1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penduduk bumi adalah penduduk multikultur, multiras, dan multietnik. Keanekaragaman penduduk di setiap wilayah di belahan bumi ini menjadi sesuatu yang menarik. Perbedaan budaya, etnis ataupun bahasa menjadikan hal tersebut menjadi objek yang menarik untuk dikaji ataupun dipelajari dan ditelusuri. Sayangnya perbedaan itu, tidak menjadi keuntungan atau keindahan dan pelengkap bagi sebagian orang. Bahasa yang berbeda dan beranekaragam di setiap belahan dunia, mendorong manusia untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana cara berkomunikasi dengan individu atau kelompok yang memiliki kebudayaan serta bahasa yang berbeda dengan kita. Sebagai makhluk sosial, tentunya seseorang tidak bisa hidup tanpa adanya individu atau kelompok lain. Setiap individu memerlukan sosialisasi, interaksi atau komunikasi untuk pencapaian hidup. Dalam masyarakat multikultural, pencapaian kebutuhan hidup tersebut mengalami berbagai hambatan budaya, seperti hambatan rasial. agama, etnis, kelas, hambatan gender. Jika seseorang ingin eksis, maka ia harus berjuang melawan hambatan-hambatan tersebut. Salah satu hambatan budaya adalah hambatan rasial. Manusia dilahirkan dalam tas tertentu bukan karena pilihan. kelahiran atau genetika merupakan bawaan. dalam masyarakat multikultur, perbedaan ras menjadi penanda awal yang secara awal sudah dilabelkan 2 hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. secara fisik ras memang berbeda,seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, cara bicara, bahasa dan gaya berpakaian, makan, menjadi penyebab potensial dalam berkomunikasi (Purwasito, 2003: 144). Perbedaan tersebut diperkuat secara sosial dengan prasangka, stereotipe yang dibangun dari waktu ke waktu, yang mana setiap kelompok ras mempunyai kerangka interpretasi sendiri-sendiri berdasarkan lingkungan rasial dan latar kepribadiannya ketimbang kerangka budayanya, meskipun kebudayaan merupakan sumber utama yang membentuk kepribadian. dengan kata lain, tendensi rasialis lebih besar muncul dari benak pribadi individu atau situasi sosial yang sifatnya spontan dan mendadak ketimbang bersumber dari kebudayaan. Perasaan seseorang atau kelompok yang merasa dirinya lebih baik, lebih kuat ataupun lebih beradab dengan orang lain atau kelompok lain adalah cikal bakal munculnya rasa diskriminasi. Sikap diskriminasi ini akan mengarah kepada sikap rasis, jika mereka merasa ras mereka lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan ras kelompok lain. Paham rasis atau rasisme sendiri adalah suatu praktik memperlakukan orang lain secara berbeda, dengan memberikan penilaian yang diukur berdasarkan karakteristik ras, sosial, atau konsep mental tertentu. Rasisme menjadi masalah karena konsep ini tidak sekedar menjadi kategori pembeda, namun lebih dari itu ditujukan untuk menegaskan superioritas satu pihak di antara pihak-pihak lainnya. 3 Ketika membicarakan rasisme, menurut Jusuf dan Srivanto (2001: 13-, 15), ada dua perspektif yang saling bertolak belakang, pertama adalah rasisme dalam perspektif ilmiah yakni usaha manusia untuk mengidentifikasi baik secara etnologis dan antropologis tentang asal usul manusia dan mengklasifikasi manusia berdasarkan ciri fisik yang dimilikinya. Rasisme juga dipahami sebagai perspektif yang sifatnya non ilmiah yakni sebuah bentuk prasangka. Dalam hal ini rasisme merupakan sebuah kepercayaan (belief) bahwa manusia dapat dibeda-bedakan ke dalam berbagai ras dan anggota sebuah ras akan bersifat inferior terhadap ras lainnya. George M. Fredrickson mengungkapkan pandangannya tentang rasis. Menurutnya, rasis mempunyai dua komponen : perbedaan dan kekuasaan. Rasisme berasal dari suatu sikap mental yang memandang ―mereka‖ berbeda dengan ―kita‖ secara permanen dan tidak terjembatani. Perasaan berbeda ini menyediakan motif atau alasan untuk memanfaatkan keunggulan dan kekuasaan kita guna memperlakukan si etnorasial Yang Lain dengan cara-cara yang akan kita anggap kejam dan tidak adil jika diterapkan kepada anggota kelompok kita sendiri (Fredrickson, 2005 : 13). Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya (Wikipedia.com). Pada dasarnya, rasisme adalah pandangan hidup (way of life) yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok tertentu tidak sederajat atau belum berderajat manusia. Dalam arti manusia yang 4 mempunyai ras yang rendah. Oleh karena itu, mereka yang memiliki ras rendah layak dimusnahkan, diperbudak, atau diperlakukan tidak manusiawi (Darma, 2009: 127). Rasisme sebagai prasangka telah ada sejak awal sejarah manusia. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, orang-orang Yunani dan Romawi kuno telah memperbudak bangsa lain yang dianggap lebih inferior (minoritas) atau terbelakang dibanding dengan bangsa mereka yang dianggap lebih superior dan ‗beradab‘. Ratusan tahun sejak kedatangan Marco Polo ke Cina pada tahun 1200-an, orang-orang Cina mengenal orang Barat sebagai ‗orang Barbar putih yang berbulu‘ sebagai bentuk xenofobi yakni perasaan takut terhadap orang asing. Antara 1700 hingga 1900, orang-orang Eropa mengontrol sebagian besar Asia dan Afrika sebagai tanah atau daerah jajahan mereka. Para kolonis Eropa ini membenarkan tindakan mereka untuk mendominasi ras lain yang berwarna hitam, coklat dan kuning sebagai orang-orang yang harus ‗dibudayakan‘ sehingga beradab oleh kulit putih yang lebih superior. Pada tahun 1900-an kolonialisme berakhir, namun dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Sebagai contoh di Indonesia, kolonialisme Belanda masih meninggalkan peraturan-peraturan kewarganegaraan yang mengklasifikasi penduduk Hindia-Belanda. Pada saat itu, penggolongan atau pengklasifikasian penduduk didasarkan pada ras masing-masing dari penduduk Hindia-Belanda. Peraturan-peraturan yang tidak dicabut oleh pemerintah itu tidak saja berdampak secara hukum berupa perlakuan terhadap warganegara ras/etnis Tionghoa yang 5 dianggap diistimewakan pada masa kolonial, tetapi juga berdampak sosial sehingga menimbulkan kesenjangan dan kebencian yang berujung pada konflik. Klaim kelompok mayoritas dalam hal ini bangsa Eropa terhadap kelompok minoritas semakin berkembang terutama pada masa kolonial. Akibatnya rasisme berkembang sangat luas dan menyebabkan berbagai masalah. Pandangan tentang superioritas atau keunggulan dan inferioritas telah digunakan sebagai sebuah pembenaran atau alasan yang membenarkan tindakan diskriminasi, segregasi atau pemisahan kelompok, perbudakan dan bahkan genosida sebagai tindakan pemusnahan sebuah ras. Praktik genosida sendiri dilakukan oleh Hitler pada masa kekuasaannya sebagai bentuk kebenciannya terhadap kaum Yahudi. Beberapa bentuk tindakan rasis yang banyak dikenal masyarakat dunia, dan telah menjadi suatu catatan sejarah yang hitam sebagai bentuk penindasan hak asasi manusia adalah praktik perbudakan kulit hitam yang dilakukan bangsabangsa Eropa pada abad pertengahan hingga pertengahan abad 20 di Amerika. Kaum-kaum kulit hitam dianggap sebagai manusia yang memiliki derajat paling rendah, dan sudah sepantasnya diperlakukan sebagai budak dan menjadi suatu hal yang wajar untuk dijadikan objek penyiksaan dan penindasan. Rasisme menyebar keseluruh belahan dunia, tentunya melalui berbagai cara. Kolonialisasi adalah salah satunya, mereka merekam jejak penindasan mereka terhadap ras-ras yang mereka anggap inferior atau rendah dalam berbagai bentuk media. Bagi McLuhan dan Innis (Littlejohn, 2009: 411), media merupakan perpanjangan pikiran manusia, jadi media yang menonjol dalam penggunaan membiaskan masa historis apapun. 6 Media yang lazim pada masa itu, adalah lukisan ataupun dokumen-dokumen tertulis, baik berupa buku atau sekedar perjanjian-perjanjian tertulis mengenai sistem perbudakan tersebut. Seiring perkembangannya waktu, teknologi semakin maju untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat akan informasi. Penyebaran informasi mengenai rasis juga terekam dan tersebar lewat berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Pada era Nazi berkembang di Jerman yang dipimpin Adolf Hittler, dokumendokumen tentang propaganda dan penyiksaan kaum Yahudi terekam dengan baik. Mulai dari rekaman video, film-film propaganda, foto, serta buku dan majalah yang diterbitkan pada masa itu. Dokumentasi-dokumentasi tersebut seakan cukup bagi kita untuk membayangkan kekejaman rezim Nazi pada saat itu. Pertengahan abad ke 20, di Amerika Serikat, dimana praktik rasisme sangat merajalela, kita bisa melihat potret kaum-kaum kulit hitam atau keturunan Afro-Amerika yang tertindas dan tersiksa akibat kebijakan pemerintahan mereka yang tidak masuk akal yang pada saat itu masih pro terhadap diskriminasi rasial terhadap keturunan Afro-Amerika. Media massa memiliki peran yang cukup penting dalam penyebaran informasi kepada masyarakat luas, khususnya hal-hal yang mengenai isu rasisme. Menurut Agee (dalam Ardianto, 2007: 58-59), media massa secara pasti mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Budaya, sosial, dan politik dipengaruhi oleh media. Media membentuk opini publik untuk membawanya pada perubahan yang signifikan. Di sini secara instan media massa dapat membentuk kristalisasi opini publik untuk melakukan tindakan tertentu. Kadang-kadang 7 kekuatan media massa hanya sampai ranah sikap. Dominick (dalam Ardianto, 2007: 59) menyebutkan tentang dampak komunikasi massa pada pengetahuan, persepsi dan sikap orang-orang. Media massa, yang menjadi agen sosialisasi (penyebaran nilai-nilai) memainkan peranan penting dalam transmisi sikap, persepsi, dan kepercayaan. Media massa, baik eletronik maupun cetak memiliki andil masing-masing dalam hal ini. Pengetahuan masyarakat bertambah mengenai rasis –baik yang pro atau kontra- didapat dari banyak sumber, seperti film contohnya Inglorious Bastard, Crash, dan lain-lain sebagainya. Selain lewat media elektronik, informasi mengenai isu rasis atau rasisme tentunya banyak diakses masyarakat melalui media cetak, seperti koran, majalah, buku dan lain-lain. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, salah satu bentuk dari media massa cetak adalah buku. Tidak salah apabila buku dikatakan sebagai jenis media yang paling stabil. Buku menjadi media yang paling dapat dipercaya sehingga menjadi referensi bagi banyak orang. Dengan demikian, budaya buku tidak akan habis karena sudah menjadi kebutuhan bagi orang banyak. Lewat buku, seseorang bisa menyampaikan pesan atau pemikirannya tentang sesuatu kepada khayalak luas. Penyampaian ide atau informasi kepada khalayak lewat media buku sudah dilakukan sejak dulu, karena ketahanannya secara fisik membuat buku menjadi media yang tahan lama dan abadi. Buku juga menyajikan informasi dan pengetahuan yang detail, sehingga dapat dinikmati secara visual, yaitu menggunakan satu indera, penglihatan. Ini menjadikan buku sebagai salah satu media populer dan tidak multitafsir. Buku pun merupakan media yang praktis dan 8 portabel. Salah satu jenis buku adalah novel. Novel adalah sebuah teks naratif. Novel menceritakan kisah yang merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata atau untuk merangsang imajinasi (Danesi, 2010: 75). Banyak novel yang menceritakan tentang kehidupan di masa lalu. Novel yang mengambil tema rasisme juga telah banyak diterbirtkan, seperti dalam novel To Kill a Mockingbird yang ditulis oleh Nelle Harper Lee. To Kill a Mockingbird mengisahkan tentang sudut pandang gadis delapan tahun, cerita mengalir lewat narasi seorang anak Jean Louis Finch (Scout) seorang anak perempuan tomboy dan kakak laki-lakinya Jeremy Atticus Finch (Jem) beserta ayah mereka Atticus Finch. Atticus adalah seorang pengacara dengan integritas yang tinggi dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan kepada anak-anaknya. Novel ini bersetting di tahun 1930-an pada saat Resesi Ekonomi Besar-besaran (Great Depression) di kota Maycomb, Alabama. Kisah ini dimulai dengan rasa penasaran Scout, Jim, dan teman mereka Dill akan tetangga mereka yang tidak pernah keluar rumah, Boo Radley. Rumor yang beredar mengatakan Boo waktu kecil melukai kaki ayahnya dengan gunting sehingga sang ayah terus mengurungnya di rumah sebagai bentuk hukuman. Anak-anak itu tidak pernah berhasil melihat Boo secara langsung, tetapi sering kali mereka mendapatkan hadiah-hadiah kecil yang ditaruh di atas pohon dekat rumah mereka. Hal ini semakin menambah keingintahuan mereka akan sosok Boo yang misterius. 9 Cerita bergulir pada Atticus yang bersedia menjadi pembela bagi seorang kulit hitam bernama Tom Robinson. Tom dituduh melakukan pemerkosaan terhadap Mayella Ewell, seorang wanita kulit putih. Pada saat itu diskriminasi rasial di Alabama sangat tinggi sehingga banyak penduduk kota yang tidak setuju dengan tindakan Atticus. Scout dan Jem pun diejek sebagai pecinta negro (nigger lover) sehingga membuat Scout terpancing emosinya dan berkelahi dengan anakanak lain. Istilah nigger sendiri adalah sebutan yang sangat kasar untuk menyebut para penduduk keturunan Afro-Amerika. Secara diam-diam, Scout, Jem, dan Dill menonton persidangan Tom Robinson dari atas balkon. Mereka menyaksikan Atticus dengan menyakinkan dapat membuktikan Mayella dan ayahnya, Bob Ewell, telah memberikan saksi dusta. Meskipun telah terbukti Tom Robinson tidak bersalah, melalui perundingan berjam-jam, juri tetap memvonis hukuman baginya. Vonis yang jelas-jelas didasari oleh prasangka ras ini membuat Scout, Dill dan terutama Jem kaget luar biasa. Vonis itu membuat keyakinan Jem akan rasa keadilan dan rasionalitas kemanusiaan terguncang hebat. Atticus berusaha untuk naik banding, tetapi kemudian Tom Robinson tertembak ketika berusaha kabur dari penjara. Pada bagian inilah, prasangka buruk atas ras kulit hitam sangat kental dan tergambar dengan jelas. Masyarakat Maycomb yang mayoritas berkulit putih, menganggap semua yang dilakukan oleh kaum hitam adalah salah, apalagi pada kasus yang dituduhkan kepada Tom Robinson. Pemikiran yang menganggap kaum kulit hitam memiliki derajat rendah disbanding dengan kaum kulit putih, masih melekat kuat pada masyarakat Maycomb. Rasisme pada saat itu memang 10 sangat kental dan marak terjadi di kawasan Amerika, khususnya Amerika bagian selatan. Kalimat "to kill a mockingbird" yang menjadi judul buku ini terucap saat Atticus melarang anak-anaknya membunuh mockingbird, suatu jenis burung di Amerika yang senang berkicau, hidup damai, dan tidak membahayakan siapapun. Membunuh mockingbird sama dengan mematikan mahluk hidup yang tidak berdosa. Dalam cerita ini, Mockingbird menjadi metafora Tom Robinson, sebagai sosok orang yang tidak bersalah. Dengan menghukum Tom, penduduk kota sebenarnya telah melakukan dosa "membunuh mockingbird". Melalui penggambaran dan cerita yang diuraikan Harper Lee lewat narasi salah satu tokoh utamanya, Scout, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai masalah rasisme, khususnya yang terjadi pada tahun 1930-an, dimana tindakan yang menjurus ke arah diskriminasi rasial ini sangat gencar dilakukan masyarakat Amerika. Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis tertarik dan memilih untuk mengkaji novel To Kill a Mockingbird ke dalam bentuk skripsi dengan judul : Representasi Nilai Rasisme dalam Novel “To Kill A Mockingbird” karya Harper Lee (Sebuah Analisis Wacana) 11 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana representasi nilai rasisme dalam novel To Kill A Mockingbird karya Harper Lee. 2. Bagaimana pemilihan kata Harper Lee dalam merepresentasikan nilai rasisme pada novel To Kill A Mockingbird. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui representasi nilai rasisme dalam novel To Kill A Mockingbird karya Harper Lee. 2. Untuk mengetahui pemilihan kata Harper Lee dalam merepresentasikan nilai rasisme dalam novel To Kill A Mockingbird. b. Kegunaan penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoretis Penelitian ini diharapkan mampu menambah hazanah keilmuan dari jurusan ilmu komunikasi khususnya bagi perkembangan penelitian yang berbasis kualitatif. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi kajian analisis teks sebagai salah satu kajian ilmu Komunikasi. Selain itu, penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa komunikasi yang ingin mengkaji tentang analisis wacana. 12 2. Secara praktis Secara paraktis penelitian ini diharapkan dapat merefleksikan representasi nilai rasisme yang terdapat dalam novel To Kill A Mockingbird karya Harper Lee sehingga dapat memberikan manfaat bagi civitas akademika pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Penelitian ini juga sebagai salah satu syarat meraih gelar kesarjanaan pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin. D. Kerangka Konseptual 1. Novel sebagai Media Seperti yang dipaparkan sebelumnya pada latar belakang masalah, novel adalah salah satu jenis dari buku. Buku sendiri adalah salah satu bentuk dari media cetak. Novel adalah sebuah teks naratif. Novel menceritakan kisah yang merepsentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata atau untuk merangsang imajinasi. Seiring dalam proses pengisahannya novel merujuk secara langsung atau tidak langsung ke teksteks lain. Hal ini mendatangkan adanya suatu rasa saling terkait ke tatanan signifikasi lebih besar yang melahirkannya. Di dalam teori semiotika mutakhir, aspek penarasian seperti ini dinyatakan sebagai intertekstualitas. Interteks adalah teks narasi lain yang dimainkan oleh sebuah novel melalui pengutipan atau implikasi. Bisa dikatakan ini adalah teks yang terletak di luar teks utama. Sebuah novel juga bisa memiliki subteks, yaitu 13 kisah yang secara implisit terkandung di dalamnya yang mendorong sebuah narasi di permukaan (Danesi, 2010: 75). 2. Bahasa ,Teks, Konteks dan Makna Bahasa Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti (Wikipedia). Menurut Fowler (Darma, 2009: 46) bahasa merupakan medium efisien dalam pengkodean kategorikategori sosial. Selanjutnya Fowler menyatakan bahwa struktur bahasa yang dipilih dalam komunikasi tertentu menghasilkan jaringan makna tertentu yang mendorong ke arah perspektif yang sedang dihadirkan oleh komunikasi itu. Dengan menggunakan bahasa, kita bisa menciptakan representasirepresentasi realitas yang tidak pernah sekedar refleksi dari realitas yang ada sebelumnya, tetapi mampu memberikan kontribusi pada pengonstruksian realitas.(Jorgensen, 2007: 16). Manusia mengucapkan pikirannya lewat bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan yang bagitu dahsyat dan lebih tajam dari sebuah pisau. Dalam bahasa itu sendiri, yang hanya berupa bunyi dan grafis, membuat orang berjatuhan dan malahan membunuh diri. Di dalamnya terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi nama komunikasi. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta realitas dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan hal yang tersembunyi sehingga 14 menjadi kenyataan. Tetapi bahasa yang sama akan dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain (Sobur, 2009:16). Bahasa bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga dapat menciptakan realitas. Kita bisa mengacu pada konsepsi Saussure mengenai tanda (sign). Dalam setiap tanda selalu terdapat penanda (signifier) dan tertanda (signified). Tertanda menunjuk pada konsep sementara penanda adalah bunyi ujaran, tulisan, gambar, kata yang mewakili tertanda. Tertanda di sini mengacu pada konsep bukan objek itu sendiri (Eriyanto, 2009:120). Menurut Halliday (Sobur, 2009: 17), secara makro fungsi-fungsi bahasa dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Fungsi ideasional : untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas hubungan di antara anggota masyarakat. 2) Fungsi interpersonal : untuk menyampaikan informasi di antara anggota masyarakat. 3) Fungsi tekstual : untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi. Teks Sebuah teks adalah jalinan unsur secara bersama-sama dari sebuah (atau beberapa) kode untuk mengungkapkan sesuatu (Danesi, 2010: 52). Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya (Eriyanto, 2009:9). Salah satu definisi ―teks‖ yang paling dikenal luas berasal dari de 15 Beaugrande & Dessler (Titscher, 2009: 34). Mereka mendefinisikan teks sebagai sebuah ‗peristiwa komunikatif‘ yang harus memenuhi beberapa syarat, yakni tujuh kriteria teks. Menurut definisi ini, tanda lalu lintas, artikel di surat kabar, argument dan novel semuanya merupakan teks yang berhubungan dengan kaidah-kaidah genre-genre atau tipe-tipe teks tertentu. Semua genre yang disebutkan memiliki ciri-ciri linguistik tertentu, memenuhi fungsi tertentu dan terikat pada situasi-situasi pemroduksian dan penerimaan tertentu (Swales 1991 dalam Titscher, 2009: 35). Kriteria teks tujuh dimensi de Beaugrande dan Dressler adalah sebagai berikut; (1) Kohesi berkaitan dengan komponen dan permukaan tekstual, yakni keterhubungan ‗sintaksis teks‘ bagaimana kalimat (bentuk, sususan) yang dipilih. (2) Koherensi (semantik tekstual) menyusun makna sebuah teks. (3) Intensionalitas berhubungan dengan sikap dan tujuan produser teks. (4) Akseptabilitas merupakan cerminan intensionalitas. Sebuah teks harus diakui oleh resipien-resipien dalam sebuah situasi tertentu. (5) Informativitas mengacu pada kuantitas informasi baru atau yang diharapkan dalam teks. Informativitas tidak hanya berhubungan dengan kuantitas, namun juga kualitas dari hal yang ditawarkan. (6) Situasional berarti bahwa konstelasi-pembicaraan dan situasi tuturan memainkan peran penting dalam pemroduksian teks (Wodak dkk, 1989 dalam Titscher, 2009: 36). (7) Intertekstualitas menyatakan bahwa suatu teks hampir selalu terkait dengan wacana 16 sebelumnya, atau wacana yang muncul secara bersamaan dan, di sisi lain, intertekstualitas juga menyiratkan kalau ada kriteria formal yang menghubungkan teks-teks tertentu dengan teks-teks lain dalam genregenre atau jenis teks-teks tertentu. Bagi Barthes (Sobur, 2009: 52) teks adalah sebuah objek kenikmatan, sebagaimana diproklamasikannya dalam buku Sade/ Fourier/Loyola: “The text is an object of pleasure (Teks adalah objek kenikmatan). Kenikmatan dalam membaca itu dilukiskan Barthes (1975 dalam Kurniawan 2001 dalam Sobur, 2009: 52) seperti ini: Apa yang aku senangi dalam sebuah cerita, bukan secara langsung isinya, bahkan bukan pula strukturnya, tetapi pengikisan yang aku terapkan pada permukaan dasarnya: aku ngebut ke depan, aku lewatkan, aku perhatikan, aku cari, aku masuk ke dalam lagi. Ricoeur mengajukan suatu definisi yang mengatakan bahwa teks adalah wacana (berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan. Dengan demikian jelas bahwa teks adalah ―fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan‖ (Hidayat, 1996 dalam Sobur, 2009: 53). Teks juga bisa diartikan sebagai ―seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dengan kode-kode tertentu‖ (Budiman, 1999 dalam Sobur, 2009: 53). Sebuah teks pada dasarnya tidak dapat dilepaskan sama sekali dengan teks lain. Sebuah karya sastra, misalnya baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, 17 bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus (Ratih, dalam Jabrohim, 2001 dalam Sobur, 2009: 54). Suatu karya sastra yang berwujud teks dan tertulis dengan bahasa yang khas itu tidak akan berfungsi jika tidak ada pembacanya yang menjadi penyambut, penafsir, dan pemberi makna. Konteks Konteks adalah lingkungan yang dimasuki sebuah kata. Konteks dapat membuat perbedaan pengertian yang sangat menyolok. Bahkan kombinasi yang sama dari kata-kata dapat menghasilkan makna yang sangat berbeda dalam lingkungan kontekstual (Keraf, 2010: 67). Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi : siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan lain sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks 18 tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama (Eriyanto, 2009: 8-9). Menurut Gorys Keraf, konteks terbagi menjadi dua jenis, yakni konteks nonlinguistis dan konteks linguistis. Konteks nonlinguistis mencakup dua hal, yaitu hubungan antara kata dan barang atau hal, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat atau juga disebut konteks sosial. Konteks linguistis adalah hubungan antara unsur bahasa yang satu dengan unsur bahasa yang lain. Konteks linguistis mencakup konteks hubungan antara kata dengan kata dalam kata dalam frasa atau kalimat, hubungan antara frasa dalam sebuah kalimat atau wacana, dan juga hubungan antara kalimat dalam wacana (Keraf, 2010: 32-33). Pada dasarnya, konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: (1) konteks fisik (physical context) yang menjadi meliput tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar; (3) konteks linguistik (linguistics context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu pada peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi 19 hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar (Sobur, 2009: 57). Makna Makna, sebagaimana dikemukakan oleh Fisher (Sobur, 2009: 19), merupakan konsep yang abstrak, yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritisi ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan ―ultrarealitas‖. Menurut Strawson (Eco, 2009: 244) makna adalah fungsi sebuah kalimat atau ekspresi; penyebutan dan perujukan, dan kebenaran dan dusta, semua itu adalah fungsi dari penggunaan kalimat atau ekspresi. Menurut DeVito, makna ada dalam diri manusia, makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan (DeVito dalam Sobur, 2009: 20). Semua ahli komunikasi seperti yang dikutip Jalaluddin Rakhmat, sepakat bahwa makna kata sangat subjektif. Word’s don’t mean, people mean. Ada tiga hal yang dijelaskan para filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni : (1) menjelaskan makna secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson, dalam Pateda dalam Sobur, 2009: 23). 20 Ada beberapa pendapat mengenai jenis atau tipe makna. Bredbeck mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Salah satu jenis makna, menurut tipologi Bredbeck, adalah makna referensial; yakni makna suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah tersebut. Tipe makna yang kedua adalah arti istilah itu. Dengan kata lain, lambang atau istilah itu ―berarti‖ sejauh ia berhubungan secara ―sah‖ dengan istilah yang lain, konsep yang lain. Tipe makna yang ketiga mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti bahwa arti sebuah istilah atau lambang tergantung pada apa yang dimaksudkan pemakain dengan arti lambang itu. Meski begitu, pada umumnya makna kata pertama-tama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif; sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum dinamakan makna konotatif atau konotasi (Sobur, 2009: 25-26). 3. Konstruksi Realitas Sosial Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial yang nisbi, yang berlaku sesuai 21 konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2008: 187). Max weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial itu menjadi ―sosial‖, oleh weber dikatakan, kalau yang dimaksud subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakukan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat. Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008: 188-189). Menurut Berger dan Luckmann (Bungin, 2008: 192) realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Menurut 22 Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Realitas sosial adalah proses dialektika yang berlangsung dalam proses simultan: (1) eskternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi; (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin, 2010: 83). 4. Pendekatan Analisis Wacana Kritis Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya. Firth (syamsuddin, 1992:2) mengemukakan bahwa language was only meaningful its context of situation. Jadi, pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan kata lain, makna bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi (Darma, 2009: 1). Ditinjau dari kelengkapan unsurnya, wacana merupakan unit bahasa yang paling lengkap unsurnya. Wacana tidak hanya didukung oleh unsur nonsegmental dan suprasegmental. Harimurti Kridalaksana dalam kamus linguistiknya mengemukakan bahwa, wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarkis gramatikal tertinggi atau 23 terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya. Wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar. Sedangkan unsur nonsegmental dalam sebuah wacana pada hakikatnya berhubungan dengan situasi, waktu, gambaran, tujuan, makna, intonasi, dan tekanan dalam pemakaian bahasa, serta rasa bahasa yang sering kita kenal dengan istilah konteks (Darma, 2009: 3). Jika dilihat dari fungsi wacana sebagai media komunikasi, wujud wacana itu dapat berupa rangkaian tuturan lisan maupun tulisan. Wacana di dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang mendalam. Menurut Fairclough (1995), wacana adalah bahasa yang digunakan untuk memrepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu. (Riggins, 1997; Eriyanto, 2001; Darma, 2009: 9), wacana berkaitan erat dengan kegiatan komunikasi yang substansinya tidak terlepas dari kata, bahasa, atau ayat. Dalam (Sobur, 2001) wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. 24 Jadi, wacana adalah proses komunikasi yang menggunakan simbolsimbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan dan lain-lain (Darma, 2009: 10). Analisis wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi. Stubbs (1983:1) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan atau tulis. Selanjutnya Stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekankan kajiannya pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antarpenutur. Jadi, jelasnya analisis wacana bertujuan mencari keteraturan bukan kaidah. Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis (Darma, 2009: 15). Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) 25 bahasa. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Sobur, 2009: 48). Analisis wacana tidak hanya digunakan dalam kajian disiplin Ilmu Komunikasi, tetapi juga sering digunakan dalam kajian Ilmu Sastra. Perbedaan yang mencolok antara kajian analisis wacana dalam ilmu komunikasi dan ilmu sastra dapat terlihat dengan jelas. Analisis wacana dalam ilmu komunikasi, mengkaji pesan yang disampaikan penulis atau si pembuat wacana dalam teks yang diproduksinya. Sedangkan dalam ilmu sastra, analisis wacana membahas soal struktur bahasa dan kalimat yang digunakan penulis atau penghasil wacana pada teks yang dihasilkannya. Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya dalam konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu, harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang 26 diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan (Darma, 2009: 49). Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana—pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan—sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi. Wacana dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui perbedaan representasi dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran/alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya (Eriyanto, 2009:7). Analisis wacana kritis digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks dan ucapan. Analisis wacana kritis berkaitan dengan studi dan analisis teks serta ucapan untuk menunjukkan sumber diskursif, yaitu kekuatan, kekuasaan, ketidaksetaraan, ketidakadilan dan prasangka. Habermas (1973) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis, bahwa analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya dengan 27 ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana kritis adalah mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. analisis wacana kritis bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Analisis wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman, dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan) (Fairclough, 2000 dalam Darma 2009: 53). Analisis wacana kritis mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui wacana, Fairclough (1998) mengemukakan bahwa analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana menampilkan efek ideologi. Ideologi sendiri adalah sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum adalah produksi makna dan gagasan. Ideologi ini dikonstruksi oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strateginya adalah membuat kesadaran khalayak, bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Ideologi dalam hal ini secara 28 inheren bersifat sosial dan analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial. Beberapa ciri analisis wacana kritis dikemukakan oleh Fairclough (1992b) yang menggabungkan antara kajian linguistik tentang pemikiran sosial politik yang relevan dengan pengembangan teori sosial dan bahasa. untuk merealisasikannya Fairclough mengajukan pendekatan tiga dimensi, bahwa suatu pemunculan wacana dipandang secara simultan sebagai sebuah teks praktik diskursif dan praktik sosial (Darma, 2009: 56-58). Fairclough (1985:98) menggambarkan tiga dimensi analisis wacana kritis secara simultan, yaitu analisis teks, analisis praktis wacana, dan analisis praktis sosiokultural yang digambarkan sebagai berikut. Proses produksi analisis teks analisis pemrosesan Teks Proses interpretasi, praksis wacana analisis sosial Praksis sosiokultural Situasi, konstruksi, masyarakat dimensi wacana dimensi analisis wacana Gambar 1: tiga dimensi analisis wacana kritis Norman Fairclough (Sumber Fairclough, 1995, Darma, 2009: 81) Dari gambar di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa tiga langkah analisis wacana kritis (deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi) 29 bersifat simultan sesuai dengan asumsi dasar hubungan antara struktur mikro (teks) dan struktur makro (institusi sosial dan masyarkat) yang bersifat dialektis. Analisis teks merupakan kegiatan pemberian linguistik dan bahasa teks. Seperti van Dijk, analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahwa dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian Fairclough adalah melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologi tertentu. Dalam hal ini dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan kritis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipisahkan pada bagian bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu (Fairclough, 1998. Darma, 2009: 89). Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini adalah skema atau kerangka penelitan penulis: 30 Novel To Kill a Mockingbird 1. Teks 2. Kognisi Sosial 3. Konteks Sosial Konstruksi realitas sosial Analisis Wacana Norman Fairclough Representasi nilai rasisme Gambar 2: Kerangka konseptual E. Definisi Operasional Representasi adalah bagaimana penulis novel To Kill a Mockingbird dalam hal ini Harper Lee menampilkan, menunjukkan dan mendeskripsikan rasisme dalam novelnya melalui penggunaan bahasa yang dipilih dalam penyusunan novelnya. Rasisme adalah suatu kepercayaan atau doktrin yang menganggap bahwa suatu kelompok masyarakat atau ras (ras mayoritas) memiliki kedudukan, kecerdasan dan peradaban yang lebih dibandingkan kelompok masyarakat lain (ras minoritas) yang dilihat dari bentuk fisik dari masyarakat atau kelompok tersebut, seperti warna kulit, bentuk wajah, dan lain sebagainya. Doktrin atau kepercayaan ini akhirnya membolehkan adanya perlakuan 31 kasar, perbudakan, penyiksaan pada ras minoritas yang dianggap tidak memiliki derajat yang sama dengan ras yang lebih mayoritas. Analisis Wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi. Analisis wacana mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang tersembunyi dalam sebuah teks. Novel To Kill a Mockingbird adalah novel fiksi karya Harper Lee yang menceritakan tentang kehidupan seorang anak perempuan dan kakaknya di kota Maycomb, Alabama, pada tahun 1930-an. Novel ini mengalir lewat narasi seorang gadis delapan tahun, Scout Finch, yang menceritakan semua yang dialaminya di lingkungan tempat tinggalnya, termasuk tentang sebuah prasangka yang sering kali membutakan manusia, dan sebuah keadilan hanya dapat dilahirkan dari rasa cinta yang tak membedakan apa pun latar belakang seseorang. Novel ini pertama kali diterbitkan tahun 1960,dan telah terjual lebih dari 30 juta kopi di seluruh dunia. F. Metode Penelitian a. Waktu dan Objek Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu penelitian dimulai pada bulan Juni 2011, dimana penulis telah melakukan pra penelitian dengan membaca literatur yang berhubungan dengan objek yang diteliti oleh penulis. Sehingga penelitian ini bisa selesai pada bulan September 2011. 32 2. Objek Penelitian Objek yang diteliti adalah novel yang berjudul To Kill A Mockingbird sebuah novel terjemahan karya Harper Lee, yang merupakan cetakan keempat tahun 2008 dalam versi Bahasa Indonesia. Novel ini dibagi ke dalam dua bagian dan terdiri dari 31 bab. Novel ini pertama kali diterbitkan dalam versi Bahasa Inggris pada tahun 1960. Versi Bahasa Indonesia dari novel ini diterbitkan pertama kali pada bulan April 2008. b. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas (Kriyantono, 2008:56). Pendekatan deskriptif bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Riset ini untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel (Kriyantono, 2008: 67-68). Penelitian sosial menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk mengkritisi kelemahan penelitian kuantitatif ( yang 33 terlalu positivisme), serta juga bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2010: 68). c. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penulis berdasarkan kebutuhan dalam penganalisisan dan pengkajian objek yang diteliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini sudah dilakukan sejak penulis menentukan permasalah yang dibahas. Pengumpulan data yang dilakukan adalah: 1. Pengumpulan data berupa buku To Kill A Mockingbird karya Harper Lee serta sejumlah data yang terkait dengan objek penelitian yang dikaji seperti seperti berita-berita terkait, biografi penulis/penerjemah dan dokumen-dokumen lainnya. 2. Penelitian pustaka dengan mengkaji dan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas. 3. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat 34 dipertanggungjawabkan secara akademis. Peneliti memilih sumbersumber data online yang kredibel dan dikenal banyak kalangan. d. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis wacana yang dikembangkan oleh Norman Fairclough. Seperti van Dijk, analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektif dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. 35 Teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Fairclough juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut. Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaiman sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di penulis dengan pembaca. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas penulis dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks pada dasarnya dihasilkan lewat produksi teks yang berbeda. Proses konsumsi teks bisa jadi juga berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula. Konsumsi juga bisa dihasilkan secara personal ketika seseorang mengkonsumsi teks atau secara kolektif. Sementara dalam distribusi teks, tergantung pada pola dan jenis teks dan bagaimana sifat institusi yang melekat dalam teks tersebut. Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteksi di luar teks. Konteks di sini 36 memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktik institusi dari media sendiri dengan hubungannya dengan masyarakat, atau budaya dan politik tertentu. Ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Produksi teks TEKS Konsumsi teks DISCOURSE PRACTICE SOCIOCULTURAL PRACTICE Gambar 3 : Model dari analisis Norman Fairclough (Sumber: Eriyanto, 2009: 288) Sebelum dimensi tersebut dianalisis, kita perlu melihat praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagai order of discourse. Order of discourse adalah hubungan di antara tipe yang berbeda, seperti tipe diskursif, ruang kelas, dan kerja, semuanya memberikan batas-batas bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Bukan hanya pada struktur wacana, apa yang dibicarakan, tetapi juga pemakai bahasa yang berbeda-beda pula. Pemakai bahasa menyesuaikan dengan praktik diskursif di tempat di mana ia berada, ia tidak bebas memakai bahasa. Ketika menganalisis teks, perlu dilihat dulu order of discourse. Ini akan membantu peneliti untuk memaknai teks, proses produksi dari teks, dan konteks sosial dari teks yang dihasilkan. 37