BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi mengenai hasil tersebut. Peneliti juga akan membahas tentang kekurangan penelitian yang ditemukan selama penelitian berlangsung, serta saran untuk memperbaiki kekurangan tersebut pada penelitian selanjutnya. 5. 1. Simpulan Dari penelitian yang melibatkan partisipan mahasiswa dari tiga universitas di Jakarta Barat, diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan antara social injunctive norm dengan littering behavior pada mahasiswa di Jakarta Barat, baik di lingkungan bersih maupun kotor. 2. Tidak ada hubungan antara social descriptive norm dengan littering behavior pada mahasiswa di Jakarta Barat, baik di lingkungan bersih maupun kotor. 5. 2. Diskusi Hasil penelitian yang telah dijabarkan menjelaskan bahwa injunctive norm dan descriptive norm tidak memiliki hubungan dengan littering behavior dari partisipan. Hal itu karena walaupun terdapat norma dan peraturan mengenai perilaku littering, namun peraturan dan norma tersebut tidak dipatuhi sehingga membawa penyimpangan yang lebih besar. Serupa dengan Broken Window Theory yang menyatakan bahwa masalah-masalah penyimpangan kecil yang dibiarkan akan membawa masalah penyimpangan yang lebih besar. Dalam teorinya mereka menjelaskan bahwa jika di suatu gedung terdapat sebuah jendela pecah dan tidak segera diperbaiki, orang-orang yang melihat kaca jendela tersebut pecah akan berasumsi bahwa tidak ada yang peduli terhadap gedung tersebut maka akan ada lebih banyak jendela yang kemudian pecah, lalu tidak lama lagi gedung tersebut tidak akan memiliki jendela (Wilson & Kelling, 1982). 69 70 Pada hasil analisis terhadap injunctive norm didapatkan hasil bahwa injunctive norm tidak memiliki hubungan dengan littering behavior baik di lingkungan bersih maupun kotor. Hasil studi dari Keizer et. al. (2011) dapat menjelaskan temuan, dalam hasil studinya dijelaskan bahwa kehadiran himbauan larangan mengotori sebagai injunctive norm tidak memperbaiki perilaku di lingkungan yang sudah tercemar, karena mereka lebih fokus kepada orang-orang yang telah melanggar larangan tersebut. Lebih spesifik lagi, fokus pada perilaku yang kebanyakan telah dilakukan orang akan menggantikan atau menimpa kehadiran peran injunctive norm sehingga mengarahkan perilaku ke arah bentuk descriptive norm yang terjadi saat itu. (Cialdini, et. al., 1990; Cialdini, et. al., 2006). Secara umum dapat dikatakan bahwa keamanan sebuah lingkungan kurang lebih tergantung pada keputusan tentang bagaimana sikap orang-orang di lingkungan tersebut terhadap kejadian yang menyimpang di lingkungan mereka, seperti jalanan yang kotor, dan lainnya. Hasil dari penelitian Philip Zimbardo menunjukkan efek yang cukup dramatis dari BWT, dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda kerusakan lingkungan akan membuat penduduk lingkungan menarik diri dari tempat-tempat umum di lingkungan tersebut dan mengakibatkan kurangnya kontrol sosial, kemudian hal tersebut akan meninggalkan ruang yang lebih untuk perilaku kriminal (Wilson & Kelling, 1982). Pembahasan melalui strategi komunikasi persuasi yang juga dapat menjelaskan penggunaan metode untuk mewakili injunctive norm dalam penelitian ini. Tidak adanya hubungan injunctive norm dengan littering behavior mungkin dapat dijelaskan dari aspek seberapa penting isu tentang littering dan bagaimana proses dalam mencerna informasi yang diberikan, kedua aspek tersebut tidak digambarkan dalam penelitian ini. Menurut Petty dan Cacioppo (1986), kita cenderung berfikir secara mendalam tentang isu-isu yang relevan dan penting bagi kita. Namun terkadang, walaupun isu yang dimaksud penting, kita mungkin saja tidak dapat memproses argumen atau informasi yang tersedia secara cermat karena perhatian terganggu atau lelah. Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa descriptive norm tidak memiliki hubungan dengan perilaku membuang sampah dari partisipan, terlihat 71 dari hasil uji analisis chi-square pada Bab 4. Descriptive norm menghadirkan semacam bentuk standar dalam sebuah situasi terhadap individu yang tidak ingin berperilaku menyimpang. Karena seseorang mengukur kepantasan dari perilakunya berdasarkan seberapa jauh perilaku orang tersebut berbeda dari norma yang tergambarkan. Sebagai contoh, tingkat kelaziman untuk minum alkohol di kampus tergantung pada seberapa banyak orang yang meminum alkohol di kampus tersebut (Wechsler dan Kuo, 2000; Berkowitz, 2004; Perkins et. al., 2005). Ciri khas untuk mewakili atau menggambarkan descriptive norm dalam penelitian ini mungkin kurang sesuai jika diberikan terhadap semua partisipan. Studi oleh Perkins (2002) menyatakan bahwa descriptive norm lebih efektif jika difokuskan pada pengaruh peer. Dalam studinya ia mengembangkan intervensi yang menggunakan pendekatan norma sosial untuk mencegah kekerasan seksual, peningkatan akademis, mengurangi perilaku prasangka. Intervensi norma sosial difokuskan pada pengaruh peer, karena memiliki dampak lebih besar terhadap perilaku individu dibandingkan dengan faktor biologis, kepribadian, keluarga, agama, kebudayaan, dan pengaruh lainnya. Pengaruh peer tersebut lebih berdasarkan pada apa yang seseorang pikirkan tentang perilaku orang disekitarnya (percieved/descriptive norm), daripada apa yang sebenarnya diyakini oleh orang tersebut (actual/injunctive norm) (Perkins, 2002). Jika dilihat melalui teori social comparison, dikatakan bahwa perbandingan sosial dapat menyebabkan perubahan dalam opini dan keahlian seseorang, dan kebanyakan perubahan terjadi ke arah yang menyerupai (misalnya asimilasi). Namun besarnya perubahan sangat tergantung pada kepentingan, keterkaitan, dan ketertarikan terhadap suatu kelompok yang dijadikan perbandingan, lalu ketidakmampuan untuk mencapai keseragaman dengan kelompok tersebut dipersepsikan sebagai hal yang tidak menyenangkan (Festinger, 1954). Hasil dari kedua norma di atas tidak lepas dari instrumen penelitian yang digunakan untuk menstimulasi perilaku dan mewakili ciri yang menggambarkan norma sosial. Ciri khas untuk menggambarkan norma menjadi penting untuk dipertimbangkan secara cermat agar pesan yang dimaksud oleh norma dipahami 72 oleh orang-orang. Pandangan oleh Cialdini et. al. (1990) yang mengembangkan Focus Theory of Normative Conduct, menyatakan bahwa fokus kognitif dari seseorang dapat menjadi penghubung sebuah norma terhadap suatu perilaku, fokus tersebut tergantung pada ciri khas dari berbagai jenis norma (Cialdini et. al., 1990). Menurut Perkins dan Berkowitz (1997, 2003, 2004) Jika program pencegahan penyalahgunaan narkoba atau alkohol hanya menekankan pada masalah perilaku tanpa menyertakan norma kesehatan yang sebenarnya, maka hal itu dapat menumbuhkan keyakinan yang keliru bagi banyak orang bahwa perilaku penyalahgunaan narkoba atau alkohol lebih buruk dari yang sebenarnya terjadi, sehingga secara tidak sengaja dapat berkontribusi dalam mempengaruhi permasalahan yang ingin dipecahkan. Sebaliknya, program pencegahan yang didasarkan pada teori norma sosial berfokus pada peningkatan sikap dan perilaku sehat dari mayoritas orang, serta menggunakan informasi tersebut untuk membimbing program pencegahan terhadap orang yang menyalahgunakan. Teori yang mendasari pendekatan norma sosial diuraikan oleh Berkowitz (1997, 2004) dan Perkins (1997, 2003). Pada banyak kasus, strategi pencegahan yang menggunakan pendekatan norma sosial telah banyak berhasil saat dikombinasikan dengan strategi pencegahan penyalahgunaan narkoba dan atau alkohol seperti perubahan kebijakan dan strategi lingkungan lainnya. Kemudian hasil penelitian yang menyatakan tidak ada hubungan antara kedua jenis norma terhadap littering behavior mungkin dikarenakan kurangnya mempertimbangkan aspek lain dari dimensi lingkungan dan individu partisipan itu sendiri. Karena menurut Lewin (1951), dalam mengembangkan konstuk yang ilmiah untuk menganalisa hubungan perilaku dengan situasi tempat perilaku tersebut muncul, penting untuk memahami karakteristik situasi sebagai property dari psychological field. Lewin melanjutkan dengan pertimbangan yang disebut psychological ecology yang diformulasikan untuk mendukung penelitian psikologi lingkungan dalam pendekatan yang kontekstual. Ia menjelaskan bahwa semua jenis kelompok hidup pada seting dengan batasan-batasan tertentu terhadap apa yang mungkin dan tidak mungkin terjadi. Faktor non-psikologis seperti iklim, komunikasi, dan 73 hukum negara atau organisasi merupakan bagian dari batasan tersebut. Analisis pertama yang harus diselesaikan dari sudut pandang psychological ecology adalah harus mempelajari data non-psikologis untuk mencari tahu apakah faktor tersebut menjadi kondisi pembatas bagi kehidupan individu atau kelompok. Hanya setelah data tersebut diketahui barulah sebuah studi dapat dimulai untuk meneliti faktor yang terlihat signifikandalam menentukan perilaku atau tindakan dari kelompok atau individu (Stokols dan Altman, 1987). Bandura (1978) memperkenalkan model Doctrine of Reciprocal Determinism (DRD). Ia menjelaskan bahwa individu, lingkungan, dan perilaku tidak hanya saling terikat, namun hubungan ketiganya adalah bi-directional. Kihlstrom (2014) menggambarkan hubungan tersebut dalam bentuk yang lebih rinci. Pertama, proses, keadaan, dan disposisi psikologis dari individu (sifat, sikap, nilai, keyakinan, mood, dorongan, kebutuhan, dll.) dapat mempengaruhi perilaku individu tersebut. Di sisi lain, perilaku itu juga mempengaruhi keadaan mental individu tersebut, sebagai contoh, setelah seseorang berperilaku dengan cara tertentu terhadap lingkungan, ia akan mengalami suatu perasaan emosi tertentu. Kedua, seting fisik dan sosial yang objektif dapat mempengaruhi perilaku (misalnya situasi sosial tertentu mungkin saja memicu perilaku agresi atau altruisme). Di sisi lain, dapat terlihat dengan jelas bahwa perilaku dapat mempengaruhi atau mengubah lingkungan. Ketiga, seseorang dapat mempengaruhi lingkungan sebagaimana lingkungan dapat mempengaruhi seseorang. Penelitian ini juga tidak mempertimbangkan faktor keadaan ekonomi dan demografis, karena menurunnya tingkat kejahatan atau penyimpangan bisa juga dikarenakan oleh keadaan ekonomi setempat dan faktor demografis. Penjelasan utama karena perkembangan ekonomi memberikan tempat bagi jutaan anak muda untuk bekerja dan melakukan sesuatu (Bowling, 1999). Selain itu metode penelitian yang didesain oleh peneliti mungkin terpapar oleh carryover effects karena dalam penelitian ini tiap partisipan akan terlibat atau melewati 1 sesi penelitian yang terdapat 2 kondisi di dalamnya (kondisi pro-litter dan anti-litter). Carryover effects adalah tindakan atau perilaku yang muncul pada kondisi kedua dalam sebuah eksperimen, yang mungkin saja perilaku tersebut 74 dipengaruhi oleh perilaku sebelumnya di kondisi yang pertama. Carryover effects dapat terjadi karena pengetahuan partisipan atau karena instruksi yang diberikan pada kondisi pertama mempengaruhi tindakan atau perilakunya di kondisi selanjutnya. Carryover effects juga dapat terjadi karena interpretasi partisipan terhadap tujuan eksperimen pada satu kondisi, yang kemudian interpretasi tersebut mempengaruhi tindakan atau perilaku partisipan pada kondisi selanjutnya. Temuan dalam analisis tambahan yang mempertimbangkan aspek perbedaan gender terhadap perilaku membuang sampah mendapatkan hasil yang tidak mengejutkan, bahwa perempuan lebih sedikit membuang sampah sembarangan daripada laki-laki. Banyak studi terdahulu yang telah membuktikan temuan tersebut, studi oleh Zelezny, Chua, dan Aldrich (2000) memfokuskan perilaku tersebut dibentuk oleh peran gender dalam lingkungan sosial. Maskulinitas dikaitkan dengan sikap mandiri, kontrol, dan kekuasaan, sedangkan femininitas berkaitan erat dengan sikap keterikatan, empati, dan peduli. Sikap femininitas tersebut mungkin menjelaskan bahwa perempuan lebih mudah merasakan kepedulian terhadap lingkungan (McCright, 2010). Dalam aspek peran gender, perempuan memiliki peran sebagai pengasuh dan pembimbing sehingga lebih terdorong untuk bekerja sama dan menunjukkan sikap mengasihi (Blocker dan Eckberg, 1997; Beutel dan Marini 1995). Sosialisasi peran gender secara tradisional yang memposisikan perempuan sebagai pengasuh anak membawa mereka untuk lebih peduli terhadap menjaga segala yang berhubungan dengan kelangsungan hidup (McStay dan Dunlap, 1983). Selain itu, faktor kepribadian seperti altruism yang menjadi ciri khas dari perempuan berkaitan erat dengan perilaku environmental (Dietz, Kalof, dan Stern, 2002). Kualitas tersebut terbukti bahwa walaupun perempuan memiliki pekerjaan diluar rumah, mereka tetap terlibat dalam peran pengasuhan keluarga mereka ketika pulang dari kantor (Hochschild, 1989). Mental keibuan ini yang kemudian membawa sikap protektif terhadap lingkungan karena perempuan lebih memahami diri mereka adalah bagian dari masyarakat dan dunia yang lebih luas (Blocker dan Eckberg, 1989; Davidson dan Freudenburg, 1996). 75 Analisis tambahan pada tiap-tiap area penelitian (BINUS, Esa Unggul, TSM) dapat dijelaskan melalui kondisi karakteristik masing-masing area. Hasil analisis perilaku yang dijabarkan berdasarkan tiap area penelitian menunjukkan bahwa perilaku positif paling banyak dicatat dari area penelitian di Universitas Esa Unggul, hal itu karena kondisi area penelitian di Esa Unggul bukan merupakan jalan utama dan tidak terdapat banyak orang di sekitar area penelitian. Seperti yang dijelaskan pada bagian karakteristik lingkungan di subbab prosedur penelitian pada bab 3, lebar fisik jalan merupakan yang paling kecil daripada area lainnya, yaitu 3 meter, begitu juga dengan jumlah kepadatan orang sekitar 2 – 3 orang per 3 meter persegi, selain itu lebih banyak pejalan kaki yang melewati area tersebut. Peneliti mengaitkan temuan tersebut dengan fenomena deindividuation oleh Festinger, Pepitone, dan Newcombe (1952). Menurut mereka, hilangnya ikatan diri atau keterpisahan dengan lingkungan sosial dapat menyebabkan menurunnya larangan-larangan atau pengekangan dalam diri. Ketika seseorang terpisah dari kelompok maka larangan-larangan tertentu menjadi lemah, dan orang tersebut lebih bebas melakukan apa yang diinginkan. Menurut formula tersebut, menjadi anonim (anonymous) dalam sebuah keramaian dapat membawa perilaku tertentu yang anti sosial, dan juga membawa perasaan yang menyenangkan (Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952). Teori anonymity juga diusulkan oleh Zimbardo (1959), yang meyakini bahwa anonymity secara kuat dapat mendorong deindividuation. Menurutnya, kondisi sosial dapat membawa perubahan dalam persepsi individu terhadap dirinya dan orang lain, deindividuation dapat menurunkan batasan tertentu tentang perilaku yang biasanya dilarang. Fenomena tersebut terjadi karena dua komponen, anonimitas diri (personal anonymity) dan tanggung jawab sosial untuk membaur (diffuse responsibility). Zimbardo membuat hipotesis bahwa kondisi tersebut membuat lemahnya kontrol sosial yang berdasarkan rasa bersalah (guilt) dan rasa malu (shame), karena itu tidak akan ada perhatian tentang evaluasi sosial jika tidak ada orang lain yang dapat mengidentifikasi perilaku individu tertentu (orang lain tidak bisa mengevaluasi, mengkritik, menilai, atau menghukum) (Zimbardo, 1969). 76 5. 3. Saran 5. 3. 1. Saran Teoritis Untuk mengembangkan dan memperbaiki kekurangan dari penelitian ini, peneliti akan menjabarkan kekurangan yang ditemukan dalam penelitian ini, serta saran yang dapat peneliti berikan yang diharapkan berguna untuk penelitian di masa mendatang. 1. Kekurangan dalam penelitian ini yang pertama adalah dari segi partisipan, penelitian ini hanya melibatkan golongan mahasiswa dari 3 universitas di Jakarta Barat, sehingga hasil penelitian masih belum dapat mewakili keseluruhan populasi mahasiswa secara khusus, dan populasi lebih luas secara umum. Karena itu, diharapkan pada penelitian selanjutnya partisipan yang dilibatkan berasal dari berbagai golongan karena diketahui dari tinjauan pustaka bahwa karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan dikatakan berhubungan dengan perilaku membuang sampah (Keep America Beautiful, 2009). 2. Kedua, dalam penelitian ini tidak dilakukan kontrol terhadap aspek psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku membuang sampah dari partisipan. Dalam analisis penelitian ditemukan partisipan yang tidak mengalami perubahan perilaku pada kedua kondisi dalam tiap sesi penelitian, hal itu mungkin saja dikarenakan oleh aspek psikologis dari partisipan secara personal. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa aspek psikologis seperti altruisme, environmental self-efficacy, locus of control, dan selfconcept juga berperan dalam mempengaruhi perilaku tanggung jawab lingkungan (Responsible Environmental Behavior) (Ojedokun, 2010, 2011, 2013). 3. Ketiga, model yang digunakan untuk mewakili informasi dari injunctive dan descriptive norm diharapkan dapat dikembangkan sehingga menjadi lebih menggambarkan ciri khas dari masing- 77 masing norma. Seperti misalnya mempertimbangkan bentuk himbauan sebagai injunctive norm agar lebih persuasif sehingga lebih berpengaruh terhadap perilaku, atau mempertimbangkan bentuk lain dari descriptive norm yang efektif agar terjadi perubahan perilaku secara masal dan signifikan. 4. Kemudan keempat, melakukan teknik counterbalancing untuk menghindari terjadinya carryover effects. Counterbalancing adalah metode untuk mengendalikan efek urutan desain atau kondisi penelitian dengan melakukan desain pengukuran berulang, caranya dapat dengan melibatkan semua partisipan pada urutan desain kondisi penelitian (secara runut atau terbalik), atau dengan menentukan responden secara acak untuk dilibatkan dalam urutan penelitian tertentu (Cozby, 2009). 5. 3. 2. Saran Praktis Pengaruh norma sosial terhadap perilaku dapat memberi gambaran yang lebih jelas yang berguna untuk membangun sebuah strategi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku menyimpang. Dalam penelitian ini yang memfokuskan untuk melihat perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior) yang dilihat dari aspek injunctive norm dan descriptive norm, didapatkan hasil yang mungkin dapat membantu untuk mengembangkan sebuah strategi untuk mengurangi perilaku littering. Dari temuan pada injunctive norm maka dalam mengembangkan strategi untuk mengurangi perilaku littering diharapkan lebih memperhatikan kondisi kebersihan lingkungan. Melakukan inovasi terhadap bentuk komunikasi agar menarik orang lain untuk mengikuti pesan yang terkandung dalam himbauan tertentu telah banyak dilakukan, namun hal seperti itu menjadi kurang efektif ketika kondisi kebersihan lingkungan tidak diperhatikan. Karena itu mengurangi perilaku littering dapat dilakukan dengan cara tidak membiarkan atau mendiamkan penyimpangan kecil seperti lingkungan yang kotor terjadi, atau tetap menjaga kondisi suatu lingkungan tetap bersih. 78 Temuan ini dapat dijadikan program seperti melibatkan berbagai lembaga aktivis lingkungan sosial dan mengajak untuk bergerak ke berbagai tempat yang tercatat masih buruk dalam kualitas lingkungannya, dan menjadi model untuk berperilaku menjaga lingkungan seperti buang sampah di tempat sampah. Selain itu untuk jangka panjang, lebih sering melakukan penyuluhan atau pendidikan ke berbagai daerah agar kesadaran akan kesehatan lingkungan dapat diserap oleh anak-anak dan terinternalisasi hingga kehidupan di dewasa nanti.