Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Desember 2012 Vol. 3, No. 2, Desember 2012, 123 - 138 Sulianti dan Siti Rochmah Ika 123 PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH Sulianti Siti Rochmah Ika Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra Abstract The present study aims to compare the financial performance of Yogyakarta Province in the period before and after the implementation of Regional Autonomy Law in 2001. After the implementation of the law, local governments have the authority to manage their budget in terms of revenue and spending. Therefore it has been expected that local governments have better financial performance after autonomy era. The financial performance was measured by some ratios such as spending efficiency ratio, own source revenue effectiveness ratio, and local government financial dependence ratio. Data was obtained from Yogyakarta’s province revenue and expenditure budget as well as its realization in the period 1999 to 2010. The results indicate that there is no financial performance difference in the period before and after the implementation of Regional Autonomy Law. In terms of spending efficiency ratio, the ratio suggests that the expenditure of Yogyakarta Province remains inefficient in the period after regional autonomy. Meanwhile, own source revenue effectiveness ratio indicates that Yogyakarta Province has achieved its targeted revenue. In terms of financial dependence ratio, the number suggests that Yogyakarta Province still relies on central government funding to finance its expenditure. Keywords: Regional Autonomy, The Local Government’s Financial Performance, Spending Efficiency Ratio, Own Source Revenue Effectiveness Ratio, and Local Government Financial Dependence Ratio. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Krisis multidimensional yang dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997 telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk menggagas kembali konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Mardiasmo, 2002). Dikeluarkannya Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah menjadi langkah awal memulai otonomi daerah yang sesuai dengan harapan. Dengan dikeluarkannya UU tersebut maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan pemerintah. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, setiap pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. 124 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Terkait dengan kewajiban tersebut maka pemerintah daerah harus mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Seperti yang tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugastugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. Penelitian ini akan membahas tentang kewajiban pemerintah daerah dalam hal kemampuan melakukan pembiayaan dengan melakukan analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Keuangan daerah bisa dikatakan baik apabila pendapatan asli daerahnya telah mampu membiayai sebagian besar belanja daerahnya sendiri, atau juga bisa disebut daerah tersebut memiliki tingkat ketergantungan yang rendah terhadap pemerintah pusat. Oleh karena itu dengan adanya otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Penelitian ini untuk mengetahui perkembangan tingkat kemandirian daerah setelah melewati lebih dari 10 tahun otonomi daerah (dimulai tahun 2001) dengan cara menganalisa kinerja keuangannya. Selanjutnya penelitian ini mengambil lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) karena pemerintah daerah ini mempunyai Desember 2012 keunikan tersendiri. Yogyakarta memiliki kedudukan sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi dan ditetapkan sebagai Daerah Istimewa sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam UU tersebut dinyatakan Provinsi DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap UU yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU terbaru mengenai keistimewaan DIY diatur dalam UU No. 13 tahun 2012 yang berisi tentang lima aspek keistimewaan antara lain mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD, kelembagaan pemerintah DIY, bidang pertanahan, kebudayaan dan tata ruang. Dalam mekanisme pengisian jabatan disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh Sultan dan Paku Alam yang bertahta sesuai dengan paugeran Keraton serta Pura Pakualaman. Berdasarkan UU ini pula sebutan Yogyakarta sebagai Pemerintah Provinsi DIY diubah menjadi Pemerintah DIY (tanpa provinsi) yang kedudukannya langsung berada di bawah pemerintah pusat. Oleh karena periode penelitian ini tidak sampai tahun 2012 maka pemerintah DIY masih disebut sebagai Pemerintah Provinsi DIY. Sebelum dikeluarkannya UU Otonomi daerah tahun 1999, Provinsi DIY terbagi dalam 5 (lima) Daerah Tingkat II yang terdiri dari satu daerah Kota Madya dan empat Kabupaten masing-masing (www.pemda-diy.go.id): a. Kota Madya Yogyakarta, terdiri dari 14 Kecamatan dan 45 Kelurahan. b. Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, terdiri dari 17 Kecamatan dan 86 Desa. c. Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul, terdiri dari 17 Kecamatan dan 75 Desa. d. Kabupaten Daerah Tingkat II Kulonprogo, terdiri dari 12 Kecamatan dan 75 Desa. e. Kabupaten Daerah Tingkat II Gunung Kidul, terdiri dari 18 Kecamatan dan 144 Desa. Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika Akan tetapi dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka kelima daerah Provinsi DIY tersebut masing-masing telah memiliki wewenang untuk mengatur dan bertanggung jawab dalam pengolahan daerah masingmasing. Di era sebelum pemberlakuan UU otonomi daerah tahun 1999 Provinsi DIY mempunyai kewajiban mengurus daerahdaerah di bawahnya. Namun setelah berlakunya UU otonomi tersebut berarti cakupan tanggungjawab dan wewenang Provinsi DIY lebih menyempit, hal ini menimbulkan persepsi bahwa pendapatan asli daerahnya jadi menurun sehingga ketergantungan terhadap pusat akan meningkat. Berdasarkan uraian di atas maka akan dianalisis kinerja keuangan pemerintah Provinsi DIY dengan membandingkan tingkat kemandiriannya sebelum dan sesudah otonomi daerah. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah: a. Bagaimanakah tingkat kemandirian Provinsi DIY sebelum dan sesudah Otonomi Daerah jika dilihat dari rasio efisiensi belanja? b. Bagaimanakah tingkat kemandirian Provinsi DIY sebelum dan sesudah Otonomi Daerah jika dilihat dari rasio efektifitas Pendapatan asli Daerah (PAD)? c. Bagaimanakah tingkat kemandirian Provinsi DIY sebelum dan sesudah Otonomi Daerah jika dilihat dari rasio kemandirian keuangan daerahnya? d. Bagaimana tren rasio efisiensi belanja, rasio efektifitas PAD, dan rasio kemandirian keuangan daerah 5 (lima) tahun ke depan (dimulai dari tahun 2010)? 125 TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 1. Otonomi Daerah a. Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Otonomi Daerah Semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut UU tersebut Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa perbedaan antara UU Otonomi Daerah tahun 1999 dengan tahun 2004. Perbedaan yang paling signifikan adalah gubernur atau kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat pada UU tahun 2004. Adapun perbedaan yang lain diringkas dalam Tabel 1. Ada dua tujuan utama dalam kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politis dan tujuan administratif. Tujuan politis otonomi adalah mencegah terjadinya sentralisasi dan bentuk pemisahan diri. Sedangkan tujuan administratif otonomi daerah adalah mengisyaratkan pemerintah daerah untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan ekonomis dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dengan otonomi daerah diharapkan ketergantungan terhadap pemerintah pusat bisa berkurang terutama dalam hal pembiayaan belanja daerah. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya pemerintah daerah bisa lebih mengoptimalkan pengelolaan daerahnya secara lebih baik. 126 Desember 2012 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Tabel 1. Perbedaan UU Tahun 1999 dan UU Tahun 2004 Istilah UU 1999 UU 2004 Pemerintah Pusat Perangkat NKRI yang terdiri dari presiden Presiden Republik Indonesia yang memegang beserta para menteri menurut asas kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 Desentralisasi wewenang pemerintahan oleh Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Penyerahan pemerintah kepada daerah otonom dalam pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur kerangka NKRI dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI Dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal wilayah tertentu s Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupatean/ kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupatean/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu Otonomi daerah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Daerah otonom Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintaha dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI T u g a pembantuan W i l a y a h Wilayah kerja Gubernur selaku wakil Tidak dijelaskan admininstrasi pemerintah Kelurahan Wilayah kerja lurah sebagai perangkat Tidak dijelaskan daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan P e m e r i n t a h Kepala daerah beserta perangkat daerah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda daerah P e m e r i n t a h a n Penyelenggaraan Pemda otonom oleh Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah Pemda dan DPRD dan/ atau daerah kota di pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi bawah kecamatan dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem prinsip NKRI Sumber: UU No. 22 Tahun 1999 & UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 2. Kinerja Keuangan a. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pengelolaan keuangan daerah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maka berbagai prinsip dasar yang ada dalam UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara kembali dipertegas dan menjadi acuan dalam pengalihan keuangan daerah. Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika Pengelolaan Keuangan Daerah meliputi tiga tahapan yaitu: Perencanaan dan Penganggaran, Pelaksanaan serta Pertanggungjawaban. Menurut Halim (2004: 24), kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas proses atau unit organisasi. Pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan program selanjutnya. Menurut Ronald dan Sarmiyatiningsih (2010: 6), tujuan umum laporan keuangan adalah menyajikan informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas dan kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi para pengguna dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya. Secara spesifik, tujuan pelaporan keuangan pemerintah adalah untuk menyajikan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan atas sumber daya tersebut. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pada prinsipnya keuangan daerah mengandung unsur pokok, yaitu: (1) Hak Daerah yang dapat dinilai dengan uang, (2) Kewajiban Daerah, dan (3) Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut. Hak Daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada daerah yang digunakan dalam mengisi kas daerah. Hak Daerah tersebut meliputi antara lain: a. Hak menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000). b. Hak menarik retribusi/iuran daerah 127 (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000). c. Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 Tahun 2004). d. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33 Tahun 2004). Yang dimaksudkan kinerja keuangan pemerintah daerah dalam penelitian ini adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundangundangan selama satu periode anggaran. Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Sejalan dengan otonomi daerah yang mulai efektif diberlakukan sejak Januari 2001, maka perlu diketahui bagaimana Kinerja Keuangan Pemerintah Provinsi DIY setelah berlakunya otonomi daerah. 3. Penelitian Terdahulu Sumarsono (2006), menganalisis Kemandirian Otonomi Daerah di Kota Malang (1999–2004), untuk mengetahui tingkat kemandirian fiskal, tren kemandirian fiskal dan derajat otonomi daerah Pemda Kota Malang selama pelaksanaan otonomi daerah dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004. Hasilnya menunjukkan bahwa rasio Penghasilan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) Kota Malang relatif besar, yaitu berkisar antara 4,8-7,3 persen. Nilai ini cukup besar jika dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar kurang dari 5 persen. Selisih indeks antara kapasitas fiskal1 dan kebutuhan fiskal2 cukup besar yaitu lebih dari 10, yang menunjukkan bahwa efisiensi publik daerah kota Malang cukup tinggi, dimana produktivitas masyarakat relatif besar dibandingkan dengan pembelanjaan publik. Kinerja pengelolaan keuangan daerah oleh 1 2 Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pendapatan yang dapat dihasilkan oleh suatu Negara/Daerah, atau juga di sebut dengan potensi penerimaan. Kebutuhan fiskal adalah merupakan kebutuhan pendanaan suatu Negara/Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.. 128 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Pemda Kota Malang menunjukkan elastisitas PAD terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) sebesar 5,5-2,2 persen. Dengan demikian pengelolaan keuangan di Pemda Kota Malang tergolong in-elastis, artinya kenaikan PDRB kurang berpengaruh terhadap kenaikan PAD. Berdasarkan analisis, tren elastistitas PAD adalah negatif, sedangkan tren pertumbuhan PAD adalah positif. Hal ini tidak terlepas dengan adanya deregulasi Perda yang cenderung mengedepankan kepentingan jangka panjang, yaitu pengendalian retribusi dan pajak daerah serta memberikan insentif bagi investasi lokal yang pada gilirannya akan meningkatkan PAD melalui kenaikan PDRB yang lebih signifikan. Azhar (2008) menganalisis kinerja keuangan pemerintah kota/kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dengan menggunakan metode statistik untuk sampel yang dipasangkan (paired T Test), hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan kinerja pemerintah sebelum dan sesudah era otonomi daerah, rata-rata kinerja keuangan pemerintah mengalami penurunan. Hal ini bisa dilihat dari pembiayaan daerah yang berasal dari pemerintah pusat masih cukup tinggi. Hal ini juga dikarenakan PAD yang menurun. Dengan adanya otonomi daerah maka wilayah daerah yang diatur semakin kecil. Haryati (2006) menganalis tentang perbandingan kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Sleman pada tahun 19982000 dan tahun 2001-2003. Kinerja keuangan daerah diukur dengan derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal (fiscal need), kapasitas fiskal (fiscal capacity), upaya fiskal (tax effort) di Kabupaten Sleman pada masa sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasilnya disimpulkan bahwa prosentase PAD terhadap TPD, pada masa sesudah otonomi daerah melemah. Sedangkan prosentase bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD pada masa sesudah otonomi daerah juga melemah, akan tetapi persentase Sumbangan Daerah terhadap TPD pada masa sebelum otonomi daerah lebih kecil dibandingkan pada masa sesudah otonomi Desember 2012 daerah. Dengan kata lain tingkat kemandirian fiskal daerah yang dilihat dari persentase Sumbangan Daerah terhadap TPD sesudah otonomi daerah menguat. Rusydi (2010) meneliti tentang determinan kinerja keuangan pemerintah daerah dan deteksi Ilusi Fiskal di Indonesia pada tahun 2005-2008. Tujuannya adalah untuk menganalisis determinan kinerja keuangan pemerintah daerah di era otonomi serta mendeteksi fenomena ilusi fiskal pada pemerintah daerah provinsi di Indonesia. Metode deteksi ilusi fiskal menggunakan pendekatan pendapatan (revenue enchanchement). Sampel penelitiannya adalah seluruh provinsi di Indonesia pada periode 2005-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi yang signifikan antara sisi PAD dengan sisi pengeluaran (belanja daerah). PAD mampu meningkatkan belanja daerah sebesar 0,67 juta rupiah setiap kenaikan 1 juta PAD, sedangkan belanja daerah mampu meningkatkan PAD sebesar 0,07 juta rupiah setiap kenaikan 1 juta belanja daerah. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat fenomena ilusi fiskal di dalam kinerja keuangan pemerintah daerah provinsi di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa pemerintah daerah provinsi belum mengalokasikan sumber pendapatannya (termasuk dana perimbangan) secara efisien. Suprapto (2006), menganalisis tentang kinerja keuangan Pemda Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah pada tahun 2000 – 2004, dengan menggunakan rasio kemandirian daerah dan efektivitas serta efisiensi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Sleman sangat rendah dan belum mampu untuk melaksanakan otonomi keuangan daerah. Tetapi jika dilihat perkembangan kemandirian Kabupaten Sleman untuk setiap tahun anggarannya mengalami peningkatan, dikarenakan PAD setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa Pemda telah berusaha mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya dan berusaha untuk dapat berotonomi sesuai dengan sasaran yang hendak dituju dalam otonomi daerah. Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika Rasio efektivitas pendapatan daerah Kabupaten Sleman selama lima tahun anggaran (tahun 2000-2004) rata-rata sebesar 117,65% dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar 4,16%. Dengan demikian pemungutan PAD cenderung efektif, karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai lebih dari 100%. Hal ini menunjukkan kinerja pemda yang baik, karena setiap tahunnya target PAD yang ingin dicapai selalu terealisasikan sesuai dengan yang telah ditargetkan bahkan untuk setiap tahunnya realisasi PAD yang diterima lebih dari target yang ditetapkan. Rasio Efisiensi pemungutan PAD Kabupaten Sleman selama lima tahun anggaran (tahun 2000 sampai dengan tahun 2004) rata-rata sebesar 6,7% dan setiap tahun anggaran mengalami penurunan sebesar 1,384%. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan PAD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin proposional dengan realisasi PAD yang didapatkan. Penelitian ini pada dasarnya sama dengan beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang kinerja pemerintah pada masa sebelum dan sesudah otonomi daerah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah obyek penelitian yaitu Provinsi DIY dan periode penelitian lebih panjang yaitu 12 tahun. Rasio yang digunakan penulis adalah sama dengan penelitian Suprapto (2006) yaitu rasio efisiensi, efektifitas, dan rasio kemandirian keuangan daerah. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu maka hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Tingkat kinerja keuangan di Provinsi DIY yang diukur dengan tiga rasio di atas setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah tidak berbeda”. METODE PENELITIAN 1. Variabel Penelitian Variabel penelitian ini adalah kinerja keuangan yang diukur dengan menggunakan parameter berupa rasio efisiensi belanja, rasio efektifitas PAD dan rasio kemandirian keuangan daerah. 129 2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data laporan APBD Provinsi DIY tahun 1999-2010 dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Provinsi DIY tahun 1999-2010. Periode 1999-2000 mewakili masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah sedangkan data tahun 20022010 mewakili periode sesudah otonomi daerah. Data diperoleh dari Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (DPPKAD) Provinsi DIY dan situs Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) http:// www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/105/ Data keuangan yang diperlukan untuk menghitung rasio adalah sebagai berikut: a. PAD yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Sumber PAD berasal dari (1) hasil pajak daerah, (2) hasil retribusi daerah, (3) hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lainlain PAD yang sah. Data yang akan digunakan adalah berupa data Target PAD dan Realisasi PAD. b. Total Pendapatan Daerah meliputi PAD dan dana transfer dari pusat, juga pendapatan yang sah seperti hibah. c. Anggaran Belanja Daerah d. Realisasi Belanja Daerah 3. Metode Analisa Data Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis tren. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 1. Efisiensi Belanja Daerah Efisiensi Belanja Daerah menggambarkan perbandingan antara realisasi belanja atau pengeluaran daerah terhadap anggaran belanja daerah. Realisasi belanja daerah disebut efisien jika kurang dari 1 atau 100%, dinyatakan tidak efisien jika lebih dari 1 atau 100%. Semakin kecil rasio efisiensi adalah semakin baik, begitu juga sebaliknya, penilaian tingkat efisiensi disajikan dalam Tabel 3. 130 Desember 2012 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Tabel 3. Tingkat Efisiensi Belanja Daerah Tingkat Efisiensi Rumus yang digunakan untuk mengukur efisiensi belanja daerah adalah sbb: Efisiensi Belanja Daerah (%) Tidak efisien Rasio Efisiensi Belanja: > 100% Kurang efisien 100% - 90% Cukup efisien 90% - 80% Efisien 80% - 60% Sangat efisien x 100% Hasil penghitungan rasio efisiensi belanja disajikan pada Tabel 4 berikut ini, sedangkan grafiknya disajikan pada Gambar 1. < 60 % Sumber: Medi, 1996 ; Budiarto, 2007 Tabel 4. Rasio Efisiensi Belanja Provinsi DIY Tahun 1999 Realisasi Belanja Anggaran Belanja Daerah (Rp) Daerah (Rp) 159.808.725.779,00 167.238.851.404,09 Rasio efisiensi belanja (%) 95,56 Keterangan Sebelum Otonomi 2000 168.721.644.783,06 189.566.256.544,11 89,00 2001 352.176.545.324,61 442.752.225.163,57 79,54 Start Otonomi Sesudah Otonomi 2002 419.681.186.078,81 499.362.844.394,90 84,04 2003 580.397.210.000,00 497.215.370.000,00 116,73 2004 639.238.851.404,09 710.626.377.127,56 89,95 2005 676.198.526.226,98 768.498.591.570,00 87,99 2006 850.630.247.992,33 991.957.178.833,00 85,75 2007 977.994.235.390,00 1.092.987.452.192,00 89,48 2008 1.453.286.281.874,00 1.629.069.250.562,00 89,21 2009 1.327.487.848.943,00 1.478.511.498.412,00 89,79 2010 1.354.594.058.106,00 1.483.751.313.695,00 91,30 Sumber: APBD dan Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 1999-2010 Sumber: Data Diolah Gambar 1. Grafik Rasio Efisiensi Belanja Provinsi DIY (1999-2010) Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika 131 sesudah otonomi daerah rata-rata rasio efisiensi belanjanya adalah 91,58%. Hal ini menunjukkan dari sisi efisiensi belanja jika dihitung rata-ratanya adalah tidak ada perbedaan tingkat efisiensi belanja pada masa sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dari Tabel 4 dan Gambar 1 diketahui pada tahun 1999 dan 2000 efisiensi rasio belanja adalah 95,56% dan 89%, yang artinya adalah sudah cukup efisien. Pada tahun 2001 dimana otonomi daerah mulai diberlakukan tingkat efisien rasio belanja adalah 79,54% sedangkan tahun 2002 adalah 84,04%. Rasio tersebut berarti belanja tahun 2001 dan 2002 cukup efisien. Hasil penghitungan rasio belanja berdasarkan tabel terjadi fluktuasi yang tidak terlalu signifikan, kecuali pada tahun 2003 rasio efisiensi belanja menunjukan prosentase sebesar 116,73% atau lebih dari 100%. Berdasarkan Medi (1996) dan Budiarto (2007) bahwa semakin kecil persentase rasio maka semakin baik tingkat efisiensinya dan sebaliknya, maka pada tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak efisien karena realisasi belanjanya melebihi dari anggaran belanja. Fenomena pada tahun 2003 tersebut bisa saja terjadi karena baru memasuki tahun ke-2 setelah otonomi daerah dilaksanakan sehingga dalam penganggaran masih perlu penyesuaian. Untuk mengetahui pekembangan kinerja keuangan daerah Provinsi DIY beberapa tahun ke depan dari sisi efisiensi realisasi belanjanya maka digunakan analisis time series dengan persamaan trend berikut ini dan hasil perhitungannya disajikan dalam Tabel 5. Y’= a + bX di mana: Y’= Perkembangan Efisiensi Belanja a = Besarnya Y, saat X = 0 b = Besarnya Y, jika X mengalami perubahan X= Waktu Nilai a dan b dicari dengan rumus: Pada tahun 2004 sampai dengan 2010 prosentase rasio efisiensi belanja cukup stabil yaitu berkisar antara 85,75% (tahun 2006) sampai dengan 91,30% (tahun 2010) yang artinya adalah cukup efisien. Jadi dengan adanya otonomi daerah, tingkat efisiensi belanja daerah Provinsi DIY dinyatakan cukup efisien dan stabil. a= = = 89,10 b= = = 1,14 Sehingga rumus persamaan tren bisa diketahui bahwa: Y’= 89,10 + 1,14X. Dari persamaan tren tersebut maka prediksi/ proyeksi perkembangan rasio efisiensi belanja untuk 5 tahun yang akan datang dapat dilihat pada Tabel 6. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa rata-rata rasio efisiensi belanja pada masa sebelum otonomi adalah 92,28%, sedangkan Tabel 5. Tren Rasio Efisiensi Belanja Provinsi DIY Tahun Anggaran 2006-2010 Tahun Anggaran Rasio Efisiensi Belanja% (Y) X XY X2 Y’ (Tahun) 2006 85,75 -2 -171,51 4 86,83 2007 89,48 -1 -89,48 1 87,97 2008 89,21 0 0,00 0 89,10 2009 89,79 1 89,79 1 90,24 2010 91,30 2 182,59 4 91,38 total 445,52 0 11,39 10 Sumber: Data Diolah 132 Desember 2012 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Tabel 6. Proyeksi Rasio Efisiensi Belanja Prov. DIY Tahun Anggaran 2011-2015 Tahun Anggaran Tabel 7. Tingkat Efektifitas PAD Proyeksi Rasio Efisiensi Belanja (%) Tingkat Efektifitas Efisiensi PAD (%) Sangat efektif > 100% Efektif 100% - 90% Cukup efektif 90% - 80% 2011 92,52 Kurang Efektif 80% - 60% 2012 93,66 Tidak efektif < 60 % 2013 94,8 Sumber: Medi, 1996; Budiarto, 2007 2014 95,94 2015 97,08 Rumus yang digunakan untuk mengukur efektifitas PAD adalah: Sumber: Data Diolah Berdasarkan Tabel 5 Berdasarkan hasil pada tabel proyeksi rasio efisiensi belanja di atas terlihat bahwa tingkat efisiensi belanja pemerintah Provinsi DIY pada 5 tahun ke depan (2011-2015) dinyatakan belum efisien karena persentase rasio efisiensi masih di kisaran 94,80% (tahun 2013) sampai 97,08% (tahun 2015). 2. Efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Efektifitas PAD menggambarkan perbandingan antara realisasi PAD terhadap target PAD. Realisasi PAD disebut efektif jika rasio yang dicapai sebesar 100%, dinyatakan tidak efektif jika lebih kurang dari 100%. Semakin besar rasio efektifitas adalah semakin baik, begitu juga sebaliknya, penilaian rasio efektifitas disajikan pada Tabel 7 berikut. Rasio Efektifitas PAD: x 100% Hasil penghitungan rasio efisiensi belanja disajikan pada Tabel 8 berikut ini, sedangkan grafiknya disajikan pada Gambar 2. Dari tabel dan grafik tersebut diketahui bahwa rasio efektifitas PAD pada masa sebelum otonomi yang diwakili oleh tahun 1999 dan 2000 adalah 97,67% dan 125,53% artinya pada tahun 1999 efektifitas PAD dinyatakan efektif dan sangat efektif pada tahun 2000 karena realisasi PAD telah melampaui dari nominal PAD yang ditargetkan. Pada tahun 2001 di mana otonomi mulai berlaku, tingkat rasio efektifitas PAD mengalami sedikit penurunan yaitu hanya sebesar 109,94%. Akan tetapi masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 1999. Tabel 8. Rasio Efektifitas PAD Provinsi DIY Tahun Realisasi PAD (Rp) Target PAD (Rp) Rasio Efektifitas PAD(%) Keterangan Sebelum Otonomi 1999 41,876,000,000.00 42,876,445,000.00 97,67 2000 57,879,614,087.09 46,108,331,467.23 125,53 2001 142,284,891,984.21 129,415,455,774.53 109,94 Start Otonomi 2002 200,808,256,770.77 169,489,772,567.57 118,48 Sesudah Otonomi 2003 263,309,230,000.00 208,475,720,000.00 126,30 2004 347,404,225,165.00 303,353,566,474.50 114,52 2005 401,912,337,894.18 401,912,337,894.18 100,00 2006 436,482,094,575.62 436,482,094,575.62 100,00 2007 488,890,620,405.97 488,890,620,405.97 100,00 2008 632,872,311,654.13 547,887,175,315.00 115,51 2009 645,145,551,075.74 575,516,509,511.00 112,10 2010 740,202,076,369.03 638,881,411,884.00 115,86 Sumber: APBD dan Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 1999-2010 Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika 133 Sumber: Data Diolah Gambar 2. Grafik Rasio Efektifitas PAD Provinsi DIY (1999-2010) Pada tahun selanjutnya yang merupakan era otonomi daerah tingkat efektifitas PAD berkisar antara 100% sampai dengan 126,30%. Lonjakan tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu 126,30%. Dari tahun 2002 sampai dengan 2010 efektifitas PAD ratarata di atas 100% kecuali pada tahun 2005 sampai dengan 2007 prosentasenya tak lebih dari 100%, hal ini kemungkinan dipengaruhi adanya pemilu pada tahun 2004 yang berimbas di tahun 2005 dan kenaikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak(BBM) yang lebih dari sekali dalam setahun di tahun 2005 sehingga berimbas pada tahun-tahun selanjutnya. Akan tetapi memasuki tahun 2008 rasio efektifitas PAD kembali membaik dengan prosentase 115,51% dan stabil sampai dengan tahun 2010. Kesimpulannya baik sebelum otonomi daerah ataupun setelah otonomi daerah efektifitas PAD di Provinsi DIY sudah sangat baik, karena rata-rata di atas 100% dari target yang ditentukan. tahun ke depan dari sisi efektifitas PAD maka digunakan analisis time series dengan persamaan trend seperti yang dijelaskan pada rasio efsisensi di atas Y’= a + bX. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 9 berikut ini. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ratarata rasio efektifitas PAD pada masa sebelum otonomi adalah 111,6%, sedangkan sesudah otonomi daerah rata-rata rasio efektifitas PAD adalah 111,41%. Hal ini menunjukan dari sisi efektifitas PAD jika dihitung rata-ratanya adalah tidak ada perbedaan tingkat efisiensi belanja pada masa sebelum dan sesudah otonomi daerah. Nilai a dan b di cari dengan rumus: Untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan daerah Provinsi DIY beberapa Tabel 9. Tren Rasio Efektifitas PAD Provinsi DIY Tahun Anggaran 2006-2010 Tahun Anggaran Rasio Efektifitas PAD % X (Thn) XY X2 Y’ (%) (Y) 2006 100 -2 -171,51 4 99,9 2007 100 -1 -89,48 1 104 2008 115,51 0 0,00 0 109 2009 112,1 1 89,79 1 113 2010 115,86 2 182,59 4 117 total 543,47 0 11,39 10 Sumber: Data Diolah a= = = 108,69 b= = = 4,38 Sehingga persamaan tren dapat diketahui bahwa: Y’= 108,69 + 4,38X. Dari persamaan tren tersebut maka prediksi/proyeksi perkembangan rasio 134 Desember 2012 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi efektifitas PAD untuk 5 tahun yang akan datang dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Dari tabel dapat diketahui bahwa proyeksi rasio efektifitas PAD akan semakin membaik dan dinyatakan sangat efektif karena prosentasenya lebih besar dari 100%. Peningkatan prosentase efektifitas PAD juga cukup stabil dari tahun ke tahun yaitu berkisar 4,38% per tahunnya. Tabel 10. Proyeksi Rasio Efektifitas PAD Prov. DIY Tahun Anggaran 2011-2015 Tahun Anggaran Proyeksi Rasio Efektifitas PAD (%) 2011 121,84 2012 126,22 2013 130,60 2014 134,99 2015 139,37 Sumber: Data Diolah Berdasarkan Tabel 9 3. Kemandirian Keuangan Daerah (KKD) Tingkat kemandirian keuangan daerah diukur dengan membandingkan antara realisasi PAD dengan Total Pendapatan Daerah (TPD) sehingga dapat diketahui seberapa besar pengaruh PAD terhadap APBD. Jika dari tahun ke tahun rasio kemandirian keuangan daerah semakin tinggi nilainya maka daerah tersebut dikatakan semakin mandiri dalam hal pembiayaan dan berhasil untuk mengoptimalkan potensi sumber dana asli daerah (Heriansyah, 2005). Penilaian tingkat kemandirian keuangan daerah disajikan dalam Tabel 11, hasil penghitungan rasio KKD disajikan pada Tabel 12, sedangkan rumus penghitungan rasio KKD adalah sebagai berikut: Rasio Kemandirian Keuangan Daerah: x 100% Dari Tabel 12 dan Gambar 3 dapat diketahui bahwa pada era sebelum otonomi daerah tingkat kemandirian daerah terbilang rendah karena prosentasenya ada diantara 25% dan 50%, yaitu 31,11% ( tahun 1999) dan 30,05% (tahun 2000). Setelah diberlakukanya otonomi tingkat kemandirian daerah Provinsi DIY mengalami rata-rata kenaikan yang cukup signifikan dengan prosentase tertinggi 57,45% (tahun 2005), tetapi terjadi penurunan yang signifikan juga pada tahun 2007 yaitu hanya 37,41%. Akan tetapi secara keseluruhan perkembangan kemandirian daerah Provinsi DIY setelah otonomi adalah semakin baik tingkat kemandirianya walaupun baru mencapai angka tertinggi 57,45 (tahun 2005). Tabel 11. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kemampuan Keuangan Tingkat Kemandirian (%) Rendah Sekali < 25% Rendah 25% - 50% Sedang 50% - 75% Tinggi 75% - 100% Sumber: Halim (2004:189) Dari Tabel 12 terlihat bahwa rata-rata rasio KKD pada masa sebelum otonomi adalah 30,58%, sedangkan sesudah otonomi daerah rata-rata rasio KKD adalah 47,33%. Hal ini menunjukkan dari sisi kemandirian keuangan daerahnya jika dihitung rata-ratanya adalah ada perbedaan yaitu meningkat 16,75% dari masa sebelum otonomi daerah. Tabel 12. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi DIY Tahun Realisasi PAD (Rp) TPD (Rp) Rasio Kemandirian 1999 41,876,000,000.00 134,588,500,000.00 31,11 2000 57,879,614,087.09 192,635,049,737.28 30,05 2001 142,284,891,984.21 456,774,636,089.99 31,15 Start Otonomi Sesudah Otonomi 2002 200,808,256,770.77 573,543,230,194.62 35,01 2003 263,309,230,000.00 683,980,210,000.00 38,5 2004 347,404,225,165.00 645,617,697,104.00 53,81 2005 401,912,337,894.18 699,579,306,215.18 57,45 2006 436,482,094,575.62 881,144,849,573.62 49,54 Keterangan Sebelum Otonomi Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika 135 2007 488,890,620,405.97 1,306,701,212,809.97 37,41 2008 632,872,311,654.13 1,258,609,946,407.39 50,28 2009 645,145,551,075.74 1,286,067,485,169.33 50,16 2010 740,202,076,369.03 1,374,205,096,491.03 53,86 Sumber: APBD dan Realisasi APBD Provinsi DIY Tahun 1999-2010 Gambar 3. Grafik Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi DIY (1999-2010) Untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan daerah Provinsi DIY beberapa tahun ke depan dari sisi tingkat kemandiriannya maka akan digunakan analisis time series dengan persamaan tren Y’= a + bX yang rumus penghitungannya seperti yang telah dijelaskan pada rasio efisiensi. Hasil penghitungannya ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Tren Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Prov. DIY Tahun Anggaran Rasio Kemandirian % (Y) X (Tahun) 2006 100 -2 -171,51 4 99,9 2007 100 -1 -89,48 1 104 2008 115,51 0 0,00 0 109 2009 112,1 1 89,79 1 113 2010 115,86 2 182,59 4 117 Total 543,47 0 11,39 10 Sumber: Data Diolah Nilai a dan b dicari dengan rumus: a= = = 48,25 b= = = 2,14 XY X2 Y’ (%) 136 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Dengan demikian persamaannya adalah Y’= 48,25 + 2,14X. Dari persamaan tren di atas, maka prediksi/proyeksi perkembangan rasio efisiensi belanja untuk 5 tahun yang akan datang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14. Proyeksi Rasio KKD Prov.DIY Tahun Anggaran 2011-2015 Tahun Anggaran Proyeksi Rasio Kemadirian (%) 2011 54,67 2012 56,81 2013 58,95 2014 61,09 2015 63,23 Sumber: Data Diolah Berdasarkan Tabel 13 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kemandirian keuangan Provinsi DIY lima tahun ke depan akan semakin membaik walaupun masih di bawah 75%, yang artinya tingkat ketergantungannya terhadap pemerintah pusat masih cukup tinggi. Dari tabel di atas dapat diperkirakan pada tahun 2015 prosentase kemandiriannya baru mencapai 63,23% padahal untuk dinyatakan tingkat kemandirian tersebut sedang atau cukup mandiri prosentasenya adalah 50% 75%. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut. Tingkat efisiensi belanja daerah Provinsi DIY sebelum otonomi daerah dan sesudah otonomi daerah adalah belum bisa dikatakan efisien. Bahkan jika dilihat ratarata prosentase sebelum dan sesudah otonomi daerah tidak terjadi peningkatan efisiensi belanja, prosentasenya stagnan di angka lebih dari 80%. Dengan menggunakan analisis time series diperkirakan efisiensi belanja daerah Provinsi DIY tidak akan mengalami peningkatan, diperkirakan beban belanja akan terus meningkat sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi. Pada rasio efektivitas PAD tingkat efektifitasnya sudah cukup bagus rata-rata di atas 100% baik sebelum atau sesudah Desember 2012 otonomi yang artinya target PAD nya terpenuhi. Walaupun begitu pencapaian target PAD tidak secara signifikan mempengaruhi tingkat kemandirian keuangan daerah. Hal ini mungkin disebabkan karena anggaran belanja yang tidak efisien sehingga PAD yang ada masih belum bisa mencukupi sebagian besar belanja daerah. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah yang hanya mencapai 57,45% (tahun 2005). Bahkan pada prediksi lima tahun ke depan tingkat kemandiriannya hanya mencapai tingkat tertinggi 63,23%. Apabila dilihat dari rata-rata prosentase ketiga rasio kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi menunjukkan tidak adanya peningkatan. Peningkatan hanya terjadi pada tingkat kemandirian keuangan daerah sebesar 16,75%. Jadi kinerja keuangan daerah Provinsi DIY sebelum dan sesudah otonomi daerah dinyatakan terdapat perbedaan akan tetapi tidak signifikan. 2. Kelemahan dan Saran Penelitian Kelemahan dari penelitian ini adalah sampel data untuk masa sebelum otonomi daerah hanya dua tahun saja, padahal sampel sesudah otonomi berjumlah 9 tahun sehingga tidak memungkinkan melakukan uji beda secara statistik, karena jumlah data sebelum otonomi tidak memenuhi syarat. Di samping itu penelitian ini hanya menggunakan 3 rasio kinerja keuangan yaitu rasio efisiensi belanja, efektifitas PAD dan kemandirian keuangan daerah. Untuk mengukur kinerja keuangan suatu daerah terdapat beberapa rasio yang bisa digunakan untuk pengukuran, misalnya rasio derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal (fiscal need), kapasitas fiskal (fiscal capacity), upaya fiskal (tax effort). Oleh karena itu pada penelitian berikutnya disarankan untuk menambah obyek daerah yang diteliti dan menambah rasio pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah. Sedangkan saran untuk pemerintah Provinsi DIY adalah sebaiknya pemerintah Provinsi DIY terus berupaya menyeimbangkan antara belanja daerah dan pendapatan asli Desember 2012 Sulianti dan Siti Rochmah Ika daerahnya, karena disini PAD Provinsi DIY terus mencapai target dan terus meningkat, tetapi tidak membuat kemandiriannya meningkat karena dari sisi belanja belum bisa efisien. DAFTAR PUSTAKA Azhar, Mhd Karya Satya. 2008. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sebelum dan Setelah otonomi Daerah (tesis). Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Budiarto, Bambang. 2007. Pengukuran Keberhasilan Pengelolaan Keuangan Daerah. Seminar Ekonomi Daerah. Surabaya. Pemerintah Abdul. (2004). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. Haryati, Sri. 2006. Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1998-2000 dan 20012003 (skripsi). Universitas Islam Indonesia Fakultas Ekonomi Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi geografis. http://www. pemda-diy.go.id. Diakses pada 22 Maret 2011 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah Ronald, Andreas dan Sarmiyatiningsih, Dwi. 2010. Analisis Keuangan Dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Di Kabupaten Kulon Progo. Efektif Jurnal Bisnis Dan Ekonomi Vol. I., No. 1 Juni, 31 – 34. Rusydi, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) Indonesia. APBD Historis. http://www.djpk.depkeu.go.id/ datadjpk/105/ Halim, 137 Bahrul Ulum. 2010. Analisis Determinan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2008) (skripsi). Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang .Sumarsono, Hadi. 2006. Analisis Kemandirian Otonomi Daerah Kasus Kota Malang (1999 – 2004). Jurnal Ekonomi Sektor Publik Vol. 1, No. 1. Suprapto, Tri. 2006. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004 (skripsi). Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat Artikel – Th.I No. 4 Juni. www. Ekonomirakyat. org Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Medi, Setianus, 1996, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur, “Tesis S2” Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta.(tidak dipublikasikan). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 138 Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta Desember 2012