TINJAUAN KOMPREHENSIF PERMASALAHAN REMAJA

advertisement
TINJAUAN KOMPREHENSIF KENAKALAN REMAJA (Juvenile Deliquence)
SERTA IMPLIKASINYA BAGI PROGRAM
BIMBINGAN DAN KONSEELING DI SEKOLAH
Oleh: EKA SAKTI YUDHA
A. Spektrum Masalah Remaja
Batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai dengan 21 tahun
(Haditono, 1998). Pada usia remaja, seseorang akan banyak mengalami badai
dan tekanan. Aspek perkembangan yang menonjol pada usia ini adalah adanya
perubahan bentuk tubuh, meningkatnya tuntutan dan harapan sosial, tuntutan
kemandirian dari orangtua, meningkatnya kebutuhan akan berhubungan dengan
kelompok sebaya, mampu bersikap sesuai dengan norma sekitar, kompeten
secara intelektual, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta
belajar mengambil suatu keputusan.
Perubahan-perubahan yang dialami remaja sangat rentan mengalami
berbagai masalah, beberapa diantaranya adalah seks bebas, penyalahgunaan
narkoba, perkelahian antar pelajar/ tawuran, merokok dan lain sebagainya.
Penyalahgunaan zat psikoaktif atau zat aditif, saat ini sering disebut
Narkoba (narkotik dan zat aditif lainnya) merupakan masalah dunia yang tidak
akan pernah dapat dimusnahkan, meskipun demikian upaya pencegahan dan
pemberantasan harus terus diupayakan. Tahun 2008 berjuta-juta remaja di Asia
telah menggunakan Narkoba dan di Indonesia tidak kurang dari 4,1 juta remaja
menyalahgunakannya, mulai dari menghirup bahan-bahan kimia (ngelem)
kemudian ectasy oleh anak remaja sampai kepada pecandu berat heroin
(putauw).
Kesengsaraan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan
Narkoba
tidak
terhitung
besarnya.
Pemaiakian
Narkoba
tidak
hanya
menyebabkan hilangnya harta, meningkatnya biaya perawatan, kekerasan dan
tindakan criminal, tetapi juga hancurnya sebuah keluarga dan masyarakat.
Hasil survey salah satu rumah sakit di kota Bandung menunjukkan bahwa
dari tahun ke tahun kasus penyalahgunaan Narkoba cenderung meningkat. Pada
tahun 1998 penderita yang hasil urine positif menggunakan narkoba hanya 19
1
orang, namun meningkat drastic di tahun 2003 menjadi 63 orang. Berdasarkan
jenis kelamin diketahui laki-laki lebih banyak dari wanita. Usia terbanyak adalah
kelompok usia 18-25 tahun dan termuda usia 12 tahun. Umumnya usia pertama
kali menggunakan Narkoba adalah usia 12-17 tahun, sedangkan untuk tingkat
pendidikan terbanyak lulusan SLTP dan SLTA.
Ada beberapa ciri remaja yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi
penyalahguna Narkoba, yaitu remaja yang:

Mudah kecewa dan bereaksi agresif terhadap kegagalan

Senang menantang resiko dan senang mencari sensasi

Mudah bosan, murung dan tertekan

Merasa tidak puas terhadap kehidupan

Prestasi belajar buruk dan kurangnya partisipasi terhadap kegiatan
ekstrakurikuler

Kurang sedang pada kegiatan olahraga dan cenderung makan berlebihan

Suka tidur larut malam

Menunjukkan perilaku antisocial seperti: hubungan seksual dini, putus
sekolah, membohong, mencuri., mengabaikan peraturan, melakukan
tindak kekerasan, suka protes, merokok pada usia dini.

Hubungan yang kurang dekat dengan anggota keluarga

Kehidupan agama yang kurang religious.
Memperhatikan perkembangan terakhir nampaknya masalah Narkoba
telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Perdagangan zat aditif di Indonesia
telah menyusup ke sendi-sendi masyarakat mulai usia 7-8 tahun telah
menggunakan ganja dan lem. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya pecendu
yang meninggal karena over dosis, dan lebih parahnya lagi penggunaan jarum
suntik narkoba digunakan secara bergantian, sehingga menjadi jalan untuk virus
HIV bersarang.
Penularan virus HIV tidak hanya melalui perantara jarum suntik, namun
juga dengan perantara seks bebas. Secara umum perkembangan seksual
remaja dapat ditelusuri melalui tiga aspek yang mendukung, yaitu:
1. Seksual fantasi. Seksual awal remaja biasanya tidak lepas dari upaya
remaja untuk berfantasi mengenai segala seluk-beluk masalah seksual
2
sampai dengan mimpi basah. Ada berbagai alasan mengapa remaja
melakukan fantasi seksual, yaitu: untuk menikmati aktivitas seksual
secara pribadi untuk menggantikan penyaluran dorongan seksual secara
nyata, untuk mencoba-coba membangkitkan kepuasan seksual, dan
untuk latihan sebelum perilaku seksual tersalurkan secara nyata. Yang
jelas fantasi seksual ini berguna bagi eksistensi perilaku seksual remaja
di masa dewasa nanti, dan dapat menimbulkan rasa percaya diri remaja
saat hubungan seksual yang sesungguhnya dilakukan.
2. Indepensi. Keterdekatan remaja dengan kelompok bermainnya sangat
membantu dalam upaya mendapatkan support dan bimbingan dari
perilaku yang dilakukan. Walaupun tidak dipungkiri bahwa kelompok
bermain itu sendiri memiliki pola aturan itu spesifik, dan tuntunan perilaku
yang dikehendaki. Namun remaja lebih memilih teman sebayanya
sebagai pelarian dari keterikatan dengan orang tua. Jadi kemandirian
yang ditunjukan oleh remaja sebenarnya masih butuh topangan
bimbingan. Remaja umumnya menentang larangan orang tua mengenai
perilaku seksual bebas. Masalah kebebasan seksual inilah yang
seringkali dijadikan senjata bagi remaja untuk melarikan diri dari ikatan
orang tua.
3. Reaksi orang tua. Sikap orang tua terhadap masalah seksual sangat
berpengaruh
terhadap
sikap
seksual
remaja.
Bila
orang
tua
mengagungkan keperawanan maka biasanya anaknya akan memiliki nilai
yang sama mengenai keperarawanan. Walau pun tidak semua orang tua
memiliki sikap yang kaku dan keras terhadap perilaku seksual terhadap
remajanya, namun hampir sebagian besar orang tua tidak mau
membiarkan anaknya memiliki sikap seksual yang bebas.
Pola-pola perilaku seksual remaja pada umumnya dibagi menjadi
beberapa tahapan diantaranya adalah:
1. Masturbasi. Ada perbedaan persentase antara laki-laki dan perempuan
dalam melakukan tindakan masturbasi. Hampir 82% dari laki-laki usia 15
tahun melakukan masturbasi, sedangkan hanya 20% dari perempuan
3
usia 15 tahun yang melakukan masturbasi. Perilaku masturbasi ini sendiri
secara psikologis menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan
"bersalah" dan perasaan "puas". Masturbasi itu sendiri bila dilakukan
secara proporsional sebenarnya memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
melepaskan tekanan seksual yang menghimpit, merupakan eksperimen
seksual yang sifatnya “aman”; untuk meningkatkan rasa percaya diri
dalam membuktikan kemampuan seksualnya; mengendalikan dorongan
seksual yang tidak terkontrol; mengatasi rasa kesepian; dan memulihkan
stress dan tekanan hidup.
2. Petting. Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual
antar jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia
15 tahun ditemukan bahwa 39% remaja perempuan melakukan petting,
sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
3. Oral-genital seks. Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja
untuk menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model
oral-genital ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap aman
oleh remaja masa kini.
4. Sexual Intercourse. Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat
remaja pertama kali melakukan seksual intercourse. Pertama muncul
perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain
muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan
bersalah. Dari hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-laki yang paling
terbuka untuk menceritakan pengalaman intercoursenya dibandingkan
dengan remaja perempuan. Sehingga dari data tampaknya frekuensi
untuk melakukan hubungan seksual intercourse lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan.
5. Pengalaman Homoseksual. Adakalanya perilaku homoseksual bukan
terjadi pada remaja yang orientasi seksualnya memang homo, namun
beberapa kasus menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sebagai
sarana latihan remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang
sebenarnya di masa yang akan datang. Pada remaja yang memiliki
4
orientasi seksual homo, biasanya sejak dini melakukan proses pencarian
informasi mengenai kondisi yang menimpa dirinya. Informasi bisa
diperoleh dari bacaan, sesama teman homo, atau justru sangat ketakutan
dengan kondisi dirinya sehingga mencoba-coba melakukan hubungan
seksual secara hetero. Tidak mudah bagi remaja jika ia mengetahui
bahwa orientasi seksualnya bersifat hetero, sebab pada dirinya kemudian
akan timbul konflik yang menyangkut nilai-nilai kultural mengenai
hubungan antar jenis.
6. Efek Aktifitas seksual. Ada bahaya personal dan sosial yang
mengancam remaja bila melakukan aktivitas seksual secara salah.
Bahaya tersebut adalah: terjangkitnya penyakit HIV/AIDS, kehamilan
tidak dikehendaki, menjadi ayah atau ibu di usia sini
Masalah lain yang kerap muncul pada usia remaja adalah perkelahian
antar pelajar, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar.
Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke
kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar
pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini
sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183
kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan
korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada
230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun
berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke
tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering
tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat
sekaligus.
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak
ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar
(dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak
negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya
5
fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi
seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di
sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik,
adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan
nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara
yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih
untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas
memiliki
konsekuensi
jangka
panjang
terhadap
kelangsungan
hidup
bermasyarakat di Indonesia.
Masalah lain yang kerap muncul pada remaja adalah merokok. Meski
semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok, perilaku
merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih
dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan seharihari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir
setiap saat dapat disaksikan dan di jumpai orang yang sedang merokok. Bahkan
bila orang merokok di sebelah ibu yang sedang menggendong bayi sekalipun
orang tersebut tetap tenang menghembuskan asap rokoknya dan biasanya
orang-orang yang ada disekelilingnya seringkali tidak perduli.
Hal yang memprihatinkan adalah usia mulai merokok yang setiap tahun
semakin muda. Bila dulu orang mulai berani merokok biasanya mulai SMP maka
sekarang dapat dijumpai anak-anak SD kelas 5 sudah mulai banyak yang
merokok secara diam-diam.
Kerugian yang ditimbulkan rokok sangat banyak bagi kesehatan. Tapi
sayangnya masih saja banyak orang yang tetap memilih untuk menikmatinya.
Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua
diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik
(Asril Bahar, harian umum Republika, Selasa 26 Maret 2002 : 19). Racun dan
karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya
kanker. Pada awalnya rokok mengandung 8 – 20 mg nikotin dan setelah di bakar
nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25 persen. Walau demikian
jumlah kecil tersebut memiliki waktu hanya 15 detik untuk sampai ke otak
manusia.
6
Nikotin itu di terima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian
membaginya ke jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok
akan merasakan rasa nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok
akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu
menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan
sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan
sorotonin. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang
sekaligus keinginan mencari rokok lagi. (Agnes Tineke, Kompas Minggu 5 Mei
2002: 22). Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan
rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok
rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang.
Efek dari rokok/tembakau memberi stimulasi depresi ringan, gangguan
daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku dan fungsi psikomotor.
Jika dibandingkan zat-zat adiktif lainnya rokok sangatlah rendah pengaruhnya,
maka ketergantungan pada rokok tidak begitu dianggap gawat (Roan, Ilmu
kedokteran jiwa, Psikiatri, 1979 : 33).
Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adlah bila mengkonsumsi
rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah
bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dengan selang
waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit. Perokok sedang
menghabiskan rokok 11 – 21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah
bangun pagi. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan
selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
Menurut Silvan Tomkins (dalam Al Bachri,1991) ada 4 tipe perilaku
merokok berdasarkan Management of affect theory, ke empat tipe tersebut
adalah :
1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan merokok
seseorang merasakan penambahan rasa yang positif. Green (dalam
Psychological Factor in Smoking, 1978) menambahkan ada 3 sub tipe ini
:
a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya
merokok setelah minum kopi atau makan.
7
b. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan
sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
c. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh
dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa.
Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa
dengan
tembakau
sedangkan
untuk
menghisapnya
hanya
dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang
berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya
lama sebelum ia nyalakan dengan api.
2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang
yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya
bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat.
Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga
terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.
3. Perilaku merokok yang adiktif. Oleh Green disebut sebagai psychological
Addiction. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang
digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah
malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap
saat ia menginginkannya.
4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan
rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka,
tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Dapat
dikatakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu
perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa
disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah
benar-benar habis.
B. Tinjauan secara Psikologis
Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batasbatas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak
dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa
8
remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa
remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun
a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal
pubertas. Cirinya:

Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi

Anak mulai bersikap kritis
b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:

Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya

Memperhatikan penampilan

Sikapnya tidak menentu/plin-plan

Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib
c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa
adolesen. Cirinya:

Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya
belum tercapai sepenuhnya

Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja
pria
2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:

perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis

mulai menyadari akan realitas

sikapnya mulai jelas tentang hidup

mulai nampak bakat dan minatnya
Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja
diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal
yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan
dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja
akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.
9
Dalam hidupnya, setiap manusia akan mengalami berbagai tahap
perkembangan. Dan salah satu tahap perkembangan yang sering menjadi
sorotan adalah ketika seseorang memasuki usia remaja. Betapa tidak? Usia
remaja adalah gerbang menuju kedewasaan, jika dia berhasil melalui gerbang ini
dengan baik, maka tantangan-tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah
diatasi.
Begitupun sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan
berikutnya besar kemungkinan akan terjadi masalah pada dirinya. Oleh karena
itu, agar perkembangannya berjalan dengan baik, setidaknya ada lima aspek
penting yang harus dicermati, baik oleh orang tua, pendidik, maupun si remaja itu
sendiri.
1. Kondisi fisik
Penampilan fisik merupakan aspek penting bagi remaja dalam menjalani
aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu
tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Misalnya, standar cantik
adalah berpostur tinggi, bertubuh langsing, dan berkulit putih.
Namun tentu saja tidak semua remaja memiliki kondisi fisik seideal itu.
Karenanya, remaja mesti belajar menerima dan memanfaatkan seperti
apapun kondisi fisiknya dengan seefektif mungkin.
Remaja perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah
makna yang sesungguhnya dari kecantikan. Kecantikan sejati justru
bersumber dari hati nurani, akhlak, serta kepribadian yang baik. Seperti kata
pepatah: Beauty is not in the face, beauty is a light in the heart (kecantikan
bukan pada wajah, melainkan cahaya dari dalam hati). Bahkan dalam Islam,
Rasulullah Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat
bentuk-bentuk tubuhmu dan harta-hartamu, tetapi Allah melihat hati dan
amal-amalmu." (HR Muslim)
2. Kebebasan emosional
Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lainnya umumnya disebabkan
oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai
10
orang dewasa, di lain pihak ia masih terus menerus mengikuti kemauan
orang tua.
Konflik peran yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan
lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan agar anak
dapat mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih
jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap. Oleh karena itu ai
tahu dengan tepat saat-saat yang berbahaya dimana ia harus kembali
bekonsultasi dengan orang tuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih
tahu dari dirinya sendiri.
Peran gender pada hakikatnya merupakan bagian dari peran sosial. Sama
halnya dengan anak yang harus mempelajari perannya sebagai anak
terhadap orang tua atau murid terhadap guru, maka ia pun harus
mempelajari perannya sebagai anak dari jenis kelamin tertentu terhadap jenis
kelamin lawannya.
Dalam hubungan ini Susan. A Basow pernah mengadakan penelitian lintas
budaya tentang peranan seksual. Penelitian itu dilakukan terhadap penduduk
kepulauan Fiji yang terdiri yang terdiri dari suku bangsa Melansia, India,
Eropa dan Cina. Dari penelitinnya diketahui bahwa dalam masyarakat di
mana perawatan dan pengasuhan anak-anak hanya semata-mata tanggung
jawab wanita dan dimana kekuatan fisik sangat menentukan dalam
kehidupan perekonomian, maka perbedaan peran gender adalah yang paling
tajam (Basow,1984:577-585).
Temuan Basow ini
sangat
bertentangan dengan pandangan klasik
Psikoanalisis Sigmund Freud (1956-1939) yang menyatakan bahwa ada atau
tidak adanya penisah yang menentukan perkembangan jiwa seseorang
menjadi laki-laki atau perempuan. Pada mulanya, bayi yang baru lahir
memang biseksual, namun dalam perkembangannya anak laki-laki yang
mempunyai penis ingin memiliki ibunya dan ia bersaing dengan ayahnya.
Dalam persaingan itu ia mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya, maka
menjadi kelaki-lakian lah ia. Dan sebaliknya, anak perempuan yang tidak
berpenis iri hatinya pada ayahnya yang berpenis(“penis envy”). Ia ingin
memiliki ayah yang berpenis itu dan untuk itu ia bersaing dengan ibunya dan
11
dalam persaingan itu ia mengidentfikasikan dirinya dengan ibunya. Maka
timbullah sifat kewanitaan pada diri anak perempuan tersebut (Freemen dan
Small, 1960:110, Rocah,1984 dan Bertens,1980:xxiii-xxiv).
Teori freud ini dianggap oleh para ilmuwan yang lain sebagai terlalu
berorientasi pada pria (“Phallocentric”) dan menganggap wanita sebagai
manusia jenis yang lebih rendah. Karena itu Freud ini banyak di kritik dan
sejak tahun 1920 mulai-muncul studi-studi tentang wanita, dipelopori antara
lain oleh K. Horney salah seorang pengikut Freud sendiri. Dari penelitianpenelitian yang telah berlangsung sampai tahun 1972 terkumpul bukti-bukti
bahwa naggapan-anggapan berikut ini adalah tidak benar:
1. Anak perempuan lebih bersifat sosial daripada laki-laki
2. Anak perempuan lebih mudah terpengaruh
3. Anak perempuan punya harga diri yang lebih rendah
4. Anak perempuan lebih mudah mempelajari peran dan tugas yang lebih
sederhana
5. Anak laki-laki lebih analitis
6. Anak perempuan lebih dipengaruhi oleh bakat, sedangkan anak laki-laki
oleh lingkungan
7. Anak perempuan kurang memiliki hasrat untuk berprestasi
8. Anak perempuan cenderung lebih mendengarkan, sedangkan anak laklaki lebih melihat (Benedik,1979:12)
Temuan yang dikumpulkan oleh Benedik dan hasil-hasil penelitian di negara
maju seperti di Amerika Serikat tersebut di atas tentunya lebih mencerminkan
gambaran di negara-negara maju yang merupakan negara-negara industri.
Tetapi kondisiniya lain sekali jika ditengok keadaaan di mana negar-negara
tersebut masih berada dalam era pra industri. Wynne dan Frader (dalam M.
Sugar (ed), 1979:63-80) mengemukakan bahwa dalam abad ke-17 dan 18 di
Eropa yang masih agraris peran wanita berbeda tajam dari peran pria, sebab
kondisi keluarga pada waktu itu yang digambarkan sebagai berikut:
1. Pembauran antargenerasi. Tidak ada pemisahan antargenerasi yang
tegas, anak-anak segera menjadi dewasa dan mengambil alih seluruh
peran orang dewasa
12
2. Perekonomian yang dilancarkan dari rumah tangga. Setiap rumah
tangga merupakan unit penghasil barang produksi, baik berupa hasil
pertanian maupun kerajinan. Setiap anggota keluarga jadinya terlibat
dalam kegiatan perekonomian.
3. Anak-anak sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak usia 10-11
tahun.
4. Selalu ada orang dewasa di rumah, karena nenek dan kakek tinggal
serumah dengan anak cucu mereka sampai mereka meninggal.
5. Sebagai proses sosialisasi anak-anak dikirimkan ke keluarga lain
(terutama yang perempuan) untuk menjadi pembantu rumah tangga
sambil belajar baca-tulis-hitung (catatan: di masyarakat Jawa juga
dikenal kebiasaan serupa yang dinamakan “ngenger” yang dikenakan
kepada anak laki-laki sedangkan anak laki-laki suku Minang harus
tidur di surau bersama teman-teman sebayanya, karena dianggap
sudah tidak pantas lagi bercampur dengan kaum wanita di rumah
gadang).
Dengan adanya perubahan zaman menuju era industrialisasi, maka
kehidupan keluarga
seperti
di
atas
makin memudar.
Akibatnya
kesempatan anak untuk belajar peran gender juga makin terbatas.
Apalagi dengan majunya tingkat pendidikan wanita kepada hal-hal yang
dulunya hnay dikerjakan oleh laki-laki. Bahkan T.M Hartnagel dalam
penelitiannya yang berskala nasional di Amerika Serikat (1982:477-490)
membuktikan bahwa modernisasi punya pengaruh langsung pada
meningkatnya keterlibatan wanita dalam tindakan kriminal. Dalam
bentuknya yang kurang ekstrim dalam pergaulan sehari-hari, Haas telah
membuktikan dalam penelitian sosio-linguistiknya di Amerika Serikat juga
bahwa penggunaan kata-kata jorok pada anak perempuan tidak berbeda
jauh frekuensinya daripada anak-anak laki-laki (T.B. Jay, 1980: 614-621).
Sulitlah kita menjumpai lagi apa yang dinamakan “wanita sejati “ (trully
womanhood) yang klasik yang bercirikan antara lain sikap merendah
(pada orang tua, pada guru, dan lain-lain), kontrol diri yang kuat dan
terikat pada ide-ide tentang kemurnian dalam kesucian (M. Sugar, 1979:
80).
13
Tak mengherankan jika akhir-akhir ini timbul kecenderungan baru dalam
teori-teori tentang peran gender. Aliran baru yang ditokohi anatar alin oleh
Sandra Bem ini berpendapat bahwa sifat kelaki-lakian (masculinity) dan
kewanitaan (feminity) bukanlah merupakan dua hal yang bertolak
belakang di mana jika seseorang itu berjiwa laki-laki tidak mungkin ia
berjiwa wanita atau sebaliknya. Demikian pula, aliran baru ini tidak
mengaitkan sifat-sifat kelaki-lakian dan kewanitaan ini dengan
jenis
kelamin seseorang secara langsung yang mengakibatkan bahwa seorang
yang berjenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai sifat-sifat kewanitaan
digolongkan sebagai banci. Sandra Bem dalam teorinya yang baru
menganggap kelaki-lakian dan kewanitaan sebagai dua sifat yang
berbeda, terlepas satu dari yang lainnya dan tidak selalu terkait dengan
jenis kelamin seseorang.
Dengan menggunakan sebuah skala khusus yang dinamaknanya BSRI
(Bem Sex-Role Inventory). Bem mencoba mengukur sifat-sifat kelakilakian (ambisius, aktif, kompetitif, objektif, mandiri, agresif, pendiam, dan
seterusnya) dan sifat-sifat kewanitaan (pasif, lemah lembut, subjektif,
dependen,
emosional,
dan
sebagainya)
dari
sejumlah
orang
percobaanya. Hasilnya ternyata ada 4 macam manusia ditinjau dari
perans eksualnya, yaitu :
1. Tipe maskulin, yaitu yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata,
sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata
2. Tipe feminin, yaitu yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat
kelaki-lakiannnya kurang dari rata-rata.
3. Tipe
androgin,
yaitu
yang
sifat
kelaki-lakian
maupun
kewanitaannya di atas rata-rata.
4. Tipe tidak tergolongkan (undiferentiated), yaitu yang sifat kelakilakian maupun kewanitaanya di bawah rata-rata. (Wrightsman,
1981:455).
Dalam masyarakat tradisional atau yang hidup dalam lingkungan pra-industir,
kecenderungan memang lebih besar bahwa anak- laki-laki cenderung akan
menumbuhkan sifat maskulinnya, sedangkan anak perempuan cenderung
menjadi feminin. Akan tetapi dalam kehidupan yang lebih modern makin
14
besar kemungkinana timbulnya tipe-tipe androgin dan “Undiferetiated”. Istilah
androgin berasal dari bahasa Yunani yang berarti andro yang berarti laki-laki
dan gyne yang berarti perempuan. Istilah ini kemudian dipinjam oleh para
ahli Psikologi Sosial untuk menerangkan adanya pembauran ciri psikologis
maskulin dan feminin dalam diri seseorang. Demikianlah maka di dalam
masyarakat modern banyak dijumpai wanita yang mampu melakukan profesi
pria dan sebaliknya pria yang mampu mengambil alih tugas wanita.
Kepribadian undiferentiated lebih kaku dan lebih sulit menyesuaikan diri
kepada tugas-tugas kepribadian maupun tugas-tugas kewanitaan.
Keadaaan di Indonesia sendiri pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari yang
diuraikan oleh Sandra Bem tersebut di atas. Yang menjadi masalah sekarang
adalah bahwa, dalam mencari identitas seksualnya banyak remaja
(khususnya yang wanita) di Indonesia ini yang masih menghadapai tekanan
sosial dari keluarga dan masyarakatnya yang masih menghadapi tekanan
sosial dari keluarga dan masyarakatnya yang masih tradisional,s ehingga
mereka harus menghadapi konflik berat dalam menuju kepribadian androgin.
Banyaka yang harus kembali berperan feminin walaupun ia dibesarkan dan
dididik untuk menjadi androgin, contoh dalam kasus III menunjukkan salah
satu perwujudan konflik seorang anak perempuan yang ingin tampil sebagai
pribadi androgin tetapi terhambat oleh kondisi fisiknya yang tidak
memungkinkan.
Pada umumnya, remaja ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka
ingin bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Tak heran, sebab dalam
masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, seorang remaja memang
senantiasa berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan
disejajarkan dengan orang dewasa, dalam kedudukannya yang bukan lagi
sekadar objek.
Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dengan orang
tua, maka pendekatan yang bersifat demokratis dan terbuka akan terasa
lebih bijaksana. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun
rasa saling pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami
sudut pandang pihak lain.
15
Saling pengertian juga dapat dibangkitkan dengan bertukar pengalaman atau
dengan melakukan beberapa aktivitas tertentu bersama-sama, di mana orang
tua dapat menempatkan dirinya dalam situasi remaja, dan sebaliknya.
Menurut Gordon, inti dari metode pemecahan konflik yang aman antara
orang tua dan anak adalah dengan menjadi pendengar aktif.
3. Interaksi sosial
Kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam
membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya
sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Dengan
demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang
dirinya sesuai dengan kenyataan (tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan).
Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, dalam bukunya Kebebasan Wanita,
pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang tidak terjebak dalam dua
ekstrem, yakni terlalu sensitif (menutup diri) atau terlalu bebas. Konsep
pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal positif, seperti untuk
mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta
menambah wawasan yang bermanfaat.
4. Pengetahuan terhadap kemampuan diri
Setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya
bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara
optimal. Dengan demikian, akan terlihat sejauh mana potensi yang ada dan
di jalur mana potensi itu terkonsentrasi, untuk selanjutnya diperdalam hingga
dapat melahirkan karya yang berarti.
Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka
seorang remaja diharapkan lebih mampu menentukan keputusan yang tepat
terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan
yang akan diikutinya.
5. Penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama
William James, seorang psikolog yang mendalami psikologi agama
mengatakan bahwa orang yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama
16
cenderung mempunyai jiwa yang lebih sehat. Kondisi tersebut ditampilkan
dengan sikap yang positif, optimis, spontan, bahagia, serta penuh gairah dan
vitalitas.
Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang
membosankan atau perjuangan yang berat dan penuh beban, akan memiliki
jiwa yang sakit (sick soul). Dia akan dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa
bersalah, murung serta tertekan.
Bagi keluarga Muslim, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman
bahwa di usianya si remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif,
atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung
sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut.
Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka
lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh
jadi, si remaja sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan frame
religius
Tidak kalah penting dari tugas perkembangan di atas adalah adanya
kesadaran pada remaja untuk mempelajari segala seluk-beluk yang berkaitan
dengan
masalah
seksual.
Beberapa
tema
yang
berkaitan
dengan
perkembangan seksual remaja adalah sebagai berikut:
1. Upaya untuk mengkaitkan antara perkembangan pubertal, body image,
dan self image. Remaja pada umumnya peka dan sangat perhatian
terhadap daya tarik pribadi. Mereka akan selalu memperhatikan
penampilannya,
bentuk
tubuhnya,
wajahnya,
dan
penerimaannya
terhadap diri sendiri. Hal ini akan mengarahkan remaja pada terciptanya
body image yang kemudian tertuju pada self image. Melalui self image ini
akan berdampak pada keyakinan diri remaja dalam proses berinteraksi
sosial dengan lingkungan sekitarnya.
2. Minat
untuk
mempelajari
tubuh
sendiri,
respon
seksual,
dan
kebutuhannya. Ketidaktahuan remaja bahwa kemasakan hormon seksual
akan memiliki implikasi terhadap reaksi-reaksi tubuh yang muncul saat
remaja putri mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah.
17
Adanya kemasakan hormon seksual ini mencemaskan remaja terhadap
permasalahan yang berkaitan dengan organ seksualnya. Ada reaksi
seksual tertentu saat remaja putri menggunakan pembalut untuk pertama
kali, sedangkan pada remaja pria dibingungkan dengan ukuran alat
kelaminnya yang kemudian dicoba untuk diukur kenormalannya dalam
segala dimensi. Pada saat ini juga remaja sudah mampu menghayati
makna rangsangan seksual terlepas dari apakah rangsangan seksual
tersebut berasal dari proses persentuhan dengan lawan jenis (sosioerotik) atau akibat berfantasi (auto-erotik).
3. Pencarian identitas diri dengan fokus pada pemenuhan tuntunan sosial
terhadap peran jenis kelamin dan upaya untuk pemantapan orientasi
seksual pribadi. Pusat dari proses perkembangan remaja adalah supaya
proses pencarian. Ada tuntunan sosial yang dicoba dipelajari remaja
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh remaja putri dan putra
dalam memenuhi harapan perilaku sosial. Sedangkan tingkah laku
seksual sendiri pada umumnya tertuju pada upaya untuk menunjukkan
pada teman sebaya agar dirinya dapat diterima. Dan biasanya tingkah
laku seksual tersebut tidak terfokus pada "actual sexual desire"
(penyaluran nafsu seksual).
4. Mempelajari hubungan seksual dan interaksinya dengan lawan jenis
berupa keterikatan hubungan, percintaan, atau komitmen. Pada usia
remaja inilah seseorang mulai mengembangkan minat heterosexualnya.
Dimulai dari keterdekatan hubungan dalam organisasi sekolah osis,
olahraga, seni, kemudian berlanjut keterikatan antar dua remaja yang
mengembangkan
hubungan
emosional
secara
intens,
rutin,
dan
bertanggung jawab.
5. Mengembangkan sistem nilai seksual pribadi. Sistem nilai seksual
berkaitan dengan kesadaran remaja mengenai siapa dirinya. Dengan
mengenal siapa dirinya, remaja mengembangkan sikap dan perilaku
sebagaimana konsep diri yang terbentuk. Hal ini kemudian berkaitan
dengan cara remaja memilih sikap dan perilaku pasangannya sesuai
dengan kondisi diri remaja sendiri.
18
C. Tinjauan secara Nilai-nilai Agama Islam
Perilaku menyimpang dalam hal ini adalah kenakalan remaja merupakan
perbuatan dosa yang akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat
kelak. Usia remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau
bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri
dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut.
Berkenaan dengan penyalahgunaan Narkoba, dalam surat Al-Baqoroh (2) ayat
219 sebagai berikut:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.
( TQS Al-Baqoroh (2) : 219)
Dalam ayat tersebut di atas Allah SWT berfirman bahwasanya khomar dan Judi
ada manfaat dan mudhorotnya namum mudhorotnya lebih besar daripada
manfaatnya. Namun dalam ayat lain Allah SWT telah berfirman secara tegas
bahwasanya Khomar atau sesuatu yang memabukkan adalah haram:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan
19
(TQS Al-Maidah [5] : 90)
Dalam
surat
Al-Maidah
ayat
90
tersebut
dengan
tegas
Allah SWT
mengharamkan segala sesuatu yang memabukkan, termasuk di dalamnya
Narkoba, jika seorang hamba yang beriman tetap melakukannya, maka
termasuk perbuatan dosa besar.
Ayat lain yang menerangkan tentang sex bebas adalah surat Al Isra ayat 32,
yang artinnya sebagai berikut:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
D. Tinjauan secara Sosial Budaya
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan,
berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Atau remaja yang terkena
narkoba adalah mereka yang berada pada keluarga yang menengah ke atas.
Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat
perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari
tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering
berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga
sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan
agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang
harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab kenakalan remaja tidaklah sesederhana itu. Terutama
di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis,
budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang
padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata
kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja,
penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan merokok digolongkan sebagai salah
20
satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam
hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional
dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya
situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya
muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu
berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma
dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi.
Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan
oleh kelompoknya.
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara
kecenderungan di dalam diri individu dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal
kenakalan ramaja. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor mengapa seorang
remaja terlibat dalam kenakalan remaja.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian dan terlibat kasus
Narkoba biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi
lingkungan
yang
kompleks.
Kompleks
di
sini
berarti
adanya
keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua
rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak.
Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada
remaja yang terlibat, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya
mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang /
pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara
tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering
berkelahi dan menggunakan Narkoba jenis apapun, ditemukan bahwa
mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang
labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan
rendah
diri
yang
kuat.
Mereka
biasanya
sangat
membutuhkan
pengakuan. Secara agresif, maka remaja akan menyerang dan menyakiti
orang lain, dan secara represif remaja lari pada penyalahgunaan obatobatan terlarang.
21
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar
orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika
meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya,
sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja
akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan
teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap
kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak
muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang
tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman
fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak
muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer &
Corado dalam Atkinson, Pengantar psikologi, 1999:294). Remaja yang
berasal dari keluarga konservatif yang menekankan nilai-nilai sosial dan
agama dengan baik dengan tujuan jangka panjang lebih sulit untuk
terlibat
dengan
rokok/tembakau/obat-obatan
dibandingkan
dengan
keluarga yang permisif dengan penekanan pada falsafah “kerjakan
urusanmu sendiri-sendiri", dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila
orang tua sendiri menjadi figur contoh yaitu sebagai perokok berat, maka
anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya. Perilaku
merokok lebih banyak di dapati pada mereka yang tinggal dengan satu
orang tua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai
perokok bila ibu mereka merokok dari pada ayah yang merokok, hal ini
lebih terlihat pada remaja putri (Al Bachri, Buletin RSKO, tahun IX, 1991).
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai
lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah
terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu,
lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar
(misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan
dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan
22
menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah
bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana
guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih
berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh
otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau
dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang
sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
kenakalan remaja. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh,
dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba).
Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan
pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan.
Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang
mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi. Apalagi suguhan hiburan
di televise yang tidak bernuansa edukatif, bahkan cenderung konsumtif
dan
hura-hura,
sehingga
remaja
cenderung
untuk
meniru
dan
menerapkannya dalam kehidupan kesehariannya.
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok
maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga
dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang
terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau
bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja
tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja
perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih
sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Al Bachri,
1991)
E. Implikasi Program Bimbingan dan Konseling
1. DASAR PEMIKIRAN
Masa remaja adalah masa peralihan dari periode anak menuju dewasa.
Banyak hal terjadi pada masa remaja, perubahan bentuk fisik dan kondisi
23
psikologis terakumulasi mendorong penyimpangan-penyimpangan perilaku
yang disebut sebagai kenakalan remaja (juvenile delinquency). Pada taraftaraf tertentu perilaku remaja dianggap lumrah, namun pada taraf tertentu
mengarah pada aksi asusila dan criminal.
Bentuk-bentuk
kenalan
remaja
beragam
mulai
dari
merokok,
penyalahgunaan NArkoba, seks bebas dan pencurian. Faktor penyebab
munculnya perilaku tersebut beragam, namun secara umum merupakan
akumulasi dari factor interen individu dan factor ekstern termasuk pola
pendidikan keluarga dan pola pendidikan sekolah di dalamnya.
Kecenderungan
meningkatnya
angka
penyimpangan
perilaku
remaja
merupakan tanggung jawab semua pihak untuk menanggulanginya, karena
mereka lah yang kelak akan menggantikan para pemimpin yang saat ini
berkuasa. Jika tidak segera mendapatkan intervensi, maka dimugkinkan
terjadinya kehancuran bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Sekolah sebagai institusi formal, mamiliki peran yang lebih, dalam
mengkondisikan remaja di sekolah untuk berperilaku sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu program bimbingan dan konseling
yang baik menjadi kebutuhan yang perlu direalisasikan dengan optimal.
2. LANDASAN PROGRAM
a. Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 90
b. Al-Qur’an Surat Al-BAqoroh ayat 219
c. UUSPN No.20/2003 Pasal 1 ayat 1 tentang arti Pendidikan.
d. UUSPN No.20/2003 Pasal 12 ayat 1 dan 2 tentang Hak dan
Kewajiban Peserta didik.
3. NAMA PROGRAM
Program Bimbingan dan Konseling untuk Menanggulangi Kenakalan
Remaja
4. TUJUAN PROGRAM
1. Tujuan Umum
24
Memfasilitasi
siswa
untuk
mengembangkan
kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan dan berperilaku sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat
2. Tujuan Khusus
Membantu siswa agar :
a. Memiliki kesadaran terhadap perubahan bentuk fisik serta
bersyukur atas karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya.
b. Terampil mengelola waktu yang dimilikinya, sehingga tidak akan
terjerumus pada perilaku yang menyimpang.
c. Independen dalam mengembangkan sikap dan tindakan.
d. Membentuk
komunitas
yang
positif
(peer
group)
untuk
pengembangan diri dan berbagi satu sama lain.
3. DESKRIPSI KEGIATAN PROGRAM
a. Lingkup Program
Muatan program bimbingan dan konseling ini secara khusus berisi
layanan bimbingan pribadi & sosial dalam penanggulangan perilaku
menyimpang pada remaja. Sesuai dengan tujuan khusus program, rincian
substansi muatan materi, metode dan teknik serta layanan dukungan
sistem program dipaparkan sebagai berikut :
a. Metode dan Teknik Bimbingan
1) Metode : konseling, sosiodrama, role play, simulasi,
brainstorming,
simulasi,
modeling,
relaksasi,
training/pelatihan.
Untuk pelatihan, materi-materi yang dilatihkan disesuaikan
dengan
kebutuhan.
Pelatihan
25
dimaksudkan
untuk
memperluas sebagian dari pokok-pokok materi pada ke
dalam topik-topik praktis yang lebih dominan dibutuhkan oleh
siswa peserta pelatihan. Makna keputusan dan jenisjenisnya, yaitu : keputusan yang besar, keputusan yang
kecil, keputusan yang mudah, keputusan yang sulit,
keputusan yang benar dan keputusan yang salah.

Kebutuhan yang mendukung pengambilan keputusan
yang baik : informasi, tujuan, kebebasan, rencana,
kemudahan memeriksa kemajuan proses pengambilan
keputusan, hasil berupa keputusan.

Teknik mengambil keputusan yang baik melalui proses
persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi.

Dewasa mengambil keputusan dengan penerapan kajian
transaksi Eric Berne dalam proses dan refleksi sesudah
pengambilan keputusan sendiri maupun yang melibatkan
orang lain.
Transaksi merupakan pertukaran antara dua orang, salah
satunya berkata atau melakukan sesuatu dan yang
lainnya menanggapi. Di antara dua orang tersebut
cenderung
ditemukan
peran-peran
dominan
yang
berlainan, yaitu orang tua, orang dewasa dan anak.

Mengenal
pengerjaan
tipe-tipe
tugas
pengambilan
kelompok
keputusan
dan
kelas
dalam
yaitu
:
'cemplungan air' (tidak mengambil keputusan adalah
mengambil keputusan), keputusan satu orang, keputusan
segelintir orang, keputusan kelompok clique, keputusan
kelompok minoritas, keputusan hasil voting mayoritas,
konsensus diam sebagai keputusan, keputusan sebagai
hasil konsensus.
26

Teknik merencanakan dan membaca medan potensi
pelaksanaan keputusan.

Teknik evaluasi dan peninjauan kembali keputusan.

Perencanaan aksi pembuatan keputusan/pelaksanaan
keputusan peningkatan kinerja akademik.
2) Teknik :
a) Individual untuk konseling individual.
b) Kelompok secara periodik sesuai kelompok bimbingan
PA atau kelompok ampuan peer counselors.
c) Klasikal dalam bimbingan yang terintegrasi dalam
kegiatan perkuliahan di bawah bimbingan mata kuliah.
b. Layanan Dukungan Sistem
1) Pelatihan dan Konsultasi
a) Pelatihan dan konsultasi diselenggarakan untuk calon
fasilitator teman sebaya sebagai paraprofesional untuk
menanggulangi perilaku menympang di kalangan remaja.
Materi latihan untuk paraprofesional terdiri dari :

Pemahaman terhadap pengertian, fungsi dan peran
paraprofesional bimbingan dan konseling

Pengenalan
terhadap
program
bimbingan
dan
konseling untuk menanggulangi perilaku kenakalan
remaja

Delapan keterampilan dasar bagi paraprofesional
bimbingan dan konseling :
 Keterampilan attending
 Keterampilan memilah-milah isi ungkapan klien
 Keterampilan empati
 Keterampilan
sumarizing
(menyimpulkan
isi
perbincangan dan konseling secara keseluruhan)
 Keterampilan bertanya
 Keterampilan bersikap genuine
27
 Keterampilan assertif
 Keterampilan melakukan konfrontasi ungkapan
klien
 Keterampilan penyelesaian masalah

Microcounseling

Evaluasi dan perencanaan aksi tindak lanjut pelatihan
untuk implementasi program di lapangan.
b) Pelatihan dan konsultasi juga diselenggarakan untuk
orangtua siswa.
2) Media :
a) Cetak
berupa
publikasi
informasi
tentang
dan
pengembangan
kinerja
personal
siswa
untuk
menyongsong sukses pribadi, sosial, akademik dan
karier;
b) Telepon
melalui
Counseling
pemanfaatan
Services
(HLCS)
fasilitas
untuk
Hot
Line
mendekatkan
keterjangkauan siswa dengan peer counselor;
c) Internet, peningkatan pengelolaan situs internet sebagai
media informasi, konseling dan konsultasi remaja.
b. Mekanisme Penyelenggaraan Program
Secara skematik, mekanisme penyelenggaraan program bimbingan
dan konseling ini divisualisasikan berikut ini :
28
Inventarisasi Kebutuhan
Penyelenggaraan Program
Pengembangan Disain Program
 Identifikasi dan klasifikasi
sasaran program
 Identifikasi, rekruitmen, pelatihan
pelaksana program
 Rumusan alur koordinasi dan
evaluasi program
 Identifikasi sarana-prasana
penunjang program
 Untuk setiap klasifikasi sasaran
 Pilihan teknik bimbingan : individual,
kelompok atau klasikal
 Cakupan contents (materi), metode dan
durasi efektif bimbingan
Implementasi
Program sesuai
Disain
Evaluasi dan Perencanaan Tindak Lanjut
Segi Evaluasi dengan rumus CIPP :
Perencanaan Tindak Lanjut :





Context (konteks program) meliputi relevansi program dengan
kebutuhan siswa dan tujuan program, kelengkapan isi dan ketepatan
rumusan program.
Input (masukan program) meliputi karakteristik siswa (klien), , siswa
peer counselors, fasilitas, pembiayaan, media dan instrumen program
serta lingkungan penyelenggaraan program.
Proccess (proses program) meliputi pengumpulan, pengolahan dan
penafsiran data siswa serta rekapitulasi data proses penyelenggaraan
bimbingan dan konseling.
Product (hasil program) meliputi perubahan cara pandang, sikap dan
perilaku siswa sebagai klien maupun konselor, PA dan peer



Pengembangan program meliputi perangkat-perangkat alat
ukur, alat ukur evaluasi program, fasilitas program dan
kualitas program secara keseluruhan.
Pengembangan siswa sasaran dengan siklus klien 
pembimbing/konselor. Sasaran prioritas tiga diprioritaskan
sebagai kandidat peer counselors, kemudian prioritas madya
dan prioritas utama + sasaran kritis.
Pengembangan kompetensi konselor, dan peer counselors.
Pengembangan kemitraan program untuk sponsorship,
pengayaan sumber materi dan kerjasama antar-lembaga.
counselors
a. Inventarisasi kebutuhan penyelenggaraan program diperoleh
dari beberapa sumber melalui beberapa teknik, yaitu :
1) Siswa sebagai sasaran program yang diklasifikasikan
berdasarkan skor tingkat yang diukur menggunakan skala
psikologi, penguatan dari dua orang teman.
Tiga alur masukan penentuan klasifikasi siswa tersebut
ditanggungjawabi oleh
29
PA sesuai jumlah siswa yang
dibimbingnya, walaupun penafsiran skor skala psikologi
tetap dilakukan oleh konselor.
2) Pada tahap awal, siswa kandidat peer counselors ditentukan
sesuai referensi yang dapat dipercaya dari , ketua jurusan
dan
sesama
siswa.
Untuk
tahap
selanjutnya,
peer
counselors ditentukan dari klasifikasi sasaran prioritas tiga,
kemudian sasaran prioritas madya lalu sasaran prioritas
utama. Bahkan lebih efektif lagi manakala sasaran kritis juga
direkrut sebagai peer counselors. Tujuannya adalah untuk
menjaga
kontinuitas penyelenggaraan
program
secara
efektif.
3) Arsip data inventaris fasilitas Universitas yang dapat
dimanfaatkan dalam penyelenggaraan program.
b. Pengembangan disain program merupakan penentuan prosedur
taktis dan teknis penyelenggaran program sesuai dengan hasil
inventarisasi kebutuhan. Dalam disain program, selain setting
bimbingan juga diatur agenda dan biaya program.
c. Implementasi program dilakukan sesuai dengan disain yang
dirancang.
d. Evaluasi
dan
tindak
lanjut
merupakan
kegiatan
yang
dilaksanakan beriringan pada saat inventarisasi kebutuhan dan
pengembangan disain program (pra program), implementasi
program (proses program) dan sesudah implementasi program
(hasil
program).
Tujuannya
adalah
untuk
menentukan
keputusan terhadap kualitas pra program, proses program dan
hasil program sehingga dapat ditentukan langkah tindak lanjut
yang dibutuhkan untuk pengembangan program selanjutnya.
1) Teknik Evaluasi
Evaluasi diselenggarakan menggunakan teknik non-tes.
2) Bentuk Evaluasi
30
Wawancara, angket, skala psikologi, self-report inventory,
biografi terstruktur dengan jenis-jenis instrumen berupa :

Skala Siswa

Daftar Riwayat Hidup (DRH) siswa

Pedoman wawancara

Pedoman observasi

Rekaman studi dokumentasi

Format risalah kegiatan bimbingan dan konseling

Instrumen pelengkap dalam setiap sessi bimbingan dan
konseling sesuai materi
Daftar Pustaka
Astiyanti, N, et.al. (2003). Aplikasi Camp Counseling untuk Mengatasi Kejenuhan
belajar Siswa SMA. Bandung: tidak diterbitkan.
Cavanagh, M. (2000). The Counseling Experience: A Theoritical and Practical
Aproach.California: Wadsworth, Inc
Chaplin, J.P. (1993). Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan. Jakarta: Rajawali
Press.
Harefa, A. (2002). Sekolah Saja Tak Pernah Cukup. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: ERLANGGA.
Kartadinata, S. (2005). “Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling
Profesional: Proposisi Historik-Futuristik”. Kumpulan Makalah Seminar
Bimbingan dan Konseling Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Moh.
Djawad Dahlan. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Kroth, J. (1973). Conseling, Psychology and Guidance. USA: Charles C. Thomas
Publisher.
Lucas. B. (2006). Optimalkan Otak Anda. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
31
Makmun, A. (2000). Psikologi Kependidikan. Edisi Revisi. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya
Miller, FW. (1978). Guidance: Principles and Services. Columbus Ohio: Charles
E. Merrill Books, Inc.
Nggermanto, A. (2001). Quantum Quotient. Bandung: Nuansa.
Nurihsan, J (1998). Bimbingan Komprehensif: Bimbingan dan Konseling di
Sekolah Menengah Umum. Bandung: Disertasi UPI Tidak Diterbitkan.
_________. (2002). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Bandung: PPB UPI.
Rachman, A. (2006). “Agar Tak Membosankan, Kurikulum Pendidikan Harus
Kontekstual”. Pikiran Rakyat (29 Mei 2006)
32
Download