Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Debu Debu (partikel) dalam udara dapat bersumber peristiwa alamiah ataupun kegiatan manusia dalam mengembangkan teknologi, terutama di bidang industri. Partikel yang mencemari udara terdiri atas berbagai macam tergantung pada jenis dan kegiatan industri serta teknologi yang ada. Secara umum partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia sehingga dapat sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau pneumoconiosis (Olishifski dan McElroy, 1971). Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan. Reaksi itu berupa produksi lendir secara berlebihan dan bila terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pneumoconiosis nonkolagen. Sedangkan debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini disebut pneumoconiosis kolagen. Termasuk jenis ini adalah debu silika bebas (SiO2), batubara, dan asbes. Debu yang masuk ke dalam saluran napas, menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi jika kadar debu melebihi nilai ambang batas (Pudjiastuti, 2002). 2.1.1 Penyakit Akibat Debu Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru-paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya 5 makrofag baru, sehingga makrofag tersebut memfagositosis silika bebas kemudian terjadi autolisis kembali. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial (Yunus, 1997). Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Pneumoconiosis terdiri atas beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa contoh pneumoconiosis antara lain: a. Silicosis Silicosis disebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama dengan partikel lainnya, seperti oksida besi dan karbon dalam bentuk abu. Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak sehingga gejala penyakit silicosis akan segera tampak. Silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk tidak berdahak. Pada silicosis tingkat sedang, perubahan struktur paru-paru mudah sekali terlihat dengan pemeriksaan foto toraks. Silicosis tingkat berat ditandai dengan sesak nafas kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung. Dari semua pneumoconiosis, silicosis merupakan penyakit yang terparah. Hal ini disebabkan silicosis bersifat progresif, artinya jika pajanan dihentikan maka pneumoconiosis tetap akan berlanjut (Yunus, 1997). 6 b. Asbestosis Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun yang paling utama adalah Magnesium Silikat. Asbes dapat menyebabkan tumor pada pleura yang disebut mesotelioma. Mesotelioma bersifat ganas, tidak dapat disembuhkan dan biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun (Medicastore, 2004). Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan lain sebagainya. c. Bissynosis Bissynosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas. Dalam konsentrasi kecil bissynosis adalah reversibel. d. Anthracosis Anthracosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu karbon (anthracit). Anthracit bersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi dengan paru-paru (Antaruddin, 2003). Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti pemasok batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat listrik tenaga uap berbahan bakar batubara. 2.1.2 Silika Silika adalah salah satu komponen alamiah penyusun batuan di bumi serta merupakan komponen utama pasir dan granit. Silika merupakan senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang dapat ditemukan dalam bentuk kristalin atau nonkristalin (amorph). Kristalin silika terdiri atas banyak bentuk, namun bentuk yang utama adalah quartz, cristobalite, dan tridymite sedangkan struktur amorph 7 ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silica, diatomaceous earth dan vitreous silica (NIOSH, 2002). Quartz dapat ditemukan dalam 2 sub-polymorph yaitu α-quartz dan β-quartz atau low quartz dan high quartz. Berdasarkan kedua bentuk tersebut α-quartz yang paling sering ditemukan, sedangkan β-quartz hanya ditemukan stabil pada temperatur 570o C. Jika terjadi pendinginan β-quartz akan berubah menjadi α quartz. Pajanan quartz yang paling ekstrim dalam bentuk debu respirabel dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting, dan proses pencampuran. Aktivitas seperti penempaan, pemotongan, pencampuran, pengeboran logam dan batuan selalu dihubungkan dengan paparan terhadap debu silika. Kandungan quartz sangat bervariasi tergantung dari tipe batuan, sebagai contoh granite dapat mengandung 10-40% quartz dan sand stones dapat kurang lebih 70% quartz. Cristobalite dan tridymite ditemukan dalam batuan dan tanah yang dihasilkan dari proses alam dan industri yang melakukan pemanasan terhadap silika amorph dengan temperatur lebih dari 1000o C (NIOSH, 2002). Kristalin silika dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi dan dapat menyebabkan fibrosis paru-paru. Sampel udara dikumpulkan melalui alat yang disebut personal sampling pump yang dipasang di zona pernapasan untuk memastikan bahwa pajanan terhadap silika masih di bawah nilai ambang batas (NAB). NAB silika sangat tergantung dari jumlah persentase silika bebas di udara. NAB debu respirabel yang mengandung silika dinyatakan dalam millions of particles per cubic foot of air atau dikenal dengan mppcf. Standar ini diterapkan dalam industri konstruksi dengan metode sampling impinger sebagai alat sampling. NAB dinyatakan dalam Persamaan 2.1 (Soemirat, 2006): C (mppcf) = 250 5 + % Silika bebas dalam debu (2.1) Bagaimanapun penerapan impinger sebagai alat sampling dengan cara menghitung partikel debu cukup rumit, sehingga pada umumnya berbagai industri 8 lebih memilih metode sampling gravimetrik (Graham, 2007). Metode sampling secara gravimetrik dapat digunakan untuk berbagai industri termasuk industri konstruksi. Berbagai penelitian telah dilakukan dan hasilnya menyatakan bahwa rumus penghitungan NAB untuk kedua metode ini sebanding (Sheehy, 2006). NAB atau PEL (Permissible Exposure Limit) silika untuk berbagai industri diukur dalam satuan miligram per meter kubik (mg/m3) dinyatakan dengan Persamaan 2.2 (NIOSH, 2002). Respirable PEL (mg/m3) = 10 2 + % SiO2 (2.2) 2.1.3 Analisis Debu Silika Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu sampel yang mengandung silika. Namun demikian, yang paling banyak digunakan adalah metode X-ray Diffraction Spectrometry (XRD), Infrared Spectrometry (IR), dan Colorimetric Spectrofotometry. XRD dan IR merupakan teknik yang paling sering digunakan mengalisis silika, namun akurasi teknik ini rendah, terutama jika jumlah sampel yang sedikit (NIOSH, 2002). 2.1.3.1 X-ray Diffraction Spectrometry (XRD) Sekitar 95% semua material padat didapatkan dalam struktur kristalin. Ketika Xray mengenai substansi kristalin, maka setiap kristalin tersebut akan memiliki pola difraksi. Pada tahun 1919 A. W. Hull membuat paper berjudul " A New Method of Chemical Analysis". Pada makalah ini dia menuliskan bahwa ".....setiap substansi kristalin akan membentuk pola; substansi yang sama selalu memberikan pola difraksi yang sama; dan di dalam campuran dari banyak substansi, setiap substansi akan menghasilkan pola yang berbeda dengan substansi lainnya" (Scintag, 1999). Ketika X-ray mengenai sebuah atom, elektron yang ada di sekitar atom mulai bergetar sesuai dengan frekuensi sinar yang datang. Dalam hampir semua arah akan didapatkan pencampuran tidak teratur yang merupakan gelombang campuran keluar fase dan tidak ada energi resultan yang meninggalkan sampel padat. Atom 9 yang ada di dalam kristal diubah menjadi pola yang teratur, dan dalam beberapa arah akan didapatkan pencampuran yang teratur. Gelombang tersebut akan berada dalam fasenya sehingga dapat diartikan X-ray akan meninggalkan sampel ke arah yang berbeda. Setelah itu sinar yang terdifraksi dapat dideskripsikan sebagai sinar yang merupakan campuran dari sejumlah besar sinar yang terpisah dan saling menguatkan satu sama lain (Scintag, 1999). Pola difraksi X-ray dari suatu substansi memiliki ciri-ciri khusus sehingga dapat diartikan sebagai "sidik jari" dari substansi tersebut. XRD biasa digunakan untuk memisahkan struktur single crystal dan polycrystalline dalam suatu sampel padat sehingga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi campuran material padat, contohnya quartz (SiO2) dan asbes (Scintag, 1999). XRD adalah suatu metode untuk mengetahui kandungan kristalin silika. XRD mampu membedakan 3 bentuk utama senyawa kristalin silika (quartz, cristobalite, dan tridymite) dan secara simultan dapat menganalisis struktur polymorph dalam suatu sampel (NIOSH, 2002). 2.1.3.2 Infrared Spectrometry (IR) Teknik lain yang digunakan dalam menganalisis kristalin silika adalah IRspectrometry (NIOSH, 2002). Walaupun metode ini tidak mampu untuk membedakan macam-macam bentuk dari kristalin silika (Sheehy, 2006). Teknik ini lebih murah dan cukup baik dalam mengukur kristalin silika. Teknik ini lebih murah dibandingkan XRD dan cukup baik dalam mengukur quartz dalam suatu sampel. Sampel yang mengandung silikat (seperti kaolinite) dan silika amorph dapat menyebabkan gangguan dalam analisis. 2.1.3.3 Colorimetric Spectrofotometry Teknik ini digunakan sebagai alternatif untuk mengetahui kandungan silika dalam suatu sampel. Teknik ini merupakan teknik yang paling murah dibandingkan dengan XRD dan IR. Metode colorimetric spectrofotometry tidak dapat 10 membedakan antara silika dan silikat, hal ini dikarenakan pengukuran hanya berdasarkan kandungan silikon (NIOSH, 2002). 2.2 Sistem Pernapasan Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta mengh embuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa oksidasi ke luar tubuh. Secara garis besar sistem pernapasan terdiri dari paru-paru dan susunan saluran yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, faring, laring, trakea dan bronkus (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Sistem Pernapasan Manusia 2.2.1 Alat Pernapasan Macam-macam alat pernapasan antara lain (BSW, 2000) : a. Hidung Hidung merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh septum nasal. Di dalamnya terdapat rambut-rambut untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis 11 inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk menghangatkan udara. b. Faring Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Faring terletak di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening. c. Laring Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis. d. Trakea Trakea merupakan saluran lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan. e. Bronkus Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 – 8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus sedangkan pada ujung bronkus terdapat gelembung paru yang disebut alveoli. 12 f. Paru-paru Paru-paru merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari gelembunggelembung alveoli. Pada tempat ini terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2. 2.2.2 Volume Paru-Paru Pertukaran gas akan berbeda pada keadaan atau kondisi kerja fisik yang berbeda, maka pengembangan volume alveoli berbeda dikenal berbagai volume paru-paru. Pengetahuan tentang berbagai volume paru-paru digunakan untuk evaluasi fungsi paru-paru pada berbagai kondisi kesehatan (Setiadji et al., 1981). Volume paruparu dibagi menjadi beberapa macam antara lain (Gambar 2.2): • Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama pernapasan normal. Volume tidal volume kurang lebih 500 ml. • Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan udara yang dikeluarkan setelah tidal volume. Volume ERV kurang lebih 1000 ml. • Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat diinspirasi secara penuh setelah tidal volume. Volume IRV kurang lebih 3000 ml. • Residual Volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di paru-paru setelah ekspirasi maksimal. Udara di dalam paru-paru jumlahnya tidak pernah kosong. Volume RV kurang lebih 1500 ml. • Vital Capacity (VC) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan oleh seseorang setelah menghirup udara secara maksimal. Volumenya sekitar 4500 ml atau sama dengan penjumlahan antara ERV + TV + IRV. • Total Lung Capacity (TLC) adalah volume total udara yang dapat tertahan di paru-paru. Nilainya kurang lebih 6000 ml atau setara dengan penjumlahan RV + VC. 13 Gambar 2.2 Volume Udara Paru-paru (Ruppel, 2008) 2.2.3 Uji Fungsi Paru-Paru Uji fungsi paru-paru atau dikenal sebagai pulmonary function tests (PFTs) digunakan untuk mengevaluasi kinerja paru-paru. Uji ini digunakan untuk mengetahui volume udara yang dapat tertahan di paru-paru, kecepatan udara pada saat respirasi, serta mengukur kinerja paru-paru dalam menyerap O2 dan mengeluarkan CO2 dalam darah. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui kelainan paru-paru, mengukur tingkat keparahan penyakit paru-paru serta mengukur efektifitas perawatan terhadap paru-paru yang rusak (Spirexpert, 2007). Spirometri adalah salah satu teknik uji paru-paru. Teknik ini dapat mengukur kecepatan dan volume udara pada saat respirasi dengan cara bernapas melalui corong (mouthpiece) yang dihubungkan dengan alat yang disebut spirometer. Spirometer adalah suatu alat untuk mengukur volume udara yang masuk dan keluar paru-paru sehingga dapat digunakan untuk menilai fungsi paru-paru. Informasi yang diperoleh dari spirometer dapat berupa grafik yang disebut spirogram. Beberapa nilai fungsi paru-paru yang dapat diukur dengan spirometer dapat dilihat pada Tabel 2.1. 14 Tabel 2.1 Nilai Fungsi Paru-Paru yang dapat Diukur dengan Spirometer (Dirgawati, 2007) Singkatan Nama Deskripsi FVC Forced Vital Capacity Forced FEV1.0 Expiratory Volume in 1 Second FVC adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan setelah inspirasi penuh, dinyatakan dalam liter. adalah FEV1.0 jumlah udara yang dihembuskan selama 1 detik pertama, dinyatakan dalam liter. FEV1.0 merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan fungsi paru-paru. FEV1.0 / FVC merupakan perbandingan FEV1.0 / FVC FEV1% antara FEV1.0 dengan FVC. Pada orang dewasa sehat nilai ini berkisar antara 7580%. PEF FEF 2575% atau 25-50% FIF 25-75% atau 2550% FET Peak Expiratory Flow Forced Expiratory Flow 25-75% atau 2550% Forced PEF merupakan kecepatan aliran udara paru-paru saat mulai ekspirasi, dinyatakan dalam liter per detik. FEF 25-75% atau 25-50% merupakan nilai rata-rata kecepatan aliran udara yang keluar dari paru-paru selama pertengahan ekspirasi (kadang-kadang disebut sebagai MMEF, atau maximal mid-expiratory flow). FIF 25-75% atau 25-50% memiliki arti Inspiratory Flow sama dengan FEF 25-75% atau 25-50% 25%-75% atau 25%-50% Forced Expiratory Time namun Tidal Volume pengukuran dilakukan selama inspirasi. FET mengukur lamanya ekspirasi dalam satuan detik. TV TV pada menyatakan volume udara yang diinspirasi dan diekspirasikan pada saat respirasi secara normal. 15 Tabel 2.1 (lanjutan) Singkatan MVV Nama Deskripsi Maximum MVV merupakan jumlah udara maksimal Voluntary yang dapat diinspirasi dan di ekspirasi Ventilation dalam 1 menit, dinyatakan dalam liter / menit. 2.2.3.1 Metode Pemilihan Uji Fungsi Paru-Paru Terdapat kriteria untuk memilih jenis tes untuk uji faal paru-paru, yaitu sebagai berikut (Pringadi, 1992): a. Acceptability Jenis tes sebaiknya mudah diterima, aman, dan tidak memerlukan penjelasan yang rumit kepada subjek yang diteliti. b. Objectivity Sedapat mungkin jenis tes tidak dipengaruhi oleh usaha subjek. c. Discrimination Memiliki kepekaan yang tinggi serta mudah membedakan antara subjek normal dan bukan normal. d. Repeatability Hasil tes sebaiknya memperlihatkan variasi yang kecil antara beberapa kali pengukuran pada subjek yang sama. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa FEV1.0 merupakan volume yang dihembuskan selama 1 detik pertama (Gambar 2.3). Gambar 2.3 Volume yang Dihembuskan Selama 1 Detik Pertama (Spirexpert, 2007) 16 Dalam penelitian ini digunakan FEV1.0 sebagai parameter fungsi paru-paru karena parameter ini tidak terpengaruh oleh usaha seseorang dan relatif tidak dipengaruhi oleh posisi tubuh pada saat pengukuran (Tabel 2.2). Selain itu FEV1.0 merupakan pemeriksaan yang sederhana, akurat, dan paling sering dilakukan (Yunus, 1993). Tabel 2.2. Uji Fungsi Paru-Paru dan Kriteria yang Dipenuhinya (Pringadi, 1992) UJI FUNGSI Kriteria Komentar PARU-PARU a b c d Secara praktis diganti Maximum + ++ dengan FEV1.0 Voluntary Volume Tidak tergantung usaha Forced seseorang, sangat baik Expiratory ++ ++ ++ ++ untuk pemeriksaan Volume One rutin. Second (FEV1.0) Pengukuran lebih mendekati atau sama Forced Vital dengan volume paruCapacity paru vital daripada kapasitas ventilasi. Digunakan untuk membedakan jenis penyakit paru-paru FEV% atau (restriktif atau (FEV1.0/FVC) obstruktif), daripada x100% digunakan untuk mengukur kapasitas ventilasi. Forced + Expiratory Flow (FEF) Baik untuk penyakit Peak Expiratory + + obstruktif bagian atas Flow (PEV) Penilaian : (-) : Buruk (+) : Sedang (++) : Baik Kriteria : a. Acceptability b. Objectivity c. Discrimination d. Repeatability 2.2.3.2 Pengukuran FEV1.0 dengan Spirometer Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume udara (FEV1.0) pada suhu dan tekanan udara di ruang pemeriksaan atau pada keadaan Ambient Temperature, Pressure, Saturated (ATPS). Nilai tersebut perlu dikonversi ke Body Temperature, 17 Pressured, Saturated (BTPS) karena ingin diketahui volume udara pada temperatur (T) dan tekanan udara (P) dalam tubuh. Hubungan antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut (Spirexpert, 2007): V = nRT / P (2.3) dimana: n R T P V = Jumlah molekul = Konstanta gas ideal = Suhu (oKelvin) = Tekanan (mmHg) = Volume (liter) Udara ekspirasi terdiri atas gas CO2 dan uap air. Campuran uap air dan gas pada keadaan jenuh akan bervariasi sesuai dengan temperatur dan tekanan (Spirexpert, 2007), maka pada spirometri, volume gas yang didapat adalah volume pada T dan P ruangan, perlu dicatat juga temperatur tubuh, dan tekanan barometrik pada saat pengukuran. Hal ini sesuai dengan persamaan yang digunakan untuk mengkonversi nilai ATPS ke dalam BTPS (Dirgawati, 2007), yaitu: P1V1 T1 = P2V2 (2.4) T2 dimana, (1) = Kondisi ATPS P1 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur ambien (mmHg) (Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3) V1 = Volume gas yang tercatat pada spirometer (L) T1 = Temperatur ruangan saat pengukuran (oK) (2) = Kondisi BTPS P2 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur tubuh (mmHg) (Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3) V2 = Volume gas pada kondisi BTPS (L) T2 = Temperatur tubuh (oK) 18 Tabel 2.3 Tekanan Uap Air pada Berbagai Temperatur (Lawrence, 1987) Temperatur Tekanan Uap Temperatur Tekanan Uap (oC) Air (mmHg) (oC) Air (mmHg) 20 17,54 31 33,70 21 18,65 32 35,66 22 19,63 33 37,73 23 21,07 34 39,90 24 22,38 35 42,18 25 23,76 36 44,56 26 25,21 37 47,07 27 26,74 38 49,69 28 28,35 39 52,44 29 30,04 40 55,32 30 31,82 Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengukuran spirometer, antara lain (Pringadi, 1992): 1. Usia Setelah seseorang berusia lebih dari 12 tahun, terjadi peningkatan pada pengukuran spirometer yang berkorelasi dengan usia dan tinggi, hingga usia 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada pria. Setelah seseorang melebihi usia tersebut maka akan terjadi penurunan hasil pengukuran spirometer seiring dengan pertambahan usia. 2. Tinggi Badan Semakin tinggi tubuh seseorang maka nilai hasil pengukuran spirometer akan semakin tinggi. 3. Berat badan Hasil spirometer menunjukkan korelasi positif dengan berat badan. 4. Posisi tubuh Posisi tubuh pada saat melakukan spirometri akan mempengaruhi hasil pengukuran. Pengukuran yang dilakukan dengan posisi berdiri akan berbeda dengan posisi duduk atau terlentang. 19 5. Kekuatan Otot Kekuatan otot merupakan faktor penting setelah tinggi badan, baik pada laki-laki maupun wanita. 6. Ras Orang berkulit hitam dari Afrika memiliki volume paru-paru yang lebih rendah dibandingkan orang berkulit putih dari Eropa. Orang India, Pakistan, Asia, Kepulauan Pasifik dan Indian dari Amerika Utara pada umumnya berada di antara orang kulit hitam dan kulit putih. 7. Jenis kelamin. Wanita memiliki nilai spirometri yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Pada wanita FEV1.0 dan FVC menurun lebih awal (20 tahun) dibandingkan dengan pria yang mulai menurun pada usia 25 tahun. Perbedaan ini ada hubungannya dengan perbedaan keadaan fisiologis dan anatomis. 8. Tempat Ketinggian tempat pada saat pengukuran dapat mempengaruhi hasil pengukuran dengan spirometer. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tekanan udara antara dataran tinggi dengan dataran rendah. 9. Merokok Kebiasaan merokok akan menurunkan FEV1.0 seseorang (Antaruddin, 2003). 2.3 Mekanisme Masuknya Debu ke dalam Paru-Paru Debu yang terdapat di dalam lingkungan kerja terbagi dua yaitu deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai 10 mikron. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas, sedangkan yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan 20 tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli karena mudah keluar masuk alveoli mengikuti gerak Brown (Yunus, 1997). Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1000 partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun dalam paru-paru (Yunus, 1997). Deposisi partikulat di dalam sistem pernapasan dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Deposisi Partikel Debu dalam Berbagai Ukuran pada Sistem Pernapasan (American Lung Association, 2007) Menurut (Dirgawati, 2007), terdapat 3 faktor yang mempengaruhi masuknya debu ke dalam paru-paru, yaitu: 1. Pengaruh Inersia Debu Sendiri Inersia dari debu akan menimbulkan kelembaban bagi debu itu sendiri, di mana sewaktu bergerak akan melalui belokan-belokan dan akan terdorong oleh aliran udara masuk (impinged) ke dalam paru-paru. 2. Pengaruh Sedimentasi Pengaruh sedimentasi terutama terjadi pada bronkus dan bronkiolus, karena di tempat tersebut kecepatan udara sangat berkurang, kira-kira 21 hanya 1 cm/detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu dan mengendapkannya. 3. Gerak Brown Gerak Brown berpengaruh pada debu yang berukuran kurang dari 1 mikron. Partikel tersebut sampai di permukaan alveoli melalui gerakan udara. 2.4 Analisis Risiko Kesehatan Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan prediksi apa yang akan terjadi akibat adanya pajanan atau pencemaran, terhadap zat berbahaya di masa yang akan datang. Metode ini digunakan untuk menilai faktor bahaya yang paling berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan terhadap menurunnya tingkat kesehatan seseorang akibat faktor bahaya tersebut. Analisis risiko kesehatan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: Identifikasi Bahaya, Evaluasi Pajanan, Evaluasi Dosis-Respon dan Karakterisasi Risiko (Gambar 2.5): Identifikasi Bahaya Evaluasi Pajanan Evaluasi Dosis-Respon Karakterisasi Risiko Kebijakan Perbaikan Gambar 2.5 Tahapan dalam Analisis Risiko Kesehatan (Soemirat, 2000) 2.4.1 Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat adanya suatu bahan dengan cara mempelajari efeknya terhadap manusia ataupun hewan percobaan. Salah satu langkah penting 22 dalam identifikasi bahaya adalah memilih metode yang tepat sehingga mendapatkan data akurat mengenai faktor bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia (CEPA, 2001). Data penelitian terhadap manusia merupakan data yang sangat baik dalam mengevaluasi risiko kesehatan manusia yang dikaitkan dengan pajanan terhadap suatu zat. Salah satu kelemahan dalam melakukan penelitian di tempat kerja adalah pengukuran hanya dilakukan terhadap pekerja dewasa sehingga populasi sensitif seperti anak-anak dan manula tidak terukur. Analisis risiko kesehatan terhadap pekerja dewasa seringkali mendapatkan hambatan berupa ketidakpastian data seperti jumlah dan durasi pajanan, pola hidup meliputi kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol. Untuk menghindari ketidakpastian tersebut, maka sebelum mengidentifikasi bahaya, dilakukan pemilihan terhadap responden yang memiliki karakteristik yang serupa. 2.4.2 Evaluasi Pajanan Evaluasi pajanan adalah proses untuk memperoleh frekuensi, durasi dan pola pajanan suatu zat terhadap manusia. Dalam menganalisis risiko kesehatan, diperlukan asumsi untuk memperkirakan pajanan suatu bahan kimia terhadap tubuh. Contohnya dalam menganalisa efek polusi udara terhadap kesehatan, diperlukan asumsi berapa lama seseorang menghabiskan waktu di luar ruangan sehingga mereka terpajan polutan atau berapa lama mereka menghabiskan waktu di tempat dengan kadar polutan yang tinggi. 2.4.3 Evaluasi Dosis-Respon Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh selama identifikasi bahaya sehingga dapat diperkirakan jumlah zat yang masuk ke dalam tubuh dan mempengaruhi kesehatan seseorang. Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk melihat hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk (dosis) dengan respon berupa efek kesehatan (Soemirat, 2000). 23 2.4.4 Karakterisasi Risiko Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari ketiga langkah sebelumnya yaitu identifikasi bahaya, penilaian pajanan, dan penilaian dosis-respon sehingga dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap kondisi kesehatan. Dalam mengkarakterisasi risiko, diperlukan analisis dengan cara mengembangkan informasi yang didapat selama pajanan dan penilaian dosisrespon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan yang diharapkan terjadi pada populasi terpajan (CEPA, 2001). 2.4.4.1 Risiko Relatif (RR) Risiko relatif atau RR menghitung risiko menderita sakit (tidak normal) bagi mereka yang terpajan agen dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpajan. Cara menghitungnya adalah dengan membandingkan insidensi antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan. RR dinyatakan dengan menggunakan Persamaan 2.5 (Soemirat, 2005): a/(a+c) RR = (2.5) b/(b+d) dimana, a = jumlah orang terpajan dan menderita sakit (tidak normal) b = jumlah orang tidak terpajan dan menderita sakit (tidak normal) c = jumlah orang terpajan dan tidak menderita sakit (normal) d = jumlah orang tidak terpajan dan tidak menderita sakit (normal) 24