i KATONENG-KATONENG PADA UPACARA CAWIR METUA DALAM BUDAYA KARO: KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MELODI, DAN MAKNA TEKSTUAL Tesis Program Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Pertunjukan Oleh USAHA GINTING NIM 107037003 Kepada PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 i ii PESETUJUAN Judul Tesis : KATONENG-KATONENG PADA UPACARA CAWIR METUA DALAM BUDAYA KARO: KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MUSIK, DAN MAKNA TEKSTUAL Nama : USAHA GINTING Nomor Pokok : 1070 37003 Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Menyetujui Komisi Pembimbing, Ketua, Anggota, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001 Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001 Program Studi: Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Ketua, Dekan, Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001 Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195812131986011002 ii iii ABSTRACT This magister thesis entitled Katoneng-Katoneng in Cawir Metua Ceremony at Karonese Culture: Analysis of Function, Music Structure, and Textual Meaning. The aims of this research are anAlyze and reach the goal about three aspect of katonengkatoneng (Karonese traditional ceremony song genre): (a) uses and functions, (b) melodic musical structure; and (c) the meaning of song text. To analyze the three aspects in katoneng-ketoneng I uses field works metodhs, as a participant observer, interview works, and recording data in the audiovisual formats. This research project also use qualitative method, which choose the key informant (as traditional Karonese singer called in Karo terminology perkolongkolong) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. To study about katoneng-katoneng functions in Karo cultural generally or specially in cawir metua ceremony (“grand” die ceremony), I use functionalism theory both in cultural anthropology and ethnomusicology disciplines. Then, to analyze musical structure in the focus for melody aspect which singing by Sumpit br Ginting, I use weighted scale theory. After that, to studied the meaning of katoneng-katoneng, I use semiotic theory which based on both emic and ethic approaches. In this research discover some scientific results as follows. Generally, katoneng-katoneng use in the context of mengket rumah mbaru (coming to the new house ceremony in Karonese culture), pesta tahun (yearly fiesta), and cawir metua (“grand “ die ceremony). These three contexs link to the thanks expression to the God with Her blessing. Especially in cawir metua ceremony, this songs functioned as: honorably to ancestor which die; thanks to the God about die as the complete human; ritual legitimation; emotional expression; continuity of culture; and social integration. Then the melodic structure of katoneng-katoneng is using scales hexatonic (sixtone), using prime perfect intervals until major sixth, it’s ambitus in one octave, and strophic melodic formulas. Textual meanings contained in katoneng-katoneng is stressed to counsel and consolation to the raccoon rakut sitelu to sukut (host) and gratitude at implementation of the party, with the use of diction and style language that is motivated by concepts of culture Karo. Keywords: katoneng-katoneng, cawir metua, function, structure of music, textual meaning. iii iv INTISARI Tesis ini berjudul Katoneng-Katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek nyanyian tradisional Karo katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual. Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode-metode: penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dengan memilih informan kunci yaitu perkolongkolong (penyanyi) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. Untuk mengkaji fungsi katonengkatoneng baik dalam konteks budaya Karo yang luas maupun secara khusus pada upacara cawir metua, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin antropologi budaya dan etnomusikologi. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik dengan fokus pada melodi yang dilantunkan Sumpit br Ginting, penulis menggunakan teori weighted scale. Seterusnya untuk mengkaji makna tekstual katoneng-katoneng ini digunakan teori semiotik yang berbasis kepada penafsiran secara emik dan etik sekaligus. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Katonengkatoneng umum digunakan pada konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rmah baru), pesta tahun, dan cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah: sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; sebagai pengabsahan upacara; sebagai pengungkapan emosional; sebagai kesinambungan kebudayaan; dan sebagai integrasi sosial. Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada), dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, ambitus satu oktaf, dan formula melodik yang strofik. Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah menekankan kepada nasihat dan penghiburan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsep-konsep kebudayaan Karo. Kata kunci: katoneng-katoneng, cawir metua, fungsi, struktur music, makna tekstual. iv v PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka. Medan, Februari 2015 Usaha Ginting NIM 107037003 v vi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat Tuhan tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini bertajuk Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan jenjang S2 dan memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tesis ini adalah hasil penelitian mengenai eksistensi katoneng-katoneng dalam kebudayaan masyarakat Karo, terutama yang digunakan dalam konteks upacara cawir metua. Perlu diketahui bahwa katoneng-katoneng juga digunakan pada upacara mengket rumah mbaru dan juga pesta tahun di Tanah Karo Simalem. Ada tiga pokok masalah yang penulis kaji di dalam tesis magister ini, yaitu tentang fungsi, struktur musik, dan makna tekstual katoneng-katoneng. Secara kelembagaan, pertama sekali penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara dan segenap jajarannya atas segala kebijakan pengelolaan studi magister seni penulis selama ini. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Dekan FIB USU, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan segenap jajarannya yang juga memberikan banyak pelajaran terutama dalam konteks studi penulis selama ini. Arahan-arahan mereka tersebut membuat penulis semakin termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Selama proses penyusunan tesis, penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari para pembimbing, yakni Bapak Irwansyah, M.A. selaku pembimbing I dan juga Bapak Drs. M. Takari, M.Hum, Ph.D. sebagai Pembimbing II, para penguji yakni vi vii Bapak Bapak Drs Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Terima kasih atas segala saran-saran konstruktif keilmuan dari mereka ini, yang dapat memberikan pencerahan dan tambahan wawasan keilmuan bagi penulis. Tim pembimbing dan penguji ini sungguh banyak membantu penulis terutama kesabaran dan ketelatenan dalam penulisan tesis ini. Begitu pula ucapan terima kasih kepada seluruh dosen yang mengajar di Program Studi Magister Penciptaan dan pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Mereka itu adalah: Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.; Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.; Dr. Muhizar Muchtar, M.S.; Dr. Ridwan Hanafiah, M.A.; Dra. Rithaony, M.A.; Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum.; Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.; Drs. Perikuten Tarigan, M.A., dan lain-lainnya. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai pada Program studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan administratif dan lainnya kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis. Yang pertama adalah ibunda almarhum C. br Pinem, juga ayahanda P. Ginting yang telah mendidik penulis sejak sekolah dasar, menangah, kemudian sampai pula di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, dan kini pada Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam rangka studi ini, sebagai seorang anak, maka penulis juga mengabadikan peristiwa cawir metua ibunda penulis dalam kajian tesis ini. Semoga saja apa yang vii viii dituliskan ini menjadi semangat ananda untuk mengabdi kepada masyarakat Karo, serta bangsa Indonesia pada umumnya. Kepada Teman-teman kuliah angkatan 2010 Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, diucapkan terimakasih untuk kebaikannya. Demikian pula angkatan 2009, 2011, 2012, 2013, dan 2014, semoga ilmu yang kita peroleh dapat kita abdikan kepada kepentingan nusa dan bangsa Indonesia ini. Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang berkenan, mohon jangan disimpan di dalam hati. Akhir kata, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian dari tesis ini dapat berguna bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kebudayaan musikal masyarakat Karo pada khususnya. Terkahir kali, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati bangsa ini menjadi bangsa yang maju, damai, sentosa, dan bertakwa. Medan, 10 Februari 2015 Penulis, Usaha Ginting NIM 107037003 viii ix DAFTAR ISI ABSTRACT ........................................................................................................... iii INTISARI ................................................................................................................ iv PERNYATAAN ....................................................................................................... iv PRAKATA................................................................................................................ v DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM ....................... xii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... xiii PERNYATAAN .................................................................................................. xviii BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan ......................................................................................... 20 1.3 Pembatasan Masalah ......................................................................................... 21 1.4 Tujuan dan Manfaat ........................................................................................... 22 1.4.1 Tujuan penelitian ..................................................................................... 22 1.4.2 Manfaat penelitian ................................................................................... 22 1.5 Konsep dan Teori.............................................................................................. 23 1.5.1 Konsep.................................................................................................... 23 1.5.1.1 Katoneng-katoneng ..................................................................... 24 1.5.1.2 Cawir metua .............................................................................. 25 1.5.1.3 Kebudayaan ............................................................................... 26 1.5.1.4 Fungsi........................................................................................ 27 1.5.1.5 Struktur melodi .......................................................................... 29 1.5.1.6 Makna teks ................................................................................ 29 1.5.2 Teori ...................................................................................................... 30 1.5.2.1 Teori fungsionalisme .................................................................. 30 1.5.2.2 Teori weighted scale .................................................................. 39 1.5.2.3 Teori semiotik ............................................................................ 40 1.6 Tinjauan Pustaka............................................................................................... 42 1.7 Metode Penelitian ............................................................................................. 54 1.7.1 Studi perpustakaan................................................................................... 56 1.7.2 Wawancara .............................................................................................. 56 1.7.3 Pengamatan ............................................................................................. 57 1.7.4 Metode Transkripsi dan Analisis .............................................................. 57 1.8 Organisasi Tulisan ............................................................................................ 58 BAB II. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA .................................................................................................................. 60 2.1 Geografis .......................................................................................................... 63 2.2 Sistem Kekekrabatan ........................................................................................ 67 2.3 Sistem Kepercayaan .......................................................................................... 76 2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional ....................................................................... 78 2.5 Kesenian .......................................................................................................... 80 2.5.1 Seni sastra ................................................................................................ 81 2.5.2 Seni ukir ................................................................................................... 85 2.5.3 Seni musik ................................................................................................ 87 2.5.3.1 Pengertian musik .......................................................................... 87 2.5.3.2 Jenis-jenis musik .......................................................................... 87 ix x 2.5.3.2.1 Musik vokal .................................................................. 87 2.5.3.2.2 Musik instrumental ....................................................... 88 2.5.3.3 Ensambel musik tradisional Karo................................................. 89 2.5.3.3.1 Gendang lima sidalanen................................................ 89 2.5.3.3.2 Gendang telu sidalanen................................................. 97 2.5.3.3.3 Solo instrumen .............................................................. 98 2.5.4 Seni tari .................................................................................................. 101 2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat .......................................................... 102 2.5.4.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan ...................................... 104 BAB III. DESKRIPSI UPACARA CAWIR METUA, SERTA PENGGUNAAN GENDANG DAN KATONENG-KATONENG ....................................................109 3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo ..................................109 3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo .......................................................114 3.3 Pengertian Cawir Metua ..................................................................................117 3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua ..........................................................................119 3.5 Proses Upacara Cawir Metua ..........................................................................120 BAB IV. PENGGUNAAN DAN FUNGSI KATONENG-KATONENG ..............137 4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ..................................................................137 4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo.......................................142 4.2.1 Penggunaan pada upacara mengket rumah mbaru ...................................143 4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua ...................................................146 4.2.3 Penggunaan pada pesta tahun ................................................................149 4.2 Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua .................................154 4.2.1 Fungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia ..... 154 4.2.2 Fungsi sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya ..........156 4.2.3 Fungsi sebagai pengabsahan upacara ......................................................157 4.2.4 Fungsi sebagai pengungkapan emosi ......................................................158 4.2.5 Fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan ...........................................160 4.2.6 Fungsi sebagai integrasi sosial ...............................................................161 BAB V. KAJIAN STRUKTUR MELODI LAGU KATONENG-KATONENG ..165 5.1 Proses Transkripsi dan Hasil Notasi ...............................................................163 5.2 Tangga Nada ...................................................................................................168 5.3 Nada Dasar ....................................................................................................170 5.4 Nada yang Digunakan ....................................................................................174 5.5 Interval .........................................................................................................175 5.6 Pola Kadensa ................................................................................................. 175 5.7 Formula Melodi ............................................................................................. 177 5.8 Kontur ........................................................................................................... 178 BAB VI. MAKNA TEKS LAGU KATONENG-KATONENG .............................181 6.1 Seputar Studi teks Nyanyian ............................................................................181 6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting ......................................................182 6.3 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Sembuyak ...........................................183 6.4 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Kalimbubu ..........................................187 6.5 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Puang Kalimbubu .............................190 BAB VII. PENUTUP ............................................................................................193 7.1 Kesimpulan .....................................................................................................193 x xi 7.2 Saran-saran ......................................................................................................195 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................196 DAFTAR INFORMAN ..........................................................................................197 xi xii DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM Peta 2.1 Kabupaten Karo ........................................................................................ 65 Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo ................................................................... 66 Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo ..................................................... 68 Tabel 2.2 Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima ..................... 65 Bagan 2.1 Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima dan Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo ........................................................................ 78 Gambar 2.2 Penarune ............................................................................................. 93 Gambar 2.3 Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen .............................................. 94 Gambar 2.4 Sarune ................................................................................................. 96 Gambar 2.5 Gendang Singindungi .......................................................................... 98 Gambar 2.6 Gendang Singanaki .............................................................................. 98 Gambar 2.7 Penganak dan Palu-palu .....................................................................100 Gambar 2.8 Gung dan Palu-palu ............................................................................101 Bagan 3.1 Daur Hidup dan Jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo ........122 Gambar 3.1 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng ..............................................................132 Gambar 3.2 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek ....................................133 Gambar 3.3 Foto Kelompok Kalimbubu Diwakili Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ...........................................................................136 Gambar 3.4 Kelompok Kalimbubu Diwakili Perempuan Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ...........137 Gambar 3.5 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh (Kerabat Adat) .......................138 Gambar 3.6 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh ..............................................138 Diagram 5.1 Persentase Penggunaan Masing-masing Nada pada Melodi Katoneng-katoneng ............................................................................. 65 xii xiii DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Drs. Usaha Ginting Alamat : Jln. Letjen Jamin Ginting 177 B Medan Agama : Katholik Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : - Tamat dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Taneh Pinem pada tanggal 14 Desember 1973. - Tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Harapan Taneh Pinem pada tanggal 4 Desember 1976. - Tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Garuda Medan pada tanggal 28 April 1981. - Tamat Strata Satu (S-1) Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara pada tanggal 3 September 1988. xiii 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara. Sumatera Utara1 adalah salah satu provinsi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keberadaan masyarakat yang 1 Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota, seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias Utara, Nias Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kota Binjai, Kota Tanjungbalai, Kota 1 2 heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang mendiami kawasan Sumatera Utara ini, dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, MandailingAngkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa. Pada menerima masa sekarang sebagian besar masyarakat cara pembagian delapan kategori, kelompok-kelompok Sumatera Utara, etnik setempat ke dalam seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut. The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy, 1979:6). Tebingtinggi, Kota Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan (Humbamas), Samosir, Toba Samosir (Tobasa), Dairi, Pakpak-Bharat, juga Karo. 3 Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera populasi setempat (yaitu mereka dengan suku-suku. Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan yang bukan imigran), yang biasa disebut Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.2 berbeda. Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat—dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.3 Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 2 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya. 3 Selain dari etnik natf yang biasa diuraikan dan dikaji oleh para ilmuwan, di Sumatera Utara terdapat juga dua etnik natif lainnya di wilayah Tapanuli Bahagian Selatan, yaitu orangorang Lubu dan Siladang. Mengenai eksistensi mereka belum banyak dikaji oleh para ahli, namun bagaimanapun mereka adalah termasuk ke dalam kategori etnik Sumatera Utara, yang keberadaannya harus diperhatikan dan mengikutsertakan mereka dalam konteks membangun Sumatera Utara dan Indonesia. 4 Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik pantai barat ataupun timurnya. dalam pemerintahan daerah yang berdekatan dengan Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell, 1973:80-81). Seperti terurai di tas, salah satu etnik natif Sumatera Utara adalah etnik Karo. Berdasarkan wilayah budayanya etnik Karo ini mendiami kawasan Kabupaten Karo, sampai juga ke Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan lainnya. Ditambah juga berbagai kawasan perantauannya di zaman Indonesia merdeka, seperti Riau, Riau Kepulauan, Jakarta, Bandung, dan berbagai tempat di kawasan Indonesia. Secara budaya, orang-orang Karo ini membagi wilayah budaya mereka, ke dalam dua kategori yaitu Karo Gugung, yang wilayahnya berada pada dataran tinggi Bukit Barisan, dan Karo Jahe [Ka.ro Ja.hê] yang bermukim di dataran rendah (pesisir timur) Sumatera Utara. 5 Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional Karo adalah katoneng-katoneng.4 Katoneng-katoneng [ka.to.nêng-ka.to.nêng] merupakan nyanyian tradisional etnik5 Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan. Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang 4 Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan. Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng. Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam kebudayaan Karo. 5 Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpuln bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbedabeda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. 6 dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro aron, sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan lainlainnya. Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional, spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong6 (penyanyi dan penari profesional Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu. Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka, menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting, Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu, Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya.7 Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring, Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang guroguro aron, kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan 6 Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune [pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya. 7 Penulisan huruf br adalah singkatan dari kata beru, yang artinya anak perempuan dari ayah yang bermerga tertentu. Penulisan seperti ini lazim dilakukan oleh orang-orang Karo, dan menurut pengalaman penulis jarang seorang perempuan Karo memanjangkannya dalam kara beru. 7 sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni pada saat pembukaan acara. Menurut keterangan perkolong-kolong Arus Perangin-angin, lagu katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian katonengkatoneng, dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya. Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah: (1) Memahami bahasa Karo dengan baik. (2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo. (3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna. (4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang. (5) Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya dengan baik. (6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen Karo.8 8 Anding-andingen adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo. Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya, serta dapat menerapkannya dalam perilaku musikal. 8 Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia), maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas di dalam kebudayaan Karo. Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa menghadirkan perkolong-kolong. Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut (penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3 juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya. Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong sepengetahuan penulis, secara budaya wajib dilibatkan. Biasanya mereka terdiri dari 2 (dua) orang—seorang perkolong-kolong laki-laki dan seorang perkolongkolong perempuan (sepasang). Pada acara ini, peran perkolong-kolong tidak hanya menyampaikan nyanyian katoneng-katoneng, tetapi juga melantunkan lagu- 9 lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu Sada Perarih, Diding-diding, Rimo Malem, Olakisat, dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan keterampilan estetika mereka). Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng berisikan nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru) lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang kerabatnya ke alam kubur. Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan. Perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena setiap perkolongkolong memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, maka mereka 10 mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong yang bersangkutan. Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari: (1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup. Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan. Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya, menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten (pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut. Bagian kedua, merupakan teks isi yang biasanya berisi nasehat, dan pengharapan, dan juga penghiburan kepada pihak yang berduka cita. Bagian ini merupakan bagian yang sangat dramatis, karena merupakan inti dari keseluruhan teks nyanyian katoneng-katoneng. Tidak jarang pada bagian ini, kelompok adat 11 tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang yang sudah meninggal itu, seolah-olah sedang menyampaikan kata-kata nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya. Bagian ketiga, adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian katoneng-katoneng. Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan. Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan yang dimilikinya. Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya. Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga. Bahasa yang dipergunakan dalam nyanyian katoneng-katoneng menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat (bahasa halus). Kata-kata yang diucapkan tidak seluruhnya mengandung makna denotatif, tetapi lebih cenderung kepada makna konotatif. Kata-kata yang bermakna konotatif mempunyai efek yang lebih dalam, yang mengandung 12 falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya. Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas (figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami, perganiganin kami, dan lain sebagainya menunjukkan hal itu. Dalam musik vokal Karo, ornamen (hiasan) memainkan peranan penting. Kualitas suatu penyajian musik vokal Karo tergantung kepada beberapa aspek. Ornamen lagu merupakan aspek yang paling menonjol. Seorang penyanyi Karo harus menguasai ornamen tersebut. Ornamen tidak bisa dipakai dengan bebas, ada bagian-bagian tertentu dari lagu yang memerlukan ornamen. Misalnya ketika mengakhiri frase sebuah lagu, ataupun dipakai bersamaan pada ketika gong berbunyi. Seorang perkolong-kolong tidak dapat dengan pasti mengetahui di mana 13 suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi lagu itu sendiri. Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam sebuiah kalimat sebagai berikut: That element in music which is decorative rather than structural, and which in particular includes both free ornamentation and specific ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left to be improvised at the discretion of the performer. Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif (hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para seniman musik. Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu: rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek). Rengget gedang adalah beberapa buah nada yang dinyanyikan dengan cepat dengan menggunakan teknik slur (meluncur). Biasanya dilakukan pada akhir sebuah kalimat lagu. Rengget peltep yang sering disebut sembeb adalah hampir sama dengan rengget gedang, namun nada (bunyi) yang dihasilkan lebih pendek dari renggetgedang, dan biasanya dilakukan bukan pada akhir sebuah kalimat lagu, melainkan pada akhir sebuah frase. 14 Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan perkolong-kolong, di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis, dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya. Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini, mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian, sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia. Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang lima sidalanen atau telu sidalanen. Kemudian ditinjau dari konteks sosialnya katoneng-katoneng selalu digunakan dalam berbagai upacara,. Seperti mengket rumah mbaru, pesta perkawinan, kerja tahun, guro-guro aron, dan juga kematian dalam hal ini kematian cawir metua. Upacara yang terakhir ini pun di dalam kebudayaan Karo penuh dengan makna-makna dan nilai budaya. 15 Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang, dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum). Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai. Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu. Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria. Dalam pelaksanaan upacara ini, maka salah satunya adalah menggunakan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolongkolong. Tema utamanya adalah tentang riwayat hidup yang meninggal serta bagaimana kesedihan sekaligus kegembiraan kerabatnya karena telah mencapai predikat kematian cawir metua. 16 Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan berikut ini. Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research. Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicologists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics (http://www.ethnomusicology. org/?page=whatisethnomusicology). berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat dipahami bahwa etnomusikologi merupakan studi musik dalam konteks 17 budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut. Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik. Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan 18 disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia. Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan hukum-hukum dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music 19 sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Menurut pendapat Merriam seperti pada kutipan di atas, para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena pembahagian ini, maka selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, menimbulkan yaitu musikologi dan kemungkinan-kemungkinan etnologi. Dampaknya adalah masalah besar dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana (ilmuwan) etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks 20 etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara permainan musik dalam sosial dan musik sebagai suatu bahagian dari kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas. Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian. 1.2 Pokok Permasalahan Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian katonengkatoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya. Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi katoneng-katoneng secara mendalam dan menyeluruh. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan ini lebih menempatkan katoneng-katoneng 21 dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian katonengkatoneng. Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu: (1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo? (2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo? (3) Bagaimana makna tekstual lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo? Untuk pokok masalah pertama yaitu fungsi katoneng-katoneng akan dikaji berdasarkan dua titik pandang yaitu penggunaan dan fungsinya. Untuk struktur melodi katoneng-katoneng ini, maka unsur yang akan dikaji mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi interval, formula melodi, pola-pola kadensa, nada-nada yang digunakan, dan kontur. Selain itu, secara etnosains Karo, dalam menganalisis struktur melodi ini, penulis menggunakan cara pandang orang Karo seperti konsep dan terapan rengget (estetika improvisasi dalam budaya musik Karo), bentuknya yang berkait dengan sastra Karo, dan lainlainnya. 22 Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspekaspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis. Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun katoneng-katoneng ini. 1.3 Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan yang berhubungan dengan katoneng- katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik. 1.4 Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan 23 Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam kebudayaan. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katonengkatoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsipprinsip keindahan penyajiannya. 3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo. 1.4.2 Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua. 2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang akan datang. 3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menempatkan berbagai ragam seni pertunjukan yang mengikuti kaidah-kaidah tradisi di 24 dalam kebudayaan Karo, yang disesuaikan pula dengan perkembangan zaman. 4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seni khususnya etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis. 5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era globalisasi dan perubahan zaman. 1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsepkonsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan 25 argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177). Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng, (b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini. 1.5.1.1 Katoneng-katoneng Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya. Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya; yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan dengan kematian dan cenderung sedih. 26 1.5.1.2 Cawir metua Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum). Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria. 27 1.5.1.3 Kebudayaan Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.” Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. 28 1.5.1.4 Fungsi Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keinginan manusia (human need) itu. Dengan pengertian seperti ini, maka seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.9 Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu, 9 Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap (Koentjaraningrat, 1987:67). 29 akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal. Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya respons terhadap kepemilikan rumah baru, pesta panen atau kerja tahun, kematian cawir metua, dan masalah-masalah lainnya. 30 1.5.1.5 Struktur melodi Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi. 1.5.1.6 Makna teks Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, misalnya kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan teks adalah lirik yang disajikan dalam bentuk nyanyian tradisional Karo 31 yang disebut katoneng-katoneng. Lirik lagu ini memiliki makna-maknanya yang dapat diungkap melalui latar belakang kebudayaan Karo. Makna-makna tersebut ada yang bersifat makna sesungguhnya yaiu makna denotatif, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam dan holistik, yaitu makna konotatifnya. Makna-makna inilah yang kemudian dianalisis dan ditafsir dalam tesisi ini. 1.5.2 Teori Teori yang dijadikan sebagai landasan dalam kerja ilmiah adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa baiik alam atau kemasyarakatan terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35). Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis terhadap struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan Karo, maka dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian yang kemudian dituliskan dalam bentuk tesis ini, dapat diuraikan sebagai berikut. 1.5.2.1 Teori fungsionalisme Untuk mengkaji fungsi nyanyian katoneng-katoneng khusus pada upcara cawir metua dalam kebudayaan Karo, penulis menggunakan teori dalam disiplin 32 antropologi yang disebut fungsionalisme. Teori ini dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (hidup tahun1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayah beliau adalah seorang profesor dalam ilmu sastra Slavik. Olehkarena itu tidaklah mengherankan jikalau Malinowski mendapatkan pendidikan yang kelak memberikannya suatu kerja akademis juga. Pada tahun 1908 beliau lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama kajiannya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Dia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan dia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkannya tertarik kepada ilmu etnologi. Dia melanjutkan pelajarannya ke London School of Economics. Namun karena di Perguruan Tinggi itu tidak ada ilmu folklor atau etnologi, maka dia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya dalam ilmu etnologi, adalah C.G. Seligman. Pada tahun 1916 dia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai pengganti disertasi, yaitu: (a) The Family among the Australian Aborigines (1913) dan (b) The Native of Mailu (1913). Kemudian pada tahun 1914 dia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian. Selepas perang 33 dunia pertama pada tahun 1918, dia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai pembantu ahli di London School of Economics. Dia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Dia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ditawari untuk menjadi profesor antropologi di University Yale pada tahun 1942. Namun pada tahun itu juga dia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya, H. Cairns, dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944). Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry, 1957:82), yaitu: (1) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap 34 keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; (3) Fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika dia mengunjungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah tidak lain adalah ulangan-ulangan kepada reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Seperti yang telah diuraikan di atas, ketika Malinowski julung kali menulis karangan-karangannya tentang berbagai aspek masyarakat Trobiand sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan 35 manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia meninggal dunia. Bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan satu rangkaian keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu usur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keperluan itu. Dengan pemahaman ini, kata Malinowski, seseorang peneliti bisa mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel berjudul “The Group and the Individual in Functional Analysis” dalam jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan telah menjadi kebiasaan. Setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam 36 suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menuurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekunder dari satu entitas kepada sebuah masyarakat. Keperluan pokok atau dasar manusia adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi keinginan dasar ini, maka muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan terhadap makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerjasama dalam mengumpulkan makanan atau untuk produksi makanan. Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat. Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat tradisional (primitif). Dia menjelaskan bahwa nilai yang praktis dari teori fungsionalisme adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka 37 ragam, bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi mengeksploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif (Malinowski, 1927:40-41).10 Selain Malinowski, pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi yang lain ialah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, dia mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubunganhubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown, 1952). Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan, yang terdapat dalam berbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkahwinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Dia 10 Keberatan utama terhadap teori fungsionalisme Malinowski adalah bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginankeinginan yang didefinisikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan bahwa semua masyarakat menginginkan pengelolaan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tidak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap masyarakat berbeda pengelolaannya mengenai pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain, teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenarnya bisa saja dipenuhi dengan cara yang lain, yang dapat dipilih dari sejumlah pilihan dan mungkin cara itu lebih mudah. 38 menjelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik di antara anggota keluarga dapat dihindarkan— dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga kesatuan sosial masyarakatnya. Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme struktural adalah sukarnya menentukan apakah suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi, bagaimana sumbangan dari suatu organ terhadap kesehatan tubuh manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan mencoba menghilangkan organ tersebut misalnya. Namun kita tidak bisa meniadakan sesuatu unsur kebudayaan masyarakat untuk melihat apakah unsur itu memberi jasa dalam pemeliharaan struktur masyarakatnya. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak akan ada kaitan apa pun dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin bahkan merugikan. Kita tidak bisa mengandaikan bahwa semua kebiasaan dalam sebuah masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat pada masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun 39 kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun orientasi teoretis ini tidak akan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sebuah masalah tertentu tidak semestinya dipecahkan menuurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu cara dari sekian cara atau alternatif yang ada. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang digunakan pada upacara cawir metua dalam budaya Karo, maka teori fungsionalisme digunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi tersebut memenuhi keinginan masyarakat Karo. Berdasar kepada teori fungsionalisme Malinowski, katoneng-katoneng timbul dan berkembang karena diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai-bagai keperluan sosial, seperti pengabsahan upacara, memberikan hiburan, menunjukkan status sosial, integrasi masyarakat dan lainnya. Katoneng-katoneng ini memiliki fungsi-fungsi sosiobudaya. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi katoneng-katoneng adalah untuk memenuhi sistem sosial yang terintegrasi, yang akhirnya akan membentuk harmoni sosial. Melalui katoneng-katoneng setiap pendukungnya adalah menempatkan diri pada struktur sosial yang dibangunkan bersama-sama. Dalam lagu ini terkandung ajaran-ajaran dan norma-norma sosial adat Karo yang dipegang kukuh oleh orang Karo dari generasi ke generasi. Struktur sosial masyarakat Karo ini termasuk di dalamnya aspek hubungan rakut sitelu, di antara 40 yang tua dan muda, begitu juga pertuturan yang disebut tutur siwaluh, serta sistem klen yang disebut merga silima. 1.5.2.2 Teori weighted scale Dalam rangka menganalisis struktur melodi katoneng-katoneng yang digunakan dalam upacara kematian cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), yang ditawarkan oleh Malm (1977). Pada intinya teori weighted scale ini adalah bertujuan untuk menganalisis delapan unsur yang terdapat dalam melodi seuatu musik, yaitu: (1) tangga nada, (2) nada dasar, (3) interval, (4) pola-pola kadens, (5) formula melodi, (6) kontur, (7) wilayah nada, dan (8) distribusi nada. Tangga nada yang dimaksud dalam teori ini adalah nada-nada yang digunakan, termasuk juga oktaf-oktafnya dalam rangka membangun sebuah melodi. Selanjutnya yang dimaksud dengan nada dasar, adalah pusat dari tonalitas atau modalitas melodi tersebut dengan berbagai cirinya. Kemudian yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara nada-nada dalam rangka membangun suatu melodi utuh nyanyian, yang di dalam etnomusikologi biasanya disebut dengan berbagai istilah seperti: prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, kuart murni, kuint murni, sekata minor, sekta mayor, septim minor, septim mayor, oktaf, kuint diminished, dan lain-lainnya. Sementara itu yang dimaksud dengan pola-pola kadensa adalah beebrapa nada akhir di ujung frase-frase melodi atau juga ujung lagu tersebut. Selanjutnya 41 yang dimaksud dengan formula melodi, adalah bagaimana komposisi melodi tersebut dibangun oleh motif, frase, dan bentuknya. Ini dapat dideskripsikan sebagai benmtuk tunggal, binari, ternari, dan seterusnya. Kemudian yang dimaksud dengan kontur adalah garis lintasan melodi baik secara umum maupun rinci, yang dapat dideskripsikan dengan istilah-istilah sseperti: pendulum, berjenang, menaik, menurun, rata, dan sejenisnya. Kemudian yang dimaksud dengan wilayah nada adalah jarak yang diukur dengan satuan laras atau sent antara nada terendah dengan nada tertinggi di dalam sebuah lagu. Selepas itu, yang dimaksud dengan distribusi nada adalah bagaimana masing-masing nada itu menyebar dan menyusun suatu melodi lagu secara utuh, biasanya dideskripsikan dengan cara kuatitatif, jumlah masing-masing nada tersebut disertai dengan jumlah durasinya. Demikian kira-kira unsur-unsur melodi yang dianalisis melalui teori weighted scale ini. 1.5.2.3 Teori semiotik Untuk mengkaji makna teks katoneng-katoneng ini, maka penulis menggunakan teori semiotika. Pada dasarnya teori ini hendak menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berfikir dengan tanda-tanda dan sekaligus sebagai makhluk pencipta tanda-tanda. Potensi tanda-tanda itu sendiri baik terdapat diluar diri manusia maupun pada dirinya sendiri. Apakah bahasanya lisan maupun tulisan, atau gerak-geriknya, demikian pula dengan warna, garis, bentuk, dan suara di sekitar kita semuanya dapat dikatakan tanda., sejauh itu telah 42 diberi arti atau ditempatkan pada ruang tertentu. Dikatakan demikian, karena tidak secara begitu saja segala sesuatu langsung menunjukkan suatu tanda tertentu. Sesuatu yang masih potensial sebagai tanda tentu saja belum menunjuk pada suatu pengertian. Bahwa sesuatu itu menjadi jelas-jelas tanda hanya sejauh ketika sesuatu itu dikomunikasikan (Tommy F Awuy, 2003). Dengan demikian, apa yang ingin dimaksud dengan analisis semiotik di atas ini adalah yang berhubungan dengan dimensi komunikasi. Analisis semiotik komunikasi disini bermaksud untuk mencari proses pemahaman antara pihak yang memberi tanda dan pihak yang menerima tanda, dengan tidak atau melewati sebuah medium tertentu. Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang di gunakan dalam prilaku manusia. Dua tukoh perintis semiotika adalah Ferdinand De Sausurre seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders filosof dari Amerika Serikat. Menurut pakar linguistik, Ferdinand De Sausurre, semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.“ Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahsasa itu sendiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signifed). Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dati dari 3 bagian yang saling berkaitan: (1) respresentatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha 43 kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Sedangkan secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semion. Dalam kaitannya teori semiotika untuk mengkaji teks lagu katonengkatoneng, maka penulis menutip pendapat van Zoest (1996:11). Menurutnya di dalam sebuah teks terdapat ikon, apaila adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat dalam sajak (keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu susunan tipografi tertentu) adalah tanda: penanda “ini adalah sebuah sajak.” Adanya kalimat yang panjang-panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa dianggap sebagai tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnyayang lebih kecil. Pada kekhasan teks hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang sangat mendalam. Selanjutnya dalam rangka kerja dengan teori semiotika peneliti hendaklah menginterpretasi (menafsir) tanda dalam teks. Suatu gejala struktural, baik yang muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (dalam kalimat atau sekuen) maupun pada tingkatan makrostruktural (teks yang lebih luas), selalu dapat dianggap sebagai tanda. Terpulang kepada pembuat analisis teks, untuk memutuskan apa atau apa-apa saja yang ingin dipilihnya. Selain dari itu, jika ia memutuskan menganggap tanda yang dipilihnya sebagai ikon, konsep ikonositas 44 dapat dipakainya sebagai alat heuristis. Maksudnya alat itu memungkinkannya mengenali suatu makna yang mungkin akan tetap tersembunyi kalau alat itu tidak dipergunakan. 1.6 Tinjauan Pustaka Untuk menghindari repetisi kajian yang sama, baik dalam waktu penelitian maupun fokus yang sama, maka perlu dilakukan serangkaian studi terdahulu. Studi ini adalah yang terkait dengan kebudayaan Karo secara umum, musik Karo, baik itu musik instrumental maupun musik vokalnya, tari Karo, sastra Karo, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tentang topik tersebut, sebahagian besar adalah berupa skripsi dan juga tesis di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam bentuk skripsi ditulis oleh para calon sarjana etnomusikologi, dan juga tesis oleh para dosen dan calon magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, baik itu berupa kajian tekstual, musikal, upacara, oraganoligis, di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Kumalo Tarigan, menulis skripsi sarajana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1985. Kumalo Tarigan, dalam skripsinya ini mengkaji tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan Karo. Dalam skripsi ini Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu 45 sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural. (2) Perikuten Tarigan, juga menulis sebuah skripsi sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1986. Perikuten Tarigan mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural. (3) Rini Rumiyanti, menulis sebuah skripsi sarjana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU medan, tahun 1988. Beliau melakukan studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo. (4) Jamal Karo-Karo (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991) mengkaji tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo. Penulis skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap alat musik keteng-keteng Karo dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu menggunakan teori klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan 46 organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat musik. (5) Fariana, seorang etnomusikolog lulusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1992 melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Di dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural. (6) Selain itu, etnomusikolog Sinar, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992, dalam skripsinya mengkaji tentang studi deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang disebut dengan Gendang Keramat. (7) Penulis budaya musikal Karo berikutnya adalah Julianus Limbeng, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994. Beliau mengkaji tentang aspek tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap enau untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Tanah Karo. Teksnya penuh dengan makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng 47 mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada (weighted scale). (8) Ivy Irawaty Daulay, menulis skripsi sarjana di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995. Dalam skripsinya beliau mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi. Pada skripsinya ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut dengan surdam rumaris. (9) Perdata Peranginangin, saat menyelesaikan studi di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1999 melakukan kajian organologis terhadap alat musik gung dan penganak pada masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring. Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik. Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring. (10) Penulis berikutnya adalah Popo Marince di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, tahun1999. Ia melakukan studi deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup pada masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang 48 Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup dengan pendekatan teori upacara dan fungsional. (11) Seterusnya, Bahtiar Tarigan, ketika menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1999, beliau melakukan kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam gaib). (12) Roy Jimny N. Sebayang, dalam menulis skripsi sarjananya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2004, melakukan analisis tentang kendang keyboard dan hubungannya dengan perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara adat erdemu bayu di Kota Medan. Skripsi ini juga berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu. (13) Roberta Sinurat, yang juga warga Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2004, melakukan studi deskriptif adu perkolong-kolong pada upacara gendang guro-guro aron di Jambur Namaken and Son Medan. 49 Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guro-guro aron. Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan pembaca. (14) Memasuki era dasawarsa 2010, Saidul Irfan Hutabarat, dalam rangka menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010, menulis skripsi yang berisi tentang peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo. Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan musik Karo. (15) Tri Syahputra Sitepu, di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2010, melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan alat musik kibod dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan hari ulang tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Di dalam skripsi ini Tri Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses penggabungan atau akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik modern dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen. Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses 50 akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman. (16) Selain itu, Agus Tarigan pada Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU, tahun 2011, melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi gendang keyboard dalam gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame. (17) Perikuten Tarigan, yang boleh dikatakan sebagai etnomusikolog dan pengkaji budaya Karo, dalam rangka menyelesaikan studinya, menulis tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, tahun 2004. Di dalam tesis ini, Perikuten Tarigan membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat perubahan ini dari sisi dalam dan luar budaya Karo yang mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat Karo. (18) Selanjutnya studi musik Karo di peringkat magister ini, dilakukan oleh Kumalo Tarigan, dan diselesaikan penulisannya tahun 2006. Dalam 51 tesisnya Kumalo Tarigan menganalisis mangmang (salah satu genre nyanyian ritual Karo), baik itu teks (seni kata) maupun melodinya. Di dalam tesis ini banyak diuraikan tentang praktik-praktik perdukunan di Tanah Karo yang menggunakan aspek-aspek musikal. Fungsi utama nyanyian ritual ini adalah seperti memanggil roh mendiang dukun. (19) Selain itu kajian yang juga dekat dengan focus kajian penulis adalah yang dilakukan oleh Yosherman Ginting, dalam skripsinya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang berjudul Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat Karo Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis, tahun 1995. Dalam skripsi sarjana etnomusikologi ini, Yosherman Ginting menganalisis kateneng-kateneng dalam konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), khususnya di Dusun Deleng Payong Langkat. Ia mentranskripsi dan menganalisis teks serta melodi kateneng-kateneng yang utamanya dilantunkan oleh Bapak Ralinta Sitepu. (20) Kajian yang paling dekat dengan fokus kajian penulis adalah penelitian dalam rangka penulisan skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting, tahun 2012. Judul skripsinya adalah: Analisis Struktur Musikal dan Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo di Kecamatan Pancurbatu. Dalam skripsi ini dianalisis melodi dan teks katonengh-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Katoneng- 52 katoneng tersebut disajikan oleh perkolong-kolong Ramlah Sitepu dan Jaya Ginting. (21) Tesis magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang bertemakan katoneng-katoneng adalah yang ditulis oleh Anton Sitepu pada tahun 2015 ini. Ia menulis tesis yang berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket Rumah pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Tesis ini mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upcara mengeket rumah dengan dua kajian utama yaitu semiotik liriknya dan struktur musik, khusus melodinya. Dua buah skripsi yaitu Yosherman Ginting (1995) dan Yunika Martgaretha Ginting (2012), serta satu tesis magister yaitu Anton Sitepu (2015) di atas, memiliki berbagai kesamaan kajian dan tentu saja perbedaan-perbedaan dengan yang penulis lakukan. Yang dilakukan Yosherman Ginting adalah pada tahun 1995, yang telah berjarak 20 tahun dengan masa studi yang penulis lakukan. Tentu saja banyak hal yang berubah dan berbeda dalam masa sekian lama itu. Selain itu, yang dilakukan Yosherman adalah pada masyarakat Karo Jahe di wilayah Kabupaten langkat, yang sedikit banyaknya berbeda dengan yang penulis lakukan ini, terfokus di wilayah Karo Gugung. Demikian pula perkolong-kolong (penyanyi) yang dijadikan fokus perhatian analisis juga berbeda. 53 Kemudian yang diteliti dan ditulis dalam bentuk skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting tahun 2012, adalah difokuskan kepada katonengkatoneng pada upacara cawir metua di Pancurbatu, dari sisi fungsi dan struktur musikal. Persamaan dengan yang penulis kerjakan adalah, wilayah penelitian sama-sama pada kawasan Karo Gugung. Selain itu, katoneng-katoneng yang disajikan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Namun yang berbeda dengan yang penulis kerjakan adalah tentu saja tingkat kedalaman kajian, yaitu apa yang ditulis Yunika Ginting baru tahapan skripsi untuk sarjana, sedangkan yang penulis lakukan adalah untuk peringkat magister, yang harus lebih dalam dan holistik. Selain itu perkolong-kolong yang dijadikan kajian adalah berbeda. Demikian juga tempat dan konteks diadakannya upacara cawir metua adalah beda tempat yaitu desa yang berbeda. Demikian pula kajian fungsi yang dilakukan Yunika Ginting lebih terfokus kepada penggunaan teori fungsi dari Merriam, sedangkan penulis lebih meluaskannya yaitu selain memakai teori fungsi Merriam, juga memakai teori Radcliffe-Brown dan Malinowski. Kemudian persamaan dan perbedaan kajian penulis dengan Anton Sitepu adalah sebagai berikut. Yang pertama, adalah perbedaan konteks. Anton Sitepu mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upacara mengekt rumah, sama seperti yang dilakukan Yosherman Ginting. Sementara itu yang penulis kerjakan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Seterusnya yang membedakan kajian Anton Sitepu dengan penulis adalah fokus kajian melodi pada perkolongkolong yang berbeda. Anton Sitepu tidak mengkaji secara mendalam fungsi 54 katoneng-katoneng ini di dalam kebudayaan Karo, dan fungsi music dalam masyarakat ini tidak menjadi pokok permasalahan penelitian belaiu. Sementara penulis sebagaimana arahan Merriam adalah menyeimbangkan kajian struktural dengan kontekstualnya. Itulah yang membedakan kajian kami. Selain dari skripsi dan tesis, maka kajian kepustakaan lainnya adalah dengan membaca dan menerapkan berbagai isi buku-buku mengenai kebudayaan, kajian teks, dan semiotik. Di antara buku-buku itu adalah seperti yang diuraiakn berikut ini. (22) Buku Teori Budaya karangan David Kaplan dan Robert A. Manners (2002). Buku ini pada pada bab ketiga (Tipe-tipe Teori Budaya) sub bab ketujuh memuat tentang ideologi. Kaplan menggunakan istilah ideologi dengan pengertian yang netral dan tak bersifat menilai baik-buruk. Dalam sub bab kesembilan Kaplan mengungkapkan, bahwa karena sifatnya yang subjektif itu ideologi tidak dapat kita ketahui melalui pangamatan langsung. Ideologi harus disimpulkan dari sesuatu bentuk perilaku, yakni dari apa kata orang atau dari pengamatan atas orang-orang yang berinteraksi dalam berbagai sistem sosial. Folklor Indonesia karangan James Danandjaja (1986). Buku ini memuat tentang folklor yang ada di Indonesia. Folklor Indonesia disajikan dalam bentuk hakikat folklor, penelitian folklor di Indonesia, bentuk-bentuk folklor Indonesia, folklor sebagai lisan, dan folklor bukan lisan. Penulis memfokuskan perhatian 55 pada folklor Indonesia yang berupa nyanyian rakyat yang tertulis dalam buku ini untuk referensi tesis ini. (23) Teori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya karangan Paul Ricoeur (2012). Buku ini menekankan pentingnya interpretasi untuk dapat memahami realitas dengan segala kompleksitasnya. Buku ini juga membantu kita untuk menjelajahi makna bahasa dengan seperangkat teori interpretasi yang terangkum dalam filsafat wacana. (24) Serba-Serbi Semiotika karangan Panuti Sudjiman dan Art van Zoest (1991). Buku ini berisi ulasan-ulasan tentang apa itu semiotika terutama yang digunakan di dalam disiplin ilmu linguistik dan sastra. Di dalamnya juga diberikan contoh analisis terhadap karya-karya satrawan Indonesia seperti Chairil Anwar. (25) Semiotic for Beginners karangan Paul Cobley dan Litza Jansz (2002). Buku ini berisi tentang identifikasi para ahli semiotika yang terkemuka dan karya-karya mereka. Semiotika dalam buku ini dipaparkan dengan konsepkonsep sederhana yang sebelumnya merupakan istilah-istilah yang pelik. Buku ini penulis jadikan sebagai pijakan untuk memepelajari betapa pentingnya tanda-tanda dan sistem penandaan bagi keberadaan manusia. (26) Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna karangan Yasraf Amir Piliang (2012). Buku ini lebih banyak menyoroti semiotika dan post-modernisme, dalam konteks aliran pemikiran, yang juga 56 dihubungkan dengan perkembangan teori-teori dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu budaya. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller (1986) seperti yang dicatatkan oleh Lexy J Moleong (1996) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada perhatian pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Selanjutnya menurut Taylor dan Bogdan (1984) bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diperhatikan dari orang-orang atau subjek itu sendiri. Jadi penelitian ini lebih menekankan kepada apa-apa yang ada di dalam persepsi dan pikiran para informannya. Selain itu, penelitian ini berusaha mendapatkan pandangan para pelaku seni terhadap konteks penelitian. Dalam memahami pemikiran itu, peneliti sepatutnya melakukan empati dalam kehidupan para pelaku seni sebagai subjek, serta menghayati kehidupan berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka. Marshall dan Rossman (1995) menegaskan bahwa peneliti dalam penelitian kualitatif berperan sebagai instrumen. Oleh karena itu, peneliti harus turut serta dalam kehidupan pelaku seni. Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti 57 mewujudkan interaksi sosial secara intensif dan kondusif, yang memungkinkan peneliti mendalami dan memahami pandangan pelaku seni. Sebagai orang yang berasal dari daerah Karo (yaitu insider), di mana asal topik penelitian yang akan diteliti, sedikit banyaknya peneliti mempunyai pengetahuan yang cukup baik mengenai adat-istiadat, etika, maupun bahasa Karo, sehingga hubungan rapport11 dapat berlaku dengan para narasumber seperti yang disarankan oleh James Danandjaya (1984). Prinsip kerja yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara garis besar adalah dengan kegiatan pembacaan literatur, wawancara, dan pengamatan terutama pada persoalan yang ingin diteliti. Membaca literatur adalah untuk menambah wawasan, memecahkan masalah, dan membantu mengkaji pokok masalah penelitian. Wawancara adalah untuk mengumpulkan data, kemudian menganalisisnya, dan mendalami analisis, terutama tertuju kepada struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok masalah dan kenyataan yang terjadi di lapangan, yang dapat dimasukkan ke dalam memori peneliti berupa memori auditif maupun visual. Selain itu, pengamatan ini menjadi bahagian yang integral dari kajian peneliti yang terlibat dalam ranah penelitiannya (partisipant observer). 11 Rapport yang dimaksud di sini adalah hubungan yang harmoni, berupa saling mempercayai antara peneliti yang melakukan penelitian dengan orang-orang desa, atau paling sedikitnya dengan para informannya. 58 1.7.1 Studi perpustakaan Penelitian perpustakaan diperlukan untuk memperoleh data-data dari sumber-sumber tertulis, untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil rekonstruksi berbagai wawancara dan pengamatan. Bahkan penelitian perpustakaan sudah dilakukan sebelum terjun ke lapangan, juga secara bersamasama, maupun sesudah kerja lapangan. Untuk keperluan penelitian perpustakaan, penulis melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan umum, perpustakaan kampus, toko-toko buku, untuk memperoleh tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan. 1.7.2 Wawancara Wawancara ini akan menjalin hubungan langsung dengan tokoh adat Karo,beberapa orang perkolong-kolong, pemusik tradisional Karo; serta melakukan wawancara mendalam dengan mereka, berdasarkan daftar persoalan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengalaman, pengetahuan, gagasan-gagasan mahupun ide-ide mereka yang berkaitan dengan penyajian katoneng-katoneng. Di samping itu, penelitijuga melakukan wawancara dengan pemerhati budaya dan kesenian Karo, untuk mengenal pasti pandangan mereka tentang aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian. Wawancara dengan para responden ini penulis rekam dengan menggunakan tape Microcassette – Corder M-455 Sony Corp. 59 1.7.3 Pengamatan Aktivitas lain yang juga dilakukan dalam penelitian lapangan ini adalah melakukan pengamatan terhadap penyajian katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua, untuk melihat langsung fenomena penyajiannya. Peneliti juga berusaha melakukan pengamatan terlibat (participant observation), dengan cara melibatkan diri dalam proses penyajian katoneng-katoneng, seperti contohnya: ikut memainkan instrumen musik tertentu yang peneliti kuasai; dan lain sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat merasakan suasana penyajiannya sebagai orang dalam (James Danandjaya 1984 : 121). Karena objek yang peneliti amati sangat kompleks, peneliti juga mengumpulkan beberapa rekaman video, foto-foto penyajian katoneng-katoneng melalui rekan-rekan peneliti, baik berupa koleksi pribadi maupun koleksi lembaga-lembaga penggiat seni lainnya, swasta maupun negeri, untuk membantu peneliti mengamati lebih mendalam aspek-aspek yang berkaitan dengan penyajian katoneng-katoneng. 1.7.4 Metode transkripsi dan analisis Dalam proses transkripsi penulis berpedoman pada pendapat Nettl (1991:23) yang mengatakan ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan musik, yaitu : (1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, (2) kita dapat menuliskan bunyi musik itu dalam tulisan sehingga dapat mendeskripsikan tulisan itu. 60 Dalam hal notasi penulis mengacu pada pendapat Seeger (1958:184-195) yang membedakan dua notasi ditinjau dari tujuannya, yaitu : notasi perskriptif dan notasi deskriptif. Notasi perskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan garis besar dari bunyi. Notasi ini merupakan pedoman bagaimana musik itu dapat di wujudkan oleh pemain musik. Notasi deskriptif adalah laporan yang disertai dengan lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu komposisi musik diwujudkan. Dalam mentranskripsi katoneng-ketoneng dalam upacara cawir metua ini, penulis menggunakan transkripsi manual. Artinya segala yang terdengar dituliskan di dalam bentuk notasi balok Barat. Dalam menuliskan notasi ini penulis menggunakan sebuah perangkat lunak yang umum digunakan pada masa sekarang di bidang etnomusikologi dan musikologi, yaitu sibelius. 1.8 Organisasi Tulisan Tulisan ini secara keseluruhannya terdiri atas tujuh bab. Ketujuh-tujuh bab ini ditulis menjadi satu kesatuan dalam menguraikan pokok masalah yang diajukan pada Bab I, yang terfokus ke dalam tiga aspek: (a) fungsi, (b) struktur melodi, dan (c) makna teks katoneng-katoneng yang digunakan dalam konteks upacara cawir metua. Ketujuh bab itu dapat diuraikan seperti berikut ini. Bab Satu merupakan Pendahuluan, yang kemudian dapat dirinci lagi dengan uraian tentang Latar Belakang, Pokok Masalah yang dikaji, Kerangka Teori, Konsep, dan Metode Penelitian. Bab ini berisi mengenai faktor-faktor 61 sosial dan kebudayaan apa yang menjadikan penulis tertarik meneliti dan menulis fenomena ini, serta bagaimana fenomena tersebut dikaji berdasarkan keilmuan etnomusikologi dalam konteks multidisiplin ilmu. Bab Dua, adalah deskripsi etnografis yang berfokus kepada masyarakat Karo dan kebudayaannya. Aspek yang dideskripsikan di antaranya adalah wilayah budaya, seni sastra, seni tari, seni musik, alat-alat musik, dan lain-lainnya. Pada dasarnya bab ini adalah mendeskripsikan secara umum masyarakat Karo dan kebudayaannya. Deskripsi ini berkaitan bagaimana kondisi etnografis masyarakat Karo dan kebudayaannya serta hubungannya dengan katoneng-katoneng yang difungsikan dalam upacara cawir metua. Bab Tiga, adalah deskripsi upacara cawir metua serta penggunaan gendang dan katoneng-katoneng pada budaya masyarakat Karo. Tulisan di dalam bab ini mengacu dari penelitian lapangan, dengan menerapkan deskripsi upacara yang ditawarkan oleh para ahli, termasuk di dalamnya: pelaku upacara, waktu upacara, benda-benda dan peralatan upacara, dan hal sejenis. Sedangkan Bab Lima, adalah bab yang berisi tentang kajian struktur melodi lagu katoneng-katoneng yang disajikan oleh informan kunci. Bagian ini memfokuskan kajian kepada unsur-unsur pembentuk melodi katoneng-katoneng, seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, pola-pola kadensa, interval, nada-nada yang digunakan, kontur, dan sejenisnya. 62 Bab Enam, berisi kajian yang memfokuskan perhatian kepada makna teks katoneng-katoneng. Makna yang dikaji ini baik berupa makna sesungguhnya atau makna denotatif. Makna-makna itu dikaji berdasarkan data verbal nyanyian katoneng-katoneng yang diperoleh dalam upacara cawir metua. Bab Tujuh adalah berupa bab penutup yang merupakan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang penulis tuliskan adalah kembali untuk menjawab tiga pokok masalah utama di dalam bab satu. Selain itu, beberapa saran penulis kemukakan dalam konteks penelitian ini. 63 BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA Suku Karo dikenal sebagai salah satu sub suku Batak1, yang secara historis memiliki wilayah asalnya di daerah pegunungan (Bukit Barisan) di wilayah Provinsi Sumatera Utara Sekarang, khususnya di wilayah Kabupaten Karo dan sekitarnya. Mereka menyebut daerah tersebut dengan sebutan Taneh Karo Simalem (Tanah Karo Yang Sejuk). Pada masa kini hanya sebahagian kecil orang Karo bertempat tinggal di wilayah asalnya Taneh Karo simalem. Berdasarkan data sensus yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Karo pada tahun 2010, orang Karo yang mendiami dataran tinggi hanya berkisar 350 ribu kepala keluarga (KK). Sedangkan sebagian besar orang Karo lainnya bertempat tinggal secara tersebar di wilayah 1 Yang termasuk ke dalam kelompok suku Batak ini adalah: Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Kelima sub suku ini memiliki persamaanpersamaan kultural dan sosial selain juga perbedaan-perbedaannya. Kelima-limanya memiliki konsep pembagian kelompok kerabat kepada tiga unsur yaitu: (1) kempompok keluarga besar satu marga atau klen yang ditarik berdasarkan keturunan dari pihak ayah (patrilineal), istilah untuk menyebutkannya adalah dongan sabutuha untuk Batak Toba, dengan sibeltek (PakpakDairi), sembuyak (Karo), dan kahanggi (Mandailing-Angkola); (2) kelompok pemberi isteri kepada kelompok kita. Golongan ini disebut dengan istilah hula-hula (Batak Toba), kula-kula (Pakpak-Dairi), kalimbubu (Karo), mora (Mandailing-Angkola), tondong (Simalungun). Kelompok ini paling dihormati dalam konteks adat mereka. Mereka dipandang sebagai dewa yang tampak di dunia ini. (3) Kelompok atau penerima isteri, yang diistilahkan anak boru (batak Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun), beru di Karo dan Pakpak-Dairi. Namun terdapat pula sejumlah perbedaan di antara masyarakat Batak ini, seperti penggunaan bahasa yang berbeda, garis keturunan yang sama dan berbeda sekaligus, artefak yang juga berbeda, dan lain-lainnya. Dengan demikian, sampai sekarang di kalangan antropolog atau ahli-ahli budaya dan ilmuwan sosial dan budaya secara umum masih belum sependapat mengenai hal ini, tetapi di antara mereka banyak pula yang mendukungnya. Demikian pula yang terjadi di dalam masyarakat. Jadi menurut penulis wacana mengenai identitas Batak dan subnya ini tidak akan pernah kunjung usai untuk diwacanakan. Namun yang penting konsep-konsep tersebut terdapat baik di kalangan masyarakat Batak sendiri maupun di kalangan para ilmuwan. 63 64 Provinsi Sumatera Utara, antara lain: Kota Medan, Kabupaten Langkat, kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak-Bharat, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan lain sebagainya. Sebagian orang Karo lainnya, juga tersebar di pelosok wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; mulai dari Sabang sampai Merauke. Beberapa orang Karo bertempat tinggal di luar negeri (di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat) karena bekerja, menuntut ilmu, atau karena kawin dengan warga negara asing. Saat ini, perkumpulan orang Karo yang paling terkenal di luar negeri adalah Perkoeah dan Permakan (sumber: www.tanah karosimalem.com). Mereka adalah orang-orang Karo yang sudah bertempat tinggal tetap di Eropa Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Belgia, dan lainnya). Namun demikian, di dalam persepsi masyarakat Karo, secara tradisional mereka membagi wilayah asal (asli)nya kepada dua wilayah budaya. Yang pertama adalah wilayah budaya yang disebut Karo Gugung. Istilah ini merujuk kepada pengertian wilayah hunian dan budaya etnik Karo yang berada di Pegunungan Bukit Barisan di Tanah Karo Simalem dan sekitarnya. Artinya orang-orang Karo dan wilayahnya yang berada di dataran tinggi Tanah Karo. Yang kedua adalah orang-orang Karo dan wilayah budayanya yang ada di Pesisir Sumatera Utara, seperti Langkat, Deli, Serdang, dan lainnya. Mereka ini disebut sebagai Karo Jahe (di wilayah pesisir timur Sumatera Utara). Karena wilayah pesisir ini, tidak hanya dihuni oleh etnik Karo, namun juga Melayu dan kini masuk juga yang lain-lainnya seperti Jawa, Sunda Minangkabau, Tamiang, 65 Aceh Raya, dan lain-lain, maka densitas akulturasinya lebih tinggi pada orangorang Karo Jahe ini. Peta 2.1 Kabupaten Karo Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/... 66 Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo Sumber: Pemerintah Kabupaten Karo, 2014 2.1 Geografis Meskipun ada perbedaan antara wilayah budaya dan wilayah administratfi pemerintahan, tetapi pada bahagian ini dideskripsikan tentang wilayah geografis. Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada ketinggian 400 sampai 1600 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah seluruhnya kira-kira 2.127,25 km persegi, atau 27,9 % dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan klimatologi atau iklimnya Kabupaten Karo mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar 16-17 derajat Celcius. Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2° 50' lintang utara sampai 3° 19' lintang utara dan 97° 55' bujur timur sampai 98° 38' bujur timur. Adapun pusat pemerintahan KabupatenKaro, sejak awal berdirinya sampai sekarang berkedudukan di Kota Kabanjahe. Ibukota Kabupaten Karo ini jaraknya lebih kurang 77 kilometer dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, 67 Kota Medan, yang memiliki hubungan sejarah dengan orang Karo. Selanjutnya, perjalanan dari Kota Medan menuju Kota Kabanjahe, dalam kondisi lalu lintas normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam dengan kenderaan umum; dan satu setengah jam dengan kenderaan pribadi. Selain itu, Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten dari sejumlah 33 kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah geografis, Kabupaten Karo berada pada posisi 2’50-3’19’ Lintang Utara, dan 97’35’-98’38’ Bujur Timur. Keseluruhan daerah Kabupaten Karo beriklim sejuk, berada di kisaran 14-26 derajat Celsius. Penggunaan lahan di Kabupaten Karo di dominasi oleh penggunaan lahan kering berupa perladangan dan perkebunan seluas 96.045 ha atau 41% dari luas wilayah. Selanjutnya diikuti oleh kawasan hutan seluas 77.142 ha. Tanah yang subur, udara yang sejuk, panorama yang indah, serta hutan lindung yang luas, sangat sesuai dengan usaha dibidang sektor pertanian (sumber: BPS Kabupaten Karo, 2012). Pada sektor pertanian masyarakat Karo mengolah tanaman pangan, hortikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Sektor pariwisata mencakup : jalan hutan, gunung berapi, air panas, pemandangan yang indah, danau, air terjun, rumah tradisional, kebudayaan dan sebagainya. Sektor industri diharapkan mampu mendukung sektor pertanian, industri yang mengolah hasil pertanian dan industri yang mendukung sektor pariwisata seperti : cendera mata. Pada saat dilakukan penelitian ini, Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan dan berpenduduk 350.960 jiwa. Rincian luas wilayah, jumlah 68 penduduk, dan kepadatan penduduk per kecamatan dapat dilihat pada rincian yang terdapat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo Kecamatan 01 02 03 04 05 06 07 08 09 (1) Mardingding Laubaleng Tigabinanga Juhar Munte Kutabuluh Payung Tiganderket Simpang Empat 10 Naman Teran 11 12 13 14 15 Merdeka Kabanjahe Berastagi Tigapanah Dolat Rayat 16 Merek 17 Barusjahe Jumlah/Total 2010 Luas Wilayah (Km2) (2) 267,11 252,60 160,38 218,56 125,64 195,70 47,24 86,76 93,48 Penduduk 17 062 17 713 19 900 13 244 19 686 10 586 10 837 13 178 19 015 Kepadatan Penduduk Tiap Km2 (4) 63,88 70,12 124,08 60,60 156,69 54,09 229,40 151,89 203,41 87,82 12 796 145,71 44,17 44,65 30,50 186,84 32,25 13 310 63 326 42 541 29 319 8 296 301,34 1418,28 1394,79 156,92 257,24 125,51 128,04 2 127,25 18 054 22 097 350 960 143,85 172,58 165,98 (3) (Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012). Kabupaten Karo sebagai wilayah asal yang menjadi fokus kajian katonengkatoneng ini, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara memiliki batas-batas sebagai berikut. (i) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten 69 Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, (ii) sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, (iii) sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, dan (iv) sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Walaupun berdasarkan administratif, etnik Karo bermukim di wilayah Kabupaten Karo, akan tetapi sejak awal mereka telah menempati beberapa wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara, terutama di kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo seperti: Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kota Medan dan ke sebelah barat Kabupatan Karo yaitu Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan perbedaan wilayah domisili, pada akhirnya memunculkan sebutan atau julukan bagi masyarakat Karo karena telah membaur dengan kebudayaan etnik lain di kawasan pemukimannya. Kemudian etnik Karo dikenal dengan berbagai julukan seperti, Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun. Selain wilayah pemukiman etnik Karo di luar Kabupaten Karo tersebut, masih terdapat wilayah yang dianggap penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo yaitu wilayah Kota Medan. Biasanya orang-orang karo yang tinggal di Medan tidak memiliki sebutan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas. 70 2.2 Sistem Kekerabatan Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan merupakan ciri khas dari setiap suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang ada. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat (kade-kade) memiliki pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan yang disebabkan oleh terjadinya sebuah pernikahan, sehingga terjadilah hubungan kekerabatan baik antara pihak wanita dan pihak pria yang menikah. Menurut Pritchard (1986:154) tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengerahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya dengan masyarakat Karo memiliki memiliki sistem kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun yang mencakup bentuk ikatan kekeluargaan, sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan berbagai hal yang terkait dengan sistem kekerabatan. Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di kawasan kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah membaur dengan etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem kekerabatan yang berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan. Paling tidak setiap individu mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari kelompok merga (istilah kelompok klen bagi masyarakat Karo). 71 Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-karo. (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin,. Kelima merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabangcabang merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan. Kelima-lima merga dalam peradaban masyarakat karo tersebut dibentuk oleh merga-merga kecilnya, yang sepenuhnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.2: Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima Induk Merga Sub Merga I. Ginting 1. Ajar Tambun 2. Babo 3. Beras 4. Capah 5. Garamata 6. Gurupatih 7. Jadibata 8. Jawak 9. Juhar 10. Manik 11. Munte 12. Pase 13. Seragih 14. Sinusinga 15. Sugihen 16. Suka 17. Tumangger II. Karo-Karo 1. Barus 2. Bukit 3. Gurusinga 4. Jung 5. Kaban 6. Kacaribu 7. Karosekali 8. Kemit 9. Ketaren 10. Purba 11. Samura 12. Sinubulan 13. Sinuhaji 14. Sinukaban 15. Sinuraya 72 16. Sinulingga 17. Sitepu 18. Surbakti III. Perangin-angin 1. Bangun 2. Benjerang 3. Kacinambun 4. Keliat 5. Laksa 6. Mano 7. Namohaji 8. Pencawan 9. Penggarun 10. Perbesi 11. Pinem 12. Sebayang 13. Singarimbun 14. Sinurat 15. Sukatendel 16. Tanjung 17. Ulujandi 18. Uwir IV. Sembiring 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. V. Tarigan 1. Bondong 2. Gana-gana 3. Gerneng 4. Gersang 5. Jompang 6. Pekan 7. Purba 8. Sibero 9. Silangit 10. Tambak 11. Tambun Brahmana Bunuhaji Busuk Colia Depari Gurukinayan Keling Keloko Kembaren Maha Meliala Muham Pandebayang Pandia Pelawi Sinukapar Sinulaki Sinupayung Tekang 73 12. Tegur 13. Tua Sumber: informasi yang diperoleh dari para narasumber (2014) Selanjutnya, hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan MandailingAngkola. Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah untuk menyatakan sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah (a) senina, (b) anak beru, dan (c) kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut sitelu. Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu (keluarga) telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara tersebut. Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda pada berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada 74 umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan. Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina, anak beru, atau kalimbubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya dalam konteks merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat dalam pemahaman rakut sitelu. Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere atau bebere. Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti garis-garis keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian etnik Karo tidak murni menganut sistem patrineal (garis keturunan ayah) melainkan parental (bilatreral) yang merupakan percampuran dari sistem 75 patrineal dan matrilineal yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu sekaligus (Bangun, 1989). Sistem kekerabatan masyarakat Karo juga mengenal istilah rakut sitelu atau daliken sitelu, yang mengandung pengertian adanya tiga unsur kelengkapan hidup dalam suatu keluarga luas. Adapun ketiga unsur dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Senina, adalah hubungan bersaudara antara orang-orang yang berasal dari satu merga (clan) yang sama tetapi tupang atau sub merga yang berbeda. Contohnya: Ginting Suka dengan Ginting Jawak. Tetapi di samping itu hubungan seseorang dengan orang lain dapat menjadi senina atau ersenina sekalipun clan atau merga berbeda, hal itu karena: isterinya adik beradik; suaminya adik beradik; ataupun ibunya adik beradik. 2. Anak beru, adalah kelompok/golongan penerima anak dara atau wife taker. Kelompok anakberu mempunyai kedudukan penting sebagai pembawa kerukunan dan kedamaian dalam keluarga kalimbubu. Dalam pelaksanaan upacara-upacara adat anak beru yang memegang peranan sangat penting, baik menyangkut menyiapkan keperluan-keperluan pelaksanaan upacara adat, melakukan musyawarah dan pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaan upacara adat, sampai kepada pertanggungjawaban pelaksanaan upacara adat. Dalam pelaksanaan upacara adat, salah seorang anak beru bertugas sebagai protokol; yang tugasnya lebih luas daripada tugas juru acara di dalam sesebuah acara yang bersifat formal. 3. Kalimbubu, adalah pihak pemberi anak dara; merupakan kelompok yang harus dihormati. Karena unsur kalimbubu dianggap sebagai sumber 76 kehidupan dan berkat. Masyarakat Karo menyebut kalimbubu sebagai dibata ni idah yang secara harafiah mengandungi pengertian tuhan yang nampak. Di dalam pelaksanaan adat, kalimbubu merupakan pihak yang selalu menjadi penggurun (yang dimintai pendapatnya, yang diikuti). Apabila pihak kalimbubu melihat ada sesuatu yang berlaku tidak sepatutnya, maka kalimbubu berhak ngembarisa (meluruskannya, memperbaikinya). Rakut si telu dalam ego adalah senina (saudara kandung atau saudara semerga), kalimbubu (saudara laki-laki dari ibu), anak beru (saudara perempuan dari ayah). Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina, kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara adat ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang melaksanakan kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat disebut sebagai ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu orang atau satu ego merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua kelompok. Sebagai contoh dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah ayah ibu dan saudara kandung ayah kedua penganten (laki-laki dan wanita), dan dalam upacara tersebut terdapat dua sukut yakni sukut sinereh (kelompok pengantin wanita) dan sukut si empo (kelompok pengantin laki-laki). Jadi, rakut si telu dalam upacara adat mengacu pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga unsur dalam rakut si telu bermuara pada dua hal yakni pada diri atau ego dan kelompok dalam satu upacara adat yang disebut sukut. Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru secara permanen dalam keluarga karena peran tersebut lahir dari 77 hubungan darah. Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis mempunyai peran sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru dari orang kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam masyarakat karo berfungsi sebagai melingkar (sirkular). Sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut si telu tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub kekerabatan yang di sebut dengan tutur si waluh (kedudukan yang delapan) yaitu: (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) senina siparibanen, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri. Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di belakang nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian berebere juga berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap perkenalan (ertutur) antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan menyebut merga/beru dan bere-bere. Dalam kehidupan masyarakat Karo ada beberapa prinsip atau dasar yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen ibas adat. Landasan ini menggambarkan karakteristik kehidupan masayarakat Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup aspek-aspek adat. 78 Bagan 2.1: Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima, dan Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo Sistem kekerabatan etnik Karo dan sistem interaksi sosial yang dibangun berdasarkan filsafat yang dianut suku Karo seperti diuraikan di atas, juga diterapkan nilai-nilainya di dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Upacara ini tetap berlandas pada system kekerabatan. Mereka juga berbahasa Karo dan menerapkan tutur siwaluh bagi sesama pengikut upacara dan pemusik. Dengan demikian, upacara ini berdasar pada sistem kekerabatan etnik Karo, yang terus mereka pertahankan sampai saat ini. 79 2.3 Sistem Kepercayaan Kepercayaan yang paling tua di Tanah Karo adalah dinamisme dan animisme (roh). Dalam kepercayaan ini dilakukan pemujaan atau penyembahan kepada roh-roh yang dianggap suci dan berkuasa; pada tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu (E.P. Ginting,1999). Dalam kepercayaan dinamisme dan animisme, hidup orang Karo dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis; ia memakai mitos-mitos untuk memahami hidup dan lingkungannya. Kepercayaan tradisional tersebut di atas disebut dengan perbegu. Karena istilah perbegu berkonotasi negatif, yang artinya orang yang berteman dengan begu (hantu), maka komunitas mereka menamai diri pemena, yang artinya kepercayaan paling awal; kepercayaan pemula. Masuknya pengaruh Hindu sejak zaman pra-historis memperkenalkan orang Karo kepercayaan kepada dibata. Kepercayaan tersebut percaya bahwa segala yang ada di dunia ini, yang tampak maupun yang tak tampak, diciptakan oleh dibata, yang biasa juga disebut dengan sebutan dibata kaci-kaci. Kaci-kaci adalah dewi wanita yang maha pengasih (H.G. Tarigan, 1998). Ianya menguasai seluruh wilayah kosmologi Karo. Menurut kosmologi Karo, wilayah dunia ini dibagi atas tiga wilayah, yaitu wilayah dunia atas, wilayah dunia tengah dan wilayah dunia bawah. Ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan dibata. Setiap bagian wilayah diperintah oleh seorang dibata sebagai wakil dibata kaci-kaci. Wilayah dunia atas diperintah oleh seorang dibata yang disebut dibata ni atas yang dikenal dengan sebutan batara guru. Dibata ni atas menguasai 80 alam semesta dan ruang angkasa. Wilayah dunia tengah atau bumi diperintah oleh dibata tengah yang digelari tuan padukah ni aji. Dibata tengah menguasai seluruh bumi yang didiami oleh manusia. Sedangkan wilayah dunia bawah atau bawah bumi diperintah oleh dibata ni teruh yang dikenal dengan sebutan tuan banua koling. Ketiga dibata yang merupakan satu kesatuan itu dalam bahasa Karo disebut dibata si telu (tuhan yang tiga). Di samping dibata si telu yang telah disebut di atas, masih terdapat dua unsur penguasa lain yang memberi kekuatan, yaitu: sindarmataniari dan si beru dayang. Sindarmataniari adalah penguasa yang bertempat tinggal di matahari; ianya mengikuti perjalanan matahari dari mulai terbit sehingga tenggelam. Sindarmataniari mempunyai kuasa memberi penerangan atau sinar yang sumbernya dari matahari; dan tugasnya adalah menjadi penghubung antara butara guru, tuan padukah ni aji dan tuan banua koling. Sindarmataniari bertugas menjaga agar keseimbangan kosmis tetap terjaga. Sedangkan si beru dayang adalah penguasa yang bertempat tinggal di bulan, yang tugasnya membuat agar dunia tengah tetap kuat serta tak dapat diterbangkan angin taufan. Si beru dayang juga dipercayai terlihat pada saat terjadinya pelangi. Menurut mitologi Karo, si beru dayang ini berasal daribegu (hantu, roh) seorang perempuan yang pernah berbuat cabul atau sumbang dengan ibu kandungnya sendiri. Agama Islam masuk ke Dataran Tinggi Karo melalui Nanggroe Aceh Darussalam dan pesisir pantai Sumatera. Sedangkan agama Nasrani diperkenalkan oleh misionaris Belanda yang bernama NZG (Nederlandch Zendeling Genooscapt) pada orang Karo sejak tahun 1894 atas dukungan oleh 81 J.T.H. Gremers, Direktur Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. Agama Nasrani masuk melalui desa Buluh Awar, kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. 2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional Seperti yang dituturkan oleh para orang tua,keadaan masyarakat Karo pada dahulu kala adalah tidak stabil. Keadaan ini disebut dengan ermusuh; yang mengandung arti berperang. Perang antara desa, antar urung, dan antar kelompok ini terjadi terus menerus dan berlangsung cukup lama. Keadaan ini membuat rakyat menderita karena hidup tanpa rasa aman. Dalam pada itu, banyak anggota masyarakat yang pergi merantau mencari ilmu-ilmu bela diri, dan kemudian kembali lagi ke desanya untuk membela desa maupun membela kelompoknya. Keadaan ini berlangsung sehingga kedatangan utusan Sultan Aceh yang dilengkapi dengan persenjataan ke Tanah Karo. Utusan Sultan Aceh selanjutnya kemudian menobatkan raja-raja atau sebayak di Karo. Raja-raja Karo yang dinobatkan ketika itu adalah sebayak Lingga; sebayak Suka; sebayak Sarinembah, sebayak Barus Jahe. Sedangkan sebayak Kutabuluh karena begitu terkenal dengan sendirinya diakui orang Karo sebagai sebayak. Tercatat dalam sejarah Karo bahwa pada akhirnya terdapat 5 (lima) kerajaan besar di dataran tinggi Karo. Ke lima kerajaan tersebut adalah: kerajaan Lingga yang berkedudukan di Lingga, kerajaan Barus Jaheberkedudukan di Barus Jahe, kerajaan Sarinembah di Sarinembah, kerajaan 82 Suka berkedudukan di Suka, dan kerajaan Kutabuluh berkedudukan di Kutabuluh. Kerajaan-kerajaan tadi dipimpin oleh seorang raja atau sebayak. Sebuah kerajaan terdiri dari beberapa urung (daerah) yang dipimpin oleh seorang Raja Urung, sedangkan sebuah urung terdiri dari beberapa kuta (desa/kampung) yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengulu kuta. Kerajaan Linggamempunyai 6 (enam) kerajaan urung, yaitu urungTelu Kuta berkedudukan di Lingga, urung Tigapancur di Tigapancur, urung Empat Teran di Naman, urung Lima Senina di Batu Karang, dan urung Tiganderket berkedudukan di Tiganderket. Kerajaan Barus Jahe mempunyai 2 (dua) kerajaan urung, yaitu urung Sipitu Kuta berkedudukan di Barusjahe, dan urung Sinaman Kuta berkedudukan di Sukanalu. Kerajaan Sarinembah mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaitu urung Sepuluhpitu Kuta berkedudukan di Sarinembah, urung Perbesi di Perbesi, urung Juhar di Juhar, dan urung Kuta Bangun berkedudukan di Kuta Bangun. Kerajaan Suka mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaituurung Suka di Suka, urung Sukapiring/Seberaya di Seberaya, urung Ajinembah di Ajinembah, dan urung Tongging berkedudukan di Tongging. Serta kerajaan Kuta Buluh mempunyai 2 (dua) kerajaan urung yaitu urung Namo Haji berkedudukan di Kutabuluh, dan urung Liang Melas di Samperaya. Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo, 4 (empat) kerajaan di Tanah Karo kecuali kerajaan Kutabuluh, tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Aceh. Demikian juga hal tersebut berlaku pada saat 83 kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo pada tahun 1890. Raja berempat tertakluk di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan sebayak Kutabuluh tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang akhirnya sebayak tersebut ditangkap dan dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) (Darwan & Darwin Prinst: 1985). Ketika pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1942, pemerintahan pribumi masih efektif, namun pengawalan administrasi dipegang oleh pemerintahan militer Jepang. Untuk wilayah Karolanden pemerintahan di kepalai pejabat militer dengan nama Gunseibu (Bunsyutyo) yang berkedudukan di Berastagi. Demikian juga setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, pemerintahan pribumi Karo masih tetap diakui oleh pemerintahan pusat. Namun setelah revolusi sosial Karo pada bulan Maret 1946, pemerintahan pribumi dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekalipun kekuasaan sebayak tidak lagi eksis, namun kedudukan keluarga sebayak tetap dihormati masyarakat Karo. 2.5 Kesenian Masyarakat Karo mempunyai beberapa genre kesenian yang diwariskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala. Jenis-jenis kesenian tersebut antara lain adalah: seni ukir/ornamen, seni drama, seni tari, dan seni musik. Jenis kesenian yang paling berkembang pada masyarakat Karo adalah seni musik; baik musik vocal maupun musik instrumental. Musik sangat diperlukan dalam berbagai 84 aktivitas orang Karo; baik acara yang bersifat hiburan, seperti: pesta guro-guro aron (pesta muda-mudi); acara yang bersifat ritual, seperti: erpangir ku lau (membersihkan diri), maupun acara yang bersifat adat, seperti: acara cawir metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), kerja erdemu bayu (pesta perkawinan), dan lain sebagainya. 2.5.1 Seni sastra Untuk menjadi perkolong-kolong yang profesional dan diberi kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat, sebagai seorang yang dipandang memiliki keahlian dan keterampilan dalam berkesenian, maka ia harus mempelajari seni sastra yang terdapat di dalam kebudayaan Karo. Perkolongkolong ini kemudian menyajikannya secara musikal dalam berbagai bentuk seni suara termasuk di dalam penyajian katoneng-katoneng. Berikut ini dideskripsikan seni sastra tradisi yang terdapat di dalam kebudayaan Karo. Pada umumnya, dalam berkomunikasi dengan sesamanya orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan seharihari, penggunaan bahasa Karo tidak memerlukan susunan yang teratur sekali, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan dapat difahami oleh yang mendengar. Namun untuk keperluan tertentu contohnya: ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bersenandung (bernyanyi), dan lain sebagainya; dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata tersebut adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Untuk memperindah dan membuat lebih menarik, pemakaian cakap lumat ini dapat dalam bentuk pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian 85 cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti perkawinan, memasuki rumah baru, maupun dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan). Seni sastra Karo dapat dibedakan atas beberapa kategori, di antaranya adalah seperti yang diuraikan berikut ini. 1. Tabas-Tabas (mantra), adalah jenis mantera yang diucapkan atau dilantunkan yang berisikan mantera untuk mengobati orang yang sakit. Tabas biasanya diucapkan oleh seorang guru sibaso (bomoh). Contoh: Mari me kam ku iap, kupanggil, kukunci Alu beras telge-telge, tinaruh manuk, Belo raja mulia, belo sinuntum, Belo berkis-berkisen, tagan kinukut, Kalakati penjabat, cincin pijer. (Terjemahan: Marilah kamu ku lambai, ku panggil, ku kunci, dengan beras yang baik, telur ayam, sirih raja mulia, sirih yang rata, sirih yang berikat-ikatan, empat kapur istimewa, penjepit yang kuat, cincin yang baik. (H.G. Tarigan: 1988)) 2. Kuning-kuningan, adalah sejenis teka-teki yang dipergunakan oleh anakanak, muda-mudi maupun orang tua di waktu-waktu luang sebagai permainan untuk mengasah otak. Contoh: Nguda-ngudana erbaju ratah, Tua-tuana erbaju gara, kai e? 86 [Terjemahan: Pada waktu muda berbaju hijau, pada waktu tua berbaju merah, Apakah itu?] (Sarjani Tarigan: 2008). Adi itaka jumpa kuling, itaka kuling jumpa tulan. Itaka tulan jumpa jukut, itaka jukut jumpa lau, kai e? [Terjemahan: Kalau dibelah jumpa kulit, dibelah kulit jumpa tulang, dibelah tulang jumpa daging, dibelah daging jumpa air, apakah itu? (Sarjani Tarigan, 2008). 3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. Contoh: Adi langge si Kuta Buluh, Pia-pia sanggar langge bakanta, Adi lalap kita la beluh, Sia-sia nggalar nande bapanta. [Terjemahan: Jika pohon keladi daripada Kutabuluh, rumput yang tinggi di dalam bakul kita. Jika kita tetap tidak pandai, sia-sia membayar ibu bapa kita] (H.G.Tarigan: 1988). Cike lambang bungana, Lada jera gula batuna, 87 Ise pe lalit gunana, Sada kena nomor satuna. (Terjemahan: Cike simbol bunganya, lada jera gula batunya. Siapapun tidak ada gunanya, hanya engkaulah nomor satunya.) (H.G. Tarigan: 1988). 4. Bilang-bilang adalah dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang mengalami duka nestapa. Contohnya karena teringat akan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih idaman hati yang telah meninggalkan dirinya, karena pergi merantau ke negeri orang. Contohnya sebagai berikut. Emaka hio kute ndube bilang-bilang kin pe, bilang-bilang anak Tarigan mergana, sinitubuhken nande beru Karo si melias lanai teralang, kuta Lingga Julu ... dan seterusnya. (Terjemahan: Sehingga hio kute dahulu bilang-bilang nya, bilang-bilang anak merga Tarigan, yang dilahirkan oleh ibu beru Karo yang sangat baik, di desa Lingga Julu ... dan seterusnya (Sarjani Tarigan, 1985) 5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari menjelang tidur. Beberapa contoh turi-turin 88 berkenaan, antara lain: Beru Patimar dan PawangTernaler, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, Beru Rengga Kuning dan lain sebagainya. Di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolongkolong, termasuk dalam konteks upacara kematian cawir metua, maka bahasa yang digunakan para perkolong-kolong biasanya adalah bahasa Karo yang dikategorikan secara adat sebagai cakap lumat (bahasa halus). Artinya di dalam bahasa yang dinyanyikan perkolong-kolong tersebut mempunyai diksi tertentu dan tata aturan mengikuti sastra lisan Karo, yang penuh dengan nilai-nilai dan makna kebudayaannya. 2.5.2 Seni ukir Meskipun tradisi seni ukir dan patung di Tanah Karo sudah sangat lama hidup, namun perkembangannya tidak seperti yang diharapkan; khususnya seni patungnya. Hanya beberapa orang Karo saat ini yang menekuni hidupnya dalam bidang berkenaan diatas. Di antaranya yang masih hidup boleh dicatatkan disini, adalah : Pauzi Ginting di Lingga, Joker Barus di Barusjahe, Kora Sembiring di Seberaya, Bangun Tarigan di Kabanjahe, A.G. Sitepu di Medan, dan lainnya. Mereka yang dicatatkan disini hanya seorang saja yang menekuni bidang seni patung; yaitu A.G. Sitepu, selebihnya menggeluti seni ukir. Seni ukir tradisional Karo memiliki berbagai bentuk, yaitu berupa ragam hias dan benda-benda kerajinan. Beberapa dari jenis-jenis ragam hias yang terdapat di Karo, antara lain : Tapak Raja Sulaiman, Pengeretret, Embun Sikawiten, Keret-keret Ketadu, Anjak-Anjak beru Ginting dan lain sebagainya 89 (A.G. Sitepu: 1980). Jenis ukiran berkenaan dapat ditemukan pada alat-alat upacara, perkakas rumah tangga, alat-alat musik, hiasan dinding, Ayorumah siwaluh jabu2(dinding muka rumah adat Karo) dan lain sebagainya. Berupa benda-benda kerajinan antara lain adalah piso tumbuk lada (pisau khas Karo), sertali(perhiasan yang terbuat dari perak), kalakati penjabat (alat untuk membelah pinang) dan lain sebagainya. Sedangkan seni patung pada orang Karo disebutgana-gana. Patung yang sangat terkenal di Tanah Karo adalah gana-gana saringitgit. Bentuk gana-gana saringgitgit sangat menyeramkan sehingga orang yang menciptakannya pun menjadi takut melihatnya. Namun, dari penelusuran yang penulis sudah lakukan, seni patung Karo saat ini sudah tidak ditemukan lagi; baik itu di museum-museum pemerintah dan swasta, maupun di toko-toko yang menjual cenderamata dan benda-benda antik Karo. 2.5.3 Seni musik 2.5.3.1 Pengertian musik Musik pada masyarakat Karo diartikan sebagai gendang.Musik yang berkembang di kalangan kaum muda disebut dengan gendang si medanak (musik anak muda).Musik yang saat ini popular di tengah-tengah masyarakat dikatakan dengan gendang si gundari (musik yang popular sekarang ini). Sedangkan musik tradisional Karo yang menggunakan sarune (serunai) sebagai 2 Rumah si waluh jabu mengandungi erti rumah yang di dalamnya terdapat lapan ruang. Rumah jenis ini masih boleh dijumpai di beberapa desa Karo, diantaranya: desa Lingga, desa Dokan, desa Peceren, dan lain sebagainya. 90 alat musik melodisnya disebut dengan gendang telu sendalanen lima sada perarih atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan gendang sarune. 2.5.3.2 Jenis-jenis musik Secara umum musik tradisional Karo berdasarkan sumber bunyinya dibagi atas dua bagian, yaitu musik vocal dan musik instrumental.Musik vocal adalah musik yang dihasilkan dari suara atau mulut manusia, sedangkan musik instrumental adalah musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik tertentu. 2.5.3.2.1 Musik vokal Ada berbagai jenis musik vocal yang berkembang pada masyarakat Karo hingga saat ini.Dalam penyajiannya, musik vokal tersebut ada yang diiringi dengan alat musik tertentu, namun ada pula yang dimainkan tanpa iringan musik. Musik vocal yang diiringi dengan alat musik tertentu diantaranya adalah: kateneng-kateneng yaitu nyanyian yang dibawakan oleh perkolong-kolong (penyanyi dan penari professional Karo) dalam sebuah acara adat; ende-enden yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan) dalam sebuah acara. Sedangkan musik vocal tanpa diiringi alat musik adalah: mangmang yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) pada pelaksanaan sebuah upacara ritual; nendong yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) dalam sebuah proses pengobatan seseorang yang 91 sedang sakit; didong doah yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang perempuan dalam sebuah adat perkawinan; dan lain sebagainya3. 2.5.3.2.2 Musik instrumental Musik instrumental Karo dihasilkan oleh alat musik solo (tunggal) maupun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel musik tertentu. Musik instrumental yang dimainkan dengan solo instrument, diantaranya: lebuh-lebuh; dilantunkan oleh surdam (alat musik tiup side blow); penganjak kuda si tajur; dimainkan oleh kulcapi (kecapi Karo), pingko-pingko; yang dimainkan dengan solo oleh alat musik belobat (alat musik tiup end blow), dan lain sebagainya.Musik instrumental yang dibawakan oleh ensambel tertentu biasanya tidak dinyanyikan tetapi hanya ditarikan, maupun hanya sekedar dilantunkan.Gendang perang 4 kali adalah musik yang hanya dilantunkan tanpa dinyanyikan maupun ditarikan.Gendang lima serangke (lima serangkai) adalah musik instrumental yang hanya ditarikan oleh penari khusus (biasanya oleh muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan), dan lain sebagainya. 2.5.3.3 Ensembel Musik Tradisional Karo 2.5.4.4.1 Gendang Lima Sendalanen Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih, yang sering juga disebut gendang sarune, merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khasanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan alat musik, limaberarti jumlah kuantitatif sebanyak lima buah, dan 3 Dalam beberapa kasus, nyanyian didong doah juga tak jarang disisipkan musik sebagai iringannya.Hal itu terjadi atas inisiatif pemusik saja. 92 sedalanen berarti sejalan. Dengan demikian gendang lima sedalanen mengandung pengertian lima buah alat musik, yaitu: sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Gambar 2.2: Penarune Sumber: Perikuten Tarigan (2008:53) Masing-masing alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan panarune untuk pemain sarune, penggual untuk sebutan pemain gendang singanaki dan gendang singindungi. Lebih spesifik lagi, pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki dan pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi.Orang yang memainkan penganak 93 disebut simalu penganak, dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung.Namun, pada saat sekarang ini, alat musik penganak dan gung sudah biasa dimainkan oleh hanya seorang pemain, dan sebutannya adalah simalu gung. Gambar 2.3: Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen Sumber: Perikuten Tarigan (2005: 56) Ketika mereka bermain musik dalam satu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu yaitu si erjabaten, yang artinya secara harfiah adalah orang yang memiliki jabatan.Sebutan penggual dan panarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang mereka masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan si erjabaten biasanya hanya muncul ketika mereka 94 bermain dalam satu konteks upacara adat Karo. Ensembel Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih atau biasa juga disebut Gendang Lima Sendalanen terdiri dari: (i) Sarune, merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone).Tabung alat musik ini berbentuk konis, mirip dengan alat musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: anak-anak sarune, tongkeh, ampang-ampang, batang sarune, dan gundal. Anak-anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun kelapa yang telah dikeringkan.Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian berikutnya.Tongkeh terbuat dari timah, bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung antara anak-anak sarune dengan batang sarune.Ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (trenggiling) diletakkan di tengah tongkeh.Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut.Batang sarune terbuat dari kayu selantam, yang harus dibentuk menjadi konis, dan bagian dalamnya juga dilobangi agar bentuknya menjadi konis juga. Pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang sebanyak delapan buah.Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune. Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya dihubungkan satu sama lainnya dengan tali kecil pengikat agar bagian-bagian 95 tersebut tidak tercecer atau terpisah maupun hilang karena ukurannya kecilkecil. Gambar 2.4: Sarune sumber: dokumentasi penulis, 2014 (ii) Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi, Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik pukul yang memiliki membran yang terbuat dari kulit napuh (sejenis kancil), pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis ganda (doble headed double conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan alat musik gendang (drum) yang terdapat di Sumatera Utara, kedua gendang Karo memiliki ukuranyang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah 96 gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi: bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Berbeda dengan gendang singindungi, pada gendang singanaki terdapat lagi sebuah gendang kecil, yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) posisinya biasanya diikat pada bahagian tengah gendang singanaki dengan menggunakan tali yang terbuat dari kulit lembu, sedangkan pada gendang singindungi tidak memiliki anak (gerantung). Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun.Kedua alat musik ini terbuat dari pohon nangka, yang lobang atau rongga bagian dalamnya dibentuk mengikuti konstruksi bagian luar alat musik tersebut.Kulit yang direntangkan di kedua sisi muka alat musik tersebut berasal dari kulit napuh, sejenis kancil, yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. 97 Gambar 2.5: Gendang Singindungi sumber: dokumentasi penulis (2014) Gambar 2.6: Gendang Singanaki sumber: dokumentasi penulis (2014) 98 Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu.Tali yang dililitkan di seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit gendang. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul sepanjang 14 cm. Kedua-dua palu gendang singanaki, dan satu palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang sama kecilnya, sementara itu satu lagi palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih besar dari yang lainnya. (iii) Penganak dan Gung, Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat yang demikian kontras.Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan penganak ini berbahan dasar kuningan.Palu-palu gung dan penganak terbuat dari kayu, namun palu-palu gungyang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat musik ini adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet. Adapun fungsi karet yang dililitkan pada kayu pemukul adalah untuk menghasilkan nada yang lebih lembut, sedang apabila tanpa karet pembungkus bunyi yang terdengar akan kasar dan nada yang dikeluarkannya lebih tinggi. 99 Gambar 2.7: Penganak dan Palu-palu (Sumber: www.karosiadi.com) 100 Gambar 2.8: Gung dan Palu-palu (Sumber: www.karosiadi.com) 101 2.5.3.3.2 Gendang Telu Sendalanen Gendang Kulcapi biasa juga disebut dengan Gendang telu sedalanen juga merupakan ensambel musik tradisionalyang terdapat dalam kebudayaan musik Karo. Gendang telu sedalanenmemiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan, dimainkan secarabersama-sama dalam sebuah ensambel.Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng,dan mangkok.Adakalanya kulcapi, sebagai pembawa melodi dalamgendang telu sedalanen dapat pula diganti dengan instrumen belobat,sehingga istilah gendang telu sedalanen tersebut sering disebutberdasarkan nama alat musik pembawa melodi, yaitu gendang kulcapiatau gendang belobat.Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai pembawamelodi, dan gendang belobat berarti belobat sebagai pembawa melodi. Instrumen pengiring dalam gendang telu sedalanen atau gendangkulcapi/gendang belobat adalah tetap, yaitu: keteng-keteng dan mangkok.Masing-masing dengansebutan: alat perkulcapi musik untuk dimainkan pemain oleh kulcapi, seorang parbalobat pemain untuk pemainbalobat, simalu keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan simalumangkok untuk pemain mangkok. Apabila musisi gendang telu sedalanenini bermain dalam suatu konteks upacara maka sebutan untuk mereka jugaadalah si pemainkulcapi yakniperkulcapi danmangkok erjabaten, dan dan namun balobat yang perbalobat, biasanya tidak dalam kehidupan biasanya sementara mempunyai tetap itu sehari-hari mendapat hanya sebutan pemain keteng-keteng sebutan tertentu.Pola 102 permainankeempat alat musik tersebut walaupun tidak sempurna atau lengkap,senantiasa akan muncul dalam permainan keteng-keteng. 2.5.3.3.3 Solo Instrumen Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara individual (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel).Alat musik solo (individual) tersebut adalah kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur. (1) Kulcapi, alat musik kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama dengan kulcapi yang telah diuraikan dalam kedua jenis ensambel musik tradisional di atas, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih dari satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo (tunggal). Perbedaannya adalah konteks penyajian.Kulcapi sebagai alat musik solo biasa digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak memiliki konteks tertentu. Sebagai alat musik pribadi, kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang ceriteracerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan, tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita lainnya.Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi.Jika didengarkan oleh sekelompok orang sebagai hiburan, kadangkadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti melodi yang sedang dibawakan oleh perkulcapi karena mereka tidak mengerti.Perkulcapi biasanya akan menjelaskan 103 cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang dimainkan perkulcapi. (2) Belobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang sama dengan belobat yang terdapat dalam gendang belobat. Perbedaannya adalah konteks penyajian.Balobat sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di padang rumput, ketika seseorang sedang menjaga padi di sawah atau di ladang. (3) Surdam alat musik tiup yang terbuat dari bambu.Alat musik surdam ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute).Secara konstruksi dan tehnik memainkan, surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada musik tradisional Minangkabau atau shakuhachi pada musik tradisional Jepang.Surdam dimainkan dengan teknik yang khusus.Alat musik surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi. (4) Embal-embal dan empi-empi, kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi sedang menguning.Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung.Embal-embal (aerophone, single reed) terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang penghasil nada.Sebagai alat musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik sendiri. Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning. Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang 104 padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobanglobang untuk menghasilkan nada yang berbeda.Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada.Untuk saat sekarang, embal-embal dan empi-empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo, khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan. (5) Murbab dan genggong, alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek menyerupai rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik Barat.Murbab terdiri dari dua senar, sedangkan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa.Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan.Alat musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo. Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan menggunakan mulut sebagai resonator.Selain sebagai resonator, mulut juga berfungsi untuk mengubah tinggi rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu, genggong dipergunakan oleh anakperana (perjaka) untuk memanggil singuda-nguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang anakperana memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia akan keluar dari rumah. 105 2.5.4 Seni tari Tari dalam bahasa Karo disebut landek. Kemampuan landek sangat diharapkan oleh setiap orang Karo. Karena dalam lingkaran hidup orang Karo dimulai sejak ianya sudah menjadi anak perana-singuda-nguda (pemudapemudi)sampai ianya nanti jadi tua-tua (orang tua), landek merupakan sebuah keharusan yang dilakukan dalam aktivitas adat dan budaya.Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut. 2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksudkan adalah pesta memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain sebagainya. Tarian adat bersifat komunal, dalam arti ianya melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam tarian adat adalah kelompok sangkep nggeluh (anak beru, senina, kalimbubu), teman meriah (kawan baik), perangkat desa (kepala desa dan stafnya), dan kelompok sukut (pemilik hajatan, tuan rumah). Kelompok-kelompok tersebut di atas secara bergiliran menari bersamasama dengan kelompok sukut. Contohnya: kelompok kalimbubudengan sukut; kelompok perangkat desa dengan sukut, dan seterusnya. Masing-masing kelompok menari dalam posisi petala-tala (berhadap-hadapan). Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tari pengalo-ngalo (penyambutan atau penghormatan) atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktifitas pembuka sebelum mereka 106 menyampaikan kata-kata adat (berisikan ucapan selamat, pesan dan nasihat) kepada kelompok sukut. Pola gerakan tari tamu adat pada umumnya sama dengan pola gerakan tari sukut. Tarian pengalo-ngalo mempunyai pola yang sederhana dan tetap. Pola itu terus diulang-ulang sepanjang acara sampai kelompok tersebut selesai menyampaikan kata-kata adat. Ketika seseorang hendak menyampaikan katakata adat, ianya tidak menari tetapi hanya berdiri sambil berbicara. Pola gerakan tarian laki-laki pada umumnya adalah merupakan pola ragam dasar tari Karo. Pola tari laki-lakitersebut terdiri dari: 1. Kedua tangan di muka sejajar bahu dengan telapak tangan mengarah ke langit. 2. Kedua tangan di muka sejajar bahu, telapak tangan mengarah ke muka kepada lawan menari; dan kemudian setiap penggantian pola selalu dilakukan. 3. Petik yaitu posisi tangan mengepal di muka dada. 4. Tangan kiri di atas bahu dengan posisi telapak tangan mengarah langit, sedangkan tangan kanan sejajar pinggul. Sedangkan pola gerakan tarian perempuan pada acara adat adalah sebagai berikut. 1. Kedua tangan di muka sejajar bahu dengan posisi telapak tangan mengarahkepada lawan menari. 2. Kedua tangan sejajar dengan pinggul sedangkan telapak tangan mengarah ke lantai bawah. 107 3. Setiap pergantian pola dilakukan petik yaitu tangan menyilang di muka perut/pusat. 4. Kedua tangan sejajar pinggul dengan telapak tangan mengarah ke langit. Gerakan tari laki-laki maupun perempuan selalu disesuaikan dengan buku gendang (tempo musik). Kelompok laki-laki pada umumnya dapat melakukan gerakan tangan sejauh jangkauan kedua belah tangannya. Sedangkan kelompok perempuan melakukan gerakan tangan hanya selebar tubuhnya. 2.545.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Karena ketika seorang guru sibaso (dukun) memimpin upacara, ianya memanggil jinhujungnya (junjungannya) untuk “masuk” ke dalam dirinya, sehingga menjadi trance (kemasukan). Dengan demikian, pada upacara ritual terjadi proses transformasi (perubahan) terhadap sosok seorang guru sibaso. Perubahan itu memunculkan dua wujud pribadi yang berbeda dalam dirinya; wujud pertama adalah pribadi dirinya sendiri, sedangkan wujud kedua adalah pribadi junjungannya. Ciri-ciri fisik yang dapat terlihat dari proses trance (kemasukan) adalah muka seorang guru sibaso akan menjadi pucat atau kemerahan ketika “orang lain” masuk ke dalam dirinya. Seorang guru sibaso pada umumnya adalah seorang perempuan yang sudah tua (kira-kira berumur 55- 65 tahun). Saat ini tidak ada seorang pun lakilaki menjadi guru sibaso. Peran laki-laki pada upacara ritual Karo adalah 108 sebagai guru permangmang; yaitu seorang guru yang melakukan pengobatan dengan cara ermangmang (menyanyikan mantera-mantera). Pada penampilan pertama, pola gerakan tari guru sibaso adalah pola landek sada tan (tari dengan satu tangan); yaitu: 1. Tangan kanan pada posisi di bawah pinggul, tangan kiri bertumpu pada pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kanan. 2. Tangan kanan sejajar perut/pusat, tangan kiri bertumpu pada pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kiri. 3. Tangan kanan sejajar pinggul, tangan kiri bertumpu pada pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kanan. 4. Tangan kanan sejajar dada, posisi tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kiri. 5. Tangan kanan sejajar bahu, tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh diagonal menghadap kanan. 6. Tangan kanan sejajar mata/kuping, tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh diagonal menghadap ke arah kiri. 7. Tangan kanan diatas kepala, posisi tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonalmenghadap ke arah kanan. 8. Pucuk; jari tangan kanan membentuk sayap burung merak bertumpu pada kening, posisi tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonal menghadap ke arah kiri. 9. Tangan kanan pada posisi di atas bahu dengan telapak tangan mengarah ke atas, tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonal menghadap ke arah kanan. 109 Posisi kedua belah tangan dipertahankan untuk beberapa waktu, sedangkan posisi tubuh bergerak kearah kiri dan kanan dalam hitungan genap (hitungan dua, empat, atau delapan ketukan). 2.5.4.3 Tari berkaitan dengan hiburan Tari Karo yang sifatnya hiburan dimainkan oleh dua atau lebih mudamudi dengan cara berpasang-pasangan. Pasangan seseorang dengan lainnya seharusnya dihindarkan erturang (mudi-mudi yang berasal merga/beru ataupun sub merga/beru yang sama). Karena keadaan demikian dianggap rebu (sumbang, pantang) oleh orang Karo. Hal itu berhubungan dengan adanya larangan perkawinan satu merga/beru pada orang Karo. Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, antara lain; ndikar (tari pencak silat); yang dibawakan laki-lakiatau perempuan dengan cara berpasang-pasangan, adu perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang penari dan penyanyi profesional Karo), gundalagundala (drama tari topeng Karo) yang dimainkan dengan lima orang pemain laki-laki, teater tradisional Karo perlanja sira (tari pemikul garam) yang lebih dikenal dengan tari mondong-mondong yang dimainkan oleh empat orang pemain laki-laki, dan lain sebagainya. Tari hiburan Karo lainnya adalah: tari pecat-pecat seberaya, tari lima serangke, tari piso surit, tari roti manis, tari terang bulan, dan lain sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umumnya sudah mempunyai komposisi yang baku; dengan kata lain bahwa koreografinya telah tersusun dengan tetap. 110 Sesuai dengan perkembangan zaman, di kalangan generasi muda Karo juga dikembangkan tari-tari kontemporer yang berjiwa dan semangat kekinian disertai dengan unsur-unsur tradisional. Tari-tari kontemporer yang dikembangkan dari kebudayaan tari tradisional Karo ini umumnya adalah untuk kepentingan eksplorasi estetika dari para seniman muda Karo, baik itu di Tanah karo sendiri atau juga di kota-kota besar terutama di ibukota Provinsi Sumatera Utara Medan ini. Tari kontemporer ini biasanya memiliki pendukung yang terbatas di kalangan pencinta tari kontemporer. Sebaliknya tari tradisi hidup dan berkembang di dlaam masyarakat tradisi yang juga mengalami perubahan-perubahan kebudayaan di sana-sini. Baik tari kontemporer maupun tradisi ini memiliki perannya sendiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat Karo. Dengan uraian-uraian berupa gambaran umum masyarakat Karo dan kebudayaannya tersebut di atas, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa masyarakat Karo membagi wilayah budayanya kepada dua kategori yaitu Karo Gugung dan Karo Jahe. Secara umum Karo Gugung berada di kawasan dataran tinggi, terutama di Pegunungan Bukit Barisan dan sekitarnya yang dihuni oleh masyarakat Karo selama berabad-abad, sementara Karo Jahe berada di wilayah pesisir timur Provinsi Sumatera Utara terutama di Langkat, Deli, Serdang, sampai ke Serdang Bedagai. Namun terjadi juga persebaran etnik Karo ke seluruh penjuru Nusantara ini bahkan sampai ke Eropa. Kebudayaan masyarakat Karo terdiri dari sistem religi, baik itu yang disebut Pemena, dan juga agama-agama besar yang datang ke wilayah ini, seperti Kristen Protestan, Katholik, dan Islam. Kesemua religi ini dianut oleh 111 masyarakat Karo sebagai bahagian dari kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa dan diharapkan dapat menentramkan dan mengatur kehidupan mereka baik di dunia maupun akhirat. Orang Karo juga memiliki ciri khas di dalam bahasa, yaitu dengan menggunakan bahasa Karo. Di samping itu, orang-orang Karo juga memiliki sistem kekerabatan yang khas yang terkodifikasi di dalam tiga konsep kekerabatan yaitu: rakut sitelu, merga silima, dan tutur siwaluh. Mereka juga memiliki sistem pemerintahan tradisional. Kemudian orang-orang Karo ini memiliki kesenian-kesenian yang mengekspresikan kebudayaanya secara umum. Di antara kesenian Karo itu adalah, seni sastra dengan berbagai genrenya, seni musik, dan seni tari. Dari uraian secara umum mengenai geografi dan kebudayaannya, orang-orang Karo di manapun berada terus-menerus mengekalkan berbagai kegiatan dan nilai-nilai tradisi mereka yang salah satunya adalah dilakukan di dalam upacara cawir metua. Di dalam upacara ini biasanya selalu disertakan lagu tradisional yang disebut dengan katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh penyanyi tradisional Karo yang disebut dengan perkolong-kolong. Dengan demikian, walau terjadi perubahan zaman, orang-orang Karo tetap memelihara tradisinya sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dari penguatan identitas kebudayaan mereka dalam situasi apa pun dan dalam masa mana pun. 112 BAB III DESKRIPSI UPACARA CAWIR METUA SERTA PENGGUNAAN GENDANG DAN KATONENG-KATONENG 3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo Dalam kebudayaan Karo, manusia dipandang menjadi satu kesatuan dengan alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam era animism dan dinamisme Tuhan ini disebut dengan Dibata, kemudian setelah masuknya agama Kristen (Protestan maupun Katholik) dikonsepkan dalam trinitas yaitu Allah Bapa, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus--dan Islam menyebutnya dengan Allah. Tuhan menciptakan manusia termasuk orang-orang (kalak) Karo dimulai dari alam kandungan ibu. Ketika masih berada di alam kandungan ini, orang Karo berharap kelak janin tersebut menjadi manusia Karo yang sempurna. Kemudian ketika telah berada di dalam kandungan selama lebih kurang Sembilan bulan, maka ia lahir di dunia ini. Pada saat kelahiran ini, dalam budaya Karo diadakan upacara menyambut kelahiran bayi. Kemudian tumbuh dan berkembanglah bayi tersebut, menjadi remaja, dan kemudian dewasa. Pada saat ini, orientasi berikutnya adalah mencari jodoh atau pasangan hidup, yang kemudian meneruskan generasi manusia Karo. Dalam konteks memilih jodoh ini, orang Karo dapat menggunakan institusi adat seperti pada acara menanam padi bersama, atau pesta panen (kerja tahun), kegiatan guro-guro aron, dan lain-lainnya. 112 113 Demikian seterusnya dia orang yang telah diberkati secara religi dan adat, membina rumah tangga./ Kemudian mereka juga akan meneruskan generasi keturunannya. Kemudian keduanya bergaul dan bersosialisasi di dalam masyarakat. Mereka yang dianggap berhasil di dalam masyarakat ini adalah apabila memiliki keturunan, kemudian disertai pula dengan tingkat perekonomian yang baik, begitu juga dengan berbagai jabatan social, dan aspek-aspek lain yang menjadikannya manusia yang dipandang sempurna di dalam kebudayaan Karo. Seterusnya, sebagai hukum alam dari Tuhan, yang memang tidak dapat dihindari manusia adalah kematian. Pada umumnya, di seluruh dunia ini, kematian merupakan peristiwa yang berdimensi kehilangan yang selalu diekspresikan dengan kesedihan, dan duka cita yang mendalam. Namun dalam beberapa kelompok masyarakat, misalnya dalam budaya Batak Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo, ada jenis kematian yang dirayakan dengan cara suka cita, yaitu seseorang yang meninggal dunia, telah memiliki anak, dan kesemua anaknya berhasil secara sosial di dunia ini. Upacara seperti ini disebut saur matua dalam masyarakat Batak Toba, sayur matua di Simalungun, dan cawir metua di dalam kebudayaan Karo. Sebelum membahas mengenai kematian cawir metua dan proses pelaksanaan upacaranya, serta penggunaan katoneng-katoneng yang dinyanyian oleh perkolong-kolong, alangkah baiknya jika daur hidup manusia ini, dipandang dari disiplin biologi. Dalam biologi, organisme (makhluk hidup) menjalani daur hidup (life cycle), suatu proses yang menandai perkembangan suatu organisme sejak memulai hidupnya di bumi sampai bereproduksi untuk mempertahankan keberadaan jenisnya. Proses tersebut merupakan suatu perputaran (daur atau siklus) 113 114 karena akan kembali pada titik awal mulanya. Dalam daur hidup terlihat perubahan bentuk luar (morfologi) yang menandai fase perkembangan suatu individu. Sebagai contohnya, daur hidup manusia dimulai dari zigot di dalam rahim ibu, lalu dilahirkan, kemudian mengalami perkembangan dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa. Tahap dewasa adalah tahap ketika individu siap secara biologis untuk bereproduksi. Namun demikian, daur hidup tidak selalu sederhana. Perubahan pada aspek morfologi yang sangat nyata dan genetik sering dijumpai pada kelompok organisme tertentu, yang sering kali diikuti dengan kebutuhan lingkungan hidup yang jauh berbeda. Daur hidup berbagai hewan parasit dapat menjadi contohnya. Metamorfosis pada serangga merupakan daur hidup yang menunjukkan perubahan bentuk luar dan lingkungan hidup. Pergiliran keturunan pada tumbuhan, alga, dan cendawan merupakan daur hidup yang disertai dengan perubahan morfologi, bilangan genom, dan (kadang-kadang) lingkungan hidupnya pula. Perkembangan pada manusia diawali melalui proses pembuahan. Proses pembuahan yaitu pertemuan antara sel telur yang berasal dari perempuan (ibu) dengan sel sperma yang berasal dari pria (ayah). Inti sel sperma akan bergabung/melebur dengan inti sel telur dan terbentuk sebuah sel baru yang disebut zigot. Zigot ini akan senantiasa membelah diri menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, dan seterusnya. Zigot yang telah membelah menjadi banyak sel tadi akan berkembang menjadi embrio, kemudian menjadi janin dalam rahim ibu. Lamanya waktu janin tumbuh dan berkambang di dalam rahim ibu, dari mulai proses pembuahan hingga kelahiran adalah kurang lebih 9 bulan. 114 115 Perkembangan janin selama di dalam rahim dibagi dalam tiga tahapan. Lamanya waktu pada setiap tahapan adalah tiga bulan. (1) trimester pertama, tiga bulan pertama embrio berkembang menjadi janin yang panjangnya kurang lebih 5,5 cm. Janin sudah berbentuk seperti manusia walaupun ukuran kepalanya sangat besar. Di akhir tiga bulan pertama ini janin juga sudah mulai dapat menggerakkan tangan dan kakinya. (2) Trimester kedua, pada tiga bulan kedua, janin sudah semakin berkembang dan panjangnya sudah mencapai kurang lebih 19 cm. Tangan dan kakinya telah berkembang bahkan jari-jari tangan dan kaki sudah mulai terbentuk, muka tumbuh memanjang. Pada tiga bulan kedua ini detak jantung janin juga sudah mulai bisa dideteksi. Gerakan janin juga mulai aktif. (3) Trimester ketiga, pada tiga bulan ketiga terjadi pertumbuhan ukuran janin sangat cepat. Ukuran tubuh sudah proporsional seperti bayi. Karena ukuran tubuhnya semakin besar, janin tidak terlalu leluasa bergerak di dalam rahim. Menjelang kelahiran bayi pada umumnya sudah mencapai panjang sekitar 50 cm. Berikutnya janin akan lahir ke dunia dan disebutlah dengan sebutan bayi. Janin menerima semua zat hara dan oksigen dari pasokan darah ibunya. Tetapi, darah janin itu tak pernah langsung bercampur dengan darah ibunya. Janin membuat darah sendiri dan berhubungan dengan darah ibunya melalui plasenta. Plasenta menghubungkan dinding rahim ibu dengan tali pusar bayi. Melalui plasenta inilah ibu dan janin mempertukarkan zat hara/makanan, gas-gas dan sisa buangan. 115 116 Masa setelah kelahiran: (1) masa balita dan anak-anak, pada saat dilahirkan, seorang bayi sesungguhnya telah memiliki organ dan sistem organ sebagaimana orang dewasa, namun organ-organ tersebut belum matang. Misalnya, bayi mempunyai kaki namun belum bisa berjalan dan mempunyai tangan namun belum dapat memegang dengan baik. Seiring dengan bertambahnya usia, organ-organ pada bayi juga akan berkembang. Pada usia 1 atau 2 tahun, bayi akan mulai belajar berjalan dan mengendalikan fungsi anggota tubuh lainnya seperti tangan, kepala, mulut.Organorgan tersebut akan semakin matang pada saat usia anak-anak. Pada saat usia masuk sekolah (sekitar usia 5 tahun), perkembangan organ anak biasanya sudah cukup matang, kecuali organ reproduksi. (2) Masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa saat organ-organ reproduksi mencapai kematangannya. Masa pubertas bisanya dimulai saat berusia 8 hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Perubahan fisik yang terjadi Perubahan fisik yang terjadi merupakan tanda kematangan organorgan reproduksi. Pada umumnya, organ reproduksi anak perempuan lebih cepat matang dibandingkan organ reproduksi anak laki-laki. Kemudian hidup manusia diteruskan ke dalam masa perkawinan, dengan berbagai proses fisik dan sosial dengan lingkungannya. Masa ini umumnya manusia dikatakan telah dewasa dan siap melakukan reproduksi keturunannya. Dalam masamasa ini manusia juga berada dalam usia produktif baik sebagai orang tua dan juga sebagai manusia dalam konteks ekonomis. 116 117 Setelah itu, manusia menjalani masa tuanya. Kemudian mengisi hariharinya sebagai manusia lanjut usia. Walau kematian bias saja terjadi di seluruh daur hidup manusia, namun biasanya secara manusiawi, mati kalau bias adalah pada masa tua ini, selepas masa produktif. Demikian juga yang terjadi pada orang Karo. 3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo Kematian adalah proses berpisahnya roh dengan jasad manusia. Karena pada saat hidup kedua unsure ini menyatu dalam kesatuan tubuh manusia. Proses berpisahnya antara roh dan jasad ini, biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu fisiologis maupun alam. Dalam kebudayaan masyarakat Karo, kematian yang dianggap paling ideal adalah kematian yang disebut dengan cawir metua. Namun demikian, tidak selalu pula kematian seseorang itu sampai ke dalam tahap cawir metua. Dalam konteks ini, masyarakat Karo membagi tingkatan kematian berdasarkan usia dan keadaan keturunannya, ke dalam tiga jenis, seperti uraian berikut ini. (i) Cawir metua, yaitu apabila yang meninggal telah berusi lanjut, kemudian telah memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat yang harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga. (ii) Tabah-tabah galuh, yaitu kematian seseorang yang usianya belum sampai ke dalam tahap usia lanjut, tetapi semua anak-anaknya sudah berumah tangga atau berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut dengan sai utang. 117 118 (iii) Mate nguda, apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih muda, boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga, namun belum kesemua anak-anaknya berumah tangga. Kategori yang kedua, di samping berdasarkan usia dan anak-anak yang ditinggalkannya, maka orang-orang Karo membagi kematian berdasarkan penyebab kematian itu pula. Dalam kategori ini, dijumpai Sembilan jenis kematian dalam persepsi masyarakat Karo, seperti yang diuraikan berikut ini. (1) Batara guru, yaitu janin meninggal dalam kandungan, karena faktorfaktor fisiologis, baik dari janin itu sendiri atau juga faktor ibundanya yang lemah di saat ia berada di dalam rahim. (2) Guru batara atau sabutara, yaitu seorang janin yang meninggal dunia dan belum dikenal jenis kelaminnya, janin ini meninggal dalam keadaan prematur. (3) Bitara guru, yaitu seorang bayi yang meninggal dunia selepas ia lahir, ia meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya di dunia ini. (4) Mate lenga ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal dunia sebelum tumbuh giginya. Anak ini meninggal bias saja sejak dalam kandungan atau meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya. Penguburan terhadapnya dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi oleh orang tuanya tanpa melibatkan sangkep nggeluh. (5) Mate nca ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal setelah tumbuh giginya. Biasanya upacara penguburannya melibatkan sangkep nggeluh. 118 119 (6) Mate anak perana atau singuda-nguda, di kawasan Karo Jahe disebut dengan mate ndahi nini, yaitu kematian seseorang anak manusia yang telah sampai ke dalam keadaan perjaka atau gadis. (7) Sirang sere, yaitu kematian seorang wanita pada saat ia melahirkan anaknya. (8) Kayat-kayaten, yaitu seseorang yang meninggal dunia, disebabkan oleh dirinya sakit-sakitan. (9) Mate sadawari yaitu sesorang yang meninggal akibat dari kecelakaan yang tidak diduga-duga. Dari jenis kematian-kematian di atas, dalam pelaksanaan adat-istiadatnya kadang-kadang memiliki berbagai perlengkapan khusus, namun dari sisi music dan tari (gendang) dalam upacara kematian ini hamper sama. Berbagai perlengkapan khusus ini, misalnya untuk kematian seseorang yang mencapai derajat perjaka atau gadis, pada alat kelamin laki-laki ditutup oleh seruas bambu—di sisi lain pada alat kelamin mayat wanita gadis ini dimasukkan tongkol jagung. Dalam persepsi tradisional masyaraat Karo, kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berbeda, maka roh yang meninggal dunia tersebut dipanggil dengan sebutan yang berbedabeda pula. Kategori kematian dalam masyarakat Karo ini dapat digambarkan pada Bagan 3.1. 3.3 Pengertian Cawir Metua Pada kebudayaan masyarakat Karo upacara kematian secara umum disbeut dengan kerja nurun atau kerja simate-mate. Kemudian selain itu, ada tiga jenis 119 120 kematian dalam konsep adat masyarakat Karo, yang biasanya didasarkan kepada status sosial selam ia masih hidup, yaitu: (a) cawir metuah, (b) tabah-tabah galuh, dan (c) mate nguda. Yang dimaksud dengan upacara cawir metua adalah jika yang meninggal dunia sudah lanjut usianya dan telah memiliki anak dan cucu dari semua anak-anaknya. Tidak ada kepastian tertentu usia berapa tahunkah seseorang yang meninggal itu dapat dikategorikan sebagai cawir metua. Berbeda dengan jenis kematian yang lain, kematian cawir metua ini banyak yang tidak ditangisi, karena pada dasarnya kaum kerabat tidak menunjukkan kesedihan, malah sebaliknya bersuka ria. Alasan di balik sikap seperti ini adalah bagi mereka telah puas memberikan kasih dan sayangnya selama yang telah meninggal dunia tersebut masih hidup. Kematian yang seperti ini dipandang mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun yang disertai dengan music dan tarian dan para kerabat serta yang hadir turut menari bersama. 120 121 Bagan 3.1 Daur Hidup dan jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo 121 122 Dengan keberadaanya yang seperti itu, cawir metua adalah upacara seseorang yang meninggal yang sudah lanjut usianya dan semua anak-anakanya baik lelaki atau perempuan sudah berumah tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat yang paling utama untuk seseroang yang meninggal cawir metua ada dua, yaitu semua anak dari yang meninggal dunia tersebut telah berkeluarga, dan kedua telah lanjut usianya. Karena jenis kematian yang penulis teliti adalah cawir metua, maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang cawir metua tersebut. Biasanya jenis kematian yang tergolong ke dalam kelompok cawir metuo adalah orang yang meninggal dalam kondisi lanjut usia dimana anak-anaknya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu laki-laki dan cucu perempuan. Pada waktu sakit, biasanya di sinilah kesempatan anak-anaknya untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada orang tua tersebut. Mereka menyuapi orangtua tersebut dan setelah makan, biasanya orang tua tersebut memberikan nasihat, ajaran dan berkat kepada anakanaknya tersebut. Kadangkala, dalam kesempatan ini orangtua tersebut menyerahkanharta dan kekayaan yang dimilikinya. Ketika ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua dari istri anak-anaknya yang laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan pakaian adat lengkap untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Pakaian ini sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum). Jenis kematian cqvvir metua ini ditangisi para kaum kerabat menunjukkan kesedihan sebagai sebuah perpisahan. Kematian seperti ini, 122 123 dianggap mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun disertai dengan gendang pengiring dan para kaum kerabat larut menari bersama dengan mengelilingi jenazah. 3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua Dalam konteks kebudayaan karo tujuan dilakukannya upacara adat-istiadat cawir metua adalah sebagai ikon kehormatan dari pihak kalimbubu yang meninggal kepada yang meninggal. Dalam acara ini diserahkan hutang adat. Ini merupakan sebuah kewajiban yang harus diberikan kepada pihak kalimbubu. Jenis penamaan uang adat ini berbeda untuk setiap jenis upacaranya. Dalam upacara cawir metua, utang adat yang merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada pihak sukut adalah maneh-maneh. Terdiri dari bulang-bulang (uis gatip, kain adat), sekin (parang), dan bantuan (beberapa uang yang jumlahnya ditentukan berdasarkan hasil musyawarah atau runggu, dan besarnya uang ini bisa bertambah sesuai dengan permintaan dari pihak kalimbubu. 3.5 Proses Upacara Cawir Metua Menurut Sarjani Tarigan dahulu kala dalam kehidupan masyarakat Karo, jikalau ada orang meninggal dunia, maka aktivitas kultuiral pertama yang dilakukan adalah memandikannya, membuat putar di kening dan pipinya (kuning), kaki pada ibu jari, dan ikat (kalaki). Sejalan dengan hal itu, maka semua sangkep nggeluh (kerabat) terutama sembuyak, kalimbubu, dan anak beru dipanggil untuk melakukan runggu (musyawarah) tentang hari penguburan, undangan untuk 123 124 sangkep nggeluh, patong kerja (baban simate), dan lain-lain. Seperti deskripsi inilah proses yang dilakukan apabila ada orang yang meninggal dunia sebelum masuknya pengaruh agama Kristen. Secara umum aktivitas yang berkaitan dengan upacara adat (adat-istiadat) cawir metua di dalam kebudayaan masyarakat Karo dilaksanakan selama tiga hari. Namun demikian ada juga di antara warga etnik Karo yang melaksanakan upacara cawir metua ini selama dua hari saja. Aktivitas upacara cawir metua tersebut mencakup kegiatan-kegiatan berupa: persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara adat ini. Dalam konteks penelitian ini, penulis meneliti upacara yang pelaksanaannya dilakukan sepanjang tiga hari dengan focus perhatian kepada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem (Nd Sesser) pada tanggal 12,13, 14 Februari 2012. Ibu ini adalah ibu kandung penulis sendiri, yang telah berjasa dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang Karo yang berguna bagi nusa dan bangsa. Banyak kenangan kehidupan ndan filsafat ibunda penulis ini yang menjadi sumber kehidupan filsafat hidup penulis, yang menjadi daya dorong dalam mengisi kehidupan ini, terutama untuk menjadikan diri penulis menjadi manusia yang bermanfaat kepada semua orang, dan juga patuh dan taat kepada perintah Tuhan. Upacara Cawir Metua di bawah ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada di wilayah Kabupaten Dairi, namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke dalam kebudayaan Karo Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142 124 125 kilometer dari Medan; atau berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Pada saat dilaksanakannya penelitian ini Desa Lau Tawar dihuni oleh 400 kepala keluarga, yang dapat dirinci 85 persen di antaranya adalah oleh suku Karo, serta sisanya terdiri dari suku Pakpak-Dairi, Toba, dan Jawa. Penduduk Lau Tawar ini sebagian besar hidup dengan bercocok tanam di ladang. Upacara cawir metua ini dilakukan dalam konteks upacara cawir metua saat meninggalnya ibu Cilenggemen br Pinem (Nande Sesser). Ibu Cilenggemen ini memiliki 5 (lima) orang anak yang semuanya sudah menikah. Kelima-limanya dpaat dirinci sebagai berikut’ (1) Anak pertama bernama Sesser br Ginting (sudah meninggal dunia; (2) anak kedua bernama Usaha Ginting (penulis sendiri); (3) anak ketiga bernama Kartini br Ginting; (4) anak keempat Cahaya br Ginting; serta (5) anak kelima bernama Japet Ginting (anak bungsu). Jadi dengan demikian secara realitasnya Ibu Cilenggemen br Pinem ini meninggal dalam keadaan cawir metua. Kematian cawir metua ini adalah sebagai sebuah rahmat dari Tuhan terhadap keluarga yang ditinggalkannya. Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem (Nd Sesser) dilaksanakan di Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang diundang dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di kalangan masyarakat umum lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolongkolong Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami yang sekaligus juga adalah penggual (pemain gendang tradisional Karo) yang bernama Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang 125 126 mengiringi upacara ini terdiri dari: Asli Sembiring (penarune), Mail Bangun (penggual), Ucan Ginting (penggual), dan Daniel Bangun (simalu gung dan penganak). Upacara dilaksanakan selama tiga hari. Setiap harinya dilakukan upacara yang berbeda namun menjadi satu rangkaian atau satau kesatuan yang disebut dengan upacara cawir metua. Dalam konteks budaya Karo, upacara ini dilakukan baik menurut adat dan juga agama yang dianut oleh yang meninggal tersebut, dalam hal ini adalah Kristen. Kedua-duanya dapat saja muncul di sana-sini pada bahagian demi bahagian upacara tersebut. (I) Hari Pertama, pada mayarakat Karo di Desa Lau Tawar, Tanah Pinem Dairi dan sekitamya, apabila warganya ada yang meninggal dunia, maka selanjutnya pihak keluarga atau kerabat yang meninggal dunia tadi, yang terdiri dari anak beru, senina, dan kalimbubunya biasanya dalam masa yang secepatcepatnya menyelenggarakanm runggu, yaitu musyawarah dengan pihak sukut (keluarga yang meninggal dan yang menjadi tuan rumah upacara yang dimaksud). Apabila ketiga pihak seperti yang tersebut di atas, yaitu: anak beru, senaina, dan kalimbubu belum lengkap, maka runggu biasanya belum bisa dilaksanakan. Dengan alas an untuk segera dilakukannya musyawarah ini, maka pihak anak beru secepat mungkin memberitahukan kembali tentang kemalangan (berupa kematian) ini kepada semua anggota ketiga pihak kerabat dalam institusi adat Karo ini. Selepas saja semua pihak berkumpul, maka kegiatan berupa runggu (musyawarah) dilaksanakan untuk membicarakan sebuah topic adat utama yaitu tentang 126 127 bagaimana persiapan-persiapan dalam menyelenggarakan upacara cawir metua kepada salah satu kerabat mereka yang meninggal dunia tersebut. Biasanya materi musyawarah yang lebih detil dibicarakan dalam institusi adat ini secara lisan. Di antara yang dimusyawarahkan mereka para kerabat yang meninggal ini adalah: (a) waktul atau hari penguburan, (b) kerabat dan warga masyarakat yang diundang, (c) detil upacara yang dilakukan, (d) peralatan upacara yang perlu dipersiapkan, (e) dan semua hal yang berkaitan dengan upacara cawir metua ini. Dalam studi ini, pada saat melakukan studi lapangan, pada hari pertama ini keluarga dari mendiang Ibu Cilenggemen br Pinem (yang meninggal) hanya melakukan runggu untuk membicarakan bagaimana, apa saja yang perlu dipersiapkan, siapa bertugas sebagai apa, serta siapa-siapa saja baik itu anggota kerabat maupun masyarakat yang perlu diundang dalam konteks upacara adat cawir metua ini. Ketika dilakukan musyawarah atau runggu tersebut, sebelumnya jasad Ibu Cilenggemen br Pinem sudah ditempatkan di dalam keranda di dalam rumahnya. Setiap kerabat atau masyarakat yang ingin melayatnya bisa melihat jenazah ini, dan biasanya mengirimkan doa kepada mendiang, agar ditempatkan di sisi Tuhan dengan tempat yang sebaik-baiknya, dan segala amalnya di dunia semasa hidup diterima Tuhan pula. Selanjutnya tiba hari kedua, dalam proses upacara cawir metua ini. (II) Hari kedua, aktivitas upacara pada hari kedua ini terutama dilakukan oleh anak beru yaitu berupa membagi undangan kepada keluarga dan teman untuk menghadiri upacara. Selain itu kegiatan yang dilakukan kerabat 127 adalah 128 mempersiapkan seluruh peralatan untuk upacara cawir metua yang dibutuhan selama berlangsungnya puncak acara adat keesokan harinya. Secara garis besar semua undangan yang dikelompokkan dalam kekerabatan terdiri dari: kalimbubu, senina, dan anak beru. Ketiga kelompok kerabat ini, dalam konteks kebudayaan Karo pada umumnya dan fungsional pula dalam upacara cawir metua, dapat dirinci lagi secara kategorial sebagai berikut ini. (a) Dari pihak kalimbubu, didukung oleh unsur-unsurnya, yaitu: (i) Kalimbubu bena-bena, (ii) Kalimbubu taneh, (iii) Kalimbubu simada dareh, (iv) Kalimbubu i perdemui, (v) Puang kalimbubu, (vi) Kalimbubu senina, (vii) Kalimbubu sepengalon, serta (viii) 30 Teman -teman satu kampung atau teman satu lokasi pekerjaan. (b) Dari pihak senina, didukung oleh unsure-unsurnya seperti direntang berikut: (i) Senina, (ii) Sembuyak, (iii) Senina sipemeren, (iv) Senina siparibanen, dan (v) Senina sipengalon. 128 129 (c) Dari pihak anak beru, didukung oleh unsur-unsurnya seperti direntang berikut ini. (i) Anak beru tua, (ii) Anak beru jabu, (iii) Anak beru langkip, dan (iv) Anak beru menteri. Kemudian alat-alat dan kelengkapan yang dipersiapkan adalah mulai dari pakaian adat (ose), utang adat, peralatan musik, peti jenajah, makanan, dan tempat penguburan. Jikalau pihak sukut tersebut adalah orang yang ekonominya termasuk “orang berada,” maka untuk melengkapi pertunjukan musik, diundanglah perkolong-kolong untuk bertugas secara budaya yaitu menyanyikan katonengkatoneng. Dalam penulisan ini peneliti memilih upacara yang menggunakan katoneng-katoneng, sesuai pokok masalah dalam tesis ini untuk mengkaji struktur music dan makna teks katoneng-krrtoneng yang terdapat dalam upacara cawir metua. Setelah semuanya selesai dipersiapkan, pada malam hari kedua dilakukan musyawarah (runggu) kembali setelah semua yang terlibat dalam pelaksanaan upacara ini makan malam. Pada musyawarah ini yang paling pokok adalah dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penetapan hutang adat dan acara perlandek (menari). Dalam upacara cawir metuaini, ada urutan-urutan yang melakukan landek (menari). Selanjutnya diadakan gendang adat yang dalam kaitannya gendang adat ini dipercayai atau dipandang sebagai gendang erjaga-jaga (gendang yang berfungsi 129 130 untuk membuat pendukung upacara tetap terbangun menjaga jenazah). Dalam gendang adat ini atau gendang erjaga-jaga ini ada urutan siapa saja yang melakukan landek. Dalam pengamatan penulis urutan itu adalah sebagai berikut: 1. Pihak keluarga (sukut) yang kemalangan, termasuk penulis ikut melakukan landek ini, sebagai anak kandung, 2. Pihak sembuyak (orang-orang sekitar daerah dan luar daerah yang tidak ada hubungan darah dengan kerabat yang meninggal), 3- Kepala desa, kepala rukun warga, dan rukun tetanggam juatetangga-tetangga serta teman-teman akrab, 4. Pihak kalimbubu, 5. Pihak puang kalimbubu, 6. Pihak anak beru yang terdiri dari empat marga, dan 7. Pihak anak beru menteri yang terdiri dari lima marga. Hari kedua ini, merupakan aktivitas yang berasal dari hasil musyawarah di hari pertama. Selanjutnya diadakan musyawarah kembali untuk membicarakan persiapan yang dilakukan dalam menyambut puncak upacara di hari ketiga. Untuk itu semua yang tergolong dalam sistem kekerabatan setelah musyawarah kedua ini, maka dilanjutkan dengan gendang erjaga-jaga, yang artinya menjaga yang meninggal sampai tiba hari ketiga. (III) Hari Ketiga, merupakan puncak acara upacara adat cawir metua yang dimaksud. Pada hari ketiga ini sebelumnya dimulainya acara adat cawir metua, terlebih dahulu dilakukan acara doa dari pihak gereja. Selesai acara berdoa secara Kristiani ini, maka upacara dilanjutkan dengan ngukati (makan pagi). 130 131 Setelah selesai acara makan, pihak sukut beserta keluarga yang termasuk ke dalam sistem kekerabatan mengadakan runggu kembali. Tema utama yang dibicarakan dalam musyawarah ini adalah mengenai pengangkatan jenazah dari rumah kediaman jenazahselamah ini beserta keluarga intinya, ke jambur yang sudah ditetapkan dan siapa saja bertugas mengangkat jenazah dan kemudian menempatkan posisi jenazah sesampainya di jambur. Gambar 3.1: Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng. Sumber: dokumentasi penulis 131 132 Berdasarkan dari hasil musyawarah tersebut, maka diputuskan secara adat pengangkatan jenazah ke jambur. Kalimbubu mangangkat bagian kepala. Disertai dengan pihak anak beru mengangkat bagian kaki dan badan jenazah. Bersamaan dengan pengangkatan jenazah Ibu Cilengemen br Pine mini, maka semua pihak yang hadir, dan memiliki keluangan waktu turut mengiringi prosesi pengantaran jenazah sampai ke jambur. Gambar 3.2: Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek Sumber: dokumentasi penulis 132 133 Selepas saja jenazah sampai di jambur dan diletakkan pada posisi yang telah ditentukan, maka dalam rangkaian upacara cawir metua ini, dilakukan acara adat, maka pemimpin upacara dari pihak anak beru memanggil para peserta upacara, melalui perangkat pengeras suara, yaitu mikrofon dan pengeras audio. Setelah pemimpin upacara meminta kepada para pemusik (si erjabaten) untuk memainkan gendang sarune sebagai indeks bahwa upacara adat akan segera dimulai sambil memanggil kembali para sangkep nggeluh (segenap kerabat) untuk datang ke jambur agar upacara adat puncak cawir metua tersebut dimulai. Adapun iringan gendangnya disebut gendang pengangkat dan gendang siarak-araki. Seiring dengan musik (gendang) terus berjalan, maka salah seorang anak beru singerana, memohon kepada si erjabatan (sebutan pemusik) agar gendang yang bertajuk Rose dan Tudungan dimainkan. Kemudian pihak kerabat menari (landek) dengan komposisi fungsionalnya adalah: (l) Pada saat Gendang Rose dipertunjukkan,maka pihak kerabat yang menari adalah semua pihak kerabat yang sedang mengalami kemalangan; (2) pada saat Gendang Tudungen dipertunjukkan, maka yang melakukan landek adalah anak perana atau singuda-nguda (muda-mudi). Kedua repertoar gendang tersebut dipertunjukkan dengan tujuan kultural agar semua pihak kerabat bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya masingmasing. Setelah selesai pertunjukan Gendang (musik dan tari) Rose dan Gendang Tudungen ditujukan kepada dilaksanakan, maka anak beru singerana kembali memberitahu kepada pihak sukut bahwa telah meninggal salah seorang dari kalimbubunya. Pemberihuan ini merupakan bagian dari pelaksanaan upacara adat cawir metua. 133 134 Pemberitahuan yang disampaikan anak beru singerana kemudian dilanjutkan oleh salah seorang pihak keluarga yang kemalangan yaitu senina (saudara perempuan) dari jenazah. Tema dan isi dari pemberitahuan ini adalah bahwa pada hari itu telah berkumpul semua pihak kerabat untuk menyelesaikan hutang adat. Selanjutnya diminta pula kepada semua pihak agar tidak ada yang menaruh rasa dendam ataupun marah kepada yang meninggal, supaya arwah yang meninggal diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah Bapa, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus). Pemberitahuan secara adat tersebut, dalam konteks kebudayaan Karo lazim disebut dengan kata pengalo-ngalo. Selepas itu, dengan selesainya kata pengalongalo, maka kata-kata ini diikuti dengan pertunjukan gendang pengalo-ngalo yang mengiringi perkolong-kolong, yang menyanyikan lagu katoneng-katoneng. Selepas rangkaian tersebut, maka kegiatan berikutnya dalam rangkaian upacara adat cawir metua ini adalah pertunjukan gendang adat. Repertoar ini juga melibatkan pertunjukan landek dari pihak kalimbubu, puang kalimbubu, sukut, senina, anak beru, serta anak beru menteri.. Gendang adat tersebut menandakan bahwa acara adat yang ditujukan kepada suhut (keluarga yang sedang mengalami kemalangan). Pada saat ini juga diadakan acara musyawarah khusus yang membicarakan masalah hutang-hutang adat kerabat kepada kalimbubu yang disebut dengan pedalen maneh-maneh. Setelah pemberian maneh-maneh kepada kalimbubu selesai, maka dipertunjukan pua Gendang Perang-perang. Gendang ini diikuti dengan kegiatan landek oleh pihak kalimbubu bersama denga puang kalimbubu. Bersamaan 134 135 dengan dengan kegiatan pertunjukan budaya ini, maka kalimbubu membawa kain kafan dari tempat mereka landek sambil menuju tempat peti jenazah. Kemudian kain kafan tersebut diselempangkan ke atas jasad jenazah. Sejalan dengan berlangsungnya pertunjukan Gendang Perang-perong, maka perkolong-kolong kembali lagi mengungkapkan teks-teks penghibur kepada pihak sukut dan kerabat dalam bentuk nyanyian yang disebut katoneng-katoneng. Selepas saja pihak kalimbubu selesai melakukan landek, maka acara berikutnya diberikan kepada pihak anak beru untuk landek bersama anak beru menteri. Dalam landek ini, anak beru dan anak beru menetri membawa kain kafan dari tempat dia landek, dan perlahan-lahan menuju tempat peti jenazah. Sesudah sampai di depan jasad jenazah, maka kain kafan itu diselempangkan ke atas jenazah. Dalam landek ini perkalong-kolong berperan kembali untuk mempersembahkan nyanyian yang penuh nilai-nilai filsafat dan budaya dalam bentuk lagu katoneng-kotoneng. 135 136 Gambar 3.3: Foto Kelompok Kalimbubu Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting Sumber: dokumentasi penulis Rangkaian acara ini diakhiri dengan pertunjukan Gendang Sirang-sirang oleh si erjabaten sebagai tanda perpisahan. Gendang ini juga mengiringi katonengkatoneng, dan gendang inilah yang disebut dengan “puncak acara adat” dalam upacara cawir metua. Kemudian selepas itu, pihak sukut beserta keluarga yang kemalangan mengoleskan air yang telah diramu dengan jeruk purut ke bagian permukaan kuku jari-jari kedua kaki jenazah. Setelah itu acara diserahkan kepada pihak gereja sampai ke penguburan yang dalam adat Karo disebut upacara pemakaman (nurun). Pada saat ini nyanyian yang digunakan bukan katonengkatoneng tetapi genre yang disebut nganggukken tangis. 136 137 Gambar 3.4: Kelompok Kalimbubu Perempuan sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting Sumber: dokumentasi penulis 137 138 Gambar 3.5: Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan kata Pengalo-ngalo (Penyambutan) kepada Sangkep Nggeluh (Kerabat Adat). umber: dokumentasi penulis Gambar 3.6: Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo kepada Sangkep Nggeluh Sumber: dokumentasi penulis 138 139 Dengan melihat uraian di atas, maka secara umum struktur urutan acara adat cawir metua dalam kebudayaan Karo pada umumnya, yang berlangsung adalah sebagai berikut ini. 1. Sukut berangkat dari rumah dan disambut oleh anak berunya di jambur, 2. Nangketken ose (memakaikan ose kepada sukut), 3. Landek kempu (seluruh cucu dari yang meninggal dunia menari berpasangan) 4. Landek adat sukut, 5. Landek adat sembuyak, 6. Landek adat siparibanen, sipemeren, 7. Memberikan kata pengapul atau kata teman meriah, 8. Acara nggalari utang adat, 9. Landek adat tegun sipemeren, siparibanen, puang nupuang, 10. Landek adat tegun kalimbubu, 11. Landek adat tegun senina, 12. landek adat kalimbubu, dan 13. Landek adat anak beru. Walaupun demikian adanya, dalam upacara cawir metua ini urutan yang bisa disatukan pelaksanaannya dilakukan oleh keluarga untuk mempersingkat waktu, yang dalam hal ini tentu saja, tidak mengurangi rasa hormat terhadap upacara adat. Urutan itu adalah setelah sampai ke jambur, maka acara selanjutnya dipandu oleh pemimpin upacara untuk meminta kepada si erjabaten memainkan Gendang Rose, kemudian memanggil sukut untuk melakukan landek. Setelah itu 139 140 lalu dilanjutkan landek oleh senina, setelah itu teman meriah yang dilanjutkan galari utang adat. Sesudahnya landek kembali tegun kalimbubu dan ditutup dengan kegiatan landek dari tegun anak beru untuk menutup rangkain upacara ini. Dalam pelaksanaannya setelah setiap kelompok ini selesai landek, maka berikutnya selalu dipertunjukkan nyanyian katoneng-katoneng. 140 141 BAB IV PENGGUNAAN DAN FUNGSI KATONENG-KATONENG Dalam Bab IV ini kajian difokuskan pada masalah fungsi katonengkatoneng dalam upacara cawir metua pada kebudayaan Karo. Adapun kajian terhadap guna dan fungsi ini adalah berdasarkan kepada teori fungsionalisme seperti yang telah diuraikan pada Bab I. Kemudian penulis dengan berdasar kepada teori fungsionalisme, mengkaji fungsi komunikasi, khususnya yang terdapat dalam nyanyian katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara. Pengertian fungsi ini adalah menurut Merriam (1964) harus dibedakan ke dalam dua terminologi yaitu penggunaan dan fungsi. Adapun penggunaan katoneng-katoneng dalam budaya masyarakat Karo di Sumatera Utara, biasanya digunakan dalam konteks adat-istiadat terutama upacara, mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), cawir metua (upacara kematian kerabat yang telah mencapai derajat kematian tertinggi yaitu memiliki usia lanjut, serta memeiliki keturunan baik satu, dua, tiga, atau empat generasi ke bawah, dan kesemua anaknya ini telah berumah tangga), pesta tahun, guro-guro aron, dan lainnya. 141 142 4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan konsep ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.1 Selaras dengan pendapat Malinowski, lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan etnik Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo pada umumnya. Nyanyian katoneng-katoneng ini timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, komunikasi, kontinuitas budaya, pembelajaran nilai-nilai, 1 Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap (Koentjaraningrat, 1987:67). 142 143 merileksasi ketegangan karena seorang kerabatnya meninggal dunia, mengekspresikan perasaan sedih dan sekaligus gembira, dan l;ain-lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikan Radcliffe-Brown berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181). Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, katoneng-katongeng dalam kebudayaan Karo, bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat karo. Seni pertunjukan budaya Karo ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk 143 144 mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat karo, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik Karo, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan lainnya. Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras dengan pendapat Soedarsono lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo, mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam disiplin etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi (etnomusikolog) pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini dua istilah ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh 144 145 Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210). Dari kutipan paragraph di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian situasi itu. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; 145 146 sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh peristiwa muskal tersebut. Dengan demikian, selaras dengan pendapat Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya, dan lebih bersifat konseptual dan abstrak. Berkaitan dengan guna dan fungsi katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo ini mencakup berbagai aktivitas sosial budaya. Simak kajian yang penulis lakukan seperti berikut ini. 4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo Berdasarkan pengamatan penulis sebagai orang dalam, penggunaan katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, umumnya berkait erat dengan upacara “keberhasilan” orang Karo dalam mengisi kehidupannya ini. Keberhasilan tersebut ditandai dengan panen yang berhasil, kemudian memperoleh rezeki (misalnya rumah yang baru) yang dikurniakan Tuhan kepada mereka, termasuk juga keberhasilan seorang mendiang selama hidupnya, yang secara adat diukur dengan memiliki anak, cucu, cicit dan seterusnya, semua anaknya telah menikah membentuk rumah tangga, sebagai pelanjut dirinya. Penggunaan katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara mencakup berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pertunjukan guro-guro aron dalam rangkaian kerja tahun, memeriahkan upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), memeriahkan upacara cawir metua (mati 146 147 dalam kedudukan yang sempurna menurut adat Karo), dan lain-lainnya. Dengan melihat penggunaan katoneng-katoneng yang seperti ini, jelaslah bahwa katoneng-katoneng memiliki nilai-nilai penghiburan dalam suasana keberkahan dan sukacitas. Dari guna yang seperti ini tentu saja nilai-nilai yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah nilai-nilai orientasi kepada tujuan hidup orang Karo untuk menjadi orang yang berhasil dalam dunia maupun akhirat, dan berorientasi kepada kemajuan peradaban. 4.2.1 Penggunaan pada Upacara Mengket Rumah Mbaru Dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara, jika seseorang diberi rejeki berupa rumah (tempat kediaman) baru, maka ia akan melakukan upacara bersyukur yang disebut mengket rumah mbaru (masuk ke rumah baru), ada juga yang menyebutnya mengket rumah saja. Peristiwa ini memiliki latar belakang kebudayaan yang panjang. Di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis, tentang pentingnya bersyukur kepada Tuhan Yang maha Kuasa atas segala rejeki yang telah diberikan kepada seseorang itu. Sel;ain itu, rasa syukur ini juga disertai dengan nilai-nilai kebersamaan sosial. Dengan melakukan upacara ini, maka pihak-pihak kerabat dan masyarakat yang terlibat dalam acara tersebut terus membina hubungan social yang baik, denganm cara berkomunikasi, bertukar pendapat, dan saling memberikan cerita-cerita pengalaman hidup mereka masing-masing. Dengan demikian terjalinlah hubungan social dan emosi dari semua yang terlibat di dalam upacara tersebut. Selain itu, nilai lainnya adalah membentuk setiap orang yang terlibat di dalam upacara ini untuk mencintai, 147 148 menghayati, dan mengamalkan budaya Karo sebagai bagian dari identitas kebudayaan mereka, yang penting bagi mengisi kehidupan di dunia ini. Selain itu, melalui upacar ini tersemai nilai-nilai integrasi sosial, baik itu untuk kalangan orang dalam sendiri dan juga masyarakat yang multikultural di Sumatera Utara atau Indonesia secara umumnya. Rumah adalah tempat setiap keluarga, baik itu keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya tinggal dan menjadi tempat untuk beraktivitas keluarga—maupun keluarga batih atau extended family, yang terdiri dari keluarga inti ditambah para kerabat dekatnya. Dimulai dari rumah inilah kepribadian setiap orang dibentuk, dan setiap orang mengembangkan karakternya masing-masing. Dalam konsep tradisional Karo, keluarga yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang baik dan unggul. Dengan demikian, jika sebuah keluarga memiliki rumah baru, maka ia tanpa disuruh oleh siapapun tergerak hatinya untuk melakukan upacara, sebagai ekspresi rasa syukur dan sekaligus juga sebagai cara membagi kebahagian dengan orang lain. Dalam upacara mengket rumah mbaru ini, benda-benda upacara terdiri dari: buluh-buluh simelias gelar, yaitu kumpulan dedaunan yang dipandang memiliki makna kultural khas membawa kebaikan. Di antaranya adalah: bulung jabi-jabi (daun pokok beringin), bulung besi-besi, bulung sangke sempilet, bulung arimas, bulung kalinjuhang, bulung ambattuah, bulung batang teguh, dan bulung simbara bayak. Kesemua daun ini ditempatkan di keempat sudut dapur rumah baru tadi bersamaan dengan pemasangan daliken (tungku) di dapur. 148 149 Pada kegiatan upacara mengket rumah mbaru ini, secara budaya selalu melibatkan katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong. Peristiwa cultural dan musikal ini juga diiringi oleh ensambel gendang lima sidalanen. Tidak lupa juga kegiatan tersebut melibatkan tari-tarian dari pihak kerabat sukut, baik itu kalimbubu, senina, maupun anak beru. Kegiatan ini sebagaimana halnya kegiatan upacara cawir metua, juga melibatkan aspek adat dan juga sistem religi. Begitu juga dengan segala persiapannya yang selalu ditandai dengan sistem musyawarah (runggu). Adapun upacara mengket rumah mbaru ini tahapan-tahapannya adalah: (a) liturgi gereja (bagi yang beragama Kristen), atau doa bagi yang beragama Islam. Kemudian (b) majekken daliken yang disertai dengan pemakaian ose. Seterusnya (c) aktivitas man cimpa dan makan dem (makan nasi dengan lauk yang lengkap). (d) acara prosesi atau arak-arakan, (e) acara perlandek (menari); dan (f) acara man (makan bersama). Secara umum upacara mengket rumah mbaru dilakukan di dalam rumah dan kemudian dilanjutkan di jambur (loosd). Lauk yang disediakan adalah berupa daging lembu, babi, dan juga ayam. Pihak rakut sitelu memakai ose yaitu pakaian adat Karo. Beberapa minggu sebelum dilakukannya upacara mengket rumah mbaru ini, maka pihak sukut (yang punya hajat) mengadakan musyawarah (runggu) keluarga dengan kerabat dekatnya (sangkep nggeluh). Adapun aspek yang dimusyawarahkan adalah tentang pelaksanaan upacara (kerja), persiapan 149 150 upacaranya, dan berkaitan pula dengan konsumsi yang disediakan untuk keperluan upacara tersebut. Dalam kegiatan upacara ini, adat istiadat yang pertama kali dilakukan adalah ndalanken luah kalimbubu. Pemakaian ensambel musik gendang lima sidalanen dalam upacara mengket rumah mbaru ini memang tidak mutlak, tetapi sangat lazim dilakukan. Bagaimanapun dalam hal ini katoneng-katoneng adalah indeks dari upacara mengket rumah mbaru ini di dalam konteks kebudayaan Karo. Selain itu secara kekerabatan dan untuk integrasi sosialnya, maka semua pihak dalam rakut sitelu mengadakan kegiatan menari (perlandek), yang urutannya ditentukan dalam adat ini. Selain itu, dalam upacara mengket rumah mbaru ini juga melibatkan pidato berupa nasihat dari unsur-unsur rakut sitelu tersebut. Dalam kebudayaan karo, saling memberikan nasihat ini memang menjadi kebiasaan di kalangan mereka. Saling menasihati ini akan memberikan arah yang baik bagi melakukan kontinuitas kebudayaan Karo. 4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua Nyanyian katoneng-katoneng yang disenandungkan oleh penyanyi tradisional; Karo yang disebut perkolong-kolong juga merupakan indeks dari upacara syukur lainnya, yaitu apa yang disebut dengan upacara cawir metua. Upacara ini adalah menjadi fokus perhatian penulis di dalam konteks penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini. Upacara cawir metua secara umum adalah upacara bersyukur atas meninggalnya kerabat dari dunia ini, yang mana ia telah berusia relative lanjut, 150 151 dan berhasil menjadi manusia “sempurna,” karena telah memiliki keturunan, dan semua keturunannya tersebut telah berumah tangga. Kematian seperti ini adalah kematian yang paling baik derajatnya dalam konsep kebudayaan Karo. Kematian adalah salah satu fase menuju dunia akhirat di dalam sistem religi orang-orang Karo. Ketika ia menuju kea lam lain tersebut, maka anak dan cucunya serta kerabat-kerabatnya yang masuk ke dalam lingkup rakut sitelu, secara otomatis melakukan upacara cawir metua ini, yang pelaksanaannya dilakukan menurut adat istiadat Karo, yang dikaitkan pula dengan sistem religi yang dianutnya. Upacara cawir metua ini biasanya dilakukan selama dua atau tiga hari, yang melibatkan aktivitas musikal, tarian, dan upacara. Unsur musikal didukung oleh penggunaan ensambel gendang yang disebut gendang lima sidalanen, yang terdiri dari alat-alat musik yang dimainkan oleh para musisi (si erjabaten), yaitu: sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Kelima gendang ini kemudian disertai dengan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong. Semua aktivitas ini melibatkan unsur rakut sitelu dalam konteks kekerabatan di dalam kebudayaan Karo. Tema utama katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua ini adalah tentang si jenazah ketika hidup. Juga berbagai kata-kata yang bersifat puitis yang menjadi filsafat hidup orang Karo pada umumnya. Demikian pula di dalamnya terkandung nilai-nilai kegotongroyongan, keeteguhan bersikap, tujuan hidup di dunia ini, nasehat-nasehat, dan lain-lainnya. 151 152 Seperti yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka secara umum struktur urutan acara adat cawir metua dalam kebudayaan Karo pada umumnya, yang berlangsung adalah sebagai berikut ini. 1. Sukut berangkat dari rumah dan disambut oleh anak berunya di jambur, 2. Nangketken ose (memakaikan ose kepada sukut), 3. Landek kempu (seluruh cucu dari yang meninggal dunia menari berpasangan), 4. Landek adat sukut, 5. Landek adat sembuyak, 6. Landek adat siparibanen, sipemeren, 7. Memberikan kata pengapul atau kata teman meriah, 8. Acara nggalari utang adat, 9. Landek adat tegun sipemeren, siparibanen, puang nupuang, 10. Landek adat tegun kalimbubu, 11. Landek adat tegun senina, 12. landek adat kalimbubu, dan 13. Landek adat anak beru. Kegiatan pada upacara cawir metua yang melibatkan nyanyian katonengkatoneng yang dilantunkan oleh perkolong-kolong ini, memiliki nilai-nilai dan kearifan local Karo, yang tetap sesuai dengan perkembangan zaman sampai sekarang ini. Di antara nilai dan kearifan local katoneng-katoneng dalam konteks upacar cawir metua adalah sebagai berikut: (a) nilai orientasi hidup orang Karo untuk mendidik keturunan agar menjadi orang-orang yang berguna bagi masyarakat luas; (b) nilai ketuhanan yaitu rasa bersyukur kepada Tuhan Yang maha Kuasa oleh kerabat yang ditinggalkan jenazah atas semua jasa-jasanya ketika masih hidup di dunia ini, semua itu dapat terjadi atas ijin Tuhan; (c) nilainilai kebersamaan, yaitu dengan penyelenggaraan upacara ini dengan melibatkan kegiatan musikal, tari, dan upacara secara adat, maka baik itu pihak rakut sitelu atau masyarakat sekitar dan undangan merasakan integrasi sosial. Dalam konteks 152 153 ini kebersamaan ini akan menjadi daya dorong kebersamaan dan mendukung kekuatan konsistensi internal kebudayaan Karo secara umum. 4.2.3 Penggunaan pada pesta tahun Masyarakat Karo merupakan masyarakat desa yang mayoritas kehidupannya mengandalkan kepada pertanian. Selain sebagai kehidupan perekonomian juga dikaitkan dengan kehidupan religius dan interaksi sosial. Tanaman padi merupakan salah satu tanaman penting dan membutuhkan penghormatan terhadap proses penanamannya. Panggilan tertentu seperti Beru Dayang menunjukkan betapa dihargainya padi dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Karo. Selain sebagai bahan pangan pokok, sumber kekuatan ekonomi dan juga dasar prestise sosial bagi masyarakat. Ukuran dan volume lumbung padi sering menjadi tolok ukur keberadaan seseorang. Dengan demikian, semua proses penanaman dihargai dan disyukuri disertai harapan untuk hasil yang baik. Hal ini sejalan dengan kepercayaan religi yang dimiliki masyarakat. Beberapa waktu lalu, tanaman padi merupakan tanaman dengan masa penanaman setahun sekali. Proses awal hingga akhir penanaman membutuhkan beberapa upacara agar memberikan hasil yang baik. Hal ini sejalan dengan paham magis animistis masyarakat Karo, yang menganut ajaran Pemena. Upacaraupacara tersebutlah yang umumnya mendasari terselenggaranya kerja tahun di dalam kebudayaan masyarakat Karo. Kerja tahun dapat diartikan sebagai pesta yang diselenggarakan masyarakat setahun sekali. Walaupun pada beberapa daerah tertentu ada yang 153 154 menyelenggarakan kerja tahun tersebut tidak didasarkan pada tanaman padi lagi, namun mayoritas masih didasarkan pada hal tersebut. Di sisi lain, Ginting (1999:175-178) menganggap kerja tahun sebagai perekat kekerabatan. Beliau merumuskan kerja tahun ke dalam empat nama, yaitu sebagai berikut. (1) Merdang merdem, kerja tahun ini dilakukan pada masyarakat sekitar Kecamatan Tiga Binanga dan Munte. Waktu pelaksanaannya dilakukan saat akan dimulainya proses penanaman padi. Diawali dari penyemaian benih sampai benih ditanamkan ke ladang (disebut merdang). (2) Nimpa bunga benih, kerja tahun ini juga sering pula disebut ngambur-ngamburi. Pelaksanaannya secara sosial terdapat di daerah Kabanjahe dan sekitarnya, Berastagi, dan Simpang Empat. Aktivitas ini dilakukan ketika menanam padi sudah berdaun (sekitar dua bulan). Masyarakat Karo menyebutnya dengan erlayuk, ersusun kulpah. (3) Mahpah, yaitu berasal dari kata pahpah, yaitu padi yang direbus, dijemur, dan ditumbuk, sehingga berbentuk gepeng. Pahpah inilah yang disiram air dan diberi madu atau gula dan kelapa, kemudian dimakan bersama-sama. Kerja tahun ini umumnya dila dilakukan di daerah Barus Jahe dan Tiga Panah. Pelaksanaannya ketika padi mulai menguning. (4) Ngrires, kerja tahun ini dilaksanakan di daerah Batu Karang. Dikatakan ngerires karena berasal dari kata rires yang artinya adalah lemang yang merupakan makanan khas pada acara kerja tahun ini. Pelaksanaannya sebagai ucapan syukur atas panenan padi yang baik. Semua acara di atas diikuti doa menurut kepercayaan Pemena serta tata cara dan perlengkapan tertentu yang berbeda-beda pada setiap acara. Selain kerja tahun di atas, pada daerah tertentu telah berkembang kerja tahun yang tidak didasarkan 154 155 pada proses penanaman padi. Daerah seperti di Juhar, Tanah Pinem, dan Tiga Lingga sudah mendasarkan kerja tahun pada ulang tahun kemerdekaan yaitu tanggal 17 Agustus. Paparan di atas menjelaskan bahwa pada masyarakat Karo terdapat perbedaan jadwal pelaksanaan kerja tahun. Namun semua didasarkan pada keyakinan dan harapan demi hasil pertanian yang lebih baik. Besarnya antusias masyarakat untuk menghormati tanaman padi ini sehingga mereka menyebutnya sebagai Siberu Dayang, dengan kondisinya masing-masing. Misalnya: (1) Beru Dayang Rugunugun, yaitu nama padi yang telah ditanam; (2) Beru Dayang Buninken, yaitu nama padi yang telah ditanam dan ditutup; (3) Beru Dayang Melembing yaitu nama padi setelah daunnya mirip lembing; (4) Beru Dayang Medukeduk nama padi yang daunnya telah rimbun melengkung ke bawah, (5) Beru Dayang Kumerket, yaitu nama padi yang telah bunting, (6) Beru Dayang Perinterinte, yaitu nama padi setelah butirnya menguning, dan (7) Beru Dayang Pegungun yaitu nama padi setelah dipanen dan dijemur (Sitepu dkk. (1996:148). Sejalan dengan konsep kerja tahun yang dihubungkan kepada tanaman padi. Terdapat beberapa proses sebagai tahapan penanamannya, yaitu sebagai berikut. (a) Rebu merdang yaitu puasa sebelum menyemai padi yang lamanya adalah 7 sampai 10 hari sebelumnya, namun tanah sudah dihaluskan. Rebu merdang dapat diartikan sebagai masa tidak melakukan aktivitas apapun atas lahan pertanian. Ada kepercayaan bahwa tanah juga harus diberi masa istirahat. Saat ini khusus untuk berkumpul dengan keluarga dan makan bersama. 155 156 (b) Merdang yaitu proses menyemai padi, mengambil benih, dan menanamkan ke lubang yang telah disediakan, lalu menutupnya. Para ibu secara bersama-sama akan menanam padi ke lubang dan ditutup. Namun pengambilan benih pertama harus pihak kalimbubu dan diikuti anak beru. Masa penanaman juga setelah terlihat bintang pemerdangken bercahaya di langit. Hal ini dapat dihitung dari jadwal pelaksanaan merdang merdem yaitu wari beras pati medem. Di tempat penyemaian benih ditanami tanaman tertentu. Benih juga disembur dengan sirih yang telah diberi kapur dan pinang (belo entabeh). Tanaman yang ditanami di sekitar penyemaian benih adalah sebagai berikut. (1) galuh sitabar (pisang kepok), (2) tabar-tabar, (3) kalin juhang, (4) besi-besi sampe sempilet, (5) bunga-bunga (kembang sepatu), (6) ambat tuah (pokok merbai), (7) siang-siang, (8) kapal-kapal (sejenis bunga berdaun tebal), dan (9) selantam. (c) Mere-mere page yaitu proses pemberian upah-upah terhadap padi agar tumbuh baik. Hal ini dilaksanakan ketika padi mulai bunting. Untuk acara ini ada beberapa tanaman yang harus disediakan, yang kesemuanya disebut sebagai rudang simelias gelar, yang terdiri dari: (i) simbera bayak, (ii) bertuk pola, (iii) jabi-jabi, dan (iv) padang teguh. Tanaman tersebut disatukan dan diikat ke batang padi yang telah dipilih. Disediakan juga makanan yaitu ikan yang dipanggang di bambu dan lemang. Sebagian makanan diletakkan di ladang (ercibal) sambil berdoa. Lalu di setiap sudut dipacakkan daun-daun yang telah disediakan sebelumnya. (d) Mutik (memetik padi). Hal ini juga memerlukan syarat dan peralatan tertentu yaitu sumpit nakan kitik (kantongan dari anyaman daun pandan) diisi 156 157 beras, gantang, dan telur ayam, sirih sirumbul (dibentuk seperti sumbat) dan sirih sinumsum beserta pinang yang telah dibelah. Kemudian diambil 11 batang padi dipegang dan ditarik sambil berdoa semoga hasil berlipat ganda. Sedangkan padi diambil bulirnya, dikupas, dan disatukan dengan beras di sumpit. Rumpun padi yang dipegang dipetik lalu disatukan dengan daun pimping dan sempelutut. Diikat dengan padang teguh, diletakkan di atas dinding dekat tiang. (e) Rani yaitu pemanenan padi. (f) Ngerik yaitu melepaskan bulir-bulir padi dari tangkai dengan menginjakinjak padi. (g) Ngangin yaitu memisahkan padi yang baik dari padi yang kosong atau kurang baik dari kotoran memanfaatkan bantuan angin. (h) Njemur yaitu proses pengeringan di bawah sinar matahari, didinginkan lalu disimpan ke dalam lumbung (ibid. 149). Di dalam pesta tahunan ini biasa dilakukan pertandingan antara penyanyi tradisional Karo, yaitu perkolong-kolong. Di dalamnya juga selalu digunakan nyanyian katoneng-katoneng, yang temanya adalah tentang rasa syukur telah diberi panen yang baik oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Nyanyian katonengkatoneng di dalam konteks pesta tahun ini, memiliki fungsi-fungsi seperti: hiburan, integrasi sosial, ekspresi jasmani, kesinambungan kebudayaan, komunikasi, penguat identitas kebudayaan, ritual agraris, dan berbagai fungsi lainnya yang bersifat abstrak. Ketiga kegiatan tersebut di atas, yang melibatkan nyanyian katonengkatoneng dan penyanyinya perkolong-kolong dalam kebudayaan Karo, bagaimanapun mencerminkan secara umum, bahwa katoneng-katoneng identik 157 158 secara fungsional sebagai ekspresi orang Karo bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberinya rezeki dan kehormatan di dalam mengisi kehidupan di dunia ini, dalam konteks menuju alam akhirat kelak. Selanjutnya dikaji pula fungsi katoneng-katoneng pada upacara cawir metua di dalam konteks kebudayaan Karo ini. 4.3 Fungsi Katoneng-katoneng Mengacu kepada teori Malinowski, Soedarsono, dan Alan P. Merriam, sebagaimana diuraikan pada halaman-halaman terdahulu, maka ditemukan beberapa fungsi katoneng-katoneng pada upacara cawir metua di dalam konteks kebudayaan Karo ini. 4.3.1 Fungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia Fungsi utama katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam konteks upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo adalah sebagai penghormatan kepada leluhur yang baru saja meninggalkan dunia ini. Di dalam kebudayaan Karo penghormatan kepada orang tua dan leluhurnya menjadi sebuah kewajiban sosial dan budaya. Orang tua adalah yang menurunkan generasi, termasuk pribadi kita. Melalui orang tualah Tuhan Yang Maha Kuasa mendidik dan mengarahkan kehidupan kita. Orang tua termasuk leluhur adalah orang yang begitu berjasa di dalam kehidupan yang kita jalani ini. Selanjutnya cita-cita kita adalah juga menjadi orang tua yang baik, untuk anak-anak kita. Orang tua menjadi contoh dari anak-anaknya dalam merespons 158 159 segala fenomena kebudayaan dan lingkungannya. Orang tua yang diidam-idamkan di dalam kebudayaan Karo adalah orang tua yang berusia relatif lanjut, serta anakanaknya berhasil pula dalam mengisi kehidupannya di dunia ini. Keberhasilan anak-anaknya ditandai dengan berkeluarga. Jadi aspek keberhasilan meneruskan generasi dan tentu saja mendidik anak-anak atau keturunan ini menjadi faktor penting di dalam kebudayaan karo. Selain aspek tersebut, aspek lainnya yang juga penting melekat dalam diri seseorang adalah keberhasilan membina penghidupan (ekonomis) di dunia ini yang muaranya juga adalah untuk mendidik dan menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang berguna dan berbakti bagi masyarakat Karo, serta nusa dan bangsanya. Bagi keluarga yang telah ditinggalkan, dan mengadakan upacara tersebut, yang lazim disebut dengan pihak sukut, menghormati leluhurnya yang meninggal dengan cara memanggil-manggil ruh yang meninggal sembari memberi hiburan kepada ruh tersebut. Menjelaskan bagaimana pihak rakut sitelu telah berkumpul mengadakan upacara pesta cawir metua. Unsur penghormatan dan penghiburan kepada ruh yang telah meninggal itu dapat dilihat dari kalimat demi kalimat yang disajikan melalui katoneng-katoneng berikut ini. Oh nande, nande beru Pinem. Nande… nen kami karina erlebuh dingen erdilo nande. Ija ibas warina wari sekalenda Nande Pinem, enggo pulung kel pagi karina sangkep nggeluh sini tenahken kenndu la erpudung ndai. Ija ibas kam enggo nehken perpadanen ras Dibata simada tinuang ndube nande. Ibas wari sisendah enggo pulung dingen landek karina si tergelar sukut, ginting mergana la ketadingen sembuyak rikut senina, senina sipemeren, siparibanen, rikut sipengalon, teman sendalanen. [Oh ibu, ibu beru Pinem. Ibu… lihat kami semua memanggilmanggilmu. Yang mana pada hari ini ibu beru Pinem, sudah berkumpul semua sanak saudara yang engkau undang tanpa janji itu, 159 160 di saat engkau telah menghadap Tuhan Maha Pencipta. Pada hari ini, telah berkumpul dan menari saudara semarga kita, marga Ginting, tak ketinggalan saudara satu nenek, saudara sepupu, sepengambilan, serta saudara satu kelompok lainnya.] Dari kalimat demi kalimat atau larik demi larik pada katoneng-katoneng di ats tergambar dengan jelas unsur menghormati orang tua yang telah meninggalkan mereka semua di dunia ini. Nilai-nilai perjuangan di dalam masa kehidupannya perlu untuk dilanjutkan oleh semua keturunannya. Dengan demikian fungsi utama dari katoneng-katoneng adalah untuk menghormati orang tua (leluhur) yang baru saja meninggalkan dunia fana ini menuju ke dalam alam berikutnya, yaitu alam akhirat. 4.3.2 Fungsi sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya Fungsi katoneng-katoneng lainnya adalah sebagai ekspresi atau pengungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat-Nya kepada sang jenazah selama hidupnya, yang sekaligus menadi berkah kepada keluarga yang ditinggalkannya. Berkat itu bagi jenazah adalah dengan diberinya usia lanjut oleh Tuhan, juga segala rezeki. Yang utama pula berkat itu adalah berupa pemberian Tuhan berupa anak kepada sang jenazah selama hidupnya. Kemudian anak-anaknya ini juga berumah tangga membentuk keluarga yang bahagia. Pelanjutan atau kesinambungan keturunan yang kemudian secara sosial dipandang berhasil, adalah tujuan yang dicita-citakan oleh semua orang Karo, yang dilandasi oleh konsep-konsep adatnya. Dengan adanya anak-anak yang 160 161 kemudian dididik secara beradab, dan kemudian berhasil di masyarakat, maka akan lestari pula kebudayaan Karo tersebut di muka bumi ini. Anak adalah berkat bagi orang tuanya dan sekaligus dapat menjadi penopang prestise sosial seseorang di dalam kebudayaan Karo. Namun sebuah keluarga tidak cukup hanya membesarkan anak-anaknya secara kuantitatif saja, yang lebih penting dari itu adalah mendidiknya agar menjadi generasi muda Karo yang berkualitas, berkarakter, dan mampu menjawab tantangan alam dan budaya. Demikian kirakira persepsi masyarakat Karo pada umumnya tentang berkat Tuhan berupa anak ini. Konsep-konsep mengenai rasa syukur atas berkat Tuhan kepada sang jenazah selama hidupnya ini diekspresikan di dalam katoneng-katoneng pula. Bagaimanapun jenazah yang telah meninggalkan mereka semua adalah menjadi berkat kepada semua keturunannya di dunia ini. Jenazah ini selama hidupnya sudah menjadi manusia yang sempurna yang memiliki kepekaan sosial kepada sesama, serta dikaruniai Tuhan anak-anak yang juga memiliki perilaku dan kemampuan sosial yang baik. Itulah yang menjadi keinginan setiap warga etnik Karo. 4.3.3 Fungsi sebagai pengabsahan upacara Sebagai sebuah bentuk seni, maka katoneng-katoneng yang digunakan dalam upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, tanpa disadari adalah juga mengabsahkan upacara tersebut. Walau bukan sebuah kewajiban secara adat untuk melaksanakan pertunjukan katoneng-katoneng dalam setiap kematian cawir 161 162 metua, namun sejauh pengalaman penulis, belum pernah penulis jumpai acara cawir metua yang tidak melibatkan pertunjukan katoneng-katoneng bersama dengan ensambel gendang lima sidalanen. Jadi dengan melihat realitas sosial yang sedemikian rupa ini, maka dapat dikatakan bahwa nyanyian katoneng-katoneng merupakan institusi seni dalam kebudayaan Karo yang fungsinya adalah untuk mengabsahkan upacara cawir metua, di samping juga upacara mengket rumah mbaru atau juga pesta tahun. Dengan kedudukannya sebagai pengabsah upacara ini, maka katoneng-katoneng memiliki peran strategis di dalam upacara ini. Tanpa adanya katoneng-katoneng memang upacara cawir metua tetap diakui secara adat, namun akan lebih baik lagi jika menggunakan katoneng-katoneng. Fungsi pengabsah upacara ini juga didukung oleh kenyataan bahwa katoneng-katoneng merupakan pertunjukan kebudayaan sebagai indeks dari upacara cawir metua, mengket rumah mbaru, dan pesta tahun. Tanpa adanya katoneng-katoneng, maka tidak dapat menerjemahkan upacara apa yang sedang berlangsung tersebut secara komunikatif. tanpa Seandainya masyarakat upacara Karo cawir secara metua umum diselenggarakan menyertakan katoneng-katoneng maka akan muncul berbagai pertanyaan di dalam pikiran setiap masyarakat Karo tentang kegiatan tersebut. Jadi walaupun tidak wajib, namun fungsi katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua ini dapat dikatakan sebagai pengabsah upacara. 162 163 4.3.4 Pengungkapan Emosi Fungsi katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara adalah sebagai sarana ekspresi emosi. Bagaimana keadaan ekspresi emosi dalam bidang musik, Merriam menjelaskan sebagai berikut. An important function of music, then, is the opportunity it gives for variety of emotional expression—the release of otherwise unexpressible thoughts and ideas, the correlation of a idea variety of emotional music, of the opportunity to “let off steam” and perhaps to resolve social conflict, the explosion of creativity itself, and the group of expression of hostilities. It is quite possible that a much widear variety of emotional expressions could be cited, but the examples given here indicate clearly the importance of this function of music (Merriam, 1964:222-223) Menurut Merriam, salah satu fungsi musik yang penting, adalah ketika musik itu menyediakan atau memberikan berbagai variasi ekspresi emosi—hal yang tidak bisa diekspresikan dalam pikiran dan ide, hubungan dari berbagai variasi emosi dalam musik, kesempatan untuk “mengeluarkan amarah” dan kemungkinan-kemungkinan untuk meredakan atau meniadakan konflik sosial, meledakkan kreativitas itu sendiri, serta meledakkan sekumpulan ekspresi permusuhan. Sangat dimungkinkan, bahwa berbagai variasi ekspresi emosi yang luas dapat dikaji, tetapi contoh-contoh itu mengindikasikan secara jelas pentingnya fungsi emosi ini dalam musik. Fungsi ekspresi emosi katoneng-katoneng ini diungkapkan baik melalui media teks yang sifatnya verbal, maupun melodi dan ritme yang sifatnya musikal. Dlam konteks upacara cawir metua, dua ekspresi yaitu sedih karena diotinggalkan sang jenazah dan ekspresi gembira karena sang jenazah telah mati dalam keadaan 163 164 mati yang sempurna (cawir metua). Ekspresi ini dapat dilihat melalui lirik-lirik katoneng-katoneng berikut ini. Ibas perjumpan ngambur-ngamburken iluh e kalimbubu kami. Ija ibas ertenah nande beru pinem beru tambarmalem e. Ertenah pagi ia la erpudun man bandu. Ija ibas ia nehken perpadanen ras Dibata. Maka ersada kal bage karina ukur kami, ersada arih kami. Menurut biasanya, ngikutken peradaten si enggo-enggona. Maka ibas wari sekalenda, icawir me peradatan ujung nggeluh nande beru pinem e, kalimbubu kami. [Pada pertemuan yang sedih ini kalimbubu kami. Yang mana sudah mengundang nande beru Pinem beru Perangin-angin ini. Mengundang tanpa janji kepadamu. Dimana saat ia sudah menghadap Tuhan. Maka bersatulah semua hati kami, bersatu musyawarah kami. Menurut biasanya, sesuai adat sebelumnya. Maka pada hari ini, adat cawir metua dibuat kepada ibu beru Pinem, kalimbubu kami.] Kalimat demi kalimat di atas yang disenandungkan dalam bentuk katoneng-katoneng adalah mengekspresikan emosi pihak anak beru yaitu berupa perasaan sedih karena meninggalnya sang jenazah. Namun di sisi lain, pihak anak beru bekerja sekuat tenaga agar upacara berlangsung dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu kematian tersebut berdampak memberi semangat untuk keberhasilan upacara. Begitu juga ekspresi gembira karena sang jenazah telah mencapai derajat kematian cawir metua. 4.3.5 Fungsi kesinambungan kebudayaan Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur kebudayaan memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan, komunikasi, dan seterusnya. Musik adalah perwujudan kegiatan untuk 164 165 mengekspresikan nilai-nilai. Dengan demikian fungsi musik ini menjadi bahagian dari berbagai ragam pengetahuan manusia lainnya, seperti sejarah, mite, dan legenda. Berfungsi menyumbang kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh melalui pendidikan, pengawasan terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan akhirnya menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225). Lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara berfungsi pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo. Di dalam lagu katoneng-katoneng terkandung unsur-unsur sejarah keturunan dan kerabat, yang pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk kelestarian kebudayaan. Melalui nyanyian katoneng-katoneng bisa dipelajari perilaku-perilaku yang dipandang benar oleh masyarakat pendukungnya. Di dalam lagu katoneng-katoneng terkandung nilai-nilai moral. Usaha untuk mewujudkan kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo tercermin di dalam nyanyian katoneng-katoneng ini 4.3.6 Fungsi Integrasi Sosial Fungsi katoneng-katoneng dalam upcara cawir metua pada budaya Karo lainnya adalah untuk integrasi masyarakat Karo. Berkenaan dengan fungsi seni sebagai sumbangan untuk integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti yang diuraikannya berikut ini. Music, then, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordination of the group. Not all music is thus 165 166 performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (Merriam, 1964:227). Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk berkumpul para anggota masyarakatnya. Musik seperti ini biasanya mengajak para warga masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu, mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kumpulan. Walaupun demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai kontribusi untuk integrasi, tetapi setiap kumpulan masyarakat mempunyai musik seperti yang digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya diajak untuk beraktivitas bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka sebagai satu kesatuan kelompok. Konsep yang dikemukakan Merriam tersebut sangat tepat dalam menggambarkan salah satu fungsi yang terjadi dalam lagu katoneng-katoneng dalam upcara cawir metua. Dari serangkaian fungsi katoneng-katoneng, menurut penulis, fungsinya yang utama adalah memberi sumbangan kepada integrasi masyarakat Karo. Di dalam kegiatan cawir metua yang menggunakan katoneng-katoneng ini, pihak-pihak kerabat (sangkep nggeluh) yang tercakup dalam rakut sitelu (tiga kelompok kerabat), yaitu: senina (sembuyak), anak beru, dan juga kalimbubu, berkumpul bersama. Kemudian mereka melakukan upacara, yang persiapannya dilakukan melalui sistem musyawarah (runggu). Selanjutnya secara bersama-sama pula mereka melakukan acara demi acara, sampai akhirnya si jenazah dikuburkan. 166 167 Dalam kegiatan sosial seperti ini, nilai-nilai yang dibangun adalah berupa integrasi sosial. Mereka menjunjung nilai-nilai kebersamaan di dalam konteks kesatuan yang besar. Kesatuannini merupakan kekuatan dalam menghadapi apa pun permasalahan di dunia ini. Apabila kondisi integrasi ini terjadi dalam lingkup yang lebih luas, maka akan terasa kebersamaan dan saling memerlukan antara manusia di dunia ini, sebagai makhluk sosial.2 Dalam konteks Sumatera Utara sendiri lagu katoneng-katoneng ini juga merupakan daya dorong setiap orang Karo untuk menjalin integrasi sosiobudaya, artinya adalah bahawa masyarakat Karo atau yang lebih luas seluruh umat manusia, memiliki berbagai perbedaan ras, bangsa (nasional), status sosial dan ekonomi, agama, kepercayaan, sekte, steretipe, jenis kelamin dan lain-lainnya. Mereka yang berbeda ini, perlu berkomunikasi dan saling berhubungan sosial, karena makhluk manusia itu memerlukan manusia lain. Dalam konteks sedemikian rupa mereka memerlukan integrasi sosial, agar terjalin hubungan antara individu atau kelompok manusia, yang diatur oleh hukum atau normanorma sosial yang ada. Salah satu fungsi katoneng-katoneng adalah untuk 2 Contoh lain fungsi seni yang memberikan sumbangan untuk integrasi masyarakat adalah tarian yang terdapat pada masyarakat Andaman, yang dideskripsikan Radcliffe-Brown seperti berikut. The Andamanese dance (with its accompanying song) may therefore be described as an activity in which, by virtue of the effect of rhythm and melody, all the members of a community are able harmoniously to cooperate and act in unity ... The pleasure that the dancer feel irradiates itself over everything arouns him and he is filled with geniality and good-will towards his companions. The sharing with others of an intense pleasure, or rather the sharing in a collective expression of pleasure, must ever incline us to such expansive feelings. ... In this way the dance produces a condition in which the unity, harmony and concord of the community are at a maximum, and in which they are intensely felt by every member. It is also produce this condition. I would maintain, that is the primary social function of the dance. The well-being, or indeed the existence, of the society depends on the unity and harmony that obtain in it, and the dance, by making that unity intensely felt, is a menas of maintaning it. For the dance affords an opportunity for the direct action of the community upon the individual, and we have seen that it exercises in the individual those sentiments by which the social harmony is maintained (Radcliffe-Brown, 1948:249-252). 167 168 mewujudkan integrasi sosiobudaya. Bahawa masyarakat Karo itu sendiri memiliki pelbagai perbeaaan. Oleh karenanya mereka perlu mengadakan integrasi sosiobudaya dalam peringkat dunia atau kawasan. Nilai-nilai integrasi sosial yang terdapat di dalam lagu katoneng-katoneng ini dicerminkan di dalam lantunan lagunya, seperti contoh berikut ini. Nande…, nina buah barandu e erlebuh dingen erdilo nande. Uga kel nge nen kami ndia, ngataken katandu nandangi sembuyak seninanta e nande. Bapa Ginting mergana ate kami metedeh, apai kel nge….kam leben ilebuh idilo kami. Bagem… nina buah barandu e, doah-doah didong ndu e karina. [Ibu… kata buah hatimu memanggil-manggil ini ibu. Bagaimana kami menyampaikan pesanmu kepada saudara satu nenek dan saudara semarga kita ini ibu. Bapa marga Ginting, yang kami rindukan. Yang mana kalian duluan kami panggil. Begitulah, kata buah hatimu ini, yang engkau nina bobokkan ini semua.] Katoneng-katoneng yang mewakili ungkapan perasaan pihak sukut itu dengan jelas mengekspresikan integrasi sosial di antara klen ibu yang telah meninggal dunia tersebut serta klen dari pihak suami sang ibu yaitu merga Ginting. Itulah perasaan anak-anak (buah hati) sang ibu yang telah meninggalkannya. 168 169 BAB V ANALISIS STRUKTUR MELODI LAGU KATONENG-KATONENG Pada Bab V ini dikaji struktur melodi lagu katoneng-katoneng yang digunakan di dalam upacara cawir metua dengan fokus pada salah satu kegiatan upacara cawir metua saat meninggalnya ibu Cilenggemen br Pinem (Nande Sesser), di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. 5.1 Proses Transkripsi dan Hasil Notasi Dalam mengkaji struktur melodis ini, tidak semua bentuk katonengkatoneng ditranskripsikan. Hanya satu katoneng-katoneng saja yang ditranskripsikan, untuk dapat melihat aspek struktur melodinya. Adapun pendekatan notasi yang penulis lakukan adalah sebagai berikut. (1) Notasi ditulis dengan menggunakan notasi balok Barat, yang dimaknakan bukan sebagai musik harmonik khordal Barat, tetapi nyanyian tradisional Karo. 169 170 (2) Notasi ditulis dengan menggunakan garis paranada dan kunci G (clef) yang biasa digunakan untuk menuliskan melodi, termasuk suara manusia. Contoh tulisannya sebagai berikut. (3) Nyanyian katoneng-katoneng ini adalah semi free meter, oleh karenanya nada-nada yang dituliskan tidak dikaitkan dengan meter dan birama lagu tertentu, seperti contoh tulisan berikut ini. (4) Lagu katoneng-katoneng ini menggunakan teks nyanyian yang ditulis di bawah setiap nada di dalam notasinya, contohnya adalah sebagai berikut. (5) Melodi yang dinyanyikan secara melismatik, yaitu satu suku kata menggunakan beberapa nada ditulis dengan menggunakan tanda legato, yang membedakannya dengan sajian dalam teknik silabis (satu nada satu suku kata. Contohnya adalah sebagai berikut. 170 171 Hasil transkripsi dari lagu katoneng-katoneng ini adalah sebagai berikut. KATONENG-KATONENG perkolong-kolong: Siti Aminah (Sumpit) br Ginting 171 172 5.2 Tangga Nada Setelah mentranskripsikan lagu katoneng-katoneng tersebut ke dalam bentuk notasi, maka langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis struktur musiknya. Untuk menentukan tangga nada, penulis melakukan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm (1977). Dari hasil transkripsi, maka ditemukan tangga nada katoneng-katoneng tersebut adalah sebagai berikut 172 173 Nada: Laras: Sent: a - c - 1½ 300 d - e - fis - 1 1 1 1½ 200 200 200 300 g Dari kompoisi tangga nada di atas, maka dapt dikatakan bahwa tangga nada katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh Sumpit br Ginting ini menggunakan enam nada (sektatonik). Kemungkinan besar keenam nada ini adalah pengembangan dari tangga nada pentatonik yang memang umum dijumpai dalam kebudayaan musik di dunia ini. Yang unik dalam tangga ini, nada kelimanya yaitu nada fis diiringi pula oleh nada hias f, yang digunakan untuk melodi yang disending (turun) dari nada fis tersebut. Nada f ini menurut penulis adalah nada hias dari nada pokoknya fis. Hal ini menunjukkan estetika tersendiri bagi perkolong-kolong dalam menyanyikan katoneng-katoneng. Kecenderungan tangga nada yang digunakan pada katonengkatoneng ini adalah dua interval yang umum yaitu satu dan satu setengah laras. Pola jarak kedua-dua inilah yang membangun komposisi tangga nada katonengkatoneng. 173 174 5.3 Nada Dasar Dalam menentukan nada dasar lagu katoneng-katoneng ini, penulis menggunakan tujuh kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya Theory and Method in Etnomusicology (1963: 147), yaitu sebagai berikut. 1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering muncul dan nada mana yang paling jarang dipakai dalam suatu komposisi musik 2. Kadang-kadang nada yang memiliki nilai ritmisnya besar dianggap nada dasar, meskipun jarang dipakai 3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bagian tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas tersebut. 4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun posisi tepat berada ditengah-tengah dapat dianggap penting. 5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakai. Maka nada pertama tersebut boleh dianggap lebih penting. 6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa juga bisa dipakai sebagai patokan tonalitas. 174 175 7. Harus diingat barangkali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-paokan diatas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik tampaknya adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1963:147). Dengan melihat ketujuh kriteria di atas, maka dapat diuraikan nada dasar lagu katoneng-katoneng ini sebagai berikut. Lagu Katoneng-katoneng 1 Nada yang paling sering dipakai adalah nada: a 2 Nada yang memiliki nilai ritmis terbesat: a 3 Nada awal yang paling sering dipakai: e, dan nada akhir yang paling sering dipakai: e 4 Nada yang memiliki posisi paling rendah: g 5 Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf: d 6 Nada yang mendapat tekanan ritmis: a 7 Berdasarkan dari pengalaman musikal penulis, maka kemungkinan besar nada dasar lagu katoneng-katoneng adalah nada: a 175 176 Tabel 5.1 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Zapin In My Heart No Kriteria Nada 1 K1 a 2 K2 a 3 K31 e 4 K32 e 5 K4 g 6 K5 d 7 K6 a 8 K7 a Keterangan K1: Nada yang paling sering dipakai, K2: Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar, K31: Nada awal yang paling sering dipakai, K32: Nada akhir yang paling sering dipakai, K4: Nada yang memiliki posisi paling rendah, K5: Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf, K6: Nada yang mendapat tekanan ritmis, dan 176 177 K7: Nada dasar berdasarkan pengalaman dan kecenderungan. 5.3.1 Wilayah Nada Wilayah nada adalah daerah (ambitus) dari nada yang frekuensinya paling rendah, sampai pada frekuensi nada yang paling tinggi. Dari hasil transkripsi di atas, maka diperoleh ambitus suara dari lagu katoneng-katoneng yang dinyanyikan Nande Sumpit br Ginting adalah sebagai berikut. Nada terendah: g Nada tertinggi: g’ Jarak dalam laras: 6 Jarak dalam sent: 1200 Dari notasi di atas dapat dikatakan bahwa ambitus atau wilayah nada lagu katoneng-katoneng ini adalah sebesar satu oktaf. Kalau diukur berdasarkan sistem laras adalah 6 larasa atau langkah, sedangkan kalau diukur menggunakan sistem sent adalah sebesar 1200 sent. 5.4 Nada-nada yang Digunakan Untuk menentukan jumlah nada-nada keempat sampel lagu, terdapat dua cara yang perlu dilakukan. Pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap 177 178 nada tanpa melihat durasinya secara kumulatif. Kedua, melihat kemunculannya dan menghitung durasi kumulatif. Dalam analisis ini, penulis menggunakan cara yang pertama, yaitu menghitung kemunculan nada tanpa melihat durasinya. Adapun nada-nada yang digunakan di dalam lagu katoneng-katoneng ini adalah sebagai berikut. 185 3 20 97 5 20 7 Nada a muncul sebanyak 185 kali, Nada c muncul sebanyak 3 kali, Nada d muncul sebanyak 20 kali, Nada e muncul sebanyak 97 kali Nada fis muncul sebanyak 5 kali, dan nada f muncul sebanyak 20 kali Nada g muncul sebanyak 7 kali. Berdasarkan persentase kemunculannya, maka dapat ditabulasi sebagai berikut. Nada a muncul sebanyak 81,5 %, Nada c muncul sebanyak 1,3 %, Nada d muncul sebanyak 8,8 %, Nada e muncul sebanyak 42,7 %, Nada fis muncul sebanyak 2,2 %, dan nada f muncul sebanyak 8,8 %, Nada g muncul sebanyak 7 %.. 178 179 Untuk melihat banyaknya penggunaan masing-masing nada ini dapat dilihat melalui diagram kue seperti berikut ini. Diagram 5.1 Persentase Penggunaan Masing-masing Nada pada Melodi Katoneng-katoneng 179 180 5.5 Interval Interval yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara nada yang satu dengan nada yang lainnya dalam satu komposisi musik. Sistem pengukuran pada interval disebut “laras” dengan alat ukur “sent”. Interval pada keempat lagu ini terdapat dua jenis, yaitu melangkah (conjunct) dan melompat (disjunt) Analisis interval penulis lakukan dengan menghitung setiap interval baik yang naik, maupun turun. Dengan melihat ketentuan-ketentuan interval di atas, maka interval-interval yang digunakan pada lagu katoneng-katoneng di atas adalah sebagai berikut. (1) Prima murni, (2) Sekunde minor, (3) Sekunde mayor, (4) Ters minor, (5) Ters mayor, (6) Kuart murni, (7) Kuint murni, dan (8) Sekta mayor. 5.6 Pola Kadensa Pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada akhir pada setiap akhir frase dalam suatu komposisi musik, yang diwakili oleh dua atau lebih nadanada rangakiannya. Pola-pola kadensa lagu katoneng-katoneng di atas, adalah seperti dalam analisis berikut ini. 180 181 181 182 Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan pola-pola kadensa yang membangun melodi katoneng-katoneng ini adalah dua jenis yaitu yang pertama adalah yang berbentuk datar dan yang kedua adalah rangkaian nada-nada yang melangkah baik ke atas atau ke bawah. 5.7 Formula Melodi William P. Malm (1977:8) dalam bukunya Music Culture of the Pacific Music the Near and East Asia, menyatakan bahwa bentuk (motif) dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu: 182 183 1. Repetitif adalah bentuk nyanyian yang diulang-ulang. 2. Iteratif adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan dalam keseluruhan nyanyian. 3. Reverting adalah bentuk nyanyian yang terjadi pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi-penyimpangan penyimpangan melodi. 4. Progresif adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. 5. Strophic adalah suatu bentuk nyanyian yang diulang dengan form yang sama, tetapi dengan teks nyanyian yang selalu berubah. Melodi katoneng-katoneng formulanya disusun oleh bentuk-bentuk dan frase-frase yang diulang-ulang dengan formula melodi strofik, yaitu nyanyian yang bentuknya diulang-ulang dengan dengan menggunakan teks nyanyian yang selalu berubah. Teks ini juga berubah karena konteksnya. 5.8 Kontur Menurut Malm (1977:8) kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu, yang dapat dibedakan kedalam beberapa jenis, yaitu: 1. Ascending (menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang rendah ke nada yang tinggi. 2. Descending (menurun) adalah garis melodi yang bergerah turun dari nada yang tinggi ke nada yang rendah. 183 184 3. Pendulous adalah garis melodi yang bergerak dengan membentuk lengkungan (melengkung setengahlngkaran). 4. Terraced (berjenjang) adalah garis melodi yang membentuk gerakan berjenjang seperti anak tangga. 5. Statis (level) adalah melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas atau garis melodi yang bergerak datar atau statis. Dari kelima jenis kontur di atas, maka kontur pada lagu katoneng-katoneng ada dua yaitu statis dan pendulous. Contoh kontur statis pada lagu katoneng-katoneng adalah sebagai berikut. Contoh kontur pendulous pada lagu katoneng-katoneng adalah sebagai berikut. 184 185 185 186 BAB VI MAKNA TEKS LAGU KATONENG-KATONENG 6.1 Seputar Studi Teks Nyanyian Nyanyian atau lagu adalah salah satu bidang kajian di dalam disiplin etnomusikologi. Lagu biasanya berkait erat dengan bahasa yang melatarbelakanginya, misalnya lagu katoneng-katoneng yang berlatar belakang bahasa Karo, pastilah berkait erat dengan kebudayaan Karo. Di dalam katonengkatoneng ini terkandung nillai-nilai adat, filsafat hidup, dan cara berpikir serta bertindak orang Karo. Studi teks nyanyian berhubungan juga dengan makna-makna kebudayaan. Makna-makna ini ada yang sifatnya langsung dan sebagai makna sebenarnya atau makna denotatif, atau juga makna-makna lain atau makna konotatif di samping makna denotative tadi. Dalam teks nyanyian terdapat kata-kata yang digayakan sesuai dengan nyanyiannya. Artinya adalah kata-kata yang terdapat dalam satu nyanyian biasanya dikomposisikan mengikuti alur melodinya. Misalnya untuk memanjangkan suku kata mengikuti beberapa melodi, yaitu dalam teknik melismatik, maka digunakanlah beberap nada untuk satu suku kata tersebut. Sebalinya jika satu suku kata diwakili oleh satu nada saja, maka teknik seperti ini disebut dengan silabik. Teks nyanyian, biasanya agak berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pendukung bahasa tersebut sehari-harinya, walau tetap memiliki hubungan kultural. Teks nyanyian ini kadangkala berkaitan dengan mantra yang 186 187 sifatnya rahasia dan memiliki kaitan dengan dunia supernatural. Ada pula di antara teks nyanyian tersebut diciptakan berdasarkan kepada puisi-puisi yang lazim terdapat di dalam setiap kebudayaan, dengan ciri dan strukturnya yang khas. Ada pula teks nyanyian tersebut yang diciptakan secara bersama-sama dengan tujuan utama komunikasi verbal sambil bernyanyi dalam sebuah aktivitas tertentu. Misalnya lagu Rasa Sayange yang dinyanyikan dengan menggunakan pantun yang diciptakan secara spontanitas oleh setiap yang ikut di dalam nyanyian tersebut. Kajian terhadap teks nyanyian pastilah melibatkan kajian pula terhadap bahasa yang digunakan di dalam nyanyian tersebut. Kegiatan mengkaji teks nyanyian di dalam etnomusikologi berkait erat dengan disiplin linguistik dan sastra sebagai disiplin yang juga memberikan perhatian utama terhadap nyanyian dalam bentuk komunikasi verbal ini. Teks nyanyian juga mendapatkan perhatian dalam ilmu komunikasi. Bahwa teks nyanyian ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal yang tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya. Demikian pula yang terjadi di dalam kasus lagu katoneng-katoneng yang menjadi fokus kajian penulis dalam tesis ini. 6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting Seperti telah diuraikan pada bab tiga, upacara cawir metua yang menjadi fokus kajian ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada di wilayah Kabupaten Dairi, namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke dalam kebudayaan Karo Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142 kilometer dari Medan; atau berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. 187 188 Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem (Nd Sesser) dilaksanakan di Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang diundang dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di kalangan masyarakat umum lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolong-kolong Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami yang sekaligus juga adalah penggual (pemain gendang tradisional Karo) yang bernama Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang mengiringi upacara ini terdiri dari: (a) Asli Sembiring (penarune), (b) Mail Bangun (penggual), (c) Ucan Ginting (penggual), dan (d) Daniel Bangun (simalu gung dan penganak). 6.3 Makna Teks Katoneng-ketoneng untuk Sembuyak Nyanyian katoneng-katoneng berikut ini adalah nyanyian yang dilantunkan oleh perkolong-kolong ketika kelompok sukut, sembuyak, senina telah selesai menyampaikan kata-kata adatnya pada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem (Nd Sesser). Dengan kata lain, bahwa perkolong-kolong melanjutkan maupun menyempurnakan kata-kata adat yang disampaikan kelompok di atas. Oh nande, nande beru pinem. Nande…. nen kami karina erlebuh dingen erdilo nande. Ija ibas warina wari sekalenda nande pinem. Enggo pulung kel pagi karina sangkep nggeluh sini tenahken kenndu la erpudung ndai. Ija ibas kam enggo nehken perpadanen ras Dibata Simada Tinuang Ndube nande. Ibas wari sisendah enggo pulung dingen landek karina si tergelar sukut, ginting mergana la ketadingen sembuyak rikut senina, senina sipemeren, siparibanen, rikut sipengalon, teman sendalanen. [Oh ibu, ibu beru Pinem. Ibu… lihat kami semua memanggil-manggilmu. Yang mana pada hari ini ibu beru Pinem. Sudah berkumpul semua sanak saudara yang engkau undang tanpa janji itu, pada saat engkau telah menghadap Tuhan Maha Pencipta. Pada hari ini, telah berkumpul dan menari saudara semarga kita, marga Ginting, tak ketinggalan saudara satu nenek, saudara sepupu, sepengambilan, serta saudara satu kelompok lainnya.] Perkolong-kolong memulai nyanyiannya dengan memposisikan diri sebagai sukut marga Ginting atau anak-anak almarhum ibu, yang seolah-olah sedang 188 189 menyampaikan berita kepada almarhum Ibu beru Pinem, bahwa semua kerabatnya telah berkumpul serta telah menari sambil menyampaikan ucapan-ucapan berlangsungkawa sehubungan dengan ibu telah menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Meskipun istilah sangkep nggeluh dalam adat Karo mencakup makna kerabat yang lebih luas; anak beru, kalimbubu, senina—namun dalam konteks ini, kerabat yang dimaksud itu adalah saudara-saudara yang bermarga Ginting, maupun saudarasaudara lain yang memiliki kedudukan yang sama dengan mereka dalam upacara ini. Nande…, nina buah barandu e erlebuh dingen erdilo nande. Uga kel nge nen kami ndia, ngataken katandu nandangi sembuyak seninanta e nande. Bapa Ginting mergana ate kami metedeh, apai kel nge….kam leben ilebuh idilo kami. Bagem… nina buah barandu e, doah-doah didong ndu e karina. [Ibu…kata buah hatimu memanggil-manggil ini ibu. Bagaimana kami menyampaikan pesanmu kepada saudara satu nenek dan saudara semarga kita ini ibu. Bapa marga Ginting, yang kami rindukan. Yang mana kalian duluan kami panggil. Begitulah, kata buah hatimu ini, yang engkau nina bobokkan ini semua.] Perkolong-kolong melanjutkan dengan posisi sebagai sukut (yang punya hajatan) marga Ginting atau anak-anak almarhum ibu, untuk meminta petunjuk kepada Ibu beru Pinem maupun almarhum bapak marga Ginting, apa yang harus disampaikan kepada kerabatnya itu sehubungan dengan kematian Ibu beru Pinem ini. Istilah ilebuh atau idilo mengandung arti yang sama yakni dipanggil (memanggil). Penggabungan kata-kata ilebuh idilo untuk memberikan kesan kuat dari maksud kata tersebut. Bagem anakku, bagem turang nande na, bage kel nge nindu nande. Beluh-beluh ibaba nandena, erbelas nandangi si biak bapanndu seninandu e anakku. Adi aku enggo me kap ateku malem nehken 189 190 perpadanenku. Lanai lit si mesui ku ndai turang nandena, lanai aku man adap-adapenndu, lanai aku man arak-araken. Ban cakapndu man kalimbubundu, ban cakapndu man sembuyak seninanta e, bage kel nge nindu nande. [Begitulah anakku, begitulah putra ibunya, begitulah yang engkau katakan Ibu. Pandai-pandailah berkata-kata kepada bapakmu, saudaramu se marga ini anakku. Kalau aku, sudah tenang menjalani takdirku ini. Tak ada lagi rasa sakitku putra ibunya, tak perlu lagi aku kamu jagai, tak lagi perlu kamu damping. Buatlah cakapmu kepada kalimbubu kita, bikin cakapmu kepada saudara semarga kita, begitulah pesanmu Ibu.] Perkolong-kolong menjadikan dirinya sebagai sosok Ibu beru Pinem yang seolaholah sedang memberi nasehat dan pesan kepada anak-anaknya. Enggo e, bagem dage ginting mergana sirulo, bagem dage nande tigan, bagem beru tambarmalem, gancih sambar nande beru pinem. Adi kam tading rumah, ija kari seh panggungna mantik kalimbubunta e, terbeluh kam kari, guna ngalo-ngalo kalimbubunta e kerina, Erpesukuten erpenggurun anakku permen bibina nindu nge bara nande pinem. Tare permenndu gancih sambarndu e nande. [Sudahlah, begitulah jadinya merga Ginting semua, begitulah beru Tarigan, begitulah beru Perangin-angin, pengganti Ibu beru Pinem. Kalau kamu tinggal dirumah, kapan saja kalimbubu kita datang, pandaipandailah bersikap menyambut kalimbubu kita semuanya. Bertanya dan bergurulah anakku, menantuku, begitulah pesanmu Ibu. Kepada menantumu penggantimu ini Ibu.] Perkolong-kolong menjadi sosok sembuyak/senina melanjutkan nasehat kepada anak-anak ibu dan kepada para menantunya, agar menghormati kalimbubu mereka. Bagei…bagem ginting mergana karina sinterem la erpilih. Adi enggo ndai erbelas sembuyak seninandu e karina turang. Adi kutinggeltinggel ken kerna kata sembuyak seninanndu e, lanai kuakap lit sikurangna, lanai lit sitading silupana, kerna kata pergegeh rikut kata pengapul siturikenna. Saja kel ngenca ginting mergana, adi lanai kel pagi rumah nandenta, rikut lanai ka rumah bapanta, kuga nina secara doni, enggo tading melumang ginting mergana. Terbeluh kel kam pagi ginting mergana, ula rubat ersenina, ula la siangkaan erturang. Maka ula kari erpenanda-nandan lanai rumah nande, lanai rumah bapa, o ginting mergana. Bagei,,,bagem nina sembuyak seninandu e, nehken kata ntah ukurna mehuli ibas kelawesen nande beru pinem e. [Jadi, begitulah semua marga Ginting yang manapun. Kalau sudah tadi berbicara saudara nenek, saudaramu se marga itu semua. Kalau 190 191 ku dengarkan semua perkataam mereka, tak ada lagi kurasa yang kurang, tak ada lagi yang ketinggalan maupun terlupa, soal kata-kata pengharapan dan penghiburan yang sudah disampaikannya. Hanya saja marga Ginting, kalau tak ada lagi Ibumu, juga tak ada lagi bapakmu, kalau menurut ukuran dunia, sudah yatim piatulah marga Ginting. Pandai-pandailah nanti semua marga Ginting, jangan berkelahi sesama saudara laki-laki, jangan berselisih sesama saudara perempuan. Agar jangan nanti kelihatan bahwa Ibumu sudah tak ada lagi, bapakmu tak ada lagi, marga Ginting. Jadi, begitulah pesan saudara nenek, dan saudara semargamu ini, menyampaikan katakatanya dengan hati yang tulus dalam rangka kematian Ibu beru Pinem.] Perkolong-kolong sebagai sosok sembuyak/senina melanjutkan pesan-pesan dan nasehatnya kepada anak-anak ibu beru Pinem. Bagem dagei.. ginting mergana si rulo, enda me kerna kata tambahen ibas sembuyak seninandu nari. Bagem nande pinem selamat jalan nande, mejuah-juah buah barandu sinterem e tadingkenndu. Ersada pagi arihna ginting mergana e, ersada pagi arih permendu e nande pinem tadingkenndu. Mejuah-juah kami kerina tadingkenndu nande… (Jadi begitulah, marga Ginting semua, inilah kata tambahan dari saudara satu nenek, dan saudara semargamu. Begitulah. Ibu beru Pinem, selamat jalan Ibu, sehat sentosa semua buah hatimu kau tinggalkan. Bersatu nanti semua marga Ginting, bersatu semua menantumu ini Ibu beru Pinem sepeninggalmu. Sehat sentosa kami semua engkau tinggalkan Ibu.) Sebagai penutup bagian ini, sembuyak/senina mengucapkan selamat jalan kepada Ibu beru Pinem, serta berpengharapan sehat sentosa semua keluarga yang ditinggalkannya. 6.4 Makna Teks Katoneng-Katoneng untuk Kalimbubu Teks katoneng-katoneng untuk pihak kalimbubu itu adalah lengkapnya sebagai berikut. Ibas perjumpan ngambur-ngamburken iluh e kalimbubu kami. Ija ibas ertenah nande beru pinem beru tambarmalem e. Ertenah pagi ia la 191 192 erpudun man bandu. Ija ibas ia nehken perpadanen ras Dibata. Maka ersada kal bage karina ukur kami, ersada arih kami. Menurut biasanya, ngikutken peradaten si enggo-enggona. Maka ibas wari sekalenda, icawir me peradatan ujung nggeluh nande beru pinem e, kalimbubu kami. [Pada pertemuan yang sedih ini kalimbubu kami. Yang mana sudah mengundang nande beru Pinem beru Perangin-angin ini. Mengundang tanpa janji kepadamu. Dimana saat ia sudah menghadap Tuhan. Maka bersatu lah semua hati kami, bersatu musyawarah kami. Menurut biasanya, sesuai adat sebelumnya. Maka pada hari ini, adat cawir metua dibuat kepada ibu beru Pinem, kalimbubu kami.] Pada permulaan penampilannya, perkolong-kolong memposisikan diri sebagai marga Ginting menyampaikan kata pengalo-ngalo (penyambutan) kepada kalimbubunya, sebelum kalimbubu nantinya menyampaikan pesan-pesan dan nasehatnya. Marga Ginting mengatakan bahwa mereka telah sepakat melakukan upacara adat cawir metua terhadap ibu mereka beru Pinem. Istilah beru tambar malem merupakan sebutan untuk semua beru Peranginangin, yang mana salah satu cabangnya adalah beru Pinem. Istilah lain yang maknanya sama adalah beru saribu. Selanjutnya teks katoneng-katoneng dilanjutkan sebagai berikut. Emaka ibas wari sekalenda enggo itatap kami kam karina pulung tampak merari dingen metunggung. Maka seh mekap panggung e man bandu landek kam karina kalimbubu bena, tarigan mergana rikut ras temanndu temanndu sendalanen.Janah la ketadingen kalimbubu si mupus Pinem mergana, bagepe simada dareh Pinem mergana, la ketadingen si perdemui apai pe la erpilih la erdobah. Kalimbubu si empat merga apai pe la erpilih. Ija ibas panggungndu landek e, enggo me kam ndai pegancih-gancih karina erbelas, guna nehken kata simehuli kata pergegeh, bage pe ras kata pengapul. Gelah salu siturikenndu e terapul pusuh anakberu kampil perlebe-lebendu e, aminna gia berkat orang tua nehken perpadanen ras Dibata. Jenda nari pagi bena-benana kalimbubu kami karina sipulung metunggung. Kata pedah siturikenndu e ola kel pagi lasam, ola kel pagi persinget. Ersada arih ersada ukur kel pagi ginting mergana e apai pe la erpilih. 192 193 Bagei nina ginting mergana, guna ngaloi karina katanndu ena kalimbubu kami. [Jadi, pada hari ini, kami lihat kamu semua berkumpul. Maka sampai pada acara kamu menari semua kalimbubu mula-mula, marga Tarigan serta ikut juga yang lain dari kelompok yang sama. Serta tak ketinggalan kalimbubu yang melahirkan marga Pinem, begitupun yang mempunyai pertalian daran marga Pinem, tak ketinggalan kalimbubu yang dikawini marga Ginting, yang manapun tidak ada bedanya. Dimana, pada saat acaramu menari tadi, secara bergantian sudah kamu sampaikan kata-kata yang menguatkan dan kata-kata penghiburan. Agar dengan penyampaian kata-kata itu, terhibur hati Anak Beru kamu, yang memegang peralatan adat di muka kami; walaupun Ibu sudah menghadap Tuhan. Mulai saat ini dan seterusnya, kalimbubu kami yang berkumpul semua. Pesan yang kamu sampaikan tidak sia-sia. Bersatulah hati kami semua marga Ginting yang manapun. Begitulah kata marga Ginting, untuk menjawab semua kata-katamu kalimbubu kami.] Perkolong-kolong memposisikan sebagai dirinya sendiri, menyampaikan pesanpesan marga ginting kepada pihak kalimbubu. Simada dareh maksudnya adalah kelompok marga dari keluarga Ibu. Kampil perlebe-lebe kami merupakan istilah lain yang dipakai untuk menyebut kelompok anak beru. Nande…..nande pinem, bapa ginting mergana. Apai nge kel nge kam leben ilebuh idilo kami, nini bulang. Bagei…nina ginting mergana e. Kuga katandu nande nandangi kalimbubunta, kai belasken kami nande nandangi mamangku, nandangi mami, impalku e. [Ibu…ibu beru Pinem, bapak marga Ginting. Siapa yang duluan dari kalian yang kami panggil, kakek. Begitu kata marga Ginting ini. Apa katamu Ibu kepada kalimbubu kita ini. Apa yang kami ucapkan kepada paman dan tante, serta sepupuku ini.] Perkolong-kolong kembali menjadi marga Ginting, seolah-olah bertanya kepada almarhum Ibu, Bapak, Kakek yang sudah meninggal, apa yang harus dikatakan kepada pihak kalimbubu. Bagem anakku turang nandena nindu nge bangku. Adi sekalenda lanai tampil la beluh ndai. Em…nanamna tading arah pudi anakku, bage kel nge barang nindu nande. Beluh-beluhi anakku turang nandena. Kataken katandu tare mamandu anakku, belasken belas-belasndu nandangi mami ndu e, katandu e me katanta ras, nindu nge kuakap nande beru pinem. 193 194 [Begitulah anakku, putra Ibunya, katamu kepadaku. Kalau sekarang tidak boleh tidak pandai berkata-kata adat. Begitulah rasanya kalau tinggal belakangan, begitulah kiranya kau katakana Ibu. Pandaipandailah anakku, putra ibunya. Katakan kata-katamu kepada pamanmu anakku, ucapkan kata-katamu kepada tantemu. Kata-katamu itu menjadi kata –kata kita bersama, begitu kurasa pesanmu Ibu.] Enggo em turang bagem nande edangku, ulanai kam pagi tertulih-tulih turang, ulanai kam terdaram-daram nande edangku, adi lanai kel gia pagi idahndu, parang anak sintua e. Adi reh kin gia kam pagi kurumah turang. Lanai kel gia pagi tatapndu aku tengah jabu e, ula kel kam pagi terdaram-daram. Aku enggo berkat turang. Jumpa ernande jumpa erbapa. Berkat aku, kudahi bere-berendu parang anak si tua ndube. Emaka turang, adi tedeh pagi atendu nandangi aku, bebe-berendu kel pagi sinambar-nambari tedehndu e. maka tedehndu man bangku e mambar kel pagi turang, nande edangku. Bagem ula morah turang, enggo seh perpadanen ku ras Dibata, keri beras ku jemput ndai, berkat aku turang. Lanai terolangi, lanai terambati , kerna perberkatku e. Bagem kel nina nande beru pinem, beru tambarmalem e. Berkat aku turang, berkat aku bapa bibina, berkat aku nande edangku. [Jadi begitulah abang/adik, begitulah ipar, jangan lagi kamu menoleh, jangan lagi mencari-cariku ipar, kalau nanti tidak nampakmu lagi anak tertua ini. Kalau datang kamu kerumahku, tidak kamu dapati lagi aku dirumah, janganlah kamu mencari-cari. Aku sudah pergi abang/adik. Jumpa bapak jumpa ibu yang sudah meninggal. Pergi aku, kutemui anakku yang tertua yang sudah lebih dulu meninggal . Jadi abang/adik, kalau rindu kamu kepadaku, keponakanmu ini yang mengobati rasa rindumu. Agar hilang rasa rindumu ipar. Begitulah abang/adik, jangan bersedih. Sudah tiba saatnya aku menghadap Tuhan, tak ada lagi yang bisa ku kerjakan, pergi aku abang/adik. Tidak lagi tertahan, tidak lagi bisa dihambat soal kepergianku. Begitulah kata Ibu beru Pinem, beru Perangin-angin ini. Pergi aku abang/adik, pergi aku keponakanku, pergi aku ipar] Emaka tatap kari rupangku e sekali nari. Adi wari sekalenda enggo me kam teran ralo, enggo me kam teran erkuan, lanai teraloi aku sorandu erlebuh erdilo e turang, nande edangku. Kam ngaloisa soranndu erlebuh man bangku e. Adi wari si pepagi enggo ka me kam karina teran rupangku. Berkat aku, mejuah-juah kam kutadingken ras bebe-berendu e turang, nande edangku karina si nterem, permen bibina la erpilih, nina nande beru Pinem e nandangi kam kalimbubu. [Jadi, lihat nanti sekali lagi wajahku. Kalau hari ini sudah kepingin kamu kujawab, sudh kepingin kamu bertegur-sapa, tidak lagi bisa kujawab suaramu memanggil-manggil itu abang/adik, iparku. Kamu sendirilah yang menjawabnya. Kalau besok, sudah pasti kamu kepingin lihat wajahku. Pergi aku, sehat sejahtera kamu beserta keponakanmu ini abang/adik, iparku semua, keponakanku yang manapun, kata Ibu beru Pinem kepadamu kalimbubu.] 194 195 6.5 Makna Teks Katoneng-Katoneng untuk Puang Kalimbubu Teks nyanyian ini disampaikan perkolong-kolong ketika kelompok kalimbubu telah selesai menyampaikan kata-kata adatnya, atas kematian Ibu beru Pinem. Enggo bagei dage…kalimbubu kami, penggurun kami karina si pulung nterem. Ija ibas kata tenah anak berundu e ertenah bage ia la erpudun. Ibas wari sekalenda enggo pulung kam karina kalimbubu, emkap puang kalimbubu tengah-tengah jabu ginting merganana karina. Kalimbubu singalo bere-bere, rikut ka kin pe kam karina kalimbubu singalo perkempun. Asakai kam tarigan mergana ginting mergana. Ginting mergana, sembiring mergana karina la erpilih. Ija ibas panggungndu landek kam karina, kalimbubu puang kami. Ibelaskendu bage katandu rikutken mambur bage iluhndu e. Morah tuhu-tuhu bage ibas pusuhndu e. Engkai maka bage, kuga ndube nginget-nginget kerna percakap-cakapkenndu rusur ras nande beru pinem e, sope ia ndube nehken perpadanen ras Dibata. [Jadi begitulah kalimbubu kami, panutan kami semua yang berkumpul disini. Yang mana, atas undangan tanpa janji anak berumu ini. Pada hari ini sudah berkumpul kamu semua kalimbubu, juga kalimbubunya kalimbubu di dalam semua keluarga marga Ginting. Kalimbubu dari ibu, maupun kalimbubunya kalimbubu ibu. Semua marga Tarigan, marga Ginting. Marga Ginting, semua marga Sembiring tak terkecuali. Yang mana, saat giliranmu semua menari, kalimbubu dan kalibubunya kalimbubu kami. Kalian sampaikan pesanmu bersamaan sembari meneteskan airmata. Sedih benar-benar di dalam hatimu. Kenapa begitu, adalah karena mengingat-ngingat bagaimana dulu engkau bercakap-cakap selalu dengan Ibu beru Pinem, sebelum dia menghadap Tuhan.] Perkolong-kolong memposisikan sebagai sukut (yang punya hajatan) dari marga Ginting menyampaikan respons atas kata-kata penghiburan yang dilakukan oleh kalimbubu. Dilanjutkan dengan lantunan teks berikut ini. Enggo bagem dage, bagem turang, bagem nande edangku, bagem permen bibina, Ula nai atendu morah, berkat me aku, kutadingken kam karina. Bage kel nina kuakap nina nande beru pinem e nandangi bandu karina, asakai kam kalimbubu singalo bere-bere, rikut singalo perkempun. Bagem dage ula ermenek-menek. Cakapta si enggo-enggo e kel me pepagi man inget-ingetenndu karina kutadingken e. Sebab adi 195 196 padan Dibata kap ndube simada padan. La terolangi kerna perdalinku nina nande beru pinem beru tambarmalem e. [Jadi begitulah, begitulah abang/adik, begitulah ipar, begitulah keponakanku. Jangan lagi hatimu bersedih, pergi aku, kutinggalkan engkau semuanya. Begitulah kurasa, kata Ibu beru Pine mini kepadamu semua kalimbubu dari Ibu, maupun kalimbubunya lagi. Jadi begitulah, jangan terluka hatimu. Pembicaraan kita sebelum-sebelumnya menjadi ingatanmu semua yang ku tinggalkan. Sabab Tuhan penentu takdir manusia. Tidak terhalangi, perjalananku kata ibu beru Pinem ini, ibu beru Perangin-angin ini.] Perkolong-kolong lalu menjadikan dirinya seakan-akan sebagai Ibu beru Pinem yang seolah-olah sedang menyampaikan pesan-pesannya kepada pihak kalimbubu. Bagem dage kalimbubu, kam pagi arih-arih ras bere-berendu e kutadingken si dilaki si diberu. Adi lit pagi kata tenahndu ula nai pagi aku tenahkenndu. Nterem gancih sambarku kutadingken e, man temandu arih, temanndu ercakap-cakap. Ia pagi si ngelayasi kerina dahinndu e puang kalimbubuku. (Begitulah kalimbubu, kalianlah nanti bermusyawarah dengan keponakanmu loaki-laki dan perempuan yang kutinggalkan. Kalau ada nanti undanganmu jangan lagi aku katakana. Banyaknya penggantiku yang kutinggalkan ini, untuk kawanmu diskusi, kawanmu bercakapcakap. Dian nanti yang menyelesaikan semua acara adatmu kalimbubunya kalimbubuku.) Dia melanjutkan pesan-pesan dari dirinya yang bememerankan diri sebagai Ibu beru Pinem kepada kalimbubunya. Bage me kuakap nina nande beru pinem e, ngaloi katandu kam karina kalimbubu puang kami. [Begitulah kurasa pesan ibu beru Pinem ini, menyahuti cakap kalian semua kalimbubu, dan kalimbubunya kalimbubu.] Perkolong-kolong menutup bagian ini dengan memposisikan diri sebagai dirinya sendiri. 196 197 BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Setelah diuraikan dan dianalisis secara holistik dan mendalam, maka pada bab terakhir ini ditarik kesimpulan dan juga dikemukakan saran-saran dari penulis. Kesimpulan yang ditarik dalam penelitian ini, tentu saja mengacu kepada tiga pokok masalah yang telah ditentukan pada bab pertama tesis ini. Tiga pokok masalah atau pertanyaan penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek dari nyanyian katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual. Dengan menggunakan teori dan metode seperti yang sudah diuraiakn pada bab pendahuluan, yaitu untuk pokok masalah fungsi digunakan teori fungsionalisme, untuk pokok masalah struktur music digunakan teori weighted scale, dan untuk pokok masalah makna teks digunakan teori semiotik, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. (A) Katoneng-katoneng umum digunakan pada konteks upacara: (i) mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), (ii) pesta tahun, dan (iii) cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Dengan demikian dapat ditafsir bahwa orang (kalak) Karo adalah 197 198 orang yang menjunjung tinggi nilai bersyukur atas nikmat Yang maha Kuasa, nilai ketuhanan, dan nilai sosial sekaligus. Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah sebagai bertikut: (1) sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, (2) sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; (3) sebagai pengabsahan upacara; (4) sebagai pengungkapan emosional; (5) sebagai kesinambungan kebudayaan; dan (6) sebagai integrasi sosial. (B) Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah sebagai berikut: (a) menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada) dalam hal ini adalah nada-nada a-c-d-e-fis (f), dan g. Kemungkinan besar tangga nada ini adalah pengembangan dari tangga nada pentatonik yang menjadi unsur utama pembentuk tangga-tangga nada musik Karo pada umumnya. (b) Selanjunya dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, (c) ambitus satu oktaf, yaitu dari nada g sampai g’. (d) Seterusnya formula melodis yang mendasari melodi katoneng-katoneng ini berdasar kepada melodi yang strofik, yaitu menggunakan bentuk melodi yang sama atau hamper sama dengan teks yang diubah terus menerus, yang temanya disesuaikan dengan konteks upacaranya, dalam hal ini cawir metua Ibu Celinggemen br Pinem. (e) Nada dasarnya adalah a, yang dpat diamatio dari kecenderungan modusnya, baik itu pada pola-pola kadensa, tekanan ritmis, maupun durasi, dan aksentuasinya. (f) Interval-interval yang digunakan adalah: prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, ters minor, ters mayior, kuart murni, kuint murni, dan sekta mayor. (g) Pola-pola kadensanya dapat dikategorikan kepada dua bentuk, pertama adalah yang berbentuk datar dan 198 199 yang kedua melangkah ke atas atau ke bawah di setiap kadensanya. (h) kontur melodi secara umum adalah statis dengan diisi oleh teks yang membagi pulsa dasarnya sedemikian rupa, serta kontur yang pendulum baik ke atas atau ke bawah. Inilah struktur umum melodi lagu katoneng-katoneng. (C) Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah menekankan kepada nasihat dan pertuturan dalam kekerabatan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsepkonsep kebudayaan Karo. Teks yang digunakan adalah masuk ke dalam bahasa Karo halus, yang lazim digunakan dalam bahasa-bahasa resmi dalam konteks adat. Bahwa penyajian katoneng-katoneng sebenarnya juga adalah mengutamakan ekspresi verbal. Dengan demikian katoneng-katoneng ini dapat diklasifikasikan kepada music yang logogenik artinya mengutamakan teks. Melodi dan musiknya berfungsi memperkuat dan mempertegas teks yang akan disampaikan oleh perkolong-kolong. 6.2 Saran-saran Dengan melihat kenyataan budaya dan sosial mengenai katonengkatoneng dalam peradaban masyarakat Karo seperti terurai di atas tersebut, maka perlu penulis memberikan saran-saran. Fungsi dari saran-saran yang penulis ajukan ini adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebijakan kepemerintahan (khususnya di bidang seni budaya), serta peresapan nilai-nilai kebudayaan bagi setiap pendukung kebudayaan Karo. 199 200 Saran untuk perkembangan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut. Disiplin etnomusikologi adalah disiplin yang menkaji musik dalam konteks kebudayaan. Artinya music dapat dipandang secara keilmuan dari dua sisi. Yang pertama adalah bahwa musik tersebut memiliki hokum-hukum atau norma-norma internalnya sendiri. Dalam konteks ini musik katoneng-katoneng didukung oleh melodi (yang juga terdiri dari unsur seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, ambitus, distribusi nada, formula melodi, pola-pola kadensa, dan kontur). Katoneng-katoneng ini juga berisikan teks yang terus berubah sesuai dengan tema upacara dan kemampuan serta wawasan budaya dari penyanyi atau disebut perkolong-kolongnya. Musik ini dapat dikelompokkan kepada music logogenik, yaitu musik yang penyajiannya mengutamakan sajian verbal dalam bentuk puisi tradisional Karo yang dinyanyikan. Di dalam teks dan melodi nyanyian ini terkandung nilai-nilai budaya, serta kebijakan (kearifan) tradisional Karo, yang relevan untuk terus dilakukan sampai sekarang ini. Dengan melihat berbagai “keunggulan” estetika dan filsafat hidup ini, maka secara keilmuan, perlu terus dilakukan kajian terhadap katonengkatoneng ini, bukan hanya sebatas ilmu etnomusikologi, tetapi boleh dikembangkan mel;alui disiplin ilmu lain seperti antropologi budaya, sosiologi, psikologi, antropologi teater, etnokoreologi, linguistik dan sastra, dan ilmuilmu lainnya. Paling tidak untuk mengembangkan ilmu-ilmu ini perlu dilakukan kajian secara terus- menerus dan berkesinambungan. Hasilnya akan dapat menambah wawasan dan penghayatan nilai-nilai tradisional bagi warga 200 201 etnik Karo di mana pun dan kapan pun. Teori-teori perubahan dan perkembangan tampaknya akan dapat didukung oleh realitas katonengkatoneng ini di dalam kebudayaan Karo. Selain itu juga aspek estetika dapat mengembangkan ilmu filsafat keindahan. Dari sisi antropologi dan sosiologi mungkin kenyataan seni ini akan dapat mendukung teori integrasi sosial, serta upacara kematian yang bukan hanya berupa kesedihan tetapi kegembiraan karena harkat yang meninggal dan yang ditinggalkan mencapai derajat tertingginya di dalam masyarakat. Seterusnya saran penulis adalah untuk keperluan kebijakan pemerintahan, khususnya di bidang seni budaya dan kepariwisataan. Untuk bidang seni budaya, seni katoneng-katoneng ini kiranya dapat diaplikasikan sebagai salah satu muatan lokal dari pendidikan seni budaya di Tanah Karo Simalem, untuk para pelajar sekolah taman kanak-kanank, sekolah dasar, sampai ke sekolah menengah. Demikian pula untuk peringkat perguruan tinggi seni ini dapat menjadi salah satu kajian dan praktik, terutama di perguruan tinggi yang mengasuh ilmu-ilmu seni seperti Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara; Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) Universitas Negeri Medan, juga Fakultas Kesenian Universitas Huria Kristen Batak Protestan Nommensen (UHN) di Medan. Dalam konteks pemberdayaan seni local untuk kepariwisataan local, kesenian katoneng-katoneng ini dapat difungsikan dalam dunia pariwisata di Sumatera Utara, yang pengelolaannya dapat melibatkan seniman Tanah Karo, beserta para pejabat di bidang seni budaya pada kementerian pariwisata, 201 202 kementerian pendidikan dan kebudayaan, Demikian pula unsure-unsur kepariwisataan seperti biro perjalanan, biro usaha wisata, hotel dan restoran, dan lain-lainnya. Untuk masyarakat Karo sendiri, perlu kiranya terus melakukan pertunjukan katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua, mengket rumah mbaru, pesta tahun (guro-guro aron) dalam kerja merdang merdem, dan lainlainnya. Penghayatan terhadap kesenian ini perlu juga melibatkan generasi muda agar dapat mempertahankan dan mengembangkannya di kemudian hari kelak di dalam kehidupan kebudayaan Karo. Dengan demikian, kemajuan adab dan seni akan menjadi kekuatan luar biasa untuk masyarakat Karo secara khusus dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mudah-mudahan kesenian katoneng-katoneng ini hidup terus secara fungsional dalam memperkuat jatidiri kebudayaan Karo. Tentu saja dengan ijin dari Tuhan Yang Maha Kuasa. 202 203 DAFTAR PUSTAKA A.W. Wijaya, 1988. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: Bina Aksara. Alisjahbana, S. Takdir. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-nilai. Jakarta: Dian Rakyat. Andrik Purwasito, 2001. Semiologi Komunikasi. Surakarta: Masyarakat Semiologi Komunikasi. Astrd S. Susanto, 1976. Filsafat Komunikasi. Bandung: Penerbit Binacipta. Astrid Susanto, 1977. Komunikasi Kontemporer. Jakarta: penerbit Binacipta. Barthes, R., 1967. Elements of Semiology. London: Jonathan Cape. Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of American Folklore, Volume 78, Nomor 307, Januari-Maret. Becker, Judith O., 2004. Deep Listeners: Music, Emotions, and Trancing. Volume I. Indiana: Indiana University Press. Ben M. Pasaribu, 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian dalam Konteks Gondang Sabangunan. Medan: Skripsi Etnomusikologi, Fakultas sastra, Universitas Sumatera Utara. Berger, Arthur Asa, 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Blacking, John, 1974. How Musical is Man? Seatlle: University of Washington Press. Brahmaputro, 1979. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber. Bruner, Edward M., 1959. Kinship Organization among the Urban Batak of Sumatra. New York: Transaction of the New York Academy of Sciences. Bruner Edward M. dan Judith O. Becker, 1979. “Art, Ritual and Society in Indonesia.” Makalah diterbitkan pada jurnal Papers in International Studies: Southeast Asia Series. Volume 53. Ohio: University Center for International Studies. 204 Burhan Bungin, 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Grup. Burhan Bungin, 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. Cobley, Paul dam Litza Janis, 2002. Semiotic for Beginners. London: Murray. Colleman Griffin, 1983. Pakpak Batak Kin Group and land tenure: A Study of Descent Organization and Its Cultural Geology. Canberra: Monash University, Disertasi doctor filsafat. Dada Meuraxa, 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar. Daulay, Ivy Irawati, 1995. Studi Deskriptif Surdam Rumaris pada Masyarakat karo di Berastagi. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Djalaluddin Rakhmat, Rosdakarya. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Doligin, J.L. et al. (ed.), 1977. Symbolic Anthropology: A Reader in the Study of Symbols and Meaning. New York: Columbia University Press. Eco, Umberto, 1979. “The Role of the Reader,” dalam Umberto Uco (ed.), The Role of the Reader Explorations in the Semiotiss of Texts. Indiana: Indiana University Press. Endaswara, Suwardi, 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Fakih Mansour, 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fariana, 1992. Deskripsi Peranan Gendang Kulcapi dalam Upcara Erpangir Kulau di Berastagi. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarajana). Fitriaty Harahap, 2005. “Tinggalan Sejarah dan Arkeologis di kabupaten Tanah karo: Sebuah Catatan Perjalanan.” Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala, nomor 15. 205 Geertz, Clifford, 1974. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. Terjemahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Gilmore, David D., 2003. Monsters, Evil Being, Mythical beasts, and All Manner of Imaginary Terrors. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press, Ginting, Yosherman, 1995. Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat Karo Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU (Skripsi Sarjana). Ginting, Yunika Margaretha, 2012. Analisis Struktur Musikal dan Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo di Kecamatan Pancurbatu. Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya USU (Skripsi sarjana). Goris Keraf, 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Groups, The Diagram, 1976. Musical Instruments of the World: An Illustrated Encyclopedia. New York: Fact On File.. Hall, D.G.E., 1968. A History of Sotheast Asia. New York: St. Martin’s press. Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional. Halliday, M.A.K., 1996. “Introduction language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meanings” dalam Paul Cobley (ed.). The Copmmunication Theory Reader. London dan New York: Routledge. Hanslick, Eduard, 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave Cohen. New York: Liberal Arts. Halliday, M.A.K. 1996. “Introduction, Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meanings.” In Cobley, Paul (ed). The Communication Theory Reader. London and New York: Routledge. Hanslick, Eduard. 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave Cohen. New York: Liberal Arts. Harary, Frank, Robert Norman dan Dorwin Cartwright, 1965. Structural Models: An Introductlion to the Theory of Directed Graphs. New York: John Wiley and Sons, Inc. 206 Hati, Lila Pelita, 2005. “Sekilas tentang Pemerintahan Desa di Kabupaten Tanah Karo.” Jurnal Berita Arkeologi Sangkhakala Nomor 15. Hawkins, Alma, 1990. Creating Through Dance. Los Angeles: University of California. Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne York: Cornell University Press. Hutabarat, Saidul Irfan, 2000. Peranan Jasa Tarigan dalam Perkembangan Ensambel Musik Tradisi Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Hutajulu, Rithaony, 2007. “Gender dan Musik pada Masyarakat Karo: Nyanyian sebagai Ranah Otoritas Perempuan.” Jurnal Srintil Nomor 012. Ihromi, T.O 1987. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia. Jackson, Stevi dan Sue Scott (ed.), 2002. Gender-Routledge Student Readers Series: Studies in Social and Political Thought. New York: Rotledge. Jalaludin Rakhmat, 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Jalaludin Rakhmat, 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. James Danandjaja, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers. Kaplan, David dan Robert A. Manners, 2002. Teori Budaya Karo-karo, Jamal, 2012. Analisis Peran keteng-keteng dalam Ensambel Gendang Telu Sendalanen sebagai Media dalam Konteks Upcara Erpangir Kulau di Desa Kutambelin, Kecamatan Lau Beleng, Kabupaten Karo. Tesis (S2) Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Kartomi, Margareth J., (1990), On Concepts and Classifications of Musical Instruments. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. 207 Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Langer, Suzanne K., 1960. Problems of Art. New York: Charles Scribner’s Son’s. Limbeng, Julianus, 1994. Analisis Tekstual dan Musikal Erpola pada Masyarakat Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Lomax, Alan P. 1968. Folk Song Style and Culture. Transaction Books New Jersey. Lowenthal, Leo, 1961. Literature, Popular Culture, and Society. New York: Pacific Book Publisher. Mahdi, Louise Carus, 1987. Betwixt and Between Patterns of Masculine and Feminim Initiation. USA: Open Court Publishing Inc. Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987). Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Mariance, Popfo, 1999. Studi Deskriptif dan Musikologis Upacara Ritual Pajuhpajuhen Nini Lau Tangkup pada Masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang Empat Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Mc Kie, R.C.H., 1937. This was Singapore. London: Robert Hole Ltd. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern University. Muthali’in, Achmad, 2001. Bias Gender Muhammadiyah University Press. dan Pendidikan. Surakarta: Nasir, 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nettl, Bruno, 1964. Theory and Methods in Ethnomusucology. New York: The Free Press of Glencoe. 208 Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nettl, Bruno, 1992. “Ethnomusicology: Some Definitions, Problems and Directions.” Music in Many Cultures: An Introduction. Elizabeth May (ed.). California: University California Press. N.N., 2008. “Adat Karo Sirulo” Berastagi: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Karo. Olsen, Marvin E., 1968. The Process of Social Organization. New Delhi, Bombay, Calcuta: Oxford and IBH Publishing Co. Perangin-angin, Perdata, 1999. Kajian Organologis Gung dan Penganak pada Masyarakat Karo: Studi Kasus Pembuatan Gung dan Penganak oleh Lebut Sembiring. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Peursen, C.A. van, 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Piliang, Yasraf Amir, 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna. Jakarta: UI Press. Poedjawijatna, 1981. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Penerbit Bina Aksara. Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006. Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Jala Sutra. Prinst,. Darwin, 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis. Purba, Parentahen. 2007. Melestarikan Adat Ngeluh Kalak Karo. Medan: Pinem Medan. Rouget, Gilbert, 1985. Music and Trance: A Theory of the Relations between Music and Possession. Chicago: University of Chicago Press. Ricoeur, Paul, 2012. Teeori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya. Jakarta: UI Press. Riffaterre, M., 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press. 209 Ritzer, George dan Barny Smart, 2012.Handbbok Teori Sosial. Jakarta: Gramedia. Rumiyanti, Rini, 1988. Studi Deskripsi Pemakaian Alat Musik Surdam bagi Guru dalam Pengobatan Tradisional Karo. Medan: Jurusan Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Sachs, Curt, 1962. The Wellsprings of Music. New York: Da Capo Press, Inc. Sahman, Humar, 1993. Estetika Telaah Sistematika dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press. Santoso, Anang, 2009. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara. Saptari, Ratna dan Brigitta Holtzner, 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Sembiring, Sri Alem, 2005. “Guru Si Baso dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya Sisi Tradisional dan Arus Modernisasi.” Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Volume 1 Nomor 3 Desember. Sinar, 1992. Studi Deskriptif Musik Vokal Gendang Keramat dalam Upacara Erpangir Kulau Perumah II Nujung Meriah Ukur pada Masyarakat Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). Sitepu, Anton, 1992. Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng dalam Konteks Kerja Mengket Rumah pada Masyarakat Karo. Medan: Skripsi Sarjana Enomusikologi FS USU. Sitepu, Anton, 2015. Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket Rumah pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Medan: Program Studi magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya USU (Tesis Magister). Sitepu, Tri Sahputra, 2010. Studi Deskriptif Penggabungan Alat Musik Kibod dengan Gendang Lima Sedalanen pada Upacara Perayaan Hari Ulang Tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Medan: Departemen Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana). 210 Suharti, 2007. Aktivitas Perempuan Pendendang dalam Kesenian Saluang Panjang di Nagari Alam Pauh Duo Sumatera Barat: Sebuah Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana (Tesis Magister). Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (ed..) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Surbakti, Asmyta, 2004. Konservasi Pengembangan Kawasan Bersejarah Istana Maimoon dalam Konteks Industri Pariwisata di Kota Medan. Denpasar: Universitas Udayana (Tesis Magister). Tarigan, Agus, 2011. Penggunaan dan Fungsi Gendang Keyboard dalam Gendang Guro-guro Aron di Desa Suka Dame. Medan: Departemen Etnomusikologi FIB USU (Skripsi sarjana). Tarigan, Kumalo, 1992, Aspek Metafora dan Onomatopea dalam Tradisi Budaya Musik Karo. Medan: Fakultas Sastra USU. Tarigan, Kumalo, 2006. Mangmang: Analisis Perbandingan Senikata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatera Utara. Pulaupinang: Uiversiti Sains Malaysia (Tesis Master). Tarigan, Perikuten, 2004a. Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Tradisional Karo Sumatera Utara. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana (Tesis magister). Tarigan, Perikuten, 2004b. “Musik Tradisional Karo,” dalam Ben Pasaribu (ed.) Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen. Tarigan, Risnawati, 2010. Pengaruh Daya Tarik Objek Wisata Rumah Adat Karo di Desa Lingga terhadap Kunjungan Wisatawan dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karo. Medan: Universitas Dharma Agung (Tesis Magister). Tarigan, Sarjani, 2011. Kepercayaan Orang Karo Tempo Doeloe. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia. Tasman, Aulia, 2012. “Sumatera dan Hubungannya dengan India dan China, Periode Abad pertengahan Klasik (Abad I-XV)” Makalah dalam Seminar Internasional “The Cross Culture and History of Asia Pacific in Indonesia.” Kerjasama The japan Foundation dan Museum negeri Sumatera Utara, Hotel Danau Toba, Medan. 211 Turner, Victor Witter, 1995. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. USA: Transaction Publisher New Brunswick, Inc. Wahid, Abdurrahman, 1999. Mengenai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Waskito, Agung, 1992. Gendang Indung Karo Gugung: kajian Hubungan antara menggal dan Sora Tang-Tih. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas sastra USU (Skripsi Sarjana). Wojowasito dan Tito Wasito, 1980. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bandung: Penerbit Hasta. Worell, Judith (ed.) 2001. Encyclopedia of Woman and Gender: Sex Similarities and Differences and the Impact of Society on Gender (Volume I). USA: John Willey & Sons Inc. Yudarta, I Gede, 2006. Eksistensi Wanita dalam Seni Karawitan Gong Kebyar: Studi tentang Sekaa Gong Wanita Pusparini Mredangga Banjar Buruwan Desa sanur Kaja Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana (Tesis Magister). 212 DAFTAR INFORMAN 1. Nama Alamat Pekerjaan : Timbangan Perangin-angin : Medan : Wiraswasta dan pemusik tradisional Karo (penggual) 2. Nama Alamat Pekerjaan : Mail bangun : kabanjahe : Wiraswasta dan pemusik tradisional Karo (penggual) 3. Nama Alamat Pekerjaan : Arus Perangin-angin : Medan : Perkolong-kolong 4. Nama Alamat Pekerjaan : Sumpit br Ginting : Kabanjahe : Perkolong-kolong 5. Nama Alamat Pekerjaan : Asli Sembiring : Tiga Binanga : Pemusik tradisional Karo (penarune) 6. Nama Alamat Pekerjaan : Deking Sembiring : Kabanjahe : Pemusik tradisional Karo (penarune) 7. Nama Alamat Pekerjaan : Ramlah br Karo : Medan : Perkolong-kolong 8. Nama Alamat Pekerjaan : Sehat Sembiring : Negeri Jahe : Bertani dan pemusik tradisional Karo (penggual). 213 GLOSARI Adat: Tata aturan untuk perbuatan, kebiasaan, dan lainnya yang selalu dijadikan dasar dalam bertindak pada kebudayaan etnik tertentu, yang diwariskan secara turun-temurun. Anak beru: Anak perempuan (wanita) sebagai keturunan dari klen anak perempuan dalam sebuah merga di Tanah Karo, dapat juga dimaknai sebagai pihak penerima wanita dalam konsep adat perkawinan etnik Karo. Anak perana: Perjaka atau pemuda lajang. Anak simantek: Kelompok gadis dan perjaka yang ikut dalam pelaksanaan gendang guro-guro aron. Anak surat: Tanda untuk mematikan atau merubah tulisan berupa huruf Karo yang berjumlah delapan. Aron: Kelompok pekerja pada masyarakat Karo. Baka: Keranjang rotan berbentuk segi empat Begu: Roh orang yang kosmologi Karo. Bere-bere: Klen atau nama keturunan bagi laki-laki dan perempuan yang berdasarkan beru ibu. Birawan atau berawan: Roh yang tertinggal atau pergi dari tubuh seseorang karena sebuah peristiwa yang menakutkan, yang mengakibatkan orang tersebut menjadi sakit-sakitan. Beru: Keturunan berjenis kelamin perempuan, atau klen yang dibawa oleh perempuan. Cakcak: Tempo di dalam musik tradisional Karo. 213 meninggal dunia dalam persepsi 214 Cawir metua: Sebuah keadaan kematian dalam adat Karo yaitu apabila yang meninggal telah berusi lanjut, kemudian telah memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat yang harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga. Cokong-cokong: Satu aktivitas pemberian dukungan berupa uang pada saat acara menari (landek) maupun menyanyi. Dibata: Tuhan atau dewa-dewa dalam konsep religi awal masyarakat Karo, contoh Dibata Kaci-kaci. Empo: Laki-laki yang menikah. Endek: Irama, ritme, atau gerakan naik dan turun tubuh pada waktu menari (landek). Gendang aron: Komposisi musik yang digunakan oleh pemuda dan pemudi, terutama dalam konteks gendang guro-guro aron. Gendang Pendudu Tendi Judul satu komposisi musik tradisional Karo yang digunakan dalam upacara kematian. Guru Sibaso: Dukun tradisional Karo, yang dipandang menguasai ilmuilmu gaib. Erpangir: Aktivitas biasanya dalam bentuk upacara membersihkan diri, yang disebut erpangir kulau, membersihkan diri pada air bersih yang mengalir. Gundala-gundala: Seni pertunjukan teater tradisi Karo, pemainnya menggunakan topeng Indung surat: Huruf atau abjad kuno Karo yang berjumlah 21 buah. Jambur: Balai desa, atau eumah adat di desa, bangunan rumah yang berdasar pada arsitektur tradisional Karo, biasanay digunakan untuk rapat dan upacara-upacara adat. Kade-kade: Keluarga, sanak saudara, atau famili. 214 215 Kerja tahun: Sebuah pesta tradisional masyarakat Karo yang agraris yang diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Karo dalam satu desa tertentu atau kecamatan tertentu. Mate nguda: apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih muda, boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga, namun belum kesemua anak-anaknya berumah tangga. Maneh-maneh: Benda-benda warisan atau kenang-kenangan dari seseorang yang telah meninggal dunia. Merga: Garis keturunan dalam satu klen yang ditarik berdasarkan garis keturunan ayah. Ndilo wrai udan: Upacara tradisional Karo untuk tujuan memohon kepada Tuhan agar turunlah hujan, setelah terjadi kemarau. Ngukal tulan-tulan: Upacara tradisional Karo yang bertujuan untuk mengumpulkan tulang atau kerangka orang yang sudah meninggal dunia selama sekian tahun dan dikuburkan kembali ke kuburan baru, disebut juga dengan ngampeken tulan-tulan. Nurun: Upacara penguburan dalam konteks upacara kematian. Ose: Pakaian yang dipakai dalam sebuah upacara adat tradisional Karo. Pemasun-masun: Pemberian kata-kata petuah agar memperoleh berkat dari Tuhan Yang maha Kuasa. Perbegu: Kepercayaan kuno masyarakat Karo di era animisme dan dinamisme. Perende-rende: Yaitu penyanyi tradisional dalam budaya musik Karo 215 216 Perkolong-kolong: Seorang penyanyi baik wanita maupun laki-laki yang juga pandai menari, dan melakukan pemasu-masun. Perman: Menantu perempuan dalam konteks kekerabatan etnik Karo, sering disebut pula dengan permain. Perumah begu: Upacara yang dilakukan pada malam hari untuk memanggil roh orang yang telah meninggal dunia. Rakut sitelu: Ikatan yang tiga dalam sistem kekerabtan Karo, terdiri dari senina, kalimbubu, dan anak beru. Rengget: Ornamentasi atau hiasan melodi dalam nyanyian-nyanyian Karo. Rende: Aktivitas menyanyi. Rose: Memakai pakaian adat Karo pada konteks upacara tertentu. Runggu: Aktivitas musyawarah untuk mencapai mufakat dalam kebudayaan Karo. Sembuyak: Saudara kandung, saudara satu perut (rahim). Sukut: Pihak yang menyelenggarakan upacara (pesta) adat, atau dapat dimaknai sebagai tuan rumah. Tabah-tabah galuh: yaitu kematian dalam persepsi adat Karo apabila seseorang yang usianya belum sampai ke dalam tahap usia lanjut, tetapi semua anak-anaknya sudah berumah tangga atau berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut dengan sai utang. Tendi: Roh atau jiwa dalam persepsi religi tradisional Karo. 216 217 Turang: Hubungan kekerabatan (kinship) antara seorang wanita dan laki-laki yang memiliki klen yang sama atau satu saudara. Uis beka buluh: Kain adat Karo yang berwarna merah, kuning, violet, dan menggunakan benang emas, dan garisnya lurus-lurus. 217