120 BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH DOMINAN TERHADAP STRUKTUR VERTISOL TADAH HUJAN LOMBOK SOME DOMINANT FACTORS AFFECTING SOIL STRUCTURE OF RAINFED VERTISOLS OF LOMBOK IGM. Kusnarta1, B. D. Kertonegoro2, B.H. Sunarminto2, dan D. Indradewa3 1 Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UNRAM 2 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM 3 Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian UGM ABSTRAK Vertisol adalah salah satu jenis tanah di Lombok yang luas penyebarannya menempati urutan ke dua setelah Inceptisol. Vertisol Lombok memiliki beberapa kendala, antara lain: kendala sifat fisika tanah dan keterbatasan air. Kendala fisika tanah yang ada merupakan dampak dari berpengaruh mineral penyusunnya yang dominan, yaitu mineral lempung dari spesies montmorillonite. Di samping itu, struktur tanahnya tidak stabil akibat kandungan bahan organik yang rendah. Ketersediaan air yang terbatas sebagai dampak dari tipe iklim D, semakin mempersulit pengelolaan tanah tersebut. Struktur tanah yang stabil merupakan salah satu faktor pendukung yang sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi tanaman, sehingga menjadi tujuan dari setiap tindakan pengelolaan tanah termasuk Vertisol. Oleh karena itu, kajian terhadap stabilitas agregat tanah sebagai salah satu indikator struktur tanah, serta beberapa faktor yang mempengaruhinya perlu dilakukan dalam upaya optimalisasi produktivitas Vertisol tadah hujan di Lombok. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok serta menguji hubungan beberapa sifat fisika dan kimia tanah yang berpengaruh terhadap stabilitas agregat tanah. Dua kilogram contoh tanah diambil dari lahan sawah Vertisol tadah hujan pada kedalaman 0-20 cm pada akhir musim kemarau (September 2009). Setiap titik pengambilan sampel tanah mewakili luasan sekitar 50 ha. Ditetapkan 209 titik yang mewakili areal Vertisol tadah hujan Lombok seluas 12.643,23 ha. Contoh tanah tersebut dipersiapkan untuk analisis laboratorium terhadap stabilitas agregat tanah, koefisien pengembangan linear atau Coefficient of Linear Extensibility (COLE), Corganik, kadar lempung, kadar kapur (CaCO3), dan persen sodium tertukar (ESP). Regregasi berganda (multiple linear regresion) digunakan untuk menguji keeratan hubungan antara stabilitas agregat tanah dan variabel fisika dan kimia tanah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok secara nyata dipengaruhi oleh C-organik (R2=0.79), kemudian disusul berturut-turut oleh COLE (R2=0,78), kadar lempung (R2=0,76), dan kadar kapur atau CaCO3 (R2=0,71), akan tetapi tidak dipengaruhi secara nyata oleh ESP (R2=0,42). Persamaan matematis yang menyatakan hubungan variabel-variabel tersebut dengan stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok adalah: Stabilitas agregat = 48,4 – 454 COLE + 1,13 Lempung + 8,83 C-organik – 2.13 CaCO3 + 0.39 ESP (R2=0,92). ABSTRACT In Lombok, Vertisol is the second widest soil types after Inceptisols, with some constraints, such as soil physical conditions and water scarcity. The soil physical constraints are implication of shrink-swell characteristics as a result of domination of montmorillonite mineral in the soil, while water scarcity is implication of D climate types of the region. In addition, the low content of soil organic matter has resulted in the low soil structural stability. The stability of soil structure is very important to support the management of this soil; therefore, study on soil structure of rainfed Vertisols of Lombok and some factors influencing it is very important to be conducted in an effort to optimize productivity of this particular soil. The objective of this research was to evaluate aggregate stability of Lombok Vertisols and some physical and chemical characteristics affecting aggregate stability of the soil. Two kg of field soil samples from each spot representing 50 ha of the Vertisol areas were collected from the top 20 cm using grid method. There were 209 soil samples representing the rainfed Vertisols of Lombok. All samples were prepared for laboratory soil analysis on some soil physical and chemical characteristics, including soil aggregate stability, coefficient of linear extensibility (COLE), clay content, soil organic carbon, lime or CaCO3, and exchangeable sodium percentage (ESP). Multiple linear regression analysis was used to find out the degree of correlation between the soil aggregate stability and those soil physical and chemical characteristics. The results showed that aggregate stability of the soil was significantly I.G.M. Kusnarta dkk: Beberapa faktor yang … 121 influenced by soil organic-C (R2=0.79), followed by COLE (R2=0.78), clay content (R2=0.76), and lime (CaCO3) (R2=0.71). However, it was not significantly influenced by ESP (R2=0.42). The influence of those factors is expressed by the regression equation: Aggregate Stability = 48.4 – 454 COLE + 1.13 clay + 8.83 C-organic – 2.13 CaCO3 + 0.39 ESP (R2=0.92). ____________________________ Kata kunci: struktur, vertisol, tadah hujan, COLE Keywords: tructure, vertisol, rainfed, COLE PENDAHULUAN Vertisol adalah jenis tanah yang tersebar pada lahan pertanian tadah hujan di Lombok dengan luas mencapai 12.643,23 ha (Bakosurtanal, 1999). Lahan tersebut secara geografis tersebar di kawasan pulau Lombok bagian Tengah-Selatan, yang mencakup Lombok Tengah bagian Selatan dan Lombok Timur bagian Selatan. Kendala dalam proses budidaya pertanian di lahan tersebut, antara lain: sifat fisika tanah dan keterbatasan air. Kendala sifat fisika Vertisol tadah hujan Lombok adalah sulit diolah karena keras bila kering dan lekat bila basah. Tanah tersebut memiliki sifat kembangkerut yang sangat tegas, seiring dengan fluktuasi kandungan lengas tanah, akibat dari kandungan mineral lempung tipe 2:1, yaitu montmorillonite. Di samping itu, struktur tanahnya yang tidak stabil dengan kemantapan agregat yang tergolong kurang bahkan tidak stabil. Kandungan bahan organik tanah tersebut tergolong sangat rendah. Terbatasnya ketersediaan air terjadi karena kawasan tersebut memiliki tipe iklim D, yang meliputi D3 dan D4 (Oldeman et al., 1980). Rerata curah hujan tahunan pada daerah bertipe iklim D3 adalah 1665 mm, sedangkan daerah bertipe iklim D4 adalah 984 mm (Ma’shum et al., 2009). Bulan basah berlangsung 3 – 4 bulan dimulai pada bulan November/ Desember sampai dengan Maret/ April. Musim kering berlangsung lama (6-7 bulan) terjadi antara bulan Mei sampai dengan Oktober. Struktur tanah penting dalam menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengaruhnya terhadap gerakan air di dalam tanah, siklus hara, dan penetrasi akar telah dilaporkan oleh Bronick dan Lal (2004). Struktur tanah yang baik dapat menciptakan pengudaraan tanah (Annabi et al., 2007), sehingga tercipta media tumbuh yang nyaman bagi tanaman. Struktur tanah dapat dinilai, antara lain, dengan stabilitas agregat tanah. Agregat tanah dikatakan stabil apabila dapat mempertahankan kondisinya dan tidak mudah hancur akibat pengaruh pembasahan. Jika agregat hancur, maka berpeluang terjadi dispersi partikel lempung (clay dispersion) yang dapat menyumbat pori-pori tanah dan selanjutnya akan menghambat infiltrasi dan gerakan air lainnya di dalam tanah (Fan et al., 2008). Upaya untuk mempertahankan agregat agar tetap stabil atau mantap merupakan hal yang sangat penting dalam menjaga kesuburan dan kelestarian tanah (Bronick dan Lal, 2004). Stabilitas agregat tanah selain dipengaruhi oleh bahan organik (Gerard, 1987; Bartoli et al., 1991; Adesodun et al., 2004), juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain misalnya kandungan lempung (Nwadialo and Mbagwu, 1991), sodium tertukar (Shainberg dan Letey, 1984), dan kadar kapur (CaCO3) tanah (Chan and Heenan, 1999). Akan tetapi, seberapa besar faktor-faktor tersebut mempengaruhi stabilitas struktur tanah, terutama pada Vertisol yang berkembang dalam suasana tadah hujan di pulau Lombok belum dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi stabilitas agregat Vertisol tadah hujan di Lombok dan menguji hubungannya dengan beberapa sifat fisika tanah seperti (COLE), dan kandungan lempung, serta beberapa sifat kimia tanah seperti C-organik, kandungan kapur (CaCO3), dan ESP. Penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan rekomendasi pengelolaan Vertisol tadah hujan di Lombok dan di daerah lain yang memiliki kesamaan sifat-sifat tanah dan agroklimat. METODE PENELITIAN Cakupan Daerah Penelitian Kegiatan penelitian ini meliputi seluruh wilayah Vertisol di Lombok yang merupakan kawasan lahan pertanian tadah hujan. Wilayah ini berada di bagian selatan Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan peta dasar yang digunakan, posisi geografis wilayah penelitian ini adalah 116o07’ – 116o30’ Bujur Timur dan 8o37’ – 8 o52’ Lintang Selatan (Bakosurtanal, 1999). Secara administratif wilayah Vertisol tadah hujan Lombok mencakup 10 Kecamatan dan 41 desa, dengan luas sekitar 12.643,23 ha. Agroteksos Vol.21 No.2-3, Desember 2011 122 Contoh Tanah Sebanyak 2 kg contoh tanah, utuh dan terusik (masing-masing seberat 1 kg ), diambil dari 209 titik pada seluruh wilayah Vertisol tadah hujan Lombok. Penetapan setiap titik pengambilan contoh tanah tersebut mengikuti sistem grid. Pada setiap titik yang mewakili luasan sekitar 50 ha, contoh tanah diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm. Contoh tanah kemudian dikering-anginkan, ditumbuk dengan penumbuk kayu, dan disaring dengan ayakan bermata saring 2 mm. Selanjutnya dilakukan analisis laboratorium terhadap beberapa sifat-sifat fisika dan kimia tanah. nakan pengekstrak Amonium Asetat 1 M, pH 7 (Thomas, 1982). Selanjutnya nilai persen sodium tertukarkan (exchangeable sodium percentage, ESP) dihitung melalui perbandingan Na tertukar dengan kapasitas tukar kation (KTK) dan dinyatakan dalam persen (Landon, 1984). Hubungan antara variabel bebas sifat fisika dan kimia tanah dengan variabel tergantung stabilitas agregat tanah diuji statistik menggunakan regresi berganda, Best Subset Regression (BSR) program Statistik Minitab Ver. 13. dan. Untuk menghitung koefisien korelsi (R2) digunakan program Costat Ver.6.311. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Laboratorium dan Hubungan Variabel dengan Stabilitas Agregat Analisis laboratoium terhadap sifat fisika tanah meliputi: kemantapan agregat dianalisis menggunakan metode pengayakan kering dan basah (Kertonegoro et al., 1998), kadar lempung tanah menggunakan metode Sedimentasi dan Pemipetan (Sheldrick and Wang, 1993). Koefisien pengembangan linear atau coefficient of linier extensibility (COLE) menggunakan metode menurut Kertonegoro et al., 1998; dan Vaught et al., 2006 dengan cara membandingkan panjang pasta tanah pada saat jenuh (saturated) oleh air bebas ion dengan pada saat setelah tanah dikeringkan di dalam Oven pada suhu 105oC selama 2,5 jam. Analisis sifat kimia tanah meliputi: kadar C-organik tanah metode Walkley dan Black dan kadar kapur (CaCO3) dengan metode titrasi menggunakan NaOH 0,5 N, dengan pengekstrak menggunakan H2SO4 0,5 N; sodium (Na) tertukarkan ditetapkan menggu- Letak Geografis dan topografi Kegiatan penelitian Tahap I dilaksanakan pada seluruh wilayah Vertisol tadah hujan Lombok yang merupakan kawasan lahan sawah. Wilayah ini menempati posisi di bagian Selatantengah hingga bagian Selatan-timur pulau Lombok. Berdasarkan peta dasar yang digunakan, posisi geografis wilayah penelitian ini adalah 116o07’ – 116o30’ Bujur Timur dan 8o37’ – 8 o52’ Lintang Selatan (Bakosurtanal, 1999). Sebaran wilayah tersebut mencakup 10 Kecamatan dan 41 desa, dengan luas keseluruhan sekitar 12.675,38 ha. Topografi wilayah secara keseluruhan relatif landai, dengan kemiringan lahan (slope) berkisar antara < 3% hingga sekitar 8%. Kondisi topografi wilayah tersebut sangat mendukung proses perkembangan Verisol. Menurut Ahmad (1983) Vertisol terbentuk pada wilayah dengan kemiringan lahan (slope) < 5% hingga 15%. Tabel 1. Nilai Maksimum, minimum, rata-rata dan KK dari beberapa sifat Vertisol tadah hujan Lombok (disarikan dari pengukuran 209 contoh tanah pewakil) Sifat Tanah Minimum Maksimum Rata-rata Koefisien Keragaman (KK) Lempung (%) pH (1:5 tanah:air) 38,54 6,30 64,25 7,55 45,82 6,94 14,90 3,86 COLE C- Organik (%) CaCO3 (%) DHL (mS/cm) ESP (%) Stabilitas Agregat (%) 0,05 0,58 4,75 0,03 1,76 22,78 0,16 1,46 13,08 0,22 9,05 97,09 0,11 0,78 8,36 0,08 5,01 39,70 19,46 21,96 22,70 27,91 34,80 35,82 I.G.M. Kusnarta dkk: Beberapa faktor yang … 123 Kondisi Tanah di Daerah Penelitian Wilayah penelitian memiliki jenis tanah dengan ordo Vertisol. Jenis tanah ini memiliki sifat kembang-kerut yang tegas. Hasil pengamatan Laboratorium terhadap contoh tanah yang diambil dari seluruh areal Vertisol tadah hujan Lombok (Tabel 1) menunjukkan, bahwa kandungan lempung tanah tersebut berkisar antara 38,5% hingga 64,3% dan dengan rata-rata 45,8%. Koefisien keragaman (KK) dari sebaran kadar lempung tersebut adalah 14,9%, yang berarti kandungan lempung di kawasan tersebut cukup bervariasi. Kemasaman tanah, pH (1 : 5 tanah : air) rata-rata 6,9 termasuk dalam kategori netral (Tabel 1), dengan kisaran 6,3 (kurang masam) hingga 7,5 (netral). Kisaran nilai pH tersebut berkaitan dengan bahan induk Vertisol yang salah satunya berupa batu kapur (lime stone, CaCO3) atau dolomit (CaMgCO3) yang bersifat basa. Kisaran pH yang demikian sesuai untuk pertumbuhan tanaman secara umum, karena dapat mendukung ketersedian hampir semua unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Kebanyakan unsur hara, baik makro maupun mikro mudah tersedia pada kisaran pH netral (Hazelton dan Murphy, 2007). Nilai KK dari pengamatan pH tanah tersebut (3,86) paling rendah dibandingkan dengan nilai KK pada sifat tanah yang lainnya, yang menunjukkan bahwa keragaman pH Vertisol tadah hujan Lombok adalah rendah atau hampir seragam. Vertisol tadah hujan Lombok sangat berpotensi mengalami proses kembang-kerut yang sangat tegas. Kenyataan ini ditunjukkan oleh hasil analisis laboratorium terhadap nilai koefisien pengembangan linear atau COLE (Coefficient of Linear Extensibility) contoh tanah dari kawasan tersebut, yang sebagian besar bernilai ≥ 0,09. Kisaran nilai COLE tanah tersebut antara 0,05 – 0,16 dengan rata-rata 0,11 (Tabel 1). Klasifikasi nilai COLE menurut USDA-NRCS dalam Vaught et al (2006) menyatakan bahwa nilai COLE antara 0,06 – 0,09 termasuk tinggi dan > 0,09 termasuk sangat tinggi. Dengan demikian nilai COLE Vertisol Lombok tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Proses kembang-kerut Vertisol merupakan dampak dari mineral dominan penyusunnya yang dadalam hal ini adalah mineral smectite (Erguler dan Ulusay, 2003; Kariuki dan van der Meer, 2004). Selanjutnya, Krisnayanti (1996) melaporkan, bahwa Vertisol tadah hujan Lombok didominasi oleh mineral montmorillonite dari golongan mineral smektit. Kandungan C-organik tanah tersebut tergolong sangat rendah, berkisar antara 0,58% hingga 1,46% (Tabel 1) atau setara dengan kandungan bahan organik antara 1,0% hingga 2,5%. Rendahnya kandungan bahan organik tersebut terkait dengan kebiasaan petani di wilayah tersebut untuk tidak mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah. Sisa hasil panen seperti jerami padi cenderung dipergunakan untuk bahan bakar dalam industri gerabah, dan seresah kedelai atau jagung (tanaman kedua setelah padi) cenderung dipergunakan sebagai pakan ternak. Tindakan tersebut jelas berkontribusi terhadap pemiskinan kandungan bahan organik tanah di kawasan tersebut. Rendahnya kandungan C-organik tersebut berakibat pada rendahnya kemantapan agregat tanah. Nilai kemantapan agregat tanah di kawasan tadah hujan Lombok rata-rata adalah 39,70 % yang tergolong tidak mantap. Adapun kisaran nilai kemantapan agregat tanah tersebut adalah minimum 22.78 (tidak mantap) hingga nilai maksimum 97.09 (sangat mantap). Walaupun hasil pengukuran nilai kemantapan agregat tersebut ada yang tergolong sangat mantap, akan tetapi secara keseluruhan wilayah tersebut didominasi oleh nilai stabilitas agregat yang tidak mantap. Nilai KK kemantapan agregat tersebut adalah 35,82 yang menunjukkan bahwa kemantapan agregat di kawasan Vertisol tadah hujan memiliki nilai yang beragam. Kandungan kapur (CaCO3) Vertisol di kawasan tersebut menunjukkan nilai yang berkisar antara 4,75% sampai 13,08%. Keberadaan kapur dalam tanah terkait dengan bahan induk. Vertisol berupa batu kapur (kalsit ataupun dolomit). Disamping itu, keberadaan kapur juga dapat dikaitkan dengan stabilitas struktur tanah melalui ion Ca++ yang dapat bertindak sebagai jembatan kation (Tisdall dan Oades, 1982; Chan and Henan, 1999) dalam proses agregasi. Persen sodium tertukar (ESP) Vertisol tadah hujan Lombok berkisar antara 1,76 hingga 9,05%. Menurut Landon (1984) nilai ESP = 15% adalah merupakan batas antara tanah sodik dengan tidak sodik. Dengan demikian, Vertisol tadah hujan lombok tidak dipengaruhi oleh kondisi sodik. Daya hantar listrik (1:5 tanah: air) rata-rata dari tanah tersebut adalah 81,3 μS/cm, dengan kisaran antara 34,1 sampai 219,0 μS/cm. Angka tersebut menunjukkan bahwa Vertisol tadah hujan Lombok termasuk dalam kategori bebas garam. Menurut Landon (1984) tanah dengan nilai EC (electrical conductivity) ≤ 2000 μS/cm merupakan tanah yang bebas dari pengaruh garam atau kondisi sodik. Pengamatan lapangan yang dilakukan pada akhir musim kemarau tahun 2009, menunjukkan Agroteksos Vol.21 No.2-3, Desember 2011 124 bahwa Vertisol tadah hujan Lombok sedang mengalami retakan atau pecah dengan lebar dan dalam yang bervariasi. Contoh kondisi tersebut diambil dari salah satu lokasi pengambilan contoh tanah, disajikan pada Gambar 1. Secara keseluruhan, lebar retakan berkisar 1 – 12 cm, dan kedalaman retakan antara 3 – 50 cm. Dari pengamatan tersebut tampak bahwa keberadaan vegetasi (saat pengamatan didominasi tanaman tembakau) cenderung memberikan retakan yang lebih sempit (1 – 3cm) dan lebih dangkal (3 – 20cm) dibandingkan dengan lebar retakan 6 – 7cm dan dalam 25 – 50cm pada Vertisol yang tidak bervegetasi. Hal ini diduga karena terciptanya iklim mikro yang lebih lembab sebagai akibat keberadaan kanopi tanaman di atas lahan yang bervegetasi. Dengan demikian, terpaan panas dari sinar matahari relatif masih dapat diredam oleh kanopi tanaman, sehingga dapat menekan laju evaporasi yang terjadi, dan retakan (cracking) yang terbentuk berukuran lebar maupun dalam lebih kecil. Elias et al. (2001) menyatakan bahwa terbentuknya retakan dapat meningkatkan kehilangan lengas tanah melalui evaporasi, semakin banyak kehilangan lengas tersebut, maka rekahan tanah yang terbentuk akan semakin lebar dan dalam. sehingga keberadaan ruang pori tidak dapat dipertahankan (Blanco-Cangui, et al., 2007). Vertisol tadah hujan Lombok memiliki stabilitas agregat berkisar antara harkat tidak stabil (nilai stabilitas agregat 22,78 - 39,54%) hingga sangat stabil (nilai stabilitas agregat 83,33 -97,09%). Agregat sangat stabil tersebut hanya menempati areal seluas 244 ha atau hanya 1,93% dari kawasan Vertisol tadah hujan Lombok, yaitu di wilayah Desa Kabul dan sekitarnya dan Desa Rembitan dan sekitarnya. Sebaliknya, lahan dengan agregat tidak stabil (nilai stabilitas agregat 22,78 – 39,54%) hingga kurang stabil (nilai stabilitas agregat 40,35 – 48,55%) tersebar pada wilayah dengan luas sekitar 10.513 ha atau 83 % dari total wilayah Vertisol tadah hujan Lombok. Sisanya yaitu tanah dengan stabilitas agregat agak stabil (nilai stabilitas agregat 53,76 – 64,93%) dan stabil (nilai stabilitas agregat 68,03 – 70,72%) hanya menempati areal seluas 1886 ha atau sekitar 15 % dari luas total lahan Vertisol tadah hujan. Lahan dengan nilai kemantapan agregat tanah yang tidak mantap dicirikan oleh kandungan Corganik tanah yang rendah. Caravaca at al. (2001) melaporkan bahwa aplikasi bahan organik secara nyata dapat meningkatkan kemantapan agregat tanah. Hubungan kemantapan agregat Vertisol Lombok dengan sifat-sifat tanah Gambar 1. Penampakan Vertisol tadah hujan Lombok di akhir kemarau (September 2009) Kemantapan Agregat Vertisol Tadah Hujan Lombok Paradigma kegiatan pertanian konservasi mempersyaratkan agregat yang mantap agar tidak mudah hancur jika bersinggungan dengan air. Pada agregat mantap, air, udara dan unsur hara dapat tersedia secara optimal bagi tanaman. Sebaliknya, agregat yang tidak mantap akan mudah hancur saat bersinggungan dengan air I.G.M. Kusnarta dkk: Beberapa faktor yang … Hasil analisis regresi berganda dengan Best Subset Regression (BSR) menunjukkan, bahwa kemantapan agregat Vertisol tadah hujan Lombok secara nyata berkorelasi dengan kadar C-organik tanah, nilai COLE, kadar lempung, dan kadar kapur (Tabel 2) dengan R2 berturutturut 0,79; 0,78; 0,76; dan 0,71. Akan tetapi, korelasinya tidak nyata dengan persen sodium tertukar (ESP) dengan R2 0,42. Nilai probabilitas (P), yang ditetapkan menggunakan analisis regresi program Costat, terhadap masing-masing variabel tersebut adalah: P = 0,0001 untuk Corganik; COLE (Coefficient of Linier Extendsibility) dengan P = 0,0001; P = 0,0001 untuk kadar lempung; dan kadar kapur CaCO3 dengan P = 0,001; sedangkan untuk persen sodium tertukar (ESP) memiliki nilai P = 0,096 (NS). Dengan demikian, kandungan bahan organik tanah, sifat kembang-kerut (COLE), kandungan lempung dan kadar kapur (CaCO3) tanah adalah merupakan faktor-faktor dominan dalam penentuan sifat agregat tanah pada Vertisol, sehingga sangat penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan Vertisol tadah hujan Lombok dalam upaya menciptakan struktur tanah yang stabil. Persamaan matematis 125 hubungan antara stabilitas agregat dengan semua variabel tersebut adalah: Stab.Agregat = 48,4 – 454 COLE + 1,13 Lempung + 8,83 C-Org – 2.13 CaCO3 + 0.39 ESP (R2=0,92) .(1) Pengaruh masing-masing faktor tunggal penentu kemantapan agregat Vertisol tadah hujan Lombok dapat dinyatakan dengan persamaan-persamaan berikut: Stab.Agregat = - 18,0 + 74,4 C_org. (R2 = 0,793, P=0,0001)................. (2) Stab.Agregat = 104 - 571 COLE (R2 = 0,783, P=0,0001)..........................(3) Stab.Agregat = - 43,5 + 1,81 Lempung (R2 = 0,759, P=0,0001)...............(4) Stab.Agregat = - 12,9 + 6,29 CaCO3 (R2 = 0,706, P=0,001)..................(5) Bahan organik banyak dilaporkan dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah (Amezketta, 1999; Wuddivira et al., 2009). Hal ini karena keberadaan bahan organik dalam tanah dapat berperan sebagai bahan perekat butir tanah primer dalam proses agregasi membentuk agregat mikro. Selanjutnya dalam proses agregasi berikutnya, agregat-agregat mikro berikatan satu dengan yang lain membentuk agregat makro, dengan ikatan di dalam agregat mikro lebih kuat dibandingkan dengan ikatan antara agregat makro (Edwards dan Bremner, 1967). Di samping itu, bahan organik dilaporkan dapat memperlambat pembasahan individu agregat melalui peningkatan daya kohesi dan menutup pori-pori agregat tanah sehingga terhindar dari proses pemisahan atau slaking (Chenu et al., 2000, Wuddivira et al., 2009). Koefisien pengembangan linear atau COLE memiliki peran yang nyata dalam menentukan kemantapan agregat Vertisol tadah hujan Lombok. Semakin tinggi nilai COLE maka semakin tinggi pula peluang agregat Vertisol tersebut mengalami pemisahan atau disintegrasi atau slacking. Hal ini diduga karena berkaitan dengan kecepatan pembasahan agregat, yaitu semakin tinggi nilai COLE, maka kecepatan pembasahan agregat (rate of aggregate wettability) akan semakin tinggi, sehingga berpotensi semakin tinggi dalam proses pemisahan agregat sekaligus menurunkan kemantapan agregat. Lado et al. (2004) melaporkan bahwa pada saat tanah mengalami pembasahan cepat (fast wetting) akan terjadi pengembangan (swelling) dan jumlah udara yang terperangkap diantara agregat tanah akan semakin besar, sehingga terjadi peningkatan energi pemisahan antar partikel tanah atau antar agregat tanah, sehingga menyebabkan pemisahan atau slacking. Kemantapan agregat Vertisol tadah hujan Lombok sangat erat terkait dengan kandungan lempung (clay) tanah. Hal ini dapat terjadi karena lempung dapat meningkatkan daya kohesi antar agregat (Wuddivira et al., 2009). Disamping itu, lempung dapat meningkatkan kemantapan agregat tanah melalui peningkatan ketahanan terhadap daya penghancuran oleh proses pembasahan (Amezketa, 1999). Akan tetapi, pengaruh kadar lempung dalam meningkatkan stabilitas agregat tanah, juga ditentukan oleh jumlah kandungan bahan organik tanah (Wuddivira et al, 2009). Mekanisme yang bertanggung-jawab terhadap perbaikan struktur tanah akibat pengaruh kapur belum sepenuhnya terungkap. Akan tetapi, banyak dilaporkan bahwa kapur melalui kation polivalennya (Ca++) dapat bertindak sebagai jembatan kation dalam proses agregasi yang akhirnya dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah (Chan and Heenan, 1999). Vertisol tadah hujan Lombok ternyata tidak dipengaruhi secara nyata oleh persen sodium tertukar (ESP). Hal ini diduga disebabkan karena kandungan Na tanah tersebut antara 0,77 – 2,83 me% dan nilai ESP antara 1.76% – 9.05% yang menurut kriteria Landon (1984) ada dalam kategori rendah, sehingga tidak cukup untuk memberi pengaruh yang nyata terhadap stabilitas agregat Vetisol tadah hujan Lombok. Interaksi lempung & C-organik mempengaruhi stabilitas agregat tanah dalam Hasil analisis regresi berganda menunjukkan ada interaksi nyata antara kandungan lempung dan C-organik tanah dalam menentukan stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok (Gambar 2). Persamaan regresi hubungan interaksi tersebut adalah : Stabilitas agregat = 40,6 – 0,5 Lempung – 51,0 C-org. + 1,7 (Lempung x C-org.) (R2= 80,8; p=0,0001) Agroteksos Vol.21 No.2-3, Desember 2011 126 Tabel 2. Hasil analisis “BSR” hubungan stabilitas agregat Vertisol dengan beberapa sifat-sifat tanah. Var. X 1 1 1 1 1 5 R2 0,793 0,783 0,759 0,706 0,419 0,919 Probabilitas (P) C-org (%) 0,0001 x 0,0001 0,0001 0,001 0,096 x Variabel fisika dan kimia tanah COLE Lempung (%) CaCO3 (%) ESP (%) x x x x x x x x KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Gambar 2. Interaksi kandungan lempung dan 100 x C-orgaik tanah terhadap stabilitas agregat Interaksi C-organik dengan kadar lempung dalam meningkatkan kemantapan agregat Vertisol terlihat dari tingginya nilai koefisien determinasi (R2) persamaan regresi berganda kedua variabel tersebut yaitu sebesar 0,81 dengan nilai pobabilitas (p) pada ANOVA adalah p= 0,0001. Semakin tinggi kandungan lempung bersama-sama dengan peningkatan kandungan bahan organik tanah menyebabkan semakin tinggi kemantapan agregat Vertisol. Hal tersebut sejalan dengan hasil temuan Wuddivira et al. (2009), bahwa peningkatan kandungan lempung hingga 45%, dapat meningkatkan kemantapan agregat jika diikuti oleh peningkatan kandungan bahan organik tanah hingga mencapai harkat tinggi (> 3%). Dengan demikian, hasil temuan ini mengindikasikan bahwa Vertisol tadah hujan Lombok yang memiliki kandungan lempung tinggi rata-rata 45,82% (Tabel 1) berpeluang sangat tinggi untuk dapat ditingkatkan kemantapan agregat tanahnya, antara lain, melalui peningkatan kandungan bahan organik. I.G.M. Kusnarta dkk: Beberapa faktor yang … 1. Terdapat hubungan yang kuat antara stabilitas agregat dan beberapa sifat fisik dan kimia tanah, dengan persamaan: Stabilitas agregat = 48,4 – 454 COLE + 1,13 Lempung + 8.83 C-organik – 2,13 CaCO3 + 0,388 ESP (R2= 0,92). 2. Stabilitas agregat Vertisol tadah hujan Lombok secara nyata berkorelasi dengan kandungan C-organik, sifat kembang-kerut (COLE), kadar lempung, dan kapur (CaCO3), tetapi tidak berkorelasi secara nyata dengan persen sodium tertukar (ESP). 3. Terdapat interaksi antara kandungan lempung dan bahan organik tanah dalam menentukan kemantapan agregat Vertisol tadah hujan Lombok, yang mengindikasikan bahwa bahan keberadaan bahan organik pada Vertisol tadah hujan Lombok sangat penting artinya dalam upaya perbaikan kemantapan agregat tanah tersebut. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, bahwa untuk meningkatkan kemantapan agregat Vertisol tadah hujan Lombok perlu mempertimbangkan penambahan bahan organik seperti pupuk kandang dan bahan pembenah anorganik, seperti pasir yang dapat mengendalikan nilai COLE. Pemberian bahan pembenah anorganik lainnya dapat dipertimbangkan untuk mengendalikan nilai ESP menggunakan bahan yang mengandung Ca++, seperti gipsum. UCAPAN TERIMA KASIH Kegiatan penelitian ini terselenggara atas dukungan dana dari Hibah Penelitian Program 127 Doktor melalui DIPA–UGM. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang setinggitingginya kepada LPPM-UGM atas bantuan yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA Adesodun, J.K., J.S.C. Mbagwu, and N.N. Oti, 2004. Distribution of carbohydrate pool in water-stable aggregate of an Ultisol in soutestern Nigeria. Int. Agrophysics, 18: 103109. Ahmad, N., 1983. Vertisol. In: L.P.Wilding, N.E. Smeck and G.F. Hall (Ed.), Pedogenesis and Soil Taxonomy II. The Soil Orders. Development in Soil Science IIB. Elsevier. Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo, pp. 91-123. Amezketta, E., 1999. Soil aggregate stability: A review. J. Sust. Agric., 14: 83-151. Annabi, M., S. Houot, C. Francou, M. Poitrenaud, and Y. Le Bissonnais, 2007. Soil aggreagate stability improvement with urban composts of different maturities. Soil Sci. Soc. Am. J. 71: 413-423. Bakosurtanal, 1999. Peta rupa bumi digital Indonesia skala 1:25.000, Edisi I, Lembar 1807. Bakosurtanal, Cibinong - Bogor. Bartoli, F., G. Burtin, and A.J. Herbillon, 1991. Disaggregation and clay dispersion of Oxisols: Na-resin, a recommended methodology. Geoderma, 49: 301-317. Blanco-Cangui, H., M.J. Lal, Shipitalo, 2007. Aggregate disintegration and Wettability for Long-Term Management Systems in the Nortern Appalachians. Soil Sci. Soc. Am. J. 71:759765. Bronick, C.J. and R. Lal, 2004. Soil structure and management: a review. Geoderma, 124: 3 – 22. Caravaca, F., A. Lax, and J. Albaladejo, 2001. Soil aggregate stability and organic matter in clay and fine silt fractions in Urban refuseamended semiarid soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:1235-1238. wettability and soil aggregate stability. Soil Sci. Soc. Am. J., 64: 1479-1486. Elias, E.A., A.A. Salih, and F. Alaily, 2001. Cracking patterns in the Vertisols of the Sudan Geziera at the end of dry season. Int. Agrophysics, 15: 151-155. Erguler, Z.A., and R. Ulusay, 2003. A simple test and predictive models for assessing swell potential of Ankara (Turkey) clay. Eng. Geol., 67: 331-352. Fan, Y., T. Lei, I. Shainberg, and Q. Cai, 2008. Wetting rate and rain depth effects on crust strength and micromorphology. Soil Sci. Soc. Amer. J., 72: 1604-1610. Gerard, C.J., 1987. Laboatory expeiment on the effect of antecedent moisture and residue application on aggrgation of different soils. Soil Till. Res., 9: 21-32. Hazelton, P.A.M., and B. Murphy, 2007. Soil Test Results – What do all numbers means?. CSIRO Publishing. Kariuki, P.C., and F. van der Meer, 2004. A unified swelling potential index for expansive soils. Eng. Geol. 72: 1-8. Kertonegoro, B.D., S.H. Suparnawa, S. Notohadisuwarno, S. Handayani, 1998. Panduan Analisis Fisika Tanah, Cetakan kedua. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Krisnayanti, B.D., 1996. Pengaruh Budidaya Sawah Terhadap Sifat Vertisol di Lombok. Tesis Master. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang. Lado, M., M. Ben-Hur, and I. Shainberg, 2004. Soil wetting and texture effect and texture effects on aggregate stability, seal formation and erosion. Soil Sci. Soc. Am. J., 68: 19921999. Landon, J.R., 1984. Booker Tropical Soil Manual. First Ed., Longman Inc., New York. Chan, K.Y., D.P. Heenan, 1999. Lime Induce Loss of Soil Organic Carbon and Effect on Aggregate Stability. Soil Sci. Soc. Am J. 63:1841-1944. Ma’shum, M., J.M. Tisdall, A.K. Borrell, B.M. McKenzie, J.S. Gill, I.G.M. Kusnarta, Mahrup, Sukartono, D.E. Van Cooten, 2009. Rice response to soil management in a ricebased cropping system in semi-arid tropics of Southern Lombok, Eastern Indonesia. Field Crops Research 110: 197-206. Chenu, C., Y. Le Bissonnais, and D. Arrouays, 2000. Organic matter influence on clay Nwadialo, B.E. and J.S.C. Mbagwu, 1991. Analysis of soil components active in Agroteksos Vol.21 No.2-3, Desember 2011 128 microaggregate stability. Soil Technol., 4: 343-350. II). Agronomy 9. Soil Sci. Soc. Amer., Inc. Madison, USA, p. 159-161. Oldeman, R.L., L Irsal, and Muladi, 1980. The agro-climatic maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, Bali, West and East Nusa Tenggara, Contrib. No.60. Centr. Res. Inst.Agrc., Bogor. Tisdall J.M. and J.M. Oades, 1982. Organic Matter and Water Stable Aggregates in Soils. Journal of Soil Science, 33: 141-163. Shainberg, I. and J. Letey, 1984. Response of soils to sodic and saline conditions. Hilgardia, 52: 1-57. Vaught, R., K.R. Brye, and D.M. Miller, 2006. Relationship among Coefficient of Linear Extensibility and Clay Fractions in Expansive, Stony Soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 70: 1983-1990. Sheldrick, B.H. and C. Wang, 1993. Particle Size Distribution. Soil Sampling and Methods of Analysis, M.R. Carter, Ed., Canadean Society of Soil Science. Lewis Publisher. Wuddivira, M. N., R.J. Stone, and E.I. Ekwue (2009). Clay Oganic Matter, and Wetting Efect on Spalsh Detachment and Aggegate Breakdown under Inense Rainfall. Soil Sci. Soc. Am. J., 73:226-232. Thomas, G.W., 1982. Exchangeable Cations. dalam Page, A.L., R.H. Miller and D.R. Keeney (Ed), Method of Soil Analysis (Part I.G.M. Kusnarta dkk: Beberapa faktor yang …