BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep dan Pengertian Jasa Pada umumnya produk dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang banyak digunakan adalah klasifikasi berdasarkan daya tahan atau berwujud tidaknya suatu produk. Berdasarkan kriteria ini, ada tiga kelompok utama produk, yaitu (Tjiptono, 1996 : 5) : 1. Barang Tidak Tahan Lama (Nondurable Goods), merupakan barang berwujud yang biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali pemakaian. Dengan kata lain umur ekonomisnya kurang dari satu tahun. Contohnya sabun, minuman dan makanan ringan, garam gula, kapur tulis, dan sebagainya. 2. Barang Tahan Lama (Durable Goods), merupakan barang berwujud yang biasanya bisa bertahan lama dan memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun. Contohnya TV, kulkas, mobil, komputer, mesin cuci dan lain-lain. 3. Jasa (Services), merupakan suatu aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual. Contohnya bengkel reparasi, salon kecantikan, kursus keterampilan, hotel, rumah sakit dan sebagainya. Sebenarnya pembedaan secara tegas antara barang dan jasa sering kali sukar dilakukan. Hal ini dikarenakan pembelian suatu barang seringkali disertai dengan jasa-jasa tertentu (misalnya : instalasi, pemberian garansi, pelatihan dan bimbingan operasional, perawatan dan reparasi) dan sebaliknya pembelian suatu jasa seringkali juga melibatkan barang-barang yang melengkapinya (misalnya makan di restoran, telepon dalam jasa telekomunikasi). Meskipun demikian, jasa menurut Kotler, didefinisikan sebagai berikut (Tjiptono, 1996 : 6) : “ Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. “ II - 1 II - 2 Penawaran suatu perusahaan kepada pasar biasanya mencakup beberapa jenis jasa. Komponen jasa dapat merupakan bagian kecil ataupun bagian utama / pokok dari keseluruhan penawaran tersebut. Pada kenyataannya, suatu penawaran dapat bervariasi dari dua kutub ekstrim. Yaitu murni berupa barang pada satu sisi dan jasa murni pada sisi lainnya. Berdasarkan kriteria ini, penawaran suatu perusahaan dapat dibedakan menjadi lima kategori, yaitu (Tjiptono, 1996 : 6) : 1. Produk fisik murni Penawaran semata-mata hanya terdiri dari atas produk fisik, misalnya sabun mandi, pasta gigi, atau sabun cuci, tanpa ada jasa atau pelayanan yang menyertai produk tersebut. 2. Produk fisik dengan jasa pendukung Pada kategori ini penawaran terdiri atas suatu produk fisik yang disertai dengan satu atau beberapa jasa untuk meningkatkan daya tarik pada konsumennnya. Misalnya produsen mobil harus memberikan penawaran yang jauh lebih banyak daripada hanya sekedar mobil saja, yaitu bisa meliputi jasa pengantaran, reparasi, pemasangan suku cadang dan sebagainya. Dalam kategori ini menurut Clemente (1992) jasa dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan perusahaan kepada pelanggan yang telah membeli produknya. Theodore Levitt (1972) mengamati bahwa semakin canggih teknologi suatu produk generik (misalnya mobil, mesin fotokopi, dan komputer), maka penjualannya semakin bergantung pada kualitas dan ketersediaan layanan pelanggan (customer service) yang menyertainya, seperti ruang pajangan (showroom), fasilitas pengantaran, perbaikan dan pemeliharaan, bantuan aplikasi, pelatihan operator, konsultasi instalasi dan pemenuhan garansi. 3. Hybrid (Campuran) Penawaran terdiri dari barang dan jasa yang sama besar porsinya. Misalnya restoran yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya. 4. Jasa utama yang didukung dengan barang dan jasa minor Penawaran terdiri atas suatu jasa pokok bersama-sama dengan jasa tambahan (pelengkap) dan / atau barang-barang pendukung. Contohnya penumpang pesawat yang membeli jasa transportasi. Selama menempuh perjalanan II - 3 menuju tempat tujuannya, ada beberapa unsur produk fisik yang terlibat, seperti makanan dan minuman, majalah, atau surat kabat yang disediakan, dan lain-lain. Jasa seperti ini memerlukan barang yang bersifat kapital intensif (dalam hal ini pesawat) untuk realisasinya, tetapi penawaran utamanya adalah jasa. 5. Jasa murni Penawaran hampir seluruhnya berupa jasa. Contohnya menjaga bayi, fisioterapi, konsultasi psikologi, pemijatan dan lain sebagainya. Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jasa sama dengan melayani dalam arti pelayanan yang memberikan kepuasan pada pemakainya. 2.2 Klasifikasi Jasa Banyak pakar yang melakukan klasifikasi jasa, dimana masing-masing ahli menggunakan dasar pembedaan yang disesuaikan dengan sudut padangnya masing-masing. Menurut Lovelock klasifikasi jasa dapat dilakukan berdasarkan tujuh kriteria, (Tjiptono, 1996 : 8) yaitu : 1. Segmen Pasar Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada konsumen akhir dan jasa kepada konsumen organisasional. Sebenarnya ada kesamaan diantara kedua segmen pasar tersebut dalam pembelian jasa. Baik konsumen akhir maupun konsumen organisasional sama-sama melalui proses pengambilan keputusan, meskipun faktor-faktor yang mempengaruhi pembeliannya berbeda. Perbedaan utama antara kedua segmen tersebut adalah alasan dalam memilih jasa, kuantitas jasa yang dibutuhkan, dan kompleksitas pengerjaan jasa tersebut. 2. Tingkat Keberwujudan (Tangibility) Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : II - 4 a. Rented Goods Service Dalam jasa ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk tertentu berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Konsumen hanya kepemilikannya dapat tetap menggunakan berada pada produk pihak tersebut, perusahaan karena yang menyewakannya. Contohnya : sewa mobil, kaset video, laser disk, villa dan apartemen. b. Owned Goods Service Pada owned goods service, produk-produk yang dimiliki konsumen direparasi, dikembangkan atau ditingkatkan unjuk kerjanya, atau dipelihara/dirawat oleh perusahaan jasa. Jenis jasa ini juga mencakup perubahan bentuk pada produk yang dimiliki konsumen. Contohnya : reparasi (jam, mobil, sepeda motor), pencucian mobil, perawatan rumput lapangan golf, perawatan taman, pencucian pakaian (laundry dan dry cleaning), dan lain-lain. c. Non-Goods Service Karakteristik khusus pada jenis adalah jasa personal bersifat intangible (tidak berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada para pelanggan. Contohnya : supir, baby sitter, dosen, ahli kecantikan dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan aspek pemasaran, secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tidak berwujud suatu jasa, maka semakin sedikit persamaan pemasaran jasa dan pemasaran barang berwujud. Pada non-goods service misalnya, kinerja (performance) hanya dapat dinilai setelah jasa diberikan dan konsistensi kinerja tersebut sulit dijaga. Sebaliknya rented goods service dan owned goods service dapat dipasarkan dengan cara-cara yang serupa dengan pemasaran barang berwujud (produk fisik), karena kedua jenis jasa ini memerlukan barang-barang fisik dan lebih bersifat tangible. 3. Keterampilan Penyedia Jasa Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas professional service dan nonprofessional service. Pada jasa yang memerlukan keterampilan tinggi dalam proses operasinya, pelanggan cenderung sangat selektif dalam memilih penyedia jasa. Hal inilah yang menyebabkan para profesional dapat II - 5 “mengikat” para keterampilan pelanggannya. tinggi, seringkali Sebaliknya loyalitas jika tidak pelanggan memerlukan rendah karena penawarannya sangat banyak. 4. Tujuan Organisasi Jasa Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat dibagi menjadi commercial service atau profit service dan non profit service. Menurut Stanton, Etzel, dan Walker, jasa komersial masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi beberapa jenis (Tjiptono, 1996 : 10), yaitu : a. Perumahan atau pemginapan, mencakup penyewaan apartemen, hotel, motel, villa, cottage, dan rumah. b. Operasi rumah tangga, meliputi utilitas, perbaikan rumah, reparasi peralatan rumah tangga, pertamanan, dan household cleaning. c. Rekreasi dan hiburan, meliputi penyewaan dan reparasi peralatan yang digunakan untuk aktivitas-aktivitas rekreasi dan hiburan, serta admisi untuk segala macam hiburan, pertunjukan, dan rekreasi. d. Personal care, mencakup laundry, dry cleaning, dan perawatan kecantikan. e. Perawatan kesehatan, meliputi segala macam jasa medis dan kesehatan. f. Pendidikan swasta. g. Bisnis dan jasa profesional lainnya, meliputi biro hukum, konsultasi pajak, konsultasi akuntansi, konsultasi manajemen, dan jasa komputerisasi. h. Asurasi perbankan, dan jasa finansial lainnya, seperti asuransi perorangan dan bisnis, jasa kredit dan pinjaman, konseling investasi, dan pelayanan pajak. i. Transportasi, meliputi jasa angkutan dan penumpang, baik melalui darat, laut maupun udara, serta reparasi dan penyewaan kendaraan. j. Komunikasi, terdiri atas telepon, telegraph, komputer, dan jasa komunikasi bisnis yang terspesialisasi. Jasa nirlaba (non profit) memiliki karakteristik khusus, yaitu masalah yang ditanganinya lebih luas, memiliki dua publik utama (kelompok donatur dan kelompok klien), tercapai tidaknya tujuan tidak hanya ditentukan berdasarkan ukuran finansial (seperti margin laba dan penjualan), laba perusahaan jasa II - 6 nirlaba seringkali tidak berkaitan dengan pembayaran dari pelanggan, dan biasanya perusahaan jasa nirlaba dibutuhkan untuk melayani segmen pasar yang secara ekonomis tidak layak (feasible). 5. Regulasi Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated service dan nonregulated service. 6. Tingkat Intensitas Karyawan Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu equipment based service dan people-based service. People-based service masih dapat dikelompokkan menjadi kategori tidak terampil, terampil dan pekerja profesional. Jasa yang padat karya (people-based) biasanya ditemukan pada perusahaan yang memang memerlukan banyak tenaga ahli dan apabila pemberian jasa itu harus dilakukan di rumah atau di tempat usaha pelanggan. Perusahaan juga akan bersifat padat karya bila proses penyampaian jasa kepada satu personil yang relatif banyak untuk melayani pelanggan yang lain. Sementara itu perusahaan yang bersifat equipment-based mengandalkan penggunaan mesin dan peralatan canggih yang dapat dikendalikan dan dipantau secara otomatis atau semi otomatis. Ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga konsistensi kualitas jasa yang diberikan. 7. Tingkat Kontak Penyedia Jasa Dan Pelanggan Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum jasa dapat dibagi menjadi highcontact service dan low-contact service. Pada jasa yang tingkat kontak dengan pelanggannya tinggi, keterampilan interpersonal karyawan harus diperhatikan oleh perusahaan jasa, karena kemampuan membina hubungan sangat dibutuhkan dalam berurusan dengan orang banyak. Sebaliknya pada jasa yang tingkat kontak dengan pelanggan rendah justru keahlian teknis karyawan yang paling penting. 2.3 Karakteristik Jasa Menurut Kotler empat karakteristik utama pada jasa yang membedakannya dengan barang, dapat diuraikan sebagai berikut yaitu (Tjiptono, 1996 : 15) : II - 7 1. Intangibility (Tidak Berwujud) Jasa berbeda dengan barang. Jika barang merupakan suatu objek, alat, atau benda, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja (performance), atau usaha. Jasa bersifat intangible, artinya tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium, atau didengar sebelum dibeli. Menurut Berry (Tjiptono, 2004 : 15) konsep intangible ini sendiri memiliki dua pengertian, yaitu : a. Sesuatu yang tidak dapat disentuh atau tidak dapat dirasa. b. Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau dipahami secara rohaniah. 2. Inseparability (Tidak Dapat Dipisahkan) Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa tersebut. Dalam hubungan penyedia jasa dan pelanggan ini, efektivitas individu yang menyampaikan jasa (contact-personnel) merupakan unsur penting. Dengan demikian, kunci keberhasilan bisnis jasa ada pada proses rekrutmen, kompensasi, pelatihan, dan pengembangan karyawannya. 3. Variability (Bervariasi) Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandarized output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan. Ada tiga faktor yang menyebabkan variabilitas kualitas jasa yaitu kerja sama atau partisipasi pelanggan selama penyampaian jasa, moral / motivasi karyawan dalam melayani pelanggan, dan beban kerja perusahaan. Dalam hal ini penyedia jasa dapat menggunakan tiga pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, (Tjiptono, 1996 : 17) yaitu : a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik. b. Melakukan standarisasi proses pelaksanaan jasa (service performance process). Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menyiapkan suatu cetak biru (blue print) jasa yang menggambarkan peristiwa atau event dan proses jasa dalam suatu diagram alur, dengan tujuan untuk mengetahui II - 8 faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan kegagalan dalam jasa tersebut. c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survai pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan yang kurang baik dapat dideteksi dan dikoreksi. 4. Perishability (Tidak Tahan Lama) Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Dengan demikian bila suatu jasa tidak tidak digunakan, maka jasa tersebut akan berlalu begitu saja. Menurut Stanton, Etzel, dan Walker (Tjiptono, 2004 : 18), ada pengecualian dalam karakteristik perishability dan penyampaian jasa. Dalam kasus ini jasa bisa disimpan, yaitu dalam bentuk pemesanan (misalnya reservasi tiket pesawat dan kamar hotel), peningkatan permintaan akan suatu jasa pada saat permintaan sepi (misalnya minivacation weekend di hotel-hotel tertentu), dan penundaan penyampaian jasa (misalnya asuransi). Dengan demikian hal ini bisa dianggap sebagai suatu bentuk penyimpanan. 2.4 Masalah-Masalah Dalam Bisnis Jasa Sebagaimana telah dibahas diatas bahwa karakteristik jasa terdiri dari Intangibility, Inseparability, Variability, Pershability. Menurut Parasuraman, Zeithamal dan Berry, keempat karakteristik ini membawa dampak berupa munculnya beberapa permasalahan (Tjiptono, 2004 : 20) yaitu : 1. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik Intangibility : a. Jasa tidak dapat disimpan b. Jasa tidak dapat dilindungi dengan hak paten c. Perusahaan tidak dapat dengan mudah dan cepat mempertunjukan atau mengkomunikasikan suatu jasa d. Harga sukar ditetapkan 2. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik Inseparability : a. Konsumen terlibat dalam aktivitas produksi jasa b. Kegiatan pemasaran dan produksi sangat interaktif c. Produksi massa yang terpusat sangat sukar dilakukan dalam jasa. II - 9 3. Masalah yang berkaitan dengan Variability a. Sangat sulit melakukan standarisasi bidang pengendalian kualitas jasa. 4. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik Perishability a. Jasa tidak dapat disimpan 2.5 Pasar Sasaran Salah satu aspek paling penting dalam rangka menyusun rancangan jasa antara lain adalah penentuan pasar yang ingin dilayani. Pasar dapat diartikan sebagai semua pelanggan potensial yang memiliki kebutuhan atau keinginan tertentu yang mungkin bersedia atau sanggup untuk melibatkan diri dalam proses pertukaran, guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut. Dengan ditetapkannnya pasar sasaran, maka perusahaan dapat lebih mudah menyeimbangkan keterampilan dan kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan (Tjiptono, 1996 : 26). 1. Pendekatan Agregat (Market Aggregation) Pandangan agregasi pasar menganggap bahwa perilaku dan respon pasar besifat homogen. Perusahaan akan melayani pasar sasaran ini dengan program pemasaran maupun produk tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan perilaku. Ada beberapa pertimbangan dipilihnya pendekatan ini yaitu : a. Sifat jasa maupun perilaku pelanggan tidak terlalu berbeda atau sulit dibedakan. b. Permintaan atas jasa perilaku cukup tinggi, sehingga pasar tidak terlalu memperdulikan bila ada perbedaan produk (jasa). c. Kemampuan perusahaan memproduksi jasa relatif seragam. Jika diadakan pembedaan, tidak akan memberikan manfaat yang berarti. Contoh jenis jasa yang banyak menerapkan pendekatan ini adalah bank, bioskop, dan restoran fast food, dimana jasa yang diberikan relatif tidak dibedakan 2. Pendekatan Segmentasi Pasar ( Market Segmentation ) Pandangan segmentasi pasar beranggapan bahwa tidak semua pasar memiliki perilaku dan respon yang homogen. Dengan demikian perlu dilakukan pengelompokan pasar keseluruhan yang bersifat heterogen. Dalam II - 10 segmen-segmen tertentu, dimana masing-masing segmen memiliki persamaan perilaku dan respon. Perusahaan kemudian memilih salah satu atau beberapa segmen yang akan dijadika pasar sasaran. Setiap segmen akan dilayani dengan program pemasaran dan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keingginan segmen tersebut. Contoh jenis jasa yang banyak menerapkan segmentasi pasar adalah jasa transportasi ( pesawat, kereta api, kapal laut ), hotel, asuransi, dll. 2.6 Kualitas Jasa 2.6.1. Produktivitas, Kualitas, dan Profitabilitas Menurut Edvardsson, produktivitas biasanya selalu dikaitkan dengan kualitas dan profitabilitas. Meskipun demikian ketiga konsep ini memiliki penekanan masing-masing. Penekanan tersebut adalah sebagai berikut (Tjiptono, 1996 : 53) : 1. Produktivitas menekankan pada pemanfaatan (utilisasi) sumber daya yang sering kali diikuti dengan pengurangan biaya dan rasionalisasi modal. Fokus utamanya adalah pada produksi. 2. kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan. Fokus utamanya pada customer utility 3. Profitabilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasilan dengan (income), biaya dan modal yang digunakan. Pandangan tradisional sering kali hanya berfokus pada pencapaian produktivitas dan profitabilitas dengan mengabaikan aspek kualitas. Hal ini bisa mempercepat kehancuran sautau perusahaan. Dalam perdagangan bebas sebagaimana yang telah disepakati dalam kerangka AFTA, APEC dan WTO, setiap perusahaan harus menghadapi persaingan ketat dari perusahaan-perusahaan lain dari seluruh dunia. Meningkatnya intensitas persaingan dan jumlah pesaing juga menuntut setiap perusahaan untuk selalu memperhatikan kebutuhan dan keinginan konsumen serta berusaha memenuhi apa yang mereka harapkan dengan cara yang lebih memuaskan daripada yang dilakukan para pesaing. Dengan demikian hanya perusahaan yang benar-benar berkualitas dapat bersaing dalam pasar global. II - 11 Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjamin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dimana perusahaan memaksimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenagkan. Pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat menciptakan kesetiaan dan loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang memberikan kualitas yang memuaskan. 2.6.2. Service Excellence Menurut Elhaitammy, service Excellence atau pelayanan yang unggul merupakan suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan (Tjiptono, 1996 : 58). Sasaran dan manfaat dari service excellence dapat dilihat pada tabel 2.1. Secara garis besar ada empat unsur pokok dalam konsep ini yaitu : 1. Kecepatan 2. Ketepatan 3. Keramahan 4. Kenyamanan Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak excellence bila ada komponen yang berkurang. Untuk mencapai tingkat excellence, setiap karyawan harus memiliki keterampilan tertentu, diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan selalu siap untuk melayani, tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan. Menguasai pekerjaannya baik tugas yang berkaitan pada bagian atau departemennya maupun bagian lainnya. Mampu berkomunikasi dengan baik. Bisa memahami bahasa isyarat pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan secara profesional. Dengan demikian upaya mencapai excellence bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi bila hal tersebut dilakukan, maka II - 12 perusahaan yang bersangkutan akan dapat meraih manfaat besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas konsumen. Tabel 2.1 Sasaran dan Manfaat Service Excellence Sasaran Service Excellence Memuaskan Pelanggan Manfaat Service Excellence Bagi Pelanggan Bagi Karyawan Bagi Perusahaan Kebutuhan Lebih Percaya Meningkatnya Kesan Terpenuhi Diri Profesional Merasa di hargai Meningkatkan Ada kepuasan Kelangsungan usaha dan mendapatkan Loyalitas Pelanggan pribadi perusahaan terjamin pelayanan terbaik Meningkatkan Menambah Mendorong masyarakat Merasa di percaya penjualan produk ketenangan untuk berhubungan dengan sebagai mitra bisnis dan jasa perusahaan kerja perusahaan Merasa menemukan Meningkatkan Memupuk Mendorong kemungkinan perusahaan yang semangat untuk pendapatan ekspansi profesional perusahaan meniti karir Meningkatkan laba perusahaan Sumber : Elhaitammy, dalam Tjiptono, Fandy, 1996, Manajemen Jasa, Andi Offset, Yogyakarta, Hal 59. 2.6.3. Definisi Kualitas Jasa Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan waktu penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Wyckof (Tjiptono, 1996 : 59), kualitas jasa adalah tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service (Tjiptono , 1996 : 60). Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten (Tjiptono, 1996: 60). II - 13 2.6.3.1 Persepsi dan Harapan Pelanggan Terhadap Kualitas Jasa Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan (Tjiptono, 1996 : 61). Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang harus menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Namun perlu diperhatikan bahwa kinerja jasa seringkali tidak konsisten, sehingga pelanggan menggunakan isyarat intrinsik dan ekstrinsik jasa sebagai acuan (Tjiptono, 1996 : 61). Isyarat intrinsik berkaitan dengan output dan penyampaian jasa itu sendiri. Pelanggan akan bergantung pada isyarat ini apabila berada di tempat pembelian atau jika isyarat intrinsik tersebut merupakan search quality dan memiliki nilai prediktif yang tinggi, sedangkan yang dimaksud dengan isyarat ekstrinsik adalah unsur-unsur yang merupakan pelengkap bagi suatu jasa. Isyarat ini dipergunakan dalam mengevaluasi jasa jika dalam menilai isyarat intrinsik tersebut merupakan experience quality dan credence quality. Isyarat intrinsik juga dipergunakan sebagai indikator kualitas jasa apabila tidak ada informasi isyarat intrinsik yang memadai. 2.6.3.2 Dimensi Kualitas Jasa Ada delapan dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin (Tjiptono, 1996 : 68) dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan strategis dan analisis, dimensi-dimensi tersebut adalah : 1. Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti, misalnya kecepatan, konsumsi bahan bakar, jumlah penumpang yang dapat diangkut, kemudahan dan kenyamanan dalam mengemudi dan sebagainya. 2. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. 3. Kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal pakai. II - 14 4. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya. 5. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat terus digunakan. Dimensi ini mencakup umur teknis maupun umur ekonomis penggunaan mobil. Umumnya daya tahan mobil buatan Amerika atau Eropa lebih baik daripada mobil buatan Jepang. 6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi, serta penanganan keluhan yang memuaskan. Pelayanan yang diberikan tidak terbatas hanya sebelum penjualan, tetapi juga selama proses penjualan hingga purna jual, yang juga mencakup pelayanan reparasi dan ketersediaan komponen yang dibutuhkan. 7. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera. 8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Biasanya karena kurangnya pengetahuan pembeli akan atribut/ciri-ciri produk yang akan dibeli, maka pembeli mempersepsikan kualitasnya dari aspek harga, nama merk, iklan, reputasi perusahaan, maupun negara pembuatnya. Umumnya orang akan menganggap merk Mercedes dan BMW sebagai jaminan mutu. Meskipun beberapa dimensi di atas dapat diterapkan pada bisnis jasa, tetapi sebagian besar dimensi tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman dan penelitian terhadap perusahaan manufaktur. Pakar lain yang mencoba merumuskan dimensi atau faktor yang digunakan konsumen dalam menilai kualitas jasa adalah Gronroos (Tjiptono, 1996: 73) yang menyatakan bahwa ada tiga kriteria pokok, yaitu outcome-related, processrelated, dan image-related. Ketiga kriteria tersebut masih dapat dijabarkan menjadi enam unsur, yaitu : 1. Professionalism and Skills Merupakan outcome-related criteria, dimana pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa (service provider), karyawan, sistem operasional dan sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional. II - 15 2. Attitudes and Behaviour Merupakan process-relted criteria. Pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan (contact personal) menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati. 3. Accessibility and Flexibility Merupakan process-related criteria. Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan. 4. Reliability and Trustworthiness Merupakan process-related criteria. Pelanggan menyadari bila ada kesalahan atau bila sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat. 5. Recovery Merupakan process-related criteria. Pelanggan menyadari bila ada kesalahan atau bila sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat. 6. Reputation and Credibility Merupakan image-related criteria. Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya. Sementara itu ada beberapa pakar pemasaran, seperti Parasuraman, Zeithaml, dan Berry yang melakukan penelitian khusus terhadap beberapa jenis jasa dan berhasil mengidentifikasikan sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas jasa. Kesepuluh faktor tersebut meliputi (Tjiptono, 1996 : 69) : 1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time). II - 16 Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati. 2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan. 3. Competence, artinya setiap orang dalam perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. 4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi dan lain-lain. 5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para contac personal. 6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. 7. Credibility, yaitu bersifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi contac personal dan interaksi dengan pelanggan. 8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (phisycal safety), keamanan finansial (financial security), dan kerahasisan (confidentiality). 9. Understanding / Knowing the Costumer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan. 10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan, representasi fisik dari jasa (misalnya kartu kredit plastik). Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1988, Parasuraman dan kawan-kawan (Tjiptono, 1996 : 70) menemukan bahwa sepuluh dimensi yang ada dapat dirangkum menjadi hanya lima dimensi pokok. Kelima dimensi tersebut meliputi : 1. Bukti Langsung (Tangible), adalah aspek pelayanan yang berupa penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik seperti fasilitas, peralatan, produk, II - 17 perlengkapan pegawai dan sarana komunikasi dan lain sebagainya yang dapat diandalkan. 2. Keandalan (Reliability), adalah aspek pelayanan yang berupa kemauan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan segera, akurat dan terpercaya. 3. Daya Tanggap (Responsiveness), adalah aspek pelayanan yang berupa kemauan dan kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa pelayanan yang dibutuhkan konsumen secara cepat tanggap. 4. Jaminan (Assurance), adalah aspek pelayanan yang berupa pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh setiap karyawan, bebas dari bahaya resiko dan keragu-raguan. 5. Empati (Empathy), adalah aspek pelayanan yang berupa kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi dengan memberikan perhatian yang bersifat individual atau pribadi kepada konsumen dan berupaya untuk memahami keinginan para konsumen. 2.6.4 Prinsip-prinsip Kualitas Jasa Untuk menciptakan suatu gaya manajemen dan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas, perusahaan harus mampu memenuhi enam prinsip utama yang berlaku baik bagi perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa. Keenam prinsip tersebut sangat bermanfaat dalam membentuk dan mempertahankan lingkungan yang tepat untuk melaksanakan penyempurnaan kualitas secara berkesinambungan dengan didukung oleh pemasok, karyawan, dan pelanggan. Enam prinsip pokok tersebut meliputi (Tjiptono, 1996 : 75) : 1. Kepemimpinan Strategi kualitas perusahaan harus merupakan inisiatif dan komitmen dari puncak. Manajemen puncak harus memimpin perusahaan untuk meningkatkan kinerja kualitasnya. Tanpa adanya kepemimpinan dari manajemen puncak, maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap perusahaan. 2. Pendidikan Semua personil perusahaan dari manajer puncak sampai karyawan operasional harus memperoleh pendidikan mengenai kualitas. Aspek-aspek yang perlu II - 18 mendapatkan penekanan dalam pendidikan tersebut meliputi konsep kualitas sebagai strategi bisnis, alat dan teknik implementasi strategi kualitas, dan peranan eksekutif dalam implementasi strategi kualitas. 3. Perencanaan Proses perencanaan strategik harus mencakup pengukuran dan tujuan kualitas yang dipergunakan dalam mengarahkan perusahaan untuk mencapai visinya. 4. Review Proses review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi manajemen untuk mengubah perilaku organisasional. Proses ini merupakan suatu mekanisme yang menjamin adanya perhatian yang konstan dan terus menerus untuk mencapai tujuan kualitas. 5. Komunikasi Implementasi strategi kualitas dalam organisasi dipengaruhi oleh proses komunikasi dalam perusahaan. Komunikasi harus dilakukan dengan karyawan, pelanggan, dan stakeholder perusahaan lainnya, seperti pemasok, pemegang saham, pemerintah, masyarakat umum, dan lain-lain. 6. Penghargaan dan pengakuan (Total Human Reward) Pengharagaan dan pengakuan merupakan aspek yang penting dalam implementasi strategi kualitas. Setiap karyawan yang berprestasi baik perlu diberi penghargaan dan prestasinya tersebut diakui. Dengan demikian dapat meningkatkan motivasi, moral kerja, rasa bangga, dan rasa kepemilikan setiap orang dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi besar bagi perusahaan dan bagi pelanggan yang dilayani. 2.6.5 Model Kualitas Jasa Ada banyak model yang dapat digunakan untuk menganalisis kualitas jasa. Pemilihan terhadap suatu model tergantung pada tujuan analisis, jenis perusahaan, dan situasi pasar. Model-model yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yang dikembangkan oleh Edvardsson (Tjiptono, 1996 : 80), yaitu customer-perceived quality, the processes in the creation of the service and the whole service (system models). II - 19 Tiga peneliti Amerika, Leonard L. Berry, Parasuraman, dan Valerie A Zeithaml melakukan penelitian mengenai customer perceived quality pada empat industri jasa, yaitu retail banking, credit card, securities brokerage, dan product repair dan maintenance. Dalam penelitian tersebut mereka mengidentifikasikan 5 gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa. Menurut Zeithaml, et. al kelima gap tersebut (Tjiptono, 1996 : 80) adalah : 1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen Pada kenyataan pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa seharusnya didesain, dan jasa-jasa pendukung/sekunder apa saja yang diinginkan konsumen. pelanggannya Contohnya pengelola katering lebih mengutamakan mungkin ketepatan waktu mengira para pengantaran makanannya, padahal para pelanggan tersebut mungkin lebih memperhatikan variasi menu yang disajikan. 2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan. 3. Gap antara spesifikasi kualitas dan penyampaian jasa Ada beberapa penyebab terjadinya gap ini, misalnya karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja, atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja yang ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada standarstandar yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain, misalnya para juru rawat diharuskan meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan dan masalah pasien, tetapi di sisi lain mereka juga harus melayani para pasien dengan cepat. II - 20 4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi internal Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu lembaga pendidikan menyatakan bahwa lembaganya merupakan yang terbaik; memiliki sarana kuliah, praktikum dan perpustakaan yang lengkap; staf pengajarnya profesional. Akan tetapi saat pelanggan datang dan merasakan bahwa ternyata fasilitas praktikum dan perpustakaannya biasa-biasa saja (hanya memiliki beberapa ruang kuliah; jumlah komputer relatif sedikit; judul dan eksemplar buku terbatas), maka sebenarnya komunikasi eksternal yang dilakukan lembaga pendidikan tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan menyebabkan persepsi negatif kualitas jasa lembaga tersebut. 5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa terus mengunjungi pasiennya untuk menunjukkan perhatiaannya. Akan tetapi pasien dapat menginterprestasikannya sebagai suatu indikasi bahwa ada yang tidak beres berkenaan dengan penyakit yang dideritanya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 Konsumen Komunikasi dari mulut ke mulut Kebutuhan pribadi Pengamatan masa lalu Jasa yang diharapkan Gap 5 Jasa yang dirasakan Pemasar Penyampaian jasa Gap 1 Gap 4 Komunikasi internal Gap 3 Spesifikasi kualitas pelayanan Gap 2 Persepsi manajemen Gambar 2.1 Model Konseptual dari Service Quality II - 21 (Sumber : Zeithamal, Parasuraman, Berry., Delivering Quality Service : Balancing Customer Perceptions and Expectations, 1990 : 46) 2.7 Harapan dan Kepuasan Pelanggan 2.7.1 Harapan Pelanggan Harapan pelanggan diyakini mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan pelanggan. Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara penentuan kualitas dan kepuasan pelanggan. Menurut Kotler, harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengalaman berbelanja dimasa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi janji-janji perusahaan dan pesaing (Tjiptono, 1996 : 150). Pelanggan Keliru Mengkomunikasikan Jasa Yang Diinginkan Pelanggan Keliru Menafsirkan signal (Harga Positioning, dll) Harapan Tidak Terpenuhi Miskomunikasi Rekomendasi Mulut Ke Mulut Kinerja Karyawan perusahaan Yang Buruk Miskomunikasi Penyedia Jasa Oleh Pesaing Gambar 2.2 Penyebab Utama Tidak terpenuhinya Harapan Pelanggan (Sumber : Mudie, Peter dan Angela, dalam Tjiptono, Fandy, Manajemen Jasa, 1996 :151). Menurut Olson dan Dover (Tjiptono, 1996 : 61), harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut. Meskipun demikian, dalam beberapa hal belum terjadi kesepakatan, misalnya mengenai sifat standar harapan yang spesifik, jumlah standar yag digunakan, maupun sumber harapan. Zeithaml et al. (1993) mengemukakan model konseptual mengenai harapan pelanggan terhadap jasa yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini dan dibahas diantaranya (Tjiptono, 1996 : 62) : II - 22 1. Enduring Service Intensifiers Faktor ini merupakan faktor yang bersifat stabil dan mendorong pelanggan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap jasa. Faktor ini meliputi harapan yang disebabkan oleh orang lain dan filosofi pribadi seseorang mengenai jasa. Seorang pelanggan akan mengharapkan bahwa ia seharusnya dilayani dengan baik oleh penyedia jasa. Selain itu, filosofi individu (misalnya seorang nasabah bank) tentang bagaimana memberikan pelayanan yang benar akan menentukan harapan terhadap sebuah bank. 2. Personal Need Kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraannya juga sangat menentukan harapannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik, sosial dan psikologi. 3. Transistory Service Intensifier Faktor ini merupakan faktor individual yang bersifat sementara, jangka pendek, yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa. Faktor ini meliputi : a. Situasi darurat pada saat pelanggan sangat membutuhkan jasa dan ingin penyedia jasa dapat membantunya. Contohnya : jasa asuransi mobil pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas. b. Jasa terakhir yang dikonsumsi pelanggan dapat pula menjadi acuannya untuk menentukan baik buruknya jasa berikutnya. 4. Perceived Service Alternatives Merupakan persepsi pelanggan terhadap tingkat atau derajat pelayanan perusahaan lain yang sejenis. Jika konsumen memiliki beberapa alternatif, maka harapan terhadap suatu jasa cendrung lebih besar. 5. Self-Perceived Service role Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat keterlibatannya dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya. Apabila konsumen terlibat dalam proses penyampaian jasa yang diterimanya. Apabila konsumen terlibat dalam proses penyampaian jasa dan jasa yang terjadi ternyata tidak begitu baik, maka pelanggan tidak bisa menimpakan kesalahan II - 23 sepenuhnya kepada penyedia jasa. Oleh karena itu, persepsi tentang derajat keterlibatan ini akan mempengaruhi tingkat jasa yang diterimanya. Misalnya, besar kecilnya indeks prestasi seorang mahasiswa tergantung dari usaha yang dilakukannya bukan institusi pendidikannya. Kesalahan yang terjadi bukanlah kesalahan institusi pendidikan tetapi lebih dikarenakan oleh mahasiswa tersebut. 6. Situational Factors Faktor situasi ini terdiri dari segala kemungkinan yang bisa mempengaruhi kinerja jasa. Misalnya pada awal bulan, suatu bank ramai dukunjungi nasabahnya dan menyebabkan seorang nasabah menjadi relatif lama menunggu. Untuk sementara nasabah tersebut akan menurunkan tingkat pelayanan minimal yang bersedia diterimanya. Karena keadaan itu bukanlah kesalahan penyedia jasa. 7. Explicit Service Promises Faktor ini merupakan kenyataan (secara personal dan non personal) oleh organisasi tentang jasanya kepada pelanggan. Janji ini bisa berupa iklan, personal selling, perjanjian atau komunikasi dengan karyawan organisasi tersebut. 8. Implicit Service Promise Faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa, yang memberikan kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana yang seharusnya dan yang akan diberikan. Petunjuk yang memberikan gambaran jasa ini meliputi biaya untuk memperolehnya (harga) dan alat-alat pendukung jasanya. Pelanggan biasanya menghubungkan harga dan peralatan (tangible assets) pendukung jasa dengan kualitas jasa. Sebagai contoh, harga yang mahal dihubungkan secara positif dengan kualitas yang tinggi. Kendaraan angkutan umum yang sudah tua dan kotor dianggap hanya cocok bagi masyarakat bawah yang lebih mementingkan tiba di tujuan dari pada kenyamanan selama perjalanan. 9. Word-of-Mounth (rekomendasi/saran dari orang lain) Word-of-Mounth merupakan kenyataan (secara personal atau non personal) yang disampaikan oleh orang lain selain organisasi (service Provider) kepada II - 24 pelanggan. Word-of-Mounth ini biasanya cepat diterima oleh pelanggan karena yang menyampaikan adalah mereka yang dapat dipercayainya, seperti para pakar, teman, keluarga, dan publikasi media massa. Disamping itu wordof-mounth juga cepat diterima sebagai referensi karena pelanggan jasa biasanya sulit mengevaluasi jasa yang belum dibelinya atau belum dirasakannya sendiri. 10. Past Experience Pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui pelanggan dari yang pernah diterimanya di masa lalu. Harapan pelanggan ini dari waktu ke waktu berkembang, seiring dengan semakin banyaknya informasi (nonexperimential information) yang diterima pelanggan serta semakin bertambahnya pengalaman pelanggan. 2.7.2 Pengukuran Kepuasan Pelanggan Pencapaian kepuasan dapat merupakan proses yang sederhana, meupun kompleks dan rumit. Dalam hal ini peranan setiap individu dalam service encounter sangatlah penting dan berpengaruh terhadap kepuasan yang dibentuk (Tjiptono, 1996 : 146). Untuk dapat mengetahui tingkat kepuasan pelanggan secara lebih baik, maka perlu dipahami sebab-sebab kepuasan. Pelanggan tidak cuma lebih banyak kecewa pada jasa daripada pada barang, tetapi mereka juga jarang mengeluh. Salah satu alasannya adalah karena mereka juga ikut terlibat dalam proses penciptaan jasa. Banyak pakar yang memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan. Day (Tjiptono, 1996 : 146) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian / diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktuan produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Engel, et al., (Tjiptono, 1996 : 146) mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi pembeli di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan. Sedangkan pakar pemasaran Kotler (Tjiptono, 1996 : 146) menyatakan bahwa II - 25 kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Adanya kesamaan di antara beberapa definisi di atas, yaitu menyangkut komponen kepuasan pelanggan (harapan dan kinerja / hasil yang dirasakan). Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan pada kenyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi produk yang dibeli. Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan setiap perusahaan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya (juga pelanggan perusahaan pesaing). Kotler (Tjiptono, 1996 : 148) mengemukakan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu : 1. Sistem Keluhan Dan Saran Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (costumer oriented) perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk memberikan respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang timbul. 2. Survei Kepuasan Pelanggan Menurut Mc Neal dan Lamb, umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telepon, maupun wawacara pribadi (Tjiptono, 1996 : 148). Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap pelanggannya. 3. Ghost Shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan/pembeli potensial produk perusahaan dan pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan II - 26 pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. 4. Lost Cosumer Analysis Pada metode ini perusahaan berusaha menguhubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok. Yang diharapkan adalah akan diperolehnya informasi penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan. 2.8 Pengukuran Kualitas Jasa Pada saat membeli barang, konsumen dapat menggunakan banyak tangibles cues untuk menilai kualitas. Sedangkan dalam pembelian jasa, tangibles cues yang tersedia relatif terbatas, bahkan sering hanya berupa fasilitas fisik, peralatan, dan personel yang dimiliki penyedia jasa. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penilaian kualitas jasa lebih kompleks dan sulit daripada barang (Tjiptono, 1996 : 96). Hingga kini pengukuran kualitas jasa belum sempurna dan masih dalam tahap pengembangan. Meskipun demikian, guna meningkatkan pemahaman kita dan memungkinkan diambilnya langkah-langkah praktis, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan (Tjiptono, 1996 : 96), yaitu : 1. Spesifikasi determinan kualitas jasa 2. Perangkat standar kualitas yang bisa diukur Perolehan kedua diatas, akan berbeda-beda, tergantung pada fokus yang digunakan (Tjiptono, 1996 : 97), yaitu : 1. Jasa kontak rendah atau jasa kontak tinggi 2. Proses atau output Apapun jasa yang diberikan, dalam kaitannya dengan kualitas, akan bermanfaat bila dikaitkan dengan dua pertanyaan pokok berikut (Tjiptono,1996 : 97) : 1. Apa yang seharusnya diberikan jasa tersebut ? 2. Apa yang sungguh-sungguh telah diberikan jasa tersebut ? II - 27 Jadi kualitas jasa merupakan penilaian atas sejauh mana suatu jasa sesuai dengan apa yang seharusnya diberikan/disampaikan. Meskipun banyak sekali pendapat yang dikemukakan, tampaknya pendapat yang paling sering digunakan dalam penilaian jasa adalah yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. Mereka menyatakan bahwa ada lima dimensi kualitas jasa, yaitu tangibles, reliability, responseveness, assurance, dan empathy. Mengukur kualitas jasa berarti mengevaluasi/membandingkan kinerja suatu jasa dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk model pengukuran Parasuraman dan kawan-kawan, telah dibuat skala multi-item yang diberi nama SERVQUAL. Alat ini dimaksudkan untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan dan kesenjangan (gap) yang ada di model kualitas jasa. Pengukuran dapat dilakukan dengan skala Likert maupun semantic diferensial, dimana responden tinggal memilih derajat kesetujuan / ketidaksetujuaannya atas pernyataan mengenai penyampain kualitas jasa. 2.9 Arti Persepsi dan Sikap Pelanggan Persepsi pelanggan mengenai mutu suatu jasa dan kepuasan menyeluruh, mereka memiliki beberapa indikator/petunjuk yang bisa dilihat. Pelanggan mungkin tersenyum ketika mereka berbicara mengenai barang atau jasa. Senyum suatu bukti bahwa seseorang sangat puas. Sikap tersenyum diatas mengatakan hal-hal baik yang merupakan manifestasi atau indikator tentang suatu konstrak yang mungkin disebut kepuasan pelanggan. Konstrak adalah gagasan atau konsepsi. Istilah kepuasan pelanggan atau persepsi mutu merupakan label yang kita pergunakan untuk meringkas suatu himpunan aksi atau tindakan yang terlihat, terkait dengan produk dan atau jasa. Ide konstrak (gagasan/konsepsi) dan kaitannya dengan variabel yang bisa di observasi/dilihat, sebagai contoh kita dapat menarik kesimpulan tentang kebahagiaan orang dengan memperoleh beberapa jenis indikator yang terlihat tentang konstrak kebahagiaan yang mendasari (the underlying happiness constructs). Indikator yang terlihat dapat mencangkup senyum, tertawa, berkata tentang hal-hal yang bagus atau positif. Kalau seseorang tertawa, tersenyum dan berkata tentang sesuatu hal-hal yang positif, kita dapat II - 28 menarik kesimpulan bahwa orang ini bahagia. Kenyataan ini menunjukan bahwa orang ini bahagia dengan meneliti kriteria yang dilihat (Supranto, 1997 : 45). Sama halnya, kita menarik kesimpulan tentang sikap dan persepsi pelanggan mengenai barang/jasa dengan meneliti manifestasi yang terkait dengan produk/jasa yang bisa dilihat. Manifestasi yang terlihat ini adalah jawabanjawaban yang diberikan oleh para pelanggan menunjukan hal-hal yang bagus tentang produk/jasa pada kuesioner kepuasan pelanggan dan mendemonstrasikan indikasi perilaku positif lainnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa mereka (para pelanggan) memang puas dengan produk yang telah di belinya. Ketika membentuk suatu kuesioner atau skala yang menilai sikap dan persepsi pelanggan dalam upaya membentuk kebutuhan para pelanggan, perlu mempertimbangkan isu ukuran untuk menjamin bahwa skor yang diperoleh dari instrumen berupa kuesioner mencerminkan informasi yang akurat tentang konstrak yang mendasari. Tekanan pada isu pengukuran dalam kepuasan pelanggan sama pentinganya dengan isu pengukuran mengenai instrumen yang dirancang untuk mengukur objek berupa barang yang bisa diraba (tangible), seperti suku cadang mesin. Indeks: “change repetibility and reliability”, yang dirancang untuk mencerminkan mutu proses pengukuran dalam “industrial setting”. Demikian juga dengan halnya, indeks statistik dapat mencerminkan mutu pengukuran kuesioner kepuasan. Dua isu pengukuran yang penting untuk dipertimbangkan ketika mengembangkan kuesioner ialah reliabilitas dan validitas (reliability and validity) (Supranto, 1997 : 46). 2.10 Skala Pengukuran dan Instrumen Penelitian 2.10.1 Macam Macam Skala Penelitian Skala Pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menetukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Berbagai skala yang dapat digunakan dalam pengukuran anatara lain: (Sugiyono, 2007 : 107) II - 29 1. Skala Likert Skala Likert digunakan untuk mengukur sifat, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut variabel penelitian. Dalam skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain: a. Sangat Setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak Setuju e. Sangat Tidak Setuju, dan lain-lain. 2. Skala Guttman Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas, yaitu “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”, “pernah” atau “tidak pernah” dan lain-lain. Data yang diperoleh berupa data interbal atau rasio dikhotomi (dua alternatif). Jadi kalau pada skala Likert terdapat 3,4,5,6,7 interval, dari kata “sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju” maka pada skala Guttman hanya ada dua interval yaitu “ setuju” atau “tidak setuju”. Penelitian menggunakan skala Guttman dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang di dapatkan. 3. Semantic Defferensial Skala pengukuran yang berbentuk Semantic Defferensial dikembangkan oleh Osgood. Skala ini juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang jawaban “sangat positifnya” dibagian kanan II - 30 garis, dan jawaban “sangat negatifnya” dibagian kiri garis atau sebaliknya. Data yang diperoleh adalah data interval, dan biasanya skala ini digunkan untuk mengukur sikap/karakteristik tertentu yang dipunyai oleh seseorang. Contoh: Berilah gaya kepemimpinan manajer anda? Bersahabat 5 4 3 2 1 Tidak Bersahabat Tepat Janji 5 4 3 2 1 Lupa Janji 4. Rating Scale Dari ketiga skala pengukuran seperti yang telah dikemukakan, data yang diperoleh semuanya adalah data kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan. Tetapi dengan rating scale data mentah yang diperoleh berupa angka yang kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Responden menjawab, senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, pernah atau tidak pernah adalah merupakan data kualitatif. Dalam model rating scale, responden tidak akan menjawab salah satu dari jawaban kualitatif yang telah disediakan, tetapi menjawab salah satu jawaban yang kuantitatif yang telah disediakan. Oleh karena itu rating scale ini lebih fleksibel, tidak terbatas untuk pengukuran sikap saja tetapi untuk mengukur persepsi responden terhadap fenomena lainnya, seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi, kelembagaan, pengetahuan, kemampuan, proses kegiatan dan lain-lain. Contoh: Seberapa baik data ruang kerja yang ada di perusahaan anda? Berilah jawaban dengan angka: 4. Bila tata ruang itu sangat baik 3. Bila tata ruang itu cukup baik 2. Bila tata ruang itu kurang baik 1. Bila tata ruang itu sangat tidak baik II - 31 Adapun skala yang digunakan pada penelitian kai ini adalah skala likert, kebaikan penggunaan format tipe likert dibandingkan dengan format check list yang hanya memberikan jawaban “ya” atau “tidak”, ialah bahwa tipe likert tercermin dalam keragaman skor (variability of scorer) sebagai akibat penggunaan skala yang dalam penelitian ini berkisar antara 1 sampai 5. Dengan dimensi mutu tercermin dalam daftar pertanyaan, memungkinkan palanggan mengekspresikan tingkat pendapat mereka dalam pelayanan (produk) yang mereka terima, lebih mendekati kenyataan sebenarnya. Dari segi pandangan statistik, skala dengan lima tingkatan (dari 1 sampai 5) lebih tinggi keandalannya dari skala dengan dua tingkatan yaitu “ya” atau “tidak”. Selain dari itu, penggunaan format tipe likert masih memberikan kemungkinan untuk mendapatkan angka persentase jawaban yang positif atau negatif untuk butir tertentu. Caranya dengan menggabungkan jawaban-jawaban pada akhir skala, seperti jawaban tidak setuju, gabungan dari sangat tidak setuju dan tidak setuju merupakan (1 dan 2) sedangkan jawaban tidak setuju dengan sangat tidak setuju (4 dan 5). (Supranto, 1997 : 91). 2.11. Teknik Pengumpulan Data Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian dan pengumpulan data. Kualitas instrumen penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan kualitas pengumpulan data berkenaan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu instrumen yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya, belum tentu dapat menghasilkan data yang valid dan reliabel, apabila instrumen tersebut tidak digunakan secara tepat dalam pengumpulan datanya. Pada bab ini hanya akan dikemukakan pengumpulan data berdasarkan tekniknya, yaitu melalui wawancara, angket dan observasi. (Sugiyono, 2007 : 156). 1. Interview (Wawancara) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ini melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari II - 32 responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Wawancara dapat dilakukansecara terstruktur maupun tidak terstruktur dan dapat dilakukan melaluli tatap muka maupun dengan menggunakan telepon. 2. Kuesioner (Angket) Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu pasti variabel yang akan yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Selain itu, kuesioner juga cocok digunakan bila jumlah responden cukup besardan tersebar di wilayah yang luas. Kuesioner dapat berupa pertanyaan atau pernyataan tertutup atau terbuka, dapat diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim melalui pos atau internet. Bila penelitian tidak terlalu luas kuesioner dapat diantarkan langsung. Dengan adanya kontak langsung antara peneliti dan responden akan menciptakan suatu kondisi yang cukup baik, sehingga responden dengan sukarela akan memberikan data obyektif dan cepat. 3. Observasi Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek yang lain. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. II - 33 2.12 Konsep Dasar Pengujian Hipotesis Hipotesis adalah tafsiran terhadap parameter populasi melalui data-data sampel. Menurut tingkat ekplanasi hipotesis yang akan diuji, maka rumusan hipotesis dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu hipotesis deskriptif (pada satu sampel atau variabel mandiri/tidak dibandingkan dengan hubungan), hipotesis komparatif dan hipotesis hubungan. (Sugiyono, 83 : 2007). 1. Hipotesis Deskriptif Hipotesis deskriptif adalah dugaan tentang nilai suatu variabel mandiri, tidak membuat perbandingan atau hubungan. Sebagai contoh, bila rumusan masalah penelitian sebagai berikut ini, maka hipotesis (jawaban sementara) yang dirumuskan adalah hipotesis deskriptif. a. Seberapa tinggi daya tahan lampu merek X ? b. Seberapa tinggi produktifitas padi di Kabupaten Klaten ? Dari tipe pertanyaan tersebut antara lain dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : a. Daya tahan lampu merk X = 800 jam. b. Produktifitas di Kabupaten Klaten 8 ton/ha Dalam perumusan hipotesis statistik, antara hipotesis nol dan alternatif selalu berpasangan, bila salah satu ditolak, maka yang lain pasti diterima sehingga dapat dibuat keputusan yang tegas, yaitu kalau Ho ditolak pasti alternatifnya diterima. 2. Hipotesis Komparatif Hipotesis Komparatif adalah pernyataan yang menunjukan dugaan nilai dalam suatu variabel atau lebih pada sampel yang berbeda. Contoh rumusan masalah komparatif dan hipotesisnya. a. Adakah perbedaan daya tahan lampu merek A dan merek B ? Rumusan hipotesisnya adalah : - Tidak terdapat perbedaan daya tahan lampu antara lampu merek A dan merek B 3. Hipotesis Hubungan (Asosiatif) Hipotesis Asosiatif adalah suatu pertanyaan yang menunjukan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih. Contoh rumusan II - 34 masalahnya adalah “ Adakah hubungan antara gaya kepemimpinan dengan efektifitas kerja ?”, rumus dan hipotesis nolnya adalah : Tidak ada hubungan antar gaya kepemimpinan dengan efektifitas kerja. Hipotesis statistiknya adalah : Ho : 0 Ha : 0 = simbol yang menunjukan kuatnya hubungan. Dapat dibaca: Hipotesis nol, yang menunjukan tidak adanya hubungan (nol = tidak ada hubungan) antara gaya kepemimpinan dengan efektifitas kerja dan populasi. Hipotesis alternatifnya menunjukan ada hubungan (tidak sama dengan nol, mungkin lebih besar dari nol atau lebih kecil dari nol). 2.13 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel Menentukan populasi dan sampel yang dapat digunakan sebagai sumber data. Bila hasil penelitian akan digeneralisasikan (kesimpulan data sampel untuk populasi) maka sampel yang digunakan sebagai sumber data harus representatif dapatv digunakan dengan cara mengambil sampel dari populasi secara random sampai jumlah tertentu. (Riduwan, 2004 : 54). 2.13.1 Populasi Sugiyono (2002:57) memberikan pengertian bahwa:” Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Nazir (1983:327) mengatakan bahwa,”populasi adalah berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya.” Nawawi (1985:141) menyebutkan bahwa,“populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif ataupun kualitatif pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap.” Sedangkan Riduwan (2002:3) mengatakan bahwa,”populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi objek penelitian.” II - 35 Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Ada dua jenis populasi, yaitu: populasi terbatas dan populasi tidak terbatas. (Riduwan, 2004 : 54). 1. Populasi Terbatas Populasi terbatas adalah mempunyai sumber data yang jelas batasnya secara kuantitatif sehingga dapat dihitung jumlahnya. Contoh: a. Jumlah guru SD dikota Surabaya sebanyak 5000 orang b. Jumlah 200 siswa yang mendapat bapak asuh di Batam 2. Populasi Tak Terbatas Populasi terbatas yaitu sumber datanya tidak dapat ditentukan batasanbatasannya sehingga relatif tidak dapat dinyatakan dalam jumlah. Contoh: a. Meneliti berapa liter pasang surut air laut pada bulan purnama dll. Dalam melaksanakan penelitian, walaupun tersedia populasi yang terbatas dan homogen, adakalanya peneliti tidak melakukan pengumpulan data secara populasi, tetapi mengambil sebagaian dari populasi yang dianggap mewakili populasi (representatif). Hal ini berdasarkan pertimbangan yang logis, seperti kepraktisan, keterbatasan, biaya, waktu, tenaga dan adanya percobaan yang bersifat merusak (deskruktif). Contoh : 1. Mengetahui kekuatan pisau baja pemotong kain, kita tidak perlu menerapkan setiap pabrik tekstil diperiksa dan diuji kekuatan pisaunya. 2. Mengetahui daya tahan lampu pijar merk Philips, kita tidak perlu menggunakan cara semua pabrik lampu yang bermek Philips ditunggui dan dicatat nyala lampu tersebut. Dengan meneliti secara sampel diharapkan hasil yang telah diperoleh akan memberikan kesimpulan dan gambaran yang sesuai dengan karakteristik populasi. Jadi, hasil kesimpulan dari penelitian sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasi. (Riduwan, 2004 : 56). II - 36 2.13.2 Teknik Penarikan Sampel Arkunto (1998:117) mengatakan : “Sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang dimbil sebagai sumber data dapat mewakili seluruh populasi.” Sugiyono (1997:57) memberikan pengertian:” Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.” Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: ” Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti. Karena tidak semua data dan informasi akan diproses dan tidak semua orang atau benda akan diteliti melainkan dengan menggunakan sampel yang mewakilinya. Hal ini sampel harus representatif. Berkaitan dengan teknik pengambilan sampel Nasution (1991:135) bahwa, “ Mutu penelitian tidak selalu ditentukan oleh besarnya sampel, akan tetapi oleh kokohnya dasar-dasar teorinya, oleh desain penelitiannya, serta mutu pelaksanaan dan pengolahannya.” Teknik penarikan sampel atau teknik sampling adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Ada dua macam teknik pengambilan sampling dalam penelitian yang umum dilakukan yaitu probability sampling dan nonprobability sampling. (Riduwan, 2004 : 57). 1. Probability Sampling Probability Sampling adalah teknik sampling untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel, yang tergolong teknik probability sampling yaitu: a. Simple Random Sampling Adalah cara pengambilan sampel dari anggota populasi dengan menggunakan acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. Hal ini dilakukan apabila anggota populasi dianggap homogen atau sejenis. Contoh: - Jumlah guru SMU yang mengikuti penataran Manajemen Berbasis Sekolah di Surabaya. II - 37 - Jumlah siswa yang mendapatkan beasiswa di kota Samarinda - Jumlah pegawai diknas kota Makasar yang mutasi Guru SMU, siswa menerima beasiswa dan pegawai Diknas itu semua merupakan populasi yang sejenis. b. Protortionate Stratified Random Sampling Adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional, dilakukan sampling ini apabila anggota populasinya heterogen atau tidak sejenis. Contoh: - Jumlah guru SD se-DIY yang mengikuti seminar pendidikan: a) Guru Bahasa Indonesia = 25 orang b) Guru Bahasa Inggris = 20 orang c) Guru PPKN = 10 orang d) Guru IPA = 35 orang e) Guru IPS = 45 orang Jumlah sampel yang diambil harus sama porsinya dengan jumlah guru sesuai dengan bidang studi. c. Disprotortionate Stratified Random Sampling Adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata tetap sebagaian data yang kurang proporsional pembagiannya, dilakukan sampling ini apabila anggota populasi heterogen (tidak sejenis). Contoh: - Jumlah guru SD se-DIY yang mengikuti seminar pendidikan: a) Kepala Dinas Pendidikan = 1 orang b) Kasubag Tata Usaha = 1 orang c) Kepala Seksi pada Dinas = 10 orang d) Kepala Sub Seksi pada Dinas = 20 orang e) Kepala Urusan pada Dinas = 15 orang Dari jumlah pegawai yang berasal dari Kepala Dinas Pendidikan = 1 orang dan Kasubag Tata Usaha = 1 orang tersebut diambil dijadikan sampel karena terlalu kecil bila dibandingkan dengan staf lain. II - 38 d. Area Sampling Cluster Adalah teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap wilayah geografis yang ada. Contoh: Peneliti akan melihat pelaksanaan MBS SD se-Indonesia. Karena wilayahnya cukup luas terdiri dari 33 provinsi dan masing-masing berbeda kondisinya, maka peneliti mengambil sampeldari SD tingkat kabupaten/kota terdiri dari SD tingkat kecamaatn, SD tingkat kecamayan terdiri dari SD tingkat kelurahan yang akan melaksanankan MBS. Teknik untuk mendapatkan sampel kluster mula-mula secara acak diambil sampel yang terdiri dari SD tingkat provinsi, dari tiap SD tingkat provinsi dalam sampel, disebut SD tingkat provinsi sampel begitu seterusnya. 2.13.3 Menentukan Ukuran Sampel a. Pengambilan Sampel (Apabila Populasi Sudah Diketahui) Contoh 1: Teknik Pengambilan sampel (Riduwan, 2004:65) sebagai berikut: n= N .................................................................................... (2.1) N .d 2 1 Dimana : n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi d 2 = Presisi yang ditetapkan Diketahui jumlah populasi guru SD sebesar N = 138 orang dan tingkat presisi yang ditetapkan sebesar = 10%. Berapakah jumlah sampelnya? Contoh 2: apabila ukuran populasi sebanyak kurang dari 100, maka pengambilan sampel sekurang-kurangnya 50% dari ukuran populasi. Apabila ukuran populasi sama dengan atau lebih 1000, ukuran sampel diharapkan sekurang-kurangnya 15% dari ukuran populasi. II - 39 b. Pengambilan Sampel (Apabila Populasi Tidak Diketahui) Teknik pengambilan sampel apabila populasinya tidak diketahui secara pasti, digunakan teknik sampling kemudahan. Berdasarkan sampling kemudahan ini, peneliti menyeleksi dengan menyaring kuesioner yang ada, apabila orang-orang tersebut diketahui misalnya (anggota guru bidang studi, jumlah pendaftar UAN se-Jawa, jumlah siswa yang less bahasa Inggris se-kota Surabaya dll). Misalnya digunakan ukuran sampel untuk estimasi nilai rerata. Jika digunakan untuk mengestimasi π, kita dapat (1-α)% yakin bahwa error tidak melebihi nilai e tertentu, apabila ukuran sampelnya sebesar n, (Riduwan, 2004:65) dimana: n ( 2 ) 2 e ............................................................. (2.2) Apabila nilai σ tidak diketahui, kita dapat menggunakan s dari sampel sebelumnya (untuk n ≥ 30) yang memberikan estimasi terhadap σ. 2.14 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Perlu dibedakan antara hasil penelitian yang valid dan reliabel dengan instrumen yang valid dan reliabel. Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Kalau dalam obyek berwarna merah, sedangkan data yang terkumpul memberikan data berwarna putih maka hasil penelitian tidak valid. Selanjutnya hasil penelitian yang reliabel, bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Kalau dalam obyek yang kemarin berwarna merah, maka sekarang dan besok tetap berwrna merah. Instrumen yang valid tidak berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Meteran yang valid dapat digunakan untuk mengukur panjang dengan teliti, karena meteran memang alat untuk mengukur panjang. Meteran tersebut menjadi tidak valid jika digunakan untuk mengukur berat. Instrumen yang reliabel berarti instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan II - 40 data yang sama. Alat ukur panjag dari karet adalah contoh instrumen yang tidak reliabel. Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel. (Sugiyono, 2007: 173) 2.14.1 Validitas (Validity) Validitas menunjukan tingkat/derajat untuk mendukung kesimpulan yang ditarik dari skor yang diturunkan dari ukuran atau tingkat mana skala mengukur apa yang seharusnya diukur. Suatu kuesioner yang memuat pertanyaan tidak jelas bagi responden termasuk tidak sahih (tidak valid). Kalau kita menarik kesimpulan bahwa skor pada suatu pengukuran mencerminkan tingkat kepuasan pelanggan, kita perlu informasi untuk menilai seberapa baik penarik kesimpulan pendukung. (Supranto, 1997 : 70). Pengumpulan data dapat dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Dengan menggunakan instrumen yang valid dalam pengumpulan data maka diharapkan hasil penelitiannya juga akan menjadi valid. Setelah kita mendapatkan hasil dari jawaban responden maka jawaban tersebut kita hitung korelasi antar masingmasing pertanyaan dengan skor total dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment. (Sugiyono, 2007 : 213). Korelasi Pearson Produk Moment (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga (-1≤ r ≤+ 1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya sangat negatif sempurna, r = 0 artinya tidak ada korelasi, dan r = 1 berarti korelasinya sangat kuat. (Riduwan, 2004 : 138). Sedangkan arti harga r akan dikonsultasikan dengan rabel nilai r sebagai berikut : II - 41 Tabel 2.2 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,80 - 1,000 Sangat Kuat 0,60 - 0,799 Kuat 0,40 - 0,599 Cukup Kuat 0,20 - 0,399 Rendah 0,00 - 0,199 Sangat Rendah Pengujian selanjutnya yaitu dengan uji signifikansi, yang berfungsi apabila peneliti ingin mencari makna hubungan variabel X terhadap Y, maka teknik korelasi Pearson Product Moment tersebut diuji dengan uji signifikansi dengan rumus: (Riduwan, 2004 : 139). t hitung r ( n 2) …………………………………………..…(2.3) (1 r 2 ) Dimana : t hitung = Nilai t r = Nilai Koefisien Korelasi n = Jumlah Sampel Teknik Korelasi ini digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel bila data kedua variabel berbentuk interval atau ratio, dan sumber data dari dua variabel lebih adalah sama. (Sugiyono, 2007 : 212). 2.14.2 Keandalan/Realibilitas (Reliability) Dalam sub bab ini akan dikenalkan konsep keandalan/reliabilitas (reliability) dengan menggunakan contoh pengukuran yang sederhana. Kita bisa menggunakan penggaris untuk mengukur panjang suatu benda, seperti panjang suatu meja. Misalnya kita mengukur sampai lima kali, diperoleh lima nilai atau skor. Walaupun panjang benda tersebut sebenarnya hanya satu saja misalnya 5 meter, tetapi hasil pengukuran mungkin menunjukan perbedaan satu sama lain, perbedaan dalam cm atau mm, artinya menjadi kurang lebih 5 meter, tidak persis lima seperti panjang sebenarnya. II - 42 Penyimpangan atau deviasi mungkin disebabkan adanya berbagai faktor acak (random factor) dalam proses pengukuran, seperti variasi di dalam penggunaan penggaris dalam setiap pengukuran atau perubahan dalam panjang penggaris dengan setiap pengukuran. Seberapa jauh faktor acak diperkenalkan ke dalam proses pengukuran, setiap nilai/skor yang kita peroleh mungkin tidak cukup andal mencerminkan nilai/skor sebenarnya. Ketika kita mengembangkan suatu kuesioner yang akan dipergunakan untuk menilai persepsi pelanggan pada mutu barang/jasa, kita ingin yakin bahwa pengukuran bebas dari kesalahan acak (random errors). Ini artinya kita ingin yakin seyakin-yakinnya bahwa hal-hal yang mendasari tentang persepsi tentang mutu atau kepuasan dicerminkan secara akurat di dalam nilai/skor kuesioner. Keandalan/reliabilitas didefinisikan sebagai seberapa jauh pengukuran bebas dari varian kesalahan acak (free from random error variance). Kesalahan acak menurunkan tingkat keandalan hasil pengukuran. Kalau kita menginginkan agar merasa yakin bahwa skor/nilai dari kuesioner dapat mencerminkan dimensi kepuasan secara andal (relibiality). Kita menghendaki kuesioner harus menunjukan keandalan yang tinggi (high reliability). (Supranto, 1997 : 48). Reliabilitas menunjukan tingkat kepercayaan dari hasil suatu pengukuran. Pengukura yang memiliki reliabilitas yang tinggi adalah pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya. Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukan oleh angka yang sebut sebagai koefisien Reliabilitas. Koefisien ini secara teoritis berkisar antara 0 sampai 1, pada kenyataannya yang mencapai koefisien 1 belum pernah ada, dan koefisien yang kurang dari 0 (negatif) tidak ada, artinya interpretasi reliabilitas selalu mengacu pada yang nilainya satu, koefisien yang nilainya 1 menunjukan tingkat konsistensi yang tinggi. Metode yang digunakan untuk menguji keandalan alat ukur dalam penelitian ini adalah metode Alfa Cronbach.(Sugiyono, 2007 : 282). II - 43 2.15 Analisis Diagram kartesius Pada dasarnya analisis diagram kartesius tidak jauh berbeda dengan analisis kesenjangan (GAP) yaitu untuk mengetahui kesenjangan antara harapan dan persepsi konsumen. Hanya saja pada proses analisis ini akan diketahui secara detail atribut layanan mana yang perlu diperhatikan secara serius, dipertahankan atau kualitas layanan yang selama ini diberikan berlebihan. Untuk mengetahui posisi masing-masing atribut layanan, maka dapat dibagi menjadi empat bagian membentuk diagram kartesius, hasil atribut layanan tersebut berdasarkan tingkat harapan dan persepsi yang memungkinkan pihak perusahaan untuk menitikberatkan usaha-usaha perbaikan untuk atribut yang benar-benar dianggap penting. (sumber: http://www.slideshare.net/pasa87/metodologi-penelitian) Selanjutnya untuk sumbu mendatar (X) merupakan skor untuk jasa yang dirasakan, sedangkan untuk sumbu tegak (Y) merupakan skor untuk jasa yang diharapkan. Skor-skor penilaian tersebut akan disederhanakan untuk mendapatkan nilai rata-rata masing-masing faktor. Diagram kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah baris yang berpotongan pada titik-titik (X,Y). Untuk (X) adalah rata-rata dari rata-rata skor jasa yang dirasakan, dan (Y) adalah ratarata dari rata-rata skor jasa yang di harapkan Y Pertahankan Prestasi Jasa yang diharapkan Prioritas Utama B A Y Berlebihan Prioritas Rendah D C 0 X X Jasa yang dirasakan Gambar 2.3 Diagram Kartesius Dimensi Jasa yang Diharapkan dan Jasa yang Dirasakan II - 44 (Sumber : J.Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, 1997:242) Dimana : A. Menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan pelanggan, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun manajemen belum melaksankannya sesuai keinginan pelanggan. Sehingga mengecewakan atau tidak puas. B. Menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan, untuk itu wajib dipertahankan. Dianggap sangat penting dan sangat memuaskan. C. Menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja. Dianggap kurang penting dan kurang memuaskan. D. Menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang penting, akan tetapi pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang penting tetapi sangat memuaskan.