Penentuan Tempo Musik Klasik Bagi Pengemudi yang Kekurangan Tidur pada Jalan Monoton Berdasarkan Rasio Tingkat Kantuk 1,2) Vincent Tantri1, Daniel Siswanto2 Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 1 2 Email: [email protected] , [email protected] Abstrak Banyak hal yang dapat menyebabkan kematian di dunia, tetapi salah satu penyebab yang membuat angka kematian di dunia menjadi tinggi adalah kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas sering terjadi karena pengemudi mengalami kelelahan yang disebabkan oleh kurangnya durasi tidur pengemudi saat mengemudikan kendaraannya. Maka dari itu, penelitian akan dilakukan terhadap pengemudi yang kekurangan tidur agar kantuk yang menyebabkan kelelahan tersebut dapat dikurangi atau dicegah menjadi semakin tinggi. Mendengarkan musik klasik dengan berbagai tempo dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah tingkat kantuk tersebut menjadi semakin tinggi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan simulator mengemudi pada laboratory experiment. Ada beberapa variabel yang dilibatkan dalam penelitian, yaitu variabel tidak bebas berupa rasio tingkat kantuk untuk mengukur kelelahan, variabel bebasnya berupa variasi durasi tidur (kurang dari 5 jam dan diantara 5-7 jam) dan variasi tempo musik klasik (lambat, sedang, dan cepat). Selain itu, variabel kontrol yang dilibatkan o adalah kondisi jalan yang monoton, durasi mengemudi selama 60 menit, suhu ruang kemudi (26-29 C), volume musik (55-65 dB), jenis kelamin pengemudi (laki-laki), dan daftar urutan lagu yang diputar. Pengukuran tingkat kantuk dilakukan melalui indikator subjektif berupa Karolinska Slepiness Scale (KSS) dan melalui indikator objektif dengan Electroencephalogram (EEG). Objek penelitian adalah manusia yang terdiri dari 6 partisipan yang masing-masing diberikan 6 perlakuan yang merupakan kombinasi dari variabel bebas yang diteliti. Data yang diperoleh dari KSS adalah skala tingkat kantuk pengemudi sebelum dan sesudah penelitian yang kemudian diuji signifikansinya menggunakan Uji Tanda (Sign Test). Data yang diperoleh menggunakan EEG adalah aktivitas gelombang otak yang kemudian harus diolah dengan menggunakan perangkat Matlab R2009A untuk mendapatkan power gelombang teta, alfa, dan beta. Setelah itu, rasio tingkat kantuk yang didapatkan dihitung dengan persamaan (θ + α) /β dan dijadikan input uji ANOVA untuk menentukan faktor yang memengaruhi tingkat kantuk. Hasil dari uji ANOVA yang dilakukan adalah faktor variasi durasi tidur dan variasi tempo musik klasik mempengaruhi tingkat kantuk, tetapi interaksi antara kedua faktor tidak mempengaruhi tingkat kantuk. Setelah dilakukan uji ANOVA, dilakukan Uji Tukey yang memiliki hasil bahwa hanya pasangan level lambatcepat memiliki perbedaan secara signifikan. Perbedaan rentang tempo musik klasik yang lambat dan cepat mengakibatkan perbedaan rasio tingkat kantuk yang dialami oleh pengemudi yang mengalami kekurangan tidur. Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat kantuk pengemudi kekurangan tidur pada malam sebelumnya yang mengemudi di jalan monoton dipengaruhi durasi tidur atau tempo musik klasik yang didengarkan. Tempo musik klasik yang dapat menghasilkan tingkat kantuk terendah berdasarkan rasio tingkat kantuk adalah tempo musik lambat (<90 bpm). Kata kunci: durasi tidur, electroencephalograph (EEG), Karolinska Slepiness Scale (KSS), rasio tingkat kantuk, tempo musik klasik Pendahuluan Menurut Global Status Report on Road Safety (2015) yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), Indonesia berada pada peringkat kelima tertinggi di dunia untuk jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas setelah negara Cina, India, Nigeria, dan Brazil. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh WHO dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis / TBC (Ratnasari, Kumaat, & Mulyadi, 2014). Data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2012. Data mengenai jumlah kecelakaan, korban meninggal, luka berat, luka ringan, dan kerugian materi dari tahun 2007 hingga tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel I.1 Data dari Global Status Report on Road Safety (2013) menunjukkan bahwa 59% korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia adalah mereka yang berumur antara 15-44 tahun. Selain membuat kerugian bagi korban dan keluarganya, mereka pun dapat merugikan negara karena generasi penerus bangsa akan terus berkurang karena kecelakaan yang menimpa mereka. Kecelakaan lalu lintas dapat diakibatkan oleh tiga hal, yaitu manusia, kendaraan, dan lingkungan (WHO, 2014). Menurut German Federal Statistical Office (2007) dalam Staubach (2009), manusia menjadi penyebab utama dari 90% kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Pada manusia, penyebab kecelakaan yang paling sering terjadi adalah kurangnya konsentrasi dan mengantuk (Obst, Armstrong, Smith, Banks, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Dawson, Searle, dan Paterson (2014) menyatakan bahwa kecelakaan kendaraan di jalan raya akibat kelelahan mencapai angka 60%. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu usaha penanganan kelelahan pengemudi untuk menurunkan angka kecelakaan lalu lintas, terutama di Indonesia. Menurut Phillips (2015), kelelahan (fatigue) merupakan kondisi psikofisiologis yang tidak optimal karena pengerahan tenaga. Kelelahan menjadi kontribusi utama terkait dengan terjadinya kecelakaan, korban cedera, dan juga korban meninggal dunia (Williamson et al., 2011). Rasio tingkat kantuk sendiri digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur kelelahan tersebut. Williamson et al. (2011) memodelkan hubungan antara kelelahan dengan keselamatan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Kelelahan dapat menyebabkan penurunan performansi seseorang, fisiologi (fungsi tubuh), dan adanya perubahan emosi yang dapat berakibat pada kecelakaan. Penurunan performansi mengemudi yang berhubungan dengan kelelahan dalam mengemudi dapat mengakibatkan risiko keselamatan yang rendah sehingga terjadinya kecelakaan (Zhao, C., Zhao, M., Liu, & Zheng, 2012). Model ini juga menunjukkan bahwa kantuk digunakan sebagai indikator dalam mengukur kelelahan. Studi oleh Williamson et al. (2011) menyebutkan bahwa kelelahan dapat mengganggu atau merusak performansi mengemudi seseorang. Menurut Fadel, Muis, dan Russeng (2014), kelelahan dapat menurunkan kesiapsiagaan, perhatian, dan waktu reaksi dalam mengambil keputusan pada saat mengemudi, serta menyebabkan kehilangan kewaspadaan. Gambar 1. Hubungan Keselamatan dengan Kelelahan (Sumber: Williamson et al., 2011) Mendengarkan musik atau radio merupakan salah satu rangsangan yang paling umum dialami oleh pengemudi di jalan (Unal, Steg, & Epstude, 2012). Mendengarkan musik paling banyak dilakukan ketika orang sedang mengemudi yaitu sebesar 91% dibandingkan dengan kegiatan lainnya (Dalton & Behm, 2007). Musik dapat mempengaruhi performansi pengemudi baik dari sisi positif (konsentrasi dan kewaspadaan) maupun sisi negatif (ceroboh atau ugal-ugalan) (Dalton dan Behm, 2007). Penelitian yang dilakukan Unal et al., (2012) mengatakan bahwa mendengarkan musik ketika mengemudi mengakibatkan pengemudi membutuhkan usaha mental yang lebih besar, namun tidak mempengaruhi performansi dari pengemudi. Sementara itu, hasil penelitian Arya, Wahyuning, & Desrianty (2014) mengatakan bahwa musik memiliki pengaruh positif untuk meningkatkan kewaspadaan selama mengemudi. Dengan meningkatkan kewaspadaan, tingkat kantuk yang dialami oleh pengemudi juga akan berkurang (Thiffault & Bergeron, 2003). Tingkat kantuk yang dalami oleh pengemudi dapat diukur dengan menggunakan rasio tingkat kantuk. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah musik memang memiliki pengaruh positif untuk mengurangi rasio tingkat kantuk pengemudi yang mengalami kekurangan tidur pada malam sebelumnya pada jalan monoton. Tingkat kantuk digunakan sebagai indikator yang paling baik untuk mengukur kelelahan karena seseorang yang mengalami kelelahan (mental dan fisik), pasti mengalami kondisi kantuk (Williamson et al., 2011). Untuk mengetahui tingkat kantuk pengemudi sebelum mengemudi yang merupakan kelelahan awal yang dialami serta tingkat kantuk pengemudi setelah mengemudi, dilakukan penelitian subjektif dengan menggunakan Karolinska Sleepiness Scale (KSS). KSS merupakan instrumen untuk mengukur kelelahan secara subjektif dengan skala penilaian 1 hingga 9 (Johns, 2009). Selain KSS, teknologi pendeteksi kelelahan yang digunakan pada penelitian ini adalah continuous online monitoring khususnya electroencephalogram (EEG). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan EEG karena menurut Johnson et al. (2011), EEG dijadikan sebagai gold standard dalam mengidentifikasi keadaan mulai dari waspada dan bersiaga hingga mengalami kantuk atau tertidur. Metode Penelitian Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dan metode-metode digunakan untuk mengukur kantuk. Pada tahap ini juga dilakukan pembelajaran dan pemahaman mengenai alat ukur yang digunakan dalam penelitian, serta teknik-teknik dalam pengolahan data yang dilakukan. Partisipan Partisipan yang terlibat dalam penelitian adalah pria dengan usai 18 - 25 tahun karena menurut NHTSA (2008), laki-laki yang berusia dibawah 30 tahun mendominasi angka korban kecelakaan lalu lintas dibandingkan wanita yang berusia di bawah 30 tahun. Selain itu, suatu penelitian di wilayah Depok menunjukkan bahwa perbandingan kecelakaan lalu lintas berdasarkan jenis kelamin, yaitu laki-laki dengan persentase 92% dan wanita sebesar 8% (Kartika, 2009). Terdapat 6 orang partisipan yang masingmasing akan mengalami perlakuan sebagai berikut: a. Kombinasi antara tempo musik klasik lambat (<90 bpm) dan durasi tidur kurang dari 5 jam. b. Kombinasi antara tempo musik klasik sedang (90-120 bpm) dan durasi tidur kurang dari 5 jam. c. Kombinasi antara tempo musik klasik cepat (>120 bpm) dan durasi tidur kurang dari 5 jam. d. Kombinasi antara tempo musik klasik lambat (<90 bpm) dan durasi tidur antara 57 jam. e. Kombinasi antara tempo musik klasik sedang (90-120 bpm) dan durasi tidur antara 5-7 jam. f. Kombinasi antara tempo musik klasik cepat (>120 bpm) dan durasi tidur antara 5-7 jam. Prosedur Partisipan akan diminta untuk datang ke tempat pengambilan data pada pukul 07.30 WIB. Kemudian partisipan akan diminta untuk mengisi KSS terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan pemasangan EEG pada bagian kepala partisipan. Setelah musik klasik diputar, partisipan akan mulai mengemudi menggunakan simulator yang telah disiapkan. Setelah selesai mengemudi, partisipan akan diminta untuk mengisi KSS kembali sebagai perbandingan dengan KSS yang diisi sebelum partisipan mengemudi. Timeline penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Mengisi KSS (sebelum mengemudi) 07.30 Memasang EEG 07.35 Menyiapkan + Memutar musik klasik 07.50 08.00 Mengemudi Mengisi KSS (setelah mengemudi) 09.00 09.05 Gambar 2. Timeline Eksperimen Jadwal Pelaksanaan Eksperimen Pada penelitian ini juga dilakukan penentuan jadwal pelaksanaan eksperimen dengan menggunakan teknik counterbalancing. Dengan menggunakan counterbalance, diharapkan agar dampak dari urutan akan seimbang dengan sendirinya dan menghilangkan efek bias dari variabel bebas. Berikut adalah gambar dari jadwal pelaksanaan eksperimen yang dilakukan dalam penelitian. Gambar 3. Jadwal pelaksaan eksperimen Karolinska Sleepiness Scale (KSS) Karolinska sleepiness scale (KSS) merupakan salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat kantuk seseorang secara subjektif menurut persepsi orang yang mengalami kantuk tersebut. Berikut ini merupakan format KSS yang digunakan dalam penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 9 sala pada KSS untuk mendeskripsikan tingkat kantuk yang dialami oleh partisipan. Menurut Johns (2009) skala tersebut menggambarkan keadaan partisipan seperti di bawah ini: 1. Skala 1: Keadaan waspada penuh (extremely alert) 2. Skala 2: Keadaan sangat waspada (very alert) 3. Skala 3: Keadaan waspada (alert) 4. Skala 4: Keadaan cukup waspada (rather alert) 5. Skala 5: Keadaan antara waspada dan mengantuk (neither alert nor sleepy) 6. Skala 6: Munculnya beberapa tanda mengantuk (some sign of sleepiness) 7. Skala 7: Rasa mengantuk yang ringan (sleepy, no eort to stay awake) 8. Skala 8: Rasa mengantuk yang cukup berat (sleepy, some effort to stay awake) 9. Skala 9: Keadaan sangat mengantuk (very sleepy, great effort to keep awake, fighting sleep) memanfaatkan otak dalam pengukuran kelelahan karena aktivitas otak dipercaya sebagai ukuran yang sensitif bagi kelelahan mental (Craig et al., 2012). Kelebihan lainnya adalah otak selalu bekerja secara terusmenerus sehingga akitivitas gelombangnya dapat diamati setiap waktu. Selain itu, pengukuran juga dapat dilakukan secara continuous sehingga tidak mengganggu partisipan ketika sedang melakukan aktivitas. Namun EEG juga memiliki kelemahan, yaitu dibutuhkan peralatan khusus untuk mengamati aktivitas gelombang otak dan kemampuan khusus untuk mengoperasikan alat. Berikut adalah gambar dari EEG yang digunakan. Gambar 5. Electroencephalograph (EEG) emotiv epoc Gambar 4 Format Karolinska Sleepiness Scale (KSS) (Sumber : Fachrudin et al., 2015) Pengukuran KSS dilakukan sebelum dan sesudah partisipan melakukan aktivitas mengemudi dan diberikan perlakuan untuk dilihat apakah terdapat perbedaan tingkat kantuk yang dirasakan. Electroencephalograph (EEG) Pada penelitian ini, selain menggunakan pengukuran yang subjektif dengan menggunakan KSS, pengukuran kelelahan melalui indikator objektif juga dilakukan dengan menggunakan EEG. EEG adalah alat yang digunakan untuk mengamati kondisi psikologis secara langsung dengan mengamati aktivitas gelombang otak (Balkin et al., 2011). Cara kerja EEG adalah dengan merekam aktivitas gelombang listrik yang terdapat di otak melalui kulit kepala. Keuntungan Pengolahan Data Hasil dari EEG adalah berupa grafik gelombang otak yang terus bergerak secara kontinu terhadap waktu. Hasil tersebut kemudian diolah untuk mendapat suatu nilai atau angka yang dapat dimengerti dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB R2009a. Format data yang disimpan dengan alat ukur EEG adalah format (.edf), dan selanjutnya akan dikonversikan terlebih dahulu menjadi (.csv) agar dapat dibaca oleh perangkat MATLAB R2009a. Terdapat 16 titik penempatan sensor elektroda di kepala yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 14 titik pertama yang bertujuan untuk merekam aktivitas gelombang otak sedangkan 2 titik lagi sebagai titik referensi. Kedua titik referensi tersebut adalah common mode sense (CMS) dan driven right leg (DRL). Dari 14 titik pengamatan tersebut, terdapat 8 titik pengamatan yang berada di daerah depan kepala (bagian frontal), yaitu titik AF3, AF4, F7, F8, F3, F4, FC5, dan FC6. Bagian tengah kepala (bagian temporal) yang terdiri dari 2 titik pengamatan, yaitu titik T7 dan T8. Begitu juga bagian belakang kepala (bagian occipital) yang terdiri dari 2 titik pengamatan, yaitu titik O1 dan O2. Kedua titik pengamatan untuk bagian belakang kepala (bagian parietal) berada di titik P7 dan P8. Gambar 6. Titik sinyal kualitas kontak EEG Bagian otak yang diamati pada penelitian ini adalah bagian otak frontal karena bagian otak frontal membantu manusia dalam mengontrol aktivitas motorik dan kognitif, seperti perencanaan, menetapkan tujuan, pengambilan keputusan, dan mengaitkan masa sekarang ke masa depan melalui perilaku tujuan (Zhuang, Zhao, & Tang, 2009). Data dari hasil rekaman EEG, kemudian akan disaring (filter) menjadi 4-30 Hz dengan menggunakan coding yang digunakan, menggunakan referensi dari Pascawati (2016). Data disaring untuk membuang gelombanggelombang dengan frekuensi yang tidak dibutuhkan (Pascawati, 2016), atau di luar frekuensi 4-30 Hz. Selanjutnya, data dilakukan penyesuaian dengan mengelompokkan frekuensi berdasarkan tiga komponen frekuensi yang digunakan dalam penelitian, yaitu theta (4-8 Hz), alpha (8-13 Hz), dan beta (13-30 Hz). Hasil rekaman EEG akan dibagi dalam beberapa titik bagian pengamatan. pada penelitian ini, eksperimen dilakukan selama 60 menit dan dibagi menjadi 10 titik bagian pengamatan, di mana setiap titik bagian pengamatan mewakili 6 menit waktu eksperimen. Pembagian blok eksperimen ini bertujuan untuk melihat perubahan yang terjadi pada semua responden terhadap waktu pengamatan (Pascawati, 2016). Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai rasio menggunakan Pers.1. Digunakan algoritma seperti pada Pers.1 karena menurut Jap, Lal, Fischer, dan Bekiaris (2011), algoritma tersebut merupakan algoritma terbaik untuk mendeteksi kantuk. Berikut adalah algoritma yang menghitung nilai rasio. digunakan ๐กโ๐๐ก๐ (๐)+๐๐๐โ๐ (๐ผ) ๐๐๐ก๐ (๐ฝ) untuk Pers. 1 Perhitungan nilai rasio dilakukan untuk 6 kombinasi perlakuan (treatment) yang dilakukan. Perhitungan nilai rasio dilakukan untuk setiap titik bagian pengamatan dan juga untuk nilai rata-rata tiap gelombang selama 60 menit eksperimen. Data tersebut digunakan sebagai input untuk pengujian ANOVA dan uji Tukey. Setelah itu dilakukan rekapitulasi terhadap nilai rasio dari rata-rata 60 menit waktu eksperimen. Rekapitulasi tersebut dilakukan untuk masing-masing partisipan berdasarkan durasi tidur dan variasi tempo musik klasik. Berikut adalah hasil rekapitulasi nilai rasio dari rata-rata data power gelombang otak yang telah diukur selama 60 menit Tabel 1. Rekapitulasi nilai rasio dari rata-rata 60 menit eksperimen Rasio tingkat kantuk < 5 jam Durasi Tidur (a) 5-7 jam 1 2 3 4 5 6 Total average 1 2 3 4 5 6 Total average < 90 bpm Lambat 1.1308 1.2373 1.1513 1.1426 1.1962 1.2396 7.0978 1.1830 1.0801 1.0625 1.0989 1.0764 1.0800 1.0713 6.4692 1.0782 Tempo Musik Klasik (b) 90-120 bpm Sedang 1.9748 1.8185 1.9939 1.1342 1.2128 1.2042 9.3385 1.5564 1.1018 1.5154 1.1858 1.6748 1.1688 1.1353 7.7819 1.2970 > 120 bpm Cepat 1.7133 1.0920 1.9989 1.9664 1.6238 1.9138 10.3081 1.7180 1.6845 1.1160 1.0937 1.1509 1.5333 1.6808 8.2593 1.3765 Hasil dan Pembahasan Hasil Sleep Diary dan KSS Lembar sleep diary diisi oleh partisipan sebelum mengemudi. Lembar sleep diary berguna untuk mengecek kuantitas tidur dari partisipan pada malam sebelum pengambilan data dilakukan. Tujuannya untuk mengetahui apakah kuantitias tidur partisipan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan atau tidak. Pengecekan kuantitias tidur (durasi tidur) partisipan dilakukan dengan memberikan pertanyaan mengenai waktu tidur dan waktu terjaga partisipan pada malam sebelumnya. Dengan mengetahui waktu tidur dan waktu terjaga partisipan pada malam sebelumnya, maka kuantitias tidur (durasi tidur) partisipan juga dapat diketahui. Namun untuk waktu tidur dan waktu terjaga partisipan pada malam sebelumnya tidaklah akurat karena hanya sebatas penentuan secara subjektif oleh partisipan. Waktu tidur pada malam sebelumnya ditentukan dari waktu partisipan berada di ranjang untuk tidur, sedangkan waktu terjaga ditentukan dari waktu partisipan beranjak dari kasur. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa durasi tidur partisipan pada malam sebelumnya telah memenuhi persyaratan dan telah sesuai dengan jadwal yang telah dibuat. Pengukuran subjektif dengan menggunakan lembar Karolinska Sleepiness Scale (KSS) bertujuan untuk mengetahui kondisi kantuk pengemudi sebelum dan setelah mengemudi. Partisipan akan menilai dirinya dengan angka yang berkisar antara 1 (waspada penuh) sampai 9 (sangat mengantuk). Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner ini hanya dilakukan satu kali pada saat sebelum mengemudi dan satu kali pada saat selesai mengemudi. Data kondisi tingkat kantuk ini digunakan sebagai proses screening ketika akan melakukan pengolahan data. Partisipan yang akan melakukan eksperimen diharapkan telah mengalami kantuk terlebih dahulu karena partisipan telah mengalami kekurangan durasi tidur pada malam sebelumnya dan tingkat kantuknya menjadi berkurang setelah mengemudi karena pengaruh perlakuan yang diberikan. Berdasarkan data pengisian hasil KSS yang telah dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa partisipan yang tidur kurang dari 5 jam pada malam sebelumnya, memberi penilaian KSS yang lebih tinggi atau lebih besar jika dibandingkan pada saat partisipan tersebut tidur antara 5-7 jam pada malam sebelumnya. Jika hasil dari KSS ini dibandingkan dengan hasil pengukuran gelombang otak yang dilakukan, hasil yang diperoleh adalah selaras atau sejalan. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kantuk yang diukur secara objektif menggunakan alat ukur gelombang otak (EEG), didapatkan hasil bahwa partisipan yang tidur kurang dari 5 jam pada malam sebelumnya memiliki rasio tingkat kantuk yang lebih besar dibandingkan dengan partisipan yang tidur antara 5-7 jam pada malam sebelumnya. Hasil yang didapatkan dengan alat ukur gelombang otak tersebut sama (selaras) dengan hasil yang didapatkan dari hasil pengisian lembar KSS. Uji ANOVA Uji ANOVA yang digunakan dalam penelitian adalah untuk two-way within subject design. Kedua faktor yang digunakan dalam penelitian adalah faktor durasi tidur (<5 jam dan antara 5-7 jam) dan faktor variasi tempo musik klasik (lambat, sedang, dan cepat). Respon yang digunakan dalam uji ANOVA ini adalah tingkat kantuk, yang dilihat dari nilai rasio rata-rata 60 titik pengamatan. Seluruh uji ANOVA dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α=5%). Berdasarkan data dari Tabel 1, selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap nilai F untuk melakukan uji ANOVA. Berikut adalah hasil perhitungan yang diperoleh. Tabel 2. Hasil Perhitungan Uji ANOVA TwoWay Within Subject Design Source degree Sum of of Squares freedom Mean F hitung F tabel Squares Between Subjects Within 5 0,1035 0,0207 Faktor durasi tidur 1 0,4980 0,4980 Error faktor durasi tidur 5 0,2740 0,0548 Faktor variasi tempo musik klasik 2 0,1034 0,5517 Error faktor variasi tempo musik klasik 10 0,9049 0,0905 Interaksi faktor durasi tidur dan faktor variasi tempo musik klasik 2 0,0867 0,0433 Error interaksi faktor durasi tidur dan faktor variasi tempo musik klasik 10 0,8597 0,0860 Total 35 38,301 9,0885** 6,61 6,0969** 4,10 0,5041 4,10 Untuk dapat mengambil keputusan apakah menolak atau tidak menolak H0, dilakukan perbandingan antara F0 dengan Ftabel. Besarnya tingkat kesalahan (α) yang digunakan ialah 5%. Nilai degree of freedom untuk faktor durasi tidur adalah 1, sedangkan nilai degree of freedom untuk error faktor durasi tidur adalah 5. Nilai Ftabel untuk degree of freedom 1 dan 5 dengan tingkat kesalahan sebesar 5% ialah 6,61. Nilai F0 untuk faktor durasi tidur (9,0885) lebih besar dari nilai RATA-RATA RASIO F0,05,1,5 (6,61), maka kesimpulannya ialah menolak H0, Nilai degree of freedom untuk faktor variasi tempo musik klasik adalah 2, sedangkan nilai degree of freedom untuk error faktor variasi tempo musik klasik ialah 10. Nilai Ftabel untuk degree of freedom 2 dan 10 dengan tingkat kesalahan sebesar 5% ialah 4,10. Nilai F0 untuk faktor variasi tempo musik klasik (6,0969) lebih besar dari nilai F0,05,2,10 (4,10), maka kesimpulannya adalah menolak H0. Sementara untuk interaksi antara faktor durasi tidur dan faktor variasi tempo musik klasik, nilai F0 (0,5041) lebih kecil dari nilai F0,05,2,10 (4,10), maka kesimpulannya adalah tidak menolak H0. Untuk mengetahui apakah terjadi interaksi atau tidak, hal lain yang dilakukan adalah dengan melihat grafik interaksi antara faktor durasi tidur dan faktor variasi tempo musik klasik. Grafik ini berisikan hasil plot rata-rata rasio tingkat kantuk untuk setiap level dari faktor. Hasil plot rata-rata rasio tingkat kantuk untuk setiap level dari faktor durasi tidur dan faktor variasi tempo musik klasik dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil plot rata-rata rasio tingkat kantuk ini juga menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara faktor durasi tidur dan faktor variasi tempo musik klasik. Hal ini juga sesuai dengan nilai F0 yang jauh berbeda dengan nilai dari Ftabel. 2.0000 1.5000 1.0000 1.1830 1.0782 1.5564 1.2970 1.7180 1.3765 bpm). Untuk faktor A (durasi tidur) yang hanya terdiri dari 2 level, yaitu kurang dari 5 jam dan 5-7 jam telah dinyatakan berpengaruh melalui uji ANOVA sehingga tidak perlu lagi dilakukan uji signifikansi. Tujuan dilakukan uji Tukey adalah untuk mengetahui apakah pasangan setiap level yang terdapat pada faktor B berbeda secara signifikan atau tidak. Langkah pertama untuk melakukan Uji Tukey adalah menghitung besar perbedaan antara dua rata-rata rasio untuk dibandingkan dengan nilai Tα. Dikarenakan tidak terdapatnya interaksi antara faktor durasi tidur dan faktor tempo musik klasik, tidak dilakukan perhitungan terpisah untuk setiap faktor A. Untuk menghitung nilai rata-rata rasio untuk setiap level, dilakukan penggabungan data yang berasal dari faktor A, yaitu durasi tidur kurang dari 5 jam dan durasi tidur 5-7 jam. Nilai rata-rata rasio setiap level faktor tempo musik klasik dari kedua durasi tidur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Perhitungan Nilai Rata-rata Rasio Setiap Level Faktor Tempo Musik Klasik Tempo Musik Klasik Rasio Tingkat Kantuk < 5 jam Durasi Tidur 5-7 jam Rata-rata 0.5000 0.0000 Lambat Sedang Cepat DURASI TIDUR < 5 jam 5-7 jam Gambar 7. Grafik Hasil Plot Rata-Rata Rasio Tingkat Kantuk Uji Post-Hoc dengan Uji Tukey Uji Tukey hanya dapat dilakukan jika hasil yang diperoleh dari uji ANOVA ialah menolak H0. Dari hasil uji ANOVA, didapatkan kesimpulan bahwa dapat dilakukan uji Tukey untuk faktor A dan B karena tidak terdapat cukup bukti untuk tidak menolak H0 untuk faktor A dan B. Akan tetapi, uji Tukey hanya dilakukan untuk faktor B (Tempo musik klasik) karena terdiri dari 3 level, yaitu lambat (<90 bpm), sedang (90-120 bpm), dan cepat (>120 Partisipan 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 < 90 bpm 90-120 bpm Lambat Sedang Cepat 11,308 12,373 11,513 11,426 11,962 12,396 10,801 10,625 10,989 10,764 10,800 10,713 11,306 19,748 18,185 19,939 11,342 12,128 12,042 11,018 15,154 11,858 16,748 11,688 11,353 14,267 17,133 10,920 19,989 19,664 16,238 19,138 16,845 11,160 10,937 11,509 15,333 16,808 15,473 > 120 bpm Perbedaan yang dihitung dalam uji Tukey ini adalah tempo lambat-sedang, lambat-cepat, dan sedang-cepat. Hasil dari perhitungan perbedaan rata-rata dua level secara berpasangan dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai Tα diperoleh dengan menggunakan persamaan yang terdapat pada Pers II.25. Nilai q0,05 (3,6) yang diperoleh dari tabel percentage points of the studentized range statistic ialah 4,34, dimana nilai MSE dari dari hasil uji ANOVA ialah 0,0905 dan terdapat 12 data untuk setiap level. Tabel 4. Hasil Perbedaan Rata-rata Rasio Setiap Pasangan Level Rata-rata Rasio Perbedaan Rata-rata Rasio Setiap Level Lambat Sedang Cepat 11,306 14,267 Lambat Sedang 0,0000 0,2961 0,0000 15,473 Cepat 0,4167 0,1206 0,0000 Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka besarnya nilai Tα ialah 4,34 x 0,0868 = 0,3769. Setelah mendapatkan nilai Tα, maka baru dilakukan perbandingan nilai rata-rata rasio. Jika nilai perbedaan rata-rata rasio pasangan level lebih besar dibandingkan dengan nilai Tα, maka kedua level tersebut berbeda secara signifikan dan sebaliknya. Hasil perbandingan nilai perbedaan rata-rata dengan nilai Tα beserta hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Perbandingan dan Kesimpulan Uji Tukey Durasi Tidur (A) Level faktor B Lambat-Sedang Perbedaan rata-rata 0,2961 <5 jam & 5-7 jam Lambat-Cepat 0,4167 Sedang-Cepat 0,1206 Tα Hasil Tidak signifikan 0,3769 Signifikan Tidak signifikan Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa nilai perbedaan rata-rata rasio antara tempo lambatsedang (0,2961) dan tempo sedang-cepat (0,1206) memiliki nilai perbedaan rata-rata yang lebih kecil dibandingkan nilai Tα (0,3769) sehingga kedua pasangan level tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Namun, pasangan tempo lambatcepat memiliki perbedaan rata-rata yang lebih besar (0,4167) dibandingkan nilai Tα (0,3769) sehingga pasangan level tempo lambat-cepat memiliki perbedaan yang signifikan. kekurangan tidur pada malam sebelumnya ketika mengemudi di jalan monoton adalah tempo musik klasik yang lambat (<90 bpm). Hasil ini dilihat dari perbedaan yang signifikan antara rasio tingkat kantuk yang dihasilkan oleh variasi tempo musik yang diteliti. Saran Berdasarkan rangkaian penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan untuk pengemudi yang kekurangan tidur ketika mengemudi di jalan monoton adalah dengan mendengarkan musik klasik, pengemudi dapat mengurangi tingkat kantuk yang dirasakan ketika mengemudi agar pengemudi tidak mengalami penurunan performansi ketika mengemudi. Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya antara lain: 1. Menggunakan faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti suhu, bau-bauan, ataupun pencahayaan untuk mencegah tingginya rasio tingkat kantuk yang dialami. 2. Dapat menentukan tempo musik klasik yang optimal bagi pengemudi yang mengalami kondisi tidur yang normal atau sehat pada malam sebelumnya. 3. Dapat menentukan tempo musik klasik yang optimal bagi pengemudi yang mengalami kondisi kekurangan tidur selama beberapa hari secara beruntun (multiple night). Simpulan Daftar Pustaka Berdasarkan rangkaian penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor durasi tidur atau variasi tempo musik klasik mempengaruhi rasio tingkat kantuk pengemudi yang mengalami kekurangan tidur pada malam sebelumnya ketika mengemudi di jalan monoton. Tetapi interaksi atau penggabungan antara 2 faktor tersebut tidak mempengaruhi rasio tingkat kantuk pengemudi yang mengalami kekurangan tidur pada malam sebelumnya ketika mengemudi di jalan monoton. 2. Tempo musik klasik yang dapat menghasilkan rasio tingkat kantuk terendah untuk pengemudi yang mengalami Arif, R. H. (2016). Pengaruh Variasi Tempo Musik Klasik Terhadap Kemampuan Kognitif dan Kecepatan Reaksi Pada Kondisi Kekurangan Tidur. Skripsi Teknik Industri. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan. Arya, A. W., Wahyuning, C. S., Desrianty, A. (2014). Analisis Pengaruh Tempo dan Genre Musik Terhadap Kewaspadaan Pengemudi Mobil Pribadi. Jurnal Teknik Industri. Bandung: Institut Teknologi Nasional. Badan Pusat Statistik. (2014). Jumlah Kecelakaan, Korban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2013. Diunduh dari http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelSta tis/ 1415. Diakses pada tanggal 20 Juli 2016. Balkin, T. J., Horrey, W. J., Graeber, R. C., Czeiler, C. A., & Dinges, D. F. (2011). The challenges and opportunities of technological approaches to fatigue management. Accident Analysis and Prevention, 43, 565-572. Brodsky, W. (2002). The Effects of Music Tempo on Simulated Driving Performance and Vehicular Control. Transportation Research Part 4, 219-241. Catharina (2014). Pengaruh Jenis Musik dan Aroma Terapi Terhadap Kemampuan Kognitif Mahasiswa Untuk Tiap Tipe Kepribadian. Bandung: Universitas Katolik Parhayangan Craig, A., Tran, Y., Wijesuriya, N., Boord, P. (2006). A controlled investigation into the psychological determinants of fatigue. Biological Psychology, 72(1), 7887. Craig, A., Tran, Y., Wijesuriya, N., & Nguyen, H. (2012). Regional brain wave activity changes associated with fatigue. Pshychophysiology, 49, 574-582. Dacota. (2012). Fatigue. Diunduh dari http://ec.europa.eu/transport/road_safety/sp ecialist/erso/pdf/safety_issues/hazardous_b ehaviour/06-fatigue_en.pdf. Diakses tanggal 15 September 2016. Dalton, B., H., & Behm. D., G. (2007). Effect of noise and music on human and task performance: A systematic review. Occupational Ergonomics, 7, 143152. Dawson, D., & McCulloch, K. (2005). Managing fatigue: It’s about sleep. Sleep Medicine Reviews, 9, 365–380. Dawson, D., Searle, A. K., & Paterson, J. L. (2014). Look before you (s)leep: Evaluating the use of fatigue detection technologies within a fatigue risk management system for the road transport industry. Sleep Medicine Reviews, 18, 141-152. Ekanayake, H. (2015). P300 and Emotiv Epoc : Does Emotiv Epoc Capture Real EEG ? Researce Use of Emotiv Epoc. Fachrudin, F., Wahyuning, C.S., dan Yuniar. (2015). Analisis Pengaruh Tingkat Kantuk Terhadap Kecepatan Reaksi Masinis Daerah Operasi II Bandung. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, 3(1). Fadel, M., Muis, M., & Russeng, S. S. (2014). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Pengangkutan BBM Di TBBM PT. Pertamina Parepare. Jurnal Teknik Industri. Makasar: Universitas Hasanuddin. Ferdinand, R. (2016). Penentuan Suhu Ruang Kemudi dengan Memerhatikan Variabel Kondisi Pengemudi yang Kekurangan Tidur dan Kondisi Jalan. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan. Foong, R., Ang, K. K., Quek, C., Guan, C., & Wai, A. A. P (2015). An analysis on driver drowsiness based on reaction time and EEG band power. IEEE, 15, 7982. Gallahue, D., Ozmun, J. C. (1998). Understanding Motor Development. New York: McGraw-Hill. Garliah, L. (2009). Pengaruh Tidur Bagi Prilaku Manusia. Skripsi Psikologi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Gastaldi, M., Rossi, R., & Gecchele, G. (2014). Effects of driver task-related fatigue on driving performance. Social and Behavioral Sciences, 111, 955-964. Hirshkowitz, M., Whiton, K., Albert, S. M., Alessi, C., Bruni, O., DonCarlos, L., Hazen, N., Herman, J., Katz, E. S., KheirandishGozal, L., Neubauer, D. N., O'Donn’ell, A. E., Ohayon, M., Peever, J., Rawding, R., Sachdeva, R. C., Setters, B., Vitiello, M. V., & Ware, J. C., Hillard, P. J. A. (2015). National Sleep Foundation's sleep time duration recommendations: methodology and results summary. Sleep Health, 1, 4043. Jap, B. T., Lal, S., Fischer, P., & Bekiaris, E. (2009). Using EEG spectral components to assess algorithms for detecting fatigue. Expert Systems with Applications, 36, 2352-2359. Johns, M. W. (2009). What is Excessive Daytime Sleepiness? Sleep Deprivation: Cause, Effects and Treatment, 55-94. New York: Nova Science Johnson, R. R., Popovic, D. P., Olmstead, R. E., Stikic, M., Levendowski, D. J., & Berka, C. (2011). Drowsiness/ alertness algorithm development and validation using synchronized EEG and cognitive performance to individualize a generalized model. Biological Psychology, 87, 241-250. Kartika, M. (2009). Analisis Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor di Wilayah Depok. Depok: Universitas Indonesia. Lal, S. K. L & Craig, A. (2001). A critical review of the psychophysiology of driver fatigue. Biological Psychology, 55, 173-194 Larue, G. S., Rakotonirainy, A., & Pettitt, A. N. (2011). Driving performance impairments due to hypovigilance on monotonous roads. Accident Analysis and Prevention, 43, 2037-2046. Mahachandra, A. S. S. M. (2012). Pengembangan Metode Deteksi Kantuk Berbasiskan Perubahan Fisiologis dan Kewaspadaan Pengemudi Mobil Penumpang. Disertasi Teknik dan Manajemen Industri. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Martin, D. W. (2008). Doing Psychology th Experiment, 7 Edition. North Carolina, United States: Thomson Wadsworth. Maxwell, S. E. & Delaney, H. D. (2004). Designing Experiments And Analyzing Data: A Model Comparison Perspective, Second Edition. New Jersey, United States: Lawrence Erlbaum Associates. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dana Industri. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002. Menteri Perhubungan Republik Indonesia. (2015). Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 111 Tahun 2015. Montgomery, D. C. & Runger, G. C. (2002). Applied Statistics And Probability For Engineers, Third Edition. India: John Wiley & Sons. NHTSA. (2008). Traffic Safety Facts: Comparison of Crash Fatalities by Sex and Age Group. New Jersey: NHTSA's National Center for Statistic and Analysis. Obst, P., Armstrong, K., Smith, S., & Banks, T. (2011). Age and gender comparisons of driving while sleepy: Behaviours and risk perceptions. Transportation Research Part F: Traffic Pshychology and Behaviour, 14, 539-542. Pascawati, R. (2016). Studi Kelelahan Aktivitas Mengemudi pada Simulator Kereta Api dengan Memanfaatkan Electoencephalogram (EEG). Tesis Teknik dan Manajemen Industri. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Phillips, R. O. (2015). A review of definitions of fatigue – And a step towards a whole definition. Transportation Research Part F, 29, 48-56. Prabaswara, S. (2013). Studi Kelelahan Dalam Aktivitas Mengemudi Berdurasi Panjang. Bandung: Insitut Teknologi Bandung. Queensland Department of Justice and Attorney-General (2015). Effects of Fatigue. Diunduh dari http://www.worksafe.qld.gov.au/. Rahayu, R. P. P. (2013). Eektivitas Musik Pengiring kerja Dalam Mengurangi Kebosanan dan Kelelahan Kerja. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Ratnasari, F., Kumaat, L., & Mulyadi. (2014). Hubungan Karakterisitk Remaja Dengan Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas Pada Komunitas Motor Sulut King Community (SKC) Manado. Jurnal Ilmu Keperawatan. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Sari, Y. K., Wijayanto, H., Srie, N. K. (2014). Pengaruh Jenis Musik Terhadap Kecemasan Pengemudi. The 17th International Symposium. Jember: Universitas Jember. Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2011). Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks. Silver, R. & LeSauter, J. (2008). Circadian and Homeostatic Factors in Arousal. Annals of the New York Academy of Science. 263274. Smolensky, M., Di Milia, L., Ohayon, M., & Philip, P. (2011). Sleep Disorder, Medical Conditions, and Road Accident Risk. Accident Analysis and Prevention. 43, 533548. Staubach, M. (2009). Factors correlated with traffic accident as a basis for evaluating advanced driver assistance system. Accident Analysis and Prevention, 41, 1025-1033. Thiffault, P. & Bergeron, J. (2003). Monotony of road environment and driver fatigue: a simulator study. Accident Analysis and Prevention, 35, 381-391. Unal, A., B., Steg, L., & Epstude, K. (2012). The influence of music on mental effort and driving performance. Accident Analysis and Prevention, 48, 271-278. WHO. (2015). Global Status Report On Road Safety 2015. Geneva, Switzerland: World Health Organization. WHO. (2014). Road Traffic Death and Proportion of Road User by Country/Area. Diunduh dari http://www.who.int/violence_injury_ prevention/road_safety_status/2015/TableA2.p df?ua=1. Diakses tanggal 21 juli 2016. Zhao, C., Zhao, M., Liu, J., & Zheng, C. (2012). Electroencephalogram and electrocardiograph assessment of mental fatigue in a driving simulator. Accident Analysis and Prevention, 45, 83-90. Zhuang, T., Zhao, H., & Tang, Z. (2009). A study of brainwave entrainment based on EEG brain dynamics. Computer and Information Science, 2, 2.