BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pendahuluan Interferon (IFN) IFN ditemukan pertama kali pada tahun 1957 oleh Isaacs dan Lindeman yang melakukan pengamatan terhadap sel ayam yang diinkubasi dengan virus influenza inaktif dimana ternyata dihasilkan suatu faktor yang dapat melindungi sel dari infeksi virus lain. Fenomena ini dinamakan fenomena interferensi dan subtansi aktif yang dihasilkan kemudian dinamakan IFN. IFN adalah kelompok sitokin yang memiliki aktivitas antivirus, imunomodulasi, dan antiproliferatif. Protein ini disintesis oleh sel sebagai respons terhadap berbagai penginduksi seperti partikel virus, antigen, asam nukleat asing,dan sebagainya. IFN penting digunakan sebagai terapi untuk pengobatan berbagai jenis tumor, kanker dan penyakit kelainan darah yang mematikan. IFN menghambat replikasi virus tidak hanya pada sel yang memproduksi IFN, tetapi juga terhadap sel di sekelilingnya (Jonasch and Haluska, 2001). 1.1.1 Klasifikasi dan Karakteristik IFN IFN digolongkan terutama berdasarkan aktivitas biologi, jenis reseptor, komponen penginduksi dan urutan asam-asam amino. IFN dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama berdasarkan kemampuan masing-masing jenis IFN untuk berikatan dengan tipe reseptor tertentu yang terdapat di permukaan membran sel. IFN tipe I berikatan dengan reseptor IFN tipe I, sedangkan IFN tipe II berikatan dengan reseptor IFN tipe II. IFN tipe I meliputi IFNα, β, κ, ω dan τ sedangkan IFNγ adalah satu-satunya IFN tipe II. 4 IFN tipe I termasuk keluarga sitokin monomer dengan kemiripan asam amino 30-80% dengan struktur tiga dimensi 5-alpha heliks (Jonasch and Haluska, 2001). Untuk IFN tipe I, ada 2 sub unit reseptor yang sudah dikenali, yaitu IFNAR-1 dan IFNAR-2 yang terikat dengan molekul JAK (Janus Activated Kinase), Tyk2 (tyrosin kinase2) dan JAK1, sedangkan untuk IFN tipe II ada dua sub unit reseptor yang sudah dikenali, yaitu IFNGR-1 dan IFNGR-2. Sampai saat ini baru ditemukan satu jenis dari IFNAR1 yang telah berhasil diidentifikasi. Sebaliknya, untuk IFNAR2 telah ditemukan 3 jenis, yaitu IFNAR2c dan 2 isoform pendek IFNAR2b dan IFNAR2a. IFNAR2c terlibat di dalam proses transduksi sinyal dan pengikatan ligan. IFNAR2a dan IFNAR2b merupakan inhibitor kompetitif IFNα untuk berikatan dengan IFNAR2c. IFN tipe I dihasilkan oleh hampir semua sel, terutama leukosit dan fibroblas untuk IFNα dan β. Produksi IFNα dan β oleh sel diinduksi secara langsung oleh partikel virus, asam nukleat asing, dan polipeptida. IFN yang dihasilkan kemudian bersirkulasi di dalam tubuh dan menyebabkan sel-sel sehat mengekspresikan mekanisme antivirus yang kemudian akan menghambat penyebaran dan replikasi virus. IFNγ dihasilkan terutama oleh sel T yang telah tersensitisasi dan sel natural killer (NK). Aktivitas antivirus IFNγ lebih rendah daripada IFNα dan β, tetapi IFNγ memiliki aktivitas imunomodulasi yang lebih besar, meliputi aktivasi makrofag, ekspresi MHC kelas II, dan memediasi pembentukan respon inflamasi lokal (Jonasch and Haluska, 2000). Gen pengkode IFNα dan β terletak pada kromosom manusia nomor 9, tidak mengandung intron dan mengkode rantai polipetida yang mengandung sekitar 165-166 residu asam amino (kekurangan aspargin yang dapat berikatan dengan oligosakarida melalui pembentukan ikatan N-glikosida)(Ferencik, 1993). Hal ini menyebabkan sebagian besar dari IFNα tidak memiliki rantai samping karbohidrat, walaupun beberapa adalah 5 glikoprotein dengan derajat glikosilasi berbeda. IFNα yang mengalami glikosilasi adalah IFNα14c dan IFNα2b. IFNα14c mengalami N-glikosilasi pada asam amino aspargin posisi ke 72, sedangkan IFNα2b mengalami O-glikosilasi pada asam amino treonin posisi ke 106 (Nyman et al., 1998). 1.1.2 Produksi IFN Tipe I (α/β) di dalam Tubuh Ekspresi gen pengkode IFN tipe I diinduksi terutama karena adanya virus. Promotor pada gen pengkode IFN tipe I memiliki sisi pengikatan terhadap beberapa faktor transkripsi seperti kelompok faktor peregulasi IFN (IRF-3 dan 7) serta faktor transkripsi yang umum seperti NF-κB dan AP1 (Gambar 1.1). Gambar 1.1 Produksi IFNβ oleh induksi virus (Weber, Kochs, and Haller, 2004) IRF-3 dan NF-κB pada kondisi normal berada di dalam sitoplasma dalam bentuk tidak aktif dan masuk ke dalam nukleus dimana mereka membentuk kompleks multikomponen pada keadaan teraktivasi. IRF-3 harus mengalami fosforilasi terlebih dahulu untuk menjadi bentuk aktif. IRF-3 difosforilasi oleh kinase jenis IKK dan TBK. IRF-3 yang sudah mengalami fosforilasi kemudian masuk ke dalam nukleus, berikatan dengan koaktivator transkripsi p300dan protein pengikat CREB (CBP) yang kemudian akan menginisiasi sintesis mRNA IFN (Weber, Kochs, and Haller, 2004). Hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya IFN. 6 1.1.3 Mekanisme Kerja IFNα IFNα yang dihasilkan oleh sel terinfeksi berikatan dengan reseptor IFN tipe I pada permukaan membran sel (Gambar 1.2). Proses pengikatan ini menyebabkan terjadinya heterodimer dan perubahan konformasi sub unit IFNAR serta aktivasinya jalur JAK-STAT. Aktivasi jalur JAK-STAT menyebabkan fosforilasi sub unit IFNAR1 dan IFNAR2 oleh JAK1 dan kinase tirosin 2 (Tyk2). IFNAR1 yang terfosforilasi memiliki sisi pengikatan untuk domain homologi 2 Src-mengandung transduser sinyal dan aktivator faktor transkripsi (STAT2)- yang kemudian terfosforilasi oleh JAK1 atau Tyk2 pada residu tirosin 690 (Gao, Hong, and Radaeva, 2004). STAT yang lain seperti STAT1, STAT3, dan STAT 5 mengalami proses aktivasi yang sama dengan STAT2. STAT1 dan STAT2 yang teraktivasi akan dilepaskan kembali ke dalam sitosol dimana mereka membentuk heterodimer dan bergabung dengan protein regulator IFN faktor9 (IRF9)/p48 untuk membentuk komples faktor transkripsi yang aktif yang dikenal dengan sebutan faktor gen terstimulasi IFN3 (ISGF3). Kompleks ISGF3 heterotrimer ini kemudian mengalami translokasi ke dalam nukleus dan berikatan dengan respon elemen terstimulasi IFN (ISRE) pada daerah promotor dari gen terstimulasi IFN (ISGs) dan selanjutnya akan menginduksi proses transkripsi (Gao, Hong, and Radaeva, 2004). Gambar 1.2 Mekanisme kerja IFNα/β (Weber, Kochs, and Haller, 2004) 7 IFN tipe I dapat mengaktivasi ekspresi lebih dari 300 ISG yang memiliki aktivitas antivirus, antiproliperatif, dan imunomodulator. Tiga jenis protein antivirus yang paling penting yang dihasilkan adalah kelompok protein MxGTPase, 2’5’-oligoadenilat sintetase [2-5OAS]/RnaseL dan protein kinase R (PKR) (Weber, Kochs, and Haller, 2004). Aktivitas antivirus IFN ditunjukkan melalui proses inhibisi penetrasi/ pelepasan virus, inhibisi translasi dan sintesis protein serta inhibisi pematangan virus. Kelompok protein MxGTPase dalam kondisi normal tidak terdapat di dalam tubuh, tetapi hanya dihasilkan jika jalur JAK-STAT teraktivasi oleh IFNα/β. Protein 2-5OAS dan PKR secara alami terdapat di dalam tubuh dalam bentuk tidak aktif akan diaktivasi oleh keberadaan RNA untai ganda. Kelompok protein Mx bekerja dengan cara menginhibisi proses multiplikasi beberapa jenis virus RNA. Mekanisme kerja spesifik kelompok protein Mx ini belum diketahui dengan pasti. 2-5OAS bekerja dengan cara mengkatalisis sintesis 2’5’-oligoadenilat yang mengaktivasi endoribonuklease selular (RNaseL). RnaseL menyebabkan terjadinya degradasi dari RNA virus. Protein kinase R (PKR) adalah kinase serin-treonin yang secara selektif memfosforilasi dan menginaktivasi protein yang terlibat dalam sintesis protein yaitu eIF-2 (faktor inisiasi eukariot-2) (Jonasch and Haluska, 2000). Protein-protein lain yang memiliki potensi penting sebagai antivirus adalah ISG20, P56, dan ADAR1. P56 berikatan dengan eIF3e (sub unit dari eIF3) dan berfungsi sebagai penghambat inisiasi translasi sehingga translasi virus RNA menurun. ADAR1 mengkatalisis reaksi deaminasi dari adenosin pada RNA rantai ganda target dan menyebabkan pembentukan struktur sekunder yang tidak stabil. Protein PML terlibat di dalam proses apoptosis dan penghambatan transkripsi. IFN juga mengaktivasi fosfodiesterase yang memotong tRNA sehingga tidak dapat terjadi pemanjangan peptida (Jonasch and Haluska, 2000). 8 1.2 Peranan IFN dalam Pengobatan Hepatitis B dan C IFN digunakan untuk pengobatan terhadap hepatitis B dan C kronis. Hepatitis B dan C adalah virus yang spesifik menginfeksi hepatosit. Ada sekitar 4 juta orang di Amerika dan 170 juta orang di seluruh dunia yang menderita infeksi kronis Hepatitis B dan C . Hepatitis B dan C kronis dapat mengakibatkan sirosis hati yang kemudian berkembang menjadi kanker hati (hepatocellular carcinoma). Hepatitis C kronis ini sangat penting karena 20-50% dari penderita yang terinfeksi akan berlanjut ke sirosis dan kanker hati (Gao, Hong, and Radaeva, 2004). 1.2.1 Mekanisme Kerja IFNα pada Penderita Hepatitis B dan C IFN yang digunakan untuk pengobatan hepatitis B dan C adalah IFN dari tipe I (α). Secara umum mekanisme kerja IFN di hati pada penderita hepatitis adalah sama dengan mekanisme kerja umum IFN yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Sel hepatosit manusia banyak mengandung IFNAR1 dan IFNAR2c. IFNAR1 dan IFNAR2c penting untuk proses transduksi sinyal yang kemudian melalui aktivasi jalur JAK-STAT akan menghasilkan berbagai respon antivirus. STAT-STAT utama yang teraktivasi di sel hepatosit manusia adalah STAT1, STAT2, STAT3, dan STAT5. Protein-protein antivirus utama yang penting sebagai antivirus terhadap virus hepatitis adalah protein Mx, 2-5OAS, dan PKR (Gao, Hong, and Radaeva, 2004). IFNα juga menginduksi sintesis protein oleh sel hati yang memiliki aktivitas antivirus atau imunoregulator. Protein-protein yang dihasilkan adalah imunoproteosom, protein mirip ubiquitin, chemokines, dan protein pengikat guanosin 5’trifosfat. IFNα juga menstimulasi sistem imun melalui induksi gen yang terlibat di dalam aktivasi sel T dan pemrosesan antigen (Gao, Hong, and Radaeva, 2004). 9 1.2.2 Mekanisme Virus Hepatitis dalam Melawan Sistem IFN Virus dapat mengembangkan berbagai macam mekanisme untuk melawan aktivitas antivirus yang dimediasi dan diaktivasi oleh keberadaan IFN. Virus dapat secara langsung menghambat sintesis IFN, mengikat dan menginaktivasi molekul IFN, menghambat jalur transduksi sinyal, atau mengganggu aktivitas dari protein antivirus. Virus Hepatitis C (HCV) dapat menghasilkan protease NS3/4A yang mencegah fosforilasi dari IRF-3 sehingga sintesis IFN terhambat. Selain itu, HCV dapat mengganggu jalur transduksi sinyal untuk mencegah expresi ISG sehingga produksi protein antivirus terhambat. Jalur transduksi sinyal diganggu dengan cara menginaktivasi protein STAT atau menginduksi degradasi protein STAT (Weber, Kochs, and Haller, 2004). Aktivitas antivirus sistem IFN juga dapat dihambat secara langsung dengan menghambat aktivitas protein antivirus (PKR, Mx, dan 2-5OAS). Virus hepatitis C menghasilkan protein E2 yang berfungsi sebagai pseudosubstrat dari PKR. Berikatannya protein E2 dengan PKR menyebabkan inaktivasi PKR (Weber, Kochs, and Haller, 2004). Berbagai mekanisme yang dikembangkan virus menyebabkan pengobatan hepatitis dengan IFN menjadi tidak efektif. 1.2.3 Pengobatan Hepatitis dengan IFNα IFNα yang digunakan untuk pengobatan hepatitis B dan C adalah IFNα2a dan α2b. IFNα2a digunakan untuk pengobatan hepatitis C, sedangkan IFNα2b telah digunakan untuk terapi pengobatan akibat infeksi hepatitis B maupun C. Keberhasilan terapi dinyatakan dengan tidak terdeteksinya RNA HCV dan DNA virus hepatitis B (HBV) pada akhir follow up. 10 Pemberian IFN melalui rute oral tidak memungkinkan, karena IFN yang merupakan protein akan mengalami degradasi oleh enzim proteolitik yang ada di saluran pencernaan. Injeksi secara subkutan maupun intramuskular dari IFNα menunjukkan tingkat absorpsi yang tinggi, yaitu lebih besar dari 80%. IFNα memiliki waktu paruh eliminasi yang beragam dari 4-16 jam, dan 1-2 jam untuk IFNβ. Terapi menggunakan IFN memiliki banyak efek samping. Ada 4 jenis kelompok efek samping yang utama, yaitu umum, neuropsikiatrik, hematologik, dan hepatik. Tingkat keparahan efek samping yang timbul bergantung secara langsung terhadap dosis dan durasi terapi IFN. Efek samping yang umum meliputi kelelahan, anoreksia, penurunan bobot badan, demam, dan sakit kepala. Efek samping jenis neuropsikiatrik meliputi depresi secara emosional, vertigo dan lain-lain. 1.2.4 IFNα2 rekombinan IFNα2 rekombinan telah disetujui penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan akibat infeksi kronis oleh virus hepatitis B dan C. IFNα2a dan α2b memiliki tingkat kesamaan homologi yang tinggi, dan hanya berbeda satu asam amino pada posisi 23. IFNα2b diberikan dengan cara injeksi subkutan dengan dosis 5 juta unit per hari atau 10 juta unit per tiga hari selama 16 minggu untuk infeksi karena hepatitis B. IFNα2b secara umum diproduksi dengan teknologi rekombinan, dimana cDNA inteferon α2b yang disintesis dari mRNA IFNα2b hasil isolasi dari sel leukosit manusia dikloning ke dalam vektor yang sesuai dan ditransformasikan ke dalam sel E. coli. Glikosilasi pada asam amino treonin posisi ke 106 dari IFNα2b tidak berpengaruh terhadap aktivitas biologi, tetapi ada kemungkinan berpengaruh terhadap farmakokinetik dan stabilitas protein (Nyman et al., 1998). Oleh karena itu, IFNα2b dapat tetap diproduksi di dalam sel E. coli 11 dalam bentuk yang tidak terglikosilasi. IFNα2b rekombinan yang diproduksi menggunakan sel E. coli memiliki kelemahan, yaitu waktu paruh eliminasinya pendek sehingga konsentrasi obat dalam darah menjadi rendah. Sampai saat ini telah dilakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan profil farmakokinetik dan farmakodinamik IFNα2b, yang terutama adalah dengan memodifikasi secara kimia IFNα2b dengan PEG bobot molekul 12 kDa. Penggunaan IFNα2b terpergilasi mengurangi frekuensi pemberian dari 3 kali seminggu menjadi hanya 1 kali seminggu (Wang et al., 2002). 1.3 Teknologi Sintesis Gen untuk Mensintesis Daerah Pengkode IFNα2b Saat ini, teknologi sintesis gen banyak digunakan untuk menggantikan gen yang diisolasi secara langsung dari sel. Teknologi sintesis gen berkembang pesat sejak ditemukan metode sintesis gen berbasis PCR sederhana, yaitu metode recursive PCR (Prodromou and Pearl, 1992). Metode recursive PCR adalah metode PCR biasa, dimana cetakan DNA diganti dengan beberapa pasang oligonukleotida sintetis yang memiliki daerah tumpang tindih dan memiliki urutan nukleotida yang sama dengan gen yang akan disintesis. Sintesis oleh DNA polimerase menjadi gen yang diinginkan terjadi pada oligonukleotida yang saling bertumpang tindih (Gambar 1.3). Perkembangan terbaru dari teknologi sintesis gen adalah metode sintesis dua arah Thermodynamically Balanced Inside-out (TBIO). 12 Gambar 1.3 Metode recursive PCR (Prodromou and Pearl, 1992) Metode TBIO sama dengan metode recursive PCR, yaitu tidak menggunakan cetakan DNA, tetapi memiliki perbedaan dalam hal arah sintesis (Gao et al., 2004). Sintesis gen pada metode TBIO berlangsung dari arah dalam menuju ke luar dan terjadi secara bertahap, dimana hanya oligonukleotida hasil polimerisasi dengan urutan benar yang akan menempel dengan pasangan oligonukleotida selanjutnya sampai terbentuk gen yang diharapkan. Oligonukleotida yang digunakan memiliki gradien konsentrasi yang berbeda, dimana konsentrasi terendah adalah pasangan oligonukleotida yang terdalam dan konsentrasi tertinggi adalah pasangan oligonukleotida terluar. Gambar 1.4 Metode sintesis dua arah TBIO 13 Keuntungan metode sintesis dua arah TBIO terletak pada spesifisitas produk akhir yang dihasilkan lebih spesifik dibandingkan dengan produk akhir yang dihasilkan dengan menggunakan metode recursive PCR. Daerah pengkode IFNα2b telah disintesis sebelumnya menggunakan metode sintesis gen yang berbeda baik dengan metode recursive PCR maupun dengan metode sintesis dua arah TBIO, dan merupakan teknik yang tidak efektif dan efisien dari segi ekonomis maupun pengerjaan di laboratorium (Neves et al., 2004).