82 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Validasi Model Validasi model dilakukan terhadap dua hal yaitu uji validasi struktur model dan uji validasi kinerja model. Pengujian validasi struktur model bertujuan untuk melihat kesesuaian struktur model dengan perilaku sistem pada dunia nyata (Hartrisari, 2007). Pengujian ini dilakukan terhadap variabel utama dari model utama (main model) yaitu variabel produksi tandan buah segar (TBS) pada submodel biofisik. Produksi TBS dipengaruhi oleh luas lahan, teknologi atau manajemen dari sumberdaya manusia, masukkan (input) terutama pupuk, sifat genetik dari tanaman itu sendiri dan produktivitas lahan yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Lahan dengan sifat-sifat kimia, fisika, dan biologinya merupakan variabel penentu terhadap produksi kelapa sawit dimana bersama dengan faktor daya dukung lingkungan lainnya menentukan pola produksi status tanaman. Sebagai media tumbuh, aplikasi manajemen yang diterapkan, seperti: pemupukan, pengendalian hama/penyakit, pengendalian gulma, semuanya diberikan melalui tanah. Dengan demikian, sifat-sifat tanah terutama yang berkaitan dengan kesesuaian lahan sangat menentukan tingkat efektivitas dari manajemen yang diaplikasikan. Pada tingkat manajemen sama akan memberikan hasil TBS berbeda jika diaplikasikan pada tingkat kesesuaian lahan berbeda atau dengan tingkat produktivitas 83 berbeda. Sifat genetik tanaman adalah faktor bawaan (inherent) dari tanaman itu sendiri yang mempengaruhi ptoduksi TBS. Dengan kemajuan teknologi pemuliaan, saat ini telah diketemukan satu varietas kelapa sawit unggul yang disebut varietas LaMe. Varietas ini bisa ditanam sebanyak 180 pohon/hektar, sedangkan varietas yang ditanam saat ini populasinya lebih rendah sekitar 130 pohon/hektar. Dengan keunggulan tersebut maka potensi produksinya juga lebih tinggi yaitu antara 22,5-30,6 ton TBS/hektar/tahun, lebih tinggi sekitar 34 persen dari varietas saat ini antara 17,7-22,9 ton TBS/ha/tahun (Harahap dkk., 2006). Peneliti lain melaporkan bahwa penggunaan klon unggul turunan dari varietas D X P mampu meningkatkan produksi TBS sampai 23,8-29,86 persen (Ginting, 2007). Berbeda dengan tanaman semusim, pada kasus komoditas kelapa sawit yang tergolong tanaman tahunan, selain faktor-faktor tersebut, pola produksi juga ditentukan oleh umur tanaman. Secara umum, pada tahap awal produksi rendah, diikuti pertumbuhan produksi cepat kemudian melambat lagi dan diikuti penurunan produksi karena faktor usia tanaman. Pada banyak kasus, umur produktif kelapa sawit yang dibudidayakan pada tanah masam mencapai sekitar 30 tahun dan sesudahnya perlu peremajaan karena pertimbangan teknis maupun ekonomis (Adiwiganda, 2002; Pahan, 2006). Dengan alasan tersebut, model dirancang untuk periode 30 mendatang yaitu tahun 1995-2025. Kombinasi antara produktivitas lahan yang tergolong S2 (cukup sesuai), sifat genetik dan teknologi pengelolaan, prediksi pola produksi TBS mengikuti bentuk s- 84 curve, yang oleh Meadows (1987) disebut pola limit to growth (Gambar 9) Pola ini merupakan pola produksi TBS yang umum dalam pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. 160 Produksi TBS kw/ha 140 Simulasi Inti Plasma 120 100 80 60 40 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur tanaman (th) Gambar 9. Produksi TBS kebun sawit plasma, inti berkelanjutan dan hasil simulasi di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (kw/ha/th) Terlihat bahwa kelapa sawit mulai berproduksi pada tahun ke empat, diikuti pertumbuhan produksi cepat pada usia muda (4-16 tahun), pada usia selanjutnya (17-25 tahun) laju pertumbuhan produksi lambat kemudian pada usia selanjutnya (26-30 tahun) produksi menurun. Walaupun produksi TBS simulasi lebih tinggi dari hasil kelapa sawit plasma, kecenderungan produksi menunjukkan kemiripan dengan produksi TBS petani plasma di lapangan saat ini yang umur tanaman kelapa sawit antara 17-22 tahun. Secara umum, rata-rata produktivitas kelapa sawit plasma adalah 10,59 ton TBS/hektar/tahun dengan kisaran 5,34-18,00 ton 85 TBS/hektar/tahun, sedangkan rata-rata produksi hasil simulasi sebesar 10,64 ton TBS/hektar/tahun, lebih tinggi sekitar 0,51 persen. Hasil penelitian Erningpraja dan Poeloengan (2002) di kebun penelitian Bah Jambi yang berupa lahan kering masam dan kelas kesesuaian lahan S2 menunjukkan pola produksi yang sama dimana pada umur tanaman 8 tahun, tahun, rata-rata produksi TBS berturut-turut adalah 2,35; dan 15 dan 7,76 ton TBS/hektar/tahun. Tabel 2. Perbandingan produksi TBS kebun sawit plasma berkelanjutan dan hasil simulasi di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (kw/ha/th) No Tahun Produksi Plasma Produksi Simulasi AME AVE 1 1999 2.8 - - - 2 2000 10.6 14.34 18.25 8.30 3 21.7 23.5 19.46 8.92 6.12 4 2001 2002 24.07 8.24 4.94 5 2003 22.0 29.06 8.83 4.09 6 2004 29.3 34.13 6.63 3.49 7 2005 36.1 39.52 5.37 3.01 8 2006 52.6 45.21 3.69 2.63 9 2007 48.9 52.69 3.97 2.26 10 2008 2009 59.3 77.6 61.48 3.27 1.94 11 74.12 2.50 1.61 12 2010 79.4 87.81 2.44 1.36 13 2011 98.5 103.48 1.97 1.15 14 2012 106.4 110.77 1.82 1.07 Standar Deviasi 32.7 33.86 Rata-rata 47.8 49.7 5.42 3.00 Korelasi 0.99 Adapun rumus untuk menghitung AME dan AVE adalah sebagai berikut: AME = (( Si – Ai ) / Ai ) X 100% AVE = (( Ss – Sa ) / Sa ) X 100% 86 Ss = ((Si - Si)2 / N ) Sa = ((Ai - Ai)2 / N ) Keterangan : Ss = Deviasi nilai simulasi Sa = Deviasi nilai aktual N = Interval waktu pengamatan Uji validasi kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dibangun layak secara akademik dan juga untuk menghindari model yang salah. Cara pengujian yang umum dilakukan adalah dengan memvalidasi output model menggunakan Muhammadi dkk., rata simulasi uji statistik yang dikembangkan oleh (2001) yaitu uji statistik penyimpangan antara nilai rata- terhadap aktual absolut mean error, AME) dan uji penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual ( absolut variation error, AVE ) dengan kisaran nilai maksimal 10%. Lebih lanjut dikatakan bahwa uji validitas kinerja dapat dilakukan terhadap satu atau lebih variabel yang dominan baik pada main model maupun co model. Berdasarkan hal tersebut dan ketersediaan data yang ada, maka dipilih perkembangan Produksi TBS aktual dan simulasi di lokasi penelitian selama 14 tahun terakhir yaitu tahun 1999-2012 sebagai variabel untuk pengujian validasi kinerja (Tabel 2). Aplikasi rumus AME dan AVE tersebut diperoleh nilai AME berkisar antara 1,82 persen sampai 18,25 persen dengan rata-rata 5,42 persen dan nilai AVE berkisar antara 1,07 persen sampai 8,30 persen, dengan rata-rata 3,0 persen. Kedua kisaran nilai tersebut masih di bawah nilai batas yang 87 diperbolehkan yaitu 10 persen, kecuali pada nilai AME pada tahun 2000, sehingga model yang dibangun memiliki kinerja yang baik, relatif tepat dan dapat diterima secara ilmiah. Berdasarkan produksi Tandang Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit selama empat belas tahun tersebut dilakukan estimasi produksi TBS aktual dan simulasi untuk periode waktu 30 tahun yaitu tahun 1995-2025 (Gambar 10). Terlihat adanya kemiripan pola perkembangan produksi TBS antara aktual dan simulasi. Aktualnya, rata-rata produksi TBS di lokasi penelitian adalah 4,78, ton TBS/hektar/tahun, simulasi sistem sebesar 4,97 ton TBS/hektar/tahun dengan korelasi 0,99. Ini menunjukkan bahwa laju produksi TBS perlu ditingkatkan. 20.00 AME 18.00 AVE 16.00 AME dan AVE 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Umur Tanaman Menghasilkan (th) Gambar 10. Uji validasi kinerja absolut mean error (AME) dan absolut variation error (AVE) produksi TBS kebun sawit plasma berkelanjutan dan hasil simulasi di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (%) 88 1. Aspek Biofisik Pengelolaan Kebun Plasma Berkelanjutan Dalam aspek ini mencakup sumberdaya manusia (penduduk), produksi TBS, degradasi lahan, dan daya dukung lingkungan. Laju perkembangan penduduk perlu dikendalikan dari 6,71 persen/tahun menjadi 2,00 persen/tahun untuk mengurangi tekanan terhadap lahan dan memungkinkan untuk mengakses pendidikan ke jenjang lebih tinggi dalam rangka meningkatkan inovasi terhadap teknologi. Produksi TBS menunjukkan pola yang umum dalam pemanfaatan lahan untuk kelapa sawit yaitu pola limit to growth. Prediksi degradasi lahan menunjukkan pola mirip dengan pola produksi TBS (Gambar 11). 0.7 Dayadukung dan Daya Dukung Lahan (%) Kerusakan Lingkungan Daya Dukung Lahan 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 11. Prediksi pola degradasi dan dayadukung ahan pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan Degradasi lahan relatif agak cepat pada periode awal, meningkat cepat pada pertengahan periode dan melambat pada akhir periode. Tingkat 89 degradasi lahan selama periode simulasi tergolong sedang antara 0,34-0,47 persen. Hal ini dimungkinkan oleh kondisi topografi lokasi sebagian besar berombak dengan lereng 10-15 persen, hanya sebagian kecil datar dengan lereng 5-8 persen. Kombinasi dengan sistem perakaran tanaman yang rapat mampu menahan laju aliran permukaan pada waktu musim hujan. Pada kondisi seperti di lokasi penelitian, tanaman kelapa sawit memenuhi syarat sebagai tanaman konservasi karena memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan memperbaiki tata air (Harahap, 2007). Hasil penghitungan laju erosi berdasarkan pendekatan Universal Soil Loss Equition (USLE) diperoleh laju erosi sekitar 6-10 ton/hektar /tahun, masih di bawah nilai ambang batas erosi yang diperbolehkan sekitar 10 ton/hektar/tahun. Hal ini menujukkan bahwa penurunan produktivitas lahan akibat erosi sangat kecil dan perlu dipertahankan dengan melakukan pengaturan tanaman penutup tanah, penempatan sisa panen sebagai mulsa di sela barisan kelapa sawit. Prediksi daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) ternyata mendukung pola kerusakan lahan dimana daya dukung lingkungan relatif berkurang sampai pertengahan periode dan sedikit menurun sampai akhir periode (Gambar 11). Dengan asumsi nilai daya dukung lingkungan sebesar 1,0 sebagai nilai yang menunjukkan daya lingkungan yang terbaik (66%) maka daya dukung lingkungan di lokasi penelitian masih tergolong sedang. Hal ini mencerminkan kualitas lahan, air dan udara yang masih mampu mendukung pertumbuhan dan produksi kelapa sawit sampai akhir periode estimasi. 90 2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Kebun Plasma Berkelanjutan Secara ekonomi penerimaan dan pendapatan petani kelapa sawit plasma menunjukkan pola yang mirip dengan pola variabel produksi tandan buah segar tanaman yang meningkat cepat di awal periode, diikuti dengan peningkatan melambat dan menurun di akhir periode (Gambar 12). Hal ini memang logis karena penerimaan petani diperoleh dari jumlah panen TBS dikalikan dengan harga satuan TBS. Pendapatan petani diperoleh dengan cara mengurangi penerimaan, biaya pemasaran, dan biaya-biaya lainnya (biaya perbaikan jalan, iuran peribadatan, biaya timbangan, dan biaya keamanan). 120000 Pen.Petani, Pend.Petani , Keb Modal (Rp.juta) 100000 Penerimaan Petani Aktual Pendapatan Petani Aktual Kebutuhan Modal Aktual 80000 60000 40000 20000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit Gambar 12. Prediksi pola kebutuhan modal, penerimaan dan pendapatan petani pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Rp. juta/th) 91 Hal yang menarik adalah adanya sedikit perbedaan antara pola produksi TBS dengan produktivitas lahan disebabkan oleh tidak adanya dominasi alamiah faktor internal pada variabel produktivitas lahan. Jadi sifatsifat bawaan tanah (inherent soil properties) sudah berinteraksi dengan faktor lainnya seperti iklim dan manajemen membentuk pola produktivitas lahan yang agak menurun pada periode akhir siklus tanaman kelapa sawit. Produksi TBS merupakan fungsi dari interkasi faktor eksternal (pengelolaan dan sifat-sifat lahan) dengan sifat genetik tanaman. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan dimana produksinya sangat dipengaruhi oleh umur tanaman yang polanya meningkat pada umur tanaman muda, diikuti dengan peningkatan produksi lambat dan kemudian menurun pada umur tanaman tua karena faktor usia. Secara ekonomis, umur kelapa sawit yang sudah tua (melebihi 30 tahun) sudah tidak layak dan perlu diremajakan . Kelapa sawit merupakan komoditas global sehingga pengelolaannya dilakukan dengan penerapan agribisnis dengan skala ekonomi minimal 50006000 hektar/unit usaha. Hal ini memerlukan biaya produksi yang besar terutama pada awal periode dimana petani tidak mungkin untuk membiayai sendiri. Solusinya adalah pinjaman berjangka dari bank negara/swasta nasional dengan tingkat suku bunga tertentu. Adanya pengaruh tingkat inflasi dan faktor ekonomi lainnya menyebabkan meningkatnya modal kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan kebun kelapa sawit yang memenuhi standar yang ditetapkan. Modal kerja dipakai untuk biaya produksi terutama di periode awal tanam sampai tanaman mulai menghasilkan (sekitar 5 tahun). Dengan asumsi rata-rata tingkat produksi TBS yang ingin dicapai sebesar 92 25,83 ton TBS/hektar/tahun, kebutuhan modal kerja untuk operasional 5 tahun tersebut sekitar Rp 22.833.500/hektar. Jumlah biaya ini sedikit lebih tinggi dari dirancang pola Program Revitalisasi oleh Departemen Perkebunan Kelapa Sawit yang Pertanian 22.000.000/hektar (Direktorat Tahun 2007 sebesar Rp Jenderal Perkebunan, 2007). Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan inflasi dan harga produk kelapa sawit terutama TBS yang cenderung meningkat akhir-akhir ini. Setelah periode awal tersebut, biaya produksi memperlihatkan peningkatan dengan meningkatnya umur kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya upah buruh yang tanaman (pemangkasan pelepah menyangkut upah pemeliharaan daun, pengendalian gulma dan hama/penyakit, dan pemupukan), upah panen, dan biaya transportasi dari kebun ke PKS. Pengelolaan kebun plasma dengan menerapkan anjuran pemupukan yang tepat jenis, waktu pemberian, dosis, cara pemberian, dan frekuensi pemberian pupuk pada lahan dengan kelas kesesuaian S2 memerlukan biaya sebesar Rp 7.768.359,-/hektar/tahun. Dari pola pendapatan, diperoleh rata-rata pendapatan petani sebesar Rp 20.530.825/hektar/tahun atau sebesar Rp 1.710.902/hektar/bulan. Tingkat pendapatan ini melebihi tingkat pendapatan yang bersumber dari upah minimum regional 2013 (UMR-2013) Provinsi Sulawesi Selatan yang saat ini besarnya sekitar Rp 1.440.000/bulan. Perbandingan lainnya adalah kondisi dimana pendapatan petani mampu memenuhi tingkat Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang mencakup pemenuhan kebutuhan dasar petani, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, 93 dan sedikit menabung. Konsep KHL terdapat pada petani padi dimana dengan asumsi jumlah anggota rumah tangga petani 3-4 orang/kepala keluarga, produksi beras minimal 5.000 kg/tahun. Dengan tingkat harga beras Rp 7.000/kg maka pendapatan petani pada konsep KHL sebanyak Rp 35.000.000/tahun (Sinukaban, 2007). Tingkat pendapatan tersebut juga sudah memenuhi target Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Rp 16.566.000/tahun, melalui pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit diharapkan pendapatan petani rata-rata sebesar US$ 2.000/kk/tahun (Husien dan Hanafi, 2005). 3. Aspek Sosial Pengelolaan Kebun Plasma Berkelanjutan Pendapatan yang diterima petani dialokasikan untuk biaya rumah tangga, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, dan tabungan untuk perbaikan rumah, peremajaan kebun, dan keperluan lainnya. Meningkatnya pendapatan petani berimbas pada perbaikan kondisi sosial terutama kualitas sumberdaya manusia seperti pendidikan (Gambar 13 dan 14). Pola curve peningkatan kualitas sumberdaya manusia mirip dengan pola produktivitas lahan dimana meningkat cepat pada periode awal, melambat pada periode pertengahan umur tanaman, dan kemudian relatif mendatar bahkan cenderung menurun pada periode akhir umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan pola pendapatan petani sebagai sumber pembiayaan dalam mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meningkatnya jenjang pendidikan yang dicapai petani mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola kebun sawit. Hal ini 94 berimbas kepada tingkat gaji yang diterima jika bekerja di perkebunan setara dengan pendapatan sampai sebesar Rp 55.000.000/tahun. 20.00 Pendidikan Masyarakat 18.00 16.00 Lama Sekolah (th) 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Umur Tanaman Kelapa Sawit Gambar 13. Prediksi pola peningkatan pendidikan masyarakat (lama sekolah) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (th) 1.00 Indeks Pembangunan Manusia 0.90 Sumberdaya Manusia 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 14. Prediksi pola peningkatan sumberdaya manusia pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 95 B. Penggunaan Model Model dipakai untuk mengembangkan skenario atau opsi kebijakan dan mengamati dampak dari setiap skenario yang akan diambil, masuk akal, kredibel dan relevan, sehingga para pengambil kebijakan dapat kemudian membandingkan antara situasi sekarang dengan berbagai alternative kebijakan yang mungkin. Skenario yang akan diambil sebagai berikut: A. Meningkatkan daya dukung lahan dan mengurangi degradasi lahan dengan cara merubah faktor koreksi kerusakan lingkungan dari 0,005 menjadi 0,001 dengan input teknologi konservasi tanah yang berkelanjutan. B. Mengurangi daya dukung lahan dan degradasi lahan dengan cara merubah faktor koreksi kerusakan lingkungan dari 0,005 menjadi 0,010 dengan cara tanpa konservasi tanah. 1. Aspek Biofisik Pengelolaan Kebun Plasma Berkelanjutan Tanah dilokasi perkebunan kelapa sawit milik PTP Nusantara XIV, kebun Selatan Sawit Plasma Berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi ini peka terhadap erosi, apalagi curah hujannya cukup tinggi yakni ± 2.960–3.151 mm per tahun kerusakan lingkungan berlangsung sangat cepat (Tabel Lampiran 5). Skenario kebijakan yang meningkatkan daya dukung lahan dan mengurangi degradasi lahan dengan cara merubah faktor koreksi kerusakan lingkungan dari 0,005 menjadi 0,001 dengan input teknologi konservasi tanah 96 yang berkelanjutan akan menurunkan kerusakan lingkungan sampai 0,070,09 persen dan sebaliknya apabila kerusakan lahan tersebut dibiarkan begitu saja dengan tingkat kerusakan 0,68-0,94 persen (Gambar 15). 1 Skenario B Aktual Skenario A 0.9 Indeks Kerusakan Lingkungan 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 15. Prediksi pola kerusakan lingkungan (skenario A, aktual dan skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan Konservasi tanah harus dilakukan seawal mungkin guna menjaga hilangnya lapisan tanah atas (top soil) yang cukup kaya bahan organik dan relatif lebih subur sekaligus mengurangi evaporasi dari permukaan tanah. Jenis LCC yang dapat digunakan adalah Mucuna sp. yang berumur panjang. Jenis legum ini juga dapat tumbuh dan berkembang baik pada tanah-tanah berpasir maupun pada kondisi tanah mineral dan Spodosols. Jenis LCC lainnya yang dapat dikembangkan antara lain: Calopogonium mucunioides, Peuraria javanica, sehingga daya dukung 97 lahan dapat ditingkatkan menjadi 0,91-0,93, apabila tidak dilakkan konservasi maka daya dukungnya hanya 0,06-0,32 (Gambar 16). 1 Skenario B Aktual Skenario A 0.9 Indeks Daya Dukung Lahan 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit Gambar 16. Prediksi pola degradasi lingkungan (skenario A, aktual dan skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan Pada daerah berlereng (15-30%), pada saat tanaman sudah berumur produksi (>4 tahun), teknik konservasi tanah secara vegetatif yang harus digunakan adalah pemanfaatan pelepah dan dedaunan tanaman yang sudah tua dengan cara diletakan diantara barisan tanaman searah kontur, pembuatan rorak searah kontur secara zig-zag diantara barisan tanaman (panjang 2-4 m, lebar dan dalam 30-40 cm serta jarak antar barisan rorak 4-8 m) guna memanen air hujan, memelihara kelembaban dan kesuburan tanah, serta legume cover crop diupayakan agar tidak melilit tanaman kelapa sawit atau menutupi permukaan rorak (sewaktuwaktu perbaikan rorak perlu dilakukan guna mengembalikan dimensi rorak ke ukuran semula, dilakukan dengan cara mengangkut 98 sedimen/tanah dari dalam rorak dan dikembalikan di antara barisan tanaman). 90 Skenario B Aktual Skenario A 80 Produksi TBS (kw/ha/th) 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 17. Prediksi pola produktivitas lahan (skenario A, aktual dan skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan Hal tersebut diatas akan memperbaiki produktivitas lahan rata-rata 6,20 ton/hektar/tahun (Aktual) dan apabila tidak dilaksanakan konservasi tanah yang berkelanjutan, maka produktivitas lahan menurun menjadi rata-rata 4,20 ton/hektar/tahun (Skenario B) serta apabila dilaksanakan konservasi tanah yang berkelanjutan, maka produktivitas lahan meningkat menjadi rata-rata 7,80 ton/hektar/tahun (Skenario A) (Gambar 17). Daya dukung lahan (Tabel Lampiran 7) akan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dalam menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 4 atau 5 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 17-27 tahun, dan setelah 99 itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 28– 30 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman (Gambar 18). Hasil pendugaan model produksi tanaman kelapa sawit berdasar umur tanaman untuk kebun kelapa sawit yang diamati disajikan pada Tabel Lampiran 8. Masing-masing sistem konservasi mempunyai model pendugaan produksi sendiri dengan nilai parameter yang berbeda-beda untuk tiap skenario. Nilai dari parameter akan menentukan seberapa besar kenaikan dan/atau penurunan produksi hasil pendugaan model untuk masing-masing. 200 180 Skenario B Aktual Skenario A Produksi TBS (kw/ha/th) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 18. Prediksi pola produksi TBS (skenario A, aktual dan skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 100 Dari Gambar 18. dapat dilihat bahwa model pendugaan produksi berdasar fungsi umur tanaman dapat menjelaskan keragaman produksi tahunan yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit plasma yang diamati di Tawakua, kabupaten Luwu Timur rata-rata 11,08 ton TBS/hektar/tahun (Aktual) dan apabila tidak dilaksanakan konservasi tanah yang berkelanjutan, maka produktivitas lahan menurun menjadi rata-rata 7,86 ton TBS/hektar/tahun (Skenario B) serta apabila dilaksanakan konservasi tanah yang berkelanjutan, maka produktivitas lahan meningkat menjadi rata-rata 13,66 ton TBS/hektar/tahun (Skenario A). 2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Kebun Plasma Berkelanjutan Hasil dari simulasi model pendugaan produksi berdasarkan umur tanaman selanjutnya akan digunakan dalam pendugaan rataan produksi TBS yang dihasilkan untuk skenario kebijakan A. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh data model simulasi biaya produksi, penerimaan petani, pendapatan petani dan kebutuhan modal usahatani kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur (Tabel Lampiran 9) menunjukkan bahwa memerlukan biaya sebesar Rp 9.347.688,/hektar/tahun, diperoleh rata-rata pendapatan petani sebesar Rp 26.519.492,/hektar/tahun atau sebesar Rp 2.209.908,-/hektar /bulan dan pada tahun ke30 pendapatan petani sudah sama biaya produksi (Gambar 19). 101 Pen.Petani, Pend.Petani , Keb Modal (Rp.juta) 160000 Penerimaan Petani Skenario A Pendapatan Petani Skenario A Kebutuhan Modal Skenario A 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawi Gambar 19. Prediksi pola kebutuhan modal, penerimaan dan pendapatan petani (skenario A) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Rp. juta/th) Untuk skenario B, maka perhitungan tersebut diperoleh data model simulasi biaya produksi, penerimaan petani, pendapatan petani dan kebutuhan modal usahatani kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur (Tabel Lampiran 10) menunjukkan bahwa produksi TBS memerlukan biaya sebesar Rp 9.347.688,-/hektar/tahun, dan diperoleh rata-rata pendapatan petani sebesar Rp 13.045.331,-/hektar /tahun atau sebesar Rp 1.087.110,- /hektar /bulan dan pada tahun ke-13 pendapatan petani sudah sama biaya produksi bahkan pada tahun ke 16 pendapatan petani sama dengan kebutuhan modal (Gambar 20). 102 Pen.Petani, Pend.Petani, Keb.Mdal (Rp.juta) 90000 80000 Penerimaan Petani Skenario B Pendapatan Petani Skenario B Kebutuhan Modal Skenario B 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 20. Prediksi pola biaya produksi, kebutuhan modal, penerimaan dan pendapatan petani (skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Rp. juta/th) Produksi adalah hasil yang diperoleh dalam satu tahun, sedangkan jumlah produksi dikali dengan harga jual akan diperoleh penerimaan petani. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka rata-rata produksi aktual kelapa sawit plasma di Tawakua Luwu Timur (TM-13, 2012) sebesar 10,640 ton TBS/ha/tahun sedangkan produksi berdasarkan simulasi adalah 11,080 ton TBS/ha/ tahun /petani lebih rendah 3,97 persen (Tabel Lampiran 11). Berdasarkan data yang diperoleh dari model simulasi penerimaan petani kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur (Gambar 21) menunjukkan bahwa skenario A yang melakukan konservasi lahan berkelanjutan rata-rata penerimaan petani sebanyak Rp 47.353.581,-/ha/th dengan kenaikan 23,65 persen, dibanding kondisi aktual sebesar Rp. 103 38.414.325,-/ha/th, sedangkan Skenario B yang tidak melakukan konservasi hanya Rp 27.240.254,-/ha/th atau berkurang 29,57 persen. 160000 Penerimaan Petani (Rp.juta) 140000 Skenario A Aktual Skenario B 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 21. Prediksi pola penerimaan petani (skenario A, aktual dan skenario B)pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Rp. juta/th) Rendahnya penerimaan yang dicapai petani disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki petani dalam mengelola usahataninya mulai dari cara menanam atau tehnik pemeliharaan yang baik dan benar, selain itu petani hanya berusaha untuk memperoleh produksi tertinggi, tetapi petani kurang memperhatikan input atau saprodi yang diperlukan dalam mengelola usahataninya, seperti pupuk dan herbisida terutama konservasi lahan. Sedangkan untuk mengetahui besarnya nilai pendapatan dari tingkat produksi optimal dapat diketahui dengan syarat adalah total penerimaan dikurangi total biaya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pendapatan petani kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur memperoleh 104 pendapatan optimal pada tahun 2010 (TM-11) adalah Rp. 34,872,000/ha/tahun/petani. Pendapatan terus mengalami kenaikan sampai produksi maksimal tahun 2019 (TM-20) adalah Rp. 58,321,000/ha/tahun (Tabel Lampiran 12) seiring dengan terus meningkatnya penerimaan dan besarnya biaya input yang dikeluarkan dan menurunnya efisiensi input maka pendapatan akan semakin berkurang. 90000 80000 Skenario A Aktual Skenario B Pendapatan Petani (Rp.juta) 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 22. Prediksi pola pendapatan petani (skenario A, aktual dan skenario B)pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Rp. juta/th) Data pendapatan petani kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur yang diperoleh dari model simulasi (Gambar 22) menunjukkan bahwa skenario A yang melakukan konservasi lahan berkelanjutan rata-rata pendapatan petani sebanyak Rp 27.450.589,-/ha/th dengan kenaikan 31,99 persen, dibanding kondisi aktual sebesar Rp. 21.151.859,-/ha/th, sedangkan skenario B yang tidak melakukan konservasi hanya atau berkurang 39,97 persen. Rp 13.278.332,-/ha/th 105 3. Aspek Sosial Pengelolaan Kebun Plasma Berkelanjutan Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1) Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; dan 3) Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah. Kegiatan pengusahaan perkebunan kelapa sawit baik perusahaan inti maupun plasma membutuhkan tenaga kerja langsung (tidak termasuk skilled-labour) dan tenaga teknis perkebunan dalam pengelolaannya. Secara ideal tenaga kerja direkrut dari masyarakat sekitar perkebunan, terutama untuk tenaga kerja teknis perkebunan yang diambil dari masyarakat desa sekitarnya. Kegiatan perkebunan kelapa sawit itu menyerap tenaga kerja cukup banyak, di samping itu kegiatannya bersifat manual sehingga tenaga kerja manusia sangat diperlukan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat secara kuantitatif dapat diindikasikan oleh peningkatan pendapatan per kapitanya. Salah satu parameter yang paling mudah dilihat secara kuantitatif adalah penyerapan tenaga kerja yang meningkatkan pendapatan dari upah tenaga. Bentuk upah yang dapat diterima oleh tenaga kerja lokal adalah: pemanenan, timbang dan muat, pembersihan lahan, pemberantasan hama. Tingginya jumlah uang yang beredar di daerah pengembangan perkebunan ini akan menimbulkan dampak ekonomi lanjutan terhadap sektor 106 pendukungnya. Hal itu akan menyebabkan peningkatan lama usia sekolah 7,9 tahun atau setingkat Sekolah Menegah Pertama (Tabel Lampiran 13). Untuk skenario kebijakan menekan kerusakan lahan (skenario A), maka prediksi pola peningkatan (lama) pendidikan petani di lokasi penelitian adalah 12,61 tahun atau setingkat tammat SMA atau terjadi peningkatan sebesar 22,3 persen, sedangkan skenario B maka prediksi pola peningkatan (lama) pendidikan petani di lokasi penelitian adalah 7,26 tahun atau setingkat SMP atau terjadi penurunan sebesar 27,8 persen dibanding kondisi aktual yaitu prediksi pola peningkatan (lama) pendidikan petani di lokasi penelitian adalah 10,2 tahun atau setingkat SMA (Gambar 23). 14.00 Lama Pendidikan (th) 12.00 Skenario B Aktual Skenario A 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 23. Prediksi pola peningkatan pendidikan petani (skenario A, aktual dan skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (th) Pentingnya pendidikan tersebut bagi petani supaya dapat dengan mudah meningkatkan keterampilannya dan mengarah kepada keahlian, 107 sehingga nanti akan dapat meningkatkan produktivitas baik petani maupun lahan mereka. Dari hasil pengamatan di lapangan pendidikan anak dibandingkan pendidikan orang tua jauh lebih tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan sampel pada umumnya mereka menginginkan anaknya berpendidikan supaya kelak kehidupan anaknya jauh lebih baik dari orang tua. Begitu juga dalam kegiatan pertanian, anak-anak mereka tidak banyak membantu karena sedang di bangku pendidikan. Dari kawasan uraian di atas dapat diungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah memberikan pengembangan dampak positif terhadap pendidikan masyarakat, baik masyarakat yang terlibat langsung maupun masyarakat sekitarnya. Dampak ini dapat diperlihatkan dengan berdirinya sekolah yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak dari masyarakat yang terlibat langsung dengan kegiatan perkebunan maupun masyarakat sekitarnya pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya manusia di sekitar perkebunan kelapa sawit kualitas dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 72,79 (Tabel Lampiran 14). Untuk skenario kebijakan menekan kerusakan lahan (skenario A), maka rata-rata prediksi pola laju peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di lokasi penelitian adalah 0,49/tahun atau terjadi peningkatan sebesar 24,3 persen, sedangkan skenario B maka rata-rata prediksi pola laju peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di lokasi penelitian adalah 0,28/tahun atau terjadi penurunan sebesar 29,9 persen,dibanding kondisi 108 aktual yaitu prediksi pola laju peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di lokasi penelitian adalah 0,39 (Gambar 24). Peningkatan Indeks Pemangunan Masyarakat 1.4 1.2 Skenario B Aktual Skenario A 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Umur Tanaman Kelapa Sawit (th) Gambar 24. Prediksi indeks pembangunan manusia (skenario A, aktual dan skenario B) pada model kebun sawit plasma berkelanjutan di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Indeks IPM) C. Analisis Usahatani dan Pola Pangan Harian Petani Sawit Plasma 1. Analisis Usahatani Petani Sawit Plasma Sistem penjualan kelapa sawit dalam bentuk (TBS). tandan buah segar Harga Tandan Buah Segar (TBS) ditentukan melalui rapat yang dilaksanakan di kota Malili ibukota kabupaten Luwu Timur oleh instansi terkait dan pihak PTP Nusantara XIV sebagai Inti dan pemilik Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Berdasarkan hasil total penerimaan yang diperoleh yakni sebesar Rp. 31.896.000,-,ha/petani (Tabel Lampiran 15). Dari hasil analisis pendapatan atas biaya tunai yang dihasilkan sebesar Rp. 23.048.722,-/ha/petani dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 109 20.955.122,-/ha/tahun (Tabel Lampiran 15). Kelayakan usahatani kelapa sawit dihitung dari besaran R/C ratio. Hasil perhitungan R/C ratio usaha pertanaman kelapa sawit atas biaya tunai adalah 3,61 dan R/C ratio atas biaya total adalah 2,92. Hasil ini menunjukkan bahwa keseluruhan analisis ekonomi R/C ratio usaha pertanaman kelapa sawit berada di atas angka 1, sehingga dalam hal ini disimpulkan bahwa usahatani kelapa sawit yang ada di Tawakua Luwu Timur efisien untuk diusahakan. Dari hasil R/C ratio 3,61 berarti setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 3,61 2. Nilai Pola Pangan Harapan (PPH) Petani Kelapa Sawit Plasma Nilai atau skor PPH yang diperoleh mencerminkan tingkat keragaman konsumsi rumah tangga yang meliputi sembilan bahan pokok. Hasil perhitungan PPH untuk petani kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada Tabel Lampiran 16. Berdasarkan Tabel Lampiran 16. Rata-rata skor PPH yang diperoleh sebesar 86,2. Nilai ini masih lebih tinggi dari perolehan nilai PPH secara nasional tahun 2009 yaitu 75,7 dan nilai PPH Provinsi Sulawesi Selatan 84,5, dengan sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga binaan (12%) antara skor nasional dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga (8%) dibawah skor nasional, bahkan 4 keluarga petani plasma (16%) diatas 90,0 110 Hal ini menunjukkan bahwa program PIR-Sawit telah dapat meningkatkan keragaman konsumsi pangan terutama pada kelompok sayur dan buah. Rendahnya nilai PPH yang diperoleh pada 2 keluarga binaan disebabkan oleh karena keluarga PIR-Sawit tersebut belum mengelola pengadaan kebutuhan protein seperti kolam ikan atau ternak ayam/kambing, Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut kelompok binaan masih harus membeli. Faktor lainnya mungkin disebabkan oleh jumlah anggota rumah tangga yang banyak sehingga total energi yang diperoleh per individu juga rendah. D. Pembahasan 1. Faktor-faktor Biofisik Produktivitas petani kelapa sawit merupakan kemampuan petani dalam memanfaatkan atau mengefisiensikankan sumberdaya yang ada (SDM dan SDA) untuk dikelola sehingga mampu memberikan kontribusinya yaitu hasil produksi tandan buah segar (TBS) yang optimal. Upaya penghematan biaya produksi dengan terus memantau harga tandan buah segar (TBS) ketingkat yang lebih wajar demi kelangsungan usaha misalkan harga yang rendah dan biaya produksi yang terus meningkat bisa berdampak menyebabkan kerugian bagi petani kelapa sawit. Salah satu kemampuan petani dalam mengefisiensikan sumberdaya yang ada yaitu dengan melakukan konservasi lahan yang tepat cara menekan erosi permukaan tanah. 111 Prediksi erosi permukaan pada lokasi perkebunan kelapa sawit plasma di Tawakua kabupaten Luwu Timur provinsi Sulawesi Selatan dengan metode USLE (Tabel Lampiran 17) sebagai berikut; a. Erosivitas Hujan Data curah hujan di perkebunan kelapa sawit plasma Tawakua, Luwu Timur Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan adalah 2.960–3.151 mm/tahun, jumlah hari hujan rata-rata per tahun 128-141 hari, dan curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam per bulan untuk kurun waktu satu tahun adalah 35 - 56 mm. Hasil perhitungan nilai erosivitas hujan tahunan diperoleh nilai erosivitas hujan adalah 28.830 – 34.213 mm/thn. b. Erodibiltas Tanah (K) Nilai Erodibilitas yaitu 0,05 yang merupakaan angka kepekaan tanah terhadap pukulan butiran air hujan dan penghanyutan oleh aliran permukaan. Tanah yang erodibilitasnya tinggi akan rentan terkena erosi, bila dibandingkan dengan tanah yang erodibilitas rendah. Makin besar nilai tekstur tanah (M), akan mempengaruhi kepekaan tanah terhadap bahaya erosi. Di lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit dijumpai bahwa kandungan debu sangat berpengaruh terhadap nilai M, yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi. Semakin tinggi kandungan debu maka tanah akan rentan terhadap terjadinya erosi tanah. Dalam hal ini menurut Asdak (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada tanah dengan kandungan unsur organik yang tinggi, 112 misalnya tanah gambut (peat land), mempunyai erodibilitas tinggi. Sedang jenis tanah dengan kandungan unsur organik rendah, biasanya keras dan, dengan demikian, menjadi lebih resisten (sifat erodibilitas berkurang) terutama pada keadaan kering. Lahan perkebunan kelapa sawit plasma Tawakua, Luwu Timur Sulawesi Selatan memiliki kandungan C-Organik rata-rata 1,76 %. Dimana bahan organik berperan sebagai bahan untuk meningkatkan kemampuan tanah menahan air (sifat fisika tanah), meningkatnya daya serap dan kapasitar tujar kation (KTK) (sifat kimia tanah). Hal ini sesuai dengan Asdak (2002) yang menyatakan bahwa bahan organik dan kimia tanah mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan agregat tanah, Struktur tanah remah sampai gumpal bersudut. Struktur tanah juga turut dalam mempengaruhi kepekaan tanah terhadap besarnya erosi yang akan terjadi. Semakin besar nilai koefisien struktur tanah, maka tanah akan semakin peka terhadap erosi dan sebaliknya, jika nilai koefisien struktur kecil maka kepekaan tanah terhadap erosi juga akan rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan. Asdak (2004) bahwa peranan tekstur tanah terhadap besar kecilnya erodibilitas tanah adalah besar. Tanah dengan partikel agregat besar resistensinya terhadap daya angkut air larian juga besar karena diperlukan energi yang cukup besar untuk mengangkut partikel-partikel tanah, Sehingga nilai laju permeabilitas lambat hingga sedang. Permeabilitas merupakan kemampuan tanah dalam meloloskan air. Nilai permeabilitas tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. 113 c. Topografi (LS) Ada dua hal yang mempengaruhi topografi yakni kemiringan (L) lereng dan panjang lereng (S). Indeks LS adalah 0,67. Menurut Asdak (2002) bahwa lereng bagian bawah lebih mudah tererosi daripada lereng bagian atas karena momentum air larian lebih besar dan kecepatan air larian lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah. Daerah tropis volkanik dengan topografi bergelombang dan curah hujan tinggi sangat potensial terjadinya erosi dan longsor. Oleh karenanya, dalam program konservasi tanah dan air di daerah tropis, usaha-usaha pelandaian permukaan tanah seperti pembuatan teras di lahan-lahan pertanian, peruntukan tanah-tanah dengan kemiringan lereng besar untuk kawasan lindung seringkali dilakukakan. Terutama untuk menghindari terjadinya erosi yang dipercepat. d. Vegetasi (C) dan Manusia/Tindakan Konservasi (P) Faktor pengelolaan tanaman dam tindakan konservasi tanah merupakan faktor penting dalam erosi. Nilai C dan nilai konservasi pada kelapa sawit plasma Tawakua, Luwu Timur Sulawesi Selatan adalah 0,05. Nilai pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi (P). Asdak (2004) menyatakan bahwa pengaruh aktivitas pengelolaan dan konservasi tanah (P) terhadap besarnya erosi dianggap berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan tanaman (C). Rendahnya nilai erosi pada Tahun 2012 dipengaruhi oleh nilai vegetasi (C), untuk nilai tindakan konservasi yang akan dilakukan adalah 114 0,05 atau disertai dengan legum penutup tanah (LCC), menunjukkan bahwa pada erosi yang terjadi dengan tindakan konservasi termasuk dalam kriteria ringan yakni antara 52-62 ton/ha/th, disini terlihat bahwa berpengaruh vegetasi sangat dalam mengendalikan erosi, dalam hal ini Suripin (2004) menyatakan bahwa vegetasi mempunyai pengaruh yang melawan topografi, terhadap pengaruh erosi seperti hujan, bersifat dan karakteristik tanah. Prediksi Erosi Permukaan dengan Tindakan Konservasi Berdasarkan Skenario A dan B Berdasarkan skenario A pada tahun 2012 erosi permukaan diprediksi dengan merubah nilai pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi (P) pada perkebunan kelapa sawit. Nilai C untuk perkebunan kelapa sawit adalah 0,05 dan untuk nilai tindakan konservasi yang akan dilakukan adalah 0,01 atau disertai dengan legum penutup tanah (LCC), menunjukkan bahwa pada erosi yang terjadi dengan tindakan konservasi termasuk dalam kriteria sangat rendah yakni antara 10 - 12 ton/ha/th. Penggunaan tanaman penutup tanah (legume cover crops) yang rapat mampu menekan bahaya erosi sampai batas yang tidak membahayakan. Suripin (2004) menyatakan bahwa dalam arti yang khusus yang dimaksud dengan tanaman penutup tanah adalah tanaman yang memang sengaja ditanam untuk melindungi tanah dari erosi, menambah bahan organik tanah, dan sekaligus meningkatkan produktivitas tanah. Asdak (2004) menyatakan pula bahwa semakin rendah dan rapat tumbuhan bawah semakin efektif 115 pengaruh vegetasi dalam melindungi permukaan tanah terhadap ancaman erosi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lihawa (2009) yang diperoleh bahwa erosi yang terjadi pada lahan semak belukar dengan tanaman bawah rapat akan berkurang 98,2% dari erosi pada lahan datar tanpa vegetasi. Penilitan ini menunjukkan bahwa struktur tanaman penutup lahan merupakan faktor penting yang mempengaruhi besarnya erosi permukaan. Apabila dibiarkan begitu saja tanpa konservasi tanah yang baik atau skenario B, maka nilai C dan P menjadi 0,10 atau tidak disertai dengan legum penutup tanah (LCC), menunjukkan bahwa pada erosi yang terjadi dengan tindakan konservasi termasuk dalam kriteria berat yakni antara 208 - 247 ton/ha/th. Kondisi biofisik tersebut akan mendukung pertumbuhan tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 4 atau 5 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 14-20 tahun, dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 2526 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman. Siklus tanaman kelapa sawit pada umumnya berumur 2730 tahun. Setelah melewati umur tersebut tanaman masih akan tetap menghasilkan, tetapi tidak bernilai ekonomis lagi sehingga umumnya akan disarankan untuk ditanam ulang (Harahap, 2007). 116 Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit plasma di Tawakua Luwu Timur yaitu hasil survey sebanyak 17.720 kg/ha/tahun, sedangkan hasil model simulasi sebanyak 11,077 kg/ha/th, produksi yang diperoleh petani masih sangat jauh dibawah potensi produksi kelapa sawit yaitu sekitar 24 ton tandan buah segar (TBS)/ha/th atau 2 ton TBS/ha/bulan dan dapat mencapai sampai 36 ton TBS/ha/th atau 3 ton TBS/ha/bulan apa pertumbuhan baik (Harahap, 2007). Hal ini disebabkan oleh daya dukung lahan semakin berkurang yaitu 0,55 dengan degradasi lahan 0,45 atau tingkat erosi 57 ton/ha/th tergolong erosi ringan. Tabel 3. Perbandingan model analisis usahatani kebun sawit plasma berkelanjutan dan hasil simulasi di Tawakua, Luwu Timur, Sulawesi Selatan Januari 2013 per hektar. Jenis Analisis No Uraian Model Simulasi Survey Skenario A 1 2 Skenario B Peningkatan SDM 0.40 0.49 0.40 0.28 Degradasi Lahan 0.45 0.09 0.45 0.90 Daya Dukung Lahan 0.55 0.91 0.55 0.09 17,720 13,655 11,077 7,855 8,847,278 7,768,359 7,768,359 7,768,359 Penerimaan 31,896,000 47,353,581 38,414,325 27,240,254 Pendapatan 23,048,722 26,519,492 20,530,825 13,045,331 3.61 6.10 4.94 3.51 9.1 9.8 7.9 5.6 85.7 - - - Faktor-faktor Ekonomi Produksi Kebutuhan Modal R/C Ratio 3 Aktual Faktor-faktor Biofisik Faktor-faktor Sosial Lama Pendidikan Pola Pangan Harian 117 Apabila dibandingkan dengan tingkat erosi yang terjadi pada lahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa erosi pada perkebunan kelapa sawit di Tawakua Rendahnya nilai erosi masih sangat ringan. dipengaruhi oleh nilai faktor tindakan konservasi. Penggunaan tanaman penutup tanah (Legume cover crops) yang rapat mampu menekan bahaya erosi sampai batas yang tidak membahayakan. Harahap (1999) menyatakan bahwa dalam arti yang khusus yang dimaksud dengan tanaman penutup tanah adalah tanaman yang memang sengaja ditanam untuk melindungi tanah dari erosi, menambah bahan organik tanah, dan sekaligus meningkatkan produktivitas tanah. Almasdi (2003) menyatakan pula bahwa semakin rendah dan rapat tumbuhan bawah semakin efektif pengaruh vegetasi dalam melindungi permukaan tanah terhadap ancaman erosi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian (Harahap,1999) yang diperoleh bahwa erosi yang terjadi pada lahan semak belukar dengan tanaman bawah rapat akan berkurang 98,2% dari erosi pada lahan datar tanpa vegetasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Asdak (2002) yaitu aliran permukaan dan erosi permukaan meningkat dengan adanya pengurangan tanaman pada masing-masing plot percobaan. Penilitan ini menunjukkan bahwa struktur tanaman penutup lahan merupakan faktor penting yang mempengaruhi besarnya erosi permukaan. Apabila konservasi dilaksanakan dengan baik seperti pada skenario A, maka produksi TBS yang diperoleh pada tahun 2012 sebesar 13.655 kg/ha/th produksi meningkat terus sampai mencapai produksi maksimun pada tahun 2019 sebesar 18.163 kg/ha/th dan sudah mendekati potensi produksi TBS 118 sekitar 24 ton/ha/th atau 2 ton/ha/bulan (Harahap, 2007). setelah itu menurun dan pada tahun 2025 pertanaman sawit harus teremajakan secara total, Sedangkan apabila dibiarkan begitu saja tidak dilakukan konservasi yang baik seperti pada skenario B, produksi TBS yang diperoleh pada tahun 2012 sebesar 7.855 kg/ha/th produksi meningkat terus sampai mencapai produksi maksimun pada tahun 2019 sebesar 10.018 kg/ha/th, terpuruk sampai 50% dari potensi produksi TBS. 2. Faktor-faktor Ekonomi Biaya produksi sangat berfungsi dalam mengkoordinir segala kegiatan yang mencakup sistem kerja untuk meraih apa yang diinginkan sehingga berdampak pada tingkat produktivitas tanaman untuk memberikan hasil tandan buah segar (TBS) sehingga mampu memberikan pendapatan bagi petani kelapa sawit. Anggaran di perusahaan perkebunan kelapa sawit sesuai dengan kegiatan yang ada adalah anggaran produksi TBS aktual sebesar Rp.770,-/kg, skenario A digunakan sebagai anggaran bahan seperti anggaran pemupukan, anggaran tenaga kerja, anggaran biaya panen dan anggaran transportasi (Suratiyah, 2008). Analisis usahatani kelapa sawit plasma menunjukkan bahwa penerimaan pada tahun 2012 yaitu survey Rp. 31.896.000,-/ha/th dengan pendapatan Rp. 23.048.722; hasil simulasi aktual Rp. 38.414.325 dengan pendapatan Rp. 20.530.825; skenario A Rp. 47.353.581 /ha/th dengan pendapatan Rp. 26.519.492; dan skenario B Rp. 27.240.254 /ha/th dengan pendapatan Rp. 13.045.331 sedangkan hasil Pardamean, 2008, Jumlah penerimaan petani 119 kelapa sawit di Sumatera Utara adalah rata-rata sebesar Rp.45.317.758,/ha/tahun/petani. Hasil simulasi aktual 90,66 persen atau kurang 9,34 persen; skenario A 117,11 persen atau lebih tinggi 17,11 persen dan skenario B paling rendah yaitu 57,61 persen atau kurang 32,39 persen. Terjadi perbedaan diakibatkan oleh perbedaan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dan harga yang berlaku dapat menjamin keadaan tersebut, sehingga produksi yang diperoleh mencerminkan tingkat efesiensi dari usahataninya (Ahyari, 2003). Kelayakan usahatani kelapa sawit dihitung dari besaran R/C ratio. Hasil perhitungan R/C ratio usaha pertanaman kelapa sawit yaitu Survey 3,61; aktual 4,94, skenario A 6,10 dan skenario B 3,51. Hasil ini menunjukkanbahwa keseluruhan analisis ekonomi R/C ratio usaha pertanaman kelapa sawit berada di atas angka 1, sehingga dalam hal ini disimpulkan bahwa usahatani kelapa sawit yang ada di Tawakua kabupaten Luwu Timur efisien untuk diusahakan. Hasil yang dicapai berdasarkan survey dan simulasi aktual belum optimal oleh karena penggunaan faktor produksi tidak optimal, kurangnya pengawasan terhadap sarana produksi dengan dosis anjuran. seperti pupuk, herbisida yang tidak sesuai Sehingga akan mengakibatkan produktivitas tanaman kelapa sawit yang di usahakan menjadi tidak optimal, hal ini sejalan yang dikemukakan Ahyari (2003) bahwa tingkat optimal pendapatan akan tercapai harga yang bila penggunaan faktor-faktor produksi telah efesien dan berlaku dapat menjamin keadaan tersebut, sehingga produksi yang diperoleh mencerminkan tingkat efesiensi dari usahataninya. 120 Namun pada umumnya petani lebih bisa mengukur tingkat efesiensi produksi dari besarnya hasil dan tidak dari rendahnya biaya yang telah dikeluarkan untuk memproduksi hasil tersebut. Menurut Soekartawi (2003), pada produksi optimal produksi masih bisa ditingkatkan hingga mencapai pendapatan yang maksimal dengan satu satuan input, akan tetapi produksi yang tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan maka bukan penerimaan bertambah tetapi pendapatan menurun. Peristiwa demikian disebut dengan istilah the law of diminishing return atau diminishing productifity, atau sering disebut dengan “kenaikan hasil yang semakin berkurang” Upaya yang dapat dilakukan agar pendapatan maksimal tercapai, maka perlu diadakan penyuluhan kepada petani, umumnya penggunaan sarana produksi yang tepat guna (efektif) dan khususnya mengenai hubungan yang erat antara input dan output sehingga menghasilkan produksi dan pendapatan optimal usahatani kelapa sawit yang optimal. Optimalisasi penggunaan input produksi seperti skenario A akan menghasilkan pendapatan petani sangat signifkan yaitu Rp. 26.519.492/ha/tahun atau lebih tinggi 17,11 persen dibanding hasil survey dan simulasi aktual, hal disebabkan karena tindakan konservasi yang akan dilakukan secara optimal dan disertai dengan legum penutup tanah (LCC) 100 persen sehingga erosi yang terjadi sangat rendah yakni antara 10 - 12 ton/ha/th dan disertai pemupukan yang optimal mengakibatkan produktivitas dan umur agronomi tanaman kelapa sawit bertambah, sehingga dapat meningkatkan pendapatan yang optimal bagi petani kelapa sawit. Panen dan produksi 121 merupakan hasil dari aktivitas kerja dibidang pemeliharaan tanaman (Sunarko, 2009). Panen dan produksi merupakan hasil dari aktivitas kerja di bidang pemeliharaan tanaman. Baik dan buruknya pemeliharaan tanaman tercermin dari panen dan produksi yaitu tandan buah segar (TBS). Pekerjaan panen meliputi pemotongan tandan buah segar (TBS) yang masak secara alami, pengumpulan brondolan, serta pengangkutan tandan buah segar (TBS) ketempat pemungutan hasil (TPH), untuk kemudian dibawa kepabrik pengolahan. Biaya panen yang ekonomis merupakan salah satu komponen biaya produksi antara lain, umur tanaman, topografi areal, kematangan panen dan kemampuan panen (Pardamean, 2008). Pemotongan dan pengutipan TBS pada tingkat kematangan yang sesuai sehingga mendapatkan kandungan minyak yang diharapkan tanpa membuat kerusakan pada tanaman, dan langkah-langkah tersebut harus mengacu pada cara dan kriteria panen yang berlaku. Untuk standar kriteria matang panen diperkirakan dalam satu kilogram TBS terdapat 1 brondolan yang lepas dari tandan secara alami, dan untuk menghindarkan kerugian, semua buah yang matang diwajibkan dipanen. Disamping itu untuk penggunaan alat kerja seperti dodos, egrek, kapak, angkong gancu harus benar-benar diperhatikan karena menyangkut dengan efisiensi kinerja hasil yang dicapai (Pahan, 2008) dan panen pada saat buah masak, kandungan minyak pada buah akan maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dan jatuh dari tangkai tandannya, buah jatuh tersebut disebut istilah memberondol (Fauzi, 2008). 122 3. Faktor-faktor Sosial Pembangunan perkebunan yang terjadi di wilayah berdasarkan sistem pertanian modern Luwu Timur merupakan cikal bakal terjadinya perubahan dalam pola budaya terutama dalam kebiasaan masyarakat dalam bercocok tanam, di lain pihak budaya gotong royong dan kebersamaan yang telah terbangun akan menjadi terancam menjadi individual dan partisan. Hal ini yang mengakibatkan timbulnya konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat, pada sisi lain, kita dihadapkan dengan persoalan konflik antara pengusaha perkebunan sawit dan masyarakat , serta persoalan – persoalan lingkungan hidup, demikian pula dengan wacana Pembangunan Perkebunan Sawit Berkelanjutan Pembangunan pertanian yang dikembangkan dalam bentuk skala besar selama menjadi ini komoditi adalah unggulan subsektor perkebunan yang salah satunya adalah kelapa sawit. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelapa sawit dapat memberikan pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya. Hasil penelitian Elpawati (2000) bagi petani peserta pola PIR, petani kelapa sawit sudah berada pada kategori sejahtera. Untuk itu diperlukan pembinaan dan pengembangan usahatani di sekitar areal pola PIR untuk mempercepat difusi teknologi dan mencegah terjadinya kesenjangan teknologi antara petani PIR dengan petani non PIR, hal dapat terlaksana dengan baik karena Lama Pendidikan petani plasma yaitu 9,1 tahun dan hasil simulasi model diperoleh data skenario A 9,8 tahun, 123 skenario B 5,6 tahun dan aktual 7,9 tahun, sehingga diperkirakan pada tahun 2025 lama pendidikan petani aktual 10,23 tahun atau setingkat SMP. Hal ini sesuai hasil penelitian Almasdi Syahza (2003) bahwa: aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat Manfaat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1) Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2) Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan 3) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hasil simulasi tersebut diatas dapat tercapai karena pola pangan harapan (PPH) petani kelapa sawit plasma di Tawakua Luwu Timur yaitu rata-rata skor sebesar 85,7 Nilai ini masih lebih tinggi dari perolehan nilai PPH secara nasional tahun 2009 yaitu 75,7 dan nilai PPH Provinsi Sulawesi Selatan 84,5, dengan sebaran 20 orang (80%) diatas skor PPH provinsi, 3 keluarga petani plasma (12%) antara skor nasional dan provinsi Sulawesi Selatan dan hanya 2 keluarga petani plasma (8%) dibawah skor nasional, bahkan 4 keluarga petani plasma (16%) diatas 90,0.