BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Burma-Myanmar1. Hal ini menarik untuk diteliti karena selama ini tulisan yang ada sebatas berbicara mengenai perlakuan yang diterima bukan tindakan yang dilakukan. Etnis Muslim Rohingya ini merupakan satu dari total 135 etnis minoritas yang ada di Burma-Myanmar. Adapun dari sejumah etnis minoritas tersebut, etnis Muslim Rohingya dianggap etnis yang paling teraniaya (most persecuted ethnic) menurut UN (United Nations-PBB). Etnis ini tidak hanya teraniaya akibat diskriminasi yang diperoleh dari kebijakan pemerintah setempat tetapi juga dari kelompok atau etnis lainnya. Presiden Thein Sein pernah menyarankan bahwa satu-satunya solusi terkait masalah Muslim Rohingya ini adalah dengan cara mendeportasi mereka. Kenyataannya sampai sekarang belum ada satu negara yang benar-benar memberikan hak kewarganegaraan terhadap mereka. Penduduk Muslim Rohingya pun masih dianggap sebagai kelompok etnis yang tidak berkewarganegaraan. 1 Dikarenakan belum ada nama yang pasti untuk menyebutkan nama negara ini, maka penulis menggunakan nama ‘Burma-Myanmar’. 1 Etnis muslim Rohingya ini telah didiskriminasi sejak tahun 1948 ketika adanya pemisahan etnis yang dilakukan oleh Inggris. Pemisahan yang dilakukan di wilayah Rakhine tersebut memisahkan etnis Buddha Myanmar dan Muslim Rohingya. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa etnis Rohingya bukanlah merupakan bagian dari Burma-Myanmar. Sebenarnya diskriminasi yang dialami oleh etnis Muslim Rohingya juga dialami oleh etnis minoritas lainnya seperti Kachin, Chin, Mon,dan Shan. Akan tetapi perbedaan yang mencolok adalah bahwa junta yang berkuasa menyatakan bahwa tidak ada yang disebut sebagai kelompok etnis minoritas Rohingya dalam sejarah Burma-Myanmar. Dibawah pemerintahan militer yang menguasai Burma-Myanmar, pada tahun 1982 muncul kebijakan baru yang disebut Burma Citizenship Law (BCL) dimana warga Rohingya tidak mendapat kewarganegaraan, hak atas tanah, dan pendidikan serta pekerjaan yang layak dan cukup. Tidak seperti golongan etnis minoritas lainnya yang setidaknya diakui kewarganegaraannya oleh rezim BurmaMyanmar, etnis Muslim Rohingya ini dianggap sebagai penduduk sementara dan tidak mendapat hak kewarganegaraan secara penuh. Sayangnya demokrasi baru yang telah diusung juga tidak membawa perubahan signifikan bagi mereka. Hal ini terlihat sejak juli dimana biksu-biksu Buddha sudah melancarkan aksi antiRohingya di berbagai kota di segala penjuru negara. Pada bulan Oktober, ratusan mahasiswa yang beragama Buddha berunjuk rasa di Sittwe (Ibu Kota negara bagian Rakhine) untuk melawan Rohingya dengan mengatakan bahwa mereka adalah “teroris Bengali” (Aziz, Businessweek.com, 12 Nov 2012). 2 Ada sebuah kepercayaan diantara mereka yang menyatakan bahwa Rohingya bukanlah termasuk Burmese (warga Burma-Myanmar), tetapi “Bengali” yang berasal dari Bangladesh atau manapun. Presiden Thein Sein sendiri pernah menyatakan bahwa satu-satunya solusi bagi etnis tersebut adalah mendeportasi mereka semua. Tidak ada negara manapun yang menerima mereka. Tidak heran jika akhirnya mereka tidak menjadi warga negara yang diakui secara legal dimanapun (Economist.com, 20 Okt 2012). Permasalahan terkait warga negara inilah yang dianggap sebagai pemicu utama terjadinya berbagai konflik yang menimpa etnis Muslim Rohingya. Karena hal inilah maka etnis Muslim Rohingya sering dijadikan objek yang diskriminasi. Kebijakan maupun perlakuan diskriminatif yang selama ini diterima oleh warga Muslim Rohingya akhirnya menimbulkan respon atau sikap yang ditunjukkan. Beberapa tulisan pernah menyatakan bahwa etnis Muslim Rohingya juga pernah melakukan perlawanan. Respon pertama yang ditunjukkan adalah dibentuknya semacam tentara “Mujahid” yaitu pada masa pemerintahan Junta Militer. Organisasi yang dibentuk di bawah deklarasi Dobboro Chaung pada 20 Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain yang dikenal dengan nama Jafar Kawal (Tha, 2006). Organisasi ini bertujuan untuk membentuk daerah otonomi atau negara bagian khusus penduduk Muslim. Selain itu mereka menuntut agar bagian utara Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw dimasukkan ke dalam wilayah negara Pakistan. Pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya bukanlah satu-satunya respon yang dilakukan . Selama rentang waktu 64 tahun semenjak 3 Burma-Myanmar merdeka, warga Muslim Rohingya pun akhirnya memiliki respon yang berbeda-beda. Berbagai perlawanan baik secara langsung atau tidak ditunjukkan etnis ini. Hal ini dikarenakan Burma-Myanmar yang sekarang dalam masa transisi demokrasi pun masih menunjukkan sikap yang diskriminatif. Hal ini terbukti dengan sikap pemerintah Burma-Myanmar yang tidak memihak bahkan terkesan membiarkan ketika konflik etnis berlangsung pada Juni dan Oktober 2012. Hal ini akhirnya menimbulkan pola respon yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya bisa dikatakan berbeda dari masa periode sebelumnya yaitu periode Junta Militer. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan respon yang dilakukan etnis Muslim Rohingya terhadap kebijakan diskriminatif yang diterapkan, maka penulis mengajukan pertanyaan yaitu: 1. Bagaimana perlawanan yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan yang diterapkan pemerintah Burma-Myanmar? 3. Tujuan Penelitian 3.1 Untuk mengetahui apa sebenarnya pola atau respon yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif dari pemerintah Burma-Myanmar. 3.2 Untuk mengetahui mengapa terdapat perbedaan respon dari sejak kemerdekaan Burma-Myanmar pada tahun 1948 hingga sekarang? 4 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan pedoman bagi ilmu pengetahuan serta mengetahui bagaimana sikap resistensi yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya selaku etnis minoritas yang selama ini dianggap teraniaya. Selain itu tulisan ini juga diharapkan dapat mendukung dan memperkaya tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya. Dimana nantinya diharapkan hasil dari penelitian ini bisa memberikan salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah terkait etnis Muslim Rohingya. 5. Jangkauan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada rentang waktu antara tahun 1948 – 2012. Pengambilan tahun 1948 karena terhitung pada awal kemerdekaan Burma – Myanmar dari Inggris dan tahun 2012 dimana terjadi konflik besar yang menyebabkan eksodus warga Burma-Myanmar dalam jumlah yang besar. Sehingga dalam kurun waktu sekitar 64 tahun tersebut dapat dilihat apa saja tindakan yang telah dilakukan warga Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan yang didapat, baik dari jaman otoriter pemerintah Junta hingga masa transisi demokrasi seperti sekarang ini. 6. Landasan Teori / Kerangka Berfikir 6.1 Etnis Minoritas Etnis adalah sebuah kolektivitas yang anggotanya memiliki kesamaan gaya hidup, sejarah dan bahasa namun identifikasi mereka terhadap tanah air nenek moyang bersifat lemah dan beresiko untuk hilang sama sekali sementara etnisitas adalah hasil tarik menarik antara teritori dan budaya. Jika suatu etnis berusaha dan sukses dalam membangun klaim terhadap teritori yang ditempatinya 5 dan dengan teritori itu etnis tersebut menganggapnya sebagai tanah air, maka etnis tersebut dianggap sebagai bangsa (Oommen, 1997: 69). Kelompok etnik merupakan suatu kategori khas penduduk dalam masyarakat lebih luas dalam kebudayaannya yang biasanya berbeda dengan kebudayaan kita. Para anggota kelompok tersebut adalah orang/ kelompok yang merasa terikat oleh kesamaan ras, nasionalitas atau kebudayaan (Moris, 1968: 161). Secara sosiologis, minoritas dapat didefinisikan dalam konteks perbedaan kekuatan dimana kelompok didalam struktur sosial, menjadi subjek yang di diskriminasi dan atau mendapatkan prasangka buruk dari kelompok yang lebih kuat atas dasar perbedaan yang nyata atau digunakan sebagai kriteria sebuah pengelompokkan tertentu (Carlier, 1974: 7 dalam Carlier, 1974: 36). Untuk menjelaskan mengenai minoritas ini memerlukan proses yang sangat akurat, dimana elemen seperti pengelompokkan, pelabelan dan keseimbangan kekuatan harus ditekankan, tidak hanya sebatas data statistik. Jika bersandar pada teori sosiologi secara umum dan studi minoritas secara khusus (Newman 1973, Rex, 1961, Werthem, 1971 dalam Carlier, 1977: 36), maka kata kunci yang kemudian muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut sering dijadikan kelompok yang berkuasa sebagai senjata di dalam konflik sosial. Sedangkan menurut Theodorson & Theodorson (1979: 258-259), kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau suku bangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka (prejudice) atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan 6 untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa (privileged) atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenanya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukan kepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi. Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok (lntergroup relation) . Menurut Theodorson & Theodorson (1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara sukusuku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehingga dapat dianggap sebagai masalah sosial (social problem). 6.2 Teori Pergerakan Sosial Konsepsi gerakan sosial memuat gagasan tentang sebuah kekuatan sosial yang ringkas dan padat yang terutama bersumber kuat dari keluhan-keluhan sosial 7 yang terpencar-pencar namun satu dari kelompok-kelompok, kasta-kasta dan komunitas-komunitas masyarakat yang teraniaya, terpinggirkan dan dikecewakan. Konsep tersebut menunjuk pada proses gerak-mandiri (self-action) dari masyarakat untuk mereproduksi dan mencipta kembali (regenerate) dirinya sendiri dalam proses kehidupan dan pertumbuhannya. Gerakan sosial sendiri merujuk pada sekelompok dan sekumpulan utuh aksi-aksi konflik dari sebuah kolektivitas dalam perlawanannya terhadap musuh demi memperjuangkan tujuantujuan jangka panjang dan jangka pendek tertentu (Singh, 2010: 428). Pergerakan sosial sering diartikan adanya tindakan kolektif yang dilakukan sekelompok masyarakat dalam memperjuangkan hak maupun kepentingannya. Pada perkembangannya, studi gerakan sosial berkembang menjadi dua yaitu gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan sosial lama atau klasik sering diartikan gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir dan bertujuan untuk mendapatkan atau menjawab permasalahan yang ada seperti gerakan melawan kolonialisme dan sebagainya. Serta gerakan sosial ‘baru’ (GSB) yang sifatnya lebih kontemporer. Adapun permasalahan gerakan dari kelompok yang tidak berdaya, Scott (1989) lebih senang menyebutnya sebagai ‘perlawanan’ (resistance) ketimbang Oommen (1990) yang menyebutnya sebagai ‘protes’ didalam studinya. Menurut pembacaan Oommen terhadap studi-studi mengenai protes, ada lima tipe tulisan mengenai protes dalam hal jenisnya. Yaitu (ibid: 392): a) Aksi-aksi kekerasan kolektif yang terorganisir b) Aksi-aksi non-kekerasan kolektif yang terorganisir 8 c) Mobilisasi pada level mikro (micro-mobilisation) yang bersifat nonkekerasan atau kekerasan yang terorganisir d) Mobilisasi pada level mikro (micro-mobilisation) yang bersifat sesaat dan tak terorganisir e) Protes-protes individual. Terkait dengan seni perlawanan, Singh (2010) menyatakan bahwa data mengenai ekspresi-ekspresi resistensi telah ada sepanjang keberadaan masyarakat. Dimana dalam proses perlawanan tersebut berlangsunglah proses diferensiasi dan perjuangan demi mempertahankan diri. Dimana Singh juga mengatakan bahwa gerak pertempuran menjadi syarat organis bagi perjuangan demi mempertahankan diri. Lebih lanjut, Singh juga memetakan tema-tema terkait gerakan sosial lama atau klasik. Tema-tema tersebut antara lain gerakan-gerakan petani dan perjuangan agrarian, post-history dan kesadaran kaum tani serta studi-studi subaltern, gerakan suku, dan gerakan buruh. Adapun didalam penulisan tesis ini, penulis lebih menekankan konsepsi gerakan suku. Gerakan mengenai suku, sering berkenaan dengan konsep primordialisme. Selama ini literatur yang ada menulis mengenai perlawanan etnis atau suku tertentu terhadap sistem pemerintahan kolonialisme. Tidak heran, gerakan suku sering dianggap sebagai salah satu gerakan kemerdekaan. Dimana gerakangerakan kesukuan secara tradisional berusaha membela komunitas, yaitu demi pelestarian warisan sosial, cultural, dan simbolik mereka, serta untuk bisa menjalankan kontrol dan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam latar kolonial, basis sosial gerakan-gerakan kesukuan secara umum tidak mengandung 9 elemen-elemen teknologi modern, sarana-sarana komunikasi yang cepat, maupun terfokus pada nilai-nilai ekonomi dari perjuangan demokrasi. Perjuangan suku tidak dikarakteristikan oleh tantangan kontemporer. Inilah mengapa, meskipun banyak gerakan suku yang mengandung banyak aspek GSB, gerakan tersebut sebenarnya masih termasuk perjuangan ‘lama’. Mereka termasuk gerakan sosial ‘lama’ dikarenakan sifat dasar dari inti-inti konfliktual mereka tidaklah’baru’ (Singh, 2010: 340). Tema yang diangkat oleh GSB ini lebih beragam seperti gerakan terkait lingkungan hidup, perempuan, kesukuan hingga pertahanan identitas-kolektif. Terkait dengan isu kontemporer, sebenarnya dapat memunculkan bentuk-bentuk aksi kolektif yang berbeda-beda seperti aksi kolektif yang bersifat kesukuan dan agrarian, persoalan otonomi, hak asasi manusia dan sebagainya. Bahkan, masih ada bentuk-bentuk lain yang masih tersembunyi di latar belakang yang menunggu kesempatan untuk muncul di atas medan sosial yang tak adil (Singh, 2010: 428). Terkait dengan, GSB, timbul pula beragam konsepsi tentang gerakan kemasyarakatan. Gerakan kemasyarakatan yang terkait dengan GSB ini dapat dilihat terkait periode perkembangannya. Mirsel menyatakan (2006: 16-18) ada tiga tahapan atau periode yang mendukung terjadinya pola perbedaan dalam hal gerakan kemasyarakatan yaitu: 1. Tahapan pertama ditandai oleh pandangan negatif terhadap gerakan kemasyarakatan dan cenderung menjelaskannya dari sudut pandang psikologi sosial. Sebagai reaksi terhadap popularitas psikoanalisis dan pengaruh “dunia nyata” Nazisme, fasisme, Stalinisme, tindakan-tindakan 10 main hakim sendiri (dengan mengeroyok dan membunuh) dan kerusuhankerusuhan berbau ras, maka pada tahun 1940-an dan 1950-an teori gerakan kemasyarakatan meneliti asal-usul irasional dari setiap gerakan yang muncul, sambil menggunakan paradigma teori psikoanalisis, psikologi sosial, dan teori perkumpulan massa (mass society). 2. Tahapan kedua, teori-teori gerakan kemasyarakatan didasarkan pada pandangan yang lebih positif mengenai aneka gerakan yang muncul. Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi structural tertentu. Di tahun 1960-an, gerakan-gerakan kemasyarakatan muncul dan sekaligus merangsang para pencetus teori-teori gerakan kemasyarakatan untuk memandang fenomena-fenomena tersebut secara lebih baik. 3. Periode ketiga dapat pula disebut sebagai periode dekonstruksi. Sejak akhir tahun 1970-an hingga saat ini, gerakan-gerakan baru bermunculan, namun tidak lagi terlalu terkait dengan nilai-nilai liberal, demokratis, pluralis, dan atau kekirian seperti yang telah dikemukakan oleh para ahli gerakan kemasyarakatan. Menurut aliran-aliran pemikiran baru ini, semua fenomena yang berhubungan dengan manusia merupakan tafsir sosial (socially constructed) di dalam proses wacana dan interaksi sosial; karena itu, tidak ada unsur baku di dalam komunitas manusia. Adapun para sosiolog gerakan kemasyarakatan menanggapi berbagai kenyataan dan gaya pemikiran baru ini dengan mengajukan teori yang berdasarkan konsep seperti kebudayaan, pembingkaian (framing) dan konstruksi 11 identitas. Dinamika gerakan kemasyarakatan dan gerakan tandingan, aktivisme lintas-negara dan persoalan-persoalan lintas batas, dan hubungan antar gerakan kemasyarakatan dengan media telah mendapat perhatian semakin besar. Pada periode ini tumbuh kembali minat terhadap teori-teori psikologi sosial, dengan pusat perhatian pada proses pembentukan identitas kolektif (Mirsel, 2006: 20). Selain tipe-tipe dari gerakan sosial, ada pula faktor-faktor yang mendukung terbentuknya gerakan sosial ini. Faktor terkait dengan gerakan sosial ini bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang lebih cenderung berasal dari dorongan masyarakat itu sendiri untuk melakukan perubahan. Faktor internal juga dapat dilihat dari situasi dalam negeri sebuah negara dalam mendukung adanya perubahan. Terkait gerakan sosial, faktor internal dapat dilihat dari segi politik (pemerintahan yang cenderung otoriter atau demokratis), kondisi sosial maupun budaya masyarakat setempat. Sedangkan faktor eksternal dapat terjadi karena pengaruh dari luar. Dalam hal ini pengaruh luar yang dimaksud dapat dilihat dari luar suatu negara atau komunitas. Bentuk faktor dari luar ini dapat didorong oleh kondisi budaya, ekonomi (Kriesi, 1996: 159), fisik maupun terjadinya peperangan. Faktor eksternal ini menjadi dibutuhkan ketika pengaruh tersebut dapat membantu menyelesaikan permasalahan ataupun membantu terjadinya perubahan didalam sebuah tatanan masyarakat. 6.3 Teori Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel (1957) dalam upaya untuk menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok dan 12 perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah non-reduksionis, yaitu membedakan antar proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi harus dibedakan antar proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari orang lain) dan proses identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang dengan ciri-ciri tertentu termasuk dalam suatu kelompok tertentu). Menurutnya perilaku kelompok berbeda dari perilaku individu. Yang termasuk dalam perilaku kelompok antara lain ethnosentrisme, ingroup bias, kompetisi dan diskriminasi antar kelompok, stereotip, prasangka, uniformitas, konformitas, dan keterpaduan kelompok (Sari: 2011). Menurut teori ini, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan hubungan sosial yang rumit. Proses-proses yang mendasari perilaku kelompok adalah kategorisasi dan perbandingan sosial. Hal ini memungkinkan penekanan persamaan pada hal-hal yan terasa sama dan penekanan pada perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda. Pada gilirannya kategorisasi dan perbandingan sosial ini meningkatkan persepsi ingroup. Tidak ada kebenaran yang semata-mata objektif, semua kebenaran disimpulkan dari perbandingan. Tajfel mendefinisikan Identitas Sosial sebagai pengetahuan individu di mana dia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta nilai (Tajfel, 1979). Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur, gender, suku keturunan, dll. Biasanya pendekatan dalam identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan interrelationship serta kehidupan alamiah masyarakat dan society (Hogg & Abrams, 1988). Kemudian, 13 pendekatan identitas sosial juga mengamati bagaimana kategori sosial yang ada dalam masyarakat tidak terbentuk secara sejajar, tapi juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan. Pada mulanya teori identitas sosial adalah evolusi teori yang keluar dari teori kategorisasi sosial. Teori kategori sosial sendiri diperkenalkan oleh Tajfel tahun 1972. Teori identitas sosial adalah teori yang dikembangkan setelah Tajfel melihat kategorisasi yang dilakukan individu melekatkan juga nilainilai di dalamnya pada kelompoknya dalam menilai kelompok lain. 6.4 Diskriminasi Menurut Banton, diskriminasi yang didefinisikan sebagai perlakuan yang berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu menciptakan apa yang disebut dengan jarak sosial (social distance). Sedangkan Ransford (1980) membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan diskriminasi institusi (Institutional Discrimination). Diskriminasi individu merupakan tindakan seorang pelaku yang berprasangka (prejudice). Sedangkan diskriminasi institusional merupakan tindakan diskriminasi yang tidak ada kaitannya dengan prasangka individu, melainkan merupakan dampak kebijakan atau praktik tertentu berbagai institusi dalam masyarakat (Edward, 1980 dalam Sunarto, 2004: 156). Menurut Theodorson & Theodorson (1997: 115 – 116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelmpok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak 14 mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya. Danandjaja (2003) menyatakan bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap ilegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya. Diskriminasi adalah bentuk prasangka yang telah diwujudkan dalam tindakan nyata. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki sikap prasangka sangat kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat-istiadat, kebiasaan atau hukum (Supartiningsih, 2007: 42). 15 Doob (1995) yang dikutip Supartiningsih (Supartiningsih, 2007: 43) bahkan melihat diskriminasi menjadi perilaku yang ditujukan untuk mencegah atau membatasi satu kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumber daya. Ia dapat dilakukan dengan mengurangi, memusnahkan, menaklukan, atau mengasimilasi kelompok lain. Ini berarti, sikap diskriminasi tidak lain adalah satu kompleks berpikir. Didalam interaksinya terkait etnis, diskriminasi adalah memperlakukan orang berdasarkan kelompok atau darimana ia berasal dibanding kepribadian maupun karakteristik individu tersebut. Diskriminasi juga biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa dominan untuk melindungi kepentingannya sendiri. (Horton dan Hunt, 1980: 356) 7. Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mencari dan menelaah tentang bagaimana bentuk resistensi yang telah dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya namun pembahasannya hanya menjadi bagian dari salah satu penelitian atau hanya berupa jurnal. Hasil-hasil penelitian diantaranya oleh Martin Smith (1991) dalam Burma: Insurgency and the Politics of Ethnicity merupakan buku yang menerangkan secara lengkap tentang Burma-Myanmar secara gambaran umum. Di dalam buku tersebut diceritakan tentang konflik-konflik yang terjadi dan tentang pemberontakan di Burma, termasuk pemberontakan Mujahid yang melibatkan etnis Muslim Rohingya. Tulisan lain yang dikemukakan Clive J Christie (1996) dengan judul A Modern History of Southeast Asia: Decolonization, Nationalism, and Separatism 16 dalam salah satu bahasannya yang berjudul “At the Frontier of the Islamic World: Arakanese Muslim” membahas perselisihan dan pemberontakan di dunia Islam. Dimana dalam hal ini adalah Muslim Arakan atau Muslim Rohingya yang menjadi masyarakat minoritas yang terlupakan di negaranya sendiri. Diceritakan pula keadaan di Arakan selama dan setelah perang dunia kedua, serta berbagai pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh gerakan Mujahidin. Buku hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) (2000). Penelitian tersebut berjudul Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, penelitian itu membahas problematika ketiga muslim minoritas dilihat dari perspektif masalah represi di bidang ekonomi, represi politik, serta membahas tentang gerakan resistensi ketiga minoritas muslim dengan dimensi internasional, dalam hal ini adalah peranan negara-negara OKI dalam menyikapi masalah muslim Rohingya. Vincent Bodreau (2004) dalam Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia membahas mengenai perbandingan kasus yang ada di Burma-Myanmar, Indonesia dan Filipina terkait perlawanan terhadap pemerintah masing-masing. Berbagai variasi strategi yang diusung terhadap negara dan hubungan antara strategi dan model-model aksi kolektif serta perlawanan menjadi fokus utama tulisan ini. Variasi-variasi perlawanan yang dianggap penting dalam prosesnya dan hasil dari perjuangan mereka di dalam setiap kasus merefleksikan adanya pola yang menyangkut historis. Selain itu, masa pemerintahan Ne Win di Burma-Myanmar, Suharto di Indonesia dan Ferdinand Marcos di Filipina 17 menjadikan pola perlawanan yang ada melihat bagaimana politik dan ekonomi berperan terkait krisis yang melanda. Azizah (2006) dalam Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pasca Kemerdekaan Burma 1948-1988 membahas mengenai pemberontakan Muslim Rohingya yang dilakukan secara sporadis akibat tekanan yang berkepanjangan oleh masyarakat mayoritas Buddha dan pemerintah junta militer BurmaMyanmar. Tulisan ini juga membahas mengenai alasan pemberontakan yang dilakukan demi mendapatkan otonomi atas negara bagian Arakan Utara yang merupakan wilayah dengan penduduk muslim terbesar di Burma-Myanmar. Dari beberapa tulisan diatas, terlihat belum ada yang secara signifikan menulis tentang tindakan perlawanan apa saja yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya. Tulisan yang selama ini ada mayoritas berbicara dari perspektif kebijakan negara yang terkesan sangat represif terhadap etnis Muslim Rohingya ini. Ada beberapa tulisan yang mencoba menjelaskan tentang resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya tetapi masih berkisar dalam satu pola resistensi saja. Sehingga tulisan ini diharapkan tidak hanya dapat memberikan penjelasan mengenai pola-pola gerakan sosial yang selama ini telah dilakukan sebagai bentuk resistensinya terhadap kebijakan maupun perlakuan diskriminatif otoritas setempat. Tetapi juga memberikan penjelasan terkait terdapatnya perbedaan polapola didalam gerakan sosial yang selama ini telah dilakukan. 18 8. Argumen Utama Pola respon yang ditunjukkan oleh etnis Muslim Rohingya merupakan jawaban atas tindakan maupun kebijakan diskriminatif yang ditunjukkan oleh pemerintah Burma-Myanmar. Penulis kemudian membaginya kedalam dua periode yaitu periode Junta Militer dan periode Transisi Demokrasi. Dalam perkembangannya, ternyata pada kedua periode tersebut terdapat perbedaan pola perlawanan. Adanya perbedaan perlawanan pada masing-masing periode didukung oleh faktor maupun peristiwa yang terjadi pada tiap periode. Pada periode pertama yaitu zaman Junta Militer, respon yang dilakukan lebih kepada respon terhadap kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah Burma-Myanmar. Pada masa ini, perlawanan yang dilakukan lebih ditujukan kepada pemerintah otoritas Burma-Myanmar yang kala itu dipimpin oleh Junta Militer. Sedangkan respon pada periode yang kedua yaitu Transisi Demokrasi, lebih disebabkan oleh gesekan atau konflik horizontal yang terjadi seperti konflik antar etnis. Selain itu, masalah identitas dan budaya menjadi salah satu hal yang membuat terdapat perbedaan pola resistensi terutama saat periode Transisi Demokrasi. Sehingga faktor yang yang menyebabkan terdapat perbedaan kedua respon tersebut juga bisa terlihat dari masa atau situasi dalam negeri yang mendukung pada setiap periode. Perbedaan pola perlawanan juga diakibatkan oleh berubahnya sistem tatanan dunia yang ada. Sehingga terdapat perbedaan strategi maupun perlawanan yang dilakukan. Hal ini juga diakibatkan adanya perbedaan kepentingan yang diusung oleh etnis Muslim Rohingya itu sendiri. 19 9. Metodologi Penelitian 9.1 Jenis Penelitian Pendekatan penelitian dikenal ada dua jenis yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya” (Moleong, 2004: 131). Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 2003: 16). 20 9.2 Sumber Data dan Informasi Sumber data meliputi data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mempelajari literatur, tulisan ilmiah, serta dokumen yang terkait dengan objek penelitian yang diangkat. 9.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan pustakan seperti buku, artikel, koran, majalah, laporan penelitian sebelumnya serta bahan pustaka penunjang lainnya serta melalui studi kepustakaan, penulis menggunakan media internet untuk mendapatkan data-data tersebut. 10. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini disusun berdasarkan Bab I sampai dengan Bab V, dengan rincian sebagai berikut: Bab I atau bab Pendahuluan menyajikan: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, batasan penelitian, landasan teori, kerangka konseptual, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, memuat profil negara dan etnis muslim yang terdapat di BurmaMyanmar, sejarah etnis Muslim Rohingya, serta gambaran umum mengenai kebijakan diskriminatif yang didapat oleh etnis Muslim Rohingya. Bab III, merupakan bab yang berisi mengenai berbagai tindakan atau polapola yang dilakukan etnis Muslim Rohingya terhadap kebijakan diskriminatif yang telah diterapkan pemerintah Burma-Myanmar. 21 Bab IV, merupakan analisis terkait faktor-faktor yang mendukung terjadinya perlawanan serta dinamika yang terjadi terhadap pola-pola tindakan yang telah dilakukan etnis Muslim Rohingya secara keseluruhan. Bab V, merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran. 22