CONTINUING PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION Akreditasi PP IAI–2 SKP Penggunaan Obat Pelumpuh Otot di ICU Esther Kristiningrum Medical Department, PT Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia ABSTRAK Obat pelumpuh otot melumpuhkan/merelaksasi otot rangka dengan menghambat transmisi impuls saraf pada sambungan otot-saraf. Obat pelumpuh otot dibagi menjadi obat depolarisasi dan non-depolarisasi. Obat ini dapat bermanfaat di unit perawatan intensif (ICU) untuk berbagai kondisi klinik. Dokter sebaiknya memilih suatu obat pelumpuh otot berdasarkan farmakologi obat dan karakteristik individu. Monitoring klinis dan train-of-four (TOF) direkomendasikan untuk menurunkan risiko komplikasi terkait dengan obat pelumpuh otot. Kata kunci: Obat pelumpuh otot, ICU ABSTRACT Neuromuscular blocking agents (NMBAs) paralyze skeletal muscles by blocking nerve impulses at myoneural junction. It is categorized into depolarizing or nondepolarizing agents based upon their mechanism of action. These drugs may be useful in the intensive care unit (ICU) for a variety of clinical conditions. The clinician should choose an NMBA on the basis of drug pharmacology and individual characteristics. Both clinical and train-of-four (TOF) monitoring was recommended to reduce risk of complication associated with NMBA. Esther Kristiningrum. The Use of Neuromuscular Blocking Agents in ICU. Keywords: Neuromuscular blocking agents, ICU PENDAHULUAN Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat merelaksasi otot rangka dengan menghambat transmisi impuls saraf pada sambungan otot-saraf. Obat pelumpuh otot tidak mempunyai efek sedasi, amnesia, atau analgesik.1 Menurut suatu survei dari 34 ICU sejak tahun 1980-an, 90% pasien dengan ventilasi mekanik mendapat obat pelumpuh otot. Suatu survei dari praktisi perawatan kritis di Kanada mencatat bahwa faktor paling penting untuk memilih obat pelumpuh otot yang spesifik adalah pengalaman dokter, lama kerja, mekanisme kerja, dan faktor spesifik pasien. Survei di US juga melaporkan bahwa pengalaman dan persepsi klinis merupakan alasan paling umum pemilihan suatu obat pelumpuh otot.2 ujung saraf, akan menyeberangi celah sinap ke motor endplate. Ikatan acetylcholine dengan reseptor nikotinik pada otot rangka menyebabkan perubahan konformasi reseptor yang meningkatkan permeabilitas membran miosit terhadap ion natrium, kalium, klorida, dan kalsium, serta melepaskan kalsium dari retikulum sarkoplasma, mengakibatkan transmisi potensial aksi dan depolarisasi yang menyebabkan kontraksi otot. Depolarisasi akan berhenti jika acetylcholine lepas dari reseptor. Acetylcholine kemudian akan berdifusi kembali ke ujung saraf atau dipecah oleh acetylcholinesterase. Obat pelumpuh otot secara struktur berkaitan dengan acetylcholine dan bekerja mempengaruhi ikatan acetylcholine pada motor endplate.1 MEKANISME KERJA OBAT PELUMPUH OTOT Sambungan saraf otot terdiri dari ujung saraf, celah sinap, dan motor endplate. Acetylcholine yang dilepaskan ke dalam celah sinap saat impuls saraf mencapai Obat pelumpuh otot dibagi menjadi obat depolarisasi dan non-depolarisasi berdasarkan pada mekanisme kerjanya. Obat pelumpuh otot depolarisasi mengikat reseptor kolinergik pada motor endplate, menyebabkan depolarisasi pada membran Alamat korespondensi 788 endplate diikuti dengan hambatan transmisi neuromuskuler. Otot refrakter terhadap depolarisasi ulangan hingga obat berdifusi dari reseptor ke sirkulasi dan dihidrolisis oleh pseudocholinesterase plasma.1 Obat pelumpuh otot non-depolarisasi secara kompetitif menghambat reseptor acetylcholine pada motor endplate. Ikatan obat dengan reseptor acetylcholine mencegah perubahan konformasi pada reseptor atau secara fisik menyumbat kanal ion, sehingga tidak timbul endplate potential.1 JENIS OBAT PELUMPUH OTOT2-5 A. Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi: Succinylcholine, merupakan obat pelumpuh otot depolarisasi yang digunakan untuk intubasi dan terapi laringospasme. Meskipun mempunyai onset sangat cepat (<1 menit) dan lama kerja singkat (7-8 menit), penggunaannya terbatas karena kerjanya tidak dapat dilawan oleh pemberian obat lain. Efek samping yang bermakna meliputi hipertensi, takikardi, bradikardi, aritmia ventrikel, hiperkalemia, dan yang email: [email protected] CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT lebih jarang, peningkatan tekanan intrakranial dan hipertermia maligna. B. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi: Obat pelumpuh otot non-depolarisasi mempunyai onset 1-5 menit (lebih lambat dibanding succinylcholine). Obat lama seperti tubocurarine lebih sering dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler dan hipotensi karena pelepasan histamin dibanding obat pelumpuh otot non-depolarisasi yang lebih baru. 1. Atracurium, merupakan obat turunan benzylisoquinoline dengan lama kerja sedang. Atracurium didegradasi dengan eliminasi Hoffman (autolisis) dan dengan hidrolisis ester, sehingga tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati. Asidosis dan hipotermia berat dapat menurunkan metabolisme obat, sehingga perlu penurunan dosis. Efek samping utama atracurium adalah hipotensi karena pelepasan histamin. 2. Cisatracurium, merupakan isomer atracurium dengan potensi 3 kali lebih kuat. Cisatracurium juga didegradasi dengan eliminasi Hoffman menjadi laudanosine, dan asidosis serta hipotermia memperlambat metabolismenya. Namun, karena potensinya lebih besar, cisatracurium diberikan dengan dosis lebih kecil, sehingga produksi laudanosine lebih sedikit, pelepasan histamin lebih rendah, dan efek samping kardiovaskuler lebih kecil. Penggunaannya di ICU terbatas karena onsetnya relatif lambat (3-6 menit). 3. Doxacurium, merupakan benzylisoquinoline kerja panjang dan obat pelumpuh otot yang poten. Eliminasinya oleh ginjal dan dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler yang rendah. Namun, pengalaman klinis dengan obat ini terbatas. 4. Metocurine, merupakan analog tubocurarine dan turunan benzylisoquinoline kerja panjang yang dieliminasi terutama oleh ginjal. Tidak umum digunakan di ICU karena cenderung menyebabkan hipotensi akibat pelepasan histamin serta hambatan ganglionik simpatetik, dan karena eliminasinya hampir seluruhnya tergantung pada fungsi ginjal yang adekuat. CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015 5. Mivacurium, merupakan benzylisoquinoline kerja singkat dengan onset sebanding atracurium, tetapi dengan lama kerja sepertiganya, karena hidrolisis yang cepat oleh pseudocholinesterase plasma. Gangguan fungsi ginjal atau hati dapat menekan aktivitas pseudocholinesterase, sehingga menyebabkan tertundanya eliminasi. Mivacurium dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler setelah pemberian dosis kecil, tetapi hipotensi yang disebabkan pelepasan histamin, dapat terjadi setelah injeksi bolus yang lebih besar. Informasi penggunaannya di ICU hanya sedikit dan tampaknya tidak lebih menguntungkan dibanding atracurium. 6. Pancuronium, merupakan turunan aminosteroid kerja panjang yang dimetabolisme menjadi senyawa 3-hydroxypancuronium di hati dan kemudian dieliminasi sebanding melalui urin dan empedu. Efek samping kardiovaskuler meliputi takikardi, hipertensi, dan peningkatan curah jantung akibat hambatan vagus. 7. Pipecuronium, merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja yang lebih panjang dibanding pancuronium dan terutama dieliminasi di ginjal. Tidak menyebabkan pelepasan histamin dan dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler yang minimal. 8. Vecuronium, merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja sedang. Dimetabolisme oleh hati menjadi 3 metabolit aktif, yang semuanya dieliminasi oleh ginjal. Efek samping kardiovaskuler minimal pernah dilaporkan pada penggunaan vecuronium. 9. Rocuronium, merupakan turunan aminosteroid dan kurang poten dibanding vecuronium, tetapi mempunyai onset cepat dan lama kerja singkat hingga sedang. Metabolit rocuronium hanya mempunyai 5% aktivitas hambatan neuromuskuler obat asal, sehingga tidak bermakna secara klinis. Rocuronium menawarkan keuntungan dibanding vecuronium pada dosis bolus untuk intubasi trakeal di ICU, khususnya jika succinylcholine dikontraindikasikan. Dieliminasi terutama oleh hati dan dikaitkan dengan sedikit efek samping kardiovaskuler. PENGGUNAAN OBAT PELUMPUH OTOT DI ICU Tujuan Obat pelumpuh otot bermanfaat di ICU untuk berbagai kondisi klinik meliputi intubasi emergensi, sindrom gawat napas akut, status asmatikus, peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tekanan intraabdominal, dan hipotermia terapeutik setelah henti jantung terkait fibrilasi ventrikel.2 Menurut panduan ICU yang dipublikasikan Critical Care Medicine 2002, obat pelumpuh otot harus digunakan untuk pasien dewasa di ICU untuk manajemen ventilasi, manajemen peningkatan tekanan intrakranial, terapi spasme otot, dan penurunan konsumsi oksigen hanya jika semua cara lain telah dicoba tanpa keberhasilan (rekomendasi C).2 Penggunaan obat pelumpuh otot di ICU antara lain bertujuan untuk:1-4 • Memperbaiki sinkroni pasien-ventilator untuk meningkatkan pertukaran gas dan untuk mengurangi risiko barotrauma • Memfasilitasi ventilasi mekanik dan membantu oksigenasi, misalnya pada pasien dewasa dengan sindrom gagal napas, dengan memperbaiki kemampuan penyesuaian dinding dada, menurunkan tekanan jalan napas maksimal, dan mencegah gerakan pernapasan yang tidak terkoordinasi • Memfasilitasi intubasi trakeal • Mengontrol peningkatan tekanan intrakranial, misalnya setelah cedera kepala, bedah saraf • Mencegah gerakan yang tidak diinginkan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial • Menurunkan tonus otot pada tetanus, sindrom neuroleptik maligna, status epileptikus • Memfasilitasi prosedur dan tes: transportasi pasien inter dan intra-rumah sakit, bronkoskopi, trakeostomi, MRI, CT scan. Pemberian Obat pelumpuh otot yang ideal untuk digunakan di ICU adalah obat yang menyebabkan relaksasi otot dengan onset cepat, dapat dititrasi, dan lama kerja tidak panjang agar dapat dilakukan penilaian 789 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT neurologi berulang, tidak menyebabkan efek buruk pada hemodinamik atau tidak menyebabkan efek samping kardiovaskuler dan fisiologi lainnya, eliminasi tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak menghasilkan metabolit aktif (metabolit dengan aktivitas penghambat neuromuskuler), tidak berinteraksi dengan obat lain atau tidak ada kecenderungan berakumulasi, dan stabil selama 24 jam untuk infus kontinu.3,4 Staf ICU harus dilatih dalam pemberian dan monitoring obat pelumpuh otot. Kontrol jalan napas yang adekuat, dukungan pernapasan mekanik, dan sedasi serta analgesia yang adekuat adalah esensial sebelum mulai terapi obat pelumpuh otot. Harus tersedia perlengkapan monitoring fungsi kardiorespirasi dan kemampuan menilai derajat relaksasi otot. Pemilihan obat pelumpuh otot harus didasarkan pada karakteristik individu setiap pasien:4 • Pasien dengan fungsi hati dan ginjal normal yang memerlukan relaksasi otot lebih dari 1 jam: pancuronium. • Pasien dengan gangguan hati dan/atau ginjal: atracurium dan cisatracurium karena relatif tidak tergantung pada eliminasi hati dan ginjal. • Penyakit kardiovaskuler: vecuronium, doxacurium, pipecuronium, rocuronium. Obat pelumpuh otot diberikan dengan infus kontinu atau injeksi intravena intermiten. Obat pelumpuh otot kerja panjang cocok diberikan dengan injeksi intermiten, sedangkan obat pelumpuh otot kerja singkat cocok diberikan secara infus kontinu. Blokade neuromuskuler total (100%) tidak diperlukan untuk semua pasien, tergantung situasi klinis. Lebih tepat memikirkan kontrol pasien dibanding besarnya relaksasi otot pasien.5 Dianjurkan monitoring klinis dan train-offour (TOF) (rekomendasi B). Penilaian klinik berulang, baik kualitatif maupun kuantitatif dari kedalaman hambatan neuromuskuler dapat menyebabkan penurunan dosis obat pelumpuh otot dan penurunan risiko komplikasi hambatan neuromuskuler residual. Dokter harus mengevaluasi alasan (minimal setiap hari) dan kedalaman hambatan neuromuskuler (secara terusmenerus), sehingga mobilitas dapat tercapai lebih cepat, yang dapat menurunkan prevalensi delirium, meningkatkan ketidaktergantungan fungsional, dan meningkatkan hari-hari bebas ventilator.2 Dianjurkan menggunakan stimulasi tetanik atau train-of-four (TOF) untuk stimulasi saraf perifer dalam monitoring derajat hambatan neuromuskuler. Kedalaman hambatan dinilai dengan stimulasi saraf perifer setiap 2-3 jam hingga dosis obat pelumpuh otot stabil, kemudian setiap 8-12 jam. Jika tidak ada kedutan otot, dosis diturunkan 10%, jika tampak 3 atau 4 kedutan otot, dosis ditingkatkan 10%.5 Pada pasien yang mampu menoleransi interupsi hambatan neuromuskuler, infus obat pelumpuh otot sebaiknya diinterupsi setiap hari untuk menilai fungsi motorik dan tingkat sedasi.2 Kerja obat pelumpuh otot non-depolarisasi dapat dilawan dengan pemberian obat anticholinesterase seperti neostigmine 0,035-0,07 mg/kgBB. Efek samping anticholinesterase dapat dicegah dengan pemberian atropine 15 mcg/kgBB.5 Efek Samping Efek samping anafilaksis karena obat pelumpuh otot sangat jarang terjadi. Efek samping kardiovaskuler dikaitkan dengan stimulasi atau hambatan sistem saraf otonom dan efek vasodilatasi akibat pelepasan histamin. Obat dengan risiko komplikasi kardiovaskuler terendah adalah cisatracurium, doxacurium, pipecuronium, rocuronium, dan vecuronium.5 Obat yang tergantung pada bersihan ginjal (doxacurium, metocurine, pancuronium, pipecuronium) dapat berakumulasi pada pasien gagal ginjal jika tidak dilakukan penyesuaian dosis terhadap respons stimulasi saraf perifer dan dapat menyebabkan hambatan neuromuskuler berlanjut selama 1 minggu setelah pemberian obat dihentikan.5 Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot setelah penghentian obat disebabkan oleh akumulasi obat dan/atau metabolit aktif, atau miopati akut. Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot dapat menyebabkan sindrom miopati akut dengan hilangnya filamen miosin selektif. Obat pelumpuh otot yang menghasilkan metabolit aktif adalah pancuronium, vecuronium, dan atracurium. Kebanyakan kasus miopati terjadi setelah pemberian terapi kombinasi corticosteroid dengan obat pelumpuh otot.4,5 SIMPULAN Obat pelumpuh otot bermanfaat di ICU untuk berbagai kondisi klinik meliputi intubasi emergensi, sindrom gawat napas akut, status asmatikus, peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tekanan intraabdominal, dan hipotermia terapeutik setelah henti jantung terkait fibrilasi ventrikel. Obat pelumpuh otot yang ideal untuk digunakan di ICU adalah obat dengan onset cepat, dapat dititrasi, dan lama kerja tidak panjang, tidak menyebabkan efek samping kardiovaskuler dan fisiologi lainnya, eliminasi tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak menghasilkan metabolit aktif, tidak berinteraksi dengan obat lain atau tidak ada kecenderungan berakumulasi, dan stabil selama 24 jam untuk infus kontinu. Pemilihan obat pelumpuh otot harus didasarkan pada farmakologi obat pelumpuh otot dan karakteristik individu setiap pasien. Penilaian klinik berulang, baik kualitatif maupun kuantitatif dari kedalaman hambatan neuromuskuler dapat menurunkan risiko komplikasi dari hambatan neuromuskuler residual. DAFTAR PUSTAKA 1. Tietze KJ, Parsons PE, Finlay G. Use of neuromuscular blocking medications in critically ill patients [Internet]. 2015 [cited 2015 Feb 2]. Available from: http://www.uptodate.com/contents/ 2. Greenberg SB, Vender J. The use of neuromuscular blocking agents in the ICU. Where Are We Now? Crit Care Med. 2013; 41(5): 1332-44. 3. Tripathi SS, Hunter JM. Neuromuscular blocking drugs in the critically ill. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2006; 6(3): 119-23. 4. Clinical practice guidelines for sustained neuromuscular blockade in the adult critically ill patient. ASHP therapeutic guidelines [Internet]. 2000 [cited 2012 Nov 23]. Available from: http:// www.ashp.org/doclibrary/bestpractices/tgnmb.aspx 5. 790 Jani CK. Use of neuromuscular blocking agents in ICU. Medicine Update 2012; 22: 691-4. CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015