melakukan fumie telah membuka jalan baru bagi Rodrigues. Ia menjadi warga negara Jepang dengan sebutan “Paulus Murtad”, diberikan nama Jepang, yakni Okada Sanemon, dan memiliki istri orang asli Jepang. 4.3 Visi dan Misi Franciscus Xavier Franciscus Xavier berasal dari keluarga bangsawan Juan de Jassu dari Navarra, Spanyol. Ayahnya adalah pejabat tinggi kerajaan. Ibunya adalah seorang ibu yang penuh cinta kepada empat anak mereka. Fransisco de Jassu y de Javier adalah nama asli Franciscus Xavier. Ia adalah anak bungsu, semenjak kecil Fransiscus mengeyam pendidikan hidup penuh kerohanian sehingga tumbuh cintanya terhadap Bunda Maria dan Salib Kristus. Setelah mengeyam pendidikan, Fransiscus mengabdikan hidupnya pada karya misi. Sebagian besar dari masa 66 hidupnya untuk karya misi di negeri-negeri terpencil. Karena Raja Yohanes III dari Portugal menghendaki agar para misionaris Yesuit berkaya di HindiaPortugis, maka ia pun diutus ke sana pada tahun 1540. Ia bertolak dari Lisbon pada 7 April 1541 bersama dua Yesuit lainnya dengan menumpang kapal Santiago (Books, 2013:74--76). Pada 20 September 1542 ia mengadakan perjalanan misinya yang pertama di antara kaum Parava (para penyelam mutiara di sepanjang pesisir timur India Selatan). Ia berusaha mengkristenkan Raja Travancore di pesisir barat dan mengunjungi Saila. Tidak puas akan hasil upayanya, ia kembali ke Timur pada tahun 1545 dan menyusun rencana perjalanan misi ke Makassar. Setelah tiba di Malaka pada Oktober tahun itu dan selama tiga bulan menunggu kapal tumpangan ke Makassar yang tak kunjung tiba. Ia bertolak dari Malaka pada 1 Januari 1546 dan berlabuh di Ambon, kemudian tinggal di pulau itu hingga pertengahan Juni. Setelah itu ia mengunjungi pulau-pulau lainnya di Maluku termasuk Ternate dan Moro. Misi di Ambon ini menjadi salah satu awal sejarah Katolik di Indonesia. Pada Desember 1547 di Malaka Franciscus Xaverius berjumpa dengan seorang bangsawan Jepang dari Kagoshima bernama Anjiro (Books, 2013:77). Anjiro telah mendengar kabar mengenai Franciscus pada tahun 1545 dan berlayar dari Kagoshima ke Malaka dengan maksud betemu dengannya. Anjiro melarikan diri dari Jepang setelah dituduh melakukan pembunuhan. Ia mencurahkan isi hatinya kepada Franciscus, menceritakan riwayat hidupnya, serta adat dan budaya tanah airnya. Anjiro adalah seorang samurai sehingga dapat membantu Franciscus dengan keahliannya sebagai mediator dan penerjemah 67 dalam karya misi di Jepang yang kini tampak semakin dapat terwujud. Anjiro meyakinkan Franciscus untuk datang ke Jepang karena orang Jepang adalah suatu ras yang amat memetingkan akal budi, bahkan banyak pedagang Portugal mengakui hal itu. Karena diyakinkan sedemikian rupa, Franciscus membaptis Anjiro dengan nama baptis Paulo de Santa Fe dan mulai menyusun rencana suatu misi bagi negeri yang belum lama ditemukan. Anjiro membantu Franciscus menerjemahkan beberapa paragraf ajaran Kristiani ke dalam fonem bahasa Jepang yang kemudian dihafalnya (Books, 2013:79). Franciscus Xaverius tiba di Jepang pada 27 Juli 1549. Pada 15 Agustus ia menginjakkan kakinya di Kagoshima, pelabuhan utama di Provinsi Satsuma Kyushu. Ia disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Anjiro hingga Oktober 1550. Franciscus berencana bertemu kaisar tetapi gagal lalu ia pergi ke Yamaguchi dan diizinkan berkhotbah oleh daimyō provinsi itu. Karena ia kurang lancar berbahasa Jepang, ia hanya membacakan dengan lantang terjemahan Katekismus. Ia diterima baik oleh para rahib Shintō karena mengggunakan kata Dainichi untuk Allah Kristen. Begitu ia mendalami makna religius dari kata itu, ia menggantinya dengan kata Deusu dari kata latin Portugis Deus. Para rahib pun sadar, Franciscus tengah menyebarkan agama tandingan (Books, 2013:80). Visi dan misi Fransiscus Xaverius adalah menyebarkan cinta kasih dan membantu orang-orang miskin dan kaum yang tertindas. Pendekatan ini dilakukan untuk mempermudah doktrin agama Kristen dan mengajak mereka untuk meyakini kasih Yesus. Berdasarkan penjelasan di atas ada tiga visi dan misi utama 68 Fransiscus Xavier pada penyebaran agama Kristen di Jepang, yaitu sebagai berikut, a. Fransiscus memulai visi dan misinya dengan mengajarkan prinsip-prinsip agama dan prinsip kebajikan. Dengan memanfaatkan kondisi masyarakat Jepang yang tertekan oleh pajak yang tinggi dan para pendeta Buddha yang tidak memberikan perhatian pada mereka maka dengan mudahnya Franciscus membaptis orang Jepang dalam waktu singkat. Pendekatan kepada para daimyō dilakukan dengan memberikan hadiah-hadiah yang modern pada masa itu, yakni kacamata, kotak music, dan jam sehingga para daimyō memberinya ruang untuk melakukan khotbah dan misa. b. Fransiscus mengubah pandangan masyarakat Jepang dengan mengganti Dainichi menjadi Deusu dari kata Deus dan membacakan Katekismus18 dalam bahasa Jepang sehingga anggapan orang Jepang bahwa agama Kristen merupakan salah satu aliran dari agama Buddha. Hal tersebut lebih mempermudah penerimaan agama Kristen di Jepang sebanding dengan sikap Fransiscus yang penuh dengan kehangatan dan penghormatan terhadap kaum kecil. Fransiscus pergi sejak pagi untuk menolong dan memberikan semangat pada orang-orang sakit di rumah sakit lalu mengumpulkan anak-anak budak mengajari mereka doa-doa, nilai-nilai Kristiani, dan menciptakan lagu-lagu tentang kebenaran Yesus. Sikapnya terhadap kaum kecil dengan terjun ke lapangan dan melakukan hal-hal bersama para budak dan petani membuat ia 18 Katekismus adalah ringkasan atau uraian dari doktrin, yang biasanya digunakan dalam pengajaran agama Kristen sejak masa perjanjian baru hingga sekarang. Katekismus adalah manual doktrin dalam bentuk tanya jawab untuk dihafalkan (http:id.m.wikipedia.org/wiki/katekismus. Diakses 13 April 2013). 69 dan agama Kristen mudah diterima. Pendapat Ebisawa (1974:33) bahwa strategi penyebaran agama Kristen dilakukan para misionaris dengan menerjemahkan buku Roma katekismo ke bahasa Jepang pada tahun 1563 untuk mengimbangi kehidupan keagamaan yang khas di Jepang. c. Franciscus Xaverius adalah salah satu anggota dari ordo Yesuit pimpinan Iganitus Loyola pada tahun 1543. Motto ordo Yesuit adalah kepatuhan, kemiskinan, kejujuran, dan kesucian. Tujuan ordo ini mengabdi kepada Yesus dengan kesadaran agama baru dan melayani kegiatan misi atas perintah Paus Roma. Berdasarkan hal tersebut Franciscus keliling Samudra Hindia untuk mengamalkan tugasnya sebagai anggota ordo. Menurut pendapat Books (2006:87), Franciscus dalam kasihnya yang menggelora akan Kristus, menjalani suatu karya misioner ditandai kesucian hidup pribadinya. Dalam berbagai suratnya ia mengajak teman-teman misionarisnya memperhatikan kesucian hidup dan kasih akan Yesus karena kesucian hidup tidak hanya berguna untuk kepentingan pribadi. Kesucian itu penting demi pewartaan Injil dan demi keselamatan mereka yang dilayani. Visi dan misi Franciscus Xavier sangat jelas ingin menyebarkan pola-pola kekristenan kepada masyarakat Jepang. Segala upaya dilakukan termasuk membayar upeti dan memberikan berbagai hadiah kepada para penguasa di Jepang. Metode penyebaran iman yang dipilih Fransiscus dipengaruhi oleh konsepnya yang negatif mengenai keselamatan di luar gereja. Ia mendorong dan memberi semangat kepada para misionaris dengan menegaskan bahwa karya misionaris mereka menyelamatkan banyak jiwa dan begitu banyak anak yang di- 70 baptis. Dalam surat yang dikirimnya ke Roma, ia menceritakan bagaimana doadoa tobat disalin ke dalam bahasa Tamil yang menjadi bahasa percakapan harian. Doa-doa itu dihafalkan dengan cara meminta orang-orang itu mengulang apa yang diucapkannya. Ia kemudian mengajar mereka hal-hal mendasar soal iman dan perintah Yesus dalam bahasa Tamil. Selanjutnya semua diminta mengakui kesalahan yang telah dibuat pada masa lampau dengan suara yang keras di hadapan publik, termasuk publik yang tidak ingin menjadi Kristen. Setiap orang kemudian ditanya berdasarkan butir demi butir dari doa Syahadat, apakah mereka percaya akan kebenaran itu? Bila dijawab ya, maka akan dibaptis. Kepada yang dibaptis masing-masing mendapatkan nama Kristiani di atas secarik kertas. Fransiscus meninggalkan doa-doa di setiap kamping yang dibaptis di atas dalam bahasa mereka agar bisa dipelajari setiap hari. 4.4 Visi dan Misi Tiga Misionaris Sebastian Rodrigues dilahirkan pada tahun 1610 di kota pertambangan Tasco yang terkenal. Memasuki kehidupan religius pada umur tujuh belas tahun. Juan de Santa Marta dan Fransisco Garrpe, keduanya adala sahabat Sebastian Rodrigues yang bersama menjadi siswa di seminari Campolide. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di ruang belajar dan menyimpan ingatan yang sangat jelas tentang Ferreira guru yang mengajarkan teologi dulu. Fransisco Garrpe adalah pastor Katholik muda yang ikut Ordo Jesuit dari Portugal seperti Rodrigues dan Ferreira. Garrpe lahir di Lisboa dan bersekolah di seminari Campolide, sedangkan gambaran tentang Juan de Santa Marta hanya sekilas 71 karena sebelum tiba di Jepang ia terjangkit malaria akibat perjalanan yang panjang dan menguras tenaga. Menurut Budiman (2006:13) tokoh utama dalam novel Chinmoku bukan orang Jepang, melainkan orang Portugis, yakni Sebastian Rodrigues. Cara ini pasti sulit dalam sebuah penulisan novel yang mengemukakan masalah agama Kristen bagi orang Jepang. Namun, Endo menulis berdasarkan data-data sejarah yang masih tersimpan, seperti surat-surat Fransiscus Xaverius, Alessandro Valignano, dan Frois yang rajin menulis surat pada gereja Roma. Berkaitan dengan pemilihan tokoh utama yang bukan orang Jepang, Saeki dalam Endo (1966:250--246) seorang kritikus sastra, berpendapat ada dua alasan. Pertama, Endo dapat mengatasi masalah tokoh Rodrigues dengan kepercayaan diri bahwa ia seiman dengan Rodrigues karena Endo percaya bahwa prinsip agama Katolik itu universal. Kedua, keterbatasan kondisi Rodrigues justru memungkinkan timbulnya simpati dan pengalaman Endo sendiri. Rodrigues, Garrpe, dan Santa Marta memutuskan untuk datang ke Jepang setelah mendengar bahwa mentor mereka Ferreira murtad. Rasa kekecewaan dan ingin tahu yang dalam membuat mereka ingin bertemu langsung dengan Pastor Ferreira. Sosok Ferreira adalah sosok yang sangat populer nan lembut dan berwibawa di seminari Portugal. Ia digambarkan sebagai sosok yang lembut penuh kasih ketika masih bekerja sebagai pastor. Ia bekerja untuk kaum miskin dan teraniaya. Ia sangat dicintai oleh murid-murid seminari dan umatnya sehingga sulit dipercaya bahwa Ferreira yang selama dua puluh dua tahun tinggal di Jepang untuk melakukan tugas mulia harus kalah oleh rawa-rawa Jepang. 72 Pada tahun 1637 ada sekelompok misionaris yang melakukan perjalanan rahasia ke Jepang yang dipimpin oleh Bapa Rubino bersama empat rekannya dan tambahan tiga pastor muda, yakni Rodrigues, Santa Marta, dan Garrpe. Pada awalnya visi dan misi mereka hanya mencari mentornya yakni Ferreira karena mereka tidak percaya bahwa guru yang dikagumi mereka justru merendah-rendah seperti anjing di hadapan orang-orang kafir, ketika dihadapkan pada kesempatan untuk mati mulia. Namun, hal tersebut berubah ketika mereka dihadapkan kenyataan Jepang telah menutup negara lalu mengusir para misionaris dan memburu para kaum Kakuren Kirishitan. Pertemuan dengan Bapa Valignano membuat mereka terbakar api semangat untuk mendatangi Jepang, padahal gereja Roma sudah tidak mengizinkan pengiriman misionaris ke Jepang. Berikut ini adalah kutipan pernyataan tentang visi dan misi kedatangan mereka ke Jepang. “Ka no ji dewa shintotachi wa ima ya shisai o ushinatte, ichigun no kohitsuji no yōni koritsushiteimasu. Karera o yūki dsuke, sono shinkō no hidane o tayasanu tame nimo, dōshite mo dareka ga iku beki desu” (Chinmoku, 1966:17). Terjemahan : Di negeri miskin papa itu umat Kristen telah kehilangan pastor-pastor mereka dan mereka bagaikan kawanan domba tanpa penggembala. Harus ada yang pergi ke sana untuk membangkitkan api semangat mereka dan memastikan api keimanan mereka yang baru setitik itu tidak padam. “Tōtō sai wa tōgerareta no desu. Nihon jin no kyōka to omo no hae no tame ni watashitachi wa, kyō made dōni ka, kono tōyō made tadoritsu kimashita” (Chinmoku, 1966:19). Terjemahan : Demi mengkristenkan Jepang dan demi kemuliaan Tuhan kami telah mengadakan perjalanan ke Timur. “Mō hitotsu, watashitachi ni wa gimu ga arimasu. Sore wa watashitachi san nin no shide atta Ferreira shinpu no anpi o tazuneru koto desu” (Chinmoku, 1966:17). 73 Terjemahan : Disamping itu, Kami mempunyai tugas tambahan: kami ingin mengetahui kebenaran tentang guru kami Ferreira. Pernyataan di atas membenarkan bahwa posisi agama Kristen saat itu berada di ujung tanduk dan berdasarkan keyakinan mereka bahwa kaum Kirishitan membutuhkan mereka untuk segera datang ke Jepang. Visi dan misi ini dilakukan untuk tetap meneruskan perjalanan dari senior mereka atas perkembangan Kristen di Jepang. Selama di seminari mereka merasa tak seutuhnya menjadi pastor dengan stabilitas agama yang dipuja dan diterima banyak orang. Di Jepang mereka baru merasa sebagai pastor seutuhnya karena setiba di Jepang telah membaptis puluhan orang di Desa Tomogi dan berlanjut ke daerah Goto. Rodrigues dan Garrpe tampak bersemangat dengan tugas baru mereka sebagai pastor yang disegani dan disanjung-sanjung. Beberapa orang Jepang meminta mereka untuk membacakan sakramen-sakramen dan memberikan mereka tanda salib dan Rosario sebagai bukti kecintaan terhadap Yesus. Kehidupan mereka di Jepang penuh ketakutan, tetapi mereka tetap menjalankan misa pada malam hari, saat pagi jika ada yang mendatangi mereka untuk pengakuan dosa, memberikan petunjuk dan pengetahuan tentang agama Kristen dan mengajari mereka berdoa. 74 BAB V BENTUK WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL CHINMOKU Dalam bab ini diuraikan tentang bentuk-bentuk wacana politik keagamaan yang mencakup pengertian politik keagamaan, bentuk wacana ancaman, bentuk wacana perlawanan, bentuk wacana negosiasi, bentuk wacana kompromi, dan doktrinisasi agama sebagai mata-mata politik. Uraian yang paparkan dalam bab ini mengacu kepada bentuk politik keagamaan yang menjadi isu-isu politik yang mengarah kepada penjajahan negara Jepang oleh negara Barat melalui penyebaran agama Kristen dan pendekatan terhadap kaum kecil dengan doktrinisasi keagamaan. Upaya-upaya pemerintah Jepang yang menolak keras agama Kristen menimbulkan perlawanan dari masyarakat Jepang yang mengakibatkan misionaris dan masyarakat Jepang penganut agama Kristen terintimidasi. 5.1 Pengertian Wacana Politik Keagamaan Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, yaitu sebagai dominasi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Di satu pihak sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Di pihak lain, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan suku mereka. Sebuah kelompok sosial dapat, bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan pemerintah (Patria dan Arief, 1999:117). 75 Menurut Badudu (dalam Badara, 2012:16) wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah maknanya yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Wacana juga merupakan kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. Menurut Hawtan (1992) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai buah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Latar novel Chinmoku adalah masa pemerintahan Tokugawa Ieyasu yang berkuasa sejak kemenangannya pada perang Sekigahara 19 . Pemerintahan diatur sedemikian rupa oleh klan Tokugawa untuk tetap menjaga stabilitas negara seperti membagi daimyō menjadi dua sesuai dengan kesetiaan mereka pada perang Sekigahara dan memindahkan ibu kota dari Kyoto ke Edo. Menurut Bellah (1992:35), masa Tokugawa ditandai oleh suatu sistem kelas yang resmi dan turuntemurun, kekuasaanlah yang menentukan status, bukan kekayaan. Yang berada di titik puncak sistem itu adalah kaisar Shōgun dan tuan tanah feodal. Satu tingkat di bawahnya adalah samurai, yang berkedudukan tinggi karena dia melaksanakan kekuasaan politik, baik di bidang militer maupun jabatan sipil. Tingkat kedudukan 19 Perang Sekigahara adalah perang yang terjadi pada 15 September 1600 di daerah Sekigahara Distrik Fuwa Provinsi Mino. Perang ini terjadi antara Tokugawa Ieyasu dan Ishida Mitsunari sehubungan dengan perebutan kekuasaan setelah wafatnya Toyotomi Hideyoshi (id.wikipedia.org/wiki/pertempuran_sekigahara. Diakses 21 Februari 2014). 76 rakyat jelata diatur sesuai dengan pandangan tradisional berdasarkan produktivitas mereka seperti petani dan pedagang. Menurut Gramsci (dalam Simon, 1999:21), pandangannya terhadap hegemoni merupakan penambahan dimensi baru dengan memperluas pengertian hegemoni yang juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh. Upaya inilah yang tengah dilakukan oleh pemerintah Tokugawa dengan mengatur seluruh tatanan masyarakat, terutama para daimyō terkuat untuk tetap bisa berada dalam pengawasannya. Soekanto (2013:202) menambahkan bahwa sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup dan terbuka. Sistem lapisan yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke bawah. Sebaliknya, di dalam sistem terbuka setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa, sistem lapisan masyarakat yang diterapkan oleh pemerintah Tokugawa adalah sistem lapisan masyarakat yang tertutup. Peranan masyarakat dibagi ke dalam beberapa golongan untuk menjaga agar sifat kesetiaan terhadap pemerintah menjadi turun temurun. Adapun contoh visualisasi sifat lapisan masyarakat tertutup adalah sebagai berikut. 77 (Patria dan Arief, 1999:204) Sistem lapisan masyarakat tertutup menjadi pilihan utama Tokugawa. Kemenangannya di perang Sekigahara menjadi bukti kebesaran kekuatannya untuk mempersatukan Jepang. Para daimyō yang kalah diungsikan dan jauh dari kediamannya. Namun, keseluruhan aktivitas mereka berada di tangan Tokugawa, bahkan perkawinan putra-putri antar daimyō dilarang keras dan diatur agar tidak ada persekutuan. Untuk petani dan pedagang, pembayaran dan jumlah pajak terus meningkat agar segala kekayaan yang dimiliki diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah Tokugawa juga mengharuskan pengikutnya untuk meninggalkan agama Kristen yang telah berkembang pesat pada masa pemerintahan Oda Nobunaga. Varley (1984:147) berpendapat bahwa ada dua alasan Tokugawa Ieyasu menolak agama Kristen. Pertama, rasa takut akan kekristenan yang sifatnya bertentangan dengan tatanan sosial tradisional Jepang dan keyakinan agama. Kedua, ketakutan bahwa daimyō Kristen Jepang yang sebelumnya melawan Tokugawa Ieyasu sebelum perang Sekigahara mungkin bersekutu dengan orang Eropa dan berusaha untuk menggulingkan rezim Edo. Tidak ada keraguan bahwa kehadiran orang-orang Spanyol di pelabuhan Kyushu untuk memberikan senjata dan perlengkapan militer lainnya ke para daimyō Kristen merupakan ancaman yang sangat nyata bagi perdamaian nasional yang baru saja didapat Tokugawa 78 Ieyasu dalam perang Sekigahara. Tokugawa benar-benar tidak memiliki alternatif praktis selain memaksakan semacam kebijakan pengasingan jika ingin menjamin keamanan rezim mereka. Pengawasan dan tekanan ditujukan kepada para petani. Mereka diharuskan bekerja keras untuk pajak yang tinggi. Petani merupakan sumber kehidupan di Jepang, seperti diceritakan dalam novel Chinmoku tentang Desa Tomogi yang hidup sebagai petani, yang tampak dalam kutipan berikut. “Karera wa san ekutāru ni mo mitanai hitodenchi de mugi ya imo o karōji de saibai shiteiru shitsushii hyakuseitachi de, suiden o chitteiru zhe mo imasen” (Chinmoku, 1966:44). Terjemahan : Mereka petani miskin yang mengais-ngais kehidupan menanam kentang dan gandum di ladang-ladang yang hanya sepetak. Mereka tidak memiliki sawah. Parsons (dalam Bellah, 1992:37) menambahkan bahwa pertanian merupakan sumber kekayaan sepanjang pemerintahan Tokugawa. Metode yang digunakan tradisional. Walaupun hasil produksinya relatif tinggi, ini terjadi berkat tenaga buruh tani dalam jumlah besar yang menjadi ciri umum pertanian di Timur. Sejumlah besar hasil tanaman, selain yang dibutuhkan untuk keperluan sendiri dan untuk menopang kelangsungan keluarga itu, diserap habis oleh pajak dan kebanyakan kebutuhan dicukupi produksi rumahan. Kebutuhan akan modal untuk memenuhi kebutuhan belanja sangat besar dalam ekonomi seperti yang berlaku di Jepang pada masa Tokugawa. Para petani miskin akhirnya harus meminjam kepada lintah darat karena persediaan mereka telah habis sebelum panen. Adapun gambaran tentang petani Desa Tomogi yang harus bekerja keras akibat pajak yang sangat tinggi adalah sebagai berikut. 79 “Sorena no ni, Nagasaki no bugyō wa karera ni kakoku na zei o kashite kimashita. Hontō ni nagai nagai ma, kono hyakushōtachi wa, gyūba no yōni hataraki, gyūba no yōni shinde itta no deshō” (Chinmoku, 1966:45). Terjemahan : Pejabat Nagasaki memungut pajak yang sangat tinggi dari mereka, aku mengatakan yang sebenarnya, sudah sejak lama para petani ini bekerja seperti kuda dan ternak dan mereka mati seperti kuda dan ternak pula. Politik keagamaan dan hegemoni telah diterapkan pada masa kepemimpinan Tokugawa. Sejak awal kedatangan agama Kristen Tokugawa Ieyasu merasa tidak nyaman karena doktrin agama Kristen dianggap telah mengubah gaya hidup masyarakat Jepang. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Tokugawa adalah dengan memberikan tugas kepada Gubernur Inoue, sebagai petugas yang berkewajiban untuk membuat murtad para misionaris berdasarkan cerita dalam novel Chinmoku. Menurut Varley (1984:146), pemerintah Tokugawa melakukan penganiayaan terhadap kaum Kristiani karena takut terhadap orang Kristen pribumi dan orang asing bersatu lalu melakukan pemberontakan. Hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan hegemoni nasional mereka. Pengertian wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku berdasarkan fakta-fakta sejarah dalam penelitian ini adalah fungsional suatu agama yang sifatnya berbeda dari agama yang sudah ada membawa dampak yang dianggap sebagai suatu ancaman terhadap tatanan negara Jepang. Isu-isu pemberontakan telah disebarkan oleh para kaum misionaris melalui penyebaran agama Kristen untuk mendoktrin para kaum yang memiliki pengaruh besar untuk negara Jepang seperti petani, pedagang, samurai, dan para tuan tanah. Pengusiran kaum Kristen dimulai dari kepemimpinan Hideyoshi yang mendengar kabar tentang aksi adu 80 domba dari pihak Spanyol yang mengancam akan melakukan penaklukan terhadap pemerintah Jepang. Varley (1984:147) menjelaskan bahwa pada tahun 1596 pada puncak persaingan Fransiskan Jesuit, sebuah kapal Spanyol terdampar di Pulau Shikoku dan muatannya disita pejabat Hideyoshi. Pilot kapal tersebut marah kehilangan muatannya dan memperingatkan para pejabat Jepang bahwa penaklukan militer oleh Spanyol akan segera dilakukan didasarkan mata-mata yang dilakukan oleh para Fransiskan Jesuit. Mendengar kabar tersebut, Hideyoshi langsung memerintahkan misionaris untuk dieksekusi. Enam misionaris dari provinsi tengah ditangkap bersama dua puluh para penganut Kristen Jepang lalu diarak ke Nagasaki. Pada awal Februari 1597 mereka disalibkan dan menjadi martir Kristen pertama di Jepang. Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa negara Spanyol menyatakan diri akan melakukan penaklukan terhadap Jepang, karena para misionaris agama Kristen selalu mempersiapkan jalan bagi angkatan bersenjata raja Spanyol. Di samping itu, juga dengan alasan menyebarkan misi keagamaan mempermudah negara Spanyol untuk masuk ke Jepang tanpa perantara. Jansen (2000:75--77) menambahkan bahwa pada masa pemerintahan Tokugawa ada seorang daimyō terkuat dari Sendai yang bernama Date Masamune mengirimkan anak buahnya yang bernama Hasekura Tsunenaga ke Roma untuk bertemu Paus Paulus V. Misi Hasekura Tsunenaga adalah untuk melakukan negosiasi kesepakatan perdagangan dan pertukaran misi keagamaan. Selain itu, sejumlah insiden lain membuat Tokugawa Ieyasu marah, yakni seorang daimyō 81 penganut Kristen bernama Arima mencoba melakukan penyuapan di pengadilan untuk memenangkan ganti rugi tanah yang dinyatakan hilang. Namun, hal itu hanyalah skema demi meningkatkan produktivitas tambang logam untuk penambahan kekayaan sendiri melalui laporan-laporan yang tidak jujur. Peristiwa ini diikuti oleh sebuah dekrit yang sekali lagi memerintahkan agar semua misionaris kembali ke negaranya. Penulis berpendapat bahwa perdagangan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain seperti daimyō-daimyō terkuat dengan orang Barat adalah untuk mendapatkan senjata canggih dalam perang. Selain senjata, para daimyō memerlukan pakaian perang, ilmu pengetahuan, pembuatan globe, dan navigasi untuk kemajuan dan perkembangan hidup mereka. Hal-hal seperti penjelasan di atas menjadi ketakutan sendiri bagi klan Tokugawa. Artinya bersekutu dengan orang Barat akan membuat para daimyō semakin kuat dan berkemungkinan akan melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Untuk itu, Tokugawa mewajibkan semua warga di wilayah Tokugawa mendaftarkan diri mereka sebagai umat dari kuil Buddha dan melarang agama Kristen untuk dianut. Tidak mengherankan jika jumlah daimyō penganut Kristen semakin berkurang setiap tahunnya. Mereka biasanya lebih memilih mempertahankan kekuasaan mereka di bawah kekuasaan Tokugawa dan mengharamkan iman mereka. Pada novel Chinmoku diceritakan bahwa Sebastian Rodrigues datang ke Jepang pada masa Jepang telah melakukan kebijakan politik Sakoku. Pemberlakuan politik ini diharapkan dapat menjaga negara Jepang dari pengaruh budaya asing dan menekan kedatangan para misionaris dalam misi penyebaran 82 agama Kristen. Perjalanan Rodrigues selama di Jepang mengantarkannya bertemu dengan Gubernur Inoue dan mentornya Christovao Ferreira. Pendapat mereka tentang agama Kristen mematahkan keyakinan yang telah dipegang teguh oleh Rodrigues, yaitu bagi mereka sia-sia jika ingin menyebarkan agama Kristen di negara yang telah memiliki keyakinan sendiri. Pengaruh agama Kristen dianggap sangat menganggu dan menjadi bom waktu untuk negara yang memiliki paham politheism. Christovao Ferreira pada bab terakhir novel Chinmoku memberikan pandangan terhadap agama Kristen yang ada di Jepang. Agama Kristen di Jepang sangat berbeda dengan agama Kristen di negara Eropa. Masyarakat Jepang berpikir bahwa agama Kristen adalah bagian dari agama Budha seperti Zen. Selain itu, masyarakat Jepang sebagian besar menganut Kristen hanya untuk mendapatkan pencerahan dalam ilmu pengetahuan, sekolah, rumah sakit, dan kesempatan belajar budaya Barat. Oleh karena itu, pemahaman mereka terhadap agama Kristen hanya sebatas rasa ingin maju dan berkembang. Varley (1984:148) menjelaskan bahwa selain keheningan novel Chinmoku, novel ini juga berisi tentang kesepakatan Tuhan dengan masalah besar tentang bagaimana Jepang mengadopsi atau menolak unsur-unsur budaya asing. Tokoh utama Rodrigues, misalnya, memberi tahu bahwa ketika Jepang pada akhir abad ke-16 tampaknya Jepang menerima kekristenan. Artinya, mereka benar mengubah Allah Kristen menjadi dewa-dewa Jepang sendiri, dewa yang kompatibel dengan tradisi keagamaan mereka. Menurut mereka, diam merupakan penyelidikan intelektual penting dalam peminjaman budaya sebagai fenomena besar dalam sejarah Jepang. 83 Diceritakan bahwa Ferreira melakukan murtad setelah ditangkap dan disiksa, tetapi setelah kemurtadannya ia menjadi lebih berguna bagi negara Jepang. Ferreira mendorong Rodrigues untuk murtad agar tidak mati sia-sia, dan menyelamatkan banyak nyawa. Menurut Jhonston (dalam Endo, 2008:15), sejak permulaan misi sampai dengan tahun 1632 meskipun mengalami siksaan penyaliban, pembakaran, hukuman rendam, dan sebagainya, tidak ada misionaris yang menyerah dan mengingkari iman mereka. Akan tetapi, prestasi ini tidak bisa terus bertahan dan akhirnya pukulan hebat terjadi. Christovao Ferreira, mentor berkebangsaan Portugis, memberikan tanda menyerah setelah enam jam mengalami penyiksaan di dalam lubang. Penghianatannya yang begitu luar biasa mungkin terlalu mempunyai arti terlalu penting, tetapi kenyataan bahwa dia adalah pemimpin misi yang diakui menjadikan shock tersebut terasa kejam, terlebih ketika terungkap bahwa kemudian dia bekerja sama dengan para mantan penyiksanya. Peneliti berpendapat bahwa penyebaran agama Kristen di Jepang pada awalnya hanya untuk membawa doktrin baru dengan membantu orang-orang tertindas di Jepang. Kondisi negara yang tengah perang untuk memperebutkan kekuasaan mempermudah para pedagang asing datang selain berdagang juga untuk menyebarkan agama Kristen. Kondisi masyarakat yang memprihatinkan akibat tingginya pajak dan rasa tidak peduli dari para Bhiksu Buddha membuat masyarakat kecil merasa tertindas dan tertekan. Namun, dengan adanya agama Kristen diibaratkan air sejuk yang mampu melepas dahaga mereka selama ini. Agama Kristen dianggap memberikan kasih sayang dan kehangatan manusiawi 84 yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Untuk pertama kalinya, mereka bertemu orang-orang yang memperlakukan mereka sebagai manusia, bukan binatang yang selalu dipaksa untuk bekerja. Kebaikan dan kemurahan hati para pastorlah yang telah menyentuh hati mereka. Paham strata sosial, pengetahuan, dan gaya hidup merupakan hal baru yang bisa didapat dari para misionaris, tetapi dengan keharusan memeluk agama Kristen. Misi para misionaris ini membuahkan hasil yang sangat besar. Hal itu dapat dilihat dari penganut agama Kristen oleh para pejabat negara Jepang termasuk Gubernur Inoue. Politik keagamaan dilakukan oleh negara Spanyol dan Portugis demi persaingan perdagangan dengan negara Belanda dan Inggris. 5.2 Bentuk-Bentuk Wacana Politik Keagamaan dalam Novel Chinmoku 5.2.1 Bentuk Wacana Ancaman Novel Chinmoku menggambarkan peristiwa-peristiwa penting sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17 seperti masuknya agama Kristen di Jepang hingga berlakunya politik penutupan negara. Endo menggambarkan pengaruh agama Kristen ke Jepang dan upaya-upaya yang dilakukan oleh para misionaris untuk mengambil hati masyarakat Jepang. Hegemoni dalam bentuk penyebaran agama oleh para pastor berkebangsaan Spanyol dan Portugis membawa pemikiran dan harapan baru bagi masyarakat Jepang yang tengah berjuang untuk hidup. Menurut Gramsci (dalam Faruk, 1994:69), agar dapat mencapai hegemoni idelogi harus disebarkan. Penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk 85 sekolah dan pengajaran, sifat-sifat kelompok sosial yang mendominasi, dan sebagainya. Di pihak lain, pemerintah Jepang melakukan upaya-upaya untuk menertibkan agama Kristen di Jepang. Konspirasi adanya isu-isu tentang pastorpastor yang ikut campur tangan telah diusir dari kerajaan Eropa. Hal ini merupakan konflik religius yang tengah memecah belah Eropa bahkan hal tersebut dibenarkan oleh orang-orang Inggris dan Belanda. Ajaran agama Kristen mengandung unsur-unsur politik yang dianggap dapat merusak tatanan pemerintah Jepang dalam misi penyatuan negara. Sehingga keputusan pengusiran dan memusnahkan para kaum Kirishitan dinyatakan oleh Tokugawa Ieyasu dengan alasan kaum Kirishitan datang untuk menguasai negeri Jepang. Adapun kutipan yang terdapat dalam novel Chinmoku mengenai keputusan resmi pemerintah yang mengancam akan memusnahkan para kaum Kirishitan. Soshite saishūteki ni wa 1614 nen ni tsuihōrei ga kōfu sareta, gyangu no Kirishitan ga ako no hōsoku o tekiyō suru koto o ito shite, Nihon ni kite irun to nobete iru, karera wa kono koni o henkō suru koto ga deki, seifu ga koni zentai o segyosuru yōni, shin no kyōgi o kutsugaesu tame no. kore wa hidoi saigai de, shushi ga hakai sarenakereba naranai (Chinmoku, 1966:12). Terjemahan : Maka akhirnya pada tahun 1614 surat keputusan pengusiran diumumkan secara resmi, menyatakan bahwa “gerombolan Kirishitan telah datang ke Jepang dengan maksud menerapkan hukum yang jahat, untuk menjungkibalikkan doktrin sejati, sehingga mereka bisa merubah pemerintahan negeri ini, dan menguasai seluruh negeri. Ini merupakan bibit malapetaka dahsyat dan mesti dimunaskan”. Berdasarkan penelitian di atas kekhawatiran Tokugawa Ieyasu memiliki alasan yang kuat demi menjaga negara Jepang dari ancaman penjajahan. Kekhawatiran ini mengakibatkan masyarakat Jepang penganut kaum Kristen dan 86 para misionaris harus mengalami berbagai kecaman dan ancaman. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Ieyasu mengeluarkan kebijakan untuk mengusir dan melarang penyebaran agama Kristen demi stabilitas negara Jepang. Keberadaan agama Kristen dianggap dapat menjukirbalikkan doktrin sejati yang telah lama menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat. Doktrin sejati yang dimaksudkan adalah sistem strata sosial masyarakat yang telah dibagi beberapa golongan dan konsep kesetiaan dan kehormatan terhadap Kaisar. Dalam pandangan Ieyasu, jika doktrin sejati tersebut di gantikan dengan doktrin agama Kristen akan terjadi pemberontakan-pemberontakan untuk menentang kepemimpinan Ieyasu. Menurut Parsons (dalam Budiardjo, 2006:63) kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu. Sesuai dengan pernyataan Parsons, Ieyasu telah menjalankan kekuasaannya sebagai pemimpin tertinggi pada masa itu, setelah mengeluarkan perintah pengusiran para misionaris Ieyasu mengancam akan membunuh para penganut agama Kristen Jepang jika mereka tidak segera meninggalkan agama Kristen. Kewajiban yang dimiliki masyarakat Jepang adalah mengikuti setiap kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh Ieyasu. Tokoh yang memiliki peranan besar dalam eksekusi para kaum Kristen di Jepang adalah Gubernur Chikugo yakni, Inoue. Inoue dalam novel Chinmoku telah berhasil menciptakan hukuman-hukuman untuk masyarakat yang tetap 87 mempertahankan agama Kristen dan para misionaris yang bersikeras untuk tetap berada di Jepang. Ancaman-ancaman pun dilakukan bagi setiap desa yang berani menyembunyikan jati diri mereka sebagai umat Kristen baik dengan hukuman siksaan atau hukuman mati. Berikut ini adalah kutipan dalam novel Chinmoku tentang ungkapan perasaan penganut agama Kristen di Desa Tomogi. “Ima wa washira ni wa, nani mo de kimasen. Washira ga Kirishitan de aru to wakareba yasaremasu” (Chinmoku, 1966:40). Terjemahan : Kami tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kalau sampai ketahuan bahwa kami penganut Kristen, kami semua akan dibunuh. Kutipan ini merupakan ungkapan rasa khawatir penduduk Desa Tomogi akibat ancaman dari pemerintah Jepang yang akan membunuh orang-orang penganut Kakuren Kirishitan. Desa Tomogi adalah desa penganut Kakuren Kirishitan yang terorganisasi dengan baik. Penduduk desa itu mengorganisasi suatu perkumpulan agama Kristen secara rahasia di bawah situasi ketatnya larangan pemerintah terhadap agama Kristen dan pemeluknya. Mereka harus menjaga rapat-rapat kekristenan yang telah menjadi kepercayaan yang baru. Bahkan dengan kedatangan Rodrigues dan Garrpe ke Desa Tomogi merupakan kehidupan mereka diliputi rasa khawatir yang mendalam. Menurut Ali (1981:12), pemerintah Tokugawa memutuskan melarang agama Kristen karena dalam pandangan pemerintah pada waktu itu masuknya agama Kristen semata-mata sebagai selubung usaha kekuasaan asing yang bermaksud menaklukkan Jepang. Pemerintah menuduh agama tersebut telah memperkecil dan meremehkan arti kesetiaan terhadap kaisar dibandingkan dengan kesetiaan terhadap Tuhan Yesus. 88 Kehidupan Desa Tomogi sejenak berubah akibat terbongkarnya informasi bahwa penduduk Desa Tomogi telah menyembunyikan keberadaan dari Rodrigues dan Garrpe. Informasi yang didapatkan oleh pemerintah Jepang menimbulkan kekhawatiran para penduduk Desa Tomogi, hingga tiba saatnya seorang samurai datang dan mengancam akan mengambil sandera jika penduduk Desa Tomogi tidak memberitahu tentang para penganut agama Kristen. Berikut kutipan tentang ancaman dari seorang samurai yang memaksa penduduk Desa Tomogi untuk mengatakan terus terang tentang orang-orang penganut agama Kristen. Dare mo ga sotchaku ni anata ni tsutaetai baai wa, korera wa no hitobito no dare mo ga, kare wa okurimono to shite gin hyaku mai o uketorimasu. Anata wa mitomezaru o shitakunainara, anata wa kekka o futansuru hitsuyō ga (Chinmoku, 1966:76). Terjemahan : Kalau ada yang mau mengatakan terung terang, siapa saja orang-orang ini, dia akan menerima seratus keeping perak hadiah. Tapi kalau kalian tidak mau mengaku, kalian harus menanggung segala akibatnya. Setelah tiga hari, kami akan mengambil satu sandera lagi. Pikirkanlah baik-baik! Selain samurai tokoh sang penerjemah dalam Novel Chinmoku juga memiliki peranan penting yakni, sebagai orang yang mengantarkan Rodrigues kepada orang-orang Jepang penganut agama Kristen yang tengah disiksa. Sang penerjemahkan meyakinkan agama Kristen tidak memiliki tempat yang baik di Jepang, terlihat dari orang-orang yang disiksa dan dibunuh jika tidak mengingkari iman mereka. Adapun kutipan ancaman sang penerjemah kepada Rodrigues untuk mengingkari imannya demi menyelamatkan orang-orang yang disiksa. Honyaku sha wa shinkokyū o totta, anata no shinkō o hitei shitakunai baai. Kare wa, nomin ga ana no naka ni hanguappu ni naru to iu (Chinmoku, 1966:142). Terjemahan : 89 Kalau anda tidak mau menyangkal keyakinan anda, katanya. Para petani itu akan digantung di dalam lubang. Kutipan di atas menyiratkan perasaan benci sang penerjemah yang merasa tidak dapat dibodohi oleh ajaran agama Kristen. Para petani dan keluarga mereka bisa dibodohi tentang kasih Tuhan yang maha pengampun yang memberikan jalan penderitaan menuju surga. Selama mengantar Rodrigues bertemu dengan orangorang yang disiksa dan dibunuh, perdebatan tentang konsep ajaran agama Kristen di ucapkan oleh sang penerjemah. Sang penerjemah merupakan orang yang pernah mempelajari agama Kristen di seminari sebelum agama Kristen di larang penyebarannya. Sang penerjemah menunjukkan penyiksaan yang diciptakan oleh Inoue seperti yang disebutkan dalam kutipan di atas, yakni hukuman gantung. Hukuman gantung ialah para petani akan digantung dengan posisi kepala di bawah di dalam lubang selama beberapa hari. Ancaman yang diterima oleh para misionaris dan orang Jepang penganut agama Kristen merupakan kebijakan yang dibuat untuk mengurangi jumlah penganut agama Kristen di Jepang. Menurut Budiardjo (2006:15--20), kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut peraturan sumber daya alam perlu memiliki kekuasaan serta kewenangan. Kekuasaan ini diperlukan, baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yangn mungkin timbul. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat menyakinkan dan 90 jika perlu bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka. Berdasarkan penjelasan dan kutipan di atas peneliti menganalisis bentuk wacana ancaman yang didominasi oleh pemerintah Jepang dengan memberi berbagai ancaman kepada para penganut agama Kristen di Jepang. Ancaman dilakukan untuk membuat orang-orang penganut agama Kristen meninggalkan agama tersebut. Ancaman yang dilakukan kepada Rodrigues untuk memberikan pengertian terhadap budaya masyarakat Jepang tidak bisa menyerap dan menganut ajaran agama Kristen yang selama ini di dalam pikirannya bisa berkembang di Jepang. Pemerintah Jepang melakukan berbagai ancaman untuk mengembalikan masyarakat Jepang kepada budaya dan agama yang sudah ada di Jepang. Mereka tak segan-segan akan menyekap, menyiksa, dan membunuh untuk membuat orang-orang Jepang penganut agama Kristen taat pada kebijakan-kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah Jepang. 5.2.2 Bentuk Wacana Perlawanan Kebijakan pelarangan agama Kristen di Jepang menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat Jepang. Sebagian merasa setuju karena banyak keluarga mereka telah mati akibat disiksa dan menyalahkan para misionaris serta, sebagian merasa tidak setuju karena para misionaris adalah orang-orang yang telah membantu mereka dalam berbagai hal. Perlawanan para penganut agama Kristen pernah terjadi namun dalam skala kecil dan berhasil di redam oleh pemerintah Jepang. Akibat perlawanan yang sering terjadi, penyiksaan dan pembunuhan terhadap penganut agama Kristen mulai brutal. Puncak dari 91 penolakan agama Kristen yaitu terjadi perlawanan besar-besaran dalam sejarah Jepang yang disebut sebagai pemberontakan Shimabara. Dalam novel Chinmoku, pemberontakan Shimabara di ceritakan sebagai peristiwa sejarah sebelum kedatangan Rodrigues dan Garrpe ke Jepang. Menurut Jhonston (dalam Endo, 2008:15) pemberontakan Shimabara merupakan kemunduran dalam Kristianitas. Akibat pajak yang tinggi yang tak kenal belas kasihan dan penindasan oleh magistrat Nagasaki, pemberontakan tersebut kelak menjadi manifestasi iman Kristen, para anggotanya membawa panji-panji bertuliskan “Terpujilah Sakramen yang Paling Suci”, sambil meneriakkan nama Yesus dan Maria. Pemberontakan ini ditumpas dengan kekejaman luar biasa, dan Tokugawa yang merasaa yakin pemberontakan semacam itu hanya mungkin terjadi dengan bantuan pihak luar, memutuskan untuk mengakhiri sepenuhnya segala ikatan dengan Portugal dan menutup negeri mereka dari dunia luar. Nurhayati (1987:24), menjelaskan pemberontakan Shimabara terjadi atas ketidakpuasan para kaum petani dan kelompok samurai atas meningkatnya pajak tanpa ada peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemberontakan tersebut merupakan bentuk protes yang mereka lakukan untuk menentang pemerintah Tokugawa yang mendeklarasikan anti Kristen. Akibat kerasnya penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang membuat banyak daimyō menjadi penganut Kristen yang setia. Mereka mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang asing dan menyebarkan agama Kristen didaerah kekuasaannya. Lambat laun gerakan Kristen ini berubah menjadi gerakan anti Shōgun. Penyebaran agama Kristen yang begitu pesat dalam waktu singkat menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah 92 Jepang. Terlihat dari pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan oleh penganut agama Kristen yang menggambarkan puncak dari keinginan masyarakat Jepang untuk bebas dari segala tuntutan hidup. Seperti, pajak yang tinggi, kehidupan yang diatur dalam beberapa golongan dan pencerahan rohani yang tidak pernah didapat dari pendeta Buddha. Atas bantuan dan doktrin dari bangsa asing keberanian para penganut Kristen di Jepang yang terdiri dari para petani miskin mulai muncul dan menunjukkan sikap anti Shōgun. Danandjaja (1997:168), menambahkan dalam waktu singkat penyebaran agama Kristen segera mendapat dukungan dari para penguasa militer setempat yang ingin memetik keuntungan dari kebudayaan Barat, terutama dari teknologi miter dalam rangka pergulatan mereka dengan penguasa militer negara tetangganya. Adanya isu-isu penjajahan militer dan politik oleh negara-negara Barat mulai meresahkan pemerintah Shogun Tokugawa. Pengaruh para misionaris sangat signifikan dan membuat masyarakat sangat tertarik. Banyak di antaranya para pejabat, tuan tanah, dan samurai yang menganut agama Kristen, entah karena ingin lebih dekat dengan Tuhan atau hanya sekadar ingin memiliki barang-barang dari negara Barat. Pendekatan dengan para pejabat negara dilakukan oleh kaum misionaris dengan cara memberikan hadiah-hadiah untuk mendapatkan perlindungan selama melakukan misi penyebaran agama Kristen. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menganalisis bahwa Endo mengangkat peristiwa pemberontakan Shimabara dalam novel Chinmoku sebagai rentetan peristiwa penting sejarah agama Kristen di Jepang. Novel Chinmoku merupakan karya sastra yang banyak memberikan gambaran-gambaran kehidupan 93 masyarakat Jepang dalam menentukan jati diri dan mencari kebudayaan asli Jepang. Selama ini Jepang banyak dipengaruhi oleh budaya China, Korea, Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugal sehingga budaya Jepang tertelan oleh budaya negara lain. Selain itu implementasi Endo terhadap karya sastra novel Chinmoku merupakan cara Endo untuk menyampaikan pengaruh agama Kristen terhadap dirinya sendiri. Elizabeth dan Tom Burns (dalam Endaswara, 2011:79), menjelaskan bahwa sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya untuk mendapatkan fakta sejarah masa lalu. Karya sastra memang sering kali terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat. Budiman (2006:11) menjelaskan bahwa Endo dalam pengalamannya untuk menerima Barat tidak hanya menerima perbedaan gaya kebudayaan Barat dan Jepang, tetapi juga memperhatikan tradisi spiritual orang Eropa yang melihat sejarah panjang Eropa dengan mata tajam sebagai umat agama Katolik. Dari sikap tersebut dapat dikatakan bahwa Endo sebagai cendekiawan beragama mempunyai perhatian pada nilai pandang Katolikisme subjektif. Hal itu berarti bahwa ia memadamkan perbedaan jiwa orang Jepang yang panties dan orang Barat yang monoteis. Dalam novel Chinmoku, tokoh Ichizo, Mokichi, dan Garrpe merupakan tokoh yang melakukan perlawanan dalam bentuk penolakan untuk meninggalkan agama Kristen dan memilih untuk mati sebagai martir. Diceritakan ditempat berbeda Ichizo dan Mokichi ditangkap dan disiksa setelah menolak untuk meludahi patung Yesus dan menyerukan Bunda Maria sebagai pelacur. Sedangkan Garrpe melakukan tindakan penyelamatan kepada para petani yang 94 dibuang ke dalam laut hingga membuat Garrpe terbunuh. Adapun kutipan dari perlawanan yang dilakukan oleh Mokichi dan Ichizo. Saa, anata ni wa ue no tsuba shitakunai desuka? Anata ga chūmon dori no supichi o mane shitakunai desuka? Fumie ryōte de sore otoru ichi san shi, shokuin ga ushiro kara osarete imasuga, kare wa muryokuna kare ni tsuba o shiyou to shito ga hanmei shita jōtai de. Kare wa sore o okonau koto ga dekimasen deshita (Chinmoku, 1966:85). Terjemahan : Ayolah. Kalian tidak mau meludahi?kalian tidak mau menirukan ucapan seperti yang diperintahkan?. Ichizo mengambil fumie itu dengan kedua tangannya, dan dengan didorong-dorong dari belakang oleh para pejabat, dia mencoba meludahi tapi ternyata dia tak berdaya. Dia tak sanggup melakukannya. Karena didesak-desak oleh para pejabat tersebut membuat Mokichi yang menyaksikan kejadian tersebut menitikkan air mata dan mengalir di pipinya. Penolakan yang ditunjukkan oleh Mokichi dan Ichizo membuat para pejabat semakin geram dan memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya mereka berdua mengakui terus terang bahwa mereka memang penganut agama Kristen. Setelah kejadian tersebut Mokichi dan Ichizo dipenjarakan selama sepuluh hari di penjara Sakuradai hingga tiba akhirnya mereka di eksekusi. Kematian dari Mokichi dan Ichizo merupakan contoh dari orang-orang Jepang penganut agama Kristen yang tetap teguh mempertahankan keyakinan mereka dan menolak untuk melakukan fumie serta memilih mati sebagai bagian dari penyelamatan Yesus. Perlawanan dalam aksi penolakan terhadap keputusan pemerintah Jepang dilakukan oleh Garrpe, sebelum terjadinya eksekusi Garrpe menolak dengan tegas permintaan pemerintah Jepang yang memaksanya untuk melakukan murtad. Pada hari eksekusi Garrpe dihadapkan pada pengorbanan para petani Kristen yang 95 harus mati akibat kekukuhan hatinya untuk tetap mempertahankan agama Kristen. pemerintah Jepang menekankan jika Garrpe adalah pastor yang memiliki belas kasihan Kristen sejati, seharusnya Garrpe menaruh iba kepada para petani tersebut tidak hanya berdiam diri melihat mereka mati. Akhirnya para petani tersebut di eksekusi dengan membuang mereka ke laut yang dalam, hal ini membuat Garrpe memutuskan untuk ikut terjun bersama petani tersebut. Keputusan Garrpe untuk ikut terjun merupakan bentuk perlawanannya menolak untuk murtad. Berikut kutipan tentang keberanian Garrpe yang ikut terjun demi petani Kristen tersebut. Garrpe sudeni umi ni rannyūshi, kare wa kare ga mizu no naka ni mi o nageta kare no ude o nobashi jikkoshimasu. Oyoide iru ma, kare wa nanika o sakenda, omo wa watashitachi no inori o kitte imasu. Yori kasukara kurokami heddo Garrpe, nani oboreta toki (Chinmoku, 1966:210). Terjemahan : Garrpe sudah lari menghambur ke laut, dan sambil merentangkan kedua lengannya dia menceburkan diri ke air sambil menriakkan “Tuhan dengarkanlah doa kami” sayup-sayup kepala Garrpe yang berambut hitam tenggelam ditengahtengah ombak. Bentuk wacana perlawanan dalam novel Chinmoku tergambarkan dari peristiwa-peristiwa yang di jelaskan di atas. Perlawanan yang mereka lakukan merupakan bukti kesetiaan mereka terhadap Tuhan Yesus. Keyakinan yang begitu kuat hingga membuat mereka rela mengorbankan nyawa demi menuju kebahagiaan yang telah lama mereka nantikan. Pemberontakan Shimabara merupakan titik puncak perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang penganut agama Kristen. Pemberontakan ini mengakibatkan pemerintah Jepang mengambil kebijakan penutupan negara yang berarti menutup seluruh aktivitas baik perdagangan, pertukaran pelajar, dan penyebaran agama. Kekuasaan dalam 96 pemerintah Tokugawa memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada perlindungan negara Jepang dari pengaruh negara lain. 5.2.3 Bentuk Wacana Negosiasi Pemerintah Jepang mengadakan pendekatan dengan para misionaris dengan tujuan untuk memusnahkan akar-akar kekristenan. Selain itu, pemanfaatan ilmu pengetahuan juga menjadi pertimbangan untuk mendekati para misionaris. Negosiasi merupakan jalan untuk menciptakan proses saling pengertian dan saling membutuhkan dalam mencapai tujuan masing-masing. Pada novel Chinmoku, pemerintah Jepang memilih untuk bernegosiasi kepada misionaris dengan keputusan mereka harus meninggalkan agama Kristen lalu menyampaikannya kepada Gereja Roma untuk tidak mengirim misionaris lagi ke Jepang. Sebagai gantinya para misionaris yang setuju tidak akan dibunuh melainkan diberikan pekerjaan, rumah tinggal, serta istri dan menetap di Jepang. Gubernur Inoue, merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam pelaksanaan hukuman bagi para pastor asing untuk melakukan murtad dalam novel Chinmoku. Pemikirannya terhadap agama Kristen tidak buruk, tetapi akibat dari doktrin-doktrin tersebut bertujuan untuk menaklukan Jepang. Baginya, agama Kristen digunakan untuk memengaruhi masyarakat Jepang yang merasa tidak mendapatkan keadilan dan mempermudah doktrin itu masuk dan mengacaukan negara. Berikut ini adalah kutipan tentang proses negosiasi antara Inoue dan Rodrigues pada pertemuan kedua mereka. “Padore no shūshi sono mono no seija o agetsurōte aru no dewanai. Esupania no kuni, Porutogaru no kuni, sono hoka moromoro no kuni ni wa, padore no shūshi wa tashikani o kinsei ni shita no wa jūjū, kankō no kekka, sono kyōe ga ima no nihon kuni ni wa muyaku to mou dakara de aru” (Chinmoku, 1966:170) 97 Terjemahan Bapa, kami tidak mempermasalahkan benar atau salahnya doktrin-Mu. Di Spanyol dan Portugal dan negeri-negeri lain semacamnya, doktrin itu mungkin benar. Kami melarang Kristianitas di Jepang adalah setelah menimbang-nimbang dengan saksama dan mendalam, kami mendapati ajaran itu tidak ada gunanya untuk Jepang masa kini. Budiman (2006:33) berpendapat bahwa Inoue mengerti, yaitu bagi orang Kristen, martir adalah suatu kemuliaan di mata Tuhan. Sehubungan dengan itu, ia menghalangi para misionaris memilih mati sebagai martir agar pengikut Kristen lainnya tidak mengagumi cara itu. Jika misionaris murtad, penganut agama itu akan merasa kecewa atas kelakuan pastornya. Tujuan Inoue tidak membunuh, baik penganut biasa maupun misionaris, tetapi ia menyiksa atau membujuk mereka agar memilih murtad dari agamanya dan mengganti agamanya dengan agama Budha. Pokok-pokok bujukan Inoue kepada para pastor ialah soal agama Jepang dan agama Kristen yang bertentangan. Inoue berkata bahwa agama Kristen tidak bisa berakar di tanah Jepang karena Jepang adalah rawa lumpur bagi agama Kristen dan keberadaan agama Kristen juga mengganggu negara Jepang. Berdasarkan kutipan dan pernyataan di atas, diketahui bahwa pengaruh agama Kristen tampaknya memberikan kontribusi yang tidak baik dalam sudut pandang pemerintah Jepang. Sebaliknya, sudut pandang tentang agama Kristen oleh golongan masyarakat kecil merupakan suatu pencerahan yang telah lama dinanti. Perbedaan sudut pandang terjadi akibat dari pemikiran-pemikiran yang dirasakan kurang diterapkan di masyarakat Jepang. Pemerintah menyadari dampak buruk dari pengaruh agama Kristen karena memudahkan masuknya angkatan bersenjata negara Spanyol, tetapi berbeda halnya dengan masyarakat 98 kecil yang tidak berpendidikan. Mereka dengan mudah menerima orang-orang asing karena bentuk perhatian yang diberikan melebihi dari para pendeta Buddha. Tujuan Inoue bernegosiasi para pastor untuk murtad pun menurut peneliti hanya kamuflase. Dikatakan demikian karena setelah murtad para pastor tidak diizinkan pulang ke negaranya tetapi harus menetap di Jepang dan bekerja untuk negara Jepang. Gubernur Inoue terus meyakinkan para pastor termasuk Rodrigues bahwa agama Kristen tidak akan bisa berkembang di Jepang. Perkembangan agama Kristen di Jepang hanya bersifat sementara karena orang Jepang mengadopsi ajaran agama Kristen masuk ke versi pemikiran orang Jepang. Persaingan negaranegara Eropa saling ingin menguasai Jepang membuat pemerintah Jepang menjadi lebih waspada. Negeri-negeri Protestan, seperti Inggris dan Belanda saling iri akan kemajuan lawannya, yaitu negeri-negeri Katolik, seperti Spanyol dan Portugal. Mereka saling memfitnah dan memburuk-burukkan satu sama lain di depan pihak Jepang. Bahkan, dalam penyebaran agama Kristen, mereka melarang orang-orang Kristen Katolik bergaul dengan bangsa Inggris dan Belanda. “Esupania, Porutogaru, Oranda, Egeresu to sore zore na noru onnatachi ga Nihon to sarusu otoko no mimi ni, yotogi no tabi, tagai no waruguchi o chuiki komi shenshitena” (Chinmoku,1966:190). Terjemahan : Spanyol, Portugal, Belanda, Inggris, dan perempuan-perempuan lain semacam itu tidak henti-henti membisikkan cerita bernada fitnah karena saling cemburu ke telinga laki-laki Jepang. Perang posisi oleh negara Barat membuat pemerintah Jepang memikirkan strategi agar tidak terlibat dalam perang ini. Penguasaan negara Jepang oleh 99 bangsa Barat dilakukan dengan mengadakan hubungan sosial perdagangan dan penyebaran agama. Cara ini dianggap efektif karena kekuasaan akan merata ke seluruh masyarakat sipil dan mempermudah masuknya pengaruh Barat. Menurut Simon (1999:28), masyarakat sipil adalah suatu wadah di mana kelompokkelompok sosial yang lebih rendah dapat menyusun perlawanan mereka dan membangun hegemoni alternatif dan merupakan wadah perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi kerakyatan. Kutipan di atas mendeskripsikan pengaruh negara-negara asing terhadap Jepang melalui doktrin-doktrin yang bisa membuat tergulingnya rezim Tokugawa. Peneliti berpendapat bahwa pernyataan tentang kutipan di atas dilontarkan oleh Inoue kepada Rodrigues untuk menyampaikan adanya kabar tentang persaingan antarnegara untuk memperluas wilayah mereka. Sebelum mendatangi Jepang, Rodrigues sudah mendengar kabar tersebut di Goa dan Macao bahwa negeri-negeri tersebut bersaing untuk memperluas wilayahnya. Negosiasi yang dilakukan oleh Gubernur Inoue ialah menjelaskan kepada para pastor asing tentang perbedaan pemikiran agama Jepang dengan agama Kristen dan pengaruh buruk yang dibawa oleh agama Kristen. Seperti kutipan di bawah ini, yang menegaskan bahwa orang Jepang sebaiknya meyakini apa yang sudah menjadi tradisi turun temurun dan meninggalkan keyakinan yang baru saja disebarkan agar formasi kesetiaan dan kehormatan terhadap kaisar tetap dapat dijaga sebagai bentuk kebudayaan dan keyakinan asli negera Jepang. “Dagana, Padore, Nihon to shensu otoko wa, wazawaz, ikoku no hiyoshyō o senbazu tomo, onna ji kuni ni namare, kigokoro chireta nihon no onna to yuibu no ga saijō to omo warenuka” (Chinmoku, 1966:192) 100 Terjemahan Bapa, tidaklah lebih baik kalau laki-laki Jepang ini berhenti memikirkan perempuan-perempuan dari negeri-negeri Asing? Bukankah lebih baik ia mengawini perempuan yang lahir di negeri yang sama dengannya, perempuan yang bersimpati terhadap pola berpikirnya? Pemikiran Barat dan Timur memiliki perbedaan, baik dari segi gaya hidup maupun pengaruh karakteristik. Peneliti berpendapat bahwa penyebaran agama Kristen di Jepang diyakini merupakan suatu penyebaran agama yang suci seperti pada umumnya. Kedatangan Rodrigues dan pendahulunya Ferreira ke Jepang mengatasnamakan misi keagamaan memang telah dilakukan. Hal itu terlihat dari perjuangan Ferreira yang telah hidup di Jepang selama tiga puluh tiga tahun berhasil meyakinkan gereja Roma untuk membangun sekolah-sekolah, seminariseminari, dan rumah sakit. Begitu juga dengan Rodrigues yang telah bertaruh nyawa datang ke Jepang hanya untuk mengemban misi mengkristenkan Jepang. Jika dilihat dari perjuangan kedua pastor ini, bisa dikatakan bahwa politik keagamaan ada karena orang-orang tertentu yang ingin menguasai Jepang seperti kerajaan Spanyol. Kepercayaan yang diberikan kepada para misionaris dimanfaatkan untuk kepentingan kerajaan yang ingin menguasai Jepang sehingga pemerintah Jepang merasa bahwa misionaris memberikan doktrin untuk melakukan perlawanan yang bisa memecah belah negara Jepang. Endo dalam novel Chinmoku tercermin dari peristiwa sejarah Jepang terfokus pada pelarangan agama Kristen dan masuknya para misionaris berkedok sebagai pedagang. Pedagang asing membawa pengaruh budaya baru yang lebih modern sehingga menjadi hal yang menarik hati masyarakat Jepang. Karya sastra novel Chinmoku terinspirasi dari kehidupan Endo sebagai seorang Kristen dan 101 kehidupan keturunan dari orang-orang penganut Kristen bersembunyi pada masa pemerintahan Tokugawa. Endo yang hidup pada masa zaman Meiji berhasil mengimplementasikan situasi negara Jepang pada zaman Sengoku secara nyata, berdasarkan surat-surat dan data-data sejarah yang diperoleh terciptalah karya sastra sebagai manifestasi sejarah. Laurenson dan Swingewood (1971) (dalam Endaswara, 2011:79), menjelaskan terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra. Pertama, penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya terefleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Kedua, penelitian ini mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi zaman. Ketiga, penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi sejarah dalam keadaan sosial budaya. Pengertian masyarakat Jepang tentang agama Kristen tidak seutuhnya dapat diserap dengan baik. Mereka menganggap agama Kristen merupakan bagian dari agama Buddha sehingga memunculkan polemik baru penyerapan agama Kristen ke dalam pola pikir masyarakat Jepang. Berikut ini adalah kutipan tentang proses negosiasi antara Ferreira yang telah murtad dan Rodrigues. Ferreira berusaha meyakinkan Rodrigues bahwa konsep ajaran agama Kristen yang ia yakini berbeda dengan konsep ajaran agama Kristen yang di yakini oleh masyarakat Jepang. Hal tersebut terbukti dari konsep-konsep ketuhanan yang telah disalah artikan. “Deusu to Dainichi to kondō shita Nihon jin wa sono toki kara wareware no kami o kareraryū ni kussetsusase henka sase, soshite betsu no mono o sakuri age hajimeta noda o kotoba no konran ga naku atta atomo, kono kussetsu henka to wa hisoka ni zoke rare, omae ga sakki ro ni deshita fukyō ga motto mo hana ya kana toki de saemo Nihon jin tachi wa Kirisutokyō no kami dewa naku, karera ga kusstesusastea mono o shinjiteita no da” (Chinmoku, 1966:233). 102 Terjemahan : Sejak awal, orang-orang Jepang ini sudah mencampuradukkan antara ‘Deus’ dan ‘Dainichi’, dan mereka juga mengubah dan memelesetkan Tuhan kita, dan menciptakan sesuatu yang berbeda. Bahkan, pada masa-masa kejayaan misionaris yang kau sebutkan itu, bukan Tuhan orang Kristen yang dipercayai orang-orang Jepang ini, melainkan Tuhan rekaan mereka sendiri. Budiman (2006:188) menegaskan bahwa Ferreira telah menjelaskan gagasan, baik ‘Deus’ maupun Tuhan menurut orang Jepang tidak sama dengan Eropa. Orang Jepang tidak mampu memikirkan gagasan Tuhan yang sama sekali asing dari manusia. ‘Dainichi’ (dari Sanskrit: Vairocana) yang berasal dari India adalah salah satu nyorai (dari Sanskrit: Tathagata) yang berstatus Buddha hosshin. Namun, sifat dewa sinar dan matahari dari ‘Dainichi’ sinkretik dengan Dewi Amaterasu Oomikami yang bersosok feminisme. Oleh karena itu, pada waktu tidak ada pemimpin agama Kristen pada zaman Tokugawa, tidak mengherankan kaum Kirishitan salah memahami inti Tuhan agama Kristen dan mereka menyesuaikan ‘Deus’ dengan sistem agama di Jepang. Masih tentang pendapat Budiman (2006:180) yang menguraikan pemikiran agama-agama di Jepang, Rodrigues sebagai tokoh utama yang telah tinggal dan mempelajari tingkah laku orang Jepang mulai terpengaruh oleh berbagai agama di Jepang. Pemikiran Rodrigues dipicu oleh kematian Mokichi dan Ichizo yang terus menyanyikan lagu paraiso 20 ketika mereka menghadapi kematian sebagai martir. Menurut kepercayaan kedua orang itu, bila mereka mati, mereka tidak hanya akan bertemu dengan Tuhan Yesus, tetapi juga dengan para 20 Paraiso adalah salah satu ‘oratio nyanyian’ (uta orasio) bahasa Jepang yang diwariskan di daerah Pulau Ikitsuki di Nagasaki sampai sekarang, di samping tiga oratio nyanyian bahasa latin yang berasal dari lagu gereja Gregorius Roma. Lagu itu memuji para martir dengan harapan mereka akan masuk kuli di surga (Budiman, 2006:185). 103 leluhur mereka. Hal itu menguatkan tekad mereka untuk menjadi martir. Sendra (2008:37) menambahkan bahwa pemujaan terhadap leluruh dan roh merupakan perwujudan dari salah satu sikap dan tingkah laku orang Jepang. Sebelum masuknya agama Kristen orang Jepang percaya bahwa manusia ini terdiri atas dua unsure, yaitu badan yang disebut karada dan jiwa disebut tama. Sukma yang terlepas dari badan disebut roh atau reikon. Manusia lahir dengan tama dan ketika mati tama itu meninggalkan badan. Oleh karena itu, orang Jepang meyakini bahwa dengan pergi ke surga mereka dapat bertemu dengan para roh leluhur untuk hidup bersama lagi dengan damai. Ferreira, sebagai mantan misionaris yang telah lama tinggal di Jepang memberikan penjelasan logis kepada Rodrigues untuk menyerah dan membuang mimpinya untuk mengkristenkan Jepang. Adapun salah satu kutipan pernyataan Ferreira yang menegaskan bahwa agama Kristen yang ia dan Rodrigues yakini sejak lahir tidak sama dengan agama Kristen yang dipahami oleh masyarakat Jepang. Keyakinan itu muncul setelah ia melewati semua penderitaan yang dialaminya. “Hokoru? Moshi, Nihon jin tachi ga, watashi no kyōeta kami o shinjite ita narana. Daga, kono kuni de wareware no tateta kyōkai de Nihon jin tachu ga inoritte ita no wa Kirisutokyō no kami dewanai. Watashitachi hi wa rikai de kinu kareraryū ni kussetsusareta kami datta. Moshi are o kami to iu nara” (Chinmoku, 1966:234-235). Terjemahan : Bangga? Ya, kalau orang-orang Jepang itu akhirnya percaya kepada Tuhan seperti yang kita ajarkan. Tetapi di gereja-gereja yang kita bangun di seluruh penjuru negeri ini, orang-orang Jepang itu bukan berdoa kepada Tuhan-nya orang Kristen. Mereka memutarbalikkan Tuhan menurut jalan pikiran mereka sendiri, dalam cara yang takkan pernah bisa kita bayangkan. Kalau itu kausebut Tuhan... 104 Berdasarkan pernyataan dan kutipan di atas secara keseluruhan diketahui bahwa bentuk wacana negosiasi dalam novel Chinmoku berdasarkan penelitian ini adalah proses negosiasi antara pemerintah Jepang dengan Rodrigues serta Ferreira dan Rodrigues untuk menjelaskan adanya perbedaan konsep pemikiranlah pemicu adanya konflik berkepanjangan antara pemerintah Jepang dan para misionaris. Pemikiran-pemikiran orang Jepang tentang konsep leluhur, roh, dan surga menjadi kepercayaan turun temurun bagi seluruh generasi. Pemikiran Rodrigues yang kental tentang akan kepercayaannya terhadap Kristus membawanya datang ke Jepang dengan keyakinan bahwa agama Kristen akan terus berkembang di Jepang. Namun, jauh sebelum pemikiran itu telah dipatahkan oleh Ferreira yang datang lebih dahulu ke Jepang. Agama Kristen tidak sepenuhnya dapat berkembang karena tidak diserap dengan baik oleh kaum Kirishitan. Mereka mencocokkan agama Kristen dengan kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Perkembangan para misionaris dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang ingin menguasai Jepang. melalui doktrin Kristen. Bahkan, Varley (1984:148) menegaskan bahwa Tuhan agama Kristen mengalami masalah yang besar tentang bagaimana Jepang mengadopsi atau menolak unsur-unsur budaya asing. Inkuisitor Rodrigues, misalnya, memberitahukan bahwa pada akhir abad ke-16 Jepang tampaknya menerima kekristenan. Mereka mengubah Allah Kristen menjadi dewa mereka sendiri, dewa yang kompatibel dengan tradisi keagamaan mereka. Danandjaja (1997:169) menambahkan bahwa walaupun para pendeta Kristen dari semua denomasi, baik golongan Katolik maupun Protestan, telah berusaha keras, dalam seratus tahun ini mereka hanya menasranikan tidak lebih 105 dari satu juta orang atau kurang dari satu persen dari seluruh penduduk Jepang. Penyebab kegagalan meningkatkan jumlah umat tersebut adalah karena agama Kristen belum berhasil dinaturalisasikan ke dalam kebudayaan Jepang, seperti halnya agama Buddha. Selain itu, sampai kini sebagian besar para misionaris masih terdiri atas orang asing dan nama para sucinya, seperti Santo dan Santa pun berasal dari nama asing. Peraturan yang keras serta ajaran moral yang ketat tidak sesuai dengan temperamen orang Jepang, yang memperbolehkan praktik seks bebas, meminum minuman keras, dan kegemaran duniawi lainnya asalkan dilakukan secara moderat dan harus dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain. Masih berkaitan dengan pendapat di atas, monoteisme juga asing bagi konsep dunia adikodrat orang Jepang. Benak seorang Jepang dapat menampung banyak sekali dewa, bahkan berasal dari berbagai agama tanpa ada perasaan bertentangan. Penyebab paling penting adalah Nasrani merupakan agama perorangan, sedangkan orang Jepang secara tradisional lebih merupakan suatu bangsa yang terdiri atas keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas, di mana seorang individu harus menyatukan kepentingannya dan perhatiannya demi kelompoknya di mana ia menjadi anggotanya. Secara tradisional Buddha memerhatikan kesejahteraan keluarga, sedangkan Shinto memerhatikan kesejahteraan kelompok. Dasar pemikiran tersebut mendasari oleh pemerintah Jepang tentang pandangan tidak ada gunanya agama Kristen berkembang di Jepang karena bisa mengacaukan stabilitas negara. Selain itu, konsep-konsep yang menjadi dasar negara Jepang diubah oleh para penyebar agama, seperti konsep kesetiaan dan 106 kehormatan terhadap kaisar dan penggolongan masyarakat. Kehidupan masyarakat Jepang seperti diceritakan dalam novel Chinmoku mengalami masa yang penuh penderitaan. Mereka hidup dengan beban yang berat akibat pajak dan keberlangsungan hidup yang penuh aturan. Karya sastra Endo khususnya novel Chinmoku bertemakan tentang penggunaan baju Barat yang disebut agama Kristen, yang tidak cocok padanya, tetapi diupayakan menjadi ukuran Kimono orang Jepang. Oleh karena itu, agama Kristen dianggap merupakan agama warisan yang tidak dipelajari dengan baik. 5.2.4 Bentuk Wacana Kompromi Proses negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang seperti Inoue dan sang penerjemah yang dibantu oleh Ferreira terhadap Rodrigues mulai menuai hasil. Selama di penjara Rodrigues mengalami berbagai peristiwa yang tidak dapat membuktikan tentang keberadaan Tuhan Yesus untuk menolong orang-orang Kristen yang teraniaya. Pemikiran Rodrigues mulai memudar atas kepercayaannya terhadap Yesus, dalam novel Chinmoku Rodrigues beberapa kali menjerit dalam hatinya ketika melihat orang-orang Kristen disiksa dan dibunuh. Berikut ini adalah kutipan tentang jeritan hati Rodrigues yang meminta penganut Kristen dan Garrpe untuk menyangkal iman mereka. Tada sutonpu sutonpu wa tada sakenda. Chikashi, watashi wa kidzuita shukan kara, watashi wo watashi no kuchi kara kotoba ga tekisetsudenai to itte ita (Chinmoku, 1966:80). Terjemahan : “Injak saja! Injak!” teriakku. Tetapi seketika itu juga kusadari aku telah mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya terlontar dari mulutku. 107 Shisai o kyohi kyohi anchisukiru no kotoba o kiite iru hito Garrpe tame ni kare no kokoronouchi ni sore o tonae (Chinmoku, 1966:209). Terjemahan : “Menyangkallah! Menyanggkallah!” sang pastor meneriakkan kata itu di dalam hatinya, kepada Garrpe yang sedang mendengarkan ucapan para pengawal. Kutipan di atas merupakan bukti perasaan Rodrigues yang mulai memudar akibat tekanan batin baik dari penyiksaan orang-orang Kristen juga karena Tuhan Yesus tidak pernah datang membantunya. Tetapi di balik itu semua rasa kagum Rodrigues tetap terpancar ketika ia dengan tegasnya menyatakan pada setiap interogasinya bahwa ajaran agama Kristen mampu berkembang di Jepang. Atas desakan Ferreira kelemahan hati Rodrigues mulai menjadi kenyataan karena Tuhan agama Kristen yang di benarkan oleh Gereja Roma berbeda dengan Tuhan agama Kristen yang berkembang di Jepang. Rodrigues pun dalam hatinya menyadari hal tersebut hingga tiba saatnya ia untuk melakukan fumie dan menyangkal imannya tersebut lalu hidup sebagai murtad. Berikut adalah kutipan tentang perasaan Rodrigues yang akhirnya setuju untuk melakukan fumie. Shisai wa kata ashi o machiageta. Kanojo no ashi ni ōkina kanshimi to omomi ga arimasu. Kore wa tannaru keishiki teki dewa arimasen. Kare wa seikatsu no naka de motto mo utsukushi mono o kentō sarete iru mono o fuminijiru darou, sore wa motto mo junsuina, motto mo junsuina, motto mo kanpekina mono o shinjite, dansei ni kitai sarete iru subete no mono hoji shite iru (Chinmoku, 1966:268). Terjemahan : Sang pastor mengangkat satu kakinya. Ada kepedihan hebat dan berat di kakinya. Ini bukan sekedar formalitas. Dia akan menginjak-injaksesuatu yang selama ini dianggapnya hal paling indah dalam hidupnya, hal yang diyakini paling murni, sesuatu yang paling sempurna dan menyimpan segala sesuatu yang diharapkan manusia. Kepedihan hati Rodrigues yang harus menerima segala kebijakan-kebijakn yang ditentukan oleh pemerintah Jepang. Menurut Budiardjo (2006:53), setiap 108 negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan ini antara lain berbentuk peraturanperaturan. Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Bermacam-macam kebijaksanaan ke arah tercapainya tujuan-tujuan masyarakat dilaksanakannya sambil menertibkan hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Berdasarkan penjelasan Budiardjo, pemerintah memiliki wewenang yang didasari hukum untuk menjaga negara demi tercapai tujuan-tujuan yang disepakati. Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan untuk memaksa murtad para misionaris sebagai bukti fungsi pemerintah Jepang sebagai pelindung negara. Kompromi merupakan bentuk penerimaan Rodrigues untuk melakukan murtad setelah melakukan proses negosiasi yang panjang selama perjalanannya di Jepang. Rodrigues memilih untuk mempercayai setiap ucapan dari Ferreira, jika agama Kristen di Jepang tidak bisa berkembang maka peran mereka akan membantu orang-orang Jepang dalam bidang lain seperti, bidang ilmu pengetahuan, pengobatan, dan pembuatan buku. Setelah melakukan murtad sebagai hasil dari kompromi Rodrigues diberikan nama Jepang yakni Okada Sanemon, tempat tinggal, pekerjaan dan seorang istri. Penerimaan terhadap segala tuntutan dari pemerintah Jepang membuat Rodrigues merasa akan menerima segala penghinaan dan hujatan dari Gereja Roma. Kelemahan yang kalah oleh rawa-rawa Jepang membuatnya diberikan julukan sebagai “Paulus Murtad”. Setelah keputusannya untuk murtad sikap 109 pemerintah Jepang justru membaik, tidak ada dari mereka yang mengungkit tentang agama Kristen atau kemurtadannya. Kehidupan Rodrigues mulai berubah secara signifikan, kini ia harus terbiasa mengikuti tradisi dan adat istiadat orang Jepang serta hidup seperti orang Jepang. Berikut adalah kutipan tentang penerimaan Rodrigues tentang disediakan rumah dan istri untuknya oleh Inoue. Ie wa Kobinatacho de anata no tame ni yōi sarete imasu. Sore igai no Nihon de anata no jinsei no nokori o sugosutsumoridanode, anata wa Nihon ie o motte iru baai ga yoideshou. Okada sanemon dake de shinda shōnen ni okoru. Anata wa anata no tsuma to shite kanojo o toru kota ga dekiru yōni, kono otoko wa tsuma o motte ita (Chinmoku, 1966:289). Terjemahan : Sebuah rumah telah dipersiapkan untukmu di Kobinatacho. Selain itu berhubung kau akan menghabiskan sisa hidup di Jepang, akan lebih baik kau mempunyai nama Jepang. kebetulan seorang laki-laki Jepang bernama Okada Sanemon baru saja meninggal. Nanti setelah kau pergi ke Edo, kau bisa langsung memakai namanya. Orang ini mempunyai istri jadi kau boleh mengambil perempuan itu sebagai istrimu. Pernyataan Inoue tentang nama Jepang dan diberikan istri membuat Rodrigues harus menerima kenyataan bahwa sisa hidupnya akan dihabiskan di Jepang. Sebentar lagi Rodrigues akan dikirim ke Edo itu berarti kehidupannya barunya akan dimulai disana. Edo merupakan penjara bagi para misionaris, mereka tidak akan pernah kembali ke negara asal. Baginya kehidupan para misionaris berarti meleburkan diri dengan negeri yang didatanginya. Niat awal Rodrigues memang datang ke Jepang untuk hidup sebagai orang-orang Kristen Jepang. Saat ini keinginan tersebut terkabul walau dengan proses yang berbeda dan harus menerima kehidupan barunya didampingi istri yang asli orang Jepang. Berdasarkan keseluruhan penjelasan dan kutipan di atas, analisis bentuk wacana kompromi novel Chinmoku adalah sifat pemaksaan yang dilakukan oleh 110 pemerintah Jepang demi menjaga kedaulatan negara Jepang. Negara memiliki integrasi dari kekuasaan politik yang harus mempertahankan negaranya dari serangan negara lain yang mengarah kepada penjajahan. Pemaksaan yang dilakukan melalui proses negosiasi oleh pemerintah Jepang kepada Rodrigues untuk mencabut keseluruhan akar-akar kekristenan yang dapat memicu sikap anarkis dari para penganutnya. Budiardjo (2006:50) menjelaskan negara mempunyai sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara ja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Umumnya disetiap negara memiliki sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekuatan fisik secara legal. 5.2.5 Bentuk Wacana Penggunaan Baju Barat Sesuai dengan Kimono Jepang Pada dasarnya karakteristik orang Jepang ialah tumbuh sebagai pribadi yang toleran terhadap semua pengaruh yang masuk, seperti halnya pengaruh budaya China dan Korea yang mendominasi kebudayaan Jepang. Huruf Hiragana 21 dan Katakana pun diadopsi dari huruf asli negara China. Agama Budha yang dibawa masuk ke Jepang juga datang dari negara China dan diterima baik oleh masyarakat Jepang. Jepang memiliki kepercayaan animisme dan 21 Bahasa tertulis pertama Jepang adalah China karena Jepang tidak memiliki bahasa tertulis mereka mengadopsi sistem China dan sejak abad ke-8 mulai memproduksi teks sastra menggunakan karakter China. Simbol China diadopsi kemudian diubah dan dimodifikasi dengan menggunakan sistem fonetik yang disebut Hiragana dan Katakana (Reader,1993:21). 111 dinamisme yang dipercaya sejak zaman Jōmon22 yang biasa disebut dengan zaman batu. Aliran yang dianggap sebagai kepercayaan tertua adalah Shinto 23 . Dalam ajarannya Shinto memercayai kekuatan alam, para dewa, dan leluhur. Namun, kepercayaan Shinto bersifat lisan tanpa ada tulisan ataupun buku-buku yang bisa digunakan oleh masyarakat Jepang. Kepercayaan Shinto dan agama Buddha memiliki banyak kesamaan, seperti pemujaan kepada dewa-dewa, roh-roh, dan leluhur. Agama Budha pada masa itu telah berkembang dan memiliki buku-buku, kitab-kitab, dan tempat pemujaan yang telah memiliki patung-patung Buddha. Hal ini merupakan bentuk perwujudan dari aliran Shinto sehingga agama Buddha diterima baik oleh masyarakat Jepang. Pengaruh negara Korea yang berkembang di Jepang adalah aliran kepercayaan Konfusius yang terkenal dengan ajarannya yakni ‘kesetiaan’ dan ‘kehormatan’ yang sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jepang bahwa kesetiaan dan kehormatan tertinggi ditujukan kepada kaisar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang memiliki daya serap tinggi terhadap budaya baru. Namun, sebelum diterima dan dikembangkan keseluruhan budaya itu akan disesuaikan dengan pola-pola kebudayaan dan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Jepang. Seperti agama Buddha yang memiliki kesamaan dengan aliran Shinto dan ajaran Konfusius yang diyakini memiliki kesamaan dengan kepercayaan yang telah 22 Zaman Jōmon adalah zaman Neolitikum atau zaman batu, orang-orang pada zaman ini telah mengenal teknologi, seperti pemburu, pemancing, dan petani. Mereka telah membuat beberapa senjata dari batu, seperti pisau, alat berburu, dan alat memancing (Varley,1984:2). 23 Shinto merupakan gabungan kepercayaan “primitif” yang sukar digolongkan menjadi satu agama, bahkan satu sistem kepercayaan. Oleh karena itu agama ini lebih tepat dianggap sebagai suatu gabungan dari kepercayaan “prmitif” dan praktik-praktik yang berkaitan dengan jiwa-jiwa, roh-roh, hantu-hantu, dan sebagainya (Befu dalam Danandjaja,1997:164). 112 diterapkan di masyarakat Jepang. Perbedaan muncul ketika agama Kristen disebarkan di dalam masyarakat Jepang, Agama Kristen diterima pada awal perkembangannya, tetapi mulai dilarang penyebarannya setelah dianggap tidak sesuai dengan ajaran yang sudah ada di Jepang. Agama Kristen seperti telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dibawa pertama kali oleh Fransiscus Xavier, yaitu agama yang dibawa dari Barat tepatnya oleh gereja Roma di negara Portugal. Kesalahan pemikiran penyesuaian agama Kristen di Jepang pertama kali dilakukan oleh Fransiscus Xavier, seperti persamaan antara ‘Deus’ dan ‘Dainichi’. Fransiscus Xavier melakukan hal tersebut untuk mempermudah agama Kristen diterima oleh masyarakat Jepang. Kesalahan tersebut telah disadari oleh Christovao Ferreira yang mempelajari Jepang dan karakter masyarakatnya selama kurang lebih dua puluh dua tahun. Atas kesadarannya tersebut, Ferreira mendorong dan meyakinkan Sebastian Rodrigues untuk melakukan murtad. “Hajime wa sukoshi mo ki ga tsukanakatta. Daga sei Zabierushi ga kyōerareta Deusu to iu kotoba mo Nihon jin tachi wa katte ni Dainichi to yobu shinkō ni henete ita noda. Yō o ogamu Nihon jin ni wa Deusu to Dainichi to wa hotondo nitta hatsuon datta” (Chinmoku, 1966:236). Terjemahan : Bahkan, Santo itu pun lalai memperhatikan hal ini. Kata ‘Deus’ yang diperkenalkannya, oleh bangsa Jepang diubah secara bebas menjadi ‘Dainichi’ (Matahari Agung). Bagi bangsa Jepang yang memuja Matahari, pelafalan ‘Deus’ dan ‘Dainichi’ hampir sama. Selain kata ‘Deus’ Budiman (2006:60-62) menambahkan bahwa Ferreira sadar bahwa Tuhan agama Kristen yang dipercayai oleh Jepang sejak masa pemerintahan Tokugawa diyakini tidak sama dengan Tuhan agama Kristen bagi orang Barat. Istilah ‘Deus’ yang diajarkaan Fransiscus Xavier pun diubah menjadi 113 kepercayaan ‘Dainichi’ dengan seenaknya karena ucapannya yang mirip walaupun intinya sangat berbeda. Menurut Ferreira, orang Jepang percaya kepada Tuhan yang intinya sudah diubah menjadi Tuhan a la Jepang. Orang Jepang tidak memiliki kemampuan untuk memikirkan Tuhan yang melebihi keberadaan manusia sehingga Ferreira putus asa dalam melaksanakan kegiatan misi agama Kristen di Jepang. Orang Jepang dianggap tidak mampu memikirkan gagasangagasan Tuhan dalam agama Kristen, yang berupa suatu keberadaan yang sangat melebihi manusia. Orang Jepang memiliki keyakinan adanya manusia yang diperindah atau sesuatu yang diperluas sebagai Tuhan atau Kami. Oleh karena itu, menurut orang Jepang Tuhan dan manusia tidak berbeda. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa kesalahan penggunaan kata antara ‘Deus’ dan ‘Dainichi’ sengaja dilakukan oleh Fransiscus Xavier. Keberadaan bangsa Barat yang datang membawa agama baru tidak disambut baik oleh pendeta Buddha. Persaingan antaragama mungkin terjadi untuk memperebutkan simpati masyarakat sehingga perlu adanya suatu konsep lama yang dikemas secara baru. Hasilnya, masyarakat Jepang menerima baik agama Kristen karena mereka beranggapan bahwa agama Kristen merupakan bagian dari agama Buddha. Kesalahan pemikiran ini terkait dengan penggunaan baju Barat yang sesuai dengan Kimono Jepang. Baju Barat diartikan sebagai agama Kristen dan kimono Jepang diartikan sebagai pola pemikiran orang Jepang. Jadi, pemikiran agama Kristen di Jepang mampu berkembang karena ajaran agama Kristen telah disesuaikan dengan pola pikir orang Jepang dan melenceng dari pemikiran agama Kristen bagi orang Barat. 114 Pada novel Chinmoku ada beberapa penggunaan kata sebagai dasar pemikiran agama Kristen orang Barat yang telah disesuaikan dengan pemikiran a la orang Jepang, yaitu sebuah lagu yang dinyanyikan ketika mereka mengalami penyiksaan yang disebut Paraiso24. “Mairo-ya, Mairo-ya, Paraiso no tera ni mairo-ya, Paraiso no tera towa mōsuredo Tōi tera towa mōsuredo” (Chinmoku, 1966:143). Terjemahan : Mari pergi ziarah, mari pergi ziarah, Ayo pergi ziarah ke kuil Paraiso, Walaupun kuil itu konon sangat jauh. Nyanyian Paraiso, seperti nyanyian untuk mengantarkan seseorang yang telah martir dan meyakini mereka masuk surga. Surga yang dimaksudkan adalah surga dalam pemikiran orang Jepang berupa kuil yang sangat indah. Budiman (2006:143) menjelaskan bahwa dalam nyanyian tersebut istilah tera dan mairu pada umumnya tidak digunakan di dalam agama Kristen. Kata tera (kuil) dipakai umat Buddha, sedangkan mairu adalah bentuk kata dasar dari mairo yang dipakai umat Buddha dan umat Shinto di Jepang. Jadi, yang menjadi masalah adalah penggunaan kata tera dan mairu yang sebenarnya tidak cocok dipakai umat Kristen, tetapi dinyanyikan dalam lagu itu ketika mereka dieksekusi. Dilihat dari segi makna istilah tera merupakan suatu tanda sinkretik agama Kristen pada zaman itu sesuai dengan sistem agama-agama Jepang yang Suijaku (bentuknya agama Buddha, tetapi isinya agama Kristen). Hal ini menguatkan fakta bahwa 24 Paraiso berasal dari bahasa Latin yang berarti “surga” dan digunakan umat Kristen Jepang secara luas pada abad ke-16 sampai abad ke-17. Kata itu muncul dalam lagu Paraiso yang dinyanyikan umat Kristen ketika mereka dieksekusi (Budiman, 2006:142). 115 pemikiran agama Kristen yang disesuaikan dengan pemikiran orang Jepang tanpa melihat inti yang memiliki perbedaan. Penggunaan pemikiran Barat yang disesuaikan dengan pemikiran orang Jepang selain Paraiso, yakni ‘Wareware no Kami’ (Tuhan kita, yang diyakini oleh Ferreira dan Rodrigues) dan ‘Karekare no Kami’ (Tuhan mereka, yang diyakini oleh orang Jepang). Tafsiran pemikiran itu diyakini sebagai penggalan kepercayaan agama Kristen yang berkembang di Jepang dari awal hingga hari ini. “Karera ga shinjite ita no wa Kirisutokyō no kami dewa nai. Nihon jin wa ima made kami no gainen wa mota nakattashi, kore kara mo motenai darou” (Chinmoku, 1966:236) Terjemahan : Mereka tidak percaya kepada Tuhan orang Kristen, sampai hari ini, bangsa Jepang tidak memiliki konsep tentang Tuhan Kutipan di atas membenarkan bahwa agama Kristen berkembang di Jepang sebagai agama yang telah diserap ke dalam pemikiran orang Jepang. Konsep tentang Tuhan tidak mampu digambarkan karena mereka tidak memiliki pendalaman tentang ajaran agama Kristen. Pelarangan penyebaran agama Kristen di Jepang mengharuskan para Kirishitan mempelajari agama Kristen secara autodidak dan mengaitkannya dengan ajaran agama Buddha untuk menutupinya dari pemerintah sehingga mulai timbul beberapa penyimpangan yang berakibat fatal. Hal tersebut diyakini oleh Endo sebagai seorang Kirishitan yang menggunakan agama Kristen sebagai agama yang diwariskan ibunya tanpa mempelajari dengan baik. Budiman (2006:4) menambahkan pernyataan Endo dalam tulisan berjudul Watashi ni Totte Kami to Wa (Apa Makna Tuhan bagi Saya), yakni seperti dibawah ini. 116 “Kalau saya membuang keyakinan agama Kristen yang diwariskan oleh ibu tanpa mempelajari dengan baik, saya akan merasa tidak enak pada ibu karena tak dapat mempertahankan hidup sendiri dengan keyakinan itu” Pernyataan Endo menyiratkan makna tentang kaum Kirishitan yang tanpa sadar telah mempelajari agama Kristen yang ada dalam pikiran mereka dan menurunkannya kepada generasi penerus yang menerima agama Kristen tanpa mengerti maksud dan makna ajaran tersebut. Pendapat sama diungkapkan oleh Reader (2002:37) yang menyatakan bahwa agama Kristen tidak akan menjadi agama yang penting dalam hal jumlah, tetapi telah memengaruhi sejarah Jepang, terutama dalam hal pendekatan sosial dan sikap sosial para pastor terhadap kaum kecil. Salah satu alasan mengapa agama Kristen tidak bisa menyebar lebih cepat karena agama Kristen selalu dibandingkan dengan agama-agama lain di Jepang. Di samping itu, menuntut penganutnya untuk tidak memiliki agama selain agama Kristen. Permintaan itu bertentangan dengan keyakinan dan keragaman agamaagama di Jepang. Berdasarkan pernyataan Endo dan Reader tentang konsep pemikiran agama Kristen, diketahui bahwa perubahan konsep pemikiran agama Kristen a la orang Jepang terjadi akibat kendala bahasa. Kedatangan Fransiscus Xavier ke Jepang dibantu penerjemah Anjiro yang memiliki kemampuan menerjemah lemah. Akibatnya, penyampaian maksud dan makna ajaran agama Kristen tidak bisa diserap seutuhnya. Selain itu, perkembangan agama Kristen yang dianggap baik di mata orang Jepang semakin meluas akibat para daimyō yang diberikan hadiah dan membayarkan upeti mulai menganut Kristen yang mengharuskan pengikutnya masuk agama Kristen tanpa mengerti makna dan tujuan agama 117 tersebut. Sehubungan dengan itu, perkembangan agama Kristen tidak sesuai dengan yang diharapkan dalam segi jumlah perkembangan agama Kristen melaju pesat, tetapi tidak semua penganut agama Kristen mampu mengapresiasikan hidup mereka untuk mempelajari agama Kristen lebih dalam. Sesuai dengan pernyataan Reader bahwa agama Kristen belum menyebar lebih cepat akibat tuntutan untuk tidak memiliki agama lain selain agama Kristen memicu timbulnya pemikiran akan adanya gerakan pemberontakan pemerintah Jepang. Selain kepercayaan terhadap alam dan dewa-dewa, agama-agama di Jepang menganut sistem kehormatan dan kesetiaan yang dijunjung tinggi. Semua hal itu telah menyatu dengan kehidupan orang Jepang yang sulit dihilangkan. Hal tersebut semakin menguatkan pemikiran-pemikiran Ferreira tentang agama Kristen dan perkembangannya di Jepang. Keputusannya untuk murtad dipilih karena agama Kristen tidak cocok bagi orang Jepang dan orang Jepang belum pernah bisa memahami konsep Tuhan dalam agama Kristen Barat. Salah satu tokoh dalam novel Chinmoku yang dilihat dari karakternya menganggap agama Kristen adalah sebuah pakaian, yakni Kichijiro. Kichijiro adalah tokoh penentu dalam novel Chinmoku. Ia digambarkan sebagai pribadi yang memiliki perangai yang buruk seperti suka mabuk-mabukan, suka berbohong, dan berkhianat. Budiman (2006:28) menggambarkan bahwa Kichijiro adalah penganut Kristen yang pernah dibaptis, tetapi perilakunya sering kali tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen yang semestinya. Ia sering berbohong sesama umat beragama, bahkan mengkhianatinya. 118 Kichijiro menganggap bahwa agama Kristen sebagai pakaian yang bisa ditanggalkan jika tidak diperlukan. Kichijiro telah berkali-kali murtad untuk mendapatkan uang termasuk pengaduannya kepada pemerintah Jepang tentang misionaris Sebastian Rodrigues dan Fransisco Garrpe. Seperti diceritakan dalam Chinmoku, Kichijiro telah beberapa kali murtad dan mendapatkan uang atas pengaduannya kepada pemerintah. Tak hanya itu Kichijiro beberapa kali tampil sebagai penolong para misionaris, tetapi berakhir setelah ia melakukan pengaduan dan meninggalkan Kristen begitu saja. Berdasarkan cerita dalam novel Chinmoku, diketahui bahwa Kichijiro tampil sebagai penganut Kristen yang telah mengingkari imannya. Dia dan seluruh keluarganya, semua penganut agama Kristen, telah dikhianati oleh seorang informan yang merasa iri. Ketika diperintahkan menginjak-injak gambar Kristus, semua saudara dan saudarinya menolak tegas. Akan tetapi, Kichijiro setelah diancam beberapa kali oleh para pengawal, akhirnya berteriak bahwa ia meninggalkan keyakinannya. Seluruh keluarganya dibakar. Kichijiro pun ikut hadir ketika pembakaran itu dimulai dan bergegas menghilang dari pandangan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa kepercayaan masyarakat Jepang tentang agama Kristen memunculkan berbagai pertanyaan. Pertimbangan akan agama Kristen sesuai dengan pemikiran orang Jepang diakibatkan oleh kondisi fasilitas keagamaan yang tidak memadai. Keterbatasan bahasa memengaruhi pengertian agama Kristen dari misionaris kepada masyarakat Jepang. Pejabat negara dan para daimyō beragama Kristen mengalihfungsikan kuil-kuil menjadi gereja sehingga terkesan agama Kristen 119 sama dengan agama lain di Jepang, seperti menggunakan baju Barat yang tidak sesuai dengan baju Jepang. Akan tetapi, baju Barat diubah dan disesuaikan dengan kondisi badan orang Jepang. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan seutuhnya bahwa baju Barat begitu pula agama Kristen Jepang tidak bisa sepenuhnya dimengerti sebagai Kristen Barat. Ibarat baju jika sudah tidak diperlukan bisa ditanggalkan begitu saja. 120 BAB VI PENYAMPAIAN KONTEKS WACANA POLITIK KEAGAMAAN DALAM NOVEL CHINMOKU Dalam bab ini diuraikan konteks wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku yang mencakup konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang, konteks wacana nilai-nilai kebudayaan, dan konteks wacana nilai-nilai keagamaan para misionaris. Uraian ini perlu dilakukan untuk menganalisis kutipan-kutipan yang disampaikan oleh pemerintah Jepang dalam misi pelarangan agama Kristen di Jepang dan menganalisis kutipan-kutipan yang menyatakan adanya isu-isu politik keagamaan oleh para misionaris. 6.1 Konteks Wacana Kekuasaan Pemerintah Jepang Penyampaian suatu doktrin penyebaran agama melalui masyarakat sipil dilakukan untuk memperluas doktrin. Penyampaian doktrin pelarangan penyebaran agama dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas negara. Penjagaan stabilitas negara dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mempertahankan sistem masyarakat feodal dan membentuk karakter bangsa tanpa campur tangan negara lain. Kekuasaan terkuat dipegang oleh pemerintahan Tokugawa atas kepercayaan dari kaisar. Dalam novel Chinmoku, pemerintah Tokugawa digambarkan dalam karakter Gubernur Chikugo, yaitu Inoue, sang penerjemah, Christovao Ferreira, dan samurai berkuda. Kekuasaan yang diperuntukkan kepada mereka mengharuskan mereka menyampaikan politik keagamaan untuk pelarangan 121 penyebaran agama Kristen yang dianggap dapat memberikan pengaruh yang buruk. Menurut Weber (dalam Budiardjo, 2008:60) kekuasaan adalah kemampuan untuk, melaksanakan kemauan sendiri dalam suatu hubungan sosial sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini. Senada dengan Weber, Laswell (dalam Budiardjo, 2008:60) menyatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan pihak pertama. Kekuasaan yang ditunjukkan oleh pemerintah Jepang atas pelarangan penyebaran agama Kristen, pelarangan tidak hanya dilakukan secara tertulis dan lisan, tetapi sudah memasuki tahapan penyiksaan. Desa Tomogi dalam novel Chinmoku merupakan salah satu desa yang dideskripsikan sebagai desa yang tertindas akibat pelarangan agama Kristen. Berikut ini adalah kutipan yang berlatar di Desa Tomogi dengan kondisi desa tersebut telah terancam. Penyampaian politik keagamaan dilakukan oleh samurai berkuda dengan ancaman sandera. Berikut ini adalah kutipan konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang dalam pelarangan agama Kristen. “Miru ga ii! Tsube kobe to sengi wa senu. Chikagoro omaera no naka ni wa kinsei no Kirishitan o hisoka ni tatematsu zuru mono ga aru to iu soji ga atta” (Chinmoku, 1966:76). Terjemahan : “Hati-hati! Aku tidak suka dibantah. Kami ke sini tidak untuk berdiskusi. Belum lama ini seorang informan memberi tahu kami bahwa di antara kalian ada pengikut rahasia sekte Kristen yang terlarang itu”. 122 Dalam pandangan Budiardjo (2008:61--62) esensi kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Upaya yang paling ampuh adalah kekerasan fisik (force). Seorang penjahat yang bersenjatakan celurit yang memaksa seseorang untuk menyerahkan miliknya merupakan suatu contoh kekuasaan yang paling terbuka dan brutal. Kekuasaan dapat juga diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan dapat diadakan sanksi. Suatu upaya yang sedikit lebih lunak adalah persuasi (persuasion) yaitu proses meyakinkan, beragumentasi, atau menunjuk pada pendapat seorang ahli. Berdasarkan pandangan tersebut bila dikaitkan dengan kutipan di atas terjadi suatu ancaman yang mengacu pada tindak politik keagamaan, yaitu pemerintah melarang dengan tegas masyarakat di Desa Tomogi menganut agama tersebut. Jansen (2000:77) menjelaskan bahwa pada masa pelarangan agama Kristen semua orang wajib dicurigai. Di samping itu, para Kirishitan daimyō diwajibkan untuk melakukan penganiayaan di daerah mereka sendiri untuk membuktikan bahwa mereka tetap setia terhadap Shōgun. Ada daerah yang tidak boleh melakukan pembaptisan, seperti Kyushu dan daerah pedesaan Nagasaki yang merupakan kekuasaan langsung dari Shōgun. Ada pula daerah-daerah yang langsung tunduk. Setelah adanya kebijakan pelarangan agama Kristen untuk melakukan pencarian jaringan Kristen dan merancang penyiksaan memaksa kaum Kristen mengingkari iman mereka. Intensitas penyiksaan dikombinasikan dengan 123 tekanan sosial dan politik untuk para samurai berkuda dan Rōnin 25 . Jadi, para pelaku politik keagamaan merupakan orang-orang yang pernah dibaptis dan menjadi seorang Kirishitan. Peneliti berpendapat bahwa pemerintah Jepang senantiasa melakukan penelusuran ke setiap desa dan mencari beberapa informan dengan bayaran yang tinggi untuk mengusir dan memburu para pastor yang bersikeras masuk ke Jepang. Ancaman dilakukan, baik secara fisik maupun koersi untuk rakyat biasa, dan pendekatan persuasi dipilih untuk para misionaris asing. Uang merupakan salah satu alat yang digunakan untuk melibatkan informan dalam pencarian para misionaris. Informan yang diandalkan dalam novel Chinmoku adalah Kichijiro. Perilaku pemerintah dalam upaya pelarangan agama Kristen merupakan suatu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Kekuasaan yang dimiliki Shōgun Tokugawa membuat para pejabat negara harus tunduk dan mematuhi setiap aturan yang di tetapkan. Oleh karena itu, banyak yang daerah kekuasaan para Kirishitan Daimyō di pantau dan diambil alih oleh Shōgun. Pendekatan persuasi dilakukan oleh Inoue, sang penerjemah, dan Ferreira untuk menaklukkan para misionaris termasuk Sebastian Rodrigues. Pendekatan persuasi dipilih untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan para misionaris demi kemajuan negara Jepang. Kewenangan yang telah diberikan kepada Inoue membuatnya memiliki kedudukan yang patut dihormati sehingga wewenang Inoue dalam memanfaatkan pihak asing dinyatakan keabsahannya. Budiardjo 25 Rōnin adalah sebutan untuk samurai yang telah kehilangan tuannya. Samurai yang kehilangan tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut pemerintah (id.m.wikipedia.org/wiki/Ronin. Diakses 20-04-2014). 124 (2008:64) menjelaskan bahwa wewenang adalah hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya. Wewenang erat kaitannya dengan legitamasi yang merupakan keabsahan yang terutama penting dalam suatu sistem. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah. Apabila dikaitkan dengan novel Chinmoku, Inoue telah membuat peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam misi pemberantasan umat Kristen di Jepang. misalnya, hukuman salib dalam lautan yang dialami oleh tokoh Mokichi dan Ichizo. Mereka tidak mau mengingkari keyakinan mereka saat pemerintah memaksa untuk murtad dan meludahi patung Yesus dan menyebut Bunda Maria sebagai pelacur. “Kono Fumie ni tsuba o kake, seibo wa otokotachi ni mi o makashite kita inbai da to itte miyo to inochi zeraremashita. Kore wa, yagate ato ni natte wakatta no desuga, Valignano shi ga sai mo kiken na junbutsu to iwareta Inoue ga hatsumei shita hōhō deshita” (Chinmoku, 1966:85). Terjemahan : Dan mereka pun diperintahkan meludahi salib serta menyatakan bahwa sang Perawan Suci adalah pelacur. Baru sesudahnya aku mendengar bahwa rencana ini telah dipikirkan oleh Inoue, orang yang kata Valignano merupakan yang paling berbahaya dari semuanya. “Jūjika ni kunda nihon no ki ga, watarin uchigiwa ni tateraremashita. Ichizo to Mokichi wa sore ni kukuritsu kerareru no desu. Yoru ni nari, shio ga michite kureba futari no karada wa ago no Atari made umi ni tsukaru deshō” (Chinmoku,1966:87). 125 Terjemahan : Dua batang pohon, yang dibuat berbentuk salib, ditancapkan di tepi air. Ichizo dan Mokichi diikatkan di sana. Malam nanti, saat air laut pasang, tubuh mereka terendam sampai dagu. Selain hukuman salib dalam lautan juga ada hukuman lain, yakni hukuman yang dilalui oleh Garrpe yang melibatkan petani-petani miskin dengan melilitkan tikar-tikar pada tubuh sang martir. Rodrigues ikut menyaksikan kejadian yang dialami sahabatnya ini. Garppe masuk ke dalam air setelah tidak kuat menyaksikan para petani itu ditenggelamkan hidup-hidup ke dalam air. Garrpe pun ikut mati tenggelam sia-sia. “Garrpe o jo ita san nin no Shinto no karada ni yakunin tachi ga komo o maki hajimeta. Shinto wa kubi dake mino kara deta minomushi no yōna sugata ni natte iku. Ma mo naku kobune ni jōse raretena. Oki ni fune o kogi desu. Kono irie wa mikake yori mo fukai te” (Chinmoku, 1966:207). Terjemahan : Para pengawal mulai melilitkan tikar-tikar itu di seputar tubuh para tawanan. Kecuali Garrpe. Tak lama kemudian, mereka tampak seperti pepes cacing di dalam gulungan tikar, hanya kepala mereka yang menonjol ke luar. Sekarang mereka akan dinaikkan ke perahu-perahu dan dibawa ke beting karang. Di teluk itu airnya sangat dalam dan dasarnya tidak terlihat. Hukuman terakhir yang paling sadis adalah hukuman gantung di lubang. Hukuman ini pernah dirasakan oleh Ferreira dan Rodrigues. Atas hukuman yang didapat inilah akhirnya Ferreira menyerah dan dengan menunjukkan luka di belakang telinganya akibat hukuman tersebut, Ferreira memaksa Rodrigues untuk segera meninggalkan keyakinannya. “Anatsu mōshitena. Itsuka hanashita koto mo arōga. Teashi no dōkanu yōsumaki ni shite ani natsuru. Sono mama dewa sokuza ni zetsumei suru yue, kōna mimi no ushiro ni ana o aketena, itteki itteki chi ga shitataru yōni suru. Inoue no kangaena sareta gōmon da ga” (Chinmoku, 1966:228-229). 126 Terjemahan : Namanya hukuman digantung di dalam lubang. Barangkali kau pernah mendengarnya. Kau diikat sedemikian rupa sehingga tidak bisa menggerakkan tangan atau kaki. Lalu mereka menggantungmu terbalik di dalam lubang. Lubanglubang kecil ini dibuat di belakang telinga, supaya kau tidak mati dengan cepat. Darahmu menitik setetes demi setetes. Siksaan ini diciptakan oleh Inoue. Hukuman-hukuman di atas dibuat oleh Inoue sebagai bentuk wacana kekuasaan pemerintah Jepang dibuat atas kewenangan yang diberikan kepadanya. Tidak peduli berapa jumlah masyarakat sipil yang tewas akibat hukuman tersebut. Hukuman itu dibuat tentunya untuk menggerakkan hati para misionaris agar tidak datang ke Jepang dan sudah berada di Jepang untuk meninggalkan keyakinannya. Hukuman tersebut akan mengurangi jumlah kaum Kristen di Jepang yang sangat teguh dengan keyakinan mereka. Legitimasi dari hukuman tersebut diterima baik oleh kaum pendeta Buddha dan masyarakat Jepang yang telah membenci agama Kristen. Akibat dari hukuman tersebut banyak keluarga mereka yang mati sebagai martir, dan sisa keluarga lain memutuskan untuk meninggalkan agama tersebut. Selain Inoue, sang penerjemah memiliki peranan penting dalam menghasut pikiran para misionaris untuk melakukan murtad. Pemikiran-pemikiran yang berbeda dari orang Jepang dan orang Barat dianggap mampu membuat para misionaris kehilangan keyakinannya. Penyampaian politik keagamaan dilakukan sang penerjemah dengan memberikan gambaran-gambaran perbedaan pemikiran antara Barat dan Timur. “Padore, omaera no tame niwa, omaera ga kono Nihon kuni ni migatte na yume o osae shitsuke yoru tame ni na, sono yume no tame ni dore dake hyakushōra ga meiwaku shita ka kangaeta ka?” (Chinmoku, 1966:211). 127 Terjemahan : Bapa, pernahkah kau memikirkan penderitaan yang telah kau timbulkan kepada begitu banyak petani, hanya gara-gara impianmu, karena hanya kau ingin memaksakan impianmu yang egois itu kepada Jepang? Perilaku sang penerjemah menyiratkan bahwa ia berkewajiban mendoktrin pikiran para misionaris dan membuat mereka berpikir tentang kejahatan yang telah dibuat. Sang penerjemah bertugas memmengaruhi para misionaris dengan unsur psikologis dan menyentuh hati serta dianggap merupakan cara yang cukup berhasil. Rodrigues selama masa menjadi tahanan selalu didampingi oleh sang penerjemah. Kepada dia ditampilakan beberapa kejadian keji dan selalu membuat Rodrigues dipersalahkan atas kejadian tersebut. “Warashi ga tenbase tai no wa, ano yōna komono tachi dewa naite. Nihon no shima jima ni wa madahi soka ni Kirishitan o tatematsu zuru hyakushō tachi ga amatairu. Korera o tachi modorasu tame ni mo Padore tachi ga mazu ten bane banaranu” (Chinmoku, 1966:208). Terjemahan : Orang-orang yang kami inginkan menyangkal iman mereka bukanlah ikan-ikan kecil ini. Di pulau-pulau lepas pantai masih banyak sekali petani yang diam-diam tetap setia dan teguh pada kekristenan mereka. Untuk mendapatkan merekalah kami ingin para pastor berbalik meninggalkan iman mereka. Kutipan di atas jelas menyatakan bahwa pemerintah Jepang akan mencabut akar-akar agama Kristen dan membiarkan tanaman itu layu seiring berjalannya waktu. Akar-akar agama Kristen adalah para misionaris yang dipaksa murtad dan hidup di Jepang. Dengan demikian sisa-sisa kekristennan akan lenyap dengan sendirinya tanpa harus membunuh dan menginterogasi mereka satu-per satu. Upaya ini mempermudah pemerintah dalam mengurangi jumlah orang-orang Kristen yang telah didoktrin dan mengurangi kemungkinan adanya 128 pemberontakan. Dasar perbedaan agama Kristen dengan agama yang ada di Jepang di paparkan sejelas-jelasnya oleh sang penerjemah, memberi pengertian dan secara tidak langsung telah mendoktrin Rodrigues untuk melakukan murtad. “Kirishitan tachi wa “Deusu” koso daiji daihi no minamoto, subete no zen to toku to no minamoto to mōshi, Busshin wa mina ningen de aru kara korera no tokugi wa beiwatte oranu to iute oruga, Padore tono mo dōji o kangae kana” (Chinmoku, 1966:139). Terjemahan : Orang-orang Kristen mengatakan Deus mereka adalah sumber kasih dan maha pengampun, sumber kebaikan dan kebajikan, sementara Buddha hanya manusia dan tidak mungkin memiliki sifat-sifat tersebut. Apakah Anda juga berpendapat demikian, Bapa? Kutipan di atas menyiratkan keinginan sang penerjemah untuk mendoktrin pikiran-pikiran Rodrigues agar mengubur mimpinya dalam-dalam. Hal itu dilakukan dengan membandingkan pola-pola agama Buddha dengan agama Kristen yang selama ini selalu dipandang rendah oleh para misionaris. Sang penerjemah dahulunya adalah penganut agama Kristen yang memanfaatkan agama tersebut sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan Barat. Berkat para misionaris banyak seminari dibangun di daerah Arima, Amakusa, dan Omura. Pendidikan formal hanya bisa didapat di seminari yang mengharuskan pengikutnya beragama Kristen. Penghormatan yang minim bagi kaum Kristen di Jepang menimbulkan pemikiran tentang keinginan orang Barat untuk mengubah Jepang sebagai rumah kedua mereka. Sang penerjemah membenci para pastor karena mereka hanya ingin menyebarkan misi mereka, tidak menjadikan kaum Kristen di Jepang sebagai bagian dari mereka. “Padore tachi wa, itsumo ware ware Nihon jin o, baka ni shitorareta. Cabral to iu Padore o shittorimashita ga, ano o-kata wa kakubetsu ware ware o sagesu marete orareta. Nihon ni ki nagara, ware ware ie o azakeri, ware ware no kotoba 129 o azakeri, ware ware no tabemono ya sakukai o azakerarete orareta. Sōshite watashitachi ga seminario o dete mo shisai to naru koto o ketsushite yurusare nanda” (Chinmoku, 1966:137). Terjemahan : Pastor-pastor selalu saja mencemooh kami. Saya kenal Bapa Cabral, dia memandang rendah segala sesuatu yang berkaitan dengan Jepang. Dia mencemooh rumah-rumah kami; dia memandang rendah bahasa kami, makanan kami, dan adat kebiasaan kami, tetapi dia hidup di Jepang. Bahkan dari antara kami yang lulusan seminari tidak dia izinkan menjadi pastor. Banyak hal yang tidak dipelajari sepenuhnya oleh Rodrigues, banyak hal pula yang tidak seluruhnya diceritakan dalam surat-surat yang ditulis pendahulunya ke gereja Roma. Perlakuan misionaris yang dianggap buruk oleh pemerintah Jepang, yang membanding-bandingkan negara mereka yang sudah maju dengan Jepang yang pada saat itu merupakan negara sedang berkembang. Peneliti berpendapat bahwa sikap sang penerjemah digambarkan secara sinis oleh Endo, rasa kebencian atas kemunafikan orang-orang Barat membuatnya menekan Rodrigues untuk meninggalkan keyakinannya. Kepercayaan diri sang penerjemah sangatlah kuat karena kemampuannya berbahasa Portugis dan pengetahuannya tentang agama Kristen yang pernah dipelajarinya di seminari-seminari. Bentuk konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang yang terakhir disampaikan oleh Ferreira sang pastor yang telah murtad. Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang Ferreira dan visi misinya, Ferreira dan kemurtadannya, dan Ferreira yang telah menjadi bagian negara Jepang. Tokoh Ferreira telah mengalami banyak kejadian- keji, baik yang dialami langsung maupun yang dilihat secara langsung. Kehidupan Ferreira terdahulu mendapatkan posisi dan kehormatan yang tinggi, tetapi akibat adanya kebijakan pelarangan agama Kristen kehormatan itu serta merta menjadi penolakan. Kehidupan Ferreira 130 yang baru membuat keyakinan dirinya terhadap agama Kristen yang dianut oleh orang-orang Jepang adalah agama Kristen yang berbeda. Ferreira menjadi berguna bagi negara Jepang, tetapi dalam posisi yang berbeda. “Sayō. Ware ware wajin ni wa yaku ni tatte orutomo. Kochira wan a mo Sawano Chūan to aratamerarete na. Mō itsusatsu no shomotsu ni tori kakatte orareru. Deusu no oshie to Kirishitan no gengiroku to fusei o ba aba ku shomotsu dena. Tashika arawatame toka iu ta ga” (Chinmoku, 1966:227). Terjemahan : Memang benar demikian. Dia banyak membantu kami bangsa Jepang. Dia bahkan mempunyai nama Jepang; yaitu Sawano Chuan, dan dia sedang menulis buku lagi. Buku untuk menyanggah ajaran Deus dan membuktikan kesalahankesalahan ajaran agama Kristen. Judulnya Gengiroku. Kutipan cerita di atas disampaikan oleh sang penerjemah, tak ada kekuatan yang besar bagi Ferreira untuk menyampaikan hal tersebut kepada Rodrigues. Ferreira tidak sanggup menghentikan ucapan sang penerjemah. Ferreira diizinkan bertemu dengan Rodrigues dalam upayanya untuk memaksa Rodrigues menyangkal imannya. Dengan kehadiran Ferreira, tentu dalam pemikiran pemerintah Jepang akan lebih mudah membuat Rodrigues juga murtad. Ferreira menjelaskan penyebab ia memilih murtad dan mengkhianati gereja Roma adalah Ferreira merasa lebih berguna terhadap bangsa Jepang, dengan membantu sistem ilmu pengetahuan mereka dalam misi kemajuan bangsa Jepang. “Omae ga tenbuyō, shōmeroto… watashi wa iwarete kita” (Chinmoku, 1966:228). Terjemahan : Aku telah diperintahkan untuk membuatmu menyangkal imanmu. Eksistensi Ferreira selama dua puluh dua tahun membuat pikirannya terhadap orang-orang Jepang mulai melemah. Kini Ferreira telah kehilangan 131 semangat akibat hidupnya kini bergantung pada kebaikan pemerintah Jepang. Rodrigues pada awalnya tidak sanggup melihat sang pastor Ferreira yang gagah kini hanya tergolek lemah di bawah tuntunan pendeta Buddha. Pemikiran Rodrigues atas pernyataan tentang agama Kristen di Jepang yang sangat berbeda dengan agama Kristen di gereja Roma mengalihkan perhatiannya terhadap Tuhan Yesus yang merupakan tokoh penolong dan penuh cinta kasih. Secara keseluruhan peneliti berpendapat bahwa komposisi samurai berkuda, Gubernur Inoue, sang penerjemah, dan Ferreira memiliki pemikiran yang sama tentang keberlangsungan agama Kristen di Jepang. Banyak nyawa akan terbunuh sia-sia jika akar agama Kristen tidak dicabut dan Rodrigues merupakan satu-satunya akar agama Kristen yang masih tersisa di Jepang. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan persuasi agar Rodrigues mudah ditaklukan hatinya dan membuatnya murtad untuk menjadi bagian dari negara Jepang. Karakter para pemerintah Jepang tersebut hanya kamuflase untuk menakut-nakuti masyarakat yang tetap teguh mempertahankan imannya. Pada dasarnya pemerintah tidak ingin membunuh atau menyiksa para petani, karena mereka beranggapan bahwa petani merupakan tulang punggung negara Jepang. Jika banyak petani yang mati akibat insiden pelarangan agama Kristen tentu jumlah hasil panen akan semakin berkurang. Karena alasan tersebut, pemerintah menginginkan para misionaris untuk murtad. Menurut pandangan Ali (1981:12) cita-cita pemerintah untuk membangun sebuah negara di atas dasar persatuan agama dan negara menghadapi berbagai macam kesulitan. Agama Kristen yang dibawa oleh Fransiscus Xavier memiliki 132 pemikiran yang berbeda dengan agama Shinto, Buddha, ataupun Konfusius. Oleh karena itu, agama Kristen tidak bisa menghindari adanya benturan dan konflik dengan sistem nilai agama-agama yang dijumpainya di Jepang. Bahkan perasaan bahwa agama Kristen adalah sebuah “agama asing” tetap kuat di kalangan bangsa Jepang. Befu (dalam Danandjaja, 1997:165) menjelaskan bahwa sikap orang Jepang terhadap agama yang masuk ke negaranya memiliki karakteristik orientasi agama mereka tidak sama dengan cara berpikir orang Barat terhadap agama karena orang Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang eksklusif. Sikap ini mempunyai beberapa arti. Pertama, seorang Jepang yang sama akan menyembah dewa-dewa dari agama yang berbeda tanpa perasaan yang bertentangan. Misalnya, seorang Jepang akan bersembahyang di altar agama Buddha yang ada di rumahnya pada pagi hari, dan pada sorenya akan pergi bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto. Kedua, ada tempat pemujaan yang menyemayamkan patung-patung dewa dari berbagai agama yang berbeda. Contohnya di Jepang ada kelenteng Buddha di dalam kompleks pemujaan Shinto dan demikian sebaliknya. Ketiga, konsep religi orang Jepang mengenai seorang dewa dapat mencakup unsur-unsur dari agama yang berbeda. Keempat, seorang pendeta dari suatu agama boleh memimpin upacara agama dari agama lain. Berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sikap yang ditunjukkan pemerintah Jepang semata-mata untuk melindungi negara mereka dari pengaruh agama Kristen yang dianggap buruk. Setiap agama tidak memiliki pengaruh buruk, tetapi tujuan penyebaran agama yang mengarah pada 133 tujuan ganda. Peneliti dalam masalah ini menilai bahwa sikap pemerintah Jepang benar adanya. Dibutuhkan suatu pengorbanan untuk mendapatkan hak yang harus dilindungi, baik secara pendekatan maupun secara paksa. Pemerintah Jepang tentu sudah memikirkan akibat-akibat apa yang akan terjadi jika para misionaris tetap berada di Jepang. Penyampaian politik keagamaan dilakukan oleh pemerintah Jepang serta merta untuk mengurangi doktrin agama Kristen dan mengembalikan masyarakat Jepang kepada peraturan yang telah ada. Jepang adalah negara yang memiliki prinsip. Sebuah prinsip dalam negara merupakan cara negara tersebut untuk tetap menjaga tatanan dan stabilitas kepemimpinan dalam negara. 6.2 Konteks Wacana Nilai-Nilai Kebudayaan Masyarakat Jepang Nilai budaya masyarakat Jepang banyak terpengaruh dari budaya China dan Korea. Masuknya pedagang asing seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugal membawa pengaruh bagi modernisasi budaya Jepang. Menurut Anwar dan Adang (2013:251), modernisasi menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material, dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal. Berkaitan dengan novel Chinmoku, masyarakat Jepang merasa bahwa kehidupan mereka berubah dan mengalami kemajuan semenjak kedatangan para 134 misionaris ke Jepang karena mereka diperkenalkan pada budaya yang baru dan menarik. Perubahan nilai-nilai budaya masyarakat Jepang terjadi karena mereka menganut agama Kristen dengan tetap menggunakan alat-alat upacara agama Buddha. Seperti dalam novel Chinmoku masyarakat Kepulauan Goto yang didatangi oleh Rodrigues menempatkan patung Buddha Cannon yang dianggap Bunda Maria di altar pemujaan. Sehingga fungsi dan makna dari patung itu mengalami perubahan nilai-nilai budaya, budaya agama Buddha tetapi dipaksakan untuk menjadi budaya agama Kristen. Hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Goto untuk tetap menyembunyikan kekristenan mereka. Agama Kristen dibawa oleh para perantara yang khusus disebarkan ke berbagai negara untuk menebarkan kasih dan sayang Yesus pada umat yang percaya kepadanya. Weber (dalam Noviani, 2002:112--113) menyatakan bahwa doktrin awal Kristen ditegakkan oleh sekelompok kecil elite yang sebelumnya menggambarkan perkembangan selanjutnya dari kependetaan yang diberdayakan secara khusus dan munculnya gereja institusional. Perkembangan selanjutnya adalah mentransformasikan sekelompok kecil murid Yesus yang dilihat sebagai ahli dengan kualifikasi-kualifikasi luar biasa ke dalam sebuah gereja yang terorganisasi dengan hierarki kependetaan. Selain itu, para perantara ini diberkahi spirit yang diperlukan dalam hal ini. Para perantara dibutuhkan karena setiap “agama keyakinan” atau “agama keselamatan” dari luar mengamsumsikan adanya seorang Tuhan personal juga perantara dan para nabi Tuhan, yang demi kepentingan mereka harus ada penolakan kebenaran diri dan pengetahuan 135 individual pada berbagai sisi. Dalam agama Kristen, karisma sang penyelamat harus disalurkan melalui rasul-rasul dan hal ini diteruskan dalam karisma ketuhanan dari pejabat keuskupan dan kependetaan. Para perantara yang membawa Kristen masuk ke Jepang, adalah Fransiskus Xavier, Christovao Ferreira, Alessandro Valignano, Sebastian Rodrigues, dan masih banyak perantara-perantara lainnya. Nilai-nilai budaya masyarakat Jepang yang mulai di pengaruhi oleh doktrin para perantara adalah stratifikasi sosial yang ingin mereka rubah sesuai dengan apa yang mereka ketahui bahwa negara diluar Jepang masyakaratnya tidak digolongkan sesuai dengan strata sosial. Masyarakat Jepang mengharapkan adanya perubahan yang dapat memajukan kehidupan mereka dan terlepas dari segala tuntutan dari pajak yang tinggi. Di samping itu, adapun masyarakat yang menganut agama Kristen hanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari para misionaris tanpa mempermasalahkan tentang ajarannya. Anwar dan Adang (2013:252), menjelaskan adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi. Pertama, nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya. Kedua, nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, memang ilmu pengetahuan bisa dibeli, dipinjam dan diambil ahli dari ilmu pengetahuan pihak asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih 136 rumit darpada mengembangkan iptek baru. Ketiga, nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifatnta normative, sedangkan penilai objektif hanya bisa didasrkan pada konsep seperti apa. Keempat, nilai budaya atu sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha pihak lain yang mampu meraih atas kerja kerasnya sendiri. Berdasarkan pada novel Chinmoku, nilai-nilai kebudayaan masyarakat Jepang terpengaruh oleh doktrin agama Kristen tetapi masih dalam konteks pemikiran ala Jepang. penyerapan budaya asing melalui agama Kristen telah memberi semangat baru bagi kehidupan masyarakat Jepang. 6.3 Konteks Wacana Nilai-Nilai Keagamaan Para Misionaris Misionaris merupakan orang-orang yang memiliki tujuan mulia dalam misi penyebaran agama Kristen. Berpusat pada gereja Roma, kaum Kristen Khatolik dari negara Spanyol dan Portugal ini mendatangi Jepang dengan keinginan untuk menjadikan Jepang rumah kedua para pastor. Misionaris beranggotakan kaum Ordo Jesuit yang secara khusus dibentuk oleh gereja Roma untuk melakukan perjalanan keliling dunia. Pada dasarnya misionaris dalam penyebaran agama melakukan penyebaran agama Kristen pada negara-negara yang tidak mengenal agama Kristen untuk mempermudah doktrin agama mereka. Pada novel Chinmoku misionaris-misionaris tersebut adalah Fransiscus Xavier, Alessandro Valignano, Christovao Ferreira, Sebastian Rodrigues, dan Francisco Garrpe. Mereka adalah misionaris yang memiliki sejarah penting pada 137 penyebaran agama Kristen di Jepang. Para misionaris ini berasal dari Portugal dengan tugas yang sangat berat. Perbedaan karakter, bahasa, kebudayaan, dan kepribadian bangsa menimbulkan banyak kesulitan. Akan tetapi, doktrin agama Kristen yang telah disalahartikan oleh orang Jepang ini terjadi mengakibatkan persaingan politik antara Fransiscus Xavier dan pendeta Buddha. Ferreira telah menyadari hal tersebut kendatipun selama tiga puluh tiga tahun hidup penuh dengan kesusahan. Politik keagamaan terjadi akibat persaingan politik dari beberapa negara dan pemuka agama di Jepang untuk tetap memiliki eksistensi. Pemikiran Fransiscus Xavier tentang negara Jepang adalah negeri Timur yang paling cocok dengan Kristianitas. Konteks wacana nilai-nilai keagamaan para misionaris berfokus untuk tetap menjaga kestabilan para penganut agama Kristen yang telah kehilangan para pastor untuk menuntun mereka dalam mendalami agama Kristen. Keyakinan agama Kristen untuk mampu berkembang di Jepang memang telah terjadi. Doktrin agama Kritsen dianggap suatu perubahan yang membawa masyarakat Jepang kepada kemajuan. Fransiscus Xavier memiliki keyakinan yang kuat setelah ia diberikan cerita tentang kondisi negara Jepang oleh Anjiro. “Nihon wa masashiku, sei Fransiskus Xavier ga iwareta yōni tōyō no uchi de mottomo Kirisutokyō ni shizukushita kuni Rodrigues to iu” (Chinmoku, 1966:20). Terjemahan : Mengenai hal ini, sudah jelas bahwa Jepang seperti dikatakan Santo Francis Xavier “adalah negeri di Timur paling cocok dengan Kristianitas”. Ungkap Rodrigues. Pernyataan Rodrigues tentang ucapan Fransiscus Xavier mengisyaratkan bahwa kepercayaan Xavier terhadap orang Jepang karena kondisi negara Jepang 138 yang sedang tidak stabil. Pengaruh Barat akan mudah masuk, agama Kristen akan mudah berkembang, dan mampu bersaing dengan agama lainnya di Jepang. Dengan membawa konsep keselamatan dan pengampunan dosa, agama Kristen Katholik diterima baik oleh kalangan menengah ke bawah masyarakat Jepang. Weber (dalam O’Dea, 1996: 112) menjelaskan bahwa selama setiap kebutuhan untuk keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang efektif bagi keselamatan keyakinan walaupun bukan sumber eksklusif satu-satunya. Situasi yang rumit yang dilahirkan oleh tekanan sosial sering kali menyebabkan munculnya gerakangerakan yang dipimpin oleh para pemimpin karismatik yang menawarkan keselamatan pada mereka yang tertindas, baik pada dunia ini maupun dunia mati. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gramsci (dalam Bocock, 2007:124--125) bahwa, agama-agama dianggap beroperasi sebagai wawasanwawasan dunia yang populer, dengan suatu sistem nilai moral, suatu sistem kepercayaan yang berkaitan, dan suatu sistem ritual atau simbolik. Agama Kristen Barat, khususnya memiliki basis organisasi di berbagai gereja, denomination (suatu bentuk komunitas agama), dan sekte serta suatu program pendidikan yang jelas, yang sering di terapkan disekolah-sekolahnya pada masa lalu. Agama ini cukup berhasil secara historis dalam beroperasi secara hegemonik dengan menghasilkan sistem nilai moral yang bersifat memimpin. Para spesialis agama, seperti uskup, pendeta, pendakwah, dan misionaris Kristen dapat memberikan dukungan terhadap kelompok-kelompok yang berkuasa dalam negara-negara 139 tertentu atau mereka dapat bersikap kritis terhadap mereka dan terhadap tindakantindakan mereka. Berdasarkan penjelasan Weber dan pendapat Grasmci, peneliti berpendapat bahwa konsep keselamatan dan pengampunan dosa mampu menarik minat masyarakat Jepang dan menjadi nilai-nilai keagamaan agama Kristen. Meskipun para misionaris Jepang telah dieksekusi dan Jepang menutup negara, keyakinan masyarakat terhadap agama Kristen tetap berkembang. Jepang sedang mengalami perang perebutan daerah kekuasaan. Rakyat kecil yang tertindas memerlukan penyelamat dan para pelaku perang memerlukan agamawan untuk pengampunan dosa. Peran agama Buddha pada masa itu hanya mementingkan keselamatan mereka dan sebagian dari mereka terjun ke dunia politik, bahkan dipersenjatai. Peran para misionaris membangkitkan semangat masyarakat Jepang dan mampu mengubah kehidupan mereka yang teramat menderita. Sebastian Rodrigues, sebagai penganut agama Kristen teladan selalu mengingat pesan-pesan yang disampaikan saat perjamuan di gereja Roma. Seperti dalam kutipan novel di bawah ini, yang mengingatkan tujuan para misionaris dalam penyebaran agama Kristen. “Nanjira, zen sekai ni jūkite, subete no hihiroshi butsu ni fukuin o nobeyo. Shinji, araise raruru hitobito wa sukuware, shinze zaru hito wa tsumi ni jōmeraren” (Chinmoku, 1966:30). Terjemahan : Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. Pandangan Knitter (2005:24) tentang penyebaran agama Kristen adalah hakikat misionaris dalam penyebaran agama. Misionaris memiliki kewajiban 140 untuk berkhotbah, meyakinkan orang-orang tentang Kristen, dan memiliki keinginan untuk mempertobatkan mereka. Baik secara intelektual maupun secara moral, seorang misionaris harus yakin bahwa ia dapat dan harus membuka pikiran dan hati mereka yang berkeyakinan lain dan yang menderita, yang diam dan bekerja keras di bumi. Keyakinan dalam yang dimiliki misionaris harus dimiliki oleh orang-orang lain untuk meyakininya lebih dalam juga. Orang-orang yang telah meyakini agama Kristen harus dibaptis untuk meningkatkan kekuatan spiritual dan mendapatkan perlindungan dari gereja. Weber (2002:171) menjelaskan bahwa nasib agama secara sangat komprehensif dipengaruhi oleh intelektualisme dan ragam hubungannya dengan kependetaan dan otoritas-otoritas politik. Sebaliknya, hubungan-hubungan ini dipengaruhi oleh sumber kelas yang menjadi penyebar intelektualisme khusus. Pertama, kependetaan itu sendiri merupaka penyebar intelektualisme yang terpenting, terutama di mana pun kitab Injil suci itu eksis, yang membuatnya penting bagi kependetaan agar menjadi suatu serikat kerja sastra yang terikat untuk mengintrepetasikan kitab Injil dan mengajarkan isi, arti, dan aplikasinya yang tepat. Ajaran agama Kristen mengenalkan istilah “kafir” untuk orang-orang non Kristen. Dalam novel Chinmoku, kata-kata kafir diajarkan oleh Fransiscus Xavier untuk menyebutkan orang-orang yang menghujat agama Kristen. Istilah-istilah agama Kristen dalam bahasa Portugis diajarkan kepada masyarakat Jepang untuk mempermudah doktrin agama Kristen. Kata kafir yang ditujukan kepada pemerintah Jepang menunjukkan bahwa rasa kehormatan dan kesetiaan yang 141 selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang mulai memudar akibat doktrin agama Kristen. “Zencho to iu ware ga kuni no kotoba o kono Shinto tachi wa mō shitte iru no desu. Sei Fransiskus Xavier shi irai, ware ware no ikuta no senpai tachi ga karera ni kitto korera no kotoba o oshierarete ni chigai arimasen” (Chinmoku, 1966:39). Terjemahan : “Orang-orang kafir!”satu kata lagi dari bahasa kami yang sekarang dikenal oleh para penganut Kristen ini. Para pendahulu kami, sejak zaman Xavier telah mengajarkan kata-kata itu pada mereka. Kata kafir didengar pertama kali di Desa Tomogi, yang diucapkan pertama kali oleh Ichizo ketika menyambut kedatangan Rodrigues dan Garrpe di Jepang. Kafir merupakan istilah yang ditujukan kepada pemerintah Jepang yang telah berbuat keji terhadap kaum mereka. Kata kafir merupakan bentuk kata pemberontakan yang ditimbulkan akibat doktrin agama Kristen, yang membuat masyarakat Jepang membenci pemerintah mereka sendiri. Para misionaris menyebarkan doktrin yang memicu pemberontakan-pemberontakan menentang pemerintah Jepang. Hal ini terbukti dari orang-orang Kristen Jepang yang mulai beralih ke agama Kristen dan berupaya menentang pemerintah dengan tetap menganut agama Kristen secara bersembunyi. Menurut O’Dea (1996:118), sebagian besar masyarakat beralih ke agama Kristen, misalnya dari kelas menengah bawah yang menikmati perolehan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu. Orang-orang yang beralih agama dijumpai pula di kalangan yang paling miskin dan dalam perjalanan waktu peningkatan juga terjadi di kalangan kelas atas. 142 Perhatian yang diberikan kepada kaum kecil merupakan langkah terbaik dalam penyebaran agama Kristen. Mereka percaya bahwa agama Kristen mampu memberikan perlindungan dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan. Pada novel Chinmoku, Rodrigues memiliki kesempatan untuk melakukan praktik keagamaan di dalam penjara. Hal ini dilakukan untuk mengurangi keributan yang terjadi akibat keinginan kaum Kirishitan yang ingin berdoa bersama Rodrigues. Rodrigues diizinkan pergi ke penjara orang-orang Kristen setiap pagi dan sore, dua kali sehari untuk melantunkan doa atau mendengarkan pengakuan dosa. “Budōshu to pan to ga nai tame, Misa koso taterarena katta ga, sono dairi shisai wa Shintotachi to Credo ya Paster Noter ya Ave Maria no inori o shōwa shi, sono Konhisan o kiku koto ga dekita“ (Chinmoku, 1966:164). Terjemahan : Karena tidak punya roti dan anggur, sang pastor tidak bisa mengadakan misa; tetapi setidaknya dia bisa melantunkan Credo, Pater Noster, dan Ave Maria bersama mereka; dan dia punya kesempatan mendengarkan pengakuan dosa. Bentuk kepedulian Rodrigues mencerminkan sikap para misionaris yang menjadi penolong dalam kegelapan yang dirasakan oleh kaum Kirishitan. Doktrin agama Kristen masih bisa tetap dilakukan menjelang mereka akan dihukum mati. Namun, hal tersebut membuat penganut Kristen semakin memiliki keyakinan untuk mati sebagai mati yang terhormat. Keyakinan dan kesetiaan yang dimiliki oleh penganut Kristen terhadap Tuhan Yesus membuat doktrin semakin menguat sehingga muncul pemikiran bahwa penyampaian politik keagamaan dilakukan oleh misionaris yang membalikkan pemikiran masyarakat Jepang untuk lebih setia dan hormat kepada Tuhan Yesus daripada pemerintah Shōgun. Seperti Rodrigues yang meyakinkan para penganut Kristen untuk percaya pada kekuatan Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan yang menjadikan langit 143 dan bumi, laut dan segala isinya. Rodrigues menekankan untuk tidak percaya akan para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan jika nyawanya melayang, ia kembali ke tanah bersama seluruh tujuan hidupnya. Doktrin tersebut yang membuat penganut Kristen percaya akan kekuatan penyelamatan, Allah Yesus penyelamat segala umatnya yang sedang berduka dan dalam kesedihan yang mendalam. Kata-kata yang diucapkan oleh Rodrigues menjadi kekuatan baru bagi penganut Kristen dan makna kehidupan yang lebih berarti. Kepercayaan diri yang dibangkitkan kembali oleh Rodrigues membuat para penganut agama Kristen berpikir bahwa mati merupakan salah satu jalan menuju kedamaian karena di sana Tuhan Yesus akan menyambut roh mereka dengan tangan hangat yang penuh kasih. “Kahō naru kana. Ima yori Deusu no tame shi suru mono.Itsu made mo, anata tachi o omo wa hōtte okare wa shimai. Ware ware no kizu o kare wa arai, sono chi o fukitotte kureru te ga aru darō. Chi wa itsu made mo demo damatte o rarenai noda” (Chinmoku, 1966:165). Terjemahan : Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini…Tuhan tidak menelantarkan kalian selamanya. Dialah yang membasuh lukaluka kita; tangannyalah yang menyeka darah kita. Tuhan tidak akan bungkam selamanya. Ungkapan-ungkapan Rodrigues berdasarkan ayat-ayat yang dipelajari di Portugal. Rodrigues yakin bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka yang tengah berjuang demi agama mereka. Keyakinannya itu disebarkan untuk memberikan semangat hidup dan ketenangan menjelang kematian. Masyarakat 144 Jepang telah mengenal sistem mati secara terhormat, yaitu Seppuku 26 , tetapi memiliki arti yang berbeda dari mati demi memperjuangkan agama sehingga pemikiran mati terhormat untuk agama sering kali dikaitkan dengan mati terhormat secara Seppuku. Kematian bukanlah hal yang harus ditakutkan. Dalam pandangan agama Kristen kematian merupakan jalan bertemu dengan Tuhan Yesus. Menurut Jhonson (1986:126), agama memiliki keterkaitan dengan nilainilai integritas, pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama harus ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai itu sangat erat hubungannya dengan institusi agama. Secara tradisional, agama memberikan kerangka arti simbolis yang bersifat umum yang karenanya sistem nilai dalam masyarakat memeroleh makna akhir yang mutlak. Dengan kata lain, pandangan dunia yang mendasar dalam masyarakat berkaitan dengan struktur agamanya. Berdasarkan penjelasan dari kutipan dan Jhonson peneliti berpendapat bahwa setiap agama memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya. Kepribadian masyarakat sangat terpengaruh pada agama yang dianutnya, sehingga akan tercermin sikap dan pemikiran yang terbentuk melalui doktrin. Namun, semua agama memiliki tujuan yang mulia yaitu percaya akan keberadaan-Nya Yang Maha Pencipta, Mahakuasa, Maha Esa, dan Maha Pengasih. Agama Shinto, Buddha, dan Konfusius merupakan agama warisan leluhur yang memengaruhi kepribadian orang Jepang. Jadi, nilai-nilai integritas yang terkandung dalam ajarannya tersebut bersifat kuno dan magis yang memengaruhi pandangan masyarakat Jepang terhadap roh-roh. Di pihak lain, agama Kristen merupakan 26 Seppuku secara harfiah berarti “potong perut” yang merupakan bentuk ritual bunuh diri yang dilakukan samurai Jepang dengan merobek perut dan mengeluarkan usus untuk memulihkan nama baik (id.m.wikipedia.org/wiki/Seppuku, diakses 20-04-2014). 145 ajaran modern yang nilai-nilai integritas berfokus pada keselamatan umat oleh Tuhan Yesus. Kepercayaan yang diajarkan adalah kepercayaan tentang keberadaan Tuhan Yesus dan kesucian Bunda Maria. Pertentangan kepercayaan tersebut sulit diterima oleh pemerintah Jepang karena dapat merusak kepercayaan dan kebudayaan asli Jepang. Sikap Rodrigues terhadap agama Kristen pun tetap bersinar meskipun Rodrigues mengalami berbagai penyiksaan selama di Jepang. Rodrigues telah mendoktrin orang-orang Kristen yang hidup bagai domba tanpa si gembala, ajaran-ajaran yang didapat saat mengikuti seminari di gereja Roma di praktikkannya di Desa Tomogi dan Desa Goto. Pelarangan penyebaran agama Kristen tidak mengurung niat Rodrigues untuk tetap berkeinginan mengkristenkan Jepang. Ketakutannya berubah menjadi keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi setelah bertemu dengan orang-orang penganut Kristen bersembunyi. Berikut ini adalah kutipan tentang pengakuan dosa yang dijalaninya di Desa Goto. “Hito no mae ni te ga o ii arawasu mono wa, ga mo mata, ten ni imasu ga ga chichi no mae ni ii arawasan. Saredo hito no mae ni te ga o inamu mono wa ga mo mata, ten ni imasu ga ga chichi no mae ni tehimasen” (Chinmoku, 1966:64). Terjemahan : Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Akan tetapi, barang siapa yang menyangkal Aku di depan manusia. Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga. Menurut Weber (dalam Schroeder, 2002:109), sebagian ketuhanan magis dan sebagian ketuhanan etis dari pandangan dunia agama Kristen menghasilkan sebuah tipe keyakinan yang tidak sistematis dan ditandai oleh kepatuhan emosi dan etis. Kerendahan hati dan kepatuhan sebelum kekuatan ketuhanan merupakan 146 kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan demonstrasi keyakinan. Namun dalam menuntut tipe tindakan keagamaan ini, Yesus tidak menghukum kenikmatan yang berkaitan dengan panca indra atau kekayaan dan kemewahan semata. Hal-hal itu dianggap berbahaya bagi keselamatan hanya jika semua itu menghalangi kepatuhan dan keyakinan. Keyakinan yang dimiliki Rodrigues sangat kuat, kental dengan unsurunsur keyakinan yang dimiliki Yesus semasa hidupnya. Pengorbanan Yesus untuk umatnya menandakan kemuliaan yang ditawarkan jika memercayai Yesus penuh keyakinan. Rodrigues dalam setiap kesendiriannya selalu membanyangkan wajah Yesus dan dalam setiap perjalanannya selalu mengaitkan dengan perjalanan Yesus semasa hidup. Keyakinan yang dimiliki Rodrigues disebarkan dalam setiap ajarannya. Keberadaan Yesus yang maha pengampun menjadikan pengakuan dosa menjadi hal terpenting dalam setiap kunjungannya. Keberadaan Rodrigues di tengah-tengah orang-orang Kristen merupakan kehendak Yesus, bahkan dalam keadaan terendah pun nama Yesus tetap dilantunkan. Orang-orang terpilih yang bisa menempatkan diri sebagai kasih Tuhan adalah orang-orang yang dinyatakan mampu menyalurkan energi positif. Menurut Foucault (2002:91), Saint Vincent de Paul mengingatkan bahwa mereka yang cenderung dianggap gila di dalam rumah pengurungan merupakan kehendak Allah Kita yang menempatkan mereka di tengah-tengah orang fanatik, orang-orang yang berjiwa iblis, orang gila, orang-orang yang menderita, dan orang-orang yang kerasukan. Mereka diatur oleh kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya kejam di sekeliling mereka yang mempresentasikan hikmat abadi di 147 sekeliling manusia, manusia dalam huruf besar ini secara implisit pada Yesus yang digambarkan sebagai Manusia atau Anak Manusia dalam injil Yohanes. Berdasarkan penjelasan di atas secara keseluruhan, peneliti berpendapat bahwa konteks wacana nilai-nilai keagamaan para misionaris dilakukan sematamata untuk menyebarkan kasih Yesus, tanpa mempertimbangkan asal usul dan kebudayaan masyarakat setempat. Tanpa disadari oleh pendahulu Fransiscus Xavier bahwa ajaran yang disebarkan merupakan doktrin yang bisa mengubah cara pikir masyarakat Jepang. Pemikiran-pemikiran rakyat Jepang penganut agama Kristen sedikit demi sedikit mulai berubah. Hal ini disebabkan kenyamanan dan keamanan yang diberikan para misionaris yang membuat mereka lebih setia terhadap agama asing melebihi kesetiaan mereka terhadap pemerintah Shōgun. Rodrigues sebagai tokoh utama memiliki karakter yang percaya akan kekuatan Yesus. Namun kepercayaan itu mulai terkikis akibat penyiksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Dasar utama tujuan para misionaris ke Jepang adalah untuk mengkristenkan negara Jepang dan bersaing untuk mendapatkan sekutu yang lebih besar. Pembangunan seminari-seminari di daerah-daerah utama Jepang, seperti Kyushu dan Nagasaki merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada kaisar. Penduduk asing yang tinggal di Jepang menunjukkan sikap yang kurang simpati terhadap para pejabat daerah membuat situasi daerah yang ditinggali penduduk asing semakin terpengaruh dengan agama Kristen. Beberapa desa yang telah terpengaruh agama Kristen dalam konteks novel Chinmoku, yaitu Desa Tomogi 148 dan Goto. Desa-desa tersebut terletak di perairan laut lepas sehingga kedatangan Rodrigues pertama kali adalah di Desa Tomogi. Pengaruh agama Kristen lebih kental di Desa Tomogi daripada Desa Goto. Hal tersebut terlihat dari beberapa bahasa Portugal yang dipelajari dari misionaris terdahulu. Pembelajaran tentang bahasa Portugal membuat Rodrigues menjadi lebih mudah untuk mengenal mereka dan mengetahui perkembangan agama Kristen di Jepang. Keinginan misionaris yang melampaui batas mimpi menjadikan mereka lupa akan tempat mereka berada, keyakinan yang dipercayai, dan budaya yang berkembang di negara Jepang. Secara ilmu pengetahuan, agama Kristen sangat membantu masyarakat Jepang, tetapi secara ilmu keagamaan justru mengarahkan masyarakat Jepang untuk meninggalkan agama mereka. Doktrinisasi yang dilakukan seharusnya selaras dengan kondisi dan keyakinan yang memang telah ada sebelumnya. Keberadaan agama Kristen seharusnya dapat diterima oleh semua kalangan jika doktrin agama Kristen tidak berdasarkan adanya isu-isu politik keagamaan. Dalam kacamata peneliti, agama Kristen tidak hanya dikendalikan oleh para misionaris atau gereja Roma, tetapi pihak-pihak lain yang ingin memonopoli negara Jepang juga turut andil. 149 BAB VII MAKNA WACANA POLITIK KEAGAMAAN NOVEL CHINMOKU Dalam bab ini diuraikan makna wacana politik keagamaan novel Chinmoku yang mencakup doktrinisasi keagamaan sebagai mata-mata politik, rawa-rawa Jepang dan hidup sebagai murtad, dan paham egalitarianisme dan mati sebagai martir. Pemaknaan terhadap politik keagamaan mendeskripsikan maknamakna yang tersirat dalam setiap doktrin agama Kristen, perumpamaan Jepang sebagai rawa-rawa, pandangan tentang paham strata sosial dan orang-orang yang memilih jalan masing-masing, baik sebagai murtad maupun martir. 7.1 Misionaris sebagai Mata-Mata Politik Ajaran suatu agama pada umumnya memiliki tujuan untuk mendapatkan kedamaian dan perlindungan dari Tuhan. Misi-misi keagamaan merupakan suatu kegiatan yang melibatkan antara agamawan dan masyarakat penganut agama tersebut. Definisi suatu agama pada umumnya adalah cara manusia mensyukuri dan memuja Tuhan yang diyakini tanpa memiliki tujuan-tujuan tertentu yang arahnya kepada doktrin berbau politik. Pada novel Chinmoku, agama Kristen dikenalkan oleh para misionaris Barat untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemerintah Jepang melarang penyebaran agama Kristen untuk menjaga stabilitas negara dari kepentingan individu sebagai bentuk fungsi suatu negara. Menurut Budiardjo (2008:55), suatu negara memiliki fungsi-fungsi untuk tetap menjaga stabilitas negara. Fungsi-fungsi suatu negara, yaitu sebagai berikut. 150 Pertama, melaksanakan penertiban. Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. Kedua, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan di Indonesia tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan repelita. Ketiga, Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan. Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Fungsi-fungsi negara yang telah disebutkan di atas telah dilaksanakan oleh pemerintah Jepang sebagai bentuk menjaga negara dari pihak-pihak yang ingin menguasai Jepang. Sistem pertahanan yang diterapkan oleh pemerintah Jepang karena misionaris agama Kristen dianggap sebagai mata-mata politik pihak lain. Doktrin agama Kristen oleh misionaris dianggap mengarah kepada tujuan pihakpihak lain di luar misionaris sebagai mata-mata politik untuk mengetahui kondisi stabilitas negara Jepang. Para misionaris mendoktrin para penganut agama Kristen di Jepang untuk memercayai kekuatan Yesus, bukan kekuatan para bangsawan. Pemerintah Jepang melakukan pertahanan negara untuk melindungi Jepang dari pengaruh budaya Barat yang bisa mengacaukan keinginan pemerintah Tokugawa untuk mempersatukan Jepang. Menurut Ali (1981:36) misi agama Kristen yang dibawa oleh Fransiscus Xavier, yaitu ingin menyebarluaskan Injil Kristus di kalangan bangsa Jepang. 151 Misi ini kemudian diikuti pula oleh misi-misi agama Kristen lainnya. Adanya hubungan antara Jepang dan negara Barat ini telah memberikan kemungkinan kepada bangsa Jepang untuk menyerap nilai-nilai baru dari Barat, misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan, kedokteran, perbintangan, pelayaran, dan sebagainya. Akan tetapi, akhirnya bangsa Jepang menyadari bahwa apabila pikiran-pikiran Barat itu dibiarkan berkembang, maka akan dapat menimbulkan kekacauan di Jepang, yang berarti pula akan menghalangi tercapainya usaha mempersatukan Jepang yang telah mulai dirintis pada masa sebelumnya. Wacana politik keagamaan dimaknai dalam misionaris sebagai mata-mata politik karena dalam novel Chinmoku Rodrigues sebagai tokoh utama diceritakan tetap menjalankan misi untuk mengkristenkan Jepang, meskipun Rodrigues telah ditangkap dan disiksa. Rodrigues telah menulis sebanyak empat surat yang menceritakan kondisi masyarakat Jepang penganut agama Kristen yang ditemuinya. Surat yang dibuat oleh Rodrigues dikirim kepada gereja Roma sehingga bisa dikatakan bahwa pembuatan surat-surat tersebut sebagai mata-mata politik yang memberitahukan negara Jepang. Dalam suratnya, Rodrigues hanya menceritakan perjalanan mereka dari Portugal hingga tiba di Macao. Surat terakhir yang ditulisnya mengenai penangkapan tiga orang penduduk Desa Tomogi karena telah menyembunyikan keberadaan Rodrigues dan Garrpe. Selain surat yang ditulis Rodrigues kepada gereja Roma, beberapa surat juga telah ditulis oleh misionaris sebelumnya, yakni Ferreira. Dalam suratnya Ferreira menceritakan perkembangan agama Kristen, jumlah penduduk yang beralih agama Kristen yang semakin banyak, dan kebutuhan akan tempat untuk 152 mengadakan misa dan khotbah. Pengadaan bangunan-bangunan untuk seminari digunakan beberapa kuil-kuil yang diubah menjadi gereja. Surat terakhir yang dikirim oleh Ferreira kepada pejabat gereja pada tahun 1632, yaitu surat mengenai penganiayaan baru, penindasan baru, dan penderitaan baru bagi masyarakat Jepang penganut Kristen. Selain dalam bentuk surat, misionaris bisa dikatakan sebagai mata-mata politik karena misionaris memberikan doktrin yang mengubah cara pandang para samurai dan pejabat negara. Bahkan, beberapa samurai bisa memiliki kesempatan untuk bepergian ke Roma untuk menukarkan persenjataan dengan misi penyebaran agama Kristen. Keinginan para pejabat memiliki senjata yang canggih untuk memperluas wilayah mereka. Samurai Jepang menggunakan cara berperang yang kuno dengan menggunakan pedang dan berperang jarak dekat, berbeda jika menggunakan persenjataan Barat, yakni senapan yang dapat digunakan jarak jauh. Monopoli terhadap persenjataan yang tidak terkendali membuat pemerintah Shōgun khawatir dengan adanya pemberontakan-pemberontakan. Kekuasan yang dimiliki oleh pemerintah patut dipertahankan untuk tetap menjaga ketertiban dan keadilan negara Jepang. Jepang tengah berada dalam misi penyatuan negara. Oleh sebab itu, pemerintah Jepang merasa doktrin agama Kristen mampu membatalkan misi tersebut. Anwar memungkinkan dan Dadang (2013:343) kelompok-kelompok menjelaskan dan individu bahwa kekuasaan yang berkuasa mempertahankan dominasi terhadap masyarakat dan mengeksploitasinya. Sebaliknya, kelompok dan individu yang lain menentang dominiasi dan tidak 153 eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk mempertahankan hak-hak istimewa kelompok minoritas dari kelompok mayoritas. Di pihak lain, politik dipandang sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Di sini kekuasaan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran bersama dan melindungi kepentingan umum dari tekanan-tekanan kelompok tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti berpendapat bahwa politik keagamaan memiliki makna misionaris sebagai mata-mata politik karena masuknya para misionaris mempermudah masuknya angkatan bersenjata dari Spanyol dan Portugal. Doktrin-doktrin yang diajarkan dapat memicu konflikkonflik akibat pertentangan antara ajaran Kristen dan peraturan yang telah dibuat pemerintah. Masuknya para misionaris dibantu oleh para pejabat. Mereka diberikan hadiah-hadiah sebagai cendera mata yang bisa disebut sogokan. Dari para misionaris ini, seluruh kegiatan negara Jepang bisa dikabarkan kepada Spanyol dan Portugal, sehingga terlihat bahwa para misionaris memiliki dua misi, yaitu penyebaran agama dan mata-mata politik. Surat-surat yang dikirim kepada gereja Roma merupakan bentuk pengaduan tentang kondisi perkembangan agama Kristen, baik kalangan bawah maupun kalangan atas. Berdasarkan hal itu keputusan pemerintah Jepang untuk melarang penyebaran agama Kristen di Jepang adalah keputusan yang benar, tetapi memicu putusnya hubungan perdagangan dan terhambatnya perkembangan kemajuan negara Jepang. Masyarakat Jepang berhak memilih keyakinan mereka sendiri, tetapi pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas negara dari pengaruh yang buruk. Jika pengaruh agama Kristen dan orang-orang asing 154 tersebut tetap berkembang di Jepang, tentu negara Jepang akan terpecah belah saat ini. Stabilitas negara menjadi prioritas dan kemajuan negara harus dikorbankan, seperti itulah pemikiran pemerintah Jepang. Pengusiran dan pemaksaan murtad terhadap para misionaris sebagai bentuk kekuatan kesetiaan terhadap kaisar yang hampir hilang akibat doktrin agama Kristen. 7.2 Rawa-Rawa Jepang dan Hidup sebagai Murtad Negara Jepang dalam novel Chinmoku diibaratkan sebagai rawa-rawa Jepang yang komposisi tanahnya tidak bisa ditanami oleh tanaman baru. Tunastunas muda akan mati dan tertelan oleh rawa-rawa itu. Tunas muda merupakan ajaran agama Kristen yang datang dari Barat membawa konsep ajaran yang baru tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya, pemikiran, dan gaya hidup. Keyakinan negara Jepang tentang rawa-rawa Jepang karena Jepang pada kenyataannya tidak mampu menerima ajaran agama Kristen. Mereka menyerap agama Kristen yang sesuai dengan pemikiran mereka sendiri. Hal tersebut disadari oleh pemerintah Jepang, yakni Shōgun Tokugawa yang dari awal tidak menyukai agama Kristen. Penyiksaan terhadap para misionaris mengarah kepada keinginan pemerintah Jepang untuk memaksa mereka untuk murtad 27 . Hal ini dilakukan untuk mengembalikan pemikiran penganut Kristen Jepang bahwa pastor-pastor itu telah mengingkari iman mereka dan agama Kristen bukan agama yang sesuai dengan budaya Jepang. Kemurtadan para misionaris pada dasarnya bukan akibat 27 Murtad adalah berbalik belakang; berbalik kafir; membuang iman; berganti ingkar (KBBI,1991:675). 155 kekalahan mereka terhadap rawa-rawa Jepang, melainkan mereka kalah akibat ideologis yang dimiliki oleh orang-orang Jepang. Jhonston (dalam Endo, 2008: 23) menambahkan bahwa tokoh Rodrigues dan Ferreira yang memilih murtad kalah bukan karena rawa-rawa Jepang, melainkan keyakinan sosiologis mereka, yang dipupuk di Portugal, dan akhirnya menguap di bawah tekanan kultur paganisme. Dalam novel Chinmoku penggambaran rawa-rawa Jepang telah di tekankan oleh tokoh Gubernur Inoue. Pada kutipan di bawah ini Inoue menjelaskan pengaruh agama Kristen terhadap rawa-rawa Jepang kepada Rodrigues. “Aru tochi dewa minoru ki mo, tochi ga henre kareru koto ga aru. Kirishitan to yobuki wa ikoku ni oite wa, ha mo shigeri hana mo saki ki ga, ware ga Nihon kuni dewa ha wa nae, tsubomi hitotsu tsuke mai. Tsuchi no chigai, mizu no chigai o Padore wa kangaeta koto wa arumai” (Chinmoku, 1966:171). Terjemahan: Pohon yang tumbuh subur di tanah tertentu mungkin akan layu kalau tanahnya diganti. Mengenai pohon Kristianitas, di negeri asing daun-daunnya mungkin bisa tumbuh lebat dan kuncup-kuncupnya banyak, sedangkan di Jepang daundaunnya layu dan tidak ada kuncup yang muncul. Kutipan di atas mewakilkan ungkapan perasaan Endo tentang pandangannya terhadap konsep agama Kristen. Tanah Timur dan tanah Barat memiliki perbedaan yang signifikan terutama dalam bidang kebudayaan dan keyakinan. Ajaran agama Kristen bisa berkembang di Jepang dengan pesat karena ajaran strategi pendekatan yang digunakan para misionaris. Mereka memberikan hadiah-hadiah kepada pejabat di suatu daerah dan meminta pejabat tersebut melindungi mereka selama dalam misi penyebaran agama. Selain itu, tempattempat yang diberikan oleh pejabat tersebut yang dijadikan gereja merupakan 156 kuil-kuil Buddha sehingga pemikiran orang-orang Jepang agama Kristen memiliki kesamaan dengan agama Buddha. Namun, lambat laun paham tersebut mulai berubah seiring dengan kebudayaan dan keyakinan Jepang. Untuk memanipulasi pemerintah Jepang mereka meletakkan patung Buddha Cannon sebagai patung Bunda Maria. Pandangan agama Kristen Jepang menjadi berbeda dengan pandangan agama Kristen Barat yang ada di Portugal. Anwar dan Adang (2013:303) menjelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat, keberadaan agama sebagai sebuah sistem kebudayaan, yang nampak dalam dua aspek, yaitu fungsinya sebagai pandangan hidup masyarakat dan menjadikan agama bersifat operasional. Sebagai pandangan hidup masyarakat, agama berfungsi menjelaskan keberadaan manusia, asal, dan tujuan hidupnya. Di pihak lain, sifat operasional agama bersangkut paut dengan dimensi horizontalnya, yang mengatur hubungan manusia dan manusia lainnya. Oleh karena itu, keberadaan agama berkaitan dengan nilai-nilai lainnya dalam masyarakat, misalnya nilai sosial, politik, dan ekonomi. Apabila dikaitkan dengan penjelasan di atas, keberadaan agama Kristen di Jepang telah dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang sesuai dengan karakter masyarakat Jepang. Nilai-nilai sosial dan budaya asli Jepang telah menyerap agama Kristen menjadi sebuah fenomena agama baru tetapi berbasis agama Shinto, Buddha, dan Konfusius. Sehubungan dengan itu, penyerapan agama Kristen tidak sepenuhnya sempurna sesuai dengan pemikiran para misionaris. Dalam novel Chinmoku, ada dua sosok yang menyadari konsep rawa-rawa Jepang dan memilih hidup sebagai murtad, yaitu Christovao Ferreira dan Sebastian 157 Rodrigues. Kehidupan mereka pascamurtad dianggap lebih berguna untuk negara Jepang, mereka membantu dalam bidang kemajuan teknologi, seperti ilmu pengetahuan, kedokteran, navigasi, dan terjemahan. Sosok Ferreira digambarkan sebagai sosok pastor yang memiliki kelembutan hati, senyum yang ramah, dan kepribadian yang lembut. Ia menghabiskan waktunya di Jepang untuk melakukan misi mulia penyebaran agama Kristen di Jepang. Ferreira tinggal di Jepang hampir dua puluh dua tahun. Ia telah mempelajari karakter orang-orang Jepang yang telah dibaptis, hidup, dan tinggal bersama mereka. Setelah agama Kristen dilarang penyebarannya, Ferreira ditangkap dan dipaksa untuk murtad. Ferreira mampu bertahan selama enam jam dalam penyiksaan. Suara siksaan para penganut Kristen Jepang membuatnya menyerah dan memilih murtad. Pascamurtad, Ferreira diberikan tempat tinggal, istri, dan nama Jepang, yaitu Sawano Chuan. Ferreira berada dalam pengawasan pendeta Buddha. Segala perilaku Chuan harus mendapatkan izin dari pendeta tersebut. Kemurtadan Ferreira merupakan bentuk pengorbanan seorang pastor menyelamatkan banyak nyawa dan bentuk kecintaannya terhadap negara Jepang. Sebanding dengan Ferreira, sosok Rodrigues merupakan pastor yang memiliki keyakinan teguh terhadap agama Kristen. Ia sering menggambar sosok Yesus sebagai lelaki kurus dengan pipi cekung dan berjenggot. Pada awal cerita Rodrigues sangat yakin bahwa Yesus akan turun ke dunia untuk membantunya menyelamatkan para penganut Kristen Jepang yang disiksa. Rodrigues ditangkap atas laporan yang dibuat oleh Kichijiro. Secara perlahan Rodrigues dipaksa murtad agar orang-orang Kristen Jepang mau meninggalkan keyakinan mereka. 158 Kehadiran Ferreira sebagai orang yang harus memaksa Rodrigues murtad memberikan pandangan bahwa agama Kristen yang dicintai masyarakat Jepang bukanlah agama Kristen yang seperti di Portugal. Selama ini mereka telah menciptakan Tuhan mereka sendiri dan menganggap bahwa Tuhan agama Kristen sama dengan Tuhan agama Buddha. Kekeliruan ini harus dihentikan karena banyak korban yang mati sia-sia jika masih ada pastor yang hidup di Jepang. Kebesaran hati Rodrigues mengarahkannya untuk mengingkari imannya untuk menolong orang-orang yang disiksa. Pascamurtad Rodrigues diberikan nama Jepang yaitu Okada Saemon, diberikan istri Jepang, dan rumah yang selalu diawasi penjaga. Selama hidup sebagai murtad, Ferreira dan Rodrigues dilarang berkomunikasi menggunakan bahasa Portugal. Mereka hanya diizinkan bertemu jika diperlukan bantuan untuk mengenali barang-barang yang masuk ke Jepang. Berdasarkan pengertian di atas peneliti berpendapat bahwa pemikiran rawa-rawa Jepang merupakan kebenaran yang autentik. Masyarakat Jepang sangat mudah menyerap budaya lain yang masuk, tetapi lambat laun budaya tersebut terserap sebagai budaya lain yang diyakini di Jepang. Seperti halnya tulisan Kanji, Hiragana, dan Katakana yang berasal dari negara China. Tulisan tersebut diserap dan disesuaikan dengan kebudayaan Jepang jadi tulisan negara China serupa tetapi tak sama. Sama halnya dengan pengaruh agama Kristen yang masuk ke Jepang sebagai budaya baru, agama Kristen diserap dalam pemikiran dan pandangan hidup mereka sebagai orang Jepang bukan orang Barat sehingga pengertian agama Kristen Jepang berbeda dengan agama Kristen Barat. Kebudayaan negara Jepang pada awal periode banyak dipengaruhi oleh negara 159 China dan Korea sehingga mereka tidak memiliki budaya asli Jepang. Setelah adanya penutupan negara, Jepang baru benar-benar menemukan kebudayaan asli mereka, seperti Zen, seni merangkai bunga, dan upacara minum teh. 7.3 Paham Egalitarianisme dan Mati sebagai Martir Pada abad ke-16 pemerintah Jepang telah menggunakan kebijakan membagi golongan masyarakat untuk menciptakan lapisan masyarakat yang tidak dapat berubah. Seperti sudah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa golongan masyarakat yang dibuat oleh pemerintah untuk tetap menjaga stabilitas kepemimpinan Tokugawa selama turun temurun. Pembagian golongan masyarakat tersebut pada kenyataannya tidak mengarah pada kesejahteraan rakyat Jepang, tetapi membuat posisi terbawah tetap berada di bawah yang lambat laun menyiksa golongan terbawah. Masuknya paham Egalitarianisme 28 ke Jepang dibawa oleh para misionaris. Mereka memberikan angin segar kepada orangorang Jepang untuk mendapatkan hak kesetaraan sosial. Tuhan Yesus mengajarkan hak yang sama bagi seluruh umat manusia, manusia tidak dibedakan dari warna kulit, tingkat sosial, dan kondisi fisik. Sorokin (dalam Anwar dan Adang, 2013:215) mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudan dari gejala stratifikasi sosial adalah adanya tingkatan tinggi dan rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan di dalam masyarakat adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban, dan 28 Egalitarianisme adalah (1) doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat; (2) asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang pandai sampai yang sangat bodoh dalam proporsi yang relatif sama (KBBI,1991:250). 160 tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Golongan lapisan tertinggi dalam suatu masyarakat tertentu, dalam istilah sehari-hari dinamakan “elite”. Dengan demikian, pelapisan berarti bahwa dalam masyarakat ada sejumlah kelompok masyarakat yang mempunyai posisi berbeda-beda dalam tata tertib sosial masyarakat, di mana golongan-golongan itu mendapat atau menikmati hak-hak tertentu. Pembagian golongan masyarakat membuat golongan masyarakat termiskin tidak memiliki hak untuk bersekolah, meniti karier, atau ingin menjadi seorang samurai. Dalam novel Chinmoku sosok Sang Penerjemah telah menggambarkan bahwa ia menjadi penganut Kristen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari para misionaris Barat, yang bisa mengantarnya menjadi penerjemah bahasa Portugal bagi pemerintah Jepang. Melihat kebijakan pembagian golongan masyarakat tersebut telah menyiksa banyak masyarakat miskin, pendekatan para misionaris dalam penyebaran agama Kristen dilakukan dengan memberikan paham egalitarianisme. Paham tersebut disambut baik oleh masyarakat Jepang. Oleh sebab itu, dengan mudahnya orang-orang Jepang golongan bawah menganut agama Kristen. Politik keagamaan dimaknai sebagai penyebaran paham egalitarianisme oleh misionaris untuk membentuk suatu pemikiran baru yang dapat menentang pemerintah Tokugawa. Paham tersebut dapat merusak tatanan politik sosial, kepercayaan akan perlindungan dari pihak asing dapat menimbulkan perpecahan bagi negara Jepang. Dalam novel Chinmoku paham egalitarianisme telah diajarkan oleh Rodrigues yang pada masa penangkapannya menyatakan bahwa 161 semua manusia memiliki kesamaan di mata Tuhan Yesus, yang akan membawa kedamaian untuk mereka dari surga. Pandangan Endo terhadap paham egalitarianisme merupakan bentuk politik keagamaan yang ingin diterapkan di Jepang. Endo menggambarkan sisi sejarah tentang pendekatan yang dilakukan kaum misionaris untuk merebut hati rakyat. Karya sastra novel Chinmoku merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat Jepang yang tersiksa akibat perang penyatuan negara. Dengan tegas Endo telah membangkitkan luka lama bagi masyarakat Jepang yang hidup pada masa peperangan. Lukacs (dalam Anwar dan Adang, 2013:372) menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak, tetapi memberikan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Paham egalitarianisme kokoh dipertahankan oleh penganut agama Kristen di Jepang, mereka berharap adanya keadilan yang semata-mata hanya didapatkan pada misionaris. Kekukuhan hati para penganut Kristen Jepang mengantarkan mereka pada titik puncak penyiksaan, yaitu mati sebagai martir29. Dalam novel Chinmoku ada beberapa sosok yang telah mati sebagai martir untuk tetap mempertahankan keyakinan mereka. Mereka telah diyakini jika mati sebagai martir jauh lebih terhormat dan akan diberikan tempat di surga oleh Tuhan Yesus 29 Martir adalah (1) orang yang rela menderita atau mati dan menyerah karena mempertahankan agama atau kepercayaan; (2) orang yang mati demi kebenaran agama (KBBI,1991:632). 162 yang disebut Paraiso. Fransisco Garrpe, merupakan salah satu misionaris yang datang ke Jepang bersama Sebastian Rodrigues demi misi yang sama. Garrpe telah memilih jalan mati sebagai martir, setelah ia berpisah dari Rodrigues akibat razia terhadap penduduk Desa Tomogi. Garrpe ditangkap dan dipaksa untuk melakukan murtad. Ia diperintahkan untuk melakukan fumie dengan alasan untuk menyelamatkan banyak jiwa. Garrpe menolak perintah Inoue dan tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Hal itu membuat pemerintah Jepang justru menenggelamkan penganut Kristen Jepang yang tertangkap bersama Garrpe. Tanpa aba-aba Garrpe lalu ikut menenggelamkan dirinya ke dalam laut dan akhirnya mati sebagai martir. Pelaksanaan eksekusi Garrpe di laut memperlihatkan sifat yang jantan dan religius. Selain Garrpe, penduduk asli Desa Tomogi yang telah memilih mati sebagai martir adalah Mokichi dan Ichizo. Mereka dipaksa meludahi patung Yesus dan menghujat Perawan Bunda Maria sebagai pelacur. Mereka mati akibat digantung pada salib di tengah air laut yang pasang. Keberanian para martir ini semakin menguatkan keimanan penganut Kristen Jepang. Hal ini berbanding terbalik dengan keinginan Gubernur Inoue yang ingin membuat para pastor Kristen murtad supaya penganut yang masih diam-diam percaya kepada agama Kristen kecewa dan ikut murtad bersama pastor. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti berependapat bahwa, politik keagamaan bermakna egalitarianisme dan mati sebagai martir merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan. Demi ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik yang ditawarkan ajaran agama Kristen, penganut Kristen bersembunyi 163 rela menghianati pemerintah dan memilih mati bersama dengan keyakinannya. Kondisi sosial masyarakat Jepang yang hidup lebih buruk bahkan dari binatang akibat pajak yang tinggi dan perlakuan tidak adil pemerintah, membuat tidak ada pilihan lain yang mengharuskan mereka memilih kekuatan yang mampu menyelamatkan mereka dari siksaan ini. Martir menjadi salah satu bagian yang di minati oleh penganut Kristen Jepang, pandangan-pandangan yang telah di ajarakan dalam doktrin Kristen membuat mereka membayangkan tentang indahnya mati sebagai martir, dan memperoleh posisi yang damai di surga tanpa pungutan pajak, kekurangan makanan, dan ketakukan akan penyiksaan akibat menganut agama Kristen. Sehingga banyak rakyat daerah pesisir pantai Jepang tetap mempertahankan agama Kristen secara diam-diam demi mendapatkan kehidupan yang dianggap lebih baik. Perubahan-perubahan masyarakat akibat doktrin agama Kristen dianggap suatu bentuk protes yang dapat mengakibatkan munculnya pemberontakan-pemberontakan yang dapat menentang Shōgun Tokugawa. Anwar dan Adang (2013:245) kembali mepertegas bahwa perubahanperubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak dahulu, tetapi seiring perjalanan waktu perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat, sehingga seolah-olah membingungkan masyarakat menghadapinya. Sehubungan dengan itu, dalam masyarakat-masyarakat di dunia terlihat bahwa sering terjadinya perubahan-perubahan tersebut berjalan secara konstan. Perubahanperubahan tersebut memang terikat waktu dan tempat, tetapi karena sifatnya yang berantai, keadaan tersebut berlangsung terus walaupun kadang-kadang diselingi 164 keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan mengadakan reorganisasi unsurunsur struktur masyarakat yang terkena oleh proses perubahan tadi. 165 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Novel Chinmoku adalah gambaran masuknya misionaris asing ke Jepang saat negara Jepang telah memberlakukan kebijakan politik penutupan negara. Isi utama novel Chinmoku adalah adanya isu-isu politik keagamaan yang terjadi melalui penyebaran agama Kristen di Jepang demi kepentingan negara lain. Isuisu politik keagamaan novel Chinmoku terdiri atas bentuk wacana ancaman, bentuk wacana perlawanan, bentuk wacana negosiasi, dan bentuk wacana kompromi. Keempat bentuk wacana di atas merupakan tugas pemerintah Tokugawa sebagai pemimpin tertinggi zaman itu yang memiliki kekuasaan untuk menggunakan wewenangnya demi menjaga keamanan dan keutuhan negara Jepang dari segala jajahan negara-negara lain. Analisis pada konteks wacana politik keagamaan dibagi ke dalam tiga bagian yang mengacu kepada tokoh-tokoh penting dalam novel Chinmoku. Pertama, konteks wacana kekuasaan pemerintah Jepang. Kedua, konteks wacana nilai-nilai kebudayaan masyarakat Jepang. Ketiga, konteks wacana nilai-nilai keagamaan para misionaris. Konteks wacana politik keagamaan bertujuan untuk mendeskripsikan penerimaan agama Kristen bagi pemerintah, masyarakat, dan para misionaris sebagai bagian dari agama-agama di Jepang. Konteks wacana politik keagamaan menggambarkan tokoh-tokoh baik dari pemerintah, masyarakat 166 Jepang, dan misionaris dalam bersikap terhadap perkembangan agama Krsiten di Jepang. Novel Chinmoku diimplementasikan ke dalam tiga makna yang mampu mewakilkan keseluruhan isi novel Chinmoku. Pertama, doktrinisasi keagamaan sebagai mata-mata politik. Kedua, rawa-rawa Jepang dan hidup sebagai murtad. Ketiga, pahama egalitarianisme dan mati sebagai martir. Ketiga makna tersebut memberikan pemahaman tentang kondisi sosial masyarakat Jepang di tengah konflik penyatuan negara dan masuknya ajaran agama Kristen yang berasal dari Barat. Simpulan dati wacana politik keagamaan novel Chinmoku ialah novel ini menggambarkan terjadinya isu-isu politik keagamaan yang dapat memecah belah suatu negara dan menghilangkan kebudayaan-kebudayaan asli serta keyakinankeyakinan yang dimiliki oleh omasyarakat Jepang. 8.2 Saran Penelitian ini membahas wacana politik keagamaan dalam novel Chinmoku karya Shusaku Endo. Adanya konflik antara pemerintah Jepang dan misionaris agama Kristen telah dipaparkan dalam penelitian ini. Pengaruh budaya Barat terhadap budaya Timur menimbulkan banyak perbedaan yang sulit diterima oleh petinggi negara. Sebagai objek kajian, karya sastra novel Chinmoku tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran dan pemberian makna lain pada penelitian ini dengan sudut pandang yang berbeda, baik teori maupun metode. Aspek sejarah abad ke-16 hingga abad ke-17 melatari lahirnya novel Chinmoku. Perbedaan pemikiran antara pemerintah Jepang dan misionaris agama Kristen menghadirkan wacana baru tentang adanya isu-isu politik dalam 167 penyebaran agama Kristen di Jepang. Karya sastra dikaitkan dengan unsur sejarah adalah langkah yang baik untuk menggambarkan sejarah yang pernah terjadi di suatu negara dengan lebih ekspresif. Karya sastra tidak pernah lepas dari budaya dan sejarah sehingga kajian tentang budaya dan sejarah baik dalam negeri maupun luar negeri dapat dilakukan oleh peneliti lain. Dengan adanya penelitian lain akan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang budaya dan sejarah suatu negara. 168 DAFTAR PUSTAKA Ali, Mukti. 1981. Agama Jepang. Yogyakarta: PT. Bagus Arafah. Anwar, Yesmil. Adang. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: PT Refika Aditama. Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana Teori, Metode dan Penerapnnya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komperehensif untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta: Jalasutra. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Budiman, Kazuko. 2006. Sastra Agama Endo Shusaku “Dilema Memahami Tuhan”. Depok: ILUNI KWJ. Books,Tim Chivita.2013.Hitam Putih Paus Fransiskus.Yogyakarta:Chivita Books. Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang: Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Djokosujatno, Aspanti. 2002. “Novel Sejarah Indonesia :Konvensi, Bentuk, Warna, dan Pengarangnya” Jurnal Makara,Sosial Humaniora, Vol 6 Juni, No.1, hlm. 14-19. Endo, Shusaku. 1996. Chinmoku. Tokyo: Shinchosa Endo, Shusaku. 2008. Silence. Alih bahasa oleh Tanti Lesmana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Foucault, Michel. 2002. Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Hyakka, Asahi. 1984. Nihon no Rekishi Bab 5-6. Tokyo: Asahi Shimbunsha. Ichi, Iwa Osei. 1991. Nihonshi 14 Sakoku. Tokyo: Chuōkoronsha. 169 Jansen, Marius B. 2000. The Making of Modern Japan. United States of America: Lobrary of Congress Cataloging-in-Publication Data. Jhonson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia. Kazumi, Yamagata, 1994. Nihon Bungaku No Keiso. Tokyo: Sairyusha. Knitter, Paul F. 2005. Menggugat Arogansi KeKristenan. Yogyakarta: Kanisius. Mashuri. 2010. ”Analisis Psikologis Novel Chinmoku Karya Shusaku Endo” (Skripsi). Denpasar: Universitas Udayana. Noviani, Ratna. 2002. “Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan” diterj. Dari Ralph Schroeder, Max Weber and The Sociology Of Cultures, Sage Publications, London-Thousands Oaks-New Delhi 1992. Yogyakarta : Kanisius. Nurgyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurhayati, Yeti. 1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta: PT Dian Rakyat. O’Dea, Thomas F. 1996. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Patria, Nezar dan Arief, Andi. 1999. Antonio Gramsci “Negara dan Hegemoni”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Reader, Ian. 2002. Japanese RoutledgeCurzon. Religions: Past and Present. London: Ricoeur, Paul. 1996. Interpretation Theory:Discourse and Surplus Meaning “Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah”. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rosidi, M. Ikhwan, Gumilar Trisna, Kurniawan Heru, Zumailis. 2010. Analisis Teks Sastra (Mengungkap Makna, Estetika, dan Ideologi dalam Perpektif 170 Teori Formula, Semiotika, Hermeneutika dan Strukturalisme genetik). Yogyakarta: Graha Ilmu. Schroeder, Ralph. 2002. Max Weber: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius. Sendra, I Made. 2007. Analisis Pariwisata: Komodifikasi Budaya dalam Pariwisata. Denpasar: Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: INSIST bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Spivak, Gayatri C. 2008. Etika Subalternitas dan Kritik Penalaran Poskolonial. Yogyakarta: Pararato Sudarmanto. 1989. Cinta Kasih Sebagai Motivasi Dasar. Yogyakarta : Kanisius. Sugiarti, Dian Pramita. 2011. “Kebijakan Politik Pemerintah Tokugawa: Pelarangan Penyebaran Agama Kristen” (Skripsi). Denpasar: Universitas Udayana. Surajaya, I Ketut. 1990. Makna Modernisasi Meiji Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah corp. Tadao, Umesano. 1995. The Great Japanese Nihon Go Daijiten. Tokyo: Kodansha. Thwaites, Tony, Davis Lloyd dan Warwick Mules. 2002. Introducing Cultural And Media Studies (Sebuah Pendekatan Semiotik). Yogyakarta: Jala Sutra. Tomoju, Takeda. 1976. Sakka No Ishō. Tokyo: Chūō Shuppan sha. Varley, H. Paul. 1984. Japanese Cultural. Tokyo: Charles E. Tuttle Co. Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama. Yogyakarta: IRCiSoD. Weber, Max. 2007. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Yogyakarta: JEJAK. Wellek, Renne dan Austin, Warren. 1990. The Theory of Literature, Translated by Melani Budianta, Teori Kesusastraan. Jakata: PT Gramedia. Wulandari, Yuni. 2010. “Analisis Unsur Latar Novel Chinmoku Karya Shusaku Endo” (Skripsi). Denpasar: Universitas Udayana. 171 Yamagawa. 1990. Ryuu Gakusei no Tame no Nihon no Rekishi. Tokyo: Tokyo University of Foreign Studies. DAFTAR KAMUS Candra, T. 2005. Mengenal Kanji. Jakarta: Kursus Bahasa Everegreen Matsuura, Kenji. 2005. Kamus Jepang Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nelson, A.N. 2006. Kamus Kanji Modern Jepang Indonesia. Jakarta: Ksaint Blanc. Pusat Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka. Tian Tjhin, Shian. 2003. Kamus Praktis Jepang Indonesia Indonesia-Jepang. Jakarta: Gakushudo. DAFTAR SUMBER INTERNET id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_nobel. 23-12-2013. id.wikipedia.org/wiki/penghargaan_akutagawa. 23-12-2013. id.wikipedia.org/wiki/junichiro_tanizaki. 23-12-2013. id.m.wikipedia.org/wiki/Seppuku. 20-04-2014. id.m.wikipedia.org/wiki/Ronin, 20-04-2014. 172 173