PROPOSAL TUGAS AKHIR

advertisement
PROPOSAL TUGAS AKHIR
“ Geologi Dan Studi Kontrol Struktur Geologi terhadap Mineralisasi daerah
Gunung Bujang, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun,
provinsi Jambi”
Oleh :
Willson Chani Simanjuntak
H1F008004
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Melaksanakan Penelitian
pada Pendidikan Strata Satu Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
PURWOKERTO
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tugas Akhir adalah mata kuliah wajib dalam pendidikan tingkat sarjana
(S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas
Jenderal Soedirman. Tugas Akhir tersebut berupa penelitian studi khusus dan
pemetaan yang dilakukan oleh mahasiswa. Penelitian ini dilakukan di daerah
Gunung Bujang dan sekitarnya, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi, bekerjasama dengan PT.Antam Tbk. (Aneka Tambang).
PT. Antam Tbk. (Aneka Tambang) merupakan salah satu Perusahaan
BUMN yang sedang melakukan penambangan bijih emas di beberapa lokasi
antara lain tambang Jambi (Sumatera Selatan), Pongkor (Jabar), Cibaliung
(Banten), Papandayan (Jabar). Endapan bijih di lokasi penelitian ditemukan dalam
bentuk vein/urat, salah satu indikator yang berpengaruh terhadap kehadiran uraturat pembawa bijih berharga adalah struktur rekahan (sesar, kekar). Jaringan
kekar yang berkembang merupakan jalan bagi late magmatic yang mengisi dan
mengendapkan mineral-mineral bijih (Heru Sigit P, 2000). Adanya pengaruh
struktur geologi terhadap perkembangan mineralisasi ini sangat menarik untuk
diteliti, berdasarkan pertimbangan di atas maka penulis meneliti lebih lanjut
mengenai kontrol struktur geologi yang berpengaruh pada alterasi-mineralisasi.
Kajian lapangan merupakan dasar utama dalam melakukan interpretasi
terhadap kondisi geologi suatu wilayah khususnya daerah Gunung Bujang dan
sekitarnya. Dengan adanya data lapangan dapat menemukan hubungan geologi
yang ada, berdasarkan interpretasi dari konsep, teori, hipotesis, dan model yang
sudah ada. Kajian ini selanjutnya berguna dalam merekonstruksi kondisi geologi
suatu daerah secara khusus berkaitan dengan kontrol struktur terhadap
mineralisasi daerah penelitian, yang kemudian dapat diaplikasikan dalam berbagai
hal,
seperti
pemanfaatan
sumberdaya
mineral
(mengenai
alterasi
dan
mineralisasi), energi, kerekayasaan, mitigasi kebencanaan, ataupun untuk
kepentingan riset – riset ilmiah.
2
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif yang berupa analisis kesebandingan antara hasil penelitian penyusun
(menggunakan metode survei untuk memperoleh fakta dari gejala – gejala yang
ada dan mencari keterangan secara faktual di lapangan) dengan para peneliti
terdahulu.
1.2.Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat menyelesaikan
studi Program Sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Sains dan
Teknik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah
penelitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi sebagai
indikator keberadaan urat (vein), dan sumberdaya mineralisasi dengan melakukan
pemetaan permukaan dan analisa laboratorium.
1.3. Perumusan Masalah
Suatu penelitian yang dilakukan agar lebih fokus dan mengarah sesuai
dengan tujuan penelitian, maka diperlukan adanya perumusan masalah.
Adapun pokok masalah yang diharapkan terjawab dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana kondisi geologi (geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi)
daerah penelitian?
2. Bagaimana sejarah geologi daerah penelitian?
3. Bagaimanakah mineralisasi yang berkembang pada daerah penelitian?
4. Bagaimana hubungan struktur geologi dan sumberdaya mineralisasi daerah
penelitian?
1.4.Pembatasan Masalah
Studi geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hal
tersebut didasarkan pada kajian lapangan berupa pemetaan satuan – satuan batuan
dan memerikan hubungan satu sama lainnya dalam ruang dan waktu geologi,
berdasarkan konsep litostratigrafi, dan pemetaan detil daerah penelitian, serta
didukung oleh analisa laboratorium. Ditambah lagi dengan pembahasan mengenai
hubungan struktur dan sumberdaya mineralisasi daerah penelitian.
3
1.5. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah Penelitian
Lokasi penelitian merupakan salah satu daerah eksplorasi PT. Aneka
Tambang Tbk., yang secara administratif berada di daerah Gunung Bujang,
Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi(Gambar 1.1).
Lokasi penelitian memiliki luasan sebesar 5 km x 5 km. Lokasi penelitian berjarak
± 30 menit perjalanan dari keberangkatan bandara Soekarno-Hatta (Jakarta)
berada di utarakotaJambi, dapat ditempuh dalam waktu ± 7 jam perjalanan dari
kota Jambi dengan menggunakan mini bus.
Daerah Penelitian
Gambar 1.1. Peta Lokasi daerah Penelitian sumber http://geospasial.bnpb.go.id
4
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Batanghari, sebelah timur
berbatasan dengan Musi Rawas, sebelah selatan berbatasan dengan Rajanglebong,
dan sebelah barat bersebelahan dengan Kabupaten Merangin.
5
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1. GEOLOGI
A. Fisiografi dan Geomorfologi Regional
Fisiografi Pulau Sumatera dibentuk oleh rangkaian Pegunungan Barisan di
sepanjang sisi baratnya, yang memisahkan pantai barat dan pantai timur.
Lerengnya mengarah ke Samudera Indonesia dan pada umumnya curam. Hal ini
mengakibatkan jalur pantai barat kebanyakan bergunung-gunung kecuali dua
ambang dataran rendah di Sumatera Utara (Melaboh dan Singkel/Singkil) yang
lebarnya ±20 km. Sisi timur dari pantai Sumatra ini terdiri dari lapisan tersier
yang sangat luas serta berbukit-bukit dan berupa tanah rendah aluvial.
Jalur rendah terdapat di bagian timur. Pada bagian ini banyak mengandung
biji intan tersebar di Aceh yang lebarnya 30 km. Semakin ke arah selatan semakin
melebar dan bertambah hingga 150-200 km yang terdapat di Sumatra Tengah dan
Sumatra Selatan.
1. Rangkaian Bukit Barisan.
Elemen orografis yang utama adalah Bukit Barisan yang panjangnya 1650
km dan lebarnya ±100 km (puncak tertingginya ialah Gunung Kerinci dan
Gunung Indrapura 3800 m). Bukit Barisan merupakan rangkaian sejumlah
pegunungan yang sejajar atau colisses yang setelah cabang lainnya ke luar dari
arah pokok barat laut tenggara, dikatakan bahwa arahnya lebih ke arah timur barat
dan merosot (menurun) ke arah tanah rendah di bagian timur. Di antara Sungai
Wampu dan Barumun merupakan Pegunungan Barisan yang bercorak empat
persegi panjang (sumbu barat laut tenggara 275 km panjangnya dan 150 km
lebarnya). Puncak ini disebut Batak Tumor. Pada bagian puncak yang mempunyai
7 ketinggian 2000 m (sibutan 2457 m) terdapat kawah besar Toba yang
panjangnya 31 km, serta luasnya 2269 km2, sedangkan Danau Toba panjangnya
7 km dan luasnya 1776,5 km2 (termasuk Pulau Samosir).
Sistem Barisan di Sumatra Tengah terdiri dari beberapa pegunungan blok.
Bagian yang paling sempit pada peralihan Batak Tumor (75 m) yang kemudian
melebar menjadi 175 m pada irisan penampang bukit Padang. Perbukitan yang
6
tertinggi terletak di bagian barat daya dengan ketinggian lebih dari 2000 m,
kemudian berangsur-angsur semakin rendah ke arah dataran rendah Sumatra
Timur (Lisun-Kuantan-Lalo 1000 m dan Suligi Lipat Kain ketinggiannya lebih
dari 500 m).
TOBLER (1971) membedakan elemen-elemen tektonis dan morfologi
Sumatra sebagai berikut:
a. Dataran alluvial terbentang di pantai timur.
b. Tanah endapan/ Foreland tersier (peneplain) dengan Pegunungan Tiga Puluh
c. Depresi sub Barisan
d. Barisan depan / fore barisandengan masa lipatan berlebihan (over thrust
masses)
e. Scheifer Barisan dengan lipatan yang hebat dan batuan metamorf.
f. Barisan tinggi/ High Barisan dengan vulkan- vulkan muda.
g. Dataran alluvial terbentang di pantai barat.
Berdasarkan kajian perkembangan geologi, Pulau Sumatra dibedakan
menjadi: Basin Tersier di Sumatra Timur (a-c) disebut zone I, rangkaian
pegunungan berbongkah di sebelah utara Umbilin disebut zone II, Fore barisan
merupakan zone III, The Schiefer Barisan (e) tergolong zone IV kecuali zone
Schiefer Barisan di sebelah utara Padang, dan High Barisan (f) termasuk zone V.
Zone II dan III termasuk unsur luar terletak di sisi timur dari Bukit Barisan.
Lengkung geantiklin di Bukit Barisan terangkat pada zaman Pleistosen
merupakan zone IV dan V.
Elemen-elemen tektonis dan morfologi Sumatra (Verstappen) Dataran
pantai barat (pantai abrasi), merupakan daerah yang sempit, bahaya 8 terkena
erosi dan abrasi, pantainya berpasir dan tidak cocok untuk dijadikan sebagai
permukiman.
 Landas Bengkulu. Merupakan kawasan lahan rusak di sebelah barat bukit
barisan dan banyak tererosi, serta memiliki lereng yang terjal.
 Deretan pegunungan vulkan muda. Daerahnya sempit dan erosinya tinggi.
 Depresi sub barisan (lembah bongkah semangka). Tidak cocok sebagi
tempat hidup karena sangat sempit.
7
 Daerah Basalt Sukadana Lampung. Irigasnya sangat sulit karena tidak
terdapat simpanan air.Landaian sebelah timur. Cocok bila dijadikan sebagai
tempat hidup karena tanahnya datar. Dimanfaatkan sebagai daerah
transmigrasi. Daerah ini berkembang menjadi daerah transmigrasi terluas di
Sumatera.
 Dataran aluvial pantai timur. Merupakan daerah Rawa Payau.
2. Zone Semangko
Zone ini merupakan suatu corak permukaan yang mencerminkan
karakteristik dari Geantiklin Barisan sepanjang pulau itu secara keseluruhan, yang
dinamakan jalur depresi- menengah pada puncak yang disebut Semangko Rift
Zone. Zone Semangko ini terbentang mulai dari teluk semangko di Sumatera
Selatan dan berkembang lebih jauh ke arah Trog lembah Aceh dengan Kota Raja
sebagai ujung utaranya. Di beberapa jalur ini terisi dan tertutup oleh vulkanvulkan muda.
Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan
satu cekungan besar yang mempunyai sedimentasi sama dan dipisahkan oleh
Pegunungan Tigapuluh. Daerah Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi
depresi Jambi di utara, Sub Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan
Palembang Selatan atau Depresi Lematang masing-masing dipisahkan oleh
tinggian batuan dasar (basement). Tiga antiklinorium yang dipisahkan oleh
tinggian batuan dasar adalah Antiklinorium Pendopo, Antiklinorium Palembang
dan Antiklinorium Muaraenim.
Secara rinci lagi penulis dapat menjelaskan mengenai fisiografi daerah
Kabupaten Sarolangun yaitu pada baian baratnya ditempati oleh pegunungan
Barisan, dicirikan oleh topografi yang kasar, tersusun dari batuan sedimen
malihan dan batuan beku yang terpotong oleh lembah-lembah yang dikontrol oleh
sesar.Ketinggian berkisar antara 320 meter sampai lebih dari 2380 meter di atas
permukaan laut dengan lereng yang curam yang tertutup rapat hutan belukar.Pola
aliran yang utama adalah rectangular dan teralis dengan bentuk lembah umumnya
‘V’ sempit dan lurus.Bagian timur merupakan dataran rendah yang terbuka, hanya
ditutupi oleh semak-belukar dan hutan kecil sementara di beberapa tempat berupa
rawa.Bagian timur dan timurlaut daerah ini terdiri dari lahan yang bergelombang,
8
denga ketinggian beberapa puluh meter diatas permukaan laut. Sungai-sungai
mempunyai bentuk ‘meander’ dan berpola ‘meranting’ sampai ‘rektangular’,
ebanyakan sungai besar mengalir kearah baratlaut-tenggara, sejajar dengan arah
struktur utama (Departemen ESDM Pusat Sumber Daya Geologi, Sarolangun,
2006).
B. Stratigrafi Regional
Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra Selatan yang
merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang
terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia
(Gambar 2.3). Secara Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh di sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda
di sebelah timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat.
Gambar 2.1. Kolom stratigrafi regional Sumatera
9
Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu
siklus besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase
regresi pada akhir silkusnya (Gambar 2.1). Secara detail siklus ini dimulai oleh
siklus non marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal
dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak
selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang
Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan sungai teranyam
(braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan (Gambar 2.2). Fase
transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini
berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore
reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja)pada bagian atas Formasi Talang Akar.
Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai
bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih
lautdalam.Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian
atas dan diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh
litologi Batu pasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat
diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut
menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut
dangkal, paludal, dataran delta dan non marin yang dicirikan oleh perselingan
antara batupasir dan batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi
Muara Enim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana
diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumice dan konglemerat.
Batuan Dasar
Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan Paleozoikum
dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat.
Batuan Paleozoikum akhir dan batuanMesozoikum tersingkap dengan baik di
Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan
karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di
Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan
berumur Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap
Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah
dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit
10
dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang
kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991)
umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.
FormasiLahat
Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar,
merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat,
tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa.
Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :

Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan
lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.

Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota
pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding.
Butiran didominasi oleh kuarsa.

Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas
Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan
berselingan dengan endapan mirip lahar.
Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau,
batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal
hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas
Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan
sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir
dan serpih.
Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m.
Formasi Baturaja
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang Akar dengan
ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping,
batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih
gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.
11
FormasiGumai
Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana
formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum diCekungan Sumatera
Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan
batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa
perselingan antara batupasir dan serpih.
Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan
diendapkan pada lingkungan laut dalam.
Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.
Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan
merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih
kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan,
glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan
sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air
Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen
Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.
FormasiMuaraEnim
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi
ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut
dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 –
1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir
pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi
ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan
batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara
Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.
FormasiKasai
Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim
dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra
riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa,
batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan
12
tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan
tipis lignit serta kayu yang terkersikkan.Fasies pengendapannya adalah fluvial dan
alluvial fan.
Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
Sedimen Kuarter
Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh
orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas
formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat
berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik
berwarna gelap.Satuan ini berumur resen.
Gambar 2.2. Peta Geologi lembar Sorolangun provinsi Jambi (N. Suwarna dkk, 1992)
13
C. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi
Gambar 2.3.Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia
Tenggara lainnya pada masa kini
Tektonik Sumatra dipengaruhi oleh interaksi konvergen antara dua lempeng
yang berbeda jenis (Gambar 2.3). Arah gerak kedua lempeng terhadap jalur
subduksi membentuk sudut lancip sehingga pembentukan struktur geologi di
Pulau Sumatra didominasi oleh sesar-sesar mendatar dekstral (right handed
wrench fault). Hubungan struktur geologi satu terhadap lainnya selain mengontrol
sebaran batuan di permukaan juga menjadikan daerah ini cukup kompleks secara
tektonik. Terbentuknya sejumlah struktur sesar yang cukup rapat ternyata diikuti
oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan tubuh-tubuh intrusi batuan
beku. Aktifitas magmatik inilah yang membawa cebakan mineral bijih.
Seluruh batuan penyusun
telah mengalami deformasi yang kuat. Produk
tektonik berupa struktur lipatan, kekar dan sesar. Pembentukan kedua jenis
struktur geologi tersebut tidak terlepas dari pengaruh aktivitas tumbukan lempeng
yang menyerong antara Lempeng Eurasia yang berada di utara dengan Lempeng
India-Australia. Akibat tumbukan lempeng ini terbentuk jalur subduksi yang
sekarang posisinya berada di lepas pantai barat Sumatra, sedangkan di daratan
sumatra terbentuk daerah tinggian yang menyebabkan batuan tua tersingkap di
permukaan. Pola struktur lipatan dan umumnya berarah baratlaut-tenggara yang
14
terbentuk sejak Pra-Tersier hingga Kuarter. Jenis dan kedudukan struktur geologi
ini selanjutnya mempengaruhi pola sebaran batuan/formasi di permukaan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan diketahui batuan/formasi di daerah
penyelidikan menyebar dengan arah baratlaut-tenggara.
Pulau Sumatera memiliki pola struktur yang dominan sebanyak 3 buah yaitu
arah NE–SW yang sering disebut Pola Jambi, NW–SE yang disebut sebagai Pola
Sumatera dan N–S sebagai Pola Sunda.Urutan pola dari tua ke muda adalah pola
Sumatera NW–SE (Jurassic Awal- Kapur) yang diakibatkan oleh rezim
kompresional.Akibat dari adanya tumbukan Lempeng India dengan Lempeng
Eurasia.Pola Jambi (NE-SW) terbentuk pada zaman Pra-Tersier juga. Selanjutnya
pola yang berkembang adalah Pola Sunda dengan arah N–S ( Kapur AkhirTersier Awal). Pola struktur Sunda inilah yang membuka cekungan–cekungan
yang ada di daerah Sumatera dan pola ini banyak terdapat pada Cekungan
Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, sedangkan pada Cekungan Sumatera
Selatan, pola N–S jarang ditemui. Hal ini ditandai pula dengan batas antara
cekungan–cekungan yang ada di Pulau Sumatera yang berupa tinggian memiliki
orientasi N–S. Kemudian pada zaman Plio-Pleistosen terjadi rezim kompresif
yang membuat sesar-sesar normal mengalami inversi menjadi sesar naik dan
beberapa sesar lainya membentuk sesar geser strike-slip seperti Sesar Semangko.
Secara umum arah struktur pokok dari Pulau Sumatra adalah:
 Sisi barat Geantiklin Barisan terbentang di sebelah barat jalur Semangko
berada pada setengah Pulau Sumatera di sebelah selatan Padang tepatnya.
Sisi baratnya terbentuk oleh blok kerang yang panjang dan miring ke
Samudera Hindia, dan disebut Block Bengkulu.
 Gawir sesar sepanjang jalur semangko memisahkan pantai barat dan timur.
Disebut juga Bukit Barisan Sensu stricto atau barisan tinggi.
 Ujung selatan bukit barisan adalah daerah Lampung. Di antara Padang dan
Padang Sidempuan struktur geantiklinal Bukit Barisan tidak menentu.
Geantiklinal block pegunungan yang memanjang di sisi timur, sama
dengan daerah di sisi barat sungai subsekuen dan cabang-cabangnya.
 Batak Tumor yang merupakan lanjutan dari Bukit Barisan yang berupa
kubah geantiklinal besar yang terpotong oleh jalur Semangko.
15
 Bukit Barisan di daerah Aceh adalah bagian teruwet pecah menjadi
sejumlah pegunungan Block, yaitublock leuser dan pegunungan barat.
Kedudukannya searah sisi barat seperti Block Bengkulu.
 Di sebelah barat bukit Barisan terbentang palung antara sistem
pegunungan Sunda yang membentuk cekungan laut antara Sumatera dan
rangkaian pulau-pulau di baratnya.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal
dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode
pertama,
endapan-endapan
Paleozoik
dan
Mesozoik
termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi
oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut
Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar
berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan
gerak-gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum
utara-selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil
pelapukan batuan-batuan Pra-Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk
struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra-Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi
pada Plio-Plistosen
yang
menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam
pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi
geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang
terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar-sesar yang baru terbentuk di daerah
ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat
pergerakan
horisontal
ini,
orogenesa
yang
terjadi
pada
Plio-Plistosen
menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar yang terbentuk
16
berarah timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara. Jenis sesar yang terdapat
pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat
laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian pola
struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara-selatan dan
barat laut-tenggara serta pola muda yang berarah barat laut-tenggara yang sejajar
dengan Pulau Sumatera .
D. Struktur Pengontrol dan Mineralisasi
Struktur geologi di daerah Kabupaten Sarolangun adalah perlipatan tegak
berarah baratlaut-tenggara.Sesar utama berarah baratlaut-tenggra, timurlautbaratdaya, utara baratlaut-selatan tenggara dan sesar timur-barat (Departemen
ESDM Pusat Sumber Daya Geologi, Sarolangun, 2006). Dengan adanya data
struktur berdasarkan pustaka yang didapat maka dapat dilakukan interpretasi
sementara terhadap kemungkinan keberadaan urat-urat (veins) sebagai wahana
distribusi minieralisasi yang berkembang.
Dan berdasarkan data sekunder mengenai keterdapatan mineralisasi yang
telah dikembangkan, baik secara eksplorasi maupun eksploitasi.Perusahaan yang
melakukan kegiatan eksploitasi pada saat ini PT. Bina Wahana Meruap bumi dan
PT.Petro China yang melaksanakan penambangan minyak bumi dan PT. Sungai
Belati Coal yang menambang batubara.
Wilayah bekas tambang yang ada di kabupaten Sarolangun hanya berupa
bekas-bekas tambang emas tanpa izin.Kegiatan inventarisasi bahan galian
dilaksanakan pada bekas tambang emas aluvial yang telah ditinggalkan oleh
penambang emas tanpa izin (PETI).Daerah kegiatan meliputi Kecamatan Batang
Asai, Kecamatan Limun, Kecamatan Bathin VIII dan Kecamatan Sarolangun.
Kegiatan penambangan ini telah lama dilakukan oleh beberapa keluarga
secara turun temurun. Sebelumnya masyarakat hanya menambang dengan cara
mendulang, namun kini dengan masuknya pendatang bekerjasama dengan
penduduk setempat dan seiring kemajuan teknologi, kegiatan penambangan telah
menggunakan mesin ‘Dompeng’. Kegiatan penambangan dilakukan terutama
pada daerah-daerah sekitar Sungai Batang Asai, Sungai Tembesi, Sungai
Selembau, Sungai Limun dan Sungai Batang Rebah.
17
2.2 DASAR TEORI
A. Tinjauan Tentang Struktur Geologi
Terdapatnya suatu struktur tertentu di suatu tempat terbentuk karena suatu
deformasi tektonik tertentu. Deformasi tektonik pembentuk struktur tertentu dapat
dibedakan menjadi dua yaitu deformasi yang bersifat diskontinyu atau
rapuh(brittle) dan deformasi yang bersifat kontinyu (ductile). Perbedaan ini
terjadi karena beberapa faktor yaitu sifat fisik batuan yang mengalami deformasi,
temperatur dan tekanan yang dialami tubuh batuan selama berlangsungnya
deformasi. Deformasi tektonik diskontinyu akan membentuk struktur geologi
berupa sesar dan kekar, sedangkan struktur geologi kontinyu akan membentuk
struktur berupa lipatan.
Sesar menurut Billings, merupakan rekahan pada batuan yang telah
mengalami pergesaran sehingga terjadi perpindahan dua dinding blok batuan yang
saling berhadapan, sedangkan kekar merupakan rekahan yang relatif belum
mengalami pergeseran. Sesar dan kekar merupakan bagian dari disintegrasi
mekanis batuan dan akan mengalami erosi yang cepat di permukaan bumi
sehingga membentuk bentang alam yang khas sebagai depresi topografi lokal,
lembah sungai dan gawir sesar yang lazim disebut jejak sesar (fault traces).
Kenampakan ini dapat dengan jelas nampak dari foto udara atau citra satelit
sebagai suatu bentuk kelurusan.
Struktur geologi yang umum dijumpai di lapangan dapat berupa kekar dan
sesar. Struktur yang bekerja pada suatu tubuh batuan terjadi karena adanya gaya
yang bekerja. Pola-pola kelurusan struktur yang di hasilkan dapat berupa pola
yang baru maupun pola yang berasal dari reaktifitas terhadap struktur yang terjadi
sebelumnya.
B. Sistem Bukaan Urat
Di daerah mineralisasi akan ada hubungan spasial antara struktur mayor
dengan proses mineralisasi yang terjadi. Secara regional suatu sistem struktur di
daerah magmatic arcs akan terbentuk adanya intrusi-intrusi baik yang mengisi
daerah bukaan-bukaan yang ada maupun membentuk bukaan yang baru. Sehingga
pada daerah struktur mayor akan terjadi beberapa aktivitas yang berhubungan
dengan cebakan mineral meliputi (Corbett dan Leach, 1997) : (1) Pre-
18
mineralization yang mengontrol pada daerah cekungan sedimentasi di batuan
induknya. (2) Pre-mineralization intrusi atau breksi. (3) Syn-mineralization pada
lokasi sistem cebakan. (4) Post-mineralization yang merupakan deformasi dari
cebakan mineral. Menurut Corbett dan Leach (1997), didasarkan pada tatanan
tektonik dan level erosi pada sistem hidrotermal, maka sistem bukaan cebakan
dapat dibedakan menjadi beberapa yaitu : (Gambar 2.4)
a. Splays atau horsetail yang berkembang di sepanjang struktur sesar relatif.
Pada daerah ini merupakan agent utama terjadinya intrusi porpiri.
b. Tension Fracture, terbentuk sebagai bukaan di batuan induk yang terletak di
antara sesar strike-slip dan umumnya mempunyai orientasi yang tergantung
dengan gaya (stress) utama. Tension fracture ini merupakan faktor dominan
terjadinya sistem urat emas-perak. Karakteristiknya tercermin bahwa panjang
dari kekar tarik akan berakhir sepanjang arah sesar.
c. Jogs, terbentuk sebagai bends yang melintasi sepanjang struktur dan
dipisahkan dengan kekar tarik, beberapa cebakan terjadi pada daerah jog ini.
d. Hanging wall splits, terbentuk pada kemiringan zona sesar terutama pada
sesar turun atau kemiringan perlapisan batuan yang terpotong oleh kemiringan
bidang sesar.
e. Pull-apart basin, yang terbentuk sebagai parallelogram yang terletak di antara
2 jalur sesar.
f. Domes, terbentuk pada batuan dasar yang terisi oleh larutan hidrotermal pada
suatu sistem urat mineralisasi.
g. Ore shoots, umumnya merupakan perkembangan dari penambahan lebar suatu
urat maupun bertambahnya kadar emas yang terbentuk oleh bertambahnya
bukaan pada suatu siatem urat.
h. Sheeted fracture, terbentuk pada lingkungan porpiri atau porpiri yang
berhubungan dengan lingkungan breksi.
19
Gambar 2.4. Sistem bukaan urat Corbett dan Leach, 1997
C. Analisa Arah Urat
Urat kuarsa pada prinsipnya terbentuk oleh larutan yang bersifat mengisi
rekahan, oleh sebab itu pola urat yang terbentuk akan mengikuti pola rekahan.
Pada cebakan yang mengisi rongga terjadi 2 proses yaitu : pembentukan rongga
dan pengisian larutan (Bateman,1981). Sesar geser yang bersifat ekstensif akan
terbentuk rekahan terbuka yang memungkinkan masuknya larutan hidrotermal
pembentuk urat, sehingga urat akan terbentuk relatif sejajar dengan arah sesar.
Heru Sigit P. (2002), menyatakan bahwa urat hasil tegasan dan urat hasil
tarikan di lapangan dapat dibedakan, yaitu urat kuarsa hasil tegasan memiliki ciri
pecah-pecah (breciciated), kristal tidak baik, biasanya terbentuk mineral di bagian
tengah atau tepinya dan urat hasil tarikan memiliki ciri kristal baik, membentuk
struktur sisir (comb structure), mineral terkadang berada pada struktur sisirnya.
(Gambar 2.5).
20
Gambar 2.5.Beda urat hasil tegasan dan urat hasil tarikan, Heru Sigit P. (2002)
Beberapa lingkungan struktur bukaan cebakan batuan samping mengalami
proses aktivitas selama terbentuknya, mulai dari pre-sampai-syn mineralisasi dan
umumnya mengalami deformasi pada post mineralisasi pada suatu sistem
cebakan. Model dari sistem struktur tersebut disebut sebagai Riedel Shear Model
(Riedel, dalam Corbett and Leach, 1997). Pada suatu zona sesar kemungkinan
akan terbentuk adanya kekar tarik yang mempunyai pola searah dengan gaya
utama. Pola sesar terbentuk dengan arah yang berlawanan merupakan sesar geser
(slip) dan sesar normal mempunyai arah sejajar dengan arah gaya utama. Lowell
dan Harris, (dalam Corbett and Leach, 1997) mengemukakan suatu hasil
percobaan yang dilakukan pada lempung yang diberi tekanan dari arah lateral dan
vertikal, hasil tersebut akan membentuk pola struktur menyudut lancip dengan
arah gayanya dan mempunyai pola penyebaran melingkar mengikuti bentuk
kubah (Gambar 2.6). Di bagian tepi dari arah gaya utama akan terbentuk adanya
rekahan yang kemudian mengalami depresi dengan bentuk lingkaran.
21
Gambar 2.6.Riedel Shear Model (a dan c) serta (b) model bentuk sesar pada
Lempung (Corbett and Leach, 1997)
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan berupa metode survei.Metode survei
merupakan suatu metode untuk memperoleh fakta dari gejala – gejala yang ada
dan mencari keterangan secara faktual di lapangan (Gayatri, 2004).Metode survei
yang dilakukan berupa survei pemetaan geologi permukaan.Pemetaan geologi
yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi lapangan yang
menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi di lapangan yang dilakukan
meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan
batuan, pengamatan zona alterasi, pengukuran struktur geologi, dan pengambilan
conto batuan.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data – data primer dari
lapangan, namun sebelumnya perlu dilakukan analisis data sekunder yang
didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan detail, selanjutnya
akan dibantu dengan pekerjaan laboratorium dan studio.
3.1. Tahap Pendahuluan
Tujuan dari kegiatan pendahuluan adalah untuk mendapatkan informasi –
informasi dan gambaran daerah penelitian secara umum, seperti keadaan medan,
bentang alam, stratigrafi, dan struktur geologi. Pengumpulan data tentang
hubungan struktur dan alterasi-mineralisasi di daerah penelitian juga dikumpulkan
dari berbagai sumber. Tahap pendahuluan ini meliputi:
a. Studi Pustaka
Tujuan dari studi pustaka adalah untuk mempelajari bahan – bahan pustaka
yang dapat membantu pemecahan masalah. Bahan literatur ini dapat berupa
literatur umum dan literatur khusus.
Literatur umum merupakan pustaka yang secara tidak langsung digunakan
untuk membantu dalam memecahkan permasalahan geologi yang ada, dapat
berupa teori, konsep, hipotesis, dan model geologi. Literatur khusus meliputi
bahan pustaka yang secara langsung dapat digunakan untuk memecahkan
23
permasalahan geologi daerah penelitian, berupa laporan geologi hasil penelitian
terdahulu.
b. Interpretasi Peta Topografi dan Citra Satelit
Interpretasi peta topografi dan citra ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran awal daerah penelitian, berupa keadaan bentang alam, interpretasi
penyebaran batuan, struktur geologi, proses yang mungkin terjadi, dan untuk
penentuan perencanaan lintasan pengamatan.
3.2. Kegiatan Lapangan
Kegiatan lapangan dilakukan untuk pengambilan data lapangan berdasarkan
lintasan pengamatan yang sudah direncanakan sebelumnya. Kegiatan ini dalam
pelaksanaannya terdapat 3 (tiga) unsur pokok yang akan dilakukan, yaitu:
 Deskripsi litologi, yaitu pengamatan terhadap sifat fisik batuan secara
megaskopis,
 Pengukuran unsur – unsur struktur jurus dan kemiringan untuk struktur bidang
(misalnya bidang lapisan, sesar, rekahan, dan sebagainya), serta arah dan
penunjaman unsur struktur garis (misalnya perlipatan mikro, gores garis, dan
sebagainya) sebagai pengontrol distribusi mineralisasi yang ada,
 Menentukan keberadaan urat (vein) berdasarkan struktur pengontrol serta tipe
dan arah penyebarannya, dan
 Membuat sketsa dan/atau foto singkapan batuan, kenampakan bentang alam,
kenampakan unsur struktur, dan lain – lain.
3.3. Kegiatan Laboratorium dan Studio
Metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi detil mengenai
mineralogi dan tekstur batuan dapat dilakukan dengan pengamatan laboratorium.
Adapun analisa laboratorium meliputi pengamatan petrografi, PIMA, dan Assay
Kimia.
Pengamatan petrografi dilakukan terhadap sayatan tipis yang bertujuan
untuk penentuan litologi, penentuan kelompok mineral primer dan sekunder, dan
tekstur batuan.
PIMA (Portable Infrared Mineral Analyser) merupakan metode yang sangat
efektif
dalam
mengidentifikasi
mineral
dengan
mengaplikasikan
Short
Wavelength Infra Red (SWIR) yang berada pada interval 1300 nm dan 2500 nm.
24
Komponen yang berada pada interval ini yaitu mineral phyllosilicates (mineral
lempung, klorit, dan serpentinit), hydroxilated silicates (epidot dan amfibol),
sulfat (alunit, jarosit, dan gipsum), karbonat (kalsit, dolomit, ankerit), dan
ammonium (buddingtonite dan NH-4 illit). Analisa dengan PIMA ini akan sangat
efektif digunakan untuk membantu dalam melakukan zonasi alterasi hidrotermal,
disamping menggunakan data petrografi (AusSpec International, 1998).
Assay Kimia betujuan untuk mendapatkan data kadar dari unsur – unsur
yang ada, yaitu Au, Ag, Cu, Pb, dan Zn, dengan bantuan analisa ini diharapkan
dapat ditentukan potesi dan sebaran kandungan unsur – unsur tersebut.
Pekerjaan
studio
meliputi
analisa
data
struktur,
pembuatan
peta
geomorfologi, peta geologi, dan peta zonasi alterasi, rekonstruksi penampang
geologi, pembuatan kolom stratigrafi, dan sebagainya.
3.4. Penyusunan Laporan Skripsi
Penyusunan skripsi dilakukan setelah tahapan kegiatan lapangan selesai.
Penyusunan skripsi menggunakan data – data lapangan yang dikompilasikan
dengan hasil analisa laboratorium dan pekerjaan studio. Komponen yang dibahas
dalam skripsi berupa informasi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, aspek
alterasi hidrotermal, mineralisasi, dan sejarah geologi. Pembahasan dan
pengkajian semua aspek ini secara sistematik, diharapkan kerangka geologi
daerah penelitian dapat dipahami dengan lebih baik disamping kehadiran gejala
mineralisasi.
25
3.5. Diagram Alir Penelitian
Tahap Pendahuluan
Pembuatan
Studi
Penafsiran
Analisis
Membuat
Peta Dasar
Literatur
Peta
Geomorfologi
Surat
Topografi
Perijinan
Tahap Penelitian Lapangan
Pengamatan
Pengamatan
Pemetaan
Pemetaan
Singkapan
Terhadap
Geologi
Struktur dan
dan
Mineralisasi
Foto
Indikasi
Sampling
Sketsa
Tahap Pekerjaan Laboratorium
Assay Kimia
Analisis
Analisis
Analisis
Petrografi
Struktur
PIMA
Studio
Peta Lintasan
Peta
Peta
Peta Struktur
dan Lokasi
Geomorfologi
Geologi
dan
Pengamatan
Mineralisasi
Penyusunan Skripsi
JADWAL RENCANA KEGIATAN
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian
26
Tabel 3.1. Jadwal Rencana Kegiatan
27
DAFTAR PUSTAKA
.
Asikin, S., 1992. Diktat Struktur (tektonik) Indonesia. Kelompok Bidang Keahlian
(KBK) Geologi Dinamis, Jurusan Teknik Geologi ITB.
Corbett, G. J., dan Leach, T. M., 1998. Southwest Pacific Rim Gold-Copper
System: Structure, Alteration, and Mineralization. Society of Economic
Geologist, USA.
Darman, H., & Sidi, F.H., 2000, An Outline f The Geology of Indonesia, Ikatan
Ahli Geologi Indonesia.
Guilbert, J.M. dan Park, C.F. Jr., 1986, The Geology of Ore Deposits,
W.H.Freeman and Company, New York, hal.55-209.
Hamilton, Warren, 1979, Tectonics of the Indonesian Regions, U.S.Goverment
Printing Office: Washington
Heru Sigit Purwanto. (2000), Pemineralan Emas dan Kawalan Struktur Pada
Kawasan Penjom, Pahang Dan Lubok Mandi Terengganu, Semenanjung
Malaysia. Disertasi Doktor, Universitas Kebangsaan Malaysia Hal 39-83,
tidak dipublikasikan.
Park R.G., 1983, Foundations of Structural geology, Chapman & Hall, New York
P.T ANTAM Tbk, 2006, Mengetahui kemungkinan adanya mineralisasi emas dan
mineral pengikutnya, dengan target peninjauan mendapatkan potensi yang
menarik.
Suwarna.N,dkk. 1992. memetakan geologi kabupaten Sarolangun, pada Peta
Geologi Lembar Sarolangun, skala peta 1 : 250.000.
Tim Konservasi Sarolangun, 2006, INVENTARISASI BAHAN GALIAN PADA
BEKAS TAMBANG DAERAH SAROLANGUN,JAMBI. Departemen
ESDM Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.
Sumber lain :
www.google-earth.com
www.google.co.id
28
Download