PERKEMBANGAN SENI REBANA BIANG PADA MASYARAKAT KECAMATAN JAGAKARSA JAKARTA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Disusun Oleh Meilanih NIM: 109022000005 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M. ABSTRAK Jakarta dikenal sebagai ibu kota negara Indonesia dengan ragam suku budaya. Hal ini pun berdampak pada munculnya ragam seni musik pertunjukan tradisional. Salah satunya seni rebana biang. Rebana biang merupakan salah satu seni musik pertunjukan tradisional dalam bentuk kesenian di Indonesia. Kesenian ini merupakan perpaduan dari dua unsur kebudayaan yaitu Betawi dan Sunda. Awal mula perkembangan rebana biang bermula dari sebuah pengajian yang dilakukan dengan proses pewarisan alami, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah seni pertunjukan dalam masyarakatnya. Dari hasil pengamatan, sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur merupakan satu-satunya wadah yang menampung seni musik tradisional di DKI Jakarta khususnya rebana biang. Kesenian ini tetap bertahan di tengah keberadaan kesenian modern. Seni rebana biang mengalami penyusutan dalam penyebaran maupun perkembangannya. Sangat disayangkan bila seni yang telah diwariskan oleh leluhur ini lama-kelamaan hilang dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai latar belakang serta sejarah seni rebana biang, asal usulnya, kondisi perkembangan hingga pelestarian dari berbagai pihak baik masyarakat maupun pemerintah. Dalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, melalui pendekatan sosio-budaya agar dapat merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi di masa lampau yang bersifat komprehensif. Kata Kunci : Kesenian, Musik, Rebana, Rebana Biang, Pelestarian i KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada nabi Muhammad SAW, yang telah banyak memberikan umatnya ke jalan yang terang benderang dan penuh dengan jalan yang mulia di sisi Allah SWT. Penulis menyadari bahwasanya skripsi yang berjudul “Perkembangan Seni Rebana Biang Pada Masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta” ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu tak lupa penulis ucapkan terimah kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi ini. 4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang dengan sabar membantu dalam memberikan pelayanan yang penulis butuhkan dalam meyelesaikan studi ini. 5. Drs.H.M. Ma’ruf Misbah, M.A selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik penulis, yang bersedia meluangkan waktunya, pengetahuan, arahan ii dan bimbingannya, serta kesabarannya. Penulis ucapkan terimah kasih setinggi-tinginya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 6. Bapak Dr. H. M. Muslih Idris, Lc dan Drs. Tarmizy Idris, M.A selaku Dosen PengujI skripsi. 7. Serta seluruh dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah banyak memberikan ilmunya, bimbingan, serta pengalamannya. 8. Seluruh staff dan pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan penulis. 9. tak lupa penulis sebutkan kepada kedua orangtua dan abang yang selalu memberikan dukungan, memberi semangat, serta doanya yang tak henti-henti diberikan pada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada H. Abd. Rahman selaku ketua Sanggar beserta keluarga besar Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur atas kesediaan serta waktunya untuk diwawancara. 11. Terima kasih pula kepada staff kantor Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang membantu penulis dalam mencari sumber referensi yang dibutuhkan serta kepada mereka semua yang banyak memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis untuk selalu memberikan yang terbaik sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. iii 12. Tak lupa teman-teman UKM khususnya KMPLHK Ranita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu menemani penulis dalam mencari bahan referensi penelitian khusunya angkatan 2010. 13. Teman-teman SKI seperjuangan angkatan 2009 yang tak terlupakan atas motivasi dan dukungannya baik materi maupun non materil yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kebaikan atas berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, 11 Oktober 2016 Penulis iv DAFTAR ISI ABSTRAK……………………………………………………………………. i KATA PENGANTAR ………………………………………………………. ii DAFTAR ISI …………………………………………………………………..v DAFTAR TABEL DAN FOTO………………………………………………viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………. 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah……………………………..……9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………. 10 D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………... 11 E. Metode penelitian ……………………………………………………..13 F. Sistematika Penulisan………………………………………………….17 BAB II PENGERTIAN SENI DALAM ISLAM A. Pengertian Seni Musik Islam ………………………………………….19 B. Seni Musik dalam Pandangan Islam …………………………………..23 C. Jenis Musik Islami …………………………………………………….26 1. Musik Gambus……………………………………………………...28 2. Musik Marawis……………………………………………………...30 3. Musik Nasyid……………………………………………… ……....31 4. Musik Rebana……………………………………………………….32 BAB III POTRET WILAYAH MASYARAKAT KECAMATAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN A. Kondisi Geografis Kecamatan Jagakarsa …………………….…..40 B. Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kecamatan Jagakarsa…...…42 C. Keadaan Sosial-Budaya Masyarakat Kecamatan Jagakarsa….........45 v BAB IV PERKEMBANGAN MASYARAKAT SENI KECAMATAN REBANA BIANG JAGAKARSA PADA JAKARTA SELATAN A. Pengertian Rebana Biang ……….………………………......................52 B. Asal Usul Rebana Biang………………………………..………..……53 C. Kondisi Perkembangan Rebana Biang…………………………………57 D. Bentuk Penyajian Rebana Biang…………………………………...…..64 1. Tata Rias dan Busana Rebana Biang……………………….…….... 64 2. Para Pemain…………………………………………………….........68 3. Kelengkapan Peralatan……………………………………..…….….69 4. Tempat Pementasan………………………………………………….76 E. Usaha dan Upaya dalam Mengembangkan Seni Rebana Biang ……….79 1. Usaha yang Dilakukan Pihak Pemerintah DKI Jakarta……………..79 2. Upaya yang Dilakukan Pihak Masyarakat Kecamatan Jagakarsa…...80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………….…82 B. Saran …………………………………………………………………..83 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 84 LAMPIRAN vi DAFTAR TABEL 1. Data Tabel Kelurahan di Kecamatan Jagakarsa……………………………41 2. Data Table Sarana Pendididkan di Kecamatan Jagakarsa…………………44 3. Data Tabel Sarana Peribadatan di Kecamatan Jagakarsa…………………48 4. Data Tabel Kebudayaan dan Kesenian di Kecamatan Jagakarsa………….49 DAFTAR FOTO DAN PETA 1. Peta Wilayah Kecamatan Jagakarsa……………………………………….40 2. Selendang Kain Sarung……………………………………………………...66 3. Celana Panjang……………………………………………………………...67 4. Kostum Pemain Rebana Biang……………………………………………..67 5. Rebana Gendung……………………………………………………………70 6. Rebana Kotek…………………………………………………….…………70 7. Rebana Biang……………………………………………………..…………71 8. Tamborin atau Kecrekan…………………………………..............................71 9. Gelung Rebana Biang dari Depan…………………………………………..72 10. Gelung Rebana Biang dari Belakang…………………………………...…..73 11. Kulit Kambing yang belum Haluskan…………………………………..….73 12. Kulit Kambing yang sudah Dihaluskan…………………………………….74 13. Kayu Rotan dengan diameter 4-5…………………………………………..74 14. Kayu Rotan Ukuran 1 setengah cm……………………………………...…75 vii 15. Pasak atau kancing Rebana Biang…………………………………………75 16. Stema rebana biang…………………………………………………………76 17. Panggung Pementasan………………………………………………………78 18. Pementasan Ruang Terbuka………………………........................................78 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, yang terdiri atas berbagai pulau dan suku bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia pasti memiliki ciri khas budaya masing-masing. Kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “Buddhayah” yang memiliki arti budi, akal, pikiran, nalar, akhlak yang dapat diartikan pula sebagai panduan dari seluruh perasaan, pikiran dan ciptaan manusia pada saat tertentu.1 Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebudayaan adalah kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti, kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.2 Keragaman budaya yang terjadi di Indonesia menghasilkan beragam macam seni budaya. Perkembangan seni budaya di Indonesia semakin lama semakin berkembang, terlihat dari berbagai macam seni budaya yang dilahirkan manusia. Kreativitas masyarakat sepanjang sejarah meliputi berbagai macam kegiatan, di antaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang filsafat, seni, dan bahasa.3 Wujud kebudayaan dalam suatu masyarakat, antara lain meliputi teknologi sistem mata pencarian hidup, sistem kekerabatan, organisasi, bahasa, ilmu pengetahuan dan kesenian. Sekian banyak 1 Dikutip dari alamat web: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 15 September 2016, 11.30 WIB 2 KBBI, Pusat Bah.asa Edisi Ketiga, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2008), h. 3 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya), h. 3 215 1 2 wujud kebudayaan yang diciptakan masyarakat, kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya yang diciptakan manusia dan merupakan salah satu unsur dari kebudayaan universal. Perbedaan geografis, suku, bahasa juga akan mempengaruhi munculnya berbagai apresiasi masyarakat dalam melahirkan budaya. Sebagai mahluk sosial yang memiliki cita rasa tinggi, manusia menciptakan berbagai kesenian. Hampir di setiap wilayah atau daerah di Indonesia, memiliki bentuk kesenian yang beranekaragam yang menggambarkan ciri khas daerah setempatnya dengan latar belakang sejarah dan konteks sosial yang berbeda- beda. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman seni budaya. Banyak macam suku, bangsa dan bahasa di Indonesia. Luasnya kepulauan Nusantara dari Sabang hingga Merauke membuktikan bahwa semua wilayah memiliki seni budaya sendiri yang harus dijaga dan dilestarikan, sebab peran seni budaya membawa dampak penting dalam membangun identitas daerah serta jati diri suatu bangsa. Kebudayaan Indonesia senantiasa mengalami perkembangan. Proses tawar menawar dan tarik menarik antara berbagai unsur budaya dari berbagai lapisan masyarakat baik dalam maupun dari luar mempengaruhi perkembangan tersebut.4 Bila dilihat dari sudut pandang antropologi-budaya suku bangsa Indonesia yang berada di daerah pedalaman belum banyak mengalami pencampuran jenis bangsa dan budaya luar, seperti India, Arab dan Eropa. Sebaliknya hal ini terbanding terbalik untuk daerah pesisir, seperti di kota-kota pelabuhan yang menunjukan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih 4 h. 14 Aswab, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal, 1996), 3 berkembang dibandingkan di daerah pedalaman. Hal ini dikarenakan adanya pencampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.5 Sebagai bangsa Indonesia yang multietnik dan multibudaya serta sebagian mayoritas masyarakatnya beragama Islam, seni budaya Islam sudah ada sejak masuknya agama Islam ke Nusantara. Ketika itu para mubaliqh menyampaikan dakwahnya dengan menggunakan seni budaya dalam penyampaian ajaran Islam, agar mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia terjadi karena adanya dua pihak. Pertama orang-orang muslim yang datang dan mengajarkan agama Islam. Kedua golongan masyarakat sendiri yang menerimanya.6 Cara proses Islamisasi dan saluran-salurannya pun berbagai macam seperti perdagangan, perkawianan, ajaran tasawuf, cabang-cabang seni , dan aspek –aspek budaya lainnya. Proses islamisasi juga dilakukan melalui cabang-cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat, seni tari, seni sastra dan seni musik. Banyak bukti peninggalan Islam yang ditinggalkan di Indonesia, seperti dalam seni bangunan dapat dilihat dari bentuk mesjid-mesjid. Selain itu salah satu peninggalan seni ukir atau pahat dapat dilihat juga pada batu nisan kuburan pada masyarakat muslim. Proses penyebaran agama Islam melalui seni sastra, tari, musik, dapat kita lihat pada puisi-puisi Islam, upacara-upacara keagamaan, dan hari besar Islam yang sering dipertunjukkan.7 5 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 173 6 Marwati dan Notosusanto, Sejarah Nasional III, h. 179 7 Marwati dan Notosusanto, Sejarah Nasional III, h.180 - 194 4 Agama merupakan salah satu pembangkit daya cipta yang luar biasa untuk mewujudkan sesuatu yang bernilai seni.8 Secara umum seni Islam merupakan segala hasil usaha dan daya upaya, buah pikiran dari kaum muslim yang menciptakan sesuatu yang indah.9 Sidi Gazalba dalam bukunya yang berjudul Islam dan Kesenian berpendapat, bahwa kesenian itu mengandung daya tarik yang berkesan untuk menarik sasarannya dan pemanfaatannya sendiri bertujuan untuk menimbulkan kesenangan yang bersifat estetik (keindahan), juga merupakan naluri atau fitrah manusia.10 Seni yang membahas tentang keindahan atau estetik disebut dalam Islam adalah seni suara atau musik yang biasa disebut Handasah Al-Shaut. Agama Islam mengajarkan umat muslim agar semua tindakan yang dilakukan berdasarkan pada petunjuk Allah. Dewasa ini, perkembangan dunia musik mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal tersebut terjadi karena masuknya unsur budaya luar dari berbagai belahan dunia. Sehingga banyak menimbulkan berbagai argumen berbeda-beda dalam pandangan Islam. Sebab pandangan terhadap seni musik dalam sejarah kebudayaan Islam sering diartikan sebagai seni yang negatif. Islam tidak melarang umatnya untuk mendengarkan seni musik. Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Halal dan Haram berpendapat bahwa, nyanyian adalah salah satu bentuk hiburan yang dapat menghibur jiwa dan menyenangkan hati. Islam memperbolehkan nyanyian 8 C. Israr, Sejarah Kesenaian Islam II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 21 9 Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Bandung: PT Angkasa, 1993), h. 9 10 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), cet ke-1, h.186 5 asalkan tidak ada unsur kotor, maksiat dan tidak mengandung penghinaan.11 Pemanfaatan seni musik sebagai media dakwah sudah dilakukan sejak zaman dahulu, yaitu melalui musik nasyid, gambus, kasidah. Beberapa pandangan mengenai hukum musik, seperti Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa musik hukumnya mubah (boleh), namun harus dibatasi dengan sikap yang tidak berlebihan.12 Seni musik dan lagu sudah ada sejak zaman klasik hingga zaman modern. Bahkan mempunyai peran penting dalam menyampaikan dakwah dan pesan-pesan moral. Bahkan para sufi pun menempatkan seni musik yang mengandung nilai-nilai dakwah sebagai suatu yang sangat penting keberadaannya. Seni musik di dunia Islam dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang, yakni sebagai suatu warisan historis dari abad pertengahan dan zaman kuno, sebagai seni pertunjukan, sebagai cabang ilmu pengetahuan dan sebagai media ketaatan spiritual. Ketika Islam berkembang di Indonesia hal ini membawa pengaruh terhadap perkembangan seni musik, khususnya dalam seni musik Islam. Dalam peradaban Islam, musik telah berkembang ketika di masa pemerintahan Khalifah Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Thalib yang ketika itu kota Madinah menjadi pusat utama kegiatan seni musik di Timur Tengah.13 Musik bagi organisasi sosial keagamaan, seperti tarekat sufi memainkan peranan penting dalam mempertahankan dan mengembangkan tradisi musik Islam. Bahkan dari segi sejarah, ketika itu Nabi Muhammad dan para sahabat 11 Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram, (Jakarta: Robbani Press, 2005), cet 5, h. 345346 12 Yusuf Qardhawi, Islam Bicara Seni, (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 54 13 2000), h. 425 Abdul hadi W.M, Islam Cakrawala estetika dan budaya, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 6 pernah berlagu dan berdendang ketika mendirikan masjid Nabawi di Madinah serta ketika menggali parit untuk perang Khandak. Dahulu juga orang-orang Arab biasa menyanyi dan menyenandungkan lagu sambil memukul alat musik rebana. Seni rebana merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdapat di Indonesia. Seni musik ini sangat melekat pada masyarakat muslim. Kata rebana berasal dari kata Arba’a dalam bahasa Arab yang berarti empat. Makna bilangan empat ini mengandung arti prinsip-prinsip dasar agama Islam yaitu melakukan kewajiban terhadap Allah, masyarakat, kepada alam dan melakukan kewajiban pada diri sendiri14. Pertunjukan rebana biasanya ditampilkan dalam acara-acara tertentu seperti memperingati Maulid Nabi SAW, perayaan hari besar Islam, khitanan, pernikahan dan lain sebagainya. Seni rebana tidak hanya terdapat di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Jenis kesenian ini memiliki nama berbeda-beda di setiap Negara masingmasing, misalnya untuk sebutan rebana di seluruh dunia di Arab disebut Tar, di Sinkiang Cilia disebut Daira, di Maroko rebana disebut Bendir. Dalam istilah bahasa Inggris lebih dikenal dengan Tambourine. Tambourine atau disebut Riq digunakan di berbagai negara Arab, termasuk Mesir, Irak, Suriah dan lainnya. Sedangkan di Rusia, Ukrania, Slovia, Polandia seni ini disebut dengan Buben, Lalu untuk negara-negara Asia Tengah disebut Dajre.15 Sedangkan untuk Di Indonesia sendiri memiliki beranekaragan nama atau sebutan untuk rebana. 14 Nirwantoki. Shendrowinoto. dkk, Seni Budaya Betawi Mengiringi Zaman, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Betawi DKI Jakarta, 1998), h. 71-74 15 Jantara: Jurnal Sejarah dan Budaya, Musik dan Lagu, (Yogjakarta : 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), h. 145-150 7 Seperti dalam istilah Jawa lebih akrab disebut Terbang, sedangkan untuk masyarakat Betawi seni ini lebih akrab di panggil rebana. Saat ini kesenian rebana sangat melekat pada musik tradisional Betawi yang dikenal dikalangan masyarakatnya. Dalam masyarakat Betawi seni rebana memiliki nama dan fungsi yang beranekaragam. Berdasarkan pada jenis alatnya yaitu rebana, sumber syair yang dibawakan, wilayah penyebarannya dan latar belakang sosial pendukungnya, jenis rebana dalam masyarakat Betawi terbagi menjadi rebana ketimpring, rebana ngarak, rebana maulid, rebana hadroh, rebana dor, rebana kasidah, rebana maukhid, rebana burdah dan rebana biang.16 Rebana biang merupakan salah satu kesenian musik tradisional yang terdapat di Betawi. Dahulu persebaran rebana biang terdapat di beberapa wilayah seperti Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Bogor. Seiring dengan perubahan zaman serta globalisasi yang semakin berkembang kesenian ini pun satu persatu terlah sirna keberadaannya. Menurut kesaksian bang Indra, rebana biang di Jakarta saat ini yang masih tetap dijaga kelestariannya hanya terdapat di Ciganjur Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan yang di bawah kepemimpinan H. Abd. Rahman.17 Dalam penuturan H. Abd. Rahman asal muasal rebana biang di Ciganjur Kecamatan Jagakarsa bermula dari seorang tokoh yang bernama kumpi Zaenal atau biasa disebut bapak H. Kumis. Ketika itu beliau mengajarkan agama Islam di daerah tersebut lalu sebagai hiburan agar para muridnya tidak merasa 16 Rahmat Ruchiat, dkk., Ikhtisar Kesenian Betawi, ( Jakarta: Dinas kebudayaan DKI Jakarta, 2000), h. 45 17 Hasil wawancara dengan wakil ketua LKB bang Indra pada hari senin, tanggal 09 bulan Mei 2016 pukul 14.30WIB bertempat di rumah beliau. 8 bosan beliau mempertunjukan rebana biang setelah pengajian. Kemudian seiring perkembangan dari generasi ke generasi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan dalam masyarakat Kecamatan Jagakarsa serta menjadi sebuah pertunjukkan kesenian tradisional dalam masyarakatnya. Kondisi perkembangan seni rebana biang pimpinan H. Abd. Rahman tidak semulus seni musik tradisional Betawi lainnya, seperti gambang kromong, atau tanjidor. Masih dalam penurutan H. Abd. Rahman, rebana biang sempat mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Akan tetapi dengan niat yang tulus serta ingin menjalankan amanat dari ayahnya beliau tetap berusaha untuk menjaga dan melestarikan seni rebana biang dalam masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Oleh karena itu, berdasarkan pada perolehan data serta sumber yang penulis dapatkan dari hasil observasi serta wawancara penulis bermaksud mengkaji persolan tersebut. Berdasarkan data Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, wilayah Kecamatan Jagakarsa tahun 2014 merupakan salah satu wilayah yang memiliki sanggar kesenian terbanyak yakni 41 group kesenian.18 Kesenian musik memiliki jumlah terbesar di antara group kesenian yang lain. Hal ini menandakan masyarakat Kecamatan Jagakarsa lebih tertarik pada seni musik. Ketertarikan penulis dalam penelitian ini selain karena usaha dari pelaku seninya yang terus menjaga kesenian ini hal lain juga karena, 18 Sumber data dalam penelitian ini di antaranya wawancara dengan pihak SUDIN (Suku Dinas) Kota Administrasi Jakarta Selatan dan dokumen berupa naskah serta penulis juga melakukan pengamatan pribadi/ observasi. Pelaksanaan observasi hari selasa/28 Maret 2016, pukul 13.00 WIB 9 perkembangannya dari generasi ke generasi hingga menjadi salah satu seni rebana biang yang masih tetap bertahan di DKI Jakarta. Serta menjadi organisasi kesenian resmi yang terdaftar di Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Maka dari itu, berdasarkan pada paparan diatas serta landasan itulah penulis melakukan penelitian ini dengan mengambil aspek perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa melalui sanggar pusaka rebana biang Ciganjur dibawah kepemimpinan H. Abd. Rahman. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini menguraikan beberapa permasalahan antara lain mengenai perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Penulis juga membatasi permasalahan penelitian ini di wilayah Jakarta Selatan, melalui sanggar pusaka rebana biang Ciganjur pimpinan H. Abd. Rahman. Berdasarkan uraian yang penulis paparkan dalam latar belakang, penulis bermaksud mengkaji tentang perkembangan seni rebana di DKI Jakarta khususnya dalam seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Dalam tulisan ini, permasalahan yang akan diangkat terbagi menjadi beberapa pertanyaan yaitu : 1. Bagaimanakah pengertian seni dalam Islam? 2. Bagaimanakah deskripsi potret wilayah pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan dari segi kondisi geografis, sosial-ekonomi serta sosial-budaya? 10 3. Bagaimana perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam proses penulisan, penulis akan membahas mengenai perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Adapun tujuan penulisan ini adalah: 1. Mengetahui mengenai pengertian seni dari sudut pandang Islam. 2. Menjelaskan mengenai potret wilayah dan kondisi sosial masyarakat Kecamatan Jagakarsa. 3. Mengetahui bagaimana perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan pada aspek kesenian yang bernuasa Islam. 2. Memberikan informasi tentang sejarah kesenian Islam khususnya seni rebana 3. Sebagai sumber informasi atau perbandingan terhadap perkembangan musik yang bernafaskan Islam. 11 D. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan ini, penulis mencari beberapa referensi tentang seni rebana biang, baik tentang pengertian, asal usul hingga perkembangan rebana biang. Akan tetapi sejauh penulis dapatkan, belum menemukan pembahasan yang secara spesifik menjelaskan tentang kesenian ini. Adapun sumber referensi lain yang penulis gunakan sebagai bahan acuan yang tentunya masih berkaitan dengan seni rebana biang seperti: Buku karya yang ditulis oleh Atik Sopandi, dkk dengan judul Rebana Burdah dan Rebana Biang. Buku terbitan tahun 1992 yang diterbitkan oleh Dinas kebudayaan DKI Jakarta ini menjelaskan tentang proses penyampaian atau penyajian rebana biang pada masyarakat sekitarnya ketika masa itu dan menjadi buku acuan penulis dalam melakukan penelitian ini. Buku rujukan lain adalah terbitan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta seperti karya Nirwanto Ki S Hendrowinoto, dkk dengan judul Seni Budaya Betawi Mengiringi Zaman, karya Rachmat Ruchiat, dkk dengan judul Ikhtisar Kesenian Betawi, buku ini memang tidak menjelaskan secara spesifik tentang rebana biang, akan tetapi memberikan gambaran tentang kesenian Betawi secara umum dan mencakup tentang kesenian rebana biang. Buku-buku karya Yusuf Qardhawi dengan tema tentang seni Islam, berjudul Islam dan Seni, Islam Bicara Seni, Seni dan Hiburan Dalam Islam. Buku ini memberikan gambaran kepada penulis mengenai seni musik dari sudut pandang para Ulama, terlebih lagi memudahkan penulis untuk membuat penyusun penelitian ini. 12 Tidak hanya sumber referensi yang berbentuk buku bacaan, penulis juga menggunakan referensi lain dalam bentuk jurnal atau penelitian dengan judul Pertunjukan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuasa Keagamaan oleh Mahmudah Nur artikel. Buku ini menjelaskan tentang pertumbuhan pertunjukan seni rebana biang di tengah masyarakat hingga aspek pelestarian rebana biang di Jakarta. Bagi penulis, hal ini memberikan informasi mengenai gambaran perkembangan seni rebana biang di Jakarta. Bahan rujukan lain yang penulis pakai adalah hasil laporan akhir tahunan Kecamatan Jagakarsa. Laporan akhir ini dilakukan setiap tahunnya oleh kecamatan Jagakarsa sebagai pertanggung jawaban akhir pada Pemerintah Pusat. Laporan ini menjelaskan tentang wilayah kecamatan Jagakrasa dari aspek karekteristik wilayah, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan lain-lain sebagainya. Meskipun tidak menjelaskan tentang seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa akan tetapi, membantu penulis dalam menjelaskan keadaan masyarakat di kecamatan Jagakarsa. Maka itu sejauh referensi yang penulis temukan, penulis belum menemukan hasil penelitian yang menjelaskan tentang perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamata Jagakarsa. Oleh karena itu penulis mengembangkan karya penelitian ini agar kelak menjadi bahan referensi dalam mengembangkan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa bagi peneliti lain. 13 E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskritif analitis, dengan pendekatan sosio-budaya untuk memberikan gambaran dan merekonstruksi peristiwa masa lampau yang bersifat komprehensif.19 Guna mengetahui kronologi peristiwa, pengertian, asal-usul, proses serta faktor-faktor mengenai kesenian rebana biang di Jakarta. 2. Jenis Data dan Sumber Data a. Jenis Data Dalam penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah pengertian seni dalam Islam, deskripsi tentang geografis, sosial budaya, sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Jagakarsa, dan perkembangan seni rebana biang di masyarakat Kecamatan Jagakarsa. b. Sumber Data a. Sumber Data Primer Sumber data primer merupakan sumber data yang keterangannya diperoleh secara langsung dari orang yang menyaksikan peristiwan secara langsung dengan mata kepala sendiri. Dengan kata lain sumber primer adalah sumber yang diperoleh dari aktor (pelaku) sejarah dan orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa sejarah. Biasanya data primer berupa dokumen 19 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4-5. 14 atau catatan yang ditulis oleh saksi mata yang berkenaan dengan suatu peristiwa.20 Kesaksian lisan juga merupakan sumber primer yang diungkapkan secara lisan. Dalam mendapatkan data primer penelitian ini, penulis melakukan kunjungan langsung (observasi lapangan) ke sanggar pusaka rebana biang Ciganjur pada masyarakat kecamatan Jagakarasa. Dengan cara melakukan wawancara kepada ketua sanggar Pustaka Rebana Biang, yakni H. Abd. Rahman selaku penerus generasi keempat sekaligus pelaku seni yang mengembangkan seni rebana biang, pihak keluarga yang menjadi saksi dalam peristiwa tersebut, pelaku atau pemain seni rebana biang, serta masyarakat sekitar yang menjadi saksi sejarah dalam mengembangkan seni rebana biang. Selain data wawancara penulis juga menggunakan buku-buku yang menjadi sumber primer seperti (1) Buku karangan Atik Sopandi, dkk dengan judul Rebana Burdah dan Rebana Biang. Buku ini berdasarkan pada hasil observasi lapangan pada rebana biang di Jakarta. (2) Buku dengan judul Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta. Buku ini merupakan hasil penelitian Tim Peneliti Kebudayaan Betawi Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya UI. Semua data tersebut kemudina penulis analisis dengan tujuan menemukan sumber data yang kredibel. b. Sumber Data Sekunder Sumber sekunder adalah sumber yang keterangannya diperoleh dari orang tidak menyaksikan atau orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Adapun sumber data sekunder antara lain: pandangan dan tulisan orang 20 Dokumen yang termasuk sumber primer adalah undang-undang dasar, piagam, otobiografi, dan sebagainya. Lihat dalam buku Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplilkasi, (Jakarta:PT Bumi Aksara,2007), h.56 15 yang memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai buku, jurnal, media elektronik. Untuk sumber sekunder buku-buku yang penulis gunakan yaitu (1) Buku-buku karangan Yusuf Qardhawi tentang Islam dan Seni, Islam Bicara Seni, Seni dan Hiburan dalam Islam, (2) Ensiklopedi Musik, Seni Pertunjukan Tradisional Betawi, Spritual dan Seni Islam, serta bukubuku lain yang relevan dengan pembahasan. 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan sumber informasi penelitian ini meliputi data kepustakaan dan observasi lapangan. Dalam melakukan pengumpulan data observasi lapangan penulis melakukan wawancara secara langsung di rumah ketua sanggar pusaka rebana biang, kepada pihak keluarga, para pelaku seni yang mengetahui tentang seni rebana biang di masyarakat sekitar Kecamatan Jagakarsa. Kemudian penelitian ini juga menggunakan sumber sekunder sebagai data kepustakaan yang bertujuan sebagai tambahan, penguat dari sumber data primer, seperti buku, hasil penelitian, jurnal yang penulis dapatkan dari perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan umum Iman Jamma, perpustakaan Nasional RI, perpustakaan Daerah DKI Jakarta, perpustakaan umum Universitas Indonesia Depok, dan sebagainya yang masih memiliki keterkitan dengan topik masalah. 4. Analisis data Data yang sudah penulis kumpulkan setelah itu diedit dan kemudian diklasifikasikan untuk dikategorikan selanjutnya. Data yang terkumpul dipilah 16 berdasarkan relevansi dengan subjek kajian. Kemudian dilakukan analisa untuk mengungkapkan perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. 5. Langkah penelitian Secara umum, metode penelitian ini dilakukan empat langkah penelitian ini diantaranya yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik, interprestasi, dan historiografi.21 Heuristik adalah kegiatan mengumpulkan dan penelusuran sumber data melalui pelacakan berbagai dokumen, serta wawancara dengan informan terkait penelitian ini. Adapun sumber primer yang bersifat tertulis, berupa sumber yang diterbitkan seperti biografi maupun tidak di terbitkan seperti sumber tertulis di arsip, dokumen negara atau dokumen pribadi. Sumber data sekunder berupa buku-buku terkait, tesis. disertasi, jurnal, serta sumber elektronik dari website milik instansi resmi daerah maupun pemerintah. Pengumpulan sumber-sumber yang penulis lakukan dengan menggunakan metode penelusuran kepustakaan (library researh) dan observasi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengunjungi lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki arsip terkait tema penelitian seperti arsip kantor Kecamatan Jagakarsa untuk memperoleh data berupa gambaran kondisi masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Selanjutnya berkunjung ke berbagai perpustakaan seperti perpustakaan, baik perpustakaan umum seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Iman Jamma, perpustakaan Nasional RI, perpustakaan Daerah DKI Jakarta, perpustakaan Dinas Pariwisata dan 21 1999), h. 44 Dudung abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 17 Kebudayaan DKI Jakarta dan sebagainya yang tentunya berkaitan dengan topik penelitian. Pada tahap terakhir dilakukan pengujian terhadap fakta dan data sejarah yang sudah di kumpulkan.22 Kritik ekstern dilakukan untuk menguji keaslian sebuah sumber sejarah. Sedangkan kritik intern dilakukan untuk menguji validitas data sejarah. Langkah interprestasi adalah upaya menafsirkan data berdasarkan persepktif tertentu sehingga fakta menjadi struktur yang logis. Kemudian diakhiri dengan langkah histrografi, yakni proses menuliskan hasil penafsiran menjadi kisah sejarah yang utuh versi penulis. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah buku Pedoman Penulisan Karya lmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Dalam pembahasan penelitian ini, penulis membagi menjadi lima bab. Lima bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab dalam pembahasannya yakni sebagai berikut: Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, tinjauan pustaka, sistematika penulisan. Bab kedua ini menguraikan tentang pengertian seni dari sudut pandang Islam. Dalam bab ini akan di jelaskan tentang pengertian seni musik Islam, seni musik dalam pandangan Islam, dan jenis seni musik Islam. 22 Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, h. 14 18 Bab ketiga,,berisikan tentang potret wilayah masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Pembahasan ini akan menguraikan tentang kondisi geografis, keadaan sosial ekonomi serta sosial budaya pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Bab keempat, membahas perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Bab ini memaparkan tentang pengertian rebana biang, asal usul rebana biang, kondisi perkembangan rebana biang, bentuk penyajian rebana biang dan usaha dan upaya dalam mengembangkan seni rebana biang. Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari pembahasan skripsi ini dan saran-saran tentang hal yang berkaitan dengan penelitian. BAB II PENGERTIAN SENI DALAM ISLAM Islam adalah agama yang mencintai keindahan. Keindahan tersebut dapat kita lihat melalui sebuah seni. Seni tersebut beragam baik itu seni rupa, seni suara, seni tari, seni musik, seni sastra dan lain-lain. Kita ketahui bahwa kedatangan budaya dari luar atau asing, seperti Cina, Arab, India, Eropa, Jepang melalui beberapa hubungan perdagangan, agama dan politik memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan kehidupan budaya kesenian khususnya seni musik di Indonesia. Di dunia yang serba modern, kini keberadaan musik telah dijadikan ajang aspirasi dari setiap manusia untuk mengeksperikan perasaannya, baik itu gembira maupun sedih. Dalam pembahasan bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian seni dalam Islam yang pada sub-babnya menerangkan tentang pengertian seni musik, seni musik dalam pandangan Islam, serta jenis musik islami di Indonesia. A. Pengertian Seni Musik Bila membahas masalah musik erat hubungannya dengan seni, sebab musik1 merupakan bagian dari seni. Ensiklopedi Indonesia menerangkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang lahir dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang ditanggap oleh 1 Istilah musik berasal dari Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi musiqa atau dalam bahasa Persia menjadi Musiqi, dan “Music” dalam bahasa Inggris. 19 20 indera pendengar (seni suara), indera penglihat (seni lukis), atau perantara gerak (seni tari, drama).2 Sedangkan seni itu sendiri merupakan sesuatu yang bernilai indah serta merupakan bagian dari kebudayaan yang hampir semua orang menyukainya karena sifatnya yang universal. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, seni adalah halus, indah dan baik. Seni sering diartikan sebagai suatu kreasi, bentuk, dan simbol dari perasaan manusia. Kesenian adalah usaha atau daya pikiran naluriah manusia yang bersifat indah dan biasanya berhubungan erat dengan hati dan perasaan manusia. Banyak pendapat lain mengartikan arti kesenian yaitu: 1. Kesenian adalah hasil atau barang sesuatu yang diciptakan manusia sehingga menghasilkan keindahan dan untuk mewujudkan rasa keindahan, 2. Kesenian adalah rasa halus yang dipergunakan untuk mengekspresikan diri, 3. Kesenian adalah kesatuan dari ide dan gambaran dalam pikiran.3 Penjelasan tersebut menerangkan bahwa kesenian adalah ungkapan rasa halus yang dimanifestasikan sebagai ciptaan atau buah pikiran manusia yang hasilnya mengandung unsur keindahan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Herbert Read yang mengatakan bahwa seni adalah usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Hashim Musa berbendapat seni adalah segala kegiatan yang melahirkan sesuatu 2 Hasan Sadeli, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 1037 3 Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), h. 8 21 yang indah, dan segala hasil yang indah lahir dari kegiatan itu, sedangkan Dr. Hamka melihat seni dari sudut pandang Islam. Menurutnya seni yang sampai kepada manusia adalah gabungan antara rasa keindahan dan rasa kesempurnaan dengan rasa kemuliaan.4 Seni Islam dapat diartikan suatu seni yang dihasilkan oleh seniman muslim atau suatu seni yang sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh seorang muslim.5 Seni Islam yang menggambarkan keindahan dapat membangkitkan keindahan dan kesempurnaan yang hakiki yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.6 Berbicara mengenai pengertian musik terlebih dahulu kita harus memahami definisinya. Dalam sejarah kehidupan manusia, musik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sejalan dengan perkembangan hidup. Seni musik merupakan bagian dari proses kreatif manusia dalam mengelola bunyibunyian yang tercipta oleh alam. Suhastjarja, seorang dosen dari Institut Seni Indonesia Yogjakarta, mengatakan bahwa musik ialah ungkapan rasa indah manusia dalam bentuk suatu konsep pemikiran yang bulat, dalam wujud nada-nada atau bunyi lainya yang mengandung ritme dan harmoni, serta mempunyai suatu bentuk dalam ruang waktu yang dikenal oleh diri sendiri dan manusia lain dalam lingkungan hidupnya 4 Dapat dilihat dalam buku terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Bandar Seri Begawan, Simposium Serantau Sastera Islam, (Brunei Darussalam: Percetakan dan Perniagaan Avesta Sdn, Bhd., Brunei Darussalam, 1996), h. 70-71 5 6 Islam, h. 74 Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, h. 9 Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Kebudayaan, Simposium Serantau Sastera 22 sehingga dapat dimengerti dan dinikmati.7 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) musik memiliki dua arti : a) Musik adalah ilmu atau seni yang menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan, b) Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan.8 Definisi lain dalam kamus musik menyebutkan bahwa musik adalah bunyi riil (akustis), suatu peristiwa yang dialami dalam dimensi ruang dan waktu, namun musik melebihi bunyi alamiah seperti suara angin.9 Dari banyaknya beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seni musik adalah ekpresi jiwa manusia dalam menyusun suara atau bunyi yang didalamnya mengandung irama, lagu, dan keharmonisan baik berupa vokal atau nyanyaian melalui alat-alat musik. Musik memiliki beberapa fungsi di antaranya dapat menenteramkan pikiran dari beban manusia, dan menghibur tabiat manusia.10 Sepanjang sejarah, Musik juga telah masuk ke dalam perayaan-peryaan keagamaan dan dalam siklus kehidupan manusia, seperti kelahiran, pengkhitanan, dan perkawinan. Sebelum Islam datang setiap kaum atau bangsa pasti memiliki 10 169 7 Soedarsono, Pengantar Apresiasi Seni, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), h. 13-14 8 Ensiklopedi Indonesia jilid IV, (Jakarta: PT Ikthiar Baru-Van Hoege), h. 602 9 Karl Edmund Prier, Kamus Musik, (Yogjakarta : Pusat Musik Liturgi, 2009), h. 123 Syyed Hossein Nasr, Spiritual Dan Seni Islam, (Bandung, Penerbit Mizan, 1993), h. 23 tradisi musik tertentu, namun ketika musik telah mendapat sentuhan dari estetika Islam musik tersebut mengalami transformasi. Menurut Abdul Ghani an-Nabulasi dan Muhammmad ad-Dhalimi asal usul seni Islam adalah tajwid, yakni aturan dalam membaca ayat-ayat al-Quran seindah-indahnya, sambil berusaha menghindar dari kekeliruan pembacaan.11 B. Seni Musik Dalam Pandangan Islam Seni dalam arti keindahan merupakan bagian dari ajaran Islam. Islam mengajurkan keindahan, karena Allah itu Maha indah dan suka keindahan. Islam merupakan agama yang memberikan perhatian besar pada keindahan, baik keindahan yang berupa tulisan maupun lisan. Akan tetapi masih ada persoalan yang masih diperdebatkan oleh kalangan umat Islam hingga saat ini. Masalah tersebut mengenai seni musik. Persoalan masalah seni musik masih menjadi perdebatan bagi kalangan umat Islam yang terbagi menjadi tiga yaitu; 1. Golongan pertama adalah golongan yang menerima atau membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan segala macam nyanyian dan musik dengan anggapan bahwa hal itu diperbolehkan, sebagai bagian dari kebahagian hidup yang dihalalkan oleh Allah SWT. untuk umatnya. 11 2000), h. 429 Abdul hadi W.M, Islam Cakrawala Estetika dan Budaya, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 24 2. Golongan kedua adalah pihak yang menutup rapat-rapat telinga mereka, terlebih lagi apabila yang menyanyi seorang wanita, sebab menurut pandangan mereka suara wanita itu aurat. 3. Golongan Ketiga adalah mereka bersikap ragu-ragu di antara kedua pendapat tersebut, sekali waktu condong kepada golongan pertama pada saat lain condong kepada golongan kedua. Mereka menunggu putusan dan jawaban yang memuaskan dari ulama-ulama Islam dalam hal seni musik ini.12 Kontekstualisasi seni suara saat ini dapat diambil dari nada-nada, irama-irama atau bunyi suara bacaan al-Qur’an yang indah. Ismail Raji al-Faruqi, dalam kitab Mu’jam al Mufahros fi al fazil al-Qur’an mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an merupakan handasah al-shaut (seni suara) yang dapat didengar di mana-mana. Pendapat lain juga disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi tentang boleh atau tidakkah musik di kalangan umat Islam. Beliau mengatakan, bahwa musik itu di bolehkan dengan catatan sebagai berikut: 1. Subtansi atau isi nyanyian harus sesuai dengan etika dan ajaran Islam yang memang sudah diatur, 2. Janganlah gerak-gerik seorang penyanyi dapat membangkitkan hawa nafsu dan meninbulkan fitnah, 3. Janganlah perbuatan itu dilakukan secara berlebihan, sehingga melalaikan untuk mengerjakan semua perintah Allah, 12 Yusuf Qardhawi, Islam Bicara Seni, (Solo: Era Intermedia,2004), h. 52 - 53 25 4. Janganlah seni suara itu disertai dengan hal-hal yag diharamkan.13 Dalam dunia Islam, musik dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang yakni; Pertama sebagai suatu warisan historis dari abad pertengahan dan zaman kuno. Kedua sebagai pertunjukan. Ketiga sebagai cabang ilmu pengetahuan dan sebagai media ketaatan spritual. Musik dalam sejarah Islam memainkan peranan yang cukup penting, serta hadir dalam bentuk seni yang sangat popular dan penting, bahkan dalam dunia tarekat sufi musik berguna sebagai makna spiritual melalui praktik- praktiknya.14 Dalam sudut pandang spiritual, musik mempunyai arti penting tidak hanya sekedar musik melainkan juga dalam hubungannya dengan syair, seperti dalam karya Jalal Al-Din Rumi. Berdasarkan dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai seni suara apabila digunakan pada hal-hal yang positif bagi kehidupan manusia, maka ia menjadi sesuatu yang mubah dalam kehidupan. Begitu sebaliknya apabila dijadikan sebagai sarana demoralisasi atau perbuatan maksiat maka akan menjadi terlarang atau haram. 13 Pernyataan Yususf al-Qardhawy dikutip dalam H. Mu’amal Hamidy, Halal dan Haram Dalam Islam, (Surabaya: Penerbitan Bina Ilmu, 1990), h. 416-417 14 2002), h. 121 John L, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (bandung : Penerbit Mizan, 26 C. Jenis Musik Islami Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki daya kreatifitas yang akan terus-menerus berkembang yang dapat mengahasilkan sebuah karya yang berbeda-beda, manusia juga memiliki kemampuan memandukan antara satu suara dengan suara lainnya dalam susunan yang harmonis yang pada akhirnya melahirkan sebuah musik yang dapat menyebabkan kegembiraan atau kesedihan pendengar atau penikmatnya. Pada tahap perkembangan selanjutnya, musik berkembang bersamaan dengan berkembangnya suatu bangsa. Sebab, kualitas musik dapat dijadikan salah satu indikator bagi kualitas kebudayaan suatu bangsa atau jati diri kepribadian bangsa dengan kebudayaan bangsa lain. Indonesia adalah Negara kepulauan yang memilki wilayah geografi yang sangat luas dan budaya beragam. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama, hampir mayoritas masyarakatnya beragama Islam terjadi pertemuan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan asli atau setempat yang telah hidup lebih dahulu di wilayah Indonesia, serta pertemuan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan -kebudayaan dari luar. Keanekaragaman bentuk musik yang beragam di Indonesia timbul dari pertumbuhan dan perkembangan pada daerah setempat, seperti menemukan musik gamelan, musik yang mengandung unsur Cina, Arab, India dan lain-lain. Musik atau seni suara sudah ada ketika lahirnya peradaban manusia di dunia. Musik merupakan cabang kesenian yang menggunakan media suara sebagai bentuk ungkapan perasaan dan nilai kejiwaan manusia yang dianggap paling tua. Ragam seni musik di Indonesia selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa, mulai dari musik tradisional, musik modern hingga sampai musik 27 religi. Fungsi musik di Indonesian memiliki fungsi tertentu, yaitu musik sebagai musik dan musik yang berfungsi sesuai keberadaannya. Musik yang berfungsi sebagai musik artinya mendengarkan musik instrumentalia pada malam hari ketika menjelang tidur, lalu musik yang berfungsi sebagai pengiring, misalnya pengiring lagu, tarian, drama, gerak jalan, dan sebagainya. 15 Indonesia memiliki musik Islam baik dilihat dari bentuk maupun isinya. Musik Islami adalah musik yang bertemakan keislamam, baik dalam lirik dan syairnya mengandung unsur ajaran-ajaran Islam, nasihat untuk mengikuti perintah-perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, dan ajakan bertaqwa kepada Tuhan-Nya. Dalam sejarah musik, penyajiannya dapat di tampilkan berbagai macam; Pertama, cara penyajiannya dengan menggunakan seni suara disebut musik vokal, seperti paduan suara, dan acapela. Kedua, cara penyajiannya dengan alat-alat musik biasa disebut musik instrumental, seperti pertunjukan-pertunjukan musik orckestra, dan musik-musik klasik. Ketiga, kombinasi antara musik vokal dan musik instrumental. 16 Dikalangan masyarakat terdapat berbagai jenis musik islami, seperti qasidah, gambus, qit’a (penggalan syair), ghazal (biasanya berbentuk puisi yang kemudian dilagukan), mawal (lagu tentang keindahan). Sedangkan untuk musik instrument adalah musik yang menggunakan alat-alat saja, seperti tanbu, qasaba, tabl (dram) dan duff (tamborin). Jenis alat musik ini biasa dipergunakan untuk menguatkan bunyi dan jalan irama. Di Indonesia sendiri terdapat ragam jenis 15 Ensiklopedi Jakarta, (Jakarta : PT Lentera Abadi, 2009), h. 58 16 B. Sitompul, Musik Dan Seni Suara, (Jakarta: Penerbit Widjayakarta, t.t), h. 29 28 musik islami yakni melalui musik gambus, marawis, nasyid serta rebana yang memiliki ragam nama serta fungsi yang berbeda-beda dalam maknanya. 1. Musik Gambus Gambus merupakan seni musik islami di Indonesia. Gambus adalah salah satu alat musik petik sejenis gitar, dengan kotak resonator17 yang berbentuk cembung yang ketujuh dawainya dimainkan dengan jari atau plektrum18. Gambus memiliki berbagai macam arti di Indonesia , pertama musik yang dihasilkan dari orkes gambus di kalangan masyarakat Jakarta dan Sumatera Selatan, kedua alat musik petik berdawai yang dikenal di beberapa daerah seperti, Jakarta, Lampung, Riau, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, ketiga jenis tarian rakyat yang berasal dari daerah Bangka, dan di Sumatera Selatan jenis tarian rakyat ini di dibawakan secara berpasangan dengan diiringi sebuah gambus. Dalam bahasa Arab namanya adalah qopuz diambil dari kata bahasa Afrika Timur, yaitu gabbus. Sedangkan di Indonesia instrumen ini telah berubah menjadi nama sebuah orkes dengan nada yang dimiliki bercorak Islam. 19 Musik gambus berkembang pesat pada Negara-negara Timur Tengah, khususnya Mesir. 17 Resonator adalah benda yang ikut bergetar sehingga memperkeras bunyi, seperti badan gitar yang berrongga adalah resonator dimana udara didalamnya rongga turut bergetar. Dilihat dalam buku Pono Banoe, Kamus Istilah Musik, (Jakarta: CV. Baru, 1985), h.207 18 Plektrum adalah bilah kecil yang terbuat dari kayu, tanduk atau bahan jenis lainnya yang digunakan sebagai pemetik pada beberapa alat musik petik. Dilihat dalam buku M. Soeharto, Kamus Musik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), h. 100 19 Ensiklopedi Musik Jilid 1, h. 158 29 Pada Negara Timur Tengah musik gambus kini telah dibuat menjadi sebuah orckestra yang besar seperti orkes symponi di Negara-negara Barat. Di Indonesia musik gambus berkembang di tempat-tempat berkembangnya agam Islam. Hampir semua kota di Indonesia yang diantara banyak penduduknya yang memeluk agama Islam, biasanya lahir musik gambus. Awal mula masuknya musik dan alat musik gambus ke daerah-daerah di Indonesia bermula dari masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia, sehingga menghasilkan warna musik bernafaskan Islam dengan syair berbahasa Arab. Dalam perkembangannya musik gambus juga menggunakan syair Melayu dan India, dan juga dengan lagu-lagu daerah. Meskipun memiliki beragam variasi musik gambus tetap tidak menghilangkan warna dari nada Timur Tengah. Musik gambus Jakarta juga disertai dengan alat musik Barat, seperti gitar, biola, organ dan sebagainya yang dibutuhkan dalam penampilannya. Berbeda dengan alat musik gambus dari Sumatera Selatan memiliki kekhasan sendiri, baik penampilan maupun iringan musiknya. Berdasarkan pengamatan, musik gambus biasanya dimainkan oleh warga keturunan Arab. Hal ini berkaitan dengan lagu-lagu yang ditampilkan pada awalnya dalam bentuk syair dalam bahasa Arab. Peralatan musik gambus bervariasi, namun pada umumnya terdiri dari gambus, biola, dumbuk, suling, organ atau accordion dan marawis. Musik gambus juga dapat pergunakan untuk mengiringi tarian japin yang biasanya dibawakan oleh pria berpasangan-pasangan. 30 Salah satu tokoh musik gambus di Jakarta yang terkenal diantaranya adalah Zein Alhaddad.20 2. Musik Marawis Musik marawis merupakan salah satu jenis musik tepok dengan perkusi sebagai alat utamanya. Nama marawis sendiri diambil dari alat musik yang dipergunakannya. Kesenian marawis berasal dari Negara Timur Tengah terutama dari Negara Yaman. Secara keseluruhan, musik ini menggunakan alat-alat yang terdiri dari tiga jenis, yakni: 3. Hajir adalah gendang besar dengan berdiameter 45 cm dengan tinggi 60-70 cm dengan kedua gendang tertutup, serta garis tengah 10 cm. 4. Marawis adalah gendang kecil berdiameter 20 cm dengan tinggi 19 cm. Alat ini berjumlah enam buah dan termasuk alat yang paling banyak dipergunakan untuk pementasan. 5. Tumbuk adalah sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, memiliki diameter yang berbeda pada kedua sisinya, serta papan tepok, yakni dua potong kayu bulat berdiameter 10 sentimeter. Kadang kala ditambahkan dengan tamborin atau krecek, biola, seruling. Lagu-lagu yang dibawakan diiringi dengan jenis pukul atau nada tertentu, seperti zafin, sarah, dan zahefah.21 Selain itu lagu yang sering 20 Dikutip dari alamat web http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Gambus diakses pada senin 15 September 2016. 14.00 WIB. 31 dinyanyikan biasanya bergenre gambus atau padang pasir. Para pemain biasanya berasal dari turun temurun yang terdiri dari minimal sepuluh orang, yang sebagian besar masih memiliki hubungan keluarga.22 Musik marawis sering juga ditampilkan dalam acara hajatan, seperti acara pernikahan maupun khitanan. Pemain marawis sebagian besar adalah pria, dengan menggunakan busana muslim yang sopan sebagai kostumnya dan biasanya menggunakan peci sebagai penutup kepala. 3. Musik Nasyid Nasid juga merupakan salah satu jenis musik islami. Nasyid adalah salah satu seni Islam dalam bidang suara. Lagu yang dinyanyikan biasanya mengandung kata-kata nasihat, kisah para nabi, pujian kepada Allah SWT. dan lain-lain. Nasyid dibawakan dengan cara acappela dengan diiringi gendang. Nasyid hadir di Indonesia sekitar era tahun 80-an bermula ketika para aktivis kajian Islam yang mulai tumbuh di kampus-kampus pada saat itu. Syair yang digunakan asli berbahasa Arab. Namun seiring perkembangan nasyid ada yang dibawakan dengan berbahasa Indonesia. Nasyid juga dibawakan ketika perayaan hari besar Islam. 21 Pukulan Zafin digunakan untuk mengiringi lagu-lagu gembira pada saat pentas dipanggung, seperti lagu berbalas pantun. Pukulan Sarah digunakan saat mengarak atau mengiringi pengantin. Dan pukulan Zahefah digunakan untuk mengiringi lagu-lagu majlis. 22 Yayasan untuk Indonesia, Ensiklopedi Jakarta II: Culture & Heritage, (Jakarta: penerbit pemerintahan provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman , 2005), h. 252 32 Ustad Abdullah Gymnastiar, berpendapat nasyid adalah bagian dari seni Islam yang harus menjadi bagian dari dakwah Islam sepanjang syairnya benar dan ada di jalan yang di ridhoi Allah dan penyajiannya benar-benar tulus karena Allah. Oleh karena itu tidak cukup dengan memperindah suara, namun yang terpenting adalah memperbaiki akhlak para penasyidnya agar nasyid mampu menembus relung hati dan mampu merubah sikap para pendengarnya.23 Nasyid pertama kali hadir di Indonesia ketika dibawakan oleh sekelompok dakwah al-Arqam dari Negara Jiran Malaysia. Mereka menggunakan nasyid sebagai salah satu metode dakwah mereka serta dalam penyampainnya menggunakan syair yang enak didengar. 4. Musik Rebana Kesenian rebana sering dikaitkan dengan kesenian tradisional Islam. Kesenian tradisional adalah bentuk seni yang bersumber dan berakar, serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Kesenian tradisional selalu berkaitan dengan adat istiadat yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain. Rebana merupakan alat musik yang memiliki ukuran yang bervariasi dalam bentuk yang rata-rata pipih, terbuat dari sehelai 23 Pendapat Abdullah Gymnastiar yang dikemukakan dalam pembukaan album nasyid The Fikr dengan tema cinta yang diproduksi oleh PT. Mutiara Qalbun Salim. Terdapat dalam Nasyid Modern, Permata, no. 3, tahun VII, (Juli 2009), h. 11 33 kulit yang direntangkan pada bingkai kayu yang bundar dan pada bingkainya sering ditambahkan beberapa logam pipih.24 Konon kata rebana berasal dari kata Arbaa (bahasa Arab) yang bermakna empat. Bilangan empat ini mengandung arti prinsip-prinsip dasar agama Islam yaitu melakukan kewajiban terhadap Allah, masyarakat, kepada alam dan melakukan kewajiban pada diri sendiri.25 Rebana merupakan alat musik yang cukup popular di masyarakat Muslim. Rebana memiliki sebutan yang luas seperti robana, rabana, terbana, trebang atau terbang. Rebana dalam istilah Jawa lebih akrab disebut “Terbang” dan dalam istilah bahasa Inggris lebih dikenal dengan “Tambourine”. Tamborine atau disebut Riq digunakan di berbagai negara Arab, termasuk Mesir, Irak, Suriah dan lainnya. Sedangkan di Rusia, Ukrania, Slovia, Polandia alat perkusi ini disebut dengan Buben, Lalu untuk negara-negara Asia Tengah disebut Dajre.26 Pada hakekatnya instrumen musik rebana sudah ada sejak empat belas abad yang lalu yaitu pada zaman Nabi Muhammad SAW. Instumen ini masuk ke Indonesia ketika penyebaran agama Islam ke Nusantara. Hampir seluruh daerah di Indonesia, terutama di daerah yang wilayahnya kental dengan budaya Islam mengenal alat ini dengan baik.27 24 Abdul Chaer, Foklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), h. 201 25 Nirwantoki. SHendrowinoto. dkk, Seni Budaya Betawi Mengiringi Zaman, ( Jakarta : Dinas Kebudayaan Betawi DKI Jakarta, 1998), h. 71-74 26 Jantara: Jurnal Sejarah dan Budaya, Musik dan Lagu, (Yogjakarta : 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), h. 145-150 27 Ensiklopedi Musik jilid I, (Jakarta: PT Delta pamungkas, 2004), h. 150-151 34 Berdasarkan literatur sejarah kesenian yang diterbitkan oleh direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional tahun 1990, instrument musik rebana masuk ke Indonesia kurang lebih pada abad enam belas Masehi, kemudian perkembangan agama Islam di Indonesia memberikan pengaruh terhadap perkembangan seni rebana. Hal ini terjadi sejak tahun 1945 hingga saat ini. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya kegiatan festival-festival seni rebana yang dimulai dari tingkat desa hingga sampai pada tingkat nasional, serta banyaknya pergelaran-pergelaran seni rebana, baik di panggung hiburan yang sifatnya resmi maupun yang tidak resmi.28 Hampir di seluruh wilayah di Indonesia, seperti terdapat madrasah, majlis, taklim, masjid dan pesantern, juga terdapat kesenian ini. Rebana biasa dimainkan oleh lelaki sambil membawakan lagu bernuasa Islami yang berisi pujian terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad atau mengenai hukum dan ajaran Islam. Busana para pemain dan penyanyi rebana selalu berupa celana panjang, baju, dan kopiah untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan berupa kerudung pada leher, celana panjang, gaun panjang, serat cadar penutup kepala.29 Di Jakarta khususnya masyarakat Betawi terdapat berbagai macam jenis rebana dengan nama, manfaat, dan penggunaan yang berbeda-beda dari yang ukuran terkecil hingga ukuran yang besar, yaitu ketimpring, hadroh, kasidah, maukhid, biang.30 28 Wirya, Bermain rebana, h.2 29 Indonesia Heritage, Seni Pertunjukan, (Jakarta: Grolier Internasional. Inc, 2002), h. 30 Ensiklopedi Musik Jilid 2, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1992), h. 150 66-67 35 a. Rebana Ketimpring Rebana ketimpring adalah jenis rebana yang paling kecil. Garis tengah hanya berukuran 20 sampai 25 cm. Sebutan rebana ketimpring dikarenakan adanya tiga pasang kerincingan, bentuknya semacam kecrek yang dipasang pada badan rebana yang terbuat dari kayu yang menurut istilah setempat kayu itu disebut “kelongkongan”. Rebana ketimpring ini mempunyai dua fungsi yaitu sebagai rebana ngarak dan maulid. b. Rebana Hadroh Sama halnya dengan rebana ketimpring akan tetapi ukuran rebana hadroh lebih besar. Rebana hadrah adalah jenis rebana yang menggunakan tiga buah rebana yaitu, pertama “bawa” untuk irama pukulannya cepat, yang berfungsi sebagai komando, kedua ” seling” untuk saling mengisi dengan “bawa”, ketiga gedug berfungi sebagai bas. Alat rebana ini memiliki garis tengahnya rata-rata 30 cm. Lagu rebana hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. c. Rebana Kasidah Rebana kasidah merupakan seni musik Islam yang sangat populer. Jenis musik ini merupakan perkembangan dari rebana dor.31 Kasidah merupakan bentuk 31 Rebana Dor adalah jenis rebana yang fleksibel karena dapat digabungkan pada semua jenis rebana lain. Jenis rebana ini terdapat lubang-lubang kecil untuk tempat jari pada kelongkongannya. Rebana ini digunakan untuk mengiringi lagu-lagu yang berasal dari Timur Tengah, seperti Shikah, Resdu, Yaman Hezas, Bani Sakadan sebagainya, oleh sebab itu rebana Dor biasa disebut rebana lagu. Lihat dalam E. Sjahrial, Ikhtisar Kesenia Betawi, (Jakarta : Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata DKI Jakarta), h. 51 36 puisi Arab yang sudah ada sebelum datangnya Islam, akan tetapi setelah datangnya Islam kasidah kini menjadi milik Islam sebab ketika itu digunakan sebagai media pemahaman tentang Islam dan sebagai alat dakwah dalam syiar Islam.32 Kasidah (qasidah, qasida dalam bahasa Arab) adalah bentuk syair epik kesusastraan Arab yang dinyanyikan. Penyanyi menyanyikan lirik berisi pujianpujian untuk kaum muslim dan biasanya lagunya mengandung unsur-unsur dakwah Islamiyah dan nasihat-nasihat baik sesuai ajaran Islam . Lagu-lagu yang dinyanyikan biasanya dengan penuh irama kegembiraan yang hampir menyerupai irama Timur Tengah yang diiringi dengan instrument rebana. Banyak bentuk dari qasidah, salah satunya Qasidah Burdah33 dan Qasidah Barzanji. Banyak dari golongan remaja bahkan ibu-ibu menyukai kesenian ini yang membuat perkembangannya menjadi kian pesat. Syairnya pun tidak terbatas berbahasa Arab, ada juga yang berbahasa Sunda, Jawa dan sebagainya dengan bernuansa Islam. Rebana kasidah biasa dimainkan oleh pria, wanita atau campuran.34 Hingga saat ini rebana kasidah masih tetap berkembang. Di Jakarta seni kasidah sangat pesat pertumbuhannya. Hal tersebut membuat Gubenur DKI Jakarta yaitu, R. Supranto pada periode 1982-1987 32 Ensiklopedi Musik jilid I, h.137-138 33 Qasidah Burdah merupakan salah satu karya sastra Arab klasik karangan Imam al- Bushiry yang ditulis pada abad ke13 Masehi. qasidah burdah menjadi salah satu karya sastra yang popular selama berabad-abad yang mendapat sambutan dalam sejarah perkembangan sastra dunia sepanjang zaman. 34 Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi Jakarta : Culture & Heritage buku III, (Jakarta: Dinas kebudayaan dan Permuseuman, 2005), h. 2 37 mengkukuhkan seni kasidah menjadi suatu lembaga seni pada tanggal 11 Maret 1985, yang dinamakan Lembaga Seni Qasidah Indonesia (LASQI) sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal seni musik, serta mengembangkan seni musik Islam di Indonesia. Salah satu penyanyi kasidah yang sangat terkenal di Indonesia adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj Nur Asiah Jamil. d. Rebana Maukhid Rebana maukhid pada awalnya tidak terlepas dari peran seorang mubalig bernama Habib Hussein Alhadad. Beliau adalah orang yang mengembangkan rebana ini pertama kali. Ukuran rebana ini lebih besar dari rebana hadroh, sekitar 40 cm dan lebih kecil dari rebana burdah yang berukuran sekitar 50 cm. Keberadaan rebana maukhid bukan semata-mata untuk sebuah pertunjukan, akan tetapi ditujukan sebagai pengisi acara tablig. e. Rebana Biang Rebana Biang adalah rebana yang memiliki ukuran besar dibandingkan jenis rebana yang lain. Rebana biang terdiri dari empat jenis yakni; yang paling kecil berdiameter 20 cm disebut ketog, yang bergaris tengah 30 cm disebut gendung, yang sedang bergaris tengah 60 cm disebut kotek, yang paling besar bergaris tengah 60 – 80 cm disebut biang. Karena bentuk dari alat ini besar, cara memainkannya sambil duduk dengan cara menyanggahnya dengan telapak kaki dan lutut. 38 Seni yang dianggap sebagai bahasa universal diharapkan mampu menjadi sarana untuk mengajak setiap mahluk hidup untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan tercela serta mampu membangun kehidupan yang berkeadaban dan bermoral. Dalam Islam khususnya seni yang bernafaskan Islam dasar pemikirannya adalah niat untuk beribadah kepada Allah swt. Pada tahap selanjutnya, pemaparan tentang seni musik islami akan di khususkan pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Pada pembahasan Bab III akan menjelaskan tentang kondisi wilayah masyarakat Kecamatan Jagakarsa, serta membahas kondisi sosial ekonomi, budaya yang terjadi pada masyarakatnya. BAB III POTRET WILAYAH MASYARAKAT KECAMATAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN DKI Jakarta merupakan wilayah yang cukup luas dan terbagi menjadi berbagai kota administrasi, seperti kota administrasi Jakarta Barat, kota administrasi Jakarta Timur, kota administrasi Jakarta Pusat, kota administrasi Jakarta Utara, kabupaten Kepulauan Seribu dan kota administrasi Jakarta Selatan. Dasar pembentukan kota administrasi Jakarta Selatan adalah UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Pronvinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah kota administrasi Jakarta Selatan memiliki luas wilayah seluas 145,73 Km² yang terbagi dalam 10 kecamatan. Kecamatan Jagakarsa merupakan sebagian dari sepuluh kecamatan dalam lingkup pemerintah kota administrasi Jakarta Selatan yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubenur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1251 tahun 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas, Perubahan Nama Kelurahan yang Sama atau Kembar dan Penetapan Luas Wilayah Kelurahan di DKI Jakarta. Pembahasan dalam Bab ini akan membahas mengenai kondisi geografis Kecamatan Jagakarsa, kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kecamatan Jagakarsa dan kondisi sosial-budaya masyarakat Kecamatan Jagakarsa. 39 40 A. Kondisi Geografis Kecamatan Jagakarsa Secara geografis wilayah Kecamatan Jagakarsa terletak pada 06º 15’ 40,8’’ LS dan 106 45’ 00,0” BT. Wilayah Kecamatan Jagakarsa merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang ada dalam lingkungan kotamadya Jakarta Selatan. Kecamatan Jagakarsa merupakan bagian Selatan Provinsi DKI Jakarta yang berbatasan langsung dengan kotamadya Depok Provinsi Jawa Barat. Wilayah Kecamatan Jagakarsa merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan dalam wilayah kota administrasi Jakarta Selatan dengan luas 2.502,607 Ha. Gambar. 3.1 Peta wilayah kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan Pembentukan wilayah administratif Kecamatan Jagakarsa berdasarkan pada peraturan Pemerintahan nomor 60 Tahun 1990 Tanggal 18 Desember yang berisi tentang Pembentukan Kecamatan dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota 41 Jakarta. Sebelumnya wilayah Kecamatan Jagakarsa termasuk bagian dari wilayah kecamatan Pasar Minggu. Kecamatan Jagakarsa memiliki enam kelurahan yang masing-masing memiliki luas wilayah tertentu. Berikut tabel rincian enam kelurahan di wilayah Kecamatan Jagakarasa yaitu; No. Kelurahan Luas (km²) 1 Ciganjur 337.600 2 Srengseng Sawah 674.700 3 Jagakarsa 485.000 4 Lenteng Agung 227.747 5 Tanjung Barat 380.060 6 Cipedak 397.500 Jumlah 2.502.607 Tabel 3.1:Laporan Penyelenggara Pemerintahan provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014 Kecamatan Jagakarsa Adapun batas wilayah Kecamatan Jagakarsa adalah a. Utara : Jl. Margasatwa, Jl. Sagu, Jl. Mursid, Jl. Joe, Jl. TB Simatupang dan b. Timur Jl.Poltang : Kali Ciliwung Kota Administrasi Jakarta Timur 42 c. Selatan : Pilar Batas (Desa Pondok Cina, Kukusan, Tanah Baru Kotamadya Depok), Gandul kecamatan Sawangan Kabupaten Bogor d. Barat : Kali Krukut Kabupaten Bogor Karakteristik wilayah berdasarkan pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) pada tahun 1985 – 2005, wilayah kecamatan Jagakarsa ditetapkan sebagai wilayah penyangga dan resapan air dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) rendah rata-rata 20% dengan iklim antara 25 C° sampai 27 C° dengan curah hujan rata-rata 2.000 m³ yang terletak pada ketinggian 52 M diatas permukaan laut.1 B. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan merupakan daerah pemukiman. Banyak kita temukan perkampungan yang masih alami yang terdiri dari mayoritas komunitas budaya asli Betawi. Masyarakat Kecamatan Jagakarsa pada dasarnya adalah warga Betawi yang menetapi daerah tersebut. Seiring dengan pesatnya laju perekonomian di Provinsi DKI Jakarta Selatan banyak para pendatang yang mulai menempati wilayah tersebut. Bahkan ada sebagian warga Betawi yang mulai terpinggirkan. Beberapa faktor dapat menentukan tinggi rendahnya keadaan sosioal ekonomi seseorang dalam masyarakat, di antaranya tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, keadaan rumah tangga, tempat tinggal, jabatan 1 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014, (Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 1 - 2 43 dalam organisasi, aktivitas ekomomi, Kepemilikan kekayaan. Beberapa teori juga pernah diajukan bahwa pola pemukiman atau tempat tinggal dari suatu masyarakat ditentukan oleh faktor fisik, seperti topografi, iklim.2 Berdasarkan pada indikasi pola pemukiman masyarakat Kecamatan Jagakarsa di atas, maka sebagian warga Kecamatan Jagakarsa ada yang bermata pencaraian sebagai pegawai baik itu PNS maupun swasta, pedagang, wirausaha, karyawan pabrik, buruh, asisten rumah tangga (ART),peternak, petani, pedagang kaki lima dan lain sebagainya.3 Untuk mengurangi angka pengangguran serta meningkatkan sosial ekonomi di masyarakat Kecamatan Jagakarsa, pemerintah mempunyai beberapa program kegiatan yang salah satunya dengan membangun koperasi yang berbasis kekeluargaan di setiap kelurahan. Tercatat hingga awal bulan Desember 2014 terdapat 21 buah koperasi yang memiliki badan hukum. Terdapat enam buah kopersi yang dikelola masyarakat kelurahan selebihnya dimiliki oleh instansi atau swasta. Selain itu juga terdapat kegiatan industri kecil dan rumah tangga berjumlah kurang lebih 335 usaha industri dengan tenaga kerja sebanyak kurang lebih 1.632 orang.4 Pendidikan juga merupakan salah satu kunci keberhasilan yang dapat meningkatkan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya. Untuk menujang hal tersebut pemerintah telah menyediakan sarana pendidikan dan tenaga pengajar, 2 Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 196. 3 Sumber BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan , Jagakarsa Dalam Angka 2015, (Jakarta:CV. Nario Sari,2015), h. 39-40 4 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014, (Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 39 dan 43. 44 baik kualitas maupun kuantitas. Berikut adalah tabel gambaran sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Jagakarsa sampai dengan bulan Desember 2014 adalah sebagai berikut; NO. KEL SLB TK S SD S N SLTP MI S N SLTA M S PT N M TS S N A 1 Ciganjur − 12 2 6 4 2 1 1 1 1 − 1 − 2 Sr. Sawah 1 11 3 16 1 8 2 3 14 1 1 2 − 3 Jagakarsa 1 11 2 14 5 2 3 − 3 1 − 3 − 4 Lt. Agung 1 8 4 13 2 2 2 4 3 1 1 1 1 5 Tj. Barat − 8 8 3 _ 1 1 _ 1 _ _ 3 _ 6 Cipedak _ 7 6 6 3 2 2 2 2 1 2 _ 1 3 57 25 58 15 17 11 10 24 5 4 10 2 Jumlah Table 3.2 Laporan penyelenggara pemerintahan provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014 kec. Jagakarsa Keterangan: SLB: sekolah Luar Biasa MA: Madrasah Aliyah PT: Perguruan Tinggi MTS: Madrasah Tsanawiyah/ SMP S: Swasta MI: Madrasah Ibtidaiyah/ SD N: Negeri 45 Kecamatan Jagakarsa terdiri dari 54 rukun warga dan 545 rukun tetangga dengan jumlah penduduk 356.271 orang. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Kecamatan Jagakarsa pada tahun 2014 tercatat sebanyak 356.271 orang dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 179.995 orang dan penduduk perempuan sebanyak 176.276 orang. Maka laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Jagakarsa pertahun 2010-2014 adalah 3,32 %.5 C. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Kecamatan Jagakarsa Bila membahas masalah sosial budaya suatu daerah tidak akan lengkap tanpa mengetahui sejarah atau asal usul daerah tersebut. Nama Kecamatan Jagakarsa diambil dari salah satu nama tokoh yang memiliki sejarah penting yang terjadi di daerah tersebut.6 Nama Jagakarsa bermula dari seorang panglima perang kerajaan Mataram Yogjakarta pada tahun 1625, yakni bernama Raden Bagus Jagakarsa. Saat itu Raden Jagakarsa ikut berperang ke kota Batavia. Akan tetapi beliau menolak untuk pulang ke Mataram karena takut terkena hukuman. Kemudian beliau menikah dengan putri Pajajaran yang berkedudukan di wilayah yang kini bernama Ragunan. Ia memiliki dua orang anak yaitu bernama Raden Mas 5 Sumber Badan Pusat Statistik Kota Administasi Jakarta Selatan, Statistik Daerah Kecamatan Jagakarsa 2015 dalam Pemerintahan dan Kependudukan, (Jakarta: CV Nario Sari, 2015), h. 2 - 3 6 Pemberian nama pada suatu tempat atau wilayah pasti mengandung sebuah arti atau maksud tertentu, seperti beberapa nama tempat di Jakarta yang berdasarkan topografi atau keadaan alam, ada juga yang berdasarkan jenis tumbuh-tumbuhan, nama binatang yang banyak ditemukan disana, kelompok etnis yang biasanya dijadikan pemukiman berdasarkan kelompok yang bersangkutan. Lihat dalam Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: PT. Ufuk Press,2012 ), h. 257-258 46 Mohammad Kahfi dan Raden Mas Aria Kemang Yudhanegara. Dalam keluarga Raden Jagakarsa, mempunyai silsilah atau keturunan yang tinggal dan menetap di daerah tersebut. Pada masanya, namanya sangat tersohor, sehingga banyak orang menyebut kawasan itu dengan nama Jagakarsa dan hingga akhirnya nama itu tetap ada hingga kini diabadikan menjadi nama tempat Jagakarasa.7 Kemajemukan masyarakat Indonesia adalah satu hal yang tidak dapat kita hindari, begitu pula dengan masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Kemajemukan timbul karena adanya berbagai macam kenekaragaman unsur penyusun masyarakat di dalamnya, yakni suku bangsa, agama, dan golongan-golongan sosial lainya. Masyarakat Kecamatan Jagakarsa memiliki beraneka ragam suku dan agama, meskipun secara mayoritas masyarakatnya beragama Islam dan suku Betawi yang masih mendominasi daerah ini. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri seiring dengan perkembangan tahun dan zaman membuat datangnya para pendatang dari luar daerah yang membawa budaya serta agama yang berbeda menempati wilayah tersebut. Hal ini membuat masyarakat Kecamatan Jagakara memiliki beragam budaya. Budaya yang menciptakan kesenian dalam masyarakat lahir dari adanya peradaban manusia. serta bagi masyarakat, agama merupakan salah satu kebutuhan dasar sebagai mahluk sosial. Nilai dan norma yang terdapat pada agama telah membentuk sistem sosial dan budaya suatu masyarakat, sehingga agama menjadi unsur dominan yang membentuk cara pandang, pola pikir, tingkah 7 Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: PT. Ufuk Press,2012 ), h. 257-258 47 laku serta membentuk sistem sosial dalam masyarakat.8 Bagi setiap masyarakat, konsep tentang agama adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pandangan hidup dan pengalaman mereka. Agama telah menentukan pola fikir atau cara pandang serta tingkah laku setiap individu dalam masyarakat. Hal demikian juga berpengaruh dalam masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Berkaitan agama dengan masyarakat Kecamatan Jagakarsa sangat erat. Diketahui sebagian besar masyarakat Kecamatan Jagakarsa adalah beragama Islam. Kehidupan beragama di wilayah Kecamatan Jagakarsa cukup baik. Ini terlihat dengan adanya saling menghormati sesama pemeluk agama. Kerukunan hidup beragama yang terjadi dalam masyarakat bisa terjadi karena adanya kerja sama dengan pemerintah dalam pembinaan keagamaan yang dilakukan dengan para tokoh-tokoh agama, Ulama serta peranan tokoh masyarakat yang membantu menjalankannya. Kerukunan beragama yang terjadi dalam masyarakat Kecamatan Jagakarsa juga dapat dilihat dari jumlah sarana peribadatan yang terdapat di wilayah Kecamatan Jagakarsa.9 Maka tidak mengherankan jika jumlah masjid dan musholah lebih banyak dibandingkan sarana peribadatan lain. Berikut tabel rincian sarana peribadatan di wilayah Kecamatan Jagakarsa sebagai berikut; 8 Imam Subchi, Agama Masyarakat Keturunan Arab, Al-Turas Vol 12 No 2, (Mei 2006), h. 135 9 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014, h. 17-18 48 No Kelurahan Masjid Mushalla 1 Ciganjur 19 33 2 Serengseng 24 36 Gereja Pure 3 1 Sawah 3 Jagakarsa 19 34 4 Leteng Agung 20 30 1 5 Tanjung Barat 18 18 3 6 Cipedak 11 39 111 190 Jumlah 7 1 Table 3.3 Laporan penyelenggara pemerintahan provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014 kec. Jagakarsa Islam sebagai agama mayoritas pada masyarakat Kecamatan Betawi menjadi pedoman hidup serta tata aturan yang mengatur setiap tingkah laku dan aktivitas mereka, bahkan menjadi pedoman mereka dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Budaya yang lahir dalam masyarakat Kecamatan Jagakarsa berkaitan erat dengan suku Betawi sebab masyarakat Kecamatan Jagakarsa sebagian besar adalah warga asli Betawi yang memiliki warisan kebudayaan dari leluhur terdahulu dan kebudayaan tersebut masih tetap dilestarikan. Kebudayaan Betawi memberikan sumbangan yang besar terhadap seni musik, seperti seni rebana biang 49 yang terdapat pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Dalam hal ini seni rebana biang tidak hanya mendapat pengaruh dari suku Betawi melainkan juga mendapat pengaruh dari berbagai daerah seperti dari Sunda, bahkan Negara Arab. Pada dasarnya kesenian rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa bermula dari faktor agama dengan tujuan untuk menyebarkan Islam di wilayah tersebut, akan tetapi seiring dengan sifat keterbukaan masyarakatnya pada seni rebana biang maka kesenian ini pun menjadi budaya leluhur yang dimiliki masyarakat sekitar. Meskipun masyarakat kecamatan Jagakarsa sebagian besar adalah suku Betawi akan tetapi tidak bisa dipungkiri terdapat suku lain, antara lain suku Jawa yang bisa dibilang mayoritas suku kedua setelah Betawi. Selain itu juga ada Sunda, Batak dan lain sebaginya. Banyak kebudayaan dan kesenian yang terdapat di Kecamatan Jagakarsa10 Berikut tabel rincian jenis kebudayaan dan kesenian yang terdapat di wilayah Kecamatan Jagakarsa yaitu; Kelurahan No Jenis Ciganjur SR. Kesenian 1. Tari 2. Tanjidor Sawah 4 10 2014, h.33 - 34 Jagakarsa LT. 1 Agung 1 TJ. Cipedak Barat 3 2 1 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 50 3. Topeng 2 4. Wayang 1 1 1 Kulit Betawi 5. Orkes 2 2 3 1 1 4 7 11 7 10 6 6 1 2 3 3 1 1 Melayu 6. Rebana Qasidah 7. Vokal Group 8. Gambang 2 Keromomg 9. Band 2 10. Orkes 2 1 1 1 Gambus 11. Reog 1 Ponorogo 12. Seni Lukis 2 13. Reog Dog 1 1 1 51 dog Jumlah 21 18 24 14 12 17 Table 3.4 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014. Meskipun suku dan budaya di masyarakat Kecamatan Jagakarsa beragam, namun masyarakat Kecamatan Jagakarsa yang mayoritas penduduknya adalah warga Betawi dan mayoritas beragama Islam, mereka tidak menghapus atau menghilangkan keberadaannya. Akan tetapi, terus dilestarikan sebagai sesuatu yang membanggakan. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya Sanggar Pustaka Rebana Biang Ciganjur. Sanggar ini merupakan wadah pengembangan dan pelestarian seni rebana pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Bahkan telah diakui keberadaanya oleh pihak Pemerintah Pusat. Pada pembahasan selanjutnya, di Bab IV penulis akan menjelaskan tentang perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Dalam pembahasan tersebut penulis akan memaparkan mengenai pengertian dari rebana biang, awal mula lahirnya seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa, kondisi perkembangan rebana biang saat ini serta upaya yang dilakukan untuk mengembangkan atau melestarikan seni rebana biang masyarakat luas. pada BAB IV PERKEMBANGAN SENI REBANA BIANG PADA MASYARAKAT KECAMATAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN Dewasa ini tidak mudah untuk menemukan seni musik pertunjukan tradisional dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih mengenal seni pertujukan modern dari pada seni pertunjukan tradisional daerah sendiri. Selain itu minat generasi muda saat ini sangat rendah terhadap budaya sendiri. Bahkan tidak jarang banyak yang mulai meninggalkan kesenian tradisional yang dimiliki oleh bangsanya. Rebana biang di masyarakat Kecamatan Jagakarsa yang dipegang oleh H. Abd. Rahman merupakan salah satu kesenian Betawi yang masih tetap konsisten dalam mempertunjukan seni musik tradisional. Keunikan serta keistimewaan, antara lain dalam hal ukuran alat musik yang besar dibandingkan jenis rebana lain, lirik lagu Arab yang diubah ke dalam adat Betawi, serta para pemaimnya yang sebagian besar sudah tidak muda lagi. Kelompok ini mempertahankan eksistensinya di tengah modernisasi walaupun terjadi pasang surut dalam perkembangannya. Namun kelompok ini tetap berjuang melestarikan kesenian yang telah diwariskan leluhurnya. A. Pengertian Rebana Biang Sebelum kita membahas tentang perkembangan rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa, terlebih dahulu kita harus mengenal apa itu pengertian dari rebana biang. Kata biang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 52 53 memiliki banyak makna seperti induk, kepala, pimpinan. 1 Sedangkan menurut kamus Betawi kata biang memiliki arti besar, induk, ibu. Untuk pengertian rebana sendiri adalah alat musik yang memiliki ukuran yang bervariasi dalam bentuk yang rata-rata pipih yang terbuat dari sehelai kulit binatang yang kemudian direntangkan pada bingkai kayu yang bundar dan pada bingkainya sering ditambahkan beberapa logam pipih. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa rebana biang adalah alat musik rebana yang memiliki ukuran besar dibandingkan dengan jenis rebana lainnya. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa rebana biang memiliki ukuran yang besar. B. Asal-Usul Rebana Biang Banyak kesenian yang terdapat di Betawi mendapat pengaruh yang cukup kuat dari berbagai daerah di Indonesia. Hal ini disebabkan karena sifat masyarakat Betawi yang memiliki keterbukaan terhadap kebudayaan lain sehingga dengan mudah menerima kebudayaan yang datang padanya. Rebana biang merupakan salah satu seni musik rebana yang dimiliki budaya Betawi. Rebana Biang adalah salah satu jenis musik Betawi yang bernafaskan Islam yang mendapat pengaruh oleh unsur kebudayaan Sunda.2 Jenis rebana ini memiliki berbagai sebutan di berbagai daerah, ada yang menyebutnya 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, , (Jakarta: Balai Pustaka ,1990) edisi ketiga, hal. 146 2 Nirwanto dkk, Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1998), hal. 82 54 dengan Rebana Gede, Rebana Salun, Gembyung, dan Terbang Selamet.3 Nama rebana biang sendiri diambil dari ukuran alat yang dipergunakan. Sebab ada rebana biang yang memiliki ukuran besar dan bergaris tengah kurang lebih 90 cm. Menurut keterangan H. Abd. Rahman, pada masa Gubenur Ali Sadikin periode 1966 – 1977 rebana ini disebut rebana gede, namun pada tahun 1974 masa Gubenur Ali Sadikin meresmikan semua kesenian Betawi dan kemudian beliau mengubah nama rebana ini menjadi rebana biang yang dilihatnya berdasarkan pada jenis ukuran rebananya. Maka dari itu diambillah nama biang sebagai ciri khas dari rebana tersebut. Bentuk dari rebana biang adalah sama, yang membedakannya hanya dari segi ukuran yang berbeda-beda. Bahkan masing-masing rebana memiliki sebutan yang berbeda pula. Rebana biang terdiri dari tiga jenis, yaitu rebana yang terkecil dengan ukuran 30 cm bernama Gendung, lalu rebana yang berukuran 60 cm bernama Kotek, sedangkan rebana dengan ukuran 90 cm disebut dengan Biang. 4 Lirik lagu yang dipergunakan biasanya berbahasa Arab, Betawi dan Sunda. Rebana biang di Jakarta tersebar di beberapa wilayah seperti di Ciganjur, Jakarta Selatan, Cijantung, Jakarta Timur dan Cakung. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman serta pola pikir masyarakat yang semakin modern jenis kesenian tradisional musik Betawi rebana biang di DKI Jakarta saat ini hanya terdapat di daerah Ciganjur. 3 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Seni Pertunjukan Tradisional Betawi, (Jakarta:Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta, 2012), hal. 80 4 Atik Sopandi dkk, Rebana Burdah Dan Biang, (Jakarta:Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1992), hal. 25 55 Rebana biang di Ciganjur yang dipimpin oleh H. Abd. Rahman merupakan seorang tokoh seni yang sangat mencintai kebudayaan Betawi. Beliau memiliki inisiatif membuka sanggar musik tradisional Betawi rebana biang yang bertempat di Jl. R.M Kahfi I, Gang Amsar RT 05 RW04, no. 54 Ciganjur Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Sanggar tersebut diberi nama Pusaka Rebana Biang Ciganjur yang artinya sanggar ini dikhususkan untuk menjaga dan melestarikan seni rebana biang warisan pusaka dari orang tua. 5 Sanggar ini sekaligus menyatu dengan tempat tinggalnya. Selain keunikan yang terdapat pada alatnya, seni rebana biang pimpinan H. Abd Rahman ini mempunyai sesuatu yang unik dari segi para pemainnya dilihat dari usia para pemainnya yang bisa dibilang sudah tidak muda lagi selain itu, seni rebana biang juga digunakan sebagai pengiring dalam tari Blenggo. Alasan beliau mendirikan sanggar tersebut selain karena kecintaannya akan budaya seni adalah untuk melestarikan dan mengembangkan warisan budaya leluhur yang diwariskan padanya yakni musik tradisional Betawi rebana biang. Menurut kesaksian H. Abd. Rahman kesenian rebana biang Ciganjur di masyarakat Kecamatan Jagakarsa pada awalnya berasal dari daerah Banten, Jawa Barat yang dibawa oleh bapak H. Kumis yang kemudian dibawa dan dikembangkan di daerah Ciganjur yang kemudian berkembang menjadi sebuah pertunjukan. Rebana biang ketika itu dijadikan sebagai media untuk menyiarkan agama Islam dan juga sebagai hiburan setelah pengajian agar masyarakatnya tidak merasa bosan. Rebana biang yang berada pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa 5 Mei 2016. Wawancara dengan bapak H. Abd. Rahman (ketua Sanggar Pusaka Rebana Biang), 2 56 ini telah bertahan selama empat generasi. Para pewarisnya pun hanya berasal dari golongan keluarga saja. Para generasi-generasi tersebut yakni: Generasi pertama dipimpin oleh H. Damong pada tahun 1885-1915 Generasi kedua dipimpin oleh H. Bitong dan H. Abdulloh pada tahun 1915-1946 Generasi ketiga dipimpin oleh H. Sa’aba Amsir pada tahun 1946-1985 Generasi keempat dipimpin oleh H. Abd. Rahman bin H. Sa’aba pada tahun 1985- hingga saat ini dan beliau merupakan anak tertua dari Alm. H. Sa’aba. Rebana biang merupakan rebana Betawi yang sangat istimewa, antara lain adalah dalam hal keunikan alat musiknya yang besar, latar belakang sosial budaya, wilayah penyebarannya, pengaruh kesenian dari daerah lain, cara membawakan maupun proses teaterisasinya. 6 Rebana ini juga merupakan satusatunya jenis rebana Betawi yang mengiringi tari Blenggo atau teater Topeng Blantek.7 6 Mahmudah Nur, Jurnal PENAMAS volume 28 n0. 2, dengan judul Pertunjukan Seni Rebana biang di Jakarta sebagi seni Bernuasa keagamaan, (Jakarta: Kemeterian Agama RI Balai Penelitian dan Penegmbangan Agama Jakarta,2015), h. 302-303 7 Tari Belenggo merupakan sejenis tari yang hanya dilakukan oleh orang laki-laki. Pakainnya adalah seragam berwarna hitam dan rebana biang menjadi musik mengiring dalam tari ini. Tarian ini dipertunjukan ketika lagu-lagu rebana biang bertempo perlahan. Tari Belenggo ini diwariskan secara turun temurun dan menjadi tontonan yang digemari masyarakat di wilayah Ciganjur hingga saat ini. Hal ini terjadi karena di wilayah Ciganjurlah kesenian rebana biang ini tetap dipertahankan dan dijaga dengan baik agar menjadi warisan budaya leluhur dalam masyarakat Betawi. Lihat dalam buku karangan Budiaman, Folkor Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan provinsi DKI Jakarta, 2000,) hal.65-66 57 Dalam dunia yang serba modern ini seni rebana biang sangatlah kurang diminati oleh masyarakat. Pesan dan kesan dalam syair lagu berbahasa Arab yang disampaikan oleh pemainnya kurang dimengerti oleh sebagian masyarakat. C. Kondisi Perkembangan Seni Rebana Biang Tidak dapat dipungkiri, masuk dan berkembangnya seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa secara tidak langsung bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Seni rebana biang di DKI Jakarta saat ini yang masih eksis di tengah masyarakat Kecamatan Jagakarasa adalah Sanggar Pusaka Rebana Biang di Ciganjur di bawah pimpinan H. Abd. Rahman. Keberadaan Sanggar Pusaka Rebana Biang telah diakui sebagai kelompok seni Betawi hingga kini. Dewasa ini keberadaannya tidak terlepas dari keterlibatan sebuah yayasan di Solo yang berinisiatif mendaftarkan sanggar ini ke Taman Ismail Marzuki di tahun 2002.8 Ketua Sanggar Pusaka Rebana Biang, H. Abd Rahman, menuturkan, bahwa pada generasi pertama hingga ke generasi ketiga rebana biang hanya memiliki satu set alat musik saja, bahkan itu pun pusaka yang diwariskan oleh orang tua. Para pemain dan penerusnya pun hanya dari kalangan keluarga saja.9 Akan tetapi lain halnya dengan kondisi perkembangan rebana biang yang dipimpin oleh H. Abd. Rahman. Kondisi perkembangan rebana biang dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang signifikan. 8 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta, Jakarta h.112-113 9 Hasil wawancara dengan H. Abd. Raman (ketua Sanggar Pustaka Rebana Biang Ciganjur), pada 2 Mei 2016. 58 Hal ini terlihat ketika di masa H. Abd Rahman, rebana biang tidak hanya memiliki satu set alat musik saja, akan tetapi bapak dari lima anak ini juga menduplikatkan rebana biang turunan dari yang asli sebagai warisan dari orang tuanya. Hal ini dimaksudkan agar rebana biang yang dipusakakan oleh ayahnya, Alm H. Sa’aba, tidak rusak dan tetap terjaga kelestariannya. Tidak hanya dari alatnya saja yang berkembang tetapi juga dapat dilihat dari segi sarana fisik, jumlah pemain, serta kemampuan sumber daya manusianya, perkembangan rebana biang Ciganjur terlihat cukup signifikan. Hal ini terlihat dari perkembangan sanggarnya yang semula tidak memiliki tempat khusus untuk berlatih kini memiliki sanggar. Bapak dari lima anak tersebut menuturkan bahwa sanggar ini dibangun secara perlahan-lahan dengan uang hasil kerjanya serta didapatnya dari bantuan dana dari pihak Pemerintah Daerah. Dari segi para pemainnya dapat dilihat perkembangan rebana biang mengalami kemajuan, terlihat dari jumlah pemain yang dimilikinya yang semula hanya satu kelompok terdiri dari empat pemain yang para pemainnya berasal dari satu keluarga yakni H. Abd Rahman, kedua putranya dan satu orang adiknya yang sebaya dengan H. Abd rahman kini telah membentuk kelompok rebana biang menjadi tiga kelompok. Kelompok ini sekurang-kurangnya terdiri dari empat orang, belum termasuk para penarinya. Kemampuan para pemainnya terlihat kemajuan yang cukup signifikan, yakni terutama H. Abd Rahman setelah beliau ikut terjun langsung sebagai pemimpin sanggar serta sekaligus pelaku seni dalam sanggar dan bahkan beliau merangkap sebagai pelantun atau vokalis. Disamping itu, H. Abd. Rahman juga merangkap sebagai pekerja seni atau membuat rebana-rebana yang dari awal 59 sampai tahap akhir pembuatan rebana. Pesanannya pun beragam baik yang berasal dari berbagai pihak dalam maupun pihak luar. Bahkan beliau pernah menceritakan bahwa pemesan pembuatan rebana biang bisa berasal dari luar Pulau Jawa seperti di Bali. Pengerjaan pembuatan rebana atau alat musik dilakukan beliau dengan bantuan dari anak buahnya. Selain itu beliau juga menerima servis untuk rebanarebana buatannya yang dibeli oleh pihak lain. Kemampuan untuk melakukan hal tersebut beliau peroleh dari belajar secara otodidak, dengan cara belajar mempraktikkannya. Sebagai sebuah organisasi kesenian, proses regenerasi adalah hal yang tidak dapat ditinggalkan atau terlupakan. Proses regenerasi bertujuan agar kesenian tersebut dapat bertahan sampai kapan pun. Kata regenerasi merupakan gabungan dari dua kata, yakni “re” dan “generasi”. Kata “re” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sekali lagi atau kembali. Sedangkan , untuk makna kata “generasi” yakni sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya, angkatan, dan masa orang seangkatan hidup. 10 Oleh dari itu berdasarkan dua makna tersebut, maka makna regenerasi merupakan proses mempertahankan sesuatu dengan cara mewariskannya kembali kepada generasi selanjutnya. Dengan kata lain regenerasi sama maknanya dengan proses pewarisan suatu hal, termasuk juga di dalamnya seni dan budaya kepada generasi penerus agar kesenian tersebut dapat terus bertahan. Hal tersebut pun terjadi dengan seni rebana biang Ciganjur. Melalui proses regenerasi ini, diharapkan agar seni musik Islam ini dapat terus bertahan 10 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,2007), h. 368 60 keberadaannya. Meskipun pada awal kemunculannya seni rebana biang anggotanya hanya dari keturunan keluarga. Perkembangan regenerasi pada masa kepempimpinan H. Abd. Rahman terlihat sangat jelas. Mengingat bahwa kesenian rebana biang tidak hanya dari keluarga saja yang menjaga dan melestarikan tetapi juga harus berasal dari masyarakat sekitarnya. Pada masa kepemimpinan H. Abd. Rahman telah dibuat pengembang rebana biang. Usulan untuk adanya pengembang rebana biang sudah diajukan oleh Iwan yang merupakan anak tertua dari H. Abd. Rahman. Untuk melestarikan dan menjaga seni rebana biang yang menjadi warisan orang tuanya. Beliau mengusulkan idenya pada Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan juga Pemda agar setiap tempat hiburan menampilkan kesenian Betawi. Tepatnya di tahun 2014 telah dibentuk rebana biang pengembang. Pengembang rebana biang ini dipegang langsung oleh Iwan. Iwan menuturkan bahwa peran dari pengembang ini cukup berarti karena memiliki progam-program khusus. Program ini dirancang untuk menjaga dan melestarikan rebana biang. Program tersebut terdiri dari pengenalan, penerus, dan bahan hingga pembuatannya. Program pengembangan pengenalan ini merupakan dasar dari inisiatif dari Iwan agar setiap tempat hiburan menampilkan atau mempertunjukan kesenian Betawi yang bertujuan agar kesenian Betawi dikenal oleh masyarakat luas baik dalam maupun luar tidak hanya pada masyarakat perkampungan saja.11 Untuk program pengembangan penerus sanggar ini merekrut dari berbagai kalangan baik remaja maupun dewasa. Para muridnya pun beragam tidak 11 Hasil wawancara dengan Bapak. Iwan (Ketua Pengembang Sanggar Pustaka Reabana Biang),pada 15 Mei 2016. 61 hanya berasal dari keturunan keluarga tetapi juga dari luar, bahkan usianya pun berkisar antara 20 sampai 30 tahun dan ada yang sudah menikah. Iwan menambahkan bahwa siapa saja boleh belajar rebana biang asalkan orang tersebut memiliki kemauan untuk belajar dan memiliki jiwa seni tanpa dipungut biaya apa pun. Pengembangan dari segi bahan dan pembuatan rebana biang ini dimaksudkan untuk membuat dan menservis rebana. Hal ini bertujuan agar pemainnya selain mengerti cara memainkan rebana biang mereka juga mengetahui cara pembuatan rebana biang dari tahap awal higga tahap akhir. Untuk saat ini pembuatan rebana hanya dilakukan oleh golongan keluarga. Menurut penuturan Iwan, untuk mempelajari cara pembuatan rebana biang seseorang harus tekun dan telaten dalam mempelajarinya sama halnya dengan belajar menabuh rebana biang. Masa belajar seseorang tidak pernah ditentukan karena, cara belajarnya terkadang tergantung waktu luang muridnya. Jika ada waktu mereka berkumpul untuk latihan yang dilakukan setiap minggu tapi jika tidak ada waktu luang terkadang sebulan sekali mereka melakuknnya. Selain pengembangan di tempat hiburan, sanggar-sanggar serta lingkungan masyarakat Kecamatan Jagakarasa pengembangan rebana biang juga dilakukan pada sekolah-sekolah. Pengembangan rebana biang di sekolah merupakan program dari sekolahnya. Iwan menambahkan, program tersebut bertujuan mengenalkan dan mengajarkan kesenian-kesenian Betawi rebana biang pada murid-murid SMA. Dengan status pensiunan dari pegawai negeri sipil (PNS), H. Abd. Rahman memiliki waktu banyak. Peran dari ketua sanggar pun sangat membantu 62 dalam melestarikan kesenian ini. Ketua yang sekaligus sebagai pemain ini memastikan segala hal yang terkait dengan kepastian pementasan. seperti waktu dan anggaran yang diberikan pada kelompok rebana biang. Meskipun peran H. Abd. Rahman lebih dominan tetapi ia tetap menerima masukan serta saran dari para anggotanya. Suatu organisasi atau lembaga kesenian tidak akan lengkap tanpa dibentuknya manejemen yang baik yang bertugas untuk mengatur, merencanakan, pengkoordinasian dan mengarahkan tujuan organisasi agar berjalan lancar serta seimbang. Hal ini pun terjadi pada sanggar seni rebana biang pimpinan H. Abd. Rahman. Dalam hal ini, beliau menuturkan bahwa ada beberapa manejemen sanggar pustaka rebana biang seperti ketua sanggar rebana biang dipegang langsung oleh H. Abd Rahman, untuk bagian seketaris atau administasi diserahkan pada adik beliau yaitu H. Abd Aziz, dari segi keuangan atau bendaharanya kepada H. M.Nasir, untuk bagian pengembang diserahkan kepada anak tertua H. Abd Rahman yaitu Bapak Iwan, untuk bagian pengasuh kepada H. Engkos dan H. Mansub, sedangkan untuk bagian vokal dan musik langsung kepada pada H. Abd Rahman dan H.Engkos sebab mereka merupakan sesepuh dari rebana biang.12 Berkaitan permasalahan tentang pemasaran atau mempromosikan rebana biang ke masyarakat luas H. Abd. Rahman mengatakan bahwa, ketika itu masih sangat tradisional yaitu melalui cara lisan seperti dari mulut kemulut, sebab saat itu sanggar seni rebana biang masih sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan zaman pemasaran seni rebana biang pun mengalami kemajuan. 12 Hasil wawancara dengan H. Abd. Rahman (ketua Sanggar Pusaka Rebana Biang), pada hari Rabu 12 Oktober 2016. 63 Salah satunya melalui media elektronik dan media sosial. Peran dari pimpinan H. Abd. Rahman sangatlah besar dalam kegiatan seni rebana biang. Sebab semua informasi yang berhubungan dengan seni rebana biang, baik yang berasal dari Lembaga Kebudayaan Betawi atau Sudin DKI Jakarta akan langsung disampaikan kepada ketua atau pimpinan sanggar, yang kemudian beliau informasikan kembali kepada para anggota. Sanggar Pusaka Rebana Biang tidak hanya menyediakan seni musik rebana biang saja, akan tetapi sanggar ini pun mempertunjukkan kesenian tradisional lainnya seperti, mengkombinasikannya dengan adat palang pintu Betawi, adat pernikahan Betawi, acara Khitanan yang diringi dengan delaman serta ondel-ondel. Hal ini dimaksudkan agar seni rebana biang dikenal masyarakat luas. Dalam perkembangannya hingga dewasa ini, kelompok sanggar rebana biang ini relatif tidak menghadapi permasalahan yang cukup pelik. Permasalahan muncul apabila ada order yang pelaksanaanya bersamaan dengan hari kerja, mengingat sebagian anggota timnya yang berusia produktif memiliki pekerjaan. Seiring dengan keberadaan dan perkembangan rebana biang hingga sekarang, sanggar ini pun tidak pernah memberikan syarat-syarat tertentu dalam rekruitmen anggotanya. Bahkan dari usia hingga suku pun tidak dipermasalahkan, asalkan mereka tekun dan mau mengembangkan serta melestarikan kesenian ini. Animo masyarakat dalam mengapresiasi seni dan tradisi rebana biang dinilai cukup besar dalam melestarikan seni rebana biang. 64 D. Bentuk Penyajian Rebana Biang Masyarakat tradisional dapat bertahan apabila bisa menerima perubahan dan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan tanpa merusak tatanan dan stabilitas tradisi yang telah ada. Dalam kesenian tradisional memiliki kesederhanaan dalam bentuk penyajiannya, baik dalam bentuk, iringan, tempat pentas, dan tata busana yang semuanya biasa dilakukan tanpa adanya aturan baku. Bentuk penyajian permainan rebana biang telah mengalami perubahan sedikit demi sedikit tetapi tanpa mengurangi unsur tradisi yang sudah ada dengan tujuan kearah yang lebih positif. Hal ini dapat kita lihat pada pertama, perubahan cara berpakaian yang dikenakan para pemainnya. Ketika awal kemunculannya pertunjukan rebana biang hanya diperuntukkan menggunakan pakaian berwarna hitam, akan tetapi kini warna tidak permasalahkan dalam berbusana. Kedua, generasinya kini tidak hanya golongan keluarga tetapi juga masyarakat luas. Ketiga, alat pengiring rebana biang kini ditambahkan dengan kecrekan atau arcodion. Berikut adalah pemaparan tentang bentuk penyajian rebana biang secara rinci: 1. Tata Rias dan Busana Rebana Biang Secara umum, dalam sebuah pertunjukan pasti ada perlengkapan- perlengkapan yang tidak boleh dilupakan seperti kostum, tata rias, dan tempat pementasan. Salah satu hal utama dari sebuah perlengkapan pertunjukan adalah kostum. Bagi seorang seniman yang sekaligus sebagai pelaku seni, tata rias dan busana merupakan hal sangat penting dalam menujang penampilannya di pentas hiburan. Selain untuk memperindah penampilannya, tata rias dan busana juga 65 sebagai mempertegas setiap karakter yang diperankannya serta sebagai pembedaan dengan kesenian Betawi lainnya. Pada hakikatnya tak ada ketentuan terhadap busana dalam seni rebana biang, asalkan pakaian yang dikenakannya bersifat sopan, nyaman dipakai dan enak dipandang mata. Sehingga selama pementasan pertunjukan para penonton tidak hanya mendengarkan instrumen permainan rebana biang, mereka juga dapat melihat kostum yang dikenakan para pemainnya. Pada seni rebana biang bentuk tata rias dan busana yang dikenakan para pemain rebana biang mengalami masa perkembangan. Menurut H. Abd. Rahman dahulu busana yang dikenakan baju berwarna hitam. Sebab zaman dahulu banyak sekali kejahatan di jalanan dan pertunjukan rebana biang dilakukan pada malam hari hingga pagi. Untuk menghindari hal tersebut maka digunakanlah busana berwarna hitam karena warna hitam berbaur dengan malam hari. Seiring dengan berubahnya generasi, kostum yang digunakannya pun mengalami sedikit perubahan yakni berupa baju koko putih, celana panjang hitam (pantalon), peci hitam, dan selendang berupa kain sarung yang dilipat panjang yang dikalungkan di leher masing-masing para pemainnya. Selendang kain sarung ini menjadi khas dari seni rebana biang yang merupakan simbol dari kebiasaan masyarakat Betawi, yang dalam kehidupan sehari-hari sering menggunakan kain sarung untuk beribadah. Kostum inilah yang sering dipakai ketika pertunjukan. Menurut H. Abd. Rahman, sebenarnya untuk kostum tidak ditentukan, tergantung pada acara dan situasinya. Acara tersebut bisa resmi atau acara non resmi. Untuk acara resmi maka akan dikenakan kostum pakaian muslim. Sedangkan untuk ruang lingkup acara non resmi, seperti hajatan maka akan 66 dikenakan pakaian yang beranekaragam atau disesuaikan dengan permintaan orang yang punya hajat. Bila permintannya seragam maka akan disamakan tetapi bila tidak ada ketentuan maka yang dipakai seperti kostum biasanya, asalkan sopan sesuai dengan pakaian seorang muslim. 13 Berikut ini adalah foto dari kostum Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur.14 Gambar 4.1 selendang kain sarung yang dikenakan para pemain rebana biang 13 Hasil wawancara dengan H. Abd. Raman (ketua Sanggar Pustaka Rebana Biang Ciganjur), pada 2 Mei 2016 14 Foto dokumentasi penulis , yakni selendang kain sarung yang dasarnya adalah kain sarung yang dilipat dua yang di kalungkan di setiap leher pemain. 67 Gambar 4.2 celana panjang yang dikenakan para pemain rebana biang Gambar 4. 3 kostum pemain Sanggar Pusaka Rebana Biang 68 Kelengkapan lainnya yang juga mendukung penampilan dari sebuah pertunjukan adalah tata rias. Mereka hanya mengunakan tata rias yang natural. Karena seluruh pemain rebana biang adalah laki-laki. Para pemain cukup memakai tata rias secukupnya dan tidak berlebihan, seperti memakai minyak wangi untuk aroma badan. Dengan demikian, tata rias dan busana yang dikenakan para pemain rebana biang harus tetap berpegang teguh pada etika berpakaian selayaknya seorang muslim, yakni menggunakan pakaian muslim yang tertutup dan sopan. 2. Para Pemain Pada dasarnya pemain rebana biang tidak hanya berasal dari golongan keluarga saja. Kini anggotanya pun berasal dari luar golongan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Untuk menjadi anggota atau pemain rebana biang setiap pemain tidak perlu ada ketentuan atau pun syarat khusus untuk mempelajarinya, yang dibutuhkan hanya kemauan untuk belajar dan jiwa seni dalam dirinya dan bertujuan untuk menjaga dan melestarikan kesenian ini. Batasan seseorang mempelajari rebana biang tidak ditentukan masa belajarnya, sebab masa seseorang bisa atau tidaknya menabuh rebana biang itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia tekun dan telaten mempelajarinya maka akan cepat pula ia dapat menabuh rebana biang dengan baik. Para pemain Sanggar Rebana Biang Pusaka yang asli, artinya hanya dari golongan keluarga saja rata-rata sudah berusia lanjut, bahkan jumlahnya hanya ada enam orang. Akan tetapi setelah adanya pengembang jumlah anggota rebana biang bertambah banyak. Dari segi usia pun berbeda dengan rebana biang 69 pusaka yang asli. Usia anggota pengembang rata-rata masih produktif antara umur 20 sampai 30 tahun, bahkan ada yang sudah berumah tangga. Ketika ada pertunjukan, tidak semua pemain pengembang rebana biang mengikutinya. Hanya yang memiliki waktu luang saja yang dapat datang. Sebab para pemain pengembang ada yang masih memiliki pekerjaan. Lain halnya dengan para pemain yang asli seperti H. Abd. Rahman dan H. Engkos yang merupakan sesepuh dan memilki waktu luang yang banyak, pasti akan datang. 3. Kelengkapan Peralatan Alat musik pokok yang wajib digunakan dalam pertunjukan adalah rebana. Namun seiring dengan perkembangannya terkadang dipakai juga alat musik tamborin yang berfungsi sebagai pelengkap atau tambahan dalam pertunjukan. Dalam alat musik rebana biang terdiri dari tiga buah. Pada alat musik rebana biang bentuknya adalah sama tetapi yang membedakan hanya ukuran garis tengahnya saja. Berikut bentuk dan nama rebananya, serta ukurannya sebagai berikut; Rebana dengan ukuran kecil yakni 30 cm disebut gendung, Rebana dengan ukuran sedang yakni 60 cm disebut kotek, Rebana dengan ukuran terbesar yakni 90 cm disebut biang, Tamborin sebagai pelengkap pertunjukan. 70 Berikut foto alat musik Sanggar Puasaka Rebana Biang Ciganjur.15 Gambar 4.4 rebana gendung sanggar pusaka rebana biang Gambar 4.5 rebana kotek sanggar pusaka rebana biang 15 Foto hasil dokumentasi penulis, di sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, 2 Mei 2016 71 Gambar 4.6 rebana biang sanggar pusaka rebana biang Gambar 4.7 tamborin atau kecrekan. Bila membahas tentang kelengkapan alat rebana biang akan terasa kurang tanpa membahas tentang bahan-bahan yang dibutuhkan membuat rebana biang. Adapun bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat rebana biang yakni: Pertama adalah gelung atau body rebana biang. Gelung ini terbuat dari kayu mahoni untuk sekarang , sedangkan untuk rebana pusakanya terbuat dari kayu pohon nangka, 72 Kedua adalah kulit kambing yang di cukur atau dihabiskan bulunya, Ketiga adalah rotan dengan berdiameter 4-5 mili yang kemudian di belah menjadi 4 bagian yang berfungsi sebagai tali utuk pengikat rebana. Keempat adalah kayu rotan dengan ukuran 1setengah cm untuk bagian pemegangnya. Kelima adalah Pasak atau disebut kancing yang terbuat dari kayu bangunan atau balok yang kuat. Keenam adalah stema yang terbuat dari kayu rotan berdiameter 5 mili yang diletakan di dalam rebana biang yang berfungsi sebagai penguatnya. Berikut adalah foto bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat rebana biang.16 Gambar 4.8 Gelung atau body rebana biang (dilihat dari depan) 16 Foto hasil dokumentasi penulis, di sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, 12 Oktober 2016 73 Gambar 4.9 Gelung atau body rebana biang (dilihat belakang) Gambar 4.10 kulit kambing yang belum dicukur habis bulunya. 74 Gambar 4.11 kulit kambing yang sudah dicukur habis bulunya atau dihaluskan Gambar 4.12 Kayu rotan berdiameter 4-5 mili yang kemudian di belah menjadi 4 bagian 75 Gambar 4.13 Kayu rotan ukuran 1 setengah cm Gambar 4.14 Pasak atau kancing untuk rebana biang. 76 Gambar 4. 15 Stema dalam rebana biang yang terbuat dari kayu rotan Dalam pertunjukan rebana biang selain permainan instrument, para pemainnya juga menyertai dengan lagu-lagu. Adapun lagu-lagu yang digunakan seperti berupa salawat atau pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Lagu rebana biang ada dua macam. Pertama yang berirama cepat disebut dengan lagu Arab. Kedua dengan berirama lambat antara lain, lagu rebana atau lagu Melayu. Lagu-lagu yang dimiliki Sanggar Pusaka Rebana Biang juga pernah mengalami penggubahan lagu, bahkan nada, pernah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sesuai dengan konteksnya, seperti dalam acara hajatan pernikahan 4. Tempat Pementasan Pada awalnya pementasan rebana biang hanya dilaksanakan setelah selesai pengajian untuk hiburan para muridnya yang dilakukan oleh tokoh yang mengajarkan rebana biang di Ciganjur. Namun, ternyata seiring dengan perkembangan zaman serta permintaan masyarakat akan hiburan seni, rebana 77 biang berkembang menjadi sebuah pertunjukan untuk masyarakat sekitarnya. Pementasan rebana biang bisa dilakukan dimana saja seperti, dilakukan pada halaman-halaman terbuka di perkampungan-perkampungan Betawi, khususnya ketika seseorang mengadakan perayaan pernikahan, khitanan dan lain-lain. Tempat pementasan rebana biang dapat dilakukan di berbagai tempat, sesuai dengan acara dan permintaan yang bersangkutan. Apabila rebana biang dipertunjukkan dalam suatu acara resmi seperti undangan peresmian dari pemerintah maka mereka akan tampil di atas panggung yang sudah disediakan panitianya, yakni di dalam gedung, sedangkan bila pementasan rebana biang pada acara non resmi seperti perayaan pernikahan, khitanan dan acara-acara festival, lebaran Betawi dan lain-lain dilakukan pada ruang terbuka yang memiliki penonton yang banyak. Dalam Sanggar Pusaka Rebana Biang untuk setiap pementasan bukan berapa banyak lagu yang mesti dimainkan tetapi berapa lama waktu yang diberikan dalam kelompoknya. Sebelum pementasan biasanya para pemain mengawalinya dengan membaca bismillah dan Al-Fatihah. Dalam waktu pementasan rebana biang tidak memiliki batasan waktu. Para pemain dapat mempertunjukannya kapan aja, baik itu pagi, siang, sore ataupun malam sesuai dengan acara yang bersangkutan. Asalkan jadwalnya disesuaikan dengan waktu para pemain. Berikut foto panggung pementasan.17 17 Foto dokumentasi penulis, panggung pementasan rebana biang di Setu Babakan biasanya para pemain Sanggar Pusaka Rebana Biang mempertunjukkan permainannya di panggung tersebut. 78 Gambar 4.16 Panggung pementasan rebana biang di perkampungan Betawi Setu Babakan Gambar 4.17 Tempat pementasan pada ruang terbuka yang memilki banyak penonton bertempat di Perkampungan Setu Betawi Babakan 79 E. Usaha dan Upaya dalam Mengembangkan Seni Rebana Biang Suatu kesenian tidak dapat bertahan keberadaanya bila hanya di dukung oleh pelaku seni saja tanpa adanya dukungan pemerintah maupun masyarakatnya. Seni merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari masyarakat sebab suatu konsep seni tidak lepas dari kehidupan masyarakatnya. Dewasa ini arus perkembangan seni musik tradisional semakin tertinggal, maka diperlukan suatu usaha dan upaya dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan dukungan yang baik antara seniman, pemerintah, dan masyarakatnya. 1. Upaya Pemerintah DKI Jakarta Suatu kesenian tidak akan maju jika hanya mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya saja. Peran pemerintah juga dapat menjadi salah satu cara agar seni rebana biang tetap eksis di tengah modernisasi. Menurut hasil wawancara, peran Pemerintah turut andil dalam melesetarikan seni rebana biang. Dalam hal ini Pemerintah Kota Jakarta Selatan, berperan menjadi fasilitator dalam mengembangkan dan melestarikan seni rebana biang. Pemerintah juga kerap melakukan pembinaan, pengembangan, dan promosi-promosi ke masyarakat luar. Upaya yang dilakukan antara lain dengan cara menampilkan seni rebana biang pada masyarakat, mengikut sertakan rebana biang pada acara-acara resmi, festival atau pertemuan antara kesenian Betawi yang diselenggarakan pemerintah. Kelompok rebana biang ini pun pernah mengikuti acara-acara kesenian tradisional dari tingkat nasional hingga internasional. 80 Bantuan pendanaan pun juga pernah dilakukan oleh pihak pemerintah, Menurut H. Abd. Rahman, pendanaan tersebut beliau gunakan untuk membuat duplikat rebana biang dan juga untuk keperluan sanggar. Dukungan dari Lembaga Kebudayaan Betawi pun membantu sanggar ini dengan menjadikan Sanggar Pusaka Rebana Biang sebagai salah satu organisasi kesenian Betawi asli dan secra tidak langsung tergabung dalam wadah organisasi tersebut. 2. Upaya masyarakat Kecamatan Jagakarsa Dukungan dari masyarakat sekitar pun merupakan hal yang penting. Ragamnya masyarakat Kecamatan Jagakarsa juga memiliki peran penting dalam mengembangkan dan melestarikan seni rebana biang. Sifat masyarakat yang cukup kooperatif dapat terlihat dari masyarakat sekitar yang mempertunjukkan kesenian ini pada acara-acara yang mereka adakan. Adapun upaya yang dilakukan, seperti mengundang kelompok seni rebana biang dalam perayaan pernikahan, perayaan khitanan dan lain-lain, sebagai hiburan. Bahkan kelompok ini pun pernah diundang di pernikahan antar etnis. Hal tersebut pun merupakan upaya masyarakat Kecamatan Jagakarasa untuk mempertahankan dan melestarikan kesenian leluhur ini. Selain itu, bentuk upaya lainnya dari masyarakat sekitar adalah dengan belajar rebana biang yakni dengan menjadi anggota rebana biang sebab mereka merasa kesenian ini menjadi suatu jati diri dalam kebudayaan Indonesia. Sebagus apa pun suatu kesenian tradisional dalam pertunjukannya tidak akan berkembang atau bertahan tanpa adanya dukungan dari berbagai yang terkait, 81 baik pihak pemerintah, seniman maupun masyarakat yang membantu melestarikan seni tersebut. Kini sanggar Pusaka Rebana Biang pimpinan H. Abd. Rahman menjadi lebih banyak di kenal oleh masyarakat luas dari pada masa sebelumnya. Atas usaha serta kerja kerasnya, H. Abd. Rahman dan keluarganya serta para pemain rebana biang. H. Abd Rahman memperoleh apresiasi tinggi dari berbagai pihak, berupa penghargaan baik dari pihak pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun pemerintah pusat. Bahkan melalui program pengembang dalam seni rebana biang seluruh lapisan masyarakat turut serta dalam melesetarikan seni rebana biang serta diharapkan dapat membawa pentas ini ke tahap internasional. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas yang penulis kemukakan pada setiap bab-bab sebelumnya, maka semakin jelaslah pembahasan tentang Perkembangan Seni Rebana Biang Pada Masyarakat Kecamatan Jagakartsa Jakarta yang akan disimpulkan diantaranya: Seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa merupakan salah satu seni pertunjukan yang bernuasa keagamaan di Jakarta. Peran seorang tokoh yang bernama Kumpi Zaenal yang berasal dari Banten merupakan awal mula berkembangnya seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa Jakarta. Ketika masa itu seni rebana biang diajarkan setelah pengajian dengan tujuan sebagai hiburan, yang kemudian berkembang menjadi sebuah pertunjukan dalam masyarakat Kecamatan Jagakarsa. Perkembangan seni rebana biang pada masyarakat Kecamatan Jagakarsa pimpinan H. Abd Rahman mengalami pasang surut dalam sejarahnya. Di zaman serba modern serta maju ini permasalahan pun muncul baik dari sisi eksternal, seperti semakin kencangnya arus budaya luar yang masuk kebudaya Indonesia membuat kesenian tradisional ini semakin ditinggalkan oleh para pendengar dan peniknatnya bahkan para pemudapemudi. Sedangkan dari sisi internal, yakni bahasa atau lirik lagu yang sulit dipahami oleh sebagian masyarakat sekitar serta sedikitnya minat 82 83 masyarakat untuk meneruskan atau mengembangkan kesenian tradisional. Namun, semua permasalahan tersebut tetap tidak memupuskan niat H. Abd. Rahman untuk tetap melestarikan kesenian ini dengan dukungan kuat dari keluarga dan para pemainnya. B. Saran Setelah penulis melakukan penelitian, adapun saran-saran yang penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang terkait dengan kesenian rebana biang. Pertama, khususnya penulis sampaikan kepada pihak pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan agar lebih memperhatikan, mengembangkan serta memperkenalkan seni rebana biang kepada masyarakat luas. Perhatiannya tidak hanya berkaitan dengan seni pertunjukaan melainkan juga pada kelestariannya. Selain itu, pengadaan berbagai sumber referensi dengan memperbanyak atau mencetak buku-buku mengenai seni rebana biang agar selanjutnya dapat diajukan sebagai sumber referensi peneliti yang akurat. Kedua, penulis sampaikan kepada para pelaku seni tradisional seperti rebana biang perlu mengadakan kerjasama atau kolaborasi dengan musik tradisional lain yang bertujuan untuk mempromosikan dan memperkenalkan seni rebana biang kepada masyarakat luas agar lebih dikenal. DAFTAR PUSTAKA 1. Sumber Tertulis a. Buku Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999. Aswab, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa. Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal, 1996. Banoe, Pono. Kamus Istilah Musik. Jakarta: CV. Baru, 1985. Chaer, Abdul. Foklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup Jakarta, 2012. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Bandar Seri Begawan, Simposium Serantau Sastera Islam. Brunei Darussalam: Percetakan dan Perniagaan Avesta Sdn, Bhd., Brunei Darussalam, 1996. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Seni Pertunjukan Tradisional Betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta, 2012. Djoened Poesponegoro, Marwanti dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional III. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Edmund Prier, Karl. Kamus Musik. Yogjakarta : Pusat Musik Liturgi, 2009. Ensiklopedi Jakarta. Jakarta : PT Lentera Abadi, 2009. Ensiklopedi Musik jilid I. Jakarta: PT Delta pamungkas, 2004. 84 85 Ensiklopedi Musik Jilid 2. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1992. Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998. Hadi, Abdul. Islam Cakrawala Estetika dan Budaya. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000. Hossein Nasr, Syyed. Spiritual dan Seni Islam. Bandung: Penerbit Mizan, 1993 Indonesia Heritage. Seni Pertunjukan. Jakarta: Grolier Internasional. Inc, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2008. Kamus besar bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya. L, John. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung : Penerbit Mizan, 2002. Muhammad Nashiruddin, Syaikh. Siapa Bilang Musik Haram. Jakarta: PT Darul Haq, 2002. Qardhawi, Yusuf. Halal Dan Haram. Jakarta: Robbani Press, 2005. Qardhawi, Yusuf. Islam Bicara Seni. Solo: Era Intermedia, 2002. 86 Ruchiat, Rahmat, dkk. Ikhtisar Kesenian Betawi. Jakarta: Dinas kebudayaan DKI Jakarta, 2000. Sadeli, Hasan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2002. Situmorang, Oloan. Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: PT Angkasa, 1993. Sitompul, B. Musik Dan Seni Suara. Jakarta: Penerbit Widjayakarta, t.t. Sjahrial, E. Ikhtisar Kesenian Betawi. Jakarta : Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata DKI Jakarta. Soedarsono, Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka, 1992. Soeharto, M. Kamus Musik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992. Sopandi, Atik, dkk. Rebana Burdah Dan Biang. Jakarta:Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1992. Shendrowinoto, Nirwanto, dkk, Seni Budaya Betawi Mengiringi Zaman. Jakarta: Dinas Kebudayaan Betawi DKI Jakarta, 1998. Thaha, Idris Ed., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) cet 1. Jakarta: CeQDA Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Tim Peneliti Kebudayaan Betawi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010. 87 Wirya, Mus. K. Bermain rebana. Jakarta: CV Yasaguna, 1984. Yayasan untuk Indonesia. Ensiklopedi Jakarta II: Culture & Heritage. Jakarta: Penerbit Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman , 2005. Yayasan Untuk Indonesia. Ensiklopedi Jakarta III : Culture & Heritage buku. Jakarta: Dinas kebudayaan dan Permuseuman, 2005. Zaenuddin. 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe. Jakarta: PT. Ufuk Press, 2012. b. Sumber wawancara Wawancara dengan bapak H. Abd. Rahman (ketua sanggar pusaka rebana biang), 2 Mei 2016. Wawancara dengan bapak Iwan (Ketua pengembang rebana biang), 15 Juni 2016. Wawancara dengan bang Indra,(wakil ketua Lembaga Kebudayaan Betawi). 9 Mei 2016. Wawancara dengan staff kantor Suku Dinas Kebudayaan SUDIN kota administrasi Jakarta. 28 Maret 2016. c. Arsip, Dokumen, Jurnal, Skripsi Jantara: Jurnal Sejarah dan Budaya, Musik dan Lagu. Yogjakarta : Kementerian Pendididkan dan Kebudayaan, 2012. Nur, Muhammad. Dalam Jurnal PENAMAS volume 28 n0. 2, Pertunjukan Seni Rebana biang di Jakarta Sebagai Seni Bernuasa Keagamaan, 88 Jakarta: Kemeterian Agama RI Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2015. Syahrul Syah Sinaga, Syahrul. Akulturasi Kesenian Rebana , 2001. Dalam Jurnal Harmoni Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran seni. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bulan Desember 2014. Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014. BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan. Data Stastistik Daerah Kecamatan Jagakarsa, Sie Kependudukan Kecamatan Jagakarasa. Jakarta:,CV Nario Sari, 2014 BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan. Statistik Kota Administasi Jakarta Selatan. Jakarta:,CV Nario Sari, 2015. d. Referensi Internet http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1142/Jagakarsa-Kecamatan http://www.merdeka.com/khas/jaga-rasa-di-jagakarsa-sedjarah-djakarta-1.html http://lembagakebudayaanbetawi.com/artikel/seni-budaya/musik/rebana-biang http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3844/Biang-Rebana http://warisanbudayaindonesia.info/view/warisan/2293/Rebana_Biang http://www.gobetawi.com/2014/11/tokoh-betawi-abdurrahman-maestrorebana.html DAFTAR LAMPIRAN A. Lampiran Transkip wawancara Hasil wawancara dengan narasumber Nama : H. Abdul Rahman, Wiraswasta Jabatan : Ketua Sanggar Pusaka Rebana Biang. Tempat : Sanggar Pusaka Rebana Biang (Senin, 2 Mei 2016, 14.00 WIB) Penulis : Bagaimana latar belakang lahirnya rebana biang? Narasumber : Dasar lahirnya rebana biang adalah sebagai penyeimbang, karena bapak Kumis dari Banten dateng ke Cianjur untuk mengembangkan agama Islam dan disamping itu hiburan seninya adalah rebana biang yang ketika itu dijadikan sebagai hiburan untuk para muridnya setelah mengajar ngaji kalau buat sekarangkan hadroh. Jadi, dasar dari lahirnya rebana biang adalah faktor agama. Karena saat itu bapak Kumpi ingin mengajarkan agama Islam dan ngaji yang kemudian menggandeng rebana biang. Penulis : Jadi tokoh yang memperkenalkan kesenian ini siapa? Narasumber : Jadi, yang memperkenalkannya bapak Kumis. Kalau orang Jombang bilang nama aslinya Kumpi Zaenal atau ketua Kumis dan dia seorang guru. Penulis : Kenapa rebana ini disebut rebana biang? Narasumber : Dahulu sebelum diangkat oleh Pemda DKI, Alm Gubenur Ali Sadikin rebana ini disebut rebana gede sebab rebana ini paling gede. Setelah diangkat menjadi menjadi Gubenur DKI, Ali Sadikin diresmikanlah kesenian Betawi dan rebana ini dan berganti nama menjadi rebana biang. Karena rebana biang menjadi rebana paling gede. Tahun 1974 Gubenur Ali sadikin meremikan berbagai kesenian Betawi, seperti topeng, gambang kromong, tanjidor dan lain-lain. Jadi pengalihan namanya dikasih oleh bapak Ali Sadikin jadi rebana biang. Penulis : Bagaimana persebaran rebana biang zaman sekarang? Narasumber : Untuk jenis produk atau rebananya buatan Sanggar Pusaka Reban Biang ada dimana, artinya saya yang membuat rebananya kemudian dibeli, seperti dari Dinas Kebudayaan dan lain-lain, dan sedangkan untuk jenis musiknya yang masih eksis di Jakarta ada hanya di sini. Penulis :Bagaimana perkembangan seni rebana biang dari generasi ke generasi Narasumber :Untuk generasi pertama dipimpin oleh H. Damong pada tahun 1885 sampai 1915 setiap grup selama 50 tahun atau lihat dari usianya sampai kapan atau mampu menjalanannya, melestarikan rebana biang. Kedua pada tahun 1915 sampai 1946 dipimpin H.Bitong yang merupakan anak dari anak H. damong lalu selanjutnya H. Abdulloh tahun. Generasi ketiga H. Sa’abah yang para pemainya waktu itu adalah H. sa’abah sebagai ketua sekaligus pemainnya, H. Ghani, H. Zaini. H. Marzuki, H. Sabun, H. Kusin, H. Mohayar, H. Masum. Dan generasi keempat, adalah H. Abd. Rahman hingga sekarang. Penulis :Bagaimana perkembangan seni rebana biang pada generasi kertiga ? Narasumber : Setelah seni Betawi di masukin kedalam Perintahan DKI Jakarta di masa pemerintahan Gubenur Ali Sadiki semua kesenian Betawi seperti tanjidor, gambang keromong, dan lain sebaginya kemudian barulah diangkat dan terdaftar dibawah Pemerintah DKI Jakarta. Saat itu ketika di gedung DKI Jakarta atau Kantor Gubenur diadakan peresmia kesenian Betawi dengan menggunakan rebana biang sebagai peresmiannya yang dipegang langsung oleh H. Sa’abah. Penulis : Bagaimana perkembangan seni rebana biang pada generasi keempat yang dipimpin langsung oleh uwan sendiri? Narasumber : Perkembangan di generasi saya, pada saat ini para pemainnya terdiri dari adik, anak dan keponakan saya, bahkan dari luar pun masuk untuk mengembangankan atau belajar rebana biang. Tidak hanya dari pihak keluarga saja yang menjadi anggota tetapi dari luar yang memiliki kemauan mau belajar bisa saja sebab terbuka. Ketika masa H. Sa’abah hanya ada terdapat satu set rebana biang belum jagi tidak ada pengajaran rebana biang. Akan tetapi setelah dipegang saya, serta mendapat dukungan dari pemerintahan untuk mengembangkan dan melestarikan seni rebana biang, yang kemudian mengajarkan rebana biang pada anak-anak dan juga mulai melakukan duplikat rebana biang. Untuk membuat rebana biang, saya diajarkan oleha orang tua. Jadi ketika di generasi keempat ini sudah ada pendidikan mengajarkan rebana biang, membuat rebana biang. Uwan. Penulis : siapa sajakah para pemain rebana biang saat ini Narasumber : Adapun pemain rebana biang yaitu H. Engkos. H. M. Nasir, H.Mursidi, H.Abdul aziz, lalu anak saya Iwan, Wahyudin, Budi setiawan, sedangkan dari luar yaitu David, Mustofa, Fauzi, Agus Effendi, Alfian yang masuk kedalam bagian pengembang. Penulis : Adakah syarat atau ketentuan untuk menjadi anggota rebana biang? Narasumber : Tidak ada syarat tertentu dalam menjadi anggota rebana biang, asalkan ada kemauan belajar dan mengembangkan, melestarikan rebana biang siapa saja boleh. Penulis : Bagaimanakah bentuk penyajian rebana biang? Narasumber : Tidak ada ketentauan dalam tata busana busana yang dipakai pemainnya. Adapun warna yang dipakai seperti ada biru, merah, putih. Akan tetapi semua warna tidak menjadi ciri khas para pemainnya. Sedangkan untuk acaranya peresmian untuk busana disesuaikan dengan permintaan dan bahkan busana pakaian pemainnya juga tergantung pada acara penyenggaranya. Rebana biang tidak memiliki pakain khusus asalkan terlihat sopan serta rapi dalam pandangan Islam. Yang menjadi ciri khasnya hanya memakai peci saja.. Penulis : Bagaimana tempat pentas rebana biang? Narasumber : Untuk tempat pentas rebana biang, kita melakukannya dimana saja tergatung pada permintaan. Bisa dilakukan dalam outdoor seperti festival kesenian Betawi yang dibawakan sambil jalan atau indoor dalam ruangan sambil duduk. Penulis : Adakah harapan yang ingin bapak sampaikan pada pemerintah? Narasumber : Harapan untuk pemerintah agar kesenian rebana biang atau musik Betawi lainya tetap berjalan lancar dengan adanya perangsang dari Pemda agar mengajar lebih giat sebab meskipun selama ini dilakukan secara sukarela atau mandiri tetap berjalan, akan tetapi ada baiknya mendapat dukungan dari Pemerintah baik itu kecil atau pun besar untuk menujang kegiatan pengembangan. Penulis : Bagaimana pembuatan seni rebana biang? Narasumber : Adapun bahan-bahan untuk membuat rebana biang yakni: Pertama adalah gelung atau body rebana biang. Gelung ini terbuat dari kayu mahoni untuk sekarang , sedangkan untuk rebana pusakanya terbuat dari kayu pohon nangka, Kedua adalah kulit kambing yang di cukur atau dihabiskan bulunya, Ketiga adalah rotan dengan berdiameter 4-5 mili yang kemudian di belah menjadi 4 bagian yang berfungsi sebagai tali utuk pengikat rebana. Keempat adalah kayu rotan dengan ukuran 1setengah cm untuk bagian pemegangnya. Kelima adalah Pasak atau disebut kancing yang terbuat dari kayu bangunan atau balok yang kuat. Keenam adalah stema yang terbuat dari kayu rotan berdiameter 5 mili yang diletakan di dalam rebana biang yang berfungsi sebagai penguatnya. Penulis : Bagaimanakan cara pengaturan atau manajemen rebana biang dalam mempromosikan, mengembangkan, memperluas jaringan dalam rebana biang? Narasumber : manejemen sanggar pustaka rebana biang ada beberapa seperti ketua sanggar rebana biang dipegang langsung oleh saya H. Abd Rahman, untuk bagian seketaris atau administasi diserahkan pada adik yaitu H. Abd Aziz, dari segi keuangan atau bendaharanya kepada H. M.Nasir, untuk bagian pengembang diserahkan kepada anak tertua yaitu Bapak Iwan, untuk bagian pengasuh kepada H. Engkos dan H. Mansub, sedangkan untuk bagian vokal dan musik langsung kepada pada saya dan H.Engkos. kalo untuk pemasaran atau mempromosikan rebana biang ke masyarakat ketika itu masih sangat tradisional melalui cara lisan seperti dari mulut kemulut, akan tetapi setelah zaman semakin maju seperti ada kemajuan media elektronik dan media sosial semua informasi yang berhubungan dengan seni rebana biang, baik yang berasal dari Lembaga Kebudayaan Betawi atau Sudin DKI Jakarta akan langsung disampaikan kepada ketua atau pimpinan sanggar, yang kemudian baru informasikan kembali anggota. Hasil wawancara dengan narasumber Nama : Iwan Kurniawan Jabatan : Sebagai ketua Pengembang dan anggota Tempat : Sanggar Pusaka Rebana Biang (Rabu, 15Juni 2016 pukul 15.30 WIB) Penulis : Peran bapak dalam sanggar rebana biang sebagai apa ? Narasumber : Saya sebagai ketua atau pemegang dalam pengembang rebana biang ini Penulis : Bagaimana peran bapak sebagai pengembang dalam Sanggar Pustaka Rebana Biang? Narasumber : Sebenarnya, sudah ada masukan ke LKB kesenian Betawi yang ada baik, rebana biang, lenong, tanjidor dan lain-lain sudah saya kasih usulan agar tembus ke Pemda agar setiap tempat hiburan paling tidak setiap bulan sekali pentas, jadi masyarakatnya mengetahui kesenian Betawi. Baik itu di TMII, Ragunan, Ancol, Kota Tua, Monas. Sebetulnya, tahun lalu ada pertemuan di LKB saya mengusulkan seperti itu dari tim Rebana biang dan tim lain mengikuti tinggal tembusannya saja dari Pemda bagaimana tindak lanjutnya dan itu di sebut dengan pengembangan pengenalan. Untuk pengembangan lainnya seperti generasi penerus sebetulnya sudah ada, sebelum ada saya juga sudah ada tiga orang untuk pengembangan, akan tetapi dengan kesibukan masing-masing jarang melakukan pertemuan. Sekarang dibawah pegangan saya sudah ada pelatihan pengembangan. pelatihannya dilakukan seminggu sekali. Dan muridnya berkisar antara umur 20 sampai dibawah 30 bahkan ada yang sudah yang menikah. Sanggar latihannya pun hanya rumah karena kita tidak ada tempat, walaupun ada di Setu Babakan itu pun milik Pemda bukan milik pribadi. Setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan rebana biang, baik dari Mahasiswa, siaran-siaran TV dilakukan tempat seperti ini. Tempat tinggal orang tua saya yang sekaligus tempat sanggar rebana biang. Kendala lahan pun tetap ada, namun agar menujang latihan kita juga butuh anggaran tapi yah, selama ini kita berjalan dengan sedirinya saja. Dan untuk di terima atau tidaknya oleh Gubenur kita. Yang sebenarnya dulu kesenian Betawi sudah diangkat ketika Gubenur Ali Sadikin. Pengembanganya pun juga tidak hanya dari segi musik melainkan juga dari segi bahannya, pembuatanya seperti cara mengerok kulit bagaimana, cara mengikatnya bagaimana, itu pun kadang sesuai bakat masing-masing., seperti saya saja masih belum bisa mengikat sedangkan untuk adik saya bisa karena dia sabar, teliti dan saya mencari keahlian lain,seperti buat kancing rebana biang. Tidak semua orang bisa menguasai semua yang ada pada satu rebana itu. Dan juga tidak semua orang bisa mukul tiga jenis rebana itu, kalau dia sudah di biang maka di biang, bila sudah di kotek maka di kotek dan gendung maka tetap di gendung, itu pun tidak bisa dicampur aduk dan nanti nadanya pun akan kacau. Penulis : Sejak kapan sudah ada pengembangan dalam rebana biang ? Narasumber : Sekitar tahun 2014, saya mengikuti orang tua seminar ke LKB. Kemudian saya memberi masukan seperti itu, kemudian seperti, acara buka puasa kita memberikan masukan seperti itu tinggal orang diatas menindak lanjutinya dan pendekatan-pendekatannya ke Dinas Pariwisata. Sebenernya sekitar tahun 90an sering dilakukan pementasan seperti sudah ada di TMII yang dilakukan setiap bulan. Akan tetapi sekitar tujuh tahun sampai sepuluh tahun kebelakang sudah tidak ada lagi, entah tidak tahu apa tidak ada pengurusnya atau tidak ada anggarannya saya kurang tahu. Kita yang tinggal di sanggar ini bila ada panggilan yah kita berangkat. Penulis : Tujuan adanya bagian pengembangan ini seperti apa? Narasumber : Saya ini melestarikan rebana biang, agar tidak punah yang pengembangan ini berlanjut dilakukan di sekolah, sanggar-sanggar dan tempat wisata. Nah untuk pengembangan kesekolah itu dilakukan oleh sekolahnya sendiri sebab dari sekolahnya ada program untuk melestarikan kesenian Betawi, bukan kita yang masuk kedalam sekolahnya. Karena kita sifatnya menunggu bukan menawarkan diri. Sebab kita diajarkan sama orang tua seperti itu tidak diajarkan menawarkan diri kalau di panggil berangkat kalau tidak kami stand by saja. Penulis : Apa yang membuat bapak berinisiatif mengusulkan ide pengembangan ini ke Pemda? Narasumber : Dahulu saya sekitar umur 35 kebawah dan belum ada seperti itu, dan juga karena kesibukan kita dengan pekerjaan kemudian berkembanglah dan kesibukan kita tidak bisa mengikuti kegiatan orang tua. Akan tetapi setelah waktu kita segang dan pekerjaan tetap ada. Dan prinsip saya begini, kalau bukan saya sebagai anak, keluarga, dan cucu dari kakek saya, siapa lagi sebagai generasi penerus. Dan saya merasa terpanggil dan kalau tidak dilestarikan maka akan punah, kalau bukan kita sebagai penerusnya siapa lagi sedangkan orang lain tidak mungkin. Karena kesenian ini dilatar belakangi oleh salawat pada Nabi. Kalau dilihat dari segi agama kita mendapat pahala sedangkan dari segi lain dilihat sebagai materi. Jadi kita memiliki dua keuntungan yakni mendapat pahala dari bersalawat pada Nabi sedangkan mendapat meteri dari sisi kesenian. Dan saya merasa turun tangan untuk melakukannya. Penulis : Bagaimana menurut bapak perkembangan rebana biang saat ini di DKI Jakarta? Narasumber : Sebenernya rebana biang dimana pun ada. Di TMII, Taman Ismail Marzuki, bahkan Setu Babakan genersi penerusnya ada. Pernah dahulu ada pelatihan di Jakarta Barat akan tetapi, sumbernya aslinya berasal dari Ciganjur karena disebut rebana biang pusaka karena pusakanya ada disini semua dari manapun maka akan kesini. Dan kita juga sudah terdaftar di LKB, Dinas Pariwisata. Maka kalau ada setiap petemuan pasti kita yang akan kedatangan atau di undang. Sedangkan utuk pengembangan di seluruh wilayah Jakarta bukan dari tangan kita melainkan dari Dinas pariwisata atau LKB. Dan bila diadakan pertemuan atau festival kesenian rebana biang pasti ada di setiap wilayah. Tetapi untuk pengembangannya tidak seperti kesenian lain yang memiliki materi-materi sedangkan untuk kesenian ini tidak memiliki tergetan materi. Penulis : Pendapat bapak bagaimana selama ini perkembangan rebana biang saat ini khususnya untuk Sanggar Pusaka Rebana Biang ini seperti apa? Lalu apakah ada kendala yang dihadapi selama ini? Narasumber : Perkembangannya dari dulu untuk generasinya dahulu dari kakek lalu ke anaknya Uwan dari Uwan ke saya. Setelah ada pengembangan tidak hanya cukup dari keluarga saja penerusnya melainkan dari orang luar pun yang memiliki kemauan yang mau belajar dan memiliki jiwa seni disilakan dan tanpa di pungut biaya. Ada pun kendala yang di hadapi seperti terkadang kendala terjadi di dalam organisasi juga dan itu menjadi hal biasa. Seperti kecemburuan sosial dalam hal pementasan akan tetapi tidak menjadi kendala dalam perpecahan dan hanya segelintir orang saja. Dan menurut Uwan juga hal itu terserah saja kalau ingin di jalankan silakan sebab orag tua mengajarkan agar tidak terjadi perpecahan. Perkembangannya Sanggar Pusaka Rebana Biang selama ini menurut saya lancarlancar saja, terkadang banyak orang tahu itu dari acara-acara perkawinan, perayaan perkawinan itu seperti sebuah pengembangan. Misalnya mereka orang Betawi yang ingin hiburannya rebana biang selain simpel dari jumlah pemainya yang tidak terlalu banyak dan cara dimainkannya pun bisa duduk dan sambil berjalan bisa. Dan dalam pengembangan rebana biang ini sudah agak maju dahulu yang hanya rebana biang dan tari Blenggo yang di sajikan, sekarang ini kita sudah memodifikasikannya dengan adanya Palang Pintu,Silat. Jadi rincian yang disajikan pertama rebana biang, silat, pantun baru kemudian salawat. Dan kita pentasnya tidak hanya Jakarta tetapi sampai Bekasi pun kita pentas. Dalam hal ini Sanggar Pusaka tidak mengkormesilkan seni. Sebab pesan dari kakek tidak seperti itu yang penting kita ikhlas dan kita menunggu rezekinya ada bukan mencari sebab kesenian ini tidak kami jadikan sebagai lapak pencarian. Jadi kita tidak menjual jasa akan tetapi bila jasa kita di gunakan maka tidak masalah dan itulah yang menjadi martabat dari kesenian ini. Penulis : Menurut bapak bagaimana cara agar kesenian rebana biang ini bisa diperkenalkan masyarakat halayak atau masyarakat luas? Narasumber : Untuk memperkenalkan kesenian ini di masyarakat luas baik masyarakat Betawi maupun Masyarakat non Betawi, kalau seseorang memiliki jiwa seni maka ia kan mencari apa itu rebana biang akan tetapi sebaliknya untuk yang tidak memiliki seni maka akan cuek atau begitu aja. Untuk memperkenalkan seni ini seperti pernah diperkenalkan pada lebaran Betawi di daerah jalan Thamrin itu pernah kita dipinggir jalan, sambil itu ada car freeday kita nabuh disana. Itu pun dari LKB yang memotori jadi kita di bayar oleh mereka karena ada program juga dari Pemerintah. Kalau dari kita untuk memperkenalkannya seperti tadi saya bilang, seperti di acara-acara atau perayaan pernikahan jadi prinsipnya kita tetap tidak menjual jasa kepada orang lain akan tetapi bila ada yang membutuhkan atau memerlukan maka kita akan terbuka dan tidak mengkormesilkannya. Selain itu juga pernah diperkenalkan pada tempat-tempat hiburan terkadang ada acara-acara Pemerintah yang ada Gubenurnya seperti acara peresmian misalnya pernah di Kota Tua, Taman Ismail Marzuki barulah kita dipanggil dan barulah orang pada dikenal. Seperti dahulu waktu masih saya kecil, ketika rebana biang masih di pegang kakek saya pernah ada acara peresmiannya dibuka dengan mukul rebana biang yang pusaka. Dan pada tahun 2015 kemarin, pernah kita mengikuti acara bale-bale yang di Bandung yang acaranya disiarkan di TV tentang seni dan acara pun tentang rebana biang dan tari blenggo. Biasanya juga acara bale-bale diadakan setiap tahun tapi tidak tahu bulannya kapan. Penulis : Kira-kira berapa jumlah anggota di pengembangan saat ini? Apa sama atau tidak, dan yang membedakannya apa? Narasumber : Beda, yang membedakannya yaitu kalau dari bagian pengembangan jumlah anggotanya lebih banyak dan dari segi usianya pun bervariatif atau produktif dan mereka juga lebih memiliki jiwa seni dan tangannya pun beda. Kalau seseorang memiliki jiwa seni tangannya kalau mukul rebana pasti nyaring (enak didengar) beda dengan orang yang tidak memiliki jiwa seni terkadang nyaring terkadang tidak bila terjadi semacam itu maka digunakan nalar oleh para pemainnya. Untuk jumlah anggotanya pengembangannya ada sekitar enambelas orang dan orangorangnya pun masih masyarakat Ciganjur atau masyarakat Jagakarsa itu pun bagi anak-anak yang mau. Dan untuk sekarang para pemainya yang seumuran dengan Uwan ada enam orang pemainnya itu yang asli dalam sanggar rebana biang bukan pengembangannya. Tapi bila sudah main atau pentas maka campur. Jadi untuk pemain asli dan pengembangan dicampur, Karena ilmunya bisa langsung diserap dan tinggal disesuaikan oleh generasi penerus. Terkadang para pemain pengembangan tidak ikut semua,kadang kalau sempet ikut kalau tidak yah tidak ikut. Kecuali yang senior seperti Uwan, pamannya, sepupunya yang memiliki waktu banyak pasti ikut kegiatan dimana pun. Penulis : Kira-kira berapa lama masa belajar seseorang dalam pengembangan rebana biang? Narasumber : Hal itu tidak bisa di tentukan, satu bulan pun belum pasti bisa. mungkin untuk satu nada atau getaran bisa tapi penerapannya yang agak sulit dan butuh bertahun-tahun. Karena terkadang kita kalau sempat kita kumpul kalau tidak yah enggak. Waktu belajarnya pun kadang satu jam cukup, karena buat yang baru belajar atau masuk pengembangan nabuh saja tangan bisa capek atau sakit. Masa latihannya pun bebas bisa seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali tergantung dari anak-anaknya kadang latihannya di sini atau dirumah pamannya Uwan, tapi lebih sering di rumah pamannya yakni H. Engkos karena dibantu sama H. Nasir dan Uwan Engkos sedangkan disini hanya Uwan sendiri. Uwan engkos juga termasuk sesepuh yang tau nada-nadanya seperti apa, yang penting bila kita nabuh kita inget nadanya,begini nabuhnya begini, yang penting harus inget caranya begitu saja dan tidak ada nada-nada atau not-not khusus. LAMPIRAN FOTO Foto No. 1 Foto: Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur Jakarta (tempat latihan seni rebana biang sekaligus tempat tinggal H. Abd. Rahman) (sumber: foto pribadi penulis diambil di kediaman rumah H. Abd. Rahman) Foto No. 2 Piagam yang diberikan oleh Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Selatan kepada Sanggar Pusaka sebagai tanda organisasi kesenian yang diakui pemerintah. (sumber: foto pribadi penulis diambil di kediaman rumah H. Abd. Rahman) Foto No.3 Foto: Lirik lagu yang biasa dibawakan oleh para pemain Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur. (sumber: foto pribadi penulis diambil di kediaman rumah H. Abd. Rahman) Foto No.4 Pertunjukan rebana biang pada acara outdoor atau festival kesenian Betawi di Jakarta yang dilakukan setiap tahunnya. (sumber: hasil dokumentasi kegiatan sanggar pustaka rebana biang) Foto No. 5 Pertunjukan seni rebana biang pada acara outdoor atau festival kesenian Betawi di Jakarta yang dibawakan sambil berjalan, (sumber: hasil dokumentasi kegiatan sanggar pustaka rebana biang) Foto No. 6 Pertunjukan rebana biang indoor pada acara-acara resmi pemerintah. (Sumber: didapat dari google gambar tentang rebana biang di Jakarta, di akses tanggal 5 September 2016. Pukul 09.00 WIB) Foto No. 7 Cara memainkan rebana biang sambil duduk yang dilakukan oleh H. Abd. Rahman sambil memukul rebana biang. (Sumber: foto pribadi penulis di kediaman rumah H. Abd Rahman) Foto No. 8 H. Abr Rahman bersama rebana gendung (dari kanan), kotek (tengah) dan biang (dari kiri) di kediaman rumah beliau. (Sumber: foto pribadi penulis diambil di kediaman rumah H. Abd Rahman.)