identifikasi sifat aroma tanaman padi menggunakan marka

advertisement
IDENTIFIKASI SIFAT AROMA TANAMAN PADI
MENGGUNAKAN MARKA BERBASIS GEN AROMATIK
BAMBANG PADMADI
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRAK
BAMBANG PADMADI. Identifikasi Sifat Aroma Tanaman Padi Menggunakan
Marka Berbasis Gen Aromatik. Dibimbing oleh DJAROT SASONGKO
HAMISENO dan TRI JOKO SANTOSO.
Padi sebagai komoditi dasar dapat dibedakan menjadi padi aromatik dan
nonaromatik. Perbedaan tersebut didasarkan pada delesi gen pada kromosom 8.
Metode konvensional seperti pengecapan merupakan metode yang sering
digunakan untuk mendeteksi sifat aroma padi. Marka molekuler berbasis gen
merupakan metode baru untuk identifikasi padi aromatik secara akurat dan
mempersingkat waktu analisis. Tujuan penelitian ini untuk membedakan jenis
padi varietas aromatik dan nonaromatik menggunakan marka molekuler berbasis
gen aromatik. Materi genetik padi berupa DNA diisolasi menggunakan metode
CTAB dengan cara memecah dinding sel dan mengeluarkan isi sel serta
mengendapkan bagian DNAnya. Amplifikasi DNA dilakukan dengan mesin PCR
menggunakan primer yang spesifik terhadap sekuen DNA padi aromatik dan
hasilnya diperiksa dengan elektroforesis gel agarosa 1.5 %. Amplifikasi
menggunakan primer Bradbury menghasilkan ukuran pita 580 bp dan 355 bp
untuk padi nonaromatik serta 580 bp dan 257 bp untuk padi aromatik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola pita DNA padi aromatik dan nonaromatik
menggunakan primer Bradbury tidak seluruhnya dapat dibedakan. Pola pita yang
dapat dibedakan adalah varietas Mentik Wangi dan Gunung Perak. Sedangkan
hasil amplifikasi menggunakan primer RM223 dapat membedakan pola pita padi
aromatik dan nonaromatik dengan ukuran pita sebesar 120 bp-160 bp.
ABSTRACT
BAMBANG PADMADI. Identification of Rice Aromatic Properties Using
Molecular Aromatic Gene-based Marker. Under the direction of DJAROT
SASONGKO HAMISENO and TRI JOKO SANTOSO.
Rice as a basic commodity can be distinguished between aromatic and
nonaromatic. Its different based on gene deletion at chromosom 8. Conventional
methods like assessment was method which frequently uses to detect aromatic
characteristic of rice. Molecular gene based marker was new method to identify
aromatic rice accurately and shorthen analyzing time. The purpose of this research
is to distinguish the type of aromatic and nonaromatic variety using aromatic
gene-based marker. DNA as rice genetic material was isolated from leaves using
CTAB method which broke the cell wall and release the components thus
precipitated the DNA. DNA amplification conducted by PCR machine using
specific aromatic primer and the result verified by 1.5 % gel agarose
electrophoresis. The result of Bradbury primer obtained size of band about 580
bp and 355 bp for nonaromatic, also 580 bp and 257 bp for aromatic. Mentik
Wangi and Gunung Perak variety could distinguish to band pattern. Furthermore,
RM223 primer can be differentiate both of patterns of aromatic and nonaromatic
rice by the band size about 120 bp to 160 bp.
IDENTIFIKASI SIFAT AROMA TANAMAN PADI
MENGGUNAKAN MARKA BERBASIS GEN AROMATIK
BAMBANG PADMADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul
Nama
NRP
: Identifikasi Sifat Aroma Tanaman Padi Menggunakan Marka
Berbasis Gen Aromatik
: Bambang Padmadi
: G84053003
Disetujui
Komisi Pembimbing
Drs. Djarot Sasongko H.S., M.S.
Ketua
Dr. Tri Joko Santoso
Anggota
Diketahui
Dr. drh. Hasim, DEA
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini.
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler, Kelompok
Peneliti Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) dari bulan Maret
sampai Juni dengan judul Identifikasi Sifat Aroma Tanaman Padi Menggunakan
Marka Berbasis Gen Aromatik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. Djarot Sasongko HS, MS. dan
Dr. Tri Joko Santoso atas bimbingan dan saran-saran yang diberikan. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada dosen-dosen biokimia, staf biokimia dan
peneliti BB Biogen atas semua bantuannya. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Kartika Findy yang selalu membantu pencarian pustaka untuk penulisan
skirpsi ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Aderama Ilhami dan
Nurani Pertiwi sebagai rekan kerja yang banyak membantu dalam kegiatan
penelitian.
Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua
dan kakak tercinta atas perhatian, kasih sayang dan doanya. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang
biokimia.
Bogor, Agustus 2009
Bambang Padmadi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonogiri, Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember
1986 dari ayahanda Martoswito dan ibunda Sakem. Penulis merupakan anak ke
empat dari empat bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1
Wonogiri dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan Praktik
Lapangan di Laboratorium Mikrobiologi PT Frisian Flag Indonesia (PT FFI)
Jakarta selama periode Juli sampai dengan Agustus 2008 dengan judul Kontrol
Mutu Susu Bubuk terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Disamping itu penulis
aktif menjadi pengurus himpunan profesi (Himpro) Biokimia, Community of
Research and Education in Biochemistry (CREBs), pada Departemen
Pengembang Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) periode 2006/2007 dan periode
2007/2008. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Biokimia Umum untuk
Mahasiswa S1 departemen Biologi dan Teknologi Hasil Perikanan, serta asisten
praktikum mata kuliah Biokimia Klinis untuk mahasiswa S1 Biokimia tahun
ajaran 2008/2009. Penulis juga aktif sebagai pengajar (I-Smart) bimbingan belajar
PRIMAGAMATM untuk mata pelajaran Matematika SD, SMP, dan SMA dari
tahun 2007 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
ix
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Padi Aromatik dan Nonaromatik..........................................................
Metode deteksi Padi Aromatik dan Nonaromatik ................................
Marka Molekuler ................................................................................
Polymerase Chain Reaction (PCR) ......................................................
Elektroforesis ......................................................................................
1
3
4
5
6
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ....................................................................................
Metode Penelitian ................................................................................
7
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kualitas DNA Padi ....................................................................... 9
Amplifikasi DNA Menggunakan Primer Bradbury .............................. 10
Amplifikasi DNA dengan Kombinasi Primer ..................................... 11
Amplifikasi DNA dengan Primer RM223 ............................................ 11
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12
LAMPIRAN ................................................................................................... 14
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perbandingan sifat-sifat morfologik dan fisiologik ras padi ......................... 2
2 Sekuen dan nama primer ............................................................................. 6
3 Pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA ............................................. 9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Contoh varietas padi aromatik dan nonaromatik .......................................
2
2 Perbandingan sekuen DNA padi aromatik dan nonaromatik ......................
3
3 Tahapan amplifikasi DNA ........................................................................
6
4 DNA belum dimurnikan ........................................................................... 10
5 DNA sudah dimurnikan ............................................................................ 10
6 Pola amplifikasi, kombinasi primer, dan ukuran ......................................... 10
7 Pola pita DNA menggunakan primer Bradbury ........................................ 11
8 Pola pita DNA menggunakan kombinasi primer ....................................... 12
9 Pola pita DNA menggunakan primer RM223 ............................................ 12
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tahapan alur penelitian ............................................................................ 15
2 Isolasi DNA Daun Padi Menggunakan Metode CTAB ............................. 16
3 Pengenceran Konsentrasi DNA ................................................................ 17
1
PENDAHULUAN
Padi merupakan tanaman pangan
penting yang ditanam hampir sepertiga dari
jumlah total bahan pangan di dunia. Padi
juga menyediakan bahan pangan pokok dan
35-60% kalorinya dikonsumsi lebih dari 2.7
milyar penduduk dunia. Sekitar 80% total
jumlah padi yang ditanam, 55% merupakan
padi lahan sawah irigasi dan 25% sisanya
adalah padi tadah hujan yang berada pada
dataran rendah (Gorantla et al 2005).
Kebutuhan beras nasional pada tahun 2007
mencapai 30,91 juta ton dengan asumsi
konsumsi per kapita rata-rata 139 kg per
tahun.
Indonesia
dengan
rata-rata
pertumbuhan penduduk 1,7 persen per tahun
dan luas areal panen 11,8 juta hektar
dihadapkan pada ancaman rawan pangan
pada tahun 2030 (Pasaribu 2006).
Ketahanan
pangan
merupakan
program
utama
pemerintah
untuk
mencukupi kebutuhan pangan seluruh
penduduk. Program tersebut meliputi
ketersediaaan dan keterjangkauan pangan
dalam jumlah cukup serta bermutu. Target
dari program ketahanan pangan adalah
meningkatkan produksi padi nasional agar
seluruh kebutuhan beras dapat dipenuhi dari
dalam negeri. Usaha peningkatan produksi
padi
dilakukan
dengan
peningkatan
produktivitas padi di daerah yang belum
optimal. Kendala yang ditemui dalam usaha
peningkatan produktivitas padi tersebut
adalah terbatasnya terobosan teknologi baru
khususnya varietas unggul serta alih fungsi
lahan subur untuk kepentingan industri,
perumahan dan penggunaan lahan non
pertanian lainnya (Krisnamurthi 2006).
Kualitas jenis padi akan berpengaruh
pada selera makan masyarakat. Secara
umum masyarakat akan berusaha memilih
kualitas jenis padi yang baik. Salah satu
parameter yang menjadi tolak ukur
pemilihan kualitas jenis padi adalah sifat
aroma pada padi. Sifat aroma ini merupakan
salah satu keunggulan jenis padi. Namun
demikian, masyarakat masih merasa
kesulitan dengan terbatasnya jenis padi
aromatik pada pasaran. Hal tersebut
disebabkan oleh mahalnya padi aromatik
karena padi tersebut hanya bisa ditanam
pada kondisi tanah tertentu atau hanya dapat
ditanam pada daerah tertentu (Bradbury et al
2005).
Perkembangan
teknik
biologi
molekuler yang semakin pesat dapat menjadi
solusi terhadap kendala pengembangan
produktivitas padi serta mempermudah
pekerjaan analisis sampai pada tahap
molekuler. Marka molekuler (penanda
molekuler) merupakan salah satu contoh
perkembangan teknik biologi molekuler.
Bradbury et al. (2005) telah berhasil
mengidentifikasi
padi
aromatik
dan
nonaromatik berdasarkan marka molekuler
berbasis gen badh2. Gen badh2 merupakan
gen penyandi aroma wangi yang terdapat
pada padi aromatik. Deteksi dini untuk
membedakan jenis padi aromatik dan
nonaromatik sangat diperlukan pada
pembibitan. Hal tersebut sangat membantu
peneliti dan petani dalam menentukan jenis
padi yang akan ditanam secara tepat.
Adanya perbedaan gen pada sekuen padi
aromatik dan nonaromatik dapat digunakan
untuk deteksi jenis padi tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Padi Aromatik dan Nonaromatik
Menurut
Tjitrosoepomo
(1923),
tanaman
padi
(Oryza
sativa
L.)
diklasifikasikan
dalam
Divisi
Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae,
Class
Monocotyledone,
Ordo
Poales/Glumiflorae,
Famili
Graminae,
Genus Oryza, dan Spesies Oryza sativa.
Menurut Manurung dan Ismunadji (1999),
akar tanaman padi digolongkan ke dalam
tipe akar serabut. Akar primer (radikula)
yang tumbuh
sewaktu berkecambah
selanjutnya akan digantikan oleh akar
adventif. Menurut Harahap et al. (1993)
daun tanaman padi tumbuh berselang-seling
pada batang, satu daun pada tiap buku. Tiap
daun terdiri atas (1) helai daun; (2) pelepah
daun yang membungkus ruas.; (3) telinga
daun (auricle); (4) lidah daun (ligule). Daun
teratas disebut daun bendera. Batang terdiri
atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku.
Daun dan tunas (anakan) tumbuh pada buku.
Pada permulaan stadia tumbuh hanya terdiri
atas pelepah-pelepah daun dan ruas yang
tertumpuk padat.
Secara umum padi dapat tumbuh di
daerah tropis/subtropis pada 45° LU sampai
45° LS dengan curah hujan yang baik adalah
200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun.
Di dataran rendah padi tumbuh pada
ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur
22-27 °C sedangkan di dataran tinggi 6501500 meter dpl dengan temperatur 19-23 °C.
Tipe pertumbuhan padi adalah tegak dan
merumpun. Umur berbunganya beragam
2
antara 70-75 hari setelah tanam (HST)
tergantung
varietasnya.
Pembungaan
dipengaruhi oleh lama penyinaran dan suhu.
Biasanya terjadi pada hari cerah antara jam
10-12 dengan suhu berkisar antara 30-32 °C.
Waktu pemasakan kariopsis menjadi benih
dan siap untuk dipanen hasilnya ± 25 hari
setelah penyerbukan dan tergantung varietas.
Umur padi antar varietas beragam, rata-rata
umur padi 100-150 HST. Padi yang berumur
100 HST tergolong genjah, 116-125 HST
tergolong setengah genjah, 126-135 HST
tergolong setengah dalam, 135-150 HST
tergolong dalam dan lebih dari 150 HST
tergolong dalam sekali (Siregar 1981).
Dari sekian banyak spesies padi,
Oryza sativa L merupakan salah satu spesies
yang dibudidayakan di Asia sedangkan
Oryza glaberrima steund adalah salah satu
yang dibudidayakan di Afrika (Manurung &
Ismunadi 1999). Berdasarkan pengamatan
dan studi yang dilakukan oleh Lu dan Chang
(1980) disimpulkan bahwa Oryza sativa dan
Oryza glaberrima berasal dari leluhur yang
sama, yaitu Oryza perenis Moench. Proses
evolusi kedua spesies tersebut berkembang
menjadi tiga ras ekogeografik, yaitu Indika,
Japonika, dan Javanika. Masing-masing ras
memiliki beberapa varietas, di antaranya: (1)
varietas
Cisadane,
Gajah
Mungkur,
Membramo, dan IR64 termasuk ke dalam
ras Indika, (2) varietas Nipponbare,
Tsukinohikari, Asonohikari, dan Koshikari
termasuk ke dalam ras Japonika, (3) varietas
Rojo lele, Ciherang, dan Pandanwangi
termasuk ke dalam ras Javanika. Perbedaan
ketiga ras tersebut dapat dilihat pada Tabel
1. Secara umum sifat-sifat padi tersebut
berbeda pada setiap rasnya. Perbedaan
tersebut meliputi warna daun, gabah, jumlah
anakan, jaringan batang, kerontokan, serta
kandungan amilosa.
Tabel 1 Perbandingan beberapa sifat-sifat
morfologik dan fisiologik ras padi
Komponen Indika
Japonika Javanika
Daun
Lebar,
Sempit,
Lebar,
hijau
hijau tua hijau
muda
Gabah
Pendek,
Pendek,
Panjang,
pipih
bulat
lebar,
Anakan
Banyak
Sedang
Sedikit
Jaringan
Lunak
Keras
Keras
Batang
SedangSedangTinggi
tinggi
pendek
Kerontokan Mudah
Sedikit
Sedikit
rontok
rontok
rontok
Amilosa
23-31%
10-24 % 20-25%
Padi aromatik merupakan bagian kecil
yang istimewa dari kelompok padi karena
memiliki mutu beras yang baik. Mutu beras
(terutama mutu kimia beras), suatu varietas
sangat mempengaruhi penerimaan petani
dan luas areal tanam varietas tersebut. Beras
dengan mutu kimia yang baik, yaitu
aromatik dan tekstur nasi pulen sangat
disukai oleh konsumen dan mempunyai
harga yang tinggi. Oleh karena itu, selain
produksi tinggi, meningkatkan mutu beras
pada varietas unggul baru merupakan salah
satu tujuan utama para pemulia tanaman
(Krishnan & Okita 1986). Varietas padi jenis
aromatik terdiri atas varietas Sintanur,
Gilirang, Pulu Mandoti, Pare Bau, Gunung
Perak, Pinjan, Celebes, Pandan Wangi, Pare
Kembang, Rojo Lele, Cianjur, Mentik
Wangi Kristal, Mentik Wangi Susu, dan Situ
Patenggang. Sedangkan untuk varietas
nonaromatik contohnya adalah Ciherang,
IR64, Niponbare, T309, Fatmawati, Situ
Bagendit, Andel Rojo, Andel Lombok (beras
merah) untuk tepung, dan Andel Lombok
(beras merah) untuk konsumsi langsung.
Penampakan fisik dari padi aromatik dan
nonaromatik ditunjukkan oleh Gambar 1.
Aroma pada padi disebabkan oleh
senyawa kimia yang mudah menguap. Hasil
penelitian menunjukkan lebih dari 114
senyawa terdapat pada padi aromatik
(Buterry et al. 1983). Namun demikian,
senyawa utama yang menyebabkan aroma
wangi pada padi adalah 2-asetil-1-pirolin
(Buttery et al. 1983; Paule & Powers 1989).
Hasil yang sama diperoleh Lin et al. (1990)
yang menyimpulkan bahwa 2-asetil-1pirolin merupakan penyebab aroma wangi
yang khas pada beras. Padi aromatik
mengandung senyawa 2-asetil-1-pirolin
lebih tinggi (0,04-0,07 ppm) dibanding padi
nonaromatik (0,004-0,006 ppm) (Adijono et
al. 1993). Hal yang sama dikemukakan oleh
Buttery et al. (1983) bahwa kandungan
senyawa 2-asetil-1-pirolin padi aromatik
mencapai 0,04 – 0,09 ppm, sepuluh kali jauh
lebih tinggi dibanding beras nonaromatik
yang hanya 0,004 – 0,006 ppm. Kandungan
2-asetil-1-pirolin padi aromatik 15 kali lebih
besar dibanding dengan padi nonaromatik.
Sifat aroma padi aromatik tidak hanya dapat
dicium pada nasi. Seringkali aroma dapat
tercium saat tanaman padi berbunga di
lahan. Aroma tersebut juga dapat dicium
pada butir padi yang baru dipanen, beras,
daun, batang, serta bunga padi (Mittal et al.
1995).
3
Pandan Wangi
Gambar 1 Contoh padi nonaromatik varietas
Ciherang dan padi aromatik
varietas Pandanwangi (Manurung
& Ismunadi 1999)
Studi genetik awal kelompok Ahn et
al. (1992) berhasil menemukan gen yang
mengendalikan sifat aroma pada lengan
panjang dari kromosom 8. Hasil penelitian
Bradbury et al. (2005) lebih mempersempit
wilayah genom untuk sifat aroma yang
disandikan oleh gen resesif. Dengan kata
lain, padi aromatik dan nonaromatik
mempunyai perbedaan susunan gen.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2. Varietas padi non aromatik
Nipponbare dan 93-11 (Gambar 2)
menunjukkan
sekuen
lengkap
pada
kromosom 8, sedangkan padi varietas
aromatik Azucena dan Basmati terjadi delesi
sebanyak
7
basa
nitrogen
yang
diganmbarkan sebagai tanda -. Identifikasi
jenis padi tersebut dilakukan dengan
beberapa tahap, yaitu: isolasi DNA daun
padi,
karakterisasi
DNA
dengan
spektrofotometri, amplifikasi DNA dengan
PCR, serta visualisasi hasil PCR dengan
elektroforesis gel agarosa.
Azucena
Basmati
Nipponbare
93-11
GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
GAAACTGGTAAAAAGATTATGGCTTCAGCT
GAAACTGGTAAAAAGATTATGGCTTCAGCT
22
22
30
30
JC157
GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
KDM105
GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
Arias
GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
JC120
GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
Khao_Kap_Xang_GAAACTGGTA-------TATA-TTTCAGCT
22
22
22
22
22
Azucena
Basmati
Nipponbare
93-11
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
45
45
53
53
JC157
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
KDM105
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
Arias
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
JC120
GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
Khao_Kap_Xang_GCTCCTATGGTTAAGGTTTGTTT
45
45
45
45
45
Arias and Khao Kap Xang : Tropical japonica
JC120: indica
JC157 : isozyme group V (Glaszmann 1987)
Gambar 2 Perbandingan sekuen DNA pada
tanaman padi aromatik dan
nonaromatik (Bourgis et al.
2008).
Metode Deteksi Padi Aromatik dan
Nonaromatik
Padi aromatik merupakan salah satu
sifat istimewa dari kelompok padi karena
memiliki mutu beras yang baik. Beras
dengan mutu kimia yang baik, yaitu aroma
dan tekstur nasi pulen sangat disukai oleh
konsumen. Permintaan terhadap padi
aromatik terus meningkat setiap tahunnya
walaupun harganya relatif lebih mahal bila
dibandingkan dengan padi nonaromatik.
Oleh karena itu, selain produksi tinggi,
peningkatan mutu beras pada varietas
unggul baru, juga dibutuhkan metode yang
dapat digunakan untuk mengidentifikasi
jenis padi aromatik dan nonaromatik.
Penelitian Buttery et al. (1983)
mengungkapkan bahwa rasa dan aroma yang
terdapat pada jenis padi Basmati dan
Jasmine dikaitkan dengan peningkatan 2asetil-1-pirolin. Sampai saat ini sudah
banyak metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi padi varietas aromatik dan
nonaromatik. Metode pertama kali yang
digunakan adalah metode panca indera yang
meliputi pengecapan /pengunyahan. Metode
tersebut telah membantu petani dalam
menyeleksi padi aromatik dan nonaromatik.
Seleksi padi dengan metode pengecapan
memiliki keterbatasan saat memproses
sampel dalam jumlah yang banyak. Sebagai
contoh, seleksi padi aromatik dan
nonaromatik dengan pengecapan merupakan
salah satu metode asli untuk menyeleksi
kualitas beras varietas aromatik di Australia
dan tetap masih merupakan prinsip untuk
mengidentifikasi dari berbagai aroma dalam
program pemeliharaan di seluruh dunia.
Sebuah panel analis digunakan untuk
mendeteksi sifat aromatik pada berbagi jenis
padi. Untuk setiap individu analis,
kemampuan untuk membedakan antara
sampel aromatik dan nonaromatik berkurang
pada setiap analis karena indera menjadi
jenuh atau terjadi kerusakan fisik akibat
lecet
pada
lidah
pada
saat
pengecapan/pengunyahan beras yang keras.
Oleh sebab itu, penggunaan metode ini
memiliki beberapa kelemahan seperti,
pekerjaan yang dilakukan sangat intensif,
sulit, subyektif/berbeda pada setiap individu
yang melakukan pengujian, dan tidak dapat
diandalkan (Badbury et al. 2005).
Identifikasi padi aromatik dan
nonaromatik juga dapat dilakukan dengan
metode kimia. Metode ini meliputi uji bau
yang melibatkan jaringan daun atau butir
padi bila dipanaskan dalam air atau dengan
4
menggunakan larutan pereaksi KOH atau
I2KI. Kelemahan metode ini adalah dapat
mengakibatkan kerusakan pada bagian
rongga nasal di hidung dan masih bersifat
subyektif. Metode lain yang digunakan
adalah mengidentifikasi senyawa aromatik
yang terdapat pada padi yaitu 2AP (2-asetil1- pirolin) menggunakan kromatografi gas.
Metode ini tidak lagi bersifat subyektif,
namun memerlukan jaringan sampel dalam
jumlah besar dan memakan waktu analisis
yang relatif lama (Lorieux et al. 1996).
Metode terbaru yang digunakan untuk
identifikasi padi aromatik dan nonaromatik
adalah menggunakan marka molekuler.
Penemuan baru dari sebuah penanda
molekular yang digunakan untuk melacak
adanya gen penyandi aroma. Penanda
molekuler adalah alat yang kuat untuk
mempelajari genetik berbagai model yang
berhubungan dengan ilmu pertanian.
Penanda molekuler digunakan secara luas
oleh pemulia tanaman karena menyediakan
informasi genetik yang sangat berguna pada
tingkat molekuler (Roy et al. 2006). Selama
ini pemanfaatan karakter morfologi masih
terbatas untuk identifikasi genotipe saja. Di
lain pihak, informasi jarak genetik dan
hubungan kekerabatan dari genotipegenotipe yang diuji sangat diperlukan untuk
memilih calon tetua untuk program
pemuliaan tanaman. Penanda isoenzim dan
molekuler DNA sangat strategis dan sangat
diperlukan (Sobir et al. 2008).
Marka molekuler seperti Single
Nucleotide Polymorphisms (SNP) dan
Simple Sequence Repeat (SSR) memang
mempunyai hubungan dengan gen aromatik
dan mempunyai beberapa kelebihan seperti
mudah, tidak mahal, metode deteksi cepat,
dan hanya membutuhkan sampel jaringan
dalam jumlah yang sedikit. Namun demikian
marka tersebut hanya berhubungan dengan
gen aroma, sehingga tidak dapat digunakan
untuk memprediksi satu sampel padi secara
akurat (Cordeiro et al 2002). Untuk
mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan
marka molekuler yang dapat membedakan
secara lebih spesifik. Marka lain yang
digunakan untuk mengidentifikasi padi
aromatik dan nonaromatik adalah marka
berbasis gen badh2. Marka ini dapat
langsung membedakan padi aromatik dan
nonaromatik berdasarkan ukuran gen. Padi
aromatik dan nonaromatik dibedakan
berdasarkan delesi gen pada kromosom 8
yang menyebabkan padi mempunyai sifat
aroma (Badbury et al. 2005).
Marka Molekuler
Perkembangan ilmu pengetahuan yang
sangat pesat dewasa ini, memungkinkan
saling
menunjangnya
perkembangan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Beberapa kemajuan tersebut antara lain
adalah
perkembangan
ilmu
biologi
molekuler
yang
memungkinkan
diperolehnya suatu marka (penanda) gen
yang mengendalikan karakter target
perbaikan dalam program pemuliaan
tanaman. Kemajuan ilmu pengetahuan yang
dicapai tersebut selanjutnya dimanfaatkan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dari seleksi. Penemuan teknik perolehan gen
yang mengendalikan suatu karakter sebagai
penanda atau marker molekuler, sangat
membantu proses seleksi dalam hal
efektifitas maupun efisiensi dari pelaksanaan
seleksi yang akan dilakukan. Marka
molekuler berdasarkan polimorfisme yang
terdeteksi pada tingkat makro molekul di
dalam sel (Gupta et al 1999). Salah satu
fungsi
marka
molekuler
(penanda
molekuler) adalah untuk menyeleksi sifat
yang diinginkan dari keturunan hasil
persilangan.
Metode
ini
melakukan
pelacakan sifat-sifat tanaman berdasarkan
DNA yang dimiliki tanaman. Salah satu
kelebihan dari metode ini adalah
mempersingkat pengujian tanaman. Jika
dengan cara konvensional diperlukan waktu
sedikitnya lima tahun, dengan cara ini hanya
diperlukan waktu paling lama tiga tahun.
Dengan marka molekuler, pada generasi
ketiga tanaman hasil persilangan sudah
stabil (Widodo 2003).
Penggunaan
marka
molekuler
memiliki potensi untuk digunakan sebagai
penanda dalam melakukan seleksi. Asumsi
yang digunakan dalam penggunaan marka
molekuler adalah marka molekuler yang
digunakan tersebut harus berkorelasi yang
sangat kuat dengan karakter yang menjadi
target seleksi. Dengan demikian maka
pelaksanaan seleksi dapat dilakukan lebih
efisien dan efektif. Untuk mengetahui
korelasi antara marka molekuler dengan
karakter target seleksi, maka perlu dilakukan
pengujian-pengujian sebelumnya untuk
menyatakan adanya korelasi yang kuat
tersebut. Disamping itu pemilihan jenis
marka molekuler yang akan digunakan
dalam
seleksi
perlu
mendapatkan
pertimbangan, apakah sesuai dengan fasilitas
dan materi yang dimiliki untuk melakukan
seleksi. Penyiapan atau purifikasi gen target
juga sangat menentukan keberhasilan dari
5
seleksi yang dilakukan. Kekeliruan dalam
pelaksanaan
ini
akan
menyebabkan
kekeliruan atau bias dari program seleksi
yang dilakukan (Widodo 2003).
Gupta et al. (1999) mengungkapkan
bahwa marka molekuler dibedakan menjadi
empat kelompok. Pengelompokan tersebut
berdasarkan prinsip dasar dan metodologi
dari marka molekuler yang dapat digunakan.
Marka molekuler kelompok pertama adalah
hibridisasi berdasarkan marka. Dalam
kelompok hibridisasi, metode yang dapat
digunakan adalah Restriction Fragment
Length
Polymorphisms (RLFP)
dan
Dispersed Repetitive DNA (drDNA). Teknik
RFLP merupakan sebuah teknik baru untuk
memonitor transfer gen dari sebuah
persilangan dan memiliki kemampuan untuk
mengklon gen produk yang belum diketahui.
Nearly isogenic lines (NIL) dapat digunakan
untuk identifikasi daerah kromosom yang
terdapat gen penyandi sifat tertentu. Bagian
NIL dihasilkan oleh introgresi gen dari tetua
donor ke dalam tetua lainnya secara
berulang melalui silang balik. Ahn et al.
(1992)
peneliti
pertama
yang
menggabungkan pemanfaatan dari penanda
molekuler RFLP dengan NIL untuk
menemukan gen pengendali sifat aroma
dalam padi. Mereka menemukan bahwa gen
tersebut terletak di kromosom 8 dengan
jarak 4,5 cM (sentimorgan) dari penanda
RG28 menggunakan RFLP (Lang & Buu
2008).
Kelompok kedua
adalah
PCR
berdasarkan marka. Marka molekuler
kelompok PCR yang sering digunakan
adalah metode yang menggunakan sepasang
primer dan primer tunggal, Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD),
Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP), microsatellite, atau SSR, SNP, dan
Sequence Tagged Sites (STS). Teknik AFLP
digunakan untuk mendeteksi polimorfisme
DNA dan studi taksonomi, identifikasi
varietas, pemetaan genetik dan penentuan
keanekaragaman konstitusi genetik spesifik
dari satu varietas yang memungkinkan untuk
mendeteksi perbedaan genetik. Hubungan
genetik
dan
keanekaragaman
dapat
diidentifikasi dengan penanda AFLP (Sobir
et al. 2008).
Kelompok ketiga adalah marka
molekuler
berdasarkan
PCR
yang
dilanjutkan dengan hibridisasi. Marka
molekuler yang diperoleh dari PCR yang
dilanjutkan hibridisasi dilakukan dengan
teknik
fingerprinting
oligonukleotida
menggunakan fragmen RAPD. Kelompok
keempat adalah sekuensing dan chip DNA
berdasarkan marka. Kelompok marka ini
dapat dilakukan menggunakan gel sebagai
dasar untuk mendapatkan hasil PCR untuk
deteksi SNP dan menggunakan bukan gel
sebagai dasar mendapatkan hasil PCR untuk
deteksi SNP.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan
teknik
sederhana
yang
digunakan untuk memperbanyak molekul
DNA secara invitro di dalam laboratorium.
Hasil perbanyakan molekul DNA sangat
banyak, karena jumlah perbanyakan molekul
DNA bertambah secara eksponensial. Oleh
sebab itu, ribuan molekul DNA dapat dibuat
dalam waktu yang singkat. PCR dapat
diaplikasikan dalam analisis genetik, seperti:
diagnosis medis, dan forensik. PCR
merupakan metode yang sangat sensitif
sehingga dari satu pasang molekul DNA
dapat diperbanyak menjadi jutaan kali lipat
setelah 30-40 siklus PCR. Adapun
komponen yang dibutuhkan dalam reaksi
PCR adalah DNA target, primer, DNA
polimerase, dinukleotida (dNTP), dan bufer
PCR (Mullis 1990). PCR banyak digunakan
untuk banyak keperluan, karena memiliki
beberapa keuntungan diantaranya cepat,
memerlukan DNA dalam jumlah yang
sedikit, dan dapat dilakukan pada tahap dini
dengan teknik isolasi DNA sederhana. Halhal yang mempengaruhi keberhasilan dalam
reaksi PCR adalah sekuen primer, dNTP,
enzim polymerase, dan suhu annealing
(Muladno 2002; Graham 1997).
Reaksi PCR secara umum dilakukan
dalam empat tahap. Molekul DNA rantai
ganda akan diurai menjadi molekul tunggal
dengan pemanasan. Primer akan menempel
pada molekul DNA rantai tunggal pada
tempat yang sudah ditentukan. Selanjutnya
enzim polimerase akan memperpanjang
primer dengan basa nitrogen yang tersedia.
Tahapan tersebut merupakan cara untuk
menggandakan
molekul
DNA
yang
diinginkan (Mullis 1990). Tahap peleburan
(melting) atau denaturasi merupakan tahap
awal reaksi yang berlangsung pada suhu
tinggi, yaitu 94–96 °C sehingga ikatan
hidrogen DNA terputus atau terdenaturasi
dan DNA menjadi berutas tunggal. Biasanya
pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan
agak lama (sampai 5 menit) untuk
memastikan semua utas DNA terpisah.
6
Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak
stabil dan siap menjadi template bagi primer.
Tahap kedua adalah penempelan atau
annealing. Primer menempel pada bagian
DNA template yang komplementer urutan
basanya. Hal ini dilakukan pada suhu antara
45–60°C. Penempelan ini bersifat spesifik.
Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak
terjadinya
penempelan
atau
primer
menempel di sembarang tempat. Tahap
ketiga adalah pemanjangan atau elongasi.
Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis
DNA-polimerase yang dipakai. Proses ini
biasanya menggunakan Taq-polimerase dan
dilakukan pada suhu 72 °C. Durasi tahap ini
biasanya 1 menit. Setelah tahap 3, siklus
diulang kembali mulai tahap 1. Tahap 4
menunjukkan perkembangan yang terjadi
pada siklus-siklus selanjutnya. Akibat
denaturasi dan renaturasi, beberapa utas baru
menjadi template bagi primer lain dan
akhirnya terdapat utas DNA yang
panjangnya dibatasi oleh primer yang
dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan
berlimpah karena penambahan terjadi secara
eksponensial. Tahapan amplifikasi DNA
dapat dilihat pada Gambar 3.
PCR adalah suatu metode in vitro
untuk mengamplifikasi sejumlah fragmen
DNA tertentu (Muladno 2002), dengan cara
replikasi DNA dengan bantuan enzim DNA
polymerase dan perubahan sifat DNA
terhadap suatu suhu (Lisdayanti 1997).
Dalam sistem transformasi, teknik ini dapat
digunakan untuk membuktikan keberadaan
gen yang diintroduksikan.
Bradbury et al. (2005) melaporkan
bahwa letak amplifikasi gen padi aromatik
dan nonaromatik seperti pada Gambar 4.
Terlihat bahwa ukuran/panjang gen padi
aromatik berbeda dengan padi nonaromatik.
Dengan demikian akan terdapat pola pita
yang berbeda pada visualisasi hasil PCR
dengan elektroforesis gel agarosa. Panjang
gen dan susunan gen yang berbeda antara
padi aromatik dan nonaromatik dapat
membantu amplifikasi DNA dengan primer
yang spesifik. Bradbury et al. (2005) juga
melaporkan bahwa primer yang berhasil
digunakan untuk membedakan amplifikasi
gen DNA padi aromatik dan nonaromatik
adalah External Sense Primer (ESP),
External Antisense Primer (EAP), Internal
Fragrant Antisense Primer (IFAP), dan
Internal Non-fragrant Sense Primer (INSP).
Susunan lengkap primer yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 2. Dari empat buah
primer yang digunakan tersebut, akan
dihasilkan dua buah pita dengan ukuran
yang berbeda pada setiap varietasnya. Lang
dan Buu (2008) juga melaporkan primer lain
yang dapat membedakan padi aromatik dan
nonaromatik. Primer yang digunakan oleh
Lang dan Buu (2008) adalah primer RM223.
Gambar 3 Tahapan amplifikasi DNA pada
PCR (Mullis 1990)
Tabel 2 Sekuen dan nama primer yang
digunakan pada analisis padi
aromatik (Bradbury et al. 2005)
Nama Primer
External
Sense
Primer (ESP)
Internal
Fragrant
Antisense Primer
(IFAP)
Internal
Nonfragrant
Sense
Primer (INSP)
External Antisense
Primer (EAP)
Sekuen Primer
TTGTTTGGAGCTTG
CTGATG
CATAGGAGCAGCT
GAAATATATACC
CTGGTAAAAAGAT
TATGGCTTCA
AGTGCTTTACAA
AGTCCCGC
Elektroforesis
Elektroforesis adalah satu teknik
pemisahan senyawa berdasarkan kecepatan
migrasi yang bermuatan listrik di bawah
pengaruh medan listrik. Elektroforesis
digunakan untuk menentukan komposisi
protein dari suatu produk makanan.
Elektroforesis juga dapat digunakan untuk
menentukan ketulenan suatu ekstrak protein.
Kegunaan elektroforesis yang lainnya adalah
untuk menentukan berat molekul, kemurnian
molekul pada suatu bahan, mendeteksi
suatu pemalsuan
bahan, mendeteksi
kerusakan suatu bahan seperti protein dalam
pengolahan dan penyimpanan, untuk
memisahkan spesies-spesies yang berbeda
secara kualitatif, serta pemurnian suatu
protein (Nur & Adijuwana 1987).
Elektroforesis gel merupakan salah
satu teknik utama dalam biologi molekuler.
7
Prinsip dasar teknik ini adalah molekul
DNA, RNA atau protein dapat dipisahkan
berdasarkan laju perpindahannya oleh gaya
gerak listrik di dalam matriks gel. Laju
perpindahan tersebut bergantung pada
ukuran molekulnya. Sampel molekul
ditempatkan ke dalam sumur pada gel yang
ditempatkan di dalam larutan penyangga
yaitu TAE (Tris HCl-Acetic acid-EDTA),
dan listrik dialirkan sebesar 80 Volt.
Molekul-molekul sampel akan bergerak di
dalam matriks gel ke arah salah satu kutub
listrik sesuai muatannya. RNA dan DNA
arah pergerakannya adalah menuju elektroda
positif, disebabkan oleh muatan negatif pada
rangka gula-fosfat yang dimilikinya (Nur &
Adijuwana 1987).
Gel yang digunakan adalah agarosa
yang berasal dari ekstrak rumput laut yang
telah dimurnikan. Marka atau penanda
(marker) yang digunakan pada proses
running merupakan campuran molekul
dengan ukuran berbeda-beda yang dapat
digunakan untuk menentukan ukuran
molekul dalam pita sampel. Ukuran DNA
dapat ditentukan dengan menyertakan marka
atau penanda yang digunakan pada proses
running. Setelah tahap running selesai,
dilakukan metode pewarnaan (staining) dan
penghilangan warna (destaining). Metode
pewarnaan pada DNA atau RNA merupakan
pewarnaan gel agarosa yang dilakukan
dengan menggunakan larutan etidium
bromida selama 15 menit. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar molekul sampel
berpendar
dalam
sinar
ultraviolet.
Penghilangan warna dilakukan dengan cara
gel dimasukkan ke dalam aquades selama 5
hingga 7 menit (Mikkelsen & Corton 1960).
Media pendukung yang digunakan
dalam
elektroforesis
antara
lain:
kertas/membran selulosa, gel pati, gel
poliakrilamida, dan gel agarosa. Media
kertas merupakan media paling awal yang
digunakan dalam teknik elektroforesis.
Media ini digunakan untuk memisahkan
protein. Media gel pati terbuat dari ekstrak
pati kentang yang dibuat gel. Media tersebut
kemudian disempurnakan menjadi gel
poliakrilamid dan gel agarosa. Gel
poliakrilamid dan agarosa dibedakan
berdasarkan ukuran pori pada gel. Gel
poliakrilamid yang mempunyai ukuran pori
kecil,
biasanya
digunakan
untuk
memisahkan protein, molekul RNA, dan
molekul DNA dengan ukuran yang sangat
kecil. Sedangkan gel agarosa yang memiliki
pori relatif lebih besar dari gel poliakrilamid,
biasanya digunakan untuk memisahkan
molekul DNA yang ukurannya lebih besar
(Mikkelsen & Corton 1960).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
padi (daun padi) varietas aromatik (Pandan
Wangi, Pulu Mandoti, Mentik Wangi,
Sintanur, Pare Kembang, Gunung Perak,
Gilirang, Rojo Lele), padi varietas
nonaromatik (Ciherang, IR64, Niponbare,
T309, Fatmawati), bufer ekstrak yang
mengandung sodium dodesil sulfat (SDS),
lauryl sarcosine, NaCl, Tris-HCl, dan
etilendiamin tetraasetat (EDTA), untuk
isolasi DNA. Bahan lain yang digunakan
untuk isolasi DNA adalah isopropanol,
etanol 70%, bufer tris-EDTA (TE) yang
mengandung RNAse. Bahan yang digunakan
pada reaksi PCR adalah 1x bufer PCR (10
mM Tris-HCl (pH 8,3), 50 mM KCl, 1,5
mM KCl, 1,5 mM MgCl2, 0,01% Gelatin),
dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), primer
Bradbury (ESP, EAP, IFAP, dan INSP)
primer RM223, DNA, dan Taq DNA
polimerase. Bahan lain yang digunakan
adalah gel agarosa, etidium bromida (etbr),
dan DNA standar yang digunakan pada
analisis elektroforesis.
Alat-alat yang digunakan untuk isolasi
DNA yaitu tabung mikro, seperangkat
mortar, tip pipet mikro, satu set pipet mikro,
vorteks, sentrifus, dan inkubator. Alat yang
digunakan untuk cek kualitas DNA adalah
spektrofotometer dan seperangkat alat
elektroforesis. Seperangkat alat dokumentasi
gel (chemidoc gel system) digunakan untuk
visualisasi hasil elektroforesis.
Metode Penelitian
Isolasi DNA Genom Padi
Bibit padi yang telah berumur 3
minggu diisolasi DNA-nya dengan metode
CTAB yang mengacu pada metode Doyle
dan Doyle (1987). Sebanyak lebih kurang
0.5 gr daun padi dimasukkan ke dalam
mortar steril. Ke dalam mortar ditambahkan
sebanyak 1000 µl (2 x 500µl) bufer
ekstraksi. Sampel hasil gerusan dimasukkan
ke dalam tabung mikro 2 ml, kemudian
diinkubasi di dalam penangas air pada suhu
65 C selama 15 menit. Selama inkubasi
sampel dibolak-balik setiap 5 menit sekali.
Setelah inkubasi selesai, sampel didiamkan
pada suhu ruang selama beberapa saat,
8
kemudian ditambahkan sebanyak 100 µl
natrium asetat 3M dan 1000 µl pelarut
kloroform
isoamilalkohol
(Chisam).
Campuran larutan pada tabung mikro
digoyang-goyang
perlahan
untuk
menghomogenkan semua larutan.
Tabung mikro yang berisi campuran
kemudian disentrifugasi pada kecepatan
10.000 g selama 5 menit. Sebanyak lebih
kurang 600 µl supernatan (larutan di lapisan
atas) dipindahkan ke tabung mikro 2 ml
yang baru. Supernatan yang sudah
dipindahkan kemudian ditambahkan dengan
natrium asetat 3 M sebanyak 60 µl dan
larutan isopropanol sebanyak 400 µl.
Campuran larutan kemudian digoyanggoyang perlahan untuk menghomogenkan
campuran larutan. Tabung disentrifuguasi
pada kecepatan 10.000 g selama 5 menit.
Supernatan dibuang, dan endapan DNA
(pelet) dicuci dengan 50 µl ethanol 70%.
Tabung disentrifugasi lagi pada kecepatan
10.000 g selama 3 menit dan kemudian
supernatan
dibuang.
Endapan
DNA
dikeringkan menggunakan oven pada suhu
50 ºC selama lebih kurang 10 menit, dan
dilarutkan kembali dalam 50 µl bufer TE
yang
mengandung
RNase.
Tabung
diinkubasi pada 37 ºC selama 30 menit.
Pengukuran Kualitas dan Kuantitas DNA
Ekstrak DNA padi hasil isolasi
dihitung konsentrasinya menggunakan alat
spektrofotometer. Total volume yang
digunakan
untuk
pengukuran
pada
spektrofotometer sebanyak 400 µl dan faktor
pengenceran yang digunakan sebesar 200
kali. Larutan blanko yang digunakan adalah
ddH2O sebanyak 400 µl. Pengukuran
konsentrasi DNA dilakukan pada panjang
gelombang 260 nm. Sedangkan untuk
pengukuran kemurnian DNA dilakukan
dengan perbandingan absorban 260/280
(A260/280). DNA yang murni mempunyai
A260/280 = 1,8 hingga 2,0. Apabila nilainya
kurang dari 1,8 maka sampel DNA masih
mengandung kontaminan protein, dan untuk
menghilangkannya ditambahkan protease.
Apabila nilainya lebih dari 2,0 maka sampel
DNA masih mengandung kontaminan RNA,
dan untuk menghilangkannya ditambahkan
ribonuklease.
Kalibrasi spektrofotometer
harus
dilakukan sebelum digunakan untuk
pengukuran sampel DNA. Sebanyak 400 µl
ddH2O dimasukkan ke dalam kuvet lalu
dimasukkan ke dalam spektrofotometer dan
ditekan tombol read blank untuk kalibrasi.
Sebanyak 2 µl sampel DNA dimasukkan ke
dalam kuvet kemudian ditambahkan ddH2O
sebanyak 398 µl. Konsentrasi DNA diukur
pada panjang gelombang 260 nm dan
kemurnian
DNA
diukur
dengan
perbandingan absorban 260/280 (OD
260/280).
Tahap
selanjutnya
DNA
diencerkan dengan konsentrasi akhir 50
µg/ml untuk proses amplifikasi PCR.
Amplifikasi DNA
Reaksi PCR dilakukan pada 25 µl
volume yang mengandung 10 x bufer PCR
(10 mM Tris-HCl (pH 8,3) sebanyak 2.5 µl,
1,5 µl MgCl2 50 mM, 0.5 µl masing-masing
dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dTTP) 5 mM, 1
µl masing-masing primer Bradbury (ESP,
EAP, IFAP, dan INSP) 2 µM, 0.2 µl Taq
DNA polimerase, template DNA 50 µg/ml
sebanyak 2 µl, dan ditepatkan volumenya
menjadi 25 µl dengan ddH2O sebanyak 14.3
µl. Pasangan primer yang digunakan
mengikuti seperti yang diuraikan dalam
Bradbury et al. (2005). Pasangan primer
eksternal EAP dan ESP akan menghasilkan
fragmen berukuran 580 sebagai kontrol
positif untuk masing-masing sampel.
Pasangan primer IFAP dan ESP akan
menghasilkan fragmen alel aromatik
berukuran 257 bp. Pasangan primer INSP
dan EAP akan menghasilkan fragmen alel
nonaromatik berukuran 355 bp. Primer lain
yang
digunakan
adalah
RM223
(GAGTGAGCTTGGGCTGAAAC
dan
GAAGGCAAGTCTTGGCACTG). Primer
ini membedakan padi varietas aromatik dan
nonaromatik berdasarkan ukuran pita
DNAnya. Ukuran DNA yang diamplifikasi
menggunakan primer ini adalah 120 bp-160
bp (Lang & Buu 2008).
Mesin PCR yang digunakan untuk
amplifikasi DNA adalah PCR TETRAD
sebanyak 30 siklus. Program PCR yang
digunakan sebagai berikut: denaturasi
permulaan selama 2 menit pada suhu 94 ºC,
denaturasi selama 30 detik pada suhu 94 ºC,
proses penempelan primer selama 30 detik
pada suhu 58 ºC, dan 45 detik pada suhu 94
ºC untuk perpanjangan primer. Perpanjangan
primer terakhir selama 5 menit pada suhu 72
ºC.
Elektroforesis DNA
Gel agarose 1,5 % dibuat dengan cara
melarutkan sebanyak 0.45 gr agarosa dengan
30 ml bufer TAE dan dipanaskan dengan
microwave selama lebih kurang 1 menit.
Setelah gel agarosa memadat, gel
9
dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis
yang berisi 1x bufer TAE. Sebanyak 10 µl
produk PCR ditambahkan dengan 2 µl
loading dye dan dicampur sempurna,
kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel.
Disertakan 1 kb ladder sebagai marker
untuk melihat ukuran DNA. Tahap
selanjutnya sampel DNA dialiri arus dengan
voltase 80 volt selama 35 menit.
Gel agarosa diwarnai dengan larutan
etidium bromida (10 mg/L) selama 10 menit.
Tahap ini sering dikenal dengan staining gel
(pewarnaan gel). Tahap selanjutnya adalah
destaining gel (penghilangan warna gel).
Tahap ini dilakukan dengan perendaman di
dalam air selama lebih kurang 10 menit. Gel
agarosa selanjutnya divisualisasi dengan
chemidoc gel system.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kualitas DNA Padi
Isolasi DNA padi dilakukan dengan
menggunakan metode CTAB. Kualitas DNA
yang diisolasi tersebut diuji secara kualitatif
dan kuantitatif dengan spektrofotometer dan
gel agarosa. Data Tabel 3 menunjukkan hasil
pengukuran kualitas DNA secara kuantitatif
dan kualitatif yang meliputi konsentrasi dan
kemurnian DNA. Dari seluruh sampel yang
dihitung konsentrasi dan kemurniannya,
secara umum konsentrasi DNA hasil isolasi
menggunakan metode CTAB memiliki
konsentrasi yang relatif besar. Konsentrasi
DNA yang diperlukan untuk amplifikasi
PCR tidak begitu besar, sehingga
konsentrasi DNA yang sudah diperoleh
sudah
cukup
digunakan
untuk
amplifikasi/perbanyakan
DNA
dengan
mesin PCR. Konsentrasi DNA yang
diperoleh dari hasil isolasi tidak seragam
(Tabel 3). Oleh sebab itu, konsentrasi DNA
yang sudah diperoleh diseragamkan dengan
pengenceran. Hal tersebut dilakukan untuk
menjamin bahwa jumlah DNA yang akan
amplifikasi dengan PCR mempunyai
konsentrasi yang sama dengan harapan
jumlah amplifikasi DNA juga seragam.
Konsentrasi DNA dari seluruh sampel
diseragamkan menjadi 50 µg/ml dengan
pengenceran. Kemurnian DNA diperoleh
dari perbandingan absorban A260/280. Nilai
kemurnian DNA berkisar antara 1.8-2.0
(Sambrook & Russell 1989). Nilai
kemurnian DNA hasil isolasi sudah sesuai
dengan batasan pada literatur.
Tabel
3
Pengukuran Konsentrasi dan
Kemurnian DNA daun padi
Varietas padi
Pare Kembang (A)
Mentik Wangi (A)
Pandan Wangai(A)
Pulu Mandoti (A)
Pinjan (A)
Gilirang (A)
Gunung Perak (A)
Ciherang (NA)
Nipponbare (NA)
IR64 (NA)
Fatmawati (NA)
T309 (NA)
Konsentrasi
(µg/ml)
1481.0271
1963.0995
3417.4866
1022.0799
2217.8862
1184.1504
1068.8307
840.9152
729.3049
2164.5728
1349.0306
933.5104
A260/280
1.8577
1.8432
1.8472
1.8008
1.8394
1.8016
1.8382
1.9024
1.8874
1.9647
1.8471
1.8653
A: aromatik, NA: nonaromatik
Oleh sebab itu, DNA hasil isolasi sudah
dapat digunakan untuk amplifikasi PCR
karena
sudah
tidak
terkontaminasi
polisakarida maupun protein.
Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan
hasil uji kualitas DNA secara kuantitatif.
Hasil tersebut diperoleh dari DNA hasil
isolasi
yang
diuji
menggunakan
elektroforesis dengan gel agarosa 1.5 %.
Gambar 4 menunjukkan DNA hasil isolasi
belum murni/masih terkontaminasi RNA.
Untuk menghilangkan kontaminasi RNA
dilakukan penambahan enzim RNase yang
akan mendegradasi RNA. Pola pita hasil
elektroforesis yang menunjukkan DNA
sudah murni ditunjukkan oleh Gambar 5.
Sebagai kontrol positif atau pembanding
digunakan
DNA
lambda
yang
konsentrasinya sudah diketahui. Konsentrasi
DNA lambda yang digunakan adalah 20
ng/µl, 40 ng/µl, 60 ng/µl, dan 80 ng/µl.
Konsentrasi DNA lambda ini dapat
digunakan untuk menghitung konsentrasi
DNA dengan cara membandingkan luas pita
hasil elektroforesis. Namun demikian, hal
tersebut tidak dilakukan karena pita DNA
hasil elektroforesis yang diperoleh terdapat
smear. Smear pita DNA tersebut disebabkan
oleh DNA yang diperoleh ada yang
terpotong, sehingga pita-pita DNA yang
tidak sama ukurannya akan menimbulkan
pita smear seperti pada gambar. Dengan
demikian, konversi konsentrasi DNA sampel
dengan DNA pembanding tidak bisa
dilakukan. Pita smear DNA sampel (Gambar
5) bukan kontaminasi RNA, melainkan pitapita DNA yang terpotong. Hal tersebut
mungkin disebabkan oleh pemipetan
berulang-ulang, sehingga DNA akan
terpotong.
10
Isolasi DNA daun padi dilakukan
menggunakan metode CTAB yang mengacu
pada Doyle dan Doyle (1987). Metode ini
merupakan protokol isolasi DNA yang
paling umum digunakan karena konsentrasi
DNA yang diperoleh relatif lebih banyak
bila dibandingkan dengan metode yang lain.
Keuntungan lain dari metode ini adalah
tidak membutuhkan waktu isolasi yang lama
serta tahapan metode yang relatif lebih
mudah dan cepat. Uji kualitatif dilakukan
dengan melihat DNA hasil isolasi pada gel
agarosa, sedangkan uji kuantitatif dilakukan
menggunakan
spektrofotometer
yang
meliputi konsentrasi dan kemurnian DNA.
Uji ini dilakukan untuk menjamin tidak
terdapat
kontaminasi
protein
dan
polisakarida pada DNA yang diisolasi.
M
M
M
20
40
60
M
S
S
80
RNA
Gambar 4 Kontaminasi RNA pada DNA yang
belum dimurnikan. M: marker DNA
lambda konsentrasi dalam ng/µl, S:
sampel.
Gambar 5 Hasil elektroforesis DNA yang sudah
dimurnikan. Marker: DNA lambda
konsentrasi dalam ng/µl, Sampel:
Nipponbare, IR 64, Fatmawati, T309,
Ciherang, Pandan Wangi, Gilirang,
Mentik Wangi, Gunung Perak, Pinjan,
Pare Kembang, Pulu Mandoti.
Amplifikasi DNA Menggunakan
Primer Bradbury
Amplifikasi DNA dilakukan dengan
mesin PCR TETRAD. Prinsip kerja alat ini
adalah memperbanyak DNA dengan
menggunakan DNA sampel sebagai
cetakannya. Panjang ukuran DNA yang
diamplifikasi dibatasi oleh dua buah primer
spesifik yang sudah ditentukan. Primer yang
digunakan untuk ampilfikasi DNA ini
diharapkan mampu membedakan secara
jelas varietas padi aromatik dan nonaromatik
seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Bradbury et al. (2005). Penelitian ini
menggunakan empat buah primer seperti
yang dilakukan pada penelitian Bradbury et
al. (2005). Primer Bradbury tersebut adalah
External Sense Primer (ESP) dan External
Antisense Primer (EAP) yang merupakan
primer eksternal, serta Internal Fragrant
Antisense Primer (IFAP) dan dan Internal
Non-fragrant Sense Primer (INSP) sebagai
internal primer.
Empat buah primer yang digunakan
akan menempel secara spesifik pada sekuen
DNA padi. Dua primer, EAP dan ESP, akan
menempel pada varietas padi aromatik dan
varietas padi nonaromatik. Dua buah primer
ini digunakan sebagai positif kontrol yang
akan menghasilkan ukuran pita DNA
kurang lebih sebesar 580 bp (Bradbury et al.
2005). Dua primer lain, IFAP dan INSP,
akan menempel secara sepesifik pada salah
satu varietas padi saja. Pasangan primer
IFAP dan ESP akan menempel pada sekuen
padi aromatik dan menghasilkan pita DNA
sepanjang 257 bp, sedangkan pasangan
primer INSP dan EAP akan menempel pada
sekuen padi nonaromatik dan menghasilkan
pita sepanjang 355 bp (Bradbury et al.
2005). Pola amplifikasi PCR dengan empat
primer tersebut secara jelas digambarkan
oleh Bradbury et al. (2005) pada Gambar 6.
Pasangan primer ESP dan EAP yang
merupakan
kontrol
positif,
akan
menghasilkan pita sepanjang kurang lebih
580 bp. Pasangan primer ESP dan IFAP
hanya akan menempel pada sekuen DNA
padi aromatik dan menghasilkan pita
sepanjang 257 bp. Sedangkan pasangan
primer EAP dan INSP hanya akan
menempel pada padi nonaromatik yang
menghasilkan pita sepanjang 355 bp.
Gambar 6 Pola amplifikasi, kombinasi pasangan
primer, dan variasi ukuran DNA yang
dihasilkan (Bradbury et al. 2005).
11
Gambar 7 menyajikan data hasil
amplifikasi DNA padi aromatik dan
nonaromatik. Varietas padi nonaromatik
yang digunakan adalah Nipponbare,
Ciherang, IR 64, Fatmawati, dan T309,
sedangkan varietas padi aromatik yang
digunakan adalah Mentik Wangi, Pandan
Wangi, Gunung Perak, Pulu Mandoti, dan
Pare Kembang. Hasil amplifikasi yang
diperoleh ternyata tidak sepenuhnya sama
dengan hasil pada penelitian Bradbury et al.
(2005). Dari lima sampel padi nonaromatik
yang diamplifikasi, hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa primer Bradbury yang
digunakan
dapat
membedakan
padi
nonaromatik dan padi aromatik sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Bradbury
et al. (2005), meskipun tidak pada semua
padi aromatik dapat dibedakan. Terdapat
dua ukuran fragmen DNA yang berbeda,
yaitu pita DNA dengan ukuran 580 bp hasil
ampilifikasi pasangan primer ESP dan EAP
serta pita yang berukuran 355 bp hasil
amplifikasi primer INSP dan EAP.
Sedangkan dari lima tanaman padi aromatik
yang digunakan sebagai sampel hanya
varietas Mentik Wangi dan Gunung Perak
saja yang sesuai dengan penelitian Bradbury
et al. (2005) yaitu menghasilkan pola pita
yang berukuran 580 bp hasil amplifikasi
primer ESP dan EAP serta 257 bp hasil
amplifikasi primer ESP dan IFAP.
Sementara tiga varietas aromatik yang lain
(Pandan Wangi, Pulu Mandoti, Pare
Kembang) menghasilkan pola pita yang
ukurannya sama dengan padi nonaromatik,
yaitu 580 bp dan 355 bp (Gambar 7). Hal
tersebut kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan delesi pada kromosom 8.
580 bp
355 bp
257bp
M Nip Cih IR Fat T309 MW PW GP PM PK A
Gambar 7 Hasil PCR menggunakan primer
Bradbury. Marker: DNA 1 kb,
Sampel: Nipponbare, Ciherang, IR
64, Fatmawati, T309, Mentik
Wangi, Pandan Wangi, Gunung
Perak,
Pulu
Mandoti,
Pare
Kembang, Air.
Amplifikasi DNA Menggunakan
Kombinasi Primer
Sifat aromatik padi disebabkan adanya
senyawa 2-asetil-1-pirolin pada bagian
tertentu tumbuhan padi. Senyawa tersebut
terbentuk akibat delesi pada kromosom 8
(gen badh2). Fungsi gen tersebut adalah
bertanggung jawab terhadap metabolisme
senyawa
2-asetil-1-pirolin
yang
menyebabkan aroma wangi pada padi. Oleh
sebab itu, padi aromatik dan nonaromatik
dibedakan berdasarkan sekuen DNA yang
terdelesi pada kromosom 8 (Bradbury et al.
2005). Delesi kromosom 8 pada sampel padi
yang digunakan diduga mempunyai panjang
yang tidak sama. Perbedaan panjang delesi
tersebut diduga juga berpengaruh terhadap
kemampuan
gen
badh2
dalam
mengekspresikan sifat aromatik. Dugaan
tersebut diperoleh dari sampel padi aromatik
yang digunakan ternyata mempunyai
intensitas aroma wangi yang berbeda-beda.
Akibat yang ditimbulkan dari perbedaan
panjang delesi pada kromosom 8 adalah
penempelan primer menjadi tidak spesifik,
sehingga ukuran DNA yang diamplifikasi
tidak seperti yang diharapkan.
Perbedaan panjang delesi kromosom 8
pada varietas padi aromatik dibuktikan
dengan amplifikasi PCR menggunakan
kombinasi primer EAP, ESP, IFAP, dan
INSP. Gambar 8 menunjukkan data
amplifikasi DNA menggunakan kombinasi
primer. Pada tahap ini, salah satu primer
yang dapat membedakan padi aromatik dan
nonaromatik tidak digunakan pada proses
amplifikasi PCR. Kolom pertama Gambar 8
menyajikan data amplifikasi PCR tanpa
primer INSP, kolom kedua amplifikasi PCR
tanpa primer IFAP, dan kolom ketiga
amplifikasi PCR dengan primer Bradbury
lengkap (EAP, ESP, IFAP, dan INSP).
Amplifikasi PCR tanpa primer INSP
seharusnya dapat mengamplifikasi DNA
padi aromatik dengan ukuran 580 bp dan
257 bp. Namun demikian, hanya varietas
aromatik Mentik Wangi saja yang dapat
teramplifikasi, sedang varietas aromatik
Pandan Wangi dan Rojo Lele tidak
teramplifikasi
sama
seperti
varietas
nonaromatik Ciherang. Amplifikasi PCR
tanpa primer IFAP, seharusnya tidak dapat
mengaplifikasi padi aromatik dan hanya
mengamplifikasi padi nonaromatik dengan
ukuran 580 bp dan 355 bp. Hasil pada
Gambar 8 kolom kedua menunjukkan bahwa
padi aromatik varietas Pandan Wangi dan
Rojo Lele teramplifikasi sama seperti padi
12
nonaromatik varietas Ciherang, sedangkan
padi aromatik varietas Mentik Wangi tidak
teramplifikasi. Data Gambar 8 kolom ketiga,
memperlihatkan hasil amplifikasi dengan
pola yang sama seperti pada Gambar 7.
I
II
III
Gambar 8 Hasil PCR menggunakan kombinasi
primer Bradbury. I: tanpa primer
INSP, II: tanpa primer IFAP, III:
menggunakan
primer
lengkap,
Sampel: Ciherang, Pandan Wangi,
Rojo Lele, dan Mentik Wangi.
Amplifikasi DNA Menggunakan Primer
RM223
Gambar 9 menunjukkan hasil PCR
menggunakan primer RM223. Amplifikasi
DNA menggunakan primer ini, dapat
membedakan pola pita padi aromatik dan
nonaromatik. Primer ini membedakan padi
aromatik dan nonaromatik berdasarkan
ukuran DNA padi penyandi gen aromatik.
Ukuran
DNA
yang
diamplifikasi
menggunakan primer ini tidak seragam pada
tiap varietasnya. DNA yang diamplifikasi
pada padi varietas aromatik mempunyai
ukuran DNA yang berbeda-beda, begitu juga
pada varietas padi nonaromatik. Namun
demikian, primer RM223 dapat digunakan
untuk membedakan padi aromatik dan
nonaromatik secara jelas. Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa ukuran
fragmen DNA hasil amplifikasi pada padi
aromatik dan nonaromatik oleh primer ini
mempunyai variasi panjang fragmen DNA
antara 120 bp-160 bp (Lang & Buu 2008).
Padi nonaromatik mempunyai ukuran DNA
160 bp (Ciherang) dan 150 bp (IR64 dan
Fatmawati), sedangkan pada padi aromatik
mempunyai ukuran fragmen DNA hasil
amplifikasi sebesar 140 bp (Pandanwangi,
Rojolele, Gilirang dan Pulumandoti) dan
120 bp (Sintanur, Mentik Wangi dan
Gunung Perak).
Panjang ukuran pita DNA yang
diamplifikasi menggunakan primer RM 223
tersebut memperkuat dugaan perbedaan
panjang delesi pada kromosom 8 yang telah
diteliti sebelumnya (Lang & Buu 2008).
Padi varietas nonaromatik tidak mengalami
delesi pada kromosom 8 (Ciherang) atau
mengalami delesi namun delesi tersebut
tidak sampai merubah sifat nonaromatik
menjadi aromatik (IR64 dan Fatmawati).
Jadi delesi yang terjadi pada IR64 dan
Fatmawati hanya beberapa basa saja
(kemungkinan 10 basa), hal ini berdasarkan
pada perbedaan ukuran fragmen DNA hasil
amplifikasi PCR yang hanya sekitar 10 basa
(Gambar 9) dibandingkan dengan padi
Ciherang. Sedangkan pada padi-padi
aromatik
dibedakan
dengan
padi
nonaromatik karena delesi yang terjadi telah
merubah
sifat nonaromatik
menjadi
aromatik yaitu sekitar 21 basa atau 7 asam
amino (Pandanwangi, Rojolele, Gilirang dan
Pulu Mandoti) atau 42 basa/14 asam amino
(Sintanur, Mentik wangi dan Gunungperak).
Dengan demikian dua kelompok primer
yang digunakan pada penelitian ini dapat
digunakan untuk membedakan padi varietas
aromatik dan nonaromatik walaupun
panjang delesi pada kromosom 8 tidak sama.
160 bp 150 bp 140 bp
120 bp
140 bp
M Cih IR Fat PW RL Sin MW GP Gil PM A
Gambar 9 Hasil PCR menggunakan primer
RM223. Marker: DNA 1 kb,
Sampel:
Ciherang,
IR
64,
Fatmawati, Pandan Wangi, Rojo
Lele, Sintanur, Mentik Wangi,
Gunung Perak, Gilirang, Air.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsentrasi DNA yang diisolasi dari
daun padi menggunakan metode CTAB
mempunyai konsentrasi yang relatif besar.
Primer Bradbury tidak sepenuhnya dapat
membedakan
padi
aromatik
dan
nonaromatik. Varietas padi aromatik yang
mempunyai pola pita DNA yang berbeda
dengan padi varietas nonaromatik adalah
Mentik Wangi dan Gunung Perak,
sedangkan varietas Pandan Wangi, Pulu
Mandoti dan Pare Kembang pola pitanya
sama dengan padi nonaromatik. Primer
13
RM223 dapat membedakan padi varietas
aromatik dan nonaromatik berdasarkan
ukuran pita DNA padi tersebut. Perbedaan
pola pita padi aromatik dan nonaromatik
disebabkan oleh panjang delesi pada
kromosom 8 yang tidak sama.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan menggunakan primer yang lain yang
dapat membedakan pola pita DNA padi
aromatik dan nonaromatik. Kajian lain
seperti sekuensing DNA padi aromatik dan
nonaromatik varietas asli Indonesia juga
perlu dilakukan, sehingga dapat menentukan
primer yang lebih spesifik untuk padi
aromatik dan nonaromatik.
DAFTAR PUSTAKA
Adijono P, Bambang K, Allidawati,
Suwarno. 1993. Pemuliaan Padi
Aromatik dan Ketan. Dalam: Mahyudin
Syam, Hermanto, A. Musadad dan
Sunihaardi (eds.). Kinerja Penelitian
Tanaman Pangan. Pusat Penelitian
Tanaman Pangan. Bogor. hal 422-428.
Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA
isolation from small amount of fresh
leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15.
Gorantla M et al. 2005. Functional genomics
of drought stress response in rice:
transcript mapping of annoted unigenes
of an indica rice (Oryza sativa L. cv.
Nagina 22). Current Science 89:469514.
Graham A, Newton CR. 1997. PCR
(Polymerase Chain Reaction). Ed Ke-2.
New York: Springer Verlag.
Gupta PK, Varshney RK, Sharma, PC,
Ramesh B. 1999. Molecular markers
and their application in wheat
breeding. Plant Breeding 118:369-390.
Harahap Z, Suwarno, Lubis E, Susanto TW.
1995. Padi unggul Toleran Kekeringan
dan Naungan. Bogor : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Badan Litbang Pertanian.
Krishnan HB, Okita TW. 1986. Structure
relationship among the rice glutelin
polypeptides. Pant Physiol 88:649-655.
Ahn SN, Bollisch CN, Tanksley SD. 1992.
RFLP tagging of a gene for aroma in
rice. Theor Appl Genet 84:825–828.
Krisnamurthi B. 2006. Produksi padi
nasional naik minimum sama dengan
kenaikan penduduk 1,5 %. Sinar Tani .
[14 Maret 2006]
Bradbury LMT, Henry RJ, Jin Q, Reinke
RF, Waters DLE. 2005. A perfect
marker for fragrance genotyping in rice.
Mol Breed 16:279–283.
Lang NT, Buu BC. 2008. Development of
PCR based markers for aroma (fgr)
gene in rice (Oryza sativa L.).
Omonrice 16:16-23.
Bradbury LMT, Fitzgerald TL, Henry RJ,
Jin Q, Waters DLE. 2005. The gene for
fragrance in rice. Plant Biotechnology
3: 363–370.
Lin CF, Hsieh RCY, Hoff BJ. 1990.
Indentification and quantification of the
popcorn-like aroma in lousiana
aromatic della rice (Oryza sativa). Food
Science 35:1466-1467.
Bourgis FR et al. 2008. Characterization of
the major fragance gene from an
aromatic japonica rice and analysis of
its diversity in Asian cultivated rice.
Theor Appl Genet 117: 353–368.
Lisdayanti P. 1997. Polymerasee chain
reaction: cara mudah memperbanyak
DNA. Warta Biotek. 3: 1-3.
Buttery RG, LC Ling, BO Juliano, JG
Turnbaugh. 1983. Cooked rice aroma
and 2-asetil-1-pirolin. Agric. Food
Chem 31: 823-826.
Cordeiro GM, Christopher MJ, Henry RJ,
and Reinke RF.2002. Identification of
microsatellite markers for fragrance in
rice by analysis of the rice genome
sequence. Mol. Breed 9:245–250.
Lorieux M, Petrov M, Huang N, Guiderdoni
E, Ghesquière A. 1996. Aroma in rice:
genetic analysis of a quantitative trait.
Theor App Genet 93:1145–1151.
Lu JJ, Chang TT. 1980. Rice in Temporal
and Spatialprospective. In Rice
Production and Utilization. Bor s. Luh
(ed). West Port: AVI Pb.
Manurung SO, Ismunadji M. 1999. Padi:
Buku Padi 1. Bogor: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
14
Mikkelsen SR, Corton E. 1960.
Bioanalytical Chemistry. New Jersey:
John Wiley & Sons.
Sambrook J, Russell DW. 1989. Molecular
Cloning: A Laboratory Manual 3rd
edition.New York: Laboratory Pr.
Mittal, UK, Preet K, Singh D, Shukla KK,
Saini RG. 1995. Variability of aroma in
some land races and cultivars of
scented rice. Crop Improv. 22:109-122.
Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di
Indonesia. Jakarta : Rineka
Muladno. 2002. Teknologi Rekayasa
Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha
Muda.
Mullis KB. 1990. The unusual origin of the
polmerase chain reaction. Scientific
American 3:56-65.
Nur M, Adijuwana H. 1987. Teknik separasi
dalam analisis pangan [tesis]. Bogor:
Program
Pascasarjana,
Institut
Pertanian Bogor.
Pasaribu B. 2006. Rancangan undangundang lahan pangan abadi. Tidak
memperkenankan
konversi
lahan
pangan. Sinar Tani 3:8-14.
Roy et al. 2006. Association analysis of
agonomically important traits using
SSR, SAMPL, and AFLP markers in
bread wheat. Current Science 90:683689.
Shure MS, Wessler, Fedorrof N. 1983.
Molecular identification and isolation
of the Waxy locus in maize. Cell
35:225-233.
Sobir
et
al.
2008.
Komparasi
keanekaragaman genetik
tanaman
manggis (Garcinia mangostana L.)
Indonesia dan kerabat dekatnya dengan
penanda
isoenzim
dan
AFLP.
Biodiversitas 10:1-6.
Tjitrosoepomo G.
1923.
Taksonomi
Tumbuhan
(Spermathopyta).
Yogyakarta: Gajah Mada University Pr.
Widodo I. 2003. Penggunaan marka
molekuler pada seleksi tanaman
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana,
Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
15
LAMPIRAN
16
Lampiran 1 Tahapan alur penelitian
Penanaman Padi
± 3 minggu
Isolasi DNA Daun Padi
± 0.5 gram
Pengukuran Konsentrasi DNA
dengan Spektrofotometer
260 nm dan 280 nm
Amplifikasi DNA
dengan PCR
Analisis Pola DNA
dengan Elektroforesis
17
Lampiran 2 Isolasi DNA menggunakan metode CTAB
Daun padi ± 0.5 gr
Bufer CTAB 1000 µl
Gerus
Tabung mikro 2 ml
Inkubasi 65 C selama 15 menit
(tiap 5 menit digoyang-goyang)
+ 100 µl natrium asetat 3M
+ 1000 µl CHISAM
Sentrifugasi, 12000 rpm
selama 5 menit
Supernatan
+ 90 µl natrium asetat 3M
+ 650 µl Chisam
Sentrifugasi, 12000 rpm
selama 5 menit
Pelet DNA
Cuci dengan etanol 70 %
Keringkan dengan oven
selama 10 menit
Larutkan kembali dalam
50 µl TE bufer + RNase
18
Lampiran 3 Pengenceran konsentrasi DNA menjadi 50 µg/ml
Varietas padi
Konsentrasi
(µg/ml)
1481.0271
1963.0995
3417.4866
1022.0799
2217.8862
1184.1504
1068.8307
1675.2058
729.3049
1665.9915
1349.0306
933.5104
Pare Kembang (A)
Mentik Wangi (A)
Pandan Wangai(A)
Pulu Mandoti (A)
Pinjan (A)
Gilirang (A)
Gunung Perak (A)
Ciherang (NA)
Nipponbare (NA)
IR64 (NA)
Fatmawati (NA)
T309 (NA)
A260/280
1.8577
1.8432
1.8472
1.8008
1.8394
1.8016
1.8382
1.9024
1.8874
1.8658
1.8471
1.8653
Contoh perhitungan:
Pare Kembang
M1 x V1 = M2 x V2
M1
V1
M2
V2
: konsentrasi DNA
: volume DNA yang akan diambil
: konsentrasi akhir (50 µg/ml)
: volume akhir (100 µl)
M1 x V1 = M2 x V2
1481.0271 µg/ml x V1 = 50 µg/ml x 100 µl
1481.0271 µg/ml x V1 = 5000 µl µg/ml
5000 µl µg/ml
V1 =
1481.0271 µg/ml
V1 = 3.38 µl
Volume DNA
(µl)
3.38
2.55
1.46
4.89
2.25
4.22
4.68
2.98
6.86
3.00
3.71
5.96
Volume ddH2O
(µl)
96.62
97.45
98.54
95.11
97.75
95.78
95.32
97.02
93.14
97.00
96.29
94.04
Download