DETEKSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB MASTITIS

advertisement
DETEKSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB MASTITIS
SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN
CENDANA KABUPATEN ENREKANG
SKRIPSI
SRI RAHAYU
O111 10 262
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
DETEKSI Streptococcus agalactiae PENYEBAB MASTITIS
SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN
CENDANA KABUPATEN ENREKANG
SRI RAHAYU
O 111 10 262
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Sri Rahayu
Nim
: O 111 10 262
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil
dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 19 Agustus 2015
Sri Rahayu
ABSTRAK
SRI RAHAYU (O 111 10 262). Deteksi Streptococcus agalactiae Penyebab
Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang.
Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN sebagai pembimbing utama dan FIKA
YULIZA PURBA sebagai pembimbing anggota.
Mastitis subklinis adalah peradangan jaringan ambing tanpa disertai gejala
klinis pada ambing maupun perubahan pada susu serta dapat menyebabkan
penurunan produksi susu. Streptococcus agalactiae merupakan salah satu agen
mikroorganisme patogen yang bisa menyebabkan mastitis subklinis pada sapi
perah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan bakteri Streptococcus
agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang. Sampel pada penelitian ini sebanyak 33 sampel susu yang
diperoleh dari 28 ekor sapi perah penderita mastitis subklinis yang tersebar di
Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Pemeriksaan mastitis subklinis pada
sapi perah dilakukan dengan menggunakan reagen California Mastitis Test
(CMT). Deteksi bakteri dilakukan melalui isolasi dan identifikasi di laboratorium
dengan menggunakan metode kultur, pewarnaan Gram dan beberapa uji biokimia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 33 sampel susu yang diperoleh dari 28
ekor sapi perah penderita mastitis subklinis yang tersebar di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang, ditemukan 1 (3,03%) sampel susu positif mengandung
bakteri Streptococcus agalactiae.
Kata kunci : sapi perah, mastitis subklinis, Streptococcus agalactiae, Cendana,
Enrekang
ABSTRACT
SRI RAHAYU (O 111 10 262). Detection of Streptococcus agalactiae Causes of
Subclinical Mastitis in Dairy Cattle in Sub-District Cendana Enrekang Regency.
Suvervised by LUCIA MUSLIMIN as the main supervisor and FIKA YULIZA
PURBA as Supervisor Member.
Subclinical Mastitis is an inflammation of the mamary gland without clinical
symptoms in the mamary gland or change of milk, and can decrease milk
production. Streptococcus agalactiae is one of pathogenic microorganism agent
that can cause subclinical mastitis in dairy cattle. The aims of the study were to
detect the presence of the Streptococcus agalactiae bacteria cause subclinical
mastitis in dairy cattle in Cendana Sub-District, Enrekang Regency. total samples
in this study is 33 milk samples were obtained from 28 dairy cattle patients
scattered subclinical mastitis in Cendana Sub-District, Enrekang Regency.
Examination of subclinical mastitis in dairy cattle performed using reagents
California Mastitis Test (CMT). Bacterial detection is done through isolation and
identification laboratory using method of bacterial culture, Gram stain and
biochemical tests. The results showed that out of the 33 samples of milk were
obtained from 28 dairy cattle patients scattered subclinical mastitis in Cendana
Sub-District, Enrekang Regency were examined found 1 (3.03%) positive samples
Streptococcus agalactiae.
Keywords : dairy cattle, subclinical mastitis, Streptococcus agalactiae, Cendana,
Enrekang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Deteksi Streptococcus agalactiae
Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang”. Shalawat dan salam dihaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam kegelapan menuju
alam yang terang benderang.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada Program Studi Kedokteran Hewan
Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan
penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan peran
serta berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
tulus kepada:
1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin,
2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin,
3. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Pembimbing Utama dan drh.
Fika Yuliza Purba, M.Sc selaku Pembimbing Anggota yang dengan penuh
kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, ilmu, saran dan nasehat
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini,
4. Prof. Dr. drh. Ratmawati Malaka, M.Sc dan drh. Muhammad
Fadhlullah Mursalim selaku dosen pembahas dan penguji yang telah
memberikan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan skripsi ini,
5. Kedua orang tua Ayahanda Lukman, S.P., M.M.A dan Ibunda Rahmatiah,
S.Pd atas segala dukungan, motivasi, kasih sayang dan doa yang selalu
diberikan kepada penulis, serta kedua kakak tercinta Wawan Gunawan dan
Hildayanti yang selalu membantu dan mengerti segala kondisi sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan,
6. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Enrekang, Bapak Sanusi,
Bapak
Ridwan, drh. Suhartila beserta staf yang telah memberikan
bantuan selama penelitian,
7. Peternak sapi perah di lokasi penelitian yang telah memberikan data,
informasi, dan dengan rasa kekeluargaan menerima dan membantu penulis
selama penelitian berlangsung,
8. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kedokteran Hewan yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan studi,
9. Teman seangkatan “V-Gen” yang telah memberikan pengalaman yang tidak
terlupakan kepada penulis selama berkuliah di Program Studi Kedokteran
Hewan,
10. Teman seperjuangan dalam penelitian Dzul haerah yang selalu
menyemangati, memberikan saran, selalu membantu mulai dari penyusunan
proposal, penelitian dan penyusunan skripsi.
11. Teman satu bimbingan Fatma, Aswan, Aqsar, Ashari, Rahayu, ita, yang
selalu memberikan semangat dan saling membantu dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini,
12. Sahabat “Chebee” Lilis, Mela, Hera, Darma, Ayu Tanro yang selalu
memberikan bantuan dan menemani dalam suka duka, sejak awal penulis
menuntut ilmu di akademik ini. Terima kasih atas segala pengertian dan
dukungannya. Para “Pojok Kiri” Satrya, ade, indra, hastira, degi, christine,
yuyun dan lidia,
13. Sahabat tercinta Maria Ulfah Sri Nurhayu dan Indriani, yang selalu
memberikan semangat, doa dan selalu mengingatkan penulis agar cepat
menyelesaikan pendidikan dan menjadi sarjana.
14. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dan
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar
penulis dapat berkarya dengan lebih baik kedepannya. Wassalamu’ Alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 23 Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Hipotesis Penelitian
1.6 Keaslian Penelitian
1
2
2
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ambing
2.2 Mastitis Subklinis
2.2.1 Etiologi
2.2.2 Cara Penularan dan faktor predisposisi
2.2.3 Patogenesis
2.2.4 Gejala Klinis
2.2.5 Diagnosis
2.2.6 Pengendalian dan Pencegahan
2.2.7 Pengobatan
2.3 Bakteri Streptococcus agalactiae
4
5
6
6
7
7
8
8
8
8
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
3.2.2 Bahan Penelitian
3.2.3 Alat Penelitian
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengambilan Sampel
3.3.2 Isolasi dan Identifikasi
3.3.3 Analisa Data
11
11
11
12
12
12
12
12
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemeriksaan Mastitis Subklinis
4.2 Isolasi dan Identifikasi Streptococcus agalactiae dari Sampel
Susu Sapi Penderita Mastitis Subklinis
i
iii
iv
vi
vi
vi
15
15
17
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
25
25
26
29
39
DAFTAR TABEL
1. Karakteristik Biokimia Streptococcus agalactiae
2. Jumlah Sampel Penelitian dan Hasil Pemeriksaan Mastitis Subklinis
dengan Uji CMT di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang
3. Hasil Identifikasi Melalui Pewarnaan Gram
4. Hasil Identifikasi bakteri dengan Uji CAMP
5. Hasil Uji Biokimia terhadap 11 Sampel.
6. Data Jumlah Sampel Susu Positif Streptococcus agalactiae
di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang
10
16
19
20
21
23
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar skematik anatomi ambing sapi
2. Radang ambing pada sapi perah yang mengalami mastitis
3. Morfologi Streptococcus agalactiae yang diamati melalui mikroskop
4. Hasil Pengujian Mastitis Subklinis Menggunakan Reagen CMT
5. Hasil Pewarnaan Gram Bakteri yang diduga
Streptococcus agalactiae dibandingkan dengan literatur
6. Hasil Uji CAMP dibandingkan dengan Literatur
7. Hasil Pengujian Biokimia Bakteri yang diduga Streptococcus agalactiae
8. Kultur bakteri diduga Streptococcus agalactiae pada media Blood Agar
5
6
9
15
18
21
22
22
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Isolasi dan Identifikasi Laboratorium
2. Identitas Peternak dan Data Sampel Sapi perah
3. Dokumentasi Penelitian
29
35
40
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Susu sebagai salah satu produk peternakan merupakan sumber protein
hewani yang semakin dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan susu tersebut dilakukan peningkatan
populasi, produksi dan produktifitas sapi perah. Kabupaten Enrekang adalah salah
satu daerah yang telah menjadi prioritas pengembangan peternakan sapi perah di
Sulawesi Selatan. Iklim di Kabupaten Enrekang mendukung untuk pengembangan
sapi perah (Kasim dkk., 2011). Kabupaten Enrekang khususnya Kecamatan
Cendana, merupakan salah satu pusat peternakan sapi perah. Berdasarkan data
Disnakin (2014), Kecamatan Cendana merupakan kecamatan yang memiliki
populasi sapi perah paling banyak di Kabupaten Enrekang yaitu 557 ekor.
Salah satu faktor penghambat dalam peningkatan produksi susu dan
merupakan masalah umum dalam usaha peternakan sapi perah adalah penyakit.
Penyakit yang sering menyerang sapi perah saat memproduksi susu atau laktasi
ialah mastitis (Hidayat dkk., 2002). Penyakit radang ambing atau yang dikenal
sebagai mastitis merupakan penyakit yang sering terjadi dan merupakan masalah
utama dalam dunia peternakan sapi perah karena dapat menyebabkan kerugian
ekonomi yang sangat besar bagi peternakan sapi perah di seluruh dunia
(Bannerman dan Wall, 2005). Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh mastitis,
terutama mastitis subklinis meliputi penurunan produksi dan kualitas susu,
peningkatan biaya perawatan dan pengobatan, pengafkiran ternak lebih awal serta
pembelian sapi perah baru (Subronto, 2003). Dinyatakan oleh Bray dan Shearer
(2003) bahwa penurunan produksi susu akibat mastitis sebesar 15-20% dari total
produksi susu. Sedangkan menurut Taylor dan Field (2009) produksi susu akan
mengalami penurunan 30%.
Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing (Sudarwanto,
2009). Berdasarkan gejalanya, mastitis yang sering menyerang sapi perah yang
sedang laktasi ada 2 macam, yaitu mastitis klinis dan subklinis (Sudono dkk.,
2003). Kejadian mastitis sekitar 97-98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan
23% merupakan kasus mastitis klinis yang terdeteksi (Sudarwanto, 1999). Kasus
mastitis subklinis sering tidak disadari oleh peternak yang melihat sapi dalam
keadaan sehat, tetapi terjadi penurunan produksi susu. Penurunan produksi susu
perhari perekor sapi penderita mastitis subklinis akan menyebabkan peternak
mengalami kerugian.
Mastitis subklinis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
seperi bakteri, kapang dan khamir. Tingkat keparahan mastitis sangat dipengaruhi
oleh mikroorganisme penyebabnya. Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus
aureus adalah dua bakteri utama penyebab mastitis (Songer dan Post, 2005;
Wahyuni dkk., 2005). Hasil penelitian Wibawan dkk. (1995), terisolasi
Streptococcus agalactiae pada kejadian mastitis subklinis sebesar 83% di wilayah
Bogor, 82% untuk wilayah Boyolali dan 80% untuk wilayah Malang. Sugiri dan
Anri (2010) melaporkan bahwa prevalensi kejadian mastitis subklinis yang
diakibatkan oleh agen patogen Streptococcus agalactiae di Jawa Barat sebesar
37%.
2
Streptococcus agalactiae termasuk salah satu bakteri patogen yang bisa
menyebabkan mastitis subklinis. Secara ekonomis bakteri ini sangat merugikan
bagi peternak, karena bisa menyebabkan penurunan produksi susu yang sangat
signifikan (sekitar 10-20%) dan menurunkan kualitas susu secara umum serta
secara signifikan akan meningkatkan jumlah sel somatik (SCC) pada suatu
peternakan atau kelompok ternak yang terinfeksi (Kirk dan Lauerman, 1994).
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri Gram positif yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia seperti meningitis pada bayi, sepsis neonatal
dan tonsilitis (Songer dan Post 2005; Lukman dkk., 2009)
Meski kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia cukup tinggi,
namun penelitian mengenai deteksi dan identifikasi Sreptococcus agalactiae
sebagai agen penyebab mastitis subklinis masih sedikit dilakukan khususnya di
daerah Sulawesi Selatan. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian
tentang Sreptococcus agalactiae sebagai penyebab mastitis subklinis di
Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Identifikasi agen penyebab mastitis
merupakan faktor utama sebagai salah satu langkah dalam penanganan dan
penentuan terapi terhadap kasus mastitis subklinis. Dengan mengetahui agen
penyebab mastitis subklinis maka penanganan mastitis subklinis akan lebih
mudah dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah terdapat bakteri Sreptococcus agalactiae pada susu
yang diperoleh dari sapi perah penderita mastitis subklinis di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaan
bakteri Streptococcus agalactiae sebagai penyebab mastitis subklinis pada sapi
perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bakteri
Sreptococcus agalactiae sebagai penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di
Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang melalui isolasi dan identifikasi di
laboratorium.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Pengembangan ilmu :
Mendapatkan data keberadaan bakteri Streptococcus agalactiae sebagai
penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Kecamatan Cendana Kabupaten
Enrekang.
3
1.4.2. Manfaat Aplikasi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bakteri
Streptococcus agalactiae sebagai penyebab mastitis subklinis sehingga dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil langkah pencegahan, pengobatan
dan pengendalian penyakit mastitis subklinis pada sapi perah baik bagi peternak
maupun bagi pemerintah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang.
1.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat bakteri Streptococcus agalactiae
pada susu sapi perah penderita mastitis subklinis di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai deteksi Streptococcus agalactiae sebagai penyebab
mastitis subklinis pada sapi perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang
belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai bakteri Streptococcus agalactiae
sebagai penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia pernah
dilakukan, namun fokus, tujuan, dan lokasinya berbeda, yakni Virgihani (2011)
Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis di
Peternakan Sapi Perah Kunak Bogor terhadap Beberapa Antibotik. Wahyuni dkk,
(2006) Distribusi Serotipe Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis
pada Sapi Perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ambing
Ambing pada sapi terletak di daerah inguinal. Ambing sapi terdiri dari
empat bagian. Bagian kiri dan kanan terpisah jelas, bagian ini dipisahkan oleh
ligament yang berjalan longitudinal yang disebut sulcus intermammaria.
Sedangkan bagian depan dan belakang jarang memperlihatkan batas yang jelas.
Tiap bagian dilihat dari segi jaringan kelenjarnya, merupakan suatu kesatuan yang
terpisah atau disebut juga kuartir. Antara kuartir yang satu tidak tergantung pada
kuartir yang lain, khususnya dalam hal suplai darah, saraf dan apparatus
suspensorius (Wiley dan Sons, 2009). Ambing memiliki beberapa sistem yang
mendukung dalam strukturnya, antara lain terdapat sistem peredaran darah, limfe,
saraf, dan sistem saluran yang berperan dalam penyimpanan dan sekresi susu ke
dalam sel epitel yang disebut juga dengan alveoli (Foley dkk., 1972).
Parenkima ambing (jaringan epitel) terdiri dari alveoli dan duktus kelenjar.
Alveoli merupakan struktur dasar untuk produksi susu. Duktus-duktus kecil
bersatu membentuk duktus yang lebih besar yang disebut duktus laktiferosa, yang
terbagi menjadi empat bagian rongga yang besar yaitu pars glandularis (gland
cistern) dan bagian yang lebih kecil di dalam puting disebut pars papilaris (teat
cistern). Di dalam satu kuartir ambing, pars glandularis merupakan rongga yang
terdapat di atas dasar puting dan berhubungan dengan pars papilaris. Pars papilaris
berhubungan dengan bagian luar puting melewati bukaan tersempit pada ujung
puting yang disebut streak canal, yang terbuka pada ostium papilae. Lumen
Streak canal dalam keadaan normal ditutup oleh lipatan-lipatan epitelial yang
menjulur dari dinding streak canal. Streak canal pada ujung puting dikelilingi
oleh sfingter yang tersusun dari serabut-serabut otot polos sirkuler (Wiley dan
Sons, 2009).
Apparatus suspensorius merupakan sistem ligamen fibroelastis yang
menyanggah ambing. penyangga utama ambing adalah ligamen suspensorius
medial dan ligamen suspensorius lateral, sedangkan kulit luar hanya bersifat
pelindung daripada sebagai penyangga ambing. Ligamen suspensorius medial
mengandung banyak jaringan elastis. Ligamen suspensorius medial ini turun
antara dua bagian ambing. Hampir tidak ada pembuluh darah atau saraf melewati
ligamen medial dari sebagian ambing ke sebagian ambing lainnya. Sedangkan
ligamen suspensorius lateral bersifat fibrous dan kurang elastis (Wiley dan Sons,
2009).
Suplai darah ke ambing sebagian besar melalui arteri pudental (pudik)
eksternal, yang merupakan cabang dari pudendo epigastrik. Arteri pudental
eksternal bergerak ke arah bawah melalui canalis inguinalis yang berliku-liku dan
terbagi menjadi cabang-cabang cranial dan caudal yang mensuplai bagian depan
dan belakang kuartir ambing pada sisi yang sama dari arteri tersebut. Aliran vena
dari ambing kebanyakan melalui lingkaran vena pada dasar ambing yang melekat
pada dinding abdominal. Lingkaran vena dibentuk dari vena-vena utama yang
mengaliri ambing. Vena pudental eksterna menerima darah dari kedua bagian
kuarter ambing, baik cranial maupun caudal dari sisi yang sama. Kearah cranial
masing-masing vena pudental eksternal bersambung dengan vena epigastrik
5
superficial caudal (subcutaneus abdominal) tepat pada atau di depan ambing,
mengaliri lingkaran vena. Pembuluh-pembuluh limfa mengaliri ambing tampak
pada permukaan, di bawah kulit, terutama pada sapi yang produksi susunya
banyak. Pembuluh limfa tersebut mengalir dari seluruh ambing, meliputi puting
susu, sampai ke inguinal superficial nod lymphaticus berada di dekat lingkaran
inguinal superficial (eksternal) di atas bagian caudal dari dasar ambing (Wiley dan
Sons, 2009).
Gambar 1. Gambar skematik anatomi ambing sapi ( Bearden dan Fuquay, 1997).
2.2 Mastitis Subklinis
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk peradangan yang terjadi pada
jaringan internal ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan
kenaikan sel di dalam susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai
atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar. Berdasarkan gejalanya,
mastitis dibedakan menjadi dua, yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis.
Mastitis klinis ditandai dengan gejala yaitu adanya pembengkakan, kemerahan,
sakit dan penurunan fungsi pada ambing. Pemeriksaan fisik menunjukkan hewan
mengalami kenaikan suhu tubuh, denyut jantung dan laju pernapasan (Subronto,
2003).
Berbeda dengan mastitis klinis, mastitis subklinis adalah peradangan
jaringan internal ambing tanpa disertai gejala klinis baik pada susu maupun pada
ambing. Namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, ditemukan
mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia pada susu (Sudarwanto,
1999). Mastitis subklinis ditandai pada pemeriksaan susu secara mikroskopik
yaitu terjadi peningkatan jumlah sel somatik lebih dari 400.000 sel/ml susu dan
ditemukan bakteri patogen. Penurunan kuantitas susu jarang diamati oleh peternak
sedangkan penurunan kualitas susu hanya dapat diperiksa di laboratorium, oleh
karena itu diagnosa mastitis subklinis jarang dilakukan. Kualitas susu yang
6
diperiksa melalui perubahan kimiawi pada susu, meliputi penurunan jumlah
kasein, total protein dan laktosa (Subronto, 2003).
Hurley and Morin (2000), menyatakan bahwa mastitis subklinis merupakan
kejadian paling tinggi dari semua kasus mastitis karena penyakit ini tidak
menunjukan gejala klinis yang jelas sehingga peternak sulit untuk melakukan
diagnosa. Mastitis subklinis dianggap lebih berbahaya karena tidak diketahui
gejalanya dan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi. Mastitis subklinis
menyebabkan penurunan produksi susu mencapai 15%. Kerugian lain disebabkan
peningkatan biaya produksi untuk pengobatan, terkadang sapi yang terkena
mastitis subklinis juga harus dikeluarkan dari peternakan lebih awal karena biaya
pemeliharaaan yang lebih tinggi dari produksinya. Kerugian ekonomis karena
mastitis subklinis dapat mencapai Rp. 10.000.000/ekor/tahun (Rahayu, 2009).
Gambar 2. Ambing yang mengalami pembengkakan karena terkena mastitis.
(Syarif dan Harianto, 2011)
2.2.1 Etiologi
Infeksi bakteri merupakan penyebab utama terjadinya mastitis. Bakteri
penyebabnya adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan
berbagai jenis bakteri Gram negatif, meskipun demikian lebih dari 130 jenis
bakteri telah dilaporkan dapat menyebabkan penyakit atau kelainan pada kelenjar
ambing sapi perah (Kirk dan Lauerman, 1994). Dalam keadaan tertentu dijumpai
pula penyebab mastitis oleh Mycoplasma sp. dan juga candida sp. (Dirjen
Peternakan dan Keswan, 2012). Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus
aureus merupakan dua bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah
di Indonesia (Wahyuni dkk., 2005).
2.2.2 Cara Penularan dan Faktor predisposisi
Selain faktor mikroorganisme, faktor hewan dan kondisi lingkungan juga
menentukan mudah tidaknya terjadi mastitis dalam suatu peternakan. Faktor
predisposisi mastitis dari segi hewannya meliputi bentuk ambing dan faktor umur.
Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya mastitis meliputi
pakan, jumlah sapi dalam suatu kandang, sanitasi kandang dan cara pemerahan
(Subronto, 2003). Reneau dkk. (2003,) telah mengemukakan adanya korelasi
positif antara kebersihan ambing dengan hasil perhitungan sel somatik dalam
susu.
7
Kandang yang berukuran sempit menyebabkan sapi-sapi didalamnya
berdesak-desakan. Apabila ada salah satu yang menderita infeksi penularan
penyakit akan dipermudah. Penularan mastitis juga dapat melalui tangan pemerah,
peralatan yang digunakan untuk membersihkan ambing yang tercemar oleh
bakteri. Penularan mastitis juga dapat terjadi melalui pancaran susu pertama yang
langsung dibuang ke lantai. Lantai kandang yang basah dan lembab akan
mendukung pertumbuhan bakteri dan bila sapi berbaring akan memungkinkan
bakteri masuk melalui lubang puting (Dirjen Peternakan dan Keswan, 2012).
2.2.3 Patogenesis
Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke
dalam kelenjar melalui lubang puting (sfingter) dan berkembang didalamnya
sehingga menimbulkan reaksi radang. Sfingter puting berfungsi untuk menahan
infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar ambing sudah dilengkapi perangkat
pertahanan, sehingga susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh
kelenjar ambing, antara lain : perangkat pertahanan mekanis, seluler dan
perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non spesifik) (Dirjen Peternakan dan
Keswan, 2012)
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi
melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana
sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar sfingter, kemudian
dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka
ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk
semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukositleukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel
ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami
multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
Peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam
ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh
darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada
ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan
produk-produk inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit
oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya
filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan pembengkakan pada ambing (Hurley dan
Morin, 2000).
2.2.4 Gejala Klinis
Berdasarkan gejalanya, mastitis dibedakan menjadi dua bentuk yaitu mastitis
klinis dan subklinis (Subronto, 2003). Gejala mastitis klinis bentuk akut dapat
ditandai dengan kondisi ternak lesu dan tidak mau makan, adanya peradangan
pada ambing, ambing membengkak, panas, kemerahan, timbul rasa sakit bila
dipalpasi, penurunan fungsi serta perubahan pada air susu seperti susu memancar
tidak normal, bening atau encer, kental, menggumpal, warna berubah menjadi
semu kuning, kecoklatan, kehijauan, kemerahan atau ada bercak-bercak merah.
Gejala mastitis klinis bentuk kronis ternak terlihat seperti sehat, ambing teraba
keras dan artropi (Hidayat, 2008).
Keadaan ini berbeda dengan kejadian mastitis subklinis. Mastitis subklinis
merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan gejala klinis pada ambing
8
dan air susu. Ternak terlihat seperti sehat, nafsu makan dan suhu tubuh normal,
ambing normal, air susu tidak menggumpal dan warna tidak berubah. Tetapi
melalui pemeriksaan laboratorium akan didapatkan Jumlah sel radang meningkat,
ditemukan kuman-kuman penyebab penyakit, adanya mikroorganisme patogen
dan terjadi perubahan kimia susu (Hidayat, 2008).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis mastitis klinis dapat ditentukan dari gejala klinis yang terlihat,
yaitu adanya pembengkakan atau kemerahan pada ambing serta
perubahan warna air susu yang dihasilkan. Sedangkan diagnosa mastitis subklinis
dapat dilakukan uji lapang dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT),
yaitu suatu reagen khusus untuk pengujian adanya mastitis subklinis sebelum
dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri penyebab di laboratorium. Selain itu juga
dapat dilakukan pengujian secara langsung dengan menghitung jumlah sel
somatik menggunakan metode Breed. Pengambilan sampel dapat dilakukan
dengan mengambil susu secara langsung dari setiap kuartir secara aseptis.
(Subronto, 2003; Wahyuni dkk., 2005; Lukman dkk., 2009).
2.2.6 Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian dan pencegahan yang dapat dilakukan terhadap mastitis
adalah dengan membersihkan lantai kandang secara teratur dan usahakan
senantiasa dalam keadaan kering, pemerah harus selalu berupaya agar tangan
dalam keadaan bersih dan kuku tidak melukai putsing. Setiap akan diperah
ambing harus selalu dalam keadaan bersih dan higienis, sapi yang terkena mastitis
harus dipisahkan dari sapi-sapi yang sehat, melakukan pemerahan dengan baik
dan benar dengan pemerahan sampai tidak ada air susu yang tertinggal dalam
puting, melakukan pencegahan dengan pemberian antibiotika selama masa kering
kandang, melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap kejadian mastitis, dan
melakukan pencelupan atau dipping putting ke dalam larutan desinfektan setelah
selesai pemerahan (Arimbi, 2005).
2.2.7 Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang sesuai
dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan dilakukan uji sensitivitas
terhadap bakteri sebelum melakukan pengobatan agar dilakukan pengobatan yang
optimal (Dirjen Peternakan dan Keswan, 2012).
Di Amerika Serikat, pengobatan antibiotik melalui intramamaria untuk
mastitis dengan penyebab Streptococcus agalactiae adalah dengan amoksisilin,
penisilin dan eritromisin (Songer dan Post, 2005).
2.3 Bakteri Streptococcus agalactiae
Streptococcus sp. berbentuk sesuai namanya yaitu bulat (coccus) dan
berbentuk rantai atau berpasangan. Semua spesiesnya merupakan bakteri non
motil dan tidak membentuk spora. Kelompok bakteri ini termasuk bakteri Gram
positif. Semuanya anaerob fakultatif, kebanyakan berkembang di udara tetapi
beberapa spesies Streptococcus membutuhkan CO2 untuk berkembang. Semua
9
spesies Streptococcus sp. tidak dapat mereduksi nitrat tetapi mampu
memfermentasi glukosa dengan produk utama adalah asam laktat, tidak pernah
berupa gas. Banyak spesies merupakan anggota dari mikroflora normal pada
membran mukosa dari manusia ataupun hewan, dan beberapa bersifat patogen.
Streptococcus sp. digolongkan berdasarkan kombinasi sifatnya, antara lain sifat
pertumbuhan koloni, pola hemolisis pada agar darah (ά-hemolisis, β-hemolisis
dan γ-hemolisis) (Songer dan Post, 2005).
Streptococcus agalactiae termasuk dalam genus Streptococcus golongan B.
Bakteri ini merupakan bakteri Gram positif. Streptococcus agalactiae merupakan
satu-satunya anggota grup B menurut klasifikasi Lancefield (1867). Songer dan
Post (2005) membagi genus Streptococus dengan klasifikasi spesies spesifik
karbohidrat pada antigen dinding sel.
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Ordo
: Lactobacillales
Family
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: S. Agalactiae
(Lehman dan Neumann, 2010)
Gambar 3. Morfologi Streptococcus agalactiae yang diamati melalui mikroskop.
Pembesaran 100x (Anonim, 2010)
Bakteri ini secara khas menghasilkan hemolisin yang dapat menghemolisa
sel darah merah secara in vitro. Kelompok Streptococcus dapat menghemolisa
eritrosit dengan melepas hemoglobin secara sempurna termasuk dalam kelompok
β-hemolitik (Jawetz, 1986). Pada media agar darah Streptococcus agalactiae
berbentuk bulat, berwarna transparan, cembung dan membentuk daerah hemolisis
yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya (bergaris tengah 0,5-1 mm).
Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respon
10
positif pada CAMP test (Christie, Atkins, Munch-Peterson), oleh karena itulah
Streptococcus agalactiae biasa diidentifikasi dengan CAMP test. Strain
Streptococcus
agalactiae
meningkatkan
aktivitas
hemolitik
pada
Staphylococcal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP.
Staphylococcus yang umum digunakan adalah Staphylococcus aureus (Songer dan
Post, 2005). Berikut karakteristik biokimia Streptococcus agalactiae dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik biokimia Streptococcus agalactiae
Reaksi
Karakteristik
Katalase
CAMP
+
Bile Eskulin
Motilitas
Indol
Produksi urease
Glukosa
+
Maltosa
+
Sukrosa
+
Sumber : Bergeys (1974)
Streptococcus agalactie terkenal sebagai penyebab mastitis pada sapi.
Pada hewan lain, seperti domba, kambing dan unta, bakteri ini juga menyebabkan
mastitis dan laminitis. Streptococcus agalactiae dapat ditemukan pada vagina dan
bagian orofaring manusia. Pada manusia, bakteri ini dapat menyebabkan
meningitis. Streptococcus agalactiae juga merupakan bakteri yang hanya sedikit
berespon terhadap terapi antibiotik (Songer dan Post, 2005).
Utama dkk., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar isolat lapang
Streptococcus agalactiae yang diuji memiliki aktivitas hemaglutinasi pada
eritrosit sapi dan ayam, serta sebagian kecil pada eritrosit manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa Streptococcus agalactiae kemungkinan dapat menginfeksi
manusia secara sistemik. Bakteri ini merupakan penyebab penting infeksi
postpartus dan infeksi neonatal pada manusia. Infeksi postpartus yang sering
terjadi adalah endometritis dan infeksi neonatus berupa pneumonia, sepsis dan
meningitis.
11
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2014 - Januari 2015.
Pengambilan sampel susu sapi perah dilaksanakan di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang dan pengujian laboratorium untuk isolasi dan identifikasi
bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sapi perah yang terdapat di
Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang sebanyak 557 ekor (Data Disnakin
Kabupaten Enrekang, 2014). Kecamatan Cendana dipilih sebagai lokasi penelitian
karena memiliki jumlah populasi sapi perah yang paling tinggi di Kabupaten
Enrekang.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28 ekor sapi perah
betina laktasi yang tersebar di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang. Besaran
sampel ditentukan dengan tingkat konfidensi 95%, asumsi tingkat prevalensi
Streptococcus agalactiae sebagai penyebab mastitis subklinis di Kecamatan
Cendana sebesar 10% (Sugiri dan Anri, 2010) dan besaran populasi 557 ekor.
Besaran sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n = [1 – (1- a)1/D] [N – (D – 1)/2]
(Martin dkk., 1987)
Keterangan :
n : Besaran sampel yang digunakan
a : Tingkat konfidensi (0,95)
D : Jumlah hewan sakit dalam populasi
N : Besaran populasi
n = [1 – (1- a)1/D] [N – (D – 1)/2]
n = [1 – (1- 0,95)1/56] [557 – (56 – 1)/2]
n = [1 – (0,948)] [557 – 27,5]
n = [0,052] [529,5]
n = 28
Sampel adalah sapi perah betina laktasi yang berada di beberapa desa di
wilayah Kecamatan Cendana, yang sebelumnya telah dipilih sebagai unit
sampling yaitu Desa Lebang dan Desa Pinang. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan yaitu random sampling.
12
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel susu sapi perah
yang terkena mastitis, reagen CMT, alkohol 70%, alkohol 96%, Media Blood
Agar Plate (BAP), Media Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Media Bile
Eskulin, Media Motility Indole Ornithine (MIO), Media uji gula-gula (glukosa,
maltosa, sukrosa), Media Urea, aquades, kristal violet, lugol, safranin , H2O2 3%,
isolat Staphylococcus aureus.
3.2.3 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah padel CMT, Tabung steril,
rak tabung, label, lap bersih, tisu, sarung tangan, icepack, coolbox, cawan petri,
tabung reaksi, objek glass, ose, bunsen, pipet steril, incubator, autoclave, gelas
ukur, mikroskop, alat tulis, kamera.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel susu dilakukan pada saat pemerahan sore hari. Ambing
sapi yang akan diperah dibersihkan dengan air bersih, kemudian dilap dengan tisu
yang dibasahi alkohol 70%. Susu pancaran pertama dibuang dan pancaran
selanjutnya diambil sebanyak 10 ml, sampel ditampung dalam tabung steril
kemudian ditutup rapat dan disimpan dalam coolbox yang berisi icepack agar
suhunya stabil untuk menghindari perkembangbiakan bakteri, hingga tiba di
laboratorium. Sebelum sampel diambil, terlebih dahulu dilakukan uji mastitis
menggunakan reagen California Matitis Test (CMT).
Uji California Mastitis Test (CMT)
Uji mastitis subklinis dilakukan setelah membuang pancaran susu yang
pertama terlebih dahulu, kemudian sampel susu dari masing-masing kuartir yang
akan diuji diperah langsung ke dalam Padel CMT. Sebanyak 2 ml susu diletakkan
pada padel dan ditambahkan 2 ml reagen CMT. Digoyangkan secara horizontal
perlahan-lahan selama 10-15 detik. Hasil pengujian negatif (bila campuran susu
dan reagen CMT tetap homogen), positif 1 (Endapan terlihat jelas), positif 2
(Campuran langsung mengental dan gel bergerak ke tengah), dan positif 3
(Banyak terbentuk gel dan gel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi
cembung) (Setiawan dkk., 2012).
3.3.2 Isolasi dan Identifikasi Streptococcus agalactiae
Sampel susu yang menunjukkan hasil mastitis subklinis yang positif
dengan menggunakan pereaksi CMT ditumbuhkan dalam media Brain Heart
Infusion Broth (BHIB) kemudian diinkubasi selama 18-24 jam dalam suhu 37°C.
selanjutnya, dengan menggunakan ose steril diambil suspensi bakteri pada media
BHIB yang telah diinkubasi lalu digoreskan pada media Nutrient Agar (NA)
kemudian diinkubasi selama 18-24 jam dalam suhu 37°C. Koloni yang terbentuk
setelah 24 jam diamati bentuk, warna, ukuran dan elevasi. Koloni yang diduga
Streptococcus sp. yaitu berbentuk bulat, kecil, halus, cembung, transparan,
13
berukuran 0,5-1 mm. Hasil biakan bakteri yang diduga Streptococcus sp. pada
media NA diambil koloni terpisahnya, kemudian diinokulasikan lagi pada media
NA yang baru untuk mendapatkan isolat murni, untuk selanjutnya dilakukan uji
identifikasi melalui beberapa pengujian biokimia.
Pewarnaan Gram
Koloni bakteri yang diduga Streptococcus agalactiae diambil secara aseptis
dengan menggunakan ose dan diletakkan secara merata pada object glass lalu
fiksasi di atas bunsen. Preparat yang telah difiksasi kemudian ditetesi dengan
kristal violet sebanyak 2-3 tetes lalu didiamkan selama 1-2 menit. Dibilas dengan
air mengalir. ditetesi lagi dengan larutan lugol dan dibiarkan selama 1 menit, lalu
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan alkohol 96%
lalu didiamkan 30 detik, kemudian dibilas dengan air mengalir. Diteteskan zat
warna safranin, dibiarkan selama 2 menit lalu dibilas dengan air mengalir
kemudian dibiarkan kering. Preparat diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100x dan memakai minyak emersi (BSN, 2011). Streptococcus sp.
memiliki ciri berwarna ungu dan berbentuk bulat (coccus), berantai panjang
(Songer dan Post, 2005).
Uji Katalase
Koloni yang diduga Streptococcus agalactiae diambil dengan menggunakan
ose streril kemudian disapukan pada objek glass, lalu hidrogen peroksida 3%
sebanyak 1 tetes ditempatkan diatas preparat dan diamati pembentukan
buih/gelembung (BSN, 2011). Untuk Streptococcus agalactiae akan menunjukkan
hasil yang negatif yaitu tidak adanya pembentukan buih.
Uji Christie, Atkins, Munch-Peterson (CAMP Test)
Uji CAMP dilakukan pada Media Blood Agar Plate dengan bakteri
Staphylococcus aureus sebagai penanda. S. aureus ditanam dengan cara membuat
garis ditengah-tengah media BAP dengan menggunakan ose. Kemudian tanamkan
bakteri yang diduga Streptococcus agalactiae membentuk garis tegak lurus
dengan S. aureus. Biakan diinkubasi selama 24-48 jam dalam suhu 37°C, biakan
diamati kembali. Koloni Streptococcus agalactiae memperlihatkan hasil positif
CAMP yaitu dengan membentuk zona berbentuk tanda seperti anak panah
(Songer dan Post, 2005).
Uji Gula-Gula
Bakteri diinokulasikan dalam 5 ml Phenol Red Broth yang ditambah 1%
gula kedalamnya (Glukosa, Sukrosa, Maltosa). Kultur bakteri tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Indikator Phenol Red akan
menunjukkan perubahan warna dari merah menjadi kuning untuk reaksi positif,
dan tetap merah untuk hasil reaksi negatif. Untuk bakteri Streptococcus agalactiae
akan menunjukkan hasil positif terhadap glukosa, sukrosa, maltosa,
Uji Bile Eskulin
Tujuannya untuk mengidentifikasi bakteri mampu menghidrolisis eskulin.
biakan bakteri diambil, kemudian ditanam pada media Bile-Eskulin Lalu
diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Untuk hasil positif menunjukkan
14
perubahan warna media menjadi hitam. Bakteri Streptococcus agalactiae
menunjukkan hasil negatif.
Uji Motilitas dan Uji Indol
Bakteri diinokulasikan pada media Motility Indole Ornithine (MIO)
dilakukan secara aseptis dengan menusukkan ose steril yang mengandung isolat
bakteri yang diduga, lurus kedalam tabung kemudian diinkubasi pada suhu 37°C
selama 18-24 jam. Reagen Kovac 0,2 ml sampai dengan 0,3 ml ditambahkan.
Bakteri yang tumbuh menyebar dari garis tusukan menunjukkan sifat motil,
sedangkan bila tumbuhnya hanya mengikuti garis tusukan menunjukkan sifat non
motil. Hasil reaksi positif ditandai dengan adanya bentuk cincin merah pada
lapisan atas media, sedangkan hasil reaksi negatif ditandai dengan terbentuknya
cincin kuning. Bakteri Streptococcus agalactiae menunjukkan hasil negatif untuk
uji motilitas dan uji indol
Uji Urease
bakteri dinokulasikan dengan menggunakan ose ke dalam media Urea
Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Hasil positif
menunjukkan perubahan warna media menjadi merah muda. Bakteri
Streptococcus agalactiae menunjukkan hasil negatif.
Uji Hemolisis (Uji Patogenitas)
Pengujian terhadap patogenitas dari S.agalactiae dilakukan pada Blood Agar
Plate (BAP). Diambil koloni yang diduga S.agalactiae dari Nutrient Agar (NA)
dengan ose kemudian ditanam pada media Blood Agar Plate (BAP) dengan
menggunakan metode gores,lalu diinkubasi selama 18-24 jam. Patogenitas
S.agalactiae ditandai dengan kemampuan melisiskan sel darah merah dapat dilihat
dengan adanya zona bening di sekitar koloni pada media Blood Agar Plate.
3.3.3 Analisis Data
Kejadian mastitis subklinis akibat Streptococcus agalactiae pada sapi perah
di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang dikonfirmasi melalui identifikasi
bakteri pada susu melalui pengujian laboratorium kemudian hasil data dianalisis
secara deskriptif.
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan bakteri Streptococcus
agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 –
Januari 2015. Sampel sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 28
ekor sapi perah betina laktasi yang tersebar di dua desa, yaitu desa Lebang dan
desa Pinang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan kedua
desa tersebut merupakan pusat pengembangan sapi perah dengan populasi sapi
perah terbanyak di Kecamatan Cendana. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode random sampling.
4.1
Pemeriksaan Mastitis Subklinis
Penelitian ini diawali dengan melakukan pemeriksaan mastitis subklinis
pada 28 ekor sapi perah betina laktasi yang telah dipilih menjadi sampel dalam
penelitian. Pemeriksaan mastitis subklinis dilakukan dengan menggunakan reagen
California Matitis Test (CMT) pada masing-masing kuartir ambing sapi.
Pengujian CMT menunjukkan hasil positif apabila endapan terlihat jelas (positif
1), Campuran langsung mengental dan terbentuk gel bergerak ke tengah (positif
2), Banyak terbentuk gel dan gel yang terbentuk menyebabkan permukaan
menjadi cembung (positif 3), dan hasil pengujian negatif apabila campuran susu
dan reagen CMT tetap homogen (Setiawan dkk., 2012). Hasil pengujian CMT
dapat dilihat pada gambar 4. Data jumlah sampel penelitian dan hasil pengujian
mastitis subklinis dengan reagen CMT dapat dilihat pada Tabel 2.
A
B
2
4
1
3
3
4
Gambar 4. Hasil pengujian mastitis subklinis menggunakan reagen CMT.
(A) Angka 1 dan 4 menunjukkan negatif CMT. Angka 2 dan 3
menunjukkan hasil positif CMT (positif 2)
(B) Pembesaran dari gambar A.
16
Hasil pemeriksaan mastitis subklinis dengan uji CMT pada gambar 4,
memperlihatkan dua kuartir ambing positif mastitis subklinis (2 dan 3), yang
ditandai dengan adanya pembentukan gel (tanda panah) sehingga susu menjadi
kental ketika dicampur dengan reagen CMT. Dua kuartir lainnya memperlihatkan
hasil negatif mastitis subklinis (1 dan 4) yang ditandai dengan campuran susu dan
reagen CMT yang masih homogen dan tidak terbentuknya gel atau endapan.
Pemeriksaan mastitis subklinis dengan menggunakan
reagen CMT
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi. Menurut hasil
penelitian Setiawan dkk., (2012), reagen CMT memiliki sensitivitas sebesar
96,7% dan memiliki spesifisitas sebesar 100%. Hal ini juga didukung oleh
Tanwar dkk., (2001), yang membandingkan diagnostik untuk deteksi mastitis
subklinis dan menunjukkan hasil yaitu 100% sensitivitas untuk jumlah sel somatik
dan 96% untuk reaksi CMT. Sensitivitas merupakan kemampuan suatu reagen
untuk menunjukkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis,
sedangkan spesifisitas merupakan kemampuan suatu reagen untuk menunjukkan
hasil yang negatif pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Reagen CMT
mengandung deterjen atau surfaktan yang merupakan salah satu komposisi
dimana surfaktan dapat digunakan untuk mendeteksi peningkatan kadar sel
somatik dalam susu mastitis. Menurut Xia (2006), jenis surfaktan yang berbeda
memiliki efek yang berbeda pula pada susu dimana CMT mengandung Aril
sulfonat alkil (3%), natrium hidroksida (1,5%) dan bromocresol purple. Aril
sulfonat alkil (3%) mempunyai sensitivitas yang besar pada pH susu, sedangkan
bromcresol purple merupakan indikator warna sehingga memudahkan dalam
pengamatan reaksi. Pada susu yang terkena mastitis, akan terjadi penambahan
jumlah leukosit sehingga pHnya lebih alkalis. Jika ditambahkan zat aktif seperti
Aril sulfonat alkil (3%) maka akan bereaksi dengan sel-sel somatik susu termasuk
leukosit, akibatnya terjadi kenaikan konsentrasi susu menjadi lebih viscous
(kental) dan membentuk gel.
Tabel 2. Jumlah sampel penelitian dan hasil pemeriksaan mastitis subklinis
dengan uji CMT di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang
Jumlah
kuartir yang
diuji CMT
(kuartir)
Jumlah
kuartir
positif CMT
(kuartir)
Jumlah penderita
mastitis subklinis
(ekor)
19
(27,94%)
14
(31,81%)
33
(29,46%)
14
(82,35%)
9
(81,81%)
23
(82,14%)
No
Nama
Desa
Jumlah
sampel
(ekor)
1.
Lebang
17
68
2.
Pinang
11
44
Jumlah
28
112
Hasil pengujian CMT diperoleh positif mastitis subklinis sebanyak 33
kuartir (29,46%) dari 112 kuartir ambing yang diuji, dengan jumlah sapi penderita
mastitis subklinis sebanyak 23 ekor (82,14%) dari 28 ekor sapi perah yang diuji.
Di desa Lebang jumlah kuartir positif sebanyak 19 kuartir (27,94%) dari 68
kuartir yang diuji dengan jumlah sapi penderita mastitis subklinis sebanyak 14
ekor (82,35%) dari 17 ekor, sedangkan di desa Pinang jumlah kuartir positif
17
sebanyak 14 kuartir (31,81%) dari 44 kuartir yang diuji dengan sapi penderita
mastitis subklinis sebanyak 9 ekor (81,81%) dari 11 ekor yang diuji (lihat tabel 2).
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2, terlihat bahwa kejadian mastitis
subklinis di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang cukup tinggi, yaitu
82,14%. Hasil tersebut sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang
melaporkan bahwa kejadian mastitis subklinis cukup tinggi. Sudarwanto (1999),
menyebutkan kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat
tinggi yaitu 95-98%. Sedangkan Wibawan dkk., (1995), menyebutkan kejadian
mastitis subklinis di Indonesia yaitu 85%. Hasil penelitian lainnya menunjukkan
bahwa 80% sapi laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis (Sudono dkk.,
2003).
Penyakit mastitis dikenal sebagai penyakit yang kompleks dengan penyebab
yang beragam dan didukung oleh multi faktor yang mempengaruhi kejadiannya.
Menurut Sugoro (2004), mastitis adalah penyakit radang ambing yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Ada tiga faktor yang
menjadi sebab terjadinya mastitis, yaitu kondisi lingkungan yang buruk,
mikroorganisme sebagai agen penyebab penyakit dan kondisi kesehatan sapi
sebagai inang. Namun demikian dalam penelitian ini faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian mastitis subklinis tidak dibahas lebih lanjut karena tidak
menjadi tujuan dalam penelitian.
4.2 Isolasi dan Identifikasi Streptococcus agalactiae dari Sampel Susu Sapi
Perah Penderita Mastitis Subklinis
Dari 28 ekor sapi perah yang tersebar di desa Lebang dan desa Pinang
Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang diperoleh 33 sampel susu positif
mastitis subklinis yang diuji dengan menggunakan reagen CMT. Sampel susu
yang berasal dari desa Lebang sebanyak 19 sampel susu dan dari desa Pinang
sebanyak 14 sampel susu. Berdasarkan hasil pengujian sampel susu melalui
isolasi dan identifikasi di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, diperoleh hasil 1 (3,03%) sampel dari 33 sampel positif
mengandung bakteri Streptococcus agalactiae, sedangkan 32 sampel negatif atau
tidak mengandung bakteri Streptococcus agalactiae.
Isolasi dan identifikasi bakteri dilakukan dengan menginokulasikan sampel
susu ke dalam media Brain Heart Infussion Broth (BHIB), setelah itu kultur
dilakukan dengan menggunakan media Nutrient Agar (NA). NA adalah medium
padat untuk pertumbuhan mikroorganisme yang umum digunakan dalam berbagai
kultur mikroorganisme. NA merupakan media sederhana yang dibuat dari ekstrak
beef, pepton, dan agar. Media ini berbentuk padat yang digunakan untuk
pembiakan bakteri sehingga sehingga dapat diketahui bentuk, ukuran, konsistensi,
warna koloni bakteri, sebelum dilakukannya uji lanjutan. Koloni Streptococcus sp.
Pada media NA memiliki ciri berbentuk bulat, kecil, halus, cembung, transparan,
berukuran 0,5-1 mm.
Hasil penelitian terhadap 33 sampel susu yang dikultur pada media NA,
memperlihatkan hasil pertumbuhan koloni yang sangat beragam, tetapi ada
beberapa koloni yang memiliki ciri-ciri morfologi koloni Streptococcus sp.
Morfologi koloni yang diduga Streptococcus sp. yaitu bulat, kecil dengan
diameter bervariasi (0,5-2 mm), halus, berwarna transparan dan cembung. Semua
18
koloni yang diduga koloni Streptococcus kemudian dipisahkan dan disubkultur
pada media NA yang baru, untuk selanjutnya dilakukan identifikasi bakteri
dengan beberapa pengujian biokimia.
Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan pewarnaan gram. Koloni terpisah
dari bakteri yang diduga Streptococcus sp. yang berasal dari media NA kemudian
dilakukan pewarnaan gram. Pewarnaan Gram untuk membedakan kelompok
bakteri Gram positif dan negatif, selain itu juga untuk membedakan morfologi
bakteri yang berbentuk coccus dan basil. Hasil pewarnaan Gram pada koloni
bakteri yang berasal dari 33 sampel susu, ditemukan 11 koloni menunjukkan
kelompok bakteri Gram positif yang terlihat berwarna ungu dengan koloni
berbentuk coccus berantai. Sebanyak 7 koloni berasal dari desa Lebang dan 4
koloni berasal dari desa Pinang. (Tabel 3).
A
B
Gambar 5. Hasil pewarnaan gram bakteri yang diduga Streptococcus agalactiae
dibandingkan dengan literatur. Pembesaran 100x (sampel S.07)
A) Morfologi sel bakteri yang diduga Streptococcus agalactiae (hasil
penelitian)
B) Morfologi sel bakteri Streptococcus agalactiae (Anonim, 2010)
Streptococcus termasuk kelompok bakteri Gram positif. Bakteri Gram
positif mempertahankan zat pewarna ungu kristal sehingga sel berwarna ungu tua,
sedangkan bakteri Gram negatif kehilangan ungu kristal ketika dicuci dengan
aseton alkohol dan ketika diberi larutan pemucat safranin sel akan menyerap zat
pewarna ini sehingga sel tampak bewarna merah. Terjadinya perbedaan warna sel
ini dapat disebabkan oleh perbedaan dalam struktur kimiawi permukaan sel
bakteri (Pelczar dan Chan, 2007).
Hasil pewarnaan Gram dari sampel berkode S.07 memperlihatkan bahwa
koloni yang tumbuh merupakan bakteri Streptoccous karena morfologi sel yang
diamati berwarna ungu atau Gram positif, berbentuk coccus dan berantai (lihat
gambar 5). Menurut Songer dan Post (2005), Streptococcus agalactiae memiliki
bentuk bulat berwarna ungu dan berantai. Streptococcus agalactiae dapat
dibedakan dari Gram positif lainnya berdasarkan bentuk koloni yang berantai
ketika dilihat melalui mikroskop.
19
Tabel 3. Hasil identifikasi melalui pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram
Kode
sampel
Sifat Gram
Morfologi
S.04
Positif
Coccus, berantai
Positif
Coccus, berantai
S.05
Positif
Coccus, berantai
S.07
Positif
Coccus, berantai
S.09
Positif
Coccus, berantai
S.11
Positif
Coccus, berantai
S.14
Positif
Coccus, berantai
S.16
Positif
Coccus, berantai
S.21
Positif
Coccus, berantai
S.23
Positif
Coccus, berantai
S.29
Positif
Coccus, berantai
S.30
Tahapan identifikasi selanjutnya dengan melakukan uji katalase terhadap 11
sampel tersebut dan diperoleh hasil seluruhnya bersifat katalase negatif (Tabel 5).
Hasil ini ditandai dengan tidak terbentuknya gelembung udara pada koloni dan
sekitarnya. Hal ini menandakan ketujuh sampel ini termasuk dalam kelompok
Streptococcus.
Uji katalase digunakan untuk mengetahui aktivitas katalase pada bakteri
yang diuji. Kebanyakan bakteri memproduksi enzim katalase yang dapat
memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Menurut Lay (1994), Hidrogen peroksida
bersifat toksik terhadap sel karena bahan ini menginaktivasikan enzim dalam sel.
Hidrogen peroksida terbentuk sewaktu metabolisme aerob, sehingga
mikroorganisme yang tumbuh dalam lingkungan aerob harus menguraikan bahan
toksik tersebut. Katalase merupakan salah satu enzim yang digunakan
mikroorganisme untuk menguraikan hidrogen peroksida. Bakteri katalase negatif
tidak menghasilkan gelembung-gelembung. Hal ini berarti H2O2 yang diberikan
tidak dipecah oleh bakteri katalase negatif, sehingga tidak menghasilkan oksigen.
Bakteri katalase negatif tidak memiliki enzim katalase yang menguraikan H2O2,
termasuk genus Streptococcus
Identifikasi selanjutnya dilakukan dengan uji CAMP. Untuk melakukan
preidentifikasi Streptococcus Grup B atau S.agalactiae, uji CAMP memberikan
hasil 98-100% positif. Hasil Positif uji CAMP menunjukkan zona hemolisa
sempurna membentuk tanda anak panah atau setengah bulan pada daerah yang
berdekatan dengan koloni Staphylococcus aureus (garis vertikal). Hasil
Identifikasi 11 sampel dengan uji CAMP dapat dilihat pada tabel 4.
Berdasarkan hasil identifikasi dengan uji CAMP, diperoleh bahwa dari 11
isolat yang berasal dari 11 sampel, hanya ada satu isolat yang menunjukkan hasil
positif. Isolat tersebut berasal dari sampel sampel S.07. Menurut Songer dan Post
(2005) Streptococcus agalactiae biasa diidentifikasi dengan CAMP test. Strain
Streptococcus
agalactiae
meningkatkan
aktivitas
hemolitik
pada
Staphylococcal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP.
Menurut Ruoff (1995), Streptococcus Grup B memiliki faktor CAMP, yaitu
protein ekstraseluler yang menghasilkan hemolisis sinergis pada agar darah
domba dengan Staphylococcal ß-lysin (sphingomyelinase C) yang dimiliki oleh
20
Staphylococcus aureus. Fenomena hemolisis sempurna dari uji CAMP akan
membentuk zona seperti kepala panah.
Tabel 4. Hasil identifikasi bakteri dengan uji CAMP
No
Nomor Sampel
CAMP
1
S.04
2
S.05
3
S.07
+
4
S.09
5
S.11
6
S.14
7
S.16
8
S.21
9
S.23
10
S.29
11
S.30
Lang dan Palmer (2003) menjelaskan bahwa sphingomyelinase
menginisiasi sphingomielin menjadi seramida yang membuat eritrosit mudah
dilisiskan oleh aktivitas faktor CAMP. Eritrosit mamalia mempengaruhi kinerja
faktor CAMP secara berbeda-beda tergantung dari kandungan sphingomielin pada
membran sel. Pada darah domba kandungan sphingomielin sebesar 51%
sedangkan pada darah kelinci dan manusia adalah 26% dan 19%. Semakin besar
kandungan sphingomielin maka semakin jelas reaksi positif yang terbentuk pada
uji CAMP.
1
2
3
1
3
2
A
B
Gambar 6. Hasil uji CAMP dibandingkan dengan literatur.
A) 1) Staphylococcus aureus. 2) isolat bakteri menunjukkan hasil
positif uji CAMP (sampel S.07). 3) isolat bakteri menunjukkan
hasil negatif uji CAMP (sampel S.09)
B) 1)Staphylococcus aureus. 2) Streptococcus agalactiae positif uji
CAMP. 3) Streptococcus pyogenes negatif uji CAMP (Pradhan,
2013)
Gambar 6 menunjukkan hasil uji CAMP yang dilakukan pada isolat yang
berasal dari 2 sampel yaitu sampel dengan kode S.07 (2) dan S.09 (3). Koloni
21
yang membentuk garis vertikal adalah Staphylococcus aureus (1) dan 1 koloni
vertikal yang membentuk zona setengah bulan ke arah Staphylococcus aureus
adalah koloni yang diduga Streptococcus agalactiae.
Tahap identifikasi selanjutnya dilakukan dengan beberapa pengujian
biokimia antara lain, uji bile eskulin, uji gula-gula (glukosa, maltosa, sukrosa), uji
motilitas, uji indol dan uji urea. Berdasarkan Bergeys Manuals of Determinative
Bacteriology (1974), hasil uji biokimia Streptococcus agalactiae adalah bile
eskulin negatif, glukosa positif, maltosa positif, sukrosa positif, motilitas negatif,
indol negatif dan urease negatif. Hasil pengujian terhadap 11 isolat yang telah
dicocokkan dengan Bergeys manual menunjukkan bahwa isolat dari sampel
dengan kode S.07 adalah Streptococcus agalactiae. Hasil uji biokimia dapat
dilihat pada tabel 5 dan gambar 7.
Tabel 5. Hasil uji biokimia terhadap 11 sampel
Kode
Uji Gula-Gula
Bile
sampel Katalase Eskulin Glu Mal Suk Motilitas Indol
S.04
+
+
+
S.05
+
+
+
S.07
+
+
+
S.09
+
+
+
S.11
+
+
+
S.14
+
+
+
S.16
+
+
+
+
S.21
+
+
+
+
S.23
+
+
+
S.29
+
+
+
+
S.30
+
+
+
-
Urease
-
+
1
2
3
A
B
C
D
E
Gambar 7. Hasil pengujian biokimia bakteri yang diduga S.agalactiae (S.07)
Keterangan :
A. Uji katalase menunjukkan hasil negatif (tidak ada buih)
B. Uji Bile Eskulin, Negatif (tidak berubah warna), Positif (berwarna hitam)
C. Uji gula-gula. Bakteri dapat memfermentasikan : Glukosa (1), Sukrosa (2),
Maltosa (3).
D. Uji Motilitas dan Indol menunjukkan hasil negatif
E. Uji urease menunjukkan hasil negatif
22
Gambar 8. Kultur bakteri yang diduga Streptococcus agalactiae pada media Blood
Agar Plate (BAP)
Setelah pengujian identifikasi keberadaan S.agalactiae, koloni ditumbuhkan
dengan cara streak pada Blood Agar Plate (BAP). Penanaman koloni S.agalactiae
pada media BAP dilakukan untuk melihat kemampuan bakteri dalam
menghemolisis eritrosit sehingga pada BAP akan terlihat zona bening di sekitar
koloni. Menurut Songer dan Post (2005), pada media agar darah Streptococcus
agalactiae berbentuk bulat, berwarna transparan, cembung dan membentuk
daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya (bergaris tengah
0,5-1 mm). Sedangkan menurut Pelczar dan Chan (2007) bahwa Streptococcus
agalactiae menghasilkan zona hemolitik sempurna pada agar darah, diameter
koloni bakteri 1-2 mm, berwarna agak kehijauan dan menghasilkan zona
hemolitik hanya sedikit lebih besar di sekeliling koloni. Morfologi koloni yang
diduga Streptococcus agalactiae (sampel S.07) dapat dilihat pada Gambar 8.
Kelompok mikroorganisme yang sering dibedakan berdasarkan kemampuan
menyebabkan lisis sel darah merah adalah Streptococcus dan Staphylococcus.
Proses hemolisis disebabkan oleh enzim yang dilepaskan oleh mikroorganisme
yang diterima oleh agar darah sehingga terjadi reaksi untuk melisiskan sel darah
merah tersebut. Ada 3 jenis hemolisis yaitu beta hemolisis (β), alpha hemolisis (α)
dan gamma hemolisis (γ). Beta hemolisis (β) atau biasa disebut hemolisis total,
didefinisikan sebagai lisis seluruh sel darah merah. Sebuah zona yang jelas,
mendekati warna dan transparansi media dasar, mengelilingi koloni. Alpha
hemolisis (α) disebut juga hemolisis sebagian, adalah penurunan hemoglobin sel
darah merah untuk methemoglobin dalam medium sekitar koloni. Hal ini
menyebabkan perubahan warna hijau atau coklat dalam medium. Dan Gamma
hemolisis (γ) disebut juga non hemolisis. Gamma menunjukkan kurangnya
hemolisis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap 33 sampel susu sapi
perah penderita mastitis subklinis yang berasal dari dua desa Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang, ditemukan 1 (3,03%) sampel positif mengandung bakteri
23
Streptococcus agalactiae, sedangkan 32 sampel lainnya negatif atau tidak
ditemukan bakteri Streptococcus agalactiae. Sampel positif merupakan sampel
yang berasal dari desa Lebang, sedangkan untuk sampel yang berasal dari desa
Pinang tidak ditemukan adanya bakteri Streptococcus agalactiae (tabel 6)
Tabel 6. Data jumlah sampel susu positif Streptococcus agalactiae di Kecamatan
Cendana Kabupaten Enrekang.
No
1.
2.
Nama
Desa
Jumlah sampel susu
Jumlah sampel positif
S.agalactiae
Lebang
Pinang
Jumlah
19
14
33
1
0
1 (3,03%)
Hasil penelitian yang diperoleh mempunyai perbedaan dengan hasil
penelitian sebelumnya yang menemukan cukup banyak bakteri Streptococcus
agalactiae pada susu sapi perah penderita mastitis. Winata (2011) melaporkan
Sebanyak 14 (9.79%) sampel positif mengandung Streptococcus agalactiae dari
143 sampel asal peternakan rakyat KUNAK Bogor. Menurut Sugiri dan anri
(2010) melaporkan bahwa prevalensi patogen penyebab mastitis subklinis
streptococcus agalactiae pada peternak skala kecil dan menengah di beberapa
sentra peternakan sapi perah di Pulau Jawa sebesar 37,5%. Sedangkan laporan
hasil penelitian Wibawan., dkk (1995) 83%, 82% dan 80% masing-masing
diwilayah Bogor, Boyolali dan Malang.
Adanya perbedaan hasil penelitian yang diperoleh kemungkinan disebabkan
karena kegagalan isolasi bakteri, yang berkaitan dengan penggunaan media agar
dan metode yang dipakai, serta adanya perbedaan jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian.
Menurut Subronto (2003), mastitis subklinis adalah peradangan pada
ambing yang biasanya disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan termasuk bakteri, kapang dan khamir.
Mastitis subklinis umumnya disebabkan oleh infeksi Staphylococcus,
Streptococcus, dan Colliform. Menurut Wahyuni dkk, (2005) Streptococcus
agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri utama penyebab
mastitis. Sedangkan menurut Benda., dkk (1997) dua bakteri patogen yang sering
ditemukan adalah S.agalactiae (92%) dan S.aureus (67%).
Pada prinsipnya mikroorganisme patogen sebagai penyebab mastitis
subklinis sendiri ada yang bersifat parasit obligat/non environment patogen dan
environment patogen. S.agalactiae sendiri merupakan parasit obligat. Menurut
Waage dkk., (2001) Streptococcus agalactiae merupakan parasit obligat di
ambing sapi perah dan tidak ditemukan hidup bebas di lingkungan. Sapi dara yang
dimasukkan dalam peternakan pertama kali dapat terinfeksi dengan Streptococcus
agalactiae dan infeksi umumnya dihasilkan dari sapi dara menyusu dari induk
yang terinfeksi patogen. Menurut Blowey (1995) Streptococcus agalactie sangat
menular sebagai penyebab matitis subklinis dan mudah ditransmisi dari sapi ke
sapi lainnya yang sedang laktasi. Resevoir utama dari infeksi bakteri ini adalah
ambing. Meskipun adakalanya koloni ditemukan pada saluran puting dan kulit,
terutama pada permukaan yang kasar.
24
Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam temperatur
tinggi, tergantung dari kemampuannya untuk melawan fagositosis. Isolat dari
Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul polisakarida. Kapsul polisakarida
tersebut merupakan faktor virulensi yang penting. Kapsul-kapsul tersebut
menghalangi fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi (Quinn
dkk., 2002). Sedangkan menurut Wibawan dan Laemmler (1990), Streptococcus
agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa
karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai
salah satu faktor virulen dari Streptococcus agalactiae yang berperan dalam
mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses
pembunuhan bakteri.
25
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dari 33 sampel susu yang positif uji
California Mastitis Test (CMT) yang diperoleh dari 23 ekor sapi perah penderita
mastitis subklinis yang tersebar di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang,
ditemukan 1 (3,03%) sampel susu positif mengandung bakteri Streptococcus
agalactiae.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu pengujian sensitivitas antibiotik
terhadap bakteri Streptococcus agalactiae yang ditemukan agar pengobatan
terhadap kasus mastitis subklinis di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang
dapat dilakukan secara optimal.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai deteksi keberadaan bakteri
Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di lokasi
yang berbeda, yaitu di Kecamatan lain di Kabupaten Enrekang.
26
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Bacteria Under Microscope, Streptococcus agalactiae
http://www.bacteriainphotos.com/bacteria%20under%20microscope/strept
ococcus%20agalactiae%20microscopy.html# tanggal akses 5 oktober 2014
Arimbi, Koestanti. 2005. Aplikasi Daun Sambiloto Sebagai Bahan Aktif Dipping
Dalam Program Kontrol Mastitis Pada Sapi Perah. Lembaga Penelitian
Dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 2332.9:2011. Cara Uji
Mikrobiologi-bagian 9: Penentuan Staphylococcus aureus Pada Produk
Perikanan.
Bannerman DD, Wall RJ. 2005. A Novel Strategy for the Prevention of
Staphylococcus aureus-Induced Mastitis in Dairy Cows. Information
Systems for Biotechnology News Report. Virginia Tech University. USA.
1 - 4.
Bearden HJ dan Fuquay. 1997. Learning Reproduction in Farm Animals.
Department of Animal Science. Oklahoma State University.
Bergey. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Baltimore.
Amerika Serikat.
Blowey R. 1995. Mastitis Control in Dairy Herds an Illustrated and Practical
Guide. USA: Farming Press.
Bray DR, Shearer JK. 2003. Milking Machines and Mastitis Control Handbook.
Florida Cooperative Extension Service - Institute of Food and Agricultural
Sciences University of Florida. Gainesville. [internet]. Tersedia pada :
https://edis.ifas.ufl.edu/
[Disnakin] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Enrekang, 2014. Data
Statistik Peternakan Kabupaten Enrekang. Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Enrekang. Enrekang.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Dirjen pertanian dan
keswan Republik Indonesia. Jakarta
Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture
Projects. Tanggal Akses 28 April 2014
Foley CR, Bath LD, Dickinson NF, Tucker AH. 1972. Dairy Cattle: Principles,
Practices, Problems, Profits. Philadelphia: Lea & Febiger.
Hidayat AP, Efendi A, Fuad Y, Patyadi K, Taguchi dan T. Sugikawa. 2002. Buku
Petunjuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia : Kesehatan Pemerahan.
Dairy Technology Improvement Project in Indonesia. Bandung
Hidayat A., drh., 2008. Buku Petunjuk Praktis untuk Peternak Sapi Perah tentang,
Manajemen Kesehatan Pemerahan. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat.
Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308.
[terhubung berkala] http://classesaces.uiuc.edu/Ansci 308/ Tanggal Akses
28 April 2014
Jawetz EAA. 1986. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan dari: Medical
Microbiology. Jakarta: EGC.
Kasim, Sirajuddin, Irmayani. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Sapi Perah Di
Kabupaten Enrekang. Jurnal Agribisnis. 10(3):81-97.
27
Kirk JH, Lauerman LH. 1994. Mycoplasma mastitis in dairy cows. The
Compendium on Continuing Education for The Practicing Veterinarian.
16(4): 541-551
Lang S and Palmer M. 2003. Characterization of Streptococcus agalactiae CAMP
factor as a pore-forming toxin. J Biol Chem 278:38167-73
Lay BW.1994. Analisis Mikroba di Laboraturium. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lehman KB dan Neumann R. 2010. Atlas Und Grundriss Der Bakteriologie Und
Lehrbuch Der Speziellen Bakteriologischen Diagnostik, Volume 1
(German Edition). Nabu Press. German.
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2009. Higiene Pangan. Di dalam: Pisestyani H, editor. Bogor: Bagian
Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Instititut Pertanian Bogor. hlm 3947.
Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. USA: Iowa
State University Press.
Pelczar, M. J. dan E. C. S., Chan. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UIP. Jakarta.
Quinn, P. J., B. K. Markey, M. E. Carter, W. J. Donnelly and F. C. Leonard. 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing.
USA. 43 - 46, 465 - 475
Rahayu ID. 2009. Kerugian Ekonomi Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah. Fakutas
Pertanian Jurusan Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang.
Reneau JK, Seykora AJ, Heins BJ. 2003. Relationship of Cow Hygiene Scores and
SCC.Pages 362–363 in Proc. Natl. Mast.Coun., Madison, WI
Ruoff KL. 1995. Streptococcus, In: Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover
FC, Yolken RH. Manual of Clinical Microbiology. 6th. ed. ASM Press.
Washington DC.
Setiawan H, Trisunuwati P, Winarso D. 2012. Kajian Sensitivitas dan Spesifisitas
Reagen CMT, WST dan SFMT Sebagai Bahan Uji Mastitis Subklinis di
Peternakan Sapi Perah Rakyat,
KUD Sumber Makmur Ngantang.
[JURNAL]. Malang: Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Universitas
Brawijaya.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease 1st Ed. Elsevier Saunders. [internet]. Tersedia
pada : http://vet.sagepub.com/
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 309 - 351.
Sudarwanto, M. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program
Pengendalian Mastitis Subklinis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bogor 22 Mei 1999. Fakultas
Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.
Sudarwanto, M. 2009. Mastitis dan kerugian ekonomi yang disebabkannya.
Makalah pada TOT JICA The 3rd. Oktober 2009, Cikole-Lembang,
Bandung Barat.
Sudono A, Rosdiana FR, Setiawan RS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. AgroMedia Pustaka. Jakarta
Sugiri, Y.D. dan Akira Anri. 2010. Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis
Subklinis (Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae) dan
Patogen Penyebab Mastitis Subklinis Lainnya pada Peternakan Skala
28
Kecil dan menengah di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau
Jawa. Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet
(BP3HK) Cikole Lembang Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia
Sugoro, I. 2004. Pengontrolan Penyakit Mastitis dan Manajemen Sapi Pemerahan
Susu. Artikel PATIR-BATAN, Jakarta.
Syarief EK dan Harianto B. 2011. Beternak & Bisnis Sapi Perah. AgroMedia
Pustaka. Jakarta
Tanwar RK, Vyas SK, Fakhruddin, Singh AP. 2001. Comparative efficacy of
various diagnostic tests in diagnosis of SCM in Rathi cows. Advancement
of Veterinary Research (IAAVR). Izatnagar, India. pp 161-163.
Taylor RE, Field TG. 2009. Scientific Farm Animal Production: An Introduction
To Animal Science 9th Ed. Pearson Prentice Hall. New Jersey.
Utama IH, Kendran AAS, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Wahyuni AETH. 2000.
Aktivitas hemaglutinasi isolat Streptococcus agalactiae pada berbagai sel
darah merah hewan dan manusia. Med Vet 7(2):5-8.
Virgihani, Krisnia. 2011. Tinjauan Resistensi Streptococcus agalactiae Penyebab
Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah Kunak Bogor Terhadap
Beberapa Antibotik (Studi Kasus). Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Waage S, Odegaard SA, Lund A, Brattgjerd S, Rothe T. 2001. Case-control study
of risk factors for clinical mastitis in postpartum dairy heifers. Journal of
Dairy Science 84, 392-99
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006.
Distribusi Serotipe Streptococcus agalactiae Penyebab Mastitis Subklinis
pada Sapi Perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. J Vet
(2006) 7(1):1-8
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi hemaglutinin
Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus penyebab mastitis
subklinis pada sapi perah. J Sains Vet 3( 2):79-86.
Wahyuni, Agnesia Endang Tri Hastuti. 2002. Karakterisasi Fenotipe dan
Genotipe Streptococus agalactiae Isolat Asal Indonesia Penyebab Masitis
Subklinis pada Sapi Perah. Institut Pertanian Bogor.
Wibawan IWT dan Ch Laemmler. 1990. Properties of Grup B Streptococci with
Protein Surface Antigen X and R. J.Clin. Microbiol. 28:2834-836
Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri Biovar
Streptococcus Agalactiae Sebagai Petunjuk Infeksi Silang Antara Sapi dan
Manusia. Laporan Hibah Bersaing IV Tahap-1. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor
Wiley J, Sons. 2009. Mammary Gland in The seventh edition of Anatomy and
Physiology of Farm Animals by Rowen D. Frandson, W. Lee Wilke, Anna
Dee Fails p. 450-455. Wiley-Blackwell
Winata F. 2011. Hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis
IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Xia, Stephen S. 2006. The Rheology of Gel Formed During the California
Mastitis
Test.
The
University
of
Waikato.
Thesis.
29
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil isolasi dan identifikasi laboratorium
Uji Gula-gula
Morfologi koloni di
Nutrien Agar
G
R
A
M
Morfologi
K
A
T
A
L
A
S
E
S.01
Putih, cembung, pinggiran
rata, D=1-2 mm,
+
Coccus bergerombol
+
2.
S.02
hemolisis ά
-
Basil, rantai pendek
3.
S.03
Putih kekuningan,
cembung, pinggiran tidak
rata, D=3-5 mm,
4.
S.04
+
Coccus, berantai
-
-
-
+
+
+
-
-
-
CAMP (-),
Bukan S.agalactiae
5.
S.05
+
Coccus, berantai
-
-
+
-
+
+
-
-
-
Bile (+), glukosa (-) bukan
s.agalactiae
6.
S.06
No.
Kode
S
A
M
P
E
L
1.
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=0,5-1
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=0,5-1
Putih, cembung, pinggiran
rata, D=2-4 mm,
C
A
M
P
BILE
E
S
K
U
L
I
N
G
L
U
K
O
S
A
M
A
L
T
O
S
A
S
U
K
R
O
S
A
M
O
T
I
L
I
T
A
S
I
N
D
O
L
U
R
E
A
S
E
Ket.
Tidak dilanjutkan karena
coccus bergerombol dan
katalase (+)
Tidak dilanjutkan karena
gram negatif, basil
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
kekuningan & memiliki
ukuran besar (3-5mm)
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
memiliki ukuran besar (2-
30
4mm)
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata, ,
D=0,5-1
Putih keabuan, cembung,
pinggiran tidak rata, D=1-3
mm,
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata, ,
D=0,5-1
7.
S.07
8.
S.08
9.
S.09
10.
S.10
11.
S.11
12.
S.12
Putih kekuningan,
cembung, pinggiran tidak
rata, D=3-5 mm,
13.
S.13
Putih keabuan, cembung,
pinggiran tidak rata, D=35mm,
14.
S.14
15.
S.15
16.
S.16
17.
S.17
Putih keabuan, D=1-3 mm,
hemolisis γ
Putih, cembung, pinggiran
rata, D=1-2 mm,
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=0,5-1 mm
Putih keabuan, cembung,
pinggiran rata, D=1-3 mm,
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=1-2 mm
Putih keabuan, cembung,
+
Coccus, berantai
-
Basil pendek
+
Coccus, berantai
-
Basil, pendek
-
Basil,pendek
+
Coccus, berantai
-
Basil pendek
+
Coccus, berantai
-
Basil
-
+
-
+
+
+
-
-
-
Streptococcus agalactiae
Tidak dilanjutkan karena
gram negatif, basil
-
-
+
-
+
+
-
-
-
Bile (+), glukosa (-) bukan
s.agalactiae
Tidak dilanjutkan karena
gram negatif, basil
Tidak dilanjutkan karena
gram negatif, basil
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
kekuningan & memiliki
ukuran besar (3-5mm)
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
abu-abu & memiliki
ukuran besar (3-5mm)
+
-
-
+
+
+
-
-
-
CAMP (-),
Bukan S.agalactiae
Tidak dilanjutkan karena
gram negatif, basil
+
-
-
+
+
+
-
-
-
CAMP (-),
Bukan S.agalactiae
Tidak dilanjutkan karena
31
pinggiran rata, D=1-2 mm,
18.
S.18
Putih keabuan, cembung,
pinggiran rata, D=1-2 mm,
+
Coccus,
bergerombol
+
19.
S.19
Bening/tranparan,
cembung, pinggiran rata,
D=1-2 mm,
+
diplococcus
-
S.20
Putih keabuan, cembung,
pinggiran tidak rata, D=2-3
mm,
20.
21.
22.
S.21
S.22
23.
S.23
24.
S.24
25.
S.25
26.
S.26
27.
S.27
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=0,5-1 mm
gram negatif, basil
Tidak dilanjutkan karena
coccus bergerombol, katalase
(+)
Tidak dilanjutkan karena
diplococcus
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
keabuan & memiliki ukuran
besar (2-3mm)
+
Coccus, berantai
-
-
+
+
+
+
-
-
-
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
keabuan & memiliki ukuran
besar (3-5mm)
Putih keabuan, cembung,
pinggiran tidak rata, D=3-5
mm,
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=1-2 mm
Putih keabuan, cembung,
pinggiran rata D=1-2 mm,
+
Coccus, berantai
-
+
Coccus,
bergerombol
+
-
Basil
+
Coccus,
bergerombol
Putih, cembung, pinggiran
rata, D=3-5 mm,
Putih keabuan, cembung,
pinggiran rata, D=1-2 mm,
Putih, cembung, pinggiran
rata, D=1-2 mm
CAMP (-), Bile (+)
Bukan s.agalactiae
+
-
-
+
+
+
-
-
-
CAMP (-)
Bukan s.agalactiae
Tidak dilanjutkan karena
coccus bergerombol, katalase
(+)
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih,
besar (3-5mm), tdk lisis
Tidak dilanjutkan karena
gram negatif, basil
Tidak dilanjutkan karena
coccus bergerombol, katalase
32
28.
29.
30.
S.28
S.29
S.30
(+)
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
kekuningan & memiliki
ukuran besar (2-3mm)
Putih keabuan, cembung,
pinggiran tidak rata, D=2-3
mm,
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=1-2 mm
Bening/transparan,
cembung, pinggiran rata,
D=1-2 mm
+
Coccus, berantai
-
-
+
+
+
+
-
-
-
CAMP (-), Bile (+), bukan
s.agalactiae
+
Coccus, berantai
-
-
+
-
+
+
-
-
-
CAMP (-), Bile (+),glukosa (),
bukan s.agalactiae
31.
S.31
Putih kekuningan,
cembung, pinggiran tidak
rata, D=3-5 mm,
32.
S.32
Putih, cembung, pinggiran
rata, D=1-2 mm
+
Coccus,
bergerombol
+
33.
S.33
Putih keabuan, cembung,
pinggiran rata, D=1-2 mm,
+
Coccus,
bergerombol
+
Tidak dilanjutkan karena
koloni yang tumbuh putih
kekuningan & memiliki
ukuran besar (3-5mm)
Tidak dilanjutkan karena
coccus bergerombol, katalase
(+)
Tidak dilanjutkan karena
coccus bergerombol, katalase
(+)
33
Lampiran 2. Identitas Peternak dan Data Sampel Sapi Perah
No
Peternak & Alamat
Alamat
Peternak
(Desa)
Uji CMT
Laktasi
1.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
2.
Mahyuddin
Lebang
Ke-5
3.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
4.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
5.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
6.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
7.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
Ambing
Scoring
Kode
sampel
Kanan Depan
Negatif
-
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+1
Negatif
Negatif
Negatif
+2
+2
Negatif
Negatif
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+3
S.01
S.02
S.03
S.04
S.05
Kondisi
tubuh
Waktu
Pengambilan
sampel
Ket.
Gemuk
30/11/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
30/11/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
30/11/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
30/11/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
30/11/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
30/11/14
Negatif
Mastitis Subklinis
Gemuk
30/11/14
Positif
Mastitis Subklinis
S.06
Tdk
diambil
S.07
34
8.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
9.
Mahyuddin
Lebang
Ke-2
10.
Mahyuddin
Lebang
Ke-3
14.
Samsia
Lebang
Ke-4
15.
Samsia
Lebang
Ke-4
11.
Amiluddin
Lebang
Ke-3
12.
Amiluddin
Lebang
Ke-2
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+2
+2
Negatif
Negatif
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Kanan Belakang
Negatif
Kiri Depan
Negatif
Kiri Belakang
Negatif
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Negatif
Negatif
+2
+2
Negatif
Negatif
Negatif
S.08
Gemuk
04/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Tdk
diambil
Gemuk
04/12/14
Negatif
Mastitis Subklinis
S.09
S.10
Gemuk
04/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
04/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
04/12/14
Negatif
Mastitis Subklinis
Gemuk
04/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
04/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
S.11
Tdk
diambil
S.12
S.13
35
13.
Amiluddin
Lebang
Ke-3
16.
Abd. Halim
Lebang
Ke-5
17.
Hamsia
Lebang
Ke-3
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
18.
Abdul Halim
Pinang
Ke-1
19.
Abdul Halim
Pinang
Ke-7
20.
Abdul Halim
Pinang
Ke-2
21.
Ridwan
Pinang
Ke-1
22.
Ridwan
Pinang
Ke-2
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
+1
Negatif
+2
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+3
+2
+1
Negatif
Negatif
S.14
+3
S.20
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+2
Negatif
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
S.15
S.16
S.17
S.18
S.19
S.21
Gemuk
17/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
17/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
17/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
17/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
17/12/14
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
17/12/14
Negatif
Mastitis Subklinis
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
S.22
Tdk
diambil
S.23
36
23.
Ridwan
Pinang
Ke-3
24.
Hamsi
Pinang
Ke-2
25.
Lestari
Pinang
Ke-7
26.
Lestari
Pinang
Ke-8
27.
Suryadi
Pinang
Ke-1
28.
Suryadi
Pinang
Ke-1
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
Kanan Depan
Kanan Belakang
Kiri Depan
Kiri Belakang
+2
+2
Negatif
+2
+2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+2
Negatif
Negatif
+2
+3
Negatif
+3
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
+3
Negatif
+2
Negatif
Negatif
S.24
S.25
S.26
S.27
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
Tdk
diambil
Gemuk
12/01/15
Negatif
Mastitis Subklinis
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
Gemuk
12/01/15
Positif
Mastitis Subklinis
S.28
S.29
S.30
S.31
S.32
S.33
37
Lampiran 3. Identitas Peternak dan Data Sampel Sapi Perah
Foto 1. Reagen dan padel CMT untuk pengujian mastitis subklinis
Foto 2. Wawancara dengan peternak sebelum pengambilan sampel
38
Foto 3. Pemerahan susu pada padel untuk uji CMT
Foto 4. Penyimpanan sampel susu pada tabung steril
39
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 April 1992 di
Polewali, Kab. Polman, Provinsi Sulawesi Barat dari
pasangan Lukman, S.P., M.M.A dan Ibu Rahmatia, S.Pd.
Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah
dasar pada tahun 2004 di SD Negeri 028 Pekkabata dan
pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke
SMP Negeri 3 Polewali hingga lulus pada tahun 2007.
Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada
tahun 2010 di SMA Negeri 1 Polewali.
Pada tahun 2010 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di
Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
(PSKH-FK UNHAS) melalui Jalur Reguler. Semasa menjadi mahasiswa PSKHFK UNHAS penulis pernah aktif dalam kegiatan eksternal dan internal kampus,
yaitu di Organisasi Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA)
PSKH-FK UNHAS menjabat sebagai anggota divisi Administrasi dan
Kesekretariatan periode 2011-2012, anggota himpunan Minat dan Profesi Ternak
Besar dan Unggas periode 2012-2013 dan mengikuti berbagai kepanitiaan di
dalam dan di luar kampus.
Tugas akhir berupa skripsi dengan judul Deteksi Streptococcus agalactiae
Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten
Enrekang diselesaikan penulis dengan bimbingan dari Prof. Dr. drh. Lucia
Muslimin, M.Sc dan drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc
Download