CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT Akreditasi PP IAI–2 SKP Domperidone untuk Meningkatkan Produksi Air Susu Ibu (ASI) Vincencius William, Michael Carrey Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Domperidone termasuk golongan antagonis reseptor dopamin D2. Obat ini biasa dikenal sebagai prokinetik dan antiemetik. Secara klinis obat ini juga bermanfaat untuk terapi refluks gastroesofageal, gastroparesis diabetik, dan dispepsia kronis. Beberapa peneliti mulai melihat manfaat lain domperidone, yaitu sebagai galactogogue. Penelitian terkini membuktikan bahwa obat tersebut efektif meningkatkan produksi ASI melalui kerjanya sebagai penghambat reseptor dopamin. Selain itu, domperidone juga memiliki keunggulan dibandingkan dengan galactogogue lain seperti metoclopramide, chlorpromazine, sulpiride, hormon oksitosin, dan hormon pertumbuhan. Kata Kunci: Domperidone, galactogogue, laktasi ABSTRACT Domperidone is classified as dopamine D2 receptor antagonist. This agent is believed to act as prokinetic and antiemetic agent. Domperidone is used for treating gastroesophageal reflux disease, diabetic gastroparesis, and chronic dyspepsia. Researchers began to look into the other benefit as a galactogogue. Recent studies have proven that domperidone as an antagonist receptor of dopamine is an effective drug to enhance breastmilk production. Domperidone is considered to be the first choice of galactogogue compared to metoclopramide, chlorpromazine, sulpiride, oxytocine, and growth hormone. Vincencius William, Michael Carrey. Domperidone for Breastmilk Production Enhancer Keywords: Domperidone, galactogogue, lactation PENDAHULUAN Pemberian Air Susu Ibu (ASI) merupakan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI juga berperan serta dalam perkembangan kognitif, sensorik, dan memberikan perlindungan terhadap infeksi dan penyakit kronis. Selain untuk bayi, ASI juga membawa dampak positif bagi kesehatan ibu. Lama optimal pemberian ASI eksklusif adalah minimal 6 bulan.1 Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan peningkatan cakupan pemberian ASI eksklusif (0-6 bulan) dari 32% di tahun 2007, menjadi 42% pada tahun 2012.2 Walaupun demikian, jumlah ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif masih tinggi. Beberapa alasan ibu tidak melanjutkan pemberian ASI eksklusif antara lain: jumlah ASI yang kurang, puting susu lecet, bayi sulit menghisap puting susu, dan persepsi ibu Alamat Korespondensi bahwa bayi membutuhkan susu lebih banyak. Penelitian Ahluwalia, et al, menunjukkan bahwa 20% ibu menyusui merasa jumlah ASI yang dihasilkan kurang, sehingga tidak melanjutkan menyusui.3 Domperidone merupakan antagonis reseptor dopamin D2. Di Asia dan Eropa, domperidone telah lama digunakan sebagai prokinetik dan antiemetik.4 Kegunaan klinis domperidone sebagai terapi penyakit refluks gastroesofageal, diabetik gastroparesis, dispepsia kronis, dan terkadang direkomendasikan untuk merangsang laktasi post-partum.5 Selain domperidone, terdapat beberapa obat lain yang memiliki efek merangsang laktasi (galactogogue), yaitu metoclopramide, chlorpromazine, sulpiride, hormon oksitosin, dan hormon pertumbuhan. Domperidone paling direkomendasikan karena telah terbukti efektif, belum ditemukan efek samping terhadap bayi, serta efek samping yang jarang pada ibu yang menyusui.6 Selain itu, berdasarkan literatur domperidone sebagai galactogogue telah banyak digunakan di berbagai negara meskipun sebagai “off label”, seperti Australia, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, Italia, Jepang, dan Kanada.7 MEKANISME PRODUKSI ASI Secara fisiologis, terdapat beberapa jenis hormon yang berperan dalam mekanisme pembentukan ASI, di antaranya: hormon progesteron berperan untuk merangsang pembentukan lobus dan alveoli, hormon estrogen memicu pelebaran duktus di kelenjar mammae serta merangsang hipofisis anterior dalam mengeluarkan prolaktin, dan human chorionic somatomammotropin (hCS) merupakan hormon plasenta yang berperan dalam sintesis enzim yang berguna untuk produksi ASI.8 Pada semester awal kehamilan, kelenjar email: [email protected] CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016 225 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT mammae telah mampu memproduksi ASI. Akan tetapi, kinerja hormon prolaktin dalam memproduksi ASI dihambat dengan tingginya kadar estrogen dan progesteron. Mekanisme tersebut masih berlanjut hingga sesaat sebelum plasenta dilahirkan. Pada saat plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen dan progesteron menurun drastis, menyebabkan hormon prolaktin dapat bekerja untuk mensekresi ASI.8 Setelah kelahiran, terdapat dua hormon lain yang bekerja untuk mempertahankan proses laktasi, yaitu hormon prolaktin untuk meningkatkan sekresi ASI dan hormon oksitosin yang menyebabkan ejeksi ASI. Kedua hormon ini dirangsang oleh refleks neuroendokrin saat bayi menghisap puting ibu (Gambar).8 Dalam jangka waktu 2-3 minggu, kadar serum prolaktin pada ibu postpartum yang tidak menyusui akan kembali ke nilai normal seperti kondisi sebelum kehamilan, tetapi pada ibu yang menyusui, kadar serum prolaktin akan meningkat dengan adanya rangsangan dari puting susu. Kadar serum prolaktin meningkat dua kali lipat pada ibu yang menyusui dua bayi dibandingkan dengan menyusui seorang bayi, menunjukkan bahwa jumlah serum prolaktin yang dilepaskan berbanding lurus dengan derajat rangsangan puting susu. Saat bayi menghisap puting susu, terjadi rangsangan saraf sensorik di sekitar areola. Impuls aferen dihantarkan ke hipotalamus, mengawali pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior. Sesaat sebelum ASI keluar terjadi peningkatan hormdasarkan lion oksitosin, dan pelepasan hormon berlanjut setelah beberapa kali dilakukan penghisapan oleh bayi. Dalam 20 menit setelah menyusui, kadar hormon oksitosin turun mendadak. Pelepasan oksitosin dihambat oleh katekolamin. Pelepasan katekolamin dirangsang oleh faktor stres dan nyeri. Penanganan faktor stres dan nyeri menjadi salah satu solusi masalah menyusui.9 Selama proses laktasi terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung produksi hormon pemicu sekresi ASI, antara lain: sentuhan kulit ibu dengan kulit bayi, pemompaan ASI secara rutin 12 kali per hari, konseling laktasi, dan teknik relaksasi agar dapat membantu keluarnya ASI.10 226 Gambar. Refleks menyusui 8 ADMINISTRASI DAN MEKANISME KERJA DOMPERIDONE SEBAGAI GALACTOGOGUE Domperidone dratiabsorpsi secara oral dengan bioavailabilitas tinggi. Obat ini juga mengalami eliminasi lintas pertama (first pass metabolism) saat melewati hati dan saluran cerna. Waktu paruh (T½) domperidone sekitar 7-12 jam dan sebagian besar diekskresikan melalui ginjal.13 Domperidone tidak dapat menembus sawar darah otak. Obat ini tetap dapat bekerja secara efektif di sistem saraf pusat karena kerja obat ini di kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis merupakan salah satu area di otak yang tidak memiliki sawar darah otak.11 Pada proses laktasi, hipotalamus mensekresikan prolactin-inhibiting hormone (PIH) yang dikenal sebagai neurotransmitter dopamin dan prolactin-releasing hormone (PRH). Sekresi kedua hormon tersebut berpengaruh pada sekresi hormon prolaktin. Domperidone bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Hambatan neurotransmitter dopamin di otak mampu mensupresi produksi PIH, sehingga sekresi PIH menurun dan produksi hormon prolaktin meningkat. Hal tersebut memberikan dampak positif terhadap peningkatan sekresi sel epitel alveolar, dan merangsang peningkatan sekresi ASI.8 Pada umumnya, dosis untuk efek prokinetik yaitu 30-60 mg/hari, dosis maksimal yang diperbolehkan sebesar 80 mg/hari.7,11 Dosis serupa dapat diberikan untuk merangsang laktasi pada ibu menyusui. Sebagian besar studi menyebutkan bahwa penggunaan domperidone sebagai galactogogue menggunakan dosis 30 mg/hari. Sejauh ini CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT belum ada studi yang membahas keamanan dan efektivitas titrasi dosis maksimal domperidone sebagai galactogogue; para ahli laktasi di Kanada mengawali pemberian domperidone dalam dosis 30-90 mg/hari dengan dosis maksimal 80-160 mg/hari.12 PENGARUH DOMPERIDONE TERHADAP VOLUME DAN KOMPOSISI ASI Campbell-Yeo, et al, meneliti efek domperidone terhadap volume dan komposisi ASI. Dalam 14 hari, volume ASI ibu menyusui yang diterapi domperidone meningkat sampai 267%, dibandingkan di grup plasebo hanya meningkat 18,5% (p = 0,005). Serum prolaktin meningkat sebesar 97% di grup domperidone dan meningkat sebesar 17% di grup plasebo (p = 0,07). Dari segi komposisi ASI, tidak terdapat perbedaan signifikan kandungan energi, protein, lemak, natrium, dan fosfat antara kelompok domperidone dan plasebo. Kadar karbohidrat dan kalsium lebih tinggi pada ASI ibu yang mengonsumsi domperidone dibandingkan plasebo.7 Wan, et al, menunjukkan bahwa domperidone 60 mg/hari selama 14 hari meningkatkan volume ASI sebesar 367% dibandingkan pada dosis 30 mg/hari hanya meningkat sebesar 215%, namun peningkatan dosis domperidone berbanding lurus dengan peningkatan efek samping. Kadar serum prolaktin juga meningkat, kelompok domperidone 30 mg/ hari mengalami peningkatan sebesar 405% dan pada dosis 60 mg/hari hanya sedikit lebih meningkat, yaitu sebesar 433%, disebabkan oleh ceiling effect. Pada beberapa subjek penelitian, peningkatan kadar serum prolaktin tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah produksi ASI. Peneliti menduga terdapat mediator dan/atau mekanisme lain yang berperan dalam produksi ASI selain serum prolaktin.14 Knoppert, et al, menunjukkan bahwa secara statistik bahwa domperidone tiga kali 10 mg per hari tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan dosis tiga kali 20 mg per hari dalam 4 minggu pertama (p = 0,46), namun klinis menunjukkan perubahan volume ASI. Durasi optimal pemberian domperidone sebagai galactogogue masih belum diketahui, penurunan dosis domperidone menjadi dua kali sehari setelah 4 minggu tidak menurunkan jumlah volume ASI.15 Studi meta-analisis Osadchy, et al, menyimpulkan bahwa CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016 domperidone terbukti efektif meningkatkan produksi ASI dibandingkan plasebo, namun keterbatasan studi meta-analisis ini adalah jumlah sampel kecil (17, 16, dan 45 subjek).16 Selain dosis domperidone, paritas ibu menyusui juga mempengaruhi kadar serum prolaktin. Brown, et al, menyimpulkan bahwa nullipara akan menghasilkan serum prolaktin lebih tinggi dibandingkan multipara pada dosis obat yang sama.13 Namun, volume ASI yang dihasilkan oleh multipara tetap lebih tinggi dibandingkan nullipara.6 EFEK SAMPING DOMPERIDONE Efek samping yang sering terjadi antara lain nyeri kepala, rasa haus, mulut kering, diare, kram perut, dan kemerahan kulit.12 Pada pasien dengan kondisi tertentu seperti riwayat aritmia jantung (takiaritmia dan pemanjangan interval QT) dan pengguna obat antiaritmia, efek samping yang perlu diwaspadai yaitu pemanjangan interval QT pada elektrokardiografi, sehingga dapat memicu Torsades de Pointes atau aritmia lain. Mengingat efek samping ini mengancam nyawa, Food and Drug Administration (FDA) menarik domperidone dari pasar obat tahun 2004. Sebenarnya efek samping membahayakan tersebut muncul pada penggunaan domperidone dosis tinggi intravena pada penderita kanker. Health Canada’s Canada Vigilance Program telah mengonfirmasi bahwa sepanjang tahun 1965 hingga tahun 2011 tidak ditemukan laporan kematian yang berkaitan dengan kasus jantung pada wanita yang mengkonsumsi domperidone.12 Saat ini Health Canada menyarankan dosis harian domperidone tidak melebihi 30 mg/hari.15 Efek samping lain yang jarang yaitu efek ekstrapiramidal (distonia, akathisia, sindrom Parkinson) dan neuropsikiatri, karena domperidone tidak dapat menembus sawar darah otak.5 Pemberian domperidone sebagai galactogogue pada ibu menyusui harus mempertimbangkan kemungkinan efek baik terhadap ibu maupun terhadap bayi yang diberi ASI. Wan, et al, menunjukkan bahwa pada dosis 30 mg/hari, efek samping yang terjadi berupa kram perut, mulut kering, dan nyeri kepala. Pada dosis 60 mg/ hari, terdapat efek samping tambahan berupa konstipasi dan depresi.14 Selain itu, penghentian penggunaan domperidone jangka panjang secara mendadak dapat memicu gejala putus obat. Studi kasus Papastergiou, et al, menunjukkan bahwa penggunaan domperidone 80 mg/hari selama 8 bulan, kemudian diturunkan menjadi 60 mg/hari selama 2 hari dan dihentikan pada hari berikutnya memicu munculnya gejala putus obat, antara lain insomnia, cemas, dan peningkatan denyut nadi.17 Setiap obat galactogogue selain ditinjau efek terhadap ibu, perlu dipertimbangkan pula efek terhadap bayi yang diberi ASI. Domperidone disekresikan melalui ASI sebesar 0,2 µg/kg/hari. Secara klinis, jumlah tersebut tidak signifikan untuk menimbulkan efek terhadap bayi. American Academy of Pediatrics (AAP) mengklasifikasikan domperidone sebagai obat yang dapat digunakan pada ibu menyusui.18 SIMPULAN Domperidone tidak hanya efektif sebagai prokinetik dan antiemetik, juga telah terbukti meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui. Domperidone menjadi pilihan utama dibandingkan galactogogue lain karena tidak ada efek samping terhadap bayi dan jarang muncul efek samping pada ibu menyusui. Meskipun jarang, domperidone masih menjadi perhatian FDA dan Health Canada terutama untuk efek samping yang berkaitan dengan gangguan irama jantung. SARAN (1) Tahap awal tatalaksana produksi ASI adalah non-farmakologis, (2) Terapi farmakologis seperti domperidone dapat dipertimbangkan apabila tatalaksana non-farmakologis tidak dapat meningkatkan jumlah ASI. Sebaiknya dilakukan skrining kemungkinan aritmia jantung pada ibu menyusui dan keluarganya, riwayat pemakaian obat yang memperpanjang interval QT dan obat yang mempengaruhi metabolisme domperidone. Dosis domperidone yang dianjurkan 30 mg/hari. Makin tinggi dosis, lebih banyak efek samping. Belum diketahui rentang waktu pemberian domperidone yang optimal sebagai galactogogue, beberapa peneliti menyarankan sekitar 2-4 minggu, kemudian diturunkan bertahap sebelum dihentikan. Pengguna domperidone sebagai galactogogue perlu di follow-up karena masih 227 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 228 W orld Health Organization. Exclusive breastfeeding [Internet]. 2015 [cited 2015 June 4]. Available from: http://www.who.int/nutrition/topics/exclusive_breastfeeding/en/. K ementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis ASI EKSKLUSIF [Internet]. 2014 [cited 2015 June 4]. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/ infodatin-asi.pdf. Ahluwalia IB, Morrow B, Hsia J. Why do women stop breastfeeding? Findings from the pregnancy risk assessment and monitoring system. Pediatrics 2005;116:1408-12. Y oshizato T, Kotegawa T, Imai H, Tsutsumi K, Imanaga J, Ohyama T, et al. Itraconazole and domperidone: A placebo-controlled drug interaction study. Eur J Clin Pharmacol. 2012;68:128794. Katzung BG, Masters SB, Trevor AS. Basic and clinical pharmacology. 11th ed. USA: McGraw-Hill; 2009. uppa AA, Sindico P, Orchi C, Carducci C, Cardiello V, Romagnoli C, et al. Safety and efficacy of galactogogues: Substances that induce, maintain and increase breast milk production. J Z Pharm Pharmaceut Sci. 2010;13(2):162-74. C ampbell-Yeo ML, Allen AC, Joseph KS, Ledwidge JM, Caddell K, Allen VM, et al. Effect of domperidone on the composition of preterm human breast milk. Pediatrics 2010;125(1):107-14. S herwood L. Human physiology: From cells to systems. 8th ed. USA: Thomson Brooks/Cole; 2013. A nderson PO, Valdes V. A critical review of pharmaceutical galactagogues. Breastfeed Med. 2007;2(4):229-42. Ingram J, Taylor H, Churchill C, Pike A, Greenwood R. Metoclopramide or domperidone for increasing maternal breast milk output: A randomised control trial. Arch Dis Child Fetal Neonatal [Internet]. 2011 [cited 2015 Jun 10]. Available from: http://www.researchgate.net/profile/Jenny_Ingram/publication/51858014_Metoclopramide_or_domperidone_for_increasing_ maternal_breast_milk_output_a_randomised_controlled_trial/links/00b7d52693975bc09c000000.pdf. B runton LL, Chabner BA, Knollmann BC, editors. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics. 12th ed. USA: McGraw-Hill; 2011. F landers D, Lowe A, Kramer M, Da Silva O, Dobrich C, Campbell-Yeo M, et al. A consensus statementon the use of domperidone to support lactation. Canada: The International Lactation Consultant Association; 2012. P oovathingal MA, Bhat R, Ramamoorthi. Domperidone induced galactorrhea: An unusual presentation of a common drug. Indian J Pharmacol. 2013;45:307-8. doi: 10.4103/02537613.111913. W an EWX, Davey K, Page-Sharp M, Hartmann PE, Simmer K, Ilett KF. Dose-effect study of domperidone as a galactagogue in preterm mothers with insufficient milk supply, and its transfer into milk. Br J Clin Pharmacol. 2008;66(2):283-9. K noppert DC, Page A, Warren J, Seabrook JA, Carr M, Angelini M, et al. The effect of two different domperidone doses on maternal milk production. J Hum Lac. 2013:29(1):38-44. O sadchy A, Moretti ME, Koren G. Effect of domperidone on insufficient lactation in puerperal women: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Obset Gynecol Int. 2012;2012:642893. P apastergiou J, Abdallah M, Tran A, Folkins C. Domperidone withdrawal in a breastfeeding woman. CPJ/RPC. 2013:146(4):210-2. B riggs GG, Freeman RK, Yaffe SJ. Drugs in pregnancy and lactation. 8th ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016