BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang manusia. Hal tersebut menyebabkan penggunaan berbagai jenis antibiotik di kalangan masyarakat juga semakin meningkat. Beberapa penyakit infeksi dapat ditanggulangi dengan penggunaan antibiotik yang rasional, tepat, dan aman. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional mampu menimbulkan berbagai dampak negatif seperti timbulnya kekebalan bakteri terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya efek samping obat bahkan hingga mengakibatkan kematian (Hadi, 2006). Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah suatu kemampuan bakteri untuk menahan efek dari antibiotik (Chambers, 2001) Hal ini mampu menurunkan efektivitas dan kesuksesan terapi infeksi dengan penggunaan antibiotik (Coast et al., 1996). Infeksi yang paling banyak menyerang manusia salah satunya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Beberapa infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Bakteri ini juga sudah banyak mengalami resistensi terhadap penggunaan beberapa antibiotik (Adukwu et al., 2012). Salah satunya adalah S. aureus yang resisten terhadap methisilin dan golongannya karena adanya modifikasi pada protein pengikat penisilin. Protein ini 1 2 berperan untuk mengkode peptidoglikan transpeptidase baru yang mempunyai afinitas rendah terhadap antibiotik golongan beta laktam, sehingga terapi antibiotik golongan beta laktam menjadi tidak efektif karena bakteri akan tetap hidup meskipun terpapar antimikroba dalam konsentrasi tinggi. Strain S. aureus ini dikenal dengan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Jawetz et al., 2005). Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik tertentu, termasuk bakteri S.aureus merupakan suatu masalah yang serius, apalagi bila didukung oleh kemampuan bakteri ini dalam membentuk biofilm yang menyebabkan agen antimikroba dan respon sistem imun tidak efektif dalam mengeliminasi sel biofilm. Sebelum terbentuknya biofilm, bakteri hidup bebas di alam yang sering disebut dengan fase planktonik. Kecenderungan bakteri yang hidup bebas adalah melekat pada berbagai macam permukaan baik abiotik maupun biotik yang didukung oleh berbagai faktor diantaranya oleh matriks ekstraselular (Costerton, 2007). Bakteri yang melekat ini akan membentuk mikrokoloni yang akan mengatur perkembangan membentuk biofilm. Biofilm merupakan suatu kondisi mikroba dimana secara alami cenderung hidup berkoloni. Akibat pembentukan biofilm tersebut maka suatu senyawa antimikroba mengalami kesulitan untuk mencapai mikroba yang dituju (Lewis, 2001). Mikroba yang tumbuh di dalam biofilm diketahui memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat bila dibandingkan dengan fase planktoniknya (Dewanti & Hariyadi, 1997). Infeksi yang disebabkan oleh biofilm suatu bakteri merupakan salah satu masalah yang banyak terjadi. Ditambah lagi mikroba yang terdapat di dalam 3 matriks biofilm sangat resisten terhadap senyawa antimikroba. Resistensi menyebabkan peningkatan penggunaan suatu senyawa antimikroba agar dapat membunuh mikroba yang dituju. Semakin tinggi dosis yang digunakan maka dapat semakin membahayakan pasien (Dewanti & Hariyadi, 1997). Maka dari itu, penemuan suatu senyawa yang mampu menghambat pembentukan dan mendegradasi biofilm sangat berguna (Quave et al., 2008). Minyak atsiri yang berasal dari suatu tanaman dipandang cukup menjanjikan sebagai agen antimikroba maupun antibiofilm karena mampu menjadi salah satu alternatif yang diharapkan mampu mengurangi pemakaian antibiotik yang telah ada sehingga menekan prevalensi terjadinya resistensi dari penggunaan senyawa antibotik yang beberapa diantaranya sudah mengalami resistensi (Piers et al., 2011) terutama pada mekanisme pembentukan biofilm. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian dengan mengkombinasikan antibiotik dengan minyak atsiri yang juga memiliki aktivitas sebagai antibiofilm. Diharapkan kombinasi suatu senyawa antibiotik dengan minyak atsiri mampu menjadi salah satu strategi dalam menanggulangi resistensi mikroba dan peningkatan dosis antibiotik yang digunakan. Dalam penelitian ini dilakukan uji efektivitas kombinasi minyak atsiri dengan senyawa antibiotik dalam menghambat pembentukan biofilm bakteri S.aureus. Minyak atsiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sereh (Cymbopogon citratus) yang diketahui berpotensial sebagai antibiofilm (Aiemsaard et al., 2011; Chamdit & Siripermpool, 2012) dengan senyawa antibiotik yang digunakan adalah eritromisin, streptomisin, kloramfenikol, dan siprofloksasin yang 4 diketahui memiliki aktivitas antibiofilm yang rendah pada S. aureus (Monte et al., 2014; Punitha et al., 2014). Tujuan dari kombinasi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas suatu obat antimikroba. Melalui mekanisme kombinasi ini diharapkan mampu mengurangi dosis dari senyawa antibiotik sehingga dapat meminimalisir efek samping penggunaan obat antibiotik serta memberikan solusi dalam mengatasi resistensi bakteri. Dalam penelitian ini bakteri yang digunakan adalah Staphylococcus aureus. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas minyak sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf), eritromisin, streptomisin, kloramfenikol, dan siprofloksasin terhadap penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus? 2. Apakah kombinasi antibiotik dengan minyak sereh mampu menunjukkan penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus yang lebih tinggi daripada aktivitasnya dalam bentuk tunggal? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui efektivitas minyak sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf), eritromisin, streptomisin, kloramfenikol dan siprofloksasin penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus. terhadap 5 2. Mengetahui apakah kombinasi antibiotik dengan minyak sereh mampu menunjukkan penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus yang lebih tinggi daripada aktivitasnya dalam bentuk tunggal. D. Manfaat Penelitian 1. Mengetahui potensi aktivitas sinergisme antara minyak sereh dengan antibiotik, dan bila terdapat aktivitas sinergisme maka dapat menentukan pada kadar berapa yang menunjukkan efek sinergisme yang paling efektif. 2. Menemukan alternatif untuk mengatasi kasus resistensi bakteri terhadap beberapa senyawa antibiotik. E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tentang biofilm bakteri Staphylococcus aureus a. Biofilm Mikroorganisme yang hidup di alam ternyata lebih banyak yang terdapat dalam keadaan menempel pada permukaan sel daripada keadaan yang tersuspensi dalam fase planktonik, kemudian berkembang menjadi bentuk biofilm yang lebih stabil (Dewanti & Hariyadi, 1997). Biofilm merupakan bentuk mikroorganisme yang tumbuh namun bukan dalam bentuk planktonik melainkan menempel pada bagian permukaan yang cenderung lembab. Bila mikroba terdapat dalam bentuk biofilmnya maka pada umumnya mereka tahan terhadap senyawa antimikroba daripada mikroba yang terdapat dalam bentuk sel planktoniknya (Donlan & Costerton, 2002). Tujuan pembentukan biofilm 6 sebagai bentuk pertahanan mikroba terhadap pengaruh kondisi dari luar (Yarwood et al., 2004). Biofilm yang terbentuk dapat terdiri dari mikroba tunggal maupun beberapa spesies mikroba. Biofilm yang terbentuk oleh spesies tunggal terdapat dalam berbagai infeksi sehingga biofilm spesies tunggal ini yang menjadi fokus dalam beberapa penelitian yang ada sekarang (O’Toole et al., 2000). Beberapa studi menunjukkan bahwa fase biofilm merupakan kondisi stabil dalam suatu kondisi yang mencakup inisiasi, pematangan, pemeliharaan, dan disolusi. Tahap awal dalam pembentukan biofilm dimulai dari penempelan sel bakteri pada suatu permukaan yang padat yang diikuti dengan proses proliferasi dan agregasi untuk menghasilkan lapisan utama dari biofilm (Nobile & Mitchel, 2007). Proses selanjutnya terjadi interaksi antar sel sehingga terbentuk koloni dengan melakukan Quorum sensing (QS). Quorum sensing adalah suatu mekanisme komunikasi antar sel bakteri yang memastikan jumlah sel mencukupi untuk mampu melakukan respon biologi khusus. Setiap sel bakteri akan menghasilkan molekul sinyal untuk dapat melakukan komunikasi dengan sel bakteri lainnya. Setelah cukup banyak sel bakteri yang menghasilkan molekul sinyal maka dapat memicu pembentukan biofilm untuk keseluruhan bakteri tersebut. Molekul sinyal yang dihasilkan oleh tiap sel bakteri berbeda untuk setiap jenis mikroba yang memiliki peranannya masing-masing. Sinyal molekul bakteri Gram positif berupa peptid sedangkan sinyal bakteri Gram negatif berupa AHLs (N-acylhomoserine lactones) (O’Toole et al., 2000; Hentzer & Giskov, 2003). 7 Langkah selanjutnya dalam pembentukan biofilm bakteri adalah produksi matriks seluler yang disebut EPS (Extracellular Polimeric Substances) yang terdiri dari protein, glikoprotein, dan glikolipid serta ada yang mengandung DNA, dihasilkan dan digunakan bakteri untuk melekat (Flemming et al., 2007). Extracellular Polimeric Substances mampu memberi perlindungan bakteri terhadap mekanisme pertahanan yang dihasilkan oleh hospes dan menghalangi masuknya agen antimikroba sehingga mampu memicu resistensi bakteri terhadap antimikroba, serta melindungi dari pengaruh faktor-faktor lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup bakteri (Lewis, 2001; Hentzer & Giskov, 2003). Fase selanjutnya adalah pematangan yang ditandai dengan pembentukan struktur menara oleh sel di dalam EPS. Sel-sel dalam biofilm dapat mengalami disolusi yaitu sel kembali dalam bentuk planktonik dan melengkapi siklus pembentukan biofilm (Hentzer & Giskov, 2003). Gambar 1. 1. Penempelan awal; 2. Pembentukan koloni; 3.Penempelan permanen (produksi EPS); 4. Maturasi; 5. Pelepasan sel kembali ke fase planktonik (Stoodley et al., 2002) Matriks biofilm yang dihasilkan oleh bakteri memiliki fungsi yang beragam tergantung dari strukturnya, namun secara umum matriks biofilm memiliki fungsi pertahanan dan perlekatan. Fungsi perlekatan untuk 8 memelihara sel-sel dan interaksi sel yang terdapat di permukaan untuk menjaga keutuhan struktur biofilm. Fungsi pertahanan untuk melindungi sel bakteri dari mekanisme perlindungan dari hospes dan masuknya agen antimikroba ke dalam sel bakteri (Nobile & Mitchel, 2007). Menurut Jabra-Rizk et al. (2006), resistensi mikroba dalam bentuk biofilm adalah lebih besar 50 sampai 500 kali daripada bentuk sel planktoniknya. b. Bakteri Staphylococcus aureus Bakteri S. aureus termasuk dalam divisi Protophyta, kelas Schizomycetes, bangsa Eubacteriales, suku Micrococcaceae, marga Staphylococcus, dan jenis Staphylococcus aureus (Salle, 1961). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk bulat, merupakan jenis yang tidak menghasilkan spora dan tidak bergerak. Staphylococcus aureus tumbuh pada suhu optimum 37oC, dengan koloni pada media padat berwarna abu-abu hingga kuning keemasan. Staphylococcus aureus tersusun dalam rangkaian yang tidak beraturan seperti buah anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia, menyebabkan penanahan, abses, dan berbagai infeksi. Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang berfungsi sebagai antigen dan merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel (Jawetz et al., 2005). Infeksi yang disebabkan oleh S. aureus ditandai dengan adanya kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S.aureus adalah bisul, jerawat, dan infeksi luka. Infeksi yang 9 lebih berat diantaranya adalah pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial dan keracunan makanan (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Bisul atau abses, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit yang muncul di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Diawali dengan terjadinya nekrosis pada jaringan setempat, lalu diikuti dengan koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan peradangan pada vena bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis, meningitis, atau infeksi paru-paru (Warsa, 1994; Jawetz et al., 2005). Kontaminasi oleh S.aureus pada luka terbuka (termasuk luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis) dan meningitis, merupakan penyebab infeksi nosokomial (Jawetz et al., 2005). Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dapat dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun nekrotomi. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena seperti penisilin, metisilin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin. Sebagian besar galur Staphylococcus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti siprofloksasin, 10 kloramfenikol, amoksisilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz et al., 2005). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan salah satu patogen penting yang memiliki kemampuan untuk mengalami mekanisme resistensi dan faktor-faktor penentu lainnya yang telah muncul dalam masyarakat (Adukwu et al., 2012). Beberapa jenis S.aureus selama beberapa tahun terakhir ini menjadi tahan terhadap antibiotik yang sebelumnya efektif. Berikut merupakan beberapa mekanisme resistensi yang secara umum terjadi pada bakteri adalah: perubahan target aksi sehingga afinitas obat terhadap reseptor berkurang, adanya inaktivasi agen antimikroba oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri, dan adanya mekanisme antibiotic efflux (Sibanda & Okoh, 2007). Proses pembentukan biofilm S. aureus sama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada bagian biofilm. Tahap akhir yang merupakan pelepasan sel planktonik merupakan tahap penyebaran infeksi terjadi di dalam tubuh (Rohde et al., 2007). Pembentukan biofilm pada S. aureus berpengaruh terhadap kemampuan difusi antibiotik melewati matriks biofilm yang menyebabkan terjadinya resistensi terhadap beberapa antibotik. Peran penting suatu biofilm adalah mencegah suatu agen antimikroba mencapai target (seperti sitoplasma dan membran sel) (Vuong et al., 2004). 11 2. Uraian tentang Minyak atsiri sereh a. Sereh dapur (Cymbopogon citratus) Gambar 2. Tanaman sereh Tanaman sereh dapur termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledon, bangsa Poales (Glumiflorae), suku Poaceae (Graminae), genus Cymbopogon, dan spesies Cymbopogon citratus (Backer & Van den Brink, 1968). Morfologi daun tanaman sereh adalah berwarna hijau dan tidak bertangkai. Daunnya kesat, panjang, dan runcing hampir menyerupai ilalang. Berbentuk seperti pita yang semakin ke ujung semakin runcing, berbau jeruk limau ketika daunnya diremas, berwarna hijau kebiru-biruan. Daunnya memiliki tepi yang kasar dan tajam namun halus pada kedua permukaannya. Berdaun tunggal, lengkap, berpelepah daun silindris. Tulang daunnya sejajar. Letak daun pada batang secara tersebar. Panjang daunnya sekitar 50-100 cm, sedangkan lebarnya kira-kira 2 cm. Daging daun tipis, serta pada bagian kedua permukaannya terdapat bulu halus. Tanaman sereh jenis ini jarang sekali memiliki bunga, kalaupun ada maka pada umumnya bunganya tidak memiliki 12 mahkota dan mengandung bulir. Tanaman sereh jenis C. citratus jarang sekali atau bahkan tidak memiliki buah dan biji (Backer & Van den Brink, 1968). Tanaman sereh dapur mengandung minyak atsiri yang tersusun atas komponen senyawa sitral, sitronellal, metilheptan, n-desil aldehida, linalool, geraniol, limonen, eugenol, dan metileugenol (Guenther, 1990). b. Minyak atsiri Minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap dan diperoleh dari tanaman penghasilnya. Minyak atsiri saat ini banyak digunakan sebagai bahan pewangi atau penyedap. Beberapa jenis minyak atsiri dapat digunakan sebagai antiseptik. Minyak atsiri dari tanaman tertentu bahkan secara umum tersusun atas senyawa kimia tertentu yang pada prinsipnya mampu menunjukkan aktivitas antimikroba yang spesifik terutama pada bakteri S. aureus dan Escherichia coli (Triayu, 2009). Beberapa tahun terakhir ini banyak dikembangkan senyawa alami yang memiliki aktivitas sebagai antimikroba dan banyak dilakukan penelitian terhadap kandungan senyawa dalam tanaman yang mampu dijadikan sebagai agen antimikroba (Bourne et al., 1999; Cowan, 1999). Minyak atsiri yang diambil dari tanaman banyak menunjukkan adanya aktivitas sebagai antimikroba secara in vitro pada strain suatu bakteri yang diketahui memiliki resistensi terhadap antimikroba tertentu (Fisher & Phillips, 2006; Warnke et al., 2009). 13 Minyak atsiri yang memiliki aktivitas antimikroba dapat digunakan secara topikal (Barker dan Altman, 2004), secara oral, terutama untuk perawatan gigimulut (Jeon et al., 2011), dan untuk penyembuhan luka (Edwards-Jones et al., 2004; Thakur et al., 2011). Beberapa tahun terakhir, laporan penelitian mengenai minyak atsiri sebagai suatu senyawa yang memiliki aktivitas antibiofilm semakin meningkat. Salah satunya adalah minyak atisiri sereh yang menunjukkan aktivitas antibiofilm pada Listeria monocytogenes (De Oliveira et al., 2010). Efek yang ditimbulkan dari minyak atsiri kayu manis pada biofilm sudah diteliti dengan uji yang menunjukkan eradikasi biofilm yang cukup pada S. aureus dan S. epidermidis (Nuryastuti et al., 2009) pada kadar minyak atsiri yang hampir sama dengan kadar minyak atisiri yang digunakan pada sel planktonik. Begitu pula pada penelitian yang menggunakan minyak atsiri oregano, carvacrol, dan thymol menunjukkan efek penghambatan dan eradikasi terhadap biofilm bakteri S. aureus dan S. epidermidis pada kadar minyak atsiri dua sampai empat kali lebih besar dari konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat fase planktonik (Nostro et al., 2007). Pada penelitian uji in vitro lainnya, terdapat peningkatan aktivitas pada senyawa minyak atsiri terhadap biofilm bila dibandingkan dengan efeknya pada bentuk sel planktoniknya (AlShuneigat et al., 2005; Karpanen et al., 2008). 14 c. Minyak atsiri sereh Minyak atsiri sereh merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang banyak digunakan. Minyak sereh berwarna kuning muda sampai kuning tua, berbau lemon dan bersifat mudah menguap. Memiliki nilai bobot jenis pada 15oC sebesar 0.886 – 0894 dan nilai indeks bias pada 20oC sebesar 1,467 – 1,473. Larut dalam tiga bagian volume etanol namun bila diencerkan lagi maka larutan menjadi keruh (Ketaren, 1985). Kegunaan minyak sereh dapat digunakan untuk pewangi sabun maupun detergen dan jenis produk teknis lainnya. Sedangkan minyak kasar digunakan untuk pembuatan isolat sitral yang banyak digunakan dalam flavor, kosmetik, dan parfum. Minyak atsiri sereh tersusun atas tiga komponen utama yaitu sitronellal, sitronellol, dan geraniol (Guenther, 1990). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya aktivitas minyak sereh dalam menghambat pertumbuhan mikroba genus Aspergillus (Matasyoh et al., 2010; Al-Yousef., 2013). Minyak sereh tersebut juga ditemukan berpotensial sebagai antibakteri dalam melawan beberapa bakteri pada fase planktonic termasuk S. aureus (Ragasa et al., 2008; Naik et al., 2010; Chamdit & Siripermpool, 2012; Kruthi et al., 2014) sehingga hal tersebut dapat meningkatkan efektivitas dalam penyembuhan yang disebabkan oleh mikroba yang telah resisten terhadap beberapa obat. Terdapat pula beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa minyak sereh berpotensial sebagai agen antibiofilm. Seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian mengenai aktivitas minyak sereh dan komponen utamanya 15 seperti sitral, geraniol, dan mirsen dalam menghambat empat strain patogen termasuk S. aureus pada pembentukan biofilm (Aiemsaard et al., 2011; Chamdit & Siripermpool, 2012). Beberapa minyak atsiri menunjukkan efikasinya terhadap eradikasi pembentukan biofilm pada bakteri dengan efisiensi yang lebih besar daripada hanya menggunakan agen antimikroba yang biasa digunakan (Kavanaugh & Ribbeck, 2012). d. Cara mendapatkan minyak atsiri Cara untuk mengambil minyak atsiri yang terdapat dalam tumbuhan penghasil minyak atsiri dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu penyulingan (distillation), ekstraksi dengan menggunakan pelarut (solvent extraction), dan pengempaan (expression). Penyulingan merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Namun pemilihan metode isolasi minyak atsiri tergantung dari sifat bahan baku tumbuhan yang akan digunakan. Metode ekstraksi menggunakan prinsip melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap seperti kloroform, eter, aseton dan etanol dialirkan bersamaan dengan bahan tumbuhan sampai terkumpul pada suatu tempat sehingga terkumpul minyak atsiri dan unsur pelarut. Lalu tempat ini akan dipanaskan pada suhu rendah (45oC) untuk menguapkan unsur pelarut yang digunakan agar diperoleh minyak atsiri yang terpisah dari unsur pelarutnya. Dengan metode pengempaan dilakukan dengan mengempa bahan tumbuhan pada sebuah alat penekan. Umumnya bahan tumbuhan berupa biji, buah, atau kulit luar yang dihasilkan oleh tanaman yang termasuk dalam famili 16 citrus. Alat yang digunakan berupa mesin penekan yang bekerja dengan cara menekan bahan baku hingga sel penghasil minyak akan pecah sehingga minyak akan keluar (Armando, 2009). Penyulingan minyak atsiri dapat dibedakan atas tiga cara yaitu penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap, dan penyulingan dengan uap dan air. Pada penyulingan dengan air, bahan tumbuhan yang akan disuling direbus dengan air mendidih dalam suatu wadah. Uap air yang menguap membawa uap minyak atsiri yang terdapat dalam bahan tumbuhan, dialirkan melalui sebuah pipa yang berhubungan dengan kondensor sehingga uap berubah menjadi cair kembali. Cairan ditampung pada sebuah tempat kemudian dilakukan pemisahan minyak dari air. Metode penyulingan ini baik digunakan untuk bahan penyulingan berbentuk tepung dan bunga-bungaan yang mudah membentuk gumpalan ketika terkena panas tinggi. Namun karena dicampur menjadi satu, waktu penyulingan yang dibutuhkan lama serta jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan rendah. Selain itu bahan yang disuling dapat hangus karena suhu yang tinggi bila tidak diawasi. Pada penyulingan dengan uap dan air, bahan diletakkan di atas piringan yang berlubang-lubang seperti ayakan dan terletak beberapa sentimeter di atas air mendidih. Selanjutnya uap yang timbul akibat pemanasan air akan dialirkan melalui lubang-lubang piringan dan terus mengalir melewati bahan sambil membawa minyak yang terkandung dalam bahan. Uap ini dikondensasi agar kembali menjadi cair sehingga minyak dan air dipisahkan. Keuntungan dari metode ini adalah penetrasi uap terjadi secara merata ke dalam jaringan bahan dan suhu dapat dipertahankan. Lama 17 penyulingan relatif lebih singkat, rendemen minyak lebih besar dan kualitas minyak lebih baik jika dibandingkan dengan minyak hasil dari sistem penyulingan dengan air. Penyulingan dengan uap dilakukan dengan cara membedakan wadah pemanasan air dan wadah bahan. Air dipanaskan sehingga mengeluarkan uap yang dialirkan menuju wadah bahan. Uap yang dihasilkan bertekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Di dalam wadah bahan, bahan diletakkan di atas piringan yang berlubang-lubang sama seperti penyulingan dengan uap dan air. Selanjutnya uap tetap akan mengalami proses pendinginan untuk dicairkan. Proses penyulingan ini baik digunakan untuk bahan baku minyak atsiri berupa kayu, kulit batang, maupun biji-bijian yang relatif keras (Armando, 2009). 3. Uraian tentang antibiotik a. Eritromisin Eritromisin merupakan antibiotik yang termasuk dalam golongan makrolid. Antibiotik makrolid merupakan suatu golongan obat antimikroba yang menghambat sistesis protein mikroba. Makrolid adalah suatu golongan senyawa yang memiliki kaitan erat dan ditandai dengan adanya sebuah cincin lakton makrosiklik (mengandung 14 atau 16 atom) tempat gula-gula deoksi melekat. Struktur umum eritromisin ditunjukkan dengan adanya cincin makrolid dan gula desosamin dan kladinosa. Obat ini kurang larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik. Eritromisin biasanya dibuat dalam bentuk ester dan garam (Katzung et al., 2014). 18 Gambar 3. Struktur kimia eritromisin Eritromisin bekerja bakteriostatik terhadap terutama bakteri Gram positif khususnya S. aureus dan Diphtheroid, serta spektrum kerjanya mirip penisilinG, makanya dapat digunakan oleh penderita yang alergis terhadap penisilin. Mekanisme kerjanya seperti tetrasiklin, yakni melalui pengikatan reversibel pada ribosom mikroba, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat terjadi resistensi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna (Tjay & Rahardja, 2007). Eritromisin merupakan pilihan pertama pada khususnya infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasma pneumonia, juga pada infeksi usus dengan Campylobacter jejuni. Eritromisin khusus digunakan sebagai pilihan kedua bilamana terdapat resistensi atau hipersensitivitas untuk penisilin (Tjay & Rahardja, 2007). Eritromisin memiliki aktivitas sebagai bakteriostatik maupun bakterisida tergantung dari jenis mikroba patogen dan konsentrasi obat. Mekanisme aksinya adalah melalui proses penghambatan sintesis protein bakteri dengan cara berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50S. Antibiotik ini 19 memiliki spektrum kerja yang cukup luas terhadap bakteri Gram positif seperti S. aureus, Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumonia, dan Gram negatif seperti Haemophilus influenzae, Pasteurella multocida, Brucella dan Rickettsia maupun mikoplasma (Chlamydia) namun tidak memiliki aktivitas terhadap virus, ragi ataupun jamur (Katzung et al., 2014). b. Streptomisin Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosid yang dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli Gram negatif, antara lain E.coli, H. influenza, Klebsiella, Proteus, Enterobacter, Salmonella dan Shigella. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah bakteri Gram positif (antara lain S. aureus/ S. epidermidis). Streptomisin aktif terhadap bakteri tahan asam Mycobacterium (tuberkulosis dan lepra) (Tjay & Rahardja, 2007). Gambar 4. Struktur kimia streptomisin Aktivitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri secara spesifik pada ribosom subunit 30S di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis 20 proteinnya dikacaukan. Efek ini tidak saja terjadi pada fase pertumbuhan, melainkan juga bila bakteri tidak membelah diri (Tjay & Rahardja, 2007). Streptomisin diperoleh dari Streptomyces griseus oleh Waksman (1943) dan segera digunakan sebagai obat tuberkulosid. Penggunaannya pada terapi tuberkulosis sebagai obat pilihan utama sudah lama terdesak oleh obat-obat primer lainnya berhubung toksisitasnya. Hanya bila terdapat resistensi atau intoleransi bagi obat-obat tersebut maka streptomisin masih dapat digunakan (Tjay & Rahardja, 2007). c. Kloramfenikol Semula diperoleh dari sejenis Streptomyces (1947), tetapi kemudian dibuat secara sintetis. Antibiotik spektrum luas ini berkhasiat sebagai bakteriostatis terhadap hampir semua bakteri Gram positif dan sejumlah bakteri Gram negatif, juga terhadap Spirochaeta, Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja sebagai bakterisid terhadap S. pneumoniae, N. meningitidis dan H. influenza. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida bakteri. Kloramfenikol tidak aktif terhadap kebanyakan suku Pseudomonas, Proteus dan Enterobacter (Tjay & Rahardja, 2007). Gambar 5. Struktur kimia kloramfenikol 21 Kloramfenikol memberikan efek dengan cara bereaksi pada ribosom subunit 50S dan menghalangi aktivitas enzim peptidil transferase. Enzim ini berfungsi untuk membentuk ikatan peptida antara asam amino baru yang masih melekat pada tRNA dengan asam amino terakhir yang sedang berkembang. Hal ini menyebabkan sintesis protein bakteri akan terhenti (Pratiwi, 2008). Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang aktif terhadap organisme aerobik dan anaerobik Gram positif maupun Gram negatif. Sebagian besar bakteri Gram positif dihambat pada konsentrasi 1-10 μg/mL, sementara sebagian besar bakteri Gram negatif dihambat pada konsentrasi 0,2-5 μg/mL (Katzung et al., 2014). d. Siprofloksasin Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan senyawa kuinolon generasi kedua yang memiliki spektrum kerja lebih luas dan lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, S. aureus, dan L. pneumophila (Tjay & Rahardja, 2007). Siprofloksasin mempunyai substituen 6-fluoro yang sangat memperkuat potensi antibakteri melawan organism Gram positif dan Gram negatif termasuk E.coli, P. aeruginosa, Salmonella, dan Campylobacter. Sejauh ini resistensi tidak sering terjadi (Neal, 2006). 22 Gambar 6. Struktur kimia siprofloksasin Mekanisme kerja siprofloksasin sebagai bakterisid adalah pada fase pertumbuhan bakteri, berdasarkan inhibisi dua enzim bakteri (topo-isomerase), yakni DNA-gyrase dan topo-isomerase IV sehingga sintesis DNA-nya terganggu. DNA-gyrase adalah enzim yang mengkompres DNA bakteri sehingga dapat diinkorporasi dalam sel bakteri, sedangkan topo-isomerase diperlukan bagi struktur ruang DNA. Kedua proses itu dihambat oleh senyawa kuinolon. Enzim tersebut hanya terdapat pada bakteri dan tidak pada sel dari organisme lebih tinggi, sehingga sintesis DNA manusia tidak dihambat (Tjay & Rahardja, 2007). 4. Media kultur Media kultur diperlukan untuk perkembangbiakan mikroba di laboratorium. Media kultur yang berisi bahan nutrisi diperlukan untuk menjaga habitat normal mikroorganisme. Media kultur yang baik mengandung seluruh nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme seperti air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen, dan hidrogen. Media biakan yang digunakan harus di sterilisasi terlebih dahulu. Proses sterilisasi yang dilakukan bertujuan untuk membunuh semua organisme yang terdapat dalam media biakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi selama proses 23 pertumbuhan mikroorganisme (Lay, 1994). Beberapa faktor yang menentukan proses perkembangbiakan bakteri adalah pH, temperatur, dan aerasi yang harus diperhatikan dan dikontrol (Pratiwi, 2008). Berdasarkan konsistensinya, media dibagi menjadi dua jenis yaitu media padat dan media cair. Media padat menggunakan bahan pengeras seperti Agar atau silica gel. Agar merupakan ekstrak polisakarida yang berasal dari alga laut yang banyak digunakan sebagai bahan pengeras dalam media kultur karena tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Media cair menggunakan ekstrak kompleks material biologis yang dinamakan broth (Pratiwi, 2008). Media kompleks merupakan media yang tersusun atas komponen yang secara kimia tidak diketahui namun diperlukan untuk kebutuhan nutrisi mikroorganisme tertentu. Contoh: pepton adalah produk yang dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung protein seperti jagung, kasein, dan gelatin sebagai sumber utama nitrogen organik, dapat pula mengandung vitamin dan kadang karbohidrat tergantung kepada jenis bahan yang mengandung protein yang dicernakan; ekstrak khamir sebagai sumber yang kaya vitamin B, dan sebagai sumber karbon dan nitrogen organik. Beberapa contoh media kompleks adalah Nutrient Broth atau Agar, (Pelczar & Chan, 1986; Pratiwi, 2008). 5. Sterilisasi Sterilisasi adalah suatu proses untuk menghilangkan, mematikan, atau menghancurkan semua bentuk mikroorganisme hidup baik yang patogen maupun tidak, bahkan dalam bentuk vegetatif (spora) dari suatu objek atau 24 bahan. Dengan sterilisasi akan diperoleh objek atau bahan yang steril. Pada umumnya suatu proses yang dapat menghancurkan zat hidup juga mampu menyebabkan beberapa kerusakan pada obyek yang disterilkan (Levinson, 2008). Metode sterilisasi kimia dilakukan untuk bahan-bahan yang rusak bila disterilkan pada suhu tinggi (misalnya bahan-bahan dari plastik). Kekuatan agen antimikroba kimiawi diklasifikasikan atas dasar efisiensinya dalam membunuh mikroorganisme. Seluruh germisida diklasifikasikan sebagai kategori tingkat tinggi karena efektif terhadap seluruh bentuk kehidupan termasuk endospora bakteri. Jenis agen antimikroba kimiawi yang digunakan yaitu bentuk cair (fenol-fenol, senyawa ammonium kuartener, alkohol) dan gas (ethylene oxide, formaldehid) (Pratiwi, 2008). Metode sterilisasi dengan menggunakan radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar UV ataupun dengan metode ionisasi. Sinar UV dengan panjang gelombang 260 nm memiliki daya penetrasi yang rendah sehingga tidak mematikan mikroorganisme namun dapat mempenetrasi gelas, air, dan substansi lainnya. Sinar UV ini bereaksi dengan asam nukleat sel mikroorganisme dan menyebabkan ikatan antara molekul-molekul timin yang bersebelahan dan menyebabkan terbentuknya dimer timin. Dimer timin dapat menghalangi replikasi DNA normal dengan menutup jalan enzim replikasi. Penggunaan sterilisasi dengan sinar UV antara lain untuk sterilisasi kabinet dan ruangan. Endospora bakteri resisten terhadap sinar UV. Metode sterilisasi dengan ionisasi sebesar 2,5 Mrad dapat mempenetrasi jauh ke dalam obyek. 25 Penggunaan teknik ini, misalnya dengan radiasi gamma dari kobalt-60, lebih kuat daya tembusnya dibandingkan dengan cahaya UV dan tidak dilakukan dalam laboratorium. Metode sterilisasi ini ditujukan untuk merusak asam nukleat mikroorganisme dan digunakan untuk bahan-bahan yang tidak dapat disterilisasi menggunakan panas, contohnya bahan plastik sekali pakai (disposable plasticware), antibiotik, hormon, dan jarum suntik (syringe) (Pratiwi, 2008). Metode sterilisasi dengan menggunakan panas dibagi menjadi dua jenis yaitu panas basah dan panas kering. Panas basah menggunakan alat autoclave pada suhu 110C selama 20 menit atau dapat juga dilakukan pada suhu 121C selama 15 menit. Metode ini digunakan untuk bahan yang tidak tahan panas tinggi. Pada metode ini uap air akan menembus dinding sel mikroba dan mengakibatkan koagulasi protein sehingga spora bakteri akan mati dan tercapai keadaan steril. Panas kering menggunakan oven suhu 200C selama 1 jam. Sterilisasi panas kering dilakukan untuk alat-alat yang tahan pemanasan tinggi tetapi tidak dapat ditembus oleh uap air dengan mudah. Pada sterilisasi panas kering, pemusnahan mikroba berdasarkan proses oksidasi dan dehidrasi terhadap sel mikroba. Dalam sterilisasi ini perlu diperhatikan penyusunan alat gelas dalam oven. Sebaiknya alat gelas disusun agak renggang sehingga aliran udara dapat menembus dan terdispersi ke seluruh permukaan gelas. Keuntungan menggunakan metode sterilisasi panas kering adalah alat-alat yang disterilkan akan tetap kering (Ansel, 2014). 26 Metode sterilisasi dengan filtrasi (penyaringan) digunakan untuk bahan yang sensitif terhadap panas misalnya enzim. Pada proses ini digunakan membran filter yang terbuat dari selulosa asetat. Kerugian prosedur ini adalah biaya yang mahal serta filter yang mudah mampat akibat filtrat tertinggal pada saringan sehingga harus sering diganti. Kerugian yang lain adalah meskipun memiliki pori-pori yang halus, membran filter tidak dapat digunakan untuk menyaring virus. Jenis filter yang sering digunakan adalah filter HEPA (High Efficiency Particulate Air) (Pratiwi, 2008). 6. Uji aktivitas penghambatan pertumbuhan sel planktonik bakteri Uji ini bertujuan untuk mengukur respon pertumbuhan bakteri pada fase planktonik terhadap suatu agen antimikroba. Metode yang digunakan adalah mikrodilusi cair yang dilakukan dengan cara menginokulasikan mikroba dalam media cair yang mengandung agen antimikroba dalam seri kadar pada sumuran microplate flat bottom 96 wells yang diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pembacaan Optical density (OD) menggunakan microplate reader. Metode mikrodilusi memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh bakteri (Brooks et al., 2001). 7. Uji aktivitas penghambatan pembentukan biofilm bakteri Uji ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu senyawa terhadap pembentukan biofilm bakteri. Metode yang digunakan adalah mikrodilusi cair 27 dengan microplate U-bottom 96 wells, dilakukan dengan memasukkan senyawa uji konsentrasi terntentu yang sudah dicampurkan dengan media ke dalam sumuran dan ditambahkan bakteri uji. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam (Quave et al., 2008). Supernatant pada tiap sumuran dibuang dan dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali. Metode pengukurannnya menggunakan matrix quantification assay yang didasarkan pada pewarnaan menggunakan larutan kristal violet 1% dalam akuades (Peeters et al., 2008). Larutan kristal violet 1% dimasukkan ke dalam tiap sumuran dan ditunggu selama 15 menit lalu dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali dan dikeringkan. Etanol dimasukkan ke dalam tiap sumuran bertujuan untuk melarutkan kristal violet yang terikat pada lapisan biofilm, sehingga banyaknya kristal violet yang terikat berbanding lurus dengan massa biofilm yang terbentuk, metode ini merupakan modifikasi dari penelitian Hertiani et al. (2010). Optical density (OD) dibaca menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 595 nm (Skogman, 2012). Optical density yang terbaca berbanding lurus dengan pembentukan biofilm pada setiap sumuran (Quave et al., 2008). 8. Terapi antibiofilm Tujuan pembentukan biofilm sebagai pertahanan mikroba dari pengaruh luar, sangat menyulitkan senyawa antimikroba untuk memberikan efek terhadap mikroba yang terdapat dalam bentuk biofilmnya. Hal ini disebabkan karena senyawa antimikroba mengalami kesulitan dalam menembus pertahanan yang dibentuk oleh mikroba. Selain itu juga laju pertumbuhan mikroba dalam 28 bentuk biofilm lebih lambat daripada dalam bentuk sel planktoniknya sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan akibat adanya senyawa antimikroba (Donlan & Costerton, 2002). Strategi terapi biofilm yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan agen yang mampu menghambat pembentukan biofilm tanpa membunuh bakteri dan memiliki efek sinergis dengan antibiotik konvensional, saling bekerja sama untuk mengatasi infeksi yang tidak dapat diatasi oleh agen tunggal. Agen antibiofilm mampu menjaga bakteri dalam fase planktonik sensitif, sementara antibiotik akan menghilangkan populasi bakteri tersebut. Berdasarkan penelitian Rogers et al. (2011) melaporkan bahwa turunan 2-aminodiazol dan antibiotik memiliki efek sinergis sebagai agen yang dapat menghambat dan merusak biofilm Staphylococcus aureus. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa penambahan kombinasi minyak atsiri pada sediaan mouthwash dapat meningkatkan aktivitas penghambatan plak biofilm pada gigi (Ouhayoun, 2003). Terdapat pula penelitian mengenai kombinasi tea tree oil dengan siprofloksasin secara signifikan menunjukkan peningkatan aktivitas penghambatan pembentukan biofilm Pseudomonas aeruginosa dibandingkan bentuk tunggal siprofloksasin (Coelho & Pereira, 2013). Adanya sinergisme pada kombinasi minyak sereh dengan amoksisilin terhadap penghambatan pertumbuhan Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) dilaporkan oleh El-Kalek & Mohamed (2012). 29 F. Landasan Teori Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang sudah banyak mengalami resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang sudah banyak beredar di masyarakat terutama karena obat-obat tersebut kurang efektif dalam melawan infeksi yang disebabkan oleh biofilm (Walters et al., 2003). Seperti pada eritromisin dan siprofloksasin dalam kondisi tunggal memiliki aktivitas sebagai antibiofilm yang rendah terhadap beberapa strain Staphylococcus aureus (Monte et al., 2014). Begitu pula pada penelitian Punitha et al. (2014) yang menunjukkan beberapa isolat Staphylococcus aureus pada fase biofilm mengalami resistensi yang lebih tinggi terhadap streptomisin dan kloramfenikol dibandingkan dengan vankomisin. Resistensi tersebut menyebabkan dosis penggunaan yang semakin meningkat. Sehingga pada penelitian ini diharapkan dapat menemukan strategi untuk mengurangi efek resistensi tersebut dengan mengkombinasikan agen antimikroba (antibiotik) dengan senyawa alam yang banyak terdapat dalam tanaman yaitu salah satunya adalah minyak atsiri. Minyak atsiri yang dikombinasikan harus diteliti juga bahwa memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Minyak atsiri yang digunakan adalah minyak sereh. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa minyak sereh berpotensial sebagai agen antibiofilm. Seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian mengenai aktivitas minyak sereh dan komponen utamanya seperti sitral, geraniol, dan mirsen dalam menghambat empat strain patogen termasuk S. aureus pada pembentukan biofilm (Aiemsaard et al., 2011; Chamdit & Siripermpool, 2012). Terdapat pula penelitian mengenai kombinasi minyak sereh dengan 30 amoksisilin menunjukkan adanya efek sinergisme aktivitas antimikroba terhadap Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) (El-Kalek & Mohamed, 2012). Penelitian yang mengkombinasikan antara senyawa antibiotik seperti eritromisin, streptomisin, kloramfenikol, dan siprofloksasin dengan minyak sereh sebagai agen antibiofilm sejauh ini belum dilakukan. Mikroba yang terdapat dalam bentuk biofilmnya akan lebih sulit ditembus oleh zat antimikroba bila dibandingkan dengan bentuk sel planktoniknya karena biofilm merupakan suatu bentuk pertahanan dari mikroba terhadap zat antimikroba. Sehingga mekanisme yang diharapkan pada kombinasi minyak sereh dengan antibiotik adalah sebagai antibiofilm karena dinilai lebih efektif dalam membunuh mikroba. Keberhasilan terapi infeksi akibat biofilm bakteri S.aureus sangat dibutuhkan pada praktek secara klinis. Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi dapat meningkatkan efektivitas melalui efek sinergisme terutama jika keduanya memiliki mekanisme aksi yang berbeda namun dapat saling mendukung sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi mikroba (Li & Tang, 2004). Selain itu, kombinasi antimikroba juga mampu meningkatkan kepekaan mikroba dalam biofilm (Saginur et al., 2006). Maka dalam penelitian ini dilakukan penelitian mengenai efektivitas kombinasi minyak sereh dengan antibiotik (eritromisin, streptomisin, kloramfenikol dan siprofloksasin) dalam menghambat pembentukan biofilm pada bakteri S. aureus. 31 G. Hipotesis 1. Minyak sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf), eritromisin, streptomisin, kloramfenikol dan siprofloksasin efektif terhadap penghambatan pembentukan biofilm S.aureus. 2. Kombinasi minyak sereh dengan antibiotik mampu menunjukkan penghambatan pembentukan biofilm S. aureus yang lebih tinggi daripada aktivitasnya dalam bentuk tunggal.