1 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN GEMPA BUMI Oleh : Anton Noor Gunawan Rr. Indah Ria Sulistyorini PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 2 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN GEMPA BUMI Telah Disetujui Pada Tanggal ---------------------- Dosen Pembimbing Utama (Rr. Indah Ria Sulistyarini S.Psi., psikolog) 3 HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN GEMPA BUMI Anton Noor Gunawan Rr. Indahria Setyorini INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Semakin tinggi spiritualitas maka semakin tinggi perilaku prososial. Sebaliknya semakin rendah spiritualitas maka semakin rendah perilaku prososial. Subyek dalam penelitian ini adalah relawan gempa bumi yang pernah bergabung dalam posko Granat dan terjun di daerah Bantul dan sekitarnya. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah menggunakan skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala spiritualitas yang berjumlah 25 aitem dengan modifikasi alat ukur dari Delaney (2005) dan skala perilaku prososial yang berjumlah 34 aitem dengan modifikasi alat ukur dari Carlo & Randall (2002). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS Versi 12,0 for windows untuk menguji apakah ada hubungan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar rxy = 0,586 dan p = 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Jadi hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Kata kunci: Spiritualitas, Perilaku Prososial. PENGANTAR Salah satu tantangan umat manusia terbesar adalah mengatasi bencana alam. Gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 merupakan salah satu contoh bencana yang tidak diharapkan oleh semua orang. Gempa bumi dengan skala 5,9 skala richter dalam kurun waktu kurang dari satu menit mampu meluluhlantahkan Yogyakarta dan Jawa Tengah khususnya daerah Bantul. Kehilangan harta benda, pekerjaan, cacat tubuh bahkan kehilangan sanak saudara yang dicintai menjadi beban mental yang berat bagi para korban gempa bumi. Berdasarkan data yang ada, bahwa gempa bumi yang melanda Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah telah mengakibatkan korban meninggal 5.778 jiwa, 2.111.872 jiwa harus mengungsi dan 139.859 unit rumah rusak berat. (http://www.tempointeraktif.com). Di tengah kepiluan dan kesedihan tersebut ada fenomena yang sangat mengharukan sekaligus membanggakan ketika menyaksikan betapa besar empati berbagai pihak terhadap para korban gempa yang sedang ditimpa kemalangan. Berbagai komponen masyarakat baik secara pribadi ataupun kolektif, berupaya memberi bantuan dengan beragam bentuk dan jenis. Orang-orang yang membantu dalam berbagai bentuk tersebut dikenal sebagai relawan. Relawan adalah seseorang yang berniat untuk membantu orang-orang dan komunitas yang membutuhkan bantuan, termotivasi oleh kehendak bebasnya sendiri bukan atas keinginan untuk mendapatkan keuntungan berupa harta atau benda maupun tekanan eksternal politis, ekonomi atau sosial (Himpsi dkk, 2005). 1 2 Prososial yang dimiliki relawan dapat menjadi pilar penyangga tegaknya mentalitas para korban gempa karena ada dukungan untuk saling memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa ada relawan yang berperilaku sebaliknya. Seperti halnya kasus ada relawan yang acuh tak acuh di lapangan, absent dari tugas yang sudah dijadwalkan (http://psico2.blogspot.com). Pada kasus lain, ada juga relawan yang mencuri bantuan untuk pengungsi (www.kompas.com), padahal seharusnya seorang relawan menyalurkan bantuan pada pihak-pihak yang berhak menerima seperti korban bencana alam. Peneliti melakukan wawancara dengan salah seorang teman berinisial (rs) yang pernah menjadi relawan dan terjun di daerah Bantul. Menurut ceritanya ada mahasiswa yang sudah tergabung dalam kerelawanan dan sudah menyetujui penjadwalan atau pembagian tugas. Namun pada kenyataannya banyak dari relawan tersebut yang bolos dari jadwal dan jenis tugas yang sudah disepakati tanpa pemberitahuan atau alasan yang jelas. Selain itu di lapangan hanya “nongkrong” ketika teman relawan lain bekerja membantu korban gempa, dan ada pula relawan yang membantu bila diminta oleh orang lain (teman relawan, korban gempa). Seorang relawan harus menunjukkan komitmen pada tugasnya, dapat bekerja sama dalam tim dan dapat bekerja dibawah tekanan (Himpsi, 2005). Seorang relawan bila tidak berkomitmen dengan tugasnya tentu akan merugikan berbagai pihak seperti korban gempa dimana bila korban gempa memerlukan tindakan cepat namun si relawan tidak mempunyai komitmen seperti sigap untuk menolong 3 bisa jadi pertolongan untuk korban gempa akan terlambat. Dari sisi organisasi, dengan tidak komitmennya seorang relawan akan menghambat kinerja organisasi dimana koordinasi kerja yang semula terencana dengan baik, rapi dan jelas namun ketika relawan tidak berkomitmen akan merusak koordinasi tersebut dan bisa pula mempengaruhi teman relawan yang lain. Menurut Staub (Dayakisni, 2003) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah personal values atau nilai-nilai yang diinternalisasi oleh individu selama mengalami sosialisasi. Elkins, dkk. (Emmons, 2000) menyatakan bahwa spiritualitas adalah jalan untuk menjadi dan mengalami kesadaran spiritual yang diperoleh melalui kesadaran dimensi transendental yang ditandai oleh nilainilai yang mampu diidentifikasi dan diinternalisasi baik yang datang dari diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan. Bonner (2003) menyatakan ada hubungan antara spiritualitas dengan meningkatnya perilaku prososial. Menurut Jacobi (2004) individu yang memiliki spiritualitas tinggi merasa diri mereka mempunyai keterampilan sosial yang lebih baik dimana mungkin berkontribusi pada perilaku prososial. Selain itu spiritualitas dapat berfungsi sebagai faktor pelindung seseorang untuk melakukan perilaku antisosial dan membuat individu condong ke perilaku prososial. Kemampuan untuk bertingkah laku yang baik, seperti menunjukkan rasa belas kasihan, mengungkapkan rasa terima kasih, menunjukkan rasa malu, menunjukkan kasih sayang, dan menunjukkan rasa rela berkorban atas nama kasih merupakan salah satu komponen dalam kecerdasan spiritual (Emmons, 2000). 4 Berdasar latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud membahas permasalahan sejauhmana spiritualitas berhubungan dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Oleh karena itu Peneliti merasa tertarik untuk melihat hubungan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi sebagai judul skripsi yang akan diteliti lebih lanjut. TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Prososial Sears, dkk (1994) mengemukakan bahwa perilaku prososial mencakup kategori lebih luas, meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa memperdulikan motif si penolong. Lebih lanjut, Brigham (Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Baron & Byrne (2005) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong. Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2003) mengatakan bahwa perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (Dayakisni & Hudaniah, 2003) membatasi perilaku prososial lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki 5 intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain. Eisenberg & Fabes (Hetherington & Parke, 1999) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang sengaja ditujukan agar menguntungkan pihak lain. Perilaku ini dapat dilakukan untuk berbagai motif, termasuk masalah egoistik, berorientasi pada pihak lain, dan soal-soal praktis. Wispe (Wrightsman & Deaux, 1981) mengatakan bahwa perilaku prososial sebagai perilaku yang mempunyai konsekuensi yang positif, memberikan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi orang lain. Berdasarkan teori dari Carlo & Randall (2002) aspek-aspek perilaku prososial yaitu : a.Altruistic prosocial behavior Altruistic prosocial behavior adalah motivasi membantu orang lain terutama yang berhubungan dengan kebutuhan – kebutuhan dan kesejahteraan orang lain, seringkali disebabkan oleh respon – respon simpati dan diinternalisasikan ke dalam norma – norma atau prinsip – prinsip yang tetap dengan membantu orang lain. b.Compliant prosocial behavior Compliant prosocial behavior adalah membantu orang lain karena dimintai pertolongan baik verbal maupun nonverbal. 6 c. Emotional prosocial behavior Emotional prosocial behavior adalah membantu orang lain karena disebabkan perasaan emosi berdasarkan situasi yang terjadi. d.Public prosocial behavior Public prosocial behavior adalah perilaku menolong orang lain yang dilakukan di depan orang – orang, setidaknya dengan suatu tujuan untuk memperoleh pengakuan dan rasa hormat dari orang lain (orangtua, teman sebaya) dan meningkatkan harga diri. e. Anonymous and dire prosocial behavior Anonymous prosocial behavior adalah menolong yang dilakukan tanpa sepengatahuan orang yang ditolong. Sedangkan dire prosocial behavior adalah menolong orang yang sedang dalam keadaan krisis atau darurat. Spiritualitas Richards, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai komponen diri yang menghasilkan makna-makna serta tujuan-tujuan dalam hidup, menyajikan pengalaman transendensi pribadi dan hubungannya dengan tatanan universal. Menurut Delaney (2005) spiritualitas adalah fenomena multidimensi yang menghasilkan pengalaman universal, bagian konstruksosial dan perkembangan individu sepanjang hidup. Delaney (2005) menjelaskan Spiritualitas meliputi keadaan pribadi, antar pribadi dan transpersonal yang terdiri dari 4 bidang yang saling berhubungan: a. Kekuatan yang lebih tinggi atau kecerdasan universal (higher power or universal intelligence) - kepercayaan pada kekuatan yang lebih tinggi atau 7 kecerdasan universal yang mungkin atau mungkin tidak termasuk praktek agama formal. b. Penemuan diri (self-discovery) – perjalanan spiritual yang dimulai dari refleksi diri dan pencarian arti dan tujuan. Proses penemuan diri ini petunjuk untuk tumbuh,penyembuhan dan transformasi. c. Hubungan (relationships) – hubungan integral pada orang lain berdasar rasa hormat yang mendalam dan pengalaman dalam hubungan d. Kesadaran ekologi (eco-awareness) - hubungan integral ke dasar alam pada penghormatan yang dalam dan penghormatan pada lingkungan dan kepercayaan bahwa bumi adalah suci. Delaney kemudian memasukkan aspek Higher Power or Universal Intelligence ke dalam aspek Eco-awareness sehingga spiritualitas terbagi dalam tiga aspek antara lain Self-Discovery, Relationships dan Eco-awareness (meliputi Higher Power/Universal Awareness). Hubungan antara Spiritualitas dengan Perilaku Prososial pada relawan gempa Beberapa aspek yang termasuk dalam spiritualitas antara lain Self-Discovery, Relationships dan Eco-awareness (Higher Power/Universal Awareness). SelfDiscovey merupakan refleksi diri, pencarian makna dan tujuan hidup. Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama manusia. Ancok (2003) menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kebermaknaan hidup dapat 8 diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, negara bahkan umat manusia. Perasaan yakin bahwa hidup itu sangat bermakna merupakan manifestasi utama dari spiritualitas (Smith, 1994). Seorang relawan gempa yang memaknai hidup yang baik dan memiliki tujuan hidup yang terarah, maka dalam praktek di lapangan akan terwujud dalam keinginan dan perilaku yang tulus untuk membantu korban gempa. Elkins (Smith, 1994) menggambarkan pribadi spiritual sebagai seseorang yang telah memahami kebutuhan akan pemaknaan dan tujuan hidup, serta telah memunculkan kepercayaan bahwa hidup itu sangat bermakna dan eksistensi diri seseorang memiliki tujuan. Carson (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa pengembangan spiritual mencakup pelayanan, sementara orang lain telah menghubungan spiritualitas dengan cinta, perhatian, kebijaksanaan, imajinasi, pengampunan dan kasih sayang. Relawan dalam hal ini bisa menjadi contoh konkrit bahwa mereka tergerak untuk melakukan sesuatu terhadap korban gempa bisa jadi dimotivasi oleh spiritualitas dalam diri mereka yang timbul dengan banyaknya korban jiwa dan kerusakan yang terjadi Di sisi lain para relawan akan bekerja sama dengan teman relawan lain dalam bentuk komitmen yang kuat sesuai dengan tujuan semula yaitu membantu pihakpihak yang memerlukan bantuan seperti korban gempa. Menurut Smith (1994), salah satu dimensi spiritualitas diantaranya yaitu memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi dalam kehidupan, menyadari tentang keterkaitan dalam kehidupan yaitu memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri, dan 9 semua orang. Hal ini mencakup kesadaran akan musibah kehidupan serta tersentuh oleh penderitaan orang lain. Dengan adanya spiritualitas, seorang relawan akan mempunyai komitmen yang kuat terhadap tugasnya. Jacobi (2004) menyampaikan bahwa individu yang memiliki spiritualitas tinggi merasa diri mereka mempunyai keterampilan sosial yang lebih baik dimana mungkin berkontribusi pada perilaku prososial. Spiritualitas dapat berfungsi sebagai faktor pelindung seseorang untuk melakukan perilaku antisosial dan membuat individu condong berprasangka ke perilaku prososial Relationships merupakan hubungan integral pada orang lain berdasar rasa hormat yang mendalam. Ketika seseorang merasa diri sebagai bagian dari lingkungan sosial, dimana merasa ada ikatan antar pribadi lain sehingga akan menimbulkan rasa penghormatan dan perilaku kasih sayang terhadap orang lain. Seorang relawan tergerak untuk membantu korban gempa, karena merasa diri sebagai bagian dari lingkungan sosial dimana wujud perilakunya di implementasikan dalam pengabdian untuk membantu meringankan beban korban gempa bumi, selain itu memandang bahwa perilakunya merupakan amanah dan wujud kewajiban sosial yang harus dipenuhi. Banks dkk (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa perasaan bagi orang lain sebagai ekspresi spiritualitas; sebuah keinginan untuk berbuat lebih kepada orang lain dari pada buat dirinya sendiri, merupakan sebuah komponen yang sangat penting dari dimensi spiritual. Spiritualitas menjadi sangat berarti jika mampu diterapkan pada setiap profesi apapun termasuk peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab sebagai relawan karena akan mendasari setiap gerak dan langkah dalam menjalankan tugasnya. Bonner 10 (2003) menyampaikan bahwa spiritualitas berhubungan dengan meningkatnya perilaku prososial. Prososial yang dimiliki relawan dapat menjadi pilar penyangga tegaknya mentalitas para korban gempa karena ada dukungan untuk saling memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Nilai prososial dapat tercermin dari sikap mental yang dimiliki relawan atau suatu komunitas, peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga mendorong seseorang untuk peduli melakukan perbuatan bagi kepentingan lingkungan sosialnya tersebut. Eco awareness merupakan keyakinan adanya kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dan memandang bahwa bumi adalah suci. Dengan adanya gempa bumi mencerminkan bahwa ada kekuatan lain (Higher Power) di atas manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia secara luas. Relawan merefleksikan bahwa perilakunya merupakan suatu keyakinan akan adanya kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dimana kekuatan tersebut mampu menentukan garis kehidupan manusia. Keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk kepedulian memberi dukungan baik fisik, psikologi maupun spiritual terhadap korban gempa, selain itu wujud perilaku relawan juga menunjukkan penghormatan yang mendalam terhadap lingkungan (bumi) yang digambarkan dengan perilaku membangun lingkungan yang rusak akibat gempa menjadi lingkungan yang kondusif untuk ditempati manusia, seperti membersihkan puing-puing bangunan, membangun jembatan dan infrastuktur yang lain ataupun melestarikan lingkungan untuk menjaga kestabilan alam. 11 Malinski (Smith, 1994) mengkaitkan spiritualitas sebagai eksistensi diri dan pengalaman dari kesatuan yang diwujudkan dalam bentuk kesadaran yang meningkat tentang saling keterkaitan antara masyarakat dengan lingkungan; serta kesatuan cara pandang kehidupan manusia dan kosmiknya. Perasaan saling keterkaitan tersebut bisa juga diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tindakan dan cinta kasih yang humanis (Elkins, dkk. 1988; dalam Smith, 1994), serta kasih sayang dan pengampunan terhadap orang lain. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya spiritualitas sangat berperan penting terhadap perilaku prososial pada relawan gempa. Spiritualitas akan menjadi media bagi seorang relawan gempa untuk menerapkan secara langsung bentuk-bentuk kepedulian dengan menyantuni dan membantu memberikan tenaga, materi ataupun doa kepada korban gempa, dan berempati merasakan kepedihan, kekecewaan sebagaimana yang dialami oleh para korban gempa. HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin tinggi pula perilaku prososial yang dilakukan. Semakin rendah tingkat spiritualitas, semakin rendah pula perilaku prososial yang dilakukan. 12 METODE PENELITIAN Variabel Variabel tergantung : perilaku prososial Variabel bebas : Spiritualitas Subjek Penelitian Subjek penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah relawan gempa bumi yang pernah bergabung dengan posko Granat Rayon UII. Alat ukur Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skala. Skala ini menggunakan lembar identitas diri sebagai pelengkap data penelitian, di antaranya : nama (inisial), jenis kelamin, usia, pekerjaan. Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala perilaku prososial dan skala spiritualitas. Skala perilaku prososial merupakan modifikasi dari skala perilaku prososial yang disusun oleh Carlo & Randal (2002). Perilaku prososial terdiri dari beberapa aspek, yaitu altruistic prosocial behavior, compliant prosocial behavior, emotional prosocial behavior, public prosocial behavior, anonymous dan dire prosocial behavior. Aitem pada skala ini bersifat favorable yang terdiri dari empat alternatif jawaban yaitu sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, sangat tidak sesuai. Pemberian skor yaitu bergerak antara 4-1 karena semua pernyataan yang ada adalah termasuk pernyataan yang favorable. Hasil analisis data dengan menggunakan koefisien korelasi diatas 0,25 menunjukkan bahwa terdapat 34 13 aitem yang shahih dengan aitem totalnya bergerak antara 0,255 sampai dengan 0,741 dengan nilai koefisien reliabilitas alpha (a) sebesar 0,936. Skala spiritualitas dalam penelitian ini diungkap dengan mengadaptasi kemudian memodifikasi skala spiritualitas yang disusun oleh Delaney (2005). Skala spiritualitas berisi aspek-aspek yaitu Self-Discovery, Relationships dan Ecoawareness (meliputi Higher Power/Universal Awareness). Aitem pada skala ini bersifat favorable yang terdiri dari empat alternatif jawaban yaitu sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, sangat tidak sesuai. Pemberian skor yaitu bergerak antara 4-1 karena semua pernyataan yang ada adalah termasuk pernyataan yang favorable. Skala spiritualitas terdiri dari 25 aitem shahih dengan aitem totalnya begerak antara 0,357 sampai dengan 0,814 dan diperoleh nilai koefisien reliabilitas alpha (a) sebesar 0,932. Metode Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik r-product moment dari Pearson. Teknik ini digunakan karena dalam penelitian ini mencari korelasi antara variabel tergantung dan variabel bebas. Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya perangkat lunak SPSS for Windows versi 12.0 HASIL PENELITIAN Uji Normalitas Uji normalitas ini menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov test, dimana terlihat taraf signifikansinya lebih dari 0,05 atau p>0,05. Pada variabel perilaku 14 prososial signifikansinya 0,724 sedangkan variabel spiritualitas signifikansinya 0,437, karena p>0,05 maka distribusi tes normal. Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen bersifat linier (garis lurus). Hasil uji asumsi linieritas diperoleh nilai F sebesar 70,750 dengan p=0,000 (p<0,05). Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel spiritualitas dan perilaku prososial memenuhi asumsi linieritas. Uji Hipotesis Tabel 1 Correlations spiritualitas spiritualitas prososial Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N prososial 1 .586(**) . 50 .000 50 .586(**) 1 .000 50 . 50 Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel spiritualitas dengan perilaku prososial sebesar r= 0,586 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara spiritualitas dengan perilaku prososial. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Pembahasan Dari hasil analisis terbukti bahwa spiritualitas mempengaruhi perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang 15 dilakukan oleh Bonner (2003) bahwa dalam penelitiannya menunjukkan spiritualitas berhubungan dengan meningkatnya perilaku prososial. Selain itu Jacobi (2004) menunjukkan bahwa individu yang memiliki spiritualitas tinggi merasa diri mereka mempunyai keterampilan sosial yang lebih baik dimana mungkin berkontribusi pada perilaku prososial. Selain itu spiritualitas dapat berfungsi sebagai faktor pelindung seseorang untuk melakukan perilaku antisosial dan membuat individu condong berprasangka ke perilaku prososial Saroglou (2006) berpendapat bahwa spiritualitas yang modern mengikuti kecenderungan prososial dari keagamaan tradisional karena itu meliputi sebuah pencarian yang aktif terhadap pembentukan arti (pemaknaan), penerimaan yang dalam, rasa untuk saling berhubungan, dan sebuah etika tanggungjawab. Selain itu spiritualitas mungkin dapat menjadi penebak atau prediktor untuk menangani batasan-batasan dalam kebajikan, menolong dan rasa toleransi terhadap orang lain. Carson (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa pengembangan spiritual mencakup pelayanan, sementara orang lain telah menghubungan spiritualitas dengan cinta, perhatian, kebijaksanaan, imajinasi, pengampuan dan kasih sayang. Spiritualitas akan menjadi media bagi perseorangan untuk menerapkan secara langsung bentuk-bentuk kepedulian dengan menyantuni dan membantu memberikan tenaga, materi ataupun doa kepada korban gempa, dan berempati merasakan kepedihan, kekecewaan sebagaimana yang biasa dialami para korban gempa Menurut Stoll (Smith, 1994) bahwa spiritualitas digambarkan sebagai hubungan yang harmonis atau saling mempercayai terhadap orang lain dalam 16 dimensi transedensi, serta sebagai perasaan yang mendalam akan rasa memiliki, keutuhan, keterkaitan, dan keterbukaan terhadap hal-hal yang tak berbatas. Perasaan saling keterkaitan tersebut bisa juga diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tindakan dan cinta kasih yang humanis (Elkins, dkk. 1988; dalam Smith, 1994), serta kasih sayang dan pengampunan terhadap orang lain. Relawan yang terkendali spiritualitasnya akan mampu mengembangkan tugasnya dengan baik karena jujur dan penuh dedikasi dalam menjalankan tugasnya. Sebagai relawan yang secara eksplisit mengemban tugas membantu para korban gempa agar bangkit dari kesedihan, menumbuhkan semangat hidup serta menanamkan optimisme sebagai misi yang harus diemban para relawan. Hal ini sangat tepat jika spiritualitas mendasari setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Spiritualitas juga menjadi sangat berarti jika mampu diterapkan pada setiap profesi apapun termasuk peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab sebagai relawan karena akan mendasari setiap gerak dan langkah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain pertama, jumlah subjek dalam penelitian ini jumlahnya masih sangat terbatas sehingga kurang mewakili populasi yang diinginkan. Kedua, pada aitem aspek publik variabel prososial banyak yang gugur dan tersisa dua aitem. Hal ini kemungkinan disebabkan karena budaya timur dimana ketika orang menolong tidak ingin kesannya agar dipuji, dilihat dan sebagainya. 17 KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara spiritualitas dengan perilaku prososial 2. subjek penelitian secara keseluruhan memiliki tingkat perilaku prososial yang tinggi. SARAN Beberapa saran yang diajukan oleh peneliti ditujukan kepada : 1. Kepada relawan (subjek penelitian) agar terus mempertahankan tingkat spiritualitas yang dimiliki. 2. Kepada pihak organisasi diharapkan tetap secara rutin memberikan pelatihanpelatihan bagi para relawan yang dapat mempertahankan spiritualitas sehingga akan meningkatkan perilaku prososial relawan. Perilaku prososial relawan yang semakin tinggi akan meningkatkan kualitas pelayanan. 3. Pada penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian yang sama namun pada relawan yang berbeda seperti relawan banjir, relawan pendampingan korban kekerasan seksual, relawan peduli aids, relawan anti narkoba. Jumlah subjek dalam penelitian ini jumlahnya masih sangat terbatas sehingga kurang mewakili populasi yang diinginkan. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengambil subjek yang cukup luas sehingga tingkat reliabilitas dan validitasnya menjadi lebih baik. 18 DAFTAR PUSTAKA Agus. 2005. Bencana Alam, Bencana Teknologi, Racun dan Polusi Udara ; Sebuah Tinjauan Psikologi Lingkungan. Bulletin Psikologi, vol. 13 No.1, Juni. Ahyadi. 1995. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung : Sinar Baru Algensindo Ancok, D. 2003. Pengantar Dalam Victor E. Frankl, Logoterapi ; Terapi Psikologi Melalui Pemahaman Eksistensi. Penterjemah M. Murtadio. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Anonim. 2005. Panduan Bagi Petugas dan Relawan Kesehatan Mental. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Anonim. 2006. Gempa Bumi.http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi Banawiratma, J. B. 2000. Spiritualitas Transformatif : Suatu Pergumulan Ekonomis. Yogyakarta : Kansius. Baron, R. A & Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Bonner, K. dkk. Effect of Religiousity and Spirituality on Depressive Symtoms and Prosocial Behaviors. Journal of Religious Gerontology, Vol 14 No 2/3, 2003. 189 - 205 Cahanar. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara Carlo, G. & Randall, B. 2002. The Development of a Measure of Prosocial Behaviors for Late Adolescencts. Journal of Youth and Adolescence. Vol. 31, No. 1, 31-44. 19 Dayakisni, T. & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial Edisi Revisi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Delaney, C. 2005.The Spirituality Scale Development And Psychometric Testing of Holistic Instrument to Assess the Human Spiritual Dimension. Journal of Holistic Nursing, Vol. 23 No 2, June 146-167. Emmons, R. A. 2000. Is Spirituality an Intelligence? Motivation, Cognition, and the Psychology of Ultimate Concern. International Journal for The Psychology, 10 (1). Ham. 2005. Farid Faqih Dituntut 3 Tahun. http://kompas.com/kompascetak/0506/17/daerah/1822460.htm Hetherington & Parke. 1999. Child Psychology : A Contemporary Viewpoint, Fifth edition. USA : Mc. Graw-Hill Holt, C. L. dkk. 2003. Spirituality, Brents Cancer Beliefs and Mammography Utilization among Urban African american Woman. Journal of Health Psychology, 8: 383-396. Jacobi, L. J. 2004. Psychological Protective Factors and Social Skills : An Examination of Spirituality and Prosocial Behavior. National Communication Association. Nashori, F. 2005. Refleksi Psikologi Terhadap Bencana Gempa dan Tsunami Aceh. Unisia. No 56 Nawangsih, U. 2001. Pengaruh Tipe Orientasi Religius Terhadap Perilaku Prososial Remaja. Jurnal Psikodinamik, Vol. 3, No. 1 Piedmont, R. L. 2001. Spiritual Transcendence and the Scientific Study of Spirituality. Journal of Rehabilitation, 67 (1): 4-14. Rahmat. 2006. Gempa dan Relawan. http://psico2.blogspot.com Richards, T. A. dkk. 1999. Spiritual Aspects of Loss Among Partners of Men with AIDS: Post Bereavement Follow-Up. Death Study, 23: 105-107. 20 Saputra, U. T. Melatih Spiritualitas, Membangun Jemaat. http://www.gkimy.or.id Saroglou, V. 2006. Psychology of Religion Newsletter Vol 31, No 2. American Psychological Association Division 36. Universite Catholique de Louvain. Schultz, D. 1999. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius Sears, D. O., dkk. 1991. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Smith, D. W. 1994. Theory of Spirituality. Journal of Holisting Nursing, 9. Susanti. 2007. Sebanyak 7.340 Orang Meninggal Akibat Bencana Sepanjang 2006.http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/02/09/brk,200702 09-92840,id.html Wrightsman, L. S. & Deaux, K. 1981. Social Psychology in The 80’S, Third Edition. Monterey: Brooks/Cole Publishing Company. Wikipedia, The Free Encyclopedia. Spirituality. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Template:spirituality&action=ed it