BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan ibu serta anak keturunan ayah dan ibu (Muhammad, 2011:20). Lebih lanjut, keluarga terdiri dari kumpulan dua orang atau lebih individu yang terkait dengan hubungan darah (anak sedarah atau adopsi) dengan tinggal di satu rumah atau berdekatan satu sama lain, memiliki ikatan emosi dan peran yang berhubungan, serta saling memiliki dan menyayangi (Silalahi & Meinarno, 2010:323). Memiliki keluarga harmonis dengan anggota lengkap, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak kandung merupakan impian banyak orang. Akan tetapi, tak selamanya sebuah keluarga akan terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak kandung. Salah satu fenomena yang kerap dijumpai adalah keberadaan orangtua tunggal atau yang dikenal dengan istilah single parent. Keluarga dengan single parent adalah keluarga yang hanya terdiri dari satu orangtua yang mana mereka secara sendiri membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya, serta hidup bersama dengan anak-anaknya dalam satu rumah (sumber: www.psychologymania.com, diakses pada 10 Maret 2014). 1 Menurut Pickhardt (1996:1), menjadi single parent umumnya merupakan hasil dari perceraian, menjanda (karena kematian), dan ditinggalkan. Single parent yang hanya dilakoni oleh Ibu tunggal dapat disebut sebagai single mother. Menurut Hamner dan Turner (1990:193), single mother adalah wanita yang ditinggalkan oleh suami atau pasangan hidupnya baik karena terpisah, bercerai, atau meninggal dunia untuk kemudian memutuskan untuk tidak menikah melainkan membesarkan anak-anaknya seorang lain. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, salah satu faktor seorang wanita menjadi single mother adalah karena pasangannya meninggal dunia. Meninggalnya seseorang merupakan suatu kondisi yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan manusia. Manusia tidak memiliki kendali atas kematian tersebut. Untuk itu, setiap anggota keluarga diharapkan dapat siap menghadapi dan menerima kondisi itu. Kematian itu sendiri tidak hanya memengaruhi orang yang mati, namun juga mereka yang ditinggalkan (Upton, 2013:244). Sebagai konsekuensinya, orang yang ditinggalkan harus mengemban tanggung jawab sebagai orangtua satu-satunya. Otomatis perannya akan berubah secara dramatis (Pickhardt, 1996:1). Di Indonesia, berdasarkan data dari Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah perempuan yang menjadi single parent jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Laki-laki yang menjadi duda karena kematian istrinya berjumlah 1.610.753 orang. Sedangkan, perempuan yang menjadi janda karena kematian suaminya berjumlah 7.069.391 2 orang. Berikut data SUPAS 2005 mengenai single mother dan single father yang pasangannya meninggal dunia di Indonesia. Tabel 1.1 Data Perempuan dan Laki-laki Single Parent (Cerai Mati) di Indonesia (sumber: www.datastatistik-indonesia.com, diakses pada 20 Maret 2014) Data di atas menunjukkan bahwa sekitar tujuh juta Ibu di Indonesia yang suaminya meninggal dunia harus menjalankan perannya sebagai single mother. Itu artinya, banyak Ibu di Indonesia akan menjadi single fighter dengan tetap menjalankan suatu keluarga dan bertahan hidup mesti tanpa didampingi pasangannya. Menyandang status baru sebagai single mother karena kematian suami tentu akan meninggalkan peran dan beban baru dalam hidupnya. Single mother 3 harus mampu berperan ganda menjadi ibu yang membesarkan serta mendidik anak sekaligus ayah yang harus mencari nafkah. Sebagai orangtua tunggal, mau tidak mau mereka dituntut untuk bisa mengatur segalanya seorang diri. Hal ini menyebabkan single mother yang ditinggal meninggal suami lebih banyak menghadapi berbagai tuntutan serta beban berat dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan single mother yang bercerai karena masih bisa membagi tugas dan tanggung jawab rumah tangganya dengan pasangannya. Salah satu tugas utama yang menjadi perjuangan berat bagi single mother adalah masalah anak. Ketiadaan salah satu orangtua dapat memberi pengaruh yang besar pada pertumbuhan anak. Anak dapat tumbuh menjadi sosok yang memiliki konsep diri positif maupun negatif. Hasil penelitian Utami Munanndar menyatakan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang mempunyai orangtua tunggal akan terpukul dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah, suka melamun, bahkan suka menyendiri (dalam penelitian Isti’anah, diakses 10 Maret 2014). Walaupun demikian, tak sedikit dari single mother yang berhasil membesarkan anaknya hingga tumbuh menjadi sosok mandiri, seperti kisah berikut, yaitu seorang Ibu bernama Shalily harus membesarkan delapan anaknya sendiri, karena suaminya meninggal. Walau demikian, ia berhasil membesarkan, mendidik, serta mengantarkan anak-anaknya untuk hidup mandiri dan memiliki pekerjaan. Enam orang anak diantaranya kini berstatus sebagai PNS dan dua 4 lainnya telah berpenghasilan tetap menjadi bidan di Aceh Tengah (sumber: www.lintasgayo.com, diterbitkan pada 22 Oktober 2010). Selain itu, tak jauh berbeda dengan kisah Ibu Shalily, di Jember, seorang ibu bernama Soekismiati juga ditinggal suaminya karena meninggal dunia. Namun, Ia berhasil mendidik anaknya hingga tiga di antara lima anaknya berhasil meraih gelar doktor di Universitas Indonesia (sumber: harianrakyatbengkulu.com, diterbitkan pada 27 Juli 2013). Pada dasarnya, keutuhan orangtua dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan terutama dalam proses pertumbuhan anak. Oleh karena itu, apabila anak hanya diasuh oleh Ibu tunggal, maka anak akan kehilangan figur seorang ayah. Padahal, faktor paling penting dalam pertumbuhan anak-anak adalah dengan kehadiran sosok ayah yang memegang teguh nilai-nilai keluarga, yang mampu memagari anak-anak dari ancaman-ancaman luar, dan yang senantiasa memperbesar lingkaran kekuatan mereka (Kristo, 2013:20). Kehadiran ayah begitu penting, karena merupakan tempat bagi anak untuk belajar bertingkah laku. Selain itu, ayah juga merupakan sosok yang menjadi panutan bagi keluarga khususnya anak-anak (Kristio, 2013:99). Dengan hilangnya figur Ayah, anak akan kehilangan tokoh identitas. Menurut Ketua Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dr Seto Mulyadi, sosok seorang ayah dibutuhkan oleh anak laki-laki maupun perempuan karena anak membutuhkan model perilaku maskulin dari ayahnya (sumber: female.kompas.com, diterbitkan pada 12 November 2011). Dengan demikian, menggantikan peran ayah dalam 5 keluarga bukanlah hal mudah bagi seorang single mother. Ketika mengasuh anak seorang diri, tanggung jawab bisa terasa berlimpah (Pickhardt, 1996:46). Orangtua juga berperan dan bertanggung jawab dalam mengasuh, membimbing, serta membantu anak agar tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Kemandirian seorang anak dapat dibentuk oleh keluarga dan lingkungan. Akan tetapi, faktor utamanya adalah keluarga, karena keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam pembentukan kemandirian anak (Mu’tadin dkk, 2002). Karena tanggung jawab yang besar dari single mother, maka ia harus menanamkan nilai kemandirian pada anaknya sehingga ke depannya, beban yang ditanggung dapat berkurang. Untuk menanamkan kemandirian pada anak tersebut, orangtua dapat mengajar dan membimbing anak untuk melakukan rutinitas kecil. Dengan begitu, anak akan termotivasi sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan diri dan mengurangi ketergantungan. Contohnya, mengutip perkataan Dorothy Law “Jika seorang anak hidup dengan dukungan semangat, ia akan belajar untuk percaya diri." (Rakhmat, 2008:103). Selain itu, komunikasi juga merupakan salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan orangtua dalam membangun kemandirian pada anak. Bagaimana seorang ibu dapat lebih mendekatkan dirinya kepada sang anak paska pasangannya meninggal dunia dan bagaimana Ia dapat mengomunikasikan keadaannya sebagai single mother serta perannya yang harus menonjolkan sisi 6 maskulinnya dengan bekerja, tapi tetap tidak melupakan sisi feminimnya dalam mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya. Melihat hal tersebut, maka komunikasi interpersonal berperan sangat penting dalam membangun kemandirian anak. Komunikasi interpersonal sendiri merupakan komunikasi yang terjalin antara dua orang atau lebih dalam sebuah kelompok kecil yang terlibat dalam hubungan yang dekat, biasanya hubungan diadik (Devito, 2009:456). Menurut Effendy, komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan (Sunarto, 2003:13). Komunikasi interpersonal dapat menciptakan hubungan keluarga yang dekat, akrab, dan terbuka satu sama lain. Oleh karena itu, agar proses membangun kemandirian yang dilakukan melalui komunikasi interpersonal dapat lebih efektif, single mother harus memiliki kemampuan untuk membuat penyesuaian sesuai dengan dimensi kemampuan yang spesifik (DeVito, 2009:163) DeVito (2009:163) mengemukakan, dimensi kemampuan yang dapat menentukan efektivitas dalam komunikasi bisa disebut sebagai keterampilan komunikasi interpersonal. Keterampilan komunikasi interpersonal terbagi ke dalam dua belas kemampuan, yakni dialog, kesadaran, fleksibilitas, sensitivitas budaya, metakomunikasi, keterbukaan, empati, sikap positif, kedekatan, manajemen interaksi, ekspresivitas, dan orientasi lainnya (DeVito, 2009:163). 7 Melihat betapa pentingnya keterampilan komunikasi interpersonal dari single mother dalam membangun kemandirian pada anaknya, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana keterampilan komunikasi seorang single mother yang dapat berperan ganda sebagai ibu sekaligus ayah pada umumnya dalam membangun kemandirian pada anaknya untuk kemudian dijadikan penelitian ilmiah kualitatif. Penelitian ini akan difokuskan pada bagaimana keterampilan komunikasi interpersonal single mother dalam membangun kemandirian pada anaknya. Single mother dalam hal ini adalah seorang Ibu yang ditinggal oleh suaminya karena meninggal dan anaknya adalah anak kandung yang hanya tinggal bersama dengan Ibunya. Oleh karena itu, topik penelitian ini adalah keterampilan komunikasi interpersonal seorang single mother dalam membangun kemandirian anak. 1.2. Rumusan Masalah Bagaimana keterampilan komunikasi interpersonal seorang single mother dalam membangun kemandirian anak? 1.3. Tujuan Penelitian Untuk memahami keterampilan komunikasi interpersonal seorang single mother dalam membangun kemandirian anak. 8 1.4. Manfaat Penelitian Akademik - Memberi kontribusi pada teori ilmu komunikasi khususnya komunikasi interpersonal yang digunakan dalam penelitian ini. Memberi kontribusi pada aspek metodologis dalam ilmu komunikasi. Praktis - Menjadi acuan bagi peneliti lainnya yang akan melakukan penelitian dengan topik sejenis. - Memberi masukan atau referensi bagi masyarakat khususnya orangtua tunggal, agat mereka dapat mengetahui komunikasi yang tepat yang disampaikan kepada anaknya dalam rangka membangun kemandirian anak. 9