1. Memahami Etika Jurnalistik

advertisement
ETIKA JURNALISTIK
BAB I
Pengertian Etika dan Etika Profesi
1. Pengertian Etika dan Etika Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watakkesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang
dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin [1993], etika didefinisikan
sebagai”the discipline which can act as the performance index or reference for our control
system”. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala
sesuatunya dibuat danditerapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial(profesi) itu
sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik
profesi dalam hal ini jelasakan diperlukan untuk menjaga martabat sertakehormatan profesi,
dan di sisi lain melindungimasyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupunpenyalahgunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaandari masyarakat, bilamana dalam
diri para elitprofesional tersebut ada kesadaran kuat untukmengindahkan etika profesi pada
saat mereka inginmemberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakatyang memerlukannya.
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan)
manusia. Etikatidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih
dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun.
Norma hukum berasal dari hukum dan perundangundangan, norma agama berasal dari agama
sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan
sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.
1. Etika dan Etiket
Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Persamaan
antara etika denganetiket yaitu: etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilahtersebut
dipakai mengenai manusia tidak mengenaibinatang karena binatang tidak mengenal etika
maupun etiket.
Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi
perilaku manusiadan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering
dicampuradukkan.
3. Perbedaan antara etika dengan etiket
1.
Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkancara
yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalamsebuah kalangan tertentu.
Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang
perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan
atau tidak boleh dilakukan.
2.
Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain.
Barang yang dipinjamharus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
3.
Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuahkebudayaan, dapat saja
dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan
berbohong”, “janganmencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4.
Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang
manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanyalembut, memegang etiket namun
menipu. Orang dapat memegang etiketnamun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang
pada etika tidakmungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikapetis.
Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.
4. Etika dan Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan
norma moral yang terdapatpada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana
orang harus hidup. Ajaran moral merupakanrumusan sistematik terhadap anggapan tentang
apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaranmoral. Etika merupakan filsafat
yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khasyaitu bersifat rasional,
kritis,
mendasar,
sistematik
dan
normatif
(tidak
sekadar
melaporkan
pandangan
moralmelainkan menyelidiki bagaimana pandangan moralyang sebenarnya).
5. Pluralisme moral diperlukan karena:
1.
Pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya
dan agama yang hidup berdampingan;
2.
Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat
yangakibatnya menantang pandangan moral tradisional;
3.
Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing
denganajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Etika sosial dibagi menjadi: Sikap terhadap sesama; Etika keluarga; Etika profesi,
misalnya etika untuk dokumentalis, pialang informasi; Etika politik; Etika lingkungan hidup;
serta Kritik ideologi.
6. Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara
sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma
moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia.
Ada perbedaan antara kebaikan moral dankebaikan pada umumnya. Kebaikan moral
merupakan kebaikanmanusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan
kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnyasebagai suami atau isteri. Moral berkaitan
dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan
etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau
sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.
7. Etika dan Moralitas
Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan
ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar,
sistematik dan normatif.
Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang
bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah
masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya
membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang
seharusnya.
8. Etika dan Agama
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepatuntuk memberikan
orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasidasar kehidupan dalam agamanya. Akan
tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan
sekadarindoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1.
Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puasmendengar
bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga inginmengerti mengapa Tuhan
memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2.
Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling
berbeda dan bahkan bertentangan.
3.
Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat makaagama
menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu.
Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4.
Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu
ajaran agama hanya terbuka pada mereka yangmengakuinya sedangkan etika terbuka bagi
setiap orang dari semua agamadan pandangan dunia.
Istilah yang Berkaitan
Kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau
kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran
sopansantun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompokdengan manusia lain. Etiket
tidak berlaku bila seorang manusiahidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau
ditengah hutan. Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnyatidak etis menanyakan usia
pada seorang wanita. Ethos artinyasikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada
ungkapanethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja
yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasaryang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau
kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh
anggota profesi dan mengikat anggota dalammenjalankan tugasnya.
BAB II
Kode Etik Jurnalistik
Wartawan adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional,
seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai
profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr.
Lakshamana Rao:
1.
Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
2.
Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
3.
Harus ada keahlian (expertise).
4.
Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.
1.
Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers
menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional
tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua
tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian, kebebasan di sini
dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1).
Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para
penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau
owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan
pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung
bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah
penulis yang tidak disukainya.
2.
Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering
tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun
ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan.
Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan
harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para
pemimpin dan orang-orang ternama.
3.
Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis
berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
4.
Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999
tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik
adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.
1.
Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2.
Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and
recheck).
3.
Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4.
Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya.
Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika
orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5.
Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes
only).
6.
Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu
suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi
wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya
“berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan
yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus
1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI
berintikan tujuh hal sebagai berikut:
1.
benar.
Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
2.
Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan
informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3.
Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta
dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan
plagiat.
4.
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul,
serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.
Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.
Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7.
Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia.
Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya
hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa
menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan
kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar
ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu
diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi,
guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam
mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak
asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh
informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi
sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas
serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik
perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c.
Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
1.
Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
2.
Menghormati hak privasi;
3.
Tidak menyuap;
4.
Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan
pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang
sumber dan ditampilkan secara berimbang;
5.
Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto,
suara;
6.
Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain
sebagai karya sendiri;
7.
Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a.
Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b.
Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masingmasing pihak secara proporsional.
c.
Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d.
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a.
Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b.
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c.
Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d.
Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan
tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a.
Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi
pengetahuan umum.
b.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak
lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a.
Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan
permintaan narasumber.
c.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d.
“Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak
boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa
atau cacat jasmani.
Penafsiran
a.
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain
yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a.
Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun
tidak ada teguran dari pihak luar.
b.
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
BAB III
Memahami Etika Jurnalistik
1.
Memahami Etika Jurnalistik
Sebelum kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika profesi. Hal ini
karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah sebuah profesi
(profession). Apa yang membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain?
Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990)
Adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga
persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa
berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan,
sekaligus latihan, cukup lama dan intensif.
Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang ketentuan hukum sebelum bisa
berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki keterampilan tulis-menulis, yang untuk
mematangkannya membutuhkan waktu cukup lama, sebelum bisa menghasilkan karya
jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi dengan pekerjaan biasa,
seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan keterampilan atau pengetahuan
khusus.
Menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu
vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri:
1.
Keahlian (expertise)
2.
Tanggungjawab (responsibility)
3.
Kesejawatan (corporateness).
Sedangkan etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip
moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan demikian secara kasar bisa
dikatakan, etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat
profesi tertentu.
Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam
melaksanakan pekerjaannya.Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk
memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk
melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang
merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.
2.
Perumus Kode Etik
Lalu siapa yang berhak merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini? Kode Etik biasanya dirumuskan
oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap para
anggota organisasi.
Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik Kedokteran yang mengikat para
dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim
Indonesia), dan seterusnya.Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu
organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri.
AJII bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode
Etik
Jurnalis
Indonesia,
yang
diharapkan
bisa
diberlakukan
untuk
seluruh
jurnalis
Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa
merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya.
Harian Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.[3] Isinya cukup lengkap,
sampai ke soal "amplop", praktek pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang
menimbulkan citra buruk terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.
Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia
atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan tak banyak
berbeda.
Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak
sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar
belakang budaya negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai
contoh di sini disajikan Kode Etik AJI.
3.
Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
1.
Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan
dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3.
Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.
4.
Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.
Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.
Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7.
Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the
record, dan embargo.
8.
Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.
Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan
seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam
masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik,
cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik
dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari
keuntungan pribadi.
14. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat
pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
4. Majelis Kode Etik
Anggota Majelis ini dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota Majelis ini
ditentukan oleh Kongres AJI. Jika ada anggota Majelis yang tidak dapat melaksanakan
tugasnya, maka pengisian lowongan anggota tersebut ditetapkan oleh Majelis dengan
persetujuan pengurus AJI Indonesia.
5. Tugas Majelis Kode Etik, antara lain:
1.
Melakukan pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik
2.
Melakukan pemeriksaan dan penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode
etik oleh anggota AJI.
3.
Mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti pelanggaran Kode Etik.
4.
Memanggil anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik.
5.
Memberikan putusan benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik.
6.
Meminta pengurus AJI untuk menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
7.
Memberikan usul, masukan dan pertimbangan dalam penyusunan atau pembaruan Kode
Etik.
6. Dewan Pers
Selain Majelis Kode Etik dari AJI, yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk anggota
AJI, di tingkat nasional juga kita kenal lembaga Dewan Pers, yang salah satu fungsinya adalah
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk pada 19 April 2000, berdasarkan
ketentuan Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers
dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Anggota Dewan Pers terdiri dari 9 (sembilan) orang, yang mewakili unsur wartawan, pimpinan
perusahaan pers, dan tokoh masyarakat yang ahli di bidang pers.Selain menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
Dewan Pers berfungsi memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.Dewan Pers juga
memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers
dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
7. Tugas Dewan Pers adalah:
1.
Memberikan pernyataan penilaian dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran
Kode Etik, penyalahgunaan profesi, dan kemerdekaan pers.
2.
Keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
3.
Keputusan atau rekomendasi Dewan Pers dipublikasikan ke media massa.
Harus diingat dan digarisbawahi di sini bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga pengadilan, yang
bisa memasukkan jurnalis pelanggar kode etik atau pemimpin redaksi media massa
bersangkutan ke penjara! Keputusan Dewan Pers bukanlah vonis pengadilan.
Artinya, kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetap terbuka
untuk menempuh jalur hukum (lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki kekuatan
hukum. Seperti sudah diutarakan di atas, keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan nonlegalistik.
Jika seseorang menjadi jurnalis atau wartawan ia diharuskan mematuhi Kode Etik Jurnalistik. Ini
diatur dalam ayat (2) Pasal 7 Bab III UU No.40/1999 tentang Pers yang berbunyi: wartawan
memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Download