PENILAIAN AKSES TERHADAP KEADILAN UNTUK INDONESIA PROPINSI SULAWESI SELATAN Januari 2012 ©American Bar Association Pernyataan-pernyataan dan analisa yang terkandung di dalam publikasi ini semata-mata merupakan milik penulis dan belum mendapat persetujuan dari Dewan Pembuat Kebijakan (House of Delegates) atau Dewan Gubernur (Board of Governors) American Bar Association (ABA) dan tidak mewakili pandangan atau kebijakan American Bar Association. Dengan demikian, tidak ada sesuatu hal pun dalam laporan ini yang dapat dipandang sebagai nasihat hukum untuk kasus-kasus tertentu. Laporan ini dimungkinkan berkat dukungan yang luar biasa dari United States Agency for International Development (USAID). Penulis bertanggung jawab sepenuhnya atas isi dari laporan ini dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat. ISBN: 978-1-61438-401-4 (paperback) ISBN: 978-1-61438-403-8 (PDF) Dicetak di Amerika Serikat Hak Cipta © 2012 by the American Bar Association 740 15th Street, NW, Washington, DC 20005 ABA dengan ini memberikan izin untuk memperbanyak materi yang terkandung di dalam laporan ini, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, untuk kepentingan kegiatan belajar mengajar di ruang kelas pada institusi pendidikan tinggi atau untuk digunakan oleh lembaga-lembaga nirlaba, dengan ketentuan bahwa penggunaan tersebut semata-mata hanya untuk tujuan-tujuan penyebarluasan informasi dan bukan-komersial dan setiap salinan materi atau bagian dari materi tersebut harus menyebutkan publikasi asli oleh ABA, termasuk judul publikasi, nama penulis, serta tulisan “Dicetak ulang atas izin American Bar Association. Seluruh Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.” DAFTAR ISI Pendahuluan ............................................................................................................................................. i Ringkasan Eksekutif ................................................................................................................................... 1 Kata Pengantar ............................................................................................................................................ 6 Latar Belakang Negara Indonesia ............................................................................................................. 8 Penduduk Utama dan Masalah-masalah Keadilan ................................................................................ 13 Indonesia: Unsur-unsur Akses Terhadap Keadilan ....................................................................... 16 Unsur I. Kerangka Hukum ............................................................................................................. 16 Unsur II. Pengetahuan Hukum ...................................................................................................... 25 Unsur III. Nasihat dan Perwakilan .................................................................................................. 29 Unsur IV. Akses Terhadap Institusi Peradilan .............................................................................. 35 Unsur V. Prosedur yang Adil ......................................................................................................... 40 Unsur VI. Putusan yang Dapat Dilaksanakan ............................................................................... 44 Daftar Singkatan ........................................................................................................................................ 46 Pendahuluan Akses terhadap keadilan adalah kemampuan masyarakat untuk mencari dan memperoleh upayaupaya perbaikan melalui institusi-institusi hukum formal dan informal, dan sesuai dengan standarstandar hak asasi manusia internasional. ABA Rule of Law Initiative (ABA ROLI) mengakui pentingnya akses terhadap keadilan bagi masyarakat dan individu, khususnya masyarakat miskin dan terpinggirkan. Alat Penilaian Akses terhadap Keadilan (Access to Justice Assessment Tool (AJAT)) merupakan metodologi penelitian yang dikembangkan oleh ABA ROLI untuk menilai sejauhmana masyarakat dan individu mampu menggunakan institusi peradilan untuk menyelesaikan masalahmasalah keadilan umum. Mengingat bahwa AJAT dirancang untuk digunakan oleh lembaga-lembaga masyarakat sipil, AJAT memiliki dua tujuan, yakni: menghasilkan bukti yang dapat dipercaya dan obyektif mengenai masalah-masalah keadilan masyarakat dan membangun kapasitas lokal untuk melakukan penelitian yang berkualitas yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk memperkuat dirinya sendiri. AJAT membagi akses terhadap keadilan menjadi beberapa komponen, Unsur-unsur Akses terhadap Keadilan, dimana masing-masing unsur mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk menggunakan institusi-institusi peradilan untuk menyelesaikan masalah-masalah keadilan yang mereka hadapi. Sebuah penilaian mempertimbangkan apakah setiap unsur ada, mengevaluasi baik sistem peradilan formal – institusi-institusi yang didirikan oleh negara untuk memberlakukan dan melaksanakan ketentuan hukum – dan sistem peradilan informal yang – institusi-institusi yang, walaupun tidak direstui oleh negara, berperan dalam penyelesaian masalah-masalah keadilan. Metodologi Laporan ini merupakan hasil kemitraan antara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan ABA ROLI. YLBHM melakukan sebagian besar penelitian dalam laporan ini, dengan menggunakan rencana penelitian yang didasarkan pada AJAT dan dikembangkan dalam kelompokkelompok kerja dengan ABA ROLI. YLBHM selanjutnya menganalisa data yang telah dikumpulkan dan menyusun laporan ini, dengan ABA ROLI yang memberikan berbagai saran, rekomendasi dan perbaikan. Laporan akhir ditinjau kembali oleh para pakar dan pemangku kepentingan utama di Indonesia, dan setelah penyuntingan akhir, laporan ini diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Temuan-temuan dalam laporan ini didasarkan pada metodologi-metodologi penelitian kualitatif, dan dimaksudkan untuk menyajikan sebuah analisa yang informatif mengenai akses terhadap keadilan di Propinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Data untuk laporan ini diperoleh dan dikumpulkan melalui wawancara-wawancara semi-terstruktur dan diskusi-diskusi kelompok terfokus. Sebagian besar wawancara dan diskusi kelompok terfokus dilaksanakan antara Agustus 2010 dan Oktober 2011, meskipun penelitian lebih lanjut dilakukan sepanjang tahun 2011 dan Januari 2012. Penelitian dilakukan di tiga lokasi di Propinsi Sulawesi Selatan: Kota Makassar, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Gowa. Sekitar 150 orang diwawancarai, termasuk masyarakat, hakim, pengacara swasta dan pengacara bantuan hukum, paralegal, pejabat penegak hukum, wakil masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh masyarakat serta aktivis. Rekaman individu-individu yang diwawancara, yang nama-namanya dijaga kerahasiaannya dan yang waktu serta bantuannya sangat dihargai, disimpan sebagai arsip oleh YLBHM dan ABA ROLI. Sebelum dan selama proses penilaian, peninjauan terhadap peraturan perundang-undangan utama dan sumber-sumber sekunder juga dilakukan. Penggunaan metodologi kualitatif memiliki beberapa keterbatasan. Syarat sampel yang berukuran kecil lebih mungkin untuk menghasilkan informasi mengenai pengalaman dan persepsi individu ketimbang temuan-temuan yang dapat digeneralisasi mengenai dampak-dampak kelembagaan. Tim peneliti sangat mempercayai bahwa penggunaan metode-metode penelitian gabungan akan membantu mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai akses terhadap keadilan. i Ucapan Terima Kasih Direktur Eksekutif YLBHM, Adnan Buyung Azis, memimpin kerja YLBHM untuk laporan ini. YLBHM menghimpun satu tim yang terdiri dari pengacara dan akademisi untuk melaksanakan penelitian untuk laporan ini. Para anggota tim meliputi Mursalim Djalil, Sekretaris YLBHM; Ahmad Riantoro, Divisi Penduduk Kota Miskin, YLBHM; Sirul Haq, Divisi Pengembangan Penelitian dan Masyarakat, YLBHM; Rosminati Sain, Ketua Solidaritas Perempuan Angin Mamiri; Muh. Ramli, Kopel Sulawesi: M. Fadli A. Natsir, Akademisi; Siti Aisyah dan Arman, YLBHM. Penasehat Akses terhadap Keadilan ABA ROLI, Jennifer Tsai memimpin pengembangan AJAT dengan bantuan dari Analis Hukum, Jim Wormington. Sebuah Kelompok Kerja Pakar memberikan saran dan masukan kritis atas naskah metodologi. Para anggota Kelompok Kerja Pakar meliputi Persida Rueda Acosta, Jaksa Agung, Kejaksaan Agung Filipina; Juan Calos Botero, Direktur Eksekutif Interim dan Direktur Rule of Law Index pada World Justice Project; Stephen Goluf, pakar pemberdayaan hukum dan profesor hukum; Martin Gramatikov, dosen di Universitas Tilburg dan anggota Measuring Access to Justice Project; Simeon Koroma, Direktur Eksekutif Program Paralegal Sierra Leone, Timap for Justice: Zaza Namoradze, Direktur Kantor Open Society Justice Initiative di Budapest; dan Annete Pearson, konsultan dan pakar pembangunan internasional di National Community Justice Houses Kolombia. ABA ROLI mengucapkan terima kasih kepada individu-individu tersebut di atas atas kontribusi mereka yang tak ternilai untuk pengembangan AJAT. Penasehat Akses terhadap Keadilan ABA ROLI, Jennifer Tsai, bekerja sama dengan YLBHM dalam pelaksanaan AJAT, dengan dukungan dari Analis Hukum, Jim Wormington, Program Manager, Betty Yolanda, dan Senior Program Officer, Catherine Scott. Ringkasan Eksekutif Akses terhadap keadilan mensyaratkan bahwa semua masyarakat mampu menggunakan institusiinstitusi peradilan untuk menyelesaikan masalah-masalah keadilan yang umum. Kecuali masyarakat memiliki akses terhadap keadilan, maka hak-hak dan kewajiban yang termuat dalam Konstitusi dan undang-undang menjadi sia-sia, dan gagal memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok rentan. Agar akses terhadap keadilan hadir di tengah masyarakat, sistem-sistem peradilan dan pelayanan-pelayanan hukum harus berfungsi secara efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok rentan yang dimaksudkan untuk memperoleh kedua hal tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah membuat langkah-langkah yang signifikan menuju demokrasi yang lebih besar dan perlindungan hak asasi manusia. The Freedom House Index (FHI) menggolongkan Indonesia sebagai satu-satunya anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang merupakan negara bebas. Dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkembangan paling cepat dalam Kelompok Dua Puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (G20), dan dapat bergabung dengan Brazil, Rusia, India dan Cina – perekonomian BRIC – sebagai pusat kekuatan pasar yang berikutnya. Sekitar 35 juta penduduknya dari total 240 juta saat ini digolongkan ke dalam kelas menengah. Undang-Undang Pengadaan Tanah yang telah lama dinantikan, yang disahkan pada 16 Desember 2011, memudahkan Indonesia untuk mempercepat proyek-proyek pembangunan jalan, pelabuhan dan bandara, dan dapat menjadi titik balik yang besar dalam upaya negara untuk memicu ledakan ekonomi. Meskipun dengan kekuatan perkembangan ekonomi, politik dan hak asasi manusia, sebagian besar penduduk Indonesia berisiko mengalami peningkatan marjinalisasi. Sekitar 100 juta penduduk Indonesia tetap berada dalam garis kemiskinan, dengan penghasilan per hari sebesar Rp 19.000,(setara dengan US$2) atau kurang. Banyak orang miskin akan menghadapi kekalahan dalam perjuangan kekuatan ekonomi dan politik yang mendasari banyak reformasi, termasuk undangundang pengadaan tanah yang baru. Lebih lanjut, terdapat banyak masalah yang terkait dengan keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan, khususnya kemampuan mereka untuk mengakses sistem peradilan yang lebih baik. Tujuan dari laporan ini adalah untuk memberikan gambaran yang komprehensif mengenai situasi akses terhadap keadilan di Propinsi Sulawesi Selatan, Indonesia, yang berfokus pada kebutuhan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan terlibat dalam perselisihan pertanahan akan keadilan yang utama. Laporan ini membahas hambatan-hambatan utama dalam mengakses keadilan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalah keadilan mereka. Berkenaan dengan hal tersebut, laporan ini membagi akses terhadap keadilan menjadi beberapa komponen, Unsurunsur Akses terhadap Keadilan, sebagaimana dibahas di bawah, dan mempertimbangkan sejauhmana setiap unsur hadir. Unsur-unsur Akses terhadap Keadilan 1. Kerangka Hukum: Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban warga negara dan menyediakan bagi mereka mekanisme-mekanisme untuk menyelesaikan masalah-masalah keadilan mereka. Pemerintah Indonesia telah mengesahkan ratusan ribu undang-undang dan peraturan. Terdapat sejumlah besar undang-undang dalam buku-buku. Berkenaan dengan hak atas tanah dan kepemilikan lahan, Indonesia memiliki kerangka hukum yang komprehensif yang menetapkan hak dan kewajiban warga negara. Meskipun peraturan perundang-undangan ini, khususnya UndangUndang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA), dimaksudkan untuk menjawab ketidakpastian hukum dan menciptakan reformasi positif, Undang-Undang tersebut malah menyebabkan banyak persoalan. Seperti halnya undang-undang lain di Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria hanya menetapkan prinsip-prinsip yang substantif dan membiarkan masalah-masalah khusus yang terkait dengan pelaksanaannya untuk disempurnakan di dalam peraturan-peraturan pelaksana administrasi. Dengan demikian, hal ini mengakibatkan buruknya implementasi undang-undang tersebut; undang-undang yang terlalu rumit dan sulit untuk diterapkan. Peraturan-peraturan pelaksana UUPA yang saat ini berlaku gagal untuk menguraikan, dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum adat. 1 Berkenaan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ketiadaan undang-undang tentang pengadaan tanah telah menghentikan perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Aturan-aturan yang tidak jelas telah menyebabkan terjadinya sengketa tanah yang memerlukan waktu penyelesaian bertahun-tahun. Pada 16 Desember 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia mengeluarkan sebuah undang-undang baru tentang Pengadaan Tanah yang bertujuan untuk memfasilitasi lebih banyak pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk memperluas dan meningkatkan infrastruktur negara dalam rangka memenuhi persyaratan konektivitas dari komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Undang-Undang tersebut menetapkan batasan waktu yang jelas, mekanisme penilaian harga yang independen, dan prosedur banding untuk pengadaan tanah untuk proyek-proyek infrastruktur yang dipersiapkan oleh pemerintah. Ketentuanketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk mengurangi konflikkonflik pengadaan tanah. Meskipun telah disahkan, undang-undang tersebut memerlukan waktu untuk dapat dilaksanakan sepenuhnya. Kerangka hukum tersebut cukup memadai bagi warga negara yang berusaha menuntut hak-hak mereka dalam sistem peradilan formal. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Perdata menetapkan prosedur dan hak-hak warga negara pada tahap proses persidangan yang berbeda dalam sengketa pertanahan. Sistem peradilan informal melibatkan metode-metode alternatif penyelesaian sengketa di luar sistem peradilan formal yang menggabungkan negosiasi dan mediasi, biasanya di tingkat kecamatan atau tingkat desa. 2. Pengetahuan Hukum: Masyarakat mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka dan mekanisme-mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka. Penilaian menemukan bahwa pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai hak-hak khusus yang dilindungi atau ditetapkan oleh undang-undang pertanahan Indonesia masih rendah. Namun, penilaian menunjukkan bahwa masyarakat mengambil tindakan yang menggambarkan kesadaran umum bahwa mereka telah dirugikan. Meskipun masyarakat sering mengambil inisiatif untuk mengajukan keluhan ke badan negara yang relevan atau otoritas adat, mereka sering tidak tahu langkah-langkah tambahan apa yang harus diambil jika mereka tidak mendapatkan respon atas keluhan mereka. Berkenaan dengan pengetahuan mengenai berbagai pilihan yang tersedia bagi mereka untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka, masyarakat tidak cukup mengetahui hal tersebut. Mereka tidak mengetahui adanya jasa pengacara atau bantuan hukum, kecuali apabila mereka mengetahui hal tersebut melalui anggota keluarga atau komunitas mereka. Setelah disahkan, peraturan perundang-undangan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara. Namun demikian, sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses terhadap dua publikasi ini. Kendala utama yang mencegah masyarakat untuk memperoleh pengetahuan hukum adalah kurangnya sosialisasi hukum oleh negara, terlepas dari adanya kewajiban berdasarkan undang-undang untuk mempromosikan pengetahuan hukum. Selama beberapa tahun terakhir, negara telah melakukan beberapa upaya untuk menyebarluaskan informasi hukum dengan mengembangkan situs web dari berbagai departemen pemerintah yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses undang-undang dan peraturan yang dapat diunduh. Sayangnya, efektivitas program diseminasi hukum melalui internet masih terhambat oleh rendahnya densitas telepon di Indonesia dan sedikitnya masyarakat yang memiliki akses telepon. Dalam banyak kasus, masyarakat masih perlu mengunjungi departemen-departemen pemerintah terkait untuk meminta bantuan dalam memperoleh materi-materi hukum. Namun demikian, akses terhadap departemen-departemen pemerintah secara geografis masih terbatas pada ibukota sehingga hampir tidak mungkin bagi lebih dari 200 juta warga yang tinggal di luar ibukota untuk mengakses informasi hukum. Kurangnya upaya pemerintah telah mendorong masyarakat sipil yang dinamis untuk masuk guna meningkatkan pengetahuan tentang hak-hak warga negara. 2 3. Nasihat dan Perwakilan Hukum: Masyarakat dapat mengakses nasihat dan perwakilan hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka. Nasihat dan perwakilan hukum harus menjangkau bahkan populasi yang paling terpinggirkan di daerah pedesaan. Tidak banyak masyarakat yang menganggap pengacara atau advokat sebagai sebuah pilihan yang mungkin oleh karena biaya yang dipersepsikan dan aktual untuk menyewa seorang pengacara atau advokat. Juga terdapat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengacara atau advokat. Pengacara atau advokat diatur dalam Undang-undang Advokat Indonesia yang menegaskan kewajiban pengacara atau advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma (pro bono) bagi fakir miskin. Tahun lalu, asosiasi pengacara nasional, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), mengeluarkan panduan baru yang menyediakan bantuan hukum cuma-cuma. Meskipun katalog ketentuan tentang bantuan hukum sangat mengesankan, kenyataannya tidak demikian. Pengacara atau advokat jarang memberikan layanan hukum cuma-cuma, kendati itu merupakan kewajiban mereka di bawah undang-undang, yang pada kenyataannya tidak dilaksanakan. Lebih lanjut, jumlah pengacara atau advokat yang diperlukan guna memenuhi permintaan mereka yang membutuhkan bantuan hukum sangat sedikit. Di Sulawesi, dengan jumlah penduduk lebih dari 17 juta jiwa, hanya terdapat sekitar 2.000 pengacara, dimana sebagian besar berada di tiga kota besar yang berpenduduk padat. Terdapat sekitar 1.000 pengacara di tingkat Propinsi di Sulawesi Selatan untuk kurang lebih 8 juta penduduk. Kebanyakan dari mereka bekerja di Makassar. Saat ini, tidak terdapat bantuan hukum yang disponsori oleh negara. Organisasi masyarakat sipil menyediakan bantuan hukum melalui pengacara atau advokat dan paralegal, namun layanan mereka terbatas dalam ruang lingkup, kekurangan dana dan tidak diketahui oleh mereka yang membutuhkan jasa bantuan hukum. Paralegal mengisi kesenjangan dalam penyediaan jasa layanan hukum sampai pada taraf tertentu, namun mereka tidak diatur dalam undang-undang dan tidak memiliki definisi dan status hukum. Akibatnya, sebagian besar masyarakat tetap hadir di pengadilan tanpa didampingi oleh pengacara atau penasihat hukum. Pada 4 Oktober 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan sebuah undang-undang baru tentang bantuan hukum, Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang mengamanatkan bahwa penasihat hukum akan tersedia bagi warga miskin yang terlibat dalam masalah-masalah perdata, pidana, administrasi prosedural, dan non-litigasi, dan menetapkan standar bahwa penyedia bantuan hukum harus memenuhi persyaratan untuk dapat menerima dana negara. Undang-Undang juga memberikan kesempatan yang lebih besar bagi paralegal dalam memberikan layanan bantuan hukum. Namun, dampak dari undang-undang baru tersebut masih harus dipantau, karena pemerintah membutuhkan waktu untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut. 4. Akses terhadap institusi peradilan: Institusi-institusi peradilan ada, baik formal atau informal yang terjangkau dan dapat diakses, dan memproses kasus tepat waktu. Oleh karena sebagian besar sengketa tanah tidak diselesaikan secara efektif melalui sarana informal, warga negara terpaksa menggunakan sistem peradilan formal untuk menuntut haknya atau menyelesaikan sengketa tanah. Mereka umumnya kecewa dengan pengalaman mereka pergi ke pengadilan dan menyebutkan bahwa biaya dan lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus mereka merupakan hambatan utama untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan. Selain biaya-biaya tidak resmi, termasuk biaya perjalanan, biaya-biaya resmi yang dikenakan kepada masyarakat yang mengajukan gugatan hukum merupakan penghambat untuk mengakses institusi peradilan. Masyarakat umumnya tidak memiliki dana untuk membayar biaya-biaya yang diwajibkan untuk penanganan suatu kasus. Keterbatasan yang paling umum adalah bahwa masyarakat tidak pernah tahu persis berapa banyak biaya yang harus mereka keluarkan secara nyata selama proses persidangan. Lebih lanjut, sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri harus menyelesaikan dan memutuskan suatu kasus perdata dalam jangka waktu enam bulan. Apabila sebuah kasus tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu enam bulan, maka Ketua Pengadilan Negeri harus memberikan alasan kepada Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Meskipun peraturan mengatakan demikian, jangka waktu terhitung dari dimulainya proses hukum di tingkat Pengadilan Negeri sampai pada putusan jarang kurang dari enam bulan dan dapat berlangsung selama satu tahun atau bahkan lebih. Sistem peradilan informal di Sulawesi Selatan melibatkan metode-metode penyelesaian sengketa alternatif di luar sistem peradilan formal yang menggabungkan negosiasi dan mediasi. Praktik-praktik adat tidak terlalu kuat, dan penyelesaian sengketa umumnya diartikan sebagai pelaksanaan fungsi 3 kuasi-yudisial oleh walikota atau pemerintah daerah seperti Camat atau Kepala Desa. Meskipun warga menggunakan mekanisme peradilan informal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa berskala kecil dengan warga yang lain, sebagian besar sengketa tanah berkenaan dengan masalahmasalah di luar struktur desa. Masyarakat yang memilih meminta bantuan polisi untuk menyelesaikan sengketa tanah mereka memutuskan demikian karena mereka tahu lokasi kantor polisi dan mengharapkan perlakuan yang adil dan hasil yang adil. Meskipun sebagian besar masyarakat menyadari bahwa mereka diwajibkan untuk mendaftarkan tanah mereka, namun pada kenyataannya sebagian besar tanah yang dimiliki oleh masyarakat tidak terdaftar di Badan Pertanahan. Seringkali masyarakat diminta untuk membayar biaya yang tinggi untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang diperlukan dari kepala desa mereka dan biaya-biaya tambahan untuk mendaftarkan tanah mereka ke Badan Pertanahan. Akibatnya, masalah sengketa tanah semakin marak, karena banyak tanah belum memiliki sertifikasi yang sah, dan pengguna tanah tidak memiliki sertifikat untuk membuktikan status kepemilikan dan hak-hak lainnya. 5. Prosedur yang Adil: Institusi-institusi peradilan, baik formal maupun informal, memberikan jaminan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk mengajukan kasus mereka dan bahwa sengketa diputus secara tidak memihak dan tanpa pengaruh yang tidak layak. Dalam kasuskasus yang diselesaikan melalui proses mediasi, masyarakat membuat keputusan secara sukarela untuk penyelesaian masalah mereka. Pasal 27 ayat (1) Konstitusi menetapkan perlakuan yang adil bagi semua warga negara. Selanjutnya, beberapa undang-undang mengatur tentang prosedur yang adil, termasuk KUHAP dan UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, untuk menegakkan hak asasi manusia setiap warga negara, warga negara memiliki hak atas persidangan yang terbuka untuk umum dan adil. Undang-Undang menyatakan bahwa pengadilan wajib melakukan persidangan tanpa diskriminasi terhadap warga negara, dan memberikan mandat bahwa pengadilan akan membantu warga negara dalam mencari keadilan dan mengatasi hambatan yang mencegah persidangan cepat, sederhana, dan murah. Terhadap hak-hak terdakwa dalam kasus pidana, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menginstruksikan beberapa hal tentang proses hukum, praduga tak bersalah, hak atas perwakilan hukum, dan hak-hak lainnya. Sehubungan dengan hak-hak para pihak dalam kasus perdata, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata menetapkan ketentuan untuk sebuah persidangan yang adil. "Mafia peradilan," istilah yang digunakan untuk korupsi di Indonesia, adalah suatu hambatan bagi akses terhadap keadilan. Mafia peradilan memiliki banyak bentuk, termasuk penyuapan, pemerasan, gugatan yang dirancang/ direncanakan, intimidasi saksi, dan semua pengecualian terhadap peraturan yang bisa dibeli dengan uang. Penyuapan sangat umum. Menurut seorang perwakilan masyarakat sipil, dalam kasus pidana, tersangka dapat menyuap jaksa untuk tidak melanjutkan perkara atau mereka yang melaporkan tindak pidana dapat menyuap polisi untuk melakukan penyelidikan secara lebih serius atau menyuap hakim atau pejabat pengadilan untuk mengambil langkah-langkah tertentu. Beberapa tahun lalu, menyusul protes nasional terhadap korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas utamanya. Ia telah membentuk Gugus Tugas Anti-Mafia Peradilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 6. Putusan yang dapat dilaksanakan: Institusi-institusi peradilan dapat melaksanakan putusan mereka, termasuk pemberlakuan sanksi hukuman. Dalam kasus pidana dan perdata, tata cara dalam memperoleh sebuah putusan yang bersifat final dan mengikat adalah sama. Pelaksaan putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri umumnya ditangguhkan sampai putusan akhir ditetapkan terkait dengan banding. Sebuah kasus juga tidak akan berakhir ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya. Para pihak yang bersengketa dapat membuka kembali kasus tersebut melalui proses Peninjauan Kembali (PK) apabila mereka dapat memberikan bukti baru yang terkait dengan putusan tersebut. Dalam kasus perdata, apabila penggugat memenangkan kasusnya baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, putusan dapat dilaksanakan dalam dua cara oleh Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Pertama, pihak yang kalah, tergugat, melaksanakan putusan secara sukarela. Kedua, apabila tergugat menolak melaksanakan putusan, penggugat mengajukan permohonan ke pengadilan yang kompeten untuk mendapatkan perintah eksekusi. Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang akan memanggil tergugat dan memberi peringatan 4 (aanmaning) untuk melaksanakan isi putusan. Apabila dalam jangka waktu 8 hari sejak dipanggil menghadap tergugat tidak juga melaksanakan putusan, Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan surat penetapan yang disampaikan kepada panitera pengadilan, memerintahkan pelaksanaan permohonan eksekusi. Eksekusi dilakukan oleh juru sita pengadilan tiga hari setelah pemberitahuan dikirimkan kepada tergugat. Terdapat sebuah kritik umum bahwa penegakan hukum masih lemah, meskipun undang-undang bersifat jelas, dan pengadilan mengeluarkan putusan yang jelas. Dalam beberapa tahun terakhir, kritik ini sering dikaitkan dengan kinerja Mahkamah Agung di Indonesia dan juga kinerja bagianbagian lain dari sistem peradilan formal. Masalah utamanya adalah bahwa institusi-institusi dan mekanisme pelaksanaan sistem peradilan, termasuk putusan-putusan Mahkamah Agung, tidak memiliki dana yang memadai dan tidak efektif secara operasional. Oleh karena itu, terdapat beragam contoh mengenai penundaan yang lama dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Agung. 5 Kata Pengantar Akses terhadap keadilan mensyaratkan bahwa semua masyarakat mampu menggunakan institusiinstitusi peradilan untuk menyelesaikan masalah-masalah keadilan yang umum. Kecuali masyarakat memiliki akses terhadap keadilan, maka hak-hak dan kewajiban yang termuat dalam Konstitusi dan undang-undang menjadi sia-sia, dan gagal memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok rentan. Agar akses terhadap keadilan hadir di tengah masyarakat, sistem-sistem peradilan dan pelayanan-pelayanan hukum harus berfungsi secara efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok rentan yang dimaksudkan untuk memperoleh kedua hal tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah membuat langkah-langkah yang signifikan menuju demokrasi yang lebih besar dan perlindungan hak asasi manusia. The Freedom House Index (FHI) menggolongkan Indonesia sebagai satu-satunya anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang merupakan negara bebas. Dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkembangan paling cepat dalam Kelompok Dua Puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (G20), dan dapat bergabung dengan Brazil, Rusia, India dan Cina – perekonomian BRIC – sebagai pusat kekuatan pasar yang berikutnya. Sekitar 35 juta penduduknya dari total 240 juta saat ini digolongkan ke dalam kelas menengah. Undang-Undang Pengadaaan Tanah yang telah lama dinantikan, yang disahkan pada 16 Desember 2011, memudahkan Indonesia untuk mempercepat proyek-proyek pembangunan jalan, pelabuhan dan bandara, dan dapat menjadi titik balik yang besar dalam upaya negara untuk memicu ledakan ekonomi. Meskipun dengan kekuatan perkembangan ekonomi, politik dan hak asasi manusia, sebagian besar penduduk Indonesia berisiko mengalami peningkatan marjinalisasi. Sekitar 100 juta penduduk Indonesia tetap berada dalam garis kemiskinan, dengan penghasilan per hari sebesar Rp 19.000,(setara dengan US$2) atau kurang. Banyak orang miskin akan menghadapi kekalahan dalam perjuangan kekuatan ekonomi dan politik yang mendasari banyak reformasi, termasuk undangundang pengadaan tanah yang baru. Lebih lanjut, terdapat banyak masalah yang terkait dengan keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan, khususnya kemampuan mereka untuk mengakses sistem peradilan yang lebih baik. Tujuan dari laporan ini adalah untuk memberikan gambaran yang komprehensif mengenai situasi akses terhadap keadilan di Indonesia, yang berfokus pada kebutuhan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan terlibat dalam perselisihan pertanahan akan keadilan yang utama. Laporan ini membahas hambatan-hambatan utama dalam mengakses keadilan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalah keadilan mereka. Berkenaan dengan hal tersebut, laporan ini membagi akses terhadap keadilan menjadi beberapa komponen, Unsur-unsur Akses terhadap Keadilan, dan mempertimbangkan sejauh mana setiap unsur hadir. Oleh karena setiap unsur adalah penting ketika masyarakat dapat dan mau menggunakan institusi-institusi peradilan, laporan ini berfokus pada apa yang diperlukan oleh masyarakat untuk memiliki akses terhadap keadilan. Unsur-unsur Akses terhadap Keadilan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut: Kerangka Hukum Pengetahuan Hukum Nasihat dan Perwakilan Hukum Akses terhadap Institusi Peradilan Unsur-Unsur Akses Terhadap Keadilan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban warga negara dan menyediakan bagi mereka mekanisme-mekanisme untuk menyelesaikan masalahmasalah keadilan mereka. Masyarakat mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka dan mekanisme-mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka. Masyarakat dapat mengakses nasihat dan perwakilan hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka. Institusi-institusi peradilan ada, baik formal atau informal yang terjangkau dan dapat diakses, dan memproses kasus tepat waktu. 6 Prosedur yang Adil Putusan yang dapat dilaksanakan Institusi-institusi peradilan, baik formal maupun informal, memberikan jaminan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk mengajukan kasus mereka dan bahwa sengketa diputus secara tidak memihak dan tanpa pengaruh yang tidak layak. Dalam kasus-kasus yang diselesaikan melalui proses mediasi, masyarakat membuat keputusan secara sukarela untuk penyelesaian masalah mereka. Institusi-institusi peradilan dapat melaksanakan putusan mereka, termasuk pemberlakuan sanksi hukuman. 7 Latar Belakang Negara Indonesia Konteks Sejarah Nasional Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, baik dalam hal wilayah maupun penduduk. 2 Indonesia memiliki 13.677 pulau dengan luas daratan 741.101 mi di sepanjang garis khatulistiwa antara Samudera India dan Samudera Pasifik. Pulau-pulau di Indonesia, dimana 6.044 di antaranya berpenghuni, tersebar di sekitar 3.293 mil dari timur ke barat, dan 3.104 mil dari utara ke selatan. 2 Total wilayah daratan dan lautan negara lebih dari 3 juta mi . Kendati memiliki banyak pulau, 5 dari pulau-pulau tersebut meliputi hampir 92% luas daratan. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia dan salah satu negara yang memiliki beragam etnis. Rumah bagi penduduk yang diperkirakan berjumlah 240 juta jiwa, dimana lebih dari 85 persen menganut agama Islam. Jumlah penganut agama islam di Indonesia sama banyaknya dengan penganut agama Islam di negara-negara yang berbahasa Arab. Paham Islam Sunni mendominasi, sementara sekitar satu juta orang Indonesia mengikuti paham Syiah. Juga terdapat sejumlah besar komunitas Sufi di daerah kepulauan. Indonesia juga merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Negara Republik Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, setelah lama berada dalam periode penjajahan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan pendudukan pada masa perang Jepang. Pendiri Indonesia menetapkan bentuk pemerintahan terpusat, atau negara kesatuan, dalam rangka mempersatukan orang dari berbagai latar belakang etnis, agama, dan budaya yang berbeda dan tersebar di ribuan pulau. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, membawa Indonesia menuju pemerintahan otoritarianisme, dan mempertahankan landasan kekuasaannya dengan menyeimbangkan antara kekuatan militer dan partai komunis. Tentara menghancurkan upaya kudeta terhadap Sukarno pada September 1965, dan selanjutnya memimpin upaya pembersihan anti-komunis, di mana partai komunis disalahkan atas kudeta dan secara efektif dihancurkan. Kepala militer saat itu, Jenderal Suharto, melakukan manuver politik terhadap Sukarno yang saat itu secara politik melemah, dan secara resmi diangkat menjadi presiden pada Maret 1968. Pemerintah Amerika Serikat mendukung rezim Orde Baru Soeharto, yang mendorong investasi asing secara langsung di Indonesia. Namun, rezim Orde Baru tersebut secara luas dituduh melakukan korupsi dan penindasan terhadap oposisi politik, dan dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling represif di Asia Tenggara. Rezim Orde Baru Soeharto jatuh pada Mei 1998, setelah mengendalikan politik Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Masa Reformasi dimulai setelah masa Orde Baru. Reformasi telah ditandai dengan adanya lingkungan politik dan sosial yang bersifat liberal, termasuk kebebasan yang lebih besar dalam menyampaikan pendapat, berbeda dengan rezim sebelumnya yang memberlakukan sensor. Sejak runtuhnya rezim Soeharto, inisiatif reformasi yang paling dramatis adalah diperkenalkannya suatu kerangka peraturan yang luas yang mengatur pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) untuk badan eksekutif dan legislatif. Berdasarkan sistem baru tersebut, telah dilakukan tiga pemilu untuk anggota legislatif nasional dan presiden, dan pemungutan suara di banyak daerah, dalam dekade terakhir. Secara keseluruhan, pemilu di Indonesia dilangsungkan secara bebas dan adil. Propinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan 1 dari 30 propinsi di Indonesia yang terletak di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi, dan berbatasan dengan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Penduduknya terdiri dari empat kelompok linguistik dan etnis utama. Kelompok-kelompok linguistik dan etnis yang terbesar adalah masyarakat Bugis, yang memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan-kerajaan lama mereka dan keluarga-keluarga penguasa, dengan sejarah dan tradisi khas mereka dan hukum mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Secara historis, Makassar, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Gowa, yang akan dibahas di bawah ini, adalah bagian dari Kerajaan Bugis. 8 Sulawesi Selatan merupakan propinsi paling padat penduduknya di Pulau Sulawesi, dengan sekitar 8 juta jiwa. Makassar sebagai ibukotanya merupakan pusat daerah utama dan kota terbesar di pulau Sulawesi. Makassar memiliki jumlah penduduk sekitar 1,25 juta jiwa yang hidup di 14 kecamatan. Mayoritas penduduknya adalah Muslim. Makassar mulai menjadi pelabuhan perdagangan penting pada awal abad keenam belas sebagai bagian dari Kerajaan Gowa. Sebagai ibukota, saat ini Makassar berfungsi sebagai pusat budaya, administratif, dan ekonomi yang dominan di Indonesia Timur. Dalam rancangan pembangunan yang disusun untuk kota tersebut hingga tahun 2014, walikota yang terpilih, Ilham Arif Sirajuddin, mempromosikan Makassar sebagai “kota dunia” dengan tujuan untuk meningkatkan investasi di sektor pariwisata. Hal ini terutama ditandai dengan adanya pembangunan dan revitalisasi pantai Losari dan Karebosi Square, sekalipun ada kontroversi yang muncul di tengah masyarakat akibat rencana tersebut. Propinsi Sulawesi Selatan terbagi menjadi 20 kabupaten. Salah satunya, Kabupaten Bulukumba, terdiri dari 10 kecamatan, 24 kelurahan dan 123 desa. Ibukota Kabupaten Bulukumba adalah Bulukumba. Kabupaten Bulukumba memiliki jumlah penduduk sekitar 394.000 jiwa, yang mayoritas adalah Muslim. Mayoritas masyarakat Bulukumba bekerja di industri perikanan dan pertanian. Pertanian memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian, dengan padi sebagai tanaman pokok. Perkebunan kopi melimpah di hampir semua kecamatan, sementara perkebunan yang menghasilkan kelapa hibrida, kelapa biasa, cengkeh, nanas, dan mangga juga dapat ditemukan. Tanaman industri utama adalah kapas, karet, dan kayu. Pemerintah daerah di Kabupaten Bulukumba saat ini sedang mempromosikan pendidikan gratis karena tingkat putus sekolah hampir mencapai rata-rata 46,6%, sedangkan tingkat kelulusan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas hanya sebesar rata-rata 11%. Di antara penduduk yang hidup di Kabupaten Bulukumba terdapat komunitas adat dari masyarakat 1 asli, penduduk Kajang Dalam yang berbahasa Konjo. Kecamatan Kajang secara luas dibagi menjadi 2 bagian, yaitu “lingkaran luar”, Kajang Luar, dengan 15 desa, dan “lingkaran dalam”, Kajang Dalam, di mana terdapat 4 desa yang diakui sebagai tanah-tanah adat. Kewenangan Toa Amma, pihak yang bertanggung jawab atas kepemimpinan moral dan rohani, dan dipilih melalui serangkaian ritual eklektik, dinilai bersifat mutlak. Masyarakat Kajang Dalam, yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa, secara aktif hidup dengan cara-cara adat dalam hal penggunaan tanah, praktik pertanian, dan kewajiban komunal. Prinsip mendasar dari masyarakat adat di Kajang Dalam adalah bahwa tanah dianggap suci. Dari prinsip ini, banyak kebiasaan adat yang diturunkan, seperti telanjang kaki dan gaya arsitektural yang terbuka dan alami. Hitam adalah warna yang dianggap suci bagi masyarakat Kajang Dalam. Bagi mereka, hitam menunjukkan kesetaraan dalam segala hal, termasuk kesetaraan dalam kesopanan. Warna hitam juga menggambarkan kekuatan dan persamaan di hadapan Sang Pencipta. Anggota-anggota masyarakat yang terpilih mengkhususkan diri pada hukum adat, sementara lainnya menilai dan melaksanakan hukum. Gowa merupakan salah satu kabupaten yang berada di Propinsi Sulawesi Selatan, sekitar empat mil dari Kota Makassar. Ibukota Kabupaten Gowa adalah Sungguminasa. Terdapat 12 kecamatan, 36 kelurahan, dan 115 desa. Jumlah penduduk Gowa adalah sekitar 575.000 jiwa. Seperti Kabupaten Bulukumba, pertanian merupakan andalan perekonomian Gowa. Secara historis, kerajaan Gowa merupakan kerajaan terkaya dan terkuat di Sulawesi pada abad ke-17. Raja-raja yang memerintah Gowa adalah mereka yang sangat bertumpu pada sektor perdagangan dan menolak upaya-upaya Perusahaan Hindia Timur Belanda yang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah. Kerajaan Gowa merupakan kerajaan Indonesia Timur yang besar yang menolak bekerja sama dengan Belanda. Belanda akhirnya memberikan dukungan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa kerajaan lain di bawah kekuasaan Gowa, dan memaksa sebuah perjanjian, Perjanjian Bungaya yang memungkinkan Belanda untuk secara efektif menguasai kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1667. Konteks Hukum dan Politik Konteks hukum dan politik Indonesia sangat kompleks, dengan struktur berlapis yang mencerminkan warisan rezim-rezim terdahulu dan realitas pluralisme hukum. Sebelum kehadiran pedagang Belanda dan penjajah pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, kerajaan-kerajaan nusantara menerapkan 1 Tidak ada data yang tersedia mengenai masyarakat adat Kajang Dalam untuk kepentingan penelitian ini. 9 sistem hukum adat. Kehadiran Belanda dan kolonisasi selama 350 tahun, hingga akhir Perang Dunia II, meninggalkan warisan hukum kolonial Belanda. Sejumlah undang-undang kolonial tetap berlaku. Akibatnya, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, para pembuat undang-undang di Indonesia mulai menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang didasarkan pada aturan-aturan hukum dan keadilan Indonesia. Lembaga Politik Nasional Indonesia adalah negara kesatuan republik, dengan cabang pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing memiliki kekuasaan dan tanggung jawab yang berbeda, yang ditetapkan berdasarkan Konstitusi. Ketika Soeharto berkuasa, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak pernah diubah. Namun, setelah pengunduran dirinya pada bulan Mei 1998, Undang-Undang Dasar tersebut mengalami perubahan sebanyak empat kali yaitu pada bulan Oktober 1999, Agustus 2000, November 2001, dan Agustus 2002. Antara lain, perubahan tersebut menyentuh hal-hal yang sangat mendasar, seperti masalah pembatasan kekuasaan, masa jabatan Presiden dan desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi dan daerah (otonomi daerah). Proses legislatif dilaksanakan oleh parlemen. Berdasarkan Konstitusi, kedaulatan berada di tangan rakyat, yang melaksanakan keinginan mereka melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat [selanjutnya disebut MPR], yang terdiri dari dua dewan – Dewan Perwakilan Rakyat [selanjutnya disebut DPR] dan Dewan Perwakilan Daerah [selanjutnya disebut DPD], kedua dewan tersebut sepenuhnya dipilih. MPR saat ini memiliki hampir 700 anggota yang terdiri dari seluruh anggota DPR, individu-individu yang ditunjuk untuk mewakili propinsi, dan calon-calon lainnya. Secara konstitusional, MPR merupakan badan tertinggi negara. Hanya MPR yang memiliki kekuasaan untuk mengubah Konstitusi. Umumnya MPR bersidang setiap tahun; secara konstitusional, MPR harus bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun. MPR mengeluarkan pernyataan-pernyataan kebijakan dalam bentuk keputusan, serta garis-garis besar kebijakan negara. DPR memiliki 500 anggota dan terdiri dari perwakilan yang dipilih dan diangkat. Fungsi utama mereka adalah untuk membuat peraturan perundang-undangan dan meminta pertanggungjawaban Presiden beserta para menterinya. DPR bersidang sesuai dengan yang dijadwalkan sepanjang tahun. DPD adalah wakil-wakil yang mewakili daerah dan propinsi. Peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini dibuat dalam beberapa bentuk. Pasal I ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan menetapkan bahwa sumber hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis (hukum yang tidak dikeluarkan oleh otoritas negara). Dalam upaya untuk memperjelas status dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Dalam praktiknya, terdapat instrumen legislatif lainnya yang digunakan saat ini. Termasuk Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, dan Surat Edaran. Indonesia diatur terutama melalui kementerian pemerintah. Struktur menteri yang umum adalah sebagai berikut: Unit Kementerian Sekretariat Inspektorat Direktorat Kepala Unit Menteri Sekretaris Jenderal Inspektur Jenderal Direktur Jenderal 10 Badan Pusat Biro Kepala Badan Kepala Pusat Kepala Biro Selain menteri yang mengawasi masing-masing departemen, terdapat sejumlah menteri senior yang disebut sebagai Menteri Koordinator, yang masing-masing mengawasi sejumlah portofolio terkait. Selain itu, terdapat pejabat lain yang memiliki peringkat menteri, termasuk Jaksa Agung, Sekretaris Negara dan Panglima Tentara Nasional Indonesia. Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara. Presiden memiliki kewenangan konstitusional atas pemerintahan dan secara langsung memilih menteri-menterinya untuk membantu menjalankan pemerintahan. Seorang presiden memiliki hak untuk mengusulkan rancangan undang-undang ke DPR, untuk membahas rancangan tersebut dengan DPR untuk memperoleh kesepakatan, dan untuk menyusun peraturan Pemerintah sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam situasi darurat, beliau memiliki kewenangan untuk membuat peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Secara militer, Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Secara diplomatis, Presiden hanya dapat menandatangani perjanjian, mengangkat duta besar, menerima duta besar dari negara lain, merehabilitasi narapidana, dan mengangkat anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR. Presiden memiliki wewenang untuk memberikan grasi, dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden juga berwenang untuk menetapkan calon Hakim Agung. MPR sebelumnya memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun amendemen Undang-Undang Dasar yang baru menetapkan bahwa rakyat akan secara langsung memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum secara langsung untuk presiden dan wakil presiden pertama kali dilangsungkan pada tahun 2004. Di samping itu, sesuai dengan perubahan tersebut, seseorang hanya dapat dipilih sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama maksimal dua periode untuk masa jabatan lima tahun berturut-turut. Institusi Pemerintah Daerah Indonesia terdiri dari 30 propinsi, 2 daerah khusus (Aceh dan Yogyakarta), dan 1 daerah khusus ibukota (Jakarta Raya). Sebuah pemerintah propinsi dengan majelis perwakilannya sendiri (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mengelola setiap propinsi. Seorang gubernur, yang ditunjuk oleh Presiden, mengepalai dan memimpin masing-masing pemerintah propinsi. Sebagai akibat dari 2 peraturan perundang-undangan tentang otonomi daerah yang disahkan pada tahun 1999, otonomi dan kekuasaan yang lebih besar akan diserahkan kepada pemerintah daerah. Secara keseluruhan, struktur administrasi pemerintahan daerah adalah sebagai berikut: Wilayah Propinsi. Setiap Propinsi memiliki badan legislatif sendiri. Kabupaten / Kota. Kabupaten atau kota adalah tingkat pemerintahan lokal di bawah propinsi. Baik kabupaten maupun kota memiliki badan pemerintahan dan legislasi yang terdesentralisasi. Kecamatan. Kecamatan adalah wilayah di dalam kabupaten/ kota. Setiap kecamatan dibagi menjadi kelurahan atau desa. Kelurahan. Kelurahan adalah bagian dari birokrasi kabupaten/ kota. Desa. Desa adalah badan yang memiliki otoritas atas warga setempat sesuai dengan tradisi lokal. 2 Kepala Wilayah Gubernur. Seorang gubernur dipilih berdasarkan suara rakyat untuk masa jabatan 5 tahun. Bupati / Walikota. Seorang bupati dan walikota keduanya dipilih berdasarkan suara rakyat untuk masa jabatan 5 tahun. Camat. Camat adalah pegawai negeri sipil yang bertanggung jawab kepada bupati atau walikota. Lurah. Kepala desa adalah pegawai negeri sipil yang bertanggung jawab kepada Camat. Kepala Desa. Seorang kepala desa dipilih berdasarkan suara rakyat. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, diperbaharui oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004). 11 Lembaga Yudisial Berdasarkan Pasal 24 Konstitusi, sistem peradilan Indonesia terdiri dari beberapa jenis badan peradilan. Indonesia menganut sistem civil law berdasarkan hukum yang diwarisi dari Belanda. Mahkamah Konstitusi memiliki yurisdiksi untuk memeriksa kasus-kasus yang berkenaan dengan konstitusionalitas peraturan perundang-undangan, kewenangan lembaga-lembaga negara, pembubaran partai politik, hasil pemilihan umum, serta tindakan-tindakan untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya. Wewenang Mahkamah Konstitusi termaktub dalam Pasal 24C UndangUndang Dasar. Didirikan pada tahun 2003, Mahkamah ini terdiri dari sembilan anggota, Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR masing-masing mengajukan tiga orang anggota. Mahkamah Agung mengawasi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, dan dapat memeriksa perkara di tingkat kasasi. Mahkamah Agung juga dapat melaksanakan pemeriksaan ulang terhadap suatu kasus apabila mereka menemukan bukti baru yang cukup. Atas permintaan, mereka dapat memberikan pertimbangan hukum kepada pemerintah dan petunjuk kepada pengadilan yang lebih rendah. Namun, mereka tidak memiliki kewenangan judicial review terhadap konstitusionalitas dari undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR. Yurisdiksi mereka terbatas pada apakah peraturan pelaksanaan administratif sejalan dengan undang-undang yang berlaku. Mahkamah Agung terdiri dari 51 anggota. Komisi Yudisial yang independen mengusulkan calon-calon Hakim Agung ke DPR. Apabila DPR setuju, maka Presiden akan menegaskan pengangkatan calon-calon tersebut. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan negeri tingkat banding. Pengadilan Tinggi memeriksa banding dari Pengadilan Negeri, yang mana berjumlah sekitar 20 di seluruh Indonesia. Pengadilan Umum memeriksa hampir semua masalah sengketa perdata (niaga dan PHI) dan pidana (umum dan khusus), dengan pengadilan tingkat pertama yang merupakan Pengadilan Negeri. Terdapat sekitar 250 Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, masing-masing dengan yurisdiksi teritorialnya sendiri. Yurisdiksi Pengadilan Negeri dibagi secara geografis. Pengadilan khusus untuk menangani kasus-kasus tertentu dapat didirikan sebagai sub-divisi dari Pengadilan Umum. Misalnya, Pengadilan Niaga telah dibentuk untuk menangani masalah kepailitan dan penangguhan terhadap kasus pembayaran. Indonesia juga memiliki Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Agama tersedia bagi warga Muslim untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti masalah perkawinan, warisan, dan harta benda yang disumbangkan untuk kepentingan agama. Pengadilan Militer menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI. Sementara, Pengadilan Tata Usaha Negara mengawasi permasalahan sengketa yang melibatkan pejabat negara atau badan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. 12 Penduduk Utama dan Masalah-masalah Keadilan Penilaian ini bertitik tolak pada kebutuhan keadilan yang utama dari masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan dan terlibat dalam masalah sengketa tanah dan hambatan-hambatan yang mereka hadapi dalam memecahkan masalah keadilan. Penelitian ini berfokus pada daerah-daerah di Propinsi Sulawesi Selatan yaitu: Kota Makassar, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Gowa, yang mengalami konflik pertanahan yang cukup tinggi. Semua lembaga negara yang terkait dengan penyelesaian sengketa, termasuk pengadilan, 3 menggunakan sistem hukum adat , untuk menyelesaikan atau mengadili masalah sengketa tanah. Konflik pertanahan umumnya melibatkan beberapa pemilik yang mengklaim tanah yang sama. Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar sengketa tanah di mana masyarakat terlibat di dalamnya, dapat dibagi menjadi tiga jenis kasus: antara masyarakat dengan perusahaan; antara masyarakat, dan antara masyarakat dengan pemerintah. Di bawah ini, kita membahas tiga kasus 4 sengketa tanah, menyoroti masalah keadilan utama . Gambaran Konflik di Sulawesi Selatan: Tiga Cerita Cerita-cerita berikut ini adalah sengketa-sengketa tanah yang umumnya dialami oleh masyarakat melawan perusahaan dan melawan masyarakat lainnya. Dalam sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, sebuah perusahaan umumnya membeli tanah dari pihak yang tidak memiliki hak pengalihan atas hak tanah atau kepemilikan. Pihak tersebut boleh jadi bertindak sebagai perantara, penyewa, atau bahkan ahli waris yang, tanpa sepengetahuan dari ahli waris lainnya, melakukan transaksi penjualan dengan perusahaan tersebut. Dalam banyak kasus, perantara, penyewa atau ahli waris melanggar undang-undang, seperti membuat dokumen kepemilikan tanah palsu. Dalam perselisihan antar masyarakat, perselisihan umumnya timbul dari transaksi penjualan tanah yang diadakan oleh para ahli waris; salah satu pihak dituduh melakukan pendudukan tanah secara tidak sah. Semua nama telah diubah untuk melindungi identitas mereka yang diwawancarai. Cerita 1: 2 Keluarga Katong M. telah menempati tanahnya seluas kurang lebih satu hektar (140.60 ft ), di kecamatan Tamalate, sejak masa nenek Katong. Ayah Katong dan Katong yang berusia 44 tahun lahir di sana. Perselisihan Katong dengan perusahaan penanam modal, PT Gowa Makassar Tourism 5 Development Tbk (GMTDC) , bermula ketika GMTDC secara paksa berusaha mengambil lahannya. Tahun-tahun sebelumnya, orang tuanya telah meminjam uang dari seseorang yang bernama Hamdan, dengan surat tanah yang dijadikan sebagai jaminan. Pada saat mereka berusaha mengembalikan uang pinjaman tersebut, mereka tidak dapat mengetahui keberadaan Hamdan dan menemukan Hamdan telah menjual tanah mereka kepada GMTDC. (Hamdan kemudian dihukum atas kecurangannya dan dipenjara selama satu tahun). Katong telah mengajukan keluhan kepada lurah dengan menunjukkan salinan rincik dan sertifikat tanah yang telah diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah mendengar dari kedua belah pihak, lurah mengatakan kepada Katong “tangani masalahmu sendiri.” Kemudian Katong menyerahkan masalah ini kepada pihak kepolisian dengan menunjukkan dokumen-dokumen untuk membuktikan kepemilikan tanahnya. Polisi mengatakan kepadanya “untuk menunggu” keputusan, namun setelah setahun menunggu, Katong tetap tidak memperoleh jawaban dari polisi tersebut. Katong memutuskan untuk tidak menyerah. Ia mengunjungi kejaksaan yang memfasilitasi rapat antara para pihak yang bersengketa, namun ia tidak memperoleh apa-apa dari rapat tersebut. 3 Adat adalah serangkaian norma kebiasaan, nilai, adat istiadat, praktik, dan sistem penyelesaian sengketa dari masyarakat etnis tertentu di daerah-daerah tertentu di seluruh Indonesia. 4 Sengketa-sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah biasanya melibatkan uji kelayakan pemerintah terhadap lahan untuk proyek-proyek infrastruktur, termasuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan jalan raya. Sengketa biasanya mengenai jumlah kompensasi yang ditawarkan kepada masyarakat. Oleh karena Undang-Undang Pengadaan Tanah yang disahkan pada Desember 2011 akan mengubah bagaimana kasus-kasus ini ditangani, maka hal ini akan dibahas dalam Unsur 1, di bawah. 5 GMTDC adalah pengembang properti yang menghasilkan pendapatan terutama dari penjualan bangunan rumah dan kavling perumahan, penjualan bidang tanah untuk tujuan komersial, serta pendapatan dari fasilitas-fasilitas komersial dan rekreasi. Perusahaan ini telah mengembangkan dan memasarkan sejumlah perumahan baru, dengan nama seperti Orchid, Alora, Vista, dan Elysium. GMTDC telah menghasilkan pendapatan sebesar 160 miliar Rupiah (sekitar USD 183 juta), dan penghasilan bersih sebesar 39 miliar Rupiah (sekitar USD 45 juta). 13 Akhirnya, Katong mengajukan kasus perdatanya ke Pengadilan Negeri Makassar. Sebagai pemilik dari sebuah toko kelontong , ia memperoleh penghasilan sebesar kurang lebih 500.000 Rupiah (kira6 kira USD 57.00) per hari untuk menafkahi istri dan dua anaknya. Dengan penghasilan yang memadai, ia mampu menyewa seorang pengacara, namun proses persidangan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Katong menghitung bahwa ia telah mengeluarkan uang sebesar 100 juta Rupiah (kira-kira USD 11.407,00) di tingkat pengadilan negeri saja. Biaya tersebut termasuk uang sogokan untuk pengadilan yang harus dibayarkan sebesar 2,5 juta Rupiah (kira-kira sebesar USD 285,00). Sebenarnya pihak Pengadilan meminta dua kali lipat dari jumlah tersebut. Ia mengalami kekalahan dalam kasusnya di tingkat pengadilan negeri dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung di mana ia kembali mengalami kekalahan. Proses hukum kasusnya berlangsung hampir lima tahun. Baik Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung meminta uang sogokan kepada Katong masingmasing sebesar 6 juta Rupiah (kurang lebih sebesar USD 685,00) dan 250 juta Rupiah (kira-kira sebesar USD 28.517,00), namun Katong tidak dapat menyanggupinya. Katong menyatakan “Pengalaman kami di pengadilan membuat kami merasa bahwa kami tidak menjalani persidangan yang sesungguhnya. Berdasarkan pengalaman yang saya peroleh selama di pengadilan, tidak seorangpun dapat memberikan kejelasan atau kepastian secara mutlak dan pengadilan hanya melayani orang-orang yang memiliki uang.” Cerita 2: Sekitar 60 keluarga secara kolektif membeli dan menempati sebidang tanah, Properti No. 48 di Kassi Kassi, Desa Rapponcini, Makassar, selama lebih dari sepuluh tahun. Keluarga-keluarga tersebut kemudian terlibat dalam sengketa tanah dengan pemilik usaha bernama Rizal, yang mengklaim telah membeli tanah tersebut di pelelangan yang disponsori oleh Pemerintah di Jakarta. Mayoritas keluarga adalah buruh yang tidak memiliki keterampilan dan tidak berpendidikan, dan hidup dalam kemiskinan. Seorang warga, Emi, ibu rumah tangga, tinggal bersama dengan suami dan empat anak mereka dengan penghasilan 30.000 ribu (kira-kira USD 3,40) per hari. Keluarga-keluarga sebagaimana dimaksud membeli tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang dibuat oleh seorang notaris (penjabat pembuat akte tanah), atau PPAT dan memiliki bukti kepemilikan dalam bentuk sertifikat tanah, rincik, dokumen tanah dan tanda bukti pembayaran pajak tanah. Rizal mengajukan kasus pidana terhadap keluarga-keluarga tersebut atas dasar pengambilan dan penyerobotan tanah. Para keluarga menerima surat panggilan untuk menghadap ke kantor kepolisian. Menurut Emi, pada saat keluarga menghadap ke kantor kepolisian, pihak kepolisian mengancam akan menahan mereka dan mengatakan bahwa mereka bukanlah pemilik tanah yang sah. Dua puluh tujuh keluarga menerima uang penggantian atas tanah mereka, dengan 35 keluarga terus memperjuangkan kasus tersebut. Polisi tidak menindaklanjuti kasus pidana terhadap para keluarga tersebut. Warga lain yang terlibat dalam sengketa tanah tersebut menyatakan “Kami selalu disudutkan, tidak adil apabila masyarakat hanya menerima kompensasi sebesar 500.000 Rupiah (sekitar USD 57,00)… beberapa dari mereka takut akan teror baik yang dilakukan oleh polisi ataupun preman suruhan Rizal.” Di tahun yang sama, Rizal mengajukan gugatan perdata terhadap 35 keluarga yang terus melawan ke Pengadilan Negeri Makassar. Kasus tersebut berada di pengadilan negeri selama kira-kira satu tahun, dengan putusan yang menguntungkan para tergugat. Namun, jalan menuju kemenangan sangat mahal; para keluarga tersebut harus menempuh perjalanan selama beberapa jam dengan menggunakan minivan untuk sampai ke pengadilan, dan Emi memperkirakan bahwa mereka telah menghadap ke pengadilan lebih dari 10 kali. Biaya transportasi dan makanan juga menjadi hambatan karena mereka melakukan perjalanan tersebut sebagai sebuah kelompok. Setelah mengalami kekalahan, Rizal mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Kasus tersebut membutuhkan waktu kira-kira satu tahun untuk diputus, kembali untuk kepentingan para tergugat. Rizal kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan kalah. Meskipun para keluarga telah menang di semua 6 Dalam laporan ini, mata uang Rupiah Indonesia, [selanjutnya disebut sebagai Rupiah] dikonversikan ke mata uang Dolar Amerika Serikat [selanjutnya disebut sebagai USD] dengan nilai konversi rata-rata ketika wawancara dilakukan (Rupiah 8766.63 = USD 1.00). 14 tingkatan, kasus tersebut telah memakan waktu lebih dari 6 tahun untuk penyelesaiannya, dengan 7 biaya mahal dan putusan tersebut masih belum dilaksanakan. Cerita 3: Sengketa tanah antara anak-anak Sumang, Ruddin dan Kamariah dan M. Rais belum terselesaikan selama lebih dari satu dekade, sejak tahun 1985. Pada tahun 1985, berdasarkan surat kuasa, M. Rais ditunjuk sebagai perantara/ broker dari keluarga Sumang. M. Rais menipu Kamariah dengan membawanya ke Pengadilan Agama Makassar, bukan untuk memperbaharui surat warisannya, melainkan untuk pembuatan akta tanah atas namanya oleh karena hibah. Akta hibah tersebut diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum atau sah secara hukum, karena tidak ditandatangani oleh seluruh ahli waris keluarga Sumang. Sesuai akta hibah tersebut, M. Rais telah memalsukan dua dokumen, akta warisan dan akta hibah di Kecamatan Panakukkang. Di tahun yang sama, Ruddin membawa kasus ini kepada Tim Panitia 7 yang berwenang atas penyelesaian sengketa pertanahan. Tim Panitia 7 tersebut memutuskan bahwa M. Rais harus mengembalikan kepemilikan tanah tersebut kepada Sumang. M. Rais menandatangani surat pernyataan yang disahkan oleh notaris yang menyatakan bahwa ia akan menghancurkan dokumendokumen palsu yang ia miliki, dan, menyatakan hal yang sama kepada Camat Panakukkang. Namun demikian, M. Rais tetap menempati tanah tersebut dan menggunakan kedua akta palsu tersebut untuk mendaftarkan sertifikat tanah tersebut atas namanya. Lebih dari sepuluh tahun sejak keputusan Tim Panitia 7, Kamariah mengajukan gugatan terhadap M. Rais ke Markas Besar Kepolisian Makassar atas tuduhan penipuan, pencurian dan pemalsuan. Dua tahun kemudian, Pengadilan Negeri Makassar memutuskan bahwa M. Rais terbukti bersalah telah melakukan pemalsuan dan menjatuhkan pidana penjara 1 ½ tahun. M. Rais mengajukan kasus pidana terhadap Ruddin dengan tuduhan penyerobotan tanah. Tahun 2011, Pengadilan Negeri Makassar memutuskan bawah Ruddin tidak bersalah. Tanah yang menjadi objek sengketa masuk ke dalam Program Perluasan Jalan. Untuk memperoleh kompensasi atas tanah tersebut, M. Rais mengklaim bahwa ia adalah pemilik tanah tersebut. Di tahun yang sama, Ruddin dan Kamariah mengajukan kasus pidana terhadap M. Rais ke polisi. M. Rais, bersama dengan preman suruhannya, menghancurkan sebuah rumah dan bangunan milik ahli waris Sumang. Pada saat insiden berlangsung, polisi yang berada di lokasi kejadian tidak mengambil tindakan apapun, padahal tindakan M. Rais tersebut merupakan tindakan melawan hukum. Ruddin dan Kamariah belum mendapat tanggapan apapun dari pihak kepolisian mengenai pengaduan mereka. 7 Para keluarga yang terus melakukan perlawanan terhadap kasus ini mendirikan sebuah organisasi advokasi, PERCASI, untuk memobilisasi upaya-upaya mereka ketika kasus mereka tertunda di pengadilan. Mereka telah menarik sekitar 500 warga untuk bergabung dengan mereka, dan memperluas mandat mereka untuk memberikan advokasi terhadap kebutuhan paling mendesak dari masyarakat, termasuk penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan. 15 Indonesia: Unsur-Unsur Akses Terhadap Keadilan Unsur I. Kerangka Hukum Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban warga negara dan menyediakan bagi mereka mekanisme-mekanisme untuk menyelesaikan masalah-masalah keadilan mereka. Kesimpulan Pemerintah Indonesia telah mengesahkan ratusan ribu undang-undang dan peraturan. Terdapat sejumlah besar undang-undang dalam buku-buku. Berkenaan dengan hak atas tanah dan kepemilikan lahan, Indonesia memiliki kerangka hukum yang komprehensif yang menetapkan hak dan kewajiban warga negara. Meskipun peraturan perundang-undangan ini, khususnya UndangUndang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA), dimaksudkan untuk menjawab ketidakpastian hukum dan menciptakan reformasi positif, namun Undang-Undang tersebut telah menyebabkan banyak persoalan. Seperti halnya undang-undang lain di Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria hanya menetapkan prinsip-prinsip yang substantif dan membiarkan masalah-masalah khusus yang terkait dengan pelaksanaannya untuk disempurnakan di dalam peraturan-peraturan pelaksana administrasi. Dengan demikian, hal ini mengakibatkan buruknya implementasi undang-undang tersebut; undangundang yang terlalu rumit dan sulit untuk diterapkan. Peraturan-peraturan pelaksana UUPA yang saat ini berlaku gagal untuk menguraikan, dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum adat. Berkenaan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ketiadaan undang-undang tentang pengadaan tanah telah menghentikan perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Aturan-aturan yang tidak jelas telah menyebabkan terjadinya sengketa tanah yang memerlukan waktu penyelesaian bertahun-tahun. Pada 16 Desember 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia mengeluarkan sebuah undang-undang baru tentang Pengadaan Tanah yang bertujuan untuk memfasilitasi lebih banyak pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk memperluas dan meningkatkan infrastruktur negara dalam rangka memenuhi persyaratan konektivitas dari komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Undang-Undang tersebut menetapkan batasan waktu yang jelas, mekanisme penilaian harga yang independen, dan prosedur banding untuk pengadaan tanah untuk proyek-proyek infrastruktur yang dipersiapkan oleh pemerintah. Ketentuanketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk mengurangi konflikkonflik pengadaan tanah. Meskipun telah disahkan, undang-undang tersebut memerlukan waktu untuk dapat dilaksanakan sepenuhnya. Kerangka hukum tersebut cukup memadai bagi warga negara yang berusaha menuntut hak-hak mereka dalam sistem peradilan formal. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Perdata menetapkan prosedur dan hak-hak warga negara pada tahap proses persidangan yang berbeda dalam sengketa pertanahan. Sistem peradilan informal melibatkan metode-metode alternatif penyelesaian sengketa di luar sistem peradilan formal yang menggabungkan negosiasi dan mediasi, biasanya di tingkat kecamatan atau tingkat desa. Analisa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan 8 dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kerangka hukum merupakan serangkaian undang-undang dan peraturan yang menjadi dasar yang digunakan oleh warga negara dalam memperoleh penyelesaian terhadap masalah keadilan mereka. Kerangka hukum menetapkan hak-hak dan kewajiban warga Negara dan menyediakan bagi mereka dasar untuk menggunakan proses hukum guna melindungi hak-hak mereka. Kerangka hukum yang komprehensif menjadi penting: jika hukum tidak menyediakan hak-hak bagi warga negara yang membutuhkan dan kesempatan untuk berdalil, mereka tidak akan mendapatkan ganti rugi dalam hal penyalahgunaan oleh mereka yang lebih berkuasa. Di bagian ini, kami menganalisa sumber-sumber 8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 33 ayat (3) (disahkan pada 18 Agustus 1945, sebagaimana diubah pada Oktober 1999, Agustus 2000, November 2001 dan Agustus 2002) [Selanjutnya disebut sebagai UUD 1945]. 16 hukum yang mengatur mengenai masalah-masalah pertanahan dan institusi-institusi peradilan. Kami mulai dengan gambaran singkat mengenai evolusi hukum pertanahan dan kepemilikan tanah di Indonesia, dan kemudian menjelaskan secara rinci beberapa kerangka di mana masyarakat dapat menuntut hak-haknya di sistem peradilan formal, baik pidana maupun perdata, dan sistem peradilan informal. Hukum Pertanahan dan Kepemilikan Lahan Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, tanah merupakan faktor yang sangat penting di dalam kehidupan. Tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis sebagai komoditi tetapi juga nilai sosial, politis, budaya, dan bahkan religius. Oleh karena tanah sangat penting, masyarakat bersedia mengorbankan hidup mereka dalam konflik-konflik pertanahan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Saat ini hukum Indonesia mengakui kepemilikan properti berdasarkan hukum pertanahan adat dan hukum pertanahan resmi. Dalam masa 350 tahun sebelum kemerdekaan di tahun 1945, konsep dualisme dalam hukum pertanahan mengakomodasi sistem-sistem Barat untuk memenuhi kepentingan kaum kolonial dan hukum tradisional yang tidak tertulis yang didasarkan pada hak-hak adat atas tanah. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia menyatakan Undang-undang No. 5 Tahun 9 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria [selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria/ UUPA] sebagai payung hukum yang mengatur mengenai kepemilikan tanah di Indonesia. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 [selanjutnya disebut UUD 1945] membantu membingkai 10 asumsi-asumsi dasar mengenai UUPA . Pasal 33 pada dasarnya diilhami oleh campuran yang luas dari cita-cita sayap kiri, nasionalis dan anti-penjajahan yang berpengaruh pada saat UUD 1945 disusun. Ayat ketiga Pasal 33 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung 11 di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal dari UUD 1945 ini bersifat sosialis, dan dapat dikatakan secara akurat mencerminkan pandangan umum mayoritas warga negara Indonesia, baik pada saat penyusunan UUD 1945 sampai 12 pada saat ini. UUPA memadukan hak-hak di bawah hukum adat dan hukum Barat; UUPA menyatakan bahwa hukum pertanahan nasional adalah hukum adat, dan pada saat yang bersamaan, 13 menetapkan pendaftaran hak-hak perorangan atas tanah. Secara teori, UUPA mengutamakan tanah negara untuk warga negara dengan tujuan untuk mendistribusikan kembali tanah tersebut kepada petani-petani miskin untuk memperbaiki kehidupan mereka dan mempertahankan keadilan sosial. Menurut UUPA, memiliki tanah adalah “hak wajib;” setiap keluarga yang bergantung pada kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian mereka, terutama petani penggarap dan petani tak bertanah, berhak atas penggunaan dan pengendalian terhadap tanah dengan luas minimal empat 14 hektar. Berdasarkan prinsip-prinsip adat, yang berevolusi dan berdevolusi di sepanjang abad hingga saat ini dan tetap dipandang sebagai sumber hukum, hak atas tanah didasarkan pada kekeluargaan, etnisitas dan desa. Berdasarkan praktik lisan, tidak tertulis, kepala masyarakat adat, umumnya kepala desa, memberlakukan hukum adat. Bentuk penguasaan tanah adat yang paling lazim adalah hak komunal 9 Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) [Selanjutnya disebut UUPA]. 10 UUD 1945, Pasal 33. 11 Id., Pasal 33 ayat (3). Ayat-ayat lain dari Pasal 33 - kurang penting untuk tujuan penelitian ini - adalah sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebaga usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Id., Pasal 33 ayat (1), (2), (4) dan (5). 12 Berdasarkan Hukum Barat, Undang-undang Pokok Agraria tahun 1870 menciptakan sebuah sistem hukum yang digunakan selama masa kolonial Belanda di Indonesia. Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa negara memiliki kepentingan kepemilikan dalam semua lahan yang berada di bawah pengawasan Belanda. Bangsa Eropa dan pihak asing dari Timur berhak atas hak properti, sementara penduduk asli hanya diberikan hak pakai. 13 UUPA, Bab 7, 17. 14 UUPA; Undang-Undang tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960), Pasal 8. 17 semua anggota masyarakat adat (Hak Ulayat). Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat juga merupakan tanah yang awalnya diperoleh oleh individu melalui pembukaan hutan dengan persetujuan dari kepala masyarakat adat. Tanah yang dibuka kemudian dapat dialihkan melalui jual beli, hibah atau warisan. Setelah pemberlakuan UUPA, pengadaan lahan dengan cara pembukaan hutan memerlukan persetujuan dari gubernur propinsi, di mana tanah itu berada, dan Departemen Kehutanan. Warga negara hanya dapat membuktikan kepemilikan atas sebidang tanah adat yang dialihkan dengan mendaftarkan lahan tersebut berdasarkan UUPA dan dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan. 15 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menetapkan kerangka hukum untuk pendaftaran kepemilikan tanah di Indonesia. Hak-hak atas tanah dicatat dalam Buku Tanah pada Badan Pertanahan Nasional [selanjutnya disebut BPN], yang didirikan pada tahun 1988 sebagai badan yang bertanggung jawab atas semua tanah bukan hutan di Indonesia, termasuk 16 pengakuan, pendaftaran, dan administrasi hak-hak dan urusan kepemilikan. BPN memiliki kantor di seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia. Setelah hak dicatat, BPN mengeluarkan sebuah sertifikat (Sertifikat Tanah) kepada pemilik yang terdaftar. Dalam banyak kasus, sertifikat ini untuk hak milik. Sertifikat tanah yang diperoleh melalui pendaftaran tanah adalah bukti kepemilikan yang paling kuat. Apabila sebidang tanah tidak didaftarkan, maka pemiliknya akan menghadapi kesulitan dalam membuktikan status kepemilikan. Pelaksanaan UUPA Kerangka hukum yang memihak rakyat selama era Orde Lama (1945-1966) dimaksudkan untuk menerapkan UUPA, khususnya melalui reformasi agraria dan tanah. Orde Lama secara tegas menolak penanaman modal asing dan utang luar negeri untuk melindungi hak-hak kepemilikan rakyat atas tanah dan akses terhadap sumber daya alam. Namun demikian, pelaksanaan maksud UUPA tersebut berakhir pada saat Era Orde Baru (19671997), segera setelah Suharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966. Orde Baru tidak hanya menghentikan pelaksanaan UUPA, namun juga seluruh kegiatan pengaturan perdesaan dibatasi. Orientasi kapitalis Orde Baru dan perpindahan dalam politik agraria dari reformasi ke revolusi hijau dari atas ke bawah (top-down) tanpa reformasi pertanahan kesemuanya berkontribusi secara signifikan pada pelaksanaan UUPA yang lemah. Orde Baru membuka Indonesia pada penanaman modal asing dan menjadikan utang luar negeri sebagai sumber utama pendanaan pembangunan. UUPA ditafsirkan untuk mendukung kontrol negara yang mutlak atas kepemilikan tanah dan sumber daya alam. Kekerasan dipakai untuk menghalangi mereka yang menuntut hak kepemilikannya. Meskipun mereka mengakui UUPA, Orde Baru tidak pernah berencana untuk melaksanakannya dan menolak untuk melaksanakan reformasi pertanahan dan agraria. Berdasarkan penafsiran mereka yang baru tentang UUPA, Orde Baru mengeluarkan undang-undang sektoral yang secara langsung bertentangan dengan UUPA. 15 Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah (Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997) [selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997]. 16 BPN memiliki mandat yang luas sebagai berikut: Merumuskan kebijakan dan perencanaan untuk reformasi dan penggunaan lahan; Merumuskan kebijakan dan perencanaan terhadap status kepemilikan tanah dengan prinsip bahwa tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana ditetapkan dalam UUPA; Mengurus dan menangani survei, pemetaan, serta pendaftaran tanah untuk memberikan keamanan bagi status kepemilikan tanah; Memberikan hak atas tanah untuk menjaga tata tertib dalam administrasi pertanahan; Penelitian dan pengembangan dalam masalah pertanahan dan pelatihan personil untuk memberikan dukungan kepada operasi BPN; dan Tugas lain sebagaimana ditetapkan oleh Presiden. 18 UUPA menetapkan aturan-aturan mengenai hak atas tanah. Berikut ini adalah ringkasan dari setiap 17 jenis hak atas tanah yang tersedia. Hak-hak primer (hak-hak yang secara langsung berasal dari negara): Hak Milik [selanjutnya disebut HM]. HM adalah hak atas tanah yang paling lengkap sebagaimana ditetapkan oleh hukum Indonesia. HM dapat dialihkan dan dibatasi. HM sama dengan kepemilikan tanah mutlak atau free simple absolute berdasarkan sistem common law. Kecuali untuk badanbadan hukum tertentu yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, hanya warga negara Indonesia yang diperkenankan memiliki HM. Hak Guna Usaha [untuk selanjutnya disebut sebagai HGU]. HGU memberikan pemilik hak untuk menggunakan tanah selama jangka waktu tertentu untuk kepentingan pertanian, perikanan atau peternakan. HGU dapat dialihkan dan dibatasi. Warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat memiliki tanah dengan HGU. HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun. Setelah perpanjangan jangka waktu berakhir, HGU dapat diperbaharui. Hak Guna Bangunan [untuk selanjutnya disebut sebagai HGB]. HGB memberikan pemilik hak untuk membangun dan memiliki bangunan di atas tanah. Warga Negara Indonesia dan badanbadan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat memiliki HGB. HGB diberikan untuk jangka waktu hingga 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Hak Pakai [untuk selanjutnya disebut sebagai HP]. HP adalah hak untuk menggunakan dan/atau memperoleh hasil dari tanah, yang secara langsung dikuasai oleh Negara, atau tanah orang lain. HP dapat dimiliki oleh: Warga Negara Indonesia; badan-badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; departemen, badan pemerintah nondepartemen, dan pemerintah daerah; lembaga-lembaga keagamaan dan sosial; warga asing yang menetap di Indonesia; badan-badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia; wakilwakil negara asing dan lembaga-lembaga internasional. Umumnya, HP diberikan untuk jangka waktu hingga 20 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Setelah perpanjangan jangka waktu berakhir, HP dapat diperbaharui. Hak-hak sekunder (hak-hak yang diberikan oleh pemilik hak-hak primer berdasarkan kesepakatan bersama secara tertulis): Hak Sewa [selanjutnya disebut sebagai HS]. Pemilik HS berhak menggunakan tanah milik orang lain, dengan ketentuan bahwa pemilik HS tersebut wajib membayar uang sewa kepada pemilik tanah tersebut. Tidak ada ketentuan yang pasti mengenai HS. Orang-orang berikut ini memenuhi syarat untuk memiliki HS: Warga Negara Indonesia; warga asing yang menetap di Indonesia; badan-badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan Penanam Modal Asing (PMA); badan-badan hukum asing yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Hak Membuka Lahan dan Memungut Hasil Hutan. Hanya Warga Negara Indonesia yang berhak memegang hak ini. Hak Guna Air dan Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Hak Guna Ruang Angkasa. Proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru menimbulkan konflik-konflik pertanahan di beberapa bagian di Indonesia. Privatisasi mendorong Indonesia dan sumber daya 18 alamnya memasuki sistem perdagangan bebas dan sistem pasar bebas. 17 UUPA, Bab 2. Peraturan perundang-undangan pro-privatisasi lainnya yang terkait dengan industri-industri khusus adalah: Undang-Undang tentang Penanaman Modal (Undang-Undang No. 25 Tahun 2007), Undang-Undang tentang Kehutanan (Undang-undang No. 41 Tahun 1999) [selanjutnya disebut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan], Undang-Undang tentang Perkebunan (Undang-undang No. 18 Tahun 2004) [selanjutnya disebut Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan], Undang-undang tentang Sumber Daya Air (Undang-undang No. 7 Tahun 2004), Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Undang-undang No. 27 Tahun 2007), Undang-Undang tentang Pertambangan (Undang-Undang No. 4 Tahun 2009), dan pengundangan undang-undang yang terkini tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dibahas di bawah. Seluruh peraturan perundang-undangan telah mengesahkan pengambilalihan hak rakyat atas tanah, hutan, pertambangan, area perikanan, area dan wilayah penduduk 18 19 Kerangka hukum pro-privatisasi selama Reformasi (1998 - hingga saat ini) mengakomodasi UUPA dengan mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai reformasi agraria, dengan tetap melanjutkan praktik-praktik Orde Baru yang mengakomodasi investor asing dan utang luar negeri, terutama membiarkan privatisasi sumber daya alam. Dalam praktiknya, UUPA menyediakan sangat sedikit dukungan hukum untuk secara nyata melaksanakan penyelesaian-penyelesaian adat. Sebagai contoh, UUPA tidak menetapkan cara bagaimana mendaftarkan tanah yang dimiliki secara komunal atau melindungi kepemilikan adat. Hal ini dikarenakan keberadaan pemahaman-pemahaman komunal mengenai kepemilikan tanah di bawah hukum adat melampaui mekanisme-mekanisme pasar yang didasarkan pada kepemilikan individu. Akar permasalahannya adalah bahwa, seperti halnya undang-undang lain di Indonesia, UUPA hanya menetapkan prinsip-prinsip yang substantif dan membiarkan masalah-masalah khusus yang terkait dengan pelaksanaannya untuk disempurnakan di dalam peraturan-peraturan pelaksana administrasi. Peraturan-peraturan pelaksana UUPA yang saat ini berlaku gagal untuk menguraikan, dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum adat. Secara khusus, Hak Ulayat tidak pernah dikonversikan menjadi sebuah hak versi Barat yang ditetapkan menurut undang-undang, dan undang-undang yang secara jelas mendefinisikan cakupan dan status Hak Ulayat di bawah UUPA tidak pernah dikedepankan. Terdapat satu peraturan yang menetapkan tata cara penyelesaian sengketa mengenai Hak Ulayat, namun peraturan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Adat. 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Negara No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Hak Ulayat tidak akan diakui atau dicatat ketika atas lahan telah tunduk pada hak kepemilikan menurut undang-undang. Pada dasarnya perjuangan tuntutan berpusat pada hak-hak adat atas tanah, dengan konflik-konflik pertanahan yang lebih sering melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan yang besar dan hak-hak kepemilikan bagi rakyat yang menghilang dengan cepat. Sejumlah besar masyarakat bergantung pada tanah sebagai satu-satunya sarana mata pencaharian mereka. Sengketa tanah tersebar luas karena sejumlah bidang tanah yang belum disahkan secara hukum oleh pihak yang berwenang (BPN), dan penyewa serta pengguna tanah tidak memiliki sertifikat untuk membuktikan kepemilikan dan hak-hak lainnya. Undang-Undang Pengadaan Tanah Tahun 2011 Ketiadaan undang-undang tentang pengadaan tanah telah menghentikan perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Aturan-aturan yang tidak jelas tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan ketiadaan ketentuan-ketentuan formal tentang kompensasi yang adil bagi para pemilik tanah perorangan telah berakibat pada lamanya waktu penyelesaian yang diperlukan dalam kasus sengketa tanah. Pada 16 Desember 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 20 mengeluarkan sebuah undang-undang baru yang bertujuan untuk memfasilitasi lebih banyak pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk memperluas dan meningkatkan infrastruktur negara dalam rangka memenuhi persyaratan konektivitas dari komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Undang-undang Pengadaan Tanah dimaksudkan untuk mempersingkat proses dan mengurangi waktu yang diperlukan untuk memperoleh status kepemilikan. Undang-undang Pengadaan Tanah menetapkan adanya konsultasi publik dalam waktu paling lama 60 hari; apabila tidak ada keberatan selama jangka waktu tersebut, maka seluruh prosedur hukum untuk pelepasan tanah harus diselesaikan dalam jangka waktu 260 hari. Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana diperlukan waktu paling lama 30 hari untuk sebuah putusan dapat ditetapkan. Banding selanjutnya (kasasi) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari ke Mahkamah Agung, yang selanjutnya memerlukan waktu paling lama 30 hari untuk mengeluarkan putusan. Undang-undang Pengadaan Tanah memperkuat hal-hal yang telah mengalami pergeseran yang signifikan dalam sikap nasional terhadap tanah dengan mengutamakan kebutuhan masyarakat asli dan desa untuk kepentingan investor. Mahkamah Konstitusi baru-baru ini membatalkan pasal-pasal dalam UndangUndang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang mengkriminalisasi petani tak bertanah. 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Menteri No. 5 Tahun 1999) [selanjutnya disebut Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999]. 20 Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (2011) [selanjutnya disebut Undang-undang Pengadaan Tanah]. 20 luas ketimbang individu atau komunitas untuk proyek-proyek infrastruktur dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk memperoleh tanah. Meskipun telah disahkan, diperlukan waktu agar undang-undang tersebut dapat dilaksanakan secara penuh, sementara pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksana administrasi, seperti penunjukan penilai keuangan yang independen yang akan menentukan harga tanah. Juga terdapat beberapa hal mengenai kemampuan pengadilan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh undang-undang, dan yang lebih penting, apakah putusanputusan pengadilan akan dilaksanakan atau tidak. Rendahnya kepercayaan publik terhadap integritas sistem peradilan mengakibatkan para pemilik tanah dalam beberapa peristiwa tidak mau menerima putusan ganti rugi dan menolak untuk meninggalkan tanah mereka. Semua partai politik yang duduk di parlemen memberi dukungannya terhadap undang-undang tersebut, namun kelompok-kelompok pendukung hak tanah mengungkapkan kekecewaan mereka oleh karena undang-undang tersebut dianggap terlalu „pro-bisnis‟. Perusahaan masih akan menghadapi perlawanan dari masyarakat lokal, khususnya terkait dengan pelepasan tanah oleh pemerintah. Proses Persidangan Pidana 21 Kitab Undang-undang Hukum Pidana [selanjutnya disebut KUHP] mengandung beberapa ketentuan 22 23 yang terkait dengan delik pertanahan: Pasal 167 (penyerobotan tanah) ; Pasal 263 (pemalsuan) ; 24 25 Pasal 372 (penggelapan) ; Pasal 378 (penipuan) ; dan Pasal 385 (pendudukan tanah secara tidak 26 27 sah) . Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana [selanjutnya disebut KUHAP] menetapkan tata cara dan hak-hak individu pada tingkatan yang berbeda dari proses peradilan pidana: penangkapan, penahanan, penyelidikan, penuntutan dan persidangan. Menurut KUHAP, pihak kepolisian dapat menahan seseorang “yang diduga keras melakukan tindak 28 pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Polisi harus menunjukkan surat perintah penangkapan pada saat penangkapan dilakukan apabila tersangka tidak ditahan dengan cara fiagrante delicto. Polisi juga harus mengirimkan salinan surat perintah penangkapan kepada keluarga 29 tersangka . Tersangka harus dibebaskan dalam waktu satu sejak penangkapan apabila penyelidik, 21 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (berlaku sejak 1 Januari 1918 di bawah pemerintah Kolonial Belanda, mencakup perubahan-perubahan yang termuat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, telah diterapkan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 1958 melalui Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) [selanjutnya disebut KUHP]. 22 Pasal 167 menetapkan: (1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Barang siapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk. (3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. (4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu. 23 Pasal 263 menetapkan: (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. 24 Pasal 372 menetapkan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” 25 Pasal 378 menetapkan: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 26 KUHP, Pasal 385. 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) [selanjutnya disebut KUHAP]. 28 Id., Pasal 17 29 Id., Pasal 18 ayat (3). 21 30 penuntut umum atau hakim tidak memerintahkan penahanan . Penahanan hanya dapat dilakukan untuk pelanggaran dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih atau tindak pidana dalam 31 Pasal 21(4)(b) . Tersangka dapat ditahan paling lama 60 hari tanpa persetujuan pengadilan. Pada tahap penyidikan, penyidik harus memberitahukan penuntut umum bahwa penyidikan telah 32 dimulai. Apabila penyidikan dihentikan dikarenakan tidak terdapat cukup bukti atau jika peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidna, maka penyidik juga harus memberitahukan hal tersebut 33 kepada jaksa dan tersangka. Selama penyidikan, penyidik berwewenang untuk memanggil saksi untuk pemeriksaan. Pada saat penyidikan selesai, penyidik harus menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan masih kurang lengkap, maka ia akan mengembalikan berkas perkara tersebut dan memerintahkan penyidikan 34 tambahan . Berkas perkara selanjutnya diserahkan kembali. Pada tahap penuntutan, setelah memeriksa berkas perkara, jaksa penuntut umum akan memutuskan apakah kasus tersebut memenuhi persyaratan untuk kemudian dibawa ke pengadilan. Apabila ia memutuskan untuk mengajukan penuntutan, ia harus mempersiapkan surat dakwaan dan 35 melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang kompeten . Surat panggilan kemudian disampaikan kepada terdakwa dan para saksi, jika ada, untuk menghadiri persidangan. Apabila penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan, maka ia harus membuat surat ketetapan tertulis untuk 36 kemudian diserahkan kepada tersangka, penyidik dan hakim. Sidang pra-peradilan hanya dapat dilakukan untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan dan untuk memutuskan apakah pengadilan negeri memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus tersebut. Pada awal persidangan, penuntut umum akan menbacakan surat dakwaan. Hakim kemudian memberi kesempatan kepada terdakwa dan para saksi untuk memberikan keterangan. Hakim ketua akan memimpin pemeriksaan selama persidangan. Penuntut umum dan 37 penasihat hukum dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim ketua . Setelah pemeriksaan, penuntut umum akan mengajukan tuntutan pidana sebelum terdakwa memberikan pembelaan. Penuntut umum dapat membalas pembelaan terdakwa asal terdakwa 38 berhak untuk mengajukan sanggahan. Hakim ketua akan berkonsultasi dengan anggota majelis hakim lainnya sebelum membuat putusan. Pengadilan akan membebaskan terdakwa apabila kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum apabila perbuatan tersebut tidak 39 merupakan suatu tindak pidana. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah 40 melakukan pelanggaran tersebut, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana. Penuntut umum 41 kemudian akan melaksanakan putusan. Proses Persidangan Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata didasarkan pada dua peraturan yang diwarisi dari sistem Kolonial Belanda, Herziene Inlandsch Reglement dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten. Persidangan perdata biasanya diawali dengan penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang berkedudukan di wilayah domisili tergugat. Penggugat kemudian diminta untuk mendaftarkan gugatan perdata ke wakil panitera Pengadilan Negeri dan membayar biaya pendaftaran. Setelah pendaftaran, wakil panitera harus mengeluarkan surat panggilan kepada tergugat paling lambat 3 hari sebelum persidangan pertama dilangsungkan. Jika tergugat tidak dapat hadir pada persidangan pertama, ia akan dipanggil untuk persidangan kedua dan apabila diperlukan, sampai persidangan ketiga. Jika tergugat tidak hadir sampai pada persidangan ketiga, adalah 30 Id., Pasal 19 ayat (1). Id., Pasal21 ayat (4). 32 Id., Pasal 109 ayat (1). 33 Id., Pasal 109 ayat (2). 34 Id., Pasal 110. 35 Id., Pasal 140 ayat (1) & 143 ayat (1). 36 Id., Pasal 140 ayat (2). 37 Id., Pasal 164 ayat (2). 38 Id., Pasal 182 ayat (1)(b). 39 Id., Pasal 191 ayat (1) & (2). 40 Id., Pasal 193 ayat (1). 41 Id., Pasal 13. 31 22 kebijakan pengadilan untuk mengeluarkan putusan tanpa kehadiran tergugat (Putusan Verstek), kecuali gugatan tersebut jelas tidak beralasan. Putusan Verstek dapat dimintakan banding dan bersifat tidak mengikat atau final. Peraturan Mahkamah Agung menekankan pentingnya prosedur mediasi dan konsiliasi di pengadilan. Pada persidangan pertama di mana kedua belah pihak menghadap, hakim wajib untuk menganjurkan para pihak untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah dan mufakat dan menangguhkan persidangan sampai jangka waktu mediasi berakhir. Apabila proses mediasi berhasil dan para pihak dapat mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut harus mengandung klausul mengenai penarikan gugatan atau atau pernyataan yang menyatakan bahwa perselisihan telah diselesaikan. Hakim dapat menegaskan kesepakatan dan memasukkannya ke dalam putusan (Putusan Dading), yang tidak dapat dimintakan banding dan bersifat final dan mengikat. Di sebagian besar kasus pertanahan, prosedur mediasi dan konsiliasi informal tidak berhasil. Apabila proses mediasi tidak berhasil, maka persidangan pertama diadakan untuk mendapatkan pernyataan dari tergugat dan memastikan hal-hal administrasi. Hakim berwenang memberikan panduan kepada para pihak mengenai bukti dan alternatif-alternatif hukum yang disediakan untuk masing-masing pihak. Dalil utama selama persidangan berlangsung diberikan secara tertulis. Apabila jawaban tergugat atas gugatan telah disampaikan ke pengadilan, pengadilan menangguhkan persidangan untuk jangka waktu di mana penggugat diperkenankan untuk mengajukan jawabannya (replik). Tergugat juga dapat mengajukan gugatan balik (rekopensi) terhadap gugatan penggugat sebelum masuk pada proses pemeriksaan bukti. Gugatan balik tersebut dapat diajukan untuk jumlah yang sama, lebih tinggi atau lebih rendah dari jumlah gugatan. Jawaban penggugat (replik) menjadi awal dimulainya periode kedua di mana tergugat diminta untuk memberikan jawaban atau tanggapan terhadap replik tersebut (duplik). Apabila pengajuan tertulis telah disampaikan ke pengadilan, akan dijadwalkan persidangan lanjutan untuk memeriksa bukti-bukti tertulis. Tujuan dari persidangan ini adalah supaya hakim dapat memverifikasi salinan-salinan bukti dengan bukti asli. Setelah hakim memeriksa bukti-bukti tertulis tersebut, persidangan selanjutnya dijadwalkan untuk mendengar keterangan para saksi dari pihak penggugat dan tergugat. Penggugat diminta untuk menghadirkan paling sedikit dua orang saksi. Saksi-saksi dari pihak penggugat diperiksa terlebih dahulu, dan kemudian saksi-saksi dari pihak tergugat. Masing-masing saksi diperiksa oleh penasihat hukum yang memanggil mereka, dan juga dapat diperiksa silang oleh penasihat hukum pihak lawan dan diperiksa ulang oleh penasihat hukum yang pertama. Hakim juga berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. Catatan keterangan tertulis dibuat oleh petugas pengadilan dan diberikan kepada hakim. Umumnya para penasihat hukum dari masing-masing pihak akan menghubungi petugas pengadilan guna meninjau catatan dan melihat apakah terdapat kesalahan dalam catatan. Apabila para penasihat hukum tidak menyetujui catatan tersebut, mereka berhak untuk menghadap hakim guna melakukan verifikasi terhadap akurasi catatan dan memperoleh persetujuan hakim untuk memperbaiki segala kesalahan yang terkandung di dalamnya. Persidangan berikutnya dijadwalkan untuk memperoleh pernyataan akhir dari masing-masing pihak (Kesimpulan). Setelah menerima pernyataan akhir, hakim biasanya menangguhkan persidangan selama dua atau tiga minggu untuk meninjau kembali pernyataan-pernyataan dari kedua belah pihak dan menetapkan putusan. Pada persidangan yang akhir, hakim akan mengeluarkan putusan. Sesuai dengan aturan Mahkamah Agung, kasus perdata harus diselesaikan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu enam bulan. Apabila suatu kasus tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu enam bulan, maka Hakim Ketua Pengadilan Negeri harus melaporkan alasan-alasannya kepada Hakim Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pihak yang kalah di tingkat Pengadilan Negeri dapat mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi. Pemohon wajib mengajukan memori banding ke wakil panitera dari Pengadilan Negeri yang sama yang mengeluarkan putusan. Pemohon hanya perlu menandatangani Akta Banding dan membayar biaya banding untuk dapat mengajukan banding. Landasan-landasan hukum yang menjustifikasi banding tidak perlu dimasukan ke dalam permohonan banding; ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah cukup sebagai alasan pengajuan banding. Apabila 23 banding diajukan, termohon banding dapat mengajukan kontra memori banding, jika ia menghendaki, namun tidak ada persyaratan yang mengharuskan ia melakukan hal demikian. Permohonan banding ke Pengadilan Tinggi dimaksudkan untuk meninjau ulang fakta dan hukum dan didasarkan pada pernyataan-pernyataan tertulis yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi, pihak yang kalah dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Permohonan kasasi dan memori kasasi harus diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. Permohonan kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Dalam tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diajukan, memori kasasi yang memuat alasanalasan pengajuan kasasi harus disampaikan ke pengadilan. Termohon kasasi, jika ia menghendaki, juga dapat mengajukan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi. Mahkamah Agung tidak melakukan peninjauan terhadap fakta namun hanya memutus hal-hal hukum, termasuk apakah pengadilan-pengadilan yang lebih rendah telah menerapkan hukum dengan benar. Peradilan Informal Sistem peradilan informal di Sulawesi Selatan mencakup metode-metode penyelesaian sengketa alternatif di luar sistem peradilan formal yang menggabungkan negosiasi dan mediasi, umumnya di tingkat kecamatan atau desa. Komponen-komponen yang tidak mengikat secara hukum ini meliputi praktik-praktik adat dalam komunitas adat, dan norma-norma sosial, kebiasaan dan tradisi lainnya yang menetapkan proses dan tata cara penyelesaian sengketa. Umumnya, adat berlaku untuk komunitas-komunitas etnis tertentu di wilayah-wilayah tertentu di Sulawesi Selatan. Di desa-desa di mana adat terlalu kuat, sistem peradilan informal mencakup pelaksanaan fungsifungsi kuasi-yudisial oleh kepala lingkungan, camat, lurah dan para tokoh masyarakat atau tokoh agama lainnya. Kerangka hukum informal juga tidak menetapkan aturan-aturan untuk menangani transaksi komersial berskala besar. Dasar hukum yang mengizinkan perusahaan untuk memasuki wilayah dan memulai operasinya merupakan bagian dari hukum negara, yang meliputi perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah nasional dan daerah. Para pemilik tanah mendasarkan gugatan mereka pada hukum adat. 24 Unsur II. Pengetahuan Hukum Masyarakat mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka dan mekanisme-mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka. Kesimpulan Penilaian menemukan bahwa pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai hak-hak khusus yang dilindungi atau ditetapkan oleh undang-undang pertanahan Indonesia masih rendah. Namun, penilaian menunjukkan bahwa masyarakat mengambil tindakan yang menggambarkan kesadaran umum bahwa mereka telah dirugikan. Meskipun masyarakat sering mengambil inisiatif untuk mengajukan keluhan ke badan negara yang relevan atau otoritas adat, mereka sering tidak tahu langkah-langkah tambahan apa yang harus diambil jika mereka tidak mendapatkan respon atas keluhan mereka. Berkenaan dengan pengetahuan mengenai berbagai pilihan yang tersedia bagi mereka untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka, masyarakat tidak cukup mengetahui hal tersebut. Mereka tidak mengetahui adanya jasa pengacara atau bantuan hukum, kecuali apabila mereka mengetahui hal tersebut melalui anggota keluarga atau komunitas mereka. Setelah disahkan, peraturan perundang-undangan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara. Namun demikian, sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses terhadap dua publikasi ini. Kendala utama yang mencegah masyarakat untuk memperoleh pengetahuan hukum adalah kurangnya sosialisasi hukum oleh negara, terlepas adanya kewajiban berdasarkan undang-undang untuk mempromosikan pengetahuan hukum. Selama beberapa tahun terakhir, negara telah melakukan beberapa upaya untuk menyebarluaskan informasi hukum dengan mengembangkan situs web dari berbagai departemen pemerintah yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses undang-undang dan peraturan yang dapat diunduh. Sayangnya, efektivitas program diseminasi hukum melalui internet masih terhambat oleh rendahnya densitas telepon di Indonesia dan sedikitnya masyarakat yang memiliki akses telepon. Dalam banyak kasus, masyarakat masih perlu mengunjungi departemen-departemen pemerintah terkait untuk meminta bantuan dalam memperoleh materi-materi hukum. Namun demikian, akses terhadap departemen-departemen pemerintah secara geografis masih terbatas pada ibukota sehingga hampir tidak mungkin bagi lebih dari 200 juta warga yang tinggal di luar ibukota untuk mengakses informasi hukum. Kurangnya upaya pemerintah telah mendorong masyarakat sipil yang dinamis untuk masuk guna meningkatkan pengetahuan tentang hak-hak warga negara. Analisa “Hukum adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Lurah [adalah] hukum, polisi [adalah] hukum, hakim dan pengadilan [adalah] hukum dan mereka harus ditakuti. Kita tidak tahu fungsi polisi, pengacara dan hakim. Yang kita tahu adalah bahwa tidak ada yang dapat mencegah orang-orang ini untuk mengambil sesuatu dari orang yang tidak memiliki pendidikan – Andi, peserta diskusi kelompok terfokus. “Jangankan hukum, hanya mendengar kata “’polisi’ saja kami menjadi sangat ketakutan.” Iskandar, Makassar, peserta diskusi kelompok terfokus. Dalam rangka memperoleh penyelesaian untuk masalah-masalah keadilan sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku, masyarakat harus memiliki pengetahuan hukum – pemahaman mengenai hakhak dan kewajiban dasar mereka, langkah-langkah serta strategi yang mereka perlukan untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka, atau bahwa mereka telah dirugikan. Pada saat yang bersamaan, lembaga peradilan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan informasi kepada masyarakat yang bergantung pada pelayanan mereka. Dalam bagian ini, kami membahas sejauh mana masyarakat dapat memperoleh pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kemampuan untuk menggunakan hak-hak mereka, dengan dukungan dari lembaga-lembaga keadilan yang responsif. Penilaian menemukan bahwa pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai hak-hak khusus yang dilindungi atau ditetapkan oleh undang-undang pertanahan Indonesia masih rendah. Namun, penilaian menunjukkan bahwa masyarakat mengambil tindakan yang menggambarkan 25 kesadaran umum bahwa mereka telah dirugikan. Sebagai contoh, mereka melapor ke pemerintah setempat yang berwenang atau polisi bahwa tanah mereka telah diambil tanpa persetujuan mereka. Mereka juga telah tahu bagaimana menuntut hak-hak mereka dengan menunjukkan bukti sertifikat kepemilikan tanah, rincik, (dokumen tanah yang dikeluarkan selama masa kolonial Belanda) atau sertifikat tanah. Meskipun masyarakat sering mengambil inisiatif untuk menyampaikan keluhannya ke badan pemerintah yang terkait, mereka sering tidak tahu langkah-langkah tambahan apa yang harus diambil jika mereka tidak mendapatkan respon atas keluhan mereka. Di lain kesempatan, masyarakat menganggap bahwa hak-hak mereka telah dilanggar namun tidak mengambil tindakan dengan alasan takut dengan pihak kepolisian atau aktor-aktor pemerintah lainnya, posisi tawar mereka yang lemah dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh hak-hak mereka. Hal yang terburuk, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pilihan-pilihan yang tersedia menunjukkan bahwa mereka merasa harus menerima mekanisme apapun yang tersedia, terlepas dari kualitas layanan yang diberikan. Berkenaan dengan pengetahuan mengenai berbagai pilihan yang tersedia bagi mereka untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka, masyarakat tidak cukup menyadari hal tersebut. Mereka tidak mengetahui adanya jasa pengacara atau bantuan hukum, kecuali apabila mereka mengetahui hal tersebut melalui anggota keluarga atau komunitas mereka. Dalam satu kasus, pengetahuan hukum seorang warga sangat minim pada awal diajukannya gugatan namun meningkat sebagaimana kasus berkembang dan diproses melalui pengadilan. Warga tersebut memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal hukum dari pengalaman menangani kasusnya sendiri. Beberapa warga memandang pengetahuan hukum sebagai sesuatu hal di luar pemahaman orang awam dan sebagai pengetahuan yang disiapkan untuk advokat dan pejabat pemerintah. Mereka tidak tahu apa-apa dan tidak khawatir akan aspek hukum dari kasus mereka, mengingat bahwa mereka mengandalkan jasa advokat untuk membantu mereka menggunakan sistem peradilan. Upaya-upaya Pemerintah untuk mempromosikan pengetahuan hukum Setelah disahkan, peraturan perundang-undangan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Catatan penjelasan resmi (Penjelasan) menyertai beberapa jenis peraturan perundangundangan, seperti undang-undang dan peraturan pemerintah. Penjelasan ini dipublikasikan dalam Tambahan Lembaran Negara dan umumnya merupakan sumber yang sah untuk kepentingan penafsiran. Selain Lembaran Negara, terdapat Berita Negara yang mengandung pengumumanpengumuman pemerintah dan publik. Namun, sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses terhadap kedua publikasi ini. Kendala utama yang mencegah masyarakat untuk memperoleh pengetahuan hukum adalah kurangnya sosialisasi hukum oleh negara. Kepolisian nasional dan penasihat hukum utama pemerintah, Jaksa Agung, memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan kesadaran hukum publik dan wajib mengalokasikan anggaran untuk program kesadaran hukum. Menurut Pasal 14 Undang-Undang No. 42 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia , Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas untuk “membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan 43 44 perundang-undangan” . Jaksa Agung memiliki kewajiban yang sama. Terlepas dari undangundang tersebut, ada keterbatasan, bahkan ketidakhadiran, sosialisasi hukum yang berlaku oleh kedua badan tersebut dan entitas negara lainnya seperti lembaga kehakiman. Selama beberapa tahun terakhir, negara telah melakukan beberapa upaya untuk menyebarluaskan informasi hukum di seluruh wilayah kepulauan di Indonesia. Pemerintah telah mengembangkan situs web dari berbagai departemen pemerintah yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses undang-undang dan peraturan yang dapat diunduh. Sayangnya, efektivitas program diseminasi ini masih terhambat oleh rendahnya densitas telepon di Indonesia dan sedikitnya masyarakat yang memiliki akses telepon, terlebih lagi internet. Dalam banyak kasus, masyarakat masih perlu mengunjungi departemen-departemen pemerintah terkait untuk meminta bantuan dalam memperoleh materi-materi hukum. Bergantung pada ketersediaan pejabat pemerintah, akurasi dan rincian 42 Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Undang-undang No. 2 Tahun 2002) [selanjutnya disebut Undang-undang No. 2 Tahun 2002]. 43 Id., Pasal 14 ayat (1)(c). 44 Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Undang-undang No.16 Tahun 2004), pasal 30 ayat (3)(a). 26 tanggapan yang diberikan tidak sama dan tidak lengkap. Akses terhadap departemen-departemen pemerintah secara geografis masih terbatas pada ibukota sehingga hampir tidak mungkin bagi lebih dari 200 juta warga yang tinggal di luar ibukota untuk mengakses informasi hukum. Pada tahun 2007, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dengan dukungan dari United Nations Development Programme (UNDP) dan lembaga-lembaga donor internasional lainnya, meluncurkan sebuah inisiatif penting untuk meningkatkan akses terhadap keadilan bagi orang-orang 45 miskin. Satu diantaranya, inisiatif ini bertujuan untuk memberikan saran kebijakan strategis kepada pemerintah tentang bagaimana bekerja dengan masyarakat miskin untuk meningkatkan akses terhadap informasi dan bantuan hukum secara cuma-cuma. Melalui inisiatif ini, BAPPENAS membentuk sebuah kelompok kerja yang mencakup wakil-wakil pemerintah, akademisi, lembaga masyarakat sipil, dan badan-badan PBB untuk merencanakan Strategi Nasional tentang Akses 46 terhadap Keadilan [selanjutnya disebut Strategi Nasional]. Strategi Nasional menekankan bahwa reformasi harus meliputi semua sektor, tidak hanya kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan bantuan hukum, namun juga ombudsman, pendidikan hukum dan lembaga-lembaga pemerintah yang menyediakan layanan-layanan publik, serta masyarakat sipil dan organisasi-organisasi yang berbasis masyarakat yang memiliki peran dalam pemberdayaan masyarakat. Bagian dari Strategi Nasional adalah untuk menciptakan perpindahan paradigma mengenai perkembangan hukum dan pendidikan hukum dengan membangun kesadaran hukum kritis yang berbasis masyarakat. Rekomendasi-rekomendasi Strategi Nasional diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2010-2014, dan rencana-rencana tindakan nyata Strategi Nasional mendukung kementerian-kementerian terkait dan lembaga-lembaga peradilan di dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka, serta meningkatkan hasil inisiatif pembangunan masyarakat yang sedang berlangsung. Upaya-upaya masyarakat sipil untuk mempromosikan pengetahuan hukum Kurangnya upaya pemerintah telah mendorong masyarakat sipil yang dinamis untuk masuk guna meningkatkan pengetahuan tentang hak-hak warga negara. Di Makassar sendiri, terdapat kurang lebih 100 kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam inisiatif-inisiatif penyebarluasan informasi, termasuk kampanye pendidikan, pelatihan tentang hukum domestik dan internasional, dan program pendidikan paralegal. Di Kabupaten Bukulumba, hanya terdapat satu kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam inisiatif-inisiatif semacam itu, namun di Kabupaten Gowa, tidak ada. Satu dari banyak contoh upaya masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran hukum datang dari lembaga-lembaga non-profit internasional, Search for Common Ground [selanjutnya disebut SFCG]. SFCG melaksanakan Kampanye Media Kesadaran Publik tentang Akses terhadap Keadilan dengan Mahkamah Agung Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai sistem peradilan dan meningkatkan akses publik terhadap keadilan dan bantuan hukum. Kampanye media tersebut meliputi seri drama radio berjudul Mencari Keadilan, kontes radio “ketahui hak anda”, pengumuman layanan umum, komik dan iklan dan pemasaran yang komprehensif. Seri drama radio disiarkan di Makassar, dan 5 pusat daerah kota di seluruh Indonesia, yang mewakili lebih dari 50 juta masyarakat, dan mencakup berbagai permasalahan hukum, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, hukum pertanahan, hukum buruh, hukum keluarga, hukum warisan dan masalah hak asasi manusia. Drama radio tersebut terbukti menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan informasi, terutama kepada masyarakat yang sebelumnya memiliki pengetahuan yang terbatas atau tidak memiliki pengetahuan sama sekali, dan mensosialisasikan tingkah laku dan cara bersikap yang baru. Drama radio tersebut secara substansi meningkatkan kesadaran bahwa sistem peradilan dapat diakses jika dilakukan dengan benar. Terkait dengan drama radio, kontes interaktif yang berjudul “ketahui hak anda” diadakan untuk mengajak para peserta berpikir tentang akses terhadap peradilan, dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan pemahaman dasar mengenai hak-hak mereka. Kontes tersebut mendorong para peserta untuk mendengarkan 45 Inisiatif ini merupakan tanggapan atas penilaian yang komprehensif mengenai akses terhadap keadilan di propinsi-propinsi yang ditargetkan yang dilakukan oleh BAPPENAS dan UNDP dan konsultasi dengan 600 pemangku kepentingan di tingkat nasional dan propinsi. Lihat UNDP, National Development Planning Agency, “Justice for All?: An Assessment of Access to Justice in Five Provinces in Indonesia” (Desember 2006). 46 Strategi Nasional bertujuan untuk menciptakan kerangka kebijakan dan peraturan yang mencakup masyarakat miskin dan memberikan mereka akses terhadap keadilan. Strategi Nasional meliputi delapan sector, termasuk reformasi hukum dan kehakiman; bantuan hukum; pemerintahan lokal; sumber daya alam dan pertanahan; perempuan; anak-anak; buruh; serta kelompok-kelompok miskin dan kurang beruntung. 27 drama radio secara rutin dengan membuat beberapa pertanyaan kuis berdasarkan pengetahuan yang terkandung dalam drama radio tersebut. SFCG memberikan hadiah kepada para pemenang kuis. Kampanye pengumuman layanan publik memberikan para pendengar informasi khusus yang meningkatkan pengetahuan mereka mengenai hak-hak hukum dasar, sementara meningkatkan kemampuan mereka untuk mengakses keadilan di dalam komunitas mereka. Pengumuman layanan publik tersebut memberikan informasi khusus, sebagaimana ditentukan oleh hasil forum-forum publik yang difasilitasi oleh SFCG, mengenai permasalahan seperti aksesibilitas bantuan hukum cumacuma. SFCG juga mendesain komik berjudul “ketahui hak anda” untuk memberitahukan kepada masyarakat perihal hak-hak dasar mereka atas keadilan dan menjangkau masyarakat yang lebih terpinggirkan yang kurang paham dengan istilah formal. Komik tersebut bergantung pada unsur-unsur visual dan bahasa sehari-hari agar dapat dimengerti oleh masyarakat. Komik tersebut menguatkan pesan-pesan kunci mengenai kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan dan perceraian dan masalah-masalah pertanahan dan perburuhan. 28 Unsur III. Nasihat dan Perwakilan Masyarakat dapat mengakses nasihat dan perwakilan hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah keadilan mereka. Kesimpulan Nasihat dan perwakilan hukum harus menjangkau bahkan populasi yang paling terpinggirkan di daerah pedesaan. Sedikit dari masyarakat menganggap pengacara atau advokat sebagai sebuah pilihan yang mungkin oleh karena biaya yang dipersepsikan dan aktual untuk menyewa seorang pengacara atau advokat. Juga terdapat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengacara atau advokat. Pengacara atau advokat diatur dalam Undang-undang Advokat Indonesia yang menegaskan kewajiban pengacara atau advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma (pro bono) bagi fakir miskin. Tahun lalu, asosiasi pengacara nasional, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), mengeluarkan panduan baru yang menyediakan bantuan hukum cuma-cuma. Meskipun katalog ketentuan tentang bantuan hukum sangat mengesankan, kenyataannya tidak demikian. Pengacara atau advokat jarang memberikan layanan hukum cuma-cuma, kendati kewajiban mereka di bawah undang-undang, yang pada kenyataannya tidak dilaksanakan. Lebih lanjut, jumlah pengacara atau advokat yang diperlukan guna memenuhi permintaan mereka yang membutuhkan bantuan hukum sangat sedikit. Di Sulawesi, dengan jumlah penduduk lebih dari 17 juta jiwa, hanya terdapat sekitar 2.000 pengacara, dimana sebagian besar berada di tiga kota besar yang berpenduduk padat. Terdapat sekitar 1.000 pengacara di tingkat Propinsi di Sulawesi Selatan untuk kurang lebih 8 juta penduduk. Kebanyakan dari mereka bekerja di Makassar. Saat ini, tidak terdapat bantuan hukum yang disponsori oleh negara. Organisasi masyarakat sipil menyediakan bantuan hukum melalui pengacara atau advokat dan paralegal, namun layanan mereka terbatas dalam ruang lingkup, kekurangan dana dan tidak diketahui oleh mereka yang membutuhkan jasa bantuan hukum. Paralegal mengisi kesenjangan dalam penyediaan jasa layanan hukum sampai pada taraf tertentu, namun mereka tidak diatur dalam undang-undang dan tidak memiliki definisi dan status hukum. Akibatnya, sebagian besar masyarakat tetap hadir di pengadilan tanpa didampingi oleh pengacara atau penasihat hukum. Pada 4 Oktober 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan sebuah undang-undang baru tentang bantuan hukum, Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang mengamanatkan bahwa penasihat hukum akan tersedia bagi warga miskin yang terlibat dalam masalah-masalah perdata, pidana, administrasi prosedural, dan non-litigasi, dan menetapkan standar bahwa penyedia bantuan hukum harus memenuhi persyaratan untuk dapat menerima dana negara. Undang-Undang juga memberikan kesempatan yang lebih besar bagi paralegal dalam memberikan layanan bantuan hukum. Namun, dampak dari undang-undang baru tersebut masih harus dipantau, karena pemerintah membutuhkan waktu untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Analisa “Jumlah advokat yang menetap di Bulukumba berjumlah empat orang, namun hanya dua orang yang aktif di pengadilan. Meskipun mereka tidak memiliki kantor, dan, apabila seseorang memerlukan jasa mereka [nasihat hukum], ia harus datang ke kediaman mereka. Tidak satupun dari mereka berkeinginan untuk memberikan jasa bantuan hukum secara cuma-cuma. Tidak terdapat lembaga bantuan hukum di Bulukumba.” – Paralegal, Ahmad K, peserta diskusi kelompok terfokus. Bahkan apabila masyarakat memiliki pengetahuan hukum, mereka bolehjadi akan mengalami kesulitan dalam menggunakan institusi-institusi peradilan. Masyarakat harus dapat memanfaatkan kesempatan memperoleh nasihat dan perwakilan hukum, termasuk nasihat dan perwakilan hukum cuma-cuma ketika berhadapan dengan masalah keadilan. Pemerintah memikul tanggung jawab untuk menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Apabila pemerintah tidak mampu, organisasi-organisasi lain, seperti organisasi-organisasi masyarakat sipil, advokat pro bono dan bahkan paralegal dapat menyediakan layanan ini. Di bagian ini, kami menganalisa faktor-faktor hukum, politik dan kelembagaan yang mempengaruhi apakah masyarakat dapat mengakses nasihat dan perwakilan hukum yang diperlukan. 29 Pengacara Pengacara, atau advokat, diatur berdasarkan Undang-undang Advokat Indonesia No. 18 Tahun 47 2003 [selanjutnya disebut Undang-Undang No.18 Tahun 2003]. Istilah “advokat” digunakan dalam 48 praktik umum yang mengacu pada pengacara Indonesia yang berpraktik sebagai litigator . Undangundang juga membedakan antara advokat, konsultan hukum dengan advokat asing. Advokat memiliki kualifikasi untuk praktik apabila mereka telah menyelesaikan pendidikan sarjana hukum, tidak dipekerjakan oleh pemerintah, dan telah menyelesaikan program pendidikan khusus profesi advokat, lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat nasional dan menyelesaikan magang selama dua tahun di kantor hukum. Asosiasi advokat nasional yang paling tua, Perhimpunan Advokat Indonesia (selanjutnya disebut “PERADI”) dibentuk sejak tahun 2005, sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-undang No. 18 Tahun 2003. Meskipun Undang-Undang No.18 Tahun 2003 menetapkan hanya ada satu organisasi advokat, upaya menggabungkan aturan-aturan advokat ke dalam satu organisasi advokat tidak berhasil. Pada tahun 2007, perselisihan timbul di dalam PERADI yang mengakibatkan dibentuknya sebuah organisasi baru yang bersaing, Kongres Advokat Indonesia (“KAI”). KAI juga mengklaim wewenang untuk mengatur perijinan advokat dan melaporkan pengangkatan tersebut ke Mahkamah Agung dan Menteri Hukum and Hak Asasi Manusia, menawarkan program pendidikan khusus profesi advokat, dan bahkan telah mengembangkan kode etiknya sendiri. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 menetapkan bahwa satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan 49 ujian advokat adalah PERADI , akan tetapi PERADI belum dapat mempertahankan kontrol yang eksklusif atas penyelenggaraan ujian advokat. KAI telah menerima pengakuan de facto dan, dalam praktiknya, baik PERADI maupun KAI saat ini diterima sebagai lembaga yang berwenang untuk 50 menyelenggarakan ujian advokat. Secara total, terdapat sekitar 24.000 advokat untuk melayani penduduk yang berjumlah lebih dari 240 51 juta jiwa di Indonesia. Di Sulawesi, dengan penduduk lebih dari 17 juta jiwa, hanya terdapat sekitar 52 2.000 advokat, dimana mayoritas dari mereka berlokasi di tiga kota besar, Makassar, Palu, dan 53 Kendari. Tidak ada data yang tersedia mengenai jumlah advokat di Propinsi Sulawesi Selatan, meskipun seorang advokat memperkirakan bahwa terdapat sekitar 1.000 advokat di Makassar untuk penduduk sebanyak 8 juta jiwa di Sulawesi Selatan. Di dua lokasi lainnya yang menjadi objek penelitian, hanya terdapat 15 advokat di Kabupaten Gowa dan 4 advokat di Kabupaten Bulukumba, di mana hanya dua orang yang aktif. Oleh karena sebagian besar advokat bekerja di ibukota Propinsi atau kota-kota besar, perkotaan, nasihat dan perwakilan hukum tidak dapat menjangkau penduduk yang terpinggirkan di wilayah pedesaan. Lebih lanjut, hanya sedikit masyarakat yang menganggap advokat sebagai sebuah pilihan yang mungkin oleh karena biaya yang dipersepsikan dan aktual untuk menyewa seorang pengacara atau advokat. Dari sejumlah masyarakat yang diwawancarai, mayoritas menunjukkan ketidakpercayaan terhadap advokat; mereka justru percaya bahwa advokat terlalu memfokuskan diri pada biaya penanganan ketimbang perkara yang ditangani. Biaya perwakilan hukum di Propinsi Sulawesi Selatan umumnya ditentukan oleh advokat berdasarkan tingkat kesulitan kasus dan situasi keuangan klien. Seorang advokat di Makassar menyatakan bahwa rata-rata biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat adalah sebesar 5 juta Rupiah (sekitar USD 571,00) untuk kompensasi jasanya. Bagi sebagian besar masyarakat, 5 juta Rupiah mewakili hampir setengah gaji per tahun. Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2003, negara menetapkan kewajiban advokat untuk membantu kelompok minoritas, orang miskin atau orang-orang terpinggirkan lainnya yang mencari keadilan. Ketentuan Undang-Undang 18 Tahun 2003 menyatakan: 47 Undang-Undang tentang Advokat Indonesia (Undang-undang No.18 Tahun 2003) [selanjutnya disebut Undang-undang No.18 Tahun 2003]. 48 Undang-undang No.18 Tahun 2003 menetapkan: “advokat” sebagai “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Undang-undang No.18 Tahun 2003, pasal 1. 49 Id., Pasal 3 ayat 1(f) menyatakan bahwa calon advokat harus lulus dalam ujian yang diadakan oleh organiasi advokat. 50 Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam subjek yang diuji dalam ujian yang diadakan oleh PERADI dan KAI. 51 Data keanggotaan, PERADI, November 2011. Data anggota KAI tidak tersedia. Meskipun tidak komprehensif, data tersebut memberikan gambaran mengenai statistik demografik advokat di Indonesia. 52 Palu adalah ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. 53 Kendari adalah ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara. 30 Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien 54 yang tidak mampu; Dalam menjalankan tugasnya, seorang advokat dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien 55 berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya ; Seorang advokat memiliki kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada 56 pencari keadilan yang tidak mampu ; dan Melalui bantuan hukum yang diberikan, seorang advokat melaksanakan tugas profesinya untuk memberikan keadilan berdasarkan hukum demi kepentingan pencari keadilan, termasuk usaha 57 pemberdayaan. 58 Peraturan Pemerintah (PP) mewajibkan advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma 59 60 kepada “pencari keadilan yang tidak mampu”. Tahun lalu PERADI mengeluarkan panduan baru untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dan PP No. 83 Tahun 2008. Aturan PERADI No. 1 Tahun 2010 menetapkan bahwa advokat dianjurkan untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma setidaknya 50 jam kerja setiap tahun. Ketentuan ini akan digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan atau untuk memperbaharui Kartu Tanda Identitas Advokat. Jika advokat tidak dapat memenuhi persyaratan ini, penerbitan kartu identitas akan ditangguhkan sampai persyaratan tersebut dipenuhi. Untuk memfasilitasi ketentuan bantuan hukum cuma-cuma, PERADI juga telah membentuk pusat bantuan hukum. Bantuan Hukum Bantuan hukum cuma-cuma sebagian diatur dalam beberapa jenis peraturan perundang-undangan. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa “Setiap orang 61 yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.” Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hanya mereka yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih 62 memperoleh jaminan terhadap akses terhadap penasihat hukum, dan negara tidak memiliki tanggung jawab untuk menjamin seorang penasihat hukum dalam kasus-kasus yang lain. Selain ini, dan juga Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 dan PP No. 83 Tahun 2008, terdapat banyak undang63 undang dan peraturan lain yang membahas mengenai bantuan hukum. Berdasarkan Pasal 11 SEMA No. 10 Tahun 2010, untuk mendapatkan bantuan hukum, masyarakat harus menyerahkan dokumen-dokumen berikut: Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/ Kepala Desa setempat; atau bukti lain seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemohon harus menandatangani surat pernyataan tidak mampu untuk kemudian diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Dalam praktiknya, seorang warga miskin harus mendapatkan surat dari ketua RT dan RW dan menunjukkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan yang terbaru. Meskipun tidak ada dasar hukum yang mengatur biaya untuk memperoleh dokumen-dokumen tersebut, masyarakat pada umumnya diminta untuk membayar biaya administrasi sebesar 5.000 Rupiah (sekitar USD .60) – 20.000 Rupiah (sekitar USD 2.30). 54 Undang-undang No.18 Tahun 2003, Pasal 1 ayat (9). Id., Pasal 18 ayat (1). 56 Id., Pasal 22 ayat (1). 57 Id., Penjelasan, Ketentuan Umum. 58 Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-cuma (Peraturan Pemerintah No. 83 tanggal 31 Desember 2008) [selanjutnya disebut PP No. 83 Tahun 2008]. 59 Peraturan menetapkan: “Untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma, pencari keadilan mengajukan permohonan tertulis yang ditujukan langsung kepada Advokat atau melalui Organisasi Advokat atau melalui Lembaga Bantuan Hukum”. PP No. 83 Tahun 2008, pasal 4 ayat (1). 60 Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No.1, 8 Juli 2010) [selanjutnya disebut Peraturan PERADI No.1 Tahun 2010]. 61 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 4 Tahun 2004) [selanjutnya disebut Undang-undang No. 4 Tahun 2004], pasal 37. 62 KUHAP, pasal 56. 63 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, pasal 237; Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum (No.10, 2010) [selanjutnya disebut SEMA No.10 Tahun 2010]; Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui Lembaga Bantuan Hukum (No. M 01-UM.08.10, 1996); Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (No. M 03-UM.06.02,1999); Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum Bagi Golongan Masyarakat Yang Kurang Mampu Melalui LBH. (No. D.Um.08.10.10, 12 Mei 1998). 55 31 Meskipun daftar ketentuan mengenai bantuan hukum terlihat mengesankan, kenyataannya tidak demikian. Advokat yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka jarang memberikan layanan cuma-cuma meskipun memiliki kewajiban di bawah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, yang pada kenyataannya tidak dilaksanakan. Lebih lanjut, jumlah advokat yang tersedia terlalu sedikit untuk memenuhi permintaan mereka yang membutuhkan layanan bantuan hukum. Kantor bantuan hukum tidak tersedia di banyak wilayah. Contohnya, tidak terdapat kantor bantuan hukum di Kabupaten Bulukumba dan Gowa. Akibatnya, sebagian besar masyarakat tetap hadir di pengadilan tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Bantuan hukum yang didanai Negara 64 Berdasarkan Instruksi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia , Kementerian dipersyaratkan untuk mengalokasikan dana dalam hal bantuan hukum. Berdasarkan Surat Perintah tersebut, pemerintah memberikan anggaran bantuan hukum melalui Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud akan menunjuk seorang pengacara/advokat untuk mewakili seorang atau masyarakat miskin atas dasar pro bono. Namun demikian, tidak ada data di mana sistem ini terus dilaksanakan. Menurut para pengacara dan CSO yang diwawancarai, tidak ada dana pemerintah yang dialokasikan saat ini untuk kepentingan bantuan hukum. Apabila warga negara tidak dapat mengakses lembaga bantuan hukum, maka mereka harus mewakili dirinya sendiri atau membayar pengacara /advokat pribadi. 65 Pada 4 Oktober 2011, DPR mengeluarkan undang-undang baru tentang bantuan hukum, (Undangundang tentang Bantuan Hukum). Undang-undang No. 16 Tahun 2011 menyediakan penasihat hukum bagi setiap warga miskin yang terlibat dalam kasus perdata, pidana, prosedur administrasi, 66 dan non-litigasi. Undang-undang No. 16 tahun 2011 menetapkan standar-standar yang harus dipenuhi oleh pemberi bantuan hukum guna mendapatkan dana negara. Penyedia bantuan hukum harus terdaftar dan terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini dan memiliki kantor yang tetap, 67 pengurus, dan program Bantuan Hukum. Kementerian diwajibkan untuk melakukan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi sosial untuk memenuhi peran mereka sebagai pemberi bantuan hukum. Dalam melaksanakan proses akreditasi, Menteri akan membentuk sebuah panitia yang terdiri dari departemen Kementerian, akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi 68 bantuan hukum. Proses akreditasi akan dilaksanakan setiap tiga tahun. Kementerian ini akan menangani pembayaran dengan dana pemerintah, dengan prosedur yang akan ditetapkan oleh Keputusan Menteri. Pemberi bantuan hukum tidak terbatas hanya pada menerima dana publik, karena mereka juga dapat menerima uang dari sumber-sumber lain, seperti hibah dan sumbangan. Menurut direktur eksekutif sebuah lembaga bantuan hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar [selanjutnya disebut YLBHM], undang-undang baru tersebut memberikan kesempatan yang lebih besar kepada paralegal untuk memberikan jasa layanan hukum. Pasal 9(a) UndangUndang No. 16 Tahun 2011 menyatakan bahwa pemberi bantuan hukum dapat melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum untuk memberikan pelayanan bantuan hukum. Namun, dampak dari undang-undang baru tersebut harus terus dilihat. Akan dibutuhkan beberapa waktu lamanya untuk undang-undang tersebut dapat beroperasi penuh, sementara menunggu pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksana. Lembaga Masyarakat Sipil Sejak tahun 2002, lembaga bantuan hukum telah membiayai kebutuhan operasional pemberian bantuan hukum tanpa dana Negara dan menggunakan pendanaan dari masyarakat dan donor luar negeri dan dalam negeri. Gerakan bantuan hukum dimulai sejak tahun 1970 dengan pendirian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (“LBH Jakarta”) oleh asosiasi advokat Indonesia yang pada saat itu disebut PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia). Tahun 1980, dalam rapat nasional lembaga 64 Instruksi Menteri Kehakiman (No. M.24 UM.06.02, 1985). Undang-Undang tentang Bantuan Hukum (Undang-Undang No.16, 2011) [selanjutnya disebut Undang-Undang No.16 Tahun 2011]. 66 Undang-undang tentang Bantuan Hukum (Undang-Undang No.16 Tahun 2011), pasal 14. Pemohon Bantuan Hukum diwajibkan untuk menyerahkan surat permohonan yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum; dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum. 67 Id., pasal 8. 68 Id., pasal 7. 65 32 bantuan hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya disebut YLBHI) didirikan sebagai lembaga payung dari lembaga-lembaga bantuan hukum. YLBHI menetapkan lima bidang prioritas: advokasi kasus, pendidikan, studi dan telaah kebijakan, pengembangan jaringan, dan kampanye dan publikasi. YLBHI dan kantor-kantor anggotanya memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada anggota masyarakat yang tidak mampu membayar seorang pengacara. Cabang YLBHI, Lembaga Bantuan Hukum Makassar [selanjutnya disebut LBH Makassar] terbagi menjadi tiga bidang khusus: hak sipil dan politik; hak ekonomi sosial dan budaya; dan perempuan dan anak-anak. Dengan anggaran tahunan sebesar 100 juta Rupiah (kurang lebih sebesar USD 69 11,407.00), LBH Makassar mempekerjakan 13 pengacara bantuan hukum penuh waktu dn 2 staf 70 administrasi yang melayani penduduk di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Untuk menentukan pemenuhan persyaratan dalam rangka pemberian bantuan hukum, calon klien diwajibkan untuk melengkapi formulir pendaftaran permohonan bantuan hukum, dan LBH Makassar akan mewawancarai pemohon dan memeriksa informasi awal yang diberikan oleh pemohon sebelum memutuskan apakah mereka akan mengambil kasus tersebut. Klien mereka biasanya berpenghasilan sebesar 1 juta (kira-kira sebesar USD 114,00) hingga 1½ juta Rupiah (kura-kira sebesar USD 171,00) per bulan. Pada tahun 2011, LBH Makassar menangani 300 kasus, yang mana sebagian besar 71 terkait dengan gugatan sengketa tanah. Dari 300 kasus tersebut, 30-40 termasuk kasus pidana, perdata dan administrasi negara yang ditangani melalui proses peradilan atau dengar pendapat administrasi. Antara tahun 2008-2010, LBH Makassar menangani kasus-kasus pidana pertanahan teyang rkait dengan pasal-pasal sebagai berikut: • • • • • Pasal 167, ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai perampasan tanah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan Pasal 2 Undang-undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak Atau Kuasanya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau denda sebesar 5.000 Rupiah (kira-kira sebesar USD 0,60). Semua kasus yang ditangani oleh LBH Makassar diputus tidak bersalah; Pasal 78 jo. Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 milyar Rupiah (kirakira USD 570.345,00). Klien LBH Makassar menerima putusan bersalah dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan; Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak sebesar 5 milyar Rupiah (kira-kira USD 570.345,00). Semua kasus yang ditangani oleh LBH Makassar diputus bersalah dengan pidana penjara antara 1 tahun sampai 1 tahun 6 bulan; Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai perusakan umum oleh kelompok diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan dan Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang perusakan milik orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Klien LBH Makassar diputus bersalah dengan pidana penjara antara 1 tahun dan 1 tahun enam bulan; Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang penggunaan dokumen palsu diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Klien LBH Makassar terbukti bersalah dan dikenakan hukuman pidana penjara selama satu tahun. Rata-rata, masyarakat berada dalam penahanan pra-peradilan selama 3 hingga 4 bulan; persidangan itu sendiri berlangsung selama 3 bulan untuk sampai pada putusan. Pengacara LBH Makassar biasanya meminta penangguhan penahanan atau perubahan status penahanan dari penahanan di dalam penjara menjadi penahanan dalam kota, yang didukung oleh surat jaminan yang dikeluarkan oleh keluarga klien. Terdapat dua kelompok masyarakat sipil lain di Makassar yang menangani kasus sengketa tanah. Dibentuk pada tahun 2004 oleh sekelompok akademisi, aktivis, serta pelajar, sebagai respon atas kelangkaan lembaga yang memberikan bantuan hukum, YLBHM memberikan bantuan hukum bagi 72 masyarakat miskin di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. YLBHM memiliki 6 69 LBH Makassar menerima dana dari Yayasan Tifa, Kemitraan, dan USAID. Advokat baru yang sedang menyelesaikan masa magang selama dua tahun sebelum mereka dapat berpraktik, tidak menerima gaji. Gaji wakil direktur sekitar 1 juta Rupiah (kira-kira USD 114,00) per bulan. 71 LBH Makassar tidak menangani kasus pidana sengketa tanah pada tahun 2011. 72 Misi YLBHM adalah untuk menanamkan, memelihara, dan menyebarkan nilai-nilai kedaulatan rakyat dan negara demokratis yang sah dengan menegakkan keadilan sosial, untuk semua lapisan masyarakat; untuk mendorong pertumbuhan sikap kritis di 70 33 orang pengacara dan tiga orang paralegal yang menangani rata-rata 26 kasus per tahun. Menurut Direktur Eksekutif YLBHM, setengah dari total kasus yang ditangani adalah kasus terkait dengan konflik pertanahan. Organisasi masyarakat sipil lain di Makassar yang menangani beberapa kasus pertanahan adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, namun stafnya hanya terdiri dari 3 orang pengacara. Paralegal Oleh karena hambatan-hambatan yang dihadapi oleh masyarakat dalam memperoleh nasihat dan perwakilan hukum dari advokat, termasuk biaya advokat dan kelangkaan advokat secara umum dan mereka yang mau bekerja untuk masyarakat miskin, perbedaan yang signifikan dalam pemberian layanan hukum muncul. Pada taraf tertentu, paralegal berbasis masyarakat menjawab perbedaan ini; namun demikian, mereka pada umumnya terbatas pada peran fasilitasi, meskipun mereka juga terlibat dalam advokasi dan mediasi. YLBHM telah bekerja dengan paralegal berbasis masyarakat untuk memberdayakan masyarakat dan individu, dimana sebagian dari cerita mereka dijelaskan dalam laporan ini, untuk menuntut hak-hak mereka. YLBHM melatih sekitar 40 paralegal berbasis masyarakat mengenai prinsip-prinsip hukum yang utama mengenai hak atas tanah, metode untuk menuntut hak-hak hukum, serta prinsip-prinsip utama mengenai litigasi dan mediasi masyarakat. Paralegal berbasis masyarakat memainkan peran kunci dalam meningkatkan kesadaran akan hakhak di tingkat masyarakat dan mendorong masyarakat untuk menuntut hak-hak mereka melalui sistem peradilan informal dan formal. Pelatihan untuk paralegal secara substansi telah memberikan manfaat bagi ribuan masyarakat yang terpinggirkan di tengah keterbatasan bantuan hukum dan tingginya biaya advokat. Namun demikian, paralegal tetap tidak diatur secara hukum dan tidak memiliki definisi hukum dan status hukum. YLBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya yang bekerja dengan paralegal mengalami kekurangan pendanaan dalam mengawasi dan menindaklanjuti pelatihan untuk para paralegal. Lebih lanjut, paralegal menghadapi perlawanan dari aktor-aktor keadilan, termasuk asosiasi advokat, yang merasa terancam dan menolak gagasan paralegal dapat memberikan perwakilan hukum di pengadilan. Berkenaan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011, YLBHM bermaksud untuk meningkatkan program pendidikan bagi paralegal dengan menyusun sebuah kurikulum pelatihan bagi para paralegal, termasuk proses sertifikasi yang menguji keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan oleh paralegal. Paralegal juga sebaiknya diberikan pelatihan mengenai dokumentasi kasus dan menerima pengawasan dan pemantauan dari pengacara YLBHM. YLBHM juga tertarik untuk melakukan pengawasan dan evaluasi yang melibatkan partisipasi masyarakat terhadap dampak kegiatan paralegal, seperti pelatihan, penanganan kasus, pendidikan hukum masyarakat, advokasi, tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan, masalah yang dihadapi dan penyelesaian yang diusulkan. kalangan masyarakat dalam merumuskan dan mengekspresikan kepentingan mereka; untuk mendorong pertumbuhan organisasi masyarakat sipil sebagai kendaraan untuk perjuangan bersama mereka; dan untuk mendorong terciptanya suatu kondisi awal yang mendukung upaya reformasi hukum sebagaimana diarahkan untuk mengakomodasi kebutuhan dalam masyarakat. 34 Unsur IV. Akses Terhadap Institusi Peradilan Institusi-institusi peradilan ada, baik formal atau informal yang terjangkau dan dapat diakses, dan memproses kasus tepat waktu. Kesimpulan Oleh karena sebagian besar sengketa tanah tidak diselesaikan secara efektif melalui sarana informal, warga negara terpaksa menggunakan sistem peradilan formal untuk menuntut haknya atau menyelesaikan sengketa tanah. Mereka umumnya kecewa dengan pengalaman mereka pergi ke pengadilan dan menyebutkan bahwa biaya dan lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus mereka merupakan hambatan utama untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan. Selain biaya-biaya tidak resmi, termasuk biaya perjalanan, biaya-biaya resmi yang dikenakan kepada masyarakat yang mengajukan gugatan hukum merupakan penghambat untuk mengakses institusi peradilan. Masyarakat umumnya tidak memiliki dana untuk membayar biaya-biaya yang diwajibkan untuk penanganan suatu kasus. Keterbatasan yang paling umum adalah bahwa masyarakat tidak pernah tahu persis berapa banyak biaya yang harus mereka keluarkan secara nyata selama proses persidangan. Lebih lanjut, sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri harus menyelesaikan dan memutuskan suatu kasus perdata dalam jangka waktu enam bulan. Apabila sebuah kasus tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu enam bulan, maka Ketua Pengadilan Negeri harus memberikan alasan kepada Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Meskipun peraturan mengatakan demikian, jangka waktu terhitung dari dimulainya proses hukum di tingkat Pengadilan Negeri sampai pada putusan jarang kurang dari enam bulan dan dapat berlangsung selama satu tahun atau bahkan lebih. Sistem peradilan informal di Sulawesi Selatan melibatkan metode-metode penyelesaian sengketa alternatif di luar sistem peradilan formal yang menggabungkan negosiasi dan mediasi. Praktik-praktik adat tidak terlalu kuat, dan penyelesaian sengketa umumnya diartikan sebagai pelaksanaan fungsi kuasi-yudisial oleh walikota atau pemerintah daerah seperti Camat atau Kepala Desa. Meskipun warga menggunakan mekanisme peradilan informal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa berskala kecil dengan warga yang lain, sebagian besar sengketa tanah berkenaan dengan masalahmasalah di luar struktur desa. Masyarakat yang memilih meminta bantuan polisi untuk menyelesaikan sengketa tanah mereka memutuskan demikian karena mereka tahu lokasi kantor polisi dan mengharapkan perlakuan yang adil dan hasil yang adil. Meskipun sebagian besar masyarakat menyadari bahwa mereka diwajibkan untuk mendaftarkan tanah mereka, namun pada kenyataannya sebagian besar tanah yang dimiliki oleh masyarakat tidak terdaftar di Badan Pertanahan. Seringkali masyarakat diminta untuk membayar biaya yang tinggi untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang diperlukan dari kepala desa mereka dan biaya-biaya tambahan untuk mendaftarkan tanah mereka ke Badan Pertanahan. Akibatnya, masalah sengketa tanah semakin marak, karena banyak tanah belum memiliki sertifikasi yang sah, dan pengguna tanah tidak memiliki sertifikat untuk membuktikan status kepemilikan dan hak-hak lainnya. Analisa “Ketika mendapat undangan dari Pengadilan Negeri Bulukumba untuk hadir di pengadilan pada hari Senin pukul 9 pagi [dan] para undangan datang jam 9 pagi, namun hakim [baru] memeriksa kasus pada jam 14.00 siang atau bahkan [kadang-kadang] membatalkan atau menjadwal ulang sidang [kasus] ke hari berikutnya. Kasus ini kemudian [menjadi] mahal karena harus mengeluarkan uang untuk makan dan minum dan warga juga meninggalkan pekerjaan rutin mereka. Pada akhirnya, semua [itu] benar-benar di luar perhitungan. Untuk biaya yang dikenakan untuk kasus pengadilan, ada banyak [biaya] yang harus dibayarkan, seperti mendaftarkan kasus, mendaftarkan surat kuasa, mendaftarkan bukti dan juga untuk penerjemah. Untuk kasus kecil yang bernilai 500.000 Rupiah [sekitar USD 57,00], kami harus mengeluarkan uang sebesar 1.000.000 Rupiah [sekitar USD 114.00] untuk bisa menang.” - Sri Puswanti, peserta diskusi kelompok terfokus. Pada bagian ini, kami menganalisa sejauh mana masyarakat dapat menggunakan institusi-institusi peradilan untuk menyelesaikan masalah hukum mereka. Kami mempertimbangkan apakah 35 masyarakat mampu membayar biaya-biaya untuk membawa masalah hukum ke institusi-institusi peradilan tersebut, dan apakah institusi peradilan secara fisik dapat diakses dan memproses kasus tepat waktu. Peradilan Formal Sistem peradilan formal adalah institusi yang oleh sebagian besar masyarakat yang diwawancarai dipilih untuk menuntut hak mereka atau menyelesaikan sengketa tanah. Beberapa diantara mereka mempercayai pengadilan sebagai institusi di mana mereka akan menemukan keadilan. Sementara yang lain mengatakan mereka percaya bahwa mereka tidak punya pilihan selain untuk mengejar tindakan formal. Jarak dan Pengeluaran Biaya Perjalanan Terdapat Pengadilan Negeri di Makassar dan Kabupaten Bulukumba dan Gowa, dan satu Pengadilan Tinggi di Sulawesi Selatan, yang terletak di Makassar. Kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung di Jakarta, yang dapat mengadili dan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Mayoritas warga yang diwawancarai dan tinggal di atau dekat Makassar dan Kabupaten Gowa tidak mengeluhkan jarak sebagai hambatan untuk mengakses sistem peradilan formal di tingkat kabupaten. Kebanyakan masyarakat mengatakan mereka tidak diharuskan untuk hadir di pengadilan tingkat banding, sehingga tidak ada kebutuhan untuk melakukan perjalanan ke luar dari daerah mereka. Namun, bagi mereka yang harus mengakses Pengadilan Negeri Bulukumba, jarak ke pengadilan dari desa mereka dan biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan dianggap memberatkan. Paralegal, Nur Dianti, memberikan satu contoh. Ia mewakili warga Bira yang diusir dari tanah mereka oleh kepala desa dan pemerintah daerah agar desa Tanjung Bira dapat dikembangkan menjadi tujuan wisata. Sebagai akibat dari pengambilalihan pemerintah secara paksa, banyak warga Bira kehilangan mata pencahariannya sebagai penjual makanan. Banyak tanah yang mereka miliki menjadi milik orang lain dengan sertifikat kepemilikan tanah. Bahkan ada beberapa bidang tanah yang memiliki sertifikat ganda, dan banyak telah dijual berulang kali. Bagi Nur Dianti dan warga Bira lainnya, akses ke pengadilan memerlukan “jarak dan biaya yang signifikan”. Meskipun hanya menempuh perjalanan 40 kilometer dari Bira ke Pengadilan Negeri Bulukumba, namun perjalanan mereka tidak didukung oleh transportasi publik yang memadai. Satusatunya transportasi umum yang tersedia adalah mikrolet yang jarang melewati kota. Perhentian terakhir mikrolet adalah terminal bis; perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan taksi untuk sampai ke pengadilan. Biaya yang dikeluarkan berkisar antara 60.000 sampai 70.000 Rupiah (sekitar Rp USD 7,00-8,00) per orang untuk transportasi dan makanan untuk setiap kunjungan ke Pengadilan Negeri Bulukumba. Menurut Nur Dianti, biaya dapat meningkat menjadi lebih besar apabila kasus tidak dapat diselesaikan dengan cepat: "Hanya untuk Pengadilan Negeri diperlukan antara 4 dan 12 bulan sebelum putusan dikeluarkan. Lebih buruk lagi, kasus yang masuk ke Mahkamah Agung [membutuhkan waktu] hingga 5 tahun sebelum putusan yang mengikat dikeluarkan. Perpanjangan jangka waktu mempengaruhi biaya sampai suatu kasus diselesaikan. Adalah praktik umum untuk menghadiri persidangan dengan kelompok pendukung. Kebiasaan ini meningkatkan biaya karena semua anggota kelompok harus makan, dan sebuah truk atau bis diperlukan untuk transportasi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membawa sebuah kasus ke tingkat kabupaten atau pengadilan banding bisa sangat tinggi terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil atau wilayah pegunungan yang kurang mendapat akses dan harus menempuh perjalanan jauh untuk mengakses lembaga peradilan. Pengeluaran Resmi Selain biaya-biaya tidak resmi, termasuk biaya perjalanan, biaya-biaya resmi yang dikenakan kepada masyarakat yang mengajukan gugatan hukum merupakan penghambat untuk mengakses institusi peradilan bagi sebagian besar warga yang diwawancarai. Warga umumnya tidak memiliki cukup dana untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menangani kasus mereka, termasuk biaya pengacara, biaya proses persidangan, survei tanah, dan eksekusi putusan atau pengajuan banding. Tabel berikut 36 memuat perkiraan biaya resmi yang harus dikeluarkan oleh seorang advokat yang kami wawancarai. Kendala yang paling besar, bagaimanapun, adalah bahwa warga tidak pernah tahu persis berapa banyak yang harus mereka keluarkan secara riil untuk biaya-biaya yang diperlukan selama persidangan. Papan pengumuman pengadilan tidak menampilkan informasi yang akurat tentang biaya apa saja yang harus dibayarkan. Layanan Biaya advokat Pendaftaran surat kuasa Penerjemah Pengambilan sumpah saksi Biaya persidangan Survei tanah (biaya ditanggung bersama oleh para pihak) Eksekusi putusan (pihak yang menang membayar) Pengajuan banding (pihak yang kalah membayar) Biaya (Rupiah) 5.000.000 200.000 15-20.000 50.000 1-1.5 juta 2-2.500.000 Biaya (USD) Kurang lebih 570.00 Kurang lebih 23.00 Kurang lebih 1.70-2.30 Kurang lebih 5.70 Kurang lebih 114.00-171.00 Kurang lebih 228.00-285.00 10-15 juta Kurang lebih1140.70-1711.05 1.5-2 juta (Pengadilan Tinggi) 2.5 juta (Mahkamah Agung) Kurang lebih171.00-228.00 Kurang lebih 285.00 Negara melalui Mahkamah Agung sampai pada Pengadilan Negeri telah memberikan pembebasan biaya bagi masyarakat dengan ekonomi lemah yang ingin menyelesaikan kasus hukum mereka. Untuk dapat dibebaskan dari biaya, masyarakat harus memenuhi persyaratan, yakni melengkapi dokumen-dokumen mereka dengan pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kepala Desa bahwa mereka adalah warga tidak mampu. Pernyataan ini disampaikan bersama dengan gugatan. Waktu Pemrosesan kasus 73 Sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri harus menyelesaikan dan memutuskan suatu kasus perdata dalam jangka waktu enam bulan. Apabila sebuah kasus tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu enam bulan, maka Ketua Pengadilan Negeri harus memberikan alasan kepada Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Meskipun peraturan mengatakan demikian, jangka waktu terhitung dari dimulainya proses hukum di tingkat Pengadilan Negeri sampai pada putusan jarang kurang dari enam bulan dan dapat berlangsung selama satu tahun atau bahkan lebih. Sebagai contoh, menurut seorang hakim Pengadilan Negeri Gowa, kasus sengketa tanah biasanya memakan waktu delapan sampai sembilan bulan terhitung sejak pendaftaran pengaduan hingga putusan. Perkiraan waktu tersebut mencakup upaya mediasi oleh hakim atau mediator resmi yang berlangsung selama paling lama 40 hari. Hakim mencatat keterbatasan jumlah hakim dan staf sebagai alasan tertundanya pemrosesan kasus. Pengadilan Negeri Gowa mempekerjakan 8 hakim dan 50 staf pendukung. Pada tahun 2011, Pengadilan 74 menyidangkan 43 kasus, dimana 30 di antaranya adalah kasus tanah. Peradilan Informal Sistem peradilan informal di Sulawesi Selatan melibatkan metode-metode penyelesaian sengketa alternatif di luar sistem peradilan formal yang menggabungkan negosiasi dan mediasi. Praktik-praktik adat tidak terlalu kuat, dengan pengecualian warga yang berbahasa Konjo yang merupakan bagian 75 dari masyarakat adat di Kabupaten Bulukumba, Kajang Dalam, dan penyelesaian sengketa umumnya diartikan sebagai pelaksanaan fungsi kuasi-yudisial oleh walikota atau pemerintah daerah seperti Camat atau Kepala Desa. Sebagian besar sengketa tanah antar warga masyarakat dimulai di tingkatan informal; kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur mediasi kemudian dibawa ke kantor polisi atau sistem 73 Tidak ada data tersedia mengenai waktu pemrosesan kasus di tingkat pengadilan banding. Namun, tim peneliti diberitahu bahwa kasasi di Mahkamah Agung bisa memakan waktu tiga tahun atau lebih sebelum putusan akhir dikeluarkan. 74 Pada tahun 2008, 35 dari 41 kasus perdata terkait dengan pertanahan; pada tahun 2009, 31 dari 38 kasus perdata terkait dengan pertanahan; dan pada tahun 2010, 23 dari 34 kasus terkait dengan pertanahan. 75 Lihat Latar Belakang Negara, di atas, untuk pembahasan mengenai Kajang Dalam. 37 peradilan formal. Menurut Direktur Eksekutif YLBHM, sebagian besar klien mereka pertama-tama menggunakan mekanisme peradilan informal untuk menyelesaikan kasus sengketa tanah; jika tidak ada penyelesaian di tingkatan informal barulah klien mereka menemui YLBHM. Direktur Eksekutif mengatakan bahwa ia sering menyarankan kliennya untuk menggunakan lembaga peradilan informal untuk melihat apakah sengketa dapat diselesaikan secara informal. Beberapa warga yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka lebih memilih untuk menyelesaikan 76 sengketa tanah mereka secara informal. Salah satu contoh adalah kasus Dg. Selong, yang hampir seumur hidupnya mencari kerang di daerah yang sekarang menjadi gedung pertemuan publik, Celebes Convention Center, di Makassar. Menurut Dg. Selong, pemerintah daerah mengambil tanah dan membuat pagar di sekelilingnya sehingga Dg. Selong dan lainnya tidak lagi dapat mencari kerang. Dg. Selong dan pencari kerang lainnya diberitahu bahwa “laut dan semua yang terkandung di dalamnya adalah milik pemerintah.” Proses mediasi akhirnya mencapai kesepakatan di mana para pencari kerang diberikan kompensasi atas tanah mereka dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Sementara, banyak warga lain yang diwawancarai lebih memilih untuk tidak menggunakan mekanisme peradilan informal karena berbagai alasan, termasuk persepsi bahwa proses tersebut tidak adil atau kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah setempat. Sebagai contoh, warga yang memiliki sebidang tanah selama puluhan tahun, Sampara, bersengketa dengan kepala desa Bira atas tanah itu. Sampara yakin bahwa menyelesaikan kasus ini melalui jalur informal di tingkat dusun dan desa tidak akan efektif karena keputusan apapun akan bias dan mendukung kepala desa. Sampara melaporkan tindakan perampasan tanah oleh kepala desa tersebut ke polisi tapi tidak pernah mendapatkan tanggapan. Sayangnya Sampara tidak dapat mengupayakan kasusnya melalui sistem peradilan formal karena ia tidak mampu. Ia pun dengan terpaksa menyerahkan tanahnya. Yurisdiksi sistem peradilan informal umumnya terbatas pada desa yang menjadi lokasinya, karena pihak dari luar desa tidak selalu mengakui otoritas moral dari pelaksana keadilan informal dimaksud. Beberapa warga dilaporkan menggunakan mekanisme peradilan informal untuk menyelesaikan sebagian besar sengketa berskala kecil dengan warga masyarakat lainnya yang tinggal di desa yang sama, namun sebagian besar kasus sengketa tanah tidak secara efektif diselesaikan melalui mekanisme informal. Hal ini dikarenakan kasus-kasus sengketa tanah biasanya melibatkan banyak isu dan banyak pihak seperti perusahaan swasta dan pemerintah, yang berada di luar struktur desa. Badan Pertanahan Nasional Sebagaimana dibahas dalam Unsur 1 di atas, BPN menetapkan bahwa masyarakat diwajibkan untuk mendaftarkan tanah mereka. Seorang Pejabat Pembuat Akte Tanah [selanjutnya disingkat PPAT], yang umumnya notaris, bertanggung jawab atas pengalihan hak milik atas tanah, dalam hal penjualan atau hak warisan, dan dalam hal pendaftaran tanah. Karena sebagian besar masyarakat memiliki apa yang dikenal sebagai rincik - sebuah dokumen kepemilikan tanah yang dikeluarkan pada masa kolonial Belanda -, berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanahan No. 24 77 Tahun 1997, mereka pertama harus mengambil langkah-langkah untuk mendapatkan surat keterangan Kepala Desa yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dan telah membayar pajak atas tanah tersebut, dan tanah mereka tidak dalam sengketa. Setelah warga menyampaikan semua dokumen terkait ke PPAT, PPAT kemudian menyerahkan 78 dokumen tersebut ke Kantor BPN. Proses pendaftaran harus dilengkapi dalam waktu lima hari yang disyaratkan. Kantor BPN mencantumkan nama pemilik tanah dalam akta tanah, dan membubuhkan cap stempel serta menandatanganinya. Setelah hak dicatatkan, Kantor BPN mengeluarkan Sertifikat Tanah, atau sertifikat hak milik atas tanah, kepada pemilik yang sah. Sertifikat Tanah ini dilampiri dengan Surat Ukur yang mendokumentasikan lokasi dan luas tanah. Ongkos pendaftaran termasuk biaya sebesar 1/1000 dari nilai tanah, biaya administrasi sebesar 50.000 Rupiah (sekitar USD 6,00), dan materai sebesar 6.000 Rupiah per dokumen (sekitar USD 0,70) (disyaratkan dua buah). Meskipun sebagian besar masyarakat sadar akan kewajiban untuk mendaftarkan tanahnya, dalam kenyataannya, sebagian besar lahan yang dimiliki oleh warga pada dasarnya tidak terdaftar di BPN 76 Hal ini berlaku apabila tradisi adat masih sangat kuat, seperti Kajang Dalam. Bagi masyarakat ini, meskipun sistem peradilan formal dapat dijangkau, warga dari masyarakat ini lebih mempercayai hukum adat mereka. 77 Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah (No. 24, 1997) [selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997]. 78 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, pasal 40 ayat (1). 38 dan diatur dengan Hak Ulayat. Meskipun layanan yang disediakan oleh kepala desa seharusnya bebas biaya, seringkali warga diminta untuk membayar pungutan, mulai dari 300.000 Rupiah (sekitar USD 35.00) hingga jutaan Rupiah, tergantung kebijakan kepala desa, untuk memperoleh dokumendokumen yang diperlukan untuk mengganti rincik mereka dengan sertifikat tanah. Lebih lanjut, banyak warga tidak mampu membayar biaya yang diperlukan untuk mendaftarkan tanah mereka ke BPN, dan, dalam praktiknya, waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari batas lima hari yang ditetapkan oleh karena kerjaan yang tertunda. Dengan database kepemilikan tanah yang buruk, penegakan hak-hak kepemilikan banyak warga masyarakat, khususnya kaum miskin dan terpinggirkan, masih lemah. Dengan peluang-peluang penyelesaian sengketa yang kurang memuaskan, ribuan konflik lahan yang belum terselesaikan terus mengakibatkan bentrokan. Polisi Langkah formal yang paling umum diambil oleh warga yang diwawancarai adalah mengajukan keluhan ke polisi. Pengajuan pengaduan ke polisi mengenai sengketa tanah dimulai dari Sentra Pelayanan Kepolisian yang kemudian menyampaikan pengaduan tersebut ke unit-unit lain yang memeriksa pokok pengaduan tersebut dan memutuskan apakah harus menangkap tersangka yang namanya disebut dalam pengaduan. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI, antara pengajuan pengaduan hingga penyelesaian perkara memerlukan waktu 30 hari untuk penyidikan perkara yang mudah dan 120 hari untuk perkara yang sulit terhitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan. Menurut Kepala Divisi Pidana Tanah dan Bangunan dan Unit Pengembangan Ekonomi, di Kepolisian Resort Kota Makassar, unitnya yang beranggotakan 20 petugas kepolisian harus menangani sekitar 120 kasus per bulan - sekitar 20%, atau 24 kasus di antaranya adalah pidana tanah. Kurang dari separuh dari 24 kasus tersebut dilanjutkan dengan tindakan hukum; sedangkan sisanya dihentikan. Pengaduan paling sering melibatkan sengketa antar warga masyarakat dengan tuduhan perampasan 79 tanah, pemalsuan, penipuan, dan penggelapan hak atas tanah. Warga masyarakat yang memilih untuk melapor ke polisi memutuskan demikian karena mereka tahu lokasi kantor polisi dan mengharapkan perlakuan dan hasil yang adil. Sementara warga lainnya memutuskan mengajukan keluhannya ke kantor polisi karena mereka tidak tahu langkah-langkah lain yang dapat diambil. Beberapa warga yang diwawancarai pergi ke polisi tanpa mengajukan keluhan. Tidak jelas apakah melapor ke polisi tanpa mengajukan kasus mencerminkan pilihan sadar warga masyarakat atau apakah rencana mereka sebenarnya tidak berjalan lancar, karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara menindaklanjuti pengaduan mereka, atau polisi tidak berhasil mendaftarkan kasus mereka atau untuk sekedar membantu. Alasan-alasan utama mereka yang memilih untuk tidak mengambil langkah hukum formal, bahkan ketika mereka telah menggunakan pilihan untuk melaporkan kasus mereka ke polisi, adalah bahwa mereka yakin bahwa proses peradilan hanya membuang waktu dengan biaya yang mahal untuk ke pengadilan, dan ketidaktahuan bahwa mereka memiliki kasus hukum yang kuat. 79 Id. 39 Unsur V. Prosedur yang Adil Institusi-institusi peradilan, baik formal maupun informal, memberikan jaminan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk mengajukan kasus mereka dan bahwa sengketa diputus secara tidak memihak dan tanpa pengaruh yang tidak layak. Dalam kasus-kasus yang diselesaikan melalui proses mediasi, masyarakat membuat keputusan secara sukarela untuk penyelesaian masalah mereka. Kesimpulan Pasal 27 ayat (1) Konstitusi menetapkan perlakuan yang adil bagi semua warga negara. Selanjutnya, beberapa undang-undang mengatur tentang prosedur yang adil, termasuk KUHAP dan UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, untuk menegakkan hak asasi manusia setiap warga negara, warga negara memiliki hak atas persidangan yang terbuka untuk umum dan adil. Undang-Undang menyatakan bahwa pengadilan wajib melakukan persidangan tanpa diskriminasi terhadap warga negara, dan memberikan mandat bahwa pengadilan akan membantu warga negara dalam mencari keadilan dan mengatasi hambatan yang mencegah persidangan cepat, sederhana, dan murah. Terhadap hak-hak terdakwa dalam kasus pidana, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menginstruksikan beberapa hal tentang proses hukum, praduga tak bersalah, hak atas perwakilan hukum, dan hak-hak lainnya. Sehubungan dengan hak-hak para pihak dalam kasus perdata, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata menetapkan ketentuan untuk sebuah persidangan yang adil. "Mafia peradilan," istilah yang digunakan untuk korupsi di Indonesia, adalah suatu hambatan bagi akses terhadap keadilan. Mafia peradilan memiliki banyak bentuk, termasuk penyuapan, pemerasan, gugatan yang dirancang/ direncanakan, intimidasi saksi, dan semua pengecualian terhadap peraturan yang bisa dibeli dengan uang. Penyuapan sangat umum. Menurut seorang perwakilan masyarakat sipil, dalam kasus pidana, tersangka dapat menyuap jaksa untuk tidak melanjutkan perkara atau mereka yang melaporkan tindak pidana dapat menyuap polisi untuk melakukan penyelidikan secara lebih serius atau menyuap hakim atau pejabat pengadilan untuk mengambil langkah-langkah tertentu. Beberapa tahun lalu, menyusul protes nasional terhadap korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas utamanya. Ia telah membentuk Gugus Tugas Anti-Mafia Peradilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Analisa “Jika saya ditanya tentang keadilan, menurut saya pengadilan tidak adil kepada orang biasa yang miskin. Keadilan di pengadilan hanyalah untuk orang yang memiliki uang, sementara mereka yang tidak memiliki uang tidak akan menikmati keadilan.” Adnan, Makassar, peserta diskusi kelompok terfokus. Prosedur diikuti oleh institusi-institusi peradilan yang adil memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan alasan-alasan yang mendukung kasus mereka, dan ketika fakta-fakta diperdebatkan, memanggil saksi-saksi. Hal ini juga memberikan jaminan bahwa sengketa diputus secara tidak memihak dan tanpa pengaruh yang tidak layak. Pada bagian ini, kami meninjau prosedur yang diikuti oleh institusi peradilan untuk menyelesaikan sengketa, dan bagaimana prosedur tersebut diterapkan dalam praktiknya. Kami kemudian mempertimbangkan kendala utama bagi terciptanya prosedur yang adil – yakni “mafia peradilan”, istilah yang digunakan untuk “korupsi” di Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Konstitusi menetapkan perlakuan yang adil bagi semua warga negara: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung 80 hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selanjutnya, beberapa undang-undang mengatur tentang prosedur yang adil, termasuk KUHAP dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 81 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, untuk menegakkan hak asasi manusia setiap warga negara, warga negara memiliki hak atas persidangan 80 UUD 1945, pasal 27 ayat (1). Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 48 Tahun 2009) [selanjutnya disebut Undang-Undang No. 48 Tahun 2009]. 81 40 yang terbuka untuk umum dan adil. Undang-Undang menyatakan bahwa pengadilan wajib melakukan persidangan tanpa diskriminasi terhadap warga negara, dan memberikan mandat bahwa pengadilan akan membantu warga negara dalam mencari keadilan dan mengatasi hambatan yang mencegah persidangan cepat, sederhana, dan murah. Sistem Peradilan Formal Proses Peradilan Pidana 82 Terhadap hak-hak terdakwa dalam kasus pidana, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan 83 84 beberapa hal tentang proses hukum , yakni asas praduga tak bersalah , hak atas penasihat 85 86 hukum , dan hak-hak lainnya. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009, KUHAP menjamin hak-hak terdakwa. Salah satu prinsip ini adalah praduga tak bersalah. Setiap warga negara yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai terbukti 87 bersalah, ketika putusan final dan mengikat oleh pengadilan yang kompeten sudah dijatuhkan . Sebagai orang yang tidak bersalah, terdakwa memiliki hak-hak sebagai berikut: hak untuk segera 88 89 diperiksa, hak untuk mengetahui tindak pidana yang diduga telah dilakukan, hak untuk 90 91 mengetahui isi dakwaan resmi, dan hak untuk mendapat bantuan hukum. Lebih lanjut, semua pernyataan terdakwa wajib disampaikan secara bebas tanpa intimidasi atau paksaan. Setiap penolakan oleh terdakwa untuk menandatangani pernyataan harus dicatat dalam berita acara proses penyidikan polisi. Setelah surat dakwaan disampaikan, terdakwa memiliki hak atas peradilan yang 92 cepat oleh pengadilan yang berwenang, dan hak untuk diberitahukan mengenai dakwaan dan 93 tuntutan-tuntutan lainnya dalam bahasa yang dimengerti oleh mereka. Proses Peradilan Perdata 94 Para pihak diwajibkan untuk berupaya merundingkan penyelesaian damai sebelum membawa kasus ke pengadilan. Jika upaya mediasi berhasil, para pihak akan menyusun kesepakatan penyelesaian yang mengikat dan dapat dilaksanakan. Jika proses mediasi gagal, biasanya terdapat delapan kali sidang atau sesi sejak pendaftaran kasus hingga penjatuhan putusan. Umumnya putusan dalam kasus perdata ditetapkan oleh majelis hakim yang beranggotakan tiga orang hakim. Undang-undang lebih lanjut mensyaratkan bahwa semua putusan dibacakan di pengadilan yang terbuka untuk umum. Perubahan yang terkandung dalam UU No. 4 Tahun 2004 juga mewajibkan hakim untuk memberikan opini secara tertulis dalam setiap putusan, termasuk perbedaan pendapat. Ketika putusan sudah dijatuhkan, pihak yang kalah memiliki waktu 14 hari untuk mengajukan banding; apabila yang bersangkutan mengajukan banding, maka putusan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat dilaksanakan. Pada saat permohonan banding ke Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi menelaah materi yang disampaikan oleh para pihak di Pengadilan Negeri. Pihak yang kalah diberi waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tidak ada batasan lain selain batas waktu tersebut untuk membawa kasus ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, tidak ada mekanisme untuk meninjau diterima atau tidaknya kasasi berdasarkan alasan hukum. Mahkamah Agung dapat melaksanakan sidang perkara kasasi yang merupakan upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan pengadilan yang 82 Lihat Unsur 1, di atas, untuk rincian pembahasan mengenai KUHAP. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan hukum sebelum persidangan seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari petugas yang berwenang, dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum. 84 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa tidak seorangpun dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan yang bersifat final dan mengikat. 85 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan perwakilan hukum atau bantuan hukum. 86 Sebagai contoh, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa terdakwa berhak untuk diberitahukan apa yang didakwakan kepadanya dan dasar hukum untuk dakwaan tersebut, dan persidangan harus dilakukan dengan dihadiri oleh terdakwa. 87 KUHAP, pasal 66. 88 Id., Pasal 50. 89 Id., Pasal 143. 90 Id., Pasal 154. 91 Id., Pasal 56. 92 Id., Pasal 50. 93 Id., Pasal 51. 94 Lihat Unsur 1, di atas, untuk rincian penjelasan mengenai undang-undang hukum acara perdata. 83 41 lebih rendah, dan MA dapat meninjau kembali materi yang sama yang disidangkan di Pengadilan Negeri. Mafia Peradilan "Mafia peradilan," istilah yang digunakan untuk korupsi di Indonesia, adalah suatu hambatan bagi akses terhadap keadilan. Mafia peradilan memiliki banyak bentuk, termasuk penyuapan, pemerasan, gugatan yang dirancang/ direncanakan, intimidasi saksi, dan semua pengecualian terhadap peraturan yang bisa dibeli dengan uang. Menurut seorang advokat yang diwawancarai, “mafia peradilan” adalah suatu budaya dalam proses peradilan; budaya yang mengakui bahwa uang dan kekuasaan bisa bicara. Masyarakat Indonesia mengetahui hal ini, dan melihatnya sebagai budaya yang sudah menggurita di seluruh sistem, dari polisi yang terendah ke badan pemerintahan yang tertinggi.” Penyuapan sangat umum. Dalam kasus pidana, tersangka dapat menyuap jaksa untuk tidak melanjutkan perkara atau mereka yang melaporkan tindak pidana dapat menyuap polisi untuk melakukan penyelidikan secara lebih serius atau menyuap hakim atau pejabat pengadilan untuk mengambil langkah-langkah tertentu. Transparansi International melaporkan bahwa, pada tahun 2010, 18% warga Indonesia menyatakan bahwa mereka telah membayar suap dalam 12 bulan 95 terakhir. Seorang tersangka tanpa sumber daya, uang, atau keinginan untuk berpartisipasi dalam korupsi sangat dirugikan dalam proses persidangan bahkan sebelum persidangan dimulai. Seorang direktur bantuan hukum menceritakan sebuah kisah tentang korupsi peradilan yang melibatkan kliennya, tujuh keluarga, melawan perusahaan milik negara. Pemerintah dan perusahaan memutuskan untuk membangun mal di atas lahan yang telah ditempati oleh keluarga itu dari generasi ke generasi, dengan mengklaim bahwa tanah itu tanah negara. Perusahaan menawarkan kompensasi yang tidak memadai, dan negosiasi pun gagal. Perusahaan kemudian mengajukan tuntutan pidana terhadap warga, dan warga dinyatakan bersalah atas perampasan tanah berdasarkan Pasal 167 KUHP di Pengadilan Negeri Kota Makassar. LBH Makassar melaporkan kasus tersebut ke Ketua Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung bahwa ada indikasi korupsi dalam kasus tersebut, termasuk percakapan ex parte antara jaksa dan hakim, dan menghilangnya kesaksian yang meringankan terdakwa dari berita acara pemeriksaan. LBH Makassar mampu membuktikan korupsi terjadi, dakwaan terhadap para terdakwa dicabut, dan terdakwa dibebaskan. Beberapa tahun lalu, menyusul protes nasional terhadap korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas utamanya. Ia telah membentuk Gugus Tugas Anti-Mafia Peradilan (Satgas) yang beranggotakan enam orang yang bertugas menyelidiki dan melaporkan kasus-kasus korupsi. Antara tahun 2009 dan 2011, Satgas 96 menyerahkan hampir 5.000 laporan dugaan pelanggaran oleh Polri, pejabat pengadilan, dan jaksa. Presiden juga sangat mendukung organisasi pemerintah independen yang dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. KPK menyelidiki dan menuntut kasus-kasus keuangan negara yang hilang senilai lebih dari 1 milyar Rupiah (sekitar USD 110,000.00). Untuk kasus-kasus korupsi yang lebih kecil, KPK mengalihkannya ke penegak hukum dan sesekali memantau kasus-kasus tersebut sampai selesai. Korupsi dalam sistem disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masyarakat melihat bahwa korupsi adalah hal yang sangat umum sehingga banyak dari mereka merasa harus mengikuti arus agar tetap dapat mensejajarkan diri. Pejabat-pejabat yang korup tidak dihukum atas tindakan mereka, sementara pejabat-pejabat yang bersih merasa sistem tidak mampu menghargai integritas mereka. Kedua, pemerintah tidak transparan. Sebuah studi tahun 2011 oleh Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada peringkat ke-100 dari 183 negara dalam peringkat transparansi dan akuntabilitas nasional. Skor 3.0 dari 10 menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara 97 seperti Argentina, Benin, Malawi, dan Meksiko. 95 Transparansi Internasional, Global Corruption Barometer 2010 (2010), h. 46. Dari 4.950 laporan dugaan pelanggaran, laporan dugaan pelanggaran oleh Kepolisian menduduki peringkat tertinggi (1,367), diikuti oleh laporan dugaan pelanggaran oleh pejabat pengadilan (1,296) dan jaksa (720) (http://www.thejakartapost. com/news/2011/12/31/police-court-officials-top-list-judicial-mafia-reports.html). 97 Transparansi Internasional, Corruptions Perception Index 2011, The Perceived Levels of Public Sector Corruption in 183 Countries/Territories around the World (2011), h. 46. Pada saat ditanyakan “sejauhmana Anda melihat lembaga negara berikut akan dipengaruhi oleh korupsi” (1 tidak seluruhnya korupsi; 5 sangat korupsi),” Masyarakat Kamboja memberikan pejabat publik kisaran nilai 3.2 dan keadilan 3.3. Id., h. 43. Pada saat ditanya “dalam tiga tahun terakhir, seberapa besar perubahan tingkat korupsi di Indonesia?”, 43% masyarakat Indonesia menjawab bahwa korupsi mengalami peningkatan, 27% mengatakan mengalami penurunan, dan 30% mengatakan tidak ada perubahan. Id., h. 41. 96 42 Mayoritas warga masyarakat yang tidak puas dengan pengalaman mereka ketika harus berperkara di pengadilan melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan putusan yang adil dan hakim tidak bersikap imparsial. Bahkan mereka yang keluar sebagai pihak yang menang mengatakan bahwa tingkat kepuasan mereka dengan sistem peradilan formal sangat rendah karena maraknya korupsi. Salah satu contoh disampaikan oleh Nurliah. Ia kalah dalam kasusnya di Pengadilan Negeri, meski telah membayar suap ke seluruh jajaran pengadilan. Pada sidang banding baik di Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung, dia memenangkan kasus karena dia membayar suap di semua jajaran pengadilan, menggunakan uang yang ia pinjam. Namun, kasusnya masih jauh dari selesai; Nurliah R. menyatakan, “hutang sudah menumpuk, tapi kasus ini belum kunjung selesai.” Peradilan Informal Aktor-aktor informal yang menjalankan fungsi kuasi-yudisial cenderung menggunakan negosiasi dan mediasi untuk memperoleh kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Tidak ada aturan formal dari prosedur yang berlaku. Warga melaporkan bahwa mereka enggan untuk menggunakan mekanisme peradilan informal karena adanya pengaruh bias dan tidak pantas dari pihak mediator terkait dengan masalah atau pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut. 43 Unsur VI: Putusan yang Dapat Dilaksanakan Institusi-institusi peradilan dapat melaksanakan putusan mereka, termasuk pemberlakuan sanksi hukuman. Kesimpulan Dalam kasus pidana dan perdata, tata cara dalam memperoleh sebuah putusan yang bersifat final dan mengikat adalah sama. Pelaksaan putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri umumnya ditangguhkan sampai putusan akhir ditetapkan terkait dengan banding. Sebuah kasus juga tidak akan berakhir ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya. Para pihak yang bersengketa dapat membuka kembali kasus tersebut melalui proses Peninjauan Kembali (PK) apabila mereka dapat memberikan bukti baru yang terkait dengan putusan tersebut. Dalam kasus perdata, apabila penggugat memenangkan kasusnya baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, untuk melaksanakan putusan (dalam hal tergugat menolak melaksanakan putusan), penggugat mengajukan permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri yang kompeten untuk mendapatkan perintah pelaksanaan. Apabila pihak yang kalah tidak dapat mematuhi perintah pelaksanaan sampai dengan delapan (8) hari sejak perintah dikeluarkan, maka Ketua Pengadilan Negeri yang kompeten tersebut akan mengeluarkan surat penetapan pelaksanaan eksekusi yang kemudian disampaikan ke panitera pengadilan. Eksekusi dilakukan oleh juru sita pengadilan tiga (3) hari setelah pemberitahuan dikirimkan kepada pihak yang kalah. Terdapat sebuah kritik umum bahwa penegakan hukum masih lemah, meskipun undang-undang bersifat jelas, dan pengadilan mengeluarkan putusan yang jelas. Dalam beberapa tahun terakhir, kritik ini sering dikaitkan dengan kinerja Mahkamah Agung di Indonesia dan juga kinerja bagianbagian lain dari sistem peradilan formal. Masalah utamanya adalah bahwa institusi-institusi dan mekanisme pelaksanaan sistem peradilan, termasuk putusan-putusan Mahkamah Agung, tidak memiliki dana yang memadai dan tidak efektif secara operasional. Oleh karena itu, terdapat beragam contoh mengenai penundaan yang lama dalam pelaksanaan putusan. Analisa Agar suatu putusan lembaga peradilan atas suatu sengketa dapat bermakna, masyarakat harus mampu menjalankan putusan itu di dunia luar, termasuk melalui pemberian sanksi terhadap individu yang menolak untuk mematuhi putusan lembaga peradilan itu. Pada bagian ini, kita akan membahas prosedur apa saja yang ada untuk mendukung putusan yang harus dilaksanakan dan kendalakendala yang menghambat pelaksanaan putusan tersebut. Peradilan Formal Pelaksanaan dalam Kasus Pidana Berdasarkan KUHAP, prosedur untuk mencapai putusan yang final dan mengikat dalam sistem peradilan pidana sama dengan prosedur sejenis untuk kasus perdata. Masalah pidana disidangkan pertama-tama di Pengadilan Umum tingkat pertama. Setelah pengadilan telah mencapai putusan, pembacaan putusan dilakukan di pengadilan yang terbuka untuk umum agar sah, dan, dalam waktu tujuh hari, terdakwa dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Banding tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas murni atau putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum. Terdakwa dapat mengajukan banding untuk kasusnya hingga tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Pelaksanaan dalam Kasus Perdata Pelaksanaan putusan yang ditetapkan di Pengadilan Negeri pada umumnya menunggu sampai 98 putusan akhir dikeluarkan terkait dengan banding. Apabila penggugat memenangkan kasusnya baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, untuk melaksanakan putusan, penggugat harus menemui panitera. Penggugat kemudian mengajukan ke pengadilan untuk 98 Seluruh putusan yang dianggap final dan mengikat di tingkat kasasi dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Upaya hukum ini merupakan peninjauan kembali atau kasasi demi kepentingan hukum. 44 mendapatkan penetapan pelaksanaan (misalnya pengesahan putusan), dan membayar biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan. Hakim melampirkan penetapan pelaksanaan (segel) pada 99 putusan. Penetapan pelaksanaan putusan Pengadilan ini disampaikan kepada petugas pelaksana putusan atau juru sita. Penggugat, petugas pelaksana putusan atau juru sita untuk terakhir kalinya meminta kepada pihak yang kalah untuk secara sukarela mematuhi putusan itu, dan, jika pihak yang kalah tidak mematuhi, perintah tambahan dalam hal aset pihak yang kalah (Conservatoir Beslag) akan dikeluarkan. Jika putusan pengadilan bersifat final dan mengikat, perintah konservatori diubah menjadi perintah eksekusi. Eksekusi dilakukan oleh hakim dengan memberitahukan kepada pihak yang kalah bahwa ada perintah yang belum terlaksana. Pihak yang kalah dapat melawan proses pelaksanaan di hadapan hakim untuk menunda pelaksanaan putusan. Jika pihak yang kalah tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan perintah, putusan akan dipenuhi dengan penjualan aset terdakwa melalui lelang umum. Hakim menyerukan kepada publik, misalnya, melalui iklan atau penerbitan di koran. Juru Lelang di bawah Departemen Keuangan melakukan lelang umum. Jika diperlukan untuk memaksa pihak yang kalah untuk melepaskan properti yang adalah subyek dari pelelangan, pengadilan dapat meminta bantuan polisi. Akhirnya, pengadilan mengeluarkan pernyataan bahwa segala biaya lelang publik atau penjualan langsung akan dibebankan kepada penggugat. Pelaksanaan putusan Mahkamah Agung boleh jadi memerlukan tambahan waktu tiga hingga enam bulan. Sebuah kasus juga tidak akan berakhir ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya. Tantangan selanjutnya adalah melaksanakan putusan dan para pihak yang bersengketa dapat membuka kembali kasus tersebut melalui proses Peninjauan Kembali (PK) apabila mereka dapat memberikan bukti baru yang terkait dengan putusan tersebut. Banyak masyarakat merasa bahwa kasus yang diproses di pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum final, dan banyak pula yang kasusnya masih tertunda hingga bertahun-tahun. Bagi masyarakat yang menang di pengadilan namun tidak mampu untuk mengambil kendali atas tanah mereka melalui eksekusi, mereka menyimpulkan bahwa sistem peradilan adalah sesuatu yang mahal dan tidak memberikan kepastian hukum. Bagi warga yang kalah di pengadilan, mereka menganggap bahwa putusan yang tidak dapat dilaksanakan justru memberi mereka keadilan. Ini karena masyarakat tidak menerima putusan pengadilan, ketika mereka telah menempati lahan selama puluhan tahun, mereka menganggap bahwa kerugian yang mereka alami adalah akibat dari permainan uang. Terdapat sebuah kritik umum bahwa penegakan hukum masih lemah, meskipun undang-undang bersifat jelas, dan pengadilan mengeluarkan putusan yang jelas. Dalam beberapa tahun terakhir, kritik ini sering dikaitkan dengan kinerja Mahkamah Agung di Indonesia dan juga kinerja bagianbagian lain dari sistem peradilan formal. Masalah utamanya adalah bahwa institusi-institusi dan mekanisme pelaksanaan sistem peradilan, termasuk putusan-putusan Mahkamah Agung, tidak memiliki dana yang memadai dan lemah secara operasional. Oleh karena itu, terdapat beragam contoh mengenai penundaan yang lama dalam pelaksanaan putusan. Peradilan Informal Sistem peradilan informal tidak memiliki upaya paksa untuk melaksanakan kesepakatan antara para pihak dalam suatu sengketa. Dengan demikian, pelaksanaan yang berlaku bergantung pada norma masyarakat yang kuat dan penghormatan terhadap hasil keputusan lembaga peradilan dalam masyarakat. Di mana norma masyarakat tidak terlalu kuat, masyarakat tidak memiliki kesempatan lebih lanjut dalam sistem informal untuk memastikan suatu keputusan dilaksanakan. 99 Terdakwa diminta untuk mengganti biaya pelaksanaan putusan penggugat. 45 Daftar Singkatan ABA ROLI BAPPENAS BPN DPD DPR HGB HGU HM KAI KPK MPR PERADI PERADIN SFCG USAID USD UNDP UUPA YLBHI YLBHM American Bar Association Rule of Law Initiative Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) Badan Pertanahan Nasional Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Daerah Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha Hak Milik Kongres Advokat Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi Majelis Permusyawaratan Rakyat Perhimpunan Advokat Indonesia Persatuan Advokat Indonesia Search for Common Ground United States Agency for International Development United States Dollars United Nations Development Programme Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar 46