Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Debu
Debu (partikel) dalam udara dapat bersumber peristiwa alamiah ataupun kegiatan
manusia dalam mengembangkan teknologi, terutama di bidang industri. Partikel
yang mencemari udara terdiri atas berbagai macam tergantung pada jenis dan
kegiatan industri serta teknologi yang ada. Secara umum partikel yang mencemari
udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia sehingga dapat
sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar
oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan
atau pneumoconiosis (Olishifski dan McElroy, 1971).
Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan
dapat menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan. Reaksi itu berupa produksi
lendir secara berlebihan dan bila terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi
kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan
ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pneumoconiosis nonkolagen. Sedangkan
debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga terbentuk
jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini disebut pneumoconiosis kolagen. Termasuk
jenis ini adalah debu silika bebas (SiO2), batubara, dan asbes.
Debu yang masuk ke dalam saluran napas, menyebabkan timbulnya reaksi
mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport
mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi jika kadar
debu melebihi nilai ambang batas (Pudjiastuti, 2002).
2.1.1 Penyakit Akibat Debu
Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan berkumpul di bagian awal
saluran limfe paru-paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang
bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya
autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya
5
makrofag baru, sehingga makrofag tersebut memfagositosis silika bebas kemudian
terjadi autolisis kembali. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus
menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan
pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim
paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial (Yunus, 1997).
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya
partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Pneumoconiosis
terdiri atas beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau
terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa contoh pneumoconiosis antara lain:
a. Silicosis
Silicosis disebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke
dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di
pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi
(mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di
tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian
batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2.
Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama-sama
dengan partikel lainnya, seperti oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi
sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek apabila konsentrasi
silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak
sehingga gejala penyakit silicosis akan segera tampak. Silicosis ditandai dengan
sesak nafas yang disertai batuk tidak berdahak. Pada silicosis tingkat sedang,
perubahan struktur paru-paru mudah sekali terlihat dengan pemeriksaan foto
toraks. Silicosis tingkat berat ditandai dengan sesak nafas kemudian diikuti
dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan
kerja jantung. Dari semua pneumoconiosis, silicosis merupakan penyakit yang
terparah. Hal ini disebabkan silicosis bersifat progresif, artinya jika pajanan
dihentikan maka pneumoconiosis tetap akan berlanjut (Yunus, 1997).
6
b. Asbestosis
Asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat
asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam
silikat, namun yang paling utama adalah Magnesium Silikat. Asbes dapat
menyebabkan tumor pada pleura yang disebut mesotelioma. Mesotelioma bersifat
ganas, tidak dapat disembuhkan dan biasanya terjadi setelah pemaparan selama
30-40 tahun (Medicastore, 2004). Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan
industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap
asbes dan lain sebagainya.
c. Bissynosis
Bissynosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran
debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru.
Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas,
pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas. Dalam konsentrasi kecil
bissynosis adalah reversibel.
d. Anthracosis
Anthracosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu
karbon (anthracit). Anthracit bersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi
dengan paru-paru (Antaruddin, 2003). Penyakit ini biasanya dijumpai pada
pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak
melibatkan penggunaan batubara, seperti pemasok batubara pada tanur besi,
lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja
boiler pada pusat listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.
2.1.2 Silika
Silika adalah salah satu komponen alamiah penyusun batuan di bumi serta
merupakan komponen utama pasir dan granit. Silika merupakan senyawa kimia
silikon dioksida (SiO2) yang dapat ditemukan dalam bentuk kristalin atau nonkristalin (amorph). Kristalin silika terdiri atas banyak bentuk, namun bentuk yang
utama adalah quartz, cristobalite, dan tridymite sedangkan struktur amorph
7
ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silica, diatomaceous earth dan vitreous
silica (NIOSH, 2002).
Quartz dapat ditemukan dalam 2 sub-polymorph yaitu α-quartz dan β-quartz atau
low quartz dan high quartz. Berdasarkan kedua bentuk tersebut α-quartz yang
paling sering ditemukan, sedangkan β-quartz hanya ditemukan stabil pada
temperatur 570o C. Jika terjadi pendinginan β-quartz akan berubah menjadi α quartz. Pajanan quartz yang paling ekstrim dalam bentuk debu respirabel
dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting, dan proses pencampuran.
Aktivitas seperti penempaan, pemotongan, pencampuran, pengeboran logam dan
batuan selalu dihubungkan dengan paparan terhadap debu silika. Kandungan
quartz sangat bervariasi tergantung dari tipe batuan, sebagai contoh granite dapat
mengandung 10-40% quartz dan sand stones dapat kurang lebih 70% quartz.
Cristobalite dan tridymite ditemukan dalam batuan dan tanah yang dihasilkan dari
proses alam dan industri yang melakukan pemanasan terhadap silika amorph
dengan temperatur lebih dari 1000o C (NIOSH, 2002).
Kristalin silika dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi dan dapat
menyebabkan fibrosis paru-paru. Sampel udara dikumpulkan melalui alat yang
disebut personal sampling pump yang dipasang di zona pernapasan untuk
memastikan bahwa pajanan terhadap silika masih di bawah nilai ambang batas
(NAB). NAB silika sangat tergantung dari jumlah persentase silika bebas di udara.
NAB debu respirabel yang mengandung silika dinyatakan dalam millions of
particles per cubic foot of air atau dikenal dengan mppcf. Standar ini diterapkan
dalam industri konstruksi dengan metode sampling impinger sebagai alat
sampling. NAB dinyatakan dalam Persamaan 2.1 (Soemirat, 2006):
C (mppcf) =
250
5 + % Silika bebas dalam debu
(2.1)
Bagaimanapun penerapan impinger sebagai alat sampling dengan cara
menghitung partikel debu cukup rumit, sehingga pada umumnya berbagai industri
8
lebih memilih metode sampling gravimetrik (Graham, 2007). Metode sampling
secara gravimetrik dapat digunakan untuk berbagai industri termasuk industri
konstruksi. Berbagai penelitian telah dilakukan dan hasilnya menyatakan bahwa
rumus penghitungan NAB untuk kedua metode ini sebanding (Sheehy, 2006).
NAB atau PEL (Permissible Exposure Limit) silika untuk berbagai industri diukur
dalam satuan miligram per meter kubik (mg/m3) dinyatakan dengan Persamaan
2.2 (NIOSH, 2002).
Respirable PEL (mg/m3) =
10
2 + % SiO2
(2.2)
2.1.3 Analisis Debu Silika
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu
sampel yang mengandung silika. Namun demikian, yang paling banyak digunakan
adalah metode X-ray Diffraction Spectrometry (XRD), Infrared Spectrometry
(IR), dan Colorimetric Spectrofotometry. XRD dan IR merupakan teknik yang
paling sering digunakan mengalisis silika, namun akurasi teknik ini rendah,
terutama jika jumlah sampel yang sedikit (NIOSH, 2002).
2.1.3.1 X-ray Diffraction Spectrometry (XRD)
Sekitar 95% semua material padat didapatkan dalam struktur kristalin. Ketika Xray mengenai substansi kristalin, maka setiap kristalin tersebut akan memiliki pola
difraksi. Pada tahun 1919 A. W. Hull membuat paper berjudul " A New Method of
Chemical Analysis". Pada makalah ini dia menuliskan bahwa ".....setiap substansi
kristalin akan membentuk pola; substansi yang sama selalu memberikan pola
difraksi yang sama; dan di dalam campuran dari banyak substansi, setiap substansi
akan menghasilkan pola yang berbeda dengan substansi lainnya" (Scintag, 1999).
Ketika X-ray mengenai sebuah atom, elektron yang ada di sekitar atom mulai
bergetar sesuai dengan frekuensi sinar yang datang. Dalam hampir semua arah
akan didapatkan pencampuran tidak teratur yang merupakan gelombang campuran
keluar fase dan tidak ada energi resultan yang meninggalkan sampel padat. Atom
9
yang ada di dalam kristal diubah menjadi pola yang teratur, dan dalam beberapa
arah akan didapatkan pencampuran yang teratur. Gelombang tersebut akan berada
dalam fasenya sehingga dapat diartikan X-ray akan meninggalkan sampel ke arah
yang berbeda. Setelah itu sinar yang terdifraksi dapat dideskripsikan sebagai sinar
yang merupakan campuran dari sejumlah besar sinar yang terpisah dan saling
menguatkan satu sama lain (Scintag, 1999).
Pola difraksi X-ray dari suatu substansi memiliki ciri-ciri khusus sehingga dapat
diartikan sebagai "sidik jari" dari substansi tersebut. XRD biasa digunakan untuk
memisahkan struktur single crystal dan polycrystalline dalam suatu sampel padat
sehingga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi campuran material padat,
contohnya quartz (SiO2) dan asbes (Scintag, 1999).
XRD adalah suatu metode untuk mengetahui kandungan kristalin silika. XRD
mampu membedakan 3 bentuk utama senyawa kristalin silika (quartz,
cristobalite, dan tridymite) dan secara simultan dapat menganalisis struktur
polymorph dalam suatu sampel (NIOSH, 2002).
2.1.3.2 Infrared Spectrometry (IR)
Teknik lain yang digunakan dalam menganalisis kristalin silika adalah IRspectrometry (NIOSH, 2002). Walaupun metode ini tidak mampu untuk
membedakan macam-macam bentuk dari kristalin silika (Sheehy, 2006). Teknik
ini lebih murah dan cukup baik dalam mengukur kristalin silika. Teknik ini lebih
murah dibandingkan XRD dan cukup baik dalam mengukur quartz dalam suatu
sampel. Sampel yang mengandung silikat (seperti kaolinite) dan silika amorph
dapat menyebabkan gangguan dalam analisis.
2.1.3.3 Colorimetric Spectrofotometry
Teknik ini digunakan sebagai alternatif untuk mengetahui kandungan silika dalam
suatu sampel. Teknik ini merupakan teknik yang paling murah dibandingkan
dengan XRD dan IR. Metode colorimetric spectrofotometry tidak dapat
10
membedakan antara silika dan silikat, hal ini dikarenakan pengukuran hanya
berdasarkan kandungan silikon (NIOSH, 2002).
2.2 Sistem Pernapasan
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen
ke dalam tubuh serta mengh embuskan udara yang banyak mengandung CO2
sebagai sisa oksidasi ke luar tubuh. Secara garis besar sistem pernapasan terdiri
dari paru-paru dan susunan saluran yang menghubungkan paru-paru dengan yang
lainnya, yaitu hidung, faring, laring, trakea dan bronkus (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Sistem Pernapasan Manusia
2.2.1 Alat Pernapasan
Macam-macam alat pernapasan antara lain (BSW, 2000) :
a. Hidung
Hidung merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang
dipisahkan oleh septum nasal. Di dalamnya terdapat rambut-rambut untuk
menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis
11
inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk
menghangatkan udara.
b. Faring
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan. Faring terletak di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan
ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa
tempat terdapat folikel getah bening.
c. Laring
Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh
selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel
epitelium berlapis.
d. Trakea
Trakea merupakan saluran lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin
yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi
untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan.
e. Bronkus
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada
ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur serupa
dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar
dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 – 8 cincin dan mempunyai 3
cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang
bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus sedangkan pada ujung bronkus
terdapat gelembung paru yang disebut alveoli.
12
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari gelembunggelembung alveoli. Pada tempat ini terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2.
2.2.2 Volume Paru-Paru
Pertukaran gas akan berbeda pada keadaan atau kondisi kerja fisik yang berbeda,
maka pengembangan volume alveoli berbeda dikenal berbagai volume paru-paru.
Pengetahuan tentang berbagai volume paru-paru digunakan untuk evaluasi fungsi
paru-paru pada berbagai kondisi kesehatan (Setiadji et al., 1981). Volume paruparu dibagi menjadi beberapa macam antara lain (Gambar 2.2):
•
Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama
pernapasan normal. Volume tidal volume kurang lebih 500 ml.
•
Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan udara yang
dikeluarkan setelah tidal volume. Volume ERV kurang lebih 1000 ml.
•
Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat
diinspirasi secara penuh setelah tidal volume. Volume IRV kurang lebih
3000 ml.
•
Residual Volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di paru-paru
setelah ekspirasi maksimal. Udara di dalam paru-paru jumlahnya tidak
pernah kosong. Volume RV kurang lebih 1500 ml.
•
Vital Capacity (VC) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan oleh
seseorang setelah menghirup udara secara maksimal. Volumenya sekitar
4500 ml atau sama dengan penjumlahan antara ERV + TV + IRV.
•
Total Lung Capacity (TLC) adalah volume total udara yang dapat tertahan
di paru-paru. Nilainya kurang lebih 6000 ml atau setara dengan
penjumlahan RV + VC.
13
Gambar 2.2 Volume Udara Paru-paru (Ruppel, 2008)
2.2.3 Uji Fungsi Paru-Paru
Uji fungsi paru-paru atau dikenal sebagai pulmonary function tests (PFTs)
digunakan untuk mengevaluasi kinerja paru-paru. Uji ini digunakan untuk
mengetahui volume udara yang dapat tertahan di paru-paru, kecepatan udara pada
saat respirasi, serta mengukur kinerja paru-paru dalam menyerap O2 dan
mengeluarkan CO2 dalam darah. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui
kelainan paru-paru, mengukur tingkat keparahan penyakit paru-paru serta
mengukur efektifitas perawatan terhadap paru-paru yang rusak (Spirexpert, 2007).
Spirometri adalah salah satu teknik uji paru-paru. Teknik ini dapat mengukur
kecepatan dan volume udara pada saat respirasi dengan cara bernapas melalui
corong (mouthpiece) yang dihubungkan dengan alat yang disebut spirometer.
Spirometer adalah suatu alat untuk mengukur volume udara yang masuk dan
keluar paru-paru sehingga dapat digunakan untuk menilai fungsi paru-paru.
Informasi yang diperoleh dari spirometer dapat berupa grafik yang disebut
spirogram. Beberapa nilai fungsi paru-paru yang dapat diukur dengan spirometer
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1 Nilai Fungsi Paru-Paru yang dapat Diukur dengan
Spirometer (Dirgawati, 2007)
Singkatan
Nama
Deskripsi
FVC
Forced Vital
Capacity
Forced
FEV1.0
Expiratory
Volume in 1
Second
FVC adalah jumlah udara yang dapat
dihembuskan
setelah
inspirasi
penuh,
dinyatakan dalam liter.
adalah
FEV1.0
jumlah
udara
yang
dihembuskan selama 1 detik pertama,
dinyatakan dalam liter. FEV1.0 merupakan
salah
satu
indikator
penting
dalam
menentukan fungsi paru-paru.
FEV1.0 / FVC merupakan perbandingan
FEV1.0 /
FVC
FEV1%
antara FEV1.0 dengan FVC. Pada orang
dewasa sehat nilai ini berkisar antara 7580%.
PEF
FEF 2575% atau
25-50%
FIF 25-75%
atau 2550%
FET
Peak Expiratory
Flow
Forced
Expiratory Flow
25-75% atau 2550%
Forced
PEF merupakan kecepatan aliran udara
paru-paru
saat
mulai
ekspirasi,
dinyatakan dalam liter per detik.
FEF 25-75% atau 25-50% merupakan nilai
rata-rata kecepatan aliran udara yang keluar
dari paru-paru selama pertengahan ekspirasi
(kadang-kadang disebut sebagai MMEF,
atau maximal mid-expiratory flow).
FIF 25-75% atau 25-50% memiliki arti
Inspiratory Flow sama dengan FEF 25-75% atau 25-50%
25%-75% atau
25%-50%
Forced
Expiratory Time
namun
Tidal Volume
pengukuran
dilakukan
selama
inspirasi.
FET mengukur lamanya ekspirasi dalam
satuan detik.
TV
TV
pada
menyatakan
volume
udara
yang
diinspirasi dan diekspirasikan pada saat
respirasi secara normal.
15
Tabel 2.1 (lanjutan)
Singkatan
MVV
Nama
Deskripsi
Maximum
MVV merupakan jumlah udara maksimal
Voluntary
yang dapat diinspirasi dan di ekspirasi
Ventilation
dalam 1 menit, dinyatakan dalam liter /
menit.
2.2.3.1 Metode Pemilihan Uji Fungsi Paru-Paru
Terdapat kriteria untuk memilih jenis tes untuk uji faal paru-paru, yaitu sebagai
berikut (Pringadi, 1992):
a. Acceptability
Jenis tes sebaiknya mudah diterima, aman, dan tidak memerlukan
penjelasan yang rumit kepada subjek yang diteliti.
b. Objectivity
Sedapat mungkin jenis tes tidak dipengaruhi oleh usaha subjek.
c. Discrimination
Memiliki kepekaan yang tinggi serta mudah membedakan antara subjek
normal dan bukan normal.
d. Repeatability
Hasil tes sebaiknya memperlihatkan variasi yang kecil antara beberapa kali
pengukuran pada subjek yang sama.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa FEV1.0 merupakan volume yang
dihembuskan selama 1 detik pertama (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Volume yang Dihembuskan Selama 1 Detik
Pertama (Spirexpert, 2007)
16
Dalam penelitian ini digunakan FEV1.0 sebagai parameter fungsi paru-paru karena
parameter ini tidak terpengaruh oleh usaha seseorang dan relatif tidak dipengaruhi
oleh posisi tubuh pada saat pengukuran (Tabel 2.2). Selain itu FEV1.0 merupakan
pemeriksaan yang sederhana, akurat, dan paling sering dilakukan (Yunus, 1993).
Tabel 2.2. Uji Fungsi Paru-Paru dan Kriteria yang
Dipenuhinya (Pringadi, 1992)
UJI FUNGSI
Kriteria
Komentar
PARU-PARU
a
b
c
d
Secara praktis diganti
Maximum
+
++
dengan FEV1.0
Voluntary
Volume
Tidak tergantung usaha
Forced
seseorang, sangat baik
Expiratory
++
++
++
++
untuk pemeriksaan
Volume One
rutin.
Second (FEV1.0)
Pengukuran lebih
mendekati atau sama
Forced Vital
dengan volume paruCapacity
paru vital daripada
kapasitas ventilasi.
Digunakan untuk
membedakan jenis
penyakit paru-paru
FEV% atau
(restriktif atau
(FEV1.0/FVC)
obstruktif), daripada
x100%
digunakan untuk
mengukur kapasitas
ventilasi.
Forced
+
Expiratory Flow
(FEF)
Baik untuk penyakit
Peak Expiratory
+
+
obstruktif bagian atas
Flow (PEV)
Penilaian : (-) : Buruk
(+) : Sedang
(++) : Baik
Kriteria :
a. Acceptability
b. Objectivity
c. Discrimination
d. Repeatability
2.2.3.2 Pengukuran FEV1.0 dengan Spirometer
Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume udara (FEV1.0) pada suhu dan tekanan
udara di ruang pemeriksaan atau pada keadaan Ambient Temperature, Pressure,
Saturated (ATPS). Nilai tersebut perlu dikonversi ke Body Temperature,
17
Pressured, Saturated (BTPS) karena ingin diketahui volume udara pada
temperatur (T) dan tekanan udara (P) dalam tubuh. Hubungan antara faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut (Spirexpert, 2007):
V = nRT / P
(2.3)
dimana:
n
R
T
P
V
= Jumlah molekul
= Konstanta gas ideal
= Suhu (oKelvin)
= Tekanan (mmHg)
= Volume (liter)
Udara ekspirasi terdiri atas gas CO2 dan uap air. Campuran uap air dan gas pada
keadaan jenuh akan bervariasi sesuai dengan temperatur dan tekanan (Spirexpert,
2007), maka pada spirometri, volume gas yang didapat adalah volume pada T dan
P ruangan, perlu dicatat juga temperatur tubuh, dan tekanan barometrik pada saat
pengukuran. Hal ini sesuai dengan persamaan yang digunakan untuk
mengkonversi nilai ATPS ke dalam BTPS (Dirgawati, 2007), yaitu:
P1V1
T1
=
P2V2
(2.4)
T2
dimana,
(1) = Kondisi ATPS
P1 = Tekanan barometrik
- Tekanan uap air pada temperatur ambien (mmHg)
(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)
V1 = Volume gas yang tercatat pada spirometer (L)
T1 = Temperatur ruangan saat pengukuran (oK)
(2) = Kondisi BTPS
P2 = Tekanan barometrik
- Tekanan uap air pada temperatur tubuh (mmHg)
(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)
V2 = Volume gas pada kondisi BTPS (L)
T2 = Temperatur tubuh (oK)
18
Tabel 2.3 Tekanan Uap Air pada Berbagai Temperatur (Lawrence, 1987)
Temperatur
Tekanan Uap
Temperatur
Tekanan Uap
(oC)
Air (mmHg)
(oC)
Air (mmHg)
20
17,54
31
33,70
21
18,65
32
35,66
22
19,63
33
37,73
23
21,07
34
39,90
24
22,38
35
42,18
25
23,76
36
44,56
26
25,21
37
47,07
27
26,74
38
49,69
28
28,35
39
52,44
29
30,04
40
55,32
30
31,82
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengukuran spirometer,
antara lain (Pringadi, 1992):
1. Usia
Setelah seseorang berusia lebih dari 12 tahun, terjadi peningkatan pada
pengukuran spirometer yang berkorelasi dengan usia dan tinggi, hingga
usia 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada pria. Setelah seseorang
melebihi usia tersebut maka akan terjadi penurunan hasil pengukuran
spirometer seiring dengan pertambahan usia.
2. Tinggi Badan
Semakin tinggi tubuh seseorang maka nilai hasil pengukuran spirometer
akan semakin tinggi.
3. Berat badan
Hasil spirometer menunjukkan korelasi positif dengan berat badan.
4. Posisi tubuh
Posisi tubuh pada saat melakukan spirometri akan mempengaruhi hasil
pengukuran. Pengukuran yang dilakukan dengan posisi berdiri akan
berbeda dengan posisi duduk atau terlentang.
19
5. Kekuatan Otot
Kekuatan otot merupakan faktor penting setelah tinggi badan, baik pada
laki-laki maupun wanita.
6. Ras
Orang berkulit hitam dari Afrika memiliki volume paru-paru yang lebih
rendah dibandingkan orang berkulit putih dari Eropa. Orang India,
Pakistan, Asia, Kepulauan Pasifik dan Indian dari Amerika Utara pada
umumnya berada di antara orang kulit hitam dan kulit putih.
7. Jenis kelamin.
Wanita memiliki nilai spirometri yang lebih rendah dibandingkan dengan
pria. Pada wanita FEV1.0 dan FVC menurun lebih awal (20 tahun)
dibandingkan dengan pria yang mulai menurun pada usia 25 tahun.
Perbedaan ini ada hubungannya dengan perbedaan keadaan fisiologis dan
anatomis.
8. Tempat
Ketinggian tempat pada saat pengukuran dapat mempengaruhi hasil
pengukuran dengan spirometer. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
tekanan udara antara dataran tinggi dengan dataran rendah.
9. Merokok
Kebiasaan merokok akan menurunkan FEV1.0 seseorang (Antaruddin,
2003).
2.3 Mekanisme Masuknya Debu ke dalam Paru-Paru
Debu yang terdapat di dalam lingkungan kerja terbagi dua yaitu deposit
particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara,
partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. Suspended particulate
matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.
Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai 10 mikron. Debu yang
berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada
saluran napas bagian atas, sedangkan yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan
dan tertimbun pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron
disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan
20
tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya
kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli karena mudah keluar
masuk alveoli mengikuti gerak Brown (Yunus, 1997). Debu yang berukuran lebih
dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel
per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1000 partikel per milimeter kubik
udara, maka 10% dari jumlah itu akan ditimbun dalam paru-paru (Yunus, 1997).
Deposisi partikulat di dalam sistem pernapasan dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Deposisi Partikel Debu dalam Berbagai Ukuran pada
Sistem Pernapasan (American Lung Association, 2007)
Menurut (Dirgawati, 2007), terdapat 3 faktor yang mempengaruhi masuknya debu
ke dalam paru-paru, yaitu:
1. Pengaruh Inersia Debu Sendiri
Inersia dari debu akan menimbulkan kelembaban bagi debu itu sendiri, di
mana sewaktu bergerak akan melalui belokan-belokan dan akan terdorong
oleh aliran udara masuk (impinged) ke dalam paru-paru.
2. Pengaruh Sedimentasi
Pengaruh sedimentasi terutama terjadi pada bronkus dan bronkiolus,
karena di tempat tersebut kecepatan udara sangat berkurang, kira-kira
21
hanya 1 cm/detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel
debu dan mengendapkannya.
3. Gerak Brown
Gerak Brown berpengaruh pada debu yang berukuran kurang dari 1
mikron. Partikel tersebut sampai di permukaan alveoli melalui gerakan
udara.
2.4 Analisis Risiko Kesehatan
Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan prediksi apa
yang akan terjadi akibat adanya pajanan atau pencemaran, terhadap zat berbahaya
di masa yang akan datang. Metode ini digunakan untuk menilai faktor bahaya
yang paling berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan terhadap menurunnya tingkat kesehatan seseorang akibat
faktor bahaya tersebut. Analisis risiko kesehatan terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
Identifikasi Bahaya, Evaluasi Pajanan, Evaluasi Dosis-Respon dan Karakterisasi
Risiko (Gambar 2.5):
Identifikasi Bahaya
Evaluasi Pajanan
Evaluasi Dosis-Respon
Karakterisasi Risiko
Kebijakan Perbaikan
Gambar 2.5 Tahapan dalam Analisis Risiko Kesehatan (Soemirat, 2000)
2.4.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah
kesehatan yang dapat terjadi akibat adanya suatu bahan dengan cara mempelajari
efeknya terhadap manusia ataupun hewan percobaan. Salah satu langkah penting
22
dalam identifikasi bahaya adalah memilih metode yang tepat sehingga
mendapatkan data akurat mengenai faktor bahaya yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia (CEPA, 2001). Data penelitian terhadap manusia merupakan
data yang sangat baik dalam mengevaluasi risiko kesehatan manusia yang
dikaitkan dengan pajanan terhadap suatu zat.
Salah satu kelemahan dalam melakukan penelitian di tempat kerja adalah
pengukuran hanya dilakukan terhadap pekerja dewasa sehingga populasi sensitif
seperti anak-anak dan manula tidak terukur. Analisis risiko kesehatan terhadap
pekerja dewasa seringkali mendapatkan hambatan berupa ketidakpastian data
seperti jumlah dan durasi pajanan, pola hidup meliputi kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi alkohol. Untuk menghindari ketidakpastian tersebut, maka
sebelum mengidentifikasi bahaya, dilakukan pemilihan terhadap responden yang
memiliki karakteristik yang serupa.
2.4.2 Evaluasi Pajanan
Evaluasi pajanan adalah proses untuk memperoleh frekuensi, durasi dan pola
pajanan suatu zat terhadap manusia. Dalam menganalisis risiko kesehatan,
diperlukan asumsi untuk memperkirakan pajanan suatu bahan kimia terhadap
tubuh. Contohnya dalam menganalisa efek polusi udara terhadap kesehatan,
diperlukan asumsi berapa lama seseorang menghabiskan waktu di luar ruangan
sehingga mereka terpajan polutan atau berapa lama mereka menghabiskan waktu
di tempat dengan kadar polutan yang tinggi.
2.4.3 Evaluasi Dosis-Respon
Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh
selama identifikasi bahaya sehingga dapat diperkirakan jumlah zat yang masuk ke
dalam tubuh dan mempengaruhi kesehatan seseorang. Evaluasi dosis-respon
dilakukan untuk melihat hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk
(dosis) dengan respon berupa efek kesehatan (Soemirat, 2000).
23
2.4.4 Karakterisasi Risiko
Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari ketiga
langkah sebelumnya yaitu identifikasi bahaya, penilaian pajanan, dan penilaian
dosis-respon sehingga dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap kondisi
kesehatan. Dalam mengkarakterisasi risiko, diperlukan analisis dengan cara
mengembangkan informasi yang didapat selama pajanan dan penilaian dosisrespon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan yang diharapkan terjadi pada
populasi terpajan (CEPA, 2001).
2.4.4.1 Risiko Relatif (RR)
Risiko relatif atau RR menghitung risiko menderita sakit (tidak normal) bagi
mereka yang terpajan agen dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpajan.
Cara menghitungnya adalah dengan membandingkan insidensi antara kelompok
terpajan dengan kelompok tidak terpajan. RR dinyatakan dengan menggunakan
Persamaan 2.5 (Soemirat, 2005):
a/(a+c)
RR =
(2.5)
b/(b+d)
dimana,
a = jumlah orang terpajan dan menderita sakit (tidak normal)
b = jumlah orang tidak terpajan dan menderita sakit (tidak normal)
c = jumlah orang terpajan dan tidak menderita sakit (normal)
d = jumlah orang tidak terpajan dan tidak menderita sakit (normal)
24
Download