PRODUKSI RUANG SOSIAL SEBAGAI KONSEP PENGEMBANGAN RUANG PERKOTAAN (KAJIAN ATAS TEORI RUANG HENRY LEFEBVRE) Andi Setiawan Universitas Sebelas Maret Abstract The current development of the urban space is determined by the interests of capital. The power of corporations has influenced policy makers in designing the development of many cities. This gives rise to a variety of social impact especially spatial problem, that resulting an occupation of space between the community and the investors. Henry Lefebvre provide a very actual criticism in associated with this condition. He introduced the concept of the social space. Written criticism in the mid 70s it find the relevance today. This paper examines Lefebvre's criticism space as an alternative solution to solve the problems of urban space. Keyword : urban space, social space, Henry Lefebvre PENDAHULUAN Pembicaraan masalah ruang perkotaan selalu terkait dengan ideologi yang dibawa oleh para aktor yang terlibat didalamnya. Setiap era mempunyai kecenderungan yang berbeda sesuai semangat jamannya. Semangat para pemikir Modernisme, memandang bahwa ruang perkotaan merupakan hasil olah pikir idealisasi mereka sebagai bagian dari tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Akan tetapi, hal ini terbukti mengalami berbagai situasi yang tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh para perancang Modern tersebut. Salah satu kasus yang terkenal adalah dihancurkannya perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat pada tahun 1970. Newman (1996) mengatakan perumahan yang mulai dihuni tahun 1954 tersebut di bangun secara ketat mengikuti kaidah Modernisme arsitek Modernisme Perancis Le Corbusier, akan tetapi tidak sampai 25 tahun, komplek bangunan tersebut di hancurkan karena justru menjadi sumber masalah perkotaan. Perumahan yang direncanakan sebagai solusi masalah hunian kumuh, justru menjadi sumber masalah sosial, karena menjadi pusat jaringan kriminalitas kota. Kecenderungan untuk menggugat ideologi Modernisme semakin kuat berhembus seiring banyaknya pemikir Neo-Marxis di Eropa. Salah satu pemikir tersebut adalah Henry Levebfre (16 June 1901 – 29 June 1991) , 44 seorang sosiolog Marxist kelahiran Perancis yang menghasilkan banyak karya kritik atas Teori Marxist klasik. Tidak seperti para intelektual sejamannya, seperti Sartre, Faucoult, atau Althusser, nama Levebfre terasa asing di telinga kita. Levebfre mulai banyak diperbincangkan terutama karena karyanya The Production of Space (diterjemahkan tahun 1991), sebuah tinjauan Neo Marxist atas masalah spasialitas kota yang banyak merubah pandangan teori urban klasik era modern. Levebfre banyak terlibat dalam aktivitas pergerakan mahasiswa Paris di tahun 1968. Latar belakang pergerakan tersebut banyak mempengaruhi tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Pemikirannya yang banyak mempengaruhi pembahasan tentang ruang perkotaan dituangkan dalam dua bukunya, The Critique of Everyday Life, Volume 1 (1947), diterjemahkan John Moore pada tahun 1991. Serta buku The Production of Space (1974), diterjemahkan oleh Donald Nicholson Smith pada tahun 1991. Kritik Lefevbre saat ini kembali dilihat karena dianggap bisa memberikan solusi atas permasalahan ruang publik perkotaan. Fenomena penataan ruang perkotaan saat ini yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan modal kapitalis, membuat warga kota kehilangan hak atas kotanya. Maka telaah atas kritik Lefebvre penting dilakukan sebagai bagian dari upaya mengurai permasalahan perencanaan ruang di perkotaan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pemikiran dari konsep-konsep yang dikemukan oleh Lefebvre. Konsep-konsep tersebut dijadikan sebagai metode dalam menguraikan gagasan Lefebvre mengenai ruang. Ruang sudah menjadi sebuah bahan kajian yang menarik sejak awal peradaban manusia. Dalam tinjauan filosofis, ruang menurut tradisi Cartesian cenderung memiliki pemahaman sebagai ruang yang konkret, hal ini sejalan sifat matrelialisme filsafat Cartes. Lefebvre mengatakan sampai saat ini pandangan kita atas ruang di dominasi oleh pandangan mapan Descartes ini, antara res cogitans dan res extensa. Ruang dirumuskan berdasarkan ukuran, melalui koordinat, garis dan gambar, sebagaimana geometri Euclidean. Selanjutnya Ben-Zvi (2005) mengatakan Imannuel Kant memberikan pengkayaan terhadap konsep ruang Cartesian tersebut dengan menyebutkan bahwa ruang dan waktu tidaklah obyektif sebagaimana geometri Euclidean, akan tetapi merupakan pengalaman subyektif kita atas respon serapan indera yang diolah dalam pikiran kita. Jadi walaupun mata dan tangan kita memberikan input keberadaan ruang, akan tetapi jika dalam pikiran kita tidak ada konsep ruangan, maka sesungguhnya ruangan tersebut tidaklah eksis. Henry Lefebvre menyebukakan konsep ruang yang dikatakan Descartes sebagai ruang mutlak, sedangkan yang disampaikan Kant sebagai ruang abstrak. Ketika Lefebvre menyoroti masalah ruang perkotaan, dia 45 menyadari bahwa situasi yang berkembang saat itu sangat dipengaruhi oleh dua aliran filsafat tersebut. Para perancang kota bermain di ranah ruang abstrak, sedangkan masyarakat tentu saja yang mersakan pengalaman ruang mutlak, hal ini yang mendasari kritik Lefebvre dengan menyajikan konsep baru ruang, sebagai ruang sosial. Lefebvre memberikan perspektif lain dalam memahami ruang dibandingkan pemahaman para pemikir sebelumnya. Selain sebagai sebuah konstruksi fisik, teori ruang arsitektur memahami ruang sebagai gagasangagasan filosofis. Sedangkan menurut Lefebvre, ruang senantiasa adalah ruang sosial, dia selalu terkait dengan sebuah gejala sosial. Hal ini berlawanan dengan konsep ruang sebagai ruang swadiri (space in its self). Schmid (2008) mengatakan untuk memahami tesis dasar Levebvre, bahwa ruang adalah produk (sosial), kita pertama-tama perlu keluar dari pemahaman umum yang mengatakan bahwa ruang sebagai realitas independen yang ada “ dalam dirinya sendiri” (in its self). Terhadap pandangan semacam itu Lefebvre mengetengahkan konsep produksi ruang, bahwa ruang secara fundamental selalu terkait dengan realitas sosial, oleh karenanya ruang “dalam dirinya sendiri” tidak pernah mampu menemukan posisi awal epistimologisnya. Ruang tidak ada “ dalam dirinya sendiri”, dia selalu diproduksi. PEMBAHASAN Konsep ruang sebagai ruang sosial ini bisa kita runut dari latar belakang Lefebvre yang merupakan pemikir Marxis. Lefebvre sebelumnya memberikan konsep ruang mutlak dan ruang abstrak yang dipengaruhi pemikiran Marx tentang buruh dalam proses produksi. Marx mengatakan bahwa dalam sistem kapitalis buruh sebagai entitas yang konkret (mutlak) telah teralineasi menjadi entitas yang abtrak. Buruh dihitung keberadaannya sebagai satuan waktu kerja yang nantinya masuk dalam perhitungan komoditi yang dihasilkan, sehingga buruh sebagai entitas mutlak (manusia) berubah menjadi abtraksi di dalam sebuah komoditi. Demikian juga ruang, Lefebvre memandangnya sejalan dengan pemikiran Marx tersebut, bahwa ruang dalam dunia kapitalis saat ini telah mengalami “sublasi” sehingga teralineasi menjadi sesuatu yang abstrak. Ruang sebagai entitas abstrak inilah yang terus di produksi oleh kapitalisme. Kekuatan modal menentukan rancangan dan peruntukan ruangruang baru sesuai kepentingannya. Ruang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang konkret yang menghadirkan realita aktivitas manusia penghuninya, akan tetapi dilihat sebatas sebagai rancangan atau gagasan ideal dengan membawa kepentingan modal dibelakangnya. Lefebvre juga merinci beberapa kontradiksi yang menyertai berkembangnya ruang-ruang abstrak produk kapitalisme ini, salah satunya hilangnya ruang ruang bersama yang dikuasai oleh rezim Hak Milik (private property). Akibatnya lenyaplah ruangruang komunal yang sarat dengan aktivitas sosial berganti ke ruang-ruang 46 private yang sarat dengan kepentingan modal untuk bisa mengaksesnya. Contoh sederhana adalah munculnya pusat perbelanjaan modern yang menggantikan ruang publik sebagai wahana beraktivitas warga kota. Lefebvre (1991) lantas mengajukan konsep triadik atas produksi ruang, yaitu : 1. Praktek spasial: konsep ini menunjuk dimensi material dari kegiatan sosial dan interaksinya. Klasifikiasi spasial menekankan aspek aktivitas yang simultan. Secara konkret, praktik spasial merupakan jaringan interaksi dan komunikasi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, koneksi sehari-hari antara tempat kerja dan hunian) atau dalam proses produksi (produksi dan hubungan pertukaran). 2. Representasi ruang: representasi ruang ini memberikan gambaran atau konseptualisasi sehingga sesuatu didefinisikan sebagai ruang. Representasi ruang muncul pada tingkat wacana, dia muncul dalam bentuk-bentuk yang diucapkan seperti deskripsi, definisi, dan terutama teori ruang. Lefebvre memberi contoh representasi ruang ini bisa dilihat pada peta, gambar rencana ruang, informasi dan notasi dalam gambar ruang. Ilmu khusus yang berkaitan dengan representasi ruang ini adalah arsitektur, desain interior, perencanaan wilayah, dan juga ilmu-ilmu sosial (dalam hal khususnya geografi). 3. Ruang representasi: dimensi ketiga dari produksi ruang merupakan kebalikan dari "representasi ruang." Ruang representasi menyangkut dimensi simbolik ruang. Ruang representasi tidak mengacu pada ruang itu sendiri tetapi pada sesuatu yang lain: kekuatan adi kodrati, pikiran, negara, prinsip maskulin atau feminin, dan sebagainya. Dimensi produksi ruang ini mengacu pada proses pemaknaan yang menghubungkan dirinya dengan simbol. Simbol ruang bisa diambil dari alam, seperti pohon atau formasi topografi yang menonjol; atau bisa pula artefak, bangunan, dan monumen; mereka juga bisa mengembangkan dari kombinasi keduanya, misalnya sebuah "lanskap." Selanjutnya Lefebvre (1991) memandang ketiga konsep produksi ruang diatas menjadi tiga pengalaman : 1. Perceived space: ruang memiliki aspek perseptif yang dapat ditangkap oleh panca indera. Aspek ini merupakan komponen integral dari setiap praktik sosial, terdiri dari segala sesuatu yang bisa dicerap oleh panca indera; tidak hanya dilihat tapi didengar, dicium, disentuh, dan dirasa. Aspek ini berkaitan dengan materialitas "elemen" yang pada akhirnya menyusun sebuah "ruang”. 2. Conceived space: ruang tidak dapat dipersepsi tanpa memahaminya terlebih dahulu di dalam pikiran. Merangkai berbagai elemen untuk membentuk suatu “kesatuan yang utuh” yang kemudian disebut 47 sebagai “ruang” merupakan tindakan pikiran dalam memproduksi pengetahuan. 3. Lived space: dimensi ketiga dari produksi ruang adalah pengalaman hidup di dalam ruang. Dimensi ini menunjukkan dunia seperti yang dialami oleh manusia dalam praktek kehidupan sehari-hari mereka. Pada titik ini Lefebvre sangat tegas: bahwa realitas hidup, pengalaman praktis, tidak akan selesai melalui analisis teoritis. Akan selalu terdapat surplus, sisa, atau residu berharga yang tak terjelaskan atau teranalisis, yang terkadang hanya dapat dinyatakan melalui cara-cara artistik. Elden (2007) memberi gambaran atas teori produksi ruang Levebfre, bahwa konstruksi, atau produksi ruang merupakan peleburan ranah konseptual dan disaat yang sama adlah kegiatan material. Elden memberi contoh “biara”, dimana ruangannya secara gestur berhasil mengikat jiwa manusia-ruang kontemplasi dan abstraksi teologis, disaat yang sama perwujudtannya secara fisik mampu mengekspresikan dirinya sendiri secara simbolis sebagai bagian dari praktik keagamaan. Pandangan lain dari Robet (2014) mengatakan bahwa ruang menurut pemahaman Lefebvre selalu didirikan oleh kondisi-kondisi material yang konkret. Kondisi-kondisi material tersebut dibentuk dan disimbolisasi ke dalam konsep dan tatanan mengenai ruang. Namun pada saat yang sama, terlepas dari berbagai konseptualisasi dan saintifikasi mengenai ruang, ruang juga senantiasa terdiri dari pengalaman hidup manusia yang aktif. Tesis Lefebvre diatas saat ini terlihat sangat menggejala di banyak kota di dunia. Di negara dunia ketiga, seperti di Indonesia misalnya, yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam pada awal tahun 2000 an, terlihat kekuatan modal telah mencengkeram arah perkembangan kota dengan menciptakan ruang-ruang baru yang sarat dengan kepentingan modal. Pertumbuhan pusat perbelanjaan terutama bisa dilihat di Jakarta. Menurut Global Cities Retail Guide tahun 2013/2014 dari Cushman & Wakefield, lahan ritel di Jakarta telah tumbuh lebih dari 17%, atau hampir mencapai angka 4 juta meter persegi atau bisa dikatakan hampir menyamai 9 kali luas kota Vatikan. Hal ini menunjukkan betapa konversi ruang-ruang publik kota dengan cepat beralih ke ruang publik semu yang dimiliki oleh para pemegang modal. Pusat perbelanjaan diciptakan tidak lain untuk memberikan layanan hiburan dan rekreasi untuk para pekerja perkotaan yang merupakan kelas menengah perkotaan. Mereka tidak lain merupakan bagian utama penggerak roda kapitalisme, dengan demikian modal akan mengalir kembali ke tangan para pemilik modal. 48 Gb.1. Hasil rendering imaji arsitek untuk Hartono Lifestyle Mall, sebuah ruang abstrak yang diciptakan berdasarkan teori ruang dan penataan kawasan. (diunduh dari: http://www.skyscrapercity.com ) Disinilah kita memasuki tahapan kapitalisme lanjut seperti yang disampaikan oleh Levebfre, kita sudah melewati tahapan memproduksi barang di dalam ruang, saat ini kita memproduksi ruang itu sendiri. Ruang sudah menjadi komoditas. Keberadaannya diproduksi sebagai sebuah ruang abstrak oleh para desainer dan arsitek yang merencanakan ruang tersebut sebagai gambaran ideal terhadap penataan kawasan perkotaan. Ruang abstrak ini tentu saja hanya ideal pada dataran konsep dan perencaan dihadapan para desainernya. Ruang - ruang abstrak tersebut di desain untuk segmen masyarakat tertentu, dalam kasus pusat perbelanjaan, segmen masyarakat yang disasar adalah kelas menengah perkotaan. Produksi ruang tersebut selalu dibarengi dengan kampanye dari pemilik modal terhadap gaya hidup ideal yang seharusnya dijalani oleh warga kota. Berbagai tayangan iklan memberikan imaji hidup ideal warga kota dengan pergi ke pusat perbelanjaan sebagai tempat rekreasi yang ideal, dengan tawaran konsep one stop shoping, pengunjung di iming-imingi dengan kemudahan untuk berbelanja, makan, hiburan anak, menonton bioskop, membeli peralatan kebun, hingga membeli makanan anjing. Semua bisa dilakukan di satu tempat, praktis, nyaman dengan suhu udara di jaga di kisaran 19ºC, sehingga satu keluarga dapat bertahan dari pagi hingga sore di kawasan tersebut. Sesuai tahap perkembangan kapitalisme, kaum pekerja yang diberi sebagian kecil keuntungan melalui upah dan tawaran-tawaran fasilitas, segera saja menikmati beragam tawaran ruang-ruang abstrak tersebut. Pusat berbelanjaan tampak segera menjadi solusi yang tepat bagi sebuah kota untuk menyediakan fasilitas hiburan bagi warganya. Harapan dan gambaran ideal arsitek dan perencana kota seakan telah menemukan pembenarannya. 49 Gb.2. Parkir tidak resmi di depan Solo Square (diunduh dari: http://www.solopos.com/2012/09/22) Akan tetapi Levebfre menegaskan bahwa conceived space dengan segala macam analisis teorinya, selalu meninggalkan residu permasalahan yang berharga, ketika bersinggungan dengan pengalaman lived space. Melihat konteks pusat perbelanjaan kota-kota besar Indonesia, hampir bisa dipastikan di sekitar pusat perbelanjaan itu akan muncul kawasan usaha skala kecil yang tersebar secara sporadis, mengelompok di lahan-lahan yang tersisa di sekitar pusat perbelanjaan. Kelompok usaha tersebut mulai penjual makanan, perlengkapan dan pulsa selular, hingga tempat parkir tak resmi. Keberadaannya tentu saja merusak rancangan ideal pusat perbelanjaan sang desainer, yang berdiri di atas konsep kesatuan fungsi, sehingga tidak memberikan tempat bagi pernik-pernik ruang di luar kawasan yang sudah dirancang. Akan tetapi bagi para penghuni yang setiap hari mengalami pengalaman hidup di dalam pusat perbelanjaan tersebut (misalnya karyawan toko, satpam, atau tenaga kebersihan), keberadaan tempat tempat makan tersebut sangat membantu, untuk mendapatkan menu makanan yang murah dan beragam. Mereka jelas keberatan jika harus membeli makanan mereka di pusat perbelanjaan yang sama. 50 Gb.3. Pedagang makanan kaki lima di depan mall (diunduh dari: http://rujak.org/2013/07 ) Akhirnya situasi ini menunjukkan bahwa ruang tidak akan pernah berhenti berproduksi, dia akan terus mereproduksi dirinya sendiri. Tangan tangan modal yang merasa bisa mengendalikan ruang pada akhirnya harus menyerah dengan kenyataan lived space. Bahwa produksi ruang abstrak akan selalu meninggalkan residu sebagai bahan mereproduksi ruang baru, ruang sosial. KESIMPULAN Tentu saja produksi ruang abstrak seperti contoh diatas, banyak mengorbankan kebutuhan masyarakat kota yang lain yang menginginkan ruang publik yang lebih murah. Kita perlu melihat lebih detail terhadap permasalahan keruangan secara lebih segmented. Kota tidak lagi merupakan entitas homogen yang bisa diselesaikan dengan solusi menyeluruh. Kota sudah sangat heterogen, maka pemecahan permasalahan kota seharusnya dilihat kasus per kasus, dengan melibatkan langsung kedalam pengalaman sehari-hari warga masyarakat yang terlibat di dalamnya. Kita tidak bisa lagi menyerahkan arah produksi ruang di tangan pemilik modal. Swasta hanya akan tunduk pada kepentingan untuk melipatgandakan keuntungan. Adalah sebuah ilusi ketika melibatkan swasta dalam proses produksi ruang maka hasil ideal akan terwujud, yang terjadi justru berbagai solusi kompromis antar pihak. Sangaji (2011) mengatakan soal ketidakadilan/ketidakmerataan, penggusuran dan dampak sosio-ekologi karena produksi ruang, diselesaikan melalui mekanisme filantropi, misalnya, dengan proyek tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), atau efek merusak lingkungan dijawab dengan Analisa dampak lingkungan (Andal) dan ilusi tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tanpa perlu menyoal kapitalisme. Untuk merebut kembali kendali atas produksi ruang ini Levebfre mengutarakan sebuah slogan right to the city, sebuah slogan untuk mendudukkan kembali kontrol warga masyarakat atas produksi ruang di perkotaan. Hak atas kota ini merupakan sebuah upaya bersama agar ruang ruang yang diproduksi ikut melibatkan pengalaman keseharian warga kota, ruang sosial yang merupakan tempat nyata bagi warga kota berkehidupan. Bagaimana kita merebut kembali hak atas kota tersebut? Harvey (2008) mengatakan kunci mendapatkan hak atas kota adalah memperkuat demokrasi sebagai kontrol yang kuat atas penguasaan modal. Hak atas kota selain dijadikan slogan kerja, juga harus menjadi tujuan politik. Merebut kontrol atas produksi ruang melalui ruang demokratis, dan menyingkirkan pengaruh pemilik modal dari pemegang kebijakan. Pada aktivitas keseharian Sangaji (2011) memberikan tawaran berupa politik ruang yang membebaskan, yakni melenyapkan monopoli 51 kelas kapitalis atas ruang dan alat produksi. Kita dituntut untuk meneliti dan mendalami aneka peta tematik, berbagai aturan atau kebijakan pemerintah di berbagai level, dan berbagai macam masalah yang ditimbulkannya di lapangan sebagai soal konkrit. Tetapi dalam waktu bersamaan, tidak melihatnya secara terisolasi dari produksi ruang kapitalis yang lebih abstrak, apalagi semenjak ekonomi nasional telah ditata ulang untuk diseleraskan dengan kepentingan akumulasi global. Retorika-retorika abstrak soal zonasi ekonomi, perdagangan bebas, atau gagasan penyesuaian ruang apapun yang pro-pasar, harus diuji dengan kenyataan-kenyataan konkret terintegrasinya kehidupan hari-hari masyarakat ke dalam logika itu DAFTAR PUSTAKA Ben-Zvi, Pinhas. 2005. Kant on Space. Majalah Philosophy Now. Artikel Online : https://philosophynow.org/issues/49/Kant_on_Space/ . (diakses : 3 April 2015) Elden, Stuart.2007. There is a Politics of Space Because Space is Political, Henri Lefebvre and the Production of Space. Radical Philosophy Review volume 10, number 2. 2007. hal 101–116. Harvey, David. 2008. The Right to The City. New Left Review. Volume 53. Sept/Okt. 2008. Lefebvre, Henry. 1991. The Production of Space, diterjemahkan oleh Donald Nicholson-Smith. Basil Blackwel. Oxford. Newman, Oscar. 1996. Creating Defensible Space. Diane Publishing. Washington, D.C. Robet, Robertus. 2014. Ruang Sebagai Produksi Sosial Dalam Henri Lefebvre. Artikel online : https://caktarno.wordpress.com/2014/09/06/ruang-sebagaiproduksi-sosial-dalam-henri-lefebvre/ (diakses : 24 Maret 2015) Sangaji, Anto. 2011. Kapitalisme dan Produksi Ruang. Harian Indoprogress. Artikel online : http://indoprogress.com/2011/02/kapitalisme-danproduksi-ruang (diakses : 23 Maret 2015) Schmid, Christian. 2008. Henri Lefebvre’s Theory Of The Production Of Space, Towards A Three-Dimensional Dialectic,dalam Space, Difference, Everyday Life, Reading Henri Lefebvre, editor Kanishka Goonewardena. Routledge. New York. 52