BAB II

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep dan Pengertian Jasa
Pada umumnya produk dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Salah
satu cara yang banyak digunakan adalah klasifikasi berdasarkan daya tahan atau
berwujud tidaknya suatu produk. Berdasarkan kriteria ini, ada tiga kelompok
utama produk, yaitu (Tjiptono, 1996 : 5) :
1. Barang Tidak Tahan Lama (Nondurable Goods), merupakan barang berwujud
yang biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali pemakaian.
Dengan kata lain umur ekonomisnya kurang dari satu tahun. Contohnya
sabun, minuman dan makanan ringan, garam gula, kapur tulis, dan
sebagainya.
2. Barang Tahan Lama (Durable Goods), merupakan barang berwujud yang
biasanya bisa bertahan lama dan memiliki umur ekonomis lebih dari satu
tahun. Contohnya TV, kulkas, mobil, komputer, mesin cuci dan lain-lain.
3. Jasa (Services), merupakan suatu aktivitas, manfaat atau kepuasan yang
ditawarkan untuk dijual. Contohnya bengkel reparasi, salon kecantikan,
kursus keterampilan, hotel, rumah sakit dan sebagainya.
Sebenarnya pembedaan secara tegas antara barang dan jasa sering kali
sukar dilakukan. Hal ini dikarenakan pembelian suatu barang seringkali disertai
dengan jasa-jasa tertentu (misalnya : instalasi, pemberian garansi, pelatihan dan
bimbingan operasional, perawatan dan reparasi) dan sebaliknya pembelian suatu
jasa seringkali juga melibatkan barang-barang yang melengkapinya (misalnya
makan di restoran, telepon dalam jasa telekomunikasi). Meskipun demikian, jasa
menurut Kotler, didefinisikan sebagai berikut (Tjiptono, 1996 : 6) :
“ Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu
pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud
fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa bisa
berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. “
II - 1
II - 2
Penawaran suatu perusahaan kepada pasar biasanya mencakup beberapa
jenis jasa. Komponen jasa dapat merupakan bagian kecil ataupun bagian utama /
pokok dari keseluruhan penawaran tersebut. Pada kenyataannya, suatu penawaran
dapat bervariasi dari dua kutub ekstrim. Yaitu murni berupa barang pada satu sisi
dan jasa murni pada sisi lainnya. Berdasarkan kriteria ini, penawaran suatu
perusahaan dapat dibedakan menjadi lima kategori, yaitu (Tjiptono, 1996 : 6) :
1. Produk fisik murni
Penawaran semata-mata hanya terdiri dari atas produk fisik, misalnya sabun
mandi, pasta gigi, atau sabun cuci, tanpa ada jasa atau pelayanan yang
menyertai produk tersebut.
2. Produk fisik dengan jasa pendukung
Pada kategori ini penawaran terdiri atas suatu produk fisik yang disertai
dengan satu atau beberapa jasa untuk meningkatkan daya tarik pada
konsumennnya. Misalnya produsen mobil harus memberikan penawaran yang
jauh lebih banyak daripada hanya sekedar mobil saja, yaitu bisa meliputi jasa
pengantaran, reparasi, pemasangan suku cadang dan sebagainya. Dalam
kategori ini menurut Clemente (1992) jasa dapat didefinisikan sebagai
kegiatan yang dilakukan perusahaan kepada pelanggan yang telah membeli
produknya.
Theodore Levitt (1972) mengamati bahwa semakin canggih teknologi suatu
produk generik (misalnya mobil, mesin fotokopi, dan komputer), maka
penjualannya semakin bergantung pada kualitas dan ketersediaan layanan
pelanggan (customer service) yang menyertainya, seperti ruang pajangan
(showroom), fasilitas pengantaran, perbaikan dan pemeliharaan, bantuan
aplikasi, pelatihan operator, konsultasi instalasi dan pemenuhan garansi.
3. Hybrid (Campuran)
Penawaran terdiri dari barang dan jasa yang sama besar porsinya. Misalnya
restoran yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya.
4. Jasa utama yang didukung dengan barang dan jasa minor
Penawaran terdiri atas suatu jasa pokok bersama-sama dengan jasa tambahan
(pelengkap) dan / atau barang-barang pendukung. Contohnya penumpang
pesawat yang membeli jasa transportasi. Selama menempuh perjalanan
II - 3
menuju tempat tujuannya, ada beberapa unsur produk fisik yang terlibat,
seperti makanan dan minuman, majalah, atau surat kabat yang disediakan, dan
lain-lain. Jasa seperti ini memerlukan barang yang bersifat kapital intensif
(dalam hal ini pesawat) untuk realisasinya, tetapi penawaran utamanya adalah
jasa.
5. Jasa murni
Penawaran hampir seluruhnya berupa jasa. Contohnya menjaga bayi,
fisioterapi, konsultasi psikologi, pemijatan dan lain sebagainya.
Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jasa
sama dengan melayani dalam arti pelayanan yang memberikan kepuasan pada
pemakainya.
2.2 Klasifikasi Jasa
Banyak pakar yang melakukan klasifikasi jasa, dimana masing-masing ahli
menggunakan dasar pembedaan yang disesuaikan dengan sudut padangnya
masing-masing. Menurut Lovelock klasifikasi jasa dapat dilakukan berdasarkan
tujuh kriteria, (Tjiptono, 1996 : 8) yaitu :
1. Segmen Pasar
Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada
konsumen akhir dan jasa kepada konsumen organisasional. Sebenarnya ada
kesamaan diantara kedua segmen pasar tersebut dalam pembelian jasa. Baik
konsumen akhir maupun konsumen organisasional sama-sama melalui proses
pengambilan
keputusan,
meskipun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pembeliannya berbeda. Perbedaan utama antara kedua segmen tersebut
adalah alasan dalam memilih jasa, kuantitas jasa yang dibutuhkan, dan
kompleksitas pengerjaan jasa tersebut.
2. Tingkat Keberwujudan (Tangibility)
Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan
konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu :
II - 4
a. Rented Goods Service
Dalam jasa ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk
tertentu berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu pula.
Konsumen
hanya
kepemilikannya
dapat
tetap
menggunakan
berada
pada
produk
pihak
tersebut,
perusahaan
karena
yang
menyewakannya. Contohnya : sewa mobil, kaset video, laser disk, villa
dan apartemen.
b. Owned Goods Service
Pada owned goods service, produk-produk yang dimiliki konsumen
direparasi, dikembangkan atau ditingkatkan unjuk kerjanya, atau
dipelihara/dirawat oleh perusahaan jasa. Jenis jasa ini juga mencakup
perubahan bentuk pada produk yang dimiliki konsumen. Contohnya :
reparasi (jam, mobil, sepeda motor), pencucian mobil, perawatan rumput
lapangan golf, perawatan taman, pencucian pakaian (laundry dan dry
cleaning), dan lain-lain.
c. Non-Goods Service
Karakteristik khusus pada jenis adalah jasa personal bersifat intangible
(tidak berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada para pelanggan.
Contohnya : supir, baby sitter, dosen, ahli kecantikan dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan aspek pemasaran, secara umum dapat dikatakan
bahwa semakin tidak berwujud suatu jasa, maka semakin sedikit persamaan
pemasaran jasa dan pemasaran barang berwujud. Pada non-goods service
misalnya, kinerja (performance) hanya dapat dinilai setelah jasa diberikan dan
konsistensi kinerja tersebut sulit dijaga. Sebaliknya rented goods service dan
owned goods service dapat dipasarkan dengan cara-cara yang serupa dengan
pemasaran barang berwujud (produk fisik), karena kedua jenis jasa ini
memerlukan barang-barang fisik dan lebih bersifat tangible.
3. Keterampilan Penyedia Jasa
Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas professional
service dan nonprofessional service. Pada jasa yang memerlukan keterampilan
tinggi dalam proses operasinya, pelanggan cenderung sangat selektif dalam
memilih penyedia jasa. Hal inilah yang menyebabkan para profesional dapat
II - 5
“mengikat”
para
keterampilan
pelanggannya.
tinggi,
seringkali
Sebaliknya
loyalitas
jika
tidak
pelanggan
memerlukan
rendah
karena
penawarannya sangat banyak.
4. Tujuan Organisasi Jasa
Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat dibagi menjadi commercial service
atau profit service dan non profit service.
Menurut Stanton, Etzel, dan Walker, jasa komersial masih dapat
diklasifikasikan lagi menjadi beberapa jenis (Tjiptono, 1996 : 10), yaitu :
a. Perumahan atau pemginapan, mencakup penyewaan apartemen, hotel,
motel, villa, cottage, dan rumah.
b. Operasi rumah tangga, meliputi utilitas, perbaikan rumah, reparasi
peralatan rumah tangga, pertamanan, dan household cleaning.
c. Rekreasi dan hiburan, meliputi penyewaan dan reparasi peralatan yang
digunakan untuk aktivitas-aktivitas rekreasi dan hiburan, serta admisi
untuk segala macam hiburan, pertunjukan, dan rekreasi.
d. Personal care, mencakup laundry, dry cleaning, dan perawatan
kecantikan.
e. Perawatan kesehatan, meliputi segala macam jasa medis dan kesehatan.
f. Pendidikan swasta.
g. Bisnis dan jasa profesional lainnya, meliputi biro hukum, konsultasi pajak,
konsultasi akuntansi, konsultasi manajemen, dan jasa komputerisasi.
h. Asurasi perbankan, dan jasa finansial lainnya, seperti asuransi perorangan
dan bisnis, jasa kredit dan pinjaman, konseling investasi, dan pelayanan
pajak.
i. Transportasi, meliputi jasa angkutan dan penumpang, baik melalui darat,
laut maupun udara, serta reparasi dan penyewaan kendaraan.
j. Komunikasi, terdiri atas telepon, telegraph, komputer, dan jasa
komunikasi bisnis yang terspesialisasi.
Jasa nirlaba (non profit) memiliki karakteristik khusus, yaitu masalah yang
ditanganinya lebih luas, memiliki dua publik utama (kelompok donatur dan
kelompok klien), tercapai tidaknya tujuan tidak hanya ditentukan berdasarkan
ukuran finansial (seperti margin laba dan penjualan), laba perusahaan jasa
II - 6
nirlaba seringkali tidak berkaitan dengan pembayaran dari pelanggan, dan
biasanya perusahaan jasa nirlaba dibutuhkan untuk melayani segmen pasar
yang secara ekonomis tidak layak (feasible).
5. Regulasi
Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated service dan
nonregulated service.
6. Tingkat Intensitas Karyawan
Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu equipment based service dan
people-based service. People-based service masih dapat dikelompokkan
menjadi kategori tidak terampil, terampil dan pekerja profesional. Jasa yang
padat karya (people-based) biasanya ditemukan pada perusahaan yang
memang memerlukan banyak tenaga ahli dan apabila pemberian jasa itu harus
dilakukan di rumah atau di tempat usaha pelanggan. Perusahaan juga akan
bersifat padat karya bila proses penyampaian jasa kepada satu personil yang
relatif banyak untuk melayani pelanggan yang lain. Sementara itu perusahaan
yang bersifat equipment-based mengandalkan penggunaan mesin dan
peralatan canggih yang dapat dikendalikan dan dipantau secara otomatis atau
semi otomatis. Ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga konsistensi kualitas
jasa yang diberikan.
7. Tingkat Kontak Penyedia Jasa Dan Pelanggan
Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum jasa dapat dibagi menjadi highcontact service dan low-contact service. Pada jasa yang tingkat kontak dengan
pelanggannya tinggi, keterampilan interpersonal karyawan harus diperhatikan
oleh perusahaan jasa, karena kemampuan membina hubungan sangat
dibutuhkan dalam berurusan dengan orang banyak. Sebaliknya pada jasa yang
tingkat kontak dengan pelanggan rendah justru keahlian teknis karyawan yang
paling penting.
2.3 Karakteristik Jasa
Menurut Kotler empat karakteristik utama pada jasa yang membedakannya
dengan barang, dapat diuraikan sebagai berikut yaitu (Tjiptono, 1996 : 15) :
II - 7
1. Intangibility (Tidak Berwujud)
Jasa berbeda dengan barang. Jika barang merupakan suatu objek, alat, atau
benda, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja (performance), atau usaha.
Jasa bersifat intangible, artinya tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium, atau
didengar sebelum dibeli. Menurut Berry (Tjiptono, 2004 : 15) konsep
intangible ini sendiri memiliki dua pengertian, yaitu :
a. Sesuatu yang tidak dapat disentuh atau tidak dapat dirasa.
b. Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau dipahami
secara rohaniah.
2. Inseparability (Tidak Dapat Dipisahkan)
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan
jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan
dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan
merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil
(outcome) dari jasa tersebut. Dalam hubungan penyedia jasa dan pelanggan
ini, efektivitas individu yang menyampaikan jasa (contact-personnel)
merupakan unsur penting. Dengan demikian, kunci keberhasilan bisnis jasa
ada pada proses rekrutmen, kompensasi, pelatihan, dan pengembangan
karyawannya.
3. Variability (Bervariasi)
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandarized output, artinya
banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan
dimana jasa tersebut dihasilkan. Ada tiga faktor yang menyebabkan
variabilitas kualitas jasa yaitu kerja sama atau partisipasi pelanggan selama
penyampaian jasa, moral / motivasi karyawan dalam melayani pelanggan, dan
beban kerja perusahaan. Dalam hal ini penyedia jasa dapat menggunakan tiga
pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, (Tjiptono, 1996 : 17) yaitu :
a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik.
b. Melakukan standarisasi proses pelaksanaan jasa (service performance
process). Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menyiapkan suatu cetak
biru (blue print) jasa yang menggambarkan peristiwa atau event dan
proses jasa dalam suatu diagram alur, dengan tujuan untuk mengetahui
II - 8
faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan kegagalan dalam jasa
tersebut.
c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survai
pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan yang kurang
baik dapat dideteksi dan dikoreksi.
4. Perishability (Tidak Tahan Lama)
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan.
Dengan demikian bila suatu jasa tidak tidak digunakan, maka jasa tersebut
akan berlalu begitu saja. Menurut Stanton, Etzel, dan Walker (Tjiptono, 2004 :
18), ada pengecualian dalam karakteristik perishability dan penyampaian jasa.
Dalam kasus ini jasa bisa disimpan, yaitu dalam bentuk pemesanan (misalnya
reservasi tiket pesawat dan kamar hotel), peningkatan permintaan akan suatu
jasa pada saat permintaan sepi (misalnya minivacation weekend di hotel-hotel
tertentu), dan penundaan penyampaian jasa (misalnya asuransi). Dengan
demikian hal ini bisa dianggap sebagai suatu bentuk penyimpanan.
2.4 Masalah-Masalah Dalam Bisnis Jasa
Sebagaimana telah dibahas diatas bahwa karakteristik jasa terdiri dari
Intangibility, Inseparability, Variability, Pershability. Menurut Parasuraman,
Zeithamal dan Berry, keempat karakteristik ini membawa dampak berupa
munculnya beberapa permasalahan (Tjiptono, 2004 : 20) yaitu :
1. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik Intangibility :
a. Jasa tidak dapat disimpan
b. Jasa tidak dapat dilindungi dengan hak paten
c. Perusahaan tidak dapat dengan mudah dan cepat mempertunjukan atau
mengkomunikasikan suatu jasa
d. Harga sukar ditetapkan
2. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik Inseparability :
a. Konsumen terlibat dalam aktivitas produksi jasa
b. Kegiatan pemasaran dan produksi sangat interaktif
c. Produksi massa yang terpusat sangat sukar dilakukan dalam jasa.
II - 9
3. Masalah yang berkaitan dengan Variability
a. Sangat sulit melakukan standarisasi bidang pengendalian kualitas jasa.
4. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik Perishability
a. Jasa tidak dapat disimpan
2.5 Pasar Sasaran
Salah satu aspek paling penting dalam rangka menyusun rancangan jasa
antara lain adalah penentuan pasar yang ingin dilayani. Pasar dapat diartikan
sebagai semua pelanggan potensial yang memiliki kebutuhan atau keinginan
tertentu yang mungkin bersedia atau sanggup untuk melibatkan diri dalam proses
pertukaran, guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut. Dengan
ditetapkannnya
pasar
sasaran,
maka
perusahaan
dapat
lebih
mudah
menyeimbangkan keterampilan dan kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan pelanggan (Tjiptono, 1996 : 26).
1. Pendekatan Agregat (Market Aggregation)
Pandangan agregasi pasar menganggap bahwa perilaku dan respon pasar
besifat homogen. Perusahaan akan melayani pasar sasaran ini dengan program
pemasaran maupun produk tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan
perilaku. Ada beberapa pertimbangan dipilihnya pendekatan ini yaitu :
a. Sifat jasa maupun perilaku pelanggan tidak terlalu berbeda atau sulit
dibedakan.
b. Permintaan atas jasa perilaku cukup tinggi, sehingga pasar tidak terlalu
memperdulikan bila ada perbedaan produk (jasa).
c. Kemampuan perusahaan memproduksi jasa relatif seragam. Jika diadakan
pembedaan, tidak akan memberikan manfaat yang berarti.
Contoh jenis jasa yang banyak menerapkan pendekatan ini adalah bank,
bioskop, dan restoran fast food, dimana jasa yang diberikan relatif tidak
dibedakan
2. Pendekatan Segmentasi Pasar ( Market Segmentation )
Pandangan segmentasi pasar beranggapan bahwa tidak semua pasar
memiliki perilaku dan respon yang homogen. Dengan demikian perlu
dilakukan pengelompokan pasar keseluruhan yang bersifat heterogen. Dalam
II - 10
segmen-segmen tertentu, dimana masing-masing segmen memiliki persamaan
perilaku dan respon. Perusahaan kemudian memilih salah satu atau beberapa
segmen yang akan dijadika pasar sasaran. Setiap segmen akan dilayani dengan
program pemasaran dan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
keingginan segmen tersebut.
Contoh jenis jasa yang banyak menerapkan segmentasi pasar adalah jasa
transportasi ( pesawat, kereta api, kapal laut ), hotel, asuransi, dll.
2.6 Kualitas Jasa
2.6.1. Produktivitas, Kualitas, dan Profitabilitas
Menurut Edvardsson, produktivitas biasanya selalu dikaitkan dengan kualitas
dan profitabilitas. Meskipun demikian ketiga konsep ini memiliki penekanan
masing-masing. Penekanan tersebut adalah sebagai berikut (Tjiptono, 1996 : 53) :
1. Produktivitas menekankan pada pemanfaatan (utilisasi) sumber daya yang
sering kali diikuti dengan pengurangan biaya dan rasionalisasi modal. Fokus
utamanya adalah pada produksi.
2. kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan. Fokus
utamanya pada customer utility
3. Profitabilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasilan dengan
(income), biaya dan modal yang digunakan.
Pandangan tradisional sering kali hanya berfokus pada pencapaian
produktivitas dan profitabilitas dengan mengabaikan aspek kualitas. Hal ini bisa
mempercepat kehancuran sautau perusahaan. Dalam perdagangan bebas
sebagaimana yang telah disepakati dalam kerangka AFTA, APEC dan WTO,
setiap perusahaan harus menghadapi persaingan ketat dari perusahaan-perusahaan
lain dari seluruh dunia. Meningkatnya intensitas persaingan dan jumlah pesaing
juga menuntut setiap perusahaan untuk selalu memperhatikan kebutuhan dan
keinginan konsumen serta berusaha memenuhi apa yang mereka harapkan dengan
cara yang lebih memuaskan daripada yang dilakukan para pesaing. Dengan
demikian hanya perusahaan yang benar-benar berkualitas dapat bersaing dalam
pasar global.
II - 11
Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan.
Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjamin ikatan
hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini
memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan
serta kebutuhan mereka. Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan dimana perusahaan memaksimumkan atau meniadakan
pengalaman pelanggan yang kurang menyenagkan. Pada gilirannya kepuasan
pelanggan dapat menciptakan kesetiaan dan loyalitas pelanggan kepada
perusahaan yang memberikan kualitas yang memuaskan.
2.6.2. Service Excellence
Menurut Elhaitammy, service Excellence atau pelayanan yang unggul
merupakan suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara
memuaskan (Tjiptono, 1996 : 58). Sasaran dan manfaat dari service excellence
dapat dilihat pada tabel 2.1. Secara garis besar ada empat unsur pokok dalam
konsep ini yaitu :
1. Kecepatan
2. Ketepatan
3. Keramahan
4. Kenyamanan
Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang
terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak excellence bila ada
komponen yang berkurang. Untuk mencapai tingkat excellence, setiap karyawan
harus memiliki keterampilan tertentu, diantaranya berpenampilan baik dan rapi,
bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan selalu siap untuk melayani,
tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan. Menguasai
pekerjaannya baik tugas yang berkaitan pada bagian atau departemennya maupun
bagian lainnya. Mampu berkomunikasi dengan baik. Bisa memahami bahasa
isyarat pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan
secara profesional. Dengan demikian upaya mencapai excellence bukan
merupakan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi bila hal tersebut dilakukan, maka
II - 12
perusahaan yang bersangkutan akan dapat meraih manfaat besar, terutama berupa
kepuasan dan loyalitas konsumen.
Tabel 2.1 Sasaran dan Manfaat Service Excellence
Sasaran Service
Excellence
Memuaskan
Pelanggan
Manfaat Service Excellence
Bagi Pelanggan
Bagi Karyawan
Bagi Perusahaan
Kebutuhan
Lebih Percaya
Meningkatnya Kesan
Terpenuhi
Diri
Profesional
Merasa di hargai
Meningkatkan
Ada kepuasan
Kelangsungan usaha
dan mendapatkan
Loyalitas Pelanggan
pribadi
perusahaan terjamin
pelayanan terbaik
Meningkatkan
Menambah
Mendorong masyarakat
Merasa di percaya
penjualan produk
ketenangan
untuk berhubungan dengan
sebagai mitra bisnis
dan jasa perusahaan
kerja
perusahaan
Merasa menemukan
Meningkatkan
Memupuk
Mendorong kemungkinan
perusahaan yang semangat untuk
pendapatan
ekspansi
profesional
perusahaan
meniti karir
Meningkatkan laba
perusahaan
Sumber : Elhaitammy, dalam Tjiptono, Fandy, 1996, Manajemen Jasa,
Andi Offset, Yogyakarta, Hal 59.
2.6.3. Definisi Kualitas Jasa
Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan waktu penyampaiannya untuk mengimbangi
harapan pelanggan. Menurut Wyckof (Tjiptono, 1996 : 59), kualitas jasa adalah
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata
lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu
expected
service dan perceived service (Tjiptono , 1996 : 60).
Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai
dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan.
Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa
dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih
rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan
demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia
jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten (Tjiptono, 1996:
60).
II - 13
2.6.3.1 Persepsi dan Harapan Pelanggan Terhadap Kualitas Jasa
Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi
pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan
sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut
pandang atau persepsi pelanggan (Tjiptono, 1996 : 61). Pelangganlah yang
mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang harus
menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan
penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Namun perlu diperhatikan
bahwa kinerja jasa seringkali tidak konsisten, sehingga pelanggan menggunakan
isyarat intrinsik dan ekstrinsik jasa sebagai acuan (Tjiptono, 1996 : 61).
Isyarat intrinsik berkaitan dengan output dan penyampaian jasa itu sendiri.
Pelanggan akan bergantung pada isyarat ini apabila berada di tempat pembelian
atau jika isyarat intrinsik tersebut merupakan search quality dan memiliki nilai
prediktif yang tinggi, sedangkan yang dimaksud dengan isyarat ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang merupakan pelengkap bagi suatu jasa. Isyarat ini dipergunakan
dalam mengevaluasi jasa jika dalam menilai isyarat intrinsik tersebut merupakan
experience quality dan credence quality. Isyarat intrinsik juga dipergunakan
sebagai indikator kualitas jasa apabila tidak ada informasi isyarat intrinsik yang
memadai.
2.6.3.2 Dimensi Kualitas Jasa
Ada delapan dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin (Tjiptono, 1996 :
68) dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan strategis dan analisis,
dimensi-dimensi tersebut adalah :
1. Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti, misalnya
kecepatan, konsumsi bahan bakar, jumlah penumpang yang dapat diangkut,
kemudahan dan kenyamanan dalam mengemudi dan sebagainya.
2. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder
atau pelengkap.
3. Kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan
atau gagal pakai.
II - 14
4. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh
mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah
ditetapkan sebelumnya.
5. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat
terus digunakan. Dimensi ini mencakup umur teknis maupun umur ekonomis
penggunaan mobil. Umumnya daya tahan mobil buatan Amerika atau Eropa
lebih baik daripada mobil buatan Jepang.
6. Serviceability,
meliputi
kecepatan,
kompetensi,
kenyamanan,
mudah
direparasi, serta penanganan keluhan yang memuaskan. Pelayanan yang
diberikan tidak terbatas hanya sebelum penjualan, tetapi juga selama proses
penjualan hingga purna jual, yang juga mencakup pelayanan reparasi dan
ketersediaan komponen yang dibutuhkan.
7. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera.
8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi
produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Biasanya karena
kurangnya pengetahuan pembeli akan atribut/ciri-ciri produk yang akan dibeli,
maka pembeli mempersepsikan kualitasnya dari aspek harga, nama merk,
iklan, reputasi perusahaan, maupun negara pembuatnya. Umumnya orang akan
menganggap merk Mercedes dan BMW sebagai jaminan mutu.
Meskipun beberapa dimensi di atas dapat diterapkan pada bisnis jasa, tetapi
sebagian besar dimensi tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman dan
penelitian terhadap perusahaan manufaktur.
Pakar lain yang mencoba merumuskan dimensi atau faktor yang digunakan
konsumen dalam menilai kualitas jasa adalah Gronroos (Tjiptono, 1996: 73) yang
menyatakan bahwa ada tiga kriteria pokok, yaitu outcome-related, processrelated, dan image-related. Ketiga kriteria tersebut masih dapat dijabarkan
menjadi enam unsur, yaitu :
1. Professionalism and Skills
Merupakan outcome-related criteria, dimana pelanggan menyadari bahwa
penyedia jasa (service provider), karyawan, sistem operasional dan sumber
daya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
memecahkan masalah pelanggan secara profesional.
II - 15
2. Attitudes and Behaviour
Merupakan process-relted criteria. Pelanggan merasa bahwa karyawan
perusahaan (contact personal) menaruh perhatian terhadap mereka dan
berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan
senang hati.
3. Accessibility and Flexibility
Merupakan process-related criteria. Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa,
lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan
dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses
dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat
fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.
4. Reliability and Trustworthiness
Merupakan process-related criteria. Pelanggan menyadari bila ada kesalahan
atau bila sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, maka penyedia jasa akan
segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari
pemecahan yang tepat.
5. Recovery
Merupakan process-related criteria. Pelanggan menyadari bila ada kesalahan
atau bila sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, maka penyedia jasa akan
segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari
pemecahan yang tepat.
6. Reputation and Credibility
Merupakan image-related criteria. Pelanggan meyakini bahwa operasi dari
penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai
dengan pengorbanannya.
Sementara itu ada beberapa pakar pemasaran, seperti Parasuraman,
Zeithaml, dan Berry yang melakukan penelitian khusus terhadap beberapa jenis
jasa dan berhasil mengidentifikasikan sepuluh faktor utama yang menentukan
kualitas jasa. Kesepuluh faktor tersebut meliputi (Tjiptono, 1996 : 69) :
1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance)
dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan
memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time).
II - 16
Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi
janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang
disepakati.
2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk
memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.
3. Competence, artinya setiap orang dalam perusahaan memiliki keterampilan
dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti
lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak
terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi dan lain-lain.
5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang
dimiliki para contac personal.
6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam
bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan
keluhan pelanggan.
7. Credibility, yaitu bersifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup
nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi contac personal
dan interaksi dengan pelanggan.
8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini
meliputi keamanan secara fisik (phisycal safety), keamanan finansial
(financial security), dan kerahasisan (confidentiality).
9. Understanding / Knowing the Costumer, yaitu usaha untuk memahami
kebutuhan pelanggan.
10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang
dipergunakan, representasi fisik dari jasa (misalnya kartu kredit plastik).
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1988, Parasuraman dan
kawan-kawan (Tjiptono, 1996 : 70) menemukan bahwa sepuluh dimensi yang ada
dapat dirangkum menjadi hanya lima dimensi pokok. Kelima dimensi tersebut
meliputi :
1. Bukti Langsung (Tangible), adalah aspek pelayanan yang berupa penampilan
dan kemampuan sarana dan prasarana fisik seperti fasilitas, peralatan, produk,
II - 17
perlengkapan pegawai dan sarana komunikasi dan lain sebagainya yang dapat
diandalkan.
2. Keandalan (Reliability), adalah aspek pelayanan yang berupa kemauan untuk
memberikan jasa yang dijanjikan dengan segera, akurat dan terpercaya.
3. Daya Tanggap (Responsiveness), adalah aspek pelayanan yang berupa
kemauan dan kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa pelayanan yang
dibutuhkan konsumen secara cepat tanggap.
4. Jaminan (Assurance), adalah aspek pelayanan yang berupa pengetahuan,
kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh setiap
karyawan, bebas dari bahaya resiko dan keragu-raguan.
5. Empati (Empathy), adalah aspek pelayanan yang berupa kemudahan dalam
melakukan hubungan komunikasi dengan memberikan perhatian yang bersifat
individual atau pribadi kepada konsumen dan berupaya untuk memahami
keinginan para konsumen.
2.6.4 Prinsip-prinsip Kualitas Jasa
Untuk menciptakan suatu gaya manajemen dan lingkungan yang kondusif
bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas, perusahaan harus mampu memenuhi
enam prinsip utama yang berlaku baik bagi perusahaan manufaktur maupun
perusahaan jasa. Keenam prinsip tersebut sangat bermanfaat dalam membentuk
dan mempertahankan lingkungan yang tepat untuk melaksanakan penyempurnaan
kualitas secara berkesinambungan dengan didukung oleh pemasok, karyawan, dan
pelanggan. Enam prinsip pokok tersebut meliputi (Tjiptono, 1996 : 75) :
1. Kepemimpinan
Strategi kualitas perusahaan harus merupakan inisiatif dan komitmen dari
puncak. Manajemen puncak harus memimpin perusahaan untuk meningkatkan
kinerja kualitasnya. Tanpa adanya kepemimpinan dari manajemen puncak,
maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap
perusahaan.
2. Pendidikan
Semua personil perusahaan dari manajer puncak sampai karyawan operasional
harus memperoleh pendidikan mengenai kualitas. Aspek-aspek yang perlu
II - 18
mendapatkan penekanan dalam pendidikan tersebut meliputi konsep kualitas
sebagai strategi bisnis, alat dan teknik implementasi strategi kualitas, dan
peranan eksekutif dalam implementasi strategi kualitas.
3. Perencanaan
Proses perencanaan strategik harus mencakup pengukuran dan tujuan kualitas
yang dipergunakan dalam mengarahkan perusahaan untuk mencapai visinya.
4. Review
Proses review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi
manajemen untuk mengubah perilaku organisasional. Proses ini merupakan
suatu mekanisme yang menjamin adanya perhatian yang konstan dan terus
menerus untuk mencapai tujuan kualitas.
5. Komunikasi
Implementasi strategi kualitas dalam organisasi dipengaruhi oleh proses
komunikasi dalam perusahaan. Komunikasi harus dilakukan dengan
karyawan, pelanggan, dan stakeholder perusahaan lainnya, seperti pemasok,
pemegang saham, pemerintah, masyarakat umum, dan lain-lain.
6. Penghargaan dan pengakuan (Total Human Reward)
Pengharagaan dan pengakuan merupakan aspek yang penting dalam
implementasi strategi kualitas. Setiap karyawan yang berprestasi baik perlu
diberi penghargaan dan prestasinya tersebut diakui. Dengan demikian dapat
meningkatkan motivasi, moral kerja, rasa bangga, dan rasa kepemilikan setiap
orang dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi
besar bagi perusahaan dan bagi pelanggan yang dilayani.
2.6.5 Model Kualitas Jasa
Ada banyak model yang dapat digunakan untuk menganalisis kualitas jasa.
Pemilihan terhadap suatu model tergantung pada tujuan analisis, jenis perusahaan,
dan situasi pasar. Model-model yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok utama yang dikembangkan oleh Edvardsson (Tjiptono, 1996 : 80), yaitu
customer-perceived quality, the processes in the creation of the service and the
whole service (system models).
II - 19
Tiga peneliti Amerika, Leonard L. Berry, Parasuraman, dan Valerie A
Zeithaml melakukan penelitian mengenai customer perceived quality pada empat
industri jasa, yaitu retail banking, credit card, securities brokerage, dan product
repair dan maintenance. Dalam penelitian tersebut mereka mengidentifikasikan 5
gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa. Menurut Zeithaml, et. al
kelima gap tersebut (Tjiptono, 1996 : 80) adalah :
1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen
Pada kenyataan pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat
merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat.
Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa seharusnya
didesain, dan jasa-jasa pendukung/sekunder apa saja yang diinginkan
konsumen.
pelanggannya
Contohnya
pengelola
katering
lebih
mengutamakan
mungkin
ketepatan
waktu
mengira
para
pengantaran
makanannya, padahal para pelanggan tersebut mungkin lebih memperhatikan
variasi menu yang disajikan.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi
kualitas jasa
Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan
oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu
yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen
total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, atau karena
adanya kelebihan permintaan.
3. Gap antara spesifikasi kualitas dan penyampaian jasa
Ada beberapa penyebab terjadinya gap ini, misalnya karyawan kurang terlatih
(belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat
memenuhi standar kinerja, atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja
yang ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada standarstandar yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain, misalnya para
juru rawat diharuskan meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan dan
masalah pasien, tetapi di sisi lain mereka juga harus melayani para pasien
dengan cepat.
II - 20
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi internal
Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji
yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan apabila janji
yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu lembaga
pendidikan menyatakan bahwa lembaganya merupakan yang terbaik; memiliki
sarana kuliah, praktikum dan perpustakaan yang lengkap; staf pengajarnya
profesional. Akan tetapi saat pelanggan datang dan merasakan bahwa ternyata
fasilitas praktikum dan perpustakaannya biasa-biasa saja (hanya memiliki
beberapa ruang kuliah; jumlah komputer relatif sedikit; judul dan eksemplar
buku terbatas), maka sebenarnya komunikasi eksternal yang dilakukan
lembaga pendidikan tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan
menyebabkan persepsi negatif kualitas jasa lembaga tersebut.
5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan
Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan
dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas
jasa terus mengunjungi pasiennya untuk menunjukkan perhatiaannya. Akan
tetapi pasien dapat menginterprestasikannya sebagai suatu indikasi bahwa ada
yang tidak beres berkenaan dengan penyakit yang dideritanya, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1
Konsumen
Komunikasi dari
mulut ke mulut
Kebutuhan
pribadi
Pengamatan
masa lalu
Jasa yang
diharapkan
Gap 5
Jasa yang
dirasakan
Pemasar
Penyampaian
jasa
Gap 1
Gap 4
Komunikasi
internal
Gap 3
Spesifikasi
kualitas
pelayanan
Gap 2
Persepsi
manajemen
Gambar 2.1
Model Konseptual dari Service Quality
II - 21
(Sumber : Zeithamal, Parasuraman, Berry., Delivering Quality Service : Balancing
Customer Perceptions and Expectations, 1990 : 46)
2.7 Harapan dan Kepuasan Pelanggan
2.7.1 Harapan Pelanggan
Harapan pelanggan diyakini mempunyai peranan yang besar dalam
menentukan kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan pelanggan. Pada
dasarnya ada hubungan yang erat antara penentuan kualitas dan kepuasan
pelanggan.
Menurut Kotler, harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa
faktor, diantaranya pengalaman berbelanja dimasa lampau, opini teman dan
kerabat, serta informasi janji-janji perusahaan dan pesaing (Tjiptono, 1996 : 150).
Pelanggan Keliru
Mengkomunikasikan Jasa Yang
Diinginkan
Pelanggan Keliru
Menafsirkan signal (Harga
Positioning, dll)
Harapan Tidak
Terpenuhi
Miskomunikasi
Rekomendasi Mulut Ke
Mulut
Kinerja Karyawan
perusahaan Yang Buruk
Miskomunikasi Penyedia
Jasa Oleh Pesaing
Gambar 2.2
Penyebab Utama Tidak terpenuhinya Harapan Pelanggan
(Sumber : Mudie, Peter dan Angela, dalam Tjiptono, Fandy, Manajemen Jasa,
1996 :151).
Menurut Olson dan Dover (Tjiptono, 1996 : 61), harapan pelanggan
merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk,
yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut.
Meskipun demikian, dalam beberapa hal belum terjadi kesepakatan, misalnya
mengenai sifat standar harapan yang spesifik, jumlah standar yag digunakan,
maupun sumber harapan. Zeithaml et al. (1993) mengemukakan model konseptual
mengenai harapan pelanggan terhadap jasa yang dapat dilihat pada gambar
dibawah ini dan dibahas diantaranya (Tjiptono, 1996 : 62) :
II - 22
1. Enduring Service Intensifiers
Faktor ini merupakan faktor yang bersifat stabil dan mendorong pelanggan
untuk meningkatkan sensitivitas terhadap jasa. Faktor ini meliputi harapan
yang disebabkan oleh orang lain dan filosofi pribadi seseorang mengenai jasa.
Seorang pelanggan akan mengharapkan bahwa ia seharusnya dilayani dengan
baik oleh penyedia jasa. Selain itu, filosofi individu (misalnya seorang
nasabah bank) tentang bagaimana memberikan pelayanan yang benar akan
menentukan harapan terhadap sebuah bank.
2. Personal Need
Kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraannya juga
sangat menentukan harapannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik,
sosial dan psikologi.
3. Transistory Service Intensifier
Faktor ini merupakan faktor individual yang bersifat sementara, jangka
pendek, yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa. Faktor ini
meliputi :
a. Situasi darurat pada saat pelanggan sangat membutuhkan jasa dan ingin
penyedia jasa dapat membantunya. Contohnya : jasa asuransi mobil pada
saat terjadi kecelakaan lalu lintas.
b. Jasa terakhir yang dikonsumsi pelanggan dapat pula menjadi acuannya
untuk menentukan baik buruknya jasa berikutnya.
4. Perceived Service Alternatives
Merupakan persepsi pelanggan terhadap tingkat atau derajat pelayanan
perusahaan lain yang sejenis. Jika konsumen memiliki beberapa alternatif,
maka harapan terhadap suatu jasa cendrung lebih besar.
5. Self-Perceived Service role
Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat
keterlibatannya dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya. Apabila
konsumen terlibat dalam proses penyampaian jasa yang diterimanya. Apabila
konsumen terlibat dalam proses penyampaian jasa dan jasa yang terjadi
ternyata tidak begitu baik, maka pelanggan tidak bisa menimpakan kesalahan
II - 23
sepenuhnya kepada penyedia jasa. Oleh karena itu, persepsi tentang derajat
keterlibatan ini akan mempengaruhi tingkat jasa yang diterimanya.
Misalnya, besar kecilnya indeks prestasi seorang mahasiswa tergantung dari
usaha yang dilakukannya bukan institusi pendidikannya. Kesalahan yang
terjadi bukanlah kesalahan institusi pendidikan tetapi lebih dikarenakan oleh
mahasiswa tersebut.
6. Situational Factors
Faktor situasi ini terdiri dari segala kemungkinan yang bisa mempengaruhi
kinerja jasa.
Misalnya pada awal bulan, suatu bank ramai dukunjungi nasabahnya dan
menyebabkan seorang nasabah menjadi relatif lama menunggu. Untuk
sementara nasabah tersebut akan menurunkan tingkat pelayanan minimal yang
bersedia diterimanya. Karena keadaan itu bukanlah kesalahan penyedia jasa.
7. Explicit Service Promises
Faktor ini merupakan kenyataan (secara personal dan non personal) oleh
organisasi tentang jasanya kepada pelanggan. Janji ini bisa berupa iklan,
personal selling, perjanjian atau komunikasi dengan karyawan organisasi
tersebut.
8. Implicit Service Promise
Faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa, yang
memberikan kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana yang
seharusnya dan yang akan diberikan. Petunjuk yang memberikan gambaran
jasa ini meliputi biaya untuk memperolehnya (harga) dan alat-alat pendukung
jasanya. Pelanggan biasanya menghubungkan harga dan peralatan (tangible
assets) pendukung jasa dengan kualitas jasa. Sebagai contoh, harga yang
mahal dihubungkan secara positif dengan kualitas yang tinggi. Kendaraan
angkutan umum yang sudah tua dan kotor dianggap hanya cocok bagi
masyarakat bawah yang lebih mementingkan tiba di tujuan dari pada
kenyamanan selama perjalanan.
9. Word-of-Mounth (rekomendasi/saran dari orang lain)
Word-of-Mounth merupakan kenyataan (secara personal atau non personal)
yang disampaikan oleh orang lain selain organisasi (service Provider) kepada
II - 24
pelanggan. Word-of-Mounth ini biasanya cepat diterima oleh pelanggan
karena yang menyampaikan adalah mereka yang dapat dipercayainya, seperti
para pakar, teman, keluarga, dan publikasi media massa. Disamping itu wordof-mounth juga cepat diterima sebagai referensi karena pelanggan jasa
biasanya sulit mengevaluasi jasa yang belum dibelinya atau belum
dirasakannya sendiri.
10. Past Experience
Pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui
pelanggan dari yang pernah diterimanya di masa lalu. Harapan pelanggan ini
dari waktu ke waktu berkembang, seiring dengan semakin banyaknya
informasi (nonexperimential information) yang diterima pelanggan serta
semakin bertambahnya pengalaman pelanggan.
2.7.2 Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Pencapaian kepuasan dapat merupakan proses yang sederhana, meupun
kompleks dan rumit. Dalam hal ini peranan setiap individu dalam service
encounter sangatlah penting dan berpengaruh terhadap kepuasan yang dibentuk
(Tjiptono, 1996 : 146). Untuk dapat mengetahui tingkat kepuasan pelanggan
secara lebih baik, maka perlu dipahami sebab-sebab kepuasan. Pelanggan tidak
cuma lebih banyak kecewa pada jasa daripada pada barang, tetapi mereka juga
jarang mengeluh. Salah satu alasannya adalah karena mereka juga ikut terlibat
dalam proses penciptaan jasa.
Banyak pakar yang memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan.
Day (Tjiptono, 1996 : 146) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan
adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian / diskonfirmasi yang
dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja
aktuan produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Engel, et al., (Tjiptono,
1996 : 146) mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi
pembeli di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil
(outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan
timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan.
Sedangkan pakar pemasaran Kotler (Tjiptono, 1996 : 146) menyatakan bahwa
II - 25
kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan
kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya.
Adanya kesamaan di antara beberapa definisi di atas, yaitu menyangkut
komponen kepuasan pelanggan (harapan dan kinerja / hasil yang dirasakan).
Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan pada kenyakinan pelanggan
tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi produk
yang dibeli.
Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan setiap perusahaan untuk
mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya (juga pelanggan perusahaan
pesaing). Kotler (Tjiptono, 1996 : 148) mengemukakan empat metode untuk
mengukur kepuasan pelanggan, yaitu :
1. Sistem Keluhan Dan Saran
Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (costumer oriented) perlu
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk
menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Informasi yang
diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan
yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk
memberikan respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang
timbul.
2. Survei Kepuasan Pelanggan
Menurut Mc Neal dan Lamb, umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan
pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos,
telepon, maupun wawacara pribadi (Tjiptono, 1996 : 148). Melalui survei,
perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari
pelanggan dan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan
menaruh perhatian terhadap pelanggannya.
3. Ghost Shopping
Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost
shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan/pembeli potensial
produk perusahaan dan pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan
temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan
II - 26
pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk
tersebut.
4. Lost Cosumer Analysis
Pada metode ini perusahaan berusaha menguhubungi para pelanggannya yang
telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok. Yang diharapkan
adalah akan diperolehnya informasi penyebab terjadinya hal tersebut.
Informasi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan
selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.
2.8 Pengukuran Kualitas Jasa
Pada saat membeli barang, konsumen dapat menggunakan banyak tangibles
cues untuk menilai kualitas. Sedangkan dalam pembelian jasa, tangibles cues
yang tersedia relatif terbatas, bahkan sering hanya berupa fasilitas fisik, peralatan,
dan personel yang dimiliki penyedia jasa. Hal ini merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan penilaian kualitas jasa lebih kompleks dan sulit daripada
barang (Tjiptono, 1996 : 96).
Hingga kini pengukuran kualitas jasa belum sempurna dan masih dalam
tahap pengembangan. Meskipun demikian, guna meningkatkan pemahaman kita
dan memungkinkan diambilnya langkah-langkah praktis, maka ada dua hal yang
perlu diperhatikan (Tjiptono, 1996 : 96), yaitu :
1. Spesifikasi determinan kualitas jasa
2. Perangkat standar kualitas yang bisa diukur
Perolehan kedua diatas, akan berbeda-beda, tergantung pada fokus yang
digunakan (Tjiptono, 1996 : 97), yaitu :
1. Jasa kontak rendah atau jasa kontak tinggi
2. Proses atau output
Apapun jasa yang diberikan, dalam kaitannya dengan kualitas, akan
bermanfaat bila dikaitkan dengan dua pertanyaan pokok berikut (Tjiptono,1996 :
97) :
1. Apa yang seharusnya diberikan jasa tersebut ?
2. Apa yang sungguh-sungguh telah diberikan jasa tersebut ?
II - 27
Jadi kualitas jasa merupakan penilaian atas sejauh mana suatu jasa sesuai
dengan apa yang seharusnya diberikan/disampaikan.
Meskipun banyak sekali pendapat yang dikemukakan, tampaknya pendapat
yang paling sering digunakan dalam penilaian jasa adalah yang dikemukakan oleh
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. Mereka menyatakan bahwa ada lima dimensi
kualitas jasa, yaitu tangibles, reliability, responseveness, assurance, dan empathy.
Mengukur kualitas jasa berarti mengevaluasi/membandingkan kinerja suatu
jasa dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk
model pengukuran Parasuraman dan kawan-kawan, telah dibuat skala multi-item
yang diberi nama SERVQUAL. Alat ini dimaksudkan untuk mengukur harapan
dan persepsi pelanggan dan kesenjangan (gap) yang ada di model kualitas jasa.
Pengukuran dapat dilakukan dengan skala Likert maupun semantic diferensial,
dimana responden tinggal memilih derajat kesetujuan / ketidaksetujuaannya atas
pernyataan mengenai penyampain kualitas jasa.
2.9 Arti Persepsi dan Sikap Pelanggan
Persepsi pelanggan mengenai mutu suatu jasa dan kepuasan menyeluruh,
mereka memiliki beberapa indikator/petunjuk yang bisa dilihat. Pelanggan
mungkin tersenyum ketika mereka berbicara mengenai barang atau jasa. Senyum
suatu bukti bahwa seseorang sangat puas.
Sikap tersenyum diatas mengatakan hal-hal baik yang merupakan
manifestasi atau indikator tentang suatu konstrak yang mungkin disebut kepuasan
pelanggan. Konstrak adalah gagasan atau konsepsi.
Istilah kepuasan pelanggan atau persepsi mutu merupakan label yang kita
pergunakan untuk meringkas suatu himpunan aksi atau tindakan yang terlihat,
terkait dengan produk dan atau jasa. Ide konstrak (gagasan/konsepsi) dan
kaitannya dengan variabel yang bisa di observasi/dilihat, sebagai contoh kita dapat
menarik kesimpulan tentang kebahagiaan orang dengan memperoleh beberapa
jenis indikator yang terlihat tentang konstrak kebahagiaan yang mendasari (the
underlying happiness constructs). Indikator yang terlihat dapat mencangkup
senyum, tertawa, berkata tentang hal-hal yang bagus atau positif. Kalau seseorang
tertawa, tersenyum dan berkata tentang sesuatu hal-hal yang positif, kita dapat
II - 28
menarik kesimpulan bahwa orang ini bahagia. Kenyataan ini menunjukan bahwa
orang ini bahagia dengan meneliti kriteria yang dilihat (Supranto, 1997 : 45).
Sama halnya, kita menarik kesimpulan tentang sikap dan persepsi pelanggan
mengenai barang/jasa dengan meneliti manifestasi yang terkait dengan
produk/jasa yang bisa dilihat. Manifestasi yang terlihat ini adalah jawabanjawaban yang diberikan oleh para pelanggan menunjukan hal-hal yang bagus
tentang produk/jasa pada kuesioner kepuasan pelanggan dan mendemonstrasikan
indikasi perilaku positif lainnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa mereka
(para pelanggan) memang puas dengan produk yang telah di belinya.
Ketika membentuk suatu kuesioner atau skala yang menilai sikap dan
persepsi pelanggan dalam upaya membentuk kebutuhan para pelanggan, perlu
mempertimbangkan isu ukuran untuk menjamin bahwa skor yang diperoleh dari
instrumen berupa kuesioner mencerminkan informasi yang akurat tentang
konstrak yang mendasari. Tekanan pada isu pengukuran dalam kepuasan
pelanggan sama pentinganya dengan isu pengukuran mengenai instrumen yang
dirancang untuk mengukur objek berupa barang yang bisa diraba (tangible),
seperti suku cadang mesin. Indeks: “change repetibility and reliability”, yang
dirancang untuk mencerminkan mutu proses pengukuran dalam “industrial
setting”. Demikian juga dengan halnya, indeks statistik dapat mencerminkan mutu
pengukuran kuesioner kepuasan. Dua isu pengukuran yang penting untuk
dipertimbangkan ketika mengembangkan kuesioner ialah reliabilitas dan validitas
(reliability and validity) (Supranto, 1997 : 46).
2.10 Skala Pengukuran dan Instrumen Penelitian
2.10.1 Macam Macam Skala Penelitian
Skala Pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan
untuk menetukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga
alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data
kuantitatif. Berbagai skala yang dapat digunakan dalam pengukuran anatara lain:
(Sugiyono, 2007 : 107)
II - 29
1. Skala Likert
Skala Likert digunakan untuk mengukur sifat, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam
penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh
peneliti, yang selanjutnya disebut variabel penelitian.
Dalam skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi
indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik
tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa
pertanyaan atau pernyataan.
Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat
berupa kata-kata antara lain:
a. Sangat Setuju
b. Setuju
c. Ragu-ragu
d. Tidak Setuju
e. Sangat Tidak Setuju, dan lain-lain.
2. Skala Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas,
yaitu “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”, “pernah” atau “tidak
pernah” dan lain-lain. Data yang diperoleh berupa data interbal atau
rasio dikhotomi (dua alternatif). Jadi kalau pada skala Likert terdapat
3,4,5,6,7 interval, dari kata “sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”
maka pada skala Guttman hanya ada dua interval yaitu “ setuju” atau
“tidak setuju”. Penelitian menggunakan skala Guttman dilakukan bila
ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan
yang di dapatkan.
3. Semantic Defferensial
Skala pengukuran yang berbentuk Semantic Defferensial dikembangkan
oleh Osgood. Skala ini juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya
bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam
satu garis kontinum yang jawaban “sangat positifnya” dibagian kanan
II - 30
garis, dan jawaban “sangat negatifnya” dibagian kiri garis atau
sebaliknya. Data yang diperoleh adalah data interval, dan biasanya skala
ini digunkan untuk mengukur sikap/karakteristik tertentu yang dipunyai
oleh seseorang.
Contoh:
Berilah gaya kepemimpinan manajer anda?
Bersahabat
5
4
3
2
1
Tidak Bersahabat
Tepat Janji
5
4
3
2
1
Lupa Janji
4. Rating Scale
Dari ketiga skala pengukuran seperti yang telah dikemukakan, data yang
diperoleh
semuanya
adalah
data
kualitatif
yang
kemudian
dikuantitatifkan. Tetapi dengan rating scale data mentah yang diperoleh
berupa angka yang kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
Responden menjawab, senang atau tidak senang, setuju atau tidak
setuju, pernah atau tidak pernah adalah merupakan data kualitatif.
Dalam model rating scale, responden tidak akan menjawab salah satu
dari jawaban kualitatif yang telah disediakan, tetapi menjawab salah satu
jawaban yang kuantitatif yang telah disediakan. Oleh karena itu rating
scale ini lebih fleksibel, tidak terbatas untuk pengukuran sikap saja
tetapi untuk mengukur persepsi responden terhadap fenomena lainnya,
seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi, kelembagaan,
pengetahuan, kemampuan, proses kegiatan dan lain-lain.
Contoh:
Seberapa baik data ruang kerja yang ada di perusahaan anda?
Berilah jawaban dengan angka:
4. Bila tata ruang itu sangat baik
3. Bila tata ruang itu cukup baik
2. Bila tata ruang itu kurang baik
1. Bila tata ruang itu sangat tidak baik
II - 31
Adapun skala yang digunakan pada penelitian kai ini adalah skala likert,
kebaikan penggunaan format tipe likert dibandingkan dengan format check list
yang hanya memberikan jawaban “ya” atau “tidak”, ialah bahwa tipe likert
tercermin dalam keragaman skor (variability of scorer) sebagai akibat penggunaan
skala yang dalam penelitian ini berkisar antara 1 sampai 5. Dengan dimensi mutu
tercermin dalam daftar pertanyaan, memungkinkan palanggan mengekspresikan
tingkat pendapat mereka dalam pelayanan (produk) yang mereka terima, lebih
mendekati kenyataan sebenarnya. Dari segi pandangan statistik, skala dengan lima
tingkatan (dari 1 sampai 5) lebih tinggi keandalannya dari skala dengan dua
tingkatan yaitu “ya” atau “tidak”.
Selain dari itu, penggunaan format tipe likert masih memberikan
kemungkinan untuk mendapatkan angka persentase jawaban yang positif atau
negatif untuk butir tertentu. Caranya dengan menggabungkan jawaban-jawaban
pada akhir skala, seperti jawaban tidak setuju, gabungan dari sangat tidak setuju
dan tidak setuju merupakan (1 dan 2) sedangkan jawaban tidak setuju dengan
sangat tidak setuju (4 dan 5). (Supranto, 1997 : 91).
2.11. Teknik Pengumpulan Data
Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian,
yaitu kualitas instrumen penelitian dan pengumpulan data. Kualitas instrumen
penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan kualitas
pengumpulan data berkenaan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Oleh karena itu instrumen yang telah teruji validitas dan
reliabilitasnya, belum tentu dapat menghasilkan data yang valid dan reliabel,
apabila instrumen tersebut tidak digunakan secara tepat dalam pengumpulan
datanya. Pada bab ini hanya akan dikemukakan pengumpulan data berdasarkan
tekniknya, yaitu melalui wawancara, angket dan observasi. (Sugiyono, 2007 :
156).
1. Interview (Wawancara)
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti
ini melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang
harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari
II - 32
responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau
kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan
tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada
pengetahuan
dan
atau
keyakinan
pribadi.
Wawancara
dapat
dilakukansecara terstruktur maupun tidak terstruktur dan dapat
dilakukan melaluli tatap muka maupun dengan menggunakan telepon.
2. Kuesioner (Angket)
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden
untuk
dijawabnya.
Kuesioner
merupakan
teknik
pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu pasti variabel yang
akan yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari
responden. Selain itu, kuesioner juga cocok digunakan bila jumlah
responden cukup besardan tersebar di wilayah yang luas. Kuesioner
dapat berupa pertanyaan atau pernyataan tertutup atau terbuka, dapat
diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim melalui pos
atau internet. Bila penelitian tidak terlalu luas kuesioner dapat
diantarkan langsung. Dengan adanya kontak langsung antara peneliti
dan responden akan menciptakan suatu kondisi yang cukup baik,
sehingga responden dengan sukarela akan memberikan data obyektif dan
cepat.
3. Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang
spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara
dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi
dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga
obyek-obyek yang lain. Teknik pengumpulan data dengan observasi
digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses
kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu
besar.
II - 33
2.12 Konsep Dasar Pengujian Hipotesis
Hipotesis adalah tafsiran terhadap parameter populasi melalui data-data
sampel. Menurut tingkat ekplanasi hipotesis yang akan diuji, maka rumusan
hipotesis dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu hipotesis deskriptif
(pada satu sampel atau variabel mandiri/tidak dibandingkan dengan hubungan),
hipotesis komparatif dan hipotesis hubungan. (Sugiyono, 83 : 2007).
1. Hipotesis Deskriptif
Hipotesis deskriptif adalah dugaan tentang nilai suatu variabel mandiri,
tidak membuat perbandingan atau hubungan. Sebagai contoh, bila
rumusan masalah penelitian sebagai berikut ini, maka hipotesis
(jawaban sementara) yang dirumuskan adalah hipotesis deskriptif.
a. Seberapa tinggi daya tahan lampu merek X ?
b. Seberapa tinggi produktifitas padi di Kabupaten Klaten ?
Dari tipe pertanyaan tersebut antara lain dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :
a. Daya tahan lampu merk X = 800 jam.
b. Produktifitas di Kabupaten Klaten 8 ton/ha
Dalam perumusan hipotesis statistik, antara hipotesis nol dan
alternatif selalu berpasangan, bila salah satu ditolak, maka yang lain
pasti diterima sehingga dapat dibuat keputusan yang tegas, yaitu kalau
Ho ditolak pasti alternatifnya diterima.
2. Hipotesis Komparatif
Hipotesis Komparatif adalah pernyataan yang menunjukan dugaan
nilai dalam suatu variabel atau lebih pada sampel yang berbeda.
Contoh rumusan masalah komparatif dan hipotesisnya.
a. Adakah perbedaan daya tahan lampu merek A dan merek B ?
Rumusan hipotesisnya adalah :
-
Tidak terdapat perbedaan daya tahan lampu antara lampu
merek A dan merek B
3. Hipotesis Hubungan (Asosiatif)
Hipotesis Asosiatif adalah suatu pertanyaan yang menunjukan dugaan
tentang hubungan antara dua variabel atau lebih. Contoh rumusan
II - 34
masalahnya adalah “ Adakah hubungan antara gaya kepemimpinan
dengan efektifitas kerja ?”, rumus dan hipotesis nolnya adalah : Tidak
ada hubungan antar gaya kepemimpinan dengan efektifitas kerja.
Hipotesis statistiknya adalah :
Ho :
 0
Ha :   0
 = simbol yang menunjukan kuatnya hubungan.
Dapat dibaca: Hipotesis nol, yang menunjukan tidak adanya hubungan
(nol = tidak
ada hubungan) antara gaya kepemimpinan
dengan
efektifitas kerja dan populasi. Hipotesis alternatifnya menunjukan ada
hubungan (tidak sama dengan nol, mungkin lebih besar dari nol atau
lebih kecil dari nol).
2.13 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Menentukan populasi dan sampel yang dapat digunakan sebagai sumber
data. Bila hasil penelitian akan digeneralisasikan (kesimpulan data sampel untuk
populasi) maka sampel yang digunakan sebagai sumber data harus representatif
dapatv digunakan dengan cara mengambil sampel dari populasi secara random
sampai jumlah tertentu. (Riduwan, 2004 : 54).
2.13.1 Populasi
Sugiyono (2002:57) memberikan pengertian bahwa:” Populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Nazir (1983:327) mengatakan bahwa,”populasi
adalah berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya.” Nawawi (1985:141)
menyebutkan bahwa,“populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin baik
hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif ataupun kualitatif pada
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap.” Sedangkan
Riduwan (2002:3) mengatakan bahwa,”populasi adalah keseluruhan dari
karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi objek penelitian.”
II - 35
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi
merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi
syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Ada dua jenis
populasi, yaitu: populasi terbatas dan populasi tidak terbatas. (Riduwan, 2004 :
54).
1.
Populasi Terbatas
Populasi terbatas adalah mempunyai sumber data yang jelas batasnya
secara kuantitatif sehingga dapat dihitung jumlahnya.
Contoh:
a. Jumlah guru SD dikota Surabaya sebanyak 5000 orang
b. Jumlah 200 siswa yang mendapat bapak asuh di Batam
2.
Populasi Tak Terbatas
Populasi terbatas yaitu sumber datanya tidak dapat ditentukan batasanbatasannya sehingga relatif tidak dapat dinyatakan dalam jumlah.
Contoh:
a. Meneliti berapa liter pasang surut air laut pada bulan purnama dll.
Dalam melaksanakan penelitian, walaupun tersedia populasi yang terbatas
dan homogen, adakalanya peneliti tidak melakukan pengumpulan data secara
populasi, tetapi mengambil sebagaian dari populasi yang dianggap mewakili
populasi (representatif). Hal ini berdasarkan pertimbangan yang logis, seperti
kepraktisan, keterbatasan, biaya, waktu, tenaga dan adanya percobaan yang
bersifat merusak (deskruktif). Contoh :
1.
Mengetahui kekuatan pisau baja pemotong kain, kita tidak perlu
menerapkan setiap pabrik tekstil diperiksa dan diuji kekuatan pisaunya.
2.
Mengetahui daya tahan lampu pijar merk Philips, kita tidak perlu
menggunakan cara semua pabrik lampu yang bermek Philips ditunggui
dan dicatat nyala lampu tersebut.
Dengan meneliti secara sampel diharapkan hasil yang telah diperoleh akan
memberikan kesimpulan dan gambaran yang sesuai dengan karakteristik populasi.
Jadi, hasil kesimpulan dari penelitian sampel dapat digeneralisasikan terhadap
populasi. (Riduwan, 2004 : 56).
II - 36
2.13.2 Teknik Penarikan Sampel
Arkunto (1998:117) mengatakan : “Sampel adalah bagian dari populasi
(sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian
populasi yang dimbil sebagai sumber data dapat mewakili seluruh populasi.”
Sugiyono (1997:57) memberikan pengertian:” Sampel adalah sebagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.” Dari beberapa pendapat
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: ” Sampel adalah bagian dari populasi yang
mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti. Karena tidak semua
data dan informasi akan diproses dan tidak semua orang atau benda akan diteliti
melainkan dengan menggunakan sampel yang mewakilinya. Hal ini sampel harus
representatif.
Berkaitan dengan teknik pengambilan sampel Nasution (1991:135) bahwa, “
Mutu penelitian tidak selalu ditentukan oleh besarnya sampel, akan tetapi oleh
kokohnya dasar-dasar teorinya, oleh desain penelitiannya, serta mutu pelaksanaan
dan pengolahannya.”
Teknik penarikan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara mengambil
sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel ini harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili dan
dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Ada dua macam teknik
pengambilan sampling dalam penelitian yang umum dilakukan yaitu probability
sampling dan nonprobability sampling. (Riduwan, 2004 : 57).
1.
Probability Sampling
Probability Sampling adalah teknik sampling untuk memberikan
peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi
anggota sampel, yang tergolong teknik probability sampling yaitu:
a. Simple Random Sampling
Adalah cara pengambilan sampel dari anggota populasi dengan
menggunakan acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam
anggota populasi tersebut. Hal ini dilakukan apabila anggota
populasi dianggap homogen atau sejenis. Contoh:
-
Jumlah guru SMU yang mengikuti penataran Manajemen
Berbasis Sekolah di Surabaya.
II - 37
-
Jumlah siswa yang mendapatkan beasiswa di kota Samarinda
-
Jumlah pegawai diknas kota Makasar yang mutasi
Guru SMU, siswa menerima beasiswa dan pegawai Diknas
itu semua merupakan populasi yang sejenis.
b. Protortionate Stratified Random Sampling
Adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan
berstrata secara proporsional, dilakukan sampling ini apabila anggota
populasinya heterogen atau tidak sejenis. Contoh:
-
Jumlah guru SD se-DIY yang mengikuti seminar pendidikan:
a) Guru Bahasa Indonesia = 25 orang
b) Guru Bahasa Inggris
= 20 orang
c) Guru PPKN
= 10 orang
d) Guru IPA
= 35 orang
e) Guru IPS
= 45 orang
Jumlah sampel yang diambil harus sama porsinya dengan jumlah
guru sesuai dengan bidang studi.
c. Disprotortionate Stratified Random Sampling
Adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan
berstrata
tetap
sebagaian
data
yang
kurang
proporsional
pembagiannya, dilakukan sampling ini apabila anggota populasi
heterogen (tidak sejenis). Contoh:
-
Jumlah guru SD se-DIY yang mengikuti seminar pendidikan:
a) Kepala Dinas Pendidikan
= 1 orang
b) Kasubag Tata Usaha
= 1 orang
c) Kepala Seksi pada Dinas
= 10 orang
d) Kepala Sub Seksi pada Dinas = 20 orang
e) Kepala Urusan pada Dinas
= 15 orang
Dari jumlah pegawai yang berasal dari Kepala Dinas Pendidikan = 1
orang dan Kasubag Tata Usaha = 1 orang tersebut diambil dijadikan
sampel karena terlalu kecil bila dibandingkan dengan staf lain.
II - 38
d. Area Sampling Cluster
Adalah teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengambil
wakil dari setiap wilayah geografis yang ada. Contoh: Peneliti akan
melihat pelaksanaan MBS SD se-Indonesia. Karena wilayahnya
cukup luas terdiri dari 33 provinsi dan masing-masing berbeda
kondisinya, maka peneliti mengambil sampeldari SD tingkat
kabupaten/kota terdiri dari SD tingkat kecamaatn, SD tingkat
kecamayan
terdiri
dari
SD
tingkat
kelurahan
yang
akan
melaksanankan MBS.
Teknik untuk mendapatkan sampel kluster mula-mula secara acak
diambil sampel yang terdiri dari SD tingkat provinsi, dari tiap SD
tingkat provinsi dalam sampel, disebut SD tingkat provinsi sampel
begitu seterusnya.
2.13.3 Menentukan Ukuran Sampel
a. Pengambilan Sampel (Apabila Populasi Sudah Diketahui)
Contoh 1: Teknik Pengambilan sampel (Riduwan, 2004:65) sebagai
berikut:
n=
N
.................................................................................... (2.1)
N .d 2  1
Dimana :
n
= Jumlah Sampel
N
= Jumlah Populasi
d 2 = Presisi yang ditetapkan
Diketahui jumlah populasi guru SD sebesar N = 138 orang dan tingkat
presisi yang ditetapkan sebesar = 10%. Berapakah jumlah sampelnya?
Contoh 2: apabila ukuran populasi sebanyak kurang dari 100, maka
pengambilan sampel sekurang-kurangnya 50% dari ukuran populasi.
Apabila ukuran populasi sama dengan atau lebih 1000, ukuran sampel
diharapkan sekurang-kurangnya 15% dari ukuran populasi.
II - 39
b. Pengambilan Sampel (Apabila Populasi Tidak Diketahui)
Teknik pengambilan sampel apabila populasinya tidak diketahui secara
pasti, digunakan teknik sampling kemudahan. Berdasarkan sampling
kemudahan ini, peneliti menyeleksi dengan menyaring kuesioner yang
ada, apabila orang-orang tersebut diketahui misalnya (anggota guru
bidang studi, jumlah pendaftar UAN se-Jawa, jumlah siswa yang less
bahasa Inggris se-kota Surabaya dll). Misalnya digunakan ukuran
sampel untuk estimasi nilai rerata. Jika digunakan untuk mengestimasi
π, kita dapat (1-α)% yakin bahwa error tidak melebihi nilai e tertentu,
apabila ukuran sampelnya sebesar n, (Riduwan, 2004:65) dimana:
n
(   2 ) 2
e
............................................................. (2.2)
Apabila nilai σ tidak diketahui, kita dapat menggunakan s dari sampel
sebelumnya (untuk n ≥ 30) yang memberikan estimasi terhadap σ.
2.14 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Perlu dibedakan antara hasil penelitian yang valid dan reliabel dengan
instrumen yang valid dan reliabel. Hasil penelitian yang valid bila terdapat
kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi
pada obyek yang diteliti. Kalau dalam obyek berwarna merah, sedangkan data
yang terkumpul memberikan data berwarna putih maka hasil penelitian tidak
valid. Selanjutnya hasil penelitian yang reliabel, bila terdapat kesamaan data
dalam waktu yang berbeda. Kalau dalam obyek yang kemarin berwarna merah,
maka sekarang dan besok tetap berwrna merah.
Instrumen yang valid tidak berarti alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Meteran yang valid dapat
digunakan untuk mengukur panjang dengan teliti, karena meteran memang alat
untuk mengukur panjang. Meteran tersebut menjadi tidak valid jika digunakan
untuk mengukur berat. Instrumen yang reliabel berarti instrumen yang bila
digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan
II - 40
data yang sama. Alat ukur panjag dari karet adalah contoh instrumen yang tidak
reliabel.
Dengan
menggunakan
instrumen
yang
valid
dan
reliabel
dalam
pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan
reliabel. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel. (Sugiyono, 2007: 173)
2.14.1 Validitas (Validity)
Validitas menunjukan tingkat/derajat untuk mendukung kesimpulan yang
ditarik dari skor yang diturunkan dari ukuran atau tingkat mana skala mengukur
apa yang seharusnya diukur. Suatu kuesioner yang memuat pertanyaan tidak jelas
bagi responden termasuk tidak sahih (tidak valid). Kalau kita menarik kesimpulan
bahwa skor pada suatu pengukuran mencerminkan tingkat kepuasan pelanggan,
kita perlu informasi untuk menilai seberapa baik penarik kesimpulan pendukung.
(Supranto, 1997 : 70).
Pengumpulan data dapat dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Dengan menggunakan
instrumen yang valid dalam pengumpulan data maka diharapkan hasil
penelitiannya juga akan menjadi valid. Setelah kita mendapatkan hasil dari
jawaban responden maka jawaban tersebut kita hitung korelasi antar masingmasing pertanyaan dengan skor total dengan menggunakan rumus korelasi
Product Moment. (Sugiyono, 2007 : 213).
Korelasi Pearson Produk Moment (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih
dari harga (-1≤ r ≤+ 1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya sangat negatif
sempurna, r = 0 artinya tidak ada korelasi, dan r = 1 berarti korelasinya sangat
kuat. (Riduwan, 2004 : 138).
Sedangkan arti harga r akan dikonsultasikan dengan rabel nilai r sebagai
berikut :
II - 41
Tabel 2.2 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,80 - 1,000
Sangat Kuat
0,60 - 0,799
Kuat
0,40 - 0,599
Cukup Kuat
0,20 - 0,399
Rendah
0,00 - 0,199
Sangat Rendah
Pengujian selanjutnya yaitu dengan uji signifikansi, yang berfungsi apabila
peneliti ingin mencari makna hubungan variabel X terhadap Y, maka teknik
korelasi Pearson Product Moment tersebut diuji dengan uji signifikansi dengan
rumus: (Riduwan, 2004 : 139).
t
hitung

r ( n  2)
…………………………………………..…(2.3)
(1  r 2 )
Dimana :
t hitung = Nilai t
r = Nilai Koefisien Korelasi
n = Jumlah Sampel
Teknik Korelasi ini digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan
hipotesis hubungan dua variabel bila data kedua variabel berbentuk interval atau
ratio, dan sumber data dari dua variabel lebih adalah sama. (Sugiyono, 2007 :
212).
2.14.2 Keandalan/Realibilitas (Reliability)
Dalam sub bab ini akan dikenalkan konsep keandalan/reliabilitas
(reliability) dengan menggunakan contoh pengukuran yang sederhana. Kita bisa
menggunakan penggaris untuk mengukur panjang suatu benda, seperti panjang
suatu meja. Misalnya kita mengukur sampai lima kali, diperoleh lima nilai atau
skor. Walaupun panjang benda tersebut sebenarnya hanya satu saja misalnya 5
meter, tetapi hasil pengukuran mungkin menunjukan perbedaan satu sama lain,
perbedaan dalam cm atau mm, artinya menjadi kurang lebih 5 meter, tidak persis
lima seperti panjang sebenarnya.
II - 42
Penyimpangan atau deviasi mungkin disebabkan adanya berbagai faktor
acak (random factor)
dalam proses pengukuran, seperti variasi di dalam
penggunaan penggaris dalam setiap pengukuran atau perubahan dalam panjang
penggaris dengan setiap pengukuran. Seberapa jauh faktor acak diperkenalkan ke
dalam proses pengukuran, setiap nilai/skor yang kita peroleh mungkin tidak cukup
andal mencerminkan nilai/skor sebenarnya.
Ketika kita mengembangkan suatu kuesioner yang akan dipergunakan untuk
menilai persepsi pelanggan pada mutu barang/jasa, kita ingin yakin bahwa
pengukuran bebas dari kesalahan acak (random errors). Ini artinya kita ingin
yakin seyakin-yakinnya bahwa hal-hal yang mendasari tentang persepsi tentang
mutu atau kepuasan dicerminkan secara akurat di dalam nilai/skor kuesioner.
Keandalan/reliabilitas didefinisikan sebagai seberapa jauh pengukuran bebas
dari varian kesalahan acak (free from random error variance). Kesalahan acak
menurunkan tingkat keandalan hasil pengukuran. Kalau kita menginginkan agar
merasa yakin bahwa skor/nilai dari kuesioner dapat mencerminkan dimensi
kepuasan secara andal (relibiality). Kita menghendaki kuesioner harus
menunjukan keandalan yang tinggi (high reliability). (Supranto, 1997 : 48).
Reliabilitas menunjukan tingkat kepercayaan dari hasil suatu pengukuran.
Pengukura yang memiliki reliabilitas yang tinggi adalah pengukuran yang mampu
memberikan hasil ukur yang terpercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukan
oleh angka yang sebut sebagai koefisien Reliabilitas.
Koefisien ini secara teoritis berkisar antara 0 sampai 1, pada kenyataannya
yang mencapai koefisien 1 belum pernah ada, dan koefisien yang kurang dari 0
(negatif) tidak ada, artinya interpretasi reliabilitas selalu mengacu pada yang
nilainya satu, koefisien yang nilainya 1 menunjukan tingkat konsistensi yang
tinggi.
Metode yang digunakan untuk menguji keandalan alat ukur dalam penelitian
ini adalah metode Alfa Cronbach.(Sugiyono, 2007 : 282).
II - 43
2.15 Analisis Diagram kartesius
Pada dasarnya analisis diagram kartesius tidak jauh berbeda dengan analisis
kesenjangan (GAP) yaitu untuk mengetahui kesenjangan antara harapan dan
persepsi konsumen. Hanya saja pada proses analisis ini akan diketahui secara
detail atribut layanan mana yang perlu diperhatikan secara serius, dipertahankan
atau kualitas layanan yang selama ini diberikan berlebihan.
Untuk mengetahui posisi masing-masing atribut layanan, maka dapat dibagi
menjadi empat bagian membentuk diagram kartesius, hasil atribut layanan
tersebut berdasarkan tingkat harapan dan persepsi yang memungkinkan pihak
perusahaan untuk menitikberatkan usaha-usaha perbaikan untuk atribut yang
benar-benar dianggap penting.
(sumber: http://www.slideshare.net/pasa87/metodologi-penelitian)
Selanjutnya untuk sumbu mendatar (X) merupakan skor untuk jasa yang
dirasakan, sedangkan untuk sumbu tegak (Y) merupakan skor untuk jasa yang
diharapkan. Skor-skor penilaian tersebut akan disederhanakan untuk mendapatkan
nilai rata-rata masing-masing faktor.
Diagram kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian
yang dibatasi oleh dua buah baris yang berpotongan pada titik-titik (X,Y). Untuk
(X) adalah rata-rata dari rata-rata skor jasa yang dirasakan, dan (Y) adalah ratarata dari rata-rata skor jasa yang di harapkan
Y
Pertahankan Prestasi
Jasa yang diharapkan
Prioritas Utama
B
A
Y
Berlebihan
Prioritas Rendah
D
C
0
X
X
Jasa yang dirasakan
Gambar 2.3 Diagram Kartesius Dimensi Jasa yang Diharapkan dan Jasa yang
Dirasakan
II - 44
(Sumber : J.Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, 1997:242)
Dimana :
A. Menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan
pelanggan, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun
manajemen belum melaksankannya sesuai keinginan pelanggan. Sehingga
mengecewakan atau tidak puas.
B. Menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan,
untuk itu wajib dipertahankan. Dianggap sangat penting dan sangat
memuaskan.
C. Menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi
pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap
kurang penting dan kurang memuaskan.
D. Menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang penting, akan
tetapi pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi sangat
memuaskan.
Download