IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT PENELITIAN KERJASAMA ANTARA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN UNIVERSITAS PANCA BHAKTI, PONTIANAK KALIMANTAN BARAT 2013 KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Puji dan syukur di Panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan. Sehingga penelitian yang berjudul "IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT". Adapun penelitian ini bertujuan sebagai bahan kajian atas desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kalimantan Barat untuk kemudian menjadi bahan masukan bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dalam menjalankan fungsinya di bidang pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang di bidangnya (termasuk dalam hal ini UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dijadikan sebagai bahan hukum sekunder dalam kajian hukum dan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dalam pengambilan kebijakan terhadap implementasi pembagian kewenangan. Selanjutnya dengan selesainya penelitian ini diucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) atas kerjasamanya dan kepercayaan kepada Universitas Panca Bhakti. 2. Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) atas kerjasamanya dalam penelitian ini. 3. Rektor Universitas Panca Bhakti yang telah memberikan kepercayaan kepada ! ! 1! Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, dalam melakukan penelitian ini. 4. Dekan Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti yang banyak memberi masukan dalam penelitian ini. 5. Seluruh staf pada instansi terkait baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota yang telah memberikan data, informasi dan masukan yang sangat berharga terhadap penelitian ini. Demikianlah laporan hasil penelitian ini disampaikan untuk menjadi bahan kajian bagi DPD-RI. Akhirnya hanya Kepada Allah swt juga diserahkan seraya memohon taufiq dan hidayahnya, dan diberi keampunan dari segala salah dan dosa. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua. Amiin, ya Rabbal'alamin. Pontianak, 8 Juli 2013 Tim Peneliti ! ! 2! ABSTRAK IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT Riset ini, mengkaji persoalan yang terkait dengan implementasi desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Kalimantan Barat. Mengingat selama ini praktek yang terjadi, potensi akan kekayaan sumber daya alam yang melimpah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kalimantan Barat, ternyata belum dapat mendatang kemakmuran dan kesejahtaeraan masyarakat sekitarnya ---balutan kemiskinan, infrastruktur yang tidak memadai, fasilitas dan anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang sangat minim yang sering mereka terima---. Disisi lain, kekayaan yang melimpah tersebut, mendorong timbulnya persaingan yang bersifat destruktif dan eksploitatif antar daerah yang memiliki wilayah pesisir. Masing-masing daerah, berupaya mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir secara berkelebihan, tanpa memperhatikan ekosistem dan keberlanjutannya. Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Kalimantan Barat dengan foKus pada wilayah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya dengan pertimbangan pada wilayah tersebut merupakan wilayah pesisir, dimana penelitian ini dilakukan hendak mengungkap bagaimana pengimplementasian pelaksanaan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat serta bagaimanakah mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat. Metode Sampling yang dipergunakan adalah purposive sampling yaitu penarikan sampel bertujuan, karena sampel yang diperlukan dalam penelitian ini harus memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penelitian.!Berdasarkan tehnik ! ! 3! sampling di atas, maka sistem pilihan sampel yang paling urgen untuk dipergunakan adalah Snow ball sampling yaitu memilih (menentukan) salah satu sampel sebagai informan awal selanjutnya terus menggelinding laksana bola salju kepada sampel-sampel lanjutan dan baru akan berakhir pada suatu sampel/informan yang tidak memunculkan varian baru , dan dalam penelitian ini, masing-masing dipilih 1 (satu) orang informan awal masing-masing Kabupaten/Kota pada lokasi penelitian yaitu ; (1) Bappeda; (2) Dinas Kelautan dan Perikanan; (3) Bagian Hukum Setda Kabupaten/Kota; (4) Balegda DPRD Kabupaten/Kota; (5) Pihak-pihak lain terkait yang dianggap mengetahui pokok masalah yang diteliti Hasil penelitian yang diperoleh bahwa desentralisasi kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kalimantan Barat sebagaimana tampak di Kabupaten/Kota dalam wilayah kajian penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi yang signifikan dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Faktor belum menguatnya implementasi desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari regulasi dan kebijakaan yang ada serta Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural akibat semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi Pengelolaan keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal ! ! 4! peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. ! ! 5! DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………………… ABSTRAK SKRIPSI………………………………………….………………….. DAFTAR ISI………………………………………………………………………. DAFTAR TABEL……………………………………………………………….... DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….... BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Belakang ........................................................................... 1 B. MasalahPenelitian ...................................................................... 5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 6 D. Kerangka Pemikiran ................................................................... 8 BAB II TINJAUAN TEORETIK TENTANG DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR ............................................................................... 15 A. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan 1. Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan .................... 15 2. Implementasi Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Skema Otonomi Daerah ....................................................... 19 3. Peraturan Daerah Sebagai Sarana Yuridis Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah ............................................ 26 ! ! 6! B. Wilayah Pesisir dan Sumber Daya Pesisir................................. 32 C. Desentralisasi Kewenangan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir ................................................................. 36 D. Keterbatasan Kemampuan Hukum di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kalimantan Barat ....................................................................... 41 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 46 A. Metode Pendekatan ................................................................... 46 B. Lokasi Penelitian dan Sample.................................................... 47 C. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 48 D. Analisa Data ............................................................................... 49 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 51 A. Hasil Penelitian ........................................................................ 51 1. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Sambas ................................................................................. 51 2. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kota Singkawang ........................................................................... 66 3. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Pontianak............................................................................... 81 4. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Kubu Raya ............................................................................. 103 ! ! 7! B. Pembahasan dan Analisis ....................................................... 112 1. Pelaksanaan Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir .......................... 112 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permasalahan Dalam Pengimplemtasian Desentralisasi Kewenangan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat ...................................................................................... 119 3. Upaya Mewujudkan Desentralisasi Kewenangan di Bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Dapat Mengakomodasi Keseimbangan Kepentingan dan Kelembagaan di Kalimantan Barat ...................................................................................... 123 BAB IV PENUTUP....................................................................................... 130 DAFTAR PUSTAKA ! ! ! ! 8! DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Luas Kabupaten Sambas Tiap Kecamatan ....................... 51 Tabel 2 : Keadaan Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sambas ... 53 Tabel 3 : Keadaan Luas Laut Pengelolaan di Kabupaten Sambas .. 55 Tabel 4 : Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Sambas .......................... 55 Tabel 5 : Obyek Wisata di Wilayah Kabupaten Sambas .................. 58 Tabel 6 : Vegetasi Mangrove dan Fauna ......................................... 72 Tabel 7 : Obyek Wisata Pantai Yang Sudah Dikelola di Kota Singkawang Bedasarkan Kecamatan ................................ 75 Tabel 8 : Luas Kabupaten Pontianak Tiap Kecamatan .................... 83 Tabel 9 : Keadaan Luas Hutan Mengrove di Kabupaten Pontianak ........................................................................... 85 : Karang dan Terumbu Karang Yang Terdapat di Kabupaten Pontianak ........................................................ 86 Tabel 11 : Potensi Wisata Laut di Wilayah Kabupaten Pontianak ...... 88 Tabel 12 : Luas Wilayan Kabupaten Kubu Raya Tiap Kecamatan ..... 104 Tabel 13 : Sebaran Sungai per Kecamatan Kabupaten Kubu Raya .. 105 Tabel 14 : Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Kubu Raya ..................... 105 Tabel 15 : Jenis Potensi Wisata per Lokasi di Kecamatan Pesisir ..... 107 Tabel 16 : Daftar Areal Tambak Budidaya Perikanan per Kecamatan ........................................................................ 107 Tabel 10 ! ! 9! ! ! 10! DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Suaka Alam Laut Tanjung Belimbing (selimpai) Paloh ...... 57 Gambar 2 : Abrasi di Pantai ................................................................. 62 Gambar 3 : Degradasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Pontianak ........................................................................... 93 Gambar 4 : Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai Untuk Pemukiman ............................................................. 94 Gambar 5 : Aktifitas Penambangan Tanah, Batu dan Pasir di Pesisirt Kabupaten Pontianak ........................................... 97 Gambar 6 : Sedimentasi di Beberapa Muara Sungai Pesisir Kabupaten Pontianak ........................................................ 102 Gambar 7 : Abrasi dan Akresi Yang Terjadi di Pesisir Pantai Kabupaten Pontianak ........................................................ 103 ! ! ! ! 11! BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang sangat kaya dan potensial, dengan jumlah pulau yang dimiliki kurang lebih 17.508 pulau, panjang garis pantai mencapai 95.000 km. Kondisi tersebut memposisikan pantai Indonesia merupakan pantai terpanjang kedua setelah Kanada, serta luas wilayah laut mencakup 70 persen dari total luas wilayah Indonesia. Begitupula secara geografis letak kepulauan Indonesia sangat strategis yakni di daerah tropis yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera (Pasifik dan India), serta merupakan pertemuan tiga lempeng besar di dunia (Eurasia, India-Australia dan Pasifik) menjadikan kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan sumberdaya kelautan dan pesisir yang berlimpah. Baik berupa sumberdaya hayati dan non-hayati, sumberdaya yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih maupun jasa-jasa lingkungan seperti industri maritim, perhubungan laut, energi kelautan, serta wisata bahari. Sesuai amanat UUD RI Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional bernegara telah menggariskan bahwa pemanfaatan melimpah dalam wilayah NKRI kekayaan SDA yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, kekayaan sumber daya laut dan pesisir yang melimpah tersebut, harus dapat dipergunakan 1" " 2" " sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Fakta menunjukkan bahwa sekitar 60% (170 juta) rakyat Indonesia hidup dan menggantungkan hidupnya di wilayah laut dan pesisir. Namun ironisnya potensi kekayaan SDA yang melimpah, belum dapat mendatang kemakmuran dan kesejahtaeraan masyarakat sekitarnya, balutan kemiskinan dan marginalisasi akses justru yang sering mereka terima. Disisi lain, kekayaan yang melimpah tersebut, malahan mendorong timbulnya persaingan yang bersifat destruktif dan eksploitatif antar daerah yang mengabaikan ekosistem dan keberlanjutannya1, bahkan ada sebagian penduduk pesisir dengan alasan untuk bertahan hidup, menjadi semakin terbiasa untuk memanfaatkan sumber daya pesisir melalui cara-cara yang bertentangan dengan kaedah pelestarian. Hutan mangrove yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan kelestarian ekosistem pantai telah ditebangi secara tidak terkendali. Berbagai jenis ikan karang penghuni perairan pantai seringkali ditangkapi dengan menggunakan bom atau tenaga listrik, bahkan dengan menaburkan racun. Lahan pertambakan yang dikelola investor dijarah beramai-ramai karena merasa tidak mendapatkan bagian keuntungan secara adil. Realitas demikian, tentunya harus dapat dipahami secara bijak dan arif bagi pengampu kepentingan, dalam setiap mendisain regulasi dan kebijakan, yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir, baik dalam """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 1 Dalam tataran praktis, adanya kebijakan desentralisasi disektor sumber daya alam, yang memungkinkan daerah, dengan dalih kepentingan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama pada daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Melalui suatu kebijakan dan regulasi yang intinya memberikan ijin eksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutannya. " " 3" " skala nasional maupun lokal. Regulasi dan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, semestinya dapat mengakomodasi keseimbangan/mengkompromikan antara dua kepentingan yang berbeda. Kepentingan pertama, untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari sumber-sumber kekayaan pesisir dan laut guna menunjang upaya peningkatan ekonomi pelaku usaha dan kesejahteraan masyarakat sekitar pesisir. Sedangkan kepentingan yang kedua, adanya jaminan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan pesisir dan laut dilakukan secara rasional dan bertanggungjawab, agar dapar berlangsung dalam jangka waktu yang tidak terbatas dari generasi ke generasi. Perbedaan kepentingan yang demikian ini, semestinya tidak dimaknai secara dikotomis atau dipertentangkan. mengakomodasi dua berkeadilan. Desain progresif2 dibidang Melainkan dicarikan titik kepentingan tersebut secara instrumen temu proporsional hukum yang berkarekter pengelolaan wilayah yang pesisir, dapat dan responsif dan kiranya dapat dipertimbangkan sebagai solusinya. Apabila dicermati secara normatif, pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sebagian besar merupakan urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sehingga bersifat sektoral sentralistik. Keadaan ini hendak dirubah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 2 Hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respons atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi social (Philippe Nonet dan Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper Colophone Books, New York, 1978, hal 14-15, 5354 dan 73-76). Dalam hal tipologi hukum ini, juga dikenal istilah lainnya seperti yang dipakai oleh Mahfud dengan mengutip Marryman yaitu : populistik, ortodoks/elitis/konservatif. (Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1998, halalaman: 25 " " 4" " tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang tersebut, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama3. Dalam hubungannya otonomi daerah, maka pengaturan/hukum yang efektif perlu dilakukan dalam rangka: (1) prakarsa kebutuhan lokal; (2) lebih memberi peluang kaum miskin untuk terlibat dalam penentuan kebijakan; (3) ,meningkatkan akses masyarakat pada pemerintah; (4) mengurangi resistensi terhadap pembangunan; (5) mengurangi kemacetan administrasi; (6) lebih efektif memobilisasi sumber daya lokal; (7) lebih mudah membangun koordinasi4. Meskipun telah diterbitkan UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan wilayah pesisir secara memadai dan optimal. Praktek egosektoral dan perebutan klaim kewenangan serta benturan kepentingan secara tidak proporsional, kerap terjadi antara departemen satu dengan departemen lainnya, antara pemerintah """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 3 Perubahan masyarakat yang berlangsung cepat dewasa ini, menyebabkan hukum juga perlu cepat berubah. Salah satu bentuk perubahan tersebut adalah sentralisasi kekuasaan ditangan Pemerintah Pusat berubah menjadi desentralisasi, yaitu setiap daerah mempunyai otonomi masingmasing untuk mengelola pemerintahan didaerahnya. Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur, mengurus dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya, Lihat Dalam, Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum Indonesia, Penerbit Kurnia Kalam, Yogyakarta, 2005, Halaman: 4-5 4 Lihat dalam Suriansyah Murhani, Pengawasan Pemerintahan Daerah, Mediatama, Yogyakarta, 2008, halaman: 43 " " 5" " pusat dan pemerintah daerah, terutama apabila didalam kesatuan ruang terdapat lebih dari satu jenis sumber kekayaan alam. Padahal menimbulkan dan semestinya, permasalahan, kewenangan apalagi sampai sektoral tidak menimbulkan perlu konflik kepentingan dan kelembagaan. Jenis-jenis kegiatan setiap sektor sudah ditetapkan batasannya oleh peraturan perundangan tentang pembentukannya, termasuk batas-batas wilayah yurisdiksi untuk pelaksanaan tugasnya yang meliputi seluruh wilayah negara. Oleh karena itu kewenangan dan klaim teritorial secara eksklusif yang dilakukan oleh sektor-sektor tertentu dapat dipastikan akan melampaui wewenang yang telah diserahkan kepadanya. Demikian pula klaim fungsional maupun administratif tidak perlu dilakukan secara unilateral, karena akan mengacaukan prinsip-prinsip pembagian kerja setiap sektor. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa wewenang setiap sektor merupakan visualisasi dari kewenangan negara sebagai satu kesatuan otoritas. Bertitik dari kondisi krusial tersebut, maka dengan judul: Implementasi Desentralisasi dilakukan Kewenangan penelitian Dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Di Kalimantan Barat. B. PERMASALAHAN Selaras dengan otonomi daerah yang diiringi dengan semakin menguatnya tuntutan demokratisasi, peranan masyarakat (stakeholders) di daerah, maka proses rancang bangun hukum terhadap pengelolaan kawasan " " 6" " pesisir, pulau-pulau kecil hendaknya disusun dalam bingkai pendekatan integralistik dan sinergisitas dengan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya. Permasalahan krusial terkait dengan implikasi desentralisasi kewenangan harus dikelola secara bijak. Pola pengelolaan sumber daya pesisir dengan relasi konfliktual, harus dihindari, karena tidak saja berdampak terhadap semakin masifnya degradasi dan kerusakan lingkungan sumber daya pesisir dan kelautan, namun juga menimbulkan pragmentasi sosial yang berujung pada terjadinya konflik ditengah-tengah masyarakat. Beritik dari fokus kajian tersebut, maka permasalahan yang dianggap signifikan untuk diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengimplementasian pelaksanaan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat? 2. Mengapa terjadi konflik kepentingan dan kelembagaan dalam mengimplementasikan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir 3. Bagaimanakah mewujudkan di Kalimantan Barat ? desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat? C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian. " " 7" " Adapun tujuan dalam penelitian meliputi: a. Mentelaah dan mengungkapkan pelaksanaan desentralisasi kewenangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Indonesia. b. Menjelaskan secara komprehensif implikasi krusial dengan implementasi desentralisasi kewenangan sehubungan Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat c. Menemukan solusi yang akomodatif sehubungan dengan adanya konflik kepentingan dan kelembagaan terkait dengan implementasi desentralisasi kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Kegunaan teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam lapangan politik hukum dan penyelenggaraan otonomi daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat b. Kegunaan Praktis Kegunaan praktis penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan legislatif dalam rangka rancangbangun pembaruhuan hukum di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat. " " 8" " D. KERANGKA PEMIKIRAN Pembangunan menurut Wirosuprojo mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pembangunan merupakan upaya manusia dalam mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan serta wilayahnya5 . Ditegaskan oleh Otto Soemarwoto,6, bahwa sumber daya lingkungan mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi, sumber daya terbarui itu dapat digunakan secara lestari. Akan tetapi, apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan. Menurut Sonny Keraf, tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup dan SDA yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan, seperti di laut, pesisir, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 5 Lihat dalam Worosuprodjo, S.,. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berbasis Spasial Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. 2007, halaman 6 Otto Soemarwoto, op. cit., hlm. 59. " " 9" " tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan.7 Terkait hal tersebut, menurut Djajadiningrat8, keberadaan hukum dibidang sumber daya alam idealnya dapat dipergunakan sebagai instrumen mengendalikan perilaku manusia, untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam, sehingga generasi mendatang tetap mempunyai sumber dan penunjang bagi kesejahteraan dan mutu hidupnya. Namun yang terjadi, seperti yang diungkapkan Harsanto Nursadi9, dari perspektif hukum dan kebijakan, kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan hidup cenderung disebabkan oleh paradigma politik hukum yang dianut pemerintah untuk mengelola SDA dan lingkungan hidup. Secara konkret, paradigma ini dapat dilihat dari instrumen hukum (legal instrument) yang digunakan pemerintah untuk mengatur penguasaan dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Jika dicermati secara kritis, maka ditemukan fakta hukum bahwa substansi dan produk hukum negara (state law) dalam bentuk perundang-undangan mengenai pengelolaan SDA yang ada cenderung bernuansa sentralistik, bersifat sektoral, bercorak represif, dan mengedepankan pendekatan sekuriti (security approach). Menurut Eri Damaryanti, wilayah pesisir dan laut termasuk masuk """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 7 Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2002, halaman. xiii. Lihat dalam Djajadiningrat, Imam Hendargo Ismoyo & Rijaluzzaman (Penyunting); Ecolabelling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, PT.Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1995. Dan Ida Bagus Wyasa Putra; Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2003, halaman 24 9 Harsanto Nursadi, Perlindungan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Pencemaran Teluk Buyat (PT Newmont) dan Pembalakan Liar di Tapanuli Selatan (PT Torganda), 2007, halaman 67 8 " " 10" " ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena termasuk dalam kategori sumberdaya komunal. Namun yang kerap terjadi adalah intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir, laut termasuk pulau kecil sebagai obyek kepemilikan negara sehingga pengaturannya diurus secara sepihak oleh negara tanpa mempertimbangkan masyarakat sekitarnya. Implikasi lebih lanjut, mengakibatkan terciptanya suatu relasi, yang bersifat subordinasi antara rakyat dengan pemerintah, dalam pengertian bahwa rakyat dalam posisi yang inferior dan pemerintah kedudukan yang superior. Organisasi otonom yang ada di masyarakat harus ditundukkan pada “ raksasa organisasi“, yaitu negara, yang dianggap sebagai pemegang kedaulatan yang bersifat tunggal untuk mengatur rakyat. Keadaan ini menempatkan hukum negara dalam posisi di persimpangan, karena sesungguhnya ada organisasi lain (asli ) yang tetap eksis secara laten berlaku dimasyarakat10. Lebih lanjut Harsanto Nursadi 11 , menegaskan, selain pengaturan yang terpisah dari sisi perundang-undangan, kewenangan untuk mengelola SDA tersebut juga terpisah-pisah pada instansi yang berbeda-beda, sehingga dalam pengambilan keputusan sering kali terjadi ketidakharmonisan antara satu instansi dengan instansi lainnya. Kondisi tersebut sebenarnya bukanlah hal yang salah karena masing-masing instansi mengerjakan tugas pokok """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 10 Dalam perkembangnnya, dikenal dua teori yang memberikan pengertian tentang kedaulatan. Pertama, monoisme yang menyatakan kedaulatan adalah tunggal, tidak dapat dibagibagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang tertinggi dalam negara (baik person maupun institusi). Kedua, Pluralisme, yang menyatakan negara bukanlah satu-satunya organisasi yang mempunyai kedaulatan. Banyak organisasi-organisasi lain yang berdaulat terhadap orangorang dalam masyarakat, sehingga tugas negara hanyalah mengkoordinir organisasi yang berdaulat dibidangnya masing-masing, dalam Robert A Dahl“Democracy and Its Critics” sebagai kata ganti untuk gagasan demokrasi yang semakin meluas, dikutip oleh Hendra Nurtjahjo, dalam Filsafat Demokrasi, PSHTN-FHUI, 2005, halaman 23 11 Ibid halaman 69 " " 11" " fungsi (”tupoksi”) sesuai yang dimilikinya. Dalam hukum administrasi negara, tugas pemerintahan tebagi pada instansi-instansi/bagian/sub bagian yang ada dalam struktur organisasi pemerintahan. Hal yang seharusnya terjadi adalah koordinasi termasuk dalam pengambilan keputusan di bidang Sumber Daya Alam. Mencermati terdapat pertentangan kepentingan-kepentingan dalam pengelolaan Sumber daya wilayah pesisir yang terumus dalam instrumen hukum, maka melalui pemetaan posisi hukum yang diungkapkan Satjipto Rahardjo12, menunjukkan ada dua kemungkinan posisi hukum, yaitu sebagai berikut: (1) sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan (conflictoplossing), dan (2) sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut (conflictversterking). Pada masyarakat yang tidak berlandaskan kesepakatan nilai-nilai, maka pembentukan hukum selalu merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang ada dalam masyarakat. Dari sini dapat dilihat bahwa adanya pertentangan nilai-nilai dan kepentingan dalam masyarakat akan cenderung untuk mendorong dilakukan pembentukan hukum dengan jalan membuat kompromi di antara hal yang bertentangan itu. Kompromi ini merupakan pilar pokok dari hukum. Jika masing-masing pihak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, dan realitas kebersamaan yang seharusnya dibangun kemudian dilalaikan, maka secara sosial kehadiran hukum tersebut bersifat disfungsional. """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 12 Ibid, Satjipto Raharjo " " 12" " Ditegaskan oleh Anis Ibrahim13, bahwa proses pembentukan hukum tersebut menjadi tidak demokratis manakala pengakomodasian nilai-nilai dan kepentingan masyarakat yang beragam itu didominasi oleh pihak-pihak kuat dan dominan tertentu. Jika ini terjadi berarti dalam pengelolaan nilai-nilai dan kepentingan yang berbeda-beda itu pada ujungnya berakhir dengan penundukan nilai-nilai yang dihayati dan kepentingan golongan yang lemah oleh golongan yang kuat. ketidaksinkronan antara Adanya suatu kondisi ketidakharmonisan atau satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan yang lain, baik yang sifatnya sederajat maupun yang ada di bawahnya, antara lain disebabkan:14 1. Kebijaksanaan-kebijaksanaan antar instansi Pemerintah Pusat yang saling bertentangan; 2. Adanya perbedaan antara kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 3. Adanya rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kurang tegas atau jelas dan megundang perbedaan dan penafsiran; dan 4. Adanya benturan antara wewenang instansi-instansi Pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Salah satu upaya untuk menjaga agar desentralisasi kewenangan tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional adalah dipegangnya prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam menetapkan kebijakan daerah didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 13 Anis Ibrahim, Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik Dan Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur, Disertasi PDIH Undip, Semarang 2008, Halaman 174 14 Abdul Bari Azed, “Harmonisasi….”., Op.Cit., Hlm. 364. " " 13" " samping itu, ada beberapa hal yang patut dicatat dalam kaitan upaya harmonisasi produk hukum Pusat dan Daerah, antara lain, yakni:15 a. Pengaturan substansi hukum di Daerah harus dapat memperkuat sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum, sendi kerakyatan (demokrasi), dan sendi kesejahteraan social, dan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan. b. Pengaturan substansi produk legislasi Daerah harus diupayakan sedemikian rupa agar tetap berada di dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Kondisi-kondisi kekhususan atau keistimewaan daerah, keberadaan dan penerapan hukum agama dan hukum adat, serta keraifan local yang akan lebih memperkaya sistem hukum nasional, harus mendapat tempat yang wajar dalam pengembangan hukum di daerah. c. Dari segi pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah, baik Perda Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang, dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namun, dari segi isinya, sudah seharusnya kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup wilayah berlaku yang sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibanding dengan peraturan dengan ruang lingkup wilayah pemberlakuan yang lebih luas. Dengan demikian, Undang-Undang lebih tinggi kedudukannya daripada Perda (Provinsi/Kabupaten/Kota). Karena itu, sesuai prinsip hirarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. d. Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan hukum, termasuk badan legislative Daerah, mutlak dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi yang menjadi tanggungjawabnya sepanjang yang menyangkut pengaturan bidang pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga Daerah, dengan memperhatikan prinsip-prinsip manajemen pada umumnya guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas, serta profesionalisme. Untuk bidang legislasi koordinasi antara legislatif dan eksekutif sangat penting untuk ditingkatkan; dan e. Pemberdayaan legislasi daerah tidak akan efektif jika tidak disertai dengan upaya pengembangan budaya hukum atau peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Untuk menciptakan hukum yang efektif, harus meliputi pembangunan keseluruhan komponen sistem hukum, seperti yang diajukan Lawrance """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 15 Abdul Bari Azed, Ibid., Hlm 364-366. " " 14" " Friedman baik yang menyangkut materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) maupun budaya hukum (legal structure) dan sarana serta prasarana hukum16. Dalam hal ini Arief Sidharta mengusulkan, sistem hukum pusat dan daerah di Indonesia harus mengandung ciri: (1). Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara; (2). Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan; (3). Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi; (4). Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai; (5). Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah; (6). Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.17 """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 16 Lawrence M.Friedman, 1977 The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, halaman 89 17 Bernand Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, 2000, halaman 212 " " 15" " " BAB II TINJAUAN TEORETIK TENTANG DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR A. PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DAN PEMBAGIAN KEWENANGAN 1. Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang telah diubah, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-undang, sistem Pemerintahan Indonesia telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaagaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta prinsip-prinsip demokrasi, " " 15" 16" " peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.18 Pada prinsipnya kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan Pemerintah Pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka sejak kebijakan otonomi daerah, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya, karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antar pusat dan daerah19 Esensi kebijakan otonomi daerah sebenarnya berkaitan dengan gelombang demokratisiasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional. Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 18 Jimly Asshidiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan budget bagi Anggota DPRD se-Provinsi (baru) Banten, yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategic and sciences (IASS), di Anyer,Banten, 2 Oktober 2000, hal 2 19 Jimly Asshiddiqie; Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal 51 " " 17" " kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekosentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum,20 Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya . Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.21 Sistem otonomi Indonesia saat ini mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah , dimana menjelaskan bahwa bentuk negara kesatuan Republik Indonesia merupakan amanat konstitusi, dan salah satu ciri negara kesatuan adalah kekuasaan (power) yang sangat besar di tangan Pemerintah Pusat. Melalui kekuasaan yang bertumpuk di pusat tersebut, denyut kehidupan dalam berbagai aspek bernegara dipompakan dari pusat dengan segala """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 20 21 Ibid Ibid " " 18" " kelengkapan aparaturnya. Oleh karenanya Pemerintah Daerah praktis hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana pernyataan menimbang huruf a Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan : “Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat , serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalm sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa ; “Pemerintahan Daerah dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan pemerintah daerah sebagai daerah otonom dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan tertentu untuk pengembangan daerah. Pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur daerah sendiri dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat berdasarkan perundangundangan. Dengan catatan lainnya bahwa otonomi daerah adalah sisi acuan pemerintah yang ingin melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 yaitu dengan melaksanakan otonomi yang luas dan bertanggungjawab. " " 19" " Dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu pasal 18 ayat (8) dinyatakan “Pemerintah Pusat memberikan otonomi yag luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hal-hal yang diatur dan diurus oleh Pemerintah Daerah ialah tugastugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuan daerahnya.22 2. Implementasi Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Skema Otonomi Daerah. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari dinamika otonomi daerah23. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 22 Agus Salim Andi Gadjong, Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum,Bogor, Ghalia Indonesia, 2007, hal 114 23 Sejarah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang dengan dinamikanya yang mengalami pasang surut. Jika dicermati pelaksanaan otonomi atau desentralisasi pemerintahan tidak terlepas dari perkembangan konfigurasi politik yang ada, artinya konfigurasi politik yang ada akan menentukan relasi pemerintah pusat dan daerah. Konfigurasi politik yang otoriter cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang sentralistik (dekonsentrasi), dan sebaliknya konfigurasi politik yang demokratis cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang desentralistik (otonomi luas). Pada prinsipnya pemberian otonomi daerah menekankan pada pada aspek keadilan, demokrasi, pemerataan dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan hal ini merupakan bentuk paradigma baru dalam pengelolaan manajemen system pemerintahan daerah yang berkarekter desntralisasi. " " 20" " keterbukaan, partisipasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah tersebut diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah. Secara umum, pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, maka pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan telah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah24. Secara normatif dalam Undang-undang tersebut, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam seluruh bidang pemerintahan25. """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 24 Keluarnya paket kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola dan mendayagunakan segenap potensinya untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran masyarakat. 25 Kewenangan sering dipahami sebagai hak legal secara penuh untuk bertindak mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri. Ada pula yang memahami bahwa kewenangan adalah kekuatan formal perangkat negara untuk mengambil keputusan yang bersifat mengikat dan memaksa terhadap warga negara. Kewenangan juga bisa dipahami sebagai instrumen administratif untuk mengelola urusan. Dari perspektif pemberdayaan, kewenangan identik dengan “pancing” yang bisa digunakan oleh pemerintah lokal untuk memancing ikan di kolam, meski kolam dan ikan itu sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, kewenangan akan memperkuat posisi dan " " 21" " Realitas dari penyelenggaraan otonomi daerah, ternyata dalam implementasinya sering melupakan hakekat dari otonomi itu sendiri. Jiwa atau semangat otonomi undang-undang pemerintahan daerah tersebut diatas, adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum disini tidak hanya pemerintah Kabupaten/ Kota saja, tetapi juga meliputi para pelaku bisnis lokal, NGO/organisasi kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang lebih kecil seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak diterima oleh daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/ Kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya, undang-undang tentang pemerintahan daerah lebih mencerminkan pengaturan tentang “otonomi pemerintahan daerah” dari pada “otonomi daerah” itu sendiri. Sesungguhnya dalam penyelenggaraan otonomi daerah mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" eksistensi subyek pemilik kewenangan itu untuk menjadi subyek hukum yang leluasa dan otonom dalam bertindak. Kewenangan akan membuat otonomi, dan bahkan skala yang lebih tinggi akan membuat kedaulatan. " " 22" " secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi enam hal: 1) politik luar negeri ; 2) pertahanan; 3) keamanan; 4) moneter; 5) yustisi ; 6) dan agama. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemrintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Tampaknya implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan secara struktural, fungsional, dan kultural dalam keseluruhan tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial berkenaan dengan kedudukan, tugas pokok dan fungsi Pemerintah Perwujudan dari tujuan pembangunan hukum di daerah tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan, yang pedoman dan arah pembangunannya telah " " 23" " tercantum pada Undang-undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-Nasional) Tahun 2005 s/d 2025. Sesuai dengan amanat dari Undang-Undang tersebut, maka setiap pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menyesuaikannya melalui pembuatan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP-Daerah) dan proses tahapan pembangunannya dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJPM) untuk setiap 5 (lima ) tahun. Dalam hubungannya pengaturan kewenangan, secara tegas dinyatakan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka segala urusan pemerintahan yang dahulu berada pada pemerintahan pusat, sekarang berada pada kewenangan pemerintah daerah yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan transmigrasi, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olahraga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi, keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persediaan, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, " " 24" " perpustakaan, komunikasi dan informasi, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan dan perindustrian. Dalam konsepsi negara kesatuan pada dasarnya kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintah ada pada pemerintah pusat. Daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan sebagai urusan yang telah diserahkan atau dilimpahkan kepada daerah. Pola penyerahaan atau pembagian wewenang ini umumnya menginakan tiga cara, yaitu: (1) pembagian secara rutin (untravires doctrine); (2) pembagian secra umum (open anda arragements atau general competence); dan (3) sistem campuran dari keduanya. Pola Ultravires terbatas pernah diterapkan pada masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1974, yaitu dengan cara merinci beberapa kewenangan sebagai urusan pangkal yang ditetapkan dalam undang– undang tentang pembentukan daerah otonomi dan setiap waktu dapat ditambah atau ditarik kembali dengan Peraturan Pemerintah. Pola ultravires secara penuh diterapkan saat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, yaitu dalam PP No. 38 Tahun 2007. Pola kedua (general competence) pernah diterapkan dalam berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 dan Penpres No. 6 Tahun 1959. Sementara pola campuran diterapkan melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pola pembagian wewenang tersebut secara skematik disajikan dalam ragaan dibawah ini: " " 25" " Ragaan I Ragam Pola Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Daerah Pembagian" wewenang" Ultravires"" Terbatas"" UU"No." 22/1948FUU" No.5/1974" Penuh"" General" competence" Campuran"" UU"No."1/1945" &"Penpres"No." 5/1959" UU"No." 22/199" UU"No." Ultravires" provinsi" 32/2004"&"PP" No.38/2007" General" competence" kab/kota" Pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada daerah, berdasarkan asas dekonsentrasi dan dapat pula menugaskan kepada daerah berdasarkan asas tugas perbantu (medebewind). Luasnya kewenangan tersebut mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan mulai dari perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Posisi kemandirian yang begitu luas, bukan berarti daerah akan berkotak-kotak, terlepas dan bebas dari supervise dari Penyelenggaraan dan pembinaan pengawasan pemerintah pusat, oleh karena itu dalam pelaksanaan otonomi daerah, daerah otonom merupakan subsistem dan sub-organisasi dari pemerintah pusat. Untuk menghindari sistem " " 26" " negara dalam negara maka penyelenggaraan otonomi daerah harus berlandaskan pada konstitusi nasional maupun pada peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku secara nasional, meliputi bidang: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama, sehingga tidak keluar dari koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Peraturan Daerah Sebagai Sarana Yuridis Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah Dalam mewujudkan kewenangan daerah dan tugas pembantuan, memiliki hak dan kewajiban peraturan daerah maka masing-masing daerah menerbitkan kabupaten/kota atau provinsi. Hal ini dilakukan agar dalam pelaksanaan kewenangan di atas mendapatkan legalitas dan kepastian dalam pelaksanaannya dengan kata lain peraturan daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas pembantuan. Mengingat peranan peraturan daerah yang demikian penting, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunan peraturan (legislasi) daerah perlu direncanakan dan disusun secara hati-hati. Selain tidak boleh bertentangan dengan asas kepatutan, kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah yang disusunpun harus dapat mewujudkan adanya kepastian hukum, kegunaan dan keadilan di dalam masyarakat. Dengan perencanaan yang matang berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah " " 27" " dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah yang merupakan sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian dan bukan merupakan suatu bentuk kebebasan suatu satuan pemerintahan yang merdeka. Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemeirntahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan, Dalam hubungan tersebut, maka pemerintahan daerah, atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, menetapkan kebijakan daerah, yang dirumuskan dalam berbagai produk hukum daerah, seperti: Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan ketentuan daerah lainnya26. Memperhatikan ketentuan UU No 32 Tahun 2004 pasal 22 huruf n mengandung suatu prinsip bahwa daerah berkewajiban membentuk peraturan perundang-undangan. Kalimat ini harus dimaknai sebagai suatu aturan yang hanya dapat diberlakukan di suatu daerah salah satunya adalah """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 26 Didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah menggariskan bahwa pembentukan Peraturan daerah adalah dalam kerangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan (Pasal 136 ayat (2) dibuat untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1 angka 6). Dengan prinsip “berdasarkan aspirasi masyarakat”. Dalam Penjelasan UU tersebut juga ditegaskan bahwa “… penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat”. " " 28" " Peraturan Daerah. Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang strategis, karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi “ pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Adapun fungsi dari peraturan daerah itu sendiri27 adalah : 1. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana amanat UUD RI Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. 2. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah. Namun, pengaturannya tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. 3. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah. 4. Sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan Perda harus tunduk pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen. Peraturan Daerah merupakan keputusan dalam arti luas, sebagai tujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat dan mejaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan dan kesejahteraan umum. Secara substansial Peraturan """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 27 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM RI " " 29" " Daerah mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak undang-undang yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Materi muatan Peraturan Daerah termasuk juga Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota tidak dibenarkan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (4) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi”. Sesuai penjelasan Pasal 136 ayat (4) tersebut, ”bertentangan dengan kepentingan umum” dimaksud adalah kebijakan berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa: membentuk Peraturan Daerah terdapat 3 (tiga) aspek penting yang perlu diperhatikan oleh setiap Perancang Peraturan Perundang-undangan, yaitu: 1. Aspek kewenangan, sesuai dipersyaratkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa: Peraturan Perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang " " 30" " mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam : Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: (1) Pasal 25 huruf c:”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”; (2) Pasal 42 ayat (1) huruf a:” DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”; (3) Pasal 136 ayat (1) :”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. " " 31" " Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan kewenangan pembentukan Peraturan Daerah telah ditetapkan beberapa peraturan yang meliputi: (1) Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2005 tentang Program Legislasi Daerah; (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah; (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah; (5) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ tanggal 25 Juli 2006 perihal Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. 2. Aspek keterbukaan; Setiap pembentukan Peraturan Daerah diperlukan adanya keterbukaan yaitu pemberian kesempatan kepada masyarakat baik dari unsur akademisi, praktisi, maupun dari unsur masyarakat terkait lainnya untuk berpartisipasi, baik dalam proses perencanaan, persiapan, penyusunan dan/atau dalam pembahasan Raperda dengan cara memberikan kesempatan untuk memberikan masukan atau saran pertimbangan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 3. Aspek Pengawasan yaitu pembentukan Peraturan Daerah dilakukan pengawasan, baik berupa pengawasan preventif maupun pengawasan " " 32" " represif terhadap Peraturan Daerah. Pengawasan preventif dilakukan dalam bentuk evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD, Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah, dan Raperda tentang Penataan Ruang. Terkait dengan pengawasan preventif, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 903/2429/SJ Tanggal 21 September 2005 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD/Perubahan APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD/Perubahan APBD Tahun 2006. Mengenai evaluasi dilakukan dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Peraturan Daerah dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Peraturan Daerah lainnya. B. WILAYAH PESISIR DAN SUMBER DAYA PESISIR Berdasarkan sudut pandang ekologis, wilayah pesisir dan laut yaitu Estuaria, Hutan Mangrove, Padang Lamun, Terumbu Karang, Pantai (berbatu, berpasir dan berlumpur) dan Pulau-Pulau Kecil merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No.27/2007 PWP-3K) menyebutkan bahwa: Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. " " 33" " Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 ditegaskan bahwa Perairan pesisir dan laut yang berbatasan dengan daratan melipurti perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiologi didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil. Menurut Dahuri, dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir dibatasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, kearah darat wilayah ini mencakup daerahdaerah dimana proses-proses oseanografi (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dan lain-lain) yang masih dapat dirasakan pengaruhnya. Kedua, kearah laut daerah-daerah dimana akibat proses-psoses yang terjadi di darat " " 34" " (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar, dan lain-lain), maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relative tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relative rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Karakteristik yang demikian dinyatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrien (nutrient trap). Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi perusakan lingkungan secara massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants trap). Lebih lanjut kawasan pesisir Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat pulih (renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta didukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya . Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk " " 35" " meregulasi pemanfaatannya. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lainnya; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok yakni (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) Sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable resources), (3) Energi lautan dan (4) Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (ocean thermal energy convertion), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. " " 36" " Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut sepertiga dari kewenangan provinsi 12 (duabelas) mil yang meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung jawab untuk melestarikannya. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas tentang pengertian sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. C. Desentralisasi Kewenangan Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini menegaskan ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak " " 37" " menguasai negara tersebut bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang hukum publik kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai amanat konstitusi tersebut, maka pemanfaatan kekayaan SDA yang melimpah dalam wilayah NKRI dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, kekayaan sumber daya laut dan pesisir yang melimpah tersebut,harus dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Untuk itu dalam rangka penyusunan regulasi dan kebijakan di bidang pengelolaan Sumber daya pesisir desentralisasi sebagai bagian dari pelaksanaan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pemerintahan negara yang digariskan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesa tahun 1945, Pasal 1 ayat (1): Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, ayat (2): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai salah satu indikator pembangunan daerah, penyusunan regulasi dan kebijakan di daerah terikat pada ketentuan Undang-Undang Dasar mengenai Pemerintahan Daerah yang tercantum dalam Bab VI, Pasal 18 ayat (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Ayat " " 38" " (2): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya, diatur dalam ayat (5): Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, ayat (6): Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan dan ayat (7): Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Desentralisasi memberikan peluang kepada daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah untuk terciptanya suatu tata pengelolaan pemerintahan yang lebih adil, khususnya dalam hal hubungan keuangan dan pemanfaatan sumber daya alam, dengan pemerintah pusat maupun dengan daerah lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18A, ayat (1): Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dan ayat (2): Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Desentralisasi kewenangan di bidang pengelolaan pengelolaan Sumber daya pesisir idealnya akan mendorong tata kelola pemerintahan " " 39" " daerah yang berpihak kepada prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan, yang dapat dilakukan oleh daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar namun pemanfaatannya secara ekonomis beresiko besar terhadap fungsi ekologis. Karena kondisi kewilayahannya, daerah semacam ini dapat (berpotensi) mengajukan diri sebagai daerah yang karena kekhasan kondisi alamnya sebagai daerah yang pengelolaannya bersifat khusus. Daerah yang memiliki kekhasan diberikan pengakuan oleh negara, sebagaimana datur dalam Pasal 18B ayat (1): Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan mengenai pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Secara operasional apabila menyangkut perubahan atau pembentukan Undang-Undang, dalam rangka pelaksanaan pemerintahan daerah yang bersifat khusus maka pemerintah daerah dapat mengusulkan perubahan atau mengajukan rancangan undang-undang melalui Dewan Perwakilan Daerah. Mengenai hal ini disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1): Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran " " serta penggabungan daerah, 40" " pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan ayat (2): Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Selanjutnya ditegaskan bahwa dalam hal pelaksanaan pemerintahan daerah, Dewan Perwakilan Daerah memiliki kewenangan pengawasan (Pasal 22D ayat 3), sebagai berikut: Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. " " 41" " D. Keterbatasan Kemampuan Hukum Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Kalimantan Barat Pada hakekatnya pembangunan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup. Kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk menunjang kebutuhan pembangunan bersifat tidak tak-terbatas. Hal ini mengandung makna bahwa sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembangunan, mau tidak mau tingkat kelangkaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup akan semakin nyata. Dalam hubungan ini, UUD RI Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara telah menggariskan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, penggunaan sumberdaya alam khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus sebijaksana mungkin sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dapat mengancam kelestariannya28. Mengingat wilayah pesisir dan laut dan pulau-pulau kecil biasanya masuk ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena termasuk dalam kategori sumberdaya komunal. Namun yang kerap terjadi """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 28 Dalam relasinya tersebut, penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan harus memperhatikan konservasi dan upaya rehabilitasi untuk melestarikannya, keseimbagan alam harus dijaga, dan timbulnya dampak negatif harus dikendalikan seminimum mungkin. Dalam hubungan ini maka penting diketahui secara tepat potensi dan kondisi sumber-daya alam dan lingkungan hidup yang ada sekarang serta kecenderungan-kecenderungan di masa mendatang. Selain itu juga perlu diperhitungkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup akibat eksploitasi sumberdaya alam. Untuk itu perlu diketahui berbagai metode untuk menilai potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaannya. " " 42" " adalah intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir, laut termasuk pulau kecil sebagai obyek proses nasionalisasi atau kepemilikan negara sehingga pengaturannya diurus oleh negara29. Padahal, seiring dengan proses nasionalisasi tersebut, pengaturan lokal yang sudah ada menjadi kehilangan basis legal dan secara perlahan tidak lagi digunakan oleh masyarakat. Hal ini kemudian mengakibatkan kekosongan pengaturan di wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya komunal seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Akibatnya secara de Jure melekat rejim stated management, namun kenyataan yang berlaku adalah penggunaan rejim open access secara de facto30. Artinya, akibat ketidakmampuan negara menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri, kemudian mengakibatkan perubahan sistem penguasaan yang berdampak terhadap kelangsungan sumberdaya tersebut. Karena banyaknya wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil yang secara de facto menjadi open access31, maka terjadilah kegiatan seperti pencurian ikan """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 29 Ostrom mencatat ada banyak bukti kegagalan yang ditemukan ketika suatu pemerintahaan administratif mencoba mengatur suatu sumberdaya komunal dalam cakupan wilayah yang luas. Pada tahun 1950 sampai dengan 1960-an, masa setelah pasca perang dunia kedua, banyak negara berkembang menasionalisasikan seluruh wilayah, yaitu tanah dan perairannya. Namun yang terjadi adalah Negara tidak mampu melakukan pengawasan karena kekurangan dana maupun personel. Lihat dalam Ostrom, Elinor, 1999, Coping with Tragedies of the Commons in Annual Reviews (www.Annual Reviews.org), halaman: 32 30 Karakteristik sumber daya yang demikian ini, memberikan kesan seolah-olah pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (P3K) dapat dikuasai oleh sembarang orang, disembarang waktu dan oleh sembarang alat. Konstruksi sosial yang seperti, mengakibatkan kondisi sosial ekonomi bersifat konfliktual antara pemilik modal (umumnya nelayan pemilik trawl/lamdas) dengan nelayan tradisonal dan nelayan buruh, karena adanya perbedaan dan keterbatasan akses dalam memanfaatkan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (P3K) dilaut antara nelayan tradisional dan nelayan pemilik modal, Bandingkan dalam Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2008, halaman: 16. 31 Ada empat akibat buruk dari penerapan doktrin milik Bersama (open access) tersebut yakni: (1) Pemborosan sumberdaya alam secara fisik, (2) Inefisiensi secara ekonomi, 3) Kemiskinan nelayan, dan (4) Konflik antarpengguna sumberdaya alam. Christy menawarkan solusinya dengan penerapan penggunaan wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) (dalam Bromley dan Cernea, 1989, halaman 56). " " 43" " oleh kapal asing, penangkapan ikan dengan metode merusak, pengkaplingan wilayah laut untuk usaha tertentu, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, berdasarkan pengalaman di beberapa lokasi sumberdaya komunal, ditemukan32 bahwa: (1) Pemanfaatan berlebih dan pengrusakkan bukanlah faktor penentu maupun penyebab utama yang harus dipertimbangkan oleh berbagai pihak pemanfaat jika menghadapi dilema bersama (common dilemma;. (2). Pemerintah nasional seringkali tidak berhasil dalam upaya merancang peraturan yang efektif dan seragam untuk mengatur sumberdaya yang penting dalam satuan ruang yang luas33. Kondisi dilematis ini merupakan cermin dari keterbatasan kemampuan dari hukum, mengingat kehadiran hukum sesungguhnya untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam asyarakat, maka hukum di satu pihak memperlihatkan kecenderungan konservatif, arrtinya, berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, akan tetapi di lain pihak juga memperlihatkan modernisme, yang berusaha mendorong dan mengarahkan perubahan. Meskipun secara teoretik selalu berorientasi untuk mengarahkan perubahan, akan tetapi dalam aras praksis, hukum memiliki karakteristik “selalu tertinggal dengan objek yang """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 32 Lihat dalam tulisan Coping with Tragedies of the Common oleh Elinor Ostrom, 1999, Annual Reviews. Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil http://www.huma.or.id, halaman 4. 33 Temuan di atas kemudian menyampaikan pesan penting yang harus diperhatikan oleh para pengambil kebijakan untuk pengaturan tenurial wilayah P3K, berdasarkan fungsi dan ketersediaannya, serta kondisi para pemanfaat yang memiliki akses terhadap sumberdaya komunal tersebut dan Pemerintah harus berbesar hati untuk memberikan wewenang kepada wilayah yang menjadi sumberdaya komunal untuk dikelola dan diaturnya sesuai kearifan lokalnya. " " 44" " diaturnya.” Dari titik ini, tampak betapa letak keterbatasan hukum dengan mainstream dogmatika hukum atau positivisme hukum34. Dalam implementasi UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan wilayah pesisir secara memadai dan optimal. Praktek egosektoral dan kewenangan serta benturan kepentingan terjadi perebutan klaim secara tidak proporsional, kerap antara departemen satu dengan departemen lainnya, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama apabila didalam kesatuan ruang terdapat lebih dari satu jenis sumber kekayaan alam. Seharusnya kewenangan sektoral tidak perlu menimbulkan permasalahan, apalagi sampai menimbulkan konflik kepentingan dan kelembagaan. Jenis-jenis kegiatan setiap sektor sudah ditetapkan batasannya oleh peraturan perundangan tentang pembentukannya, termasuk batas-batas wilayah yurisdiksi untuk pelaksanaan tugasnya yang meliputi seluruh wilayah """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 34 Positivisme hukum ada dua bentuk; pertama, positivism yuridis. Bahwa hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivesme adalah pembentukkan struktur-struktur rasional sitem-sistem yuridis yang berlak. Sebab, hukum dipandang sebagai hasil pengelolaan ilmiah belaka akibatnya pembentkkan hukum menjadi makin professional. Dalam positivism yuridis ditambah bahwa hukum adalah closed logical system. Artinya, peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosil, politik daan moral. Tokohnya seperti R. von Jhering dan John Austin. Kedua, positivesme sosiologi, hukum dipandang sebagai terbuka bagi kehidupan masyarakat. Dalam positivesme sosiologi, hukum diangap sebagai terbuka bagi masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah; A. Comte, menjadi perintis positivism ini dengan menciptakan suatu ilmu pengetahuan baru, yakni “Sosiologi” . Aliran ini, paling mencerminkan hubungan yang erat antara hukum dan negara, lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kaninsius Yokyakarta, 1991, hal. 32; J.J. von Schmid, Het Denken Over Staat en Recht in de Negentiende Eeuw, diterjemahkan Boentarman, Erlangga, Jakarta, 1985; juga lihat, Julius Stone, Law and the Social Sciences in the Second Half Century, University of Minnesota Press, 1966, khususnya, halaman.9-10 " " 45" " negara. Oleh karena itu kewenangan dan klaim teritorial secara eksklusif yang dilakukan oleh sektor-sektor tertentu dapat dipastikan akan melampaui wewenang yang telah diserahkan kepadanya. Demikian pula klaim fungsional maupun administratif tidak perlu dilakukan secara unilateral, karena akan mengacaukan prinsip-prinsip pembagian kerja setiap sektor. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa wewenang setiap sektor merupakan visualisasi dari kewenangan negara sebagai satu kesatuan otoritas. Perebutan klaim kewenangan serta benturan konflik kepentingan, bermula karena perbedaan interpretasi maupun implementasi peraturan perundangundangan. Apabila terjadi permasalahan perundang-undangan dan/atau interpretasi hukum antara pemerintahan daerah dan pemerintah pusat penyelesaian dapat ditempuh melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24A ayat (1) ditegaskan bahwa: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. " " 46" " " B A B III METODE PENELITIAN Metode adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berupaya untuk memperoleh pemecahan suatu masalah. Karena itu, penelitian sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, analisis dan konstuktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. 1. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, pilihan metode secara sosio-legal35 dianggap yang tepat. Tipe pendekatan sosio legal ini, menurut Sulistyowati Irianto36 dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif kritikal dan empirisrne kualitatif di dalam satu penelitian/kajian. Dengan demikian kajian hukum, tidak terkungkung menjadi penelitian dogmatis sekaligus juga tidak liar menjadi penelitian non-hukum. Penggunaan sekaligus dua pendekatan tersebut """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 35 Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan bahwa pendekatan socio legal research dimaksudkan untuk mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Disini, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang mandiri (otonom), tetapi sebagai suatu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial yang lain. Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab (independent variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial (Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988, halaman: 34-38). 36 Sulistyowati Irianto, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, halaman: 177. " " 46" 47" " ditujukan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum supaya hukum benarbenar hadir untuk mendatangkan keadilan bagi semua kalangan, terutama bagi kalangan marjinal yang realitasnya sering diabaikan dalam studi hukum normatif. 2. Lokasi Penelitian dan Sampel Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Kalimantan Barat dengan focus pada wilayah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya dengan pertimbangan pada wilayah tersebut merupakan wilayah pesisir dan Peneliti relatif lebih mengenal dan dekat dengan lingkungan komunitas sasaran penelitian, sehingga keadaan ini akan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian lapangan, karena halangan-halangan, seperti: transportasi, diskusi, perijinan dan birokrasi relatif mudah untuk di atasi. Hal ini sesuai dengan tipe informasi dalam penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan Sanapiah Faisal untuk memahami keadaan yang terbatas jumlahnya, dengan fokus yang mendalam dan rinci. Metode Sampling yang dipergunakan adalah purposive sampling yaitu penarikan sampel bertujuan, karena sampel yang diperlukan dalam penelitian ini harus memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penelitian. Berdasarkan tehnik sampling di atas, maka sistem pilihan sampel yang paling urgen untuk dipergunakan adalah Snow ball sampling yaitu memilih (menentukan) salah satu sampel sebagai informan awal selanjutnya " " 48" " terus menggelinding laksana bola salju kepada sampel-sampel lanjutan dan baru akan berakhir pada suatu sampel/informan yang tidak memunculkan varian baru , dan dalam penelitian ini, masing-masing dipilih 1 (satu) orang informan awal masing-masing Kabupaten/Kota pada lokasi penelitian yaitu ; (1) Bappeda; (2) Dinas Kelautan dan Perikanan; (3) Bagian Hukum Setda Kabupaten/Kota; (4) Balegda DPRD Kabupaten/Kota; (5) Pihak-pihak lain terkait yang dianggap mengetahui pokok masalah yang diteliti. 3. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. a. Pengumpulan data primer, dilakukan dengan menggunakan wawancara dan observasi. Wawancara dalam penelitian ini, peneliti memilih metode wawancara tidak berstruktur atau “unstructured interview” yaitu pertanyaan diajukan secara lebih bebas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan tujuan agar arahnya lebih terbuka dan bisa didapatkan informasi yang lebih luas, serta wawancara dapat berlangsung secara lues. Observasi dalam penelitian ini hanya melakukan pengamatan dengan tidak berpartisipasi aktif atau “nonparticipant observation”. Pada tahap eksplorasi terfokus, penggunaannya secara terfokus sesuai dengan pilihan domain yang dijadikan fokus penelitian. " " 49" " b. Pengumpulan data sekunder41, dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian data melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen atau catatan, literatur, serta hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Analisa Data Analisa data yang dipergunakan adalah model interaktif, seperti skema di bawah ini: Pengumpulan data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan Penarikan dan Verifikasi Model analisis jenis ini diperkenalkan oleh Matthew B. Miles42, yang mekanisme kerjanya merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus secara bolak-balik, sehingga masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai satu rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Oleh karena itu teknis analisis dari perspektif emic(dari dalam) dan etic (dari luar) sudah dimulai sejak awal yang dilakukan secara simultan. """"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 41 lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Op Cit, halaman: 11-12. Matthew B.Miles, Analisis Data Kualitatif (terjemahan), Penerbit Universitas Indonesia (UI-Perss), Jakarta, 1992, halaman: 9 42 " " 50" " " BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Sambas 1.a. Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Kabupaten Sambas Kabupaten Sambas merupakan daerah bagian paling utara Provinsi Kalimantan Barat yaitu diantara 2°08' Lintang Utara serta 0°33' Lintang Utara dan 108°39' Bujur Timur serta 110°04' Bujur Timur. Panjang pantai ±198,76 km dan panjang perbatasan negara ±97 km. Secara administratif, l etak geografis Kabupaten Sambas adalah adalah: Utara : Serawak (Malaysia Timur) dan Laut Natuna Selatan : Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang Timur : Kabupaten Bengkayang dan Serawak Barat : Laut Natuna Luas Kabupaten Sambas memiliki luas daratan adalah 6.395,70 Km² atau sekitar 4,36 persen dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat. dengan dikelilingi perairan laut seluas 1.467,84 Km². Daerah Pemerintahan Kabupaten Sambas pada tahun 2010 t erbagi menjadi 19 Kecamatan dan 183 Desa serta 1 UPT. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Sajingan Besar dengan luas 1.391,20 km² atau 21,75 persen sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Salatiga dengan luas sebesar 82,75 Km² atau 1,29 persen dari luas wilayah " " 51" 51" " Kabupaten Sambas. Panjang pantai tiap kecamatan menurut LAPAN (2003) dalam BPS Kabupaten Sambas (2011) yaitu: Kecamatan Selakau sepanjang 13,51 km; Kecamatan Pemangkat (20,49 km); Kecamatan Jawai dan Kecamatan Jawai Selatan sepanjang 42,53 km; Kecamatan Teluk Keramat sepanjang 19,67 km; dan Kecamatan Paloh sepanjang 102, km. TABEL 1 Luas Kabupaten Sambas Tiap Kecamatan No Kecamatan Ibukota . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Selakau* Selakau Selakau Timur Selakau Tua Pemangkat* Pemangkat Semparuk Semparuk Salatiga* Salatiga Tebas Tebas Tekarang Tekarang Sambas Sambas Subah Subah Sebawi Sebawi Sajad Tengguli Jawai* Sentebang Jawai Selatan* Matang Terap Teluk Keramat Teluk Kramat Galing Galing Tangaran* Simpang Empat Sejangkung Sejangkung Sajingan Besar Sajingan Besar Paloh* Liku Kabupaten Sambas Sumber : BPS Kabupaten Sambas, 2011 *Kecamatan pesisir " " Luas (km2) 129,51 162,99 111,00 90,15 82,75 395,64 83,16 246,66 644,55 161,45 94,94 193,99 93,51 554,43 333,00 186,67 291,26 1.391,20 1.148,84 6.395,70 Persentase Luas (%) 2,02 2,55 1,74 1,41 1,29 6,19 1,30 3,86 10,08 2,52 1,48 3,03 1,46 8,67 5,21 2,92 4,55 21,75 17,96 100,00 52" " Sebagai salah satu wilayah kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Sambas memiliki karakteristik lokasi yang spesifik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia dan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pembangunan wilayah, yaitu: a) Memiliki wilayah laut b) Memiliki perbatasan negara di laut c) Memiliki wilayah perbatasan negara di daratan Selama ini terdapat 2 (dua) jalur lintas batas yang menjadi pintu keluar masuk masyarakat kedua negara secara tradisional, yaitu jalur Aruk (Kecamatan Sajingan Besar) – Biawak (Sarawak Malaysia) dan jalur Temajok (Kecamatan Paloh) – Teluk Melano (Sarawak Malaysia). Wilayah pesisir Kabupaten Sambas merupakan bagian dari daratan Propinsi Kalimantan Barat berbatasan dengan Laut Natuna/Laut Cina Selatan, berada pada 2°08’ Lintang Utara serta 0°33’ Lintang Utara. 1.b. Keadaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sambas memiliki sumberdaya alam yang potensial terutama sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal sektor Kelautan dan Perikanan apabila dikelola dengan optimal mempunyai prospek yang menjanjikan dalam upaya mendukung pertumbuhan perekonomian, penyediaan lapangan kerja, sumber protein, wisata dan lain-lain, apalagi Kabupaten Sambas berbatasan langsung dengan Laut " " Natuna dan Laut Cina 53" " Selatan yang merupakan pintu gerbang pengelolaan wilayah laut II pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. 1.b.(1) Panjang Pantai Panjang pantai Kabupaten Sambas menurut LAPAN (2003) sekitar 198,76 Km dengan rincian sebagai berikut : ! Kecamatan Selakau : 13,51 Km ! Kecamatan Pemangkat dan Salatiga : 20,49 Km ! Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan : 42,53 Km ! Kecamatan Tangaran : 19,67 Km ! Kecamatan Paloh : 102,56 Km 1.b.(2) Hutan Mangrove Hutan Mangrove di Kabupaten Sambas memiliki spesies cukup beragam seperti; Api-api (Avicennia Sp), Bakau (Rizhopora Sp), Pedada (Sonneratia Sp), Nyirih (Xycarpus granatum), Berus (Bruguiera Sp) dan Nipah (Nypa) seluas 7.720,5 Ha dengan rincian sebagai berikut. TABEL 2 Keadaan Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sambas No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lokasi Luas (Ha) Kerusakan (ha) Kecamatan Selakau 102,5 41,0 Selakau Muara Sungai Selakau 80,0 32,0 Selakau Sungai Sebangkau & Tj. Bila 152,0 76,0 Pemangkat Penjajab 10,0 10,0 Pemangkat S. Sentebang – Prt. Tumpak Urat 186,0 130,2 Jawai Pampang – Simpang Empat 60,0 36,0 Jawai Muara Sungai Paloh 660,0 264,0 Paloh HL. Sungai Bemban 6.430,0 1.326,0 Paloh Tj. Kalang Bau 40,0 16,0 Jawai Jumlah 7.720,5 1.931,2 Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sambas Tahun 2012 " " 54" " 1.b (3) Terumbu Karang Terumbu karang yang terdapat di Kabupaten Sambas pada umumnya adalah terumbu karang pinggiran dan terumbu karang penghalang. Terumbu karang pinggiran (fringing reefs) yaitu karang yang tumbuh mulai dari tepian pantai pulau dan banyak terdapat di Pulau Merendam. Sedangkan terumbu karang penghalang (barrier reef) merupakan terumbu yang dipisahkan dari daratan pantai oleh goba/laguna (lagoon). Terumbu karang ini di Kabupaten Sambas tidak terlalu luas, menyebar dan tidak muncul ke permukaan pada saat surut terendah ditemukan di pesisir Kecamatan Paloh yang sebagian besar masih baik. Daerah terumbu karang ini biasa dikenal dengan nama “Paloh Niger” dengan luas 1.080 ha dan alur pelayaran dengan luas 2.520 ha dengan kondisi yang masih baik serta Gosong Niger di Tanjung Datok sekitar ± 10 mil laut dari Tanjung Datok. 1.b.(4) Luas Laut Pengelolaan Luas Laut Pengelolaan Kabupaten Sambas 1.467,84 Km2. Kecamatan Paloh yang merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia memiliki laut pengelolaan terluas yaitu seluas 758,94 km2. " " 55" " TABEL 3 Keadaan Luas Laut Pengelolaan di Kabupaten Sambas No 1. 2. 3. 4. 5. Luas Laut (Km2) Kecamatan Selakau Pemangkat dan Salatiga Jawai dan Jawai Selatan Tangaran Paloh Persentase (%) 99,97 151,62 314,72 142,59 758,94 6,81 10,33 21,44 9,71 51,71 Jumlah 1.467,84 100,00 Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sambas Tahun 2012 1.b.(5) Pulau-Pulau Kecil Berdasarkan data BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Sambas memiliki 6 pulau yang terdiri dari 5 pulau di daerah pesisir dan 1 buah merupakan pulau pedalaman. Pulaupulau di daerah pesisir antara lain : (1) Pulau Belacan; (2) Pulau Pikah; (3) Pulau Pontianak; (4) Pulau Tua, dan (5) Pulau selimpai. Sedangkan Pulau pedalaman adalah Pulau Bungin yang berada di Kecamatan Sambas. Pulau-pulau tersebut semuanya tidak berpenghuni kecuali Pulau Selimpai terdapat 20 KK yang mendiami pulau. TABEL 4 Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Sambas No. 1. Pulau Belacan Kec. Jawai Selatan Arti Terasi Sejarah Nama Bentukny a menyerup ai terasi, " " Koordinat Lintan Bujur g 1011’43 108058’ ” LU 06” BT Keterangan TBP, batuan cadas, pohonpohon besar, ada mercusuar, luas 56" " No. Pulau 2. Pikah 3. Pontianak 4. Tua 5. Selimpai 6. Kec. Arti Sejarah Nama dulu diimiliki oleh Panglima Daud Dulu banyak bekatan 1012’22 ” LU 108057’ 22” BT 1016’10 ” LU 108058’ 59” BT Tua 1043’29 ” LU 109015’ 24” BT Selamat datang 1049’19 ” LU 109020’ 06” BT Sejenis kera Pecahan dari Pulau Panjang yang ada di Pontianak Paloh Keterangan 900 m2 TBP, dikelilingi batuan cadas, ada daratan di tengahnya, keliling 200 m, potensi pariwisata, kepemilikan penduduk setempat TBP, dikelilingi batuan cadas, ada pohon mangga dan kelapa, keliling 500 m, potensi pariwisata, tampat singgah nelayan, terdapat karang langka bernama karang puting beliung, di Indonesia ada 2 tempat yaitu di Bali & Pulau Pantian TBP, ada kebun kelapa & cemara, luasnya kira-kira 1,5 ha, pada bulan April & Juni ada penyu bertelur, potensi pariwisata Berpenghuni ada 20 KK, mata pencaharian berkebun dan nelayan, tempat penangkaran penyu, luas 10 ha, ada pohon cemara TBP, pantai berbakau, ditengahnya terdapat daratan Ada kapal 1023’24 109014’ karam & ” LU 36” BT terjadi sedimenta si Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sambas Tahun 2012 Bungin Sambas Gundukan " " Koordinat Lintan Bujur g 57" " 1.b.(6) Konservasi Pesisir Kawasan konservasi pesisir yang terdapat di Kabupaten Sambas berupa Suaka Alam Laut (SAL), Taman Wisata Alam (TWA), dan Cagar Alam (CA) dengan luas total 277,68 km². Kawasan suaka alam laut berada di dua lokasi yaitu SAL Tanjung Belimbing/Selimpai dan SAL Sungai Liku dengan luas masing-masing sekitar 9,26 km2 dan 1,54 km². Gambar 1 Suaka Alam Laut Tanjung Belimbing (Selimpai) Paloh 1.b.(7) Wisata Pesisir Pariwisata salah satu sektor yang dapat meningkatkan perekonomian daerah sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja serta kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah. Dengan keragaman jenis tempat wisata yang ada di Kabupaten Sambas, maka Kabupaten Sambas berpotensi untuk pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan karena memiliki keindahan alam yang sangat " " 58" " baik untuk pariwisata, sehingga Kabupaten Sambas lebih dikenal sebagai daerah tujuan wisata oleh masyarakat Kalimantan Barat. Kawasan pesisir yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Sambas juga memiliki potensi pariwisata yang cukup potensial untuk dikembangkan, baik pariwisata pantai dan bahari, pariwisata religius maupun pariwisata buatan. TABEL 5 Obyek Wisata Di Wilayah Kabupaten Sambas No Kecamatan 1 2 Selakau Salatiga 3 Pemangkat 4 5 Jawai Selatan Jawai 6 Paloh Nama Obyek Wisata 1. Pantai Polaria Jenis Wisata 2. Masjid Siradjul Islam Parit Baru Pantai Laut dan Gunung Batu Wisata Sejarah 1. Air Terjun 2. Taman Rekreasi G.Selindung 3. Pantai Tanjung Gunung Parit Pasir Selindung Wisata Alam Wisata Alam Parit Baru Wisata Alam Taman Rekreasi Tj. Batu 1. Pantai Kalang Bau 2. Pantai Bukit Raya 1. Pantai Dungun Laut 2. Pantai Sentebang 1. Pantai Tanah Hitam 2. Goa Batu Belidak 3. Pantai Pulau Tua 4. Pantai rekreasi G. Besi 5. Air Terjun B. Lintang 6. Pantai Tj. Selimpai Pemangkat Kota Jawai Laut Jawai Laut Dungun Laut Sentebang Tanah Hitam Tanah Hitam Nibung Nibung Wisata Alam Sebubus Wisata Alam Sebubus 7. Batu Bejamban Sebubus Pantai Lokasi Penyu Wisata Alam " " Lokasi ( Desa) Sungai Rusa Pantai Laut Bahari Pantai laut bahari Pantai Laut Bahari Pantai Laut Bahari Pantai Laut Wisata Alam Pantai Laut Wisata Alam 59" " 8. Pantai Temajuk Sebubus Pantai Laut Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sambas Tahun 2012 1.b (8) Perikanan Pesisir dan laut Kabupaten Sambas cukup luas, sehingga sebagian besar penduduk di kecamatan pesisir bermatapencaharian sebagai nelayan dan pembudidaya ikan. Setiap tahun, jumlah nelayan dan pembudidaya ikan meningkat kecuali pada pembudidaya keramba air laut yang mengalami penurunan. Untuk nelayan, sebagian besar menangkap ikan di laut daripada perairan umum. Sedangkan untuk nelayan, sebagian besar membudidayakan ikan di tambak daripada di kolam, keramba air tawar maupun keramba air laut. Masyarakat perikanan di Kabupaten Sambas juga memiliki kelompok-kelompok yang terdiri dari Kelompok Pembudidaya Ikan, Kelompok Usaha Bersama di bidang penangkapan ikan dan Kelompok Pengolahan dan Pemasaran. Dengan adanya kelompok-kelompok ini diharapkan antar anggotanya dapat saling bekerja sama, saling membantu untuk kesejahteraan anggota kelompoknya. 1.c. Isu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Wp-3-K) Keberadaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, " " 60" " permasalahan dan kendala yang dihadapinya juga cukup besar yang tidak mudah untuk diatasi. Permasalahan utama yang dihadapi antara lain adalah pencemaran laut akibat pembuangan limbah, pencurian ikan, penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing), degradasi habitat pesisir dan pulau-pulau kecil (mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dll), konflik penggunaan ruang dan sumber daya, belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai, terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi, dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah pesisir, khususnya petani ikan dan nelayan skala kecil. Permasalahan tersebut muncul antara lain sebagai akibat dari paradigma pembangunan yang tidak memperhatikan konsep keberlanjutan/lestari dan keterpaduan. Pembangunan kelautan dan perikanan dituntut untuk terpadu antar sektor dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan untuk keberlanjutan. Dengan 7 (tujuh) Kecamatan yang terletak di pesisir dari 19 Kecamatan yang ada dengan panjang pantai 198,76 meter, Kabupaten Sambas tentunya memiliki keunggulan yaitu potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan, dan apabila dikelola secara maksimal akan mendapatkan profit. Selain itu mempunyai tanggung jawab untuk dapat menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya alam tersebut. Kawasan pesisir termasuk dalam kategori kawasan sensitif atau rentan terhadap berbagai tekanan. Kesalahan dalam mengidentifikasi berbagai " " 61" " isu dan permasalahan di kawasan pesisir, akan mengakibatkan kesalahan/kurang tepatnya pengelolaan wilayah tersebut. Identifikasi isu dan permasalahan di kawasan pesisir sangat penting dilakukan sebagai dasar dalam perencanaan wilayah dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir yang lestari dan berkelanjutan. Identifikasi isu-isu strategis pengelolaan WP-3-K di Kabupaten Sambas merupakan “grand design” yang menggambarkan arah dan sasaran pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara umum. Identifikasi ini berangkat dari isu-isu pengelolaan masing-masing kecamatan. Akan tetapi, karakteristik isu-isu pengelolaan ini di Kabupaten Sambas cenderung seragam hanya pada kecamatan tertentu perlu menjadi perhatian utama, misalnya untuk kecamatan atau daerah perbatasan. Isu-isu strategis pengelolaan WP-3-K Kabupaten Sambas, antara lain; 1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia; Tingkat pendidikan dan keahlian masyarakat pesisir/nelayan rendah merupakan suatu isu yang berkembang Indonesia, salah satu penyebab dari rendahnya tingkat pendidikan dan keahlian baik formal maupun non-formal diakibatkan pola pikir yang secara turun temurun diadopsi oleh masyarakat pesisir dimana pendidikan bukan hal mutlak untuk meningkatkan kesejahteraan, dimana dengan ketersediaan sumberdaya perikanan yang melimpah dan melakukan aktifitas di laut dengan sendirinya kebutuhan dapat terpenuhi. " " 62" " Kenyataannya dengan perkembangan yang pesat ditambah terjadinya kerusakan ekosistem pesisir menyebabkan hasil tangkapan ikan menurun dan produktifitas perairan juga rendah, menyebabkan masyarakat semakin terpuruk. 2) Mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim global; Bencana yang timbul di pesisir Kabupaten Sambas adalah sedimentasi, abrasi, intrusi air laut, banjir pasang (rob) karena kenaikan muka air laut. Elevasi kawasan pesisir yang cenderung hampir datar ini menyebabkan banjir pasang (rob) terjadi hingga ke pemukiman warga. Terutama saat pasang tertinggi, rumah-rumah banyak yang terendam. Keadaan banjir sangat rawan terjadi pada saat air dalam keadaan pasang terutama pada bulan-bulan yang memiliki curah hujan tinggi (Oktober-Januari). Gambar 2 Abrasi di Pantai " " 63" " 3) Pengembangan sarana dan prasarana yang kurang memadai dan hankam khususnya daerah perbatasan; Khususnya di Kecamatan Paloh yang merupakan kecamatan pesisir yang berbatasan dengan negara Malaysia. Infrastruktur dan aksesibilitas di kecamatan tersebut masih minim. Kaitannya dengan pertahanan dan keamanan, maka kecamatan ini harusnya lebih diprioritaskan untuk saat sekarang. Apabila infrastruktur dan aksesibilitas telah memadai tentunya akan berdampak positif bagi perekonomian di daerah tersebut. 4) Penataan kesadaran, kepastian, penegakan dan kedaulatan hukum; Rendahnya kesadaran dan penegakan hukum tidak terlepas dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia baik di kalangan masyarakat maupun aparat penegak hukum yang berada di wilayah pesisir. Lemahnya penaatan dan penegakan hukum ini antara lain tercermin dari sikap dan pengetahuan masyarakat tentang hukum yang masih rendah, khususnya yang berhubungan dengan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa masalah yang sering muncul antara lain banyaknya nelayan yang menangkap ikan dengan cara-cara merusak seperti pengeboman atau dengan potas (racun sianida), belum dipatuhinya " " 64" " batas/jalur penangkapan yang telah dibuat, dan banyaknya penebangan hutan mangrove di daerah sempadan pantai. 5) Pencemaran, degradasi dan konservasi sumberdaya hayati; Wilayah pesisir merupakan tempat terakumulasinya segala macam limbah yang dibawa melalui aliran air, baik limbah cair maupun padat. Sampah sering ditemukan berserakan di sepanjang pantai dan semakin banyak di dekat permukiman, khususnya permukiman yang membelakangi pantai. Permukiman seperti itu dikategorikan sebagai permukiman kumuh yang fasilitas sanitasi dan kebersihan lingkungannya sangat buruk. 6) Pengembangan ekonomi, wisata bahari dan peningkatan kesejahteraan; Wilayah pesisir Kabupaten Sambas memiliki banyak obyek wisata pesisir atau wisata bahari. Pengembangan wisata bahari tidak hanya tergantung dari faktor sumberdaya alam saja, tetapi perlu memperhitungkan faktor lain yang tidak kalah pentingnya seperti, penyediaan fasilitas, aksesibilitas, keamanan dan sikap masyarakat sekitarnya dalam menerima kedatangan pengunjung. 7) Pengelolaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya; Penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak, seperti lampara dasar (lamdas) dapat merusak ekosistem perairan, dimana berdasarkan data statistik perikanan tangkap Kabupaten Sambas tahun 2011, jumlah alat tangkap lamdas yang beroperasi di daerah " " 65" " ini berjumlah 240 unit atau 7,3%. Dengan pengoperasian alat tangkap tersebut, maka dasar perairan teraduk terus-menerus, mengalami kerusakan dan berperan dalam proses abrasi akibat dari tidak adanya penahan arus dari dasar perairan. Dengan rusaknya ekosistem dasar perairan, maka akan mengakibatkan degradasi sumberdaya perikanan di daerah tersebut 8) Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat; Pembangunan daerah khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil perlu melibatkan masyarakat dengan pemberdayaan dan menarik partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada lembagalembaga lokal dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, dapat juga dengan memperluas aspek pasar untuk meningkat nilai produk perikanan. 9) Integrasi penataan ruang. Penyusunan rencana tata ruang yang telah dilakukan selama ini belum mengintegrasikan wilayah pesisir, baik dalam RTRW Propinsi maupun RTRW Kabupaten. Dalam kenyataannya, pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir telah banyak terjadi pelanggaran, misalnya pendirian bangunan dan atau pengusahaan tambak di sempadan pantai yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di jalur hijau (green belt). Belum adanya penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir berkaitan erat dengan " " 66" " belum adanya peraturan yang mendukung secara tegas upaya penataan ruang wilayah pesisir tersebut. Penataan ruang merupakan salah satu usaha untuk menekan terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada saat ini aktivitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir semakin hari semakin meningkat, sedangkan sumberdaya wilayah pesisir tetap atau cenderung berkurang. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir yang ada saat ini kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini akhirnya akan menurunkan daya dukung sumberdaya wilayah pesisir. Untuk itu, perlu integrasi antar pemangku kepentingan dalam penyusunan tata ruang agar terintegrasi dan meminimalisir konflik. 2. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kota Singkawang 2.a. Gambaran Umum dan Kondisi Georafis Kota Singkawang Kota Singkawang merupakan Pemerintah Kota di Kalimantan Barat yang terbentuk pada tanggal 17 Oktober 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001. Kota ini terbentuk dari pemekaran wilayah Kabupaten Bengkayang dengan luas wilayah 504 km2 (50.400 Ha). Secara geografis Kota Singkawang terletak antara 1080 51’ 47.6” sampai dengan 1090 10’ 19” Bujur Timur (BT) dan antara 000 44’ 55.85” sampai dengan 010 " " 01’ 21.51” Lintas Utara (LU) dan 67" " berbatasan dangan wilayah sebagai berikut (Kota Singkawang Dalam Angka 2009) : ! Sebelah Utara dengan Kabupaten Sambas ! Sebelah Selatan dan Timur dengan Kabupaten Bengkayang ! Sebelah Barat dengan Laut Natuna Dengan kondisi geografis demikian maka Kota Singkawang mempunyai hinterland yang meliputi Kab. Sambas, Kab. Bengkayang, Kab. Landak dan Kab. Pontianak yang dapat merupakan suatu kawasan pertumbuhan. Jalur sutra Pontianak-Singkawang-Sambas dan jalur Singkawang- Bengkayang-Jagoi Babang merupakan urat nadi penting dalam sIstem transportasi eksternal Kota Singkawang. Selain itu Kota Singkawang juga mempunyai akses mudah hubungan keluar negeri (Sarawak-Malaysia) melalui Pos Lintas Batas (PLB) Entikong, Kab. Sanggau dan ke depan juga akan dikembangkan akses keluar negeri Malaysia dan Brunei melalui Aruk (Kab. Sambas) dan Jagoi Babang (Kab. Bengkayang) serta tidak begitu jauh jaraknya dengan Natuna, Batam dan Singapura. Hal inilah yang menjadikan Kota Singkawang sangat strategis letaknya dan dapat menjadi pusat pertumbuhan dan pusat bisnis/perdagangan di wilayah Bengkayang-Sambas) dan sekitarnya. " " Singbebas (Singkawang- 68" " 2.a.(1). Oseanografi Karakteristik oseanografi diambil dari sekitar Pantai Kota Singkawang yang terletak disisi Kota Singkawang yang memiliki kontur pantai yang landai dan sebagian curam. Kedalaman perairan di kawasan/wilayah ini sudah mencapai 200 m pada beberapa meter dari pantai. Selanjutnya teluk yang merupakan perairan laut di depan Kota Singkawang, mempunyai kedalaman 320 m pada bagian terjal. Di sebelah Selatan, perairan Singkawang yang berbatasan dengan perairan Kabupaten Pontianak yang berhubungan bebas dengan Selat Karimata dan Laut Natuna. 2.a.(2) Pasang-Surut Pasang surut adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut. Setiap daerah memiliki tipe pasang surut yang berbeda, tergantung dari letak geografis, kontur kedalaman dan morfologi pantai. Pola pasang-surut di perairan Singkawang diperkirakan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pola pasut di perairan pantai Barat Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan. Pola pasut di perairan Singkawang merupakan rambatan pasut dari perairan yang jauh lebih luas yaitu Lautan Cina Selatan. Untuk sampai ke perairan Singkawang, rambatan pasut Lautan Cina Selatan dapat melalui dua kemungkinan. Pertama, melalui Laut Natuna, " " 69" " masuk ke perairan Kalimantan Barat arah Barat, selanjutnya masuk ke perairan Singkawang dari arah Utara. Kedua, melalui Laut Jawa di sebelah Selatan Pulau Kalimantan, kemudian membelok ke Utara memasuki selat karimata dan terus menuju perairan Singkawang. Di sebelah Selatan perairan Singkawang dibatasi oleh celah-celah yang sempit dan oleh pulau-pulau kecil seperti pulau Kabung, Lemukutan, dan Talang Besar. Melihat kondisi tersebut, rambatan pasut menuju perairan Singkawang lebih terbuka dari arah Selatan dibandingkan dari arah Utara. 2.a.(4) Topografi Kota Singkawang merupakan kota pantai sekaligus perbukitan. Kondisi topografi Kota Singkawang meliputi dataran tinggi (pegunungan) terdapat pada bagian Selatan dan Timur, landai / datar di bagian Tengah, Barat dan Utara dengan ketinggian 0 – 2 M DPL serta berbatasan dengan pantai pada bagian sisi Barat. Kota Singkawang juga dialiri oleh Sungai Singkawang dan beberapa sungai kecil lainnya. Sungai Singkawang mengalir dari Timur menyusuri kaki perbukitan ke arah Barat. Daerah hulu atau bagian timur Kota Singkawang adalah perbukitan dengan puncak tertinggi terdapat pada beberapa gunung seperti Gunung Pasi (± 770 m) dan Gunung Raya (± 947 m). Kemiringan di daerah perbukitan antara 10 % " " 70" " sampai 30 % sedangkan di daerah puncak antara 30 % sampai dengan 60 % dan daerah Tengah dan hilir merupakan dataran. Di daerah bagian tengah kota yaitu di sekitar sungai terdapat daerah berupa rawa-rawa. 2.b. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Singkawang Adapun potensi sumber daya pesisir dan laut di Kota Singkawang adalah sebagai berikut: 2.b.(1). Panjang Pantai Panjang pantai Kota Singkawang ± 27,60 Km terbentang dari Kelurahan Sedau Kecamatan Singkawang Selatan sampai Kelurahan Semelagi Kecil Kecamatan Singkawang Utara. Potensi pantai yang tidak terlalu panjang ini menyediakan berbagai potensi sumber daya alam (SDA) hayati (misalnya ikan, udang, lobster) dan non hayati (pantai berpasir yang indah, terumbu karang) yang cukup dan beragam. Di daerah pantai dikembangkan tambak udang bagi kecamatan Singkawang Utara maupun objek wisata pantai yang spesifik bagi Kecamatan Singkawang Selatan yang bersempadan langsung dengan laut. Akan tetapi sumber daya alam di wilayah pantai banyak yang belum dikelola dengan baik sehingga manfaat riil secara berkelanjutan belum dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat di wilayah pantai " " 71" " serta belum mampu memberikan kontribusi PAD yang tinggi kepada Pemerintah Kota Singkawang. 2.b.(2). Luas Laut Luas laut Kota Singkawang sesuai dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dihitung secara vertikal kearah laut sepanjang 4 mil adalah 157,648 Km2 (15.764 Ha). Potensi laut di Kota Singkawang selain kaya akan berbagai jenis ikan dan udang, juga sangat potensial bagi pengembangan wisata bahari. 2.b.(3). Hutan Mangrove Hutan Mangrove di Kota Singkawang memiliki spesies cukup beragam ditumbuhi vegetasi mangrove dengan penyebaran yang tidak merata. Kondisi pantai yang terjal dan sempit, mangrove yang tumbuh di lokasi ini sangat tipis yang umumnya didominasi oleh jenis Api-api (Avicennia Alba Sp), Rhizaphora mucronata, R.conjugata, Bruguiera parviflora, Ceriops decandra, Bakau (Rizhopora Sp), dan Nipah (Nypa). Dari panjang pantai yang ditumbuhi mangrove hanya sekitar 15 % dari luas 726,30 Ha lahan mangrove yang ada. Siklus perkembangan perikanan dimulai dari terumbu karang dan hutan mangrove, Kota Singkawang mempunyai potensi hutan manggrove yang cukup besar akan tetapi 80 % sudah mengalami kerusakan. Potensi yang terdapat di hutan " " 72" " mangrove antara lain beberapa jenis flora dan fauna yang biasanya hidup di habitat pesisir: TABEL 6 Vegetasi Mangrove dan Fauna Vegetasi mangrove di wilayah pesisir Kota Singkawang: Fauna penting yang tinggal di mangrove : " Biasanya berasosiasi dengan terumbu karang: Bakau (Rhizophora mucronata) " Pada lahan yang baru terbentuk : Api-api (Avicennia marina dan Avicennia alba) " Di daerah hulu : Nipah (Nypa fruticans), Pedada (Sonneratia caseolaris) dan Xylocarpus granatum Untuk itu diperlukan " Kepiting bakau (Scylla serrata) " Udang, udang galah, dan berbagai jenis ikan laut (kerapu,kakap dll) " Udang lobster perhatian yang serius dari semua pihak dalam memperbaiki kondisi mangrove, agar dapat meningkatkan produksi hayati dari hutan mangrove tersebut. 2.b.(4). Terumbu Karang dan Padang Lamun Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keragaman hayatinya. Fungsi dan manfaat terumbu karang bagi Kota Singkawang antara lain : 1) Tempat hidup (habitat) berbagai biota laut, 2) Sebagai pelindung pantai dari erosi, dan 3) Sebagai tempat objek wisata. Terumbu karang yang terdapat di Kota Singkawang dengan luas 31 Ha pada umumnya adalah terumbu karang pinggiran dan terumbu karang penghalang. Terumbu karang pinggiran (fringing reefs) yaitu karang yang tumbuh mulai dari " " 73" " tepian pantai pulau dan banyak terdapat di Pulau Simping. Sedangkan terumbu karang penghalang (barrier reef) merupakan terumbu yang dipisahkan dari daratan pantai oleh goba/laguna (lagoon). Terumbu karang ini di Kota Singkawang tidak terlalu luas, menyebar dan tidak muncul ke permukaan pada saat surut terendah ditemukan di pesisir Sedau Kecamatan Singkawang Selatan yang sebagian besar 55-70 % kondisi karang masih hidup (baik), sedangkan di beberapa tempat lain sebagian besar 66,7-71,7 % dalam keadaan mati (rusak). Dilihat dari jenis-jenis ikan karang yang hidup di perairan tersebut masih banyak. Hal ini terlihat dari jenis ikan hias yang tertangkap di perairan Pantai Singkawang, meliputi antara lain ikan kepe-kepe, pakol, bendera dan lepu ayam. Lamun merupakan tumbuhan laut berbunga sejati (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi. Padang lamun di Kota Singkawang dan sekitarnya terdapat di perairan pantai yang landai, tenang dan terlindung, di dataran lumpur/pasir pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang, seperti di sekitar teluk dan pulaupulau kecil di sekitar Kota Singkawang. " " 74" " Ekosistem padang lamun mempunyai produktivitas tinggi yang menghasilkan senyawa organik yang dihasilkan lamun masuk ke dalam rantai makanan, melalui hewan-hewan herbivora atau melalui proses dekomposisi berbagai serasah. Keberadaan ekosistem lamun penting bagi ekosistem terumbu karang dan bakau di Kota Singkawang sebagai penyangga dan mempunyai interaksi di antara ketiga ekosistem tersebut. Keanekaragaman biota padang lamun juga cukup tinggi, diantaranya sejumlah invertebrata, yaitu moluska, (Pinna, Lambis dan Strombus), Echinodermata (teripang, bulu babi dan bintang laut), krustasea (udang dan kepiting), serta beberapa jenis polychaeta. Ancaman yang dihadapi ekosistem padang lamun di Kota Singkawang dan sekitarnya antara lain sebagai berikut : 1. Gangguan fisik akibat pengerukan, penimbunan, pembangunan tambak dan lalu lintas perahu atau kapal. 2. Penangkapan ikan dengan racun dan bom. 2.b.(5). Objek Wisata Obyek wisata ini dapat dijangkau dengan mudah dari pusat kota Singkawang. Taman wisata pantai di Taman Pasir Panjang Indah, Palm Beach, dan Sinka Island adalah kawasan wisata bahari yang paling terkenal di Kota Singkawang, selain " " 75" " karena keindahan alamnya, juga karena kemudahan untuk mencapai lokasinya. TABEL 7 Objek Wisata Pantai Yang Sudah Dikelola Di Kota Singkawang Berdasarkan Kecamatan No 1. Kecamatan Singkawang Selatan Nama Objek 1. Taman Pasir Panjang Indah 2. Palm Beach 3. Sinka Island - Sinka Zoo -Rindu Alam -Pasir Pendek Wisata Lokasi (Desa) Pasir Panjang Pasir Panjang Sedau Jenis Wisata Ket. Pantai Pantai Pantai dan Kebun Binatang Sumber : Renstra Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Singkawang, 2009 2.c. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kota Singkawang Isu - isu pengelolaan di wilayah pesisir Kota Singkawang merupakan isu-isu pokok yang menjadi prioritas adalah : 1) Rendahnya Sumber Daya Manusia dan Dukungan Teknologi Di Wilayah Pesisir Sumber daya manusia pengelola wilayah pesisir di Kota Singkawang relatif masih rendah dibandingkan dengan besarnya potensi di wilayah pesisir. Tingkat pendidikan formal pengelola (pemanfaat) wilayah pesisir rata-rata berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sehingga " " 76" " sistem pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir masih banyak yang bersifat tradisional (baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya). Dukungan teknologi di wilayah pesisir dirasakan masih minim, baik itu teknologi penangkapan ikan, budidaya perikanan, maupun teknologi pengolahan hasil perikanan. Aktivitas nelayan tangkap, petani budidaya maupun pengolahan hasil perikanan hanya mengandalkan pengalaman yang didapat secara turun temurun, sehingga hasilnya belum optimal. 2) Degradasi Habitat Wilayah Pesisir Sumber Daya Wilayah Pesisir Kota Singkawang dari hari ke hari terus mengalami penurunan kualitasnya, terutama menyangkut kerusakan terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove (termasuk abrasi pantai). Seperti umumnya kerusakan pantai menurut penyebabnya terjadi dibagi menjadi dua katagori, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh alam dan kerusakan oleh manusia. Akibat alam adalah, kerusakan yang disebabkan oleh siklus alam itu sendiri yang merubah bentuk tepian pantai, karena terletak pada laut terbuka sehingga rentan terhadap proses pergeseran pasir oleh ombak yang memukul pantai hingga terjadi proses pengikisan. Bila pantai terus mengalami erosi, pohon-pohon akan tumbang dan mati. Sedangkan akibat ulah manusia adalah karena aktivitas manusia untuk mengembangkan hunian dan lahan usaha, seperti " " 77" " perluasan lahan untuk tanaman kelapa, pengambilan kayu-kayu dari hutan bakau untuk dijadikan bahan bakar atau dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, sehingga tidak ada lagi penghalang (barrier) pantai yang mampu melindungi pantai untuk menjaga kekuatan tanah yang lemah. Kerusakan sumber daya wilayah pesisir tersebut di atas sudah menunjukan pada kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Hutan mangrove yang menurut hasil penelitian dari berbagai kalangan menunjukkan pada kondisi yang cukup berbahaya, karena dengan terjadinya degradasi terhadap hutan mangrove pada akhirnya juga mengakibatkan terjadinya abrasi pantai, di sisi lain ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove dan pantai juga cukup tinggi. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka akan terus terjadi abrasi pantai. Usaha untuk mencegah terjadi perluasan abrasi pantai sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti dengan membuat kubus/balok dari semen yang diletakan dipantai untuk menahan gempuran ombak, namun biaya yang dikeluarkan untuk usaha ini cukup tinggi dan tidak terlalu efektif dibandingkan dengan hutan mangrove. Selain degradasi sumber daya wilayah pesisir seperti tersebut di atas, kualitas airnya terindikasi juga mengalami penurunan, yang sebab utamanya dikarenakan aktivitas penambangan emas dan budidaya perikanan (tambak). Sumberdaya perikanan pada dasarnya " " 78" " bersifat Common Property, artinya kepemilikannya bersifat umum serta open access yang berarti bahwa akses terhadapnya bersifat terbuka. Selain dari itu, sumberdaya perikanan juga bersifat mampu pulih (renewable), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Oleh sebab itu sumberdaya perikanan perlu dikelola dengan baik guna mencegah upaya penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing) dan Illegal, Unregulated, Unreported (IUU) Fishing. 3) Minimnya Informasi Mengenai Potensi Sumber Daya Pesisir Potensi sumber daya yang terdapat di wilayah pesisir Kota Singkawang, baik itu menyangkut perikanan tangkap dan budidaya, terumbu karang, hutan mangrove, kawasan konservasi, maupun kawasan pariwisata masih minim informasinya terutama menyangkut jumlah dan luas daerah budidaya perikanan (banyak pembukaan lahan untuk budidaya perikanan yang tidak ada izin, lokasinya di tempat terpencil dan sulit untuk dijangkau oleh aparat penegak hukum, jumlah terumbu karang dan padang lamun, beserta daerah penyebarannya, dan daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan daerah wisata (ekowisata). Potensi sumber daya wilayah pesisir di lapangan jauh lebih besar dan potensial dibandingkan dengan data yang tersedia. " " 79" " 4) Perkembangan Pembangunan Wilayah Pesisir yang tidak merata Dibandingkan dengan wilayah lainnya perkembangan pembangunan di wilayah pesisir jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lain (daratan), banyak daerah-daerah potensial untuk pengembangan kawasan pertanian, perikanan, dan pariwisata, namun selama ini masih belum dikembangkan secara optimal (selama ini ada daerah yang kurang potensial tetapi dipaksakan untuk dikembangkan menjadi daerah/kawasan perikanan, dan lain sebagainya). Di daerah pesisir terdapat PPI dan TPI, namun masih berskala kecil dan minim fasilitasnya; tingkat pelayanan kesehatan dan prasarana air bersih bagi masyarakat di wilayah pesisir masih sangat kurang; kondisi perumahan nelayan masih jauh dari sederhana; kondisi jalan, jaringan irigasi dan rawa di wilayah pesisir belum mencukupi untuk menunjang kawasan pesisir; dan fasilitas pasca panen belum tersedia untuk meningkatkan mutu hasil perikanan. 5) Lemahnya Perlindungan dan Keselamatan di Wilayah Pesisir Sebagai masyarakat nelayan pada daerah pesisir pantai dan pulau-pulau kewajiban mereka tentunya adalah untuk mampu melindungi potensi yang ada di laut dan di pesisir untuk menjaga " " 80" " agar tidak merusak lingkungannya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berkelanjutan. Menyediakan kelengkapan kapalnya dengan alat navigasi dan komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan para nelayan dengan akan diberikan izin untuk berlayar jika sudah dilengkapi. Hak para nelayan tentunya mendapatkan perlindungan dari pemerintah agar kegiatan para nelayan dapat terlidungi dari tantangan alam yang tak menentu, sehingga informasi tentang perubahan cuaca dapat dideteksi sebelum terjadi dengan memasang peralatan klimatologi, peralatan automatic water level dan radio pantai untuk menyebarkan informasi keadaan laut tepat waktu. Dengan demikian semua kapal-kapal nelayan akan merasa aman dalam bekerja di tengah laut sepanjang hari. 6) Lemahnya Perekonomian Masyarakat Di Wilayah Pesisir Kondisi masyarakat pesisir (nelayan dan keluarganya) masih tergolong miskin. Kelompok nelayan dan koperasi nelayan sangat sedikit dan bahkan di daerah tertentu tidak ada sama sekali. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir banyak yang tidak mengenai sasaran dan masih perekonomian masyarakat pesisir. belum mampu mengangkat Di wilayah pesisir kesadaran masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga masih sangat rendah, sehingga mereka hanya berpikiran mencari uang " " 81" " untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tanpa ada keinginan untuk mengelola keuangan dengan sistem yang lebih baik lagi. 7) Lemahnya Kelembagaan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Instansi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir cukup banyak, seringkali pengelolaannya tumpang tindih dan tidak jarang juga terjadi konflik dalam pengelolaannya. Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan yang bersifat terpadu dari berbagai instansi yang terkait, agar pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dapat dilakukan secara optimal dengan tetap mengutamakan aspek kelestarian fungsi lingkungan di wilayah pesisir. Dukungan peraturan di tingkat daerah terhadap pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir juga kurang, sehingga di tingkat implementasi sering terjadi benturan kepentingan dan kewenangan, terutama menyangkut kepentingan dan kewenangan antara Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain, atau antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi. 3. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Pontianak 3.a. Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Kabupaten Pontianak Kabupaten Pontianak merupakan salah satu dari 14 (empat belas) kabupaten dan kota yang memiliki pesisir di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Luas wilayah Kabupaten Pontianak (luas daratan dan perairan) menurut Permendagri No. 06 Tahun 2008 Tentang Kode dan " " 82" " Data Wilayah Administrasi Pemerintahan adalah 2.797,88 km2 atau sekitar 1,90% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat yaitu 146.807 km2. Dari 9 (sembilan) kecamatan yang ada di Kabupaten Pontianak, terdapat 6 (enam) kecamatan yang termasuk wilayah pesisir yaitu Kecamatan Siantan, Segedong, Sungai Pinyuh, Mempawah Hilir, Mempawah Timur dan Sungai Kunyit. Luas kecamatan pesisir tersebut mencapai 1.876,540 km2 atau 67,070% dari total luas Kabupaten Pontianak. Secara geografis Kabaupaten Pontianak terletak pada posisi 0°44' Lintang Utara serta 109°21,5' Bujur Timur. 0°0,4' Lintang Selatan dan 108°24'- Karakter fisik wilayah terdiri dari daerah daratan dan pulau-pulau pesisir yang memiliki lautan. Secara administratif Perbatasan Kabupaten Pontianak adalah sebagai berikut : Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Landak Barat : Berbatasan dengan Laut Natuna Kabupaten Pontianak terletak di kawasan pantai Barat Provinsi Kalimantan Barat sehingga sebagian besar wilayahnya dikategorikan sebagai kawasan pesisir yang memiliki karakter fisik dan sosial ekonomi pesisir khususnya yang berkaitan dengan aktivitas perikanan dan kelautan yang cukup besar. " " 83" " Berdasarkan RT/RW Kabupaten Pontianak tahun 2011-2013, luas wilayah Kabupaten Pontianak tercatat 2.073,888 km2 yang terbagai atas 9 kecamatan. Dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten Pontianak, 6 kecamatan merupakan kecamatan pesisir dengan garis pantai yang cukup panjang. Kawasan pesisir Kabupaten Pontianak memiliki cukup banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan khususnya pembangunan wilayah Kabupaten Pontianak. Tabel 8 Luas Kabupaten Pontianak Tiap Kecamatan No . Kecamatan Luas Persentase Luas (km2) (%) 1. Siantan 129,51 2,02 2. Segedong 162,99 2,55 3. Sungai Pinyuh 111,00 1,74 4. Anjongan 90,15 1,41 5. Mempawah Hilir 82,75 1,29 6. Mempawah Timur 395,64 6,19 7. Sungai Kunyit 83,16 1,30 8. Toho 246,66 3,86 9. Sadaniang 644,55 10,08 Kabupaten Pontianak 6.395,70 100,00 Sumber : RT/RW Kabupaten Pontianak, 2011-2030 3.b. Keadaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontianak memiliki sumberdaya potensial terutama sumberdaya pesisir alam yang yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal sektor pesisir apabila dikelola dengan optimal mempunyai prospek yang menjanjikan dalam upaya mendukung pertumbuhan perekonomian, penyediaan lapangan kerja, sumber " " 84" " protein, wisata dan lain-lain, apalagi Kabupaten Pontianak berbatasan langsung dengan Laut Natuna 3.b.(1) Lingkungan Biofisik Wilayah Pesisir dan Laut Sumberdaya Wilayah pesisir dan laut yang dimiliki Kabupaten Pontianak sangat beragam jenis maupun potensinya, dari berbagai jenis dan potensi sumberdaya pesisir dan laut tersebut ada yang dapat diperbaharui (renewable resources) sepereti ikan, biota perairan lainnya, hutan mangrove, padang lamun, rumput laut, serta ekosistem pantai, dan kemudian sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) seperti bahan tambang, dan mineral lainnya. Selain sumber daya yang dapat dan tidak dapat diperbaharui tersebut, sumberdaya pesisir dan laut lainnya juga dapat berupa jasa lingkungan seperti media transportasi dan komunikasi, industri maritim, keindahan alam yang bisa dijadikan obyek wisata bahari dan penyerapan limbah yang dapat dikelola dengan baik. Potensi sumberdaya alam yang cukup dominan dan potensial untuk dikembangkan antara lain adala tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan, sumberdaya mineral, wisata alam, hutan bakau (mangrove), pulau-pulau kecil, terumbu karang, padang lamun dan pantai. 3.b.(2) Hutan Mangrove Hutan Mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasng surut, hutan payau atau hutan bakau. Hutan " " 85" " mangrove merupakan hutan tropika yang khas sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terlindung dari gempuran mbak yang kuat dan berada pada pantai yang landai. Kawasan pantai berhutan bakau/mangrove di Kabupaten Pontianak tercatat seluas 2.021 Ha dengan rincian sebagai berikut. Tabel 9 Keadaan Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Pontianak No 1. 2. 3. 4. . Kecamatan Sungai Kunyit Mempawah Hilir Siantan Sungai Pinyuh Luas (Ha) 30 479 912 600 Keterangan Jumlah 2.021 Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontianak Tahun 2011 3.b (3) Terumbu Karang Karang (reef coral) merupakan individuorganisme yang hidup di sekitar terumbu karang, sedangkan terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu kumpulan karang dan ekosistem yang merupakan masyarakat organisme. Terumbu karang dasar perairan dan berupa bentukan bahan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Organisme-organisme yang dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae. " " 86" " Karang dan terumbu karang banyak terdapat di pesisir Kabupaten Pontianak khususnya pulau-pulau kecil. Keberadaannya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 10 Karang dan Terumbu Karang yang terdapat di kabupaten Pontianak 1 Sungai Kunyit Lokasi Penyebaran Karang Terumbu Karang Pulau Temajo Pulau Temajo 2 Sungai Kunyit P.Setinjang No Kecamatan P.Setinjang 3 Keterangan Terumbu Karang lebih Menonjol ke Timur dan Utara Mempawah Pulau Datuk Pulau Datuk Hilir Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontianak Tahun 2011 3.b.(4) Padang Lamun Padang lamun menghasilkan tumbuhan laut yang lebih tinggi tingkatannya.Lamun umumnya membuat koloni pada suatu kawasan di dasar laut melalui penyebaran buah sehingga membentuk padang lamun yang luas di dasar laut. Lamun merupakan salah satu produsen yang paling tinggi produktivitasnya jika dibandingkan dengan karang, mangrove serta ekosistem lainnya di perairan pesisir dan laut dangkal. Oleh karena itu keberadannya cukup banyak, karena jumlahnya yang banyak maka sering juga dinamakan padang lamun. Kelompok tumbuhan ini merupakan tumbuhan berbiji tunggal. " " 87" " 3.b.(5) Pantai Pesisir Pantai pasir yang dimiliki Kabupaten Pontianak terdapat di Kecamatan Sungai Kunyit, sebagian Mempawah hilir. Pantai yang terkena abrasi dan beberapa kecamatan lainnya yang memiliki pantai pasir relatif sedikit.Sebagian besar pantai di Kabupaten pontianak kini terancam abrasi yang semakin dekat dengan jalan raya atau jalan umum. 3.b.(6) Wisata Pesisir Pariwisata salah satu sektor yang dapat meningkatkan perekonomian daerah sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja serta kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah. Dengan keragaman jenis tempat wisata yang ada di Kabupaten Pontianak, maka Kabupaten Pontianak berpotensi untuk pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan karena memiliki keindahan alam yang sangat baik untuk pariwisata, sehingga Kabupaten Pontianak lebih dikenal sebagai daerah tujuan wisata oleh masyarakat Kalimantan Barat. Kawasan pesisir yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Pontianak juga memiliki potensi pariwisata yang cukup potensial untuk dikembangkan, baik pariwisata pantai dan bahari, pariwisata religius maupun pariwisata buatan. " " 88" " Tabel 11 Potensi Wisata Laut Di Wilayah Kabupaten Pontianak No 1 2 3 4 5 6 Potensi Wisata Lokasi Keindahan alam pesisir Temajo, P. Kijing Snorkling Temajo Renang Temajo Goa Bawah Laut Keindahan Bawah laut Selancar Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil Kabupaten Pontianak Tahun 2011 1.b (8) Perikanan Pesisir dan laut Kabupaten Pontianak cukup luas, sehingga sebagian besar penduduk di kecamatan pesisir bermatapencaharian sebagai nelayan dan pembudidaya ikan. Mencari ikan di laut adalah salah satu pekerjaan yang banyak masyarakat. Dampak dari aktivitas nelayan banyak tumbuh pengusaha perikanan baik itu agen-agen penampung maupun pengelola ikanasin/industri pengolahan ikan. Besar kecilnya produksi perikanan sngat dipengaruhi oleh sarana/prasarana peralatan tangkap. Oleh karena itu apabila tidak memadai peralatan tangkap, maka berdampak pada rendahnya pendapatan nelayan di Kabupaten Pontianak. 3.c. Isu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Pontianak Keberadaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan " " 89" " untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, permasalahan dan kendala yang dihadapinya juga cukup besar yang tidak mudah untuk diatasi. Permasalahan utama yang dihadapi antara lain adalah pencemaran laut akibat pembuangan limbah, pencurian ikan, penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing), degradasi habitat pesisir dan pulau-pulau kecil (mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dll), konflik penggunaan ruang dan sumber daya, belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai, terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi, dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah pesisir, khususnya petani ikan dan nelayan skala kecil. Permasalahan tersebut muncul antara lain sebagai akibat dari paradigma pembangunan yang tidak memperhatikan konsep keberlanjutan/lestari dan keterpaduan. Pembangunan kelautan dan perikanan dituntut untuk terpadu antar sektor dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan untuk keberlanjutan. Dengan 6 (enam) Kecamatan yang terletak di pesisir dari 9 Kecamatan yang ada dengan panjang pantai 89.227,25 meter, Kabupaten Pontianak tentunya memiliki keunggulan yaitu potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan, dan apabila dikelola secara maksimal akan mendapatkan profit. Selain itu mempunyai tanggung jawab untuk dapat menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya alam tersebut. Kawasan pesisir termasuk dalam kategori " " 90" " kawasan sensitif atau rentan terhadap berbagai tekanan. Kesalahan dalam mengidentifikasi berbagai isu dan permasalahan di kawasan pesisir, akan mengakibatkan kesalahan/kurang tepatnya pengelolaan wilayah tersebut. Identifikasi isu dan permasalahan di kawasan pesisir sangat penting dilakukan sebagai dasar dalam perencanaan wilayah dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir yang lestari dan berkelanjutan. Isu-isu pokok persoalan dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Pontianak, diantaranya adalah : 1) Kegiatan Darat yang Mempengaruhi Laut/Perairan Lingkungan pesisir merupakan daerah yang sangat rentan terhadap berbagai tekanan. Berbagai tekanan baik oleh alam maupun manusia dapat menyebabkan degradasi sumberdaya lingkungan. Berbagai isu degradasi sumberdaya lingkungan yang terjadi di pesisir Kabupaten Pontianak yang berasal dari darat antara lain (a) Degradasi Ekosistem Mangrove Mangrove sebagai ekosistem pesisir dan laut memiliki arti yang sangat penting baik secara ekologis, sosial dan ekonomi. Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan dan udang (spawning area), pelindung pantai dari abrasi akibat arus dan gelombang (coastal protection), penahan intrusi air laut dan penyuplai nutrient (nutrient source) bagi lingkungan. Secara sosial ekonomi, mangrove menghasilkan kayu untuk rumah penduduk dan industri, tempat sumber ikan bagi manusia. " " 91" " Secara estetika, ekosistem mangrove mempunyai panorama yang indah sebagai ekowisata bahari (marine ecotourism) dengan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga sangat penting untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi (conservation area). Dengan berbagai fungsi ini, maka ekosistem mangrove memiliki nilai yang tinggi sehingga harus tetap di jaga kelestrian dan keutuhannya. Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dan Turner (1985) menyatakan luas hutan mangrove berbanding lurus dengan hasil tangkapan udang berbanding lurus. Semakin luas hutan mangrove maka hasil tangkapan udang juga meningkat. Luas hutan mangrove 20 ha dapat menghasilkan 3 ton udang/tahun. Dampak negatif yang sering muncul dari degradasi ekosistem mangrove antara lain: (1) Intrusi air laut. (2) Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organik. (3) Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. (4) Peningkatan abrasi pantai. (5) Turunnya sumber makanan, tempat pemijah dan bertelur biota laut yang dapat menyebabkan produksi tangkapan ikan menurun. " " 92" " (6) Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan bencana seperti tiupan angin dan gelombang air laut. (7) Peningkatan pencemaran pantai. Pada kawasan Pesisir Kabupaten Pontianak, degradasi ekosistem mangrove terutama terjadi di Kecamatan Sungai Kunyit dan Siantan. Dengan adanya degradasi ekosistem mangrove di Kecamatan Pesisir Kabupaten Pontianak, maka pantai kehilangan pelindung (vegetasi mangrove), sehingga pada daerah ini terjadi abrasi dan intrusi air laut. a. Degradasi mangrove akibat faktor manusia (penebangan pohon) b. Abrasi pantai akibat hilangnya ekosistem mangrove c. Degradasi mangrove akibat faktor alam (arus dan gelombang) d. Degradasi mangrove akibat faktor manusia (alih fungsi lahan mangrove) Gambar 3: Degradasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Pontianak " " 93" " (b) Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat menganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. a. Pemukiman Penduduk di Sempadan Sungai Kec.Sungai Kunyit b. Pemukiman Penduduk di Sempadan Anak Sungai c. Bangunan warung makan di sempadan pantai di Sengkubang Gambar 4. Pemanfaatan Ruang Di Sempadan Sungai Dan Pantai Untuk Pemukiman " " 94" " Pada wilayah pesisir Kabupaten Pontianak, sebagian besar pemukiman nelayan berada pada bantaran sungai dan langsung menempel pada bibir sungai. Rumah nelayan berada di bantaran sungai yang seharusnya dilindungi. Pemilihan bantaran sungai untuk pemukiman karena kemudahan akses menuju laut maupun daratan (daerah menjual ikan). Selain itu juga karena memudahkan nelayan menambatkan perahunya di sungai dekat rumah masing-masing. Pasar-pasar kecamatan juga selalu berada di dekat aliran sungai. Di Kecamatan Sungai Kunyit misalnya, pusat perekonomian (pasar) dan pemukimanan berada di sempadan sungai. Kondisi ini ini tentunya bertentangan dengan KEPRES RI No. 32 Tahun 1990 pasal 16. Hal serupa juga terlihat pada sempadan pantai, terutama pada daerah Kecamatan Sungai kunyit, terutama di daerah yang telah terjadi abrasi pantai, maraknya aktifitas tempat peristirahatan dan jajanan yang berada di sepanjang bibir pantai dan berjarak kurang dari 100 meter, ini sangat bertentangan dengan pasal 14. Pasal 14 KEPPRES RI No. 32 Tahun 1990 dan UU Nomor 27 Tahun 2007, kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. " " 95" " Sempadan pantai merupakan salah satu wilayah yang harus dilindungi. Menurut KEPPRES RI No. 32 Tahun 1990 pasal 13, perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan mengganggu kelestarian fungsi pantai. (c) Degradasi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang mempunyai peran yang sangat penting dalam ekosistem perairan, selain sebagai tempat berkembang biak dan tempat tinggal berbagai jenis ikan, terumbu karang merupakan daerah pelindung/penyangga pantai yang melindungi perairan pesisir. Penggunaan alat tangkap yang bersifat destruktif (merusak lingkungan), merupakan salah satu penyebab dari kerusakan ekosistem, terutama ekosistem terumbu karang, penggunaan bom, potasium, jaring trawl merupakan cara-cara penangkapan ikan yang berakibat langsung terhadap kerusakan terumbu karang. Selain itu, pemanasan global yang berdampak pada peningkatan suhu juga mempengaruhi kerusakan terumbu karang. Di Kalimantan Barat daerah-daerah yang menjadi tempat bagi terumbu karang sudang mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil survey dan interpretasi data citra, kondisi terumbu karang yang ada di Kabupaten Pontianak dalam kondisi rusak (di Pulau Temajo) " " 96" " dan sedang (di Pulau Dato’, Setinjang dan Damar). Sedangkan untuk daerah sepanjang pantai di 6 kecamatan Pesisir Kabupaten Pontianak tidak memiliki terumbu karang, dikarenakan kondisi pantai yang berlumpur. (d) Pencemaran Perairan Wilayah pesisir merupakan tempat terakumulasinya segala macam limbah yang dibawa melalui aliran air, baik limbah cair maupun padat. Limbah cair disinyalir berupa merkuri yang berasal dari penambangan emas tanpa izin (PETI) yang banyak dilakukan oleh masyarakat di daerah hulu DAS, terbawa ke pesisir oleh aliran sungai. Selain itu, fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di daerah hulu juga menyebabkan kekeruhan di hilir sungai dan bermuara ke daerah pesisir. Sedangkan limbah padat berupa sampah berasal dari limbah rumah tangga yang dibuang masyarakat ke sungai selanjutnya sampai ke laut. Sampah ini sering ditemukan berserakan di sepanjang pantai. Demikian pula dengan sampah yang banyak terdapat di dekat permukiman masyarakat pesisir. Permukiman menjadi sangat kotor dan terlihat kumuh dengan fasilitas sanitasi dan kebersihan lingkungannya sangat buruk. (e) Penambangan Tanah dan Batu (Tambang Galian C) Pesisir Kabupaten Pontianak merupakan daerah yang terdiri dari daerah pantai dan perbukitan (gunung). Daerah " " 97" " pantai memiliki sumberdaya tanah dan batuan dan daerah perbukitan memiliki potensi galian batu, tanah dan kerikil. Penambangan tanah, batu dan banyak terdapat di Kecamatan Sungai Pinyuh (Peniraman). Selain itu penambangan tanah dan batu pada daerah perbukitan juga mengakibatkan rawan longsor, erosi, rusaknya flora fauna dan merusak sumber mata air. Aktifitas penambangan tanah dan batu di Pesisir Kabupaten Pontianak dapat dilihat pada gambar berikut. a. Penambangan tanah dan batu b. Penambangan Tanah di Peniraman Gambar 5 Aktifitas penambangan tanah, batu dan pasir di Pesisir Kabupaten Pontianak 2) Kegiatan Laut/Perairan yang Mempengaruhi Daratan (a) Intensitas Penangkapan Ikan di Pantai dan Alat Tangkap Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Kabupaten Pontianak tahun 2010, 85% armada kapal penangkap ikan didominasi oleh kapal kecil (0-5 GT), dengan operasi penangkapan ikan terkonsentrasi pada wilayah perairan di wilayah pengelolaan Kabupaten Pontianak (0-4 mil). Hal ini perlu " " 98" " menjadi perhatian karena dengan jumlah dimana hampir 85% atau 1371 RTP yang melakukan operasi penangkapan ikan di daerah tersebut secara terus menerus dikhawatirkan dapat menurunkan daya dukung perairan dan menurunnya sumberdaya perikanan. Penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak, seperti pukat tarik udang (trawl) dapat merusak ekosistem perairan, dimana berdasarkan data statistik perikanan tangkap Kab.Pontianak tahun 2009-2010, jumlah alat tangkap trawl yang beroperasi di daerah ini berjumlah 455 unit atau 15,64%. Dengan pengoperasian alat tangkap pukat tarik (mini trawl), maka dasar perairan teraduk terus-menerus, mengalami kerusakan dan berperan dalam proses abrasi akibat dari tidak adanya penahan arus dari dasar perairan. Dengan rusaknya ekosistem dasar perairan, maka akan mengakibatkan degradasi sumberdaya perikanan di daerah tersebut. (b) Sedimentasi Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-material yang diangkut oleh angin. " " 99" " Di perairan, proses ini dapat meliputi pelepasan dalam bentuk tersuspensi (suspension). Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Secara sederhana pada perairan yang mengalami sedimen maka makhluk hidup yang dapat hidup pada perairan tersebut juga sedikit. Kabupaten Pontianak merupakan Hilir dari kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Barat secara umum merupakan dataran rendah yang memiliki sungai besar dan sungai kecil serta memiliki perairan laut yang dangkal. Kondisi ini dapat menyebabkan mudah teraduknya dasar perairan akibat arus dan gelombang. Sehingga sedimen yang teraduk akan terbawa aliran air ke daerah pantai yang selanjutnya menyebabkan pendangkalan di kawasan pantai. Adanya limpasan sedimen dari daratan melalui aliran sungai juga memiliki peran yang besar terhadap sedimentasi di kawasan pesisir, khususnya di daerah muara sungai. " " 100" " a. Sedimentasi Muara Sungai Limau b. Sedimantasi Muara Sungai Duri Gambar 6 Sedimentasi di beberapa muara sungai pesisir Kabupaten Pontianak Wilayah-wilayah pesisir yang mengalami proses sedimentasi di Kabupaten Pontianak adalah kecamatan-kecamatan yang berada di pesisir Kabupaten Pontianak dari Utara sampai Selatan (Kecamatan Sungai Kunyit sampai dengan Kecamatan Siantan). Sedimentasi ini cukup mengganggu transportasi perairan antar daerah dan aktifitas penangkapan ikan karena dapat menyebabkan kapal atau perahu nelayan kandas, sehingga tidak jarang nelayan yang akan melaut harus menunggu air pasang atau menambatkan kapalnya di perairan yang lebih dalam. (c) Abrasi dan Akresi Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya abrasi adalah dengan penanaman mangrove pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. " " 101" " Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun faktor manusia lebih dominan. Abrasi biasanya terjadi pada daerah yang memiliki pantai kurang stabil dan memiliki arus laut yang cukup kuat. Daerah rawan abrasi yang ada di pesisir Kabupaten Pontianak meliputi sepanjang pantai Kecamatan Sungai Kunyit, Mempawah Hilir (Malikian, Sengkubang dan Penibung) dan Kecamatan Siantan (Jungkat). Kebalikannya abrasi, akresi merupakan fenomena bertambahnya daratan pantai akibat suplai sedimen/material yang terbawa oleh arus laut dari daerah lain. Selain itu, vegetasi mangrove di pantai juga memiliki peran yang cukup besar dalam akresi terkait memperangkap sedimen/material di akar-akarnya. Daerah rawan akresi yang ada di pesisir Kabupaten Pontianak yaitu Sungai Limau dan daerah Benteng. a. Tunggul pohon kelapa yang tergerus akibat abrasi pantau di Penibung b. Abrasi di kawasan wisata Jungkat Beach " " 102" " a. Seawall dan breakwater untuk mencegah abrasi di Sengkubang b. Akresi daerah Benteng Kec.Mempawah Hilir Gambar 7 Abrasi dan akresi yang terjadi di pesisir pantai Kabupaten Pontianak (d) Banjir, Rob (Banjir Pasang) dan Kenaikan Muka Air Laut Sebagian besar wilayah Kabupaten Pontianak merupakan wilayah datar (dengan kemiringan lahan 0-8%). Wilayahwilayah dengan kemiringan lahan yang kecil ini menyebar memanjang dari utara ke selatan wilayah pesisir pantai Kabupaten Pontianak pada kelerengan 0-8% seluas 171.284,97 ha. Pada wilayah pantai ini, banyak terdapat areal dataran yang relatif rendah dari permukaan pasang air laut tertinggi sehingga rawan mengalami banjir pasang rob. Keadaan banjir sangat rawan terjadi pada saat air dalam keadaan pasang terutama pada bulan-bulan yang memiliki curah hujan tinggi (OktoberJanuari). Daerah rawan banjir dan rob di Kabupaten tersebar di pesisir Kecamatan Siantan (Jungkat, Peniti, Sungai Burung dan Air Hitam), Sungai Pinyuh dan Kecamatan Mempawah Hilir (daerah Pasir dan Terusan). " " 103" " 4. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Kubu Raya 4.a. Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Kubu Raya adalah kabupaten yang terletak di bagian barat Provinsi Kalimantan Barat terletak diantara 0°44' Lintang Utara sampai dengan 1°01' Lintang Selatan dan 108°58' sampai dengan 109°58' Bujur Timur. Secara umum karakteristik wilayah meliputi daratan, pesisir, perairan pantai, perairan umum dan pulaupulau kecil. Memiliki Panjang pantai ±194 km dan luas laut 2.197 Km² serta luas perairan umum 1.437 Km². Secara administratif, l etak geografis Kabupaten Kubu Raya adalah: Utara Kabupaten Pontianak (Kecamatan Siantan) dan Kota Pontianak Selatan Kabupaten Ketapang (KecPulau Maya Karimata) Timur Kab. Landak (kec Ngabang) dan kab Sanggau (Kecamatan Tayan Hilir) Barat Laut Natuna Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Kubu Raya mencapai 6.985,20 Km² Karakteristik wilayah Kabupaten Kubu Raya terdiri dai daratan dan wilayah pesisir, daerah dataran yang relatif datar dengan kemiringan lahan 0% - 3% seluas 7.205 ha dan lerengan di atas 40% seluas 850 ha, Secara administratif Kabupaten Kubu Raya diserahi wewenang " " 104" " membina 9 daerah bawahan yang terdiri dari 9 kecamatan beserta unsur perangkat pemerintahan desa yang terdiri dari 106 desa, 393 dusun, 715 RW dan 2586 RT. Tabel 12 Luas Wilayah Kabupaten Kubu Raya Tiap Kecamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kecamatan Batu Ampar Terentang Kubu Teluk Pakedai Sungai Kakap Rasau Jaya Sungai Raya Sungai Ambawang Kuala Mandor B Luas Wilayah (km2) 2.202,70 786,40 1.211,60 291,90 453,13 111,07 929,30 726.10 473,00 6.985,20 Desa 14 9 19 14 12 6 14 13 5 106 Dusun 51 25 67 46 48 23 54 58 21 393 Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011 4.b. Keadaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumberdaya yang dapat memanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Kubu Raya tertuju pada bidang perikanan dan kelautan. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kubu Raya meliputi sungai (perairan umum), pulau-pulau kecil,hutan sepadan pantai dan sepadan sungai, pariwisata dan pertambakan 4.b.(1) Sungai (perairan umum) Sungai sebagai bagian dari perairan uumum tersebar di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Secara lengkap terlihat pada tabel berikut: " " 105" " Tabel 13 Sebaran Sungai per kecamatan Kabupaten Kubu Raya No. 1. Kecamatan Batu Ampar 2. Terentang 3. Kubu 4. Teluk Pakedai 5. 6. Sungai Kakap Rasau Jaya 7. Sungai Raya 8. Sungai Ambawang 9. Kuala Mandor B Nama Sungai S Karawang; S Durian sebatang; S Besar; S Mesjid; S Sekapak; S suka maju; S Pandan; S Terumbuk; S Seh S Raja Seteluh; S Kemuning; S Bumbun; S Padu Empat; S Nibung S Terentang; S Punggur Besar; S Kelabau; S Keluang; S Mendawak (batas timur) S Punggur Besar; S Ambawang; S Kubu; S Radak; S Terentang; S Bara Besar; S Bengkalang; S Sepda; S Sapau S Sepok Laut; S Punggur Besar; S Seruat; S Ambawang S Jeruju Besar; S Punggur Kecil; S Punggur Besar S Rasau; S Bulan (batas barat); S Punggur Besar (batas selatan) S Kapuas; S Kapuas Kecil (S Ambawang; S Jelawat); S Punggur Besar S Landak (batas utara); S Ambawang; S Buntar; S Pancaroba; S Rindin S Mandor; S Sepatah; S Landak Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011 4.b.(2) Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil yang ada di wilayah Kabupaten Kubu Raya tercatat 39 buah, sebagaimana pada tabel berikut : Tabel 14. Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Kubu Raya No. Kecamatan 1. 2. Sungai Ambawang Batu Ampar 3. Sungai Kakap Nama Pulau Hanyut - Gelanggang - Padang Tikar - Selat Seh - Tenggaramandi - Perling - Telok Air Satu - Telok Air Dua - Telok Air Tiga - Sejenuh Air Tawar - Pulau Buntung - Munggu Temiang ! Kurnia ! Nyamuk ! Sepok Keladi ! Sepok Laut " " Keterangan Ladang Batuan Berpenduduk Berpenduduk Hutan bakau Hutan bakau Berpenduduk Berpenduduk Hutan mangrove Berpenduduk Hutan mangrove Berpenduduk Ladang Berpenduduk Berpenduduk Berpenduduk 106" " No. 4. 5. 6. Kecamatan Nama Pulau ! Sepok Perupuk ! Tanjung Saleh ! Tempurung ! Taik Minyak ! Beting Tengah Kubu - Burung Besar - Burung kecil - Dabong - Tiga - Muara Kubu - Bidara - Pakawal - Berembang Teluk Pakedai Pelombak Sungai Raya - Tanjung Sapi - Limbung - Buntut Limbung - Keranji - Teluk Bayur - Jambu - Separoh - Benuang - Sekancil Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011 Keterangan Berpenduduk Berpenduduk Mangrove Mangrove Mangrove Mangrove Mangrove Berpenduduk Mangrove Berpenduduk Mangrove Hutan Tanaman Mangrove Mengrove Rawa Pasir Hutan Rawa Hutan Rawa Berpenduduk Tanaman Keras Hutan Rawa Hutan Rawa Tanaman Keras 4.b.(3) Hutan Sepadan Pantai dan Sepadan Sungai Kondisi umum hutan mangrove sepanjang kawasan pesisir, pantai dan sungai dapat dikemukakan sebagai berikut: Kondisi Bagus -------------------------- = 33.149 hektar Kondisi Sedang -------------------------- = 561 hektar Kondisi Rusak Berat--------------------------- = 3.981 hektar 4.b. (4) Pariwisata Keaneka regaman suku dan etnis di Kabupaten Kubu Raya sebagai potensi yang memunculkan aneka kegiatan sosial yang unik dan religi seperti Budaya Robo-Robo bagi Suku Melayu, Budaya Barongsai bagi etnis Cina, Naik Dango bagi Suku Dayak, sedekah bumi bagi Suku Jawa dan lain-lain. Selain pariwisata budaya-budaya tersebut, ada yang tidak kalah pentingnya, Kabupaten Kubu Raya memiliki Potensi Wisata Konparatif seperti wisata pesisir dengan hutan mangrove, Sungai " " 107" " Kakap, Sukalanting dengan Kelentengnya yang unik, hal tersebut lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 15 No. Jenis Potensi wisata per lokasi kecamatan pesisir Jenis Potensi Wisata Lokasi 1. Kebun Binatang Sungai Raya 2. Makam Raja Kubu Kubu 3. Keraton Raja Kubu Kubu 4. Makan Ismail Mundu Teluk Pakedai 5. Mesjid Batu Teluk Pakedai 6. Agrowisata Sungai Kakap 7. Pantai Indah Kakap Sungai Kakap 8. Pekong Muara Sungai Kakap Sungai Kakap 9. Pekong Pantai Suka Lanting Sungai Raya 10. Pantai Sungai Bulan Rasau Jaya 11. Makam Panglima Raja Kubu Padang Tikar 12. Mitos Wangkang Gunung Ambawang Kubu 13. Mangrove Pesisir Bt. Ampar, Tl. Pakedai, Kubu 14. Suwaka Buaya Muara Selat Panjang, Kubu, Bt. Ampar 15. Kolam Pemancingan S. Raya, S. Kakap Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011 4.b. (5) Pertambangan Areal pertambangan budidaya perikanan air payau yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Kubu Raya, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 16. Daftar Areal Tambak Budidaya Perikanan per Kecamatan No. Kecamatan Luas (Ha) Produksi (ton) Komoditas 1. Sungai Kakap 306,0 84,0 Udang + Bandeng 2. Kubu 419,5 124,7 Udang + Bandeng " " 108" " 3. Teluk Pakedai 48,0 36,2 Udang + Bandeng 4. Batu Ampar 47,0 50,8 Udang + Bandeng 820,5 296,7 Jumlah Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011 4.c. Isu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Wp-3-K) Wilayah Kabupaten Kubu Raya memiliki potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang besar. Permasalahannya sumberdaya ini belum termanfaatkan secara optimal sesuai dengan potensu lestarinya. Beberapa permasalahan umum yang dirasakan terkait sumber daya ini adalah : 1) Pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir; Usaha-usaha pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil hingga saat ini belum optimal. Sehingga perlu langkah nyata terkait peningkatan pemanfaatan potensi ini. Diawali dengan peningkatan kesadaran bahwa sumber daya ini bile dimanfaatkan dengan benar akan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Diikuti bimbingan pemanfaatan yang benar dan sesuai dengan potensi yang ada serta berwawasan lingkungan. Terkait dengan informasi pasar terkait permintaan dan penawaran hasil produksi mendapat kepastian harga. " " 109" " 2) Pemberdayaan sumberdaya pulau-pulau kecil; Tingkat nasional terkait pulau-pulau kecil khususnya berbatasan dengan wilayah negara tentangga (pulau terluar) sangat disoroti belakangan ini. Kelemahan yang disadari bahwa sampai saat ini masih kurang memberdayakan kawasan ini sebagai pangkal pencaplokan kawasan oleh negara tetangga. Untuk itu usaha ke arah pemberdayaan sangat perlu dilakukan. Agar tingkat kesadaran masyarakat dan pulau-pulau kecil akan pentingnya keutuhan NKRI meningkat. Hal ini akan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran tentang bela negara. Untuk wilayah Kabupaten Kubu Raya walaupun tidak berbatasan dengan Negara tetangga tetap membutuhkan ini paling tidak untuk menumbuhkan loyalitas masyarakat pulau-pulau kecil dengan peningkatan kesejahteraan mereka. 3) Penataan kawasan pemanfaatan dan pelestraian; Usaha-usaha pemanfaatan sumber daya perlu didukung penataan kawasan sesuai dengan aturan hukum yang disepakati. Sebagai contoh penunjukan kawasan hutan dilingkungan pedesaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penunjukan ini perlu dikaji, dievaluasi dan ditinjau ulang agar tidak terjadi pelanggaran. Peran pemerinttah (Stakeholder) sangat diperlukan. Karena masyarakat yang terlibat dalam usaha ini memerlukan kepastian hukum agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari dan penegakan hukum (low wonforment) dapat diterapkan dengan benar. Jangan sampai usaha " " 110" " pemanfaatan sumber daya berbenturan dengan konsep pelestarian sumber daya itu sendiri. 4) Kelangkaan sumberdaya perikanan; Beriringan dengan pemanfaatan potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan usaha-usahan cerdas untuk memanfaatkan secara optimal. Pada beberapa sumber daya pesisir telah pula mengalami kelangkaan terkait pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Untuk itu diikuti dengan langkah-langkah menjaga kelestarian sumber daya terkait dengan melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan. Sebagai contoh sumber daya perikanan ketersediaannya sangat tergantung pada kelestarian kawasan pesisir. Karena sebagian besar sember daya perikanan memerlukan kawasan ini untuk tempat memijah (berkembang baik) penghapusan (pembesaran), dan sumber makanan serta berlindung. 5) Pemukiman di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Penataan lingkungan pemukiman dan perbaikan kondisi rumah masyarakat pesisir yang sebagiian besar tidak layak huni juga perlu dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan peningkatan kinerja pemanfaatan potensi sumber daya itu sendiri. Sehingga tercipta kawasan pemukiman, budidaya dan konvervasi secara jelas. 6) Pariwisata; Kawasan Kabupaten Kubu Raya memiliki beberapa potensi pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun " " 111" " pemanfaatan secara profesional masih sangat-sangat diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan studi banding dengan wilayah di Indonesia yang telah maju dalam pemanfaatan potensi wisata. 7) Pembangunan/pengadaan Air Bersih dan Instalasi Listrik; Air bersih merupakan kebutuhan dasar (basic need) bagi penduduk, baiik untuk memasak/minum, mencuci/mandi dan kebutuhankebutuhan lainnya. Bagi kebanyakan penduduk secara tradisional penggunaan air bersih bersumber dari air sungai dan air hujan. Sebagian besar kebutuhan air bersih di Kabupaten Kubu Raya belum dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sehingga kebutuhan air bersih masyarakat masih dilakukan dengan menampung air hujan, air tanah dan air permukaan. Satu-satunya Kecamatan di Kubu Raya yang terlayani oleh PDAM Kabupaten Pontianak adalah kecamatan Sungai Raya. Berdasarkan da PDAM Tahun 2005, jumlah pelanggan di Kecamatan Sungai Raya sebanyak 8.310 pelanggan, dengan jumlah iar yang dapat didistribusikan sebanyak 1.397.093 m3. Kecilnya jangkauan pelayanan air bersih terhadap masyarakat yang dikelola PDAM selain karena faktor teknis dengan sulitnya mendapatkan air baku yang mudah dan murah untuk diproses sebagai air minum juga diakibatkan oleh terbatasnya dana yang tersedia. Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi aktivitas keseharian masyarakat maupun proses produksi dalam industri dan sangat berperan dalam menunjang aktivitas sektor " " 112" " usaha lainnya. Dengan kata lain, bahwa sub sektor kelistrikan memiliki pengaruh dan ketertarikan luas (forward-backward lingkage) bagi pengembangan sektor lapangan usaha lainnya. Bahkan tingkat konsumsi listrik perkapita digunakan sebagai salah satu indikator yang menunjukkan sejauh mana tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional. Kebutuhan energi listri di Kabupaten Kubu Raya dipenuhi dengan sumber pembangkit listrik tenaga diesel. Dalam hal pelayanan listrik, akan tetapi belum seluruh desa di Kabupaten Kubu Raya ini terlayani oleh Listrik PLN. Pada saat sekarang (Tahun 2008) setidaknya terdapat beberapa desa yang menggunakan listrik alternative (Tenaga Surya) yaitu Desa Gunung Tamang dan Gunung Limbung d Kecamatan Sungai Raya. Dalam masa rencana, jangkauan jaringan listrik dari PLN maupun energi alternative lainnya perlu ditingkatkan hingga mencapai keseluruhan desa. B. PEMBAHASAN DAN ANALISIS 1. Pelaksanaan Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, selama ini lebih beroreintasi " " 113" " kepada ekploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktorfaktor penyebab kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti yang disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil, bahwa: "Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatn, pengelolaan, pengendalian dan pengawasan dengan memperhatikan norma-norma yabg diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya". Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma, diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil, dalam Pasal 3 tentang Asas dan Tujuan, menyatakan bahwa: "Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau berasaskan, pada: (a) Keberlanjutan; (b) Konsistensi; (c) Keterpaduan; (d) Kepastian; (e) Kemitraan; (f) Pemerataan; (g) Peran serta masyarakat; (h) Keterbukaan; (i) Desentralisasi; (j) Akuntabilitas; (k) Keadilan." " " 114" " Perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oelh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya diatur dalam Bab IV-Perencanaan, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 15 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau Terkecil. Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated coastal management. Persoalan utama yang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan pembangunan Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan " " 115" " keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal pada hakekatnya memiliki posisi yang sangat urgen. Namun kenyataannya pengelolaan sumberdaya pesisir diKabupaten/Kota dalam wilayah kajian penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi nyata dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal di pegunungan maupun yang berdiam di pesisir semunya menyumbang proses degradasi lingkungan hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas tersebut, pertanian (akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan (misal: pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan ekosistem, melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan " " 116" " pangan berbasis kelautan. Persoalan lain adalah Lingkungan pesisir merupakan daerah yang sangat rentan terhadap berbagai tekanan. Berbagai tekanan baik oleh alam maupun manusia dapat menyebabkan degradasi sumberdaya lingkungan. Berbagai isu degradasi sumberdaya lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir diantaranya degradasi ekosistem mangrove, Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai, Degradasi Ekosistem Terumbu Karang, Pencemaran Perairan, Penambangan Tanah dan Batu Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak diaturdengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya. Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat beban yang sangat berat, selain karena posisinya yang berada didaerah hilir, juga struktur wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat prioritas pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Lahirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi yang terkandung dalam undangundang tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut wilayah otonom dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap pemerintah dan masyarakat di " " 117" " wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidahkaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, tata kelola pemerintah daerah dihadapkan pada realitas politik yaitu perseteruan dan persaingan antar pemerintah daerah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai akibat rejim otonomi daerah. Selain itu eco-governance pemerintah daerah sangat buruk sementara desakan jebakan hutang yang diderita Indonesia dalam tinjaun ekonomi politik menyebabkan proses eksploitasi dan penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan makin intensif ke depan Penanganan permasalahan ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan pemerintah daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistim administrasi pembangunan yang mengacu pada perencanaan hirarki pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu atau lebih dikenal Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. " " 118" " Dengan kata lain, untuk mengoptimalkan upaya pengembangan/eksploitasi sumber daya pesisir tersebut, perlu dilakukan kegiatan perencanaan, yang berguna untuk mengetahui jenis, letak dan nilai ekonomis sumberdaya serta untuk mengetahui kesesuaian ekologis setempat terhadap upaya eksploitasi sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta PERMEN Nomor 16 tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penetapan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah pengelompokan suatu wilayah ke dalam kawasan-kawasan atau zona-zona sesuai dengan kondisi biogeofisik dan fisiknya. Tujuan penetapan zonasi adalah untuk mengoptimalkan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Zonasi peruntukan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007). Namun kenyataan dari hasil penelitian menunjukan penetapan zonasi wilayah pesisir di 4 (empat) kabupaten/kota lokasi penelitian yang dilakukan masih dalam draft penyusunan Rencana Zonasi dan belum terakomodir dalam suatu regulasi kebijakan berupa Peraturan Daerah. " " 119" " 2. Faktor-Faktor Yang Pengimplementasian Mempengaruhi Desentralisasi Permasalahan Kewenangan Di Dalam Bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat Potensi sumber daya pesisir di Kalimantaan Barat sebagaimana diuraikan di atas yang begitu beragam baik dari segi kuantitas maupun kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Pembangunan wilayah pesisir pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian sumberdaya alam pesisir. Artinya, bahwa sumberdaya alam pesisir dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia, namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak, sehingga diperlukan pengelolaan. Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir di Kalimantan Barat berimplikasi langsung pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya. Kesejangan dan ketertinggalan merupakan ditemui. Realitas ini amat kontras kondisi yang sudah jamak disandingkan dengan melimpahnya kekayaan sumber daya alam yang tersedia. Beragam kebijakan dan regulasi telah digulirkan, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, terakhir melalui UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun ironisnya bukan keteraturan dan kesejahteraan dihadirkan, melainkan sebaliknya, disini tampak bahwa hukum telah gagal mengemban fungsi intrumentalis mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. " " 120" " Faktor penyebab terjadinya permasalahan dalam tataran pengimplementasian desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir sehingga dapat diasumsikan sebagai suatu keterbatasan kemampuan hukum yang mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan amatan dan hasil penelitian yang dilakukan, diantaranya adalah: a) Terjadinya disinkronisasi dari regulasi dan kebijakan yang ada. Pasca diterbitkan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan wilayah pesisir secara memadai dan optimal di daerah. Akomodasi sinkronisasi kebijakan dan regulasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kebijakan penataan ruang, masih jauh dari harapan. Realitas ini seperti yang ditemui di Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, tampak bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masih belum dapat memenuhi prinsip serasi, selaras dan seimbang dengan dokumen perencanaan tata ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007. Secara normatif di dalam UU no 26 No Tahun 2007 pasal 6 ayat 5, ruang laut dan ruang udara pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan didalam UU no 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat 1, Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri atas : a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil " " 121" " (RSWP-3-K); b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K); c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); dan d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K). Pada pasal 7 ayat 3, Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan kewenangan masing-masing. Didalam UU No 27 Tahun 2007 pasal 9 ayat 2, RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pada ayat 4, Jangka waktu berlakunya RZWP-3-K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pada ayat 5, RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun sampai sekarang dengan saat pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Barat belum menerbitkan peraturan daerah sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tersebut, terlebih dengan penghadiran SK MenHutBun. No. 259/kpts-II/2000 tentang Penujukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. b) Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural akibat semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Pembangunan daerah khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil perlu melibatkan masyarakat dengan pemberdayaan dan menarik " " 122" " partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada lembagalembaga lokal dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, dapat juga dengan memperluas aspek pasar untuk meningkat nilai produk perikanan. Namun kenyataannya tingkat partisipasi dan kearifan lokal masyarakat pesisir masih rendah. Responsitas hukum yang demikian, didasari bahwa hakekatnya hukum bukan institusi bersifat otonom, namun bagian yang tidak terpisahkan dan dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan religi) dari masyarakatnya. Secara sosiologis hukum yang baik bukanlah suatu institusi yang terosilasi, melainkan tertanam dalam dan berakar pada masyarakatnya. Tidak ada kehidupan hukum yang terpisah secara diametral-otonom. Komunitas masyarakat merupakan arena sosial yang memiliki kapasitas untuk membentuk hukum sebagai mekanisme internal dalam menjaga keteraturan dan ketertiban sosial dalam lingkungan komunitasnya. Secara sosiologis masyarakat pesisir sangat berbeda dengan masyarakat agraris. Seiring dengan perbedaan tersebut membawa perbedaan dalam memaknai sumber daya alam. Pemahaman terhadap karakteristik tersebut harus berkarakter battom up, mengingat eksploitasi dan makna pemilikan terhadap sumber daya alam yang bersifat open access tersebut, sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi perlindungan lingkungan hidupnya. Perilaku yang didasarkan atas " " 123" " orientasi berpikir kebenaran ekologis, idealnya menjadi pedoman dalam setiap interaksi dan interalasi manusia dengan lingkungannya. Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumber daya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pengelolaan potensi sumberdaya, dengan demikian akan lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdayanya. 3. Upaya Mewujudkan Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kewenangan Di bidang Yang Dapat Mengakomodasi Keseimbangan Kepentingan Dan Kelembagaan Di Kalimantan Barat Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated Coastal dan Marine Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan meliputi empat aspek utama, yaitu (1) aspek teknis dan social (2) aspek social ekonomi dan budaya (3) aspek social politik dan (4) aspek hukum dan kelembagaan. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang berkeadilan " " menjadi keniscayaan bagi 124" " pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati. Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : (1) Pemanfaatan berlebih (over eksploitation) sumberdaya hayati, (2) Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) Perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) Pencemaran, (5) Introduksi spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam. Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari banyak tingkatan antara lain; level Pemerintahan Pusat, level Pemerintahan Lokal dan level Komunitas. Pertama, dalam level Pemerintahan Pusat salah satu poin agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal. " " 125" " Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level Komunitas revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan. Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. " " 126" " Sebagai upaya mewujudkan bidang Pengelolaan desentralisasi kewenangan di Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam.. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam program-program pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai negara di dunia, khususnya dinegara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah.. Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian " " 127" " kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital) dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya. Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat common property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan berpandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga jika tidak diikuti oleh regulasi yang tepat, akan menyebabkan pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini membutuhkan perhatian bagi semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal sosial diharapkan dapat mengurangi sikap selfish dan free rider. Dengan kekuatan masyarakat dan dukungan regulasi yang berpihak terhadap paradigma pembangunan keberlanjutan (sustainable) diharapkan pula mampu menjawab krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya " " 128" " pesisir. Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro maupun mikro. Langkah makro merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan. " " " 129" " BAB V PENUTUP Desentralisasi kewenangan Pengelolaan sumberdaya pesisir di Kalimantan Barat sebagaimana tampak di Kabupaten/Kota dalam wilayah kajian penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi yang signifikan dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Faktor belum menguatnya implementasi desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari regulasi dan kebijakan yang ada, dimana Akomodasi sinkronisasi kebijakan dan regulasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kebijakan penataan ruang, masih jauh dari harapan. Realitas ini seperti yang ditemui di Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, tampak bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masih belum dapat memenuhi prinsip serasi, selaras dan seimbang dengan dokumen perencanaan tata ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007. Disamping itu juga ditemui responsitas basis kultural akibat " masih rendahnya daya akomodasi dan semangat kebijakan dan regulasi yang yang " 130" 130" " berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Secara sosiologis masyarakat pesisir sangat berbeda dengan masyarakat agraris. Seiring dengan perbedaan tersebut membawa perbedaan dalam memaknai sumber daya alam. Pemahaman terhadap karakteristik tersebut harus berkarakter battom up, mengingat eksploitasi dan makna pemilikan terhadap sumber daya alam yang bersifat open access tersebut, sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi perlindungan lingkungan hidupnya. Perilaku yang didasarkan atas orientasi berpikir kebenaran ekologis, idealnya menjadi pedoman dalam setiap interaksi dan interalasi manusia dengan lingkungannya. Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan " " 131" " kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. " " " 132" " DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, 1986. Alumni Bandung, Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rapai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam bidang Hukum, Kecana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Grasindo, Jakarta, 2010 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988. Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Tiara Wacana. Yogyakarta, 2006 Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit Gaya Media, Jakarta, 2001 Arif Satria, Karakteristik Masyarakat Pesisir, Cidesindo,Jakarta, 2007 Arief Sidharta, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis, Makalah disajikan dalam Simposium Nasional Ilmu Hukum “Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia” diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Fakultas Hukum UNDIP ke 41bekerjasama dengan Pusat Kajian Hukum Indonesia Bagian Tengah dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 10 Februari 1998. -----------------, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, 2000 Bernard L. Tanya, Meretas Integras Nasional Menuju Kemajuan Peradaban, Makalah disampaikan dalam Temu Antar Generasi Se-Jawa dan Bali di Surabaya, diselenggarakan oleh KNPI Jawa Timur, 2 Agustus 2002 -------------------------, Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya, 2006. Penerbit Srikandi, -------------------------. Tanya, Teori Hukum,; Strategi Tertib Manusia Lintas ruang dan Generasi, CV. Kita Surabaya, 2006 " " "133" " Bromley dan Cernea, territorial use rights in fisherie, 1989 Budi Siswanto, Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan, Penerbit Laksbang Mediatama, Surabaya, 2010 Darul Kutni Tuhepaly, Otonomi Khusus Bidang Kelautan, Penerbit Galang Press, Yogyakarta, 2010 Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah, Kebijakan, Evaluasi dan Saran,UII Press Yogyakarta, 2004 Edy Sudarta, Kebijakan social Sebagai kebijakan Publik, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2008 Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Mata Padi Prseindo, Yogyakarta, 2010 FX.Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2007 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. LP3ES, Jakarta, 1987. Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Kalam, Yogyakarta, 2005 Hukum Indonesia, Penerbit Kurnia Hetifah Sj.Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004 Julius Stone, Law and the Social Sciences in the Second Half Century, University of Minnesota Press, 1966 Khudzaifah Dimyati, Mencari Jatidiri Ilmu Hukum Indonesia, Jurnal Akademika: Kajian Masalah social dan Agama, Universitas Muhamadiyah Surakarta, 1999 Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2008 Lawrence M.Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1977. Mahfud MD, Moh,. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2009 Margaret M .Poloma, Teori Sosiologi Komtemporer, Raja Grafindo, Jakarta, Jakarta, 1994. Mboi Napsiah,. Perempuan dan Pemberdayaan, Jakarta, Penerbit Obor, 1997 " " " 134" " Muladi, Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan, dan Perlindungan Hukum Dalam Era Globalisasi, Makalah, 1995 Prijono, Onny S, dan A.M.W. Pranarka (penyunting), 1, Pemberdayaan : Konsep Kebijakan dan Implementasi, CSIS, JakartA, 1996. Romli Atmasasmita, Pengantar hukum Kejahatan Bisnis, Prenedia Media, Jakarta,2003 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988. Sarundajang, babak baru Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Kata hasta, Jakarta, 2005, Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980. -----------------------, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung 1996 -----------------------, Pendekatan dan Kajian Sosiologis Terhadap Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Nomor 1 Tahun 1, Surakarta,1996 -----------------------, Masalah Nilai-Nilai dalam Penemuan Hukum dan Pembentukan Hukujm Nasional, Makalah, Temu Wicara Tentang Pelaksanaan Pembangunan Hukum PJP II, BPHN, Jakarta, 1999 -----------------------, Membedah Hukum Progresif, Kompas, 2007 Setiono, “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS, Vol. 6, Nomor 2 Nopember 2002 Soejono Dirdjosisworo, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 2000 Suhana, Redesain Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Untuk Kesejahteraan rakyat dan Kelestarian Sumber Daya: Rekonstruksi Kebijakan Kelautan, Jurnal Transisi, Jakarta, 2011 Sulistyowati Irianto, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009 Sujana Rayat, Kebijakan Sosial baru dan Peran Pemerintah Daerah, Penerbit Prakarsa-LP3ES, 2009 Suriansyah Murhani, Pengawasan Pemerintahan Daerah, Mediatama, Yogyakarta, 2008 " " " 135" " Syamsudin Haris, Desentalisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press-Jakarta,2010 Ostrom, Elinor, , Coping with Tragedies of the Commons in Annual Reviews (www.Annual Reviews.org) 1999 Owin Jamasy , Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan, Penerbit Blantika Jakarta, 2006 Team Work LAPERA, Politik Pemberdayaan, Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002 Kumpulan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil " "