PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN DAERAH ISTIMEWA

advertisement
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Desember 2012
Vol. 3, No. 2, Desember 2012, 123 - 138
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
123
PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH
Sulianti
Siti Rochmah Ika
Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra
Abstract
The present study aims to compare the financial performance of Yogyakarta Province in
the period before and after the implementation of Regional Autonomy Law in 2001. After the
implementation of the law, local governments have the authority to manage their budget in terms of
revenue and spending. Therefore it has been expected that local governments have better financial
performance after autonomy era. The financial performance was measured by some ratios such as
spending efficiency ratio, own source revenue effectiveness ratio, and local government financial
dependence ratio. Data was obtained from Yogyakarta’s province revenue and expenditure budget
as well as its realization in the period 1999 to 2010.
The results indicate that there is no financial performance difference in the period before and
after the implementation of Regional Autonomy Law. In terms of spending efficiency ratio, the ratio
suggests that the expenditure of Yogyakarta Province remains inefficient in the period after regional
autonomy. Meanwhile, own source revenue effectiveness ratio indicates that Yogyakarta Province
has achieved its targeted revenue. In terms of financial dependence ratio, the number suggests that
Yogyakarta Province still relies on central government funding to finance its expenditure.
Keywords: Regional Autonomy, The Local Government’s Financial Performance, Spending
Efficiency Ratio, Own Source Revenue Effectiveness Ratio, and Local Government
Financial Dependence Ratio.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis multidimensional yang dipicu oleh
krisis ekonomi tahun 1997 telah menyadarkan
bangsa Indonesia untuk menggagas kembali
konsep otonomi daerah dalam arti yang
sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem
otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk
menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas,
transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi
nilai-nilai
kerakyatan
dalam
praktik
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
(Mardiasmo, 2002).
Dikeluarkannya Undang-undang (UU)
No. 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang telah
diubah menjadi UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, adalah menjadi langkah awal
memulai otonomi daerah yang sesuai dengan
harapan. Dengan dikeluarkannya UU tersebut
maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan
yang luas dalam menyelenggarakan semua
urusan pemerintah mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi kecuali kewenangan bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter, fiskal, agama, dan kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Sebagai konsekuensi dari kewenangan
otonomi yang luas, setiap pemerintah daerah
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
secara demokratis, adil, merata, dan
berkesinambungan.
124
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Terkait dengan kewajiban tersebut maka
pemerintah daerah harus mampu mengelola
potensi daerahnya yaitu potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia dan potensi
sumber daya keuangan secara optimal. Seperti
yang tercantum pada Peraturan Pemerintah
(PP) No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah
bahwa pengelolaan keuangan daerah harus
dilakukan secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien,
efektif, transparan dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas keadilan dan
kepatuhan. Kemampuan pemerintah daerah
dalam mengelola keuangan dituangkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang langsung maupun tidak langsung
mencerminkan
kemampuan
pemerintah
daerah dalam membiayai pelaksanaan tugastugas pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan sosial masyarakat. Penelitian ini
akan membahas tentang kewajiban pemerintah
daerah dalam hal kemampuan melakukan
pembiayaan dengan melakukan analisis
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
Secara
garis
besar,
pengelolaan
(manajemen) keuangan daerah dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu manajemen
penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran
daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat
menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi
daerah. Keuangan daerah bisa dikatakan baik
apabila pendapatan asli daerahnya telah mampu
membiayai sebagian besar belanja daerahnya
sendiri, atau juga bisa disebut daerah tersebut
memiliki tingkat ketergantungan yang rendah
terhadap pemerintah pusat. Oleh karena itu
dengan adanya otonomi daerah diharapkan
pemerintah daerah dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor
publik di Indonesia.
Penelitian
ini
untuk
mengetahui
perkembangan tingkat kemandirian daerah
setelah melewati lebih dari 10 tahun otonomi
daerah (dimulai tahun 2001) dengan
cara menganalisa kinerja keuangannya.
Selanjutnya penelitian ini mengambil
lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
karena pemerintah daerah ini mempunyai
Desember 2012
keunikan tersendiri. Yogyakarta memiliki
kedudukan sebagai Daerah Otonom setingkat
Provinsi dan ditetapkan sebagai Daerah
Istimewa sesuai dengan UU No. 3 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dalam UU tersebut dinyatakan
Provinsi DIY meliputi Daerah Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah
Kadipaten Pakualaman. Pada setiap UU yang
mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan
keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui,
sebagaimana dinyatakan terakhir dalam UU
No. 32 Tahun 2004. UU terbaru mengenai
keistimewaan DIY diatur dalam UU No.
13 tahun 2012 yang berisi tentang lima
aspek keistimewaan antara lain mekanisme
pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan
penetapan di DPRD, kelembagaan pemerintah
DIY, bidang pertanahan, kebudayaan dan tata
ruang. Dalam mekanisme pengisian jabatan
disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY diisi oleh Sultan dan Paku Alam
yang bertahta sesuai dengan paugeran Keraton
serta Pura Pakualaman. Berdasarkan UU ini
pula sebutan Yogyakarta sebagai Pemerintah
Provinsi DIY diubah menjadi Pemerintah DIY
(tanpa provinsi) yang kedudukannya langsung
berada di bawah pemerintah pusat. Oleh karena
periode penelitian ini tidak sampai tahun 2012
maka pemerintah DIY masih disebut sebagai
Pemerintah Provinsi DIY.
Sebelum dikeluarkannya UU Otonomi
daerah tahun 1999, Provinsi DIY terbagi dalam
5 (lima) Daerah Tingkat II yang terdiri dari
satu daerah Kota Madya dan empat Kabupaten
masing-masing (www.pemda-diy.go.id):
a. Kota Madya Yogyakarta, terdiri dari
14 Kecamatan dan 45 Kelurahan.
b. Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman,
terdiri dari 17 Kecamatan dan 86
Desa.
c. Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul,
terdiri dari 17 Kecamatan dan 75
Desa.
d. Kabupaten Daerah Tingkat II
Kulonprogo,
terdiri
dari
12
Kecamatan dan 75 Desa.
e. Kabupaten Daerah Tingkat II Gunung
Kidul, terdiri dari 18 Kecamatan dan
144 Desa.
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
Akan tetapi dengan dikeluarkannya UU
No. 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah maka kelima daerah Provinsi DIY
tersebut masing-masing telah memiliki
wewenang untuk mengatur dan bertanggung
jawab dalam pengolahan daerah masingmasing. Di era sebelum pemberlakuan UU
otonomi daerah tahun 1999 Provinsi DIY
mempunyai kewajiban mengurus daerahdaerah di bawahnya. Namun setelah berlakunya
UU otonomi tersebut berarti cakupan
tanggungjawab dan wewenang Provinsi
DIY lebih menyempit, hal ini menimbulkan
persepsi bahwa pendapatan asli daerahnya jadi
menurun sehingga ketergantungan terhadap
pusat akan meningkat.
Berdasarkan uraian di atas maka akan
dianalisis kinerja keuangan pemerintah
Provinsi DIY dengan membandingkan tingkat
kemandiriannya sebelum dan sesudah otonomi
daerah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan
masalah yang akan dibahas adalah:
a. Bagaimanakah tingkat kemandirian
Provinsi DIY sebelum dan sesudah
Otonomi Daerah jika dilihat dari rasio
efisiensi belanja?
b. Bagaimanakah tingkat kemandirian
Provinsi DIY sebelum dan sesudah
Otonomi Daerah jika dilihat dari rasio
efektifitas Pendapatan asli Daerah
(PAD)?
c. Bagaimanakah tingkat kemandirian
Provinsi DIY sebelum dan sesudah
Otonomi Daerah jika dilihat dari rasio
kemandirian keuangan daerahnya?
d. Bagaimana tren rasio efisiensi
belanja, rasio efektifitas PAD, dan
rasio kemandirian keuangan daerah
5 (lima) tahun ke depan (dimulai dari
tahun 2010)?
125
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
1. Otonomi Daerah
a. Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan
Otonomi Daerah
Semakin kuatnya tuntutan desentralisasi,
pemerintah akhirnya mengeluarkan UU
Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun
1999 yang telah diubah menjadi UU No.32
tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
UU No. 25 Tahun 1999 yang telah diubah
menjadi UU No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut UU
tersebut Otonomi Daerah adalah kewenangan
Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Terdapat beberapa perbedaan antara UU
Otonomi Daerah tahun 1999 dengan tahun
2004. Perbedaan yang paling signifikan adalah
gubernur atau kepala daerah dipilih langsung
oleh masyarakat pada UU tahun 2004. Adapun
perbedaan yang lain diringkas dalam Tabel 1.
Ada dua tujuan utama dalam kebijakan
desentralisasi yaitu tujuan politis dan tujuan
administratif. Tujuan politis otonomi adalah
mencegah terjadinya sentralisasi dan bentuk
pemisahan diri. Sedangkan tujuan administratif
otonomi daerah adalah mengisyaratkan
pemerintah daerah untuk mencapai efisiensi,
efektivitas, dan ekonomis dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya. Dengan otonomi
daerah diharapkan ketergantungan terhadap
pemerintah pusat bisa berkurang terutama
dalam hal pembiayaan belanja daerah. Oleh
karena itu dalam melaksanakan tugasnya
pemerintah daerah bisa lebih mengoptimalkan
pengelolaan daerahnya secara lebih baik.
126
Desember 2012
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Tabel 1. Perbedaan UU Tahun 1999 dan UU Tahun 2004
Istilah
UU 1999
UU 2004
Pemerintah Pusat Perangkat NKRI yang terdiri dari presiden Presiden Republik Indonesia yang memegang
beserta para menteri menurut asas kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
desentralisasi
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
Desentralisasi
wewenang
pemerintahan
oleh
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Penyerahan
pemerintah kepada daerah otonom dalam pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
kerangka NKRI
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
NKRI
Dekonsentrasi
Pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau perangkat pusat di
daerah
Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
wilayah tertentu
s Penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan desa, dari daerah ke desa
untuk melaksanakan tugas tertentu
yang disertai pembiayaan, sarana, dan
prasarana serta SDM dengan kewajiban
melaporkan
pelaksanaannya
dan
mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan
Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupatean/
kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupatean/
kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
Otonomi daerah
Kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasar aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Daerah otonom
Keaatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu,
berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam NKRI
Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintaha dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI
T u g a
pembantuan
W i l a y a h Wilayah kerja Gubernur selaku wakil Tidak dijelaskan
admininstrasi
pemerintah
Kelurahan
Wilayah kerja lurah sebagai perangkat Tidak dijelaskan
daerah kabupaten dan/atau daerah kota di
bawah kecamatan
P e m e r i n t a h Kepala daerah beserta perangkat daerah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda
daerah
P e m e r i n t a h a n Penyelenggaraan Pemda otonom oleh Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
daerah
Pemda dan DPRD dan/ atau daerah kota di pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
bawah kecamatan
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem prinsip NKRI
Sumber: UU No. 22 Tahun 1999 & UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
2. Kinerja Keuangan
a. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Pengelolaan keuangan daerah tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Dengan terbitnya
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33
Tahun 2004 maka berbagai prinsip dasar
yang ada dalam UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara dan UU Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara kembali dipertegas dan menjadi acuan
dalam pengalihan keuangan daerah.
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
Pengelolaan
Keuangan
Daerah
meliputi tiga tahapan yaitu: Perencanaan
dan Penganggaran, Pelaksanaan serta
Pertanggungjawaban.
Menurut
Halim
(2004: 24), kinerja keuangan pemerintah
daerah merupakan salah satu ukuran yang
dapat digunakan untuk melihat kemampuan
daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu
indikator keuangan atau non keuangan dari
suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil
yang dicapai dari suatu aktivitas proses atau
unit organisasi. Pengukuran kinerja merupakan
wujud akuntabilitas dimana penilaian yang
lebih tinggi menjadi tuntutan yang harus
dipenuhi. Data pengukuran kinerja dapat
menjadi peningkatan program selanjutnya.
Menurut Ronald dan Sarmiyatiningsih
(2010: 6), tujuan umum laporan keuangan
adalah menyajikan informasi mengenai posisi
keuangan, realisasi anggaran, arus kas dan
kinerja keuangan suatu entitas pelaporan
yang bermanfaat bagi para pengguna dalam
membuat dan mengevaluasi keputusan
mengenai alokasi sumber daya. Secara spesifik,
tujuan pelaporan keuangan pemerintah adalah
untuk menyajikan informasi yang berguna
dalam pengambilan keputusan dan untuk
menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan
atas sumber daya tersebut. Menurut UU No.
32 Tahun 2004, Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa
uang dan barang yang dapat dijadikan milik
daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut. Pada prinsipnya
keuangan daerah mengandung unsur pokok,
yaitu: (1) Hak Daerah yang dapat dinilai
dengan uang, (2) Kewajiban Daerah, dan (3)
Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban tersebut.
Hak Daerah dalam rangka keuangan
daerah adalah segala hak yang melekat pada
daerah yang digunakan dalam mengisi kas
daerah. Hak Daerah tersebut meliputi antara
lain:
a. Hak menarik pajak daerah (UU No.
18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun
2000).
b. Hak menarik retribusi/iuran daerah
127
(UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No.
34 Tahun 2000).
c. Hak mengadakan pinjaman (UU No.
33 Tahun 2004).
d.
Hak untuk memperoleh dana
perimbangan dari pusat (UU No. 33
Tahun 2004).
Yang dimaksudkan kinerja keuangan
pemerintah daerah dalam penelitian ini adalah
tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang
keuangan daerah yang meliputi anggaran
dan realisasi PAD dengan menggunakan
indikator keuangan yang ditetapkan melalui
suatu kebijakan atau ketentuan perundangundangan selama satu periode anggaran.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi
tugas menjalankan roda pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib
menyampaikan pertanggungjawaban keuangan
daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah
daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan
baik atau tidak. Sejalan dengan otonomi
daerah yang mulai efektif diberlakukan sejak
Januari 2001, maka perlu diketahui bagaimana
Kinerja Keuangan Pemerintah Provinsi DIY
setelah berlakunya otonomi daerah.
3. Penelitian Terdahulu
Sumarsono
(2006),
menganalisis
Kemandirian Otonomi Daerah di
Kota
Malang (1999–2004), untuk mengetahui
tingkat kemandirian fiskal, tren kemandirian
fiskal dan derajat otonomi daerah Pemda
Kota Malang selama pelaksanaan otonomi
daerah dari tahun 1999 sampai dengan tahun
2004. Hasilnya menunjukkan bahwa rasio
Penghasilan Asli Daerah (PAD) terhadap Total
Pendapatan Daerah (TPD) Kota Malang relatif
besar, yaitu berkisar antara 4,8-7,3 persen.
Nilai ini cukup besar jika dibandingkan
dengan rata-rata nasional sebesar kurang dari
5 persen. Selisih indeks antara kapasitas fiskal1
dan kebutuhan fiskal2 cukup besar yaitu lebih
dari 10, yang menunjukkan bahwa efisiensi
publik daerah kota Malang cukup tinggi,
dimana produktivitas masyarakat relatif besar
dibandingkan dengan pembelanjaan publik.
Kinerja pengelolaan keuangan daerah oleh
1
2
Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pendapatan yang dapat dihasilkan oleh suatu
Negara/Daerah, atau juga di sebut dengan potensi penerimaan.
Kebutuhan fiskal adalah merupakan kebutuhan pendanaan suatu Negara/Daerah
untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum..
128
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Pemda Kota Malang menunjukkan elastisitas
PAD terhadap PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) sebesar 5,5-2,2 persen.
Dengan demikian pengelolaan keuangan di
Pemda Kota Malang tergolong in-elastis,
artinya kenaikan PDRB kurang berpengaruh
terhadap kenaikan PAD. Berdasarkan analisis,
tren elastistitas PAD adalah negatif, sedangkan
tren pertumbuhan PAD adalah positif. Hal ini
tidak terlepas dengan adanya deregulasi Perda
yang cenderung mengedepankan kepentingan
jangka panjang, yaitu pengendalian retribusi
dan pajak daerah serta memberikan insentif
bagi investasi lokal yang pada gilirannya akan
meningkatkan PAD melalui kenaikan PDRB
yang lebih signifikan.
Azhar (2008) menganalisis kinerja
keuangan pemerintah kota/kabupaten di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara sebelum dan sesudah otonomi
daerah. Dengan menggunakan metode statistik
untuk sampel yang dipasangkan (paired T Test),
hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan
kinerja pemerintah sebelum dan sesudah era
otonomi daerah, rata-rata kinerja keuangan
pemerintah mengalami penurunan. Hal ini bisa
dilihat dari pembiayaan daerah yang berasal
dari pemerintah pusat masih cukup tinggi.
Hal ini juga dikarenakan PAD yang menurun.
Dengan adanya otonomi daerah maka wilayah
daerah yang diatur semakin kecil.
Haryati (2006) menganalis tentang
perbandingan kinerja keuangan daerah
sebelum dan sesudah kebijakan otonomi
daerah di Kabupaten Sleman pada tahun 19982000 dan tahun 2001-2003. Kinerja keuangan
daerah diukur dengan derajat desentralisasi
fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan
fiskal (fiscal need), kapasitas fiskal (fiscal
capacity), upaya fiskal (tax effort) di Kabupaten
Sleman pada masa sebelum dan sesudah
otonomi daerah. Hasilnya disimpulkan bahwa
prosentase PAD terhadap TPD, pada masa
sesudah otonomi daerah melemah. Sedangkan
prosentase bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
(BHPBP) terhadap TPD pada masa sesudah
otonomi daerah juga melemah, akan tetapi
persentase Sumbangan Daerah terhadap TPD
pada masa sebelum otonomi daerah lebih kecil
dibandingkan pada masa sesudah otonomi
Desember 2012
daerah. Dengan kata lain tingkat kemandirian
fiskal daerah yang dilihat dari persentase
Sumbangan Daerah terhadap TPD sesudah
otonomi daerah menguat.
Rusydi
(2010)
meneliti
tentang
determinan kinerja keuangan pemerintah
daerah dan deteksi Ilusi Fiskal di Indonesia
pada tahun 2005-2008. Tujuannya adalah
untuk menganalisis determinan kinerja
keuangan pemerintah daerah di era otonomi
serta mendeteksi fenomena ilusi fiskal pada
pemerintah daerah provinsi di Indonesia.
Metode deteksi ilusi fiskal menggunakan
pendekatan
pendapatan
(revenue
enchanchement). Sampel penelitiannya adalah
seluruh provinsi di Indonesia pada periode
2005-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa
terdapat hubungan saling mempengaruhi
yang signifikan antara sisi PAD dengan sisi
pengeluaran (belanja daerah). PAD mampu
meningkatkan belanja daerah sebesar 0,67 juta
rupiah setiap kenaikan 1 juta PAD, sedangkan
belanja daerah mampu meningkatkan PAD
sebesar 0,07 juta rupiah setiap kenaikan 1
juta belanja daerah. Selain itu, penelitian ini
juga menemukan bahwa terdapat fenomena
ilusi fiskal di dalam kinerja keuangan
pemerintah daerah provinsi di Indonesia. Hal
ini menandakan bahwa pemerintah daerah
provinsi belum mengalokasikan sumber
pendapatannya (termasuk dana perimbangan)
secara efisien.
Suprapto (2006), menganalisis tentang
kinerja keuangan Pemda Kabupaten Sleman
dalam masa otonomi daerah pada tahun 2000 –
2004, dengan menggunakan rasio kemandirian
daerah dan efektivitas serta efisiensi daerah.
Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat
kemandirian daerah Kabupaten Sleman sangat
rendah dan belum mampu untuk melaksanakan
otonomi keuangan daerah. Tetapi jika dilihat
perkembangan
kemandirian
Kabupaten
Sleman untuk setiap tahun anggarannya
mengalami peningkatan, dikarenakan PAD
setiap tahunnya mengalami peningkatan
yang cukup besar. Hal ini menunjukkan
bahwa Pemda telah berusaha mandiri dalam
mengelola keuangan daerahnya dan berusaha
untuk dapat berotonomi sesuai dengan sasaran
yang hendak dituju dalam otonomi daerah.
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
Rasio efektivitas pendapatan daerah
Kabupaten Sleman selama lima tahun
anggaran (tahun 2000-2004) rata-rata sebesar
117,65% dengan peningkatan setiap tahunnya
sebesar 4,16%. Dengan demikian pemungutan
PAD cenderung efektif, karena kontribusi yang
diberikan terhadap target yang ingin dicapai
lebih dari 100%. Hal ini menunjukkan kinerja
pemda yang baik, karena setiap tahunnya target
PAD yang ingin dicapai selalu terealisasikan
sesuai dengan yang telah ditargetkan bahkan
untuk setiap tahunnya realisasi PAD yang
diterima lebih dari target yang ditetapkan.
Rasio Efisiensi pemungutan PAD Kabupaten
Sleman selama lima tahun anggaran (tahun
2000 sampai dengan tahun 2004) rata-rata
sebesar 6,7% dan setiap tahun anggaran
mengalami penurunan sebesar 1,384%.
Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan
PAD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun
semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan
untuk memungut PAD semakin proposional
dengan realisasi PAD yang didapatkan.
Penelitian ini pada dasarnya sama dengan
beberapa penelitian terdahulu yang membahas
tentang kinerja pemerintah pada masa sebelum
dan sesudah otonomi daerah. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah obyek penelitian yaitu Provinsi DIY
dan periode penelitian lebih panjang yaitu 12
tahun. Rasio yang digunakan penulis adalah
sama dengan penelitian Suprapto (2006)
yaitu rasio efisiensi, efektifitas, dan rasio
kemandirian keuangan daerah.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu
maka hipotesis yang dinyatakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Tingkat kinerja keuangan di Provinsi DIY
yang diukur dengan tiga rasio di atas setelah
diberlakukannya otonomi daerah adalah tidak
berbeda”.
METODE PENELITIAN
1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah kinerja
keuangan yang diukur dengan menggunakan
parameter berupa rasio efisiensi belanja,
rasio efektifitas PAD dan rasio kemandirian
keuangan daerah.
129
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder, yaitu data laporan
APBD Provinsi DIY tahun 1999-2010 dan
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Provinsi
DIY tahun 1999-2010. Periode 1999-2000
mewakili masa sebelum diberlakukannya
otonomi daerah sedangkan data tahun 20022010 mewakili periode sesudah otonomi
daerah. Data diperoleh dari Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah
(DPPKAD) Provinsi DIY dan situs Direktorat
Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) http://
www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/105/
Data keuangan yang diperlukan untuk
menghitung rasio adalah sebagai berikut:
a. PAD yaitu pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan
Peraturan Daerah sesuai dengan
Peraturan
Perundang-undangan.
Sumber PAD berasal dari (1) hasil
pajak daerah, (2) hasil retribusi
daerah, (3) hasil pengelolaan
kekayaan yang dipisahkan, dan lainlain PAD yang sah. Data yang akan
digunakan adalah berupa data Target
PAD dan Realisasi PAD.
b. Total Pendapatan Daerah meliputi
PAD dan dana transfer dari pusat,
juga pendapatan yang sah seperti
hibah.
c. Anggaran Belanja Daerah
d. Realisasi Belanja Daerah
3. Metode Analisa Data
Analisis statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
analisis tren.
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
1. Efisiensi Belanja Daerah
Efisiensi Belanja Daerah menggambarkan
perbandingan antara realisasi belanja atau
pengeluaran daerah terhadap anggaran belanja
daerah. Realisasi belanja daerah disebut efisien
jika kurang dari 1 atau 100%, dinyatakan tidak
efisien jika lebih dari 1 atau 100%. Semakin
kecil rasio efisiensi adalah semakin baik,
begitu juga sebaliknya, penilaian tingkat
efisiensi disajikan dalam Tabel 3.
130
Desember 2012
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Tabel 3. Tingkat Efisiensi Belanja Daerah
Tingkat Efisiensi
Rumus yang digunakan untuk mengukur
efisiensi belanja daerah adalah sbb:
Efisiensi Belanja Daerah (%)
Tidak efisien
Rasio Efisiensi Belanja:
> 100%
Kurang efisien
100% - 90%
Cukup efisien
90% - 80%
Efisien
80% - 60%
Sangat efisien
x 100%
Hasil penghitungan rasio efisiensi belanja
disajikan pada Tabel 4 berikut ini, sedangkan
grafiknya disajikan pada Gambar 1.
< 60 %
Sumber: Medi, 1996 ; Budiarto, 2007
Tabel 4. Rasio Efisiensi Belanja Provinsi DIY
Tahun
1999
Realisasi Belanja
Anggaran Belanja
Daerah (Rp)
Daerah (Rp)
159.808.725.779,00
167.238.851.404,09
Rasio
efisiensi
belanja (%)
95,56
Keterangan
Sebelum Otonomi
2000
168.721.644.783,06
189.566.256.544,11
89,00
2001
352.176.545.324,61
442.752.225.163,57
79,54
Start Otonomi
Sesudah Otonomi
2002
419.681.186.078,81
499.362.844.394,90
84,04
2003
580.397.210.000,00
497.215.370.000,00
116,73
2004
639.238.851.404,09
710.626.377.127,56
89,95
2005
676.198.526.226,98
768.498.591.570,00
87,99
2006
850.630.247.992,33
991.957.178.833,00
85,75
2007
977.994.235.390,00
1.092.987.452.192,00
89,48
2008
1.453.286.281.874,00
1.629.069.250.562,00
89,21
2009
1.327.487.848.943,00
1.478.511.498.412,00
89,79
2010
1.354.594.058.106,00
1.483.751.313.695,00
91,30
Sumber: APBD dan Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 1999-2010
Sumber: Data Diolah
Gambar 1. Grafik Rasio Efisiensi Belanja Provinsi DIY (1999-2010)
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
131
sesudah otonomi daerah rata-rata rasio
efisiensi belanjanya adalah 91,58%. Hal
ini menunjukkan dari sisi efisiensi belanja
jika dihitung rata-ratanya adalah tidak ada
perbedaan tingkat efisiensi belanja pada masa
sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Dari Tabel 4 dan Gambar 1 diketahui
pada tahun 1999 dan 2000 efisiensi rasio
belanja adalah 95,56% dan 89%, yang artinya
adalah sudah cukup efisien. Pada tahun 2001
dimana otonomi daerah mulai diberlakukan
tingkat efisien rasio belanja adalah 79,54%
sedangkan tahun 2002 adalah 84,04%. Rasio
tersebut berarti belanja tahun 2001 dan 2002
cukup efisien. Hasil penghitungan rasio
belanja berdasarkan tabel terjadi fluktuasi
yang tidak terlalu signifikan, kecuali pada
tahun 2003 rasio efisiensi belanja menunjukan
prosentase sebesar 116,73% atau lebih dari
100%. Berdasarkan Medi (1996) dan Budiarto
(2007) bahwa semakin kecil persentase rasio
maka semakin baik tingkat efisiensinya dan
sebaliknya, maka pada tahun 2003 tersebut
dinyatakan tidak efisien karena realisasi
belanjanya melebihi dari anggaran belanja.
Fenomena pada tahun 2003 tersebut bisa
saja terjadi karena baru memasuki tahun ke-2
setelah otonomi daerah dilaksanakan sehingga
dalam penganggaran masih perlu penyesuaian.
Untuk mengetahui pekembangan kinerja
keuangan daerah Provinsi DIY beberapa
tahun ke depan dari sisi efisiensi realisasi
belanjanya maka digunakan analisis time
series dengan persamaan trend berikut ini dan
hasil perhitungannya disajikan dalam Tabel 5.
Y’= a + bX
di mana:
Y’= Perkembangan Efisiensi Belanja
a = Besarnya Y, saat X = 0
b = Besarnya Y, jika X mengalami
perubahan
X= Waktu
Nilai a dan b dicari dengan rumus:
Pada tahun 2004 sampai dengan 2010
prosentase rasio efisiensi belanja cukup stabil
yaitu berkisar antara 85,75% (tahun 2006)
sampai dengan 91,30% (tahun 2010) yang
artinya adalah cukup efisien. Jadi dengan
adanya otonomi daerah, tingkat efisiensi
belanja daerah Provinsi DIY dinyatakan cukup
efisien dan stabil.
a= =
= 89,10
b=
=
= 1,14
Sehingga rumus persamaan tren bisa
diketahui bahwa: Y’= 89,10 + 1,14X. Dari
persamaan tren tersebut maka prediksi/
proyeksi perkembangan rasio efisiensi belanja
untuk 5 tahun yang akan datang dapat dilihat
pada Tabel 6.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa
rata-rata rasio efisiensi belanja pada masa
sebelum otonomi adalah 92,28%, sedangkan
Tabel 5. Tren Rasio Efisiensi Belanja Provinsi DIY Tahun Anggaran 2006-2010
Tahun Anggaran
Rasio Efisiensi
Belanja% (Y)
X
XY
X2
Y’
(Tahun)
2006
85,75
-2
-171,51
4
86,83
2007
89,48
-1
-89,48
1
87,97
2008
89,21
0
0,00
0
89,10
2009
89,79
1
89,79
1
90,24
2010
91,30
2
182,59
4
91,38
total
445,52
0
11,39
10
Sumber: Data Diolah
132
Desember 2012
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Tabel 6. Proyeksi Rasio Efisiensi Belanja
Prov. DIY Tahun Anggaran
2011-2015
Tahun Anggaran
Tabel 7. Tingkat Efektifitas PAD
Proyeksi Rasio Efisiensi
Belanja (%)
Tingkat Efektifitas
Efisiensi PAD (%)
Sangat efektif
> 100%
Efektif
100% - 90%
Cukup efektif
90% - 80%
2011
92,52
Kurang Efektif
80% - 60%
2012
93,66
Tidak efektif
< 60 %
2013
94,8
Sumber: Medi, 1996; Budiarto, 2007
2014
95,94
2015
97,08
Rumus yang digunakan untuk mengukur
efektifitas PAD adalah:
Sumber: Data Diolah Berdasarkan Tabel 5
Berdasarkan hasil pada tabel proyeksi
rasio efisiensi belanja di atas terlihat bahwa
tingkat efisiensi belanja pemerintah Provinsi
DIY pada 5 tahun ke depan (2011-2015)
dinyatakan belum efisien karena persentase
rasio efisiensi masih di kisaran 94,80% (tahun
2013) sampai 97,08% (tahun 2015).
2. Efektifitas Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
Efektifitas
PAD
menggambarkan
perbandingan antara realisasi PAD terhadap
target PAD. Realisasi PAD disebut efektif jika
rasio yang dicapai sebesar 100%, dinyatakan
tidak efektif jika lebih kurang dari 100%.
Semakin besar rasio efektifitas adalah semakin
baik, begitu juga sebaliknya, penilaian rasio
efektifitas disajikan pada Tabel 7 berikut.
Rasio Efektifitas PAD:
x 100%
Hasil penghitungan rasio efisiensi belanja
disajikan pada Tabel 8 berikut ini, sedangkan
grafiknya disajikan pada Gambar 2.
Dari tabel dan grafik tersebut diketahui
bahwa rasio efektifitas PAD pada masa sebelum
otonomi yang diwakili oleh tahun 1999 dan
2000 adalah 97,67% dan 125,53% artinya pada
tahun 1999 efektifitas PAD dinyatakan efektif
dan sangat efektif pada tahun 2000 karena
realisasi PAD telah melampaui dari nominal
PAD yang ditargetkan. Pada tahun 2001 di
mana otonomi mulai berlaku, tingkat rasio
efektifitas PAD mengalami sedikit penurunan
yaitu hanya sebesar 109,94%. Akan tetapi
masih lebih baik dibandingkan dengan tahun
1999.
Tabel 8. Rasio Efektifitas PAD Provinsi DIY
Tahun
Realisasi PAD (Rp)
Target PAD (Rp)
Rasio Efektifitas
PAD(%)
Keterangan
Sebelum Otonomi
1999
41,876,000,000.00
42,876,445,000.00
97,67
2000
57,879,614,087.09
46,108,331,467.23
125,53
2001
142,284,891,984.21
129,415,455,774.53
109,94
Start Otonomi
2002
200,808,256,770.77
169,489,772,567.57
118,48
Sesudah Otonomi
2003
263,309,230,000.00
208,475,720,000.00
126,30
2004
347,404,225,165.00
303,353,566,474.50
114,52
2005
401,912,337,894.18
401,912,337,894.18
100,00
2006
436,482,094,575.62
436,482,094,575.62
100,00
2007
488,890,620,405.97
488,890,620,405.97
100,00
2008
632,872,311,654.13
547,887,175,315.00
115,51
2009
645,145,551,075.74
575,516,509,511.00
112,10
2010
740,202,076,369.03
638,881,411,884.00
115,86
Sumber: APBD dan Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 1999-2010
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
133
Sumber: Data Diolah
Gambar 2. Grafik Rasio Efektifitas PAD Provinsi DIY (1999-2010)
Pada tahun selanjutnya yang merupakan
era otonomi daerah tingkat efektifitas
PAD berkisar antara 100% sampai dengan
126,30%. Lonjakan tertinggi terjadi pada
tahun 2003 yaitu 126,30%. Dari tahun 2002
sampai dengan 2010 efektifitas PAD ratarata di atas 100% kecuali pada tahun 2005
sampai dengan 2007 prosentasenya tak lebih
dari 100%, hal ini kemungkinan dipengaruhi
adanya pemilu pada tahun 2004 yang berimbas
di tahun 2005 dan kenaikan kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak(BBM) yang lebih dari
sekali dalam setahun di tahun 2005 sehingga
berimbas pada tahun-tahun selanjutnya. Akan
tetapi memasuki tahun 2008 rasio efektifitas
PAD kembali membaik dengan prosentase
115,51% dan stabil sampai dengan tahun 2010.
Kesimpulannya baik sebelum otonomi daerah
ataupun setelah otonomi daerah efektifitas
PAD di Provinsi DIY sudah sangat baik,
karena rata-rata di atas 100% dari target yang
ditentukan.
tahun ke depan dari sisi efektifitas PAD
maka digunakan analisis time series dengan
persamaan trend seperti yang dijelaskan
pada rasio efsisensi di atas Y’= a + bX. Hasil
perhitungannya disajikan pada Tabel 9 berikut
ini.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ratarata rasio efektifitas PAD pada masa sebelum
otonomi adalah 111,6%, sedangkan sesudah
otonomi daerah rata-rata rasio efektifitas PAD
adalah 111,41%. Hal ini menunjukan dari
sisi efektifitas PAD jika dihitung rata-ratanya
adalah tidak ada perbedaan tingkat efisiensi
belanja pada masa sebelum dan sesudah
otonomi daerah.
Nilai a dan b di cari dengan rumus:
Untuk mengetahui perkembangan kinerja
keuangan daerah Provinsi DIY beberapa
Tabel 9. Tren Rasio Efektifitas PAD
Provinsi DIY Tahun Anggaran
2006-2010
Tahun
Anggaran
Rasio
Efektifitas
PAD %
X
(Thn)
XY
X2
Y’
(%)
(Y)
2006
100
-2
-171,51
4
99,9
2007
100
-1
-89,48
1
104
2008
115,51
0
0,00
0
109
2009
112,1
1
89,79
1
113
2010
115,86
2
182,59
4
117
total
543,47
0
11,39
10
Sumber: Data Diolah
a= =
= 108,69
b=
=
= 4,38
Sehingga persamaan tren dapat diketahui
bahwa: Y’= 108,69 + 4,38X.
Dari persamaan tren tersebut maka
prediksi/proyeksi
perkembangan
rasio
134
Desember 2012
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
efektifitas PAD untuk 5 tahun yang akan
datang dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Dari
tabel dapat diketahui bahwa proyeksi rasio
efektifitas PAD akan semakin membaik dan
dinyatakan sangat efektif karena prosentasenya
lebih besar dari 100%. Peningkatan prosentase
efektifitas PAD juga cukup stabil dari tahun ke
tahun yaitu berkisar 4,38% per tahunnya.
Tabel 10. Proyeksi Rasio Efektifitas PAD
Prov. DIY Tahun Anggaran
2011-2015
Tahun Anggaran
Proyeksi Rasio Efektifitas PAD
(%)
2011
121,84
2012
126,22
2013
130,60
2014
134,99
2015
139,37
Sumber: Data Diolah Berdasarkan Tabel 9
3. Kemandirian Keuangan Daerah (KKD)
Tingkat kemandirian keuangan daerah
diukur dengan membandingkan antara
realisasi PAD dengan
Total Pendapatan
Daerah (TPD) sehingga dapat diketahui
seberapa besar pengaruh PAD terhadap APBD.
Jika dari tahun ke tahun rasio kemandirian
keuangan daerah semakin tinggi nilainya maka
daerah tersebut dikatakan semakin mandiri
dalam hal pembiayaan dan berhasil untuk
mengoptimalkan potensi sumber dana asli
daerah (Heriansyah, 2005). Penilaian tingkat
kemandirian keuangan daerah disajikan dalam
Tabel 11, hasil penghitungan rasio KKD
disajikan pada Tabel 12, sedangkan rumus
penghitungan rasio KKD adalah sebagai
berikut:
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah:
x 100%
Dari Tabel 12 dan Gambar 3 dapat
diketahui bahwa pada era sebelum otonomi
daerah tingkat kemandirian daerah terbilang
rendah karena prosentasenya ada diantara
25% dan 50%, yaitu 31,11% ( tahun 1999) dan
30,05% (tahun 2000). Setelah diberlakukanya
otonomi tingkat kemandirian daerah Provinsi
DIY mengalami rata-rata kenaikan yang cukup
signifikan dengan prosentase tertinggi 57,45%
(tahun 2005), tetapi terjadi penurunan yang
signifikan juga pada tahun 2007 yaitu hanya
37,41%. Akan tetapi secara keseluruhan
perkembangan kemandirian daerah Provinsi
DIY setelah otonomi adalah semakin baik
tingkat kemandirianya walaupun baru
mencapai angka tertinggi 57,45 (tahun 2005).
Tabel 11. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan
Tingkat Kemandirian (%)
Rendah Sekali
< 25%
Rendah
25% - 50%
Sedang
50% - 75%
Tinggi
75% - 100%
Sumber: Halim (2004:189)
Dari Tabel 12 terlihat bahwa rata-rata
rasio KKD pada masa sebelum otonomi adalah
30,58%, sedangkan sesudah otonomi daerah
rata-rata rasio KKD adalah 47,33%. Hal ini
menunjukkan dari sisi kemandirian keuangan
daerahnya jika dihitung rata-ratanya adalah
ada perbedaan yaitu meningkat 16,75% dari
masa sebelum otonomi daerah.
Tabel 12. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi DIY
Tahun
Realisasi PAD (Rp)
TPD (Rp)
Rasio Kemandirian
1999
41,876,000,000.00
134,588,500,000.00
31,11
2000
57,879,614,087.09
192,635,049,737.28
30,05
2001
142,284,891,984.21
456,774,636,089.99
31,15
Start Otonomi
Sesudah Otonomi
2002
200,808,256,770.77
573,543,230,194.62
35,01
2003
263,309,230,000.00
683,980,210,000.00
38,5
2004
347,404,225,165.00
645,617,697,104.00
53,81
2005
401,912,337,894.18
699,579,306,215.18
57,45
2006
436,482,094,575.62
881,144,849,573.62
49,54
Keterangan
Sebelum Otonomi
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
135
2007
488,890,620,405.97
1,306,701,212,809.97
37,41
2008
632,872,311,654.13
1,258,609,946,407.39
50,28
2009
645,145,551,075.74
1,286,067,485,169.33
50,16
2010
740,202,076,369.03
1,374,205,096,491.03
53,86
Sumber: APBD dan Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 1999-2010
Gambar 3. Grafik Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi DIY (1999-2010)
Untuk mengetahui perkembangan kinerja
keuangan daerah Provinsi DIY beberapa tahun
ke depan dari sisi tingkat kemandiriannya
maka akan digunakan analisis time series
dengan persamaan tren Y’= a + bX yang rumus
penghitungannya seperti yang telah dijelaskan
pada rasio efisiensi. Hasil penghitungannya
ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Tren Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Prov. DIY
Tahun
Anggaran
Rasio
Kemandirian
% (Y)
X
(Tahun)
2006
100
-2
-171,51
4
99,9
2007
100
-1
-89,48
1
104
2008
115,51
0
0,00
0
109
2009
112,1
1
89,79
1
113
2010
115,86
2
182,59
4
117
Total
543,47
0
11,39
10
Sumber: Data Diolah
Nilai a dan b dicari dengan rumus:
a= =
= 48,25
b=
=
= 2,14
XY
X2
Y’ (%)
136
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Dengan demikian persamaannya adalah
Y’= 48,25 + 2,14X. Dari persamaan tren di
atas, maka prediksi/proyeksi perkembangan
rasio efisiensi belanja untuk 5 tahun yang akan
datang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 14. Proyeksi Rasio KKD Prov.DIY
Tahun Anggaran 2011-2015
Tahun Anggaran
Proyeksi Rasio
Kemadirian (%)
2011
54,67
2012
56,81
2013
58,95
2014
61,09
2015
63,23
Sumber: Data Diolah Berdasarkan Tabel 13
Berdasarkan tabel di atas dapat
dilihat bahwa tingkat kemandirian keuangan
Provinsi DIY lima tahun ke depan akan
semakin membaik walaupun masih di bawah
75%, yang artinya tingkat ketergantungannya
terhadap pemerintah pusat masih cukup tinggi.
Dari tabel di atas dapat diperkirakan pada
tahun 2015 prosentase kemandiriannya baru
mencapai 63,23% padahal untuk dinyatakan
tingkat kemandirian tersebut sedang atau
cukup mandiri prosentasenya adalah 50% 75%.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian adalah sebagai
berikut. Tingkat efisiensi belanja daerah
Provinsi DIY sebelum otonomi daerah dan
sesudah otonomi daerah adalah belum bisa
dikatakan efisien. Bahkan jika dilihat ratarata prosentase sebelum dan sesudah otonomi
daerah tidak terjadi peningkatan efisiensi
belanja, prosentasenya stagnan di angka lebih
dari 80%. Dengan menggunakan analisis
time series diperkirakan efisiensi belanja
daerah Provinsi DIY tidak akan mengalami
peningkatan, diperkirakan beban belanja akan
terus meningkat sehingga semakin sulit untuk
mencapai efisiensi.
Pada rasio efektivitas PAD tingkat
efektifitasnya sudah cukup bagus rata-rata
di atas 100% baik sebelum atau sesudah
Desember 2012
otonomi yang artinya target PAD nya
terpenuhi. Walaupun begitu pencapaian target
PAD tidak secara signifikan mempengaruhi
tingkat kemandirian keuangan daerah. Hal
ini mungkin disebabkan karena anggaran
belanja yang tidak efisien sehingga PAD yang
ada masih belum bisa mencukupi sebagian
besar belanja daerah. Hal ini dapat dilihat
dari perhitungan rasio kemandirian keuangan
daerah yang hanya mencapai 57,45% (tahun
2005). Bahkan pada prediksi lima tahun ke
depan tingkat kemandiriannya hanya mencapai
tingkat tertinggi 63,23%.
Apabila dilihat dari rata-rata prosentase
ketiga rasio kinerja keuangan daerah sebelum
dan sesudah otonomi menunjukkan tidak
adanya peningkatan. Peningkatan hanya
terjadi pada tingkat kemandirian keuangan
daerah sebesar 16,75%. Jadi kinerja keuangan
daerah Provinsi DIY sebelum dan sesudah
otonomi daerah dinyatakan terdapat perbedaan
akan tetapi tidak signifikan.
2. Kelemahan dan Saran Penelitian
Kelemahan dari penelitian ini adalah
sampel data untuk masa sebelum otonomi
daerah hanya dua tahun saja, padahal sampel
sesudah otonomi berjumlah 9 tahun sehingga
tidak memungkinkan melakukan uji beda
secara statistik, karena jumlah data sebelum
otonomi tidak memenuhi syarat.
Di samping itu penelitian ini hanya
menggunakan 3 rasio kinerja keuangan
yaitu rasio efisiensi belanja, efektifitas PAD
dan kemandirian keuangan daerah. Untuk
mengukur kinerja keuangan suatu daerah
terdapat beberapa rasio yang bisa digunakan
untuk pengukuran, misalnya rasio derajat
desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian
daerah), kebutuhan fiskal (fiscal need),
kapasitas fiskal (fiscal capacity), upaya fiskal
(tax effort). Oleh karena itu pada penelitian
berikutnya disarankan untuk menambah obyek
daerah yang diteliti dan menambah rasio
pengukuran kinerja keuangan pemerintah
daerah.
Sedangkan saran untuk pemerintah
Provinsi DIY adalah sebaiknya pemerintah
Provinsi DIY terus berupaya menyeimbangkan
antara belanja daerah dan pendapatan asli
Desember 2012
Sulianti dan Siti Rochmah Ika
daerahnya, karena disini PAD Provinsi DIY
terus mencapai target dan terus meningkat,
tetapi tidak membuat kemandiriannya
meningkat karena dari sisi belanja belum bisa
efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, Mhd Karya Satya. 2008. Analisis
Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota Sebelum
dan Setelah otonomi Daerah
(tesis). Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Budiarto,
Bambang. 2007. Pengukuran
Keberhasilan
Pengelolaan
Keuangan
Daerah.
Seminar
Ekonomi Daerah. Surabaya.
Pemerintah
Abdul. (2004). Bunga Rampai
Manajemen Keuangan Daerah.
Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Haryati, Sri. 2006. Perbandingan Kinerja
Keuangan Daerah Sebelum dan
Sesudah Kebijakan Otonomi
Daerah
Kabupaten
Sleman
Tahun 1998-2000 dan 20012003 (skripsi). Universitas Islam
Indonesia Fakultas Ekonomi
Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi geografis. http://www.
pemda-diy.go.id. Diakses pada 22
Maret 2011
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 tahun
2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggung jawaban Keuangan
Daerah
Ronald, Andreas dan Sarmiyatiningsih, Dwi.
2010. Analisis Keuangan Dan
Pertumbuhan Ekonomi Sebelum
Dan Sesudah Otonomi Daerah Di
Kabupaten Kulon Progo. Efektif
Jurnal Bisnis Dan Ekonomi Vol.
I., No. 1 Juni, 31 – 34.
Rusydi,
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan
(DJPK) Indonesia. APBD Historis.
http://www.djpk.depkeu.go.id/
datadjpk/105/
Halim,
137
Bahrul Ulum. 2010. Analisis
Determinan Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Dan Deteksi
Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi
di Indonesia Tahun 2005-2008)
(skripsi).
Fakultas
Ekonomi
Universitas Diponegoro Semarang
.Sumarsono, Hadi. 2006. Analisis Kemandirian
Otonomi Daerah Kasus Kota
Malang (1999 – 2004). Jurnal
Ekonomi Sektor Publik Vol. 1, No.
1.
Suprapto,
Tri. 2006. Analisis Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sleman Dalam Masa
Otonomi Daerah Tahun 2000 –
2004 (skripsi). Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia.
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai
Upaya Memperkokoh Basis
Perekonomian Daerah. Jurnal
Ekonomi Rakyat Artikel – Th.I
No. 4 Juni. www. Ekonomirakyat.
org
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Medi, Setianus, 1996, Kinerja Pengelolaan
Keuangan
Daerah
Propinsi
Nusa Tenggara Timur, “Tesis
S2” Program Pasca Sarjana
UGM
Yogyakarta.(tidak
dipublikasikan).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
138
Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Yogyakarta
Desember 2012
Download