BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel
pada suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular
polymeric substance (EPS) (Donlan, 2002). Bentuk biofilm sesungguhnya
merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap ancaman fisis,
kimiawi, maupun biologis. Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga mampu
membentuk biofilm pada makhluk hidup, dan mampu menyebabkan penyakit
dengan menolak kerja sistem imun maupun menciptakan suatu resistensi bakteri
terhadap antibiotik (Stephens, 2002). Pembentukan plak gigi dan pembusukan
gigi merupakan contoh mudah dari pengaruh biofilm terhadap kesehatan manusia
(Bradshaw dkk., 1996; Li dkk., 2001). Biofilm berperan pula dalam penyakitpenyakit yang lebih parah seperti infeksi device-related (infeksi kateter, katup
jantung buatan, sendi prostetik dsb.) oleh biofilm Staphylococci, infeksi
endokarditis oleh biofilm Streptococci, maupun pneumonia cystic fibrosis oleh
biofilm P. aeruginosa (Hall-Stoodley dkk., 2004). Biofilm juga berperan
signifikan dalam gangguan di sistem otolaring manusia seperti otitis media,
sinusitis kronis, tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring (Viveros,
2014). Infeksi patogen oportunistik dapat pula berasal dari lapisan biofilm patogen
yang terbentuk di sistem air unit dental, sistem air rumah sakit, hingga saluran-
1
2
saluran peralatan endoskopi (Lindsay dan von Holy, 2006). Donlan (2002),
menduga ada 4 sifat biofilm yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat
yakni:
a. pelepasan agregat biofilm pada saluran kemih atau pembuluh darah
menyebabkan penyakit infeksi hingga emboli
b. sel beresiko mengadakan pertukaran plasmid dengan biofilm, yang mana
dikhawatirkan plasmid yang dipertukarkan bersifat resisten antibiotik
c. sel biofilm mampu menurunkan kemampuan kerja senyawa antimikroba
d. biofilm resisten terhadap sistem imun inangnya
Staphylococcus aureus adalah salah satu flora normal manusia dan diketahui
juga memiliki kemampuan membentuk biofilm. S. aureus merupakan bakteri yang
paling banyak menyebabkan infeksi pada berbagai jaringan manusia, meskipun
sifatnya hanya sporadik bukan endemik (Anonim, 1993). Dalam bentuk
biofilmnya, S. aureus mampu menyebabkan penyakit yang lebih kompleks pada
manusia. Biofilm S. aureus telah terbukti berperan dalam kasus chronic
rhinosinusitis (CRS). Studi yang dilakukan oleh Kamath dkk. (2013)
menunjukkan bahwa S. aureus hadir pada 43% dari apusan/ biopsi sinus paranasal
pasien CRS. Jaringan sinus penderita CRS mengandung intraepithelial
Staphylococcus aureus (IESA), yang mana 100% jaringan dengan IESA terdapat
pula biofilm. Adanya biofilm S. aureus dikaitkan dengan penyakit yang lebih
parah serta proses pemulihan yang lebih lambat pasca operasi. (Hamilos, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Rebiahi dkk. (2014) menunjukkan bahwa biofilm
3
S. aureus berperan dalam timbulnya infeksi nosokomial neonatus dan terbukti
biofilm 100 kali lebih resisten terhadap konsentrasi regimen antibiotik.
Resistensi S. aureus menjadi masalah besar di masa kini. S. aureus memang
secara lumrah diketahui peka terhadap semua jenis antibiotik yang pernah
dikembangkan, namun juga diketahui bahwa S. aureus memiliki kemampuan
untuk menjadi resisten terhadap semua jenis antibiotik (Chambers dan DeLeo,
2009). Resistensi S.aureus diawali dengan resistensinya terhadap penisilin,
dimana 20 tahun setelah penggunaan penisilin, 80% S. aureus sudah resisten
terhadap penisilin. Kejadian ini diikuti dengan berbagai macam bentuk resistensi
S.aureus seperti Methicillin Resistance S. aureus (MRSA) hingga Vancomycin
Resistance S. aureus (VRSA), tak lama setelah dikenalkannya antibiotik metisilin
dan vankomisin (Lowy, 2003). Pembentukan biofilm juga memicu terbentuknya
sifat resisten S. aureus terhadap antibiotik. Biofilm mendorong pembentukan sel
S. aureus yang toleran terhadap antibiotik serta menciptakan sel persister. Sel
persister adalah sel yang beradaptasi terhadap antibiotik dengan cara mengurangi
ketergantunganya terhadap bagian sel yang menjadi target antibiotik maupun
menghentikan produksi target antibiotik di dalam sel (Lewis, 2010).
Pembentukan biofilm juga makin menyulitkan terapi pada kasus infeksi
bakteri yang resisten. Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA
pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin, ceftriaxone,
siprofloksasin, eritromisin, gentamisin, tetrasiklin, dan tobramisin. Amorena dkk.
(1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat beberapa hal seperti penurunan
difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme
4
yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme
bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik,
Terapi antibiotik merupakan terapi yang umum dijumpai pada kasus infeksi
oleh bakteri S.aureus. Beberapa antibiotik yang secara luas dipakai dalam terapi
adalah eritromisin, streptomisin, dan kloramfenikol. Sayangnya penggunaan
antibiotik tersebut juga tidak terlepas dari masalah resistensi. Penelitian
menunjukkan rendahnya sensitivitas antibiotik-antibiotik di atas terhadap MRSA
(Onwubiko dan Sadiq, 2011). Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka
panjang, seperti pada kasus penyakit kronis, sering menimbulkan masalah akibat
munculnya efek samping dari antibiotik yang bersangkutan. Eritromisin dalam
dosis besar mampu menimbulkan gangguan jantung yang menimbulkan aritmia
hingga toksisitas kardiak terutama pada pasien dengan gangguan jantung
sebelumnya (Berthet dkk., 2010). Kejadian ototoksisitas terjadi pada pasien yang
mendapat terapi streptomisin selama beberapa minggu (McDermott, 1947).
Kloramfenikol juga memiliki efek samping yang besar yakni supresi sumsum
tulang belakang dan aplastic anemia (Abdollahi dan Mostafalou, 2014).
Pada masa sekarang ini, berbagai tanaman telah diketahui mengandung
berbagai kandungan yang aktif secara biologis, serta bermanfaat dalam
pengobatan terutama dalam terapi antimikroba (Yoo dkk., 2007). Tanaman sirih
(Piper betle L.) telah dikenal memiliki aktivitas antibakteri yang baik, dimana
ekstrak etanolik daun sirih menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik terhadap
Eschericia coli, S. aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (Khan dan Kumar,
2011). Salah satu bentuk pemanfaatan yang baik dari tanaman obat adalah sebagai
5
bahan kombinasi untuk meningkatkan efikasi dari antibiotik dan mencegah
timbulnya kasus resistensi bakteri akibat obat sintetik (Hemaiswarya, 2008).
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak etil asetatheksan
daun
pertumbuhan
sirih
dan
ampisilin
mampu
menunjukkan
penghambatan
bakteri S. aureus (Rao dkk., 2011). Kemampuan sirih dalam
menghambat pertumbuhan biofilm juga telah diteliti. Penelitian Adityaningrum
(2010) menunjukkan bahwa minyak atsiri sirih hijau efektif sebagai senyawa
antibofilm S. mutans. Kawsud dkk. (2014) juga menemukan bahwa ekstrak daun
sirih potensial sebagai antibiofilm C. albicans. Aktivitas sirih ini diduga akibat
kandungan dari hidroksikavikol, kavibetol, dan eugenol (Dwivedi dan Tripathi,
2014). Kandungan hidroksikavikol diketahui dapat menekan pertumbuhan biofilm
sedangkan senyawa eugenol diketahui mampu menghambat sistem quorum
sensing yang penting bagi pembentukan biofilm.
Aksi hidroksikavikol diketahui berasal dari kemampuannya untuk
mengubah struktur membran sel, sehingga terjadi gangguan terhadap barrier
permeabilitas dari struktur membran mikroba (Sharma dkk., 2009). Eugenol
sendiri
diketahui
mampu
mengubah
permeabilitas
membran
sel
yang
menyebabkan kebocoran protein maupun lipid dari mikroba (Oyedemi dkk.,
2009). Kedua senyawa tersebut diharapkan mampu meningkatkan suseptibilitas
sel S. aureus terhadap mekanisme antibiotik. Mekanisme kerja antibiotik yang
dimaksud seperti penghentian sintesis protein dengan pengikatan ribosom oleh
kloramfenikol; penghambatan sintesis protein, kesalahan pembacaan kode
genetik, hingga perubahan transpor dan permeabilitas sel oleh streptomisin;
6
maupun penghambatan sintesis protein ribosomal pada mitokondria oleh
eritromisin (Scholar dan Pratt, 2000).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, terlihat bahwa tanaman sirih merupakan
sumber bahan antibiofilm yang potensial. Dengan pelaksanaan penelitian ini,
akan diteliti efek kombinasi bahan alam, dalam hal ini minyak atsiri sirih, dengan
beberapa jenis antibiotik antara lain kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin
untuk mengetahui apakah kombinasi minyak atsiri sirih bersama dengan antibiotik
memberikan efek sinergis dalam menghambat pertumbuhan biofilm dari S.
aureus. Minyak atsiri sirih diharapkan mampu menghambat pembentukan biofilm
S. aureus melalui kandungan hidroksikavikol dan eugenol, sehingga membantu
penetrasi antibiotik melewati biofilm S. aureus dan meningkatkan efikasi
antibiotik. Ketiga antibiotik yang dipilih diketahui telah menunjukkan penurunan
efikasi hingga resistensi terhadap infeksi S. aureus, sehingga diharapkan dengan
dikombinasikan dengan minyak atsiri sirih terjadi peningkatan efektivitas
antibiotik serta mencegah timbulnya resistensi S. aureus terhadap antibiotikantibiotik tersebut.
Bila ditemukan sinergisme yang diharapkan, maka hasil penelitian ini dapat
dikembangkan ke tahap formulasi untuk pemanfaatannya. Formula yang dapat
dikembangkan antara lain salep antibiotik-minyak atsiri untuk mengobati infeksi
biofilm S. aureus di kulit, terutama untuk pasien luka bakar. Formula pasta gigi
juga dapat dikembangkan untuk tujuan pengobatan infeksi-infeksi pada rongga
mulut.
7
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah efektivitas minyak atsiri sirih terhadap fase planktonik dan
biofilm S. aureus ?
2. Apakah kombinasi minyak atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol,
streptomisin, dan eritromisin akan menunjukkan aktivitas antibiofilm yang
lebih tinggi dibanding aktivitasnya dalam bentuk tunggal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Menemukan sumber senyawa antibiofilm dari bahan alam
Tujuan Khusus
Meneliti kemungkinan aktivitas sinergisme antara kombinasi minyak atsiri
sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan, eritromisin dalam
menghambat pertumbuhan biofilm S. aureus.
D. Tinjauan Pustaka
1. Biofilm
Biofilm merupakan kumpulan dari sel mikroba yang secara irreversible
terikat pada permukaan, serta ditutupi oleh matriks polisakarida. Biofilm dapat
menempel pada hampir semua permukaan termasuk alat-alat kesehatan, pipa-pipa
industri, maupun jaringan hidup. Matriks biofilm cukup kompleks dan dapat
mengandung berbagai material non-biofilm seperti kristal mineral, komponen
darah, atau komponen tanah. Komposisi utama biofilm selain sel mikroba adalah
8
extracellular polysaccharides substance (EPS) yang mencapai hingga 50-90%
dari biofilm (Donlan, 2002). Sel-sel mikroba dalam biofilm berkomunikasi
menggunakan sistem yang disebut Quorum Sensing. Quorum sensing merupakan
kemampuan mikroba untuk mengukur densitas sel (jumlah mikroba) dengan
mengukur jumlah akumulasi sekresi sinyal molekul yang dihasilkan sel.
Kemampuan quorum sensing ini mampu memberikan kemampuan bioluminensi
(contoh: Vibrio fischeri), pembentukan biofilm (contoh: S. aureus), atau produksi
eksoenzim pada bakteri (contoh: C. albicans) (Solano dkk., 2014; Diggle dkk.,
2007).
Pembentukan biofilm diawali dengan pergerakan mikroba menuju ke
permukaan objek. Mikroba mendekati permukaan objek lalu berinteraksi langsung
dengan permukaan atau mikroba lain yang sudah menempel sebelumnya (Watnick
dan Kolter, 2000). Mikroba yang mendekati permukaan, akan menempel baik
secara reversible maupun irreversible. Penempelan reversible dapat terjadi akibat
gerak Brown, aliran konveksi, atau interaksi mikroba dengan permukaan.
Penempelan irreversible terjadi saat sel mikroba menghasilkan EPS yang
membentuk ikatan dari sel ke sel, dan melekatkan kumpulan sel ke permukaan
objek. Pelekatan irreversible ini memicu kolonisasi dari mikroba, dimana sel-sel
mikroba tumbuh dan membelah membentuk mikrokoloni yang menyusun biofilm
(Lindsay dan von Holy, 2006). Bila kondisi lingkungan berubah dan kurang
menguntungkan bagi mikroba, sel mikroba dapat melepaskan pelekatannya dan
pergi ke lingkungan yang lebih menguntungkan (Watnick dan Kotler, 2000).
9
Sel Planktonik
Penempelan Sel
Mikrokoloni
Biofilm
Pelepasan Sel
Gambar 1. Fase-fase pembentukan biofilm.
Sel planktonik mikroba berwarna kuning menempel pada batu, membentuk mikrokoloni
dan membentuk biofilm. Bila kondisi lingkungan tidak mendukung, sel terlepas untuk mencari
lingkungan yang lebih baik (Watnick dan Kolter, 2000).
Keterkaitan biofilm dengan berbagai penyakit telah banyak diteliti. Berbagai
infeksi terkait biofilm antara lain adalah: infeksi dari alat-alat kesehatan, infeksi
endokarditis, dan pneumonia pada penderita cystic fibrosis (Hall-Stoodley dkk.,
2004). Biofilm juga menjadi faktor timbulnya berbagai gangguan pada sistem
otolaring manusia. Pada kasus otitis media yang sering menyerang anak, telah
dapat didemonstrasikan pembentukan agregat mikroba di membran mukosa pada
otitis media buatan. Biofilm juga dihubungkan dengan timbulnya sinusitis kronis,
tonsilitis, serta gangguan pada prostesis otolaring, dimana biofilm menyebabkan
resistensi pengobatan dan kekambuhan berulang. Membran mukosa yang
terinfeksi biofilm juga diketahui kehilangan seluruh sel silia-nya (Viveros, 2014).
10
Lindsay dan von Holy (2006) menyebutkan bahwa biofilm memiliki
kemampuan untuk melindungi bakteri dari senyawa-senyawa asing. Biofilm
diasosiasikan pula dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Kemampuan proteksi ini masih belum dimengerti sepenuhnya, namun beberapa
teori yang diajukan antara lain:
a. Extracellular Polymeric Substance (EPS) biofilm bereaksi secara
kimiawi
dengan
antibiotik/senyawa
asing
ataupun
membentuk
penghalang difusi
b. Biofilm mengubah sistem transpor membran ataupun melepaskan
molekul yang dapat menginaktivasi antibiotik
c. Biofilm memiliki sistem stress-response rpoS yang akan menurunkan
tingkat pertumbuhan mikroba, dan menganggu aksi kerja antibiotik
d. Biofilm menghasilkan enzim yang mengubah molekul antibiotik menjadi
inaktif
e. Biofilm yang memiliki plasmid resisten-antibiotik, dapat mengkode
resistensi terhadap antimikroba lain
f. Biofilm memproduksi sel persister, yakni fenotip resisten mikroba yang
sangat toleran terhadap antibiotik
g. Beberapa jenis permukaan memiliki kemampuan untuk menahan biofilm
lebih baik sehingga menyulitkan eliminasi biofilm
11
2. Staphylococcus aureus dan biofilmnya
S. aureus adalah bakteri berdiameter 0,8-1,0 mikron, tidak bergerak,
tidak berspora, dan merupakan bakteri Gram positif (Anonim, 1993). Bila
sudah tua, sel S. aureus cenderung menjadi bersifat Gram negatif. S. aureus
tumbuh paling cepat pada 37°C, membentuk pigmen paling baik di 20°C
dimana S. aureus berwarna kuning keemasan (Jawetz dan Ade, 1986). Sifat
utama dari koloni Staphylococcus adalah membentuk agregat berbentuk
anggur serta infeksinya menimbulkan nanah pada kulit manusia. S. aureus
dapat menghasilkan toksin yang mampu menyebabkan keracunan makanan
bila tertelan (Hugo dan Russel, 1987).
Biofilm dari S. aureus bersama dengan biofilm S. epidermidis
merupakan penyebab utama dari infeksi nosokomial dan implan alat medis
pada manusia (Otto, 2008). Biofilm S. aureus juga mampu menyebabkan
penyakit kronis seperti chronic rhinosinusitis dengan menginfeksi sinus
penderita hingga terjadi hilangnya sel silia dan sel goblet (Kamath dkk., 2013;
Hamilos, 2014; Ramadan dkk., 2005). Infeksi lain terkait biofilm S. aureus
termasuk osteomyelitis dan endokarditis. Terapi antibiotik untuk infeksiinfeksi diatas umumnya terhalangi oleh kehadiran biofilm (Costerton dkk.,
1999).
Biofilm S. aureus memang telah diketahui terlibat dalam resistensi
terhadap antibiotik. Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm
MRSA pada pasien infeksi luka bakar, resisten terhadap amikacin,
ceftriaxone,
siprofloksasin,
eritromisin,
gentamisin,
tetrasiklin,
dan
12
tobramisin. Amorena dkk. (1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat
beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang
kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan interaksi
antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas
antibiotik,
Pembentukan biofilm S. aureus telah banyak diteliti secara mendalam.
Archer dkk. (2011) merangkum dalam jurnalnya mengenai berbagai jalur
pembentukan biofilm S. aureus yang diketahui dapat membentuk biofilm
melalui jalur PIA-dependent, PIA-independent, serta eDNA.
PIA (polysaccharide intercelluler antigen) diproduksi S.aureus secara
in vitro dari UDP-N-acetylglucosamine melalui produk lokus intercellular
adhesion (ica). Pada jalur PIA-dependent, PIA terbukti sangat penting dalam
pembentukan biofilm serta berperan dalam pertumbuhan anaerobik. Saat PIA
diproduksi maka biofilm juga akan ikut terbentuk. Biofilm juga dapat
terbentuk melalui jalur PIA-independent, yang mana tidak mementingkan
lokus gen ica. Penghapusan lokus ica terbukti tidak menurunkan virulensi
biofilm S. aureus. Pada mutan S. aureus dengan delesi ica, ditemukan bahwa
protein A (SpA) yang berperan penting dalam pembentukan biofilm. Jalur
lain yang cukup penting dalam pembuatan biofilm adalah eDNA
(extracellular DNA). S. aureus memiliki kemampuan menambahkan DNA
pada matriks awal biofilm, yang mana mendukung struktur pembentukan
biofilm.
13
Gambar 2. Citra TEM Biofilm S. aureus
Biofilm diambil dari implan alat medis yang ditanam pada peritoneum tikus selama 5 hari.
Bakteri S. aureus terlihat di permukaan biofilm, tercampur dengan material inang, sedangkan
bakteri yang telah lisis tersebar di dalam matriks biofilm. (Sumber: Archer, 2011)
Biofilm S. aureus diatur oleh 2 regulator utama yakni staphylococcal
accessory regulator (sarA) dan accessory gene regulator (agr) (Fournier
dkk., 2001). SarA berperan dalam pertumbuhan biofilm S. aureus dan dapat
mencegah degradasi eDNA dan protein yang menjadi struktur utama biofilm.
Regulator agr sendiri berperan pada quorum sensing dari S. aureus dengan
menurunkan tingkat perlekatan S. aureus dengan permukaan, sehingga terjadi
penurunan tingkat pembentukan biofilm. Penekanan agr penting untuk
pembentukan biofilm, sedangkan induksi agr pengting untuk penyebaran
biofilm yang telah matang (Boles dan Horswill, 2008).
3. Minyak Atsiri
Minyak atsiri adalah minyak yang diproduksi oleh tanaman,sejenis dan
merupakan campuran dari senyawa organik volatil yang memberikan rasa dan
keharuman dari tanaman (Tisserand dan Young, 2014).
14
Proses destilasi uap merupakan cara utama dalam produksi minyak atsiri.
Terdapat 3 macam cara destilasi yang dapat digunakan yakni destilasi air
(hydrodistillation), destilasi uap dan air (wet steam), dan destilasi uap (dry steam).
Pada destilasi air, bahan tanaman direbus dalam air, dan uap yang dihasilkan
dialirkan ke kondensor untuk diembunkan menjadi minyak atsiri. Metode ini
sangat mudah dilakukan, namun sangat sulit mengatur panas yang diberikan
sehingga laju destilasi tidak terkontrol. Panas berlebih pada metode destilasi air
juga dapat memberi bau hangus pada minyak atsiri, sehingga menurunkan kualitas
minyak yang dihasilkan. Metode ini juga lebih membutuhkan banyak panas dan
air sehingga memakan banyak biaya. Pada destilasi air dan uap, bahan tanaman
diletakkan diatas permukaan air yang direbus meggunakan suatu sekat, sehingga
bahan tanaman lebih terlindungi dari resiko overheated. (Fairman, 1992) Pada
destilasi uap, uap dihasilkan dari boiler lalu ditiupkan melalui pipa-pipa menuju
tanaman yang ditempatkan pada tray atau keranjang berlubang. Penggunaan uap
bertekanan tinggi lazim digunakan di Amerika dan Eropa, sebab dengan suhu
yang tinggi terjadi peningkatkan kecepatan destilasi (Kubeczka, 2010). Selain
cepat, metode destilasi uap juga lebih hemat energi, namun senyawa-senyawa
seperti ester sangat mudah rusak dalam proses ini. (Fairman, 1992)
Destilat awal minyak atsiri biasanya diletakkan dalam botol Florentine,
yang memiliki outlet di bagian atas dan dibawah. Destilat kemudian dibiarkan
memisah, dan lapisan minyak dikumpulkan sebagai minyak atsiri. Lapisan air
yang dijenuhi minyak dapat didestilasi kembali ataupun langsung menjadi produk
komersial seperti air mawar ( Evans dan Evans, 2002)
15
Terpenoid merupakan kandungan utama dari minyak atsiri. Terpenoid
adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari isoprena (2-metilbutadiena).
Isoprena menjadi building block dari terpenoid pembentuk minyak atsiri, sehingga
meskipun isoprena sangat jarang ditemukan di minyak atsiri, rangka isoprena
sangat mudah ditemukan pada terpenoid-terpenoid penyusun minyak atsiri.
Terpenoid dibentuk dari asam mevalonat yang dibuat dari tiga asetil CoA.
Fosforilasi dari asam mevalonat diikuti eliminasi dari alkohol tersier dan
dekarboksilasi gugus asam membentuk isopentenil pirofosfat, yang berisomerisasi
menjadi prenil pirofosfat. Kopling 2 buah prenil pirofosfat membentuk geranyl
pirofosfat dengan 10 unit atom karbon. Penambahan lebih lanjut akan isopentenil
pirofosfat membentuk molekul dengan atom karbon berjumlah 15-, 20-, 25-, dan
seterusnya. Terpenoid yang pertama kali dipelajari adalah monoterpenoid dengan
10 atom karbon, dan menjadi dasar penamaan terpenoid. Hemiterpenoid
mengandung 5 atom karbon, sesquiterpenoid mengandung 15 atom karbon, dan
diterpenoid mengandung 20 atom karbon. Hanya hemiterpenoid, monoterpenoid,
dan sesquiterpenoid yang cukup volatil untuk menjadi penyusun minyak atsiri
(Sell, 2010). Selain dibentuk dari terpenoid, beberapa minyak atsiri merupakan
senyawa fenilpropanoid yang dibentuk melalui jalur asam sikimat. Meskipun
jumlah senyawa minyak atsiri fenilpropanoid lebih sedikit dibanding terpenoid,
namun senyawa fenilpropanoid cukup signifikan sebagai penyusun minyak atsiri
(Rhind, 2012).
Minyak atsiri dapat digunakan secara medis untuk pengobatan. Minyak
atsiri cukup umum digunakan sebagai agen antiinfeksi maupun pencegahan sepsis
16
pada luka bakar. Minyak atsiri dapat memberikan rasa hangat, sebagai anastetik
lokal ringan, serta antipruritik (Daniel, 2006). Penelitian modern menunjukkan
fungsi yang lebih kompleks dari minyak atsiri seperti minyak atsiri Citrus
aurantium sebagai antikonvulsan (Azanchi dkk., 2014), minyak atsiri Salvia
lavandulifolia mampu menyeimbangkan reaksi redoks sel (Porres-Martinez dkk.,
2014), hingga minyak atsiri Toona ciliata yang memberikan efek antidepresan
(Duan dkk., 2014). Walaupun memiliki banyak manfaat, penggunaan minyak
atsiri harus tetap memperhatikan keamanannya. Minyak atsiri dapat menimbulkan
efek toksik pada sel eukariotik dengan mempengaruhi permeabilitas membran
mitokondria menyebabkan nekrosis ataupun apoptosis. Resiko utama penggunaan
minyak atsiri dalam pengobatan antara lain sensitisasi, iritasi, fototoksik, hingga
karsinogenik. Evaluasi keamanan minyak atsiri cukup sulit dilakukan, mengingat
kandungan minyak atsiri bervariasi menurut tempat tumbuhnya (Raut dan
Karuppayil, 2014).
4. Tanaman Sirih (Piper betle L.) dan Minyak Atsiri Sirih
a. Klasifikasi Piper betle L.
Divisi
: Magnoliophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
17
Jenis
: Piper betle L.
P. betle L. dikenal pula dengan berbagai nama dalam bahasa lain,
antara lain: nagacallari, nagini, varnalata (Sanskrit); sirih cina, sirih
kerakap, sirih hudang (Malaysia); betel, betel pepper, betel vine (Inggris);
sirih, suruh, bodeh (Jawa); pelu (Thailand).
Tanaman sirih merupakan tanaman perenial berkayu, dan tumbuh
merambat. Daunnya memiliki variasi warna dari hijau cerah hingga
kekuningan (Teo dan Banka, 2000). Daun tanaman sirih berbentuk seperti
hati dengan panjang 7-15 cm dan lebar 5-14 cm dengan rasa yang khas.
Tanaman sirih berasal dari Malaysia bagian tengah atau timur dan banyak
digunakan di India, Indonesia, dan daerah Indo-China (Pradhan dkk.,
2013)
Gambar 3. Daun dan pohon sirih di Pulau Pinang, Malaysia
(Sumber: Nouri, dkk., 2014)
Tanaman sirih umumnya mengandung 0,08% hingga 2 % minyak
atsiri (Guha, 2006). Minyak yang dihasilkan dari destilasi uap,
menghasilkan minyak berwarna kuning muda dengan bau khas fenolik dan
rasanya yang pahit, hangat, dan tajam. Indeks bias minyak atsiri sirih
adalah berkisar antara 1,500 hingga 1,5240. Sekitar 75% konstituen
18
minyak adalah kandungan fenolik dalam bentuk kavibetol (Anonim,
2007).
b. Penelitian terdahulu
Daun sirih digunakan masyarakat untuk menghilangkan bau mulut,
bronkitis, batuk, konstipasi, dan asma. Daun sirih dilaporkan memiliki
aktivitas sebagai antimikroba, insektisida, antioksidan, antidiabetes, dsb.
(Arambewela dkk., 2006). Ekstrak daun sirih telah teruji memiliki
kemampuan antimikroba, dimana ekstrak metanoliknya lebih efektif
dibandingkan ekstrak etanoliknya (Khan dan Kumar, 2011). Penelitian
menunjukkan bahwa daun sirih mampu menghambat pertumbuhan
berbagai jenis bakteri baik bakteri Gram positif maupun bakteri Gram
negatif, antara lain Brevibacillus brevis, Micrococcus luteus, S. cohnii,
Escherechia coli, P. aeruginosa, dan Salmonella enterica. (Tan dan Chan,
2014). Kombinasi antara ekstrak daun sirih dengan ampisilin juga telah
didemonstrasikan dan menunjukkan hasil penghambatan pertumbuhan
bakteri yang bervariasi pada spesies E. coli, S. aureus, dan P. aeruginosa
(Rao dkk., 2011).
Minyak atsiri sirih didapatkan dari destilasi uap daun sirih,
menghasilkan
minyak
atsiri
berwarna
kuning
cerah.
Komponen
karakteristik dari minyak ini adalah kavibetol yang merupakan isomer dari
eugenol (Daniel, 2006). Kandungan-kandungan utama dari minyak atsiri
sirih bagian atas adalah α-pinena, β-pinena, DL-kamfor, limonena,
kamfena, safrol, isoeugenol, α-kariofilena, α-kubebena, α-bisabolol,dan
19
masih banyak lagi (Agusta, 2000). Minyak atsiri sirih menunjukkan
aktivitas antioksidan dan kekuatannya tak berubah selama penyimpanan
(Arambewela, dkk., 2006). Minyak atsiri sirih juga banyak diteliti daya
antibakterinya. Dalam sediaan pasta gigi, sifat antiseptika didapatkan
dengan menggunakan minyak atsiri konsentrasi 0,5 % ke atas (Sundari
dkk., 1992). Minyak atsiri sirih terbukti memiliki spektrum luas dalam
penghambatan bakteri patogen dan pembusuk makanan (Suppakul dkk.,
2006). Diketahui pula bahwa Kadar Hambat Minimum (KHM) minyak
atsiri sirih kurang dari 0,3 mg/mL terhadap S. aureus pada urin, luka, dan
sputum; kurang dari 0,6-1,2 mg/mL terhadap Klebsiella spp. di urin dan
luka; kurang dari 0,3-0,6 mg/mL terhadap Enterobacter spp. di urin dan
sputum (Ontengco dkk., 1999). Kandungan minyak atsiri dalam daun sirih
terbukti pula dapat menjadi kebersihan mulut, dengan menekan 56%
pertumbuhan bakteri di mulut. Aktivitas ini diduga terkait kandungan
kavibetol dan kavikol dalam minyak sirih (Bissa dkk., 2007). Minyak atsiri
sirih juga aktif sebagai antifungi Arthroderma benhamiae, Microsporum
gypseum, Trichophyton mentagrophytes serta Ctenomyces serratus dan
sebagai antihelmintik Taenia solium serta Bunostomum trigonocephalum
(Garg dan Jain, 1992). Penelitian Adityaningrum (2010) menunjukkan
bahwa minyak atsiri sirih hijau efektif sebagai senyawa antibofilm S.
mutans. Geethashri dkk. (2014) menemukan bahwa ekstrak air daun sirih
mampu menyebabkan disintegrasi biofilm S. aureus. Kawsud dkk. (2014)
juga menemukan bahwa ekstrak daun sirih potensial sebagai antibiofilm C.
20
albicans. Ekstrak daun sirih diketahui mengandung kavibetol, eugenol,
dan hidroksikavikol dimana kandungan hidroksikavikol pada ekstrak daun
sirih diketahui aktif menekan pertumbuhan biofilm (Dwivedi dan Tripathi,
2014). Kandungan eugenol juga diketahui menghambat quorum sensing
dalam pembentukan biofilm.
5. Kloramfenikol
Kloramfenikol (tata nama IUPAC: (2,2-Dikloro-N- [(1R,2R)-1,3-dihidroksi1-(4-nitrofenil)propan-2-yl]asetamida) merupakan salah satu golongan antibiotik
dengan nama dagang antara lain Amphicol®, Kemicetine®, Chloromycetin® dll.
Kristal kloramfenikol berwarna abu-abu putih hingga putih kekuningan. Larutan
kloramfenikol bersifat dextrorotary saat dilarutkan dalam alkohol dan bersifat
laevorotary saat dilarutkan dalam etil asetat (Moffat dkk., 2011). Kloramfenikol
biasa tersedia dalam bentuk esternya yakni kloramfenikol palmitat atau
kloramfenikol Na-suksinat. Satu gram kloramfenikol larut dalam 400 ml air dan
sangat mudah melarut di dalam etanol, aseton, dan etil asetat (Connors dkk.,
1986).
Gambar 4. Struktur Kimia Kloramfenikol (Moffat dkk., 2011)
Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik dengan spektrum luas,
yang aktif dalam melawan infeksi riketsia dan chlamydia. Kloramfenikol juga
21
efektif untuk sebagian besar bakteri Gram positif serta bakteri aerob non-enterik.
Kloramfenikol juga banyak digunakan untuk mengobati infeksi Salmonella sp.
dalam kasus tifoid manusia (Bishop, 2005). Kloramfenikol tidak aktif terhadap
infeksi yang disebabkan oleh jamur (Aschenbrenner dan Venable, 2009).
Efek samping yang paling dikenal dalam pemakaian kloramfenikol adalah
Gray Baby Syndrome. Sindrom ini terjadi pada neonatus yang menerima dosis
berlebih dari kloramfenikol. Pada neonatus, kloramfenikol dalam tubuh belum
dapat dikonjugasikan sehingga tidak dapat tereliminasi dari tubuh dan
menyebabkan letargi, muntah, gagal nafas hingga kematian (Arcangelo dan
Peterson, 2011). Kontraindikasi juga diberikan pada ibu menyusui, dimana
kloramfenikol dapat masuk ke tubuh neonatus yang menyusu dari ibu yang
mengkonsumsi
kloramfenikol
(Aschenbrenner
dan
Venable,
2009).
Kloramfenikol juga menjadi penyebab utama terjadinya pancytopenia dan anemia
aplastik akibat reaksi penekanan sumsum tulang belakang (Seth dan Seth, 2009).
Mekanisme resistensi kloramfenikol terjadi melalu dua jalur. Jalur pertama
adalah perubahan struktur kimia kloramfenikol akibat enzim asetiltransferase,
yang mana menurunkan potensi dari kloramfenikol. Jalur kedua adalah dengan
hilangnya protein transpor dari membran luar mikroba, yang mana menyebabkan
penetrasi kloramfenikol ke dalam sel terhalang (Arcangelo dan Peterson, 2011).
Meskipun sempat ditinggalkan karena tingginya tingkat resistensi, kloramfenikol
akhir-akhir ini kembali menunjukkan efektivitasnya terhadap mikroba (Seth dan
Seth, 2009).
22
6. Streptomisin
Streptomisin
(tata
nama
IUPAC:
2-[(1R,2R,3S,4R,5R,6S)-3-
(Diaminomethylideneamino)-4-[(2R,3R,-4R,5S)-3-[(2S,3S,4S,5R,6S)-4,5dihydroxy-6-(hydroxymethyl)-3-(methylamino)oxan-2-yl]oxy-4-formyl-4hydroxy-5-methyloxolan-2-yl]oxy-2,5,6-tri-hydroxycyclohexyl]
guanidine)
adalah kelas pertama dari golongan antibiotik aminoglikosida. Streptomisin
diisolasi dari Streptomyces griseus. Bentuk garamnya, streptomisin sulfat, berupa
serbuk putih higrosopis yang sangat mudah melarut dalam air, namun tidak pada
etanol. Streptomisin sangat sedikit diserap tubuh di saluran pencernaan dan
menghasilkan absorpsi yang lebih baik pada pemberian rute intramuskular
(Moffat dkk.,2011)
Gambar 5. Struktur Kimia Streptomisin (Moffat, 2011)
Streptomisin merupakan antibiotik yang diberikan secara parenteral dan
dahulu banyak digunakan untuk terapi kombinasi dalam pengobatan tuberkulosis.
Selain itu streptomisin banyak digunakan untuk terapi infeksi Mycobacterium dan
tullaremia (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Streptomisin berkerja dengan
mengikat 16S rRNA pada subunit 30S dari ribosom bakteri yang menyebabkan
stabilisasi bagian A saat translasi protein terjadi. Proses tersebut menghasilkan
23
pembacaan kodon yang salah dan berujung pada penghambatan sintesis protein
bagi bakteri. Inhibisi sintesis protein ini berperan dalam peningkatan
permeabilitas dinding sel dan akhirnya memicu efek bakterisidal pada bakteri
(Grosset dan Singer, 2013).
Penggunaan dosis besar streptomisin mampu memberikan efek samping
yang cukup berbahaya yakni ototoksisitas (kerusakan telinga bagian dalam) dan
nefrotoksisitas (kerusakan ginjal). Ototoksisitas dari streptomisin telah banyak
dipelajari dan telah ditemukan bahwa streptomisin menyebabkan lesi dan
kerusakan pada sel rambuk koklea telinga (He dkk., 2015; Frank dkk., 1999).
Obat golongan aminoglikosida, termasuk streptomisin, mampu bertahan di telinga
dalam hingga 30 hari, meskipun waktu paruh aminoglikosida sendiri hanya
berkisar antara 3-5 jam. Adapun kejadian ototoksistas lebih banyak terjadi pada
pengobatan kronis menggunakan streptomisin (Arya, 2007). Nefrotoksisitas
diinduksi streptomisin umumnya terjadi pada pasien yang menerima dosis
streptomisin lebih besar dan waktu terapi yang lebih lama (de Jager dan van
Altena, 2002).
Terdapat 3 mekanisme terjadinya resistensi streptomisin yakni melalui
resistensi ribosomal, resistensi akibat penurunan uptake obat, dan resistensi akibat
enzim
pemodifikasi
aminoglikosida
(aminoglycoside
modifying
enzyme).
Resistensi ribosomal terjadi akibat mutasi gena pengkode ribosom bakteri. Uptake
streptomisin juga dapat dihambat oleh bakteri dengan menambah jumlah ion Ca2+
dan Mg2+ yang mana menurunkan jumlah akumulasi streptomisin dalam sel.
24
Enzim pemodifikasi aminoglikosida merubah struktur streptomisin menjadi
inaktif. (Scholar dan Pratt, 2000).
7. Eritromisin
Eritromisin (tata nama IUPAC: (3R,4S,5S,6R,7R,9R,11R,12R,13S,14R)-6[(2S,3R,4S,6R)-4-(Dimethylamino)-3-hydroxy-6-methyloxan-2-yl]oxy-14-ethyl7,12,13-trihydroxy-4-[(2R,4R,5S,6S)-5-hydroxy-4-methoxy-4,6-dimethyloxan-2yl]oxy-3,5,7,9,11,13-hexamethyl-oxacyclotetradecane-2,10-dione)
antibiotik
dari
golongan
makrolida.
Eritromisin
biasa
merupakan
diproduksi
dari
Streptomyces erythreus menghasilkan ertiromisin A dalam jumlah besar dan
sedikit eritromisin B dan C. Kristal dan serbuk eritromisin berwarna putih hingga
kekuningan. Kelarutan eritromisin adalah 1:1000 dalam air dan 1:5 dalam etanol
(Moffat, 2011).
Antibiotik eritromisin memiliki spektrum luas, serta sering dipakai dalam
terapi pasien yang alergi terhadap penisilin (Scholar, 2007). Penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa derivat eritromisin seperti eritromisin B, C, dan D memiliki
efikasi yang jauh lebih rendah dibandingkan efikasi eritromisin A (Kibwage dkk.,
1985).
Gambar 6. Struktur Kimia Eritromisin (Moffat, 2011)
25
Makrolida bekerja dengan mengikat subunit 50S rRNA yang menghambat
proses transpeptidasi dan translokasi sehingga protein yang dibentuk oleh bakteri
menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kematian sel (Retsema dan Fu, 2001).
Eritromisin dapat merangsang motilitas dari gastrointestinal yang mana
menimbulkan efek samping bagi pasien seperti muntah dan mual. Eritromisin
dimetabolisme di hati, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan hati dalam dosis
besar. Efek hepatotoksisitas ini menghilang seiring penghentian terapidengan
eritromisin (Williams, 2001). Penelitian lebih lanjut tampaknya mengungkap
bahwa pemberian eritromisin secara oral mampu meningkatkan resiko terjadinya
kematian akibat gangguan kardiak, terutama bila diberikan bersama inhibitor kuat
CYP3A (Ray dkk., 2004). Resiko kardiovaskular eritromisin berhubungan dengan
sifatnya sebagai agen prokinetik yang memperpanjang QT interval dan torsade de
pointes (de Ponti dkk, 2000; Shaffer dkk., 2002). Toksisitas kardiak terjadi setelah
4 hari pemakaian eritromisin, dan gangguan jantung semakin diperparah dengan
kombinasi obat bersifat aritmogenik (Berthet dkk., 2010).
Terdapat beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap eritromisin antara
lain dengan eflux oleh pompa aktif bakteri, produksi enzim metilase oleh bakteri
yang mengurangi ikatan eritromisin dengan target, serta hidrolisis makrolida oleh
esterase (Abu-Gharbieh dkk., 2004).
8. Kromatografi Gas
Kromatografi Gas (KG) merupakan teknik analisis yang dinamis untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang mudah menguap. Teknik KG telah umum
26
digunakan untuk pemisahan dinamis dan identifikasi senyawa organik volatil
dan analisis kualitatif-kuantitatif senyawa dalam campuran. Pada sistem KG,
solut-solut yang mudah menguapakan bermigrasi melalui kolom fase diam
dengan kecepatan yang sesuai dengan rasio distribusinya. Pemisahan dalam
KG terjadi didasarkan pada titik didih senyawa tertentu dikurangi semua
interaksi yang mungkin terjadi antar solut dengan fase diam (Gandjar dan
Rohman, 2012).
Sistem kerja KG sederhana terdiri dari beberapa bagian antara lain: kolom,
inlet (injektor dan ruang suntik), oven/pemanas kolom dan detektor. Kolom
merupakan pusat terjadinya pemisahan, dimana desainnya telah banyak
berkembang sejak pertama kali ditemukan. Umumnya kolom KG memiliki
panjang 10-60 m dengan diameter dalam 0,20-0,53 mm. Terdapat dua jenis
kolom yakni packed columns dan capillary columns. Packed column sudah
mulai jarang digunakan dan saat ini lebih sering digunakan untuk kegiatan
preparatif, pemisahan sederhana, atau pemisahan dimana resolusi tinggi tidak
dibutuhkan. Capillary column
lebih banyak dipakai sebab memberikan
pemisahan dengan resolusi yang tinggi. Fase diam yang sering dipakai pada
capillary column antara lain metil silikon dan polietilen glikol (Grob, 1995).
Teknik injeksi dalam KG juga memiliki beberapa variasi yang disesuaikan
dengan kebutuhan analisis seperti teknik split injection, splitless injection,
programmed temperature vaporization (PTV) injection, dan on-column
injection. Volume sampel yang diinjeksikan juga bervariasi dimana berkisar
antara 5-10 µL untuk sampel yang sangat mudah menguap hingga 0.5-1 µL
27
untuk menigkatkan elusidasi. Splitless injection membutuhkan sampel
maksimal 2 µL. Umumnya temperatur injektor diusahakan untuk selalu tinggi
untuk memaksimalkan transfer sampel dan mempermudah evaporasi sampel
(Adamovics dan Eschbach, 1997)
Deteksi pada sistem KG dilakukan menggunakan detektor tertentu.
Detektor Ionisasi Nyala (Flame Ionization Detector = FID) mengukur jumlah
solut dengan membakar solut dalam nyala api, dan bilaada atom C yang
dibakar, muatan yang terbentuk akan direkan dan dihitung. Detektor NitrogenFosfor (Nitrogen-Phosporous Detector = NPD) sangat sensitif dan spesifik
terutama untuk senyawa yang mengandung nitroge dan/atau fosfor.
Pembakaran zat nitrogen dan/atau fosfor pleh NPD akan meningkatkan jumlah
emisi elektron yangakan direkan oleh detektor. Detektor pengangkap elektron
(Electron Capture Detector = ECD) merupakan salah satu detektor KG paling
sensitif yang pernah ada. Detektor ECD mengukur arus pada anoda yang dapat
berubah akibat peningkatan jumlah elektorn yang dihasilkan dari interaksi
molekul organik dengan atom metastabil. Selain detektor-detektor tersebut
masih banyak lagi jenis detektor yang dipakai seperti detektor katherometer,
detektor helium, dan detektor pulsed helium discharge (Scott, 1998).
E. Landasan Teori
Biofilm adalah agregat sel mikroba yang terkonsentrasi di permukaan dan
dikelilingi
oleh
matriks
extracellular
polysaccharide
substance
(EPS).
Pembentukan biofilm merupakan bagian dari siklus hidup mikroba dan juga faktor
28
penting kemampuan bertahan mikroba di berbagai jenis kondisi lingkungan (HallStoodley dkk., 2004). Biofilm telah diketahui berperan penting dalam timbulnya
masalah pada kesehatan manusia seperti timbulnya plak gigi dan pembentukan
gigi, infeksi endokarditis dan infeksi pada alat implan serta gangguan otolaring
pada manusia. Biofilm juga terbukti menyebabkan timbulnya kasus-kasus
resistensi mikroba terhadap senyawa antimikroba.
Bakteri S. aureus adalah salah satu bakteri dengan kasus resistensi antibiotik
yang tinggi. S. aureus memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm dan
penelitian menunjukkan bahwa biofilm S. aureus menunjukkaan resistensinya
terhadap pemberian antibiotik. Resistensi ini disebabkan oleh penurunan difusi
antibiotik akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang
terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme
bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik.
Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi memiliki keuntungan
yaitu melalui efek sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya
resistensi selain dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama jika
keduanya memiliki mekanisme aksi yang berbeda tetapi saling mendukung (Li
and Tang, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Saginur dkk. (2006)
menunjukkan bahwa kombinasi antimikroba dapat meningkatkan kepekaan
mikroba dalam biofilm. Penggunaan beberapa minyak atsiri dalam campuran
dapat meningkatkan efektivitas antimikroba, sebagaimana dilaporkan oleh Pan
dkk. (2003) dan Ouhayoun (2003).
29
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai kekayaan alam dengan
potensi besar memiliki senyawa bersifat farmakologis. Sirih merupakan salah satu
tanaman Indonesia yang telah digunakan sejak lama dalam dunia pengobatan.
Rebusan daun sirih dipercaya mempu mengobati batuk, bronkitis, gastritis, hingga
keputihan (Wijayakusuma dkk., 1996). Kandungan minyak atsiri sirih sendiri
telah diketahui memiliki potensi antibakteri dan antijamur yang baik. Minyak
atsiri sirih digunakan dalam sediaan pasta gigi sebagai antiseptika serta terbukti
memiliki spektrum luas dalam melawan pertumbuhan berbagai jenis bakteri,
jamur, hingga cacing. Penelitian juga mendukung kemampuan minyak atsiri sirih
dalam menghambat pertumbuhan biofilm S. mutans maupun kemampuan
ekstraknya untuk menghambat biofilm C. albicans. Ekstrak daun sirih diketahui
mengandung kavibetol, eugenol, dan hidroksikavikol dimana kandungan
hidroksikavikol pada ekstrak daun sirih diketahui aktif menekan pertumbuhan
biofilm (Dwivedi dan Tripathi, 2014). Kandungan eugenol juga diketahui
menghambat quorum sensing dalam pembentukan biofilm.
Eugenol, salah satu konstituen dari minyak atsiri sirih, telah diketahui
memiliki aksi sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri saat dikombinasi
dengan antibiotik. Eugenol yang dikombinasikan dengan beberapa jenis antibiotik
mampu menyebabkan penurunan KHM hingga 5-1000 kali (Hemaiswarya, 2009).
Kombinasi eugenol dengan penisilin bersifat sinergis dengan FICI sebesar 0,16
(Gallucci dkk., 2006). Sinergisme juga terlihat saat eugenol dikombinasikan
dengan antibiotik seperti streptomisin, eritromisin, maupun rifampin dimana
30
diduga kombinasi menyebabkan hambatan terhadap satu atau lebih jalur
metabolisme bakteri (Hemaiswarya dkk., 2008).
Berdasarkan penelitian di atas, maka diduga minyak atsiri sirih memiliki
kemampuan dalam menghambat biofilm bakteri S. aureus, dan kombinasi minyak
atsiri sirih dengan antibiotik mampu memberikan peningkatan aktivitas
penghambatan pembentukan biofilm S. aureus dibanding aktivitas masing-masing
dalam bentuk tunggal. Kombinasi diperkirakan bersifat sinergis dengan
memperhatikan kandungan hidroksikavikol yang mampu menekan pertumbuhan
biofilm, serta sinergisme aksi eugenol-antibiotik yang ditunjukkan pada penelitian
terdahulu.
F. Hipotesis
Minyak atsiri sirih memiliki aktivitas antibakteri dan penghambatan
pembentukan biofilm S. aureus serta terdapat aktivitas sinergisme antara minyak
atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan eritromisin dalam
menghambat pembentukan biofilm S. aureus.
Download