Perilaku Green Consumers: Bentuk Kepedulian Lingkungan Mahasiswa Sebagai Konsumen Cerdas Mutya Nayavashti Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email : [email protected] Abstrak Seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan, tumbuh kepedulian masyarakat, salah satunya adalah mahasiswa sebagai kelompok konsumen cerdas yang tercermin dalam perilaku konsumsi produk ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecenderungan perilaku green consumers pada mahasiswa Universitas Indonesia yang dilihat berdasarkan asal fakultas mereka, yaitu fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial, serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku green consumers. Pembedaan asal fakultas dilakukan untuk melihat perbedaan kecenderungan perilaku berdasarkan pelajaran mengenai lingkungan yang dapat menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan. Melalui pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan teknik penarikan sampel stratifikasi proporsional berdasarkan angkatan dengan total 160 sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Indonesia memiliki kecenderungan cukup tinggi dalam perilaku green consumers, di mana tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku green consumers antara responden yang berasal dari fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial. Di antara dua dimensi pengaruh sosial yang digunakan dalam penelitian, yaitu grup acuan, dan keluarga, keluarga merupakan pihak yang paling banyak memberikan pengaruh kepada responden dalam perilaku green consumers. Green Consumers Behavior: Form of Student’s Environmental Concern as a WellEducated Consumers Abstract Along with environmental degradation, growing environmental concern of students as a well-educated consumer group that is reflected in the consumption behavior of environmentally friendly products. This study aims to look at the green consumers behavior of students at the University of Indonesia based on their origin of faculty, i.e. faculty of exact science and social science, and social factors that influence green consumers behavior. Distinction of origin faculty conducted to examine the difference of behavioral tendencies based on the lesson about environment that can encourage environmental concern. Through a quantitative approach, researchers using proportional stratified sampling technique based on class with a total 160 samples. Results of this study showed that the students of University of Indonesia has a fairly high tendency in the green consumers behavior, where there is no difference in that tendency between the students from faculty of exact science and social science. Among the two dimensions of social influence used in the study, i.e. reference group, and family, family is the strongest influence to the respondent in a green consumers behavior. Keywords: environmental concern, green consumers behavior, student, reference group, family Pendahuluan Kerusakan lingkungan yang terjadi pada masa pertanian dan industrial salah satunya disebabkan oleh masalah pasar ekonomi yang kompetitif oleh kapitalis yang mengutamakan keuntungan ekonomi, di mana berbagai perusahaan mengembangkan usahanya agar mampu bersaing dalam pasar ekonomi dengan menggunakan bahan-bahan produksi yang lebih murah Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 tanpa memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan. Kondisi seperti ini disebut sebagai treadmill of production (Sutton, 2007). Jika produksi kapitalistik industrial di masyarakat tersebut terus berlangsung, maka konsumerisme modern membantu treadmill yang terjadi terus berjalan secara cepat (Sutton, 2007, hal. 68). Pada 60 tahun terakhir, produksi masal dipindahkan ke negara-negara berkembang karena proses produksi di negara berkembang menghabiskan biaya lebih sedikit, dan regulasi lingkungan lebih lemah dibandingkan dengan negara maju. Indonesia, sebagai negara berkembang, mengutamakan pembangunan ekonomi sehingga penanganan akan masalah lingkungan yang terjadi akibat konsumsi masal dianggap sebagai sesuatu yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dibutuhkan untuk melestarikan lingkungan hidup. Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kepedulian lingkungan adalah usia, di mana usia dewasa muda adalah kelompok usia yang paling peduli terhadap lingkungan dibandingkan kelompok usia lainnya (Jones & Dunlap, 2001). Langkah awal upaya yang dapat dilakukan generasi muda saat ini adalah menyadari berbagai peluang untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan, salah satunya adalah dengan mengkonsumsi produk ramah lingkungan (Naomi, 2011, hal. 3). Dengan kepedulian masyarakat terhadap isu lingkungan, produsen berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut dengan memproduksi barang yang ramah lingkungan atau yang sering kita kenal dengan sebutan green products atau eco-friendly products. Namun, biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi produk-produk ramah lingkungan cukup tinggi sehingga berdampak pada mahalnya harga yang harus dibayar oleh konsumen. Salah satu hal yang penting untuk meningkatkan kesadaran individu agar berkontribusi untuk melindungi lingkungannya adalah informasi atau pendidikan karena sebenarnya kontribusi dalam melindungi lingkungan hanya memberikan timbal balik berupa keadaan lingkungan yang menyenangkan (non-finansial) (Hasegawa, 2009). Salah satu kelompok masyarakat yang dapat mendukung keberhasilan tersebut adalah mahasiswa. Sebagai kelompok konsumen yang well-educated, mahasiswa diharapkan dapat menjadi jembatan untuk memotivasi lingkungannya agar turut menjadi konsumen-konsumen cerdas yang well-informed. Mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika kampus diharapkan ikut mendorong terwujudnya konsumen yang peduli pada lingkungan hidup (green consumers) (Wirjawan, 2012). Studi-studi yang ada sebelumnya mengkaji masalah mengenai perilaku green consumers pada kalangan masyarakat secara umum. Kemudian, studi sebelumnya melihat Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 kepedulian lingkungan secara terpisah dari perilaku lingkungan individu (Tazkiyah, 2012). Studi lainnya melihat kepedulian lingkungan individu yang mempengaruhi perilaku konsumsi mereka dalam produk ramah lingkungan (Ishaswini, 2011). Sedangkan, studi yang dilakukan di masyarakat Surabaya lebih memfokuskan pada keputusan pembelian individu dalam produk ramah lingkungan (Jaolis, 2011). Dalam studi yang dilakukan di masyarakat Jakarta, status sosial ekonomi tidak memiliki pengaruh dalam kepedulian lingkungan individu (Andromeda, 2009). Berdasarkan studi-studi tersebut, penelitian ini melihat kepedulian lingkungan individu merupakan bagian dari perilaku green consumers, di mana perilaku konsumsi produk ramah lingkungan merupakan perwujudan dari kepedulian lingkungan individu. Penelitian ini juga tidak hanya melihat keputusan individu dalam mengkonsumsi produk ramah lingkungan, tetapi juga melihat perilaku individu dalam aktivitasnya sehari-hari yang ramah lingkungan. Kemudian, konteks masyarakat dalam penelitian ini difokuskan pada mahasiswa, yaitu mahasiswa Universitas Indonesia, di mana mahasiswa merupakan kelompok konsumen yang cerdas sehingga dapat berkontribusi dalam melindungi lingkungan. Meskipun dalam penelitian sebelumnya tidak terdapat pengaruh antara status sosial ekonomi dengan kepedulian lingkungan, status sosial ekonomi digunakan dalam penelitian ini melihat konsumsi produk ramah lingkungan harganya lebih mahal dan mahasiswa Universitas Indonesia merupakan representasi mahasiswa yang memiliki pengetahuan dan informasi yang dapat berkontribusi dalam melindungi lingkungannya. Dengan pengetahuan yang cukup mengenai lingkungan, mahasiswa dapat menunjukkan kepedulian lingkungannya yang kemudian terwujud ke dalam perilaku konsumsinya sehari-hari (Jones & Dunlap, 2001), baik di lingkungan kampus maupun lingkungan rumah. Namun, pengetahuan mengenai lingkungan lebih banyak didapatkan oleh mahasiswa yang berada di fakultas ilmu eksakta dibandingkan mahasiswa yang berada di fakultas ilmu sosial. Di samping itu, mahasiswa yang berada fakultas ilmu eksakta memiliki keinginan untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan karena lebih banyak mempelajari tentang lingkungan yang menimbulkan kesadaran akan kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitarnya dibandingkan mahasiswa yang berada di fakultas ilmu sosial. Kerangka Teori Paradigma Penelitian Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Penelitian ini menggunakan paradigma social constructivism yang melihat bahwa masyarakat yang berbeda memiliki perspektif yang berbeda mengenai alam dan gagasan yang berbeda mengenai apa yang dikatakan sebagai „natural‟. Dengan demikian, apa yang terlihat sebagai masalah lingkungan yang obyektif tidak lebih hanyalah merupakan sebuah resiko yang didefinisikan secara sosial. (Novriaty, 2006). Perubahan di dalam lingkungan yang disebabkan oleh manusia memberikan pengaruh terhadap hal-hal yang bernilai bagi manusia (things humans value) yang menekankan pada persepsi masyarakat atau disebut sebagai social construction of reality, yaitu bagian dari respon masyarakat terhadap masalah lingkungan. Untuk memahami bagaimana respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan dan apa yang mereka lakukan dalam menyebabkan masalah lingkungan, diperlukan pertimbangan dalam perubahan sistem manusia secara terpisah dari lingkungan fisik dan biologis karena perubahan di dalam sistem masyarakat memberikan dampak terhadap nilai-nilai yang diberikan terhadap lingkungan fisik dan biologis (Frey, 2001). Respon masyarakat terhadap masalah lingkungan ini berbeda berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di dalam keluarga, peer group, organisasi, dan sebagainya. Persepsi mereka mengenai natural environment tersebut yang kemudian akan tercermin ke dalam perilaku green consumers. Perilaku Green Consumers Environmental concern dapat dijelaskan melalui tiga teori kontemporer (Bell, 2004). Pertama adalah teori post-materialism yang diungkapkan oleh Inglehart. Bersama dengan Abramson, ia mengungkapkan bahwa kepedulian generasi muda telah bergeser dari kepedulian akan keamanan ekonomi dan fisik (material) menuju kepedulian akan kebebasan, ekspresi diri, dan kualitas kehidupan (post-material). Peningkatan terhadap kepedulian lingkungan merupakan salah satu hasil dari sosialisasi post-materialisme pada generasi muda. Teori selanjutnya adalah paradigm shift yang dikemukakan oleh Jones dan Dunlap, di mana ideologi masyarakat terhadap lingkungan mengalami perubahan. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai makhluk luar biasa yang mampu melampaui batas lingkungan dan memiliki tujuan utama menguasai alam melalui teknologi untuk mendapatkan kekayaan (Human Exemptionalism Paradigm), tetapi masyarakat merupakan bagian dari alam dan perlu menjaga keseimbangan dan hidup dengan keterbatasan di dalam dunia yang saling terhubung (New Ecological Paradigm). Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Teori paradigm shift terkait dengan Reflection Hypothesis yang menjelaskan bagaimana masyarakat merefleksikan perilaku mereka terhadap lingkungan akibat dari kesadaran mereka akan masalah lingkungan. Mereka menyadari akan bahaya yang terjadi di dalam lingkungan dan akibatnya untuk mereka sehingga mereka melakukan refleksi terhadap gaya hidup mereka. Berdasarkan reflection hypothesis, manusia peduli terhadap lingkungan karena muncul masalah lingkungan di sekitar mereka (Hannigan, 1995). Lebih lanjut lagi, teori ketiga adalah mengenai ecological modernization. Melalui ecological modernization, berbagai industri memasukkan aspek ekologi ke dalam bisnisnya (ekologi industri) yang melihat isu lingkungan sebagai kesempatan dan indikasi dari inefesiensi operasi bisnis mereka sehingga industri masih dapat terus berlanjut dengan mengganti teknologi mereka dengan teknologi ramah lingkungan (Sutton, 2007). Environmental concern juga dikenal dengan istilah ecological concern, yang merujuk pada derajat emosional, jumlah pengetahuan empiris, tingkat keinginan, serta sejauh mana perilaku yang sebenarnya terhadap isu-isu lingkungan (Maloney and ward, 2001). Maloney, Ward, dan Braucht (2001) membangun skala EAKS yang berisi empat sub-skala untuk mengukur ecological concern, yaitu: affection (A), knowledge (K), verbal commitment (VC), dan actual commitment (AC). Skala-skala ini dapat menunjukkan bahwa ecological concern individu ditunjukkan dengan tingginya affection, knowledge, verbal commitment, dan actual commitment yang dimiliki individu terkait dengan lingkungan. Sebagai pengguna produk hijau, terdapat suatu bentuk baru dari konsumen yang menamakan dirinya sebagai konsumen hijau (green consumers). Smith (1998) menguraikan, konsumen hijau memiliki keyakinan bahwa: (a) ada masalah lingkungan yang nyata; (b) masalah tersebut harus ditangani dengan serius dan disikapi dengan cara yang aktif; (c) mereka merasa mendapatkan informasi yang cukup dalam keseharian hidup mereka; (d) setiap individu dapat dan harus memberikan kontribusi dalam menyelamatkan bumi dari bencana lingkungan yang menakutkan (Wibowo, 2002). Berdasarkan penjelasan di atas, perilaku green consumers diukur dengan menggunakan skala NEP dengan modifikasi sesuai dengan keseharian mahasiswa, dan skala EAKS. Social Influence Faktor penting dalam perilaku individu adalah pengaruh dari orang atau kelompok lain. Dalam mengkonsumsi suatu produk, individu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti berikut (Schiffman dan Kanuk, 2004): Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 a. Reference Group (Grup Acuan) Menurut Merton (1968), kelompok referensi terdiri dari kelompok referensi normatif, komparatif, dan keanggotaan (membership reference group). Kelompok referensi normatif, yaitu suatu kelompok yang menempatkan individu-individu mengambil standar normatif dan standar moral, sedangkan kelompok referensi komparatif, yaitu kelompok yang memberikan kepada individu-individu suatu kerangka berpikir untuk menilai posisi sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain. Sementara kelompok keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang menempatkan bahwa individu itu sebagai anggotanya (Johnson, 2008). Jika suatu grup menunjukkan perilaku-perilaku yang setara dengan sikap-sikap peduli lingkungannya, maka individu yang tergabung di dalam grup tersebut akan lebih tertekan untuk mengimitasi atau mengikuti perilaku tersebut (Gupta dan Ogden, 2009, hal. 379). b. Pengaruh Keluarga Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Bahkan jika seseorang, dalam hal ini konsumen tidak lagi berinteraksi dengan keluarganya, pengaruh keluarga terhadap perilaku konsumen dapat tetap signifikan (Kotler,1997). Keluarga memberikan pengaruh dalam bentuk nilai dan norma kepada individu, di mana keluarga merupakan agen sosialisasi primer yang memberikan nilai-nilai, termasuk salah satunya nilai kepedulian lingkungan, yang kemudian akan diikuti oleh individu, dan pada akhirnya akan mendukung atau tidak dalam perilaku konsumsinya dalam produk yang ramah lingkungan. Status Sosial Ekonomi (Orang Tua) Status sosial ekonomi merupakan bagian dari konsep stratifikasi sosial yang mengacu pada pembagian sebuah masyarakat ke dalam beberapa lapisan atau strata di mana setiap penghuni lapisan tersebut tidak mempunyai akses yang sama terhadap social opportunities dan rewards. Sampai saat ini, variabel-variabel yang paling sering digunakan untuk melihat status sosial ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan formal. Pekerjaan adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan seseorang untuk menghasilkan barang dan jasa dimana lewat kegiatan tersebut ia akan memperoleh imbalan berupa uang atau barang (Evy Klara, 2000: 18). Penghasilan diartikan sebagai pembayaran atas jasa atau produk barang, baik berupa uang atau barang yang diperoleh dari pekerjaan pokok maupun sampingan. Sedangkan Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 pendidikan formal adalah pendidikan yang dilakukan oleh suatu lembaga yang secara resmi diakui oleh pemerintah dan diorganisasikan menurut jalur-jalur yang telah ditetapkan melalui suatu birokrasi pendidikan. Menurut Wahyono (2001) perilaku konsumsi mahasiswa tidak lepas dari pengaruh status sosial ekonomi orang tua. Orang tua yang memiliki status sosial ekonomi tinggi menyebabkan seseorang memiliki perilaku konsumtif yang tinggi, dan berlaku sebaliknya (Ana, 2011). Lama Pendidikan Pendidikan merupakan upaya strategis sebagai sarana mengubah sikap manusia terhadap masalah lingkungan (Soemarwoto, 2002). Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, yaitu mengenai Reflection Hypothesis, di mana teori ini menjelaskan bagaimana masyarakat merefleksikan perilaku mereka terhadap lingkungan akibat dari kesadaran mereka akan masalah lingkungan. Dalam hal ini, mahasiswa yang berada di fakultas ilmu eksakta lebih menyadari akan bahaya yang terjadi di dalam lingkungan dan akibatnya untuk mereka karena mereka lebih banyak mendapatkan pelajaran mengenai natural environment. Kemudian, jenis pendidikan ini juga dapat mempengaruhi kepercayaan individu seperti yang dikemukakan dalam teori ecological self. Dalam teori tersebut, natural environment merupakan bagian dari dalam diri seseorang. Oleh karena itu, individu menganggap bahwa kerusakan yang terjadi di dalam lingkungan merupakan kerusakan di dalam diri mereka sendiri (Sutton, 2007). Kepercayaan ini membuat mahasiswa fakultas ilmu eksakta menjaga kelestarian lingkungan karena mereka lebih sering mempelajari natural environment dan menjadikannya sebagai bagian dari diri mereka. Dengan digunakannya skala EAKS untuk mengukur perilaku green consumers, yaitu yang terdiri affection, knowledge, verbal commitment, dan actual commitment, pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa fakultas ilmu eksakta mengenai lingkungan dapat menjadi salah satu hal yang memperkuat kepedulian mereka terhadap lingkungan. Namun, dalam penelitian ini jenis pendidikan tersebut hanya merupakan asumsi dasar dalam melihat perbedaan kecenderungan perilaku green consumers berdasarkan asal fakultas mahasiswa. Penelitian ini lebih melihat lamanya pendidikan yang sudah ditempuh oleh mahasiswa sebagai faktor yang mempengaruhi kepedulian lingkungan mereka. Semakin lama mahasiswa menjalani pendidikan tersebut, terdapat perubahan dalam pembentukan pola pikir dan sikap mahasiswa yang kemudian dapat tercermin ke dalam perilaku green consumers sebagai suatu wujud kepeduliannya terhadap lingkungan. Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Mahasiswa yang berada pada tahun pertama, kedua, dan ketiga menunjukkan angkatan mahasiswa di Universitas Indonesia. Mahasiswa pada tahun pertama merupakan mahasiswa angkatan 2012, mahasiswa pada tahun kedua merupakan mahasiswa angkatan 2011, dan mahasiswa pada tahun kedua merupakan mahasiswa angkatan 2010. Indikator lainnya yang juga digunakan untuk melihat lama pendidikan adalah jumlah sks yang telah diperoleh mahasiswa, di mana mahasiswa pada tahun ketiga memperoleh jumlah sks yang lebih banyak dibandingkan mahasiswa pada tahun kedua dan pertama. Jumlah sks yang telah diperoleh ini menunjukkan seberapa banyak mata kuliah yang telah diambil mahasiswa yang dapat mempengaruhinya dalam perilaku green consumers. Mahasiswa yang berada pada tahun yang sama belum tentu sudah mengambil jumlah mata kuliah yang sama dengan mahasiswa lain seangkatannya, di mana mata kuliah yang mereka ambil tersebut merupakan mata kuliah yang dapat berpengaruh terhadap perilaku green consumers. Oleh karena itu, mahasiswa yang belum memperoleh jumlah sks yang kurang lebih sama dengan teman seangkatannya atau jumlah sks standard menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut belum mendapatkan mata kuliah yang kurang lebih sama dengan teman-teman seangkatannya yang berimplikasi pada belum didapatkannya mata kuliah yang dapat meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Model Analisis Perilaku Green Consumers Social Influence: Reference Group Pengaruh Keluarga Status Sosial Ekonomi (Orang Tua) Persepsi Pengetahuan Affection Verbal Commitment Actual Commitment Lama Pendidikan Gambar 1. Model Analis Hipotesis 1. Social influence yang terdiri dari reference group, dan pengaruh keluarga memiliki hubungan terhadap perilaku green consumers mahasiswa. Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 2. Hubungan antara social influence yang terdiri dari reference group dan pengaruh keluarga dengan perilaku green consumers berbeda berdasarkan status sosial ekonomi orang tua. 3. Hubungan antara social influence yang terdiri dari reference group dan pengaruh keluarga dengan perilaku green consumers berbeda berdasarkan lama pendidikan mahasiswa. Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti untuk mengamati, mengumpulkan, serta menyajikan data adalah pendekatan kuantitatif. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Depok yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Mahasiswa UI yang menjadi populasi adalah mahasiswa angkatan 2010 sampai dengan 2012, masih aktif mengikuti perkuliahan, dan merupakan mahasiswa S1 Reguler yang terdiri dari 11 fakultas yang ada di UI Depok, yaitu Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keperawatan, Fakultas Teknik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Komputer, Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Farmasi. Populasi target tidak memasukkan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi (UI Salemba) karena kedua fakultas ini memiliki karakteristik yang sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat, yaitu dalam hal budaya sekolah – FKM merupakan bagian dari FK dulunya, materi pembelajaran, dan status sosial ekonomi. Selain itu, secara teknis, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi berada pada lokasi geografis yang berbeda dengan fakultas-fakultas lainnya, yaitu FK dan FKG berada di Salemba dan kesebelas fakultas lainnya berada di Depok sehingga peneliti mengalami kesulitan waktu, biaya, dan energi pada saat survey. Penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel berlapis (stratified) proporsional berdasarkan lama pendidikan. Lama pendidikan ditunjukkan dengan angkatan 2010, 2011, dan 2012. Berdasarkan seluruh fakultas yang ada di Universitas Indonesia, Depok, peneliti membagi seluruh fakultas berdasarkan fakultas yang mempelajari ilmu eksakta dan ilmu sosial, dan mengambil secara acak masing-masing dua fakultas sehingga diperoleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), dan Fakultas Psikologi (FPsi) sebagai subjek penelitian. Kemudian, peneliti membagi sampel secara proporsional berdasarkan angkatan Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 mereka, yaitu 2010, 2011, dan 2012. Dengan total sampel sebesar 160, peneliti mengambil sampel secara acak dari masing-masing angkatan di setiap fakultas. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa survey. Dengan teknik survey, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tersusun dalam kuesioner atau pedoman wawancara kepada responden yang diisi oleh masing-masing responden atau yang disebut dengan self-administered questionnaire. Data yang terkumpul melalui selfadministered questionnaire juga dilengkapi dengan hasil observasi di lapangan dan deskripsi hasil focus group discussion (FGD) dengan dua kelompok, yaitu kelompok fakultas ilmu eksakta dan fakultas ilmu sosial. Tujuannya adalah melihat perbedaan persepsi mengenai lingkungan secara individual maupun dalam grup. Temuan dan Analisis Perilaku Green Consumers Berdasarkan konstruksi dari lima dimensi yang mengukur perilaku green consumers, yaitu persepsi mengenai isu lingkungan, pengetahuan mengenai isu lingkungan, affection, verbal commitment, dan actual commitment, kecenderungan perilaku green consumers pada responden adalah sedang, yaitu sebanyak 53,1%. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Perilaku Green Consumers Responden Perilaku Green Consumers Total Rendah Sedang Tinggi 21,9% 53,1% 25,0% 100% Kemudian, responden yang tergolong dalam kategori tinggi adalah sebanyak 25% dan rendah sebanyak 21,9%. Perbedaan 3,1% atau sebanyak 5 responden ini menunjukkan bahwa responden cenderung untuk memiliki perilaku green consumers yang tinggi dibandingkan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kepedulian lingkungan responden cukup tinggi dan mereka berupaya untuk mewujudkannya dalam perilaku konsumsi produk ramah lingkungan dan perilaku sehari-hari mereka dalam rangka turut melestarikan lingkungan. Upaya ini mereka lakukan karena mereka memiliki kesadaran bahwa perilaku konsumsi mereka tidak hanya memiliki dampak bagi mereka sendiri, tetapi juga keturunan mereka di masa yang akan datang. Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Kemudian, jika membandingkan berdasarkan asal fakultas responden, tidak ada perbedaan yang signifikan pada kecenderungan perilaku green consumers antara responden fakultas ilmu eksakta dan fakultas ilmu sosial. Masing-masing memiliki kecenderungan perilaku green consumers yang sama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mean dan standard deviation yang kurang lebih sama, di mana responden fakultas ilmu eksakta memiliki nilai mean 2,00 dan standard deviation 0,694; dan responden fakultas ilmu sosial memiliki nilai mean 1,99 dan standard deviation 0,684. Artinya, meskipun responden fakultas ilmu eksakta mendapatkan pelajaran lebih banyak mengenai natural environment yang berdampak pada kepedulian lingkungan, di saat yang sama responden fakultas ilmu sosial juga memiliki kecenderungan terhadap perilaku green consumers karena isu lingkungan merupakan salah satu isu sosial yang juga cukup sering menjadi concern mereka dalam pelajaran yang mereka peroleh. Social Influence Setelah perilaku green consumers, berikut merupakan deskripsi social influence responden yang terdiri dari dua dimensi, yaitu reference group, dan pengaruh keluarga. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan bahwa kecenderungan social influence pada responden adalah sedang, yaitu sebanyak 54,4%. Tabel 2. Social Influence Responden Social Influence Total Rendah Sedang Tinggi 20,6% 54,4% 25,0% 100% Data ini menunjukkan bahwa responden mendapatkan nilai-nilai yang cukup dari reference group (organisasi lingkungan, peran dan status, peer group, dan orang-orang di sekitar kampus), dan keluarga. Nilai-nilai yang diberikan adalah nilai-nilai lingkungan dan nilai-nilai sosial yang lainnya. Nilai-nilai ini yang kemudian dapat mempengaruhi responden dalam kepedulian lingkungannya dan kemudian tercermin dalam perilaku lingkungan. Kemudian, responden yang tergolong dalam kategori tinggi sedikit lebih tinggi dibandingkan responden yang tergolong dalam kategori rendah, yaitu sebanyak 25%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan yang lebih tinggi bahwa responden mendapatkan pengaruh Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 dari lingkungan sosialnya untuk memiliki perilaku mencintai lingkungan dengan membeli produk yang ramah lingkungan. Namun, jika melihat perbandingan antara responden fakultas ilmu eksakta dan fakultas ilmu sosial, tidak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya, di mana keduanya memiliki kecenderungan social influence sedang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mean dan standard deviation yang kurang lebih sama di antara kedua fakultas, di mana nilai mean responden fakultas ilmu eksakta adalah 1,99 dan ilmu sosial 1,99; dan nilai standard deviation responden fakultas ilmu eksakta adalah 0,646 dan ilmu sosial 0,703. Angka ini menunjukkan bahwa baik responden fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial cukup mendapatkan nilai-nilai, termasuk kepedulian lingkungan dari lingkungan sosialnya. Status Sosial Ekonomi (Orang Tua) Setelah penjelasan mengenai perilaku green consumers dan social influence, berikut merupakan deskripsi status sosial ekonomi orang tua yang merupakan variabel kontrol dalam penelitian. Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua responden memiliki tingkat status sosial ekonomi yang cenderung sedang, yaitu sebanyak 65%. Data ini menunjukkan bahwa orang tua responden memiliki tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan yang cukup. Selanjutnya, orang tua responden yang memiliki tingkat status sosial ekonomi tinggi adalah sebanyak 23,8%, sedangkan yang memiliki tingkat status sosial ekonomi rendah adalah sebanyak 11,3%. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan orang tua responden memiliki SSE tinggi lebih banyak dibandingkan rendah sehingga responden yang masih mendapatkan uang jajan dari orang tuanya memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki perilaku konsumsi produk ramah lingkungan. Jika melihat SSE orang tua responden fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial, data menunjukkan bahwa responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya memiliki status sosial ekonomi sedang cenderung lebih tinggi dibandingkan ilmu sosial, yaitu sebanyak 82,5%. Lama Pendidikan Berikut ini merupakan deskripsi variabel kontrol selanjutnya, yaitu lama pendidikan. Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah menempuh lama pendidikan yang cenderung sedang, yaitu sebanyak 55%. Lama pendidikan yang ditempuh oleh responden cenderung sedang karena responden masih memiliki satu sampai tiga tahun lagi atau lebih di perkuliahan Universitas Indonesia. Selain itu, jumlah sks yang menjadi indikator Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 dalam lama pendidikan menggunakan jumlah sks yang telah diperoleh oleh responden, di mana sks yang saat ini sedang diambil oleh responden tidak masuk dalam hitungan. Kemudian, sebanyak 25% responden cenderung berada pada tingkat lama pendidikan yang tinggi, dan sisanya, yaitu sebanyak 20% cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang sudah menempuh lama pendidikan yang tinggi lebih banyak dibandingkan dengan responden yang baru menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Jika membandingkan data pada responden berdasarkan fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial, terlihat bahwa responden fakultas ilmu eksakta memiliki kecenderungan lama pendidikan lebih tinggi dibandingkan responden fakultas ilmu sosial, yaitu sebanyak 62,5%. Hal ini menunjukkan bahwa angkatan dan jumlah sks yang telah diperoleh responden ilmu eksakta lebih tinggi dibandingkan ilmu sosial. Hubungan Antara Perilaku Green Consumers dan Social Influence Setelah deskripsi mengenai setiap variabel dalam penelitian, berikut merupakan penjelasan mengenai hubungan antara perilaku green consumers sebagai variabel dependen dan social influence sebagai variabel independen. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Somers’d, terlihat bahwa terdapat hubungan yang positif antara social influence dengan perilaku green consumers. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi social influence yang dimiliki oleh responden, diikuti oleh semakin tingginya perilaku green consumers responden tersebut. Pada tabel 3, value dari Somers’s d antara kedua variabel menunjukkan nilai 0,467. Artinya, hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers tergolong cukup. Tabel 3. Hasil Uji Statistik Antara Social Influence dengan Perilaku Green Consumers Uji Statistik dengan Somer’s d Perilaku Green Consumers (Dependen) Value 0,467 Approx. Sig. 0,000 Kemudian, jika peneliti membandingkan nilai signifikansi dengan nilai alpha sebesar 0,05 terlihat bahwa nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha, di mana nilai signifikansi yang ditunjukkan dengan approx. sig. adalah 0,000. Nilai signifikansi ini menunjukkan bahwa keberlakuan hubungan antara variabel social influence dengan perilaku green consumers berlaku pada tingkat populasi, dalam hal ini ialah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Politik, dan Fakultas Psikologi angkatan 2010, 2011, dan 2012. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kecenderungan social influence yang terdiri dari dua dimensi, yaitu reference group, dan pengaruh keluarga adalah sedang. Pada dimensi reference group, sebagian besar responden tidak tergabung dalam organisasi lingkungan. Adanya sejumlah responden yang tidak tergabung di dalam organisasi lingkungan berdampak pada kurangnya kualitas perilaku green consumers, di mana organisasi lingkungan dapat memberikan nilai-nilai lingkungan yang memperkuat responden dalam mengkonsumsi produk ramah lingkungan di kehidupannya sehari-hari. Kemudian, berdasarkan hasil focus group discussion, informan juga cenderung membeli produk sesuai dengan kebutuhannya meski produk tersebut tidak sedang tren dalam masyarakat. Mereka tertarik dengan produk ramah lingkungan yang memiliki kegunaan sesuai dengan kebutuhan mereka, misalnya untuk menyehatkan tubuh mereka. Sebagai informasi tambahan, dua jenis barang ramah lingkungan teratas yang penting menurut responden adalah makanan atau minuman, dan personal needs. Berdasarkan hal tersebut, responden dalam membeli produk ramah lingkungan cenderung melihat aspek keamanan bagi dirinya, dan dibuat berdasarkan bahan-bahan alami. Selain itu, keluarga juga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku green consumers responden. Hal ini terlihat ketika sebagian besar responden memiliki kecenderungan menjawab cukup sesuai terhadap 8 pernyataan yang mengukur pengaruh keluarga responden. Dalam hal ini, mereka menganggap bahwa pernyataan-pernyataan tersebut cukup sesuai dengan kondisi mereka, di mana pengaruh keluarga yang tinggi direpresentasikan dengan jawaban sangat sesuai. Ini berarti, sebagian besar keluarga responden cukup menerapkan perilaku ramah lingkungan di rumahnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Perilaku ramah lingkungan secara eksplisit ditunjukkan dengan peraturan yang ada di rumah terkait dengan menjaga kebersihan lingkungan, sedangkan secara implisit adalah ketika orang tua memiliki perilaku mencintai lingkungan dalam kesehariannya yang kemudian diikuti oleh responden. Melalui focus group discussion dengan informan fakultas ilmu sosial, anggota keluarga inti (orang tua dan saudara kandung) merekapun cenderung melakukan upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui kebiasaan sehari-hari, namun tidak melalui konsumsi produk yang ramah lingkungan. Namun, meskipun kecenderungan responden menjawab cukup sesuai terhadap pernyataan-pernyataan yang mengukur pengaruh keluarga, di antara kedua dimensi social influence, keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku green Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 consumers pada responden. Hal ini ditunjukkan dengan value sebesar 0,485. Jika melihat hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden fakultas ilmu eksakta dan fakultas ilmu sosial, tidak ada perbedaan hubungan yang signifikan. Meskipun begitu, dapat dilihat bahwa value pada responden fakultas ilmu eksakta sedikit lebih tinggi dibandingkan fakultas ilmu sosial, yaitu 0,513 pada responden fakultas ilmu eksakta, dan 0,464 pada responden fakultas ilmu sosial. Kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial sama-sama cukup. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa kedua dimensi dari social influence, yaitu reference group, dan pengaruh keluarga relatif tidak banyak memberikan nilai dan pengetahuan lingkungan kepada responden yang dapat terwujud dalam perilaku green consumers. Hal ini terlihat dari kekuatan hubungan yang tergolong cukup. Kemudian, jika membandingkan temuan di antara responden fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial, tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengaruh yang diberikan oleh social influence dengan perilaku green consumers. Hasil yang diperoleh ini berlaku pada tingkat populasi. Hubungan Antara Perilaku Green Consumers dengan Social Influence Dikontrol dengan Status Sosial Ekonomi (Orang Tua) Berikut merupakan penjelasan hubungan anatara perilaku green consumers dengan social influence setelah dikontrol oleh status sosial ekonomi orang tua. Jika melihat tabel 4, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang positif antara social influence dengan perilaku green consumers setelah dikontrol dengan status sosial ekonomi orang tua. Artinya, pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah, semakin tinggi social influence yang dimilikinya maka semakin tinggi kecenderungan perilaku green consumers responden. Hal serupa juga terjadi pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang dan tinggi. Tabel 4. Hasil Uji Statistik Antara Perilaku Green Consumers dengan Social Influence Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Orang Tua Status Sosial Ekonomi (Orang Tua) Rendah Sedang Tinggi Uji Statistik dengan Somer’s d Perilaku Green Consumers (Dependen) Value Approx. Sig. 0,376 0,508 0,354 0,058 0,000 0,015 Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Kemudian, kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers setelah dikontrol oleh status sosial ekonomi orang tua mengalami perubahan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Somer’s d, value untuk responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah mengalami penurunan menjadi 0,376. Value ini menunjukkan kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah adalah lemah. Sedangkan, value pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang mengalami kenaikan meski tidak signifikan, yaitu menjadi 0,508. Value ini menunjukkan kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang adalah cukup. Value pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi tinggi juga menurun menjadi 0,354 yang menunjukkan kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi tinggi adalah lemah. Nilai signifikansi pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah adalah 0,058. Nilai ini lebih besar dari nilai alpha sebesar 0,05 sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah hanya berlaku pada tingkat sampel. Sedangkan pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang dan tinggi, nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers dapat digeneralisir ke tingkat populasi. Temuan menunjukkan bahwa pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah, ternyata kecenderungan perilaku green consumers yang sedang cenderung dimiliki oleh responden yang memiliki social influence tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa teori post-materialism yang dijelaskan pada bab 2 tidak berlaku pada responden yang berstatus sosial ekonomi rendah. Kepedulian mereka terhadap lingkungan meningkat yang ditunjukkan dengan perilaku konsumsi produk ramah lingkungan meskipun secara materi mereka belum berada pada tingkat yang tinggi. Kemudian, jika melihat harga produk ramah lingkungan yang lebih mahal, ternyata responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap perilaku konsumsi pada produk ramah lingkungan yang didukung oleh pengaruh dari lingkungan sosial mereka (reference group, dan keluarga). Berdasarkan hasil focus group discussion, hal ini terjadi karena mereka memiliki pengetahuan bahwa meskipun produk ramah lingkungan harganya lebih mahal, namun produk tersebut memiliki kualitas Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 yang baik dan cenderung lebih hemat sehingga produk tersebut dapat digunakan dalam jangka panjang. Terkait dengan perilaku green consumers, responden merasa tidak keberatan jika mereka harus merubah kebiasaan mereka menjadi ramah lingkungan asalkan tidak mengganggu aktivitas mereka, seperti tidak menggunakan air conditioner lagi. Sebelum mereka membeli produk yang ramah lingkungan, sebagian besar dari mereka juga menjadikan eco-friendly sebagai kelebihan sekunder jika mereka membeli produk tersebut. Dengan kata lain, mereka membeli produk karena kegunaan dari produk tersebut sedangkan eco-friendly menjadi kelebihan selanjutnya. Kemudian, jika peneliti melihat hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers setalah dikontrol dengan status sosial ekonomi orang tua berdasarkan responden fakultas ilmu eksakta dan fakultas ilmu sosial, terlihat bahwa terdapat hubungan yang negatif pada responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah. Namun, pada responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang dan tinggi, terdapat hubungan yang positif antara social influence dengan perilaku green consumers. Kemudian, kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang berstatus sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi adalah cukup. Jika melihat nilai signifikansi pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang dan tinggi, nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers berlaku pada tingkat populasi. Sedangkan, pada responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah, arah hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers tidak searah yang menunjukkan bahwa kenaikkan pada social influence diikuti dengan menurunnya perilaku green consumers, dan sebaliknya. Hubungan yang negatif ini hanya berlaku pada tingkat sampel yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi lebih besar dari nilai alpha. Meskipun hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers menunjukkan negatif, responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah tidak ada yang memiliki perilaku green consumers rendah. Hal ini terjadi karena responden fakultas ilmu eksakta menganggap kesehatan merupakan tiga isu sosial terbesar yang penting untuk ditangani di Indonesia. Kemudian, melalui focus group discussion, mereka cenderung memilih untuk membeli produk yang ramah lingkungan karena Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 mereka mengutamakan kesehatan mereka, di mana produk ramah lingkungan dianggap lebih menyehatkan, seperti misalnya pada makanan dan minuman. Selanjutnya, pada responden fakultas ilmu sosial, tidak ada hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi tinggi. Temuan tersebut didukung oleh hasil uji statistik dengan menggunakan Somer’s d yang menunjukkan value pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi tinggi adalah 0,000. Sedangkan, value pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah adalah 0,789, yang menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers tergolong kuat. Value ini lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan hubungan antara variabel yang sama pada responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah. Kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang adalah cukup, yang ditunjukkan dengan value sebesar 0,464. Value ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan hubungan antara variabel yang sama pada responden fakultas ilmu eksakta yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang. Jika melihat nilai signifikansi pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah dan sedang, nilai signifikansi adalah lebih kecil dari alpha sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers dapat berlaku di tingkat populasi. Sedangkan pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi tinggi, nilai signifikansi lebih besar dari nilai alpha sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers hanya berlaku pada tingkat sampel. Berdasarkan temuan di atas, pada responden fakultas ilmu sosial yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi tinggi, perilaku green consumers rendah cenderung dimiliki oleh responden yang memiliki social influence sedang dan responden yang memiliki perilaku green consumers sedang merupakan responden yang memiliki social influence rendah. Mengacu pada pendapat Bell mengenai hubungan status sosial ekonomi dengan kepedulian lingkungan yang terdapat di bab 2, masyarakat yang berstatus sosial tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dan tidak mendapatkan dampak dari masalah lingkungan sehingga cenderung kurang peduli terhadap lingkungan dibandingkan dengan masyarakat yang terkena dampak dari masalah lingkungan lebih banyak (status sosial rendah). Hal ini berlaku pada responden fakultas ilmu sosial, di mana kepedulian mereka terhadap lingkungan cenderung rendah karena mereka menganggap bahwa masalah lingkungan bukan merupakan masalah yang urgent, dan mereka belum merasakan secara Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 nyata akibat dari degradasi lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, mereka juga belum merasakan dampak dari perilaku mereka jika menggunakan produk yang tidak ramah lingkungan. Berdasarkan penjelasan di atas, status sosial ekonomi orang tua tidak memiliki pengaruh terhadap hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers setelah dikontrol oleh status sosial ekonomi orang tua, meskipun pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi sedang terdapat peningkatan. Namun, peningkatan tersebut tidak signifikan. Kekuatan hubungan pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah dan tinggi adalah lemah. Kemudian, hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah hanya berlaku pada tingkat sampel. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan antara responden fakultas ilmu eksakta dan ilmu sosial, yaitu terdapat hubungan yang negatif antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden fakultas ilmu eksakta yang ditunjukkan dengan value 0,500. Kemudian, kekuatan hubungannya menjadi cukup dan juga hanya berlaku pada tingkat sampel. Sedangkan pada responden fakultas ilmu sosial yang orang tuanya berstatus sosial ekonomi rendah, hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers cenderung kuat yang ditunjukkan dengan value dari Somers’ d sebesar 0,789 dan hubungan ini berlaku pada tingkat populasi. Hubungan Antara Perilaku Green Consumers dengan Social Influence Dikontrol dengan Lama Pendidikan Selanjutnya, akan dijelaskan hubungan antara perilaku green consumers dengan social influence setelah dikontrol oleh lama pendidikan. Temuan menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang berada pada lama pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Artinya, semakin tinggi social influence yang dimiliki oleh responden yang memiliki lama pendidikan rendah, sedang, dan tinggi, maka semakin tinggi kecenderungan perilaku green consumers yang dimiliki oleh responden tersebut. Kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers setelah dikontrol oleh lama pendidikan mengalami perubahan. Value pada responden yang berada pada lama pendidikan rendah mengalami kenaikan menjadi 0,536 yang menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers adalah cukup. Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Value pada responden yang memiliki lama pendidikan sedang dan tinggi mengalami penurunan, yaitu pada responden yang memiliki lama pendidikan sedang menjadi 0,461 dan responden yang memiliki lama pendidikan tinggi menjadi 0,443. Penurunan value ini tidak siginifikan, dan kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang memiliki lama pendidikan sedang dan tinggi adalah cukup. Kemudian, nilai siginifikansi pada ketiga kategori lama pendidikan lebih kecil dari nilai alpha sebesar 0,05 yang menunjukkan bahwa hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada mahasiswa yang berada pada lama pendidikan rendah, sedang, dan tinggi dapat digeneralisir ke tingkat populasi. Kekuatan hubungan yang cenderung cukup ini didukung dengan pengetahuan responden mengenai kebiasaan sehari-hari yang ramah lingkungan dan mengenai produk ramah lingkungan itu sendiri, di mana pengetahuan yang dimiliki oleh responden dapat meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungan yang kemudian terwujud dalam perilaku green consumers. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, informasi dan pendidikan dapat meningkatkan kesadaran individu agar berkontribusi untuk melindungi lingkungannya. Dalam hal ini, sebagai mahasiswa, mereka merupakan kelompok masyarakat yang welleducated dan well-informed sehingga dapat menjadi jembatan untuk memotivasi lingkungannya agar turut menjadi konsumen yang ramah lingkungan. Selanjutnya, jika peneliti melihat hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers setalah dikontrol dengan lama pendidikan berdasarkan responden fakultas ilmu eksakta dan fakultas ilmu sosial, terlihat bahwa terdapat hubungan yang positif antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden fakultas ilmu eksakta yang berada pada lama pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang berada pada lama pendidikan rendah dan sedang adalah cukup. Sedangkan kekuatan hubungan pada responden yang berada lama pendidikan tinggi adalah kuat. Kemudian, nilai signifikansi (ditunjukkan dengan approx. sig.) juga menunjukkan bahwa pada ketiga kategori lama pendidikan, nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha, sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang berada pada lama pendidikan rendah, sedang, dan tinggi berlaku di tingkat populasi. Temuan di atas menunjukkan bahwa responden fakultas ilmu eksakta yang berada pada lama pendidikan rendah dan sedang cenderung memiliki kepedulian lingkungan yang sedang karena mereka memiliki social influence yang cenderung rendah. Berdasarkan temuan sebelumnya, terlihat bahwa responden fakultas ilmu eksakta cenderung sedang dalam Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 mendapatkan nilai-nilai kepedulian lingkungan dari lingkungan sosialnya. Kemudian, melalui focus group discussion dengan informan fakultas ilmu eksakta, mereka lebih banyak mendapatkan nilai-nilai kepedulian lingkungan dari pelajaran yang mereka dapatkan di kampus, di mana pelajaran ini lebih banyak mereka dapatkan pada semester-semester tiga ke atas. Selanjutnya, pada responden fakultas ilmu sosial, terdapat hubungan yang positif antara social influence dengan perilaku green consumers setalah dikontrol oleh lama pendidikan. Kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang berada pada lama pendidikan tinggi adalah lemah. Value ini lebih rendah dari value pada responden fakultas ilmu eksakta yang berada pada lama pendidikan tinggi. Kemudian, kekuatan hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers pada responden fakultas ilmu sosial yang berada pada lama pendidikan rendah dan sedang adalah cukup. Jika melihat nilai signifikansi pada responden fakultas ilmu sosial yang berada pada lama pendidikan rendah dan sedang, nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers dapat digeneralisir ke tingkat populasi. Sedangkan, pada responden yang berada lama pendidikan tinggi, nilai signigikansi lebih besar dari nilai alpha sehingga hubungan antara social influence dengan perilaku green consumers hanya berlaku pada tingkat sampel. Namun, meskipun value pada responden fakultas ilmu sosial yang berada pada lama pendidikan tinggi adalah lemah, perilaku green consumers sedang cenderung dimiliki oleh responden yang memiliki social influence sedang dan tinggi. Hal ini didukung oleh hasil focus group discussion dengan informan fakultas ilmu sosial yang menganggap bahwa mereka memiliki kepedulian lingkungan karena pelajaran mengenai isu-isu lingkungan mereka dapatkan ketika di semester-semester atas sehingga mereka menjadi lebih tahu mengenai pentingnya masalah lingkungan. Berdasarkan temuan di atas, setelah dikontrol oleh lama pendidikan, ternyata hubungan di antara social influence dengan perilaku green consumers tidak terjadi. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kekuatan hubungan setelah dikontrol oleh lama pendidikan meskipun pada responden yang berada pada lama pendidikan rendah mengalami peningkatan. Hubungan antara perilaku social influence dengan perilaku green consumers pada responden yang berada pada lama pendidikan rendah, sedang, dan tinggi berlaku pada tingkat populasi. Kemudian, kekuatan hubungan pada responden fakultas ilmu eksakta yang berada pada lama pendidikan tinggi mengalami peningkatan menjadi 0,742, di mana value ini Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 menunjukkan hubungan antara social influence dan perilaku green consumers adalah kuat. Hubungan ini berlaku pada tingkat populasi. Sedangkan pada responden fakultas ilmu sosial, kekuatan hubungan pada responden yang berada pada lama pendidikan tinggi mengalami penurunan menjadi 0,275 yang berarti hubungan antara social influence dan perilaku green consumers adalah lemah. Hubungan ini hanya berlaku pada tingkat sampel. Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa actual commitment mahasiswa, baik yang berasal dari fakultas ilmu eksakta maupun ilmu sosial cenderung sedang. Sedangkan, untuk dapat memberikan kontribusi terhadap penyelesaian masalah lingkungan, yang diperlukan sebagai mahasiswa adalah kecenderungan yang tinggi pada actual commitment, yaitu perilaku individu yang sebenarnya terhadap isu lingkungan. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengaitkan masalah perilaku green consumers dengan faktor-faktor sosial lainnya, misalnya pendidikan, di mana kecenderungan perilaku green consumers berbeda dengan perilaku konsumsi masyarakat pada umumnya. Perilaku green consumers merupakan perwujudan dari individu yang memiliki kepedulian lingkungan, dan kepedulian lingkungan tersebut dapat ditingkatkan melalui pendidikan. Berdasarkan penelitian ini, peneliti menggunakan pendidikan dalam variabel kontrol, namun hanya pada pendidikan orang tua. Selain itu, peneliti memberi saran agar lembaga pendidikan di Indonesia perlu memasukkan nilai-nilai kepedulian lingkungan kepada siswanya karena mahasiswa belum memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup mengenai cara berkontribusi terhadap lingkungannya. Selain itu, keluarga juga perlu menanamkan nilai-nilai kepedulian tersebut secara eksplisit maupun implisit dari individu kecil agar individu memiliki perilaku yang ramah lingkungan. Mengacu pada keterbatasan dalam item-item yang digunakan dalam instrumen penelitian untuk mengukur persepsi individu mengenai masalah lingkungan yang hanya terfokus pada empat isu, maka penelitian selanjutnya diharapkan dapat menyusun instrumen yang lebih akurat dalam melihat persepsi individu sebagai bagian dari perilaku green consumers. Terkait dengan produk ramah lingkungan, peneliti juga memberikan saran kepada para produsen agar memberikan transparansi kegunaan produk ramah lingkungan yang dijual dan proses pembuatan produk tersebut sehingga konsumen memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai produk ramah lingkungan yang membuat mereka tertarik untuk membelinya. Hal ini juga terkait dengan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 responden fakultas ilmu eksakta cenderung menganggap bahwa melakukan uji produk dengan binatang merupakan hal yang wajar. Dengan transparansi yang diberikan oleh responden, pengetahuan dan derajat emosional (affection) mahasiswa dapat berubah sehingga mereka mengetahui bahwa melakukan uji produk terhadap binatang merupakan salah satu hal yang memicu terjadi kerusakan terhadap lingkungan. Selain itu, dalam memasarkan produk ramah lingkungan, yang diutamakan adalah kegunaan utama produk tersebut terkait dengan konsumen, baru kemudian dampak positif yang diberikannya terhadap lingkungan. Kemudian, terkait dengan perencanaan sosial, perusahaan-perusahaan lain juga perlu mengubah produknya menjadi lebih ramah lingkungan karena penelitian ini menunjukkan bahwa keinginan mahasiswa untuk mengkonsumsi produk ramah lingkungan cenderung tinggi. Dalam penyusunan kebijakan lingkungan, penelitian ini menunjukkan bahwa pada dimensi verbal commitment, mahasiswa memiliki kecenderungan untuk mengurangi segala bentuk pencemaran lingkungan. Kemudian, pada dimensi actual commitment, mahasiswa memiliki kecenderungan pada perilaku mendaur ulang. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi kecenderungan mahasiswa tersebut, misalnya dengan menyediakan tempat sampah organik dan non-organik, dan fasilitas untuk daur ulang. Kemudian, sebagai sumber yang paling banyak memberikan informasi kepada mahasiswa baik eksakta maupun ilmu sosial, terutama yang terkait dengan lingkungan, media diharapkan dapat memberikan informasi tidak hanya terkait dengan terjadinya degradasi lingkungan saja, tetapi juga cara untuk menyelesaikan masalah lingkungan tersebut. Jika melihat temuan penelitian yang menunjukkan tingginya derajat emosional responden terhadap isu lingkungan dan pengetahuan mereka mengenai pembangunan berkelanjutan, media juga diharapkan lebih banyak menyebarkan pesan-pesan yang menunjukkan pentingnya melindungi lingkungan agar kita mendapatkan dampak yang positif di masa yang akan datang, bukan apa yang akan hilang atau rusak di masa yang akan datang. Dengan kata lain, media diharapkan lebih banyak menyampaikan pesan-pesan yang dapat meningkatkan kasih sayang masyarakat terhadap lingkungan. Melihat rendahnya keterlibatan mahasiswa dalam organisasi lingkungan, organisasi lingkungan yang ada di lingkungan kampus diharapkan juga dapat turut menyebarkan informasi mengenai lingkungan kepada mahasiswa di sekitarnya melalui cara yang kreatif agar mereka juga memiliki pengetahuan yang cukup mengenai perilaku sehari-hari yang ramah lingkungan, misalnya dengan menempelkan kartu-kartu yang berisi informasi terkait lingkungan di sekitar kampus dan menyediakan fasilitas daur ulang sampah. Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Pendidikan terkait dengan isu lingkungan yang dapat meningkatkan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan perlu dimasukkan sampai ke jenjang perguruan tinggi karena dalam penelitian ini mahasiswa cenderung menempatkan isu lingkungan pada urutuan bawah. Padahal, mahasiswa sebagai konsumen yang well-educated dan well-informed seharusnya menempatkan isu lingkungan lebih tinggi atau sama dengan isu-isu sosial lainnya. Dengan begitu, mahasiswa dapat memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Daftar Pustaka Buku Bell, Michael Mayeferd. (2004). An invitation to Environmental Sociology (2nd ed.). California: Sage Publications. Frey, R. Scott. (2001). The Environment and Society Reader. Boston: Allyn and Bacon. Hannigan, John. (1995) Environmental Sociology: A Social Constructionist Perspective. London: Routledge. Hasegawa, Koichi. (2004). Constructing Civil Society in Japan: Voices of Environmental Movements. Melbourne: Trans Pacific Press. Johnson, Doyle Paul. (2008). Contemporary Sociological Theory: An Integrated Multi-Level Approach. New York: Springer. Kotler, Philip. (2002). Managemen Pemasaran. Jakarta: Prentice Hall. Schiffman, L.G., & Kanuk, L.L. (2004). Consumer Behavior (9th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall. Soemarwoto, Otto. (2002). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Sutton, Philip W. (2007). The Environment: A Sociological Introduction. Cambridge: Polity Press. Artikel Jurnal Gadenne, D., Sharma, B., Kerr, D., & Smith, T. (2011). The influence of consumers' environmental beliefs and attitudes on energy saving behaviours. Energy Policy, 39. Grupta, Shruti dan Ogden, Denise T. (2009). “To buy or not to buy? A social dilemma perspective on green buying”, Journal of Consumer Marketing, 26/6, 376-391. Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013 Ishaswini. (2011). Pro-Environmental Concern Influencing Green Buying: A Study on Indian Consumers. Rajasthan: International Journal of Business and Management. Junior Research Fellow, Faculty of Management Studies Mody Institute of Technology and Science Deemed University. Jaolis, Ferry. (2011) Profil Green Consumers Indonesia: Identifikasi Segmen dan FaktorFaktor yang Mempengaruhi Perilaku Pembelian Green Products. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.2, No. 1. Jones dan Dunlap. (2001). The Social Bases of Environmental Concern: Have They Changed Over Time? Rural Sociology, 57 (1992), 28-47. Maloney, M. P., Ward, M. P. dan Braucht, G. N. (2001). A Revised Scale for the Measurement of Ecological Attitudes and Knowledge. American Psychologist, Vol. 30. Novriaty, Shanty. (2006). Pemetaan Pemikiran dalam Sosiologi Lingkungan. Dalam Jurnal Masyarakat Vol. XIII, No. 2. Depok: Labsosio Fisip UI. Purwati, Ana. (2011). Pengaruh Status Sosial Ekonomi Orang Tua, Persepsi atas Lingkungan, dan Prestasi Belajar Ekonomi terhadap Perilaku Konsumsi. Jurnal Ekonomi Bisnis, TH. 16, No. 1. Skripsi M,F,K, Andromeda. (2009). Relevansi status sosial ekonomi terhadap kepedulian lingkungan hidup dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang (studi kasus Rukun Warga 11, Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara). Depok: Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Naomi, Nadia. (2011). Analisis Perilaku Konsumsi Produk Ramah Lingkungan Pada Remaja: Aplikasi Model AIDA (Attention, Interest, Desire, and Action). Bogor: Skripsi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Tazkiyah, Kiki Amalia. (2012). The Relationship Between Socio-Demographic Characteristic and Environmental Concern Among Scavengers in Tangerang Selatan. Depok: Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Publikasi Elektronik Wirjawan, Gita. (2012). Konsumen Dorong Pertumbuhan Ekonomi. http://economy.ok2ezone.com/read/2012/10/19/320/706509/konsumen-dorong-pertumbuhanekonomi Pengaruh faktor..., Mutya Nayavashti, FISIP UI, 2013