2.1. Konformitas Teman Sebaya

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini merupakan uraian dari definisi dan teori yang relevan sebagai
landasan berpikir penulis dalam penelitian mengenai keterkaitan konformitas
teman sebaya, konsep diri, dan kenakalan remaja. Dalam hal ini berada di
lingkungan remaja Sekolah Menengah Atas.
2.1. Konformitas Teman Sebaya
2.1.1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya
Peer atau teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan
tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2006).
Konformitas teman sebaya secara operasional didefinisikan sebagai
keinginan individu untuk mengikuti aktivitas dan kecenderungan teman
sebaya mereka (Santor, Messervey, Kusumaker, 2000). Pada Monks
(2004) konformitas pada remaja terhadap kelompok teman sebaya terjadi
karena dalam perkembangan sosialnya, remaja mulai memisahkan diri dari
orangtua dan menuju ke arah teman-teman sebaya.
Dalam Susilowati (2011) disebutkan bahwa teman sebaya
berfungsi sebagai penyedia informasi mengenai dunia di luar keluarga.
Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima suatu umban balik tentang
potensi yang ia miliki, dan belajar mengenai apakah perilakunya lebih
baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk dari remaja lainnya. Situasi
13
14
ini dapat menjelaskan bahwa kelompok teman sebaya adalah lingkungan
sosial pertama di luar keluarga, dimana remaja mempelajari untuk hidup
bersama dengan orang lain yang bukan keluarganya. Mukhoyyaroh (2012)
mengatakan bahwa konformitas pada teman sebaya meliputi penampilan,
minat, sikap, pembicaraan, serta perilaku.
Berndt (1979) mendimensikan konformitas teman sebaya ke dalam
dua bentuk, yaitu:
1. Anti-sosial: merupakan suatu perilaku yang dapat merugikan diri
sendiri bahkan orang lain (Berndt, 1979 dalam Koban, 2000). Selain
itu, Berger (2000) menyatakan bahwa sikap antisosial seringkali
dipandang sebagai sikap dan perilaku yang tidak mempertimbankan
penilaian dan keberadaan orang lain di sekitarnya. Contoh pertanyaan
untuk mendeteksi perilaku antisosial pada konformitas teman sebaya
adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah yang akan ia
lakukan jika salah satu teman sebayanya menginginkan ia untuk
mencuri permen (Santrock, 2006).
2. Netral: melakukan segala sesuatu karena keinginan atau ajakan orang
lain agar tidak disisihkan atau tidak menyinggung perasaan orang lain
(Berndt, 1979 dalam Koban, 2000). Dalam hal ini dijelaskan bahwa
remaja tidak selalu menuruti kehendak teman-temannya, tetapi pada
akhirnya remaja mengikuti teman-temannya karena berusaha menjaga
perasaan mereka (Sumarlin, 2012). Contoh pertanyaan untuk
mendeteksi perilaku netral pada konformitas teman sebaya adalah
15
dengan menanyakan kepada remaja, apakah ia akan mengikuti saran
teman sebayanya untuk mengikuti aktivitas yang ia tidak tertarik untuk
ikuti (Santrock, 2006).
3. Pro-sosial : melakukan sesuatu sesuai dengan norma-norma sosial atau
nilai-nilai yang berisi mengenai hal-hal positif (Berndt, 1979 dalam
Koban, 2000). Dalam hal ini dijelaskan bahwa remaja tidak hanya
prososial terhadap kelmpoknya, tetapi juga terhadap lingkungan
tempat tinggalnya (Sumarlin, 2012). Contoh pertanyaan untuk
mendeteksi perilaku prososial pada konformitas teman sebaya adalah
dengan menanyakan kepada remaja, apakah ia mengandalkan saran
orang tua dalam memutuskan sesuatu, misalnya magang di
perpustakaan atau mengajari anak-anak berenang (Santrock, 2006).
2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas Teman Sebaya
Asch (dalam Baron, Branscombe, & Byrne, 2008) dari penelitian
yang dilakukannya menemukan beberapa faktor yang memengaruhi
konformitas, antara lain:
a. Cohesiveness (Kekompakan). Faktor paling kuat yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang melakukan konformitas adalah ketertarikan
pada suatu kelompok dan keinginan untuk berada di kelompok
tersebut. Rakhmat (2001) mengatakan bahwa semakin kohesif suatu
kelompok, maka semakin besar kemungkinan terjadinya konformitas.
Semakin seseorang ingin berada dalam sebuah kelompok sosial dan
semakin ingin merasa diterima di kelompok tersebut, maka mereka
16
akan semakin menghindari melakukan hal-hal yang menyebabkan
mereka terpisah dari kelompok tersebut.
b. Group Size (Ukuran kelompok). Konformitas semakin meningkat saat
jumlah anggota kelompok semakin banyak.
c. Descriptive and Injuctive Social Norms. Maksud dari Descriptive and
Injuctive Social Norms adalah bagaimana norma dapat mempengaruhi
perilaku seseorang. Descriptive norms adalah bagaimana kebanyakan
orang berperilaku jika dihadapkan dalam sebuah situasi. Injuctive
normas adalah bagaimana seseorang seharusnya berperilaku agar
perilaku tersebut diterima atau ditolak dalam sebuah situasi.
2.1.3. Konformitas pada Remaja
Melemahnya pengaruh orang tua pada remaja semata-mata timbul
karena adanya keinginan remaja untuk mandiri. Masa remaja adalah masa
yang unik sebab pada masa ini remaja tidak bisa lagi dikatakan sebagai
anak-anak, akan tetapi remaja juga belum bisa dikatakan sebagi orang
dewasa (Calon dalam Monks dkk, 1994). Masa ini sering juga disebut
dengan istilah masa transisi atau masa peralihan sebab adanya perubahan
dari masa anak-anak menuju masa remajadan peralihan ini bukan sekedar
peralihan biasa namun sebuah periode yang Khusus dalam perkembangan
manusia. Ausabel (dalam Monks dkk, 1994), menyebutkan status remaja
sebagai status interim, karena sebagian posisinya diberikan oleh orang tua
dan sebagian melalui usahanya sendiri. Mereka berbeda dengan orang tua
yang mempunyai status primer, di mana posisinya tersebut diperoleh
17
berdasarkan atas kemampuan dan usaha sendiri. ataupun pada anakanak
yang mempunyai status penjabaran, di mana statusnya tergantung
sepenuhnya pada pemberian orang tua dan atau masyarakat dalam
perkembanngan sosialnya remaja mengalami dua macam gerak yaitu gerak
memisahkan diri dengan orang tua dan gerak menuju ke arah teman
sebaya. Pengaruh teman sebaya tampak jelas karena adanya penurunan
jumlah waktu untuk berinteraksi dengan orang tua, dan sebaliknya
mengalami peningkatan jumlah waktu untuk berinteraksi dengan teman
sebaya (Monks dkk., 1994).
Condry (dalam Monks dkk, 1994) menyatakan bahwa remaja biasa
menghabiskan waktu untuk berakhir pekan dengan teman sebayanya dua
kali lipat lebih banyak daripada bersama dengan orangtuanya. Bahkan
Csikszentmihalyi (dalam Monks dkk, 1994) menemukan remaja dalam
menghabiskan akhir pekannya dengan teman sebayanya tiga kali lipat
lebih banyak dibanding bersama dengan orang tuanya.
Hurlock (1996) menyatakan bahwa salah satu fenomena perilaku
yang teijadi dalam hubungan antara seorang remaja aengan kelompok
teman sebayanya adalah konformitas. Karena adanya kepentingan seorang
remaja terhadap kelompok teman sebayanya, maka motivasi untuk
konformistis terhadap nilai, kebiasaan.
Kecenderungan untuk mempertahankan keunikan individu maupun
konsistensi dalam mengontrol kejadian dalam kehidupannya, merupakan
masalah lain. Seseorang ingin mengikuti dan menjadi seperti orang lain,
18
akan tetapi hal tersebut tidak seharusnya membuat seorang individu
kehilangan identitas personalnya (dalam Hewstone dkk, 1996).
Keinginan remaja untuk diterima di tengah-tengah kelompoknya
ditentukan oleh tingkat kekuatan tekanan yang akan diberikan kelompok
kepada remaja, untuk mencapai tujuan tersebut remaja akan berusaha
untuk konformistis dalam segala hal agar dapat ditrima ditengah-tengah
kelompok (Hurlock, 1968).
Atribut yang mencolok pada remaja jika dibanding tahap
perkembangan lain adalah perilaku konformitas. Sifat remaja yang suka
mencoba hal-hal baru, keadaan yang kondusif, keinginan untuk
berkelompok serta tidak stabilnya pendirian akan mudah bagi terciptanya
konformitas pada remaja. Tetapi tidak semua remaja memiliki tingkat
kerentanan yang sama terhadap pengaruh konformitas tersebut, seperti
dijelaskan oleh Lefcourt (dalam Monks dkk, 1994), yang menyatakan
bahwa remaja dari kelas sosial yang rendah memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk bersikap konformistis dengan kelompoknya. Dan
sebaliknya remaja dari kelas sosial yan tinggi memilik tingkat konformitas
yang lebih rendah.
2.2. Konsep Diri
2.2.1. Pengertian Konsep diri
Konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang
mengenai dirinya. Keyakinan tersebut bisa berkaitan dengan bakat, minat,
19
kemampuan, penampilan fisik, dan sebagainya (Deaux dalam Sarwono
2009). Konsep diri merupakan kesan terhadap diri sendiri secara
keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri tentang
gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang
dicapai (Ghufron dan Rini S. 2010). Monks (2004) berpendapat bahwa
pembentukan konsep diri pada remaja sangat penting karena akan
mempengaruhi kepribadian, tingkah laku, dan pemahaman terhadap
dirinya sendiri. Sehingga pencarian identitas merupakan konflik utama
yang dialami oleh remaja.
Menurut Hurlock (1996) konsep diri adalah penilaian remaja
tentang diri sendiri. Yang terbagi berdasarkan beberapa sifat, yaitu:
1) Konsep Diri Fisik
Gambaran remaja tentang penampilannya, dengan seksnya, arti
penting tubuhnya dalam hubungannya dengan perilakunya, dan gengsi
yang diberikan oleh tubuhnya dimata orang lain.
2) Konsep Diri Psikis
Gambaran remaja tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga
dirinya dan hubungan dengan orang lain.
3) Konsep Diri Sosial
Gambaran remaja tentang hubungannya dengan orang lain, dengan
teman sebaya, dengan keluarga, dan lain-lain.
20
4) Konsep Diri Emosional
Gambaran remaja tentang emosi diri, seperti kemampuan menahan
emosi, pemarah, sedih, atau riang-gembira, pendendam, pemaaf, dan
lain-lain.
5) Konsep Diri Aspirasi
Gambaran remaja tentang pendapat dan gagasan, kreativitas, dan citacita.
6) Konsep Diri Prestasi
Gambaran remaja tentang kemajuan dan keberhasilan yang akan
diraih, baik dalam masalah belajar Maupin kesuksesan hidup.
2.2.2. Jenis-jenis Konsep Diri
Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri ke dalam dua
jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
a) Konsep Diri Positif
Merupakan konsep diri yang bersifat stabil dan bervariasi, serta
menunjukkan adanya pengenalan diri dan penerimaan diri dengan
sangat baik. Individu dengan konsep diri ini dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya
sendiri, sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif serta
dapat menerima dirinya apa adaya.
b) Konsep Diri Negatif
Konsep ini terbagi menjadi dua tipe, yang pertama adalah pandangan
individu yang tidak teratur, tidak memiliki kestabilan, dan keutuhan
21
diri. Ketidakmampuan ini menyebabkan individu tidak mengetahui
dengan benar siapa dirinya, kekuatan maupun kelemahannya, atau apa
yang dihargai dalam kehidupannya.Tipe yang kedua adalah pandangan
diri individu terlalu stabil dan teratur. Hal ini dapat terjadi karena
individu dididik dengan cara yang keras, sehingga menciptakan citra
diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari kebiasaan atau
citra dirinya yang telah terbentuk tersebut, dan beranggapan bahwa hal
tersebut adalah cara hidup yang paling tepat.
2.2.3. Dimensi Konsep Diri
Fitts (dalam Agustiani, 2006) membagi konsep diri ke dalam dua
dimensi pokok, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Berikut
dijelaskan secara rincii satu persatu.
1. Dimensi Internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal
(internal frame of reference) adalah bila seorang individu melakukan
penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri
atau dunia dalam dirinya sendiri terhadap identitas dirinya, perilaku
dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan internal atau yang
disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas tiga bentuk,
yang terdiri dari:
a) Diri sebagai obyek/identitas (identity self).
Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling
mendasar. Konsep ini mengacu pada pertanyaan “siapakah saya ?”,
dimana di dalamnya tercakup label-label dan simbol-simbol yang
22
diberikan pada diri oleh individu yang bersangkutan untuk
menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Misalnya,
“saya Ikhsan” dan kemudian sejalan dengan bertambahnya usia
dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan semakin
banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri, sehingga
individu tersebut akan dapat melengkai keterangan dirinya dengan
hal-hal yang lebih kompleks, seperti : “saya Ikhsan”, “saya seorang
ayah dari satu orang anak”, saya bekerja sebagai seorang
wiraswasta”, dan sebagainya. Selanjutnya setiap elemen dari
identitas diri akan mempengaruhi cara individu mempersepsikan
dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya
sendiri sebagaimana ia berfungsi. Pada kenyataannya, identitas diri
berkaitan erat dengan diri sebagai pelaku. Identitas diri sangat
mempengaruhi tingkah laku seorang individu, dan sebaliknya
identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai pelaku. Sejak kecil,
individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada
orang lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku
atau apa yang dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat
menjadi sesuatu seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan
dengan melakukan sesuatu, seringkali individu itu sendiri harus
menjadi sesuatu.
23
b) Diri sebagai pelaku (behavioral self).
Diri pelaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah
lakunya. Diri pelaku berisikan segala kesadaran mengenai “apa
yang dilakukan oleh diri”. Selain itu, bagian ini sangat erat
kaitannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat atau
memenuhi syarat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri
identitas dengan diri pelakunya, sehingga individu tersebut dapat
mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri
sebagai pelaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai
penilai.
c) Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self)
Manusia
cenderung
menilai
sejauh
mana
hal-hal
yang
dipersepsikan memuaskan bagi dirinya. Interaksi antara diri
identitas, diri pelaku dan integrasi dalam keseluruhan konsep diri
meliputi bagian diri yang ketiga yaitu diri sebagai penilai. Diri
penilai berfungsi sebagai pengamat dan pemberi nilai standar,
pembanding dan terutama sebagai penilai diri. Juga mediator
antara dua diri berbeda. Penilaian diberikan pada label-label di
dalam diri identitas atau diri pelaku secara terpisah, misalnya Saya
pintar” atau “Saya tidak suka melakukan itu”. Penilaian belajar dan
“saya pintar” berarti orang tersebut memberi label pada
keseluruhan diri dan bukan pada tingkah laku tertentu. Namun
orang tersebut bisa juga mengatakan "Saya melakukan itu tapi saya
24
bukan orang yang terbiasa melakukan hal demikian", hal ini
berarti, orang tersebut tidak setuju dengan tingkah laku tadi.
2. Dimensi Eksternal adalah individu menilai dirinya melalui hubungan
dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain
diluar dirinya. Yang terdiri dari:
a) Diri fisik (physical self)
Merupakan persepsi dan perasaan seseorang terhadap keadaan
fisik, kesehatan, keterampilan, penampilan diri, seksualitas dan
gerak motorik.
b) Diri moral-etik (moral-ethical self)
Merupakan persepsi seseorang tentang dirinya ditinjau dari standar
pertimbangan nilai-nilai etis dan moral. Selain itu juga berkaitan
dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya, rasa puas seseorang
pada kehidupan keagamaannya, nilai-nilai moral yang dianut
berkenaan dengan apa yang baik dan yang jahat dan rasa puas
seseorang dalam kehidupan agamanya.
c) Diri personal (personal self)
Merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas
dari keadaan fisik dan hubungan dengan orang lain dan sejauh
mana ia merasa kuat sebagai pribadi. Misalnya perasaan diri
sebagai orang gembira, orang tenang dan santai atau seorang
pembenci.
25
d) Diri keluarga (family self)
Merupakan perasaan dan harga diri seseorang sebagai anggota
keluarga dan di tengah-tengah temanteman dekat. Bagian ini
menunjukkan seberapa jauh perasaan seseorang terhadap dirinya
sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang
dijalankannya selaku anggota keluarga.
e) Diri sosial (social self)
Merupakan
penilaian
seseorang
terhadap
dirinya
dalam
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan lebih luas.
2.2.4. Pembentukan Konsep Diri
Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus
berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani,
2006) menyatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul
pada saat individu dilahirkan, melainkan berkembang secara bertahap
seiring dengan munculnya kemampuan perseptif. Selama periode awal
kehidupan, perkembangan konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh
persepsi mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan bertambahnya usia,
pandangan mengenai diri sendiri ini mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor dalam Agustiani,
2006).
Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa
konsep diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi
sikap orang lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma
26
masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui
hubungan individu dengan orang lain.
Hal ini sejalan dengan istilah istilah “looking glass self” yang
dikemukakan oleh Cooley (dalam Baumeister, 1999), yaitu ketika individu
memandang dirinya berdasarkan interpretasi dari pandangan orang lain
terhadap dirinya.
2.3. Kenakalan Remaja
2.3.1. Pengertian Kenakalan Remaja
Menurut etiologi, kenakalan remaja (juvenile delinquency) berarti
suatu penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh remaja hingga
mengganggu ketentraman diri sendiri mapun orang lain, dan Basri (1996)
menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku menyimpang dari
atau melanggar hukum yang individu. Sedangkan penjelasan lain
mengatakan, kenakalan remaja adalah perilaku remaja melanggar status,
membahayakan diri sendiri, menimbulkan masalah, menimbulkan korban
materi pada orang lain, dan prilaku menimbulkan korban fisik pada orang
lain (Jansen dalam Sarwono, 2001).
2.3.2. Ciri-Ciri Kenakalan Remaja
Menurut Gunarsa (2012) ada beberapa ciri-ciri pokok dari
kenakalan remaja, yaitu:
27
1. Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau
tingkah laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan
pelanggaran nilai-nilai moral.
2. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang asosial, yaitu dengan
perbuatan atau tingkah laku tersebuat ia bertentangan dengan nilai atau
norma sosial yang ada di lingkungan hidupnya.
3. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka
yang berumur anatara 13-17 tahun.
4. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja atau
dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok remaja.
2.3.3. Penggolongan Kenakalan Remaja
Menurut Gunarsa (2012) kenakalan remaja dapat digolongkan
dalam dua kelompok besar yang berkaitan dengan norma hukum, yaitu:
1. Kenakalan yang bersifat immoral dan asosial dan tidak diatur dalam
undang-undang
sehingga
tidak
dapat
atau
sulit
digolongkan
pelanggaran hukum.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai
undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan
melanggar hukum apabila dilakukan oleh orang dewasa.
2.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Menurut Santrock (1996) ada beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi kenakalan remaja, yaitu:
28
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 1996), masa remaja ada pada tahap dimana krisis identitas
versus difusi identitas harus diatasi.Perubahan biologis dan social
memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi padakepribadian
remaja:
a) Terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan,
b) Tercapainya
identitas
peran,
kurang
lebih
dengan
cara
menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang
dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.
b. Kontrol Diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkankontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.
Beberapa anak gagal dalammengembangkan kontrol diri yang esensial
yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Hasil
penelitian yang dilakukan Santrock (2002), menunjukan bahwa
ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan
remaja. Pola asuh orang tua yang efektif di masa kanak-kanak
(peranan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif)
berhubungan
dengan
dicapainya
pengaturan
diri
oleh
anak.
Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal
akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
29
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan
penyerangan serius nantinya dimasa remaja, namun demikian tidak
semua anak yang bertingkah laku sepertiini nantinya akan menjadi
pelaku kenakalan.
d. Jenis Kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial
daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian yang dikutip dari
Kartono (2006) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang
melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat
daripada remaja perempuan.
e. Harapan Terhadap Pendidikan dan Nilai-nilai di Sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan
yang rendah terhadap pendidikan di sekolah.Mereka merasa bahwa
sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga
biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah dan
mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.
f. Proses Keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan
remaja.Kurangnyadukungan keluarga seperti kurangnya perhatian
orang tua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang
efektif, kurangnya kasih sayang orang tua dapat menjadi pemicu
timbulnya kenakalan remaja.
30
g. Pengaruh Teman Sebaya
Memiliki
teman-teman
sebaya
yang
melakukan
kenakalan
meningkatkan remaja untuk menjadi nakal.
h. Kelas Sosial Ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari
kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan dengan
jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang
rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan
50:1 (Kartono, 2006).
i. Kualitas Lingkungan Sekitar Tempat Tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan
remaja.Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan
remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal
dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal
mereka.
2.4. Remaja
2.4.1. Pengertian Remaja
Remaja berasal dari bahasa latin adolensence yang berarti tumbuh
atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang
lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial, dan
fisik (Hurlock, 1992). Sehingga dapat dikatakan bahwa remaja merupakan
masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa yang memiliki
31
rentang usia antara 12-22 tahun. Dimana pada masa tersebut terjadi proses
pematangan baik itu pematangan dalam hal fisik, maupun psikologis.
Masa remaja (adolescence) menunjukan dengan jelas sifat transisi
atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status dewasa akan
tetapi tidak lagi memiliki status anak seperti yang dikemukakan oleh
Calon (dalam Monks, dkk 2004). Sehingga dapat dikatakan masa remaja
merupakan peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mana
mengalami perkembangan dalam segala aspek serta fungsi untuk
memasuki masa dewasa.
Menurut Kartini Kartono (1995:148) “masa remaja disebut pula
sebagai penghubung antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa”. Pada
periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai
kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi
seksual. Disisi lain Sri Rumini dan Siti Sundari (2004:53) “menjelaskan
masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa
yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki
masa dewasa”.
Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan masa
peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan
seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu
masa menjelang dewasa muda.
32
Mendukung pendapat Monk dan Hurlock, Calon (Monks &
Knoers, 2002, p.260) menyatakan bahwa masa remaja menunjukkan
dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau perlaihan karena remaja belum
memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanakkanak.
Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai
kehidupan manusia dalam beberapa tahapan, salah satunya adalah remaja.
Perkembangan yang terjadi secara signifikan pada remaja adalah dari segi
emosional. Pada tahap ini perubahan mood yang terjadi cenderung
menurun,
mampu
mengungkapkan
emosinya
sendiri,
dan
mulai
memahami perasaan orang lain. Perkembangan lain yang terjadi adalah
perkembangan sosial, terlihat dari peningkatan kemandirian, serta
hubungan dengan teman sebaya yang bertambah erat.
2.4.2. Batasan Usia Remaja
Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada
upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai
kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Kartini Kartono
(1995: 36) dibagi tiga yaitu:
1. Remaja Awal (12-15 Tahun)
Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat
dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat
anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau
dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola
33
kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa iniremaja sering merasa
sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.
2. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)
Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada
masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian
dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai
tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan
etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal
ini rentan akan timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri
pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan
penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada
masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.
3. Remaja Akhir (18-21 Tahun)
Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah
mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan
sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya
dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian
tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.
2.4.3. Ciri-ciri Remaja
Hurlock (1999) menyebutkan bahwa remaja memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
34
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan
penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya
penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yangtelah
terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan darisatu
tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya, dengan
demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya
akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang
akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru
pada tahap berikutnya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi
dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga
berlangsung pesar. Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap
dan perilaku juga menurun.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah
masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan.
35
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pencarian
identitas
dimulai
pada
akhor
masa
kanak-kanak,
penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada
bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada
remaja awal masih tetap penting bagi remaja, namun lambat laun
mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin
menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang
tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan
berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing
dan
mengawasi
kehidupan
remaja
muda
takut
bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku
remaja yang normal.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain
sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagai apa adanya,
terlebihdalam hal cita-cita. Semakin tidak realistic cita-citanya maka ia
semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila
orang lain mengecewakannya atau kalai ia tidak berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkannya sendiri.
36
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan
kesan bajwa mereka sudah hamper dewasa, remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu
merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan
terlibat dalam perbuatan seks, mereka mengganggap bahwa perilaku
ini akan memberi citra yang mereka ingingkan.
2.4.4. Tumbuh Kembang Remaja
Menurut Hurlock (1980) selama masa tumbuh kembang, remaja
memiliki tugas perkembangan yang harus dilewatinya dan tugas pertama
yang harus dikuasai selama perkembangan remaja yang berhubungan
dengan seks adalah pembentukan hubungan yang baik dengan lawan jenis.
Yang membedakan dalam masa perkembangan ini adalah perkembangan
sikap dan pola perilaku pada remaja.
1) Pertumbuhan
Soetjiningsih (2004) pertumbuhan menggambarkan proses
bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler yang
terlihat secara fisik dan dapat diukur dengan menggunakan satuan
panjang atau satuan berat dengan proses yang berkesinambungan
dipengaruhi oleh faktor genetik (ras, keluarga) dan faktor lingkungan
bio-psikososial yang dimulai dari masa konsepsi hingga masa dewasa.
37
Potter & Perry (2005) menjelaskan mengenai empat fokus utama
pada pertumbuhan fisik masa remaja:
a) Peningkatan kecepatan pertumbuhan skelet, otot, dan visera,
b) Perubahan spesifik-seks, seperti perubahan bahu dan lebar pinggul,
c) Perubahan distribusi otot dan lemak,
d) Perkembangan sistem reproduksi dan karakteristik seks sekunder.
Potter & Perry (2005) juga menjelaskan mengenai pertumbuhan
bahwa selama masa pubertas biasa terjadi peningkatan laju tinggi dan
berat badan. Pada anak perempuan pertumbuhan mulai melaju antara
usia 8 tahun dan 14 tahun, sedangkan pada anak laki-laki dimulai pada
usia 10 tahun sampai 16 tahun. Pertambahan tinggi anak perempuan
mencapai 90 % sampai 95 % tinggi dewasa pada masa menarke
(permulaan menstruasi) hingga mencapai tinggi penuh pada usia 16
sampai 17 tahun, sedangkan anak laki-laki akan terus tumbuh tinggi
hingga usia 18 sampai 20 tahun.
Awitan pubertas pada anak perempuan biasanya ditandai dengan
perkembangan
payudara.
Setelah
pertumbuhan
awal
jaringan
payudara, puting, areola ukurannya meningkat. Proses ini yang
sebagian dikontrol oleh hereditas, dimulai paling muda usia 8 tahun
dan mungkin tidak komplet sampai akhir usia 10 tahunan. Kadar
estrogen yang meningkat juga mulai mempengaruhi genital. Uterus
mulai membesar, dan terjadi peningkatan lubrikasi vaginal, hal
tersebut dapat terjadi secara spontan atau akibat perangsangan seksual.
38
Vagina memanjang, dan rambut pubis dan aksila mulai tumbuh.
Menarke pada setiap individu sangat bervariasi, dapat terjadi paling
cepat pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun atau lebih.
Meskipun siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan ovulasi
mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama, fertilitas harus selalu
diwaspadai kecuali dilakukan hal lain.
Anak laki-laki mengalami kenaikan kadar testosterone selama
pubertas yang ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis,
prostat, dan vesikula seminalis. Anak laki-laki dan anak gadis mungkin
mengalami orgasmus sebelum masa pubertas, tetapi ejakulasi pada
anak laki-laki tidak terjadi sampai organ seksnya matur, yaitu sekitar
usia 12 atau 14 tahun. Ejakulasi mungkin terjadi pertama kali selama
tidur (emisi nocturnal), hal ini biasa disebut dengan mimpi basah yang
sering kali dianggap sangat memalukan. Anak laki-laki harus
mengetahui bahwa, meski mereka tidak menghasilkan sperma saat
pertama ejakulasi, mereka segera akan menjadi subur hingga nanti
saatnya terjadi perkembangan genital, rambut pubis, wajah, dan tubuh
mulai tumbuh.
Pertumbuhan pada remaja dipengarahi oleh beberapa hormon,
antara lain:
1. Hormone Pertumbuhan (Growth Hormone/GH)
Hormon
yang
paling
dihasilkanterutama
pada
berpengaruh
saat
tidur
selama
nyenyak
remaja,
yang
malam
hari.
39
Mempunyai dua efek terhadap tulang rawan epifisis, serta berefek
langsung pada metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak
dengan bersifat anabolik.
2. Hormone Tiroid
Hormon tiroid berefek langsung pada maturasi tulang, selain itu
juga
hormon
tiroid
ini
mempengaruhi
produksi
hormon
pertumbuhan dan sebaliknya hormon tiroid juga tidak dapat
bekerja tanpa adanya hormon pertumbuhan.
3. Glukokortikoid
Glukokortikoid berfungsi untuk menekan sintesis tulang dan tulang
rawan
serta
mineralisasi,
sehingga
produksi
glikoprotein
meningkat.
4. Calcium Regulating Hormon
Kalsium diatur oleh hormon paratiroid yang berpengaruh besar
pada elemen jaringan tulang yang terlibat dalam osteogenesis.
Selain itu juga ada vitamin D yang mempengaruhi maturasi tulang
(Soetjiningsih, 2004).
2) Perkembangan
Perkembangan menurut Potter & Perry (2005) merupakan aspek
progresif adaptasi terhadap lingkungan yang bersifat kualitatif.
Djiwandono (2002) menuturkan bahwa masa perkembangan remaja
dimulai dengan masa puber, yaitu umur kurang lebih antara 12 -14
tahun. Masa puber yang merupakan permulaan remaja adalah suatu
40
masa saat perkembangan fisik dan intelektual berkembang sangat
cepat. Pada umur 14-16 tahun yang merupakan pertengahan masa
remaja adalah masa yang lebih stabil untuk menyesuaikan diri dan
berintegrasi dengan perubahan permulaan remaja. Ketika remaja
berumur 18 tahun sampai umur 20 tahun terjadi perubahan yang
membuat remaja mulai bertanggungjawab, membuat pilihan, dan
berkesempatan untuk mulai menjadi dewasa atau lebih dikenal dengan
masa remaja akhir. Perkembangan yang dialami remaja pada masanya,
antara lain:
a) Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik adalah rangkaian dari perubahan yang
dialami remaja. Remaja membutuhkan penyesuaian yang baik
denga perubahan dalam tubuhnya. Kematangan yang berbeda yang
dialami oleh setiap remaja membuat remaja yang mengalami
pubertas lebih awal akan menjadi lebih sensitif dan merasa berbeda
dengan yang lain, namun seiring dengan waktu ia dapat
menyesuaikan diri. Jadi dalam penyesuaian perkembangan fisik
inilah nantinya remaja dapat berkembang menjadi remaja yang 17
mampu berhubungan dengan orang lain atau tidak (Djiwandono,
2002).
b) Perkembangan Kognitif
Potter & Perry (2005) menjelaskan selama masa remaja
terjadi perubahan dalam pemikiran dan perluasan lingkungan,
41
namun tanpa lingkungan pendidikan yang sesuai remaja tidak
mampu mencapai perkembangan neurologis dan tidak mampu
diarahkan untuk dapat berpikir rasional. Kemampuan kognitif yang
diperlihatkan oleh remaja sangat dipengaruhi oleh pengalaman
masa lalunya, pendidikan formal yang ia dapat, dan motivasi.
Djiwandono (2005) menjabarkan dalam teori perkembangan
kognitif Piaget, masa remaja adalah tahap transisi dari penggunaan
berpikir konkret secara operasional ke berpikir formal secara
operasional. Remaja mulai menyadari batasan-batasan pikiran
mereka. Mereka berusaha dengan konsep-konsep yang jauh dari
pengalaman mereka sendiri.
c) Perkembangan Psikososial
Soetjiningsih (2004) menjelaskan mengenai masa remaja
yang identik dengan kematangan seksualnya menjadi hal yang
sangat berperan penting dalam perkembang psikososialnya.
Kematangan seksual yang diiringi dengan perubahan bentuk tubuh
apabila
tidak
diketahui
oleh
remaja
dengan
baik
dapat
menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Kecepatan kemajuan
kematangan seksual yang berbeda pada setiap individu bisa
menjadikan seorang remaja 18menjadi merasa berbeda dan tidak
mau bergaul dengan teman sebayanya. Contohnya pada anak
perempuan yang mengalami kematangan seksual lebih dulu akan
merasa dirinya lebih besar dibandingkan dengan teman sebayanya,
42
namun
sebaliknya
pada
anak
laki-laki
yang
mengalami
keterlambatan kematangan akan menjadikan dirinya terlihat lebih
kecil dari yang lain.
Masa ini adalah periode yang ditandai oleh mulainya
tanggung jawab dan asimilasi pengharapan masyarakat. Remaja
dihadapkan pada keputusan dan membutuhkan informasi yang
akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas seksual,
penyakit
yang ditularkan
melalui
hubungan
seksual,
dan
kehamilan. Informasi faktual ini dapat datang dari rumah, sekolah,
buku-buku, atau teman sebaya. Sering kali informasi yang remaja
dapatkan tidak diaplikasikan dalam gaya hidup karena remaja tidak
merasa rentan dan kurangnya kewaspadaaan karena meyakini
bahwa kehamilan atau penyakit tidak akan terjadi pada mereka
(Potter & Perry, 2005).
2.5. Kerangka Berpikir
Dari uraian di atas merupakan salah satu cara agar penelitian yang
dilakukan bisa dimengerti dan mudah di pahami. Dengan memberikan
pedoman langkah yang diambil dalam penulisan ini adalah dengan
memberikan kerangka dalam penulisan skripsi yang dikenal dengan kerangka
pemikiran. Adapun kerangka pemikiran yang penulis kemukakan adalah
sebagai berikut:
43
Konformitas Teman
Sebaya
(X1)
Kenakalan Remaja
(X3)
Konsep Diri
(X2)
Bagan 2.1
Hubungan Antar Variabel Penelitian
Keterangan:
X1
= konformitas teman sebaya
X2
= konsep diri
X3
= kenakalan remaja
Download