BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric substance (EPS) (Donlan, 2002). Bentuk biofilm sesungguhnya merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap ancaman fisis, kimiawi, maupun biologis. Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga mampu membentuk biofilm pada makhluk hidup, dan mampu menyebabkan penyakit dengan menolak kerja sistem imun maupun menciptakan suatu resistensi bakteri terhadap antibiotik (Stephens, 2002). Pembentukan plak gigi dan pembusukan gigi merupakan contoh mudah dari pengaruh biofilm terhadap kesehatan manusia (Bradshaw dkk., 1996; Li dkk., 2001). Biofilm berperan pula dalam penyakitpenyakit yang lebih parah seperti infeksi device-related (infeksi kateter, katup jantung buatan, sendi prostetik dsb.) oleh biofilm Staphylococci, infeksi endokarditis oleh biofilm Streptococci, maupun pneumonia cystic fibrosis oleh biofilm P. aeruginosa (Hall-Stoodley dkk., 2004). Biofilm juga berperan signifikan dalam gangguan di sistem otolaring manusia seperti otitis media, sinusitis kronis, tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring (Viveros, 2014). Infeksi patogen oportunistik dapat pula berasal dari lapisan biofilm patogen yang terbentuk di sistem air unit dental, sistem air rumah sakit, hingga saluran- 1 2 saluran peralatan endoskopi (Lindsay dan von Holy, 2006). Donlan (2002), menduga ada 4 sifat biofilm yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yakni: a. pelepasan agregat biofilm pada saluran kemih atau pembuluh darah menyebabkan penyakit infeksi hingga emboli b. sel beresiko mengadakan pertukaran plasmid dengan biofilm, yang mana dikhawatirkan plasmid yang dipertukarkan bersifat resisten antibiotik c. sel biofilm mampu menurunkan kemampuan kerja senyawa antimikroba d. biofilm resisten terhadap sistem imun inangnya Staphylococcus aureus adalah salah satu flora normal manusia dan diketahui juga memiliki kemampuan membentuk biofilm. S. aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan infeksi pada berbagai jaringan manusia, meskipun sifatnya hanya sporadik bukan endemik (Anonim, 1993). Dalam bentuk biofilmnya, S. aureus mampu menyebabkan penyakit yang lebih kompleks pada manusia. Biofilm S. aureus telah terbukti berperan dalam kasus chronic rhinosinusitis (CRS). Studi yang dilakukan oleh Kamath dkk. (2013) menunjukkan bahwa S. aureus hadir pada 43% dari apusan/ biopsi sinus paranasal pasien CRS. Jaringan sinus penderita CRS mengandung intraepithelial Staphylococcus aureus (IESA), yang mana 100% jaringan dengan IESA terdapat pula biofilm. Adanya biofilm S. aureus dikaitkan dengan penyakit yang lebih parah serta proses pemulihan yang lebih lambat pasca operasi. (Hamilos, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Rebiahi dkk. (2014) menunjukkan bahwa biofilm 3 S. aureus berperan dalam timbulnya infeksi nosokomial neonatus dan terbukti biofilm 100 kali lebih resisten terhadap konsentrasi regimen antibiotik. Resistensi S. aureus menjadi masalah besar di masa kini. S. aureus memang secara lumrah diketahui peka terhadap semua jenis antibiotik yang pernah dikembangkan, namun juga diketahui bahwa S. aureus memiliki kemampuan untuk menjadi resisten terhadap semua jenis antibiotik (Chambers dan DeLeo, 2009). Resistensi S.aureus diawali dengan resistensinya terhadap penisilin, dimana 20 tahun setelah penggunaan penisilin, 80% S. aureus sudah resisten terhadap penisilin. Kejadian ini diikuti dengan berbagai macam bentuk resistensi S.aureus seperti Methicillin Resistance S. aureus (MRSA) hingga Vancomycin Resistance S. aureus (VRSA), tak lama setelah dikenalkannya antibiotik metisilin dan vankomisin (Lowy, 2003). Pembentukan biofilm juga memicu terbentuknya sifat resisten S. aureus terhadap antibiotik. Biofilm mendorong pembentukan sel S. aureus yang toleran terhadap antibiotik serta menciptakan sel persister. Sel persister adalah sel yang beradaptasi terhadap antibiotik dengan cara mengurangi ketergantunganya terhadap bagian sel yang menjadi target antibiotik maupun menghentikan produksi target antibiotik di dalam sel (Lewis, 2010). Pembentukan biofilm juga makin menyulitkan terapi pada kasus infeksi bakteri yang resisten. Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin, ceftriaxone, siprofloksasin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan tobramisin. Amorena dkk. (1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme 4 yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik, Terapi antibiotik merupakan terapi yang umum dijumpai pada kasus infeksi oleh bakteri S.aureus. Beberapa antibiotik yang secara luas dipakai dalam terapi adalah eritromisin, streptomisin, dan kloramfenikol. Sayangnya penggunaan antibiotik tersebut juga tidak terlepas dari masalah resistensi. Penelitian menunjukkan rendahnya sensitivitas antibiotik-antibiotik di atas terhadap MRSA (Onwubiko dan Sadiq, 2011). Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang, seperti pada kasus penyakit kronis, sering menimbulkan masalah akibat munculnya efek samping dari antibiotik yang bersangkutan. Eritromisin dalam dosis besar mampu menimbulkan gangguan jantung yang menimbulkan aritmia hingga toksisitas kardiak terutama pada pasien dengan gangguan jantung sebelumnya (Berthet dkk., 2010). Kejadian ototoksisitas terjadi pada pasien yang mendapat terapi streptomisin selama beberapa minggu (McDermott, 1947). Kloramfenikol juga memiliki efek samping yang besar yakni supresi sumsum tulang belakang dan aplastic anemia (Abdollahi dan Mostafalou, 2014). Pada masa sekarang ini, berbagai tanaman telah diketahui mengandung berbagai kandungan yang aktif secara biologis, serta bermanfaat dalam pengobatan terutama dalam terapi antimikroba (Yoo dkk., 2007). Tanaman sirih (Piper betle L.) telah dikenal memiliki aktivitas antibakteri yang baik, dimana ekstrak etanolik daun sirih menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik terhadap Eschericia coli, S. aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (Khan dan Kumar, 2011). Salah satu bentuk pemanfaatan yang baik dari tanaman obat adalah sebagai 5 bahan kombinasi untuk meningkatkan efikasi dari antibiotik dan mencegah timbulnya kasus resistensi bakteri akibat obat sintetik (Hemaiswarya, 2008). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak etil asetatheksan daun pertumbuhan sirih dan ampisilin mampu menunjukkan penghambatan bakteri S. aureus (Rao dkk., 2011). Kemampuan sirih dalam menghambat pertumbuhan biofilm juga telah diteliti. Penelitian Adityaningrum (2010) menunjukkan bahwa minyak atsiri sirih hijau efektif sebagai senyawa antibofilm S. mutans. Kawsud dkk. (2014) juga menemukan bahwa ekstrak daun sirih potensial sebagai antibiofilm C. albicans. Aktivitas sirih ini diduga akibat kandungan dari hidroksikavikol, kavibetol, dan eugenol (Dwivedi dan Tripathi, 2014). Kandungan hidroksikavikol diketahui dapat menekan pertumbuhan biofilm sedangkan senyawa eugenol diketahui mampu menghambat sistem quorum sensing yang penting bagi pembentukan biofilm. Aksi hidroksikavikol diketahui berasal dari kemampuannya untuk mengubah struktur membran sel, sehingga terjadi gangguan terhadap barrier permeabilitas dari struktur membran mikroba (Sharma dkk., 2009). Eugenol sendiri diketahui mampu mengubah permeabilitas membran sel yang menyebabkan kebocoran protein maupun lipid dari mikroba (Oyedemi dkk., 2009). Kedua senyawa tersebut diharapkan mampu meningkatkan suseptibilitas sel S. aureus terhadap mekanisme antibiotik. Mekanisme kerja antibiotik yang dimaksud seperti penghentian sintesis protein dengan pengikatan ribosom oleh kloramfenikol; penghambatan sintesis protein, kesalahan pembacaan kode genetik, hingga perubahan transpor dan permeabilitas sel oleh streptomisin; 6 maupun penghambatan sintesis protein ribosomal pada mitokondria oleh eritromisin (Scholar dan Pratt, 2000). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, terlihat bahwa tanaman sirih merupakan sumber bahan antibiofilm yang potensial. Dengan pelaksanaan penelitian ini, akan diteliti efek kombinasi bahan alam, dalam hal ini minyak atsiri sirih, dengan beberapa jenis antibiotik antara lain kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin untuk mengetahui apakah kombinasi minyak atsiri sirih bersama dengan antibiotik memberikan efek sinergis dalam menghambat pertumbuhan biofilm dari S. aureus. Minyak atsiri sirih diharapkan mampu menghambat pembentukan biofilm S. aureus melalui kandungan hidroksikavikol dan eugenol, sehingga membantu penetrasi antibiotik melewati biofilm S. aureus dan meningkatkan efikasi antibiotik. Ketiga antibiotik yang dipilih diketahui telah menunjukkan penurunan efikasi hingga resistensi terhadap infeksi S. aureus, sehingga diharapkan dengan dikombinasikan dengan minyak atsiri sirih terjadi peningkatan efektivitas antibiotik serta mencegah timbulnya resistensi S. aureus terhadap antibiotikantibiotik tersebut. Bila ditemukan sinergisme yang diharapkan, maka hasil penelitian ini dapat dikembangkan ke tahap formulasi untuk pemanfaatannya. Formula yang dapat dikembangkan antara lain salep antibiotik-minyak atsiri untuk mengobati infeksi biofilm S. aureus di kulit, terutama untuk pasien luka bakar. Formula pasta gigi juga dapat dikembangkan untuk tujuan pengobatan infeksi-infeksi pada rongga mulut. 7 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah efektivitas minyak atsiri sirih terhadap fase planktonik dan biofilm S. aureus ? 2. Apakah kombinasi minyak atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin akan menunjukkan aktivitas antibiofilm yang lebih tinggi dibanding aktivitasnya dalam bentuk tunggal? C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menemukan sumber senyawa antibiofilm dari bahan alam Tujuan Khusus Meneliti kemungkinan aktivitas sinergisme antara kombinasi minyak atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan, eritromisin dalam menghambat pertumbuhan biofilm S. aureus. D. Tinjauan Pustaka 1. Biofilm Biofilm merupakan kumpulan dari sel mikroba yang secara irreversible terikat pada permukaan, serta ditutupi oleh matriks polisakarida. Biofilm dapat menempel pada hampir semua permukaan termasuk alat-alat kesehatan, pipa-pipa industri, maupun jaringan hidup. Matriks biofilm cukup kompleks dan dapat mengandung berbagai material non-biofilm seperti kristal mineral, komponen darah, atau komponen tanah. Komposisi utama biofilm selain sel mikroba adalah 8 extracellular polysaccharides substance (EPS) yang mencapai hingga 50-90% dari biofilm (Donlan, 2002). Sel-sel mikroba dalam biofilm berkomunikasi menggunakan sistem yang disebut Quorum Sensing. Quorum sensing merupakan kemampuan mikroba untuk mengukur densitas sel (jumlah mikroba) dengan mengukur jumlah akumulasi sekresi sinyal molekul yang dihasilkan sel. Kemampuan quorum sensing ini mampu memberikan kemampuan bioluminensi (contoh: Vibrio fischeri), pembentukan biofilm (contoh: S. aureus), atau produksi eksoenzim pada bakteri (contoh: C. albicans) (Solano dkk., 2014; Diggle dkk., 2007). Pembentukan biofilm diawali dengan pergerakan mikroba menuju ke permukaan objek. Mikroba mendekati permukaan objek lalu berinteraksi langsung dengan permukaan atau mikroba lain yang sudah menempel sebelumnya (Watnick dan Kolter, 2000). Mikroba yang mendekati permukaan, akan menempel baik secara reversible maupun irreversible. Penempelan reversible dapat terjadi akibat gerak Brown, aliran konveksi, atau interaksi mikroba dengan permukaan. Penempelan irreversible terjadi saat sel mikroba menghasilkan EPS yang membentuk ikatan dari sel ke sel, dan melekatkan kumpulan sel ke permukaan objek. Pelekatan irreversible ini memicu kolonisasi dari mikroba, dimana sel-sel mikroba tumbuh dan membelah membentuk mikrokoloni yang menyusun biofilm (Lindsay dan von Holy, 2006). Bila kondisi lingkungan berubah dan kurang menguntungkan bagi mikroba, sel mikroba dapat melepaskan pelekatannya dan pergi ke lingkungan yang lebih menguntungkan (Watnick dan Kotler, 2000). 9 Sel Planktonik Penempelan Sel Mikrokoloni Biofilm Pelepasan Sel Gambar 1. Fase-fase pembentukan biofilm. Sel planktonik mikroba berwarna kuning menempel pada batu, membentuk mikrokoloni dan membentuk biofilm. Bila kondisi lingkungan tidak mendukung, sel terlepas untuk mencari lingkungan yang lebih baik (Watnick dan Kolter, 2000). Keterkaitan biofilm dengan berbagai penyakit telah banyak diteliti. Berbagai infeksi terkait biofilm antara lain adalah: infeksi dari alat-alat kesehatan, infeksi endokarditis, dan pneumonia pada penderita cystic fibrosis (Hall-Stoodley dkk., 2004). Biofilm juga menjadi faktor timbulnya berbagai gangguan pada sistem otolaring manusia. Pada kasus otitis media yang sering menyerang anak, telah dapat didemonstrasikan pembentukan agregat mikroba di membran mukosa pada otitis media buatan. Biofilm juga dihubungkan dengan timbulnya sinusitis kronis, tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring, dimana biofilm menyebabkan resistensi pengobatan dan kekambuhan berulang. Membran mukosa yang terinfeksi biofilm juga diketahui kehilangan seluruh sel silia-nya (Viveros, 2014). 10 Lindsay dan von Holy (2006) menyebutkan bahwa biofilm memiliki kemampuan untuk melindungi bakteri dari senyawa-senyawa asing. Biofilm diasosiasikan pula dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. Kemampuan proteksi ini masih belum dimengerti sepenuhnya, namun beberapa teori yang diajukan antara lain: a. Extracellular Polymeric Substance (EPS) biofilm bereaksi secara kimiawi dengan antibiotik/senyawa asing ataupun membentuk penghalang difusi b. Biofilm mengubah sistem transpor membran ataupun melepaskan molekul yang dapat menginaktivasi antibiotik c. Biofilm memiliki sistem stress-response rpoS yang akan menurunkan tingkat pertumbuhan mikroba, dan menganggu aksi kerja antibiotik d. Biofilm menghasilkan enzim yang mengubah molekul antibiotik menjadi inaktif e. Biofilm yang memiliki plasmid resisten-antibiotik, dapat mengkode resistensi terhadap antimikroba lain f. Biofilm memproduksi sel persister, yakni fenotip resisten mikroba yang sangat toleran terhadap antibiotik g. Beberapa jenis permukaan memiliki kemampuan untuk menahan biofilm lebih baik sehingga menyulitkan eliminasi biofilm 11 2. Staphylococcus aureus dan biofilmnya S. aureus adalah bakteri berdiameter 0,8-1,0 mikron, tidak bergerak, tidak berspora, dan merupakan bakteri Gram positif (Anonim, 1993). Bila sudah tua, sel S. aureus cenderung menjadi bersifat Gram negatif. S. aureus tumbuh paling cepat pada 37°C, membentuk pigmen paling baik di 20°C dimana S. aureus berwarna kuning keemasan (Jawetz dan Ade, 1986). Sifat utama dari koloni Staphylococcus adalah membentuk agregat berbentuk anggur serta infeksinya menimbulkan nanah pada kulit manusia. S. aureus dapat menghasilkan toksin yang mampu menyebabkan keracunan makanan bila tertelan (Hugo dan Russel, 1987). Biofilm dari S. aureus bersama dengan biofilm S. epidermidis merupakan penyebab utama dari infeksi nosokomial dan implan alat medis pada manusia (Otto, 2008). Biofilm S. aureus juga mampu menyebabkan penyakit kronis seperti chronic rhinosinusitis dengan menginfeksi sinus penderita hingga terjadi hilangnya sel silia dan sel goblet (Kamath dkk., 2013; Hamilos, 2014; Ramadan dkk., 2005). Infeksi lain terkait biofilm S. aureus termasuk osteomyelitis dan endokarditis. Terapi antibiotik untuk infeksiinfeksi diatas umumnya terhalangi oleh kehadiran biofilm (Costerton dkk., 1999). Biofilm S. aureus memang telah diketahui terlibat dalam resistensi terhadap antibiotik. Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin, ceftriaxone, siprofloksasin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan 12 tobramisin. Amorena dkk. (1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik, Pembentukan biofilm S. aureus telah banyak diteliti secara mendalam. Archer dkk. (2011) merangkum dalam jurnalnya mengenai berbagai jalur pembentukan biofilm S. aureus yang diketahui dapat membentuk biofilm melalui jalur PIA-dependent, PIA-independent, serta eDNA. PIA (polysaccharide intercelluler antigen) diproduksi S.aureus secara in vitro dari UDP-N-acetylglucosamine melalui produk lokus intercellular adhesion (ica). Pada jalur PIA-dependent, PIA terbukti sangat penting dalam pembentukan biofilm serta berperan dalam pertumbuhan anaerobik. Saat PIA diproduksi maka biofilm juga akan ikut terbentuk. Biofilm juga dapat terbentuk melalui jalur PIA-independent, yang mana tidak mementingkan lokus gen ica. Penghapusan lokus ica terbukti tidak menurunkan virulensi biofilm S. aureus. Pada mutan S. aureus dengan delesi ica, ditemukan bahwa protein A (SpA) yang berperan penting dalam pembentukan biofilm. Jalur lain yang cukup penting dalam pembuatan biofilm adalah eDNA (extracellular DNA). S. aureus memiliki kemampuan menambahkan DNA pada matriks awal biofilm, yang mana mendukung struktur pembentukan biofilm. 13 Gambar 2. Citra TEM Biofilm S. aureus Biofilm diambil dari implan alat medis yang ditanam pada peritoneum tikus selama 5 hari. Bakteri S. aureus terlihat di permukaan biofilm, tercampur dengan material inang, sedangkan bakteri yang telah lisis tersebar di dalam matriks biofilm. (Sumber: Archer, 2011) Biofilm S. aureus diatur oleh 2 regulator utama yakni staphylococcal accessory regulator (sarA) dan accessory gene regulator (agr) (Fournier dkk., 2001). SarA berperan dalam pertumbuhan biofilm S. aureus dan dapat mencegah degradasi eDNA dan protein yang menjadi struktur utama biofilm. Regulator agr sendiri berperan pada quorum sensing dari S. aureus dengan menurunkan tingkat perlekatan S. aureus dengan permukaan, sehingga terjadi penurunan tingkat pembentukan biofilm. Penekanan agr penting untuk pembentukan biofilm, sedangkan induksi agr pengting untuk penyebaran biofilm yang telah matang (Boles dan Horswill, 2008). 3. Minyak Atsiri Minyak atsiri adalah minyak yang diproduksi oleh tanaman,sejenis dan merupakan campuran dari senyawa organik volatil yang memberikan rasa dan keharuman dari tanaman (Tisserand dan Young, 2014). 14 Proses destilasi uap merupakan cara utama dalam produksi minyak atsiri. Terdapat 3 macam cara destilasi yang dapat digunakan yakni destilasi air (hydrodistillation), destilasi uap dan air (wet steam), dan destilasi uap (dry steam). Pada destilasi air, bahan tanaman direbus dalam air, dan uap yang dihasilkan dialirkan ke kondensor untuk diembunkan menjadi minyak atsiri. Metode ini sangat mudah dilakukan, namun sangat sulit mengatur panas yang diberikan sehingga laju destilasi tidak terkontrol. Panas berlebih pada metode destilasi air juga dapat memberi bau hangus pada minyak atsiri, sehingga menurunkan kualitas minyak yang dihasilkan. Metode ini juga lebih membutuhkan banyak panas dan air sehingga memakan banyak biaya. Pada destilasi air dan uap, bahan tanaman diletakkan diatas permukaan air yang direbus meggunakan suatu sekat, sehingga bahan tanaman lebih terlindungi dari resiko overheated. (Fairman, 1992) Pada destilasi uap, uap dihasilkan dari boiler lalu ditiupkan melalui pipa-pipa menuju tanaman yang ditempatkan pada tray atau keranjang berlubang. Penggunaan uap bertekanan tinggi lazim digunakan di Amerika dan Eropa, sebab dengan suhu yang tinggi terjadi peningkatkan kecepatan destilasi (Kubeczka, 2010). Selain cepat, metode destilasi uap juga lebih hemat energi, namun senyawa-senyawa seperti ester sangat mudah rusak dalam proses ini. (Fairman, 1992) Destilat awal minyak atsiri biasanya diletakkan dalam botol Florentine, yang memiliki outlet di bagian atas dan dibawah. Destilat kemudian dibiarkan memisah, dan lapisan minyak dikumpulkan sebagai minyak atsiri. Lapisan air yang dijenuhi minyak dapat didestilasi kembali ataupun langsung menjadi produk komersial seperti air mawar ( Evans dan Evans, 2002) 15 Terpenoid merupakan kandungan utama dari minyak atsiri. Terpenoid adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari isoprena (2-metilbutadiena). Isoprena menjadi building block dari terpenoid pembentuk minyak atsiri, sehingga meskipun isoprena sangat jarang ditemukan di minyak atsiri, rangka isoprena sangat mudah ditemukan pada terpenoid-terpenoid penyusun minyak atsiri. Terpenoid dibentuk dari asam mevalonat yang dibuat dari tiga asetil CoA. Fosforilasi dari asam mevalonat diikuti eliminasi dari alkohol tersier dan dekarboksilasi gugus asam membentuk isopentenil pirofosfat, yang berisomerisasi menjadi prenil pirofosfat. Kopling 2 buah prenil pirofosfat membentuk geranyl pirofosfat dengan 10 unit atom karbon. Penambahan lebih lanjut akan isopentenil pirofosfat membentuk molekul dengan atom karbon berjumlah 15-, 20-, 25-, dan seterusnya. Terpenoid yang pertama kali dipelajari adalah monoterpenoid dengan 10 atom karbon, dan menjadi dasar penamaan terpenoid. Hemiterpenoid mengandung 5 atom karbon, sesquiterpenoid mengandung 15 atom karbon, dan diterpenoid mengandung 20 atom karbon. Hanya hemiterpenoid, monoterpenoid, dan sesquiterpenoid yang cukup volatil untuk menjadi penyusun minyak atsiri (Sell, 2010). Selain dibentuk dari terpenoid, beberapa minyak atsiri merupakan senyawa fenilpropanoid yang dibentuk melalui jalur asam sikimat. Meskipun jumlah senyawa minyak atsiri fenilpropanoid lebih sedikit dibanding terpenoid, namun senyawa fenilpropanoid cukup signifikan sebagai penyusun minyak atsiri (Rhind, 2012). Minyak atsiri dapat digunakan secara medis untuk pengobatan. Minyak atsiri cukup umum digunakan sebagai agen antiinfeksi maupun pencegahan sepsis 16 pada luka bakar. Minyak atsiri dapat memberikan rasa hangat, sebagai anastetik lokal ringan, serta antipruritik (Daniel, 2006). Penelitian modern menunjukkan fungsi yang lebih kompleks dari minyak atsiri seperti minyak atsiri Citrus aurantium sebagai antikonvulsan (Azanchi dkk., 2014), minyak atsiri Salvia lavandulifolia mampu menyeimbangkan reaksi redoks sel (Porres-Martinez dkk., 2014), hingga minyak atsiri Toona ciliata yang memberikan efek antidepresan (Duan dkk., 2014). Walaupun memiliki banyak manfaat, penggunaan minyak atsiri harus tetap memperhatikan keamanannya. Minyak atsiri dapat menimbulkan efek toksik pada sel eukariotik dengan mempengaruhi permeabilitas membran mitokondria menyebabkan nekrosis ataupun apoptosis. Resiko utama penggunaan minyak atsiri dalam pengobatan antara lain sensitisasi, iritasi, fototoksik, hingga karsinogenik. Evaluasi keamanan minyak atsiri cukup sulit dilakukan, mengingat kandungan minyak atsiri bervariasi menurut tempat tumbuhnya (Raut dan Karuppayil, 2014). 4. Tanaman Sirih (Piper betle L.) dan Minyak Atsiri Sirih a. Klasifikasi Piper betle L. Divisi : Magnoliophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Piperales Suku : Piperaceae Marga : Piper 17 Jenis : Piper betle L. P. betle L. dikenal pula dengan berbagai nama dalam bahasa lain, antara lain: nagacallari, nagini, varnalata (Sanskrit); sirih cina, sirih kerakap, sirih hudang (Malaysia); betel, betel pepper, betel vine (Inggris); sirih, suruh, bodeh (Jawa); pelu (Thailand). Tanaman sirih merupakan tanaman perenial berkayu, dan tumbuh merambat. Daunnya memiliki variasi warna dari hijau cerah hingga kekuningan (Teo dan Banka, 2000). Daun tanaman sirih berbentuk seperti hati dengan panjang 7-15 cm dan lebar 5-14 cm dengan rasa yang khas. Tanaman sirih berasal dari Malaysia bagian tengah atau timur dan banyak digunakan di India, Indonesia, dan daerah Indo-China (Pradhan dkk., 2013) Gambar 3. Daun dan pohon sirih di Pulau Pinang, Malaysia (Sumber: Nouri, dkk., 2014) Tanaman sirih umumnya mengandung 0,08% hingga 2 % minyak atsiri (Guha, 2006). Minyak yang dihasilkan dari destilasi uap, menghasilkan minyak berwarna kuning muda dengan bau khas fenolik dan rasanya yang pahit, hangat, dan tajam. Indeks bias minyak atsiri sirih adalah berkisar antara 1,500 hingga 1,5240. Sekitar 75% konstituen 18 minyak adalah kandungan fenolik dalam bentuk kavibetol (Anonim, 2007). b. Penelitian terdahulu Daun sirih digunakan masyarakat untuk menghilangkan bau mulut, bronkitis, batuk, konstipasi, dan asma. Daun sirih dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antimikroba, insektisida, antioksidan, antidiabetes, dsb. (Arambewela dkk., 2006). Ekstrak daun sirih telah teruji memiliki kemampuan antimikroba, dimana ekstrak metanoliknya lebih efektif dibandingkan ekstrak etanoliknya (Khan dan Kumar, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa daun sirih mampu menghambat pertumbuhan berbagai jenis bakteri baik bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif, antara lain Brevibacillus brevis, Micrococcus luteus, S. cohnii, Escherechia coli, P. aeruginosa, dan Salmonella enterica. (Tan dan Chan, 2014). Kombinasi antara ekstrak daun sirih dengan ampisilin juga telah didemonstrasikan dan menunjukkan hasil penghambatan pertumbuhan bakteri yang bervariasi pada spesies E. coli, S. aureus, dan P. aeruginosa (Rao dkk., 2011). Minyak atsiri sirih didapatkan dari destilasi uap daun sirih, menghasilkan minyak atsiri berwarna kuning cerah. Komponen karakteristik dari minyak ini adalah kavibetol yang merupakan isomer dari eugenol (Daniel, 2006). Kandungan-kandungan utama dari minyak atsiri sirih bagian atas adalah α-pinena, β-pinena, DL-kamfor, limonena, kamfena, safrol, isoeugenol, α-kariofilena, α-kubebena, α-bisabolol,dan 19 masih banyak lagi (Agusta, 2000). Minyak atsiri sirih menunjukkan aktivitas antioksidan dan kekuatannya tak berubah selama penyimpanan (Arambewela, dkk., 2006). Minyak atsiri sirih juga banyak diteliti daya antibakterinya. Dalam sediaan pasta gigi, sifat antiseptika didapatkan dengan menggunakan minyak atsiri konsentrasi 0,5 % ke atas (Sundari dkk., 1992). Minyak atsiri sirih terbukti memiliki spektrum luas dalam penghambatan bakteri patogen dan pembusuk makanan (Suppakul dkk., 2006). Diketahui pula bahwa Kadar Hambat Minimum (KHM) minyak atsiri sirih kurang dari 0,3 mg/mL terhadap S. aureus pada urin, luka, dan sputum; kurang dari 0,6-1,2 mg/mL terhadap Klebsiella spp. di urin dan luka; kurang dari 0,3-0,6 mg/mL terhadap Enterobacter spp. di urin dan sputum (Ontengco dkk., 1999). Kandungan minyak atsiri dalam daun sirih terbukti pula dapat menjadi kebersihan mulut, dengan menekan 56% pertumbuhan bakteri di mulut. Aktivitas ini diduga terkait kandungan kavibetol dan kavikol dalam minyak sirih (Bissa dkk., 2007). Minyak atsiri sirih juga aktif sebagai antifungi Arthroderma benhamiae, Microsporum gypseum, Trichophyton mentagrophytes serta Ctenomyces serratus dan sebagai antihelmintik Taenia solium serta Bunostomum trigonocephalum (Garg dan Jain, 1992). Penelitian Adityaningrum (2010) menunjukkan bahwa minyak atsiri sirih hijau efektif sebagai senyawa antibofilm S. mutans. Geethashri dkk. (2014) menemukan bahwa ekstrak air daun sirih mampu menyebabkan disintegrasi biofilm S. aureus. Kawsud dkk. (2014) juga menemukan bahwa ekstrak daun sirih potensial sebagai antibiofilm C. 20 albicans. Ekstrak daun sirih diketahui mengandung kavibetol, eugenol, dan hidroksikavikol dimana kandungan hidroksikavikol pada ekstrak daun sirih diketahui aktif menekan pertumbuhan biofilm (Dwivedi dan Tripathi, 2014). Kandungan eugenol juga diketahui menghambat quorum sensing dalam pembentukan biofilm. 5. Kloramfenikol Kloramfenikol (tata nama IUPAC: (2,2-Dikloro-N- [(1R,2R)-1,3-dihidroksi1-(4-nitrofenil)propan-2-yl]asetamida) merupakan salah satu golongan antibiotik dengan nama dagang antara lain Amphicol®, Kemicetine®, Chloromycetin® dll. Kristal kloramfenikol berwarna abu-abu putih hingga putih kekuningan. Larutan kloramfenikol bersifat dextrorotary saat dilarutkan dalam alkohol dan bersifat laevorotary saat dilarutkan dalam etil asetat (Moffat dkk., 2011). Kloramfenikol biasa tersedia dalam bentuk esternya yakni kloramfenikol palmitat atau kloramfenikol Na-suksinat. Satu gram kloramfenikol larut dalam 400 ml air dan sangat mudah melarut di dalam etanol, aseton, dan etil asetat (Connors dkk., 1986). Gambar 4. Struktur Kimia Kloramfenikol (Moffat dkk., 2011) Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik dengan spektrum luas, yang aktif dalam melawan infeksi riketsia dan chlamydia. Kloramfenikol juga 21 efektif untuk sebagian besar bakteri Gram positif serta bakteri aerob non-enterik. Kloramfenikol juga banyak digunakan untuk mengobati infeksi Salmonella sp. dalam kasus tifoid manusia (Bishop, 2005). Kloramfenikol tidak aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh jamur (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Efek samping yang paling dikenal dalam pemakaian kloramfenikol adalah Gray Baby Syndrome. Sindrom ini terjadi pada neonatus yang menerima dosis berlebih dari kloramfenikol. Pada neonatus, kloramfenikol dalam tubuh belum dapat dikonjugasikan sehingga tidak dapat tereliminasi dari tubuh dan menyebabkan letargi, muntah, gagal nafas hingga kematian (Arcangelo dan Peterson, 2011). Kontraindikasi juga diberikan pada ibu menyusui, dimana kloramfenikol dapat masuk ke tubuh neonatus yang menyusu dari ibu yang mengkonsumsi kloramfenikol (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Kloramfenikol juga menjadi penyebab utama terjadinya pancytopenia dan anemia aplastik akibat reaksi penekanan sumsum tulang belakang (Seth dan Seth, 2009). Mekanisme resistensi kloramfenikol terjadi melalu dua jalur. Jalur pertama adalah perubahan struktur kimia kloramfenikol akibat enzim asetiltransferase, yang mana menurunkan potensi dari kloramfenikol. Jalur kedua adalah dengan hilangnya protein transpor dari membran luar mikroba, yang mana menyebabkan penetrasi kloramfenikol ke dalam sel terhalang (Arcangelo dan Peterson, 2011). Meskipun sempat ditinggalkan karena tingginya tingkat resistensi, kloramfenikol akhir-akhir ini kembali menunjukkan efektivitasnya terhadap mikroba (Seth dan Seth, 2009). 22 6. Streptomisin Streptomisin (tata nama IUPAC: 2-[(1R,2R,3S,4R,5R,6S)-3- (Diaminomethylideneamino)-4-[(2R,3R,-4R,5S)-3-[(2S,3S,4S,5R,6S)-4,5dihydroxy-6-(hydroxymethyl)-3-(methylamino)oxan-2-yl]oxy-4-formyl-4hydroxy-5-methyloxolan-2-yl]oxy-2,5,6-tri-hydroxycyclohexyl] guanidine) adalah kelas pertama dari golongan antibiotik aminoglikosida. Streptomisin diisolasi dari Streptomyces griseus. Bentuk garamnya, streptomisin sulfat, berupa serbuk putih higrosopis yang sangat mudah melarut dalam air, namun tidak pada etanol. Streptomisin sangat sedikit diserap tubuh di saluran pencernaan dan menghasilkan absorpsi yang lebih baik pada pemberian rute intramuskular (Moffat dkk.,2011) Gambar 5. Struktur Kimia Streptomisin (Moffat, 2011) Streptomisin merupakan antibiotik yang diberikan secara parenteral dan dahulu banyak digunakan untuk terapi kombinasi dalam pengobatan tuberkulosis. Selain itu streptomisin banyak digunakan untuk terapi infeksi Mycobacterium dan tullaremia (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Streptomisin berkerja dengan mengikat 16S rRNA pada subunit 30S dari ribosom bakteri yang menyebabkan stabilisasi bagian A saat translasi protein terjadi. Proses tersebut menghasilkan 23 pembacaan kodon yang salah dan berujung pada penghambatan sintesis protein bagi bakteri. Inhibisi sintesis protein ini berperan dalam peningkatan permeabilitas dinding sel dan akhirnya memicu efek bakterisidal pada bakteri (Grosset dan Singer, 2013). Penggunaan dosis besar streptomisin mampu memberikan efek samping yang cukup berbahaya yakni ototoksisitas (kerusakan telinga bagian dalam) dan nefrotoksisitas (kerusakan ginjal). Ototoksisitas dari streptomisin telah banyak dipelajari dan telah ditemukan bahwa streptomisin menyebabkan lesi dan kerusakan pada sel rambuk koklea telinga (He dkk., 2015; Frank dkk., 1999). Obat golongan aminoglikosida, termasuk streptomisin, mampu bertahan di telinga dalam hingga 30 hari, meskipun waktu paruh aminoglikosida sendiri hanya berkisar antara 3-5 jam. Adapun kejadian ototoksistas lebih banyak terjadi pada pengobatan kronis menggunakan streptomisin (Arya, 2007). Nefrotoksisitas diinduksi streptomisin umumnya terjadi pada pasien yang menerima dosis streptomisin lebih besar dan waktu terapi yang lebih lama (de Jager dan van Altena, 2002). Terdapat 3 mekanisme terjadinya resistensi streptomisin yakni melalui resistensi ribosomal, resistensi akibat penurunan uptake obat, dan resistensi akibat enzim pemodifikasi aminoglikosida (aminoglycoside modifying enzyme). Resistensi ribosomal terjadi akibat mutasi gena pengkode ribosom bakteri. Uptake streptomisin juga dapat dihambat oleh bakteri dengan menambah jumlah ion Ca2+ dan Mg2+ yang mana menurunkan jumlah akumulasi streptomisin dalam sel. 24 Enzim pemodifikasi aminoglikosida merubah struktur streptomisin menjadi inaktif. (Scholar dan Pratt, 2000). 7. Eritromisin Eritromisin (tata nama IUPAC: (3R,4S,5S,6R,7R,9R,11R,12R,13S,14R)-6[(2S,3R,4S,6R)-4-(Dimethylamino)-3-hydroxy-6-methyloxan-2-yl]oxy-14-ethyl7,12,13-trihydroxy-4-[(2R,4R,5S,6S)-5-hydroxy-4-methoxy-4,6-dimethyloxan-2yl]oxy-3,5,7,9,11,13-hexamethyl-oxacyclotetradecane-2,10-dione) antibiotik dari golongan makrolida. Eritromisin biasa merupakan diproduksi dari Streptomyces erythreus menghasilkan ertiromisin A dalam jumlah besar dan sedikit eritromisin B dan C. Kristal dan serbuk eritromisin berwarna putih hingga kekuningan. Kelarutan eritromisin adalah 1:1000 dalam air dan 1:5 dalam etanol (Moffat, 2011). Antibiotik eritromisin memiliki spektrum luas, serta sering dipakai dalam terapi pasien yang alergi terhadap penisilin (Scholar, 2007). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa derivat eritromisin seperti eritromisin B, C, dan D memiliki efikasi yang jauh lebih rendah dibandingkan efikasi eritromisin A (Kibwage dkk., 1985). Gambar 6. Struktur Kimia Eritromisin (Moffat, 2011) 25 Makrolida bekerja dengan mengikat subunit 50S rRNA yang menghambat proses transpeptidasi dan translokasi sehingga protein yang dibentuk oleh bakteri menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kematian sel (Retsema dan Fu, 2001). Eritromisin dapat merangsang motilitas dari gastrointestinal yang mana menimbulkan efek samping bagi pasien seperti muntah dan mual. Eritromisin dimetabolisme di hati, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan hati dalam dosis besar. Efek hepatotoksisitas ini menghilang seiring penghentian terapidengan eritromisin (Williams, 2001). Penelitian lebih lanjut tampaknya mengungkap bahwa pemberian eritromisin secara oral mampu meningkatkan resiko terjadinya kematian akibat gangguan kardiak, terutama bila diberikan bersama inhibitor kuat CYP3A (Ray dkk., 2004). Resiko kardiovaskular eritromisin berhubungan dengan sifatnya sebagai agen prokinetik yang memperpanjang QT interval dan torsade de pointes (de Ponti dkk, 2000; Shaffer dkk., 2002). Toksisitas kardiak terjadi setelah 4 hari pemakaian eritromisin, dan gangguan jantung semakin diperparah dengan kombinasi obat bersifat aritmogenik (Berthet dkk., 2010). Terdapat beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap eritromisin antara lain dengan eflux oleh pompa aktif bakteri, produksi enzim metilase oleh bakteri yang mengurangi ikatan eritromisin dengan target, serta hidrolisis makrolida oleh esterase (Abu-Gharbieh dkk., 2004). 8. Kromatografi Gas Kromatografi Gas (KG) merupakan teknik analisis yang dinamis untuk memisahkan senyawa-senyawa yang mudah menguap. Teknik KG telah umum 26 digunakan untuk pemisahan dinamis dan identifikasi senyawa organik volatil dan analisis kualitatif-kuantitatif senyawa dalam campuran. Pada sistem KG, solut-solut yang mudah menguapakan bermigrasi melalui kolom fase diam dengan kecepatan yang sesuai dengan rasio distribusinya. Pemisahan dalam KG terjadi didasarkan pada titik didih senyawa tertentu dikurangi semua interaksi yang mungkin terjadi antar solut dengan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2012). Sistem kerja KG sederhana terdiri dari beberapa bagian antara lain: kolom, inlet (injektor dan ruang suntik), oven/pemanas kolom dan detektor. Kolom merupakan pusat terjadinya pemisahan, dimana desainnya telah banyak berkembang sejak pertama kali ditemukan. Umumnya kolom KG memiliki panjang 10-60 m dengan diameter dalam 0,20-0,53 mm. Terdapat dua jenis kolom yakni packed columns dan capillary columns. Packed column sudah mulai jarang digunakan dan saat ini lebih sering digunakan untuk kegiatan preparatif, pemisahan sederhana, atau pemisahan dimana resolusi tinggi tidak dibutuhkan. Capillary column lebih banyak dipakai sebab memberikan pemisahan dengan resolusi yang tinggi. Fase diam yang sering dipakai pada capillary column antara lain metil silikon dan polietilen glikol (Grob, 1995). Teknik injeksi dalam KG juga memiliki beberapa variasi yang disesuaikan dengan kebutuhan analisis seperti teknik split injection, splitless injection, programmed temperature vaporization (PTV) injection, dan on-column injection. Volume sampel yang diinjeksikan juga bervariasi dimana berkisar antara 5-10 µL untuk sampel yang sangat mudah menguap hingga 0.5-1 µL 27 untuk menigkatkan elusidasi. Splitless injection membutuhkan sampel maksimal 2 µL. Umumnya temperatur injektor diusahakan untuk selalu tinggi untuk memaksimalkan transfer sampel dan mempermudah evaporasi sampel (Adamovics dan Eschbach, 1997) Deteksi pada sistem KG dilakukan menggunakan detektor tertentu. Detektor Ionisasi Nyala (Flame Ionization Detector = FID) mengukur jumlah solut dengan membakar solut dalam nyala api, dan bilaada atom C yang dibakar, muatan yang terbentuk akan direkan dan dihitung. Detektor NitrogenFosfor (Nitrogen-Phosporous Detector = NPD) sangat sensitif dan spesifik terutama untuk senyawa yang mengandung nitroge dan/atau fosfor. Pembakaran zat nitrogen dan/atau fosfor pleh NPD akan meningkatkan jumlah emisi elektron yangakan direkan oleh detektor. Detektor pengangkap elektron (Electron Capture Detector = ECD) merupakan salah satu detektor KG paling sensitif yang pernah ada. Detektor ECD mengukur arus pada anoda yang dapat berubah akibat peningkatan jumlah elektorn yang dihasilkan dari interaksi molekul organik dengan atom metastabil. Selain detektor-detektor tersebut masih banyak lagi jenis detektor yang dipakai seperti detektor katherometer, detektor helium, dan detektor pulsed helium discharge (Scott, 1998). E. Landasan Teori Biofilm adalah agregat sel mikroba yang terkonsentrasi di permukaan dan dikelilingi oleh matriks extracellular polysaccharide substance (EPS). Pembentukan biofilm merupakan bagian dari siklus hidup mikroba dan juga faktor 28 penting kemampuan bertahan mikroba di berbagai jenis kondisi lingkungan (HallStoodley dkk., 2004). Biofilm telah diketahui berperan penting dalam timbulnya masalah pada kesehatan manusia seperti timbulnya plak gigi dan pembentukan gigi, infeksi endokarditis dan infeksi pada alat implan serta gangguan otolaring pada manusia. Biofilm juga terbukti menyebabkan timbulnya kasus-kasus resistensi mikroba terhadap senyawa antimikroba. Bakteri S. aureus adalah salah satu bakteri dengan kasus resistensi antibiotik yang tinggi. S. aureus memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm dan penelitian menunjukkan bahwa biofilm S. aureus menunjukkaan resistensinya terhadap pemberian antibiotik. Resistensi ini disebabkan oleh penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik. Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi memiliki keuntungan yaitu melalui efek sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi selain dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama jika keduanya memiliki mekanisme aksi yang berbeda tetapi saling mendukung (Li and Tang, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Saginur dkk. (2006) menunjukkan bahwa kombinasi antimikroba dapat meningkatkan kepekaan mikroba dalam biofilm. Penggunaan beberapa minyak atsiri dalam campuran dapat meningkatkan efektivitas antimikroba, sebagaimana dilaporkan oleh Pan dkk. (2003) dan Ouhayoun (2003). 29 Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai kekayaan alam dengan potensi besar memiliki senyawa bersifat farmakologis. Sirih merupakan salah satu tanaman Indonesia yang telah digunakan sejak lama dalam dunia pengobatan. Rebusan daun sirih dipercaya mempu mengobati batuk, bronkitis, gastritis, hingga keputihan (Wijayakusuma dkk., 1996). Kandungan minyak atsiri sirih sendiri telah diketahui memiliki potensi antibakteri dan antijamur yang baik. Minyak atsiri sirih digunakan dalam sediaan pasta gigi sebagai antiseptika serta terbukti memiliki spektrum luas dalam melawan pertumbuhan berbagai jenis bakteri, jamur, hingga cacing. Penelitian juga mendukung kemampuan minyak atsiri sirih dalam menghambat pertumbuhan biofilm S. mutans maupun kemampuan ekstraknya untuk menghambat biofilm C. albicans. Ekstrak daun sirih diketahui mengandung kavibetol, eugenol, dan hidroksikavikol dimana kandungan hidroksikavikol pada ekstrak daun sirih diketahui aktif menekan pertumbuhan biofilm (Dwivedi dan Tripathi, 2014). Kandungan eugenol juga diketahui menghambat quorum sensing dalam pembentukan biofilm. Eugenol, salah satu konstituen dari minyak atsiri sirih, telah diketahui memiliki aksi sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri saat dikombinasi dengan antibiotik. Eugenol yang dikombinasikan dengan beberapa jenis antibiotik mampu menyebabkan penurunan KHM hingga 5-1000 kali (Hemaiswarya, 2009). Kombinasi eugenol dengan penisilin bersifat sinergis dengan FICI sebesar 0,16 (Gallucci dkk., 2006). Sinergisme juga terlihat saat eugenol dikombinasikan dengan antibiotik seperti streptomisin, eritromisin, maupun rifampin dimana 30 diduga kombinasi menyebabkan hambatan terhadap satu atau lebih jalur metabolisme bakteri (Hemaiswarya dkk., 2008). Berdasarkan penelitian di atas, maka diduga minyak atsiri sirih memiliki kemampuan dalam menghambat biofilm bakteri S. aureus, dan kombinasi minyak atsiri sirih dengan antibiotik mampu memberikan peningkatan aktivitas penghambatan pembentukan biofilm S. aureus dibanding aktivitas masing-masing dalam bentuk tunggal. Kombinasi diperkirakan bersifat sinergis dengan memperhatikan kandungan hidroksikavikol yang mampu menekan pertumbuhan biofilm, serta sinergisme aksi eugenol-antibiotik yang ditunjukkan pada penelitian terdahulu. F. Hipotesis Minyak atsiri sirih memiliki aktivitas antibakteri dan penghambatan pembentukan biofilm S. aureus serta terdapat aktivitas sinergisme antara minyak atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin dalam menghambat pembentukan biofilm S. aureus.