4_Kewirausahaan

advertisement
PENGARUH VARIABEL-VARIABEL KEWIRAUSAHAAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
Parulian Simanjuntak
Tito Hutabarat
Abstrak
Organisasi usaha baru menciptakan bagian inovasi yang besar terhadap produk
barang dan jasa yang mampu merubah cara manusia untuk bekerja dan hidup. Melalui
keinginannya untuk menciptakan produk yang diinginkan pasar, mereka menggunakan
sumber daya yang ada, seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan sifat mereka sendiri, yaitu
kewirausahaan sebagai mesin penggeraknya. Pembangunan yang dilakukan pemerintah,
terutama atas sarana dan prasarana akan menambah gairah pertumbuhan perusahaan di
negaranya, walaupun tentunya tidak terlepas dari kondisi politik negara tersebut, sebab
fasilitas yang semakin bagus akan semakin memperlancar kegiatan produksi yang
mereka lakukan. Tak jarang investor asing tertarik mendirikan usahanya di negaranegara itu. Peningkatan kesejahteraan negara - yang ditandai dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya, menandakan bahwa negara tersebut mengalami
pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian yang dilakukan dengan mengunakan data-data yang tersedia
menunjukkan nilai korelasi dari variabel–variabel kewirausahaan yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu jumlah perusahaan industri manufaktur, jumlah investasi baru di
Indonesia, jumlah modal modal tetap baru, dan hasil produksi dari sektor industri
manufaktur, memiliki nilai korelasi yang positif, yang berarti bahwa variabel–varaibel
tersebut memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan nasional Indonesia,
sehingga jika ingin membuat perekonomian Indonesia bertumbuh, maka jumlah dari
masing-masing variabel tersebut harus ditingkatkan, dimana faktor-faktor lainnya
dianggap tetap. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa variabel – variabel
kewirausahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia diterima. Hasil regresi variabel–variabel kewirausahaan dan Pendapatan
Nasional Indonesia menunjukkan hubungan yang signifikan antara varibel – variabel
kewirausahaan tersebut dengan pendapatan nasional. Hal ini berarti untuk
menumbuhkan perekonomian, pertambahan dari variabel – variabel ini secara signifikan
akan mempengaruhi peningkatan/pertumbuhan pendapatan nasional di Indonesia.
Kata kunci : Kewirausahaan, investasi, produksi, pertumbuhan.
Latar Belakang
Tahun-tahun belakangan ini adalah tahun-tahun- keemasan dari kewirausahaan.
Kewirausahaan mulai dipelajari di tingkat perguruan tinggi. Program-program MBA
Kewirausahaan di Amerika Serikat dan menjadi primadona bagi calon mahasiswa bisnis
1
. Di Indonesia sendiri bidang ini mulai dipelajari di tingkat perguruan tinggi, walau
masih sedikit universitas yang menyediakan program studi ini, tapi ini adalah bukti
kemenarikan dari kewirausahaan sebagai suatu pengetahuan yang memampukan
siswanya menjadi pengusaha handal. Masa keemasan kewirausahaan juga ditandai
1
Business Week, Edisi Indonesia/15 – 22 November 2006, halaman 52.
1
dengan banyaknya tumbuh perusahaan. Pertumbuhan perusahaan ini dipicu oleh
semakin banyak orang-orang yang memiliki talenta dan pengetahuan yang mampu
melihat peluang pasar, melihat apa yang dibutuhkan oleh pasar, dan mendirikan satu
organisasi untuk mewujudkan peluang itu.
Organisasi usaha baru tersebut menciptakan bagian inovasi yang besar terhadap
produk barang dan jasa yang mampu merubah cara manusia untuk bekerja dan hidup.
Melalui keinginannya untuk menciptakan produk yang diinginkan pasar, mereka
menggunakan sumber daya yang ada, seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan sifat
mereka sendiri, yaitu kewirausahaan sebagai mesin penggeraknya. Kehadiran
organisasi-organisasi usaha tersebut meramaikan perekonomian di semua Negara di
dunia ini, dan organisasi seperti itu dinamakan perusahaan.
Amerika Serikat, negara-negara maju Eropa, serta beberapa negara maju di Asia
memperoleh kekayaannya dari banyaknya perusahaan-perusahaan yang mengisi hampir
semua jenis industri yang ada. Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan barang-barang
yang sangat dibutuhkan oleh peradaban manusia, bahkan di jaman serba canggih ini tak
jarang hasil dari industri-industri tersebut diperbaharui dengan begitu cepatnya. Produk
yang mereka hasilkan akan dibeli oleh masyarakat lokal atau bahkan manca negara, dan
hal itu memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan itu. Negara
tempat mereka berpijakpun merasakan keuntungan tersebut. Dengan pertumbuhan
jumlah perusahaan di negaranya, maka akan tersedia lapangan pekerjaan yang mampu
menyerap angkatan kerja, pengangguran berkurang, kesejahteraan masyarakat
meningkat dan daya beli masyarakat meningkat. Penghasilan pajak yang diperoleh
pemerintah atas keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut memungkinkan mereka
mampu menjalankan roda pemeritahannya dengan lebih baik, pembangunan bisa
dibiayai, dan umumnya sebagai permulaan, pemerintah-pemerintah tersebut akan
membangun sarana dan prasarana umum (jalan raya, jembatan, stasiun dan sebagainya).
Pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama atas sarana dan prasarana
akan menambah gairah pertumbuhan perusahaan di negaranya, walaupun tentunya tidak
terlepas dari kondisi politik negara tersebut, sebab fasilitas yang semakin bagus akan
semakin memperlancar kegiatan produksi yang mereka lakukan. Tak jarang investor
asing tertarik mendirikan usahanya di negara-negara itu.
Peningkatan kesejahteraan negara - yang ditandai dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya, menandakan bahwa negara tersebut mengalami
pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan jumlah perusahaan cukup
menggembirakan. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Indonesia, tingkat
pertumbuhan perusahaan baru yang bergerak pada industri pengolahan berskala
besar/kecil, sedang, bahkan industri rumahtangga adalah sebesar 0.87 persen per tahun.
Semakin banyak perusahaan yang berpijak di Indonesia, baik yang didirikan oleh
pengusaha lokal, atau perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang asing. Hal ini
menandakan semakin banyak orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan di
Indonesia, baik itu penduduk lokal, ataupun orang asing yang sengaja datang untuk
mendirikan usahanya di Indonesia.
Bertambahnya jumlah dari orang-orang yang berjiwa usaha ini dapat kita ukur
dari beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas kewirausahaan,
misalnya jumlah perusahaan yang ada, jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh para
wirausahaan itu, jumlah investasi yang ada dalam perekonomian dari waktu ke waktu,
jumlah dari jenis produk yang ada dalam satu perekonomian, jumlah inovasi yang ada
dalam perekonomian. Alasan hal tersebut dikatakan sebagai variabel-variabel
2
kewirausahaan adalah karena dalam aktivitas kewirausahaannya, para wirausahaan
melibatkan dirinya pada variabel-variabel itu, dengan kata lain, para wirausahaanlah
yang menjadi roh penggerak dari variabel-variabel itu.
Latar Belakang Teoritis
Kewirausahaan adalah suatu bidang yang membutuhkan banyak bidang
keilmuan. Dalam jurnal ilmiah yang diterbitkannya, Charlie Karlsson, Christian Friis,
dan Thomas Paulsson dari The Royal Institute of Technology, mengutip pengertian
entrepreneurship yang diungkapkan oleh Runge, yaitu “Entrepreneurship involves inter
alia exploitation of differences between market-determined values and private value”2.
Dari pengertian itu dapat kita lihat bahwa kegiatan kewirausahaan melibatkan banyak
hal. Mulai dari perumusan ide sampai menghasilkan produk yang benar-benar
dibutuhkan pasar, para wirausahaan menggunakan sumber daya semampu dia
menyediakannya, misalnya, sumber daya modal, tenaga kerja yang mampu dibayarnya,
serta keahlian-keahlian teknis yang dimilikinya. Keputusan yang diambil calon
wirausahawan untuk memulai suatu usaha juga sangat dipengaruhi faktor-faktor lain,
seperti peluang karir, keluarga, teman, kondisi perekonomian negara tempat dia berada,
dan ketersedian sumber daya
Sebagai suatu bidang akademis, kewirausahaan termasuk pengetahuan yang baru
saja dikembangkan. Menurut Amy Barrett dalam majalah business week,
kewirausahaan semakin diminati di dunia kampus. Dalam tulisannya, dalam kurun
waktu 1999 – 2003, para pengusaha sukses dan alumni mengucurkan $250 juta ke
kampus-kampus di Amerika Serikat untuk menciptakan para wirausahaan baru.
Program-program pendidikan ini mencoba menyingkirkan pendapat bahwa
kewirausahaan tidak bisa dipelajari3.
Joseph Schumpeter seorang ekonomikawan memberikan defenisi baru mengenai
arti dari wirausahawan, yaitu “entrepreneur as the person who destroys the existing
economic order by introducing new products and services, by creating new forms of
organization, or by exploiting new raw materials”4.
Mengacu pada itu, wirausahawan melakukan perusakan perekonomian yang ada
dengan mendirikan usaha baru, tetapi juga melakukan hal itu melalui usahanya yang
sudah ada.
Selain itu, Bygrave and Zacharakis memberikan defenisi mengenai
kewirausahaan, yaitu “entrepreneur is someone who perceives an opportunity and
creates an organization to pursue it”5
Dari kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa kewirausahaan adalah
kegiatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan melihat peluang di pasar, seorang
yang mampu untuk melihat apa yang menjadi kebutuhan pasar, kemudian menciptakan
produk yang mampu memuaskan kebutuhan pasar yang ditujunya.
Seseorang bisa saja mendapatkan suatu gagasan untuk membentuk suatu usaha
baru, entah itu secara sengaja ataupun karena dia menemukan suatu peluang disana.
2
Charlie Karlsson, Christian Friis, Thomas Paulson, Relating Entrepreneurship to
Economic Growth, The Royal Institute of Technology, 2004.
3 Charlie Karlsson, Christian Friis, Thomas Paulson, Op.cit., hal 52
4 William D. Bygrave and Andrew Zacharakis, The Portable MBA in Entrepreneurship,
Third Edition, , John Willey & Sons, Inc.,2004, hal. 1.
5 Ibid., hal 2.
3
Keputusannya untuk membangun atau tidak usahanya itu tergantung kepada faktorfaktor seperti peluang karirnya di masa depan, keluarga, kerabat, keadaan ekonomi
daerahnya, dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan.
Menurut Bygrave dan Zacharakis (2004) “There is almost a triggering event
that gives birth to a new organization”6. Mungkin saja hal ini disebabkan pengusaha
tersebut tidak memiliki peluang untuk mendapatkan karir yang bagus, atau bahkan
dipecat dari tempat dia bekerja. Bahkan bagi sebagian orang, berwiraswasta adalah
pilihan karir yang sengaja dipilih.
Para wirausahawan yang serius dalam mewujudkan ide yang dimilikinya akan
membentuk suatu organisasi sebagai wadah dalam melakukan aktifitasnya. Dalam
proses itu, para wirausahawan tersebut akan menentukan sumber daya apa saja yang
mereka butuhkan, atau setidak-tidaknya sumber daya minimum yang harus mereka
punya. Hal pertama yang harus dilakukan wirausahawan itu adalah mengukur sumber
daya penting apa yang dibutuhkan organisasi usaha yang didirikannya untuk berhasil
menembus pasar. Jika misalnya, perusahaan itu akan membuat barang atau jasa yang
menggunakan teknologi tinggi, pengetahuan akan teknologi adalah sangat penting.
Untuk itu, perusahaan harus berkonsentrasi dalam merekrut dan mempekerjakan
insinyur-insinyur teknologi yang handal. Jika saja perusahaan akan membuka suatu
bentuk penjualan eceran baru, maka faktor yang paling penting untuk dipikirkan adalah
lokasi dan biaya pemilikan lokasi tersebut. Intinya, para wirausahawan harus
memikirkan satu perangkat sumber daya yang akan membawa usahanya ke dalam
keberhasilan.
Modal permulaan adalah salah satu hal terpenting yang harus dimiliki oleh calon
wirausahawan. Ada dua jenis modal permulaan, yaitu : hutang dan kekayaan. Dengan
menggunakan hutang, maka calon wirausahawan tidak harus mengorbankan harta
kekayaannya, tetapi dia harus membayar bunga hutangnya dan hutangnya itu. Apa yang
biasanya terjadi, dalam praktek nyata, modal permulaan yang dipakai oleh para
wirausahawan tergantung berapa banyak dan berapa jenis modal yang dapat
diperolehnya. Tapi mayoritas wirausahawan memulakan usahanya dengan
menggunakan modal mereka sendiri, begitu juga dengan tenaga kerja yang mereka
miliki sendiri.
Menurut Marcus Dejardin, variabel – variabel kewirausahaan adalah keinginan
individu untuk melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan ganjaran yang diharapkannya
dan inovasi yang dilakukan oleh para wirausahawan tersebut7. Marcus berangkat dari
teori Schumpeter yang membagi inovasi yang dilakukan oleh para wirausahawan
menjadi lima variable, yaitu:
1. Perkenalan produk baru (The introduction of a new good)
2. Pengenalan penggunaan metode produksi baru (The introduction of a new method of
production)
3. Pembukaan pasar baru (The opening of a new market)
4. Penemuan sumber baru atas bahan baku atau barang setengah jadi (The conquest of
a new source of supply of raw materials or half manufactured goods)
5. Pendirian organisasi baru dalam berbagai industri (the carrying out of the new
organization of any industry)
6
Ibid., hal 3.
Steven F. Kreft dan Russell S. Sobe, Public Policy, Entrepreneurship, Economic
Growth,Western Virginia University, 2003
7
4
Dalam jurnal ilmiahnya, Zhang Jiawei (2006) mengatakan bahwa untuk melihat
hubungan kewirausahaan, inovasi dan pertumbuhan ekonomi diperlukan empat variabel
pengukuran, yaitu
1. Teknologi
2. Tenaga kerja
3. Kebijakan pemerintah
4. Jumlah perusahaan baru8
Charlie Karlsson, Christian Friis dan Thomas Paulsson (2004) mengatakan
bahwa variabel – variabel yang dapat digunakan untuk mengukur hubungan
kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi adalah:
a. Perilaku kompetitif (Competitive behavior)
b. Perilaku inofatif (Inovative behavior)
c. Perusahaan baru (Start ups company)9.
Peneliti lain, Steven F. Kreft dan Russel S. Sobe (2003) juga mengatakan bahwa
untuk melihat hubungan kegiatan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi dapat
digunakan dua variabel pengukuran, yaitu:
a. Kepemilikan usaha pribadi, yang dalam banyak literatur sebagai tolok ukur yang
baik untuk menilai tingkat kewirausahaan. Kreft dan Sobe menggunakan formulir
pajak federal yang diisi oleh individu
b. Aktivitas patent. Hal ini untuk mengukur aktivitas patent yang disahkan setiap
tahunnya. Logika dibalik pengukuran aktivitas patent untuk mengukur tingkat
kewirausahaan adalah karena paten adalah hasil inovasi yang tampak yang
dilakukan oleh para wirausahawan10.
Titik awal dari teori pertumbuhan ekonomi adalah fungsi produksi agregat11,
yang secara khusus menggambarkan hubungan antara tingkat produksi dengan masukan
yang dipakai dalam produksi. Dalam teori ini, diasumsikan bahwa ada dua masukan
yang dipakai, yaitu modal dan tenaga kerja, dan persamaan yang diberikan adalah:
Y = F (K, N)12
(2.1)
Y adalah jumlah keluaran, K adalah jumlah modal (mesin,peralatan, dan
gedung-gedung kantor yang digunakan dalam perekonomian), dan N adalah jumlah
tenaga kerja. Hal ini hanyalah demi penyederhanaan dari kenyataan yang ada. Tentu
saja, mesin dan gedung-gedung perkantoran sangat berbeda peranannya di dalam
produksi, dan seharusnya diperlakukan sebagai masukan bagi proses produksi. Tenaga
kerja dengan berpendidikan Doktor akan berbeda dari tenaga kerja yang bahkan tidak
dapat menamatkan pendidikan menengah, tetapi demi penyederhanaan semua tenaga
kerja dalam perekonomian dianggap serupa.
8
Zhang Jiawei, Industrial Dynamics, Entrepreneurship, innovation and economy
growthof Yangtze River Delta Region of China, 2006
9
Charlie Karlsson, Christian Friis, Thomas Paulson, Relating Entrepreneurship to
Economic Growth, The Royal Institute of Technology, 2004
10
Steven F. Kreft dan Russell S. Sobe, Public Policy, Entrepreneurship, Economic
Growth, Western Virginia University, 2003
11
Olivier Blanchard, Macroeconomics, Third Edition, Prentice Hall, 2003., hal. 212.
Ibid., hal. 212.
12
5
Tahapan selanjutnya, kita harus berpikir tentang fungsi keluaran, F, yang
menghubungkan keluaran dan masukan. Dengan kata lain, apa yang menentukan jumlah
keluaran yang dapat diproduksi untuk jumlah tertentu dari modal dan tenaga kerja?
Jawabannya adalah : kedudukan dari teknologi. Negara dengan teknologi yang lebih
maju akan menghasilkan keluaran yang lebih banyak meski dengan jumlah modal dan
tenaga kerja yang sama, daripada negara dengan teknologi yang sudah ketinggalan
jaman.
Berdasarkan persamaan dari fungsi keluaran, jika tingkat operasional
dilipatgandakan, maka berarti jumlah modal dan tenaga kerja yang digunakan akan
dilipatgandakan juga, demikian juga dengan keluaran. Hal ini dikenal sebagai ukuran
pengembalian tetap (constant returns to scale).
2Y = F (2K, 2N)
Atau jika disederhanakan, untuk jumlah pelipatgandaan (x)
13
(2.2)
xY = F(xK, xN)
Dari persamaan tersebut sudah diperlihatkan dampak dari peningkatan modal
dan tenaga kerja. Tetapi bagaimana jika hanya salah satu dari dua variabel masukan saja
yang meningkat ?
Jika salah satu dari variabel tersebut meningkat maka tentu saja keluaran akan
meningkat, hal itu sudah jelas terlihat. Tetapi sangat masuk akal untuk mengasumsikan
bahwa kenaikan yang sama atas modal akan memicu kenaikan yang semakin bertambah
kecil atas kenaikan keluaran sebagaimana kenaikan atas modal tersebut. Dengan kata
lain, jika pada permulaan digunakan sedikit modal, sedikit tambahan modal lainnya
akan sangat banyak membantu. Jika pada permulaan digunakan banyak modal, sedikit
tambahan modal mungkin hanya memberikan sedikit perubahan. Misalnya saja, sebuah
perusahaan membeli 1 unit komputer untuk membantu tugas administrasi, maka 1 unit
komputer baru ini akan memberikan bantuan yang sangat besar, dan jika jumlah
komputer tersebut ditambah sehingga semua orang memiliki komputer masing-masing,
pekerjaan administrasi akan semakin cepat terselesaikan, tetapi pertambahan
manfaatnya tidak lagi sebesar pertambahan manfaat pada saat pertama kali komputer
diberikan kepada kelompok petugas administrasi tersebut. Hal ini dinamakan tingkat
pengembalian modal yang semakin berkurang (decreasing return to capital). Demikian
juga halnya jika perlakuan terhadap modal, tenaga kerja, pertambahannya akan memicu
semakin sedikit kenaikan pada keluaran.
Fungsi keluaran (2.1) dengan skala pengembalian tetap memungkinkan kita
menganalisa seluruh variabel dalam perekonomian dibandingkan dengan jumlah
angkatan kerja. Untuk melihat kebenarannya, gunakan x = 1/N dalam persamaan (2.2)
Y/N = F [ K/N, N/N] = F [ K/N, 1]14
(2.3)
Fungsi ini menunjukkan bahwa jumlah output per pekerja Y/N adalah fungsi
dari jumlah modal per perkerja K/N. (Angka ‘1’ adalah, tentu saja, konstan sehingga
bisa dihilangkan). Asumsi skala pengembalian konstan menunjukkan bahwa besarnya
perekonomian – sebagaimana diukur oleh jumlah pekerja – tidak mempengaruhi
hubungan antara keluaran per pekerja dan modal per pekerja. Hubungan antara
keluaran per pekerja dan modal digambarkan pada gambar 2.1.
13
14
Ibid., hal. 213.
Ibid., hal 214.
6
Keluaran per pekerja, Y/N
D’
C’
Y/N = F (K/N,1)
B’
A’
A
B
C
D
Modal pe pekerja, K/N
Gambar 2.1
Hubungan antara Keluaran per pekerja dan Modal15
Keluaran per pekerja (Y/N) diukur pada sumbu tegak, modal per pekerja (K/N)
diukur pada sumbu datar. Hubungan kedua hal ini digambarkan pada kurva, dimana
kenaikan modal memicu pertumbuhan keluaran yang semakin lama semaklin kecil
jumlahnya. Hal ini merupakan sifat dari sekala pengembalian modal yang berkurang.
Pada titik A, jumlah modal per pekerja sedikit, kenaikan pada modal per pekerja, yang
digambarkan pada jarak antara AB, memicu kenaikan keluaran per pekerja sama dengan
A’B’. Pada titik C, dimana modal per pekerja lebih besar, kenaikan yang sama atas
modal per pekerja, yang digambarkan pada jarak antara CD pada sumbu datar, memicu
pada pertumbuhan keluaran per pekerja yang semakin kecil, C’D’ .
Persamaan (2.3) memberikan jawaban mengenai apa penyebab pertumbuhan,
yaitu
 Kenaikan jumlah keluaran per pekerja (Y/N) dapat berasal dari kenaikan pada
modal per pekerja (K/N). Hubungan ini sudah kita lihat pada grafik pada gambar
2.1. Sebagaimana kenaikan (K/N) – Jika kita bergerak kearah kanan pada sumbu
datar – (Y/N) juga menaik.
 Atau, pertumbuhan dapat saja berasal dari perbaikan kemampuan teknologi suatu
negara, yang menggeser fungsi produksi, F, sehingga memicu pertambahan keluaran
per pekerja. Hal ini digambarkan pada gambar 2.2. Perkembangan pada teknologi
suatu negara memicu kenaikan pada keluaran per pekerja. Sebagai contoh, untuk
tingkat modal per pekerja yang digambarkan pada titik A, keluaran per pekerja naik
dari Titik A’ ke titik B’.
Keluaran per pekerja, Y/N
F(K/N,1)’
B’
F(K/N,1)
A’
A
Modal pe pekerja, K/N
Gambar 2.2
Efek Perkembangan Teknologi suatu Negara16
15
Ibid., hal. 214.
7
Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa pertumbuhan ekonomi berasal dari
pertambahan modal dan kemajuan teknologi. Tetapi dalam pertumbuhan ekonomi,
kedua hal ini memiliki peranan berbeda dalam proses pertumbuhan keluaran :
 Pertumbuhan modal sendiri tidak dapat mendukung pertumbuhan. Hal ini
disebabkan oleh tingkat pengembalian modal yang semakin menurun, untuk
mendukung pertumbuhan keluaran per pekerja akan membutuhkan kenaikan dari
jumlah modal per pekerja dalam jumlah yang lebih besar lagi. Pada tingkat tertentu,
perekonomian tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan dan cukup
menginvestasikan untuk pertumbuhan modal yang lebih besar. Pada tingkat itu,
keluaran per pekerja akan berhenti bertumbuh.
Hal ini tidak berarti bahwa tingkat tabungan tidak memiliki hubungan atas
pertumbuhan ekonomi. Sebab, adalah benar bahwa tingkat tabungan yang lebih tinggi
tidak dapat secara tetap meningkatkan pertumbuhan dari keluaran. Tetapi tabungan
yang lebih besar dapat mendukung tingkat keluran yang lebih besar. Hal ini dapat kita
lihat pada contoh dari dua perekonomian negara yang memiliki tingkat tabungan yang
berbeda. Perekonomian akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan yang sama, tetapi pada
waktu tertentu, perekonomian dengan tingkat tabungan yang lebih tinggi akan memiliki
tingkat keluaran perkapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian dengan
tingkat tabungan yang lebih rendah. Hal ini dapat kita lihat pada bagian selanjutnya
yang menjelasakan tabungan, pertambahan modal, dan keluaran.
Dari persamaan (2.3) yang sudah kita tuliskan di atas, keluaran per pekerja
(Y/N) adalah fungsi menaik dari modal per pekerja (K/N). Dengan asumsi penurunan
dari tingkat pengembalian modal, semakin besar perbandingan antara modal dengan
pekerja, semakin kecil dampak dari kenaikan tersebut pada modal per pekerja. Saat
modal per pekerja sudah sangat tinggi, pertambahan selanjutnya terhadap modal per
pekerja hanya akan memberikan dampak yang kecil terhadap keluaran.
Untuk menyederhanakan persamaan 2.3., kembali kita tuliskan hubungan antara
keluaran dan modal per pekerja:
Y/N = f (K/N)17
(2.4)
dimana fungsi f menunjukkan hubungan yang sama antara keluaran dan modal per
pekerja sebagaimana ditunjukkan oleh fungi F., maka
f (K/N) = F (K/N,1)18
(2.5)
Kali ini asumsi yang dipakai; pertama, besaran populasi, tingkat keikutsertaan,
dan tingat pengangguran adalah tetap. Ini berarti bahwa pemekerjaan, N, juga selalu
tetap. Argumentasinya adalah, tenaga kerja yang tersedia adalah sama dengan populasi
tenaga kerja dikali dengan tingkat partisipasi tenaga kerja. Sehingga, jika ukuran dari
populasi tetap, dan tingkat partisipasi tenaga kerja juga tetap, maka jumlah tenaga kerja
juga tetap. Pemekerjaan, pada gilirannya, sama dengan jumlah tenaga kerja dikali satu
dikurangi dengan tingkat pengangguran. Contohnya, jika jumlah angkatan kerja adalah
100 juta orang, dan tingkat pengangguran adalah 5%, maka pemekerjaan akan
berjumlah 95 juta orang {100 x (1-0,05}. Sehingga, jika angkatan kerja tetap, dan
tingkat pengangguran tetap, maka pemekerjaan juga tetap.
Dengan asumsi ini, keluaran per tenaga kerja (keluaran dibagi dengan
pemekerjaan), keluaran per modal (keluaran dibagi dengan populasi), dan keluaran itu
16
Ibid., hal., 215.
17 Ibid., hal 220.
18 Ibid., hal. 220.
8
sendiri, semuanya akan bergerak secara proporsional. Alasan yang dipakai dengan
mengatakan, N, adalah tetap, adalah untuk membuat fokus pembahasan peranan dari
pertambahan modal terhadap pertumbuhan eknomi lebih sederhana. Jika N tetap, faktor
produksi yang berubah seiring dengan perubahan waktu adalah modal. Asumsi ini
mungkin tidak realistis, tapi kita akan membahasnya lebih dalam di tahapan selanjutnya.
Asumsi kedua adalah, bahwa terdapat perkembangan teknologi, sehingga fungsi
produksi, f, tidak akan berubah seiring dengan perubahan waktu. Alasannya adalah
untuk memusatkan perhatian pada peranan pertambahan modal.
Ringkasan dari kedua asumsi ini, persamaan kita yang pertama mengenai
hubungan antara keluaran dan modal per pekerja, dari sisi produksi, dapat dituliskan
sebagai berikut ;
Yt/N = f [Kt/N]19
(2.6)
Dalam kata-kata ; dengan modal yang lebih besar akan memicu pada kenaikan
keluaran per pekerja.
Untuk menjelaskan teori ini, asumsi yang masih dipakai adalah bahwa
perekonomian tertutup. Teori ini dipakai sebagai salah satu landasan untuk menjelaskan
hubungan investasi yang dilakukan oleh suatu negara dengan keluaran negara tersebut.
Dalam kaitannya dengan kewirausahaan, asumsinya adalah investasi dilakukan oleh
para wirausahawan. Investasi adalah sama dengan tabungan ditambahkan dengan
pajak dikurangi dengan pengeluaran pemerintah, atau dapat dituliskan dengan
persamaan :
I = S + (T – G)20
Untuk menyederhanakan persoalan, fokus pembahasan hanya pada perilaku
tabungan pribadi, dan untuk sementara pajak dan tabungan pemerintah diabaikan,
sehingga T = G, sehingga T – G = 0, maka Investasi sama dengan tabungan pribadi.
I=S
Asumsi selanjutnya bahwa tabungan pribadi adalah bagian tertentu dari
penghasilan, sehingga,
S = SY
Nilai s adalah tingkat tabungan, dan memiliki nilai antara nol dan 1. Asumsi ini
diambil dari dua fakta dasar mengenai tabungan: 1) Tingkat tabungan tidak secara
sistematis meningkat atau menurun sebagaimana negara bertambah kaya. (2) Negara
yang lebih kaya tidak akan kelihatan secara sistematis memiliki tingkat tabungan yang
lebih tinggi atau tingkat tabungan lebih rendah daripada negara miskin.
Dengan menggabungkan kedua persamaan diatas, maka
It = sYt
Dari persamaan tersebut dapat kita lihat bahwa semakin tinggi keluaran,
semakin tinggi tabungan, sehingga semakin tinggi Investasi.
Tahapan kedua yang berhubungan dengan investasi adalah arus pertambahan
modal mesin baru dan pabrik yang baru dibangun selama periode tertentu, dan sediaan
modal (misalnya mesin dan pabrik yang ada di dalam perekonomian).
Waktu diukur dengan tahun, sehingga t melambangkan tahun t, t+1
melambangkan tahun t+1, dan seterusnya. Sediaan modal diukur di awal setiap
tahunnya, sehingga Kt melambangkan sediaan modal pada awal tahun t, Kt+1
melambangkan modal saham pada awal tahun t+1, demikian seterusnya.
19
20
Ibid., hal. 221.
Ibid., hal. 221.
9
Asumsikan bahwa penyusutan modal per tahun diukur pada tingkat . Dari satu
tahun
pada sediaan modal akan tidak berguna, setara
dengan itu proprosi (1dari modal yang tetap utuh dari satu tahun ke tahun
berikutnya.
Perubahan sediaan modal dinyatakan dengan persamaan
Kt+1 = (1- ) Kt + It21
Sediaan modal awal tahun t+1, Kt+1, adalah sama dengan sedian modal untuk
awal tahun t yang tetap utuh pada tahun t+1, (1Kt, ditambah sediaan modal baru
selama tahun t, contohnya ; investasi selama tahun t, It.
Untuk itu, sekarang kita dapat menggabungkan hubungan keluaran dengan
investasi, dan hubungan investasi dengan pertambahan modal untuk memperoleh
persamaan kedua yang kita butuhkan dalam memikirkan mengenai pertumbuhan, yaitu
hubungan antara keluaran dengan pertambahan modal.
Dengan mengganti Investasi dengan tabungan pada persamaan terakhir di atas,
kemudian membagi kedua sisi dengan N (jumlah tenaga kerja), maka akan kita peroleh
Kt+1/N = (1- Kt/N + sYt/N)22
Dalam kata-kata, modal per pekerja pada permulaan awal tahun t+1 sama
dengan modal per pekerja awal tahun t, dikurangi penyusutan, ditambah investasi per
pekerja selama tahun t, yang sama dengan tingkat tabungan dikali keluaran per pekerja
selama tahun t.
Kembangkan persamaan (1Kt/N menjadi Kt/N - Kt/N, pindahkan Kt/N ke
sebelah kiri, dan susun kembali sebelah kanan, maka
Kt+1/N – Kt/N = sYt/N - Kt23
2.7
Gantikan keluaran per pekerja (Yt/N) dalam persamaan (2.7), dengan modal per
pekerja, dan kita akan akan mendapatkan:
Kt+1/N – Kt/N = sf (Kt/N) - Kt/N24
(2.8)
Persamaan ini menggambarkan apa yang terjadi pada modal per pekerja.
Perubahan modal per pekerja dari tahun ini ke tahun selanjutnya tergantung pada hal-hal
berikut:
 Investasi per pekerja. Tingkat modal per pekerja pada tahun ini ditentukan oleh
keluaran per pekerja pada tahun ini. Keluaran per pekerja ditentukan oleh jumlah
tabungan per pekerja demikian juga dengan investasi per pekerja tahun ini
 Penyusustan per pekerja. Sediaan modal per pekerja ditentukan oleh jumlah
penyusutan per pekerja pada tahun ini.
Jika investasi per pekerja melampaui penyusutan per pekerja, perubahan modal
per pekerja sama dengan positif, maka modal per pekerja bertambah. Jika investasi per
pekerja lebih kecil dari penyusutan per pekerja, perubahan modal per pekerja sama
dengan negatif, maka modal per pekerja berkurang.
Persamaan (2.6) dan (2.8) memuat informasi yang dibutuhkan untuk mengerti
dinamika dari modal dan keluaran seiring berjalannya waktu. Hal ini juga dapat kita
lihat pada gambar (2.3). Dimana keluaran per pekerja diukur pada sumbu tegak dan
modal per pekerja diukur pada sumbu datar.
Pada gambar (2.3), kita lihat kurva yang memperlihatkan keluaran per pekerja, f
(K/N), sebagai fungsi dari modal per pekerja. Hubungan ini sama dengan gambar (2.2) ;
21
Ibid., hal. 222.
Ibid., hal. 222.
23 Ibid., hal. 223.
24 Ibid., hal. 223.
22
10
keluaran pekerja meningkat seiring dengan peningkatan modal pekerja, tetapi karena
adanya tingkat pengembalian modal yang semakin berkurang, efek dari tingkat modal
pekerja yang semakin tinggi terhadap keluaran semakin kecil.
Out put per worker
f(Kt/N)
Y*/N
Keluaran per pekerja, Y/N
Penyusutan per pekerja
dKt/N
Investasi per pekerja
sf(Kt,N)
B
C
D
A
(K0/N)
K*/N
Modal pe pekerja, K/N
Gambar 2.3
Keluaran Per Pekerja 25
Perhatikan gambar (2.3);
 Hubungan yang menggambarkan investasi per pekerja, sf (K/N), memiliki bentuk
yang sama dengan kurva pertumbuhan, kecuali bahwa gambar ini lebih rendah yang
disebabkan oleh faktor s (tingkat tabungan). Andaikan tingkat modal per pekerja
sama dengan K0/N (pada gambar 2.3). Keluaran per pekerja akan ditunjukkan
dengan jarak AC, yaitu sama dengan s (tingkat tabungan) dikali jarak vertikal antara
AB. Dengan begitu, sebagaimana dengan keluaran per pekerja, investasi per pekerja
meningkatkan modal per pekerja, tetapi peningkatan itu akan semakin kecil
sebagaimana juga dengan modal per pekerja. Pada saat modal per pekerja sudah
tinggi, efek dari kenaikan yang lebih besar atas modal per pekerja akan semakin
kecil, begitu juga dengan investasi per pekerja, akan sangat kecil.
 Gambar itu menunjukkan penyusutan per pekerja,
lurus. Penyusutan per pekerja meningkat secara proporsional terhadap modal per
pekerja, sehingga hubungannya ditunjukkan oleh garis lurus yang memotong kedua
kurva. Pada tingkat modal per pekerja K0/N, penyusutan modal per pekerja
ditunjukkan oleh jarak vertikal AD.
Perubahaan dari modal pekerja digambarkan dengan perbedaan antara investasi
per-pekerja dengan penyusutan per pekerja. Pada K0/N, perbedaannya adalah positif;
investasi per pekerja melebihi penyusutan per pekerja dengan jumlah yang ditunjukan
oleh CD = AC – AD ; peningkatan modal per pekerja. Untuk tingkat tertentu dari modal
per pekerja, K*/N (gambar 2.3), investasi hanya cukup untuk menutupi depresiasi,
sehingga, modal per pekerja tetap. Bergerak ke arah kiri, K*/N, investasi melebihi
depresiasi dan modal per pekerja meningkat. Hal ini diindikasikan oleh panah yang
bergerak ke arah kanan sepanjang kurva fungsi produksi. Ke sebelah kanan K*/N,
25
Ibid., hal., 224
11
depresiasi melebihi investasi, dan modal per pekerja menurun. Hal ini ditunjukkan oleh
panah yang bergerak ke arah kiri disepanjang kurva fungsi produksi.
Menggambarkan evolusi dari modal per pekerja dan keluaran per pekerja seiring
berjalannya waktu menjadi mudah. Misalkan sebuah perekonomian yang dimulai
dengan tingkat modal per pekerja yang rendah, misalnya K0/N – pada gambar 2.3.
Karena investasi lebih besar dari penyusutan, modal per pekerja bertambah. Modal per
pekerja akan mencapai K*/N, tingkat dimana investasi sama dengan penyusutan. Sekali
suatu perekonomian mencapai tingkat modal pekerja pada titik K*/N, keluaran per
pekerja dan modal per pekerja akan tetap konstan, yaitu pada titik Y*/N dan K*/N, dan
hal ini menjadi tingkat keseimbangan jangka panjang.
Menurut Olivier Blanchard dalam bukunya Macroeconomics dampak dari
tabungan terhadap pertumbuhan adalah :
 “Tingkat tabungan tidak memiliki dampak dalam pertumbuhan keluaran per pekerja
dalam jangka panjang, yang berarti sama dengan nol.
Kesimpulannya ini sedikit nyata, seperti kita lihat sebelumnya, bahwa dalam
perekonomian keluaran per pekerja adalah tetap. Dengan kata lain, dalam jangka
panjang, tingkat pertumbuhan keluaran sama dengan nol, berapapun nilai dari
tingkat tabungan. Meskipun begitu, pola pemikiran ini berguna sewaktu
menerangkan manfaat dari kemajuan teknologi. Pemikiran mengenai apa yang
dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan. Modal per pekerja perlu
ditingkatkan, tetapi karena adanya penurunan hasil yang makin berkurang,
pertumbuhan modal pekerja harus lebih cepat dari pertumbuhan keluaran pekerja.
Hal ini menandakan bahwa setiap tahunnya suatu perekonomian harus menyimpan
keluarannya dan harus menyelamatkan perbedaan yang semakin besar tersebut. Hal
yang sama, penyelamatan perbedaan dari pertumbuhan keluaran terhadap
pertumbuhan modal tersebut harus dilakukan lebih dari satu kali, dan ini jelas tidak
mungkin. Hal inilah mengapa suatu perekonomian tidak mungkin mempertahankan
pertumbuhan yang tetap untuk selamanya. Dalam jangka panjang, modal per pekerja
pasti tetap dan demikian juga, hasil keluaran per per-kerja pasti tetap.
 Meskipun begitu, tingkat tabungan menentukan tingkat dari keluaran per pekerja
dalam jangka panjang. Dengan andaian hal lainnya tetap, negara-negara dengan
tingkat tabungan yang lebih tinggi akan mencapai tingkat keluaran per pekerja yang
lebih tinggi dalam jangka panjang
 Kenaikan tingkat tabungan akan memicu pertumbuhan keluaran per pekerja yang
lebih tinggi untuk waktu tertentu, tapi tidak selamanya.
Kesimpulannya ini diperoleh dari dua pernyataan. Pertama, kenaikan tingkat
tabungan tidak mempengaruhi pertumbuhan keluaran per pekerja dalam jangka panjang,
yang berarti pertumbuhan itu adalah nol. Kedua, kenaikan tingkat tabungan akan
memicu kenaikan tingkat keluaran per pekerja dalam jangka panjang. Itu berarti bahwa
sebagaimana keluaran per pekerja meningkat ke tingkat yang lebih tinggi sebagaimana
dampak atas kenaikan tingkat tabungan, perekonomian akan mengalami pertumbuhan
yang positif. Periode pertumbuhan ini akan berakhir pada saat perekonomian sampai
pada tingkat keseimbangan yang baru“26.
Perkembangan teknologi memiliki beberapa ukuran, yaitu
26
Ibid., hal 244.
12

Mungkin saja ditujukkan dengan jumlah keluaran yang lebih banyak dengan jumlah
modal dan tenaga kerja tertentu. Misalnya, pelumas jenis baru yang memungkinkan
mesin untuk bekerja dengan lebih cepat, dan berarti akan memproduksi lebih banyak
 Mungkin saja hal itu ditunjukkan dengan kualitas barang yang lebih baik. Misalnya
bertambahnya keamanan dan kenyamanan pada kendaraan roda empat
 Mungkin saja hal itu berarti barang jenis baru. Misalnya DVD player atau MP3
Player
 Mungkin saja hal itu berarti semakin banyak jenis dari produk. Misalnya semakin
banyaknya variasi telepon genggam di pasaran.
Jika kita berpikir bahwa para pelanggan tidak hanya memperdulikan barangbarang saja, tetapi juga pelayanan terhadap yang disediakan dari barang-barang tersebut,
maka akan ada kesamaan. Dalam setiap peristiwa, pelanggan menerima lebih banyak
pelayanan.
Jika kita pikirkan bahwa keluaran adalah sebagai suatu perangkat jasa yang
disediakan oleh barang-barang yang dihasilkan dalam perekonomian, kita dapat berpikir
bahwa perkembangan teknologi sebagai pemicu kenaikan keluaran untuk jumlah modal
dan tenaga kerja tertentu. Kemudian dapat kita pikirkan bahwa teknologi suatu negara
sebagai variabel yang mengatakan kepada kita berapa banyak keluaran yang bisa
dihasilkan untuk jumlah tertentu dari modal dan tenaga kerja pada suatu waktu. A kita
sebut sebagai teknologi dan menuliskannya dalam fungsi produksi :
Y = F (K, N, A)27
(2.9)
(+, +, +)
Ini adalah perluasan dari fungsi produksi. Keluaran tergantung pada modal,
tenaga kerja, K dan N, dan teknologi negara tersebut, A ; pada modal dan tenaga kerja
tertentu, perbaikan dalam teknologi, A, akan memicu kenaikan keluaran.
Lebih tepat jika kita tuliskan persaman tersebut ke dalam bentuk ;
Y = F (K, AN) 28
(2.10)
Persamaan ini menyatakan bahwa produksi tergantung pada modal dan tenaga
kerja dikali teknologi. Cara pengenalan teknologi pada persamaan tersebut untuk
memudahkan pemikiran atas dampak dari perkembangan teknologi dalam hubungannya
dengan keluaran, modal, dan tenaga kerja. Persamaan (2.10) menyiratkan bahwa kita
dapat memikirkan perkembangan teknologi ke dalam dua cara yang sama;
 Perkembangan teknolgi mengurangi jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk
mencapai jumlah tertentu dari keluaran. Penggandaan A dalam memproduksi jumlah
keluaran yang sama dengan hanya setengah dari jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan, N.
 Perkembanangan teknologi meningkatkan AN, dimana kita dapat pikirkan sebagai
jumlah dari pekerja yang produktif. Jika teknologi suatu negara dua kali lipat lebih
baik, ini sama dengan jika perekonomian memiliki jumlah tenaga kerja yang dua
kali lipat banyaknya. Dengan kata lain, kita dapat memikirkan bahwa keluaran
dihasilkan oleh dua faktor; modal, K, dan tenaga kerja produktif, AN.
Untuk itu, cukup beralasan untuk mengandaikan bahwa tingkat pengembalian
tetap, untuk teknologi tertentu, A, pelipatgandaan modal (K) dan jumlah tenga kerja (N)
akan melipatgandakan keluaran:
2Y = F (2K, 2AN)
27
28
Ibid., hal. 244.
Ibid., hal. 244
13
Lebih umum jika kita tuliskan pelipatgandaan tersebut sebagai x :
29
xY = F (xK, xAN)
Sangat beralasan juga untuk mengasumsikan tingkat pengembalian yang
semakin berkurang. Dengan jumlah tenaga kerja produktif tertentu, kenaikan modal
akan menaikkan keluaran, tetapi kenaikan itu dalam jumlah yang semakin kecil. Atau
dapat juga kita katakan, bahwa kenaikan dari tenaga kerja produktif akan meningkatkan
keluaran, tetapi dengan jumlah kenaikan yang semakin menurun.
Untuk mendapatkan hubungan antara keluaran dengan tenaga kerja produktif
dan modal per tenaga kerja efektif, misalkan x pada persamaan di atas = 1/AN, maka
Y/AN = F [ K/AN, 1]
Atau
Y/AN = f [ K/AN)30
2.11)
Dengan kata lain, keluaran per tenaga kerja produktif adalah fungsi dari modal
per tenaga kerja efektif.
Dinamika dari modal per pekerja, dan dampaknya terhadap keluaran per pekerja
sudah dinyatakan dalam hubungan antara investasi per pekerja dan penyusutan per
pekerja. Tergantung apakah investasi per pekerja lebih kecil atau lebih besar dari
penyusutan per pekerja, modal per pekerja akan berkurang atau bertambah seiring
berjalannya waktu, begitu juga dengan keluaran per pekerja
Dari asumsi sebelumnya, bahwa investasi sama dengan tabungan pribadi, dan
tingkat tabungan pribadi adalah tetap, maka investasi
I = S = sY
Bagi kedua sisi dengan jumlah tenaga kerja produktif, AN, dan akan diperoleh:
I/AN = s Y/AN
Tempatkan keluaran per pekerja produktif, AN, ke dalam persamaan (2.11), maka
I/AN = sf [K/AN]
Selanjutnya kita akan membahas mengenai tingkat investasi per tenaga kerja
produktif yang dibutuhkan untuk mempertahankan tingkat modal per tenaga kerja
efektif.
Pada bahagian sebelumnya sudah terdapat jawaban sederhana, untuk modal yang
tetap, investasi harus sama dengan penyusutan dari sediaan modal. Alasannya adalah ;
Kita masukkan perkembangan teknologi (sehingga A meningkat seiring berubahnya
waktu), jumlah tenga kerja produktif (AN) meningkat seiring perubahan waktu. Dengan
begitu, mempertahankan perbandingan yang sama antara modal per tenaga kerja efektif
(K/AN) membutuhkan kenaikan dari sediaan modal (K) yang sebanding dengan
kenaikan dari jumlah tenaga kerja produktif (AN).
Jika kita lihat lebih dekat, m
adalah penyusutan dari modal, dan tingkat
dari pertumbuhan populasi sama dengan gN. Jika kita asumsikan perbandingan
pemekerjaan dengan total dari populasi adalah tetap, jumlah pekerja (N) juga tumbuh
pada tingkat pertumbuhan tahunan gN. Tingkat perkembangan teknologi sama dengan
gA. Bersama-sama, kedua asumsi terakhir ini menyiratkan bahwa tingkat pertumbuhan
dari tenaga kerja produktif (AN) sama dengan gA+gN. Sebagai contoh, jika jumlah
tenaga kerja bertumbuh sebesar 1% per tahun, dan tingkat perkembangan teknologi 2%
per tahun, maka tingkat pertumbuhan dari tenaga kerja produktif per tahun adalah 3%.
Asumsi ini berarti bahwa tingkat investasi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan jumlah modal tertentu per tenaga kerja efektif adalah
29
30
Ibid., hal 245.
Ibid., hal 245.
14
K + (gA+ gN) K
Atau sama dengan
gA + gN) K31
Fokus dari uraian di atas adalah perilaku dari jumlah keluaran. Untuk mengerti
apa yang terjadi pada stafndar hidup bukan pada jumlah keluaran, kita harus melihat
perilaku dari pekerja (bukan pada keluraan per pekerja efektif). Karena tingkat
pertumbuhan (gA + gN) dan jumlah pertumbuhan pekerja, gN, keluaran per pekerja
produktif adalah gA. Dengan kata lain, pada suatu keseimbangan perekonomian,
keluaran per pekerja tumbuh sesuai dengan pertumbuhan perkembangan teknologi.
Karena pada tingkat keseimbangan, keluaran, modal, dan tenaga kerja produktif,
semuanya tumbuh pada tingkat yang sama, (gA+ gN), maka hal ini dinamakan
pertumbuhan berimbang. Pada saat keseimbangan, keluaran dan kedua masukan, modal
dan tenaga kerja produktif, tumbuh sama besar.
Perkembangan teknologi membuat kita berfikir pada penemuan - penemuan,
misalnya penemuan microchip, penemuan struktur DNA, dan lain sebagainya.
Penemuan ini lebih menunjukkan proses penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan
bukan akibat dorongan perekonomian. Tetapi sesungguhnya dalam kebanyakan
perkembangan teknologi pada dunia modern, adalah hasil dari proses yang
membosankan ; hasil dari penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh
perusahaan.
Alasan perusahaan membelanjakan uangnya untuk penelitian dan
pengembangan sama dengan alasan perusahaan untuk membeli mesin baru atau
membangun pabrik baru, yaitu untuk menaikkan laba. Dengan meningkatnya belanja
perusahaan pada penelitian dan pengembangan, sebuah perusahaan meningkatkan
kemungkinan untuk menemukan atau mengembangkan produk baru. Dan produk baru
ini diharapkan laku dipasaran.
Jika suatu riset bertumbuh sangat subur – jika penelitian dan pengembangan
memicu kehadiran produk baru – maka, hal-hal lainnya akan seimbang; perusahan akan
memiliki lebih banyak dorongan untuk membelanjakan uangnya untuk melakukan riset
dan pengembangan; dan perkembangan teknologi akan lebih tinggi. Faktor penentu
kesuburan penelitian terletak di luar dunia eknomi. Banyak faktor yang menentukan
kesuburan kewirausahaan, yaitu;

Kesuburan penelitian tergantung pada kesuksesan hubungan antara penelitian
dasar (penelitian terhadap kaidah dan hasil) dan penelitian terapan, serta
pengembangan. Penelitian dasar tidak dengan sendirinya memicu perkembangan
teknologi. Tetapi keberhasilan penelitian terapan dan pengembangan tergantung
pada keberhasilan penelitian dasar.

Suatu negara sering terlihat lebih sukses dalam penelitian dasar, negara lainnya
lebih sukses dalam penelitian dan pengembangan terapan. Hal ini berhubungan
dengan tingkat pembelajaran. Sebagai contoh; sering diperdebatkan bahwa Prancis
memiliki sistem pendidikan yang lebih tinggi, dengan penekanan yang kuat
terhadap pemikiran abstrak, menghasilkan peneliti-peneliti yang lebih baik dalam
hal penelitian dasar daripada penelitian terapan. Pengamatan juga melihat
pentingnya budaya kewirausahaan, dalam perkembangan teknologi, sebagian
besar berasal dari kemampuan para wirausahaan untuk mengorganisir
pengembangan yang berhasil dan pemasaran dari produk baru.
31
Ibid., hal. 247
15

Diperlukan beberapa tahun, dan bahkan beberapa dekade untuk merealisasikan
penemuan yang penuh potensi. Urutan yang biasanya terjadi adalah penemuan
utama memicu eksplorasi potensi pengaplikasian, kemudian menuju
pengembangan produk baru, kemudian mengadopsi produk baru.
Salah satu ekonomikawan tersebut adalah Joseph Alois Schumpeter, yang
pertama kali mengemukakan teori pertumbuhan ekonominya dalam buku Theory of
Economic Development yang terbit di Jerman.
Schumpeter mengasumsikan adanya perekonomian persaingan sempurna yang
berada dalam keseimbangan mantap. Dalam keseimbangan mantap seperti itu
terkandung keseimbangan persaingan sempurna: tidak ada laba, tidak ada suku bunga,
tidak ada tabungan, tidak ada investasi dan tidak ada pengangguran terpaksa.
Keseimbangan ini ditandai oleh apa yang menurut istilah Schumpeter sebagai “arus
sirkuler” yang senantiasa berulang kembali dengan cara yang sama. Bagi setiap
penawaran telah menunggu suatu permintaan yang sama di suatu tempat di dalam
sistem perekonomian.
Bagi setiap permintaan menunggu pula penawaran yang
sama. Dengan kata lain, semua kegiatan ekonomi selalu berulang dalam suatu alur
perekonomian yang tak habis-habisnya. Menurut Schumpter, “arus sirkuler’ adalah
suatu aliran yang hidup dari sumber tenaga buruh dan lahan pertanian yang mengalir
secara terus-menerus, dan aliran tersebut mengalir pada setiap periode ekonomi ke
dalam waduk yang kita sebut pendapatan, untuk dialihkan ke dalam pemuasan
keinginan. “Menurut Schumpeter pembangunan adalah perubahan yang spontan dan
terputus-putus pada saluran-saluran arus sirkuler tersebut, gangguan terhadap
keseimbangan yang selalu mengubah dan mengganti keadaaan keseimbangan yang ada
tersebut. Perubahan dalam kehidupan ekonomi yang spontan dan terputus-putus ini
tidak dipaksakan dari luar akan tetapi timbul atas inisiatif perekonomian sendiri dan
muncul di atas cakrawala kehidupan perdagangan dan industri. Unsur utama
pembangunan terletak pada usaha melakukan kombinasi baru yang di dalamnya
terkandung berbagai kemungkinan yang ada dalam keadaan mantap. Kombinasi baru ini
muncul dalam bentuk inovasi.
Inovasi dapat terdiri dari pengenalan barang baru, pengenalan metode produk
baru, pembukaan pasar baru, penguasaan sumber penawaran baru bahan mentah atau
barang semi manufaktur, dan pembentukan organisasi baru pada setiap industri seperti
penciptaan monopoli. Menurut schumpeter, pengenalan produk baru dan perbaikan
terus-menerus inilah yang membawa kepada pembangunan.
Shumpeter memberikan peranan inovator tidak kepada kapitalis, tetapi kepada
pengusaha. Pengusaha bukanlah seorang manusia yang mempunyai kemampuan
manajemen biasa, tetapi mengatur pemakaiannya.
Menurut Schumpter, pengusaha didorong oleh; a) keinginan untuk mendirikan
kerajaan bisnis swasta, b) keinginan untuk menguasai dan membuktikan
superioritasnya, dan (c) kesenangan membuat dan mendapatkan sesuatu, atau sekedar
menyalurkan kepintaran dan tenaga seseorang.
Sifat dan tindakan pengusaha, menurut Schumpeter, tergantung pada lingkungan
sosial-budayanya. Untuk menjalankan fungsi ekonominya, pengusaha memerlukan dua
hal: pertama, adanya pengetahuan teknologi dalam rangka memproduksi barang-barang
baru, dan kedua, kemampuan mengatur faktor-faktor produksi dalam bentuk modal
pinjaman. Menurut Schumpeter ada segudang pengetahuan teknologi yang belum
dimanfaatkan, tapi pengusaha sudah menggunakannya.
16
Secara singkat, pengusaha merupakan tokoh kunci di dalam analisa
Schumpeter32.
Penelitian yang dilakukan oleh Marcus Dejardin yang diungkapkan dalam jurnal
ilmiahnya mengatakan, bahwa terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi
dengan kewirausahaan yang berlandaskan pada kegiatan inovasi dari para
wirausahawan. Djardin mengambil dua variabel untuk melihat hubungan kewirausahaan
dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu ; Keputusan individu untuk melakukan kegiatan
ekonomi berdasarkan ganjaran yang diharapkan akan diterimanya, dan inovasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang Jiawei (2003), dengan mengambil muara
sungai Yangtze (Sanghai, Jiangsu, Zhejiang) sebagai fokus penelitian untuk melihat
hubungan antara kewirausahaan, inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Jiawei melihat
hubungan kewirausahaan, inovasi dan pertumbuhan ekonomi dengan mengevaluasi
beberapa variabel, yaitu teknologi, tenaga kerja, kebijakan pemerintah, jumlah
perusahaan baru. Teknologi mencerminkan bagaimana pengusaha berusaha untuk
menghasilkan produk-produk tiruan, sebab kebanyakan perusahaan di daerah sungai
Yangtze menghasilkan barang-barang tiruan, demikian juga tenaga kerja digunakan
sebagai alat ukur karena tenaga kerja ini digunakan dalam proses produksi produkproduk imitasi tersebut. Selain itu, banyak perusahaan asing yang berdiri di daerah
sungai Yangtze dengan tujuan untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Jumlah
perusahaan yang baru berdiri digunakan sebagai salah satu pengukuran karena dengan
meningkatnya jumlah perusahaan baru, maka semakin banyak tenaga kerja bisa
terserap. Kebijakan pemerintah diikutsertakan sebagai variabel pengukuran kerena
kebijakan pemerintah sangat berperan dalam penciptaan situasi yang mendukung
kegiatan kewirausahaan. Dalam hasil penelitiannya yang dituangkan dalam jurnal
ilmiah yang diterbitkannya, Zhang Jiawei mengatakan beberapa hal, yaitu:
a. Kebanyakan dampak dari inovasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi disadari melalui kewirausahaan
b. Kewirausahaan secara efektif sebagai perantara hubungan antara inovasi dan
pertumbuhan ekonomi regional. Atau dengan kata lain, tingkat pengembalian
investasi pada inovasi yang dilakukan lebih besar bagi daerah yang dapat
memberikan dukungan besar kepada kegiatan kewirausahaan
c. Kewirausahaan adalah proses yang dapat menghasilkan melalui inovasi yang
nantinya mempengaruhi ekonomi regional. Dengan kata lain, seluruh, atau sebagian
dari dampak inovasi pada suatu perekonomian daerah adalah secara tidak langsung
disadari melalui kewirausahaan
d. Di daerah muara sungai Yangtze, kewirausahaan adalah penggerak dari
pertumbuhan ekonomi regional
Penelitian yang dilakukan Charlie Karlsson, Christian Friis dan Thomas
Paulsson (2004) dari The Royal Institute of Technology mencoba menghubungkan
kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang mereka lakukan adalah
penelitian berdasarkan studi empiris dan menghubungkan teori antar kewirausahaan,
atau aktivitas kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi. Diantara teori-teori yang
mereka gunakan adalah, teori pertumbuhan ekonomi oleh Schumpeter, teori ekonomi
neo klasik, teori ekonomi industri, dan teori-teori lainnya.
Berdasarkan beberapa teori pendukung, misalnya teori yang diungkapkan
Wennekers and Thurik (1999), kemudian model yang diciptakan oleh Weitzman (1998)
32 M.L. Jhingan; The Economics of Development and Planning, alih bahasa: D. Guritno,
Grafindo Persada, 2004.
17
dan dikembangkan oleh Ollson and Frey (2002) maka dalam penelitiannya Karlsson dan
Friis menggunakan 3 (tiga) variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi hubungan
antara kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi, yaitu:
a. Kompetisi
b. Inovasi
c. Permulaan usaha baru
Karlsson dan Friis menggunakan ketiga variabel ini untuk melihat hubungan
kewirausahaan dalam pertumbuhan ekonomi. Mereka menyimpulkan bahwa ada jarak
antara keberadaan teori terhadap hubungan antara kewirausahaan dengan pertumbuhan
ekonomi melalui kegiatan kewirausahaan (dengan kata lain, terdapat hubungan yang
negative antara kegiatan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi) ; inovasi,
perilaku kompetitif dan permulaan perusahaan baru, dan mereka tidak bisa menemukan
sistematisasi yang lebih baik dalam mengidentifikasikan hubungan kewirausahaan
dengan pertumbuhan ekonomi. Menurut Karlsson dan Friis, pengukuran kompetisi sulit
untuk dilakukan. Nickell (1996) menyarankan menggunakan kenaikan jumlah
perusahaan dalam sebuah industri dan tingkat dari laba sebagai alat pengukuran
kompetisi. Mengenai peningkatan jumlah perusahaan dalam sebuah industri, maka
gambarannya mungkin tidak akan lengkap tanpa beberapa informasi tambahan
mengenai distribusi dari ukuran perusahaan. Rendah atau berkurangnya tingkat laba
tentu saja sebagai tanda dari peningkatan kompetisi, tetapi hal itu juga bisa merupakan
karakteristik industri yang sedang sekarat, tahap akhir dari siklus penciptaan kerusakan
(creative destruction – Schumpeter theory).
Penelitian yang dilakukan oleh Kreft dan Sobe untuk melihat bagaimana
pengaruh dan hubungan kebijakan publik, kewirausahaan, pertumbuhan eknomi. Yang
menjadi kutipan penulis adalah analisa Kreft dan Sobe atas hubungan kegiatan
kewirusahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk melihat hubungan kegiatan
kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi Kreft dan Sobe menggunakan dua
variabel pengukuran, yaitu;
c. Kepemilikan usaha pribadi, yang dalam banyak literatur sebagai tolok ukur yang
baik untuk menilai tingkat kewirausahaan. Kreft dan Sobe menggunakan formulir
pajak federal yang diisi oleh individu
d. Aktivitas patent. Hal ini untuk mengukur aktivitas patent yang disahkan setiap
tahunnya. Logika dibalik pengukuran aktivitas patent untuk mengukur tingkat
kewirausahaan adalah karena paten adalah hasil inovasi yang tampak yang
dilakukan oleh para wirausahawan.
Dimana formula regresi yang dibuat oleh Kreft dan Sobe adalah;
1) Untuk melihat hubungan sebab akibat antara variabel pengukuran aktivitas
kewirausahaan (Kepemilikan usaha pribadi dan aktivitas paten) dengan
pertumbuhan ekonomi
m
n
m 1
n 1
Yt , r   i   Yt m,i    n X t n,i  
t ,i
2) Untuk melihat hubungan sebab akibat hubungan antara pertumbuhan ekonomi
dengan variabel-variabel kewirausahaan (kepemilikan usaha pribadi dan aktivitas
paten)
v
w
v 1
w1
Xt , r   i    v X t v ,i    wYt  w,i  d t ,i
18
Dimana, i adalah korespondesi pengamatan, t,i
t,i adalah variabel dummy,
M, N, V dan W adalah jumlah dari masing-masing variabel.
Hasil penelitian mereka adalah, bahwa terdapat hubungan sebab akibat
(hubungan yang positif) antara kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi, secara
khusus kepemilikan usaha ditentukan sebagai penyebab pertumbuhan ekonomi, dan
tingkat kegiatan patent juga demikian adanya. Test yang mereka lakukan juga
menunjukkan bahwa untuk memastikan hubungan sebab akibat dari dua variabel
pengukuran yang digunakan mengungkapkan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara kepemilikan usaha dan kegiatan paten. Kemudian, hubungan sebab akibat
menunjukkan hubungan sebab akibat satu arah antara kewirausahaan dengan
pertumbuhan ekonomi.
Hasil dan Pembahasan
Perekonomian Indonesia pada tahun 2005 tumbuh sebesar 5,6 persen, lebih
tinggi dibandingkan tahun 2004 sebesar 5,05 persen. Dari sisi permintaan, kegiatan
ekonomi didukung oleh peningkatan pertumbuhan permintaan domestik yang diikuti
dengan penurunan impor yang tajam. Dari sisi sektoral, pertumbuhan disumbang oleh
sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan. Meskipun secara keseluruhan
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi pertumbuhan tersebut masih di
bawah perkiraan semula dan cenderung melambat setelah triwulan II – 2005 seiring
dengan meningkatnya tekanan terhadap kestabilan makroekonomi. Tingginya harga
minyak dunia dan berlanjutnya siklus pengetatan moneter global menimbulkan tekanan
yang kuat terhadap kondisi fiskal dan neraca pembayaran akibat pola ekspansi
perekonomian yang relatif masih rentan. Seiring dengan kondisi tersebut, tambahan
angkatan kerja baru tidak sepenuhnya mampu terserap sehingga tingkat pengangguran
meningkat dan distribusi pendapatan semakin timpang.
Untuk keseluruhan tahun, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2005
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, realisasi
pertumbuhan tersebut tercatat lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan Bank
Indonesia akibat dampak tekanan eksternal yang lebih berat. Dari sisi permintaan,
meningkatnya pertumbuhan ekonomi di 2005 tercermin pada pertumbuhan konsumsi
dan inverstasi yang cukup tinggi sementara impor mengalami perlambatan yang tajam.
Pada paro pertama 2005 investasi tetap tumbuh tinggi. Memasuki paro kedua, kenaikan
harga minyak dan pengetatan moneter dunia memberikan dampak pada pelemahan nilai
tukar yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan investasi. Pertumbuhan
konsumsi sercara umum relatif stabil, sementara pertumbuhan ekspor relatif tinggi di
paro pertama 2005. Di paro kedua 2005, ekspor tumbuh melambat seiring dengan
semakin lemahnya permintaan dunia dan menurunnya daya saing produk ekspor
Indonesia.
Secara sektoral, seluruh sektor mencatat pertumbuhan positif. Pertumbuhan
berbagai sektor ekonomi pada tahun 2005 sangat dipengaruhi oleh sensitivitas masingmasing sektor ekonomi terhadap depresiasi nilai tukar dan perlambatan permintaan
dunia. Tingkat sensitivitas tersebut dipengaruhi oleh struktur biaya dan ketergantungan
terhadap bahan baku impor serta orientasi pasar produknya. Di samping itu, beberapa
faktor yang sifatnya lebih spesifik, seperti faktor cuaca dan kebijakan yang terkait
dengan sektor tertentu juga memberikan dampak yang cukup besar. Beberapa sektor
yang tumbuh melambat umumnya merupakan sektor yang terkait langsung dengan
19
ekspor serta relatif sensitif terhadap perubahan harga BBM dan nilai tukar seperti sektor
industri pengolahan dan pertanian. Sementara itu, berbagai sektor yang lebih
berorientasi pada pasar domestik seperti sektor transportasi dan komunikasi ; sektor
perdagangan, hotel dan restoran ; sektor listrik, gas dan air minum mencatat
pertumbuhan yang relatif tinggi.
Dari sisi kebijakan, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk
mengurangi dampak buruk gejolak eksternal sekaligus mendorong perkembangan di
sektor riil. Pada paro pertama 2005, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan
untuk mendukung sektro riil diantaranya adalah kebijakan harmonisasi tarif, insentif
kepada kontraktor lapangan minyak marjinal, menghapus Perda yang tumpang tindih,
dan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Pada paro kedua 2005, Pemerintah
semakin intensif mengeluarkan kebijakan untuk mendukung perekonomian agar
berkembang sesuai dengan kondisi terkini. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah tersebut adalah Paket kebijakan 1 Oktober 2005, yang dikeluarkan dengan
tujuan mengurangi dan meringankan dampak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober
melalui pemberian insentif kepada kaum miskin, petani, pekerja, konsumen, kelompok
industri, perdagangan, dan UMKM. Untuk kelompok miskin diberikan tambahan
program kompensasi berupa subsidi langsung tunai (SLT). Terhadap petani diberikan
insentif peningkatan harga pemebelian pemerintah sebesar 30%. Di samping itu, insentif
kebijakan juga diberikan dalam bentuk pemangkasan ekonomi biaya tinggi, deregulasi,
pengurangan pajak dan bea masuk.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 secara umum belum
sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan. Tingkat pengagguran tercatat masih
cukup tinggi sejalan dengan rendahnya daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap
tambahan angkatan kerja. Ketersediaan lapangan kerja yang lebih kecil dari jumlah
pencari kerja ditengarai disebabkan oleh melemahnya berbagai sektor ekonomi yang
padat karya seperti sektor pertanian, bangunan dan industri pengolahan. Kondisi
ketenagakerjaan yang memburuk ini juga tercermin pada peningkatan jumlah
pengagguran terbuka yang meningkat. Pada gilirannya, memburuknya ketenagakerjaan
ini mengakibatkan jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi yang diikuti oleh
ketimpangan distribusi pendapatan yang meningkat.
Kinerja perekonomian dari sisi permintaan mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi pada paro pertama 2005, namun seiring dengan meningkatnya tekanan eksternal
pada paro kedua pertumbuhan ekonomi mulai mengalami perlambatan. Permintaan
domestik masih memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan secara cukup
signifikan, sementara sumbangan ekspor cenderung menurun. Pada saat yang
bersamaan impor mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam.
Konsumsi total pada tahun 2005 tumbuh lebih rendah dibanding tahun
sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan konsumsi total terutama disebabkan oleh
perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta, sementara itu, konsumsi pemerintah yang
meningkat pada tahun 2005 terutama terjadi pada belanja lainnya, dana alokasi umum
(DAU) dan dana bagi hasil (DBH), serta belanja pegawai.
Konsumsi swasta tumbuh 3,9 persen pada tahun laporan, lebih rendah dibanding
tahun 2004 sebesar 4,97 persen. Melambatnya pertumbuhan konsumsi swasta ini terkait
dengan pendapatan riil masyarakat yang menurun. Di samping itu penurunan
pertumbuhan konsumsi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat terhadap kondisi
perekonomian yang memburuk seiring dengan kenaikan harga BBM pada bulan Maret
dan Oktober 2005 serta depresiasi nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga kredit
20
konsumsi. Sementara itu, stimulus fiskal yang diharapkan dapat mengimbangi turunnya
daya beli rumah tangga tumbuh relatif terbatas. Ekspansi fiskal terutama baru dilakukan
pada triwulan III dan IV 2005, antara lain berupa penyaluran subsidi langsung tunai
(SLT) dan beras miskin.
Perlambatan pertumbuhan konsumsi terutama terjadi pada konsumsi bukan
makanan yang bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan. Konsumsi bukan
makanan tumbuh sebesar 5,42 persen, lebih rendah dibanding tahun 2004 sebesar 8,27
persen seperti tercermin pada turunnya pembelian kendaraan penumpang dan sepeda
motor, barang elektronik, dan pakaian. Pembelian kendaraan penumpang pada tahun
2005 tumbuh sebesar 15,3 persen, turun jauh dibandingkan tahun sebelunya tercatat
sebesar 46,8 persen. Pada periode waktu yang sama, pembelian sepeda motor yang
semula tumbuh sebesar 40,1 persen juga turun menjadi sebesar 30,8 persen. Pembelian
barang elektronik berupa televisi dan mesin cuci bahkan terkontraksi yaitu masingmasing tumbuh sebesar -11,46 persen dan -10,47 persen. Perlambatan pertumbuhan
konsumsi swasta juga dipengaruhi oleh penurunan tingkat keyakinan konsumen. Hasil
survei konsumen BI dan survei tendensi konsumen (ITK) BPS menunjukkan tingkat
keyakinan konsumen tahun 2005 sebesar 93,7 persen, turun dibandingkan tahun 2004
sebesar 97,9 persen. Penurunan keyakinan konsumen dipengaruhi oleh turunnya
keyakinan konsumen atas kemampuan daya beli dan pendapatannya. Sementara itu, ITK
rata-rata pada periode waktu yang sama turun lebih besar, yaitu dari 113,6 pada tahun
2004 menjadi 96,0. Indeks penjualan ecerean survei penjualan eceran BI juga
menunjukkan trend menurun, terutama memasuki triwulan IV 2005.
Dari sisi pembiayaan, perlambatan pertumbuhan konsumsi tercermin dari
menurunnya pertumbuhan kredit konsumsi dan pembiayaan nonbank. Kredit konsumsi
maupun pembiayaan nonbank tumbuh melambat seiring dengan meningkatnya suku
bunga akibat pengetatan kondisi moneter. Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2005
meningkat sebesar 36,8 persen, turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 38,1
persen. Pembiayaan konsumen juga tumbuh melambat dari 44,9 persen menjadi 21,6
persen pada tahun 2005.
Sementara itu, konsumsi pemerintah pada tahun 2005 tumbuh lebih ekspansif
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 3,99 persen menjadi 8,06 persen.
Secara keseluruhan, ekspansi pengeluaran pemerintah didominasi oleh pengeluaran
konsumsi dan transfer. Ekspansi konsumsi pemerintah terutama baru terlihat pada
semester II tahun 2005 karena adanya kendala teknis administratif yang terkait dengan
implementasi sistem anggaran yang baru. Kenaikan konsumsi pemerintah pada tahun
2005 terutama bersumber dari kenaikan belanja lainnya, belanja untuk DAU dan DBH
serta kenaikan belanja pegawai khususnya dengan pembayaran gaji ke 13.
Investasi pada tahun 2005 tumbuh sebesar 17,13 persen, naik dari tahun
sebelumnya sebesar (14,68) persen. Kenaikan tersebut terutama terjadi pada
pertumbuhan investasi non bangunan, meski dengan kenaikan yang terus menurun sejak
awal tahun 2005 dengan akselerasi penurunan yang meningkat pada triwulan III dan IV,
sementara pertumbuhan investasi bangunan relatif konstan pada level yang relatif
rendah. Perlambatan pertumbuhan pada komponen investasi non bangunan tercermin
pada perlambatan pengadaan mesin dan perlengkepannya, dan perlambatan
pertumbuhan pengadaan truk dan alat berat. Pertumbuhan penjualan truk menurun dari
33.0 persen pada tahun 2004 menjadi -0,9 persen pada tahun 2005.
Secara fundamental perlambatan pertumbuhan investasi dipengarui oleh tekanan
yang berasal dari eksternal maupun internal. Kenaikan harga minyak dan berlanjutnya
21
siklus pengetatan moneter dunia berdampak pada kenaikan biaya produksi dan
investasi. Iklim investasi yang belum kondusif, antara lain belum tuntasnya beberapa
produk hukum dan minimnya infrastruktur turut menyumbang terhadap perlambatan
pertumbuhan investasi. Persepsi pelaku usaha terhadap kecenderungan melemahnya
konsumsi juga berpengaruh pada perlambatan kegiatan investasi sektor swasta. Selain
itu, pengeluaran pemerintah yang diharapkan dapat menjadi salah satu stimulus
pertumbuhan invesatsi terkendala oleh pelaksanaan format baru APBN dan
keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran.
Sementara itu, pertumbuhan investasi bangunan yang pada tahun 2005
diharapakan dapat tumbuh tinggi ternyata tumbuh sedikit melambat. Investasi bangunan
tumbuh sebesar 7,49 persen pada tahun 2004, turun menjadi sebesar 6,17 persen pada
tahun 2005. Rendahnya realisasi investasi bangunan tersebut selain disebabkan oleh
memburuknya iklim usaha, juga dipengaruhi oleh meningkatnya ongkos produksi dan
rendahnya realisasi proyek infrastruktur. Berkaitan dengan proyek infrastuktur, dari 91
proyek infrastruktur yang ditawarkan oleh pemerintah senilai US$ 22,5 miliar, hanya 5
proyek yang telah memasuki tahap konstruksi. Sementara itu, sebanyak 28 proyek
masih dalam tahap persiapan tender dan 15 proyek sudah ditetapkan pelaksanaannya.
Beberapa hal yang mempengaruhi rendahnya realisasi proyek infrastruktur antara lain
adalah kurangnya payung hukum, beberapa diantaranya baru selesai pada akhir tahun
2005. Perlambatan pertumbuhan invesatsi bangunan dikonfirmasi oleh perlambatan
pertumbuhan penjualan semen dari 9,1 persen menjadi 4,7 persen.
Di samping kenaikan biaya produksi dan meningkatnya suku bunga kredit,
perlambatan pertumbuhan investasi tidak terlepas dari memburuknya persepsi pelaku
bisnis yang tercermin dari hasil berbagai survei. Survei tendensi bisnis BPS dan survei
binis sentimen JETRO menunjukkan Indeks Tendensi Bisnis (ITB) BPS dan diffusion
index JETRO turun dibandingkan dengan indeks pada tahun 2004. Hasil survei JETRO
menunjukkan bahwa kelompok industri I (oil, chemical, stell, dan metal), kelompok
industri III (transporation and machinery) dan kelompok industri IV (other
manufacturing business) mencatat penurunan sentimen yang cukup tinggi. Sementara
itu, pada kelompok industri II (electronic) sentimen pelaku bisnis membaik.
Dari sisi pembiayaan, pertumbuhan investasi yang kecil ini disebabkan
perlambatan pertumbuhan pembiayaan investasi baik yang berasal dari perbankan
maupun non bank. Kredit konsumsi maupun pembiayaan nonbank tumbuh melambat
seiring dengan meningkatnya suku bunga akibat pengetatan kondisi moneter. Realisasi
kredit konsumsi pada tahun 2005 meningkat sebesar 36,8 persen, turun dibanding tahun
sebelumnya sebesar 38,1 persen. Pembiayaan konsumen juga tumbuh melambat dari
44,9 persen menjadi 21,6 persen pada tahun 2005.
Namun demikian, melambatnya pertumbuhan kredit investasi perbankan dan
sumber pembiayaan pasar modal tidak terefleksi pada kondisi kesenjangan tabunganinvestasi (saving-investment gap). Nisbah surplus kesenjangan tabungan-investasi
terhadap PDB menurun dari 1,2 persen menjadi 0,8 persen. Penurunan surplus
kesenjangan tabungan-investasi ini berasal dari penurunan surplus kesenjangan
tabungan – investasi pada sektor swasta, sementara sektor pemerintah mengalami
penurunan defisit. Kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi pembiayaan investasi
dari swasta masih belum sepenuhnya digunakan.
Dengan melambatnya pertumbuhan investasi, kapasitas perekonomian
diperkirakan relatif belum mengalami peningkatan signifikan. Sementara itu, kondisi
pertumbuhan stok kapital juga masih relatif lambat, yaitu sebesar 0 – 0,5 persen,
22
sehingga membatasi upaya peningkatan produksi. Dengan kondisi tersebut, kemampuan
sisi penawaran dalam merespon perkembangan sisi penawaran dalam merespon
perkembangan sisi permintaan menjadi terbatas. Sejalan dengan itu, kesenjangan
keluaran dalam perekonomian nasional menunjukkan arah yang semakin menyempit,
meskipun masih sangat negatif. Kecenderungan gap keluaran yang menyempit ini
didukung oleh angka pertumbuhan sediaan kapital yang lebih lambat, sementara rasio
investasi terhadap PDB hanya sedikit meningkat.
Meskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas
potensialnya, efisiensi peningkatan teknologi dan perbaikan kualitas SDM. Angka
Incremental Capital Output Ratio (ICOR)/angka rasio antara tambahan modal terhadap
tambahan output atau besarnya investasi yang dibutuhkan untuk satu unit output
mengalami penurunan. ICOR pada tahun 2005 tercatat sebesar 4,2 persen lebih rendah
dari angka pada tahun 2004 sebesar 4,5 persen. Penurunan ICOR tersebut
mencerminkan perbaikan efisiensi perekonomian antara lain terkait dengan
meningkatnya penanaman modal di sektor-sektor yang padat teknologi dan
membutuhkan tenaga terampil. Untuk PMA berdasarkan realisasi izin usah tetap (IUT)
yang diekeluarkan BKPM, sektor yang diminati investor antara lain sektor transportasi,
gudang dan komunikasi, industri kimia dan farmasi, industri logam, mesin dan
elektronik. Peningkatan tenaga kerja terampil antara lain tercermin dari meningkatnya
jumlah tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas. Sementara itu,
peningkatan produktivitas tenaga kerja yang tinggi juga terjadi pada sektor-sektor yang
padat modal dan teknologi.
Di sisi eksternal, ekspor barang dan jasa pada tahun 2005 tumbuh 8,6 persen,
turun dibanding tahun 2004 sebesar 13,5 persen. Perlambatan tersebut terkait dengan
kondisi pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan permasalahan lemahnya daya
saing. Pada komoditi nonmigas, perlambatan pertumbuhan terjadi pada kelompok
barang mineral dan eklompok barang pertanian. Penurunan pada kelompok barang
mineral antara lain terjadi pada komoditi nikel dan batubara, yang terutama disebabkan
oleh menurunnya permintaan dunia terhadap kedua komoditi tersebut, dan khusus untuk
batu bara juga dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dalam negeri. Pada
kelompok barang pertanian, penurunan volume ekspor antara lain terjadi pada produk
perkayuan. Volume ekspor pada kelompok barang manufaktur meningkat antara lain
dipengaruhi oleh depresiasi rupiah dan masih cukup tingginya permintaan pada
beberapa komoditi seperti produk-produk karet, minyak kelapa sawit, dan produk
elektronik. Sementara itu, pada komoditi migas, volume ekspor minyak yang baru dan
berkurangnya produktifitas sumur-sumur yang sudah ada.
Selain kecenderungan melemahnya permintaan dan daya saing, melambatnya
pertumbuhan ekspor juga terkait dengan pelaksanaan ekspor yang kurang efisien. Survei
World Bank menunjukkan bahwa aktifitas ekspor Indonesia masih kurang kompetitif
dibandingkan dengan negara-negara kompetitor utama. Kelemahan tersebut antara lain
berupa tingginya jumlah waktu untuk ekspor barang (25 hari), banyaknya dokumen
ekspor yang harus dipenuhi (7 dokumen). Pada saat ini upaya-upaya pembenahan secara
bertahap sudah mulai dilaksanakan, diantaranya pengurangan jumlah jembatan timbang
dan perbaikan infrasturktur yang dapat mendukung kelancaran pengiriman barang.
Pada tahun 2005, pertumbuhan impor barang dan jasa melambat cukup
signifikan dari 27,07 persen pada tahun 2004 menjadi 12,35 persen. Perlambatan
pertumbuhan impor tersebut dipengaruhi oleh permintaan domestik, khususnya
investasi yang juga tumbuh melambat. Dilihat dari kelompok barang, perlambatan
23
pertumbuhan terutama terjadi pada impor bahan baku dan bahan setengah jadi, serta
impor barang modal untuk peralatan transport industri. Komoditas impor barang modal
dan barang setengah jadi yang tumbuh melambat antara lain adalah bahan mentah yang
sudah diporses untuk indsutri; suku cadang dan asesori untuk barang modal; suku
cadang dan asesori untuk perlengkapan transport; dan makanan dan minuman primer
untuk industri. Secara sektoral, perlambatan tersebut terkait erat dengan perlambatan
pertumbuhan beberapa sub-sektor industri pengolahan yang memiliki kandungan impor
cukup tinggi, seperti industri mesin dan peralatan; industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya; industri teksti, kulit dan alas kaki; serta industri kertas dan barang
cetakan.
Di sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi mencatat pertumbuhan positif.
Sumbangan terbesar yang menopang pertumbuhan tersebut berasal dari sektor
perdagangan, sektor industri pengolahan, sektor pengakutan dan komunikasi. Meskipun
demikian, perlu dicermati bahwa pertumbuhan pada sektor industri pengolahan dan
pertanian – sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber
penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan backward dan forward
lingkage yang tinggi – mengalami perlambatan.
Sektor Industri Pengolahan tumbuh 4,63 persen, lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya 6,2 persen. Perlambatan pertumbuhan di sektor industri pengolahan
terjadi pada hampir semua subsektor, kecuali pada subsektor industri makanan,
minuman, dan tembakau. Perlambatan tersebut dipicu oleh kenaikan harga BBM,
depresiasi niali tukar, terbatasnya pembiayaan usaha, iklim usaha, dan penurunan
pedapatan riil masyarakat. Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut mendorong
dunia usaha untuk melakukan berbagai penyesuaian diantaranya menurunkan volume
marjin keuntungan, serta meningkatkan efisiensi usaha. Perlambatan pertumbuhan
sektor industri pengolahan tercermin pada hasil survei produksi yang menunjukkan
penurunan indeks produksi sejak pertengahan 2005.
Kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatannya pada tahun 2005 tumbuh
12,4 persen, melambat dari tahun sebelumnya yang tumbuh 17,7 persen. Perlambatan
pertumbuhan pada kelompok industri ini terutama didorong oleh depresiasi rupiah
terkait dengan besarnya kandungan impor dan penurunan daya beli masyarakat.
Produksi mobil dan motor mengalami perlambatan pertumbuhan yang akselerasinya
meningkat pada triwulan IV 2005 terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga
nominal kredit. Sementara itu, untuk industri elektronika, kendala yang dihadapi juga
terkait dengan maraknya penyelundupan dan pengenaan bea masuk komponen produk
rata-rata sebesar 20 persen yang menyebabkan kurang kompetitifnya produk domestik
dibandingkan produk impor asal negara ASEAN yang hanya dikenakan tarif bea masuk
sebesar 0 – 5 persen.
Kelompok industri tekstil, barang dan kulit dan alas kaki pada tahun 2005
tumbuh sebesar 1,28 persen, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar
4,06 persen. Faktor utama yang mempengaruhi perlambatan pertumbuhan subkelompok
industri tekstil dan alas kaki selain permasalahan umum yang dihadapi industri
pengolahan di atas adalah maraknya produk sejenis berharga murah dari Cina di pasar
domestik. Namun demikian, kinerja perusahaan tekstil dan alas kaki yang berorientasi
ekspor masih didukung oleh kondusifnya pasar ekspor.
Sementara itu beberapa kelompok industri yang mencatat peningkatan
pertumbuhan pada tahun 2005 adalah industri makanan, minuman dan tembakau.
Meningkatnya kinerja subsektor industri makanan, minuman dan tembakau terkait
24
dengan karakteristik permintaan produk makanan yang cenderung kurang elastis
terhadap perubahan pendapatan. Peningkatan subsektor ini didukung pula oleh hasil
survei penjualan ecerean yang menunjukkan peningkatan.
Sektor perdagangan, Hotel dan resotran tumbuh 8,59 persen, naik dibandingkan
dengan tahun sebelumnya 5,69 persen. Pertumbuhan yang tinggi tersebut terutama
dipengaruhi oleh pertumbuhan pada sub sektor perdagangan yang memiliki kontribusi
terbesar pada sektor ini. Subsektor perdagangan tumbuh sebesar 9,15 persen, naik dari
tahun 2004 sebesar 5,5 persen. Omset penjualan Asosiasi Penjualan Retail Indonesia
pada tahun 2005 diperkirakan mencapai Rp 41 triliun, naik dari tahun sebelumnya
sebesar Rp 35 triliun. Pesatnya pertumbuhan sub sektor perdagangan tercermin dari
meningkatnya jumlah pasar modern, baik hypermarket, supermarket, maupun pusat
perdagangan modern yang lain. Selain itu, pertumbuhan di sektor perdagangan juga
didukung oleh peningkatan kegiatan usaha UMKM sektor perdagangan, yang antara
lain tercermin pada peningkatan pertumbuhan pembiayaan kredit UMKM perbankan
dari 27,4 persen pada tahun 2004 menjadi 30,2 persen pada tahun 2005.
Sementara itu, di subsektor hotel dan restoran mengalami perlambatan
pertumbuhan, dari 7,93 persen menjadi 6,69 persen. Perlambatan tersebut antara lain
dipengaruhi oleh turununya jumlah kunjungan wisatawan. Penurunan yang cukup
signifikan terjadi pada daerah wisata Bali dan Batam, terutama pasca terjadinya
peristiwa bom bali di awal Oktober 2005. Sementara itu, dilihat dari rata-rata lama
tinggal dan tingkat hunian hotel, perkembangan di 2005 tidak menunjukkan perubahaan
yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan
pertumbuhan di sub sektor hotel, sub sektor restoran juga mengalami pertumbuhan yang
melambat.
Sektor pertanian mencatat pertumbuhan sebesar 2,49 persen, lebih rendah dari
tahun sebelumnya sebesar 3,26 persen. Perlambatan tersebut terjadi pada semua
subsektor kecuali subsektor perkebunan. Kelompok tanaman pangan tumbuh lebih
rendah dibandingkan tahun 2004 yang disebabkan oleh berkurangnya luas area panen
padi dari 11.922.974 Ha menjadi 11.800.000 Ha. Turunnya luas areal panen tersebut
antara lain dipengaruhi oleh kurangnya insentif bagi petani padi akibat tingginya biaya
produksi yang tidak diikuti oleh peningkatan harga jual yang sepadan. Sementara itu,
perlambatan pertumbuhan di subsektor peternakan dan subsektor perikanan disebabkan
oleh kenaikan biaya produksi akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga
BBM. Khusus sub sektor peternakan, wabah flu burung turut berpengaruh terhadap
kinerja subsektor ini. Gencarnya upaya Pemerintah dalam menindak pembalakan liar
menyebakan pertumbuhan di subsektor kehutanan.
Sektor Pertambangan mengalami pertumbuhan yang cukup mengesankan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dari -4,48 persen menjadi 1,59 persen.
Perbaikan pertumbuhan ditopang oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada subsektor
pertambangan tanpa migas (7,76 persen) dan susektor penggalian (7,32 persen) karena
adanya peningkatan permintaan. Sementara itu, untuk subsektor minyak dan gas bumi
menunjukkan perbaikan walaupun masih tumbuh negatif. Perbaikan tersebut
dipengaruhi oleh upaya-upaya insentif yang dilakukan oleh instasi yang berwenang
sehingga kapasitas produksi tetap tinggi, walaupun dihadapkan pada kurangnya
ekplorasi sumur minyak dan turunnya produktivitas sumur-sumur yang sudah tua.
Sektor transportasi dan komunkiasi pada tahun laporan masih mencatat
pertumbuhan yang cukup tinggi (12,97 persen), namun sedikit melambat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (13,38 persent). Pertumbuhan yang masih cukup tinggi
25
tersebut terutama berasal dari pertumbuhan yang tinggi pada sub sektor telekomunikasi.
Jumlah pelanggan telepon baik seluler maupun fixed line yang meningkat di atas 30
persen mengkorfimasi kinerja subsektor ini. Sebaliknya, subsektor transportasi sangat
terpengaruh oleh kenaikan harga BBM, sehingga pada tahun laporan mengalami
pertumbuhan yang melambat, yaitu hanya tumbuh 6,32 persen dibanding 8,76 persen
pada tahun 2004. Perlambatan yang cukup signifikan terutama terjadi pada komponen
angkutan udara yang tercermin dari jumlah penumpang domestik yang cenderung
menurun pada tahun 2005.
Pada tahun 2005 sektor bangunan tumbuh melambat (7,34 persen), lebih rendah
dari tahun 2004 (7,49 persen). Perlambatan tersebut tercermin dari menurunnya
pertumbuhan penjualan semen, melambatnya pertumbuhan kredit properti komersial,
dan rendahnya realisasi proyek Pemerintah yang terkendala oleh masalah administrasi.
Sebaliknya, di sektor swasta berbagai proyek properti komersial masih mencatat
pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti apartemen dan pusat perbelanjaan.
Sektor Listrik, Gas dan Air Minum mencatat peningkatan pertumbuhan yang
cukup tinggi, dari 5,2 persen pada tahun 2004 menjadi 6,5 persen pada tahun 2005.
Peningkatan pertumbuhan pada sektor ini antara lain tercermin dari konsumsi listrik
yang masih meningkat seiring dengan kegiatan ekonomi yang secara umum masih
cukup baik. Dari sisi pasokan, adanya tambahan pasokan listrik baru 443 MW yang
berasal dari 11 unit pembagkit listrik baru dipastikan memberikan kontribusi yang
cukup besar pada pertumbuhan sektor ini.
Kinerja perekonomian Indonesia juga tercermin dalam perspektif ekonomi
regional. Secara keseluruhan pertumbuhan disetiap zona ekonomi mengindikasikan
perlambatan walaupun masih lebih baik dari kinerja tahun 2004. Zona Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua mencatat pertumbuhan PDB tertinggi dibandingkan zona
lainnya. Sementara itu zona Sumatera mengalami peningkata inflasi yang lebih tinggi
dibandingkan zona lainnya.
Kondisi makroekonomi Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan perkembangan
yang semakin mantap, di tengah munculnya risiko dan tantangan yang cukup berat baik
dari dalam maupun luar negeri. Dengan didukung oleh kebijakan makroekonomi yang
cukup akomodatif dan ditopang oleh ekspektasi positif pelaku ekonomi yang semakin
kuat, perekonomian Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,1 persen. Pertumbuhan tersebut
diikuti oleh sumber pendorong pertumbuhan yang lebih berimbang, dengan kontribusi
investasi dan ekspor yang semakin besar. Kenaikan sisi permintaan tersebut
memperoleh respons positif dari dunia usaha sebagaimana tercermin pada peningkatan
laju pertumbuhan pada sejumlah sektor ekonomi. Seiring dengan peningkatan
pertumbuhan tersebut, pendapatan per kapita masyarakat mengalami kenaikan dan
tingkat kemiskinan mengalmi penurunan. Namun demikian, tingkat pengangguran
relatif tetap karena peningkatan kegiatan ekonomi masih belum dapat sepenuhnya
menyerap pertambahan angkatan kerja.
Pertumbuhan ekonomi pada 2004 menunjukkan peningkatan dibandingkan
tahun 2003, bahkan lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh sejumlah kalangan.
Meskipun perekonomian masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang
bersumber dari sisi internasional dan domestik, dalam perjalanannya perekonomian
berkembang menuju kondisi yang lebih baik. Dari sisi luar negeri, melonjaknya harga
minyak dan kecenderungan suku bunga global yang mulai meningkat merupakan
tantangan yang tidak saja mempengaruhi kinerja sektor eksternal, tetapi juga
mengganggu stabilitas kurs rupiah yang selanjutnya mempengaruhi inflasi. Dari sisi
26
dalam negeri, upaya mendorong kegiatan investasi mengalami kendala khususnya sisi
pembiayaan yang selama ini dirasakan belum optimal, iklim investasi yang belum
kondusif, serta masih rendahnya daya saing.
Dalam mengatasi berbagai tantangan terutama yang terkait dengan permasalahan
pembiayaan dan iklim investasi, Pemerintahdan Bank Indonesia menempuh serangkaian
kebijakan. Dari sisi Pemerintah, berbagai kebijakan yang memprioritaskan pada upaya
mendorong investasi dan mengembangkan industri di dalam negeri terus dilakukan.
Sementara itu, Bank Indonesia terus mengupayakan terpeliharanya kestabilan
makroekonomi sehingga dapat memberikan dukungna bagi kegiatan ekonomi.
Dukungan pada aktivitas perekonomian tersebut mendorong peningkatan daya serap
dunia usaha terhadap pembiayaan perbankan sehingga memberi peluang bagi
peningkatan penyaluran kredit. Situasi ini pada gilirannya telah menghadirkan
ekspektasi positif pelaku ekonomi akan percepatan perbaikan ekonomi Indonesia.
Optimisme masyarakat, khususnya kalangan dunia usaha, juga disertai dengan
semangat untuk turut menyelesaikan permasalahan yang dihaapi oleh dunia usaha agar
dapat berperan secara optimal dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dari sisi
kebijakan, partisipasi kalangan dunia usaha tersebut antara lain diwujudkan dalam
penyusunan program revitalisasi Industri dan Investasi dan pengembangan industri,
seperti masalah kepastian hukum, infrastruktur, ketenagakerjaan, dan otonomi daerah.
Sinergi kebijakan yang ditempuh sepanjang 2004 dan kegairahan dunia usaha
yang meningkat telah menghasilkan kinerja perekonomian yang cukup
menggembirakan. Perekonomian Indonesia tumbuh dengan perbaikan pola ekspansi,
ditandai oleh peran investasi dan ekspor yang semakin menngkat, sementara kegiatan
impor barang dan jasa turut meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi
doimestik. Investasi, khususnya dalam bentuk nonbangunan, tumbuh tinggi. Meskipun
demkian, dengan tingkat investasi tersebut, nisbah investasi tehadap Produk Domestik
Bruto (PDB) belum beranjak dari angka rata – rata dalam lima tahun terakhir sekitar
20%, sehingga diperlukan upaya yang lebih keras untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi secara berkesinambungan. Di sisi produksi, hampir seluruh
sektor menunjukkan peningkatan pertumbuhan seiring dengan terjadinya kenaikan
permintaan. Kontribusi terbesar masih disumbang oleh sektor industri pengolahan,
sektor perdagangan, sektor pengangkutan. Kenaikan produksi tersebut juga didukung
oleh membaiknya kondisi perburuhan.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada 2004 telah memperbaiki taraf
kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan per kapita
dan penurunan jumlah penduduk miskin. Walaupun demikian, peningkatan
pertumbuhan tersebut masih belum dapat sepenuhnya menyerap tambahan angkatan
kerja sehingga tingkat pengangguran masih cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi pada
2004 diwarnai oleh semakin berimbangnya sumber pendorong pertumbuhan. Dengan
pertumbuhan yang sama dengan tahun lalu, peran konsumsi total, yang selama ini
dominan dalam mendorong pertumbuhan, mulai berkurang. Sementara itu, investasi dan
ekspor menunjukkan kontribusi dalam ekspansi perekonomian.
Konsumsi total pada tahun 2004 tumbuh stabil sebagaimana tahun 2003.
Kestabilan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi
pemerintah, sementara konsumsi swasta tumbuh lebih tinggi. Pada 2004, pertumbuhan
konsumsi swasta meningkat dari 3,9 persen pada 2003 menjadi 4,9 persen. Peningkatan
konsumsi tersebut sejalan dengan perkembangan beberapa indikator survei, di antaranya
Survei Punjualan Eceran dari Bank Indonesia yang menunjukkan peningkatan
27
pertumbuhan indeks penjualan eceran sepanjang 2004, yaitu dari rata-rata pertumbuhan
sebesar 6,9 persen pada tahun 2003 menjadi 8,4 persen. Selain itu, survei konsumen dari
Bank Indonesia menunjukkan membaiknya kondisi keyakinan konsumen sebagaimana
terlihat dari indeks keyakinan konsumen yang menguat bahkan telah mencapai tingkat
optimis pada penghujung 2004 setelah pada tahun lalu berada pada tingkat pesimis.
Secara fundamental, peningkatan konsumsi swasta didukung oleh kondisi
membaiknya tingkat pendapatan. Kenaikan pendapatan masyarakat tersebut antara lain
didorong oleh meningkatnya Upah Minimum Provinsi (UMP) dan memaiknya kinerja
perusahaan. UMP pada hampir seluruh provinsi mengalami peningkatan dalam kisaran
1,0 – 29,0 persen dari tahun lalu. Selain itu, membaiknya kinerja perusahaan yang
tercatat di Bursa Efek Jakarta, yang ditunjukkan oleh kenaikan laba perusahaan,
mengindikasikan peningkatan kemampuan perusahaan untuk memberikan kompensasi
bagi karyawannya. Dengan kondisi peningkatan pendapatan nominal yang cukup tinggi
yang disertai dengan laju inflasi yang tetap terkendali menyebabkan daya beli
masyarakat mengalami peningkatan. Kondisi kenaikan pendapatan tersebut sejalan
dengan hasil Survei Konsumen yang menunjukkan meningkatnya optimisme kenaikan
penghasilan selama 2004 dibandingkan tahun 2003.
Peningkatan konsumsi masyarakat juga didukung oleh ketersediaan sumber
pembiayaan, baik yang berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.
Sejalan dengan penurunan suku bunga di dalam negeri, kredit konsumsi sampai dengan
Desember 2004 rata-rata tumbuh sebesar 40 persen lebih tinggi dibandingkan 2003
sebesar 33,5 persen. Pembiayaan konsumsi dari lembaga keuangan lainnya, seperti
pembiayaan konsumen, tumbuh pesat mencapai rata-rata 61,3 persen pada 2004,
dibandingkan rata-rata pertumbuhan tahun lalu sebesar 32,8 persen.
Berdasarkan komponennya, pertumbuhan konsumsi swasta pada 2004 terutama
berkaitan dengan kenaikan pengeluaran untuk komoditi bukan makanan, khususnya
untuk pengeluaran biaya tempat tinggal, pembelian kendaraan bermotor, transportasi,
dan biaya pendidikan. Bertambahnya pengeluaran biaya tempat tinggal terkait dengan
masih meningkatnya harga properti residensial dengan harga sewa/jual apartemen.
Sementara itu, tingginya pengeluaran konsumsi untuk pembelian kendaraan bermotor
tercermin pada kenaikan penjualan kendaraan bermotor, khususnya mobil penumpang
dan sepeda motor, yang dalam tahun 2004 mengalami peningkatan pesat.
Konsumsi pemerintah pada 2004 mengalami perlambatan pertumbuhan, dari 10
persen pada 2003 menjadi 2,0 persen pada periode 2004. Hal ini sejalan dengan proses
konsolidasi fiskal pemerintah yang berupaya untuk mengurangi defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara bertahap. Masih tumbuhnya konsumsi
pemerintah tersebut terkait dengan pemberian gaji ke-13 untuk pegawai negeri,
peningkatan alokasi dana bagi hasil sejalan dengan naiknya harga minya mentah, serta
peningkatan belanja pemerintah untuk penyelenggaraan pemilu.
Investasi total (meliputi investasi swasta dan pemerintah) menunjukkan kinerja
yang tidak menggembirakan, setelah dalam beberapa tahun paska krisis mengalami
ketidakstabilan, hal ini ditandai dengan naik atau turunnya jumlah investasi yang masuk
dalam perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi yang mencapai puncaknya pada
tahun 1998.
Di sisi eksternal, pertumbuhan volume perdagangan dunia yang tinggi pada
tahun 2004 berpengaruh positif terhadap kinerja ekspor barang dan jasa. Secara riil,
ekspor barang dan jasa pada 2004 tumbuh 8,5 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan
8,2 persen pada tahun 2003. Peningkatan ekspor barang secara riil tersebut terjadi baik
28
pada produk migas maupun non migas. Kenaikan ekspor produk migas terutama
bersumber dari peningkatan volume ekspor gas alam serta produk olahan migas dalam
bentuk Liquified Natural Gas (LNG) dan Liquified Potreleum Gas (LPG). Sementara
itu, sumber utama kenaikan ekspor nonmigas adalah komoditi berbasis sumber daya
alam, baik dalam bentuk komoditi primer maupun komoditi olahan.
Peningkatan volume ekspor barang komoditi primer terutama terjadi pada
kelompok barang mineral, sementara kelompok barang pertanian mengalami penurunan.
Peningkatan ekspor barang mineral di antaranya disumbang oleh komoditi batu bara.
Perekonomian Cina yang tumbuh pesat telah mendorong meningkatnya kebutuhan akan
sumber energi negara tersebut pada akhrinya mendorong peningkatan permintaan akan
produk batubara. Sementara itu, penurunan ekspor pertanian terutama disebabkan oleh
kinerja komoditi udang dan kopi yang menurun berkaitan dengan beberapa masalah
yang dihadapai subsektor ini. Sementara itu, volume ekspor komoditi industri berbasis
sumber daya alam, seperti minyak kelapa sawit dan produk karet, menunjukkan
peningkatan. Volume ekspor minyak kelapa sawit yan gmeningkat didorong oleh masih
tingginya permintaan yang berasal dari Cina dan India. Selain itu, perkembangan
industri otomotif dunia yang menggembirakan menyebabkan permintaan komoditi karet
olahan untuk produksi ban mengalami peningkatan.
Seiring dengan peningkatan permintaan domestik, impor barang dan jasa riil
pada 2004 meningkat pesat dari 2,7 persen pada tahun 2003 menjadi 25 persen pada
tahun 2004. Peningkatan impor terutama ditujukan untuk meningkatkan penggunaan
kapasitas dan kapasitas terpasang perekonomian domestik. Kebutuhan produksi melalui
kenaikan penggunaan kapasitas tercermin pada perkembangan volume impor bahan
baku yang meningkat 10,3 persen. Sementara itu, kebutuhan untuk menaikkan kapasitas
terpasang tercermin pada peningkatan impor barang modal yang tumbuh 25,3 persen
pada tahun 2004. Sebaliknya, pada periode yang sama volume impor barang konsumsi
terutama komoditas makanan dan minuman olahan yang diperuntukkan sebagai
konsumsi rumah tangga mengalami penurunan.
Peningkatan impor bahan baku juga didudukung oleh kebijakan pemerintah
yang memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk mengimpor barang yang
terkait dengan kelancaran produksi. Khusus untuk produk baja, dalam rangka
mengalami kelangkaan bahan baku, Pemerintah membebaskan bea masuk hot rolled
coil, pelat baja, dan cold rolled coil.
Di sisi penawaran, kondisi permintaan yang semakin menguat pada 2004 telah
mendorong sektor-sektor penghasil barang dan jasa untuk meningkatkan produksi guna
memenuhi peningkatan kebutuhan. Sebagian besar sektor ekonomi mengalami
peningkatan laju pertumbuhan dibandingkan tahun lalu. Kenaikan kegiatan produksi
tersebut mendorong peningkatan penggunaan kapasitas terpasang. Survei Kegiatan
Dunia Usaha yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa tingkat
pemakaian kapasitas terpasang pada sektor pertanian dan sektor industri pengolahan
meningkat cukup tinggi selama 2004. Untuk beberapa industri, tingkat utilisasi
kapasitas diperkirakan mencapai 70 persen. Dengan kondisi tingkat penggunaan yang
mendekati kapasitas terpasang, upaya mendorong peningkatan kapasitas melalui
kegiatan investasi menjadi semakin penting.
Selama 2004, Sektor Industri Pengolahan mencatat laju pertumbuhan sebesar 6,2
persen lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yaitu 5,3 persen.
Perkembangan ini didorong oleh pertumbuhan pada subsektor industri non migas.
Tingginya permintaan dalam negeri dan luar negeri telah mendorong tingginya
29
pertumbuhan sektor industri, terutama untuk industri alat angkutan, industri semen,
serta industri kimia. Pada subsektor industri alat angkutan, industri otomotif mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat dengan peningkatan produksi mencapai 23 persen selam
periode Januar sampai dengan Desember 2004. Di subsektor industri semen, maraknya
pembangunan property dan infrastruktur telah mendorong tingginya pertumbuhan
industri tersebut. Sementara itu, pada periode yang sama industri migas mengalami
kontraksi sejalan dengan penurunan nilai tambah produksi pada industri gas alam cair.
Kondisi membaiknya kinerja sektor industri pengolahan masih dibayangi oleh
berbagai permasalahan. Di Industri tekstil dan produk tekstil (TPT), misalnya,
perkembangan dunia usaha masih dihadapkan pada permasalahan kondisi mesin yang
sudah usang dan maraknya impor komoditi pakaian jadi dengan harga murah yang
menyebabkan kurang terserapnya produk industri TPT di pasar domestik. Kendala
lainnya yang dihadapi oleh industri di dalam negeri adalah masalah ketersediaan bahan
baku, sebagaimana yang dialami oleh beberapa industri seperti industri baja, industri
rotan, dan industri pulp.
Berkenaan dengan berbagai kendala tersebut, pemerintah mengeluarkan
serangkaian kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Kebijakan-kebijakan untuk mengatasi kelangkaan bahan baku dan barang jadi antara
lain mencakup pembebasan bea masuk impor hot rolled coil dan cold rolled coil,
larangan ekspor rotan yang berasal dari hutan alam dalam bentuk asalan atau setengah
jadi, serta percepatan pembangunan hutan tanaman industri guna memenuhi bahan baku
industri pulp.
Sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang sedikit melambat
dibandingkan tahun 2003, dengan penyumbang utama pertumbuhan berasal dari
subsektor tanaman bahan pangan dan subsektor perikanan. Untuk subsektor tanaman
bahan pangan, perbaikan kinerja didukung oleh peningkatan luas areal tanam serta
kondisi iklim yang mendukung. Selain itu, adanya dukungan kebijakan pemerintah yang
menjamin ketersediaan pupuk dan melarang impor beras selama masa menjelang panen
sampai dengan dua bulan setelahnya telah memberi insentif bagi petani untuk
meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi terjadi pada sebagian besar tanaman
bahan pangan, di antaranya padi dan jagung yang mencatat peningkatan sebesar 4,3
persen serta kedelai yang tumbuh sebesar 8,8 persen dibandingkan 2003. Sementara itu,
subsektor perikanan mengalami perlambatan pertumbuhan, walaupun masih menjadi
penyumbang utama, sejalan dengan permasalahan produksi yang dihadapi oleh usaha
tambak udang, yang antara lain disebabkan oleh berjangkitnya virus di beberapa sentra
produksi udang.
Sektor bangunan menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu 6,7 persen
pada 2003 dan menjadi 8,2 persen. Membaiknya kinerja sektor ini terjadi sejalan dengan
maraknya pembangunan infrastruktur maupun proyek property selama 2004. Tingginya
pertumbuhan sektor bangunan ini juga turut didukung oleh tersedianya pembiayaan
perbankan serta berbagai kemudahan yang diberikan oleh pihak pengembang, seperti
uang muka yang rendah. Di samping itu, upaya Pemerintah yang akan memfasilitasi
pembiayaan di sektor ini dengan membentuk Secondary Mortage Facility (SMF) juga
memunculkan optimisme pertumbuhan di sektor ini, khususnya dari sisi pembiayaan.
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi mencatat pertumbuhan tertinggi
dibandingkan sektor-sektor lainnya. Di subsektor pengangkutan, pertumbuhan yang
tinggi terutama disumbang oleh pertumbuhan pada angkutan udara. Tingginya kegiatan
transportasi udara yang terjadi seiring dengan maraknya perang tarif oleh berbagai
30
maskapai penerbangan sebagai dampak dari kebijakan pada periode sebelumnya
merupakan penyumbang utama pertumbuhan subsektor pengangkutan. Perkembangan
serupa terjadi pada sarana angkutan darat, yang di antaranya dipengaruhi oleh
penambahan armada kereta api rute Jakarta – Surabaya sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, serta kebijakan pemerintah untuk mengimpor armada
bus dalam keadaan tidak baru. Sementara itu, di subsektor komunikasi peningkatan
kegiatan utama terutama didukung oleh pertumbuhan bisnis telepon seluler. Selama
2004, jumlah pelanggan telepon seluler diperkirakan mencapai 28 juta orang, meningkat
pesat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 18 juta orang.
Pertumbuhan sektor perdagangan, Hotel, dan Restoran terus menunjukkan
peningkatan sejalan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat. Selama 2004, sektor
ini tumbuh sebesar 5,8 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang
mencapai 5,3 persen. Meningkatnya kegiatan perdagangan ditunjukkan oleh
peningkatan pertumbuhan indeks penjualan ecerean dari hasil survei Bank Indonesia
dan penjualan kendaraan bermotor yang cenderung mengalami peningkatan. Selain itu,
pembukaan gerai baru – khususnya untuk perdagangan ritel – merupakan cerminan dari
besarnya kegiatan perdagangan. Di subsektor perhotelan dan restoran, membainya
kondisi pariwisata merupakan faktor pendorong bagi membaiknya kinerja subsektor ini.
Jumlah kunjungan wisatawan menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun lalu,
walaupun beberapa negara mengeluarkan travel warning serta aksi peledakan bom di
sekitar Kedutaan Besar Australia.
Sektor keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 7,7 persen
selama 2004, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,0
persen. Pertumbuhan selama 2004 terutama didukung oleh pertumbuhan pada subsektor
bank dan lembaga keuangan nonbank, serta subsektor sewa bangunan. Peningkatan
penyaluran kredit oleh perbankan maupun maraknya pembiayaan oleh lembaga
keuangan nonperbankan, terutama untuk pembelian kendaraan bermotor, telah
mendorong kenaikan nilai tambah subsektor ini. Sementara itu, permintaan ruang usaha
yang meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas perekonomian telah mendorong
pertumbuhan subsektor sewa bangunan selama 2004.
Perkembangan yang kurang menggembirakan terjadi di Sektor Pertambangan
yang selama 2004 mengalami kontraksi sebesar 4,6 persen, menurun dibandingkan
tahun lalu yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen. Penurunan produksi
pada komoditi minyak bumi telah mendorong memburuknya kinerja sektor ini pada
2004. Penurunan produksi minyak bumi pada lapangan yang beroperasi rata-rata
mencapai 6 persen per tahun, sehingga produksi minyak bumi pada 2004 mencapai 1,08
juta barrel/hari, menurun dari 1,14 juta barrel per hari pada 2003. Walaupun demikian,
produksi gas bumi selama 2004 mengalami peningkatan sekitar 8,8 BCD (Billion Cubic
Feet per day).
Perkembangan di sektor lainya, seperti Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih
mencatat laju pertumbuhan yang sama dengan tahun lalu. Pertumbuhan sektor ini
ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi listrik untuk memenuhi kebutuhan industri
maupun rumah tangga. Di subsektor air bersih, penyediaan air bersih dapat ditingkatkan
seiring dengan upaya pembenahan jaringan pipa yang berhasil menurunkan tingkat
kebocoran menjadi 45 persen dari sekitarnya 60 persen. Sementara itu, perkembangan
sektor jasa-jasa ditunjang oleh peningkatan nilai tambah sejalan dengan semakin
berkembanganya kegiatan usaha informal.
31
Perbaikan kinerja sektor-sektor ekonomi tersebut didukung pula oleh perbaikan
di sisi pemanfaatan faktor produksi. Produktivitas faktor produksi (Total Factor
Productivity/TFP) selama 2004 masih menunjukkan peningkatan dari tahun lalu. Hal ini
didukung oleh kenaikan produktivitas tenaga kerja, efisiensi modal, serta perbaikan
teknologi. Hasil survey World Economic Forum menunjukkan adanya perbaikan
peringkat indeks teknologi di antara 104 negara yang disurvei (termasuk negara maju),
yaitu dari peringkat 78 pada tahun sebelumnya menjadi peringkat 73 pada 2004.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun 1990-an sampai dengan tahun
1997 cukup menggembirakan. Berdasarkan sumber dari Biro Pusat Statistik Indonesia,
sampai tahun 1997 rata – rata pertumbuhan Ekonomi mencapai 7,38 persen per tahun
atau 2,4 triliun rupiah per tahun. Pada masa itu perekonomian Indonesia cukup disegani
di dunia, dan Indonesia mendapat julukan macan Asia. Tetapi pertumbuhan sebesar itu
berakhir ketika krisis ekonomi terbesar yang pernah melanda perekonomian Indonesia
yang diawali krisis pada tahun 1997.
Akibat krisis ekonomi yang diawali pada tahun 1997, perekonomian Indonesia
memburuk, bahkan pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Idonesia mencapai (13.13)
persen per tahun.
Setelah bergulirnya pergerakan reformasi baik di bidang politik maupun
ekonomi Indonesia, perekonomian Indonesia perlahan-lahan mengalami pertumbuhan.
Meski pada tahun 2000 nyaris tidak ada pertumbuhan, yaitu pertumbuhan sebesar 0.79
persen, atau hanya terjadi kenaikan PDB (Pendapatan Domestik Brutor) sebesar 2.9
triliun rupiah, tetapi keadaan itu berangsur-angsur membaik dan menjadikan rata – rata
pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krsisis – hingga tahun 2005 adalah sebesar 4.03
persen pertahun. Meski belum kembali seperti awal tahun 90-an tapi keadaan ini
memberikan suatu harapan baru bagi perekonomian Indonesia untuk pulih dan menjadi
lebih baik. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1
Pendapatan Domestik Bruto dan Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto
Pertumbuhan
Tahun Pendapatan Domestik Bruto
Milyar Rupiah
Persentase
1990
263,262.00
1991
286,765.00
23,503.00
8.93
1992
307,474.00
20,709.00
7.22
1993
329,776.00
22,302.00
7.25
1994
354,640.80
24,864.80
7.54
1995
383,792.00
29,151.20
8.22
1996
413,797.90
30,005.90
7.82
1997
433,245.90
19,448.00
4.70
1998
376,374.90
(56,871.00)
(13.13)
1999
379,352.50
2,977.60
0.79
2000
398,016.90
18,664.40
4.92
2001
411,691.00
13,674.10
3.44
2002
426,740.50
15,049.50
3.66
2003
447,138.70
20,398.20
4.78
2004
469,719.20
22,580.50
5.05
32
2005
496,023.48
26,304.28
5.60
Sumber: Hasil Olah data terhadap data PDB pada laporan Statistik Indonesia dari
tahun 1990 sampai dengan tahun 200533
Sektor Industri merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Sektor
ini sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia selama sepuluh
tahun terakhir. Sebagai gambaran, pada tahun 2005 peran sektor industri pengeolahan
diperkirakan mencapai lebih dari seperempat (28,06 persen) komponen pembentukan
PDB.
Di Indonesia, industri pengolahan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu
industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri kerajinan rumah tangga.
Pengelompokan ini didasarkan pada banyaknya pekerja yang terlibat di dalamnya, tanpa
memperhatikan penggunaan mesin produksi yang digunakan atau pun modal yang
ditanamkan.
Tabel 2 menyajikan banyaknya perusahaan industri besar/sedang, tenaga kerja
yang terlibat di dalamnya. Pada tahun 2004 jumlah perusahaan industri besar dan
sedang mencapai 20.865. Pada tahun 2004 tidak semua kelompok industri yang masih
mengalami penurunan jumlah perusahaan adalah industri kayu, barang dari kayu, dan
barang anyaman, kelompok industri kulit dan barang dari kulit, kelompok industri
barang – barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya, kelompok industri barang
galian bukan logam, dan kelompok industri alat angkutan selain kendaraan bermotor
roda empat atau lebih. Kelompok industri tersebut jumlahnya mengalami penurunan
masing-masing 39 perusahaan, 19 perusahaan, 16 perusahaan, dan 12 perusahaan.
Sementara untuk tahun 2005 diperkirakan jumlah perusahaan industri besar dan sedang
sedikit meningkat menjadi yaitu bertambah 107 perusahaan (0.51 persen) dari tahun
2004.
Peningkatan jumlah perusahaan pada tahun 2004 diikuti dengan meningkatnya
penyerapan tenaga kerja, namun pengeluaran untuk tenaga kerja mengalami penurunan
penambahan barang modal yang berarti. Pada tahun 2004 pekerja yang terlibat di
perusahaan industri besar dan sedang meningkat 1,19 persen yaitu menjadi 4.324.979
sedangkan pengeluaran untuk tenaga kerjanya menurun sekitar 14,07 persen lebih
sehingga menjadi 53 triliun rupiah lebih atau rata-rata sekitar 12,27 juta rupiah per
karyawan per tahun. Sedangkan pembentukan barang modal tetap menurun lebih dari 70
persen.
Peningkatan pengeluaran untuk pekerja industri Besar dan Sedang terbesar pada
tahun 2004 terjadi di sub sektor industri makanan dan minuman, yaitu secara netto
meningkat lebih dari 1.17 triliun rupiah. Sementara peningkatan pembentukan modal
tetap tertinggi terjadi pada industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, yaitu
meningkat lebih dari 3.8 triliun rupiah. Peningkatan pembentukan modal tetap tidak
terjadi di semua kelompok industri. Investasi modal tetap di sub sektor industri kertas
dan barang dari kertas, subsektor industri kulit dan barang dari kulit, subsektor industri
barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya menurun lebih dari
setengahnya.
Nilai produksi (output) pada industri besar dan sedang tahun 2004
memperlihatkan peningkatan lebih dari 17 persen, yaitu menjadi 985 triliun rupiah
lebih. Peningkatan ini juga meningkatkan biaya input lebih dari 22,4 persen.
33
Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1990 – 2005, Jakarta - Indonesia
33
Nilai produksi barang yang dihasilkan perusahaan industri besar dan sedang
menurut harga berlaku pada tahun 2004 meningkat lebih dari 17,57 persen menjadi
lebih dari 1.087.572 milyar rupiah. Hal ini diimbangi dengan peningkatan pemakaian
bahan baku sebesar 24,4 persen menjadi lebih dari 524 triliun rupiah.
Nilai produksi terbesar dihasilkan oleh sub sektor industri makanan dan
minuman, yaitu sekitar 18,06 persen dari total nilai produksi industri besar dan sedang
pada tahun 2004 dan diperkirakan pada tahun 2005 sekitar 19,69 persen. Nilai tambah
terbesar juga dihasilkan oleh sub sektor industri makanan dan minuman, yaitu sekitar 50
triliun rupiah pada tahun 2004 dan diperkirakan pada tahun 2005 meningkat menjadi
sekitar 56 triliun rupiah.
Pada tahun 2004 nilai tambah yang dihasilkan perusahaan industri pengolahan
besar dan sedang mengalami peningkatan sekitar 9,8 persen.
Industri pengolahan besar dan sedang pada tahun 2004 menggunakan energi
yang terdiri dari bahan bakar listrik, dan gas mencapai niali 45,5 triliun rupiah atau
meningkat sekitar 19,87 persen dibandingkan dengan pemakaian pada tahun 2003.
Konsumsi energi terbesar pada tahun 2004 terjadi pada sub sektor industri tekstil yaitu
mencapai 7,3 triliun rupiah.
Seperti halnya pada industri besar dan sedang, kenaikan jumlah usaha juga
terjadi pada industri kecil dan kerajinan rumahtangga tahun 2004 masing – masing
sebesar 5 persen dan 0,75 persen. Pada tahun 2005 jumlah industri kecil diperkirakan
naik sebesar 7,46 persen sedangkan kerajinan rumahtangga diperkirakan turun 0,30
persen. Berdasarkan data statistik tampak bahwa struktur industri di Indonesia masih
didominasi oleh industri rumahtangga yang mencapai sekitar 90,08 persen.
Seiring dengan kenaikan jumlah usaha, jumlah tenaga kerja industri kecil dan
industri kerajinan rumahtangga pada tahun 2004 mengalami kenaikan dibandingkan
pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja industri kecil tahun 2004 naik sebesar 8,11 persen
dan industri kerajinan rumahtangga naik sebesar 0.95 persen. Dengan adanya perubahan
jumlah usaha industri kecil dan industri kerajinan rumahtangga pada tahun 2005, maka
usaha industri diperkirakan akan menyerap tenaga kerja tambahan sebanyak 1,80 persen
untuk industri kecil dan 2,13 persen untuk industri kerajinan rumah tangga.
Nilai produksi industri kecil dan kerajinan rumahtangga pada tahun 2004
mengalami kenaikan masing – masing sebesar 28,08 persen (10.702,4 milyar rupiah)
dan 10 persen (4.724,3 milyar rupiah) dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2005
nilai output industri kecil diperkirakan akan meningkat sebesar 1,63 persen (796,3
milyar rupiah), demikian pula dengan niali output industri kerajinan rumahtangga
diperkirakan akan meningkat sebesar 2,34 persen (1.237,1 milyar rupiah).
Pertumbuhan nilai produksi pararel dengan pertumbuhan biaya input. Pada tahun
2004 dan pada tahun 2005 diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,68 persen. Sedangkan
nilai tambah industri kerajinan rumahtangga memerlukan tambahan input sebesar 14,33
persen (3.864 milyar rupiah) lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Nilai tambah (harga pasar) yang dihasilkan oleh industri kecil mengalami
kenaikan sebesar 44,41 persen pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 diperkirakan akan
naik lagi sebesar 1,68 persen. Sedangkan nilai tambah industri kerajinan rumahtangga
pada tahun 2004 meningkat sebesar 4,07 peresn (860,4 milyar rupiah) dan tahun 2005
diperkirakan meningkat lagi sekitar 2,12 persen (466,6 milyar rupiah)34.
34
Ibid., 1990 - 2005
34
Berdasarkan data statistik yang diterbitkan oleh BPS dalam Statistik Indonesia
dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005, dari jumlah perusahaan dalam industri
manufaktur, terjadi pertumbuhan rata – rata 0.87 persen per tahun. Meski pada tahun
1998 – sewaktu krisis moneter melanda Indonesia pertumbuhan jumlah industri
manufaktur di Indonesia dari sekala besar/sedang, kecil dan rumahtangga mencapai
pertumbuhan yang negatif, yaitu (22.82) persen, atau sebanyak 655.926 perusahaan
yang gulung tikar.Namun sejalan dengan reformasi yang diupayakan oleh pemerintah
Indonesia akhirnya industri manufaktur Indonesia mulai tumbuh kembali. Pasca krisis
ekonomi 1998, rata – rata pertumbuhan industri manufaktur mencapai 3.02 persen
pertahunnya.
Pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri manufaktur tersebut secara
langsung juga berdampak atas tumbuhnya penanaman modal tetap, penggunaan bahan
baku (biaya masukan), penggunaan jumlah tenaga kerja, pengeluaran terhadap tenaga
kerja dan hasil produksi industri itu sendiri.
Pertumbuhan modal tetap rata – rata pada industri manufaktur dari tahun 1990
sampai tahun 2005 adalah sebesar 3,99 triliun rupiah pertahun. Pertumbuhan
penggunaan modal tetap ini juga diikuti dengan pertumbuhan penggunaan biaya
masukan pada industri manufaktur. Berdasarkan data statistik, pertumbuhan
penggunaan biaya masukan pada industri manufaktur adalah sebesar 21,34 persen
pertahun atau sebesar 42,42 triliun rupiah per tahun.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri manufaktur dan
juga penambahan modal tetap baru yang digunakan dalam industri manufaktur tersebut,
maka hasil produksi industri manufaktur juga mengalami pertumbuhan setiap tahunnya
– kecuali pada tahun 2003 terjadi penurunan dari hasil produksi industri manufaktur
sebesar 4.01 persen dibanding tahun sebelumnya – dengan rata-rata pertumbuhan dari
tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 sebesar 23,87 persen setiap tahunnya
Tabel 2
Jumlah Perusahaan pada Industri Manufaktur di Indonesia dan Pertumbuhannya
(1990 – 2005)
Tahun
Besar/Sedang
Jumlah Perusahaan
Rmh
Kecil
Tangga
Pertumbuhan
Total
Angka
Persen
1990
14,676
122,681
2,350,984
2,488,341
-
1991
16,536
122,681
2,350,984
2,490,201
1,860
0.07
1992
16,494
122,681
2,350,984
2,490,159
(42)
(0.00)
1993
18,163
124,990
2,353,559
2,496,712
6,553
0.26
1994
19,017
168,154
2,372,218
2,559,389
62,677
2.51
1995
1996
21,551
22,997
190,767
2,413,315
2,625,633
66,244
127,911
2.59
35
228,978
2,501,569
2,753,544
4.87
1997
22,386
241,169
2,610,693
2,874,248
120,704
4.38
1998
21,423
194,564
2,002,335
2,218,322
(655,926)
(22.82)
1999
22,070
225,603
2,290,672
2,538,345
320,023
14.43
2000
22,174
240,088
2,358,616
2,620,878
82,533
3.25
2001
21,396
230,721
2,307,562
2,559,679
(61,199)
(2.34)
2002
21,146
238,582
2,490,118
2,749,846
190,167
7.43
2003
21,126
235,851
2,406,058
2,663,035
(86,811)
(3.16)
2004
20,685
247,640
2,424,020
2,692,345
29,310
1.10
2005
20,792
266,102
2,416,708
2,703,602
11,257
0.42
Rerata
14,351
0.87
Sumber ; Hasil olah data terhadap data jumlah perusahaan manufaktur di Indonesia dari
tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 35
Tabel 3
Jumlah Modal Tetap Baru dalam Industri Manufaktur di Indonesia
1990 – 2005
(Milyar Rupiah)
Tahun
35
Penambahan
1990
1991
1992
1993
1994
1995
7,037.35
8,693.80
12,757.83
8,226.61
10,704.48
11,373.00
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
0
19,019.00
93,955.00
39,311.00
55,345.00
30,263.00
71,690.00
Ibid., 1990 – 2005
36
2003
206,388.00
2004
60,663.00
2005
69,195.00
Sumber ; Hasil olah data terhadap data Perubahan Modal Tetap pada industri
manufaktur di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 36
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tabel 4
Hasil Produksi Perusahaan pada Industri Manufaktur di Indonesia
1990 - 2005
Nilai produksi Perusahaan
Pertumbuhan
Besar/Sedang
Kecil
R. Tangga
Rp
Persen
Total
56,923.97
56,923.97
70,515.41
4,193.11
5,893.42
80,601.94
23,677.97
41.60
86,250.99
4,193.11
5,893.42
80,601.94
135,864.38
4,378.37
6,357.66
146,600.41
65,998.47
81.88
155,825.00
10,015.91
9,827.54
175,668.45
29,068.04
19.83
194,680.00
11,707.65 10,035.12
216,422.77
40,754.33
23.20
244,011.00
14,015.67 10,717.72
268,744.39
52,321.62
24.18
264,271.00
14,857.73 11,311.88
290,440.61
21,696.22
8.07
430,273.00
21,530.76 22,620.27
474,424.03
183,983.42
63.35
488,212.00
24,784.35 26,297.08
539,293.43
64,869.40
13.67
628,808.00
28,726.19 28,593.07
686,127.26
146,833.83
27.23
722,360.00
34,618.53 32,472.83
789,451.36
103,324.10
15.06
882,476.00
41,774.26 39,385.42
963,635.69
174,184.33
22.06
838,804.00
985,946.00
1,031,918.00
38,106.83
48,809.19
49,605.53
48,093.23
52,817.66
54,054.76
925,004.07
(38,631.62) (4.01)
1,087,572.85
162,568.78
17.57
1,135,578.28
48,005.44
4.41
Rata - rata
71,910.29
3.87
Sumber ; Hasil olah data terhadap data Hasil Produksi industri manufaktur di Indonesia
dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 37
Pada awal-awal tahun 90-an, rata – rata pertumbuhan nilai investasi baru, baik
penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri, di Indonesia
mencapai 14,72 triliun rupiah per tahun, atau 20,32 persen per tahun. Pada masa krisis
tahun 1998, nilai investasi baru di Indonesia terpuruk, turun sebesar (51,40) persen, atau
senilai 78,57 triliun rupiah. Pasca krisis sampai dengan tahun 2005 pertumbuhan nilai
investasi baru di Indonesia mencapai 7,54 persen pertahunnya. Rata – rata pertumbuhan
investasi baru di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 adalah sebesar
9,57 persen per tahun, atau sejumlah 954,84 milyar rupiah per tahun. Untuk lebih
lengkapnya lihat tabel 4.5
36
37
Ibid., 1990 – 2005
Ibid., 1990 – 2005
37
Tabel 5.
Jumlah Investasi Baru yang Disetujui di Indonesia
1990 – 2005
(dalam Milyar Rupiah)
Tahun
Total
Pertumbuhan
Rp
Persen
PMA
PMDN
1990
8,750.10
41,084.00
49,834.10
1991
8,778.20
41,077.90
49,856.10
22.00
0.04
1992
8,297.80
29,341.00
37,638.80
(12,217.30)
(24.51)
1993
8,165.80
39,401.30
47,567.10
9,928.30
26.38
1994
21,986.40
53,286.63
75,273.03
27,705.93
58.25
1995
40,629.00
69,870.00
110,499.00
35,225.97
46.80
1996
29,776.90
100,499.40
130,276.30
19,777.30
17.90
1997
33,126.90
119,755.50
152,882.40
22,606.10
17.35
1998
13,556.50
60,748.50
74,305.00
(78,577.40)
(51.40)
1999
10,891.40
55,600.30
66,491.70
(7,813.30)
(10.52)
2000
15,279.00
88,294.70
103,573.70
37,082.00
55.77
2001
15,043.90
58,674.00
73,717.90
(29,855.80)
(28.83)
2002
9,744.10
25,262.30
35,006.40
(38,711.50)
(52.51)
2003
13,207.20
48,484.80
61,692.00
26,685.60
76.23
2004
10,277.30
36,747.60
47,024.90
(14,667.10)
(23.77)
2005
13,579.30
50,577.40
64,156.70
17,131.80
36.43
Rata - rata
954.84
9.57
*) Sumber : Bank Indonesia dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal
Indonesia
38
Korelasi bertujuan untuk melihat proporsi dari variasi total atau dispersi dari
variabel terikat yang bisa dijelaskan oleh variasi variabel penjelas dalam regresi, atau
dengan kata lain, korelasi antara dua variabel menunjukkan bagaimana pengaruh dari
satu variabel bebas terhadap variabel terikatnya, dalam hal ini untuk melihat bagaimana
pengaruh jumlah perusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis pengaruh jumlah
perusahaan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ini dilakukan dengan
menghubungkan jumlah perusahaan yang ada pada industri manufaktur Indonesia
dengan Produk Domestik Bruto (PDB), dengan asumsi untuk melihat sejauh mana
perubahan jumlah perusahaan yang ada pada industri manufaktur terhadap perubahan
atau pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Hasil analisa dengan menggunakan metode korelasi Pearson (Tabel 6)
menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah perusahaan memiliki pengaruh yang positif
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bahkan untuk tingkat keyakinan 95
persen, nilai korelasi positif sebesar 0,6 adalah signifikan secara statistik. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan para wirausahaan yang ditunjukkan oleh jumlah
perusahaan yang berada dalam industri pengolahan/manufaktur memiliki pengaruh yang
signifikan atas pendapatan nasional. Artinya jika jumlah perusahaan pada industri
manufaktur bertambah, maka jumlah pendapatan nasional akan bertambah. Akibat dari
pertambahan pendapatan nasional ini adalah pertumbuhan ekonomi. Sehingga, jika
pemerintah ingin membuat perekonomian Indonesia tumbuh dan berkembang, maka
salah satu hal yang harus dilakukan pemerintah adalah merangsang lahirnya para
wirausahawan baru yang mampu mendirikan usaha baru yang nantinya akan menyerap
banyak tenaga kerja yang berarti juga meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Jika
kesejahteraan masyarakat meningkat, maka semakin mampulah masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga keluaran/produk dari berbagai industri dapat
dikonsumsi oleh masyarakat, dimana atas keuntungan yang diperoleh perusahaan dari
penjualan produknya kepada masyarakat pemerintah memperoleh pemasukan dana yang
berasal dari pajak atas keuntungan perusahaan – perusahaan dalam industri dan
pemasukan ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan. Belum lagi jika
produk dari perusahaan – perusahaan yang didirikan oleh para wirausahawan itu mampu
dijual (export) ke luar negeri, hal ini akan mendatangkan devisa bagi negara.
Tabel 6
Korelasi Jumlah Perusahaan dengan Pendapatan Nasional
Jumlah perush.
Industri
Variabel
Keterangan
PDB
Manufaktur di
Indonesia
PDB
Pearson Correlation
1
0.60610751
Sig. (2-tailed)
.
0.012817913
Sum of Squares & Crossproducts
63685705539
89871063336
Covariance
4245713703
5991404222
N
16
16
Jumlah Perush
Industri
Pearson Correlation
0.60610751
1
Manufaktur di
Indonesia
Sig. (2-tailed)
0.012817913 .
39
Sum of Squares and
Cross-products
Covariance
N
89871063336
5991404222
16
3.45222E+11
23014800066
16
*Korelasi signifikan pada tingkat probabilitas 0.05 (2-tailed)
Dalam teori makro ekonomi, perhitungan keluaran nasional adalah dengan
menjumlahkan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan nilai
ekspor bersih, yang diformulasikan dengan Y = C + I + G + X – IM. Hal ini berarti
bahwa investasi adalah salah satu variabel yang mempengaruhi keluaran suatu negara.
Jika investasi naik, maka Y akan naik. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa
investasi yang ada di suatu negara digerakkan oleh aktivitas kewirausahaan oleh para
wirausahawan
Hasil pengolahan data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai investasi
memiliki pengaruh positif terhadap pendapatan nasional Indonesia dengan nilai korelasi
sebesar 0.28. Hasil korelasi yang diperoleh tidaklah signifikan secara statistik. Hal ini
mungkin disebabkan karena data yang digunakan adalah data investasi yang disetujui
yang belum tentu terealisasi dalam perekonomian, namun data ini digunakan sebagai
pendekatan terhadap nilai investasi baru sesungguhnya terjadi dalam perekonomian
Indonesia. Hasil korelasi statistik ini meskipun tidak signifikan tetapi telah
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Indonesia adalah pertumbuhan nilai investasi yang masuk ke Indonesia. Seperti jika kita
mengacu pada teori Makro ekonomi yang mengatakan keluaran nasional adalah hasil
dari penjumlahan konsumsi masyarakat, pemerintah, ekspor bersih dan investasi. Untuk
itu, meskipun hasil korelasi data statistiknya tidak signifikan, maka kita harus kembali
pada teori makro ekonomi yang mengatakan bahwa investasi adalah salah satu variabel
untuk menghitung keluaran nasional dan jika jumlah investasi naik maka keluaran
nasional pun akan naik – pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah harus merangsang para wirausahawan baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri untuk mau berinvestasi di Indonesia. Hal ini dapat
dilakukan pemerintah dengan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
terhadap pemilik dana (investor) yang menanamkan uangnya di Indonesia, selain itu
juga mempermudah proses penanaman modal itu sendiri. Jika investasi bertambah,
maka para investor tersebut dapat memberikan suntikan dana pada industri. Suntikan
dana ini bisa saja digunakan untuk memperluas usaha atau mendirikan usaha baru.
Perluasan usaha atau pendirian usaha baru ini juga akan mencipatakan lapangan kerja
bagi banyak orang di Indonesia yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan negara.
Tabel 7
Korelasi Jumlah Investasi dengan Pendapatan Nasional
Jumlah Investasi Baru
Variabel
Keterangan
PDB
dalam Perekonomian
Indonesia
PDB Indonesia
Pearson Correlation
1
0.28852028
Sig. (2-tailed)
.
0.278488055
40
Jumlah Investasi
Baru
dalam
Perekonomian
Indonesia
Sum of Squares and
Cross-products
Covariance
N
63685705539
4245713703
16
9587172352
639144823.5
16
Pearson Correlation
0.28852028
1
Sig. (2-tailed)
0.278488055 .
Sum of Squares and
Cross-products
9587172352
17337497622
Covariance
639144823.5
1155833175
N
16
16
Modal tetap adalah modal yang digunakan oleh para wirausahawan
(pengusaha) untuk menunjang kegiatan operasinya. Modal tetap ini dapat berupa
gedung pabrik, mesin, tanah dan lain sebagainya. Jika kegiatan perusahaan semakin
besar, maka akan semakin banyak modal yang tetap yang diperlukan.
Dilihat dari fungsi produksi – seperti yang sudah dijelaskan pada bab dua,
bahwa Y = F (K, N). Hal ini berarti bahwa dalam satu proses produksi, modal (K)
memiliki peranan penting. Modal tetap adalah salah satu jenis modal yang digunakan
para wirausahawan untuk mendukung aktivitas operasionalnya. Berdasarkan teorinya,
kenaikan K adalah salah satu faktor yang akan menaikkan produksi (keluaran).
Sehingga, jika ingin menaikkan tingkat produksinya, maka harus menambah modal –
selain tenaga kerja, salah satu pilihannya adalah dengan menambah modal tetap. Jika
produksi nasional naik, maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Alasannya adalah, jika produksi naik maka akan semakin banyak barang/jasa yang
dihasilkan oleh negara tersebut sehingga, jika semakin banyak keluarannya, maka
negara tersebut akan semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan
mengurangi ketergantungannya akan barang – barang yang didatangkan dari luar negeri
sehingga negara tidak kehilangan devisanya. Bahkan jika keluaran nasional tersebut
dapat diekspor, maka akan mendatangkan devisa bagi negara. Jika ekspor semakin
besar, semakin banyak dana yang masuk ke Indonesia, semakin tinggilah pendapatan
nasional dan semakin bertumbuhlah perekonomian negara.
Hasil pengolahan data statistik menunjukkan bahwa jumlah modal tetap baru
yang digunakan oleh industri manufaktur memiliki pengaruh positif terhadap
Pendapatan Nasional Indonesia. Nilai korelasi 0,508 pada tingkat keyakinan 95 persen
adalah signifikan. Hal ini berarti bahwa bahwa pengadaan modal tetap baru memiliki
pengaruh yang signifikan atas perubahan dari Pendapatan nasional, yang berarti jika
ingin meningkatkan pendapatan nasional yang sekaligus berarti pertumbuhan ekonomi,
maka salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah jumlah modal tetap baru yang
digunakan oleh para wirausahawan dalam proses produksinya. Karena, jika para
wirausahawan menambah modal tetap yang dimilikinya sampai proporsi tertentu, maka
hal itu berarti bahwa organisasi (perusahaan) yang dikelola oleh para wirausahawan
tersebut mengalami pertumbuhan. Jika semakin banyak organisasi yang dikelola oleh
para wirausahawan (perusahaan) bertumbuh maka akan memberikan pengaruh atas
pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan dalam hal ini Indonesia. Hasil uji statistik ini
juga berarti, jika pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia,
maka pemerintah harus merangsang para wirausahawan agar para wirausahawan itu
41
dapat meningkatkan kegiatan usahanya. Hasil analisis statistik untuk selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8
Korelasi Jumlah Modal Tetap Baru Pada Industri Manufaktur dengan
Pendapatan Nasional
Jumlah Modal
Tetap Baru
Variabel
Keterangan
PDB
dalam Industri
Manufaktur
PDB
Pearson Correlation
1
0.507602949
Sig. (2-tailed)
.
0.044731238
Sum of Squares and
Cross-products
63685705539
25774824660
Covariance
4245713703
1718321644
N
16
16
Jumlah
Modal Tetap
Baru
Pearson Correlation
0.507602949
1
dalam
Industri
Manufaktur
Sig. (2-tailed)
0.044731238 .
Sum of Squares and
Cross-products
25774824660
40485658006
Covariance
1718321644
2699043867
N
16
16
*korelasi signifikan pada tingkat signifikan 0,05
Hasil produksi industri manufaktur mencerminkan hasil usaha yang dilakukan
oleh para wirausahawan dalam kegiatan produksinya, yang tujuannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan pasar yang ditujunya. Hasil produksi ini dinilai dengan hasil
rupiah yang mampu dihasilkan oleh para wirausahawan melalui produk yang
dihasilkannya.
Hasil produksi ini akan memberikan kontribusi bagi pendapatan nasional. Salah
satu alasannya adalah penghasilan pajak yang diperoleh pemerintah atas laba yang
diperoleh perusahaan dari hasil menjual produknya. Pajak masih menjadi penyumbang
terbesar dalam pendapatan nasional di Indonesia, dan pajak dari industri adalah salah
satu penyumbang terbesar penghasilan pemerintah dari pajak selain pajak atas bumi dan
bangunan (PBB).
Selain hal di atas, jika produk yang dihasilkan oleh perusahaan diterima
masyarakat, maka masyarakat akan membelinya dan terjadilah kegiatan konsumsi yang
dilakukan oleh masyarakat, juga konsumsi pemerintah (misalnya dalam pengadaan
barang-barang yang diperlukan instansi pemerintah dalam menjalankan kegiatannya)
atau bahkan konsumsi yang dilakukan oleh industri. Konsumsi adalah salah satu
indikator dalam perhitungan keluaran nasional, dan konsumsi masyarakat atas produk –
produk yang dihasilkan oleh para wirausahawan (perusahaan), konsumsi pemerintah
dalam melakasanakan aktivitas pelayanannya, dan konsumsi industri dalam proses
operasi dan produksinya merupakan salah satu penyumbang besaran konsumsi dalam
42
satu perekonomian, khususnya Indonesia. Dan, Jika konsumsi meningkat maka hal itu
berarti keluaran nasional (pendapatan nasional) juga akan meningkat.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa hasil produksi industri manufaktur
memiliki korelasi positif terhadap pendapatan nasional. Nilai korelasinya adalah 0.84
(tabel 9). Untuk tingkat keyakinan 95 persen nilai korelasi ini sangat signifikan. Hal ini
berarti bahwa perubahan hasil produksi industri manufaktur akan sangat mempengaruhi
perubahan pendapatan nasional. Untuk itu, jika pemerintah ingin mengusahakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia maka pemerintah harus merangsang para
wirausahawan untuk melakukan kegiatan usahanya (berproduksi) di Indonesia baik itu
pengusaha lokal maupun pengusaha asing, menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
memberikan jaminan perlindungan hukum atas kegiatan usaha para wirausahawan
tersebut.
Tabel 9.
Korelasi Hasil Produksi Industri Manufaktur Indonesia dengan Pendapatan Nasional
Hasil Produksi
Industri
Variabel
Keterangan
PDB
Manufaktur
Indonesia
PDB
Pearson Correlation
1
0.842699577
Sig. (2-tailed)
.
4.17086E-05
Sum of Squares and
Cross-products
63685705539
3.16932E+11
Covariance
4245713703
21128801688
N
16
16
Hasil Produksi
Pearson Correlation
0.842699577
1
Industri
Manufaktur
Indonesia
Sig. (2-tailed)
4.17086E-05
.
Sum of Squares and
Cross-products
3.16932E+11
2.22098E+12
Covariance
21128801688
1.48065E+11
N
16
16
*) Nilai korelasi sudah signifikan untuk tingkat keyakinan 0.01 persen
Analisis regresi bertujuan untuk melihat seberapa kuat hubungan dari
perubahan variabel – variabel bebas terhadap perubahan variabel terikatnya. Dalam hal
ini untuk melihat hubungan antara variabel – variabel kewirausahaan dengan
pendapatan nasional Indonesia sehingga dapat menggambarkan bagaimana perubahan
pada masing – masing variabel kewirausahaan itu terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hasil regresi menghasilkan persamaan dari variabel – variabel
kewirausahaan dalam hubungannya dengan pendapatan nasional Indonesia yang
selanjutnya dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan pada masing-masing
variabel kewirausahaan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ditunjukkan
dengan persamaan regresi :
43
Y = 102.554,9 + 0,06 X1 + 0,73 X2 + 0,03 X3 + 0,14 X4
(1,25)
(3,72)
(0,22) (6,35)
Nilai t hitung untuk masing variabel adalah 1,25 (X1), 3,72 (X2), 0,22 (X3), 6,35
(X4). Dimana nilai ttest dari masing – masing varabel bebas terhadap variabel terikatnya
yang diperoleh dengan menggunakan tabel statistik adalah 3,48. Nilai t hitung untuk dua
variabel kewirausahaan yaitu jumlah investasi (X2) dan hasil produksi (X4) memiliki
hubungan yang signifikan atas pendapatan nasional karena memiliki nilai t hitung yang
lebih besar dari nilai t tabelnya. Sehingga jika nilai investasi dan hasil produksi
ditingkatkan, maka akan meningkatkan pendapatan nasional – pertumbuhan ekonomi.
Variabel lainnya yaitu jumlah perusahaan (X1) dan jumlah modal tetap baru (X2)
memiliki nilai thitung yang lebih kecil dari nilai t tabelnya. Hal ini berarti bahwa tidak ada
hubungan langsung yang signifikan antara kedua variabel tersebut terhadap pendapatan
nasional tetapi memiliki pengaruh yang signifikan yang ditunjukkan dengan nilai
korelasi yang signifikan pada tingkat keberartian 95 persen. Artinya, jumlah perusahaan
yang ada dalam perekonomian Indonesia dan jumlah modal tetap baru yang
digunakannya tidak akan berhubungan langsung atas pendapatan nasional Indonesia,
tetapi kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan atas kenaikan atau
penurunan pendapatan nasional. Hal ini disebabkan oleh karena pertumbuhan atau
perubahan terhadap modal sendiri tidak dapat mendukung pertumbuhan, karena tingkat
pengembalian modal yang semakin berkurang.
Hal ini bukan berarti pertumbuhan modal tetap tidak mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi, karena bisa saja pertumbuhan modal tetap ini adalah
variabel perantara terhadap variabel lainnya. Variabel tersebut disinyalir adalah
perantara terhadap variabel lainnya, yaitu hasil produksi yang dihasilkan oleh
perusahaan yang telah teruji memiliki hubungan yang signifikan dan pengaruh yang
signifikan dengan pendapatan nasional juga dengan pertumbuhan ekonomi.
Nilai R2 ini menerangkan bahwa 92 persen dari variasi total dalam pendapatan
nasional – pertumbuhan ekonomi Indonesia, dipengaruhi oleh variasi dari variabelvariabel kewirausahaan. Hal ini berarti bahwa pengaruh variabel – variabel
kewirausahaan pada pertumbuhan ekonomi secara agregat adalah sebesar 92 persen, dan
8 persen sisanya adalah variabel-variabel lain yang turut mempengaruhi pendapatan
nasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain hal diatas, nilai R2 disesuaikan sebesar 0,89 menunjukkan bagaimana
besaran derajat kebebasan regresi dengan masuknya variabel-variabel penjelas tersebut
kedalam regresi. Nilai sebesar itu menunjukkan bahwa variabel-variabel yang masuk
dalam regresi adalah variabel-variabel penjelas yang penting.
Analisis ini menggunakan statistik F (F statistik), atau rasio F, yang digunakan
untuk melihat tingkat signifikan atau tidaknya variasi dari semua variabel bebas
terhadap variabel terikat. Dengan menggunakan R2 disesuaikan = 0.89 , n=16, k=5, nilai
F yang diperoleh adalah 32,19. Untuk membandingkan nilai F hitung dari regresinya
dengan nilai kritis dari tabel distribusi F, yang didefenisikan sebagai 2 df. k – 1 untuk
pembilangnya, dan n – k untuk penyebutnya. Dari tabel df dengan tingkat keberartian 5
persen, dengan menggunakan tabel distribusi F, maka diperoleh nilai kritis F sebesar
3,01. Karena nilai F kritis lebih besar dari nilai F hitung, maka terdapat hubungan yang
signifikan secara statistik antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Jika dilihat dari hasil uji regresi, maka akan terlihat bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara variabel – variabel kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi
44
di Indonesia. Hubungan yang signifikan ini berarti sumbangan dari variabel –variabel
tersebut terhadap perubahan/pertumbuhan pendapatan nasional adalah signifikan.
Sehingga untuk meningkatkan pendapatan nasional – pertumbuhan ekonomi, maka
pemerintah harus memperhatikan keempat variabel ini.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hipotesis awal, yaitu bahwa
variabel–variabel kewirausahaan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia, bukan berfokus untuk melihat hubungan dari
variabel–variabel kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi tetap mencoba
melihat bagaimana hubungan dari variabel-variabel kewirausahaan itu terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan sebab pada kenyataannya, selain variabel –
variabel yang digunakan dalam penelitian ini, banyak lagi hal-hal (variabel – variabel)
yang mempunyai hubungan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara, misalnya
stabilitas politik suatu negara, keamanan suatu negara, peraturan dan perundang –
undangan yang berlaku, kondisi perekonomian secara keseluruhan, yaitu tingkat
konsumsi, nilai ekspor bersih dan lain sebagainya.
Hasil penelitian yang dilakukan dengan mengunakan data-data yang tersedia
menunjukkan:
1. Nilai korelasi dari variabel – variabel kewirausahaan yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu jumlah perusahaan industri manufaktur, jumlah investasi baru di
Indonesia, jumlah modal modal tetap baru, dan hasil produksi dari sektor industri
manufaktur – memiliki nilai korelasi yang positif, yang berarti bahwa variabel –
varaibel tersebut memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan nasional
Indonesia, sehingga jika ingin membuat perekonomian Indonesia bertumbuh, maka
jumlah dari masing-masing variabel tersebut harus ditingkatkan - dimana faktorfaktor lainnya dianggap tetap. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa
variabel – variabel kewirausahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia diterima.
2. Hasil regresi variabel – variabel kewirausahaan dan Pendapatan Nasional Indonesia
menunjukkan hubungan yang signifikan antara varibel – variabel kewirausahaan
tersebut dengan pendapatan nasional. Hal ini berarti untuk menumbuhkan
perekonomian, pertambahan dari variabel – variabel ini secara signifikan akan
mempengaruhi peningkatan/pertumbuhan pendapatan nasional di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Azahari, D. H. (2005). “Diversifikasi Produk dan Pengembangan
Infrastruktur Kelapa Sawit”. Dalam A. Chandra dan V. Widyani (Eds.),
Prediksi dan Rekomendasi Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Indonesia
Sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010 -2020. Jakarta.
Bangun, D. (2005). “Peta Terkini Perkebunan dan Industri K elapa Sawit
Indonesia”. Dalam A. Chandra dan V. Widyani (Eds.), Prediksi dan
Rekomendasi Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Indonesia Sebagai
Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010 -2020. Jakarta.
45
Brutton, Henry J. (1990). “Import Substitution as a Deve lopment
Strategy”. in Hollis Chenery and T. N. Srinivasan (1989). Handbook of
Development Economics, Vol. II. Elsevier Science B. V. Amsterdan. The
Netherlands.
Christanto, Joko. (2002).“ Otonomi Daerah dan Skenario Indonesia 2010
Dalam Konteks Pembanguna n Daerah Dengan Pendekatan Kewilayahan
(Regional Development Approach)”. Bogor.
Chung, Yih-Chyi (1999). “The Role of Human Capital in Economic
Development : Evidence From Taiwan”. Asian Economic Journal.
Taiwan.
Colman, David and Frederick Nixson. (1986). “Economics of change in
Less Developed Countries.” Second Edition. Barnes and Noble Books.
Gujarati, Damodar. (1978). “Basic Econometrics”. McGraw -Hill. New
York.
Hirschman, Albert O. (1958). “The Strategy of Economic Development”.
Yale Universit y Press. New Haven, Connecticut.
Kasryno,
Faisal.
(2004).
“The
Linkage
Between
Agriculture
Development, Poverty Alleviation and Employment”. Paper presented at
the workshop on “Agriculture Policy for The Future” on February 12 –
13, 2004 in Jakarta.
Kmenta, Jan. (1986). “Element of Econometrics”. Second Edition.
Macmillan Publishing Company. New York.
Krisnamurthi, Bayu. “Peran Pembangunan Pertanian Dalam Pembangunan
Industri dan Daerah : Pelajaran Dari Kasus Cianjur dan Subang.” Pusat
Studi Pembangunan IPB. Bogor. 2003.
Lubis, A. U. dan P. M. Naibaho. (1995). “Prospek Pengembangan
Industri Hilir Pengolah Kelapa Sawit”. Makalan Seminar Nasional
Peluang dan Tantangan Industri Kelapa Sawit Menyongsong Abad XXI,
PPKS dan GAPKI. Medan.
Lukmana, A. (1995). “Kebij aksanaan Pengembangan Industri Hilir
Kelapa Sawit”. Makalan Seminar Nasional Peluang dan Tantangan
Industri Kelapa Sawit Menyongsong Abad XXI, PPKS dan GAPKI.
Medan.
Manurung, Togu E. G. (2001). “Analisis Valuasi Ekonomi Investasi
Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and
Institutional Strengthening IQC. Jakarta.
46
Mellor, John W. (2004). “Agriculture Policy For The Future”. Jakarta.
Mubyarto. (1989). “Pengantar Ekonomi Pertanian”. LP3ES. Jakarta.
Pahan, Iyung. (2008). “Panduan Lengka p Kelapa Sawit : Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir”. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ras yid, A. (2005). “Aspek Pembiayaan dalam Pengembangan Industri
Kelapa Sawit”. Dalam A. Chandra dan V. Widyani (Eds.), Prediksi dan
Rekomendasi Revitalisasi Industri Kelapa Sawit Indonesia Sebagai
Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010 -2020. Jakarta.
Saragih, Bungaran. (1998). “Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian”. Yayasan Mulia Persada Indonesia dan PT.
Surveyor Indonesia bekerjasam a dengan Pusat Studi Pembangunan.
Jakarta.
Sjo, John. (1986). “Economics for Agriculturalists : a beginning text in
Agriculture Economics. “ John Wiley and Sons. New York.
Susila, Wayan R. (2004). “Contribution of Oil Palm Industry To
Economic Growth and Povert y Alleviation in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pertanian 23 (3). Jakarta.
Susila, Wayan R. (2004). “Peluang Investasi Bisnis Kelapa Sawit di
Indonesia”. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Jakarta.
Timmer, C. P. (1988). “The Agricukture Transformatio n”. in Hollis
Chenery and T. N. Srinivasan (1989). Handbook of Development
Economics, Vol. I. Elsevier Science B. V. Amsterdan. The Netherlands.
Warr, Peter (2006). “Productivit y Growth in Thailand and Indonesia :
How Agriculture Contributes to Economic G rowth”. The Australian
Agriculture and Resource Economics Societ y. Sidney. Auastralia.
47
Download