katoneng-katoneng pada upacara cawir metua dalam budaya karo

advertisement
i
KATONENG-KATONENG PADA UPACARA
CAWIR METUA DALAM BUDAYA KARO:
KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MELODI,
DAN MAKNA TEKSTUAL
Tesis
Program Studi Magister (S.2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Pertunjukan
Oleh
USAHA GINTING
NIM 107037003
Kepada
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)
PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
i
ii
PESETUJUAN
Judul Tesis
: KATONENG-KATONENG PADA UPACARA CAWIR METUA
DALAM BUDAYA KARO: KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR
MUSIK, DAN MAKNA TEKSTUAL
Nama
: USAHA GINTING
Nomor Pokok
: 1070 37003
Program Studi
: Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Ketua,
Anggota,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
Drs. Irwansyah, M.A.
NIP 196212211997031001
Program Studi:
Magister (S.2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya
Ketua,
Dekan,
Drs. Irwansyah, M.A.
NIP 196212211997031001
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP 195812131986011002
ii
iii
ABSTRACT
This magister thesis entitled Katoneng-Katoneng in Cawir Metua Ceremony at
Karonese Culture: Analysis of Function, Music Structure, and Textual Meaning. The
aims of this research are anAlyze and reach the goal about three aspect of katonengkatoneng (Karonese traditional ceremony song genre): (a) uses and functions, (b)
melodic musical structure; and (c) the meaning of song text.
To analyze the three aspects in katoneng-ketoneng I uses field works metodhs,
as a participant observer, interview works, and recording data in the audiovisual
formats. This research project also use qualitative method, which choose the key
informant (as traditional Karonese singer called in Karo terminology perkolongkolong) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. To study about katoneng-katoneng functions
in Karo cultural generally or specially in cawir metua ceremony (“grand” die
ceremony), I use functionalism theory both in cultural anthropology and
ethnomusicology disciplines. Then, to analyze musical structure in the focus for
melody aspect which singing by Sumpit br Ginting, I use weighted scale theory. After
that, to studied the meaning of katoneng-katoneng, I use semiotic theory which based
on both emic and ethic approaches.
In this research discover some scientific results as follows. Generally,
katoneng-katoneng use in the context of mengket rumah mbaru (coming to the new
house ceremony in Karonese culture), pesta tahun (yearly fiesta), and cawir metua
(“grand “ die ceremony). These three contexs link to the thanks expression to the God
with Her blessing. Especially in cawir metua ceremony, this songs functioned as:
honorably to ancestor which die; thanks to the God about die as the complete human;
ritual legitimation; emotional expression; continuity of culture; and social integration.
Then the melodic structure of katoneng-katoneng is using scales hexatonic (sixtone), using prime perfect intervals until major sixth, it’s ambitus in one octave, and
strophic melodic formulas. Textual meanings contained in katoneng-katoneng is
stressed to counsel and consolation to the raccoon rakut sitelu to sukut (host) and
gratitude at implementation of the party, with the use of diction and style language that
is motivated by concepts of culture Karo.
Keywords: katoneng-katoneng, cawir metua, function, structure of music, textual
meaning.
iii
iv
INTISARI
Tesis ini berjudul Katoneng-Katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam
Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek
nyanyian tradisional Karo katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b)
struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual.
Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode-metode:
penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan
wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual. Penelitian ini juga
menggunakan metode kualitatif dengan memilih informan kunci yaitu perkolongkolong (penyanyi) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. Untuk mengkaji fungsi katonengkatoneng baik dalam konteks budaya Karo yang luas maupun secara khusus pada
upacara cawir metua, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin antropologi budaya
dan etnomusikologi. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik dengan fokus pada
melodi yang dilantunkan Sumpit br Ginting, penulis menggunakan teori weighted
scale. Seterusnya untuk mengkaji makna tekstual katoneng-katoneng ini digunakan
teori semiotik yang berbasis kepada penafsiran secara emik dan etik sekaligus.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Katonengkatoneng umum digunakan pada konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki
rmah baru), pesta tahun, dan cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan
ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Khusus dalam upacara cawir metua,
fungsinya adalah: sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia,
sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; sebagai pengabsahan
upacara; sebagai pengungkapan emosional; sebagai kesinambungan kebudayaan; dan
sebagai integrasi sosial. Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah
menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada), dengan menggunakan interval
prima murni sampai sekta mayor, ambitus satu oktaf, dan formula melodik yang
strofik. Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah
menekankan kepada nasihat dan penghiburan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan
rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan
gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsep-konsep kebudayaan Karo.
Kata kunci: katoneng-katoneng, cawir metua, fungsi, struktur music, makna tekstual.
iv
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan,
Februari 2015
Usaha Ginting
NIM 107037003
v
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat Tuhan tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini bertajuk
Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi,
Struktur Musik, dan Makna Tekstual.
Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan jenjang S2 dan memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada
Program Magister (S2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,
Medan. Tesis ini adalah hasil penelitian mengenai eksistensi katoneng-katoneng dalam
kebudayaan masyarakat Karo, terutama yang digunakan dalam konteks upacara cawir
metua. Perlu diketahui bahwa katoneng-katoneng juga digunakan pada upacara
mengket rumah mbaru dan juga pesta tahun di Tanah Karo Simalem. Ada tiga pokok
masalah yang penulis kaji di dalam tesis magister ini, yaitu tentang fungsi, struktur
musik, dan makna tekstual katoneng-katoneng.
Secara kelembagaan, pertama sekali penulis mengucapkan terima kasih
kepada Rektor Universitas Sumatera Utara dan segenap jajarannya atas segala
kebijakan pengelolaan studi magister seni penulis selama ini. Ucapan terima kasih juga
kepada Bapak Dekan FIB USU, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan segenap
jajarannya yang juga memberikan banyak pelajaran terutama dalam konteks studi
penulis selama ini. Arahan-arahan mereka tersebut membuat penulis
semakin
termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
Selama proses penyusunan tesis, penulis mendapatkan bimbingan dan arahan
dari para pembimbing, yakni Bapak Irwansyah, M.A. selaku pembimbing I dan juga
Bapak Drs. M. Takari, M.Hum, Ph.D. sebagai Pembimbing II, para penguji yakni
vi
vii
Bapak Bapak Drs Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A.
Terima kasih atas segala saran-saran konstruktif keilmuan dari mereka ini, yang dapat
memberikan pencerahan dan tambahan wawasan keilmuan bagi penulis. Tim
pembimbing dan penguji ini sungguh banyak membantu penulis terutama kesabaran
dan ketelatenan dalam penulisan tesis ini. Begitu pula ucapan terima kasih kepada
seluruh dosen yang mengajar di Program Studi Magister Penciptaan dan pengkajian
Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Mereka itu adalah:
Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.; Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.; Dr. Muhizar Muchtar,
M.S.; Dr. Ridwan Hanafiah, M.A.; Dra. Rithaony, M.A.; Yusnizar Heniwaty, SST,
M.Hum.; Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.; Drs. Perikuten Tarigan, M.A., dan
lain-lainnya.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Ponisan
selaku pegawai pada Program studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni,
yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan administratif dan lainnya
kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis
ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis.
Yang pertama adalah ibunda almarhum C. br Pinem, juga ayahanda P. Ginting yang
telah mendidik penulis sejak sekolah dasar, menangah, kemudian sampai pula di
Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, dan kini pada Program Studi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Dalam rangka studi ini, sebagai seorang anak, maka penulis juga mengabadikan
peristiwa cawir metua ibunda penulis dalam kajian tesis ini. Semoga saja apa yang
vii
viii
dituliskan ini menjadi semangat ananda untuk mengabdi kepada masyarakat Karo,
serta bangsa Indonesia pada umumnya.
Kepada Teman-teman kuliah angkatan 2010 Magister (S-2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, diucapkan
terimakasih untuk kebaikannya. Demikian pula angkatan 2009, 2011, 2012, 2013, dan
2014, semoga ilmu yang kita peroleh dapat kita abdikan kepada kepentingan nusa dan
bangsa Indonesia ini.
Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang berkenan,
mohon jangan disimpan di dalam hati. Akhir kata, penulis berterima kasih kepada
seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian dari
tesis ini dapat berguna bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kebudayaan
musikal masyarakat Karo pada khususnya. Terkahir kali, semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa selalu memberkati bangsa ini menjadi bangsa yang maju, damai, sentosa, dan
bertakwa.
Medan, 10 Februari 2015
Penulis,
Usaha Ginting
NIM 107037003
viii
ix
DAFTAR ISI
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
INTISARI ................................................................................................................ iv
PERNYATAAN ....................................................................................................... iv
PRAKATA................................................................................................................ v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM ....................... xii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... xiii
PERNYATAAN .................................................................................................. xviii
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ......................................................................................... 20
1.3 Pembatasan Masalah ......................................................................................... 21
1.4 Tujuan dan Manfaat ........................................................................................... 22
1.4.1 Tujuan penelitian ..................................................................................... 22
1.4.2 Manfaat penelitian ................................................................................... 22
1.5 Konsep dan Teori.............................................................................................. 23
1.5.1 Konsep.................................................................................................... 23
1.5.1.1 Katoneng-katoneng ..................................................................... 24
1.5.1.2 Cawir metua .............................................................................. 25
1.5.1.3 Kebudayaan ............................................................................... 26
1.5.1.4 Fungsi........................................................................................ 27
1.5.1.5 Struktur melodi .......................................................................... 29
1.5.1.6 Makna teks ................................................................................ 29
1.5.2 Teori ...................................................................................................... 30
1.5.2.1 Teori fungsionalisme .................................................................. 30
1.5.2.2 Teori weighted scale .................................................................. 39
1.5.2.3 Teori semiotik ............................................................................ 40
1.6 Tinjauan Pustaka............................................................................................... 42
1.7 Metode Penelitian ............................................................................................. 54
1.7.1 Studi perpustakaan................................................................................... 56
1.7.2 Wawancara .............................................................................................. 56
1.7.3 Pengamatan ............................................................................................. 57
1.7.4 Metode Transkripsi dan Analisis .............................................................. 57
1.8 Organisasi Tulisan ............................................................................................ 58
BAB II. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA
.................................................................................................................. 60
2.1 Geografis .......................................................................................................... 63
2.2 Sistem Kekekrabatan ........................................................................................ 67
2.3 Sistem Kepercayaan .......................................................................................... 76
2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional ....................................................................... 78
2.5 Kesenian .......................................................................................................... 80
2.5.1 Seni sastra ................................................................................................ 81
2.5.2 Seni ukir ................................................................................................... 85
2.5.3 Seni musik ................................................................................................ 87
2.5.3.1 Pengertian musik .......................................................................... 87
2.5.3.2 Jenis-jenis musik .......................................................................... 87
ix
x
2.5.3.2.1 Musik vokal .................................................................. 87
2.5.3.2.2 Musik instrumental ....................................................... 88
2.5.3.3 Ensambel musik tradisional Karo................................................. 89
2.5.3.3.1 Gendang lima sidalanen................................................ 89
2.5.3.3.2 Gendang telu sidalanen................................................. 97
2.5.3.3.3 Solo instrumen .............................................................. 98
2.5.4 Seni tari .................................................................................................. 101
2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat .......................................................... 102
2.5.4.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan ...................................... 104
BAB III. DESKRIPSI UPACARA CAWIR METUA, SERTA PENGGUNAAN
GENDANG DAN KATONENG-KATONENG ....................................................109
3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo ..................................109
3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo .......................................................114
3.3 Pengertian Cawir Metua ..................................................................................117
3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua ..........................................................................119
3.5 Proses Upacara Cawir Metua ..........................................................................120
BAB IV. PENGGUNAAN DAN FUNGSI KATONENG-KATONENG ..............137
4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ..................................................................137
4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo.......................................142
4.2.1 Penggunaan pada upacara mengket rumah mbaru ...................................143
4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua ...................................................146
4.2.3 Penggunaan pada pesta tahun ................................................................149
4.2 Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua .................................154
4.2.1 Fungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia ..... 154
4.2.2 Fungsi sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya ..........156
4.2.3 Fungsi sebagai pengabsahan upacara ......................................................157
4.2.4 Fungsi sebagai pengungkapan emosi ......................................................158
4.2.5 Fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan ...........................................160
4.2.6 Fungsi sebagai integrasi sosial ...............................................................161
BAB V. KAJIAN STRUKTUR MELODI LAGU KATONENG-KATONENG ..165
5.1 Proses Transkripsi dan Hasil Notasi ...............................................................163
5.2 Tangga Nada ...................................................................................................168
5.3 Nada Dasar ....................................................................................................170
5.4 Nada yang Digunakan ....................................................................................174
5.5 Interval .........................................................................................................175
5.6 Pola Kadensa ................................................................................................. 175
5.7 Formula Melodi ............................................................................................. 177
5.8 Kontur ........................................................................................................... 178
BAB VI. MAKNA TEKS LAGU KATONENG-KATONENG .............................181
6.1 Seputar Studi teks Nyanyian ............................................................................181
6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting ......................................................182
6.3 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Sembuyak ...........................................183
6.4 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Kalimbubu ..........................................187
6.5 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Puang Kalimbubu .............................190
BAB VII. PENUTUP ............................................................................................193
7.1 Kesimpulan .....................................................................................................193
x
xi
7.2 Saran-saran ......................................................................................................195
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................196
DAFTAR INFORMAN ..........................................................................................197
xi
xii
DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM
Peta 2.1 Kabupaten Karo ........................................................................................ 65
Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo ................................................................... 66
Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo ..................................................... 68
Tabel 2.2 Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima ..................... 65
Bagan 2.1 Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima dan Tutur Siwaluh
dalam Kebudayaan Karo ........................................................................ 78
Gambar 2.2 Penarune ............................................................................................. 93
Gambar 2.3 Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen .............................................. 94
Gambar 2.4 Sarune ................................................................................................. 96
Gambar 2.5 Gendang Singindungi .......................................................................... 98
Gambar 2.6 Gendang Singanaki .............................................................................. 98
Gambar 2.7 Penganak dan Palu-palu .....................................................................100
Gambar 2.8 Gung dan Palu-palu ............................................................................101
Bagan 3.1 Daur Hidup dan Jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo ........122
Gambar 3.1 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan
Nyanyian Katoneng-katoneng ..............................................................132
Gambar 3.2 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan
Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek ....................................133
Gambar 3.3 Foto Kelompok Kalimbubu Diwakili Laki-laki Sedang
Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada
Sukut Merga Ginting ...........................................................................136
Gambar 3.4 Kelompok Kalimbubu Diwakili Perempuan Sedang Menyampaikan
Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ...........137
Gambar 3.5 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo
Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh (Kerabat Adat) .......................138
Gambar 3.6 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo
Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh ..............................................138
Diagram 5.1 Persentase Penggunaan Masing-masing Nada pada Melodi
Katoneng-katoneng ............................................................................. 65
xii
xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Drs. Usaha Ginting
Alamat
: Jln. Letjen Jamin Ginting 177 B Medan
Agama
: Katholik
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan
: - Tamat dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Taneh Pinem pada tanggal 14
Desember 1973.
- Tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Harapan
Taneh Pinem pada tanggal 4 Desember 1976.
- Tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Garuda Medan
pada tanggal 28 April 1981.
- Tamat Strata Satu (S-1) Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara pada tanggal 3 September 1988.
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan
etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang
di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya
sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan
multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar
berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga
tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara.
Sumatera Utara1 adalah salah satu provinsi di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keberadaan masyarakat yang
1
Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi
(afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan
Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East
Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli,
ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en
Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera
Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan
ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan
Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee,
Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni
oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong
Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara
administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota,
seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu,
Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga,
Tapanuli Tengah, Nias Utara, Nias Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kota Binjai, Kota Tanjungbalai, Kota
1
2
heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang
mendiami kawasan Sumatera Utara ini, dalam konteks pemerintahan Republik
Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang
terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, MandailingAngkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau,
Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil,
Benggali, dan Eropa.
Pada
menerima
masa sekarang sebagian besar masyarakat
cara pembagian
delapan kategori,
kelompok-kelompok
Sumatera Utara,
etnik setempat ke dalam
seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.
Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.
The three major [North] Sumatran ethnic groups are the
Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide
the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province
into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ...
The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main
communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok,
Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly
similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related
languages, but important social, religious and linguistic differences
also divide them. The sharpest linguistic division is between the
Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the
Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south.
The
Simalungun group falls between the two extreme points of contrast
(Goldsworthy, 1979:6).
Tebingtinggi, Kota Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan (Humbamas), Samosir, Toba
Samosir (Tobasa), Dairi, Pakpak-Bharat, juga Karo.
3
Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir,
dan Nias. Orang-orang Sumatera
populasi setempat (yaitu mereka
dengan suku-suku.
Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan
yang
bukan imigran), yang biasa disebut
Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi
pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok,
Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai
organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen
yang eksogamus.2
berbeda.
Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang
Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan
Pakpak-Dairi di
utara
dan barat—dengan
kelompok Toba, Mandailing,
Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua
sistem
linguistik ini.3
Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari
sekitar 3.000 pulau-pulau.
Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar
473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari
1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar
maksimum sebesar
2
384
km.
Sumatera
adalah
pulau
di sebelah barat
Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku,
yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama
dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara
adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya.
3
Selain dari etnik natf yang biasa diuraikan dan dikaji oleh para ilmuwan, di Sumatera
Utara terdapat juga dua etnik natif lainnya di wilayah Tapanuli Bahagian Selatan, yaitu orangorang Lubu dan Siladang. Mengenai eksistensi mereka belum banyak dikaji oleh para ahli, namun
bagaimanapun mereka adalah termasuk ke dalam kategori etnik Sumatera Utara, yang
keberadaannya harus diperhatikan dan mengikutsertakan mereka dalam konteks membangun
Sumatera Utara dan Indonesia.
4
Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º
sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga
dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik
pantai barat ataupun timurnya.
dalam pemerintahan daerah
yang berdekatan dengan
Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke
di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera
didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini
sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau
Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang
pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk
Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan
berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia
(Howell, 1973:80-81).
Seperti terurai di tas, salah satu etnik natif Sumatera Utara adalah etnik
Karo. Berdasarkan wilayah budayanya etnik Karo ini mendiami kawasan
Kabupaten Karo, sampai juga ke Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan
lainnya. Ditambah juga berbagai kawasan perantauannya di zaman Indonesia
merdeka, seperti Riau, Riau Kepulauan, Jakarta, Bandung, dan berbagai tempat di
kawasan Indonesia. Secara budaya, orang-orang Karo ini membagi wilayah
budaya mereka, ke dalam dua kategori yaitu Karo Gugung, yang wilayahnya
berada pada dataran tinggi Bukit Barisan, dan Karo Jahe [Ka.ro Ja.hê] yang
bermukim di dataran rendah (pesisir timur) Sumatera Utara.
5
Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik
instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam
kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan
ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian
Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional
Karo adalah katoneng-katoneng.4
Katoneng-katoneng
[ka.to.nêng-ka.to.nêng]
merupakan
nyanyian
tradisional etnik5 Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural
maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya
yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas
sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan.
Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai
aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket
rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang
4
Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan.
Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng.
Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan
dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama
dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam
kebudayaan Karo.
5
Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku
bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan
bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam
sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4)
menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari
kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya
asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan
sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa.
Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini
mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpuln bahwa setiap kelompok etnik
mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor
ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam
kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbedabeda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.
6
dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro
aron, sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan lainlainnya.
Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional,
spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong6 (penyanyi dan penari profesional
Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu.
Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka,
menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting,
Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu,
Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya.7
Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk
tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring,
Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain
sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang
menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang guroguro aron, kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan
6
Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang
penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena
keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi
lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan
istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum
disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini
dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia
bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune
[pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya.
7
Penulisan huruf br adalah singkatan dari kata beru, yang artinya anak perempuan dari
ayah yang bermerga tertentu. Penulisan seperti ini lazim dilakukan oleh orang-orang Karo, dan
menurut pengalaman penulis jarang seorang perempuan Karo memanjangkannya dalam kara beru.
7
sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni
pada saat pembukaan acara.
Menurut
keterangan perkolong-kolong
Arus
Perangin-angin,
lagu
katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya
bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian katonengkatoneng, dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya.
Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga
merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam
kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh
seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng
dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
(1) Memahami bahasa Karo dengan baik.
(2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo.
(3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna.
(4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang.
(5) Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya
dengan baik.
(6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen
Karo.8
8
Anding-andingen adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo.
Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi
tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa
perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya,
serta dapat menerapkannya dalam perilaku musikal.
8
Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket
rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia),
maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta
kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai
sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas
di dalam kebudayaan Karo.
Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong
terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah
suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa
menghadirkan perkolong-kolong.
Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan
ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut
(penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3
juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua
belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan
lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut
mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih
banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya.
Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong
sepengetahuan penulis, secara budaya wajib dilibatkan. Biasanya mereka terdiri
dari 2 (dua) orang—seorang perkolong-kolong laki-laki dan seorang perkolongkolong perempuan (sepasang). Pada acara ini, peran perkolong-kolong tidak
hanya menyampaikan nyanyian katoneng-katoneng, tetapi juga melantunkan lagu-
9
lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu Sada Perarih, Diding-diding,
Rimo Malem, Olakisat, dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga
menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu
perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan
keterampilan estetika mereka).
Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng
berisikan
nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah
tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru)
lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang
baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara
cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan
penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang
kerabatnya ke alam kubur.
Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga
berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada
acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan
syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar
masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang
berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan.
Perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan
melodi lagu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena setiap perkolongkolong memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, maka mereka
10
mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian
katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola
tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong
yang
bersangkutan.
Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk
struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada
umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari:
(1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup.
Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana
teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk
memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan.
Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya,
menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak
sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong
untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten
(pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian
katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan
upacara tersebut.
Bagian kedua, merupakan teks isi yang biasanya berisi nasehat, dan
pengharapan, dan juga penghiburan kepada pihak yang berduka cita. Bagian ini
merupakan bagian yang sangat dramatis, karena merupakan inti dari keseluruhan
teks nyanyian katoneng-katoneng. Tidak jarang pada bagian ini, kelompok adat
11
tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai
menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada
bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang
yang sudah meninggal itu, seolah-olah
sedang menyampaikan kata-kata
nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya.
Bagian ketiga, adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian
katoneng-katoneng. Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong
kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang
menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan.
Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak
bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan
yang dimilikinya.
Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya
dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya.
Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak
lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang
kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga.
Bahasa
yang
dipergunakan
dalam
nyanyian
katoneng-katoneng
menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat
(bahasa halus). Kata-kata yang diucapkan tidak seluruhnya mengandung makna
denotatif, tetapi lebih cenderung kepada makna konotatif. Kata-kata yang
bermakna konotatif mempunyai efek yang lebih dalam, yang mengandung
12
falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo
yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa
tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala
kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala
kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya.
Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas
(figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian
gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk
menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk
pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu
untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi
dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk
menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada
kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami, perganiganin kami, dan lain sebagainya menunjukkan hal itu.
Dalam musik vokal Karo, ornamen (hiasan) memainkan peranan penting.
Kualitas suatu penyajian musik vokal Karo tergantung kepada beberapa aspek.
Ornamen lagu merupakan aspek yang paling menonjol. Seorang penyanyi Karo
harus menguasai ornamen tersebut. Ornamen tidak bisa dipakai dengan bebas, ada
bagian-bagian tertentu dari lagu yang memerlukan ornamen. Misalnya ketika
mengakhiri frase sebuah lagu, ataupun dipakai bersamaan pada ketika gong
berbunyi. Seorang perkolong-kolong tidak dapat dengan pasti mengetahui di mana
13
suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen
merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi
lagu itu sendiri.
Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam
sebuiah kalimat sebagai berikut:
That element in music which is decorative rather than structural,
and which in particular includes both free ornamentation and specific
ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left
to be improvised at the discretion of the performer.
Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif
(hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk
ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau
tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para
seniman musik.
Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut
dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:
rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek).
Rengget gedang adalah beberapa buah nada yang dinyanyikan dengan cepat
dengan menggunakan teknik slur (meluncur). Biasanya dilakukan pada akhir
sebuah kalimat lagu. Rengget peltep yang sering disebut sembeb adalah hampir
sama dengan rengget gedang, namun nada (bunyi) yang dihasilkan lebih pendek
dari renggetgedang, dan biasanya dilakukan bukan pada akhir sebuah kalimat
lagu, melainkan pada akhir sebuah frase.
14
Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan
perkolong-kolong, di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis,
dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna
yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya.
Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini,
mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang
mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori
logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik
atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian,
sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan
dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia.
Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan
bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada
hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam
kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks
katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang
lima sidalanen atau telu sidalanen.
Kemudian ditinjau dari konteks sosialnya katoneng-katoneng selalu
digunakan dalam berbagai upacara,. Seperti mengket rumah mbaru, pesta
perkawinan, kerja tahun, guro-guro aron, dan juga kematian dalam hal ini
kematian cawir metua. Upacara yang terakhir ini pun di dalam kebudayaan Karo
penuh dengan makna-makna dan nilai budaya.
15
Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua
anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut
dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak
kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila
ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak
kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat
lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang,
dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan
dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami
istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang
meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu
tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).
Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena
kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai. Namun demikian, pada
kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada
saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu. Meskipun selanjutnya,
kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan
penuh suka ria. Dalam pelaksanaan upacara ini, maka salah satunya adalah
menggunakan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolongkolong. Tema utamanya adalah tentang riwayat hidup yang meninggal serta
bagaimana kesedihan sekaligus kegembiraan kerabatnya karena telah mencapai
predikat kematian cawir metua.
16
Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan
untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti
selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan
berikut ini.
Ethnomusicology is the study of music in its cultural context.
Ethnomusicologists approach music as a social process in order to
understand not only what music is but why it is: what music means to
its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed
Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals
working in the field may have training in music, cultural
anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies,
gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in
the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a
coherent foundation in the following approaches and methods: 1)
Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style,
or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music
as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging
in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music
being studied, frequently gaining facility in another music tradition as
a performer or theorist), and historical research.
Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As
researchers, they study music from any part of the world and
investigate its connections to all elements of social life. As educators,
they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural
study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred
music traditions, music and politics, disciplinary approaches and
methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture.
Partnering with the music communities that they study,
ethnomusicologists may promote and document music traditions or
participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution,
medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicologists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and
other institutions that promote the appreciation of the world’s musics
(http://www.ethnomusicology.
org/?page=whatisethnomusicology).
berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka
dapat dipahami bahwa etnomusikologi merupakan studi musik dalam konteks
17
budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi
yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan
pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik
tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna
yang disampaikan musik tersebut.
Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para
ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari
pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian
pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan,
atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua
etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya,
seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari
daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial
(melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3)
Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati
musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau
ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.
Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka
belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua
elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia,
musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus
(misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan
18
disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya
masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari,
etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau
berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya,
penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau
komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya,
rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.
Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi
gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi
selalu digunakan
hukum-hukum
dalam
mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai
internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik
sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian
yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh
Merriam sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own
division, for it has always been compounded of two distinct parts,
the musicological and the ethnological, and perhaps its major
problem is the blending of the two in a unique fashion which
emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature
of the field is marked by its literature, for where one scholar writes
technically upon the structure of music sound as a system in itself,
another chooses to treat music as a functioning part of human
culture and as an integral part of a wider whole. At approximately
the same time, other scholars, influenced in considerable part by
American anthropology, which tended to assume an aura of intense
reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to
study music in its ethnologic context. Here the emphasis was
placed not so much upon the structural components of music
19
sound as upon the part music plays in culture and its functions in
the wider social and cultural organization of man. It has been
tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to
characterize German and American "schools" of ethnomusicology,
but the designations do not seem quite apt. The distinction to be
made is not so much one of geography as it is one of theory,
method, approach, and emphasis, for many provocative studies
were made by early German scholars in problems not at all
concerned with music structure, while many American studies
heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam,
1964:3-4).
Menurut pendapat Merriam seperti pada kutipan di atas, para pakar
etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian
ilmu. Oleh karena pembahagian ini, maka selalu dilakukan percampuran dua
bagian
keilmuan,
menimbulkan
yaitu
musikologi
dan
kemungkinan-kemungkinan
etnologi. Dampaknya adalah
masalah
besar
dalam rangka
mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan
pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang
dihasilkannya. Seorang sarjana (ilmuwan) etnomusikologi menulis secara teknis
tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana
lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi
kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan
kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara
luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung
untuk mengandaikan
kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori
evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks
20
etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini
tidak seluas struktur komponen suara
permainan musik dalam
sosial dan
musik sebagai suatu bahagian dari
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi
kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja
keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu
etnomusikologi seperti tersebut di atas.
Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo,
dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner
keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng
pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur
Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka
berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan
pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian.
1.2 Pokok Permasalahan
Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian katonengkatoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan
oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks
nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya.
Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi
katoneng-katoneng secara mendalam dan menyeluruh. Beberapa penelitian yang
pernah dilakukan berkaitan dengan ini lebih menempatkan katoneng-katoneng
21
dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap
aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya.
Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian
katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan
lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian katonengkatoneng. Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu:
(1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam
upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?
(2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam
upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?
(3) Bagaimana
makna
tekstual
lagu
katoneng-katoneng
yang
dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan
masyarakat Karo?
Untuk pokok masalah pertama yaitu fungsi katoneng-katoneng akan dikaji
berdasarkan dua titik pandang yaitu penggunaan dan fungsinya. Untuk struktur
melodi katoneng-katoneng ini, maka unsur yang akan dikaji mencakup: tangga
nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi interval, formula melodi, pola-pola
kadensa, nada-nada yang digunakan, dan kontur. Selain itu, secara etnosains
Karo, dalam menganalisis struktur melodi ini, penulis menggunakan cara pandang
orang Karo seperti konsep dan terapan rengget (estetika improvisasi dalam
budaya musik Karo), bentuknya yang berkait dengan sastra Karo, dan lainlainnya.
22
Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna
teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua
dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspekaspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat
per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis
yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis.
Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun
katoneng-katoneng ini.
1.3 Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan
yang berhubungan dengan katoneng-
katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang
berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir
metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks
dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik.
1.4 Tujuan dan Manfaat
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, adalah:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng
yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan
23
Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam
kebudayaan.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katonengkatoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam
kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsipprinsip keindahan penyajiannya.
3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng
yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan
Karo.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga
kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan
makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua.
2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat
digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional
dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang
akan datang.
3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menempatkan berbagai
ragam seni pertunjukan yang mengikuti kaidah-kaidah tradisi di
24
dalam
kebudayaan
Karo,
yang
disesuaikan
pula
dengan
perkembangan zaman.
4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat
mengembangkan
disiplin
ilmu-ilmu
seni
khususnya
etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis.
5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai
kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo
secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik
Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era
globalisasi dan perubahan zaman.
1.5
Konsep dan Teori
1.5.1 Konsep
Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan
berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsepkonsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan
teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna.
Konsep adalah
rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari
peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat
yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan
25
argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 2005:1177).
Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang
digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep
yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng,
(b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya
konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.
1.5.1.1 Katoneng-katoneng
Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan
bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan
nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh
seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket
rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya.
Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau
damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang
syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya;
yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam
terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara
cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan
dengan kematian dan cenderung sedih.
26
1.5.1.2 Cawir metua
Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua
anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan
cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya
sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada
seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak
kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat
lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang
dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini
nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum
(suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau
yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai
suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal
(almarhum).
Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena
kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada
kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada
saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya,
kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan
penuh suka ria.
27
1.5.1.3 Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu
terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan
erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan
dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem
tersendiri dalam kumpulan masyarakat.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri.” Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism.
28
1.5.1.4 Fungsi
Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada
pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang
dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan
naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Kesenian sebagai contoh
salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada
awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu
pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun
banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa
macam keinginan manusia (human need) itu. Dengan pengertian seperti ini, maka
seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.9
Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada
masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan
untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara
umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin
memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,
9
Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang
fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam
antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara
fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian
lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands,
selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku
manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
29
akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan,
kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya.
A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat
dengan struktur sosial masyarakat.
Bahwa struktur sosial itu hidup terus,
sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian,
Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu
masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian
aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya.
Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal.
Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng
dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial
masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa
menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi
bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat
Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan
konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai
kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya respons terhadap
kepemilikan rumah baru, pesta panen atau kerja tahun, kematian cawir metua, dan
masalah-masalah lainnya.
30
1.5.1.5 Struktur melodi
Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu
struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan
(teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam
satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau
struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur
juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah,
bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka
yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka
layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud
adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur:
tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan,
nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.
1.5.1.6 Makna teks
Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik adalah naskah yang
berupa kata-kata asli dari pengarang, misalnya kutipan dari Kitab Suci untuk
pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran,
berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar
Bahasa
Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud
dengan teks adalah lirik yang disajikan dalam bentuk nyanyian tradisional Karo
31
yang disebut katoneng-katoneng. Lirik lagu ini memiliki makna-maknanya yang
dapat diungkap melalui latar belakang kebudayaan Karo. Makna-makna tersebut
ada yang bersifat makna sesungguhnya yaiu makna denotatif, tetapi juga
mengandung makna yang lebih dalam dan holistik, yaitu makna konotatifnya.
Makna-makna inilah yang kemudian dianalisis dan ditafsir dalam tesisi ini.
1.5.2 Teori
Teori yang dijadikan sebagai landasan dalam kerja ilmiah adalah suatu
upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan
menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan
bagaimana suatu peristiwa baiik alam atau kemasyarakatan terjadi. Teori
merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis,
yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35).
Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis
terhadap
struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua
dalam kebudayaan Karo, maka dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai
dengan fenomena yang diamati. Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka
penelitian yang kemudian dituliskan dalam bentuk tesis ini, dapat
diuraikan
sebagai berikut.
1.5.2.1 Teori fungsionalisme
Untuk mengkaji fungsi nyanyian katoneng-katoneng khusus pada upcara
cawir metua dalam kebudayaan Karo, penulis menggunakan teori dalam disiplin
32
antropologi yang disebut fungsionalisme. Teori ini dalam ilmu antopologi mulai
dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori
antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (hidup tahun1884-1942). Malinowski
lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayah
beliau adalah seorang profesor dalam ilmu sastra Slavik. Olehkarena itu tidaklah
mengherankan jikalau Malinowski mendapatkan pendidikan yang kelak
memberikannya suatu kerja akademis juga. Pada tahun 1908 beliau lulus dari
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama
kajiannya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng
rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Dia kemudian belajar
psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.
Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan dia membaca buku J.G.
Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkannya
tertarik kepada ilmu etnologi. Dia melanjutkan pelajarannya ke London School of
Economics. Namun karena di Perguruan Tinggi itu tidak ada ilmu folklor atau
etnologi, maka dia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu
sosiologi empiris. Gurunya dalam ilmu etnologi, adalah C.G. Seligman. Pada
tahun 1916 dia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua
buah karangan sebagai pengganti disertasi, yaitu: (a) The Family among the
Australian Aborigines (1913) dan (b) The Native of Mailu (1913). Kemudian
pada tahun 1914 dia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim,
sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian. Selepas perang
33
dunia pertama pada tahun 1918, dia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan
sebagai pembantu ahli di London School of Economics.
Dia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis
fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang
kebudayaan, atau a functional theory of culture. Dia kemudian mengambil
keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ditawari untuk menjadi
profesor antropologi di University Yale pada tahun 1942. Namun pada tahun itu
juga dia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah
ditulisnya, diredaksi oleh muridnya, H. Cairns, dan menerbitkannya dua tahun
selepas itu (Malinowski, 1944).
Pemikiran
Malinowski
mengenai
syarat-syarat
metode
etnografi
berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliahnya. Isinya
adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga
buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan
konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan institusi-institusi
sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat
abstraksi (Kaberry, 1957:82), yaitu:
(1) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap
adat, perilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat;
(2) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap
34
keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya,
seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;
(3) Fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi
ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak
untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan.
Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika dia
mengunjungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun
1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang
ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses
belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah
tidak lain adalah ulangan-ulangan kepada reaksi-reaksi suatu organisme terhadap
gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu
keperluan naluri organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning
theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk
memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi
dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.
Seperti yang telah diuraikan di atas, ketika Malinowski julung kali
menulis karangan-karangannya tentang berbagai aspek masyarakat Trobiand
sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam
ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan
untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan
35
manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar,
Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia
meninggal dunia. Bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and
Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang
fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu
adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud
memuaskan satu rangkaian keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya.
Kesenian sebagai contoh salah satu usur
kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan
keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu.
Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa
macam keperluan itu.
Dengan pemahaman ini, kata Malinowski, seseorang
peneliti bisa mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan
masyarakat dan kebudayaan manusia.
Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Malinowski mengajukan sebuah
orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam
artikel berjudul “The Group and the Individual in Functional Analysis” dalam
jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964.
Dalam
artikel ini Malinowski beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat
bagi masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap
kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan telah menjadi kebiasaan.
Setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam
36
suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan
bersangkutan.
Menuurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau
beberapa
keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekunder dari satu
entitas kepada sebuah masyarakat. Keperluan pokok atau dasar manusia adalah
seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily
comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari
kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi
keinginan dasar ini, maka muncul keinginan jenis kedua (derived needs),
keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur
kebudayaan yang memenuhi keinginan terhadap makanan menimbulkan
keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerjasama dalam mengumpulkan
makanan atau untuk produksi makanan.
Untuk ini masyarakat mengadakan
bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin
kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski
mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang
sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah
nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh
mereka yang bergaul dengan masyarakat tradisional (primitif). Dia menjelaskan
bahwa nilai yang praktis dari teori fungsionalisme adalah bahwa teori ini
mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka
37
ragam, bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya,
bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan
oleh mereka yang secara ekonomi mengeksploitasi perdagangan dan tenaga
orang-orang masyarakat primitif (Malinowski, 1927:40-41).10
Selain Malinowski, pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi
yang lain ialah Arthur Reginald Radcliffe-Brown.
Seperti Malinowski, dia
mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme.
Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai
aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan
individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat.
Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubunganhubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown, 1952).
Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari
Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan
sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan,
yang terdapat dalam berbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi
kemungkinan ketegangan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan karena perkahwinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Dia
10
Keberatan utama terhadap teori fungsionalisme Malinowski adalah bahwa teori ini tidak
dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginankeinginan yang didefinisikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan
makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori
fungsionalisme memang dapat menerangkan bahwa semua masyarakat menginginkan pengelolaan
soal mendapatkan makanan, namun teori ini tidak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap
masyarakat berbeda pengelolaannya mengenai pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain,
teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk
memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenarnya bisa saja dipenuhi dengan cara yang lain,
yang dapat dipilih dari sejumlah pilihan dan mungkin cara itu lebih mudah.
38
menjelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan satu dari dua cara sebagai
berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan
bertemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti
halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang
menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang
kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat
pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu
mertua. Dengan begitu, konflik di antara anggota keluarga dapat dihindarkan—
dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang
kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga kesatuan sosial masyarakatnya.
Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme struktural
adalah sukarnya menentukan apakah suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya
berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam
biologi, bagaimana sumbangan dari suatu organ terhadap kesehatan tubuh
manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan mencoba menghilangkan
organ tersebut misalnya. Namun kita tidak bisa meniadakan sesuatu unsur
kebudayaan masyarakat untuk melihat apakah unsur itu memberi jasa dalam
pemeliharaan struktur masyarakatnya.
Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu
tidak akan ada kaitan apa pun dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau
mungkin bahkan merugikan.
Kita tidak bisa mengandaikan bahwa semua
kebiasaan dalam sebuah masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat
kenyataan bahwa masyarakat pada masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun
39
kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun orientasi
teoretis ini tidak akan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat
memilih cara pemenuhan keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu
saja sebuah masalah tertentu tidak semestinya dipecahkan menuurut cara tertentu
namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu cara dari sekian cara
atau alternatif yang ada.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi
katoneng-katoneng yang digunakan pada upacara cawir metua dalam budaya
Karo, maka teori fungsionalisme digunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi
tersebut memenuhi keinginan masyarakat Karo.
Berdasar kepada teori fungsionalisme Malinowski, katoneng-katoneng
timbul dan berkembang karena diinginkan oleh masyarakatnya, untuk
menyampaikan berbagai-bagai keperluan sosial, seperti pengabsahan upacara,
memberikan hiburan, menunjukkan status sosial, integrasi masyarakat dan
lainnya. Katoneng-katoneng ini memiliki fungsi-fungsi sosiobudaya.
Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi katoneng-katoneng adalah
untuk memenuhi sistem sosial yang terintegrasi, yang akhirnya akan membentuk
harmoni sosial. Melalui katoneng-katoneng setiap pendukungnya adalah
menempatkan diri pada struktur sosial yang dibangunkan bersama-sama. Dalam
lagu ini terkandung ajaran-ajaran dan norma-norma sosial adat Karo yang
dipegang kukuh oleh orang Karo dari generasi ke generasi.
Struktur sosial
masyarakat Karo ini termasuk di dalamnya aspek hubungan rakut sitelu, di antara
40
yang tua dan muda, begitu juga pertuturan yang disebut tutur siwaluh, serta sistem
klen yang disebut merga silima.
1.5.2.2 Teori weighted scale
Dalam rangka menganalisis struktur melodi katoneng-katoneng yang
digunakan dalam upacara kematian cawir metua dalam kebudayaan masyarakat
Karo, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), yang
ditawarkan oleh Malm (1977).
Pada intinya teori weighted scale ini adalah bertujuan untuk menganalisis
delapan unsur yang terdapat dalam melodi seuatu musik, yaitu: (1) tangga nada,
(2) nada dasar, (3) interval, (4) pola-pola kadens, (5) formula melodi, (6) kontur,
(7) wilayah nada, dan (8) distribusi nada. Tangga nada yang dimaksud dalam
teori ini adalah nada-nada yang digunakan, termasuk juga oktaf-oktafnya dalam
rangka membangun sebuah melodi. Selanjutnya yang dimaksud dengan nada
dasar, adalah pusat dari tonalitas atau modalitas melodi tersebut dengan berbagai
cirinya. Kemudian yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara nada-nada
dalam rangka membangun suatu melodi utuh nyanyian, yang di dalam
etnomusikologi biasanya disebut dengan berbagai istilah seperti: prima murni,
sekunde minor, sekunde mayor, kuart murni, kuint murni, sekata minor, sekta
mayor, septim minor, septim mayor, oktaf, kuint diminished, dan lain-lainnya.
Sementara itu yang dimaksud dengan pola-pola kadensa adalah beebrapa
nada akhir di ujung frase-frase melodi atau juga ujung lagu tersebut. Selanjutnya
41
yang dimaksud dengan formula melodi, adalah bagaimana komposisi melodi
tersebut dibangun oleh motif, frase, dan bentuknya. Ini dapat dideskripsikan
sebagai benmtuk tunggal, binari, ternari, dan seterusnya. Kemudian yang
dimaksud dengan kontur adalah garis lintasan melodi baik secara umum maupun
rinci, yang dapat dideskripsikan dengan istilah-istilah sseperti: pendulum,
berjenang, menaik, menurun, rata, dan sejenisnya. Kemudian yang dimaksud
dengan wilayah nada adalah jarak yang diukur dengan satuan laras atau sent
antara nada terendah dengan nada tertinggi di dalam sebuah lagu. Selepas itu,
yang dimaksud dengan distribusi nada adalah bagaimana masing-masing nada itu
menyebar dan menyusun suatu melodi lagu secara utuh, biasanya dideskripsikan
dengan cara kuatitatif, jumlah masing-masing nada tersebut disertai dengan
jumlah durasinya. Demikian kira-kira unsur-unsur melodi yang dianalisis melalui
teori weighted scale ini.
1.5.2.3 Teori semiotik
Untuk mengkaji makna teks katoneng-katoneng ini, maka penulis
menggunakan teori semiotika. Pada dasarnya teori ini hendak menunjukkan
bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berfikir dengan tanda-tanda dan
sekaligus sebagai makhluk pencipta tanda-tanda. Potensi tanda-tanda itu sendiri
baik terdapat diluar diri manusia maupun pada dirinya sendiri. Apakah bahasanya
lisan maupun tulisan, atau gerak-geriknya, demikian pula dengan warna, garis,
bentuk, dan suara di sekitar kita semuanya dapat dikatakan tanda., sejauh itu telah
42
diberi arti atau ditempatkan pada ruang tertentu. Dikatakan demikian, karena
tidak secara begitu saja segala sesuatu langsung menunjukkan suatu tanda
tertentu. Sesuatu yang masih potensial sebagai tanda tentu saja belum menunjuk
pada suatu pengertian. Bahwa sesuatu itu menjadi jelas-jelas tanda hanya sejauh
ketika sesuatu itu dikomunikasikan (Tommy F Awuy, 2003).
Dengan demikian, apa yang ingin dimaksud dengan analisis semiotik di
atas ini adalah yang berhubungan dengan dimensi komunikasi. Analisis semiotik
komunikasi disini bermaksud untuk mencari proses pemahaman antara pihak
yang memberi tanda dan pihak yang menerima tanda, dengan tidak atau melewati
sebuah medium tertentu.
Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang di gunakan dalam prilaku manusia. Dua tukoh perintis semiotika
adalah Ferdinand De Sausurre seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders
filosof dari Amerika Serikat. Menurut pakar linguistik, Ferdinand De Sausurre,
semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat
yang menggunakan tanda-tanda itu.“ Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang
membuat lambang bahsasa itu sendiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau
signifier
yang
berhubungan
dengan
konsep
(signifed).
Peirce
juga
menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dati dari 3
bagian yang saling berkaitan: (1) respresentatum, (2) pengamat (interpretant),
dan (3) objek. Dalam kajian kesenian kita harus memperhitungkan peranan
seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha
43
kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Sedangkan
secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semion.
Dalam kaitannya teori semiotika untuk mengkaji teks lagu katonengkatoneng, maka penulis menutip pendapat van Zoest (1996:11). Menurutnya di
dalam sebuah teks terdapat ikon, apaila adanya persamaan suatu tanda tekstual
dengan acuannya. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai
suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat dalam sajak (keteraturan suku kata,
pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu susunan tipografi tertentu) adalah
tanda: penanda “ini adalah sebuah sajak.” Adanya kalimat yang panjang-panjang
adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita,
panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa dianggap sebagai tanda. Semua
yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang
sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas
sejumlah besar tanda lainnyayang lebih kecil. Pada kekhasan teks hanya tampak
setelah dilakukan analisis struktural yang sangat mendalam.
Selanjutnya dalam rangka kerja dengan teori semiotika peneliti hendaklah
menginterpretasi (menafsir) tanda dalam teks. Suatu gejala struktural, baik yang
muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (dalam kalimat atau sekuen)
maupun pada tingkatan makrostruktural (teks yang lebih luas), selalu dapat
dianggap sebagai tanda. Terpulang kepada pembuat analisis teks, untuk
memutuskan apa atau apa-apa saja yang ingin dipilihnya. Selain dari itu, jika ia
memutuskan menganggap tanda yang dipilihnya sebagai ikon, konsep ikonositas
44
dapat dipakainya sebagai alat heuristis. Maksudnya alat itu memungkinkannya
mengenali suatu makna yang mungkin akan tetap tersembunyi kalau alat itu tidak
dipergunakan.
1.6 Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari repetisi kajian yang sama, baik dalam waktu
penelitian maupun fokus yang sama, maka perlu dilakukan serangkaian studi
terdahulu. Studi ini adalah yang terkait dengan kebudayaan Karo secara umum,
musik Karo, baik itu musik instrumental maupun musik vokalnya, tari Karo,
sastra Karo, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tentang topik tersebut, sebahagian
besar adalah berupa skripsi dan juga tesis di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas
Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Dalam bentuk skripsi ditulis oleh para calon sarjana etnomusikologi,
dan juga tesis oleh para dosen dan calon magister Penciptaan dan Pengkajian
Seni, baik itu berupa kajian tekstual, musikal, upacara, oraganoligis, di antaranya
adalah sebagai berikut.
(1) Kumalo Tarigan, menulis skripsi sarajana pada Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Sastra USU, tahun 1985. Kumalo Tarigan, dalam skripsinya ini
mengkaji tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan
Karo. Dalam skripsi ini Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu
45
sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional
dan struktural.
(2)
Perikuten Tarigan, juga menulis sebuah skripsi sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra
USU, tahun1986. Perikuten Tarigan mengkaji tentang gendang lima
sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo
Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel
gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun
dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki
hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang
lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural.
(3)
Rini Rumiyanti,
menulis sebuah skripsi sarjana pada Jurusan
Etnomusikologi Fakultas Sastra USU medan,
tahun 1988. Beliau
melakukan studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam
pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan
struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan
masyarakat Karo.
(4) Jamal Karo-Karo (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991) mengkaji
tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo.
Penulis skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap
alat musik keteng-keteng Karo dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu
menggunakan teori klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan
46
organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat
musik.
(5)
Fariana, seorang etnomusikolog lulusan Etnomusikologi Fakultas Sastra
USU, tahun 1992 melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang
kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Di dalam skripsi ini,
Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi
pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam
gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan
para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan
struktural.
(6) Selain itu, etnomusikolog Sinar, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra
USU, 1992, dalam skripsinya mengkaji tentang studi deskriptif musik
vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan
pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis
salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang
disebut dengan Gendang Keramat.
(7)
Penulis budaya musikal Karo berikutnya adalah Julianus Limbeng, Jurusan
Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994. Beliau mengkaji tentang aspek
tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini
Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap
enau untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Tanah Karo. Teksnya
penuh dengan makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng
47
mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot
tangga nada (weighted scale).
(8) Ivy Irawaty Daulay, menulis skripsi sarjana di Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Sastra USU, 1995. Dalam skripsinya beliau mengkaji tentang
studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi.
Pada skripsinya ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi
organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo
yang disebut dengan surdam rumaris.
(9) Perdata Peranginangin, saat menyelesaikan studi di Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Sastra USU, tahun 1999 melakukan kajian organologis terhadap
alat musik gung dan penganak pada masyarakat Karo, dengan studi kasus
teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring. Skripsi ini
amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa etnomuskologi USU lebih
senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa
melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan
kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik.
Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai
besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring.
(10)
Penulis berikutnya adalah Popo Marince di Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, tahun1999. Ia melakukan
studi deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau
tungkup pada masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang
48
Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya
menitikberatkan kepada kajian ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup
dengan pendekatan teori upacara dan fungsional.
(11) Seterusnya, Bahtiar Tarigan, ketika menyelesaikan studinya di Jurusan
Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1999, beliau melakukan kajian
tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa
Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga
memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara
tradisi Karo yang disebut perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam
gaib).
(12) Roy Jimny N. Sebayang, dalam menulis skripsi sarjananya di Jurusan
Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2004, melakukan analisis
tentang kendang keyboard dan hubungannya dengan perilaku sosial
masyarakat Karo dalam upacara adat erdemu bayu di Kota Medan. Skripsi
ini juga berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan
kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam
pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada
gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu
bayu.
(13) Roberta Sinurat, yang juga warga Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra
USU, 2004, melakukan studi deskriptif adu perkolong-kolong pada
upacara gendang guro-guro aron di Jambur Namaken and Son Medan.
49
Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo
yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guro-guro aron.
Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan
pembaca.
(14) Memasuki era dasawarsa 2010, Saidul Irfan Hutabarat, dalam rangka
menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,
2010, menulis skripsi yang berisi tentang peranan Jasa Tarigan dalam
perkembangan ensambel musik tradisi Karo. Skripsi ini memfokuskan
perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah
Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa
Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa
transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke
dalam kehidupan musik Karo.
(15) Tri Syahputra Sitepu, di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,
tahun 2010, melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan
alat musik kibod dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan
hari ulang tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai,
Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Di dalam skripsi ini Tri
Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses penggabungan atau
akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik modern
dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen.
Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses
50
akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka
“pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman.
(16) Selain itu, Agus Tarigan pada Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya
USU, tahun 2011, melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk
skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi gendang keyboard dalam
gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini menurut penulis
lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan
menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam
kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame.
(17) Perikuten Tarigan, yang boleh dikatakan sebagai etnomusikolog dan
pengkaji budaya Karo, dalam rangka menyelesaikan studinya, menulis
tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Denpasar, tahun 2004. Di dalam tesis ini, Perikuten
Tarigan membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian
tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas
alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat
perubahan
ini
dari
sisi
dalam
dan
luar
budaya
Karo
yang
mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan
musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya
dalam masyarakat Karo.
(18) Selanjutnya studi musik Karo di peringkat magister ini, dilakukan oleh
Kumalo Tarigan, dan diselesaikan penulisannya tahun 2006. Dalam
51
tesisnya Kumalo Tarigan menganalisis mangmang (salah satu genre
nyanyian ritual Karo), baik itu teks (seni kata) maupun melodinya. Di
dalam tesis ini banyak diuraikan tentang praktik-praktik perdukunan di
Tanah Karo yang menggunakan aspek-aspek musikal. Fungsi utama
nyanyian ritual ini adalah seperti memanggil roh mendiang dukun.
(19) Selain itu kajian yang juga dekat dengan focus kajian penulis adalah yang
dilakukan oleh Yosherman Ginting, dalam skripsinya di Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang
berjudul Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat Karo
Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten
Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis, tahun 1995. Dalam
skripsi sarjana etnomusikologi ini, Yosherman Ginting menganalisis
kateneng-kateneng dalam konteks upacara mengket rumah mbaru
(memasuki rumah baru), khususnya di Dusun Deleng Payong Langkat. Ia
mentranskripsi dan menganalisis teks serta melodi kateneng-kateneng yang
utamanya dilantunkan oleh Bapak Ralinta Sitepu.
(20) Kajian yang paling dekat dengan fokus kajian penulis adalah penelitian
dalam rangka penulisan skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting,
tahun 2012. Judul skripsinya adalah: Analisis Struktur Musikal dan Fungsi
Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo
di Kecamatan Pancurbatu. Dalam skripsi ini dianalisis melodi dan teks
katonengh-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Katoneng-
52
katoneng tersebut disajikan oleh perkolong-kolong Ramlah Sitepu dan
Jaya Ginting.
(21) Tesis magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, yang bertemakan katoneng-katoneng adalah
yang ditulis oleh Anton Sitepu pada tahun 2015 ini. Ia menulis tesis yang
berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket Rumah
pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Tesis ini
mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upcara mengeket rumah
dengan dua kajian utama yaitu semiotik liriknya dan struktur musik,
khusus melodinya.
Dua buah skripsi yaitu Yosherman Ginting (1995) dan Yunika
Martgaretha Ginting (2012), serta satu tesis magister yaitu Anton Sitepu (2015)
di atas, memiliki berbagai kesamaan kajian dan tentu saja perbedaan-perbedaan
dengan yang penulis lakukan. Yang dilakukan Yosherman Ginting adalah pada
tahun 1995, yang telah berjarak 20 tahun dengan masa studi yang penulis
lakukan. Tentu saja banyak hal yang berubah dan berbeda dalam masa sekian
lama itu. Selain itu, yang dilakukan Yosherman adalah pada masyarakat Karo
Jahe di wilayah Kabupaten langkat, yang sedikit banyaknya berbeda dengan
yang penulis lakukan ini, terfokus di wilayah Karo Gugung. Demikian pula
perkolong-kolong (penyanyi) yang dijadikan fokus perhatian analisis juga
berbeda.
53
Kemudian yang diteliti dan ditulis dalam bentuk skripsi sarjana oleh
Yunika Margaretha Ginting tahun 2012, adalah difokuskan kepada katonengkatoneng pada upacara cawir metua di Pancurbatu, dari sisi fungsi dan struktur
musikal. Persamaan dengan yang penulis kerjakan adalah, wilayah penelitian
sama-sama pada kawasan Karo Gugung. Selain itu, katoneng-katoneng yang
disajikan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Namun yang berbeda
dengan yang penulis kerjakan adalah tentu saja tingkat kedalaman kajian, yaitu
apa yang ditulis Yunika Ginting baru tahapan skripsi untuk sarjana, sedangkan
yang penulis lakukan adalah untuk peringkat magister, yang harus lebih dalam
dan holistik. Selain itu perkolong-kolong yang dijadikan kajian adalah berbeda.
Demikian juga tempat dan konteks diadakannya upacara cawir metua adalah
beda tempat yaitu desa yang berbeda. Demikian pula kajian fungsi yang
dilakukan Yunika Ginting lebih terfokus kepada penggunaan teori fungsi dari
Merriam, sedangkan penulis lebih meluaskannya yaitu selain memakai teori
fungsi Merriam, juga memakai teori Radcliffe-Brown dan Malinowski.
Kemudian persamaan dan perbedaan kajian penulis dengan Anton Sitepu
adalah sebagai berikut. Yang pertama, adalah perbedaan konteks. Anton Sitepu
mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upacara mengekt rumah, sama
seperti yang dilakukan Yosherman Ginting. Sementara itu yang penulis kerjakan
adalah dalam konteks upacara cawir metua. Seterusnya yang membedakan
kajian Anton Sitepu dengan penulis adalah fokus kajian melodi pada perkolongkolong yang berbeda. Anton Sitepu tidak mengkaji secara mendalam fungsi
54
katoneng-katoneng ini di dalam kebudayaan Karo, dan fungsi music dalam
masyarakat ini tidak menjadi pokok permasalahan penelitian belaiu. Sementara
penulis sebagaimana arahan Merriam adalah menyeimbangkan kajian struktural
dengan kontekstualnya. Itulah yang membedakan kajian kami.
Selain dari skripsi dan tesis, maka kajian kepustakaan lainnya adalah
dengan membaca dan menerapkan berbagai
isi buku-buku mengenai
kebudayaan, kajian teks, dan semiotik. Di antara buku-buku itu adalah seperti
yang diuraiakn berikut ini.
(22)
Buku Teori Budaya karangan David Kaplan dan Robert A. Manners
(2002). Buku ini pada pada bab ketiga (Tipe-tipe Teori Budaya) sub bab
ketujuh memuat tentang ideologi. Kaplan menggunakan istilah ideologi
dengan pengertian yang netral dan tak bersifat menilai baik-buruk. Dalam
sub bab kesembilan Kaplan mengungkapkan, bahwa karena sifatnya yang
subjektif itu ideologi tidak dapat kita ketahui melalui pangamatan
langsung. Ideologi harus disimpulkan dari sesuatu bentuk perilaku, yakni
dari apa kata orang atau dari pengamatan atas orang-orang yang
berinteraksi dalam berbagai sistem sosial. Folklor Indonesia karangan
James Danandjaja (1986). Buku ini memuat tentang folklor yang ada di
Indonesia. Folklor Indonesia disajikan dalam bentuk
hakikat folklor,
penelitian folklor di Indonesia, bentuk-bentuk folklor Indonesia, folklor
sebagai lisan, dan folklor bukan lisan. Penulis memfokuskan perhatian
55
pada folklor Indonesia yang berupa nyanyian rakyat yang tertulis dalam
buku ini untuk referensi tesis ini.
(23) Teori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya
karangan Paul Ricoeur (2012). Buku ini menekankan pentingnya
interpretasi
untuk
dapat
memahami
realitas
dengan
segala
kompleksitasnya. Buku ini juga membantu kita untuk menjelajahi makna
bahasa dengan seperangkat teori interpretasi yang terangkum dalam filsafat
wacana.
(24)
Serba-Serbi Semiotika karangan Panuti Sudjiman dan Art van Zoest
(1991). Buku ini berisi ulasan-ulasan tentang apa itu semiotika terutama
yang digunakan di dalam disiplin ilmu linguistik dan sastra. Di dalamnya
juga diberikan contoh analisis terhadap karya-karya satrawan Indonesia
seperti Chairil Anwar.
(25) Semiotic for Beginners karangan Paul Cobley dan Litza Jansz (2002). Buku
ini berisi tentang identifikasi para ahli semiotika yang terkemuka dan
karya-karya mereka. Semiotika dalam buku ini dipaparkan dengan konsepkonsep sederhana yang sebelumnya merupakan istilah-istilah yang pelik.
Buku ini penulis jadikan sebagai pijakan untuk memepelajari betapa
pentingnya tanda-tanda dan sistem penandaan bagi keberadaan manusia.
(26) Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna karangan
Yasraf Amir Piliang (2012). Buku ini lebih banyak menyoroti semiotika
dan post-modernisme, dalam konteks aliran pemikiran, yang juga
56
dihubungkan dengan perkembangan teori-teori dalam dunia ilmu
pengetahuan, terutama ilmu-ilmu budaya.
1.7
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller
(1986) seperti yang dicatatkan oleh Lexy J Moleong (1996) mendefinisikan
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada perhatian pada manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya.
Selanjutnya menurut Taylor dan Bogdan (1984) bahwa penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diperhatikan dari orang-orang atau subjek itu sendiri. Jadi penelitian ini lebih
menekankan kepada apa-apa yang ada di dalam persepsi dan pikiran para
informannya.
Selain itu, penelitian ini berusaha mendapatkan pandangan para pelaku
seni terhadap konteks penelitian. Dalam memahami pemikiran itu, peneliti
sepatutnya melakukan empati dalam kehidupan para pelaku seni sebagai subjek,
serta menghayati kehidupan berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka.
Marshall dan Rossman (1995) menegaskan bahwa peneliti dalam
penelitian kualitatif berperan sebagai instrumen. Oleh karena itu, peneliti harus
turut serta dalam kehidupan pelaku seni. Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti
57
mewujudkan interaksi sosial secara intensif dan kondusif, yang memungkinkan
peneliti mendalami dan memahami pandangan pelaku seni.
Sebagai orang yang berasal dari daerah Karo (yaitu insider), di mana asal
topik penelitian yang akan diteliti, sedikit banyaknya peneliti mempunyai
pengetahuan yang cukup baik
mengenai adat-istiadat, etika, maupun bahasa
Karo, sehingga hubungan rapport11
dapat berlaku dengan para narasumber
seperti yang disarankan oleh James Danandjaya (1984).
Prinsip kerja yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara garis besar
adalah dengan kegiatan pembacaan literatur,
wawancara, dan pengamatan
terutama pada persoalan yang ingin diteliti. Membaca literatur adalah untuk
menambah wawasan, memecahkan masalah, dan membantu mengkaji pokok
masalah penelitian. Wawancara adalah untuk mengumpulkan data, kemudian
menganalisisnya, dan mendalami analisis, terutama tertuju kepada struktur melodi
dan makna teks katoneng-katoneng. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh
gambaran tentang pokok masalah dan kenyataan yang terjadi di lapangan, yang
dapat dimasukkan ke dalam memori peneliti berupa memori auditif maupun
visual. Selain itu, pengamatan ini menjadi bahagian yang integral dari kajian
peneliti yang terlibat dalam ranah penelitiannya (partisipant observer).
11
Rapport yang dimaksud di sini adalah hubungan yang harmoni, berupa saling
mempercayai antara peneliti yang melakukan penelitian dengan orang-orang desa, atau
paling sedikitnya dengan para informannya.
58
1.7.1 Studi perpustakaan
Penelitian perpustakaan diperlukan untuk memperoleh data-data dari
sumber-sumber tertulis, untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil
rekonstruksi
berbagai
wawancara
dan
pengamatan.
Bahkan
penelitian
perpustakaan sudah dilakukan sebelum terjun ke lapangan, juga secara bersamasama, maupun sesudah kerja lapangan.
Untuk keperluan penelitian perpustakaan, penulis melakukan kunjungan
ke berbagai perpustakaan umum, perpustakaan kampus, toko-toko buku, untuk
memperoleh tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan.
1.7.2 Wawancara
Wawancara ini akan menjalin hubungan langsung dengan tokoh adat
Karo,beberapa orang perkolong-kolong, pemusik tradisional Karo; serta
melakukan wawancara mendalam dengan mereka, berdasarkan daftar persoalan
yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pengalaman, pengetahuan, gagasan-gagasan mahupun ide-ide mereka yang
berkaitan dengan penyajian katoneng-katoneng.
Di samping itu, penelitijuga melakukan wawancara dengan pemerhati
budaya dan kesenian Karo, untuk mengenal pasti pandangan mereka tentang
aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian. Wawancara
dengan para responden ini penulis rekam dengan menggunakan tape
Microcassette – Corder M-455 Sony Corp.
59
1.7.3 Pengamatan
Aktivitas lain yang juga dilakukan dalam penelitian lapangan ini adalah
melakukan pengamatan terhadap penyajian katoneng-katoneng dalam upacara
cawir metua, untuk melihat langsung fenomena penyajiannya. Peneliti juga
berusaha melakukan pengamatan terlibat (participant observation), dengan cara
melibatkan diri dalam proses penyajian katoneng-katoneng, seperti contohnya:
ikut memainkan instrumen musik tertentu yang peneliti kuasai; dan lain
sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat merasakan suasana penyajiannya
sebagai orang dalam (James Danandjaya 1984 : 121).
Karena objek yang peneliti amati sangat kompleks, peneliti juga
mengumpulkan beberapa rekaman video, foto-foto penyajian katoneng-katoneng
melalui rekan-rekan peneliti, baik berupa koleksi pribadi maupun koleksi
lembaga-lembaga penggiat seni lainnya, swasta maupun negeri, untuk membantu
peneliti mengamati lebih mendalam aspek-aspek yang berkaitan dengan penyajian
katoneng-katoneng.
1.7.4 Metode transkripsi dan analisis
Dalam proses transkripsi penulis berpedoman pada pendapat Nettl
(1991:23) yang mengatakan ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk
mendeskripsikan musik, yaitu : (1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan
musik dari apa yang kita dengar, (2) kita dapat menuliskan bunyi musik itu dalam
tulisan sehingga dapat mendeskripsikan tulisan itu.
60
Dalam hal notasi penulis mengacu pada pendapat Seeger (1958:184-195)
yang membedakan dua notasi ditinjau dari tujuannya, yaitu : notasi perskriptif dan
notasi deskriptif. Notasi perskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan garis
besar dari bunyi. Notasi ini merupakan pedoman bagaimana musik itu dapat di
wujudkan oleh pemain musik. Notasi deskriptif adalah laporan yang disertai
dengan lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu komposisi musik
diwujudkan.
Dalam mentranskripsi katoneng-ketoneng dalam upacara cawir metua ini,
penulis menggunakan transkripsi manual. Artinya segala yang terdengar
dituliskan di dalam bentuk notasi balok Barat. Dalam menuliskan notasi ini
penulis menggunakan sebuah perangkat lunak yang umum digunakan pada masa
sekarang di bidang etnomusikologi dan musikologi, yaitu sibelius.
1.8 Organisasi Tulisan
Tulisan ini secara keseluruhannya terdiri atas tujuh bab. Ketujuh-tujuh bab
ini ditulis menjadi satu kesatuan dalam menguraikan pokok masalah yang
diajukan pada Bab I, yang terfokus ke dalam tiga aspek: (a) fungsi, (b) struktur
melodi, dan (c) makna teks katoneng-katoneng yang digunakan dalam konteks
upacara cawir metua. Ketujuh bab itu dapat diuraikan seperti berikut ini.
Bab Satu merupakan Pendahuluan, yang kemudian dapat dirinci lagi
dengan uraian tentang Latar Belakang, Pokok Masalah yang dikaji, Kerangka
Teori, Konsep, dan Metode Penelitian. Bab ini berisi mengenai faktor-faktor
61
sosial dan kebudayaan apa yang menjadikan penulis tertarik meneliti dan menulis
fenomena ini, serta bagaimana fenomena tersebut dikaji berdasarkan keilmuan
etnomusikologi dalam konteks multidisiplin ilmu.
Bab Dua, adalah deskripsi etnografis yang berfokus kepada masyarakat
Karo dan kebudayaannya. Aspek yang dideskripsikan di antaranya adalah wilayah
budaya, seni sastra, seni tari, seni musik, alat-alat musik, dan lain-lainnya. Pada
dasarnya bab ini adalah mendeskripsikan secara umum masyarakat Karo dan
kebudayaannya. Deskripsi ini berkaitan bagaimana kondisi etnografis masyarakat
Karo dan kebudayaannya serta hubungannya dengan katoneng-katoneng yang
difungsikan dalam upacara cawir metua.
Bab Tiga, adalah deskripsi upacara cawir metua serta penggunaan
gendang dan katoneng-katoneng pada budaya masyarakat Karo. Tulisan di dalam
bab ini mengacu dari penelitian lapangan, dengan menerapkan deskripsi upacara
yang ditawarkan oleh para ahli, termasuk di dalamnya: pelaku upacara, waktu
upacara, benda-benda dan peralatan upacara, dan hal sejenis.
Sedangkan Bab Lima, adalah bab yang berisi tentang kajian struktur
melodi lagu katoneng-katoneng yang disajikan oleh informan kunci. Bagian ini
memfokuskan kajian kepada unsur-unsur pembentuk melodi katoneng-katoneng,
seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, pola-pola
kadensa, interval, nada-nada yang digunakan, kontur, dan sejenisnya.
62
Bab Enam, berisi kajian yang memfokuskan perhatian kepada makna teks
katoneng-katoneng. Makna yang dikaji ini baik berupa makna sesungguhnya atau
makna denotatif. Makna-makna itu dikaji berdasarkan data verbal nyanyian
katoneng-katoneng yang diperoleh dalam upacara cawir metua.
Bab Tujuh adalah berupa bab penutup yang merupakan kesimpulan dan
saran. Kesimpulan yang penulis tuliskan adalah kembali untuk menjawab tiga
pokok masalah utama di dalam bab satu. Selain itu, beberapa saran penulis
kemukakan dalam konteks penelitian ini.
63
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO
DAN KEBUDAYAANNYA
Suku Karo dikenal sebagai salah satu sub suku Batak1, yang secara
historis memiliki wilayah asalnya di daerah pegunungan (Bukit Barisan) di
wilayah Provinsi Sumatera Utara Sekarang, khususnya di wilayah Kabupaten
Karo dan sekitarnya. Mereka menyebut daerah tersebut dengan sebutan Taneh
Karo Simalem (Tanah Karo Yang Sejuk).
Pada masa kini hanya sebahagian kecil orang Karo bertempat tinggal di
wilayah asalnya Taneh Karo simalem. Berdasarkan data sensus yang dibuat oleh
Pemerintah Kabupaten Karo pada tahun 2010, orang Karo yang mendiami
dataran tinggi hanya berkisar 350 ribu kepala keluarga (KK). Sedangkan
sebagian besar orang Karo lainnya bertempat tinggal secara tersebar di wilayah
1
Yang termasuk ke dalam kelompok suku Batak ini adalah: Karo, Pakpak-Dairi, Batak
Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Kelima sub suku ini memiliki persamaanpersamaan kultural dan sosial selain juga perbedaan-perbedaannya. Kelima-limanya memiliki
konsep pembagian kelompok kerabat kepada tiga unsur yaitu: (1) kempompok keluarga besar
satu marga atau klen yang ditarik berdasarkan keturunan dari pihak ayah (patrilineal), istilah
untuk menyebutkannya adalah dongan sabutuha untuk Batak Toba, dengan sibeltek (PakpakDairi), sembuyak (Karo), dan kahanggi (Mandailing-Angkola); (2) kelompok pemberi isteri
kepada kelompok kita. Golongan ini disebut dengan istilah hula-hula (Batak Toba), kula-kula
(Pakpak-Dairi), kalimbubu (Karo), mora (Mandailing-Angkola), tondong (Simalungun).
Kelompok ini paling dihormati dalam konteks adat mereka. Mereka dipandang sebagai dewa
yang tampak di dunia ini. (3) Kelompok atau penerima isteri, yang diistilahkan anak boru
(batak Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun), beru di Karo dan Pakpak-Dairi. Namun
terdapat pula sejumlah perbedaan di antara masyarakat Batak ini, seperti penggunaan bahasa
yang berbeda, garis keturunan yang sama dan berbeda sekaligus, artefak yang juga berbeda, dan
lain-lainnya. Dengan demikian, sampai sekarang di kalangan antropolog atau ahli-ahli budaya
dan ilmuwan sosial dan budaya secara umum masih belum sependapat mengenai hal ini, tetapi
di antara mereka banyak pula yang mendukungnya. Demikian pula yang terjadi di dalam
masyarakat. Jadi menurut penulis wacana mengenai identitas Batak dan subnya ini tidak akan
pernah kunjung usai untuk diwacanakan. Namun yang penting konsep-konsep tersebut terdapat
baik di kalangan masyarakat Batak sendiri maupun di kalangan para ilmuwan.
63
64
Provinsi Sumatera Utara, antara lain: Kota Medan, Kabupaten Langkat,
kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun,
Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak-Bharat, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi,
Kota Pematang Siantar, dan lain sebagainya. Sebagian orang Karo lainnya, juga
tersebar di pelosok wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; mulai dari
Sabang sampai Merauke.
Beberapa orang Karo bertempat tinggal di luar negeri (di Asia, Eropa,
dan Amerika Serikat) karena bekerja, menuntut ilmu, atau karena kawin dengan
warga negara asing. Saat ini, perkumpulan orang Karo yang paling terkenal di
luar
negeri
adalah
Perkoeah
dan
Permakan
(sumber:
www.tanah
karosimalem.com). Mereka adalah orang-orang Karo yang sudah bertempat
tinggal tetap di Eropa Barat (Belanda, Jerman, Perancis, Belgia, dan lainnya).
Namun demikian, di dalam persepsi masyarakat Karo, secara tradisional
mereka membagi wilayah asal (asli)nya kepada dua wilayah budaya. Yang
pertama adalah wilayah budaya yang disebut Karo Gugung. Istilah ini merujuk
kepada pengertian wilayah hunian dan budaya etnik Karo
yang berada di
Pegunungan Bukit Barisan di Tanah Karo Simalem dan sekitarnya. Artinya
orang-orang Karo dan wilayahnya yang berada di dataran tinggi Tanah Karo.
Yang kedua adalah orang-orang Karo dan wilayah budayanya yang ada di
Pesisir Sumatera Utara, seperti Langkat, Deli, Serdang, dan lainnya. Mereka ini
disebut sebagai Karo Jahe (di wilayah pesisir timur Sumatera Utara). Karena
wilayah pesisir ini, tidak hanya dihuni oleh etnik Karo, namun juga Melayu dan
kini masuk juga yang lain-lainnya seperti Jawa, Sunda Minangkabau, Tamiang,
65
Aceh Raya, dan lain-lain, maka densitas akulturasinya lebih tinggi pada orangorang Karo Jahe ini.
Peta 2.1
Kabupaten Karo
Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/...
66
Gambar 2.1
Lambang Kabupaten Karo
Sumber: Pemerintah Kabupaten Karo, 2014
2.1 Geografis
Meskipun ada perbedaan antara wilayah budaya dan wilayah
administratfi pemerintahan, tetapi pada bahagian ini dideskripsikan tentang
wilayah geografis. Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada ketinggian
400 sampai 1600 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah seluruhnya
kira-kira 2.127,25 km persegi, atau 27,9 % dari luas keseluruhan Provinsi
Sumatera Utara. Berdasarkan klimatologi atau iklimnya Kabupaten Karo
mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar 16-17 derajat Celcius.
Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2° 50' lintang utara sampai 3° 19'
lintang utara dan 97° 55' bujur timur sampai 98° 38' bujur timur.
Adapun pusat pemerintahan KabupatenKaro, sejak awal berdirinya
sampai sekarang berkedudukan di Kota Kabanjahe. Ibukota Kabupaten Karo
ini jaraknya lebih kurang 77 kilometer dari ibukota Provinsi Sumatera Utara,
67
Kota Medan, yang memiliki hubungan sejarah dengan orang Karo. Selanjutnya,
perjalanan dari Kota Medan menuju Kota Kabanjahe, dalam kondisi lalu lintas
normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam dengan kenderaan umum; dan satu
setengah jam dengan kenderaan pribadi.
Selain itu, Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten dari
sejumlah 33 kabupaten dan
kota di wilayah
Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan wilayah geografis, Kabupaten Karo berada pada posisi 2’50-3’19’
Lintang Utara, dan 97’35’-98’38’ Bujur Timur. Keseluruhan daerah Kabupaten
Karo beriklim sejuk, berada di kisaran 14-26 derajat Celsius. Penggunaan lahan
di Kabupaten Karo di dominasi oleh penggunaan lahan kering berupa
perladangan dan perkebunan seluas 96.045 ha atau 41% dari luas wilayah.
Selanjutnya diikuti oleh kawasan hutan seluas 77.142 ha. Tanah yang subur,
udara yang sejuk, panorama yang indah, serta hutan lindung yang luas, sangat
sesuai dengan usaha dibidang sektor pertanian (sumber: BPS Kabupaten Karo,
2012).
Pada sektor pertanian masyarakat Karo mengolah tanaman pangan,
hortikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Sektor
pariwisata mencakup : jalan hutan, gunung berapi, air panas, pemandangan yang
indah, danau, air terjun, rumah tradisional, kebudayaan dan sebagainya. Sektor
industri diharapkan mampu mendukung sektor pertanian, industri yang
mengolah hasil pertanian dan industri yang mendukung sektor pariwisata seperti
: cendera mata.
Pada saat dilakukan penelitian ini, Kabupaten Karo terdiri dari 17
kecamatan dan berpenduduk 350.960 jiwa. Rincian luas wilayah, jumlah
68
penduduk, dan kepadatan penduduk per kecamatan dapat dilihat pada rincian
yang terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo
Kecamatan
01
02
03
04
05
06
07
08
09
(1)
Mardingding
Laubaleng
Tigabinanga
Juhar
Munte
Kutabuluh
Payung
Tiganderket
Simpang Empat
10 Naman Teran
11
12
13
14
15
Merdeka
Kabanjahe
Berastagi
Tigapanah
Dolat Rayat
16 Merek
17 Barusjahe
Jumlah/Total 2010
Luas
Wilayah
(Km2)
(2)
267,11
252,60
160,38
218,56
125,64
195,70
47,24
86,76
93,48
Penduduk
17 062
17 713
19 900
13 244
19 686
10 586
10 837
13 178
19 015
Kepadatan
Penduduk
Tiap Km2
(4)
63,88
70,12
124,08
60,60
156,69
54,09
229,40
151,89
203,41
87,82
12 796
145,71
44,17
44,65
30,50
186,84
32,25
13 310
63 326
42 541
29 319
8 296
301,34
1418,28
1394,79
156,92
257,24
125,51
128,04
2 127,25
18 054
22 097
350 960
143,85
172,58
165,98
(3)
(Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012).
Kabupaten Karo sebagai wilayah asal yang menjadi fokus kajian katonengkatoneng ini, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara memiliki
batas-batas sebagai berikut. (i) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
69
Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, (ii) sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, (iii) sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, dan (iv) sebelah Barat
berbatasan dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD).
Walaupun berdasarkan administratif, etnik Karo bermukim di wilayah
Kabupaten Karo, akan tetapi sejak awal mereka telah menempati beberapa
wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara, terutama di kabupaten
yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo seperti: Kabupaten Langkat,
Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Dairi,
Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kota Medan dan ke sebelah
barat Kabupatan Karo yaitu Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD).
Berdasarkan perbedaan wilayah domisili, pada akhirnya memunculkan
sebutan atau julukan bagi masyarakat Karo karena telah membaur dengan
kebudayaan etnik lain di kawasan pemukimannya.
Kemudian etnik Karo
dikenal dengan berbagai julukan seperti, Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau,
Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun. Selain wilayah
pemukiman etnik Karo di luar Kabupaten Karo tersebut, masih terdapat wilayah
yang dianggap penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo
yaitu wilayah Kota Medan. Biasanya orang-orang karo yang tinggal di Medan
tidak memiliki sebutan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas.
70
2.2 Sistem Kekerabatan
Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan
merupakan ciri khas dari setiap suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas
dari sistem kekerabatan yang ada. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang
juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat (kade-kade) memiliki
pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan
yang disebabkan oleh terjadinya sebuah pernikahan, sehingga terjadilah
hubungan kekerabatan baik antara pihak wanita dan pihak pria yang menikah.
Menurut Pritchard (1986:154) tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam
bentuk yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan
keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan
politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman
terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan
pengerahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya
dengan masyarakat Karo memiliki memiliki sistem kekerabatan yang
diwariskan secara turun-temurun yang mencakup bentuk ikatan kekeluargaan,
sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan berbagai hal yang terkait
dengan sistem kekerabatan.
Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di
kawasan kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah
membaur dengan etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem
kekerabatan yang berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan.
Paling tidak setiap individu mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari
kelompok merga (istilah kelompok klen bagi masyarakat Karo).
71
Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, (1)
Karo-karo. (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin,.
Kelima merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabangcabang merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk
perempuan.
Kelima-lima merga dalam peradaban masyarakat karo tersebut
dibentuk oleh merga-merga kecilnya, yang sepenuhnya dapat dilihat pada Tabel
2.1 berikut ini.
Tabel 2.2:
Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima
Induk Merga
Sub Merga
I. Ginting
1. Ajar Tambun
2. Babo
3. Beras
4. Capah
5. Garamata
6. Gurupatih
7. Jadibata
8. Jawak
9. Juhar
10. Manik
11. Munte
12. Pase
13. Seragih
14. Sinusinga
15. Sugihen
16. Suka
17. Tumangger
II.
Karo-Karo
1. Barus
2. Bukit
3. Gurusinga
4. Jung
5. Kaban
6. Kacaribu
7. Karosekali
8. Kemit
9. Ketaren
10. Purba
11. Samura
12. Sinubulan
13. Sinuhaji
14. Sinukaban
15. Sinuraya
72
16. Sinulingga
17. Sitepu
18. Surbakti
III. Perangin-angin
1. Bangun
2. Benjerang
3. Kacinambun
4. Keliat
5. Laksa
6. Mano
7. Namohaji
8. Pencawan
9. Penggarun
10. Perbesi
11. Pinem
12. Sebayang
13. Singarimbun
14. Sinurat
15. Sukatendel
16. Tanjung
17. Ulujandi
18. Uwir
IV. Sembiring
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
V. Tarigan
1. Bondong
2. Gana-gana
3. Gerneng
4. Gersang
5. Jompang
6. Pekan
7. Purba
8. Sibero
9. Silangit
10. Tambak
11. Tambun
Brahmana
Bunuhaji
Busuk
Colia
Depari
Gurukinayan
Keling
Keloko
Kembaren
Maha
Meliala
Muham
Pandebayang
Pandia
Pelawi
Sinukapar
Sinulaki
Sinupayung
Tekang
73
12. Tegur
13. Tua
Sumber: informasi yang diperoleh dari para narasumber (2014)
Selanjutnya, hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga
pada masyarakat Karo adalah rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip
dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan MandailingAngkola. Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah untuk
menyatakan sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota
masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut
sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat
Karo.
Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah (a) senina, (b) anak beru,
dan (c) kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat
Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan
dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut
sitelu. Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing
individu (keluarga) telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara
tersebut.
Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing
individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo,
didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem
kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda pada berbagai
kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di
celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada
74
umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak
memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu selalu disarankan agar para
remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua
yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan.
Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami
sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal
ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus
tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang
penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap
keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina,
anak beru, atau kalimbubu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada
masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka
sebagai generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan
masyarakat Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya
dalam konteks merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat
dalam pemahaman rakut sitelu.
Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga
sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere
atau bebere. Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti
garis-garis keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian
etnik Karo tidak murni menganut sistem patrineal (garis keturunan ayah)
melainkan parental (bilatreral) yang merupakan percampuran dari sistem
75
patrineal dan matrilineal yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis
keturunan ibu sekaligus (Bangun, 1989).
Sistem kekerabatan masyarakat Karo juga mengenal istilah rakut sitelu
atau daliken sitelu, yang mengandung pengertian adanya tiga unsur kelengkapan
hidup dalam suatu keluarga luas. Adapun ketiga unsur dalam sistem
kekerabatan masyarakat Karo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Senina, adalah hubungan bersaudara antara orang-orang yang berasal
dari satu merga (clan) yang sama tetapi tupang atau sub merga yang berbeda.
Contohnya: Ginting Suka dengan Ginting Jawak. Tetapi di samping itu
hubungan seseorang dengan orang lain dapat menjadi senina atau ersenina
sekalipun clan atau merga berbeda, hal itu karena: isterinya adik beradik;
suaminya adik beradik; ataupun ibunya adik beradik.
2. Anak beru, adalah kelompok/golongan penerima anak dara atau wife
taker. Kelompok anakberu mempunyai kedudukan penting sebagai pembawa
kerukunan dan kedamaian dalam keluarga kalimbubu. Dalam pelaksanaan
upacara-upacara adat anak beru yang memegang peranan sangat penting, baik
menyangkut menyiapkan keperluan-keperluan pelaksanaan upacara adat,
melakukan musyawarah dan pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaan
upacara adat, sampai kepada pertanggungjawaban pelaksanaan upacara adat.
Dalam pelaksanaan upacara adat, salah seorang anak beru bertugas sebagai
protokol; yang tugasnya lebih luas daripada tugas juru acara di dalam sesebuah
acara yang bersifat formal.
3. Kalimbubu, adalah pihak pemberi anak dara; merupakan kelompok
yang harus dihormati. Karena unsur kalimbubu dianggap sebagai sumber
76
kehidupan dan berkat. Masyarakat Karo menyebut kalimbubu sebagai dibata ni
idah yang secara harafiah mengandungi pengertian tuhan yang nampak. Di
dalam pelaksanaan adat, kalimbubu merupakan pihak yang selalu menjadi
penggurun (yang dimintai pendapatnya, yang diikuti). Apabila pihak kalimbubu
melihat ada sesuatu yang berlaku tidak sepatutnya, maka kalimbubu berhak
ngembarisa (meluruskannya, memperbaikinya).
Rakut si telu dalam ego adalah senina (saudara kandung atau saudara
semerga), kalimbubu (saudara laki-laki dari ibu), anak beru (saudara perempuan
dari ayah). Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina,
kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara
adat ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang
melaksanakan kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat
disebut sebagai ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu
orang atau satu ego merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua
kelompok. Sebagai contoh dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah
ayah ibu dan saudara kandung ayah kedua penganten (laki-laki dan wanita), dan
dalam upacara tersebut terdapat dua sukut yakni sukut sinereh (kelompok
pengantin wanita) dan sukut si empo (kelompok pengantin laki-laki). Jadi, rakut
si telu dalam upacara adat mengacu pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga
unsur dalam rakut si telu bermuara pada dua hal yakni pada diri atau ego dan
kelompok dalam satu upacara adat yang disebut sukut.
Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang
dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak
beru secara permanen dalam keluarga
karena peran tersebut lahir dari
77
hubungan darah. Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis
mempunyai peran sebagai senina,
kalimbubu, dan anak beru dari orang
kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam masyarakat karo berfungsi sebagai
melingkar (sirkular). Sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut si telu
tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub kekerabatan yang di
sebut dengan tutur si waluh (kedudukan yang delapan) yaitu: (1) puang
kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) senina siparibanen, (5) senina
sipemeren, (6) senina sipengalon sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru
menteri.
Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di
belakang nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian berebere juga berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap
perkenalan (ertutur) antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan
menyebut merga/beru dan bere-bere.
Dalam kehidupan masyarakat Karo ada beberapa prinsip atau dasar
yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen
ibas adat. Landasan ini menggambarkan karakteristik kehidupan masayarakat
Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup aspek-aspek
adat.
78
Bagan 2.1:
Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima, dan
Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo
Sistem kekerabatan etnik Karo dan sistem interaksi sosial yang
dibangun berdasarkan filsafat yang dianut suku Karo seperti diuraikan di atas,
juga diterapkan nilai-nilainya di dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau.
Upacara ini tetap berlandas pada system kekerabatan. Mereka juga berbahasa
Karo dan menerapkan tutur siwaluh bagi sesama pengikut upacara dan pemusik.
Dengan demikian, upacara ini berdasar pada sistem kekerabatan etnik Karo,
yang terus mereka pertahankan sampai saat ini.
79
2.3 Sistem Kepercayaan
Kepercayaan yang paling tua di Tanah Karo adalah dinamisme dan
animisme (roh). Dalam kepercayaan ini dilakukan pemujaan atau penyembahan
kepada roh-roh yang dianggap suci dan berkuasa; pada tempat-tempat dan
waktu-waktu tertentu (E.P. Ginting,1999).
Dalam kepercayaan dinamisme dan animisme, hidup orang Karo
dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis; ia memakai mitos-mitos untuk
memahami hidup dan lingkungannya. Kepercayaan tradisional tersebut di atas
disebut dengan perbegu. Karena istilah perbegu berkonotasi negatif, yang
artinya orang yang berteman dengan begu (hantu), maka komunitas mereka
menamai diri pemena, yang artinya kepercayaan paling awal; kepercayaan
pemula.
Masuknya pengaruh Hindu sejak zaman pra-historis memperkenalkan
orang Karo kepercayaan kepada dibata. Kepercayaan tersebut percaya bahwa
segala yang ada di dunia ini, yang tampak maupun yang tak tampak, diciptakan
oleh dibata, yang biasa juga disebut dengan sebutan dibata kaci-kaci. Kaci-kaci
adalah dewi wanita yang maha pengasih (H.G. Tarigan, 1998). Ianya menguasai
seluruh wilayah kosmologi Karo.
Menurut kosmologi Karo, wilayah dunia ini dibagi atas tiga wilayah,
yaitu wilayah dunia atas, wilayah dunia tengah dan wilayah dunia bawah.
Ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan dibata. Setiap bagian
wilayah diperintah oleh seorang dibata sebagai wakil dibata kaci-kaci.
Wilayah dunia atas diperintah oleh seorang dibata yang disebut dibata
ni atas yang dikenal dengan sebutan batara guru. Dibata ni atas menguasai
80
alam semesta dan ruang angkasa. Wilayah dunia tengah atau bumi diperintah
oleh dibata tengah yang digelari tuan padukah ni aji. Dibata tengah menguasai
seluruh bumi yang didiami oleh manusia. Sedangkan wilayah dunia bawah atau
bawah bumi diperintah oleh dibata ni teruh yang dikenal dengan sebutan tuan
banua koling. Ketiga dibata yang merupakan satu kesatuan itu dalam bahasa
Karo disebut dibata si telu (tuhan yang tiga).
Di samping dibata si telu yang telah disebut di atas, masih terdapat dua
unsur penguasa lain yang memberi kekuatan, yaitu: sindarmataniari dan si beru
dayang. Sindarmataniari adalah penguasa yang bertempat tinggal di matahari;
ianya mengikuti perjalanan matahari dari mulai terbit sehingga tenggelam.
Sindarmataniari mempunyai kuasa memberi penerangan atau sinar yang
sumbernya dari matahari; dan tugasnya adalah menjadi penghubung antara
butara guru, tuan padukah ni aji dan tuan banua koling. Sindarmataniari
bertugas menjaga agar keseimbangan kosmis tetap terjaga.
Sedangkan si beru dayang adalah penguasa yang bertempat tinggal di
bulan, yang tugasnya membuat agar dunia tengah tetap kuat serta tak dapat
diterbangkan angin taufan. Si beru dayang juga dipercayai terlihat pada saat
terjadinya pelangi. Menurut mitologi Karo, si beru dayang ini berasal daribegu
(hantu, roh) seorang perempuan yang pernah berbuat cabul atau sumbang
dengan ibu kandungnya sendiri.
Agama Islam masuk ke Dataran Tinggi Karo melalui Nanggroe Aceh
Darussalam dan pesisir pantai Sumatera. Sedangkan agama Nasrani
diperkenalkan oleh misionaris Belanda yang bernama NZG (Nederlandch
Zendeling Genooscapt) pada orang Karo sejak tahun 1894 atas dukungan oleh
81
J.T.H. Gremers, Direktur Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij pada saat
itu. Agama Nasrani masuk melalui desa Buluh Awar, kecamatan Sibolangit,
Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.
2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional
Seperti yang dituturkan oleh para orang tua,keadaan masyarakat Karo
pada dahulu kala adalah tidak stabil. Keadaan ini disebut dengan ermusuh; yang
mengandung arti berperang. Perang antara desa, antar urung, dan antar
kelompok ini terjadi terus menerus dan berlangsung cukup lama. Keadaan ini
membuat rakyat menderita karena hidup tanpa rasa aman. Dalam pada itu,
banyak anggota masyarakat yang pergi merantau mencari ilmu-ilmu bela diri,
dan kemudian kembali lagi ke desanya untuk membela desa maupun membela
kelompoknya. Keadaan ini berlangsung sehingga kedatangan utusan Sultan
Aceh yang dilengkapi dengan persenjataan ke Tanah Karo.
Utusan Sultan Aceh selanjutnya kemudian menobatkan raja-raja atau
sebayak di Karo. Raja-raja Karo yang dinobatkan ketika itu adalah sebayak
Lingga; sebayak Suka; sebayak Sarinembah, sebayak Barus Jahe. Sedangkan
sebayak Kutabuluh karena begitu terkenal dengan sendirinya diakui orang Karo
sebagai sebayak.
Tercatat dalam sejarah Karo bahwa pada akhirnya terdapat 5 (lima)
kerajaan besar di dataran tinggi Karo. Ke lima kerajaan tersebut adalah:
kerajaan
Lingga
yang
berkedudukan
di
Lingga,
kerajaan
Barus
Jaheberkedudukan di Barus Jahe, kerajaan Sarinembah di Sarinembah, kerajaan
82
Suka berkedudukan di Suka, dan kerajaan Kutabuluh berkedudukan di
Kutabuluh.
Kerajaan-kerajaan tadi dipimpin oleh seorang raja atau sebayak. Sebuah
kerajaan terdiri dari beberapa urung (daerah) yang dipimpin oleh seorang Raja
Urung, sedangkan sebuah urung terdiri dari beberapa kuta (desa/kampung) yang
masing-masing dipimpin oleh seorang pengulu kuta.
Kerajaan Linggamempunyai 6 (enam) kerajaan urung, yaitu urungTelu
Kuta berkedudukan di Lingga, urung Tigapancur di Tigapancur, urung Empat
Teran di Naman, urung Lima Senina di Batu Karang, dan urung Tiganderket
berkedudukan di Tiganderket.
Kerajaan Barus Jahe mempunyai 2 (dua) kerajaan urung, yaitu urung
Sipitu Kuta berkedudukan di Barusjahe, dan
urung Sinaman Kuta
berkedudukan di Sukanalu.
Kerajaan Sarinembah mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaitu urung
Sepuluhpitu Kuta berkedudukan di Sarinembah, urung Perbesi di Perbesi, urung
Juhar di Juhar, dan urung Kuta Bangun berkedudukan di Kuta Bangun.
Kerajaan Suka mempunyai 4 (empat) kerajaan urung, yaituurung Suka
di Suka, urung Sukapiring/Seberaya di Seberaya, urung Ajinembah di
Ajinembah, dan urung Tongging berkedudukan di Tongging. Serta kerajaan
Kuta Buluh mempunyai 2 (dua) kerajaan urung yaitu urung Namo Haji
berkedudukan di Kutabuluh, dan urung Liang Melas di Samperaya.
Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo, 4
(empat) kerajaan di Tanah Karo kecuali kerajaan Kutabuluh, tunduk dibawah
kekuasaan kerajaan Aceh. Demikian juga hal tersebut berlaku pada saat
83
kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo pada tahun 1890. Raja
berempat tertakluk di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan sebayak Kutabuluh
tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang akhirnya sebayak tersebut
ditangkap dan dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) (Darwan & Darwin Prinst:
1985).
Ketika pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1942,
pemerintahan pribumi masih efektif, namun pengawalan administrasi dipegang
oleh pemerintahan militer Jepang. Untuk wilayah Karolanden pemerintahan di
kepalai pejabat militer dengan nama Gunseibu (Bunsyutyo) yang berkedudukan
di Berastagi.
Demikian juga setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
pada bulan Agustus 1945, pemerintahan pribumi Karo masih tetap diakui oleh
pemerintahan pusat. Namun setelah revolusi sosial Karo pada bulan Maret
1946, pemerintahan pribumi dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekalipun
kekuasaan sebayak tidak lagi eksis, namun kedudukan keluarga sebayak tetap
dihormati masyarakat Karo.
2.5 Kesenian
Masyarakat Karo mempunyai beberapa genre kesenian yang diwariskan
oleh nenek moyang sejak dahulu kala. Jenis-jenis kesenian tersebut antara lain
adalah: seni ukir/ornamen, seni drama, seni tari, dan seni musik. Jenis kesenian
yang paling berkembang pada masyarakat Karo adalah seni musik; baik musik
vocal maupun musik instrumental. Musik sangat diperlukan dalam berbagai
84
aktivitas orang Karo; baik acara yang bersifat hiburan, seperti: pesta guro-guro
aron (pesta muda-mudi); acara yang bersifat ritual, seperti: erpangir ku lau
(membersihkan diri), maupun acara yang bersifat adat, seperti: acara cawir
metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), kerja erdemu
bayu (pesta perkawinan), dan lain sebagainya.
2.5.1 Seni sastra
Untuk menjadi perkolong-kolong yang profesional dan diberi kedudukan
tersendiri di tengah-tengah masyarakat, sebagai seorang yang dipandang
memiliki keahlian dan keterampilan dalam berkesenian, maka ia harus
mempelajari seni sastra yang terdapat di dalam kebudayaan Karo. Perkolongkolong ini kemudian menyajikannya secara musikal dalam berbagai bentuk seni
suara
termasuk
di
dalam
penyajian
katoneng-katoneng.
Berikut
ini
dideskripsikan seni sastra tradisi yang terdapat di dalam kebudayaan Karo.
Pada umumnya, dalam berkomunikasi dengan sesamanya orang Karo
mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan seharihari, penggunaan bahasa Karo tidak memerlukan susunan yang teratur sekali,
yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan dapat difahami
oleh yang mendengar. Namun untuk keperluan tertentu contohnya: ungkapan
keluh kesah, pembicaraan adat, bersenandung (bernyanyi), dan lain sebagainya;
dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata tersebut
adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus).
Untuk memperindah dan membuat lebih menarik, pemakaian cakap lumat ini
dapat dalam bentuk pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian
85
cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti perkawinan,
memasuki rumah baru, maupun dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan
percintaan).
Seni sastra Karo dapat dibedakan atas beberapa kategori, di antaranya
adalah seperti yang diuraikan berikut ini.
1.
Tabas-Tabas (mantra), adalah jenis mantera yang diucapkan atau
dilantunkan yang berisikan mantera untuk mengobati orang yang sakit.
Tabas biasanya diucapkan oleh seorang guru sibaso (bomoh). Contoh:
Mari me kam ku iap, kupanggil, kukunci
Alu beras telge-telge, tinaruh manuk,
Belo raja mulia, belo sinuntum,
Belo berkis-berkisen, tagan kinukut,
Kalakati penjabat, cincin pijer.
(Terjemahan:
Marilah kamu ku lambai, ku panggil, ku kunci,
dengan beras yang baik, telur ayam,
sirih raja mulia, sirih yang rata,
sirih yang berikat-ikatan, empat kapur istimewa,
penjepit yang kuat, cincin yang baik. (H.G. Tarigan: 1988))
2.
Kuning-kuningan, adalah sejenis teka-teki yang dipergunakan oleh anakanak, muda-mudi maupun orang tua di waktu-waktu luang sebagai
permainan untuk mengasah otak. Contoh:
Nguda-ngudana erbaju ratah,
Tua-tuana erbaju gara, kai e?
86
[Terjemahan:
Pada waktu muda berbaju hijau,
pada waktu tua berbaju merah, Apakah itu?] (Sarjani Tarigan: 2008).
Adi itaka jumpa kuling, itaka kuling jumpa tulan.
Itaka tulan jumpa jukut, itaka jukut jumpa lau, kai e?
[Terjemahan:
Kalau dibelah jumpa kulit, dibelah kulit jumpa tulang,
dibelah tulang jumpa daging, dibelah daging jumpa air, apakah
itu?
(Sarjani Tarigan, 2008).
3.
Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua
baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. Contoh:
Adi langge si Kuta Buluh,
Pia-pia sanggar langge bakanta,
Adi lalap kita la beluh,
Sia-sia nggalar nande bapanta.
[Terjemahan:
Jika pohon keladi daripada Kutabuluh,
rumput yang tinggi di dalam bakul kita.
Jika kita tetap tidak pandai,
sia-sia membayar ibu bapa kita] (H.G.Tarigan: 1988).
Cike lambang bungana,
Lada jera gula batuna,
87
Ise pe lalit gunana,
Sada kena nomor satuna.
(Terjemahan:
Cike simbol bunganya,
lada jera gula batunya.
Siapapun tidak ada gunanya,
hanya engkaulah nomor satunya.) (H.G. Tarigan: 1988).
4. Bilang-bilang adalah dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang
mengalami duka nestapa. Contohnya karena teringat akan ibunya yang telah
meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih idaman hati yang telah
meninggalkan dirinya, karena pergi merantau ke negeri orang. Contohnya
sebagai berikut.
Emaka hio kute ndube bilang-bilang kin pe, bilang-bilang anak
Tarigan mergana, sinitubuhken nande beru Karo si melias lanai
teralang, kuta Lingga Julu ... dan seterusnya.
(Terjemahan:
Sehingga hio kute dahulu bilang-bilang nya, bilang-bilang anak merga
Tarigan,
yang dilahirkan oleh ibu beru Karo yang sangat baik, di desa Lingga Julu ...
dan seterusnya (Sarjani Tarigan, 1985)
5.
Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul
marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain
sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak
atau cucunya pada malam hari menjelang tidur. Beberapa contoh turi-turin
88
berkenaan, antara lain: Beru Patimar dan PawangTernaler, Panglima
Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, Beru Rengga Kuning dan lain
sebagainya.
Di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolongkolong, termasuk dalam konteks upacara kematian cawir metua, maka bahasa
yang digunakan para perkolong-kolong biasanya adalah bahasa Karo yang
dikategorikan secara adat sebagai cakap lumat (bahasa halus). Artinya di dalam
bahasa yang dinyanyikan perkolong-kolong tersebut mempunyai diksi tertentu
dan tata aturan mengikuti sastra lisan Karo, yang penuh dengan nilai-nilai dan
makna kebudayaannya.
2.5.2 Seni ukir
Meskipun tradisi seni ukir dan patung di Tanah Karo sudah sangat lama
hidup, namun perkembangannya tidak seperti yang diharapkan; khususnya seni
patungnya. Hanya beberapa orang Karo saat ini yang menekuni hidupnya dalam
bidang berkenaan diatas. Di antaranya yang masih hidup boleh dicatatkan disini,
adalah : Pauzi Ginting di Lingga, Joker Barus di Barusjahe, Kora Sembiring di
Seberaya, Bangun Tarigan di Kabanjahe, A.G. Sitepu di Medan, dan lainnya.
Mereka yang dicatatkan disini hanya seorang saja yang menekuni bidang seni
patung; yaitu A.G. Sitepu, selebihnya menggeluti seni ukir.
Seni ukir tradisional Karo memiliki berbagai bentuk, yaitu berupa ragam
hias dan benda-benda kerajinan. Beberapa dari jenis-jenis ragam hias yang
terdapat di Karo, antara lain : Tapak Raja Sulaiman, Pengeretret, Embun
Sikawiten, Keret-keret Ketadu, Anjak-Anjak beru Ginting dan lain sebagainya
89
(A.G. Sitepu: 1980). Jenis ukiran berkenaan dapat ditemukan pada alat-alat
upacara, perkakas rumah tangga, alat-alat musik, hiasan dinding, Ayorumah
siwaluh jabu2(dinding muka rumah adat Karo) dan lain sebagainya. Berupa
benda-benda kerajinan antara lain adalah piso tumbuk lada (pisau khas Karo),
sertali(perhiasan yang terbuat dari perak), kalakati penjabat (alat untuk
membelah pinang) dan lain sebagainya.
Sedangkan seni patung pada orang Karo disebutgana-gana. Patung yang
sangat terkenal di Tanah Karo adalah gana-gana saringitgit. Bentuk gana-gana
saringgitgit sangat menyeramkan sehingga orang yang menciptakannya pun
menjadi takut melihatnya. Namun, dari penelusuran yang penulis sudah
lakukan, seni patung Karo saat ini sudah tidak ditemukan lagi; baik itu di
museum-museum pemerintah dan swasta, maupun di toko-toko yang menjual
cenderamata dan benda-benda antik Karo.
2.5.3 Seni musik
2.5.3.1 Pengertian musik
Musik pada masyarakat Karo diartikan sebagai gendang.Musik yang
berkembang di kalangan kaum muda disebut dengan gendang si medanak
(musik anak muda).Musik yang saat ini popular di tengah-tengah masyarakat
dikatakan dengan gendang si gundari (musik yang popular sekarang ini).
Sedangkan musik tradisional Karo yang menggunakan sarune (serunai) sebagai
2
Rumah si waluh jabu mengandungi erti rumah yang di dalamnya terdapat lapan ruang.
Rumah jenis ini masih boleh dijumpai di beberapa desa Karo, diantaranya: desa Lingga, desa
Dokan, desa Peceren, dan lain sebagainya.
90
alat musik melodisnya disebut dengan gendang telu sendalanen lima sada
perarih atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan gendang sarune.
2.5.3.2 Jenis-jenis musik
Secara umum musik tradisional Karo berdasarkan sumber bunyinya
dibagi atas dua bagian, yaitu musik vocal dan musik instrumental.Musik vocal
adalah musik yang dihasilkan dari suara atau mulut manusia, sedangkan musik
instrumental adalah musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik tertentu.
2.5.3.2.1 Musik vokal
Ada berbagai jenis musik vocal yang berkembang pada masyarakat Karo
hingga saat ini.Dalam penyajiannya, musik vokal tersebut ada yang diiringi
dengan alat musik tertentu, namun ada pula yang dimainkan tanpa iringan
musik. Musik vocal yang diiringi dengan alat musik tertentu diantaranya adalah:
kateneng-kateneng yaitu nyanyian yang dibawakan oleh perkolong-kolong
(penyanyi dan penari professional Karo) dalam sebuah acara adat; ende-enden
yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan)
dalam sebuah acara. Sedangkan musik vocal tanpa diiringi alat musik adalah:
mangmang yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru (dukun) pada
pelaksanaan sebuah upacara ritual; nendong yaitu nyanyian yang dibawakan
oleh seorang guru (dukun) dalam sebuah proses pengobatan seseorang yang
91
sedang sakit; didong doah yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang
perempuan dalam sebuah adat perkawinan; dan lain sebagainya3.
2.5.3.2.2 Musik instrumental
Musik instrumental Karo dihasilkan oleh alat musik solo (tunggal)
maupun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel musik tertentu. Musik
instrumental yang dimainkan dengan solo instrument, diantaranya: lebuh-lebuh;
dilantunkan oleh surdam (alat musik tiup side blow); penganjak kuda si tajur;
dimainkan oleh kulcapi (kecapi Karo), pingko-pingko; yang dimainkan dengan
solo oleh alat musik belobat (alat musik tiup end blow), dan lain
sebagainya.Musik instrumental yang dibawakan oleh ensambel tertentu
biasanya tidak dinyanyikan tetapi hanya ditarikan, maupun hanya sekedar
dilantunkan.Gendang perang 4 kali adalah musik yang hanya dilantunkan tanpa
dinyanyikan maupun ditarikan.Gendang lima serangke (lima serangkai) adalah
musik instrumental yang hanya ditarikan oleh penari khusus (biasanya oleh
muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan), dan lain sebagainya.
2.5.3.3 Ensembel Musik Tradisional Karo
2.5.4.4.1 Gendang Lima Sendalanen
Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih, yang sering juga disebut
gendang sarune, merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam
khasanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan
dengan alat musik, limaberarti jumlah kuantitatif sebanyak lima buah, dan
3
Dalam beberapa kasus, nyanyian didong doah juga tak jarang disisipkan musik
sebagai iringannya.Hal itu terjadi atas inisiatif pemusik saja.
92
sedalanen berarti sejalan. Dengan demikian gendang lima sedalanen
mengandung pengertian lima buah alat musik, yaitu: sarune, gendang
singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung.
Gambar 2.2:
Penarune
Sumber: Perikuten Tarigan (2008:53)
Masing-masing alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan
sebutan panarune untuk pemain sarune, penggual untuk sebutan pemain
gendang singanaki dan gendang singindungi. Lebih spesifik lagi, pemain
gendang singanaki disebut penggual singanaki dan pemain gendang
singindungi disebut penggual singindungi.Orang yang memainkan penganak
93
disebut simalu penganak, dan orang yang memainkan gung disebut simalu
gung.Namun, pada saat sekarang ini, alat musik penganak dan gung sudah biasa
dimainkan oleh hanya seorang pemain, dan sebutannya adalah simalu gung.
Gambar 2.3:
Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen
Sumber: Perikuten Tarigan (2005: 56)
Ketika mereka bermain musik dalam satu upacara adat Karo, sebutan
kepada mereka menjadi satu yaitu si erjabaten, yang artinya secara harfiah
adalah orang yang memiliki jabatan.Sebutan penggual dan panarune tetap
melekat pada diri mereka sepanjang mereka masih beraktivitas dalam bidang
musik, sementara sebutan si erjabaten biasanya hanya muncul ketika mereka
94
bermain dalam satu konteks upacara adat Karo. Ensembel Gendang Telu
Sendalanen Lima Sada Perarih atau biasa juga disebut Gendang Lima
Sendalanen terdiri dari:
(i) Sarune, merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda
(double reed aerophone).Tabung alat musik ini berbentuk konis, mirip dengan
alat musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Instrumen ini terdiri
dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang
berbeda pula yaitu: anak-anak sarune, tongkeh, ampang-ampang, batang
sarune, dan gundal. Anak-anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun
kelapa yang telah dikeringkan.Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir
(pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune
kepada bagian berikutnya.Tongkeh terbuat dari timah, bentuknya seperti pipa
kecil yang berfungsi sebagai penghubung antara anak-anak sarune dengan
batang sarune.Ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar
yang terbuat dari kulit binatang baning (trenggiling) diletakkan di tengah
tongkeh.Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune
ketika sedang meniup alat tersebut.Batang sarune terbuat dari kayu selantam,
yang harus dibentuk menjadi konis, dan bagian dalamnya juga dilobangi agar
bentuknya menjadi konis juga.
Pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang sebanyak delapan
buah.Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah
sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune. Perlu
ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya
dihubungkan satu sama lainnya dengan tali kecil pengikat agar bagian-bagian
95
tersebut tidak tercecer atau terpisah maupun hilang karena ukurannya kecilkecil.
Gambar 2.4:
Sarune
sumber: dokumentasi penulis, 2014
(ii) Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi, Gendang singanaki
dan gendang singindungi merupakan dua alat musik pukul yang memiliki
membran yang terbuat dari kulit napuh (sejenis kancil), pada kedua sisi alat
musik yang berbentuk konis ganda (doble headed double conical drums). Sisi
depan/atas
atau
bagian
yang
dipukul
disebut
babah
gendang,
sisi
belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan
alat musik gendang (drum) yang terdapat di Sumatera Utara, kedua gendang
Karo memiliki ukuranyang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah
96
gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut
memiliki kesamaan dari sisi: bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya.
Berbeda dengan gendang singindungi, pada gendang singanaki terdapat
lagi sebuah gendang kecil, yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) posisinya
biasanya diikat pada bahagian tengah gendang singanaki dengan menggunakan
tali yang terbuat dari kulit lembu, sedangkan pada gendang singindungi tidak
memiliki anak (gerantung).
Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui
teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik
turun.Kedua alat musik ini terbuat dari pohon nangka, yang lobang atau rongga
bagian dalamnya dibentuk mengikuti konstruksi bagian luar alat musik
tersebut.Kulit yang direntangkan di kedua sisi muka alat musik tersebut berasal
dari kulit napuh, sejenis kancil, yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan
diperhalus.
97
Gambar 2.5:
Gendang Singindungi
sumber: dokumentasi penulis (2014)
Gambar 2.6:
Gendang Singanaki
sumber: dokumentasi penulis (2014)
98
Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang
terbuat dari kulit lembu.Tali yang dililitkan di seluruh badan gendang tersebut
berfungsi untuk mengencangkan kulit gendang. Masing-masing gendang
memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul sepanjang 14 cm. Kedua-dua
palu gendang singanaki, dan satu palu-palu gendang singindungi memiliki
ukuran yang sama kecilnya, sementara itu satu lagi palu-palu gendang
singindungi memiliki ukuran yang lebih besar dari yang lainnya.
(iii)
Penganak dan Gung, Penganak dan gung memiliki persamaan
dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang memiliki pencu
yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaannya
adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat yang demikian kontras.Gung
memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki
ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan penganak ini berbahan dasar
kuningan.Palu-palu gung dan penganak terbuat dari kayu, namun palu-palu
gungyang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat musik ini adalah
bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet. Adapun fungsi karet yang
dililitkan pada kayu pemukul adalah untuk menghasilkan nada yang lebih
lembut, sedang apabila tanpa karet pembungkus bunyi yang terdengar akan
kasar dan nada yang dikeluarkannya lebih tinggi.
99
Gambar 2.7:
Penganak dan Palu-palu
(Sumber: www.karosiadi.com)
100
Gambar 2.8:
Gung dan Palu-palu
(Sumber: www.karosiadi.com)
101
2.5.3.3.2 Gendang Telu Sendalanen
Gendang Kulcapi biasa juga disebut dengan Gendang telu sedalanen
juga merupakan ensambel musik tradisionalyang terdapat dalam kebudayaan
musik Karo. Gendang telu sedalanenmemiliki pengertian tiga alat musik yang
sejalan, dimainkan secarabersama-sama dalam sebuah ensambel.Ketiga alat
musik tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng,dan mangkok.Adakalanya kulcapi,
sebagai pembawa melodi dalamgendang telu sedalanen dapat pula diganti
dengan instrumen belobat,sehingga istilah gendang telu sedalanen tersebut
sering disebutberdasarkan nama alat musik pembawa melodi, yaitu gendang
kulcapiatau gendang belobat.Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai
pembawamelodi, dan gendang belobat berarti belobat sebagai pembawa melodi.
Instrumen
pengiring
dalam
gendang
telu
sedalanen
atau
gendangkulcapi/gendang belobat adalah tetap, yaitu: keteng-keteng dan
mangkok.Masing-masing
dengansebutan:
alat
perkulcapi
musik
untuk
dimainkan
pemain
oleh
kulcapi,
seorang
parbalobat
pemain
untuk
pemainbalobat, simalu keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan
simalumangkok untuk pemain mangkok. Apabila musisi gendang telu
sedalanenini bermain dalam suatu konteks upacara maka sebutan untuk mereka
jugaadalah
si
pemainkulcapi
yakniperkulcapi
danmangkok
erjabaten,
dan
dan
namun
balobat
yang
perbalobat,
biasanya
tidak
dalam
kehidupan
biasanya
sementara
mempunyai
tetap
itu
sehari-hari
mendapat
hanya
sebutan
pemain
keteng-keteng
sebutan
tertentu.Pola
102
permainankeempat alat musik tersebut walaupun tidak sempurna atau
lengkap,senantiasa akan muncul dalam permainan keteng-keteng.
2.5.3.3.3 Solo Instrumen
Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah
diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang
dimainkan secara individual (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik
yang lain (non-ensembel).Alat musik solo (individual) tersebut adalah kulcapi,
balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur.
(1) Kulcapi, alat musik kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini
sama dengan kulcapi yang telah diuraikan dalam kedua jenis ensambel musik
tradisional di atas, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih dari
satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara
solo (tunggal).
Perbedaannya adalah konteks penyajian.Kulcapi sebagai alat musik solo
biasa digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil
pendengar yang tidak memiliki konteks tertentu. Sebagai alat musik pribadi,
kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang ceriteracerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru
tarigan, tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita
lainnya.Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi.Jika
didengarkan oleh sekelompok orang sebagai hiburan, kadangkadang timbul
pertanyaan dari pendengar tentang arti melodi yang sedang dibawakan oleh
perkulcapi karena mereka tidak mengerti.Perkulcapi biasanya akan menjelaskan
103
cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi tersebut,
sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang
dimainkan perkulcapi.
(2) Belobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat
musik yang sama dengan belobat yang terdapat dalam gendang belobat.
Perbedaannya adalah konteks penyajian.Balobat sebagai instrumen solo
digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di
padang rumput, ketika seseorang sedang menjaga padi di sawah atau di ladang.
(3) Surdam alat musik tiup yang terbuat dari bambu.Alat musik surdam
ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute).Secara
konstruksi dan tehnik memainkan, surdam memiliki kemiripan dengan saluang
pada musik tradisional Minangkabau atau shakuhachi pada musik tradisional
Jepang.Surdam dimainkan dengan teknik yang khusus.Alat musik surdam
biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi.
(4) Embal-embal dan empi-empi, kedua alat musik ini sebenarnya
merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika
padi sedang menguning.Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat musik
hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan
burung.Embal-embal (aerophone, single reed) terbuat dari satu ruas bambu
yang dibuat lobang-lobang penghasil nada.Sebagai alat musik tiup, lidah (reed)
embal-embal dibuat dari badan alat musik sendiri.
Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang
telah mulai menguning. Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu
sendiri, dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang
104
padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa
bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan
menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobanglobang
untuk
menghasilkan
nada
yang
berbeda.Biasanya
empi-empi
mempunyai empat buah lobang nada.Untuk saat sekarang, embal-embal dan
empi-empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo,
khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan.
(5) Murbab dan genggong, alat musik murbab atau murdab merupakan
alat musik gesek menyerupai rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola
pada musik klasik Barat.Murbab terdiri dari dua senar, sedangkan resonatornya
terbuat dari tempurung kelapa.Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai
alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan.Alat
musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo.
Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan
dengan menggunakan mulut sebagai resonator.Selain sebagai resonator, mulut
juga berfungsi untuk mengubah tinggi rendahnya nada yang diinginkan. Pada
waktu dulu, genggong dipergunakan oleh anakperana (perjaka) untuk
memanggil singuda-nguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar
dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang
anakperana memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti
oleh kekasihnya, sehingga dia akan keluar dari rumah.
105
2.5.4 Seni tari
Tari dalam bahasa Karo disebut landek. Kemampuan landek sangat
diharapkan oleh setiap orang Karo. Karena dalam lingkaran hidup orang Karo
dimulai sejak ianya sudah menjadi anak perana-singuda-nguda (pemudapemudi)sampai ianya nanti jadi tua-tua (orang tua), landek merupakan sebuah
keharusan yang dilakukan dalam
aktivitas adat dan budaya.Tari pada
masyarakat Karo dalam penggunaannya dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu
sebagai berikut.
2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat
Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari
suatu upacara adat. Upacara yang dimaksudkan adalah pesta memasuki rumah
baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain sebagainya. Tarian adat
bersifat komunal, dalam arti ianya melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak yang
terlibat dalam tarian adat adalah kelompok sangkep nggeluh (anak beru, senina,
kalimbubu), teman meriah (kawan baik),
perangkat desa (kepala desa dan
stafnya), dan kelompok sukut (pemilik hajatan, tuan rumah).
Kelompok-kelompok tersebut di atas secara bergiliran menari bersamasama dengan kelompok sukut. Contohnya: kelompok kalimbubudengan sukut;
kelompok perangkat desa dengan sukut, dan seterusnya. Masing-masing
kelompok menari dalam posisi petala-tala (berhadap-hadapan).
Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tari pengalo-ngalo (penyambutan
atau penghormatan) atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok
tamu adat, tarian ini
merupakan aktifitas pembuka sebelum mereka
106
menyampaikan kata-kata adat (berisikan ucapan selamat, pesan dan nasihat)
kepada kelompok sukut. Pola gerakan tari tamu adat pada umumnya sama
dengan pola gerakan tari sukut.
Tarian pengalo-ngalo mempunyai pola yang sederhana dan tetap. Pola
itu terus diulang-ulang sepanjang acara sampai kelompok tersebut selesai
menyampaikan kata-kata adat. Ketika seseorang hendak menyampaikan katakata adat, ianya tidak menari tetapi hanya berdiri sambil berbicara.
Pola gerakan tarian laki-laki pada umumnya adalah merupakan pola
ragam dasar tari Karo. Pola tari laki-lakitersebut terdiri dari:
1. Kedua tangan di muka sejajar bahu dengan telapak tangan mengarah ke
langit.
2. Kedua tangan di muka sejajar bahu, telapak tangan mengarah ke muka
kepada lawan menari; dan kemudian setiap penggantian pola selalu
dilakukan.
3. Petik yaitu posisi tangan mengepal di muka dada.
4. Tangan kiri di atas bahu dengan posisi telapak tangan mengarah langit,
sedangkan tangan kanan sejajar pinggul.
Sedangkan pola gerakan tarian perempuan pada acara adat adalah sebagai
berikut.
1. Kedua tangan di muka sejajar bahu dengan posisi telapak tangan
mengarahkepada lawan menari.
2. Kedua tangan sejajar dengan pinggul sedangkan telapak tangan
mengarah ke lantai bawah.
107
3. Setiap pergantian pola dilakukan petik yaitu tangan menyilang di muka
perut/pusat.
4. Kedua tangan sejajar pinggul dengan telapak tangan mengarah ke langit.
Gerakan tari laki-laki maupun perempuan selalu disesuaikan dengan
buku gendang (tempo musik). Kelompok laki-laki pada umumnya dapat
melakukan gerakan tangan sejauh jangkauan kedua belah tangannya. Sedangkan
kelompok perempuan melakukan gerakan tangan hanya selebar tubuhnya.
2.545.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan
Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh guru sibaso
(dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Karena ketika
seorang
guru
sibaso
(dukun)
memimpin
upacara,
ianya
memanggil
jinhujungnya (junjungannya) untuk “masuk” ke dalam dirinya, sehingga
menjadi trance (kemasukan). Dengan demikian, pada upacara ritual terjadi
proses transformasi (perubahan) terhadap sosok seorang guru sibaso.
Perubahan itu memunculkan dua wujud pribadi yang berbeda dalam
dirinya; wujud pertama adalah pribadi dirinya sendiri, sedangkan wujud kedua
adalah pribadi junjungannya. Ciri-ciri fisik yang dapat terlihat dari proses trance
(kemasukan) adalah muka seorang guru sibaso akan menjadi pucat atau
kemerahan ketika “orang lain” masuk ke dalam dirinya.
Seorang guru sibaso pada umumnya adalah seorang perempuan yang
sudah tua (kira-kira berumur 55- 65 tahun). Saat ini tidak ada seorang pun lakilaki menjadi guru sibaso. Peran laki-laki pada upacara ritual Karo adalah
108
sebagai guru permangmang; yaitu seorang guru yang melakukan pengobatan
dengan cara ermangmang (menyanyikan mantera-mantera).
Pada penampilan pertama, pola gerakan tari guru sibaso adalah pola landek
sada tan (tari dengan satu tangan); yaitu:
1. Tangan kanan pada posisi di bawah pinggul, tangan kiri bertumpu pada
pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kanan.
2. Tangan kanan sejajar perut/pusat, tangan kiri bertumpu pada pinggul,
sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kiri.
3. Tangan kanan sejajar pinggul, tangan kiri bertumpu pada pinggul,
sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kanan.
4. Tangan kanan sejajar dada, posisi tangan kiri tetap, sedangkan posisi
tubuh diagonal ke arah kiri.
5. Tangan kanan sejajar bahu, tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh
diagonal menghadap kanan.
6. Tangan kanan sejajar mata/kuping, tangan kiri tetap, sedangkan posisi
tubuh diagonal menghadap ke arah kiri.
7. Tangan kanan diatas kepala, posisi tangan kiri tetap, posisi tubuh
diagonalmenghadap ke arah kanan.
8. Pucuk; jari tangan kanan membentuk sayap burung merak bertumpu
pada kening, posisi tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonal menghadap
ke arah kiri.
9. Tangan kanan pada posisi di atas bahu dengan telapak tangan mengarah
ke atas, tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonal menghadap ke arah
kanan.
109
Posisi kedua belah tangan dipertahankan untuk beberapa waktu, sedangkan
posisi tubuh bergerak kearah kiri dan kanan dalam hitungan genap (hitungan
dua, empat, atau delapan ketukan).
2.5.4.3 Tari berkaitan dengan hiburan
Tari Karo yang sifatnya hiburan dimainkan oleh dua atau lebih mudamudi dengan cara berpasang-pasangan. Pasangan seseorang dengan lainnya
seharusnya dihindarkan erturang (mudi-mudi yang berasal merga/beru
ataupun sub merga/beru yang sama). Karena keadaan demikian dianggap rebu
(sumbang, pantang) oleh orang Karo. Hal itu berhubungan dengan adanya
larangan perkawinan satu merga/beru pada orang Karo.
Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo,
antara lain; ndikar (tari pencak silat); yang dibawakan laki-lakiatau perempuan
dengan cara berpasang-pasangan, adu perkolong-kolong (tarian yang
dibawakan oleh sepasang penari dan penyanyi profesional Karo), gundalagundala (drama tari topeng Karo) yang dimainkan dengan lima orang pemain
laki-laki, teater tradisional Karo perlanja sira (tari pemikul garam) yang lebih
dikenal dengan tari mondong-mondong yang dimainkan oleh empat orang
pemain laki-laki, dan lain sebagainya.
Tari hiburan Karo lainnya adalah: tari pecat-pecat seberaya, tari lima
serangke, tari piso surit, tari roti manis, tari terang bulan, dan lain sebagainya.
Tari-tarian jenis ini pada umumnya sudah mempunyai komposisi yang baku;
dengan kata lain bahwa koreografinya telah tersusun dengan tetap.
110
Sesuai dengan perkembangan zaman, di kalangan generasi muda Karo
juga dikembangkan tari-tari kontemporer yang berjiwa dan semangat kekinian
disertai
dengan
unsur-unsur
tradisional.
Tari-tari
kontemporer
yang
dikembangkan dari kebudayaan tari tradisional Karo ini umumnya adalah
untuk kepentingan eksplorasi estetika dari para seniman muda Karo, baik itu di
Tanah karo sendiri atau juga di kota-kota besar terutama di ibukota Provinsi
Sumatera Utara Medan ini. Tari kontemporer ini biasanya memiliki pendukung
yang terbatas di kalangan pencinta tari kontemporer. Sebaliknya tari tradisi
hidup dan berkembang di dlaam masyarakat tradisi yang juga mengalami
perubahan-perubahan kebudayaan di sana-sini. Baik tari kontemporer maupun
tradisi ini memiliki perannya sendiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Karo.
Dengan uraian-uraian berupa gambaran umum masyarakat Karo dan
kebudayaannya tersebut di atas, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa
masyarakat Karo membagi wilayah budayanya kepada dua kategori yaitu Karo
Gugung dan Karo Jahe. Secara umum Karo Gugung berada di kawasan dataran
tinggi, terutama di Pegunungan Bukit Barisan dan sekitarnya yang dihuni oleh
masyarakat Karo selama berabad-abad, sementara Karo Jahe berada di wilayah
pesisir timur Provinsi Sumatera Utara terutama di Langkat, Deli, Serdang,
sampai ke Serdang Bedagai. Namun terjadi juga persebaran etnik Karo ke
seluruh penjuru Nusantara ini bahkan sampai ke Eropa.
Kebudayaan masyarakat Karo terdiri dari sistem religi, baik itu yang
disebut Pemena, dan juga agama-agama besar yang datang ke wilayah ini,
seperti Kristen Protestan, Katholik, dan Islam. Kesemua religi ini dianut oleh
111
masyarakat Karo sebagai bahagian dari kepercayaan akan Tuhan Yang Maha
Kuasa dan diharapkan dapat menentramkan dan mengatur kehidupan mereka
baik di dunia maupun akhirat. Orang Karo juga memiliki ciri khas di dalam
bahasa, yaitu dengan menggunakan bahasa Karo. Di samping itu, orang-orang
Karo juga memiliki sistem kekerabatan yang khas yang terkodifikasi di dalam
tiga konsep kekerabatan yaitu: rakut sitelu, merga silima, dan tutur siwaluh.
Mereka juga memiliki sistem pemerintahan tradisional. Kemudian orang-orang
Karo ini memiliki kesenian-kesenian yang mengekspresikan kebudayaanya
secara umum. Di antara kesenian Karo itu adalah, seni sastra dengan berbagai
genrenya, seni musik, dan seni tari.
Dari uraian secara umum mengenai geografi dan kebudayaannya,
orang-orang Karo di manapun berada terus-menerus mengekalkan berbagai
kegiatan dan nilai-nilai tradisi mereka yang salah satunya adalah dilakukan di
dalam upacara cawir metua. Di dalam upacara ini biasanya selalu disertakan
lagu tradisional yang disebut dengan katoneng-katoneng yang dinyanyikan
oleh penyanyi tradisional Karo yang disebut dengan perkolong-kolong.
Dengan demikian, walau terjadi perubahan zaman, orang-orang Karo tetap
memelihara tradisinya sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dari penguatan
identitas kebudayaan mereka dalam situasi apa pun dan dalam masa mana pun.
112
BAB III
DESKRIPSI UPACARA CAWIR METUA SERTA
PENGGUNAAN GENDANG DAN KATONENG-KATONENG
3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo
Dalam kebudayaan Karo, manusia dipandang menjadi satu kesatuan dengan
alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam era animism dan
dinamisme Tuhan ini disebut dengan Dibata, kemudian setelah masuknya agama
Kristen (Protestan maupun Katholik) dikonsepkan dalam trinitas yaitu Allah Bapa,
Tuhan Yesus, dan Roh Kudus--dan Islam menyebutnya dengan Allah.
Tuhan menciptakan manusia termasuk orang-orang (kalak) Karo dimulai
dari alam kandungan ibu. Ketika masih berada di alam kandungan ini, orang Karo
berharap kelak janin tersebut menjadi manusia Karo yang sempurna. Kemudian
ketika telah berada di dalam kandungan selama lebih kurang Sembilan bulan, maka
ia lahir di dunia ini. Pada saat kelahiran ini, dalam budaya Karo diadakan upacara
menyambut kelahiran bayi. Kemudian tumbuh dan berkembanglah bayi tersebut,
menjadi remaja, dan kemudian dewasa. Pada saat ini, orientasi berikutnya adalah
mencari jodoh atau pasangan hidup, yang kemudian meneruskan generasi manusia
Karo. Dalam konteks memilih jodoh ini, orang Karo dapat menggunakan institusi
adat seperti pada acara menanam padi bersama, atau pesta panen (kerja tahun),
kegiatan guro-guro aron, dan lain-lainnya.
112
113
Demikian seterusnya dia orang yang telah diberkati secara religi dan adat,
membina rumah tangga./ Kemudian mereka juga akan meneruskan generasi
keturunannya. Kemudian keduanya bergaul dan bersosialisasi di dalam masyarakat.
Mereka yang dianggap berhasil di dalam masyarakat ini adalah apabila memiliki
keturunan, kemudian disertai pula dengan tingkat perekonomian yang baik, begitu
juga dengan berbagai jabatan social, dan aspek-aspek lain yang menjadikannya
manusia yang dipandang sempurna di dalam kebudayaan Karo.
Seterusnya, sebagai hukum alam dari Tuhan, yang memang tidak dapat
dihindari manusia adalah kematian. Pada umumnya, di seluruh dunia ini, kematian
merupakan peristiwa yang berdimensi kehilangan yang selalu diekspresikan dengan
kesedihan, dan duka cita yang mendalam. Namun dalam beberapa kelompok
masyarakat, misalnya dalam budaya Batak Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo,
ada jenis kematian yang dirayakan dengan cara suka cita, yaitu seseorang yang
meninggal dunia, telah memiliki anak, dan kesemua anaknya berhasil secara sosial
di dunia ini. Upacara seperti ini disebut saur matua dalam masyarakat Batak Toba,
sayur matua di Simalungun, dan cawir metua di dalam kebudayaan Karo.
Sebelum membahas mengenai kematian cawir metua dan proses
pelaksanaan upacaranya, serta penggunaan katoneng-katoneng yang dinyanyian
oleh perkolong-kolong, alangkah baiknya jika daur hidup manusia ini, dipandang
dari disiplin biologi. Dalam biologi, organisme (makhluk hidup) menjalani daur
hidup (life cycle), suatu proses yang menandai perkembangan suatu organisme
sejak memulai hidupnya di bumi sampai bereproduksi untuk mempertahankan
keberadaan jenisnya. Proses tersebut merupakan suatu perputaran (daur atau siklus)
113
114
karena akan kembali pada titik awal mulanya. Dalam daur hidup terlihat perubahan
bentuk luar (morfologi) yang menandai fase perkembangan suatu individu.
Sebagai contohnya, daur hidup manusia dimulai dari zigot di dalam rahim
ibu, lalu dilahirkan, kemudian mengalami perkembangan dari bayi, anak-anak,
remaja, hingga dewasa. Tahap dewasa adalah tahap ketika individu siap secara
biologis untuk bereproduksi. Namun demikian, daur hidup tidak selalu sederhana.
Perubahan pada aspek morfologi yang sangat nyata dan genetik sering dijumpai
pada kelompok organisme tertentu, yang sering kali diikuti dengan kebutuhan
lingkungan hidup yang jauh berbeda. Daur hidup berbagai hewan parasit dapat
menjadi contohnya. Metamorfosis pada serangga merupakan daur hidup yang
menunjukkan perubahan bentuk luar dan lingkungan hidup. Pergiliran keturunan
pada tumbuhan, alga, dan cendawan merupakan daur hidup yang disertai dengan
perubahan morfologi, bilangan genom, dan (kadang-kadang) lingkungan hidupnya
pula.
Perkembangan pada manusia diawali melalui proses pembuahan. Proses
pembuahan yaitu pertemuan antara sel telur yang berasal dari perempuan (ibu)
dengan sel sperma yang berasal dari pria (ayah). Inti sel sperma akan
bergabung/melebur dengan inti sel telur dan terbentuk sebuah sel baru yang disebut
zigot. Zigot ini akan senantiasa membelah diri menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32
sel, dan seterusnya. Zigot yang telah membelah menjadi banyak sel tadi akan
berkembang menjadi embrio, kemudian menjadi janin dalam rahim ibu. Lamanya
waktu janin tumbuh dan berkambang di dalam rahim ibu, dari mulai proses
pembuahan hingga kelahiran adalah kurang lebih 9 bulan.
114
115
Perkembangan janin selama di dalam rahim dibagi dalam tiga tahapan.
Lamanya waktu pada setiap tahapan adalah tiga bulan. (1) trimester pertama, tiga
bulan pertama embrio berkembang menjadi janin yang panjangnya kurang lebih 5,5
cm. Janin sudah berbentuk seperti manusia walaupun ukuran kepalanya sangat
besar. Di akhir tiga bulan pertama ini janin juga sudah mulai dapat menggerakkan
tangan dan kakinya.
(2) Trimester kedua, pada tiga bulan kedua, janin sudah semakin
berkembang dan panjangnya sudah mencapai kurang lebih 19 cm. Tangan dan
kakinya telah berkembang bahkan jari-jari tangan dan kaki sudah mulai terbentuk,
muka tumbuh memanjang. Pada tiga bulan kedua ini detak jantung janin juga sudah
mulai bisa dideteksi. Gerakan janin juga mulai aktif.
(3) Trimester ketiga, pada tiga bulan ketiga terjadi pertumbuhan ukuran
janin sangat cepat. Ukuran tubuh sudah proporsional seperti bayi. Karena ukuran
tubuhnya semakin besar, janin tidak terlalu leluasa bergerak di dalam rahim.
Menjelang kelahiran bayi pada umumnya sudah mencapai panjang sekitar 50 cm.
Berikutnya janin akan lahir ke dunia dan disebutlah dengan sebutan bayi.
Janin menerima semua zat hara dan oksigen dari pasokan darah ibunya.
Tetapi, darah janin itu tak pernah langsung bercampur dengan darah ibunya. Janin
membuat darah sendiri dan berhubungan dengan darah ibunya melalui plasenta.
Plasenta menghubungkan dinding rahim ibu dengan tali pusar bayi. Melalui
plasenta inilah ibu dan janin mempertukarkan zat hara/makanan, gas-gas dan sisa
buangan.
115
116
Masa setelah kelahiran: (1) masa balita dan anak-anak, pada saat dilahirkan,
seorang bayi sesungguhnya telah memiliki organ dan sistem organ sebagaimana
orang dewasa, namun organ-organ tersebut belum matang. Misalnya, bayi
mempunyai kaki namun belum bisa berjalan dan mempunyai tangan namun belum
dapat memegang dengan baik. Seiring dengan bertambahnya usia, organ-organ
pada bayi juga akan berkembang.
Pada usia 1 atau 2 tahun, bayi akan mulai belajar berjalan dan
mengendalikan fungsi anggota tubuh lainnya seperti tangan, kepala, mulut.Organorgan tersebut akan semakin matang pada saat usia anak-anak. Pada saat usia
masuk sekolah (sekitar usia 5 tahun), perkembangan organ anak biasanya sudah
cukup matang, kecuali organ reproduksi.
(2) Masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa saat organ-organ
reproduksi mencapai kematangannya. Masa pubertas bisanya dimulai saat berusia 8
hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Perubahan
fisik yang terjadi Perubahan fisik yang terjadi merupakan tanda kematangan organorgan reproduksi. Pada umumnya, organ reproduksi anak perempuan lebih cepat
matang dibandingkan organ reproduksi anak laki-laki.
Kemudian hidup manusia diteruskan ke dalam masa perkawinan, dengan
berbagai proses fisik dan sosial dengan lingkungannya. Masa ini umumnya manusia
dikatakan telah dewasa dan siap melakukan reproduksi keturunannya. Dalam masamasa ini manusia juga berada dalam usia produktif baik sebagai orang tua dan juga
sebagai manusia dalam konteks ekonomis.
116
117
Setelah itu, manusia menjalani masa tuanya. Kemudian mengisi hariharinya sebagai manusia lanjut usia. Walau kematian bias saja terjadi di seluruh
daur hidup manusia, namun biasanya secara manusiawi, mati kalau bias adalah
pada masa tua ini, selepas masa produktif. Demikian juga yang terjadi pada orang
Karo.
3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo
Kematian adalah proses berpisahnya roh dengan jasad manusia. Karena
pada saat hidup kedua unsure ini menyatu dalam kesatuan tubuh manusia. Proses
berpisahnya antara roh dan jasad ini, biasanya disebabkan oleh berbagai faktor,
baik itu fisiologis maupun alam.
Dalam kebudayaan masyarakat Karo, kematian yang dianggap paling ideal
adalah kematian yang disebut dengan cawir metua. Namun demikian, tidak selalu
pula kematian seseorang itu sampai ke dalam tahap cawir metua. Dalam konteks
ini, masyarakat Karo membagi tingkatan kematian berdasarkan usia dan keadaan
keturunannya, ke dalam tiga jenis, seperti uraian berikut ini.
(i) Cawir metua, yaitu apabila yang meninggal telah berusi lanjut,
kemudian telah memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat
yang harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga.
(ii) Tabah-tabah galuh, yaitu kematian seseorang yang usianya belum
sampai ke dalam tahap usia lanjut, tetapi semua anak-anaknya sudah
berumah tangga atau berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut
dengan sai utang.
117
118
(iii) Mate nguda, apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih
muda, boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga,
namun belum kesemua anak-anaknya berumah tangga.
Kategori yang kedua, di samping berdasarkan usia dan anak-anak yang
ditinggalkannya, maka orang-orang Karo membagi kematian berdasarkan penyebab
kematian itu pula. Dalam kategori ini, dijumpai Sembilan jenis kematian dalam
persepsi masyarakat Karo, seperti yang diuraikan berikut ini.
(1)
Batara guru, yaitu janin meninggal dalam kandungan, karena faktorfaktor fisiologis, baik dari janin itu sendiri atau juga faktor ibundanya
yang lemah di saat ia berada di dalam rahim.
(2)
Guru batara atau sabutara, yaitu seorang janin yang meninggal dunia
dan belum dikenal jenis kelaminnya, janin ini meninggal dalam
keadaan prematur.
(3)
Bitara guru, yaitu seorang bayi yang meninggal dunia selepas ia lahir,
ia meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya di dunia ini.
(4)
Mate lenga ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal dunia
sebelum tumbuh giginya. Anak ini meninggal bias saja sejak dalam
kandungan atau meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya.
Penguburan terhadapnya dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi
oleh orang tuanya tanpa melibatkan sangkep nggeluh.
(5)
Mate nca ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal setelah tumbuh
giginya. Biasanya upacara penguburannya melibatkan sangkep
nggeluh.
118
119
(6)
Mate anak perana atau singuda-nguda, di kawasan Karo Jahe disebut
dengan mate ndahi nini, yaitu kematian seseorang anak manusia yang
telah sampai ke dalam keadaan perjaka atau gadis.
(7)
Sirang sere, yaitu kematian seorang wanita pada saat ia melahirkan
anaknya.
(8)
Kayat-kayaten, yaitu seseorang yang meninggal dunia, disebabkan
oleh dirinya sakit-sakitan.
(9)
Mate sadawari yaitu sesorang yang meninggal akibat dari kecelakaan
yang tidak diduga-duga.
Dari jenis kematian-kematian di atas, dalam pelaksanaan adat-istiadatnya
kadang-kadang memiliki berbagai perlengkapan khusus, namun dari sisi music dan
tari (gendang) dalam upacara kematian ini hamper sama. Berbagai perlengkapan
khusus ini, misalnya untuk kematian seseorang yang mencapai derajat perjaka atau
gadis, pada alat kelamin laki-laki ditutup oleh seruas bambu—di sisi lain pada alat
kelamin mayat wanita gadis ini dimasukkan tongkol jagung. Dalam persepsi
tradisional masyaraat Karo, kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berbeda,
maka roh yang meninggal dunia tersebut dipanggil dengan sebutan yang berbedabeda pula. Kategori kematian dalam masyarakat Karo ini dapat digambarkan pada
Bagan 3.1.
3.3 Pengertian Cawir Metua
Pada kebudayaan masyarakat Karo upacara kematian secara umum disbeut
dengan kerja nurun atau kerja simate-mate. Kemudian selain itu, ada tiga jenis
119
120
kematian dalam konsep adat masyarakat Karo, yang biasanya didasarkan kepada
status sosial selam ia masih hidup, yaitu: (a) cawir metuah, (b) tabah-tabah galuh,
dan (c) mate nguda. Yang dimaksud dengan upacara cawir metua adalah jika yang
meninggal dunia sudah lanjut usianya dan telah memiliki anak dan cucu dari semua
anak-anaknya. Tidak ada kepastian tertentu usia berapa tahunkah seseorang yang
meninggal itu dapat dikategorikan sebagai cawir metua.
Berbeda dengan jenis kematian yang lain, kematian cawir metua ini banyak
yang tidak ditangisi, karena pada dasarnya kaum kerabat tidak menunjukkan
kesedihan, malah sebaliknya bersuka ria. Alasan di balik sikap seperti ini adalah
bagi mereka telah puas memberikan kasih dan sayangnya selama yang telah
meninggal dunia tersebut masih hidup. Kematian yang seperti ini dipandang mulia
dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun yang
disertai dengan music dan tarian dan para kerabat serta yang hadir turut menari
bersama.
120
121
Bagan 3.1
Daur Hidup dan jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo
121
122
Dengan keberadaanya yang seperti itu, cawir metua adalah upacara
seseorang yang meninggal yang sudah lanjut usianya dan semua anak-anakanya
baik lelaki atau perempuan
sudah berumah tangga. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa syarat yang paling utama untuk seseroang yang meninggal
cawir metua ada dua, yaitu semua anak dari yang meninggal dunia tersebut telah
berkeluarga, dan kedua telah lanjut usianya.
Karena jenis kematian yang penulis teliti adalah cawir metua, maka terlebih
dahulu penulis akan menjelaskan tentang cawir metua tersebut. Biasanya jenis
kematian yang tergolong ke dalam kelompok cawir metuo adalah orang yang
meninggal dalam kondisi lanjut usia dimana anak-anaknya sudah berumah tangga
dan sudah memiliki cucu laki-laki dan cucu perempuan. Pada waktu sakit, biasanya
di sinilah kesempatan anak-anaknya untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada
orang tua tersebut. Mereka menyuapi orangtua tersebut dan setelah makan,
biasanya orang tua tersebut memberikan nasihat, ajaran dan berkat kepada anakanaknya
tersebut.
Kadangkala,
dalam kesempatan
ini orangtua tersebut
menyerahkanharta dan kekayaan yang dimilikinya. Ketika ada seseorang meninggal
dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua
dari istri anak-anaknya yang laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan
pakaian adat lengkap untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki
beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Pakaian
ini sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang
meninggal (almarhum). Jenis kematian cqvvir metua ini ditangisi para kaum
kerabat menunjukkan kesedihan sebagai sebuah perpisahan. Kematian seperti ini,
122
123
dianggap mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah
nurun disertai dengan gendang pengiring dan para kaum kerabat larut menari
bersama dengan mengelilingi jenazah.
3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua
Dalam konteks kebudayaan karo tujuan dilakukannya upacara adat-istiadat
cawir metua adalah sebagai ikon kehormatan dari pihak kalimbubu yang meninggal
kepada yang meninggal. Dalam acara ini diserahkan hutang adat. Ini merupakan
sebuah kewajiban yang harus diberikan kepada pihak kalimbubu.
Jenis penamaan uang adat ini berbeda untuk setiap jenis upacaranya. Dalam
upacara cawir metua, utang adat yang merupakan kewajiban yang harus diberikan
kepada pihak sukut adalah maneh-maneh. Terdiri dari bulang-bulang (uis gatip,
kain adat), sekin (parang), dan bantuan (beberapa uang yang jumlahnya ditentukan
berdasarkan hasil musyawarah atau runggu, dan besarnya uang ini bisa bertambah
sesuai dengan permintaan dari pihak kalimbubu.
3.5 Proses Upacara Cawir Metua
Menurut Sarjani Tarigan dahulu kala dalam kehidupan masyarakat Karo,
jikalau ada orang meninggal dunia, maka aktivitas kultuiral
pertama yang
dilakukan adalah memandikannya, membuat putar di kening dan pipinya (kuning),
kaki pada ibu jari, dan ikat (kalaki). Sejalan dengan hal itu, maka semua sangkep
nggeluh (kerabat) terutama sembuyak, kalimbubu, dan anak beru dipanggil untuk
melakukan runggu (musyawarah) tentang hari penguburan, undangan untuk
123
124
sangkep nggeluh, patong kerja (baban simate), dan lain-lain. Seperti deskripsi
inilah proses yang dilakukan apabila ada orang yang meninggal dunia sebelum
masuknya pengaruh agama Kristen.
Secara umum aktivitas yang berkaitan dengan upacara adat (adat-istiadat)
cawir metua di dalam kebudayaan masyarakat Karo dilaksanakan selama tiga hari.
Namun demikian ada juga di antara warga etnik Karo yang melaksanakan upacara
cawir metua ini selama dua hari saja.
Aktivitas upacara cawir metua tersebut mencakup kegiatan-kegiatan berupa:
persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara adat ini. Dalam konteks
penelitian ini, penulis meneliti upacara yang pelaksanaannya dilakukan sepanjang
tiga hari dengan focus perhatian kepada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br
Pinem (Nd Sesser) pada tanggal 12,13, 14 Februari 2012. Ibu ini adalah ibu
kandung penulis sendiri, yang telah berjasa dalam mendidik anak-anaknya untuk
menjadi orang Karo yang berguna bagi nusa dan bangsa. Banyak kenangan
kehidupan ndan filsafat ibunda penulis ini yang menjadi sumber kehidupan filsafat
hidup penulis, yang menjadi daya dorong dalam mengisi kehidupan ini, terutama
untuk menjadikan diri penulis menjadi manusia yang bermanfaat kepada semua
orang, dan juga patuh dan taat kepada perintah Tuhan.
Upacara Cawir Metua di bawah ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar,
Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada
di wilayah Kabupaten Dairi, namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke
dalam kebudayaan Karo Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142
124
125
kilometer dari Medan; atau berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe,
ibukota Kabupaten Karo.
Pada saat dilaksanakannya penelitian ini Desa Lau Tawar dihuni oleh 400
kepala keluarga, yang dapat dirinci 85 persen di antaranya adalah oleh suku Karo,
serta sisanya terdiri dari suku Pakpak-Dairi, Toba, dan Jawa. Penduduk Lau Tawar
ini sebagian besar hidup dengan bercocok tanam di ladang.
Upacara cawir metua ini dilakukan dalam konteks upacara cawir metua saat
meninggalnya ibu Cilenggemen br Pinem (Nande Sesser). Ibu Cilenggemen ini
memiliki 5 (lima) orang anak yang semuanya sudah menikah. Kelima-limanya
dpaat dirinci sebagai berikut’ (1) Anak pertama bernama Sesser br Ginting (sudah
meninggal dunia; (2) anak kedua bernama Usaha Ginting (penulis sendiri); (3) anak
ketiga bernama Kartini br Ginting; (4) anak keempat Cahaya br Ginting; serta (5)
anak kelima bernama Japet Ginting (anak bungsu). Jadi dengan demikian secara
realitasnya Ibu Cilenggemen br Pinem ini meninggal dalam keadaan cawir metua.
Kematian cawir metua ini adalah sebagai sebuah rahmat dari Tuhan terhadap
keluarga yang ditinggalkannya.
Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem (Nd Sesser) dilaksanakan
di Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang
diundang dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di
kalangan masyarakat umum lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolongkolong Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami
yang sekaligus juga adalah penggual (pemain gendang tradisional Karo) yang
bernama Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang
125
126
mengiringi upacara ini terdiri dari: Asli Sembiring (penarune), Mail Bangun
(penggual), Ucan Ginting (penggual), dan Daniel Bangun (simalu gung dan
penganak).
Upacara dilaksanakan selama tiga hari. Setiap harinya dilakukan upacara
yang berbeda namun menjadi satu rangkaian atau satau kesatuan yang disebut
dengan upacara cawir metua. Dalam konteks budaya Karo, upacara ini dilakukan
baik menurut adat dan juga agama yang dianut oleh yang meninggal tersebut,
dalam hal ini adalah Kristen. Kedua-duanya dapat saja muncul di sana-sini pada
bahagian demi bahagian upacara tersebut.
(I) Hari Pertama, pada mayarakat Karo di Desa Lau Tawar, Tanah Pinem
Dairi dan sekitamya, apabila warganya ada yang meninggal dunia, maka
selanjutnya pihak keluarga atau kerabat yang meninggal dunia tadi, yang terdiri
dari anak beru, senina, dan kalimbubunya biasanya dalam masa yang secepatcepatnya menyelenggarakanm runggu, yaitu musyawarah dengan pihak sukut
(keluarga yang meninggal dan yang menjadi tuan rumah upacara yang dimaksud).
Apabila ketiga pihak seperti yang tersebut di atas, yaitu: anak beru, senaina,
dan kalimbubu belum lengkap, maka runggu biasanya belum bisa dilaksanakan.
Dengan alas an untuk segera dilakukannya musyawarah ini, maka pihak anak beru
secepat mungkin memberitahukan kembali tentang kemalangan (berupa kematian)
ini kepada semua anggota ketiga pihak kerabat dalam institusi adat Karo ini.
Selepas saja semua pihak berkumpul, maka kegiatan berupa runggu (musyawarah)
dilaksanakan untuk membicarakan sebuah topic adat utama yaitu tentang
126
127
bagaimana persiapan-persiapan dalam menyelenggarakan upacara cawir metua
kepada salah satu kerabat mereka yang meninggal dunia tersebut.
Biasanya materi musyawarah yang lebih detil dibicarakan dalam institusi
adat ini secara lisan. Di antara yang dimusyawarahkan mereka para kerabat yang
meninggal ini adalah: (a) waktul atau hari penguburan, (b) kerabat dan warga
masyarakat yang diundang, (c) detil upacara yang dilakukan, (d) peralatan upacara
yang perlu dipersiapkan, (e) dan semua hal yang berkaitan dengan upacara cawir
metua ini.
Dalam studi ini, pada saat melakukan studi lapangan, pada hari pertama ini
keluarga dari mendiang Ibu Cilenggemen br Pinem (yang meninggal) hanya
melakukan runggu untuk membicarakan bagaimana, apa saja yang perlu
dipersiapkan, siapa bertugas sebagai apa, serta siapa-siapa saja baik itu anggota
kerabat maupun masyarakat yang perlu diundang dalam konteks upacara adat cawir
metua ini. Ketika dilakukan musyawarah atau runggu tersebut, sebelumnya jasad
Ibu Cilenggemen br Pinem sudah ditempatkan di dalam keranda di dalam
rumahnya. Setiap kerabat atau masyarakat yang ingin melayatnya bisa melihat
jenazah ini, dan biasanya mengirimkan doa kepada mendiang, agar ditempatkan di
sisi Tuhan dengan tempat yang sebaik-baiknya, dan segala amalnya di dunia
semasa hidup diterima Tuhan pula. Selanjutnya tiba hari kedua, dalam proses
upacara cawir metua ini.
(II) Hari kedua, aktivitas upacara pada hari kedua ini terutama dilakukan
oleh anak beru yaitu berupa membagi undangan kepada keluarga dan teman untuk
menghadiri upacara. Selain itu kegiatan yang dilakukan kerabat
127
adalah
128
mempersiapkan seluruh peralatan untuk upacara cawir metua yang dibutuhan
selama berlangsungnya puncak acara adat keesokan harinya.
Secara garis besar semua undangan yang dikelompokkan dalam kekerabatan
terdiri dari: kalimbubu, senina, dan anak beru. Ketiga kelompok kerabat ini, dalam
konteks kebudayaan Karo pada umumnya dan fungsional pula dalam upacara
cawir metua, dapat dirinci lagi secara kategorial sebagai berikut ini.
(a) Dari pihak kalimbubu, didukung oleh unsur-unsurnya, yaitu:
(i)
Kalimbubu bena-bena,
(ii)
Kalimbubu taneh,
(iii) Kalimbubu simada dareh,
(iv) Kalimbubu i perdemui,
(v)
Puang kalimbubu,
(vi) Kalimbubu senina,
(vii) Kalimbubu sepengalon, serta
(viii) 30 Teman -teman satu kampung atau teman satu lokasi pekerjaan.
(b) Dari pihak senina, didukung oleh unsure-unsurnya seperti direntang
berikut:
(i) Senina,
(ii) Sembuyak,
(iii) Senina sipemeren,
(iv) Senina siparibanen, dan
(v) Senina sipengalon.
128
129
(c) Dari pihak anak beru, didukung oleh unsur-unsurnya seperti direntang
berikut ini.
(i) Anak beru tua,
(ii) Anak beru jabu,
(iii) Anak beru langkip, dan
(iv) Anak beru menteri.
Kemudian alat-alat dan kelengkapan yang dipersiapkan adalah mulai dari
pakaian adat (ose), utang adat, peralatan musik, peti jenajah, makanan, dan tempat
penguburan. Jikalau pihak sukut tersebut adalah orang yang ekonominya termasuk
“orang berada,” maka untuk melengkapi pertunjukan musik, diundanglah
perkolong-kolong untuk bertugas secara budaya yaitu menyanyikan katonengkatoneng. Dalam penulisan ini peneliti memilih upacara yang menggunakan
katoneng-katoneng, sesuai pokok masalah dalam tesis ini untuk mengkaji struktur
music dan makna teks katoneng-krrtoneng yang terdapat dalam upacara cawir
metua.
Setelah semuanya selesai dipersiapkan, pada malam hari kedua dilakukan
musyawarah (runggu) kembali setelah semua yang terlibat dalam pelaksanaan
upacara ini makan malam.
Pada
musyawarah ini yang paling pokok adalah
dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penetapan hutang adat dan acara
perlandek (menari). Dalam upacara cawir metuaini, ada urutan-urutan yang
melakukan landek (menari).
Selanjutnya diadakan gendang adat yang dalam kaitannya gendang adat ini
dipercayai atau dipandang sebagai gendang erjaga-jaga (gendang yang berfungsi
129
130
untuk membuat pendukung upacara tetap terbangun menjaga jenazah). Dalam
gendang adat ini atau gendang erjaga-jaga ini ada urutan siapa saja yang
melakukan landek. Dalam pengamatan penulis urutan itu adalah sebagai berikut:
1. Pihak keluarga (sukut) yang kemalangan, termasuk penulis ikut melakukan
landek ini, sebagai anak kandung,
2. Pihak sembuyak (orang-orang sekitar daerah dan luar daerah yang tidak ada
hubungan darah dengan kerabat yang meninggal),
3- Kepala desa, kepala rukun warga, dan rukun tetanggam juatetangga-tetangga
serta teman-teman akrab,
4. Pihak kalimbubu,
5. Pihak puang kalimbubu,
6. Pihak anak beru yang terdiri dari empat marga, dan
7. Pihak anak beru menteri yang terdiri dari lima marga.
Hari kedua ini, merupakan aktivitas yang berasal dari hasil musyawarah di
hari pertama. Selanjutnya diadakan musyawarah kembali untuk membicarakan
persiapan yang dilakukan dalam menyambut puncak upacara di hari ketiga. Untuk
itu semua yang tergolong dalam sistem kekerabatan setelah musyawarah kedua ini,
maka dilanjutkan dengan gendang erjaga-jaga, yang artinya menjaga yang
meninggal sampai tiba hari ketiga.
(III)
Hari Ketiga, merupakan puncak acara upacara adat cawir metua
yang dimaksud. Pada hari ketiga ini sebelumnya dimulainya acara adat cawir
metua, terlebih dahulu dilakukan acara doa dari pihak gereja. Selesai acara berdoa
secara Kristiani ini, maka upacara dilanjutkan dengan ngukati (makan pagi).
130
131
Setelah selesai acara makan, pihak sukut beserta keluarga yang termasuk ke
dalam sistem kekerabatan mengadakan runggu kembali. Tema utama yang
dibicarakan dalam musyawarah ini adalah mengenai pengangkatan jenazah dari
rumah kediaman jenazahselamah ini beserta keluarga intinya, ke jambur yang
sudah ditetapkan dan siapa saja bertugas mengangkat jenazah dan kemudian
menempatkan posisi jenazah sesampainya di jambur.
Gambar 3.1:
Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting
Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng.
Sumber: dokumentasi penulis
131
132
Berdasarkan dari hasil musyawarah tersebut, maka diputuskan secara adat
pengangkatan jenazah ke jambur. Kalimbubu mangangkat bagian kepala. Disertai
dengan pihak anak beru mengangkat bagian kaki dan badan jenazah. Bersamaan
dengan pengangkatan jenazah Ibu Cilengemen br Pine mini, maka semua pihak
yang hadir, dan memiliki keluangan waktu turut mengiringi prosesi pengantaran
jenazah sampai ke jambur.
Gambar 3.2:
Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting sedang
Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek
Sumber: dokumentasi penulis
132
133
Selepas saja jenazah sampai di jambur dan diletakkan pada posisi yang telah
ditentukan, maka dalam rangkaian upacara cawir metua ini, dilakukan acara adat,
maka pemimpin upacara dari pihak anak beru memanggil para peserta upacara,
melalui perangkat pengeras suara, yaitu mikrofon dan pengeras audio. Setelah
pemimpin upacara meminta kepada para pemusik (si erjabaten) untuk memainkan
gendang sarune sebagai indeks bahwa upacara adat akan segera dimulai sambil
memanggil kembali para sangkep nggeluh (segenap kerabat) untuk datang ke
jambur agar upacara adat puncak cawir metua tersebut dimulai. Adapun iringan
gendangnya disebut gendang pengangkat dan gendang siarak-araki. Seiring
dengan musik (gendang) terus berjalan, maka salah seorang anak beru singerana,
memohon kepada si erjabatan (sebutan pemusik) agar gendang yang bertajuk Rose
dan Tudungan dimainkan. Kemudian pihak kerabat menari (landek) dengan
komposisi fungsionalnya adalah: (l) Pada saat Gendang Rose dipertunjukkan,maka
pihak kerabat yang menari adalah semua pihak kerabat yang sedang mengalami
kemalangan; (2) pada saat Gendang Tudungen dipertunjukkan, maka yang
melakukan landek adalah anak perana atau singuda-nguda (muda-mudi).
Kedua repertoar gendang tersebut dipertunjukkan dengan tujuan kultural
agar semua pihak kerabat bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya masingmasing. Setelah selesai pertunjukan Gendang (musik dan tari) Rose dan Gendang
Tudungen ditujukan kepada dilaksanakan, maka anak beru singerana kembali
memberitahu kepada pihak sukut bahwa telah meninggal salah seorang dari
kalimbubunya. Pemberihuan ini merupakan bagian dari pelaksanaan upacara adat
cawir metua.
133
134
Pemberitahuan yang disampaikan anak beru singerana kemudian
dilanjutkan oleh salah seorang pihak keluarga yang kemalangan yaitu senina
(saudara perempuan) dari jenazah. Tema dan isi dari pemberitahuan ini adalah
bahwa pada hari itu telah berkumpul semua pihak kerabat untuk menyelesaikan
hutang adat. Selanjutnya diminta pula kepada semua pihak agar tidak ada yang
menaruh rasa dendam ataupun marah kepada yang meninggal, supaya arwah yang
meninggal diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah Bapa, Tuhan Yesus,
dan Roh Kudus).
Pemberitahuan secara adat tersebut, dalam konteks kebudayaan Karo lazim
disebut dengan kata pengalo-ngalo. Selepas itu, dengan selesainya kata pengalongalo, maka kata-kata ini diikuti dengan pertunjukan gendang pengalo-ngalo yang
mengiringi perkolong-kolong, yang menyanyikan lagu katoneng-katoneng.
Selepas rangkaian tersebut, maka kegiatan berikutnya dalam rangkaian
upacara adat cawir metua ini adalah pertunjukan gendang adat. Repertoar ini juga
melibatkan pertunjukan landek dari pihak kalimbubu, puang kalimbubu, sukut,
senina, anak beru, serta anak beru menteri.. Gendang adat tersebut menandakan
bahwa acara adat yang ditujukan kepada suhut (keluarga yang sedang mengalami
kemalangan).
Pada saat ini juga diadakan acara musyawarah khusus yang membicarakan
masalah hutang-hutang adat
kerabat kepada kalimbubu yang disebut dengan
pedalen maneh-maneh. Setelah pemberian maneh-maneh kepada kalimbubu selesai,
maka dipertunjukan pua Gendang Perang-perang. Gendang ini diikuti dengan
kegiatan landek oleh pihak kalimbubu bersama denga puang kalimbubu. Bersamaan
134
135
dengan dengan kegiatan pertunjukan budaya ini, maka kalimbubu membawa kain
kafan dari tempat mereka landek sambil menuju tempat peti jenazah. Kemudian
kain kafan tersebut diselempangkan ke atas jasad jenazah. Sejalan dengan
berlangsungnya pertunjukan Gendang Perang-perong, maka perkolong-kolong
kembali lagi mengungkapkan teks-teks penghibur kepada pihak sukut dan kerabat
dalam bentuk nyanyian yang disebut katoneng-katoneng.
Selepas saja pihak kalimbubu selesai melakukan landek, maka acara
berikutnya diberikan kepada pihak anak beru untuk landek bersama anak beru
menteri. Dalam landek ini, anak beru dan anak beru menetri membawa kain kafan
dari tempat dia landek, dan perlahan-lahan menuju tempat peti jenazah. Sesudah
sampai di depan jasad jenazah, maka kain kafan itu diselempangkan ke atas
jenazah.
Dalam
landek
ini
perkalong-kolong
berperan
kembali
untuk
mempersembahkan nyanyian yang penuh nilai-nilai filsafat dan budaya dalam
bentuk lagu katoneng-kotoneng.
135
136
Gambar 3.3:
Foto Kelompok Kalimbubu Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan
dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting
Sumber: dokumentasi penulis
Rangkaian acara ini diakhiri dengan pertunjukan Gendang Sirang-sirang
oleh si erjabaten sebagai tanda perpisahan. Gendang ini juga mengiringi katonengkatoneng, dan gendang inilah yang disebut dengan “puncak acara adat” dalam
upacara cawir metua. Kemudian selepas itu, pihak sukut beserta keluarga yang
kemalangan mengoleskan air yang telah diramu dengan jeruk purut ke bagian
permukaan kuku jari-jari kedua kaki jenazah. Setelah itu acara diserahkan kepada
pihak gereja sampai ke penguburan yang dalam adat Karo disebut upacara
pemakaman (nurun). Pada saat ini nyanyian yang digunakan bukan katonengkatoneng tetapi genre yang disebut nganggukken tangis.
136
137
Gambar 3.4:
Kelompok Kalimbubu Perempuan sedang Menyampaikan Pesan dan
Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting
Sumber: dokumentasi penulis
137
138
Gambar 3.5:
Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan kata Pengalo-ngalo (Penyambutan)
kepada Sangkep Nggeluh (Kerabat Adat).
umber: dokumentasi penulis
Gambar 3.6:
Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo
kepada Sangkep Nggeluh
Sumber: dokumentasi penulis
138
139
Dengan melihat uraian di atas, maka secara umum struktur urutan acara adat
cawir metua dalam kebudayaan Karo pada umumnya, yang berlangsung adalah
sebagai berikut ini.
1. Sukut berangkat dari rumah dan disambut oleh anak berunya di jambur,
2. Nangketken ose (memakaikan ose kepada sukut),
3. Landek kempu (seluruh cucu dari yang meninggal dunia menari berpasangan)
4. Landek adat sukut,
5. Landek adat sembuyak,
6. Landek adat siparibanen, sipemeren,
7. Memberikan kata pengapul atau kata teman meriah,
8. Acara nggalari utang adat,
9. Landek adat tegun sipemeren, siparibanen, puang nupuang,
10. Landek adat tegun kalimbubu,
11. Landek adat tegun senina,
12. landek adat kalimbubu, dan
13. Landek adat anak beru.
Walaupun demikian adanya, dalam upacara cawir metua ini urutan yang
bisa disatukan pelaksanaannya dilakukan oleh keluarga untuk mempersingkat
waktu, yang dalam hal ini tentu saja, tidak mengurangi rasa hormat terhadap
upacara adat. Urutan itu adalah setelah sampai ke jambur, maka acara selanjutnya
dipandu oleh pemimpin upacara untuk meminta kepada si erjabaten memainkan
Gendang Rose, kemudian memanggil sukut untuk melakukan landek. Setelah itu
139
140
lalu dilanjutkan landek oleh senina, setelah itu teman meriah yang dilanjutkan
galari utang adat. Sesudahnya landek kembali tegun kalimbubu dan ditutup dengan
kegiatan landek dari tegun anak beru untuk menutup rangkain upacara ini. Dalam
pelaksanaannya setelah setiap kelompok ini selesai landek, maka berikutnya selalu
dipertunjukkan nyanyian katoneng-katoneng.
140
141
BAB IV
PENGGUNAAN DAN FUNGSI KATONENG-KATONENG
Dalam Bab IV ini kajian difokuskan pada masalah fungsi katonengkatoneng dalam upacara cawir metua pada kebudayaan Karo. Adapun kajian
terhadap guna dan fungsi ini adalah berdasarkan kepada teori fungsionalisme
seperti yang telah diuraikan pada Bab I.
Kemudian penulis dengan berdasar kepada teori fungsionalisme, mengkaji
fungsi komunikasi, khususnya yang terdapat dalam nyanyian katoneng-katoneng
dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara.
Pengertian fungsi ini adalah menurut Merriam (1964) harus dibedakan ke
dalam dua terminologi yaitu penggunaan dan fungsi. Adapun penggunaan
katoneng-katoneng dalam budaya masyarakat Karo di Sumatera Utara, biasanya
digunakan dalam konteks adat-istiadat terutama upacara, mengket rumah mbaru
(memasuki rumah baru), cawir metua (upacara kematian kerabat yang telah
mencapai derajat kematian tertinggi yaitu memiliki usia lanjut, serta memeiliki
keturunan baik satu, dua, tiga, atau empat generasi ke bawah, dan kesemua
anaknya ini telah berumah tangga), pesta tahun, guro-guro aron, dan lainnya.
141
142
4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi
Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah
bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur
kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan
nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan
naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi
karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan konsep ini
seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.1
Selaras dengan pendapat Malinowski, lagu katoneng-katoneng dalam
kebudayaan etnik Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena
diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo
pada umumnya. Nyanyian katoneng-katoneng ini timbul, karena masyarakat
pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun
lebih jauh dari itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi
masyarakat, hiburan, komunikasi, kontinuitas budaya, pembelajaran nilai-nilai,
1
Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang
fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam
antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara
fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian
lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands,
selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku
manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
142
143
merileksasi
ketegangan
karena
seorang
kerabatnya
meninggal
dunia,
mengekspresikan perasaan sedih dan sekaligus gembira, dan l;ain-lainnya.
A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat
dengan struktur sosial masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,
sedangkan individu-individu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian,
Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu
masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas
kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya.
Tujuan
fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti
yang diuraikan Radcliffe-Brown berikut ini.
By the definition here offered ‘function’ is the contribution
which a partial activity makes of the total activity of which it is a
part. The function of a perticular social usage is the contribution of it
makes to the total social life as the functioning of the total social
system. Such a view implies that a social system ... has a certain
kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may
define it as a condition in which all parts of the social system work
together with a sufficient degree of harmony or internal consistency,
i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved
not regulated (1952:181).
Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, katoneng-katongeng
dalam kebudayaan Karo, bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial
masyarakat karo. Seni pertunjukan budaya Karo ini adalah salah satu bahagian
aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang
pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat
pengamalnya dalam hal ini masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk
143
144
mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu,
dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat karo,
misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan
identitas dan kumpulan etnik Karo, masalah perubahan kebudayaan, transmisi
nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah
sosial dan kebudayaan lainnya.
Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan
integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk
kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi
yang dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras
dengan pendapat Soedarsono lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo,
mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri
dan penyajian estetika.
Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba
menerapkannya dalam disiplin etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam
membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan
fungsi.
Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah
sangat penting. Para pakar etnomusikologi (etnomusikolog) pada masa lampau
tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini dua istilah ini. Jika kita berbicara tentang
penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik
dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau
sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu
sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh
144
145
Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi
sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it
may or may not also have a deeper function. If the lover uses song
to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the
continuity and perpetuation of the biological group. When the
supplicant uses music to the approach his god, he is employing a
particular mechanism in conjunction with other mechanism as such
as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function
of music, on the other hand, is enseparable here from the function of
religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a
sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the
situation in which music is employed in human action; “function”
concerns the reason for its employment and particularly the broader
purpose which it serves (1964:210).
Dari kutipan paragraph di atas terlihat bahwa Merriam membedakan
pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan
pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi
tertentu dan menjadi bahagian situasi itu. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi
fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang
menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik
seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan
keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin
dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan
manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti
menari, berdoa, mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara.
“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia;
145
146
sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan
terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh
peristiwa muskal tersebut. Dengan demikian, selaras dengan pendapat Merriam,
menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi
lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya, dan lebih
bersifat konseptual dan abstrak.
Berkaitan dengan guna dan fungsi katoneng-katoneng dalam kebudayaan
Karo ini mencakup berbagai aktivitas sosial budaya. Simak kajian yang penulis
lakukan seperti berikut ini.
4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo
Berdasarkan pengamatan penulis sebagai orang dalam, penggunaan
katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, umumnya berkait erat dengan
upacara
“keberhasilan”
orang
Karo
dalam
mengisi
kehidupannya
ini.
Keberhasilan tersebut ditandai dengan panen yang berhasil, kemudian
memperoleh rezeki (misalnya rumah yang baru) yang dikurniakan Tuhan kepada
mereka, termasuk juga keberhasilan seorang mendiang selama hidupnya, yang
secara adat diukur dengan memiliki anak, cucu, cicit dan seterusnya, semua
anaknya telah menikah membentuk rumah tangga, sebagai pelanjut dirinya.
Penggunaan katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo di Sumatera
Utara mencakup berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pertunjukan
guro-guro aron dalam rangkaian kerja tahun, memeriahkan upacara mengket
rumah mbaru (memasuki rumah baru), memeriahkan upacara cawir metua (mati
146
147
dalam kedudukan yang sempurna menurut adat Karo), dan lain-lainnya. Dengan
melihat penggunaan katoneng-katoneng yang seperti ini, jelaslah bahwa
katoneng-katoneng memiliki nilai-nilai penghiburan dalam suasana keberkahan
dan sukacitas. Dari guna yang seperti ini tentu saja nilai-nilai yang terkandung di
dalam katoneng-katoneng adalah nilai-nilai orientasi kepada tujuan hidup orang
Karo untuk menjadi orang yang berhasil dalam dunia maupun akhirat, dan
berorientasi kepada kemajuan peradaban.
4.2.1 Penggunaan pada Upacara Mengket Rumah Mbaru
Dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara, jika seseorang diberi rejeki
berupa rumah (tempat kediaman) baru, maka ia akan melakukan upacara
bersyukur yang disebut mengket rumah mbaru (masuk ke rumah baru), ada juga
yang menyebutnya mengket rumah saja. Peristiwa ini memiliki latar belakang
kebudayaan yang panjang. Di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis, tentang
pentingnya bersyukur kepada Tuhan Yang maha Kuasa atas segala rejeki yang
telah diberikan kepada seseorang itu. Sel;ain itu, rasa syukur ini juga disertai
dengan nilai-nilai kebersamaan sosial. Dengan melakukan upacara ini, maka
pihak-pihak kerabat dan masyarakat yang terlibat dalam acara tersebut terus
membina hubungan social yang baik, denganm cara berkomunikasi, bertukar
pendapat, dan saling memberikan cerita-cerita pengalaman hidup mereka
masing-masing. Dengan demikian terjalinlah hubungan social dan emosi dari
semua yang terlibat di dalam upacara tersebut. Selain itu, nilai lainnya adalah
membentuk setiap orang yang terlibat di dalam upacara ini untuk mencintai,
147
148
menghayati, dan mengamalkan budaya Karo sebagai bagian dari identitas
kebudayaan mereka, yang penting bagi mengisi kehidupan di dunia ini. Selain
itu, melalui upacar ini tersemai nilai-nilai integrasi sosial, baik itu untuk
kalangan orang dalam sendiri dan juga masyarakat yang multikultural di
Sumatera Utara atau Indonesia secara umumnya.
Rumah adalah tempat setiap keluarga, baik itu keluarga inti yang terdiri
dari suami, istri, dan anak-anaknya tinggal dan menjadi tempat untuk
beraktivitas keluarga—maupun keluarga batih atau extended family, yang terdiri
dari keluarga inti ditambah para kerabat dekatnya. Dimulai dari rumah inilah
kepribadian setiap orang dibentuk, dan setiap orang mengembangkan
karakternya masing-masing. Dalam konsep tradisional Karo, keluarga yang baik
akan menghasilkan manusia-manusia yang baik dan unggul. Dengan demikian,
jika sebuah keluarga memiliki rumah baru, maka ia tanpa disuruh oleh siapapun
tergerak hatinya untuk melakukan upacara, sebagai ekspresi rasa syukur dan
sekaligus juga sebagai cara membagi kebahagian dengan orang lain.
Dalam upacara mengket rumah mbaru ini, benda-benda upacara terdiri
dari: buluh-buluh simelias gelar, yaitu kumpulan dedaunan yang dipandang
memiliki makna kultural khas membawa kebaikan. Di antaranya adalah: bulung
jabi-jabi (daun pokok beringin), bulung besi-besi, bulung sangke sempilet,
bulung arimas, bulung kalinjuhang, bulung ambattuah, bulung batang teguh,
dan bulung simbara bayak. Kesemua daun ini ditempatkan di keempat sudut
dapur rumah baru tadi bersamaan dengan pemasangan daliken (tungku) di dapur.
148
149
Pada kegiatan upacara mengket rumah mbaru ini, secara budaya selalu
melibatkan katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong.
Peristiwa cultural dan musikal ini juga diiringi oleh ensambel gendang lima
sidalanen. Tidak lupa juga kegiatan tersebut melibatkan tari-tarian dari pihak
kerabat sukut, baik itu kalimbubu, senina, maupun anak beru. Kegiatan ini
sebagaimana halnya kegiatan upacara cawir metua, juga melibatkan aspek adat
dan juga sistem religi. Begitu juga dengan segala persiapannya yang selalu
ditandai dengan sistem musyawarah (runggu).
Adapun upacara mengket rumah mbaru ini tahapan-tahapannya adalah:
(a) liturgi gereja (bagi yang beragama Kristen), atau doa bagi yang beragama
Islam. Kemudian (b) majekken daliken yang disertai dengan pemakaian ose.
Seterusnya (c) aktivitas man cimpa dan makan dem (makan nasi dengan lauk
yang lengkap). (d) acara prosesi atau arak-arakan, (e) acara perlandek (menari);
dan (f) acara man (makan bersama).
Secara umum upacara mengket rumah mbaru dilakukan di dalam rumah
dan kemudian dilanjutkan di jambur (loosd). Lauk yang disediakan adalah
berupa daging lembu, babi, dan juga ayam. Pihak rakut sitelu memakai ose yaitu
pakaian adat Karo.
Beberapa minggu sebelum dilakukannya upacara mengket rumah mbaru
ini, maka pihak sukut (yang punya hajat) mengadakan musyawarah (runggu)
keluarga dengan kerabat dekatnya (sangkep nggeluh). Adapun aspek yang
dimusyawarahkan adalah tentang pelaksanaan upacara (kerja), persiapan
149
150
upacaranya, dan berkaitan pula dengan konsumsi yang disediakan untuk
keperluan upacara tersebut.
Dalam kegiatan upacara ini, adat istiadat yang pertama kali dilakukan
adalah ndalanken luah kalimbubu. Pemakaian ensambel musik gendang lima
sidalanen dalam upacara mengket rumah mbaru ini memang tidak mutlak, tetapi
sangat lazim dilakukan. Bagaimanapun dalam hal ini katoneng-katoneng adalah
indeks dari upacara mengket rumah mbaru ini di dalam konteks kebudayaan
Karo. Selain itu secara kekerabatan dan untuk integrasi sosialnya, maka semua
pihak dalam rakut sitelu mengadakan kegiatan menari (perlandek), yang
urutannya ditentukan dalam adat ini. Selain itu, dalam upacara mengket rumah
mbaru ini juga melibatkan pidato berupa nasihat dari unsur-unsur rakut sitelu
tersebut. Dalam kebudayaan karo, saling memberikan nasihat ini memang
menjadi kebiasaan di kalangan mereka. Saling menasihati ini akan memberikan
arah yang baik bagi melakukan kontinuitas kebudayaan Karo.
4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua
Nyanyian katoneng-katoneng yang disenandungkan oleh penyanyi
tradisional; Karo yang disebut perkolong-kolong juga merupakan indeks dari
upacara syukur lainnya, yaitu apa yang disebut dengan upacara cawir metua.
Upacara ini adalah menjadi fokus perhatian penulis di dalam konteks penelitian
yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini.
Upacara cawir metua secara umum adalah upacara bersyukur atas
meninggalnya kerabat dari dunia ini, yang mana ia telah berusia relative lanjut,
150
151
dan berhasil menjadi manusia “sempurna,” karena telah memiliki keturunan, dan
semua keturunannya tersebut telah berumah tangga. Kematian seperti ini adalah
kematian yang paling baik derajatnya dalam konsep kebudayaan Karo.
Kematian adalah salah satu fase menuju dunia akhirat di dalam sistem
religi orang-orang Karo. Ketika ia menuju kea lam lain tersebut, maka anak dan
cucunya serta kerabat-kerabatnya yang masuk ke dalam lingkup rakut sitelu,
secara otomatis melakukan upacara cawir metua
ini, yang pelaksanaannya
dilakukan menurut adat istiadat Karo, yang dikaitkan pula dengan sistem religi
yang dianutnya.
Upacara cawir metua ini biasanya dilakukan selama dua atau tiga hari,
yang melibatkan aktivitas musikal, tarian, dan upacara. Unsur musikal didukung
oleh penggunaan ensambel gendang yang disebut gendang lima sidalanen, yang
terdiri dari alat-alat musik yang dimainkan oleh para musisi (si erjabaten), yaitu:
sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Kelima
gendang ini kemudian disertai dengan nyanyian katoneng-katoneng yang
dinyanyikan oleh perkolong-kolong. Semua aktivitas ini melibatkan unsur rakut
sitelu dalam konteks kekerabatan di dalam kebudayaan Karo.
Tema utama katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua ini
adalah tentang si jenazah ketika hidup. Juga berbagai kata-kata yang bersifat
puitis yang menjadi filsafat hidup orang Karo pada umumnya. Demikian pula di
dalamnya terkandung nilai-nilai kegotongroyongan, keeteguhan bersikap, tujuan
hidup di dunia ini, nasehat-nasehat, dan lain-lainnya.
151
152
Seperti yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka secara umum
struktur urutan acara adat cawir metua dalam kebudayaan Karo pada umumnya,
yang berlangsung adalah sebagai berikut ini. 1. Sukut berangkat dari rumah dan
disambut oleh anak berunya di jambur, 2. Nangketken ose (memakaikan ose
kepada sukut), 3. Landek kempu (seluruh cucu dari yang meninggal dunia menari
berpasangan), 4. Landek adat sukut, 5. Landek adat sembuyak, 6. Landek adat
siparibanen, sipemeren, 7. Memberikan kata pengapul atau kata teman meriah,
8. Acara nggalari utang adat, 9. Landek adat tegun sipemeren, siparibanen,
puang nupuang, 10. Landek adat tegun kalimbubu, 11. Landek adat tegun senina,
12. landek adat kalimbubu, dan 13. Landek adat anak beru.
Kegiatan pada upacara cawir metua yang melibatkan nyanyian katonengkatoneng yang dilantunkan oleh perkolong-kolong ini, memiliki nilai-nilai dan
kearifan local Karo, yang tetap sesuai dengan perkembangan zaman sampai
sekarang ini. Di antara nilai dan kearifan local katoneng-katoneng dalam konteks
upacar cawir metua adalah sebagai berikut: (a) nilai orientasi hidup orang Karo
untuk mendidik keturunan agar menjadi orang-orang yang berguna bagi
masyarakat luas; (b) nilai ketuhanan yaitu rasa bersyukur kepada Tuhan Yang
maha Kuasa oleh kerabat yang ditinggalkan jenazah atas semua jasa-jasanya
ketika masih hidup di dunia ini, semua itu dapat terjadi atas ijin Tuhan; (c) nilainilai kebersamaan, yaitu dengan penyelenggaraan upacara ini dengan melibatkan
kegiatan musikal, tari, dan upacara secara adat, maka baik itu pihak rakut sitelu
atau masyarakat sekitar dan undangan merasakan integrasi sosial. Dalam konteks
152
153
ini kebersamaan ini akan menjadi daya dorong kebersamaan dan mendukung
kekuatan konsistensi internal kebudayaan Karo secara umum.
4.2.3 Penggunaan pada pesta tahun
Masyarakat
Karo
merupakan
masyarakat
desa
yang
mayoritas
kehidupannya mengandalkan kepada pertanian. Selain sebagai kehidupan
perekonomian juga dikaitkan dengan kehidupan religius dan interaksi sosial.
Tanaman padi merupakan salah satu tanaman penting dan membutuhkan
penghormatan terhadap proses penanamannya. Panggilan tertentu seperti Beru
Dayang menunjukkan betapa dihargainya padi dalam kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Karo. Selain sebagai bahan pangan pokok, sumber kekuatan
ekonomi dan juga dasar prestise sosial bagi masyarakat. Ukuran dan volume
lumbung padi sering menjadi tolok ukur keberadaan seseorang. Dengan demikian,
semua proses penanaman dihargai dan disyukuri disertai harapan untuk hasil yang
baik. Hal ini sejalan dengan kepercayaan religi yang dimiliki masyarakat.
Beberapa waktu lalu, tanaman padi merupakan tanaman dengan masa
penanaman setahun sekali. Proses awal hingga akhir penanaman membutuhkan
beberapa upacara agar memberikan hasil yang baik. Hal ini sejalan dengan paham
magis animistis masyarakat Karo, yang menganut ajaran Pemena. Upacaraupacara tersebutlah yang umumnya mendasari terselenggaranya kerja tahun di
dalam kebudayaan masyarakat Karo.
Kerja tahun dapat diartikan sebagai pesta yang diselenggarakan
masyarakat setahun sekali. Walaupun pada beberapa daerah tertentu ada yang
153
154
menyelenggarakan kerja tahun tersebut tidak didasarkan pada tanaman padi lagi,
namun mayoritas masih didasarkan pada hal tersebut.
Di sisi lain, Ginting (1999:175-178) menganggap kerja tahun sebagai
perekat kekerabatan. Beliau merumuskan kerja tahun ke dalam empat nama, yaitu
sebagai berikut. (1) Merdang merdem, kerja tahun ini dilakukan pada masyarakat
sekitar Kecamatan Tiga Binanga dan Munte. Waktu pelaksanaannya dilakukan
saat akan dimulainya proses penanaman padi. Diawali dari penyemaian benih
sampai benih ditanamkan ke ladang (disebut merdang). (2) Nimpa bunga benih,
kerja tahun ini juga sering pula disebut ngambur-ngamburi. Pelaksanaannya
secara sosial terdapat di daerah Kabanjahe dan sekitarnya, Berastagi, dan Simpang
Empat. Aktivitas ini dilakukan ketika menanam padi sudah berdaun (sekitar dua
bulan). Masyarakat Karo menyebutnya dengan erlayuk, ersusun kulpah. (3)
Mahpah, yaitu berasal dari kata pahpah, yaitu padi yang direbus, dijemur, dan
ditumbuk, sehingga berbentuk gepeng. Pahpah inilah yang disiram air dan diberi
madu atau gula dan kelapa, kemudian dimakan bersama-sama. Kerja tahun ini
umumnya dila dilakukan di daerah Barus Jahe dan Tiga Panah. Pelaksanaannya
ketika padi mulai menguning. (4) Ngrires, kerja tahun ini dilaksanakan di daerah
Batu Karang. Dikatakan ngerires karena berasal dari kata rires yang artinya
adalah lemang yang merupakan makanan khas pada acara kerja tahun ini.
Pelaksanaannya sebagai ucapan syukur atas panenan padi yang baik.
Semua acara di atas diikuti doa menurut kepercayaan Pemena serta tata cara
dan perlengkapan tertentu yang berbeda-beda pada setiap acara. Selain kerja tahun
di atas, pada daerah tertentu telah berkembang kerja tahun yang tidak didasarkan
154
155
pada proses penanaman padi. Daerah seperti di Juhar, Tanah Pinem, dan Tiga
Lingga sudah mendasarkan kerja tahun pada ulang tahun kemerdekaan yaitu
tanggal 17 Agustus.
Paparan di atas menjelaskan bahwa pada masyarakat Karo terdapat perbedaan
jadwal pelaksanaan kerja tahun. Namun semua didasarkan pada keyakinan dan
harapan demi hasil pertanian yang lebih baik. Besarnya antusias masyarakat untuk
menghormati tanaman padi ini sehingga mereka menyebutnya sebagai Siberu
Dayang, dengan kondisinya masing-masing. Misalnya: (1) Beru Dayang
Rugunugun, yaitu nama padi yang telah ditanam; (2) Beru Dayang Buninken,
yaitu nama padi yang telah ditanam dan ditutup; (3) Beru Dayang Melembing
yaitu nama padi setelah daunnya mirip lembing; (4) Beru Dayang Medukeduk
nama padi yang daunnya telah rimbun melengkung ke bawah, (5) Beru Dayang
Kumerket, yaitu nama padi yang telah bunting, (6) Beru Dayang Perinterinte,
yaitu nama padi setelah butirnya menguning, dan (7) Beru Dayang Pegungun
yaitu nama padi setelah dipanen dan dijemur (Sitepu dkk. (1996:148).
Sejalan dengan konsep kerja tahun yang dihubungkan kepada tanaman padi.
Terdapat beberapa proses sebagai tahapan penanamannya, yaitu sebagai berikut.
(a) Rebu merdang yaitu puasa sebelum menyemai padi yang lamanya adalah
7 sampai 10 hari sebelumnya, namun tanah sudah dihaluskan. Rebu merdang
dapat diartikan sebagai masa tidak melakukan aktivitas apapun atas lahan
pertanian. Ada kepercayaan bahwa tanah juga harus diberi masa istirahat. Saat ini
khusus untuk berkumpul dengan keluarga dan makan bersama.
155
156
(b) Merdang yaitu proses menyemai padi, mengambil benih, dan
menanamkan ke lubang yang telah disediakan, lalu menutupnya. Para ibu secara
bersama-sama akan menanam padi ke lubang dan ditutup. Namun pengambilan
benih pertama harus pihak kalimbubu dan diikuti anak beru. Masa penanaman
juga setelah terlihat bintang pemerdangken bercahaya di langit. Hal ini dapat
dihitung dari jadwal pelaksanaan merdang merdem yaitu wari beras pati medem.
Di tempat penyemaian benih ditanami tanaman tertentu. Benih juga disembur
dengan sirih yang telah diberi kapur dan pinang (belo entabeh). Tanaman yang
ditanami di sekitar penyemaian benih adalah sebagai berikut. (1) galuh sitabar
(pisang kepok), (2) tabar-tabar, (3) kalin juhang, (4) besi-besi sampe sempilet, (5)
bunga-bunga (kembang sepatu), (6) ambat tuah (pokok merbai), (7) siang-siang,
(8) kapal-kapal (sejenis bunga berdaun tebal), dan (9) selantam.
(c) Mere-mere page yaitu proses pemberian upah-upah terhadap padi agar
tumbuh baik. Hal ini dilaksanakan ketika padi mulai bunting. Untuk acara ini ada
beberapa tanaman yang harus disediakan, yang kesemuanya disebut sebagai
rudang simelias gelar, yang terdiri dari: (i) simbera bayak, (ii) bertuk pola, (iii)
jabi-jabi, dan (iv) padang teguh. Tanaman tersebut disatukan dan diikat ke batang
padi yang telah dipilih. Disediakan juga makanan yaitu ikan yang dipanggang di
bambu dan lemang. Sebagian makanan diletakkan di ladang (ercibal) sambil
berdoa. Lalu di setiap sudut dipacakkan daun-daun yang telah disediakan
sebelumnya.
(d) Mutik (memetik padi). Hal ini juga memerlukan syarat dan peralatan
tertentu yaitu sumpit nakan kitik (kantongan dari anyaman daun pandan) diisi
156
157
beras, gantang, dan telur ayam, sirih sirumbul (dibentuk seperti sumbat) dan sirih
sinumsum beserta pinang yang telah dibelah. Kemudian diambil 11 batang padi
dipegang dan ditarik sambil berdoa semoga hasil berlipat ganda. Sedangkan padi
diambil bulirnya, dikupas, dan disatukan dengan beras di sumpit. Rumpun padi
yang dipegang dipetik lalu disatukan dengan daun pimping dan sempelutut. Diikat
dengan padang teguh, diletakkan di atas dinding dekat tiang. (e) Rani yaitu
pemanenan padi.
(f) Ngerik yaitu melepaskan bulir-bulir padi dari tangkai dengan menginjakinjak padi. (g) Ngangin yaitu memisahkan padi yang baik dari padi yang kosong
atau kurang baik dari kotoran memanfaatkan bantuan angin. (h) Njemur yaitu
proses pengeringan di bawah sinar matahari, didinginkan lalu disimpan ke dalam
lumbung (ibid. 149).
Di dalam pesta tahunan ini biasa dilakukan pertandingan antara penyanyi
tradisional Karo, yaitu perkolong-kolong. Di dalamnya juga selalu digunakan
nyanyian katoneng-katoneng, yang temanya adalah tentang rasa syukur telah
diberi panen yang baik oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Nyanyian katonengkatoneng di dalam konteks pesta tahun ini, memiliki fungsi-fungsi seperti:
hiburan,
integrasi sosial, ekspresi jasmani,
kesinambungan kebudayaan,
komunikasi, penguat identitas kebudayaan, ritual agraris, dan berbagai fungsi
lainnya yang bersifat abstrak.
Ketiga kegiatan tersebut di atas, yang melibatkan nyanyian katonengkatoneng
dan
penyanyinya
perkolong-kolong
dalam
kebudayaan
Karo,
bagaimanapun mencerminkan secara umum, bahwa katoneng-katoneng identik
157
158
secara fungsional sebagai ekspresi orang Karo bersyukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa yang telah memberinya rezeki dan kehormatan di dalam mengisi
kehidupan di dunia ini, dalam konteks menuju alam akhirat kelak. Selanjutnya
dikaji pula fungsi katoneng-katoneng pada upacara cawir metua di dalam konteks
kebudayaan Karo ini.
4.3 Fungsi Katoneng-katoneng
Mengacu kepada teori Malinowski, Soedarsono, dan Alan P. Merriam,
sebagaimana diuraikan pada halaman-halaman terdahulu, maka ditemukan
beberapa fungsi katoneng-katoneng pada upacara cawir metua di dalam konteks
kebudayaan Karo ini.
4.3.1 Fungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia
Fungsi utama katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam konteks
upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo adalah sebagai penghormatan
kepada leluhur yang baru saja meninggalkan dunia ini. Di dalam kebudayaan
Karo penghormatan kepada orang tua dan leluhurnya menjadi sebuah kewajiban
sosial dan budaya. Orang tua adalah yang menurunkan generasi, termasuk pribadi
kita. Melalui orang tualah Tuhan Yang Maha Kuasa mendidik dan mengarahkan
kehidupan kita. Orang tua termasuk leluhur adalah orang yang begitu berjasa di
dalam kehidupan yang kita jalani ini.
Selanjutnya cita-cita kita adalah juga menjadi orang tua yang baik, untuk
anak-anak kita. Orang tua menjadi contoh dari anak-anaknya dalam merespons
158
159
segala fenomena kebudayaan dan lingkungannya. Orang tua yang diidam-idamkan
di dalam kebudayaan Karo adalah orang tua yang berusia relatif lanjut, serta anakanaknya berhasil pula dalam mengisi kehidupannya di dunia ini. Keberhasilan
anak-anaknya ditandai dengan berkeluarga. Jadi aspek keberhasilan meneruskan
generasi dan tentu saja mendidik anak-anak atau keturunan ini menjadi faktor
penting di dalam kebudayaan karo. Selain aspek tersebut, aspek lainnya yang juga
penting melekat dalam diri seseorang adalah keberhasilan membina penghidupan
(ekonomis) di dunia ini yang muaranya juga adalah untuk mendidik dan
menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang berguna dan berbakti bagi
masyarakat Karo, serta nusa dan bangsanya.
Bagi keluarga yang telah ditinggalkan, dan mengadakan upacara tersebut,
yang lazim disebut dengan pihak sukut, menghormati leluhurnya yang meninggal
dengan cara memanggil-manggil ruh yang meninggal sembari memberi hiburan
kepada ruh tersebut. Menjelaskan bagaimana pihak rakut sitelu telah berkumpul
mengadakan upacara pesta cawir metua. Unsur penghormatan dan penghiburan
kepada ruh yang telah meninggal itu dapat dilihat dari kalimat demi kalimat yang
disajikan melalui katoneng-katoneng berikut ini.
Oh nande, nande beru Pinem. Nande… nen kami karina erlebuh
dingen erdilo nande. Ija ibas warina wari sekalenda Nande Pinem,
enggo pulung kel pagi karina sangkep nggeluh sini tenahken kenndu
la erpudung ndai. Ija ibas kam enggo nehken perpadanen ras Dibata
simada tinuang ndube nande. Ibas wari sisendah enggo pulung dingen
landek karina si tergelar sukut, ginting mergana la ketadingen
sembuyak rikut senina, senina sipemeren, siparibanen, rikut
sipengalon, teman sendalanen.
[Oh ibu, ibu beru Pinem. Ibu… lihat kami semua memanggilmanggilmu. Yang mana pada hari ini ibu beru Pinem, sudah
berkumpul semua sanak saudara yang engkau undang tanpa janji itu,
159
160
di saat engkau telah menghadap Tuhan Maha Pencipta. Pada hari ini,
telah berkumpul dan menari saudara semarga kita, marga Ginting, tak
ketinggalan saudara satu nenek, saudara sepupu, sepengambilan, serta
saudara satu kelompok lainnya.]
Dari kalimat demi kalimat atau larik demi larik pada katoneng-katoneng di
ats tergambar dengan jelas unsur menghormati orang tua yang telah meninggalkan
mereka semua di dunia ini. Nilai-nilai perjuangan di dalam masa kehidupannya
perlu untuk dilanjutkan oleh semua keturunannya. Dengan demikian fungsi utama
dari katoneng-katoneng adalah untuk menghormati orang tua (leluhur) yang baru
saja meninggalkan dunia fana ini menuju ke dalam alam berikutnya, yaitu alam
akhirat.
4.3.2 Fungsi sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya
Fungsi
katoneng-katoneng
lainnya
adalah
sebagai
ekspresi
atau
pengungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat-Nya
kepada sang jenazah selama hidupnya, yang sekaligus menadi berkah kepada
keluarga yang ditinggalkannya. Berkat itu bagi jenazah adalah dengan diberinya
usia lanjut oleh Tuhan, juga segala rezeki. Yang utama pula berkat itu adalah
berupa pemberian Tuhan berupa anak kepada sang jenazah selama hidupnya.
Kemudian anak-anaknya ini juga berumah tangga membentuk keluarga yang
bahagia.
Pelanjutan atau kesinambungan keturunan yang kemudian secara sosial
dipandang berhasil, adalah tujuan yang dicita-citakan oleh semua orang Karo,
yang dilandasi oleh konsep-konsep adatnya. Dengan adanya anak-anak yang
160
161
kemudian dididik secara beradab, dan kemudian berhasil di masyarakat, maka
akan lestari pula kebudayaan Karo tersebut di muka bumi ini. Anak adalah berkat
bagi orang tuanya dan sekaligus dapat menjadi penopang prestise sosial seseorang
di dalam kebudayaan Karo. Namun sebuah keluarga tidak cukup hanya
membesarkan anak-anaknya secara kuantitatif saja, yang lebih penting dari itu
adalah mendidiknya agar menjadi generasi muda Karo yang berkualitas,
berkarakter, dan mampu menjawab tantangan alam dan budaya. Demikian kirakira persepsi masyarakat Karo pada umumnya tentang berkat Tuhan berupa anak
ini.
Konsep-konsep mengenai rasa syukur atas berkat Tuhan kepada sang jenazah
selama
hidupnya
ini
diekspresikan
di
dalam katoneng-katoneng
pula.
Bagaimanapun jenazah yang telah meninggalkan mereka semua adalah menjadi
berkat kepada semua keturunannya di dunia ini. Jenazah ini selama hidupnya
sudah menjadi manusia yang sempurna yang memiliki kepekaan sosial kepada
sesama, serta dikaruniai Tuhan anak-anak yang juga memiliki perilaku dan
kemampuan sosial yang baik. Itulah yang menjadi keinginan setiap warga etnik
Karo.
4.3.3 Fungsi sebagai pengabsahan upacara
Sebagai sebuah bentuk seni, maka katoneng-katoneng yang digunakan
dalam upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, tanpa disadari adalah juga
mengabsahkan upacara tersebut. Walau bukan sebuah kewajiban secara adat
untuk melaksanakan pertunjukan katoneng-katoneng dalam setiap kematian cawir
161
162
metua, namun sejauh pengalaman penulis, belum pernah penulis jumpai acara
cawir metua yang tidak melibatkan pertunjukan katoneng-katoneng bersama
dengan ensambel gendang lima sidalanen.
Jadi dengan melihat realitas sosial yang sedemikian rupa ini, maka dapat
dikatakan bahwa nyanyian katoneng-katoneng merupakan institusi seni dalam
kebudayaan Karo yang fungsinya adalah untuk mengabsahkan upacara cawir
metua, di samping juga upacara mengket rumah mbaru atau juga pesta tahun.
Dengan kedudukannya sebagai pengabsah upacara ini, maka katoneng-katoneng
memiliki peran strategis di dalam upacara ini. Tanpa adanya katoneng-katoneng
memang upacara cawir metua tetap diakui secara adat, namun akan lebih baik lagi
jika menggunakan katoneng-katoneng.
Fungsi pengabsah upacara ini juga didukung oleh kenyataan bahwa
katoneng-katoneng merupakan pertunjukan kebudayaan sebagai indeks dari
upacara cawir metua, mengket rumah mbaru, dan pesta tahun. Tanpa adanya
katoneng-katoneng,
maka
tidak
dapat
menerjemahkan upacara apa yang sedang berlangsung tersebut
secara
komunikatif.
tanpa
Seandainya
masyarakat
upacara
Karo
cawir
secara
metua
umum
diselenggarakan
menyertakan katoneng-katoneng maka akan muncul berbagai pertanyaan di dalam
pikiran setiap masyarakat Karo tentang kegiatan tersebut. Jadi walaupun tidak
wajib, namun fungsi katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua ini dapat
dikatakan sebagai pengabsah upacara.
162
163
4.3.4 Pengungkapan Emosi
Fungsi katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara
adalah sebagai sarana ekspresi emosi. Bagaimana keadaan ekspresi emosi dalam
bidang musik, Merriam menjelaskan sebagai berikut.
An important function of music, then, is the opportunity it
gives for variety of emotional expression—the release of otherwise
unexpressible thoughts and ideas, the correlation of a idea variety of
emotional music, of the opportunity to “let off steam” and perhaps to
resolve social conflict, the explosion of creativity itself, and the
group of expression of hostilities. It is quite possible that a much
widear variety of emotional expressions could be cited, but the
examples given here indicate clearly the importance of this function
of music (Merriam, 1964:222-223)
Menurut Merriam, salah satu fungsi musik yang penting, adalah ketika
musik itu menyediakan atau memberikan berbagai variasi ekspresi emosi—hal
yang tidak bisa diekspresikan dalam pikiran dan ide, hubungan dari berbagai
variasi emosi dalam musik, kesempatan untuk “mengeluarkan amarah” dan
kemungkinan-kemungkinan untuk meredakan atau meniadakan konflik sosial,
meledakkan kreativitas itu sendiri, serta meledakkan sekumpulan ekspresi
permusuhan. Sangat dimungkinkan, bahwa berbagai variasi ekspresi emosi yang
luas dapat dikaji, tetapi contoh-contoh itu mengindikasikan secara jelas
pentingnya fungsi emosi ini dalam musik.
Fungsi ekspresi emosi katoneng-katoneng ini diungkapkan baik melalui
media teks yang sifatnya verbal, maupun melodi dan ritme yang sifatnya musikal.
Dlam konteks upacara cawir metua, dua ekspresi yaitu sedih karena diotinggalkan
sang jenazah dan ekspresi gembira karena sang jenazah telah mati dalam keadaan
163
164
mati yang sempurna (cawir metua). Ekspresi ini dapat dilihat melalui lirik-lirik
katoneng-katoneng berikut ini.
Ibas perjumpan ngambur-ngamburken iluh e kalimbubu kami. Ija
ibas ertenah nande beru pinem beru tambarmalem e. Ertenah pagi ia
la erpudun man bandu. Ija ibas ia nehken perpadanen ras Dibata.
Maka ersada kal bage karina ukur kami, ersada arih kami. Menurut
biasanya, ngikutken peradaten si enggo-enggona. Maka ibas wari
sekalenda, icawir me peradatan ujung nggeluh nande beru pinem e,
kalimbubu kami.
[Pada pertemuan yang sedih ini kalimbubu kami. Yang mana sudah
mengundang nande beru Pinem beru Perangin-angin ini. Mengundang
tanpa janji kepadamu. Dimana saat ia sudah menghadap Tuhan. Maka
bersatulah semua hati kami, bersatu musyawarah kami. Menurut
biasanya, sesuai adat sebelumnya. Maka pada hari ini, adat cawir
metua dibuat kepada ibu beru Pinem, kalimbubu kami.]
Kalimat demi kalimat di atas yang disenandungkan dalam bentuk
katoneng-katoneng adalah mengekspresikan emosi pihak anak beru yaitu berupa
perasaan sedih karena meninggalnya sang jenazah. Namun di sisi lain, pihak anak
beru bekerja sekuat tenaga agar upacara berlangsung dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu kematian tersebut berdampak memberi semangat untuk keberhasilan
upacara. Begitu juga ekspresi gembira karena sang jenazah telah mencapai derajat
kematian cawir metua.
4.3.5 Fungsi kesinambungan kebudayaan
Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan
stabilitas kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur
kebudayaan memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan,
komunikasi, dan seterusnya. Musik adalah perwujudan kegiatan untuk
164
165
mengekspresikan nilai-nilai. Dengan demikian fungsi musik ini menjadi bahagian
dari berbagai ragam pengetahuan manusia lainnya, seperti sejarah, mite, dan
legenda. Berfungsi menyumbang kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh
melalui pendidikan, pengawasan terhadap perilaku yang salah, menekankan
kepada kebenaran, dan akhirnya menyumbangkan stabilitas kebudayaan
(Merriam, 1964:225).
Lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo di
Sumatera Utara
berfungsi pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas
kebudayaan Karo. Di dalam lagu katoneng-katoneng terkandung unsur-unsur
sejarah keturunan dan kerabat, yang pada saatnya mampu memberikan
sumbangan untuk kelestarian kebudayaan. Melalui nyanyian katoneng-katoneng
bisa dipelajari perilaku-perilaku yang dipandang benar oleh masyarakat
pendukungnya. Di dalam lagu katoneng-katoneng terkandung nilai-nilai moral.
Usaha untuk mewujudkan kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo tercermin
di dalam nyanyian katoneng-katoneng ini
4.3.6 Fungsi Integrasi Sosial
Fungsi katoneng-katoneng dalam upcara cawir metua pada budaya Karo
lainnya adalah untuk integrasi masyarakat Karo. Berkenaan dengan fungsi seni
sebagai sumbangan untuk integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti
yang diuraikannya berikut ini.
Music, then, provides a rallying point around which the
members of society gather to engage in activities which require the
cooperation and coordination of the group. Not all music is thus
165
166
performed, of course, but every society has occasions signalled by
music which draw its members together and reminds them of their
unity (Merriam, 1964:227).
Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk
berkumpul para anggota masyarakatnya. Musik seperti ini biasanya mengajak
para warga masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu,
mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kumpulan. Walaupun
demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai
kontribusi untuk integrasi, tetapi setiap kumpulan masyarakat mempunyai musik
seperti yang digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya
diajak untuk beraktivitas bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka
sebagai satu kesatuan kelompok.
Konsep yang dikemukakan Merriam tersebut sangat tepat dalam
menggambarkan salah satu fungsi yang terjadi dalam lagu katoneng-katoneng
dalam upcara cawir metua. Dari serangkaian fungsi katoneng-katoneng, menurut
penulis, fungsinya yang utama adalah memberi sumbangan kepada integrasi
masyarakat Karo.
Di dalam kegiatan cawir metua yang menggunakan katoneng-katoneng
ini, pihak-pihak kerabat (sangkep nggeluh) yang tercakup dalam rakut sitelu (tiga
kelompok kerabat), yaitu: senina (sembuyak), anak beru, dan juga kalimbubu,
berkumpul bersama. Kemudian mereka melakukan upacara, yang persiapannya
dilakukan melalui sistem musyawarah (runggu). Selanjutnya secara bersama-sama
pula mereka melakukan acara demi acara, sampai akhirnya si jenazah dikuburkan.
166
167
Dalam kegiatan sosial seperti ini, nilai-nilai yang dibangun adalah berupa
integrasi sosial. Mereka menjunjung nilai-nilai kebersamaan di dalam konteks
kesatuan yang besar. Kesatuannini merupakan kekuatan dalam menghadapi apa
pun permasalahan di dunia ini. Apabila kondisi integrasi ini terjadi dalam lingkup
yang lebih luas, maka akan terasa kebersamaan dan saling memerlukan antara
manusia di dunia ini, sebagai makhluk sosial.2
Dalam konteks Sumatera Utara sendiri lagu katoneng-katoneng ini juga
merupakan daya dorong setiap orang Karo untuk menjalin integrasi sosiobudaya,
artinya adalah bahawa masyarakat Karo atau yang lebih luas seluruh umat
manusia, memiliki berbagai perbedaan ras, bangsa (nasional), status sosial dan
ekonomi, agama, kepercayaan, sekte, steretipe, jenis kelamin dan lain-lainnya.
Mereka yang berbeda ini, perlu berkomunikasi dan saling berhubungan sosial,
karena makhluk manusia itu memerlukan manusia lain.
Dalam konteks
sedemikian rupa mereka memerlukan integrasi sosial, agar terjalin hubungan
antara individu atau kelompok manusia, yang diatur oleh hukum atau normanorma sosial yang ada.
Salah satu fungsi katoneng-katoneng adalah untuk
2
Contoh lain fungsi seni yang memberikan sumbangan untuk integrasi masyarakat adalah
tarian yang terdapat pada masyarakat Andaman, yang dideskripsikan Radcliffe-Brown seperti
berikut. The Andamanese dance (with its accompanying song) may therefore be described as an
activity in which, by virtue of the effect of rhythm and melody, all the members of a community
are able harmoniously to cooperate and act in unity ... The pleasure that the dancer feel irradiates
itself over everything arouns him and he is filled with geniality and good-will towards his
companions. The sharing with others of an intense pleasure, or rather the sharing in a collective
expression of pleasure, must ever incline us to such expansive feelings. ... In this way the dance
produces a condition in which the unity, harmony and concord of the community are at a
maximum, and in which they are intensely felt by every member. It is also produce this condition.
I would maintain, that is the primary social function of the dance. The well-being, or indeed the
existence, of the society depends on the unity and harmony that obtain in it, and the dance, by
making that unity intensely felt, is a menas of maintaning it. For the dance affords an opportunity
for the direct action of the community upon the individual, and we have seen that it exercises in
the individual those sentiments by which the social harmony is maintained (Radcliffe-Brown,
1948:249-252).
167
168
mewujudkan integrasi sosiobudaya. Bahawa masyarakat Karo itu sendiri memiliki
pelbagai perbeaaan.
Oleh karenanya mereka perlu mengadakan integrasi
sosiobudaya dalam peringkat dunia atau kawasan.
Nilai-nilai integrasi sosial yang terdapat di dalam lagu katoneng-katoneng
ini dicerminkan di dalam lantunan lagunya, seperti contoh berikut ini.
Nande…, nina buah barandu e erlebuh dingen erdilo
nande. Uga kel nge nen kami ndia, ngataken katandu nandangi
sembuyak seninanta e nande. Bapa Ginting mergana ate kami
metedeh, apai kel nge….kam leben ilebuh idilo kami. Bagem…
nina buah barandu e, doah-doah didong ndu e karina.
[Ibu… kata buah hatimu memanggil-manggil ini ibu.
Bagaimana kami menyampaikan pesanmu kepada saudara satu
nenek dan saudara semarga kita ini ibu. Bapa marga Ginting, yang
kami rindukan. Yang mana kalian duluan kami panggil. Begitulah,
kata buah hatimu ini, yang engkau nina bobokkan ini semua.]
Katoneng-katoneng yang mewakili ungkapan perasaan pihak sukut itu dengan
jelas mengekspresikan integrasi sosial di antara klen ibu yang telah meninggal
dunia tersebut serta klen dari pihak suami sang ibu yaitu merga Ginting. Itulah
perasaan anak-anak (buah hati) sang ibu yang telah meninggalkannya.
168
169
BAB V
ANALISIS STRUKTUR MELODI
LAGU KATONENG-KATONENG
Pada Bab V ini dikaji struktur
melodi lagu katoneng-katoneng yang
digunakan di dalam upacara cawir metua dengan fokus pada salah satu kegiatan
upacara cawir metua saat meninggalnya ibu Cilenggemen br Pinem (Nande Sesser),
di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi.
5.1 Proses Transkripsi dan Hasil Notasi
Dalam mengkaji struktur melodis ini, tidak semua bentuk katonengkatoneng
ditranskripsikan.
Hanya
satu
katoneng-katoneng
saja
yang
ditranskripsikan, untuk dapat melihat aspek struktur melodinya. Adapun
pendekatan notasi yang penulis lakukan adalah sebagai berikut.
(1) Notasi ditulis dengan menggunakan notasi balok Barat, yang dimaknakan
bukan sebagai musik harmonik khordal Barat, tetapi nyanyian tradisional
Karo.
169
170
(2) Notasi ditulis dengan menggunakan garis paranada dan kunci G (clef) yang
biasa digunakan untuk menuliskan melodi, termasuk suara manusia. Contoh
tulisannya sebagai berikut.
(3) Nyanyian katoneng-katoneng ini adalah semi free meter, oleh karenanya
nada-nada yang dituliskan tidak dikaitkan dengan meter dan birama lagu
tertentu, seperti contoh tulisan berikut ini.
(4) Lagu katoneng-katoneng ini menggunakan teks nyanyian yang ditulis di
bawah setiap nada di dalam notasinya, contohnya adalah sebagai berikut.
(5) Melodi yang dinyanyikan secara melismatik, yaitu satu suku kata
menggunakan beberapa nada ditulis dengan menggunakan tanda legato,
yang membedakannya dengan sajian dalam teknik silabis (satu nada satu
suku kata. Contohnya adalah sebagai berikut.
170
171
Hasil transkripsi dari lagu katoneng-katoneng ini adalah sebagai berikut.
KATONENG-KATONENG
perkolong-kolong:
Siti Aminah (Sumpit) br Ginting
171
172
5.2 Tangga Nada
Setelah mentranskripsikan lagu katoneng-katoneng tersebut ke dalam
bentuk notasi, maka langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis
struktur musiknya. Untuk menentukan tangga nada, penulis melakukan pendekatan
weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm (1977). Dari hasil
transkripsi, maka ditemukan tangga nada katoneng-katoneng tersebut adalah
sebagai berikut
172
173
Nada:
Laras:
Sent:
a -
c
-
1½
300
d
-
e
- fis
-
1
1
1
1½
200
200
200
300
g
Dari kompoisi tangga nada di atas, maka dapt dikatakan bahwa tangga nada
katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh Sumpit br Ginting ini menggunakan
enam
nada
(sektatonik).
Kemungkinan
besar
keenam
nada
ini
adalah
pengembangan dari tangga nada pentatonik yang memang umum dijumpai dalam
kebudayaan musik di dunia ini.
Yang unik dalam tangga ini, nada kelimanya yaitu nada fis diiringi pula
oleh nada hias f, yang digunakan untuk melodi yang disending (turun) dari nada fis
tersebut. Nada f ini menurut penulis adalah nada hias dari nada pokoknya fis. Hal
ini menunjukkan estetika tersendiri bagi perkolong-kolong dalam menyanyikan
katoneng-katoneng. Kecenderungan tangga nada yang digunakan pada katonengkatoneng ini adalah dua interval yang umum yaitu satu dan satu setengah laras. Pola
jarak kedua-dua inilah yang membangun komposisi tangga nada katonengkatoneng.
173
174
5.3 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar lagu katoneng-katoneng ini, penulis
menggunakan tujuh kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl
dalam bukunya Theory and Method in Etnomusicology (1963: 147), yaitu sebagai
berikut.
1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering
muncul dan nada mana yang paling jarang dipakai dalam suatu komposisi
musik
2. Kadang-kadang nada yang memiliki nilai ritmisnya besar dianggap nada
dasar, meskipun jarang dipakai
3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bagian
tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas
tersebut.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun
posisi tepat berada ditengah-tengah dapat dianggap penting.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai
patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama oktafnya,
sedangkan nada lain tidak memakai. Maka nada pertama tersebut boleh
dianggap lebih penting.
6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa juga bisa dipakai sebagai
patokan tonalitas.
174
175
7. Harus diingat barangkali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem
tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-paokan diatas.
Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik tampaknya
adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan musik tersebut
(terjemahan Marc Perlman 1963:147).
Dengan melihat ketujuh kriteria di atas, maka dapat diuraikan nada dasar
lagu katoneng-katoneng ini sebagai berikut.
Lagu Katoneng-katoneng
1
Nada yang paling sering dipakai adalah nada: a
2
Nada yang memiliki nilai ritmis terbesat: a
3
Nada awal yang paling sering dipakai: e, dan nada akhir yang paling
sering dipakai: e
4
Nada yang memiliki posisi paling rendah: g
5
Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf: d
6
Nada yang mendapat tekanan ritmis: a
7
Berdasarkan dari pengalaman musikal penulis, maka kemungkinan besar
nada dasar lagu katoneng-katoneng adalah nada: a
175
176
Tabel 5.1
Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Zapin In My Heart
No
Kriteria
Nada
1
K1
a
2
K2
a
3
K31
e
4
K32
e
5
K4
g
6
K5
d
7
K6
a
8
K7
a
Keterangan
K1: Nada yang paling sering dipakai,
K2: Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar,
K31: Nada awal yang paling sering dipakai,
K32: Nada akhir yang paling sering dipakai,
K4: Nada yang memiliki posisi paling rendah,
K5: Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf,
K6: Nada yang mendapat tekanan ritmis, dan
176
177
K7: Nada dasar berdasarkan pengalaman dan kecenderungan.
5.3.1 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) dari nada yang frekuensinya paling
rendah, sampai pada frekuensi nada yang paling tinggi. Dari hasil transkripsi di
atas, maka diperoleh ambitus suara dari lagu katoneng-katoneng yang dinyanyikan
Nande Sumpit br Ginting adalah sebagai berikut.
Nada terendah: g
Nada tertinggi: g’
Jarak dalam laras: 6
Jarak dalam sent: 1200
Dari notasi di atas dapat dikatakan bahwa ambitus atau wilayah nada lagu
katoneng-katoneng ini adalah sebesar satu oktaf. Kalau diukur berdasarkan sistem
laras adalah 6 larasa atau langkah, sedangkan kalau diukur menggunakan sistem
sent adalah sebesar 1200 sent.
5.4 Nada-nada yang Digunakan
Untuk menentukan jumlah nada-nada keempat sampel lagu, terdapat dua
cara yang perlu dilakukan. Pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap
177
178
nada tanpa melihat durasinya secara kumulatif. Kedua, melihat kemunculannya dan
menghitung durasi kumulatif. Dalam analisis ini, penulis menggunakan cara yang
pertama, yaitu menghitung kemunculan nada tanpa melihat durasinya. Adapun
nada-nada yang digunakan di dalam lagu katoneng-katoneng ini adalah sebagai
berikut.
185
3
20
97
5
20
7
Nada a muncul sebanyak 185 kali,
Nada c muncul sebanyak 3 kali,
Nada d muncul sebanyak 20 kali,
Nada e muncul sebanyak 97 kali
Nada fis muncul sebanyak 5 kali, dan nada f muncul sebanyak 20 kali
Nada g muncul sebanyak 7 kali.
Berdasarkan persentase kemunculannya, maka dapat ditabulasi sebagai berikut.
Nada a muncul sebanyak 81,5 %,
Nada c muncul sebanyak 1,3 %,
Nada d muncul sebanyak 8,8 %,
Nada e muncul sebanyak 42,7 %,
Nada fis muncul sebanyak 2,2 %, dan nada f muncul sebanyak 8,8 %,
Nada g muncul sebanyak 7 %..
178
179
Untuk melihat banyaknya penggunaan masing-masing nada ini dapat dilihat
melalui diagram kue seperti berikut ini.
Diagram 5.1
Persentase Penggunaan Masing-masing Nada pada
Melodi Katoneng-katoneng
179
180
5.5 Interval
Interval yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara nada yang
satu dengan nada yang lainnya dalam satu komposisi musik. Sistem pengukuran
pada interval disebut “laras” dengan alat ukur “sent”. Interval pada keempat lagu
ini terdapat dua jenis, yaitu melangkah (conjunct) dan melompat (disjunt) Analisis
interval penulis lakukan dengan menghitung setiap interval baik yang naik, maupun
turun. Dengan melihat ketentuan-ketentuan interval di atas, maka interval-interval
yang digunakan pada lagu katoneng-katoneng di atas adalah sebagai berikut.
(1) Prima murni,
(2) Sekunde minor,
(3) Sekunde mayor,
(4) Ters minor,
(5) Ters mayor,
(6) Kuart murni,
(7) Kuint murni, dan
(8) Sekta mayor.
5.6 Pola Kadensa
Pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada akhir pada setiap
akhir frase dalam suatu komposisi musik, yang diwakili oleh dua atau lebih nadanada rangakiannya. Pola-pola kadensa lagu katoneng-katoneng di atas, adalah
seperti dalam analisis berikut ini.
180
181
181
182
Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan pola-pola kadensa
yang membangun melodi katoneng-katoneng ini adalah dua jenis yaitu yang
pertama adalah yang berbentuk datar dan yang kedua adalah rangkaian nada-nada
yang melangkah baik ke atas atau ke bawah.
5.7 Formula Melodi
William P. Malm (1977:8) dalam bukunya Music Culture of the Pacific
Music the Near and East Asia, menyatakan bahwa bentuk (motif) dapat dibagi ke
dalam beberapa jenis, yaitu:
182
183
1. Repetitif adalah bentuk nyanyian yang diulang-ulang.
2. Iteratif adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil
dengan kecenderungan pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.
3. Reverting adalah bentuk nyanyian yang terjadi pengulangan pada frasa
pertama setelah terjadi-penyimpangan penyimpangan melodi.
4. Progresif
adalah
bentuk
nyanyian
yang
terus
berubah
dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
5. Strophic adalah suatu bentuk nyanyian yang diulang dengan form yang
sama, tetapi dengan teks nyanyian yang selalu berubah.
Melodi katoneng-katoneng formulanya disusun oleh bentuk-bentuk dan
frase-frase yang diulang-ulang dengan formula melodi strofik, yaitu nyanyian yang
bentuknya diulang-ulang dengan dengan menggunakan teks nyanyian yang selalu
berubah. Teks ini juga berubah karena konteksnya.
5.8 Kontur
Menurut Malm (1977:8) kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam
sebuah lagu, yang dapat dibedakan kedalam beberapa jenis, yaitu:
1. Ascending (menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending (menurun) adalah garis melodi yang bergerah turun dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah.
183
184
3. Pendulous adalah garis melodi yang bergerak dengan membentuk
lengkungan (melengkung setengahlngkaran).
4. Terraced (berjenjang) adalah garis melodi yang membentuk gerakan
berjenjang seperti anak tangga.
5. Statis (level) adalah melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas atau
garis melodi yang bergerak datar atau statis.
Dari kelima jenis kontur di atas, maka kontur pada lagu katoneng-katoneng ada dua
yaitu statis dan pendulous.
Contoh kontur statis pada lagu katoneng-katoneng adalah sebagai berikut.
Contoh kontur pendulous pada lagu katoneng-katoneng adalah sebagai
berikut.
184
185
185
186
BAB VI
MAKNA TEKS LAGU KATONENG-KATONENG
6.1 Seputar Studi Teks Nyanyian
Nyanyian atau lagu adalah salah satu bidang kajian di dalam disiplin
etnomusikologi.
Lagu
biasanya
berkait
erat
dengan
bahasa
yang
melatarbelakanginya, misalnya lagu katoneng-katoneng yang berlatar belakang
bahasa Karo, pastilah berkait erat dengan kebudayaan Karo. Di dalam katonengkatoneng ini terkandung nillai-nilai adat, filsafat hidup, dan cara berpikir serta
bertindak orang Karo.
Studi teks nyanyian berhubungan juga dengan makna-makna kebudayaan.
Makna-makna ini ada yang sifatnya langsung dan sebagai makna sebenarnya atau
makna denotatif, atau juga makna-makna lain atau makna konotatif di samping
makna denotative tadi. Dalam teks nyanyian terdapat kata-kata yang digayakan
sesuai dengan nyanyiannya. Artinya adalah kata-kata yang terdapat dalam satu
nyanyian biasanya dikomposisikan mengikuti alur melodinya. Misalnya untuk
memanjangkan suku kata mengikuti beberapa melodi, yaitu dalam teknik melismatik,
maka digunakanlah beberap nada untuk satu suku kata tersebut. Sebalinya jika satu
suku kata diwakili oleh satu nada saja, maka teknik seperti ini disebut dengan silabik.
Teks nyanyian, biasanya agak berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat pendukung bahasa tersebut sehari-harinya, walau tetap memiliki
hubungan kultural. Teks nyanyian ini kadangkala berkaitan dengan mantra yang
186
187
sifatnya rahasia dan memiliki kaitan dengan dunia supernatural. Ada pula di antara
teks nyanyian tersebut diciptakan berdasarkan kepada puisi-puisi yang lazim terdapat
di dalam setiap kebudayaan, dengan ciri dan strukturnya yang khas. Ada pula teks
nyanyian tersebut yang diciptakan secara bersama-sama dengan tujuan utama
komunikasi verbal sambil bernyanyi dalam sebuah aktivitas tertentu. Misalnya lagu
Rasa Sayange yang dinyanyikan dengan menggunakan pantun yang diciptakan
secara spontanitas oleh setiap yang ikut di dalam nyanyian tersebut.
Kajian terhadap teks nyanyian pastilah melibatkan kajian pula terhadap
bahasa yang digunakan di dalam nyanyian tersebut. Kegiatan mengkaji teks nyanyian
di dalam etnomusikologi berkait erat dengan disiplin linguistik dan sastra sebagai
disiplin yang juga memberikan perhatian utama terhadap nyanyian dalam bentuk
komunikasi verbal ini. Teks nyanyian juga mendapatkan perhatian dalam ilmu
komunikasi. Bahwa teks nyanyian ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk
komunikasi verbal yang tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan masyarakat
pendukungnya. Demikian pula yang terjadi di dalam kasus lagu katoneng-katoneng
yang menjadi fokus kajian penulis dalam tesis ini.
6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting
Seperti telah diuraikan pada bab tiga, upacara cawir metua yang menjadi
fokus kajian ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem,
Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada di wilayah Kabupaten Dairi,
namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke dalam kebudayaan Karo
Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142 kilometer dari Medan; atau
berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo.
187
188
Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem (Nd Sesser) dilaksanakan di
Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang diundang
dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di kalangan
masyarakat umum
lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolong-kolong
Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami yang
sekaligus juga adalah penggual (pemain gendang tradisional Karo) yang bernama
Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang mengiringi
upacara ini terdiri dari: (a) Asli Sembiring (penarune), (b) Mail Bangun (penggual),
(c) Ucan Ginting (penggual), dan (d) Daniel Bangun (simalu gung dan penganak).
6.3 Makna Teks Katoneng-ketoneng untuk Sembuyak
Nyanyian katoneng-katoneng berikut ini adalah nyanyian yang dilantunkan
oleh perkolong-kolong ketika kelompok sukut, sembuyak, senina telah selesai
menyampaikan kata-kata adatnya pada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br
Pinem (Nd Sesser). Dengan kata lain, bahwa perkolong-kolong melanjutkan maupun
menyempurnakan kata-kata adat yang disampaikan kelompok di atas.
Oh nande, nande beru pinem. Nande…. nen kami karina erlebuh dingen
erdilo nande. Ija ibas warina wari sekalenda nande pinem. Enggo
pulung kel pagi karina sangkep nggeluh sini tenahken kenndu la
erpudung ndai. Ija ibas kam enggo nehken perpadanen ras Dibata
Simada Tinuang Ndube nande. Ibas wari sisendah enggo pulung dingen
landek karina si tergelar sukut, ginting mergana la ketadingen sembuyak
rikut senina, senina sipemeren, siparibanen, rikut sipengalon, teman
sendalanen.
[Oh ibu, ibu beru Pinem. Ibu… lihat kami semua memanggil-manggilmu.
Yang mana pada hari ini ibu beru Pinem. Sudah berkumpul semua sanak
saudara yang engkau undang tanpa janji itu, pada saat engkau telah
menghadap Tuhan Maha Pencipta. Pada hari ini, telah berkumpul dan
menari saudara semarga kita, marga Ginting, tak ketinggalan saudara satu
nenek, saudara sepupu, sepengambilan, serta saudara satu kelompok
lainnya.]
Perkolong-kolong memulai nyanyiannya dengan memposisikan diri sebagai
sukut marga Ginting atau anak-anak almarhum ibu, yang seolah-olah sedang
188
189
menyampaikan berita kepada almarhum Ibu beru Pinem, bahwa semua kerabatnya
telah berkumpul serta telah menari sambil menyampaikan ucapan-ucapan
berlangsungkawa sehubungan dengan ibu telah menghadap Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Meskipun istilah sangkep nggeluh dalam adat Karo mencakup makna kerabat
yang lebih luas; anak beru, kalimbubu, senina—namun dalam konteks ini, kerabat
yang dimaksud itu adalah saudara-saudara yang bermarga Ginting, maupun saudarasaudara lain yang memiliki kedudukan yang sama dengan mereka dalam upacara ini.
Nande…, nina buah barandu e erlebuh dingen erdilo nande. Uga kel
nge nen kami ndia, ngataken katandu nandangi sembuyak seninanta e
nande. Bapa Ginting mergana ate kami metedeh, apai kel nge….kam
leben ilebuh idilo kami. Bagem… nina buah barandu e, doah-doah
didong ndu e karina.
[Ibu…kata buah hatimu memanggil-manggil ini ibu. Bagaimana kami
menyampaikan pesanmu kepada saudara satu nenek dan saudara
semarga kita ini ibu. Bapa marga Ginting, yang kami rindukan. Yang
mana kalian duluan kami panggil. Begitulah, kata buah hatimu ini,
yang engkau nina bobokkan ini semua.]
Perkolong-kolong melanjutkan dengan posisi
sebagai sukut (yang punya
hajatan) marga Ginting atau anak-anak almarhum ibu, untuk meminta petunjuk
kepada Ibu beru Pinem maupun almarhum bapak marga Ginting, apa yang harus
disampaikan kepada kerabatnya itu sehubungan dengan kematian Ibu beru Pinem ini.
Istilah ilebuh atau idilo mengandung arti yang sama yakni dipanggil (memanggil).
Penggabungan kata-kata ilebuh idilo untuk memberikan kesan kuat dari maksud kata
tersebut.
Bagem anakku, bagem turang nande na, bage kel nge nindu nande.
Beluh-beluh ibaba nandena, erbelas nandangi si biak bapanndu
seninandu e anakku. Adi aku enggo me kap ateku malem nehken
189
190
perpadanenku. Lanai lit si mesui ku ndai turang nandena, lanai aku
man adap-adapenndu, lanai aku man arak-araken. Ban cakapndu man
kalimbubundu, ban cakapndu man sembuyak seninanta e, bage kel nge
nindu nande.
[Begitulah anakku, begitulah putra ibunya, begitulah yang engkau
katakan Ibu. Pandai-pandailah berkata-kata kepada bapakmu,
saudaramu se marga ini anakku. Kalau aku, sudah tenang menjalani
takdirku ini. Tak ada lagi rasa sakitku putra ibunya, tak perlu lagi aku
kamu jagai, tak lagi perlu kamu damping. Buatlah cakapmu kepada
kalimbubu kita, bikin cakapmu kepada saudara semarga kita, begitulah
pesanmu Ibu.]
Perkolong-kolong menjadikan dirinya sebagai sosok Ibu beru Pinem yang seolaholah sedang memberi nasehat dan pesan kepada anak-anaknya.
Enggo e, bagem dage ginting mergana sirulo, bagem dage nande tigan,
bagem beru tambarmalem, gancih sambar nande beru pinem. Adi kam
tading rumah, ija kari seh panggungna mantik kalimbubunta e,
terbeluh kam kari, guna ngalo-ngalo kalimbubunta e kerina,
Erpesukuten erpenggurun anakku permen bibina nindu nge bara nande
pinem. Tare permenndu gancih sambarndu e nande.
[Sudahlah, begitulah jadinya merga Ginting semua, begitulah beru
Tarigan, begitulah beru Perangin-angin, pengganti Ibu beru Pinem.
Kalau kamu tinggal dirumah, kapan saja kalimbubu kita datang, pandaipandailah bersikap menyambut kalimbubu kita semuanya. Bertanya dan
bergurulah anakku, menantuku, begitulah pesanmu Ibu. Kepada
menantumu penggantimu ini Ibu.]
Perkolong-kolong menjadi sosok sembuyak/senina melanjutkan nasehat kepada
anak-anak ibu dan kepada para menantunya, agar menghormati kalimbubu mereka.
Bagei…bagem ginting mergana karina sinterem la erpilih. Adi enggo
ndai erbelas sembuyak seninandu e karina turang. Adi kutinggeltinggel ken kerna kata sembuyak seninanndu e, lanai kuakap lit
sikurangna, lanai lit sitading silupana, kerna kata pergegeh rikut kata
pengapul siturikenna. Saja kel ngenca ginting mergana, adi lanai kel
pagi rumah nandenta, rikut lanai ka rumah bapanta, kuga nina secara
doni, enggo tading melumang ginting mergana. Terbeluh kel kam pagi
ginting mergana, ula rubat ersenina, ula la siangkaan erturang. Maka
ula kari erpenanda-nandan lanai rumah nande, lanai rumah bapa, o
ginting mergana. Bagei,,,bagem nina sembuyak seninandu e, nehken
kata ntah ukurna mehuli ibas kelawesen nande beru pinem e.
[Jadi, begitulah semua marga Ginting yang manapun. Kalau sudah
tadi berbicara saudara nenek, saudaramu se marga itu semua. Kalau
190
191
ku dengarkan semua perkataam mereka, tak ada lagi kurasa yang
kurang, tak ada lagi yang ketinggalan maupun terlupa, soal kata-kata
pengharapan dan penghiburan yang sudah disampaikannya. Hanya
saja marga Ginting, kalau tak ada lagi Ibumu, juga tak ada lagi
bapakmu, kalau menurut ukuran dunia, sudah yatim piatulah marga
Ginting. Pandai-pandailah nanti semua marga Ginting, jangan
berkelahi sesama saudara laki-laki, jangan berselisih sesama saudara
perempuan. Agar jangan nanti kelihatan bahwa Ibumu sudah tak ada
lagi, bapakmu tak ada lagi, marga Ginting. Jadi, begitulah pesan
saudara nenek, dan saudara semargamu ini, menyampaikan katakatanya dengan hati yang tulus dalam rangka kematian Ibu beru
Pinem.]
Perkolong-kolong sebagai sosok sembuyak/senina melanjutkan pesan-pesan dan
nasehatnya kepada anak-anak ibu beru Pinem.
Bagem dagei.. ginting mergana si rulo, enda me kerna kata tambahen
ibas sembuyak seninandu nari. Bagem nande pinem selamat jalan
nande, mejuah-juah buah barandu sinterem e tadingkenndu. Ersada
pagi arihna ginting mergana e, ersada pagi arih permendu e nande
pinem tadingkenndu. Mejuah-juah kami kerina tadingkenndu nande…
(Jadi begitulah, marga Ginting semua, inilah kata tambahan dari
saudara satu nenek, dan saudara semargamu. Begitulah. Ibu beru
Pinem, selamat jalan Ibu, sehat sentosa semua buah hatimu kau
tinggalkan. Bersatu nanti semua marga Ginting, bersatu semua
menantumu ini Ibu beru Pinem sepeninggalmu. Sehat sentosa kami
semua engkau tinggalkan Ibu.)
Sebagai penutup bagian ini, sembuyak/senina mengucapkan selamat jalan kepada Ibu
beru
Pinem,
serta
berpengharapan
sehat
sentosa
semua
keluarga
yang
ditinggalkannya.
6.4 Makna Teks Katoneng-Katoneng untuk Kalimbubu
Teks katoneng-katoneng untuk pihak kalimbubu itu adalah lengkapnya
sebagai berikut.
Ibas perjumpan ngambur-ngamburken iluh e kalimbubu kami. Ija ibas
ertenah nande beru pinem beru tambarmalem e. Ertenah pagi ia la
191
192
erpudun man bandu. Ija ibas ia nehken perpadanen ras Dibata. Maka
ersada kal bage karina ukur kami, ersada arih kami. Menurut
biasanya, ngikutken peradaten si enggo-enggona. Maka ibas wari
sekalenda, icawir me peradatan ujung nggeluh nande beru pinem e,
kalimbubu kami.
[Pada pertemuan yang sedih ini kalimbubu kami. Yang mana sudah
mengundang nande beru Pinem beru Perangin-angin ini. Mengundang
tanpa janji kepadamu. Dimana saat ia sudah menghadap Tuhan. Maka
bersatu lah semua hati kami, bersatu musyawarah kami. Menurut
biasanya, sesuai adat sebelumnya. Maka pada hari ini, adat cawir metua
dibuat kepada ibu beru Pinem, kalimbubu kami.]
Pada permulaan penampilannya, perkolong-kolong memposisikan diri sebagai marga
Ginting menyampaikan kata pengalo-ngalo (penyambutan) kepada kalimbubunya,
sebelum kalimbubu nantinya menyampaikan pesan-pesan dan nasehatnya. Marga
Ginting mengatakan bahwa mereka telah sepakat melakukan upacara adat cawir
metua terhadap ibu mereka beru Pinem.
Istilah beru tambar malem merupakan sebutan untuk semua beru Peranginangin, yang mana salah satu cabangnya adalah beru Pinem. Istilah lain yang
maknanya sama adalah beru saribu. Selanjutnya teks katoneng-katoneng dilanjutkan
sebagai berikut.
Emaka ibas wari sekalenda enggo itatap kami kam karina pulung
tampak merari dingen metunggung. Maka seh mekap panggung e man
bandu landek kam karina kalimbubu bena, tarigan mergana rikut ras
temanndu temanndu sendalanen.Janah la ketadingen kalimbubu si
mupus Pinem mergana, bagepe simada dareh Pinem mergana, la
ketadingen si perdemui apai pe la erpilih la erdobah. Kalimbubu si
empat merga apai pe la erpilih. Ija ibas panggungndu landek e, enggo
me kam ndai pegancih-gancih karina erbelas, guna nehken kata
simehuli kata pergegeh, bage pe ras kata pengapul. Gelah salu
siturikenndu e terapul pusuh anakberu kampil perlebe-lebendu e,
aminna gia berkat orang tua nehken perpadanen ras Dibata. Jenda
nari pagi bena-benana kalimbubu kami karina sipulung metunggung.
Kata pedah siturikenndu e ola kel pagi lasam, ola kel pagi persinget.
Ersada arih ersada ukur kel pagi ginting mergana e apai pe la erpilih.
192
193
Bagei nina ginting mergana, guna ngaloi karina katanndu ena
kalimbubu kami.
[Jadi, pada hari ini, kami lihat kamu semua berkumpul. Maka sampai
pada acara kamu menari semua kalimbubu mula-mula, marga Tarigan
serta ikut juga yang lain dari kelompok yang sama. Serta tak
ketinggalan kalimbubu yang melahirkan marga Pinem, begitupun yang
mempunyai pertalian daran marga Pinem, tak ketinggalan kalimbubu
yang dikawini marga Ginting, yang manapun tidak ada bedanya.
Dimana, pada saat acaramu menari tadi, secara bergantian sudah kamu
sampaikan kata-kata yang menguatkan dan kata-kata penghiburan.
Agar dengan penyampaian kata-kata itu, terhibur hati Anak Beru kamu,
yang memegang peralatan adat di muka kami; walaupun Ibu sudah
menghadap Tuhan. Mulai saat ini dan seterusnya, kalimbubu kami yang
berkumpul semua. Pesan yang kamu sampaikan tidak sia-sia.
Bersatulah hati kami semua marga Ginting yang manapun. Begitulah
kata marga Ginting, untuk menjawab semua kata-katamu kalimbubu
kami.]
Perkolong-kolong memposisikan sebagai dirinya sendiri, menyampaikan pesanpesan marga ginting kepada pihak kalimbubu. Simada dareh maksudnya adalah
kelompok marga dari keluarga Ibu. Kampil perlebe-lebe kami merupakan istilah lain
yang dipakai untuk menyebut kelompok anak beru.
Nande…..nande pinem, bapa ginting mergana. Apai nge kel nge kam
leben ilebuh idilo kami, nini bulang. Bagei…nina ginting mergana e.
Kuga katandu nande nandangi kalimbubunta, kai belasken kami nande
nandangi mamangku, nandangi mami, impalku e.
[Ibu…ibu beru Pinem, bapak marga Ginting. Siapa yang duluan dari
kalian yang kami panggil, kakek. Begitu kata marga Ginting ini. Apa
katamu Ibu kepada kalimbubu kita ini. Apa yang kami ucapkan kepada
paman dan tante, serta sepupuku ini.]
Perkolong-kolong kembali menjadi marga Ginting, seolah-olah bertanya kepada
almarhum Ibu, Bapak, Kakek yang sudah meninggal, apa yang harus dikatakan
kepada pihak kalimbubu.
Bagem anakku turang nandena nindu nge bangku. Adi sekalenda lanai
tampil la beluh ndai. Em…nanamna tading arah pudi anakku, bage kel
nge barang nindu nande. Beluh-beluhi anakku turang nandena.
Kataken katandu tare mamandu anakku, belasken belas-belasndu
nandangi mami ndu e, katandu e me katanta ras, nindu nge kuakap
nande beru pinem.
193
194
[Begitulah anakku, putra Ibunya, katamu kepadaku. Kalau sekarang
tidak boleh tidak pandai berkata-kata adat. Begitulah rasanya kalau
tinggal belakangan, begitulah kiranya kau katakana Ibu. Pandaipandailah anakku, putra ibunya. Katakan kata-katamu kepada pamanmu
anakku, ucapkan kata-katamu kepada tantemu. Kata-katamu itu
menjadi kata –kata kita bersama, begitu kurasa pesanmu Ibu.]
Enggo em turang bagem nande edangku, ulanai kam pagi tertulih-tulih
turang, ulanai kam terdaram-daram nande edangku, adi lanai kel gia
pagi idahndu, parang anak sintua e. Adi reh kin gia kam pagi kurumah
turang. Lanai kel gia pagi tatapndu aku tengah jabu e, ula kel kam
pagi terdaram-daram. Aku enggo berkat turang. Jumpa ernande jumpa
erbapa. Berkat aku, kudahi bere-berendu parang anak si tua ndube.
Emaka turang, adi tedeh pagi atendu nandangi aku, bebe-berendu kel
pagi sinambar-nambari tedehndu e. maka tedehndu man bangku e
mambar kel pagi turang, nande edangku. Bagem ula morah turang,
enggo seh perpadanen ku ras Dibata, keri beras ku jemput ndai, berkat
aku turang. Lanai terolangi, lanai terambati , kerna perberkatku e.
Bagem kel nina nande beru pinem, beru tambarmalem e. Berkat aku
turang, berkat aku bapa bibina, berkat aku nande edangku.
[Jadi begitulah abang/adik, begitulah ipar, jangan lagi kamu menoleh,
jangan lagi mencari-cariku ipar, kalau nanti tidak nampakmu lagi anak
tertua ini. Kalau datang kamu kerumahku, tidak kamu dapati lagi aku
dirumah, janganlah kamu mencari-cari. Aku sudah pergi abang/adik.
Jumpa bapak jumpa ibu yang sudah meninggal. Pergi aku, kutemui
anakku yang tertua yang sudah lebih dulu meninggal . Jadi abang/adik,
kalau rindu kamu kepadaku, keponakanmu ini yang mengobati rasa
rindumu. Agar hilang rasa rindumu ipar. Begitulah abang/adik, jangan
bersedih. Sudah tiba saatnya aku menghadap Tuhan, tak ada lagi yang
bisa ku kerjakan, pergi aku abang/adik. Tidak lagi tertahan, tidak lagi
bisa dihambat soal kepergianku. Begitulah kata Ibu beru Pinem, beru
Perangin-angin ini. Pergi aku abang/adik, pergi aku keponakanku, pergi
aku ipar]
Emaka tatap kari rupangku e sekali nari. Adi wari sekalenda enggo
me kam teran ralo, enggo me kam teran erkuan, lanai teraloi aku
sorandu erlebuh erdilo e turang, nande edangku. Kam ngaloisa
soranndu erlebuh man bangku e. Adi wari si pepagi enggo ka me kam
karina teran rupangku. Berkat aku, mejuah-juah kam kutadingken ras
bebe-berendu e turang, nande edangku karina si nterem, permen
bibina la erpilih, nina nande beru Pinem e nandangi kam kalimbubu.
[Jadi, lihat nanti sekali lagi wajahku. Kalau hari ini sudah kepingin
kamu kujawab, sudh kepingin kamu bertegur-sapa, tidak lagi bisa
kujawab suaramu memanggil-manggil itu abang/adik, iparku. Kamu
sendirilah yang menjawabnya. Kalau besok, sudah pasti kamu
kepingin lihat wajahku. Pergi aku, sehat sejahtera kamu beserta
keponakanmu ini abang/adik, iparku semua, keponakanku yang
manapun, kata Ibu beru Pinem kepadamu kalimbubu.]
194
195
6.5 Makna Teks Katoneng-Katoneng untuk Puang Kalimbubu
Teks nyanyian
ini disampaikan perkolong-kolong ketika kelompok
kalimbubu telah selesai menyampaikan kata-kata adatnya, atas kematian Ibu beru
Pinem.
Enggo bagei dage…kalimbubu kami, penggurun kami karina si pulung
nterem. Ija ibas kata tenah anak berundu e ertenah bage ia la erpudun.
Ibas wari sekalenda enggo pulung kam karina kalimbubu, emkap
puang kalimbubu tengah-tengah jabu ginting merganana karina.
Kalimbubu singalo bere-bere, rikut ka kin pe kam karina kalimbubu
singalo perkempun. Asakai kam tarigan mergana ginting mergana.
Ginting mergana, sembiring mergana karina la erpilih. Ija ibas
panggungndu landek kam karina, kalimbubu puang kami. Ibelaskendu
bage katandu rikutken mambur bage iluhndu e. Morah tuhu-tuhu bage
ibas pusuhndu e. Engkai maka bage, kuga ndube nginget-nginget kerna
percakap-cakapkenndu rusur ras nande beru pinem e, sope ia ndube
nehken perpadanen ras Dibata.
[Jadi begitulah kalimbubu kami, panutan kami semua yang berkumpul
disini. Yang mana, atas undangan tanpa janji anak berumu ini. Pada
hari ini sudah berkumpul kamu semua kalimbubu, juga kalimbubunya
kalimbubu di dalam semua keluarga marga Ginting. Kalimbubu dari
ibu, maupun kalimbubunya kalimbubu ibu. Semua marga Tarigan,
marga Ginting. Marga Ginting, semua marga Sembiring tak terkecuali.
Yang mana, saat giliranmu semua menari, kalimbubu dan kalibubunya
kalimbubu kami. Kalian sampaikan pesanmu bersamaan sembari
meneteskan airmata. Sedih benar-benar di dalam hatimu. Kenapa
begitu, adalah karena mengingat-ngingat bagaimana dulu engkau
bercakap-cakap selalu dengan Ibu beru Pinem, sebelum dia menghadap
Tuhan.]
Perkolong-kolong memposisikan sebagai sukut (yang punya hajatan) dari marga
Ginting menyampaikan respons atas kata-kata penghiburan yang dilakukan oleh
kalimbubu. Dilanjutkan dengan lantunan teks berikut ini.
Enggo bagem dage, bagem turang, bagem nande edangku, bagem
permen bibina, Ula nai atendu morah, berkat me aku, kutadingken kam
karina. Bage kel nina kuakap nina nande beru pinem e nandangi bandu
karina, asakai kam kalimbubu singalo bere-bere, rikut singalo
perkempun. Bagem dage ula ermenek-menek. Cakapta si enggo-enggo
e kel me pepagi man inget-ingetenndu karina kutadingken e. Sebab adi
195
196
padan Dibata kap ndube simada padan. La terolangi kerna perdalinku
nina nande beru pinem beru tambarmalem e.
[Jadi begitulah, begitulah abang/adik, begitulah ipar, begitulah
keponakanku. Jangan lagi hatimu bersedih, pergi aku, kutinggalkan
engkau semuanya. Begitulah kurasa, kata Ibu beru Pine mini kepadamu
semua kalimbubu dari Ibu, maupun kalimbubunya lagi. Jadi begitulah,
jangan terluka hatimu. Pembicaraan kita sebelum-sebelumnya menjadi
ingatanmu semua yang ku tinggalkan. Sabab Tuhan penentu takdir
manusia. Tidak terhalangi, perjalananku kata ibu beru Pinem ini, ibu
beru Perangin-angin ini.]
Perkolong-kolong lalu menjadikan dirinya seakan-akan sebagai Ibu beru Pinem yang
seolah-olah sedang menyampaikan pesan-pesannya kepada pihak kalimbubu.
Bagem dage kalimbubu, kam pagi arih-arih ras bere-berendu e
kutadingken si dilaki si diberu. Adi lit pagi kata tenahndu ula nai pagi
aku tenahkenndu. Nterem gancih sambarku kutadingken e, man
temandu arih, temanndu ercakap-cakap. Ia pagi si ngelayasi kerina
dahinndu e puang kalimbubuku.
(Begitulah kalimbubu, kalianlah nanti bermusyawarah dengan
keponakanmu loaki-laki dan perempuan yang kutinggalkan. Kalau ada
nanti undanganmu jangan lagi aku katakana. Banyaknya penggantiku
yang kutinggalkan ini, untuk kawanmu diskusi, kawanmu bercakapcakap. Dian nanti yang menyelesaikan semua acara adatmu
kalimbubunya kalimbubuku.)
Dia melanjutkan pesan-pesan dari dirinya yang bememerankan diri sebagai Ibu beru
Pinem kepada kalimbubunya.
Bage me kuakap nina nande beru pinem e, ngaloi katandu kam karina
kalimbubu puang kami.
[Begitulah kurasa pesan ibu beru Pinem ini, menyahuti cakap kalian
semua kalimbubu, dan kalimbubunya kalimbubu.]
Perkolong-kolong menutup bagian ini dengan memposisikan diri sebagai dirinya
sendiri.
196
197
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Setelah diuraikan dan dianalisis secara holistik dan mendalam, maka pada
bab terakhir ini ditarik kesimpulan dan juga dikemukakan saran-saran dari
penulis. Kesimpulan yang ditarik dalam penelitian ini, tentu saja mengacu kepada
tiga pokok masalah yang telah ditentukan pada bab pertama tesis ini. Tiga pokok
masalah atau pertanyaan penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil
penelitian dari tiga aspek dari nyanyian katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan
penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna
tekstual.
Dengan menggunakan teori dan metode seperti yang sudah diuraiakn pada
bab pendahuluan, yaitu untuk pokok masalah fungsi digunakan teori
fungsionalisme, untuk pokok masalah struktur music digunakan teori weighted
scale, dan untuk pokok masalah makna teks digunakan teori semiotik, maka
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
(A) Katoneng-katoneng umum digunakan pada konteks upacara: (i)
mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), (ii) pesta tahun, dan (iii) cawir
metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas
berkat-Nya. Dengan demikian dapat ditafsir bahwa orang (kalak) Karo adalah
197
198
orang yang menjunjung tinggi nilai bersyukur atas nikmat Yang maha Kuasa, nilai
ketuhanan, dan nilai sosial sekaligus.
Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah sebagai bertikut: (1)
sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, (2) sebagai ekspresi
bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; (3) sebagai pengabsahan upacara; (4)
sebagai pengungkapan emosional; (5) sebagai kesinambungan kebudayaan; dan
(6) sebagai integrasi sosial.
(B)
Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah sebagai
berikut: (a) menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada) dalam hal ini
adalah nada-nada a-c-d-e-fis (f), dan g. Kemungkinan besar tangga nada ini
adalah pengembangan dari tangga nada pentatonik yang menjadi unsur utama
pembentuk tangga-tangga nada musik Karo pada umumnya. (b) Selanjunya
dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, (c) ambitus satu
oktaf, yaitu dari nada g sampai g’. (d) Seterusnya formula melodis yang
mendasari melodi katoneng-katoneng ini berdasar kepada melodi yang strofik,
yaitu menggunakan bentuk melodi yang sama atau hamper sama dengan teks yang
diubah terus menerus, yang temanya disesuaikan dengan konteks upacaranya,
dalam hal ini cawir metua Ibu Celinggemen br Pinem. (e) Nada dasarnya adalah a,
yang dpat diamatio dari kecenderungan modusnya, baik itu pada pola-pola
kadensa, tekanan ritmis, maupun durasi, dan aksentuasinya. (f) Interval-interval
yang digunakan adalah: prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, ters minor,
ters mayior, kuart murni, kuint murni, dan sekta mayor. (g) Pola-pola kadensanya
dapat dikategorikan kepada dua bentuk, pertama adalah yang berbentuk datar dan
198
199
yang kedua melangkah ke atas atau ke bawah di setiap kadensanya. (h) kontur
melodi secara umum adalah statis dengan diisi oleh teks yang membagi pulsa
dasarnya sedemikian rupa, serta kontur yang pendulum baik ke atas atau ke
bawah. Inilah struktur umum melodi lagu katoneng-katoneng.
(C) Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng
adalah menekankan kepada nasihat dan pertuturan dalam kekerabatan pihak rakut
sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta,
dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsepkonsep kebudayaan Karo. Teks yang digunakan adalah masuk ke dalam bahasa
Karo halus, yang lazim digunakan dalam bahasa-bahasa resmi dalam konteks
adat. Bahwa penyajian katoneng-katoneng sebenarnya juga adalah mengutamakan
ekspresi verbal. Dengan demikian katoneng-katoneng ini dapat diklasifikasikan
kepada music yang logogenik artinya mengutamakan teks. Melodi dan musiknya
berfungsi memperkuat dan mempertegas teks yang akan disampaikan oleh
perkolong-kolong.
6.2 Saran-saran
Dengan melihat kenyataan budaya dan sosial mengenai katonengkatoneng dalam peradaban masyarakat Karo seperti terurai di atas tersebut,
maka perlu penulis memberikan saran-saran. Fungsi dari saran-saran yang
penulis ajukan ini adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebijakan
kepemerintahan (khususnya di bidang seni budaya), serta peresapan nilai-nilai
kebudayaan bagi setiap pendukung kebudayaan Karo.
199
200
Saran untuk perkembangan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut.
Disiplin etnomusikologi adalah disiplin yang menkaji musik dalam konteks
kebudayaan. Artinya music dapat dipandang secara keilmuan dari dua sisi.
Yang pertama adalah bahwa musik tersebut memiliki hokum-hukum atau
norma-norma internalnya sendiri. Dalam konteks ini musik katoneng-katoneng
didukung oleh melodi (yang juga terdiri dari unsur seperti: tangga nada,
wilayah nada, nada dasar, interval, ambitus, distribusi nada, formula melodi,
pola-pola kadensa, dan kontur). Katoneng-katoneng ini juga berisikan teks
yang terus berubah sesuai dengan tema upacara dan kemampuan serta
wawasan budaya dari penyanyi atau disebut perkolong-kolongnya. Musik ini
dapat dikelompokkan kepada music logogenik, yaitu musik yang penyajiannya
mengutamakan sajian verbal dalam bentuk puisi tradisional Karo yang
dinyanyikan. Di dalam teks dan melodi nyanyian ini terkandung nilai-nilai
budaya, serta kebijakan (kearifan) tradisional Karo, yang relevan untuk terus
dilakukan sampai sekarang ini.
Dengan melihat berbagai “keunggulan” estetika dan filsafat hidup ini,
maka secara keilmuan, perlu terus dilakukan kajian terhadap katonengkatoneng ini, bukan hanya sebatas ilmu etnomusikologi, tetapi boleh
dikembangkan mel;alui disiplin ilmu lain seperti antropologi budaya, sosiologi,
psikologi, antropologi teater, etnokoreologi, linguistik dan sastra, dan ilmuilmu lainnya. Paling tidak untuk mengembangkan ilmu-ilmu ini perlu
dilakukan kajian secara terus- menerus dan berkesinambungan. Hasilnya akan
dapat menambah wawasan dan penghayatan nilai-nilai tradisional bagi warga
200
201
etnik Karo di mana pun dan kapan pun. Teori-teori perubahan dan
perkembangan tampaknya akan dapat didukung oleh realitas katonengkatoneng ini di dalam kebudayaan Karo. Selain itu juga aspek estetika dapat
mengembangkan ilmu filsafat keindahan. Dari sisi antropologi dan sosiologi
mungkin kenyataan seni ini akan dapat mendukung teori integrasi sosial, serta
upacara kematian yang bukan hanya berupa kesedihan tetapi kegembiraan
karena harkat yang meninggal dan yang ditinggalkan mencapai derajat
tertingginya di dalam masyarakat.
Seterusnya saran penulis adalah untuk keperluan kebijakan pemerintahan,
khususnya di bidang seni budaya dan kepariwisataan. Untuk bidang seni
budaya, seni katoneng-katoneng ini kiranya dapat diaplikasikan sebagai salah
satu muatan lokal dari pendidikan seni budaya di Tanah Karo Simalem, untuk
para pelajar sekolah taman kanak-kanank, sekolah dasar, sampai ke sekolah
menengah. Demikian pula untuk peringkat perguruan tinggi seni ini dapat
menjadi salah satu kajian dan praktik, terutama di perguruan tinggi yang
mengasuh ilmu-ilmu seni seperti Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara; Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik
(Sendratasik) Universitas Negeri Medan, juga Fakultas Kesenian Universitas
Huria Kristen Batak Protestan Nommensen (UHN) di Medan.
Dalam konteks pemberdayaan seni local untuk kepariwisataan local,
kesenian katoneng-katoneng ini dapat difungsikan dalam dunia pariwisata di
Sumatera Utara, yang pengelolaannya dapat melibatkan seniman Tanah Karo,
beserta para pejabat di bidang seni budaya pada kementerian pariwisata,
201
202
kementerian pendidikan dan kebudayaan, Demikian pula unsure-unsur
kepariwisataan seperti biro perjalanan, biro usaha wisata, hotel dan restoran,
dan lain-lainnya.
Untuk masyarakat Karo sendiri, perlu kiranya terus melakukan
pertunjukan katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua, mengket rumah
mbaru, pesta tahun (guro-guro aron) dalam kerja merdang merdem, dan lainlainnya. Penghayatan terhadap kesenian ini perlu juga melibatkan generasi
muda agar dapat mempertahankan dan mengembangkannya di kemudian hari
kelak di dalam kehidupan kebudayaan Karo. Dengan demikian, kemajuan adab
dan seni akan menjadi kekuatan luar biasa untuk masyarakat Karo secara
khusus dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mudah-mudahan kesenian
katoneng-katoneng ini hidup terus secara fungsional dalam memperkuat jatidiri
kebudayaan Karo. Tentu saja dengan ijin dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
202
203
DAFTAR PUSTAKA
A.W. Wijaya, 1988. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: Bina Aksara.
Alisjahbana, S. Takdir. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi
Nilai-nilai. Jakarta: Dian Rakyat.
Andrik Purwasito, 2001. Semiologi Komunikasi. Surakarta: Masyarakat Semiologi
Komunikasi.
Astrd S. Susanto, 1976. Filsafat Komunikasi. Bandung: Penerbit Binacipta.
Astrid Susanto, 1977. Komunikasi Kontemporer. Jakarta: penerbit Binacipta.
Barthes, R., 1967. Elements of Semiology. London: Jonathan Cape.
Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of
American Folklore, Volume 78, Nomor 307, Januari-Maret.
Becker, Judith O., 2004. Deep Listeners: Music, Emotions, and Trancing. Volume
I. Indiana: Indiana University Press.
Ben M. Pasaribu, 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian dalam Konteks
Gondang Sabangunan. Medan: Skripsi Etnomusikologi, Fakultas sastra,
Universitas Sumatera Utara.
Berger, Arthur Asa, 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Blacking, John, 1974. How Musical is Man? Seatlle: University of Washington
Press.
Brahmaputro, 1979. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber.
Bruner, Edward M., 1959. Kinship Organization among the Urban Batak of
Sumatra. New York: Transaction of the New York Academy of Sciences.
Bruner Edward M. dan Judith O. Becker, 1979. “Art, Ritual and Society in
Indonesia.” Makalah diterbitkan pada jurnal Papers in International Studies:
Southeast Asia Series. Volume 53. Ohio: University Center for International
Studies.
204
Burhan Bungin, 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Grup.
Burhan Bungin, 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Cobley, Paul dam Litza Janis, 2002. Semiotic for Beginners. London: Murray.
Colleman Griffin, 1983. Pakpak Batak Kin Group and land tenure: A Study of
Descent Organization and Its Cultural Geology. Canberra: Monash
University, Disertasi doctor filsafat.
Dada Meuraxa, 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar.
Daulay, Ivy Irawati, 1995. Studi Deskriptif Surdam Rumaris pada Masyarakat
karo di Berastagi. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi
Sarjana).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988. Kamus Besar
bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Djalaluddin Rakhmat,
Rosdakarya.
2000.
Psikologi
Komunikasi.
Bandung:
Remaja
Doligin, J.L. et al. (ed.), 1977. Symbolic Anthropology: A Reader in the Study of
Symbols and Meaning. New York: Columbia University Press.
Eco, Umberto, 1979. “The Role of the Reader,” dalam Umberto Uco (ed.), The
Role of the Reader Explorations in the Semiotiss of Texts. Indiana: Indiana
University Press.
Endaswara, Suwardi, 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah mada University Press.
Fakih Mansour, 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fariana, 1992. Deskripsi Peranan Gendang Kulcapi dalam Upcara Erpangir
Kulau di Berastagi. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU
(Skripsi Sarajana).
Fitriaty Harahap, 2005. “Tinggalan Sejarah dan Arkeologis di kabupaten Tanah
karo: Sebuah Catatan Perjalanan.” Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala,
nomor 15.
205
Geertz, Clifford, 1974. The Interpretation of Cultures: Selected Essays.
Terjemahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Gilmore, David D., 2003. Monsters, Evil Being, Mythical beasts, and All Manner
of Imaginary Terrors. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press,
Ginting, Yosherman, 1995. Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat
Karo Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten
Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis. Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU (Skripsi Sarjana).
Ginting, Yunika Margaretha, 2012. Analisis Struktur Musikal dan Fungsi
Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo di
Kecamatan Pancurbatu. Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas
Ilmu Budaya USU (Skripsi sarjana).
Goris Keraf, 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Groups, The Diagram, 1976. Musical Instruments of the World: An Illustrated
Encyclopedia. New York: Fact On File..
Hall, D.G.E., 1968. A History of Sotheast Asia. New York: St. Martin’s press.
Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia
Tenggara. Diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh
M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional.
Halliday, M.A.K., 1996. “Introduction language as Social Semiotic: The Social
Interpretation of Language and Meanings” dalam Paul Cobley (ed.). The
Copmmunication Theory Reader. London dan New York: Routledge.
Hanslick, Eduard, 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave
Cohen. New York: Liberal Arts.
Halliday, M.A.K. 1996. “Introduction, Language as Social Semiotic: The Social
Interpretation of Language and Meanings.” In Cobley, Paul (ed). The
Communication Theory Reader. London and New York: Routledge.
Hanslick, Eduard. 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave
Cohen. New York: Liberal Arts.
Harary, Frank, Robert Norman dan Dorwin Cartwright, 1965. Structural Models:
An Introductlion to the Theory of Directed Graphs. New York: John Wiley
and Sons, Inc.
206
Hati, Lila Pelita, 2005. “Sekilas tentang Pemerintahan Desa di Kabupaten Tanah
Karo.” Jurnal Berita Arkeologi Sangkhakala Nomor 15.
Hawkins, Alma, 1990. Creating Through Dance. Los Angeles: University of
California.
Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne York: Cornell
University Press.
Hutabarat, Saidul Irfan, 2000. Peranan Jasa Tarigan dalam Perkembangan
Ensambel Musik Tradisi Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS
USU (Skripsi Sarjana).
Hutajulu, Rithaony, 2007. “Gender dan Musik pada Masyarakat Karo: Nyanyian
sebagai Ranah Otoritas Perempuan.” Jurnal Srintil Nomor 012.
Ihromi, T.O 1987. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia.
Jackson, Stevi dan Sue Scott (ed.), 2002. Gender-Routledge Student Readers
Series: Studies in Social and Political Thought. New York: Rotledge.
Jalaludin Rakhmat, 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Jalaludin Rakhmat, 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
James Danandjaja, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Grafiti Pers.
Kaplan, David dan Robert A. Manners, 2002. Teori Budaya
Karo-karo, Jamal, 2012. Analisis Peran keteng-keteng dalam Ensambel Gendang
Telu Sendalanen sebagai Media dalam Konteks Upcara Erpangir Kulau di
Desa Kutambelin, Kecamatan Lau Beleng, Kabupaten Karo. Tesis (S2)
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu
Budaya USU Medan.
Kartomi, Margareth J., (1990), On Concepts and Classifications of Musical
Instruments. Chicago dan London: The University of Chicago Press.
Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
207
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Langer, Suzanne K., 1960. Problems of Art. New York: Charles Scribner’s Son’s.
Limbeng, Julianus, 1994. Analisis Tekstual dan Musikal Erpola pada Masyarakat
Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana).
Lomax, Alan P. 1968. Folk Song Style and Culture. Transaction Books New
Jersey.
Lowenthal, Leo, 1961. Literature, Popular Culture, and Society. New York: Pacific
Book Publisher.
Mahdi, Louise Carus, 1987. Betwixt and Between Patterns of Masculine and
Feminim Initiation. USA: Open Court Publishing Inc.
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I
Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987).
Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New
Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa
Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur
Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan:
Universitas Sumatera Utara Press.
Mariance, Popfo, 1999. Studi Deskriptif dan Musikologis Upacara Ritual Pajuhpajuhen Nini Lau Tangkup pada Masyarakat Karo di Desa Kutambelin
Kecamatan Simpang Empat Karo. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS
USU (Skripsi Sarjana).
Mc Kie, R.C.H., 1937. This was Singapore. London: Robert Hole Ltd.
Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago Nortwestern
University.
Muthali’in, Achmad, 2001. Bias Gender
Muhammadiyah University Press.
dan
Pendidikan.
Surakarta:
Nasir, 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nettl, Bruno, 1964. Theory and Methods in Ethnomusucology. New York: The Free
Press of Glencoe.
208
Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice Hall.
Nettl, Bruno, 1992. “Ethnomusicology: Some Definitions, Problems and
Directions.” Music in Many Cultures: An Introduction. Elizabeth May (ed.).
California: University California Press.
N.N., 2008. “Adat Karo Sirulo” Berastagi: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya
Kabupaten Karo.
Olsen, Marvin E., 1968. The Process of Social Organization. New Delhi, Bombay,
Calcuta: Oxford and IBH Publishing Co.
Perangin-angin, Perdata, 1999. Kajian Organologis Gung dan Penganak pada
Masyarakat Karo: Studi Kasus Pembuatan Gung dan Penganak oleh Lebut
Sembiring. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi
Sarjana).
Peursen, C.A. van, 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir, 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan
Matinya Makna. Jakarta: UI Press.
Poedjawijatna, 1981. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta:
Penerbit Bina Aksara.
Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006. Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Jala Sutra.
Prinst,. Darwin, 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.
Purba, Parentahen. 2007. Melestarikan Adat Ngeluh Kalak Karo. Medan: Pinem
Medan.
Rouget, Gilbert, 1985. Music and Trance: A Theory of the Relations between
Music and Possession. Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, Paul, 2012. Teeori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan
Metodologinya. Jakarta: UI Press.
Riffaterre, M., 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
209
Ritzer, George dan Barny Smart, 2012.Handbbok Teori Sosial. Jakarta: Gramedia.
Rumiyanti, Rini, 1988. Studi Deskripsi Pemakaian Alat Musik Surdam bagi Guru
dalam Pengobatan Tradisional Karo. Medan: Jurusan Etnomusikologi FS
USU (Skripsi Sarjana).
Sachs, Curt, 1962. The Wellsprings of Music. New York: Da Capo Press, Inc.
Sahman, Humar, 1993. Estetika Telaah Sistematika dan Historik. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Santoso, Anang, 2009. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Saptari, Ratna dan Brigitta Holtzner, 1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan
Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Sembiring, Sri Alem, 2005. “Guru Si Baso dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya
Sisi Tradisional dan Arus Modernisasi.” Jurnal Antropologi Sosial Budaya
Etnovisi. Volume 1 Nomor 3 Desember.
Sinar, 1992. Studi Deskriptif Musik Vokal Gendang Keramat dalam Upacara
Erpangir Kulau Perumah II Nujung Meriah Ukur pada Masyarakat Karo.
Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU (Skripsi Sarjana).
Sitepu, Anton, 1992. Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng dalam Konteks
Kerja Mengket Rumah pada Masyarakat Karo. Medan: Skripsi Sarjana
Enomusikologi FS USU.
Sitepu, Anton, 2015. Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket
Rumah pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Medan:
Program Studi magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu
Budaya USU (Tesis Magister).
Sitepu, Tri Sahputra, 2010. Studi Deskriptif Penggabungan Alat Musik Kibod
dengan Gendang Lima Sedalanen pada Upacara Perayaan Hari Ulang
Tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan
Helvetia, Kota Medan. Medan: Departemen Etnomusikologi FS USU
(Skripsi Sarjana).
210
Suharti, 2007. Aktivitas Perempuan Pendendang dalam Kesenian Saluang
Panjang di Nagari Alam Pauh Duo Sumatera Barat: Sebuah Kajian
Budaya. Denpasar: Universitas Udayana (Tesis Magister).
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (ed..) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Surbakti, Asmyta, 2004. Konservasi Pengembangan Kawasan Bersejarah Istana
Maimoon dalam Konteks Industri Pariwisata di Kota Medan. Denpasar:
Universitas Udayana (Tesis Magister).
Tarigan, Agus, 2011. Penggunaan dan Fungsi Gendang Keyboard dalam
Gendang Guro-guro Aron di Desa Suka Dame. Medan: Departemen
Etnomusikologi FIB USU (Skripsi sarjana).
Tarigan, Kumalo, 1992, Aspek Metafora dan Onomatopea dalam Tradisi Budaya
Musik Karo. Medan: Fakultas Sastra USU.
Tarigan, Kumalo, 2006. Mangmang: Analisis Perbandingan Senikata dan Melodi
Nyanyian Ritual Karo di Sumatera Utara. Pulaupinang: Uiversiti Sains
Malaysia (Tesis Master).
Tarigan, Perikuten, 2004a. Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Tradisional
Karo Sumatera Utara. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas
Udayana (Tesis magister).
Tarigan, Perikuten, 2004b. “Musik Tradisional Karo,” dalam Ben Pasaribu (ed.)
Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi,
Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian
Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen.
Tarigan, Risnawati, 2010. Pengaruh Daya Tarik Objek Wisata Rumah Adat Karo
di Desa Lingga terhadap Kunjungan Wisatawan dalam Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karo. Medan: Universitas Dharma
Agung (Tesis Magister).
Tarigan, Sarjani, 2011. Kepercayaan Orang Karo Tempo Doeloe. Medan: Balai
Adat Budaya Karo Indonesia.
Tasman, Aulia, 2012. “Sumatera dan Hubungannya dengan India dan China,
Periode Abad pertengahan Klasik (Abad I-XV)” Makalah dalam Seminar
Internasional “The Cross Culture and History of Asia Pacific in Indonesia.”
Kerjasama The japan Foundation dan Museum negeri Sumatera Utara, Hotel
Danau Toba, Medan.
211
Turner, Victor Witter, 1995. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure.
USA: Transaction Publisher New Brunswick, Inc.
Wahid, Abdurrahman, 1999. Mengenai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Waskito, Agung, 1992. Gendang Indung Karo Gugung: kajian Hubungan antara
menggal dan Sora Tang-Tih. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas
sastra USU (Skripsi Sarjana).
Wojowasito dan Tito Wasito, 1980. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia,
Indonesia-Inggeris dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bandung: Penerbit
Hasta.
Worell, Judith (ed.) 2001. Encyclopedia of Woman and Gender: Sex Similarities
and Differences and the Impact of Society on Gender (Volume I). USA:
John Willey & Sons Inc.
Yudarta, I Gede, 2006. Eksistensi Wanita dalam Seni Karawitan Gong Kebyar:
Studi tentang Sekaa Gong Wanita Pusparini Mredangga Banjar Buruwan
Desa sanur Kaja Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Denpasar:
Program Pascasarjana Universitas Udayana (Tesis Magister).
212
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Timbangan Perangin-angin
: Medan
: Wiraswasta dan pemusik tradisional Karo (penggual)
2. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Mail bangun
: kabanjahe
: Wiraswasta dan pemusik tradisional Karo (penggual)
3. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Arus Perangin-angin
: Medan
: Perkolong-kolong
4. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Sumpit br Ginting
: Kabanjahe
: Perkolong-kolong
5. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Asli Sembiring
: Tiga Binanga
: Pemusik tradisional Karo (penarune)
6. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Deking Sembiring
: Kabanjahe
: Pemusik tradisional Karo (penarune)
7. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Ramlah br Karo
: Medan
: Perkolong-kolong
8. Nama
Alamat
Pekerjaan
: Sehat Sembiring
: Negeri Jahe
: Bertani dan pemusik tradisional Karo (penggual).
213
GLOSARI
Adat:
Tata aturan untuk perbuatan, kebiasaan, dan lainnya yang
selalu dijadikan dasar dalam bertindak pada kebudayaan
etnik tertentu, yang diwariskan secara turun-temurun.
Anak beru:
Anak perempuan (wanita) sebagai keturunan dari klen anak
perempuan dalam sebuah merga di Tanah Karo, dapat juga
dimaknai sebagai pihak penerima wanita dalam konsep
adat perkawinan etnik Karo.
Anak perana:
Perjaka atau pemuda lajang.
Anak simantek:
Kelompok gadis dan perjaka yang ikut dalam pelaksanaan
gendang guro-guro aron.
Anak surat:
Tanda untuk mematikan atau merubah tulisan berupa huruf
Karo yang berjumlah delapan.
Aron:
Kelompok pekerja pada masyarakat Karo.
Baka:
Keranjang rotan berbentuk segi empat
Begu:
Roh orang yang
kosmologi Karo.
Bere-bere:
Klen atau nama keturunan bagi laki-laki dan perempuan
yang berdasarkan beru ibu.
Birawan atau
berawan:
Roh yang tertinggal atau pergi dari tubuh seseorang karena
sebuah peristiwa yang menakutkan, yang mengakibatkan
orang tersebut menjadi sakit-sakitan.
Beru:
Keturunan berjenis kelamin perempuan, atau klen yang
dibawa oleh perempuan.
Cakcak:
Tempo di dalam musik tradisional Karo.
213
meninggal dunia dalam persepsi
214
Cawir metua:
Sebuah keadaan kematian dalam adat Karo yaitu apabila
yang meninggal telah berusi lanjut, kemudian telah
memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat yang
harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga.
Cokong-cokong:
Satu aktivitas pemberian dukungan berupa uang pada saat
acara menari (landek) maupun menyanyi.
Dibata:
Tuhan atau dewa-dewa dalam konsep religi awal masyarakat Karo, contoh Dibata Kaci-kaci.
Empo:
Laki-laki yang menikah.
Endek:
Irama, ritme, atau gerakan naik dan turun tubuh pada waktu
menari (landek).
Gendang aron:
Komposisi musik yang digunakan oleh pemuda dan
pemudi, terutama dalam konteks gendang guro-guro aron.
Gendang Pendudu
Tendi
Judul satu komposisi musik tradisional Karo yang
digunakan dalam upacara kematian.
Guru Sibaso:
Dukun tradisional Karo, yang dipandang menguasai ilmuilmu gaib.
Erpangir:
Aktivitas biasanya dalam bentuk upacara membersihkan
diri, yang disebut erpangir kulau, membersihkan diri pada
air bersih yang mengalir.
Gundala-gundala:
Seni pertunjukan teater tradisi Karo, pemainnya menggunakan topeng
Indung surat:
Huruf atau abjad kuno Karo yang berjumlah 21 buah.
Jambur:
Balai desa, atau eumah adat di desa, bangunan rumah yang
berdasar pada arsitektur tradisional Karo, biasanay
digunakan untuk rapat dan upacara-upacara adat.
Kade-kade:
Keluarga, sanak saudara, atau famili.
214
215
Kerja tahun:
Sebuah pesta tradisional masyarakat Karo yang agraris
yang diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Karo
dalam satu desa tertentu atau kecamatan tertentu.
Mate nguda:
apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih muda,
boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah
tangga, namun belum kesemua anak-anaknya berumah
tangga.
Maneh-maneh:
Benda-benda warisan atau kenang-kenangan dari seseorang
yang telah meninggal dunia.
Merga:
Garis keturunan dalam satu klen yang ditarik berdasarkan
garis keturunan ayah.
Ndilo wrai udan:
Upacara tradisional Karo untuk tujuan memohon kepada
Tuhan agar turunlah hujan, setelah terjadi kemarau.
Ngukal tulan-tulan:
Upacara tradisional Karo yang bertujuan untuk
mengumpulkan tulang atau kerangka orang yang sudah
meninggal dunia selama sekian tahun dan dikuburkan
kembali ke kuburan baru, disebut juga dengan ngampeken
tulan-tulan.
Nurun:
Upacara penguburan dalam konteks upacara kematian.
Ose:
Pakaian yang dipakai dalam sebuah upacara adat
tradisional Karo.
Pemasun-masun:
Pemberian kata-kata petuah agar memperoleh berkat dari
Tuhan Yang maha Kuasa.
Perbegu:
Kepercayaan kuno masyarakat Karo di era animisme dan
dinamisme.
Perende-rende:
Yaitu penyanyi tradisional dalam budaya musik Karo
215
216
Perkolong-kolong:
Seorang penyanyi baik wanita maupun laki-laki yang juga
pandai menari, dan melakukan pemasu-masun.
Perman:
Menantu perempuan dalam konteks kekerabatan etnik
Karo, sering disebut pula dengan permain.
Perumah begu:
Upacara yang dilakukan pada malam hari untuk memanggil
roh orang yang telah meninggal dunia.
Rakut sitelu:
Ikatan yang tiga dalam sistem kekerabtan Karo, terdiri dari
senina, kalimbubu, dan anak beru.
Rengget:
Ornamentasi atau hiasan melodi dalam nyanyian-nyanyian
Karo.
Rende:
Aktivitas menyanyi.
Rose:
Memakai pakaian adat Karo pada konteks upacara tertentu.
Runggu:
Aktivitas musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
kebudayaan Karo.
Sembuyak:
Saudara kandung, saudara satu perut (rahim).
Sukut:
Pihak yang menyelenggarakan upacara (pesta) adat, atau
dapat dimaknai sebagai tuan rumah.
Tabah-tabah galuh:
yaitu kematian dalam persepsi adat Karo apabila seseorang
yang usianya belum sampai ke dalam tahap usia lanjut,
tetapi semua anak-anaknya sudah berumah tangga atau
berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut dengan sai
utang.
Tendi:
Roh atau jiwa dalam persepsi religi tradisional Karo.
216
217
Turang:
Hubungan kekerabatan (kinship) antara seorang wanita dan
laki-laki yang memiliki klen yang sama atau satu saudara.
Uis beka buluh:
Kain adat Karo yang berwarna merah, kuning, violet, dan
menggunakan benang emas, dan garisnya lurus-lurus.
217
Download